Upload
others
View
4
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
SILABUS, SAP DAN MATERI
MKPD BIOLOGI MOLEKULAR MENINGITIS
STREPTOCOCCUS SUIS
PENGAMPU: Prof. Dr. drh. I Gusti Ngurah Kade Mahardika
Nama Mahasiswa: dr. Ni Made Susilawathi, Sp.S(K)
NIM:1790211008
PROGRAM STUDI DOKTOR ILMU KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2018
KONTRAK PERKULIAHAN
MATA KULIAH : MKPD Biologi molekular Meningitis Streptococcus suis KODE MK : - PRASYARAT MK : Ujian Kualifikasi SEMESTER : III (Ganjil 2018) BOBOT SKS : 2 SKS DOSEN PENGAMPU : Prof. Dr. drh. I Gusti Ngurah Kade Mahardika A. MANFAAT KULIAH
Mata kuliah ini memberikan manfaat bagi peserta didik agar mampu memahami dan menelaah tentang Biologi Molekular Meningitis Streptococcus suis (S. suis)
B. DESKRIPSI PERKULIAHAN Mata kuliah ini membahas tentang genetika bakteri, aplikasi diagnostik molekular, Bakteri Streptoccus suis, Spesifik PCR Assay S. suis, Model hewan coba meningitis S. suis, Induksi Meningitis S. suis pada hewan coba
C. TUJUAN INSTRUKSIONAL Mahasiswa mampu menelaah dan memahami tentang Biologi Molekular Meningitis Streptococcus suis (S. suis) setelah mengikuti proses pembelajaran ini
D. STRATEGI PERKULIAHAN Metode pembelajaran pada perkuliahan ini adalah ceramah, diskusi, presentasi, pemecahan masalah. Perkuliahan dilaksanakan di kelas dan materi kuliah serta bahan bacaan diinformasikan pada awal perkuliahan. Mahasiswa diberikan tugas terstruktur dan tugas mandiri untuk menambah pemahaman materi kuliah
E. MATERI KULIAH 1 Genetika Bakteri 2 Aplikasi diagnostik Molekular 3 Bakteri Streptococcus suis 4 PCR Spesifik untuk S. suis 5 Model hewan coba meningitis S. suis 6 Induksi Meningitis S. suis pada hewan coba 7 Skor Klinis dan penilaian luaran hewan coba 8 Pengobatan eksperimental meningitis 9 Manuskrip Epidemiology,clinical sign and microbiology study of meningitis
patients caused by Streptocccus suis infection in Bali, Indonesia 10 Manuskrip Cluster Human infection of Streptoccus suis in Bali, Indonesia.
F. TUGAS 1. Tugas penelusuran melalui teknologi informasi
Mahasiswa diberikan tugas untuk menemukan marker neurospesifik sel glia pada meningitis
2. Tugas paper Mahasiswa diberikan tugas menyusun makalah tentang marker neurospesifik sel glia pada meningitis
G. KRITERIA PENILAIAN/EVALUASI
Penilaian meliputi ujian tulis dan tugas (presentasi dan paper). Pembobotan nilai sebgai berikut: UTS 20 %; UAS 20 %; Tugas-tugas 60 %. Standar Penilaian menggunakan Sistem Penilaian Acuan Patokan (PAP). Hasil evaluasi dikategorikan sebagai berikut:
Angka Mutu (skala 0-10)
Huruf Mutu (skala kualitatif)
85-100 A 70-84 B 55-69 C 40-45 D 0-39 E
H. JADWAL PERKULIAHAN/PENILAIAN
Pertemuan ke-
Pokok Bahasan Sub pokok bahasan Bacaan/Bab
1 Genetika Bakteri 1. Anatomi molekul DNA dan RNA
2. Terminologi 3. Elemen Genetik
dan Perubahannya
4. Mekanisme Transfer Gene
1. Mahon CR, Lehman DC. Manuselis G. 2015. Textbook of Diagnostic Microbiology. 5th edition. Elsevier. Missouri
2 Aplikasi diagnostik Molekular
1. Teknik hibridisasi Asam nukleat
2. Prosedur amplifikasi Asam nukleat
3. Strain typing dan identifikasi
4. Diagnostik molekular
1. Mahon CR, Lehman DC. Manuselis G. 2015. Textbook of Diagnostic Microbiology. 5th edition. Elsevier. Missouri
3 Bakteri Streptococcus suis
1. Penyakit Infeksi emerging
2. Pathogen zoonosis
3. Serotyping dan sequence typing
1. Goyette-Dejardins G, Auger JP, Xu J, Segura M, Gottschalk M. 2014. Streptococcus suis, an important pig pathogen and emerging zoonotic agent- an update on the worldwide distribution based on serotyping and sequence typing. Emerging Microbe and infections; 3, e45; doi:10.1038/emi.2014.45
2. Dutkiewicz J, Sroka J, Zajac V, Wasinski B, Cisak E, Sawczyn A, Kloc A, Wojcik-
Fatla A. 2017. Streptococcus suis: a re-emerging pathogen associated with occupational exposure to pigs or pork products. Part I – Epidemiology. Ann Agric Environ Med; 24(4): 683–695
3. Dutkiewicz J, Zajac V, Sroka J, Wasinski B, Cisak E, Sawczyn A, Kloc A, Wojcik- Fatla A. 2018. Streptococcus suis: a re-emerging pathogen associated with occupational exposure to pigs or pork products. Part II – Pathogenesis. Ann Agric Environ Med; 25(1):186-203.
4 Spesifik PCR Assay untuk S. suis
1. Berdasarkan gen GDH
2. Deteksi faktor virulensi S. suis dengan PCR
1. Okwumabua O, O’Connor M, Shull E. 2003. A polymerase chain reaction (PCR) assay speci¢c for Streptococcus suis based on the gene encoding the glutamate dehydrogenase. FEMS Microbiology Letters ;218: 79-84
2. Rui P, Zhang Z, Ma ZJ, Fang H, Yang WJ, Zhang X, Chen J, Jia QH. 2012. Detection of virulence-associated factors of Streptococcus suis serotype 2 by PCR assay in Hebei, Province of China. African Journal of Microbiology Research; 6(5) : 1061-1064
3. Ishida S, Tien L, Osawa R, Tohya M, Nomoto R, Kawamura Y, Takahashi T, Kikuchi N, Kikuchi K, Sekizaki T. 2014. Development of an appropriate PCR system for the reclassification of Streptococcus suis. Journal of Microbiological Methods; 107: 66-70
5 Model Hewan Coba Meningitis S. suis
1. Kelinci 2. Mencit 3. Tikus Wistar
1. Brandt CT. 2010. Experimental studies of pneumococcal meningitis. Dan Med Bull,57: B4119
2. Chiavolini D, Pozzi G, Ricci S. 2008. Animal Model of Streptococcus pneumoniae Disease. Clinical Microbiology Reviews, 21 (4); 666-685
6 Induksi Meningitis S.suis pada hewan coba
1. Inhalasi 2. Intraperitoneal 3. Intracerebral
1. Brandt CT. 2010. Experimental studies of pneumococcal meningitis. Dan Med Bull,57: B4119
2. Chiavolini D, Pozzi G, Ricci S. 2008. Animal Model of Streptococcus pneumoniae Disease. Clinical Microbiology Reviews, 21 (4); 666-685
7 Skor klinis,
Motorik dan Penilaian luaran
1. Skor klinis meningitis pada hewan coba
2. Penilaian luaran klinis hewan coba
1. Brandt CT. 2010. Experimental studies of pneumococcal meningitis. Dan Med Bull,57: B4119
2. Chiavolini D, Pozzi G, Ricci S. 2008. Animal Model of Streptococcus pneumoniae Disease. Clinical Microbiology Reviews, 21 (4); 666-685
8. Pengobatan ekserimental hewan coba meningitis
1. Terapi ceftriakson
2. Terapi deksamethason
1. Brandt CT. 2010. Experimental studies of pneumococcal
meningitis. Dan Med Bull,57: B4119
2. Chiavolini D, Pozzi G, Ricci S. 2008. Animal Model of Streptococcus pneumoniae Disease. Clinical Microbiology Reviews, 21 (4); 666-685
9 Epidemiology, clinical signs and microbiological study of meningitis patients caused by Streptococcus suis infection in Bali, Indonesia
Epidemiology, clinical signs and microbiological study of meningitis patients caused by Streptococcus suis infection in Bali, Indonesia
Manuskrip
10 Cluster human infection of Streptococcus suis in Bali, Indonesia
Cluster human infection of Streptococcus suis in Bali, Indonesia
Manuskrip
Pihak I Dosen Pengampu (Prof. Dr. drh. I Gusti Ngurah Kade Mahardika)
Pihak II a.n. Mahasiswa yang menempuh Korti (dr. Ni Made Susilawathi, Sp.S(K)
Mengetahui Koordinator PS Doktor Ilmu Kedokteran
Prof. Dr.dr. I Made Jawi, M.Kes NIP:195812311998601 1 006
SILABUS
Nama Mata Kuliah : Biologi Molekular Meningitis Streptococus suis Semester : III Mata Kuliah Prasyarat : MKDU Nama Dosen:
