56
ABSTRAK Banjir yang terjadi diakhir tahun 2003 yang lalu, merupakan salah satu peristiwa banjir yang tergolong cukup besar melanda beberapa kawasan daerah aliran sungai, lahan pertanian yang subur, pemukiman penduduk. Akibat lebih jauh lagi yaitu terjadinya degradasi lahan dan krisis hidrologis, hal ini dapat berarti bahwa DAS tersebut sudah tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai “Storage” (pengatur dan penyimpan) air di musim penghujan ataupun dimusim kemarau. Banjir dan kekeringan adalah masalah yang saling berkaitan dan datang susul menyusul, semua faktor yang menyebabkan kekeringan akan bergulir menyebabkan terjadinya banjir (Maryono, 2005). Lebih lanjut (Siswoko, 2002) menyatakan bahwa beberapa faktor menjadi penyebab masalah banjir yaitu adanya interaksi antara faktor penyebab yang bersifat alamiah, dalam hal ini kondisi dan peristiwa alam serta campur tangan manusia yang beraktivitas pada daerah pengaliran. Upaya yang dapat dilakukan untuk menekan terjadinya peristiwa banjir; untuk banjir yang Teknik PWK | Mitigasi Bencana Banjir 1

Mitigasi Bencana Doel

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Mitigasi Bencana Doel

ABSTRAK

Banjir yang terjadi diakhir tahun 2003 yang lalu, merupakan salah satu

peristiwa banjir yang tergolong cukup besar melanda beberapa kawasan daerah

aliran sungai, lahan pertanian yang subur, pemukiman penduduk. Akibat lebih

jauh lagi yaitu terjadinya degradasi lahan dan krisis hidrologis, hal ini dapat

berarti bahwa DAS tersebut sudah tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai

“Storage” (pengatur dan penyimpan) air di musim penghujan ataupun dimusim

kemarau.

Banjir dan kekeringan adalah masalah yang saling berkaitan dan datang

susul menyusul, semua faktor yang menyebabkan kekeringan akan bergulir

menyebabkan terjadinya banjir (Maryono, 2005). Lebih lanjut (Siswoko, 2002)

menyatakan bahwa beberapa faktor menjadi penyebab masalah banjir yaitu

adanya interaksi antara faktor penyebab yang bersifat alamiah, dalam hal ini

kondisi dan peristiwa alam serta campur tangan manusia yang beraktivitas pada

daerah pengaliran.

Upaya yang dapat dilakukan untuk menekan terjadinya peristiwa banjir;

untuk banjir yang disebabkan oleh curah hujan yaitu menjauhkan segala bentuk

kegiatan ( pemukiman, industri dan pusat pertumbuhan lainnya) dari daerah banjir

yang secara historis telah dipetakan berdasarkan data curah hujan setempat,

sedangkan untuk banjir akibat aktivitas manusia dan kerusakan lingkungan dapat

diupayakan dengan dua cara yaitu non teknik stuktural dan secara teknik

struktural

| Mitigasi Bencana Banjir 1

Page 2: Mitigasi Bencana Doel

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Sungai merupakan salah satu sumber air yang paling pokok yang

terdapat diatas permukaan tanah. Dalam rangka pembangunan pengairan

perlu dilakukan pembenahan terhadap sungai, guna mencari manfaat yang

sebesar-besarnya dalam memenuhi kebutuhan masyarakat sekitar.

Banjir merupakan permasalahan manusia diseluruh dunia karena

banjir dapat menimbulkan kerugian besar bahkan menimbulkan korban jiwa.

Di Indonesia dapat dikatakan setiap tahunnya masyarakat dilanda banjir baik

di kota-kota besar maupun di daerah yang sebagian besar masyarakat

bertempat tinggal di daerah dataran banjir

Fenomena banjir di daerah tropis khususnya Indonesia membawa

dampak negatif; akhir-akhir ini menimbulkan berbagai kerugian dari segi

kesehatan, kerugian harta benda, dan bahkan kehilangan nyawa penduduk.

Salah satu penyebab terjadinya banjir setiap tahun adalah meluapnya

air Sungai, hal ini disebabkan antara lain adalah kapasitas pengairan Sungai

sehingga tidak mampu mengalirkan debit banjir yang mengalir. Genangan banjir

akibat luapan air Sungai rata-rata mencapai tinggi 80 cm hingga 140 cm di areal

pemukiman, bahkan pada jalur jalan provinsi (arteri) tergenang dengan tinggi 40

cm, dengan intensitas genangan 3 sampai 5 jam. Untuk mengatasi hal ini perlu

penanganan yang serius dan perencanaan mantap guna pengendalian banjir. Perlu

diketahui bahwa yang kami maksud banjir adalah suatu aliran permukaan yang

dapat menyebabkan kerugian baik materi maupun kenyamanan masyarakat yang

disebabkan oleh ketidakmampuan saluran drainase atau sungai menerima debit

aliran sehingga terjadi limpasan

| Mitigasi Bencana Banjir 2

Page 3: Mitigasi Bencana Doel

.Penyebab terjadinya bencana banjir dan longsor sendiri secara umum

dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) hal, yakni :

(1) kondisi alam yang bersifat statis, seperti kondisi geografi, topografi, dan

karakteristik sungai,

(2) peristiwa alam yang bersifat dinamis, seperti : perubahan iklim

(pemanasan) global, pasang – surut, land subsidence, sedimentasi, dan

sebagainya, serta

(3) aktivitas sosial-ekonomi manusia yang sangat dinamis, seperti deforestasi

(penggundulan hutan), konversi lahan pada kawasan lindung,

pemanfaatan sempadan sungai/saluran untuk permukiman, pemanfaatan

wilayah retensi banjir, perilaku masyarakat, keterbatasan prasarana dan

sarana pengendali banjir dan sebagainya.

Peningkatan jumlah penduduk Indonesia mencapai 2,3 % per tahun

dan pertumbuhan populasi tersebut tidak sebanding dengan ketersediaan

lahan, ketersediaan lapangan kerja serta minimnya ketrampilan dan

rendahnya tingkat pendidikan. Hal ini mendorong masyarakat

mengeksploitasi sumberdaya alam melalui pembalakan hutan (forest

logging), pengurangan areal tegakan hutan (deforestasi) dan pembukaan lahan

pertanian baru yang intensif pada kawasan hulu daerah aliran sungai (DAS)

tanpa menggunakan kaidah konservasi mengakibatkan tanah rentan terhadap

erosi dan tanah longsor yang berperan mempercepat proses terjadinya banjir

di kawasan hilir DAS.

Perkembangan pemanfaatan ruang pada satuan-satuan wilayah sungai

di Indonesia telah berada pada kondisi yang mengkhawatirkan seiring dengan

meluasnya bencana yang terjadi, khususnya banjir yang dengan sendirinya

mengancam keberlanjutan pembangunan nasional jangka panjang. Berbagai

fenomena bencana, khususnya banjir yang terjadi secara merata di berbagai

wilayah di Indonesia pada dasarnya, merupakan indikasi yang kuat terjadinya

ketidakselarasan dalam pemanfaatan ruang, yakni : antara manusia dengan

kepentingan ekonominya dan alam dengan kelestarian lingkungannya.

inisiatif untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat cenderung diselenggarakan

| Mitigasi Bencana Banjir 3

Page 4: Mitigasi Bencana Doel

untuk memenuhi tujuan jangka pendek, tanpa memperhatikan kelestarian

lingkungan dan keberlanjutan pembangunan jangka panjang. Konversi lahan

dari kawasan lindung yang berfungsi menjaga keseimbangan tata air menjadi

kawasan budidaya (lahan usaha) guna meningkatkan Pendapatan Asli Daerah

(PAD) merupakan praktek pembangunan yang kerap terjadi. Selain itu,

aktivitas masyarakat yang bermukim di daerah sekitar pinggiran sungai

sangat memprihatinkan karena membuang sampah di bantaran sungai

sehingga mengakibatkan pendangkalan yang memicu potensi terjadinya

banjir

Dalam studi ini, kami mengambil sampel lokasi yaitu Mitigasi

Bencana Banjir Kabupaten Wajo Propinsi Sulawesi Selatan .

2. Rumusan Masalah

Berdasardasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka terdapat

masalah yang menjadi orientasi dalam makalah ini:

Apa yang menjadi penyebab sehingga Kab. Wajo berpotensi terjadinya

bencana banjir?

Apakah masyarakat Kab. Wajo sudah sadar dan peduli terhadap dampak

dari bencana banjir?

Apa peran Pemerintah Kab. Wajo dalam menangani potensi bencana banjir

yang mungkin terjadi?

Apakah Kab. Wajo dalam melakukan perencanaan sudah berbasis Mitigasi

Bencana Alam?

