View
424
Download
3
Embed Size (px)
DESCRIPTION
rjpo
Citation preview
MODUL 3
RESUSITASI KARDIOPULMONER
PENYUSUN
Sutrisno, dr
PPDS I ANESTESIOLOGI
PEMBIMBING
RTH Supraptomo, dr., Sp. An.
SATUAN MEDIS FUNGSIONAL/BAGIAN ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF
RSUD DR MOEWARDI SURAKARTA/FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2012
LEMBAR PENGESAHAN
Modul KETERAMPILAN DASAR ANESTESIOLOGI III
Telah dipresentasikan oleh Sutrisno pada:
Hari :
Tanggal :
Waktu :
Tempat :
Surakarta,
dr.RTH Supraptomo,SpAn
DAFTAR ISI
Halaman Judul ………………………………………………………. i
Lembar Pengesahan ………………………………………………………. ii
Daftar Isi ……………………………………………………………….. iii
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………… 1
BAB II RJPO DEWASA ………………………………………... 4
2.1 Perubahan pada algoritma Basic Life Support (BLS) .... 4
2.2 Algoritma RJPO sederhana…………………………… … 5
2.3 Algoritma RJPO khusus……………………………….. … 7
2.4 Penggunaan Automatic External Defibrilation(AED)… 12
2.5 Advance Life Support (ALS)……………………………. 14
2.6 Algoritma pada RJPO tahun 2010(AHA 2010)……………….. 15
2.7 Advance RJPO…………………………………………… 23
2.8.Obat-obat yang dipakai dalam manajemen RJPO……. 23
BAB III RJPO PADA INFANT DAN ANAK……………………….. 28
3.1 Bantuan Hidup Dasar…………………………………... 28
3.2 Bantuan Hidup Lanjut…………………………………. 31
3.3 Perawatan Post Resusitasi………………………………. 31
3.4 Ringkasan Masalah dan Perubahan Utama AHA 2010... 32
BAB IV RESUSITASI NEONATUS………………………………. 39
4.1 Langkah awal untuk memulai resusitasi Neonatus…. 39
4.2 Penghentian Resusitasi……………………………….. 43
BAB V DAFTAR PUSTAKA…………………………………….. 45
BAB I
PENDAHULUAN
Henti jantung didefinisikan sebagai gambaran klinis berhentinya sirkulasi tiba-tiba pada
pasien yang tidak diharapkan mati pada saat itu.
Berhentinya sirkulasi didiagnosa jika terdapat semua keadaan berikut ; ketidaksadaran, henti
nafas atau mengap-mengap seperti mati (sianosis atau pucat) dan tidak teraba denyut pada arteri
besar. (misal carotis, radialis, femoralis).
Cardiac arrest merupakan keadaan yang dapat terjadi dimana saja dan memerlukan
tindakan segera Resusitasi Jantung Paru. Peluang yang besar kejadian cardiac arrest selama
anestesi mengharuskan dimilikinya kemampuan melakukan RJP dengan baik. Tindakan RJP
merupakan suatu paket berupa Airway (A), Breathing (B), Circulation (C) yang sering disebut
Basic Life Support (BLS) dan bila dilanjutkan dengan drugs (D), pemeriksaan EKG (E) dan
Fibrillation tratment (F) merupakan Advanced Life Support (ALS) dan bila harus masuk ICU
disebut sebagai Prolonged Life Support (PLS).
Tidak terabanya denyut/pulsasi arteri perifer besar (carotis, radial atau femoral), tidak
sadar. EKG mungkin memperlihatkan asystole, Ventricular Fibrillation (VF), Ventricular
Tachycardial (VT) atau Pulseless Electrical Activity (PEA).
Penyebab paling sering daripada cardiac arrest adalah hypoxemia, gangguan
keseimbangan asam basa, gangguan kalium, calcium, dan magnesium, hipovolemia, adverse
drug effects, pericardial tamponade, tension pneumothorax, pulmonary embolus, hypotermia,
infark miokard.
Penyebab henti jantung dapat dikelompokkan menjadi :
a.Henti jantung primer
Penyebab henti jantung primer yang paling sering adalah fibrilasi ventrikel akibat
iskemia miokard tak homogen (sesaat). Sebab lain henti jantung primer mencakup
fibrilasi ventrikel dan asistol akibat penyakit jantung, syok listerik atau obat-
obatan.
b.Henti jantung sekunder
Dapat terjadi dengan cepat atau lambat dan biasanya disebabkan asfiksia atau
kehabisan darah. (3)
Contoh henti jantung sekunder yang cepat ialah anoksia alveolus (akibat sembab
paru atau inhalasi gas tanpa oksigen), asfiksia akibat sumbatan jalan nafas atau
henti nafas dan kehilangan darah yang cepat.
Contoh henti jantung sekunder yang lambat ialah hipoksemia berat (akibat
pneumonia atau konsolidasi – sembab paru, yaitu paru syok (“shok lung). Syok
type kardiogenik, oligemik atau distributif (septik) dan kerusakan otak akut (yang
mengakibatkan kegagalan medula dan hipotensi berat intraktabel serta henti
nafas).
Dengan cardiac arrest akan berakibat aliran darah yang efektif berhenti, hipokasia
jaringan, metabolisme anaerobik, dan akumulasi sisa metabolisme sel. Fungsi organ terganggu,
dan kerusakan permanen akan timbul, kecuali resusitasi dilakukan dalam hitungan menit (tidak
lebih dari 4 menit). Acidosis dari metabolisme anaerobik menyebabkan vesodilatasi sistemik,
vasokonstriksi pulmoner, dan penurunan respons terhadap katekolamin.
Apapun penyebab henti jantung, jika akan dicegah kerusakan otak ireversibel atau
kematian, RJP harus segera dimulai. Karena jika pada henti jantung primer reoksigenasi melalui
RJP dimulai lebih lambat dari kira-kira 5 menit, kemungkinan pemulihan tanpa kerusakan otak
kecil jika tindakan resusitasi otak khusus tidak dilakukan.
The American Heart Association (AHA) mengeluarkan panduan untuk melakukan RJP
(Resusitasi Jantung Paru) terbaru. Rekomendasi terbaru menunjukkan bahwa penolong harus
lebih berfokus pada kompresi dada ketimbang pernapasan buatan melalui mulut.
Panduan terdahulu (2005) menekankan pada penanganan “ABC” (Airway, Breathing,
Chest Compression) yaitu dengan melakukan pemeriksaan jalan napas, melakukan pernapasan
buatan melalui mulut, kemudian memulai kompresi dada. Panduan terbaru (2010) yang
dikeluarkan oleh AHA lebih menekankan pada penanganan “CAB” (Chest Compression,
Airway, Breathing) yaitu dengan terlebih dahulu melakukan kompresi dada, memeriksa jalan
napas kemudian melakukan pernapasan buatan. Panduan ini juga mencatat bahwa pernapasan
buatan melalui mulut boleh tidak dilakukan pada kekhawatiran terhadap orang asing dan
kurangnya pelatihan formal. Sebenarnya, seluruh metode ini memiliki tujuan yang sama, yaitu
membuat aliran darah dan oksigen tetap bersirkulasi secepat mungkin.
Pada tahun 2008, AHA menyatakan bahwa penolong tak terlatih atau mereka yang tidak
mau melakukan pernapasan buatan melalui mulut dapat melakukan kompresi dada hingga
bantuan medis datang. Panduan terbaru (2010) dari AHA menyarankan kompresi dada terlebih
dahulu baik bagi penolong terlatih maupun penolong tidak terlatih.
The American Heart Association (AHA) menyarankan, ketika seorang dewasa ditemukan
tidak responsif dan tidak bernapas atau mengalami kesulitan bernapas, setiap orang yang ada di
sekitarnya wajib untuk menghubungi tenaga kesehatan kemudian segera melakukan kompresi
dada.
Setelah mengaktifkan bantuan tenaga kesehatan dan melakukan kompresi dada, maka
tindakan berikutnya yang harus dilakukan adalah dengan segera bisa mendapatkan akses
terhadap AED (automatic external defibrillator), sebuah alat bantu kejut jantung yang dapat
membantu ritme jantung kembali normal.
Ketiga mata rantai awal ini dapat membantu meningkatkan keberhasilan pertolongan dan
angka kehidupan pada korban. Perubahan panduan ini mengacu pada penelitian-penelitian yang
telah dilakukan sebelumnya yang menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan berarti pada
hasil dari tindakan RJP kompresi dada dan pernapasan buatan dengan RJP kompresi dada saja.
Panduan “Resusitasi Jantung Paru” terbaru ini menjadi lebih mudah dilakukan juga bagi
orang awam karena menekankan pada kompresi dada untuk mempertahankan aliran darah dan
oksigen dalam darah tetap mengalir ke jantung dan otak. Kompresi dada memang cenderung
lebih mudah untuk dilakukan, dan setiap orang dapat melakukannya.
Kompresi dada dapat dilakukan dengan meletakkan satu tangan di atas tangan yang lain
dan menekan dengan kuat pada dada korban. Panduan RJP yang baru ini menekankan bahwa
penolong harus berfokus memberikan kompresi sekuat dan secepat mungkin, 100 kali kompresi
dada per menit, dengan kedalaman kompresi sekitar 5-5,5 cm. Dan, sangat penting untuk tidak
bersandar pada dada ketika melakukan kompresi dada pada korban. Penolong tidak perlu takut
dan ragu untuk melakukan kompresi dada yang dalam karena risiko ketidakberhasilan justru
terjadi ketika kompresi dada yang dilakukan kurang dalam.
BAB II
RJPO DEWASA
2.1 Perubahan pada algoritma Basic Life Support (BLS)
BLS adalah pilar dasar pertolongan pertama henti jantung. Aspek penting dalam BLS
adalah pengenalan dini terhadap henti jantung dan mengaktifasi sistem respon darurat untuk
memanggil bantuan, RJP dini yang berkualitas, penggunaan alat defibrilasi otomatis sesuai
dengan indikasi.
Perubahan yang terlihat adalah pada algoritma Basic Life Support (BLS) umum untuk
dewasa dan anak (terkecuali neonatus), yaitu urutan “A-B-C” (Airway, Breathing, Chest
compression) yang telah lama digunakan kini berubah menjadi “C-A-B” (Chest compression,
Airway, Breathing). Rekomendasi ini berdasarkan studi analisis komprehensif dari literatur
mengenai resusitasi yang pernah dipublikasikan.
Alasan untuk perubahan tersebut adalah :
• Henti jantung terjadi sebagian besar pada dewasa. Angka keberhasilan kelangsungan
hidup tertinggi dari pasien segala umur yang dilaporkan adalah henti jantung dan ritme
Ventricular Fibrilation (VF) atau pulseless Ventrivular Tachycardia (VT). Pada pasien tersebut
elemen RJP yang paling penting adalah kompresi dada (chest compression) dan defibrilasi
otomatis segera (early defibrillation).
