Upload
yessy-yuliana-amalia
View
374
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari sekitar 17.504
pulau dengan panjang garis pantai kurang lebih 104.000 km. Panjang garis pantai
Indonesia merupakan yang terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Di
sepanjang garis pantai tersebut terdapat wilayah pesisir yang memiliki potensi
sumber daya alam hayati dan non-hayati yang sangat penting bagi kehidupan
masyarakat.
Potensi laut Indonesia mengandung kurang lebih 7000 spesies ikan dengan
potensi lestari sumberdaya ikan laut diperkirakan sebesar 6.4 juta ton per tahun
dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) sebesar 5.12 juta ton per
tahun atau sekitar 80% dari potensi lestari, yang baru dimanfaatkan sebesar 4 juta
ton (pada th 2002, atau baru 78.13%). Sedangkan dilihat dari perkiraan nilainya,
potensi perikanan tangkap Indonesia memiliki potensi lebih dari USD 15 milliar,
Perikanan air tawar lebih dari USD 6 milliar, Perikanan budidaya tambak dan
udang windu sebesar USD 10 milliar (Riyadi, 2008).
Sektor perikanan selain memiliki potensi sebagai penyumbang pendapatan
nasional atau daerah juga berkontribusi dalam penyerapan tenaga kerja. Sektor
perikanan (nelayan dan budidaya) di Indonesia saat ini terus mengalami
peningkatan tenaga kerja dengan kenaikan rata-rata 4,75% selama tahun 2007-
2011 dan mampu menyerap tenaga kerja hingga 6.099.112 orang pada tahun 2011
(KKP, 2013). Salah satu wilayah yang memiliki jumlah nelayan terbesar di
Indonesia adalah provinsi Jawa Timur yang memiliki 17 Kabupaten berupa
wilayah pesisir dan pantai. Kementrian Kelautan dan Perikanan (2011)
menyebutkan bahwa sebanyak 291.543 orang di Jawa Timur mengantungkan
hidupnya dari hasil melaut dengan bekerja sebagai nelayan.
Potensi sektor perikanan yang begitu besar hingga saat ini nyatanya aset
alam tersebut belum dimanfaatkan secara optimal. Hal ini bisa dilihat dari data
KKP (2010) yang menunjukkan bahwa share sektor perikanan hanya 2,2 persen
1
2
terhadap PDB, angka yang sangat kecil jika melihat potensi laut yang dimiliki
Indonesia (Nugroho dan Rokhim, 2012). Selain share yang sangat kecil terhadap
PDB, umumnya kondisi sosial ekonomi masyarakat di wilayah pesisir juga masih
berada dalam kondisi memprihatinkan. Sebagian besar nelayan di Indonesia 83%
masih hidup miskin dan berusaha dengan cara traditional dengan menggunakan
armada penangkapan sangat sederhana, sehingga hasil tangkapannya hanya cukup
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Masyarakat pesisir merupakan golongan masyarakat yang menempati
rangking tertinggi dalam struktur penduduk miskin di Indonesia. Menurut
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada tahun 2010 terdapat sekitar
7,87 juta masyarakat pesisir miskin dan 2,2 juta jiwa penduduk pesisir sangat
miskin yang tersebar tersebar di 10.640 desa. Badan Pusat Statitisk pun
menegaskan bahwa jumlah tersebut lebih dari 25% dari total penduduk Indonesia
yang berada dibawah garis kemiskinan.
Salah satu penyebab kemiskinan masyarakat pesisir khususnya nelayan
adalah karena karakteristik masyarakat nelayan yang sangat tergantung pada
musim. Pada saat musim penangkapan nelayan sibuk melaut namun sebaliknya
pada musim paceklik banyak nelayan yang terpaksa menganggur. Ketergantungan
ini disebabkan mereka tidak mampu mengakses teknologi dan belum adanya
diversifikasi pekerjaan di kawasan pesisir (Sumodiningrat, 2012).
Melihat potensi sektor perikanan yang begitu besar namun belum
termanfaatkan dan kondisi masyarakat pesisir, Kementrian Kelautan dan
Perikanan menyusun visi “Indonesia Menjadi Penghasil Produk Kelautan dan
Perikanan Terbesar 2015” dan misi “Mensejahterahkan Masyarakat Kelautan dan
Perikanan”. Visi dan misi tersebut diharapkan menjadi pedoman dalam
mewujudkan pembangunan sektor kelautan dan perikanan yang memihak
masyarakat. Untuk mewujudkan visi dan misi tersebut, KKP telah menyusun
konsep “Revolusi Biru” yang bertujuan untuk membangkitkan multiplier effect
perekonomian melalui pembangunan kelautan dan perikanan dalam suatu
kawasan terpadu. Implementasi revolusi biru dilaksanakan melalui sistem
3
pemabngunan sektor kelautan dan perikanan berbasis wilayah dengan konsep
Minapolitan.
Kenjeran merupakan salah satu ikon kota Surabaya dan saat ini menjadi
salah satu tempat paling favorit di wilayah Surabaya timur sebagai tempat wisata
alternatif. Kenjeran adalah tempat wisata alternatif ditengah hiruk-pikuk Surabaya,
selain lokasinya yang terletak di tepi kota dengan sebagian besar wilayahnya
berupa pesisir pantai. Di area tersebut terdapat kampung nelayan kenjeran yang
mayoritas masyarakatnya menggantungkan hidupnya kepada hasil laut. Selain
bekerja sebagai nelayan, mereka juga mengolah hasil laut menjadi cemilan
kerupuk seperti kerupuk terung laut, teripang, kulit ikan kakap, kulit ikan pari
hingga lambung ikan.
Pesisir Pantai Kenjeran yang terletak di utara Surabaya memang sejak
lama dikenal sebagai sentra produksi kerupuk olahan hasil laut namun produksi
kerupuk hasil laut tersebut saat ini masih bersifat individual dengan proses
produksi, distribusi dan pemasaran bersifat tradisional. Produksi dan pemasaran
kerupuk hasil laut di Kenjeran berupa usaha kecil rumahan namun sudah tersebar
di hampir seluruh kecamatan Sukolilo, Kenjeran. Hingga saat ini belum ada
hubungan kerjasama secara langsung antar wilayah klaster (yang terbentuk alami)
maupun komunitas/kumpulan produsen pengolah kerupuk hasil laut di kawasan
Kenjeran tersebut. Padahal kawasan kenjeran potensial untuk dikebangkan
menjadi kawasan ekonomi unggulan dengan komoditas utama produk perikanan
dan kelautan.
Untuk mengatasi berbagai permasalahan dan isu yang muncul dalam pengelolaan
produk perikanan dan kelautan di kawasan Kenjeran, maka dibutuhkan suatu
model pengelolaan kawasan ekonomi unggulan tersebut dengan memadukan
unsur masyarakat pengguna dan pemerintah. Dari uraian latar belakang tersebut
maka judul penulis makalah ini ialah “Model Holistik Pengembangan Kawasan
Minapolitan Pengolahan Kerupuk Hasil Laut Berbasis Umkm Di Kawasan
Pesisir Timur Surabaya (Kenjeran)”.
4
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana hubungan kebelakang (backward linkage) dan hubungan
kedepan (forward linkage) Industri Kerupuk Hasil Laut di Kenjeran?