Bagaimana cara dan metode dalam mengatasi masalah banjir?

3. Tujuan dan Sasaran

a. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah yang tertera di atas maka tujuan dari

pembuatan tugas ini adalah:

| Mitigasi Bencana Banjir 4

Page 5: Mitigasi Bencana Doel

Untuk mengetahui penyebab Kab. Wajo berpotensi terjadi bencana

banjir.

Untuk mengetahui apakah masyarakat Kab. Wajo sudah sadar akan

dampak dari bencana banjir.

Untuk mengetahui peran pemerintah Kab. Wajo dalam menangani

potensi bencana banjir.

Untuk mengetahui apakah Kab. Wajo sudah melakukan perencanaan

yang berbasis mitigasi bencana alam.

b. Sasaran

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka sasaran yang

ingin dicapai melalui makalah ini adalah sbb:

Kita mampu menentukan kawasan-kawasan yang memiliki tingkat

kerentanan cukup tinggi jika bencana banjir melanda Kab. Wajo.

Pemerintah dapat menjadikan makalah ini sebagai bahan pertimbangan

dalam mengatasi dan mengantisipasi masalah banjir di Kab. Wajo.

| Mitigasi Bencana Banjir 5

Page 6: Mitigasi Bencana Doel

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengertian

Bencana Alam

Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh

peristiwa atau serangkaian peristiwa yang di sebabkan

oleh alam, antara lain berupa gempa bumi, longsor,

tsunami, gunung meletus, dan lain-lain.

Banjir

Banjir adalah air yang menggenangi wilayah daratan sehingga

menghambat berbagai macam kegiatan dan biasanya mendatangkan

kerugian baik manusia maupun materi.

Kawasan Rawan Bencana

Kawasan rawan bencana adalah kawasan lindung atau

kawasan budidaya yang meliputi zona-zona yang

berpotensi terjadi banjir.

Kerentanan

Banjir adalah peristiwa terbenamnya daratan oleh air. Peristiwa banjir

timbul jika air menggenangi daratan yang biasanya kering. Banjir pada

umumnya disebabkan oleh air sungai yang meluap ke lingkungan sekitarnya

sebagai akibat curah hujan yang tinggi. Kekuatan banjir mampu merusak

rumah dan menyapu fondasinya. Air banjir juga membawa lumpur berbau

yang dapat menutup segalanya setelah air surut. Banjir adalah hal yang rutin.

Setiap tahun pasti datang. Banjir, sebenarnya merupakan fenomena kejadian

alam "biasa" yang sering terjadi dan dihadapi hampir di seluruh negara-

| Mitigasi Bencana Banjir 6

Page 7: Mitigasi Bencana Doel

negara di dunia, termasuk Indonesia. Banjir sudah temasuk dalam urutan

bencana besar, karena meminta korban besar.

2. Aturan Hukum

Banjir yang terjadi disuatu daerah atau kota tidak

terlepas dari penyimpangan tata guna lahan dan lingkungan

di daerah tersebut. Menyikapi hal tersebut maka telah dibuat

berbagai produk hukum mengenai bencana Banjir dan

perencanaan wilayah.

1. Berdasarkan UU No. 24/1992 pengertian penataan ruang tidak hanya

berdimensi perencanaan pemanfaatan ruang saja, namun lebih dari itu

termasuk dimensi pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang

2. Pasal 3 ayat 4 UU Penataan ruang (UU No 24/1992), yang menegaskan

bahwa tujuan penataan ruang antara lain adalah untuk mewujudkan

perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta menanggulangi dampak

negatif terhadap lingkungan

3. Penyebab Terjadinya Banjir

Fenomena banjir menjadi pandangan publik yang menyedihkan,

banjir dapat terjadi kapan dan dimana saja, untuk dapat mengidentifikasi

resiko banjir yang berpengaruh pada manusia dan lingkungan perlu diketahui

penyebab terjadinya. Banjir dan kekeringan adalah masalah yang saling

berkaitan dan datang susul menyusul, semua faktor yang menyebabkan

kekeringan akan bergulir menyebabkan terjadinya banjir (Maryono, 2005).

Lebih lanjut (Siswoko, 2002) menyatakan bahwa beberapa faktor penyebab

banjir yaitu adanya interaksi antara faktor penyebab bersifat alamiah, dalam

hal ini kondisi dan peristiwa alam serta campur tangan manusia yang

beraktivitas pada daerah pengaliran.

Secara umum, penyebab terjadinya banjir adalah sebagai berikut.

Penebangan hutan secara liar tanpa disertai reboisasi,

| Mitigasi Bencana Banjir 7

Page 8: Mitigasi Bencana Doel

Pendangkalan sungai,

Pembuangan sampah yang sembarangan, baik ke aliran sungai mapupun

gotong royong,

Pembuatan saluran air yang tidak memenuhi syarat,

Pembuatan tanggul yang kurang baik,

Air laut, sungai, atau danau yang meluap dan menggenangi daratan

.Menurut Siswoko (1996), menjelaskan bahwa hal yang

menyebabkan banjir adalah :

Aktifitas tataguna lahan dengan tidak memperhatikan kaidah-kaidah

konservasi tanah dan air sehingga berakhir dengan kerusakan hutan dan

pemadatan tanah, akibatnya mempengaruhi kemampuan tanah dalam

meloloskan air (infiltrasi) yang mempercepat proses terjadinya banjir

Pemanfaatan atau penyedotan air tanah yang berlebihan

Pembendungan melintang daerah pengaliran tampa memperhitungkan

dampaknya

Pemukiman dan pengolahan lahan pertanian di daerah dataran banjir

Pendangkalan daerah pengaliran akibat sediment dan sampah

Kesalahan perencanaan dan implementasi pembangunan kawasan dan

pemeliharaan sarana dan prasarana pengendali banjir

Menurut Lee (1980) dalam Subagio (1990), pengaruh penutupan

hutan terhadap banjir dan kurasakan akibat banjir berkaitan dengan sedimentasi

dan debit kotoran, khususnya kerusakan akibat erosi dan pendangkalan sungai.

Menurut Schwab, dkk (1997), menyatakan pengaruh faktor daerah

tangkapan air seperti ukuran, bentuk, posisi, topografi, geologi dan budidaya

pertanian menentukan terjadinya banjir. Laju dan volume banjir suatu daerah

tangkapan air meningkat bila ukuran daerah juga meningkat; akan tetapi laju

dan volume banjir persatuan luas daerah tangkapan air berkurang jika luas

daerah banjir bertambah

| Mitigasi Bencana Banjir 8

Page 9: Mitigasi Bencana Doel

Menurut Sosrodarsono (2003), bahwa selain karena faktor daerah

tangkapan air, banjir juga dipengaruhi oleh karakteristik jaringan sungai,

daerah pengaliran yang tidak langsung dan drainase buatan

\

4. Ciri-ciri Banjir

Bencana banjir memiliki ciri-ciri dan akibat sebagai berikut.

Banjir biasanya terjadi saat hujan deras yang turun terus menerus

sepanjang hari.

Air menggenangi tempat-tempat tertentu dengan ketinggian tertentu.

Banjir dapat mengakibatkan hanyutnya rumah-rumah, tanaman, hewan,

dan manusia.

Banjir mengikis permukaan tanah sehingga terjadi endapan tanah di

tempat-tempat yang rendah.

Banjir dapat mendangkalkan sungai, kolam, atau danau.

Sesudah banjir, lingkungan menjadi kotor oleh endapan tanah dan sampah.

Banjir dapat menyebabkan korban jiwa, luka berat, luka ringan, atau

hilangnya orang.

Banjir dapat menyebabkan kerugian yg besar baik secara moril maupun

materiil

.

| Mitigasi Bencana Banjir 9

Page 10: Mitigasi Bencana Doel

BAB III

PEMBAHASAN

1. Gambaran Umum Lokasi

1.1 Makro Provinsi Sulawesi Selatan

Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan, terletak antara 0°

lintang selatan dan 8° lintang selatan serta antara 116° - 122° bujur timur;

berbatasan di sebelah utara dengan Propinsi Sulawesi Tengah, di sebelah

timur dengan Teluk Bone, di sebelah selatan dengan Laut Flores, dan di

sebelah barat dengan Selat Makassar.

Wilayah Propinsi Sulawesi Selatan mencakup areal seluas

62.482 kilometer persegi. Tata guna lahan pada tahun 1990 meliputi areal

hutan seluas 28.792 kilometer persegi atau 46,1 persen,

Propinsi Sulawesi Selatan merupakan wilayah semenanjung

yang berbukit-bukit yang membentang dari bagian utara ke bagian selatan

dengan ketinggian antara 500 - 1.000 meter lebih di atas permukaan laut.