• Pada langkah A-B-C yang terdahulu kompresi dada seringkali tertunda karena proses
pembukaan jalan nafas (airway) untuk memberikan ventilasi mulut ke mulut atau mengambil alat
pemisah atau alat pernafasan lainnya. Dengan mengganti langkah menjadi C-A-B maka
kompresi dada akan dilakukan lebih awal dan ventilasi hanya sedikit tertunda satu siklus
kompresi dada (30 kali kompresi dada secara ideal dilakukan sekitar 18 detik).
• Kurang dari 50% orang yang mengalami henti jantung mendapatkan RJP dari orang
sekitarnya. Ada banyak kemungkinan penyebab hal ini namun salah satu yang menjadi alasan
adalah dalam algoritma A-B-C, pembebasan jalan nafas dan ventilasi mulut ke mulut dalam
Airway adalah prosedur yang kebanyakan orang umum temukan paling sulit. Memulai dengan
kompresi dada diharapkan dapat menyederhanakan prosedur sehingga semakin banyak korban
yang bisa mendapatkan RJP. Untuk orang yang enggan melakukan ventilasi mulut ke mulut
setidaknya dapat melakukan kompresi dada.
AHA 2010 dalam panduannya memberikan 2 jenis algoritma BLS bagi korban dewasa
yaitu sederhana untuk penolong non petugas kesehatan dan khusus untuk petugas kesehatan.
Berikut algoritma terbaru dan penjelasannya.
2.2Algoritma RJPO sederhana
Algoritma sederhana ini diperuntukan untuk semua penolong untuk mempelajari,
mengingat, dan mempraktekkan.
Tahap-tahap algoritma ini adalah :
a. Pengenalan dini.
Jika seorang penolong menemukan korban dewasa yang tidak ada respon (tidak
ada pergerakan atau respon terhadap stimulus luar) atau melihat korban tiba-tiba
jatuh pingsan, maka penolong harus memastikan keamanan tempat kejadian lalu
mengecek respon dengan menepuk bahu korban selagi meneriakkan nama
korban. Jika penolong lebih dari satu orang maka langkah-langkah dalam
algoritma ini dapat dilakukan bersamaan dan sinergis.
b. Aktivasi sistem respon darurat.
Penolong sebaiknya mengaktivasi sistem respon darurat yang dalam hal ini
berarti menghubungi institusi yang mempunyai fasilitas/layanan gawat darurat,
hal ini dapat berupa menghubungi rumah sakit, polisi, atau instansi terkait.
Penolong non petugas kesehatan harus siap menerima instruksi dan
melakukannya.
c. Jika melihat korban tidak berespon dan dan tidak bernapas atau hanya sesak
terengah-engah maka penolong dapat mengasumsikan bahwa korban mengalami
henti jantung.
d. Pemeriksaan denyut nadi.
Riset menunjukkan bahwa terdapat kesulitan dalam pemeriksaan denyut nadi
korban baik dilakukan oleh penolong non petugas ksesehatan ataupun petugas
kesehatan sehingga dapat membuang waktu yang berharga. Karena hal tersebut
maka terdapat dua rekomendasi baru yaitu :
(a) Untuk penolong non petugas kesehatan tidak dianjurkan untuk memeriksa
denyut nadi korban, penolong sebaiknya berasumsi bahwa korban mengalami
henti jantung jika melihat gejala yang disebutkan diatas.
(b) Untuk petugas kesehatan, pemeriksaan nadi korban sebaiknya tidak lebih dari
10 detik jika lebih dari waktu tersebut tidak didapatkan denyut nadi yang
definitif maka petugas sebaiknya memulai RJP dengan kompresi dada.
Resusitasi Jantung Paru dini. Berbeda dengan panduan BLS AHA 2005,
kompresi dada dilakukan terlebih dahulu sebelum adanya dua kali ventilasi
awal sehingga membentuk algoritma “C-A-B”. Kompresi dada dilakukan
sebanyak satu siklus (30 kompresi, sekitar 18 detik). Untuk mendapatkan
kompresi dada yang efektif dalam algoritma tersebut terdapat dua kata kunci
yaitu “push hard, push fast” yang berarti “tekan kuat, tekan cepat” hal ini
memudahkan penolong non petugas kesehatan dalam melakukan kompresi
seefektif mungkin. Dalam RJP yang efektif, kecepatan kompresi diharapkan
mencapai sekitar 100 kompresi/menit dengan kedalaman sekitar 5 cm (2
inchi). Lokasi kompresi dilakukan pada tengah dada pasien.
(c) Setelah kompresi dada dilakukan sebanyak satu siklus dilanjutkan dengan
ventilasi mulut ke mulut sebanyak dua kali ventilasi. Hal yang perlu
diperhatikan adalah berikan jarak 1 detik antar ventilasi, perhatikan kenaikan
dada korban untuk memastikan volume tidal yang masuk adekuat, dan
perbandingan kompresi dan ventilasi untuk satu siklus adalah 30 : 2.
(d) Pengunaan alat defibrilasi otomatis. Algoritma diatas menunjukan adanya
langkah terpisah untuk mendapatkan alat defibrilasi otomatis. Jika hanya
terdapat satu penolong maka sebaiknya setelah mengaktivasi sistem darurat,
penolong diharapkan mencari alat defibrilasi otomatis ( jika tersedia dan
dekat) lalu kembali ke korban untuk melakukan RJP. Jika ada lebih dari satu
penolong maka langkah tersebut dilakukan bersamaan.
Tipe strategi RJP. Terdapat 3 pola strategi RJP yang dapat diterapkan pada penolong
sesuai dengan keadaannya.
Pertama, untuk penolong non petugas kesehatan yang tidak terlatih, mereka dapat
melakukan strategi “Hands only CPR” (hanya kompresi dada). Kompresi dada sebaiknya
dilakukan hingga petugas kesehatan hadir atau alat defibrilasi otomatis tersedia.
Kedua, untuk penolong non petugas kesehatan yang terlatih, mereka dapat melakukan
strategi RJP kompresi dada dan dilanjutkan dengan ventilasi dengan perbandingan 30 : 2. RJP
sebaiknya dilakukan hingga petugas kesehatan hadir atau alat defibrilasi otomatis tersedia.
Ketiga, untuk petugas kesehatan, lakukan RJP kompresi dada sebanyak satu siklus yang
dilanjutkan dengan ventilasi dengan perbandingan 30 : 2. Lakukan hal tersebut hingga advanced
airway tersedia, kemudian lakukan kompresi dada tanpa terputus sebanyak 100 kali/menit dan
ventilasi setiap 6-8 detik/kali (8-10 nafas/menit). Untuk petugas kesehatan penting untuk
mengadaptasi urutan langkah sesuai dengan penyebab paling mungkin yang terjadi pada saat itu.
Contohnya, jika melihat seseorang yang tiba-tiba jatuh, maka petugas kesehatan dapat berasumsi
bahwa korban mengalami fibrilasi ventrikel, setelah petugas kesehatan mengkonfirmasi bahwa
korban tidak merespon dan tidak bernapas atau hanya sesak terengah-engah, maka petugas
sebaiknya mengaktifasi sistem respon darurat untuk memanggil bantuan, mencari dan
menggunakan AED (Automated External Defibrilator), dan melakukan RJP. Namun jika
petugas menemukan korban tenggelam atau henti nafas maka petugas sebaiknya melakukan RJP
konvensional (A-B-C) sebanyak 5 siklus (sekitar 2 menit) sebelum mengaktivasi sistem respon
darurat. Sama halnya dalam bayi baru lahir, penyebab arrest kebanyakan adalah pada sistem
pernafasan maka RJP sebaiknya dilakukan dengan siklus A-B-C kecuali terdapat penyebab
jantung yang diketahui.
2.3 Algoritma RJPO khusus
Algoritma khusus ini diperuntukan bagi petugas kesehatan untuk mempelajari,
mengingat, dan mempraktekkan.
Tahap-tahap daripada algoritma ini adalah :
1. Pastikan semua kondisi aman
2. Periksa respon pasien :
Jika melihat seorang yang tiba-tiba jatuh atau tidak responsif maka petugas kesehatan
harus mengamankan tempat kejadian dan memeriksa respon korban. Tepukan pada pundak dan
teriakkan nama korban sembari melihat apakah korban tidak bernafas atau terengah-engah.
Lihat apakah korban merespon dengan jawaban, erangan atau gerakan. Korban yang tidak
responsif serta tidak ada nafas atau hanya terengah-engah maka petugas kesehatan dapat
mengasumsi bahwa korban mengalami henti jantung.
3.Jika respon :
Posisikan pada posisi semula dan pastikan tidak ada bahaya yang mengancam
Mencari tahu penyebab dan meminta bantuan
Menilai ulang pasien secara teratur
Jika tidak respon:
Teriak minta bantuan
Memposisikan pasien terlentang dan membuka jalan napas dengan heat tilt – chin
lift
Menjaga jalan napas tetap terbuka, lihat, dengar dan rasa untuk Breathing
Lihat pengembangan dada
Dengan suara napas dari mulut
Rasakan hembusan udara dengan pipi
Buat kesimpulan apakah pernapasan normal, tidak bernapas normal,atau tidak
bernapas
Lakukan tidak lebih dari 10 detik
4.Jika bernapas normal :
Posisikan pasien dalam posisi pemulihan
European Resuscitation Council merekomendasikan posisi stabil, posisi hampir lateral
dengan kepala tertahan dan tanpa tekanan pada dada.
Panggil bantuan
Menilai pernapasan ulang
Jika tidak ada bernapas normal atau tidak bernapas :
Aktivasi sistem darurat. Petugas sebaiknya mengaktifasi sistem respon darurat
yang dalam hal ini berarti menghubungi institusi yang mempunyai fasilitas/layanan gawat
darurat, contohnya menghubungi rumah sakit, polisi, atau instansi terkait.
5. Resusitasi Jantung Paru dini. Seperti yang telah disebutkan, mulai RJP dengan
algoritma “C-A-B” yaitu :
1. Mulai kompresi dada :
Lakukan kompresi dada sebanyak 30 kompresi (sekitar 18 detik). Kriteria
penting untuk mendapatkan kompresi yang berkualitas adalah :
Letakkan pangkal salah satu telapak tangan pada pertengahan dada pasien
(pertengahan bawah sternum) dan pangkal telapak tangan lain diatasnya
Kunci jari-jari tangan, pastikan tangan tetap lurus
Frekuensi kompresi setidaknya 100 kali/menit (tidak lebih dari 120 x/menit)
Kedalaman kompresi untuk dewasa minimal 2 inchi (5 cm), sedangkan untuk
bayi minimal sepertiga dari diameter anterior-posterior dada atau sekitar 1 ½
inchi (4 cm) dan untuk anak sekitar 2 inchi (5 cm).
Lokasi kompresi berada pada tengah dada korban (setengah bawah sternum).
Petugas berlutut di sisi kanan pasien jika korban terbaring di bawah, atau berdiri
disamping korban jika korban berada di tempat tidur (bila perlu dengan bantuan
ganjalan kaki untuk mencapai tinggi yang diinginkan sehingga dan papan kayu
untuk mendapatkan kompresi yang efektif selama tidak memakan waktu).
Menunggu recoil dada yang sempurna dalam sela kompresi.
