Mitigasi Erupsi Gunung

Embed Size (px)

DESCRIPTION

mitigasi

Citation preview

Mitigasi Erupsi Gunung-Api Secara geologi Indonesia terletak pada daerah tektonik aktif dimana terjadi pertemuan beberapa lempeng tektonik. Gunung-api terbentuk sebagai akibat dari tumbukan lempenglempeng tersebut. Sejak tahun 1600 bencana gunung-api di Indonesia telah menelan korban sekitar 160.000. Dua letusan gunung-api terbesar yang pernah terjadi di Indonesia adalah Gunung Tambora pada tahun 1815 dan Gunung Krakatau pada tahun 1883, masing masing menimbulkan korban jiwa sebanyak 92.000 dan 36.000 orang. Sebagai fenomena alam, erupsi gunung-api merupakan bahaya alam (natural hazard) yang tidak dapat dihindarkan keberadaan maupun kejadiannya. Meskipun demikian, fenomena-fenomena yang mendahului terjadinya erupsi gunung-api dapat dimanfaatkan untuk mengantisipasi bencana akibat erupsi gunung-api. Kondisi tektonik Indonesia memposisikan kehidupan manusia dan lingkungan di Indonesia menjadi rentan terhadap bencana alam (natural disaster) akibat erupsi gunung-api. Oleh karena itu diperlukan kajian dan tindakan yang dapat meminimumkan dampak erupsi gunung-api (mitigasi). Selain menyimpan potensi bahaya, gunung-api juga memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. Dengan banyaknya gunung-api, Indonesia adalah negara dengan potensi energi geotermal yang sangat besar. Energi geothermal harus dikembangkan pemanfaatannya di Indonesia sebagai energi alternative mengingat semakin menipisnya sumber energi berbasis fosil terutama migas dan batubara. Dari potensi energi geotermal Indonesia sebesar hampir 30.000 MW baru sekitar 1000 MW yang telah dimanfaatkan. Sebaran gunung-api di Indonesia merupakan bagian dari rangkaian gunungapi Sirkum Pasifik dan Mediteranea. Gunung-api tersebut membentuk jalur melengkung seperti busur, yang dapat dibagi menjadi empat busur, yaitu (i) Busur gunung-api Sunda, yakni deretan gunung-api yang terletak di Pulau Sumatra, Jawa, dan Kepulauan Nusa Tenggara Barat serta Timur, (ii) Busur gunung-api Banda, adalah deretan gunung-api yang terletak di Kepulauan Banda, (iii) Busur gunung-api Maluku, yaitu deretan gunung-api yang tersebar di Kepulauan Maluku Halmahera, (iv) Busur gunung-api Sulawesi Utara Sangihe, adalah deretan gunung-api yang tersebar di Sulawesi Utara dan Kepulauan Sangihe atau Sangir-Talaud (Gambar 2). Gunung-api aktif menimbulkan berbagai jenis bahaya atau bencana (hazard) bagi kehidupan dan lingkungan. Secara garis besar bahaya tersebut meliputi antara lain: aliran piroklastik, lava, lahar, longsor, lontaran batu, blok, bom dan abu gunung-api, gas volkanik, gempa bumi dan tsunami. Mitigasi adalah usaha untuk meminimumkan dampak suatu bencana. Mitigasi bencana gunung-api merupakan usaha yang melibatkan beberapa bidang keilmuan atau keahlian sehingga bersifat multi-disiplin. Pemantauan suatu gunung-api bertujuan untuk mengamati aktivitas gunung-api yang dapat memberikan indikasi tingkat bahaya sebelum gunung-api tersebut meletus (Gambar 3). Dengan demikian dapat dilakukan usaha pengurangan risiko bencana, misalnya evakuasi penduduk dari daerah bahaya. Gambar 1. Distribusi gunung-api di Indonesia (dari USGS-Volcano, 2006). Pemantauan yang bersifat terus-menerus maupun pengukuran parameter fisis yang menggambarkan struktur internal gunung-api secara sporadis sangat bermanfaat bagi usaha mitigasi bencana gunung-api (Gambar 3). Beberapa aspek yang berhubungan bidang keilmuan/keahlian yang berperan dalam usaha mitigasi bencana gunung-api antara lain adalah sebagai berikut: 2 Edy Wijanarko/305777 Geofisika Gempa Volkanik / Metode Mikroseismik Aktivitas gunung-api yang mengarah pada letusan hampir selalu didahului oleh peningkatan jumlah gempa volkanik. Gempa volkanik terjadi karena adanya gerakan atau dorongan magma yang kuat dari dalam bumi mendekati permukaan bumi melalui lubang kepundan. Pada umumnya intensitas gempa volkanik lebih lemah jika dibandingkan dengan gempa tektonik. Pemantauan aktivitas kegempaan (seismisitas) menggunakan jaringan pengamatan gempa bumi (seismograf) secara terus menerus telah dilakukan oleh Pusat Volkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG). Pada beberapa gunung-api aktif. Pemantauan tersebut memiliki peran yang sangat penting dalam penentuan tingkat aktivitas dan bahaya suatu gunung-api serta dalam tindakan yang perlu dilakukan oleh pemerintah daerah dan masyakat setempat. Pengambilan data dapat dilakukan dengan seismometer seperti Mikroseismik Lennartz Electronics 3D. data diambil tiap titik kemudian alat di-set di permukaan tanah, seismometer dihubungkan dengan data logger,data yang diperoleh selama 10 30 menit pengukuran adalah data tiga komponen, yaitu vertikal (Z), utara-selatan (N-S), barat-timur (E-W). Hasil pengolahan kemudian diintepertasi mana event seismic akibat akitivitas vulkanisme. Apabila signal seismic yang didapatkan cukup bagus (bukan noise), maka akan dapat ditentukan hiposenter gempa bahkan episenter gempa. Parameter fisis yang dipakai adalah nilai back azimuth, incidence angle dan event sumber seismik yang terekam pada seismometer. Untuk metode mikroseismik, berdasarkan akuisisi yang pernah dilakukan, kelemahan metode ini mencakup pada tingginya sensitivitas alat terhadap noise sehingga dapat diketahui hiposenter maupun episenter gempa. Gambar 2. Alat untuk metode mikroseismik 3 Edy Wijanarko/305777 Magnetik Pengukuran medan magnet yang menghasilkan peta anomali magnetik di daerah volkanik bermanfaat untuk memperkirakan struktur bawah permukaan mengingat batuan volkanik memiliki sifat kemagnetan yang sangat khas. Dengan demikian pola evolusi atau aktivitas gunung-api tersebut di masa yang akan datang dapat diperkirakan secara lebih baik. Selain pemetaan anomali magnetik yang bersifat statik dapat pula dilakukan pengukuran medan magnetik secara kontinyu sebagai bagian dari pemantauan aktivitas gunung-api aktif. Dengan asumsi bahwa temperature magma telah melampaui temperatur Curie batuan maka magma tidak memiliki sifat kemagnetan. Kondisi tersebut dapat menimbulkan anomaly magnetik yang bervariasi sesuai dengan perubahan posisi magma selama proses aktivitas volkanik. Metode geomagnetik merupakan salah satu metode geofisika yang sering digunakan untuk survei pendahuluan pada eksplorasi minyak bumi, panas bumi, batuan mineral, maupun untuk keperluan pemantauan (monitoring) gunungapi. Metode ini mempunyai akurasi pengukuran yang relatif tinggi, instrumentasi dan pengoperasian di lapangan relatif sederhana, mudah dan cepat jika dibandingkan dengan metode geofisika lainnya. Pengukuran di daerah gunungapi, di puncak dan tubuh gunung dilakukan dengan spasi 0,5 km atau sekitar 25-30 menit perjalanan (kaki), sedangkan pada kaki gunung dan sekitarnya spasinya 1-2 km. Untuk target dengan daerah yang sempit dan topografi yang relatif datar dapat dilakukan dengan spasi 50 100 m bergantung kepada hasil pengukuran yang diinginkan. Pengumpulan data dilakukan pada titik yang telah diplotkan grid-nya. Variasi harian dapat diukur dengan menggunakan Base station PPM, Parameter fisis yang dipakai adalah Variasi medan magnetik yang terukur di permukaan Efek piezomagnetik dan efek thermomagnetik (akibat medan vulkanomagnetik) Dari hasil intepretasi suatu data dari pengukuran magnetik didapatkan peta anomali medan magnet total dari suatu daerah survey. Ketika kontur anomaly berharga negatif maka dimungkinkan daerah tersebut merupakan daerah dengan succeptibilitas magnetik yang rendah (missal, kubah lava, kubah lava adalah material panas, semakin panas suatu material maka nilai succeptibilitas akan semakin kecil). Untuk menghilangkan efek anomaly lokal maka dilakukan kontinuasi (nilai pengangkatan tertentu) dan reduksi ke kutub untuk memudahkan intepretasi. 4 Edy Wijanarko/305777 Kemudian setelah dilakukan sayatan dapat dimodelkan lapisan bawah permukaan tersebut berdasarkan informasi geologi yang ada. Piezomagnetik adalah perubahan sifat kemagnetan yang diakibatkan oleh tekanan nonhidrostatis (deviatorik). Dalam pembahasan ini efek dari tekanan hidrostatis yang kecil diabaikan, Sedangkan Thermomagnetik adalah perubahan medan magnet karena batuan mengalami perubahan suhu sehingga terjadi proses demagnetisasi dimana sifat kemagnetan berkurang dengan naiknya suhu batuan. Gambar 3. Alat untuk metode geomagnetik Gravitasi Sebagaimana pengukuran medan magnet, pengukuran anomali gravitasi yang bersifat statik dapat dimanfaatkan untuk memperkirakan struktur bawah permukaan mengingat batuan volkanik memiliki kontras rapat massa dengan batuan di sekitarnya. Di samping itu pengukuran anomali gravitasi yang bersifat dinamik bersama pengukuran deformasi menggunakan teknik geodetik dapat dimanfaatkan untuk prediksi erupsi gunung-api. Gaya Gravitasi merupakan gaya yang ditimbulkan akibat adanya 2 buah massa, m1 dan m2, yang salin tarik menarik dengan jarak r yang dinyatakan dalam persamaan : dengan : = gaya gravitasi (m/s2) m1 = massa pertama (kg) m2 = massa kedua (kg) r = jarak antar dua buah massa (m) Beberapa konversi dan reduksi data yang perlu dilakukan dalam monitoring aktivitas gunung api adalah sebagai berikut. 5 Edy Wijanarko/305777 Konversi Satuan Pada saat pengambilan data dilapangan, nilai bacaan medan gravitasi masih dalam satuan alat tersebut dan nilai bacaan feedback pada DVM masih dalam satuan volt. Maka dari itu harus dilakukann konversi bacaan ke dalam miligal (mgal). Untuk konversi bacaan medan gravitasi pada alat dapat menggunakan tabel yang biasanya sudah disediakan di dalam alat. Sedangkan untuk konversi bacaan feedback pada DVM, dapat menggunakan persamaan sebagai berikut. ( dengan : Fb = bacaan feedback FI = factor interval (pada tabel konversi) ) ( ) Reduksi Data Pada hasil data medan gravitasi yang didapatkan dilapangan belum mencerminkan nilai gravitasi observasi yang diinginkan karena masih terpengaruh oleh beberapa faktor seperti pasang surut gravitasi bulan, tinggi alat dari permukaan tanah, dan kelelahan alat. Koreksi hanya dilakukan sampai koreksi kelelahan alat (drift), dilakukan karena selain hanya membutuhkan nilai medan gravitasi observasi (nilai medan gravitasi setelah di koreksi kelelahan alat), efek dari medan gravitasi yang dipengaruhi oleh posisi lintang, efek udara bebas (free air), Bouguer, dan efek ketinggian (terrain), tidak terlalu mempengaruhi nilai medan gravitasi yang diperlukan dalam monitoring. Berikut persamaan ketiga koreksi yang dimaksud : Koreksi Tinggi Alat Koreksi ini untuk menghilangkan penguruh nilai medan gravitasi yang ditimbulkan karena adanya selisih ketinggian alat dengan permukaan tanah dengan persamaan : ( Koreksi Pasang Surut Koreksi ini dilakukan dengan menggunakan software pasut yang dibuat oleh Airlangga (2000). Nilai yang dikeluarkan oleh software ini digunakan untuk mengkoreksi nilai bacaan alat yang telah dikonversi dalam mGal. Koreksi Kelelahan Alat (Drift) ) ( ) 6 Edy Wijanarko/305777 Koreksi ini untuk menghilangkan efek kelelahan pada pegas yang akan mengalami proses fatigue dengan persamaan : ( dengan : ) ( ) = waktu di titik ukur = waktu awal di base = waktu akhir di base = nilai bacaan awal di base = nilai bacaan akhir di base Prinsip metode gravitasi dalam monitoring aktivitas gunung api adalah mengukur perbedaan atau perubahan harga medan gravitasi (g observasi) yang dapat berupa kenaikan maupun penurunan dari waktu ke waktu secara periodik pada beberapa titik tetap. Untuk keperluan monitoring aktivitas gunung api, metode gravitasi lebih menekankan pada perubahan volume yang terjadi pada tubuh gunung api akibat adanya magma yang mengintrusi dibandingkan dengan penambahan densitas oleh magma itu sendiri. Panas yang dihasilkan oleh magma tersebut dapat menurunkan densitas material di sekitarnya. Dengan mengkombinasikan dengan metode GPS, perubahan elevasi (h) di titik pengukuran yang menunjukkan adanya deformasi (penurunan atau kenaikan permukaan tanah) mempunyai korelasi dengan perubahan harga medan gravitasi (g) di titik tersebut. Adanya deformasi menunjukkan adanya pergeseran massa di dalam tubuh gunung api yang dapat berupa magma. Korelasi tersebut adalah sebagai berikut. Perubahan elevasi (h) yang berharga positif (+) (mengalami inflasi/kenaikan permukaan tanah) diakibatkan oleh adanya daya dorong magma ke atas dan menunjukkan adanya perubahan nilai g observasi (g) yang berharga negatif (-) atau mengalami penurunan. Perubahan elevasi (h) yang berharga negatif (-) (mengalami deflasi/penurunana permukaan tanah) diakibatkan oleh pendinginan magma yang menyebabkan volume magma mengecil sehingga kembali bergerak ke bawah dan menunjukkan adanya perubahan nilai g observasi (g) yang berharga positif (+) atau mengalami kenaikan. Rasio antara perubahan medan gravitasi dengan perubahan elevasi (g/h) disebut dengan Free Air Gradient (FAG), yang secara teoritis sebesar -308,6 gal/m. Dari sini dapat 7 Edy Wijanarko/305777 diketahui bahwa setiap inflasi sebesar 1 mm, harga medan gravitasinya akan mengalami penurunan sebesar 0,3086 gal. Apabila densitas reservoar magma diperhitungkan, maka Bouguer Corrected Free Air Gradient (BCFAG) dapat dihitung dengan rumus berikut, yang secara teoritis sebesar -233 gal/m untuk = 2700 kg/m(densitas crust). Nilai perhitungan g/h kemudian diplot pada diagram di samping dengan menggunakan nilai teoritis FAG dan BCFAG. Apabila g/h jatuh pada zona 1, maka aktivitas gunung api masih dikatakan normal sampai mulai adanya peningkatan aktivitas. Sedangkan apabila jatuh pada zona 2, maka aktivitas gunung api semakin meningkat bahkan bisa terjadi erupsi. Peralatan utama yang digunakan dalam metode ini adalah seperangkat gravitymeter dan seperangkat GPS. Pengukuran sebaiknya dilakukan di sekitar kawah dan dilakukan secara periodik minimal sekali dalam enam bulan bulan. Resistivitas Resistivitas atau konduktivitas merupakan parameter fisika yang paling sensitif dan berhubungan erat dengan fenomena termal. Pada daerah volkanik, interaksi intensif antara magma dengan batuan sekitarnya dan air tanah menyebabkan fenomena hidrotermal yang membentuk zona konduktif. Oleh karena itu metode geofisika yang memungkinkan perkiraan distribusi resistivitas dalam hal ini magnetotelurik (MT) dapat digunakan untuk penyelidikan struktur bawah-permukaan suatu daerah volkanik. 8 Edy Wijanarko/305777 Metode Magnetotellurik adalah metode yang menggunakan medan elektromagnetik alam yang terikduksi dari arus magnetosperic atau ionospheric. Pada metode magnetotelluric, medan elektromagnetik alam digunakan untuk menginvestigasi struktur konduktivitas di bawah permukaan bumi. Sumber magnetotelluric di alam dengan frekuensi di atas 1Hz secara umum berasal dari medan yang ditimbulkan oleh petir dan memiliki jangkau radiasi medan yang luas. Sedangkan untuk frekuensi di bawah 1Hz umumnya berasal dari arus pada magnetosfer akibat dari aktivitas matahari. Pengukuran pada metode MT terdiri dari magnetometer yang sesuai dengan jangkau frekuensi yang dibutuhkan; pasangan elektroda yang terpisah pada spasi tertentu untuk mendeteksi variasi medan elektrik; amplifier, filter, alat perekam digital dan sistem pengolahan data, yang dapat mendeteksi dan menganalisa semua sinyal. Metode MT memiliki sinyal magnetik yang lemah sehingga pada pengukurannya harus memiliki derau (noise) yang rendah dan stabilitas alat yang tinggi. Parameter fisis yang dipakai adalah resistivitas batuan bawah permukaan menjadi parameter yang digunakan. Pada aplikasinya di Gunung api, hasil pengolahan data AMT yaitu berupa perbandingan apperent resistivity dengan true resistivity dapat digunakan untuk menentukan jenis batuan dari bawah permukaan suatu daerah survey. Bahkan apabila ditemukan perbedaan nilai resistivitas yang cukup significant di permukaan dengan di bawah permukaan hal ini dapat diambil hipotesa bahwa daerah tersebut berupa kantong magma (diharuskan dikorelasikan dengan informasi geologi yang ada). Gambar 4. Alat untuk metode MT 9 Edy Wijanarko/305777 Metode Very Low Frequency Metode VLF merupakan salah satu metode elektromagnetik (EM) yang bertujuan untuk mengukur daya hantar listrik batuan dengan cara mengetahui sifat-sifat gelombang EM sekunder. Gelombang sekunder ini dihasilkan dari induksi EM sebuah gelombang EM bidang primer yang berfrekuensi sangat rendah dari 10 sampai 30 KHz. Karena rendahnya harga frekuensi yang digunakan, maka jangkau frekuensi dikelompokkan ke dalam kelompok VLF (Very Low Frequency). Pengukuran metode ini bergantung pada mode yang digunakan, untuk tujuan membatasi satuan geologi melalui pemetaan tahanan jenisnya digunakan mode R, pada dasarnya pengukuran adalah sebagai berikut Tiap-tiap titik dilakukan pengukuran sebanyak 2 kali (F1 dan F2) dengan design survey berbentuk lintasan. Mode yang digunakan pada penelitian gunung api lebih tepat menggunakan mode resistivity, sehingga digunakan 2 buah elektroda dimana spasi antar elektroda secara umum berjarak 50 m. Parameter fisis yang dipakai adalah daya hantar listrik batuan dengan cara mengetahui sifat-sifat gelombang EM sekunder, sehingga dapat digunakan untuk mengetahui struktur dangkal di bawah permukaan. Untuk metode VLF ada dua mode yaitu mode tilt angle dengan parameter yang dipakai adalah sudut tilt dan parameter resistivitas sedangkan mode resistivitas dengan parameter tahanan jenis medium dan sudut fase medium. Pada penelitian aktivitas gunung api, penggunaan VLF-R lebih cocok untuk diterapkan. Hasil yang didapatkan adalah true resistivity bawah permukaan dan didapatkan pula peta kontur nilai resistivitas untuk tiap kedalaman tertentu. Dengan metode VLF ini, didapatkan beberapa point yaitu Semakin dalam batuan akan semakin resistif karena pengaruh suhu yang berasal dari magma Gunung api. Semakin tinggi suhu, batuan akan semakin resistif. Klosur kontur dengan range resistivitas tertentu dapat digunakan untuk menetukan jenis batuan pada daerah survey, misal untuk resistivitas 400-1000 ohm diperkirakan berupa batuan beku andesit. 10 Edy Wijanarko/305777 Gambar 4. Alat untuk metode VLF Metode Suhu Metode suhu merupakan metode yang sangat aplikatif dalam penggunaannya. Suhu merupakan variabel intensif, yaitu variabel yang nilainya tidak bergantung pada massa sistem. Dasar yang digunakan dalam pengukuran suhu adalah hukum ke nol termodinamika, yang menyatakan: jika dua buah benda mempunyai kesamaan suhu dengan benda ketiga, maka kedua benda tersebut satu dengan yang lain mempunyai kesamaan suhu. Pada dasarnya,pengukuran suhu dibagi dalam dua kategori, yaitu monitoring suhu dengan menggunakan sensor suhu berbentuk tongkat (panjang 2 m), Setiap 0.5 m dari sensor ini dipasang thermistor sebagai sensor suhu. sedangkan mapping suhu dengan menggunakan needle probe yang sekaligus digunakan untuk menghitung konduktivitas panas batuan. Pada dasarnya,pengukuran suhu dibagi dalam dua kategori, yaitu monitoring suhu dengan menggunakan sensor suhu berbentuk tongkat dengan panjang 2 m. Setiap 0.5 m dari sensor ini dipasang thermistor sebagai sensor suhu. sedangkan mapping suhu dengan menggunakan needle probe yang sekaligus digunakan untuk menghitung konduktivitas panas batuan. Parameter fisis yang dipakai adalah > Pada monitoring suhu: 1. (gradien vertikal suhu) , fluktuasi suhu sebagai fungsi waktu pada variasi kedalaman tertentu. 2. skin depth. 3. difusivitas panas. 11 Edy Wijanarko/305777 Pada monitoring suhu, akan didapatkan grafik berupa suhu versus time, untuk monitoring ini biasanya akan terpengaruh beberapa faktor luar semisal adanya steam yang membuat suhu yang terbaca cukup tinggi melebihi suhu permukaan yang diukur. Sedangkan Skin depth adalah kedalaman dimana suhunya masih terpengaruh suhu permukaan. Di bawah kedalaman skin depth ini suhu yang terukur diasumsikan berasal dari induksi termal kantong magma. > Pada Mapping Suhu 1. penyebaran suhu pada daerah survey. 2. penyebaran harga konduktivitas batuan di sekitar daerah survey. 3. pemodelan aliran panas. Pada mapping suhu, akan didapatkan grafik konduktivitas termal versus jarak. Nilai ini dipengaruhi oleh jenis batuan dari daerah survey. kemudian dapat dibuat pula peta kontur distribusi suhu permukaan, suhu permukaan dapat pula dipengaruhi aktivitas gunung api dan dapat pula dipengaruhi oleh intensitas sinar matahari. Sedangkan pada tinjauan aliran panas energy panas merupakan daerah anomali. Bila diluar dari lapisan tipis dekat permukaan kerak bumi yang terpengaruh oleh variasi cuaca dan air tanah, landaian suhu (gradient thermal) terhadap kedalaman-kedalaman berkisar 5-70 setiap kilometer. Aliran panas oleh konduktivitas persatuan luas dalam waktu tertentu merupakan hasil kali landaian suhu vertikal terhadap koefisien konduktivitas panas. Ini tergantung dari karakteristik batuan. Secara umum, Ada karakter yang sangat khas yang berupa perubahan nilai suhu positif yang sangat tajam sesaat sebelum sebuah gunung api meletus. Pengamatan suhu dalam pemantauan kegiatan gunung api bertujuan untuk mengetahui penyebaran suhu pada area survey, mengetahui penyebaran nilai konduktivitas medium di area survey, memodelkan distribusi suhu pada penampang vertikal area survey, dan memperkirakan posisi dari heat source berdasarkan data penyebaran suhu; konduktifitas; dan distribusi suhu pada penampang vertikal dari area survey. 12 Edy Wijanarko/305777 Kesimpulan : Berbagai metode geofisika memiliki parameter masing-masing yang dapat diaplikasikan dalam pengamatan kegiatan vulkanisme. 1. Metode Gravitasi Parameter fisis : variasi medan gravitasi bumi 2. Metode Suhu Parameter fisis : gradien vertikal suhu, skin depth, difusivitas panas, konduktivitas panas, dan aliran panas. 3. Metode VLF Parameter fisis : daya hantar listrik batuan 4. Metode Magnetik Parameter fisis : Variasi medan magnetic, Efek piezomagnetik dan efek thermomagnetik. 