Antara bentangan tersebut terhampar dataran rendah yang potensial untuk

pertanian dan pertambakan. Wilayah ini memiliki empat buah danau dan

sejumlah sungai yang cukup besar serta beberapa waduk dan perairan

umum yang cukup luas yang mengelilingi sebagian besar wilayah

Sulawesi Selatan. Selain itu propinsi ini mempunyai sejumlah pulau besar

dan pulau kecil. Iklim Sulawesi Selatan termasuk tropis basah yang

dipengaruhi angin musim barat dan angin musim timur sehingga curah

hujan cukup tinggi yang merata setiap tahunnya dan volume curah hujan

beragam antara 1.000 - 2.500 milimeter. Suhu udara bervariasi antara 24°

Celsius - 33° Celsius. Propinsi Sulawesi Selatan mempunyai ciri sebagai

kawasan yang rawan terhadap bencana, antara lain erosi tanah, banjir,

dan kebakaran hutan.

| Mitigasi Bencana Banjir 10

Page 11: Mitigasi Bencana Doel

Lahan di Propinsi Sulawesi Selatan sebagian besar telah

dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian, pertambangan, dan industri.

Selain itu, di propinsi tersebut masih terdapat potensi yang cukup besar

untuk pengembangan kehutanan, perikanan darat, perikanan laut, dan

pertambangan bahan galian yang belum secara optimal dikembangkan.

Pada tahun 1990 penduduk Propinsi Sulawesi Selatan

berjumlah 6.996.600 jiwa, dengan kepadatan penduduk 112 jiwa per

kilometer persegi. Daerah tingkat II yang terpadat penduduknya adalah

Kotamadya Ujung Pandang dengan kepadatan 5.397 jiwa per kilometer

persegi, sedangkan yang terendah adalah Kabupaten Mamuju dengan

kepadatan 16 jiwa per kilometer persegi. Jumlah penduduk yang

tinggal di kawasan perkotaanmencapai 1.686.076 jiwa atau 24,1 persen

dari jumlah penduduk Propinsi Sulawesi Selatan.

Pada tahun 1990 penduduk usia kerja (10 tahun ke atas) di

propinsi ini berjumlah 5.318.619.orang (76,20 persen). Dari jumlah

tersebut yang masuk ke dalam angkatan kerja sebanyak 2.618.888 orang

dan angkatan kerja yang bekerja berjumlah 2.456.731 orang. Dari seluruh

angkatan kerja yang bekerja tersebut, sebagian besar terserap di sektor

pertanian (58,6 persen). Sisanya terserap di berbagai sektor lainnya, yaitu

industri (10,2 persen) dan jasa (31,2 persen).

Propinsi Sulawesi Selatan memiliki kekayaan budaya yang

beraneka ragam dalam bentuk seni, budaya dan bahasa. Masyarakat

Sulawesi Selatan terdiri atas berbagai suku, antara lain Bugis, Makassar,

Toraja, dan Mandar yang masing-masing memiliki kebudayaan dan adat

istiadat sendiri. Penduduk Sulawesi Selatan sebagian besar beragama Islam

(86,63 persen), sedangkan selebihnya beragama Kristen (8,93 persen), dan

beragama lainnya (1,61 persen).

| Mitigasi Bencana Banjir 11

Page 12: Mitigasi Bencana Doel

Secara administratif, Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan terdiri

atas 21 kabupaten daerah tingkat II, yaitu Kabupaten Selayar, Bulu Kumba,

Bantaeng, Jeneponto, Takalar, Gowa, Sinjai, Bone, Maros, Pangkajene

Kepulauan, Barru, Soppeng, Wajo, Sidrap, Pinrang, Enrekang, Luwu,

Tana Toraja, Polmas, Majene dan Mamuju, serta dua kotamadya daerah

tingkat II, yakni Kotamadya Ujung Pandang dan Kotamadya Pare Pare.

Dalam wilayah Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan terdapat dua kota

administratif, yaitu Watampone dan Palopo, 185 wilayah kecamatan, serta

1.886 desa dan kelurahan

1.2 Makro Wilayah Kab. Wajo

Kabupaten Wajo dengan ibu kotanya Sengkang, terletak

dibagian tengah propinsi Sulawesi Selatan dengan jarak 242 km dari

ibukota provinsi, memanjang pada arah laut Tenggara dan terakhir

| Mitigasi Bencana Banjir 12

Page 13: Mitigasi Bencana Doel

merupakan selat, dengan posisi geografis antara 3º 39º - 4º 16º LS dan

119º 53º-120º 27 BT.

Adapun Batas Batas wilayah Kabupaten Wajo adalah sebagai

berikut :

Sebelah Utara : Kabupaten Luwu dan Kabupaten Sidrap

Sebelah Selatan : Kabupaten Bone dan Soppeng,

Sebelah Timur : Teluk Bone

Sebelah Barat : Kabupaten Soppeng dan Sidrap

Luas wilayahnya adalah 2.506,19 Km² atau 4,01% dari luas

Propinsi Sulawesi Selatan dengan rincian Penggunaan lahan terdiri dari

lahan sawah 86.297 Ha (34,43%) dan lahan kering 164.322 Ha (65,57%).

Jumlah penduduk dalam periode 5 tahun terakhir memperlihatkan

adanya kecendrungan mengalami peningkatan dengan laju pertumbuhan

penduduk pertahun rata-rata 0,88%. hal itu dapat di lihat pada akhir 2004

tedapat 367.498 jiwa dan menjadi 380,521 jiwa pada akhir tahun 2008.

Persebaran penduduk, jumlah penduduk yang sebanyak itu tersebar pada

14 Kecamatan atau 128 desa dan 48 kelurahan; dengan kepadatan

penduduk perkilo meter persegi sekitar 152 jiwa.

Masing-masing wilayah kecamatan tersebut mempunyai potensi

sumber daya alam dan sumber daya manusia yang berbeda meskipun

perbedaan itu relatif kecil, sehingga pemanfaatan sumber-sumber yang ada

relatif sama untuk menunjang pertumbuhan pembangunan di wilayahnya.

Topografi di Kabupaten Wajo mempunyai kemiringan lahan

cukup bervariasi mulai dari datar, bergelombang hingga berbukit.

Sebagian besar wilayahnya tergolong datar dengan kemiringan

lahan/lereng 0 – 2 % luasnya mencapai 212,341 Ha atau sekitar 84 %,

sedangkan lahan datar hingga bergelombang dengan kemiringan / lereng 3

– 15 % luas 21,116 Ha (8,43%), lahan yang berbukit dengan kemiringan /

| Mitigasi Bencana Banjir 13

Page 14: Mitigasi Bencana Doel

lereng diatas 16 – 40 % luas 13,752 Ha (5,50 %) dan kemiringan lahan

diatas 40 % (bergunung) hanya memiliki luas 3,316 Ha (1,32%).

Secara morfologi, Kabupaten Wajo mempunyai ketinggian lahan

di atas permukaan laut (dpl) dengan perincian sebagai berikut :

1). 0 – 7 meter, luas 57,263 Ha atau sekitar 22,85 %

2). 8 – 25 meter, luas 94,539 Ha atau sekitar 37,72 %

3). 26 – 100 meter, luas 87,419 Ha atau sekitar 34,90 %

4). 101 – 500 meter, luas 11,231 Ha atau sekitar 4,50 % dan ketinggian

diatas 500 meter luasnya hanya 167 Ha atau sekitar 0,66 %.

Tata Guna Lahan di Kabupaten Wajo secara umum terdiri atas

sawah, perkebunan, perumahan, tambak, fasilitas sosial, fasilitas ekonomi

dan lahan kosong. Pergeseran pemanfaatan lahan di wilayah Kabupaten

Wajo secara umum belum mengalami perubahan yang cukup drastis hanya

beberapa bagian kawasan strategis di wilayah perkotaan cepat tumbuh

akibat terjadinya peningkatan pembangunan jumlah unit perumahan dan

pengadaan sarana prasarana umum.

1.3 Mikro Wilayah Kecamatan Tempe

Kecamatan Tempe dengan ibu kotanya Sengkang, terletak dibagian

tengah Kabupaten Wajo yang merupakan Ibukota dari kabupaten Wajo

yang mempunyai Luas Wilayah 38,27 km² atau 1,53 % dari luas

keseluruhan wilayah Kabupaten Wajo.