2. Bagaimana Analisis SWOT Industri Kerupuk Hasil Laut di Kenjeran?
3. Bagaimana penerapan model holistik pengembangan kawasan minapolitan
pengolahan kerupuk hasil laut yang tepat di Kenjeran?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui hubungan kebelakang (backward linkage) dan
hubungan kedepan (forward linkage) Industri Kerupuk Hasil Laut di
Kenjeran
2. Untuk mengetahui hasil analisis SWOT Industri Kerupuk Hasil Laut di
Kenjeran
3. Untuk mengetahui bagaimana penerapan model holistik pengembangan
kawasan minapolitan pengolahan kerupuk hasil laut yang tepat di
Kenjeran
1.4 Manfaat Penulisan
Penulis berharap bahwa penulisan ini dapat memberikan manfaat berupa :
1. Hasil penulisan yang diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan
daerah di Kawasan Pesisir Kenjeran Surabaya melalui optimalisasi produk
olahan hasil kelautan yang ada melalui pengembangan kawasan ekonomi
unggulan dengan hasil laut dan perikanan sebagai komoditas utama.
2. Mampu memberi rujukan dalam pengembangan potensi daerah dan bahan
diskusi bagi akademisi dalam melakukan perencanaan dan pengembangan
daerah yang terintegrasi melalui optimalisasi hasil alam berupa produk
unggulan berbasis kearifan lokal di suatu daerah.
3. Memberikan sumbangsih rekomendasi arah kebijakan Pemerintah dalam
mewujudakan konseptual industri pengolahan hasil laut di Indonesia dan
Surabaya khususnya.
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Masyarakat Pesisir dan Kemiskinan
Masyarakat Pesisir adalah sekumpulan masyarakat yang bersama-sama
mendiami wilayah pesisir memiliki dan membentuk kebudayaan yang khas
berkaitan dengan ketergantungan pemanfaatan sumberdaya pesisir (Satria, 2009).
Sebagian masyarakat pesisir pada umumnya memiliki pekerjaan di sektor
pemanfaatan sumber daya kelautan (marine resourch based) seperti nelayan,
pembudidaya ikan, pengelolahan ikan, dan penjual ikan.
Karakteristik utama masyarakat pesisir yakni sangat bergantung pada
musim. Pada musim penangkapan mereka sangat sibuk untuk melaut, pada masa
paceklik kebanyakan mereka terpaksa menganggur karena kegiatan melaut yang
menurun. kondisi inilah yang membuat perekonomian mereka sangat rentan
terutama pada musim paceklik. Pada musim tersebut mereka terpaksa melakukan
pinjaman pada pedagang pengumpul (Tauke) untuk memenuhi kebutuhan sehari-
hari. Hal tersebut menyebabkan banyak dari mereka yang menjual hasil
tangkapannya kepada pedagang pengumpul dengan harga yang sangat rendah.
Selain itu, dengan keterbatasan fasilitas dan alat pengawetan mereka harus segera
menjual hasil tangkapannya walau dengan harga yang sangat rendah.
Karakteristik lain dari masyarakat pesisir yang cukup mencolok yakni aktivitas
wanita dan anak-anak mencari nafkah. Pada umumnya wanita masyarakat pesisir
mengelola ikan dengan skala kecil untuk dijual sendiri maupun menjadi buruh
untuk perusahaan-perusahaan pengelolaan ikan, sedangkan aktivitas anak-anak
mayoritas membantu untuk melaut. Sehingga banyak diantara mereka tidak
bersekolah (Nugroho dan Rokhim,2012).
Karakteristik masyarakat pesisir yang memiliki perekonomian yang rentan
berakibat masyarakat pesisir identik dengan masyarakat yang miskin. Meninjau
kemiskinan di dalam aspek wilayah memberikan kerangkanyang komprehensif
bagi upaya-upaya kemiskinan. Kemiskinan di dalam pembangunan wilayah dapat
5
6
ditinjau bukan saja sebagai sasaran atau keluaran yang harus dihapus
keberadaannya tetapi juga dapat menjadi bagian proses analisis yang memandu
pembangunan mencapai tujuan-tujuannya (Nugroho dan Rokhim,2012)
Kemiskinan merupakan kondisi absolut datau relatif dimana seseorang
atau kelompok masyarakat dalam suatu wilayah karena sebab-sebab natural,
kultural, atau struktural, menyebabkan ia tidak mempunyai kemampuan untuk
mencukupi kebutuhan dasarnya sesuai tata nilai atau norma tertentu yang berlaku
dalam masyarakat. Dipandang dari aspek ekonomi, kemiskinan pada dasarnya
memperlihatkan adanya suatu gap antara lemahnya daya beli dan keinginan untuk
memenuhi kebutuhan dasar, hal tersebut implisit dengan keadaan-keadaan
berikut: a) kemiskinan mencerminkan keadaan rendahnya permintaan agregat
sehingga dapat mengurangi intensif untuk mengembangkan sistem produksi, (b)
kemiskinan berhubungan dengan penggunaan (rasio) modal/ tenaga kerja yang
rendah sehingga mengakibatkan produktivitas tenaga kerja rendah pula, dan (c)
kemiskinan berhubungan dengan keadaan lokasi beragam sumberdaya, alam,
maupun manusia. Dipandang pada aspek sosial dan politik, kemiskinan
mengindikasikan masyarakat berkembang aspirasi dan persepsi yang terbatas serta
semu, mengutamakan keputusan dalam jangka pendek dan lemhanya kemandirian
masyarakat (nugrohp dan rokhim, 2012)
2.2 Revolusi Biru dan Minapolitan
Konsep ekonomi biru (Blue Economy) merupakan konsep yang merupakan
konsep yang menggabungkan pengembangan ekonomi dan pelestarian lingkungan.
Konsep Ekonomi Biru mencontoh cara kerja alam (ekosistem), bekerja sesuai
dengan apa yang disediakan alam dengan efisien dan tidak mengurangi tapi justru
memperkaya alam (shifting from scarty to abundance), limbah dari yang satu
menjadi sumber energi bagi yang lain, sehingga system kehidupan dalam
ekosistem menjadi seimbang (Dewan Kelautan Indonesia, 2012)
Penerapan konsep Ekonomi Biru (Blue Economy) di Indonesia melalui
Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebagai kementrian yang bertanggung
jawab dalam pengembangan perikanan dan kelautan Indonesia menggagas
7
Revolusi Biru sebagai penerapan ekonomi biru di Indonesia. revolusi biru
merupakan perubahan secara mendasar cara berpikir dari daratan ke maritime
dengan konsep pembangunan berkelanjutan untuk peningkatan produksi kelautan.
Konsep revolusi biru dilandasi asumsi-asumsi dasar pembangunan dengan
merubah kerangka pemikiran kontinen menjadi kepulauan untuk mendorong
pemanfaatan sumberdaya alam yang lebih berimbang. Revolusi biru mempunyai
empat pilat, yaitu (1) perubahan cara berpikir dan orientasi pembangunan dari
daratan ke maritime, (2) pembangunan berkelanjutan, (3) peningkatan produksi
kelautan dan perikanan, dan (4) peningkatan pendapatan rakyat yang adil, merata,
dan pantas.
Implementasi Revolusi biru dilaksanakan melalui sistem pembangunan
sektor kelautan dan perikanan berbasisi wilayah dengan menggunakan konsep
minapolitan. Minapolitan berasal dari kata „mina‟ yang berarti ikan dan „politan‟
berarti kota sehingga dapat diartikan kota perikanan. Pengalaman menunjukkan
bahwa kegiatan ekonomi kelauatan dan perikanan pada umumnya berada di
pedesaan yang lambat berkembang karena terbatasnya sarana, prasarana. Dengan
konsep minapolitan pembangunan dipercepat dengan pendekatan dan system
manajemen kawasan cepat tumbuh layaknya sebuah kota. Penggerak utama
ekonomi di kawasan minapolitan dapat berupa kegiatan produksi dan
perdagangan perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengelolaan ikan, atau pun
kombinssi keduanya,
Minapolitan pada dasarnya mempunyai dua unsur utama yaitu (1)
mniapolitan sebagai konsep pembangunan sektor kelautan dan perikanan berbasis
wilayah dan (2) minapolitan sebagai kawasan ekonomi unggulan denagn
komoditas unggulan dengan komoditas utama prpduk perikanan dan kelautan.
