4
1 Hukum Pidana Korupsi– Arief Dwi Atmoko,SH,MH. Fakultas Hukum – Univ. Narotama Surabaya SUBYEK DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA A. Subyek Delik Korupsi 1. Manusia 2. Korporasi 3. Pegawai Negeri 4. Setiap orang Ad.1 Manusia Manusia berarti dia adalah orang laki-laki dan perempuan bukan subyek binatang. - Manusia mempunyai budaya – binatang tidak - Manusia makhluk berpikir – binatang instink - Manusia dirumuskan kata : “Hij” atau barang siapa atau setiap orang juga “ibu” (RS 341.342 KUHP). Dalam memori penjelasan pasal 59 KUHP dikatakan suatu strafbaarfeit hanya dapat diwujudkan oleh manusia. Ad.2 Korporasi Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Pasal 1 ayat 1 UU No. 31/99. Pertama : Kumpulan orang yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Contoh : Organisasi kemasyarakatan yang bergerak dibidang politik seperti partai politik. Kedua : Kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Contoh : Yayasan, Koperasi Kumpulan dari harta benda atau kekayaan yang disisihkan untuk tujuan tertentu baik untuk kepentingan sosial maupun mencari keuntungan.

Modul Tindak Pidana Korupsi 4 Subyek Dan Pertanggungjawaban Pidana

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Modul Tindak Pidana Korupsi 4 Subyek Dan Pertanggungjawaban Pidana

Citation preview

  • 1Hukum Pidana Korupsi Arief Dwi Atmoko,SH,MH. Fakultas Hukum Univ. Narotama Surabaya

    SUBYEK DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA

    A. Subyek Delik Korupsi

    1. Manusia

    2. Korporasi

    3. Pegawai Negeri

    4. Setiap orang

    Ad.1 Manusia

    Manusia berarti dia adalah orang laki-laki dan perempuan bukan subyek binatang.

    - Manusia mempunyai budaya binatang tidak

    - Manusia makhluk berpikir binatang instink

    - Manusia dirumuskan kata : Hij atau barang siapa atau setiap orang juga

    ibu (RS 341.342 KUHP).

    Dalam memori penjelasan pasal 59 KUHP dikatakan suatu strafbaarfeit

    hanya dapat diwujudkan oleh manusia.

    Ad.2 Korporasi

    Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik

    merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Pasal 1 ayat 1 UU

    No. 31/99.

    Pertama :

    Kumpulan orang yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun

    bukan badan hukum.

    Contoh : Organisasi kemasyarakatan yang bergerak dibidang politik seperti

    partai politik.

    Kedua :

    Kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan

    badan hukum.

    Contoh : Yayasan, Koperasi

    Kumpulan dari harta benda atau kekayaan yang disisihkan untuk tujuan

    tertentu baik untuk kepentingan sosial maupun mencari keuntungan.

  • 2Hukum Pidana Korupsi Arief Dwi Atmoko,SH,MH. Fakultas Hukum Univ. Narotama Surabaya

    Ad.3 Pegawai Negeri

    Pengertian pegawai negeri pada umumnya ialah orang yang bekerja pada

    pemerintah.

    Karena pasal : KUHP diangkat kedalam undang-undang No. 31 tahun 1949,

    maka pengertian pegawai negeri diperluas menjadi:

    a. Pegawai negeri sebagaimana dimaksudkan dalam undang-undang tentang

    kepegawaian.

    b. Pegawai negeri sebagaimana dimaksudkan dalam KUHP.

    c. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah

    (BUMN, BUMD).

    d. Orang yang menerima gaji atau upah dari koperasi yang menerima

    bantuan dari keuangan negara atau daerah.

    e. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi yang mempergunakan

    modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat. Jadi yang obyek

    penderita delik korporasi itu meliputi keuangan negara, keuangan

    daerah, atau masyarakat.

    Ad.4 Setiap Orang

    Yang dimaksud setiap orang adalah divisi orang perseorangan (individu)

    atau termasuk korporasi:

    Bagi Moeljatno : ungkapan tersebut diatas berarti orang tidak mungkin

    dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana), kalau dia tidak melakukan delik,

    tetapi meskipun dia melakukan delik, tidak selalu di pidana.

    Dengan demikian ternyata untuk adanya kesalahan terdakwa harus:

    1. Melakukan delik

    2. Usia dewasa, karena mampu bertanggungjawab

    3. Terdapat kesengajaan atau kealpaan

    4. Tidak ada alasan pemaaf

    B. Mampu Bertanggungjawab

    Mampu bertanggungjawab dijelaskan sebagai keadaan batin orang normal, yang

    sehat.

