112
Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama Filosofi dan Strategi Implementasi Penulis: Budiaman Shahibah Yuliani Arenarita Peni Andaryati Nandi Kurniawan UNJ PRESS

Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

  • Upload
    others

  • View
    7

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

Filosofi dan Strategi Implementasi

Penulis:Budiaman

Shahibah Yuliani Arenarita Peni Andaryati

Nandi Kurniawan

UNJPRESS

Page 2: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

MODEL PENDIDIKAN MULTIKULTUR SMA BERBASIS AGAMAFilosofi dan Strategi Implementasi© Budiaman , Shahibah Yuliani, Arenarita Peni Andaryati, Nandi Kurniawan, UNJ Press, 2021

Penulis: Dr. Budiaman, M.SiShahibah Yuliani, S.Sos.,M.PdArenarita Peni Andaryati, M.PdNandi Kurniawan, S.Pd, M.Si

Cetakan Pertama, Maret 2021vi + 106 halaman

ISBN: 978-623-7518-60-0

UNJPRESS

UNJ PRESSGedung Rektorat Lantai 1, Kampus A UNJJalan Rawamangun Muka, Rawamangun, Pulo Gadung, Jakarta Timur, 13220

UNJ Press telah menjadi anggota :

Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI)No. Anggota: 001.126.1.10.2020

Asosiasi Penerbit Perguruan Tinggi Indonesia (APPTI)No. 585/Anggota Luar Biasa/DKI/2020

Page 3: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

iii

PRAKATA

Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya, sehingga buku ini dapat tersusun sesuai yang diharapkan. Buku ini merupakan substansi hasil penelitian tentang model pendidikan multikultur yang diterapkan pada sekolah berbasis agama di DKI Jakarta, Kota Depok, Kota Tangerang, dan Kota Bekasi. Berkembangnya sekolah-sekolah berbasis agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha pada satu sisi mengindikasikan bahwa kesadaran masyarakat dan lembaga pendidikan akan pentingnya kehidupan beragama siswa di sekolah semakin meningkat. Namun di sisi yang lain, kondisi ini dapat melahirkan benih-benih eksklusivisme yang dapat memunculkan gejala disintegrasi bangsa apabila tidak ditanamkan pemahaman akan keberagaman suku, budaya dan agama.

Kami menyadari bahwa selesainya penulisan buku ini baru merupakan tahap awal dari keinginan besar kami untuk merefleksikan pemahaman akan adanya keragaman dalam pendidikan multikultur yang diterapkan di Sekolah Menegah Atas. Rencana penelitian secara keseluruhan. Masih banyak proses belajar berkelanjutan yang dapat dilakukan dan tidak terlepas dari dukungan dan bantuan berbagai pihak. Untuk itu, kami menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada:

1. Direktur Jendral Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi yang telah memberikan dana hibah Penelitian Dasar Unggulan Perguruan Tinggi selama tahun 2018 – 2020.

2. Ketua dan segenap pimpinan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Negeri Jakarta yang telah memberikan motivasi dan dukungan atas terlaksananya penelitian ini. .

3. Kepala Sekolah, guru, dan siswa yang menjadi informan dan telah memberikan informasi model pendidikan multikultur yang diterapkan di sekolah.

4. Tim peneliti dan tenaga lapangan penelitian yang mendukung dalam proses penelitian dan penyusunan buku ini.

Semoga buku ini memberikan wawasan bagi semua pimpinan satuan pendidikan, pendidik, praktisi, dan masyarakat dalam menghargai segala upaya untuk saling menghargai akan beragamnya perbedaan

Jakarta, Desember 2020 Penulis

Page 4: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

iv

KATA SAMBUTANREKTOR UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh

Segala puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas karunia-Nya, buku ini dapat diselesaikan sesuai dengan harapan. Sebuah proses yang panjang dari tim penulis untuk dapat memberikan sumbangsih dan pemikiran tentang filosofi dan strategi implementasi proses pendidikan multikutur di sekolah, khususnya Sekolah Menengah Atas (SMA) berbasis agama. Seiring dengan berkembangnya berbagai sekolah berbasis agama yang tetap mengutamakan keindonesiaan, maka wacana pendidikan multikultur menjadi sangat strategis.

Buku ini secara substansial menggambarkan akar filsafat multikulturalisme, kondisi keberagaman dalam kebersamaan, serta dinamika kebijakan pendidikan multikultur di Indonesia. Sebagai pelengkap dideskripsikan implementasi model pendidikan multikultur pada beberapa SMA berbasis agama di DKI Jakarta, Kota Depok, Kota Tangerang, dan Kota Bekasi. Konsepsi SMA berbasis agama lebih berorientasi pada preferensi bahwa sekolah dimaksud memiliki tujuan khusus terhadap penguatan keyakinan agama yang menjadi misi lembaga.

Penentuan setting model pendidikan multikultur SMA berbasis agama di DKI Jakarta, Kota Depok, Kota Tangerang, dan Kota Bekasi dilandasi oleh berbagai pertimbangan diantaranya asumsi bahwa se-bagai Ibukota negara berikut daerah penyanggahnya merupakan min-iatur kehidupan masyarakat megapolitan yang sarat akan keberagaman. Dalam konteks ini, proses implementasi, moderasi, dan modifikasi pen-didikan multikultur di SMA dalam mengantisipasi disintegrasi menjadi sangat relevan.

Dinamika masyarakat yang terus mengalami perubahan tampak-nya telah melahirkan gagasan dari berbagai kalangan masyarakat akan arti penting reorientasi nilai-nilai keindonesiaan yang sangat multi-kultur. Kehidupan masyarakat Indonesia yang multikultur merupakan sebuah keniscayaaan, kekayaan khasanah kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta menjadi menjadi wahana perekat dan pemersatu bangsa. Namun kondisi tersebut juga akan menjadi ancaman bagi integritas bangsa, sekiranya keberagaman dibiarkan tumbuh tanpa benih-benih kebersamaan dan sikap saling menghargai, dan mengem-bangkan toleransi. Salah satu upaya untuk menciptakan kondisi yang demikian dapat terwujud melalui implementasi model pendidikan mul-tikultur pada jenjang pendidikan, terutama Sekolah Menengah Atas berbasis agama.

Page 5: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

v

Semoga buku ini bermanfaat bagi berbagai pihak yang tertarik untuk mengkaji lebih jauh pendidikan multikultur, pengembangan bahan ajar mata kuliah yang relevan, serta para pendidik yang menjadi model dan penyemai nilai-nilai multikultural di lembaga pendidikan.

Wassalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh

Jakarta, Januari 2021 Rektor

Prof. Dr. Komarudin, M.Si

Page 6: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

vi

DAFTAR ISI

PRAKATA iiiKATA SAMBUTAN REKTOR UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA ivDAFTAR ISI vi

BAB I FILSAFAT MULTIKULTURALISME 1A. Perspektif Multikulturalisme 1B. Sosiohistoris Multikulturalisme di Indonesia 5C. Faktor Lingkungan Pembentuk Masyarakat Multikultural 32

BAB II PENDIDIKAN MULTIKULTUR 37A. Hakikat Pendidikan Multikultur 37B. Kebijakan Pendidikan Multikultur di Indonesia 41C. Strategi Implementasi Pendidikan Multikultur 46

BAB III IMPLEMENTASI PENDIDIKAN MULTIKULTUR SMA BERBASIS AGAMA DI DKI JAKARTA 53A. Model Pendidikan Multikultur SMA Muhammadiyah 11 Rawamangun Jakarta Timur 53B. Model Pendidikan Multikultur di SMA Al-Azhar 3 Kebayoran Baru Jakarta Selatan 59C. Model Pendidikan Multikultur SMA Mahatma Gandhi Kemayoran Jakarta Pusat 65D. Model Pendidikan Multikultur di SMA Dhammasavana Jakarta Barat dan SMA Dharma Budhi Bhakti Jakarta Utara 69E. Model Pendidikan Multikultur di SMA Katolik Marie Joseph Jakarta dan SMA Katolik Saint Peter Jakarta 76

BAB IV IMPLEMENTASI PENDIDIKAN MULTIKULTUR SMA BERBASIS AGAMA DI DEPOK, TANGERANG, DAN BEKASI 85A. Model Pendidikan Multikultur di SMA IT Nururrahman Kota Depok 85B. Model Pendidikan Multikultur di SMA Kristen Kanaan Kota Tangerang 89C. Model Pendidikan Multikultur di SMA Ananda Kota Bekasi 93D. Model Pendidikan Multikultur SMA Katolik Marsudirini Kota Bekasi 96

DAFTAR PUSTAKA 102

Page 7: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

1

Bab

1 FILSAFAT MULTIKULTURALISME

A. Perspektif Multikulturalisme

Filsafat multikulturalisme yang berkembang dewasa ini tidak terlepas dari pemikiran dua filsuf kontemporer, Prof. John Rawls dari

Harvard University dan Prof. Charles Taylor dari McGill University Kanada. Rawls merupakan seorang penganut liberalism, terutama dalam bidang etika, sedangkan Taylor dalam bidang filsafat, budaya, dan politik (Tilaar, 2004).

Rawls mengemukakan 2 prinsip yaitu: 1) Setiap manusia harus mempunyai sejumlah maksimum kebebasan individual dibandingkan dengan orang yang lain. Keadaan yang demikian diperlukan untuk bersama-sama menikmati kemerdekaan yang juga dimiliki orang lain; 2) Setiap ketidaksamaan sosial dan ekonomi haruslah memberikan kemungkinan keuntungan bagi yang tidak memperoleh keberuntungan (Tilaar, 2004).

Setiap individu mempunyai dasar yang tidak dapat dilanggar mengenai keadilan, bahkan kemakmuran suatu masyarakat tidak dapat melanggar hak tersebut. Oleh sebab itu, suatu masyarakat yang berkeadilan, hak-hak yang dijamin oleh keadilan itu sendiri merupakan suatu yang tidak dapat dimasukan di dalam perhitungan kepentingan sosial.

Rawls juga memandang bahwa liberalisme merupakan suatu doktrin politik, sosial, ekonomi yang menekankan kepada kemerdekaan individual, keterbatasan peran pemerintah, perkembangan sosial secara bertahap, serta perdagangan. Dalam pengertiannya, kemudian

Page 8: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

2 BAB1

liberalisme memberikan tempat kepada peran pemerintah di dalam kesejahteraan sosial dan politik ekonomi dengan tetap mempertahankan kemerdekaan individu serta kesempatan yang luas terhadap perkembangan individu.

Pada abad ke-20 liberalisme yang kemudian berjudul neoliberalisme adalah mengaplikasikan falsafah liberalisme dalam bidang ekonomi yaitu dengan melaksanakan pasar bebas dan perdagangan bebas sebagai lawan dari ekonomi terencana serta proteksi dari industri domestik dalam hubungan dengan politik internasional, neoliberalisme menekankan kepada peranan lembaga-lembaga internasional dan bukan kepada politik kekuasaan dan menyokong kerjasama internasional.

Dalam buku Multikulturalisme, Examining the Politics of Recognition yang dieditori oleh Amy Gutmann dikemukakan pembahasan pemikiran Charles Taylor mengenai The Politics of Recognition. Pendapat ini dikemukakan oleh Prof. Charles Taylor seorang guru besar filsafat dan ilmu politik dari Universitas McGill, Kanada, yang disampaikannya di dalam suatu kuliah umum di University Center for Human Values, Princeton University. Ketika pendapat Taylor ini dikemukakan pada tahun 1992, pandangan multikulturalisme mulai berkembang dengan pesat bukan hanya di bidang ilmu politik juga dalam bidang filsafat dan kebudayaan. Pendapat Charles Taylor ini kemudian diterjemahkan di dalam berbagai bahasa dan mendapat tanggapan yang luas dalam kalangan akademikus seluruh dunia termasuk Jurgen Habermas dari Universitas Frankfurt (Tilaar, 2004).

Permasalahan masyarakat modern dewasa ini dihadapkan pada persoalan keinginan kelompok minoritas yang semakin menuntut pengakuan akan identitas mereka oleh kelompok mayoritas. Kaum minoritas juga menginginkan diterimanya perbedaan budaya dengan kebudayaan masyarakat pada umumnya. Kondisi ini merupakan kenyataan dari tantangan multikulturalisme. Namun istilah multikulturalisme mencakup berbagai bentuk pluralisme budaya yang berbeda, masing-masing memiliki tantangan sendiri-sendiri (Kymlicka, 2003)

Dalam terminologi yang lain, secara teoretis, pluralisme merupakan konsep yang menjelaskan ideologi kesetaraan kekuasaan dalam suatu masyarakat multikultural, yang kekuasaannya “terbagi secara merata” di antara kelompok-kelompok etnik yang bervariasi sehingga mampu mendorong pengaruh timbal balik di antara mereka (Suryana dan Rusdiana, 2015).

Page 9: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

3FILSAFAT MULTIKULTURALISME

Suparlan (2010) menunjukkan relevansi pluralisme dan multikulturalisme sebagai sebuah ideologi tentang perbedaan dalam kesederajatan yang mempunyai fondasi kebudayaan dalam masyarakat bersangkutan yang terwujud sebagai sebuah mozaik dari kebudayaan-kebudayaan yang dipunyai masyarakat multikultural. Sebagai sebuah ideologi yang menekankan perbedaan dalam kesederajatan multikulturalisme dan demokrasi adalah dua ideologi .yang saling dukung mendukung. Sebagai sebuah konsep multikulturalisme bertentangan dengan konsep masyarakat majemuk (plural society) dimana yang penting adalah pada keanekaragaman suku bangsa dan kebudayaan suku bangsa. Multikulturalisme dikembangkan dari konsep pluralisme budaya (cultural pluralisme) dengan menekankan kesederajatan-kebudayaan yang ada dalam sebuah masyarakat.

Dalam pandangan Suparlan (2010) membangun Indonesia yang multikultural hanya mungkin dapat terwujud bila: (1) konsep multikulturalisme menyebar luas dan dipahami pentingnya bagi bangsa Indonesia, serta adanya keinginan bangsa Indonesia pada tingkat nasional maupun lokal untuk mengadopsi dan menjadi pedoman hidupnya: (2) Kesamaan pemahaman di antara para ahli mengenai makna multikulturalisme dan bangunan konsep-konsep yang mendukungnya dan (3) Upaya-upaya yang dapat dilakukan ke-Indonesiaan untuk dapat mewujudkan cita-cita ini. Kajian multikultural seharusnya sudah menjadi kajian yang sangat strategis sejak lama, yakni ketika bangsa Nusantara ini mengikatkan diri dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam membangun persatuan Indonesia, sejarah mencatat munculnya berbagai gejolak daerah yang cenderung mengarah pada disintegrasi bangsa.

Dalam era reformasi dan otonomi daerah seperti sekarang ini, keadaan persatuan Indonesia tampaknya justru semakin membaik, sebaliknya terjadi peningkatan politik yang memanas dalam kaitan hubungan ekonomi dan politik antara pusat dan daerah. Suhu konflik horizontal juga semakin berkembang. Dalam kaitan ini, terancam, ditandai dengan semakin menguatnya kecenderungan gerakan separatis di berbagai provinsi. Selain itu, konflik etnis dan agama yang mulai meningkat di era reformasi, seperti meletus di Ambon, Poso, Sampit, Sangau Ledo, dan lain-lain merupakan kondisi yang kurang menguntungkan bagi masa depan Indonesia. Konflik terbuka yang tidak dapat selesai dengan tuntas akan merembes dari tingkat lokal ke tingkat nasional.

Konflik antarsaudara sendiri bakal tidak terhindarkan lagi. Selanjutnya, pada tingkat perkembangan eksternal, meluasnya pengaruh

Page 10: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

4 BAB1

globalisasi dan pasar bebas tersebut akan memengaruhi kehidupan masyarakat sehari-hari, berarti meluasnya faktor-faktor negatif dalam masyarakat. Terutama munculnya disorientasi dan dislokasi dalam masyarakat. Disorientasi merupakan proses kebingungan masyarakat karena kehilangan orientasi dalam kehidupan yang makin kompleks. Masyarakat kesulitan untuk mengambil keputusan atau menentukan pilihan dari tawaran yang semakin banyak dan beragam, dari barang, jenis pekerjaan sampai gaya hidup. Sedangkan dislokasi adalah kondisi di mana setiap orang tidak tahu berada pada posisi yang bagaimana karena kompleksnya mikrokultur yang lahir karena gaya hidup global yang cepat menular. Dalam kondisi seperti itu, makin banyak warga masyarakat global yang semakin terpinggirkan oleh gegap gempita kehidupan yang kompetitif, teralienasinya individu dari masyarakatnya, terjadinya krisis identitas di segala lapisan. Dalam pandangan Purwanto (2015), perspektif kajian komunikasi multikultural bersifat multidisipliner. Komunikasi multikultural dipelajari lewat pendekatan etnografi komunikasi, psikologi sosial, sosiologi dan historis, dengan tema-tema antara lain:

(1) Solidaritas sosial mengapa bisa terjadi dalam masyarakat heterogen,(2) Integrasi nasional mengapa dapat terwujud, padahal masyarakatnya

berbasis multietnik dan multikultural, (3) Bagaimana kesenjangan sosial ekonomi menjadi sumber konflik

horizontal, (4) Bagaimana ketidaksetaraan dalam gender melanggengkan dominasi

dan ketidakadilan sosial, (5) Bagaimana solidaritas global dapat terbentuk dan bagaimana

resolusi konflik internasional dapat diatasi dengan cara-cara budaya.

Tema-tema tersebut dikembangkan lewat analisis komunikasi multikultural yang akan memfokuskan pada:

(1) Seberapa jauh unsur-unsur budaya lokal, seperti, sistem kepercayaan, norma-norma dan sosio-kultural yang berkembang di suatu wilayah tertentu memengaruhi pola komunikasi warga masyarakatnya. Bagairnana latar belakang ras dan etnik, agama dan kelompok membangun stereotip dan etno-sentrisme sosiokultural.

(2) Pesan-pesan komunikasi interpersonal dalam interaksi simbolis multikultural baik lewat representasi produksi budaya maupun reproduksi budaya.

(3) Pesan-pesan multikultural media massa, baik dalam konteks media global maupun dalam konteks media lokal, berpengaruh terhadap simbol-simbol yang digunakan masyarakat sebagai alat untuk berkomunikasi.

Page 11: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

5FILSAFAT MULTIKULTURALISME

(4) Seberapa jauh transformasi budaya masyarakat multikultural memberi sumbangan terhadap integrasi nasional, dan solidaritas sosial.

(5) Sejauh mana ketidakadilan dan kesenjangan, hegemoni dan dominasi, ketidaksetaraan dan kesewenang- wenangan yang mampu menjadi sumber konflik-konflik budaya (Purwanto, 2015).

B. Sosiohistoris Multikuturalisme di IndonesiaSecara etimologis, multikulturalisme berasal dari kata

multikultural dan isme. Kata multikultural memiliki makna multi atau banyak budaya. Sementara itu tambahan (sufiks) isme memiliki makna ideologi, paham atau aliran. Dengan demikian dari pemaknaan ini berarti multikulturalisme memiliki makna ideologi atau paham tentang multi budaya. Berdasarkan makna harfiah itu, maka pemahaman utama terhadap konsep ini harus berangkat dari budaya yang beragam. Sementara itu pengertian kebudayaan itu memiliki aneka ragam batasan atau konsep. Pada saat ini para ahli kebudayaan banyak yang bersilang pendapat tentang definisi kebudayaan. Perbedaan itu bukan sekedar masalah rumusan, tetapi sudah sampai pada tataran konseptual.

Perbedaan konseptual ini membawa implikasi pada definisi operasional bagi peneliti kebudayaan. Tylor (1871) memberikan batasan bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, kesusilaan, hukum, adat-istiadat, serta kesanggupan dan kebiasaan lainnya yang dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Ralph Linton (1940) memberikan definisi yang agak dekat dengan Tylor, kebudayaan sebagai keseluruhan pengetahuan, sikap, dan pola perilaku yang merupakan kebiasaan yang dimiliki dan diwariskan oleh anggota suatu masyarakat. Koentjaraningrat (2009) lebih mengartikan kebudayaan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya. Kebudayaan terdiri atas unsur-unsur universal, yaktu: bahasa, teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi, dan kesenian. Koentjaraningrat juga memerinci kebudayaan atas tiga wujud, yakni: ideal, aktifitas, dan benda budaya.

Beberapa batasan kebudayaan itu menunjukkan betapa kompleksnya konsep kebudayaan. Begitu kompleksnya hingga tidak memberi ruang bagi peneliti lain untuk memasuki bidang kajiannya. Dewasa ini konsep kebudayaan demikian mendapat kritik dari kalangan ilmuwan budaya sendiri, karena sangat sulit bagi mereka harus meneliti kebudayaan dalam kearangka konsep semacam itu.

Page 12: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

6 BAB1

Kebudayaan dan masyarakat dipandang sebagai sistem. Masing-masing memiliki jangkauan pengertian sendiri-sendiri. Kebudayaan mengacu pada hal-hal yang bersifat abstrak berupa sistem nilai, gagasan, kepercayaan, simbol-simbol, ideologi yang dibayangkan oleh suatu komunitas atau masyarakat tertentu. Komunitas itu bisa berupa sekumpulan manusia yang hidup menetap pada clan-clan kecil hingga sebuah kumpulan besar manusia yang hidup dalam wilayah yang lebih luas yang disebut suku bangsa atau bangsa.

Dalam pandangan Goodenough (Keesing, 1989) kebudayaan merupakan pola kehidupan dari suatu masyarakat, kegiatan dan pengaturan materal dan sosial yang berulang secara teratur yang menjadi ciri khas suatu kelompok tertentu. Dalam hal ini kebudayaan merupakan isi bagian dalam dari benda-benda dan peristiwa yang bisa diamati. Kebudayaan juga merupakan sistem pengetahuan dan kepercayaan yang digunakan sebagai pedoman dalam mengatur pengalaman dan persepsi mereka, menentukan tindakan, dan memilih alternatif yang ada.

Setiap masyarakat memiliki kebudayaan yang dijadikan pedoman dalam perilaku. Oleh karena dasar berpikir yang melatarbelakangi kebudayaan mereka berbeda-beda, maka wujud perilaku yang tampak dalam keseharian mereka juga tidak sama. Hal itulah yang mempengaruhi adanya multibudaya dalam masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Kebudayan dibangun oleh kelompok-kelompok pendukungnya yang oleh karena perbedaan asal pendukung ini konsepsi dan tampilan kebudayaan akan berbeda-beda. Ada beberapa kelompok pendukung budaya, yaitu: ras, agama, suku, jenis kelamin, tingkatan sosial, kekayaan, dan tingkat pendidikan .

Paham multikultural atau multikulturalisme menghargai perbedaan budaya yang lahir dari kelompok-kelompok pendukung budaya itu.Bentuk penghargaannya adalah adanya toleransi antar mereka untuk menciptakan tatanan masyarakat dunia yang harmonis terhadap hak asasi dan martabat manusia. Beberapa kelompok pendukung budaya diantaranya: ras, agama, suku, jenis kelamin, tingkatan sosial, kekayaan, dan tingkat pendidikan

Secara historis, sejak era reformasi kebudayaan Indonesia cenderung mengalami disintegrasi. Azra menilai krisis moneter, ekonomi, dan politik yang dimulai sejak akhir 1997 telah mengakibatkan terjadinya krisis sosio-kultural di dalam kehidupan bangsa dan negara. Krisis sosial budaya tersebut kemudian meluas dalam bentuk disorientasi dan dislokasi pada banyak kalangan masyarakat, seperti

Page 13: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

7FILSAFAT MULTIKULTURALISME

disintegrasi sosial-politik yang bersumber dari euforia kebebasan, hilangnya kesabaran sosial dalam menghadapi realitas kehidupan yang semakin sulit sehingga mudah melakukan tindakan anarkis, merosotnya penghargaan, dan kepatuhan terhadap hukum, etika, moral dan kesantunan sosial, semakin luasnya penyebaran narkotika, berlanjutnya konflik dan kekerasan yang bersumber dari konflik agama, etnis, seperti di Aceh, Kalimantan Barat dan Tengah, Maluku Sulawesi Tengah, dan lain-lain.

Disorientasi, dislokasi atau krisis sosial budaya dikalangan masyarakat kita semakin merebak, seiring dengan kian meningkatnya penetrasi dan ekspansi budaya barat, khususnya Amerika sebagai akibat dari proses globalisasi yang terus tak terbendung. Berbagai ekspresi sosial-budaya tersebut asing hingga memunculkan gaya hidup baru yang tak sesuai dengan kehidupan sosial budaya masyarakat dan bangsa. Sebagai contoh, hadirnya restoran McDonald, dan juga makanan instan lainnya, merebaknya budaya telenovela, yang menyebarkan permisivisme, kekerasan, dan hedonisme, mewabahnya valentine’s day, dan lainnya yang gejala tersebut disebut dengan “cultural imperialism” baru, yang menggantikan imperialisme klasik yang terkandung dalam “orientalisme”.

Pluralisme kultural di Asia Tenggara khususnya Indonesia, Malaysia, dan Singapura sebagaimana yang disampaikan Hefner (2001) bahwasannya hanya terdapat beberapa wilayah lain di dunia yang memiliki pluralisme kultural, karena itulah dalam politik barat sepanjang 1930an dan 1940an, wilayah tersebut khususnya Indonesia, dipandang sebagai “lokus klasik” bagi konsep “masyarakat majemuk/ plural”yang dikenalkan ke dunia Barat oleh JS Furnivall (1944, 1948).

Masyarakat plural adalah masyarakat tang terdiri dari dua atau lebih unsur-unsur atau tatanan-tatanan sosial yang hidup berampingan, namun tidak bercampur dan menyatu dalam satu unit politik tunggal. Teori tersebut adalah teori dari Furnivall yang banyak berkaitan dengan realitas sosial politik Eropa yang relatif “homogen”, namun sangat diwarmai dengan chauvinisme etnis, rasial, agama, dan gender. Berdaarkan kerangka sosial-kultural, politik dan pengalaman Eropa, furnivall memandang masayrakat-masyarakat plural asia tenggara, khususnya Indonesia akan terjerumus ke dalam anarki, jika gagal menemukan formula federasi pluralis yang memadai.

Meski demikian, bérbeda dengan”doomed scenario” Furnivall, masyarakat-masyarakat plural Asia Tenggara, khususnya Indonesia, pada akhirnya setelah Perang Dunia II dapat menyatu dalam satu

Page 14: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

8 BAB1

kesatuan unit politik tunggal. Tetapi, harus diakui, kesatuan politik tidak menghilangkan realitas pluralitas sosial-budaya yang bukannya tidak sangat divisif, khususnya jika negara-bangsa baru seperti lndonesia gagal menemukan ”common platform ” yang dapat mengintegrasikan berbagai keragaman itu. Padahal, pada saat yang sama, kemerdekaan yang dicapai negara-negara baru ini mendorong bangkitnya sentimen etno-relijius yang dapat sangat eksplosif, karena didorong semangat yang menyaIa-nyala untuk mengontrol kekuasaan (Geertz, 1973).

Berhadapan dengan tantangan untuk tidak hanya mempertahankan kemerdekaan, tetapi juga eksistensi negara-bangsa (nation building) yang mengandung keragaman tersebut, maka para penguasa negara-negara baru ini memiliki kecenderungan kuat untuk melaksanakan politik, “keseragaman budaya” (monokulturalisme atau monoculturality). Pengalaman Indonesia sejak masa awal kemerdekaan khususnya pada masa Demokrasi Terpimpin Presiden Soekarno dan masa Orde Baru di bawah Presiden Soeharto memperlihatkan kecenderungan kuat pada penerapan politik monokulturalisme.

Secara restrospektif, politik mono-kulturalisme atau monokulturalitas yang dilaksanakan pemerintah Orde Baru atas nama stabilitas untuk developmentalism telah menghancurkan local cultural geniuses, seperti tradisi ”pela gandong” di Ambon, ”republik nagari” di Sumatera Barat dan lain-lain. Padahal, sistem atau tradisi sosio-kultural lokal seperti ini merupakan kekayaan kultural yang tidak ternilai harganya bukan hanya bagi masyarakatnya sendiri, tetapi juga bagi masyarakat-masyarakat lain. Lebih jauh lagi, local geniuses juga berfungsi sebagai defense mechanism dan sekaligus early warning system yang dapat mengantisipasi ancaman terhadap keutuhan tradisi dan sistem sosio-kultural dan, dengan demikian, memelihara integrasi dan keutuhan sosio-kultural masyarakat bersangkutan. Politik mono-kulturalisme yang telah menghancurkan local genius ini pada gilirannya mengakibatkan terjadinya kerentanan dan disintegrasi sosial-budaya lokal.