Konsep minapolitan didsarkan tigas asas (i) demokrtisasi ekonomi kelautan dan
perikanan pro rakyat, (ii) pemberdayaan masyarakat dan keberpihakan dengan
intervensi Negara secara terbatas, (iii) penguatan daerah dengan pronsip: daerah
kuat-bangsa dan Negara kuat. Ketiga prnsip tersebut menjadi landasan perumusan
8
kebijakan dan kegiatan pembangunan sektor kelautan dan perikanan benar-benar
untuk mensejaterhkan rakyat (nugroho dan rokhim, 2012)
2.3 Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
Industri merupakan kegiatan ekonomi yang berupa pengelolaan bahan
baku, bahan mentah, bahan setengah jadi dan bahan jadi menjadi bahan yang
memiliki nilai yang tinggi, atau menciptakan bahan yang ada menjadi barang baru
dengan tujuan mencari keuntungan.industri dapat dibedakan menjadi industri
ekstraktif yang mengelola bahan dari alam. Industri non-ekstratif dan industri jasa.
Industri pengelolaan ikan termasuk industri ektraktif sebab mengelola langsung
bahan dari alam. Berdasarkan skala usahanya, ada industri skala rumah tangga
(mikro), kecil, menengah, dan besar
Sesuai dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha
Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) pengertian UMKM dibagi menjadi tiga
macam:
1. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan
usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang tersebut.
2. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang
dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak
perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi
bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha
besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang tersebut.
3. Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang
dilakukan oleh orang perseorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak
perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian
baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau usaha besar
dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang tersebut.
9
Tabel 2.1 Kriteria Klasifikasi UMKM Menurut Asset dan Omzet
No URAIAN
KRITERIA
ASSET OMZET
1 USAHA MIKRO Max 50 jt Max 300 jt
2 USAHA KECIL >50 jt – 250 jt >300 jt - 2,5 M
3 USAHA MENENGAH >500jt – 10 M >2,5 M – 50 M
Sumber: Kementrian Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah RI, 2013
2.4 Keterkaitan Antar Industri
Investasi dalam bidang industri sebagai prioritas pembangunan bukan
hanya didasarkan pada hasil penelitian yang menunjukkan bahwa pertumbuhan
industri menyertai pembangunan. Industri merupakan suatu sektor pemimpin
karena industri tersebut akan merangsang dan mendorong investasi-investasi di
sektor yang lain. Pola perkembangan industri akan diikuti oleh barang-barang
yang diproduksi oleh industri yang lain, menunjukkan bahwa keterkaitan (linkage)
didalam industri sendiri maupun dengan sektor lainnya, perlu dikembangkan
(Arsyad, 1999)
Konsep pertumbuhan tidak seimbang dari Albert O. Hirschman dalam
Arsyad (1999), menunjukkan bahwa pertumbuhan cepat dari satu atau beberapa
industri mendorong perluasan industri-industri lainnya yang terkait dengan sektor
industri yang tumbuh lebih dahulu. Keterkaitan-keterkaitan ini bisa keterkaitan ke
belakang (backward linkages) jika kebutuhan industri tersebut disediakan oleh
industri itu sendiri. Keterkaitan tersebut juga bisa keterkaitan ke depan (forward
linkages), yaitu jika adanya industri tekstil domestik tersebut mendorong
tumbuhnya investasi.
2.5 Model Holistik Pemberdayaan Masyarakat Pesisir
Model holistik pemberdayaan masyarakat pesisir adalah sebuah model
untuk memberdayakan masyarakat pesisir yang dilakukan secara menyeluruh dan
terintegrasi, serta sangat memperhatikan aspek spasial, yaitu pembangunan
10
berwawasan lingkungan, pembangunan berbasis komunitas, pembangunan
berpusat pada rakyat, pembangunan berkelanjutan dan pembangunan berbasis
kelembagaan (Syarief, 2001).
Model pemberdayaan masyarakat pesisir yang holistik tersebut
memerlukan alternatif srategi, yaitu strategi Resource Base Strategy (RBS).
Strategi ini didasarkan pada teori Resources Base yang dikemukakan oleh Perloff
dan Wingo (1994) ini memberikan penekanan pada:
1. Pentingnya peranan kekayaan alam (endowment factor) suatu daerah dalam
pembangunan daerah yang bersangkutan.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi efek pengganda (multiplier effect) sektor
ekspor kepada seluruh perekonomian daerah (Arsyad,1999).
Model holistik ini sangat sesuai dengan arah jangka panjang
Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) yang diprogramkan oleh
Kementerian Kelautan dan Perikanan mulai tahun 2004, sebagaimana dijelaskan
dalam KEPMEN No. 18 tahun 2004 Tentang Pedoman Pelaksanaan Program
Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir, yaitu sebagai berikut:
1. Peningkatan kemandirian masyarakat pesisir melalui pengembangan skala
usaha dan diversikasi kegiatan ekonomi, peningkatan kualitas sumber daya
manusia, partisipasi masyarakat, penguatan dan fasilitasi akses pemodalan
serta penguatan kelembagaan ekonomi masyarakat pesisir.
2. Peningkatan kemampuan masyarakat pesisir untuk mengelola dan
memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut secara optimal serta
berkelanjutan sesuai dengan kaidah kelestarian lingkungan.
3. Pengembangan kemitraan masyarakat pesisir dengan lembaga swasta dan
pemerintah.
Untuk mewujudkan tiga tujuan utama tersebut, Kementerian Kelautan dan
Perikanan melibatkan lima pihak yaitu, pemerintah, universitas, LSM, koperasi
perikanan dan lembaga perbankan.
11
BAB III
METODE PENULISAN
3.1 Pendekatan Penulisan
Pada karya tulis ini pendekatan penelitian yang digunakan adalah kualitatif
deskriptif. Pendekatan ini dipilih karena penulis ingin memahami secara
komprehensif mengenai keterkaitan antar pelaku dan permalahan yang terjadi
khususnya pada industri pengolahan kerupuk hasil ikan di Kawasan Kenjeran
Surabaya. Analisis yang digunakan adalah dengan melakukan analisis keterkaitan
antar industri (industri pengolahan kerupuk hasil laut) baik keterkaitan kedepan
maupun kebelakang yang kemudian melakukan analisis SWOT guna mengetahui
kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman industri tersebut untuk merumuskan
kebijakan pembentukan kawasan minapolitan berbasis wilayah.
3.2 Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penulisan karya ini adalah data sekunder dan
primer. Data sekunder didapatkan dari berbagai sumber yakni Badan Pusat
Statistika Nasional dan Provinsi, Kementrian Kelautan dan Perikanan, e-paper, e-
jurnal dan publikasi ilmiah. Sedangkan data primer didapatkan dari pengamatan
langsung oleh penulis dan wawancara dengan beberapa pelaku usaha dan
masyarakat pesisir di Kawasan Sukolilo, Kenjeran (dekat Pantai Ria). Pengamatan
langsung dan wawancara dilakukan untuk mengetahui secara mendalam proses
produksi, distribusi, promosi serta permasalahan pengembangan industri kerupuk
di wilayah tersebut.
