108
Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor 14 Tahun 2005 secara Filosofis, Psikologis, Sosiologis, dan Pedagogis) Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd) Oleh Mulyani Zakiyah NIM 111400110000043 JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2018 M/ 1404 H

Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

  • Upload
    others

  • View
    160

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis

terhadap UU Nomor 14 Tahun 2005 secara Filosofis, Psikologis,

Sosiologis, dan Pedagogis)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar

Sarjana Pendidikan (S. Pd)

Oleh

Mulyani Zakiyah NIM 111400110000043

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF

HIDAYATULLAH

JAKARTA

2018 M/ 1404 H

Page 2: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor
Page 3: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor
Page 4: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor
Page 5: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor
Page 6: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

i

ABSTRAK

Mulyani Zakiyah (NIM: 11140110000043). Miskonsepsi Guru dan Dosen

Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor 14 Tahun 2005 secara

Filosofis, Psikologis, Sosiologis dan Pedagogis)

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui miskonsepsi guru dan dosen profesional,

jenis penelitian yang digunakan ialah penelitian kualitatif dengan metode studi

kepustakaan. Salah satu sumber primer yang digunakan yaitu buku Membangun

Profesional Guru Analisis Kronologis atas Lahirnya UU Guru dan Dosen

karangan Asrorun Ni’am sholeh. dalam analisis data menggunakan deskriptif

analisis dengan fokus kajian adalah miskonsepsi guru dan dosen profesional

analisis kritis terhadap UU Nomor 14 Tahun 2005.

Skripsi ini membahas tentang miskonsepsi guru dan dosen profesional analisis

filosofis yang berisi tentang ketidak jelasan konsep dasar UUGD dalam

membedakan antara penyebutan nama guru dan dosen, tugas utama guru dan

dosen serta kompetensi pedagogik tidak seharusnya ada pada dosen. Secara

psikologis bahwa sertifikasi bukan satu-satunya tolak ukur untuk mengukur

seorang pendidik adalah seorang yang profesional. Secara sosiologis semangat

belajar harus melekat dalam diri setiap guu. Secara pedagogis banyak guru yang

mengajar bukan dibidang yang diajarkan serta dalam UUGD tidak memberikan

secara jelas lembaga apa yang memiliki legalitas untuk mencetak kependidikan

dan memberikan sertifikasi kependidikan.

Kata Kunci: Miskonsepsi, Profesional

Page 7: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

ii

ABSTRACT

Mulyani Zakiyah (NIM: 11140110000043). Miskonsepsi Miskonsepsi Guru

dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor 14 Tahun 2005

secara Filosofis, Psikologis, Sosiologis dan Pedagogis)

The purpose of this study is to find out the misconceptions of professional

teachers and lecturers. The type of research used is qualitative research with

library study methods. One primary source used is a book Membangun

Profesional Guru Analisis Kronologis atas Lahirnya UU Guru dan Dosen

karangan Asrorun Ni’am sholeh in data analysis using descriptive analysis the

focus of the study is teacher misconception and professional critical analysis

lecturers against lau number 14 of 2005.

In this paper discussed the misconceptions of professional teachers and lecturers

on philosophical analysis which contains the unclear basic concepts of UUDG in

distinguishing between the names of teachers and lecturers, the main tasks of

teachers and lecturers as well as pedagogical competencies should not be available

to lecturers. Psychologically, certification is not the only the benchmark for

measuring an educator is a professional. Sociologically the spirit of learning must

be inherent in each teacher. Pedagogically many teachers who teach not in the

fields taught and in the UUGD do not provide clearly what institutions have the

legality to print education and provide certication education.

Keywords: Misconception, professional

Page 8: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

iii

KATA PENGANTAR

الرحيمبسم اهلل الرحمن

Alhamdulillahirabbil-aalamiin, segala puji bagi Allah SWT. yang telah

memberikan nikmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

penyusunan skripsi ini. Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi

Muhammad SAW. yang telah menunjukan kepada kita jalan yang lurus.

Alhamdulillah, atas karunia dan hidayah-Nya, akhirnya penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “MISKONSEPSI KOMPETENSI

PROFESIONAL BAGI GURU DAN DOSEN (ANALISIS KRITIS

TERHADAP UU NOMOR 14 TAHUN 2005 SECARA FILOSOFIS,

PSIKOLOGIS, SOSIOLOGIS DAN PEDAGOGIS)”.

Selama proses penyusunan skripsi ini, penulis menyadari bahwa banyak

kesulitan dan kendala yang dihadapi. Namun, atas bimbingan dan motivasi dari

berbagai pihak, alhamdulillah penulis dapat menyelesaikannya. Dan pada

kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada:

1. Prof. Ahmad Thib Raya, MA., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan

Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Abdul Majid Khon, MA., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Marhamah Shaleh, Lc., MA., selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama

Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Dr. Nur’aini Ahmad, M.Fil., dan Dr. Akhmad Sodiq, M.Ag., selaku Dosen

Penasehat Akademik yang telah memberikan bimbingan selama perkuliahan.

5. Yudhi Munadi, M. Ag., selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang selalu

meluangkan waktunya untuk membimbing dan memotivasi penulis.

6. Kedua orang tuaku tercinta Bapak Bujang dan Ibu Andah, yang tak henti-

hentinya mendoakan, melimpahkan kasih sayang, dan memberikan dukungan

moril serta materil kepada penulis.

Page 9: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

iv

7. Kakakku Arnita, Syafrizal, Delfi, Yenti Susanti, Mulyadi Zaki dan seluruh

anggota keluarga tersayang yang selalu memberikan doa, semangat, dan kasih

sayang kepada penulis.

8. Teman-teman Pendidikan Agama Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

angkatan 2014, khususnya kelas PAI B yang telah memberikan semangat dan

bantuannya selama ini, semoga tali silaturahmi kita tetap terjalin sampai

nanti.

Serta semua pihak yang berjasa, mudah-mudahan bantuan, bimbingan serta

doa yang telah diberikan menjadi pintu datangnya ridha dan kasih sayang Allah

SWT. di dunia dan di akhirat kelak. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi

penulis dan bagi khazanah ilmu pengetahuan pada umumnya. Aamiin.

Penulis,

Mulyani Zakiyah

Page 10: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

v

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI

SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI

ABSTRAK ........................................................................................................... i

ABSTRACT ......................................................................................................... ii

KATA PENGANTAR ......................................................................................... iii

DAFTAR ISI ........................................................................................................ v

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ............................................................................ 1

B. Identifikasi Masalah .................................................................................. 4

C. Pembatasan Masalah ................................................................................. 4

D. Perumusan Masalah .................................................................................. 5

E. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 5

F. Manfaat Penelitian .................................................................................... 5

BAB II KAJIAN TEORI .................................................................................... 6

A. Acuan Teori ............................................................................................... 6

1. UU dan Legalitasnya ........................................................................... 6

a. Undang-Undang/Perpu .................................................................. 8

b. Peraturan Pemerintah .................................................................... 11

c. Keputusan Presiden ....................................................................... 11

2. Miskonsepsi ........................................................................................ 12

3. Kompetensi Profesional ...................................................................... 14

a. Kompetensi .................................................................................... 14

Page 11: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

vi

b. Macam-macam Kompetensi .......................................................... 15

1) Kompetensi Pedagogik .......................................................... 15

2) Kompetensi Kepribadian ........................................................ 16

3) Kompetensi Profesional ......................................................... 16

4) Kompetensi Sosial .................................................................. 26

c. Ciri-ciri Jabatan Profesional .......................................................... 27

d. Guru dan Dosen ............................................................................. 29

B. Hasil Penelitian yang Relevan .................................................................. 30

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ......................................................... 13

A. Objek dan Waktu Penelitian ................................................................... 13

B. Metode Penelitian ................................................................................... 13

C. Fokus Penelitian ...................................................................................... 13

D. prosedur Penelitian.................................................................................. 13

BAB IV HASIL PENELITIAN .......................................................................... 13

A. Miskonsepsi kompetensi Profesional dari Sudut Pandang filosofis ...... 13

1. Hakikat Manusia .............................................................................. 13

2. Manusia dan Pikiran ........................................................................ 13

B. Miskonsepsi Kompetensi Profesional dari Sudut Pandang Psikologis ... 33

C. Miskonsepsi Kompetensi Profesional dari Sudut Pandang Sosiologis .. 35

D. Miskonsepsi Kompetensi Profesional dari Sudut Pandang Pedagogis ... 53

BAB V PENUTUP ............................................................................................... 97

A. Kesimpulan ............................................................................................... 97

B. Saran .......................................................................................................... 97

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 13

Page 12: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam pendidikan terdapat beberapa komponen diantaranya adalah

peserta didik, pendidik, strategi dan metode belajar, tujuan, kurikulum,

media, sarana dan prasarana, lingkungan dan sebagainya, yang semuanya

saling mempengaruhi satu sama lain. Untuk menjalankan sistem pendidikan

dibutuhkan salah satunya yaitu pendidik sebagai tenaga fungsional.

Upaya pemerintah dalam meningkatkan mutu pendidikan telah

dilakukan sejak dulu. Upaya-upaya yang telah dilakukan antara lain menata

sarana dan prasarana, melakukan perubahan kurikulum, meningkatkan

kualitas guru baik melalui peningkatan kualifikasi pendidikan guru,

memberikan berbagai diklat atau penataran, maupun peningakatan tunjangan

profesi guru dalam arti meningkatkan kesejahteraan guru. Semua ini

dilakukan guna tercapainya tujuan pendidikan nasional yang bermutu secara

merata.

Ketika mutu pendidikan di Indonesia dipertanyakan, guru dianggap

menjadi salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan di

Indonesia, karena merekalah yang berada di garda depan dalam dunia

pendidikan. Kualitas guru-guru Indonesia dianggap rendah. Hal ini

didasarkan pada realitas, bahwa banyak guru yang tidak memenuhi

kualifikasi dan kompetensi yang dibutuhkan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang

guru dan dosen, pada pasal 6 menyebutkan, bahwa kedudukan guru dan

dosen sebagai tenaga fungsional bertujuan untuk melaksanakan sistem

pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu

berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman

dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,

cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga Negara yang demokratis dan

bertanggung jawab. Sebagai tenaga fungsional dan profesional seorang guru

Page 13: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

2

harus mampu meningkatkan kompetensinya, baik kompetensi profesional,

individual, sosial maupun kompetensi pedagogik.

Sesuai juga dengan Undang-Undang Republik Indonesia Pasal 39 ayat

2 Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, jabatan guru

sebagai pendidik merupakan jabatan profesional. Profesionalisme guru

dituntut agar terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, ilmu

pengetahuan dan teknologi (IPTEK), serta kebutuhan masyarakat termasuk

kebutuhan terhadap Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas dan

memiliki kapabilitas untuk mampu bersaing baik di forum regional, nasional

maupun internasional.

Lebih dalam lagi pada pasal 10 ayat 1 Undang-Undang Guru dan Dosen

dan pasal 28 ayat 3 PP 19 tahun 2005 tentang SNP dijelaskan bahwa

kompetensi guru yang dimaksud meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi

kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial.

Dalam penelitian ini hanya akan disorot salah satu jenis kompetensi

saja, yakni kompetensi profesional, dan sama sekali tidak bermaksud untuk

mengesampingkan pentingnya kompetensi lainnya.

Masalah kompetensi profesional guru merupakan salah satu dari

kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap guru dalam jenjang pendidikan

apa pun. Kompetensi-kompetensi lainnya adalah kompetensi kepribadian dan

kompetensi kemasyarakatan. Secara teoretis ketiga jenis kompetensi tersebut

dapat dipisah-pisahkan satu sama lain, akan tetapi secara praktis

sesungguhnya ketiga jenis kompetensi tersebut tidak mungkin dapat dipisah-

pisahkan. Di antara ketiga jenis kompetensi itu saling menjalin secara terpadu

dalam diri guru. Guru yang terampil mengajar tentu harus pula memiliki

pribadi yang baik dan mampu melakukan social adjusment dalam

masyarakat. Ketiga kompetensi tersebut terpadu dalam karakteristik tingkah

laku guru.1

1 Oemar Hamalik, (2009). Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi,

(Jakarta: PT Bumi Aksara), h. 34.

Page 14: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

3

Guru merupakan orang yang harus digugu dan ditiru, dalam arti orang

yang memiliki kharisma atau wibawa hingga perlu untuk ditiru dan

diteladani.2 Jadi guru adalah orang dewasa yang secara sadar bertanggung

jawab dalam mendidik, mengajar, dan membimbing peserta didik. Orang

yang disebut guru adalah orang yang memiliki ke mampuan merancang

program pembelajaran serta mampu menata dan mengelola kelas agar peserta

didik dapat belajar dan pada akhirnya dapat mencapai tingkat kedewasaan

sebagai tujuan akhir dari proses pendidikan.3

Profesi guru memang sangat unik, peran sentral guru ada pada

peningkatan kualitas pendidikan sangat penting untuk dilakukan. Hampir

semua usaha reformasi dibidang pendidikan pada akhirnya tergantung kepada

guru. Tanpa guru, usaha untuk mendorong siswa dalam mencapai prestasi

yang tinggi tidaklah maksimal. Tetapi uniknya profesi guru kurang dihargai

seperti profesi-profesi yang lain. Guru merupakan suatu jabatan profesional

yang memiliki peranan dan kompetensi profesional sehingga pemegangnya

harus memenuhi kualifikasi akademik.4

Guru merupakan suatu profesi, yang berarti suatu jabatan yang

memerlukan keahlian khusus sebagai guru dan tidak dapat dilakukan oleh

sembarangan orang di luar pendidikan. Walaupun pada kenyataannya masih

terdapat hal-hal tersebut di luar bidang kependidikan.5

UU guru dan Dosen (UUGD) yang sudah meletakkan rambu-rambu dan

ruang gerak guru, ternyata belum seberapa dihayati oleh guru sendiri. Tetapi

kita pun bisa bertanya apakah UUGD sesungguhnya telah memahami guru

Indonesia meliputi seluruh spektrum permasalahannya! Kalau UU itu tidak

mudah dipahami oleh guru, siapa yang salah? Kita tidak bisa menuntut

perumus UU yang duduk di DPR, yang umumnya adalah anggota berbagai

partai politik dengan berbagai kepentingan, untuk sepenuhnya memahami

bahasa guru dan menggunakannya untuk membuat UU untuk guru. Sama

2 Hamzah B. Uno, Profesi Kependidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), h. 15.

3 Ibid.

4 Ibid.

5 Ibid.

Page 15: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

4

tidak bisanya kita berharap guru memahami bahasa politik anggota DPR

dalam tugas sehari-hari. Memahami belum tentu menyetujui. Apakah lagi

yang bisa disetujui oleh guru, kalau memahaminya belum?6

Kompetensi keguruan memunculkan 4 buah kompetensi, dan tidak

terfokus kategorisasinya pun tumpang tindih, menyebabkan timbulnya

pertanyaan seperti kenapa kompetensi pedagogik yang diartikan sebagai

kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik, hakikatnya apakah

kompetensi pedagogik tidak dapat dilihat sebagai bagian dari kompetensi

prifesional yang diartikan UUGD sebagai penguasaan materi?

Berdasarkan kondisi tersebut, maka penulis tertarik mengangkat

permasalahan tersebut yang kemudian penulis tuangkan dalam karya ilmiah

yang berjudul “Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis

terhadap UU Nomor 14 Tahun 2005 secara Filosofis, Psikologis,

Sosiologis, dan Pedagogis)”

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka peneliti

mengidentifikasi masalah sebagai berikut:

1. Memaknai relevansi kompetensi profesional

2. Guru belum memahami UUGD

3. Memahami UUGD dari berbagai kepentingan

4. Miskonsepsi guru dan dosen profesional.

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah tersebut maka peneliti membatasi

masalah dalam penelitian ini pada miskonsepsi guru dan dosen profesional

(analisis kritis terhadap UU nomor 14 tahun 2005 secara filosofis, psikologis,

sosiologis dan pedagogis).

6 Winarmo Surakhmad, Pendidikan Nasional Strategi dan Tragedi, (Jakarta: PT Kompas

Media Nusantara, 2009), h. 271.

Page 16: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

5

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka perumusan masalah

dalam penelitian ini adalah: Bagaimana miskonsepsi guru dan dosen

profesional (analisis kritis terhadap UU nomor 14 tahun 2005 secara filosofis,

psikologis, sosiologis, dan pedagogis)?

E. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui miskonsepsi guru dan dosen

profesional (analisis kritis terhadap UU nomor 14 tahun 2005 secara filosofis,

psikologis, sosiologis dan pedagogis)

F. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat:

1. Bagi penulis adalah menambah pengetahuan dan pengalaman

tentang kompetensi profesional dan miskonsepsi guru dan dosen

profesional.

2. Bagi lembaga pendidikan dan lembaga pemerintahan adalah

memberikan rekomendasi untuk pengambilan kebijakan di masa

depan, sehingga mutu pendidikan lebih baik.

3. Bagi peneliti lainnya adalah sebagai gambaran sekaligus modal awal

untuk melakukan penelitian selanjutnya.

4. Bagi keilmuan adalah menambah khazanah dan mengembangkan

keilmuan tersebut.

Page 17: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

6

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Acuan Teori

1. UU dan Legalitasnya

a. Undang-Undang Dasar 1945

Undang-undang dasar terdiri dari pembukaan, batang tubuh

undang-undang dasar 1945 terdiri dari 16 bab dan terperinci dalam

37 pasal, terdiri 4 pasal aturan peralihan dan 2 ayat aturan tambahan,

penjelasan undang-undang dasar 1945.

Di dalam penjelasan undang-undang dasar 1945 dinyatakan

bahwa undang-undang dasar suatu negara adalah hanya sebagian

dari hukumnya dasar negara itu. Undang-undang dasar ialah hukum

dasar yang tertulis, sedang disampingnya undang-undang dasar itu

juga berlaku hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan

dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan

Negara meskipun tidak tertulis, yang merupakan sumber hukum lain.

Undang-undang dasar 1945 sebagai perwujudan dari tujuan

proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 sebagai perwujudan dari

tujuan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus1945, maka pokok-

pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan Undang-undang

dasar itu sebagai berikut:

1) “Negara” begitu bunyi “melindungi segenap bangsa

Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan

berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan

sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

2) Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh

rakyat.

3) Pokok yang ke tiga terkandung dalam “pembukaan” ialah

negara yang berkedaulatan rakyat, berdasarkan kerakyatan

dan permusyawaratan perwakilan. Oleh karena itu sistem

Page 18: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

7

negara yang terbentuk dalam undang-undang dasar harus

berdasar atas kedaulatan rakyat dan berdasar atas

permusyawaratan perwakilan. Memang aliran ini sesuai

dengan sifat masyarakat Indonesia.

4) Pokok pikiran yang keempat yang terkandung dalam

“pembukaan” ialah negara berdasrkan atas Ketuhanan

yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan

beradab. Oleh karena itu, undang-undang dasar harus

mengandung isi yang kewajiban pemerintah dan lain-lain

penyelenggaraan negara untuk memelihara budi pekerti

kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita

moral rayat yang luhur.

Pembukaan Undang-undang dasar 1945 sebagai pernyataan

kemerdekaan yang mengandung cita-cita luhur dari proklamasi

kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan oleh karena itulah tidak dapat

diubah oleh siapapun juga. Termasuk MPR hasil pemilihan umum.

Dalam kedudukan yang demikian itu pembukaan undang-undang

dasar 1945 merupakan dasar dan sumber hukum dari batang

tubuhnya. Ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam pasal-pasal

dari undang-undang dasar 1945 adalah ketentuan-ketentuan yang

tertinggi tingkatnya yang pelaksanaannya dilakukan dengan

ketetapan MPR, Undang-undang, atau keputusan presiden.1

Salah satu yang diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 31 ayat

(3) yaitu masalah pendidikan yang berbunyi:

"Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu

sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan

ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan

kehidupan bangsa," dan ayat (5) yang berbunyi: "Pemerintah

memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung

1 Mujar Ibnu Syarif & Kamarusdiana, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Lembaga Penelitian

UIN Jakarta, 2009), h. 70-72.

Page 19: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

8

tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan

peradaban serta kesejahteraan umat manusia."2

b. Undang-Undang/Perpu

Undang-undang adalah suatu peraturan/keputusan negara

yang tertulis dibuat oleh alat perlengkapan negara yang berwenang

(bersama-sama oleh DPR dan Presiden) yang mengikat

masyarakat.3 Undang-undang dapat dibedakan menjadi dua macam

arti, yaitu:

1) Undang-undang dalam arti materiil (luas), yaitu semua

peraturan/ keputusan yang tertulis yang menurut isinya

mengikat setiap orang secara umum dan dibuat oleh

penguasa (pusat ataupun daerah) yang sah. Undang-

undang dalam arti materiil ini juga dikelompokkan ke

dalam dua golongan, yaitu:

a) Peraturan Pusat (Algemene Verordening), yakni

peraturan tertulisnya yang dibuat oleh pemerintah

pusat yang berlaku diseluruh atau sebagian wilayah

negara.

b) Peraturan Setempat (Locale Verordening), yaitu

peraturan tertulis yang dibuat oleh penguasa

setempat dan hanya berlaku ditempat atau daerah

itu saja

2) Undang-undang dalam arti formal (sempit), yaitu

peraturan tertulis yang dibentuk oleh alat perlengkapan

negara yang berwenang (bersama-sama oleh DPR dan

Presiden). 4

2 Undang-Undang Republik Indonesia tentang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun

2003 3 Ishaq, Pengantar Hukum Indonesia (PHI), (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2016), h. 35.

4 Ibnu, op, cit., h. 48.

Page 20: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

9

Pertama kali yang mengadakan pembagian undang-undang

dalam arti materiil dan undang-undang dalam arti formil adalah

seorang ahli hukum bangsa Jerman bernama Paul Laband.

Merupakan undang-undang karena cara pembuatannya (misalnya

dibuat oleh pemerintah bersama-sama dengan parlemen).

Perpu adalah peraturan pemerintah pengganti undang-

undang, yang diatur dalam pasal 22 UUD 1945 menyatakan:

1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden

berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai

pengganti undang-undang.

2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan

dewan perwakilan rakyat dalam persidangan yang

berikut.

3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan

pemerintah harus dicabut.

Peraturan Pemerintah dalam pasal ini yang kekuatannya sama

dengan Undang-undang harus disahkan oleh dewan perwakilan

rakyat. Dalam hal ini perlu kita memperhatikan tentang instruksi

Presiden Republik Indonesia Nomor 15 tahun 1970 tentang tatacara

mempersiapkan Rancangan undang-undang dan rancangan

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia.5

Dalam dunia pendidikan contoh dari Undang-Undang atau

perpu adalah UU Nomor 14 Tahun 2005 yang berisi tentang secara

keseluruhan Undang Undang Nomor 14 Tahun 2005 ini dapat

disimpulkan bahwa UU Guru dan Dosen terdiri dari 84 pasal.

Secara garis besar, isi dari UU ini dapat dibagi dalam beberapa

bagian:6

1) Pasal - pasal yang membahas tentang penjelasan umum

(7 pasal) yang terdiri dari:

5 Ibnu., h. 73.

6 Asrorun Ni’am Sholeh, Membangun Profesionalitas Guru Analisis Kronologis atau

Lahirnya UU Guru dan Dosen, (Jakata: Elsas, 2017), h. 224.

Page 21: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

10

a) Ketentuan Umum

b) Kedudukan, Fungsi, dan Tujuan

c) Prinsip Profesionalitas.