Konflik dan kekerasan yang bernuansa etnis dan agama yang marak sejak tahun 1996 tidak terlepas dari hancurnya local geniuses tersebut. Namun tetap penting untuk dicatat, dari perspektif politik Indonesia berakhirnya sentralisme kekuasaan yang pada masa Orde Baru memaksakan monokulturalisme, monokulturalitas, keseragaman, memunculkan reaksi balik yang bukan tidak mengandung sejumlah implikasi negatif bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang pada hakikatnya multi-kultural. Berbarengan dengan proses otonomisasi dan desentralisasi kekuasaan pemerintahan, terjadi pula peningkatan

Page 15: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

9FILSAFAT MULTIKULTURALISME

gejala ‘provinsialisme” yang hampir tumpang tindih dengan “emisitas”. Kecenderungan ini, jika tidak terkendali, akan dapat menimbulkan yang tidak hanya disintegrasi sosial-kultural melainkan bahkan juga disintegrasi politik. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, bahwa merupakan kenyataan  yang sulit diingkari, bahwa negara-bangsa Indonesia terdiri dari sejumlah besar kelompok etnis, budaya. agama dan lain-lain, sehingga negara-bangsa Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat multikultural. Realitas Indonesia seperti itu cocok dengan definisi Parekh (1997) bahwa, ”just as society with several religions or language is multi religious or multi lingual, a society containing segera cultures is multikultural’.

Menurut analisis Munaemin el-Ma’hady, akar sejarah multikulturalisme bisa dilacak secara historis, bahwa sedikitnya selama tiga dasa warsa kebijakan yang sentralistis dan pengawalan yang ketat terhadap isu perbedaan telah menghilangkan kemampuan masyarakat untuk memikirkan,  membicarakan dan memecahkan persoalan yang muncul karena adanya perbedaan secara terbuka, rasional dan damai.“ Kekerasan antarkelompok yang meledak secara spondis di akhir tahun 1990-an di berbagai kawasan di Indonesia menunjukkan betapa rentannya rasa kebersamaan yang dibangun dalam negara-bangsa, betapa kentalnya prasangka antara kelompok, dan betapa rendahnya saling pengertian antar kelompok menyangkut nilai-nilai multikulturalisme masyarakat. Dalam konteks global, setelah tragedi 11 September dan invasi Amerika Serikat ke Irak serta hiruk pikuk politis identitas di dalam era reformasi menambah kompleksnya persoalan keragaman dan antarkelompok di Indonesia.

Pada saat ini, paling tidak telah terjadi 35 pertikaian besar antaretnis di dunia. Lebih dari 38 juta jiwa terusir dari tempat yang mereka diami, paling sedikit 7 juta orang terbunuh dalam konflik etnis berdarah. Pertikaian seperti ini terjadi dari Barat sampai Timur, dari Utara hingga Selatan. Dunia menyaksikan darah mengalir dari Yugoslavia, Cekoslovakia, Zaire hingga Rwanda, dari bekas Uni Soviet sampai Sudan. dari Srilangka, India hingga Indonesia. Konflik panjang tersebut melibatkan sentimen etnis,ras, golongan. golongan dan juga agama.

Sebuah realita tidak bisa ditolak bahwa negara bangsa Indonesia terdiri dari berbagai kelompok etnis, budaya, agama dan lain-lain sehingga negara bangsa Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat multikultural. ‘Tetapi pada pihak lain, realitas multikultural tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi kembali “kebudayaan nasional Indonesia” yang dapat

Page 16: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

10 BAB1

menjadi “integrating force” yang mengikat seluruh keragaman etnis dan budaya tersebut.

Beberapa psikolog menyatakan, bahwa budaya menunjukkan tingkat inteligensi masyarakat. Sebagai contoh, gerakan lemah gemulai merupakan ciri utama masyarakat Bali. Oleh karena kemampuannya untuk menguasai hal itu merupakan ciri dari tingkat inteligensinya. Sementara manipulasi dan rekayasa kata dan angka menjadi penting dalum masyarakat Barat. Oleh karenanya “keahlian” yang dimiliki seseorang itu menunjukkan kemampuan inteligensinya.

Paling tidak ada tiga kelompok sudut pandang yang berkembang dalam menyikapi perbedaan identitas kaitannya dengan konflik yang sering muncul. Pertama, pandangan kaum primordialis. Kelompok ini menganggap bahwa perbedaan genetika, seperti suku dan ras (juga agama), merupakan sumber utama lahirnya benturan kepentingan etnis dan agama. Kedua, pandangan kaum instrumentalis. Menurut mereka, suku, agama dan identitas yang lain dianggap sebagai alat yang digunakan individu atau kelompok untuk mengejar tujuan yang lebih besar, baik dalam bentuk materil maupun non-materil. Konsepsi ini lebih banyak digunakan oleh politisi dan para elit untuk mendapatkan dukungan dari kelompok identitas. Dengan meneriakkan “lslam”, misalnya, diharapkan semua orang Islam merapatkan barisan untuk mem-back up kepentingan politiknya. Oleh karena itu, dalam pandangan kaum instrumentalis, selama setiap orang mau mengalah dari prefence yang dikehendaki elit, selama itu pula benturan antarkelompok identitas dapat dihindari, bahkan tidak terjadi.

Ketiga, pandangan kaum konstruktivis, beranggapan bahwa identitas kelompok tidak bersifat kaku, sebagaimana yang dibayangkan kaum primordialis. Etnisitas bagi kelompok ini dapat diolah hingga membentuk jaringan relasi pergaulan sosial. Karenanya, etnisitas merupakan sumbu kekayaan hakiki yang dimiliki manusia untuk saling mengenal dan memperkaya budaya. Bagi mereka, persamaan adalah anugerah dan perbedaan adalah berkah.

Dalam pendapat yang ketiga, terdapat ruang wacana tentang multikulturalisme dan pendidikan multikultur sebagai sarana membangun toleransi atas keragaman. Wacana ini mulai ramai dibicarakan di kalangan akademisi, praktisi budaya dan aktivis di awal tahun 2000 di Indonesia.

Dalam konteks kehidupan bermasyarakat, fenomena konflik sosial merupakan sesuatu yang lazim terjadi, mengingat dalam kehidupan sosial tidak mungkin tidak terjadi perbedaan paham, perbedaan

Page 17: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

11FILSAFAT MULTIKULTURALISME

kepentingan, lalu meningkat menjadi konflik kepentingan, dan bahkan konflik sosial yang lebih luas. Yang terpenting adalah membangun kesadaran untuk merespon konflik sosial dengan sebaik-baiknya. Sebab, dalam wacana sosiologis, konflik sosial jika dibiarkan berkepanjangan akan berpotensi menimbulkan kerusakan pada sistem sosial yang ada. Respon yang baik terhadap konflik sosial justru membantu dalam mewujudkan integrasi sosial. Dalam hal ini Lewis A. Coser menjelaskan bahwa tidak selama konflik sosial bersifat negatif, melainkan dalam hal tertentu dapat bersifat positif, yakni membantu mewujudkan rasa persatuan dan kesadaran akan pentingnya hidup bermasyarakat (Coser, 1956)

Faktor-faktor integrasi sosial yang dalam perspektif sosial, kultural, dan religius, sesungguhnya telah tumbuh dan berkembang secara alamiah dalam kehidupan bangsa Indonesia yang multikultural. Penting kiranya untuk memunculkan kembali konsepsi multikulturalisme yang bukan sekedar pengakuan terhadap adanya perbedaan, melainkan ditingkatkan pada level penempatan perbedaan secara simetris (symetrical differentiated citizenship), yakni dengan mengakui adanya pengakuan terhadap pluralitas identitas, sehingga masyarakat tidak lagi terjebak pada isu-isu primordial dan/atau isu-isu sekterian yang bisa mengancam keharmonisan dalam kehidupan masyarakat. (Haris, 2001).

Pada hakikatnya, diskusi tentang multikulturalisme belum sepenuhnya tuntas. Sebagai sebuah ideologi, multikulturalisme mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan. Dalam hal ini, masyarakat mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum yang coraknya seperti sebuah mozaik. Mozaik kebudayaan tersebut mencakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil untuk kemudian mewujudkan masyarakat yang lebih besar. Dengan demikian, multikulturalisme diperlukan dalam bentuk tata kehidupan masyarakat yang damai dan harmonis, meskipun beragam latar belakang kebudayaan.

Dengan demikian, konsep multikulturalisme pada dasarnya menekankan pada kesediaan untuk menerima kelompok lain sebagai bagian dari satu-kesatuan, tanpa menyisakan sikap apriori terhadap berbagai perbedaan suku, budaya, bahasa, maupun agama. Bahwa segala perbedaan yang ada memiliki kedudukan yang sama di dalam ruang publik. Penekanan multikulturalisme bukan pada perbedaannya, melainkan pada perlakuan yang sama terhadap perbedaan yang ada. Dengan kata lain, multikulturalisme adalah sebuah relasi keberbedaan yang di dalamnya terdapat pengakuan dan penghargaan eksistensial

Page 18: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

12 BAB1

terhadap tiap-tiap perbedaan suku, budaya, bahasa, maupun agama, dalam sebuah kesetaraan.

Sebuah bangsa tidak akan berkembang apabila tingkat pluralitasnya kecil. Begitu pula dengan sebuah bangsa yang besar jumlah perbedaan kebudayaannya, akan menjadi kerdil apabila ditekan secara institusional. Bahkan, tindakan semacam itu akan merusak nilai-nilai yang ada dalam budaya itu sendiri. Akibatnya, perpecahan dan tindakan-tindakan yang mengarah kepada anarki menjadi sebuah sikap alternatif masyarakat ketika pengakuan identitas dirinya terhambat.

Berangkat dari kronologi pergulatan wacana tersebut, dapat dipahami bahwa sebenarnya multikulturalisme adalah sebuah konsep di mana sebuah komunitas dalam konteks kebangsaan dapat mengakui keberagaman, perbedaanan kemajemukan budaya, baik ras, suku, etnis, agama dan in sebagainya. Sebuah konsep yang memberikan pemahaman bahwa sebuah bangsa yang plural dan majemuk adalah bangsa yang dipenuhi dengan budaya-budaya yang beragam (multikultural). Bangsa yang multikultural adalah bangsa yang kelompok-kelompok etnik atau budaya (ethnic and cultural groups) yang ada dapat hidup berdampingan secara damai yang ditandai oleh kesediaan untuk menghormati budaya lain. Gagasan multikulturalisme yang dinilai mengakomodir kesetaraan dalam perbedaan merupakan sebuah konsep yang mampu meredam konflik horizontal dan vertikal dalam masyarakat yang heterogen di mana tuntutan akan  pengakuan atas eksistensi dan keunikan budaya kelornpok etnis sangat lumrah terjadi.

Masyarakat multikultural dicita-citakan mampu memberikan ruang yang luas bagi berbagai identitas kelompok untuk melaksanakan kehidupan secara otonom. Dengan demikian, akan tercipta suatu sistem budaya (culture system) dan tatanan sosial yang mapan dalam kehidupan masyarakat yang akan menjadi pilar kedamaian sebuah bangsa.

Dengan gagasan di atas, akan terbentuk sebuah persepsi yang hidup dalam masyarakat bahwa budaya bukanlah suatu kemutlakan yang harus dipertahankan. Budaya akan dipahami sebagai sebuah gerak (move) kreativitas masyarakat yang dibangun oleh gerakan prinsip-prinsip yang berbeda yang kemudian membentuk Sebuah kesepakatan bersama tentang nilai, pandangan, dan sikap masyarakat (reinventing). Dalam artian, budaya tumbuh dah berkembang seiring dengan berkembangnya masyarakat itu sendiri yang tentunya dipengaruhi oleh faktor ekstern yang mengelilingi kehidupannya.

Adanya anarkisme berkaitan dengan tuntutan pengakuan terhadap identitas etnis atau diri pada umumnya disebabkan oleh

Page 19: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

13FILSAFAT MULTIKULTURALISME

tidak adanya kesadaran semacam itu. Kebudayaan yang tumbuh dalam sebuah komunitas dipandang sebagai kemutlakan yang harus diakui dan diagungkan keberadaannya. Sikap berlebihan itu kemudian memberikan peluang yang luas bagi masyarakat untuk merendahkan dan tidak mengakui eksistensi budaya kelompok lain. Pada titik ini diperlukan sebuah kebijakan yang bijak dan arif untuk memberikan keluasan bergerak bagi masing-masing entitas budaya dengan tetap mengakui keberadaan budaya yang lain. Jika tidak, gesekan-gesekan yang terjadi antar budaya akan terjebak pada sikap fanatik, eksklusif, yang tentunya akan berdampak pada perpecahan.

Dari beberapa pengertian, kita juga mengenal multikulturalisme sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan dalam Politic of Recognition. Hal seperti itu juga disampaikan eleh Parekh dalam bukunya National Culture and Multikulturalism, yang secara jelas membedakan lima macam multikulturalisme.

Kelima macam multikulturalisme tersebut adalah: Pertama, multikulturalisme isolasionis yang mengacu kepada masyarakat di ‘mana berbagai kelompok kultural menjalankan hidup secara otonom dan terlibat dalam interaksi yang hanya minimal satu sama lain.

Kedua, multikulturalisme akomodatif, yakni masyarakat plural yang memiliki kultur dominan, yang membuat penyesuaian dan akomodasi-akomodasi bagi kebutuhan kultural kaum minoritas.

Ketiga, multikulturalisme otonomis, yakni masyarakat plural di mana kelompok-kelornpok kultural utama berusaha mewujudkan kesetaraan (equality) dengan budaya dominan dan mengangankan kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secara kolektif dapat diterima. Kepedulian pokok kelompok-kelompok kultural dominan dan berusaha menciptakan suatu masyarakat di mana semua kelompok dapat eksis sebagai mitra sejajar.

Keempat, multikulturalisme kritikal atau interaktif, yakni masyarakat plural di mana kelompok-kelompok tidak terlalu peduli dengan kehidupan kultural otonom, tetapi lebih menuntut penciptaan kultur kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perspektif-perspektif di Stingtil mereka.

Kelima, multikulturalisme kosmopolitan, yakni paham yang berusaha menghapuskan batas-batas kultural sama sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat di mana setiap individu tidak lagi terikat kepada budaya tertentu. Sebaliknya, mereka secara bebas terlibat dalam eksperimen-eksperimen interkultural dan sekaligus

Page 20: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

14 BAB1

mengembangkan kehidupan kultural masing-masing. Para pendukung multikulturalisme jenis ini, yang sebagian besar adalah intelektual diasporik dan kelompok-kelompok liberal yang memiliki kecendrungan postmodernis memandang seluruh budaya sebagai resources yang dapat mereka pilih dan ambil secara bebas.

Dari beberapa pengertian tersebut, kesimpulan yang menjadi pijakan adalah hal yang paling utama dari makna dan pemahaman multikulturalisme adalah kesejajaran budaya. Masing-masing budaya manusia dan kelompok etnis harus diposisikan sejajar dan setara. Tidak ada yang lebih tinggi dan tidak ada yang lebih dominan. Semua kebudayaan pada dasarnya mempunyai kearifan-kearifan tradisional yang berbeda-beda. Kearifan tersebut tidak dapat dinilai sebagai positif-negatif dan tidak dapat dijelaskan melalui kacamata kebudayaan yang lain. .

Konsep masyarakat multikultural muncul sekitar 1970-an, diawali dengan gerakan multikultural di Kanada, kemudian diikuti Australia, Amerika Serikat, Inggris, Jerman dan lain-lainnya (Mahfud, 2006). Dalam sejarahnya, kebudayaan Indonesia cenderung mengalami disintegrasi sejak era runtuhnya orde baru hingga reformasi. Azyumardi Azra menganggap, bahwa krisis moneter, ekonomi, dan politik yang bermula sejak akhir 1997 telah mengakibatkan terjadinya krisis sosio-kultural dalam kehidupan bangsa dan negara.

Konsep multikulturalisme tidak dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman suku bangsa atau kebudayaan yang menjadi ciri masyarakat majemuk. Multikulturalisme menekankan pada keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Dalam mengkajinya tidak dapat terlepas dari beragam aspek, seperti politik dan demokrasi, keadilan dan penegakkan hukum, HAM, hak budaya komoniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan mutu produktivitas.

Multikultural sebagai praktik sosial dan kebijakan pemerintah telah banyak diterima di banyak negara. Menurut Berry, dkk (1999) menyebutkan bahwa multikulturalisme bahkan menjadi semacam ideologi dalam pengembangan kebudayaan serta upaya menciptakan masyarakat yang sehat. Pada masa lampau dipandang sebagai anti pluralisme, bahkan Dewey (Westbrook, 1991) menganggap multikulturalisme hanya menciptakan garis pemisah yang kuat antar kelompok dalam masyarakat.

Dalam sejarahnya multikulturalisme semula merupakan perjuangan politik dari migran kulit hitam dari Afrika di Amerika

Page 21: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

15FILSAFAT MULTIKULTURALISME

untuk menuntut persamaan hak. Mereka menuntut untuk dihargai kebudayaannya, tidak harus sama dengan kebudayaan orang kulit putih yang beragama Kristen. Tuntutan itu juga berkembang dalam dunia pendidikan. Kemudian, dalan perkembangan selanjutnya multikulturalisme telah berkembang secara luas menjadi suatu keyakinan, sikap, dan kebijakan. Kini multikulturalisme bukan sebatas simbolis terhadap kekayaan realitas sosial, melainkan menjadi pengakuan sejati terhadap identitas kelompok yang mendukung dan selaras dengan identitas nasional.

Atas dasar itu, Supriadi (2001) dan Supardan (2002) mengklasifikasikan empat kombinasi dari multikulturalisme, di antaranya:

(1) negara dengan budaya dan etnik yang heterogen serta menerima ide multikulturalisme;

(2) negara dengan budaya dan etnik yang heterogen, namun kebijakan pemerintahannya cenderung mengacu pada monokulturalisme;

(3) negara dengan realitas etnik yang homogen dan memelihara kebija-kan monokulturalistik;

(4) negara dengan derajat homogenitas ras yang tinggi tetapi sangat menghargai multikulturalisme.

Malaysia, India, Amerika Serikat, Kanada Australia merupakan negara kombinasi pada kelompok pertama. RRT merupakan contoh kelompok negara kedua. Israel masuk pada kelompok ketiga, karena dengan mempercayai keungulan ras Yahudi sebagai “Umat Terpilih Tuhan”, dan Indonesia sama dengan Amerika Serikat yang memiliki semboyan E. Pluribus Unum (Unity in Diversity), masuk pada kategori kelompok pertama, karena Indonesia menganut semboyan Bhinek Tunggal Ika. Kendati demikian, Indonesia masuk pada kombinasi kelompok kedua, karena praktik kebijakan politiknya. (Coppel, 2003; Suryadinata, 2003). Selain itu, di Indonesia masih banyak stereotipe, prasangka, sosial, dan rasisme di Indonesia (Supriadi, 2001).

Terkait dengan hal tersebut, moto Bhineka Tunggal Ika sebenarnya mengakomodasi keragaman masyarakat bangsa Indonesia, dalam suku, ras, bahasa, adat istiadat, dan agama. Namun menjadi polemik, keragaman tersebut justru lebih menekankan pada aspek kesamaan untuk membentuk solidaritas bangsa. Implikasinya, budaya lokal yang kaya dengan perbedaan mengalami pengikisan, baik secara kuantitas, maupun kualitas, terutama penggunaan bahasa daerah (Wiraatmadja, 2002)

Page 22: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

16 BAB1

Perjalanan konsep Bhineka Tunggal Ika tidak selalu sepadan. Bhineka memang sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka dan berlangsung hingga kini. Sementara konsep “Ika” merupakan sebuah harapan yang masih harus diperjuangkan. Sejak Indonesia merdeka hanya sebagian kecil elemen Bangsa Indonesia yang telah berpikir keikaan Indonesia, terutama para tokoh pergerakan nasional dan pejuang kemerdekaan. Dalam sejarah Indonesia ada usaha-usaha menyebarluaskan KeIndonesiaan sebagai bangsa yang satu melalui berbagai cara. Pada masa Pemerintahan Sukarno hingga Suharto di sekolah-sekolah secara khusus diajarkan tentang pentingnya makna “Bhineka Tunggal Ika” ini. Sosialisasi pemikiran tersebut menjadi tugas mata pelajaran sejarah dan Pendidikan Kewarganegaraan. Akibat proses sosialisasi ini pemikiran tentang kebangsaan Indonesia diperkirakan makin bertambah orang di bumi Nusantara yang memahami dan meresapi diri sebagai Bangsa Indonesia. Dalam kehidupan masyarakat global seperti sekarang pemikiran para pendiri republik justru sangat relevan. Ada semacam revitalisasi dan modifikasi peikiran atas penghargaan kebhinekaan dalam bentuk penghargaan terhadap perbedaan budaya. Multikultulturalisme sebuah paham dari luar yang dapat bersilang budaya dengan paham kebhinekaan dari para pendiri republik ini sehingga akan melahirkan masyarakat madani yang demokratis, menghargai hak asasi manusia berikut budayanya.

Ketika Indonesia merdeka, masyarakatnya merupakan warisan kolonial yang dikenal sebagai masyarakat majemuk. Masyarakat ini sebagai warisan sejarah sebelum kemerdekaan, yakni sejak zaman Hindia Belanda. Masyarakat majemuk ketika itu didefinisikan oleh Furnivall (1944) sebagai masyarakat yang terdiri atas dua elemen atau lebih yang hidup sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam suatu kesatuan politik. Sebagai masyarakat majemuk, Indonesia dipandang sebagai tipe masyarakat daerah tropis di mana antara yang memegang kekuasaan dan mereka yang dikuasai memiliki perbedaan ras. Kelas penguasa merupakan minoritas, orang-orang Belanda, dan yang dikuasai terdiri dari sejumlah ras yang berbeda. Rakyat bumiputera yang merupakan penduduk mayoritas menempati strata bawah dan menjadi warga negara kelas tiga di negerinya sendiri. Sementara itu etnis Cina merupakan kelas menengah terbesar di antara orang Timur asing lainnya (Arab, India). Konsepsi Furnivall itu tentu sudah tidak mutlak relevan lagi dengan kondisi masyarakat majemuk Indonesia pasca kemerdekaan, apalagi dengan kondisi masyarakat Indonesia dewasa ini. Hal itu dapat dilihat dari perwujudannya yang kongkrit seperti tiadanya ras minoritas yang menguasai ras mayoritas.

Page 23: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

17FILSAFAT MULTIKULTURALISME

Meskipun begitu, konsepsi Furnifall itu masih ada kontinuitasnya pada saat ini. Dengan mengabaikan perwujudannya yang bersifat kongkrit kita dapat menangkap esensi konsepsi tersebut terlepas dari ruang dan waktu. Suatu masyarakat majemuk adalah suatu masyarakat dengan sistem nilai yang dianut oleh berbagai kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya adalah sedemikian rupa sehingga para anggota masyarakat kurang memiliki loyalitas terhadap masyarakat sebagai keseluruhan, kurang memiliki homogenitas kebudayaan atau bahkan kurang memiliki dasar-dasar untuk saling memahami satu sama lain.

Dalam masyarakat majemuk, kelompok minoritas kerap kali didiskriminasi. Ada yang didiskriminasi secara legal dan formal, seperti yang terjadi di negara Afrika Selatan sebelum direformasi atau pada jaman penjajahan Belanda dan penjajahan Jepang di Indonesia. Ada yang didiskriminasi secara sosial dan budaya dalam bentuk kebijakan pemerintah nasional dan pemerintah setempat seperti yang terjadi di Indonesia dewasa ini. Perjuangan hak-hak minoritas hanya mungkin berhasil jika masyarakat majemuk Indonesia diperjuangkan untuk dirubah menjadi masyarakat multikultural, karena dalam masyarakat multikultural hak-hak yang berbeda, diakui.

Masyarakat majemuk terbentuk dari dipersatukannya masyarakat-masyarakat suku bangsa oleh sistem nasional, yang biasanya dilakukan secara paksa (by force) menjadi sebuah bangsa dalam wadah negara. Sebelum Perang Dunia kedua, masyarakat-masyarakat negara jajahan adalah contoh dari masyarakat majemuk. Sedangkan setelah Perang Dunia kedua contoh-contoh dari masyarakat majemuk antara lain, Indonesia, Malaysia, Afrika Selatan, dan Suriname. Ciri-ciri yang menyolok dan kritikal dari masyarakat majemuk adalah hubungan antara sistem nasional atau pemerintah nasional dengan masyrakat suku bangsa, dan hubungan di antara masyarakat suku bangsa yang dipersatukan oleh sistem nasional.

Dalam perspektif hubungan kekuatan, sistem nasional atau pemerintahan nasional adalah yang dominan dan masyarakat-masyarakat suku bangsa adalah minoritas. Hubungan antara pemerintah nasional dengan masyarakat suku bangsa dalam masyarakat jajahan selalu diperantarai oleh golongan perantara, yang posisi ini di hindia Belanda dipegang oleh golongan Cina, Arab, dan Timur Asing lainnya untuk kepentingan pasar. Sedangkan para sultan dan raja atau para bangsawan yang disukung oleh para birokrat (priyayi) digunakan untuk kepentingan pemerintahan dan penguasaan. Atau dipercayakan kepada para bangsawan dan priyayi untuk kelompok-kelompok suku bangsa yang digolongkan sebagai terbelakang atau primitif.

Page 24: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

18 BAB1

Dalam masyarakat majemuk dengan demikian ada perbedaan-perbedaan sosial, budaya, dan politik yang dikukuhkan sebagai hukum ataupun sebagai konvensi sosial yang membedakan mereka yang tergolong sebagai dominan yang menjadi lawan dari yang minoritas. Dalam masyarakat Hindia Belanda, pemerintah nasional atau penjajah mempunyai kekutan militer dan polisi yang dibarengi dengan kekuatan hukum untuk memaksakan kepentingan-kepentingannya, yaitu mengeksploitasi sumber daya alam dan manusia. Dalam struktur hubungan kekuatan yang berlaku secara nasional, dalam penjajahan hindia Belanda terdapat golongan yang paling dominan yang berada pada lapisan teratas, yaitu orang Belanda dan orang kulit putih, disusul oleh orang Cina, Arab, dan Timur asing lainnya, dan kemudian yang terbawah adalah mereka yang tergolong pribumi. Mereka yang tergolong pribumi digolongkan lagi menjadi yang tergolong telah mengenal peradaban dan mereka yang belum mengenal peradaban atau yang masih primitif. Dalam struktur yang berlaku nasional ini terdapat struktur-struktur hubungan kekuatan dominan-minoritas yang bervariasi sesuai konteks-konteks hubungan dan kepentingan yang berlaku. Dalam masa pendudukan Jepang di Indonesia, pemerintah Jepang yang merupakan pemerintahan militer telah memposisikan diri sebagai kekuatan memaksa yang maha besar dalam segala bidang kehidupan masyarakat suku bangsa yang dijajahnya. Dengan kerakusannya yang luar biasa, seluruh wilayah jajahan Jepang di Indonesia dieksploitasi secara habis habisan baik yang berupa sumber daya alam fisik maupun sumber daya manusianya (ingat Romusha), yang merupakan kelompok minoritas dalam perspektif penjajahan Jepang. Warga masyarakat Hindia Belanda yang kemudian menjadi warga penjajahan Jepang menyadari pentingnya memerdekakan diri dari penjajahan Jepang yang amat menyengsarakan mereka, emmerdekakan diri pada tanggal 17 Agustus tahun 1945, dipimpin oleh Soekarno-Hatta. Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, yang disemangati oleh Sumpah Pemuda tahun 1928, sebetulnya merupakan terbentuknya sebuah bangsa dalam sebuah negara yaitu Indonesia tanpa ada unsur paksaan.

Pada tahun-tahun penguasaan dan pemantapan kekuasaan pemerintah nasional barulah muncul sejumlah pemberontakan kesukubangsaan-keyakinan keagamaan terhadap pemerintah nasional atau pemerintah pusat, seperti yang dilakukan oleh DI/TII di jawa Barat, DI/TII di Sulawesi Selatan, RMS, PRRI di Sumatera Barat dan Sumatera Selatan, Permesta di Sulawesi Utara, dan berbagai pemberontakan dan upaya memisahkan diri dari Republik Indonesia akhir-akhir ini sebagaimana yang terjadi di Aceh, di Riau, dan di Papua, yang harus diredam secara militer. Begitu juga dengan kerusuhan berdarah antar

Page 25: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

19FILSAFAT MULTIKULTURALISME

suku bangsa yang terjadi di kabupaten Sambas, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, dan Maluku yang harus diredam secara paksa. Kesemuanya ini menunjukkan adanya pemantapan pemersatuan negara Indonesia secara paksa, yang disebabkan oleh adanya pertentangan antara sistem nasional dengan masyarakat suku bangsa dan konflik di antara masyarakat-masyarakat suku bangsa dan keyakinan keagamaan yang berbeda di Indonesia.

Dalam era diberlakukannya otonomi daerah, siapa yang sepenuhnya berhak atas sumber daya alam, fisik, dan sosial budaya, juga diberlakukan oleh pemerintahan lokal, yang dikuasai dan didominasi administrasi dan politiknya oleh putra daerah atau mereka yang secara suku bangsa adalah suku bangsa yang asli setempat. Ini berlaku pada tingkat provinsi maupun pada tingkat kabupaten dan wilayah administrasinya. Ketentuan otonomi daerah ini menghasilkan golongan dominan dan golongan minoritas yang bertingkat-tingkat sesuai dengan kesukubangsaan yang bersangkutan.