3.3 Teknik Pengolahan Data
Alat analisis yang digunakan dalam penulisan karya ini adalah analisis
SWOT. Analisis SWOT adalah suatu instrument strategi perencanaan dengan
menggunakan kerangka kerja kekuatan (Strenght) dan kelemahan (Weakness)
internal, serta kesempatan (Opportunitiy) dan ancaman (Threat) eksternal (Start
dan Ingie dalam New Weave (2002:170) dan Schuler (1986) Empowerment and
the Law).
11
12
Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan strength dan
opportunities, namun secara bersamaan dapat meminimalkan weaknesses dan
threats. Hasil dari analisis SWOT digunakan untuk merancang empat strategi,
yaitu: (1) Strategi S-O, strategi yang menggunakan strength untuk memanfaatkan
opportunity, (2) Strategi W-O, strategi yang menanggulangi weakness dengan
memanfaatkan opportunity, (3) Strategi S-T, strategi yang menggunakan strength
untuk mengatasi threat, dan (4) Strategi W-T, strategi yang memperkecil
weakness dan menghindari threat (Rangkuti, 2001 dalam Mangiwa).
Adapun metode pengumpulan data yang digunakan secara ringkas
dijelaskan dalam diagram dibawah ini:
Gambar 3.1 Alur Berpikir
Sumber: Penulis, 2013
Model Holistik Kawasan Minapolitan Kenjeran
Surabaya Industri Pengolahan Hasil Laut
Rekomendasi Kebijakan
Analisis Data
Sekunder
- Pengamatan
langsung
- Wawancara
Proses Produksi,
Distribusi dan
Promosi
Analisis Data
Primer
Profil Industri
Kerupuk Pengolahan
Hasil laut
Analisis Keterkaitan
Antar Industri
Analisis SWOT
13
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Industri Pengolahan Kerupuk Hasil Laut di Pesisir
Kenjeran
Surabaya merupakan salah satu kota metropolitan di Indonesia yang
memiliki luas sekitar 326,37 km2. Sebagian besar wilayah Surabaya merupakan
dataran rendah dengan ketinggian 3–6 meter di atas permukaan air laut, kecuali di
sebelah Selatan dengan ketinggian 25–50 meter di atas permukaan air laut.
Penduduk Kota Surabaya sampai dengan bulan Juni 2005 mencapai 2.701.312
jiwa, yang terdiri dari penduduk laki–laki sejumlah 1.358.610 jiwa dan penduduk
perempuan sejumlah 1.342.702 jiwa, dengan tingkat kepadatan 8.277 jiwa / km2.
Secara ekonomi, sampai saat ini pertumbuhan ekonomi Surabaya selalu di
atas Provinsi Jawa Timur dan bahkan di atas pertumbuhan ekonomi Nasional.
Sektor riil berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi dari Surabaya pada tahun
2009 untuk menghadapi krisis ekonomi global. Hal ini dapat dilihat dari
pencapaian tahun 2008, ketika ekonomi kota tumbuh di atas 6%, belum lagi
posisinya sebagai etalase komersial di Indonesia Timur. Pada tahun 2009, kota ini
dianugerahi sebagai kota dengan biaya efektivitas terbaik di antara 133 kota masa
depan Asia oleh Majalah Financial Times.
Salah kelurahan di Surabaya adalah Sukolilo yang memiliki letak
berdekatan dengan Pantai Kenjeran, satu-satunya lokasi wisata bahari di
Surabaya.. Salah satu kelurahan Kecamatan Bulak ini memiliki wilayah seluas 0,9
km2 dengan jumlah penduduk 4.916 jiwa. Berdasarkan data BPS 2010, Kelurahan
Kenjeran termasuk salah satu kelurahan dengan tingkat ekonomi sangat rendah di
Surabaya (detikNews, 2010). Hal dimungkinkan karena angkatan kerja Kelurahan
Sukolilo sebagian besar hanyalah tamatan SD/sederajat. Penduduk Kelurahan
Sukolilo yang berpendidikan tamat SLTA hanya tercatat sejumlah 599 Jiwa lebih
sedikit dibandingkan jumlah penduduk lulusan SLTP yakni 691 jiwa, sedangkan
jumlah penduduk tamatan S1 tercatat hanya 31 jiwa. Kualitas SDM yang kurang
baik ini menjadi salah satu faktor utama penyebab kondisi ekonomi
13
14
masyarakatnya rata-rata menengah ke bawah. (Laporan Bagian Pemerintahan
Sekretariat Daerah Kota Surabaya 2013. 2013)
Secara umum karakteristik sosial ekonomi penduduk pesisir Kenjeran
Surabaya terangkum dalam tabel 4.1.
Tabel 4.1 Karakteristik Sosial Ekonomi Penduduk Pesisir Kenjeran
Surabaya
Sumber: Khomenie dan Umilia, 2013
Kelurahan Sukolilo menjadi pusat sentra produksi kerupuk olahan hasil laut
di Surabaya. Hal ini dikarenakan sebagian besar penduduk Kelurahan Sukolilo
selain memiliki mata pencaharian utama sebagai nelayan, mereka juga
mengembangkan usaha pengolahan kerupuk hasil laut, seperti kerupuk terung laut,
teripang, kulit ikan kakap, udang, kulit ikan pari, dan lambung ikan dimana nilai
jualnya lebih tinggi dibandingkan hasil laut yang langsung dijual secara mentah.
Produk ini juga telah merambah pasar ekspor, yaitu ke Dubai dan Korea.
(www.surabayapost.co.id, 2013).
Industri kerupuk hasil laut di Kenjeran kebanyakan berbasis rumah tangga
baik skala kecil maupun besar. Industri skala kecil terdiri dari keluarga nelayan
yang mengolah hasil tangkapan lautnya menjadi kerupuk di rumah mereka
masing-masing. Hasil olahan tersebut sebagian mereka jual secara eceran di kios
13
15
milik mereka dan sebagian lagi dijual ke industri rumah tangga skala besar.
Industri rumah tangga skala besar terdiri dari rumah tangga nelayan yang
memproduksi kerupuk dalam skala besar dengan mempekerjakan beberapa
karyawan. Berdasarkan hasil survey langsung, penulis mendapatkan beberapa
contoh industri rumah tangga skala besar sebagai berikut:
1) Usaha kerupuk kulit ikan kakap, kulit ikan pari, melinjo-udang dan
kentang-udang
Produksi
Usaha yang dimotori oleh Ibu Risma ini berdiri sejak tahun 1989. Bahan
baku ikan diperoleh dari nelayan Pantai Kenjeran dan Madura, sedangkan kentang
dan melinjo diperoleh dari Malang. Bahan baku ikan bersifat musiman, sehingga
jika sedang tidak musim ikan kelompok ini memproduksi kerupuk melinjo-udang
dan kentang-udang. Proses pengolahan masih dilakukan dengan cara
konvensional (tanpa mesin) dan pengeringannya menggunakan panas sinar
matahari. Hampir semua tenaga kerjanya terdiri dari perempuan (istri nelayan)
yang kebanyakan berasal dari Bangkalan, Madura. Mereka bekerja setiap hari dari
jam 06.00 am-17.00 pm WIB.
Sumber Dana
Sumber dana berasal dari dana pribadi Ibu Risma dan kemitraan dengan
Bank Mandiri.
Promosi dan Distribusi
Promosi produk hanya dilakukan Ibu Risma dengan mengikuti kegiatan
display UKM yang dilaksanakan oleh Bank Mandiri di beberapa kota besar di
Indonesia. Selain menjadi agen distribusi Ibu Risma juga menjual produknya
secara eceran di kios miliknya yang berada di Jalan Sukolilo 3. Labeling produk
tidak dilakukan sendiri atas nama Ibu Risma, melainkan oleh salah satu pihak
swasta yang memiliki hubungan kemitraan dengan Ibu Risma. Pihak swasta
tersebut melakukan labeling pada produk Ibu Risma kemudian
mendistribusikannya ke pasar domestik bahkan ke luar negeri (Dubai, Korea).