Adapun Batas Batas wilayah Kecamatan Tempe adalah sebagai

berikut :

Sebelah Utara : Kecamatan Tanasitolo dan Kabupaten Sidrap

Sebelah Selatan : Kecamatan Sabbangparu dan Kecamatan Pammana

| Mitigasi Bencana Banjir 14

Page 15: Mitigasi Bencana Doel

Sebelah Timur : Kecamatan Pitumpanua

Sebelah Barat : Kabupaten Soppeng dan Kabupaten Sidrap

Adapun jumlah penduduk dari kecamatan Tempe adalah 60.970

jiwa yang terdiri dari 13.770 Kepala Keluarga yang terdiri dari rata-rata

anggota keluarga sebanyak 4 orang.

Topografi di Kecamatan Tempe mempunyai kemiringan lahan

cukup bervariasi mulai dari datar, bergelombang hingga berbukit.

Sebagian besar wilayahnya tergolong datar dengan kemiringan

lahan/lereng 0 – 2 %

Menurut Iklim Kecamatan Tempe tergolong beriklim tropis

yang termasuk type B dan Type C dengan suhu diantara 29 °C- 31°5 C

atau rata-rata 29° C pada siang hari. Daerah ini mengalami 2 musim yaitu

musim hujan dan musim kemarau.

Musim hujan setiap tahunnya berlangsung agak pendek yaitu

rata-rata 3 bulan pada bulan April sampai dengan bulan Juli kecuali bagian

utara yaitu di Kecamatan Pitumpanua musim hujan mirip dengan

Kabupaten Luwu, bulan-bulan selanjutnya adalah lembab dan musim

kemarau terjadi pada bulan Juli sampaidengan bulan Oktober. Curah hujan

rata-rata 3000 mm dengan 120 hari hujan.

Menurut peta ekspolorasi Sulawesi Selatan, jenis tanah

Kecamatan Tempe terdiri dari Alluvial : Jenis tanah ini tersebar di seluruh

Kecamatan di Kabupaten wajo.

| Mitigasi Bencana Banjir 15

Page 16: Mitigasi Bencana Doel

2. Karakteristik Wilayah

2.1 Kondisi Fisik Umum Kab. Wajo

Kabupaten Wajo mempunyai luas 2.506,19 Km atau 250.619

Ha atau 4,01 persen dari luas wilayah Propinsi Sulawesi Selatan, terletak

diantara 3° 39'-4°16' LS dan 119° 53'-120 27' BT.

Menurut pembagian daerah administrasi pemerintahan,

Kabupaten Wajo terbagi atas 14 Wilayah Kecamatan dan yang terdiri dari

131 Desa, 45 Kelurahan. Ibu Kota ialah Sengkang terletak di Kecamatan

Tempe. Batas-batas wilayah ini :

Sebelah Utara : Kabupaten Luwu dan Kabupaten Sidrap

Sebelah Selatan : Kabupaten Bone dan Soppeng,

Sebelah Timur : Teluk Bone

Sebelah Barat : Kabupaten Soppeng dan Sidrap

Dilihat dari topografi Kabupaten Wajo terletak di tengah-

tengah Propinsi Sulawesi Selatan dan berdasarkan topografi Sulawesi

Selatan yang dibagi atas 3 zone yaitu zone utara, zone tengah dan zone

selatan , maka Kabupaten Wajo terletak pada zone tengah yang merupakan

suatu depressi yang memanjang pada arah laut tenggara dan terakhir

merupakan selat.

Menurut Iklim Kabupaten Wajo tergolong beriklim tropis yang

termasuk type B dan Type C dengan suhu diantara 29 °C- 31°5 C atau

rata-rata 29° C pada siang hari. Daerah ini mengalami 2 musim yaitu

musim hujan dan musim kemarau.

Musim hujan setiap tahunnya berlangsung agak pendek yaitu

rata-rata 3 bulan pada bulan April sampai dengan bulan Juli kecuali bagian

utara yaitu di Kecamatan Pitumpanua musim hujan mirip dengan

Kabupaten Luwu, bulan-bulan selanjutnya adalah lembab dan musim

|Mitigasi Bencana Banjir 16

Page 17: Mitigasi Bencana Doel

kemarau terjadi pada bulan Juli sampaidengan bulan Oktober. Curah hujan

rata-rata 3000 mm dengan 120 hari hujan

Menurut peta geologi Indonesia, Kabupaten Wajo terdiri dari 3

jenis batuan lidah, yaitu batuan vulkanik, sedimen dan batuan pluton.

Menurut peta ekspolorasi Sulawesi Selatan, jenis tanah

Kabupaten Dati II Wajo terdiri dari :

Alluvial : Jenis tanah ini tersebar di seluruh Kecamatan

Clay : Jenis tanah ini terdapat pada Kecamatan Pammana dan

Takkalalla.

Podsolik : Jenis tanah ini terdapat pada Kecamatan

Maniangpajo,Tanasitolo, Tempe, Sajoanging, Majauleng, Belawa

dan Pitumpanua.

Mediteran : Jenis tanah ini terdapat pada Kecamatan Tempe,

Tanasitolo,Maniangpajo, Pammana dan Belawa.

Grumosol : Jenis tanah ini terdapat di Kecamatan Sabbangparu dan

Pammana.

2.2 Sumber Daya Alam Kab. Wajo

1. Sektor Pertanian

Berbagai komoditi sektor pertanian tanaman pangan dan

holtikultura sebagai potensi yang berprospek untuk dikembangkan

dalam rangka penanaman modal asing (PMA) maupun Penanaman

Modal Dalam Negeri (PMDN) untuk tujuan ekspor dan pemenuhan

komoditas dalam negeri. Pemanfaatan lahan pertanian (sawah,

tegalan dan kebun) secara optimal untuk tanaman padi, jagung, dan

buah-buahan diharapkan dapat meningkatkan produksi dan

pendapatan disektor ini. Untuk mengembangkan komoditas tersebut

para investor memiliki peluang kerjasama dengan petani baik dalam

penyediaan saprodi, budidaya, maupun pemasarannya.

|Mitigasi Bencana Banjir 17

Page 18: Mitigasi Bencana Doel

Sektor pertanian yang tergolong besar, dibagi menjadi lima sub

sektor:

1. Tanaman Bahan Makanan (Tabama) meliputi tanaman padi dan

palawija.

2. Perkebunan meliputi seluruh jenis tanaman perkebunan.

3. Peternakan yang meliputi seluruh jenis peternakan.

4. Kehutanan yang meliputi seluruh jenis kegiatan kehutanan.

5.Perikanan yang meliputi seluruh jenis kegiatan perikanan.

Diantara kelima sub sektor, sub sektor Tabama memiliki

kontribusi terbesar terhadap pembentukan PDRB secara keseluruhan

di Kabupaten Wajo. Pada tahun 2007, dari 41,57 persen nilai tambah

bruto yang berasal dari Sektor Pertanian, terdiri dari 28,04 persen dari

sub sektor Tabama; 2,37 persen dari sub sektor perkebunan; 2,15

persen dari sub sektor peternakan; 0,03 persen dari sub kehutanan; dan

8,98 persen dari sub sektor perikanan. Keadaan seperti itu relatif

hampir sama setiap tahun pada tahun-tahun sebelumnya.

2. Sektor Perikanan

Potensi sub sektor perikanan terdiri dari berbagai jenis

produk penangkapan ikan laut dan perikanan darat yang tersebar di

Empat belas kecamatan di Kabupaten Wajo. Produksi dari perikanan

darat dihasilkan dari beberapa tempat usaha, seperti danau (1.760

Hektar), rawa (740 Hektar), tambak (1.795 Hektar), kolam (201

Hektar) serta sawah (72 Hektar).

3. Objek Wisata

A. Danau Tempe

Danau Tempe adalah salah satu obyek wisata di

Sulawesi Selatan yangbanyak dikunjungi wisatawan, baik

|Mitigasi Bencana Banjir 18

Page 19: Mitigasi Bencana Doel

domestik maupun mancanegara. Danauyang luasnya 13.000

hektar ini, jika dilihat dari ketinggiantampak bagaikan sebuah

baskom raksasa. Danau ini menjadi sumberpenghidupan, mencari

ikan, tidak hanya bagi masyarakat KabupatenWajo, tapi juga

sebagian masyarakat Kabupaten Soppeng dan Sidrap.

Disepanjang tepi danau, tampak perkampungan nelayan

bernuansa Bugisberjejer menghadap ke arah danau.

Keistimewaan Danau Tempe merupakan penghasil ikan air tawar

terbesar di dunia, karena dasar danau ini menyimpan banyak

sumber makanan ikan. Selain itu, danau ini juga memiliki spesies

ikan tawar yang tidak dapatditemui di tempat lain. Hal ini

diperkirakan karena letak danauini berada tepat di atas lempengan

Benua Australia dan Asia.