5. Metode AMT Parameter fisis : resistivitas batuan 6. Metode Mikroseismik Parameter fisis : back azimuth, incidence angle dan event sumber seismik. Geodesi Letusan-letusan gunung-api yang eksplosif sering diawali oleh deformasi berupa kenaikan permukaan tanah yang relatif cukup besar. Gejala deformasi gunung-api akan menyebabkan pergeseran posisi suatu titik di tubuh gunungapi. Pergeseran posisi tersebut dapat terjadi baik dalam arah horisontal maupun vertikal. Salah satu cara mitigasi bencana gunung api adalah dengan memonitor deformasi permukaan bumi yang terjadi. Deformasi diukur secara geodetik, sehingga diketahui area dan kecepatan terjadinya deformasi.Pemantauan deformasi suatu gunung-api dapat dilakukan secara episodik dalam selang waktu tertentu maupun kontinyu. Pada pemantauan secara episodik digunakan data pengamatan terestris, seperti jarak (dari EDM, Electronic Distance Measurement), arah (dari theodolit), beda tinggi (dari sipat datar), dan perubahan gaya berat (dari pengukuran mikrogravitas); dan juga pengamatan GPS. Sedangkan pada pemantauan deformasi kontinyu digunakan sensor-sensor tiltmeter, extensiometer, dan dilatometer, yang hanya mengkarakterisir deformasi yang sifatnya sangat lokal. GPS yang dikombinasikan dengan sistem telemetri/komunikasi data juga dapat digunakan 13 Edy Wijanarko/305777 untuk memantau deformasi gunung api secara kontinyu. Baik untuk metode episodik maupun kontinyu, dapat diperkirakan bahwa GPS akan punya peran yang penting dalam proses pemantauan deformasi gunung api di masa-masa mendatang. Perubahan deformasi merupakan salah satu parameter yang menandakan bahwa suatu gunung api masih aktif. Perubahan deformasi ini dapat diindentifikasi melalui beberapa metode, salah satunya adalah metode Global Positioning System (GPS). Pemantauan gunung api menggunakan metode GPS dilakukan secara kontinyu dan episodik. Pada pemantauan kontinyu, GPS terus-menerus mengambil data yang langsung disimpan dalam RAM, kemudian data yang sudah direkam dikirim ke base station melalui gelombang radio. Setelah didapat, data kemudian diolah sehingga dapat diketahui deformasi gunung api tersebut. Deformasi gunungapi merupakan perubahan bentuk gunungapi, akibat aktivitas vulkanik berupa pergerakan magma di bawah permukaan yang berpengaruh pada perubahan tekanan kantong magma. Survey deformasi gunungapi ditujukan untuk mengetahui distribusi dan kecepatan deformasi gunungapi. Secara garis besar gejala deformasi tubuh gunungapi dapat berupa inflasi (kenaikan permukaan tanah) dan deflasi (penurunan permukaan tanah). Gejala deformasi tersebut akan menyebabkan pergeseran posisi suatu titik di tubuh gunungapi. Pergeseran posisi tersebut dapat terjadi baik pada arah horizontal maupun vertikal. Monitoring deformasi gunungapi secara umum dapat diklasifikasikan ke dalam dua tipe, monitoring episodik dan kontinyu. Pada metode episodik pemantauan dilakukan secara berkala dalam selang waktu tertentu. Metode ini umumnya menggunakan data-data pengamatan terestris, seperti jarak (dari Electronic Distance Measurement [EDM]), arah (dari theodolit), beda tinggi (dari sifat datar/theodolit), Global Positioning System (GPS), dan Inferometric Synthetic Aperture Radar (INSAR). Sedangkan, pada metode kontinyu pemantauan dilakukan secara terusmenerus secara otomatis. Metode ini umumnya menggunakan sensor-sensor tiltmeter, dilatometer, extensiometer, serta GPS yang dipadukan dengan system telemetri/komunikasi. Navigation System With Time And Ranging Global Positioning System (NAVSTAR GPS) atau sering disebut GPS (Leick, 1955) merupakan sistem navigasi satelit terbaru yang dikembangkan oleh Departemen Pertahanan AS untuk kepentingan militer dan sipil dalam hal penentuan posisi tiga dimensi. Sistem ini memungkinkan pemakai mendapatkan posisi secara cepat dengan ketelitian memadai (Panduan Non Seismik Geofisika, 2008). Keuntungan monitoring dengan metode GPS secara kontinyu adalah lebih efektif untuk digunakan pada 14 Edy Wijanarko/305777 pemantauan gunungapi aktif yang membutuhkan ketersediaan informasi deformasi yang relatif cepat. Pengambilan Data Pada monitoring deformasi dengan GPS beberapa titik membentuk suatu kerangka (jaringan) yang tersebar pada tubuh gunungapi dan daerah sekitarnya. Titik-titik tersebut ditentukan koordinatnya secara teliti dengan menggunakan metode survey GPS, relatif terhadap stasiun referensi (GPS base station) yang ditempatkan pada lokasi yang stabil di luar zona deformasi gunungapi tersebut. Pada titik-titik di sekeliling tubuh gunungapi yang telah diketahui koordinatnya tersebut didirikan stasiun GPS (CGPS station). Dengan mempelajari pola dan kecepatan perubahan vektor koordinat dari titik-titik tersebut dari waktu ke waktu, maka karakteristik deformasi dari gunungapi dapat dipelajari. Gambar Contoh desain survey monitoring GPS kontinyu pada Mt. Fugen. Dua receiver GPS dipasang pada sisi barat kubah lava baru yang disebut Heisei Shinzan. Pada tiap stasiun (CGPS station) terdapat lima komponen, meliputi (1) GPS/PC module, (2) radio modem subsystem, (3) monumen, (4) antena dan kabel GPS, (5) power supply solar panels berikut instalasinya, dan software subsistem. 1. GPS/PC module Base station GPS/PC module akan mengumpulkan data dari semua stasiun dan receiver masing-masing dan mengeksekusi pemrosesan baseline. 15 Edy Wijanarko/305777 2. Radio modem dan antenna Radio modem digunakan untuk mentransfer GPS data yang terkumpul ke base station 3. Monument Monumen GPS ini biasanya didirikan di dekat EDM agar lebih mudah memantau deformasi yang terjadi. 4. Antenna GPS Antena GPS didirikan 1,5 meter di atas permukaan tanah menggunakan fiberglass pole untuk menghindari gangguan dari berbagai arah seperti gas korosif yang terus keluar dari kawah utama. 5. Power supply, solar panels, dan instalasi Lead acid battery digunakan pada stasiun untuk menyuplai tenaga secara terus menerus kepada GPS/PC module, antenna GPS, dan radio modem. Solar panel mengisi ulang baterai selama siang hari. Dua buah solar panel, masing-masing dengan kapabilitas 75 watt, digunakan pada setiap stasiun. GPS/PC module, radio modem, baterai dan solar regulator dibungkus oleh sebuah drum logam yang terkunci dan berventilasi untuk menghindari kerusakan. 6. Software subsistem Semua software untuk pemantauan deformasi telah dituliskan pada UNSW. GPS receiver pada stasiun mencatat data terus menerus. PC pada GPS/PC module membuat sebuah file data baru setiap jam yang disimpan pada RAM. Base station mengkontrol download data melalui radio modem dengan menyelidiki setiap stasiun. Data yang telah didownload akan otomatis diproses menggunakan program UNSW Baseline. Baseline menscan file data dan kemudian memroses data menggunakan algoritma double-differential standar. Hasilnya akan ditransfer melalui koneksi wire ke sebuah PC desktop yang berlokasi di observatori/base station juga. Studi Kasus Pemantauan deformasi GPS secara kontinyu telah dilakukan pada gunungapi Papandayan yang terletak kira-kira 60 km SSE dari Bandung. Sistem dideskripsikan untuk jaringan dengan 16 Edy Wijanarko/305777 skala kecil ( 15 x 15 km, atau lebih kecil) dengan tenaga baterai yang didukung tenaga surya, radio modem, dan base station yang berlokasi di sebuah zona stabil jauh dari area deformasi. Receiver GPS mengambil data setiap harinya dan mengirimkan data tersebut ke base station menggunakan radio modem baru kemudian diproses lebih lanjut. Pada gunungapi Fugen, Jepang, telah dilakukan pula pemantauan deformasi menggunakan metode GPS secara kontinyu. Alat penerima juga menggunakan lead battery yang didukung tenaga surya. Akan tetapi, mereka tidak menggunakan radio modem untuk mengirimkan data. Setiap dua minggu sekali, mereka mengambil langsung data yang telah disimpan dalam internal memory GPS pada tiap stasiun baru kemudian diproses. Kesimpulan pemantauan secra kontinyu dengan metode GPS dapat memberikan informasi deformasi gunungapi dengan ketelitian relatif(vektor pergeseran titik) yang cukup tinggi. Geologi dan Geokimia Erupsi gunung api hampir selalu ditandai dengan terjadinya peningkatan kandungan gasgas volkanik, seperti H2S, H2, CO, CO2, HCl, HF dan He. Untuk mitigasi bencana gunung-api, perlu dilakukan pemantauan kandungan gas pada fumarola, solfatara, steam vent. Pengambilan sampel gas dilakukan secara periodik untuk melihat perubahan kandungan gas-gas volkanik yang bertujuan untuk memantau aktivitas gunung api. Perubahan fisik manifestasi atau kenampakan panasbumi di permukaan dapat dijadikan cara memonitor kondisi gunung api dengan mudah. Perubahan ini menunjukkan adanya perubahan komposisi kimia air dan gas panasbumi dan dapat mengindikasikan pergerakan magma ke permukaan. Vulkanostratigrafi mempelajari urut-urutan endapan volkanik yang dihasilkan dari aktivitas gunung api. Dengan mempelajari urutan batuan, komposisi mineralogi dan kimia endapan tersebut, dapat diketahui karakteristik erupsi gunung api yang terjadi. Dengan melakukan pentarikhan umur batuan volkanik, maka akan diketahui terjadinyanya erupsi gunung api yang menghasilkan endapan tersebut. Selanjutnya dapat diketahui tipe erupsi yang terjadi dan siklus waktu terjadinya. 17 Edy Wijanarko/305777 Contoh kasus : Mitigasi Erupsi Gunung Merapi INFORMASI UMUM MERAPI Diantara 129 gunungapi aktif yang terletak di Indonesia mungkin Merapi termasuk yang paling terkenal. Banyak aspek yang membuat gunungapi ini menarik selain yang pertama tentu saja aktivitas vulkaniknya. Selain itu Merapi terletak di bagian tengah pulau Jawa tepat berada di jantung budaya Jawa yang kental sehingga aspek kultural, mitologi dan aspek sosial politiknya juga menarik. Merapi termasuk sering erupsi (meletus) sehingga secara vulkanologis menguntungkan untuk menjadi laboratorium alam dalam rangka melakukan ujicoba berbagai peralatan dan metodologi penelitian. Penduduk yang bermukim di lereng cukup padat menyebabkan tingkat ancaman bahaya Merapi menjadi tinggi. Merapi adalah fenomena alam yang mampu memberikan sumber kehidupan yang baik dari kesuburan tanahnya dan kenyamanan untuk bertempat tinggal di sana. Lingkungan gunungapi akan membentuk pola masyarakat yang khas. Masyarakat di lereng Merapi berdasarkan tinjauan sosiologis relatif homogen dari segi etnisitas dan agama, sebagian besar masih menjalankan tradisi Jawa, berbahasa jawa, hidup komunal dan mempunyai sifat kekeluargaan gotong royong, mayoritas mata pencaharian agraris, sebagian kecil bergerak di bidang pertambangan, kepariwisataan dan pegawai negeri. RINGKASAN, Tipe : Strato-volcano ; Petrologi : Magma andesit-basaltik ; Dimensi : tinggi ~2978 m, diameter 28 km, luas 300-400 km2, volume 150 km3 ; Lokasi geografis : Pulau Jawa, latitude 7o 32 5 S ; longitude 110o 265 E ; Posisi administratif : Propinsi Jawa Tengah & Daerah Istimewa Yogyakarta. Kabupaten : Sleman, Magelang, Klaten, Boyolali ; Konteks geodinamik : Busur kepulauan, subduksi pertemuan lempeng Indo-australia dengan lempeng Asia ; Dinamika erupsi : Pertumbuhan kubah lava diikuti guguran awanpanas. Guguran lava pijar dan jatuhan piroklastik ; Bahaya utama : Pyroclastic Flow (aliran awanpanas), bahaya sekunder lahar ; Interval erupsi : Beberapa tahun (dalam 100 tahun terakhir rata-rata 2-5 tahun) ; Penduduk terancam di Kawasan Rawan Bencana III : ~40.000 jiwa 18 Edy Wijanarko/305777 PEMANTAUAN Gunungapi mempunyai dua sisi ibarat uang logam. Bila sisi gelap muncul maka yang terjadi adalah bencana akibat erupsi namun di