16
2) Usaha kerupuk terung laut dan teripang
Produksi
Usaha yang dimotori oleh Ibu Lilik ini sudah beroperasi sejak 30 tahun
yang lalu. Bahan baku diperoleh dari nelayan Pantai Kenjeran, Madura dan
Semarang. Kerupuk terung laut dan teripang merupakan kerupuk khas Kenjeran
yang paling mahal karena proses bahan bakunya yang susah dicari dan proses
produksinya rumit dan lama. Selain itu bahan yang masih mentah akan menyusut
selama proses pengolahan. Satu kwintal bahan mentah hanya akan menjadi enam
kilogram kerupuk mentah. Proses produksi dibantu dengan mesin pembersih
terung dan teripang yang merupakan bantuan dari salah satu universitas. Dalam
menjalankan usaha, sehari-hari Ibu Lilik mempekerjakan enam orang karyawan
yang terdiri dari dua orang laki-laki dan empat orang perempuan, tapi jika bahan
baku sedang musim maka karyawan yang dipekerjakan mencapai empat belas
orang. Kebanyakan mereka berasal dari Sampang, Madura. Karena karyawannya
berasal dari luar Surabaya, Ibu Lilik biasanya menyediakan kos-kosan sebagai
tempa tinggal sementara bagi karyawan dan pembayarannya dipotong dari upah
mereka.
Sumber Dana
Sejak awal memulai usaha Ibu Lilik menggunakan dana pribadi, baru
kemudian mulai tahun 2010 Beliau menjalin hubungan kemitraan dengan Bank
Jatim. Dengan adanya tambahan dana melalui hubungan kemitraan tersebut, Ibu
Lilik bisa menimbun bahan baku sebagai stok bahan baku proses produksi.
Promosi dan Distribusi
Berbeda dengan Ibu Risma yang juga menjual langsung produknya
secara eceran di kios pribadi, Ibu Lilik hanya menjadi agen distrbusi produksi
yang tempatnya pun menjadi satu dengan tempat proses pengolahan. Beliau juga
tidak melakukan labeling sendiri melainkan menjalin hubungan kemitraan dengan
salah satu pihak swasta. Pihak swasta tersebut mendistribusikan produk Ibu Lilik
dengan labeling sendiri ke supermarket di beberapa kota besar di Indonesia,
bahkan baru-baru ini juga mengorder satu ton produk untuk diekspor.
17
Berikut ini merupakan alur produksi, distribusi maupun promosi industri
pengolahan kerupuk hasil laut kenjeran, mulai dari hasil laut mentah hingga
menjadi produk kerupuk olahan yang siap dinikmati.
Gambar 4.1 Rantai Produksi, Distribusi dan Promosi Industri Kerupuk
Hasil Laut di Kenjeran
Sumber: Penulis berdasarkan data primer (survei)
Nelayan
Diolah sendiri menjadi kerupuk hasil
laut
Dijual kepada produsen kerupuk hasil laut
Dijual eceran di kios pribadi
Dijual kepada produsen kerupuk
hasil laut
Proses produksi
Distribusi dan promosi
Kemitraan dengan
pihak swasta
Kios pribadi
Labelling
Pedagang
kecil/eceran
Pasar domestik
(supermarket) dan ekspor
Pedagang
kecil/eceran
Nelayan
Diolah sendiri menjadi kerupuk hasil
laut
Dijual kepada produsen kerupuk hasil laut
Dijual eceran di kios pribadi
Dijual kepada produsen kerupuk
hasil laut
Proses produksi
Distribusi dan promosi
Kemitraan dengan
pihak swasta
Kios pribadi
Labelling
Pedagang
kecil/eceran
Pasar domestik
(supermarket) dan ekspor
Pedagang
kecil/eceran
18
4.2 Pembahasan
4.2.1 Keterkaitan Industri Pengolahan Kerupuk Hasil Laut di Pesisir
Kenjeran dengan Industri Lainnya (Interindustry Linkage Effect)
Industri pengolahan kerupuk hasil laut di Pesisir Kenjeran memiliki
keterkaitan ke belakang (backward linkage) ke belakang dengan sektor perikanan
tangkap. Hal ini karena industri pengolahan kerupuk hasil laut membutuhkan
bahan baku hasil laut dalam memproduksi kerupuk.
Gambar 4.2 Backward Linkage dan Forward Linkage Industri Pengolahan
Kerupuk Hasil Laut
Sumber: Penulis berdasarkan data primer, 2013
Seperti yang telah dijelaskan dalam rantai produksi di atas, bahwa sumber
bahan bahan baku industri pengolahan kerupuk hasil laut di Pesisir Kenjeran tidak
hanya berasal dari hasil tangkap nelayan laut Kenjeran, tapi juga dari nelayan di
beberapa pesisir lain seperti Madura dan Probolinggo. Sebagian produsen juga
mengolah kerupuk blinjo udang dan kentang udang, dimana bahan baku yang
dgunakan berasal dari kota/kabupaten lain yakni dari petani di Malang. Dengan
demikian, perkembangan Industri pengolahan kerupuk hasil laut di Pesisir
Kenjeran akan meningkatkan permintaan perikanan tangkap dan produk pertanian
(kentang dan blinjo). Selain itu, industri ini juga memiliki keterkaikan kedepan
(forward linkage) karena dengan berkembangnya industri pengolahan kerupuk
hasil laut akan mendorong tumbuhnya investasi dalam industri pengolahan
Industri Pengolahan
Kerupuk Hasil Laut
Nelayan Pesisir
Kenjeran
Nelayan daerah
pesisir lainnya
Petani Blinjo
Petani Kentang
investasi dalam
industri pengolahan
perikanan dan
kelautan
mendorong
perkembangan wisata
bahari Pantai
Kenjeran.
19
perikanan dan kelautan serta akan mendorong perkembangan wisata bahari Pantai
Kenjeran.
4.2.2 Analisis SWOT Industri Pengolahan Kerupuk Hasil Laut Kenjeran
Untuk dapat merumuskan kebijakan strategis pengembangan industri
pengolahan kerupuk hasil laut di Kawasan Kenjeran Surabaya, di bawah ini
disajikan faktor-faktor internal-eksternal yang akan menentukan dan
mempengaruhi kebijakan strategis pemerintah kota Surabaya dalam
pengembangan industri tersebut.
Faktor internal meliputi faktor kekuatan, yang dimiliki Kelurahan
Sukolilo, Kenjeran dalam pengembangan industri pengolahan kerupuk hasil laut
dan faktor kelemahan yang seharusnya ada dan diperlukan untuk pengembangan
industri tetapi pada saat ini belum dimiliki. Sedangkan Faktor eksternal meliputi
peluang artinya apabila industri pengolahan kerupuk hasil laut dikembangkan
menjadi kawasan minapolitan, maka Kawasan Kenjeran akan memanfaatkan
setiap peluang yang ada, sedangkan ancaman/tantangan adalah segala sesuatu
yang akan dihadapi oleh Kawasan Kenjeran sebagai akibat dari pengembangan
industri pengolahan hasil laut. Ancaman/tantangan tersebut bisa terjadi sebelum,
sedang, maupun setelah dilaksanakan pengembangan industri.