Ditengah-tengah Danau Tempe, tampak ratusan rumah

terapung milik nelayanyang berjejer dengan dihiasi bendera yang

berwarna-warni. Dariatas rumah terapung itu, wisatawan dapat

menyaksikan terbit danterbenamnya matahari di satu posisi yang

sama, serta menyaksikanberagam satwa burung, bunga-bungaan,

dan rumput air yang terapung diatas permukaan air. Di malam

hari, para pengunjung dapatmenyaksikan indahnya rembulan

yang menerangi Danau Tempe sambilmemancing ikan.

Disetiap tanggal 23 Agustus diadakan festival laut atau

juga sering disebut Maccera Tappareng (mensucikan danau) yang

ditandai denganpemotongan sapi yang dipimpin oleh ketua

nelayan setempat. Dalam acaraini, para pengunjung dapat

menyaksikan berbagai atraksi wisata yangsangat menarik, seperti

lomba perahu tradisional, perahu hias,permainan rakyat

(misalnya, lomba layangan), pemilihan ana? dara(gadis) dan

kallolona (pemuda) Tanah Wajo, padendang (menabuh

lesung),pagelaran musik tradisional dan tari bissu yang dimainkan

olehpara waria, dan berbagai pagelaran tradisional lainnya.

|Mitigasi Bencana Banjir 19

Page 20: Mitigasi Bencana Doel

Pelaksanaan festival ini dimaksudkan agar nuansa kekeluargaan

danpersatuan antar sesama nelayan tetap terjaga dengan prinsip ?

3-S?,yaitu Sipakatau, Sipakainge, dan Sipakalebbi (saling

menyegani, salingmenasehati, dan saling menghargai). Dengan

menyaksikan festival ini,para pengujung dapat mengetahui

tentang kebudayaan masyarakat Bugis diSulawesi Selatan,

khususnya Bugis Wajo. Lokasi Danau Tempe terletak di

Kecamatan Tempe, Kabupaten Wajo, Provinsi Sulawesi Selatan.

Akses Danau ini terletak 7 km dari Kota Sengkang, ibukota

Kabupaten Wajo.Untuk mencapai tempat ini, dari Kota Sengkang

ke Sungai Walennae dapatditempuh melalui jalur darat dengan

menggunakan mobil pete-pete(mikrolet). Dari Sungai Walennae

menuju ke Danau Tempe ditempuh selama30 menit dengan

menggunakan perahu motor atau katinting, denganbiaya sekitar

Rp. 50.000,- hingga Rp. 75.000,- per-orang.

B. Sentra Kerajinan Sutra

Wajo adalah salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan

yang terkenalsebagai daerah penghasil kain sutra Bugis yang

cukup potensial.Di daerah ini terdapat sekitar 4.982 orang perajin

gedokandengan jumlah produksi sekitar 99.640 sarung per tahun

dan perajin Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) berjumlah 227

orangdengan produksi sekitar 1.589.000 meter kain sutra

pertahun.Khusus untuk pemintal benang sutra sebanyak 91 orang,

sedangkan301 kepala keluarga bergerak dibidang penanaman

murbei danpemeliharaan ulat sutra dengan produksi 4.250

kilogram benang pertahun. Para perajin sutra di daerah ini

membutuhkan bahan baku benangsutra sekitar 200 ton atau

sekitar 200.000 kilogram per tahun.Oleh karena bahan baku dari

Wajo tidak mencukupi, maka para perajin membeli bahan dari

kabupaten tetangga seperti, Soppeng, Sidrap, Enrekang, dan

|Mitigasi Bencana Banjir 20

Page 21: Mitigasi Bencana Doel

bahkan diimpor dari Cina dan Thailand. Ada tiga bentukdan

corak kain sutra yang diproduksi, yaitu: kain setengah jadi(seperti

sarung, baju, dan selendang); kain berbentuk gulungan yangdapat

dibeli permeter sesuai dengan kebutuhan; dan pakaian siappakai

(seperti: baju, jas, kerudung, kipas, dompet, dan tempat peralatan

rias wajah). Kain-kain sutra tersebut tidak hanya dipasarkan di

Sengkang dan Makassar,tetapi juga ke beberapa kota di Pulau

Jawa, seperti Cirebon,Pekalongan, Solo dan Yogyakarta. Bahkan

telah menjadiproduk ekspor dan menjadi incaran banyak desainer

terkenal.Harganya pun bervariasi, yakni ditentukan oleh motif

dan kualitaskain. Untuk bahan sutra dengan motif paye untuk

ukuran satu setelpakaian wanita harganya berkisar antara Rp.

600.000,00 - Rp.700.000,00, sedangkan untuk motif yang

bergaris harganya berkisarantara Rp. 450.000,00 - Rp. 500.000,00

per setel. Jika kain sutra itutanpa motif apa pun alias polos,

harganya berkisar antara Rp.300.000,00 - Rp. 350.000,00 per

setel.

Keistimewaan Sentra kerajinan sutra di Wajo

menyediakan berbagai macam motif kain sutra dan berkualitas

tinggi. Motif kain sutra produksi daerah iniada dua macam, yaitu

motif tradisional dan non-tradisional. Motif tradisional atau yang

lebih dikenal dengan motif Bugis ini terdiri darimotif sobbi,

balorinni, baliare, cobo, sertamotif yang menyerupai ukiran-

ukiran Toraja. Sedangkan motifnon-tradisional, ada yang

berbentuk batik, bergaris-garis dan payet.

Untuk memperoleh kain sutra yang berkualitas tinggi,

benang lokal dan impor tersebut dipadukan menjadi satu dan

diolah dalam beberapa tahap.Pertama, kedua macam benang

tersebut dimasak dengansabun dan soda sekitar 1 jam dalam suhu

90 derajat. Tahapselanjutnya, kain tersebut dijemur selama 3 jam

dengan suhu 50 derajat. Setelah itu, benang tersebut siap dipasang

|Mitigasi Bencana Banjir 21

Page 22: Mitigasi Bencana Doel

di mesin tenun dandiolah menjadi kain. Satu kilogram benang lusi

dapat menghasilkan sekitar 40 meter kain, dan satu kilogram

pakan dapat menghasilkan 12 meter kain. Uniknya, semua proses

penenun dilakukan di kolong-kolong rumah mereka.

Lokasi

Sentraproduksi kain sutra di Kabupaten Wajo tersebar di

beberapa kecamatan,seperti di Kecamatan Tempe, Tana Sitolo,

Sabbang Paru, Pamana, dan Saijoangin.

Akses KabupatenWajo terletak sekitar 242 kilometer di

sebelah timur laut KotaMakassar. Perjalanan dari Kota Makassar

menuju ke lokasi dapatditempuh selama kurang lebih 5 - 6 jam

dengan menggunakan kendaraanpribadi maupun angkutan umum

antar kota.

2.3 Sosial Budaya Masyarakat Kab. Wajo

Masyarakat Wajo sebagaimana Bugis pada umumnya

merupakan pemeluk Agama Islam, bahkan di kenal dengan predikat kota

Santri dimana tempat berdirinya sebuah pasantren dan perguruan tinggi

Islam As'adiyah yang di dirikan Oleh K.H. Muhammad As'ad pada Tahun

1930 M/1348 H.Dari Pasantren dan Perguruan Tinggi Islam ini telah

banyak di hasilkan kader ulama yang sudah tersebar di seluruh Indonesia.

Atraksi Pernikahan Bugis

Adat pernikahan Bugis khususnya keluarga bangasawan

merupakan salah satu acara yang cukup menarik untuk di saksikan. Dalam

prosesi pernikahan dapat di saksikan dalam acara malam mappacci yaitu

rangkain pernikahan yang di laksanakan daun pacar (mappacci ) di atas

telapak tangan calon pengantin oleh sanak keluarga sebagai bentuk

pengsucian dan doa restu mappanre lebbe yaitu prosesi pengkhataman

|Mitigasi Bencana Banjir 22

Page 23: Mitigasi Bencana Doel

alqur’an Mallawa botting yaitu proses penyambutan calon pengantin laki-

laki oleh warga calon pengantin perempuan yang bermakna bahwa

menempuh kehidupan berumah tangga di butuhkan kerja keras dan

perjuangan.

Tari Bissu juga di adakan di saat maduppa botting

(menyambung pengantin, sebagai ungkapan permohonan doa restu dari

Tuhan Yang Maha kuasa : Matuddu ‘ Umpasikati, yaitu memecah periu

utama yang berisi telur, daun sirih dan buah pinang : Majjulekka

Umpatalaga / Uluh Tedong yaitu kepala kerbau yang di bungkus kain

putih di atas talang ( baki) / dalam bambu persegi empat ( Lawasoji ) yang

bermakna membuang sifat kebinatangan atau sifat buruk : Mappasiu yaitu

memercikkan air yang berisi berbagai ramuan yang bermakna penolak

bala dan pengaruh sifat jahat : Mappasilellung Botting, yaitu pengantin

pria mendekati pengantin perempuan yang bermakna agar terbina

keakraban dan saling memahami di antara ke dua mempelai . Antraksi ini

biasanya dapat di saksikan pada acara pernikahan keluarga bangsawan

atau pada acara festifal Danau Tempe.