Indonesia memiliki beragam corak suku dan bahasa. Keragamannya menjadikan Indonesia kaya akan budaya. Dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika, bangsa Indonesia bersatu padu di dalam perbedaan. Kita mengenal istilah multikulturalisme, sebuah istilah yang menjadi model bagi masyarakat majemuk, yang telah dipakai sebagai acuan bagi faunding father Indonesia, sebagaimana termaktub dalam Pasal 32 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi, “ kebudayaan bangsa Indonesia adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah”. Dalam tulisan Suparlan yang berjudul “Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural (2002) dijelaskan bahwa tiga upaya dalam membangun Indonesia yang multikultural, yakni:

(1) konsep multikultural dipahami sebagai sebuah konsep yang menjadi pedoman hidup baik pada tingkat lokal, maupun nasional;

(2) adanya kesamaan pemahaman dari para ahli mengenai makna multikulturalisme;

(3) adanya upaya-upaya yang dilakukan untuk mewujudkan cita-cita .

Terkait dengan hal tersebut, konsep multikulturalisme kini bukan hanya sebatas konsep keanekaragaman secara suku bangsa, melainkan ditekankan pada keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Oleh karena itu, permasalahan yang mendukung ideologi tersebut harus juga dikaji, seperti permasalahan politik, keadilan dan penegakkan hukum, prinsip etika dan moral, dan tingkat mutu produktivitas, sehingga multikulturalisme menjadi sebuah ideologi yang harus diperjuangkan bagi tegaknya sendi demokrasi, HAM, dan kesejahteraan manusia.

Page 26: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

20 BAB1

Dalam konteks Indonesia, pluralisme bagian dari ciri dari multikulturalisme. Ciri lainnya adalah adanya cita-cita menyuburkan rasa kesamaan kebangsaan dan kebanggaan untuk senantiasa mempertahankan kebhinekaan. Indonesia memiliki cita-cita mewujudkan masyarakat multikultural. Hal tersebut selaras pada Sila ke-3, yang berbunyi “Persatuan Indonesia”. Akan tetapi, faktanya, permasalahan/ konflik sosial maupun keagaman masih menjadi tantangan tersendiri. Mudzhar (2005) menyatakan bahwa perwujudannya memerlukan tiga pilar utama, yakni, (1) Hadirnya para pengambil kebijakan yang adil yang mampu melerai permasalahan yang berdampak pada pengambilan keputusan tersebut; (2) Adanya pemuka dan pemimpin agama yang berwawasan kebangsaan, sehingga mengedepankan agama sebagai nilai dari pada agama institusional; (3) Adanya masyarakat yang berpendidikan dan rasional dalam menyikapi keragaman keagamaan (religious market).

Adapun pluralisme dalam sejarahnya disebut sebagai masa pencerahan (Enlightment) Eropa, tepatnya pada abad ke-18 Masehi. Masa yang menjadi titik permulaan bangkitnya gerakan pemikiran modern yang berorientasi pada rasionalitas. (Nuhaiz, 2005). Dalam ilmu sosial, pluralisme adalah sebuah kerangka, di dalamnya ada interaksi beberapa kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormati dan toleransi satu sama lain. Secara teoretis, pluralisme merupakan konsep yang menerangkan ideologi kesetaraan kekuasaan dalam suatu masyarakat multikultural, yang kekuasaan ”terbagi secara merata” di antara kelompok kelompok etnik yang bervariasi sehingga mampu mendorong pengaruh timbal balik di antara mereka.

Individu menunjuk pada keterbatasan manusia sebagai manusia perseorangan, manusia yang membutuhkan manusia lainnya, manusia sebagai makhluk sosial-budaya yang otonom. Manusia dalam berbagai hal banyak kesamaannya dengan yang lain, tetapi dalam banyak hal banyak pula perbedaannya. Sejenis, tetapi berbeda: Setiap individu memiliki keunikannya sendiri. Keunikannya im yang menjadikan tingkat peradaban yang berbeda sehingga akan menghasilkan diferensiasi sosial.

Keunikan individu menjadi kepribadiannya. Tingkat kepribadian ini turut menentukan dan mewarnai dunia sosialbudaya. Kepribadian yang unsurnya pengetahuan, perasaan, dan naluri kemudian dikelola sedemikian rupa hingga melahirkan budaya, pola perilaku, dan budaya materi. Menurut John Gray, pada dasarnya pluralisme mendorong perubahan cara berpikir dari monokultur ke cara berpikir multikultur. Perubahan cara berpikir ini dianggap sangat penting untuk mencegah

Page 27: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

21FILSAFAT MULTIKULTURALISME

klaim sebuah kebudayaan bahwa hanya pandangan kebudayaannyalah yang paling benar.

Dalam masyarakat multikultur tersebut, kelompok-kelompok etnik itu dapat menikmati hak-hak mereka yang sama dan seimbang, dapat memelihara dan melindungi diri mereka sendiri karena mereka menjalankan tradisi kebudayaannya Pluralisme berhubungan erat dengan dan menjadi dasar dari multikulturalisme. Idealnya. suatu masyarakat multikultural merupakan kelanjutan dari pluralisme.

Masyarakat multikultural biasanya terjadi pada masyarakat plural. Sebaliknya, pluralisme bukan apa-apa tanpa menjadi multikulturalisme. Pengakuan terhadap pluralisme seharusnya meningkat menjadi multikulturalisme. Namun pada kenyataannya, kesenjangan selalu ada antara pengakuan pluralisme dan pelaksanaan multikulturalisme.

a. Makna Pluralisme dalam Konsep Ilmu Pengetahuan (Ilmu Pengeta-huan Sosial)Makna Pluralisme dalam Konsep Ilmu Pengetahuan (Ilmu Sosial) di antaranya sebagai berikut:

1) Pluralisme merupakan sebuah model ”politik” yang memungkinkan terjadinya perluasan peran individu atau kelompok yang beragam dalam masyarakat untuk terlibat dalam proses politik bagi lahirnya demokrasi terbuka. Jika hal ini tercapai, akan hadir sebuah spektrum sosial atas kekuasaan yang lebih demokratis karena kekuasaan berada di tangan beberapa individu dari kelompok yang berbeda-beda.

2) Pluralisme menggambarkan keadaan masyarakat ketika setiap individu atau kelompok yang berbeda-beda dapat memperkaya peran mereka dalam suatu masyarakat sebagai sosial fabric.

3) Pluralisme merupakan salah satu pandangan bahwa sebab dari sebuah peristiwa sosial, misalnya sebab dari sebuah perubahan sosial, harus dapat diuji melalui interaksi beragam faktor, bukan dianalisis hanya dari satu faktor. Beragam faktor itu adalah faktor kebudayaan.

4) Pluralisme merupakan pandangan posmodern yang mengatakan bahwa semua kebudayaan manusia harus dihargai dan diperhatikan. Tidak ada satu kebudayaan (atau masyarakat) pun yang superior terhadap kebudayaan atau masyarakat yang lain; bahwa setiap kebudayaan memiliki kontribusi tertentu terhadap proses memanusiakan orang lain. Pandangan ini wajar karena pada kenyataannya betapa sering kita menemukan ada kebudayaan atau seperangkat kebudayaan dari komunitas atau masyarakat tertentu

Page 28: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

22 BAB1

yang tidak diketahui secara pasti. Pluralisme mengklaim bahwa dalam masyarakat tempat kita hidup bersama tidak ada kebudayaan yang tidak setara.

Oleh karena itu, setiap kebudayaan harus diakui dan dihargai secara sosial oleh penduduk yang beragam. Rumusan istilah yang dapat ditarik dari makna pluralisme di atas adalah sebagai berikut.

Pertama, pluralisme (budaya) menggambarkan kenyataan bahwa dalam masyarakat ada kelompok kelompok etnik yang tidak terakulturasi dalam identitas budaya etnik. Pada umumnya budaya kelompok seperti ini menampilkan perilaku budaya yang berbeda, misalnya berbicara dengan bahasa yang lain dari bahasa etniknya, memeluk agama yang berbeda dengan mayoritas agama yang dipeluk etniknya, dan lain-lain. Mereka menampilkan sistem nilai yang berbeda dari nilai etniknya.

Kedua, terbentuk pula pluralisme struktural dalam masyarakat yang menggambarkan perbedaan budaya di antara kelompok-kelompok etnik, tetapi perbedaan tersebut hanya terletak pada wilayah struktur sosial. Hal itu berarti meskipun kelompok-kelompok etnik itu memiliki beberapa unsur budaya yang sama dengan budaya dominan, mereka selalu tampil dengan budaya tertentu (subkultur) yang terpisah dari kelompok dominan.

Dalam pluralisme terkandung konsep bahwa setiap orang tetap memiliki etnik tertentu dan tetap mempraktikkan etnisitas sebagai suatu yang sentral dalam menentukan relasi dengan orang lain dari kebudayaan dominan Akhirnya, pluralisme sebagai sebuah ideologi berasumsi bahwa semua ”isme” (rasisme, reksisme, kelasisme) menerapkan pendekatan bagi kehidupan yang harmonis satu sama lain. Bagaimanapun, konsep pluralisme budaya sangat bertentangan dengan fokus etnisitas yang tunggal. Sebagaimana dikatakan oleh Newman, pluralisme merupakan gerakan yang berdampak terhadap perubahan struktur sosial mayarakat, dimulai dari perubahan struktur sosial individu dan kelompok.

John Gray menegaskan bahwa pada dasarnya pluralisme mendorong perubahan cara berpikir dan bersifat universal: untuk mencegah klaim pandangan bahwa ada kebudayaan yang Paling benar. Menurut Gray, semua kebudayaan itu penting sehingga tidak ada satu kebudayaan pun yang mengklaim bahwa apa yang dikatakan oleh kebudayaan itu kebudayaan itu menjadi rasionalisasi atas semua kebudayaan lain. Inilah argumentasi paling penting dari pluralisme. Dengan demikian, seorang pluralis harus dan selalu akan mengatakan

Page 29: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

23FILSAFAT MULTIKULTURALISME

bahwa meskipun setiap kebudayaan memiliki norma-norma universal, dan norma-norma tersebut dapat diberlakukan kapan dan di mana saja, harus diingat bahwa norma-norma universal itu tidak lebih baik daripada validitas kearifan budaya sendiri.

b. Makna Pluralisme sebagai Doktrin Makna yang kedua, pluralisme sebagai doktrin, yaitu sebagai beri-kut.

1) Pluralisme adalah doktrin yang menyatakan bahwa dalam setiap masyarakat tidak ada satu pun ”sebab” yang bersifat tunggal (monism) atau ganda (dualism) bagi terjadinya perubahan suatu masyarakat. Pluralisme yakin ada banyak sebab yang dapat mengakibatkan timbulnya gejala sosial atau perubahan dalam masyarakat.

2) Pluralisme merupakan dokrin yang pada awalnya timbul sekitar tahun 1980-an. Pemunculan kembali ideologi itu disebabkan tidak ada satu pun ”gaya simbolis budaya” yang mampu menciptakan dominasi budaya dalam suatu masyarakat yang beragam.

3) Konsep pluralisme dimaknai oleh pemerintah sebagai proses melakukan bargaining atau kompromi terhadap para pemimpin dari beragam kelompok (etnik dan ras atau kelompok lainnya) yang bersaing dalam bidang bisnis, tenaga kerja, pemerintahan, dan lain-lain.

Pluralisme dianjurkan sebagai jalan terbaik untuk melayani atau sebuah proses yang mendorong lahirnya demokrasi paling ideal dalam masyarakat yang semakin modern dan kompleks agar setiap individu atau kelompok dapat berpartisipasi dalam setiap Pengambilan keputusan. Adapun prinsip pluralisme adalah perlindungan terhadap hak individu dan kelompok melalui peraturan dan perundang-undangan dengan memberikan kemungkinan terjadinya check and balances. Dalam arti luas, konsep ini menjelaskan menjelaskan bahwa tidak ada satu kelompok pun yang menduduki keputusan selama-lamanya. Kekuasaan itu selalu berganti, sekurang-kurangnya pergantian; itu dilakukan melalui pengaruh individu atau kelompok terhadap kelompok yang berkuasa dalam proses pengambilan keputusan.

c. Makna Pluralisme Dihubungkan dengan Konsep Lain Makna pluralisme jika dihubungkan dengan konsep lain, sebagai berikut:

1) Pluralisme (ethnic); pluralisme etnik adalah konsistensi atau pengakuan terhadap kesetaraan sosial dan budaya antara beragam kelompok etnik yang ada dalam suatu masyarakat.

Page 30: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

24 BAB1

2) Pluralisme (political); pluralisme politik merupakan konsistensi atau pengakuan terhadap kesetaraan dalam distribusi kekuasaan pada berbagai kelompok interest, kelompok penekan, kelompok etnik dan ras, organisasi dan lembaga politik dalam masyarakat. Struktur kekuasaan yang pluralistik (pluralistic power structure) merupakan sebuah sistem yang mengatur pembagian hak kepada semua kelompok yang beragam dalam suatu masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan.

3) Pluralisme media, menurut Liliweri (2003), dalam studi media (media studies), antara lain sebagai berikut:

a) Pluralisme merupakan pandangan bahwa media massa memiliki kebebasan dan kemerdekaan yang sangat besar dan diakui oleh neg-ara, partai politik, dan kelompok-kelompok penekan dalam mas-yarakat.

b) Media massa harus dipandang sebagai media untuk melakukan kontrol sosial. Oleh karena itu, media harus dikelola oleh sebuah manajemen yang profesional sehingga dapat menjalankan tugas dan fungsi yang ideal bagi kebebasan dan kemerdekaan berpendapat rakyat.

c) Dalam pandangan pluralisme media, audensi tidak boleh dilihat sebagai sasaran yang dapat dimanipulasi; media. Audensi harus dipertimbangkan dalam relaksi yang setara dengan media karena audiensi merupakan sumber pemberitaan dan sasaran blsnis.

d) Pluralisme juga memandang bahwa media massa merupakan agen terciptanya kebebasan berpendapat dari suatu masyarakat yang demokratis. Oleh sebab itu, institusi media harus dibiarkan bebas untuk mengontrol pemerintah dan berhubungan dengan audiens ketika audiens bebas memilih informasi yang bermanfaat bagi mer-eka.

Dalam buku Komunikasi Multikultural, masyarakat plural seperti Indonesia selalu dihadapkan pada persoalan politis dan sosial, yakni bagaimana mencapai tingkat integritas yang bersifat nasional. Baik bersifat horizontal, yakni hubungan antar warga negara yang berbeda latar belakang budayanya, maupun secara vertikal menghadapi berbagai macam bentuk hubungan dengan pemimpinnya tidak mungkin dilepaskan dari keberadaan stratifikasi sosialnya.

Masyarakat plural seperti Indonesia selalu dihadapkan pada persoalan politis dan sosial, yaitu bagaimana mencapai tingkat integritas yang bersifat nasional. Baik bersifat horizontal, yaitu hubungan antar warga negara yang berbeda latar belakang budayanya maupun secara vertikal menghadapi berbagai macam bentuk hubungan dengan pemimpinnya tidak mungkin dilepaskan dari keberadaan stratifikasi

Page 31: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

25FILSAFAT MULTIKULTURALISME

sosialnya. Pierre L. van de Berghe mengemukakan bahwa masyarakat multikultural mempunyai beberapa karakteristik yang khas, sebagai berikut:

1. Masyarakat terbagi dalam segmentasi dalam bentuk kelompok-kelompok latar budaya, sub-budaya yang berbeda.

2. Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat non-komplementer.

3. Kurang adanya kemauan untuk mengembangkan konsensus antar anggota masyarakatnya tentang nilai-nilai sosial yang fundamental.

4. Kurangnya kesadaran mengembangkan konsensus relatif sering menumbuhkan konflik antar kelompok sub-budaya tersebut.

5. Konflik bisa dihindari dan integrasi sosial dapat terjadi tetapi dengan jalan secara relatif menggunakan paksaan ditambah adanya ketergantungan satu sama lain dalam bidang ekonomi.

6. Adanya dominasi politik kelompok satu atas kelompok yang lain.

Keadaan yang sangat rentan dalam masyarakat multikultur tersebut, sulit kiranya, menurut van de Berghe, model analisis Emile Durkheim tentang adanya masyarakat yang memiliki unit-unit kekerabatan yang bersifat segmenter yaitu adanya kelompok-kelompok yang didasarkan atas keturunan tunggal, akan tetapi memiliki struktur kelembagaan yang bersifat homogeneous.

Selain itu pandangan Dukheim tentang adanya diferensiasi fungsional atau spesialisasi yang tinggi terdiri atas berbagai lembaga kemasyarakatan, bersifat komplementer dan bergantung satu dengan yang lainnya. Maka dari itu, Van de Berghe kurang yakin bahwa solidaritas mekanis maupun solidaritas organis dalam konsep Durkheim sulit dikembangkan dalam masyarakat multikultural. Lalu, bagaimana sesungguhnya masyarakat terintegrasi dalam sistem sosialnya, faktor-faktor apa saja yang mampu mendorong ke arah integritas tersebut. Nasikun, mengambil konsep Van de Berghe, dan para ahli fungsionalisme struktural menyimpulkan bahwa dua landasan terjadinya integrasi masyarakat, meskipun menjadi sangat terbatas dalam masyarakat multikultur, setidaknya pertama, suatu masyarakat senantiasa terintegrasi di atas tumbuhnya konsensus oleh sebagian besar masyarakat akan nilai-nilai kemasyarakatan yang bersifat fundamental. Kedua, adanya berbagai macam anggota masyarakat sekaligus menjadi anggota dari berbagai macam kesatuan sosial. Dengan adanya kesatuan sosial (cross-cut-long affilations) tersebut jika terjadi konflik dengan kesatuan sosial yang lain akan segera dinetralisir oleh adanya loyalitas ganda (cross-cutting loyalities).

Page 32: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

26 BAB1

Konflik-konflik yang sering terjadi dalam masyarakat multikultur menurut Nasikun cenderung bersifat idelogis dan politis, Karl Marx justru melibat adanya faktor ekonomi yang diperoleh produksi kerja. Pada tingkat ideologis, konflik yang terjadi dalam bentuk konflik antara sistem nilai yang dianut oleh suatu kelompok masyarakat sekaligus merupakan penganut dari ideologi dari bermacam-macam kesatuan sosial. Sedangkan yang bersifat politis, terjadi dalam ranah pembagian status kekuasaan, sumber-sumber ekonomi. Yang bersifat ekonomis lebih jelasnya perebutan lahan produksi untuk menopang kehidupan, karena ialah yang menopang segala struktur sosial, konflik sosial yang menjadi dasar adanya perubahan sosial itu sendiri.

Secara alamiah, ketika terjadi konflik, pihak-pihak yang berselisih akan mengikatkan dirinya secara cepat dengan dua cara: Pertama, memperkukuh solidaritas, bentuknya seperti membentuk organisasi kemasyarakatan, pertahanan bersama. Cara kedua, memperkukuh identitas kultural yang menghadapkan dirinya dengan kelompok pesaing lain, misalnya dalam bidang pendidikan, sasi sosial, ekonomi, politik dan kelompok swadaya masyarakat lainnya.

Bagaimana Indonesia mampu bertahan sebagai kesatuan yang integratif? Para penganut aliran lebih percaya dengan pendekatan paksaan dari suatu kelompok dominan atau kesatuan sosial yang dominan atas kelompok dan kesatuan yang lain. Ekonomi menjadi faktor utama, di mana setiap orang saling bergantung dengan orang lain, sehingga mereka saling membutuhkan untuk menciptakan kehidupan yang rukun dan aman. Paksaan tidak selamanya memberi rasa aman, justru sebaliknya akan membawa suatu masyarakat ke arah disintegarasi sebagaimana ditunjukkan selama pemerintahan Orde Baru.

Uraian di atas memberikan suatu gambaran bahwa integritas masyarakat Indonesia dalam payung Negara Kesatuan Republik Indonesia, tidak lain adalah suatu kemauan para warga masyarakat untuk membangun suatu kultur yang baru, yang mungkin berbeda dengan kultur kelompoknya, yang kemudian menjadi pedoman dan kaidah dalam interaksi sosial bersama. Kultur baru, atau nilai-nilai dan norma-norma umum yang disepakati menjadi kaidah masyarakat bukan sekedar retorika, namun haruslah benar-benar dihayati dan dijadikan sebagai milik sendiri. Bagaimana hal itu bisa terwujud? Untuk mencapai konsensus nasional, Nasikun (1985) mengutamakan sosialisasi. Dalam buku ini menawarkan bentuk sosialisasi dengan suatu strategi komunikasi sosio-kultural.

Beralih pada multikulturalisme erat kaitannya dengan

Page 33: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

27FILSAFAT MULTIKULTURALISME

epistemologi. Tentu saja berbeda dengan epistemologi filsafat tentang cikal bakal ilmu pengetahuan, maupun perkembangan ilmu pengetahuan kehidupan sosial dalam ilmu Sosiologi.epistemilogi multikulturalisme dimaknai bahwa dalam suatu masyarakat yang benar adalah yang baik bagi masyarakat tersebut, melalui proses belajar yang membudaya (Tilaar, 2004) oleh karena itu, menjadi dilema ketika multikulturalisme melahirkan sifat fanatisme. Seketika sifat tersebut menjadi kelemahan, sebab mampu meruntuhkan sendi-sendi kehidupan dari suatu komunitas. Sebaliknya, jika multikulturalisme diserap dengan baik oleh masyarakat akan melahirkan kekuatan, sebab setiap masyarakat memunculkan sikap saling menghargai dan toleran.

Multikulturalisme yang terbentuk di Indonesia adalah akibat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang beragam. Secara geografis, Indonesia memiliki banyak pulau yang dihuni oleh beragam komunitas masyarakat. Dari masyarakat tersebutlah sebuah kebudayaan terbangun. Meski demikian, multikulturalisme diawali dengan teori melting pot yang diwacanakan J Hector, sebuah konsep yang dipopulerkan melalui drama karya Zangwill bahwa menekankan adanya penyatuan budaya dan melelehkan budaya asal, sehingga seluruh imigran Amerika meskipun diakui sebagai monokultur namun lebih diwarnai dengan kultur White Anglo Saxon Protestant (WASP) sebagai kultur imigran kulit putih, Eropa.

Kemudian, ketika komposisi etnis Amerika makin beragam dan budayanya semakin majemuk, maka teori melting pot kemudian mendapat kritik hingga memunculkan teori baru yang populer dengan sebutan salad bowl, sebagai sebuah teori alternatif yang dikenalkan oleh Horace Kallen. Berbeda dengan teori melting pot, teori salad bowl tidak melunturkan budaya asal, melainkan kultur-kultur lain non-WASP diakomodir dengan baik. Hingga kemudian, interaksi kultural antar berbagai etnik membutuhkan ruang gerak yang yang kemudian dikembangkan teori Cultural Pluralism, membagi ruang pergerakan budaya menjadi dua, yakni ruang publik untuk seluruh etnik mengartikulasikan budaya politik dan mengekspresikan partisipasi sosial politik mereka. (Mudzhar, 2005). Pada akhirnya multikulturalisme sebagai konsep akhir dalam membangun kekuatan suatu bangsa yang terdiri dari latar belakang etnik, agama, ras, budaya, dan bahasa, dengan menghormati hak-hak sipil termasuk masyarakat minoritas.

Dalam sejarahnya multikulturalisme semula merupakan perjuangan politik dari migran kulit hitam dari Afrika di Amerika untuk menuntut persamaan hak. Mereka menuntut untuk dihargai kebudayaannya, tidak harus sama dengan kebudayaan orang kulit putih

Page 34: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

28 BAB1

yang beragama Kristen. Tuntutan itu juga berkembang dalam dunia pendidikan.

Sebagai sebuah ide, pendidikan multikultur dibahas dan diwacanakan pertama kali di Amerika dan negara-negara Eropa Barat pada tahun 1960-an oleh gerakan yang menuntut diperhatikannya hak-hak sipil (civil right movement). Tujuan utama dari gerakan ini adalah untuk mengurangi praktik diskriminasi di tempat- tempat publik, di rumah, di tempat-tempat kerja, dan di lembaga-lembaga pendidikan, yang dilakukan oleh kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas. Selama itu, di Amerika dan negara-negara Eropa Barat hanya dikenal adanya satu kebudayaan, yaitu kebudayaan kulit putih yang Kristen. Golongan-golongan lainnya yang ada dalam masyarakat-masyarakat tersebut dikelompokkan sebagai minoritas dengan pembatasan hak-hak mereka (Suparlan, 2002).

Gerakan hak-hak sipil ini, menurut James A. Bank (1989), berimplikasi pada dunia pendidikan, dengan munculnya beberapa tuntutan untuk melakukan reformasi kurikulum pendidikan yang sarat dengan diskriminasi. Pada awal tahun 1970-an muncullah sejumlah kursus dan program pendidikan yang menekankan pada aspek-aspek yang berhubungan dengan etnik dan keragaman budaya (cultural diversity).

Di Indonesia inti cita-cita spirit reformasi adalah terbentuknya sebuah masyarakat sipil yang demokratis, ditegakkannya hukum, terselenggaranya pemerintah yang bersih dari KKN, terwujudnya keteraturan sosial, terciptanya rasa aman, terjaminnya kelancaran produktivitas warga masyarakat dan kehidupan ekonomi yang menyejahterakan rakyat Indonesia. Hasil reformasi ini adalah, bahwa masyarakat Indonesia yang bercorak majemuk (plural society) yang berisikan potensi kekuatan primordial yang otoriter-militeristik harus digeser menjadi ideologi keanekaragaman kebudayaan atau ideologi multikulturalisme.

Dalam ideologi ini, kelompok-kelompok budaya tersebut berada dalam kesetaran derajat, demokratis dan toleransi sejati. Dengan sendirinya masyarakat, masyarakat majemuk (plural society) belum tentu dapat dinyatakan sebagai masyarakat multikultural (mulikultural society), karena bisa saja di dalamnya terdapat hubungan antarakekuatan masyarakat varian budaya yang tidak simetris yang selalu hadir dalam bentuk dominasi, hegemoni dan kontestasi.

Isu-isu politik kebudayaan mengemuka dan berkembang cepat semenjak reformasi digulirkan pada tahun 1998. Setelah isu demokrasi

Page 35: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

29FILSAFAT MULTIKULTURALISME

yang terwujudkan dalam bentuk pelimpahan sebagian kekuasaan pusat ke daerah-daerah yang dikenal sebagai otonomi daerah mulai tahun 1999, isu multikulturalisme muncul pada tahun 2002 sebagai alternatif yang kuat untuk menjadi perekat baru kesatuan bangsa.1 Isu multikulturalisme muncul sebagai akibat dari kesadaran bahwa kesatuan bangsa dan integrasi nasional yang selama ini dipelihara berdasarkan politik kebudayaan seragam dianggap semakin kurang relevan dengan kondisi dan semangat otonomi daerah (desentralisasi) dan kedaerahan turut meningkat sejalan dengan reformasi politik tersebut.

Desentralisasi kekuasaan sebagai keputusan politik nasional ternyata kemudian disadari menimbulkan efek yang kontra produktif apabila dilihat dari perspektif kesatuan dan integrasi nasional suatu bangsa besar yang isinya luar biasa beranekaragam suku bangsa, agama, kemampuan ekonomi, dan bahkan ras yang tersebar dalam wilayah geografi yang sangat luas. Kontras-kontras kondisi atribut-atribut menjadikan semakin rumit terlebih jika isu mayoritas-minoritas, dan dominan-tidak dominan dimasukkan kedalam wilayah analisa ini. Kalau dimasa lalu, kekuatan pengikat keanekaragaman itu adalah politik sentralisasi yang berpusat pada kekuasaan pemerintah yang otoritarian, maka dalam suasana desentralisai kekuasaan atau otonomi daerah kekuatan pengikat otoritarian tersebut didekonstruksi dan harus digantikan oleh suatu pengikat baru yang relevan. Kemudian multikulturalisme dipandang sebagai alternatif yang tepat untuk menghadapi kerumitan baru yang terjadi, untuk tetap memelihara kesatuan dan integrasi nasional masa kini dan mendatang.

Walaupun multikulturalisme itu telah digunakan oleh para pendiri bangsa ini untuk mendesain kebudayaan Indonesia, bagi pada umumnya orang Indonesia masa kini multikulturalisme adalah sebuah konsep yang masih asing.2 Karena itulah, perlu adanya tulisan-tulisan yang lebih banyak oleh para ahli yang berkompeten mengenai multikulturalisme di media massa daripada yang sudah ada selama ini. Hal ini dimaksudkan untuk membumikan wacana multikulturalisme yang masih menggantung tinggi di ‘langit’.

Di Indonesia, terdapat berbagai macam kebudayaan yang berasal dari hampir seluruh suku bangsa. Dengan keanekaragaman ini kita dapat mewujudkan masyarakat multikultural, apabila warganya dapat 1 Achmad Fedyani Syafiudin, Membumikan Multikulturalisme Di Indonesia

dalam Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI.Vol.II.No. 1. April 2006

2 Lihat Glazer, Nathan, We Are All Multikulturalists Now Cambridge, Mass:Harvard University Press, 1997.

Page 36: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

30 BAB1

hidup berdampingan, toleransi dan saling menghargai. Nilai budaya tersebut bukan hanya sebuah wacana, tetapi harus menjadi patokan penilaian atau pedoman etika dan moral dalam bertindak yang benar dan pantas bagi orang Indonesia. Nilai tersebut harus dijadikan acuan bertindak, baik dalam bidang sosial, ekonomi, politik maupun dalam tindakan invidual.