    Dalam KUHP tidak ada batasan tentang mampu bertanggungjawab yang ada

    dalam KUHP ialah sebaliknya, pengertian negatifnya yakin tidak dapat

    dipertanggungjawabkan yang disebut pasal 44 KUHP.

  • 3Hukum Pidana Korupsi Arief Dwi Atmoko,SH,MH. Fakultas Hukum Univ. Narotama Surabaya

    Untuk adanya kemampuan bertanggungjawab, terdakwa harus:

    - Mampu membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, yang

    sesuai dengan Hukum dan yang melawan hukum.

    - Mampu menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan

    buruknya perbuatan tadi.

    Yang pertama : faktor akal (intelektual faktor) yaitu dapat membeda-bedakan

    antara perbuatan yang dibolehkan atau tidak.

    Yang kedua : faktor perasaan atau kehendak yaitu dapat menyesuaikan perbuatan

    tadi dengan keinsyafan terdapat perbuatan yang dibolehkan atau tidak.

    Dari beberapa pakar masalah kemampuan bertanggungjawab dapat ditarik

    kesimpulan:

    1. Pertanggungjawaban Pidana atau kesalahan dalam arti luas mempunyai 3

    bidang:

    * Kemampuan bertanggungjawab orang yang melakukan perbuatan

    * Hubungan batin orang yang melakukan perbuatan dengan perbuatannya.

    - Perbuatan yang ada kesengajaan

    - Perbuatan yang ada Alpa, lalai, kurang hati-hati.

    - Tidak ada alasan menghapuskan pertanggungjawaban pidana bagi

    pembuat.

    2. Kesalahan dalam arti sempit :

    - Kesengajaan

    - Kealpaan

    C. Cara menentukan suatu keadaan Tidak mampu bertanggungjawab

    Ada beberapa metode untuk menentukan suatu keadaan tidak mampu

    bertanggungjawab pada seseorang, sehingga dia tidak di pidana.

    A)Methode Biologis

    Methode biologis yaitu suatu cara dengan mengurai atau meninjau jiwa

    seseorang. Seorang psychiater telah menyatakan seseorang sakit gila dengan

    sendirinya orang tersebut tidak dipidana.

    B) Methode Psychologis

    Methode psychologis yaitu dengan cara menunjukkan hubungan keadaan jiwa

    abnormal dengan perbuatannya.

  • 4Hukum Pidana Korupsi Arief Dwi Atmoko,SH,MH. Fakultas Hukum Univ. Narotama Surabaya

    Methode ini yang dipentingkan adalah akibat penyakit jiwa terhadap

    perbuatannya. Sehingga dapat dikatakan tidak mampu bertanggungjawab dan

    tidak dipidana.

    C)Methode Gabungan

    Methode gabungan dari kedua cara tersebut, yakni methode Biologis dan

    methode Psychologis, dengan menunjukkan disamping menyatakan keadaan

    jiwa oleh sebab keadaan jiwa itu, kemudian dinilai dengan perbuatannya untuk

    dinyatakan tidak mampu bertanggungjawab.

    Dalam KUHP dianut methode gabungan, sebab dirumuskan secara diskriptif,

    yaitu dengan rumusan akibatnya saja, sedang sebabnya tidak dirumuskan secara

    normatif (pasal 44 KUHP).

    Dalam praktek harus dibuktikan terlebih dulu Tingkat epnyakit ingatan

    apakah orang yang dihinggapi jiwa seperti itu:

    - Dapat mengerti akan nilai perbuatannya, hingga dapat mengerti akan nilai

    akibat perbuatannya.

    - Dapat menentukan kehendak terhadap perbuatan yang dilakukan.

    - Dapat menyadari bahwa perbuatan yang dilakukan itu adalah perbuatan yang

    dilarang.

    Jika ketiga syarat tersebut tidak dipenuhi, maka baru ditentukan bahwa dia tidak

    dapat dipidana.

    Dari pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan:

    1. Pertanggungjawaban pidana dalam arti luas:

    - Kemampuan bertanggungjawab orang yang melakukan perbuatan.

    - Hubungan batin orang yang melakukan perbuatan dengan perbuatannya.

    - Tidak ada alasan menghapuskan pertanggungjawaban pidana si pembuat.

    2. Pertanggungjawaban pidana dalam arti sempit:

    - Kesengajaan (dolus)

    - Kealpaan (colpus)

    KUHP dalam penjelasan menyinggung bahwa setiap orang dianggap

    mempunyai jiwa atau batin yang sehat, sehingga setiap orang dapat

    dipertanggungjawabkan terhadap perbuatannya, kecuali ada keraguan baru

    dibuktikan.