Faktor Internal (Kekuatan dan Kelemahan)
Kekuatan:
Dilihat dari segi kekuatan, olahan hasil laut berupa kerupuk sangat
diminati konsumen tidak hanya domestik melainkan mancanegara, hal ini terbukti
dari beberapa produk yang telah merambah pasar ekspor meskipun sebagai
perantaranya adalah pihak ketiga. Sumberdaya yang digunakan sebagian besar
berasal dari laut Kenjeran, Madura dan sekitarnya yang merupakan potensi lokal
yang tidak dimiliki kawasan lainnya. Tenaga kerja yang digunakan pun
merupakan masyarakat sekitar baik nelayan maupun istri nelayan.
20
Bahan baku yang digunakan industri ini berasal dari nelayan setempat dan
produksi pengolahan hasil laut menjadi cemilan kerupuk memanfaatkan bantuan
dari istri nelayan setempat pula untuk membantu meningkatkan penghasilan
keluarga. Dengan adanya industri pengolahan tersebut mampu menyerap tenaga
kerja yang lebih besar dan adanya diversifikasi pekerjaan bagi nelayan karena
ketika musim paceklik mereka tetap bisa bekerja menjadi buruh produksi
pengolahan hasil laut tersebut.
Kelemahan:
Proses produksi usaha kerupuk ini kebanyakan masih dilakukan secara
individual dan konvensional. Pemilik usaha pengolahan kerupuk ini mengerjakan
produksinya sendiri di rumah masing-masing, namun ada sebagian yang sudah
mempekerjakan karyawan untuk membantu proses produksi. Peralatan produksi
yang digunakan masih sangat sederhana dan tradisional. Penjemuran dilakukan
dengan menggunakan bantuan sinar matahari dengan tempat penjemuran yang
berasal dari bambu yang dirangkai dengan jaring. Dalam proses produksi terung
misalnya masih menggunakan injakan kaki untuk mengeluarkan lendir dan waktu
produksi yang dibutuhkan pun cukup lama yakni 7 hari dengan tanpa bantuan
mesin penghilang lendir. Pengemasannya pun masih sangat sederhana dan belum
memiliki merek.
Proses pemasaran dan distribusi produk dilakukan melalui kios-kios
sepanjang jalan di Kelurahan Kenjeran dan komplek wisata Pantai kenjeran. Hingga
saat ini belum ada pengenalan secara meluas untuk memperkenalkan pusat oleh-oleh
kerupuk hasil laut khas Surabaya.
Faktor Eksternal (Peluang dan Ancaman)
Peluang:
Terbukanya peluang pasar domestik maupun ekspor untuk produk hasil
olahan. Dengan adanya sedikit inovasi dan kreativitas jenis kerupuk masa kini
yang semakin variatif, fungsi kerupuk meluas sebagai camilan yang disukai tua-
21
muda. Apalagi kerupuk yang dihasilkan di Kenjeran memiliki kekhasan tersendiri
yang tidak banyak tersedia di wilayah lainnya.
Pengembangan kawasan komoditas unggulan berbasis produk kelautan
dan perikanan didukung pula dengan penyediaan infrastruktur berupa
pembangunan jalan kembar untuk mempermudah akses transportasi menuju
kawasan tersebur yang secara langsung menyambung dengan jalan dari arah
Suramadu. Pembangunan jalan kembar tersebut diharapkan mampu meningkatkan
konsentrasi perdagangan hasil olahan tersebut.
Untuk membantu mengembangkan usaha perikanan, pemerintah kota
Surabaya telah membangun Sentra Ikan Bulak (SIB) yang disedikan khusus
sebagai pusat berbelanja oleh-oleh aneka produk olahan laut. Bangunan yang
terletak di Jl. Bulak Cumpat No. 1 Surabaya ini menyediakan 212 kios yang
menjual aneka produk olahan laut termasuk kerupuk. Posisinya berhadapan
langsung dengan laut sehingga pengunjung bisa lebih nyaman berbelanja sambil
menikmati pemandangan laut yang menawan. Sayangnya, kebanyakan para
pedagang kerupuk lebih suka menjajakan jualannya sendiri langsung kepada
wisatawan di Pantai Kenjeran. Hal ini mungkin karena pengunjung Pantai
Kenjeran lebih ramai daripada pengunjung SIB.
Dari pihak luar juga telah ada bantuan modal melalui program
pengembangan UMKM dengan menggulirkan pinjaman dengan bunga rendah dan
memberikan fasilitas pemberdayaan dan pelatihan bagi pengusaha. Beberapa
perusahaan yang telah memberikan program tersebut yakni Bank Mandiri dan
Bank Jatim.
Ancaman :
Promosi produk yang dilakukan oleh pemerintah kota setempat masih
dalam skala kecil, sebatas display UKM dan promosi skala kecil lainnya sehingga
produk khas Kenjeran ini belum dikenal luas oleh masyarakat sentra produksi dan
distribusi terletak di daerah yang masih kumuh sehingga kurang menarik minat
calon konsumen untuk mengunjungi daerah tersebut. Dari segi persaingan,usaha
22
sejenis juga dikembangkan di salah satu kota lain, yaitu di Semarang walaupun
distribusinya masih sebatas di kota tersebut tapi tetap ada peluang persaingan
antara kedua kegiatan usaha ini. Jika para pengusaha di Kenjeran kalah cepat
mengembangkan usahanya, maka tidak menutup kemungkinan potensipasar akan
dikuasai oleh pengusaha di Semarang.
Tabel 4.2 Analisis SWOT Industri Pengolahan Kerupuk Hasil Laut Pesisir
Kenjeran Surabaya
STRENGTHS (KEKUATAN) WEAKNESS (KELEMAHAN)
- Produk bersifat khas
- Bahan baku dan tenaga kerja
merupakan potensi lokal
- Sudah merambah pasar domestik
dan internasional
- Adanya value added lebih tinggi
dari penjualan ikan mentah
- Proses produksi kebanyakan masih
dilakukan secara individual dan
konvensional
- Alat produksi masih tradisional
- Proses pemasaran dan distribusi
produk dilakukan melalui kios-
kios kecil dan komplek wisata
Pantai kenjeran.