2) Pasal - pasal yang membahas tentang guru (37 pasal)

yang terdiri dari:

a) Kualifikasi, Kompetensi, dan Sertifikasi

b) Hak dan Kewajiban

c) Wajib Kerja dan Ikatan Dinas

d) Pengangkatan, Penempatan, Pemindahan, dan

Pemberhentian

e) Pembinaan dan Pengembangan

f) Penghargaan

g) Perlindungan

h) Cuti

i) Organisasi Profesi.

3) Pasal-pasal yang membahas tentang dosen (32 pasal)

yang terdiri dari

a) Kualifikasi, Kompetensi, Sertifikasi, dan Jabatan

Akademik

b) Hak dan Kewajiban Dosen

c) Wajib Kerja dan Ikatan Dinas

d) Pengangkatan, Penempatan, Pemindahan, dan

Pemberhentian

e) Pembinaan dan Pengembangan

f) Penghargaan

g) Perlindungan

h) Cuti.

4) Pasal-pasal yang membahas tentang sanksi (3 pasal).

5) Bagian akhir yang terdiri dari Ketentuan Peralihan dan

Ketentuan Penutup (5 Pasal).

Dari seluruh pasal tersebut diatas pada umumnya mengacu

pada penciptaan Guru dan Dosen Profesional dengan kesejahteraan

yang lebih baik tanpa melupakan hak dan kewajibannya.

Dalam pasal 8 disebutkan bahwa guru wajib memiliki

kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat

jasmani dan rohani serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan

tujuan pendidikan nasional. Dalam Undang-undang ini juga

disebutkan bahwa kompetensi yang harus dimiliki oleh guru

mencakup empat hal, yaitu kompetensi profesional, kompetensi

pedagogik, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial.

Page 22: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

11

c. Peraturan Pemerintah

Peraturan Pemerintah adalah memuat aturan-aturan umum

untuk melaksanakan undang-undang. Dalam pasal 5 ayat 2 UUD

1945, presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan

undang-undang sebagaimana mestinya.

Dalam penjelasan pasal 5 ayat 2 tersebut, bahwa presiden ialah

kepala kekuasaan eksekutif dalam Negara. Untuk menjalankan

undang-undang, ia mempunyai kekuasaan untuk menetapkan

Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah itu bermacam-macam,

yaitu Peraturan Pemerintah Pusat dan Peraturan Pemerintah Daerah.

Peraturan Emerintah dibuat oleh presiden untuk menjalankan

undang-undang (hanya untuk melaksanakan undang-undang), yang

diartikan melaksanakan undang-undang, bahwa peraturan

pemerintah hanya berisi ketentuan lebih lanjut dari ketentuan-

ketentuan yang telah ditetapkan dalam undang-undang, setiap

ketentuan dalam peraturan pemerintah harus berkaitan dengan satu

atau beberapa ketentuan dalam undang-undang tersebut.7

Di pendidikan contoh dari Peraturan Pemerintah ialah masalah

pada pasal 10 ayat 1 Undang-Undang Guru dan Dosen dan pasal 28

ayat 3 PP 19 Tahun 2005 tentang SNP dijelaskan bahwa kompetensi

guru yang dimaksud meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi

kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial.

d. Keputusan Presiden

Undang-undang dasar 1945 pasal 4 ayat 1 menyatakan:

“Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintah

menurut undang-undang dasar”. Dalam penjelasan disebutkan bahwa

presiden ialah penyelenggara Pemerintah Negara yang tertinggi.

7 Ibnu, op., cit., h. 74.

Page 23: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

12

Dalam menjalankan pemerintah negara, kekuasaan dan

tanggungjawab adalah di tangan presiden.

Ketentuan penjelasan tersebut menunjukan bahwa presiden

sebagai penanggung jawab dan pimpinan penyelenggaraan

pemerintah sehari-hari. Presiden adalah pimpinan administrasi

negara. Salah satu fungsi administrasi Negara yaitu membuat

keputusan. Dalam perkembangannya keputusan administrasi negara

tidak sekedar membuat ketetapan tetapi juga membuat peraturan-

peraturan.

Keputusan presiden ada dua macam yaitu keputusan presiden

yang bersifat konkrit-individual dan keputusan presien bersifat

umum. Keputusan presiden dapat dibuat dalam rangka melaksanakan

UUD 1945, ketetapan MPR, Undang-undang dan peraturan

pemerintah. Keputusan presiden yang berupa peraturan perundangan

dapat dikendalikan secara yudisial melalui pranata hak uji

Mahkamah Agung. Sedangkan keputusan presiden yang berupa

ketetapan pengendalian yudisial melalui peradilan melalui peradilan

tata uaha Negara.8

2. Miskonsepsi

Konsep adalah sebuah kata yang berasal dari bahasa latin

conceptus (kata benda masculinum) yang dibentuk dari kata conceptum

yang berasal dari kata kerja concipio berarti mengambil ke dalam dirinya,

menerima, mengisap, menampung, menyerap, atau menangkap.

Conceptum berarti mengambil, menyerap, membayangkan dalam pikiran,

mengerti, dan menangkap. Conceptus berarti cerapan, bayangan dalam

pikiran, pengertian, dan tanggapan. Jadi konsep dan idea memiliki arti

yang sama, yaitu rupa atau gamb ar atau bayangan dalam pikiran yang

8 Ibid., h. 75-76.

Page 24: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

13

merupakan hasil tangkapan akal budi terhadap suatu entitas yang menjadi

objek pikiran.9

Menurut Nursalam konsep adalah “abstraksi dari suatu realitas agar

dapat di komunikasikan dan membentuk suatu teori yang menjelaskan

keterkaitan antarvariabel.”10

J. Sudarminta mengungkapkan Konsep

secara umum dapat dirumuskan pengertiannya sebagai suatu representasi

abstrak dan umum tentang sesuatu. Sebagai sesuatu representasi abstrak

dan umum tentu saja konsep merupakan suatu hal yang bersifat mental,

representasi sesuatu itu terjadi dalam pikiran.11

Menurut Kaplan yang dikutip oleh Djuju Sudjana mengemukakan

bahwa “A concept is a contruct (konsep adalah sebuah bentuk),

pengertian lebih luas adalah “concept are mental images we use as

summary devices for bringing together observations and experie, ices

that seem to have something in common” (konsep adalah citra mental

yang kita gunakan sebagai alat untuk memadukan pengamatan dan

pegalaman yang memiliki kesamaan).12

Menurut Paul Suparno mengatakan Miskonsepsi adalah “konsep

yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah atau pengertian yang

diterima oleh pakar dalam bidang itu”.13

Menurut Saleem Hasan “miskonsepsi sebagai struktur kognitif

(pemahaman) yang berbeda dari pemahaman yang telah ada dan diterima

dilapangan, dan struktur kognitif ini dapat menggangu penerimaan ilmu

pengetahuan yang baru”.14

9 Jan Hendrik Rapar, Pengantar Logika Asas-Asas Penalaran Sistematis (Yogyakarta:

Kanisius, 2006), h. 27. 10

Nursalam, Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan, (Jakarta:

Salemba Medika, 2008), h. 55.

11

J. Sudarminta, Epistemologi Dasar Pengantar Filsafat Pengetahuan, (Yogyakarta:

Kanisius, 2002), h. 87. 12

Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, Ilmu dan Aplikasi Pendidikan (Bandung: PT

Imperial Bhakti Utama, 2007), h. 12. 13

Paul Suparno, Miskonsepsi dan Perubahan Konsep dalam Pendidikan Fisika, (Jakarta:

PT Grasindo, 2005), h. 4. 14

Salem Hasan, et al, “Misconceptions and the Certainty of Response Index (CRI)”,

Journal of Phys, Educ, Vol. 5, 1999, h. 294.

Page 25: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

14

Dwi Septiana, Zulfiani mengatakan Menurut Novak miskonsepsi

disebut juga sebagai prakonsepsi, dan oleh Driver sebagai kerangka

alternatif dan disebut “children science”. Sebagai bentuk penghargaan

terhadap gagasan-gagasan yang berbeda, beberapa ilmuan menganti

istilah miskonsepsi dengan konsep alternatif.15

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa miskonsepsi

adalah suatu gagasan dari sebuah pengertian yang tidak sesuai dengan

pengertian ilmiah atau interpretasi hubungan konsep-konsep tidak dapat

diterima.

3. Kompetensi Profesional

a. Kompetensi

Muhibbin mengemukakan bahwa “kompetensi adalah

kemampuan, kecakapan, keadaan berwenang, atau memenuhi syarat

menurut ketentuan hukum. Selanjutnya dikemukakan bahwa

kompetensi guru adalah kemampuan seorang guru dalam

melaksanakan kewajiban-kewajibannya secara bertanggungjawab

dan layak. Jadi kompetensi profesional guru dapat diartikan sebagai

kemampuan dan kewenangan guru dalam menjalankan profesi

keguruannya. Guru yang kompeten dan profesional adalah guru yang

piawai dalam melaksanakan profesinya.”16

Partanto dan Al-Barry mengatakan bahwa “kompetensi adalah

kecakapan, kewenangan, kekuasaan, dan kemampuan”.17

Wijaya dan

Rusyan mengatakan bahwa “kompetensi adalah kemampuan yang

15

Dwi Septiana, dkk, “Identifikasi Miskonsepsi Siswa pada Konsep Archaebacteria dan

Eubacteria Menggunakan Two-Tier Multiple Choice”, Jakarta: EDUSAINS, Vol. 6, 2014, h. 192. 16

Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung: Remaja

Rosdakarya, 2000), h. 203. 17

Pius A Partanto, dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: PT Arloka,

1994), h. 353.

Page 26: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

15

merupakan gambaran hakikat kualitatif dari perilaku guru atau

tenaga kependidikan yang tampak sangat berarti”.18

Yasin mengatakan bahwa “kompetensi adalah serangkaian

tindakan dengan penuh rasa tanggung jawab yang harus di punyai

seseorang sebagai persyaratan untuk dapat dikatakan berhasil dalam

melaksanakan tugasnya”.19

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun

2005 tentang Guru dan Dosen ditulis: “kompetensi adalah

seperangkat pengetahuan, keterampilan dan perilaku yang harus

dimiliki, dihayati, dikuasai oleh guru atau dosen dalam

melaksanakan tugas keprofesionalan”.

Jadi dapat disimpulkan bahwa kompetensi adalah kemampuan,

tindakan, pengetahuan, keterampilan, yang harus dimiliki oleh

seorang pendidik untuk bisa dikatakan berhasil dalam tugasnya.

b. Macam-macam Kompetensi

1) Kompetensi Pedagogik

Dalam pasal 28 ayat 3 butir a dikemukakan bahwa

Kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola

pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap

peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran,

evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk

mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.20

Kompetensi pedagogik menurut Slamet PH yang dikutip

oleh Syaiful Sagala mengatakan kompetensi pedagogik terdiri

dari sub kompetensi:

18

Cece Wijaya dan Tabrani Rusyan, Kemampuan Dasar Guru dalam Proses Belajar

Mengajar, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1994), h. 7. 19

Ahmad Yasin Fatah, “Pengembangan Kompetensi Pedagogik Guru Pendidikan Agama

Islam di Madrasah”, Jurnal el-Qudwah Volu me 1 Nomor 5,Edisi April 2011, h. 22. 20

E. Mulyasa, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, (Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 20012), h. 75.

Page 27: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

16

a) Berkonstribusi dalam pengembangan KTSP yang

terkait dengan mata pelajaran yang diajarkan.

b) Mengembangakan silabus mata pelajaran berdasarkan

standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD)

c) Merencanakan rencana pelaksanaan pembelajaran

(RPP) berdasarkan silabus yang telah dikembangkan

d) Merancang manajemen pembelajaran dan manajemen

kelas.

e) Melaksanakan pembelajaran yang pro-perubahan (aktif,

kreatif, inovatif, eksperimentatif, efektif, dan

menyenangkan.

f) Menilai hasil belajar peserta didik secara otentik.

g) Membimbing peserta didik dalam berbagai aspek

misalnya pelajaran, kepribadian, bakat minat dan karir.

h) Mengembangkan profesionalisme diri sebagai guru.21

2) Kompetensi Kepribadian

Dalam pasal 28 ayat 3 butir b dikemukakan bahwa

Kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang

mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan

bagi peserta didik, dan berakhlak mulia.22

Kompetensi

kepribadian adalah kemampuan kepribadian guru yang mantap,

berakhlak mulia, berwibawa, dan menjadi teladan bagi peserta

didiknya.23

Kompetensi kepribadian meliputi sub kompetensi, yaitu:

a) Menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil,

dewasa, arif, dan berwibawa

b) Menampilkan diri sebagai pribadi yang berakhlak mulia

dan sebagai teladan bagi peserta didik dan masyarakat

c) Mengevaluasi kinerja sendiri

d) Mengembangkan diri berkelanjutan.24

21

Syaiful Sagala, Kemampuan Profesional Guru dan Tenaga Kependidikan, (Bandung:

Alfabeta, 2013), h. 31-32. 22

Mulyasa, op, cit., h. 117. 23

Trianto & Titik Triwulan Tutik, Tinjauan Yuridis Hak serta Kewajiban Pendidik menurut

UU Guru dan Dosen, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006), h. 65. 24

Sukanti, Meningkatkan Kompetensi Guru melalui Pelaksanaan Tindakan Kelas, Jurnal

Pendidikan Akutansi Indonesia, Vol. VI, 2008, h, 7.

Page 28: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

17

3) Kompetensi Profesional

Dalam pasal 28 ayat 3 butir c dikemukakan bahwa

Kompetensi profesional kemampuan penguasaan materi

pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan

membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang

ditetapkan dalam standar Nasional pendidikan.25

Kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan

materi pengajaran secara luas dan mendalam. Untuk mencapai

keberhasilan pendidikan, sistem pendidikan harus ditata dan

dirancang oleh orang-orang yang ahli di bidangnya yang ditandai

dengan kompetensi sebagai persyaratannya.26

Secara etimologi, istilah profesi berasal dari bahasa Inggris,

yaitu profession atau bahasa latin, profecus, yang artinya

mengakui, adanya pengakuan, menyatakan mampu, atau ahli

dalam melakukan suatu pekerjaan. Sedangkan secara terminologi,

profesi berarti suatu pekerjaan yang mempersyaratkan pendidikan

tinggi bagi pelakunya yang ditekankan pada pekerjaan mental,

yaitu adanya persyaratan pengetahuan teoretis sebagai instrumen

untuk melakukan perbuatan praktis, bukan pekerjaan manual.27

Dan dapat juga diartikan bahwa profesi adalah suatu bidang

pekerjaan atau keahlian tertentu yang mensyaratkan kompetensi

intelektualitas, sikap, dan keterampilan tertentu yang diperoleh

melalui proses pendidikan secara akademis yang intensif. 28

Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan

oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang

25

Mulyasa, op, cit., h.135. 26

Trianto, op, cit., h. 71. 27

Rusman, Model-model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru, (Jakarta:

Rajawali Pers, 2012), h. 16. 28

Ibid

Page 29: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

18

memerlukan keahlian atau kecakapan yang memenuhi mutu atau

norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.29

Tilaar mengatakan bahwa “seorang profesional

menjalankan pekerjaannya sesuai dengan tuntunan profesi atau

dengan kata lain memiliki kemampuan dan sikap sesuai dengan

tuntunan profesinya. Seorang profesional menjalankan

kegiatannya berdasarkan profesionalisme, dan bukan secara

amatiran. Profesionalisme bertentangan dengan amatirisme.

Seorang profesional akan terus menerus meningkatkan mutu

karyanya secara sadar, melalui pendidikan dan pelatihan.”30

Jadi dapat disimpulkan profesional adalah kata sifat yang

berarti pencaharian dan sebagai kata benda yang berarti orang

yang mempunyai keahlian seperti guru, dokter, hakim, dan

sebagainya. Dengan kata lain, pekerjaan yang bersifat profesional

adalah pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang

khusus dipersiapkan untuk itu dan bukan pekerjaan yang

dilakukan oleh mereka yang karena tidak dapat memperoleh

pekerjaan lain.

Menurut Hamzah Kompetensi yang harus dimiliki oleh

seorang guru yaitu:

a) Kompetensi pribadi. Berdasarkan kodrat manusia

sebagai makhluk individu dan sebagai makhluk Tuhan.

Ia wajib menguasai pengetahuan yang akan

diajarkannya kepada peserta didik secara benar dan

bertanggung jawab. Ia harus memiliki pengetahuan

penunjang tentang kondisi fisiologis, psikologis, dan

pegagogis dari peserta didik yang dihadapinya.

Beberapa kompetensi pribadi yang semestinya ada pada

seorang guru, yaitu memiliki pengetahuan yang dalam

29

Ibid., h. 17. 30

Tilaar H.A.R, Managemen Pendidikan Nasional, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,

2002), h. 86.

Page 30: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

19

tentang materi pelajaran yang menjadi tanggung

jawabnya. Selain itu, mempunyai pengetahuan tentang

perkembangan peserta didik serta kemampuan untuk

memperlakukan mereka secara individual.

b) Kompetensi sosial. Berdasarkan kodratnya manusia

sebagai makhluk sosial dan makhluk etis. Ia harus

dapat memperlakukan peserta didiknya secara wajar

dan bertujuan agar tercapai optimalisasi potensi pada

diri masing-masing peserta didik. Ia harus memahami

dan menerapkan prinsip belajar humanistik yang

beranggapan bahwa keberhasilan belajar ditentukan

oleh kemampuan yang ada pada diri peserta didik

tersebut. Instruktur hanya bertugas melayani mereka

sesuai kebutuhan mereka masing-masing. Kompetensi

sosial yang dimiliki seorang guru adalah menyangkut

kemampuan berkomunikasi dengan peserta didik dan

lingkungan mereka (seperti orang tua, tetangga, dan

sesama teman).

c) Kompetensi profesional mengajar. Berdasarkan peran

guru sebagai pengelola proses pembelajaran, harus

memiliki kemampuan:

(1) Merencanakan sistem pembelajaran yang terdiri

dari: merumuskan tujuan, memilih prioritas materi

yang akan diajarkan, memilih dan menggunakan

metode, memilih dan menggunakan sumber belajar

yang ada, memilih dan menggunakan media

pembelajaran.

(2) Melaksanakan sistem pembelajaran yang terdiri

dari: memilih bentuk kegiatan pembelajaran yang

tepat, menyajikan urutan pembelajaran secara

tepat.

Page 31: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

20

(3) Mengevaluasi sistem pembelajaran yang terdiri

dari: memilih dan menyusun jenis evaluasi,

melaksanakan kegiatan evaluasi sepanjang proses,

mengadministrasikan hasil evaluasi.

(4) Mengembangkan sistem pembelajaran yang terdiri

dari mengoptimalisasi potensi peserta didik,

meningkatkan wawasan kemampuan diri sendiri,

mengembangkan program pembelajaran lebih

lanjut.31

Menurut Samana, bahwa sejak tahun 1979-1980 Depdikbud

(Ditjen Dikdasmen dan Ditjen Dikti) telah merumuskan sepuluh

kompetensi guru yang mesti diusahakan atau dikerjakan oleh guru

dalam meneliti serta mengembangkan karirnya, yaitu sebagai

berikut:

a) Guru dituntut menguasai bahan ajar

b) Guru mampu mengelola program belajar mengajar

c) Guru mempu mengelola kelas

d) Guru mampu menggunakan media dan sumber

pengajaran

e) Guru menguasai landasan-landasan kependidikan

f) Guru mampu mengelola interaksi belajar mengajar

g) Guru mampu menilai prestasi belajar siswa untuk

kepentingan pengajaran

h) Guru mengenal fungsi serta program pelayanan

bimbingan dan penyuluhan

i) Guru mengenal dan mampu ikut penyelenggaraan

administrasi sekolah

j) Guru memahami prinsip-prinsip penelitian pendidikan

dan mampu menafsirkan hasil-hasil penelitian

pendidikan untuk kepentingan pengajaran.32

Dari sepuluh kompetensi guru di atas dapat dipahami bahwa

dalam pelaksanaan proses belajar mengajar, guru mesti

menguasai bahan ajar yang akan disampaikan. Karena tanpa

31

Hamzah B. Uno, Profesi Kependidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), h. 18-19. 32

Samana, Profesionalisme Keguruan, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), h. 61.

Page 32: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

21

menguasai bahan ajar, akan memberikan kesalahan dalam

pemahaman siswa terhadap bahan ajar yang disampaikan guru.

Mutu penguasaan bahan ajar dari para guru sangat menentukan

keberhasilan pengajarannya. Ketika membuat bahan ajar, guru

harus mampu menjabarkan, mengorganisasikan bahan ajar secara

sistematis, relevan, selaras dengan mental siswa, sesuai dengan

perkembangan ilmu dan teknologi, serta memperhatikan kondisi

lingkungan di sekolah maupun di luar sekolah.

Kompetensi profesional seorang guru adalah seperangkat

kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang guru agar ia dapat

melaksanakan tugas mengajarnya dengan berhasil.33

Kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi

pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan

membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang

ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan, artinya guru harus

memiliki pengetahuan yang luas berkenaan dengan bidang studi atau

subject matter yang akan diajarkan serta penguasaan didaktik metodik

dalam arti memiliki pengetahuan konsep teoretis, mampu memilih

model, strategi, dan metode yang tepat serta mampu menerapkannya

dalam kegiatan pembelajaran. Guru pun harus memiliki pengetahuan

luas tentang kurikulum, dan landasan kependidikan.34

Suhana menyebutkan bahwa kompetensi profesional yang harus

dikuasai seorang guru/pendidik adalah sebagai berikut:

a) Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan

yang mendukung mata pelajaran yang diampu.

b) Menguasai standar kompetensi dan kompetensi dasar mata

pelajaran yang diampu.

c) Mengembangkan materi pembelajaran yang diampu secara

kreatif.

d) Mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan

dengan melakukan tindakan reflektif.

33

Uno, op, cit., h. 18. 34

Rusman, op, cit., h. 23.

Page 33: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

22

e) Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk

mengembangkan diri.35

Kompetensi profesional guru sangat diperlukan guna

mengembangkan kualitas dan aktifitas tenaga kependidikan dalam

hal ini guru. Guru merupakan faktor penentu mutu pendidikan

dan keberhasilan pendidikan di sekolah. Oleh karena itu tingkat

kompetensi profesional guru di suatu sekolah dapat dijadikan

barometer bagi mutu dan keberhasilan pendidikan di sekolah.

Kompetensi guru bertolak dari analisis tugas-tugas guru

sebagai pengajar, pembimbing, maupun administrator di dalam

kelas. Kompetensi guru terdiri dari: menguasai bahan pelajaran,

mengelola program belajar mengajar, mengelola kelas,

menggunakan media atau sumber belajar, menguasai landasan

kependidikan, mengelola interaksi belajar mengajar, menilai

proses belajar, mengenal fungsi dan layanan bimbingan

penyuluhan, mengenal dan menyelenggarakan administrasi

sekolah, memahami dan menafsirkan hasil penelitian guna

keperluan pengajaran.36

Menurut Yutmini, persyaratan kemampuan yang harus

dimiliki guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar

meliputi kemampuan:

a) Menggunakan metode belajar, media pelajaran, dan

bahan latihan yang sesuai dengan tujuan pelajaran.

b) Mendemonstrasikan penguasaan mata pelajaran dan

perlengkapan pengajaran

c) Berkomunikasi dengan siswa

d) Mendemonstrasikan berbagai metode mengajar

e) Melaksanakan evaluasi proses belajar mengajar.37

35

Cucu Suhana, Konsep Strategi Pembelajaran, (Bandung: PT Refika Aditama, 2014), h.

