38
CASE REPORT MORBUS HANSEN Oleh : Harun Akbar 1018011120 Resti Lhutvia Andani 1018011126 Perceptor : dr. M. Syafei Hamzah, Sp. KK, FINS-DV dr. Arif Effendi, Sp. KK dr. Yulisna, Sp. KK dr. Hendra Tarigan Sibero, Sp. KK, M. Kes Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD DR.H. Abdul Moeloek

DocumentMH

Embed Size (px)

DESCRIPTION

MH

Citation preview

CASE REPORTMORBUS HANSEN

Oleh :Harun Akbar 1018011120Resti Lhutvia Andani 1018011126

Perceptor :dr. M. Syafei Hamzah, Sp. KK, FINS-DVdr. Arif Effendi, Sp. KKdr. Yulisna, Sp. KKdr. Hendra Tarigan Sibero, Sp. KK, M. Kes

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD DR.H. Abdul MoeloekFakultas Kedokteran Universitas LampungBandarlampung 2015KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat rahmat dan hidayat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan studi kasus yang berjudul morbus hansen . Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. M. Syafei Hamzah, Sp. KK, FINS-DV, dr. Arif Effendi, Sp. KK, dr. Yulisna, Sp. KK, dan dr. Hendra Tarigan Sibero, Sp. KK, M. Kes selaku perceptor yang telah membimbing penulis sehingga studi kasus ini dapat diselesaikan. Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih banyak memiliki kekurangan dan kesalahan. Untuk itu penulis menerima kritik dan saran yang bersifat membangun.Akhir kata Penulis berharap studi kasus ini dapat dimanfaatkan bagi semua profesi kedokteran khususnya obstetri dan ginekologi.

Bandar Lampung, maret 2015

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI STATUS PASIENTINJAUAN PUSTAKAANALISA KASUSDAFTAR PUSTAKA

STATUS PASIEN

IDENTITAS PASIEN

Nama Lengkap: Ny. NHUmur: 35 tahunJenis Kelamin: PerempuanSuku Bangsa: sundaStatus Perkawinan: MenikahA g a m a: IslamPekerjaan: Ibu Rumah TanggaPendidikan: SMPAlamat: pesawaran

A. ANAMNESIS

Diambil dari : AutoanamnesisTgl.: 16-3-2015 Jam : 10.00 Keluhan Utama : mati rasa pada telapak tangan dan kaki sejak 2 bulan SMRSKeluhan tambahan : mata terus menerus berair

Riwayat Penyakit Sekarang

Tiga tahun sebelum masuk rumah sakit pada kulit tangan pasien terjadi perbedaan warna, sebagian kulit berwarna putih, dan semakin lama semakin melebar. Pasien tidak berobat, namun semakin lama kulit yang berwarna putih tersebut berubah menjadi kemerahan. 2 bulan SMRS os mengeluh mati rasa pada telapak tangan, os pernah mengangkat panci yang panas namun tidak terasa panas dan akhirnya muncul luka pada tangan os. Apabila memegang sendok, sendok tersebut sering jatuh karena os tidak dapat merasakan dan sulit menggenggam sendok tersebut. 1 bulan SMRS, os mengeluh jari-jari tangannya bengkak dan terasa nyeri. Kemudian os berobat ke RSAM menurut dokter os terkena penyakit kusta dan mendapat obat berwarna merah dan putih, yang diminum untuk 1 bulan. Setelah 23 hari minum obat tersebut os kembali kontrol ke RSUDAM. Saat ini os mengeluh tangannya masih bengkak dan nyeri, mati rasa pada telapak tangan, luka pada jari tangan mulai berkurang, dan mata banyak mengeluarkan cairan, mata sulit dibuka pada saat bangun tidur.