Diantara prinsip-prinsip dasar dari demokrasi yang patut dikembangkan di Indonesia adalah: kesetaraan derajat individu, kebebasan, toleransi terhadap perbedaan, konflik dan konsensus, hukum yang adil dan beradab, dan perilaku kemanusiaan. Prinsip-prinsip demokrasi tersebut dapat berkembang hanya dalam masyarakat multikultural, yang dilandasi kesetaraan, demokrasi dan toleransi sejati.

Furnivall (1948) adalah yang pertama kali mengintroduksi konsep masyarakat majemuk (plural society) pada waktu dia membahas kebijakan dan praktek-praktek pemerintah jajahan di Burma dan Indonesia. Dia menunjukkan bahwa sebuah masyarakat majemuk ditandai oleh penduduknya yang secara sukubangsa dan rasial saling berbeda yang hidup dalam satuan-satuan kelompoknya masing-masing, yang hanya bertemu di pasar. Ciri-ciri ini ada pada masyarakat jajahan yang merupakan produk dari politik ekonomi penjajah untuk menguasai sumber-sumber daya yang ada setempat. Produk dan politik ekonomi ini adalah adanya golongan penjajah yang mempersatukan secara paksa masyarakat-masyarakat pribumi ke dalam sebuah masyarakat jajahan untuk diatur dan diperintah guna kepentingan ekonomi penjajah. Di samping golongan penjajah dan pribumi terdapat golongan pedagang perantara yang biasanya adalah orang-orang asing yang secara sosial dan rasial tidak tergolong sama dengan golongan penjajah ataupun golongan pribumi.

Di Indonesia, tiga golongan ini terwujud secara vertikal sebagai orang Belanda dan Kulit Putih lainnya, orang Pribumi, dan orang Timur Asing (orang Cina dan Arab) yang masing-masing hidup dalam kelompok-kelompok dan permukimannya sendiri menurut kebudayaan dan pranata-pranata masing-masing, dan keteraturan serta ketertiban kehidupan mereka diatur oleh hukum yang masing-masing berbeda satu dan lainnya. Model masyarakat majemuk dari Furnivall ini dikembangkan lebih lanjut oleh M.G.Smith (1965) dengan menggunakan Karibia sebagai kasusnya dan mengembangkannya sebagai model struktural berdasarkan atas ciri-ciri pranata-pranata yang ada dalam segmen-segmen masyarakat majemuk.

Menurut Smith, masyarakat-masyarakat Karibia adalah

Page 37: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

31FILSAFAT MULTIKULTURALISME

masyarakat majemuk karena masing-masing masyarakat tersebut terdiri atas segmen-segmen masyarakat, yang merupakan satuan masyarakat sukubangsa maupun rasial dengan pranata-pranata yang secara struktural berbeda antara satu segmen dengan segmen lainnya. Lebih lanjut M.G.Smith menyatakan bahwa masyarakat majemuk, seperti yang terdapat di Karibia adalah kondisi struktural dari masyarakatnya dan bukan produk kebijakan politik ekonomi pemerintah jajahan.

Indonesia adalah masyarakat majemuk atau bhinneka tunggal ika. Indonesia adalah sebuah masyarakat yang sistem nasionalnya mempersatukan beraneka ragam masyarakat-masyarakat suku bangsa dan kebudayaannya sebagai sebuah bangsa dalam Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk, yang merupakan kelanjutan dari model masyarakat majemuk zaman penjajahan Hindia Belanda dan Pendudukan Jepang. Model masyarakat majemuk Indonesia tersebut dicoba dilawan oleh pemerintahan presiden Sukarno dengan melarang partai-partai dan kekuatan politik yang didasarkan atas sukubangsa dan kesukubangsaan. Tetapi dia sendiri kemudian menjadi otoriter dalam upaya mempersatukan Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan yang mulai retak karena adanya pemberontakan-pemberontakan bersenjata di daerah-daerah. Model masyarakat majemuk yang otoriter tersebut dilanjutkan serta dikembangkan oleh dan digunakan secara efektif dalam pemerintahan presiden Suharto dengan sistem pemerintahannya yang otoriter-militeristik, pemanipulasian SARA dan hukum nasional serta hukum adat, dan berbagai kebijakan sosial, ekonomi, dan politik yang terpusat untuk kepentingan penguasa.

Masyarakat majemuk Indonesia menekankan keanekaragaman suku bangsa dan kebudayaan suku bangsa masing-masing, yang dipersatukan dan diatur secara administratif oleh sistem nasional Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Masalah utama yang di hadapi oleh masyarakat majemuk adalah hubungan antara pemerintahan nasional (pemerintah pusat) dengan masyarakat-masyarakat sukubangsa yang tercakup di dalamnya. Masalah ini muncul pada waktu masyarakat-masyarakat sukubangsa itu sadar akan posisinya dan berubah menjadi kekuatan-kekuatan sosial politik berkenaan dengan upaya mempertahankan sumber-sumber daya yang secara adat menjadi hak mereka dan yang secara hukum nasional adalah hak pemerintahan nasional, sesuai UUD 1945.

Pemerintahan presiden Suharto menggunakan kekuatan militer dan politik SARA untuk meredam berbagai gejolak dari masyarakat-masyarakat sukubangsa di berbagai daerah. Sedangkan pemerintahan presiden Habibie untuk bertindak demokratis dan memberi kesempatan

Page 38: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

32 BAB1

kepada masyarakat-yang mencoba masyarakat suku bangsa di daerah-daerah untuk dapat rnenampilkan dirinya dalam Politik nasional telah menghasilkan kemunculan berbagai konflik antar sukubangsa dan gerakan-gerakan separatisme yang dikhawatirkan akan menuju pada disintegrasi bangsa.

Multikulturalisme bukan hanya sebuah wacana tetapi sebuah ideologi yang harus diperjuangkan, karena dibutuhkan sebagai landasan bagi tegaknya demokrasi, HAM, dan kesejahteraan hidup masyarakatnya. Multikulturalisme bukan sebuah ideologi yang berdiri sendiri terpisah dari ideologi-ideologi lainnya, dan multikulturalisme membutuhkan seperangkat konsep-konsep yang merupakan bangunan konsep-konsep untuk dijadikan acuan bagi memahaminya dan mengembang-luaskannya dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk dapat memahami multikulturalisme diperlukan landasan pengetahuan yang berupa bangunan konsep-konsep yang relevan dengan dan mendukung keberadaan serta berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia. Bangunan konsep-konsep ini harus dikomunikasikan diantara para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama tentang multikultutralisme sehingga terdapat kesamaan pemahaman dan saling mendukung dalam memperjuangkan ideologi ini.

Berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme antara lain adalah, demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, sukubangsa, kesukubangsaan, kebudayaan sukubangsa, keyakinan keagamaan, ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM, hak budaya komuniti, dan konsep-konsep lainnya yang relevan.

C. Faktor Lingkungan Pembentuk Masyarakat MultikulturalLingkungan dapat didefinisikan sebagai kombinasi antara

kondisi fisik yang mencakup letak geografis, kondisi geologis, iklim keadaan sumber daya alam seperti tanah, air, udara, proses kebumian, energi surya, mineral, serta flora dan fauna yang tumbuh di atas tanah maupun di dalam lautan. Lingkungan juga dapat diartikan menjadi segala sesuatu yang ada di sekitar manusia dan mempengaruhi perkembangan kehidupan manusia. Makna sebuah lingkungan juga sangat mempengaruhi bagaimana corak kehidupan manusia yang hidup disekitarnya.

Indonesia merupakan salah satu negara dengan keberagaman lingkungan geografis yang sangat kompleks. Secara fisiografis indonesia merupakan negara kepulauan (archipelagic state) yang terletak diantara pertemuan tiga lempeng tektonik. Luas daratan Indonesia mencapai

Page 39: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

33FILSAFAT MULTIKULTURALISME

area 1.922.570 km2 dengan luas perairan 3.257.483 km2. Indonesia tercatat memiliki 17.504 pulau, dengan garis pantai sekitar 81.900 km yang memiliki batas maritim (laut) dan memiliki batas darat (kontinen) Kondisi ini mengakibatkan begitu beragamnya bentang alam berupa pegunungan, dataran tinggi, dataran rendah, dataran pantai, sabana, rawa, sungai dan lain sebagainya.

Dengan jumlah penduduk 268.583.016 jiwa (2020), Kehidupan manusia di Indonesia tentu sangat dipengaruhi oleh karakteristik lingkungan alam disekitarnya. Karakteristik alam berupa geologi, bentang lahan dan iklim akan membentuk pola kehidupan yang beragam, pola tersebut kemudian menjadi adat dan kebiasaan yang membentuk suatu tatanan kebudayaan tertentu. Dengan kondisi alam demikian kompleksnya memberikan dampak pada keanekaragaman mata pencaharian, pola-pola pemukiman, tradisi, adat istiadat, budaya, dan aspek kehidupan sosial lainnya.

Kondisi geografis telah membagi penduduk yang menempati pulau dan daerah, sehingga menumbuhkan kesatuan suku bangsa yang berbeda-beda. Setiap kesatuan suku bangsa terdiri dari orang-orang yang disatukan dengan ikatan emosional yang memandang diri mereka sebagai identitas sendiri. Kelompok-kelompok itu juga yang mengembangkan bahasa, budaya, dan kepercayaan masing-masing. Bahkan mereka pula yang mengembangkan mitos-mitos tentang asal usul nenek moyang.

Menurut Koentrjaraningrat (2009), suatu kebudayaan tidak terlepas dari pola kegiatan masyarakat yang bergantung pada faktor lingkungan secara geografis. Hampir setiap kelompok masyarakat mengalami perkembangan budaya yang berbeda karena variasi dan kondisi alam.. Kebudayaan yang ada tersebut membentuk suatu identitas yang khas yang dikenal dengan istilah suku bangsa. Implikasinya selain jumlah penduduk yang besar juga terdapat perbedaan-perbedaan antar kelompok suku yang sangat banyak sehingga dapat disimpulkan keragaman suku bangsa di Indonesia tidak terlepas dari beragamnya kondisi lingkungan alam.

Beragamnya kebudayaan yang terbentuk dalam morfologi yang beragam saling berkembang dan terisolir oleh hambatan geografis (barrier). Hambatan tersebut berupa pegunungan tinggi, aliran sungai, hutan belantara hingga lautan yang memisahkan. Wilayah lingkungan hidup suku-suku bangsa juga memperlihatkan variasi alam yang berbeda-beda. Terdapat masyarakat yang mengandalkan laut sebagai sumber kehidupannya, ada juga yang masuk dalam masyarakat

Page 40: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

34 BAB1

pedalaman. Karakter multikultural tersebut juga terlihat pada tipe masyarakat seperti perkotaan maupun kehidupan masyarakat peralihan dari pertanian ke industri.

Kondisi geologi dan geomorfologi di setiap wilayah menjadi tolak ukur keberagaman aktifitas masyarakat, sehingga aktifitas inilah yang menjadi bentang budaya di setiap wilayah. Hal tersebut menunjukan bahwa bentang alam hasil proses geologi membentuk pola kehidupan yang dipengaruhi oleh sebuah fenomena fisik misalnya gunung api, lembah, pegunungan hingga dataran tinggi. Beberapa suku di Indonesia yang memiliki kaitan sangat erat dengan kondisi demikian misalnya adalah Suku Tengger di Bromo, Suku Toraja di Sulawesi, Suku Arfak di Pegunungan Papua Barat dan lain sebagainya.

Kondisi alam akibat proses geologi dan geomorfologi menjadikan masyarakat disekitarnya hidup dengan beradaptasi dengan kondisi lingkungan tersebut. Jenis tanah, kemiringan lereng, suhu udara hingga keberadaan potensi bencana sangat mencirikan sebuah kebudayaan tertentu, sebagai contoh banyak candi di beberapa pusat sejarah kebudayaan Pulau Jawa dibangun menggunakan Batuan Andesit hasil pembekuan magma yang berasal dari letusan gunung api. Kondisi rawan bencana di suatu wilayah juga akan membentuk pola pikir masyarakat yang menghasilkan adaptasi dalam upaya menghadapi bencana tersebut (mitigasi) Beberapa contoh adaptasi masyarakat di Indonesia antara lain bentuk rumah panggung, pembuatan rumah dengan material yang ringan dan pembuatan teknik pertanian berbasis pencegahan bencana longsor.

Faktor iklim menjadi faktor lain yang mempengaruhi terbentuknya kebudayaan di Indonesia. Variasi iklim dapat dibedakan berdasarkan kriteria curah hujan, temperatur udara, angin dan sebagainya. Kondisi ini di Indonesia mengakibatkan perbedaan mata pencaharian dan aktivitas penduduk. Beberapa pengaruh iklim terhadap kebudayaan di Indonesia dapat berupa budaya berpakaian dan arsitektur rumah. Bentuk atap rumah yang menyerupai prisma segitiga, terjadi karena curah hujan Indonesia tinggi. Tujuan tindakan tersebut agar atap rumah tidak dapat menampung air hujan, sehingga mayoritas rumah adat di beberapa suku dan pemukiman indonesia berbentuk demikian. Perbedaan curah hujan dan kesuburan tanah juga merupakan kondisi yang menciptakan dua macam lingkungan ekologis yang berbeda. Perbedaan lingkungan ekologis menyebabkan terjadinya perbedaan antara wilayah tersebut. Hal tersebut dapat terlihat dari corak kerajaan kerajaan yang terbentuk di kepulauan Nusantara beberapa abad silam.

Page 41: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

35FILSAFAT MULTIKULTURALISME

Adanya kerajaan kerajaan yang berbeda lingkungan, budaya hingga agama dan kepercayaan menunjukan bahwa konsep multikultur dipengaruhi lingkungan pada mulanya sudah terbentuk di nusantara. Invasi kekuasaan kerajaan sriwijaya abad ketujuh dan majapahit abad ketiga belas telah mempersatukan suku bangsa di nusantara dalam kesatuan politis, ekonomis, dan sosial. Bahkan Persatuan wilayah maritim Indonesia yang menjadi dasar kemerdekaan Republik Indonesia terinspirasi dari kejayaan Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit dalam mempersatukan Nusantara (Pradhani, 2017). Lingkungan Kerajaan Majapahit dan Sriwijaya sendiri memiliki lingkungan kehidupan yang berbeda, sebagaimana diketahui Kerajaan majapahit terletak di dataran rendah pedalaman yang dikelilingi pegunungan, namun Kerajaan Sriwijaya berada di wilayah Pesisir.

Letak strategis Kepulauan Nusantara yang berada diantara Samudra Hindia dan Pasifik berdampak pada ramainya jalur pelayaran dunia saat itu. Kondisi tersebut memengaruhi proses akulturasi kebudayaan dengan agama. Perdagangan antara China, Arab, India, dan wilayah Asia Tenggara yang masuh ke nusantara menjadi salah satu faktor munculnya proses tersebut. Ditambah hadirnya kolonialisme dalam jangka panjang dari bangsa eropa dengan misi gospelnya membuat kompleks masyarakat multikultur di nusantara. Adanya perkawinan campuran antara pendatang dan pribumi menjadikan keberagaman ras yang ada di nusantara saat itu.

Geertz dalam Hardiman (2002) menyebutkan Indonesia ini sedemikian kompleksnya, sehingga sulit melukiskan anatominya secara persis. Indonesia bukan hanya berisi multietnis (Batak, Sunda, Jawa, Aceh, Minang, Bugis, Flores, dan seterusnya) namun juga merupakan arena pengaruh multimental (Arab, China, India, Belanda, Portugis, Islam, Kristen, Hindhuisme, Budhisme, Konfusianisme, Kapitalis, Komunisme dan seterusnya). Masuknya pengaruh asing menjadikan indonesia mengalami berbagai perubahan dalam aspek kemajemukan kebudayaan.

Kemajemukan suku dan budaya di nusantara dalam lingkup kolonialisme bangsa barat telah menimbulkan semangat kebersamaan karena adanya persamaan nasib dalam kondisi terjajah. Momentum tersebut pertama kali terbentuk dalam Sumpah Pemuda 1928. Hal ini sesuai dengan Har Tilaar (2014) bahwa dengan Sumpah Pemuda itu maka multikulturalisme Indonesia bukan hanya sekadar memenuhi kebutuhan untuk pengakuan (the need of recognition), namun legitimasi keragaman budaya atau pluralisme budaya hingga pluralisme lingkungan kehidupan. hal tersebut dapat terlihat dari perbedaan bahasa,

Page 42: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

36 BAB1

agama, kebiasaan hingga suku bangsa pada momentum tersebut.

Berdasarkan data Kompas (2018) terdapat 714 suku di Indonesia, namun pembagian kelompok suku saat ini hampir tidak mutlak dan jelas. Kondisi tersebut diakibatkan oleh perpindahan penduduk, transmigrasi, pencampuran budaya dan pengaruh dari luar. Sebagai konsekwensi logis dari adanya kemajuan teknologi transportasi, hambatan geografis hampir tidak berarti lagi. Kota-kota besar di Indonesia menjadi perwujudan kehidupan masyarakat multikultural yang kompleks. oleh karena itu kehidupan masyarakat majemuk di perkotaan harus mengakui kebhinnekaan budaya dari suku, ras agama dasar sebagai bagian dari kehidupan bermasyarakat.

Keberagaman dari kebudayaan suku-suku bangsa diperkotaan seyogyanya bukan merupakan pemisah tetapi merupakan unsur-unsur yang memupuk rasa kesatuan. Lestari (2015) mengartikan masyarakat multikultural merupakan given dari Tuhan, tetapi makna Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan pemersatu titipan dari nenek moyang kita yang harus di jaga dan dilestarikan. Untuk itu, masyarakat Indonesia sangat tepat dikelola dengan pendekatan nilai-nilai multikultural agar interaksi dan integrasi dapat berjalan dengan damai (Hanafi, 2015).

Page 43: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

37

Bab

2 PENDIDIKAN MULTIKULTUR

A. Hakikat Pendidikan Multikultur

Pendidikan multikultur belum menjadi sesuatu yang dapat dikatakan popular di Indonesia, paham tentang konsep pendidikan multikultur masih tergolong baru. Pendidikan multikultur merupakan bentuk proses pengembangan dari seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitasnya, sebagai konsekuensi adanya keberagaman budaya, etnis, suku, dan aliran (agama). Pendidikan multikultur menekankan sebuah filosofi pluralisme budaya ke dalam sistem pendidikan yang didasarkan pada prinsip-prinsip persamaan (equality), saling menghormati dan menerima serta memahami dan adanya komitmen moral untuk sebuah keadilan sosial.  James Banks (1994) dalam Mahfud menjelaskan, bahwa pendidikan multikultur memiliki beberapa dimensi yang saling berkaitan, yaitu:

• Pertama, mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk dapat membuat ilustrasi tentang konsep mendasar, generalisasi, dan aplikasi teori dalam mata pelajaran atau disiplin ilmu (Content Integration).

• Kedua, membawa siswa memahami implikasi budaya dalam sebuah mata pelajaran (the knowledge construction process).

• Ketiga, menyesuaikan metode pembelajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam, baik dari segi ras, budaya atau pun lingkungan sosialnya (an equity pedagogy).

Page 44: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

38 BAB2

• Keempat, yaitu mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka (prejudice reduction). Kemudian melatih sikap partisipatif serta interaksi dengan sesama siswa dan staff lembaga pendidikan yang berbeda ras serta etnis.

• Kelima, trainning participation in instructional. Adalah melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan olah raga, berinteraksi dengan seluruh staf dan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam rangka upaya menciptakan budaya akademik. Upaya tersebut dimaksudkan sebagai cara untuk menciptakan budaya akademik yang bersifat toleran serta inklusif.

Pendidikan multikultur merupakan bentuk pendidikan alternatif yang seharusnya dikembangkan dan dijadikan model pendidikan di Indonesia. Terdapat beberapa alasan terkait dengan pengembangan pendidikan multikultur sebagaimana diuraikan oleh Maslikhah (2007) yang terurai dalam urutan;

1. Adanya realitas bahwa Indonesa adalah negara yang dihuni oleh berbagai suku, bangsa, etnis agama, dengan bahasa yang beragam dan membawa budaya yang heterogen serta tradisi dan peradaban yang beraneka ragam.

2. Terdapat pluralitas yang secara inheren sudah ada sejak bangsa Indonesia ini terbentuk.

3. Masyarakat menentang pendidikan yang berorientasi bisnis, komersialisasi, dan kapitalis, yang mengutamakan golongan atau orang tertentu.

4. Program pendidikan multikultur memberikan harapan dalam mengatasi berbagai gejolak masyarakat yang terjadi akhir-akhir ini.

Pendapat lain dari Tilaar dalam Murniati (2015) tentang Pendidikan multikultur merupakan suatu upaya untuk meminimalisir terjadinya pergesekan atau ketegangan yang diakibatkan oleh berbagai perbedaan di dalam masyarakat. Menurut perspektif Tilaar, pendidikan multikultur berawal dari berkembangnya gagasan tentang “interkulturalisme” yang mencakup berbagai macam perspektif budaya yang berbeda. Jadi sangat relevanlah bagi sekolah di Indonesia untuk menerapkan Pendidikan Multikultur. Pendidikan Multikultur dapat melatih siswa untuk menghormati dan toleransi terhadap semua kebudayaan. Pendidikan Multikultur sebagai kesadaran merupakan suatu pendekatan yang didasarkan pada keyakinan bahwa budaya merupakan salah satu kekuatan yang dapat menjelaskan perilaku manusia. Budaya memiliki peranan yang sangat besar di dalam menentukan arah kerjasama maupun konflik antar sesama manusia.

Page 45: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

39PENDIDIKAN MULTIKULTUR

Lebih jauh Tilaar dalam Suryana (2015) menguraikan dimensi pendidikan multikultur yang terdiri dari atas:

a) Right to culture dan identitas budaya lokal, yaitu multikulturalisme yang didorong oleh adanya pengakuan terhadap hak asasi manusia. Karena adanya globalisasi, maka pengakuan tersebut lebih diarahkan pada pengakuan terhadap hak-hak yang lain, yaitu hak akan kebudayaan.

b) Kebudayaan Indonesia yang menjadi, yang bermakna adanya suatu pegangan dari setiap orang dan setiap identitas budaya mikro Indonesia.

c) Pendidikan multikultur yang normatif.d) Pendidikan multikultur yang merupakan rekonstruksi sosial, yaitu

suatu usaha untuk melihat kembali kehidupan sosial mayarakat yang mulai mengalami pergeseran. Pergeseran yang terjadi dalam kehidupan masyarakat lebih banyak ditimbulkan oleh adanya rasa kedaerahan dan identitas kesukuan yang berkembang, sehingga menumbuhkan rasa kelompok yang berlebihan.

e) Pendidikan multikultur di Indonesia memerlukan Pedagogik baru, yang tidak terkungkung oleh pedagogic tradisional. Proses pendidikan tidak terbatas hanya dalam ruangan kelas yang penuh dengan pendidikan intelektualistik, melainkan pendidikan yang harus didasarkan pada hati untuk mampu mengarahkan rasa persatuan bangsa Indonesia yang pluralistis.

f) Pendidikan Multikultur bertujuan untuk mewujudkan Visi Indonesia masa depan serta etika berbangsa sebagaimana tercantum dalam TAP/MPR RI tahun 2001 No. VI dan VII mengenai visi Indonesia masa depan kemudian dilengkapi dengan Undang Undang No. 20 Tahun 2003 yang di dalamnya mencantumkan upaya untuk kembali menghidupkan pendidikan budi pekerti beserta pendidikan agama pada tataran pendidikan dasar.

Secara rasional masyarakat di dunia ini terdiri dari masyarakat multikultur yang memiliki begitu banyak keberagaman. Tujuan pendidikan multikultur menurut Baidhawy (2009) ada dua, yakni tujuan awal dan tujuan akhir. Tujuan awal merupakan tujuan sementara karena tujuan ini hanya berfungsi sebagai perantara agar tujuan akhirnya tercapai dengan baik, atau dengan kata lain tujuan awal merupakan batu loncatan untuk menuju pada tujuan Inti. Bila dicermati, tujuan awal pendidikan multikultur adalah membangun wacana pendidikan, yang terhubung dengan pengambil  kebijakan dalam dunia pendidikan. Sebagaimana dikemukakan oleh Suprapto, harapan yang bisa dijangkau tentunya merupakan pendidikan multikultur yang baik, bermanfaat serta berkualitas.

Page 46: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

40 BAB2

Para pendidik diharapkan kelak mereka tidak hanya mampu untuk menjadi transformator pendidikan multikultur yang mampu menanamkan nilai-nilai pluralisme, humanisme dan demokrasi, tetapi dapat mengimplementasikan secara langsung nilai-nilai multikultur di sekolah kepada para peserta didiknya. Sedangkan tujuan akhir pendidikan multikultur adalah peserta didik tidak hanya mampu memahami dan  menguasai materi pelajaran yang dipelajarinya akan tetapi diharapkan juga bahwa para peserta didik akan mempunyai karakter yang kuat untuk selalu bersikap demokratis, pluralis dan humanis. Karena tiga hal tersebut adalah ruh pendidikan multikultur.

Menurut Clive Black dalam Sauqi (2010), tujuan pendidikan multikultur adalah:

1) Pengajaran untuk siswa dengan etnik tertentu tentang kebudayaan yang mereka miliki, termasuk di dalamnya pengajaran bahasa pusaka atau bahasa daerah lokalnya.

2) Pengajaran kepada semua siswa tentang keanekaragaman budaya tradisional, baik dalam dan luar negeri. Ketika pembelajaran dapat disampaikan dalam berbagai cara, sesuatu yang tidak biasanya terlewat adalah susunan secara sistematis dari isu utama tentang budaya dan etnisitas bangsa.

3) Mempromosikan penerimaan menunjukkan perbedaan atau keanekaragaman etnik dalam masyarakat.

4) Bahwa manusia dengan perbedaan agama, ras, suku kebangsaan memiliki kebebasan yang sama.

5) Menunjukkan penerimaan secara penuh dan ditanda dengan perlakukan yang sama yakni keseimbangan antara budaya subethnic dengan perbedaan agama, ras, suku kebangsaan.

6) Membantu siswa untuk menyesuaikan bentuk budaya, untuk dirinya sendiri dan untuk masyarakat.) Berdasar tujuan pendidikan multikultur tersebut, pendidikan multikultur berupaya mengajak warga pendidikan untuk menerima perbedaan yang ada pada sesama manusia sebagai hal-hal yang alamiah (natural sunnatullah). Selain itu, pendidikan multikultur menanamkan kesadaran kepada mahasiswa akan kesetaraan (equality), keadilan (justice), kemajemukan  (plurality), kebangsaan, ras,  suku, bahasa, tradisi, penghormatan agama, menghendaki terbangunnya tatanan kehidupan yang seimbang, harmoni, fungsional dan sistematik dan tidak menghendaki terjadinya proses diskriminasi, kemanusiaan (humanity), dan nilai-nilai demokrasi (democration values)yang diperlukan dalam beragam aktivitas sosial.

Page 47: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

41PENDIDIKAN MULTIKULTUR

Dikaitkan dengan adanya perspektif pendidikan multikultur, Nasikun (2005) mengemukakan bahwa pokok pemikiran rasional yang mendasar dalam hakikat pendidikan multikultur diidentifikasi menggunakan tiga tujuan yang terdiri dari tingkat:

a. Attitudinal, dengan terjadinya fungsi penyemaian dan pengembangan sensitifitas, toleransi serta penghormatan terhadap identitas kultural, serta berkembangnya sikap responsif terhadap kemungkinan adanya penolakan serta resolusi konflik.

b. Kognitif, yang menjelaskan bahwa pendidikan multikultur bertujuan untuk terlaksananya pencapaian kemampuan bidang akademis dalam pemahaman, analisis, serta interpretasi terhadap kemajemukan budaya, sehingga muncul kemampuan untuk membangun kesadaran kritis tentang kebudayaan sendiri.

c. Tujuan instruksional yang terfokus pada upaya untuk mengembangkan kemampuan koreksti terhadap adanya ketidakseimbangan, stereotipe, mis-informasi, menjalin komunikasi, serta mengevaluasi perkembangan kebudayaan.

B. Kebijakan Pendidikan Multikultur di IndonesiaKonflik antarbudaya dewasa ini disebabkan kurangnya

pemahaman dan penghargaan atas budaya lain, padahal, warisan budaya adalah tempat penyimpanan pengetahuan, sumber daya berharga bagi pertumbuhan ekonomi, ketenagakerjaan, kohesi sosial, pengidentifikasi nilai-nilai budaya dan kecerdasan emosional, sebagai preferensi individu dalam menangani konflik budaya yang sifatnya spesifik, dan sebagai mediator interaksi antara organisasi bantuan kemanusian dan masyarakat lokal. (Vecco & Srakar, 2018; Gunkel, Schlaegel, Taras, 2016; Rodon, Serrano, & Giménez, 2012). Maka salah satu usaha untuk menanggulangi konflik tersebut adalah dengan merekayasa pendidikan yang dapat menciptakan generasi-generasi baru yang tidak terkungkung oleh perspektif nasional, rasial, etnik dan teritorial. Kita harus mengganti cara-cara berpikir ini dengan pandangan-pandangan yang lebih sesuai dengan realitas-realitas dan tuntutan-tuntutan internasional (Mulyana & Rakhmat, 2009).