Kebesaran tanah Wajo pada masa dahulu, termasuk

kemajuannya di bidang pemerintahan, kepemimpinan, demokrasi dan

jaminan terhadap hak-hak raknyatnya. Adapun konsep pemerintahan

adalah :

1. Kerajaan

2. Republik

3. Federasi, yang belum ada duanya pada masa itu

Hal tersebut semuanya ditemukan dalam LONTARAK

SUKKUNA WAJO. Sebagaimana yang diungkapkan bahwa beberapa

nama pada masa Kerajaan Wajo yang berjasa dalam mengantar Tana

Wajo menuju kepada kebesaran dan kejayaan antara lain :

1. LATADAMPARE PUANGRIMAGGALATUNG

2. PETTA LATIRINGENG TO TABA ARUNG SIMETTENGPOLA

3. LAMUNGKACE TOADDAMANG

|Mitigasi Bencana Banjir 23

Page 24: Mitigasi Bencana Doel

4. LATENRILAI TOSENGNGENG

5. LASANGKURU PATAU

6. LASALEWANGENG TO TENRI RUA

7. LAMADDUKKELLENG DAENG SIMPUANG, ARUNG SINGKANG

8. LAFARIWUSI TOMADDUALENG

Dan masih banyak lagi nama-nama yang berjasa di Tanah

Wajo yang menjadi peletak dasar kebesaran dan kejayaan Wajo. Beberapa

versi tentang kelahiran Wajo, yakni :

1. Versi Puang Rilampulungeng

2. Versi Puang Ritimpengen

3. Versi Cinnongtabi

4. Versi Boli

5. Versi Kerajaan Cina

6. Versi masa Kebataraan

7. Versi masa ke Arung Matoa-an

Dari versi tersebut, disepakati yang menjadi tahun dari pada

Hari Jadi Wajo ialah versi Boli, yakni pada waktu pelantikan Batara Wajo

pertama LATENRI BALI Tahun 1399, dibawah pohon besar (pohon

Bajo). Tempat pelantikan sampai sekarang masih bernama Wajo-Wajo, di

daerah Tosora Kecamatan Majauleng.

Terungkap bahwa, pada mulanya LATENRI BALI bersama

saudaranya bernama LATENRI TIPPE secara berdua diangkat sebagai

Arung Cinnongtabi, menggantikan ayahnya yang bernama LAPATIROI.

Akan tetapi dalam pemerintahannya, LATENRI TIPPE sering berbuat

sewenang-wenang terhadap rakyatnya yang diistilahkan

”NAREMPEKENGNGI BICARA TAUWE”, maka LATENRI BALI

mengasingkan dirinya ke Penrang (sebelah Timur Tosora) dan menjadi

Arung Penrang. Akan tetapi tak lama kemudian dia dijemput rakyatnya

dan diangkat menjadi Arung Mata Esso di Kerajaan Boli. Pada upacara

pelantikan dibawah pohon Bajo, terjadi perjanjian antara LATENRI BALI

dengan rakyatnya dan diakhiri dengan kalimat ”BATARAEMANI TU

|Mitigasi Bencana Banjir 24

Page 25: Mitigasi Bencana Doel

MENE’ NA JANCITTA, TANAE MANI RIAWANA” (Hanya Batara

Langit di atasnya perjanjian kita, dan bumi di bawahnya)

NARITELLANA PETTA LATENRI BALI PETTA BATARA

WAJO.

Berdasarkan perjanjian tersebut, maka dirubahlah istilah Arung

Mata Esso menjadi Batara, dan kerajaan baru didirikannya, yang cikal

bakalnya dari Kerajaan Boli, menjadi Kerajaan Wajo, dan LATENRI

BALI menjadi Batara Wajo yang pertama.

Kebesaran dan kejayaan Kerajaan Wajo pada masanya,

disebabkan oleh berbagai aspek sebagaimana telah dikemukakan

tedahulu, namun ada hal yang sangat hakiki yang perlu mendapatkan

perhatian, yakni adanya kepatuhan dan ketaatan Raja dan rakyatnya

terhadapat Pangadereng, Ade yang diwarisi dan disepakati, Ade

Assiamengeng, Ade Amaradekangeng, sistem Ade dengan sitilah ADE

MAGGILING JANCARA, serta berbagai falsafah hidup, pappaseng dan

sebagainya.

Kepatuhan dan ketaatan rakyat Wajo terhadap rajanya,

sebaliknya perhatian dan pengayoman raja terhadap rakyatnya adalah satu

aspek terwujudnya ketentraman dan kedamaian dalam menjalankan

pemerintahan pada masa itu. Hal ini dapat kita lihat, pada saat LA

TIRINGENG TO TABA dalam kedudukannya sebagai Arung

Simettengpola mengadakan perjanjian dengan rakyatnya. Perjanjian ini

dikenal dengan ”LAMUNGPATUE RILAPADDEPA” (Penanaman

batu = Perjanjian Pemerintahan di Lapaddeppa’).

Inti dari perjanjian ini ialah bahwa rakyat akan patuh terhadap

perintah raja, asalkan atas kebaikan dan kemaslahatan rakyat, demikian

pula raja akan senantiasa mengayomi rakyatnya dengan dasar Ade,

Pengadereng (hukum), dengan pengakuannya : ”IO TO WAJO,

MAUTOSA MUPAMESSA’, MUA RIATIMMU, MUPAKEDOI

RILILAMU MAELO’E PASSUKKA’ RIAKKARUNGEKKU RI

BETTENGPOLA, MAPERING TOKKO NA BACU BACUE,

|Mitigasi Bencana Banjir 25

Page 26: Mitigasi Bencana Doel

ONCOPISA REKKO MUELOREKKA’MAJA’ MATTI PAJJEO

TO WAJO”

Artinya :

Ya orang-orang Wajo, sekalipun menimbulkan dalam hatimu

atau menggerakkan dalam lidahmu, hendak mengeluarkan aku dari

jabatan kerajaanku di Bettengpola, engkau akan tersapu bersih dari pada

tersapunya batu-batu. Apalagi jika kalian bermaksud jahat terhadapku,

maka engkau kering bagaikan garam.

Pada bagian lain Petta Latiringeng To Taba Arung Sao Tanre,

Arung Simettengpola mengemukakan ”NAPULEBBIRENGNGI TO

WAJJOE MARADEKA NAKKEADE’, NAMAFACCING RI GAU

SALAE, NAMATINULU MAPPALAONG, NASABA RESOFA

TEMMANGINGNGI MALOMO NALETEI PAMMASE DEWATA,

NAMAFAREKKI WARANG PARANG, NASABA WARANG

PARANGMITU WEDDING MAPPATUWO, WARANG PARANG

MITU WEDDING MAPPAMATE”.

Artinya :

Yang menjadikan orang Wajo mulia ialah Kemerdekaan yang

menjunjung tinggi hukum dan hak azasi manusia, ia rajin bekerja, karena

hanya dengan kerja keras sebagai titian untuk mendapatkan limpahan

Rahmat dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Hemat terhadap harta benda,

karena harta benda orang bisa hidup sempurna dan harta benda pula bisa

mematikan orang.

Apa yang telah diletakkan oleh Batara Wajo Pertama ini, oleh

Batara Wajo dan Arung Matowa berikutnya terus dikembangkan sampai

masa pemerintahan ARUNG MATOWA WAJO KEEMPAT:

LATADAMPARE PUANG RIMAGGALATUNG, Wajo mencapai

kejayaan. Pada masa pemerintahan inilah selama sepuluh tahun

disempurnakan segala peraturan hukum adat, pemerintahan dan peradilan,

dan mengajarkan etika pemerintahan, merealisasikan demokrasi dan hak-

|Mitigasi Bencana Banjir 26

Page 27: Mitigasi Bencana Doel

hak azasi manusia, konsep negara sebagai abdi rakyat (public servent) dan

konsep Rule of Law (hukum yang dipertuan bukan raja).

Salah satu Ade Amaradekangengna yang dimuat secara

terpencar dalam Lontarak Sukkuna Wajo, yang selanjutnya menjadi motto

pada Lambang Daerah Kaubpaten Wajo (walaupun disingkatkan), antara

lain berbunyai : ”MARADEKA TOWAJOE NAJAJIAN ALENA

MARADEKA, TANAEMMI ATA, NAIYYA TOMAKKETANAE

MARADEKA MANENG, ADE ASSAMA TURUSENNAMI

NAPOPUANG”.