Setiap selesai kompresi, bebaskan penekanan telapak tangan pada dada tanpa
melepaskan kontak antara tangan dengan sternum
Meminimalisir interupsi dalam sela kompresi.
Menghindari ventilasi berlebihan.
Jika ada 2 orang maka sebaiknya pemberi kompresi dada bergantian setiap 2
menit.
2. Setelah itu melakukan langkah Airway dan Breathing.
Kriteria peting pada Airway dan Breathing adalah :
Airway.
Korban dengan tidak ada/tidak dicurgai cedera tulang belakang maka bebaskan
jalan nafas melalui head tilt– chin lift. Namun jika korban dicurigai cedera tulang
belakang maka bebaskan jalan nafas melalui jaw thrust.
Breathing
Berikan ventilasi sebanyak 2 kali. Pemberian ventilasi dengan jarak 1 detik
diantara ventilasi. Perhatikan kenaikan dada korban untuk memastikan volume
tidal yang masuk adekuat.
Untuk pemberian mulut ke mulut langkahnya sebagai berikut :
• Pastikan hidung korban terpencet rapat dengan menekan bagian lunak
hidung untuk menutup lubang hidung dengan menggunakan ibu jari dan
jari telunjuk
• Ambil nafas seperti biasa (jangan terelalu dalam)
• Buat keadaan mulut ke mulut yang serapat mungkin
• Berikan pernapasan perlahan dan konstan sekitar 1 detik, melalui mulut
sampai dada mengembang. Lakukan sebanyak 2x dengan tidak lebih dari
5 detik
• Kembali ke langkah ambil nafas hingga berikan nafas kedua selama satu
detik.
Jika tidak memungkinkan untuk memberikan pernafasan melalui mulut korban
dapat dilakukan pernafasan mulut ke hidung korban.
Untuk pemberian melalui bag mask pastikan menggunakan bag mask dewasa
dengan volume 1-2 L agar dapat memeberikan ventilasi yang memenuhi volume
tidal sekitar 600 ml.
Setelah terpasang advance airway maka ventilasi dilakukan dengan frekuensi 6 – 8
detik/ventilasi atau sekitar 8-10 nafas/menit dan kompresi dada dapat dilakukan tanpa interupsi.
Jika pasien mempunyai denyut nadi namun membutuhkan pernapasan bantuan, ventilasi
dilakukan dengan kecepatan 5-6 detik/nafas atau sekitar 10-12 nafas/menit dan memeriksa
denyut nadi kembali setiap 2 menit.
Untuk satu siklus perbandingan kompresi dan ventilasi adalah 30 : 2, setelah terdapat
advance airway kompresi dilakukan terus menerus dengan kecepatan 100 kali/menit dan
ventilasi tiap 6-8 detik/kali.
Berhenti untuk pemeriksaan ulang pasien hanya jika pasien mulai bangun, bergerak, buka
mata dan bernapas normal
CPR hanya kompresi dada dapat dilakukan jika :
Penolong tidak terlatih atau menginginkan member pernapasan bantuan
Kontinyu 100 – 120 x /menit
Jangan melakukan interupsi atau menghentikan kompresi sampai :
Bantuan professional mengambil alih
Pasien mulai bangun, bergerak, buka mata dan bernapas normal
Penolong kelelahan
Hal yang perlu diperhatikan adalah pada AHA 2010 ini ada dua hal yang tidak dianjurkan
setelah memeriksa korban tidak responsif yaitu :
Memeriksa ada tidaknya nafas pada korban dengan “look, feel, listen”.
Sulitnya menilai nafas yang adekuat pada korban merupakan alasan dasar hal
tersebut tidak dianjurkan. Nafas yang terengah dapat disalah artikan sebagai nafas
yang adekuat oleh profesional maupun bukan.
Contohnya pada korban dengan sindroma koroner akut sering kali terdapat nafas
terengah yang dapat disalah artikan sebagai pernafasan yang adekuat. Maka tidak
dianjurkan memeriksa pernafasan dengan “look, feel, listen” dan
direkomendasikan untuk menganggap pernafasan terengah sebagai tidak ada
pernafasan.
Memeriksa denyut nadi pasien.
Untuk petugas kesehatan, pemeriksaan nadi korban sebaiknya tidak lebih dari 10
detik jika lebih dari waktu tersebut tidak didapatkan denyut nadi yang definitif
maka petugas sebaiknya memulai RJP.
Kedua hal tersebut tidak lagi dianjurkan bertujuan untuk meminimalisir waktu untuk
memulai RJP.
RJP terus dilakukan hingga alat defibrilasi otomatis datang, pasien bangun, atau petugas
ahli datang. Bila harus terjadi interupsi, petugas kesehatan sebaiknya tidak memakan lebih dari
10 detik, kecuali untuk pemasangan alat defirbilasi otomatis atau pemasangan advance airway.
6. Alat defibrilasi otomatis.
Penggunaanya sebaiknya segera dilakukan setelah alat tersedia/datang ke tempat
kejadian. Pergunakan program/panduan yang telah ada, kenali apakah ritme tersebut
dapat diterapi kejut atau tidak, jika iya lakukan terapi kejut sebanyak 1 kali dan lanjutkan
RJP selama 2 menit dan periksa ritme kembali. Namun jika ritme tidak dapat diterapi
kejut lanjutkan RJP selama 2 menit dan periksa kembali ritme. Lakukan terus langkah
tersebut hingga petugas ACLS (Advanced Cardiac Life Support ) datang, atau korban
mulai bergerak.
7. Posisi mantap.
Lebih dikenal dengan recovery posisition, dipergunakan pada korban tidak responsif
yang memiliki pernafasan dan sirkulasi yang baik. Tidak ada posisi baku yang menjadi
standar, namun posisi yang stabil dan hampir lateral menjadi prinsip ditambah menaruh
tangan yang berada lebih bawah ke kepala sembari mengarahkan kepala menuju tangan
dan menekuk kedua kaki menunjukan banyak manfaat
2.4 Penggunaan Automatic External Defibrilation(AED)
Penggunaan AED aman dan efektif, dan memungkinkan untuk melakukan defibrilasi
sebelum bantuan professional dating. AED standar sesuai digunakan untuk anak usia >8 tahun;
untuk anak 1-8 tahun digunakan paediatric pads, bersama dengan attenuator atau mode pediatric
jika tersedia.
Teknik :
1. Pastikan semua dalam kondisi aman
2. Lakukan BLS
Mulai CPR sesuai dengan BLS. Jika hanya sendiri dan AED tersedia, mulai
dengan menggunakan AED.
3. Jika AED tersedia :
Aktifkan AED dan pasang pad elektroda
Pastikan tidak ada yang menyentuh pasien ketika mulai menganalisa ritme
4. Jika indikasi penghantaran syok :
Pastikan tidak ada yang bersentuhan dengan pasien
Tekan tombol “push”
Segera memulai CPR 30 : 2
Jika indikasi syok tidak ditemukan :
Segera memulai CPR 30 : 2
5. Jangan melakukan interupsi atau menghentikan kompresi sampai :
Bantuan professional mengambil alih
Pasien mulai bangun, bergerak, buka mata dan bernapas normal
Penolong kelelahan
Defibrilasi merupakan proses penghantaran arus listrik melintasi miokard untuk
mendepolarisasi sejumlah miokard dan memunculkan kembali aktivitas terkoordinasi listrik
jantung. Defibrilasi menghentikan fibrilasi atau menghilangkan VF / VT 5 detik pasca
defibrilasi. Tujuan dilakukannya defibrilasi adalah untuk memulihkan ritme dan memunculkan
sirkulasi spontan.
Defibrilasi pertama
1. Defibrilator monofasik : 360 J (high energy shock)
2. Defibrillator bifasik :
Minimal 120 J (Rectilinear biphasic / RLB)
Minimal 150 J (biphasic truncated exponential / BTE)
Ideal : 150 J
Kardioversi
Kardioversi elektrik digunakan untuk mengkonver atrial atau ventrikel takiaritmia. Pasien
yang sadar harus mendapat anestesi atau sedasi sebelum kardioversi sinkronisasi. Bifasik lebih
efektif pada AF dan menyebabkan lebih sedikit kulit terbakar.
1. Atrial Fibrilation (AF)
Monofasik : 200 J
Bidasik : 120 – 150 J
2. Atrial flutter dan Paroksismal supraventrikel takikardia (PSVT)
Monofasik : 100 J
Bifasik : 70 – 120 J
3. Ventricular Tachycardia (VT)
Monofasik : 200 J
Bifasik : 120 – 150 J
2.5 Advance Life Support (ALS)
Irama jantung dihubungkan dengan cardiac arrest dibagi 2 kelompok. Perbedaan utama
pada penatalaksanaannya adalah perlu tidaknya dilakukan defibrilasi.
1. Shockable rhythms (VF / Pulseless VT)
Jika didapatkan VF / VT, charge defibrillator sementara kompresi dada tetap
dilanjutkan. Ketika defibrillator telah siap, kompresi dihentikan. Pastikan dengan cepat bahwa
semua penolong bebas dari pasien dan kemudian beri 1 x defibrilasi (360 J untuk monofasik ;
150 – 200 untuk bifasik)
Minimalkan pre – shock pause
Tanpa menilai ulang ritme atau meraba nadi, lanjutkan CPR 30 : 2 segera setalah
defibrilasi, dimulai dengan kompresi dada.
Lanjutkan CPR selama 2 menit, kemudian hentikan untuk menilai ritme. Jika
masih ditemukan VF / VT, berikan defibrilasi kedua (360 J untuk monofasik; 150 – 200 untuk
bifasik)
Tanpa menilai ulang ritme atau meraba nadi, lanjutkan CPR 30 : 2 segera setelah
defibrilasi, dimulai dengan kompresi dada
Lanjutkan CPR selama 2 menit, kemudian hentikan untuk menilai ritme. Jika
masih ditemukan VF / VT, berikan defibrilasi ketiga (360 J untuk monofasik; 150 – 200 untuk
bifasik)
Tanpa menilai ulang ritme atau meraba nadi, lanjutkan CPR 30 : 2 segera setelah
defibrilasi, dimulai dengan kompresi dada
Jika akses intravena atau intraoseus tersedia, beri andrenalin 1 mg dan amiodaron
300 mg ketika kompresi dilanjutkan
Penggunaan kapnograf dapat mendeteksi ROSC tanpa menghentikan kompresi
dada dan menghindari injeksi andrenalin bolus setelah ROSC tercapai
Jika setelah 2 menit siklus CPR, ritme berubah menjadi asistol atau PEA, lihat
non – shockable rhythms
Berdasarkan ritme arrest, beri andrenalin 1 mg setiap 3-5 menit sampai ROSC
tercapai, atau setiap 2 siklus algoritma
Jika tanda-tanda kehidupan muncul, periksa monitor
Jika ritme terorganisir muncul periksa nadi. Jika nadi teraba, lenjutkan dengan
perawatan pasca resusitasi atau peri – arrest arrhythmia
Jika nadi tidak teraba, lanjutkan CPR
Pergantian penolong setiap 2 menit
2.6 Algoritma pada RJPO tahun 2010(AHA 2010)
Ada beberapa perubahan algoritma pada RJPO pada tahun 2010 yang merupakan
penyempurnaan daripada algoritma RJPO tahun 2005, perubahan-perubahan itu antara lain :
1. Bukan lagi ABC, melainkan CAB
• AHA 2010 (new)
“A change in the 2010 AHA Guidelines for CPR and ECC is to reccomend the initiation
of chest compression before ventilation.”