sisi lain sisi terang gunungapi memberi manfaat yang luarbiasa bagi kehidupan manusia yaitu tanah yang subur, material hasil erupsi, sumber energi, bentang alam yang menarik dan lain lain. Dengan semakin berkembangnya populasi manusia di dunia ini maka semakin tumbuh habitat ke arah gunungapi yang meningkatkan risiko ancaman bahaya. Dalam usaha melindungi kehidupan masyarakat pemukim di sekitar daerah vulkanis diperlukan tindakan mitigasi yang salah satu dari aksinya adalah pemantauan aktivitas vulkanik dengan harapan mampu mendeteksi tanda-tanda peningkatan bahaya sehingga peringatan dini penyelamatan dapat diberikan. Tujuan pemantauan adalah prediksi erupsi artinya bagaimana mengetahui kapan erupsi terjadi, berapa lama erupsi berlangsung, dimana pusat erupsi dan bagaimana karakteristik erupsi. Vulkanolog membuat ramalan berdasarkan sejarah geologi gunungapi bersangkutan serta tandatanda dari hari ke hari yang diperoleh dari hasil pengamatan visual dan instrumental. Dengan instrumen yang teliti dan analisis data yang baik pergerakan magma bawah permukaan dapat diikuti dengan mengamati proses yang menyertainya diantaranya kegempaan dan perubahan bentuk tubuh gunung dalam orde yang sangat kecil yang biasa disebut dengan deformasi. Sebelum erupsi biasanya terdapat "Prekursor erupsi" yaitu suatu gejala awal berupa perubahanperubahan parameter fisika dan kimia yang terlihat secara visual maupun yang terukur secara intrumental sebagai tanda aktivitas vulkanik sebelum erupsi. Untuk menyimpulkan bahwa suatu perubahan fisika atau kimia sebagai prekursor erupsi terlebih dahulu harus diketahui basis data pada masa gunungapi tidak aktif. Proses erupsi dan berbagai "tanda" yang muncul menjelang erupsi begitu berbeda antara satu gunungapi dengan lainnya bahkan pada gunungapi yang sama sekalipun. Pemantauan aktivitas gunungapi apalagi pada saat aktivitas gunungapi meningkat harus melibatkan berbagai disiplin ilmu dengan berbagai macam peralatan. Pemantauan gunungapi secara instrumentasi memerlukan tahap-tahap pekerjaan mulai pemasangan, pemeliharaan dan penggantian peralatan yang biayanya tidaklah murah. Secara sederhana pemantauan dapat dikategorikan atas pemantauan dengan indera manusia langsung atau dengan peralatan instrumentasi. Apabila 19 Edy Wijanarko/305777 magma naik menuju ke permukaan maka 4 tanda utama biasanya muncul sebagai indikasi menjelang erupsi, yaitu : (1) Meningkatnya gempa-gempa vulkanik (2) deformasi di permukaan akibat desakan magma (3) kenaikan flux gas-gas vulkanik dan (4) adanya peningkatan suhu kawah Merapi menarik ilmuwan dunia untuk riset karena tingkat aktivitasnya yang tinggi dan relatif kontinyu. Periode erupsinya yang pendek pada era modern ini kira-kira antara 2 sampai 8 tahun memungkinkan para ilmuwan menguji metoda dan peralatan dengan melihat data yang mereka peroleh sebelum dan sesudah erupsi berlangsung. Merapi menjadi menarik karena banyak data ilmiah yang dapat diperoleh di sini mulai dari komposisi gas gunungapi karena terdapat beberapa lapangan solfatara di puncak, berbagai tipe dan jenis gempa, deformasi tubuh gunungapi, kemagnetan bumi, perubahan medan gravitasi, perubahan potensial diri batuan dan lain-lain. Instrumen kontinyu pertama di Merapi adalah seismograf mekanik Wiechert yang dipasang tahun 1924 di lereng barat 9 km dari puncak. Kemudian pada tahun 60-an bekerjasama dengan Jepang dipasang seismograf Hosaka dengan telemetri kabel untuk melengkapi seismograf yang sudah ada. Pada tahun 1982 dibangun jaringan seismograf short-period dengan menggunakan sistem telemetri radio yang diterima di Kantor Seksi Penyelidikan Gunung Merapi di Yogyakarta. Pada dekade 90-an merupakan era modern sistem monitoring Merapi dengan diperkenalkannya akuisisi data secara digital yang meningkatkan ketelitian dan akurasi data secara signifikan. Perkembangan terkini sistem pemantauan adalah menggunakan wahana satelit. Sebagai contoh pemantauan deformasi saat ini semakin berkembang dan dapat dilakukan secara spasial kuasi kontinyu dibandingkan dengan pemantauan point to point yang sebelumnya banyak digunakan. Pemantauan SO2 menggunakan satelit saat ini juga umum digunakan datanya oleh para vulkanologis untuk menganalisis tingkat aktivitas suatu gunungapi. Mungkin yang paling banyak mendapat manfaat dari penginderaan jauh adalah aspek visual vulkanisme seperti bentuk morfologi gunungapi, berkembangnya kubah atau kawah, arah dan besar longsoran yang terjadi, pusat tumbuh dan keluarnya lava dan parameter lain yang teramati secara visual. 20 Edy Wijanarko/305777 Metoda pemantauan berdasarkan cara mendapatkan datanya bisa dibagi atas dua kategori yaitu (1) metoda pemantauan secara kontinyu yang memerlukan sistem pengiriman data melalui transmisi gelombang elektromagnetik. (2) Secara episodik data diambil melalui survei lapangan pada waktu yang berlainan langsung di lokasi pengamatan. 21 Edy Wijanarko/305777 Metoda dan teknik yang umum diterapkan untuk memantau aktivitas gunungapi. Pemantauan kegempaan adalah metoda utama dalam sistem pemantauan dengan instrumentasi. Adapun penginderaan jauh (remote sensing) saat ini berkembang pesat sebagai metoda pemantauan yang pada masa depan menjanjikan akan menjadi andalan baru dalam sistem pemantauan gunungapi. 22 Edy Wijanarko/305777 Lokasi stasiun pengamatan lapangan di Merapi yang sedang dan pernah terpasang. Pada saat rentang tahun 1995-2000 pemantauan Merapi mempunyai peralatan terlengkap dengan berbagai macam metoda pemantauan secara telemetri berkat kerjasama dengan berbagai institusi luar negeri. Data pemantauan ditelemetrikan ke BPPTK Yogyakarta. PEMANTAUAN VISUAL Pemantauan perubahan-perubahan yang muncul pada fenomena gunungapi dengan cara melihat langsung melalui indera manusia bisa disebut sebagai pemantauan visual. Beberapa perubahan itu misalnya adanya kepulan asap dan perubahan warnanya, perubahan morfologi tubuh gunungapi dan munculnya kubah lava. Banyak catatan sejarah telah melaporkan tandatanda yang muncul sebelum gunungapi meletus yang dirasakan oleh penduduk yang tinggal dekat dengan gunungapi tersebut. Tanda-tanda tersebut dapat berupa meningkatnya ketajaman bau belerang, warna asap yang berubah menjadi lebih gelap, suara-suara gemuruh, layunya tumbuhan di sekitar puncak gunungapi dan lain-lain. Pemantauan visual walaupun seringkali sangat efektif namun memiliki kelemahan pada tingkat akurasi dan subjektivitasnya yang cukup tinggi. Pengamatan dari satu orang ke orang lainnya akan berbeda sesuai dengan masing-masing persepsinya. Pemantauan visual dapat dilakukan dengan cara pengamatan langsung, membuat sketsa atau melalui rekaman menggunakan kamera atau video yang dilakukan secara menerus. Tujuannya adalah menemukan perubahan yang bisa terdeteksi secara visual. Saat ini pemantauan gunungapi memperoleh manfaat dari kemajuan teknologi luar angkasa. Gambar citra satelit ditambah dengan hasil pemotretan dari darat dan udara dianalisis untuk mencari tanda-tanda perubahan dari gunungapi yang diamati. Beberapa contoh pengamatan dengan satelit: (1) Pemantauan suhu menggunakan satelit termal, biasanya yang digunakan adalah satelit cuaca untuk menghasilkan citra infra merah dari panas yang dihasilkan oleh gunungapi. Pemantauan ini bisa untuk memberikan peringatan dalam jangka menegah dalam orde beberapa hari atau beberapa minggu. Metoda ini cocok untuk pemantauan gunungapi yang jauh dan sulit dijangkau namun satelit bisa gagal mengirimkan gambar bila cuaca berkabut atau mendung atau saltelit melintas terlalu jauh dari lokasi gunungapi. (2) Satelit Radar Interferometry. Jenis pemantauan ini menggunakan pancaran dan pantulan gelombang radar dalam periode bulan sampai tahun untuk mendeteksi perubahan 23 Edy Wijanarko/305777 bentuk (deformasi) gunungapi akibat desakan magma dari bawah. (3) Satelit kamera optik. Pada satelit tertentu dipasang kamera optik untuk memperoleh gambaran permukaan gunungapi dalam rentang resolusi rendah sampai tinggi. Tetapi harga citra satelit pada saat ini masih sangat mahal disamping itu kelemahannya adalah gambar tidak bisa diperoleh bila gunungapi tertutup oleh awan. Pemantauan visual morfologi dengan sketsa Sewaktu teknologi fotografi belum berkembang secanggih dan semudah sekarang, cara lama untuk mengetahui perkembangan morfologi dari waktu ke waktu ialah menggunakan sketsa tangan. Biasanya yang disketsa adalah perkembangan morfologi permukaan gunung. Sketsa dibuat dalam kurun waktu berbeda-beda namun dari lokasi yang sama yang kemudian dapat dibandingkan satu sama lain untuk melihat perubahannya. Sketsa Merapi tahun 1961 digambar oleh pengamat gunungapi dari arah utara-barat atau di sekitar Pos Pengamatan Babadan. Terlihat cukup jelas evolusi morfologi di sekitar puncak pada kurun waktu tersebut. 24 Edy Wijanarko/305777 Lokasi penempatan kamera pemantauan di seluruh Pos Pengamatan Gunung Merapi dan stasiun pemantauan on-line dengan IP-cam yang ditempatkan di bukit Plawangan. Pemantauan visual morfologi dengan kamera foto Salah satu metodologi pemantauan visual Merapi untuk menganalisis perubahan morfologi adalah menggunakan kamera sebagai alat bantu. Metoda analisis foto dilakukan dengan mengidentifikasi perubahan morfologi puncak atau kubah lava dari foto-foto yang diambil secara rutin dari titik yang sama di beberapa sektor Merapi. Perubahan morfologi yang diamati terutama pada perubahan ketinggian kubah lava relatif terhadap lava-lava lama. Faktor skala yang digunakan untuk menghitung nilai sebenarnya bisa diperoleh dari citra satelit atau menggunakan referensi peta yang sudah ada. Referensi jarak ditentukan berdasarkan dua titik yang dapat terlihat dalam foto. Dengan ketentuan apabila titik-titik tersebut dihubungkan dengan titik pengamatan, maka garis hubungnya dapat membentuk segitiga sama kaki. Dengan demikian, setiap posisi pengambilan foto mempunyai referensi jarak berbeda satu dengan yang lain. 25 Edy Wijanarko/305777 Posisi kamera tersebar di pos pengamatan untuk pemantauan secara visual. Dengan kemajuan teknologi digital dan makin murahnya harga kamera pada saat ini maka semakin sangat mudah untuk memperoleh gambar foto Merapi baik untuk keperluan ilmiah atau hanya sekedar hobi dan rekreasi. Dibandingkan dengan kamera dengan sensor film analog model lama maka kamera digital PEMANTAUAN DEFORMASI Deformasi terjadi akibat Intrusi magma di bawah permukaan gunungapi yang mendesak batuan di sekelilingnya. Studi deformasi gunungapi berguna untuk menentukan lokasi, volume dan bentuk kantong magma. Banyak cara mengukur deformasi antara lain menggunakan berbagai macam sensor geodetik dan teknik pengukuran yang berbeda. Aplikasi metoda deformasi terbukti cukup berhasil terutama di gunung api tipe basaltik dan gunungapi kaldera silikat. Untuk gunungapi stratovolkano dengan komposisi magma intermediat penerapan metoda ini lebih sulit dan masih terbatas disebabkan oleh topografi yang terjal, strukur yang kompleks serta periode istirahat yang panjang. Intrusi magmatik akan mempengaruhi tubuh magma itu sendiri dan batuan penutup disekitarnya. Kandungan zat-zat volatil