B. PEMERIKSAAN FISIK

I. Status Present KU: Tampak sakit ringanKesadaran: Compos mentisTekanan Darah: 120/80 mmHgNadi: 80 x/menit (reguler, tegangan cukup)Respirasi: 20 x/menit Suhu: 36,5 0C (aksila)Tinggi badan: 155 cmBerat badan : 60 kg

II. Status Generalis Kulit: Warna kulit sawo matang Kepala: Normal Mata: Konjungtiva anemis (-/-), sklera anikterik, palpebra edema (-/-) Mulut: Bibir kering dan pecah-pecah (-) Leher: Peningkatan JVP (-) , pembesaran KGB (-) Jantung Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat Palpasi : Ictus cordis tidak teraba Perkusi : Batas jantung normalAuskultasi : Bunyi jantung I-II reguler Paru Inspeksi : Paru simetris saat statis dan dinamisPalpasi : Fremitus vokal dan taktil simetris Perkusi : Sonor (+/+)Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronki (-/-), wheezing (-/-) AbdomenInspeksi : DatarPalpasi : Nyeri tekan ulu hati (-), hepar dan lien tidak terabaPerkusi : Nyeri ketuk ginjal (-)Auskultasi : Bising usus (+) Normal Extremitas Edema kedua tangan (-/-) Edema kedua tungkai (-/-) Pemeriksan sensibilitasPemeriksaan neurologis Tangan kaki

Kanan Kiri Kanan Kiri

Nyeri tekan

Kekuatan ototRasa rabaLunglai Saraf ulnaris : tidakSedangNegativeTidakSaraf ulnaris : tidakSedangNegativeTidakSaraf peroneus : tidakSedangNegativeTidakSaraf peroneus : tidakSedang NegativeTidak

III. Status DermatologisRegioInspeksi

Fasialis, brachii-antebrachii, thorax dextra, sakrum, dan vulvaTampak makula eritematous berbatas tegas, ukuran plakat, dengan tepi ireguler permukaan agak kasar dan berkilat

Regio digitalis II manus dextraTampak ulkus jumlah 1, bentuk oval, tepi meninggi hiperpigmentasi, ukuran 1x2x0,3 cm, teraba hangat, dinding tidak menggaung, nyeri tekan +, dasar eritematous, terdapat jaringan granulasi.

Regio digitalis I pedis dextraTampak ulkus jumlah 1, bentuk bulat dengan ukuran 0,5x0,5x0,2 cm, tepi meninggi hipopigmentasi teraba hanyat, nyeri tekan +, dasar bersih dan terdapat jaringan granulasi.

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium tidak dilakukan

D. RESUME

Wanita usia 35 tahun datang dengan keluhan utama matirasa pada tangan dan kaki. Tiga tahun sebelum masuk rumah sakit pada kulit tangan pasien terjadi perbedaan warna, sebagian kulit berwarna putih, dan semakin lama semakin melebar. Pasien tidak berobat, namun semakin lama kulit yang berwarna putih tersebut berubah menjadi kemerahan. 2 bulan SMRS os mengeluh mati rasa pada telapak tangan, os pernah mengangkat panci yang panas namun tidak terasa panas dan akhirnya muncul luka pada tangan os. Apabila memegang sendok, sendok tersebut sering jatuh karena os tidak dapat merasakan dan sulit menggenggam sendok tersebut. 1 bulan SMRS, os mengeluh jari-jari tangannya bengkak dan terasa nyeri. Kemudian os berobat ke RSAM menurut dokter os terkena penyakit kusta dan mendapat obat berwarna merah dan putih, yang diminum untuk 1 bulan. Setelah 23 hari minum obat tersebut os kembali kontrol ke RSUDAM. Saat ini os mengeluh tangannya masih bengkak dan nyeri, mati rasa pada telapak tangan, luka pada jari tangan mulai berkurang, dan mata banyak mengeluarkan cairan, mata sulit dibuka pada saat bangun tidur.