Prof. Dr. drh. I Gusti Ngurah Kade Mahardika Standar Kompetensi
11 Pengetahuan dan pemahaman tentang Genetika Bakteri
12 Pengetahuan dan pemahaman tentang Aplikasi diagnostik Molekular
13 Pengetahuan dan pemahaman tentang Bakteri Streptococcus suis
14 Pengetahuan dan pemahaman tentang PCR Spesifik untuk S. suis
15 Pengetahuan dan pemahaman tentang Model hewan coba meningitis S. suis
16 Pengetahuan dan pemahaman tentang Induksi Meningitis S. suis pada hewan
coba
17 Pengetahuan dan pemahaman tentang Skor Klinis dan penilaian luaran hewan
coba
18 Pengetahuan dan pemahaman tentang Pengobatan eksperimental meningitis
19 Pembuatan manuskrip Epidemiology,clinical sign and microbiology study of
meningitis patients caused by Streptocccus suis infection in Bali, Indonesia
20 Pembuatan manuskrip Cluster Human infection of Streptoccus suis in Bali,
Indonesia
No
Kompetensi Dasar
Materi Pokok Pengalaman Belajar
Indikator Pencapaian
Penilaian Alokasi Waktu
Sumber /Bahan/ Alat T U
K US
TM
P L
1 Genetika Bakteri
5. Anatomi molekul DNA dan RNA
6. Terminologi 7. Elemen
Genetik dan Perubahannya
1. Mekanisme Transfer Gene
Memperdalam, mediskusikan materi
Membuat referat dari beberapa junral terkait
√ √ √ 50 50
50
Artikel/ review jurnal Presentasi ppt
2 Aplikasi diagnostik Molekular
1. Teknik hibridisasi Asam nukleat
2. Prosedur amplifikasi Asam nukleat
3. Strain typing dan identifikasi
4. Diagnostik molekular
Memperdalam, mediskusikan materi
Membuat referat dari beberapa junral terkait
√ √ √ 50 50
50
Artikel/ review jurnal Presentasi ppt
3 Bakteri Streptococcus suis
4. Penyakit Infeksi emerging
5. Pathogen zoonosis
6. Serotyping dan sequence typing
Memperdalam, mediskusikan materi
Membuat referat dari beberapa junral terkait
√ √ √ 50 50
50
Artikel/ review jurnal Presentasi ppt
4 PCR spesifik untuk S.suis
3. Berdasarkan gen GDH
4. Deteksi faktor virulensi S. suis dengan PCR
Memperdalam, mediskusikan materi
Membuat referat dari beberapa junral terkait
√ √ √ 50 50
50
Artikel/ review jurnal Presentasi ppt
5 Model Hewan Coba Meningitis S. suis
1. Kelinci 2. Mencit 3. Tikus
Wistar
Memperdalam, mediskusikan materi
Membuat referat dari beberapa junral terkait
√ √ √ 50 50
50
Artikel/ review jurnal Presentasi ppt
6 Induksi Meningitis S.suis pada hewan coba
4. Inhalasi 5. Intraperitone
a 6. Intracerebral
Memperdalam, mediskusikan materi
Membuat referat dari beberapa junral terkait
√ √ √ 50 50
50
Artikel/ review jurnal Presentasi ppt
7 Skor klinis, Motorik dan Penilaian luaran
1. Skor klinis meningitis pada hewan coba
2. Penilaian luaran klinis hewan coba
Memperdalam, mediskusikan materi
Membuat referat dari beberapa junral terkait
√ √ √ 50 50
50
Artikel/ review jurnal Presentasi ppt
8 Pengobatan ekserimental hewan coba meningitis
1. Terapi ceftriakson
2. Terapi deksamethason
Memperdalam, mediskusikan materi
Membuat referat dari beberapa junral terkait
√ √ √ 50 50
50
Artikel/ review jurnal Presentasi ppt
9 Epidemiology, clinical signs and microbiological study of meningitis patients caused by Streptococcus suis infection in Bali, Indonesia
1. Epidemiology, clinical signs and microbiological study of meningitis patients caused by Streptococcus suis infection in Bali, Indonesia
Memperdalam, mediskusikan materi
Membuat referat dari beberapa junral terkait
√ √ √ 50 50
50
Artikel/ review jurnal Presentasi ppt
10 Cluster human infection of Streptococcus suis in Bali, Indonesia
1. Cluster human infection of Streptococcus suis in Bali, Indonesia
Memperdalam, mediskusikan materi
Membuat referat dari beberapa junral terkait
√ √ √ 50 50
50
Artikel/ review jurnal Presentasi ppt
Keterangan: T: tertulis, UK: unjuk kerja, US: unjuk sikap, TM: tatap muka, P: praktikum, L: Latihan
Pustaka: Coimbra R, Voisin V, Saizieu A, Lindberg R, Wittwer M, Leppert D, Leib S. 2006. Gene expression in cortex and hippocampus during acute pneumococcal meningitis. BMC Biology; 4:15. Dominguez-Punaro M., Segura M., Plante M., Lacouture S., RIvest S., Gottschalk M. 2007. Streptococcus suis Serotype 2, an Important Swine and Human Pathogen, Induces Strong Systemic and Cerebral Inflamatory Response in a Mouse Model of Infection. J. Immunol, 179:1842-1854. Dutkiewicz J, Sroka J, Zajac V, Wasinski B, Cisak E, Sawczyn A, Kloc A, Wojcik-Fatla A. 2017. Streptococcus suis: a re-emerging pathogen associated with occupational exposure to pigs or pork products. Part I – Epidemiology. Ann Agric Environ Med; 24(4): 683–695. Dutkiewicz J, Zajac V, Sroka J, Wasinski B, Cisak E, Sawczyn A, Kloc A, Wojcik-Fatla A. 2018. Streptococcus suis: a re-emerging pathogen associated with occupational exposure to pigs or pork products. Part II – Pathogenesis. Ann Agric Environ Med; 25(1):186-203. Goyette-Desjardins G, Auger JP, Xu J, Segura M, Gottschalk M. 2014. Streptococcus susi, an important pig pathogen and emerging zoonotic agent-unpdate on the worldwide distribution based on serotyping and sequence typing. Emerging Microbe and Infections,3,e45;doi:10.1038/emi.2014. Ishida S, Thuy Tien L.H., Osawa R, Tohya M, Nomoto R, Kawamura Y, Takahashi T, Kikuchi N, Kikuchi K, Sekizaki T. 2014. Development of an appropriate PCR system for the reclassification of Streptococcus suis. Journal of Microbiological Methods 107:66-70. Lill M, Somets U, Schalkwyk L, Fernandes C, Lutsar I, Tab P. 2013. Pheripheral bool RNA gen expression profiling in patients bacterial meningitis. Frontiers in Neuroscience; 7(33):1-14. Marois C, Bougeard S, Gottschalk M, Kobisch M. 2004. Multiplex PCR Assay for Detection of Streptococcus suis Species and Serotypes 2 and 1/2 in Tonsils of Live and Dead Pigs. JOURNAL OF CLINICAL MICROBIOLOGY; 42(7): 3169-3175 Nutravong T, Angkititrakul S, Panomai N, Jiwakanon N, Wongchanthong W, Dejsirilert S, Nawa Y. Identification of Major Streptococcus suis Serotype 2,7,8 and 9 Isolated from Pigs and Humans in Upper Northeastern Thailand, Southeast Asian J Trop Med Public Health, 2014. 45(5): p. 1173-1181 Okwumabua O, O’connor M, Shull E. 2003. A polymerase chain reaction (PCR) assay specific for Streptococcus suis based on the gene encoding the glutamate dehydrogenase. FEMS Microbiology Letters,218: 79-84. Paul R, Koedel U, Pfister H. 2003. Using Knockout Mice to Study Experimental Meningitis. Archivum Immunologiae et Therapiae Experimentalis; 51:315-326. Rui P, Zhang Z, Ma Z, Fang H, Yang W, Zhang X, Chen J, Jia Q. 2012. Detection of virulence-associated factors of Streptococcus suis serotype 2 by PCR assay in Hebei, Province of China. African Journal of Microbiology Reasearch; 6(5): 1061-1064. Silva LMG, Baums CG, Rehm T, Wisselink HJ, Goethe R, Weigand PV. 2006. Virulence-associated profiling of Streptococcus suis isolates by PCR. Veterinary Microbiology; 115:117-127.
Smith HE, Veenbergen V, Velde J, Damman M, Wisselink H, Smits M. 1999. The cps gene of Streptococcus suis Serotype 1, 2, and 9: Development of Rapid Serotype-Specific PCR Assays Wertheim HF, Nghia HD, Taylor W, Schultsz C. Streptococcus suis: an emerging human pathogen. Clin Infect Dis. 2009; 48:617-625.