97. 36

Kunandar, Guru Profesional (Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dan

Persiapan Menghadapi Sertifikasi Guru, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), h. 58. 37

Yutmini Sri, Strategi Belajar Mengajar, (Surakarta: FKIP UNS, 1992), h. 13.

Page 34: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

23

Guru sebagai tenaga fungsional harus mampu menguasai

program belajar mengajar seperti metode mengajar, strategi

pembelajaran, pendekatan, teknik, dan model pembelajaran.

Selain itu, guru harus mampu membuat alat bantu atau media

pengajaran supaya tujuan dari pembelajaran tersebut bisa tercapai.

Pengelolaan kelas ketika mengajar sangat penting. Karena

ini terkait dengan situasi sosial di kelas yang menjadi center

tempat guru menyampaikan materi pelajaran. Ketika kelas itu

kondusif, tentu materi yang disampaikan guru bisa dipahami oleh

siswa. Tetapi sebaliknya, ketika guru tidak memiliki kemampuan

untuk mengelola kelas, maka materi yang disampaikan guru pun

tidak sempurna di pahami oleh siswa.

Guru yang kreatif adalah guru yang mampu menggunakan

dan memanfaatkan media dan sumber belajar yang ada. Mengajar

dengan kreatif mampu membuat siswa lebih lama dalam

mengingat materi pelajaran yang disampaikan guru. Karena siswa

sendirilah yang langsung mengalaminya. Jadi, dengan media dan

sumber belajar yang dimanfaatkan mampu membuat proses

belajar mengajar secara terarah, efektif, dan efisien.

Selain hal di atas, guru juga harus menguasai landasan-

landasan kependidikan. Landasan kependidikan itu mesti harus

relevan dengan perkembangan siswa, ilmu pengetahuan dan

teknologi, dan kondisi masyarakat sekitar. Dengan menguasai

landasan-landasan kependidikan tersebut, guru mampu

mempersiapkan siswa-siswanya dalam menghadapi halangan dan

rintangan hidupnya di masa depan.

Ketika pelaksanaan pengajaran guru harus mampu

berinteraksi dengan siswa-siswanya. Guru harus mengenal

berbagai jenis karakteristik siswa-siswa yang diajar. Dalam

mengajar guru memiliki berbagai peran, yaitu sebagai motivator

belajar, fasilitator, inspirator, evaluator, menguasai administrasi

Page 35: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

24

kelas dan administrasi sekolah, dan mampu ikut berpartisispasi

dalam pelaksanaan bimbingan konseling. Mengenal peran-peran

yang harus dimiliki oleh seorang guru tersebut, mampu

membantu siswanya yang memiliki motivasi belajar yang rendah

dan memberikan solusi dari masalah-masalah yang dihadapi

siswanya.

Sebagai guru yang kompeten guru harus mampu menilai

prestasi belajar siswa untuk kepentingan pengajaran. Karena

kegiatan penilaian adalah bagian integral dari sistem pengajaran.

Keahlian guru dalam pengukuran dan penilaian hasil belajar siswa

mampu memberi dampak yang luas untuk menentukan

perkembangan siswa untuk masa depannya. Seperti

perkembangan mental siswa, dan memberi kontribusi yang baik

untuk masyarakat yang menggunakan tenaga dari alumni yang

diajar oleh guru tersebut.

Guru sebagai tenaga fungsional juga harus mengenal fungsi

dan program pelayanan bimbingan dan penyuluhan. Karena salah

satu fungsi guru itu adalah sebagai membina siswanya. Siswa-

siswa yang diajar tentu memiliki karakteristik yang berbeda-beda

dan memiliki perilaku yang berbeda-beda pula. Oleh karena itu,

guru harus memiliki kemampuan membina siswa yang diajarnya

untuk menentukan masa depan mereka yang lebih baik, membina

supaya memiliki sikap tanggung jawab, memilih teman yang

membawa kepada arah yang lebih baik, dan membantu siswa

dalam menyelesaikan masalah hidup yang dihadapinya.

Guru sebagai jabatan administrator dan supervisor

pendidikan sekolah akan dibibit dari guru yang potensial untuk

tugas itu. Guru harus ikut berpartisipasi untuk kemajuan sekolah

dalam hal administrasi sekolah, baik administrasi dalam arti luas

maupun dalam arti sempit. Secara operasional guru dituntut cakap

dan mampu bekerja sama terorganisasi dalam pengolaan sekolah,

Page 36: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

25

berperan secara standar dalam tugasnya, mematuhi peraturan

kepegawaiannya guna membantu kelancaran pekerjaan

ketatausahaan sekolah.

Secara ideal guru dituntut untuk melakukan penelitian untuk

kepentingan pengajarannya, untuk menilai hasil dari pengajaran

yang telah dilakukan. Tetapi sungguh disayangkan bahwa hal ini

tidak semua guru mampu melakukannya. Pada hal saat sarjananya

guru sudah mempelajari tentang metodologi penelitian dan

statistik dasar.

Berkenaan dengan pentingnya profesionalisme guru dalam

pendidikan, Sanusi mengutarakan enam asumsi yang melandasi

perlunya profesionalisasi dalam pendidikan, yaitu:

a) Subjek pendidikan adalah manusia yang memiliki

kemauan, pengetahuan, emosi, dan perasaan dan dapat

dikembangkan sesuai dengan potensinya. Sementara itu

pendidikan dilandasi oleh nilai-nilai kemanusiaan yang

menghargai martabat manusia

b) Pendidikan dilakukan secara intensional, yakni secara

sadar bertujuan, maka pendidikan menjadi normatif

yang diikat oleh norma-norma dan nilai-nilai yang baik

secara universal, nasional, maupun lokal, yang

merupakan acuan para pendidik, peserta didik, dan

pengelola pendidikan.

c) Teori-teori pendidikan merupakan jawaban kerangka

hipotesis dalam menjawab permasalahan pendidikan.

d) Pendidikan bertolak dari asumsi pokok tentang

manusia, yakni manusia mempunyai potensi yang baik

untuk berkembang. Oleh sebab itu, pendidikan itu

adalah usaha untuk mengembangkan potensi unggul

tersebut

e) Inti pendidikan terjadi dalam prosesnya, yakni situasi di

mana terjadi dialog antara peserta didik dengan

pendidik yang menungkinkan peserta didik tumbuh ke

arah yang dikehendaki oleh pendidik agar selaras

dengan nilai-nilai yang dijunjung tinggi masyarakat

f) Sering terjadinya dilema antara tujuan utama

pendidikan, yaitu menjadikan manusia sebagai manusia

yang baik (dimensi instrinsik) dengan misi

Page 37: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

26

instrumental, yakni yang merupakan alat untuk

perubahan atau mencapai sesuatu.38

Pola tingkah laku guru yang berhubungan dengan sasaran

sikap profesional keguruan terhadap beberapa hal yaitu terhadap

peraturan perundang-undangan, organisasi profesi, teman sejawat,

anak didik, tempat kerja, pemimpin, dan pekerjaan.39

Kompetensi profesional guru dikelompokkan ke dalam dua

bagian yaitu kompetensi substantif dan non substantif.

Kompetensi substantif diartikan sebagai kemampuan dalam

melaksanakan tugas keguruan yang dapat dilihat dari kemampuan

merencanakan program belajar mengajar, mengelola dan

melaksanakan proses belajar mengajar, dan melaksanakan

evaluasi hasil proses belajar mengajar. Kompetensi non substantif

diartikan sebagai kemampuan dalam hal landasan dan wawasan

pendidikan, serta kepribadian, profesi dan pengembangan dari

guru yang bersangkutan.

Kompetensi profesional guru dapat disimpulkan sebagai

kemampuan seorang guru dalam melaksanakan tugas profesi

keguruan dengan penuh tanggung jawab dan dedikasi tinggi

dengan sarana penunjang berupa bekal pengetahuan yang

dimilikinya.

4) Kompetensi Sosial

Dalam pasal 28 ayat 3 butir d dikemukakan bahwa

Kompetensi sosial adalah kemampuan guru sebagai bagian dari

masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif

38

Sanusi, Ahmad, Studi Pengembangan Model Pendidikan Profesional Tenaga

Kependidikan, (Bandung: IKIP Bandung, 1991), h. 23. 39

Seotjipto, & Kosasi, Raflis, Profesi Keguruan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h. 43.

Page 38: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

27

dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan,

orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar 40

Kompetensi sosial adalah kemampuan guru dan dosen

untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisiensi

dengan peserta didik, guru lain, orang tua, dan masyarakat

sekitar.41

Kompetensi sosial merupakan kemampuan guru untuk

berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik,

sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta

didik, dan masyarakat yang terlibat dalam pembelajaran.

Kompetensi sosial meliputi sub kompetensi, yaitu:

a) Berkomunikasi secara efektif dan empatik dengan

peserta didik, orang tua peserta didik, sesama pendidik,

tenaga kependidikan dan masyarakat

b) Berkontribusi terhadap pengembangan pendidikan di

sekolah dan masyarakat

c) Berkontribusi terhadap pengembangan pendidikan di

tingkat lokal, regional, nasional dan global

d) Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi

untuk berkomunikasi dan pengembangan diri.42

Menurut permendiknas No. 16 tahun 2007 kemampuan

dalam standar kompetensi ini mencakup empat kompetensi utama

yakni:

a) Bersikap inklusif dan bertindak objektif serta tidak

deskriminatif karena pertimbangan jenis kelamin,

agama, ras, kondisi fisik, latar belakang keluarga, dan

status sosial ekonomi.

b) Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun

dengan sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang

tua, dan masyarakat.

40

Mulyasa, op, cit., h. 173. 41

Trianto & Titik Triwulan Tutik, Tinjauan Yuridis Hak serta Kewajiban Pendidik menurut

UU Guru dan Dosen, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006), h. 67. 42

Sukanti, Meningkatkan Kompetensi Guru melalui Pelaksanaan Tindakan Kelas, Jurnal

Pendidikan Akutansi Indonesia, Vol. VI, 2008, h, 7.

Page 39: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

28

c) Beradaptasi ditempat bertugas di seluruh wilayah

Republik Indonesia yang memiliki keragaman sosial

budaya.

d) Berkomunikasi dengan komunitas profesi sendiri dan

profesi lain secara lisan dan tulisan atau bentuk lain.

c. Ciri-ciri Jabatan Profesional

Samana menyebutkan bahwa ciri-ciri jabatan profesional

(termasuk guru) adalah sebagai berikut:

1) Bagi para pelakunya secara nyata (de facto) dituntut

berkecakapan kerja (berkeahlian) sesuai dengan tugas-

tugas khusus serta tuntutan dari jenis jabatannya

(cenderung ke spesialisasi)

2) Kecakapan atau keahlian seorang pekerja profesional

bukan sekedar hasil pembiasaan atau latihan rutin yang

terkondisi, tetapi perlu didasari oleh wawasan keilmuan

yang mantap, jadi jabatan profesional menuntut

pendidikan pra-jabatan yang terprogram secara relevan

serta berbobot, terselenggara secara efektif-efisien, dan

tolok ukur evaluatifnya terstandar.

3) Pekerja profesional dituntut berwawasan sosial yang luas,

sehingga pilihan jabatan serta kerjanya didasari oleh

kerangka nilai tertentu (bukan ikut-ikutan), bersifat positif

terhadap jabatan dan perannya, dan bermotivasi serta

berusaha untuk berkarya sebaik-baiknya.

4) Jabatan profesional perlu mendapat pengesahan dari

masyarakat dan atau negaranya, dalam hal ini pendapat

serta tolak ukur yang dikembangkan oleh organisasi

profesi sepantasnyalah dijadikan acaunnya.43

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa guru merupakan

salah satu jabatan profesional. Sebagai guru profesional tentunya

ciri-ciri di atas mesti dipenuhi supaya keprofesionalan seorang guru

tersebut dapat diakui oleh masyarakat maupun negara. Kalau ciri-ciri

yang disebutkan di atas belum ada, tentunya profesional seorang

guru tidak dapat diakui.

Danim menyebutkan bahwa, ciri-ciri guru profesional itu

adalah sebagai berikut:

43

Samana, Profesionalisme Keguruan, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), h. 27.

Page 40: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

29

1) Kemampuan intelektual yang diperoleh melalui

pendidikan

2) Memiliki pengetahuan spesialisasi

3) Menjadi anggota organisasi profesi

4) Memiliki pengetahuan praktis yang dapat digunakan

langsung oleh orang lain atau klien

5) Memiliki teknik kerja yang dapat dikomunikasikan atau

communicable

6) Memiliki kapasitas mengorganisasikan kerja secara

mandiri atau self-organization

7) Mementingkan kepentingan orang lain (altruism)

8) Memiliki kode etik

9) Memiliki sanksi dan tanggung jawab komunitas

10) Memiliki sistem upah

11) Budaya profesional

12) Melaksanakan pertemuan profesional tahunan.44

4. Guru dan Dosen

Guru menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki

arti orang yang mengajar. Dengen demikian, orang-orang yang

profesinya mengajar disebut guru.45

Kata guru merupakan padanan dan

kata teacher (bahasa Inggris), di dalam Kamus Webster, kata teacher

bermakna sebagai “the person who teach, especially in school” atau guru

adalah seorang yang mengajar, khususnya di sekolah.46

Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,

mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan

mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur

pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.

Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuan dengan tugas utama

mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu

pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan

pengabdian kepada masyarakat.47

44

Danim, Pengembangan Profesi Guru Dari Pra-Jabatan, Induksi, ke Profesional Madani,

(Jakarta: Kencana, 2011), h. 106. 45

Najib Sulhan, Karakter Guru Masa Depan, (Surabaya: Jaringpena, 2011), h. 1. 46

Ali Mudlofir, Pendidik Profesional Konsep, Strategi dan Aplikasinya dalam Peningkatan

Mutu Pendidik di Indonesia, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2012), h. 120. 47

Ni’am, op, cit., h. 217.

Page 41: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

30

Guru merupakan pendidik profesional dengan tugas utama

mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan

mengevaluasi peserta didik pada jalur pendidikan formal.48

Guru adalah orang yang memberikan ilmu pengetahuan kepada

peserta didik. Guru dalam pandangan masyarakat adalah orang yang

melaksanakan pendidikan ditempat-tempat tertentu yang tidak harus di

lembaga-lembaga pendidikan formal, tetapi juga dimesjid, mushola,

majelis taklim, di rumah dan sebagainya.49

Istilah guru sebagaimana dijelaskan oleh Hadari Nawawi yang

dikutib oleh Abuddin Nata adalah orang yang kerjanya mengajar atau

memberikan pelajaran disekolah atau kelas. Secara lebih khusus lagi ia

mengatakan bahwa guru berarti orang yang bekerja dalam bidang

pendidikan dan pengajaran yang ikut bertanggung jawab dalam

membantu anak-anak mencapai kedewasaan masing-masing.50

B. Hasil Penelitian yang Relevan

Penelitian ini membahas tentang miskonsepsi guru dan dosen

profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor 14 Tahun 2005 secara

Filosofis, Psikologis, Sosiologis dan Pedagogis) dan berdasarkan hasil kajian

pustaka yang dilakukan peneliti dapatkan hasil penelitian yang relevan yaitu

penelitian yang dilakukan oleh:Umar Said (2013) yang berjudul “Persepsi

Siswa tentang Kompetensi Profesional Guru bagi Peningkatan Prestasi

Belajar Siswa di Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Leuwiling Bogor

dalam penelitiannya disimpulkan bahwa Persepsi Siswa tentang Kompetensi

Profesional Guru bagi Peningkatan Prestasi Belajar Siswa cukup tinggi, hal

ini terbukti dari tanggapan-tanggapan responden dalam hasil angket yang

menunjukkan sebanyak 10 dari 13 pertanyaan terkait kompetensi profesional,

48

Mudlofir, op, cit., h. 121. 49

Sholeh Hidayat, Pengembangan Guru Profesional, ( Bandung: PT Remaja Rosdakarya,

2017), h. 2. 50

Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Edisi Baru), (Jakarta: Gaya Media

Pratama,2005), h. 114-115.

Page 42: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

31

siswa menyatakan siswa menyatakan guru memiliki ciri-ciri kompetensi

profesional.

Page 43: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

31

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Objek dan Waktu Penelitian

Objek yang dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai miskonsepsi

guru dan dosen profesional (analisis kritis terhadap UU nomor 14 tahun 2005

secara filosofis, psikologis, sosiologis dan pedagogis)

Adapun waktu penelitian yang dilakukan oleh penulis yaitu terhitung

dari bulan April sampai Oktober 2018.

B. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan penelitian

kualitatif. Penelitian kualitatif adalah suatu penelitian yang ditujukan untuk

mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktifitas, sosial,

sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara individual maupun

kelompok.1 Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode deskriptif

analisis yang menggunakan teknik analisis kajian melalui studi kepustakaan

atau yang dikenal dengan library research dengan mengacu pada buku-buku,

artikel, dan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan kompetensi

profesional.

Analisis dapat dilakukan terhadap buku-buku teks, baik yang bersifat

teoritis maupun empiris. Dalam hal ini, sumber data penelitian berasal dari

literatur-literatur yang berkaitan dengan tema penelitian ini.

Dalam hal ini bahan-bahan pustaka diperlukan sebagai sumber ide

untuk menggali pemikiran atau gagasan baru, sebagai bahan dasar untuk

melakukan deduksi dari pengetahuan yang telah ada, sehingga kerangka teori

baru dapat dikembangkan, atau sebagai dasar pemecahan masalah. Dan jenis

penelitian ini dapat dipahami sebagai penelitian teoritik dan terkait pada

1 Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Remaja

Rosdakarya, 2013), h. 60.

Page 44: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

32

values, tetapi tetap diperlukan keterkaitannya dengan empiris. 2 Dengan

demikian data yang diperoleh dari hasil literer dideskripsikan apa adanya

kemudian dianalisis.

C. Fokus Penelitian

Menurut Sugiono, “batasan masalah dalam penelitian kualitatif disebut

dengan fokus, yang berisi fokus masalah yang masih bersifat umum”3

Dalam penelitian ini yang menjadi Fokus penelitian adalah

miskonsepsi guru dan dosen profesional.

D. Prosedur Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode deskriptif analisis

yang menggunakan teknik analisis kajian melalui studi kepustakaan. Metode

description analitis merupakan metode penelitian yang berusaha

menggambarkan dan menginterpretasi objek sesuai dengan apa adanya.4 Pada

umumnya metode ini dilakukan dengan tujuan utama untuk menggambarkan

secara sistematis fakta dan karakteristik objek atau subjek yang diteliti secara

tepat.5 Alasan penulis menggunakan metode descriptif analitis pada

penelitian ini adalah metode descriptif analitis sangat membantu untuk

mendapatkan variasi data yang berkaitan dengan permasalahan yang penulis

teliti. Selain itu metode descriptif analitis berbentuk sederhana dan lebih

mudah dipahami karena tanpa memerlukan teknik statistika.

Adapun prosedur penelitian yang digunakan oleh penulis adalah

diantaranya:

1. Pengumpulan Data

2 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitan Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996), h.

55. 3 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitati, Kualitatif, dan Kombinasi (Mixed Methods),

(Bandung: Alfabeta, 2011), h. 287. 4 Margaret Bell, Metode Belajar dan Membelajarkan, (Jakarta: Universitas Terbuka bekerja

sama dengan Rajawali Press, 1991), h. 134. 5 Sukardi, H.M, Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Praktiknya, (Jakarta:

Bumi Aksara, 2008), h. 157.

Page 45: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

33

a. Sumber data primer, yaitu literatur-literatur karya peneliti atau

teoritis yang orisinil. Dalam hal ini, sumber yang digunakan

adalah buku-buku yang berkaitan dengan kompetensi

profesional yaitu: Membangun Profesionalitas Guru Analisis

Kronologis atas Lahirnya UU Guru dan Dosen karangan

Asrorun Ni’am Sholeh, Pendidikan Nasional Strategi dan

Tragedi karangan Winarno Surakhmad.

b. Sumber data sekunder, yang menjadi pendukung adalah data-

data yang mendukung pembahasan pada penelitian ini,

diantaranya buku-buku yang relevan dengan penelitian ini

seperti buku yang berjudul Tinjauan Yuridis Hak serta

Kewajiban Pendidik menurut UU Guru dan Dosen karangan

Trianto & Titik Triwulan Tutik, Peningkatan Kompetensi Guru

melalui Pelatihan dan Sumber Belajar Teori dan Praktik

karangan Jejen Musfah dan lain-lain.

2. Teknik Pengolahan Data

Setelah data-data terkumpul lengkap, berikutnya yang penulis

lakukan adalah membaca, mempelajari, meneliti, menyeleksi, dan

mengklarifikasi data-data yang relevan dan yang mendukung

pokok-pokok pembahasan, untuk selanjutnya penulis analisis,

simpulkan dalam satu pembahasan yang utuh.

3. Analisis Data

Untuk teknik analisis data, dalam mengambil kesimpulan

bersumber dari data-data yang telah di dapat, baik data primer

maupun sekunder.

Page 46: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

34

34

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional dari Sudut Pandang

filosofis

1. Hakikat Manusia

Manusia memiliki banyak sebutan antara lain adalah sebagai

makhluk sosial (masyarakat), sama dengan hewan, makhluk beragama,

berbudaya, berakal, individu, rakus, suka berkeluh kesah, sebagai

pemimpin (khalifah), dan makhluk yang paling sempurna. Salah satu

unsur kesempurnaan manusia itu dibandingkan dengan makhluk lain dari

semua ciptaan Allah adalah pada kepribadiannya itu.1

Menurut Muhammad Daud Ali mengatakan manusia bisa

menyamai binatang apabila tidak memanfaatkan potensi-potensi yang

diberikan Allah secara maksimal terutama potensi pemikiran (akal,),

kalbu, jiwa, raga serta pancaindra. Dalil al-Quran yang diajukannya

adalah surah al-A‟raf ayat 179 yang artinya ...mereka memiliki hati tetapi

tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka

memiliki mata tetapi tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda

kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga tetapi tidak

dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti

hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang

lalai.2

Mengenai potret potensi yang dimiliki oleh manusia al-Quran telah

mensinyalir dengan dua kata kunci yang dapat dijadikan untuk

memahami manusia secara komprehensif. Manusia adalah al-Insan dan

al-Basyar, Kata al-Insan yang bentuk jamaknya adalah an-Nas dari segi

1 Fachruddin Saudagar & Ali Idrus, Pengembangan Profesionalitas Guru, (Jakarta: Gaung

Persada GP Press, 2011), h. 35. 2 Siti Khasinah, Hakikat Manusia Menurut Pandangan Islam dan Barat, Jurnal Ilmiah

Didaktika Februari 2003 VOL. XIII, NO.2, h. 298.

Page 47: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

35

semantik atau ilmu tentang akar kata, dapat dilihat dari akar kata an-Nasa

yang mempunyai arti melihat, mengetahui dan meminta izin. Atas dasar

kata ini mengandung petunjuk adanya kaitan substansi antara manusia

dan kemampuan penalaran, dengan penalaran yang dimiliki oleh manusia

ia dapat mengambil pelajaran dari apa yang dilihatnya.

Kata Insan dilihat dari asal kata l uns atau anisa yang berarti jinak,

sehingga pada dasarnya manusia itu jinak dan dapat menyesuaikan

dirinya dengan realitas hidup dan lingkungannya. Manusia mampu

bersosialisasi dan beradaptasi dengan lingkungan alamiahnya.