E. DIAGNOSIS BANDING

1. Morbus Hansen tipe Multibasiler dengan reaksi tipe 1 + ulkus digitalis II manus dextra + ulkus digitalis I pedis dextra2. Pitiriasis rosea

F. DIAGNOSIS KERJA

Morbus Hansen tipe Multibasiler dengan reaksi tipe 1 + ulkus digitalis II manus dextra + ulkus digitalis I pedis dextra

G. PENATALAKSANAAN

I. Umum :Menjelaskan pada pasien bahwa penyakit ini bisa disembuhan, tetapi pengobatan berlangsung lama antara 12-18 bulan, untuk itu pasien harus rajin mengambil obat dipuskesmas dan tidak boleh putus obatMemperbaiki gizi dan keadaan umum penderitaMengobati penyakit penyertaKompres terbuka pada ulkus menggunakan betadine + NaCl 0,9%II. Khusus :Rifampisin 600mg/bulanLamprene 300mg/hariDitambahkan : lamprene 50mg/hari dan DDS 100mg/hariAsam mefenamat 3x500mg, bila perlu

H. PEMERIKSAAN ANJURANTes gunawanPemeriksaan bakteriologis dengan pewarnaan ziehl nielsenLepromin test

I. PROGNOSIS

Quo ad vitam : Dubia ad bonamQuo ad functionam : DubiaQuo ad sanctionam : Dubia

ANALISIS KASUS

Apakah diagnosis penyakit ini sudah tepat?Berdasarkan anamnesis : Wanita usia 35 tahun datang dengan keluhan utama mati rasa pada tangan dan kaki. Tiga tahun sebelum masuk rumah sakit pada kulit tangan pasien terjadi perbedaan warna, sebagian kulit berwarna putih, dan semakin lama semakin melebar semakin lama kulit yang berwarna putih tersebut berubah menjadi kemerahan. 2 bulan SMRS os mengeluh mati rasa pada telapak tangan, 1 bulan SMRS, os mengeluh jari-jari tangannya bengkak dan terasa nyeri. Kemudian os berobat ke RSAM menurut dokter os terkena penyakit kusta dan mendapat obat berwarna merah dan putih, yang diminum untuk 1 bulan. Setelah 23 hari minum obat tersebut os kembali kontrol ke RSUDAM. Saat ini os mengeluh tangannya masih bengkak dan nyeri, mati rasa pada telapak tangan, luka pada jari tangan mulai berkurang, dan mata banyak mengeluarkan cairan, mata sulit dibuka pada saat bangun tidur. Pemeriksaan kulit :RegioInspeksi

Fasialis, brachii-antebrachii, thorax dextra, sakrum, dan vulvaTampak makula eritematous lebih dari 5 lesi, berbatas tegas, ukuran plakat, menonjol dengan tepi ireguler permukaan agak kasar dan berkilat

Regio digitalis II manus dextraTampak ulkus jumlah 1, bentuk oval, tepi meninggi hiperpigmentasi, ukuran 1x2x0,3 cm, teraba hangat, dinding tidak menggaung, nyeri tekan +, dasar eritematous, terdapat jaringan granulasi.

Regio digitalis I pedis dextraTampak ulkus jumlah 1, bentuk bulat dengan ukuran 0,5x0,5x0,2 cm, tepi meninggi hipopigmentasi teraba hanyat, nyeri tekan +, dasar bersih dan terdapat jaringan granulasi.

Tes neurologis: rasa nyeri, raba, dan panas. Dari ketiga tes tersebut didapatkan bahwa Os tidak dapat merasakan adanya rangsangan sentuhan, dingin/ panas dan tidak berasa adanya nyeri, dari ketiga hal ini menunjukkan bahwa penyakit yang diderita Os menyebabkan kerusakan saraf sensorik. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, didapatkan diagnosis kerja pada pasien ini adalah Morbus Hansen tipe BB dengan reaksi iridosiklitis dan artritis + ulkus digitalis II manus dextra + ulkus digitalis I pedis dextra. Diagnosis tersebut sudah tepat sesuai dengan klasifikasi ridley and jopling.