• AHA 2005 (old)
“The sequence of adult CPR began with opening of the airway, checking for normal
breathing, and then delivering 2 rescue breaths followed by cycles of 30 chest compressions and
2 breaths.”
Sebelumnya dalam pedoman pertolongan pertama, kita mengenal ABC: Airway,
Breathing, Ciculation (Chest Compression) yaitu buka jalan nafas, bantuan pernafasan, dan
kompresi dada. Pada saat ini, prioritas utama adalah Circulation baru setelah itu tatalaksana
difokuskan pada Airway dan selanjutnya Breathing. Satu-satunya pengecualian adalah hanya
untuk bayi baru lahir (neonatus), karena penyebab tersering pada bayi baru lahir yang tidak
sadarkan diri dan tidak bernafas adalah karena masalah jalan nafas (asfiksia). Sedangkan untuk
yang lainnya, termasuk RJP pada bayi, anak, ataupun orang dewasa biasanya adalah masalah
Circulation kecuali bila kita menyaksikan sendiri korban tidak sadarkan diri karena masalah
selain Circulation harus menerima kompresi dada sebelum kita berpikir memberikan bantuan
jalan nafas.
2. Tidak ada lagi Look, Listen, and Feel
• AHA 2010 (new)
“Look, listen, and feel for breathing was removed from the sequence for assessment of
breathing after opening the airway. The healthcare provider briefly checks for breathing when
checking responsiveness to detect signs of cardiac arrest. After delivery of 30 compressions, the
home rescuer opens the victim’s airway and delivers 2 breaths.”
• AHA 2005 (old)
“Look, listen, and feel for breathing was used to assess breathing after the airway was
opened.”
Kunci utama menyelamatkan seseorang dengan henti jantung adalah Bertindak
bukan Menilai. Telepon ambulan segera saat kita melihat korban tidak sadar dan tidak bernafas
dengan baik (gasping).. Jika Anda mencoba menilai korban bernapas atau tidak dengan
mendekatkan pipi Anda pada mulut korban, itu boleh-boleh saja. Tapi tetap saja sang korban
tidak bernafas dan tindakan look listen and feel ini hanya akan menghabiskan waktu
3. Tidak ada lagi Resque Breath
• AHA 2010 (new)
“Beginning CPR with 30 compressions rather than 2 ventilations leads to a shorter delay
to first compression”
Resque breath adalah tindakan pemberian napas buatan sebanyak dua kali setelah
kita mengetahui bahwa korban henti napas (setelah Look, Listen, and Feel). Pada AHA 2010,
hal ini sudah dihilangkan karena terbukti menyita waktu yang cukup banyak sehingga terjadi
penundaan pemberian kompresi dada.
4. Kompresi dada lebih dalam lagi
• AHA 2010 (new)
“The adult sternum should be depressed at least 2 inches (5 cm)”
• AHA 2005 (old)
“The adult sternum should be depressed 11/2 to 2 inches (approximately 4 to 5 cm).”
Pada pedoman RJP sebelumnya, kedalaman kompresi dada adalah 1 ½ - 2 inchi
(4 – 5 cm), namun sekarang AHA merekomendasikan untuk melakukan kompresi dada dengan
kedalaman minimal 2 inchi (5 cm).
5. Kompresi dada lebih cepat lagi
• AHA 2010 (new)
“It is reasonable for lay rescuers and healthcare providers to perform chest
compressions at a rate of at least 100x/min.”
• AHA 2005 (old)
“Compress at a rate of about 100x/min.”
AHA mengganti redaksi kalimat disini sebelumnya tertulis: tekan dada sekitar 100
kompresi/ menit. Sekarang AHA merekomendasikan kita untuk kompresi dada minimal 100
kompresi/ menit. Pada kecepatan ini, 30 kompresi membutuhkan waktu 18 detik.
6. Hands only CPR
• AHA 2010 (new)
“Hands-Only (compression-only) bystander CPR substantially improves survival
following adult out-of-hospital cardiac arrests compared with no bystander CPR.”
AHA mendorong RJP seperti ini pada tahun 2008. Dan pada pedoman tahun 2010 pun
AHA masih menginginkan agar penolong yang tidak terlatih melakukan Hands Only CPR pada
korban dewasa yang pingsan di depan mereka. Pertanyaan terbesar adalah: apa yang harus
dilakukan penolong tidak terlatih pada korban yang tidak pingsan di depan mereka dan korban
yang bukan dewasa? AHA memang tidak memberikan jawaban tentang hal ini, namun ada saran
sederhana disini: berikan Hands Only CPR, karena berbuat sesuatu lebih baik daripada tidak
berbuat sama sekali.
7. Pengaktivasian Emergency Response System (ERS)
• AHA 2010 (new)
“Check for response while looking at the patient to determine if breathing is absent or
not normal. Suspect cardiac arrest if victim is not breathing or only gasping.”
• AHA 2005 (old)
“Activated the emergency response system after finding an unresponsive victim, then
returned to the victim and opened the airway and checked for breathing or abnormal
breathing.”
Pada pedoman AHA yang baru, pengaktivasian ERS seperti meminta pertolongan
orang di sekitar, menelepon ambulans, ataupun menyuruh orang untuk memanggil bantuan tetap
menjadi prioritas, akan tetapi sebelumnya telah dilakukan pemeriksaan kesadaran dan ada
tidaknya henti nafas (terlihat tidak ada nafas/ gasping) secara simultan dan cepat.
8. Jangan berhenti kompresi dada
• AHA 2010 (new)
“The preponderance of efficacy data suggests that limiting the frequency and duration of
interruptions in chest compressions may improve clinically meaningful outcomes in
cardiac arrest patients.”
Setiap penghentian kompresi dada berarti menghentikan aliran darah ke otak yang
mengakibatkan kematian jaringan otak jika aliran darah berhenti terlalu lama. Membutuhkan
beberapa kompresi dada untuk mengalurkan darah kembali. AHA menghendaki kita untuk terus
melakukan kompresi selama kita bisa atau sampai alat defibrilator otomatis datang dan siap
untuk menilai keadaan jantung korban. Jika sudah tiba waktunya untuk pernapasan dari mulut
ke mulut, lakukan segera dan segera kembali melakukan kompresi dada. Prinsip Push Hard, Push
Fast, Allow complete chest recoil, and Minimize Interruption masih ditekankan disini.
Ditambahkan dengan Avoiding excessive ventilation.
9. Tidak dianjurkan lagi Cricoid Pressure
• AHA 2010 (new)
“The routine use of cicoid pressure in cardiac arrest is not recommended.”
• AHA 2005 (old)
“Cricoid pressure should be used only if the victim is deeply unconscious, and it usually
requires a third rescuer not involved in rescue breaths or compressions.”
Cricoid pressure dapat menghambat atau mencegah pemasangan jalan nafas yang
lebih adekuat dan ternyata aspirasi tetap dapat terjadi walaupun sudah dilakukan cricoid
pressure. Cricoid pressure merupakan suatu metode penekanan tulang rawan krikoid yang
dilakukan pada korban dengan tingkat kesadaran sangat rendah, hal ini pada pedoman AHA
2005 diyakini dapat mencegah terjadinya aspirasi dan hanya boleh dilakukan bila terdapat
penolong ketiga yang tidak terlibat dalam pemberian nafas buatan ataupun kompresi dada.
10. Pemberian Precordial Thump
• AHA 2010 (new)
“The precordial thump should not be used for unwitnessed out-of-hospital cardiac arrest.
The precordial thump may be considered for patients with witnessed, monitored, unstable
VT (including pulseless VT) if a defibrillator is not immediately ready for use, but it
should not delay CPR and shock delivery.”
• AHA 2005 (old)
“No recommendation was provided previously.”
Pada beberapa kasus dilaporkan bahwa precordial thump dapat mengembalikan
irama ventricular tachyarrhytmias ke irama sinus. Akan tetapi pada sejumlah besar kasus lainnya,
precordial thump tidak berhasil mengembalikan korban dengan ventricular fibrillation ke irama
sinus atau kondisi Return of Spontaneous Circulation (ROSC). Kemudian terdapat banyak
laporan yang menyebutkan terjadinya komplikasi akibat pemberian precordial thump seperti
fraktur sternum, osteomyelitis, stroke, dan bahkan bisa mencetuskan aritmia yang ganas pada
korban dewasa dan anak-anak. Pemberian precordial thump boleh dipertimbangkan untuk
dilakukan pada pasien dengan VT yang disaksikan, termonitor, tidak stabil, dan bila defibrilator
tidak dapat disediakan dengan segera. Dan yang paling penting adalah precordial thump tidak
boleh menunda pemberian RJP atau defibrilasi
2.7 Advance RJPO
Drug atau obat adalah salah satu lanjutan dari basic RJPO. Agar obat-obatan dapat masuk
dan beredar ke sirkulasi tubuh, maka dapat dimasukkan melalui beberapa jalur, antara lain :
Akses Intravena
Merupakan keharusan untuk resusitasi agar berhasil. Tempat terbaik adalah vena sentral,
vena jugularis interna, vena jugularis externa, vena subclavia, vena femoralis atau vena parifer
dengan kateter panjang atau pendek tetapi aliran harus lancer. Buat akses intravena, dan obat-
obat yang diberikan melalui kalur intravena perifer harus diikuti dengan bolus minimal 20 ml
cairan dan elevasi dari ekstremitas selama 10 – 20 detik untuk memfasilitasi penghantaran obat
ke sirkulasi sentral.
Rute Intraoseus
Jika akses intravena sulit atau tidak mungkin dilakukan, pertimbangkan untuk rute
intraoseus. Rute intraoseus telah ditetapkan sebagai rute efektif pada pasien dewasa.
Rute Trakeal
Pemberian obat melalui rute ini menyebabkan konsentrasi plasma obat tidak dapat
diprediksi.
2.8.Obat-obatan yang dapat dipakai dalam manajemen RJPO:
1. Vasopresor
Tujuan utama dari CPR adalah menghasilkan kembali aliran darah ke orga-organ vital sapai
ROSC tercapai. Pemberian vasopresor direkomendasikan untuk meningkatkan perfusi
koroner dan serebral selama CPR
Adrenalin
Adrenalin telah menjadi agen simpatomimetik primer untuk manajemen cardiac
arrest selama 40 tahun.
α – adrenergik
Efek vasokonstriksi menyebabkan vasokonsrtiksi sistemik, yang meningkatkan
tekanan perfusi koroner dan serebral.
β – adrenergik (inotropik kronotopik)
Meningkatkan aliran darah koroner dan serebral, tetapi diikuti dengan
meningkatnya konsumsi O2 miokard, artimia ventrikel aktopik, transien hipoksemia,
gangguan mikrosirkulasi dan disfungsi miokard pasca cardiac arrest.