Artinya :

Orang-orang Wajo, adalah orang merdeka, mereka merdeka

sejak dilahirkan, hanya negeri mereka yang abdi, sedangkan si pemilik

negeri (rakyat) merdeka semua dan hanya hukum adat yang disetuji

bersama yang mereka pertuan.

Kebesaran dan kemuliaan Tana Wajo disebutkan dalam

Lontarak : MAKKEDATOI ARUNG SAOTANRE PETTA TO TABA’ LA

TIRINGENG : ”NAIA PARAJAIENGNGI WAJO’, BICARA

MALEMPU’E NAMAGETTENG RI ADE’ MAPPURAONRONA,

NAMASSE’ RI ADE’ AMMARADEKANGENNA IA TONA

PASIAMASENGNGE TAUE RI LALEMPANUA, PASIO’DANINGNGE

TAU TEMMASSEAJINGNGENG, NASSEKITOI ASSEAJINGENNA

TANAE. NAPOALIE’-BIRETTOI TO WAJO’E MARADEKAE,

NAIATOSI NAPOASALAMAKENGNGE TO WAJO’E MAPACCINNA

ATINNA NAMALEMPU’, NAMATIKE’, NAMATUTU, NAMETAU’ RI

DEWATA SEAUAE, NAMASIRI’ RIPADANNA TAU. LATONARO

KUAE PACCOLLI’I PA’DAUNGNGI WAJO’, PATTAKKEI,

PAPPALEPANGNGI, PAPPARANGA-RANGAI, NALORONG LAO

ORAI’, LAO ALAU’, LAO MANINAG, LAO MANORANG, MATERENG

RAUNNA MACEKKE’ RIANNAUNGI RI TO WAJO’E”.

Artinya :

Berkata pula Arung Saotanre Tuan Kita To Taba’ La

Tiringeng: ”Yang membesarkan Wajo, ialah peradilan yang jujur, getang

|Mitigasi Bencana Banjir 27

Page 28: Mitigasi Bencana Doel

pada adat tetapnya dan teguh pada adat kebesarannya. Itu pula yang

menyebabkan orang-orang saling mengasihi di dalam negeri, saling

merindui orang-orang yang tidak bersanak dan mengukuhkan

persahabatan negeri. Menjadikan pula orang-orang Wajo mulia karena

kebebasannya. Yang menyelamatkan orang-orang Wajo, ialah ketulusan

hatinya dan kejujurannya lagi waspada, berhati-hati, takut kepada Dewata

Yang Esa dan menghargai harkat sesamanya manusia. Yang demikian

itulah yang memutikkan dan mendaunkan Wajo, menangkaikan dan

memelepahkan serta melebarkannya, menjalar ke barat, timur, selatan dan

ke utara, rimbun dan dingin daunnya dinaungi oleh orang-orang Wajo”.

Nilai-nilai luhur yang antara lain dikemukakan di atas, maupun

dalam Lontarak Sukkuna Wajo adalah kearifan yang menjadi jati diri

rakyat Wajo, yang seharusnya kita kembangkan dan lestarikan.

1. FILOSOFI

Filosofi pemerintahan dan kemasyarakatan wajo yang tercermin pada

kedalaman kearifan budaya dan moral masyarakat wajo yang sejak 600

tahun yang lalu yaitu seajack wajo lahir pada tanggal 29 maret 1399,

kemudian mengkristal pada tiga kata yang selanjutnya disebut dengan

filosofi 3 S ,yaitu sipakatau ,sipakalebbi,sepakainge. Filosofi ini

menjadi satu tatanan yang terpisahkan satu samalain.

SIPAKATAU (saling memanusiakan)

1. Menghormati harkat dan martabat kemanusian seseorang sebagai

makhluk ciptaan tuhan YME

2. Semua makhluk disisi tuhan YME adalah sama, yang membedakan

adalah keimanan dan ketakwaan

SIPAKELEBBI (saling memuliakan /menghargai)

1. Menghargai posisi dan fungsi masing-masing di dalam struktur

kemasyarakatan dan pemerintahan

|Mitigasi Bencana Banjir 28

Page 29: Mitigasi Bencana Doel

2. Yang muda menghormati yang tua, dan yang tua menyayangi yang

mudah,yang sederajat saling menghormati dan menyayangi.

3. Berprilaku dan berbicara sesuai norma (baik) yang di junjung tinggi

oleh masyarakat dan pemerintah.

SIPAKAINGE (saling mengingatkan / demokrasi)

1. Menghargai nasehat, saran, kritikan, posisi, dari siapapun

2. Pengakuan bahwa manusia adalah tempatnya kekurangan dan

kekhilafan.

3.Aparatur pemerintah dan masyarakat tidak lupuk dari kekurangan,

kekhilafan dan diperlukan ke arifan untuk saling mengingatkan dan

menyadarkan melalui maknisme yang tidak lepas dari kearifan

Sipakatau dan Sipakalebbi.

3. Permasalahan

3.1 Penyebab Permasalahan Bencana banjir di Kab. Wajo

Banjir dalam bahasa populernya biasa diartikan sebagai aliran

atau genangan air yang menimbulkan kerugian ekonomi atau bahkan

menyebabkan kehilangan jiwa, sedangkan dalam istilah teknik ‘banjir’

adalah aliran air sungai yang mengalir melampaui kapasitas tampung

sungai tersebut (Hewlett, 1982 dalam Asdak, 2002) Lebih lanjut Siswoko

(2002), menyatakan peristiwa banjir merupakan suatu indikasi dari

ketidakseimbangan sistem lingkungan dalam proses mengalirkan air

permukaan, dipengaruhi oleh besar debit air yang mengalir melebihi daya

tampung daerah pengaliran, selain debit aliran permukaan banjir juga

dipengaruhi oleh kondisi daerah pengaliran dan iklim (Curah hujan)

setempat.

Penyebab terjadinya bencana banjir dan longsor sendiri secara

umum dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) hal, yakni :

|Mitigasi Bencana Banjir 29

Page 30: Mitigasi Bencana Doel

(1) kondisi alam yang bersifat statis, seperti kondisi geografi, topografi,

dan karakteristik sungai,

(2) peristiwa alam yang bersifat dinamis, seperti : perubahan iklim

(pemanasan) global, pasang – surut, land subsidence, sedimentasi, dan

sebagainya, serta

(3) aktivitas sosial-ekonomi manusia yang sangat dinamis, seperti

deforestasi (penggundulan hutan), konversi lahan pada kawasan lindung,

pemanfaatan sempadan sungai/saluran untuk permukiman, pemanfaatan

wilayah retensi banjir, perilaku masyarakat, keterbatasan prasarana dan

sarana pengendali banjir dan sebagainya

Di Kabupaten Wajo tidak heran lagi, bencana banjir tidak lepas

dari pandangan masyarakat setempat khususnya daerah Kecamatan

Tempe ini, karena sudah jadi tradisi klo setiap tahunnya pasti banjir

melanda kawasan ini terutama di saat Musim hujan.

Salah satu penyebab terjadinya banjir setiap tahun di Kabupaten

Wajo adalah meluapnya air Di Danau Tempe, hal ini disebabkan antara

lain adalah kapasitas pengairan Danau tempe tidak mampu mengalirkan

debit banjir yang mengalir. Genangan banjir akibat luapan air Danau

Tempe rata-rata mencapai tinggi 80 cm hingga 140 cm di areal

pemukiman, bahkan pada jalur jalan provinsi (arteri) tergenang dengan

tinggi 40 cm, dengan intensitas genangan 3 sampai 5 jam.

Untuk mengatasi hal ini perlu penanganan yang serius dan

perencanaan mantap guna pengendalian banjir. Perlu diketahui bahwa

yang kami maksud banjir adalah suatu aliran permukaan yang dapat

menyebabkan kerugian baik materi maupun kenyamanan masyarakat yang

disebabkan oleh ketidakmampuan saluran drainase atau sungai menerima

debit aliran sehingga terjadi limpahan air

|Mitigasi Bencana Banjir 30

Page 31: Mitigasi Bencana Doel

Selain itu, penyebab terjadinya banjir lainnya dapat si sebabkan

oleh

Terjadinya pengundulan akibat dari penebangan liar di beberapa

titik pada kawasan Hutan penyangga (Hutan Lambusango).

Tanggul penahan air sungai yang jebol.

Kurangnya kesadaran masyarakat yang bermukim di sekitar

bantaran sungai Bau-Bau yang membuang limbah dan sampah

rumah tangga langsung ke sungai sehingga terjadi pendangkalan

pada dasar sungai.