seperti air, carbon dioksida, dan sulfur dioksida yang stabil pada kedalaman tersebut akan keluar dan membentuk fase gas yang terpisah apabila magma naik kepermukaan. Tekanan yang berkurang akan memungkinkan kenaikan viskositas magma dalam orde magnitude beberapa kali. Kandungan gelembung gas akan menurunkan densitas rata-rata magma sehingga mempercepat kenaikannya ke permukaan. Gas tidak larut dalam air tanah (berbeda dengan sulfur dioksida yang larut dalam air) sehingga dapat menerobos retakan akibatnya memungkinkan dipantau di permukaan. Proses ini memberikan jalan yang baik untuk mendeteksi adanya intrusi magmatik secara efektif. Dengan pengukuran kuantitas dan jenis gas sebagai fungsi dari waktu maka kita dapat mengetahui adanya magma yang naik ke atas permukaan, laju intrusinya dan perkiraan kedalaman sumber tekanan (Dzurisin, 2000). Intrusi magma memberikan efek yang sangat besar terhadap batuan di sekitarnya. Untuk mengimbangi desakan magma maka batuan akan mengalami deformasi. Sebagai contoh bila volume magma 1 km kubik (volume sebesar ini adalah yang dikeluarkan di suatu tempat di bumi setiap 10 tahun, Simkin et.al, 1994) akan mempunyai bentuk bola dengan radius 620 m atau 26 Edy Wijanarko/305777 silinder radius 100 m dengan panjang 32 km ke dalam bumi. Untuk membuat penambahan volume sebesar itu atau untuk mendorong keatas beban itu tidak mungkin batuan sekitarnya tidak mengalami deformasi. Jika kecepatan perubahan (laju) intrusi rendah atau temperatur dari batuan penutup tinggi maka akan terjadi deformasi elastik atau duktil dan proses ini biasanya aseismik (tidak menghasilkan gempa). Bila laju tinggi dan temperatur rendah maka deformasi brittle yang terjadi dan proses ini menghasilkan banyak gempa. Pada laju intrusi yang cepat pada kedalaman rendah jarang dijumpai gempa magnitude kecil < 3 skala Richter mencapai jumlah satu gempa permenit dalam satuan jam atau hari (Dzurisin, 2000). Tidak semua intrusi magma menyebabkan deformasi yang signifikan terutama pada kasus saluran kepundan terbuka dan gunungapi yang erupsi menerus pada waktu yang lama. Tapi biasanya pada kasus intrusi magmatik yang baru akan menyebabkan deformasi sebelum gunungapi tersebut meletus. Pola deformasi yang berbeda akan menuntun kita untuk menentukan lokasi, bentuk dan volume sumber deformasi. Dengan beberapa alasan di atas sudah cukup untuk menerapkan berbagai teknik dan metoda deformasi untuk pemantauan aktivitas gunungapi. Secara umum beberapa tujuan yang ingin diperoleh dari penerapan teknik dan metoda tersebut adalah : (1) Sebagai salah satu cara awal mengetahui kenaikan aktivitas gunungapi sebelum misalnya dijumpai kenaikan aktivitas seismik. (2) Untuk mengetahui seberapa besar (magnitude) deformasi (berapa besar tubuh gunungapi mengembang), di daerah mana (lokasi), dan berapa luas area yang terkena deformasi. Ukuran, bentuk dan posisi kantong magma di bawah gunungapi merupakan salah satu parameter yang sangat penting untuk memperkirakan (evaluasi) kemungkin erupsi bersifat katastropik atau tidak. (3) Membedakan efek regional atau lokal, apakah deformasi terkait dengan struktur tektonik atau daerah vulkanik. (4) Sebagai data base (data dasar) pemantauan dan penyelidikan aktivitas gunungapi. Teknik Pemantauan Deformasi Deformasi ideal adalah bila diperoleh medan perpindahan (displacement field) dalam 3 dimensi dengan ketelitian orde mm yang mencakup seluruh permukaan. Namun hal ini tidak mungkin dilakukan karena metoda dan teknologinya memang belum ada tetapi kombinasi dari beberapa teknik akan saling melengkapi sehingga elemen-elemen medan perpindahan masih mungkin dicari. Geodesi adalah ilmu yang mempelajari dimensi bumi yang secara umum disini 27 mencakup metoda pengukuran posisi spasial dan parameter-parameternya. Ada 2 grup besar metoda geodetik yang biasa disebut dengan geodesi tradisional (geodesi terestrial) berbasis pengukuran di bumi dan geodesi angkasa (extra terestrial geodesi) yang menggunakan satelit. Kebanyakan metoda geodetik mengukur dengan instrumen yang diposisikan di atas bechmark yang tertanam di bumi. Berbagai macam cara dipakai untuk mengukur suatu jaringan yang mencakup daerah vulkanik aktif maupun di luarnya. Hasil yang diperoleh adalah koordinat relatif dari semua titik pada jaringan tersebut terhadap suatu titik yang dianggap sebagai titik tetap. Semua jenis pengukuran seperti pengukuran jarak, pengukuran sudut, atau beda tinggi dicari menggunakan minimal dua instrumen terpasang pada titik-titik pengukuran yang dilakukan oleh beberapa operator. Ketepatan (presisi) dan keabsahan hasil pengukuran akan terlihat dari eror pengukuran yang diperoleh. Bias sistematik dan efek meteorologi biasanya sudah ditentukan lebih dulu sebagai faktor koreksi agar diperoleh hasil pengukuran yang dapat dipercaya. Jika jumlah pengukuran cukup banyak dan berulang-ulang (faktor redundansi tinggi) maka akan kita peroleh posisi yang relatif baik dalam tiga dimensi maupun proyeksi dalam satu bidang. Dalam hal pemantauan deformasi gunungapi terdapat beberapa teknik pemantauan yang tidak sepenuhnya termasuk dalam disiplin geodesi contohnya adalah pengukuran kemiringan lereng dengan tiltmeter atau inklinometer dan pengukuran lebar rekahan (ekstensometer). Pemantauan deformasi seperti dijelaskan di atas dapat dilakukan dengan berbagai macam cara seperti disebut di bawah ini. Leveling atau precise leveling. Mengukur beda tinggi antara 2 titik pengukuran. Teknik ini sampai sekarang masih dianggap paling baik untuk melihat perpindahan (displacement) vertikal tanah. Ketelitian optimum yang dapat diperoleh sekitar 0.5 mm per km. Alat yang terlibat disini adalah Leveling dan bar (tongkat) pengukur terbuat dari bahan metal dengan koefisien pengembangan yang sangat kecil. Trigonometri leveling. Melibatkan tiga titik pengukuran untuk menghitung perbedaan sudut antara ke tiga titik tersebut dengan metoda diferensial. Dengan cara ini perubahan sudut dapat dihitung dengan ketelitian 5 urad. Photogrametry. Pemantauan deformasi dengan menggunakan kamera foto biasa disebut dengan photogrametry. Pengambilan foto dari berbagai arah dapat dilakukan dengan 28 menggunakan pesawat udara atau menempatkan kamera pada satu titik tetap di bumi kemudian membandingkan hasil-hasil foto dari waktu yang berbeda. Metoda ini tidak merlukan kontak dengan objek yang diteliti. Disini kita memerlukan satu referensi untuk mendapatkan ketelitian atau akurasi foto yang baik dan posisi objek yang benar. Referensi ini biasanya berupa beberapa tonggak atau monumen yang dapat terlihat dari tempat mengambil foto. Tonggak ini posisinya sudah diketahui melalui pengukuran GPS atau teknik geodetik yang lain. Kelemahan metoda ini adalah akurasi masih belum begitu baik (orde puluhan centimeter) dan sangat tergantung pada cuaca. Teknik ini cukup baik untuk pemantauan kubah lava seperti di Merapi apalagi pada masa gunungapi sangat aktif dimana kubah lava mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. SAR Interferometri. Teknik ini termasuk paling modern menghasilkan citra radar yang dipancarkan dari beberapa satelit (ERS1, ERS2, JERS1), Radarsat atau pesawat angkasa lain seperti SIR milik USA. Data yang diperoleh adalah image radar dengan kerapatan pixel 4 x 20 meter dalam area 50 x 50 km. Interferometri menghitung beda fase antara dua images pada satelit yang berada pada orbit yang berdekatan. Setelah mengkoreksi efek topografi, efek atmosfir maka akan kita dapatkan pepindahan permukaan tanah pada arah projeksi permukaan tanah ke satelit tersebut. Keunggulan metoda ini adalah kemampuannya untuk mendapat detail medan perpindahan dalam satu area yang cukup luas dibandingkan cuma mendapatkan medan perpindahan dari hasil pengukuran point to point. Gambar yang diperoleh dalam arah lateral ke satelit dengan luas kilometer persegi memiliki presisi beberapa centimeter tanpa memerlukan akses ke permukaan tanah yang diobservasi pada waktu malam maupun pada cuaca buruk. Kekurangannya adalah data yang dapat diakses tidak periodik dan kontinyu. Tiltmeter. Mengukur perubahan sudut pada satu titik pengamatan. Bila dilengkapi dengan sistem elektronik telemetri maka kita dapat memperoleh data secara kontinyu dari lapangan. Tiltmeter mempunyai beragam jenis semuanya berdasarkan pada pengukuran beda arah normal dari medan gaya beret bumi, contoh beberapa jenis tiltmeter adalah pendulum vertikal, pendulum horisontal, beda muka air (water level tiltmeter), buble elektronik tiltmeter. Dari cara menghubungkannya ke tanah maka terdapat beberapa cara diantaranya dengan menaruh di terowongan, di lubang bor, di atar permukaan tanah dan sebagainya. Dari segi monitoring tiltmeter mermpunyai beberapa keunggulan diataranya adalah harga relatif murah, dapat memberikan data kontinyu, mudah dalam instalasi dan pemeliharaan. Namun kelemahannya 29 adalah tiltmeter sangat sensitif terhadap efek lokal seperti resapan air tanah, perubahan temperatur dan tiltmeter hanya dapat mengukur pada area yang sempit hanya beberapa meter tetapi wilayah yang diteliti sangat luas. Ketelitian tiltmeter sangat bagus sekitar 10 (e-8) rad kirakira ekuivalen dengan perubahan 1 mm dalam 100 km. Dengan ketelitian seperti itu bahkan kita dapat mengukur pasut (tide) bumi yang mempunyai variasi sekitar 10 (e-7) rad dengan syarat penempatan tiltmeter di tanah dilakukan secara benar. Extensometer. Adalah alat ukur perubahan panjang. Bila dua sensor dihubungkan kawat dan ditempatkan pada kedua sisi secara melintang pada satu rekahan misalnya disekitar kawah gunungapi maka kita akan bisa memperoleh data perubahan rekahan terhadap waktu. Metoda ini termasuk metoda kontinyu seperti tiltmeter namun hanya bisa diterapkan pada gunungapi yang mempunyai retakan-retakan. EDM atau Electronics (Electro-optics) Distance Measurement mengukur jarak secara langsung (linear) antara titik pengamatan dengan alat. Ketelitian pengukuran yang diperoleh jauh lebih baik daripada pengukuran dengan menggunakan alat ukur sudut (angular measurement). Pada prinsipnya instrumen EDM mengukur waktu penjalaran pulsa elektromagnetik sejak dipancarkan dan dipantulkan reflektor kemudian diterima kembali di instrumen. Waktu penjalaran dikalikan dengan kecepatan gelombang setelah dikoreksi terhadap efek meteorologi (tekanan, temperatur dan humiditas) maka diperoleh jarak reflektor ke instrumen. Hasil pengukuran dapat merupakan rata-rata dari puluhan bahkan ratusan data. Tujuan dari survei EDM adalah untuk mendapatkan data jarak antara reflector dengan titik-titik pengukuran secara berkesinambungan kemudian menghitung perubahan jarak antara pengukuran satu dengan yang lainnya. Data perubahan tersebut adalah besaran deformasi yang hendak dicari. Global Positioning System. GPS dapat mengukur posisi dimanapun di muka bumi ini setiap saat. Kecepatan dapat diturunkan dari perubahan posisi terhadap waktu sehingga dengan demikian GPS mempunyai kemampuan untuk mengukur, waktu, posisi dan kecepatan. Kemampuan GPS yang tri-dimensional membuat GPS unggul untuk menentukan posisi daripada metoda geodetik konvensional yang