Denpasar, Dosen Pengampu Mata Kuliah
Prof. Dr. drh. I Gusti Ngurah Kade Mahardika
Satuan Acara Perkuliahan (SAP)
1 MATA KULIAH Biologi Molekular Meningitis Streptococcus suis 2 KODE MATA KULIAH - 3 WAKTU PERTEMUAN 60 menit 4 PERTEMUAN KE- 1 5 INDIKATOR PENCAPAIAN Mahasiswa mampu memahami, menelaah dan
merangkum tentang Genetika Bakteri 6 MATERI POKOK Genetika Bakteri 7 SUB POKOK BAHASAN 1. Anatomi molekul DNA dan RNA
2. Terminologi 3. Elemen Genetik dan Perubahannya 4. Mekanisme Transfer Gene
STRATEGI PEMBELAJARAN
TAHAPAN KEGIATAN
DOSEN KEGIATAN
MAHASISWA MEDIA DAN ALAT PEMBELAJARAN
(1) (2) (3) (4) Pembukaan Memberikan
ulasan umum isi mata kuliah
Melihat, medengarkan penjelasan serta mencatat
SAP, Silabus, Rencana dan jadwal perkuliahan, buku ajar, diktat, tugas terstruktur, slide presentasi
Penyajian Mengulas tentang genetika bakteri
Melihat, medengarkan penjelasan serta mencatat
idem
Penutup Merangkum uraian tentang genetika bakteri
Menyimak, mengajukan pertanyaan dan pendapat dalam diskusi, merangkum dan melaporkan kegiatan selama kuliah
idem
Evaluasi Ujian tulis, lisan, penelaian/ evaluasi terhadap proses pembelajaran dan unjuk sikap
Referensi 1. Mahon CR, Lehman DC. Manuselis G. 2015. Textbook of Diagnostic Microbiology. 5th edition. Elsevier. Missouri
Dosen: Prof. Dr. drh. I Gusti Ngurah Kade Mahardika
Satuan Acara Perkuliahan (SAP)
1 MATA KULIAH Biologi Molekular Meningitis Streptococcus suis 2 KODE MATA KULIAH - 3 WAKTU PERTEMUAN 60 menit 4 PERTEMUAN KE- 2 5 INDIKATOR PENCAPAIAN Mahasiswa mampu memahami, menelaah dan
merangkum tentang Aplikasi diagnostik Molekular
6 MATERI POKOK Aplikasi diagnostik Molekular 7 SUB POKOK BAHASAN 5. Teknik hibridisasi Asam nukleat
6. Prosedur amplifikasi Asam nukleat 7. Strain typing dan identifikasi 8. Diagnostik molekular
STRATEGI PEMBELAJARAN
TAHAPAN KEGIATAN
DOSEN KEGIATAN
MAHASISWA MEDIA DAN ALAT PEMBELAJARAN
(1) (2) (3) (4) Pembukaan Memberikan
ulasan umum isi mata kuliah
Melihat, medengarkan penjelasan serta mencatat
SAP, Silabus, Rencana dan jadwal perkuliahan, buku ajar, diktat, tugas terstruktur, slide presentasi
Penyajian Mengulas tentang Aplikasi diagnostik Molekular
Melihat, medengarkan penjelasan serta mencatat
idem
Penutup Merangkum uraian tentang Aplikasi diagnostik Molekular
Menyimak, mengajukan pertanyaan dan pendapat dalam diskusi, merangkum dan melaporkan kegiatan selama kuliah
idem
Evaluasi Ujian tulis, lisan, penelaian/ evaluasi terhadap proses pembelajaran dan unjuk sikap
Referensi 2. Mahon CR, Lehman DC. Manuselis G. 2015. Textbook of Diagnostic Microbiology. 5th edition. Elsevier. Missouri
Dosen: Prof. Dr. drh. I Gusti Ngurah Kade Mahardika
Satuan Acara Perkuliahan (SAP)
1 MATA KULIAH Biologi Molekular Meningitis Streptococcus suis 2 KODE MATA KULIAH - 3 WAKTU PERTEMUAN 60 menit 4 PERTEMUAN KE- 3 5 INDIKATOR PENCAPAIAN Mahasiswa mampu memahami, menelaah dan
merangkum tentang Bakteri Streptococcus suis 6 MATERI POKOK Bakteri Streptococcus suis 7 SUB POKOK BAHASAN 9. Penyakit Infeksi emerging
10. Pathogen zoonosis 11. Serotyping dan sequence typing
STRATEGI PEMBELAJARAN
TAHAPAN KEGIATAN DOSEN
KEGIATAN MAHASISWA
MEDIA DAN ALAT PEMBELAJARAN
(1) (2) (3) (4) Pembukaan Memberikan
ulasan umum isi mata kuliah
Melihat, medengarkan penjelasan serta mencatat
SAP, Silabus, Rencana dan jadwal perkuliahan, buku ajar, diktat, tugas terstruktur, slide presentasi
Penyajian Mengulas tentang Bakteri Streptococcus suis
Melihat, medengarkan penjelasan serta mencatat
idem
Penutup Merangkum uraian tentang Bakteri Streptococcus suis
Menyimak, mengajukan pertanyaan dan pendapat dalam diskusi, merangkum dan melaporkan kegiatan selama kuliah
idem
Evaluasi Ujian tulis, lisan, penelaian/ evaluasi terhadap proses pembelajaran dan unjuk sikap
Referensi 3. Goyette-Dejardins G, Auger JP, Xu J, Segura M, Gottschalk M. 2014. Streptococcus suis, an important pig pathogen and emerging zoonotic agent- an update on the worldwide distribution based on serotyping and sequence typing. Emerging Microbe and infections; 3, e45; doi:10.1038/emi.2014.45
4. Dutkiewicz J, Sroka J, Zajac V, Wasinski B, Cisak E, Sawczyn A, Kloc A, Wojcik-Fatla A. 2017. Streptococcus suis: a re-emerging pathogen associated with occupational exposure Part I – Epidemiology. Ann Agric Environ Med; 24(4): 683–695
5. Dutkiewicz J, Zajac V, Sroka J, Wasinski B, Cisak E, Sawczyn A, Kloc A, Wojcik-Fatla A. 2018. Streptococcus suis: a re-emerging pathogen associated with occupational exposure to pigs or pork products. Part II – Pathogenesis. Ann Agric Environ Med; 25(1):186-203
Dosen: Prof. Dr. drh. I Gusti Ngurah Kade Mahardika
Satuan Acara Perkuliahan (SAP)
1 MATA KULIAH Biologi Molekular Meningitis Streptococcus 2 KODE MATA KULIAH - 3 WAKTU PERTEMUAN 60 menit 4 PERTEMUAN KE- 4 5 INDIKATOR PENCAPAIAN Mahasiswa mampu memahami, menelaah dan
merangkum tentang Spesifik PCR Assay untuk S. suis
6 MATERI POKOK Spesifik PCR Assay untuk S. suis 7 SUB POKOK BAHASAN 12. Berdasarkan gen GDH
13. Deteksi faktor virulensi S. suis dengan PCR
STRATEGI PEMBELAJARAN
TAHAPAN KEGIATAN DOSEN
KEGIATAN MAHASISWA
MEDIA DAN ALAT PEMBELAJARAN
(1) (2) (3) (4) Pembukaan Memberikan ulasan
umum isi mata kuliah
Melihat, medengarkan penjelasan serta mencatat
SAP, Silabus, Rencana dan jadwal perkuliahan, buku ajar, diktat, tugas terstruktur, slide presentasi
Penyajian Mengulas tentang Spesifik PCR Assay untuk S. suis
Melihat, medengarkan penjelasan serta mencatat
idem
Penutup Merangkum uraian tentang Spesifik PCR Assay untuk S. suis
Menyimak, mengajukan pertanyaan dan pendapat dalam diskusi, merangkum dan melaporkan kegiatan selama kuliah
idem
Evaluasi Ujian tulis, lisan, penelaian/ evaluasi terhadap proses pembelajaran dan unjuk sikap
Referensi 4. Okwumabua O, O’Connor M, Shull E. 2003. A polymerase chain reaction (PCR) assay speci¢c for Streptococcus suis based on the gene encoding the glutamate dehydrogenase. FEMS Microbiology Letters ;218: 79-84
5. Rui P, Zhang Z, Ma ZJ, Fang H, Yang WJ, Zhang X, Chen J, Jia QH. 2012. Detection of virulence-associated factors of Streptococcus suis serotype 2 by PCR assay in Hebei, Province of China. African Journal of Microbiology Research; 6(5) : 1061-1064 Ishida S, Tien L, Osawa R, Tohya M, Nomoto R, Kawamura Y, Takahashi T, Kikuchi N, Kikuchi K, Sekizaki T. 2014. Development of an appropriate PCR system for the reclassification of Streptococcus suis. Journal of Microbiological Methods; 107: 66-70
6. Ishida S, Tien L, Osawa R, Tohya M, Nomoto R, Kawamura Y, Takahashi T, Kikuchi N, Kikuchi K, Sekizaki T. 2014. Development of an appropriate PCR system for the reclassification of Streptococcus suis. Journal of Microbiological Methods; 107: 66-70
Dosen: Prof. Dr. drh. I Gusti Ngurah Kade Mahardika
Satuan Acara Perkuliahan (SAP)
1 MATA KULIAH Biologi Molekular Meningitis Streptococcus suis 2 KODE MATA KULIAH - 3 WAKTU PERTEMUAN 60 menit 4 PERTEMUAN KE- 5 5 INDIKATOR PENCAPAIAN Mahasiswa mampu memahami, menelaah dan
merangkum tentang Model Hewan Coba Meningitis S. suis
6 MATERI POKOK Model Hewan Coba Meningitis S. suis 7 SUB POKOK BAHASAN 14. Kelinci
15. Tikus 16. Mencit
STRATEGI PEMBELAJARAN
TAHAPAN KEGIATAN DOSEN
KEGIATAN MAHASISWA
MEDIA DAN ALAT PEMBELAJARAN
(1) (2) (3) (4) Pembukaan Memberikan
ulasan umum isi mata kuliah
Melihat, medengarkan penjelasan serta mencatat
SAP, Silabus, Rencana dan jadwal perkuliahan, buku ajar, diktat, tugas terstruktur, slide presentasi
Penyajian Mengulas tentang Model Hewan Coba Meningitis S. suis
Melihat, medengarkan penjelasan serta mencatat
idem
Penutup Merangkum uraian tentang Model Hewan Coba Meningitis S. suis
Menyimak, mengajukan pertanyaan dan pendapat dalam diskusi, merangkum dan melaporkan kegiatan selama kuliah
idem
Evaluasi Ujian tulis, lisan, penelaian/ evaluasi terhadap proses pembelajaran dan unjuk sikap
Referensi 7. Brandt CT. 2010. Experimental studies of pneumococcal meningitis. Dan Med Bull,57: B4119
8. Chiavolini D, Pozzi G, Ricci S. 2008. Animal Model of Streptococcus pneumoniae Disease. Clinical Microbiology Reviews, 21 (4); 666-685
Dosen: Prof. Dr. drh. I Gusti Ngurah Kade Mahardika
Satuan Acara Perkuliahan (SAP)