Adapun Basyar dipakai untuk menyebut semua makhluk baik laki-

laki maupun perempuan, baik secara individual ataupun kolektif. Kata

Basyar adalah bentuk jamak dari kata Basyarah yang artinya permukaan

kulit kepala, wajah dan tubuh, semua kegiatan yang didasari dan

dilakukan dasarnya adalah kegiatan yang didasari dan berkaitan dengan

kapasitas akalnya dan aktualisasi dalam kehidupannya yang konkret yaitu

perencanaan, tindakan dan akibat-akibatnya atau perolehan yang

ditimbulkan oleh perbuatan tersebut seperti kegiatan makan, minum.3

2. Manusia dan Pikiran

Berpikir adalah termasuk tin ngkat hidup kejiwaan taraf tinggi,

sebab terjadinya proses berpikir karena adanya kesadaran dalam diri

manusia. Berpikir adalah merupakan suatu kemampuan kejiwaan yang

dimiliki manusia dan merupakan kelebihan manusia dari makhluk-

makhluk lainnya. Melalui proses berpikir manusia dapat menciptakan

kemajuan peradaban dan kebudayaan yang senantiasa berkembang dan

dengan berpikir itu pula manusia mampu menghayati dan mengamalkan

ajaran agama serta mampu bertingkah laku susila.4

3 Abdul Khobir, “Hakikat Manusia dan Implikasinya dalam Proses Pendidikan (Tinjauan

Filsafat Pendidikan Islam)”, Forum Tarbiyah Vol. 8, No. 1, Juni 2010, h. 6. 4 Nurussakinah Daulay, Pengantar Psikologi dan Pandangan al-Quran tentang Psikologi,

(Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014), h. 160.

Page 48: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

36

Dengan berpikir manusia dapat menganalisa sebab dan akibat atau

menghubung-hubungkannya, lalu menemukan hukum-hukumnya,

menemukan masalah yang sedang dihadapinya.

Muhammad Noorsyam mengatakan beberapa fungsi filsafat

manusia ada 4 yaitu:

a. Contemplative (Perenungan) yaitu, memikirkan sesuatu atau

segala sesuatu tanpa keharusan adanya kontak langsung dengan

objeknya.

b. Speculative (berfikir spekulasi) yaitu, berpikir semata-mata

bepikir menggunakan akal murni, tidak membutuhkan data-data

sebagaimana yang berlaku dalam ilmu pengetahuan

c. Deductive (berpikir deduktif) yaitu, berpikir deduktif bertolak

dari pemikiran yang dilahirkan logika bukan dari apa yang ada

di lapangan.

d. Reflective Thinking (berpikir reflektif) yaitu, kegiatan akal

manusia dalam usaha untuk mengtahui secara mendalam tentang

hakikat sesuatu, menggunakan daya kemampuan maksimal dari

akal manusia.5

Berpikir menurut Plato adalah berbicara dalam hati. “Berpikir

adalah meletakkan hubungan antara bagian-bagian pengetahuan kita”.6

Kemampuan berpikir kritis merupakan kemampuan yang sangat esensial

untuk kehidupan, pekerjaan, dan berfungsi efektif dalam semua aspek

kehidupan lainnya. Kemampuan berpikir kritis merupakan kemampuan

berpikir yang diawali dan diproses oleh otak kiri.

Dalam perancangan penyusunan UUGD dinilai sangat penting dan

mendesak, di dasarkan berbagai latar belakang, baik secara empiris,

sosiologis, filosofis, yuridis, maupun secara politis.7

Mutu pendidikan dapat dicapai apabila para guru hidup memadai,

memiliki penghasilan yang mencukupi, manusiawi, dan bermartabat

sehingga mereka mampu memberikan perhatian secara memadai dalam

menunaikan tugasnya dalam proses pembelajaran.

5 Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Perspektif Filsafat, (Jakarta: Kencana

Prenadamedia Group, 2014), h. 8-9.

6 Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), h. 54.

7 Asrorun Ni‟am Sholeh, Membangun Profesionalitas Guru Analisis Kronologis atau

Lahirnya UU Guru dan Dosen, (Jakata: Elsas, 2017), h. 17.

Page 49: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

37

Selama ini dari aspek kesejahteraan, kondisi guru sangat

memprihatikan, penghasilan guru secara umum tidak mencukupi

kebutuhan minimum hidupnya. Banyak guru yang memaksakan diri

melakukan pekerjaan diluar mengajar, seperti menjadi pedagang, buruh,

dan bahkan ada yang menjadi tukang ojek. Secara bersamaan dalam

menyelesaikan tugasnya, profesi guru kurang mendapat perlindungan

hukum secara memadai.8

Keberadaan dan posisi guru menjadi termarginalkan ditengah-

tengah masyarakat. Guru tidak menjadi pilihan utama angkatan kerja.

Peserta didik yang berkualitas menjadi kurang tertarik untuk memilih

perguruan tinggi yang lulusannya menjadi guru. Hal inilah yang menjadi

salah satu dasar pemahaman kita bahwa mutu guru menjadi rendah

karena memang mutu masukan dari lembaga pendidikan dan keguruan

adalah rendah.

Gambaran umum mengenai kondisi guru dewasa ini, sangat

berbeda dengan kondisi guru pada zaman dahulu. Guru mempunyai

status sosial dan posisi yang sangat terhormat dan sentral, sejarah telah

mencatat bagaimana peran Wali Songo yang melakukan pendampingan

dan pendidikan masyarakat Jawa yang akhirnya mampu menciptakan

harmoni dan keteraturan sosial, para kiai di Pondok Pesantren posisinya

sangat dihormati bahkan dimuliakan tidak saja oleh para murid atau

santrinya, tetapi juga oleh masyarakat di sekitarnya.Tetapi masa kini

heroisme pahlawan tanpa tanda jasa seorang guru tidak lagi

memancarkan sinar kehormatannya.9

Pada zaman perjuangan kemerdekaan sampai masa revolusi, guru

memegang peranan sentral dalam mengelorakan semangat perjuangan.

Guru dan ustadz ditempatkan sebagai tokoh panutan dan pemimpin

masyarakat. Panglima besar jenderal Sudirman adalah suatu contoh nyata

betapa sosok seorang guru mampu menggelorakan sebuah perjuangan

8 Ibid., h. 6.

9 Ibid., h. 8.

Page 50: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

38

massal yang spektakuler. Begitu juga KH. Hasyim Asy‟ari, seorang

tokoh pendidik dengan resulasi jihadnya mampu memberikan inspirasi

dalam menggerakkan perlawanan.10

Guru adalah profesi tertua di dunia. Di Indonesia guru telah

meninggalkan tapak sejarah yang jelas. Sepanjang sejarah guru

dipandang sebagai yang “dipercaya” dan “diteladani” (digugu dan ditiru).

Pada bagian terbesar sejarah Indonesia, guru merupakan profesi yang

dimuliakan dan dihormati masyarakat dan penguasa. Hanya saja dalam

30 tahun terakhir, terjadi kemerosotan dan degradasi persepsi terhadap

profesi guru. Karena kualitas dan kesejahteraannya diabaikan oleh

pemerintah, harkat dan martabatnya jatuh terpuruk. Untuk menjadi

bangsa yang besar dan berkualitas, Indonesia harus mengangkat kembali

harkat dan martabat guru.

Tugas formal seorang guru tidak sebatas berdiri dihadapan peserta

didik selama berjam-jam hanya untuk mentransfer pengetahuan pada peserta

didik. Lebih dari itu, guru juga menyandang predikat sebagai sosok yang

layak digugu dan ditiru oleh peserta didik dalam segala aspek kehidupan, hal

inilah yang menuntut agar guru bersikap sabar, jujur, dan penuh pengabdian.

Sebab dalam konteks pendidikan, sosok pendidik mengandung makna model

atau sentral identifkasi diri, yakni pusat panutan dan teladan bahkan

konsultan bagi peserta didiknya. Semua orang yakin bahwa pendidik

memiliki andil yang sangat besar terhadap keberhasilan peserta didik. Guru

sangat berperan dan mempunyai peran yang cukup besar terhadap

kematangan intelektual, spiritual, dan emosional peserta didik.11

Dalam UU guru dan Dosen, pasal 1 disebutkan bahwa profesional

adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan

menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian,

kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma

tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.

10

Ibid., h. 8 11

Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Telaah Sistem Pendidikan dan

Pemikiran Para Tokohnya, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), hlm. 138.

Page 51: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

39

Aspek kualitas yang perlu diperhatikan, fakta di masyarakat

menunjukkan bahwa kualitas dan penghargaan terhadap guru masih

sangat tidak memadai. Guru sebagai pengembang manusia Indonesia

yang berkualitas seharusnya ditempatkan sebagai tenaga profesional dan

terhormat. Budaya bangsa Indonesia sangat menghargai status guru yang

dipandang sebagai pengembang dan penyebar nilai luhur serta kebijakan

yang dapat dijadikan suri teladan. Namun belakangan budaya tersebut

mengalami erosi dan terjadi degradasi persepsi seiring dengan proses

marginalisasi profesi guru karena persoalan ekonomi, sosial, dan

politik.12

Secara aturan normatif perundang-undangan yang secara spesifik

memberikan jaminan terhadap profesi guru dan dosen, terkait dengan

aspek profesionalitas, kualitas, kesejahteraan, dan juga perlindungan

hukum.13

Tidak konsisten untuk mengakui pentingnya pendidikan untuk

memajukan bangsa, tetapi mengeluhkan biaya yang terlalu banyak.

Untuk kepentingan eksistensi bangsa. Karena pendidikan disepakati

sebagai strategi yang paling tepat untuk mempertahankan eksistensi

bangsa yang maju dan kuat. Itulah yang harus dijadikan tumpuan dan

disadarkan oleh UUGD. Dengan kesadaran itu, apakah kita masih mau

mengabaikan, mengompromikan, atau menomor duakan peran guru, dan

masih maukah kita terus menunda-nunda serta tawar menawar mengenai

perbaikan kodisi guru. Reflekasi kesadaran ini tidak eksplisit tercantum

dalam UUGD.

Mutlaklah bahwa guru harus sejahtera untuk bisa bertindak

profesional. Kalau kita menyadari peran guru sebagai titik sangat kritis

dalam pertemuan antar generasi, maka pemerintah dan seluruh

masyarakat tidak perlu menunggu lebih lama sampai guru jatuh miskin

baru kemudian bertindak membuatnya sejahtera. Hanya guru yang hidup

12

Ni‟am, op, cit., h. 18. 13

Ibid.

Page 52: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

40

dengan rasa sejahtera yang dapat berbicara tentang bangsa yang

sejahtera, dan hidup dengan anak didiknya dengan kesejahteraan. Karena

itu kesejahteraan bagian dari hak profesional guru dan kesejahteraan guru

adalah hal yang sangat layak untuk diperjuangkan.

Ketika di dalam masyarakat terdengar berita bahwa rancangan

undang-undang guru yang telah lama diperjuangkan oleh PGRI bersama

depdiknas tiba-tiba berubah menjadi RUU Guru dan Dosen. Sebagian

reaksi melihat bahwa UUGD menggambarkan keterbatasan pemahaman

pemrakarsa, karena istilah dosen masuk ke Indonesia melalui bahasa

Belanda yaitu docent yang kerjanya doceert, doceeren, sama dengan guru

yang kerjanya adalah mengajar).14

Dosen itu secara umum dan hakiki tidak berbeda dari guru, dosen

hanyalah nama lain dari guru. Tetapi penjelasan dari perumus UU

menunjuk pada UU sisdiknas, karena UU tersebut telah menyinggung

masalah ini, maka dengan demikian UUGD secara logis dianggap hanya

melanjutkan.

Di Jepang, semua guru dari TK ke Universitas, disebut dan

dipanggil shinsei, tanpa sedikit pun mengurangi harga dan penghormatan

masyarakat, istilah profesor yang juga dari bahasa asing, dan dalam

konteks Indonesia disebut guru besar dan bukan dosen besar.

Oleh karena itu ada suara yang kurang mengapresiasikan gagasan

UUGD. Reaksi timbul bukan karena UUGD menggabungkan guru dan

dosen di dalam sebuah undang-undang, tetapi karena rasional

penggabungan itu dinilai kurang rapi. Apakah di masa depan pemisahan

itu akan menjadi lebih ketat sehingga tidak memungkinkan guru bertugas

di tingkat universitas, dan dosen tidak dibenarkan turun bertugas

disekolah dasar atau menengah, ini dapat melahirkan konsekuensi

negatif.

14

Winarmo Surakhmad, Pendidikan Nasional Strategi dan Tragedi, (Jakarta: PT Kompas

Media Nusantara, 2009), h. 288.

Page 53: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

41

Yang dirasakan ialah bahwa UUGD tampil seperti dua undang-

undang, sebuah undang-undang guru dan sebuah undang-undang dosen,

yang dipaksakan menjadi satu. Yang seharusnya yakni guru dan dosen

menjadi satu dalam semangat keguruannya, bukankah dosen itu juga

guru. Ketidak jelasan konsep dasar UUGD dalam membedakan antara

tugas utama guru dengan tugas utama dosen.

UUGD menjelaskan pada BAB 1 pasal 1 bahwa habitat guru

ditentukan pada tingkat pendidikan menengah kebawah, sedangkan

dosen ditempatkan pada tingkat pendidikan di atas pendidikan menengah.

Sebagai prinsip, tidak pernah boleh ada batas sedemikian ketat sehingga

guru yang menginjakkan kaki di perguruan tinggi, dan sebaliknya dosen

yang memasuki wilayah pendidikan dasar dan menengah, dapat

dipandang melanggar batas teritorial profesional. Dan karenanya

melanggar kewenangan profesi.

Tugas utama guru dirinci menjadi tujuh buah, dari mendidik

sampai mengevaluasi, dan tugas utama dosen ada tiga buah, yakni

mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu

pengetahuan, teknologi, dan seni. Itu beda tugasnya. Di situlah tersimpul

masalah yang lebih sulit dipahami. Tugas guru yang dipilah-pilah dapat

memberi kesan bahwa konsep mendidik memang tidak terkait dengan

mengajar, yang berbeda lagi dengan membimbing, yang lain pula dari

mengarahkan, melatih, menilai, fan mengevaluasi, padahal seluruhnya

adalah satu kesatuan.

Lalu bagaimana dengan tugas guru bila dipandang dari posisi

dosen, apakah guru tidak dibenarkan mentransformasikan,

mengembangkan, dan menyebarkan pengetahuan, teknologi, dan dosen?

Bagaimana UUGD mengaitkan pandangan ini dengan konsep

“pendidikan sepanjang hayat” kalau tugas dosen itu hanya diberikan

khusus diperguruan tinggi. Ini merupakan kemampuan yang harus mulai

dikembangkan sejak lahir dan sepanjang hayat.

Page 54: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

42

UUGD memberikan rumus peningkatan kualifikasi akademik guru

di Indonesia sebagai guu yang paling rendah harus berpendidikan sarjana

S-1 dan bidang keilmuan tertentu. Artinya dengan tingkat pendidikan

akademik itu, guru dinilai memiliki kualitas pengetahuan yang relevan

untuk tugasnya. Diasumsikan untuk memenuhi kebutuhan pengetahuan

dan menjamin kualitas pembelajaran, pendidikan pada tingkat itu dinilai

memadai.

Mengembirakan mengetahui bahwa pada suatu saat, mungkin satu

dekade dari sekarang, tidak ada lagi guru di Indonesia yang

berpendidikan akademik di bawah tingkat S-1, tapi apakah ketentuan ini

di dalam jangka panjang? Bahwa kuantitas dan jenis pengetahuan yang

diperoleh calon guru cukup banyak, masih tetap harus dipertanyakan

relevansinya dari kenyataan.

Karena sudah menjadi UU, kompetensi keguruan (UUGD) menjadi

given. Untuk memperoleh pendidikan khusus agar memiliki kompetensi

menjadi guru, UUGD menetapkan seperangkat kompetensi pedagogik,

kompetensi kepribadian, sosial, dan profesional. Tetapi memunculkan 4

buah kompetensi itu, kecuali tidak terfokus, kategorisasinya pun tumpang

tindih.

a. Kompetensi pedagogik yang diartikan sebagai kemampuan

mengelola pembelajaran peserta didik, tidak salah penamaan.

Pedagogik terkait dengan falsafah teori atau ilmu mendidik,

tidak dengan pengelolaan pembelajaran.

b. Hakikat yang membedakan antara kompetensi pedagogik

dengan profesional, apakah kompetensi pedagogik tidak dapat

dilihat sebagai bagian dari kompetensi profesional yang

diartikan UUGD sebagai penguasaan materi?

c. Ada perbedaan prinsip antara kompetensi kepribadian dengan

kompetensi sosial, mungkinkah seseorang berkompetensi

kepribadian tanpa berkompetensi sosial, atau sebaliknya?

Page 55: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

43

Kategori kompetensi itu tampaknya berasumsi bahwa dengan

menguasai empat jenis kompetensi tersebut setiap orang dengan latar

belakang kualifikasi akademik cukup berilmu untuk menjadi guru.

Berbeda dengan titik tolak UUGD, rumusan operasional yang

dikemukakan di sini adalah profesionalisasi kompetensi yang terkait

dengan komponen kualitas. Karena itu, usaha yang diperlukan untuk

pemberdayaan guru dalam rangka peningkatan kualitas pembelajaran

bukan sekedar mengembangkan sejumlah kompetensi, tetapi menjadi

kompetensi itu sebagai kompetensi keguruan, artinya kompetensi harus

terkait dengan kemampuan bersikap dan berperilaku dengan

pertimbangan teknis dan etis. Hasilnya adalah kompetensi profesional

guru, yang jelas berbeda maknanya dari konsep UUGD yang dirumuskan

sebagai penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam. Dengan

rumusan kualitas pembelajaran yang mengidentifikasi komponen utama,

maka impiannya ialah bahwa kompetensi yang perlu dikembangkan

haruslah dengan sadar terkait dengan komponen utama itu.15

Dalam hal ini juga ada Istilah andragogi sebenarnya merupakan

salah satu pendekatan dalam pendidikan yang dipopulerkan oleh

Malcolm Knowles pada tahun 1986.16

Knowles sebagaimana dikutip

Hizyam Zaini, dkk. menyatkaan bahwa andragogi adalah the art and

science of helping adult learning, yaitu ilmu yang berkaitan dengan cara-

cara membantu orang dewasa dalam belajar. Andragogi dalam hal ini

dilawankan dengan pedagogi yang berarti the art and science of teaching

children, yaitu sebuah seni dan ilmu yang berkaitan dengan cara

mengajar anak.17

Andragogi berasal dari dua kata yaitu pendidikan yang diartikan

sebagai sebuah usaha sadar dan andragogi yang diartikan sebagai

15

Ibid., h. 369. 16

Hisyam Zaini, at al. Desain Pembelajaran di Perguruan Tinggi, (Yogyakarta: CTSD

IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2002), h. 6. 17

Mathias Finger dan Jose Manuel Asun, Quo Vadis Pendidikan Orang Dewasa (terj.)

Nining Fatikasari, (Yogyakarta: Pustaka Kendi, 2004), h. 86.

Page 56: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

44

dewasa.18

Karena pengertian pedagogi adalah seni atau pengetahuan

membimbing atau mengajar anak maka apabila menggunakan istilah

pedagogi untuk kegiatan pendidikan atau pelatihan bagi orang dewasa

jelas tidak tepat, karena mengandung makna yang bertentangan. Banyak

praktik proses belajar dalam suatu pelatihan yang ditujukan kepada orang

dewasa, yang seharusnya bersifat andragogis, dilakukan dengan cara-cara

yang pedagogis. Dalam hal ini prinsip- prinsip dan asumsi yang berlaku

bagi pendidikan anak dianggap dapat diberlakukan bagi kegiatan

pelatihan bagi orang dewasa. Dengan demikian maka kalau ditarik

pengertiannya sejalan dengan pedagogi, maka andragogi secara harfiah

dapat diartikan sebagai ilmu dan seni mengajar orang dewasa. Namun

karena orang dewasa sebagai individu yang sudah mandiri dan mampu

mengarahkan dirinya sendiri, maka dalam andragogi yang terpenting

dalam proses interaksi belajar adalah kegiatan belajar mandiri yang

bertumpu kepada warga belajar itu sendiri dan bukan merupakan

kegiatan seorang guru mengajarkan sesuatu (learner centered training/

teaching).

B. Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional dari Sudut Pandang

Psikologis

Berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem

pendidikan Nasional, Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru

dan dosen, dan peraturan pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar

Nasional Pendidikan menyebutkan bahwa guru adalah pendidik profesional.

Seorang guru atau pendidik profesional harus memiliki kualifikasi akademik

minimum sarjana (S-1) atau diploma (D-IV), dan kompetensi sebagai agen

pembelajaran, kompetensi guru sebagai agen pembelajaran dibuktikan dengan

sertifikat pendidik. Kualifikasi akademik minimum diperoleh melalui

18

UU. RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab I, pasal I.

Page 57: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

45

pendidikan tinggi, dan sertifikat kompetensi pendidik diperoleh setelah lulus

ujian sertifikasi.

Setelah beberapa tahun diluncurkan, sudah layak kiranya jika dilakukan

kajian terhadap pelaksanaan UU Guru dan Dosen. Tersurat jelas dalam UU

tersebut bahwa pemerintah menjamin pemarataan kesempatan pendidikan

bagi Guru dan dosen dalam kondisi apapun, terutama pada jenjang

pendidikan guru yang masih belum sarjana. hal ini mengandung arti bahwa

pemerintah harus menjamin terlaksananya kualifikasi pendidikan bagi seluruh

Guru dan Dosen ke jenjang yang lebih tinggi.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Bab VI pasal 28

nomor 1 dan 2 dikatakan bahwa:

1. Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi

sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan ruhani, serta memiliki

kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

2. Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksudkan pada ayat 1 adalah

tingkat pendidikan minimal yang harus dipenuhi oleh seorang

pendidik yang dibuktikan dengan ijazah dan atau sertifikat keahlian

yang relevan sesuia ketentuan perundang-undangan yang berlaku.19

Ada perbedaan antara kualifikasi dan kompetensi. Kualifikasi merujuk

kepada syarat formal yang harus diselesaikan melalui aktivitas akademik

tertentu, dan itu dibuktikan dengan adanya ijazah atau sertifikat yang dimiliki

setelah yang bersangkutan menyelesaikan studi pada jenjang pendidikan

tertentu. Undang-undang nomor 14 tahun 2005 mempersyaratkan bahwa guru

pada semua jenjang pendidikan haruslah memiliki kualifikasi akademik

minimal S1 atau DIV. Kualifikasi bersifat statis, artinya pengakuan terhadap

kemampuan akademik seseorang yang dibuktikan dengan memberikan ijazah

atau sertifikat tidak berubah sejauh yang bersangkutan menyandang gelar

19

Jamil Suprihatiningrum, Guru Profesional Pedoman Kinerja, Kualifikasi, dan

Kompetensi Guru, (Jakarta: ar-Ruzz Media, 2016), h. 93.

Page 58: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

46

akademik yang sesuai. Orang yang menyandang S1 dianggap sebagai sarjana

dan layak untuk memasuki bidang pekerjaan tertentu. 20

Sebaliknya kompetensi adalah kemampuan yang dimiliki seseorang,

akibat dari pendidikan maupun pelatihan, atau pengalaman belajar informasi

tertentu yang didapat, sehingga menyebabkan seseorang dapat melaksanakan

tugas tertentu dengan hasil yang memuaskan. Orang yang memiliki

kualifikasi akademik tertentu, meskipun secara formal dapat diasumsikan

memliki kompetensi yang memadai namun tidak selamanya demikian.