Seiring dengan perkembangan sosial budaya yang pesat dewasa ini, pendidikan multikultur menjadi bagian penting dalam menyikapi perbedaan suku, agama, ras, dan antargolongan dengan semangat toleransi dan prinsip egaliter. Dalam arti yang lebih luas, pendidikan multikultur merupakan model pendidikan yang memperlakukan seluruh siswa tanpa membeda-bedakan kelompok-kelompok seperti gender, etnis, ras, budaya, status sosial, dan agama (Mahfud: 2006; Violeta: 2011; Cirik: 2014).

Page 48: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

42 BAB2

Permasalahan kehidupan masyarakat yang multikultur dengan berbagai dimensinya menjadi sangat kompleks dalam dalam tataran teoretis maupun implementatif. Konstelasi antara masyarakat multikultur dengan pendidikan multikultur menjadi sangat relevan karena kompetensi budaya masyarakat, khususnya pemelajar, dapat meningkat secara signifikan ketika pengalaman-pengalaman budaya dilibatkan dalam pendidikan yang multikultural, di sisi lain, untuk menangani konflik antar budaya, para guru menggunakan ragam strategi. (Choi & Kim, 2018 dan Lu, 2018). Beberapa sekolah berbasis agama di daerah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi berupaya menerapkan model pendidikan multikultur sesuai dengan misi dan tujuan keagamaannya masing-masing.

Secara historis, sejak jatuhnya Presiden Soeharto dari kekuasaannya yang kemudian diikuti dengan masa yang disebut sebagai “era reformasi”, kebudayaan Indonesia cenderung mengalami disintegrasi. Dalam pandangan Azyumardi Azra, bahwa krisis moneter, ekonomi dan politik yang bermula sejak akhir 1997, pada gilirannya juga telah mengakibatkan terjadinya krisis sosio-kultural di dalam kehidupan bangsa dan negara. Jalinan tenun masyarakat (fabric of society) tercabik-cabik akibat berbagai krisis yang melanda masyarakat.

Krisis sosial budaya yang meluas itu dapat disaksikan dalam berbagai bentuk disorientasi dan dislokasi banyak kalangan masyarakat kita, misalnya: disintegrasi sosial-politik yang bersumber dari euforia kebebasan yang nyaris kebablasan; lenyapnya kesabaran sosial (social temper) dalam menghadapi realitas kehidupan yang semakin sulit sehingga mudah mengamuk dan melakukan berbagai tindakan kekerasan dan anarki; merosotnya penghargaan dan kepatuhan terhadap hukum, etika, moral, dan kesantunan sosial; semakin meluasnya penyebaran narkotika dan penyakit-penyakit sosial lainnya; berlanjutnya konflik dan kekerasan yang bersumber atau sedikitnya bernuansa politism, etnis dan agama seperti terjadi di Aceh, Kalimantan Barat dan Tengah, Maluku Sulawesi Tengah, dan Lain-lain. Disorientasi, dislokasi atau krisis sosial-budaya dikalangan masyarakat kita semakin merebak seiring dengan meningkatnya penetrasi dan ekspansi budaya Barat- Khususnya Amerika- sebagai akibat proses globalisasi yang terus tidak terbendung. Berbagai ekpresi sosial budaya yang sebenarnya “alien” (Asing), yang tidak memiliki basis dan preseden kulturalnya dalam masyarakat kita, semakin menyebar dalam masyarakat kita hingga memunculkan kecenderungan-kecenderungan “gaya hidup” baru yang tidak selalu sesuai dengan dan kondusif bagi kehidupan sosial budaya masyarakat dan bangsa (cf. Al-Roubaie 2002).

Page 49: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

43PENDIDIKAN MULTIKULTUR

Pengalaman Indonesia sejak masa awal kemerdekaan–khususnya pada masa Demokrasi Terpimpin Presiden Soekarno- dan masa Orde Baru di bawah Presiden Soeharto memperlihatkan kecenderungan kuat pada penerapan politik monokulturalisme. Secara restrospektif, politik mono-kulturalisme atau monokulturalitas yang dilaksanakan pemerintahan Orde Baru atas nama stabilitas untuk developmentalism telah menghancurkan local cultural geniuses, seperti tradisi “pela gandong” di Ambon, “republik nagari” di Sumatra Barat dan lain-lain.

Untuk menciptakan tatanan masyarakat Indonesia yang multikultural tentu tidak mudah. Paling tidak, dibutuhkan beberapa konsep yang mendukung demi terwujudnya tatanan multikultural yang betul-betul berpijak pada konsep yang kuat dan tidak mudah goyah oleh kondisi lingkungan. Menarik dikemukakan disini tulisan wahyu, dosen Sosiologi Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, tentang masyarakat Indonesia yang multikultur , bahwa sebenarnya kita saat ini baru saja keluar dari kepungan pemerintahan Orde Baru. Kita hendak meninggalkan sepenuhnya seluruh kebudayaan politik Orde Baru yang bercorak otoriterisme, nepotisme dan korupsi. Untuk membangun Indonesia Baru, harus dilakukan dengan cara membangun kembali tatanan yang dibangun oleh rezim Orba yang rapuh.

Sebagai bagian dari masyarakat multikultur, kita tidak hanya dituntut untuk menghormati keberagaman yang ada, namun diharapkan juga dapat mengambil nilai-nilai positif dari setiap budaya, sistem nilai, dan berbagai keyakinan religius tersebut. Ambil contoh saat menyaksikan tari Seudati yang berasal dari suku bangsa Aceh, atau kesenian barongsai dari suku bangsa Tionghoa. Apresiasi orang yang bukan berasal dari dua kebudayaan tersebut tak terbatas hanya pada rasa kagum akan keindahan atau nilai artistik dari gerak-gerik seniman ataupun kostum yang mereka kenakan saja. Ada juga nilai lain yang bisa dipetik dari penikmat kedua tarian tersebut, yaitu fakta bahwa kedua tarian itu tidak akan bisa ditampilkan dengan indah jika tidak ada kerjasama dan kerja keras dari para penarinya!

Ilustrasi di atas dapat diperpanjang lagi. Lalu bagaimana dengan nilai religius dari masing-masing agama? Dapatkah konsep Penyerbukan Silang Antarbudaya (Cross Cultural Fertilization), diterapkan bagi para penganut agama yang berbeda untuk membangun solidaritas dan soliditas religius yang pluralistik? Tak bisa dipungkiri bahwa realita kebinekaan lndonesia yang terancam bahaya disintegrasi, radikalisme dan ekstrimisme, kini bukan sekadar sebuah ilusi.

Dewasa ini kita tengah menghadapi kecenderungan repolitisasi

Page 50: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

44 BAB2

agama yang dilakukan oleh sejumlah ormas agama, yang oleh Ulil Abshar Abdalla, disebut secara longgar sebagai identity based civil society, yaitu civil society yang berbasis identitas, menekankan pada suatu identitas yang sifatnya partikular. Berhadapan dengan kelompok ini adalah apa yang disebutnya sebagai interest based civil society, atau masyarakat yang basis sosialnya adalah kepentingan (Abdalla, 2003). Namun Ulil tidak anti terhadap kelompok sipil berbasis identitas, sejauh identitas itu dipertahankan sebagai identitas yang ditafsirkan dalam satu frame work atau kerangka nilai tertentu. Kata kuncinya adalah menggunakan identitas itu dalam kerangka merebut tafsir yang berkembang di masyarakat. Masalahnya, kelompok sipil berbasis identitas agama tak selamanya mengembangkan tafsir yang inklusif, akibatnya mereka intoleran dalam kehidupan antar pemeluk agama. Mereka menggunakan ketakutan mereka untuk mendiskriminasi yang minoritas. Padahal, sejak dulu Indonesia sejatinya sudah pluralitas.

Tentu saja, konsep penyilangan Antarbudaya, mensyaratkan adanya sifat inklusif bagi setiap urnat beragama, bukan sifat eksklusif yang menutup pintu dialog, bahkan menampik adanya sistem nilai religiusitas dari tiap agama yang ada. Dengan menganut sifat inklusif, maka realitas keberagaman agama dengan sistem nilainya yang ada, dapat dijadikan sumber untuk meningkatkan kesadaran berbangsa.

Banyak ajaran dari setiap agama yang dapat dijadikan upaya untuk memperkuat rasa kesatuan di antara umat yang berbeda yang berdasarkan nilai-nilai toleransi. Misalnya ajaran berpuasa dalam agama Islam. Bagi umat agama lain, mereka dapat belajar dari makna ibadah puasa, yang menurut penulis, mengajarkan arti penting untuk bersolidaritas terhadap sesama anak bangsa yang masih hidup dalam kekurangan (menahan rasa lapar dan haus). Mengajarkan orang untuk bersikap sabar, atau tidak mendahulukan emosi. Shalat lima waktu dalam Islam juga mengajarkan agar kira disiplin dan selalu ingat akan kekuasaan lain di luar kekuasaan manusia: Tuhan! Umat Buddha juga sebagian besar adalah penganut vegetarian. Apa makna yang dapat dipelajari dari hal tersebut oleh umat lain? Tentu saja mengajarkan agar umat manusia menghormati hak hidup makhluk lain/binatang, sekaligus juga mengajarkan pola hidup sehat dengan mengonsumsi sayuran. Demikian juga umat Kristen Katolik, yang pada setiap perayaan Natal, mereka selalu berbagi dengan sesama yang menderita. Itu mengajarkan agar seriap anak bangsa mau berbagi terhadap mereka yang berkekurangan.

Dengan kata lain, kekayaan budaya dan agama dari seriap anak bangsa, harus diperlakukan ibarat sebuah taman bunga. Taman

Page 51: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

45PENDIDIKAN MULTIKULTUR

bunga akan indah dipandang mata dan menjadi sumber penyeiuk jika ditumbuhi aneka tanaman bunga. Tapi kalau aneka tanaman bunga itu hendak dicabuti satu per satu, agar tinggal satu tanaman bunga saja, maka jelas taman bunga itu tak lagi elok dipandang mata.

Di dalam menghadapi masa depan yang penuh dengan pergumulan untuk membangun satu bangsa Indonesia yang besar dan berjaya, diperlukan suatu visi masa depan sebagai penuntun masyarakat kita di dalam perkembangannya. Visi masa depan Indonesia memasuki abad 21 sebenarnya telah ditetapkan oleh MPR di dalam TAP MPR No 7 tahun 2001. Dalam visi Indonesia masa depan dapat kita lihat dua tujuan yaitu membangun masyarakat yang demokratis dan membangun manusia lndonesia yang cerdas bermoral. Membangun masyarakat yang demokratis bagi Indonesia merupakan suatu tugas yang tidak ringan. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang pluralis dan multikultural. Membangun masyarakat yang demikian menuntut suatu pandangan baru mengenai nasionalisme Indonesia.

Nasionalisme Indonesia yang dilahirkan sejak kebangkitan nasional yang pertama telah mengalami perubahan-perubahan di dalam era kebangkitan nasional yang kedua. Selanjutnya dalam era reformasi, meminta suatu rumusan baru mengenai nasionalisme Indonesia di dalam membangun suatu nation state yang multikultural. Pandangan baru atau rumusan kembali mengenai nasionalisme Indonesia juga perlu didukung oleh warga negara Indonesia yang cerdas dan bermoral Suatu masyarakat yang pluralistis dan multikultural tidak mungkin dibangun tanpa adanya manusia yang cerdas dan bermoral. Pertanyaan yang muncul kepada kita ialah bagaimana membangun manusia Indonesia yang cerdas’ dan bermoral di dalam masyarakat yang demokratis. Tugas ini hanya dapat dibangun melalui perubahan sikap dari setiap insan Indonesia. Perubahan sikap merupakan hasil dari suatu pembinaan yaitu melalui proses pendidikan yang berdasarkan kepada azas-azas demokrasi dan multikultural.

Membangun suatu masyarakat demokratis yang multikultural tentunya meminta sistem pendidikan nasional yang dapat membangun masyarakat yang demikian. Apakah sistem pendidikan nasional kita telah mengacu untuk mencapai tujuan tersebut? Dewasa ini telah banyak upaya yang telah dirumuskan dan mulai dicobakan untuk mewujudkan cita-cita nasional tersebut. Perwujudan cita-cita tersebut yang telah didukung oleh pengakuan terhadap eksistensi masyarakat dan bangsa Indonesia yang pluralistis serta pengakuan terhadap otonomi daerah, merupakan pengalaman baru yang perlu dicermati dan disempurnakan secara terus menerus. Sistem pendidikan nasional

Page 52: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

46 BAB2

yang baru dicanangkan di dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 perlu kita kaji di dalam merumuskan kebijakan pelaksanaannya agar supaya cita-cita untuk mewujudkan visi Indonesia masa depan dapat terlaksana secara bertahap.

Pendidikan multikultur telah merupakan suatu tuntutan yang tidak dapat ditawar-tawar di dalam membangun Indonesia baru. Pendidikan multikultur memerlukan kajian yang mendalam mengenai konsep dan praksis pelaksanaanya. Kita belum mempunyai pengalaman yang memadai dalam pendidikan multikultur. Oleh sebab itu perlu kita kaji dari berbagai segi apakah sebenarnya pendidikan multikultur itu, filsafatnya, metodologinya, isinya, dan tantangan-tantangan dalam pelaksanaanya. Banyak negara telah lama melaksanakan pendidikan multikultur. Ada baiknya apabila kita menimba dari pengalaman negara-negara tersebut dalam melaksanakan Pendidikan multikultur di dalam masyarakat yang pluralistis serta dunia terbuka di dalam era globalisasi dewasa ini.

C. Strategi Implementasi Pendidikan MultikulturAlternatif yang dikembangkan dalam program pendidikan

multikultur pada lembaga pendidikan dengan penerapan strategi dan konsep pendidikan yang memanfaatkan keragaman dalam masyarakat, khususnya yang ada pada siswa seperti keragaman etnis, budaya, bahasa, agama, status sosial, gender, kemampuan, umur, dan ras. Penerapan pendidikan multikultur sangat penting untuk meminimalisasi dan mencegah terjadinya konflik sosial dalam masyarakat di beberapa daerah. Melalui pendidikan berbasis multikultural, sikap dan pemikiran siswa akan lebih terbuka untuk memahami dan menghargai keberagaman.

Untuk membangun kesadaran multikultural, pendidikan dapat dikatakan merupakan wahana yang paling tepat untuk dijadikan tempat persemaian pemikiran multikulturalisme. Dalam tataran ideal, pendidikan memiliki peran sebagai mediator untuk terciptanya dasar-dasar kehidupan multikultural yang terbebas dari diterimanya unsur-unsur baru kepemimpinan yang berpengaruh dalam pemerintahan negara (Kooptasi). Hal itu dapat berlangsung apabila ada perubahan paradigma dalam pendidikan, yakni dimulai dari penyeragaman menuju identitas tunggal. Sekolah merupakan lembaga yang tepat untuk membumikan pendidikan multikultur ditengah-tengah kekhawatiran akan bahaya disintegrasi bangsa. Seorang guru tidak hanya dituntut untuk menguasai dan mampu secara profesional mengajarkan mata pelajaran yang diajarkan. Lebih dari itu, seorang pendidik juga harus mampu menanamkan nilai-nilai inti dari pendidikan multikultur

Page 53: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

47PENDIDIKAN MULTIKULTUR

seperti demokrasi, humanisme, dan pluralisme atau menanamkan nilai-nilai keberagamaan yang inklusif pada siswa.

Melalui mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang dilaksanakan di sekolah, implementasi pendidikan multikultur dicerminkan dengan kesesuaiannya dengan ruang lingkup mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang diantaranya meliputi aspek persatuan bangsa ,hidup rukun dalam perbedaan, hidup gotong royong, kebebasan berorganisasi, kemerdekaan mengeluarkan pendapat, dan menghargai keputusan bersama. Implementasi juga didukung dengan tujuan pembelajaran yang salah satunya adalah berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya secara berdampingan.

Para anak didik diajak untuk memahami secara seksama ragam budaya daerah di berbagai wilayah Indoneia. Berbagaai strategi diupayakan untuk mengimplementasikan pemahaman multikultur terhadap siswa pada level SMA. Alat-alat komunikasi modern dengan fasilitas multi media memberikan peluang yang luas bagi para siswa untuk mengeksplorasi sumber informasi tentang berbagai ragam budaya daerah di Indonesia dan mengambil substansi nilai-nilai budayanya untuk diolah menjadi naskah drama dan dibuat videonya guna dipaparkan dalam layar untuk ditonton bersama dan kemudian menjadi bahan diskusi para siswa. Guru Bahasa Indonesia telah menempuh strategi pembelajaran yang demokratis dan menyenangkan.

Beberapa metode pembelajaran yang diambil adalah ceramah interaktif, pembelajaran aktif, pembelajaran kolaboratif, diskusi kelompok, dan bermain peran. Metode pembelajaran seperti ini sangat relevan dengan materi ajar yang sarat dengan nilai keragaman, nilai perdamaian dan nilai demokrasi. Keberagaman metode pembelajaran yang digunakan akan memberi peluang bagi siswa yang memiliki pembawaan kuat dalam aspek pendengaran atau auditory, kuat dalam aspek penglihatan atau visual, dan kuat dalam aspek gerak atau kinestethic.

Pemahaman tentang multikulturalisme juga ditanamkan kepada para siswa melalui pendidikan agama. Ada suatu kenyataan sosial bahwa manusia di muka bumi ini terdiri dari berbagai bangsa, suku, memiliki bahasa dan kebudayaan yang berbeda-beda. Keberagaman sosial tersebut bukan hanya dalam aspek bahasa, adat istiadat, identitas kesukuan dan kebangsaan namun juga tentang realitas keberagaman dalam hal agama.

Beragamnya agama dan kepercayaan di dunia harus diterima

Page 54: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

48 BAB2

sebagai sesuatu yang bersifat ‘alamiah’ dan kewajaran. Pluralitas atau kemajemukan sosial budaya umat manusia di bebagai penjuru dunia termasuk Indonesia merupakan bagian dari sunatullah. Realitas umat manusia yang plural harus diterima karena memang sudah dikehendaki oleh Allah. Adanya beberapa hari raya keagamaan yang oleh pemerintah ditetapkan sebagai hari libur nasional merupakan konsekuensi penghormatan pemerintah dan bangsa Indonesia terhadap eksistensi agama-agama yang secara resmi diakui oleh pemerintah. Keberagaman agama dan pola perilaku umat pemeluk agama-agama itu membentuk mozaik ekspresi tradisi keagamaan di Indonesia yang sebagian bersifat khas karena bertautan dengan kebudayaan lokal yang ada di berbagai daerah.

Terkait dengan strategi pendidikan multikultur, Mahfud (2006) menjelaskan bahwa pendidikan multikultur memiliki ciri- ciri yang secara umum dapat diketahui dari tujuannya, yaitu membentuk manusia budaya serta menciptakan masyarakat yang berbudaya atau lebih mengarah pada makna berperadaban. Materi pada pendidikan multikultur menanamkan sifat kemanusiaan, nilai-nilai kebangsaan, serta nilai-nilai yang berasal dari adanya kelompok etnis ebagai dasar nilai kultural. Metode yang digunakan sebagai pengembangan pembelajaran bersifat demokratis dengan menghargai aspek-aspek perbedaan dan keberagaman budaya bangsa atau kelompok-kelompok etnis yang ada di dalam masyarakat. Kegiatan evaluasi yang dilaksanakan berdasarkan pada penilaian sikap social yang meliputi persepsi, apresiasi, dan tindakan individu maupun masyarakat terhadap budaya lain yang berbeda.

Strategi-strategi yang telah diuraikan sebelumnya dapat diterapkan di sekolah dalam wujud pendidikan multikultur, penyesuaian situasi dan kondisi serta tujuan yang ingin dicapai sekolah. Tujuan pendidikan multikultur dalam kerangka fokus pada pelestarian budaya, sehingga peserta didik di sekolah dan di luar sekolah, baik dalam keluarga maupun masyarakat dapat membentuk dan mengembangkan kehidupan yang harmonis.

Agus Munadlir (2016), menjelaskan bahwa Strategi Sekolah dalam Pendidikan ´multikultural sebagai satu kekuatan dan mengembangkan kehidupan masyarakat yang damai, aman dan tenteram. Tahapan dalam pengembangan strategi sekolah dapat dilakukan dengan beberapa kegiatan belajar mengajar yang berbasis multikultural dapat menerapkan beberapa cara antara lain:

(1) Strategi kegiatan belajar bersama (cooperative learning)

Page 55: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

49PENDIDIKAN MULTIKULTUR

maksudnya kegiatan belajar mengajar yang memperhatikan adanya perubahan kemampuan siswa dalam belajar bersama-sama guna mensosialisasikan nilai-nilai dan konsep budaya daerah dalam kelompok belajar secara bersama-sama dengan memperhatikan latar belakang perbedaan yang ada.

(2) Strategi pencapaian konsep (concept attainment) yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar guna memfasilitasi peserta didik dalam melaksanakan kegiatan studi budaya lokal dari daerah dalam kelompok belajarnya,

(3) Strategi analisis nilai (value analysis) bertujuan untuk melatih kemampuan peserta didik mengembangkan berpikir secara konstruktif dari ranah ekspresi dan komitmen nilai-nilai budaya lokal menuju kerangka dan struktur bangunan tentang cara pandang yang lebih luas dalam lingkup nasional atas dasar sikap kebangsaan,

(4) Strategi analisis sosial (social analysis) bertujuan untuk memberikan informasi tenang fenomena-fenomena dalam kehidupan masyarakat yang memiliki beragam budaya, etnik, agama, adat istiadat, sehingga siswa dapat menganalisis berbagai latar belakang tersebut dalam membangun dan mengembangkan pemahaman dan kesadaran tentang perbedaan kultural dalam masyarakat, sehingga dapat muncul respon positif, yakni sikap menghargai, menghormati beragam budaya dalam kerangka kehidupan berbangsa, bernegara dan era globalisasi.

Strategi pembelajaran yang dilakukan oleh guru dengan ketersediaan fasilitas oleh pihak sekolah, para peserta didik dapat mengembangkan persepsi, wawasan dan pemahaman yang mendalam tentang adanya keragaman dalam kenyataan kehidupan sosial. Siswa yang belajar di sekolah dapat memiliki pengalaman nyata untuk melibatkan diri dan mempraktekkan nilai pendidikan multikultur dalam kehidupan sehari-hari. Pemahaman terhadap sikap dan perilaku toleran, simpati, empati dan saling menghormati terhadap sesama dapat tumbuh pada diri masing-masing siswa.

Dikemukakan oleh Elashmawi dan Harris (1994) bahwa, ada enam (6) kompetensi multikultural yang harus dimiliki serta dikembangkan oleh guru, yakni:

1) Memiliki tingkat nilai dan hubungan sosial yang luas,2) Bersifat terbuka dan fleksibel dalam mengelola keragaman

peserta didik,3) Sikap menerima perbedaan disiplin ilmu, latar belakang ras dan

gender, 4) Memfasilitasi siswa yang minoritas,

Page 56: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

50 BAB2

5) Mau berkolaborasi dan berkoalisi dengan paihak manapun, 6) Berorientasi pada program dan masa depan.

Uraian tersebut tentang kompetensi multikultural yang dimiliki oleh guru dapat dijelaskan bahwa, pendidikan multikultur memiliki relevansi dengan konteks Indonesia. kelompok yang berbeda suku, bahasa, budaya dan agama dapat bersatu dan bekerja sama dalam membangun bangsa dan negara Indonesia yang kuat. Konsep pendidikan multikultur mendapat tempat dalam sistem pendidikan nasional. Proses tujuan pendidikan multikultur yang berdasarkan keadilan sosial, persamaan, demokrasi, toleransi dan penghormatan hak asasi manusia tidak mudah tercapai, namun memerlukan aktivitas yang panjang dan berkesinambungan serta perlu pembudayaan pada segenap sektor kehidupan masyarakat, terutama sekolah yang mempersiapkan generasi muda untuk memahami, mengembangkan sikap dan tindakan sesuai dengan tujuan pendidikan multikultur. Perbedaan latar belakang multikultural yang dimiliki bangsa Indonesia bukan untuk dijadikan ajang pemecah persatuan dan kesatuan bangsa, namun untuk dapat dijadikan usaha-usaha mengembangkan rasa persatuan bangsa Indonesia yang kokoh berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Dalam konteks sosiologis masyarakat Indonesia, pluralisme tidak hanya dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, dengan berbagai keragaman. Harus ada pemikiran dan persepsi yang menjelaskan jangan sampai ada kesan fragmentatif atau terpecah-pecah dari konsep pluralisme yang ada. Perlu diingat bahwa, pluralisme juga sebaiknya dipahami sampai ke taraf membangun multikulturalisme secara hakiki. Secara konstitusional negara Indonesia dibangun untuk mewujudkan dan mengembangkan bangsa yang religius, humanis, bersatu dalam kebhinekaan, demokratis dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Semua keberagaman dapat menjadikan Indonesia sebagai sebuah negara yang mampu mengakomodasi kemajemukan yang ada menjadi modal dasar dalam menjaga keutuhan, ketangguhan, ketahanan untuk dapat menghindari ancaman disintegrasi dan perpecahan guna mengembangkan semangat persatuan.

Banks dalam Suryana (2015) menjelaskan bahwa Pendidikan muktikultural sebaiknya menggunakan beberapa pendekatan yang kemudian diintegrasikan dalam materi pendidikan multikultur yang diterapkan melalui pembelajaran di sekolah, sebagaimana selama ini diberlakukan di Indonesia. Pendekatan yang dimaksudkan oleh Banks adalah:

Page 57: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

51PENDIDIKAN MULTIKULTUR

a. Pendekatan kontribusi. Tahap ini yang terbanyak dilakukan dalam kegiatan pembelajaran dengan memasukkan tokoh-tokoh / pahlawan suku, benda-benda hasil budaya, serta situs-situs berharga ke dalam pelajaran yang sesuai. Di Indonesia diterapkan dalam pelajaran IPS, PPKN, dan Seni Budaya pada pendidikan dasar dan menengah.

b. Pendekatan Aditif, tahap ini diberikan penambahan materi, konsep, dan tema perspektif terhadap kurikulum tanpa adanya perubahan struktur, tujuan serta karakteristik dasarnya. Secara umum substansi kurikulum utama tidak mengalami pengaruh sehingga terjadi perubahan.

c. Pendekatan Transformasi mengubah pola asumsi dasar kurikulum serta menumbuhkan kompetensi dasar siswa dalam melihat konsep, isu, tema serta permasalahan dari berbagai sudut pandang dan perpektif etnis. Dengan demikian siswa dapat melihat dari perspektif lain di luar lingkungan masyarakatnya.

d. Pendekatan aksi sosial, meliputi semua elemen dari pendekatan transformasi, tetapi menambah komponen yang mempersyaratkan siswa membentuk kegiatan aksi yang berkaitan dengan konsep, isu, atau masalah yang dipelajari dalam unit

Budaya lokal untuk menemukan konsep budaya apa yang dianggap menarik bagi dirinya dari budaya daerah masing-masing, dan selanjutnya menggali nilai-nilai yang terkandung dalam budaya daerah asal tersebut. Untuk lebih jelasnya berikut ini strategi pembelajaran yang bisa diterapkan pada pembelajaran berbasis multikultur dan budaya sebagaimana dikemukakan oleh Munadir (2003) terdiri dari:

a. Strategi Cooperative Learning, digunakan untuk menandai adanya perkembangan kemampuan siswa dalam belajar bersama-sama mensosialisasikan konsep dan nilai budaya lokal dari daerahnya dalam komunitas belajar bersama teman. Dari kemampuan ini, siswa memiliki keterampilan mengembangkan kecakapan hidup dalam menghormati budaya lain, toleransi terhadap perbedaan, akomodatif, terbuka dan jujur dalam berinteraksi dengan teman (orang lain) yang berbeda suku, agama etnis dan budayanya, memiliki empati yang tinggi terhadap perbedaan budaya lain, dan mampu mengelola konflik dengan tanpa kekerasan (conflict non violent).

b. Strategi analisis nilai, cara ini difokuskan untuk memberikan pelatihan terhadap kemampuan siswa berpikir secara induktif, dari setting ekspresi dan komitmen nilai-nilai budaya lokal (cara pandang lokal) menuju kerangka dan bangunan tata pikir atau cara

Page 58: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

52 BAB2

pandang yang lebih luas dalam lingkup nasional (cara pandang kebangsaan). Dengan kesadaran diri siswa terhadap nilai-nilai lokal, siswa di samping memiliki ketegaran dan ketangguhan secara pribadi, juga mampu melakukan Dalam pengembangan selanjutnya pilihan strategi pembelajaran yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran multikultur di dalam kelas, antara lain: strategi kegiatan belajar bersama-sama (Cooperative Learning), yang dipadukan dengan strategi pencapaian konsep (Concept Attainment) dan strategi analisis nilai (Value Analysis), strategi analisis sosial (Social Investigation). Beberapa pilihan strategi ini dilaksanakan secara simultan, dan harus tergambar dalam langkah-langkah model pembelajaran multikultur. Masing-masing strategi pembelajaran secara fungsional memiliki tekanan yang berbeda. Strategi Pencapaian Konsep, digunakan untuk memfasilitasi siswa dalam melakukan kegiatan eksplorasi pilihan-pilihan rasional (rational choice) ketika berhadapan dengan isu-isu lokal, nasional dan global.

c. Strategi Think Pairs to Share (TPS) merupakan salah satu pembelajaran kooperatif yang menekankan adanya proses berpikir (thinking), berkelompok dan berpasangan (pairing) dan berbagi (sharing). Strategi TPS memiliki beberapa kelebihan diantaranya memungkinkan dibentuk kelompok siswa yang heterogen, memberi kesempatan saling mengajar, saling mendukung, serta dapat membangun relasi/interaksi antara ras, etnik dan gender, serta sikap sosial, seperti gotong-royong, kepemimpinan, berkomunikasi dan mempercayai orang lain.