Tumbuh dan berkembangnya bangunan di sekitar bantaran sungai

sehingga mengurangi daya serap tanah terhadap air.

Ruang terbuka hijau (RTH) yang sudah hamper tak terlihat lagi di

daerah bantaran sungai.

Gorong-Gorong dan saluran air yang tersumbat akibat penimbunan

material dan sampah.

3.2 Dampak Terjadinya Bencana

Banjir merupakan masalah yang menganggu stabilitas

ekonomi, banjir terjadi bukan hanya menimbulkan kerugian berupa harta

benda dan kehilangan nyawa di tempat terjadinya tetapi berdampak lebih

luas yaitu melumpuhkan sistem perekonomi. Debit atau volume air

mampu menggenangi kota, pemukiman, jalan raya, sarana dan prasarana

yang digunakan untuk melakukan kegiatan perekonomian.

Fenomena banjir khususnya di Kabupaten Wajo Sulawesi

Selatan tahun 2010 berdampak terhadap pemadaman listrik dan

terputusnya sejumlah sarana jalan jalur trans-sulawesi Makassar – Wajo

lumpuh total. Debit air mencapai ketinggian 80 cm -1.40 meter,

diperkirakan ratusan rumah penduduk, desa dan lahan pertanian subur

tergenang. Banjir ini, menunjukan bahwa faktor yang menahan luapan air

telah hilang, dapat diprediksi dengan semakin berkurangnya luas hutan

|Mitigasi Bencana Banjir 31

Page 32: Mitigasi Bencana Doel

sebagai pengatur tata air, akibat terus ditebangi sehingga efek respon dari

hutan berkurang akibatnya akumulasi debit DAS walennae berakhir

dengan terjadinya banjir.

3.3 Proses Penanganan Saat Teradi Bencana

Terjadinya banjir tidak bisa dicegah, tetapi dapat berkurang

dengan prediksi banjir serta usaha pengendalian yang tepat. Fenomena

banjir merupakan peristiwa yang tidak diinginkan oleh siapapun, sehingga

perlu perencanaan dan perlakuan khusus terhadap DAS ataupun saluran

buatan agar kapasitas sungai dan drainase dapat menampung serta

mengalirkan air dimusim penghujan, hingga luapan air dapat terkendali.

Penanggulangan banjir dari faktor hujan sangat sulit karena hujan adalah

faktor eksternal digerakkan oleh iklim makro secara global, sehingga

upaya yang masih dapat dilakukan adalah menjauhkan bentuk kegiatan

(pemukiman, industri dan pusat pertumbuhan lainnya) dari daerah banjir

yang secara historis telah dipetakan berdasarkan data curah hujan

setempat

Secara umum alternatif untuk menguragi kerugian dan

kurusakan akibat banjir pada daerah aliran sungai adalah:

1. Secara non tehnik structural

o Pembuatan peraturan daerah tentang penguasaan lahan dan

peraturan daerah tentang daerah dataran banjir serta garis sepadan

sungai.

o Pelaksanaan tindakan rehabilitasi lahan menggunakan kaidah-

kaidah konservasi tanah dan air guna memperkecil aliran

permukaan.

o Pengaturan penggunaan lahan untuk mengantisipasi pembangunan

ataupun pemanfaatan daerah dataran banjir.

|Mitigasi Bencana Banjir 32

Page 33: Mitigasi Bencana Doel

o Pengaturan penambangan galian C (pasir dan batu) agar

pengelolaanya berwawasan lingkungan (khusus Palu dan

Donggala).

o Perlunya sosialisasi masalah banjir dan akibat yang ditimbulkan,

sehingga diharapkan aktifitas masyarakat yang bermukim disekitar

daerah pengaliran dapat berwawasan lingkungan.

2. Secara tehnik structural

o Pembuatan kolam retensi dan atau sumur resapan diseluruh

kawasan perkebunan, pertanian, pemukiman, perkantoran,

perkotaan dan pedesaan

o Pembuatan jembatan dirancang dengan panjang dan tinggi

maksimal untuk kelancaran aliran air dalam volume besar (Khusus

DAS).

3.4 Proses Penanganan Pasca Bencana Terjadi

Sinkronisasi Pusat dan Daerah Selama kurang lebih sepuluh

tahun terakhir, pemahaman mengenai banjir telah mengalami pergeseran

yang cukup berarti. Pada dasawarsa yang lalu, banjir hampir selalu

dipahami secara struktural. Masalah spasial seperti tata ruang kota dan

tata guna lahan di daerah hulu yang menyimpang, termasuk alih fungsi

lahan secara besar-besaran di daerah resapan, ditengarai sebagai praktik

penyalahgunaan kebijakan yang mengakibatkan banjir. bukan hanya

disebabkan alih fungsi lahan secara besar-besaran, namun juga

disebabkan adanya perubahan iklim yang mengakibatkan curah hujan

yang tinggi.

Salah satu contohnya adalah penggusuran aktivitas pertanian

Kabupaten Wajo dari daerah bantaran sungai yang tidak memberikan

alternatif lahan pertanian baru. Kebijakan yang tidak populis semacam ini

|Mitigasi Bencana Banjir 33

Page 34: Mitigasi Bencana Doel

bisa berdampak pada meningkatnya angka pengangguran nasional dan

tentunya akan menambah beban baru bagi pemerintah pusat. Sementara

itu, pemerintah pusat memiliki program-program nasional yang

dilaksanakan di berbagai daerah yang bisa disinkronisasikan dengan

program-program pemerintah daerah dalam menangani kompleksitas

masalah banjir.

Sedangkan untuk menghijaukan bantaran sungai di sepanjang

DAS yang berada di Kabupaten Wajo, termasuk daerah tangkapan air di

daerah hulu, pemerintah daerah hendaknya bisa bekerja sama dan

memanfaatkan secara optimal program GERHAN yang sekarang ini

sedang berlangsung, antara lain, dengan cara turut serta mereformulasikan

program itu agar lebih efisien dan membangkitkan partisipasi alami

kalangan petani, khususnya di daerah up land yang selama ini memiliki

kontribusi besar terhadap upaya pelestarian daerah hulu.

|Mitigasi Bencana Banjir 34

Page 35: Mitigasi Bencana Doel

BAB IVPENUTUP

1. Kesimpulan

1) Banjir adalah air yang menggenangi wilayah daratan sehingga

menghambat berbagai macam kegiatan dan biasanya mendatangkan

kerugian baik manusia maupun materi

2) Secara umum, penyebab terjadinya banjir adalah sebagai berikut.

a. Penebangan hutan secara liar tanpa disertai reboisasi,

b. Pendangkalan sungai,

c. Pembuangan sampah yang sembarangan, baik ke aliran sungai

mapupun gotong royong,

d. Pembuatan saluran air yang tidak memenuhi syarat,

e. Pembuatan tanggul yang kurang baik,

f. Air laut, sungai, atau danau yang meluap dan menggenangi daratan

3). Bencana banjir memiliki ciri-ciri dan akibat sebagai berikut.

a. Banjir biasanya terjadi saat hujan deras yang turun terus menerus

sepanjang hari.

b. Air menggenangi tempat-tempat tertentu dengan ketinggian

tertentu.

c. Banjir dapat mengakibatkan hanyutnya rumah-rumah, tanaman,

hewan, dan manusia.

d. Banjir mengikis permukaan tanah sehingga terjadi endapan tanah di

tempat-tempat yang rendah.

e. Banjir dapat mendangkalkan sungai, kolam, atau danau.

f. Sesudah banjir, lingkungan menjadi kotor oleh endapan tanah dan

sampah.

g. Banjir dapat menyebabkan korban jiwa, luka berat, luka ringan,

atau hilangnya orang.

|Mitigasi Bencana Banjir 35

Page 36: Mitigasi Bencana Doel

h. Banjir dapat menyebabkan kerugian yg besar baik secara moril

maupun materiil

4). Upaya yang dapat dilakukan menekan peristiwa banjir; untuk banjir yang

disebabkan oleh curah hujan yaitu menjauhkan segala kegiatan

( pemukiman, industri dan pusat pertumbuhan lainnya) dari daerah banjir

yang secara historis telah dipetakan berdasarkan data curah hujan

setempat, sedangkan untuk banjir akibat aktifitas manusia dan kerusakan

lingkungan dapat diupayakan dengan dua cara (1) secara non teknik

stuktural dan (2) secara teknik structural

2. Saran

1). Agar Kiranya Pemerintah Kabupaten Wajo membuat draft Mitigasi

Bencana yang selalu terjadi setiap tahynnya,

2). Agar kiranya makalah ini dapat menjadi pertimbangan dalam

menganalisis kejadian yang terjadi saat ini.

|Mitigasi Bencana Banjir 36