Apakah pengobatan pada pasien ini sudah tepat?Pengobatan pada pasien ini sudah tepat yaitu: I. Umum :Menjelaskan pada pasien bahwa penyakit ini bisa disembuhan, tetapi pengobatan berlangsung lama antara 12-18 bulan, untuk itu pasien harus rajin mengambil obat dipuskesmas dan tidak boleh putus obatMemperbaiki gizi dan keadaan umum penderitaMengobati penyakit penyertaKompres terbuka pada ulkus menggunakan betadine + NaCl 0,9%

II. Khusus :Rifampisin 600mg/bulanLamprene 300mg/hariDitambahkan : lamprene 50mg/hari dan DDS 100mg/hariAsam mefenamat 3x500mg, bila perlu

TINJAUAN PUSTAKAMORBUS HANSEN

A. DefinisiMorbus hansen atau yang lebih sering disebut lepra merupakan penyakit infeksi yang kronik dan penyebabnya ialah Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.

B. EpidemiologiMasalah epidemiologi masih belum terpecahkan, cara penularan belum diketahui pasti hanya berdasarkan anggapan klasik yaitu melalui kontak langsung antarkulit yang lama dan erat. Anggapan kedua ialah secara inhalasi, sebab M. leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet.Masa tunas antara 40 hari sampai 40 tahun, umumnya beberapa tahun, rata-rata 3-5 tahun.Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat ke tempat lain sampai tersebar di seluruh dunia, tampaknya disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit tersebut. Masuknya kusta ke pulau-pulau Melanesia termasuk Indonesia diperkirakan terbawa oleh orang-orang Cina. Distribuasi penyakit ini tiap-tiap negara maupun dalam negara sendiri ternyata berbeda-beda.Faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenesis kuman penyebab, cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian genetik yang berhubungan dengan kerentanan, perubahan imunitas dan kemungkinan adanya reservoir diluar manusia.Kusta bukan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di kulit, folikel rambut, kelenjar keringat dan air susu ibu, jarang didapat dalam urin. Sputum dapat banyak mengandung M.leprae yang berasal dari traktus respiratorius atas. Dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rentan daripada orang dewasa. Di Indonesia penderita anak-anak dibawah umur 14 tahun didapatkan 13%, tetapi anak di bawah umur 1 tahun jarang sekali. Frekuensi tertinggi terdapat pada kelompok umur antar 25 35 tahun.Kusta terdapat di mana-mana, terutama di Asia, Afrika, Amerika Latin, daerah tropis dan subtropis, serta masyarakat yang sosial ekonominya rendah. Makin rendah sosial ekonomi makin berat penyakitnya, sebaliknya faktor sosial ekonomi tinggi sangat membantu penyembuhan. Kusta merupakan penyakit yang menyeramkan dan ditakuti oleh karena dapat terjadi ulserasi, mutilasi dan deformitas. Penderita kusta bukan menderita karena penyakitnya saja, tetapi juga karena dikucilkan masyarakat sekitarnya. Hal ini akibat kerusakan saraf besar yang ireversibel di wajah dan ekstremitas, motorik dan sensorik, serta dengan adanya kerusakan yang berulang-ulang pada daerah anestetik disertai paralisis dan atrofi otot.

C.ETIOLOGIKuman penyebab adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A. HANSEN pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belum juga dapat dibiakkan dalam media artifisial. M. Leprae berbentuk basil dengan ukuran 3-8 m x 0,5 m, tahan asam dan alkohol serta Gram Positif.

D. PATOGENESISSebenarnya M. Leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah, sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat penyakit, tidak lain disebabkan oleh respons imun yang berbeda, yang menggugah timbulnya reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik.