1 MATA KULIAH Biologi Molekular Meningitis Streptococcus suis 2 KODE MATA KULIAH - 3 WAKTU PERTEMUAN 60 menit 4 PERTEMUAN KE- 6 5 INDIKATOR PENCAPAIAN Mahasiswa mampu memahami, menelaah dan
merangkum tentang Induksi Meningitis S.suis pada hewan coba
6 MATERI POKOK Induksi Meningitis S.suis pada hewan coba 7 SUB POKOK BAHASAN 17. Inhalasi
18. Intraperitoneal 19. Intraserebral
STRATEGI PEMBELAJARAN
TAHAPAN KEGIATAN DOSEN
KEGIATAN MAHASISWA
MEDIA DAN ALAT PEMBELAJARAN
(1) (2) (3) (4) Pembukaan Memberikan
ulasan umum isi mata kuliah
Melihat, medengarkan penjelasan serta mencatat
SAP, Silabus, Rencana dan jadwal perkuliahan, buku ajar, diktat, tugas terstruktur, slide presentasi
Penyajian Mengulas tentang Induksi Meningitis S.suis pada hewan coba
Melihat, medengarkan penjelasan serta mencatat
idem
Penutup Merangkum uraian tentang Induksi Meningitis S.suis pada hewan coba
Menyimak, mengajukan pertanyaan dan pendapat dalam diskusi, merangkum dan melaporkan kegiatan selama kuliah
idem
Evaluasi Ujian tulis, lisan, penelaian/ evaluasi terhadap proses pembelajaran dan unjuk sikap
Referensi 9. Brandt CT. 2010. Experimental studies of pneumococcal meningitis. Dan Med Bull,57: B4119
10. Chiavolini D, Pozzi G, Ricci S. 2008. Animal Model of Streptococcus pneumoniae Disease. Clinical Microbiology Reviews, 21 (4); 666-685
Dosen: Prof. Dr. drh. I Gusti Ngurah Kade Mahardika
Satuan Acara Perkuliahan (SAP)
1 MATA KULIAH Biologi Molekular Meningitis Streptococcus suis 2 KODE MATA KULIAH - 3 WAKTU PERTEMUAN 60 menit 4 PERTEMUAN KE- 7 5 INDIKATOR PENCAPAIAN Mahasiswa mampu memahami, menelaah dan
merangkum tentang Skor klinis, Motorik dan Penilaian luaran Hewan coba
6 MATERI POKOK Skor klinis, Motorik dan Penilaian luaran hewan coba 7 SUB POKOK BAHASAN 20. Skor klinis
21. Penilaian luaran hewan coba
STRATEGI PEMBELAJARAN
TAHAPAN KEGIATAN
DOSEN KEGIATAN
MAHASISWA MEDIA DAN ALAT PEMBELAJARAN
(1) (2) (3) (4) Pembukaan Memberikan
ulasan umum isi mata kuliah
Melihat, medengarkan penjelasan serta mencatat
SAP, Silabus, Rencana dan jadwal perkuliahan, buku ajar, diktat, tugas terstruktur, slide presentasi
Penyajian Mengulas tentang Skor klinis, Motorik dan Penilaian luaran hewan coba
Melihat, medengarkan penjelasan serta mencatat
idem
Penutup Merangkum uraian tentang Skor klinis, Motorik dan Penilaian luaran hewan coba
Menyimak, mengajukan pertanyaan dan pendapat dalam diskusi, merangkum dan melaporkan kegiatan selama kuliah
idem
Evaluasi Ujian tulis, lisan, penelaian/ evaluasi terhadap proses pembelajaran dan unjuk sikap
Referensi 11. Brandt CT. 2010. Experimental studies of pneumococcal meningitis. Dan Med Bull,57: B4119
12. Chiavolini D, Pozzi G, Ricci S. 2008. Animal Model of Streptococcus pneumoniae Disease. Clinical Microbiology Reviews, 21 (4); 666-685
Dosen: Prof. Dr. drh. I Gusti Ngurah Kade Mahardika
Satuan Acara Perkuliahan (SAP)
1 MATA KULIAH Biologi Molekular Meningitis Streptococcus suis 2 KODE MATA KULIAH - 3 WAKTU PERTEMUAN 60 menit 4 PERTEMUAN KE- 8 5 INDIKATOR PENCAPAIAN Mahasiswa mampu memahami, menelaah dan
merangkum tentang Pengobatan ekserimental hewan coba meningitis
6 MATERI POKOK Pengobatan ekserimental hewan coba meningitis 7 SUB POKOK BAHASAN 22. Terapi ceftriakson
23. Terapi deksametason
STRATEGI PEMBELAJARAN
TAHAPAN KEGIATAN DOSEN
KEGIATAN MAHASISWA
MEDIA DAN ALAT PEMBELAJARAN
(1) (2) (3) (4) Pembukaan Memberikan
ulasan umum isi mata kuliah
Melihat, medengarkan penjelasan serta mencatat
SAP, Silabus, Rencana dan jadwal perkuliahan, buku ajar, diktat, tugas terstruktur, slide presentasi
Penyajian Mengulas tentang Pengobatan ekserimental hewan coba meningitis
Melihat, medengarkan penjelasan serta mencatat
idem
Penutup Merangkum uraian tentang Pengobatan ekserimental hewan coba meningitis
Menyimak, mengajukan pertanyaan dan pendapat dalam diskusi, merangkum dan melaporkan kegiatan selama kuliah
idem
Evaluasi Ujian tulis, lisan, penelaian/ evaluasi terhadap proses pembelajaran dan unjuk sikap
Referensi 13. Brandt CT. 2010. Experimental studies of pneumococcal meningitis. Dan Med Bull,57: B4119
14. Chiavolini D, Pozzi G, Ricci S. 2008. Animal Model of Streptococcus pneumoniae Disease. Clinical Microbiology Reviews, 21 (4); 666-685Ishida S, Tien L, Osawa R, Tohya M, Nomoto R, Kawamura Y, Takahashi T, Kikuchi N, Kikuchi K, Sekizaki T. 2014. Development of an appropriate PCR system for the reclassification of Streptococcus suis. Journal of Microbiological Methods; 107: 66-70
Dosen: Prof. Dr. drh. I Gusti Ngurah Kade Mahardika
MATERI
Biologi Molekular Meningitis Streptococcus suis
Ni Made Susilawathi
Pendahuluan
Streptococcus suis (S. suis) merupakan patogen penting yang menimbulkan
kerugian ekonomi pada peternakan babi. S. suis sebagai bakteri zoonosis menyebabkan
infeksi yang berat pada manusia akibat kontak langsung dengan babi atau produk olahan
yang terinfeksi. Infeksi S. suis pada manusia telah terjadi sejak 45 tahun yang lalu dan
kejadiannya semakin meningkat dewasa ini (Goyette-Desjardins et al., 2014).
Diagnosis infeksi S. suis secara rutin berdasarkan hasil kultur dan serotyping,
namun memerlukan banyak tenaga kerja dan waktu dengan hasil yang tidak konsisten,
sehingga diperlukan metode yang cepat dan lebih akurat dalam deteksi S. suis. Teknik
polymerase chain reaction (PCR) telah dikembangkan untuk S.suis dengan target gen
yang spesifik (Okwumabua et al., 2003). Perkembangan teknik molekular dengan PCR
dengan target gen 16S rRNA atau gen cps serotipe spesifik meningkatkan sensitivitas dan
spesifisitas identifikasi S. suis pada cairan serebrospinalis (CSS), darah dan spesimen
klinis lainnya (Dutkiewicz et al. 2017).
Identifikasi S. suis dengan Metode PCR
Pengembangan metode diagnosis dan vaksin S. suis sering mengalami kendala
karena bakteri ini memiliki variasi genetik yang sangat luas (Okwumabua et al., 2003).
Teknik bakteriologi rutin digunakan untuk mendeteksi S. suis disertai pengembangan
teknik PCR. Teknik PCR monopleks dikembangkan mendeteksi serotipe S. suis
berdasarkan urutan gen kapsul spesifik kemudian metode ini berubah menjadi PCR
multipleks (Marois et al., 2004). Metode identifikasi S. suis dengan teknik PCR dilakukan
dengan menggunakan primer 16s RNA (Marois et al., 2004), gen GDH (Okwumabua et
al., 2003) dan gen recN (Ishida et al., 2014).
Metode identifikasi S. suis dengan teknik hibridisasi in situ dengan target gen 16s
rRNA diperkenalkan pada tahun 2000 oleh Boye et al. dan dikembangkan dengan
sekuens primer sesuai Marois et al. (tabel 1) dengan penghasilkan produk PCR sebesar
294 pasang basa (bp). Identifikasi S. suis dengan target gen GDH dimulai pada saat
Okwumabua et al. berhasil mengkloning gen glutamate dehydrogenase (GDH) S. suis
stipe 2 yang relatif stabil seperti gen GDH bakteri lainnya. Target pada gen GDH biasanya
digunakan untuk mendiagnosis berbagai infeksi bakteri karena relatif stabil dan tingkat
mutasi yang rendah. Gen GDH S. suis ditemukan pada seluruh tipe kapsul S. suis pada
berbagai lokasi geografis. Primer yang berasal dari gen yang spesies spesifik memiliki
sifat diagnostik yang penting. Primer yang digunakan untuk gen GDH sesuai tabel 1yang
menghasilkan menghasilkan fragmen ampifikasi sebesar 688 bp (Okwumabua et al.,
2003). Identifikasi S. suis berdasarkan 16s rRNA dan gen GDH tidak dapat mendeteksi
35 serotipe S. suis sehingga dikembangkan metode PCR dengan menggunakan gen recN
yang memiliki nilai divergensi yang lebih tinggi pada tingkat subsepsies. Primer untuk
gen recN dapat dilihat pada tabel 1 (Ishida et al., 2014).
Tabel 1. Sekuens Primer untuk identifikasi S. suis (Marois et.al., 2004;
Okwunaba et al., 2003; Ishida et al., 2014)
Target gen
Primer Sequence (5’ - 3’) Produk PCR (bp)
16S rRNA
16S-195 (s) 16S-489 (as)
CAGTATTTACCGCATGGTAGATAT 294 GTAAGATACCGTCAAGTGAGAA
gdh JP4 JP5
GCAGCGTATTCTGTCAAACG 688 CCATGGACAGATAAAGATGG
recN SSrecN-F SSrecN-R
CTACAAACAGCTCTCTTCT 336 ACAACAGCCAATTCATGGCGTGATT
Identifikasi tipe kapsul menggunakan primer seperti tabel 2 (Silva et al. 2006;
Nutravong et al., 2014). S. suis adalah bakteri berkapsul dengan komponen polisakarida
(CPS) memiliki peranan yang penting (Dutkiewicz et al., 2018). Biositesis komponen
CPS menggunakan jalur yang kompleks dengan keterlibatan beberapa gen (Smith et al.