Vasopressin
Vasopressin perupakan alternative vasopresor. Secara alami, vasopressin
merupakan anti diuretic hormone. Pada dosis tinggi merupakan vasokonstriktor kuat
yang bekerja melalui stimulus reseptor V1 otot polos.
Dua penelitian terbaru yang membandingkan pemberian andrenalin tunggal
atau dengan kombinasi vasopressin, member kesimpulan bahwa tidak ada perbedaan
dalam ROSC, survival, dan kejadian neurologis pasca resustasi. Belum ditemukan
vasopresor lain sebagai alternatif ketika dibandingkan dengan andrenalin.
2. Anti aritmia
Amiodaron
Amiodaron merupakan obat anti aritmia penstabil membrane yang
meningkatkan durasi potensial aksi dan periode refrakter pada miokard atrium dan
ventrikel. Konduksi atrioventrikuler menjadi lambat. Amiodaron memiliki aksi
inotropik negatif dan menyebabkan vasodilatasi perifer melalui efek α blocker non
kompetitif.
Lidokain
Lidokain merupakan alternatif jika amiodaron tidak tersedia. Lidokain adalah
obat anti aritmia penstabil membrane yang bekerja dengan meningkatkan periode
refrakter miosit. Hal ini menyebabkan penurunan automatisasi ventrikel dan aksi
anestesi local menekan aktivitas ektopik ventrikel. Lidokain menaikkan ambang VF.
Magnesium
Magnesium memegang peran penting pada transmisi neurokimiawi, dimana
akan menyebabkan berkurangnya pelepasan asetilkolin dan menurunkan sensitivitas
motor endplate. Magnesium juga memperbaiki respon kontraksi dari stunned
myocardium dan membatasi ukuran infark. Pemberian rutin magnesium tidak
direkomendasikan pada cardiac arrest, kecuali didapatkan Tarsades de Pointers.
Adenosine
Untuk mengkonversi PSVT ke irama sinus, waktu paruh 5 menit, memperlambat
A-V konduksi nodal, menginterupsi jalur reentry A-V node. Ini dapat pula digunakan
untuk membantu membuat diferensial diagnosis supraventricular tachycardia (misalnya
atrial flutter dengan rapid response versus PSVT). Dosis 6 mg dengan bolus IV cepat.
Bila PSVT tak berhasil diatasi, dapat diberikan suntikan kedua dengan dosis 12 mg. pada
anak-anak dosis 0.1 mg/kg; dosis ulang 0.2 mg/kg; dosis maksimal 12 mg.
Beta Blocker (atenolol, metoprolol dan propanolol)
Sudah dipakai untuk pasien-pasien dengan unstable Angina, infark miokard.
Obat-obat ini mengurangi iskemia rekurens, reinfark nonfatal, VF postinfark. Kontras
dengan penghambat calcium, beta blockers bukan inotropik negatif direk. Esmolol
berguna pula untuk terapi akut PSVT, AF, Atrial flutter, ectopic atrial tachycardia. Dosis
initial dan lanjut bila tolerans adalah atenolol, 5 mg selama 5 menit, ulangi sekali pada 10
menit, metoprolol, 5 mg sebanyak tiga kali setiap 5 menit, propanolol 0,1 mg/kg dibagi
dalam tiga dosis setiap 2-3 menit, esmolol, 0.5 mg/kg dalam 1 menit dilanjutkan dengan
infus mulai dari 50 mikrogram/menit dan titrasi sampai 200 mikrogram/ menit.
Kontraindikasi adalah heart block derajat dua atau tiga, hipotensi dan congestive heart
failure berat. Atenolol dan metoprolol, relatif lebih beta-1 blocker, lebih disukai daripada
propranolol pada pasien dengan jalan napas reaktif. Sebagian besar pasien dengan
penyakit obstruktif menahun, umumnya tolerans terhadap beta-blockers.
Calcium Channel Blockers
Verapamil dan diltiazem melambatkan konduksi dan complex yang tidak respons
terhadap manuver vagal atau adenosine. Keduanya dapat pula dipakai untuk
mengendalikan laju respons ventrikel pada AF atau atrial flutter. Dosis verapamil initial
adalah 2.5 – 5.0 mg IV, dengan dosis selanjutnya 5 sampai 10 mg IV diberikan tiap 15 –
30 menit. Diltiazem diberikan dengan dosis initial bolus 0.25 mg/kg sampai 0.35 mg/kg
dan infus 5 – 15 mg/jam bila perlu. Efek samping hipotensi, eksaserbasi congestive heart
failure, bradikardia. Hipotensi dapat direverse dengan Calcium Chloride 0.5 – 1.0 g IV.
Isoproterenol
Adalah beta-1 dan beta-2 agonist adrenergik. Ini merupakan obat second line
untuk mengatasi bradikardia yang tidak responsive terhadap atropine dan dobutamin
dimana pacemaker temporer tidak tersedia. Aktivitas beta-2 dapat menyebabkan
hipotensi. Isoproterenol diberikan dengan IV 2 – 10 mikro/menit. Dititrasi untuk
mencapai heart rate yang diinginkan.
Procainamide
Mungkin bisa dipertimbangkan pada pasien-pasien dengan yang masih ada
cadangan fungsi ventrikel. Loading dose adalah 20 mg/menit sampai aritmia dapat
tersupresi, timbul hipotensi, kompleks QRS melebar 50% dari nilai asal atau dosis total
17 mg/kg tercapai. Bila aritmia dapat diatasi, infus maintenance 1 – 4 mg/menit harus
dimulai, dosis dikurangi bila ada gagal ginjal.
3. Obat lain
Atropin
Atropine mengantagonis akdi neurotransmitter parasimpatis asetilkolin pada
reseptor muskarinik. Atropiin menghambat efek nervus vagus pada nodus SA dan
nodus AV, meningkatkan automatisasi sinus dan memfasilitasi konduksi nodus AV.
Kalsium
Kalsium berperan dalam mekanisme seluler kontraksi miokard. Kalsium dapat
memperlambat denyut jantung dan mempresipitasi aritmia.
Bikarbonat
Pemberian rutin sodium bikarbonat semala cardiac arrest dan CPR atau setelah
ROSC tidak direkomendasikan. Pemberian sodium bikarbonat 50 mmol jika cardiac
arrest disebabkan karena hiperkalemia atau overdosis anti depresan trisiklik.
Dopamine
Memiliki aktifitas dopaminergik (pada dosis kurang dari 2 mikro/kg/ menit), beta
adrenergik (pada 2 – 5 mikro/kg/menit), dan alpha adre-nergik (pada 5 – 10
mikro/kg/menit). Tapi efek adrenergik tersebut dapat terjadi pada dosis terendah
sekalipun. Mulai dengan 150 mikro/menit dan titrasi sampai efek yang diinginkan (urine,
tekanan darah meningkat, heart rate meningkat).
4. Cairan Intravena
Hipovolemia merupakan penyebab cardiac arrest yang reversibel, sehingga infus cepat
cairan diharapkan dapat mengatasi cardiac arrest jika hipovolemia adalah penyebabnya. Infus
NaCl 0,9% atau Hartmann’s adalah pilihan. Dektrosa tidak direkomendasikan karena
didistrbusikan keluar dari intravaskuler dengan cepat dan menyebabkan hiperglikemia.
BAB III
RJPO PADA INFANT DAN ANAK
Resusitasi adalah tindakan utama pada kegawatan yang terdiri atas bantuan hidup dasar
dan lanjut. Bantuan hidup dasar adalah proses pemberian oksigen dan ventilasi untuk
memulihkan henti jantung, terdiri dari pembebasan jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi.
Bantuan hidup lanjut adalah cara invasif untuk menstabilkan bayi dan anak, dimulai dari
pemberian cairan intravena sampai dukungan kardiopulmonal buatan secara total.
Tujuan resusitasi anak adalah untuk mempertahankan oksigenasi dan perfusi darah yang
adekuat ke seluruh tubuh, di mana di saat yang sama dilakukan langkah-langkah untuk
menstabilkan kondisi anak dan menciptakan homeostasis jangka panjang. Tindakan harus
dilakukan secara berurutan, dimulai dengan ABC: airway, breathing, dan circulation. Sebagai
tambahan untuk “A” juga mewakili pemeriksaan kesadaran, dan antisipasi situasi berisiko tinggi
seperti trauma, respiratory distress, atau exacerbations of chronic life-shortening conditions.
Diawali dengan memeriksa kesadaran pasien, termasuk di dalamnya respons terhadap
rangsang, suara dan gerakan spontan, serta tonus otot.
3.1 Bantuan Hidup Dasar
Pembebasan Jalan Napas
1. Bila tidak ada cedera kepala atau leher, buka jalan napas dengan cara head tilt
atau chin lift:
1. letakkan satu tangan pada dahi, tekan perlahan ke arah posterior
sehingga kemiringan kepala pada posisi normal atau sedikit ekstensi
(hindari hiperekstensi karena dapat menyumbat jalan napas)
2. letakkan jari (bukan ibu jari) tangan yang lain pada tulang rahang
bawah tepat di ujung dagu dan dorong keluar atas sambil
mempertahankan manuver pertama. Hindari penekanan pada bagian
lunak dagu karena dapat menyumbat jalan napas.
2. Bila anak tidak sadar dan dicurigai cedera leher atau kepala, buka jalan napas
dengan cara jaw thrust tanpa head tilt (setelah upaya imobilisasi leher atau
kepala):
1. posisi penolong di sisi atau di atas kepala
2..letakkan 2-3 jari (tangan kiri dan kanan) pada masing-masing sudut
posterior mandibula kemudian angkat dan dorong keluar
3.bila posisi penolong di atas kepala, kedua siku penolong diletakkan
pada lantai atau alas di mana korban diletakkan
4.bila upaya ini belum membuka jalan napas, kombinasikan dengan
head tilt dan membuka mulut (metode gerakan triple)
5.untuk cedera kepala atau leher lakukan jaw thrust dengan imobilisasi
leher.
Pernapasan
Bila tidak bernapas lakukan napas buatan dengan cara:
1. pasang sungkup sesuai ukuran sehingga dapat menutup mulut dan hidung
2. sambil mempertahankan jalan napas lakukan tiupan napas dengan mulut
atau balon resusitasi dengan frekuensi:
1. 12-20 kali/menit pada bayi dan anak di bawah usia 8 tahun
2. 40-60 kali/menit pada neonatus.
Napas buatan yang sukses terlihat dari naiknya dinding dada dan berkurangnya sianosis.
Jika dengan penggunaan sungkup tidak memfasilitasi masuknya udara secara adekuat, maka
intubasi diindikasikan. Indikasi intubasi antara lain apnea, kehilangan kontrol SSP untuk
pernapasan, obstruksi jalan napas yang tidak dapat diatasi dengan manuver membuka jalan
napas, meningkatnya usaha bernapas yang ditakutkan akan menyebabkan fatigue, kebutuhan
akan positive end-expiratory pressure (PEEP) atau peak inspiratory pressure (PIP) yang tinggi,
refleks proteksi jalan napas yang buruk, atau sedasi. Ketika pasien diintubasi, penempatan pipa
endotrakeal yang tepat harus dipastikan dengan cara mendengarkan bunyi napas, kenaikan
dinding dada, dan analisis instan dari karbondioksida yang diekshalasi menggunakan kalorimetri.