E. KLASIFIKASI DAN GEJALA KLINISDiagnosis penyakit kusta didasarkan gambaran klinis, bakterioskopis dan histopatologis. Di antara ketiga ini, diagnosis secara klinislah yang terpenting dan paling sederhana. Hasil bakterioskopis memerlukan waktu paling sedikit 15 30 menit, sedangkan histopatologik 10-14 hari. Kalau memungkinkan dapat dilakukan tes lepromin (Mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, yang hasilnya baru dapat diketahui setelah 3 minggu. Penentuan tipe kusta perlu dilakukan agar dapat menetapkan terapi yang sesuaiBila basil M.leprae masuk kedalam tubuh seseorang, dapat timbul gejala klinis sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung pada sistem imunitas selular (SIS) penderita. SIS baik akan tampak gambaran klinis ke arah tuberkuloid, sebaliknya SIS rendah memberikan gambaran lepromatosa.Oleh Ridley & Jopling jenis penyakit Lepra dibagi menjadi TT, BT, BB, BL dan LL. Oleh WHO penyakit lepra ini dibagi hanya menjadi 2 jenis, yaitu PB (Pausi Basiler) dan MB (Multi Basiler). Di mana tipe TT, BT termasuk dalam Pausi Basiler dan BB, BL dan LL termasuk dalam Multi Basiler. Pembagian PB dan MB dipakai untuk kepentingan pengobatan. Yang dimaksud dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA negatif pada pemeriksaan kerokan kulit. Bila pada tipe-tipe tersebut disertai BTA positif, maka akan dimasukkan ke dalam kusta MB. Pengobatan PB adalah dengan menggunakan MDT PB (Multi Drug Treatment Pausi Basiler) sedangkan untuk MB dengan menggunakan MDT MB.Zona Spektrum Kusta menurut macam klasifikasi

Bagian Diagnosis Klinis menurut WHO (1995)

Klasifikasi dan Bentuk Lepra berdasarkan WHO dan Ridley Jopling

Lesi PausiBasiler (TT)

Lesi Multi Basiler (LL)Antara diagnosis secara klinis dan secara histopatologik, ada kemungkinan terdapat persamaan maupun perbedaan tipe. Perlu diingat bahwa diagnosis klinis seseorang harus didasarkan hasil pemeriksaan kelainan klinis seluruh tubuh orang tersebut. Sebaliknya jangan hanya didasarkan pemeriksaan sebagian tubuh saja, sebab ada kemungkinan diagnosis klinis di wajah berbeda dengan tubuh, lengan, tungkai dan sebagainya. Bahkan pada satu lesi (kelainan kulit) pun dapat berbeda tipenya, umpamanya di sisi kiri berbeda dengan sisi kanan. Sebagaimana lazimnya dalam bentuk diagnosa klinis, dimulai dengan inspeksi, palpasi, lalu dilakukan pemeriksaan yang menggunakan alat sedehana yaitu: jarum, kapas, tabung reaksi masing-masing dengan air panas dan air dingin, pensil tinta dan sebagainya.Kusta terkenal sebagai penyakit yang paling ditakuti karena deformitas atau cacat tubuh. Orang awampun dengan mudah dapat menduga ke arah penyakit kusta. Yang penting bagi kita sebagai dokter dan ahli kesehatan lainnya, bahkan barangkali para ahli kecantikan dapat menduga ke arah penyakit kusta, terutma bagi kelainan kulit yang masih berupa makula hipopigmentasi, hiperpigmentasi dan eritematosa.Kelainan kulit pada penyakit kusta tanpa komplikasi dapat hanya berbentuk makula saja, infiltrat saja atau keduanya. Penyakit kusta ini merupakan salah satu dari penyakit the great imitator disease. Penyakit ini dapat menyerang ke saraf perifer sehingga perlu diperhatikan pembesaran, konsistensi dan nyeri atau tidak pada syaraf. Gejala yang timbul bergantung akan syaraf mana yang terkena, misal saraf ulnaris akan memberikan gejala clawing kelingking dan jari manis, N. Medianus akan memberikan gejala clawing ibu jari, telunjuk dan jari tengah, N. Radialis akan memberikan gejala wrist drow, N. Poplitea lateralis akan memberikan gejala foot drop, N. tibialis posterior menyebabkan claw toes, N. Fasialis akan menyebabkan kelumpuhan sebaian otot wajah dan N. Trigeminus yang aka menyebabkan anesthesi pada daerah wajah.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG1. Pemeriksaan BakterioskopikPemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan dan kerokan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan ZIEHL NEELSEN. Bakterioskopik negatif pada seorang penderita bukan berarti orang tersebut tidak mengandung basil M.Lepra.Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 4-6 tempat, yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2-4 lesi lain yang paling aktif, berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan kedua cuping telinga tersebut tanpa menghiraukan ada tidaknya lesi di tempat tersebut, oleh karena atas dasar pengalaman tempat tersebut diharapkan mengandung basil paling banyak.Kepadatan BTA dinyatakan dengan Indeks Bakteri (IB)/ Bacterial index (BI) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley. Nilai 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapang pandang, nilai 1+ bila terdapat 1 10 BTA pada 100 lapang pandang, 2+ bila terdapat 1-10 BTA pada 10 lapang pandang, 3+ bila terdapat 1-10 BTA pada 1 lapang pandang, 4+ bila terdapat 11-100 BTA pada 1 lapang pandang, 5+ bila terdapat 101 1000 BTA pada 1 lapang pandang, dan 6+ bila terdapat >1000 BTA pada 1 lapang pandang.