1999).
Tabel. 2 Sekuens Primer Kapsul S.suis (Silva et al., 2006; Nutravong et al., 2014)
Primer Sequence (5’ - 3’) Amplicon size (bp)
cps1J (s) cps1J (as)
GGCGGTCTAGCAGATGCTCG 675 GCGAACTGTTAGCCATGAC
cps2J (s) cps2J (as)
GTTGAGTCCTTATACACCTGTT 459 CAGAAAATTCATATTGTCCACC
cps5N(s) cps5N (as)
TGATGGCGGAGTTTGGGTCGC 166 CGTAACAACCGCCCCAGCCG
cps7H (s) AGCTCTAACACGAAATAAGGC 251
cps 7H (as) GTCAAACACCCTGGATAGCCG cps8H (s) cps8H (as)
ATGGGCGTTGGCGGGAGTTT 320 TTACGGCCCCCATCACGCTG
cps9H (s) cps9H (as)
GGCTACATATAATGGAAGCCC 390 CCGAAGTATCTGGGCTACTG
cps16K (s) cps16K (as)
TGGAGGAGCATCTACAGCTCGGAAT 202 TTTGTTTGCTGGAATCTCAGGCACC
Patogenesis S.suis serotipe 2 berhubungan faktor virulensi yang dimiliki.
Beberapa faktor virulensi telah diidentifikasi seperti glutamate dehydrogenase (gdh),
extracellular factor (ef), capsular polysaccharide (cps), murimidase- released protein
(mrp) dan suilysin (sly). Faktor virulensi sly, ef dan mrp memiliki peranan penting dalam
infeksi S. suis (Rui et al., 2012). EF berukuran 110 kDa dan MRP 136 kDa diekspresikann
oleh berbagai strain S. suis yang virulen sedangkan suilysin merupakan thiol-activated
hemolysin memiiki sifat sitotoksik dan memiliki kemampuan untuk menembus jaringan
yang lebih dalam (Silva et al., 2006).
Rui et al. melaporkan strain S. suis serotipe 2 yang sangat patogenik memiliki
enam faktor virulensi yaitu cps2+/ gdh+/ef+/ mrp+/ sly+/ orf2+. mrp dan ef yang lebih
terdeteksi pada strain S. suis yang virulen sehingga sering dipakai sebagai petanda
patogenesitas yang tinggi pada S. suis serotipe 2. Primer yang digunakan pada penelitian
ini dengan gen target sesuai gambar 1 (Rui et al., 2012).
Tabel 3. Primer PCR untuk target gen faktor virulensi S. suis (Rui et.al., 2012).
Teknik PCR multipleks dapat digunakan untuk mendeteksi infeksi S. suis lebih cepat dan
akurat dibandingkan teknik molekular lainnya (Okwumabua et al., 2003; Silva et al.,
2006).
Metode Serotyping S. suis
Serotyping merupakan identifikasi rutin yang dikerjakan untuk menentukan strain
S. suis. S. suis memiliki 35 serotipe berdasarkan atas antigenisiti dari komponen kapsular
polisakaridase (CPS). Analisa sekuensing pada gen 16S rRNA dan cpsJ menunjukkan
adanya variasi genetik S. suis yang tinggi (Goyette-Desjardins et al., 2014).
Metode serotyping dapat dikerjakan dengan dengan dua cara yaitu: metode
serologi dan PCR. Metode serologi menggunakan uji koagulasi, presipitasi kapiler atau
dengan reaksi kapiler Neufeld dengan antisera referensi. Penggunaan metode ini sering
mengalami reaksi silang (Goyette-Desjardins et al., 2014). Metode serologi yang
berkembang dewasa ini untuk mendiagnosis infeksi S.suis berupa metode
immunocapture, teknik flouresecent antibody dan purified capsular polysaccharide
antigen-based indirect ELISA (Dutkiewicz et al. 2017).
Teknik PCR untuk serotyping menggunakan gen cps serotipe spesifik lebih
menjanjikan dalam kemudahan pengembangan dan efektifitas (Goyette-Desjardins et al.,
2014). Sudi yang dikerjakan Wertheim et al. menggunakan PCR dengan target gen cps2J
S. suis serotipe 2 meningkatkan diagnosis kasus S. suis di Asia (Dutkiewicz et al. 2017;
Wertheim et.al., 2009).
Ekspresi Gen pada Meningitis Bakteri
Studi eksperimental meningitis bakteri pada hewan coba telah memberikan
wawasan baru dalam patofisiologi meningitis. Adanya tikus rekayasa genetika
memungkinkan penelitian tentang peranan gen tertentu terhadap patofisiologi meningitis
(Paul et al., 2003).
Invasi bakteri ke dalam CSS akan menginduksi dengan cepat respon inflamasi
yang dimediasi oleh sistem imun alamiah. Sel mikroglia dan astrosit meniliki reseptor
yang mampu mengenal pola antigen yang dikenal dengan istilah pattern-recognition
receptors (PRR) sedangkan pola amtigennya disebut PAMPs (pathogen-associated
molecular patterns). PRR untuk bakteri gram positif adalah TLR2 sedangkan TLR4
untuk bakteri gram negatif. Aktivasi TLR2 dan TLR4 merupakan langkah awal respon
imun pada meningitis bakteri yang akan memicu kaskade inflamasi oleh sitokin (Lill et
al., 2013; Paul et al., 2003).
Aktivasi respon imun pada meningitis bakteri terjadi pada tingkat traskriptom
dengan peningkatan ekspresi gen berasal dari kelompok sel mast yang menunjukkan
adanya hiperaktivasi dari sistem imun. Peningkatan aktivasi gen terjadi pada jalur
presentasi antigen, pensinyalan sel, respon imun selular dan respon imun humoral (Lill et
al., 2013).
Gambar 1. Target gen pada Eksperimental Meningitis (Paul et al., 2003)
Meningitis bakteri sering menimbulkan kecacatan neurologi akibat dari kerusakan
otak (gambar 2) yang terjadi termasuk nekrosis neuronal pada korteks serebri dan
apoptosis neuronal pada hipokampus. Kerusakan otak pada meningitis bakteri akibat
interaksi bakteri dan sel host. Produk bakteri pada CSS memicu respons inflamasi di
ruang subaranoid dengan menginduksi produksi dan pelepasan sitokin inflamasi,
kemokin, dan mediator inflamasi serta meningkatkan molekul adhesi dalam sel endotel
pembuluh darah otak d rekrutmen granulosit ke dalam CSS. Regulasi gen pada meningitis
bakteri secara umum meningkat pada gen yang berhubungan dengan neuroplastisiti,
sinyal tranduksi, kematian sel, sitoskeleton, respon imun alamiah dan adaptif dan
menurun pada gen yang berhubungan dengan neurotransmisi dan metabolism lipid
(Coimbra et al., 2006).
Gambar 2. Mekanisme Kerusakan Otak pada Experimental Meningitis (Paul et
al., 2003)
Studi eksperimental meningitis S.suis pada mencit menghasilkan peningkatan ekspresi
berbagai gen proinflamasi antara lain TLR-2, CD14, IkBα, IL-1β, TNF-α dan MCP-1.
Peningkatan ekspresi gen ini lebih banyak dihubungkan dengan aktivasi mikroglia
dibandingkan astrosit. Mikroglia merupakan sel makrofag residen otak yang berperanan
dalam pertahanan awal melawan patogen dan memiliki fungsi sebagai efektor
proinflamasi (Dominguez- Punaro et.al., 2007).
Daftar Pustaka
Coimbra R, Voisin V, Saizieu A, Lindberg R, Wittwer M, Leppert D, Leib S. 2006. Gene expression in cortex and hippocampus during acute pneumococcal meningitis. BMC Biology; 4:15. Dominguez-Punaro M., Segura M., Plante M., Lacouture S., RIvest S., Gottschalk M. 2007. Streptococcus suis Serotype 2, an Important Swine and Human Pathogen, Induces Strong Systemic and Cerebral Inflamatory Response in a Mouse Model of Infection. J. Immunol, 179:1842-1854.
Dutkiewicz J, Sroka J, Zajac V, Wasinski B, Cisak E, Sawczyn A, Kloc A, Wojcik-Fatla A. 2017. Streptococcus suis: a re-emerging pathogen associated with occupational exposure to pigs or pork products. Part I – Epidemiology. Ann Agric Environ Med; 24(4): 683–695. Dutkiewicz J, Zajac V, Sroka J, Wasinski B, Cisak E, Sawczyn A, Kloc A, Wojcik-Fatla A. 2018. Streptococcus suis: a re-emerging pathogen associated with occupational exposure to pigs or pork products. Part II – Pathogenesis. Ann Agric Environ Med; 25(1):186-203. Goyette-Desjardins G, Auger JP, Xu J, Segura M, Gottschalk M. 2014. Streptococcus susi, an important pig pathogen and emerging zoonotic agent-unpdate on the worldwide distribution based on serotyping and sequence typing. Emerging Microbe and Infections,3,e45;doi:10.1038/emi.2014. Ishida S, Thuy Tien L.H., Osawa R, Tohya M, Nomoto R, Kawamura Y, Takahashi T, Kikuchi N, Kikuchi K, Sekizaki T. 2014. Development of an appropriate PCR system for the reclassification of Streptococcus suis. Journal of Microbiological Methods 107:66-70. Lill M, SOomets U, Schalkwyk L, Fernandes C, Lutsar I, Tab P. 2013. Pheripheral bool RNA gen expression profiling in patients bacterial meningitis. Frontiers in Neuroscience; 7(33):1-14. Marois C, Bougeard S, Gottschalk M, Kobisch M. 2004. Multiplex PCR Assay for Detection of Streptococcus suis Species and Serotypes 2 and 1/2 in Tonsils of Live and Dead Pigs. JOURNAL OF CLINICAL MICROBIOLOGY; 42(7): 3169-3175 Nutravong T, Angkititrakul S, Panomai N, Jiwakanon N, Wongchanthong W, Dejsirilert S, Nawa Y. Identification of Major Streptococcus suis Serotype 2,7,8 and 9 Isolated from Pigs and Humans in Upper Northeastern Thailand, Southeast Asian J Trop Med Public Health, 2014. 45(5): p. 1173-1181 Okwumabua O, O’connor M, Shull E. 2003. A polymerase chain reaction (PCR) assay specific for Streptococcus suis based on the gene encoding the glutamate dehydrogenase. FEMS Microbiology Letters,218: 79-84. Paul R, Koedel U, Pfister H. 2003. Using Knockout Mice to Study Experimental Meningitis. Archivum Immunologiae et Therapiae Experimentalis; 51:315-326.