Sirkulasi
1. Penilaian sirkulasi dilakukan dengan memeriksa denyut nadi setelah
dilakukan 2 kali napas buatan
2. Pijat jantung dilakukan pada bradikardia atau henti jantung
3. Tempat pijatan pada 1/3 bagian bawah tulang dada dengan kedalaman 1/3
tebal dada
4. Pada bayi pijatan dilakukan dengan menggunakan ibu jari atau 2 jari
(telunjuk dan jari tengah). Pada anak < 8 tahun dengan pangkal telapak tangan. Pada anak
> 8 tahun dengan pangkal telapak tangan terbuka dan dibantu oleh tangan yang lain di
atasnya
5. Pijat jantung dilakukan sekitar 100 kali/menit pada bayi dan anak,
neonatus 120 kali/menit
6. Koordinasi antara pijat jantung dan napas buatan:
1. neonatus = 3:1
2. bayi dan anak < 8 tahun:
1. i. satu penolong = 30:2
2. ii. dua penolong = 15:2
3. anak > 8 tahun: 30:2
Gambar II.3 Dua jari
Gambar II.4 Dua ibu jari + BVM
3.2 Bantuan Hidup Lanjut
Bila terdapat henti jantung, lakukan prosedur di bawah ini:
oksigen
Sebagian besar pasien yang memerlukan RJP juga membutuhkan jalan napas yang paten
melalui intubasi trakea. Berikan oksigen 100% selama ventilasi dengan kantong-katup-sungkup
(bag-valve-mask = BVM) dan setelah itu dilakukan intubasi. Oksigenasi harus didahulukan
sebelum pemberian obat-obatan intravena dan defibrilasi atau kardioversi
cairan dan obat-obatan
Jalur alternatif bila akses vena sulit didapat adalah melalui pipa endotrakeal, sehingga
obat diabsorpsi melalui permukaan kapiler saluran napas bawah. Namun jalur ini terbatas untuk
obat yang larut dalam lemak (epinefrin, atropin, lidokain, dan nalokson)
1. Akses vena. Bila akses vena perifer sulit diperoleh, gunakan jalur vena
sentral atau intraoseus. Untuk bayi dan anak lokasi vena sentral yang dipilih adalah vena
jugularis interna kanan dan vena femoralis. Pada situasi darurat, kateterisasi vena
subklavia menimbulkan banyak komplikasi.
2. Resusitasi cairan. Pada anak dengan henti jantung dan napas yang tidak
menunjukkan respons terhadap oksigenasi dan ventilasi, berikan bolus cairan 10-20
ml/kg untuk memperoleh volume sirkulasi yang cukup dan membantu mengembalikan
ritme perfusi.
3. Terapi farmakologi.
3.3 Perawatan Post Resusitasi
Saat resusitasi berhasil, perawatan di PICU biasanya diperlukan untuk melihat potensi
timbulnya sindrom disfungsi multipel organ dan melanjutkan kebutuhan inotropik jantung.
Hiperglikemi dan hipertermi harus dihindari. Observasi lanjutan untuk gangguan neurologis dan
perkembangan neurologis jangka panjang sangat penting. Sedangkan saat resusitasi gagal dan
pasien meninggal, keluarga pasien harus ditenangkan dan dijelaskan mengenai apa yang terjadi
dan usaha apa saja yang sudah dilakukan.
3.4 Ringkasan Masalah dan Perubahan Utama AHA 2010
Banyak hal berkenaan dengan perubahan algoritme RJPO pada anak yang sama dengan
RJPO pada dewasa berdasarkan AHA 2010, perubahan tersebut antara lain :
1.Inisiasi RJPO dengan kompresi dada untuk mengurangi jeda waktu untuk kompresi
dada yang pertama
Modifikasi kedalaman dari kompresi dada yaitu 1/3 diameter anterior-posterior dada,
kurang lebih 1,5 inchi (4cm) pada infant dan sekitar 2 inchi (5cm) pada anak karena dari
penelitian radiologis kompresi 1/2 diameter anterior-posterior tidak dapat digunakan
2. Dihapuskannya 'look,listen,feel'
Penolong harus mampu menentukan adanya denyut dalam waktu 10 detik,jika dalam 10
detik denyut tidak teraba,maka harus segera dilakukan RJPO
3. Penggunaan AED pd infant maupun anak
Sebaiknya digunakan defibrilator manual,tetapi jika tidak tersedia,AED yang dilengkapi
dengan mode anak bisa digunakan,jika keduanya tidak tersedia,AED tanpa mode anak dapat
digunakan
4. Perubahan tahapan RJPO dari ABC ke CAB
RJPO dimulai dengan 30x kompresi (pada 1 penolong) atau 15x kompresi (pada 2
penolong / pada infant) dibandingkan 2x ventilasi. Hal ini menimbulkan perdebatan karena
kematian pada anak biasanya disebabkan oleh asfiksia bukan cardiac arrest seperti yang terjadi
pada dewasa. Manajemen yang baru ini tetap dilakukan dengan harapan penolong dapat menjaga
sirkulasi dengan tanpa mengacuhkan ventilasi (selisih waktu antara kompresi dengan ventilasi
maksimal 18 detik)
5. Cek nadi
Jika bayi atau anak tidak berespon dan tidak bernafas ataupun hanya gasping,penolong
memiliki waktu maksimal 10 detik untuk meraba denyut nadi,jika tidak teraba ataupun
ragu,mulai kompresi dada. Akan sangat sulit untuk memperkirakan ada/tidaknya nadi,terlebih
pada saat gawat darurat.penelitian menunjukkan penolong maupun petugas terlatihpun sulit
mendeteksi nadi. Dalam hal ini managemen tahun 2005 sama dengan 2010 tetapi pada
tatalaksana terbaru terdapat saran untuk melakukan kompresi tanpa deteksi nadi untuk
mengurangi resiko keterlambatan kompresi dada pada pasien cardiac arrest dan jikalau ada nadi
tetapi dilakukan kompresi dada,resiko terjadinya komplikasi adalah minimal
Banyaknya masalah saat peninjauan ulang literatur PALS menyebabkan perbaikan
rekomendasi yang sudah ada daripada rekomendasi baru. Informasi baru disediakan untuk
resusitasi anak dan bayi dengan kelainan jantung kongenital tertentu serta hipertensi pulmonal.
Pemantauan capnography/capnometry ulang direkomendasikan untuk memastikan posisi
endotracheal tube yang tepat dan mungkin berguna selama RJP untuk menilai dan
mengoptimalkan kualitas dari kompresi dada.
Algoritma dari PALS cardiac arrest telah disederhanakan untuk menekankan aturan dari
penatalaksanaan periode 2 menit RJP tanpa terganggu.
Penggunaan defibrilator awal 2-4 J/kg atau gelombang bifasik atau monofasik lain cukup
beralasan. Untuk kemudahan, dosis 2 J/kg dapat digunakan (dosis ini sesuai dengan rekomendasi
pada tahun 2005). Untuk dosis kedua dan selanjutnya, berikan paling tidak 4 J/kg. Dosis lebih
dari 4 J/kg (tidak lebih dari 10 J/kg atau dosis dewasa) masih aman dan efektif, terutama jika
diberikan dengan defibrillator bifasik.
Atas dasar adanya bukti bahwa pemaparan oksigen dosis tinggi berpotensi menimbulkan
bahaya, rekomendasi baru telah ditambahkan untuk titrasi oksigen inspirasi (apabila alat yang
sesuai tersedia) segera setelah sirkulasi spontan pulih, untuk mempertahankan saturasi
oksihemoglobin arteri ≥94% namun <100% untuk mencegah risiko hiperoxemia.
Bagian baru telah ditambahkan pada resusitasi anak atau bayi dengan kelainan jantung
bawaan, seperti single ventricle, palliated single ventricle, dan hipertensi pulmonal.
Beberapa rekomendasi obat-obatan telah direvisi. Termasuk tidak memberikan kalsium
kecuali pada kondisi tertentu serta membatasi penggunaan etomidate pada syok septic.
Indikasi terapi hipotermia post resusitasi telah diklarifikasi.
Pertimbangan diagnosis baru telah dikembangkan untuk sudden cardiac death dengan
etiologi yang belum diketahui.
Jika memungkinkan, provider disarankan untuk mencari konsultasi ahli ketika
memberikan amiodarone atau procainamide untuk pasien hemodinamik stabil dengan aritmia.
Definisi wide-complex tachycardia telah berubah dari >0,08 detik menjadi >0,09 detik.
6. Rekomendasi Monitoring CO2 Ekspirasi
2010 (Baru) : Direkomendasikan untuk mendeteksi CO2 ekspirasi (capnography atau
colorimetry) disamping penilaian klinis untuk menilai posisi tracheal tube untuk neonatus, bayi,
dan anak dengan perfusing cardiac rhythm baik di prehospital, ED, ICU, bangsal, kamar operasi,
dan selama di dalam rumah sakit ataupun saat diperjalanan antar rumah sakit. Monitoring
capnography atau capnometry berkelanjutan, jika tersedia, bermanfaat selama RJP untuk
memandu terapi, khususnya terhadap efektivitas kompresi dada.
2005 (Lama) : Pada bayi dan anak dengan perfusing cardiac rhythm, gunakan
colorimeter detector atau capnography untuk mendeteksi CO2 ekspirasi untuk menilai posisi
endotracheal tube sebelum masuk rumah sakit, kawasan rumah sakit, dan selama perawatan di
rumah sakit maupun saat di perjalanan antar rumah sakit.
Alasan : Monitoring CO2 ekspirasi (capnography atau colorimetry) secara umum
memastikan penempatan endotracheal tube di saluran pernapasan dan lebih sensitif mendeteksi
kesalahan penempatan/pergeseran posisi daripada monitoring saturasi oksihemoglobin. Karena
proses pemindahan pasien meningkatkan risiko pergeseran posisi tube, monitoring sangatlah
penting dilakukan.
Penelitian terhadap hewan dan orang dewasa menunjukkan adanya korelasi yang erat
antara konsentrasi PETCO2 dan intervensi yang meningkatkan kardiak output selama RJP. Nilai
PETCO2 yang konsisten < 10 hingga 15 mmHg menunjukkan bahwa upaya difokuskan pada
peningkatan kompresi dada dan memastikan ventilasi tidak berlebihan. Peningkatan PETCO2
yang tiba-tiba dapat diobservasi sebelum identifikasi klinis ROSC, sehingga monitoring PETCO2
dapat menurunkan intensitas penghentian kompresi untuk menilai pulsasi.
7. Dosis Daya Defibrilasi
2010 (Baru) : Penggunaan dosis 2-4 J/kg untuk defibrilasi dapat diterima, tetapi untuk
kemudahan pembelajaran, dosis awal 2 J/kg dapat digunakan. Untuk VF yang sulit diatasi, dapat
dilakukan peningkatan dosis. Pemberian defibrilasi selanjutnya paling tidak 4 J/kg, atau dengan
tingkat energi yang lebih tinggi, asalkan tidak melebihi 10 J/kg atau dosis maksimum dewasa,
dapat dipertimbangkan.