Seorang guru yang berijazah S1 kependidikan tertentu belum tentu

memperlihatkan kompetensi sesuai dengan kualifikasi akademik yang

dimilikinya seperti bisa mengajar dengan terampil menggunakan metode dan

srategi pembelajaran yang tepat atau ampu menyampaikan pembelajaran

secara menarik. Ia bisa saja berijazah S1 tetapi buru dalam kemampuan

mengajar di kelas, tidak ramah kepada siswa atau kurang menguasai materi

pembelajaran. Pada kasus ini guru memiliki kualifikasi akademik yang layak,

tetapi kompetensinya tidak layak. Sebaliknya, bisa saja terjadi bahwa ada

orang yang tidak berkualifikasi akademik S1 kependidikan tetapi terampil

dalam mengajar mampu menyampaikan pelajaran secara menarik dan mudah

dipahami oleh para siswa. Dalam kasus ini yang bersangkutan sebagai guru

tidak memiliki kualifikasi akademik yang layak, tetapi memiliki kompetensi

yang layak.21

Rendahnya kualifikasi pendidikan guru disebabkan oleh beragam faktor

diantaranya adalah pertama Rendahnya kesejahteraan guru, gaji guru hanya

cukup untuk memenuhi kebutuhan sehai-hari, sehingga tidak ada alokasi dana

untuk melanjutkan pendidikan. Sejumlah guru di kabupaten Sukabumi dan

kabupaten lebak, provinsi banten misalnya “tidak dapat melanjutkan ke

jenjang S-1 di sebabkan dana yang mereka miliki sangat terbatas sehingga

20

Marselus R. Payong, Sertifikasi Profesi Guru Konsep Dasar, Problematika, dan

Implementasinya, (Jakarta: PT Indeks: 2001), h. 17. 21

Ibid.

Page 59: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

47

dana yang tersedia lebih baik digunakan untuk membiayai sekolah anak-anak

mereka. Kedua Rendahnya kualitas, kualifikasi, dan kompetensi guru.22

Menurut Bafadal yang dikutip oleh Jejen Musfah mengatakan

Peningkatan kemampuan profesional guru dapat dikelompokkan menjadi dua

macam pembinaan. Pertama, pembinaan kemampuan pegawai melalui

supervisi pendidikan, program sertifikasi, dan tugas belajar. Kedua,

pembinaan komitmen pegawai melalui pembinaan kesejahteraannya.

Sejalan dengan kebijakan pemerintah, melalui UU No. 14 Tahun 2005

pasal 7 mengamanatkan bahwa, pemberdayaan profesi guru diselengarakan

melalui pengembangan diri yang dilakukan secara demokratis, berkeadilan,

tidak diskriminatif, dan berkelanjutan dengan menjunjung tinggi hak asasi

manusia, nilai keagamaan, kultural, kemajemukan bangsa, dan kode etik

profesi. Di sampig itu, menurut pasal 20 dalam melaksanakan tugas

keprofesionalan guru berkewajiban untuk meningkatkan dan

mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan

sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.23

Undang-undang RI nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen pasal

11 ayat 2 menyatakan, bahwa sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh

perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan

yang terakreditasi dan ditetapkan oleh pemerintah. Dengan demikian

sertifikasi guru diselenggarakan oleh LPTK yang terakreditasi dan ditetapkan

oleh Menteri Pendidikan Nasional (depdiknas, 2005).24

Berbagai keraguan memang bisa saja muncul dari kebijakan

pelaksanaan sertifikasi. Apakah proses sertifikasi ini satu-satunya solusi bagi

peningkatan kualitas pendidik. Jika diamati lebih mendalam mengenai

keadaan tenaga pendidik di Indonesia maka akan ditemukan berbagai

permasalahan yang harus dihadapi oleh dunia pendidikan.

22

Jejen Musfah, Peningkatan Kompetensi Guru melalui Pelatihan dan Sumber Belajar

Teori dan Praktik, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), h. 5. 23

Ibid., h. 115. 24

Suprihatiningrum, op, cit., h.212.

Page 60: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

48

Sertifikasi (certification) mengandung makna, jika hasil penelitian di

atas persyaratan pendaftarannya yang diajukan calon penyandang profesi

dipandang memenuhi persyaratan, kepadanya diberikan pengakuan oleh

negara atas kemampuan dan keterampilan yang dimilikinya. Bentuk

pengakuan tersebut adalah pemberian sertifikat kepada penyandang profesi

tersebut, yang didalamnya memuat penjelasan tentang kemampuan dan

keterampilan yang dimilikinya oleh pemegangnya.25

Undang-undang Republik Indonesia nomor 14 tahun 2005 tentang guru

dan dosen pasal 1 ayat 11, menyatakan bahwa sertifikasi adalah proses

pemberian sertifikat untuk guru dan dosen yang telah memenuhi standar

profesional guru (depdiknas, 2005). Guru maupun dosen yang memenuhi

persyaratan diberikan sertifikat pendidik yang merupakan bukti formal

sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga

profesional.26

Jalal mengatakan untuk dapat menetapkan bahwa seorang pendidik

sudah memenuhi standar profesional, pendidik yang bersangkutan harus

mengikuti uji sertifikasi. Ada dua macam pelaksanaan uji sertifikasi yaitu:

1. sebagai bagian dari pendidikan profesi, bagi mereka calon pendidik

2. Berdiri sendiri untuk mereka yang saat diundangkannya Undang-

Undang Guru dan Dosen (UUGD) sudah berstatus pendidik.

Dalam mengikuti sertifikasi harus memenuhi kriteria penilaian sesuai

dengan peraturan Menteri pendidikan Nasional (permendiknas) nomor 18

tahun 2007 yaitu:

1. Kualifikasi akademik, bentuk fisik yang terkait dengan komponen

ini dapat berupa ijazah dan sertifikat diploma.

2. Pendidikan dan pelatihan, pengalaman dalam mengikuti pendidikan

dan pelatihan dalam kerangka pengembangan atau peningkatan

kompetensi dalam melaksanakan tugas sebagai pendidik, baik pada

tingkat kecamatan, kabupaten, provinsi, nasional maupun

internasional. Bentuk fisiknya yaitu berupa sertifikat, piagam dan

surat keterangan dari lembaga diklat.

3. Pengalaman mengajar guru

25

Ibid., h. 215. 26

Ibid.

Page 61: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

49

4. Perencanaan pembelajaran dan pelaksanaan pembelajaran

5. Prestasi akademik

6. Karya pengembangan profesi

7. Keikutsertaan dalam forum ilmiah

8. Penghargaan guru.27

Beberapa faktor penyebab, di antaranya penumpukan guru pada bidang

studi tertentu, serta daya tarik daerah urban yang lebih tinggi dibandingkan

daerah terpencil. Dengan demikian, permasalahan utama adalah mengenai

distribusi guru. Sebaliknya, dari segi kualitas, berdasarkan hasil kajian

Balitbang Depdiknas harus diakui bahwa hanya sekitar 30% saja dari guru SD

yang dapat mengajar dengan baik. Masalah yang hampir sama juga

ditemukan di tingkat satuan pendidikan menengah. Faktor minimnya tingkat

kesejahteraan dinilai sebagai penyebab rendahnya kualitas guru. Dalam

kasus-kasus yang terjadi, pekerjaan sampingan yang mereka lakukan untuk

memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga telah menyita waktu dan tenaga serta

menggeser orientasi mereka sebagai pendidik ke arah pemenuhan kebutuhan

materi.28

Belum semua guru bisa mengikuti program sertifikasi, misalnya guru-

guru yang membawahi pelajaran agama, pendidikan jasmani dan kesehatan,

bimbingan dan penyuluhan, serta guru bahasa daerah dan senibudaya.

Adapun guru-guru yang belum bergelar sarjana tetapi sudah mengajar

puluhan tahun akan diberikan kemudahan. Problem di lapangan mengenai

status gelar kesarjanaan ini adalah masih banyaknya guru-guru yang belum

memperoleh gelar kesarjanaan.29

Kesejahteraan merupakan unsur penting dalam meningkatkan martabat

guru. Sejak dulu, isu perjuangan nasib guru tidak lain adalah bagaimana

meningkatkan kesejahteraan guru bukti fisik profesionalitas guru dan

kesejahteraannya adalah dengan cara sertifikasi.30

27

Ibid., h. 219. 28

Wukir, Kajian Terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan

Dosen dalam Rangka Meningkatkan Mutu Guru, Lex Jurnalica Vol.5 No. 3, Agustus 2008, h.

188.

29 Suprihatiningrum, op, cit., h. 189.

30 Ibid., h. 191.

Page 62: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

50

Permasalahan lain yang mengundang kontroversi dalam UU Guru dan

Dosen adalah diwajibkannya guru mengikuti sertifikasi dan uji kompetensi.

Hal ini tercantum pada pasal 8 UU Guru dan Dosen yang menjelaskan

tentang Sertifikat Profesi Pendidik. Banyak pihak mengkhawatirkan program

sertifikasi ini (yang diselenggarakan oleh LPTK) nantinya akan menimbulkan

masalah baru di dunia pendidikan, terutama yang mengarah pada terciptanya

lembaga yang menjadi sarang kolusi dan korupsi baru. Yang pada akhirnya

akan memperburuk kondisi pendidikan bangsa.

Di samping kualifikasi akademik yang tidak sesuai, guru juga sangat

jarang diikutkan pelatihan untuk meningkatkan kemampuannya. Menengok

berbagai permasalahan tersebut, maka apakah sesuai jika solusi utama yang

ditawarkan adalah sertifikasi? Karena kenyataannya, sertifikasi hanya

dianggap sebagai sebuah proses yang harus dilalui untuk mengejar tunjangan

yang dijanjikan, bukan sebagai upaya meningkatkan kualifikasi dan

kompetensi guru.

Setelah dan diundangkannya UU Guru dan Dosen ada dua hal utama

yang menjadi konsen para pemerhati pendidikan, yaitu masalah sertifikasi

dan tunjangan. Hal ini didasari pada ketentuan pasal 16 ayat 1 UU Guru dan

Dosen yang menegaskan bahwa pemerintah memberikan tunjangan profesi

sebagaimana yang dimaksudkan dalam pasal 15 ayat 1 kepada guru yang

telah memiliki sertifikat pendidik yang diangkat oleh penyelenggara

pendidikan dan satuan pendidikan yang diselenggrakan oleh masyarakat.

Ada yang memaknai tunjangan profesi diberikan agar guru memperoleh

penghasilan yang memadai sekaligus membedakan guru yang kompeten dan

guru yang tidak kompeten. Tunjangan itu diharapkan dapat memacu guru

untuk berprestasi sekaligus menjadi daya tarik bagi lulusan SLTA maupun S1

untuk menjadi guru.

Namun mengingat tingginya syarat untuk mendapatkannya maka

banyak pihak khawatir tunjangan profesi guru hanya iming-iming karena

hanya dapat diperoleh sebagian kecil diantara guru yang sudah sekian lama

mengabdi.

Page 63: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

51

Jika dilihat secara cermat, sertifikasi guru sebenarnya berawal dari

amanat UU No 20/2003 tentang sisdiknas. Pasal 39 ayat 2 menyatakan bahwa

pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan

melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil belajar, serta melakukan

pembimbingan dan pelatihan.

Pasal 42 ayat 1 menyatakan bahwa pendidik harus memiliki kualifikasi

akademik dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat

jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan

pendidikan Nasional.

Sementara itu PP No 19 tahun 2005 tentang standar Nasional

pendidikan pasal 28 ayat 1 mnyebutkan bahwa pendidik harus memiliki

kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran. Pasal 29

menyebutkan bahwa kualifikasi akademik guru adalah berpendidikan

minimum S1.

Uraian tersebut sangat mirip dengan uraian pada pasal-pasal UU No. 14

Tahun 2005 tentang guru dan dosen. Pasal 10 ayat 1 menyebutkan

kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional,

dan sosial yang diperoleh melalui pendidikan profesi.

Uraian pasal-pasal dalam UU No. 20 tahun 2003, PP 19/ 2005 dan UU

No. 14 Tahun 2005 dapat ditarik logika sebagai berikut: guru adalah tenaga

profesional sehingga harus memiliki kualifikasi akademik minimal S1 dan

memiliki kompetensi sebagai agen pemebelajaran yang diperoleh melalui

pendidikan profesi.

Pasal 15 UU No 20/2003 menyebutkan bahwa pendidikan profesi

merupakan pendidikan tinggi setelah program sarjana yang mempersiapkan

peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan keahlian khusus. Jadi menurut

kedua UU tersebut, seharusnya guru berpendidikan S1 plus pendidikan

lanjutan pasca S1 berupa pendidikan profesi guna memperoleh kompetensi

sebagai agen pembelajaran.

Lantas dimana letak program sertifikasi? Pasal 8 ayat 1 UU no. 14/2005

menyebutkan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi,

Page 64: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

52

sertifikasi pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta mampu mewujudkan

tujuan pendidikan nasional. Pasal 11 ayat 1 menyebutkan bahwa sertifikat

pendidik diberikan pada guru yang telah memenuhi persyaratan. Jadi,

sertifikat pendidik merupakan bukti tertulis yang diberikan pada guru yang

telah berpendidikan S1 dan telah menguasai kompetensi sebagai agen

pembelajaran.

Jika sertifikat tersebut dikaitkan dengan program pendidikan profesi

sebagaimana yang diamanatkan oleh pasal 10 ayat 1 UU 14/2005 maka dapat

dinalar bahwa pendidikan profesi di akhiri dengan suatu uji sertifikasi untuk

menguji apakah peserta program telah menguasai kompetensi sebagai agen

pembelajaran.

Sertifikat pendidik diberikan jika mereka dapat membuktikan telah

menguasai ke empat kompetensi sebagai agen pembelajaran. Jika pendidikan

profesi pendidik dianalogkan dengan kursus mengemudi maka uji sertifikasi

dapat diibaratkan dengan ujian untuk memperoleh SIM.

Pemahaman tersebut memberikan pengertian bahwa program sertifikasi

di dalam pasal 11 UU No 14 Tahun 2005 terdiri atas program pendidikan

profesi, yang disebutkan dalam pasal 10 ayat 1 dan uji sertifikasi. Pengertian

inilah yang perlu dituangkan dalam PP sebagaimana dituntut oleh pasal 10

ayat 2 dan pasal 11 ayat 4.

Penerapan sertifikasi bagi guru baru tidak akan banyak memunculkan

problem. Kalaupun ada mungkin yang muncul adalah tambahan pendidikan

calon guru yang tentu menimbulkan tambahan biaya. Namun tambahan waktu

belajar itu akan terkompensasi oleh tambahan penghasilan guru melalui

tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok.

Problem yang tidak mudah dipecahkan akan muncul pada implementasi

UU No 14 Tahun 2005 terhadap guru yang sudah mengajar. Kajian Tim

sertifikasi guru Ditjen Dikti menemukan paling tidak tiga problem yang

Page 65: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

53

potensial terjadi, yaitu jenjang pendidikan terakhir guru, pendidikan profesi

sebagai tempat perolehan kompetensi dan uji sertifikasi.31

Tentu tidak adil jika guru yang telah lama menagajar diperlakukan sama

dengan guru baru saat mengikuti peningkatan kualifikasi pendidikan. Jika

bekerja dipahami juga sebagai proses belajar, pengalaman kerja harus

diperhitungkan dalam penambahan kompetensi seseorang.32

Sistem sertifikasi guru adalah yang baik, sedikitnya dari sudut

kepentingan birokrasi. Tetapi sistem ini tidak akan berhasil apabila diterapkan

semata-mata sebagai pendekatan birokrasi untuk memonitor kondisi dan

kinerja guru. Alih-alih memecahkan masalah, tidak tertutup kemungkinan

sertifikasi hanya melahirkan masalah baru.33

Sertifikat tidak dapat ditampilkan sebagai strategi tunggal yang

mengklaim dapat meningkatkan mutu profesionalitas guru. Sejalan dengan

ungkapan Payong yang diungkapkan Nurtanto dimana kualifikasi bersifat

statis, artinya pengakuan terhadap kemampuan akademik seseorang yang

dibuktikan dengan pemberian ijazah atau sertifikat tidak berubah sejauh

bersangkutan menyandang gelar akademik yang sesuai.34

Banyaknya perguruan tinggi yang menghasilkan lulusan profesional

seorang guru, tidak semuanya memiliki kemampuan layaknya profesional

melainkan sebatas ijazah. Dahin menyatakan yang dikutip oleh nurtanto

bahwa, orang yang profesional memiliki sikap-sikap yang berbeda dengan

orang yang tidak profesional meskipun dalam pekerjaan yang sama atau

katakanlah berada pada satu ruang kerja. Hal inilah yang akan membedakan

guru profesional hanya dengan ijazah atau guru profesional dengan

kecakapan atau kemahiran sebagai guru. Guru yang profesional senantiasa

31

Asrorun Ni‟am Sholeh, Membangun Profesionalitas Guru Analisis Kronologis atau

Lahirnya UU Guru dan Dosen, (Jakata: Elsas, 2017), h. 130-133. 32

Ibid., h. 134. 33

Winarmo Surakhmad, Pendidikan Nasional Strategi dan Tragedi, (Jakarta: PT Kompas

Media Nusantara, 2009), h. 245 34

Nurtanto, op, cit., h. 554

Page 66: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

54

berupaya untuk meningkatkan kualitas guru dan senantiasa untuk mengupdate

kompetensi yang dimiliki.35

Pemerintah di harapkan segera dapat memenuhi amanat Undang undang

Nomor 14 Tahun 2005 khususnya implikasi dari sertifikasi guru yang

diharapkan akan tercermin dalam jenjang karier setiap guru dengan

mempermudah akses untuk meningkatkan kemampuan akademis.36

Dalam pandangan mayoritas fraksi di DPR, ketentuan mengenai

sertifikasi cukup dilakukan melalui kualifikasi akademik (ijazah) dan

sertifikat kompetensi. Hal ini di samping konsisten dengan UU Sisdiknas,

juga sebagai penyederhanaan prosedur administrasi serta upaya meringankan

beban guru yang sudah berat. Namun pemerintah dengan Departemen

Pendidikan Nasional masih tetap menghendaki adanya sertifikasi profesi bagi

guru dan dosen yang sudah memperoleh ijazah dan sertifikat kompetensi.37

Dorongan DPR-RI untukmemberikan prioritas kesejahteraan pada guru

dan dosen didasarkan pada asumsi bahwa guru dan dosen harus sejahtera dulu

baru kemudian mutunya akan baik. Sementara pemerintah berasumsi bahwa

mutu harus didahulukan baru setelah itu memperoleh kesejahteraan.38

Berdasarkan amanat Undang undang Guru dan dosen (UUGD) dan

peraturan pemerintah tentang setandar nasional pendidikan bahwa guru

adalah sebuah perkerjaan profesional, maka usaha untuk menjadikan guru

sebagai suatu pekerjaan profesional semakin intensif dilakukan. Langkah

awal yang telah di buat adalah melakukan sertifikasi kepaada guru guru dan

jabatan sebagai suatu bentuk pengakuan terhadap suatu profesionalisme

mereka.39

Sertifikasi belum banyak membawa dampak bagi peningkatan

profesionalisme guru. Dampak dari sertifikasi lebih kepada peningkatan

kesejahteraan guru daripada peningkatan profesionalisme. Sertifikasi juga

35

Ibid. 36

Wukir, op, cit., h. 192. 37

Ni‟am, op, cit., h. 92. 38

Ibid., h. 93. 39

Marselus R. Payong, Sertifikasi Profesi Guru Konsep Dasar, Problematika, dan

Implementasinya, (Jakarta: PT Indeks: 2001), h. 87.

Page 67: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

55

belum memperlihatkan peningkatan penghargaan terhadap status guru sebagai

sebuah pekerjaan yang didambakan. Sebagai guru yang telah disertifikasi

masih menjalani pekerjaan-pekerjaan lain yang ditawarkan dapat

mengganggu tugas pokok sebagai guru. Sertifikasi guru juga belum

membawa dampak bagi peningkatan disiplin guru dalam menjalankan tugas

profesionalnya. Masih banyak guru yang lalai melakukan tugasnya meskipun

telah mendapatkan tunjangan profesi.

Berdasarkan UUGD, dengan memiliki sertifikat, seseorang di angap

telah layak dan berhak diangkat sebagai guru apakah sertifikat itu sekadar

syarat formal bahwa seseorang telah berhak diangkat dan dipercayai menjadi

guru, atau sekaligus sebagai jaminan bahwa pemegang sertifikat itu adalah

guru yang terbukti telah mampu dan memang kompeten untuk mengajar?

Dalam kondisi ideal mungkin kedua sisi ini (kewenangan dan kemampuan)

tidak perlu dipisahkan, artinya sertifikasi merujuk kepada kedua-duanya.40

Akan tetapi, realitas menunjukkan bahwa kondisi tidak seideal itu.

Ketika seseorang berhasil memperoleh sertifikat, ia telah memiliki

kemampuan formal untuk mengajar, tetapi masih diperlukan waktu yang

panjang dan mengalaman yang banyak untuk menumbuhkan, memperkaya,

mengembangkan, dan memantapkan kemampuan formal itu menjadi

kemampuan kemampuan aktual atau kemampuan riil, sebagai kemampuan

yang membuat guru yang benar-benar kompeten. Artinya, kompetensi

mengajar adalah kompetensi yang senantiasa berkembang, bahkan perlu terus

menerus dikembangkan dalam arti itu, maka kompetensi profesional guru

adalah kompetensi yang dinamis dan kreatif. Konsep belajar sepanjang hayat

berlaku bagi semua juga bagi mereka yang ideal menjadi guru.41

Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat kepada sesuatu objek

tertentu (orang, barang, atau organisasi tertentu) yang menandakan bahwa

objek tersebut layak menurut kriteria, atau standar tertentu. Sertifikasi

40

Surakhmad, op, cit., h. 369. 41

Ibid.

Page 68: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

56

menrupakan buah bentuk jaminan mutu (quality assurance) kepada pengguna

objek tersebut, sehingga para pengguna tidak merasa dirugikan.42

Sebagaimana Tujuan sertifikasi guru adalah:

1. Sertifikasi dilakukan untuk menentukan kelayakan guru dalam

melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dalam rangka

mennetukan tujuan pendidikan Nasional melalui sertifikasi maka

akan dilakukan seleksi terhadap guru manakah yang berkelayakan

untuk mengajar dan mendidik, dan manakah yang tidak. Sertifikasi

dalam konteks ini sebagai suatu mekanisme seleksi terhadap guru-

guru yang unggul yang diharapkan dapat menunaikan tugas sebagai

guru profesional untuk mewujudkan pendidikan Nasional.

2. Serifikasi juga dilakukan untuk meningkatkan mutu proses dan

hasil pendidikan.

3. Sertifikasi untuk meningkatkan martabat guru. Melalui sertifikasi

guru maka wibawa dan martabat sebagai seorang profesional dapat

di jaga bahkan ditingkatkan. Selama ini, guru dipandang sebagai

pekerjaan masal yang dapat dimasuki oleh siapa saja dari berbagai

latar belakang. Karena itu ada kecenderungan publik melihat guru

secara berat setelah dan profesi yang disandangnya dianggap

sebagai sebuah pekerjaan yang lumrah. Sertifikasi justru untuk

menjamin dan memastikan bahwa pekerjaan guru adalah pekerjaan

yang berwibawa dan guru melalui pengalaman pendidikan dan

pelatihan yang relatif lama dapat memberikan layanan yang lebih

baik di bandingkan dengan pekerja pekerja pengajaran yang amatir.

4. Sertifikasi untuk meningkatkan profesionalisme guru. Guru yang

telah menyelesaikan proses pendidikan pada jenjang pendidikan ke

guruan sudah memiliki sertifikat sebagai guru atau pengajar. Ijazah

dan akta mengajar yang dimiliki sudah memperlihatkan bahwa

yang bersangkutan sudah layak sebagai guru. Tetapi apakah

pemegang ijazah dan akta guru sudah benar-benar kompeten dan

42

Payong, op, cit., h. 68.