lain. Beberapa keunggulan lain GPS terhadap metoda pengukuran lain diantaranya adalah : (1) Spektrum akurasi lebar dengan akurasi orde meter sampai milimeter. (2) Sinyal dapat ditangkap menerus di seluruh dunia oleh pengguna yang tak 30 Edy Wijanarko/305777 terbatas (sistem pasif). (3) Tidak tergantung cuaca. (4)Sinyal tidak dapat diganggu (jam resistance). (5) Jaringan pengukuran tidak memerlukan kenampakan antar titik. (6) Sampai saat ini masih gratis. Kelemahan GPS terutama adalah pengguna tidak mempunyai akses kontrol pada sistem tersebut, bila pihak militer Amerika menghentikan operasional GPS maka sistem tersebut tidak dapat lagi digunakan. Pemantauan deformasi yaitu perubahan bentuk tubuh gunungapi telah merupakan standar pemantauan modern untuk mengamati aktivitas gunungapi. Kenaikan tekanan akibat intrusi magma dari bawah permukaan akan mendorong batuan sekitarnya dan apabila tekanan cukup kuat akan terjadi deformasi pada permukaan tanah. Hasil-hasil penelitian dengan model numerik menunjukkan bahwa pada banyak kasus letusan gunungapi terdapat korelasi antara perubahan volume bawah permukaan dengan besarnya pengukuran deformasi pada permukaan. Peran terpenting GPS dalam pemantauan deformasi gunungapi adalah kemampuannya untuk memberikan informasi tiga dimensi pergerakan tanah (ground displacement) terutama dalam masa gunungapi sangat aktif. Harga receiver GPS semakin lama semakin murah dengan tingkat ketelitian makin tinggi (dual band receiver) sehingga pemakaian GPS untuk pemantauan deformasi gunungapi semakin banyak digunakan. Pemantauan GPS kontinyu maupun episodik mampu memberikan informasi variasi temporal dari pergerakan magma gunungapi. PEMANTAUAN GEOKIMIA DAN SUHU Pemantauan Geokimia Peningkatan emisi gas-gas vulkanik dan perubahan komposisi kimia adalah salah satu tanda menjelang erupsi sehingga pemantauan geokimia memegang peran penting dalam keseluruhan sistem pemantauan gunungapi. Secara umum pemantauan geokimia dapat dipilah atas 4 kategori : (1) Sampling data langsung di lapangan solfatara atau fumarol yang selanjutnya data dianalisis di laboratorium. (2) Pengukuran jarak jauh terhadap laju emisi gas-gas tertentu pada kolom asap yang keluar dari kawah. (3) Pemantauan konsentrasi gas vulkanik tertentu secara kontinyu on-site dengan logger data atau sistem telemetri. (4) Pengukuran konsentrasi dan flux gas vulkanik dalam soil (tanah). Dalam situasi kritis melakukan sampling data secara 31 Edy Wijanarko/305777 langsung tentu sulit dan berbahaya sehingga pemantauan jarak jauh menjadi pilihan yang rasional. Sulfur dioksida (SO2)merupakan salah satu komponen gas vulkanik yang digunakan sebagai parameter pemantauan aktivitas gunungapi. Pengukuran konsentrasi gas itu dalam kolom asap (plume) vertikal dilakukan dengan menggunaan alat Correlation Spectroscopy (COSPEC). Prinsip dasar kerja alat ini ialah mengukur intensitas radiasi sinar ultraviolet (UV) yang masuk ke dalam alat melalui serangkaian komponen seperti cermin, lensa, slit (celah), detektor dan photomultiplier. Pengukuran emisi SO2 dengan alat ini dapat dilakukan dari jauh sehingga aman dari ancaman bahaya letusan. Selain COSPEC teknik pengukuran jumlah dan komposisi kimia di atmosfir bagian bawah yang relative baru dikembangkan adalah DOAS (Differential Optical Absorption Spectrometer). Alat ini secara tidak langsung mengukur absorpsi dari sinar Ultra Violet, sinar tampak dan radiasi dekat Infra Red yang ada pada berbagai gas dan partikel aerosol di atmosfir. Apabila cahaya melewati plume (asap) maka sebagian dari gelombang sinar akan terserap dan tersalurkan. Dengan mengetahui panjang gelombang mana saja yang melewati plume maka akan diperoleh informasi untuk mengetahui sifat-sifat asap itu seperti ketebalan dan komposisi kimianya. Metoda terbaru yang sedang dikembangkan saat ini dan menjanjikan hasil yang lebih bagus adalah metoda FITR (Fourier Transform Infra Red) spectrometer. Dibandingkan dengan COSPEC, FTIR lebih baik karena alih-alih hanya mengukur SO2 alat ini dapat mengukur berbagai jenis gas vulkanik antara lain SO2, CO2, CO, HCL, dan HF. Kelebihan lain dari teknologi ini adalah kemampuannya untuk mengukur sinar infra red dari sumber alam atau sumber artifisial tanpa terganggu oleh keadaan cuaca. Pengamatan konsentrasi dan emisi SO2 di atmosfir juga dapat diketahui dari citra satelit OMI yang memang khusus dioperasikan untuk mengetahui emisi gas SO2 secara global. COSPEC portable di Merapi sudah berusia puluhan namun sampai saat ini masih berfungsi cukup baik untuk pemantauan emisi gas SO2. Alat tersebut ditaruh di pos Jrakah Boyolali namun sewaktu-waktu dapat dipindahkan ke pos lain bahkan untuk memantau aktivitas 32 Edy Wijanarko/305777 gunungapi selain Merapi. Pengukuran konsentrasi SO2 dilakukan setiap hari sepanjang cuaca memungkinkan. Saat ini Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi mencoba untuk mengembangkan Mini DOAS sebagai alternatif alaf pemantauan gas gunungapi. Emisi harian SO2 Gunung Merapi antara tahun 1992 sampai dengan Februari 2007.Garis merah adalah penghalusan polinomial untuk memudahkan melihat trend perubahan harian. Terlihat bahwa sebelum terjadinya erupsi (panah merah) selalu terjadi kenaikan emisi gas. Dalam jangka panjang dapat dilihat adanya periode antara turunnya emisi gas kira-kira 19921999 kemudian terlihat degassing lebih tinggi antara 1999-2007. Kelemahan metoda pemantauan ini yaitu sangat tergantung pada kondisi cuaca di sekitar gunungapi apabila cuaca mendung atau berkabut maka data kemungkinan besar tidak bisa diperoleh. Sampling Gas Solfatara. Sampling gas dan kondensat secara rutin dilakukan di puncak Merapi di lokasi-lokasi pusat aktivitas gas vulkanik seperti di solfatara Woro dan bagian barat kubah. Sampling ini dilakukan secara rutin setidaknya sebulan sekali dimaksudkan untuk memperoleh data kandungan gas terkait dengan aktivitas vulkanik. Teknik sampling menggunakan tabung vakum kering setelah sebelumnya dibersihkan menggunakan larutan alcohol 70 %. Kemudian diisi dengan larutan NaOH yang berfungsi sebagai pengikat gas-gas vulkanik yang disalurkan melalui pipa dan selang silica. Tabung yang berisi larutan NaOH selanjutnya divakum dengan tekanan -1 Bar. Hasil sampling kemudian dianalisis di laboratorium 33 Edy Wijanarko/305777 untuk memperoleh kandungan senyawa-senyawa yang hendak diketahui menggunakan alat Gas Chromatograph Termal Conductivity Detector. Pemantauan suhu dilakukan melalui dua cara yaitu pengukuran langsung di sumbersumber solfatara dan secara realtime atau otomatis dengan sistem TLR. Pengukuran langsung dilakukan secara periodik terhadap lubang-lubang solfatara menggunakan Termocouple Lutron YK-2001TM yang rentang pengukurannya -100 C s/d 1300 C dengan ketelitian 0,1 C. Cara yang kedua menggunakan sensor suhu berbasis IC yaitu LM35DZ yang mempunyai rentang pengukuran -55 s/d 150 C dan ketelitian 0,5 C. Output dari sensor ini berupa tegangan dimana 10 mV setara dengan 1 C. Sensor dikemas dalam pipa PVC agar lebih tahan terhadap lingkungan yang korosif kemudian diletakkan di tempat-tempat yang akan dimonitor suhunya. Seperti halnya pada Tiltmeter data dari suhu dikirimkan melalui sistem transmisi TLR dimana sinyal tegangan dicuplik setiap 5 menit. Terdapat 2 lokasi pemantauan suhu secara realtime yaitu di sekitar areal Woro dan areal lava 1956 bersama dengan pemantauan Tiltmeter dan curah hujan. Sedangkan obyek yang dimonitor suhunya yaitu suhu fumarol, suhu tanah, dan suhu udara. PEMANTAUAN SEISMIK Peningkatan aktivitas seismik (kegempaan) adalah fenomena yang paling sering dijadikan tanda adanya perubahan aktivitas gunungapi. Jika magma dari dalam bumi naik menuju permukaan maka batuan di sekelilingnya akan menerima tekanan yang lebih tinggi dan apabila kekuatan batuan di sekitar kantong atau saluran magma terlampaui maka batuan tersebut akan retak dan gempa terjadi. Perubahan jumlah dan jenis gempa per satuan waktu serta sebaran hiposenter adalah parameter penting untuk peramalan erupsi gunungapi. Kegempaan di Merapi dipantau melalui jaringan seismik yang tersebar di sekeliling gunung dengan tujuan lokasi gempa dapat ditentukan dengan lebih teliti. Gempa-gempa yang dipantau adalah gempa-gempa yang terjadi secara alamiah terutama yang berkaitan dengan aktivitas gunungapi. Sebagai target pemantauan, kegempaan mempunyai beberapa keunggulan diantaranya gempabumi menimbulkan transmisi (penjalaran) gelombang seismik yang dapat merambat pada medium padat sehingga gempa yang kecilpun akan dapat 34 Edy Wijanarko/305777 terpantau pada jarak beberapa kilometer dari sumbernya dengan menggunakan seismometer yang relatif tidak mahal. Inversi dari data waktu tiba gelombang seismik langsung memberikan minimal 2 parameter sumber yaitu magnitude dan lokasi gempa dalam tiga dimensi. Namun metoda seismik juga memiliki kelemahan. Gempabumi adalah fenomena lokal, sehingga satu kejadian tidak dapat mewakili seluruh informasi di wilayah sekitar sumber gempa. Kelemahan lain ialah bahwa distribusi spasial hiposenter mempunyai ambiguitas yaitu apakah itu menunjukkan dimana adanya intrusi atau tidak adanya intrusi magma. Wilayah aseismik sulit membedakan adanya magma atau hot solid rock sehingga analisis memungkinkan mengatakan magma bergerak aseismik dengan menerobos pre-existing fracture tanpa menumbuk batuan sekitarnya. Pertanyaan-pertanyaan ini sulit dijawab hanya oleh metoda seismik oleh karena itu memerlukan jawaban dari gabungan metoda-metoda lainnya. Model skematik terjadinya gempa-gempa vulkanik. Dimulai dengan adanya peningkatan pasokan magma dari dalam bumi atau pelepasan gas karena menurunnya tekanan internal magma maka batuan sekeliling saluran akan menerima tekanan lebih tinggi. Bila batas ketahan batuan terlampaui maka akan terjadi retakan yang menyebabkan timbulnya gempa-gempa vulkanik. Teknik dan Metoda Untuk pemantauan kegempaan umumnya dipakai sistem telemetri gelombang radio yang terdiri dari dua subsistem yaitu sistem pencatatan gempa di lapangan dan sistem penerima. Subsistem pencatat yang terdiri dari seismometer, amplifier, VCO (Voltage Controlled Oscilator), radio transmitter antenna dan system catu daya lapangan. Seismometer yang dipakai biasanya jenis sensor kecepatan tipe short-period namun saat ini seismometer broadband dengan keperluan khusus juga banyak digunakan. Amplifier berfungsi untuk menguatkan sinyal sampai dengan satu juta kali keluaran dari sensor. Amplifier dilengkapi dengan filter yang mengatur 35 Edy Wijanarko/305777 batas frekuensi sinyal yang masuk. Sinyal tegangan dari amplifier diubah ke bentuk frekuensi oleh VCO yang selanjutnya dimodulasi dan dikirim oleh radio transmitter yang mempunyai frekuensi pembawa antara 160 170 MHz, dengan daya pancar 100 mWatt. Sub sistem penerima terdiri dari antena, radio penerima, diskriminator dan perekam. Frekuensi yang diterima oleh radio kemudian dipisahkan sinyalnya dan diubah ke sinyal tegangan oleh demodulator. Variasi sinyal tegangan inilah yang dicatat oleh drum rekorder atau secara digital dalam hard disk komputer. Data gempa yang