Rui P, Zhang Z, Ma Z, Fang H, Yang W, Zhang X, Chen J, Jia Q. 2012. Detection of virulence-associated factors of Streptococcus suis serotype 2 by PCR assay in Hebei, Province of China. African Journal of Microbiology Reasearch; 6(5): 1061-1064. Silva LMG, Baums CG, Rehm T, Wisselink HJ, Goethe R, Weigand PV. 2006. Virulence-associated profiling of Streptococcus suis isolates by PCR. Veterinary Microbiology; 115:117-127. Smith HE, Veenbergen V, Velde J, Damman M, Wisselink H, Smits M. 1999. The cps gene of Streptococcus suis Serotype 1, 2, and 9: Development of Rapid Serotype-Specific PCR Assays Wertheim HF, Nghia HD, Taylor W, Schultsz C. Streptococcus suis: an emerging human pathogen. Clin Infect Dis. 2009; 48:617-625.
MATERI
MODEL HEWAN COBA MENINGITIS BAKTERI NI MADE SUSILAWATHI
Pendahuluan
Meningitis bakteri masih merupakan infeksi berat sebagai penyebab kematian
meskipun telah ditemukan antibiotika yang efektif. Problem penanganan meningitis
bakteri menjadi semakin kompleks dewasa ini dengan ditemukannya patogen yang multi
resisten (Obermaier et al., 2006).
Mekanisme penyakit yang mendasari terkait perburukan klinis dan prognosis
yang buruk pada meningitis bakteri belum jelas. Penelitian klinis sering mengalami
kendala karena pasien datang ke rumah sakit dengan stadium yang berbeda-beda dan
jumlah pasien meningitis yang sesuai dengan studi sangat sedikit. Studi klinis yang ada
hanya menjelaskan parameter yang berhubungan dengan kondisi kedatangan pasien pada
stadium lanjut sehingga perkembangan studi klinis tentang pengembangan terapi
meningitis sangat terbatas (Brandt, 2010).
Perkembangan model eksperimental dimulai pada awal abad ke-20 akibat
prognosis pasien meningitis yang masih buruk dan belum ditemukannya antisera efektif
untuk mengurangi angka kematian sehingga kebutuhan untuk mempelajari meningitis
bakteri dan menemukan obat yang efektif sangat mendesak. Penemuan penisilin pada
pertengahan tahun 1940 membawa kemajuan pada penanganan meningitis bakteri dengan
tingkat kematian berkurang hingga 50 % (Liechti et al., 2015).
Keterbatasan studi klinis dan invitro dalam penelitian meningitis bakteri
menyebabkan model hewan coba sangat penting dan diperlukan untuk mempelajari
mekanisme patofisiologi yang kompleks dan menemukan strategi terapi yang efektif
(Obermaier et al., 2006; Koedel, 1999).
Perkembangan Hewan Coba
Penelitian eksperimental secara invivo dan invitro telah berkembang secara
signifikan terutama berfokus pada pemahaman patologi dan patofisiologi meningitis
terkait dengan gangguan pendengaran frekuensi tinggi, kerusakan saraf dan kematian
(Brandt, 2010). Model hewan coba telah berkontribusi untuk mengungkapkan mekanisme
patofisiologi dan efikasi obat meskipun memiliki kekurangan dalam hal sensitivitas
patogen dan dosis infeksi serta modalitasnya (Brandt, 2010; Chiavolini et al., 2008).
Obyek penelitian meningitis bakteri pada awalnya menggunakan anjing dan
kucing dengan inokulasi bakteri secara intravena. Moxon et al memperkenalkan model
meningitis bakteri dengan tikus neonatus pada tahun 1970 dengan inokulasi intranasal,
selanjutnya Qugliarello, Long dan Scheld pada tahun 1986 menggunakan model
eksperimen meningitis pneumokokus pada tikus dewasa dengan menyuntikkan secara
intrasisternal, yang kemudian disesuaikan dengan model tikus neonatus pada infeksi GBS
(Liechti et al., 2015). Pada tahun 1970-1990 percobaan meningitis lebih banyak
menggunakan tikus dan kelinci, namun akhir-akhir ini studi meningitis banyak
menggunakan model hewan mencit (Chiavolini et al., 2008).
Model hewan coba yang digunakan dewasa ini lebih bervariasi, tergantung dari
strain bakteri, rute inokulasi yang digunakan (intrasisternal, intraserebral, intranasal,
intraperitoneal/hematogen atau otogenik) dan spesies yang digunakan (mencit, tikus,
kelinci bahkan zebra fish). Model hewan coba merupakan sarana penting untuk
mempelajari patogenesis meningitis bakteri dan mengevaluasi strategi terapi sedangkan
aspek patofisiologi yang spesifik dari meningitis bakteri dapat dipelajari secara invitro
dengan kultur sel seperti kultur organotipik dari potongan otak (Liechti et al., 2015,
Koedel, 1999).
Penegakan kasus meningitis pada hewan coba berdasarkan analisa histologi otak,
kelangsungan hidup hewan coba (survival rate), jumlah bakteri di otak atau disertai organ
yang lainnya (Chiavolini et al., 2008).
Teknik Inokulasi
Teknik inokulasi pada hewan model meningitis dapat melalui infeksi langsung
secara intraserebral/intrasisterna dan menginduksi infeksi melalui intranasal atau
intraperitoneal (Chiavolini et al., 2008, Koedel, 1999).
Sistem model hewan coba dengan teknik intranasal, intraperitoneal atau
intravenous sangat mirip dengan mekanisme alamiah infeksi bakteri (gambar 1) melalui
tahapan kolonisasi bakteri di nasofaring, bakteri masuk dan bertahan di aliran darah dan
kemampuan melewati sawar darah otak. Model ini hanya mampu menimbulkan
meningitis pada hewan coba sekitar kurang dari 50%. Waktu yang diperlukan untuk
menjadi meningitis juga sangat bervariasi dan sebagian besar hewan coba mati karena
syok septik sehingga tidak cocok untuk mempelajari patofisiologi meningitis (Obermaier
et al., 2006; Chiavolini et al., 2008, Koedel, 1999).
Model infeksi secara langsung intraserebral sangat baik untuk mempelajari
interaksi host-pathogen yang menimbulkan inflamasi meningen, komplikasi sekunder
dari proses inflamasi dan menilai respon terapi. Model ini tidak bisa untuk mempelajari
perjalanan patogenesis meningitis bakteri (Obermaier et al., 2006; Chiavolini et al.,
2008).
Gambar 1 Proses Patogensesis Meningitis Bakteri (Koedel, 1999)
Intranasal
Zwijnenburg et al. mengembangkan model mencit dewasa dengan infeksi
intranasal dengan berbagai konsentrasi S. pneumoniae (5x104 dan 10x104 cfu) dan
konsentrasi hyaluronidase 180 IU, hanya 30 % menunjukkan gejala sistemik, tidak ada
hewan coba yang menunjukkan gejala neurologis (Obermaier et al., 2006).
Intraperitoneal
Tsao et al (2002) melakukan inokulasi S. pneumoniae secara intraperitoneal pada
mencit dewasa, bakteri tumbuh dengan cepat di dalam darah dari 65 cfu/ml pada 3 jam
menjadi 109 cfu pada 24 jam setalah infeksi dan dapat menginfeksi otak setelah 6 jam
infeksi. Semua hewan coba mati setelah 36 jam akibat syok septik sebelum berkembang
menjadi meningitis. Terapi dengan antibiotika cefazolin (yang tidak dapat berpenetrasi
ke otak) mampu menpertahankan kadar bakteri 104-106 cfu/ml dan semua hewan coba
hidup pada pengamatan selama 5 hari. Infiltrasi lekosit ke otak dimulai 84 jam setelah
infeksi (Obermaier et al., 2006).
Model ini baik untuk mempelajari mekanisme awal patogen masuk ke susunan
saraf pusat (SSP), namun kekurangan model ini adalah hewan coba yang berkembang
menjadi meningitis sangat sedikit (< 50 %). Adanya rentang waktu untuk berkembang
menjadi meningitis dan kematian terutama akibat sepsis (Obermaier et al., 2006).
Intraserebral/Intrasisternal
Inokulasi secara intraserebral sangat baik untuk mempelajari patofisiologi dan
imunoreaksi meningitis pneumokokus pada hewan coba. Inokulasi secara langsung
intraserebral banyak dipilih karena lebih praktis dan seluruh bakteri terinokulasi diotak
dan semua hewan dapat berkembang menjadi meningitis dengan waktu yang pasti.
Gambaran klinis yang diamati sangat mirip dengan pasien meningitis sehingga tepat
digunakan untuk mempelajari patofisiologi meningitis. Inokulasi intraserebral mirip
dengan mekanisme penyebaran infeksi secara perkontinuitatum seperti infeksi paranasal
rute yang khas untuk infeksi pneumokokus (Obermaier et al., 2006; Liechti et al., 2015).