Page 59: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

53

Bab

3 IMPLEMENTASI PENDIDIKAN MULTIKULTUR

SMA BERBASIS AGAMA DI DKI JAKARTA

A. Model Pendidikan Multikultur SMA Muhammadiyah 11 Rawamangun Jakarta Timur

Wacana tentang pendidikan multikultur sebagian besar sudah diketahui oleh Kepala Sekolah SMA berbasis agama di Jakarta, Depok, Tangerang, dan Bekasi yang menjadi tempat penelitian. Manfaat pendidikan multikultur sangat dirasakan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, Manfaat ini dapat ditanamkan pada generasi penerus melalui lembaga pendidikan. Namun mengingat berbagai pertimbangan, terutama sudah sangat saratnya muatan kurikulum baik jenjang pendidikan dasar maupun menengah, maka materi pendidikan multikultur hanya dapat diberikan pada beberapa muatan materi kuliah tertentu di perguruan tinggi.

Gambar 3.A.1 kegiatan berbasis multikultur di SMA Muhammadiyah 11 Rawamangun

Page 60: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

54 BAB 3

Pada jenjang SMA, pembelajaran berbasis multikultur pada prinsipnya dapat diterapkan pada mata pelajaran ilmu-ilmu sosial yang memiliki objek formal manusia dan masyarakat sebagai kajiannya. Ketika diimplementasikan pada objek materialnya pada disiplin ilmu Sejarah, Sosiologi, Ekonomi, PPkn, Seni Budaya, dan Antropologi, maka masing-masing memiliki paradigma tersendiri. Namun pada hakikatnya masing-masing mata pelajaran dalam mejadi kajian utama dengan diintegrasikan dengan mata-mata pelajaran lain dengan menggunakan pendekatan multidisiplin.

Dalam proses pembelajaran, pendidikan multikultur dapat diterapkan melalui seperangkat kebijakan, baik berupa regulasi maupun melalui implementasi langsung di sekolah. Sekolah Menengah Atas berbasis agama yang menjadi sampel di Jakarta, Depok, Tangerang, dan Bekasi, tidak memberikan perlakukan yang berbeda kepada semua siswa dalam kegiatan pembelajaran. Setiap siswa mendapatkan hak dan kewajiban yang sama dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Secara khusus, perasaan minoritas muncul jika dilihat jadi jumlah individu yang berasal dari suku bangsa tertentu.

Berdasarkan data, seluruh siswa SMA Muhammadiyah 11 Rawamangun beragama Islam. Sebagaimana sekolah SMA lain yang berbasis agama Islam, sulit mendapatkan data siswa dari agama nonislam yang bersekolah di sekolah berbasis Islam. Meskipun pihak pimpinan yayasan dan sekolah memiliki kebijakan yang sudah membuka kesempatan kepada siswa dari pemeluk agama apa pun. Apalagi SMA Muhammadiyah 11 Rawamangun pernah mengikuti program pertukaran pelajar yang diselenggarakan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2005. Saat itu siswa SMA Muhammadiyah bertukar dengan pelajar Amerika Serikat. Hal ini mengindikasikan bahwa SMA Muhammadiyah merupakan sekolah terbuka bagi siswa dari berbagai agama dan suku bangsa.

Jumlah keseluruhan siswa SMA Muhammadiyah 11 Rawaman-gun dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1Distribusi Jumlah Murid SMA Muhammadiyah 11 Rawamangun

Tahun Ajaran 2017/2018

No KelasKatolik Kristen Islam Budha Hindu Jumlah

TotalL P L P L P L P L P

1 X 0 0 0 0 44 41 0 0 0 0 85

Page 61: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

55IMPLEMENTASI PENDIDIKAN MULTIKULTUR SMA BERBASIS AGAMA DI DKI JAKARTA

2 XI 0 0 0 0 60 55 0 0 0 0 115

3 XII 0 0 0 0 66 61 0 0 0 0 127

Keberagaman siswa SMA Muhammadiyah 11 dapat ditelusuri dengan melihat latar belakang status sosial ekonomi dan asal suku bangsanya. Mayoritas siswa SMA Muhammadiyah 11 Rawamangun berasal dari latar belakang keluarga yang berasal dari status sosial ekonomi menengah ke atas. Mayoritas siswa berasal dari keluarga mampu inilah yang dapat mendukung pihak yayasan untuk dapat mengembangkan berbagai kebijakan dalam bidang pendidikan dan kesejahteraan siswa.

SMA Muhammadiyah 11 yang merupakan amal usaha Muhammadiyah PCM Rawamangun ini, membuat para pengelola dan pengurusnya mempunyai kekeluasaan untuk memberikan kesejahteraan berupa subsidi kepada siswa-siswa yang cerdas, tetapi mengalami kendala dalam hal keuangan. Bahkan subsidi yang diberikan pernah dalam bentuk gratis biaya sekolah. Siswa dapat dibebaskan dari biaya sekolah dengan persyaratan tertentu di antaranya melalui suvei lokasi dan wawancara oleh Panti SMA Muhammadiyah 11 Rawamangun kepada orang tua siswa. Hal tersebut menunjukkan adanya kebersamaan dan menghargai keberbedaan

Latar belakang suku bangsa siswa SMA Muhammadiyah 11 Rawamangun sebagian besar berasal dari suku Jawa, Sunda, Betawi, Padang, Batak, Makasar, Palembang, Ambon, Kalimantan, dan Nias. Bahkan sebagian kecil ada siswa yang berasal dari keturunan Arab dan Yaman yang sudah menjadi warga negara Indonesia. Keberagaman asal suku bangsa tidak menyebabkan eksklusivisme kelompok antara mayoritas dan mayoritas. Semua siswa bersatu dalam proses pembelajaran di dalam, di luar atau pun kegiatan ekstrakurikuler,

Page 62: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

56 BAB 3

mengingat secara prinsip Islam tidak membicarakan perbedaan suku bangsa.

Gambar 3.A.2 kegiatan berbasis multikultur di SMA Muhammadiyah 11 Rawamangun

Kepala Sekolah sangat memahami wacana pendidikan multikultur, dalam beberapa kesempatan diundang oleh Suku Dinas Pendidikan Jakarta Timur untuk berdialog terkait pendidikan multikultur. Wacana tentang toleransi antaragama juga sering didiskusikan pada pertemuan Musyawarah Kelompok Kepala Sekolah (MKKS) baik sekolah negeri maupun swasta. Diskursus melalui pertemuan-pertemuan ini kemudian diimplementasikan oleh Kepala Sekolah di sekolah masing-masing.

Dalam proses pembelajaran, pendidikan multikultur dapat diterapkan melalui seperangkat kebijakan, baik regulasi maupun tindakan nyata. Sekolah tidak memberikan perlakukan yang berbeda kepada semua siswa dalam kegiatan pembelajaran. Setiap siswa mendapatkan hak dan kewajiban yang sama dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Secara khusus, perasaan minoritas muncul jika dilihat jadi jumlah individu yang berasal dari suku bangsa tertentu. Menurut penuturan Guru Sejarah dan salah satu informan siswa mengemukakan bahwa siswa merasa menjadi minoritas karena jumlah mereka merasa tidak banyak, mereka asli dari daerah, yaitu Kalimantan dan Papua.

Implementasi pendidikan multikultur dapat diintegrasikan melalui mata pelajaran. Beberapa mata pelajaran dapat disisispi materi

Page 63: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

57IMPLEMENTASI PENDIDIKAN MULTIKULTUR SMA BERBASIS AGAMA DI DKI JAKARTA

pendidikan multikultur, seperti Sejarah, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Sosiologi, Geografi, dan Bahasa Indonesia. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh guru Sejarah:

“Pendidikan multikutur dapat diterapkan di sekolah dengan baik dalam proses pembelajaran. Kami memperlakukan semua siswa sesuai dengan hak dan kewajiban yang sama, bukan berdasarkan agama dan suku yang mayoritas.”1

Terkait dengan penanganan berbagai permasalahan dalam proses pembelajaran, sekolah menyiapkan program klinik pembelajaran. Kasus-kasus yang terjadi dalam proses pembelajaran, pada umumnya hanyalah masalah-masalah kesulitan siswa dalam mencapai nilai sesuai dengan Kriteria Ketuntasan Minimal. Tidak ada satu pun kasus terjadi yang disebabkan karena latar belakang perbedaan suku.

Penerapan pendidikan multikultur secara implisit pada beberapa mata pelajaran didukung dengan pembiasaan yang dilakukan pimpinan sekolah dan para guru. Pembiasaan ini dapat dimulai pada saat upacara, Kepala Sekolah memberikan arahan tentang berbagai hal yang mengandung unsur-unsur pendidikan dan kebajikan yang dijadikan aturan sekolah. Pada saat Dzuhur dan Ashar dilaksanakan shalat berjamaah dengan imam guru pendamping, setelah itu, di antara siswa diwajibkan memberi materi ceramah keagamaan selama sekitar 7 menit, secara bergiliran dan terjadwal. Materi yang disampaikan juga menyangkut penghargaan terhadap keberagaman suku bangsa dan saling menghormati antarpemeluk agama yang berbeda.

Gambar 3.A.3 kegiatan Upacara Bendera berbasis multikultur di SMA Muhammadiyah 11 Rawamangun

1 Wawancara dengan Guru Sejarah SMA Muhammadiyah 11 Rawamangun, 2 Mei 2018

Page 64: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

58 BAB 3

Pada pembelajaran Sejarah, penerapan pendidikan multikultur dapat diimplementasikan pada materi Perumusan Dasar Negara. Melalui metode pembelajaran bermain peran, siswa dapat mencermati bagaimana proses penyusunan naskah proklamasi dan dasar negara, dimana para tokoh nasional pada saat itu membebaskan identitas kesukuan masing-masing untuk kepentingan nasional. Refleksi dari pembelajaran ini adalah bahwa untuk kepentingan negara, setiap individu atau kelompok yang berasal dari agama, suku, dan daerah yang berbeda dapat melepaskan kepentingan masing-masing untuk kepentingan negara.

Kepala Sekolah, Guru Sejarah, dan siswa sependapat bahwa pendidikan multikultur model pendidikan multikultur yang paling dominan diterapkan adalah transformasi sekolah sebagai lembaga pendidikan. Meskipun proses pembelajaran diri siswa relatif lebih sedikit disbanding di rumah dan di masyarakat, tetapi sinergi di antara ketiganya tetap dilakukan melalui komunikasi instruksional antara guru dengan orang tua.

Dalam hal transformasi diri secara individu, pihak sekolah mengembangkan program amal Jum’at dan kebersamaan, sekolah menganjurkan siswa untuk bersedekah walaupun hanya lima ratus rupiah, dengan seperti itu sikap saling menghargai, toleransi, dan kesetaraan derajat dapat terbentuk. Kebersamaan semakin terasa saat ada siswa yang sedang menghadapi masalah, seperti yang dikemukakan oleh siswa:

“Ketika ada teman kita yang sedang sakit meskipun berbeda suku tetap kita bantu, kalau ada pelajaran yang kurang mengerti dan kalau kita paham mencoba untuk menjelaskan kepada mereka, dan saling menghargai satu sama lain dan saling menerima saja”.2

Kegiatan ekstrakurikuler wajib yang mendukung pelaksanaan pendidikan multikultur di sekolah antara lain: Hizbul Wathon, Nuansa Syiar Islam, serta Kemuhammadiyahan, yang di dalamnya diberikan materi lokal yang masih sarat dengan suasana kekeluargaan, kebersamaan, dan saling menghargai. Kegiatan ektrakurikuler yang bersifat minat dan olah raga di antaranya bela diri Tapak Suci, basket, dan futsal. Khusus dalam seni bela diri Tapak Suci diajarkan sikap rendah hati, membela yang benar, dan menghargai sesama.

2 Wawancara dengan siswa SMA Muhammadiyah 11 Rawamangun, 24

April 2018

Page 65: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

59IMPLEMENTASI PENDIDIKAN MULTIKULTUR SMA BERBASIS AGAMA DI DKI JAKARTA

Dalam kegiatan ekstrakurikuler Seni, siswa diperbolehkan mengekspresikan etniknya, di sini tiap tahun ke tahun ada peserta didik yang berasal dari Aceh. Mereka tertarik untuk mengembangkan budaya mereka seperti tari Saman yang sangat terkenal. Selain tari Saman juga ada kegiatan ekstrakurikuler lain yang lebih ke arah musik dan tari dari Timur Tengah.

Sebagai sebuah model, pendidikan multikultur tidak harus dijadikan sebagai materi mata pelajaran tersendiri. Pendidikan multikultur sebenarnya lebih mengarah kepada keteladanan seseorang dalam hidup bermasyarakat. Sebagian besar materi multikultur dapat diintegrasikan pada mata pelajaran PPKn, Sosiologi, Sejarah, Geografi, dan Bahasa Indonesia. Namun semua berpulang kepada pemerintah yang memiliki kewenangan untuk menerapkan kurikulum dan politik pendidikan.

Nilai-nilai kejujuran, toleransi, bertanggung jawab, kebersamaan dalam satu tim, menjadi nilai-nilai utama dalam pendidikan multikultur yang dapat diintegrasikan dalam pembelajaran. Siswa tidak boleh mengembangkan sikap sombong, yang pintar mengajari yang tidak bisa, dan yang tidak bisa diajak kerjsama. Semua siswa diperlakukan sama, bahkan tidak ada kesan ada anak yang pintar dan bodoh, tetapi yang ada rajin dan malas, untuk memotivasi siswa meraih hasil belajar yang lebih baik.

B. Model Pendidikan Multikultur di SMA Al-Azhar 3 Kebayoran Baru Jakarta Selatan

Berdasarkan data, seluruh siswa SMA Al-Azhar 3 Kebayoran Baru beragama Islam. Sebagaimana sekolah SMA lain yang berbasis agama Islam, sulit mendapatkan data siswa dari agama nonislam yang bersekolah di sekolah berbasis Islam. Meskipun pihak pimpinan yayasan dan sekolah memiliki kebijakan yang sudah membuka kesempatan kepada siswa dari pemeluk agama apa pun.

Page 66: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

60 BAB 3

Tabel 2Distribusi Jumlah Siswa SMA Al Azhar 3 Jakarta Selatan

Tahun Ajaran 2019/2020

No Kelas Katolik Kristen Islam Budha Hindu Jumlah

TotalL P L P L P L P L P

1 X IPA 1 - - - - 21 18 - - - - 39

2 X IPA 2 - - - - 20 18 - - - - 38

3 X IPA 3 - - - - 23 14 - - - - 37

4 X IPS 1 - - - - 18 15 - - - - 33

5 X IPS 2 - - - - 19 15 - - - - 34

6 X IPS 3 - - - - 19 16 - - - - 35

7 XI IPA 1 - - - - 23 6 - - - - 29

8 XI IPA 2 - - - - 22 6 - - - - 28

9 XI IPS 1 - - - - 18 14 - - - - 32

10 XI IPS 2 - - - - 17 14 - - - - 31

11 XI IPS 3 - - - - 19 13 - - - - 32

12 XII IPA 1 - - - - 13 11 - - - - 24

13 XII IPA 2 - - - - 13 10 - - - - 23

14 XII IPS 1 - - - - 15 13 - - - - 28

15 XII IPS 2 - - - - 17 12 - - - - 29

16 XII IPS 3 - - - - 17 12 - - - - 29

Total 501

Page 67: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

61IMPLEMENTASI PENDIDIKAN MULTIKULTUR SMA BERBASIS AGAMA DI DKI JAKARTA

Keberagaman siswa SMA Al-Azhar 3 dapat ditelusuri dengan melihat latar belakang status sosial ekonomi dan asal suku bangsanya. Mayoritas siswa SMA Al-Azhar 3 Kebayoran Baru berasal dari latar belakang keluarga yang berasal dari status sosial ekonomi menengah ke atas. Mayoritas siswa berasal dari keluarga mampu inilah yang dapat mendukung pihak yayasan untuk dapat mengembangkan berbagai kebijakan dalam bidang pendidikan dan kesejahteraan siswa.

Latar belakang suku bangsa siswa SMA Al-Azhar 3 Kebayoran Baru sebagian besar berasal dari suku Melayu, Jawa, Sunda, Betawi, Padang, Batak, Bugis, Palembang, Ambon, dan Kalimantan. Bahkan sebagian kecil ada siswa yang berasal dari keturunan Arab dan Tionghoa yang sudah menjadi warga negara Indonesia. Keberagaman asal suku bangsa tidak menyebabkan eksklusivisme kelompok antara mayoritas dan mayoritas. Semua siswa bersatu dalam proses pembelajaran di dalam, di luar atau pun kegiatan ekstrakurikuler, mengingat secara prinsip Islam tidak membicarakan perbedaan suku bangsa.

Kepala Sekolah sudah sangat memahami wacana pendidikan multikultur, dalam beberapa kesempatan diundang oleh Suku Dinas Pendidikan Jakarta Selatan untuk berdialog terkait pendidikan multikultur. Wacana tentang toleransi antaragama juga sering didiskusikan pada pertemuan Musyawarah Kelompok Kepala Sekolah (MKKS) baik sekolah negeri maupun swasta. Diskursus melalui pertemuan-pertemuan ini kemudian diimplementasikan oleh Kepala Sekolah di sekolah masing-masing.

Page 68: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

62 BAB 3

Gambar 3.B.1 kegiatan sosialisasi pendidikan multikultur oleh guru kepada siswa

Dalam proses pembelajaran, pendidikan multikultur dapat diterapkan melalui seperangkat kebijakan, baik regulasi maupun tindakan nyata. Sekolah tidak memberikan perlakukan yang berbeda kepada semua siswa dalam kegiatan pembelajaran. Setiap siswa mendapatkan hak dan kewajiban yang sama dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah.

Implementasi pendidikan multikultur dapat diintegrasikan melalui mata pelajaran. Beberapa mata pelajaran dapat disisipi materi pendidikan multikultur, seperti Pendidikan Agama, Al-Qur’an, Sejarah, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Sosiologi, Geografi, dan Bahasa Indonesia. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh guru PKn:

“Pendidikan multikutur dapat diterapkan di sekolah dengan baik dalam proses pembelajaran. Kami memperlakukan semua siswa sesuai dengan hak dan kewajiban yang sama, bukan berdasarkan agama dan suku yang mayoritas.”3

3 Wawancara dengan Guru Sejarah SMA Al-Azhar 3 Kebayoran Baru, 2

Mei 2019

Page 69: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

63IMPLEMENTASI PENDIDIKAN MULTIKULTUR SMA BERBASIS AGAMA DI DKI JAKARTA

Terkait dengan penanganan berbagai permasalahan dalam proses pembelajaran, sekolah menyiapkan program klinik pembelajaran. Kasus-kasus yang terjadi dalam proses pembelajaran, pada umumnya hanyalah masalah-masalah kesulitan siswa dalam mencapai nilai sesuai dengan Kriteria Ketuntasan Minimal. Tidak ada satu pun kasus terjadi yang disebabkan karena latar belakang perbedaan suku.

Penerapan pendidikan multikultur secara implisit pada beberapa mata pelajaran didukung dengan pembiasaan yang dilakukan pimpinan sekolah dan para guru. Pembiasaan ini dapat dimulai pada saat siswa masuk menjadi siswa baru, kemudian mereka ditanamkan visi misi SMA Islam Al-Azhar 3 yang menerapkan sikap saling menghargai, toleransi dan kesetaraan. Kemudian pada saat upacara, Kepala Sekolah memberikan arahan tentang berbagai hal yang mengandung unsur-unsur pendidikan dan kebajikan yang dijadikan aturan sekolah.

Pada pembelajaran PPKn, penerapan pendidikan multikultur dapat diimplementasikan pada materi Persatuan dan Kesatuan. Melalui metode pembelajaran bermain peran, siswa dapat mencermati bagaimana proses penyusunan naskah proklamasi dan dasar negara (Pancasila), dimana para tokoh nasional pada saat itu membebaskan identitas kesukuan masing-masing untuk kepentingan nasional. Refleksi dari pembelajaran ini adalah bahwa untuk kepentingan negara, setiap individu tau kelompok yang berasal dari agama, suku, dan daerah yang berbeda dapat melepaskan kepentingan masing-masing untuk kepentingan negara.

Kepala Sekolah, Guru PKn, dan siswa sependapat bahwa pendidikan multikultur model pendidikan multikultur yang paling dominan diterapkan adalah transformasi sekolah sebagai lembaga pendidikan. Meskipun proses pembelajaran diri siswa relatif lebih sedikit dibanding di rumah dan di masyarakat, tetapi sinergi di antara ketiganya tetap dilakukan melalui komunikasi instruksional antara guru dengan orang tua.

Dalam hal transformasi diri secara individu, pihak sekolah mengembangkan program amal Jum’at dan kebersamaan, sekolah menganjurkan siswa untuk bersedekah walaupun hanya 500 rupiah dengan seperti itu sikap saling menghargai, toleransi, dan kesetaraan derajat dapat terbentuk.

Page 70: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

64 BAB 3

Gambar 3.B.2 Penyaluran bantuan dari SMA Al-Azhar 3 Kebayoran Baru kepada lembaga zakat

Kegiatan ekstrakurikuler yang mendukung pelaksanaan pendidikan multikultur di sekolah antara lain Pramuka dan seni tari, yang di dalamnya diberikan materi lokal yang masih sarat dengan suasana kekeluargaan, kebersamaan, dan saling menghargai. Kegiatan ektrakurikuler yang bersifat minat dan olah raga di antaranya basket, dan futsal.

Dalam kegiatan ekstrakurikuler seni, siswa diperbolehkan mengekspresikan etniknya, di sini tiap tahun ke tahun ada peserta didik yang berasal dari Aceh. Mereka tertarik untuk mengembangkan budaya mereka seperti tari Saman yang sangat terkenal. Selain tari Saman juga ada kegiatan ekstrakurikuler lain yang lebih ke arah musik dan tari dari Timur Tengah.

Page 71: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

65IMPLEMENTASI PENDIDIKAN MULTIKULTUR SMA BERBASIS AGAMA DI DKI JAKARTA

Gambar 3.B.2 Penampilan kesenian oleh siswa

Sebagai sebuah model, pendidikan multikultur tidak harus dijad-ikan sebagai materi mata pelajaran tersendiri. Pendidikan multikultur sebenarnya lebih mengarah kepada keteladanan seseorang dalam hidup bermasyarakat. Sebagian besar materi multikultur dapat diintegrasikan pada mata pelajaran PPKn, Sosiologi, Sejarah, Geografi, dan Bahasa In-donesia. Namun semua berpulang kepada pemerintah yang memiliki kewenangan untuk menerapkan kurikulum dan politik pendidikan.

Nilai-nilai kejujuran, toleransi, bertanggung jawab, kebersamaan dalam satu tim, menjadi nilai-nilai utama dalam pendidikan multikul-tur yang dapat diintegrasikan dalam pembelajaran. Siswa tidak boleh mengembangkan sikap sombong, yang pintar mengajari yang tidak bisa, dan yang tidak bisa diajak kerjsama. Semua siswa diperlakukan sama, bahkan tidak ada kesan ada anak yang pintar dan bodoh, tetapi yang ada rajin dan malas, untuk memotivasi siswa meraih hasil belajar yang lebih baik.

C. Model Pendidikan Multikultur SMA Mahatma Gandhi Kemayoran Jakarta Pusat

SMA Mahatma Gandhi terletak di komplek Kemayoran Blok B-16 No.2, Jalan Tabing Blok Kemayoran, Gunung Sahari Utara, Sawah Be-sar, Jakarta Pusat. Menariknya, meskipun sekolah ini bercirikan nama

Page 72: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

66 BAB 3

Mahatma Gandhi, tetapi agama mayoritas yang dianut sebagian besar siswa adalah Katolik, Kristen, dan Budha. Penganut agama Hindu be-rada pada urutan ke-4 dan terakhir penganut agama Islam. Data leng-kap jumlah siswa dan latar belakang agamanya dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 3Distribusi Jumlah Siswa SMA Mahatma Gandhi Kemayoran Jakarta

Pusat Tahun Ajaran 2017/2018

No KelasKatolik Kristen Islam Budha Hindu Jumlah

TotalL P L P L P L P L P

1 X IPA 1 5 2 5 3 - 1 1 3 - - 20

2 X IPA 2 - 5 - 3 1 - 2 2 2 2 16

3 X IPS 1 1 2 7 3 - 2 3 1 - - 19

4 X IPS 2 3 - 4 1 2 - 5 2 - 1 18

5 XI IPA 1 - 4 2 1 - - - 1 1 1 10

6 XI IPA 2 3 5 2 4 - 4 3 2 - 1 24

7 XI IPS 3 2 2 6 - 3 3 5 - 3 27

8 XII IPA 1 4 4 3 2 - - 3 3 1 - 20

9 XII IPA 2 3 3 2 2 1 - 4 - 2 2 19

10 XII IPS 1 2 5 5 6 1 - 7 6 1 2 35

11 XII IPS 2 1 3 2 2 - - 1 - 4 1 14

Total 222

Page 73: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

67IMPLEMENTASI PENDIDIKAN MULTIKULTUR SMA BERBASIS AGAMA DI DKI JAKARTA

Pendidikan multikultur sebagai suatu wacana memiliki peran sangat strategis dalam menanamkan nilai-nilai perbedaan yang dimiliki siswa. Pandangan Kepala Sekolah tentang pentingnya pendidikan multikultur diuraikan sebagai berikut:

“Sekolah kami berada di pusat Ibukota, sehingga pastinya kami menerima siswa dengan latar belakang kebudayaan yang beragam. Siswa di sekolah kami berasal dari suku dan agama beragam di antaranya: keturunan Tionghoa, keturunan Hindi/India, dan dari suku Betawi, Sunda, Jawa sampai suku Asmat di Papua.Untuk itu, pendidikan multikultur menjadi urgen untuk diterapkan”.4

Berdasarkan nilai pentingnya pendidikan multikultur, Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah, dan guru SMA Mahatma Gandhi sependapat jika pendidikan multikultur dapat diterapkan di sekolah. Sekolah merupakan tempat yang paling potensial berkumpulnya siswa dari berbagai strata sosial yang nantinya akan menjadi anggota masyarakat. Dengan segala jenis perbedaan ini, pendidikan multikultur dapat menanamkan rasa saling menghargai dan menghormati sesama tanpa ada sekat-sekat perbedaan. Salah seorang guru yang menjadi informan mengemukakan:

“Pendidikan multikultur adalah pendidikan yang membantu peserta didik dalam belajar memposisikan diri untuk menerima sebuah perbedaan itu bukan sebagai sesuatu yang dipermasalahkan tetapi hal yang membuat semua jauh lebih indah dan baik”.5

Model strategi pendidikan multikultur secara operasional dapat dilakukan melalui transformasi diri secara individu, ransformasi 4 Wawancara dengan Kepala SMA Mahatma Gandhi, 3 Mei 2018.5 Wawancara dengan Guru SMA Mahatma Gandhi, 3 Mei 2018

Page 74: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

68 BAB 3

sekolah sebagai lembaga pendidikan, serta transformasi diri dalam lingkungan masyarakat. Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah, dan Guru sependapat bahwa model strategi pendidikan yang paling tepat digunakan adalah melalui transformasi sekolah sebagai Lembaga pendidikan. Kepala dan Wakil Kepala Sekolah menambahkan dengan menyisipkan transformasi diri secara individu dan transformasi dalam lingkungan masyarakat.

Ketiga model tersebut dapat dikolaborasikan secara sistematis sehingga siswa dan mampu mempraktikkannya secara kontekstual dalam keseharian baik, saat di sekolah maupun dalam lingkungan masyarakat. Pihak pimpinan sekolah dan guru menyadari kehidupan siswa sangat tergantung pendidikan di keluarga, sekolah dan masyarakat. Pimpinan sekolah dan guru berharap siswa mampu memposisikan diri dalam melakukan adaptasi diri dimana pun mereka berada.

Sebagai siswa yang beragama minoritas, siswa muslim tidak menuntut persamaan hak beragama secara khusus. Namun sekolah sebagai lembaga dan satuan pendidikan, tetap sepatutnya harus mampu mengakomodir semua kebutuhan siswa sesuai dengan tujuan dan fungsi pendidikan nasional yang diamanatkan dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Lebih lanjut guru merujuk pasal 3 Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertangggung jawab.