Page 69: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

57

profesional? Untuk memastikannya perlu dilakukan uji kompetensi

sebagai seorang profesional sehingga dilakukan sertifikasi.

Bahakan sertifikat tidak berlaku seumur hidup, sehingga sertifkasi

dan resertifkasi dapat menjadi salah satu mekanisme untuk

memastikan bahwa guru menyandang sertifikast masih tetap

profesional dan memiliki kompetensiyang dapat diandalkan.

Sertifikasi dapat menjadi sebuah bentuk pengendalian mutu

terhadap output yang dilakukan sebelum output digunakan dalam

masyarakat. 43

C. Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional dari Sudut Pandang

Sosiologis

Dalam konteks pendidikan di Indonesia, persoalan tentang mutu

pendidikan di Indonesia telah lama terjadi sorotan dari berbagai persfektif dan

cara pandang. Salah satu sorotan terhadap rendahnya mutu pendidikan di

Indonesia, sebagiannya dikaitkan dengan profesionalisme guru. Dugaan ini

memang beralasan karena studi-studi yang pernah dilakukan memperlihatkan

bahwa guru merupakan salah satu faktor dominan yang mempengaruhi

belajar siswa-siswa. Lebih dari itu studi yang dilakukan oleh John Hattie dari

universtas Auckland memperlihatkan bahwa prestasi belajar siswa ditentukan

oleh sekitar 49% dari faktor karakteristik siswa sendiri, dan 30% berasal dari

faktor dari guru. Karena alasan inilah maka pemerintah selalu berupaya keras

memperbaiki mutu pendidikan.

Abad ke 21 yang ditandai dengan globalisasi teknologi dan informasi,

telah membawa dampak yang luar biasa bagi peran guru dalam proses

pendidikan dan pembelajaran. Peran lama guru sebagai satu-satunya sumber

informasi dan sumber belajar, serta tidak dapat dipertahankan lagi. Guru

harus menemukan peran-peran baru yang lebih kontekstual dan relevan.

Peran baru guru ini harus ditemukan karena bagaimana pun, guru masih

43

Ibid., h. 76-77.

Page 70: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

58

menjadi salah satu ajeng pembaharu dan penentu sejarah kehidupan umat

manusia. Tugas penting guru dalam konteks ini adalah menyiapkan generasi

muda untuk menghadapi abad baru yang penuh dengan kegonjangan dan

ketidak pastian. UNESCO mencatat, para guru merupakan instrumen penting

bagi pengembangan sikap yang positif atau negatif dari generasi muda

terhadap belajar. Di pihak lain guru juga memainkan peran penting untuk

mempromosikan saling pemahaman dan toleransi di antara umat manusia,

yang akhir-akhir ini menghadapi tantangan yang serius diberbagai belahan

dunia. Karena itu, memperbaiki kualitas pendidikan tidak terlepas dari

memperbaiki rekrutmen, pelatihan/ persiapan, status sosial dan kondisi kerja

dari para guru.44

Kehidupan profesional ditunjukkan dengan suatu kehidupan yakni

memiliki suatu kapasitas pengembangan profesional yang otonom melalui

belajar mandiri yang sistematis, kajian terhadap karya dari para guru lain dan

melalui kajian dan pengujian secara terus menerus terhadap ide-ide baru

dengan prosedur penelitian kelas. Dalam konteks ini maka belajar mandiri,

bertindak otonom, refleksi terhadap praktek-praktek yang dilakukan dan

senantiasa mengikuti perkembangan kontemporer menjadi ciri khas dari

pekerjaan profesionalisme guru.45

Menjadi profesional berarti guru harus memiliki pelatihan dan

pengetahuan dan keterampilan spesialis dan kualifikasi akademik yang

memadai dan juga ketaatan terhadap standar-standar tertentu. Selain itu guru

harus memiliki kemampuan untuk menggunakan otonomi dalam pembuatan

keputusan khususnya yang terkait dengan pelayanannya kepada para siswa di

kelas.

Pengetahuan dan keterampilan guru semestinya berkembang setiap saat

sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta masyarakat.

Kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan masyarakat harus direspons para

guru dengan cara belajar melalui beragam sumber belajar. Menjadi guru

44

Ibid., h. 2. 45

Ibid., h. 15.

Page 71: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

59

pembelajar membutuhkan motivasi tinggi dan ketersediaan fasilitas dan

program belajar dari lingkungan di mana guru bekerja dan tinggal.46

Pemberdayaan kompetensi guru juga dimaksudkan untuk memperbaiki

kinerja sekolah melalui kinerja guru agar dapat mencapai tujuan secara

optimal, efektif, efisien. Menurut Mulyasa untuk memberdayakan sekolah

harus pula ditempuh upaya-upaya memberdayakan peserta didik dan

masyarakat setempat, disamping mengubah paradigma pendidikan yang

dimiliki oleh para guru dan kepala sekolah. 47

Peran pemberdayaan guru dapat berwujud pelatihan yang terkait dengan

pengembangan kompetensi guru. Aspek penting dari peran kepemimpinan

(kepala sekolah) dalam pendidikan yaitu memberdayakan para guru dan

memberi mereka wewenang yang luas untuk meningkatkan pembelajaran

para pelajar.48

Sekolah juga harus terus aktif untuk meningkatkan motivasi dari para

gurunya dalam memberikan pengajaran yang terbaik bagi siswa-siswanya.

Sekolah berkewajiban meningkatkan kompetensi guru-gurunya dalam

memahami materi yang diajarkan yang dan metodologi penyampaiannya.

Untuk itu, sekolah harus secara berkala menyelenggarakan atau mengirim

guru-gurunya untuk mengkuti seminar, lokakarya, pelatihan, magang,

maupun studi banding kesekolah-sekolah yang telah mampu melaksanakan

sistem pengajaran yang efektif.49

Kadang guru memiliki keterbatasan waktu, ekonomi, dan kemampuan

untuk meningkatkan kompetensinya sesuai harapan. Dengan demikian,

lembaga pendidikan tempat guru bekerja harus menjembatani keterbatasan

guru tersebut dengan menyediakan pelatihan dan sarana dan prasarana yang

memadai sehingga guru dapat belajar dan berlatih di sela-sela tugas

46

Jejen Musfah, Peningkatan Kompetensi Guru melalui Pelatihan dan Sumber Belajar

Teori dan Praktik, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), h.59. 47

E. Mulyasa, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, (Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 2007), h. 24. 48

Musfah, op, cit., h. 69. 49

Ahmad Rizali, Satria Dharma, Indra Djati Sidi, dari Guru Konvensional menuju Guru

Profesional, (Jakata: PT Grasindo, 2009), h. 18.

Page 72: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

60

mengajarnya. Menurut Uno yang dikutip oleh Jejen mengatakan kompetensi

individu dipengaruhi dan dibentuk oleh lingkungannya yang dalam teknologi

pembejaran lingkungan diposisikan sebagai sumber belajar.50

Guru membutuhkan pelatihan profesional untuk menambah wawasan

dan meningkatkan keterampilan mereka. Pelatihan itu akan lebih bermanfaat

bagi guru jika guru memiliki semangat belajar seumur hidup. Semangat

belajar harus melekat dalam diri setiap guru sehingga ia kaya ilmu dan

terampil.

Guru dapat mengembangkan kompetensinya melalui belajar dari

berbagai program pelatihan dari sekolah maupun luar sekolah dan dari sarana

maupun prasarana (perpustakaan, laboratorium, internet) sekolah, serta

program dan fasilitas pendidikan lainnya yang disediakan sekolah.51

Pelatihan memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap efektifitas

sebuah sekolah. Pelatihan memberikan kesempatan kepada guru untuk

mendapatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap baru yang mengubah

perilakunya, yang pada akhirnya akan meningkatkan prestasi belajat siswa.

Salah satu bentuk pengembangan kompetensi guru ialah melalui

pelatihan. Pelatihan adalah setiap usaha untuk memperbaiki performance

pekerja pada suatu pekerjaan tertentu yang sedang menjadi tanggung

jawabnya.52

Liberman menjelaskan profesionalisme adalah satu format kebebasan

yang tidak dirundingkan, namun harus diraih. Para guru sendiri seharusnya

tidak hanya dimungkinkan dapat meraihnya mereka harus diyakinkan bahwa

tugas dalam pekerjaan mereka dapat terpenuhi hanya dalam standar

profesional, kondisi dan norma.

Menurut Syfarth yang dikutip oleh Jejen Musfah mengatakan bahwa

pengembangan profesional diartikan sebagai setiap aktivitas atau proses yang

dilaksanakan untuk memelihara atau meningkatkan keterampilan, sikap,

50

Musfah, op, cit., h. 60. 51

Ibid., h. 11. 52

Suprihatiningrum, op, cit., h. 24.

Page 73: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

61

pemahaman, atau perbuatan profesional dan mendorong individu dalam

tugasnya saat ini maupun di masa mendatang Peningkatan.53

Para guru terlibat dalam perencanaan pelatihan dan mungkin

memaparkan makalah di depan guru lainnya. Ini berarti tugas guru bertambah

selain tugas mengajar dan persiapan mengajar. Masalahnya, mampukah guru

menerima peran baru ini. Pelatihan profesional yang berorientasi pada hasil

yang menempatkan tnggung jawab pengembangan profesional pada guru,

bukan pada pemerintah daerah.

Pembinaan mutu guru atau upaya untuk meningkatkan kualitas guru

menjadi tanggung jawab pihak guru serta lembaga yang mempekerjakan guru

tersebut. Kegiatan pembinaan mutu guru tersebut mencakup perencanaan,

pelaksanaan, dan evaluasinya.54

Dalam era globalisasi banyak tantangan yang dihadapi guru. Tuntutan

profesionalisme, mengharuskan guru bekerja secara profesional sesuai

dengan bidang keahlian dan akademiknya. Ada persyaratan kualifikasi

akademik yang dipenuhi serta adanya tuntutan untuk terus meng-update

pengetahuan dan keterampilan melalui berbagai pelatihan dan pendidikan

lanjutan. Seiring dengan perkembangan teknologi, guru juga dituntut untuk

menguasai ilmu teknologi (IT). Bahkan, beberapa sekolah yang telah

menerapkan konsep IT wajib membawakan materi pelajaran dengan media

berbasis IT. Dunia pendidikan senantiasa selalu berkembang. Oleh karena itu,

guru juga dituntut untuk mengikuti perkembangan dunia pendidikan, dengan

terus melakukan teaching by research dan mempublikasikan hasil

penelitiannya.55

Dalam perannya sebagai seorang pengajar dan pendidik, guru harus

selalu meningkatkan wawasan keilmuan yang dimilikinya. Hal tersebut dapat

dilakukan dengan mengikuti Diklat khususnya kepemimpinan guru baik di

dalam kelas maupun di luar kelas. Sikula mengartikan pelatihan sebagai:

“proses pendidikan jangka pendek yang menggunakan cara dan prosedur

53

Musfah, op, cit., h. 25. 54

Ibid., h. 76. 55

Suprihatiningrum, op, cit., h. 319.

Page 74: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

62

yang sistematis dan terorganisir. Para peserta pelatihan akan mempelajari

pengetahuan dan keterampilan yang sifatnya praktis untuk tujuan tertentu”.

Sedangkan Jucius menjelaskan istilah latihan untuk menunjukkan setiap

proses untuk mengembangkan bakat, keterampilan dan kemampuan pegawai

guna menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan tertentu.56

Menurut Nitisemito, “Pelatihan adalah suatu kegiatan dari perusahaan

yang bermaksud untuk dapat memperbaiki dan mengembangkan sikap,

tingkah laku, keterampilan dan pengetahuan dari para karyawan yang sesuai

dengan keinginan perusahaan yang bersangkutan.” Sejalan dengan pendapat

di atas Simamora mengungkapkan: “pelatihan adalah proses sistematik

pengubahan perilaku para karyawan dalam suatu arah guna meningkatkan

tujuan-tujuan organisasional”. Jadi Pelatihan dapat disimpulkan sebagai

proses bersistem yang di dalamnya ada suatu kegiatan, yang di maksudkan

untuk pengembangan serta perbaikan kinerja para pesertanya guna

meningkatkan tujuan-tujuan organisasional.57

Pelatihan adalah proses pendidikan jangka pendek yang menggunakan

cara dan prosedur yang sistematis dan terorganisir. Proses yang dimaksud

agar peserta mencapai kemampuan tertentu dalam mencapai tujuan

organisasi. Maka dari itu, proses tersebut terikat dengan tujuan organisasi.

Pelatihan dapat dipandang secara sempit dan luas. Para peserta pelatihan akan

mempelajari pengetahuan dan keterampilan yang sifatnya praktis untuk

tujuan tertentu. Proses dalam pelatihan haruslah terencana, terintegrasi, dan

cermat untuk menghasilkan pemahaman dan keterampilan yang diperlukan

untuk meningkatkan kinerja organisasi.58

Untuk mencapai tujuan pendidikan dalam mencerdaskan kehidupan

bangsa, peran-peran dari pihak sekolah melalui Guru dan Kepala Sekolah

56

Dedeh Sofia Hasanah Pengaruh Pendidikan Latihan (Diklat) Kepemimpinan Guru Dan

Iklim Kerja Terhadap Kinerja Guru Sekolah Dasar Se Kecamatan Babakancikao Kabupaten

Purwakarta Jurnal Penelitian Pendidikan Vol. 11, No. 2, Oktober 2010, h. 86. 57

Ibid., h. 89. 58

Slameto, Bambang S. Sulasmono, Krisma Widi Wardani, Peningkatan Kinerja Guru

Melalui Pelatihan Beserta Faktor Penentunya, Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial, Vol 27, No.2,

Desember 2017, h. 39.

Page 75: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

63

menjadi sangat penting. Upaya peningkatan kinerja guru dapat dilakukan

melalui pendidikan dan pelatihan.59

Guru dilatih tentang pekerjaan baru dengan supervisi langsung seorang

„pelatih‟ yang berpengalaman (instruktur atau guru lain) Meliputi semua

upaya bagi guru untuk mempelajari suatu pekerjaan sambil mengerjakannya

di tempat kerja yang sesungguhnya.Menurut Komaruddin Sastradipoera yang

dikutip oleh Sri Rahmawati pelatihan adalah salah satu jenis proses

pembelajaran untuk memperoleh dan meningkatkan keterampilan di luar

sistem pengembangan SDM yang berlaku dalam waktu yang relatif singkat

dengan metode yang lebih mengutamakan praktek daripada teori.60

Menurut Umar Program pelatihan (training) merupakan program

memperbaiki penguasaan berbagai keterampilan dan teknik pelaksanaan kerja

tertentu untuk kebutuhan sekarang sedangkan pengembangan bertujuan untuk

menyiapkan pegawainya siap memangku jabatan tertentu di masa yang akan

datang. Program latihan dan pengembangan bertujuan antara lain untuk

menutupi anggap antara kecakapan karyawan dengan permintaan jabatan,

selain itu juga untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja untuk

karyawan dalam mencapai sasaran kerja.61

Pelatihan diberikan kepada guru untuk mempermudah guru dalam

melakukan pembelajaran terkait dengan tugas pekerjaannya. Dengan kata

lain, program pelatihan yang efektif ialah program pelatihan yang menyentuh

tiga domain, yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik.

Suherman dan Saondi mengatakan guna meningkatkan profesionalisme

guru, perlu dilakukan pelatihan dan penataran yang intens pada guru.

Pelatihan yang diperlukan adalah pelatihan yang disesuaikan dengan

59

Ibid., h. 38. 60

Sri Rahmawati, Syahir Natsir dan Mauled Moelyono, Pengaruh Pelatihan, Pengalaman

Mengajar Dan Kompensasi Terhadap Profesionalisme Guru Di Smk Negeri 3 Palu, e-Jurnal

Katalogis, Volume 3 Nomor 12, Desember 2015, h. 68. 61

Husein Umar, Metode Riset Ilmu Administrasi, (Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 2004),

h. 12.

Page 76: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

64

kebutuhan guru, yaitu pelatihan yang mengacu pada tuntutan kompetensi

guru.62

Menurut Barnawi dan Arifin Pelatihan digunakan untuk menangani

rendahnya kemampuan guru. Program pelatihan harus diberikan berdasarkan

kebutuhan. Artinya, jenis pelatihan yang diprogramkan harus sesuai dengan

jenis kemampuan apa saja yang masih rendah. Pelatihan akan berlangsung

optimal jika dirancang sesuai dengan kebutuhan, metode dan waktu yang

tepat. Pelatihan sangat cocok bagi guru yang memiliki potensi tinggi tetapi

masih lemah dalam pengetahuan dan keterampilannya.63

Pelatihan memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap efektivitas

sebuah sekolah. Pelatihan memberikan kesempatan kepada guru untuk

mendapatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap baru yang mengubah

perilakunya, yang pada akhirnya akan meningkatkan prestasi belajar siswa.

Pelatihan sering tidak memenuhi hasil sebagaimana diharapkan oleh

penyelenggaranya. Karena itu, penyelenggara pelatihan profesional harus

merencanakan dengan matang setiap pelatihan, mulai dari pemilihan materi,

waktu, tempat, metode hingga kualitas instruktur. Pelatihan itu juga harus

sesuai dengan kebutuhan guru dan waktu yang tepat ditengah kesibukan guru

mengajar.

Menurut Sherman, Bohlander, dan Chruden yang dikutip oleh Jejen

Musfah mengatakan bahwa Pelatihan adalah proses yang dimanfaatkan

organisasi untuk mengubah perilaku bekerja, yang berkonstribusi pada

keseluruhan misi orang, dan pengembangan personal dan profesional individu

yang terlibat.64

Menurut Mulyasa fungsi pembinaan dan pengembangan pegawai

merupakan fungsi pengelolaan personel yang mutlak perlu, untuk

memperbaiki, menjaga, dan meningkatkan kinerja pegawai. Kegiatan ini

62

Aris Suherman & Ondi Saondi, Etika Profesi Keguruan, (Jakarta: PT Refika Aditama,

2010), h. 79. 63

Barnawi & Mohammad Arifin, Meningkatkan Kinerja Pengawas Sekolah: Upaya

Upgrade Kapasitas Kerja Pengawas Sekolah, (Yogyakarta: ar-Ruzz Media, 2014), h. 80. 64

Musfah, op, cit., h. 62.

Page 77: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

65

dapat dilakukan dengan cara on the job training dan in the service training.

Kegiatan pembinaan dan pengembangan ini tidak hanya menyangkut aspek

kemampuan, tetapi juga menyangkut karier pegawai. Seorang guru misalnya,

dapat diangkat sebagai koordinator mata pelajaran, wakil kepala sekolah, atau

kepala sekolah.65

Fungsi pelatihan profesional atau kompetensi dapat kita pahami dari

bahwa pelatihan profesional diartikan sebagai beberapa aktivitas atau proses

yang diselenggarakan untuk meningkatkan keterampilan, sikap, pemahaman,

atau perbuatan dalam tugas saat ini atau masa depan. 66

Menurut Armstrong yang dikutip oleh Jejen mengatakan pelatihan

bermanfaat untuk menbantu guru mengembangkan keterampilan dan tingkat

kemampuan guru.67

Pendekatan lebih efektif menurut riset adalah

menghindari pelatihan ringkas yang hanya berkaitan dengan kecakapan teknis

menuju kesatu pendekatan lebih intensif yang berhubungan dengan

pengetahuan guru, pengalaman, kepercayaan sebagai tambahan terhadap

mengajarkan teknik. 68

Terkadang efektifitas sebuah pelatihan diragukan. Biaya dan tenaga

telah dicurahkan, namun hasilnya tidak sebesar yang diharapkan para

pelaksana pelatihan. Pelatihan lebih bersifat praktis, sedangkan pendidikan

lebih bersifat teoretis.69

Pendidik dan pelatihan, yaitu pengalaman dalam mengikuti pendidikan

dan pelatihan dalam rangka pengembangan dan peningkatan kompetensi

dalam melaksanakan tugas sebagai pendidik, baik tingkat kecamatan,

kabupaten, provinsi, nasional maupun internasional. Bukti fisik komponen ini

dapat berupa sertifikat, piagam, atau surat keterangan dari lembaga diklat.

Kegiatan pelatihan bagi guru pada dasarnya merupakan suatu bagian

yang integral dari manajemen dari bidang ketenagaan di sekolah dan

65

Mulyasa, op, cit., h. 43. 66

Musfah, op, cit., h. 61. 67

Ibid., h. 62. 68

Ibid., h. 68. 69

Ibid., h. 75.

Page 78: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

66

merupakan upaya untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan guru

sehingga pada gilirannya diharapkan para guru dapat memperoleh

keunggulan kompetitif dan dapat memberikan pelayanan sebaik-baiknya.70

D. Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional dari Sudut Pandang

Pedagogis

Di Amerika Latin misalnya, ada suatu transisi pada tahun 1960-an dan

1970-an yang nampak dalam istilah yang digunakan untuk guru yakni dari

profesionales de la ensenanza (profesional pengajaran), menjadi trabajadres

de la ensenanza (pekerja pengajar). Juga, sebagaimana dikemukakan oleh

Shimahara (1995) yang dikutip Villegas-Reimers, serikat pekerja guru di

jepang mendefinisikan guru sebagai pekerja atau proletarian. Bahkan,

pemerintah Jepang menganggap guru sebagai abdi negara (servants of state)

dan bukan sebagai profesional. Perbedaan ini tidak hanya menggambarkan ke

tidak sepakatan semantik, tidak juga memiliki sejumlah implikasi bagi cara

publik untuk melihat guru dan status profesionalnya.71

Dalam konteks guru di Indonesia, setidak-tidaknya ada 3 kriteria yang

sampai saat ini tidak belum terpenuhi seluruhnya yaitu:72

1. Suatu pekerjaan profesional adalah pekerjaan yang hanya

dilakukan oleh sekelompok kecil orang yang terpilih, atau tersaring

melalui proses pendidikan dan seleksi yang panjang dan ketat.

Ternyata kenyataannya, bahwa guru di Indonesia sejak era Orde

baru sampai sekarang merupakan sebuah pekerjaan masal yang

dimasuki oleh siapa saja dari berbagai latar belakang keahlian dan

kualifikasi. Misalnya ada tamatan SMA, sarjana pertanian, sarjana

perekonomian, bahkan pensiunan pegawai kantor biasa menjadi

guru. Atau dengan kata lain, meskipun ada sekolah-sekolah

keguruan yang tersedia (FKIP, IKIP, dan STKIP), namun peluang

70

Suprihatiningrum, op, cit., h. 220 71

Payong, op, cit., h. 11. 72

Ibid., h. 12.

Page 79: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

67

untuk menjadi guru terbuka juga bagi lulusan non-keguruan.

Karena itu tidak ada kualitifikasi eksklusif bagi mereka yang

menjadi guru dilihat dari latar belakang pendidikan dan pelatihan

spesifik yang diterimanya. Ini tentu saja berbeda dengan dokter

atau psikolog yang memang hanya bisa dimasuki oleh mereka yang

menyandang kualifikasi eksklusif sarjana kedokteran atau sarjana

psikolog.