masuk akan dikelompokan berdasarkan parameter waktu tiba, frekuensi, bentuk, durasi dan ciri-ciri khusus yang ada. Untuk menentukan hiposenter gempa diperlukan beda waktu tiba gelombang P dan S, posisi stasiun seismograf, kecepatan medium dan perbandingan Vp/Vs(perbandingan kecepatan gelombang P terhadap gelombang S). Pemantauan kegempaan dengan telemetri terdiri atas dua bagian yaitu sistem lapangan dan sistem penerima. Komponen utama sistem lapangan adalah seismometer (4) dan VCO-amplifier (5) yang berfungsi menguatkan sinyal dan merubah tegangan menjadi frekuensi yang akan ditumpangkan pada gelombang radio pembawa (6) dengan antena yagi (7). Adapun catu daya terdiri dari solar panel (1) dan regulator (2) untuk memutus dan menyambung arus dari aki (3) ke solar panel. Pada stasiun penerima sinyal akan diterima oleh radio receiver (a) yang kemudian diteruskan ke diskriminator (b). Dari sini sinyal dapat disalurkan langsung ke rekorder (seismograf) (d) atau disimpan dan ditampilkan secara digital di PC (e) dengan bantuan ADC (analog to digital converter) (c). Seismisitas Merapi 36 Edy Wijanarko/305777 Pada tahun 1924 di lereng barat Merapi sekitar 9 km dari puncak dipasang seismograf mekanik Wiechert yang memulai era pemantauan seismic menggunakan instrumentasi yang cukup canggih pada masa itu. Data dari alat ini digunakan oleh Van Padang (1933) untuk menandakan kenaikan kegiatan vulkanik Merapi menjelang letusan besar 1930. Beberapa lama kemudianseismograf Hosaka buatan Jepang dioperasikan menggunakan kabel bergabung dalam pemantauan seismik Merapi (Ratdomopurbo, 2000). Selama beberapa puluh tahun seismograf dipakai sebagai alat utama dalam pemantauan Merapi khususnya untuk melihat perkembangan jumlah gempa merupakan parameter pokok yang dipakai dalam penentuan tingkat aktivitas gunungapi. Studi tentang kegempaan Merapi secara analitik dilakukan untuk pertama kali pada tahun 1968 oleh tim gabungan JepangIndonesia. Seiak saat itu gempa-gempa mulai dibedakan sesuai dengan jenisnya. Klasifikasi gempa diterapkan dalam menghitung jumlah gempa yang terjadi. Dekade tujuhpuluhan merupakan dekade penggunaan seismograf dengan telemetri kabel. Sensor seismograf yang juga disebut sebagai seismometer ditempatkan pada lokasi yang terpisah dari tempat perekamannya. Noise atau gangguan dari aktivitas kegiatan manusia mulai dapat dikurangi dari seismogram karena seismometer dapat ditempatkan pada lokasi-lokasi yang bebas gangguan. Peranan Pos Pengamatan sangat penting karena perekam seismogram ditempatkan di pos-pos pengamatan sekitar Gunung Merapi, sedangkan seismometer pada lokasi sekitar pos dalam jarak sampai beberapa ratus meter. Informasi tentang kegiatan Gunung Merapi hampir seluruhnya bersumber dari pos pengamatan. Tahun 1982, sistim pemantauan Merapi memasuki era seismograf telemetri. Kabel seismometer digantikan peranannya dengan sinyal radio. Jarak stasiun pengirim dan penerima hampir bukan merupakan masalah lagi. Seismometer dapat ditempatkan pada lokasi yang terpencil bahkan di dekat puncak Merapi. Sinyal keluaran dari seismometer, yang semula dalam sistim telemetri kabel dikirimkan ke perekam seismogram melalui kabel, dikirim ke perekam melalui radio. Demikian jarak antara seismometer ke perekam dapat mencapai puluhan kilometer. Pada tahun 1981 mulai diperkenalkan sistim perekaman secara digital. Disamping perekaman dengan kertas seismogram, rekaman gempa dicatat pula dalam komputer PC. Sistim ini memberikan keleluasaan pada analisa gempa-gempa yang lebih mendalam. 37 Edy Wijanarko/305777 Gunung Merapi merupakan gunungapi yang gempa-gempanya tergolong berskala kecil, sehingga hampir semua gempa vulkanik Gunung Merapi tidak terasa oleh manusia. Magnitude berada di bawah 3 pada skala Richter. Dari posisi sumber gempa, gempa-gempa Merapi terjadi pada kedalaman dari kurang sekitar 6 kilometer di bawah puncak. Pada umumnya gempa-gempa tergolong dangkal bahkan kurang dari 2 kilometer di bawah puncak. Dari distribusi lateralnya, gempa-gempa Merapi tidak terlalu tersebar. Hiposenter gempa berada secara vertikal di bawah puncak. Terdapat 10 stasiun seismik untuk memantau seismisitas Merapi. Empat stasiun seismik dengan sistem transmisi analog menggunakan seismometer periode pendek natural. Stasiun-stasiun tersebut adalah Pusunglondon, Klatakan, Plawangan, dan Deles. Stasiun Pusunglondon menggunakan seismometer Mark L-22 frekuensi natural 2 Hz dengan 3 sumbu komponen, sedangkan untuk stasiun yang lain menggunakan seismometer Mark L4-C frekuensi natural 1 Hz 1 komponen. Seismometer periode pendek ini mempunyai ciri respon yang datar untuk frekuensi 38 Edy Wijanarko/305777 gempa frekuensi natural seismometer. Sinyal seismik ditransmisikan ke BPPTK menggunakan sistem telemetri analog dimana sinyal tegangan dari seismometer diubah menjadi sinyal audio melalui McVCO (Microcontrole-based Voltage Converter Oscilator) kemudian ditransmisikan menggunakan radio VHF. Sinyal audio dari stasiun diterima di BPPTK oleh radio receiver VHF kemudian diubah kembali menjadi tegangan oleh diskriminator. Dari diskriminator tegangan diterjemahkan di rekorder seimograf menjadi coretan seismogram. Sinyal tegangan juga didigitalkan menggunakan digitizer Guralp DM24S 16 bit dan dikirim ke computer akusisi untuk disimpan sebagai data digital dan pengolahan lebih lanjut. Enam stasiun yaitu Woro, Pasarbubar, Juranggrawah, Gemer, Cerme ( di luar peta) dan Labuhan merupakan stasiun seismik digital dimana sistem transmisi menggunakan sistem digital. Seismometer yang digunakan jenis seismometer Broadband dimana untuk Labuhan menggunakan tipe STS-2 produk Streckeisen dengan respon frekuensi 0,1 100 Hz, sedangkan untuk stasiun yang lain menggunakan tipe CMG-40TD produk Guralp dengan respon frekuensi 0,02 50 Hz. Sistem transmisi menerapkan protocol komunikasi TCP-IP dengan perangkat Router-wireless RB433AH produk Mikrotik dengan antenna Grid 30 dB. Frekuensi yang digunakan untuk keperluan transmisi ini pada pita frekuensi 5 GHz. Di BPPTK terdapat Router-wireless dan antenna Grid 30 dB untuk menerima data seismik dari stasiun lapangan yang langsung disimpan di komputer akuisisi. Klasifikasi Gempa 1. Gempa VTA (Volcano Tectonic type A). Gempa ini berasal dari kedalaman antara 2 sampai 5 kilometer. Frekuensi dominan gempa, dari analisa frekuensi rekaman seismogram yang tercatat pada elevasi 2625 meter, berkisar antara 5 clan 8 Hz. Sebagai gempa yang mekanisme sumbernya seperti gempa tektonik, gempa ini mempunyai fase P clan S yang relatif dapat dibedakan dengan jelas. Beda waktu tiba antara gelombang P clan S (S-P time) pada elevasi 2625 meter biasanya lebih besar dari 0.5 detik. Simpangan (impuls) pertama nya ("onset") cukup tegas sehingga mudah dalam membaca waktu tiba gempa. Walaupun masih tergantung pada lintasannya, beberapa stasiun seismograf yang terletak di lereng Merapi pada elevasi yang lebih rendah kadang mencatat gempa jenis ini dengan amplitudo yang lebih besar. Fenomena ini disebabkan karena lokasi pusat gempa yang cukup dalam. Di antara gempa-gempa yang terjadi di Merapi, gempa VTA merupakan gempa yang bermagnitude terbesar. Energi gempa yang 39 Edy Wijanarko/305777 cukup besar dibanding dengan gempa jenis lainnya, biasanya semua stasiun seismograf di puncak clan lereng Merapi dapat mencatat gempa ini dengan jelas. 2. Gempa VTB (Volcano Tectonic type B). Gempa jenis ini bersumber pada kedalaman kurang dari 2 kilometer di bawah puncak. Frekuensi dominan gempa berkisar antara 4 clan 7 Hz. Dari kenampakannya pada seismogram, gempa ini mirip dengan gempa VTA hanya saja fase P dan S tidak jelas terlihat. Karena posisinya dangkal, gempa tercatat dengan jelas pada elevasi tinggi sedangkan seismograf di lereng bawah mencatat gempa jenis ini dengan amplitudo yang jauh lebih kecil. 3. Gempa MP (Multi Phase). Gempa MP adalah gempa yang terjadi di kubah lava. Pada saat kubah lava tumbuh cepat, jumlah kejadian gempa MP dapat mencapai 700 gempa per hari. Nampaknya gempa ini terjadi pada kerak-kerak kubah lava yang bergesekan pada saat kubah tumbuh. Frekuensi dominannya berkisar antara 3 clan 4 Hz. Dibandingkan dengan gempa VTA clan VTB, awalan gempa yaitu impuls pertamanya tidak begitu tegas. Perkembangan amplitudo gempa juga bersifat gradual, yaitu amplitudo berkembang secara perlahan clan mencapai maksimum setelah 3 sampai 4 detik dari impuls pertama. 4. Gempa LF (Low Frequecies). Gempa LF mempunyai frekuensi dominan sekitar 1.5 Hz. Gempa ini jarang terjadi di Merapi, namun demikian pada masa-masa tertentu, misalnya tahun 1989, gempa LF sering muncul. Amplitudo gempa biasanya sangat kecil sehingga hanya bisa dibaca dengan jelas pada stasiun pada elevasi tinggi, atau sekitar puncak. 5. Tremor. Di Merapi terdapat dua macam tremor yaitu tremor frekuensi rendah clan tremor frekuensi tinggi. Tremor frekuensi rendah mempunyai frekuensi dominan 1.5 Hz. Sebagaimana gempa LF, tremor frekuensi rendah jarang terjadi. Nampaknya kejadian tremor berkaitan dengan gempa-gempa LF. Hal ini jelas yaitu pada saat banyak terjadi gempa LF, tremor frekuensi rendah juga sering terjadi. Tremor frekuensi tinggi berkaitan dengan kejadian erupsi. Pada saat sebelum letusan, sering tercatat adanya tremor dengan frekuensi tinggi. Kadangkala, kejadian tremor ini diikuti dengan suara gemuruh dari puncak Merapi. Beberapa kejadian letusan di Merapi diawali dengan tercatatnya tremor frekuensi beberapa menit sebelum kejadian letusan. 