Peran guru dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan multikultur melalui integrasi dengan mata pelajaran lain. Mata pelajaran yang dapat mendukung secara implisit pendidikan multikultur adalah Pendidikan Kewarganegaraan dan Sosiologi. Deskripsi materi kurikulum Pendidikan Kewarganegaraan dan Sosiologi sebagian besar memuat tentang keberagaman kehiduapan masyarakat baik dari latar belakang sosial, ekonomi, budaya, dan agama. Beberapa aspek pendidikan multikultur yang dapat diterapkan secara khusus pada mata pelajaran, dikemukakan Kepala Sekolah adalah sebagai berikut:

“Aspek-aspek pendidikan multikultur pada mata pelajaran meliputi pengembangan literasi etnis dan budaya, perkembangan pribadi,

Page 75: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

69IMPLEMENTASI PENDIDIKAN MULTIKULTUR SMA BERBASIS AGAMA DI DKI JAKARTA

klarifikasi nilai dan sikap, pesamaan peluang pendidikan bagi semua, persamaan dan keunggulan pendidikan, memperkuat pribadi untuk reformasi sosial, dan wawasan kebangsaan atau kenegaraan yang kokoh”6

Pendidikan multikultur juga dapat dikembangkan pada kegiatan ekstrakurikuler. Berbagai kegiatan ekstrakurikuler yang dilaksanakan di SMA Mahatma Gandhi antara lain Kepramukaan, Paskibra, OSIS, publikasi, kelompok ilmiah, penyiaran, tradisional dance, olahraga, pagelaran seni budaya, dan paduan suara. Kegiatan ekstrakurikuler yang wajib diikuti oleh seluruh siswa adalah Pramuka. Sementara kegiatan ekstrakurikuler yang lain bersifat pilihan. Kepala Sekolah, guru, dan siswa sependapat bahwa kegiatan ekstrakurikuler yang paling relevan dengan pendidikan multikultur adalah kepramukaan dan paskibra.

Gambar 3.C.1 Kegiatan berbasis multikultural dalam ekstrakurikuler

D. Model Pendidikan Multikultur di SMA Dhammasavana Jakarta Barat dan SMA Dharma Budhi Bhakti Jakarta Utara

Mayoritas siswa SMA Dhammasavana di wilayah Tambora ataupun SMA Dharma Budhi Bhakti di wilayah Sunter, berasal dari etnis Cina. Etnis lainnya meliputi Jawa, Bali, Betawi, Sunda, Minang 6 Wawancara dengan Kepala Sekolah SMA Mahatma Gandhi, 3 Mei 2018.

Page 76: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

70 BAB 3

dan Lombok. Agama mayoritas adalah Budha, diikuti Kristen Protestan, Hindu, dan Islam.

Gambar 3.D.1 SMA Dhammasavana

Gambar 3.D.2 SMA Dharma Budhi Bhakti

Tabel 4

Page 77: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

71IMPLEMENTASI PENDIDIKAN MULTIKULTUR SMA BERBASIS AGAMA DI DKI JAKARTA

Distribusi Jumlah Siswa SMA Dhammasavana Jakarta BaratTahun Ajaran 2018/2019

No KelasKato-

lik Kristen Islam Budha Hindu Jum-lah

TotalL P L P L P L P L P

1 X IPA 1

2 X IPA 2

3 X IPS 1 2 1 8 11

4 X IPS 2

5 XI IPA 1 5 5 10

6 XI IPA 2

7 XI IPS 1 7 4 12

8 XII IPA 1 1 3 3 7

9 XII IPA 2

10 XII IPS 1 2 13 3 18

11 XII IPS 2

Total 58

Page 78: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

72 BAB 3

Tabel 5Distribusi Jumlah Siswa SMA Dharma Budhi Bhakti Jakarta

Tahun Ajaran 2018/2019No Kelas Katolik Kristen Islam Budha Hindu Jumlah

TotalL P L P L P L P L P

1 X IPA 1 - 1 1 1 - 5 - - - 9

2 X IPS 1 1 1 1 - 1 8 6 1 - 20

3 XI IPA

1 1 1 - - - 7 1 - 1 11

4 XI IPS - 1 2 1 - 2 4 6 - 1 17

5 XII IPA

1 - 1 1 - - - 3 - - 6

6 XII IPS

2 1 - - 1 - 2 4 - - 11

Total74

Wacana pendidikan multikultur pernah disampaikan dalam pertemuan Kepala Sekolah sebagai suatu gagasan yang bisa dilaksanakan tetapi belum ada materi pelajaran khusus yang membahas hal tersebut. Pertemuan dengan Kepala-kepala Sekolah dari berbagai lintas agama di Kota Jakarta, lebih membicarakan tentang kerukunan hidup beragama di sekitar kehidupan masyarakat.

Page 79: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

73IMPLEMENTASI PENDIDIKAN MULTIKULTUR SMA BERBASIS AGAMA DI DKI JAKARTA

Dinamika sosial masyarakat Jakarta Barat dan Jakarta Utara sebagai wilayah di Ibukota DKI Jakarta sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat, termasuk dunia pendidikan.Menurut pandangan guru PKn dan Agama SMA Dhammasavana, intisari pendidikan multikultur adalah bagaimana siswa memiliki kecakapan sosial tertentu, yaitu dengan menerapkan pendidikan multikultur sebagaimana penut//urannya:

“Paling di pelajaran saja, kalaupun di kegiatan lebih kepada saling menghargai, kerjasama dan tolong menolong aja, tanpa membedakan agama”7

Sejalan dengan apa yang disampaikan di atas, menurut pandangan salah satu guru Sosiologi dan Agama SMA Dharma Budhi Bhakti, bahwa:

“Bersikap anjali saat bertemu dengan guru dan ketika memulai dan mengakhiri pelajaran”8

Sisi menarik baik SMA Dhammasavana maupun SMA Dharma Budhi Bhakti Jakarta adalah fakta bahwa meskipun sekolah berada dalam naungan yayasan Budha, tetapi latar belakang agama siswa yang terbanyak beragama Buddha dan mayoritas berasal dari etnis Tionghoa. Agama yang paling sedikit penganutnya Hindu, dan suku minoritas Minang. Hal ini menandakan bahwa persoalan keberagaman menjadi entitas yang tidak dapat dikondisikan secara sengaja oleh individu atau pun kelompok masyarakat. Keberagaman merupakan gejala alamiah sebuah kehidupan masyarakat yang memiliki nilai-nilai universal.

7 Wawancara dengan guru PKN SMA Dhammasavana, 28 April 20198 Wawancara dengan guru Agama SMA Dharma Budhi Bhakti, 7 Agustus

2019

Page 80: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

74 BAB 3

Gambar 3.D.2 Kegiatan orientasi siswa berbasis multikultural di SMA Dharma Budhi Bhakti

SMA Dhammasavana menerapkan 3 model strategi pendidikan multikultur yang meliputi transformasi diri secara individu, transformasi sekolah sebagai Lembaga pendidikan, dan transformasi diri dalam lingkungan masyarakat. Sedangkan SMA Dharma Budhi Bhakti hanya menerapkan 2 model strategi pendidikan multikultur yaitu transformasi diri secara individu, transformasi sekolah sebagai Lembaga pendidikan. Seperti penuturan dari kepala sekolah:

“Transformasi diri secara individu dan Transformasi sekolah sebagai lembaga pendidikan”9

Baik dengan menggunakan dua model ataupun tiga model tetap saling kolaborasi dalam mengantisipasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terkait dunia pendidikan. Dalam keseharian di lingkungan sekolah, biasanya peserta didik saling mengingatkan dalam beribadah satu sama lain, tidak ada marjinalisasi terhadap salah satu agama, ras, dan etnis.

Proses pembiasaan untuk saling menghargai tersebut dapat terbentuk mengingat nilai-nilai pendidikan multikultur diintegrasikan pada beberapa mata pelajaran yang relevan. Menurut pandangan guru di sekolah SMA Dhammasavana, mata pelajaran yang sangat relevan dengan pendidikan multikultur adalah Pendidikan Pancasila 9 Wawancara dengan Kepala Sekolah SMA Dharma Budhi Bhakti, 7

Agustus 2019

Page 81: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

75IMPLEMENTASI PENDIDIKAN MULTIKULTUR SMA BERBASIS AGAMA DI DKI JAKARTA

dan Kewarganegaraan, Sosiologi, Pendidikan Agama, dan Sejarah Indonesia. Guru PKN dan Agama yang menjadi informan bahkan menemukan materi yang khusus memuat substansi pendidikan multikultur yaitu Bab tentang Pahlawan Nasional dan Materi Meta. Sedangkan menurut guru di SMA Dharma Budhi Bhakti mata pelajaran yang sangat relevan dengan pendidikan multikultur selain Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan yaitu mata pelajaran Bimbingan Konseling (BK), karena secara langsung materi yang diberikan sangat konsen dan mampu menunjukkan sikap multikultural. Guru sosiologi di SMA Dharma Budhi Bhakti menjelaskan materi yang berkaitan dengan pendidikan multikultur adalah tema masyarakat multikultur.

Gambar 3.D.3 Kegiatan Pembelajaran berbasis multikultural di SMA Dhammasavana bekerja sama dengan kepolisian

Guru PKN, Sosiologi dan Agama baik SMA Dhammasavana maupun SMA Dharma Budhi Bhakti dalam banyak kesempatan membahas materi Masyarakat Multikultural, di antaranya menugaskan siswa untuk menganalisis latar belakang dan karakteristik budaya masing-masing dalam bentuk presentasi kelompok. Tugas terstruktur ini bertujuan untuk menanamkan kesadaran siswa agar saling menghargai perbedaan di antara mereka dengan terus mengembangkan sikap toleransi. Kegiatan ekstrakurikuler wajib yang dilaksanakan di SMA Dhammasavana dan SMA Dharma Budhi Bhakti adalah Pramuka. Kegiatan ini sangat sarat dengan esensi pendidikan mutikultur yang menjadi perhatian khusus pihak sekolah. Sementara di SMA Dhammasavana menurut 5 informan siswa dari penganut agama yang berbeda, semuanya mengemukakan bahwa kegiatan yang

Page 82: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

76 BAB 3

sangat bermakna untuk mengembangkan sikap toleransi adalah bakti sosial, live in, dan open house. Kemudian di SMA Dharma Budhi Bhakti sejumlah 3 siswa yang menjadi informan menjelaskan bahwa kegiatan yang sangat erat untuk mengasah sikap toleransi adalah dengan mengikuti kegiatan lomba antara sekolah OSN/O2SN. Sementara di SMA Dhammasavana kegiatan tahunan yang dapat meningkatkan soliditas dan solidaritas adalah class meeting dan Dhammasavana Cup.

Gambar 3.D.4 Kegiatan perlombaan di SMA Dharma Budhi Bhakti

E. Model Pendidikan Multikultur di SMA Katolik Marie Joseph Jakarta dan SMA Katolik Saint Peter Jakarta

SMA Katolik Marie Joseph dan Saint Peter Jakarta merupakan lembaga pendidikan Katolik yang berusaha menyediakan pendidikan berkualitas dalam kurikulum nasional maupun internasional. SMA Katolik Marie Joseph mayoritas siswanya berasal dari etnis Cina hampir mencapai 85 persen dari keseluruhan 197 siswa yang terdaftar. Etnis lain yang terdaftar di SMA Marie Joseph dan juga SMA Saint Peter Jakarta di antaranya Jawa, Batak, Ambon, Manado, Betawi dan Sunda. Siswa SMA Marie Joseph Jakarta mayoritas beragama Kristen, lalu disusul Katolik, Budha, Islam, dan Kong Hu Cu. Tidak ada satu pun siswa yang berasal dari agama Hindu. Sedangkan di SMA Saint Peter mayoritas beragama Katolik, lalu disusul Kristen, Hindu, dan Budha.

Page 83: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

77IMPLEMENTASI PENDIDIKAN MULTIKULTUR SMA BERBASIS AGAMA DI DKI JAKARTA

Gambar 3.E.1 Kegiatan keagamaan di SMA Katolik Marie Joseph

Distribusi jumlah siswa SMA Katolik Marie Joseph dan Saint Peter Jakarta berdasarkan latar belakang agama dapat dilihat pada tabel 6 dan 7 berikut:

Tabel 6Distribusi Jumlah Siswa SMA Katolik Marie Joseph Jakarta

Tahun Ajaran 2018/2019

No. Kelas Katolik Kristen Islam Budha Hindu Jumlah TotalL P L P L P L P L P

1 X IPA 6 - 4 4 - - 1 2 - - 172 X IPS 10 1 7 5 - 1 2 1 - - 273 XI IPA 4 3 4 5 - 2 1 2 - - 214 XI IPS 1 3 3 1 5 - - - - 1 - 135 XI IPS 2 3 1 1 3 - 1 1 1 1 1 136 XII IPA 2 3 2 3 1 - - 2 - - 137 XII IPS 6 5 4 5 - 1 2 2 - - 25

Jumlah 129

Page 84: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

78 BAB 3

Tabel 7Distribusi Jumlah Siswa SMA Saint Peter Jakarta

Tahun Ajaran 2019/2020

Page 85: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

79IMPLEMENTASI PENDIDIKAN MULTIKULTUR SMA BERBASIS AGAMA DI DKI JAKARTA

Kepala Sekolah SMA Kristen Marie Joseph dan SMA Saint Peter Jakarta menyadari betul bahwa jumlah siswa yang relatif sedikit dibandingkan dengan sekolah-sekolah lain di Kota Jakarta menyebabkan dinamika kehidupan keberagaman antaragama dan suku bangsa tidak seperti sekolah-sekolah lain. Namun pimpinan yayasan dan pimpinan sekolah meyakini bahwa keberagaman akan latar belakang suku bangsa dan agama menjadi entitas kehidupan di sekolah dan memerlukan model pendidikan multikultur yang tepat dalam implementasinya.

Mengingat berbagai keterbatasan, terutama kesempatan untuk menghadiri berbagai pertemuan dan seminar terkhusus tentang pendidikan multikultur, Kepala Sekolah merasa belum pernah mendengar tentang wacana pendidikan multikultur secara teoretik. Namun secara aplikatif, Kepala Sekolah dapat melihat bahwa proses pendidikan multikultur sudah berlangsung dalam keseharian di SMA Katolik Marie Joseph dan SMA Katolik Saint Peter Jakarta.

Page 86: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

80 BAB 3

Gambar 3.E.2 Implementasi kegiatan berbasis multikultur di SMA Katolik Marie Joseph

Proses pendidikan multikultur di SMA Katolik Marie Joseph dan SMA Katolik Saint Peter Jakarta berjalan seiring dengan proses interaksi secara alamiah antara berbagai suku dan agama guru dan siswa. Tidak ada kebijakan khusus melainkan hanya diintegrasikan dalam proses pembelajaran. Siswa SMA dengan latar belakang budaya Jawa, Cina, Batak, Sunda, Manado, dan Betawi yang sebagian besar siswa berasal dari suku Jawa dan Cina ini mayoritas menganut agama Kristen Katolik/Protestan. Tidak ada dikotomi kebijakan sekolah untuk kelompok mayoritas atau minoritas. Pihak pimpinan sekolah menerapkan strategi khusus seperti yang diungkapkan guru:

“Pihak sekolah pastinya menghormati hak-hak dari kelompok minoritas, seperti untuk karyawan muslim mereka dapat tetap melaksanakan salat, hanya saja untuk siswa tidak ada waktu khusus dan hal tersebut sudah diutarakan sejak awal ketika mereka memutuskan untuk bersekolah di sini”10

Hal tersebut senada dengan apa yang diungkapkan oleh Kepala Sekolah SMA Katolik Saint Peter:

“Sebagai sekolah katholik pelajaran agama adalah agama katholik dan kebijakan untuk kelompok minoritas tidak ada semua sama”11

10 Wawancara dengan guru SMA Marie Joseph Jakarta, 22 Maret 201911 Wawancara dengan Kepala SMA Saint Peter Jakarta,

Page 87: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

81IMPLEMENTASI PENDIDIKAN MULTIKULTUR SMA BERBASIS AGAMA DI DKI JAKARTA

Model strategi pendidikan multikultur yang diterapkan di SMA Katolik Marie Joseph dan SMA Katolik Saint Peter Jakarta tampaknya diimplementasikan secara berbeda antara Kepala Sekolah, guru, dan siswa. Kepala Sekolah mengembangkan transformasi diri secara individu, guru mengoptimlakan transformasi sekolah sebagai Lembaga pendidikan. Hal yang menarik adalah apa yang dirasakan oleh siswa. Siswa berpandangan bahwa transformasi yang dialami alami tidak melalui sekolah sebagaimana yang dituturkan:

“Saya mengalami dua dari tiga model strategi pendidikan multi kultur seperti transformasi diri secara individu dan transformasi diri dalam lingkungan masyarakat”12

Adapun salah satu strategi pembelajaran yang dilakukan untuk memberdayakan keberagaman dan latar belakang siswa adalah seperti yang diungkapkan oleh guru di SMA Katolik Saint Peter:

“Memperkenalkan semua hal berkaitan dengan agama-agama tersebut, Tuhan para nabi, Tokoh agama, tempat ibadah dan peribadatan/doa”

Perbedaan jawaban antara Kepala Sekolah, guru, dan siswa ini ketika dianalisis lebih mendalam merupakan sebuah refleksi bahwa pemahaman yang berbeda dapat melahirkan persepsi yang berbeda pula dalam menafsirkannya. Dua asumsi dasar yang dapat dikemukakan atas fakta ini. Pertama, pihak sekolah memberikan kebebasan sepenuhnya kepada guru dan siswa dalam memaknai dan menerapkan pendidikan multikultur. Kedua, pihak sekolah tidak memiliki seperangkat kebijakan yang sistematis dan khusus terkait pendidikan multikultur.

Berdasarkan analisis jawaban ketiganya untuk beberapa topik yang lain, diperoleh tesis bahwa pimpinan sekolah memang tidak memiliki strategi dan kebijakan khusus dalam mengembangkan pendidikan multikultur. Hal ini disebabkan karena jumlah siswa yang relatif sedikit termasuk variasi latar belakang suku dan agamanya. Hal lain yang justru paling mempengaruhi adalah anggapan bahwa persoalan multikulturalisme merupakan bagian inheren dalam kehidupan sehari-hari guru dan siswa baik dalam lingkungan sekolah maupun lingkungan masyarakat tempat tinggal.

Satu-satunya potensi yang dapat dioptimalkan untuk penerapan pendidikan multikultur di sekolah adalah integrasi nilai-nilai multikultur pada mata pelajaran. Substansi materi pendidikan multikultur secara tersirat terdapat pada beberapa mata pelajaran yang diberikan di SMA.

12 Wawancara dengan siswa SMA Marie Joseph Jakarta, 22 Maret 2019

Page 88: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

82 BAB 3

Kepala Sekolah berpendapat bahwa mata pelajaran yang dapat disisipi nilai-nilai pendidikan multikultur adalah PPKn dan Agama, demikian juga menurut guru, ditambah lagi dengan mata pelajaran Sosiologi dan Sejarah.

Secara spesifik, guru yang menjadi informan adalah guru PPKn dan guru Agama, maka analisis yang dihasilkan dari jawaban tidak terlalu menunjukkan bahwa terdapat perbedaan persepsi yang sangat substantif. Bagaimana pun pemahaman tentang pendidikan multikultur sangat tergantung pada pengetahuan awal informan tentang keberagaman kehidupan suku, budaya, dan agama yang berbeda dalam masyarakat.

Kegiatan ekstrakurikuler yang dikembangkan di SMA Katolik Marie Joseph Jakarta yang diwajibkan adalah Pramuka, serta beberapa kegiatan yang dijadikan sebagai pilihan. Secara substantive, Kepala Sekolah memandang bahwa seluruh kegiatan ekstrakurikuler mengandung unsur-unsur pendidikan multikultur, tergantung bagaimana siswa dapat mengambil maknanya. Namun siswa lebih merujuk kepada hal-hal yang bersifat kontekstual. Dari apa yang dialami siswa ketika mengikuti kegiatan ekstrakurikuler, kegiatan bakti sosial yang sangat mendukung penerapan pendidikan multikultur.

Gambar 3.E.3 Kegiatan ekstrakurikuler berbasis multikulturalSMA Katolik Marie Joseph Jakarta

Page 89: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

83IMPLEMENTASI PENDIDIKAN MULTIKULTUR SMA BERBASIS AGAMA DI DKI JAKARTA

Gambar 3.E.4 Kegiatan ekstrakurikuler berbasis multikulturalSMA Katolik Saint Peter Jakarta

Page 90: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

84

Page 91: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

85

Bab

4 IMPLEMENTASI PENDIDIKAN

MULTIKULTUR SMA BERBASIS AGAMA DI DEPOK,TANGERANG, DAN BEKASI

A. Model Pendidikan Multikultur di SMA IT Nururrahman Kota

Depok

SMA IT Nururrahman terletak di Jalan Sawangan, Pancoran Mas, Kota Depok Jawa Barat. Masih dengan kondisi yang sama dengan banyak sekolah Islam, di sekolah ini semua siswanya beragama Islam. Namun begitu, sekolah ini memiliki keberagaman suku yang cukup banyak pada siswanya.

Gambar 4.A.1 Kegiatan keagamaan di SMA IT Nurrurahman Depok

Page 92: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

86 BAB 4

Tabel 8Distribusi Jumlah Siswa SMA IT Nururrahman Kota Depok 2019/2020

Page 93: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

87IMPLEMENTASI PENDIDIKAN MULTIKULTUR SMA BERBASIS AGAMA DI DEPOK, TANGERANG, DAN BEKASI

Berdasarkan nilai pentingnya pendidikan multikultur, Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah, dan guru SMA IT Nururrahman sependapat jika pendidikan multikultur dapat diterapkan di sekolah. Sekolah merupakan tempat yang paling potensial berkumpulnya siswa dari berbagai strata sosial yang nantinya akan menjadi anggota masyarakat. Dengan segala jenis perbedaan ini, pendidikan multikultur dapat menanamkan rasa saling menghargai dan menghormati sesama tanpa ada sekat-sekat perbedaan.

Model strategi pendidikan multikultur secara operasional dapat dilakukan melalui transformasi diri secara individu, transformasi sekolah sebagai lembaga pendidikan, serta transformasi diri dalam lingkungan masyarakat. Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah, dan Guru sependapat bahwa model strategi pendidikan yang paling tepat digunakan adalah melalui transformasi sekolah sebagai Lembaga pendidikan. Kepala dan Wakil Kepala Sekolah menambahkan dengan menyisipkan transformasi diri secara individu dan transformasi dalam lingkungan masyarakat.

Ketiga model tersebut dapat dikolaborasikan secara sistematis sehingga siswa mampu mempraktikkannya secara kontekstual dalam keseharian baik, saat di sekolah maupun dalam lingkungan masyarakat. Pihak pimpinan sekolah dan guru menyadari kehidupan siswa sangat tergantung pendidikan di keluarga, sekolah dan masyarakat. Pimpinan sekolah dan guru berharap siswa mampu memposisikan diri dalam melakukan adaptasi diri dimana pun mereka berada.

Lebih lanjut guru merujuk pasal 3 Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertangggung jawab.

Peran guru dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan multikultur melalui integrasi dengan mata pelajaran lain. Mata pelajaran yang dapat mendukung secara implisit pendidikan multikultur adalah Pendidikan Kewarganegaraan dan Sosiologi. Deskripsi materi kurikulum Pendidikan Kewarganegaraan dan Sosiologi sebagian besar memuat tentang keberagaman kehiduapan masyarakat baik dari latar belakang sosial, ekonomi, budaya, dan agama.

Page 94: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

88 BAB 4

Gambar 4.A.2 Kegiatan pembelajaran berbasis multikulturalSMA IT Nurrurahman Depok

Aspek-aspek pendidikan multikultur yang dapat diterapkan secara khusus pada mata pelajaran, diuraikan Kepala Sekolah seperti berikut:

“Karena dari dua mata pelajaran tersebut (PPKn dan Pendidikan Agama) dapat mengembangkan sikap dan akhlak (tata laku) seseorang dalam upaya mendewasakan manusia melalui upaya pendidikan, pelatihan, proses perbuatan dan pemahaman yang tepat dalam upaya menerapkan pendidikan multikultur”1

Pendidikan multikultur juga dapat dikembangkan pada kegiatan ekstrakurikuler. Berbagai kegiatan ekstrakurikuler yang dilaksanakan di SMA Mahatma Gandhi antara lain Kepramukaan, Paskibra, OSIS, Teater, Tari Saman, tari tradisional, olahraga, pagelaran seni budaya, dan paduan suara. Kegiatan ekstrakurikuler yang wajib diikuti oleh seluruh siswa adalah Pramuka. Sementara kegiatan ekstrakurikuler yang lain bersifat pilihan. Kepala Sekolah, guru, dan siswa sependapat bahwa kegiatan ekstrakurikuler yang paling relevan dengan pendidikan multikultur adalah kepramukaan, teater dan tari.

1 Wawancara dengan Guru PPKn SMA IT Nururrahman, 3 Mei 2019.

Page 95: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

89IMPLEMENTASI PENDIDIKAN MULTIKULTUR SMA BERBASIS AGAMA DI DEPOK, TANGERANG, DAN BEKASI

Gambar 4.A.3 Kegiatan ekstrakurikuler berbasis multikultural

SMA IT Nurrohman Depok

B. Model Pendidikan Multikultur di SMA Kristen Kanaan Kota Tangerang

SMA Kristen Kanaan Tangerang merupakan sekolah yang mayoritas siswanya berasal dari etnis Cina hampir mencapai 85 persen dari keseluruhan 197 siswa yang terdaftar. Etnis lain yang terdaftar di SMA Kanaan di antaranya Jawa, Batak, Ambon, Manado, dan Sunda. Siswa SMA Kanaan mayoritas beragama Kristen, lalu disusul Katolik, Budha, Islam, dan Kong Hu Cu. Tidak ada satu pun siswa yang berasal dari agama Hindu. Data jumlah siswa berdasarkan agama dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 9Distribusi Jumlah Siswa SMA Kristen Kanaan Kota Tangerang

Tahun Ajaran 2017/2018

No KelasKatolik Kristen Islam Budha Hindu

Kong Hu Cu

Jumlah

Total

L P L P L P L P L P L P

1 X 3 2 27 21 0 0 6 4 0 0 0 0 63

2 XI 3 3 26 19 0 0 7 6 0 0 0 0 64

3 XII 6 4 30 23 0 0 3 3 0 0 1 0 70

Page 96: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

90 BAB 4

Kepala Sekolah SMA Kristen Kanaan menyadari betul bahwa jumlah siswa yang relatif sedikit dibandingkan dengan sekolah-sekolah lain di Kota Tangerang menyebabkan dinamika kehidupan keberagaman antaragama dan suku bangsa tidak seperti sekolah-sekolah lain. Namun pimpinan yayasan dan pimpinan sekolah meyakini bahwa keberagaman akan latar belakang suku bangsa dan agama menjadi entitas kehidupan di sekolah dan memerlukan model pendidikan multikultur yang tepat dalam implementasinya.

Gambar 4.B.1 Kegiatan di SMA Kristen Kanaan

Mengingat berbagai keterbatasan, terutama kesempatan untuk menghadiri berbagai pertemuan dan seminar terkhusus tentang pendidikan multikultur, Kepala Sekolah merasa belum pernah mendengar tentang wacana pendidikan multikultur secara teoretik. Namun secara aplikatif, Kepala Sekolah dapat melihat bahwa proses

Page 97: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

91IMPLEMENTASI PENDIDIKAN MULTIKULTUR SMA BERBASIS AGAMA DI DEPOK, TANGERANG, DAN BEKASI

pendidikan multikultur sudah berlangsung dalam keseharian di SMA Kristen Kanaan.

Proses pendidikan multikultur di SMA Kristen Kanaan berjalan seiring dengan proses interaksi secara alamiah antara berbagai suku dan agama guru dan siswa. Siswa SMA berlatar belakang budaya Jawa, Cina, Batak, Sunda, Manado, dan Betawi. Sebagian besar siswa berasal dari suku Jawad dan Cina, yang mayoritas menganut agama Kristen Protestan. Tidak ada dikotomi kebijakan sekolah untuk kelompok mayoritas atau minoritas. Pihak pimpinan sekolah menerapkan strategi khusus seperti yang diungkapkan guru:

“Pimpinan sekolah senantiasa berupaya menanankan sikap toleransi yang baik yang mengimbangi keinginan kesetaraan antara mayoritas dan minoritas, sehingga tidak begitu kelihatan. Strategi khusus untuk itu yaitu dengan cara melindungi minoritas dan memberi pengertian ke kelompok siswa mayoritas”2

Model strategi pendidikan multikultur yang diterapkan di SMA Kristen Kanaan tampaknya diimplementasikan secara berbeda antara Kepala Sekolah, guru, dan siswa. Kepala Sekolah mengembangkan transformasi diri secara individu, guru mengoptimlakan transformasi sekolah sebagai Lembaga pedidikan. Hal yang menari adalah apa yang dirasakan oleh siswa. Siswa berpandangan bahwa transformasi yang dialami alami tidak melalui sekolah sebagaimana yang dituturkan:

“Saya mengalami dua dari tiga model strategi pendidikan multi kultur seperti transformasi diri secara individu dan transformasi diri dalam lingkungan masyarakat.