OPPORTUNITIES (PELUANG) THREATHS (ANCAMAN)
- Terbukanya peluang pasar
domestik maupun ekspor untuk
produk hasil olahan
- Dukungan infrastruktur berupa
jalan kembar dan SIB
- Kurangnya promosi secara meluas
oleh pemerintah setempat
- Lingkungan sekitar sentra
produksi yang kumuh
- Adanya peluang persaingan
dengan industri sejenis
Sumber: Penulis (diolah dari data primer dan sekunder), 2013
4.2.3 Model Holistik Pengembangan Kawasan Minapolitan Pengolahan
Kerupuk Hasil Laut Berbasis UMKM di Pesisir Timur Surabaya (Kenjeran)
Memberdayakan masyarakat pesisir berarti menciptakan peluang bagi
masyarakat pesisir untuk menentukan kebutuhannya, merencanakan dan
23
melaksanakan kegiatannya, yang akhirnya menciptakan kemandirian permanen
dalam kehidupan masyarakat itu sendiri. Berdasarkan analisis SWOT dan
pedoman umum pelakasanaan program PEMP Kementerian Kelautan dan
Perikanan, maka salah satu model yang tepat, guna pengembangan sosial ekonomi
masyarakat pesisir adalah dengan menggunakan paradigma pembangunan holistik,
yaitu pembangunan yang dilakukan secara menyeluruh dan terintegrasi. Model ini
melibatkan berbagai macam pihak yakni nelayan, produsen kerupuk hasil laut,
pemerintah, NGO dan Universitas. Secara terperinci alur implementasi model
holistik pengembangan kawasan minapolitan pengolahan kerupuk hasil laut di
Pesisir Kenjeran digambarkan dalam bagan berikut:
24
Universitas
NGO
Goverment
Komunitas
Produsen
Pengolahan
Kerupuk Hasil
Laut
Lembaga Keuangan:
- Credit Union
- Perbankan
Nelayan
Produsen
Pengolahan
Kerupuk Hasil
Laut
Komunitas pengolah
kerupuk hasil
laut
Membuat peraturan/
perundingan yang kondusif
Peningkatan kualitas SDM
Perbaikan organisasi bisnis,
manajemen & Pemasaran
Peningkatan teknologi
produksi
Peningkatan infrastruktur
Pengadaan modal
Penelitian & penyediaan
informasi pasar
Potensi pasar
(domestik, internasional)
Meningkatkan skala
ekonomis (produksi dan
produktifitas)
Potensi
SDA laut
Tradisi/ nilai-
nilai kearifan
lokal
Mediasi/ negoisasi
kontrak pemasaran
Meningkatan
penghasilan dan
taraf hidup
ekonomi
masyarakat
pesisir
Komunitas pengolah
kerupuk hasil
laut
Kelestarian
lingkungan
Alokasi SDA
laut
Gambar 4.3 Model Holistik Pengembangan Kawasan Minapolitan Pengolahan Kerupuk Hasil Laut di Pesisir
Kenjeran
Sumber: Penulis berdasarkan model holistik Kameo dkk, 2001
25
Nelayan merupakan pemasok bahan baku utama untuk produksi kerupuk
olahan hasil laut yang dikelola oleh para produsen kerupuk hasil laut. Dalam
model ini nelayan dan para produsen kerupuk hasil laut menjadi objek
pemberdayaan; sedangkan Pemerintah, Non Government Organization (NGO),
Universitas, lembaga keuangan (baik credit union maupun perbankan)
bekerjasama untuk membantu pengembangan minapolitan kawasan industri
pengolahan kerupuk hasil laut tersebut. Untuk mempermudah komunikasi,
koordinasi maupun kemitraan antara pelaku usaha (nelayan dan produsen kerupuk
hasil laut) dengan pihak-pihak tersebut, maka dibentuk komunitas pelaku usaha
kerupuk hasil laut yang berbasis pada komunitas yang sudah ada (kelompok
nelayan dan kelompok produsen kerupuk).
Kerjasama antara keempat pihak (pemerintah, Non Government
Organization (NGO), Universitas, lembaga keuangan) dengan komunitas pelaku
usaha diharapkan dapat mewujudkan perbaikan-perbaikan yang meliputi:
1. Peningkatan kualitas SDM. Hal ini sangat penting mengingat tingkat
pendidikan masyarakat pesisir Kenjeran masih rendah yakni mayoritas
merupakan tamatan SD dan SMP. Dengan perbaikan kualitas SDM diharapkan
para pelaku usaha dapat meningkatkan skala produksi dan kualitas produk
dengan optimal.
2. Perbaikan organisasi bisnis, menejemen dan pemasaran. Selama ini
industri pengolahan kerupuk hasil laut yang ada berbasis rumah tangga dan
masih terpisah-pisah. Demikian juga dengan nelayan sebagai pihak pemasok
bahan baku, masih melakukan semuanya secara individual. Hal ini menjadi
salah satu faktor utama organisasi bisnis, menejemen dan pemasaran industri
pengolahan kerupuk hasil laut belum teroganisir secara sistematis, sehingga
hasilnya pun masih belum maksimal. Oleh karena itu, dengan dibentuknya
komunitas yang berbasis pada rumah tangga pelaku usaha, kemudian secara
bersama-sama dengan keempat pihak di atas dapat memperbaiki dan
memaksimalkan organisasi bisnis, menejemen dan pemasaran.
26
3. Peningkatan teknologi. Sejak bertahun-tahun yang lalu para pelaku usaha
mencari bahan baku dan mengolahnya dengan cara yang diturunkan secara
turun temurun dari nenek moyang mereka. Semuanya masih serba
konvensional, sehingga produktivitas masih rendah dan kualitas produk masih
belum sesuai dengan standar nasional. Oleh karena itu dibutuhkan peningkatan
teknologi untuk mewujudkan pengolahan yang efesien.
4. Peningkatan infrastruktur. Sentra industri pengolahan kerupuk hasil laut
terletak di daerah yang relatif kumuh, walaupun berdekatan dengan wisata
Pantai Kenjeran namun infrastruktur wisata tersebut juga masih belum
memadai. Fasilitas umum seperti jalan menuju tempat wisata masih dalam
proses perbaikan dan trasportasi publik sangat sulit diakses. Hal ini menjadi
salah satu faktor yang membuat masyarakat kurang tertarik untuk berkunjung
ke tempat tersebut, sehingga pembeli domestik kerupuk hasil laut juga relatif
masih sedikit.. Dengan peningkatan infrastruktur diharapkan dapat menjadi
daya tarik wisatawan baik domestik maupun internasional untuk berkunjung ke
wisata tersebut, yang kemudian juga diharapkan dapat meningkatkan
permintaan akan produk kerupuk hasil laut.
5. Pengadaan modal. Selama ini mayoritas para pelaku usaha menggunakan
dana pribadi yang jumlahnya terbatas untuk melakukan usaha kerupuk hasil
laut, dan sebagian kecil yang lain melakukan hubungan kemitraan dengan
bank. Namun, secara umum dana yang tersedia masih sangat terbatas dan
belum mencukupi kebutuhan produksi, sehingga jumlah produksi pun masih
dalam skala kecil. Sekalipun ada bantuan modal, pengelolaannya masih secara
individual dan biasanya hanya digunakan untuk menambah modal pembelian
bahan baku. Dengan adanya kerjasama antara komunitas dan keempat pihak
terkait, maka bantuan modal dapat dikelola untuk pengembangan usaha secara
menyeluruh.
Selain lima perbaikan di atas, universitas juga membantu dalam Research
& Development khususnya terkait penyediaan informasi pasar baik domestik
maupun internasional. Dengan mengetahui potensi pasar, maka pelaku usaha
dapat melihat peluang untuk meningkatkan skala ekonomisnya. Selain itu,
27
infromasi pasar dapat menghindarkan adanya asimetris informasi antara
pelaku usaha dan pihak kemitraan dalam melakukan negoisasi/kontrak
pemasaran, sehingga kedua belah pihak tidak ada yang dirugikan.
Pengembangan suatu sektor ekonomi juga harus memperhatikan
kelestarian lingkungan untuk menjaga keberlanjutannya. Hal ini bisa dilakukan
oleh Pemerintah sebagai pihak yang berwenang melalui peraturan atau
perundingan yang kondusif terkait alokasi SDA perikanan dan kelautan. Peraturan
tersebut hasus didampingi dengan tradisi dan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat
pesisir, sehingga pemerintah dan masyarakat pesisir dengan saling menopang bisa
mengoptimalkan potensi SDA yang ada tanpa merusak kelestariannya.
Melalui model holistik yang melibatkan berbagai pihak ini, antara
komunitas sebagai perwakilan dari pelaku usaha kerupuk hasil laut di Pesisir
Kenjeran dengan Pemerintah, Non Government Organization (NGO), Universitas,
dan lembaga keuangan diharapkan dapat mengembangkan kawasan minapolitan
industri pengolahan kerupuk hasil laut di Kenjeran seoptimal mungkin. Dengan
berkembangnya industri pengolahan kerupuk hasil laut di Kenjeran, maka akan
mendorong berkembangnya sektor-sektor lain yang terkait sebagaimana
dijelaskan dalam sub bab 4.2.1. Goal dari model ini adalah meningkatnya
penghasilan dan taraf hidup masyarakat pesisir.