Model ini tidak dapat digunakan untuk pengamatan infeksi melalui proses bacteremia
(Liechti et al., 2015).
Model intraserebral pertama dengan menggunakan kelinci oleh Dacey & Sande
pada tahun 1974. Saat ini, model hewan yang paling sering digunakan dalam penelitian
meningitis adalah mencit dan tikus (Obermaier et al., 2006).
Pemilihan Hewan Coba
Model invivo secara umum dapat dibagi menjadi 2 kategori yaitu 1) model untuk
mempelajari mekanisme patogen hingga menjadi meningitis bakteri dan 2) model untuk
mempelajari mekanisme respon imun dan perkembangan meningitis hingga komplikasi
yang timbul terkait dengan prognostik (Obermaier et al., 2006).
Model yang memberikan pemahaman tentang mekanisme awal meningitis
pneumokokus memerlukan tempat inokulasi yang tepat. Rute sistemik seperti inokulasi
intranasal, intraperitoneal atau intravena memungkinkan untuk mempelajari kemampuan
patogen menyebabkan meningitis (Obermaier et al., 2006).
Mencit adalah hewan coba yang baik digunakan untuk menginduksi model
pneumonia dan sepsis sedangkan tikus dan kelinci digunakan untuk studi eksperimental
meningitis (Chiavolini et al., 2008). Kelinci masih sebagai hewan coba pilihan dalam
studi farmakokinetik/farmakodinamik karena memungkinkan pengambilan sampel CSS
berulang. Jenis hewan pengerat seperti tikus memungkinkan dapat mengambil CSS dalam
volume yang lebih besar dibandingkan mencit bahkan pada tikus neonatus dengan usia
berkisar 6-12 hari dan berat 15-30 mg. Volume CSS yang dapat diambil dari tikus
neonatus sekitar 30 μl sedangkan pada mencit dengan usia sama dapat diperoleh CSF <5
μl (Liechti et al., 2015). Kelemahan menggunakan mencit adalah kesulitan dalam
memperoleh sampel CSS ( hanya sekitar 10 μL kerena ukuran mencit yang kecil)
(Chiavolini et al., 2008).
Parameter dapat dianalisa pada hewan model antara lain: kelangsungan hidup
hewan coba (survival rate), penilain skor klinis, jumlah bakteri di otak dan CSS, analisa
histopatologi jaringan otak dan jumlah lekosit dan sitokin dalam CSS dan serum
(Chiavolini et al., 2008).
Model Kelinci
Model kelinci terutama digunakan pada studi meningitis jangka pendek (24-36
jam setelah inokulasi) untuk mempelajari kinetika inflamasi dan uji coba invivo
antibiotika. Model ini juga digunakan untuk mempelajari gangguan pedengaran dan
patogenesis gangguan koklear, edema otak dan perubahan CBF (Brandt, 2010).
Penggunaan model kelinci harus memerlukan anestesi total dan kelinci sangat
rentan terhadap respiratory distress syndrome (Brandt, 2010). Keuntungan dengan model
kelinci adalah memudahkan pengambilan darah dan CSS secara berulang dengan volume
yang lebih banyak. Volume CSS yang lebih banyak memungkinkan untuk analisa CSS
yang lebih lengkap seperti jumlah bakteri dan lekosit, konsentrasi glukosa, protein dan
metabolit lainnya. Keterbatasan model kelinci adalah jumlah sampel yang terbatas karena
ukuran tubuhnya dan metode infeksi intraserebral merupakan metode yang tidak alamiah
(Chiavolini et al., 2008).
Model Tikus
Model tikus digunakan untuk menilai gejala klinis neurologis karena sifat alamiah
tikus yang tenang sehingga mudah penanganannya. Model ini juga dapat digunakan untuk
pelatihan dan kemampuan belajar tikus pasca meningitis, studi gangguan pendengaran
sensorineural, patologi koklea terkait meningitis, perubahan CBF dan autoregulasi,
tekanan intrakranial dan edema otak (Brandt, 2010).
Quagliarello et al. mengembangkan model meningitis pneumokokus pada tikus
dan Leib et al. mengembangkan pada tikus neonatus. Tikus Sprague-Dawley diinfeksi
pada hari ke-11 postnatal dengan 104 sampai 107 cfu S. pneumoniae sebanyak 10 μl
melalui pungsi perkunateus pada sisterna magna. Semua hewan coba berkembang
menjadi meningitis bakteri setelah 18 jam post infeksi yang dikonfirmasi dengan kultur
CSF positif. Pemberian ceftriakson diperlukan untuk pengamatan hewan setelah 18 jam.
Kadar bakteri secara bertahap turun sampai CSF steril pada pemberian seftriakson 30 jam
post infeksi. Pada waktu yang berbeda, tikus yang terinfeksi di terminasi dan dilakukan
pemeriksaan histopatologi dan hemogenat otak digunakan untuk pemeriksaan ekspresi
mediator imun. Kemampuan belajar pada tikus dinilai pada usia 32 hari dengan tes Water
Maze (Obermaier et al., 2006).
Tikus bayi berumur umur 6-12 hari lebih rentan terhadap infeksi pneumokokus
dibandingkan dewasa. Meskipun tikus bayi memiliki ukuran yg lebih kecil, pengambilan
sampel CSS dan darah ulangan masih bisa dikerjakan. Kerusakan otak akibat infeksi pada
hipokampus (apoptosis) dan nekrosis korteks lebih terlihat nyata pada tikus bayi
dibandingkan tikus dewasa. Tikus bayi diinduksi dengan suspensi bakteri 10 μl dengan
menggunakan jarum 32 G dan dimonitor adanya kejang akibat injeksi. Meningitis
dibuktikan dengan kultur bakteri pada CSS. Studi ini banyak digunakan untuk meneliti
keterlibatan MMPs, endothelin, kerusakan saraf dan menilai efikasi terapi pada
meningitis, terapi antimokroba, terapi ajuvan termasuk antioksidan (Chiavolini et al.,
2008).
Model tikus dewasa digunakan untuk meneliti tentang perubahan mikrovaskular
pada meningitis dengan melakukan kraniotomi dan memasang probe untuk mengukur
CBF dan tekanan intra kranial (Chiavolini et al., 2008).
Brandt et al. menggunakan tikus dewasa untuk model meningitis pneumokokus
secara transdermal intrasisternal 30 μl suspensi bakteri dengan kadar 105 cfu/ml.
Pemberian ceftriakson dimulai setelah 28 jam infeksi. Klinis neurologi dinilai setiap 24
jam setelah inokulasi. Penilaian derajat luaran klinis yang dibagi menjadi: 1) stadium
terminal; 2) kecacatan motorik; 3) tanpa cacat. Kadar bakteri dan jumlah lekosit diperiksa
pada cairan sererbrospinalis (CSS) dan darah. Tikus akan dieutanasia apabila terjadi
stadium terminal dan dilakukan pemeriksaan otak (Obermaier et al., 2006).
Gambar 2. Model Meningitis dengan Tikus dan Kelinci (Chiavolini et al., 2008).
Model Mencit Intrasisternal
Model mencit semakin popular pada beberapa tahun terakhir karena
menggunakan teknologi transgenik dan knockout. Meningitis pada mencit dewasa
diinduksi dengan S. pneumaniae dengan titer 107 sebanyak 15 μl secara intrasisternal
dengan anestesia kerja cepat halothan. Terapi Ceftriakson diberikan setelah 24 jam post
infeksi. Pada akhir studi dinilai skor klinisnya. Mencit dipasang kateter pada sisterna
magna dibawah anestesi ketamin/xylazine untuk pemeriksaan tekanan intrakranial dan
pemeriksaan jumlah lekosit CSF. Sampel darah diambil dengan pungsi intrakardial
setelah dilakukan anestesi dalam. Kemudian diperfusi transkardial dengan bufer fosfat
salin dingin (Obermaier et al., 2006).
Serebelum diambil untuk pemeriksaan kadar bakteri sedangkan serebrum
diproses untuk pemeriksaan histopatologi dan sitokin dengan ELISA atau pada tingkat
protein/ gen. Semua hewan berkembang menjadi meningitis pada inokulasi secara
intrasisternal dan terapi antibiotika pada mencit yang terinfeksi padat menyembuhkan
sekitar 80-90% tikus sakit (Obermaier et al., 2006).
Model Mencit intraserebral
Inokulasi langsung intraserebral S. pneumoniae dikerjakan pada otak depan
mencit dewasa, kemudian diamati kadar bakteri dalam darah dan CSS, jumlah lekosit
CSS dan peradangan meningen yang terjadi secara bertahap. Mencit mati dalam waktu
45 jam setelah inokulasi. Pengobatan ceftriakson harus dimulai sampai 21 jam setelah
infeksi karena pemberian antibiotika setelah itu dikaitkan dengan angka mortalitas yang
tinggi. Pemeriksaan otak ditemukan adanya infiltrat purulen yang dikelilingi oleh astrosit
yang reaktif dan mikroglia yang berkembang dalam 36 jam di tempat infeksi dan
berhubungan dengan serebritis stadium awal (Obermaier et al., 2006).
Gambar 3. Model Mencit Meningitis (Chiavolini et al., 2008).
Teknik Inokulasi
Inokulum infeksius harus mampu menginduksi secara hematogen dan
menimbulkan meningitis secara klinis dalam waktu tertentu. Pada suspensi pneumokokus
dengan konsentrasi 105 –106 CFU/ ml mampu menginduksi meningitis (Brandt, 2010).
Bakteri ditumbuhkan pada plat agar darah dan kultur selama 1 malam pada kaldu
Todd Hewitt kemudian diencerkan pada media segar dan ditumbuhkan selama 4 jam
pada fase logaritmik. Pellet di suspensikan kembali dengan normal saline sesuai dengan
densitas yang diinginkan kemudian diinjeksi ke tikus bayi 10 μl suspensi bakteri
disuntikkan secara intrasisternal menggunakan jarum ukuran 32 gauge(G) (Kim et al.,
1995).