2005 (Lama) : Dengan defibrillator manual (monofasik atau bifasik), gunakan dosis 2
J/kg untuk pemberian pertama dan 4 J/kg untuk pemberian selanjutnya.
Alasan : Dibutuhkan lebih banyak data untuk mengetahui dosis energi optimal untuk
defibrilasi pada pediatric. Dari bukti yang ada, sementara ini hanya dapat diketahui dosis efektif
atau dosis maksimal saja. Nnamun beberapa data menunjukkan bahwa dosis yang lebih tinggi
masih aman dan lebih efektif. Mengingat bukti-bukti yang ada masih terbatas untuk mendukung
perubahan, rekomendasi baru hanya mengalami sedikit modifikasi yang memperbolehkan
pemberian dosis yang lebih tinggi hingga dosis maksimal yang dipercaya para ahli masih dalam
batas aman.
8. Pembatasan Oksigen Hingga Nilai Normal Setelah Resusitasi
2010 (Baru) : Ketika sirkulasi pulih, awasi saturasi oksihemoglobin arteri.Bila peralatan
tersedia, titrasi pemberian oksigen untuk mempertahankan saturasi oksihemoglobin arteri ≥94%.
Bila peralatan yang sesuai tersedia, ketika ROSC tercapai, sesuaikan FiO2 ke konsentrasi
minimal yang dibutuhkan untuk mencapai saturasi oksihemoglobin arteri ≥94%, dengan tujuan
menghindari hyperoxia, sementara memastikan pengiriman oksigen yang memadai. Karena
saturasi oxyhemoglobin arteri 100% sesuai dengan PaO2 kurang lebih sekitar 80 dan 500 mmHg,
pada umumnya merupakan hal yang tepat untuk menghentikan FIO2 ketika saturasi 100%,
asalkan saturasi dapat dipertahankan ≥94%.
2005(Lama) : Hyperoxia dan risiko cedera reperfusi ditujukan dalam AHA Guidelines
for CPR and ECC in General tahun 200, namun rekomendasi untuk titrasi oksigen inspirasi tidak
spesifik.
Alasan : Bila peralatan untuk melakukan titrasi oksigen tersedia, titrasilah oksigen untuk
mempertahankan saturasi oksihemoglobin 94% hingga 99%. Data ini menunjukkan bahwa
hiperoksemia (seperti PaO2 yang tinggi) meningkatkan kerusakan oksidatif yang tampak setelah
reperfusi iskemia seperti yang terjadi setelah resusitasi pada cardiac arrest. Risiko kerusakan
oksidatif dapat dikurangi dengan mentitrasi FiO2 untuk menurunkan PaO2 (yang tercapai dengan
memonitor saturasi oksihemoglobin arteri) sementara memastikan oksigen arteri yang adekuat.
Data terbaru dari penelitian orang dewasa menunjukkan hasil yang buruk mengenai hiperoksia
setelah resusitasi dari cardiac arrest.
9. Resusitasi Bayi dan Anak dengan Kelainan Jantung Kongenital
2010 (Baru) : Panduan resusitasi spesifik telah ditambahkan dalam manajemen dari
cardiac arrest pada bayi dan anak dengan single ventricle anatomy, Fontan atau hemi-Fontan,
bidirectional Glenn physiology, dan hipertensi pulmonal.
2005 (Lama) : Topik ini tidak ditujukan dalan AHA Guideline for CPR dan ECC tahun
2005.
Alasan : Variasi anatomi spesifik dengan kelainan jantung congenital memberikan
tantangan unik untuk resusitasi. AHA Guidelines for CPR and ECC tahun 2010 menguraikan
rekomendasi untuk masing-masing kondisi klinis tersebut. Secara umum dari keseluruhan
kondisi ialah potensial awal menggunakan oksigenasi membrane ekstracorporeal sebagai pilihan
terapi di beberapa senter dengan kapabilitas yang canggih.
10. Managemen Takikardia
2010 (Baru) : Wde- complex takikardia ialah bila lebar gelombang QRS > 0,09 s
2005 (Lama) : Wde- complex takikardia ialah bila lebar gelombang QRS > 0,08 s
Alasan : Pernyataan ilmiah terbaru , durasi QRS dikatakan memanjang bila >0,09 s
untuk anak di bawah usia 4 tahun, dan ≥ 0,1 s dikatakan memanjang untuk anak usia antara 4
hingga 16 tahun. Untuk alas an ini, penyusun PALS guideline menyimpulkan bahwa akan lebih
sesuai bila lebar QRS > 0,9s dikatakan memanjang pada pasien anak-anak. Meskipun mata
manusia tidak dapat membedakan perbedaan 0,01 s, interpretasi computer terhadap EKG dapat
menghitung lebar QRS hingga milliseconds.
11. Obat-obatan selama Cardiac Arrest dan Syok
2010 (Baru) : Rekomendasi terhadap pemberian kalsium lebih kuat daripada AHA
Guideline sebelumnya. Pemberian kalsium secara rutin tidak direkomendasikan untuk anak
cardiopulmonary arrest yang diketahui mengalami hipokalsemia, overdosis calcium channel
blocker, hipermagnesemia, atau hiperkalemia. Pemberian kalsium secara rutin pada cardiac
arrest tidak memberikan manfaat dan bahkan justru berbahaya.
Bomidate telah ditunjuk untuk memfasilitasi intubasi endotracheal pada bayi dan anak
dengan efek hemodinamik minimal namun tidak direkomendasikan untuk penggunaan rutin pada
pasien pediatric dengan kejadian syok septic.
2005 (Lama) : Meskipun AHA Guideline for CPR and ECC tahun 2005 mencatat bahwa
pemberian kalsium secara rutin tidak meningkatkan hasil dari cardiac arrest, kata “tidak
direkomendasikan” di tahun 2010 menggambarkan pernyataan yang lebih kuat dan
mengindikasikan potensi yang membahayakan. Etomidate tidak ditujukan dalam AHA Guideline
for CPR and ECC tahun 2005.
Alasan : Bukti yang lebih kuat mengenai penggunaan kalsium selama cardiopulmonary
arrest mengakibatkan peningkatan penekanan dalam menghindari penggunaan obat ini secara
rutin kecuali untuk pasien dengan hipokalsemia, overdosis kalsium channel blocker,
hipermagnesemia, atau hiperkalemia.
Bukti dari potensi bahaya yang ditimbulkan dengan penggunaan etomidate pada dewasa
maupun anak dengan syok septic memunculkan rekomendasi untuk tidak menggunakan obat ini
secara rutin pada kondisi tersebut. Etomidate menyebabkan supresi adrenal, dan respon steroid
endogen yang sangat penting pada pasien dengan syok septic.
12. Perawatan Post Cardiac Arrest
2010 (Baru) : Meskipun belum ada hasil penelitian yang dipublikasikan mengenai terapi
hipotermia pada anak, berdasarkan fakta pada orang dewasa, terapi hipotermia (32oC hingga
34oC) dapat bermanfaat pada remaja yang masih dalam keadaan koma setelah resusitasi dari VF
cardiac arrest.Terapi hipotermia dapat juga dipertimbangkan untuk bayi atau anak yang masih
tetap koma setelah resusitasi dari cardiac arrest.
2005 (Lama) : Berdasarkan penelitian terhadap orang dewasa dan neonatus, ketika
pasien anak masih tetap koma setelah resusitasi, pertimbangkan untuk menurunkan suhu mereka
menjadi 32oC hingga 34oC selama 12-24 jam.
Alasan : Penelitian tambahan terhadap orang dewasa menunjukkan adanya manfaat dari
hipotermia terapi untuk pasien koma setelah henti jantung, termasuk dengan irama selain VF.
Data untuk pediatric masih diperlukan.
13. Evaluasi Korban Sudden Cardiac Death
2010 (Baru) : Ketika terjadi cardiac death yang tidak diketahui penyebabnya pada anak-
anak maupun orang dewasa, kumpulkan data-data riwayat medis dan penyakit keluarga
(termasuk riwayat pingsan episodic, kejang, gejala klinis yang tidak diketahui penyebabnya,
tenggelam, atau kematian mendadak pada usia <50 tahun) dan nilai status GCS pasien. Semua
bayi, anak-anak dan dewasa muda dengan kematian mendadak, jika keadaan memungkinkan,
sebaiknya dilakukan autopsi lengkap, lebih baik jika dilakukan oleh ahli patologi yang terlatih
dan berpengalaman di bidang patologi kardiovaskuler. Sampel jaringan dari korban sebaiknya
dilakukan analisis genetic untuk memeriksa channelopathy.
Alasan : Bukti-bukti yang menunjukkan bahwa kematian mendadak pada bayi, anak-
anak, dan dewasa muda berkaitan dengan mutasi genetik yang menyebabkan gangguan transport
ion jantung saat ini semakin banyak. Kelainan transport ion jantung ini disebut channelopathy.
Kelainan ini dapat menyebabkan aritmia yang fatal, dan diagnosis yang tepat sangat penting
untuk keluarga korban.
BAB IV
RESUSITASI NEONATUS
Penyebab utama dari cardiac arrest pada neonatus adalah asfiksia, oleh karena itu
monitoring A-B-C dengan kompresi : ventilasi 3:1 diutamakan kecuali bila penyebabnya ialah
murni kardiak.
Neonatus aterm yang cairan ketubannya jernih dan bersih dari mekonium, langsung
bernafas, menangis, dan tonus ototnya baik memerlukan perawatan rutin, seperti mengeringkan,
menghangatkan, dan membersihkan jalan nafas dengan balon penghisap atau kateter penghisap.
Sebaliknya, neonatus yang tidak memenuhi kriteria di atas memerlukan langkah-langkah
resusitasi. Nilai Apgar dapat digunakan untuk menentukan perlu tidaknya resusitasi.
Langkah-langkah resusitasi neonatus antara lain:
1. Stabilisasi
2. Ventilasi
3. Kompresi dada
4. Penggunakan medikasi
Setiap langkah memerlukan waktu 30 detik untuk menuju ke langkah berikutnya. Untuk
menuju ke langkah berikutnya diperlukan penilaian terhadap respirasi, detak jantung, dan kulit
bayi. Contohnya,apnea dangasping merupakan indikasi bantuan ventilasi. Peningkatan atau
penurunan detak jantung dapat menunjukkan kondisi perbaikan atau perburukan. Sianosis
sentral, penurunan cardiac output, hipotermia, asidosis, atau hipovolemia merupakan indikasi
dari resusitasi lebih lanjut.
4.1 Langkah awal untuk memulai resusitasi Neonatus
1. Menghangatkan
Termoregulasi merupakan aspek penting dari langkah awal resusitasi. Hal ini dapat
dilakukan dengan meletakkan neonatus di bawah radiant warmer. Sebaiknya bayi yang
diletakkan di bawah radiant warmer dibiarkan tidak berpakaian agar dapat diobservasi dengan
baik serta mencegah terjadinya hipertermi. Bayi yang dengan berat kurang dari 1500 gram,
mempunyai risiko tinggi terjadinya hipotermi. Untuk itu, sebaiknya bayi tersebut dibungkus
dengan plastik, selain diletakkan di bawah radiant warmer. Tujuan dari resusitasi neonatus yaitu
untuk mencapai normotermi dengan cara memantau suhu, sehingga tidak terjadi hipertermi
iatrogenik.