Perbedaan jawaban antara Kepala Sekolah, guru, dan siswa ini ketika dianalisis lebih mendalam merupakan sebuah refleksi bahwa pemahaman yang berbeda dapat melahirkan persepsi yang berbeda pula dalam menafsirkannya. Dua asumsi dasar yang dapat dikemukakan atas fakta ini. Pertama, pihak sekolah memberikan kebebasan sepenuhnya kepada guru dan siswa dalam memaknai dan menerapkan pendidikan multikultur. Kedua, pihak sekolah tidak memiliki seperngkat kebijakan yang sistematis dan khusus terkait pendidikan multikultur.

Berdasarkan analisis jawaban ketiganya untuk beberapa topik yang lain, diperoleh tesis bahwa pimpinan sekolah memang tidak memiliki strategi dan kebijakan khusus dalam mengembangkan pendidikan multikultur. Hal ini disebabkan karena jumlah siswa yang relatif sedikit termasuk variasi latar belakang suku dan agamanya. Hal lain

2 Wawancara dengan guru SMA Kristen Kanaan, 22 Maret 2018

Page 98: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

92 BAB 4

yang justru paling mempengaruhi adalah anggapan bahwa persoalan multikulturalisme merupakan bagian inheren dalam kehidupan sehari-hari guru dan siswa baik dalam lingkungan sekolah maupun lingkungan masyarakat tempat tinggal.

Satu-satunya potensi yang dapat dioptimalkan untuk penerapan pendidikan multikultur di sekolah adalah integrasi nilai-nilai multikultur pada mata pelajaran. Substansi materi pendidikan multikultur secara tersirat terdapat pada beberapa mata pelajaran yang diberikan di SMA. Kepala Sekolah berpendapat bahwa semua mata pelajaran dapat disisipi nilai-nilai pendidikan multikultur, demikian juga menurut guru, hampir semua mata pelajaran dapat diintegrasikan muatan pendidikan multikultur. Lain halnya dengan pendapat siswa yang mengemukakan bahwa substansi pendidikan multikultur dapat diintegrasikan ke dalam mata pelajaran Pendidikan Agama, Olahraga, dan Seni.

Secara spesifik, Kepala Sekolah yang menjadi informan adalah guru mata pelajaran Ekonomi, dan guru yang menjadi informan adalah guru Teknologi, Informasi, dan Komunikasi, maka analisis yang dihasilkan dari jawaban menunjukkan bahwa terdapat perbedaan persepsi yang sangat substantif, kalau dibandingkan dengan informan yang berlatar belakang guru Sosiologi dan PPKn. Bagaimana pun pemahaman tentang pendidikan multikultur sangat tergantung pada pengetahuan awal informan tentang keberagaman kehidupan suku, budaya, dan agama yang berbeda dalam masyarakat.

Kegiatan ekstrakurikuler yang dikembangkan di SMA Kristen Kanaan yang diwajibkan adalah Pramuka, serta beberapa kegiatan yang dijadikan sebagai pilihan. Secara substantive, Kepala Sekolah memandang bahwa seluruh kegiatan ekstrakurikuler mengandung unsur-unsur pendidikan multikultur, tergantung bagaimana siswa dapat mengambil maknanya. Namun siswa lebih merujuk kepada hal-hal yang bersifat kontekstual. Dari apa yang dialami siswa ketiak mengikuti kegiatan ekstrakurikuler, kegiatan bakti sosial yang sangat mendukung penerapan pendidikan multikultur.

Page 99: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

93IMPLEMENTASI PENDIDIKAN MULTIKULTUR SMA BERBASIS AGAMA DI DEPOK, TANGERANG, DAN BEKASI

Gambar 4.B.2 Kegiatan ekstrakurikuler pramuka berbasis multikultural

C. Model Pendidikan Multikultur di SMA Ananda Kota BekasiMayoritas siswa SMA Ananda Kota Bekasi berasal dari etnis

Cina. Etnis lainnya meliputi Jawa, Bali, Betawi, dan Lombok. Agama mayoritas adalah Budha, diikuti Kristen, Katolik, Hindu, dan Islam, Data selengkapnya jumlah siswa dan latar belakang agamanya dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 8Distribusi Jumlah Siswa SMA Ananda Kota Bekasi Tahun Ajaran

2017/2018

No KelasKatolik Kristen Islam Budha Hindu Jumlah

TotalL P L P L P L P L P

1 X 7 7 28 24 6 5 24 21 2 1 125

2 XI 7 7 28 24 5 5 24 21 2 1 124

3 XII 10 9 37 32 7 6 32 28 3 2 166

Wacana pendidikan multikultur pernah disampaikan dalam pertemuan Kepala Sekolah sebagai suatu gagasan yang bisa dilaksanakan tetapi belum ada materi pelajaran khusus yang membahas hal tersebut. Pertemuan dengan Kepala-kepala Sekolah dari berbagai lintas agama di Kota Bekasi, lebih membicarakan tentang kerukunan hidup beragama di sekitar kehidupan masyarakat.

Page 100: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

94 BAB 4

Dinamika sosial masyarakat Bekasi sebagai wilayah penyanggah Ibukota DKI Jakarta sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat, termasuk dunia pendidikan. Menurut pandangan guru Sosiologi, intisari pendidikan multikultur adalah bagaimana siswa memiliki kecakapan sosial tertentu, sebagaimana penuturannya:

“Tujuan pendidikan multikultur adalah agar siswa memiliki kepekaan dalam menghadapi fenomena dan masalah sosial yang berakar pada perbedaan”3

Sisi menarik dari SMA Ananda Kota Bekasi adalah fakta bahwa meskipun sekolah berada dalam naungan yayasan Budha, tetapi latar belakang agama siswa yang terbanyak beragama Kristen dan mayoritas berasal dari etnis Jawa. Agama yang paling sedikit penganutnya Hindu, dan suku minoritas Minang. Hal ini menandakan bahwa persoalan keberagaman menjadi entitas yang tidak dapat dikondisikan secara sengaja oleh individua atau pun kelompok masyarakat. Keberagaman merupakan gejala alamiah sebuah kehidupan masyarakat yang memiliki nilai-nilai universal.

SMA Ananda menerapkan 3 model strategi pendidikan multikultur yang meliputi transformasi diri secara individu, transformasi sekolah sebagai Lembaga pendidikan, dan transformasi diri dalam lingkungan masyarakat. Ketiganya saling kolaborasi dalam mengantisipasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terkait dunia pendidikan. Dalam keseharian di lingkungan sekolah, biasanya peserta didik saling mengingatkan dalam beribadah satu sama lain, tidak ada marjinalisasi terhadap salah satu agama, ras, dan etnis.

Proses pembiasaan untuk saling menghargai tersebut dapat terbentuk mengingat nilai-nilai pendidikan multikultur diintegrasikan pada beberapa mata pelajaran yang relevan. Menurut pandangan guru, mata pelajaran yang sangat relevan dengan pendidikan multikultur adalah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Sosiologi, Pendidikan Agama, dan Sejarah Indonesia. Guru Sosiologi yang menjadi informan bahkan menemukan materi yang khusus memuat substansi pendidikan multikultur yaitu Bab tentang Masyarakat Multikultural.

3 Wawancara dengan guru Sosiologi SMA Ananda, 28 April 2018

Page 101: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

95IMPLEMENTASI PENDIDIKAN MULTIKULTUR SMA BERBASIS AGAMA DI DEPOK, TANGERANG, DAN BEKASI

Gambar 4.C.1 Kegiatan orientasi siswa berbasis multikulturalDi SMA Ananda Bekasi

Guru Sosiologi SMA Ananda dalam banyak kesempatan membahas materi Masyarakat Multikultural, di antaranya menugaskan siswa untuk menganalisis latar belakang dan karakteristik budaya masing-masing dalam bentuk presentasi kelompok. Tugas terstruktur ini bertujuan untuk menanamkan kesadaran siswa agar saling menghargai perbedaan di antara mereka dengan terus mengembangkan sikap toleransi. Kegiatan ekstrakurikuler wajib yang dilaksanakan di SMA Ananda adalah Pramuka. Kegiatan ini sangat sarat dengan esensi pendidikan mutikultur yang menjadi perhatian khusus pihak sekolah. Sementara menurut 5 informan siswa dari penganut agama yang berbeda, semuanya mengemukakan bahwa kegiatan yang sangat bermakna untuk mengembangkan sikap toleransi adalah bakti sosial, live in, dan open house. Sementara kegiatan tahunan yang dapat meningkatkan soliditas dan solidaritas adalah class meeting dan Ananda Cup.

Page 102: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

96 BAB 4

Gambar 4.C.2 Kegiatan Ananda Cup

D. Model Pendidikan Multikultur SMA Katolik Marsudirini Kota Bekasi

SMA Marsudirini Kota Bekasi merupakan sekolah yang mayoritas siswanya berasal dari etnis Cina hampir mencapai 85 persen dari keseluruhan 668 siswa yang terdaftar. Etnis lain yang terdaftar di SMA Marsudirini di antaranya Batak, Jawa, Sunda, dan Ambon. Siswa SMA Marsudirini mayoritas beragama Kristen, lalu disusul Katolik, Budha, Islam, dan Hindu. Data jumlah siswa berdasarkan agama dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 10Distribusi Jumlah Siswa SMA Katolik Marsudirini Kota Bekasi Tahun

Ajaran 2017/2018

No KelasKatolik Kristen Islam Budha Hindu Jumlah

TotalL P L P L P L P L P

1 X 34 32 66 62 5 5 10 9 1 1 228

2 XI 35 33 68 63 5 5 10 9 1 1 233

3 XII 31 29 61 57 4 4 9 8 0 0 207

Page 103: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

97IMPLEMENTASI PENDIDIKAN MULTIKULTUR SMA BERBASIS AGAMA DI DEPOK, TANGERANG, DAN BEKASI

Wakil Kepala Sekolah SMA Marsudirini memandang begitu pentingnya pendidikan multikultur dan harus diterapkan dalam keseharian siswa di sekolah. Beragamnya suku bangsa dan terlebih lagi dasar keyakinan, dapat menyebabkan kesalahanpahaman dan miskomunikasi bila tidak dilandasi oleh rasa saling pengertian. Keberaragaman entitas suku dan agama siswa SMA Marsudirini sebagaimana dituturkan Wakil Kepala Sekolah:

“Siswa mayoritas berasal dari suku Batak, Cina, Jawa, dan sedikt yang dari Indonesia Timur. Semua agama ada di sekolah ini, dengan urutan mayoritas mulai dari pemeluk agama Kristen, Katolik, Budha, Islam, dan Hindu. Saya percaya bahwa multikulturalisme adalah sebuah semangat untuk mau mengakui ada yang lain di luar kita”4

4 Wawancara dengan Wakil Kepala Sekolah SMA Marsudirini, 16 Mei 2018.

Page 104: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

98 BAB 4

Gambar 4.D.1 SMA Marsudirini Bekasi

Beberapa contoh kebijakan sekolah dalam memenuhi hak-hak kelompok minoritas tersebut yaitu dalam mata pelajaran Pendidikan Agama beserta implementasi ibadah masing-masing. Khusus untuk siswa yang beragama Islam, mereka diberikan kesempatan untuk shalat Jum’at di masjid terdekat dan diizinkan terlambat masuk kelas meskipun ada jam pelajaran berlangsung. Bagi penganut agama lainnya pun demikian, semangat kebhinekaan tetap terus dikembangkan. Mereka juga harus memahami bahwa mereka bersekolah di sekolah bernuansa Katolik dan dapat menyesuaikan diri.

Model strategi pendidikan multikultur secara operasional dapat dilakukan melalui transformasi diri secara individu, ransformasi sekolah sebagai lembaga pendidikan, serta transformasi diri dalam lingkungan masyarakat. SMA Marsudirini menerapkan ketiganya secara proporsional sebagaimana dikemukakan oleh Kepala Sekolah:

“Transformasi diri secara individu akan terbentuk dari kebiasaandi lingkungan yang berbeda yang diperoleh di sekolah sehingga akan terbentuk individu yang memiliki sikap toleransi dan saling menghargai. Transformasi sekolah sebagai Lembaga Pendidikan diharapkan menjadi model Lembaga Pendidikan yang bersifat terbuka. Transformasi individu dalam lingkungan masyarakat itu secara otomatis akan terbentuk karena para siswa dalam dirinya telah terbentuk sifat saling menghormati”5

Pembiasaan pendidikan multikultur dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan, baik melalui kegiatan rutin mingguan saat upacara, kegiatan insidentil saat peringatan keagamaan, maupun 5 Wawancara dengan Kepala Sekolah SMA Marsudirini, 9 Mei 2018

Page 105: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

99IMPLEMENTASI PENDIDIKAN MULTIKULTUR SMA BERBASIS AGAMA DI DEPOK, TANGERANG, DAN BEKASI

kegiatan tahunan saat masa orientasi sekolah. Saling memberi salam setiap perayaan agama, pelaksanaan bakti sosial membantu korban bencana alam maupun karena event event keagamaan “ khatolik khususnya” , kegiatan live in atau Kegiatan Kemasyarakatan Siswa SMA Marsudirinii (KKSM) dimana mereka hidup bersama dengan keluarga berbeda agama, berbeda kelas ekonomi, berbeda suku, dan sebagainya.

Gambar 4.D.2 Kegiatan upacara mingguan di SMA Marsudirini

Dalam keseharian, SMA Marsudirini mewajibkan doa jam 12.00. Bagi penganut yang berbeda disilahkan berdoa menurut cara dan keyakinan masing-masing. Pada saat bulan Ramadhan, segenap siswa yang beragama nonmuslim dilarang makan dan minum di depan siswa yang sedang menjalankan ibadah puasa. Pada setiap perayaan hari-hari besar keagamaan seluruh agama, siswa dianjurkan untuk saling mengucapkan selamat melalui instagram masing-masing.

Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah, dan guru yang menjadi informan sependapat bahwa materi pendidikan multikultur dapat diintegrasikan ke dalam mata pelajaran yang sudah ada dan memiliki relevansi materi secara substansial. Mereka tidak sependapat apabila pendidikan multikultur dijadikan sebagai mata pelajaran tersendiri. Penguatan sikap perlu disampaikan ke semua guru untuk mengajarkan nilai-nilai multikultur seperti memperlakukan anak tanpa memandang latar belakang siswa. Seperti halnya Pendidikan Karakter tidak berdiri sendri tetapi masuk ke semua mata pelajaran.

Mata pelajaran yang dapat diintegrasikan dengan pendidikan multikultur antara lain Pendidikan Agama, Pendidikan Pancasila dan

Page 106: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

100 BAB 4

Kewarganegaraan, Sosiologi, Geografi, dan Bahasa Indonesia. Khusus untuk mata pelajaran Sosiologi, substansi materi yang sangat relevan dengan pendidikan multikultur adalah diferensiasi sosial, stratifikasi sosial, nilai, perubahan budaya, dan keanekaragaman masyarakat. Begitu pun dengan materi mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, sangat sarat dengan pendidikan multikultur, semisal Kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Untuk memperkuat pemahaman multikultur, tidak jarang guru mata pelajaran juga memberikan tugas terstruktur kepada siswa untuk mengikuti Siskamling dan kerja bakti bersama warga masyarakat sekitar tempat tinggal siswa. Makna tersirat yang dapat dirasakan siwa melalui tugas tersebut adalah kebersamaan dalam perbedaan, dan kebhinekaan dalam persatuan.

Gambar 4.D.3 Kegiatan Kemasyarakatan Siswa Marsudirini

Kegiatan ekstrakurikuler dapat menjadi media efektif untuk menerapkan pendidikan multikultur. Menurut Wakil Kepala Sekolah, yang kebetulan menangani bidang kesiswaan, kegiatan ekstrakurikuler yang sangat mendukung implementasi pendidikan multikultur adalah Pramuka, PMR, OSIS, dan Teater Terbuka. Apalagi dengan ditetapkannya Pramuka sebagai kegiatan ekstrakurikuler wajib bersamaan dengan penerapan kurikulum 2013, maka wacana pendidikan multikultur semakin mendapatkan dukungan dalam implementasinya.

Relevansi pendidikan multikultur dalam kegiatan ektrakurikuler dikemukakan oleh siswa yang beragama Islam:

Page 107: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

101IMPLEMENTASI PENDIDIKAN MULTIKULTUR SMA BERBASIS AGAMA DI DEPOK, TANGERANG, DAN BEKASI

“Cara saya dalam menerapkan sikap saling menghargai, toleransi, dan kesetaraan derajat saya mulai melalui hal-hal yang kecil yang biasa saya lakukan seperti contohnya dalam mengikuti rapat OSIS dimana ada saatnya mengemukakan pendapat, saya selalu mendengarkan pendapat teman saya dahulu baru kalau menurut saya tidak pas saya bisa berbicara, dari situ saya belajar untuk lebih banyak mendengarkan apa yang menjadi opini mereka”. 6

Sarat akan makna pendidikan multikultur yang terkandung dalam kegiatan ekstrakurikuler juga dikemukakan oleh siswa yang beragama Budha:

“Kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler yang selama ini saya ikuti seperti Kegiatan Kemasyarakatan Siswa SMA Marsudirini (KKSM), outbond dan kegiatan ekstrakurikuler lain memberikan manfaat yang langsung saya rasakan yaitu menjadi lebih bermasyarakat, mengembangkan sikap toleransi pada tiap-tiap orang, memberanikan diri untuk tampil lebih baik, dan mengakrabkan diri dengan orang lain”.7

Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah, guru, dan siswa dari berbagai penganut agama yang berbeda yang menjadi informan meyakini bahwa hubungan antara pemeluk agama di SMA Marsudirini sangat baik. Hal ini didasari oleh sikap saling menghargai perbedaan keyakinan antara pemeluk agama yang menjadi pedoman kerukunan yang terbina dengan baik selama ini di SMA Marsudirini. Transformasi nilai-nilai pendidikan multikultur melalui sekolah sebagai lembaga pendidikan, benar-benar telah melembaga sebagai lembaga sosial yang terus mempertahan norma kehidupan bermasyarakat

6 Wawancara dengan siswa SMA Marsudirini yang beragama Islam, 16 Mei 2018

7 Wawancara dengan siswa SMA Marsudirini yang beragama Budha, 16 Mei 2018.

Page 108: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

102

DAFTAR PUSTAKA

Abdalla, Ulil Abshar dkk.(2003) Islam Liberal Dan Fundamental: pertarungan Wacana. Jogjakarta: eLSAQ.

Agustian, Murniati. (2015). Pendidikan Multikultural. Jakarta: Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.

Al-Roubaie, Amer. (2005), Globalisasi dan Posisi Peradaban Islam, Majalah Islamia, Edisi 33, Jakarta: diterbitkan oleh Institute For The Study Of Islamic Thought and Civilization (INSISTS) dan Khairul Bayan.

Anonim. Kompas. Sabtu, 30 Maret 2019, Cek Fakta : Jokowi sebut ada 714 suku di Indonesia.Diakses 29 Oktober 2020.

Anyon, J. (1989). Social class and the hidden curriculum of work. In J.H. Ballantne (ed.). School and society. California: Mayfield Publishing Company

Arifin, Zainal. Pendidikan Multikultural Religius Untuk Mewujudkan Karakter Peseta Didik Yang Humanis Religius, Jurnal Pendidikan Islam, Volume I, Nomor 1, Juni 2012/1433.

Arifudin, Iis. Urgensi Implementasi Pendidikan Multikultural di Sekolah, Insania, Volume 12, No. 2, 1 Mei-Ags 2007/220-233.

Banks, James A (ed). (1989). Multikultural Education: Issues and Perspectives. London: Allyn and Bacon Press.

Banks, James A., Banks, Cherry A.McGee. (2010). Multikultural education, Issues and perspectives. Hoboken, USA: John Wiley and Sons, Inc

Baidhawy, Z. (2005). Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural. Jakarta: Erlangga.

Berggren, Niclas and Therese Nilsson. 2014. Globalization and the Transmission of Social Values: The Case of Tolerance. Research Institute of Industrial Economics: IFN Working Paper No. 1007, 2014.

Berry, J.W. Poortinga, Y.H., Segall, M.H., Dasen, P.R. (1999). Psikologi Lintas Budaya: Riset dan Aplikasi. Alih Bahasa: Edi Suhardono. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama.

Coppel, Charles A. (2003). Tionghoa Indonesia Dalam Krisis. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Coser, A Lewis. (1956) The Functions of Social Conflict, New York: The Free Press.

Dervin, Paatela-Nieminen, Kuoppala and Riitaoja. Multikultural Education in Finland - Renewed Intercultural Competences to the Rescue?. International Journal of Multikultural Education, Vol. X. No. X 20 Maret 2012.

Page 109: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

103

Dimova, Violeta. (2011). Implementation of the programmes for learning Macedonian as a foreign language at the Faculty of Philology, Stip – a step towards successful multikultural education. Procedia - Social and Behavioral Sciences. 15. 2377-2382. 10.1016/j.sbspro.2011.04.111.

Elavie Ndura, Moses K. Dogbevia, Re-envisioning Multikultural Education in Diverse Academic Contexts. Procedia - Social and Behavioral Sciences,Volume 93,2013,Pages 1015-1019, ISSN 1877-0428, https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2013.09.321.

El-Ma’hady, Muhaemin. 2004. Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural, http://artikel.VS/muhaemin6-04.htm Diakses pada tanggal 30 September

2010.

Furnivall, 1944, Netherlands India A Study of Plural Economy, Cambridge University Press.

Ilker,Cirik. Investigation of the Relations between Objectives of Turkish Primary School Curriculums and Multikulturalism. Procedia - Social and Behavioral Sciences, Volume 116, 2014, Pages 74-76, ISSN 1877-0428, https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2014.01.170

Geertz, Clifford. (1973) The Interpretation of Cultures. United States of America: Basic Books, Inc, Publishers.

Hanafy, M. S. (2015). Pendidikan Multikultural dan Dinamika Ruang Kebebasan. Jurnal Diskursus Islam, 3(1), 119–139. Retrieved from http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/diskursus_islam/article/view/198

Hardiman, F. B. (2002). Belajar dari Politik Multikulturalisme. dalam Will Kymlicka. Jakarta: LP3S.

Haris. Syamsuddin. 2001, Paradigma Baru Otonomi Daerah. Jakarta: Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P LIPI).

Hefner, Robert W. (2001) The Politics of Multikulturalism: Pluralism and Citizenship in Malaysia, Singapore, and Indonesia. University of Hawaii.

Jeong-Sil Choi, Ji-Soo Kim. Effects of cultural education and cultural experiences on the cultural competence among undergraduate nursing students,Nurse Education in Practice. Volume 29,2018,Pages 159-162,ISSN 1471-5953,https://doi.org/10.1016/j.nepr.2018.01.007.

Juan Rodon, Josep F. Maria Serrano, Cristina Giménez. Managing cultural conflicts for effective humanitarian aid. International Journal of Production Economics,Volume 139, Issue 2,2012,Pages 366-376,ISSN 0925-5273,https://doi.org/10.1016/j.ijpe.2011.08.029

Page 110: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

104

Liliweri, Alo. 2005. Prasangka & Konflik: Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur. Yogyakarta: LkiS.

Linton, Ralph, 1940, 1940, “acculturation” dalam Linton (ed), Acculturation in seven American Indian Tribes, Gloucester, Mass: Peter Smith.

Keesing, Roger M (1989) Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer Jilid 1. Jakarta: Penerbit Erlangga

Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Lestari, G. (2015). Bhinnekha Tunggal Ika: Khasanah Multikultural Indonesia di Tengah Kehidupan Sara. Jurnal Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan, 28(1), 31–37.

Mahfud, Choirul. 2006. Pendiidkan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Maslikhah, 2007, Pendidikan Multikultur, Salatiga: STAIN Salatiga Press.Marjaana Gunkel, Christopher Schlaegel, Vas Taras. Cultural values,

emotional intelligence, and conflict handling styles: A global study. Journal of World Business,Volume 51, Issue 4,2016,Pages 568-585, ISSN 1090-9516,https://doi.org/10.1016/j.jwb.2016.02.001.)

Marilena Vecco, Andrej Srakar. The unbearable sustainability of cultural heritage: An attempt to create an index of cultural heritage sustainability in conflict and war regions. Journal of Cultural Heritage,Volume 33,2018, Pages 293-302,ISSN 1296-2074, https://doi.org/10.1016/j.culher.2018.06.009.

Mulyana, Dedi dan Jalaluddin Rakhmat. 2009. Komunikasi Antarbudaya:Pandua Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Muliadi, Erlan. Urgensi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikultural di Sekolah, Jurnal Pendidikan Islam, Volume ii, Nomor 11, Juni 22001122//11443333.

Mudzhar, M. Atho. (2005). Pengembangan Masyarakat Multikultural Indonesia dan Tantangan ke depan (Tinjauan dari aspek Keagamaan dalam Meretas Wawasan & Praksis Kerukunan Umat Beragama di Indonesia. Jakarta: Badan Litbang danDiklat Keagamaan Puslitbang Kehidupan Beragama Depag RI.

Nasikun, 2005. Imperatif Pendidikan Multikultural di Masyarakat Majemuk. Makalah. Disampaikan di Universitas Muhammadiyah Surakarta Sabtu, 8 Januari 2005 di Ruang Seminar FE UMS.

Page 111: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

105

Noraini Omar, Mohd Aderi Che Noh, Mohd Isa Hamzah, Latifah Abdul Majid. Multikultural Education Practice in Malaysia, Procedia - Social and Behavioral Sciences, Volume 174,2015,Pages 1941-1948,ISSN 1877-0428,https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2015.01.859

Nuhaiz, Ahmad Zaki. 2005 ”Sejarah Pluralisme”. Dalam http://ilmu.filsafat.ugm.ac.id/download/pec/PEC-_Dzaki_Nuhaiz_A.pdf, diakses pada tanggal 24 Juli 2010.

Pi-Hsia Lü. When different “codes” meet: Communication styles and conflict in intercultural academic meetings. Language & Communication,Volume 61,2018, Pages 1-14, ISSN 0271-5309, https://doi.org/10.1016/j.langcom.2017.10.001

Pradhani, S. I. (2017). Sejarah Hukum Maritim Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit dalam Hukum Indonesia Kini. Lembaran Sejarah, 13(2), 186–203. https://doi.org/10.22146/lembaran-sejarah.33542

Purwasito, Andrik. 2015. Komunikasi Multikultural. Yogyakarta: Pustaka pelajar.

Rachmawati, Yeni; Pai Yi-Fong, and Hui-Hua Chen. 2014. “The Necessity Of Multikultural Education in Indonesia”. International Journal of Education and Research. Vol. 2 No 10 October 2104.

Sauqi, Ahmad dan Naim, Ngainun. (2010) Pendidikan Multikulltural: Konsep dan Aplikasi. Yogyakarta, Ar-Ruzz Media,

Sleeter, C. E. (1996). Multikultural education as social movement. In Multikultural education as social activism. (pp.217-241). Albany: State University of New York Press.

Smith, M.G. (1965) The Plural Society in the British West Indies, Berkeley : University of California Press.

Soner Yildirim, Erdoğan Tezci (2016). Teachers’ Attitudes, Beliefs and Self-Efficacy about Multikultural Education: A Scale Development. Universal Journal of Educational Research,4, 196 - 204. doi: 10.13189/ujer.2016.041325

Sugiyono. 2015. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta Bandung.

Supardan, Dadang (2002) “Keberhasilan Kebijakan Multikulturalisme Kanada dan Tantangannya: Studi Hak Azasi Manusia dalam Perspektif Global”, Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial (JPIS), Bandung: FPIPS UPI

Suparlan, Parsudi. (2002). Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultur. Jurnal Antropologi Indonesia

Supriadi, D. (2001) Konseling Lintas Budaya: Isu-Isu dan Relevansinya di Indonesia. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Page 112: Model Pendidikan Multikultur SMA Berbasis Agama

106

Suryadinata, Leo. (2003). Dilema Minoritas Tionghoa. Jakarta : PT.Grafiti Pers.

Suryana, Yaya., Rusdiana, A. (2015). Pendidikan Multikultural. Bandung: Pustaka Setia.

Syafiudin, Achmad Fedyani. (2006) “Membumikan Multikulturalisme di Indonesia” Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI, (Jakarta; Universitas Sumatera Utara, Vol II/No I, h. 4

.Tilaar, H. A. . (2014). Multikulturalisme, Bahasa Indonesia, Dan Nasionalisme Dalam Sistem Pendidikan Nasional. Multikulturalisme, Bahasa Indonesia, Dan Nasionalisme Dalam Sistem Pendidikan Nasional, 1(2), 213–224. https://doi.org/10.15408/dialektika.v1i2.6287

Tylor, Edward Burnett. 1871. Primitive Culture. Vol. 1 & Vol. 2. London: John Murray, 1920

Wajdi, Firdaus. Problems, Challenges and Prospects of Indonesian Muslim Community in Sydney for Promoting Tolerance, International Journal of Indonesian society an culture, Volume 8i2.5971, 2016, 169-184.

Westbrook, R.B. (1991) John Dewey and American Democracy, Ithaca, NY: Cornell University Press.