2. Suatu pekerjaan profesional adalah sebuah pekerjaan yang bebas

dari supervisi atau pengawasan coba bandingkan dengan profesi

dokter. Dalam melaksanakan tugas profesionalnya, seorang dokter

tidak dapat diawasi atau supervisi secara reguler oleh atasan atau

pihak manapun kecuali kalau dokter itu melakukan malpraktik atau

pelanggaran kode etik. Selama dokter itu bekerja dengan koridor

profesional maka yang bersangkutan bebas dari supervisi atau

pengawasan. Ini berbeda dengan guru, karena kenyataannya ada

pengawas sekolah atau pengawas mata pelajaran bahkan kepala

sekolah yang secara reguler melakukan supervisi terhadap guru

dalam menjalankan tugasnya disekolah. Guru harus bekerja

berdasarkan koridor birokrasi yang ada, melalui dari persiapan

mengajar pelaksaan di dalam kelas dan evaluasi yang dilakukan

setelah pembelajaran.

3. Para pekerja profesional harus memiliki organisasi yang kokoh

mandiri dan bebas dari kooptasi kepentingan apapun. Organisasi

profesi itu harus berani membela kepentingan anggotanya dan

berani menindak anggotanya yang melakukan pelanggran terhadap

kode etik. Kenyataan di Indonesia tidaklah demikian. Ada

organisasi profesi guru yang sudah berdiri sejak era kemerdekaan

yang sampai menjelang reformasi belum memperlihatkan wajahnya

sebagai organisasi profesional yang kokoh, mandiri dan melindungi

anggota-anggotanya atau berani menindak angota-anggota yang

berani melakukan pelanggaran kode etik profesi guru. Peran dari

Page 80: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

68

organisasi profesi guru ini baru sebatas menyuarakan kepentingan

guru seperti memperjuangan peningkatan kesejahteraan guru dan

sebgainya. Tetapi peran yang lebih fungsional seperti melakukan

pengawasan terhadap anggota-anggotanya dalam menjalankan

tugas profesional atau membela anggota-anggotanya yang

mendapatkan perlakuan yang tidak adil, diskriminatif, pelecehan,

atau yang menjadi korban politik atau kebijakan terrentu belum

kelihatan dalam sejarah, belum ada guru yang dipecat dari

keanggotaan dari organisasi ini, bahkan dari tugas profesionalnya

sebagai guru oleh organisasi profesi ini, karena melakukan

pelanggaran kode etik.

Berbeda dengan lembaga penghasil tenaga kependidikan, dimana UU

Guru dan Dosen tidak memberikan secara jelas lembaga apa yang memiliki

legalitas untuk mencetak tenaga kependidikan. Lembaga yang memiliki

legalitas memberikam sertifikasi kependidikan baik kepada guru maupun

dosen ditentukan secara jelas dalam UU guru dan dosen. Ketentuan pasal 11

ayat 2 maupun pasal 47 ayat 2, menentukan bahwa sertifikasi pendidik

diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan

tenaga kependidikan yang terakreditasi. Berdasarkan ketentuan tersebut

jelaslah bahwa lembaga apa yang memliki hak ekslusif untuk memberikan

sertifikasi dan menyelenggarakan pendidikan profesi, yaitu lembaga

kependidikan yang pada masa lalu disebut dengan lembaga pendidikan teknik

Keguruan (LPTK).73

Pemberian kewenangan untuk melaksanakan pendidikan profesi kepada

lembaga kependidikan (LPTK) tersebut cukuplah logis. Hal ini mengingat

bahwa lembaga tersebut telah diyakini memiliki kompetensi dalam

menyelengarakan pendidikan keguruan. Ini tentunya berbeda dengan lembaga

atau keguruan tinggi non-keguruan semisal ITB, UI, ITS, UGM dan

sebagainya, yang sama sekali belum memliki pengalaman dalam mencetak

73

Trianto & Titik Triwulan Tutik, Tinjauan Yuridis Hak serta Kewajiban Pendidik menurut

UU Guru dan Dosen, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006), h. 79.

Page 81: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

69

tenaga kependidikan walaupun secara keilmuannya memliki wawasan yang

lebih unggul.

Di Indonesia dewasa ini dikenal tiga kelompok lembaga kependidikan

(LPTK) yang memiliki kewenangan untuk mencetak tenaga kependidikan

khususnya guru yaitu: institut keguruan dan ilmu pendidikan (IKIP), Fakultas

keguruan dan ilmu pendidikan (FKIP), dan sekolah tinggi keguruan dan ilmu

pendidikan (STKIP). Mereka menyiapkan calon guru pada jenjang taman

kanak-kanak (PGTK), jenjang sekolah Dasar melalui pendidikan guru sekolah

dasar (PGSD) yang berupa program diploma dua (D-2).

Penyimpanan tenaga kependidikan (guru) pada LPTK selama ini

umumnya menggunakan model kependidikan simultan (concurrent model)

yaitu menteri bidang studi diberikan bersama-sama dengan materi

kependidikan, kecuali untuk program akta bagi calon guru dari luar LPTK

menggunakan model kependidikan berurutan (consecutive model),

kependidikan ditempuh setelah menguasai bidang studi. Permasalahan apakah

LPTK ini diberikan wewenang juga untuk memberikan sertifikasi kepada

guru dan dosen? Namun dengan logika jawabannya dapat ditebak. Bukankah

era 1970 an tenaga pengajar perguruan tinggi juga dibekali dengan sertifikasi

mengajar akta V oleh lembaga kependidika (LPTK), walaupun istilah

sertifikasi menurut UU guru dan dosen dapat berbeda dengan akta

mengajar.74

Sementara itu berperilaku sebagai profesional berarti menunjukkan

tingkat dedikasi dan komitmen bekerja dengan jam kerja yang lama dan

terbuka terhadap persoalan-persoalan siswa, ramah dalam pelayanan terhadap

siswa dan menunjukkan keteladanan yang harus dicontohi oleh para siswa.

Selain itu guru harus memiliki hubungan yang hangat dengan rekan sejawat,

orang tua siswa dan atasan.

Dalam persaingan perdagangan global, semua potensi dari luar bebas

berusaha di Indonesia. Dosen tidak ada pilihan, ia harus tunduk pada

ketentuan persaingan pasar bebas itu. Begitu juga para guru. Jelas Indonesia

74

Ibid., h. 80.

Page 82: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

70

segera akan menjadi pasar perdagangan pendidikan yang menguntungkan

negara maju, dan operasi pasar akan segera dimulai dari pendidikan tinggi

(pendidikan guru karena LPTK nya masih belum dapat diperhitungkan,

mungkin tidak begitu diminati dan hasilnya mungkin tidak akan begitu laris

terjual dinegara-negara lain). Sesudah pendidikan tinggi, pasar mungkin akan

segera merambah kebawah. Akan terjadi intensifikasi liberalisasi pendidikan.

Dan inilah yang didukung oleh pemerintah. Sejumlah kebijakan dan rencsns

staregis pengembangan pendidikan Nasional tanpaknya disiapkan untuk

bergerak ke arah liberalisasi pendidikan.75

UUGD menegaskan bahwa jalan pasti menuju kesejahteraan adalah

sertifikat, harus ada sertifikat, tetapi yang wujudnya juga belum diketahui

dengan jelas (dalam perkembangan kemudian ternyata belum ada persetujuan

Menkeu sehingga bisa saja sewaktu waktu dihentikan, termasuk pula

perelisasian yang tersendat-sendat tidak sesuai yang dijanjikan, april 2009).

Kita hanya mengetahui, secara teknis, wewenang untuk memberikan sertifikat

akan dilaksanakan oleh LPTK yang terakreditasi. LPTK yang bagaimana

yang mampu mengembangkan kompetensi bersetifikat itu? Pada saat ini,

wujud LPTK itupun belum jelas.76

LPTK jelmaan IKIP dimasa lalu sudah jelas bergerak kearah yang

menjauhi jati dirinya sebagai lembaga penghasil guru yang akuntebel. Selama

satu dasawarsa sebagai unuversitas, tidak ada nilai tambah sebagai alasan

yang dapat membenarkan bahwa lembaga konversi IKIP pada saat ini tanpa

diragukan memang merupakan lembaga yang paling kompeten menghasilkan

sertifikat yang dimaksudkan dalam UUGD.

Memang berdasar sejarah, universitas bekan IKIP sejak semula telah

bertugas khusus sebagai lembaga penghasil guru dan pengawal ilmu

pendidikan, walau ppencapaian tugas itu saja pun masih bisa dipertanyakan.

Sebagai koinsidensi historis, karena sejumlah universitas itu sebelumnya

adalah IKIP, pikiran kita mudah kembali tertuju pada lembaga-lembaga itu.

75

Surakhmad, op, cit., h. 322. 76

Ibid., h. 327.

Page 83: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

71

Tetapi hak historis itu saja tidak cukup kuat untuk membenarkan mereka

tampil sebagai LPTK ala UUGD. Tidak otomatis harus demikian. Sejak

masih dalam status IKIP pun, hasil lembaga itu sudah dipersoalkan.

Bagaimana mungkin IKIP mendidik guru tingkat dasar dan menengah, ketika

para dosen dari calon guru itu adalah lulusan IKIP atau universitas yang tidak

pernah mengalami dan memahami problematik pembelajaran tingkat dasar

dan menengah, kecuali secara akademik?77

Tidak diragukan bahwa masih ada idealisme yang terpelihara

dikalangan para pengelola lembaga tersebut. Tidak diragukan bahwa masih

ada benih yang dapat dikembangkan menjadi potensi sustainabel.

UUGD memang telah memberikan banyak janji yang mengiurkan.

Banyak bentuk kesejahteraan yang dijanjikan untuk kondisi daerah khusus

dan untuk situasi tertentu guru yang mengabdi disitu dapat berharap imbalan

seperti kenaikan pangkat rutin otomatis, naik pangkat istimewa, dan

perlindungan profesi baik dari segi hukum maupun yang terkit dengan

keselamatan diri. Harga guru tidak cukup ditetapkan setiap tahun sebagai

guru teladan yang dipilih dari mereka yang paling patuh, sabar, dan penurut

se-provinsi, yang kemudian diberi peluang ke Jakarta bertemu muka dengan

sejumlah pejabat tinggi. Jangan sampai UUGD masih terjebak

mengutamakan output ketika sistem pendidikan Nasional umumnya, sistem

LPTK khususnya, harus semakin memperhatikan proses.78

Kita tidak menghendaki LPTK berpretensi yang muncul sebagai

pembawa solusi, kalau dalam kenyataannya hanya mampu melahirkan lebih

banyak masalah, seperti yang terjadi dimasa lalu, masyarakat masih agak

terbata-bata melihat LPTK ketika merauh kepercayaan bahwa suatu yang

benar-benar relevan segera akan terjadi. Ini satu bentuk pemaafan terdapa

masa lalu yang telah mengecewakan banyak pihak. Hanya apabila LPTK

dapat mengubah dirinya, ia berhak secara moral untuk mengubah dunia

sekelilingnya. Itupun belum merupakan jaminan. Untuk mengubah dunia

77

Ibid., h. 328. 78

Ibid., h. 331.

Page 84: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

72

sekelilingnya, LPTK harus diubah secara mendasar dari posisinya sebagai

kekuatan bertahan, beralih menjadi kekuatan berubah dan mengubah.79

Menjadi profesional berarti guru harus memiliki pelatihan dan

pengetahuan serta keterampilan spesialis dan kualifikasi akademik yang

memadai yang memadai dan juga ketaatan terhadap standar-standar tetentu.

Selain itu guru harus memiliki kemampuan untuk menggunakan otonomi

dalam pembuatan keputusan khususnya yang terkait dengan pelayanannya

kepada para siswa di kelas.

Sementara berperilaku dengan profesional berarti menunjukkan

dedikasi dan komitmen, bekerja dengan jam kerja yang lama dan terbuka

terhadap persoalan-persoalan siswa, ramah dalam pelayanan terhadap siswa

dan menunjukkan keteladanan yang harus dicontohi oleh para siswa. Selain

itu guru harus memiliki hubungan yang hangat dengan rekan sejawat, orang

tua siswa, dan atasan.

Upaya untuk meningkatkan ketersediaan dan mutu guru mengalami

perjalanan yang panjang sejak sebelum era kemerdekaan dan kemudian

mengalami pasang surut sampai era reformasi. Namun demikian, tuntutan

tentang mutu dan daya saing yang baik pada tingkat nasional dan global telah

memaksa pemerintah dan lembaga-lembaga penyiapan tenaga guru (LPTK)

untuk memperhatikan kualitas dari pada calon guru baik dalam perekrutan

awal maupun dalam pembinaan profesional berkelanjutan.

Untuk menghasilkan guru sebagaimana yang diimpikan dan diidealkan

di masa depan serta mengingat besarnya peran LPTK bagi masa depan

pendidikan di Indonesia, diperlukan formulasi setidaknya gagasan bangunan

ideal sistem pendidikan pada LPTK. Beberapa tawaran konseptual untuk

memperbaiki program penyiapan guru dan tentu saja ini yang semestinya

dilakukan LPTK, diantaranya adalah program yang dilakukan harus

berdasarkan pada konsep yang jelas tentang pendidikan dan pengajaran,

program yang dilakukan memiliki kualitas tematik yang jelas, materi

kurikulum yang memadai dan harus didukung komponen fasilitas

79

Ibid., h. 352.

Page 85: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

73

laboratorium, kegiatan pembelajaran berbasis teori, praktek, dan lapangan;

keterhubungan secara langsung antara penelitian dan basis pengembangan

pengetahuan, harus dilakukan evaluasi program secara rutin.80

Tawaran Djohar tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas

pendidikan pada LPTK yakni kualitas kelembagaannya, kualitas

penyelenggaraannya, kualitas SDM dan fasilitasnya, kualitas peserta

didiknya, dan kualitas pemberdayaan peserta didiknya.81

Dengan mendasarkan pada tawaran-tawaran tersebut di atas dapat

dirumuskan LPTK masa depan sebagai berikut:

1. Aspek Kelembagaan, Bentuk kelembagaan LPTK harus fungsional,

artinya harus sesuai dengan jenis tenaga guru yang disiapkan. Di

samping harus ada lembaga pengelola (fakultas dan prodi) dan

layanan administrasi, idealnya harus ada beberapa unit

kelembagaan yang menopang sistem pendidikan yakni unit bidang

studi/keilmuan bidang tertentu, unit ilmu pendidikan dan keguruan,

unit psikologi dan layanan konseling, unit laboratorium (untuk

FTIK). Dengan prodi yang ada perlu dipertimbangkan selain

laboratorium micro teaching juga perlu ada laboratorium IPA,

laboratorium bahasa, laboratorium seni dan prakarya, laboratorium

pendidikan agama, laboratorium manajemen, dan sekolah

laboratorium), dan unit pengembangan soft skill. Kelembagaan

tersebut harus didukung sumber daya manusia dan fasilitas yang

memadai serta interelasi multidisipliner yang saling terintegrasi.

2. Aspek Penyelenggaraan, Penyelenggaraan LPTK harus didukung

oleh sistem tata kelola dan layanan yang prima, dengan didukung

sumber daya manusia (baik dosen maupun tenaga kependidikan)

yang dapat menjadi figur contoh atau model anutan baik keilmuan,

skill, maupun sikap dan tata lakunya. Mahasiswa kelak jika

80

Fauzi, Menggagas LPTK Masa Depan: Ikhtiar Mengatasi Problem Pendidikan di

Indonesia dari Hulu, PERSPEKTIF Ilmu Pendidikan - Vol. 30 No. 1 April 2016, h. 63. 81

Djohar, (2003). Pendidikan Strategik: Alternatif untuk Pendidikan Masa Depan,

(Yogyakarta: LESFI. H, 2003), h. 31.

Page 86: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

74

menjadi guru atau tenaga kependidikan akan merefleksikan dan

mempraktikkan model layanan dan figur “pelayan” yang

dijumpainya saat mereka kuliah. Ini akan menjadi hidden

curriculum yang berpengaruh pada kualitas lulusan LPTK. Di

samping itu penyelenggaraan LPTK harus memungkinkan

terjadinya tradisi saling berjumpa antardisiplin ilmu (kependidikan

dan non kependidikan) setidaknya antar program studi, tidak dalam

tradisi keterisolasian, sehingga memungkinkan interaksi tanpa

sekat. Dengan penyelenggaraan seperti ini memungkinkan

mahasiswa LPTK akan mendapat masukan dari berbagai tradisi

keilmuan, ada fleksibiltas pendidikan, mobilitas mahasiswa antar

prodi dapat terjadi dengan efisien.82

Problem yang dihadapi guru berhubungan dengan problem yang

dihadapi LPTK sebagai penghasil guru. Muncul berbagai kritikan dan bahkan

gugatan terhadap LPTK yang dinilai gagal menghasilkan guru yang dapat

mendidik dengan baik.83

Kritikan bernada masukan seringkali datang dari pihak sekolah tempat

mahasiswa praktek pengalaman lapangan (PPL) terkait masih rendahnya

kualitas mengajar mahasiswa, kurang kreatif, kurang tanggap, dan kurang

percaya diri. Hal ini mencerminkan ada hal yang harus dibenahi dalam sistem

pendidikan di LPTK. Secara garis besar problem LPTK dapat dipetakan

sebagai berikut:

1. Permasalahan dalam perekrutan Sistem perekrutan yang baik akan

sangat menentukan luaran yang berkualitas. Idealnya calon

mahasiswa LPTK harus diseleksi tidak hanya kemampuan

akademisnya tetapi juga kemampuan non akademisnya. Sistem

seleksi yang terjadi selama ini kurang mampu mendeteksi calon

mahasiswa yang benar-benar memiliki motivasi dan kepribadian

sebagai calon pendidik.

82

Fauzi, op, cit., h. 63. 83

Azhar. “Kondisi LPTK Sebagai Pencetak Guru Yang Profesional”, Jurnal Tabularasa

PPS Unimed, Vol.6. No.1, Juni 2009, h. 23.

Page 87: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

75

2. Permasalahan dalam proses pendidikan Proses pendidikan

(pembelajaran) yang diselenggarakan LPTK merupakan factor

penting bagi pengembangan kompetensi calon guru. Proses

pendidikan cenderung masih sangat didominasi teori, sehingga

minim praktik, lapangan, apalagi magang. Di samping itu

penguatan empat kompetensi guru belum dilakukan secara terpadu,

cenderung dominan kompetensi pedagogik dan “profesional”,

masih relatif lemah pada kompetensi kepribadian dan sosial.

Masalah lainnya adalah terkait pengembangan kurikulum,

penciptaan suasana akademik, penetapan standar kelulusan dan

prosedur evaluasi yang objektif dan transparan, juga dukungan

sistem penjaminan mutu yang handal untuk menjamin mutu

program pendidikan.

3. Permasalahan infrastruktur, Sekalipun infrastruktur di LPTK

semakin lengkap, tidak semua LPTK telah menunjukkan standar

fasilitas yang memadai. Berbagai sarana dan prasarana baik

perangkat keras dan perangkat lunak harus cukup tersedia. Secara

umum LPTK belum memiliki labschool dan asrama yang memadai

sebagai tempat belajar dan meningkatkan kompetensi mahasiswa.

4. Permasalahan sumber daya manusia Perguruan tinggi tak

terkecuali LPTK umumnya masih menekankan kuantitas

(jumlah) mahasiswa, belum menekankan kualitas dosen. Sekalipun

jumlah dosen yang studi lanjut (S2, S3) semakin besar, rasio dosen

“bermutu” dengan jumlah mahasiswa masih belum memadai.

Tuntutan untuk menghasilkan guru yang profesional mengharuskan

LPTK penyelenggara memiliki visi yang jelas yang dilandasi

prinsip good university governance dan memiliki kapasitas yang

menjamin profesionalisme lulusannya.84

84

Fauzi, op, cit., h. 63.

Page 88: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

76

Menurut Nurulpaik yang dikutip oleh Umi Chotimah mengatakan

bahwa selama ini dikenal ada dua model penyelenggaraan pendidikan guru

yaitu concurrent model dan consecutive model.

1. Concurrent Model (Model Seiring)

Concurrent model yaitu suatu model penyelenggaran

pendidikan guru yang menyiapkan calon guru yang dilakukan

dalam satu nafas, satu fase, antara penguasaan bidang studinya

(subject matter) dengan kompetensi pedagogi (ilmu pendidikan)

model inilah yang dipakai selama lebih 50 tahun dalam

penyelenggaraan pendidikan guru di Indonesia FKIP, IKIP, PGA,

sebagai bentuk LPTK yang pernah di Indonesia menggunakan

model ini.

Model ini mengasumsikan bahwa seorang calon guru sejak

awal sudah mulai memasuki iklim, menjiwai, menyadari akan

dunia profesinya. Seorang guru tidak hanya dituntut menguasai

bidang studi yang akan diajarkannya, melainkan juga kompetensi

pedagogik, sosial, akademik, dan kepribadian sebagai pendidik

kompetensi tersebut bukan suatu yang terpisah melainkan jadi

ramuan komposisi yang khas yang dijiwainya. Kalau guru

diasumsikan sebagai petugas profesional, harus disiapkan secara

profesional secara sengaja untuk menjadi guru, juga di lembaga

yang sengaja dibuat dan dipersiapkan untuk mendidik calon guru.

Kritik terhadap model ini penguasaan bidang ilmu dianggap lemah

karena perolehan kemampuan bidang ilmu yang diajarkannya

dianggap kurang dari sarjana bidang ilmu murni. Ini dianggap

kelemahan dan dinisbahkan sebagai salah satu faktor yang

menyebabkan rendahnya kompetensi guru yang selama ini

dipersiapkan di LPTK.

2. Consecutive Model (Pendekatan Berlapis)

Page 89: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

77

Asumsi yang dipakai dalam model ini menghendaki penyiapan

guru dilakukan dalam napas atau rangkaian yang berbeda. Artinya

calon guru sebelumnya tidak dididik dalam setting LPTK. Mereka

adalah para sarjana bidang ilmu kemudian setelah itu menempuh

pendidikan lanjutan di LPTK untuk memperoleh akta kependidikan

yang selama ini diposisikan sebagai lisensi profesi guru. Model ini

menghendaki sarjana dulu di bidangnya kemudian mengikuti

pendidikan akta kependidikan sebagai sertifikasi profesi

kependidikan. Keunggulan model ini dianggap memiliki penguasaan

bidang studi lebih baik unggul, tetapi lemah dari aspek kompetensi

ilmu pendidikan (pedagogis), sosial, dan kepribadian sebagai calon

guru dalam pola ini penyiapan bidang ilmu dengan kompetensi

pedagogi, sosial, dan kepribadian adalah hal yang berbeda bukan

desain pendidikan profesional yang terpadu.

Sejak diberlakukan UU Guru dan Dosen, nampaknya

penyelenggaraan pendidikan guru saat ini cenderung dilakukan

dengan menggunakan concecutive model, ini dapat dilihat pada

bunyi “setiap orang yang telah memperoleh sertifikasi pendidik

memiliki kesempatan yang sama untuk diangkat menjadi guru pada

satuan pendidikan tertentu”. Salah satu dampaknya adalah

meningkatnya minat dan apresiasi masyarakat terhadap profesi guru.

Di samping itu UU tersebut juga menggariskan bahwa profesi guru

minimal berpendidikan S-1 atau D-4 baik kependidikan maupun

non-kependidikan. Hal ini mengisyarakatkan bahwa profesi guru

merupakan profesi yang bersifat terbuka bukan hanya bagi lulusan

dari lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) melainkan

pula dari non-LPTK.

Lalu apa urgensi eksistensi LPTK kalau profesi guru itupun

secara yuridis dan akademik berhak dimasuki oleh mereka yang

tidak dipersiapkan di LPTK. Mereka yang berlata pendidikan dari

Page 90: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

78

non-LPTK untuk menjadi guru cukup mengikuti pendidikan

sertifikasi profesi guru.