40 Edy Wijanarko/305777 6. Guguran. Guguran lava atau material dari puncak Merapi yang menuju ke lereng terlihat pada rekaman seismogram sebagai sinyal gempa dengan durasi yang panjang. Amplitudo guguran berkembang dari kecil dan mencapai maksimum setelah lebih dari 15 detik dari awal gempa. Dari panjangnya sinyal, guguran sangat mudah dibedakan dari gempa-gempa vulkanik. Klasifikasi gempa di Merapi. Munculnya gempa-gempa vulkanik relatif tidak sering terjadi di Merapi. Kejadian gempa jenis ini berkaitan dengan suatu letusan. Pada saat tertentu, misalnya pada tahun 1990-1991, seismisitas gunung Merapi didominasi oleh kejadian gempa VTA clan VTB. Namun pada periode lainnya, misalnya tahun 1999, hampir tidak ditemukan sama sekali adanya gempa VTA. Adapun tahun 2006 gempa vulkanik terjadi cukup banyak. Dari pemantauan seismik yang dilakukan selama ini di Merapi, seismisitas didominasi oleh gempa MP. Gempa MP sering terjadi karena memang aktivitas Gunung Merapi berkaitan dengan pertumbuhan kubah lava. Gempa MP sendiri merupakan gempa yang dihasilkan oleh suatu proses pembentukan kubah lava. 41 Edy Wijanarko/305777 Merapi mempunyai berbagai jenis klasfikasi gempa vulkanik. Gambar di atas adalah grafik sederhana untuk analisis statistik kegempaan tahun 2006. Tahap pertama yang penting adalah klasifikasi gempa harus dapat dilakukan dengan baik kemudian data diurutkan dalam urutan waktu tertentu sehingga diharapkan pola gerakan magma dapat diikuti. Terlihat bahwa gempa tipe VTA dan VTB berhenti pada pertengahan Juni artinya ada kemungkinan besar tekanan magmatis (akibat migrasi naik magma atau pelepasan gas) juga berhenti pada waktu tersebut. Gempa vulkanik tersebut akan berkontribusi terhadap munculnya gempa MP yang diperkirakan akan meningkatkan kecepatan dan volume pertumbuhan kubah lava. Hilangnya gempa MP biasanya juga akan diikuti berhentinya pertumbuhan kubah sehingga perubahan morfologi kubah akhirnya akan tergantung pada guguran karena gravitasi dan ketakseimbangan posisinya. MITIGASI BENCANA GUNUNGAPI Kesiapsiagaan dilakukan untuk memastikan upaya yang cepat dan tepat dalam menghadapi kejadian bencana yang dapat dilakukan melalui (a) penyusunan dan uji coba rencana 42 Edy Wijanarko/305777 penanggulangan kedaruratan bencana (b) pengorganisasian, pemasangan, dan pengujian system peringatan dini (c) penyediaan dan penyiapan barang pasokan pemenuhan kebutuhan dasar (d) pengorganisasian, penyuluhan, pelatihan, dan gladi tentang mekanisme tanggap darurat (e) penyiapan lokasi evakuasi (f) penyusunan data akurat, informasi, dan pemutakhiran prosedur tetap tanggap darurat bencana dan (g) penyediaan dan penyiapan bahan, barang, dan peralatan untuk pemenuhan pemulihan prasarana dan sarana. Peringatan dini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 huruf b dilakukan untuk pengambilan tindakan cepat dan tepat dalam rangka mengurangi risiko terkena bencana serta mempersiapkan tindakan tanggap darurat. Peringatan dini sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui : (a) pengamatan gejala bencana (b) analisis hasil pengamatan gejala bencana (c) pengambilan keputusan oleh pihak yang berwenang (d) penyebarluasan informasi tentang peringatan bencana dan (e) pengambilan tindakan oleh masyarakat. Mitigasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 huruf c dilakukan untuk mengurangi risiko bencana bagi masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana yang dapat dilakukan melalui berbagai cara termasuk pelaksanaan penataan ruang, pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur, tata bangunan dan tak kalah penting adalah penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan, dan pelatihan baik secara konvensional maupun modern. Mitigasi bencana gunungapi dalam pengertian yang lebih luas bisa diartikan sebagai segala usaha dan tindakan untuk mengurangi dampak bencana yang disebabkan oleh erupsi gunungapi. Mengingat begitu banyak gunungapi yang ada di wilayah Indonesia dan padatnya penduduk yang bermukim di sekitarnya maka bencana erupsi gunungapi dapat terjadi sewaktu-waktu. Berdasarkan tugas dan fungsinya Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi termasuk BPPTK sebagai salah satu unitnya turut berperan dalam manajemen krisis bencana erupsi. Pada fase Pra-kejadian peranannya dapat meliputi langkah-langkah penilaian risiko bencana, pemetaan daerah kawasan rawan bencana, pembuatan peta risiko dan membuat simulasi skenario bencana. Tindakan lain yang perlu dilakukan adalah pemantauan gunungapi dan menyusun rencana keadaan darurat. Adapun pada saat fase kritis maka sudah harus dilakukan tindakan operasional berupa pemberian peringatan dini, meningkatkan komunikasi dan prosedur pemberian informasi, menyusun rencana tanggap darurat yang berupa penerapan dari tindakan rencana keadaan darurat dan sesegera mungkin mendefinisikan perkiraan akhir dari fase kritis. 43 Edy Wijanarko/305777 PeringatanDini Sistem ini berfungsi untuk menyampaikan informasi terkini status aktivitas Merapi dan tindakan-tindakan yang harus diambil oleh berbagai pihak dan terutama oleh masyarakat yang terancam bahaya. Ada berbagai bentuk peringatan yang dapat disampaikan. Peta Kawasan Rawan Bencana sebagai contoh adalah bentuk peringatan dini yang bersifat lunak. Peta ini memuat zonasi level kerawanan sehingga masyarakat diingatkan akan bahaya dalam lingkup ruang dan waktu yang dapat menimpa mereka di dalam kawasan Merapi. Informasi yang disampaikan dalam sistem peringatan dini terutama adalah tingkat ancaman bahaya atau status kegiatan vulkanik Merapi serta langkah-langkah yang harus diambil. Bentuk peringatan dini tergantung pada sifat ancaman serta kecepatan ancaman Merapi. Apabila gejala ancaman terdeteksi dengan baik, peringatan dini dapat disampaikan secara bertahap, sesuai dengan tingkat aktivitasnya. Tetapi apabila ancaman bahaya berkembang secara cepat, peringatan dini langsung menggunakan perangkat keras berupa sirine sebagai perintah pengungsian. Ada 4 tingkat peringatan dini untuk mitigasi bencana letusan Merapi yaitu Aktif Normal, Waspada, Siaga dan Awas. 44 Edy Wijanarko/305777 (1) Aktif Normal : Aktivitas Merapi berdasarkan data pengamatan instrumental dan visual tidak menunjukkan adanya gejala yang menuju pada kejadian letusan. (2) Waspada : Aktivitas Merapi berdasarkan data pengamatan instrumental dan visual menunjukkan peningkatan kegiatan di atas aktif normal. Pada tingkat waspada, peningkatan aktivitas tidak selalu diikuti aktivitas lanjut yang mengarah pada letusan (erupsi), tetapi bisa kembali ke keadaan normal. Pada tingkat Waspada mulai dilakukan penyuluhan di desa-desa yang berada di kawasan rawan bencana Merapi. (3) Siaga: Peningkatan aktivitas Merapi terlihat semakin jelas, baik secara instrumental maupun visual, sehingga berdasarkan evaluasi dapat disimpulkan bahwa aktivitas dapat diikuti oleh letusan. Dalam kondisi Siaga, penyuluhan dilakukan secara lebih intensif. Sasarannya adalah penduduk yang tinggal di kawasan rawan bencana, aparat di jajaran SATLAK PB dan LSM serta para relawan. Disamping itu masyarakat yang tinggal di kawasan rawan bencana sudah siap jika diungsikan sewaktu-waktu. (4) Awas : Analisis dan evaluasi data, secara instrumental dan atau visual cenderung menunjukkan bahwa kegiatan Merapi menuju pada atau sedang memasuki fase letusan utama. Pada kondisi Awas, masyarakat yang tinggal di kawasan rawan bencana atau diperkirakan akan terlanda awan panas yang akan terjadi sudah diungsikan menjauh dari daerah ancaman bahaya primer awan panas. Sirine Peringatan Dini dan Komunikasi Radio Peringatan dini sirine adalah suatu sistem perangkat keras yang berfungsi hanya pada keadaan sangat darurat apabila peringatan dini bertahap tidak mungkin dilakukan. Sirine dipasang di lereng Merapi yang dapat menjangkau kampung-kampung yang paling rawan dan sistem ini dikelola bersama antara pemerintah Kabupaten bersangkutan dengan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi dalam hal ini adalah BPPTK. Sarana komunikasi radio bergerak juga termasuk dalam sistem penyebaran informasi dan peringatan dini di Merapi. Komunikasi berkaitan dengan kondisi terakhir Merapi bisa dilakukan antara para pengamat gunungapi dengan kantor BPPTK, instansi terkait, aparat desa, SAR dan lembaga swadaya masyarakat khususnya yang tergabung dalam Forum Merapi. 45 Edy Wijanarko/305777 Diagram alir data dan informasi status aktivitas gunungapi Forum Merapi Penanggulangan bencana memerlukan keterlibatan semua pihak sesuai dengan kompetensinya masing-masing. Walaupun erupsi Merapi tergolong berskala kecil namun melihat dekat dan padatnya penduduk dari ancaman bahaya awanpanas maka potensi bencana Merapi tetap tinggi. Dengan tujuan menjembatani komunikasi dan pelaksanaan kegiatan bersama guna mewujudkan pengelolaan Gunung Merapi secara menyeluruh pada aspek ancaman, daya dukung lingkungan dan sosial-budaya masyarakatnya maka pada 17 Desember 2007 di Yogyakarta, Bupati Klaten, Bupati Boyolali, Bupati Magelang, Provinsi Jawa Tengah dan Bupati Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta serta Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana geologi (PVMBG) sepakat bekerja sama dalam "Forum Merapi" dalam rangka pengurangan risiko Merapi. Adapun manfaat yang ingin dicapai adalah terwujudnya penguatan kapasitas dan kinerja pemerintah kabupaten sebagai pemegang tanggungjawab utama pengurangan risiko 46 Edy Wijanarko/305777 bencana. Terjalin kerjasama secara sinergi di lintas kabupaten dan pelaku dalam pengelolaan ancaman, daya dukung lingkungan dan sosial-budaya masyarakat lereng Gunung Merapi. Forum Merapi merupakan wadah bersama untuk menyatukan kekuatan, menyelaraskan program dan menjembatani komunikasi antar pelaku dalam kegiatan bersama untuk aksi pengurangan risiko bencana letusan G. Merapi serta menjaga kesinambungan daya dukung lingkungan bagi masyarakat sekitarnya. Perjanjian Kerja Sama "Forum Merapi" telah disepakati pada 19 Desember 2008 di Pos Pengamatan Babadan, Desa Krinjing, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang. Kesepakatan kerjasama "Forum Merapi" berdasarkan pertimbangan kesadaran pentingnya kerja sama untuk mengurangi risiko bencana sebagaimana dirintis sejak 26 Mei 2006 di kantor Badan Koordinator II Magelang oleh pemerintah Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Magelang, Kabupaten Klaten, Kabupaten Sleman, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Paguyuban Siaga Gunung (PASAG) Merapi, Pusat Studi Manajemen Bencana Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Yogyakarta, serta didukung oleh Oxfam Great Bratain (GB), Deutsche Gesselschaft for Technische Zusammennabeit (GTZ), United Nations Children's Fund (UNICEF), dan United nation Development Programme (UNDP). Wajib Latih Penanggulangan bencana termasuk di dalamnya adalah upaya mengurangi resiko bencana yang meliputi kegiatan pencegahan, mitigasi, kesiap-siagaan, penyelamatan dan pemulihan. Kegiatan penanggulangan bencana merupakan satu kesatuan aktivitas yang melibatkan semua komponen masyarakat dan aparatur melalui koordinasi dari tingkat lokal sampai nasional. Peningkatan kapasitas kelembagaan maupun kapasitas masyarakat merupakan hal mutlak penting demi mengurangi resiko bencana. Dalam hal peningkatan kapasitas kelembagaan formal pusat dan daerah sudah tersedia UU no 24 Tahun 2007 namun peningkatan kapasitas masyarakat untuk mitigasi bencana belum terakomodai secara efektif. Konsep wajib latih muncul sebagai alternatif dalam rangka pengurangan resiko bencana melalui rekayasa sosial peningkatan kapasitas masyarakat di kawasan rawan bencana. Wajib latih adalah program berkesinambungan yang diharapkan dapat membentuk budaya siaga bencana pada masyarakat. Tujuan wajib latih adalah meningkatkan pengetahuan masyarakat akan potensi ancaman bencana, menciptakan dan 47 Edy Wijanarko/305777 meningkatkan kesadaran akan resiko bencana. Sasaran wajib latih adalah penduduk yang berada di kawasan rawan bencana berusia 17-50 tahun atau sudah menikah, sehat jasmani dan rohani dan mendapat ijin keluarga. Penyelenggaraan wajib latih dilakukan oleh instansi pemerintah atau Lembaga Swadaya Masyarakat yang berkompeten di bidangnya dan dilakukan atas sepengetahuan pemerintah setempat. Kegiatan Wajib Latih Penanggulangan Bencana Tujuan acara ini adalah: 1. Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang potensi bencana yang ada di lingkungannya. 2. Meningkatkan kesadaran masyarakat akan resiko sehingga mampu mengambil keputusan tindakan pengurangan resiko secara mandiri maupun bersama pihak lain. 3. Meningkatkan ketrampilan masyarakat untuk melindungi diri sendiri, keluarga maupun anggota masyarakat lainnya saat terjadi bencana.