Teknik injeksi intrasisternal berdasarkan Tauber et al. 1991 dengan menarik
sebagian kecil CSS kemudian diikuti penyuntikan 30 μl suspensi pneumokokus.
Pengambilan sampel CSS sebanyak 40-50 μl (Brandt, 2010).
Teknik Pengambilan cairan serebrospinalis pada Tikus
Cairan serebrospinal (CSS) diproduksi oleh pleksus koroid yang berfungsi
sebagai pelindung otak dan medulla spinalis di dalam tulang tengkorak dan kolumna
vertebra. CSS berperanan sebagai media transportasi neuropeptide, neurotransmitter,
asam amino dan signal horman untuk aktivitas biologi dan prilaku. Pemeriksaan berbagai
substansi pada CSS berguna untuk mendiagnosis berbagai kelainan neurologi (Pegg et
al., 2010)
Metode pengambilan cairan serebrospinal (CSS) melalui sisterna magna melalui 3
cara yaitu (Mahat et al., 2012):
1. Pada hewan yang sadar melalui kanula yang sebelumnya telah diimplantasi
2. Melalui kanula yang dimasukkan dekat duramater diatas sisterna magna
3. Pungsi langsung pada sisterna magna melalui kulit pada permukaan dorsal leher
pada hewan yang dibius.
Teknik yang sederhana dalam pengambilan sampel CSS dengan mengangkat otot
yang menutupi membran atlantooccipital sehingga terekspos sisterna magna, kemudian
dengan jarum aspirasi CSS dapat diambil (Mahat et al., 2012).
Teknik dengan prosedur bedah implantasi kanula memungkinkan pengambilan
CSS pada tikus yang sadar dan tidak terikat, namun memiliki kelemahan yaitu: 1) Waktu
patensi yang terbatas dan seringkali mendapatkan volume CSS yang sedikit; 2) Sampel
CSS yang diperoleh sering bercampur dengan darah yang dapat membingungkan saat
interpretasi; 3) Adanya implantasi permanen ini dapat menyebabkan kerusakan otak dan
sawar darah otak; 4) Dapat berpotensi terjadinya infeksi dan penyumbatan kateter (Mahat
et al., 2012).
Teknik pengambilan CSS dari pungsi sisterna magna pada hewan yang dibius
merupakan metode yang efektif (90-100 % sampel berhasil) dan dapat memperoleh CSS
sekitra 60-100 µL. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pada teknik ini antara lain:
1). Keberhasilannya sangat tergantung dari ketrampilan peneliti untuk mnegidentifikasi
lokasi pungsi yang tepat; 2) Sulit untuk mengontrol kedalaman pungsi yang dapat
menimbulkan kerusakan pembuluh darah dan memperoleh CSS yang terkontaminasi; 3)
Posisi kepala dan moncong ke bawah pada sehingga area sisterna magna dapat terlihat
jelas cenderung menghalangi jalan nafas yang dapat mengakibatkan kematian (Mahat et
al., 2012).
Untuk mengatasi kekurangan teknik yang telah dipaparkan diatas maka dilakukan
metode pungsi sisterna magna dengan menggunakan alat stereotaksis. Pengambilan CSS
lebih cepat (sekitar 2 menit), minimal invasif dengan menghasilkan volume CSS lebih
banyak dan bebas darah dan memudahkan pengambilan CSS berulang pada hewan coba
yang sama. Teknik ini memenuhi prinsip 3 R (reduce, refine dan reuse) penelitian hewan
coba pada riset susunan saraf pusat (SSP) yaitu mampu mengurangi jumlah, memperbaiki
dan menggunakan kembali hewan coba (Mahat et al., 2012).
Cisterna Magna merupakan ruangan paling besar yang mengandung CSS, terletak
diantara serebelum dan medulla spinalis bagian atas. Perkiraan volume tikus sekitar 400
µL dengan kecepatan produksi 2.2 µL /min. Volume yang dapat diaspirasi pada tikus
berkisar antara 70-100 µL yang akan diproduksi kembali dalam 1 jam. Berdasarkan
proses penyembuhan membran atlantooccipital maka pengambilan ulang dapat
dikerjakan dalam interval 24 jam (Takasugi et al., 2005). Total volume CSS pada sisterna
magna tikus adalah 190 µL, rata rata 150 µL dan pada SSP sekitar 500 µL (Mahat et al.,
2012).
Parameter klinis dan Penilaian luaran Hewan Coba
Penilaian klinis mencit dilakukan setiap 8 jam dengan menggunakan skor klinis
yang terdiri dari: berat badan, gejala klinis umum penyakit (bulu kasar, pernafasan cepat
dan dehidrasi), gejala klinis meningitis (apatis dan apraxia) atau gejala septisemia (mata
bengkak, depresi). Gejala penyakit ringan bila skor kumulatif 3-4, sedang skor 5-6, berat
skor >6. Apabila tikus mengalami penurunan berat badan yang berat (> 20 %) dana atau
mengalami gejala klinis yang berat maka dilakukan euthanasia dengan alasan
kesejahteraan hewan menggunakan inhalasi CO2 atau cervical dislokasi (Seitz et al.,
2012)
Gambar 4. Skor Gejala Klinis pada Tikus (Seitz et al., 2012)
Gejala umum meningitis pada tikus berupa hilangnya aktivitas ambulasi, pilo
ereksi dan bulu yang berantakan, mata dan kelopak mata kotor, berair dan ada perdarahan
akibat garukan serta malaise (kelemahan umum). Gejala spesifik yang diamati berupa
penurunan ambulasi dilihat dari gangguan fungsi motorik berupa:twiching (kedutan)
otot pada keempat ekstremitas, kontraksi spastik, hemiparesis, kehilangan respon
auditori, gangguan fungsi keseimbangan: tikus berputar-putar dengan posisi kepala
miring (Brandt, 2010). Skor klinis dinilai berdasarkan Leib et al (2001) yang dinilai 18
jam pasca infeksi dengan sistem skoring sebagai berikut:
1. = koma
2. = does not turn upright when positioned on the back
3. = turn upright within 30 s
4. = Minimal ambulory activity, turns upright in < 5 s
5. = normal
Penggunaan skor klinis memerlukan penilaian rutin dan mungkin lebih dari satu
evaluator. Penilaian klinis dilakukan 3 kai sehari selama 3 hari selanjutnya 1kali sehari
(Brandt, 2010).
Stadium terminal akibat infeksi pada tikus ditandai dengan adanya distress nafas,
nistagmus, kehilangan kemampuan untuk berbalik bila diletakkan miring/terlentang,
badan tikus dingin, kaku dan uung jari sianotik, tampak kedutan pada ekstremitas dan
opistotonik berat (Brandt, 2010).
Pengobatan eksperimental pada Hewan Coba
Terapi dengan antibiotika sangat penting untuk bertahan hidup dalam model
eksperimental meningitis pneumokokus. Meningitis diijinkan untuk berkembang selama
26-28 jam tergantung dosis infeksi sebelum pengobatan dengan ceftriakson. Terapi
ceftriakson berdasarkan Tauber et al. 1992 dengan dosis 100 mg/kg IM setiap 12 jam 1
hari, 3 hari dan 5 hari. Dehidrasi harus diatasi dengan injeksi salin subkutan selama
periode dimana tikus mengalami kondisi paling parah yang biasanya pada hari pertama
dan kedua setelah terapi antibiotika (Brandt, 2010). Pemberian deksamethasone 1
mg/kgBB setiap 12 jam secara subkutan (Kim et al., 1995).
Daftar Pustaka
Brandt CT. 2010. Experimental studies of pneumococcal meningitis. Dan Med Bull,57: B4119
Chiavolini D, Pozzi G, Ricci S. 2008. Animal Model of Streptococcus pneumoniae Disease. Clinical Microbiology Reviews, 21 (4); 666-685 Kim YS, Sheldon RA, Elliot BR, Liu Q, Ferriero DM, Tauber MG. 1995. Brain Injury in Experimental Neonatal Meningitis Due to Group B Streptococcus. Journal of Neuropathology and Experimental Neurology; 54 (4): 531-539 Koedel U, Pfister HW. 1999. Model of Experimental Bacterial Meningitis Role and Limitation. Infectious Diseases Clinic of North America, 13; 3:549-577 Leib SL, Clement JM, Linderg RL, Heimgartner C, Loeffler JM, Pfister LA, Tauber MG, Leppert D. 2001. Inhibiton of Matrix metalloproteinases and tumor necrosis factor α converting enzyme as adjuvant therapy in pneumococcal meningitis. 2001. Brain, 124; 1734-1742 Liechti FD, Grandgirard D, Leib SL. 2015. Bacterial Meningitis: insights into pathogenesis and evaluation of new treatment options: a perspective from experimental studies. Future Microbiol; 10.2217/FMB.15. Mahat MYA, Ahamed NFA, Chandrasekaran S, Rajagopa S, Narayanan S, Surendran N. 2012. An impoved method of transcutaneous cisterna magna puncture for cerebrospinali fluid sampling in rats. Journal of Neuroscience Methods, 211: 272-279. Obermaier B, Klein M, Koedel U, Pfister H. 2006. Disease model of acute bacterial meningitis. Drug Discovery Today: Disease Model, 3; 1; 1-8 Pegg C, He C, Stroink A, Kattner K, Wang C. 2010. Technique for collection of
cerebrospinal fluid from the cisterna magna in rat. Journal of Neuroscience Methods,
187:8-12.
Seitz M, Beineke A, Seele J, Fulde M, Weigand P,Baums C. 2012. A novel intranasal mouse model for mucosal colonization by Streptococcus suis serotype 2. Journal of Medical Microbiology, 62: 1311-1318.