2. Pemeriksaan HistopatologikPada pemeriksaan Histologik dapat ditemukan adanya sel Virchow atau sel lepra atau sel busa yaitu merupakan histiosit (monosit) yang didalamnya ditemukan M. Lepra dimana biasa itemukan pada penderita dengan SIS rendah atau lumpuh.Gambaran histopatologik tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hnaya sedikit dan nonsolid. Pada tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal (subepidermal clear zone), yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Didapati sel Virchow dengan banyak basil. Pada tipe borderline terdapat campuran unsur-unsur tersebut.

3. Pemeriksaan SerologikPemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M.Leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M. Leprae, yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16 kD serta 35 kD. Pemeriksaan serologi dapat menggunakan ELISA, Uji MLPA, dan ML dipstick.G. KOMPLIKASI (REAKSI KUSTA)Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut apda perjalanan penyakit yang sebenarnya sangat kronik. Terdapat 2 reaksi Kust, yaitu ENL (Erythema Nodosum Leprosum) dan reaksi reversal. ENL terutama timbul pada tipe lepromatosa polar dan dapat pula pada BL. Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa nodus eritema dan nyeri dengan tempat predileksi di lengan dan tungkai. Bila mengenai organ lain dapat menimbulkan gejala seperti iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, artritis, orkitis dan nefritis yang akut dengan adanya proteinuria. ENL dapat disertai gejala konstitusi dari ringan sampai berat yang dapat diterangkan secara imunologik pula.Erythema Nodosum leprosum

Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif singkat. Artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi makin eritematosa, lesi makula menjadi infiltrat, lesi infiltrat makin infiltrat dan lesi lama menjadi bertambah luas. Tidak perlu seluruh gejala harus ada, satu saja sudah cukup. Adanya gejala neuritis akut penting diperhatikan, karena sangat menentukan pemberian pengobatan kortikosteroid, sebab tanpa gejala neuritis akut pemberian kortikosteroid adalah fakultatif.Reversal Reaction

Fenomena Lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada kusta tipe lepromatosa non-nodular difus. Gambaran klinis dapat berupa plak atau infiltrat difus, berwarna merah muda, bentuk tak teratur dan terasa nyeri. Lesi terutama di ekstremitas, kemudian meluas ke seluruh tubuh. Lesi yang berat tampak lebih eritematosa, disertai purpura dan bula, kemudian dengan cepat terjadi nekrosis serta ulserasi yang nyeri. Lesi lambat menyembuh dan akhirnya terbentuk jaringan parutLucio phenomenon

H. PENGOBATANObat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS (diaminodifenil sulfon) kemudian klofazimin, dan rifampisin. Pengobatan ini sering disebut sebagai MDT (Multi Drug Treatment). Obat alternatif lain yaitu ofloksasin, minosiklin dan klaritromisin.Pengobatan MDT pada pasien yang masuk kedalam kategori MB, ia harus memakan pengobatan rifampisin 600 mg setiap bulan, DDS 100 mg, dan klofazimin 50 mg setiap hari selama 2-3 tahun. Selama pengobatan ini harus dilakukan pemeriksaan klinis setiap bulan dan pemeriksaan bakteriologi setiap 3 bulan. Setelah 2-3 tahun pemeriksaan bakterioskopik harus (+), bila masih (+) pengobatan dilanjutkan sampai hasil bakterioskopik (-). Setelah 2-3 tahun pasien dinyatakan RFT (Release From Treatment), kemudian penderita harus melakukan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan bakterioskopik setiap tahun selama 5 tahun. Bila bakterioskopik tetap negatif dan klinis tidak ada keaktifan baru maka dinyatakan bebas dari pengamatan atau disebut RFC (Release From Control).Pengobatan MDT pada penderita yang masuk kedalam kategori PB, ia harus memakan pengobatan rifampisin 600 mg setiap bulan dan DDS 100 mg setiap hari selama 6-9 bulan. Selama pengobatan ini harus dilakukan pemeriksaan klinis setiap bulan dan pemeriksaan bakterioskopik setelah 6 bulan pada akhir pengobatan. Setelah 6-9 bulan pemeriksaan bakterioskopik harus tetap negatif. Setelah 6-9 bulan pasien dinyatakan RFT (Release From Treatment). Kemudian pemeriksaan dilakukan minimal setiap tahun selama 2 tahun secara klinis dan bakterioskopik. Bila tidak ada keaktivan baru secara klinis dan bakterioskopis tetap negatif, maka dinyatakan RFC (Release From Control).Bila terjadi resistensi rifampisin, biasanya akan resisten pula dengan DDS sehingga hanya bisa mendapat klofazimin. Dalam hal ini rejimen pengobatan menjadi klofazimin 50 mg, ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg setiap hari selama 6 bulan, diteruskan klofazimin 50 mg ditambah ofloksasin 40 mg atau minosiklin 100 mg setiap hari selama 8 bulan. Bagi penderita MB yang menolak klofazimin dapat diberikan ofloksasi 400 mg/hari atau minosiklin 100 mg/hari selama 12 bulan. Alternatif lain ialah diberikan rifampisin 600 mg ditambah dengan ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg dosis tunggal seiap bulan selama 24 bulan.Pengobatan ENL dapat diberikan tablet kortikosteroid antara lain prednison. Dosisnya bergantung pada berat ringannya raksi, biasanya prednison 15-30 mg sehari. Makin berat reaksinya makin tinggi dosisnya. Sesuai dengan perbaikan reaksi, dosisnya diturunkan secara bertahap sampai berhenti sama sekali.Pengobatan reaksi reversal harus memperhatikan disertai adanya neuritis atau tidak. Sebab kalau tanpa neuritis akut tidak perlu diberi pengobatan tambahan. Kalau ada neuritis akut, obat pilihan pertama adalah kortikosteroid yang dosisnya juga disesuaikan dengan berat ringannya neuritis. Biasanya diberikan prednison 40-60 mg sehari, kemudian diturunkan perlahan-lahan.I. PROGNOSISPrognosis bergantung akan stadium penyakitnya. Tipe Tuberkuloid biasanya menyebabkan kerusakan saraf yang cukup parah. Prognosis juga bergantung akan kepatuhan dalam memakan pengobatan lepra ini. Relapse (penyakit baru setelah MDT telah diselesaikan) terjadi pada 0.01% 0.14% pasien yang telah menyelesaikan MDT secara adekuat pada 10 tahun pertama. Kira-kira 5-10% pasien mengalami reaksi reversal pada tahun pertama penderita menyelesaikan MDT.Karena adanya penurunan sistem imun pada kehamilan, maka reaksi ENL dapat terjadi pada wanita mengandung yang berumur kurang dari 40 tahun.Secara keseluruhan, anak-anak mempunyai prognosis yang baik karena penyakit multibacilar dan reaksi leprosa sangat jarang.

DAFTAR PUSTAKA

1. http://www.who.int/lep 2. http://legacy.uspharmacist.com/index.asp?show=article&page=8_1649.html 3. http://dermatology-s10.cdlib.org/142/case_reports/lucio/thappa.html 4. http://emedicine.medscape.com/article/1104977-followup#a2650 5. Prof. Dr. dr. Adhi Djuanda. Dkk. Fakultas kedokteran universitas indonesia. Edisi kelima. ilmu penyakit kulit dan kelamin. 2010

LAMPIRAN