2. Memposisikan Kepala dan Membersihkan Jalan Nafas
Setelah diletakkan di bawah radiant warmer, bayi sebaiknya diposisikan terlentang
dengan sedikit ekstensi pada leher pada posisi sniffing position. Kemudian jalan nafas harus
dibersihkan. Jika tidak ada mekonium, jalan nafas dapat dibersihkan dengan hanya menyeka
hidung dan mulut dengan handuk, atau dapat dilakukan suction dengan menggunakan bulb
syringe atau suction catheter jika diperlukan. Sebaiknya dilakukan suction terhadap mulut lebih
dahulu sebelum suction pada hidung, untuk memastikan tidak terdapat sesuatu di dalam rongga
mulut yang dapat menyebabkan aspirasi. Selain itu, perlu dihindari tindakan suction yang terlalu
kuat dan dalam karena dapat menyebabkan terjadinya refleks vagal yang menyebabkan
bradikardi dan apneu.
Jika terdapat mekonium tetapi bayinya bugar, yang ditandai dengan laju nadi lebih dari
100 kali per menit, usaha nafas dan tonus otot yang baik, lakukan suction pada mulut dan hidung
dengan bulb syringe ( balon penghisap ) atau kateter penghisap besar jika diperlukan.
Pneumonia aspirasi yang berat merupakan hasil dari aspirasi mekonium saat proses
persalinan atau saat dilakukan resusitasi. Oleh karena itu, jika bayi menunjukan usaha nafas yang
buruk, tonus otot yang melemah, dan laju nadi kurang dari 100 kali per menit, perlu dilakukan
suction langsung pada trachea dan harus dilakukan secepatnya setelah lahir. Hal ini dapat
dilakukan dengan laringoskopi langsung dan memasukan kateter penghisap ukuran 12 French
(F) atau 14 F untuk membersihkan mulut dan faring posterior, dilanjutkan dengan memasukkan
endotracheal tube, kemudian dilakukan suction. Langkah ini diulangi hingga keberadaan
mekonium sangat minimal.
3. Mengeringkan dan Memberi Rangsangan
Ketika jalan nafas sudah dibersihkan, bayi dikeringkan untuk mencegah terjadinya
kehilangan panas, kemudian diposisikan kembali. Jika usaha nafas bayi masih belum baik, dapat
diberikan rangsang taktil dengan memberikan tepukan secara lembut atau menyentil telapak
kaki, atau dapat juga dilakukan dengan menggosok-gosok tubuh dan ekstremitas bayi.
Penelitian laboratotium menunjukkan bahwa pernapasan adalah tanda vital pertama
yang berhenti ketika bayi baru lahir kekurangan oksigen. Setelah periode awal pernapasan yang
cepat maka peride selanjutnya disebut apnu primer. Rangsangan seperti mengeringkan atau
menepuk telapak kaki akan menimbulkan pernapasan.
Walaupun demikian bila kekurangan oksigen terus berlangsung, bayi akan melakukan
beberapa usaha bernapas megap – megap dan kemudian masuk ke dalam periode apnu sekunder.
Selama masa apnu sekunder, rangsangan saja tidak akan menimbulkan kembali usaha
pernapasan bayi baru lahir. Bantuan pernapasan dengan ventilasi tekanan positif harus diberikan
untuk mengatasi masalah akibat kekurangan oksigen. Frekuensi jantung akan mulai menurun
pada saat bayi mengalami apnu primer , tekanan darah akan tetap bertahan sampai dimulainya
apnu sekunder.
4. Evaluasi Pernafasan, Laju Nadi, dan Warna Kulit
Langkah terakhir dari langkah awal resusitasi yaitu evaluasi pernafasan, laju nadi dan
warna kulit. Pergerakan dada harus baik dan tidak ada megap megap (gasping ). Gasping
menunjukkan adanya usaha nafas yang tidak efektif dan memerlukan ventilasi tekanan positif.
Selain itu, laju nadi harus lebih dari 100 kali per menit, yang diukur dengan cara melakukan
palpasi tekanan nadi di daerah dasar umbilikus, atau dengan auskultasi dinding dada sebelah kiri.
Jika laju nadi kurang dari 100 kali per menit, segera lakukan ventilasi tekanan positif.
Penilaian warna kulit dapat dilakukan dengan memperhatikan bibir dan batang tubuh bayi
untuk menilai ada tidaknya sianosis sentral. Sianosis sentral menandakan terjadinya hipoksemia,
sehingga perlu diberikan oksigen tambahan. Jika masih terjadi sianosis setelah diberikan oksigen
tambahan, ventilasi tekanan positif perlu dilakukan, bahkan dengan laju nadi lebih dari 100 kali
per menit. Jika sianosis sentral masih terjadi dengan ventilasi tekanan positif yang adekuat, perlu
dipikirkan adanya penyakit jantung bawaan atau adanya hipertensi pulmoner yang persisten.
a. Penilaian Jalan Nafas
Seperti yang sudah disebutkan, penilaian dan penatalaksanaan dari jalan nafas dapat
dilakukan dengan cara pembersihan jalan nafas, memposisikan bayi pada sniffing position untuk
membuka jalan nafas. Selain itu, dapat pula dilakukan evaluasi terhadap laju nadi dan warna
kulit bayi. Evaluasi ini harus dilakukan dengan baik karena bila ada salah satu tanda vital yang
abnormal, akan segera membaik jika diberikan ventilasi. Jadi, di dalam resusitasi neonatus,
pemberian ventilasi yang adekuat merupakan langkah yang paling penting dan paling efektif.
b. Pemberian Oksigen
Pemberian oksigen diperlukan apabila neonatus dapat bernafas, laju nadi lebih dari
100 kali per menit, tetapi masih terjadi sianosis sentral. Oksigen aliran bebas oksigen diberikan
dengan cara dialirkan ke hidung bayi secara pasif, dapat diberikan menggunakan sungkup,
T-piece resuscitator, atau selang oksigen (oxygen tubing) sesuai dengan cara yang diperlukan.
Untuk memastikan neonatus mendapatkan oksigen dengan konsetrasi tinggi, sungkup harus
diletakkan menempel pada wajah, agar menciptakan tekanan yang setara dengan Continuous
Positive Airway Pressure (CPAP) atau Positive End Expiratory Pressure (PEEP). Jika
menggunakan selang oksigen, posisi tangan harus dibentuk seperti mangkok di ujung selang dan
diletakkan di depan wajah bayi. Oksigen tidak boleh diberikan lebih dari 10 liter per menit
(LPM) untuk waktu yang lama. Oksigen cukup diberikan dengan aliran 5 LPM dalam resusitasi.
Standar oksigen yang digunakan dalam resusitasi neonatus yaitu oksigen 100%. Terdapat
penelitian yang meneliti penggunaan udara ruangan (oksigen 21%) dan oksigen 100% untuk
resusitasi neonatus. Disebutkan bahwa penggunaan oksigen 100% dapat merugikan selama masa
post asfiksia, hal ini berdasarkan teori :
1. Pada observasi in vitro , produksi oksigen radikal saat reoksigenasi hipoksia
bergantung pada konsentrasi oksigen
2. peningkatan konsentrasi hipoxantine di plasma selama hipoksia mencapai level lebih
tinggi pada saat resusitasi. Karena hipoxantine terakumulasi pada neonatus yang asfiksia , maka
dapat kita artikan bahwa limitasi oksigen pada masa post asfiksi secara potensial dapat
mengurangi luka akibat akumulasi dari oksigen radikal.
3. Selain itu hiperoksia memperlambat aliran darah pada bayi aterm maupun preterm dan
pemberian oksigen 100% saat persalinan dapat menyebabkan penurunan aliran darah jangka
panjang pada bayi preterm.
Pada penelitian tersebut didapatkan bahwa mortalitas neonatus lebih rendah pada
penggunaan oksigen 21% daripada oksigen 100% ( 5,8 % dan 9,5% ) dan pada neonatus preterm
juga berlaku hal yang sama yaitu mortalitas pada penggunaan oksigen 21% lebih rendah
daripada oksigen 100% ( 21 % dan 35 % ). Hal ini menunjukkan resusitasi menggunakan
oksigen 21% ( udara ruangan) tampaknya potensial sebagai strategi untuk menurunkan
mortalitas neonatus bahkan pada neonatus preterm. Ini dapat berimplikasi terhadap aturan
di negara berkembang yang masih mencari cara lebih murah namun dapat menurunkan angka
kematian pada neonatus maupun bayi.
Penggunaan oksigen memiliki efek samping seperti dapat merusak paru-paru dan
jaringan, terutama pada bayi prematur. Hal ini menyebabkan direkomendasikannya penggunaan
oksigen dengan konsentrasi kurang dari 100%, yang dapat diperoleh dengan menggunakan
oxygen blender yang dapat mencampur oksigen dan udara untuk menghasilkan konsentrasi
udara yang diinginkan. Pada bayi yang menderita penyakit jantung bawaan, penggunaan oksigen
100% dapat mengganggu perfusi jaringan. Secara umum, saturasi oksigen harus dijaga antara 85-
95%, dimana 70-80% didapatkan pada menit awal kehidupan.
Pemberian oksigen tambahan juga diberikan pada bayi yang memerlukan ventilasi
tekanan positif. Indikasi dari ventilasi tekanan positif dengan oksigen tambahan antara lain:
1. Bayi yang apnea
2. Laju nadi kurang dari 100 kali per menit setelah 30 detik
3. Terjadi sianosis sentral setelah diberikan oksigen tambahan
4.2 Penghentian Resusitasi
Di dalam persalinan, ada kondisi dimana tidak dilakukan resusitasi, antara lain
bayi dengan masa gestasi kurang dari 23 minggu, bayi dengan berat lahir kurang dari 400
gram, anencephaly, dan bayi yang dipastikan menderita trisomi 13 dan 18. Sedangkan
penghentian resusitasi dapat dilakukan apabila tidak terjadi sirkulasi spontan dalam
waktu 15 menit.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hazinki, M. F., et al. 2010. American Heart Association Guidelines for CPR and ECC 2010.
Dallas, Texas, USA.
2. Morgan, G. E., et al. 2006. Chapter 47 Cardiopulmonay Resuscitation. Clinical Anesthesiology 4th
Edition. The McGraw – Hill Companies, Inc. USA. p:979 – 100
3. American Heart Association. 2005. Neonatal Resuscitation Guidelines. Circulation
Journal of the Amerivan Heart Association. USA..
4. Amoro,Wiji. 2011. Resusitasi kardiopulmoner dewasa. Surakarta, Indonesia
5. Ris, Andi. 2009. Ketrampian Dasar Anathesiology 3, RJP Neonatus – Dewasa, Modul 3.
Surakarta, Indonesia