28
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah disamapaikan, penulis dapat menyimpulkan
beberapa hal berikut:
1. Industri Pengolahan Kerupuk Hasil Laut di Pesisir Kenjeran memiliki
keterkaitan (linkage effect) dengan beberapa sektor ekonomi lain. Industri ini
memiliki keterkaitan ke belakang (backward linkage) dengan sektor perikanan
tangkap di Pesisir Kenjeran dan beberapa wilayah pesisir lain yang menjadi
pemasok bahan baku, seperi Madura dan Probolinggo serta petani kentang dan
melinjo di Malang. Selain itu, industri ini juga memiliki keterkaikan kedepan
(forward linkage), karena dengan berkembangnya industri pengolahan
kerupuk hasil laut akan mendorong tumbuhnya investasi dalam industri
pengolahan perikanan, dan kelautan serta akan mendorong perkembangan
wisata bahari Pantai Kenjeran.
2. Hasil analisis SWOT menunjukkan bahwa industri pengolahan kerupuk hasil
laut di Pesisir Kenjeran memiliki keunggulan dan kelemahan internal serta
peluang dan ancama eksternal. Keunggulan internal meliputi: (1) Produk
bersifat khas, (2) Bahan baku dan tenaga kerja merupakan potensi lokal, (3)
Sudah merambah pasar domestik dan internasional, dan (4) Adanya value
added lebih tinggi dari penjualan ikan mentah. Kelemahan internalnya, yaitu:
(1) Proses produksi kebanyakan masih dilakukan secara individual dan
konvensional, (2) Alat produksi masih tradisional, dan (3) Proses pemasaran
dan distribusi produk dilakukan melalui kios-kios kecil dan komplek wisata
Pantai kenjeran. Adapun peluang eksternalnya meliputi: (1) Terbukanya
peluang pasar domestik maupun ekspor untuk produk hasil olahan, dan (2)
Dukungan infrastruktur berupa jalan kembar dan SIB. Sedangkan ancaman
eksternalnya yaitu: (1) Kurangnya promosi secara meluas oleh pemerintah
28
29
setempat, (2) Lingkungan sekitar sentra produksi yang kumuh, dan (3)
Adanya peluang persaingan dengan industri sejenis.
3. Model Holistik Pengembangan Kawasan Minapolitan Pengolahan Kerupuk
Hasil Laut merupakan model pembangunan yang dilakukan secara
menyeluruh dan terintegrasi. Model ini melibatkan berbagai macam pihak
yakni nelayan, produsen kerupuk hasil laut, pemerintah, NGO dan Universitas.
Dengan melibatkan berbagai pihak tersebut, diharapkan kawasan minapolitan
industri pengolahan kerupuk hasil laut di Kenjeran dapat dikembangkan
semaksimal mungkin. Seiring berkembangnya industri pengolahan kerupuk
hasil laut di Kenjeran, maka akan mendorong berkembangnya sektor-sektor
ekonomi lain baik yang memiliki backward linkage maupun forward linkage
dengan industri tersebut. Goal dari model ini adalah meningkatnya
penghasilan dan taraf hidup masyarakat pesisir, sehingga kesejahteraan
masyarakat pesisir dapat tercapai.
5.2 Saran
1. Pembangunan dan perbaikan infrastruktur di Pesisir Kenjeran patut
dipertimbangkan menjadi salah satu prioritas pembangunan Pemerintah
Kota Surabaya mengingat potensi perikanan dan kelautan yang dimilikinya.
2. Kebijakan peningkatan kualitas SDM di Pesisir Kenjeran melalui
pendidikan formal maupun pelatihan sangat perlu dilakukan oleh
Pemerintah Kota Surabaya, melihat kondisi angkatan kerja yang rata-rata
pendidikannya adalah tamatan SD/sederajat.
3. Koordinasi dan kerjasama antara pemerintah dengan masyarakat setempat
di Pesisir Kenjeran perlu terus dilakukan dengan pendekatan kekeluargaan
agar kebijakan yang akan diambil merupakan hasil rembuk bersama
sehingga pelaksanaannya pun mendapat dukungan dari banyak pihak.
30
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, Lincolin. 1999. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Daerah.
Edisi Pertama dan Edisi Ketiga. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta.
Badan Pusat Statitik (BPS) Nasional, 2010.
Bagian Pemerintahan Sekretariat Daerah Kota Surabaya 2013. 2013. Laporan
Akhir Kajian Akdemik Persiapan Pelaksanaan Penggabungan Kelurahan di
Kota Surabaya. (Online). (http://jdih.surabaya.go.id, diakses September
2013)
BPS. Analisis SWOT. (Online). (http://daps.bps.go.id, diakses September 2013)
Geti Area. 2013. Wisata Kerupuk Kenjeran. (Online)
(http://get2iarea.blogspot.com, diakses September 2013)
Hamid, Edy Suandi dan Y. Sri Susilo. 2011. Strategi Pengembangan UKM di
Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Ekonomi Pembangunan. Vol. 12 No 1.
Jaya. 2012. Meraup Untung dari Gurihnya Bisnis Kerupuk Hasil Laut. (Online).
(http://sumberseni.blogspot.com, diakses September 2013).
Junaidi. 2013. Kerupuk Terung Sukolilo Sudah Merambah Dubai dan Korea.
(Online) . (http://www.surabayapost.co.id, diakses September 2013)
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), 2010.
Lauren, Tia Dewi. 2011. Kampung Kerupuk Kenjeran (Surabaya). (Online)
(http://laurentiadewi.com, diakses September 2013)
Mangiwa, Simbong. Analisis Strategis Bisnis Jasa Warung Internet : Studi Kasus
pada Warnet “Global Internet” Kota Depok. (Online).
(http://www.gunadarma.ac.id, diakses September 2013)
Nugroho dan Rokhim. 2012. Perencanaan dan Pembangunan Daerah.
31
Satria, Arif. 2009. Pesisir dan Laut untuk Rakyat. Bogor: IPB Press.
Schuler. 1986. Empowerment and the Law. (Online). (www.smeru.or.id, diakses
September 2013)
Suara Surabaya Media. 2013. Tempat Puas Belanja Ikan. (Online).
(http://surabayacityguide.co.id, diakses September 2013).
Lenakoly, Steven. 2010. Kecamatan Semampir Wilayah Termiskin se Surabaya.
(Online). (http://news.detik.com, diakses Oktober 2013)
Syarief, Efrizal. 2001. Pembangunan Kelautan dalam Konteks Pemberdayaan
Masyarakat Pesisir. Majalah PP. Edisi 25. (Online). (www.bappenas.go.id,
diakses Oktober 2013).
Karneo, Daniel D. 2001. Rekonstruksi Model Pembangunan Wilayah
Berdasarkan Pendekatan Empirik. (Online). (krepository.library.uksw.edu,
diakses Oktober 2013)
Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2004. Pedoman Umum Pelaksanaan
Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir. (Online).
(djpsdkp.kkp.go.id, diakses Oktober 2013).
Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2012. Kebijakan Ekonomi Kelautan
dengan Model Ekonomi Biru. (online). (www.dekin.kkp.co.id, diakses
Oktober 2013)
Wawancara
1. Ibu Lilik, Pengusaha Kerupuk Teripang dan Terung. (Jl. Sukolio Gang 8)
2. Ibu Risma, Pengusaha Kerupuk Kerupuk Kulit Ikan Kakap, Kulit Ikan Pari,
Melinjo-Udang dan Kentang-Udang. (Jl. Sukolilo Gang 2)
3. Karyawan Ibu Lilik dan Ibu Risma.