Masing-masing model mempunyai kelemahan dan keunggulan, di

samping itu tergantung kepada penafsiran apakah sebaiknya profesi guru

merupakan profesi yang tertutup atau terbuka, artinya:

1. Jika profesi guru adalah “profesi tertutup” maka concurrent

modelyang dijadikan acuannya dengan memberikan penguatan

lebih dalam pada penguasaan bidang ilmu. artinya perguruan tinggi

yang berperan sebagai LPTL harus semakin diperkuat dan didorong

untuk lebih bagus lagi. Pemerintah pun wajib memberikan

perhatian yang tinggi terhadap penyelenggaraan pendidikan guru di

LPTK. Sejalan dengan semakin bergengsinya profesi guru maka

LPTK akan semakin menjadi perhatian publik dan minat menjadi

guru akan semakin kompetitif.

2. Jika profesi guru adalah “profesi terbuka” maka berarti concecutive

model yang dijadikan acuan akibatnya akan menjadi

kecenderungan tereduksinya keberadaan LPTK hanya sebagai

lembaga sertifikasi profesi guru semakin mendekati kenyataan,

sebab untuk menjadi guru tidak perlu studi di LPTK. Berlatar

belakang perguruan tinggi apapun bila akan jadi guru cukup

mengikuti pendidikan sertifikasi profesi guru yang di

selenggarakan oleh pemerintahan di LPTK.

Disinilah keharusan refungsi kelembagaan LPTK yang diperlukan

adalah keputusan yang jelas dan tegas dari pemerintah dalam menetapkan

model mana yang akan dipilih dalam penyelenggaraan pendidikan guru.

Guru adalah profesi di mana seseorang menanamkan nilai-nilai

kebijakan ke dalam jiwa manusia, membentuk karakter dan kepribadian

manusia, dipundaknya memikul beban berat menciptakan sebuah generasi

yang bertanggungjawab.

Page 91: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

79

Dalam melaksanakan pembelajaran tentunya seorang guru harus

memiliki keterampilan-keterampilan yang harus dimilikinya untuk

mendapatkan hasil yang maksimal terhadap murid yang diajar.

Mismatch artinya adalah pertandingan yang tidak seimbang/tidak

sebanding/ tidak sepadan. Guru mismatch adalah guru yang mengajar bukan

dibidangnya atau tidak sesuai antara latar belakang pendidikan dengan mata

pelajaran yang diajarkan dan diampu.

Gilakjani mengemukakan bahwa “a mismatch between teaching and

learning styles causes learning failure, frustration and demotivation”.

Ketidaksesuaian antara mengajar dan gaya belajar menyebabkan belajar

kegagalan, frustrasi dan motivasi.85

Sekarang ini masyarakat menginginkan semua pelayanan yang

diberikannya adalah yang terbaik. Misalnya, setiap orang tua menginginkan

anaknya bersekolah di sekolah yang gurunya profesional, setiap orang

menginginkan menyimpan uang di bank yang pelayanannya profesional, dan

sebagainya. Tuntutan-tuntutan masyarakat inilah yang membuat setiap profesi

untuk dapat memberikan pelayanan yang terbaik. Jika setiap anggota profesi

dapat melakukan pekerjaannya dengan profesional, maka dengan sendirinya

dia akan membangun profesinya.86

85

Gilakjani, A.P. A Match or Mismatch Between Learning Styles of the Learners and

Teaching Styles of the Teachers. International Journal Modern Education and Computer Science,

11, 51-60. doi: 10.5815/ijmecs.2012.11.05. h. 2. 86

Rusman, Model-model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru, (Jakarta:

Rajawali Pers, 2012), h. 32.

Page 92: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

79

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Miskonsepsi kompetensi profesional dari sudut pandang filosofis dari

Ketidak jelasan konsep dasar UUGD dalam membedakan antara penyebutan nama

guru dan dosen serta tugas utama guru dengan tugas utama dosen.

Miskonsepsi kompetensi profesional dari sudut pandang psikologis

dalam UU Guru dan Dosen adalah diwajibkannya guru mengikuti sertifikasi dan

uji kompetensi. Hal ini tercantum pada pasal 8 UU Guru dan Dosen yang

menjelaskan tentang Sertifikat Profesi Pendidik. Banyak pihak mengkhawatirkan

program sertifikasi ini. Sertifikasi hanya dianggap sebagai sebuah proses yang

harus dilalui untuk mengejar tunjangan yang dijanjikan, bukan sebagai upaya

meningkatkan kualifikasi dan kompetensi guru.

Miskonsepsi Kompetensi Profesional dari Sudut Pandang Sosiologis

guru membutuhkan pelatihan profesional untuk menambah wawasan dan

meningkatkan keterampilan mereka. Pelatihan itu akan lebih bermanfaat bagi guru

jika guru memiliki semangat belajar seumur hidup. Semangat belajar harus

melekat dalam diri setiap guru sehingga ia kaya ilmu dan terampil.

Miskonsepsi kompetensi profesional dari sudut pandang pedagogis,

dimana UU Guru dan Dosen tidak memberikan secara jelas lembaga apa yang

memiliki legalitas untuk mencetak tenaga kependidikan. Lembaga yang memiliki

legalitas memberikam sertifikasi kependidikan baik kepada guru maupun dosen

ditentukan secara jelas dalam UU guru dan dosen.

B. Saran

Merujuk dari hasil penelitian ini, penulis mengajukan saran yaitu:

Page 93: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

80

1. Diharapkan kepada guru untuk meningkatkan kompetensi

keprofesionalannya sebagai seorang pendidik.

2. Diharapkan kepada dosen untuk meningkatkan kompetensi

keprofesionalannya sebagai seorang pendidik.

Page 94: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

81

DAFTAR PUSTAKA

A, Pius Partanto. dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: PT

Arloka, 1994.

Ahmad, Sanusi. Studi Pengembangan Model Pendidikan Profesional Tenaga

Kependidikan. Bandung: IKIP Bandung, 1991.

Azhar. “Kondisi LPTK Sebagai Pencetak Guru Yang Profesional”. Jurnal

Tabularasa PPs Unimed, Vol.6. No.1, Juni 2009.

B, Hamzah Uno. Profesi Kependidikan. Jakarta: Bumi Aksara, 2010.

Bambang, Slameto, S. Sulasmono, Krisma Widi Wardani. Peningkatan Kinerja

Guru Melalui Pelatihan Beserta Faktor Penentunya, Jurnal Pendidikan

Ilmu Sosial. Vol 27, No.2, Desember 2017.

Bell, Margaret. Metode Belajar dan Membelajarkan. Jakarta: Universitas Terbuka

bekerja sama dengan Rajawali Press, 1991.

Danim, Pengembangan Profesi Guru Dari Pra-Jabatan, Induksi, ke Profesional

Madani. Jakarta: Kencana, 2011.

Daulay, Nurussakinah. Pengantar Psikologi dan Pandangan al-Quran tentang

Psikologi. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014.

Djohar. Pendidikan strategik: Alternatif untuk pendidikan masa depan.

Yogyakarta: LESFI, 2003.

Fauzi. Menggagas LPTK Masa Depan: Ikhtiar Mengatasi Problem Pendidikan di

Indonesia dari Hulu, PERSPEKTIF Ilmu Pendidikan. Vol. 30 No. 1 April

2016.

H, Sukardi M. Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Praktiknya.

Jakarta: Bumi Aksara, 2008.

H, Tilaar A.R. Managemen Pendidikan Nasional. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 2002.

Hamalik, Oemar. Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi. Jakarta:

PT Bumi Aksara, 2009.

Hasan, Salem. et al, “Misconceptions and the Certainty of Response Index

(CRI)”, Journal of Phys, Educ. Vol. 5, 1999.

Page 95: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

82

Hendrik, Jan Rapar. Pengantar Logika Asas-Asas Penalaran Sistematis.

Yogyakarta: Kanisius, 2006.

Hidayat, Sholeh. Pengembangan Guru Profesional. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 2017.

Ibnu, Mujar Syarif & Kamarusdiana. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Lembaga

Penelitian UIN Jakarta, 2009.

Ishaq, Pengantar Hukum Indonesia (PHI). Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

2016.

Khasinah, Siti. Hakikat Manusia Menurut Pandangan Islam dan Barat. Jurnal

Ilmiah Didaktika Februari 2003 VOL. XIII, NO.2.

Khobir, Abdul. “Hakikat Manusia dan Implikasinya dalam Proses Pendidikan

(Tinjauan Filsafat Pendidikan Islam)”. Forum Tarbiyah Vol. 8, No. 1,

Juni 2010.

Kosasi, Seotjipto & Raflis. Profesi Keguruan. Jakarta: Rineka Cipta, 2009.

Kunandar, Guru Profesional (Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan

Pendidikan dan Persiapan Menghadapi Sertifikasi Guru. Jakarta: PT

Raja Grafindo Persada, 2007.

Mohammad, Barnawi & Arifin, Meningkatkan Kinerja Pengawas Sekolah: Upaya

Upgrade Kapasitas Kerja Pengawas Sekolah. Yogyakarta: ar-Ruzz

Media, 2014

Mudlofir, Ali. Pendidik Profesional Konsep, Strategi dan Aplikasinya dalam

Peningkatan Mutu Pendidik di Indonesia. Jakarta: PT Rajagrafindo

Persada, 2012.

Muhadjir, Noeng. Metodologi Penelitan Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin,

1996.

Mulyasa, E. Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 20012.

Musfah, Jejen. Peningkatan Kompetensi Guru melalui Pelatihan dan Sumber

Belajar Teori dan Praktik. Jakarta: Kencana Prenada Media Group,

2011.

Page 96: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

83

Nata, Abuddin. Filsafat Pendidikan Islam (Edisi Baru). Jakarta: Gaya Media

Pratama, 2005.

Ni’am, Asrorun Sholeh. Membangun Profesionalitas Guru Analisis Kronologis

atau Lahirnya UU Guru dan Dosen. Jakata: Elsas, 2017.

Nursalam, Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan.

Jakarta: Salemba Medika, 2008.

Nurtanto, Muhammad. Mengembangkan Kompetensi Profesionalisme Guru

Dalam Menyiapkan Pembelajaran Yang Bermutu.

Putra, Haidar Daulay. Pendidikan Islam dalam Perspektif Filsafat. Jakarta:

Kencana Prenadamedia Group, 2014.

R, Marselus Payong. Sertifikasi Profesi Guru Konsep Dasar, Problematika, dan

Implementasinya. Jakarta: PT Indeks: 2001.

Rahmawati, Sri Syahir Natsir dan Mauled Moelyono. Pengaruh Pelatihan,

Pengalaman Mengajar Dan Kompensasi Terhadap Profesionalisme Guru

Di Smk Negeri 3 Palu, e-Jurnal Katalogis. Volume 3 Nomor 12,

Desember 2015.

Rizali, Ahmad Satria Dharma. Indra Djati Sidi, dari Guru Konvensional menuju

Guru Profesional. Jakata: PT Grasindo, 2009.

Rusman, Model-model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru.

Jakarta: Rajawali Pers, 2012.

Sagala, Syaiful. Kemampuan Profesional Guru dan Tenaga Kependidikan.

Bandung: Alfabeta, 2013.

Samana, Profesionalisme Keguruan. Yogyakarta: Kanisius, 1994.

Samsul, Ramayulis dan Nizar. Filsafat Pendidikan Islam Telaah Sistem

Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya. Jakarta: Kalam Mulia, 2009.

Saudagar, Fachruddin & Ali Idrus. Pengembangan Profesionalitas Guru. Jakarta:

Gaung Persada GP Press, 2011.

Septiana, Dwi dkk, “Identifikasi Miskonsepsi Siswa pada Konsep Archaebacteria

dan Eubacteria Menggunakan Two-Tier Multiple Choice”, Jakarta:

EDUSAINS, Vol. 6, 2014.

Page 97: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

84

Sofia, Dedeh Hasanah. Pengaruh Pendidikan Latihan (Diklat) Kepemimpinan

Guru Dan Iklim Kerja Terhadap Kinerja Guru Sekolah Dasar Se

Kecamatan Babakancikao Kabupaten Purwakarta Jurnal Penelitian

Pendidikan Vol. 11, No. 2, Oktober 2010.

Sri, Yutmini. Strategi Belajar Mengajar. Surakarta: FKIP UNS, 1992.

Sudarminta, J. Epistemologi Dasar Pengantar Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta:

Kanisius, 2002.

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitati, Kualitatif, dan Kombinasi (Mixed

Methods). Bandung: Alfabeta, 2011.

Suhana, Cucu. Konsep Strategi Pembelajaran. Bandung: PT Refika Aditama,

2014.

Suherman, Aris & Ondi Saondi, Etika Profesi Keguruan. Jakarta: PT Refika

Aditama, 2010.

Sukanti, Meningkatkan Kompetensi Guru melalui Pelaksanaan Tindakan Kelas,

Jurnal Pendidikan Akutansi Indonesia. Vol. VI, 2008.

Sulhan, Najib. Karakter Guru Masa Depan. Surabaya: Jaringpena, 2011.

Suparno, Paul. Miskonsepsi dan Perubahan Konsep dalam Pendidikan Fisika.

Jakarta: PT Grasindo, 2005.

Suprihatiningrum, Jamil. Guru Profesional Pedoman Kinerja, Kualifikasi, dan

Kompetensi Guru. Jakarta: ar-Ruzz Media, 2016.

Surakhmad, Winarmo. Pendidikan Nasional Strategi dan Tragedi. Jakarta: PT

Kompas Media Nusantara, 2009

Suryabrata, Sumadi. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.

Syah, Muhibbin. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung:

Remaja Rosdakarya, 2000.

Syaodih, Nana Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja

Rosdakarya, 2013.

Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan.

Bandung: PT Imperial Bhakti Utama, 2007.

Trianto & Titik Triwulan Tutik. Tinjauan Yuridis Hak serta Kewajiban Pendidik

menurut UU Guru dan Dosen. Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006.

Page 98: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

85

Umar, Husein. Metode Riset Ilmu Administrasi. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama,

2004.

Undang-Undang Republik Indonesia tentang Sistem Pendidikan Nasional No. 20

Tahun 2003.

Wijaya, Cece dan Tabrani Rusyan. Kemampuan Dasar Guru dalam Proses

Belajar Mengajar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1994.

Wukir, Kajian Terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru

dan Dosen dalam Rangka Meningkatkan Mutu Guru. Lex Jurnalica

Vol.5 No. 3, Agustus 2008.

Yasin, Ahmad Fatah. “Pengembangan Kompetensi Pedagogik Guru Pendidikan

Agama Islam di Madrasah”. Jurnal el-Qudwah Volu me 1 Nomor 5.

Edisi April 2011.

Page 99: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

DAFTAR PUSTAKA

A, Pius Partanto. dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: PT

Arloka, 1994.

Ahmad, Sanusi. Studi Pengembangan Model Pendidikan Profesional Tenaga

Kependidikan. Bandung: IKIP Bandung, 1991.

Azhar. “Kondisi LPTK Sebagai Pencetak Guru Yang Profesional”. Jurnal

Tabularasa PPs Unimed, Vol.6. No.1, Juni 2009

B, Hamzah Uno. Profesi Kependidikan. Jakarta: Bumi Aksara, 2010.

Bambang, Slameto, S. Sulasmono, Krisma Widi Wardani. Peningkatan Kinerja

Guru Melalui Pelatihan Beserta Faktor Penentunya, Jurnal Pendidikan

Ilmu Sosial. Vol 27, No.2, Desember 2017.

Bell, Margaret. Metode Belajar dan Membelajarkan. Jakarta: Universitas Terbuka

bekerja sama dengan Rajawali Press, 1991.

Danim, Pengembangan Profesi Guru Dari Pra-Jabatan, Induksi, ke Profesional

Madani. Jakarta: Kencana, 2011.

Daulay, Nurussakinah. Pengantar Psikologi dan Pandangan al-Quran tentang

Psikologi. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014.

Djohar. Pendidikan strategik: Alternatif untuk pendidikan masa depan.

Yogyakarta: LESFI, 2003.

Fauzi. Menggagas LPTK Masa Depan: Ikhtiar Mengatasi Problem Pendidikan di

Indonesia dari Hulu, Perspektif ilmu Pendidikan. Vol. 30 No. 1 April

2016.

H, Sukardi M. Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Praktiknya.

Jakarta: Bumi Aksara, 2008.

H, Tilaar A.R. Managemen Pendidikan Nasional. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 2002.

Hamalik, Oemar. Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi. Jakarta:

PT Bumi Aksara, 2009.

Hasan, Salem. et al, “Misconceptions and the Certainty of Response Index

(CRI)”, Journal of Phys, Educ. Vol. 5, 1999.

Page 100: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

Hendrik, Jan Rapar. Pengantar Logika Asas-Asas Penalaran Sistematis.

Yogyakarta: Kanisius, 2006.

Hidayat, Sholeh. Pengembangan Guru Profesional. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 2017.

Ibnu, Mujar Syarif & Kamarusdiana. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Lembaga

Penelitian UIN Jakarta, 2009.

Ishaq, Pengantar Hukum Indonesia (PHI). Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

2016.

Khasinah, Siti. Hakikat Manusia Menurut Pandangan Islam dan Barat. Jurnal

Ilmiah Didaktika Februari 2003 VOL. XIII, NO.2.

Khobir, Abdul. “Hakikat Manusia dan Implikasinya dalam Proses Pendidikan

(Tinjauan Filsafat Pendidikan Islam)”. Forum Tarbiyah Vol. 8, No. 1,

Juni 2010.

Kosasi, Seotjipto & Raflis. Profesi Keguruan. Jakarta: Rineka Cipta, 2009.

Kunandar, Guru Profesional (Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan

Pendidikan dan Persiapan Menghadapi Sertifikasi Guru. Jakarta: PT

Raja Grafindo Persada, 2007.

Mohammad, Barnawi & Arifin, Meningkatkan Kinerja Pengawas Sekolah: Upaya

Upgrade Kapasitas Kerja Pengawas Sekolah. Yogyakarta: ar-Ruzz

Media, 2014.

Mudlofir, Ali. Pendidik Profesional Konsep, Strategi dan Aplikasinya dalam

Peningkatan Mutu Pendidik di Indonesia. Jakarta: PT Rajagrafindo

Persada, 2012.

Muhadjir, Noeng. Metodologi Penelitan Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin,

1996.

Mulyasa, E. Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 20012.

Musfah, Jejen. Peningkatan Kompetensi Guru melalui Pelatihan dan Sumber

Belajar Teori dan Praktik. Jakarta: Kencana Prenada Media Group,

2011.

Nata, Abuddin. Filsafat Pendidikan Islam (Edisi Baru). Jakarta: Gaya Media

Pratama, 2005.

Page 101: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

Ni’am, Asrorun Sholeh. Membangun Profesionalitas Guru Analisis Kronologis

atau Lahirnya UU Guru dan Dosen. Jakata: Elsas, 2017.

Nursalam, Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan.

Jakarta: Salemba Medika, 2008.

Nurtanto, Muhammad. Mengembangkan Kompetensi Profesionalisme Guru

Dalam Menyiapkan Pembelajaran Yang Bermutu.

Putra, Haidar Daulay. Pendidikan Islam dalam Perspektif Filsafat. Jakarta:

Kencana Prenadamedia Group, 2014.

R, Marselus Payong. Sertifikasi Profesi Guru Konsep Dasar, Problematika, dan

Implementasinya. Jakarta: PT Indeks: 2001.

Rahmawati, Sri Syahir Natsir dan Mauled Moelyono. Pengaruh Pelatihan,

Pengalaman Mengajar Dan Kompensasi Terhadap Profesionalisme Guru

Di Smk Negeri 3 Palu, e-Jurnal Katalogis. Volume 3 Nomor 12,

Desember 2015.

Rizali, Ahmad Satria Dharma. Indra Djati Sidi, dari Guru Konvensional menuju

Guru Profesional. Jakata: PT Grasindo, 2009.

Rusman, Model-model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru.

Jakarta: Rajawali Pers, 2012.

Sagala, Syaiful. Kemampuan Profesional Guru dan Tenaga Kependidikan.

Bandung: Alfabeta, 2013.

Samana, Profesionalisme Keguruan. Yogyakarta: Kanisius, 1994.

Samsul, Ramayulis dan Nizar. Filsafat Pendidikan Islam Telaah Sistem

Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya. Jakarta: Kalam Mulia, 2009.

Saudagar, Fachruddin & Ali Idrus. Pengembangan Profesionalitas Guru. Jakarta:

Gaung Persada GP Press, 2011.

Septiana, Dwi dkk, “Identifikasi Miskonsepsi Siswa pada Konsep Archaebacteria

dan Eubacteria Menggunakan Two-Tier Multiple Choice”, Jakarta:

EDUSAINS, Vol. 6, 2014.

Sofia, Dedeh Hasanah. Pengaruh Pendidikan Latihan (Diklat) Kepemimpinan

Guru Dan Iklim Kerja Terhadap Kinerja Guru Sekolah Dasar Se

Kecamatan Babakancikao Kabupaten Purwakarta Jurnal Penelitian

Pendidikan Vol. 11, No. 2, Oktober 2010.

Page 102: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

Sri, Yutmini. Strategi Belajar Mengajar. Surakarta: FKIP UNS, 1992.

Sudarminta, J. Epistemologi Dasar Pengantar Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta:

Kanisius, 2002.

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitati, Kualitatif, dan Kombinasi (Mixed

Methods). Bandung: Alfabeta, 2011.

Suhana, Cucu. Konsep Strategi Pembelajaran. Bandung: PT Refika Aditama,

2014.

Suherman, Aris & Ondi Saondi, Etika Profesi Keguruan. Jakarta: PT Refika

Aditama, 2010.

Sukanti, Meningkatkan Kompetensi Guru melalui Pelaksanaan Tindakan Kelas,

Jurnal Pendidikan Akutansi Indonesia. Vol. VI, 2008.

Sulhan, Najib. Karakter Guru Masa Depan. Surabaya: Jaringpena, 2011.

Suparno, Paul. Miskonsepsi dan Perubahan Konsep dalam Pendidikan Fisika.

Jakarta: PT Grasindo, 2005.

Suprihatiningrum, Jamil. Guru Profesional Pedoman Kinerja, Kualifikasi, dan

Kompetensi Guru. Jakarta: ar-Ruzz Media, 2016.

Surakhmad, Winarmo. Pendidikan Nasional Strategi dan Tragedi. Jakarta: PT

Kompas Media Nusantara, 2009.

Suryabrata, Sumadi. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.

Syah, Muhibbin. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung:

Remaja Rosdakarya, 2000.

Syaodih, Nana Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja

Rosdakarya, 2013.

Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan.

Bandung: PT Imperial Bhakti Utama, 2007.

Trianto & Titik Triwulan Tutik. Tinjauan Yuridis Hak serta Kewajiban Pendidik

menurut UU Guru dan Dosen. Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006.

Umar, Husein. Metode Riset Ilmu Administrasi. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama,

2004.

Page 103: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor

Undang-Undang Republik Indonesia tentang Sistem Pendidikan Nasional No. 20

Tahun 2003.

Wijaya, Cece dan Tabrani Rusyan. Kemampuan Dasar Guru dalam Proses

Belajar Mengajar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1994.

Wukir, Kajian Terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru

dan Dosen dalam Rangka Meningkatkan Mutu Guru. Lex Jurnalica

Vol.5 No. 3, Agustus 2008.

Yasin, Ahmad Fatah. “Pengembangan Kompetensi Pedagogik Guru Pendidikan

Agama Islam di Madrasah”. Jurnal el-Qudwah Volu me 1 Nomor 5.

Edisi April 2011.

Page 104: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor
Page 105: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor
Page 106: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor
Page 107: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor
Page 108: Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43103...Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor