304

Click here to load reader

Mogok Kerja Oleh serikat

Embed Size (px)

DESCRIPTION

The research result

Citation preview

Page 1: Mogok Kerja Oleh serikat
Page 2: Mogok Kerja Oleh serikat

i

KATA PENGANTAR

Lihatlah itu yang disanaOrang berkumpul bising suaranya

Wajahnya merah dibakar marahSang dewa nasib sedang berduka

Di depan pabrik minta keadilanHanyalah janji membumbung tinggi

Tuntutan mereka membentur bajaTerus bekerja atau di PHK

[…]

Di atas adalah penggalan lirik lagu Robot Bernyawa milik penyanyi Iwan

Fals yang bercerita tentang nasib buram kaum buruh Indonesia. Walaupun lagu

tersebut diciptakan sekitar dua dekade yang lalu, tetapi masih relevan hingga kini.

Buruh hingga kini tetap dinistakan.

Buruh “dimuliakan” dengan menempatkan posisi buruh setara dengan

pemilik modal, relasi buruh dan pemilik modal dalam aktivitas produksi

dikonstruksikan seperti dua orang yang sedang melakukan transaksi jual-beli.

Tenaga dan pikiran buruh dianggap sebagai komoditas. Dalam konstruksi seperti

itu, buruh yang secara sosial-ekonomi merupakan pihak lemah, tentu tidak

mempunyai posisi tawar yang cukup kuat, dan pada akhirnya hanya praktek

eksploitasi dan bentuk-bentuk ketidakadilan lainnya yang dialami buruh. Karena

itulah tenaga dan pikiran yang diberikannya untuk memberi tambahan nilai atas

suatu barang tak pernah dihargai dengan layak.

Negara yang seharusnya berkewajiban berpihak dan membela yang lemah,

justru malah mengekalkan konstruksi semacam itu. Dengan alasan “demi menarik

masuk investasi guna mengejar pertumbuhan ekonomi”, politik upah murah

diterapkan. Dan, ketika buruh menuntut perbaikan kesejahteraan, setiap kali

berusaha menyuarakan kepentingan dan tuntutannya, selalu membentur “baja”,

yaitu struktur yang berlaku dan dikuatkan oleh negara.

***Tulisan ini sebenarnya merupakan skripsi (penulisan hukum) penulis di

Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, yang telah sedikit penulis

modofikasi. Tulisan ini, yang merupakan penulisan hukum selain untuk memenuhi

syarat guna memperoleh gelar sarjana hukum dari Fakultas Hukum Universitas

Page 3: Mogok Kerja Oleh serikat

ii

Gadjah Mada, juga merupakan bentuk usaha penulis untuk menuangkan

pengalaman dan pengetahuan yang sedikit penulis miliki selama bergelut dengan

isu-isu perburuhan, serta berkawan dan berinteraksi dengan kawan-kawan buruh

yang selalu bergeliat untuk bergerak. Dengan kata lain, penulis mencoba

membedah realitas dan persoalan perburuhan dari kacamata ilmiah ilmu hukum.

Sekaligus penulis berharap bahwa tulisan ini dapat turut memberikan kontribusi

untuk melengkapi wacana gerakan buruh Indonesia. Sekali lagi, ini hanya sebuah

ikhtiar, dan tentunya mungkin masih jauh dari ukuran untuk disebut ilmiah. Di

dalamnya masih terbuka amat lebar akan kekurangan dan kelemahan, baik dari sisi

materi maupun metodologi.

Akan tetapi, bukankah ilmu pengetahuan—terutama yang bersinggungan

dengan masalah sosial—itu sifatnya dialektis? Berkembang terus menerus sehingga

sesuatu yang hari ini dianggap sebagai kebenaran ilmiah, esok hari tergantikan oleh

“kebenaran ilmiah” lainnya? Dan, bukankah tidak ada metode yang mempunyai

tingkat presisi seratus persen untuk menjawab persoalan secara utuh? Atas dasar

itulah penulis memberanikan diri untuk membuat tulisan ini. Atas dasar itu pula

maka kritik dan saran yang membangun amat penulis harapkan.

Akhirnya penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang

telah membantu penulis membuat tulisan ini, seperti Mas Ari Hermawan (dosen

pembimbing skripsi penulis di FH UGM); Mas Herlambang Perdana (salah seorang

guru penulis yang merupakan staf pengajar FH Universitas Airlangga, aktivis

gerakan rakyat, dan sedang menempuh pendidikan doktoral di Universitas Leiden,

Belanda); Mas Surya Tjandra (juga salah seorang guru penulis sekaligus Direktur

Eksekutif TURC); dan pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Namun, penulis secara khusus ingin mengucapkan terima kasih kepada kaum buruh

Indonesia beserta semesta gerakan buruh yang terus berjuang, karena mereka telah

memberikan inspirasi, pemahaman serta pengetahuan kepada penulis. Tulisan ini

secara khusus penulis persembahkan kepada kaum buruh Indonesia.

Yogyakarta, April 2008

Penulis

Page 4: Mogok Kerja Oleh serikat

x

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………….……………………. iDAFTAR ISI ……………………………………………………....………………. iii

BAB IPENDAHULUAN ………………………………………………………………… 1

BAB IITINJAUAN UMUM TENTANG SERIKAT BURUH/SERIKAT PEKERJADAN MOGOK KERJA ………………………………………………………….. 28A. Tinjauan Umum Tentang Serikat Buruh/Serikat Pekerja ……………………… 28

1. Sejarah Umum Serikat Buruh ……………………………………………... 28a. Fase-fase Gerakan Serikat Buruh ……………………………………… 43b. Sejarah Serikat Buruh Di Indonesia …………………………………… 48

1). Masa Pra Kemerdekaan ……………………………………………. 482). Masa Pasca Kemerdekaan …………………………………………. 53

2. Pengertian Serikat Buruh ………………………………………………….. 613. Kebebasan Berserikat Bagi Buruh ………………………………………… 714. Jenis-jenis Serikat Buruh/Serikat Pekerja Menurut Paradigma dan Pola

Gerakannya ………………………………………………………………... 815. Bentuk-bentuk Serikat Buruh …………………………………………….... 836. Fungsi dan Kewajiban Serikat Buruh ……………………………………... 85

a. Kewajiban Serikat Buruh ……………………………………………… 87b. Fungsi Serikat Buruh …………………………………………………... 89

7. Fungsi Serikat Buruh Dalam Penetapan Upah Minimum …………………. 92

B. Tinjauan Umum Tentang Mogok Kerja ……………………………………….. 1011. Pengertian Mogok Kerja …………………………………………………... 1012. Kebebasan Berserikat dan Mogok Kerja …………………………………... 1053. Klasifikasi Mogok Kerja Di Indonesia ……………………………………. 1144. Mogok Kerja Sebagai Hak Dibidang Sosial-Ekonomi dan

Hak Dibidang Politik ………………………………………………………. 116a. Hak Dibidang Sosial Ekonomi …………………….…………….…….. 118b. Hak Dibidang Politik …………………………………………………... 118

BAB IIITINJAUAN UMUM TENTANG UPAH, KEBIJAKAN UPAH MINIMUM,MEKANISME PENETAPAN, DAN KONFLIK KEPENTINGAN DALAMPENENTUAN UPAH MINIMUM ……………………………………………… 121A. Tinjauan Umum Tentang Upah ………………………………………………... 121

1. Konsepsi Upah Dalam Mode Produksi Kapitalis ………………………….. 1212. Pergeseran Dari Ranah Privat Menjadi Publik …………………………….. 1293. Kebijakan Upah Murah & Industrialisasi Kapitalis ...……………………... 136

3.1. Perubahan Teori Pembangunan International Division of Labor …… 138

Page 5: Mogok Kerja Oleh serikat

xi

3.2. New International Division of Labor ………………………………... 143

B. Tinjauan Umum Tentang Kebijakan Upah Minimum ………………………… 1471. Tujuan Kebijakan Upah Minimum ………………………………………... 1472. Kebijakan Upah Minimum sebagai Sarana Politik Upah Murah ………….. 1503. Kebijakan Upah Minimum di Era Kebebasan Berserikat: Lanjutan Politik

Upah Murah ……………………………………………………………….. 1523.1. “Negara Bonapartis” ………………………………………………… 158

4. Implikasi Kebijakan Upah Minimum yang Konsisten …………………….. 165

C. Tinjauan Mengenai Mekanisme Perumusan dan Penetapan Upah Minimum … 1711. Perdebatan Seputar Penetapan Upah Minimum …………………………… 1752. Kebutuhan Hidup Layak sebagai Prinsip Penentuan Besaran Upah ………. 1803. Faktor-faktor yang Dijadikan Pedoman dalam Perumusan dan Penentuan

Besaran Upah Minimum …………………………………………………... 186

D. Tinjauan Mengenai Konflik Kepentingan dalam Penentuan dan PenetapanUpah Minimum ………………………………………………………………... 1921. Hubungan Industrial Pancasila …………………………………………….. 1922. Kepentingan Pengusaha …………………………………………………… 1953. Kepentingan Negara ……………………………………………………….. 2004. Kepentingan Buruh ………………………………………………………... 209

BAB IVSTUDI KASUS JAWA TIMUR ….......................………………………………. 214A. Deskripsi ......... ………………………………………………………………... 214

1. Mekanisme Penetapan Upah Minimum di Provinsi Jawa Timur ………….. 214a. Kebutuhan Hidup Layak ………………………………………………. 216b. Survei & Penghitungan Nilai Kebutuhan Hidup Layak ……………….. 217c. Penetapan Upah Minimum …………………………………………….. 221

2. Peran Serikat Buruh dalam Mogok Kerja Menentang Ketetapan UpahMinimum di Jawa Timur …………………………………………………... 223a. Peran Serikat Buruh Dalam Penentuan Upah Minimum ……………… 223b. Serikat Buruh dan Pengorganisasian Protes Buruh Terhadap Ketentuan

Upah Minimum ………………………………………………………... 226c. Mogok Kerja Menentang Ketetapan Upah Minimum ………………… 234d. Ancaman Dikriminalkan dan Digugat Perdata ………………………... 236

3. Akibat Hukum Mogok Kerja Menentang Ketetapan Upah Minimum OlehSerikat Buruh ……………………………………………………………… 238

B. Pembahasan ……………………………………………………………………. 2411. Persoalan di Seputar Penetapan Upah Minimum ………………………….. 241

a. Indikator Komponen yang Tidak Memadai …………………………… 241b. Survei Harga Barang …………………………………………………... 245c. Penetapan Harga dan Nilai KHL Didasarkan Kesepakatan …………… 249d. Keanggotaan Dewan Pengupahan ……………………………………... 252

Page 6: Mogok Kerja Oleh serikat

xii

d.1. Bukti “Negara Bonapartis” ……………………………………….. 2552. Peran Serikat Buruh dalam Mogok Kerja Menentang Penetapan Upah

Minimum …………………………………………………………………... 257a. Pemogokan Memrotes Ketentuan Upah Minimum Oleh Serikat Buruh:

Bentuk Usaha Mempertahankan dan Memperjuangkan HakKonstitusional Serta Pelaksanaan Kewajiban Serikat …………………. 257

b. Pengorganisasian Mogok Kerja Sebagai Bentuk Pelaksanaan Fungsidan Kewajiban Serikat ………………………………………………… 266

c. Mogok sebagai Hak Politik ……………………………………………. 268d. Kategori Mogok Kerja Menyoal Ketentuan Upah Minimum Oleh

Serikat Buruh ………………………………………………………….. 2741). Sebagai Mogok Kerja Tidak Sah ………………………………….. 2742). Terkategorikan Mogok Kerja Sah …………………………………. 277

3. Akibat Hukum Mogok Kerja Menyoal Ketentuan Upah Minimum ………. 282a. Diperkarakan secara Pidana oleh Pengusaha ………………………….. 282b. Digugat Perdata ……………………………………………................... 284c. Dikualifikasikan sebagai Mangkir Kerja .……………………………... 287

4. Konsekuensi Kualifikasi Mangkir Kerja Menurut Peraturan MenteriTenaga Kerja Nomor 232 Tahun 2003 sebagai Bentuk DehumanisasiTerhadap Buruh ……………………………………………………………. 290

DAFTAR PUSTAKA

Page 7: Mogok Kerja Oleh serikat

1

BAB I

PENDAHULUAN

Pada akhir tahun 2005 sampai awal tahun 2006, Ibu Kota Provinsi Jawa

Timur, Surabaya, diwarnai dengan aksi massa (demonstrasi) buruh besar-besaran.

Aksi massa tersebut diikuti ribuan orang buruh1 yang tergabung pada “Koalisi

Buruh Rakyat Jawa Timur Menggugat” dengan agenda tuntutan menolak besaran

Upah Minimum Kabupaten/Kota di Jawa Timur yang telah ditetapkan. Juga

mendesak supaya Gubernur Jawa Timur, Imam Utomo, mencabut SK Gubernur

No. 188/286/KPTS/013/2005 tentang Upah Minimum Provinsi Jawa Timur.2

Meskipun pada akhirnya aksi penolakan Upah Minimum Kabupaten/Kota

direspon oleh Gubernur Imam Utomo dengan mengeluarkan SK Gubernur No.

188/16/KPTS/013/2006 tentang Perubahan SK Gubernur No.

188/286/KPTS/013/2005 pada tanggal 23 Januari 2006,3 namun aksi demonstrasi

buruh merupakan fenomena yang patut dicermati. Peristiwa aksi demonstrasi

buruh yang sempat diwarnai insiden kekerasan dan penangkapan beberapa orang

buruh peserta aksi oleh aparat keamanan cukup menarik perhatian para pelaku

1 Kompas, edisi 20 Desember 2005, melaporkan bahwa aksi demonstrasi diikuti sekitar20.000 buruh.

2 Upah Minimum Provinsi ditolak oleh kaum buruh karena tidak sesuai denganrekomendasi yang diberikan oleh Dewan Penelitian dan Pengupahan kota/kabupaten. Besarannominal upah minimum yang ditetapkan jumlahnya lebih kecil daripada hasil survei dan penelitianDewan Penelitian dan Pengupahan kota/kabupaten.

3 Revisi UMP yang dilakukan oleh Gubernur Imam Utomo melalui SK Gubernur No.188/16/KPTS/013/2006 pada dasarnya tetap ditolak oleh kaum buruh karena tetap tidak sesuaidengan hasil rekomendasi DPPD kota/kabupaten. Selain itu, langkah Gubernur Imam Utomotersebut ditanggapi oleh kalangan pengusaha dengan mengajukan gugatan kepada PTUN Surabaya(gugatan Apindo Jatim tersebut ditolak oleh PTUN Surabaya).

Page 8: Mogok Kerja Oleh serikat

2

usaha yang operasional atau kegiatan produksinya berbasis di Jawa Timur. Selain

itu, aksi demonstrasi yang berlangsung selama beberapa hari itu tentunya

membawa konsekuensi hilangnya jam kerja dalam jumlah yang besar dan

terganggunya aktivitas produksi di sejumlah industri. Merujuk kenyataan tersebut,

maka aksi demonstrasi yang dilakukan oleh serikat buruh tersebut dapat

digolongkan sebagai aksi mogok kerja.

Seperti dikatakan Abdul Khakim;

jika dicermati secara empiris, setiap terjadi unjuk rasa sudah dapatdipastikan para pekerja/buruh tidak akan menjalankan pekerjaan. Jelassangat tidak mungkin mereka tetap melaksanakan pekerjaan, kendatipun didalam lokasi kerja. Berdasarkan alas an tersebut penulis berpendapat bahwaunjuk rasa atau demonstrasi identik dengan mogok kerja. Perbedaannya jikamogok kerja biasanya dilakukan di dalam perusahaan, sedangkan unjuk rasaatau demonstrasi dilakukan di luar perusahaan4.

Fenomena aksi mogok kerja berupa demonstrasi buruh yang berkaitan

dengan masalah upah pada waktu itu bukan hanya terjadi di Jawa Timur saja.

Dalam kurun waktu yang hampir bersamaan, di Bandung, Jawa Barat, juga terjadi

aksi demonstrasi buruh yang mempunyai tuntutan serupa; menuntut upah

minimum yang layak. Di daerah-daerah lainnya seperti Jakarta, Semarang dan

Medan, juga terdapat aksi massa buruh menuntut kenaikan upah minimum dan

perbaikan kesejahteraan.

Fenomena tersebut masih tetap terus berlanjut pada tahun 2007. Penetapan

ketentuan upah minimum di beberapa daerah diwarnai penolakan dan resistensi

yang kuat dari kalangan kelas pekerja. Kenyataan akan kesejahteraan buruh yang

makin menurun dengan kesejahteraan pengusaha dan anggota top level

4 Khakim, Abdul, 2003, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (BerdasarkanUndang-Undang Nomor 13 Tahun 2003), Citra Aditya Bhakti, Bandung, halaman 97.

Page 9: Mogok Kerja Oleh serikat

3

management yang terlihat makin naik, merupakan disparitas yang memicu

ketidakpuasan buruh akan besaran upah minimum yang ditetapkan.

Banyaknya jumlah aksi-aksi massa buruh, baik dalam skala besar maupun

kecil, yang terjadi merata hampir di setiap kota di Indonesia mencerminkan bahwa

hubungan industrial di Indonesia masih menyimpan banyak persoalan. Problem-

problem yang menghiasi wajah hubungan industrial dewasa ini banyak yang tidak

terselesaikan secara tuntas dan bahkan malah kian parah. Jika pun terdapat

penyelesaian, solusi yang diterapkan sifatnya parsial dan cenderung merugikan

salah satu pihak, yaitu buruh. Persoalan perburuhan relatif masih bersifat parsial

dan lokal dan bahkan sangat disederhanakan, sehingga penanganan dan

penyelesaian pun juga masih terkesan parsial, lokal serta sangat sederhana. “Yang

penting bisa diselesaikan walaupun bersifat sementara”. 5 Hal ini tentunya

merupakan kendala dan ancaman serius ditengah upaya program industrialisasi di

Indonesia karena keadaan yang demikian ini telah menggiring buruh,

sebagaimana dikatakan Tjandra, “sampai pada satu titik di mana mau tidak mau

harus melawan”6.

Bagi Indonesia, industrialisasi merupakan program yang menjadi agenda

utama untuk menarik “gerbong” perekonomian sekaligus guna mengejar

ketertinggalan dengan negara-negara maju di dunia. Pada pertengahan dekade

1980-an, Indonesia telah menempatkan industri sebagai sektor yang

diprioritaskan. Keunggulan disektor pertanian yang dimiliki Indonesia, disadari

5 Santosa, Ibnu, “Kiprah Serikat Buruh”, Suara Merdeka edisi 04 Agustus 2005.6 Pontianak Pos, edisi 19 Februari 2007

Page 10: Mogok Kerja Oleh serikat

4

tidak menjanjikan untuk mengangkat Indonesia agar sejajar dengan negara-negara

maju. Wacana program industrialisasi semakin menguat setelah Indonesia

berusaha bangkit dari krisis.

Indonesia sebagai salah satu negara berkembang di dunia, yang baru

berusaha bangkit dari krisis ekonomi yang menerpa sejak tahun 1997, hingga kini

masih tergolong sebagai negara yang dapat dikatakan tertatih-tatih dalam berjalan.

Perekonomian yang porak-poranda akibat krisis ekonomi tersebut hingga kini

belum menunjukkan kemajuan yang berarti. Hal ini ditunjukkan oleh Produk

Domestik Bruto dan pendapatan perkapita masyarakat Indonesia yang masih lebih

rendah dibanding dengan pada masa sebelum krisis dan terpaut sangat jauh

dengan negara-negara maju maupun dengan negara yang menjadi kiblat

perekonomian dunia saat ini, yaitu China.

Sejumlah persoalan yang dihadapi oleh Indonesia sebagai negara

berkembang, diantaranya adalah tingginya jumlah pengangguran, baik

pengangguran terbuka maupun pengangguran setengah terbuka7. Pengangguran

dan semi-pengangguran adalah inti dari kemiskinan di negara-negara

berkembang.8 Sehingga program industrialisasi merupakan pilihan rasional utama

7 Istilah untuk ‘Pengangguran Terbuka’ adalah untuk orang yang sama sekali tidakmemiliki penghasilan karena tidak bekerja, atau orang yang tidak mampu melakukan aktivitasproduksi. Sedangkan ‘Pengangguran Setengah Terbuka’ adalah orang yang bekerja tidak tetap dantidak memiliki penghasilan tetap. Jumlah pengangguran terbuka di Indonesia dari tahun 2000sampai dengan tahun 2004 cenderung meningkat. Jika pada tahun 2000 jumlah pengangguranterbuka 5,8 juta jiwa atau 6,1 persen dari angkatan kerja, maka pada tahun 2004 meningkatmenjadi 10,3 juta jiwa atau 9,9 persen dari angkatan kerja.

8 ILO, 2003, Perundingan Bersama Serta Keterampilan Negosiasi (Pedoman PelatihanUntuk Serikat Pekerja, ILO Indonesia, Jakarta, halaman 11.

Page 11: Mogok Kerja Oleh serikat

5

yang diambil pemerintah untuk membangun perekonomian dan mengurangi

jumlah pengangguran.9

Namun, program industrialisasi yang dibangun sebagai fundamen

perekonomian nasional, di sana-sini banyak menemui kendala. Masalah mendasar

yang dihadapi adalah tidak tersedianya cukup modal yang berasal dari dalam

negeri untuk membangun negara industri yang kokoh. Dengan kata lain, program

industrialisasi yang sedang dibangun banyak bergantung pada investasi asing

(Foreign Direct Investment/FDI).

Seiring dengan selesainya perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni

Soviet, yang ditandai dengan runtuhnya Uni Soviet pada awal dasawarsa 1990-an,

ideologi kapitalisme seakan menjadi satu-satunya ideologi ekonomi dunia atau

setidaknya menjadi ideologi yang dominan dianut negara-negara di dunia.

Konsekuensi yang dibawa kemudian adalah aliran modal global menjadi

sedemikian penting bagi pembangunan suatu negara (liberalisasi investasi) dan

juga liberalisasi perdagangan antar-negara (globalisasi pasar bebas) semakin

mendekati kenyataan.

Pada era globalisasi ini, batas teritorial suatu negara seakan sudah tidak

mempunyai makna lagi dalam aktivitas tata-niaga dunia. Melalui Organisasi

Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO), pemerintah dari negara-

9 Bandingkan dengan: Iskandar, A. Muhaimin, 2004, Membajak Di Ladang Mesin(Simpang Kepentingan Buruh-Negara-Modal di Tengah Arus Kapitalisme Global), YayasanWahyu Sosial, Semarang. Hal 93.

Page 12: Mogok Kerja Oleh serikat

6

negara di dunia 10 sepakat untuk menghilangkan halangan-halangan yang

menghambat atau berpotensi menghambat pelaksanaan perdagangan bebas.11

Dibukanya keran perdagangan bebas, telah membawa pengaruh yang sangat

besar dalam kehidupan dunia industri di masing-masing negara, termasuk

Indonesia. Persaingan antar industri semakin ketat. Dalam hal ini berlakulah

“hukum seleksi alam”; ada industri yang kolaps kemudian bangkrut, dan ada

industri yang bertahan dan kemudian semakin besar.12 Persaingan yang demikian

ketat ini berlangsung terus menerus, sehingga industri yang mampu bertahan dan

berkembang adalah industri yang mampu memproduksi barang/jasa dengan biaya

produksi yang rendah. Sehingga para pemilik modal dan industri akan selalu

mencari tempat (negara) yang murah untuk melakukan produksi.13 Jika negara

yang menjadi tujuan relokasi dalam perjalanannya atau waktu berikutnya

kemudian dipandang tidak efisien lagi, maka pemilik modal dan industri akan

memindahkan pabriknya ke tempat lain yang lebih menjanjikan.14 Tidak salah apa

10 Meskipun tidak seluruh forum pertemuan WTO berhasil membuat kesepakatan, namundari beberapa kesepakatan yang telah berhasil dibuat, tidak seluruh negara anggota WTO padadasarnya menyetujui klausul-klausul yang ditawarkan, terutama oleh negara-negara berkembangterhadap klausul yang merugikan negara-negara berkembang, namun karena atas desakan negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan negara-negara anggota G8 lainnya, sejumlah negara yangpada awalnya menolak akhirnya menerima.

11 Yang dimaksud sebagai ‘hambatan’ adalah kebijakan-kebijakan negara yang tidak sesuaidengan prinsip-prinsip ekonomi pasar, seperti tarif masuk yang tinggi, politik dumping, subsididan proteksi untuk produk-produk pertanian, dll.

12 Biasanya yang kolaps adalah suatu industri yang memproduksi suatu barang dan/atau jasayang mana barang/jasa tersebut juga diproduksi oleh industri di negara lain yang mempunyaimodal yang sangat besar dan memadai untuk melakukan ekspansi pasar.

13 Lazim disebut dengan istilah relokasi. Praktek-praktek pengejawantahan spirit danmetode kapitalisme tersebut selama ini dilakukan oleh TNCs/MNCs.

14 Perusahaan yang dapat dijadikan contoh dalam hal ini adalah SONY dan Reebok yangmemindahkan lokasi industrinya dari Indonesia ke Vietnam.

Page 13: Mogok Kerja Oleh serikat

7

yang dikatakan oleh Michel Beaud dalam bukunya yang berjudul The History of

Capitalism 1500-2000:

Inti dari perubahan yang sedang dan telah terjadi adalah diterapkannyarestrukturisasi dan reorganisasi produksi secara global oleh modal untukmenjaga tetap tercapainya elemen-elemen kunci dari kapitalisme, yaknitujuan untuk keuntungan, akumulasi, perluasan produksi, sirkulasi, hinggaakhirnya perluasan pasar.15

Pada konteks ini, upah buruh menjadi target dari upaya penurunan biaya

produksi. Artinya, upah buruh (harus) ditekan serendah mungkin untuk

menurunkan biaya produksi. Upah buruh menjadi target karena dipandang sebagai

sesuatu yang sifatnya fleksibel, relatif lebih dapat dipengaruhi atau diintervensi,

dibanding dengan ongkos-ongkos yang harus dikeluarkan untuk faktor-faktor

produksi lainnya, seperti tanah dan bahan baku, yang sifatnya relatif tetap.

Kondisi yang demikian ini tepat seperti yang dikatakan oleh Karl Marx bahwa

dalam sistem ekonomi kapitalis, keuntungan yang diperoleh oleh

majikan/pengusaha (pemilik pabrik/pengusaha) adalah selisih antara nilai yang

dihasilkan oleh buruh dengan nilai yang diberikan (dibayarkan) kepada buruh oleh

pengusaha.16

Sinyalemen yang dilontarkan oleh Marx tersebut merupakan gambaran dari

watak majikan (pemilik pabrik) dalam sistem ekonomi kapitalis, tidak peduli

apakah negara turut campur dalam aktivitas produksi dan perdagangan, atau tidak.

15 Diadopsi dari Tjandraningsih, I., dan Puspitaningrum, M. D. D., “Modal Bergerak,Serikat Terserak: Perubahan Situasi Perburuhan dan Tantangan Gerakan Buruh di Indonesia”,Anilisis Sosial, Volume 10 No. 1 Juni 2005, Yayasan AKATIGA, Bandung, halaman 71-72.

16 Marx, Karl, 1887, Capital (Volume I), English Edition (1958), Foreign LanguagesPublishing House, Moscow. Hal 189-190 dan 546; Suseno, Franz Magnis, 2001, Pemikiran KarlMarx (Dari Utopis Sampai Revisionis), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Hal 140; Sparingga,Daniel, 2004, “Buruh: Pengorganisasian di Tengah Liberalisasi Politik dan Transformasi Global”,sebuah kata pengantar dalam Iskandar, A. Muhaimin, Op.Cit. Hal 14.

Page 14: Mogok Kerja Oleh serikat

8

Memang, teori Marx tersebut didasarkan pada suatu asumsi kondisi di mana

campur tangan negara terhadap aktivitas produksi dan perekonomian sangat

minim. Aktivitas produksi dan perdagangan beserta segala mekanismenya

diserahkan sepenuhnya kepada masing-masing individu pelaku ekonomi. Namun

ternyata pada suatu kondisi di mana negara turut campur dalam hubungan

industrial, terutama dalam hal pengupahan melalui kebijakan upah minimum,

watak dari pengusaha sebagaimana yang dilontarkan oleh Marx tersebut tetap

nyata.

Jika dalam aktivitas produksi pada sistem ekonomi kapitalis murni besarnya

upah tergantung pada kesepakatan langsung antara buruh dengan pengusaha, di

mana buruh tidak memiliki kekuatan ekonomi yang setara dengan pengusaha akan

menerima berapapun jumlah upah yang ditawarkan dan diberikan oleh pengusaha.

Maka dalam suatu kondisi di mana terdapat intervensi negara dalam hal penentuan

besaran upah yang harus dibayarkan oleh pengusaha kepada buruh, memang

kondisinya tidak separah dalam hubungan industrial yang berakar pada pemikiran

ekonomi liberal. Namun tetap saja watak dari pengusaha adalah sama.17

Watak sejati dari pengusaha perlu dibedakan dengan watak pengusaha

dalam kapasitasnya sebagai seorang manusia pribadi. Yang dimaksud watak

pengusaha adalah watak obyektif yang mau tidak mau harus dijalani oleh

17 Sebagai contoh adalah sikap penolakan secara resmi dari DPN APINDO untukmenggunakan indikator Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dalam penentuan besaran upah minimum.Asosiasi Pengusaha Indonesia APINDO menolak penetapan standar upah pekerja berdasarkantolok ukur KHL sebagaimana yang telah ditetapkan dalam UUK dan meminta pihak PemerintahRI untuk tidak melanjutkan pembahasan penyusunan rumusan KHL. (lihat Harian EkonomiNeraca, 13 Juli 2004, yang dimuat dalam dari berita di website Apindo: http://www.apindo.or.id)

(Setiawan dan Tambunan, ”Upah Murah Dan Kebijakan Ekonomi Neoliberal: AnalisisTerhadap Kebijakan Upah Minimum 2005”, TURC Discussion Paper, Jakarta, 2005).

Page 15: Mogok Kerja Oleh serikat

9

seseorang yang menjadi salah seorang pelaku produksi (pengusaha) dalam

aktivitas produksi. Sedangkan watak pribadi pengusaha dalam kapasitasnya

sebagai seorang manusia adalah watak subyektif seseorang di luar kapasitasnya

sebagai pengusaha. Masing-masing pengusaha mempunyai watak pribadi yang

berbeda antara pengusaha yang satu dengan yang lainnya; ada yang berwatak

humanis, namun ada juga yang berwatak penghisap.

Bahwa watak dari pengusaha tetaplah sama, baik dalam sistem ekonomi

kapitalis murni maupun yang campuran, maksudnya adalah watak obyektif

seseorang yang menjadi pengusaha dalam kegiatan produksi. Untuk hal ini, Franz

Magnis Suseno memberikan analogi tentang seorang majikan (pengusaha) yang

sebenarnya mempunyai watak pribadi yang baik dan prihatin dengan nasib

buruhnya yang upahnya sangat rendah, namun tidak dapat menaikkan upah

buruhnya yang sesuai untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup secara layak

karena apabila upah buruh dinaikkan, maka biaya produksi akan meningkat dan

industrinya akan bangkrut. Apabila biaya produksi meningkat, korelasinya adalah

produk yang dihasilkan harga jualnya akan lebih mahal, sehingga tidak mampu

bersaing dengan produk-produk sejenis dari industri lain yang mempunyai

kualitas yang sama namun harganya lebih rendah.18 Sehingga tidak mengherankan

apabila persoalan upah merupakan persoalan klasik yang selalu menghiasi wajah

hubungan industrial hingga kini.

Di Indonesia, persoalan upah hampir selalu menjadi konflik tahunan yang

rutin tergelar. Sebagaimana telah disebut di muka bahwa seringkali konflik di

18 Untuk lebih lengkap dan lebih jelasnya, baca: Suseno, Franz Magnis, 2001, Kuasa danMoral, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Hal 50-51.

Page 16: Mogok Kerja Oleh serikat

10

seputar persoalan besaran upah minimum19 yang ditetapkan pemerintah, diwarnai

aksi massa turun ke jalan (demonstrasi) dan kadangkala pemogokan yang

melibatkan ribuan orang buruh.20 Pada persoalan ini, fokus konflik terletak pada

besaran upah yang ditetapkan oleh pemerintah. Bagi buruh, upah yang ditetapkan

dipandang sangat tidak layak, sedangkan bagi pengusaha, upah yang ditetapkan

dirasa memberatkan dunia usaha.

Dalam situasi dan kondisi yang demikian inilah peran pemerintah sebagai

pihak ketiga yang menengahi konflik kepentingan antara buruh dan pengusaha

dirasa cukup penting. Namun sayangnya, kebijakan yang diambil pemerintah,

seringkali tidak seimbang; lebih banyak mencerminkan kepentingan pengusaha

dan merugikan buruh.

Secara teoritis, banyak metode yang dapat digunakan untuk menentukan

jumlah besar upah yang menjadi hak buruh, yaitu melalui perundingan bersama,

kesepakatan individu buruh dengan perusahaan, dewan industri, arbitrasi dan

penentuan upah minimum nasional (yaitu ketentuan upah minimum yang berlaku

secara nasional), atau dalam beberapa kasus, penentuan upah minimum regional

(propinsi dan/atau kabupaten/kota―seperti yang diterapkan di Indonesia sekarang

ini)21.

19 Upah minimum meskipun secara normatif hanya diterapkan bagi buruh tanpa pengalamandan nol masa kerja, dalam pelaksanaannya telah terdistorsi dan memberikan "efek domino" bagiburuh yang telah memiliki masa kerja.

20 Seperti pemogokan oleh buruh PT. Maspion yang dilakukan pada 22-25 Februari 2006,karena perusahaan tidak membayar upah sesuai dengan SK Gubernur No. 188/16/KPTS/013/2006yang merevisi SK Gubernur No. 188/286/KPTS/013/2005.

(Harian Media Indonesia, edisi 27 Februari 2006).21 ILO, Op. Cit. halaman 67.

Page 17: Mogok Kerja Oleh serikat

11

Untuk metode melalui perundingan bersama, kesepakatan individu, dan/atau

dewan industri, pihak yang terlibat dalam kepentingan secara langsung ialah

buruh dan pengusaha sendiri. Sedangkan pemerintah hampir sama sekali tidak

terlibat. Sementara untuk metode melalui abitrasi dan kebijakan upah minimum,

penentuan upah melibatkan pihak ketiga selain buruh dan pengusaha. Dalam hal

ketentuan upah minimum, negara/pemerintah telah melakukan intervensi. Dengan

demikian, besaran upah ditetapkan dengan melibatkan partisipasi tiga pihak

(tripartit), yakni: pengusaha, buruh dan pemerintah. Besaran upah minimum yang

berlaku pada kurun waktu tertentu disuatu daerah berbeda dengan upah minimum

yang berlaku di daerah lainnya.

Bagi pemerintah, kebijakan upah minimum merupakan mekanisme

redistribusi dan usaha pemerataan pendapatan kepada yang lebih luas. Kebijakan

upah minimum merupakan bagian dari strategi poverty alleviation yang berfungsi

sebagai jaring pengaman (safety net) dalam rangka meningkatkan taraf hidup

golongan penerima upah terendah.22 Dengan upah, produk yang dihasilkan dari

suatu aktivitas produksi diharapkan dapat dikonsumsi, sehingga roda

perekonomian negara diharapkan juga dapat terus berjalan dan bahkan meningkat.

Kebijakan upah minimum yang diperkenalkan pertama kali di Indonesia

pada awal 1970-an, akan tetapi penerapannya baru mulai diperkuat oleh

Pemerintah Indonesia sejak akhir tahun 80-an,23 secara normatif berfungsi sebagai

22 Hendarmin, Ari, “Kesejahteraan Buruh dan Kelangsungan Usaha: Upah Minimum dariSisi Pandang Pengusaha”, dalam Jurnal Analisis Sosial, Volume 7 No.1 Februari 2002, YayasanAKATIGA, Bandung. Hal 95.

23 Suryahadi et all, “Upah dan Kesempatan Kerja (Dampak Kebijakan Upah Minimumterhadap Penyerapan Tenaga Kerja di Sektor Formal Perkotaan)”, dalam Ibid., halaman 17-21.

Page 18: Mogok Kerja Oleh serikat

12

standar upah bagi pekerja yang berada di tingkatan terendah di sebuah

perusahaan. 24 Hal ini sebenarnya dapat diartikan sebagai upaya perlindungan

terhadap buruh agar pihak pengusaha tidak bersikap sewenang-wenang dalam

memberikan kompensasi bagi tenaga dan hasil kerja buruh. Standarisasi ini masih

diperlukan dalam sistem pengupahan di Indonesia karena menyangkut daya tawar

buruh yang masih sangat rendah dalam berhadapan dengan pengusaha, sehingga

belum memungkinkan buruh untuk melakukan negosiasi secara bipartit.

Di sisi lainnya, kebijakan upah minimum yang diterapkan oleh pemerintah,

pada dasarnya merupakan bentuk mekanisme kontrol negara untuk menjamin

keamanan investasi yang ada.25 Terutama untuk periode waktu sekarang ini di

mana Indonesia sedang berusaha memperbaiki kinerja dan pertumbuhan

ekonominya. Sebagaimana diketahui bahwa sejak dihantam krisis ekonomi,

industri di Indonesia banyak yang kolaps. Di samping itu, Indonesia dilanda

fenomena pelarian modal ke luar negeri dalam jumlah yang sangat besar sehingga

membuat perekonomian Indonesia carut-marut dan menambah jumlah

24 Tujuan dari penerapan kebijakan upah minimum adalah:

1). untuk menghindari dan/atau mengurangi persaingan yang tidak sehat antarkaryawan/pekerja;

2). untuk menghindari atau mengurangi eksploitasi terhadap buruh oleh pengusaha;

3). Sebagai jaring pengaman sosial (safety net) untuk menjamin terpenuhinya kebutuhanhidup;

4). Untuk menghindari atau mengurangi kemiskinan dan kesenjangan penghasilan;

5). Untuk mendorong peningkatan produktivitas dan motivasi kerja;

6). Untuk meningkatkan daya beli masyarakat yang akan mendorong pertumbuhanekonomi dan kesempatan kerja; dan

7). Untuk menciptakan hubungan industrial yang lebih aman dan harmonis.25 Pada awal masa industrialisasi, strategi yang dicanangkan oleh pemerintah untuk

mengembangkan industri di tanah air adalah strategi upah murah.

(Prasetyantoko, A, “Buruh dalam Pusaran Fleksibilitas”, Al Andang L. Binawan dan A.Prasetyantoko (editor), 2004, Keadilan Sosial: Upaya Mencari Makna Kesejahteraan Bersama DiIndonesia, Penerbit Buku Kompas, Jakarta. Hal 112)

Page 19: Mogok Kerja Oleh serikat

13

pengangguran. 26 Peristiwa yang terjadi selanjutnya adalah pandangan perlunya

memperkuat industri dan korporasi yang telah ada melalui kebijakan perburuhan

yang pro-pasar kian mantap.

Sektor ketenagakerjaan diupayakan untuk lebih fleksibel melalui

pengadobsian konsep fleksibilitas pasar tenaga kerja (Labour Market Flexibility)

ke dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.27

Sektor ketenagakerjaan disesuaikan dengan fluktuasi produksi dan pasar sehingga

diharapkan dapat memperkuat industri dan korporasi di Indonesia serta

merupakan upaya untuk mencegah pelarian investasi dari Indonesia. Namun

upaya fleksibelisasi pasar tenaga kerja tersebut tidak meliputi “fleksibilisasi”

upah. Maksudnya adalah sistem pengupahan tidak di dasarkan atau disesuaikan

dengan kondisi riil di lapangan atas harga barang-barang kebutuhan sehari-hari

yang cenderung mengalami kenaikan dari waktu ke waktu. Dengan kata lain,

besaran upah secara riil tidak mengikuti fluktuasi tingkat inflasi.

Apabila upah minimum telah ditetapkan dan selang beberapa waktu

kemudian tingkat inflasi dan harga barang-barang kebutuhan pokok melambung

tinggi, besaran upah yang dibayarkan kepada buruh tetap mengacu pada upah

26 Pada masa krisis, PHK terjadi dalam jumlah yang sangat besar. Jutaan buruh menjadikorban. Antara tahun 1997 sampai 2003, buruh yang di PHK mencapai kisaran 7-10 juta jiwa.Pada tahun 2001-2003 saja, jumlah buruh yang di PHK mencapai 6 juta jiwa.

(Bappenas, 2005, “Perbaikan Iklim Ketenagakerjaan”, Bab 22 hal 1-2).

Pemutusan hubungan kerja tersebut ada yang disebabkan oleh karena perusahaan benar-benar bangkrut, tetapi juga terjadi oleh karena perusahaan yang masih mampu bertahan dan yangbahkan hanya terkena dampak kecil dari krisis serta dalam kondisi yang sehat memanfaatkanmomentum krisis untuk merestrukturisasi dan mereorganisasi aktivitas produksi supaya lebihefisien sehingga ke depannya dapat memaksimalkan keuntungan.

27 Diperkuatnya sistem kerja kontrak dan legalisasi outsourcing (yang oleh sejumlahkalangan dinilai sebagai legalisasi terhadap praktek perbudakan modern), yang jelas merugikanburuh merupakan bukti diadopsinya konsep Labour Market Flexibility.

Page 20: Mogok Kerja Oleh serikat

14

minimum yang telah ditetapkan. Sebagai contoh, kebijakan pemerintah

menaikkan harga BBM dua kali lipat dari harga sebelumnya, yang tentunya

memberi dampak kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok lainnya, tidak

diikuti kebijakan menaikkan upah minimum buruh. 28 Oleh karena itu, dalam

konteks ini, dapat dikatakan bahwa kebijakan upah minimum merupakan

kebijakan struktural untuk mengeliminsi atau mengurangi peluang munculnya

gerakan buruh yang radikal, yang mana hal tersebut dipandang akan membawa

dampak buruk terhadap kondisi makro ekonomi dan ketahanan industri nasional.

Pada tahun 2000, mekanisme penetapan upah minimum mengalami

perubahan. Seiring dengan kebijakan otonomi daerah, melalui Peraturan

Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan

Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom 29 , dan Keputusan Menteri

226/2000, pemerintah pusat melimpahkan kewenangan penetapan Upah Minimum

Propinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) kepada gubernur.

28 Di Jawa Timur, sebagai respon atas dampak kenaikan harga BBM tersebut terhadapketenagakerjaan, gubernur hanya mengeluarkan surat edaran yang tidak mempunyai kekuatanhukum dalam politik perundang-undangan. Surat edaran yang ditujukan kepada bupati/walikotase-Jatim yang dikeluarkan pada 17 Maret 2005 pada intinya menyerukan kepada masing-masingbupati/walikota bahwa terkait dampak pasca kenaikan harga BBM, penyesuaian upah hendaknyamengoptimalkan lembaga bipartit.. Surat edaran Gubernur Jatim tersebut isinya menyangkut tigahal. Pertama, menanggapi tuntutan revisi upah berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.226/M/2000 hanya mengatur tentang revisi upah, baik upah minimum provinsi maupun upahminimum Kabupaten/Kota setahun sekali berdasarkan usulan dari Komisi Penelitian dan JaminanSosial dan Dewan Ketenagakerjaan Daerah (Pasal 4 Ayat 7). Kedua, berdasarkan Undang-Undang(UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, upah minimum hanya bisa ditetapkan olehgubernur dengan memperhatikan rekomendasi Dewan Pengupahan dan Bupati/walikota. Ketiga,menganjurkan pada pengusaha maupun pekerja untuk memberdayakan peran bipartit secaraoptimal.

29 Menurut Pasal 3 ayat (5) Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000, pemerintah propinsiberwenang untuk:

1). menetapkan pedoman jaminan kesejahteraan purnakerja; dan

2). Menetapkan dan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan upah minimum.

Page 21: Mogok Kerja Oleh serikat

15

Pelimpahan kewenangan penetapan upah minimum provinsi dan kabupaten/kota

kepada gubernur, dipertegas lagi melalui Pasal 89 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003

Tentang Ketenagakerjaan.

Kendati pelimpahan kewenangan penetapan upah minimum propinsi dan

kabupaten/kota kepada gubernur baru dimulai pada tahun 2000, namun untuk

perumusan upah minimum pelimpahan wewenang kepada daerah sebenarnya

telah dimulai sejak tahun 1992 melalui SK Bersama Menteri Tenaga Kerja dan

Menteri Dalam Negeri No. KEP-564/MEN/92/115 tahun 1992.30

Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa pelimpahan kewenangan

penetapan upah minimum kepada gubernur merupakan bagian dari kebijakan

otonomi daerah. Kebijakan otonomi daerah sendiri dimaksudkan untuk

mendekatkan dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, serta diharapkan

dapat mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat. Logika yang

mendasari maksud dan harapan ini tidak lain adalah bagaimana kondisi dan

potensi yang dimiliki oleh suatu daerah serta apa saja yang menjadi kebutuhan

masyarakat setempat, hanya pemerintah daerah yang bersangkutan yang

mengetahui lebih dalam. Melalui kebijakan otonomi daerah, diharapkan laju gerak

pembangunan dapat dipercepat dan berhasil karena pemerintah daerah dapat

menentukan secara otonom program-program pembangunan berdasarkan keadaan

daerah setempat. Dalam kaitannya dengan masalah upah, harapan dari pelimpahan

kewenangan penetapan upah minimum kepada gubernur adalah gubernur dapat

30 Puspitaningrum, Maria Dona Dewi, 2004, “Institusi Pengupahan Kabupaten/Kota: StudiKasus Cilacap, Sidoarjo, Gresik”, Working Paper AKATIGA No. 20, Yayasan AKATIGA,Bandung. Hal 13.

Page 22: Mogok Kerja Oleh serikat

16

menetapkan upah sesuai dengan aspirasi masyarakat setempat yang hasilnya

diharapkan lebih sesuai dengan kondisi riil yang ada pada daerah setempat.

Kendati terjadi perubahan mekanisme penetapan upah minimum berupa

pelimpahan wewenang kepada gubernur, konfigurasi komposisi keanggotaan

Dewan Pengupahan tidak berubah dan tetap seperti dahulu. Keanggotaan Dewan

Pengupahan dari unsur pemerintah, organisasi pengusaha dan organisasi buruh

dengan komposisi perbandingan 2 : 1 : 1. 31 Dahulu Keanggotaan Dewan

Penelitian Pengupahan didominasi oleh unsur pemerintah yang berasal dari

berbagai instansi. Buruh hanya diwakili 1 (satu) Serikat Buruh, yaitu SPSI,

sedangkan asosiasi pengusaha diwakili oleh Apindo. Namun menurut Resmi

Setia, komposisi perbandingan keanggotaan dewan pengupahan telah mengalami

perubahan.

Saat ini Dewan Pengupahan menggunakan model komposisi keterwakilansecara berimbang. Masing-masing unsur tripartit mempunyai jumlah wakilyang sama dalam Dewan Pengupahan. Bertambahnya jumlah perwakilanSerikat Buruh dalam Dewan Pengupahan berkaitan dengan diratifikasinyaKonvensi ILO No. 87/1948 Tentang Kebebasan Berserikat pada tahun1998.32

Dominasi pemerintah dalam DPPN/D yang diperkuat dengan pemberian

kewenangan penetapan upah minimum kepada Menteri Tenaga Kerja, hakikatnya

adalah upaya pemerintah untuk menjaga strategi kebijakan upah rendah. Hal ini

sebagaimana dikemukakan oleh Resmi Setia:

31 Pasal 6 ayat (2) Keputusan Presiden No 107 Tahun 2004 Tentang Dewan Pengupahanmenentukan bahwa komposisi perbandingan keanggotaan antara unsur pemerintah, organisasipengusaha dan organisasi buruh di dalam Dewan Pengupahan Nasional (Depenas) adalah 2:1:1,begitu juga untuk Dewan Pengupahan Propinsi (pasal 23 ayat (2)) dan Dewan PengupahanKabupaten/Kota (pasal 40 ayat (2)).

32 Setia, Resmi, “Dewan Pengupahan: Strategiskah Sebagai Alat Perjuangan Buruh?”,Analisis Sosial, Volume 7 No. 1 Februari 2002, Yayasan AKATIGA, Bandung. Hal 53.

Page 23: Mogok Kerja Oleh serikat

17

Model komposisi yang didominasi oleh unsur pemerintah itu membuatDewan Pengupahan tidak lebih sebagai alat kontrol pemerintah terhadapketentuan upah minimum agar sesuai dengan kebijakan ekonomi yangdibuat pemerintah Indonesia, terutama yang berkaitan dengan kebijakanupah rendah untuk menarik investor.33

Sebagaimana telah dibahas di muka bahwa salah satu kendala yang dihadapi

dalam menjalankan program industrialisasi adalah terbatasnya modal, sehingga

diperlukan modal asing untuk menutup atau mengurangi kekurangan modal yang

diperlukan program industrialisasi. Masalahnya, negara yang menghadapi

persoalan dan memiliki pandangan yang sama dengan Indonesia, adalah hampir

seluruh negara berkembang yang berniat menjadi negara industri. Oleh karena itu,

(pemerintah) Indonesia harus mampu mempunyai keunggulan komparatif

dibanding negara berkembang lainnya supaya investor asing mau menanamkan

modalnya di Indonesia.

Soal ketenagakerjaan memang menjadi salah satu faktor dalam

menggerakkan iklim investasi. Di sektor ketenagakerjaan-lah, keunggulan

komparatif Indonesia diletakkan. Keunggulan komparatif itu tidak lain adalah

jumlah tenaga kerja yang melimpah dengan upah yang rendah yang diterapkan

hingga kini. 34 Dengan menetapkan upah minimum, pemerintah berusaha

mempertahankan atau menyediakan suatu situasi yang kondusif bagi para pemilik

modal untuk menanamkan investasi di Indonesia.

Upah adalah kompensasi yang diberikan oleh pengusaha atas tenaga yang

telah dikeluarkan oleh buruh untuk memproduksi suatu barang/jasa. Upah

menunjukkan penghasilan yang diterima pekerja sebagai imbalan atas pekerjaan

33 Ibid.34 Iskandar, A. Muhaimin, Op.Cit. Hal 93.

Page 24: Mogok Kerja Oleh serikat

18

yang dilakukannya.35 Konvensi No. 95 dari Organisasi Perburuhan Internasional

(ILO) menganggap upah sebagai:

pembayaran, bagaimanapun disebut atau dikalkulasi, yang dapat dinyatakandalam bentuk uang dan ditentukan oleh kesepakatan bersama atau olehundang-undang atau peraturan nasional yang harus dibayarkan berdasarkankontrak tertulis atau karena mempekerjakan seseorang oleh seorangpengusaha, kepada seorang pekerja untuk pekerjaan yang telah dilakukanatau akan dilakukan atau untuk jasa pelayanan yang diberikan.

Konvensi ILO No. 100 menganggap bahwa pembayaran remunerasi

mencakup: “Upah atau gaji minimum dasar yang biasa, serta pembayaran

tambahan apapun yang dibayarkan secara langsung atau tidak langsung, baik

dalam bentuk tunai atau natura, oleh pengusaha kepada pekerja dan yang timbul

karena pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja”.

Sedangkan menurut UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, upah

di definisikan:

Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentukuang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepadapekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjiankerja, kesepakatan, atau peraturan perundang undangan, termasuk tunjanganbagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yangtelah atau akan dilakukan.36

Bagi perusahaan dan pengusaha, upah adalah biaya untuk penggunaan jasa

tenaga kerja; upah adalah suatu komponen dari pengeluaran, suatu bagian dari

biaya produksi. Bagi perusahaan, suatu sistem kompensasi yang baik harus

mampu meningkatkan efisiensi perusahaan dengan mendorong peningkatan

35 ILO, Op. Cit. halaman 68.36 Pengertian upah yang diberikan oleh UU No. 13/2003 lebih progresif dibanding dengan

pengertian yang diberikan oleh PP No. 8/1981 yang memaknai upah hanya sebatas imbalan daripengusaha kepada buruh, sama sekali tidak menyebutkan bahwa upah merupakan hak buruh.

Page 25: Mogok Kerja Oleh serikat

19

kinerja (produktivitas) dan mendorong peningkatan mutu produk yang dihasilkan.

Hal ini tidak lain karena sebagai bagian dari biaya tenaga kerja, upah

mempengaruhi posisi saing manajemen melalui peningkatan biaya produksi,

efisiensi para pekerja dan kemampuan memperoleh keuntungan dari operasi

perusahaan.37

Kebijakan upah minimum, oleh kalangan pengusaha dipandang sebagai

sesuatu yang relatif tidak menguntungkan. Upah minimum telah mengurangi

kesempatan perusahaan untuk meningkatkan produktivitas buruh melalui sistem

insentif. Hasil penelitian sebuah lembaga penelitian menyatakan:

[….] semua pekerja tidak terampil dan setengah terampil di perusahaan-perusahaan menerima upah yang kurang lebih sama besarnya. Akibatnya,hal ini telah membatasi kemampuan perusahaan untuk menggunakan upahsebagai sistem insentif untuk meningkatkan produktivitas pekerja. Selain itu,kebijakan upah minimum juga dikhawatirkan mempunyai akibat akanmenimbulkan disinsentif bagi pekerja yang lebih produktif.38

Belum terbangunnya (sistem) jaminan sosial 39 yang kokoh di Indonesia,

menjadikan upah bagi sebagian besar buruh hingga hari ini masih menjadi satu-

37 ILO, Op. Cit. halaman 69.38 SMERU, 2001, “Dampak Kebijakan Upah Minimum terhadap Tingkat Upah dan

Penyerapan Tenaga Kerja di Daerah Perkotaan”, Ringkasan eksekutif laporan penelitian LembagaPenelitian, hal 7.

39 Jaminan sosial menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 40 Tahun 2004 Tentang Sistem JaminanSosial Nasional, adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agardapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Sebenarnya di Indonesia telah terdapatprogram jaminan sosial bagi buruh, yang dikenal dengan istilah “Jamsostek”, melalui UU No. 3Tahun 1992, namun program tersebut ternyata tidak berjalan sebagamana mestinya. Menurutsebagian kalangan pengusaha, program jamsostek tersebut justru dirasa membebani biayaproduksi. Sebagaimana diatur dalam UU No. 3/1992, iuran dari program jamsostek yang diikutiburuh, sebagian menjadi tanggungan pengusaha. Fenomena ini nampak pada sedikitnya jumlahtenaga kerja yang diikutkan program jamsostek. Bahkan sejumlah pengusaha melakukanmanipulasi data jumlah buruh yang diperkerjakan (dengan mengecilkan jumlah buruh dari jumlahyang sebenarnya) hanya dengan maksud menghindari program jamsostek. Selain itu, beberapaprogram turunan dari program jamsostek ditujukan untuk buruh tetap suatu perusahaan danmensyaratkan masa kerja tertentu bagi buruh untuk dapat ikut serta dalam program jamsostek.Sehingga bagi buruh kontrak dan buruh outsourcing –yang mana sistem kerja kontrak dan/atau

Page 26: Mogok Kerja Oleh serikat

20

satunya komponen yang menopang kehidupan buruh beserta keluarga yang

menjadi tanggungannya sehari-hari. Sehingga bukan hal yang mengejutkan

apabila isu upah merupakan persoalan yang sensitif dalam lapangan hubungan

industrial di Indonesia.

Secara teoritis-konseptual, besaran upah minimum yang ditetapkan oleh

pemerintah menggunakan kriteria: biaya hidup (living cost) minimal yang harus

dikeluarkan buruh dalam satu harinya untuk memulihkan tenaganya. 40 Akan

tetapi, walaupun setiap tahun jika dilihat dari nominalnya upah mengalami

kenaikan, namun tetap saja upah tersebut jauh dari cukup untuk memenuhi

kebutuhan hidup sehari-hari secara layak.

Dari berbagai laporan berita media massa yang mengangkat masalah

kehidupan buruh menunjukkan bahwa upah yang diterima oleh buruh tidak

mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum selama satu bulan. Upah

minimum yang diterima buruh setiap bulan hanya mampu untuk membiayai

kebutuhan hidup selama 2 minggu, dua minggu berikutnya harus ditutup dari upah

outsourcing sekarang ini menjadi tren, kendati telah bekerja selama bertahun-tahun padaperusahaan yang sama, hampir sama sekali tidak memiliki peluang untuk mengikuti programjamsostek.

40 Meskipun pada dasarnya upah minimum merupakan standar upah terendah yang bolehdibayarkan pengusaha kepada buruh, namun pelaksanaan kebijakan upah minimum itu sendiri jugadigantungkan pada kemampuan perusahaan (pengusaha) untuk membayar. Jika suatu perusahaandapat membuktikan bahwa tidak mampu membayar upah sesuai ketentuan, maka yangbersangkutan dapat meminta penangguhan kepada gubernur setempat untuk membayar upah dibawah standar minimum yang telah ditetapkan.

Page 27: Mogok Kerja Oleh serikat

21

lembur. 41 Artinya, kenaikan besaran nominal upah minimum setiap tahunnya,

ternyata tidak diikuti dengan kenaikan upah riil.42

Surya Tjandra mengungkapkan bahwa walaupun tanpa perlu penelitian yang

panjang lebar, semua kalau mau jujur akan menerima fakta bahwa upah buruh

Indonesia memang masih amat rendah; jauh dari cukup untuk buruh dan

keluarganya bisa hidup layak sebagai manusia yang bermartabat43. Lebih jauh

Tjandra mengungkapkan:

Data sederhana yang bisa diperoleh dari Biro Pusat Statistik (2007) punsesungguhnya sudah bisa menunjukkan itu. Pada tahun 1995 rata-rata upahminimum masyarakat Indonesia adalah sedikit di bawah Rp. 200.000,-,dengan daya beli sama-sama sedikit di bawah Rp. 200.000,-. Di tahun 2007ini rata-rata upah minimum Indonesia telah meningkat lebih dari lima kalilipat menjadi di atas Rp. 1.000.000,-, namun rata-rata daya beli masyarakathanya naik menjadi sedikit di atas Rp. 200.000,-. Dengan kata lain,sepanjang 12 tahun terakhir, dan 10 tahun reformasi, praktis tidak adapeningkatan kesejahteraan bangsa ini secara rata-rata44.

Kenyataan yang memprihatinkan ini dapat dipahami dengan melihat bahwa

dari sejumlah regulasi tentang upah yang dikeluarkan oleh pemerintah, tidak satu

pun yang memuat kejelasan,45 sehingga menimbulkan persepsi yang berbeda dan

41 Divisi Perburuhan YLBHI, 1999, “kata pengantar”, dalam Ungpakorn, Ji Giles, 1999,Perjuangan Kelas Di Tengah Krisis Ekonomi: Belajar Dari Perjuangan Buruh Thailand”,YLBHI, Jakarta. Hal iv.

42 Dipandang dari sudut nilainya, upah dibedakan menjadi:

1) upah nominal, yaitu jumlah upah yang berupa uang;

2) Upah riil adalah kemampuan upah yang diterima untuk ditukar dengan barang.

(Soepomo, Iman, 1995, Pengantar Hukum Perburuhan, Penerbit Djambatan, Jakarta,halaman 131)

43 Tjandra, Surya, “Pengantar”, dalam Tjandra et all, 2007, Advokasi Pengupahan DiDaerah (Strategi Serikat Buruh Di Era Otonomi Daerah), TURC, Jakarta, halaman 2.

44 Ibid.45 Ada peraturan perundang-undangan yang memuat faktor-faktor yang harus

dipertimbangkan dalam perumusan upah minimum, namun indikator-indikator dari setiap faktortersebut tidak diatur secara jelas.

Page 28: Mogok Kerja Oleh serikat

22

memancing perdebatan yang sengit pada pihak-pihak yang terlibat dalam

perumusan upah minimum. Posisi ekonomi dan politik yang relatif lebih lemah

dibanding posisi yang dimiliki pengusaha, membuat kepentingan buruh seringkali

“dikalahkan” dalam meja perundingan. Buruh serasa bagai kayu bakar yang mesti

dikorbankan untuk menggerakkan laju perekonomian nasional dan kemakmuran

bagi sejumlah kecil anggota masyarakat yang kebetulan memiliki modal.

Buruh dipaksa untuk melakukan pengorbanan dan menjalani kesengsaraan

dengan dalih ‘demi menyelamatkan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi

serta kesejahteraan masyarakat luas’. Kebijakan upah minimum yang rendah

dijalankan oleh pemerintah untuk menarik atau mempertahankan minat investor

asing untuk melakukan investasi di Indonesia. Akibat sesat pikir yang mendera

para aktor pemegang kekuasaan, negara yang seharusnya bertanggungjawab

terhadap kesejahteraan warga negaranya―dalam hal ini termasuk juga kaum

buruh, telah bertindak sebagai kekuatan yang melakukan eksploitasi sistematis

terhadap buruh.46 Sehingga bagi buruh, satu-satunya kekuatan yang masih tersisa

adalah kenyataan bahwa tenaga mereka merupakan faktor yang tidak dapat

digantikan dalam proses produksi.

(Hendarmin, Ari, Op. Cit. Hal 103)46 Persoalan baik-buruknya iklim investasi selama ini hanya dikaitkan dengan masalah

ketenagakerjaan semata, padahal ada banyak faktor lain yang turut menentukan iklim investasi.Sebagai contoh, sedikitnya investasi yang masuk ke Indonesia pasca krisis, sektor ketenagakerjaankembali menjadi satu-satunya sektor yang “diutak-atik” dan dituding sebagai satu-satunyapenyebab rendahnya investasi yang masuk ke Indonesia. Sebagai contoh ialah rencana pemerintahmerevisi UU No. 13/2003 pada pertengahan tahun 2006 untuk disesuaikan dengan konsepsifleksibilitas pasar kerja yang tentunya perlindungan terhadap buruh akan semakin dikurangi.Justru masalah birokrasi yang berbelit-belit dan memakan waktu yang lama serta maraknyapungutan liar, yang jelas-jelas telah menyebabkan ekonomi biaya tinggi tidak disentuh.

Page 29: Mogok Kerja Oleh serikat

23

Kondisi yang demikian ini sangat disadari betul oleh kaum buruh.

Akibatnya, tindakan berikutnya yang memungkinkan dilakukan―untuk

memperkuat posisi dalam rangka memperjuangkan kepentingannya―kemudian

adalah melakukan pemogokan. Ketika negara tidak mampu menghadirkan

kekuatan yang efektif dalam membela kepentingan buruh atau menciptakan suatu

kondisi hubungan industrial yang demokratik dan harmonis, maka bagi buruh,

pemogokan merupakan jawaban atas kebuntuan kondisi yang merugikan kaum

buruh.

Pemogokan merupakan sesuatu yang ingin selalu dihindari pengusaha. Saat

pemogokan sedang berlangsung, dapat diduga bahwa gerak roda produksi akan

berhenti dan menyebabkan terjadinya pengurangan pendapatan atau keuntungan

dipihak pengusaha. Namun demikian, meskipun di satu sisi pengusaha selalu

berusaha untuk menghindari aksi pemogokan buruh karena akan menyebabkan

terbuangnya waktu produksi, tetapi di sisi lainnya pengusaha tetap ingin

meningkatkan laju produktivitas produksi tanpa perlu menambah biaya produksi

(menaikkan upah atau fasilitas-fasilitas kesejahteraan lainnya).

Pemogokan dapat berupa menghentikan pekerjaan atau memperlambat

penyelesaian pekerjaan. Namun demikian, pemogokan yang dilakukan oleh buruh

pada umumnya adalah menghentikan sama sekali atas pekerjaan yang menjadi

bebannya. Sebabnya ialah pemogokan dengan menghentikan pekerjaan relatif

lebih mudah koordinasinya dibanding dengan pemogokan berupa pelambatan

penyelesaian pekerjaan.

Page 30: Mogok Kerja Oleh serikat

24

Indonesia merupakan negara yang mengakui bahwa mogok kerja adalah hak

buruh yang pelaksanaannya diberi batasan-batasan. Untuk dapat melaksanakan

mogok kerja, buruh harus memenuhi sejumlah persyaratan administratif dan telah

melalui suatu kondisi tertentu.47 Adanya keberadaan sejumlah persyaratan yang

harus dipenuhi oleh buruh, tentu memberatkan dan merugikan buruh karena

potensial mementahkan kembali aspirasi/tuntutan buruh dan bahkan juga

menggagalkan pelaksanaan hak mogok itu sendiri. Selain itu jika pengusaha selalu

berusaha untuk menghindari perundingan atau mengingkari bahwa perundingan

yang dilakukan mengalami kebuntuan (deadlock), maka mogok kerja yang

dilakukan oleh buruh juga potensial digolongkan ke dalam pemogokan tidak

sah.48

Mogok kerja dapat terjadi sebagai akibat dari: pertama, perselisihan

normatif, yaitu perselisihan yang ditimbulkan oleh adanya hak-hak buruh dalam

47 Pemogokan merupakan upaya yang dapat ditempuh oleh buruh apabila sebelumnya telahberupaya menyelesaikan konflik/perselisihan industrial dengan cara yang damai (perundingan,mediasi) dalam kurun waktu tertentu tetapi tidak membuahkan hasil. Sebelum melakukanpemogokan, buruh harus memberitahukan kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawabdibidang ketenagakerjaan setempat (Pasal 140 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003).

48 Pertama, meskipun di dalam penjelasan pasal 137 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003gagalnya perundingan termasuk juga dalam pengertian pengusaha menolak melakukanperundingan. Penolakan pengusaha yang dimaksud dalam penjelasan Undang-Undang No. 13Tahun 2003, karena tidak diberikan penjelasan dan ukuran yang memadai, seringkali interpretasiyang diberikan dalam implementasi adalah penolakan yang dilontarkan secara tegas olehpengusaha, dan tidak termasuk penolakan yang dilakukan secara halus (seperti janji pengusahayang akan melakukan perundingan atau akan memenuhi aspirasi buruh dalam beberapa waktu kedepan tetapi implementasinya selalu ditunda-tunda).

Kedua, menurut Pasal 4 Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 232 tahun 2003, gagalnyaperundingan karena mengalami jalan buntu, harus dinyatakan oleh kedua belah pihak, yakni buruhdan pengusaha, dalam risalah persidangan. Dengan adanya ketentuan ini, apabila pengusaha tidakmau menyatakan bahwa perundingan mengalami jalan buntu, padahal kenyataannya memangperundingan mengalami jalan buntu, maka buruh tidak dapat segera melakukan aksi mogok jikatidak ingin aksi mogok kerja tersebut digolongkan sebagai mogok kerja tidak sah. Dan apabilaburuh nekad menggelar pemogokan, maka secara yuridis-formal mogok kerja yang dilaksanakantergolong sebagai mogok kerja tidak sah.

Page 31: Mogok Kerja Oleh serikat

25

perjanjian kerja bersama, perjanjian kerja, peraturan perusahaan dan peraturan

perundangan yang dilanggar oleh pengusaha. Kedua, perselisihan non-normatif,

yaitu perselisihan yang bukan merupakan perselisihan yang bersumber dari hak-

hak normatif. Namun demikian, hanya pemogokan dengan tuntutan normatif saja

yang secara tegas diatur akan mendapatkan perlindungan hukum.

Salah satu kewajiban normatif pengusaha, yang juga merupakan hak

normatif buruh, ialah tidak boleh memberikan upah di bawah upah minimum yang

telah ditetapkan. Perselisihan yang didasari oleh tindakan pengusaha yang tidak

membayar upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sudah pasti termasuk

kategori perselisihan normatif. Demikian juga mogok kerja yang timbul dengan

tuntutan supaya pengusaha membayar upah sesuai upah minimum yang berlaku,

sudah dapat ditebak bahwa mogok kerja tersebut dilatarbelakangi oleh tuntutan

hak normatif, yang mana konsekuensi hukumnya sudah diatur secara tegas di

dalam pasal 145 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Namun untuk perselisihan terkait penentuan besaran upah minimum, belum

ada penjelasan yang menyatakan apakah termasuk kategori perselisihan normatif

atau tidak. Dari berbagai peraturan perundang-undangan sektor hubungan

industrial, terutama bidang pengupahan, disebutkan bahwa buruh berhak atas

penghasilan (upah) yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan,

yang ditentukan melalui penetapan upah minimum. Dengan kata lain, upah

minimum yang ditetapkan pemerintah harus memenuhi standar penghidupan yang

layak bagi kemanusiaan. Ini berarti, perselisihan dalam penentuan besaran upah

minimum, pada dasarnya termasuk kategori perselisihan hak normatif.

Page 32: Mogok Kerja Oleh serikat

26

Akan tetapi jika mengingat bahwa perselisihan hak dibidang hubungan

industrial diberi pengertian sebagai perselisihan yang hanya melibatkan buruh dan

pengusaha,49 maka perselisihan dalam penentuan upah minimum yang merupakan

konflik kepentingan tiga pihak, yaitu negara (pemerintah), buruh dan pengusaha,

lebih tepat dikatakan sebagai konflik kepentingan. Kata “konflik kepentingan”

dalam hal ini tidak mengacu makna pada peraturan perundang-undangan sektor

hubungan industrial yang berlaku, melainkan sebagai semacam kata bantu untuk

menjelaskan persoalan. Hal ini tidak lain mengingat bahwa aksi-aksi yang

mengiringi penentuan besaran Upah Minimum Kabupaten/Kota di Jawa Timur

adalah merupakan aksi yang dilakukan untuk memperjuangkan kepentingan buruh

dalam menuntut perbaikan kebijakan sosial-struktural dan ekonomi yang

berpengaruh pada kondisi buruh, yang dilakukan dalam kerangka ranah (tuntutan

hak) normatif. Sehingga dapat dikatakan bahwa posisi pemogokan buruh Jawa

Timur yang merupakan reaksi penolakan terhadap penetapan upah minimum

provinsi, terdapat pada “wilayah abu-abu” antara pemogokan yang

dilatarbelakangi oleh tuntutan normatif dan non-normatif.

Terlepas dari perdebatan tentang termasuk dalam kategori mana pemogokan

buruh dalam rangka memperjuangkan kepentingan perbaikan kesejahteraan,

seperti peningkatan upah khususnya penolakan atas ketentuan upah minimum

yang telah ditetapkan, yang jelas penetapan upah minimum selama ini selalu

49 Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-undang No. 2 Tahun 2004 Tentang PenyelesaianPerselisihan Hubungan Industrial, perselisihan hak adalah “perselisihan yang timbul karena tidakdipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuanperaturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerjabersama”.

Page 33: Mogok Kerja Oleh serikat

27

mengundang kontroversi dan resistensi dari kalangan kaum buruh. Dari uraian

tersebut dan dikaitkan dengan era penerapan kebijakan kebebasan berserikat

sekarang ini, persoalan yang relevan untuk diangkat ke permukaan adalah

bagaimanakah sesungguhnya peran yang telah dijalankan oleh serikat buruh

dalam melakukan tawar-menawar saat proses penentuan upah minimum sehingga

mengapa upah minimum yang ditetapkan masih mendapatkan resistensi.

Dalam hal ini pada giliran berikutnya pembahasan tidak dapat dilepaskan

dari kenyataan adanya pemogokan dan bentuk-bentuk perlawanan lainnya

terhadap ketentuan upah minimum yang dilakukan oleh serikat buruh yang juga

terlibat dalam proses perumusan dan penentuan upah minimum. Pemogokan dan

perlawanan yang dilancarkan oleh serikat buruh tersebut harus “dibaca”

bagaimana atau sebagai apa. Tentu jika mengingat fungsi dan tugas inti serikat

buruh adalah melayani, mengartikulasikan dan menyuarakan kepentingan buruh,

maka pemogokan dan beragam bentuk lain perlawanan yang dilakukan oleh

serikat buruh dalam menanggapi ketentuan upah minimum yang ditetapkan, lebih

tepat apabila dilihat sebagai bentuk pelaksanaan fungsi dan tugas serikat buruh itu

sendiri yang salah satunya adalah mengupayakan perlindungan hak dan

peningkatan kesejahteraan buruh.

Page 34: Mogok Kerja Oleh serikat

28

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG SERIKAT BURUH/SERIKAT PEKERJA

DAN MOGOK KERJA

A. Tinjauan Umum Tentang Serikat Buruh/Serikat Pekerja

1. Sejarah Umum Serikat Buruh

Serikat buruh merupakan fenomena yang muncul dalam sebuah masyarakat

modern, yang mana jalinan-jalinan dan hubungan antar komunitas yang terdapat

di dalamnya menampilkan konfigurasi yang rumit dan kompleks. Artinya serikat

buruh merupakan salah satu produk sejarah manusia yang dinamis dan dialektis.

Pergeseran sifat kegiatan produksi dari yang sifatnya subsisten―yaitu kegiatan

produksi yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sendiri―menjadi yang

sifatnya komersial, juga turut memberikan kontribusi bagi terbentuknya suatu

tatanan sosial dan keadaan yang menjadi basis material atas kemunculan asosiasi-

asosiasi di dalam masyarakat dan termasuk juga serikat buruh.

Pada umumnya dapat dikatakan bahwa persatuan kaum buruh atau serikatburuh yang merupakan alat untuk melindungi dan membela kaum buruh,yaitu mereka yang bekerja dengan mendapat upah (wage earners), adalahakibat dari keadaan-keadaan di lingkungan pekerjaan yang ditimbulkan olehekonomi modern.50

Meskipun secara riil serikat buruh baru ada sekitar akhir abad ke delapan belas sampai awal

abad ke sembilan belas, yaitu ketika aktivitas industrialisasi dengan corak kapitalis mulai marak

pasca Revolusi Industri di Inggris pada abad ke-18 (delapan belas), akan tetapi cikal bakalnya

telah ada pada periode waktu sebelumnya. Keberadaan gilda-gilda, yaitu perkumpulan

dari orang-orang yang menjalankan usaha yang sama dengan tujuan memelihara

50 ICFTU, 1965, Sejarah Ringkas Gerakan Serikat Buruh Internasional, halaman 2.

Page 35: Mogok Kerja Oleh serikat

29

kepentingan-kepentingan anggota-anggotanya 51 , pada masa sebelum Revolusi

Industri, misalnya, disebut sebagai cikal bakal atau setidaknya memberikan

inspirasi bagi terbentuknya serikat buruh dikemudian hari.

Namun demikian, oleh sejumlah kalangan dikatakan bahwa serikat buruh

dan gilda merupakan dua entitas yang sama sekali berbeda, bahkan gilda itu

sendiri disebutkan sebagai model kerja yang kapitalistis dalam hal kegiatan

produksi, sehingga disebut sebagai dasar-dasar praktek ekonomi kapitalis52. Hal

ini wajar saja sebab jika merujuk definisi gilda sebagai perkumpulan orang-orang

yang mempunyai usaha yang sama53, maka tak ubahnya gilda seperti asosiasi

pengusaha yang ada pada masa kini. Akan tetapi jika ditinjau dari perspektif

organisasional, antara serikat buruh dan gilda terdapat kesamaan, yaitu persatuan

yang bertujuan untuk memperbaiki taraf hidup anggota-anggotanya54, maka cukup

rasional apabila gilda dianggap sebagai cikal bakal lahirnya serikat sekerja yang

kemudian pada gilirannya menjadi serikat buruh.

Di tengah masyarakat yang mempunyai struktur makin rumit dan kompleks,

pertarungan kepentingan menjadi demikian tajam. Apabila di dalam sebuah

masyarakat yang jumlahnya masih sedikit dan masih mempunyai corak

tradisional, di mana anggota-anggotanya antara yang satu dengan yang lainnya

telah saling mengenal dalam arti yang sesungguhnya, penyelesaian suatu masalah

51 Siregar, A. Madjid, 1953, Perkembangan Serikat Buruh di Beberapa Negara, PenerbitKebangsaan Pustaka Rakyat N.V., Jakarta, halaman 18.

52 Lihat misalnya: Radjab, Suryadi A., Buruh dalam Formasi Sosial Kapitalis;Kusumandaru, Ken Budha, “Upah Sebuah Catatan Ekonomi Politik”, www.perhimpunan-rakyat-pekerja.org, diakses pada tanggal 16 Agustus 2007.

53 Lihat: Siregar, A. Madjid, Loc Cit.54 Ibid.

Page 36: Mogok Kerja Oleh serikat

30

yang timbul akibat dari perbedaan kepentingan mungkin cukup dilakukan dengan

cara-cara sederhana yang didasarkan pada kemauan dan kepercayaan antara pihak

yang satu dengan pihak yang lainnya guna menuju pencapaian kata sepakat. Maka

tidak demikian halnya pada sebuah masyarakat yang jumlahnya besar dan telah

mempunyai struktur yang kompleks.

Pada masyarakat yang sudah mulai meninggalkan karakter masyarakat

tradisional atau yang sama sekali telah menjadi masyarakat modern, lapisan

masyarakatnya “terdiri dari orang-orang yang tidak ada hubungan persaudaraan

satu sama lain, mempunyai berbagai pandangan hidup, bahkan terkadang terdiri

dari berbagai suku bangsa yang mempunyai bahasa dan kebudayaan yang

berlainan.”55 Sehingga penggunaan cara-cara konvensional-tradisional yang hanya

tepat bagi suatu masyarakat dengan struktur sederhana untuk menyelesaikan suatu

masalah yang timbul dalam masyarakat yang lebih kompleks tentunya tidak akan

efektif. Identifikasi ragam kepentingan yang begitu banyak jumlah pemangkunya

menjadi sebab ketidakefektifan pemanfaatan cara-cara tradisional.

Pada masyarakat yang sudah memasuki atau memiliki ciri-ciri masyarakat

modern, khususnya masyarakat industri, persoalan yang timbul biasanya

melibatkan jumlah manusia yang terbilang cukup banyak. Artinya persoalan yang

muncul bukan saja melibatkan para pihak yang bertikai atau yang mempunyai

perbedaan kepentingan secara langsung itu sendiri, tetapi juga melibatkan pihak

lain yang berada di barisan luar. Atau dengan kata lain persoalan yang muncul

juga menyentuh struktur dasar yang berkembang di masyarakat yang

55 Labour Education Center, 2001, Organisasi Serikat Buruh, halaman 1.

Page 37: Mogok Kerja Oleh serikat

31

bersangkutan. Sehingga apabila upaya penyelesaian tersebut menggunakan

pendekatan antar-personal, kemungkinan besar hasil yang dicapai jauh dari

penyelesaian yang mendasar atas persoalan yang mengemuka tersebut.

Penyelesaian yang dihasilkan akan disusul oleh persoalan-persoalan yang sama

dari pihak-pihak yang berasal dari lingkungan yang sama.56 Lebih jauh lagi, jika

pun terdapat penyelesaian, hasil yang dicapai cenderung mengarah pada dominasi

kepentingan salah satu pihak, yaitu pihak yang mempunyai posisi lebih kuat.

Atas dasar itu maka dapat dipahami jika kemudian mekanisme yang

dibangun dan dikembangkan oleh anggota-anggota masyarakat yang mempunyai

kesamaan kepentingan adalah melakukan pengorganisasian atau melakukan

penyusunan kekuatan secara kolektif untuk memperjuangkan kepentingannya

dalam berhadapan dengan golongan-golongan lain yang memiliki kepentingan

berbeda. Demikian juga halnya yang berlaku di kalangan kelas pekerja sejak

berlakunya sistem produksi massal di pabrik-pabrik pasca Revolusi Industri.

Dalam membahas soal pergulatan menjelang kelahiran serikat buruh, kajian

pertama-tama akan difokuskan pada kronologi peristiwa yang terjadi pada

masyarakat Eropa, khususnya Inggris, karena di sanalah serikat buruh pertama

kali muncul. Selain itu, keadaan masyarakat di Inggris pada waktu itu

menyediakan banyak data sejarah yang memungkinkan penelusuran serta analisis

terhadap keberadaan serikat buruh industri. Keberadaan buruh upahan memang

telah ada sebelumnya, hanya saja sistem produksi pada masa sebelumnya belum

56 Menurut Weber, hal ini tidak lain karena arah yang ditempuh oleh setiap individu dalammemburu kepentingannya bisa sangat bervariasi, tergantung bagaimana secara mental iamemenuhi syarat bagi pekerjaan dan tantangan yang ia hadapi

(Weber, Max, 2006, Sosiologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, halaman 221).

Page 38: Mogok Kerja Oleh serikat

32

menggunakan corak produksi massal sebagaimana yang diterapkan pada industri-

industri dewasa ini.

Jika pada masa sebelum Revolusi Industri, kendati telah ada sistem kerja

upahan, akan tetapi kaum buruh pada masa itu di sisi yang lain masih mempunyai

pekerjaan alternatif, sehingga kebergantungannya terhadap upah tidak sedemikian

besar seperti pada buruh industri pasca Revolusi Industri. Setiap perkembangan

yang terjadi di masyarakat tidak dapat dilihat sebagai sesuatu yang telah ada

begitu saja, melainkan harus dilihat dalam kerangka sosial yang lebih luas. Sebab

setiap perubahan dan perkembangan masyarakat, terdapat faktor-faktor tertentu

yang menjadi titik tolak perubahan sekaligus determinannya. Faktor tersebut

antara lain adalah kebijakan negara yang berlaku pada zaman tersebut.

Kemajuan pesat kekuatan-kekuatan produktif memang menimbulkandampaknya terhadap perkembangan masyarakat. Ketika mesin-mesinproduksi mulai dihasilkan dalam masyarakat Inggris, Revolusi Industrimenjadi tidak terelakkan. Kegiatan produksi mulai beralih denganmenggunakan peralatan mesin-mesin industri. Hasil-hasil pertaniankemudian dihisap oleh sektor industri, dan kemudian dihasilkan komoditasindustri. Semula merupakan kumpulan perajin manufaktur – dari tukangkayu sampai tukang pemintal benang untuk menghasilkan kain – yangdisebut gilda, selanjutnya terbentuk dan berkembanglah perusahaan-perusahaan industri komoditas57.

Revolusi Industri yang terjadi di Inggris pada kenyataannya telah

memberikan pengaruh yang luas bagi pergeseran-pergeseran mode produksi dan

susunan masyarakat serta arah kebijakan yang diambil oleh negara-negara di

Eropa. Di Inggris, sebagaimana dikatakan oleh Siregar bahwa munculnya kelas

buruh industri bukan semata disebabkan oleh Revolusi Industri, tetapi juga di

57 Radjab, Suryadi A., Op. Cit.

Page 39: Mogok Kerja Oleh serikat

33

dorong oleh adanya kebijakan politik agraria dari Pemerintah Inggris.58 Dalam

konteks ini, kelahiran serikat buruh sebagai fenomena sosial-ekonomi juga

mempunyai basis material tersendiri, yaitu kebijakan negara baik yang menjelang

maupun sesudah Revolusi Industri. Pada kurun waktu ini telah dimulai penerapan

paham kapitalisme dalam sistem produksi dan sistem sosial di dalam masyarakat

walaupun masih dalam tingkatan awal. Hal yang menjadi latar belakang

munculnya keadaan ini ialah karena berkembangnya politik merkantilisme di

negara-negara daratan Eropa.

Aktivitas perdagangan antar negara ini telah mendorong masing-masing

pemerintah negara-negara di Eropa untuk menyediakan lebih banyak komoditas,

sehingga kemudian melahirkan beberapa kebijakan yang mana kebijakan-

kebijakan tersebut mempunyai korelasi erat antara yang satu dengan yang lainnya.

Kebijakan-kebijakan tersebut pada intinya bertujuan meningkatkan kapasitas

produksi komoditas yang diperdagangkan dengan negara-negara lain.

Cikal bakal sistem ekonomi kapitalis adalah produksi komoditas. Komoditasyang diperdagangkan bersumber dari produksi komoditas. Kelompok sosialyang muncul dari kegiatan produksi komoditas ada dua, yaitu perajinmanufaktur dan pedagang atau saudagar. Perajin manufaktur adalah adalahpencipta komoditas, sedangkan pedagang berperan sebagai penghubungyang menghubungkan antara produsen dan konsumen. Ketika perubahansosial terjadi, sebagian modal dagang brerubah menjadi modal produksikomoditas yang juga memegang peranan utama dalam struktur ekonominya.Ketika pertukaran komoditas semakin meluas, seketika itu pula uang mulaiberfungsi sebagai media sirkulasi, alat penunjukan kekayaan, serta alatakumulasi59.

Salah satu kebijakan yang diterapkan oleh Pemerintah Inggris pada masa itu

ialah memaksa rakyat untuk menanam dan membudidayakan tanaman atau hewan

58 Siregar, A. Madjid, Op. Cit. halaman 15.59 Radjab, Suryadi A., Op. Cit..

Page 40: Mogok Kerja Oleh serikat

34

ternak tertentu yang menjadi komoditas maupun merupakan bahan baku dari

komoditas perdagangan internasional. 60 Akibatnya rakyat tidak mempunyai

kebebasan dan kemandirian dalam hal mengolah lahan, sehingga pada gilirannya

tidak banyak alternatif pekerjaan yang dimiliki oleh rakyat. Kebijakan ini makin

dikerjakan secara intens dalam skala massif ketika terdapat penemuan-penemuan

baru mesin industri yang memudahkan pengolahan atas barang-barang yang

diperdagangkan. Revolusi Industri yang ditandai dengan penemuan mesin uap

pada abad ke delapan belas membuka jalan bagi dibuatnya mesin tenun otomatis

dan mesin-mesin lainnya yang memudahkan proses produksi, dan pada gilirannya

“mengubah secara permanen hubungan antara buruh dan majikan”61.

Kebijakan-kebijakan strategis yang ditempuh negara-negara di Eropa

dengan didukung oleh penemuan mesin-mesin baru secara nyata telah

menyebabkan terjadinya perubahan struktur masyarakat, yang meliputi timbulnya

kelas menengah dan golongan buruh upahan industri beserta relasi antar elemen-

elemen dalam masyarakat tersebut. Logika ekonomi pasar kemudian menjadi

tolok ukur efektifitas dan model dari setiap kebijakan yang diterapkan.

“Dengan politik merkantilisme, sektor industri senantiasa mendapatkan

sokongan penuh dari pemerintah”62, yang mana hal ini pada giliran berikutnya

mendorong penerapan paham kapitalisme dalam sistem sosial dan sistem produksi

masyarakat kian berkembang. Sebagaimana karakter dari paham kapitalisme yang

60 Penerapan kebijakan yang demikian ini sangat mungkin dilakukan mengingat struktursosial yang berlaku dan berkembang saat itu berwatak feodal, di mana aristokrasi menjadipenopang utama bangunan kenegaraan Inggris.

61 Sinaga, Marsen, 2006, Pengadilan Perburuhan di Indonesia (Tinjauan Hukum Kritis atasUndang-Undang PPHI), Perhimpunan Solidaritas Buruh, Yogyakarta, halaman 10.

62 Siregar, A. Madjid, Op. Cit. halaman 15.

Page 41: Mogok Kerja Oleh serikat

35

menghendaki campur tangan negara dalam bidang ekonomi sekecil mungkin,

maka demikian juga yang terjadi dalam sistem produksi yang berkembang masa

itu. Produksi atas barang-barang komoditas perdagangan diserahkan kepada

masyarakat, sedangkan negara hanya berperan sebagai regulator yang menjamin

keamanan dan kelangsungan dari aktivitas produksi dan distribusi. Praktek

ekonomi semacam ini sama sekali tidak mengurangi pemasukan negara, karena

dalam hal ini negara menarik pajak dan retribusi kepada para pelaku ekonomi di

lapangan.

Keleluasaan dalam melakukan produksi yang diberikan oleh negara kepada

para pemilik pabrik membuat posisi kaum kelas pekerja terpinggirkan. Kaum

buruh tidak dapat menuntut kenaikan upah dan perbaikan syarat maupun kondisi

kerja di dalam pabrik sebagai suatu cara kaum buruh untuk dapat turut menikmati

laba yang diperoleh pemilik alat produksi (pabrik). Kendati pemilik pabrik dan

kaum majikan memperoleh laba yang lebih besar daripada waktu-waktu

sebelumnya, akan tetapi nasib kaum buruh tetap sangat memprihatinkan. Kaum

buruh harus tetap bekerja dengan jam-jam kerja panjang –sampai sekitar enam

belas jam per hari, upah rendah serta kondisi kerja yang buruk bagi kesehatan dan

mengancam keselamatan buruh.

Sebenarnya pemerintah telah berupaya memberikan perlindungan kepada

buruh melalui serangkaian instrumen hukum, akan tetapi upaya pemerintah

tersebut mendapatkan tentangan yang kuat dari kalangan pemilik pabrik. Pada

tahun 1802 pemerintah Inggris mengeluarkan peraturan tentang kesehatan dan

keselamatan kerja bagi buruh, namun implementasi di lapangan atas peraturan

Page 42: Mogok Kerja Oleh serikat

36

yang kemudian dikenali sebagai undang-undang pertama dibidang perburuhan

tersebut tidak berjalan mulus.

Keberadaan teori sosial dan doktrin laissez-faire yang merupakan bagian

dari paham kapitalisme, menjadi landasan sikap penentangan kalangan pemilik

modal terhadap upaya pemerintah untuk melindungi buruh. Doktrin laissez-faire

mengedepankan bahwa setiap hubungan antar anggota masyarakat dalam

lapangan ekonomi harus didasarkan pada azas kebebasan berkontrak yang

sesungguhnya, yaitu tanpa pembatasan dan intervensi dari pemerintah. Dalam

konteks hubungan kerja, kaum pemilik modal menghendaki agar hubungan kerja

tidak diberikan pembatasan-pembatasan yang mana hal tersebut dapat mengurangi

kesempatan meraih laba sebesar-besarnya.

[…] sejalan dengan filsafat laissez-faire, cukup kuat desakan agar hubungankerja dibebaskan dari segala pembatasan. Yang dianut di sini adalah azasbahwa majikan (pemilik pabrik) dan buruh haruslah mutlak bebas untukmengadakan hubungan kerja berdasarkan perjanjian, dan hubungan kerjaseperti ini dapat diakhiri kapan saja oleh salah satu pihak.63

Revolusi Industri yang ditandai dengan penemuan mesin uap untuk pertama

kalinya dan dilanjutkan dengan pemanfaatan mesin-mesin yang ditemukan setelah

mesin uap, telah membuat ketergantungan produksi kepada tenaga manusia

menjadi berkurang; mesin telah menggantikan posisi manusia dalam mengerjakan

hal-hal tertentu di dalam pabrik. Sementara keberadaan mesin itu sendiri telah

meningkatkan kemampuan produksi pabrik-pabrik secara signifikan. “Revolusi

63 Sinaga, Marsen, Op. Cit.

Page 43: Mogok Kerja Oleh serikat

37

Industri menandai munculnya zaman mekanisasi yang tidak dikenal

sebelumnya”.64

Lebih jelasnya, akibat dari Revolusi Industri “produksi tidak lagi dibatasi

oleh segala macam ketentuan feodal, oleh sistem gilda, oleh keterkaitan petani

pada tanah dan sebagainya”65. Selain itu penemuan mesin-mesin baru ini telah

memudahkan para pemilik pabrik untuk meningkatkan produksi tanpa menambah

jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan, atau bahkan mengurangi penggunaan

tenaga manusia. Dengan demikian secara sosiologis penemuan mesin memberikan

dampak meningkatkan posisi pemilik pabrik di satu sisi, sedangkan di sisi lain

menurunkan daya tawar kaum buruh yang bekerja di pabrik.

Penemuan mesin uap untuk pertama kalinya menyediakan sumber energiyang besar bagi proses produksi. Mesin tenun otomatis dan mesin-mesin lainmemungkinkan produksi massal yang murah. Siapa yang mempunyai modaldapat mengerjakannya melalui mesin-mesin itu dengan membeli tenagakerja kaum buruh.66

Engels mengemukakan:

Penerapan tenaga mekanik dan mesin dalam pekerjaan-pekerjaan baru, danperluasan dan perbaikan-perbaikan mesin dalam usaha-usaha yang sudahmenggunakannya, terus menggusur semakin banyak "tangan" (pekerja); danitu terjadi dalam laju yang jauh lebih cepat daripada laju "tangan-tangan" itudapat diserap oleh, dan menemukan pekerjaan di dalam, usaha-usahamanufaktur negeri bersangkutan. "Tangan-tangan" yang digantikan inimembentuk barisan cadangan industrial yang sesungguhnya untuk kegunaanModal. Jika perdagangan sedang buruk, mereka itu bisa kelaparan,mengemis, mencuri, atau ke tempat-kerja; jika perdagangan sedang baik,mereka siap (dipakai) untuk meluaskan produksi; dan hingga laki-laki,perempuan atau anak terakhir dari barisan cadangan (tenaga kerja cadangan)ini akan memperoleh pekerjaan-yang, hanya terjadi pada masa-masa

64 Ibid.65 Magnis-Suseno, Franz, 2001, Kuasa dan Moral, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,

halaman 5366 Ibid.

Page 44: Mogok Kerja Oleh serikat

38

kekalutan over-produksi hingga di situlah persaingannya akan menekanupah-upah, dan dengan keberadaannya saja memperkuat kekuasaan Modaldalam pergulatannya dengan Kerja. Dalam perlombaan dengan Modal itu,Kerja tidak saja berintangan, ia harus pula menyeret sebuah bola-besiraksasa yang dikelingkan pada kakinya. Namun ini (pun) adalah layakmenurut ekonomi politik Kapitalis.67

Jelaslah bahwa Revolusi Industri selain membawa manfaat dalam hal

penciptaan sistem produksi massal, disisi lainnya telah menyebabkan kaum kelas

pekerja menjadi semakin terhimpit. Akan tetapi yang harus diperhatikan ialah

tersubordinasinya kaum buruh ke dalam kekuasaan modal bukan hanya

disebabkan oleh Revolusi Industri itu saja, melainkan juga disebabkan oleh

kebijakan-kebijakan negara dibidang ekonomi dan di bidang-bidang lainnya.

Kebijakan dibidang agraria oleh Pemerintah Inggris sebagaimana tereksposisi di

atas, misalnya, pada kenyataannya telah mematikan kemerdekaan ekonomi

masyarakat kelas bawah yang menggantungkan pemenuhan kebutuhan hidupnya

dari lahan pertanian yang digarapnya. Akibatnya masyarakat yang kehilangan

kekuasaan atas lahan dan alat produksi yang sebelumnya dikuasai, beralih pada

pekerjaan lain, yang dalam hal ini adalah menjadi buruh pabrik.

Kegiatan produksi merupakan kegiatan kreatif yang harus menggunakan

peralatan produksi.Peralatan produksi adalah hal yang pokok bagi manusia untuk

menjalankan kegiatan produksi. Kegiatan produksi tidaklah mungkin berlangsung

tanpa peralatan produksi (means of production). Ketika peralatan produksi berada

di tangan segelintir orang, maka banyak orang akan bergantung hidupnya kepada

pemilik peralatan produksi. Terbentuknya hubungan pemilikan secara pribadi atas

67 Engels, Friederich, 1881, “The Labour Standart”, terjemahan Edy Cahyono,www.marxist.org, diakses pada tanggal 25 Juni 2007.

Page 45: Mogok Kerja Oleh serikat

39

peralatan produksi oleh kapitalis atau pengusaha, menyebabkan orang-orang yang

tidak mempunyai alat produksi harus bergantung hidupnya karena tidak

mempunyai apa-apa lagi kecuali tenaga fisik, dan dengan terpaksa harus menjual

atau menyewakan tenaga kerjanya kepada orang-orang yang menguasai alat

produksi68.

Kelas masyarakat yang terpinggirkan inilah yang kemudian dinamakan kelas

buruh industri, suatu kelas baru yang muncul dalam struktur masyarakat di Eropa.

Buruh industri pada masa ini berbeda dengan buruh-buruh pada masa

sebelumnya―walaupun sama-sama sebagai buruh upahan. Kelas buruh industri

tersebut mempunyai ciri khas tertentu di mana ciri khas tersebut merupakan

sesuatu yang relatif baru pada masyarakat yang bersangkutan, yang oleh Franz

Magnis Suseno dikatakan:

Ciri khas kelas baru itu (baca: buruh industri) bahwa mereka di satu pihaklebih bebas dari buruh-buruh dan tukang-tukang dulu, di lain pihak lebihtergantung kepada majikan mereka. Lebih bebas karena mereka berhakmencari pekerjaan di mana-mana. Lebih tergantung dari majikan karenamereka hanya bisa bekerja apabila mereka ditawari tempat kerja, dantempat-tempat kerja dimiliki oleh para pemilik modal.69

Akan tetapi persoalannya bukan hanya berhenti sampai disitu. Dalam

hubungan kerja bebas tersebut nampak ada dua pihak, yaitu buruh dan majikan

(pemilik pabrik). Kedua pihak ini mempunyai kepentingan yang saling bertolak

belakang dan “tidak selalu sepakat dalam terpenuhinya kepentingan masing-

68 Radjab, Suryadi A., Op. Cit.69 Magnis-Suseno, Franz, 2001, Loc. Cit..

Page 46: Mogok Kerja Oleh serikat

40

masing”70. Perbedaan kepentingan kedua belah pihak yang saling bertentangan

yang tidak terselesaikan ini kemudian berubah menjadi ketegangan di dalam

proses produksi.

Dalam hubungan produksi kapitalis, terbentuk dua kelas sosial yangfundamental yang kepentingannya satu sama lain bertentangan, namunkeduanya saling membutuhkan. Pertama, sesuai dengan istilahnya, kelaskapitalis adalah pemilik modal, yakni pemilik perusahaan industri,pertanian, pertambangan, perusahaan pelayanan dan perdagangan. Kelaskapitalis mempekerjakan sejumlah buruh upahan yang harus menghasilkanlebih banyak modal. Posisi kapitalis bersifat dominant yang kepentingannyaadalah menghisap tenaga kerja―yang berada di dalam darah dandaging―kaum buruh atau pekerja. Kedua, berhubung tidak mempunyai apa-apa lagi, kaum buruh terpaksa bekerja untuk kepentingan kapitalis denganmenghasilkan lebih banyak modal, dan seterusnya lebih banyak lagi modal.Posisi mereka adalah pihak yang dihisap oleh kapitalis, karena seluruh hasilkerjanya sepenuhnya menjadi milik kapitalis.71

Kebijakan politik agraria yang miskin keberpihakan kepada masyarakat

kelas bawah dan mengakibatkan hilangnya lapangan pekerjaan tradisional yang

selama ini digeluti masyarakat untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan hidupnya,

telah menimbulkan surplus tenaga kerja dalam jumlah besar. Antara lapangan

kerja yang tersedia di pabrik dengan jumlah tenaga kerja pencari kerja tidak

seimbang. Sementara itu, para pencari kerja ini hanya dapat bekerja apabila

mereka ditawari tempat kerja. Sehingga kemudian timbul ketergantungan yang

luar biasa besar dari pihak para pencari kerja kepada para pemilik modal. Kondisi

ini menyebabkan persaingan antar pencari kerja menjadi sedemikian ketat,

akibatnya ketika mereka mendapatkan pekerjaan, mereka bersedia menerima upah

serta syarat dan kondisi kerja yang memprihatinkan.

70 Suroto, Suri, “Gerakan Buruh dan Permasalahannya”, dalam Prisma No. 11 Tahun 1985,halaman 25.

71 Radjab, Suryadi A., Op. Cit.

Page 47: Mogok Kerja Oleh serikat

41

Karena buruh itu bagaimanapun harus makan dan memenuhi kebutuhandasar lainnya, padahal satu-satunya cara untuk itu adalah menjual tenagakerja mereka kepada para pemilik pabrik, maka terpaksa mereka menerimasyarat-syarat kerja yang ditentukan oleh kepentingan ekonomis perusahaanuntuk mendapatkan untung sebesar mungkin.72

Oleh karena itu, desakan kalangan pemilik modal agar dalam hubungan

kerja diterapkan prinsip-prinsip kebebasan berkontrak sebagaimana diterapkan

dalam lapangan transaksi jual beli barang, merupakan sesuatu yang tidak masuk

akal. Persoalan yang terdapat dalam hubungan kerja antara buruh dan majikan

berbeda dengan transaksi jual beli barang. Antara hubungan kerja dengan

transaksi jual beli, terdapat perbedaan yang substansial. Perbedaan tersebut ialah:

Pertama, di dalam hubungan antara buruh dengan pemilik modal (alat

produksi) dan kegiatan produksi yang dijalankan oleh buruh atas perintah pemilik

modal terdapat dua aspek yang berbeda, yaitu pertukaran tenaga buruh dengan

sejumlah uang yang disebut gaji, dan kegiatan kerja atau produksi. Buruh yang

bekerja kepada pemilik alat produksi, tenaga mereka ditukar dengan sejumlah

uang, yaitu upah atau gaji. Tenaga yang dipunyai buruh dan berada dalam tubuh

buruh adalah untuk menjalankan kegiatan kerja atau produksi. Dengan dibelinya

tenaga ini oleh pemilik alat produksi, maka pemilik alat produksi memerintahkan

buruh untuk menjalankan kegiatan kerja.

Persoalannya, kegiatan kerja bukanlah hubungan pertukaran, melainkan

berlangsung dalam hubungan produksi, yaitu pemberian tambahan nilai terhadap

bahan atau barang yang dikerjakannya. Karena itu, dalam hubungan produksi,

buruh tidak mendapatkan apa-apa selain lelah dan tenaganya yang terkuras.

72 Magnis-Suseno, Franz, Op. Cit.

Page 48: Mogok Kerja Oleh serikat

42

Seluruh hasil produksi sepenuhnya menjadi milik pengusaha. Hanya dalam

hubungan pertukaran, buruh mendapatkan upah. Dengan demikian, hubungan

antara pengusaha dan buruh terdapat dua tingkatan hubungan ekonomi: hubungan

pertukaran dan produksi. Dalam hubungan pertukaran, buruh mendapatkan upah.

Akan tetapi dalam hubungan produksi hanya mendapatkan lelah dan tenaganya

yang terkuras, tenaganya diperas oleh pengusaha73.

Kedua, dalam hal jual beli barang, antara penjual dan pembeli terdapat

kesetaraan posisi baik secara yuridis maupun sosiologis. Sementara dalam

hubungan kerja, walaupun terdapat kesetaraan secara yuridis, namun tidak ada

kesetaraan posisi secara sosiologis.

Yuridis buruh adalah memang bebas […] Sosiologis buruh adalah tidakbebas. Sebagai orang yang tidak mempunyai bekal hidup lain daripadatenaganya itu, ia terpaksa untuk bekerja pada orang lain. Dan majikan inilahyang pada dasarnya menentukan syarat-syarat kerja itu.

Tenaga buruh yang terutama menjadi kepentingan majikan, merupakansesuatu yang sedemikian melekatnya pada pribadi buruh, sehingga buruh ituselalu harus mengikuti tenaganya ke tempat dan pada saat majikanmemerlukannya serta mengeluarkannya menurut kehendak majikan itu.Dengan demikian maka buruh juga jasmaniah dan rohaniah tidak bebas.74

Untuk lebih memperjelas ketidaksetaraan posisi antara buruh dengan

kalangan pemilik modal, dan hubungannnya dengan soal di seputar kebebasan

berkontrak, perlu kiranya menyimak pendapat Engels yang mengemukakan:

[…] upah-upah dan hari-hari kerja ditetapkan oleh persaingan, makakelayakan tampaknya menuntut bahwa kedua belah pihak mesti mempunyaiawalan yang sama layaknya secara sama-derajat. Tetapi kenyataannyatidaklah demikian. Si Kapitalis, jika ia tidak dapat sepakat dengan si Pekerja,dapat saja menunggu, dan hidup dari modalnya. Si Pekerja tidak

73 Radjab, Suryadi A., Op. Cit.74 Soepomo, Iman, 1995, Pengantar Hukum Perburuhan, Penerbit Djambatan, Jakarta,

halaman 7.

Page 49: Mogok Kerja Oleh serikat

43

berkemampuan begitu. Baginya hanya ada upah-upah itu untuk hidup, danoleh karenanya mesti menerima pekerjaan kapan saja, di mana saja, dandengan syarat-syarat apa saja yang dapat diperolehnya. Si Pekerja tidakmenikmati/memiliki awalan yang layak. Ia sangat dirundung ketakutan akankelaparan. Namun begitu, menurut ekonomi politik klas Kapitalis, demikianitulah warna sebenarnya dari kelayakan itu.75

Dari uraian yang dikemukakan oleh Engels tersebut, nampak jelas bahwa

sedari awal posisi buruh dengan pemilik modal adalah tidak setara. Sehingga

dengan demikian penerapan prinsip-prinsip kebebasan berkontrak secara total dan

konsisten di dalam hubungan kerja lebih banyak mengakibatkan eksploitasi

terhadap kaum buruh oleh pemilik modal.

Penindasan dan eksploitasi yang dialami terus menerus oleh kaum buruh

pada waktu berikutnya membangkitkan kesadaran kaum buruh tentang perlunya

perlawanan. Kesadaran terhadap kenyataan bahwa susunan masyarakat dan relasi

antara golongan-golongan yang terdapat didalamnya ditentukan mode produksi

yang diterapkan oleh masyarakat yang bersangkutan, yang mana hal itu (mode

produksi) dapat berubah setiap periode waktu, memberikan semacam penalaran

kepada kaum buruh bahwa untuk memperbaiki kehidupannya, belas kasihan dari

dan kepekaan sosial yang berwujud tindakan karitatif dari kaum pemilik modal

bukanlah jawaban dari persoalan tersebut.

a. Fase-fase Gerakan Serikat Buruh

Di tengah relasi antar golongan masyarakat yang berwatak eksploitatif

terhadap kaum buruh dan tindakan-tindakan karitatif tidak dapat banyak

membantu, karena semua itu terjadi disebabkan oleh struktur yang berkembang,

maka mempertarungkan kepentingan secara terbuka dengan golongan-golongan

75 Engels, Friederich, 1881, Loc. Cit.

Page 50: Mogok Kerja Oleh serikat

44

lapisan masyarakat lainnya merupakan sesuatu yang menjadi keharusan bagi

kaum buruh apabila kaum buruh hendak memperbaiki taraf kehidupannya. Di

samping itu juga terdapat kesadaran lain di kalangan kelas pekerja, yaitu

perlawanan secara individual yang sporadis tidak efektif di dalam struktur yang

timpang. Artinya pada tataran ini kaum buruh menginsafi bahwa berjuang melalui

kekuatan kolektif atau aksi-aksi komunal merupakan satu-satunya cara untuk

mendesakkan kepentingan buruh dalam konfigurasi kepentingan sosial yang luas.

Menurut Weber, aksi komunal didefinisikan sebagai aksi yang “menunjuk pada

tindakan yang ditujukan pada perasaan para aktor bahwa mereka adalah satu”.76

Lingkungan pabrik di satu sisi telah membawa dampak tercerabutnya kaum

buruh dari akar kehidupan sosial masyarakat. Karena desakan kebutuhan ekonomi

yang tidak dapat ditunda, membuat kaum buruh rela bekerja dengan jam-jam kerja

yang panjang dan sangat menguras tenaga maupun mental, sehingga buruh hampir

tidak mempunyai kesempatan untuk melakukan interaksi sosial dengan

masyarakat yang lebih luas secara layak. Akan tetapi di sisi lainnya, lingkungan

pabrik tempat bekerja telah memberikan kesempatan bagi terhimpunnya buruh

sebagai individu pada satu tempat yang sama, yang mana hal ini selanjutnya

menghadirkan situasi kebersamaan diantara buruh dan pada gilirannya mendorong

terbentuknya situasi kelas tertentu (yaitu kelas buruh). Dari situasi semacam inilah

kemudian menjadi benih-benih organisasi buruh muncul, sebagaimana dikatakan

oleh Suroto:

76 Weber, Max, Loc. Cit.

Page 51: Mogok Kerja Oleh serikat

45

Lingkungan pemerintahan, pabrik-pabrik dan perusahaan-perusahaanmerupakan tempat terhimpunnya tenaga kerja atau buruh sebagai individukarena kepentingan yang sama. Lingkungan itu menciptakan situasikebersamaan secara tetap yang mendorong ke terbentuknya situasikelompok sosial. Di dalamnya tumbuh perasaan senasib dansepenanggungan […] Selanjutnya rasa kebersamaan ini munculmemanifestasikan diri dalam organisasi sebagai wadah mereka dapatmembicarakan keadaan, masalah dan kepentingan bersama, ataumenyelenggarakan pertemuan sosial di antara mereka.77

Pada tahapan awal penyusunan kekuatan kolektif ini bentuknya bukanlah

organisasi modern sebagaimana yang dikenal pada waktu berikutnya, melainkan

hanya sebatas perkumpulan-perkumpulan yang tidak permanen. Belum terdapat

keterikatan yang sifatnya organisasional dan rasional di antara kaum buruh,

kecuali keterikatan emosional karena perasaan senasib. Lebih dari itu, persatuan

di antara mereka terjadi ketika terdapat seruan ataupun ajakan dari beberapa orang

dari golongan mereka sendiri yang kebetulan mempunyai kharisma dan pengaruh.

Bangkitnya kesadaran untuk menyusun kekuatan kolektif dengan bentuk yang

modern dimulai ketika pemimpin-pemimpin tradisional buruh tersebut saat

memimpin aksi perlawanan ditangkap dan dihukum, yang mana hal tersebut

berujung pada terjadinya kevakuman kepemimpinan dan berimbas lemahnya

gerakan perlawanan.

Penyusunan kekuatan kolektif kaum buruh dalam perjalanannya bukan tanpa

rintangan. Kalangan pemilik modal mempunyai resistensi yang sangat besar

terhadap keberadaan persatuan buruh. Sebagai hasil dari kekuatan modal dalam

aktivitas perekonomian, pemilik modal mempunyai pengaruh yang cukup besar

terhadap pemerintahan dan kebijakan-kebijakan publik yang dikeluarkannya,

77 Suroto, Suri, Op. Cit. halaman 27.

Page 52: Mogok Kerja Oleh serikat

46

sehingga tidak mengherankan apabila kemudian di Eropa timbul fenomena seperti

yang terjadi di Inggris di mana hingga tahun 1825 berlaku Undang-Undang

Penggabungan (Combination Acts) yang menganggap semua aksi kolektif sebagai

perbuatan ilegal.78

Menurut Siregar 79 , secara umum gerakan buruh berserikat dapat

dikategorikan ke dalam tiga fase, yaitu pertama, gerakan yang dikembangkan

tanpa menggunakan kerangka kerja ideologi tertentu, selain ideologi perlawanan

itu sendiri. Pada masa ini gerakan buruh berserikat tidak menggunakan platform

yang jelas, melainkan lebih bersifat reaksioner terhadap tindakan-tindakan sepihak

kaum pemilik modal dan dilandasi romantisme masa lalu. “Dalam masa ini buruh

meninjau ke zaman yang lampau, di mana mereka di atas sebidang tanah dapat

hidup dengan leluasa”.80 Dengan kata lain, pada masa ini kaum buruh belum dapat

menerima kapitalisme dan gejala industrialisasi sebagai mode produksi baru

masyarakat.

Fase kedua, yang dimulai dari tahun 1848 sampai tahun 1880, dalam

kenyataannya kaum buruh telah menyesuaikan diri dengan kapitalisme dan

mengakui bahwa industrialisasi sebagai dasar sosial. Perlawanan terhadap

kepentingan modal yang mana telah menyubordinasi kepentingan buruh dilakukan

dengan membentuk organisasi yang bercorak modern. Akan tetapi orientasi dari

perjuangan buruh pada masa ini tetap terfokus pada masalah-masalah sektoral

78 Sinaga, Marsen, Op. Cit. halaman 13.79 Siregar, A. MAdjid, Op. Cit. halaman 17-18.80 Ibid.

Page 53: Mogok Kerja Oleh serikat

47

perburuhan semata sebagaimana pada masa-masa sebelumnya, seperti perbaikan

upah dan kesejahteraan serta syarat dan kondisi kerja.

Serikat buruh yang muncul pada tingkat awal kapitalisme adalah sebuahorganisasi yang menghimpun massa kaum buruh untuk perbaikan nasib.Sebagai gerakan yang berada di dalam masyarakat yang bersendikankapitalisme, jangkauan serikat buruh pada dasarnya tidak melampaui batasperbaikan kepentingan ekonomi dan sosial kaum buruh.81

Pasca tahun 1880 kaum buruh telah memasuki fase ketiga. Pada fase ini

organisasi buruh berkembang dengan baik. Selain itu juga program dan agenda

serikat buruh banyak diwarnai dengan ideologi sosialisme dan komunisme,

sehingga gerakan buruh pun menyentuh level politik. Teori dan pemikiran yang

dikembangkan Karl Marx dan Friedrich Engels banyak memberikan arah,

kerangka kerja dan harapan yang lebih luas bagi perjuangan buruh, terlebih lagi

setelah terjadi Revolusi Bolshevik di Rusia pada tahun 1917.

Pembagian fase-fase gerakan serikat buruh ke dalam beberapa tingkatan di

atas sifatnya tidak kaku. Fase-fase gerakan serikat buruh tersebut lebih ditandai

dengan hadirnya sebuah pemikiran dan konsepsi yang cenderung dianut. Hal ini

karena penampakan gerakan serikat buruh pada masa-masa tertentu tidak

semuanya mencerminkan karakter sebagaimana yang terdapat dalam fase-fase

yang tersebut di atas. Artinya pengklasifikasian gerakan serikat buruh ke dalam

beberapa fase tersebut sifatnya tidak terbatas pada waktu tertentu. Di dalam kurun

waktu fase kedua misalnya, ada juga gerakan serikat buruh yang mempunyai

karakter sebagaimana karakter gerakan serikat buruh pada fase pertama. Hal yang

serupa juga terjadi dalam kurun waktu selanjutnya, yang berada di luar kerangka

81 Soegiri D. S., “Gerakan Serikat Buruh”, dalam H.D. Oey (editor), 2003, Gerakan SerikatBuruh: Jaman Kolonial Hindia Belanda Hingga Orde Baru, Hasta Mitra, Jakarta, halaman 3.

Page 54: Mogok Kerja Oleh serikat

48

waktu fase di atas, seperti pada masa dewasa ini misalnya. Penggolongan tersebut

hanya bertujuan untuk memberikan pengantar dan memudahkan dalam

memahami dinamika kebangkitan gerakan serikat buruh.

Dari uraian yang tersebut di atas, kesimpulan yang dapat diambil adalah

bahwa kebangkitan gerakan berserikat dilatarbelakangi oleh ketertindasan dan

buruknya taraf kehidupan buruh di dalam hubungan industrial dan sistem produksi

pada umumnya. Kepentingan dan kesejahteraan buruh berada di bawah

kepentingan modal dan agenda pengerukan keuntungan sebesar-besarnya. Selain

itu, perkembangan gerakan serikat buruh tidak lepas dari dinamika kondisi sosial

politik yang berlaku di setiap waktunya. Akan tetapi, hal tersebut tidak selalu

berlaku bagi setiap kebangkitan gerakan berserikat. Sejarah mencatat, di Indonesia

awal kebangkitan gerakan serikat buruh tidak didasari karena masalah

kesejahteraan dan kondisi kehidupan buruh yang buruk.

b. Sejarah Serikat Buruh Di Indonesia

1). Masa Pra-Kemerdekaan

Dalam konteks kewilayahan yang saat ini menjadi bagian dari Republik

Indonesia, keberadaan serikat buruh mempunyai catatan sejarah yang panjang.

Perjalanan gerakan serikat buruh di Indonesia mulai dari ketika Indonesia masih

di bawah kolonialisme Belanda, di mana pada masa itu sistem kerja upahan mulai

diperkenalkan.82 Gerakan serikat buruh di Indonesia sifatnya fluktuatif, dari masa

82 Bekerja untuk mendapatkan upah atau memburuh merupakan kegiatan produktif yangtidak lazim dalam masyarakat Indonesia sekitar 1800-an, khususnya di pedesaan. Kerja upah mulaidiperkenalkan sejak VOC diganti oleh Pemerintah Hindia Belanda, terutama masa GubernurJenderal Charles Stamford Raffles yang secara berangsur-angsur meninggalkan lembaga kerjawajib dan menggantinya dengan sistem kerja upah.

Page 55: Mogok Kerja Oleh serikat

49

ke masa mengalami pasang-surut. Selain itu, sebagaimana gerakan-gerakan buruh

berserikat di berbagai belahan dunia lainnya, gerakan serikat buruh dan gerakan

buruh pada umumnya di Indonesia juga dipengaruhi oleh kondisi sosial politik

yang berlaku pada masing-masing zamannya.

Serikat buruh lahir pertama kali pada masa ketika wilayah Indonesia masih

berada di bawah pemerintahan kolonial Belanda, tepatnya akhir abad ke sembilan

belas. Adalah Nederlandsch-Indische Onderwijzers Genootsch (NIOG) serikat

buruh yang lahir pertama kali. Nederlandsch-Indische Onderwijzers Genootsch

dibentuk oleh orang-orang Belanda yang bekerja di Indonesia sebagai guru

pegawai pemerintahan kolonial Belanda pada tahun 1897. 83 Latar belakang

berdirinya serikat guru-guru bangsa Belanda tersebut memberikan ciri tersendiri

bagi gerakan buruh di Indonesia di dalam semesta gerakan serikat buruh di dunia.

Pada kenyataannya, kemunculan pertama kali gerakan buruh berserikat ternyata

tidak selalu semata-mata dilandasi oleh masalah dan kepentingan sosial ekonomi.

Sebetulnya jauh sebelum Nederlandsch-Indische Onderwijzers Genootsch

berdiri telah ada organisasi buruh, akan tetapi organisasi ini dalam kenyataannya

lebih dikenal sebagai organisasi majikan ketimbang sebagai organisasi buruh.

Organisasi tersebut ialah Deli Planters Vereniging yang berdiri pada tahun 1879.

Anggota Deli Planters Vereniging ialah para pengurus perkebunan yang terdapat

di Deli, Sumatera (Utara). Karena para pengurus perkebunan pada dasarnya

adalah buruh, sebab mereka bertanggung jawab kepada pemilik modal dari

perusahaan perkebunan yang mereka urusi. Dengan kata lain, pengkategorian

(Suroto, Suri, Op. Cit. halaman 26).83 Sandra, 1961, Sejarah Pergerakan Buruh Indonesia, Pustaka Rakyat, Jakarta, halaman 7.

Page 56: Mogok Kerja Oleh serikat

50

pengurus perkebunan sebagai yang termasuk buruh, didasarkan pada asumsi dan

pengertian bahwa yang dimaksud “buruh” adalah orang yang bekerja pada orang

lain dengan menerima upah, di mana dalam hubungan kerja tersebut, yang

bersangkutan melakukan pekerjaan sesuai perintah yang diberikan oleh pemberi

kerja (dalam hal ini adalah pemilik modal dari industri perkebunan).

Dalam prakteknya, organisasi ini pernah digunakan untuk melakukan

negosiasi dengan para pemilik perkebunan soal kesejahteraan dan tunjangan

pensiun para pengurus perkebunan.84 Akan tetapi, sebagai wakil dari pemilik

untuk mengurusi perkebunan, para pengurus mempunyai kekuasaan untuk

merencanakan, mengorganisasikan kegiatan-kegiatan produksi dalam

menjalankan atau mengoperasikan perkebunan yang berada di bawah kendalinya.

Sehingga kemudian organisasi pengurus ini pada waktu-waktu berikutnya lebih

dikonotasikan sebagai organisasi majikan.85

Jika di negara-negara lain kemunculan serikat buruh karena dilatarbelakangi

oleh keadaan di dalam hubungan kerja yang buruk, maka tidak demikian halnya

dengan di wilayah Hindia Belanda. Selain itu, perintis berdirinya serikat buruh di

Hindia Belanda adalah para pegawai negeri dari golongan pimpinan yang mana

kondisi sosial ekonomi mereka relatif tidak ada masalah yang berarti.

Kesejahteraan yang mereka dapatkan lebih dari cukup untuk membiayai

kebutuhan-kebutuhan hidup yang serba berkecukupan. Bahkan cukup memadai

untuk hidup mewah.

84 Lihat: Soepomo, Iman, Op. Cit. halaman 38; Siregar, A. Madjid, Op. Cit. halaman 6385 Siregar, A. Madjid, Loc.Cit.

Page 57: Mogok Kerja Oleh serikat

51

Nederlandsch-Indische Onderwijzers Genootsch lahir bukan karena

disebabkan oleh kondisi dan syarat-syarat kerja yang buruk, sebab masalah

kesejahteraan dan kondisi kerja serta perlakuan yang diterima bukan jadi soal.

Penyebab kemunculan serikat pegawai-pegawai pemerintah kolonial tersebut

melainkan lebih disebabkan atau merupakan imbas dari fenomena berkembangnya

gerakan serikat buruh di negeri Belanda.

Berdirinya serikat sekerja dari golongan bangsa Belanda itu padahakekatnya tidak dapat dipisahkan dengan kejadian yang berlaku dinegerinya sendiri. Pada sekitar tahun 1860-1870, di Nederland pada saat itusedang mengalami pertumbuhan pergerakan buruh, dan sejak tahun 1878atas pengaruh pergerakan sosial-demokrat, maka perkembangan selanjutnyatelah menimbulkan berdirinya National Arbeids Secretariaat (NAS) sebagaiinduk organisasi. Paham dan pengaruh yang mulai mendapat tanah yangsubur di negerinya sendiri ini dibawanya oleh sementara pegawai Belandayang datang kemari untuk mendirikan serikat sekerja yang pertama diIndonesia, walaupun terbatas hanya dalam lingkungan golongan bangsanyasendiri.86

Walaupun demikian, perjalanan gerakan buruh melalui metode berserikat

pun kemudian tidak luput dari berbagai macam rintangan yang sebagian besar

berasal dari kebijakan pemerintah. Hal ini tidak lain karena gerakan serikat buruh

yang diawali oleh orang-orang Belanda tersebut pada gilirannya memberikan

pengaruh kepada buruh-buruh pribumi untuk membuat gerakan serupa. Dan, hal

itu dipandang oleh Pemerintah Kolonial Belanda sebagai sebuah pertanda tidak

baik87.

86 Sandra, Op. Cit. halaman 8-9.87 Dalam kenyataannya, gerakan serikat buruh yang dibangun oleh buruh-buruh pribumi

tidak hanya bergerak dalam ranah sosial-ekonomi, atau tuntutan kesejahteraan. Lebih dari itu,gerakan serikat buruh pribumi juga mulai mempersoalkan dan menyebarkan wacana tentang anti-kolonialisme. Dengan kata lain, gerakan serikat buruh yang dikembangkan oleh buruh-buruhpribumi selain menyentuh persoalan sosial-ekonmi dan hal-hal yang berkaitan dengan tuntutankesejahteraan, juga menyentuh soal politik-kebangsaan. Pemogokan dan bentuk aksi-aksi lainyang dilancarkan oleh serikat buruh bukan saja dilakukan untuk menuntut perbaikan kesejahteraan

Page 58: Mogok Kerja Oleh serikat

52

Dalam bidang hukum, pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan Artikel

161 Bis yang menyatakan bahwa pemogokan merupakan tindakan melanggar

hukum. Pasal 161 bis ini dimasukkan ke dalam KUHPidana pada tahun 1926 dan

secara khusus dimaksudkan untuk menanggulangi pemogokan buruh perkebunan

tebu, pabrik gula dan kereta api.88 Akan tetapi pemberlakuan Artikel 161 Bis

bukan instrumen yang ampuh untuk menanggulangi pemogokan buruh. 89

Sehingga kemudian pemerintah kolonial Belanda menerbitkan peraturan baru

guna mendukung dan melengkapi Artikel 161 Bis tersebut, yaitu Artikel No. 153

Bis dan 153 TER yang mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 1926.90

Selain itu pemerintah kolonial Belanda juga menerapkan kebijakan yang

membatasi kebebasan berkumpul dan melakukan rapat. Larangan dan tindakan

yang diambil oleh pemerintah kolonial Belanda ini sedemikian ketatnya, bahkan

kaum buruh semata (economic strike), melainkan dilakukan juga dalam kerangka untukmenyerang imperialisme dan kolonialisme Belanda (political strike).

88 Uwiyono, Aloysius, 2001, Hak Mogok di Indonesia, Program Pascasarjana FakultasHukum Universitas Indonesia, Jakarta, halaman 30; Cahyono, Edy, “Perburuhan dari Masa keMasa: Jaman Kolonial Hindia Belanda sampai Orde Baru (Indonesia – 1998)”, dalam Oey, H.D.(editor), 2003, Gerakan Serikat Buruh Jaman Kolonial Hindia Belanda Hingga Orde Baru, HastaMitra, Jakarta, halaman 120.

89 Kenyataannya pasca penerapan Artikel 161 Bis masih saja terjadi pemogokan. Diantaranyaadalah pemogokan di perusahaan percetakan di Semarang yang terjadi pada 21 Juli 1925,kemudian disusul pemogokan di C.B.Z pada 1 Agustus 1925, pemogokan di Stoomboot enPrauwenveer yang diikuti oleh sekitar 1.000 orang buruh yang berakhir pada September 1925,pemogokan di perusahaan percetakan Van Dorp di Surabaya pada tanggal 1 September 1925,pemogokan di pabrik mesin N.I Industrie dan Braat pada kurun waktu 5 Oktober sampai 9Desember 1925, dan pemogokan yang dilancarkan oleh Serikat Buruh Bengkel dan Elektris(SBBE) pada 14 Desember 1925 yang mencakup tujuh pabrik mesin dan bengkel yang disulut olehpenolakan Vereeniging van Machinefabrieken (perusahaan yang membawahi tujuh pabrik mesindan bengkel tersebut) terhadap SBBE.

(Lihat: Cahyono, Edy, Ibid.).90 Ibid. halaman 121.

Page 59: Mogok Kerja Oleh serikat

53

setiap naskah pidato yang hendak diucapkan dalam sebuah rapat pun harus

diketahui terlebih dahulu oleh pemerintah.91

Dengan kata lain, sebagai bentuk penyikapan untuk mematahkan gerakan

serikat buruh yang radikal, pemerintah kolonial Belanda mengambil langkah-

langkah yang represif, yaitu: a). memecat buruh-buruh yang turut serta di dalam

suatu pemogokan; b). melarang serikat buruh melakukan pemogokan dan

pertemuan-pertemuan, yang mana larangan ini disertai ancaman pidana; c).

penangkapan, penahanan dan pemenjaraan terhadap pimpinan-pimpinan serikat

buruh yang radikal tanpa melalui proses peradilan.

2). Masa Pasca Kemerdekaan

Sejarah serikat buruh pada masa di Indonesia pasca kemerdekaan

mempunyai corak pasang surut seiring dengan rezim yang berkuasa. Pada era

Orde Lama, yaitu di bawah pemerintahan Presiden Soekarno, gerakan serikat

buruh di Indonesia berlangsung dalam suasana yang dinamis. Hal ini terjadi

karena pemerintahan Soekarno memberikan keluasan ruang gerak yang relatif

besar kepada buruh dan serikat buruh untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang

menjadi kepentingannya, termasuk dalam soal politik.

Keadaan kebebasan berserikat dan menjalankan kegiatan berorganisasi bagi

kaum buruh ini menjadi semakin kuat ketika pada tahun 1950 Indonesia menjadi

anggota International Labour Organization dan pada tahun 1956 meratifikasi

Konvensi ILO No. 98 Tentang Dasar-dasar Hak untuk Berorganisasi dan Hak

91 Sandra, Op. Cit, halaman 8.

Page 60: Mogok Kerja Oleh serikat

54

Berunding Bersama melalui Undang-Undang No. 18 Tahun 1956. Ratifikasi ini

memperkuat legitimasi serikat buruh sebagai alat perjuangan kaum buruh dan juga

hak untuk melakukan perundingan kolektif.

Pada masa Orde Lama gerakan serikat buruh benar-benar dalam kondisi

yang dinamis. Serikat buruh mempunyai peran yang sangat penting dalam hal

membangun dan mengarahkan kesadaran kaum buruh agar tidak terjebak pada

soal-soal sosial-ekonomi yang sifatnya sektoral. Hasilnya, kaum buruh melalui

organisasi serikatnya tampil menjadi salah satu kekuatan sosial dan politik yang

mempunyai pengaruh cukup luas, mampu memberikan warna di dalam kehidupan

politik nasional secara signifikan. Baik dengan cara mendirikan partai politik

tersendiri, yaitu partai buruh, berafiliasi atau membangun aliansi dengan salah

satu partai politik yang sudah ada, maupun berdiri sendiri.

Kendati terdapat larangan mogok kerja di perusahaan-perusahaan ataupun

lembaga dan badan yang dianggap vital yang dikeluarkan oleh pemerintahan

Presiden Soekarno, akan tetapi hal itu secara umum tidak mengurangi

demokratisasi di sektor perburuhan. Selain itu, rezim Orde Lama juga

mengimbangi larangan mogok tersebut dengan kebijakan-kebijakan maupun

regulasi yang pro-buruh. Pemerintah bahkan mengeluarkan kebijakan memberi

bantuan keuangan kepada serikat buruh. Untuk ini, pemerintah mewajibkan

serikat buruh untuk mendaftarkan diri kepada Kementerian Perburuhan. Akan

tetapi, kewajiban pendaftaran ini tidak berlaku total dalam segala hal, sebab dalam

kenyataannya serikat buruh yang tidak terdaftar pun masih tetap dianggap

Page 61: Mogok Kerja Oleh serikat

55

mempunyai kecakapan mewakili buruh dalam suatu hubungan kerja dengan

perusahaan atau majikan.

Berbeda halnya ketika Indonesia berada di bawah rezim Orde Baru, kondisi

yang dialami oleh buruh dan gerakan serikat buruh bertolak belakang dengan

situasi ketika masih di bawah Orde Lama. Pada era Orde Baru, buruh dan gerakan

serikat buruh mendapatkan represi dari negara. Orientasi pembangunan yang lebih

mengedepankan pembangunan sektor ekonomi, tepatnya mengejar pertumbuhan

ekonomi, yang diterapkan oleh Orde Baru membawa konsekuensi segala sumber

daya yang ada diarahkan untuk mendukung program tersebut.

Untuk memancing dan menarik masuk investasi asing ke Indonesia,

pemerintahan rezim Orde Baru mengeluarkan beberapa kebijakan. Antara lain

ialah diterbitkannya UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal

Asing―yang direvisi dengan UU No. 11 Tahun 1970, UU No. 5 Tahun 1968

Tentang Penyelesaian Perselisihan Antara Negara Dan Warganegara Asing

Mengenai Penanaman Modal, UU No. 6 Tahun 1968―yang direvisi dengan UU

No. 12 Tahun 1970, dan disertai kebijakan di sektor perburuhan.

Untuk menjamin kelancaran dan keamanan operasi modal asing yang

beroperasi di Indonesia dari gejolak perburuhan, pemerintah mengeluarkan

serangkaian kebijakan yang pada intinya membatasi bahkan mematikan gerakan

buruh yang radikal. Hak-hak buruh yang diakui secara universal sebagai hak dasar

buruh, dikebiri oleh rezim Orde Baru. Buruh sama sekali tidak mempunyai

kebebasan berorganisasi dan berserikat. Serikat buruh dijadikan unitaris, hanya

satu serikat buruh saja yang diakui oleh pemerintah sebagai organisasi buruh yang

Page 62: Mogok Kerja Oleh serikat

56

sah dan legal, yaitu Federasi Buruh Seluruh Indonesia―yang kemudian berubah

nama menjadi “Serikat Pekerja Seluruh Indonesia” (SPSI)―beserta 13 serikat

buruh sektoralnya.

Tidak mudah bagi buruh untuk memperjuangkan kepentingannya dengan

cara berorganisasi, karena tidak mudah bagi buruh untuk mendirikan serikat

buruh. Jika ingin mendirikan serikat buruh, maka harus berafiliasi dengan SPSI,

dan buruh harus berkonsultasi terlebih dahulu dengan pihak pengusaha.

Menyikapi keadaan yang demikian ini, SPSI sebagai induk organisasi jika

mengikuti logika politik organisasi massa seharusnya membantu buruh yang

hendak mendirikan serikat buruh basis yang akan menjadi bagian dari SPSI, yaitu

unit kerja SPSI, menentang campur tangan pengusaha. Akan tetapi logika berjalan

terbalik, kenyataannya Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia yang telah

terkooptasi oleh kepentingan dan agenda penguasa membuat kebijakan: dalam

proses pembentukan serikat buruh ditingkat perusahaan, buruh harus berkonsultasi

dengan pengusaha.92

Pemerintah yang mempunyai agenda menciptakan industrial peace,

terpeliharanya ketenangan dalam perusahaan serta ketenangan dalam hubungan

industrial dan proses produksi, mendukung kebijakan yang dikeluarkan oleh

FSPSI tersebut. Untuk memberikan legalisasi, pemerintah menerbitkan Keputusan

Menteri Tenaga Kerja No. 1109 Tahun 1986 yang memberikan legitimasi kepada

pengusaha untuk melakukan campur tangan dalam pendirian serikat buruh yang

92 Rudiono, Danu, “Kebijakan Perburuhan Pasca Boom Minyak”, Prisma, No. 1, TahunXXI Januari, 1992, halaman 63.

Page 63: Mogok Kerja Oleh serikat

57

akan dibentuk oleh buruh-buruhnya93. Dengan kata lain, kebijakan pemerintah

tersebut menentukan pembentukan serikat pekerja―unit kerja SPSI―pada sebuah

pabrik ditentukan harus mendapatkan persetujuan pihak pengusaha terlebih

dahulu, dan jika tidak mendapatkan persetujuan dari pengusaha, serikat buruh

yang bersangkutan dianggap ilegal. Selain itu, pemerintah juga menerapkan check

off systems, pemungutan iuran bagi serikat buruh melalui pengusaha, yaitu melalui

93 Dalam keputusan ini antara lain diatur hal-hal sebagai berikut:

1). Inisiatif pembentukan serikat pekerja dapat muncul dari buruh sendiri atau dariperangkat SPSI di atas Unit Kerja, sedangkan pengusaha/perusahaan dapatmenyarankan kepada buruh untuk membentuk Unit Kerja SPSI;

2). dalam rangka persiapan pembentukan itu, penyuluhan diselenggarakan bersama olehpemerintah, SPSI serta pengusaha/Apindo/Kadin, dengan materi penyuluhan antaralain adalah P4, HIP serta fungsi dan tujuan organisasi serikat pekerja;

3). Pembentukan panitia pelaksana dilakukan oleh pengaju inisiatif di lingkunganperusahaan, yang keberadaannya harus mendapat pengukuhan dari DPC SPSIsetempat, dan tugas panitia pembentukan ini antara lain melakukan konsultasi denganpihak pengusaha dan DPC SPSI dalam rangka kerja sama menciptakan iklim yangbaik untuk terbentuknya Unit Kerja SPSI di perusahaan yang bersangkutan;

4). Panitia pelaksana bersama pengusaha menganjurkan agar para pekerja menjadianggota serikat pekerja;

5). Syarat-syarat bagi Pengurus Unit Kerja (PUK) SPSI antara lain: berpendidikan cukuptinggi dan mempunyai masa kerja cukup lama;

6). Pelaksanaan pemilihan PUK SPSI dilakukan di bawah pengawasan DPC SPSIdengan disaksikan oleh pimpinan perusahaan/Apindo/Kadin;

7). Permohonan pengukuhan PUK yang terpilih diajukan secara tertulis kepada DPCSPSI dengan tembusan kepada pimpinan perusahaan dan Kantor Departemen TenagaKerja setempat.

Sementara itu dalam bagian pendahuluan Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.1109 Tahun 1986 tersebut, peran dan fungsi Unit Kerja SPSI dirumuskan sebagai “mitrakerja pengusaha dalam membina para pekerja menjadi pekerja yang rajin, jujur,berdisiplin tinggi dan produktif”. Sedangkan fungsi, peran dan tugas pokok serikatpekerja dirumuskan lebih rinci sebagai:

1). Penyalur aspirasi para anggota dalam masalah-masalah yang menyangkutpelaksanaan tugas dan tanggung jawab sebagai pekerja;

2). Memberikan perlindungan serta memperjuangkan hak-hak dan kepentingan anggotadalam meningkatkan keadaan sosial ekonomi;

3). Meningkatkan keterampilan dan pengabdian para anggota;

4). Meningkatkan partisipasi dan tanggung jawab dalam pelaksanaan HIP, menyusunKKB, lembaga bipartit/tripartit, serta penyelesaian perselisihan industrial.

(Ibid., halaman 68)

Page 64: Mogok Kerja Oleh serikat

58

Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 1 Tahun 197794 yang kemudian direvisi

dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 05 Tahun 198495. Padahal secara

formal hak berserikat tetap dijamin sejumlah perundangan dan peraturan, seperti

Undang-Undang No. 18 Tahun 1956 dan Undang-Undang No. 14 Tahun 1969,

yang secara tegas menjamin prinsip-prinsip pembentukan serikat buruh secara

bebas tanpa campur tangan pihak lain.

Mogok kerja yang sebenarnya sebuah keniscayaan sebagai hak buruh,

merupakan tindakan yang terlarang. Jika dalam Undang-Undang No. 22 Tahun

1957 hak mogok diakui sebagai salah satu cara untuk menekan pihak pengusaha

(majikan) supaya berunding atau memenuhi tuntutan serikat buruh, maka pada

masa Orde Baru, tepatnya awal 1980-an, pemogokan dianggap anarkhi96.

Melalui konsep Hubungan Industrial Pancasila―akan penulis bahas pada

Bab III―disebutkan bahwa kepentingan buruh dan pengusaha dalam hubungan

industrial tidak bersifat kontradiktif, sehingga satu-satunya cara penyelesaian yang

dibenarkan dalam setiap perselisihan atau konflik adalah melalui meja

perundingan yang disebut musayawarah untuk mufakat. Konsekuensinya, buruh

dan pengusaha tidak dibenarkan menggunakan sumber dayanya untuk saling

menekan. Karena itu mogok tidak diperbolehkan.

Bahwa mogok merupakan sesuatu yang dilarang hal itu tampak dari

diterbitkannya Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 120 Tahun 1988 tentang

94 Pada Pasal 7 ditentukan bahwa serikat buruh wajib mempertanggungjawabkan keuanganorganisasi di tingkat basis (unit kerja) pabrik kepada Mennakertranskop.

95 Dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja ini diatur bahwa pengusaha, atas kuasa buruhyang bersangkutan dapat langsung memotong upah buruh sesuai dengan prosentase yang sudahditentukan.

96 Ibid., halaman 62.

Page 65: Mogok Kerja Oleh serikat

59

Pedoman Penuntun Perilaku dalam Pencegahan dan Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial, yang pada Bab IV bagian A (umum) menyatakan: “[…] hal

penting yang perlu diperhatikan oleh pihak-pihak yang berselisih adalah tidak bisa

diterimanya tindakan pihak-pihak yang berselisih mengadakan suatu aksi yang

bertujuan menekan pihak lainnya, seperti lock out, mogok, slow down, dan

intimidasi-intimidasi”. Keputusan menteri ini secara langsung bertentangan

dengan UU No. 22 Tahun 1957 dan UU No. 14 Tahun 1969 yang mengakui dan

menjamin hak mogok bagi buruh dan lock out bagi majikan sebagai salah satu

cara dalam menyampaikan pendapat dan mendesakkan kepentingan di dalam

hubungan industrial.

Selain itu, kebijakan politik perburuhan Orde Baru yang demikian itu

menafikan kesadaran yang berwujud pemahaman oleh buruh dan pengusaha atas

relasi yang terjadi antara mereka. Aksi protes yang dilakukan oleh buruh dan lock

out oleh perusahaan merupakan wajud kesadaran akibat pelanggaran atau tuntutan

yang berlebihan dari masing-masing pihak. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh

Susetiawan:

[…] wujud kesadaran hanya dapat dilihat dalam tindakan yang berhubungandengan manusia lain. Seorang pekerja atau buruh sadar akan dirinya karenamereka sadar ada pihak lain yang disebut pemilik kapital atau majikan.Seorang majikan tidak mungkin akan ada dan dapat mengakumulasikanmodalnya jika para pekerja yang bekerja padanya tidak pernah ada. Denganpaham seperti ini, terminologi buruh–majikan dipahami secara dialektis.Oleh karenanya baik buruh dan majikan memiliki kedudukan yang sama,saling membutuhkan antara satu dengan yang lain. Wujud tindakan daripemahaman seperti ini adalah mempertahankan hak-hak mereka jika adapelanggaran hak dari salah satu pihak dalam hubungan produksi. Aksi protesyang dilakukan oleh buruh atau lock out oleh perusahaan misalnya, hal itu

Page 66: Mogok Kerja Oleh serikat

60

merupakan wujud kesadaran akibat pelanggaran atau tuntutan yangberlebihan dari masing-masing pihak.97

Sebagaimana telah menjadi salah satu karakter rezim Orde Baru yang dalam

setiap usaha pemecahan masalah yang ada selalu menggunakan pendekatan

keamanan (security approach), penyelesaian perselisihan hubungan industrial

yang timbul hampir selalu melibatkan aparat keamanan, yaitu komando teritorial

militer setempat 98 , sehingga dalam setiap konflik hubungan industrial selalu

diwarnai tindak kekerasan dan penangkapan terhadap buruh. Sedangkan pokok

persoalan yang menyebabkan aksi-aksi buruh, atau yang menjadi tuntutan buruh,

sebagian besar tidak diselesaikan secara tuntas.

Colin Fenwick membagi kebijakan perburuhan pada masa Orde Baru ke

dalam beberapa fase, yaitu fase pertama pada kurun waktu antara tahun 1966

sampai akhir 1970-an kebijakan yang diambil adalah larangan serikat pekerja;

fase kedua (akhir 1970-an sampai awal 1990-an) kebijakan yang diterapkan

adalah pengambilalihan serikat pekerja; sedangkan fase ketiga (awal 1990-an

97 Susetiawan, ”Kesadaran Politik dan Perubahan Politik”, dalam Wibawa, Aris,(penyunting), 1998, Menuju Hubungan Perburuhan Demokratik, Lapera Yogyakarta & FakultasIlmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, halaman 114.

98 Komando Rayon Militer (Koramil, komando teritorial militer ditingkat kecamatan),Komando Distrik Militer (Kodim) yang berada ditingkat kabupaten, Komando Resort Militer(Korem) yang membawahi beberapa kabupaten, dan Komando Daerah Militer (Kodam) yangmembawahi satu atau beberapa provinsi.

Campur tangan militer dalam penyelesaian kasus-kasus hubungan industrial pada eraOrde Baru merupakan sesuatau yang “legal”. Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 342 Tahun1986, Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 62 Tahun 1993 dan Keputusan Menteri Tenaga KerjaNo. 15A Tahun 1994 memberikan legitimasi bagi militer untuk turut campur tangan dalampenyelesaian kasus-kasus perselisihan hubungan industrial.

(Fenwick, Colin et all, Op. Cit., halaman 33)

Page 67: Mogok Kerja Oleh serikat

61

sampai dengan tumbangnya rezim Orde Baru) yang terjadi adalah menggunakan

pasar sebagai kedok.99

2. Pengertian Serikat Buruh

Sepanjang sejarah berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, Undang-

Undang No. 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh merupakan

peraturan hukum yang pertama kali dengan level undang-undang yang secara

khusus mengatur tentang Serikat Buruh beserta aspek-aspek yang meliputinya.

Sebelumnya, sejak dari zaman kolonial Hindia Belanda sampai masa Orde Baru,

tidak ada satu pun peraturan setingkat undang-undang yang mengatur secara

khusus dan memberikan perlindungan hukum terhadap kebebasan berserikat bagi

kaum buruh. Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 merupakan buah dari

pergantian kekuasaan di Indonesia.

Terlepas dari kontroversi atas nama yang dilekatkan oleh pembuat undang-

undang terhadap UU No. 21 Tahun 2001100, yang jelas keberadaan peraturan

hukum tersebut merupakan langkah progresif yang berhasil ditempuh oleh bangsa

Indonesia. Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 memberikan definisi dan juga

99 Fenwick, Colin et all, 2002, Reformasi Penyelesaian Perselisihan Perburuhan DiIndonesia (Pedoman terhadap Kebijakan dan Masalah Hukum sekitar Rancangan Undang-Undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial), ILO Kantor Indonesia, Jakarta.

100 Kontroversi itu menyangkut penggunaan tanda garis miring dalam nama yang diberikankepada UU No. 21 Tahun 2000. Penggunaan tanda garis miring tersebut terkait dengan perdebatansoal istilah “buruh” dan “pekerja”. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Sinaga, “undang-undangini merupakan undang-undang pertama di Indonesia yang memakai judul kompromis yangditandai dengan tanda garis miring yang berarti ‘atau’. Judul kompromis itu mencerminkan bahwaperdebatan ideologis tentang pengertian istilah ‘buruh’ dan ‘pekerja’ tidak mengalami titik temudan dibiarkan terbuka.”

(Sinaga, Marsen, 2006, Pengadilan Perburuhan Di Indonesia (Tinjauan Hukum Kritisatas Undang-Undang PPHI), Perhimpunan Solidaritas Buruh Yogyakarta dan Semarak CerlangNusa CREST, halaman 4)

Page 68: Mogok Kerja Oleh serikat

62

menjelaskan cakupan pengertian Serikat Buruh. Hal-hal yang terkait dengan

Serikat Buruh yang sebelumnya masih mengambang, seperti soal hak mogok,

ruang lingkup dan perlindungan hukum atas kegiatan-kegiatan keserikatburuhan

serta perlindungan hukum bagi pengurus serikat buruh untuk menjalankan

kegiatan serikat, melalui UU No. 21 Tahun 2000, semua hal tersebut mendapat

penegasan.

Dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 21 Tahun 2000, Serikat Buruh didefinisikan

sebagai:

organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik diperusahaan maupun diluar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka,mandiri, demokratis dan bertanggungjawab guna memperjuangkan,membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja dan buruh sertameningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.

Unsur-unsur dari definisi tersebut mendapat penegasan di dalam beberapa

pasal lainnya, yaitu Pasal 3 dan Pasal 9. Pasal 3 menyebutkan, “Serikat

pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh

mempunyai sifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab”.

Sedangkan Pasal 9 memuat ketentuan, “Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan

konfederasi serikat pekerja/serikat buruh dibentuk atas kehendak bebas

pekerja/buruh tanpa tekanan atau campur tangan pengusaha, pemerintah, partai

politik, dan pihak manapun”.

Sifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis dan bertanggung jawab pada

serikat buruh, menurut Penjelasan UU No. 21 Tahun 2000, masing-masing

mempunyai arti sebagai berikut:

Page 69: Mogok Kerja Oleh serikat

63

a). Sifat bebas adalah serikat buruh sebagai organisasi dalam

melaksanakan hak dan kewajibannya tidak di bawah pengaruh atau

tekanan pihak lain.

b). sifat terbuka menunjuk pada suatu keadaan bahwa dalam menerima

anggota dan/atau memperjuangkan kepentingan pekerja/buruh tidak

membedakan aliran politik, agama, suku bangsa dan jenis kelamin.

c). Sifat mandiri berarti dalam mendirikan, menjalankan dan

mengembangkan organisasi ditentukan oleh kekuatan sendiri tidak

dikendalikan oleh pihak atau kekuatan lain di luar organisasi.

d). Sifat demokratis mempunyai arti bahwa dalam pembentukan

organisasi, pemilihan pengurus, memperjuangkan dan melaksanakan

hak dan kewajiban organisasi dilakukan sesuai dengan prinsip

demokratis.

e). Sedangkan makna sifat bertanggung jawab adalah dalam mencapai

tujuan dan melaksanakan hak dan kewajiban, serikat buruh/serikat

pekerja bertanggung jawab kepada anggota, masyarakat dan negara.

Pemaknaan yang diberikan tentang serikat buruh oleh UU No. 21 Tahun

2000 cukup progresif karena juga memberi perhatian kepada nasib keluarga

buruh. Selain itu, dengan diaturnya unsur-unsur dari definisi serikat buruh ke

dalam beberapa pasal lainnya menjadikan definisi yang diberikan oleh UU No. 21

Tahun 2000 tersebut bukan sekedar penjabaran makna ke dalam bentuk sebuah

rangkaian kata. Melainkan lebih dari itu, definisi serikat buruh tersebut

merupakan materi ketentuan hukum.

Page 70: Mogok Kerja Oleh serikat

64

Definisi yang diberikan tersebut mencerminkan bahwa makna kebebasan

berserikat bagi buruh mencakup kebebasan untuk membentuk organisasi (serikat)

yang bebas dari intervensi maupun pengaruh dari majikan dan bahkan juga

negara. Hal ini tampak dari ditekankannya pengertian bahwa hanya yang dibentuk

dan dikendalikan oleh kaum buruh sendiri-lah yang disebut oleh serikat buruh di

dalam pasal-pasal tersendiri. Selain itu, definisi tersebut tidak membatasi dan

menempatkan serikat buruh hanya semata sebagai alat perjuangan dibidang sosial

ekonomi.

Serikat buruh merupakan organisasi yang dibentuk oleh dan untuk buruh,

demikian yang ditegaskan oleh UU No. 21 Tahun 2000 sebagaimana disebutkan

di muka. Serikat buruh merupakan alat bagi buruh untuk mempertahankan hak

dan memperjuangkan kepentingan sosial ekonomi bahkan politik buruh dalam

kerangka kehidupan sosial yang lebih luas.

Di dalam UU No. 21 Tahun 2000, serikat buruh dikualifikasikan sebagai

organisasi yang berbentuk badan hukum. Hal ini terlihat dari ketentuan bahwa

agar dapat terlibat dalam urusan-urusan dibidang hubungan industrial dalam

rangka mewakili anggotanya, sebuah serikat buruh harus terdaftar dan tercatat di

kantor/instansi yang bertanggung jawab mengurusi masalah ketenagakerjaan di

tempat kedudukan serikat buruh yang bersangkutan. Pasal 25 ayat (1) UU No. 21

Tahun 2000 menyatakan:

Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikatpekerja/serikat buruh yang telah mempunyai nomor bukti pencatatanberhak:

a. membuat perjanjian kerja bersama dengan pengusaha;

Page 71: Mogok Kerja Oleh serikat

65

b. mewakili pekerja/buruh dalam menyelesaikan perselisihan hubunganindustrial;

c. mewakili pekerja/buruh dalam lembaga ketenagakerjaan;

d. membentuk lembaga atau melakukan kegiatan yang berkaitan denganusaha meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh;

e. melakukan kegiatan lainnya di bidang ketenagakerjaan yang tidakbertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Artinya, ketentuan di dalam Pasal 25 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2000

tersebut apabila ditafsirkan dengan metode argumentum a contrario101 , maka

serikat buruh yang tidak tercatat pada instansi pemerintah yang mengurusi

masalah ketenagakerjaan tidak merupakan subyek hukum dan tidak dapat menjadi

pihak dalam pembuatan perjanjian dibidang hubungan industrial (perjanjian kerja

bersama), atau berhak mewakili anggotanya dalam urusan hubungan industrial.

Sedangkan agar dapat dicatat pada kantor/instansi pemerintah yang

bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan, serikat buruh harus

memberitahukan kepada instansi pemerintah yang bertanggung jawab dibidang

ketenagakerjaan dengan melampirkan daftar nama anggota pembentuk, anggaran

dasar dan anggaran rumah tangga serta susunan pengurus. Selain hal itu, serikat

buruh yang bersangkutan secara organisasional harus:

a). Merupakan organisasi yang bersifat bebas, terbuka, mandiri,

demokratis dan bertanggung jawab memperjuangkan hak dan

kepentingan pekerja/buruh serta memperjuangkan peningkatan

kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.

101 Apabila peraturan perundang-undangan menetapkan hal-hal tertentu untuk peristiwatertentu, maka peraturan itu terbatas pada peristiwa tertentu tersebut, dan untuk peristiwa diluarnya berlaku kebalikannya

(Lihat: Mertokusumo, Sudikno, 1999, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, PenerbitLiberty, Yogyakarta, halaman 165).

Page 72: Mogok Kerja Oleh serikat

66

b). Keuangan dan harta kekayaan serikat pekerja/serikat buruh, federasi

dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh harus terpisah dari

keuangan dan harta kekayaan pribadi pengurus dan anggotanya102.

c). Mempunyai anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, yang di

dalamnya setidaknya memuat: nama dan lambang; dasar negara, asas

dan tujuan; tanggal pendirian; tempat kedudukan; keanggotaan dan

kepengurusan; sumber dan pertanggungjawaban keuangan; dan

ketentuan perubahan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.103

d). Bertujuan memberikan perlindungan, pembelaan hak dan kepentingan

serta meningkatkan kesejahteraan yang layak bagi pekerja/buruh dan

keluarganya.

Meskipun materi Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tidak ada yang secara

tegas menyatakan bahwa serikat buruh mempunyai status sebagai badan hukum,

akan tetapi di dalam ketentuan-ketentuan pengaturan tentang serikat buruh jika

dibandingkan dengan konsep dan teori badan hukum, maka dapat ditarik

kesimpulan bahwa serikat buruh dikonsepkan sebagai badan hukum. Pemikiran

ini didasarkan pada ketentuan Pasal 1653 KUHPerdata yang pada intinya

menyatakan suatu perkumpulan walaupun tidak secara tegas disebutkan sebagai

badan hukum, tetapi dengan peraturan sedemikian rupa organisasi yang

bersangkutan adalah mempunyai status badan hukum.104

102 Pasal 32 Undang-Undang No. 21 Tahun 2000.103 Pasal 11 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 21 Tahun 2000.104 Lihat: Ali, Chidir, 1987, Badan Hukum, Penerbit Alumni, Bandung, halaman 80.

Page 73: Mogok Kerja Oleh serikat

67

Menurut teori dan doktrin tentang badan hukum, suatu perkumpulan

(organisasi) yang mempunyai status badan hukum harus memenuhi syarat-syarat

tertentu, yaitu:

a). adanya harta kekayaan terpisah

b). mempunyai tujuan tertentu

c). mempunyai kepentingan sendiri

d). adanya organisasi teratur

Ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi serikat buruh agar dapat tercatat

pada instansi pemerintah yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan, jika

dibandingkan dengan syarat-syarat badan hukum menurut doktrin dan teori badan

hukum, menunjukkan bahwa serikat buruh telah memenuhi syarat untuk

mempunyai status badan hukum.

Bahwa serikat buruh menurut Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 dapat

digolongkan sebagai organisasi yang mempunyai status badan hukum, juga

diungkapkan oleh Djumadi yang menyatakan105:

Dengan memperhatikan ketentuan syarat-syarat tersebut, dapat dikatakanbahwa organisasi buruh, sesuai konsepsi yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000, telah memenuhi syarat-syarat dan doktrintentang teori badan hukum dan dapat diklasifikasikan sebagai suatu badanhukum, dengan alasannya sebagai berikut:

1. adanya harta kekayaan terpisah

Serikat pekerja/serikat buruh mempunyai harta kekayaan yang terpisah,terutama berasal dari iuran dari para anggota serta pihak ketiga yangtidak mengikat.

2. Organisasi tersebut mempunyai tujuan tertentu

105 Djumadi, 2005, Sejarah Keberadaan Organisasi Buruh Di Indonesia, Rajawali Press,Jakarta, halaman 90.

Page 74: Mogok Kerja Oleh serikat

68

Sebagai wakil buruh/pekerja dalam membuat perjanjian perburuhan(perjanjian kerja bersama) dan tindakan hukum lainnya.

3. Organisasi tersebut mempunyai kepentingan tersendiri

Organisasi buruh memperjuangkan peningkatan kesejahteraanburuh/pekerja dan keluarganya.

4. Adanya organisasi yang teratur

Ketentuan tersebut secara tegas ditentukan pada anggaran dasar dananggaran rumah tangga, susunan dan nama pengurus sebagai lampirandalam permohonan pencatatan organisasi buruh.

Kendati ada perbedaan paradigma dan afiliasi ideologi pada serikat-serikat

buruh yang ada, akan tetapi di antara mereka pada tataran tertentu terdapat suatu

kesamaan. Ada suatu aspek yang dimiliki oleh serikat buruh yang sifatnya

“universal” dalam konteks perburuhan, yaitu bertujuan untuk memperbaiki nasib

buruh yang menjadi anggota-anggotanya maupun kaum buruh secara umum.

Terlepas dari apakah perbaikan nasib buruh merupakan tujuan akhir atau hanya

sebatas sebagai titik tolak untuk mencapai tujuan-tujuan yang lebih luas.106

Oleh karena itu kemudian dalam banyak hal, terlepas dari paradigma yang

dibangun dan dikembangkan oleh masing-masing serikat buruh, pengertian dan

definisi yang diberikan kepada serikat buruh selalu dikaitkan dengan tujuan untuk

melindungi, memperjuangkan kepentingan serta meningkatkan atau memperbaiki

taraf kesejahteraan kaum buruh. Dengan kata lain, serikat buruh sebagai

organisasi kaum kelas pekerja, keberadaannya tidak dapat dipisahkan dari

manifestasi kepentingan buruh. Serikat buruh adalah “perjuangan aktif pekerja

106 Hal ini tidak lain karena dalam prakteknya ada serikat buruh yang menempatkanperbaikan upah, syarat dan kondisi kerja sebagai bagian dari upaya memperkuat persiapan buruhuntuk mengambil alih kepenguasaan atas alat-alat produksi maupun kepemimpinan politik.

Page 75: Mogok Kerja Oleh serikat

69

untuk mendapatkan dan mempertahankan kepentingan-kepentingan ekonomi dan

hak-hak lainnya”.107

N Barou sebagaimana dikutip Siregar108, memberikan definisi serikat buruh

sebagai:

suatu persekutuan kekal yang dibentuk secara sukarela oleh kaum kelaspekerja yang menerima upah, gaji, honorarium dengan tujuan:

2. memelihara dan memperbaiki syarat-syarat perburuhan dengan jalanmengatur hubungan kerja dengan pihak pengusaha.

3. mengatur hubungan kerja antara pemerintah dan pekerja yang menerimaupah, gaji tentang hal-hal yang meliputi kepentingan kedua belah pihak.

4. mengusahakan agar pekerja-pekerja yang menerima upah dan gaji,sebagai suatu golongan tersusun turut serta dalam penghidupan bangsa.

Selain definisi dari Barou, Siregar juga mencatat definisi dan ruang lingkup

pengertian serikat buruh yang diberikan oleh pihak dan tokoh lainnya, diantaranya

yaitu:

1. “Suatu persekutuan kekal antara pekerja-pekerja yang menerima upah

(wage-earners) yang bertujuan memperbaiki syarat-syarat kerja”

(Sidney dan Beatrice Webb).

2. “Suatu organisasi defensif dan ofensif guna memelihara dan

memperbaiki syarat-syarat perburuhan dan yang bertujuan

mempengaruhi dan merubah ‘dunia industri’ sesuai dengan cita-cita

kaum buruh pada umumnya” (Encyclopaedia Britannica).

3. Svernik yang mengemukakan bahwa organisasi atau serikat buruh

bukan semata bertujuan untuk mengatur hubungan kerja dengan

107 Ruspriyanto, Adi, (penerjemah), 2004, Bagaimana Membangung Serikat Pekerja?(Pengalaman dari Philipina), Young Image Book , Yogyakarta, halaman 2.

108 Siregar, A. Madjid, Op. Cit. halaman 8.

Page 76: Mogok Kerja Oleh serikat

70

majikan, tetapi lebih dari itu juga mempunyai tujuan-tujuan lain seperti

jaminan sosial, pendidikan dan lain sebagainya.

Dari beragam definisi yang diberikan untuk serikat buruh tersebut

menampakkan bahwa sesungguhnya serikat buruh sebagai organisasi kaum buruh,

bukanlah merupakan tujuan akhir, melainkan hanya sebagai alat untuk

memperjuangkan hak dan kepentingan kaum buruh. “Sebuah serikat adalah basis

organisasi pekerja dalam kerangka hubungan pekerja berhadapan dengan

pemodal”.109

Dengan demikian dapat ditarik sebuah kesimpulan tentang bagaimana

serikat buruh atau serikat pekerja yang sesungguhnya, yaitu serikat buruh yang

memiliki karakter110:

1. Menyadari bahwa perbaikan nasib kehidupan kaum buruh didapatkan

hanya melalui perjuangan;

2. Mengakui dan menegaskan bahwa antara pekerja dengan pemilik modal

atau majikan mempunyai kepentingan yang berbeda. Konflik dan

pertentangan kepentingan antara pekerja dan pemodal merupakan suatu

keniscayaan;

3. Menyandarkan kekuatan perjuangan pada persatuan, kesadaran, tindakan

tegas dan keteguhan kaum buruh untuk memenangkan tuntutan-

tuntutannya.

Sedangkan serikat buruh yang mengidentifikasi bahwa kepentingan buruh sama

dengan kepentingan pemodal, bukanlah serikat buruh yang sesungguhnya, sebab

109 Ruspriyanto, Adi, Op. Cit. halaman 1.110 Ibid., halaman 4-5.

Page 77: Mogok Kerja Oleh serikat

71

pandangan seperti ini hanya akan mensubordinasikan kepentingan buruh di bawah

kepentingan modal dan melanggengkan penindasan serta eksploitasi terhadap

buruh.

3. Kebebasan Berserikat Bagi Buruh

Kebebasan berserikat bagi buruh pada era dewasa ini secara universal diakui

sebagai hak yang melekat pada diri buruh. Di negara-negara yang menganut

paham demokrasi, atau negara-negara yang hendak menjalankan agenda

demokratisasi, kehadiran serikat buruh menjadi semacam salah satu komponen

penting yang diperlukan. Akan tetapi masing-masing negara mempunyai

perbedaan terkait dengan kebijakan penerapan kebebasan berserikat, baik dari segi

bentuk kebebasan berserikat yang dijalankan maupun segi waktu penerapannya.

Semuanya seringkali bergantung atau ditentukan oleh rezim yang berkuasa di

suatu negara.

Di Indonesia, kebebasan berserikat dan berorganisasi bagi buruh sebenarnya

telah lama dijamin oleh hukum. Sebagaimana diungkapkan oleh SMERU yang

menyatakan:

Kehidupan berserikat maupun berorganisasi di Indonesia telah lama dijaminoleh Undang-Undang. Indonesia telah menjadi anggota ILO sejak 1950.Pada tahun 1956, melalui UU No. 18 Tahun 1956 pemerintah melakukanratifikasi terhadap Konvensi ILO No. 98 Tahun 1949 tentang Dasar-dasarHak Berorganisasi dan Berunding Bersama.111

Akan tetapi sebelum tahun 2000, di Indonesia belum terdapat suatu undang-

undang yang secara khusus mengatur tentang organisasi buruh/pekerja. Peraturan

111 SMERU, 2002, Hubungan Industrial di Jabotabek, Bandung dan Surabaya Pada EraKebebasan Berserikat (Laporan Penelitian), halaman 23.

Page 78: Mogok Kerja Oleh serikat

72

perundang-undangan yang ada pada periode sebelumnya hanya setingkat

peraturan perundang-undangan yang sifatnya peraturan pelaksana. Ratifikasi

Konvensi ILO No. 98 Tentang Dasar-dasar Hak untuk Berorganisasi dan Hak

Berunding Bersama melalui UU No. 18 Tahun 1956, pada kenyataannya tidak

diikuti implementasi yang memadai secara meluas. Sebut saja misalnya ratifikasi

yang telah dilakukan pada dekade 1950-an tersebut hingga tahun sebelum tahun

2000 tidak diikuti penjabaran dan pengaturan dalam sebuah undang-undang

tersendiri yang secara tegas mengakui dan mengatur kebebasan berorganisasi

sebagai hak asasi buruh. Padahal maksud Konvensi ILO No. 98 Tahun 1949

tersebut ialah112:

1. menjamin kebebasan buruh untuk masuk atau tidak masuk Serikat

Buruh;

2. melindungi buruh terhadap campur tangan majikan dalam soal ini;

3. melindungi Serikat Buruh terhadap campur tangan majikan dalam

mendirikan, cara bekerja serta cara mengurus organisasinya, khususnya

mendirikan organisasi di bawah pengaruh majikan atau yang disokong

dengan uang atau cara lain oleh majikan;

4. menjamin penghargaan hak berorganisasi;

5. menjamin perkembangan serta penggunaan badan perundingan sukarela

untuk mengatur syarat-syarat dan keadaan-keadaan kerja dengan

perjanjian perburuhan.

112 Memori Penjelasan Undang-Undang No. 18 Tahun 1956 Tentang Ratifikasi KonvensiILO No. 98 tentang Berlakunya Dasar-Dasar Daripada Hak Untuk Berorganisasi dan BerundingBersama.

Page 79: Mogok Kerja Oleh serikat

73

Selain itu makna hak berorganisasi dan berunding bersama yang dibawa

oleh Konvensi ILO No. 98 tampaknya diartikan secara sempit pragmatis.

Terutama pada era pemerintahan Orde Baru di mana organisasi buruh dipandang

sebagai kekuatan yang mempunyai potensi negatif terhadap kekuasaan, sehingga

keberadaan serikat buruh dan tradisi keserikatburuhan di kalangan buruh berusaha

untuk disingkirkan. Akan tetapi karena Indonesia sudah terlanjur meratifikasi

Konvensi ILO yang menyangkut hak berorganisasi bagi buruh, rejim yang

berkuasa tidak dapat menjalankan agendanya secara bersih dan tuntas, melainkan

harus tetap memberikan ruang bagi hadirnya serikat buruh, oleh karena itu siasat

yang digunakan adalah dengan ”bermain” pada tataran regulasi.

Lebih jelasnya, untuk tetap mendukung agenda rejim dalam hal

meminggirkan eksistensi serikat buruh, peraturan perundang-undangan yang

mengatur tentang keberadaan organisasi buruh ditujukan untuk menghambat

terbentuknya organisasi buruh yang sejati. Artinya regulasi tentang organisasi

buruh yang ada dibuat lebih berspektif kekuasaan. Akibatnya peraturan

perundang-undangan yang ada dilihat dari segi bentuknya dalam politik

perundang-undangan, materi atau substansinya tidak lebih sebagai manifestasi

kepentingan politik serta ekonomi penguasa, dan bukan sebagai bentuk kompromi

atau hasil pertarungan politik dari elemen-elemen riil masyarakat.

Bahwa konfigurasi kehidupan politik dan setiap pengambilan keputusan di

suatu negara memang hasil dari persaingan kekuatan sosial yang saling bersaing.

Suatu keputusan atau kebijakan yang diterapkan tidak diambil dalam suatu ruang

yang bebas nilai dengan melibatkan cara-cara tertentu yang sifatnya teknokratis,

Page 80: Mogok Kerja Oleh serikat

74

melainkan hasil pertarungan antara kepentingan yang bersaing atau hasil dari

koalisi kepentingan. 113 Akan tetapi jika dilihat dalam skala yang lebih luas,

terpinggirkannya kepentingan buruh dan ketidakmampuan buruh mendesakkan

kepentingan mereka lebih disebabkan oleh persoalan struktur yang menindas.

Pasca tragedi politik tahun 1965, praktis tradisi berorganisasi dan politik

rakyat, termasuk di dalamnya ialah tradisi keserikatburuhan di kalangan kelas

pekerja, hampir sama sekali tidak mempunyai tempat dalam atmosfer politik yang

berkembang pada masa-masa berikutnya. Penciptaan kondisi ”harmonis” dalam

bidang hubungan industrial antara buruh di satu sisi dan pengusaha atau modal di

sisi lainnya yang dipaksakan, menelurkan kebijakan yang pada intinya anti serikat

buruh. Serikat buruh yang dibangun dan dikembangkan pada masa ini bukan

serikat yang sesuai dengan cita-cita buruh.

Hak dan kepentingan buruh akan kebebasan berserikat untuk sebagai alat

perjuangan, pada era pemerintahan Orde Baru benar-benar terpasung, ”ciri yang

menandai masa tersebut adalah ketiadaan kebebasan berserikat”114. Melalui sistem

hubungan industrial yang diberi nama ”Hubungan Perburuhan Pancasila

(HPP)” 115 , pembatasan terhadap kekuatan serikat pekerja dan prinsip-prinsip

demokrasi dalam hubungan industrial dibatasi secara ketat. Federasi Serikat

113 Hadiz, Vedi R., “Politik Gerakan Buruh di Asia Tenggara”, SEDANE Volume 3 No. 2Tahun 2005.

114 Kelly, Peggy, 2002, Menegakan Demokrasi dan Perdamaian Melalui Dialog Sosial:Kajian tentang Lembaga-lembaga dan Proses Dialog Sosial di Indonesia, International LabourOffice, Jenewa, halaman 14.

115 Konsep hubungan industrial yang diklaim sebagai suatu sistem yang paling cocok danideal diterapkan di Indonesia karena didasarkan pada filsafat negara, kemudian diubah namanyamenjadi Hubungan Industrial Pancasila (HIP).

Page 81: Mogok Kerja Oleh serikat

75

Pekerja Seluruh Indonesia (F-SPSI) 116 beserta 13 serikat buruh sektoralnya 117

merupakan satu-satunya serikat pekerja yang legal menurut pemerintah.

Baru pada era kekuasaan pemerintahan Soeharto tumbang di pertengahan

tahun 1998, yang kemudian diikuti penerapan kebijakan multipartai, telah

memberikan arah bagi terciptanya iklim kebebasan berpolitik dan berorganisasi

yang sesungguhnya di kalangan rakyat. Proses demokratisasi dibidang politik

pasca kejatuhan rejim Orde Baru telah memberikan keleluasaan pada buruh yang

sebelumnya ditindas dan dibungkam untuk menyerukan kepentingan-

kepentingannya melalui berbagai macam cara. Diantaranya melalui aktivitas

organisasi semacam perhimpunan-perhimpunan buruh yang sebelumnya telah

mulai dibangun oleh kaum buruh bersama kekuatan pro-demokrasi lainnya—yang

pada masa rejim Orde Baru berusaha dihancurkan. Sehingga dengan demikian

dapat dikatakan bahwa demokratisasi politik turut memberikan kontribusi bagi

demokratisasi di lapangan perburuhan, yang mana hal itu secara nyata telah

mendorong pemerintahan suksesor meratifikasi beberapa Konvensi ILO sekaligus

yang salah satunya ialah Konvensi ILO No. 87.

Konvensi ILO No. 87 Tahun 1948 pada intinya mengatur ”para

pekerja/buruh dan pengusaha berhak mendirikan dan bergabung dalam organisasi

116 Sebelumnya organisasi ini bernama Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) danmemiliki struktur unitaris yang sentralistis. Pada tahun 1995 SPSI diubah menjadi FSPSI, yangmenandai pula perubahan didalam struktur organisasinya menjadi sebuah federasi yangdesentralistis.

117 Tiga belas sektor industri yang dimilikinya didaftarkan sebagai serikat buruh nasionalyang terpisah, meskipun FSPSI adalah satu-satunya federasi serikat buruh yang diakui olehDepnaker. Hal ini tidak lain karena kebijakan yang diterapkan pada waktu itu adalah setiap serikatburuh yang terbentuk harus berafiliasi dengan F-SPSI, jika tidak maka serikat buruh yangbersangkutan dianggap sebagai organisasi ilegal dan pemerintah berhak membubarkannya.

Page 82: Mogok Kerja Oleh serikat

76

lain atas pilihannya sendiri, dan organisasi tersebut tidak boleh dibubarkan atau

dilarang kegiatannya oleh penguasa administratif”.118

Pasal 2 Konvensi menyebutkan, ”Workers and employers, without

distinction whatsoever, shall have the right to establish and, subject only to the

rules of the organisation concerned, to join organisations of their own choosing

without previous authorization”119

Ketentuan pada Pasal 2 tersebut dipertegas dengan ketentuan yang terdapat

pada Pasal 3 dan 4. Pasal 3 ayat (1) yang menyebutkan, ”Workers and employers;

organizations shall have the right to draw up their Constitutions and rules, to

elect their representatives in full freedom, to organize their administration and

activities and to formulate their programmes”120.

Pasal 3 ayat (2) berbunyi, ”The public authorities shall refrain from any

interference which would restrict this right or impede the lawful exercise

thereof” 121 . Sedangkan Pasal 4 menyatakan, ”Workers' and employers'

organisations shall not be liable to be dissolved or suspended by administrative

authority”122.

118 SMERU, 2002, Loc. Cit.119 Terjemahan bebasnya kurang lebih adalah “Pekerja dan pengusaha tanpa perbedaan

apapun mempunyai hak untuk mendirikan dan tunduk hanya pada peraturan-peraturan organisasiyang bersangkutan, untuk bergabung pada organisasi-organisasi pilihan mereka sendiri tanpaotorisasi sebelumnya”.

120 Terjemahan bebasnya kurang lebih adalah “organisasi pekerja dan pengusaha berhakuntuk membuat anggaran dasar dan peraturan-peraturan, secara bebas memilih wakil-wakilnya,mengelola administrasi dan aktifitas, dan merumuskan program”

121 Terjemahan bebasnya kurang lebih adalah “Penguasa yang berwenang harus mencegahadanya campur tangan yang dapat membatasi hak-hak ini atau menghambat praktek-praktekhukum yang berlaku”.

122 Terjemahan bebasnya kurang lebih adalah “Organisasi pekerja dan pengusaha tidak bolehdibubarkan atau dilarang kegiatannya oleh ‘penguasa administratif”.

Page 83: Mogok Kerja Oleh serikat

77

Konvensi ILO No. 87 juga dengan tegas dan jelas mengatur bahwa

kebebasan berserikat tetap tunduk pada hukum nasional negara yang meratifikasi,

sedangkan hukum nasional tersebut tidak boleh memperlemah atau mengurangi

ketentuan-ketentuan dalam Konvensi.

Seperti tampak pada ketentuan Pasal 8 ayat (1) yang berbunyi, “In

exercising the rights provided for in this Convention workers and employers and

their respective organisations, like other persons or organised collectivities, shall

respect the law of the land”,

Dan Pasal 8 ayat (2), “The law of the land shall not be such as to impair, nor

shall it be so applied as to impair, the guarantees provided for in this

Convention”.

Diratifikasinya Konvensi International Labour Organization (ILO) No. 87

tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi pada

tahun 1998 oleh pemerintahan Presiden Habibie, terbuka harapan bagi kalangan

kelas pekerja Indonesia bahwa tidak lama lagi kebebasan untuk mendirikan

organisasi buruh alternatif diluar Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) akan

segera menjadi kenyataan. Harapan ini muncul seiring dengan dikeluarkannya

Peraturan Menteri Tenaga Kerja no. 5 Tahun 1998, tentang pendaftaran serikat

buruh. Terbitnya Permennaker No. 5 Tahun 1998 ini sekaligus mengakhiri era

serikat buruh tunggal yang dikuasai FSPSI. Berikutnya harapan kaum buruh akan

kebebasan berserikat makin menjadi nyata ketika pemerintahan Presiden

Abdurrahman Wahid pada tahun 2000 menerbitkan Undang-undang No. 21 Tahun

Page 84: Mogok Kerja Oleh serikat

78

2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Undang-undang ini menandai telah

hadirnya era kebebasan berserikat bagi kelas pekerja Indonesia.

Implikasi dari pemberlakuan Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 sebagai

implementasi ratifikasi Konvensi ILO No. 87 pada 5 Juni 1998 melalui Keppres

No. 83 Tahun 1998, kegiatan serikat buruh/serikat pekerja meningkat secara

signifikan. Keberadaan Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 ditinjau dari

ketentuan yang terdapat di dalam Konstitusi Indonesia bahwa setiap warga negara

mempunyai hak untuk berserikat dan menyampaikan pendapat merupakan salah

satu bentuk implementasi dari hak-hak yang diberikan konstitusi tersebut.

Ratifikasi Konvensi ILO No. 87 dan terbitnya Undang-Undang No. 21

Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh merupakan hasil dari

konsistensi tuntutan dan perjuangan kaum buruh beserta segenap elemen gerakan

pro-demokrasi Indonesia yang mempunyai perhatian terhadap nasib buruh akan

kebebasan berserikat dan berorganisasi. Tuntutan tersebut lahir karena satu-

satunya organisasi buruh yang ada pada waktu itu 123 , yaitu Federasi Serikat

Pekerja Seluruh Indonesia (F-SPSI), tidak mampu merepresentasikan dan

memperjuangkan kepentingan buruh. Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia

tidak lebih sebagai alat penguasa untuk menundukkan dan memobilisasi buruh di

dalam agenda-agenda pemerintah.

Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 secara nyata mempertegas bahwa

serikat buruh adalah organisasi yang berfokus pada kepentingan buruh, hal ini

tampak pada pengertian yang diberikannya. Dengan demikian pada dasarnya

123 Sebenarnya pada waktu itu terdapat beberapa serikat buruh alternative di luar SPSI, akantetapi hanya SPSI yang diakui sebagai satu-satunya organisasi buruh yang sah dan legal.

Page 85: Mogok Kerja Oleh serikat

79

Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 sebagai implementasi ratifikasi Konvensi

ILO No. 87 secara definitif mengakui dan menegaskan bahwa berserikat dan

berorganisasi termasuk hak buruh buruh yang mendasar, serta mendasarkan diri

pada pandangan bahwa kekuatan modal beserta kepentingan-kepentingan yang

mengikutinya hanya dapat dihadapi secara efektif oleh kaum kelas pekerja dengan

kekuatan kolektif. Artinya perlawanan terhadap kekuatan dan penetrasi

kepentingan modal yang secara konkrit bersifat kontradiktif dengan kepentingan

buruh harus dibangun melalui kekuatan serikat. Di luar perspektif dan kerangka

itu, hampir mustahil bagi buruh untuk melawan kekuatan yang

mensubordinasikan kepentingan buruh ke dalam kepentingan modal.

Konsekuensi yuridis dalam hal kebebasan berserikat ialah syarat-syarat serta

segala sesuatu yang terkait aspek pendirian serikat buruh atau serikat pekerja yang

legal dipermudah. Menurut undang-undang ini, pendirian atau pembentukan

serikat buruh/serikat pekerja sudah dapat dilakukan hanya oleh 10 (sepuluh) orang

buruh, sehingga sangat terbuka kemungkinan bahwa di dalam satu perusahaan

bisa terdapat lebih dari satu serikat buruh/serikat pekerja. Selain dipermudahnya

syarat-syarat pembentukan serikat, Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 juga

melindungi serikat buruh dari segala macam intervensi yang berasal dari luar

kekuatan buruh sendiri yang dapat mempengaruhi kegiatan berserikat. Secara

organisasional hal ini terlihat dari diletakkannya prinsip-prinsip demokrasi

sebagai dasar pijakan dalam membangun dan mengembangkan serikat buruh.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 bukan saja berbicara tentang

kebebasan berserikat bagi buruh, lebih dari itu, undang-undang ini juga turut

Page 86: Mogok Kerja Oleh serikat

80

memberikan arah bagi buruh dalam mengembangkan serikat. Serikat buruh adalah

”satu-satunya alat yang sah secara moral dan secara legal bagi buruh untuk

memperjuangkan hak-hak dan kepentingannya”124, oleh karena itu agar dalam

perjalanannya tidak mengalami distorsi harus diberikan arah tentang bagaimana

sesungguhnya fungsi dan tugas yang semestinya diemban oleh sebuah serikat,

sehingga serikat buruh sebagai bentuk organisasi buruh tetap mempunyai karakter

dan watak yang berbeda dengan organisasi-organisasi massa lainnya. Dalam hal

ini pemberian arah oleh Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 dilakukan dengan

secara tegas mencantumkan fungsi, tugas, kewajiban dan tanggung jawab yang

diemban oleh sebuah serikat buruh.

Kewajiban serta fungsi sebuah serikat pekerja/serikat buruh yang disebutkan

oleh Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tersebut mengaitkan kepentingan buruh

dengan aspek-aspek yang terdapat sebagaimana wajarnya kehidupan bernegara.

Akan tetapi kesemuanya itu tetap berfokus pada kepentingan buruh, hal ini wajar

saja karena dilihat dari pengertian yang diberikan oleh Undang-Undang No. 21

Tahun 2000 sendiri, tugas utama serikat pekerja adalah melindungi dan membela

hak serta memperjuangkan kepentingan buruh (dan keluarganya) dalam konteks

kesejahteraan.

124 Pontianak Post, Loc. Cit.

Page 87: Mogok Kerja Oleh serikat

81

4. Jenis-jenis Serikat Buruh/Serikat Pekerja menurut Paradigma dan

Pola Gerakannya

Sebagaimana telah disebutkan di muka bahwa jika ditarik dalam sebuah

wujud garis besar sejarah gerakan buruh, di dalam kenyataannya kemunculan

serikat buruh beserta gerakannya mempunyai fase-fase tertentu yang dipengaruhi

oleh pembacaan atas perkembangan sosial dan mode produksi yang ada di

masyarakat sehingga mencerminkan ragam dan pola gerakan yang berbeda pada

setiap kurun waktu. Akan tetapi, pengkategorian ke dalam fase-fase tersebut

sifatnya tidak strict dan berlaku terhadap keseluruhan organisasi maupun gerakan

buruh, sebab masih ada juga organisasi buruh yang hanya berkutat pada soal-soal

di seputar tempat kerja disaat paham sosialis dan komunis yang notabene

merupakan antagoni dari paham kapitalisme meluas pengaruhnya dalam gerakan

buruh. Sehingga dalam perkembangan selanjutnya serikat-serikat buruh dapat

dikelompokkan ke dalam tiga aliran, yaitu:

1. serikat buruh “asli”, yaitu serikat buruh yang model gerakannya

mencerminkan gerakan awal serikat buruh pada tingkat awal

kapitalisme. Serikat buruh yang hanya berkutat pada soal-soal

kepentingan ekonomi buruh dalam konteks hubungan kerja (seperti

masalah upah, kesehatan dan keselamatan kerja, tunjangan-tunjangan,

hari libur, dsb) dengan menggunakan cara-cara konvensional. Oleh

Hadiz, serikat buruh yang demikian ini disebutkan sebagai serikat buruh

Page 88: Mogok Kerja Oleh serikat

82

“pluralis-liberal”.125 Serikat buruh yang beraliran ini menganggap bahwa

serikat buruh merupakan badan yang semata-mata bersifat dan

mempunyai skup profesional; tugasnya hanya bersangkutan dengan

masalah-masalah ekonomi yang mempengaruhi kaum buruh

sebagaimana tersebut di atas. Sedangkan masalah-masalah pekerja di

dalam pabrik dalam kerangka hubungan kerja adalah terpisah dan tidak

mempunyai keterkaitan dengan masalah-masalah nasional. Bagi serikat

buruh aliran ini, konflik yang ada dalam masyarakat bukanlah

persaingan kelas antara kelas proletar dengan kelas borjuis, sehingga

perjuangan kelas bukanlah sebagai hal yang fundamental bagi politik

perburuhan.126

2. serikat buruh yang bertujuan memperjuangkan kepentingan ekonomi

buruh, akan tetapi dalam usaha mencapai tujuannya, gerakannya juga

menyentuh soal-soal politik. Bagi serikat buruh aliran ini, persoalan

perburuhan merupakan produk politik dari kekuasaan, sehingga dalam

hal ini serikat buruh yang bersangkutan menghadirkan diri sebagai salah

satu kekuatan politik riil di dalam kehidupan politik suatu masyarakat

dan negara, baik dengan cara membangun aliansi dan afiliasi dengan

partai politik maupun dengan cara mengandalkan aksi-aksi massa atau

ekstra-parlementer. Akan tetapi paradigma yang dipakai oleh serikat

buruh aliran ini sama seperti aliran serikat buruh “asli”, yaitu

125 Hadiz, Vedi R, “Politik Gerakan Buruh Di Asia Tenggara”, SEDANE Volume 3 No.2,2005, halaman 50.

126 ICFTU, Op. Cit., halaman 6.

Page 89: Mogok Kerja Oleh serikat

83

menganggap bahwa perjuangan kelas bukanlah hal yang sifatnya sangat

mendasar bagi pembebasan buruh dari ketertindasan. Aksi-aksi dan

gerakan yang dilakukan serikat buruh aliran ini kendati kadangkala

memuat tuntutan perubahan pemerintahan atau pergantian suatu

peraturan perundang-undangan, tetapi aksi yang dilakukan tersebut sama

sekali tidak menyentuh tema tentang perlunya merubah sistem

masyarakat yang kapitalis. Artinya gerakan beserta aksi dan tuntutan

mereka tidak keluar dari batas hubungan produksi kapitalis.

3. serikat buruh “merah”, yaitu yang dalam menyikapi ketertindasan buruh

mendasarkan gerakannya pada pemahaman bahwa sejarah masyarakat

adalah sejarah pertentangan kelas. Oleh karena itu, berbeda dengan

aliran-aliran sebelumnya yang tidak meletakkan perjuangan kelas

sebagai sesuatu yang esensial, serikat buruh “merah” justru

menempatkan perjuangan kelas sebagai sesuatu yang sifatnya

fundamental. Serikat buruh aliran ini berpandangan bahwa untuk

membebaskan buruh dari ketertindasan, penghancuran sistem

kapitalisme adalah mutlak dan merupakan cara yang paling efektif untuk

membela kepentingan kelas buruh pada umumnya.

5. Bentuk-bentuk Serikat Buruh

Sudah menjadi realitas yang tidak dapat dipungkiri bahwa masing-masing

serikat buruh mempunyai aliran politik, ideologi, paradigma dan konsepsi yang

berbeda tentang tujuan gerakan buruh. Konsekuensi atas hal tersebut secara

Page 90: Mogok Kerja Oleh serikat

84

teoritis konseptual mendorong pengelompokan serikat-serikat buruh yang ada ke

dalam beberapa kategori sebagaimana telah tereksposisi di muka.

Bentuk serikat buruh itu sendiri, jika dilihat dari prakteknya selama ini dari

sudut pandang keanggotaan, menurut Siregar setidaknya dapat dibagi menjadi127:

1. Serikat sekerja (craft-union), yaitu serikat buruh yang mana

anggota-anggotanya terdiri dari orang-orang yang melakukan atau

mempunyai pekerjaan yang sama. Contoh dari serikat sekerja yang

dapat dijumpai di Indonesia adalah misalnya serikat sopir, serikat

buruh bongkar muat pelabuhan.

2. Serikat buruh umum (general labour union), yaitu serikat buruh

anggota-anggotanya tidak terbatas pada orang-orang yang bekerja

dibidang pekerjaan tertentu dan/atau disuatu industri tertentu,

melainkan menampung anggota yang berangkat dari segala jenis

pekerjaan. Dalam konteks sekarang, contoh dari serikat buruh

umum yang dapat dijumpai di dalam masyarakat, antara lain ialah:

Serikat Pekerja Nasional, Sarikat Buruh Muslimin Indonesia

(Sarbumusi), Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI), Front

Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI).

3. Industrial Union, yaitu serikat buruh yang anggota-anggotanya

terdiri dari orang-orang buruh yang bekerja di satu perusahaan. Di

Indonesia misalnya adalah Serikat Pekerja PT. PLN, Serikat

127 Siregar, A. Madjid, Op. Cit. halaman 8-9.

Page 91: Mogok Kerja Oleh serikat

85

Pekerja PT. Telkom, Serikat Pekerja PT. Kereta Api Indonesia,

Serikat Pekerja PT. Dirgantara Indonesia, dan lain sebagainya.

Sedangkan jika dilihat cara pembentukannya, menurut SMERU128, terdapat

dua macam serikat buruh/serikat pekerja. Pertama, serikat buruh yang dibentuk

sebagai basis bagi para anggotanya untuk menyampaikan keluhan-keluhan dan

aspirasi-aspirasi mereka kepada perusahaan. Serikat buruh jenis ini mempunyai

misi yang jelas, keanggotaan yang jelas, dan pengelolaan organisasinya baik.

Aktivitas dan gerakan dari serikat buruh macam ini lebih dititikberatkan pada

soal-soal yang sifatnya lokalistik wilayah pabrik. Sehingga dengan demikian

sebenarnya serikat buruh macam ini mendekati konsep serikat buruh “asli”

sebagaimana telah disebutkan di muka. Sedangkan serikat buruh macam kedua

ialah serikat buruh yang dibentuk sebagai basis politik, anggotanya termasuk non-

pekerja/buruh yang mengklaim bahwa mereka bertindak demi kepentingan

pekerja/buruh.

6. Fungsi dan Kewajiban Serikat Buruh

Sebagai alat untuk memperjuangkan kepentingan buruh akan kesejahteraan

yang lebih baik dan hak-hak sosial-ekonomi lainnya, serikat buruh secara umum

mempunyai peran sebagai berikut:

1. melindungi atau mengupayakan agar anggota-anggotanya mempunyai

keamanan kelangsungan kerja (job security) atas pekerjaan yang

sekarang ini sudah dipegangnya. Sehingga pada konteks ini, konsepsi

128 SMERU, 2002, Op. Cit., halaman vi.

Page 92: Mogok Kerja Oleh serikat

86

fleksibilitas pasar tenaga kerja (labour market flexibility) merupakan

sesuatu yang harus ditentang oleh serikat buruh karena telah

menimbulkan ketidakpastian kerja bagi buruh.

2. mengupayakan dan memperjuangkan upah yang layak dan sistem

pengupahan yang adil bagi buruh.

3. memperjuangkan perbaikan syarat-syarat kerja, seperti jam kerja,

kesehatan dan keselamatan kerja serta jaminan sosial bagi buruh dan

anggota keluarganya.

4. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan yang bertujuan

meningkatkan keterampilan, pengetahuan dan kapasitas serta

kapabilitas anggota-anggotanya dan kaum buruh pada umumnya,

sehingga dengan demikian buruh mempunyai kemampuan bersikap

kritis atas keadaan dan persoalan yang dihadapinya sekaligus mampu

merumuskan strategi dan langkah-langkah efektif yang dapat ditempuh

untuk memecahkan persoalan.

5. mendorong agar anggota-anggotanya turut bertanggung jawab dan

berpartisipasi secara aktif terhadap program-program, agenda dan

kegiatan-kegiatan organisasi. Hal ini dimaksudkan agar gagasan-

gagasan yang diperjuangkan secara kolektif dan kegiatan-kegiatan

serikat yang dijalankan merupakan hasil dari kesadaran masing-masing

anggota, bukan berasal dari segelintir elite serikat buruh yang

bersangkutan.

Page 93: Mogok Kerja Oleh serikat

87

6. memperkuat soliditas dan meningkatkan solidaritas antar buruh, baik

yang menjadi anggota-anggotanya maupun kaum buruh secara umum

serta masyarakat secara luas.

Sejumlah peran yang dipegang oleh serikat buruh tersebut meliputi

kewajiban dan fungsi serikat buruh di dalam melayani kepentingan buruh. Jika

dijabarkan secara sedikit lebih mendetail, maka di dalam peran yang diemban oleh

serikat buruh akan dijumpai hal sebagai berikut ini.

a. Kewajiban Serikat Buruh

Untuk membedakan serikat buruh dari organisasi-organisasi lainnya, hal

yang dapat dijadikan rujukan adalah terletak pada fungsi, tugas dan kewajiban

yang diemban oleh serikat buruh dalam rangka memperjuangkan hak dan

kepentingan buruh. Kewajiban dasar yang dipikul oleh sebuah serikat buruh

adalah:

a). Kewajiban yang sifatnya internal, yaitu kewajiban terhadap anggota,

meliputi:

1). melindungi, mempertahankan dan memperjuangkan hak-hak

sosial ekonomi dibidang hubungan industrial para anggotanya;

2). membela anggota dari pelanggaran hak-hak dan

memperjuangkan kepentingan anggotanya dalam konteks

hubungan industrial;

3). memperjuangkan peningkatan kesejahteraan anggota dan

keluarga anggotanya;

Page 94: Mogok Kerja Oleh serikat

88

4). ciri utama dari serikat buruh, sebagaimana dikatakan oleh banyak

pakar, adalah merupakan organisasi yang sifatnya demokratis.

Maka kewajiban berikutnya dari serikat buruh adalah

mempertanggungjawabkan kegiatan organisasi kepada seluruh

anggotanya sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah

tangga organisasi yang bersangkutan.

b). Kewajiban yang sifatnya eksternal, yaitu kewajiban serikat buruh

terkait keberadaannya ditengah masyarakat dan negara. Kewajiban

pada konteks ini mencakup hal-hal sebagai berikut:

1). Memiliki anggaran dasar dan anggaran rumah tangga129;

2). Menerima Pancasila sebagai dasar negara dan UUD 1945

sebagai Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia130;

3). Asas organisasi yang digunakan tidak bertentangan dengan

Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945131;

4). Setiap serikat buruh, khususnya yang baru berdiri, wajib

memberitahukan keberadaannya kepada instansi pemerintah yang

bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan untuk dicatat

dengan melampirkan132:

(a) Daftar nama para pendiri;

(b) Anggaran dasar dan anggaran rumah tangga;

129 Pasal 11 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2000130 Pasal 2 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2000131 Pasal 2 ayat (2) jo. Pasal 38 ayat (1) huruf a UU No. 21 Tahun 2000132 Pasal 18 ayat (1) dan (2) UU No. 21 Tahun 2000

Page 95: Mogok Kerja Oleh serikat

89

(c) Susunan dan nama pengurus.

5). Tidak terlibat dalam tindak kejahatan terhadap keamanan

negara133.

b. Fungsi Serikat Buruh

Tugas utama serikat buruh adalah membela dan memperjuangkan hak-hak

sosial ekonomi kaum buruh dalam konteks hubungan industrial, serta berusaha

meningkatkan kesejahteraan buruh dan keluarganya. Tugas tersebut mempunyai

aspek-aspek atau dimensi yang luas cakupannya. Serikat buruh sebagai organisasi

untuk menghimpun kekuatan secara kolektif bukanlah tujuan akhir, melainkan

hanya merupakan alat bagi kaum buruh untuk memperjuangkan hak dan

kepentingannnya terurama dibidang sosial ekonomi. Oleh karenanya di dalam

tubuh serikat buruh melekat kewajiban-kewajiban tertentu yang menjadi bagian

integral serikat buruh terkait dengan fungsinya sebagai alat perjuangan bagi kaum

buruh.

Sejauh mana keberhasilan dan efektivitas sebuah serikat buruh dalam

memperjuangkan kepentingan dan hak-hak buruh, semuanya bergantung pada

profesionalisme serikat buruh yang bersangkutan. Hal ini secara langsung dan

lebih lanjut berkaitan dengan kemampuan serikat buruh dalam hal melakukan

pengorganisasian, mengartikulasikan kebutuhan buruh serta kemampuan

mengolah keadaan yang ada untuk memperkuat posisi tawar dan menguntungkan

buruh ketika bernegosiasi dengan kalangan majikan.

133 Lihat: Pasal 38 ayat (1) huruf b UU No. 21 Tahun 2000

Page 96: Mogok Kerja Oleh serikat

90

Efektivitas dan profesionalisme suatu Serikat Pekerja/Serikat Buruhtergantung pada tingkat kemampuan mereka dalam mengorganisasikan danmerekrut anggotanya, tingkat pemahaman mereka atas peran mereka, fungsidan peraturan yang ada, maupun seberapa baik mereka dapatmengkomunikasikan kebutuhan para pekerja, kemampuan bernegosiasi danmenyelesaikan perselisihan.134

Sejalan dengan hal tersebut, di dalam UU No. 21 Tahun 2000 ditegaskan

bahwa serikat buruh mempunyai fungsi tertentu yang sifatnya khas. Adapun

fungsi serikat buruh menurut Pasal 4 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2000, setidaknya

meliputi:

a) Sebagai pihak dalam pembuatan perjanjian kerja bersama dan

penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

b) Sebagai wakil pekerja/buruh dalam lembaha kerja sama dibidang

ketenagakerjaan, yaitu Lembaga Kerja Sama Bipartit, Lembaga Kerja

Sama Tripartit, Dewan Pengupahan dan lembaga-lembaga lain yang

sifatnya tripartit seperti Dewan Keselamatan Kerja, Dewan Pelatihan

Kerja, dan lain sebagainya.

c) Sebagai sarana menciptakan hubungan industrial yang harmonis,

dinamis, dan berkeadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan

yang berlaku;

d) Sebagai sarana penyalur aspirasi dalam memperjuangkan hak dan

kepentingan anggotanya135;

134 SMERU, 2002, Op. Cit., halaman iv.135 Fungsi sebagai sarana penyalur aspirasi ini tidak hanya berlaku dalam situasi yang

sifatnya lokalistik terbatas pada lingkungan pabrik atau tempat kerja, melainkan juga dalam halberhadapan dengan kebijakan-kebijakan negara dibidang perburuhan. Dalam hal ini termasuk jugapengartikulasian tuntutan dan penyikapan terhadap situasi yang ada.

Page 97: Mogok Kerja Oleh serikat

91

e) Sebagai perencana, pelaksana, dan penanggung jawab pemogokan

pekerja/buruh sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku;

f) Sebagai wakil pekerja/buruh dalam memperjuangkan kepemilikan

saham dalam perusahaan.

Fungsi serikat buruh yang terdapat dalam UU No. 21 Tahun 2000, berbeda

dengan konsepsi fungsi serikat buruh yang berlaku pada era rezim Orde Baru.

Hasil pengamatan dan analisis yang ada tentang fungsi serikat buruh pada masa

Orde Baru menunjukkan bahwa serikat buruh, secara konseptual dan empiris,

adalah berfungsi untuk menjaga stabilitas dan kelancaran aktivitas produksi.

Serikat buruh menjadi alat untuk mobilisasi kaum buruh agar tunduk pada agenda

kekuasaan.

Praktek pada era Orde Baru tentang gagasan fungsi serikat buruh tersebut

sangat jauh dari fungsi serikat buruh yang sebenarnya yang sudah diakui secara

universal, yaitu merupakan alat perjuangan kaum buruh untuk mempertahankan

dan melaksanakan hak-hak sosial ekonominya. Gagasan atas fungsi serikat buruh

pada masa kekuasaan Orde Baru mengingkari kenyataan bahwa antara buruh

dengan pengusaha mempunyai perbedaan kepentingan yang sifatnya saling

bertolak belakang. Sedangkan konsepsi yang dikembangkan oleh UU No. 21

Tahun 2001 di dasarkan pada konsep universal tentang fungsi serikat buruh.136

136 Sebagaimana diketahui bahwa keberadaan UU No. 21 Tahun 2000 merupakanimplementasi dari diratifikasinya Konvensi ILO No. 87 Tentang Kebebasan Berserikat danBerorganisasi pada 5 Juni 1998

Page 98: Mogok Kerja Oleh serikat

92

7. Fungsi Serikat Buruh dalam Penentuan dan Penetapan Upah

Minimum

Kaum buruh menggantungkan keberlangsungan hidupnya dari upah yang

diterimanya dari menjual tenaga kepada pemilik modal dan alat-alat produksi.

Sedangkan upah yang diterima tersebut bergantung pada hasil negosisasi dengan

“pembeli” tenaganya. Sementara proses dan hasil negosiasi itu sendiri sangat

dipengaruhi oleh kemampuan dan sumber daya yang dimiliki. Ditinjau dari

perspektif sosial ekonomi –dan juga politik, kalangan pengusaha mempunyai

posisi tawar yang lebih kuat dibanding dengan kaum buruh. Sehingga

implikasinya adalah kaum buruh tidak memiliki banyak kesempatan dan kekuatan

untuk menyuarakan dan mendesakkan kepentingannya memperoleh upah yang

dirasanya layak dan adil.

Hidup sejahtera merupakan impian setiap manusia selama hidup di dunia,

termasuk juga kaum buruh. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa dalam

kenyataannya tidak semua orang hidup dengan kesejahteraan yang memadai.

Kaum buruh sebagai golongan manusia yang mendasarkan keberlangsungan

memenuhi kebutuhan hidupnya dari menjual tenaga kepada pihak pemilik modal

dan alat produksi, merupakan golongan yang sangat rentan kemampuannya untuk

dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak. Sehingga kaum buruh secara

umum didefinisikan sebagai salah satu golongan yang tidak memiliki jaminan

untuk menjalani hidup dengan kesejahteraan yang memadai.

Serikat buruh bertujuan memberikan perlindungan, pembelaan hak dan

memperjuangkan kepentingan, serta meningkatkan kesejahteraan yang layak bagi

Page 99: Mogok Kerja Oleh serikat

93

buruh dan keluarganya. Demikian wacana dan konsepsi umum yang berkembang

tentang eksistensi serikat buruh sejak awal mulanya. Hal ini juga ditegaskan

dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 yang menyatakan,

“Serikat Pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat

buruh bertujuan memberikan perlindungan, pembelaan hak dan kepentingan, serta

meningkatkan kesejahteraan yang layak bagi pekerja/buruh dan keluarganya”.

Upaya memperjuangkan kepentingan dan meningkatkan kesejahteraan kaum

buruh dilakukan oleh serikat buruh dalam konteks hubungan kerja, diantaranya

adalah dengan jalan membuat perjanjian kerja bersama dengan pihak pengusaha.

Fungsi mewakili kaum buruh dalam pembuatan perjanjian kerja bersama bukan

hanya dalam arti formal belaka, melainkan juga menyentuh aspek material.

Artinya serikat buruh harus benar-benar melakukan negosiasi dengan pihak

pengusaha terkait dengan kepentingan kaum buruh. Dalam hal ini, serikat buruh

mengupayakan agar hal-hal yang merupakan kepentingan kaum buruh, akan tetapi

belum diakomodasi oleh peraturan perundang-undangan, dimasukkan sebagai

bagian dari isi perjanjian kerja bersama. Apabila suatu kepentingan buruh berhasil

dimasukkan menjadi bagian dari perjanjian kerja bersama, maka sesuatu tersebut

secara hukum berubah menjadi hak buruh.

Perjanjian Kerja Bersama (PKB) sebenarnya mempunyai posisi yang

strategis untuk memperjuangkan peningkatan kondisi kehidupan dan

kesejahteraan buruh karena akan mengatur hak dan kewajiban pengusaha dan

buruh, serta mampu mengakomodasi semua kepentingan buruh di segala tingkatan

sesuai dengan kondisi dan kemampuan perusahaan setempat. Melalui PKB, hak

Page 100: Mogok Kerja Oleh serikat

94

dan kewajiban pengusaha dan buruh akan dapat diatur dengan cara-cara yang

demokratis, berkeadilan, dan mampu mendorong peningkatan produktivitas.137

Dalam soal pengupahan, keberadaan PKB dapat menjadi sarana bagi terciptanya

mekanisme pengupahan yang berbasiskan prinsip-prinsip keadilan dan demokrasi

apabila serikat pekerja di perusahaan yang bersangkutan merupakan organisasi

yang kuat138.

Selain menjadi wakil buruh dalam pembuatan perjanjian kerja bersama,

pelaksanaan tugas untuk memperjuangkan (peningkatan) kesejahteraan kaum

buruh ialah menjadi wakil buruh di institusi pengupahan dalam rangka penentuan

besaran upah minimum yang berlaku di suatu daerah.

Kebijakan penetapan upah minimum secara umum mempunyai pengaruh

yang besar terhadap peningkatan pendapatan dan kesejahteraan kaum buruh. Bagi

buruh yang menjadi korban penerapan upah minimum sebagai “upah

maksimum”139, kenaikan upah minimum akan berdampak pada kemampuannya

137 Wirahyoso, Bambang, “Upah Minimum Bagi Buruh dan Strategi Perjuangan SerikatPekerja/Serikat Buruh”, Analisis Sosial, Volume 7 No. 1 Februari 2002, Yayasan AKATIGA,Bandung, halaman 87.

138 Sebagaimana diketahui, sistem penetapan upah dapat dibagi dalam lima kategori, yaitu:

1). Secara sepihak yang merupakan Kebijakan Perusahaan;2). Secara sepihak tetapi dengan meminta persetujuan pemerintah yang biasanya

melalui Peraturan Perusahaan;3). Berdasarkan ketentuan pemerintah melalui Upah Minimum;4). Dengan persetujuan pekerja secara perorangan melalui Kontrak Kerja; dan5). Dengan kesepakatan serikat pekerja/serikat buruh melalui Perjanjian Kerja

Bersama.

(Wirahyoso, Bambang, Ibid., halaman 92)139 Secara normatif kebijakan upah minimum ditujukan untuk melindungi buruh yang baru

masuk bekerja (masa kerjanya kurang dari satu tahun), berpendidikan rendah, tidak mempunyaipengalaman dan lajang. Akan tetapi dalam prakteknya tidak jarang terjadi salah penafsiranterhadap ketentuan upah minimum, yaitu ditafsirkannya ketentuan upah minimum sebagai upahyang standar. Akibatnya ketentuan upah minimum tersebut diberlakukan kepada semua golongan

Page 101: Mogok Kerja Oleh serikat

95

beradaptasi terhadap kondisi ekonomi (misalnya, fluktuasi harga barang-barang

kebutuhan pokok yang cenderung terus mengalami kenaikan) dalam hal

memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sedangkan bagi buruh yang perusahaan

tempat kerjanya menerapkan sistem pengupahan dengan skala melalui

penggolongan buruh berdasarkan masa kerja, yaitu besarnya upah tergantung pada

masa kerja yang telah dijalani oleh masing-masing buruh (semakin lama masa

kerjanya, upah yang diterima semakin besar), maka kenaikan upah minimum akan

turut mendorong kenaikan upah buruh di atasnya140.

Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Pasal 88 ayat (1) menyebutkan, “setiap

pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang

layak bagi kemanusiaan”. Sedangkan pada Pasal 88 ayat (2) dinyatakan, “Untuk

mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi

kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah menetapkan

kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh”. Kebijakan yang menjadi

kewajiban dan kewenangan pemerintah tersebut salah satunya adalah kebijakan

upah minimum.

Perumusan dan penetapan besaran ketentuan upah minimum, berdasar

ketentuan yang terdapat dalam Pasal 88 ayat (4) Undang-Undang No. 13 Tahun

2003, adalah merupakan kewenangan pemerintah141. Akan tetapi dalam hal ini

buruh (masa kerjanya lebih dari satu tahun, telah berkeluarga dan sebagainya) yang bekerja diperusahaan yang bersangkutan.

140 Fenomena yang lazim disebut sebagai ‘upah sundulan’.141 Berdasarkan Pasal 1 angka 4 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 226

Tahun 2000 (Tentang Perubahan Pasal 1, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 20, dan Pasal 21Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 01 Tahun 1999), yang berwenang menetapkan upahminimum adalah gubernur.

Page 102: Mogok Kerja Oleh serikat

96

kewenangan tersebut tidak mutlak sifatnya. Di dalam menerapkan kebijakan upah

minimum, pemerintah terikat pada prosedur dan ketentuan-ketentuan yang

terdapat dalam peraturan perundang-undangan.

Pasal 88 ayat (4) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 menegaskan,

pemerintah diwajibkan untuk mendasarkan pada kebutuhan hidup layak dengan

memperhatikan faktor produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Dengan kata lain,

ketentuan upah minimum yang berlaku diarahkan pada pencapaian kebutuhan

hidup layak (Pasal 89 ayat (2) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003). Jumlah

angka kebutuhan hidup layak tersebut didapat dari rekomendasi Dewan

Pengupahan setelah melakukan survei lapangan atas harga barang-barang

konsumsi yang menjadi kebutuhan pokok sehari-hari.

Akan tetapi karena Dewan Pengupahan merupakan lembaga kerja sama

tripartit yang mana komposisi keanggotaannya terdiri dari unsur buruh, pengusaha

dan pemerintah 142 ―dan antara buruh dengan pengusaha jelas-jelas terdapat

pertentangan kepentingan―sehingga penentuan hasil survei di Dewan

Pengupahan sendiri pun tidak luput dari perdebatan oleh masing-masing

pihak/unsur yang terdapat di dalamnya.143 Pada tahapan inilah perumusan dan

142 Menurut Pasal 1 angka 1 Keppres No. 107 Tahun 2004 Tentang Dewan Pengupahan,Dewan Pengupahan (Nasional, Propinsi, Kabupaten/Kota) adalah suatu lembaga non-strukturalyang bersifat tripartit. Keberadaan unsur pemerintah di dalam hal ini secara normatif adalah untukmengimbangi dan menjadi penengah antara kekuatan buruh dan pengusaha serta mewakilikepentingan masyarakat luas.

143 Karena di dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentangkomponen-komponen upah beberapa hal tidak dijelaskan secara detail soal kualitas suatu barangyang disurvei, sedangkan di dalam pasar barang konsumsi tersebut tersedia dengan beberapamacam jenis dan kualitas, maka dalam praktek survei, wakil dari buruh cenderung mencatat hargabarang tertinggi, sementara wakil dari pengusaha mencatat harga barang terendah (kualitas yangpaling rendah). Hal ini pada gilirannya memunculkan perdebatan antara pihak buruh dan pihakpengusaha, dan bahkan pihak pemerintah juga, terhadap item barang yang dijadikan patokanusulan nilai KHL yang akan direkomendasikan.

Page 103: Mogok Kerja Oleh serikat

97

penentuan upah minimum diwarnai oleh perdebatan yang pada dasarnya

merupakan manifestasi pertarungan kepentingan.

Selain itu, penentuan hasil survei nilai KHL yang seringkali menggunakan

mekanisme pemungutan suara (voting) 144 menunjukkan bahwa nilai KHL dan

komponen-komponennya yang disebutkan di dalam peraturan perundang-

undangan (Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 17 Tahun 2005) tidak merupakan

nilai baku dan standar. Jika komponen-komponen dan nilai upah yang dimaksud

layak yang dibawa oleh peraturan perundang-undangan telah memuat kejelasan

secara detail, tentu tidak akan mengimplikasikan terjadinya pemungutan suara di

dalam penentuan hasil survei nilai KHL yang akan direkomendasikan kepada

bupati/walikota dan gubernur.

Perdebatan berapa nilai upah yang layak tidak hanya berhenti sampai pada

tahapan penentuan hasil survei, melainkan masih tetap dapat terus berlanjut.

Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 88 ayat (4) dan Pasal 89 ayat (2) UU No. 13

Tahun 2003 memberikan ruang adanya perbedaan penafsiran tentang berapa

sebenarnya dan apa ukurannya untuk mencapai kebutuhan hidup layak antara para

pihak yang berkepentingan, yaitu buruh, pengusaha dan pemerintah. Pemerintah

sebagai pemangku kewenangan dan pembuat regulasi, dalam kenyataannya tidak

setiap tindakan yang diambilnya mengakomodasi kepentingan kedua belah pihak.

144 Di beberapa daerah seperti Jawa Timur, Jawa Barat, DKI Jakarta, sejak berlakunya UUNo. 21 Tahun 2000 dari tahun ke tahun terdapat kecenderungan bahwa penentuan hasil survei nilaiKHL di dapat melalui kesepakatan dan pemungutan suara.

(Dewi P., Maria Dona, 2004, Insitusi Pengupahan Kabupaten/Kota: Studi Kasus Cilacap,Sidoarjo, Gresik,Working Paper AKATIGA No. 20, Yayasan AKATIGA, Bandung).

Page 104: Mogok Kerja Oleh serikat

98

Nilai nominal ketentuan upah minimum yang ditetapkan oleh pemerintah

(dalam hal ini gubernur) pun besarannya seringkali lebih kecil dari nilai KHL

yang direkomendasikan oleh Dewan Pengupahan. Hal ini tidak lain karena di

dalam menetapkan jumlah upah minimum yang berlaku, selain berpatokan pada

nilai kebutuhan hidup layak, pemerintah juga harus memperhatikan produktivitas

dan pertumbuhan ekonomi setempat. Persoalannya, produktivitas dan

pertumbuhan ekonomi lebih sering dijadikan determinan dari jumlah upah

minimum yang diberlakukan daripada kebutuhan riil buruh untuk dapat hidup

yang layak secara kemanusiaan.

Pada konteks ini keberadaan serikat buruh untuk mewakili kaum buruh

dalam menyuarakan aspirasi, kepentingan dan kebutuhan terhadap upah yang

layak mendapatkan momentumnya terkait dengan tugas dan kewajibannya sebagai

alat untuk memperjuangkan kepentingan serta meningkatkan kesejahteraan kaum

buruh dan keluarganya. Serikat buruh mempunyai nilai positif untuk

mendesakkan aspirasi dan kepentingan buruh apabila antara buruh dengan

pengusaha terdapat perbedaan penafsiran atau perbedaan persepsi tentang maksud

dari ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dari beberapa penelitian yang diadakan oleh AKATIGA tentang peran

serikat pekerja di dalam proses penentuan upah minimum di beberapa daerah di

Indonesia menunjukkan bahwa sejak dibukanya era kebebasan berserikat melalui

berlakunya UU No. 21 Tahun 2000, kemampuan unsur buruh di dalam penentuan

upah minimum mengalami peningkatan. Unsur buruh di dalam Dewan

Pengupahan dapat mengimbangi kedudukan unsur perwakilan pihak pengusaha.

Page 105: Mogok Kerja Oleh serikat

99

Fenomena deadlock di dalam Dewan Pengupahan pada beberapa kasus

penentuan upah minimum diberbagai daerah adalah bukti nyata bahwa unsur

buruh yang diwakili oleh serikat buruh telah mampu menampilkan kekuatan dan

menggelar dibukanya ruang ‘dialog’ yang lebih luas. Situasi ini berbeda dengan

ketika rezim Orde Baru masih berkuasa, di mana hanya ada serikat buruh tunggal.

Pada masa Orde Baru, penentuan upah minimum terjadi dalam situasi yang

‘harmonis’ karena keterlibatan serikat buruh yang ada, yaitu SPSI, sifatnya hanya

formalitas belaka dan alat legitimasi kebijakan pengupahan yang melayani

kepentingan modal145.

Situasi deadlock dalam perundingan di lembaga tripartit, khususnya didalam institusi yang merumuskan upah minimum atau Dewan Pengupahan,dan gugat menggugat keputusan pemerintah, dalam hal ini gubernur ataubupati dan walikota mengenai perubahan besaran upah minimum, sangatberkaitan dengan dibukanya iklim kebebasan berserikat melalui UU No. 21Tahun 2000 yang berimplikasi pada perubahan komposisi keterwakilanunsur tripartit, khususnya keterlibatan lebih dari satu serikat buruh di dalamlembaga tersebut.146

Segi positif yang dipunyai serikat buruh untuk memperjuangkan

kepentingan buruh dalam soal upah minimum tersebut tidak lain karena serikat

buruh adalah kekuatan bersama yang nyata, sebagaimana diungkapkan oleh

Popon Anarita sebagai berikut:

145 Sebagaimana telah menjadi fakta sejarah yang telah diketahui secara luas bahwa SPSIpada masa Orde Baru tidak pernah mewakili kepentingan buruh karena elite pengurusnya yangtelah terkooptasi oleh kepentingan pemerintah yang lebih mengakomodasi kepentingan modal.Fungsi dan peran serikat buruh sebagai anggota terdistorsi dengan hanya menjadi alatpengendalian buruh demi kelancaran produksi. Keanggotaan serikat buruh pada masa Orde Barulebih merupakan mobilisasi yang secara politis untuk memperlancar agenda-agenda kekuasaanrezim yang memerintah.

(Lihat: Anarita, Popon, “Kemampuan Negosiasi Serikat Buruh Dalam MemperjuangkanUpah Minimum Di Dalam Institusi Dewan Pengupahan”, Jurnal Analisis Sosial, Volume 7 No. 1Februari 2002, Yayasan AKATIGA, Bandung, halaman 67).

146 Ibid. halaman 68.

Page 106: Mogok Kerja Oleh serikat

100

Setiap serikat buruh secara faktual mempunyai potensi kekuatan dari jumlahanggota yang dimilikinya. Potensi ini bisa menjadi kekuatan nyata melaluimobilisasi anggota dalam suatu pemogokan atau demonstrasi untukmembantu menekan penolakan terhadap pihak lain yang mengeluarkankebijakan yang tidak sesuai dengan aspirasi buruh.147

Kekuatan dari aksi-aksi massa buruh terbukti, dalam konteks penetapan

upah minimum atau berkaitan dengan persoalan upah minimum, mampu

mengubah kebijakan gubernur di beberapa daerah dalam kasus kenaikan upah

minimum. Ini membuktikan bahwa serikat buruh sudah mempunyai embrio untuk

menjadi alat perjuangan yang efektif bagi buruh.

Di dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2000, disebutkan bahwa salah satu

fungsi serikat buruh adalah sebagai perencana, pelaksana dan penanggung jawab

pemogokan. Penegasan Undang-Undang No 21 Tahun 2000 terkait soal

pemogokan tersebut, ditinjau dari berbagai aspek, merupakan langkah maju yang

diambil oleh pemerintah Indonesia. Dengan pemberian dasar legalitas atas

pelaksanaan mogok kerja, artinya pemerintah telah memberikan perlindungan

hukum yang lebih luas kepada kaum buruh dalam memperjuangkan hak,

kepentingan dan kesejahteraannya beserta keluarganya.

Kaum buruh pada era modern sekarang sejatinya menempati posisi yang

strategis. Perekonomian dunia dan dinamikanya dewasa ini berkembang dengan

berpijak pada industrialisasi. Sedangkan industri itu sendiri, walaupun didukung

dengan teknologi yang paling canggih pun, dalam kenyataannya masih tetap

membutuhkan tenaga kaum buruh untuk menggerakkan kegiatan produksi. Sejak

dahulu kala, tenaga manusia adalah salah satu faktor produksi yang harus tersedia

147 Ibid. halaman 73.

Page 107: Mogok Kerja Oleh serikat

101

dalam melakukan aktivitas proses produksi barang dan jasa. Disinilah letak

relevansi kaum buruh menempati posisi yang vital dan strategis.

Ironinya, keadaan sebagian besar kaum kelas pekerja tidaklah bernasib baik.

Berhadapan dengan kalangan pemilik modal dan alat produksi, kepentingan kaum

buruh seringkali terpinggirkan. Secara sosial, ekonomi dan politik posisi tawar

yang dimiliki oleh kaum kelas pekerja lebih lemah dibanding dengan yang

dimiliki oleh kalangan pengusaha. Satu-satunya kekuatan yang dimiliki oleh kaum

buruh adalah kekuatan fisik (tenaga) yang melekat pada dirinya, sehingga hak

untuk dapat melakukan mogok kerja merupakan sesuatu yang sifatnya esensial

untuk memperkuat kedudukan kaum buruh dalam hal memperjuangkan

kepentingannya ketika berhadapan dengan kekuatan-kekuatan yang memiliki

sumber daya lebih besar ketimbang yang dipunyai kaum buruh, yaitu negara dan

modal. Apabila hak mogok tidak dimiliki oleh kaum buruh, maka kaum buruh

telah kehilangan kedaulatan atas dirinya sebagai salah satu pelaku kegiatan

ekonomi maupun sebagai manusia secara umum yang berkepentingan

memperjuangkan kepentingan-kepentingannya untuk memperbaiki kehidupannya.

B. Tinjauan Umum tentang Mogok Kerja

1. Pengertian Mogok Kerja

Definisi yang paling sederhana tentang mogok kerja adalah penghentian

pelaksanaan pekerjaan oleh kaum buruh. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003

Tentang Ketenagakerjaan, pada Pasal 1 angka 23 memberikan definisi mogok

kerja sebagai “tindakan pekerja/buruh yang direncanakan dan dilaksanakan secara

Page 108: Mogok Kerja Oleh serikat

102

bersama-sama dan/atau oleh serikat pekerja/serikat buruh untuk menghentikan

atau memperlambat pekerjaan”.

Pada Undang-Undang No. 25 Tahun 1997, mogok di definisikan sebagai

“tindakan yang secara kolektif menghentikan atau memperlambat jalannya

pekerjaan sebagai akibat perselisihan perburuhan, dilakukan dengan maksud

untuk menekan supaya pengusaha menerima hubungan kerja, syarat-syarat kerja

atau kondisi ketenagakerjaan”.

Sedangkan menurut Black’s Law Dictionary, edisi ke tujuh, pengertian

strike (mogok) adalah: “The act of quitting work by a body of workers for the

purpose of coercing their employer to accede to some demand they have made

upon him, and which he has refused”148.

Sementara Yunus Shamad mendefinisikan mogok kerja sebagai tindakan

yang dilakukan oleh pekerja yang ditujukan terhadap pengusaha dengan tujuan

menekan pengusaha atau perusahaan untuk memenuhi tuntutannya atau sebagai

tindakan solidaritas untuk teman sekerja lainnya149.

Dari definisi yang diberikan oleh Undang-Undang No. 13 Tahun 2003

tersebut di atas, dapat dilihat bahwa terdapat 3 unsur dalam definisi mogok yang

diatur dalam undang-undang itu, yaitu:

a. Tindakan pekerja/buruh.

148 Terjemahan bebasnya kurang lebih adalah “tindakan menghentikan pekerjaan secara fisikoleh buruh/pekerja dengan tujuan memaksa majikan mereka untuk menerima permintaan/tuntutanmereka yang sebelumnya ditolak olehnya (majikan)”.

149 Shamad, Yunus, 1995, Hubungan Industrial di Indonesia, Bina Sumber Daya Manusia,Jakarta, halaman 227.

Page 109: Mogok Kerja Oleh serikat

103

Sebuah tindakan akan dianggap sebagai mogok apabila dilakukan

oleh buruh, buruh adalah orang yang bekerja dan menerima upah atau

imbalan dalam bentuk lain. Maka apabila aksi serupa dilakukan oleh

mahasiswa atau preman atau pihak-pihak lain yang tidak termasuk

dalam definisi buruh tidak dapat disebut sebagai mogok.

b. Direncanakan dan dilaksanakan secara bersama-sama.

Pemogokkan harus direncanakan dan dilaksanakan secara

bersama-sama. Maksud dari bersama-sama adalah perencanaan

dilakukan oleh lebih dari satu buruh, atau perencanaan dapat juga

dilakukan oleh serikat buruh.

c. Untuk menghentikan dan memperlambat pekerjaan.

Menurut ketentuan undang-undang, mogok haruslah

menghentikan atau memperlambat pekerjaan karena pada dasarnya

mogok bertujuan untuk memaksa majikan mendengarkan tuntutan

serikat buruh dengan cara menghentikan atau memperlambat proses

produksi.

Penyebab pemogokan dapat dikelompokkan sebagai berikut:

c. Dilihat dari tuntutannya, pemogokan dapat terjadi karena tuntutan

normatif dan non-normatif;

d. Di saat skill pekerja sudah tinggi maka seringkali tuntutannya tidak

hanya sebatas persoalan upah dan kesejahteraan, tetapi seringkali juga

masalah manajerial, sehingga dengan demikian pemogokan dapat

terjadi karena soal manajerial dan non-manajerial;

Page 110: Mogok Kerja Oleh serikat

104

e. Pemogokan dapat dipicu oleh perselisihan hak dan perselisihan

kepentingan. Yang dimaksud perselisihan hak yaitu perselisihan yang

berakar dari belum atau tidak dipenuhinya hak-hak pekerja

sebagaimana yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan,

perjanjian kerja bersama, dan peraturan perusahaan. Sedangkan yang

dimaksud perselisihan kepentingan adalah konflik yang berasal dari

perbedaan penafsiran atas suatu ketentuan peraturan perundang-

undangan, klausula di dalam perjanjian kerja bersama, dan peraturan

perusahaan antara buruh dengan pengusaha.

Mogok kerja pada awalnya dikategorikan sebagai perbuatan pidana. 150

Setiap bentuk atau jenis penghentian pekerjaan yang didasari pada suatu tuntutan

tertentu yang dilakukan oleh buruh mendapatkan ancaman pidana. Buruh yang

melakukan pemogokan dianggap melakukan tindakan pembangkangan dan

hendak berniat mengganggu ketertiban dan ketentraman masyarakat karena dapat

menyebabkan terganggunya aktivitas perekonomian. Pada waktu berikutnya

mogok kerja kemudian bukan lagi dikategorikan sebagai perbuatan pidana,

melainkan digolongkan sebagai tindakan bebas yang berbasiskan kebebasan

individu yang dimiliki oleh kaum buruh151.

Kini seiring dengan perkembangan situasi sosial ekonomi dan politik

masyarakat, mogok kerja merupakan sebuah hak. Meskipun peraturan mogok di

150 Penggolongan mogok kerja sebagai perbuatan pidana juga pernah terjadi di Indonesia.Pada masa kolonial Belanda, melalui pemberlakuan Artikel 161 Bis (yang dimasukkan sebagaisalah satu ketentuan Strafrecht Wetbook dan kemudian dilengkapi dengan pemberlakuan Artikel153 Bis dan 153 TER), tidak peduli apa pun alas an yang menjadi latar belakang terjadinyamogok, mogok kerja tetap merupakan perbuatan pidana.

151 Uwiyono, Aloysius, Op. Cit. halaman 14.

Page 111: Mogok Kerja Oleh serikat

105

masing-masing negara berbeda-beda dan tingkat kebebasan untuk mogok kerja

juga bermacam-macam tingkatannya, namun semuanya pada dasarnya memberi

pengakuan bahwa mogok kerja sebagai hak buruh. Dengan kata lain mogok kerja

telah diterima dan diakui secara universal sebagai hak kaum buruh. International

Labour Organization mengakui mogok kerja sebagai hak dasar buruh untuk

mempertahankan dan memperjuangkan hak-hak dan kepentingan sosial

ekonominya dalam berhadapan dengan kekuatan modal.

Sebagai hak fundamental kaum buruh, secara yuiridis hak mogok adalah

suatu realitas yang tidak dapat dipungkiri oleh siapapun. Selain di dalam sejumlah

peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, keberadaan hak mogok

dapat dilihat dari berbagai Konvenan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) maupun

Konvensi ILO. Dalam pasal 19 Universal Declaration of Human Rights 1948

menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak untuk menyatakan pendapatnya dan

mengekspresikannya. Selain itu hak mogok juga diatur secara eksplisit dalam

konvensi ILO nomor 105 tahun 1957 tentang Abolition of Forced Labour pasal 1

huruf d yang menyatakan bahwa negara anggota ILO yang meratifikasi konvensi

ini menyetujui untuk tidak menggunakan bentuk paksaan hukuman terhadap

buruh yang berpartisipasi dalam mogok.

2. Kebebasan Berserikat dan Hak Mogok

Antara hak mogok dengan kebebasan berserikat bagi buruh terdapat

pertautan yang erat. Artinya saat membincangkan kebebasan berserikat, eksistensi

serikat buruh serta bagaimana peran kebebasan berserikat serikat buruh dan

Page 112: Mogok Kerja Oleh serikat

106

serikat buruh itu sendiri sebagai alat perjuangan buruh memperjuangkan dan

mempertahankan hak dan kepentingannya, tidak dapat melupakan soal tentang

mogok kerja dan hak mogok serta pengaturannya di dalam praktek masyarakat.

Di muka telah disebutkan bahwa pada era dewasa ini tuntutan akan

kebebasan berserikat di kalangan buruh bukan lagi merupakan sesuatu yang tabu.

Bahkan lebih dari itu, kebebasan berserikat dan mendirikan organisasi bagi buruh

kemudian diakui sebagai bagian tidak terpisahkan dari upaya pengembangan

peradaban manusia. Sehingga pada tataran praksis membawa konsekuensi

diakuinya kebebasan berserikat dan mendirikan organisasi sekerja sebagai salah

satu hak buruh yang harus dihormati.

Buruh sebagai manusia tentu mempunyai suatu kepentingan terhadap

kesejahteraan diri pribadi dan keluarganya. Mengingat bahwa makna

“kesejahteraan” dalam hukum di Indonesia bukan hanya menyangkut soal

pemenuhan kebutuhan jasmaniah yang sifatnya material, melainkan juga

pemenuhan kebutuhan rohaniah152, maka membicarakan tuntutan kesejahteraan

berarti membicarakan pula hal-hal yang sifatnya abstrak. Berpendapat,

menyuarakan aspirasi dan menyampaikan buah pikiran merupakan salah satu

bentuk kebutuhan dan kepentingan buruh dari segi rohaniah. Apalagi jika aspirasi

tersebut menyangkut kepentingan pemenuhan kebutuhan jasmaniah.

Buruh secara fundamental mempunyai kemampuan untuk memperjuangkan

agar kebutuhan akan kesejahteraan dapat dipenuhi dengan baik. Kekuatan fisik,

152 Tentang “kesejahteraan”, Pasal 1 angka 31 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003memberikan definisi sebagai berikut: “Kesejahteraan pekerja/buruh adalah suatu pemenuhankebutuhan dan/atau keperluan yang bersifat jasmaniah dan rohaniah, baik di dalam maupun di luarhubungan kerja, yang secara langsung atau tidak langsung dapat mempertinggi produktivitas kerjadalam lingkungan kerja yang aman dan sehat”.

Page 113: Mogok Kerja Oleh serikat

107

tenaga dan pikiran yang diperlukan dalam proses produksi, serta jumlah besar

massa buruh merupakan inti potensi kekuatan buruh untuk meningkatkan

kemampuannya dalam mencukupi kebutuhan-kebutuhan hidupnya sebagai

manusia.

Akan tetapi kekuatan yang dimiliki oleh kaum buruh tersebut tidak

memberikan sumbangan yang signifikan bagi buruh dalam berhadapan dengan

kekuatan modal apabila kebebasan berserikat merupakan sesuatu yang dilarang.

Mogok kerja yang dilakukan oleh seorang buruh tidak mempunyai makna bagi

buruh yang bersangkutan karena tidak akan mampu memberikan tekanan kepada

pihak majikan. Majikan dapat dengan mudah mengganti tenaga seorang buruh

yang sedang melakukan mogok dengan tenaga lainnya. Demikian juga wildcat

strike action, yaitu mogok kerja oleh banyak buruh yang dilakukan dengan

sporadis, sifatnya perorangan dan tidak terorganisir serta tidak terpimpin, karena

mogok semacam itu akan mudah dipatahkan.

Untuk memperoleh proses produksi yang efisien, sebagian besar industri

dewasa ini menerapkan pengorganisasian kerja yang ketat dalam aktivitas

produksi. Proses produksi dijalankan dengan menggunakan metode pembagian

kerja ke dalam unit-unit kecil (memecah belah proses produksi ke dalam bagian-

bagian kecil). Pelaksanaan metode kerja seperti itu menurut Braverman,

sebagaimana dikutip Ratna Saptari, antara lain adalah melalui penggunaan

teknologi atau mesin yang memakai prinsip ‘ban berjalan’ di mana buruh tinggal

Page 114: Mogok Kerja Oleh serikat

108

memasang setiap bagian kecil dari produk dan tidak mengetahui apa yang terjadi

dengan produk tersebut setelah lepas dari tangannya.153

Akibat yang ditimbulkan dari penggunaan metode ini adalah para buruh

pelaksana proses produksi tersebut tersebar mengikuti jumlah unit-unit kecil

proses produksi. Implikasinya interaksi dan komunikasi antar sesama buruh

menjadi minim, dan buruh tidak bisa memupuk solidaritas antar mereka. Sehingga

apabila ada buruh yang mendapat masalah (konflik) dengan pihak perusahaan

(majikan) atau buruh mempunyai aspirasi tertentu yang hendak ditujukan kepada

majikan, tidak ada keberanian dikalangan buruh yang bersangkutan untuk

memperjuangkannya. Jika pun ada keberanian, buruh yang bersangkutan akan

memperjuangkannya secara sendiri-sendiri, dan apabila tuntutan tersebut tidak

ditanggapi oleh pihak majikan, dalam situasi seperti ini penggunaan mogok kerja

untuk menekan perusahaan/majikan, hampir mustahil merupakan strategi yang

efektif.

Kehadiran serikat buruh dalam situasi semacam itu berpotensi memberikan

kontribusi yang signifikan bagi buruh untuk mengurangi dampak melemahnya

posisi buruh. “Posisi serikat buruh kuat saat berhadapan dengan majikan karena

ada permintaan bersama yang diajukan kepada majikan (collective demand), dan

ada kekuatan bersama (collective strength).”154 Kemampuan serikat buruh untuk

memberikan kontribusi bagi buruh dalam hal memperjuangkan kepentingan

153 Saptari, Ratna, “Diferensiasi Buruh dalam Industri Rokok Kretek”, Prisma, No. 1, TahunXXI Januari, 1992, halaman 4.

154 Anarita, Popon, Loc. Cit.

Page 115: Mogok Kerja Oleh serikat

109

kepada majikan maupun kepada pemerintah disebabkan karena serikat buruh

menghimpun kekuatan buruh perorangan menjadi kekuatan kolektif.

Akan tetapi, potensi dan kekuatan serikat buruh sebagai kekuatan kolektif

kaum massa buruh tidak akan mempunyai arti apabila serikat buruh dilarang

untuk menyelenggarakan dan mengorganisisasikan pemogokan. Seperti pada

masa pemerintahan Orde Baru, di mana serikat buruh diperbolehkan berdiri

walaupun dengan sangat terbatas dan ketat, serikat buruh diarahkan untuk

menghapus praktek mogok kerja kaum buruh―walaupun ini tidak sepenuhnya

berhasil. Melalui Hubungan Industrial Pancasila (HIP), yang dipercaya sebagai

konsep ideal hubungan industrial dan koridor bagi gerakan serikat buruh,

eksistensi serikat buruh dibangun dalam kerangka untuk ‘memudahkan dialog’

antara buruh dengan pengusaha dan pemerintah sehingga menghasilkan situasi

hubungan industrial yang harmonis.

Walaupun menurut Undang-Undang No. 22 Tahun 1957 Tentang

Penyelesaian Perselisihan Perburuhan buruh diperbolehkan melaksanakan mogok

kerja untuk memperjuangkan kepentingannnya dalam suatu perselisihan hubungan

industrial 155 , namun sejak konsep HIP diberlakukan hak mogok kerja secara

praktis ditiadakan. Dengan demikian konsekuensinya adalah serikat buruh

dilarang untuk mengadakan atau menyelenggarakan pemogokan buruh. Padahal

hak untuk dapat melancarkan pemogokan di dalam suatu perselisihan hubungan

industrial dalam kaitannya dengan keberadaan serikat buruh, merupakan hal yang

tidak dapat dipisahkan. International Labour Organization (ILO) menyatakan, “the

155 Lihat: Pasal 1 ayat (1) huruf d angka 2 UU No. 22 Tahun 1957.

Page 116: Mogok Kerja Oleh serikat

110

right to strike in an intrinsic corollary of the right to organize protected by

Convention No. 87” 156 (hak mogok adalah bagian tidak terpisahkan dari hak

berorganisasi yang dilindungi oleh Konvensi No. 87).

Oleh karena itu tidak mengherankan apabila Undang-Undang No. 21 Tahun

2000, yang merupakan implementasi dari ratifikasi Konvensi ILO No. 87,

mengatur bahwa serikat buruh salah satu fungsinya adalah sebagai perencana,

pelaksana dan penanggung jawab pemogokan. Artinya di sini buruh diberi

kebebasan dan hak untuk membuat suatu pemogokan yang terorganisasi baik

karena suatu perselisihan di dalam hubungan industrial, maupun untuk

memperjuangkan hak dan kepentingannya.

Pertentangan antara kepentingan modal dan kepentingan buruh cenderung

menghasilkan marjinalisasi buruh dibidang sosial, politik dan utamanya bidang

ekonomi. Sedangkan keberadaan serikat buruh sendiri adalah sebagai alat untuk

memperjuangkan serta melindungi hak-hak dan kepentingan buruh beserta

keluarganya, oleh karena itu, pemberian hak mogok sebagai suatu cara yang sah

untuk memperjuangkan kepentingan buruh adalah sesuatu yang esensial bagi

serikat agar dapat menjalankan tugas dan fungsi sesungguhnya. Kebebasan

berserikat tanpa didukung oleh adanya pemberian hak mogok kepada buruh, sama

halnya seperti tentara yang tidak dipersenjatai. Oleh ILO, hak mogok dikatakan

sebagai sesuatu aspek yang tidak dapat dipisahkan dari kebebasan berserikat.157

156 ILO, 1994, Freedom of Association and Collective Bargaining: General Survey of theCommittee of Experts on The Application of Conventions and Recommendation, halaman 66-67.

(Putusan Mahkamah Konstitusi RI Perkara Nomor 012/PUU-I/2003 halaman 13).157 Uwiyono, Aloysius, 2001, Hak Mogok Di Indonesia, Program Pascasarjana Fakultas

Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, halaman 27.

Page 117: Mogok Kerja Oleh serikat

111

Komite Ahli ILO berpendapat:

The right to strike is one of essential means available to workers and theirorganization for the promotion and protection of their economic and socialinterest. These interest not only have to do with obtaining better workingconditions and pursuing collective demands of an occupational nature, butalso with seeking solutions to economic and social policy questions and tolabor problems of any kind which are of direct concern to the workers.158

Terjemahan bebas:

Hak mogok adalah salah satu yang esensial bagi buruh dan organisasinyauntuk memperjuangkan dan melindungi kepentingan ekonomi dan sosialburuh. Kepentingan-kepentingan ini bukan hanya memperoleh perbaikankondisi kerja dan tuntutan kolektif dalam suatu hubungan kerja, tetapi jugatermasuk kepentingan buruh menuntut perbaikan kebijakan sosial danekonomi yang berpengaruh pada kondisi buruh.

Negara-negara yang meletakkan dasar perekonomiannya pada sektor

industri―baik yang masih dalam tahapan awal industrialisasi (seperti Vietnam

dan China), maupun yang sudah memasuki masa senja (Eropa Barat dan Amerika

Serikat)―menghadapi dilema terkait dengan mogok kerja. Mogok kerja, di satu

sisi dapat menyebabkan aktivitas produksi dan perekonomian secara umum serta

kehidupan publik lainnya lumpuh159, bahkan dalam beberapa kasus, pemogokan

dipandang dapat mengancam pertahanan dan keamanan sebuah negara160. Akan

158 ILO, 1983, Freedom of Association and Collective Bargaining: General Survey of theCommittee of Experts on the Application of Conventions and Recommendations (Report III (4B)69th Session).

159 Sebagai contoh adalah dampak dari mogok kerja yang dilakukan oleh buruh kereta api diPerancis dan Jerman yang terjadi pada pertengahan November 2007 ini telah melumpuhkan sistemtransportasi dan aktivitas publik secara umum.

160 Sebagai contoh ialah kasus yang ada di Indonesia pada masa Orde Lama dan Orde Baru.Pada masa Orde Lama, bahwa pemogokan buruh dipandang dapat mengancam pertahanan dankeamanan negara dapat dilihat dari alasan yang menjadi latar belakang terbitnya PeraturanKekuasaan Militer Pusat No. 1 Tahun 1951 tentang Peraturan Penyelesaian Pertikaian Perburuhan(yang kemudian di cabut keberlakuannya oleh UU No. 16 Tahun 1951). Peraturan KekuasaanMiliter Pusat No. 1/1951 berisi larangan terhadap mogok kerja.

Timbulnya Peraturan Kekuasaan Militer Pusat No. 1/1951 ini dilatarbelakangi olehpandangan pemerintah terhadap pemogokan yang marak terjadi pada masa itu bukan lagi sebagai

Page 118: Mogok Kerja Oleh serikat

112

tetapi di sisi yang lainnya mogok kerja tetap perlu diberikan sebagai hak kepada

kaum buruh untuk melindungi dan memperjuangkan kepentingan-kepentingannya

ketika berhadapan dengan kekuatan modal yang secara struktural lebih unggul

dibanding kaum buruh.

Oleh karena itu dalam perkembangan selanjutnya gagasan yang

dikembangkan tentang mogok adalah tetap dikonsepsikan sebagai hak dasar yang

dimiliki oleh kaum buruh, akan tetapi pelaksanaannya harus mendapatkan

pengaturan sedemikian rupa sehingga mogok kerja yang dilancarkan oleh serikat

buruh tidak mengganggu ketertiban dan ketentraman umum masyarakat, namun

tetap efektif untuk memperkuat kedudukan buruh. Artinya di sini pengaturan

mogok tersebut tidak sampai mengurangi bahkan menghilangkan esensi mogok

kerja itu sendiri.

Kewajiban umum yang dibebankan kepada serikat buruh dalam melakukan

pemogokan adalah serikat buruh tidak boleh bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Pasal 137 menyebutkan, “Mogok kerja

sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dilakukan

secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan”. Gagalnya

perundingan yang dimaksudkan dalam ketentuan pasal ini adalah tidak

tercapainya kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dapat

soal perselisihan perburuhan semata, melainkan sudah menjadi persoalan sosial ekonomi. Selainitu pemogokan dipandang berpotensi menimbulkan akibat-akibat yang dapat mengganggukeamanan dan ketertiban sehingga membahayakan negara. Sedangkan pada masa Orde Baru,pemogokan dipandang dapat mengganngu ketertiban dan ketentraman masyarakat sertamenghambat pelaksnaan agenda-agenda pembangunan negara, oleh karena itu dikualifikasikansebagai gerakan-gerakan yang menjadi musuh pemerintah dan negara karena membahayakannegara.

Page 119: Mogok Kerja Oleh serikat

113

disebabkan oleh salah satu pihak tidak mau melakukan perundingan atau

perundingan menemui jalan buntu161.

Pasal 138 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 menyatakan,

“Pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh yang bermaksud mengajak

pekerja/buruh lain untuk mogok kerja pada saat mogok kerja berlangsung

dilakukan dengan tidak melanggar hukum.” Dalam hal ini serikat buruh harus

memenuhi syarat-syarat yang sifatnya administratif dan ketentuan-ketentuan

hukum publik yang telah ditetapkan peraturan perundang-undangan terkait dengan

akan dilaksanakannya mogok kerja162.

Hak mogok sangat penting bagi buruh dan serikat untuk memperkuat posisi

tawarnya dalam berhadapan dengan kekuatan modal yang mana hampir di segala

aspek lebih unggul dibanding kekuatan yang dipunyai buruh. Dengan kata lain,

pengakuan hak mogok kerja sebagai hak mendasar buruh yang berkaitan erat

dengan hak berorganisasi merupakan suatu cara untuk memperkecil

ketidaksetaraan posisi antara buruh dengan kekuatan modal. Akan tetapi

161 Menurut Pasal 4 Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 232 Tahun 2003, gagalnyaperundingan diartikan sebagai:

Tidak tercapainya kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dapatdisebabkan karena pengusaha tidak mau melakukan perundingan walaupun serikatpekerja/serikat buruh atau pekerja/buruh telah meminta secara tertulis kepada pengusaha2 (dua) kali dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari kerja atau perundingan-perundingan yang dilakukan mengalami jalan buntu yang dinyatakan oleh para pihakdalam risalah perundingan.

162 Ketentuan-ketentuan hukum tersebut tidak boleh mengurangi dari makna tujuandiberikannya hak mogok itu sendiri. Hal ini apabila mengingat penegasan ILO bahwa hak mogokmerupakan bagian tidak terpisahkan dari hak berorganisasi yang dilindungi oleh Konvensi No. 87,serta ketentuan di dalam Konvensi ILO sendiri yang menyatakan bahwa kebebasan berserikatbeserta segala aktivitas-aktivtasnya tunduk pada hukum negara peratifikasi yang berlaku akantetapi hukum nasional tersebut tidak boleh mengurangi esensi atau memperlemah ketentuan-ketentuan dalam Konvensi.

Page 120: Mogok Kerja Oleh serikat

114

sayangnya hingga saat ini di Indonesia belum terdapat undang-undang tersendiri

yang mengatur pemogokan.

Masalah pemogokan sekarang ini diatur di dalam Undang-Undang No. 13

Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan sebagian lagi diatur dalam peraturan

menteri tenaga kerja. Mogok kerja merupakan suatu tindakan yang legal. Hal ini

sebagaimana pengakuan hukum perburuhan yang berlaku di Indonesia bahwa

mogok kerja merupakan hak dasar buruh.

3. Klasifikasi Mogok Kerja Di Indonesia

Seperti telah disebutkan di atas, kendati merupakan tindakan yang legal dan

menjadi hak dasar bagi buruh, namun buruh tidak dapat menggunakan hak

tersebut dengan ‘semena-mena’. Tidak semua pemogokan mendapatkan

perlindungan hukum. Sebagaimana telah disebut di muka bahwa untuk dapat

melaksanakan mogok kerja, buruh harus memenuhi sejumlah persyaratan

administratif dan telah melalui suatu kondisi tertentu.

Konsekuensinya, mogok dibagi menjadi dua. Pertama, mogok kerja sah.

Mogok kerja yang sah menurut hukum adalah mogok kerja yang mengusung

tuntutan hak normatif dan dilakukan sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan

oleh peraturan perundang-undangan. Jika tidak memenuhi ketentuan tersebut,

mogok kerja yang dilakukan merupakan mogok kerja tidak sah.

Terhadap mogok kerja yang dilakukan secara sah, tertib dan damai, berdasar

pasal 145 UUK, pengusaha dilarang melakukan tindakan balasan kepada buruh

yang melakukan mogok. Di samping itu, apabila mogok kerja dilakukan secara

Page 121: Mogok Kerja Oleh serikat

115

sah dan damai karena adanya hak-hak normatif buruh yang sungguh-sungguh

dilanggar oleh pengusaha, buruh berhak mendapatkan upah selama melakukan

aksi mogok kerja.

Kedua, mogok kerja tidak sah, yaitu mogok kerja yang tidak memenuhi

ketentuan peraturan perundang-undangan, baik mengenai prosedur maupun

mengenai alasan yang menjadi latar belakang mogok. Mogok kerja yang termasuk

tidak sah adalah:

1. Bukan sebagai akibat gagalnya perundingan (Pasal 3 huruf a Peraturan

Menteri Tenaga Kerja No. 232 Tahun 2003).

2. Tanpa pemberitahuan kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung

jawab dibidang ketenagakerjaan (Pasal 3 huruf b Peraturan Menteri

Tenaga Kerja No. 232 Tahun 2003).

3. Dengan pemberitahuan kurang dari 7 (tujuh) hari sebelum pelaksanaan

mogok kerja (Pasal 3 huruf c Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 232

Tahun 2003).

4. Isi pemberitahuan tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 140 ayat (2)

huruf a, b, c, dan d UU No. 13 Tahun 2003 (Pasal 3 huruf d Peraturan

Menteri Tenaga Kerja No. 232 Tahun 2003).

5. Mogok kerja yang dilakukan pada perusahaan yang melayani

kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya

membahayakan keselamatan jiwa manusia, yang dilakukan oleh

pekerja/buruh yang sedang bertugas (Pasal 5 Peraturan Menteri Tenaga

Kerja No. 232 Tahun 2003).

Page 122: Mogok Kerja Oleh serikat

116

Konsekuensi hukum bagi buruh yang mogok kerja tidak sah, menurut Pasal

6 dan 7 Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 232 Tahun 2003, adalah

dikategorikan sebagai perbuatan mangkir kerja. Oleh karena itu, buruh yang

melakukan mogok kerja tidak sah, selama melakukan mogok, tidak mendapatkan

upah. Apabila buruh pelaku mogok kerja tidak sah setelah diberikan 2 (dua) kali

pemanggilan untuk kembali bekerja berturut-turut dalam jangka waktu 7 (tujuh)

hari secara patut dalam bentuk tertulis, tetap tidak juga kembali bekerja, maka

buruh yang bersangkutan dapat dianggap mengundurkan diri. Sedangkan bagi

pelaku mogok kerja tidak sah pada perusahaan yang melayani kepentingan umum

dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa

manusia, seperti rumah sakit, maka apabila mogok kerja mengakibatkan hilangnya

nyawa manusia yang terkait dengan tugas dan tanggung jawab pekerjaan buruh

yang bersangkutan, dikualifikasikan sebagai kesalahan berat.

4. Mogok Kerja Sebagai Hak Dibidang Sosial-Ekonomi dan Hak Dibidang

Politik

Dalam prakteknya, pemogokan yang dilakukan kaum buruh selama ini

terbagi menjadi dua, yaitu apa yang disebut sebagai economical strike,

pemogokan yang dilakukan dengan tuntutan-tuntutan ekonomi, utamanya

perbaikan kesejahteraan buruh, dan political strike, pemogokan yang dilakukan

dengan tuntutan-tuntutan yang sifatnya politis. Oleh beberapa pakar, pemogokan

yang disebut sebagai political strike adalah apabila yang dibawa oleh aksi mogok

tersebut tuntutan seperti agar diperbolehkan untuk memilih, menempatkan wakil

Page 123: Mogok Kerja Oleh serikat

117

buruh dalam suatu lembaga politik dan badan pemerintahan, mendukung

pencalonan seseorang sebagai kandidat atas suatu jabatan politik (misalnya

presiden, perdana menteri, dsb), dan hal-hal lain yang berhubungan dengan

praktek politik praktis. Sedangkan untuk economical strike, ialah apabila aksi

pemogokan membawa tuntutan akan perbaikan syarat-syarat kerja dan perbaikan

kondisi kesejahteraan, serta hal-hal lain yang sifatnya economic interest.

Akan tetapi hingga saat ini sebenarnya belum terdapat kesesuaian pendapat

tentang definisi masing-masing pemogokan berdasar sifatnya tersebut. Jika

merujuk pendapat Huntington163 maupun Almond164 yang menyatakan bahwa apa

yang dinamakan partisipasi politik bukan hanya dalam bentuk turut serta

berkontribusi pada program-program politik praktis semata seperti memberikan

suara dalam pemilu, melainkan juga meliputi hal-hal lainnya yang bertujuan untuk

mempengaruhi keputusan dan kebijakan pemerintah, maka jelas bahwa

pemogokan yang sifatnya political strike bukan hanya dalam rangka kegiatan

politik praktis.

Walaupun demikian, baik pemogokan yang sifatnya economical strike

maupun pemogokan yang sifatnya political strike, seringkali sulit untuk

dibedakan secara detail dan tegas, karena pada dasarnya dalam kedua sifat

pemogokan tersebut dilandasi oleh tuntutan, atau setidaknya harapan buruh akan

perbaikan kesejahteraan.

163 Huntington dan Nelson, 1990, Partisipasi Politik di Negara Berkembang [No EasyChoice: Political Participation In Developing Countries], terjemahan Sahat Simamora, RinekaCipta, Jakarta.

164 Almond, Gabriel A., “Sosialisasi, Kebudayaan, dan Partisipasi Politik”, dalam MochtarMas’oed dan Colin MacAndrews, 1987, Perbandingan Sistem Politik, Gadjah Mada UniversityPress, Yogyakarta.

Page 124: Mogok Kerja Oleh serikat

118

a. Hak Dibidang Sosial-Ekonomi

Hubungan industrial secara nyata merupakan bagian dari bidang sosial-

ekonomi. Di dalamnya terdapat urusan yang sifatnya sosial dan ekonomik. Oleh

karena itu, wajar apabila kemudian persoalan perburuhan dikualifikasikan masuk

ranah sosial-ekonomi. Demikian juga soal mogok kerja yang diterjemahkan

sebagai hak buruh dibidang sosial ekonomi.

Hak mogok kerja yang dipunyai buruh tidak dapat dipungkiri hal tersebut

ditujukan sebagai alat untuk mengimbangi kekuatan pengusaha yang secara

struktural lebih kuat dibanding buruh. Ditengah sistem ekonomi yang kapitalistik,

tuntutan akan akumulasi modal dan keuntungan merupakan sesuatu yang tidak

terelakkan apabila suatu industri atau perusahaan ingin tetap eksis. Dalam pada itu

kepentingan buruh amat mungkin tersubordinasi oleh penetrasi kepentingan

modal, urusan kesejahteraan dan tingkat kualitas hidup buruh menjadi urusan

nomor sekian dibelakang kepentingan mengeruk laba dan akumulasi modal

sebesar-besarnya. Dan, hal tersebut hanya dapat dihadapi oleh buruh melalui

kekuatan kolektif dan adanya kebebasan melaksanakan mogok kerja untuk

memperjuangkan dan mempertahankan hak-haknya dari dominasi kepentingan

modal.

b. Hak Dibidang Politik

Kebebasan dalam mengeluarkan pendapat merupakan bagian dari hak asasi

manusia yang dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 yang

menyatakan bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran

Page 125: Mogok Kerja Oleh serikat

119

dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.

Kemudian lebih lanjut lagi dalam pasal 28 E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan

bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan

mengeluarkan pendapat. Hak mogok buruh merupakan bagian dari hak atas

kemerdekaan mengeluarkan pendapat, hal ini dapat kita lihat dalam pasal 25

Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang

menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka

umum, termasuk hak mogok sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

Pendapat Komite Ahli ILO yang menyatakan bahwa mogok bukan hanya

untuk memperoleh perbaikan kondisi kerja dan tuntutan kolektif dalam suatu

hubungan kerja, tetapi juga termasuk kepentingan buruh menuntut perbaikan

kebijakan sosial dan ekonomi yang berpengaruh pada kondisi buruh, memberikan

penegasan adanya aspek politik di dalam hak mogok yang dipunyai buruh.

Pendapat Komite Ahli ILO tersebut mempunyai arti buruh mempunyai

kedaulatan untuk mendefinisikan sendiri kepentingan dan kebutuhannya, sehingga

dapat menuntut perbaikan kebijakan sosial dan ekonomi yang berpengaruh pada

kondisi buruh kepada pemerintah di semua level. Komite Ahli ILO tersebut

memandang bahwa urusan kesejahteraan buruh bukan hanya terbatas sebagai

urusan hubungan kerja yang tercipta antara buruh dan pengusaha, melainkan

pemerintah pun mempunyai andil dan peran melalui kebijakan-kebijakannya.

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat ditarik sebuah logika bahwa hak

mogok yang dipunyai oleh buruh tidak hanya digunakan untuk memperkuat posisi

Page 126: Mogok Kerja Oleh serikat

120

tawar dalam berhadapan dengan kepentingan pengusaha (majikan), atau hanya

untuk mengajukan tuntutan-tuntutan perbaikan kesejahteraan kepada pengusaha,

akan tetapi juga dapat digunakan untuk mengajukan tuntutan kepada pemerintah.

Page 127: Mogok Kerja Oleh serikat

121

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG UPAH, KEBIJAKAN UPAH MINIMUM,

MEKANISME PENETAPAN UPAH DAN KONFLIK KEPENTINGAN

DALAM PENENTUAN UPAH MINIMUM

A. Tinjauan Umum Tentang Upah

1. Konsepsi Upah dalam Mode Produksi Kapitalis

Walaupun Indonesia menolak disebut sebagai negara yang menerapkan

sistem ekonomi liberal, dan mengklaim diri sebagai negara yang mempunyai

sistem ekonomi sendiri, yakni sistem ekonomi Pancasila, dengan karakteristik

yang berbeda dengan sistem ekonomi liberal maupun sistem ekonomi sosialis,

akan tetapi dalam kenyataannya, praktek sistem ekonomi Indonesia cenderung

berafiliasi dengan sistem ekonomi liberal. Hal ini dapat dilihat dari semakin

diperluasnya peran swasta, dan mulai diizinkannya swasta-asing memasuki

sektor-sektor ekonomi yang menyangkut hajat hidup orang banyak yang

sebelumnya tertutup bagi swasta-asing165 . Selain itu, di dalam melihat setiap

persoalan ekonomi, indikator dan variabel yang lebih banyak digunakan bukanlah

165 Menurut Konstitusi Indonesia, yakni UUD 1945, sektor-sektor yang menyangkut hajathidup orang banyak harus dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat. Contohdari sektor-sektor yang menyangkut hajat hidup orang banyak antara lain adalah perairan,kehutanan, pertambangan, kesehatan serta pendidikan.

Kondisi yang demikian ini terjadi karena Indonesia merupakan bagian dari komunitasmasyarakat internasional, dan sedang berusaha menyatukan diri dengan sistem ekonomi globalyang menganut paham liberal. Pada kondisi seperti ini, Indonesia sering mendapatkan tekanan darinegara-negara lain, atau lembaga-lembaga (organisasi) internasional di mana Indonesia turutmenjadi anggota di dalamnya, yang menginginkan agar Indonesia membuka sektor-sektor yangmasih tertutup bagi swasta-asing. Contoh paling nyata dari tekanan internasional adalah privatisasiBUMN dan sejumlah industri strategis lainnya serta pembukaan sektor-sektor yang masih tertutupbagi swasta-asing melalui program-program yang “disarankan” oleh International MonetaryFunding (IMF) dan World Bank.

Page 128: Mogok Kerja Oleh serikat

122

kepentingan rakyat, melainkan pasar. Oleh karenanya, penulis secara eksplisit

membahas konsep upah dalam mode produksi kapitalis.

Jika dilihat dari perspektif sejarah, usia perjuangan buruh dalam

mendapatkan upah yang layak sudah setua dengan hadirnya sistem kerja upahan

di muka bumi ini. Hanya saja perjuangan untuk mendapatkan upah yang layak ini

mempunyai ritme pasang surut dan terkait konteks ruang dan waktu. Namun

demikian, semangat dari perjuangan menuntut upah yang layak ini senantiasa

hadir dalam kehidupan kelas pekerja, sehingga tuntutan upah yang layak hampir

menjadi sebuah keniscayaan dalam sistem produksi kapitalis. Untuk mengetahui

mengapa tuntutan buruh industri untuk mendapatkan upah yang layak selalu saja

menghiasi sistem produksi kapitalis, penting kiranya menguraikan terlebih dahulu

atas seluk-beluk kapitalisme itu sendiri.

Sistem ekonomi liberal yang bersandarkan pada paham kapitalisme, pada

intinya bertumpu pada kebebasan; segala sesuatu yang terkait aspek

perekonomian semuanya diserahkan pada mekanisme pasar. Dalam perspektif

teori ekonomi, pasar adalah salah satu mekanisme yang bisa dijalankan oleh

manusia dalam mengatasi problem ekonomi: produksi, konsumsi dan distribusi.166

Alokasi dan distribusi barang, jasa dan faktor-faktor produksi di dalam

masyarakat sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar; permintaan dan

penawaran diserahkan kepada masing-masing individu dengan campur tangan

negara sekecil mungkin.

166 Perdana, Ari A., 2001, “Peranan ‘Kepentingan’ Dalam Mekanisme Pasar dan PenentuanKebijakan Ekonomi di Indonesia”, http://www.csis.or.id, diakses pada 12 Maret 2003.

Page 129: Mogok Kerja Oleh serikat

123

Prinsip yang dianut dalam sistem ekonomi kapitalis adalah pasar bebas, di

mana individu-individu merupakan aktor yang bebas dalam bertindak di lapangan

ekonomi. Masing-masing individu mempunyai kebebasan untuk menentukan apa

yang menjadi kebutuhan ekonominya dan bagaimana cara untuk memenuhinya.

Fungsi negara dalam sistem ekonomi liberal/kapitalis adalah sekedar “penjaga

malam” yang mengusahakan ketertiban, ketentraman dan keamanan umum.

Negara dibenarkan untuk melakukan intervensi apabila dilakukan dalam kerangka

mengembalikan kemurnian pasar atau dalam rangka menuju ekonomi pasar. Oleh

karena itu, sistem ekonomi kapitalis juga dijuluki sebagai sistem ekonomi pasar.

Menurut para penganutnya, sistem ekonomi berbasiskan ekonomi pasar

diyakini akan menghasilkan distribusi yang adil atas kemakmuran. Hal ini didasari

tradisi pandangan ekonomi klasik dan neo-klasik bahwa sistem ekonomi pasar

mengimplikasikan adanya persaingan terbuka antar individu yang ada dalam

masyarakat dalam hal mencari keuntungan. Dengan kata lain, sistem ekonomi

pasar membawa konsekuensi: masing-masing individu anggota masyarakat

dituntut bekerja sekeras-kerasnya untuk mengejar kesejahteraannya masing-

masing. Karena kebutuhan manusia sifatnya tidak terbatas dan kesejahteraan itu

sendiri tidak mempunyai batasan yang jelas, sedangkan barang ekonomi yang

menjadi alat untuk memenuhi kebutuhan jumlahnya terbatas, maka keadaan

selanjutnya adalah adanya tuntutan akan kompetisi dan persaingan yang terbuka

antar individu. Dengan persaingan yang berlangsung terbuka, keuntungan yang

diperoleh tiap pelaku secara individu hanya akan terjadi dalam tingkat minimal.

Sebaliknya, tanpa adanya persaingan, tiap-tiap individu bisa memperoleh

Page 130: Mogok Kerja Oleh serikat

124

keuntungan yang besar (supernormal profit).167 Atas dasar inilah sistem ekonomi

pasar dipercaya akan memunculkan distribusi yang adil atas kekayaan dan

kemakmuran.

Di sisi yang lain, persaingan terbuka antar individu yang diimplikasikan oleh

mekanisme pasar akan memacu individu-individu yang ada untuk berusaha

menyediakan barang-barang yang mengartikulasikan kebutuhan dengan tujuan

memperoleh keuntungan dan dengan demikian juga akan memperbesar potensinya

untuk dapat mengejar kesejahteraannya sendiri. Para individu yang berusaha

menyediakan barang-barang atau jasa ini kemudian disebut dengan pelaku

ekonomi. Selanjutnya, antar pelaku ekonomi pun kemudian terlibat suatu

persaingan dan kompetisi untuk memperebutkan pasar. menurut paham

kapitalisme menurut paham kapitalisme, kompetisi dan persaingan antar pelaku

ekonomi menjadi kunci dari keberhasilan untuk mewujudkan kesejahteraan

masyarakat. Dengan kompetisi dan persaingan antar pelaku ekonomi, efisiensi dan

efektivitas ekonomi akan terwujud, harga barang akan menjadi murah. Di

samping itu, efisiensi akan menghasilkan keuntungan yang optimal.

Dalam sistem ekonomi pasar ini ‘hukum’ yang berlaku adalah bagaimana

dengan modal sekecil-kecilnya seseorang dapat menghasilkan keuntungan atau

manfaat sebesar-besarnya. Artinya, untuk dapat menghasilkan laba yang optimal,

maka biaya produksi haruslah ditekan serendah mungkin. Pada konteks ini, upah

buruh sebagai bagian dari biaya produksi juga harus serendah-rendahnya. Oleh

karena itu, tidak mengherankan apabila terdapat pendapat yang menyatakan

167 Ibid.

Page 131: Mogok Kerja Oleh serikat

125

bahwa mekanisme pasar juga telah menempatkan negara sebagai tak lebih dari

pelayan kepentingan pemilik modal dan dunia internasional untuk mengambil

keuntungan sebanyak-banyaknya dengan mengeksploitasi kaum pekerja dan

rakyat secara umum.

Hal ini dapat dimengerti karena dalam sistem ekonomi liberal (pasar), titik

berat kegiatan ekonomi, khususnya produksi adalah terciptanya akumulasi modal

yang digunakan untuk investasi berikutnya dan sama sekali tidak berbicara

tentang kondisi kehidupan ekonomi buruh. Walaupun demikian bukan berarti

bahwa ekonomi pasar memang menghendaki para buruh kelaparan sehingga tidak

mampu menjual tenaganya, atau bahkan mati. Sebaliknya, para pemilik modal dan

alat produksi dalam sistem ekonomi pasar berkepentingan agar para buruh tetap

mampu menyediakan tenaganya untuk kegiatan produksi sehingga aktivitas

pengakumulasian modal dapat tetap terus berjalan. Hanya saja mereka (kaum

buruh) tidak dikehendaki untuk mendapatkan yang lebih dari sekedar cukup untuk

bertahan hidup dan tidak mati. Dengan kata lain, kesejahteraan buruh dalam

sistem ekonomi pasar tidak diartikulasikan sebagai hak buruh. Hal ini

sebagaimana dikatakan oleh Eric Hobsbawm:

[…] inti perkaranya bukanlah bahwa ekonomi liberal tidak peduli jika paraburuh kelaparan, apalagi menginginkan mereka mati. Sebaliknya, ekonomimodel ini bersikeras dengan kukuh bahwa mekanisme pencipta laba lewathukum pasar akan membuat semua orang senantiasa bertambah sejahtera.Tetapi inti masalahnya terletak dalam fakta bahwa ekonomi liberal tidakdapat dan tidak mau mengungkapkan aspirasi kaum buruh dalam bentukhak-hak.168

168 Hobsbawm, Eric, 1984, Workers: Worlds of Labour, Pantheon, New York, USA,halaman 307.

Page 132: Mogok Kerja Oleh serikat

126

Dalam mode produksi pada sistem ekonomi kapitalis sebagaimana yang

berlaku di sebagian besar belahan dunia sekarang ini, hubungan antara pelaku

ekonomi dan buruh adalah hubungan transaksional dengan obyek tenaga buruh.

Buruh dikonsepsikan menjual tenaganya kepada pelaku ekonomi untuk

melakukan suatu pekerjaan dibidang produksi atas komoditas perdagangan.

Berapa besar upah yang diterimanya bergantung pada negosiasi antara buruh

dengan pelaku ekonomi (pemilik modal atau pemilik alat produksi) yang

memperkerjakannya. Besaran upah yang diterima buruh merupakan nilai jual atas

tenaga yang dikeluarkannya untuk mengerjakan produksi.

Sekilas terkesan bahwa antara buruh dengan pengusaha mempunyai posisi

tawar yang sama. Namun tidak selalu demikian keadaan sesungguhnya. Seringkali

kesepakatan besaran upah terjadi dengan keterpaksaan dari pihak buruh.

Keterpaksaan tersebut lahir bukan dengan ancaman fisik, melainkan dari kondisi

riil atas posisi tawar yang tidak seimbang. Keterpaksaan lahir karena akibat dari

tidak tersedianya lapangan pekerjaan alternatif yang dapat dijalani buruh, 169

sehingga tidak ada pilihan lain bagi buruh selain menerima jumlah yang

ditawarkan. Bagaimana mungkin dapat dikatakan tanpa ada unsur keterpaksaan

(Sandyawan et al, “Beberapa Catatan Kecil Untuk Arah dan Strategi Masa Depan ForumSolidaritas Untuk Buruh”, makalah dalam diskusi Pencarian Arah dan Strategi Masa DepanForum Solidaritas Untuk Buruh, Jakarta, 8 Desember 1994.)

169 Era industrialisasi kapitalis yang di awali dengan Revolusi Industri, telah menyebabkanperubahan struktur sosial ekonomi masyarakat dan perubahan fungsi lahan secara besar-besaran.Pada akhir abad ke XVIII sejumlah besar penduduk Inggris kehilangan kemerdekaan ekonominyasebagai akibat dari program pemerintah mengenai politik agraria, yaitu dengan mengubah tanahpertanian menjadi lapangan tempat memelihara hewan guna menopang keberadaan industri tekstil.Oleh karena kehilangan mata pencaharian lama, sejumlah besar penduduk Inggris kemudianberalih menjadi buruh.

(lihat: Siregar, A. Madjid, Op. Cit. Halaman 15-16).

Page 133: Mogok Kerja Oleh serikat

127

dari buruh apabila mereka (buruh) tidak menerima syarat-syarat kerja beserta

upah yang ditawarkan oleh pengusaha tidak dapat bekerja sehingga berujung pada

ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya seperti sandang, pangan

dan papan. Sedangkan pemilik modal atau pemilik alat produksi, hampir tidak

terpengaruh apabila seorang buruh menolak tawaran yang diberikan. Pemilik

modal masih dapat mencari tenaga kerja lainnya untuk menjalankan kegiatan

produksinya.

Hal yang demikian itu juga pernah berlaku di Indonesia. Di Indonesia,

kondisi seperti ini dapat dilacak dengan memperhatikan sejumlah pasal yang

terdapat dalam Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-undang Hukum Perdata). Di

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia tersebut,

hubungan industrial atau hubungan perburuhan dikategorikan termasuk ranah

privat; dikonsepsikan sebagai salah satu bentuk perikatan yang lahir dari

perjanjian antar perorangan. Dapat antar natuurlijkpersoon (manusia) dan atau

antara natuurlijkpersoon (manusia) dengan rechtspersoon (badan hukum).

Dengan demikian tunduk pada ketentuan-ketentuan umum tentang perikatan.

Dalam hal ini, berlaku ketentuan tentang syarat sahnya perjanjian―yang diatur

dalam Pasal 1320―dan asas-asas dari perjanjian, yakni asas konsensualisme170,

170 Asas konsensualisme ini dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata yangberbunyi:

Salah satu syarat sahnya perjanjian adalah kesepakatan kedua belah pihak”. Makna yangtekandung dalam pasal tersebut yaitu perjanjian pada umumnya tidak diadakan secaraformal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak, maksudnya adalahdalam suatu perjanjian cukup ada suatu kata sepakat dari mereka yang membuatperjanjian itu.

Page 134: Mogok Kerja Oleh serikat

128

asas kebebasan berkontrak 171 , asas pacta sun servanda dan asas itikad baik.

Artinya sebagai bagian dari perikatan yang lahir dari perjanjian, keberlakuan dari

hubungan hukum antara buruh dengan pengusaha didasarkan pada kesepakatan

yang dibuat oleh buruh dan pengusaha sendiri.

Pada tataran ini yang menjadi persoalan adalah implementasi dari asas

kebebasan berkontrak yang kental dengan nuansa paham liberal. Asas kebebasan

berkontrak mengandung pengertian: para pihak bebas untuk membuat atau tidak

membuat perjanjian, bebas menentukan isi dan substansi perjanjian, bebas

menentukan bentuk perjanjian dan cara berlakunya. Dengan berakar pada

pemikiran filsafat liberal dan mengesampingkan adanya perbedaan posisi tawar

secara ekonomi dan politik, ketentuan tersebut cenderung merugikan kepentingan

buruh. Dalam hal ini adalah masalah kondisi dan syarat-syarat kerja, serta upah

yang diterima buruh. Memang asas kebebasan berkontrak ini dibatasi oleh Pasal

1337 KUHPerdata yang menentukan bahwa, “Suatu sebab adalah terlarang

apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan,

atau ketertiban umum”. Namun pembatasan yang sangat terbatas dan umum

tersebut tidak cukup memadai untuk diterapkan dalam soal pengupahan pada

suatu hubungan kerja.

Pemaknaan atas upah sebagai nilai hasil transaksi antara pengusaha dan

buruh dengan obyek kerja (tenaga) buruh jika dikaitkan dengan praksisnya,

terdapat beberapa kelemahan. Kerja bukanlah komoditi sebagaimana komoditi

171 Asas kebebasan berkontrak ini terdapat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yangmenentukan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagimereka yang membuatnya”.

Page 135: Mogok Kerja Oleh serikat

129

perdagangan yang terdapat dalam toko-toko di pasar. Kerja merupakan aktualisasi

secara konkrit atas segenap kemampuan yang dimiliki manusia. Kerja yang

dijalani buruh dalam proses produksi telah memberikan tambahan nilai pada

produk yang dihasilkan. Sehingga jikapun kerja dianggap sebagai obyek transaksi

antara buruh dengan pengusaha, maka upah seharusnya setara dengan

keterampilan dan nilai yang dihasilkan dari kerja itu sendiri. Namun tidak

demikian pada prakteknya, yang terjadi adalah upah yang ada dibayarkan hanya

sebatas sebagai pengganti tenaga yang dikeluarkan dan hanya cukup untuk

bertahan hidup.

2. Pergeseran dari Ranah Privat Menjadi Publik

Masalah di seputar hubungan industrial pada masa sekarang ini telah

mengalami pergeseran. Masalah perburuhan bukan lagi sebatas sebagai masalah

yang sifatnya individual dan hanya merupakan urusan internal antara buruh

dengan orang yang memperkerjakannya —sebagaimana pandangan yang kembali

dianut oleh rezim global saat ini, akan tetapi lebih merupakan persoalan yang

berkaitan dengan struktur-struktur yang terdapat dalam masyarakat. Selain itu,

hampir semua aspek kehidupan manusia dewasa ini mempunyai saling keterkaitan

yang erat antara yang satu dengan yang lainnya. Melalui produk dan aktivitasnya,

industri telah menjadi kekuatan yang memberikan pengaruh terhadap

keberlangsungan aktivitas manusia sehari-hari. Bahkan dalam perkembangannya,

industri turut juga memberikan pengaruh terhadap kekuatan dan masalah-masalah

social, ekonomi dan politik suatu negara. Sehingga menjadi masuk akal apabila

Page 136: Mogok Kerja Oleh serikat

130

pada gilirannya diperlukan keterlibatan pihak ketiga dalam hubungan industrial,

dalam hal ini pihak ketiga tersebut tidak lain adalah negara. Kondisi yang terjadi

di Eropa, khususnya Inggris, pada masa lalu dapat dijadikan cermin.

Sebagaimana telah tercatat dalam sejarah bahwa Revolusi Industri di Inggris

yang ditandai dengan penemuan mesin, telah membawa konsekuensi perubahan

struktur dan tatanan masyarakat. Dari masyarakat agraris menjadi masyarakat

industri; dari sistem masyarakat feodal menjadi sistem kapitalis. Mesin-mesin

yang baru ditemukan tersebut menggantikan tenaga manusia dalam aktivitas

produksi industri tekstil 172 . Loncatan besar dibidang ilmu pengetahuan dan

teknologi ini segera diikuti kebijakan konversi pemanfaatan lahan secara besar-

besaran dari lahan pertanian menjadi tempat pemeliharaan hewan oleh Pemerintah

Inggris.173 Sehingga penemuan dan pemanfaatan mesin telah membuat aktivitas

produksi dalam skala besar-besaran dan massal pada industri tekstil menjadi

murah dan mudah. Namun, hanya segelintir orang saja yang mampu membeli atau

memiliki mesin-mesin tersebut, yakni kaum pedagang. Dengan demikian, manfaat

dan keuntungan atas penemuan mesin hanya dinikmati secara optimal oleh kaum

pedagang yang kemudian menjelma menjadi kelas baru yang mempunyai

pengaruh cukup besar dalam sistem sosial dan politik serta mampu melakukan

intervensi dalam pengambilan beragam kebijakan oleh pemerintah.

Meskipun pada dasarnya bentuk dan kondisi hubungan industrial tetap

bergantung pada pihak buruh dan pengusaha. Akan tetapi, kehadiran kekuatan

172 Mesin yang pertama kali ditemukan atau diciptakan adalah mesin pemintalan benang,sehingga pada masa itu hanya sebatas industri tekstil yang mengalami perubahan teknik produksidan “menikmati” penemuan mesin.

173 Siregar, A. Madjid, Ibid. Halaman 57.

Page 137: Mogok Kerja Oleh serikat

131

negara juga tetap mempunyai pengaruh baik untuk mencegah eksploitasi buruh

lebih dalam, atau menjembatani kepentingan buruh dan pengusaha walaupun

mungkin dalam taraf tertentu tidak signifikan, atau bisa jadi malah kian

mempertajam praktek-praktek eksploitasi terhadap buruh.

Pada persoalan di sekitar pengupahan, hal yang menjadi cukup berarti

adalah kekuatan dari serikat buruh/serikat pekerja. Fluktuasi naik turun tingkat

upah di samping ditentukan oleh kondisi sosial ekonomi suatu negara, juga

dipengaruhi oleh keberadaan dan kemampuan organisasi buruh. 174 Naiknya

tingkat upah, perbaikan kesejahteraan dan kondisi kerja di sejumlah negara,

terutama negara maju, disebabkan oleh meningkatnya peran dan kemampuan serta

independensi serikat buruh dalam mengelola dan memperjuangkan kepentingan

anggotanya. Begitu juga soal menurunnya tingkat upah dan kesejahteraan buruh

secara umum, seringkali dilatarbelakangi oleh melemahnya serikat buruh baik

secara organisatoris maupun politik. Serikat buruh yang kuat secara politis,

mampu membuat afiliasi politik dengan partai-partai politik yang mempunyai

wakil di parlemen sehingga mempunyai kekuatan yang efektif untuk menekan

pemerintah guna memenuhi aspirasi kaum buruh dan meningkatkan kesejahteraan

kaum buruh.175 Dengan demikian, pada tataran tertentu, tuntutan buruh berubah

menjadi tuntutan politik.

Pada suatu kondisi di mana antara kekuatan buruh dan pengusaha seimbang;

organisasi buruh mampu menandingi posisi tawar yang dimiliki oleh para pemilik

174 Lihat: Markam, Roekmono, 1981, Masalah Pengupahan Di Dalam HubunganPerburuhan, Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, halaman 1.

175 Siregar, A. Madjid, Op. Cit. Halaman 68.

Page 138: Mogok Kerja Oleh serikat

132

modal, terdapat dua skenario yang mungkin terjadi. Pertama, konfigurasi

hubungan industrial yang ada mencerminkan hubungan industrial yang

demokratis, antara buruh dan pengusaha dapat menciptakan kompromi yang

didasari tawar-menawar yang rasional, sehingga memungkinkan terciptanya dasar

bagi industrialisasi yang tangguh. Kedua, konflik hubungan industrial akan

menajam, sehingga di satu sisi bisa jadi akan menyebabkan larinya modal atau

investasi dari suatu negara ke negara lainnya. Namun demikian, kedua skenario

tersebut tidak selalu terjadi pada semua tempat (negara). Dari pengalaman sejarah

selama ini, skenario yang pertama, cenderung hanya terjadi pada negara-negara

industri maju, sedangkan skenario kedua cenderung terjadi pada negara-negara

dunia ketiga.

Dari pengalaman sejarah itulah Indonesia dan negara-negara dunia ketiga

lainnya, yang saat ini masih memasuki tahap awal industrialisasi, kebanyakan

menerapkan kebijakan ketenagakerjaan yang pada intinya adalah bertujuan untuk

mencegah dan meredam radikalisasi gerakan buruh. Di Indonesia, terutama pada

masa Orde Baru, terdapat banyak kebijakan yang berwatak anti-buruh, yang

sebagian telah penulis sebutkan pada Bab II, dan diantaranya adalah:

a. Kebijakan organisasi tunggal bagi buruh. Hanya Federasi Buruh Seluruh

Indonesia (FBSI) yang kemudian berubah nama menjadi Serikat Pekerja

Seluruh Indonesia (SPSI) pada tanggal 11 Maret 1974 dikukuhkan

sebagai satu-satunya organisasi buruh yang sah dan legal.176 Sejak 1970-

176 Pada saat itu, penunggalan organisasi buruh masih dalam proses, hal ini disebabkankarena masih adanya Peraturan Menteri Perburuhan No. 90/1955 Tentang Pendaftaran Serikat-serikat Buruh. Baru pada tahun 1975, peraturan menteri tersebut dicabut dengan menerbitkanPeraturan Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi No. 01/1975 Tentang Pendaftaran

Page 139: Mogok Kerja Oleh serikat

133

an hingga kejatuhan rezim Orde Baru pimpinan Soeharto, buruh

dihambat oleh sistem korporatis yang sangat otoriter yang hanya

memberikan ruang kepada satu federasi serikat buruh sah bikinan

pemerintah, dan yang secara maya (virtual) melarang aksi industrial atas

nama kesatuan dan persatuan nasional.

Serikat pekerja, yang pada masa awal kekuasaan Orde Baru, secara

efektif dilarang, akhirnya dibangkitkan kembali dengan paradigma yang

baru, yang sesuai dengan keinginan rezim penguasa. Dari sudut pandang

ini, keberadaan serikat buruh ibarat kepingan uang logam yang memiliki

dua sisi yang kontradiktif; bersifat berbahaya dan perlu. Dianggap

berbahaya karena serikat buruh dikhawatirkan dapat melahirkan gerakan

buruh yang kuat, menghasilkan upah dan kondisi pekerjaan yang lebih

baik. Namun demikian, serikat buruh tetap diperlukan oleh karena bisa

menjadi suatu struktur efektif untuk mengorganisasikan buruh dalam

kerangka untuk membatasi kenaikan upah.177 Dengan kata lain, serikat

Serikat Buruh. Namun demikian, sebenarnya pada masa Orde Baru, tidak terdapat larangan bagiburuh untuk mendirikan organisasi buruh diluar SPSI, namun tetap saja organisasi buruh selainSPSI seperti Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI), tidak dapat menjadi organisasi buruh yangsah dan legal. Hal ini tidak lain karena untuk menjadi serikat buruh yang sah dan legal, harusmemenuhi sejumlah persyaratan yang hampir mustahil untuk dilaksanakan. PeraturanMennakertrans dan Koperasi No. 01/1975 menentukan bahwa organisasi buruh yang dapatmendaftar di Departemen Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi ialah organisasi buruh yangberbentuk gabungan serikat buruh yang mempunyai pengurus sekurang-kurangnya di 20 propinsidan mempunyai anggota sekurang-kurangnya 15 serikat buruh. Jikalau ada organisasi buruhalternatif yang berpotensi mampu memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan, makasegera akan mendapatkan tindakan-tindakan tertentu dari pemerintah supaya organisasi yangbersangkutan tidak dapat memenuhi seluruh persyaratan. Dengan kata lain, secara de factopemerintah menganut paham organisasi tunggal dan menerapkan upaya-upaya sistematis melaluikolaborasi instrumen hukum dengan tindakan-tindakan inkonstitusional untuk menghalangilahirnya organisasi/serikat buruh alternatif.

177 Fenwick, Colin et all, Op. Cit., halaman 3-13.

Page 140: Mogok Kerja Oleh serikat

134

buruh digunakan untuk memanipulasi kaum buruh untuk terciptanya

sistem yang dapat menjamin praktek kebijakan upah rendah dan kondisi

ketenagekerjaan yang dapat dikendalikan. Keputusan Menteri Tenaga

Kerja No. 3/1993 merupakan salah satu contoh perangkat hukum produk

pemerintahan Orde Baru yang mengatur serikat buruh agar selalu dapat

dikendalikan sesuai agenda kepentingan pemerintah.

b. Pelibatan angkatan bersenjata/militer dalam setiap permasalahan yang

menyangkut buruh dan hubungan industrial. Instrumen hukum seperti

Kepmennaker No. 342/1986, Permennaker No. 62/1993 dan

Kepmennaker No. 15A/1994, telah memberikan peluang dan keleluasaan

penggunaan cara-cara dan melibatkan militer dalam menyelesaikan

masalah hubungan industrial dan mensubordinasikan buruh ke dalam

modal. Keterlibatan militer ini dalam beragam bentuk, tetapi yang paling

utama adalah tindakan represif, teror dan intimidasi kepada kaum buruh.

Khusus soal represi dan koersi aparat negara dalam masalah perburuhan,

sebenarnya bukan watak khas yang hanya dimiliki oleh Orde Baru atau

rezim-rezim otoriter di negeri-negeri yang pernah menjadi negeri

jajahan, yang sedang gencar-gencarnya menggalakkan industrialisasi.

Pada masa lampau, buruh-buruh di Eropa juga mengalami hal yang

sama, yaitu menghadapi berbagai bentuk represi yang dilancarkan oleh

polisi dan militer, dalam memperjuangkan hak-hak yang sekarang ini

relatif mereka nikmati, yakni kebebasan dan demokrasi di tingkat pabrik,

Page 141: Mogok Kerja Oleh serikat

135

upah dan kondisi kerja yang layak, serta kesejahteraan yang memadai

bagi pelaksanaan kehidupan yang layak bagi kemanusiaan.178

c. Memberikan stigma “komunis” kepada setiap pihak baik organisasi

maupun perseorangan yang bersimpati dan mempunyai keberpihakan

kepada buruh. 179 Pemberian stigma “komunis” merupakan awal dari

tindakan pembungkaman yang “legal”; pemerintah seakan mempunyai

mandat dan wewenang untuk bertindak apapun terhadap seseorang yang

berideologi komunis.

d. Penggunaan instrumen hukum pidana yang ditujukan kepada buruh

sebagai bagian dari upaya mematahkan aksi-aksi gerakan buruh.

Terhadap aksi buruh menuntut hak-hak normatif, seringkali pemerintah

melalui aparatusnya memberikan bermacam tuduhan sehingga

memungkinkan untuk diproses secara pidana. Tuduhan tersebut biasanya

adalah tindakan subversif; perbuatan yang mengganggu ketertiban dan

ketentraman umum.180

178 Laporan Khusus Prisma No. 4 tahun XXIII, April 1994, “Pasang Naik GelombangPemogokan dan Politik Perburuhan”, LP3ES, Jakarta, halaman 48.

179 Salah satu contoh pihak (organisasi) yang mendapatkan perlakuan stigmatisasi “komunis”adalah Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang dalam manifesto politiknya menyebutkan secarajelas dan tegas bahwa PRD adalah organisasi massa yang berorientasi dan berbasiskan massaburuh.

180 Kasus yang menimpa Mochtar Pakpahan pada tahun 1994 yang dikenal dengan istilah“kasus medan” bisa menjadi salah satu contoh konkrit penggunaan instrumen hukum pidana dalambidang hubungan industrial. Fenomena penggunaan instrumen hukum pidana ini masih terusberlangsung meski rezim Orde Baru telah tumbang. Kasus “sandal bolong” yang menimpa seorangburuh perusahaan milik investor asal Korea Selatan, ditengarai banyak pihak sebagai penggunaaninstrumen hukum pidana untuk menyelesaikan masalah di dalam hubungan industrial.Sebagaimana diberitakan luas oleh sejumlah media massa pada tahun 2000 buruh-buruh PT OsagaMas Utama, perusahaan asal Korea Selatan melakukan mogok kerja yang menuntut perusahaanagar melaksanakan kewajiban menurut paraturan perundang-undangan, yaitu jaminan kesehatanpekerja/buruh. Pada saat mogok sedang berlangsung, tepatnya 4 September 2000, seorang buruhyang bernama Hamdani ditahan dan dituduh mencuri sepasang sandal milik perusahaan yang telah

Page 142: Mogok Kerja Oleh serikat

136

Kebijakan-kebijakan tersebut di atas merupakan strategi yang dijalankan

guna menjaga gerak roda program industrialisasi nasional. Pada kenyataannya,

penerapan kebijakan yang anti-buruh dan didukung dengan beragam fasilitas

insentif pemerintah telah berhasil menarik masuk investasi dalam jumlah yang

besar. Berikutnya program industrialisasi dan akumulasi modal pun mencapai

kemajuan (tapi semu) dan menempati posisi yang strategis dalam dinamika

perekonomian.

3. Kebijakan Upah Murah dan Industrialisasi Kapitalis

Dari beragam kebijakan yang memarjinalkan dan menindas buruh,

kesemuanya bermuara pada satu tujuan, yaitu memperlemah posisi dan daya tawar

buruh sehingga pada akhirnya mewujudkan tenaga kerja murah. Kebijakan politik

upah murah diterapkan sebagai strategi untuk menampung kepentingan negara-

negara kaya dan maju memupuk pertumbuhan ekonominya. Di dalam upaya

mempertahankan dan meningkatkan pertumbuhan ekonominya, negara-negara

maju melakukan perambahan ke negara-negara berkembang di dunia.

Sebagaimana diungkapkan oleh Michael P Todaro yang menyatakan:

[…] kecenderungan negara-negara kaya untuk secara terus menerusberusaha merambah dan merentangkan sayapnya ke negara-negara lainnya,yaitu negara-negara miskin dan negara-negara berkembang di dunia gunamemperoleh sumber pasokan produk primer dan bahan baku, tenaga kerjayang murah untuk kegiatan produksi […]181

usang dan bolong ketika meminjam sandal tersebut untuk menjalankan sholat Jum’at. Hamdanibermaksud memakai sandal tersebut sebagai pengganti alas kaki sepatu yang kondisinya jauh lebihbagus dibanding sandal yang “dicurinya” untuk wudlu.

(selengkapnya baca: Fenwick, Colin et all, Op. Cit., halaman 28-33)181 Todaro dan Smith, 2003, Economic Development (Eight Edition), terjemahan Haris

Munandar dan Puji A. L., Penerbit Erlangga, Jakarta, halaman 104.

Page 143: Mogok Kerja Oleh serikat

137

Kepentingan negara-negara maju tersebut sejalan dengan kebutuhan negara-

negara berkembang akan aliran modal dari negara-negara kaya. Negara-negara

berkembang membuka keran perekonomian terhadap pihak luar guna

mendatangkan investasi dan aliran masuk modal untuk menggerakkan roda

pembangunan dalam negeri. Disaat yang bersamaan, untuk meningkatkan

pertumbuhan ekonominya, negara-negara maju melakukan ekspansi finance

capital yang dispekulasikan atau diutangkan di beberapa negeri berkembang

karena akumulasi keuntungan sudah tidak dapat diinvestasikan lagi pada sektor

produktif dalam negerinya masing-masing.182

Politik upah murah dan lunaknya perlindungan terhadap buruh menjadi

keunggulan komparatif yang ditawarkan Indonesia kepada negara-negara maju

dalam bersaing dengan negara-negara berkembang lainnya untuk memperebutkan

aliran modal dan investasi dari negara-negara maju. Negara-negara berkembang

terdorong untuk melakukan industrialisasi disebabkan ambisi untuk menciptakan

perkembangan ekonomi dan mengejar ketertinggalan dari negara-negara industri

maju. Pada era modern dewasa ini, industri menempati posisi yang strategis dan

sekaligus menentukan gerak dinamika perekonomian. Tak ada satu pun negara,

kecuali beberapa negara kecil, yang mampu mencapai tahap kematangan ekonomi

tanpa keberhasilan memperkuat sektor industrinya terlebih dahulu.183

182 Oktavianus, Dominggus, “Industrialisasi Nasional dan Cita-cita Kemakmuran”,www.indoprogress.blogspot.com., diakses pada 20 Mei 2007.

183 Basri, Faisal, “Kemelut Industri dan Langkah Penanganannya”, Kompas, edisi 17 Maret2003.

Page 144: Mogok Kerja Oleh serikat

138

3.1 Perubahan Teori Pembangunan “International Division of Labor”

Dorongan untuk melaksanakan program industrialisasi oleh negara-negara

dunia ketiga, diakibatkan berakhirnya “rezim” teori pembangunan: Internastional

Division Labor atau yang lazim dijuluki teori Pembagian Kerja Internasional.

Teori Pembagian Kerja Internasional yang didasarkan pada konsepsi keunggulan

komparatif memberikan kerangka pemikiran untuk memenuhi kebutuhan

masyarakat dengan menekankan kepada masing-masing negara agar melakukan

spesialisasi produk berdasarkan pada kondisi alam masing-masing. Untuk negara

beriklim tropis, yang cocok untuk pertanian, ditekankan untuk melakukan

spesialisasi pada produk pertanian. Sedangkan untuk negara non-tropis,

spesialisasi produknya adalah hasil industri. Hal ini sebagaimana ungkapan Arief

Budiman:

Kalau negara-negara utara bergerak dibidang pertanian, sedangkan negara-negara yang terletak di khatulistiwa bergerak dibidang industri, ongkosproduksinya akan lebih mahal. Hal ini disebabkan karena dibutuhkaninvestasi dibidang industri bagi negara-negara di khatulistiwa, dandibutuhkan investasi untuk menyuburkan tanah dan melawan musim dinginbagi negara-negara utara.184

Menurut Teori Pembagian Kerja Internasional ini, dengan adanya

spesialisasi pada masing-masing negara, perdagangan internasional akan saling

menguntungkan masing-masing negara. Negara-negara non-tropis (negara-negara

utara) akan mendapatkan produk pertanian secara lebih murah daripada

memproduksi sendiri, begitu juga negara-negara tropis (negara-negara yang

berada di sekitar garis khatulistiwa), akan dapat membeli barang-barang industri

184 Budiman, Arief, 1995, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Gramedia Pustaka Utama,Jakarta, halaman 16

Page 145: Mogok Kerja Oleh serikat

139

secara lebih murah. 185 Sehingga pada akhirnya, kesejahteraan akan tercapai,

karena rakyat pada masing-masing negara tersebut dapat menikmati barang-

barang dengan harga relatif murah.

Namun, asumsi yang dibangun oleh Teori Pembagian Kerja Internasional

tersebut didasarkan pada sebuah kondisi di mana perdagangan bebas terjadi.

Sehingga apabila ditinjau dari neraca perdagangan antara negara industri dan

negara pertanian, kenyataan yang dilahirkan dari teori tersebut kemudian adalah

penampakan menguntungkan negara-negara yang mengkhususkan diri dibidang

industri; negara-negara yang menspesialisasikan pada bidang industri

meninggalkan negara-negara pertanian.

Terhadap kenyataan ini, banyak tokoh dan teori yang dikembangkan

kemudian yang berusaha menjelaskan mengapa Teori Pembagian Kerja

Internasional gagal menjawab persoalan dan menyebabkan negara-negara

pertanian tertinggal dengan negara-negara industri. Salah satu teori yang berusaha

memberi penjelasan atas fenomena ketertinggalan negara pertanian dengan negara

industri adalah Teori Ketergantungan dengan Raul Prebisch 186 sebagai salah

seorang pemikirnya.

Menurut Prebisch, sebagaimana dikutip oleh Arief Budiman, kegagalan

konsepsi yang dibangun dalam teori pembagian kerja internasional untuk

185 Ibid.186 Raul Prebisch dianggap sebagai pencetus pertama Teori Ketergantungan melalui

karyanya yang berjudul The Economic Development of Latin America and its Principal Problemsyang diterbitkan pada tahun 1950 dan kemudian dikenal sebagai Manifesto ECLA. Raul Prebischmembagi negara-negara di dunia ke dalam dua kategori: negara–negara pusat, yaitu negara-negaraspesialisasi industri, dan negara-negara pinggiran, yaitu negara-negara yang mempunyaispesialisasi bidang pertanian.

(lihat: Ibid. halaman 44-45)

Page 146: Mogok Kerja Oleh serikat

140

mewujudkan perdagangan antar negara yang saling menguntungkan antara negara

industri dan negara pertanian, adalah karena tidak memperhitungkan atau

memprediksikan penurunan nilai tukar dari komoditi pertanian terhadap barang-

barang produk industri187. Oleh Prebisch, penurunan nilai tukar hasil pertanian

terhadap produk industri dijelaskan sebagai akibat dari: permintaan terhadap

produk pertanian tidak elastis. Dalam hal ini teori yang dibangun Engels mampu

memberi penjelasan yang memadai dengan menyatakan bahwa pendapatan yang

meningkat menyebabkan prosentase konsumsi makanan terhadap pendapatan

justru menurun; pendapatan yang naik bukan menaikkan tingkat konsumsi untuk

makanan, melainkan menaikkan konsumsi produk industri.188

Konsekuensi ekonomis yang ada dari faktor ini kemudian adalah anggaran

yang digunakan untuk mengimpor barang produk industri oleh negara-negara

pertanian akan semakin besar, sedangkan pendapatan dari hasil ekspor kepada

negara-negara industri relatif tetap dan bahkan menurun. Penurunan pendapatan

ekspor negara-negara pertanian diakibatkan oleh kemajuan teknologi dan ilmu

pengetahuan yang dicapai oleh negara-negara industri, telah memudahkan negara

yang bersangkutan untuk meningkatkan kapasitas sektor pertanian dalam negeri

mereka.

Atas dasar analisisnya ini, Raul Prebisch kemudian melontarkan pendapat

bahwa negara-negara pertanian dan negara-negara dunia ketiga lainnya harus

melakukan industrialisasi apabila mau membangun dirinya dan mengejar

187 Ibid.188 Ibid.

Page 147: Mogok Kerja Oleh serikat

141

ketertinggalannya dengan negara-negara maju.189 Namun tentu tidak mudah bagi

negara-negara pertanian untuk beralih pada bidang industri. Banyak kendala yang

sifatnya kultural maupun struktural dalam rangka menuju industrialisasi. Pada

tataran ini, kecenderungan atas pilihan yang diambil oleh negara-negara pertanian,

yang kini umumnya disebut sebagai negara-negara berkembang atau negara-

negara dunia ketiga, adalah mengandalkan modal dan investasi yang berasal dari

negara-negara industri maju.

Pilihan alternatif selain dari menggabungkan diri dengan gerak kapitalis

internasional―kapitalis yang berasal dari negara-negara industri maju, yaitu

membangun kekuatan produksi (industrialisasi) sendiri, meskipun secara teoritis

memungkinkan, namun hal itu sangat sukar untuk dikembangkan. Kendala utama

yang dihadapi apabila hendak membangun kekuatan produksi sendiri bagi negara-

negara dunia ketiga adalah membutuhkan modal yang sangat besar dan teknologi

yang memadai serta harus berjuang keras untuk mendapatkan pangsa pasar dunia

pada saat pasar dunia sudah dikuasai oleh perusahaan-perusahaan multinasional190

yang berasal dari negara-negara maju.

Dengan demikian, bagi negara-negara berkembang dan negara-negara dunia

ketiga lainnya, hal yang memungkinkan untuk diambil dalam rangka

menggerakkan roda pembangunan dalam negeri adalah melakukan perubahan

kebijakan dari perekonomian tertutup menjadi perekonomian terbuka. Serta

melakukan deregulasi pada sektor finansial guna menampung aliran modal dari

negara-negara maju yang masuk dalam bentuk utang dan penanaman investasi.

189 Ibid.190 Ibid.

Page 148: Mogok Kerja Oleh serikat

142

Sedangkan pada tataran praksisnya ialah mengaitkan sektor ekonomi dengan

operasi modal asing melalui kerja sama dengan perusahaan-perusahaan

multinasional (Multi National Corporations―MNCs) dan perusahaan-perusahaan

trans-nasional (Trans National Corporations―TNCs).191

Sebagai konsekuensi atas bergantungnya pada modal asing, industri-industri

yang dikembangkan melalui program industrialisasi tidak memiliki landasan

kemandirian. Sebagai akibatnya, pemerintah dari negara-negara dunia ketiga

mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan dan menjaga

kelangsungan operasi modal asing di negara yang bersangkutan. Dengan

demikian, gerak modal internasional yang fleksibel telah menempatkan modal

memiliki kekuasaan struktural yang lebih baik ketika berhadapan dengan negara

yang tidak bergerak dan tenaga kerja nasional yang statis.192

Dengan menggunakan analisis yang dikembangkan oleh Fred Block,

seorang intelektual penganut teori struktural yang memberi perhatian tentang

eksistensi negara dan keterkaitannya dengan kapitalisme, yang menyatakan,

sebagaimana dikutip oleh Arief Budiman, bahwa negara dalam sistem kapitalisme

hanya bisa membiayai program-program dan kebijakan-kebijakannya kalau ada

pemasukan yang cukup dari pajak yang terutama di dapat dari sebagian laba yang

diciptakan oleh kaum borjuis. 193 Maka dalam kondisi seperti ini, negara

disyaratkan mampu menciptakan suasana bisnis yang baik (business confidence),

yang salah satunya adalah kondisi di mana upah buruh dapat ditekan serendah

191 Ibid.192 Hadiz, Vedi R., Op. Cit.193 Budiman, Arief, Op. Cit.

Page 149: Mogok Kerja Oleh serikat

143

mungkin tetapi tidak mengakibatkan pemogokan atau bentuk-bentuk resistensi

buruh lainnya yang dapat menghambat produksi194. Alat untuk mencapai salah

satu diantara beberapa prasyarat terwujudnya kondisi perburuhan yang

menguntungkan bagi terciptanya business confidence adalah melalui penerapan

kebijakan upah minimum.

3.2 New International Division of Labor

Dari situasi semacam itu, pelaku perdagangan internasional berubah dari

perdagangan antar negara menjadi perdagangan yang dilakukan oleh perusahaan-

perusahaan multinasional dan trans-nasional. Pandangan lama yang menyatakan

bahwa persaingan perdagangan internasional merupakan persaingan antar negara,

telah mengalami pergeseran. Bergesernya pelaku persaingan dalam perdagangan

internasional dari negara menjadi perusahaan-perusahaan multinasional dan

perusahaan trans-nasional, membawa implikasi tertentu. Faktor produksi yang

semula dilakukan secara terintegrasi pada suatu negara, berkembang dan tersebar

diseluruh dunia, melewati batas-batas negara guna mencapai efisiensi dan

keuntungan yang maksimal. Globalisasi produksi kemudian menjadi sesuatu yang

tidak terelakkan.

Globalisasi produksi mencakup penyebaran kegiatan produksi ke lokasi-

lokasi yang dianggap paling menguntungkan di seluruh dunia dengan tetap dapat

mengendalikan proses produksi dari suatu tempat pengendalian. Sehingga negara-

negara berkembang pun muncul menjadi pusat-pusat produksi dalam

194 Lihat: Budiman, Arief, 1996, Teori Negara (Negara, Kekuasaan dan Ideologi), GramediaPustaka Utama, Jakarta, halaman 68-69

Page 150: Mogok Kerja Oleh serikat

144

industrialisasi dewasa ini, menggantikan sebagian peran dari negara-negara

industri maju pada periode sebelumnya. Penyebab utama negara berkembang

menjadi pusat produksi baru adalah tersedianya tenaga kerja yang melimpah

dengan upah yang rendah serta bersedia melakukan pekerjaan dalam kondisi

apapun.195

Globalisasi produksi ini salah satunya dipicu oleh perkembangan teknologi

yang berhasil dicapai manusia. Penemuan dan inovasi baru dibidang teknologi,

terutama teknologi komunikasi, telah memberi kemudahan kepada para pelaku

ekonomi internasional untuk melakukan koordinasi dalam hal melakukan kegiatan

ekonomi dan produksi yang berada pada wilayah lain.

Kendati negara-negara berkembang menggantikan peran yang sebelumnya

dipegang oleh negara-negara industri maju, yaitu sebagai basis produksi, akan

tetapi kegiatan produksi tersebut tidak dapat dikontrol sepenuhnya oleh negara

tempat produksi dilakukan. Kontrol terhadap kegiatan produksi tetap dipegang

sepenuhnya oleh perusahaan-perusahaan multinasional dan trans-nasional yang

tetap menempatkan induk perusahaannya di negara-negara maju.

Demikian juga terhadap keuntungan yang dihasilkan dari kegiatan produksi

di negara-negara berkembang, sebagian besar laba yang diperoleh dibawa oleh

perusahaan yang besangkutan kembali ke negara-negara maju tempat induk

perusahaan multinasional atau trans-nasional berdomisili. Sehingga pada

kenyataannya, kondisi umum dan kesejahteraan masyarakat negara-negara

berkembang yang menjadi tempat basis produksi tidak mengalami perbaikan yang

195 Tjandraningsih, I., dan Puspitaningrum, M. D. D., “Modal Bergerak, Serikat Terserak:Perubahan Situasi Perburuhan dan Tantangan Gerakan Buruh di Indonesia”, Jurnal AnalisisSosial, Volume 10 No. 1 Juni 2005, Yayasan AKATIGA, Bandung, halaman 72.

Page 151: Mogok Kerja Oleh serikat

145

berarti. Jikapun mengalami perbaikan, hal itu sifatnya semu, karena semuanya

bergantung pada kehendak dari perusahaan-perusahaan multinasional dan trans-

nasional yang memiliki pabrik atau memberikan order produksi kepada

perusahaan-perusahaan domestik negara-negara berkembang.

Fenomena ini sebenarnya terjadi tidak dapat dilepaskan dari diperbaruinya

konsep atau model pembagian kerja internasional. Jika pada teori model

pembagian kerja internasional lama untuk menghasilkan produk yang murah

produksi harus dilakukan secara spesialisasi menurut kondisi geografisnya

(keadaan alam), maka pada masa sekarang ini tidak demikian konsepsi yang

dianut. Hal yang berlaku adalah produksi harus dilakukan di daerah (negara) yang

secara perhitungan matematis-bisnis biaya produksinya rendah, yaitu daerah

surplus tenaga kerja di mana persaingan antar buruh maupun antara buruh dan

para pencari kerja tajam sehingga tingkat upah dapat ditekan serendah mungkin,

organisasi buruh tidak terlalu kuat, gerakan konsumen dan gerakan lingkungan

masih lemah. 196 Oleh karena itu disebut dengan model pembagian kerja

internasional baru (new international division of labor).

Perubahan dalam hal restruktuisasi dan reorganisasi produksi yang sedang

terjadi sekarang pada intinya untuk tetap menjaga tercapainya elemen-elemen

kunci kapitalisme, yakni tujuan keuntungan, akumulasi, perluasan produksi,

sirkulasi hingga akhirnya perluasan pasar.197 Dalam kerangka kerja kapitalisme,

196 Thamrin, Juni, “Upah, Tingkat Hidup dan Kondisi Kerja Buruh Industri Manufaktur PadaMasa Orde Baru”, dalam: Wibawa, Aris (penyunting), 1998, Menuju Hubungan PerburuhanDemokratik, Lapera-Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Atma Jaya Yogyakarta,Yogyakarta, halaman 44.

197 Tjandraningsih, I., dan Puspitaningrum, M. D. D., Op. Cit. halaman 71-72

Page 152: Mogok Kerja Oleh serikat

146

modal ditujukan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Gerak

modal dan investasi akan selalu menuju pada wilayah atau daerah yang paling

cepat dan paling menguntungkan untuk mendulang laba sebanyak-banyaknya.

Sehingga tidak mengherankan apabila perusahaan-perusahaan multinasional

mempunyai tempat atau basis produksi di banyak tempat. Dengan membuka

pabrik di negara-negara berkembang, perusahaan-perusahaan multinasional dan

trans-nasional berikhtiar membuka dan merebut pasar di negara yang

bersangkutan dan negara-negara sekelilingnya serta pasar internasional secara

umum.

Konsep New International Division of Labor menjelaskan berbagai cara

pengorganisasian proses produksi secara global, yang melahirkan pembagian

peran negara-negara kaya sebagai pemilik modal dan negara-negara miskin

sebagai penyedia tenaga kerja murah. 198 Selain itu, konsep Pembagian Kerja

Internasional Baru semakin menegaskan bahwa kelangsungan hidup dan

kemampuan perusahaan untuk mencapai akumulasi modal serta mencapai

keuntungan dalam sistem ekonomi pasar hanya dapat dijamin melalui relokasi

produksi ke lokasi industri baru yang buruhnya murah, melimpah dan mudah

diatur.199 Dengan demikian, konsep ataupun model Pembagian Kerja Internasional

Baru pada dasarnya semakin membuktikan bahwa watak pelaku ekonomi dalam

sistem ekonomi pasar tidak pernah berubah, yaitu mencari keuntungan yang

sebesar-besarnya dan memperkecil resiko.200

198 Ibid. halaman 72.199 Ibid. halaman 73.200 Iskandar, A. Muhaimin, Op. Cit. halaman 94.

Page 153: Mogok Kerja Oleh serikat

147

B. Tinjauan Umum Tentang Kebijakan Upah Minimum

1. Tujuan Kebijakan Upah Minimum

Intervensi negara yang berwujud aneka kebijakan tidak lain adalah bentuk

campur tangan secara langsung dalam struktur maupun mekanisme pasar tenaga

kerja. 201 Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dalam rangka

intervensi langsung terhadap pasar tenaga kerja dan hubungan industrial, secara

formal-normatif bertujuan untuk melindungi buruh dari eksploitasi yang

berlebihan serta untuk mengangkat kesejahteraan buruh. Demikian juga dalam hal

diterapkannya kebijakan upah minimum.

Upah minimum merupakan salah satu materi yang penuh muatan politis

dalam kebijakan tenaga kerja. Di banyak negara, kebijakan upah minimum

digunakan oleh pemerintah setempat untuk tujuan-tujuan membuat kebijakan

ekonomi dan kebijakan sosial.

Upah minimum dianggap sebagai salah satu alat kebijakan sosial pentingdan dampak-dampak potensialnya terhadap pengentasan kemiskinan ataupengurangan jumlah penduduk miskin dan ketidakseragaman dalampembayaran upah seringkali disebut-sebut sebagai alasan-alasan pentingbagi pemberlakuan kebijakan ketentuan upah minimum dan penerapannyasecara efektif.202

Sebagai sebuah kebijakan sosial-ekonomi, kebijakan upah minimum

setidaknya mempunyai 4 (empat) peranan dasar, yaitu:

a. Memberikan perlindungan bagi sejumlah kecil pekerja/buruh

berpenghasilan rendah yang dianggap rentan dalam pasar kerja;

201 Thamrin, Juni, Op. Cit.202 Das, Maitreyi Bordia, 2004, Dampak Kebijakan Upah Minimum Terhadap Pasar Tenaga

Kerja: Kasus Timor-Leste Dalam Perspektif Komparatif, Bank Dunia-Timor Leste, Dili, hal 9.

Page 154: Mogok Kerja Oleh serikat

148

b. Menjamin pembayaran upah yang dianggap wajar, yang tidak terbatas

pada kategori pembayaran upah terendah;

c. Memberikan perlindungan dasar pada struktur upah sehingga merupakan

jaring pengaman terhadap upah yang terlalu rendah;

d. Sebagai instrumen kebijakan makro-ekonomis untuk mencapai tujuan

nasional berupa pertumbuhan dan stabilitas ekonomi, serta pemerataan

penghasilan.

Dari berbagai praktek penerapan kebijakan upah minimum di negara-negara

di dunia, terdapat 4 (empat) pola dasar mekanisme dan prosedur yang digunakan

untuk menetapkan ketentuan upah minimum, yaitu203:

a. Mekanisme di mana keputusan kunci dilakukan oleh legislator; tingkat

upah minimum ditetapkan melalui proses legislasi, yaitu dicantumkan

dalam UU.

b. Keputusan pemerintah (eksekutif).

Dalam hal ini pemerintah (eksekutif) berdasar suatu peraturan hukum

(undang-undang) diberi kekuasaan untuk menetapkan tingkat upah

minimum & ruang lingkupnya. Upah minimum ditetapkan melalui

instruksi, peraturan, atau keputusan. Pada prakteknya seringkali

pemerintah berkewajiban melakukan konsultasi lebih dahulu dengan

lembaga konsultatif Tripartit.

203 ILO, Op. Cit., halaman 77-81; Rachman, Hassanudin, “Kebijakan Penetapan UMP DKIJakarta Sebagai Sarana Terciptanya Stabilitas Dalam Hubungan Industrial Sesuai KemampuanPerusahaan di Wilayah Propinsi DKI Jakarta”, makalah pada seminar Pengaruh PengupahanSebagai Langkah Strategi Stabilitas Dalam Hubungan Industrial, Jakarta, 7 April 2005.

Page 155: Mogok Kerja Oleh serikat

149

c. Keputusan oleh suatu dewan dengan kekuasaan memberi rekomendasi

dan/atau mendelegasikan tugas persiapan ketentuan upah minimum

kepada lembaga-lembaga yang dibentuk, yang berfungsi:

1) Merekomendasi tingkat upah minimum yang akan diputuskan

pemerintah;

2) Menetapkan tingkat upah minimum yang dapat dimodifikasi

pemerintah;

3) Pemerintah tidak bisa mengubah usulan ketentuan besaran upah

minimum yang dibuat oleh dewan, melainkan hanya bisa menerima

atau menolak usulan dewan tersebut.

4) Dewan di beri wewenang mengeluarkan keputusan upah minimum,

sambil menunggu pengesahan pemerintah.

d. Keputusan oleh dewan dengan kewenangan pembuatan keputusan final.

Dewan diberi tanggung jawab penuh dari pemerintah untuk

mempersiapkan proposal upah minimum serta menetapkan tingkat

minimum, dan aspek-aspek lain dari kebijakan pengupahan.

Dari 4 (empat) pola dasar mekanisme dan prosedur yang digunakan untuk

menetapkan ketentuan upah minimum tersebut di atas, Indonesia menggunakan

mekanisme pengambilan keputusan oleh eksekutif (pemerintah) dengan tambahan

bahwa di dalam menetapkan upah minimum harus mempertimbangkan usulan dari

lembaga non-struktural yang sifatnya tripartit. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 89

ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang

Page 156: Mogok Kerja Oleh serikat

150

menyebutkan, “Upah Minimum ditetapkan oleh gubernur dengan memperhatikan

rekomendasi Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau bupati/walikota”

2. Kebijakan Upah Minimum Sebagai Sarana Politik Upah Murah

Menurut Pemerintah Indonesia, pelaksanaan dan penerapan ketentuan upah

minimum dalam bidang kebijakan pengupahan di sektor hubungan industrial

bertujuan untuk:

1). untuk menghindari dan/atau mengurangi persaingan yang tidak sehat

antar karyawan/pekerja;

2). untuk menghindari atau mengurangi eksploitasi terhadap buruh oleh

pengusaha;

3). Sebagai jaring pengaman sosial (safety net) untuk menjamin

terpenuhinya kebutuhan hidup;

4). Untuk menghindari atau mengurangi kemiskinan dan kesenjangan

penghasilan;

5). Untuk mendorong peningkatan produktivitas dan motivasi kerja;

6). Untuk meningkatkan daya beli masyarakat yang akan mendorong

pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja; dan

7). Untuk menciptakan hubungan industrial yang lebih aman dan

harmonis.

Pelaksanaan kebijakan upah minimum di Indonesia memang sedikit

menolong kaum buruh dari eksploitasi yang berlebihan oleh para pemilik modal

dan alat produksi. Namun demikian, sisi lain dari kebijakan upah minimum

Page 157: Mogok Kerja Oleh serikat

151

tersebut tetap berada dalam kerangka politik upah murah. Kebijakan upah

minimum diterapkan untuk memperhalus praktek-praktek eksploitasi terhadap

buruh secara vulgar dan sistematis serta diharapkan dapat meredam resistensi

buruh. Pengalaman sejarah yang terjadi di Eropa dan negara-negara maju lainnya

memberikan kesadaran kepada Indonesia bahwa pesatnya proses industrialisasi

yang dicapai Indonesia dan negara-negara lainnya di kawasan Asia Tenggara

dalam beberapa dasawarsa lalu, mempunyai potensi menyediakan banyak kondisi

yang potensial bagi tumbuhnya kelas buruh beserta organisasi buruh radikal, yang

mana hal itu dapat mengancam stabilitas sosial politik dan mengancam

kepentingan penguasa.

Apabila kebijakan upah minimum tidak diterapkan, dikhawatirkan dapat

melahirkan gerakan buruh yang radikal dan kuat sehingga akan mendorong

terwujudnya upah dan kondisi kerja yang lebih baik. Dan, jika hal ini sampai

terjadi dikhawatirkan akan dapat menghambat masuknya investasi. Melalui

kebijakan upah minimum, upah buruh tetap dapat dikontrol dan dibatasi. Hal ini

dapat dibuktikan dengan memperhatikan kondisi ekonomi politik secara

keseluruhan dan kenyataan tidak diikutsertakannya buruh secara partisipatoris

yang sungguh-sungguh partisipatif dalam penentuan upah minimum.

Sebagaimana telah disinggung di muka bahwa hampir tiap tahun di semua daerah,

penetapan upah minimum selalu diwarnai penolakan oleh kalangan buruh.

Fenomena ini adalah bukti bahwa dalam penentuan upah minimum mekanisme

yang tersedia tidak memberikan ruang partisipasi yang luas untuk kalangan buruh.

Penetapan besaran upah minimum merupakan kewenangan pemerintah yang pada

Page 158: Mogok Kerja Oleh serikat

152

praksisnya lebih mengakomodasi kepentingan dan aspirasi para pemilik modal

serta miskin partisipasi yang sungguh-sungguh dari pihak buruh.

3. Kebijakan Upah Minimum di Era Kebebasan Berserikat: Lanjutan

dari Politik Upah Murah

Kebijakan upah minimum sebagai alat politik upah murah masih tetap

berlaku hingga masa sekarang. Meskipun telah lahir kebijakan kebebasan

berserikat yang mengakomodasi eksistensi serikat buruh/serikat pekerja baru,

yang salah satunya bertujuan agar buruh dapat memperjuangkan peningkatan

kesejahteraan, tidak otomatis terbuka ruang bagi serikat buruh/serikat pekerja

untuk terlibat dalam institusi pengupahan pada konteks perumusan besaran upah

minimum.204

Sebagaimana dicatat oleh sejarah bahwa tumbangnya rezim Orde Baru

melalui gerakan reformasi yang kemudian diikuti dengan demokratisasi politik,

turut membawa dampak dalam bidang ketenagakerjaan dan hubungan industrial.

Berakhirnya rezim Orde Baru dibarengi dengan menguatnya tuntutan buruh atas

kebebasan berserikat, sehingga politik organisasi buruh tunggal diakhiri pada

tahun 2000 dengan terbitnya Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 Tentang Serikat

Buruh/Pekerja. Akan tetapi, kebebasan berserikat yang baru muncul ini tidak

dibarengi dengan perubahan dalam tataran regulasi mengenai penetapan upah

minimum. Kebebasan berserikat yang diikuti munculnya banyak serikat buruh di

luar SPSI, tidak disertai dengan mekanisme yang memberi kebebasan yang lebih

204 Puspitaningrum, Maria Dona Dewi, 2004, Op. Cit., halaman 16.

Page 159: Mogok Kerja Oleh serikat

153

luas bagi buruh untuk memperjuangkan kesejahteraannya. Penetapan upah

minimum hingga sekarang ini masih tetap menjadi kewenangan pemerintah,

hanya saja tidak dilakukan oleh menteri seperti halnya pada era Orde Baru, tetapi

menjadi kewenangan gubernur.

Kebebasan buruh untuk berserikat dan mendirikan serikat buruh baru, tidak

secara langsung memberikan kesempatan kepada buruh untuk turut memberikan

andil secara partisipatif dalam hal atau urusan yang berkaitan dengan

kesejahteraan buruh sendiri. Dari beberapa studi empiris yang ada tentang

keterlibatan serikat buruh baru di luar SPSI dalam soal pembuatan rekomendasi

besaran upah minimum di dewan pengupahan daerah memberikan petunjuk

bahwa adanya kebebasan bagi buruh untuk membentuk serikat buruh di luar SPSI

yang dituangkan dalam peraturan perundangan tidak serta merta membuka

peluang bagi serikat buruh baru tersebut untuk membuktikan eksistensinya.

Dengan kata lain, meskipun negara telah mengatur kebebasan berserikat bagi

buruh dan komposisi tripartit yang disyaratkan dalam institusi pengupahan tidak

otomatis memberikan kesempatan kepada unsur serikat buruh selain SPSI untuk

menempatkan perwakilannya dalam institusi pengupahan.205

Dalam hal serikat buruh di luar SPSI ingin melibatkan diri dalam institusi

pengupahan, dalam banyak kasus, serikat buruh tersebut harus mengajukan

tuntutan terlebih dahulu kepada gubernur dan/atau bupati/walikota. Selain itu,

karena institusi pengupahan merupakan salah satu lembaga hubungan industrial,

maka serikat buruh yang bersangkutan harus memenuhi persyaratan yang

205 Ibid.

Page 160: Mogok Kerja Oleh serikat

154

ditentukan dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 201 Tahun 2001 tentang

Keterwakilan dalam Kelembagaan Hubungan Industrial, yaitu harus telah melalui

dan lolos verifikasi oleh Disnaker sebagaimana diatur oleh pasal 18.

Persoalannya, kewajiban untuk memenuhi persyaratan tersebut, yaitu harus

melalui dan lolos proses verifikasi terlebih dahulu, yang dibebankan kepada

serikat buruh yang hendak dan ingin terlibat dalam institusi pengupahan, secara

tidak langsung merupakan bentuk pengingkaran terhadap kebebasan berserikat itu

sendiri. Selain itu, ketentuan di dalam peraturan perundang-undangan tersebut

mengandung ketidakadilan, yaitu yang menurut Puspitaningrum 206 antara lain

ialah:

a. Apabila persyaratan yang diberlakukan kepada serikat buruh tersebut

diperbandingkan dengan persyaratan yang berlaku bagi organisasi

pengusaha, terlihat bahwa pemerintah lebih memberikan kelonggaran

kepada organisasi pengusaha untuk dapat duduk dalam Kelembagaan

Hubungan Industrial.

Menurut Kepmennakertrans No. 201 Tahun 2001, untuk dapat duduk

dalam Kelembagaan Hubungan Industrial:

1) Tingkat kabupaten/kota, sebuah serikat buruh harus:

a). mempunyai sekurang-kurangnya 10 unit kerja/serikat

buruh/serikat pekerja di kabupaten/kota setempat (Pasal 3

huruf a); atau

206 Ibid.

Page 161: Mogok Kerja Oleh serikat

155

b). mempunyai sekurang-kurangnya 2500 anggota pekerja/buruh

di kabupaten/kota yang setempat (Pasal 3 huruf b).

Sedangkan bagi organisasi pengusaha, harus mempunyai jumlah

anggota sekurang-kurangnya 10 perusahaan di kabupaten/kota yang

bersangkutan (Pasal 10).

2) Sementara itu, untuk dapat duduk dalam Kelembagaan Hubungan

Industrial tingkat propinsi, serikat buruh harus:

a). mempunyai jumlah kepengurusan kabupaten/kota sekurang-

kurangnya 20% dari jumlah kabupaten/kota yang berada di

propinsi dan salah satunya berkedudukan di Ibukota Propinsi

yang bersangkutan (Pasal 4 huruf a); atau

b). mempunyai sekurang-kurangnya 30 unit kerja/serikat

pekerja/serikat buruh di propinsi yang bersangkutan (Pasal 4

huruf b); atau

c). mempunyai sekurang-kurangnya 5.000 peserta/buruh di

propinsi yang bersangkutan (Pasal 4 huruf c).

Sedangkan untuk organisasi pengusaha, persyaratan yang

dibebankan ialah harus:

a). mempunyai jumlah kepengurusan kabupaten/kota sekurang-

kurangnya 20% dari jumlah kabupaten/kota yang berada di

propinsi dan salah satunya berkedudukan di ibukota propinsi

yang bersangkutan (Pasal 11 huruf a); atau

Page 162: Mogok Kerja Oleh serikat

156

b). mempunyai anggota sekurang-kurangnya 100 perusahaan di

propinsi yang bersangkutan (Pasal 11 huruf b).

Dari uraian di atas nampak bahwa persyaratan yang berlaku bagi

organisasi pengusaha lebih longgar, yaitu untuk dapat duduk dalam

Kelembagaan Hubungan Industrial tingkat kabupaten/kota organisasi

pengusaha cukup dengan memiliki anggota minimal 10 perusahaan tanpa

harus memperhitungkan batas minimal jumlah buruh yang dipekerjakan

oleh perusahaan tersebut.

b. Persyaratan memiliki jumlah anggota minimal 2500 buruh atau setara

dengan 10 serikat buruh dalam satu kabupaten/kota, merupakan bentuk

tersendiri dari perlakuan yang tidak adil kepada buruh.

Ketentuan pasal 3 Kepmennakertrans No. 201 Tahun 2001 yang

mewajibkan serikat buruh untuk memiliki anggota minimal 2500 buruh

atau setara dengan 10 serikat buruh dalam satu kabupaten/kota, jika

dikaitkan dengan ketentuan pasal 21 ayat (3) Peraturan Menteri Tenaga

Kerja No. 01 Tahun 1999 jo. Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 226

Tahun 2000, memperlihatkan bahwa pemerintah tidak mempunyai

rasionalisasi yang kuat atas penetapan angka dari jumlah anggota yang

harus dimiliki oleh serikat buruh untuk dapat menempatkan wakilnya

dalam institusi pengupahan.

Ketidakadilan dalam konteks ini ialah rasio beban yang diberikan

pemerintah kepada buruh (organisasi/serikat buruh) untuk dapat

menempatkan wakilnya dalam institusi pengupahan dengan kewajiban

Page 163: Mogok Kerja Oleh serikat

157

yang diberikan kepada pengusaha yang mempekerjakan buruh sampai

dengan 100 (seratus) orang apabila tidak mampu memenuhi ketentuan

upah minimum.

Pasal 21 ayat (3) Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 01 Tahun 1999 jo.

Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 226 Tahun 2000 menyebutkan

bahwa pengusaha yang tidak mampu melaksanakan ketentuan upah

minimum dan mempekerjakan buruh sampai dengan 100 (seratus) orang,

dalam hal mengajukan penangguhan upah minimum pengusaha yang

bersangkutan:

1) Tidak diwajibkan untuk menyertakan salinan akta pendirian

perusahaan; dan

2) Tidak diwajibkan untuk menyertakan laporan keuangan perusahaan

yang terdiri dari neraca, perhitungan rugi/laba beserta penjelasan-

penjelasan untuk 2 (dua) tahun terakhir;

3) Dibebaskan dari audit yang dilakukan oleh akuntan publik terhadap

keadaan keuangan perusahaan.

Pada pasal ini terlihat dengan jelas bahwa pemerintah memberikan

kelonggaran kepada pengusaha yang mempekerjakan buruh sampai

dengan jumlah 100 (seratus) orang untuk tidak memenuhi persyaratan

yang secara normatif diperlukan dalam hal mengajukan permohonan

penangguhan upah minimum. Padahal apabila melihat ketentuan pasal 10

Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 201 Tahun 2001, yang mana tidak

memberikan batasan tentang jumlah pekerja yang harus dimiliki oleh suatu

Page 164: Mogok Kerja Oleh serikat

158

perusahaan agar dapat ikut dalam organisasi pengusaha yang dapat duduk

dalam institusi pengupahan, pengusaha atau perusahaan yang dimaksud

dalam pasal 21 ayat (3) Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 01 Tahun

1999 jo. Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 226 Tahun 2000 dapat saja

duduk dalam institusi pengupahan

Sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa perubahan yang terjadi

sebagian besar hanya menyangkut atau menyentuh tataran luar yang sifatnya

parsial dalam soal hubungan industrial dan tidak menyangkut perubahan nasib

buruh yang substansial dalam hubungan industrial. Buruh tetap menjadi subyek

eksploitasi.

3.1 “Negara Bonapartis”

Fenomena kebebasan berserikat dalam keterkaitannya dengan keberadaan

praktek-praktek eksploitasi terhadap buruh, mungkin dapat dipahami dengan

sedikit lebih jelas menggunakan pembahasan Karl Marx tentang konflik antara

kaum borjuis (pemilik modal) dan kaum buruh yang terjadi di Perancis sewaktu di

bawah Napoleon Bonaparte. Pembahasan Karl Marx di dalam tulisannya berjudul

asli Der Achtzente Brumaire des Louis Bonaparte yang diterbitkan pada tahun

1885, dan oleh Frederick Angels kemudian diterjemahkan dengan judul The

Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte, pada masa berikutnya lebih dikenal

dengan istilah “Negara Bonapartis”.

Perancis pada saat itu sudah merupakan sebuah negara kapitalis di mana

kelas borjuis merupakan kelas yang dominan dalam masyarakat, namun pada

Page 165: Mogok Kerja Oleh serikat

159

waktu konflik tersebut meletus, negara mengeluarkan keputusan-keputusan yang

menguntungkan kaum buruh. Dalam sistem dan logika kapitalisme, fenomena ini

bisa jadi merupakan anti-tesis.

Kondisi yang terjadi di Perancis tersebut, menurut Marx, disebabkan oleh

perbedaan keadaan yang telah dilalui oleh antara kaum buruh dan kaum borjuis.

Kaum buruh pada waktu itu sudah berhasil mengorganisir diri dengan baik dan

solid, sedangkan kaum borjuis sebaliknya, yaitu masih lemah.207 Kalau pada saat

konflik antara kaum buruh dan kaum borjuis tersebut meletus, negara mengambil

kebijakan yang berpihak kepada kaum borjuis, ada kemungkinan terjadi revolusi

sosial yang dapat membahayakan kehidupan negara dan sistem kapitalis di

Perancis pada masa-masa kemudian. Agar negara kapitalis beserta sistemnya

dapat dipertahankan untuk jangka waktu ke depan, tidak ada pilihan alternatif

selain mengabulkan tuntutan kaum buruh dan melakukan moratorium kepentingan

kaum borjuis, demi kepentingan jangka panjang untuk menyelamatkan sistem

kapitalis itu sendiri. 208 Dengan kalimat lain, persoalan akan fenomena negara

kapitalis yang kemudian mau berpihak kepada kaum buruh, oleh Marx dijelaskan

sebagai strategi negara untuk mempertahankan kapitalisme dalam jangka panjang

ke depan.

Oleh karena itu, dengan mengingat bahwa kaum buruh tetap menjadi subyek

yang tereksploitasi, maka terbitnya Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 dapat

dibaca sebagai tindakan antisipasi dari kalangan yang berpaham kapitalisme untuk

menyelamatkan model negara korporatis. Sebagaimana telah jamak diketahui,

207 Budiman, Arief, 1996, Op. Cit., halaman 49.208 Ibid.

Page 166: Mogok Kerja Oleh serikat

160

Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 merupakan salah satu dari tiga paket undang-

undang reformasi perburuhan lainnya, yaitu Undang-Undang No. 13 Tahun 2003

Tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 jika dilihat dari substansi materi yang

dimuatnya, memang mencerminkan langkah yang progresif. Akan tetapi jika

dikaitkan dengan sejumlah ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang No.

13 Tahun 2003 dan peraturan-peraturan pelaksananya, maka akan terlihat bahwa

ketentuan di dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 sukar untuk

diimplementasikan secara konsisten. Hak-hak yang dipunyai serikat buruh

sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 dikebiri.

Bahkan lebih dari itu, oleh sebagian pihak keberadaan UU No. 21 Tahun 2000 di

antara UU No. 13 Tahun 2003 dan UU No. 2 Tahun 2004 dicurigai berpotensi

melemahkan kekuatan buruh, karena menyebabkan fragmentasi kekuatan buruh.

Sebagai contoh ialah Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi

No. 201/Kep-Men/2001 Tentang Keterwakilan dalam Kelembagaan Hubungan

Industrial merupakan peraturan yang tidak realistik dan cenderung mereduksi

kebebasan berserikat. Menurut Makinuddin, peraturan menteri ini mempunyai

beberapa implikasi sebagaimana berikut ini:

Pertama, peraturan menteri ini mempunyai indikasi kuat mereduksisubstansi UU No. 21 Tahun 2000 yang menjamin kebebasan berserikat danberorganisasi. Syarat yang terdapat dalam peraturan menteri tersebut adalahsuatu keadaan yang sulit diusahakan oleh serikat buruh yang relatif baruberdiri. Serikat buruh yang tidak dapat memenuhi syarat keterwakilan dilembaga tripartit bukan saja akan kehilangan eksistensinya sebagaiorganisasi buruh, tetapi bukan tidak mungkin akan ditinggalkan buruh.Buruh akan (cenderung) memilih organisasi yang mempunyai wakil di

Page 167: Mogok Kerja Oleh serikat

161

lembaga tripartit karena dengan begitu aspirasi mereka dapat didengar.Situasi ini hanya akan menguntungkan serikat buruh yang telah berdiri sejakOrde Baru berkuasa dan “membunuh” serikat buruh yang relatif barudidirikan.

Kedua, bagi gerakan buruh, peraturan ini tentu saja tidak menguntungkan.Polarisasi buruh yang cenderung tajam dan gagasan keterwakilan dengansyarat yang tidak masuk akal tersebut bukan tidak mungkin akan membuatgerakan buruh terperosok dalam fragmentasi akut. Polarisasi buruh yangberakar dari variasi ideologi, orientasi, kepentingan, dan partisipasi politikakan semakin tajam dalam persaingan memperebutkan massa buruh. Kesankuat yang ditampilkan fenomena ini adalah upaya menekan munculnyasoliditas dan progresifitas gerakan buruh yang potensial dibawa serikatburuh baru209.

Gencarnya gerakan reformasi yang diikuti oleh tumbangnya rezim

diktatorial-otoritarian Orde Baru pada tahun 1998, dipandang mempunyai potensi

membangkitkan buruh―yang selama kurang lebih tiga dekade mengalami

penindasan dan eksploitasi yang massif dan sistematis dalam skala besar-besaran

hampir disemua sisi hubungan industrial―untuk mengadakan gerakan yang

radikal. Gerakan buruh yang radikal dapat membahayakan keberlangsungan gerak

kapitalisme dan program industrialisasi kapitalis di Indonesia. Oleh karenanya,

keadaan yang memberikan peluang munculnya radikalisasi gerakan buruh harus

diantisipasi sedemikian rupa melalui kebijakan yang pro-buruh, tetapi tetap juga

mampu melayani kepentingan borjuasi, agar potensi tersebut tidak menjadi

kenyataan.

Selain itu keberadaan UU No. 21 Tahun 2000 itu sendiri, menurut Indrasari

Tjandraningsih, merupakan kebijakan yang ditujukan sebagai alat promosi bahwa

Indonesia telah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang diperlukan untuk

209 Al-Hambra, Makinnuddin, “Polarisasi (Gerakan) Buruh: Momentum Negara untukMenekan Upah”, Jurnal Analisis Sosial, Volumen 7, No. 1 Februari 2002, AKATIGA Bandung,halaman 45-46.

Page 168: Mogok Kerja Oleh serikat

162

mewujudkan demokratisasi. Hal ini terjadi karena pada masa diterbitkannya UU

No. 21 Tahun 2000, Indonesia banyak mendapatkan sorotan terkait masalah

demokrasi dan tuntutan agar segera memperluas demokratisasi diberbagai

sektor210.

Bagi kalangan borjuasi di Indonesia, dibukanya keran kebebasan berserikat

melalui UU No. 21 Tahun 2000, sebelumnya sudah diperhitungkan bahwa dalam

jangka waktu yang pendek tidak akan mampu melahirkan gerakan buruh yang

radikal dan terorganisasi, bahkan sebaliknya, justru dapat menghambat

radikalisasi gerakan buruh. Sebagaimana diketahui, pada masa kekuasaan Orde

Baru, tradisi politik keserikatburuhan berusaha dihancurkan dan dikubur dalam-

dalam sebagai buntut dari penghancuran Partai Komunis Indonesia (PKI) pada

tahun 1965. Sehingga jika pun kemudian kebebasan berserikat diatur dan

dilindungi secara tegas dalam peraturan perundang-undangan, tetap tidak mudah

bagi buruh untuk membangun tradisi keserikatburuhan yang selama ini “hilang”

atau melahirkan serikat buruh yang kuat.

Penghancuran PKI oleh koalisi yang dipimpin tentara, kelas menangah kota,juga kepentingan kaum pemilik tanah kota dan desa setelah tahun 1965mengakibatkan lenyapnya tradisi politik keserikatburuhan, dan warisan initerus menghambat buruh terorganisasi di Indonesia.211

Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat keadaan di lapangan selama ini di

mana bertambahnya jumlah serikat-serikat buruh yang lahir setelah terbitnya UU

No. 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja, telah memperluas fragmentasi

210 Tjandraningsih, Indrasari, “Serikat Buruh/Serikat Pekerja Di Indonesia: Sebuah PotretPasca Reformasi”, www.indoprogress.blogspot.com\serikat-buruhserikat-pekerja-di.html., diaksespada tanggal 21 November 2007.

211 Hadiz, Vedi R., Op. Cit.

Page 169: Mogok Kerja Oleh serikat

163

kekuatan dikalangan kaum buruh. Antar serikat buruh justru malah sering terdapat

konflik dan rivalitas yang bersumber dari ego organisasi. Ditambah lagi serikat

buruh yang sudah berdiri sering dilanda perpecahan yang lebih disebabkan oleh

hal-hal yang sifatnya pragmatis daripada hal-hal yang prinsipil, dan perpecahan

yang terjadi ditubuh sebuah serikat buruh umumnya diikuti perebutan anggota.212

Dengan persyaratan yang mudah untuk mendirikan sebuah serikat buruh,

yakni cukup 10 orang sudah dapat mendirikan serikat buruh, muncul serikat-

serikat buruh baru. Akan tetapi kemunculan banyak serikat-serikat buruh baru

tersebut tidak berbanding lurus dengan bertambahnya keseluruhan jumlah buruh

yang terorganisir oleh serikat buruh. Hal ini sekali lagi disebabkan oleh

kecenderungan yang dimiliki oleh serikat-serikat buruh tersebut untuk merekrut

anggota yang pada saat yang sama sudah menjadi anggota serikat buruh lain.

Dengan kata lain, serikat-serikat buruh tersebut tidak mengorganisir buruh-buruh

yang belum menjadi atau belum mengenal serikat buruh.213

Selain oleh sebab-sebab di atas, dimulainya era kebebasan berserikat sangat

bertolak belakang dengan kondisi obyektif situasi ketenagakerjaan di Indonesia.

Sebagaimana diketahui bahwa krisis ekonomi telah meluncurkan deretan panjang

jumlah pengangguran (karena PHK) dan beberapa saat kemudian situasi tersebut

diikuti dengan penerapan praktik fleksibilisasi pasar kerja di Indonesia. Praktek

fleksibilitas pasar kerja yang berimplikasi terjadinya pergeseran sistem hubungan

kerja dari hubungan kerja tetap menjadi tidak tetap sangat efektif menggerogoti

kekuatan basis anggota serikat buruh.

212 Tjandraningsih, Indrasari, Op. Cit.213 Ibid.

Page 170: Mogok Kerja Oleh serikat

164

[...] Tantangan eksternal yang dominan mencakup tingkat pengangguranyang tinggi (11 persen) dan bekerjanya rezim dan praktik fleksibilitas pasartenaga kerja dan fleksibilitas produksi. Rezim ini dengan sangat efektifmenggerogoti kekuatan basis anggota serikat buruh, melalui pergeseranstatus hubungan kerja tetap menjadi tidak tetap. Padahal, serikat buruh tidakmengenal keanggotaan buruh tidak tetap. Selain itu, wujud fleksibilitashubungan kerja yang muncul dalam bentuk kerja kontrak atau PKWT(Perjanjian Kerja Waktu Tertentu), mengikatkan hubungan kerja jangkapendek dan tanpa kepastian kerja. Situasi ini menciptakan kondisi dilematisbagi buruh, antara memilih berserikat atau tetap bekerja. Rezim fleksibilitastelah menciptakan kondisi di mana bekerja dan berserikat tak bisa lagidipersatukan. Kondisi ini secara langsung menghapus keberadaan serikatburuh.214

Dari uraian di muka secara umum dapat dikatakan bahwa hadirnya banyak

serikat buruh tidak berkaitan erat dengan peningkatan kesejahteraan dan taraf

kehidupan buruh beserta keluarganya. Serikat buruh yang banyak ternyata belum

dapat mengangkat nasib dan kesejahteraan kaum buruh secara keseluruhan ke

taraf yang lebih baik, hal ini membuktikan bahwa terbitnya era kebebasan

berserikat tidak melahirkan serikat buruh yang kuat dan terpercaya.

Kebebasan berserikat bagi kaum buruh yang dibawa oleh UU No. 21 Tahun

2000 ternyata tidak memberikan jaminan terhadap serikat buruh untuk dapat

berunding bersama dalam rangka melakukan dan memperkuat bargaining

position, sehingga makna kebebasan berserikat seakan menjadi tidak ada

artinya.215 Bahkan oleh beberapa pihak yang concern dengan isu-isu perburuhan,

kebebasan berserikat tersebut justru dimanfaatkan kaum pemilik modal dan alat

214 Ibid.215 Iskandar, A Muhaimin, 2004, Membajak Di Ladang Mesin (Simpang Kepentingan Buruh-

Negara-Modal di tengah Arus Kapitalisme Global), Yayasan Wahyu Sosial, Semarang, hal 84.

Page 171: Mogok Kerja Oleh serikat

165

produksi untuk memecah belah kekuatan buruh dengan cara mendirikan ‘serikat

buruh’ tandingan yang dapat membawa kepentingan pengusaha.216

Dalam kaitannya dengan soal upah minimum, fragmentasi dan polarisasi

kekuatan maupun gerakan buruh membawa implikasi yang serius. Kebijakan upah

minimum yang berdasar konsep lokalisasi; terkotak-kotak pada level provinsi dan

kabupaten/kota, membuat isu upah minimum menjadi semacam isu lokal dan

semata merupakan urusan gerakan buruh di daerah setempat. Apabila di suatu

daerah terdapat gejolak terkait ketentuan upah minimum, buruh daerah dan

provinsi lain seringkali merasa tidak mempunyai kepentingan terhadap persoalan

upah yang terjadi di daerah lain tersebut. Inilah yang dimaksud implikasi serius

tersebut. Dengan kata lain, akibat kekuatan dan gerakan buruh yang

terfragmentasi dan terpolarisasi, “menjadikan gerakan buruh tidak sensitif

terhadap isu-isu strategis untuk mewujudkan kesejahteraan bersama”217.

4. Implikasi Pelaksanaan Kebijakan Upah Minimum yang Konsisten

Kembali pada soal upah minimum, sebenarnya jika mau dikerjakan dengan

sungguh-sungguh kebijakan upah minimum dapat mendorong kemajuan

perusahaan dan industri. Perusahaan dan industri akan terdorong untuk melakukan

efisiensi produksi dan melatih kemampuan perusahaan dan industri untuk

menciptakan produk dengan keunggulan kompetitif dalam bersaing dengan

industri-industri dan perusahaan-perusahaan dari negara-negara lainnya. Di

samping itu, jika kebijakan upah minimum dilakukan untuk mengurangi

216 Ibid.217 Al-Hambra, Makinnuddin, Op. Cit. halaman 47.

Page 172: Mogok Kerja Oleh serikat

166

eksploitasi atas buruh, maka upah minimum dapat mampu membangun harapan

buruh akan kesejahteraan.

Apabila dikaitkan dengan agenda pengentasan atau pengurangan angka

kemiskinan, sebenarnya kebijakan upah minimum yang diterapkan dengan

konsisten mengikuti kebutuhan riil dapat menjadi peretas terciptanya

kesejahteraan masyarakat secara umum. Sehingga pada akhirnya juga akan

meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Logikanya, pendapatan yang layak bagi buruh akan memberikan daya beli

kepada buruh yang lebih besar dan dengan demikian dapat memberikan suatu

landasan bagi perluasan consumer markets. Sedangkan consumer markets yang

makin luas diperlukan untuk menampung volume penjualan dan kapasitas

produksi yang kian besar sebagai akibat dari perluasan output.218

Padahal sebagai negara berpenduduk paling besar kelima di dunia, mencapai

sekitar 250 juta jiwa, Indonesia mempunyai potensi pasar yang sangat besar, yang

mana artinya adalah apabila potensi ini dikelola dengan sungguh-sungguh, dapat

turut serta memperkuat industrialisasi nasional. Oleh karena itu tidak

mengherankan apabila hal ini seringkali menjadi salah satu pertimbangan investor

asing dalam menanamkan modalnya di Indonesia. Namun, potensi ini hanya akan

tinggal potensi apabila daya beli masyarakat rendah.

Semua ini tentunya dapat menjadi kenyataan apabila terdapat konsistensi

dalam pelaksanaan kebijakan upah minimum. Namun tampaknya hal itu masih

jauh dari harapan. Perwujudan kesejahteraan yang layak bagi kemanusiaan, di

218 Markam, Roekmono, Op. Cit. halaman 10.

Page 173: Mogok Kerja Oleh serikat

167

mana dalam hal ini akan membawa implikasi positif dalam hal perluasan

consumer markets guna menampung volume produksi yang semakin besar,

hampir mustahil tercapai untuk saat ini. Ketentuan UMP atau UMK yang pada

dasarnya hanya diberlakukan bagi pekerja yang masa kerjanya kurang dari satu

tahun―adapun upah bagi pekerja lama diserahkan sepenuhnya kepada tawar-

menawar antara pekerja dan majikan―dalam pelaksanaannya di lapangan malah

justru seakan menjadi ‘upah maksimum’.

Praksis yang ada dalam kenyataan dari penerapan kebijakan upah minimum

selama ini ialah kecenderungan pengusaha seakan merasa sudah menyejahterakan

buruh apabila telah membayar upah buruhnya sesuai dengan besaran upah

minimum yang telah ditentukan. Pengusaha sama sekali tidak membahas adanya

kemungkinan bahwa besaran upah yang telah ditetapkan sebenarnya jauh dari

mencukupi kebutuhan sehari-hari buruh untuk dapat hidup secara layak. Atau

dengan kata lain kalangan pengusaha cenderung hanya memperhatikan jumlah

nominal upah minimum tetapi tidak memperhatikan kondisi upah riil buruh.

Sehingga dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan upah

minimum selalu mengundang kontroversi dan perdebatan terus-menerus karena

dua alasan utama, yaitu: pertama, cara penetapan upah minimum dianggap

seringkali hanya didasarkan pada asumsi-asumsi maya tentang kebutuhan hidup

buruh dan mengabaikan situasi riil. Kedua, walaupun upah minimum sudah

ditetapkan berdasarkan keputusan pemerintah, masih banyak ditemukan kasus-

Page 174: Mogok Kerja Oleh serikat

168

kasus di mana pengusaha mengabaikan ketentuan upah minimum yang berlaku

dan memberikan upah pokok di bawah ketentuan upah minimum.219

Selain masih menyimpan persoalan yang telah disebutkan tadi, kontroversi

yang masih menyelimuti kebijakan upah minimum hingga kini ialah kaitan

kenaikan upah minimum terhadap prospek penyerapan tenaga kerja disektor

formal. Dengan adanya kebijakan upah minimum, besaran upah yang dibayarkan

kepada buruh harus mengacu pada besaran upah minimum yang ditetapkan oleh

pemerintah. Maka dalam hal ini, yang menjadi kontroversi adalah adanya dua

pendapat yang menyoroti hubungan kenaikan upah dengan kemampuan

penyerapan tenaga kerja.

Pendapat yang pertama menyatakan bahwa kenaikan upah (minimum)

membawa dampak berkurangnya penyerapan tenaga kerja, sehingga

pengangguran dalam jumlah besar yang selama ini menjadi persoalan akut, tidak

mendapat pemecahan. Pendapat ini memperoleh justifikasi dengan adanya

fenomena setiap kenaikan upah minimum, selalu timbul ancaman dari pihak

pengusaha akan adanya PHK besar-besaran. Bagi pengusaha, setiap kenaikan

upah minimum, betapa pun kecilnya, tetap dianggap memberatkan dunia usaha.

Dari pengalaman yang ada selama ini, kalangan pengusaha selalu meneriakkan

bahwa industri akan tutup kalau ditekan terus dengan kenaikan upah minimum.

Namun terlepas dari benar tidaknya sinyalemen yang dilontarkan oleh kalangan

pengusaha tersebut, yang jelas secara teoritis kenaikan upah minimum

memperkecil penyerapan tenaga kerja, hanya terjadi pada pasar kerja kompetitif,

219 Setiawan dan Tambunan, Op. Cit.

Page 175: Mogok Kerja Oleh serikat

169

yaitu pasar yang dicirikan oleh keseimbangan kekuatan antara permintaan dengan

penawaran serta kesempurnaan informasi pasar.220

Sedangkan pendapat yang kedua sebaliknya menyatakan bahwa kenaikan

upah tidak membawa dampak yang signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja.

Pendapat ini didasarkan pada suatu kondisi di mana jumlah pembeli (pengusaha)

jauh lebih sedikit dibanding dengan jumlah penjual (tenaga kerja) –yang dikenal

dengan istilah pasar kerja monopsonistik. Dalam kondisi ini (pasar kerja

monopsonistik), upah yang dibayarkan kepada buruh lebih rendah dari

produktivitas buruh.221

Secara teoritis, sebenarnya kontroversi diseputar keterkaitan antara upah dan

penyerapan tenaga kerja, sudah dapat dibilang berakhir. Masing-masing fenomena

telah dijelaskan syarat masing-masing, yakni kenaikan upah mengurangi

penyerapan tenaga kerja terjadi pada pasar kerja kompetitif; sedangkan pada pasar

kerja monopsonistik, tidak demikian halnya.

Namun mengapa dalam kasus Indonesia kontroversi dan perdebatan

mengenai hubungan kenaikan upah dan penyerapan tenaga kerja masih saja terjadi

hingga kini? Jawabnya adalah karena tidak mudah untuk menentukan apakah

pasar kerja di Indonesia merupakan pasar kompetitif ataukah monopsonistik. Hal

ini terbukti dari beberapa penelitian tentang keterkaitan kenaikan upah minimum

dengan tingkat penyerapan tenaga kerja, yang hasilnya saling bertolak belakang.

220 Lihat: Priyono, Edy, “Situasi Ketenagakerjaan Indonesia dan Tinjauan Kritis TerhadapKebijakan Upah Minimum”, dalam Jurnal Analisis Sosial, Volume 7 No.1 Februari 2002, YayasanAKATIGA, Bandung, halaman 6-9.

221 Ibid.

Page 176: Mogok Kerja Oleh serikat

170

Di antara beberapa penelitian tersebut adalah penelitian oleh M Rama pada

tahun 1996 yang menemukan bahwa dampak upah minimum terhadap pasar

tenaga kerja tidak signifikan; kenaikan upah minimum dalam paruh pertama

1990-an mendorong kenaikan upah riil rata-rata sebesar 5% – 15% dan

menurunkan penyerapan tenaga kerja di daerah perkotaan sebesar 0% – 5%.

Namun temuan ini disanggah oleh Islam dan S. Nazara yang berpendapat bahwa

kenaikan upah minimum tidak mempunyai pengaruh terhadap tingkat penyerapan

tenaga kerja di Indonesia. Menurut Islam dan Nazara, tidak ada bukti yang

menunjukkan bahwa kenaikan upah minimum telah mengurangi tingkat

keuntungan perusahaan-perusahaan berskala besar dan menengah. Selain itu,

masih menurut Islam dan Nazara, jika Indonesia mencapai pertumbuhan ekonomi

4% per tahun, maka upah minimum riil dapat dinaikkan sebesar 24% per tahun

tanpa mengakibatkan hilangnya kesempatan kerja.222

Kontroversi ini terkait dengan berbagai paham, teori dan pemikiran yang

terdapat dalam ilmu ekonomi pembangunan serta metode yang digunakan untuk

melakukan penilaian terhadap kondisi perekonomian dan kesejahteraan suatu

negara. Sebagai contoh, menurut pemikiran dan teori ekonomi yang berspektif

ekonomi industri, kenaikan upah buruh disuatu negara dapat menyebabkan

penurunan penyerapan tenaga kerja pada industri-industri di negara yang

bersangkutan.

222 Suryahadi et al, “Upah dan Kesempatan Kerja (Dampak Kebijakan Upah Minimumterhadap Penyerapan Tenaga Kerja di Sektor Formal Perkotaan)”, dalam Jurnal Analisis Sosial,Volume 7 No.1 Februari 2002, Yayasan AKATIGA, Bandung, halaman 20.

Page 177: Mogok Kerja Oleh serikat

171

Namun bagaimana sesungguhnya dampak yang dihasilkan oleh kenaikan

upah buruh suatu negara, semuanya itu tentu tidak dapat dilepaskan dari kondisi

empirik yang sedang berlaku negara yang bersangkutan.

Menurut hasil penelitian Philip di Inggris―yang kemudian dikenal dengan

istilah ‘Kurva Philip’, kenaikan upah dapat menurunkan pengangguran. Hasil

penelitian Philip ini merupakan manifestasi dari keadaan negara telah

menyelenggarakan sistem jaminan sosial yang konsisten dan kokoh sehingga

industri tidak terlalu terbebani dengan resiko sosial yang dapat mempengaruhi

biaya produksi. Logikanya kalau upah naik, maka para penganggur sukarela

memilih bekerja daripada menerima asuransi sosial.223 Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa bagaimana dampak kenaikan upah terhadap prospek

penyerapan tenaga kerja pada suatu negara selalu bergantung pada kondisi

obyektif-empirik dari negara yang bersangkutan. Oleh karena itu, untuk

menentukan bagaimana bentuk pasar tenaga kerja suatu negara, diperlukan suatu

penelitian yang komprehensif dan empirik dengan mengaitkan kepada segala

kebijakan yang telah dikeluarkan pemerintah dari negara yang bersangkutan.224

C. Tinjauan Mengenai Mekanisme Perumusan dan Penetapan Upah

Minimum

Penetapan upah minimum di Indonesia dilaksanakan setiap tahun melalui

proses yang panjang. Mula-mula Dewan Pengupahan Daerah (DPD) yang mana di

223 Ritonga, Jhon Tafbu , “Mencermati Dilema Upah Minimum”, www.waspada-online.com.,diakses 27 Februari 2007.

224 Priyono, Edy, Op. Cit. Halaman 11.

Page 178: Mogok Kerja Oleh serikat

172

dalamnya terdapat unsur pemerintah, pengusaha dan buruh serta akademisi

mengadakan rapat, membentuk tim survei dan turun ke lapangan mencari tahu

harga sejumlah barang yang merupakan kebutuhan pokok. Setelah survei di

sejumlah kota yang dianggap representatif, diperoleh angka kebutuhan hidup

layak (KHL) yang dulu disebut kebutuhan hidup minimum (KHM). Berdasarkan

KHL, DPD mengusulkan upah minimum provinsi (UMP) kepada Gubernur.

Terhadap mekanisme dan wewenang untuk menetapkan upah minimum,

terdapat perubahan yang cukup strategis. Pada masa sebelum berlakunya

Keputusan Menteri No. 226 Tahun 2000, yaitu ketika masih menggunakan

Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 01 Tahun 1999, mekanisme penetapan upah

minimum sifatnya sentralistik. Penetapan upah minimum merupakan kewenangan

pemerintah pusat, yang dalam hal ini adalah menteri tenaga kerja225. Akan tetapi

setelah berlakunya kebijakan otonomi daerah di dalam sistem pemerintahan

Indonesia, ketentuan tentang mekanisme dan wewenang menetapkan upah

minimum juga turut berubah.

Melalui penerbitan Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 pada tanggal 6

Mei 2000, yang kemudian diikuti penerbitan Keputusan Menteri Tenaga Kerja

No. 226 Tahun 2000 pada tanggal 5 Oktober 2000, ditentukan bahwa penetapan

upah minimum merupakan wewenang gubernur 226 . Ketentuan ini kemudian

225 Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 01 Tahun 1999 Tentang UpahMinimum.

226 Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 yang mengatur tentang KewenanganPemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom, pada Pasal 3 ayat (5) butir 8,menentukan bahwa kewenangan provinsi sebagai daerah otonom antara lain adalah menetapkanpedoman jaminan kesejahteraan purnakerja, dan penetapan serta pengawasan atas pelaksanaanupah minimum.

Page 179: Mogok Kerja Oleh serikat

173

diperkuat dengan terbitnya Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 yang di dalam

Pasal 89 ayat (3) secara eksplisit menyebutkan bahwa upah minimum ditetapkan

oleh gubernur.

Setelah lahirnya kebijakan desentralisasi penetapan upah minimum, dikenal

istilah upah minimum kabupaten/kota (UMK). Angkanya merupakan hasil

perhitungan Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota (DPK) atas sejumlah item yang

termasuk sebagai komponen upah. Selanjutnya DPK menggunakan UMP dan

hasil survei KHL sebagai bahan pertimbangan menghitung dan rekomendasi

UMK oleh bupati/walikota kepada gubernur.

Secara teoritis, kebijakan desentralisasi dalam hal penetapan besaran upah

minimum kepada daerah, dimaksudkan agar upah yang ada sesuai dengan kondisi

obyektif riil kemampuan ekonomi masing-masing daerah. Konkritnya, masing-

masing daerah kabupaten/kota pada satu provinsi menetapkan upah minimum

yang berbeda. Upah Minimum Kabupaten/Kota terkecil dari seluruh

kabupaten/kota kemudian ditetapkan sebagai Upah Minimum Provinsi. Oleh

sebab itu, karena UMP berlaku menyeluruh di seluruh provinsi, maka DPD tidak

pernah mendengar usul buruh supaya UMP dibuat lebih tinggi, misalnya sesuai

KHL kota besar seperti Surabaya. Seandainya UMP ditetapkan Rp1,5 juta, maka

UMK di Pacitan pun harus sama atau lebih tinggi daripada UMP Rp1,5 juta.

Berdasarkan ketentuan yang terdapat di dalam peraturan perundang-

undangan yang mengatur tentang upah minimum, secara garis besar dapat

diketahui pedoman-pedoman yang harus dipegang dalam menetapkan upah

minimum, yaitu:

Page 180: Mogok Kerja Oleh serikat

174

a. Gubernur menetapkan besaran Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah

Minimum Kabupaten/Kota (UMK)

b. Penetapan Upah Minimum Kabupaten/Kota lebih besar dari Upah

Minimum Provinsi (UMP). Tentang berapa persen keharusan nilai Upah

Minimum Kabupaten/Kota lebih besar dari Upah Minimum Provinsi tidak

ditetapkan secara tegas. Konsekuensinya adalah Gubernur dan alat

kelengkapan untuk menetapkan upah minimum diberi keleluasaan dalam

merumuskan besaran Upah Minimum Kabupaten/Kota maupun Upah

Minimum Provinsi.

c. Gubernur dalam menetapkan upah minimum tersebut berdasarkan usulan

dan rekomendasi yang diberikan oleh Dewan Pengupahan Daerah dan/atau

bupati/walikota.227

d. Dewan Pengupahan Daerah (Depeprov maupun Depekab/Depeko) dalam

merumuskan usulan dapat berkonsultasi dengan pihak-pihak yang

dipandang perlu seperti Badan Pusat Statistik, misalnya.

e. Usulan Dewan Pengupahan Daerah disampaikan kepada gubernur melalui

instansi/lembaga yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan di

provinsi setempat.

f. Waktu penetapan upah minimum selambat-lambatnya adalah:

1). 60 (enam puluh) hari sebelum tanggal pemberlakuan untuk Upah

Minimum Provinsi, dan

227 Dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 226 Tahun 2000, ‘Dewan PengupahanDaerah’ disebutkan sebagai ‘Komisi Penelitian Pengupahan dan Jaminan Sosial DewanKetenagakerjaan Daerah’.

Page 181: Mogok Kerja Oleh serikat

175

2). 40 (empat puluh) hari sebelum tanggal pemberlakuan untuk Upah

Minimum Kabupaten/Kota.

g. Peninjauan upah minimum (UMP dan UMK) dilakukan 1 (satu) tahun

sekali oleh gubernur.

1. Perdebatan Seputar Penetapan Upah Minimum

Tidak bisa dipungkiri bahwa hingga saat ini, konsepsi upah masih

menyimpan persoalan yang sifatnya mendasar dan selalu mengundang perdebatan.

Persoalan itu menyangkut ukuran atas upah yang seharusnya diterima buruh

sebagai kompensasi atas tenaga yang dikeluarkannya untuk melakukan kegiatan

produksi. Meliputi hal-hal apa sajakah atau harus berdasarkan variabel apa saja

untuk menentukan kompensasi atas tenaga dan waktu yang dikeluarkan oleh

buruh untuk menghasilkan nilai atas suatu barang dan/atau berapakah semestinya

jumlah upah yang harus dibayar oleh majikan kepada buruhnya.

Di Indonesia, kualifikasi apa saja yang menjadi hak buruh sebagai bentuk

kompensasi atas tenaga yang dikeluarkannya, dari waktu ke waktu cenderung

mengalami pergeseran ke arah yang sifatnya degradatif. Untuk menilai tentang

apa yang seharusnya menjadi hak buruh, semua harus dilakukan dalam kerangka

pemikiran yang melihat kenyataan bahwa dalam konteks hubungan industrial

buruh merupakan salah satu faktor produksi yang turut memberikan andil atas

keuntungan yang diperoleh para pemilik modal atau pemilik alat produksi.

Buruh telah memberikan pengorbanan yang begitu besar meliputi tenaga,

waktu dan bahkan perhatian terhadap keluarganya untuk bekerja menghasilkan

Page 182: Mogok Kerja Oleh serikat

176

nilai suatu barang sehingga menghasilkan keuntungan bagi para pengusaha dan

mengantarkan para pemilik modal kepada kesejahteraan. Tanpa buruh dan kerja-

kerja yang telah dilakoninya, perusahaan tidak akan mencapai produktivitas yang

diinginkan, 228 dan dengan demikian artinya tanpa kerja-kerja yang dilakukan

buruh, pengusaha tidak akan menikmati kemakmuran. Dari uraian tersebut di atas,

terlihat bahwa sudah seharusnya buruh mendapatkan kompensasi yang seimbang

dengan perannya yang turut menyumbang kemakmuran dan kesejahteraan yang

lebih bagi pemilik modal.

Realitas ini sebenarnya telah dapat ditangkap oleh para pendiri negara

Republik Indonesia, sehingga di dalam UUD 1945 yang merupakan konstitusi RI

disebutkan secara tegas bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan

penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 27 ayat (2)). Namun sayangnya

dalam tataran praksis, implementasi dari gagasan tersebut masih jauh dari yang

diharapkan. Bahkan sebagian dari penyebab belum terimplementasinya ketentuan

dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 tersebut bersumber dari kebijakan negara juga.

Hal ini dapat dilihat dari kebijakan-kebijakan negara dibidang perburuhan pada

umumnya, dan dibidang pengupahan pada khususnya.

Konstitusi sebagai hukum dasar, untuk dapat bekerja diperlukan peraturan

hukum yang menjadi peraturan pelaksana. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang

berupa produk-produk hukum dan dalam bentuk-bentuk lainnya, sudah sepatutnya

apabila disesuaikan dengan amanat konstitusi. Namun tidak demikian

keadaannya.

228 Gaharpung, Marianus, “Kebutuhan Hidup Layak, Hanyalah Impian”, www.surya-online.com, diakses pada tanggal 30 April 2007.

Page 183: Mogok Kerja Oleh serikat

177

Dibidang perburuhan, produk hukum dan kebijakan-kebijakan yang

dikeluarkan oleh pemerintah dari tiap masa bukannya makin mendekati apa yang

diamanatkan konstitusi, melainkan malah mempunyai kecenderungan kian

menjauh. Penafsiran atas ketentuan konstitusi dilakukan dalam kerangka

paradigma paham kapitalisme, sehingga yang terjadi kemudian adalah tidak

terjaminnya keberadaan pekerjaan dan penghidupan yang layak secara

kemanusiaan bagi rakyat. Legalisasi sistem kerja kontrak dan outsourcing yang

mengancam kelangsungan kerja yang telah didapat buruh, di dalam Undang-

Undang No. 13 Tahun 2003 cukup untuk membuktikan bahwa kebijakan negara

saat ini mempunyai jarak yang lebar dengan konstitusi.

Secara umum, dari kenyataan yang dialami buruh selama ini mencerminkan

bahwa kepentingan modal akan akumulasi dan fleksibilitas mensubordinasi

kepentingan buruh akan keamanan atas kelangsungan kerja dan kesejahteraan

yang memadai untuk menyelenggarakan kehidupan yang layak. Pengorbanan

buruh hanya dilihat dari tenaga yang dikeluarkannya untuk menghasilkan nilai

suatu barang atau jasa. Sedangkan pengorbanan buruh atas aspek dan sisi-sisi

kemanusiaannya hampir sama sekali dinafikkan. Akibatnya, kompensasi yang

diterima buruh pun hanya senilai tenaga fisik yang dikeluarkannya dan bahkan

seringkali jumlah upah yang diterima pun tidak mampu menjawab kebutuhan

minimum yang diperlukan buruh secara perseorangan.

Kalau sebelum tahun 1996, dalam pengaturan ketentuan upah minimum,

pemerintah secara resmi menyandarkan rumusannya pada ukuran Kebutuhan Fisik

Page 184: Mogok Kerja Oleh serikat

178

Minimum (KFM)229 masing-masing provinsi, maka sejak berlakunya Keputusan

Menteri Tenaga Kerja No. 81 Tahun 1995, rumusan ketentuan upah minimum

disandarkan pada Kebutuhan Hidup Minimum (KHM). Apabila konsep KFM dan

KHM diperbandingkan, memang konsep KHM mempunyai kelebihan diantaranya

yaitu KHM akan selalu berubah nilainya seiring perubahan harga di pasar. Di

samping itu, perhitungan KHM menjamin terpenuhinya kebutuhan akan

komponen-komponen yang ada dalam komponen KFM dan KHM itu sendiri.230

Penentuan upah minimum yang bersandarkan penghitungan Kebutuhan

Hidup Minimum hanya berlangsung sekitar satu dasawarsa. Sekarang penentuan

upah minimum yang bersandar pada KHM sudah tidak berlaku lagi. Melalui

Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 17 Tahun 2005 yang menggantikan

Kepmennaker No. 81 Tahun 1995, ketentuan upah minimum di dasarkan pada

Kebutuhan Hidup Layak.

Apabila diperbandingkan antara beberapa peraturan pengupahan yang

berlaku pada masa lalu dengan peraturan yang berlaku sekarang, hasil yang

didapati akan mencerminkan terjadinya penurunan nilai upah minimum secara

umum-konseptual. Unsur-unsur atau komponen yang dikategorikan termasuk

sebagai bagian dari upah minimum kian bertambah.

Konsepsi tentang upah minimum yang berlaku sekarang jika dibandingkan

dengan konsep upah minimum yang dibawa Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.

5 Tahun 1989 terlihat mengalami degradasi. Dalam Peraturan Menteri Tenaga

229 Kebutuhan Fisik Minimum dibuat pada jaman Kabinet Juanda di tahun 1956.230 Iskandar, A. Muhaimin, Op. Cit. halaman 99.

Page 185: Mogok Kerja Oleh serikat

179

Kerja No. 5 Tahun 1989, upah minimum dinyatakan sebagai upah pokok terendah

yang belum termasuk tunjangan-tunjangan yang diberikan kepada buruh.

Pengertian upah yang diberikan oleh Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 5

Tahun 1989 setidaknya memberi keuntungan bagi buruh, karena tunjangan-

tunjangan―baik tunjangan tetap maupun tunjangan tidak tetap―harus tetap

dibayarkan kepada buruh diluar besaran nominal upah minimum yang telah

ditetapkan. Sedangkan upah minimum yang berlaku sekarang ini, secara

konseptual meliputi upah pokok dan termasuk tunjangan tetap, yaitu tunjangan

yang diberikan secara tetap jumlahnya dan teratur pembayarannya yang tidak

dikaitkan dengan kehadiran pekerja ataupun pencapaian prestasi kerja tertentu.

Celakanya lagi, degradasi atau penurunan konsep upah minimum tersebut

kerapkali dalam kenyataannya diikuti distorsi. Upah minimum yang secara

normatif ditujukan untuk buruh yang masa kerjanya kurang dari satu tahun, akan

tetapi dalam prakteknya seringkali tidak demikian. Upah minimum tersebut

diterapkan juga untuk buruh yang sudah bekerja selama bertahun-tahun pada

perusahaan yang sama. Dengan demikian, upah minimum yang berlaku dalam

realisasinya mengalami pergeseran makna menjadi ‘upah maksimum’. Pengusaha

merasa sudah benar dan mensejahterakan buruhnya apabila membayar upah buruh

sebesar jumlah nominal upah minimum yang berlaku.

Oleh karena itu, mengingat bahwa posisi tawar yang dimiliki oleh buruh

tidak sebanding dengan pengusaha akan menyebabkan mandulnya kemampuan

buruh untuk memperjuangkan perbaikan kesejahteraan. Sehingga akan membuat

buruh tetap menjadi obyek eksploitasi dari praktek-praktek korporatisme. Maka

Page 186: Mogok Kerja Oleh serikat

180

usaha untuk meningkatkan kesejahteraan buruh dengan cara mengembalikan

masalah hubungan industrial, khususnya soal upah, kepada tawar-menawar antara

buruh dan pengusaha melalui penerapan fleksibilitas pasar tenaga kerja

merupakan kebijakan yang tidak tepat. Sebaliknya, kebijakan dan regulasi

mengenai upah minimum yang dijalankan secara konsisten mutlak diperlukan.

Sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Markam Roekmono berikut ini:

Seperti yang kita ketahui, upah adalah suatu produk dari kekuatan-kekuatanekonomi yang didukung oleh pengaruh dari tawar-menawar, penengahan,dan kebijaksanaan pemerintah. Oleh karena itu, selama masih terdapatbanyak orang dari golongan berpenghasilan sangat rendah di bawah standarhidup minimum dengan lapangan kerja yang terus berlangsung, maka setiapundang-undang yang menjamin mereka suatu tingkat hidup yang layaksangat diperlukan.231

2. Kebutuhan Hidup Layak sebagai Prinsip Penentuan Besaran Upah

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 Ayat (2) dan Pasal 28D Ayat (2),

secara tegas menyebutkan bahwa hak atas pengupahan yang layak merupakan hak

dasar dari setiap warga negara dan bangsa Indonesia. Ketentuan di dalam

konstitusi ini diterjemahkan ke dalam materi sejumlah peraturan undang-undang,

diantaranya yaitu UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

Pengaturan mengenai bahwa upah yang layak merupakan hak dari setiap warga

negara tersebut terdapat dalam Pasal 40 UU No. 39/1999 yang menyebutkan:

“Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak”.

Ketentuan di dalam UU No. 39 tahun 1999 tersebut berlaku bagi setiap

orang, termasuk juga buruh. Untuk dapat menjalani hidup dan tumbuh serta

berkembang secara layak, setidaknya syarat yang harus dipenuhi adalah

231 Markam, Roekmono, Op. Cit. halaman 38.

Page 187: Mogok Kerja Oleh serikat

181

tercukupinya kebutuhan-kebutuhan dasar manusia (pangan, kesehatan, perumahan

dan pendidikan) secara memadai.232 Oleh karena itu tidak mengherankan apabila

di dalam Pasal 88 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 disebutkan bahwa “Setiap

pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang

layak bagi kemanusiaan”.

Untuk mewujudkan penghasilan buruh yang layak bagi kemanusiaan,

pemerintah berkewajiban menetapkan dan menerapkan kebijakan pengupahan

yang melindungi buruh. Kebijakan-kebijakan dibidang pengupahan untuk

mewujudkan penghasilan yang layak secara kemanusiaan bagi buruh tersebut,

sebagaimana disebutkan dalam Pasal 88 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003, ialah:

a. upah minimum;

b. upah kerja lembur;

c. upah tidak masuk kerja karena berhalangan;

d. upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar

pekerjaannya;

e. upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;

f. bentuk dan cara pembayaran upah;

g. denda dan potongan upah;

h. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;

i. struktur dan skala pengupahan yang proporsional;

j. upah untuk pembayaran pesangon; dan

k. upah untuk perhitungan pajak penghasilan.

232 Lihat Pasal 11 UU No. 39 Tahun 1999.

Page 188: Mogok Kerja Oleh serikat

182

Berdasar ketentuan dalam Pasal 88 ayat (3) tersebut di atas, terlihat bahwa

kebijakan upah minimum hanya merupakan salah satu instrumen kebijakan untuk

mewujudkan penghasilan buruh yang layak secara kemanusiaan. Sebagai bagian

dari upaya mewujudkan penghasilan yang layak, maka artinya penetapan upah

minimum harus diarahkan menuju pencapaian penghasilan yang layak. Hal ini

sebagaimana ditegaskan Pasal 88 ayat (4) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003

yang menyatakan bahwa pemerintah dalam menetapkan upah minimum tersebut

diwajibkan untuk bersandar pada Kebutuhan Hidup Layak dan dengan

memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.

Dalam hal Kebutuhan Hidup Layak sebagai dasar dalam menetapkan upah

minimum, persoalan yang hadir kemudian adalah terkait dengan parameter dari

kebutuhan hidup yang layak bagi kemanusiaan. Artikulasi dan penerjemahan

rangkaian kata dan kalimat yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan

tersebut di atas dalam kenyataannya tidaklah mudah. Bagaimana keadaan

sesungguhnya dan batasan-batasan tentang yang dimaksud sebagai ‘hidup yang

layak bagi kemanusiaan’ sampai saat ini belum mampu dirumuskan secara

komprehensif dan tuntas. Upaya mewujudkan gagasan tentang ‘hidup yang layak

secara kemanusiaan’ bagi buruh dalam praksisnya mengalami distorsi dan

intervensi yang sifatnya politis.

Melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 17 tahun 2005 Tentang

Komponen Dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak,

pemerintah mencoba menginisiasikan kebijakan pengupahan yang lebih

‘manusiawi’. Dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 17 tahun 2005,

Page 189: Mogok Kerja Oleh serikat

183

pemerintah mengubah sandaran ketentuan upah minimum dari Kebutuhan Fisik

Minimum menjadi Kebutuhan Hidup Layak.

Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 17 tahun 2005 yang mencoba

menghadirkan kerangka usaha mewujudkan upah yang dapat memenuhi

kebutuhan hidup secara layak pun tidak lepas dari perdebatan. Secara normatif

yuridis politik perundang-undangan, Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 17

tahun 2005 merupakan peraturan yang menegasikan berlakunya konsepsi upah

minimum yang berbasis KHM yang diusung oleh Keputusan Menteri Tenaga

Kerja No. 81 tahun 1995. Akan tetapi jika ditelaah lebih lanjut, secara substansial

Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 17 Tahun 2005 tidak sepenuhnya mengusung

paradigma yang baru dibidang pengupahan dan bahkan justru malah lebih buruk

dibanding aturan sebelumnya (Kepmennaker No. 81 tahun 1995) sebagaimana

dikatakan oleh R Herlambang Perdana:

Komponen standar KHL yang digunakan saat ini secara kuantitas dankualitas lebih buruk dari aturan sebelumnya. Berdasarkan KeputusanMennaker 81 Tahun 1995, komponen untuk tempat tinggal buruh adalahsewa rumah tipe 21 dengan jumlah kebutuhan dihitung setengah bulan. Kinidengan standar KHL justru komponen tempat tinggal melorot ke sewakamar sederhana dengan jumlah kebutuhan dihitung tiap bulan.233

Secara substansial, jumlah komponen konsumsi di dalam Peraturan Menteri

Tenaga Kerja No. 17 Tahun 2005 memang mengalami pertambahan dibanding

dengan komponen-komponen upah dalam konsep KHM. Akan tetapi, jika dilihat

dari segi kualitas, beberapa komponen justru mengalami penurunan. Komponen-

komponen yang mengalami penurunan tersebut adalah:

233 Perdana, R. Herlambang, “Perlu Penentuan UMK Yang Progresif Dan Terbuka”,Kompas, edisi 02 Oktober 2006.

Page 190: Mogok Kerja Oleh serikat

184

a. Beras mengalami penurunan jumlah sebanyak 2 Kg. Menurut KHM,

jumlah beras yang diperhitungkan adalah 12 Kg/bulan. Sedangkan

menurut Permennaker 17/2005 jumlah beras yang diperhitungkan adalah

sebesar 10 Kg/bulan.

b. Tempat tinggal dari sewa rumah tipe 21 menurut KHM, menurun

menjadi hanya sekelas sewa kamar untuk 2 orang.

c. Potong rambut dari sekali dalam satu bulan, menjadi sekali dalam dua

bulan menurut Permennaker No. 17/2005.

Persoalan lainnya yang terkait dengan eksistensi Peraturan Menteri Tenaga

Kerja No. 17 Tahun 2005 dalam hal pengupahan adalah tidak memperhitungkan

keluarga buruh. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 17 Tahun 2005 tersebut

hanya memuat perhitungan upah untuk buruh lajang. Apabila mengingat

penjelasan Pasal 88 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 yang memberikan definisi

penghasilan yang layak secara kemanusiaan sebagai:

jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/ buruh dari hasil pekerjaannyasehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dankeluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang,perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua.

Pasal 38 ayat (4) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 yang menentukan

bahwa cakupan upah layak adalah upah yang dapat menjamin kelangsungan hidup

seseorang beserta keluarganya, maka standar yang dibawa Peraturan Menteri

tentang KHL ini sesungguhnya masih jauh dari apa yang disebut dengan kualitas

manusia yang hidup layak.234 Dengan demikian, konsepsi upah layak dalam dalam

peraturan menteri ini pada dasarnya tidak mencerminkan amanat dalam Pasal 88

234 Ibid.

Page 191: Mogok Kerja Oleh serikat

185

ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 yang menyebutkan bahwa buruh

berhak atas upah yang layak secara kemanusiaan.

Lebih jelasnya, penggunaan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan

Transmigrasi No.17/MEN/VIII/2005 tentang Komponen dan Pelaksanaan

Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak, menjadi alat legitimasi ampuh bagi

kolaborasi pemerintah pengusaha untuk mempertahankan kebijakan upah murah.

Peraturan Menteri tentang KHL ini memiliki pasal-pasal yang sangat merugikan

kaum buruh, diantaranya :

a. Pengertian Kebutuhan Hidup Layak (KHL) pada pasal 1 yang diartikan

sebagai standard kebutuhan yang harus dipenuhi oleh seorang pekerja

/buruh lajang untuk dapat hidup layak baik secar fisik, non fisik dan sosial

untuk kebutuhan 1 bulan. Padahal dalam UU No. 13 Tahun 2003 jelas

KHL tidak dimaksudkan dengan lajang saja tetapi juga termasuk keluarga

seorang buruh.

b. Pencapaian KHL dalam penetapan upah minimum dilaksanakan secara

bertahap. Pasal ini membuka peluang bagai pemerintah untuk tidak

melaksanakan KHL yang telah diajukan oleh Dewan Pengupahan Daerah.

c. Survei Komponen KHL menurut Peraturan ini sebenarnya tidak

menunjukkan harga riil karena harga komponen tersebut selalu dirata-

ratakan. Adapun haraga komponen yang dirata-ratakan :

1) Komponen Daging, yang harus dirata-ratakan antara daging ayam

dan daging sapi sehingga harganya tentu saja berada dibawah

Page 192: Mogok Kerja Oleh serikat

186

daging sapi sebenarnya, contoh : Sapi Rp. 50.000 /kg + Ayam Rp.

15.000/kg = Rp. 65.000 : 2 = Rp.32.500

2) Sayur-sayuran

3) Buah-buahan

4) Celana Panjang dengan rok

5) Kemeja lengan pendek/blus

6) Kaos Oblong/BH

7) Celana dalam pria dan wanita

8) Sarung/kain panjang

9) Sepatu pria dan wanita

10) Perlengkapan ibadah

11) Potong rambut

12) Pembalut dan alat cukur

3. Faktor-Faktor Yang Dijadikan Pedoman Dalam Perumusan Dan

Penentuan Besaran Upah Minimum

International Labor Organization mencatat bahwa kebanyakan kriteria yang

telah dirumuskan secara internasional untuk menetapkan tingkat upah minimum

adalah varian-varian dari empat konsep berikut yang mewakili kepentingan-

kepentingan sektoral para pekerja, para majikan dan keprihatinan makroekonomi

para pejabat, yaitu235:

a) Kebutuhan-kebutuhan para pekerja;

235 Das, Maitreyi Bordia, Op. Cit., halaman 16-17.

Page 193: Mogok Kerja Oleh serikat

187

b) Kemampuan para majikan untuk membayar;

c) Upah-upah dan pendapatan-pendapat yang dapat dibandingkan; dan

d) Tuntutan-tuntutan pembangunan perekonomian

Terhadap kecenderungan negara-negara di dunia untuk menerapkan

ketentuan upah minimum sebagai bagian dari kebijakan ekonomi dan kebijakan

sosial yang lebih luas, ILO telah menerbitkan kebijakan tersendiri yang diuraikan

melalui sejumlah konvensi dan rekomendasi-rekomendasi, diantaranya ialah

melalui Konvensi ILO No. 131. Menurut Pasal 3 Konvensi ILO No. 131

(Konvensi Upah Minimum) kriteria yang harus dipertimbangkan untuk

menentukan tingkat upah minimum, antara lain ialah:

1. kebutuhan-kebutuhan para pekerja beserta keluarga-keluarga mereka,

dengan mempertimbang-kan tingkat upah-upah umum di negara itu,

biaya hidup, manfaat-manfaat kemanan sosial, dan standar hidup

relatif dari kelompok sosial yang lain;

2. faktor-faktor ekonomi, seperti tuntutan-tuntutan pembangunan

ekonomi, tingkat produktivitas dan keinginan untuk mencapai dan

mempertahankan suatu tingkat yang tinggi dalam lapangan kerja.

Sedangkan menurut Pasal 6 Permennaker No. 01 Tahun 1999 (tentang Upah

Minimum), upah minimum ditetapkan dengan mempertimbangkan:

Page 194: Mogok Kerja Oleh serikat

188

1. Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) – yang melalui Peraturan Menteri

Tenaga Kerja No. 17 Tahun 2005 diubah menjadi Kebutuhan Hidup

Layak236;

2. Indeks Harga Konsumen (IHK);

3. Kemampuan, perkembangan dan kelangsungan perusahaan;

4. Upah pada umumnya yang berlaku di daerah tertentu dan antar daerah;

5. Kondisi pasar kerja;

6. Tingkat perkembangan perekonomian dan pendapatan per kapita.

Sementara menurut Pasal 4 Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 17 Tahun

2005, faktor-faktor yang harus dipertimbangkan meliputi:

1. Kebutuhan Hidup Layak (KHL)237

2. Produktivitas (jumlah Produk Domestik Regional Bruto/PDRB :

jumlah tenaga kerja pada periode yang sama) 238

3. pertumbuhan ekonomi (pertumbuhan nilai PDRB) 239

4. Usaha yang paling tidak mampu (marginal)

Dengan berdasarkan ketentuan tersebut di atas, jelas bahwa perumusan dan

penetapan upah minimum tidak dapat dilakukan sekehendak hati begitu saja atau

dianggap sebagai sesuatu yang sudah begitu adanya, melainkan harus berdasarkan

hal-hal tertentu seperti nilai Kebutuhan Hidup Layak dengan dikaitkan pada hal-

236 Kebutuhan Hidup Layak sebagai dasar dalam penetapan upah minimum merupakanpeningkatan dari kebutuhan hidup minimum (Pasal 2 ayat [1] Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.17 Tahun 2005)

237 Pasal 88 ayat 4 UU No. 13/2003.238 Ibid.239 Ibid.

Page 195: Mogok Kerja Oleh serikat

189

hal lainnya sebagaimana disebutkan dalam Pasal 88 ayat (4) UU No. 13 Tahun

2003. Keenam variabel menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 01 Tahun

1999, yang kemudian dijadikan empat oleh Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.

17 Tahun 2005 tersebut harus menjadi faktor determinan dalam penentuan

besaran upah minimum.

Kendati besaran upah minimum yang ditetapkan secara normatif pada

dasarnya harus mengacu pada keenam variabel tadi, namun dalam prakteknya

variabel yang dominan diperhitungkan adalah tingkat kemampuan, perkembangan

dan kelangsungan perusahaan. 240 Dengan kata lain, kemampuan dan

perkembangan serta kelangsungan usaha ke depannya menjadi prioritas utama

yang dipertimbangkan. Artinya, kondisi keuangan perusahaan dijadikan patokan

dalam hal menentukan jumlah upah kepada buruh. Hal ini terlihat dari sikap dan

pandangan pemerintah dalam hal apabila upah minimum yang ditetapkan dan juga

soal kebijakan yang menyangkut kesejahteraan buruh mendapatkan tentangan dari

masyarakat. Seringkali pendapat yang dilontarkan oleh pemerintah adalah

mengatakan “apa artinya upah naik apabila buruh kemudian kehilangan pekerjaan

akibat di-PHK karena perusahaan bangkrut dan tutup.”

Meskipun pendapat atau argumentasi yang disampaikan pemerintah ini

sekilas nampak ‘membela’ kepentingan buruh, namun sesungguhnya disampaikan

tanpa dasar perhitungan yang rasional. Selain itu, pendapat pemerintah yang

demikian merupakan wujud nyata dari lebih diakomodasinya suara para pemilik

modal dan pengusaha. Sebagaimana telah disampaikan pada awal-awal tulisan ini

240 Iskandar, A. Muhaimin, Op. Cit. halaman 98.

Page 196: Mogok Kerja Oleh serikat

190

bahwa dalam setiap momentum kenaikan upah minimum, kalangan pengusaha

dengan berbagai dalih selalu mengeluh bahwa hal itu memberatkan perusahaan;

tidak kondusif bagi dunia usaha, serta ‘mengancam’ akan melakukan PHK besar-

besaran.

Oleh sebagian pihak, tingkah laku kalangan pelaku usaha ini dipandang

tidak beralasan karena upah buruh hanya mempunyai porsi sekitar 10-35 persen

dari total biaya produksi.241 Sehingga kenaikan upah buruh yang hanya beberapa

persen tidak akan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap bertambahnya

biaya produksi. Selain itu, pendapat yang dilontarkan oleh pemerintah dan

kalangan pengusaha ini tidak mengungkapkan persoalan yang sebenarnya

menyebabkan high cost economy dan keuangan perusahaan tidak efisien.

Persoalan tersebut ialah besarnya pungutan―yang tidak ada kaitannya dengan

biaya produksi yang menjadi hitungan bisnis―yang harus dibayar pengusaha

untuk menjalankan kegiatan usahanya.

Meskipun kemampuan perusahaan secara formal hanya menjadi salah satu

faktor, namun dalam prakteknya cenderung menjadi bahan pertimbangan utama.

Hal ini tentu kurang menguntungkan dan bahkan tidak adil bagi buruh. Makna

kemampuan perusahaan untuk membayar lebih sering diasosiasikan dengan

kondisi di mana perusahaan tidak memperoleh laba atau mengalami kerugian.

Artinya, pembayaran upah yang didasarkan kepada kemampuan perusahaan

seringkali diterapkan ketika perusahaan mengalami kerugian atau keuntungan

yang diperoleh perusahaan tidak sesuai target. Sedangkan sebaliknya ketika

241 Lihat misalnya: Kompas, edisi 9 Januari 1995; Maryoto, Andreas, “Aksi Buruh vsInvestor Hengkang”, dalam www.kompas.com/kompas-cetak/0106/24/nasional/aksi28.htm.

Page 197: Mogok Kerja Oleh serikat

191

perusahaan memperoleh keuntungan yang sesuai target atau lebih, buruk tidak

ikut menikmati atas keuntungan yang diperoleh perusahaan tersebut.

Selain itu, penentuan jumlah upah yang didasarkan pada kondisi keuangan

dan kemampuan perusahaan mengandung banyak persoalan. Menurut Roekmono

Markam, sejumlah persoalan tersebut antara lain adalah242:

a. pembayaran dan kenaikan upah atas dasar kemampuan atau kondisikeuangan perusahaan akan mengacaukan struktur upah. Setiap usahauntuk mendasarkan pengupahan pada kemampuan perusahaan untukmembayar akan mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan yangsangat tajam di dalam hubungan antara tingkat upah dengan biayaproduksi, pola pertumbuhan ekonomi, tipe tenaga kerja yang dibutuhkan,sifat kegiatan dan operasional perusahaan, dan sebagainya.

b. Tingkat upah yang ditetapkan atas dasar ability to pay oleh suatuperusahaan atau industri pada tahun-tahun yang luar biasamenguntungkan akan menghalangi atau memblokir turunnya biaya danharga jika tahun-tahun yang baik tersebt kemudian disusul oleh tahun-tahun yang suram.

c. Tingkat upah yang didasarkan kepada kemampuan membayar,khususnya jika ini dikaitkan dengan laba yang diperoleh perusahaan,akhirnya akan menghilangkan fungsi laba bagi perusahaan.Undistributed profits perusahaan akan menjadi berkurang, padahal untukitu adalah sumber yang terpenting untuk mengadakan reinvestasi danperluasan usaha. Lagi pula produksi datangnya tidak otomatis,melainkan harus induced. Bagi investor, laba atau profit inilah yangmerupakan factor perangsang untuk memulai atau memperluasproduksinya. Jika produksi berkurang atau berhenti maka lapangan kerjaakan berkurang pula dengan sendirinya.

d. Jika dikaitkan dengan laba, pembayaran dan kenaikan upah yangdidasarkan pada kemampuan perusahaan akan mudah menyebabkaninflasi karena profit mark-up dinaikkan lagi oleh produsen.

e. Jika suatu perusahaan atau industri tertentu dapat membayar upah yanglebih tinggi atas dasar kemampuan perusahaan untuk membayardibanding perusahaan atau industri lainnya, maka industri atauperusahaan yang berani membayar upah yang lebih tinggi itu akan dapatmenarik pekerja-pekerja yang cakap dan efisien dari perusahaan-perusahaan dan industri yang tidak dapat membayar upah tinggi. Dengandemikian maka akan mudah timbul rasa iri hati di kalangan buruh yangberupah rendah, dan mereka akan menyalahkan managemen sebagai

242 Markam, Roekmono, Op. Cit. halaman 34.

Page 198: Mogok Kerja Oleh serikat

192

tidak cakap dan tidak efisien. Akibatnya buruh yang terampil akan laridari perusahaan dan industri yang menurut pandangan mereka dapatbekerja lebih efisien, mendapat laba banyak dan sanggup membayarupah tinggi.

D. Tinjauan Mengenai Konflik Kepentingan dalam Penentuan dan

Penetapan Upah Minimum

1. Hubungan Industrial Pancasila

Antara kaum buruh dengan kaum pemilik modal, terdapat perbedaan

kepentingan yang bahkan saling bertolak belakang dan berpotensi melahirkan

konflik di dalam sebuah hubungan industrial. Konflik yang terjadi di dalam

hubungan industrial dalam skala tertentu dapat mengganggu pelaksanaan

program-program pembangunan yang telah diagendakan, utamanya dibidang

ekonomi. Atas dasar pemikiran yang demikian ini, Indonesia kemudian berusaha

mengembangkan serangkaian kebijakan yang berpijak pada klaim ideologi yang

dianut oleh Indonesia yang ditujukan untuk menciptakan suatu hubungan

industrial yang harmonis dan meminimalisir konflik.

Kebijakan-kebijakan tersebut pada dasarnya dikembangkan dan dijalankan

dengan berangkat dari sutau gagasan tentang sistem hubungan industrial yang

berpola menghindari konflik sebagai satu hal yang prinsipil karena dianggap tidak

sesuai dengan nilai budaya Indonesia.243 Sistem hubungan industrial dengan pola

menghindari konflik ini kemudian dikenal dengan istilah Hubungan Industrial

Pancasila (HIP).

243 Hadiz, Vedi R, Op. Cit., halaman 49

Page 199: Mogok Kerja Oleh serikat

193

Gagasan HIP pada awalnya diberi nama Hubungan Perburuhan Pancasila

(HPP) pertama kali dilontarkan pada tahun 1966 oleh menteri perburuhan pada

masa itu244 dan mulai gencar disosialisasikan pada waktu seminar nasional tentang

HPP pada tanggal 4-7 Desember 1974 di Jakarta. Konsep HPP yang kemudian

pada tahun 1985 berubah nama menjadi HIP (Hubungan Industrial Pancasila)

dirumuskan sebagai hubungan antara para pelaku dalam proses produksi barang

dan jasa yang didasarkan pada nilai yang merupakan manifestasi Pancasila dan

UUD 1945 serta berkembang di atas kepribadian bangsa dan kebudayaan nasional

Indonesia. Hubungan Industrial Pancasila diatur dan diperinci dalam Keputusan

Menteri Tenaga Kerja No. 645 Tahun 1985 Tentang Pedoman Pelaksanaan

Hubungan Industrial Pancasila.

Berbeda dari sistem liberal maupun sistem sosialis yang berakar dari

pemikiran Marx, menurut konsep HIP secara teoritis kedudukan buruh bukan

merupakan faktor produksi yang tersubordinasi, melainkan merupakan mitra

(partner) yang setara dengan pengusaha. Hubungan buruh dengan majikan

bersifat partnership (kemitraan), di mana buruh dan majikan merupakan mitra

dalam produksi, dalam keuntungan dan dalam tanggung jawab. Mekanisme yang

digunakan untuk menyelesaikan persoalan yang timbul dalam hubungan industrial

adalah komunikasi, perundingan dan musyawarah dalam suasana kerjasama antara

perusahaan dan buruh.245

244 Cahyono, Edy dan Soegiri D. S., 2003, Gerakan Serikat Buruh; Jaman Kolonial HindiaBelanda Hingga Orde Baru (1998), Hasta Mitra, Jakarta, halaman 150.

245 Suroto, Ari, Op. Cit., halaman 32.

Page 200: Mogok Kerja Oleh serikat

194

Hubungan Perburuhan (Industrial) Pancasila di dasari tiga prinsip yang

menjadi kerangka dalam implementasinya. Ketiga prinsip tersebut adalah:

1). Prinsip rumongso handarbeni, yaitu prinsip merasa ikut memiliki

(partner in profit and partner in production);

2). Prinsip melu harungkebi, yaitu prinsip bahwa buruh mempunyai

tanggung jawab bersama dengan pengusaha untuk mempertahankan dan

memajukan produksi; dan

3) Prinsip prinsip sarira hangroso wani, yaitu prinsip keberanian untuk

mawas diri. Dengan kata lain, konsepsi HPP/HIP merupakan sebuah

reaksi dan kontra-gagasan terhadap model dan sistem hubungan

industrial yang dikembangkan pada era sebelum tahun 1966 yang

dianggap terlalu radikal.

Di dalam konsep HIP, buruh dan pengusaha digolongkan sebagai “satu

keluarga” dan mempunyai kepentingan yang sama. Oleh karena itu, buruh

berkewajiban meningkatkan produksi terus menerus demi kemajuan perusahaan;

pengusaha berkewajiban membagi keuntungan demi peningkatan kesejahteraan

buruh dan keluarganya. Tanggungjawab bersama buruh dan pengusaha dalam

proses produksi sekaligus juga diartikan sebagai tanggungjawab kepada

masyarakat, kepentingan negara dan Tuhan Yang Maha Esa.

Hubungan Industrial Pancasila secara keseluruhan dioperasikan institusi

tripartit antara organisasi buruh yang berada dibawah kontrol dan hegemoni

negara, yaitu SPSI, organisasi pengusaha, yakni APINDO, dan unsur pemerintah

(Departemen Tenaga Kerja). Kegiatan melaksanakan konsepsi HIP oleh lembaga

Page 201: Mogok Kerja Oleh serikat

195

tripartit kemudian didukung dan di-back-up oleh komando teritorial institusi

militer (Kodam, Korem, Kodim dan Koramil).

Pada kenyataannya, HPP/HIP dengan didukung pendekatan keamanan yang

ketat, telah mampu menjadi penopang ketenangan gerak industrialisasi, tetapi

belum mampu menjadi sebuah kekuatan dan mekanisme efektif untuk

peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan buruh.246 Hal ini terbuktikan dari

pengalaman sejarah selama konsepsi HPP/HIP diaplikasikan dalam hubungan

industrial. Tatkala mekanisme yang disediakan dalam konsep HPP/HIP digunakan

untuk menyelesaikan persoalan hubungan industrial yang muncul, hasilnya dilihat

dari segi kepentingan buruh banyak tidak memuaskan.247

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) pada tahun 1995memberikan analisis bahwa rezim Orde Baru melalui konsep HIP sebagaiideologi hubungan industrial di Indonesia, perangkat hukum yang adamemperkenalkan dan menekankan model korporatis dan paksaan dengangaya ‘komando’ represif. Konsep HIP telah menghias peraturan perundang-undangan secara marginal supaya memberikan kesan legal danmemperindah aspek-aspek yang lebih brutal.248

2. Kepentingan pengusaha

Apa yang menjadi kepentingan pengusaha dalam konteks pengupahan

dewasa ini, tidak berbeda dengan kepentingan pengusaha pada beberapa abad

yang lalu. Kepentingan tersebut adalah meraih keuntungan yang sebesar-besarnya

dari kegiatan ekonomi yang dilakoninya. Keuntungan tersebut dapat diperoleh

246 Wibawanto et all, 1998, Siasat Buruh Dibawah Represi, Lapera Pustaka Utama,Yogyakarta, halaman 23.

247 Suroto, Ari, Op. Cit. halaman 33.248 Fenwick, Colin et all, Op. Cit., halaman 10-13.

Page 202: Mogok Kerja Oleh serikat

196

secara optimal apabila supply and demand setidaknya dalam keadaan seimbang.

Terlebih lagi apabila permintaan pasar (demand) lebih besar daripada persediaan

barang yang menjadi komoditas. Hal ini tentunya mensyaratkan kegiatan produksi

yang efisien.

Bagi pengusaha, upah yang ideal adalah upah yang mampu mendukung

kegiatan produksi yang efisien, yaitu mencerminkan ciri-ciri sebagai berikut249:

a. Adil (Internally Equitable)

Artinya seorang pegawai dibagian tertentu dibayar relatif sama denganpegawai departemen lainnya jika mereka melakukan pekerjaan yangsetara meskipun dengan latar belakang profesi yang berbeda;

b. Bersaing (Externally Competitive)

Sistem pengupahan suatu perusahaan seyogyanya juga memperhatikanperusahaan-perusahaan lainnya terutama saingannya, agar supaya tidakketinggalan.

c. Sederhana (Administratively Efficient)

Suatu sistem pengupahan seyogyanya bersifat sederhana sehinggamudah dilaksanakan oleh pihak-pihak yang mengelola pengupahan;

d. Terjangkau (Affordable)

Perusahaan dalam menyusun sistem pengupahannya haruslahmempertimbangkan kemampuannya. Suatu sistem pengupahan yangbagus tetapi tidak terjangkau oleh perusahaan akan menjadi bumerang.

e. Sesuai dengan Undang-Undang Pemerintahan (Defensible)

Di negara manapun juga pemerintah selalu ikut campur dalam masalahpengupahan ini dengan mengeluarkan undang-undang dan peraturan-peraturan pemerintah.

f. Di mengerti oleh Karyawan (Explainable)

Suatu sistem pengupahan yang baik haruslah mudah dijelaskan agarsupaya bisa dimengerti dan di terima oleh pegawai.

g. Menunjang Keberhasilan Perusahaan (Goal Oriented)

Suatu sistem pengupahan haruslah pararel dengan strategi perusahaansehingga merupakan faktor pembantu atau penunjang bagi perusahaanuntuk mencapai objektifnya.

249 Rachman, Hassanudin, Loc. Cit.

Page 203: Mogok Kerja Oleh serikat

197

Upah sebagai bagian dari biaya produksi dan merupakan pengeluaran

dibidang penyediaan faktor produksi, harus ditekan serendah mungkin untuk

mendapatkan efisiensi produksi. Secara yuridis normatif, upah minimum yang

ditetapkan pemerintah yang pada dasarnya ditujukan untuk pekerja yang

mempunyai masa kerja kurang dari satu tahun, maka apabila mengalami kenaikan

akan menyebabkan ‘upah sundulan’ mengalami kenaikan juga. Kendati untuk

kenaikan upah sundulan besarannya ditentukan oleh hasil perundingan bipartit

antara pekerja dengan perusahaan secara langsung, namun tidak urung kenaikan

upah minimum tetap akan memberikan dorongan bagi kenaikan upah sundulan.

Di tengah sistem perdagangan dunia yang sudah mengarah pada

perdagangan bebas dan menyebabkan persaingan yang ketat antar industri, maka

hanya perusahaan yang mampu melakukan efisiensi produksi dengan optimal

yang akan mampu merebut dan bertahan dalam pasar.

Di sisi lainnya, bagi perusahaan sub-kontrak atau perusahaan pemborong

pekerjaan yang mana keberlangsungannya mengandalkan kontrak-kontrak

produksi dari perusahaan-perusahaan dari luar negeri, kenaikan upah minimum

akan menyebabkan melemahnya daya saing dengan perusahaan-perusahaan sub-

kontrak dari negara lainnya untuk memperebutkan kontrak-kontrak produksi.

Selain itu, banyaknya jenis pungutan yang tidak ada sangkut-pautnya dengan

perhitungan biaya produksi secara bisnis yang harus dibayarkan oleh pengusaha

untuk menjalankan kegiatan usahanya menyebabkan biaya operasional perusahaan

secara keseluruhan membengkak dan tidak mencerminkan efisiensi. Oleh karena

itu, jika upah buruh tidak ditekan serendah mungkin, maka perusahaan tidak akan

Page 204: Mogok Kerja Oleh serikat

198

mampu bersaing dalam pasar akibat tingginya ongkos yang harus dikeluarkan

untuk memproduksi barang dan/atau jasa.

Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa kegiatan ekonomi di Indonesia

memerlukan biaya tinggi (high cost economy) karena untuk dapat menjalankan

kegiatan usaha di Indonesia dengan lancar, para pelaku usaha harus membayar

berbagai macam pungutan yang apabila diakumulasikan didapati jumlah yang

besar. Pungutan yang harus dibayarkan oleh pelaku usaha sebagian tidak dapat

diketahui atau diprediksi sebelumnya serta tidak dapat dipertanggungjawabkan

secara rasional maupun legal. Banyak faktor dan sebab yang menimbulkan

ekonomi biaya tinggi.

Pertama, birokrasi di Indonesia berbelit-belit sehingga urusan birokrasi

menjadi rumit. Hal ini sudah menjadi keluhan yang umum dilontarkan oleh

kalangan pelaku industri dan usaha yang beroperasi di Indonesia. Rumitnya

perizinan dan berbelitnya struktur birokrasi mempunyai konsekuensi

diperlukannya waktu yang lama untuk mengurus segala sesuatu yang sifatnya

administratif.

Saat ini, untuk perizinan baru wajib amdal (analisis mengenai dampak

lingkungan), investasi yang berasal dari modal dalam negeri membutuhkan 27 izin

dengan waktu yang dibutuhkan secara normatif adalah 482 hari. Sementara untuk

Penanaman Modal Asing (PMA) membutuhkan 28 izin dengan waktu 489 hari.

Sedangkan untuk usaha yang tidak wajib amdal, perizinan yang dibutuhkan

PMDN mencapai 28 jenis yang memakan waktu normatif 527 hari dan 29 jenis

perizinan dengan waktu 534 hari untuk PMA. Akan tetapi, berdasar pengalaman

Page 205: Mogok Kerja Oleh serikat

199

yang ada selama ini untuk mendapatkan semua izin yang diperlukan dalam hal

usaha wajib amdal waktu yang dibutuhkan bisa mencapai 1.400 hari dan usaha

yang tidak wajib amdal mencapai 1.200 hari. 250 Hal ini bertentangan dengan

karakter kegiatan usaha yang cenderung untuk melakukan sesuatu dalam tempo

yang sesingkat-singkatnya. Kondisi yang demikian ini telah memberikan peluang

terjadinya praktek suap-menyuap atau ‘pungutan liar’ yang melibatkan oknum-

oknum yang duduk di jajaran birokrasi―mulai dari yang duduk di level atas

sampai yang bawah―apabila urusan administratif ingin lancar dan cepat.

Kedua, pemahaman yang keliru tentang kebijakan otonomi daerah oleh

pemerintah daerah. Melalui kebijakan otonomi daerah, pemerintah daerah diberi

keleluasaan untuk merencanakan program-program pembangunan yang sesuai

dengan potensi dan keadaan riil daerah masing-masing. Artinya, penerapan

kebijakan otonomi daerah diharapkan dapat membuat potensi daerah tergarap

secara optimal. Sehingga akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat

dan pembangunan nasional secara umum dapat memperoleh hasil yang optimal

dan tepat sasaran karena berbasiskan kondisi empiris.

Otonomi daerah adalah kebijakan yang pada dasarnya dilandasi hasrat untuk

mendekatkan pelayanan kepada masyarakat dan memotong rantai birokrasi yang

terlalu panjang serta untuk mempercepat perwujudan kesejahteraan masyarakat.

Inti dari kebijakan otonomi daerah adalah desentralisasi dan dekonsentrasi.

Urusan-urusan yang dapat di-cover daerah tidak lagi dikerjakan oleh pemerintah

pusat. Dengan demikian pelayanan publik dalam bidang administratif dapat

250 Jawa Pos, edisi 7 Mei 2007.

Page 206: Mogok Kerja Oleh serikat

200

didekatkan kepada masyarakat. Implikasi yang diharapkan dengan mendekatkan

pelayanan yang sifatnya publik kepada masyarakat adalah menjadi katalisator bagi

terbangunnya suasana yang kondusif untuk investasi dan kegiatan perekonomian.

Akan tetapi dalam prakteknya selama ini otonomi daerah cenderung

dipahami sebagai program untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD)

sebesar-besarnya. Pemerintah daerah justru mengeluarkan berbagai kebijakan dan

beragam peraturan daerah (Perda) untuk melegalisasi pungutan-pungutan (pajak

dan retribusi) guna menambah PAD.

Pada beberapa kasus, pungutan pajak atau retribusi kabupaten/kota tumpang

tindih dengan pajak atau retribusi yang diambil oleh propinsi. Pemerintah propinsi

telah memungut pajak, namun pemerintah kabupaten/kota pun menarik pajak lagi

atas obyek yang sama, sehingga masyarakat umum dan para pelaku usaha

mengalami pungutan rangkap.

Ketiga, buruknya infrastruktur fisik seperti jalan raya, misalnya, telah

menyebabkan pengiriman barang dari satu daerah ke daerah lainnya, atau proses

pengiriman barang dari gudang pabrik menuju pelabuhan memakan waktu yang

lama. Kondisi jalan yang buruk juga telah memberikan peluang munculnya

praktek-praktek premanisme dan tindak kriminal lainnya serta pungutan liar dari

aparat keamanan. Akibatnya, ongkos pengangkutan menjadi mahal.

Di luar ketiga faktor tadi sebenarnya masih banyak penyebab ekonomi biaya

tinggi. Akan tetapi, ketiga faktor itu-lah yang paling nyata menyumbangkan

ekonomi biaya tinggi.

3. Kepentingan Negara

Page 207: Mogok Kerja Oleh serikat

201

Berbicara mengenai buruh tentu tidak dapat dilepaskan dengan yang

namanya industri, sedangkan membahas tentang masalah-masalah di sekitar

sektor perburuhan pada konteks Indonesia, tidak akan menemukan akar

masalahnya apabila tidak menyangkut pembahasan soal program industrialisasi

nasional. Program industrialisasi nasional dikembangkan dengan membawa cita-

cita menciptakan kemakmuran bagi seluruh rakyat, dalam pengertian; kebutuhan

barang dan jasa tercukupi, masyarakat punya daya beli, karena penghasilan yang

layak disertai produktivitas tinggi, serta ilmu pengetahuan dan teknologi

berkembang maju secara adil dan merata.251

Pasar kerja di Indonesia merupakan cerminan suatu perekonomian dualistik

yang ditandai oleh lapangan kerja di sektor modern (formal) yang relatif kecil dan

sektor tradisional atau informal yang sangat besar, yang mencerminkan adanya

‘surplus’ tenaga kerja.252 Sampai saat ini, kegiatan-kegiatan ekonomi agraris yang

berciri subsistensi masih mendominasi struktur ekonomi Indonesia. Kegiatan

ekonomi subsistensi ini masih mendominasi sehingga berbagai sektor masih

didominasi oleh lapangan kerja di pedesaan dan kegiatan ekonomi informal di

perkotaan.253

Kegiatan pembangunan dibidang ekonomi serta berbagai upaya menarik

investasi dilakukan dalam kerangka untuk mentransformasikan pekerja disektor

251 Oktavianus, Dominggus, Op. Cit.252 Bappenas, 2003, ringkasan eksekutif Kebijakan Pasar Tenaga Kerja dan Hubungan

Industrial Untuk Memperluas Kesempatan Kerja.253 Iryanti, Rahma, “Kualitas Tenaga Kerja: Mengantisipasi Perubahan Dalam Pasar Kerja”,

makalah pada lokakarya Kebijakan Pasar Tenaga Kerja dan Hubungan Industrial UntukMemperluas Kesempatan Kerja, Surabaya 16 September 2003.

Page 208: Mogok Kerja Oleh serikat

202

informal dan tradisional ke pekerjaan-pekerjaan sektor modern (formal). Makna

praktis industrialisasi adalah memajukan tenaga produktif menjadi lebih modern,

dapat diakses secara massal, dan tinggi kualitas. 254 Sehingga program yang

dikerjakan adalah dalam rangka memfasilitasi perpindahan atau transformasi dari

sektor informal yang produktivitas dan tingkat kesejahteraannya rendah menuju

sektor formal yang lebih produktif dan memberikan upah yang lebih tinggi.255

Maksud dari transformasi pekerja informal menjadi pekerja formal ialah dengan

menjadi pekerja formal, pekerja dapat lebih diproteksi dan kesejahteraannya pun

akan dapat lebih dijamin.

Sebagaimana telah dipaparkan di atas bahwa program industrialisasi

berhadapan dengan masalah modal. Ketidakmampuan negara menyediakan modal

yang dibutuhkan membuat negara menginsafi bahwa tidak akan mampu

mengerjakan program-program pembangunan―termasuk didalamnya adalah

program industrialisasi―untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan

mengurangi jumlah penduduk yang miskin, tanpa keterlibatan swasta domestik

maupun asing. Sebagai contoh, untuk menekan jumlah penduduk miskin dari 36

juta jiwa menjadi 17 juta penduduk, setidaknya ekonomi harus tumbuh 6,6 persen,

dan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar itu dibutuhkan investasi

langsung minimal US $ 426 miliar atau Rp. 3.834 triliun per tahun. Akan tetapi,

pemerintah hanya bisa memenuhi sekitar US $ 68 miliar.256

254 Oktavianus, Dominggus, Op. Cit.255 Bappenas, 2003, Op. Cit.256 Jawa Pos, 11 Juli 2007.

Page 209: Mogok Kerja Oleh serikat

203

Akan tetapi, dalam konteks industrialisasi, arti ‘swasta’ disini lebih

bermakna investor dan modal yang berasal dari luar negeri (asing). Hal ini tidak

lain karena terbatasnya jumlah swasta domestik yang mempunyai kapabilitas dan

kapasitas untuk membangun industri. 257 Di samping itu, faktor lain yang

mempengaruhinya adalah rendahnya tingkat penguasaan teknologi, padahal

penguasaan teknologi merupakan salah satu determinan dalam hal pengembangan

industri. Sejauh mana strategi industrialisasi mampu dijalankan akan ditentukan

oleh kemampuan pembiayaan (kemampuan menyediakan modal), dukungan

sumber daya manusia dan tingkat penguasaan teknologi.

Dengan adanya operasi modal asing di dalam wilayahnya, suatu negara akan

lebih mudah untuk mengerjakan program industrialisasi dan menciptakan

lapangan kerja bagi rakyatnya. Selain itu, suatu negara sekaligus juga lebih mudah

mendapatkan pangsa pasar di dunia dibanding dengan cara mengusahakannya

sendiri. 258 Sehingga dalam kerangka memacu pertumbuhan ekonomi,

menggabungkan diri dengan operasi modal internasional relatif lebih

menguntungkan suatu negara dalam hal mengembangkan perekonomiannya.

Pada tataran ini, konsekuensi yang dipikul oleh negara adalah timbulnya

watak ketergantungan kepada swasta menjadi begitu dominan. Sehingga yang

terjadi selanjutnya adalah, akibat ketidakmampuan dalam hal menyediakan modal,

mendorong negara mengadakan berbagai macam cara untuk membuat agar

257 Lihat: Razif, “Pengalaman Kelas Buruh dan Industri Manufaktur di Indonesia”, dalamWibawa, Aris (penyunting), Op. Cit., halaman 15.

258 Ibid.

Page 210: Mogok Kerja Oleh serikat

204

investor betah menanamkan investasinya dan untuk menarik penanaman modal

yang lebih besar di Indonesia. Intinya, negara berusaha mengakomodasi seoptimal

mungkin apa yang menjadi kebutuhan dan kepentingan pemilik modal (investor).

Kebijakan-kebijakan yang diambil negara, meskipun mungkin bertolak dari ide

untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat, namun kebijakan dan program-

program tersebut dibuat dan dikembangkan dalam perspektif dan dengan tolok

ukur kepentingan modal. Lebih jelasnya, negara mempunyai kepentingan menjaga

kondisi ekonomi makro agar tetap kondusif dan menarik bagi penanaman

investasi.

Negara sangat mengkhawatirkan terjadinya suatu kondisi yang membuat

investor tidak tertarik untuk menanamkan atau mempertahankan investasi yang

telah ditanamkan. Namun sayangnya, tindakan yang ditempuh untuk menghindari

agar Indonesia tidak terjebak dalam suatu kondisi yang tidak kondusif bagi

investasi, selama ini sifatnya cenderung parsial dan kadangkala justru mendistorsi

usaha menciptakan kesejahteraan rakyat.

Fenomena relokasi industri dan hengkangnya modal dari Indonesia ke

negara-negara berkembang lainnya belakangan ini, yang ditanggapi dengan sikap

pesimisme dan menghamba, menunjukkan bahwa pada dasarnya bangunan

perekonomian secara umum dan arsitektur industrialisasi nasional tidak

mempunyai struktur yang kuat.

Dalam kaitannya dengan masalah perburuhan, jika pada masa sebelum krisis

kebijakan-kebijakan yang cenderung anti-buruh dibuat dengan tujuan untuk

menarik investasi sebesar-besarnya, maka sejak krisis ekonomi hingga pada masa

Page 211: Mogok Kerja Oleh serikat

205

sekarang ini tujuan penerapan kebijakan yang anti-buruh dimaksudkan untuk

menghindari hengkangnya modal dan relokasi industri dari Indonesia.

Kepentingan pemerintah untuk menahan laju peningkatan upah buruh kearah yang

lebih baik dan layak secara manusiawi adalah untuk mempertahankan keadaan

‘bersahabatnya’ sektor ketenagekerjaan Indonesia terhadap investasi. Kenaikan

upah minimum yang tinggi dan berlangsung dalam beberapa tahun mulai

berdampak pada keunggulan komparatif Indonesia di industri-industri padat karya

yang dimasa lalu sangat berperan dalam menyumbang kinerja ekonomi Indonesia

secara umum.

Sejak dihantam krisis ekonomi pada tahun 1997, GDP Indonesia menurun

drastis jika dibandingkan dengan masa-masa sebelum krisis. Selain itu, arus

investasi asing yang masuk ke Indonesia pun tidak sebanding dengan arus modal

yang keluar dari Indonesia. Sehingga akibatnya pertumbuhan ekonomi berjalan

sangat lambat. Atas fenomena ini dan kejadian relokasi industri serta

hengkangnya beberapa investasi dari Indonesia, sektor perburuhan dituding

sebagai penyebabnya.

Oleh sebagian investor asing yang menanamkan modalnya di Indonesia,

hukum perburuhan yang berlaku di Indonesia (UU No. 14 tahun 1969 Tentang

Pokok-pokok Perburuhan) dipandang terlalu melindungi buruh serta kurang

mendukung investasi dan gerak modal. Agaknya pemerintah Indonesia

mengakomodasi keluhan ini, sehingga pada tahun 2003, dikeluarkanlah UU No.

13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan sebagai pengganti dari UU No. 14 tahun

Page 212: Mogok Kerja Oleh serikat

206

1969.259 Secara substansial, materi yang dibawa oleh UU No. 13 Tahun 2003

memberi pengaturan yang lebih luwes jika dibandingkan dengan materi di dalam

Undang-Undang No. 14 tahun 1969.

Selain itu, Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 merupakan jawaban dari

kebutuhan pemilik modal atas struktur ketenegakerjaan yang fleksibel. Legalisasi

sistem kerja kontrak dan diperkenalkannya sistem outsourcing oleh Undang-

Undang No. 13 Tahun 2003 merupakan upaya untuk mewujudkan fleksibilitas

pasar tenaga kerja di Indonesia.

Bagi pemerintah, dengan mengakomodasi apa yang diingini oleh investor,

diharapkan peristiwa pelarian modal dari Indonesia dapat ditekan dan bahkan

mampu menarik minat penanaman modal di Indonesia. Sehingga pada akhirnya

diharapkan kinerja ekonomi Indonesia dapat kembali pulih seperti saat sebelum

krisis pada tahun 1997.

Dalam banyak kajian tentang realitas perburuhan dan pasar kerja, yang

selalu menjadi tolok ukur keberhasilan adalah banyaknya investasi yang masuk.260

259 Sebelum Undang-Undang No.13 Tahun 2003 diterbitkan, sebagai respon atas tuntutaninvestor asing dan lembaga-lembaga donor internasional seperti IMF, World Bank, dan AsianDevelopment Bank agar pemerintah Indonesia memperbarui peraturan ketenegakerjaan untukdisesuaikan dengan perkembangan yang ada, pemerintah telah berusaha memberlakukan Undang-Undang No. 25 tahun 1997 sebagai pengganti Undang-Undang No. 14 Tahun 1969. Namun karenamendapat tentangan dan resistensi yang keras dari kalangan buruh, akhirnya pemerintah menundapemberlakuan Undang-Undang No. 25 tahun 1997 tersebut.

Baru pada era pemerintahan Habiebie Undang-Undang No. 25 Tahun 1997 diberlakukan.Walaupun mendapat sambutan yang negatif dan resistensi yang kencang dari buruh, undang-undang tersebut tetap diberlakukan. Akan tetapi pemberlakuan Undang-Undang No. 25 Tahun1997 tidak bertahan lama. Pada era pemerintahan Gus Dur, melalui Peraturan PemerintahPengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1 Tahun 2000, Undang-Undang No. 25 Tahun 1997dicabut keberlakuannya. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2000sekaligus memberlakukan kembali Undang-Undang No. 14 tahun 1969.

260 Ulum, Bachrul, “Keberpihakan Pada Buruh Melalui Kebijakan Tentang PenyelesaianPerselisihan Industrial”, makalah pada lokakarya Kebijakan Pasar Tenaga Kerja dan HubunganIndustrial Untuk Memperluas Kesempatan Kerja, Surabaya 16 September 2003.

Page 213: Mogok Kerja Oleh serikat

207

Namun di sisi lainnya, tenaga kerja dan buruh yang merupakan entitas serta faktor

penting dalam mengundang investasi tidak diberi perhatian yang memadai.

Padahal tanpa buruh, investasi yang masuk tidak mempunyai arti apa-apa dalam

pembangunan dan upaya mewujudkan pertumbuhan ekonomi.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kegagalan dari pembangunan

ekonomi akibat dari kebijakan dan program serta perencanaan yang tidak tepat

dibebankan kepada buruh. Kaum buruh kembali dipaksa untuk menjadi korban

dan tumbal guna menarik gerbong perekonomian yang sedang seret dalam rangka

mewujudkan obsesi pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Di sini, kaum buruh tidak

ditempatkan sebagai pelaku ekonomi yang memiliki hak yang sama dibanding

pemilik modal dan alat produksi yang bisa leluasa mengeruk untung sebesar-

besarnya.261

Pemerintah memang hingga saat ini masih terfokus penciptaan pertumbuhan

ekonomi yang tinggi dan belum berbicara soal distribusi serta pemerataan

pendapatan. Pertumbuhan ekonomi merupakan jawaban dari segala persoalan

kesejahteraan masyarakat. Sebagaimana diketahui bahwa masalah tingginya

jumlah pengangguran pada masa sekarang ini merupakan persoalan besar yang

dihadapi Indonesia dan sebagian besar negara-negara lainnya. Ledakan penduduk

dalam jumlah besar yang tidak diiringi ketersediaan lapangan pekerjaan,

merupakan ancaman sosial yang nyata. Bagi pemerintah, dengan adanya

pertumbuhan ekonomi, akan tercipta lapangan kerja sehingga masalah

261 Mahfud, Choirul, “Aksi Buruh dan Perbaikan Nasib”, www.surya-online.com, diaksespada tanggal 21 Februari 2007.

Page 214: Mogok Kerja Oleh serikat

208

pengangguran akan dapat di atasi. Oleh karenanya secara tidak langsung juga

akan memecahkan masalah kemiskinan secara luas.

Sejak krisis ekonomi 1997-1998, sudah banyak perusahaan asing yang

menutup pabriknya di Indonesia, mengurangi produksi, memindahkan fasilitas

produksinya ataupun mengalihkan ordernya ke negara lain.262 Akibatnya terjadi

PHK besar-besaran yang menyebabkan jutaan orang buruh kehilangan pekerjaan

dan beralih pada sektor ekonomi informal. Bagi pemerintah, ini merupakan gejala

yang tidak baik dalam hal pertumbuhan pendapatan nasional. Sektor ekonomi

informal selama ini dipandang mempunyai produktivitas yang rendah dan hanya

sebatas menjadi ‘katup’ pengaman sosial yang menampung tenaga kerja tidak

terampil sehingga tidak banyak memberikan andil terhadap pertumbuhan

pendapatan nasional.

Di tengah suasana liberalisasi investasi yang makin menguat, yang mana

mengakibatkan modal dapat berpindah dalam waktu singkat tanpa memperhatikan

kebutuhan pembangunan jangka panjang, 263 telah mengakibatkan pemerintah

semakin cemas akan kondisi perekonomian nasional. Namun disisi lainnya,

pemerintah juga mempunyai harapan dari liberalisasi investasi tersebut.

Diilhami pengalaman pada tahun 1980-an yang mana Indonesia mampu

menjaga daya saingnya dibandingkan dengan negara-negara dunia ketiga lainnya

262 Perusahaan-perusahaan asing yang merelokasi pabriknya, mengurangi kapasitas produksiatau mengalihkan order produksi ke negara lain antara lain adalah PT. Sony Elektrik Indonesia(perusahaan asal Jepang yang memproduksi barang-barang dan peralatan elektronik dengan merek‘SONY’) yang mengalihkan pabriknya ke Vietnam, PT. Kyung Dong (perusahaan asal KoreaSelatan yang memproduksi barang-barang peralatan rumah tangga dan kitchen set), produsensepatu merek Reebok yang mengalihkan order produksinya juga ke Vietnam, dan perusahaan-perusahaan lainnya.

263 Oktavianus, Dominggus, Op. Cit.

Page 215: Mogok Kerja Oleh serikat

209

karena tingkat upah buruh yang rendah, tetapi daya saing ini kemudian menurun

seiring dengan kenaikan upah minimum sejak awal dekade 1990-an.264 Maka,

dengan menekan kenaikan upah minimum yang disertai penerapan kebijakan

pasar tenaga kerja yang fleksibel serta peraturan ketenagakerjaan yang longgar,

Pemerintah Indonesia berharap dapat mempertahankan politik upah murah

sebagai daya tarik sehingga liberalisasi akan membawa masuk investasi pada

sektor riil sehingga akan mampu menyerap surplus tenaga kerja. Selain itu, lebih

jauh lagi pemerintah berharap bahwa investasi yang masuk akan membawa

teknologi sehingga akan mempercepat transfer teknologi dan pada akhirnya akan

meningkatkan daya saing di pasar global.265

4. Kepentingan Buruh

Sebagaimana manusia pada umumnya, dengan bekerja, buruh pun tentu

berharap dapat menjalani hidup secara layak dan kecukupan. Pada dasarnya buruh

tidak berbeda dengan manusia yang berasal dari kelompok lainnya, yakni agar

dapat memenuhi kebutuhan hidupnya manusia harus bekerja. Hanya saja kondisi

yang dihadapi buruh mempunyai karakter tertentu sehingga menempatkan buruh

sebagai kelompok dengan karakter yang spesifik dibanding dengan kelompok

warga masyarakat lainnya seperti petani atau pedagang.

264 Asian Development Bank, 2005, Jalan Menuju Pemulihan: Memperbaiki Iklim Investasidi Indonesia, halaman 7.

265 Ibid.

Page 216: Mogok Kerja Oleh serikat

210

Bagi buruh, kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup hampir

sepenuhnya ditentukan oleh upah yang diterima hasil dari menjual tenaga, waktu

dan perhatiannya kepada pemilik modal. Dengan jam kerja yang menghabiskan

sebagian besar waktu dan tenaga yang dimiliki buruh, membuat buruh hampir

tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan penghasilan sampingan di luar

upah untuk memenuhi kebutuhannya. Sehingga upah kemudian menjadi satu-

satunya penopang kehidupan buruh. Apalagi ditengah himpitan ekonomi yang

semakin deras dan harga barang-barang kebutuhan pokok yang terus melonjak,

upah menjadi begitu berarti.

Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila sebagian besar aksi-aksi protes

buruh yang ada selama ini sebagian besar berkaitan dengan masalah upah dan

kesejahteraan. Sebenarnya, tuntutan buruh atas kenaikan upah dan kesejahteraan

merupakan hal yang realistis dan sekaligus juga menguntungkan dunia usaha.

Upah yang layak akan meningkatkan daya beli buruh terhadap produk-produk

industri, sehingga memperluas pasar produk industri. Sebagaimana telah

dikemukakan oleh Engels bahwa pendapatan yang meningkat menyebabkan

persentase konsumsi makanan terhadap pendapatan justru menurun. Dengan kata

lain, kenaikan pendapatan tidak akan menaikkan konsumsi untuk makanan,

melainkan konsumsi barang-barang produk industri.266

Keyakinan yang melekat dalam benak buruh adalah buruh melalui tetesan

keringat dan bahkan darahnya telah turut memberikan sumbangan atas

266 Budiman, Arief, 1995, Op. Cit. halaman 46.

Page 217: Mogok Kerja Oleh serikat

211

keuntungan yang diperoleh perusahaan.267 Oleh karena itu buruh merasa wajar

apabila menuntut agar tingkat kesejahteraan dirinya dan keluarganya harus juga

mendapatkan perhatian yang proporsional. Dalam hal ini, setidaknya buruh dan

keluarganya mampu menjalani hidup secara layak menurut ukuran kemanusiaan

dengan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar yang oleh Eggi Sudjana kebutuhan

dasar disebutkan terdiri dari empat kebutuhan, yaitu268:

a. kebutuhan dasar untuk hidup, meliputi pangan, sandang, papan, air,udara, bahan baker, dan lain-lainnya;

b. kebutuhan yang mendukung kesejahteraan masyarakat danmeningkatkan kapasitas/produktivitas individu, meliputi pendidikan,pelayanan kesehatan, sarana komunikasi, transportasi, kelembagaansosial, kebebasan berpendapat, tersedianya pasar, dan lain-lainnya;

c. kebutuhan untuk meningkatkan akses (peluang memperoleh sesuatu)terhadap cara berproduksi dan peluang ekonomi, meliputi tanah, air,vegetasi, modal (termasuk teknologi), peluang bekerja, danberpenghasilan layak;

d. kebutuhan untuk hidup dengan rasa aman dan kebebasan untuk membuatkeputusan, meliputi penghargaan atas HAM, partisipasi dalam politik,keamanan sosial, pertahanan sosial dan peraturan yang adil bagi semualapisan masyarakat.

Dalam konteks upah, jumlah upah yang diterima buruh setidaknya, menurut

Mochtar Pakpahan, harus memadai untuk memenuhi269:

1. sandang, pangan, papan dan pelayanan kesehatan;2. biaya cuti tahunan; dan3. biaya pendidikan anak pekerja/buruh sampai ke jenjang perguruan

tinggi.

Bagi buruh, kebijakan negara yang menerapkan upah murah sebagai

keunggulan komparatif untuk menarik investasi sudah tidak relevan lagi. Upah

267 Gaharpung, Marianus, Loc. Cit.268 Khakim, Abdul, 2006, Aspek Hukum Pengupahan (Berdasarkan UU Nomor 13 Tahun

2003), Citra Aditya Bhakti, Bandung, halaman 4.269 Ibid., halaman 5.

Page 218: Mogok Kerja Oleh serikat

212

buruh yang murah bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi tingkat arus

masuk investasi. Hal ini dapat dibuktikan dengan realita yang terdapat di beberapa

negara di mana upah buruh di sana jauh lebih tinggi daripada upah buruh

Indonesia, akan tetapi negara-negara tersebut justru mampu menarik masuk

investasi lebih besar dibanding Indonesia. Sebagai contoh, Brunei Darussalam dan

Singapura, dua negara tetangga Indonesia yang mana upah buruhnya jauh lebih

tinggi dibanding upah buruh Indonesia, merupakan negara-negara yang masuk

peringkat sepuluh besar dalam urutan negara tujuan investasi dunia. Sedangkan

India dan Indonesia justru menduduki peringkat bawah dari urutan negara tujuan

investasi. 270

Tabel 1

Negara tujuan investasi dan upah buruh per jam271

No. Negara tujuan investasi dunia No urut Upah buruh/jam

1 Philipina 96 42 cents2 China 37 31 cents3 Indonesia 139 29 cents4 Vietnam 38 13 hingga 19 cents5 India 114 11 cents

Dari tabel di atas tersedia penjelasan yang menerangkan bahwa tidak

terdapat korelasi langsung antara upah buruh murah dengan tingginya arus

investasi asing yang masuk ke suatu negara.

270 Upah buruh di Malaysia sudah mencapai US $ 400 dan Thailand US $ 450, sedangkanIndonesia hanya berkisar US $ 100. (Kompas, edisi 11 Maret 2004)

271 diadopsi dari Setiawan dan Tambunan, Op. Cit.

Page 219: Mogok Kerja Oleh serikat

213

BAB IV

STUDI KASUS JAWA TIMUR

Page 220: Mogok Kerja Oleh serikat

214

A. Deskripsi Kasus Jawa Timur

1. Mekanisme Penetapan Upah Minimum di Provinsi Jawa Timur

Mekanisme penetapan upah minimum yang berlaku di Jawa Timur pada

dasarnya tidak berbeda dengan yang berlaku di wilayah provinsi lainnya. Jawa

Timur adalah sebuah provinsi yang menjadi bagian integral dari Indonesia. Secara

geografis, karakter topografi, kemajuan perekonomian maupun kultur

masyarakatnya dapat berbeda dengan wilayah atau provinsi lainnya. Akan tetapi

untuk soal hukum, segala peraturan hukum yang berlaku secara nasional, juga

berlaku di Jawa Timur. Dalam hal ini termasuk juga peraturan perundang-

undangan yang terkait dengan kebijakan upah minimum beserta mekanisme

penetapan upah minimum yang telah ditetapkan secara nasional.

Mekanisme dan prosedur yang sifatnya teknis di dalam penetapan upah

minimum di Jawa Timur mengacu pada ketentuan yang terdapat dalam Peraturan

Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-01/MEN/1999 Tentang Upah Minimum, yang

disempurnakan dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.

KEP-226/MEN/2000, dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.

PER-17/MEN/VIII/2005 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan

Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak.

Di dalam melakukan penghitungan atas nilai upah minimum yang hendak

direkomendasikan kepada gubernur, rumus yang dipakai Dewan Pengupahan

Provinsi adalah penjumlahan laju pertumbuhan ekonomi dan produktivitas tenaga

kerja dikalikan dengan KHL. Hasilnya kemudian ditambahkan dengan nilai

nominal upah minimum periode sebelumnya.

Page 221: Mogok Kerja Oleh serikat

215

Pada Bab III telah dijelaskan bahwa pertimbangan penetapan upah

minimum menurut Pasal 6 Permennaker No. 01 Tahun 1999 terdiri dari:

1. Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) – yang melalui Peraturan Menteri

Tenaga Kerja No. 17 Tahun 2005 diubah menjadi Kebutuhan Hidup

Layak272;

2. Indeks Harga Konsumen (IHK);

3. Kemampuan, perkembangan dan kelangsungan perusahaan;

4. Upah pada umumnya yang berlaku di daerah tertentu dan antar

daerah;

5. Kondisi pasar kerja;

6. Tingkat perkembangan perekonomian dan pendapatan per kapita.

Sementara menurut Pasal 4 Permenaker 17/2005 faktor-faktor yang harus

dipertimbangkan dalam penetapan upah minimum terdiri dari:

1. Kebutuhan Hidup Layak (KHL)273

2. Produktivitas (jumlah Produk Domestik Regional Bruto/PDRB:

jumlah tenaga kerja pada periode yang sama) 274

3. pertumbuhan ekonomi (pertumbuhan nilai PDRB) 275

4. Usaha yang paling tidak mampu (marginal)

272 Kebutuhan Hidup Layak sebagai dasar dalam penetapan upah minimum merupakanpeningkatan dari kebutuhan hidup minimum (Pasal 2 ayat [1] Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.17 Tahun 2005)

273 Pasal 88 ayat 4 UU No. 13 Tahun 2003.274 ibid.

275 ibid.

Page 222: Mogok Kerja Oleh serikat

216

Upah minimum berlaku sejak tanggal 1 Januari tahun berjalan dan

ditetapkan 60 hari sebelumnya (untuk UMP) dan 40 hari sebelumnya (untuk

UMK).

a. Kebutuhan Hidup Layak

Survei atas harga komponen-komponen KHL dilakukan oleh tim tripartit

yang terdiri dari unsur pemerintah, perwakilan pengusaha, dan perwakilan buruh.

Untuk pemerintah diwakili oleh Badan Pusat Statistik (BPS), perwakilan

pengusaha oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), dan perwakilan buruh

oleh perwakilan SP/SB dan dilakukan pada minggu pertama setiap bulannya.276

Hasil dari survei setiap bulan lalu diadakan rekapitulasi dan lalu dilakukan

perhitungan akhir nilai KHL. Nilai KHL akhir akan ditetapkan oleh Dewan

Pengupahan dan direkomendasikan kepada Bupati/Walikota setempat (untuk

UMK) ataupun kepada Gubernur (untuk UMP).

Survei KHL dilakukan sesuai dengan perhitungan komponen KHL dalam

Lampiran II Permenakertrans No.17 tahun 2005. Dikeluarkannya Permenakertrans

No. 17/2005 tersebut sesuai dengan pasal 89 ayat (4) UU No. 13 tahun 2003.

Permenakertans mengenai KHL ini untuk menyempurnakan komponen

Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) yang hanya 43 indikator menjadi 46

indikator.

b. Survei dan Penghitungan Nilai Kebutuhan Hidup Layak

276 Lampiran II Permenaker No.17 tahun 2005.

Page 223: Mogok Kerja Oleh serikat

217

Seperti yang telah diuraikan di muka, KHL terdiri atas 46 indikator yang

terbagi dalam VII bagian. Hal tersebut diuraikan dalam Lampiran II Permenaker

No. 17 tahun 2005. Di bawah ini tersaji uraian dalam bentuk tabel sesuai

Permenaker tersebut serta standar kualitas yang diatur dalam Permenaker dan

jumlah kebutuhannya.

Tabel 2Komponen Upah Menurut Permennaker No. 17 Tahun 2005

NO KOMPONEN KUALITAS/KALORI JML KEB SATUAN

I MAKANAN DAN MINUMAN

1. Beras Sedang(mentik) 10 kg

2. Sumber protein:

a. daging : daging / ayam sedang 0.75 kg

b. ikan segar : Bandeng/ Kembung/ Mujair

baik 1.2 kg

c. telur ayam telur ayam ras 1 kg

3. kacang-kacangan: tempe/tahu baik 4.5 kg

4. susu bubuk sedang 0.9 kg

5. Gula pasir sedang 3 kg

6. Minyak goremg curah 2 kg

7. sayuran : bayam / kangkung /

kol/ sawi / kacang panjang baik 7.2 kg

8. buah-buahan :pisang/pepaya baik 7.5 kg

9. karbohidrat lain(setara tepung terigu)

sedang 3 kg

10. a. teh celup 1 dus isi 25

b. kopi Sachet (Kapal ApiSpesial 100 gr)

4 75 gr

11. bumbu-bumbuan (nilai 1s/d 10) 15 %

II sandang

12. celana panjang / rok katun sedang 0.5 potong

13. kemeja lengan pendek/blus setara katun 0.5 potong

14. kaos oblong/BH sedang 0.5 potong

15. celana dalam sedang 0.5 potong

Page 224: Mogok Kerja Oleh serikat

218

16. sarung/ kain panjang sedang 0.083 helai

17. sepatu kulit sintetis 0.167 pasang

18. sandal jepit karet 0.167 pasang

19. handuk mandi 100 cm x 60 cm 0.083 potong

20. perlengkapan ibadah Sajadah, mukenah, dll 0.083 paket

III perumahan

21. sewa kamar sederhana 1 1 bulan

22. dipan/tempat tidur (90x200) No 3 polos* 0.021 buah

23. kasur dan bantal busa 0.021 buah

24. sprei dan sarung bantal katun sedang 0.167 set

25. meja dan kursi : plastik / kayu 1 meja/4 kursi 0.021 set

26. lemari pakaian kayu sedang 0.021 buah

27. Sapu ijuk sedang 0.167 buah

28. perlengkapan makan

a. piring makan polos 0.25 buah

b. gelas minum polos 0.25 buah

c. sendok dan garpu sedang 0.25 pasang

29. ceret aluminium ukuran 25 cm 0.042 buah

30. wajan aluminium ukuran 32 cm 0.042 buah

31. panci aluminium ukuran 32 cm 0.167 buah

32. sendok masak aluminium 0.083 buah

33. kompor minyak tanah 16 sumbu 0.042 buah

34. minyak tanah eceran 10 liter

35. ember plastik isi 20 liter 0.167 buah

36. listrik 450 watt 1 bulan

37. bola lampu : pijar/neon 25 watt/15 watt 0.5 buah

38. air bersih Standar PDAM* 2meterkubik

39. sabun cuci cream/deterjen 1.5 kg

IV pendidikan

40. bacaan/radio tabloid/4 band 4 eks

jumlah

V kesehatan

41. sarana kesehatan

a. pasta gigi 80 gram 1 tube

b. sabun mandi 80 gram 2 buah

c. sikat gigi produk lokal 0.25 buah

Page 225: Mogok Kerja Oleh serikat

219

d. shampo produk lokal 1 btl 100 ml

e. pembalut / alat cukur isi 10 1 dus

42. obat anti nyamuk bakar 3 dus

43. potong rambut salon/tkg cukur 0.5 kali

jumlah

VI transportasi

44. transport kerja dan lainnya angkutan 30 hari (PP)

jumlah

VII rekreasi dan tabungan

45. rekreasi daerah sekitar 0.167 kali

jumlah 1 s/d 45

46. tabungan

(2% dari nilai 1 s/d

45)

Sumber: Lampiran Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 17 Tahun 2005

Dari indikator-indikator tersebut lalu diadakanlah survei KHL yang

dilakukan oleh tim tripartit yang tergabung dalam Dewan Pengupahan di mana

untuk pemerintah diwakili oleh Badan Pusat Statistik (BPS), perwakilan

pengusaha & perwakilan SP/SB dengan perbandingan 2:1:1 dan dilakukan setiap

bulannya. Dewan Pengupahan tersebut menggunakan kuesioner survei KHL dan

mendatangi pasar-pasar besar yang telah ditetapkan sebagai pasar tempat survei

dengan kriteria pasar yang merupakan pasar tradisional yang menjual barang

secara eceran bukan pasar induk atau pasar swalayan dan sejenisnya. Kriteria

pasar tempat survei harga adalah:

a. bangunan fisik pasar relatif besar

b. terletak di daerah kota

c. komoditas yang dijual beragam

d. banyak pembeli

e. waktu keramaian berbelanja relatif panjang

Page 226: Mogok Kerja Oleh serikat

220

Setelah mengadakan survei harga KHL dengan menayakan kepada 3 (tiga)

responden di setiap pasarnya, tim tripartit mengolah data harga tersebut. Dari

ketiga responden diambil harga rata-rata. Juga terhadap indikator yang memiliki

pilihan seperti ikan yang terdiri dari ikan kembung, mujair atau bandeng diambil

harga rata-rata ikan. Dari harga rata-rata tersebut lalu disesuaikan dengan jumlah

kebutuhan dan satuan dalam sebulan yang telah ditentukan. Dan kemudian untuk

indikator yang terdiri dari beberapa macam, harus dihitung menurut rata-ratanya.

Contoh dalam sumber protein, setelah bagian daging dirata-rata, ikan dirata-rata,

maka sumber protein yang terdiri dari daging, ikan dan telur pun kembali dirata-

rata. Dari situ terdapatlah hasil akhir setiap indikator yang akhirnya semua hasil

akhir indikator dijumlahkan sesuai rumusan yang telah ditetapkan dan akhirnya

menghasilkan nilai KHL277.

Bahwa indikator komponen upah yang terdapat di dalam Peraturan Menteri

Tenaga Kerja No. 17 Tahun 2005 tidak memuat kejelasan standar yang memadai,

merupakan hal yang tidak dapat dipungkiri. Ketidakjelasan standar indikator

komponen upah di dalam praktek menimbulkan masalah yang berpotensi

menghambat survei dan penentuan nilai KHL. Oleh karenanya, untuk

menghindari masalah akibat ketidakjelasan standar atas indikator komponen upah

tersebut, setiap tahun Gubernur Jawa Timur mengeluarkan Surat Edaran Gubenur

Jawa Timur No. 560/10459/031/006 tentang Penetapan Upah Minimum

Kabupaten Kota tahun 2007 di Jawa Timur, yang berisi petunjuk tentang standar

indikator komponen upah yang akan disurvei. Tujuannya tidak lain adalah agar

277 Tjandra, et all, Loc. Cit.

Page 227: Mogok Kerja Oleh serikat

221

pelaksanaan survei dan penentuan nilai KHL tidak menemui kendala yang

berpangkal dari perbedaan penafsiran masing-masing unsur di dalam Dewan

Pengupahan, sehingga pelaksanaan survei, penentuan KHL dan penetapan upah

minimum dapat berlangsung dengan lancar tepat pada waktunya.

c. Penetapan Upah Minimum

Seperti yang telah dijelaskan di atas, tim tripartit yang tergabung dalam

Dewan Pengupahan melakukan survei KHL setiap bulannya. Hasil survei KHL

tersebut dijadikan acuan untuk menentukan besaran UMK/UMP dari masing-

masing wilayah. Dewan Pengupahan ini adalah lembaga non struktural yang

bersifat tripartit dan terbentuk sesuai Pasal 98 UU No. 13 tahun 2003. Dewan

Pengupahan bertugas untuk memberikan saran, pertimbangan, dan merumuskan

kebijakan pengupahan yang akan ditetapkan oleh pemerintah, serta untuk

pengembangan sistem pengupahan nasional. Pengaturan khusus mengenai Dewan

Pengupahan diatur dalam Keputusan Presiden No. 107 tahun 2004. Menurut

keputusan presiden tersebut, Dewan Pengupahan terbagi menjadi tiga, yaitu

Dewan Pengupahan Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Dewan Pengupahan Nasional dibentuk oleh Presiden atas usul Menteri dan

bertugas memberi saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam rangka

perumusan kebijakan pengupahan dan pengembangan sistem pengupahan

nasional. Sedangkan Dewan Pengupahan Provinsi diangkat dan diberhentikan

oleh Gubernur atas usul Pimpinan Satuan Organisasi Perangkat (PSOP) Daerah

Provinsi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan. Tugas Dewan

Page 228: Mogok Kerja Oleh serikat

222

Pengupahan Provinsi adalah untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada

Gubernur dalam rangka penetapan UMP dan UMK serta Upah Minimum Sektoral

dan menyiapkan bahan perumusan pengembangan sistem pengupahan nasional.

Sedangkan Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota diangkat dan diberhentikan oleh

Bupati/Walikota atas usul PSOP Daerah Kabupaten/kota yang bertanggung jawab

di bidang ketenagakerjaan dan bertugas memberikan saran dan pertimbangan

kepada Bupati/Walikota dalam rangka pengusulan UMK dan atau UMSK serta

penerapan sistem pengupahan di tingkat kabupaten/kota dan menyiapkan bahan

perumusan pengembangan sistem pengupahan nasional.

Dewan Pengupahan Kabupaten/kota tersebut melakukan survei setiap

bulannya dan dari rekapitulasi hasil survei kemudian dihasilkan nilai KHL yang

telah disepakati dan diajukan sebagai usulan pertimbangan upah minimum kepada

Bupati/Walikota. Bupati/Walikota lalu merekomendasikan UMK kepada

Gubernur di mana Gubernur lalu menetapkan Upah Minimum Kabupaten dan

setelah menerima saran serta pertimbangan dari Dewan Pengupahan Provinsi,

Gubernur juga menetapkan Upah Minimum Provinsi yang kemudian dilaporkan

kepada Menakertrans. Berikut ini mekanisme penetapan Upah Minimum

Kabupaten/Kota dan Upah Minimum Provinsi278.

Tabel 3

278 Ibid.

Page 229: Mogok Kerja Oleh serikat

223

Skema Proses Penentuan dan Penetapan Upah Minimum

Sumber: Forum Buruh Surabaya.

2. Peran Serikat Buruh Dalam Mogok Kerja Menentang Ketetapan Upah

Minimum Di Jawa Timur

a. Peran Serikat Buruh Dalam Penentuan Upah Minimum

Hal yang relatif baru yang dibawa oleh Undang-Undang No. 13 Tahun 2003

adalah penegasan atas ketentuan yang sebelumnya dimuat oleh Peraturan Menteri

Tenaga Kerja No. 226 Tahun 2000, yaitu bahwa di dalam menetapkan upah

minimum gubernur harus memperhatikan rekomendasi yang disampaikan oleh

Laporan

Usulan

Penyampaian rumusan/(usulan)

DewanPengupahanKab/Kota(Perumusan)

Bupati/Walikota(Rekomendasi)

MENAKERTRANS

DewanPengupahan Prov.(Perumusan)

Dinas tenaga kerjaKab/Kota

Gubernur(PenetapanUMK/UMP)

Survei pasar & pengumpulan databahan perumusan upah minimum

Pelaporan setiap bulan

Saran & pertimbangan

Page 230: Mogok Kerja Oleh serikat

224

Dewan Pengupahan279. Pasal 89 ayat (3) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003

menentukan, ”upah minimum ditetapkan oleh gubernur dengan memperhatikan

rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau bupati/walikota”.

Jalur formal yang tersedia bagi serikat buruh untuk dapat berperan atau

memberikan kontribusi dalam penentuan upah minimum adalah melalui Dewan

Pengupahan Provinsi dan/atau Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota 280 .

Keterlibatan pada Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Dewan Pengupahan

Kabupaten/Kota merupakan satu-satunya cara yang tersedia dan sah menurut

peraturan perundang-undangan bagi serikat buruh/serikat pekerja untuk dapat

melaksanakan fungsi, tugas, tanggung jawab dan kewajiban yang diembannya

untuk memperjuangkan peningkatan kesejahteraan anggota dan kaum buruh pada

umumnya melalui kerangka salah satu dari sekian kebijakan pengupahan, yaitu

kebijakan upah minimum.

Sebagaimana telah dipaparkan di atas, yakni menurut Pasal 21 Keputusan

Presiden No. 107 Tahun 2004, tugas Dewan Pengupahan Provinsi diantaranya

adalah memberikan saran dan pertimbangan kepada gubernur dalam rangka

penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan penetapan Upah Minimum

279 Sebelumnya Dewan Pengupahan bernama Komisi Penelitian Pengupahan dan JaminanSosial Dewan Ketenagakerjaan Daerah.

280 Menurut Keputusan Presiden No. 107 Tahun 2004 Tentang Dewan Pengupahan, DewanPengupahan terdiri dari:

a). Dewan Pengupahan Nasional (Depenas);b). Dewan Pengupahan Provinsi (Depeprov); danc). Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota (Depekab/ko),

Masing-masing level Dewan Pengupahan mempunyai ruang lingkup tugas yang berbeda. Untuksoal yang berkaitan dengan upah minimum, Dewan Pengupahan yang berkompeten adalah DewanPengupahan Provinsi dan Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota.

Page 231: Mogok Kerja Oleh serikat

225

Kabupaten/Kota (UMK). Sebagai lembaga non-struktural yang sifatnya tripartit,

di dalam Dewan Pengupahan tentu saja terdapat unsur dari buruh.

Untuk dapat menempatkan wakilnya di dalam Dewan Pengupahan, sebuah

serikat buruh harus memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam Keputusan

Menteri Tenaga Kerja No. 201 Tahun 2001 tentang Keterwakilan dalam

Kelembagaan Hubungan Industrial.

Sebagaimana telah penulis sebutkan pada Bab II, bahwa untuk dapat

menempatkan wakilnya di lembaga hubungan industrial tingkat kabupaten/kota,

sebuah atau gabungan serikat buruh harus: mempunyai sekurang-kurangnya 10

unit kerja/serikat buruh/serikat pekerja di kabupaten/kota setempat; atau

mempunyai sekurang-kurangnya 2500 anggota pekerja/buruh di kabupaten/kota

yang setempat281.

Sementara untuk dapat duduk dalam Kelembagaan Hubungan Industrial

tingkat provinsi, serikat buruh harus mempunyai jumlah kepengurusan

kabupaten/kota sekurang-kurangnya 20% dari jumlah kabupaten/kota yang berada

di provinsi dan salah satunya berkedudukan di Ibukota Provinsi yang

bersangkutan; atau mempunyai sekurang-kurangnya 30 unit kerja/serikat

pekerja/serikat buruh di provinsi yang bersangkutan; atau mempunyai sekurang-

kurangnya 5.000 peserta/buruh di provinsi yang bersangkutan282.

Subyek atau individu yang berasal dari serikat buruh di dalam Dewan

Pengupahan adalah mewakili buruh, dan mempunyai hak yang sama dengan

anggota Dewan Pengupahan yang berasal dari unsur lain. Hanya saja tidak bisa

281 Pasal 3 huruf a dan b Kepmennaker No. 201 Tahun 2001282 Pasal 4 huruf a, b dan c Kepmennaker No. 201 Tahun 2001

Page 232: Mogok Kerja Oleh serikat

226

menduduki posisi pimpinan. Akan tetapi wakil dari serikat buruh tersebut berhak

terlibat dan turut memberikan kontribusi untuk kegiatan atau aktivitas lainnya

yang diselenggarakan dan menjadi tanggung jawab Dewan Pengupahan di dalam

proses penetapan upah minimum.

b. Serikat Buruh dan Pengorganisasian Protes Buruh Terhadap

Ketentuan Upah Minimum

Walaupun di dalam konsep yang baru tentang Dewan Pengupahan

keberadaan unsur serikat buruh jumlahnya seimbang dengan dengan unsur

pengusaha, akan tetapi hal tersebut tidak berarti bahwa persoalan penentuan upah

minimum yang berdasarkan pada aspirasi konkrit telah tercapai. Buktinya, setelah

penetapan upah minimum dilakukan, banyak mendapat protes dari kaum buruh.

Protes kaum buruh tersebut hampir keseluruhannya digalang oleh serikat

buruh. Tidak terkecuali oleh serikat buruh yang mempunyai perwakilan di dalam

Dewan Pengupahan.

Jika diperhatikan secara sekilas, keterlibatan serikat buruh yang mempunyai

wakil pada Dewan Pengupahan di dalam penggalangan aksi massa merupakan

sesuatu yang inkonsisten, sebab serikat buruh yang bersangkutan sebelumnya

secara tidak langsung juga turut memberikan kontribusi atas berapa jumlah nilai

KHL yang direkomendasikan kepada gubernur untuk digunakan sebagai

pertimbangan di dalam menetapkan besaran upah minimum.

Selain itu, sikap dan tindakan yang ditempuh oleh serikat buruh yang

menolak ketetapan pemerintah atas upah minimum dengan cara melakukan aksi

Page 233: Mogok Kerja Oleh serikat

227

massa dan pemogokan, dapat dinilai sebagai bentuk arogansi dan pemaksaan

kehendak kepada pihak lainnya, yaitu pemerintah dan pengusaha.

Akan tetapi pandangan seperti di atas mungkin tidak akan berlaku apabila

gerak serikat buruh tersebut dibaca dalam kerangka: serikat buruh merupakan alat

perjuangan bagi buruh untuk meningkatkan kesejahteraannya dalam berhadapan

dengan modal. Ketika menyaksikan bahwa ada suatu kebijakan yang tidak sesuai

atau jauh dari aspirasi kaum buruh, sudah sewajarnya jika serikat buruh

berkewajiban untuk membela aspirasi kaum buruh. Sudah merupakan hal yang

seharusnya dan wajar serta merupakan kewajiban serikat buruh untuk selalu

memperjuangkan kepentingan dan mempertahankan serta meningkatkan

kesejahteraan buruh, baik yang menjadi anggotanya maupun buruh secara umum

keseluruhan.

Persoalan mengapa ketentuan upah minimum yang ditetapkan oleh

pemerintah walaupun telah melibatkan buruh di dalamnya tetap saja mengundang

resistensi buruh pada dasarnya disebabkan oleh ”ketidakberdayaan” Dewan

Pengupahan. Wewenang yang dipunyai oleh Dewan Pengupahan hanyalah sebatas

memberikan rekomendasi. Sedangkan keterlibatan buruh di dalam penentuan upah

minimum hanya pada proses di dalam Dewan Pengupahan itu sendiri.

Terbatasnya wewenang yang dimiliki oleh Dewan Pengupahan inilah

kemudian menyebabkan Dewan Pengupahan seringkali dituding bertanggung

jawab terhadap rendahnya ketentuan upah minimum yang ditetapkan.

Dewan Pengupahan selama ini dituding bertanggung jawab terhadapkebijakan Upah Murah karena dinilai gagal membuat usulan UMK/UMPyang layak. Dimulai dari pembentukan Dewan Pengupahan yang saratmasalah dan rumit dengan persyaratan pendidikan D3 ataupun S1 serta

Page 234: Mogok Kerja Oleh serikat

228

kinerja yang dinilai buruk terutama dalam melaksanakan survei sehinggahasil survei KHL yang didapat jauh dari layak juga Dewan Pengupahandinilai tidak demokratis mengingat tidak adanya transparansi dalammenunjukkan hasil survei KHL dan penetapan nilai KHL untuk usulanUMK. Walaupun terdapat wakil buruh yang duduk dalam DewanPengupahan tetapi wakil buruh tersebut kerap kali gagal memperjuangkanhak buruh dan malah justru melegitimasi hasil survei KHL maupun usulanUMK dari Bupati/Walikota.283

Selain soal wewenang yang terbatas, tudingan bahwa Dewan Pengupahan

merupakan salah satu sumber masalah bukan tanpa alasan. Dalam kasus di Jawa

Timur tersebut, Dewan Pengupahan Provinsi Jawa Timur mempunyai track

record kinerja yang buruk dan menghasilkan rekomendasi upah minimum yang

rendah. Dimulai dari pembentukannya yang tanpa sepengetahuan publik, alias

diam-diam, keanggotaan yang bermasalah, dan melakukan survei KHL yang asal-

asalan284.

Bukan hanya Dewan Pengupahan di tingkat provinsi yang bermasalah,

melainkan juga Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota di sejumlah kabupaten/kota.

Menurut data dan catatan Trade Union Rights Centre Jakarta, setidaknya terdapat

283 Soraya, Yasmine M. S., 2007, Upah Minimum: Advokasi Kebijakan dan Penetapan UpahMinimum, TURC Jakarta.

284 Proses penetapan Upah Minimum Kabupaten/Kota di Jawa Timur diawali denganpembentukan Dewan Pengupahan Provinsi Jawa Timur pada tanggal 26 September 2005 melaluiSurat Keputusan No. 188/246/KPTS/013/2005 dan tanpa sepengetahuan publik. Keanggotaan yangbermasalah menunjuk pada penentuan wakil buruh yang duduk di dalam Dewan Pengupahan tidakberdasarkan data verifikasi langsung anggota Serikat Buruh di kabupaten/kota, sehingga tidakmemenuhi ketentuan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 201 Tahun 2001. Selain itu adaanggota Dewan Pengupahan dari unsur buruh yang terpilih, yang pada saat itu merupakan anggotaDPRD Jawa Timur. Padahal dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang PemerintahanDaerah disebutkan DPRD merupakan bagian dari pemerintah daerah, dan dalam Pasal 54 ayat (1)disebutkan “anggota DPRD dilarang merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, hakimpada badan peradilan, PNS, TNI/Polri, pegawai pada BUMN/BUMD dan atau badan lain yanganggarannya bersumber dari APBN/APBD”.

(Tjandra, et all, Op. Cit., halaman 61-69)

Page 235: Mogok Kerja Oleh serikat

229

beberapa persoalan di dalam Dewan Pengupahan sejumlah kabupaten/kota yang

sempat mencuat ke publik, yaitu285:

1. Lambannya pembentukan Dewan Pengupahan walaupun proses

verifikasi serikat buruh yang dijadikan salah satu pijakan dalam

pembentukan Dewan Pengupahan telah lama selesai. Lambannya

pembentukan Dewan Pengupahan ini dalam kenyataannya diwarnai

praktek ”politik dagang sapi”, terutama dalam menentukan perwakilan

dari unsur serikat buruh. Persoalan ini setidaknya terjadi pada proses

pembentukan Dewan Pengupahan Kota Surabaya.

2. Pembentukan Dewan Pengupahan yang tidak sesuai dengan jadwal

waktu yang seharusnya tersebut membawa dampak proses penentuan

UMK terlambat dari jadwal yang semestinya seperti tahapan pelaksanan

survei KHL dan penyampaian usulan dari bupati/walikota ke gubernur.

Hasilnya, proses pembahasan di Dewan Pengupahan Provinsi Jawa

Timur menjadi terhambat serta penetapan upah minimum menjadi

mundur.

3. Pelaksanaan survei KHL yang bermasalah, yaitu survei dilakukan

secara asal-asalaan di mana dalam proses survei seharusnya bertanya

kepada minimal tiga pedagang, akan tetapi dalam kenyataannya hanya

bertanya kepada satu pedagang.

4. Kinerja Dewan Pengupahan yang tidak transparan. Sebagai contoh

adalah Dewan Pengupahan Kota Surabaya. Walaupun saat survei KHL

285 Ibid.

Page 236: Mogok Kerja Oleh serikat

230

dapat diawasi namun hasil survei dan proses penghitungan tidak

disampaikan secara terbuka ke publik. Bahkan ketika DPRD Kota

Surabaya menuntut transparansi hasil survei, Dewan Pengupahan tidak

mau memberikan dengan alasan hal tersebut bersifat rahasia dan hanya

Walikota (Surabaya) yang berwenang untuk membeberkan.

5. Pelaksanaan survei nilai KHL yang metodenya jauh dari untuk disebut

ilmiah.

Fakta tersebut membawa kaum buruh dan para aktivis serikat buruh sampai

pada pandangan bahwa diperluasnya keran partisipasi buruh di dalam proses

penentuan upah minimum, yaitu melalui Dewan Pengupahan, tidak terlalu

membawa dampak positif bagi perjuangan buruh untuk mewujudkan

kesejahteraan yang layak. Skema besaran upah yang dihasilkan dari proses yang

mengikuti prosedur dan mekanisme yang ada hampir sama sekali tidak bergeser

dari kerangka kebijakan upah murah. Keterlibatan unsur buruh di dalam proses

penentuan upah minimum hanya menjadi semacam alat legitimasi atas besaran

upah yang pada dasarnya di disain untuk tidak keluar dari politik upah murah.

Jamaludin, Sekretaris Jenderal Forum Buruh Surabaya yang juga merupakan

salah seorang inisiator dan perangkat Aliansi Buruh Jawa Timur Menggugat,

mengungkapkan, ”penetapan upah minimum di Jawa Timur mengacu pada

peraturan yang ada, tetapi dalam penentuan terjadi tindakan manipulasi dengan

menekan angka UMK menjadi cenderung rendah”286. Selain standar KHL yang

286 Hasil wawancara penulis dengan Jamaludin

Page 237: Mogok Kerja Oleh serikat

231

palsu, tahapan survei KHL oleh Dewan Pengupahan Kab/Kota banyak diwarnai

penyimpangan dengan modus survei KHL yang dilakukan tidak valid.

Pemahaman atas realitas yang terdapat di dalam proses penetapan upah

minimum tersebut kemudian membawa buruh pada pemikiran dan pendefinisian

posisi, yaitu buruh telah berada pada posisi mau tidak mau harus melawan.

Sumber daya yang tersisa di kalangan buruh untuk memperjuangkan kepentingan

dan aspirasinya adalah kekuatan tenaga fisik yang dimilikinya. Sehingga bentuk

perlawanan yang dikembangkan kemudian adalah aksi massa berupa demonstrasi

dan mogok kerja.

Alasan yang mendasari perlawanan terhadap ketentuan upah minimum yang

ditetapkan adalah besaran nominal upah yang jauh dari kemampuan untuk

mendukung dan memenuhi kebutuhan hidup secara layak. Ukuran yang

digunakan untuk menilai ketidaklayakan ketentuan upah minimum tersebut adalah

peraturan tentang upah minimum yang berlaku, terutama Peraturan Menteri

Tenaga Kerja No. 17 Tahun 2005. Kaum buruh menilai bahwa ketentuan upah

minimum yang baru saja diputuskan tidak sesuai dengan ketentuan yang terdapat

dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja tersebut. Penilaian dan kesimpulan

tersebut didapat dari hasil survei tandingan yang dilakukan oleh aliansi serikat

buruh dalam waktu yang bersamaan dengan pelaksanaan survei oleh Dewan

Pengupahan.

Perlu dipaparkan di sini bahwa untuk memperjuangkan upah minimum yang

layak, salah satu bagian dari strategi yang dikembangkan oleh serikat buruh dalam

hal ini adalah mengawal dan mengawasi kinerja Dewan Pengupahan dengan cara,

Page 238: Mogok Kerja Oleh serikat

232

salah satunya, melakukan survei pasar dengan memakai standar yang diterapkan

oleh dewan pengupahan. Melalui cara ini, aliansi serikat buruh dapat melakukan

perbandingan dan penilaian terhadap hasil survei dan nilai KHL yang ditetapkan

oleh Dewan Pengupahan.

Hasil survei tandingan yang memakai sama persis standar indikator

komponen upah Dewan Pengupahan dipakai sebagai rujukan untuk menilai usulan

nilai KHL yang diajukan oleh Dewan Pengupahan, dan juga mengukur besaran

upah minimum yang ditetapkan kemudian.

Memang, sebagaimana telah disebutkan di muka, KHL bukan merupakan

satu-satunya faktor yang menjadi pertimbangan di dalam menetapkan besaran

upah minimum. Ketiadaan penjelasan yang memadai tentang seberapa besar bobot

masing-masing faktor sebagai bahan pertimbangan di dalam menetapkan upah

minimum menjadikan proses penentuan upah minimum tidak transparan.

Ketentuan ini dipandang oleh kaum buruh sebagai celah yang sedari awal sengaja

didisain agar kebijakan upah murah tetap dapat dijalankan, dan merupakan jalan

untuk mengebiri hak buruh secara legal, yaitu hak untuk mendapatkan upah yang

layak sesuai dengan nilai KHL. Apabila proses perumusan nilai KHL telah

berlangsung sesuai peraturan perundang-undangan dan dalam suasana demokratis

yang mampu mengakomodasi aspirasi buruh, keberadaan ketentuan tersebut

secara langsung telah menegasikan itu semua.

Koalisi Buruh Rakyat Jawa Timur Menggugat saat itu memandang bahwa

nilai KHL yang direkomendasikan oleh Dewan Pengupahan pada dasarnya tidak

mencerminkan kondisi obyektif pasar. Akan tetapi, nilai KHL tersebut

Page 239: Mogok Kerja Oleh serikat

233

sesungguhnya masih berada dalam batas kemampuan dunia usaha. Hal ini karena

nilai KHL tersebut merupakan hasil kompromi antara kepentingan pihak buruh

dan pengusaha. Dengan demikian rekomendasi Dewan Pengupahan pada dasarnya

sudah merupakan jumlah yang minimal, dan seharusnya diposisikan sebagai nilai

yang sudah jadi.

Akan tetapi realitas proses yang terdapat pada Dewan Pengupahan saat

perumusan rekomendasi nampaknya tidak ditangkap oleh pemerintah. Nilai yang

direkomendasikan oleh Dewan Pengupahan pun dihitung sebagai nilai KHL yang

utuh dan sesuai dengan situasi pasar, sehingga nilai KHL yang direkomendasikan

oleh Dewan Pengupahan diposisikan sebagai variabel yang masih harus

disesuaikan dengan faktor-faktor lainnya. Hasilnya, besaran upah minimum yang

ditetapkan kemudian jumlahnya jauh dari kemampuan untuk menopang

kelangsungan hidup buruh secara layak.

Jamaludin lebih lanjut menyatakan, ”kemiskinan dan kesulitan mencukupi

kebutuhan sehari-hari yang menyebabkan buruh resisten dengan ketentuan upah

minimum yang baru”287. Di tengah kemiskinan dan tekanan keadaan ekonomi

sehari-hari yang terus menghimpit, menyebabkan keputusan gubernur tentang

upah minimum tersebut disambut dengan penolakan yang keras dan kemudian

diikuti aksi massa selama beberapa pekan yang melibatkan kalangan buruh dari

sejumlah daerah (kabupaten/kota) di Jawa Timur. Kaum buruh menuntut

ketentuan upah minimum setidaknya sesuai dengan nilai KHL setelah dilakukan

survei ulang.

287 Hasil wawancara penulis dengan Jamaludin

Page 240: Mogok Kerja Oleh serikat

234

Melihat realitas bahwa ketentuan upah minimum yang baru jauh dari

harapan buruh, yang mana hal itu menimbulkan rasa tidak puas dikalangan buruh,

dan menyadari bahwa serikat buruh tidak lain adalah wadah dan alat perjuangan

buruh untuk mempertahankan hak, maka serikat buruh mempunyai kewajiban

untuk mengorganisasikan dan merumuskan bentuk perlawanan menentang produk

kebijakan yang merugikan serta melanggar hak buruh.

c. Mogok Kerja Menentang Ketetapan Upah Minimum

Tidak memadainya penjelasan tentang standar atas indikator komponen

KHL di dalam peraturan perundang-undangan, dan kenyataan bahwa menurut

ketentuan yang berlaku KHL bukan merupakan satu-satunya faktor di dalam

penetapan upah minimum oleh gubernur, serta tidak adanya ukuran yang pasti

tentang berapa bobot masing-masing faktor di dalam pembentukan ketentuan upah

minimum, menimbulkan kesulitan bagi buruh ketika mempersoalkan bahwa

keputusan upah minimum tersebut melanggar hak buruh. Hal itu juga berlaku

ketika terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap ketentuan peraturan

perundang-undangan288.

Secara yuridis-formal memang tersedia jalan untuk mempersoalkan

keputusan gubernur tentang upah minimum apabila keputusan tersebut dipandang

288 Sebagaimana dituturkan oleh Jamaludin dan hasil pengamatan TURC, penetapan upahminimum kabupaten/kota di Jawa Timur diwarnai oleh penyimpangan-penyimpangan terhadapketentuan peraturan perundang-undangan. Penyimpangan tersebut diawali dengan pembentukanDewan Pengupahan Provinsi Jawa Timur yang tertutup dan penuh rekayasa (bertentangan denganKeputusan Menteri Tenaga Kerja No. 201 Tahun 2001), penetapan ketentuan upah minimum yangtidak tepat waktu sebagaimana mestinya, keputusan upah minimum kabupaten/kota yangmengabaikan nilai KHL hasil survei yang sudah dilakukan asal-asalan, dan revisi UMK yangdidasarkan pada nilai Kebutuhan Hidup Minimum.

(Tjandra et all, Op. Cit., halaman 59-83)

Page 241: Mogok Kerja Oleh serikat

235

memuat kesalahan, yakni melalui Pengadilan Tata Usaha Negara. Akan tetapi,

ketidakjelasan ukuran yang terdapat di tingkatan regulasi, menyebabkan buruh

mengalami kesulitan untuk melakukan pembuktian bahwa ketentuan upah

minimum yang berlaku tidak sesuai dengan yang semestinya.

Akibatnya, buruh memandang tidak ada mekanisme hukum yang efektif

untuk mempersoalkan dan membatalkan ketetapan upah minimum, sehingga

kemudian menjadikan mogok kerja sebagai pilihan yang dianggap efektif untuk

menuntut gubernur agar merevisi ketentuan upah minimum yang telah ditetapkan

dan akan diberlakukan untuk tahun berikutnya.

Penilaian buruh bahwa ketentuan upah minimum yang ada tidak sesuai

dengan yang semestinya, atau bertentangan dengan kewajiban negara itu sendiri,

merupakan pendapat yang berhak dikemukakan di muka umum. Dalam hal ini,

upaya-upaya yang dilakukan untuk menyuarakan aspirasinya agar didengar dan

diwujudkan tuntutannya oleh pihak-pihak yang berkepentingan, termasuk melalui

mogok, merupakan bagian dari hak asasi buruh sebagai manusia selama tidak

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 E ayat (3) UUD 1945 yang

menyatakan “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan

mengeluarkan pendapat”; Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 9 Tahun 1998

yang menyatakan, “Setiap warga negara, secara perorangan atau kelompok, bebas

menyampaikan pendapat sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab

berdemokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”; serta

menurut Pasal 25 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 yang menyebutkan,

Page 242: Mogok Kerja Oleh serikat

236

“Setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk

hak untuk mogok sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Di

dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 sendiri pun dengan tegas dinyatakan

bahwa mogok kerja merupakan hak dasar buruh.

Oleh karenanya kaum buruh dan para pengurus serikat buruh yang ada di

Jawa Timur kemudian memutuskan membentuk aliansi yang sifatnya strategis dan

taktis untuk menentang keputusan gubernur tentang upah minimum tersebut. Dan,

akhirnya aliansi yang terbentuk kemudian memilih melakukan aksi massa dalam

bentuk demonstrasi di Kantor Gubernur Jawa Timur dengan jangka waktu sampai

dipenuhinya tuntutan, yaitu revisi atas Surat Keputusan Gubernur No.

188/286/KPTS/013/2005. Bagi serikat buruh yang tergabung dalam aliansi ini,

pilihan melakukan aksi massa dalam rangka menentang keputusan gubernur

merupakan bentuk implementasi sebagian dari tugas, fungsi dan kewajiban serikat

buruh.

d. Ancaman Dikriminalkan Dan Digugat Secara Perdata

Sebagaimana telah penulis singgung pada Bab I, kalangan pengusaha sedikit

banyak mempunyai ketakutan dan kekhawatiran terhadap aksi mogok kerja.

Ketakutan dan kekhawatiran itu lebih terkait dengan persoalan kehilangan laba

dan klaim dari partner bisnis akibat dari terhentinya aktivitas produksi yang

disebabkan oleh mogok kerja buruh-buruhnya. Sehingga seringkali pihak

pengusaha berusaha menggunakan segala daya dan upaya untuk menggagalkan

Page 243: Mogok Kerja Oleh serikat

237

aksi mogok kerja, baik yang masih dalam tahap rencana, maupun yang sedang

dilaksanakan oleh buruh.

Hal yang sama dialami oleh kalangan serikat buruh yang turut menggalang

aksi massa dalam rangka menolak ketentuan upah minimum yang dipandang jauh

dari aspirasi buruh. Pada saat “Koalisi Buruh Rakyat Jawa Timur Menggugat”

menggelar aksi demonstrasi menentang SK Gubernur No. 188/286/KPTS/013/2005

tentang Upah Minimum Provinsi Jawa Timur, sejumlah pengusaha dan APINDO

mengancam akan memperkarakan secara pidana dan menggugat secara perdata

kepada pengurus serikat buruh yang tergabung dalam aliansi, serta

mengkualifikasikan “mangkir” terhadap buruh yang menjadi peserta aksi.

Kalangan pengusaha menilai bahwa aksi massa dan mogok kerja yang

dilancarkan oleh “Koalisi Buruh Rakyat Jawa Timur Menggugat” merupakan

perbuatan yang tidak sah, karena aksi mogok tersebut bukan sebagai akibat dari

gagalnya perundingan. Selain itu, mogok tersebut dipandang tidak beralasan sama

sekali karena sebelumnya antara perusahaan dan buruh tidak terdapat konflik

hubungan industrial.

Khusus untuk ancaman menggugat secara perdata yang dilontarkan oleh

kalangan pengusaha dan APINDO tersebut, nampaknya di dasari oleh konsepsi

wanprestasi di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).

Setidaknya ada beberapa pasal yang dapat digunakan oleh kalangan pengusaha, yaitu

Pasal 1236, 1239, 1365 dan 1366 KUHPerdata 289.

289 Pasal 1236 KUHPerdata berbunyi, “Si berutang [debitur ―pen] adalah wajibmemberikan ganti biaya, rugi dan bunga kepada si berpiutang [kreditur ―pen], apabila ia telahmembawa dirinya dalam keadaan tak mampu untuk menyerahkan kebendaannya, atau telah telahtidak merawat sepatutnya guna menyelamatkannya”; Pasal 1239 berbunyi, “tiap-tiap perikatanuntuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, apabila si berutang [debitur ―pen] tidak

Page 244: Mogok Kerja Oleh serikat

238

Tindakan pengusaha yang menggunakan kerangka berpikir dari KUHPerdata

tersebut dilandasi oleh karena pengusaha tidak memungkinkan menggunakan

ketentuan-ketentuan di dalam UU No. 13 Tahun 2003. Sebagaimana diketahui,

beberapa pasal dan ketentuan di dalam UU No. 13 Tahun 2003 yang merugikan buruh

dan memuat ancaman pidana serta gugatan perdata terkait dengan mogok kerja

dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada tanggal 26 Oktober

2004290.

Walaupun kemudian ancaman tersebut tidak jelas ujung akhirnya, akan tetapi

hal tersebut menorehkan catatan tersendiri betapa kalangan pengusaha phobia dengan

buruh yang bersikap kritis, apalagi yang berlanjut pada aksi demonstrasi dan mogok

kerja.

3. Akibat Hukum Mogok Kerja Menentang Ketetapan Upah Minimum Oleh

Serikat Buruh

Konsekuensi nyata yang diterima oleh buruh dan serikat buruh yang turut

mengorganisasikan mogok kerja yang tergabung di “Koalisi Buruh Rakyat Jawa

Timur Menggugat” dalam menentang ketetapan upah minimum adalah

memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya dalam kewajiban memberikanpenggantian biaya, rugi dan bunga”; Pasal 1365 menyatakan, “Tiap perbuatan melanggar hukum,yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnyamenerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”; Pasal 1366 menyebutkan, “setiap orangbertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untukkerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya.

(Subekti, R., dan Tjitrosudibio, R., Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, cetakan ke-33, Pradnya Paramita, Jakarta)

290 Beberapa pasal dan ketentuan di dalam UU No. 13 Tahun 2003 yang dibatalkankeberlakuannya oleh Mahkamah Konstitusi RI adalah Pasal 158; Pasal 159; Pasal 160 ayat (1)sepanjang mengenai anak kalimat “… bukan atas pengaduan pengusaha …”; Pasal 170sepanjang mengenai anak kalimat “… kecuali Pasal 158 ayat (1) …”; Pasal 171 sepanjangmenyangkut anak kalimat “… Pasal 137 dan Pasal 138 ayat (1) …”.

Page 245: Mogok Kerja Oleh serikat

239

dikualifikasikannya sebagai mogok kerja tidak sah, dan dikategorikan sebagai

perbuatan mangkir kerja. Dikualifikasikannya sebagai mogok kerja tidak sah

sehingga dianggap sebagai perbuatan mangkir merupakan akibat tidak dapat

dipenuhinya ketentuan dan syarat-syarat administratif atau prosedur melaksanakan

mogok oleh serikat buruh.

Pasal 137 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 menyatakan, “Mogok kerja

sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dilakukan

secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan”. Anak kalimat

“… sebagai akibat gagalnya perundingan” merupakan rangkaian dan menjadi

bagian langsung dari bunyi ketentuan Pasal 137 Undang-Undang No. 13 Tahun

2003. Ketentuan tersebut diperjelas oleh peraturan pelaksananya, yaitu Peraturan

Menteri Tenaga Kerja No. 232 Tahun 2003 Tentang Akibat Hukum Mogok Kerja

Tidak Sah291, yang menyebutkan bahwa mogok kerja tidak sah apabila dilakukan

bukan akibat gagalnya perundingan292.

Materi ketentuan di kedua peraturan tersebut tidak memungkinkan dipenuhi

oleh serikat buruh yang hendak melaksanakan mogok kerja untuk menentang

ketetapan upah minimum yang merugikan dan melanggar hak buruh. Situasi dan

kondisi konflik dan mogok kerja yang diasumsikan dan diatur oleh kedua

peraturan tersebut mempunyai perbedaan yang mendasar dengan mogok kerja di

dalam ranah penetapan upah minimum. Perbedaan tersebut terletak pada soal

291 Peraturan menteri tersebut pada dasarnya adalah berbentuk “Keputusan Menteri”, tetapimengingat bahwa menurut UU No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan segala keputusan yang sifatnya mengatur harus dibaca sebagai “peraturan”, sedangkanKeputusan Menteri No. 232 Tahun 2003 tersebut sifatnya mengatur, maka penulis memilihmenggunakan kata “peraturan menteri”.

292 Pasal 3 huruf a

Page 246: Mogok Kerja Oleh serikat

240

prosedur yang harus dipenuhi sebagai syarat untuk dapat melakukan mogok

secara sah.

Adanya ketentuan yang memberi syarat bahwa mogok kerja yang sah adalah

sebagai akibat dari gagalnya perundingan, merupakan penyebab utama aksi

mogok buruh di dalam menentang ketetapan upah minimum dikategorikan

sebagai mogok tidak sah. Dalam konteks mogok menentang penetapan upah

minimum, syarat “akibat gagalnya perundingan” tidak mungkin dipenuhi oleh

buruh dan serikat buruh yang hendak melancarkan mogok. Penafsiran terhadap

ketentuan “sebagai akibat gagalnya perundingan” memberi pengertian dan

gagasan bahwa hal tersebut memuat syarat adanya konflik hubungan industrial

yang sifatnya bipartit; konflik antara perusahaan dan buruh. Padahal dalam soal

penetapan upah minimum, konflik yang terjadi bukan melibatkan pengusaha dan

buruh secara berlawanan, melainkan antara buruh dan kebijakan negara.

Pengkualifikasian sebagai perbuatan mangkir kerja terhadap buruh yang

melakukan mogok kerja tidak sah sebenarnya secara tidak langsung merupakan

bentuk ancaman pemutusan hubungan kerja oleh perusahaan kepada buruh. Hal

ini karena di dalam Pasal 6 Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 232 Tahun 2003,

buruh yang melakukan mogok kerja tidak sah dikualifikasikan mangkir dan dapat

dianggap mengundurkan diri apabila setelah pihak pengusaha melakukan

pemanggilan dua kali berturut-turut dalam tenggang waktu 7 hari tetap melakukan

mogok kerja.

Page 247: Mogok Kerja Oleh serikat

241

B. Pembahasan

1. Persoalan di Seputar Penetapan Upah Minimum

Sebagaimana fenomena yang terjadi selama ini, penetapan upah minimum

oleh pemerintah selalu mengundang kontroversi. Baik dari kalangan pengusaha

dan terutama dari kalangan buruh. Selain itu, proses penetapan upah minimum

kabupaten/kota di Jawa Timur yang diwarnai penyimpangan-penyimpangan

terhadap ketentuan perundang-undangan yang berlaku hal ini menunjukkan bahwa

konsepsi kebijakan upah minimum beserta mekanisme yang disediakan di

dalamnya masih menyimpan persoalan yang belum terbahas dan terpecahkan

secara tuntas.

Persoalan-persoalan tersebut meliputi antara lain:

a. Indikator Komponen yang Tidak Memadai

Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa sejak berlakunya

Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 17 Tahun 2005 susunan dan variabel

yang menjadi komponen upah mengalami perubahan dari yang berlaku

sebelumnya. Tetapi persoalannya, setiap perubahan yang diklaim sebagai

langkah perbaikan, tidak selalu menghasilkan suatu keadaan yang lebih baik.

Dalam konteks hadirnya Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 17 Tahun

2005, pertanyaan yang relevan untuk diajukan adalah apakah komponen

KHL sendiri sudah cukup memadai memenuhi kebutuhan minimum buruh?

Jika dicermati atau diambil kesimpulan dari pengalaman praktek di

lapangan, indikator yang diatur dalam Permenakertrans tersebut tidaklah

cukup memadai. Satu komponen yang bisa diambil contoh misalnya dalam

Page 248: Mogok Kerja Oleh serikat

242

indikator daging disebutkan pemakaian kata ”atau” untuk macam-macam

daging di mana pilihannya adalah daging sapi, daging kerbau, daging ayam

atau daging kambing. Dengan adanya pemakaian kata ”atau”, implikasi yang

muncul adalah pembelian daging bagi buruh dalam sebulan hanyalah salah

satu macam dari keempat daging tersebut.

Contoh lainnya adalah tidak adanya indikator TV dan buku-buku

sebagai indikator pendidikan dalam KHL. Untuk pendidikan, indikator

penghitungan KHL yang dipakai hanyalah melalui Radio dan majalah

sebanyak 4 eksemplar. Hal ini merendahkan dan merugikan buruh serta

menghambat buruh untuk mengembangkan kualitas dirinya. Komponen

indikator KHL sesuai Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.17 tahun 2005

pun apabila dibandingkan dengan peraturan komponen indikator KHM yang

diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 81 tahun 1995

mengalami penurunan dan hal ini sangat merugikan buruh. Sehingga tidak

mengejutkan apabila kaum buruh mengatakan bahwa standar KHL yang

berlaku saat ini merupakan ”standar KHL palsu”, sebagaimana diungkapkan

oleh Jamaludin293.

Ketiadaan standar yang jelas atas indikator komponen nilai KHL

menjadikan konsepsi KHL di dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 17

Tahun 2005 sukar untuk dibedakan dengan konsepsi Kebutuhan Hidup

Minimum yang terdapat dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 81

tahun 1995. Jelasnya, kehadiran konsepsi KHL yang dibawa Peraturan

293 Hasil wawancara dengan Sekjend Forum Buruh Surabaya, Jamaludin.

Page 249: Mogok Kerja Oleh serikat

243

Menteri Tenaga Kerja No. 17 Tahun 2005 secara umum tidak memberikan

nilai positif bagi peningkatan kesejahteraan buruh beserta keluarganya.

Berikut ini data perbandingan komponen indikator KHM dan KHL

dalam Kepmenaker No. 81 tahun 1995 dan Permenaker No 17 tahun

2005.294

Tabel 3

Perbandingan KHM dan KHL

KUALITAS JML KEBUTUHANNO KOMPONEN

KEP.81/1995 PER.17/2005 KEP.81/1995 PER.17/2005

1. Beras Sedang Sedang 12 Kg 10 Kg

2. Karbohidrat - Sedang 6 Kg 3 Kg

3. Handuk mandi Sedang 100x60 cm 2/12 1/12

4. Sewa kamar/rumah Tipe 21 Kmr sederhana ½ 1/bln

5. Dipan/tempat tidur No.3 polos No.3 polos 1/36 1/48

6. Kasur&bantal Kain strip Busa 1/24 1/48

7. Meja kursi 1 set 1 set 1/36 1/48

8. Pendidikan:bacaan/radio

- - - 1/48

9.Kesehatan:pasta gigi

dll- - -

10. Transportasi - - - Min 30 hari PP

Sumber: Forum Buruh Surabaya

Selain indikator yang tidak cukup memadai di atas, indikator KHL

tidak memiliki standar yang jelas sehingga dalam penentuan indikator,

terkadang buruh, pemerintah dan pengusaha hanya memanfaatkan

kesepakatan di mana dalam kesepakatan tersebut buruh menginginkan yang

294 data masukan dari Forum Buruh Surabaya.

Page 250: Mogok Kerja Oleh serikat

244

terbaik dan pengusaha menginginkan yang termurah. Contohnya seperti

dalam indikator beras. Hanya disebutkan bahwa kualitas beras sedang yang

biasa dikonsumsi oleh masyarakat setempat. Standar tersebut tidak jelas

akan beras yang bagaimana. Buruh ingin penghitungan dengan kualitas

beras yang baik sedangkan pengusaha ingin dengan beras yang murah.

Contoh lain adalah mengenai pakaian dalam. Merk apa yang akan digunakan

sebagai standar tidak jelas. Buruh ingin dengan kualitas yang baik

sedangkan pengusaha ingin yang termurah tanpa merk ternama295.

Akibat ketidakjelasan indikator pada tataran regulasi atas komponen-

komponen upah, di dalam praktek hal yang terjadi adalah penerapan

penilaian standar yang berdasarkan kesepakatan utamanya oleh unsur buruh

dan pengusaha. Standar berdasarkan kesepakatan ini jika dilihat dari sudut

sosial-ekonomi merugikan pihak buruh di mana kekuatan posisi tawar buruh

masih lemah dan dibutuhkannya keadilan pemerintah yaitu dengan

mengadakan standar yang jelas atas indikator tersebut.

Walaupun dalam kasus Jawa Timur telah terdapat kebijakan Gubernur

Jawa Timur, yaitu dalam hal ini mengeluarkan Surat Edaran296 mengenai

penetapan upah minimum di Jawa Timur yang telah mengatur standar

indikator KHL yang akan digunakan, akan tetapi Surat Edaran Gubernur

tersebut jika dilihat dari sudut politik perundang-undangan mempunyai

posisi yang lemah. Dengan bentuknya yang hanya sebagai ”surat edaran”,

295 Soraya, Yasmine M. S., Op. Cit.296 Surat Edaran Gubenur Jawa Timur No. 560/10459/031/006 tentang Penetapan Upah

Minimum Kabupaten Kota tahun 2007 di Jawa Timur.

Page 251: Mogok Kerja Oleh serikat

245

artinya Surat Edaran Gubernur Jawa Timur tersebut tidak lebih semacam

himbauan dan tidak mempunyai kekuatan terlalu mengikat.

Kendati masih mempunyai kelemahan yang cukup mendasar, akan

tetapi kebijakan Gubernur Jawa Timur tersebut patut diapresiasi karena

berusaha memecah kebuntuan akibat ketidakjelasan indikator komponen

atau item barang yang menjadi variabel di dalam penentuan nilai KHL.

Sayangnya hal ini sepanjang hasil penelusuran penulis baru hanya dilakukan

di Jawa Timur saja. Daerah-daerah lainnya masih belum diatur standar

indikator KHL dan hanya mengandalkan kesepakatan pemerintah, buruh dan

pengusaha saja.

b. Survei Harga Barang

Dari praktek di lapangan selama ini, di dalam survei Kebutuhan Hidup

Layak masih terdapat pro kontra antar pihak pengusaha dan buruh mengenai

metode dan kriteria serta waktu survei yang diadakan. Metode survei yang

ditetapkan dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja adalah melakukan tawar-

menawar dengan menanyakan harga seolah-olah mau membeli barang dan

mencapai harga yang sebenarnya terhadap tiga orang responden

(pedagang/penjual).

Dalam hal ini, yang dimaksud terdapat perdebatan antara buruh dengan

pengusaha ialah buruh menginginkan harga barang tetap tinggi sehingga

penghitungan nilai KHL untuk upah minimum pun tinggi, tetapi pihak

Page 252: Mogok Kerja Oleh serikat

246

pengusaha menginginkan harga yang termurah sehingga nilai KHL menjadi

kecil dan upah minimum menjadi murah.

Waktu survei yang diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja

ditetapkan sedemikian rupa sehingga tidak terpengaruh perubahan harga

akibat kondisi pasar. Hal ini menimbulkan pro dan kontra selain apakah

dilakukan dalam menjelang hari-hari besar juga dalam waktu survei dimulai

pukul berapa dan hari apa. Karena bagi buruh, semakin pagi waktu survei,

harga-harga di pasar masih mahal mengingat kondisi barang-barang masih

segar dan baru. Sedangkan pihak pengusaha ingin waktu survei agak siang

sedikit di mana barang-barang telah murah dan layu. Hal ini masih

menimbulkan pro dan kontra yang tidak ada habis-habisnya297.

Survei harga untuk menentukan nilai KHL merupakan salah satu aspek

penting dalam penentuan upah minimum karena hasil survei menjadi bahan

perumusan dan penetapan besaran upah minimum, baik Upah Minimum

Kabupaten/Kota maupun Upah Minimum Provinsi.

Sebagaimana telah dijelaskan di muka, bahwa sebelum ditetapkan

seberapa besar jumlah nominal upah minimum yang akan berlaku, terlebih

dahulu dilakukan survei lapangan untuk mengetahui harga barang-barang

konsumsi. Survei ini dilaksanakan oleh suatu tim yang terdiri dari unsur

tripartit yang dibentuk oleh Ketua Dewan Pengupahan (baik kabupaten/kota,

maupun provinsi)298 atau oleh tim yang dibentuk oleh bupati/walikota dalam

hal di kabupaten/kota yang bersangkutan belum terbentuk dewan

297 Tjandra et all, Op. Cit.298 Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 17 Tahun 2005.

Page 253: Mogok Kerja Oleh serikat

247

pengupahan 299 . Oleh tim yang terbentuk, survei dikerjakan dengan

melakukan pengecekan langsung harga barang di pasar―tradisional―dalam

rangka mendapatkan nilai Kebutuhan Hidup Layak. Berdasarkan hasil survei

harga tersebut, Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota atau bupati/walikota

setempat menetapkan nilai KHL300 yang mana nilai KHL tersebut kemudian

menjadi salah satu bahan pertimbangan dalam penetapan upah minimum301.

Persoalannya, hasil survei yang dilakukan oleh tim yang dibentuk

ketua dewan pengupahan maupun bupati/walikota tidak mencerminkan nilai

KHL yang sesungguhnya atau harga barang hasil survei bukan merupakan

harga barang kebutuhan pokok yang siap konsumsi. Hal ini tidak lain karena

survei harga dilakukan di pasar-pasar di daerah setempat, sedangkan pasar

yang menjadi tempat survei tersebut belum tentu jaraknya dekat dengan

pabrik atau tempat pemukiman buruh yang biasanya berlokasi disekitar

pabrik.

Dengan pendapatan yang relatif pas-pasan dan bahkan mungkin

kurang, belanja atas barang-barang yang dikonsumsi biasanya dilakukan

secara eceran dan disesuaikan dengan waktu kebutuhannya. Selain itu, buruh

sebagai manusia juga terikat atau setidaknya tidak dapat dilepaskan dari

tradisi dan budaya daerah tempat ia berasal maupun tempat ia bermukim

serta nilai-nilai yang berlaku secara umum dalam konteks kemanusiaan,

yang mana kadangkala semuanya itu juga membutuhkan biaya. Padahal,

299 Pasal 3 ayat (3) Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 17 Tahun 2005.300 Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 17 Tahun 2005.301 Pasal 4 ayat (2) Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 17 Tahun 2005.

Page 254: Mogok Kerja Oleh serikat

248

upah yang diterima buruh perhitungannya hanya meliputi kebutuhan

konsumsi buruh. Sehingga dapat dipahami apabila pola belanja buruh dalam

hal untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya berlangsung demikian.

Dengan kata lain, pola yang demikian ini terjadi karena pendapatan yang

diterima buruh dari upah, selain untuk konsumsi juga untuk memenuhi

kebutuhan-kebutuhan lain yang sifatnya darurat tetapi tidak termasuk

menjadi perhitungan dalam struktur dan komponen upah302.

Dengan pola belanja konsumsi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari

yang demikian tadi, dipandang tidak menguntungkan apabila belanja di

pasar sedangkan antara pasar dan tempat tinggalnya terpaut jarak yang

cukup jauh. Jika belanja di pasar, setidaknya buruh harus mengeluarkan

uang transport. Selain itu, ditengah jam-jam kerja yang panjang, buruh

hampir tidak mempunyai waktu apabila harus belanja ke pasar yang sedikit

banyak akan memakan waktu. Sehingga pilihan praktis bagi sebagian buruh

untuk belanja memenuhi barang-barang kebutuhannya bukanlah di pasar-

pasar tempat survei harga, melainkan di toko-toko sekitar tempat tinggal

buruh. Sedangkan antara harga di toko dengan harga di pasar tentunya

terdapat selisih harga. Selisih harga ini, walaupun entah seberapa kecil akan

tetapi akumulasi jumlah dari selisih harga barang antara di toko dengan di

pasar tetap mempunyai arti bagi pendapatan buruh.

Di samping masalah lokasi, persoalan lainnya ialah pada proses

pelaksanaan survei, para pihak atau unsur yang terdapat dalam institusi

302 Seperti biaya untuk pengobatan dan/atau biaya perjalanan pulang apabila orang tua atausaudara sakit, iuran kampung atau iuran untuk kegiatan-kegiatan yang sifatnya tradisi.

Page 255: Mogok Kerja Oleh serikat

249

pengupahan mencatat harga yang berbeda sesuai dengan kepentingan

masing-masing. Lebih jelasnya, pada saat survei, wakil dari kalangan

pengusaha cenderung untuk mencatat harga terendah, unsur dari pemerintah

cenderung mencatat harga menengah dan unsur dari buruh cenderung

mencatat harga tertinggi. Adanya persoalan ini dalam proses pelaksanaan

survei karena disebabkan oleh tidak jelasnya kualitas barang yang

dimaksudkan sebagai bagian dari komponen-komponen KHL di tingkat

peraturan.

Dari uraian tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa persoalan

pada tahapan survei lebih menyangkut metode pelaksanaan survei yang

berkaitan dengan pemilihan lokasi survei, cara pencarian data, hingga

pemilihan petugas survei.

c. Penetapan Harga dan Nilai KHL Didasarkan pada Kesepakatan

Setelah tim survei selesai melaksanakan survei di lapangan, tahapan

kerja selanjutnya adalah menghitung hasil survei. Pada tahapan ini, yang

sering terjadi adalah perdebatan antara pihak wakil buruh dengan wakil

pengusaha mengenai harga barang yang di dapat dari survei lapangan.

Munculnya perdebatan ini dipicu oleh usul dari pihak pengusaha yang

cenderung menghitung hasil survei dengan menggunakan harga terendah

sedangkan dari unsur serikat buruh menggunakan harga tertinggi.

Di muka telah dijelaskan bahwa survei dilaksanakan dengan

menanyakan kepada 3 (tiga) responden di setiap pasarnya. Kemudian dari

Page 256: Mogok Kerja Oleh serikat

250

ketiga responden tersebut diambil harga rata-rata. Komponen atau item yang

memiliki pilihan seperti ikan yang terdiri dari ikan kembung, mujair atau

bandeng, nilainya juga diambil harga rata-rata ikan. Dari harga rata-rata

tersebut lalu disesuaikan dengan jumlah kebutuhan dan satuan dalam

sebulan yang telah ditentukan. Sementara untuk indikator yang terdiri dari

beberapa macam, harus dihitung menurut rata-ratanya. Dari situ terdapatlah

hasil akhir setiap indikator yang akhirnya semua hasil akhir indikator

dijumlahkan sesuai rumusan yang telah ditetapkan dan akhirnya

menghasilkan nilai KHL.

Sebagaimana telah disebut di atas, akibat indikator KHL di dalam

peraturan perundang-udangan tidak memiliki standar yang jelas, indikator

seringkali hanya di dasarkan pada kesepakatan unsur-unsur tripartit. Artinya

apabila tidak terdapat kesepakatan dalam hal penentuan indikator, maka

yang terjadi di dalam prakteknya kemudian adalah masing-masing pihak

akan melakukan survei dengan standar masing-masing. Konsekuensinya

survei akan memberikan hasil yang berbeda-beda karena ketidaksamaan

standar yang diacu. Kondisi seperti ini sekilas memang menunjukkan bahwa

unsur dari buruh relatif mempunyai independensi, akan tetapi hal itu tidak

sepenuhnya benar karena mengingat bahwa pertimbangan yang dikeluarkan

oleh dewan pengupahan nantinya hanya satu rekomendasi nilai tertentu

tanpa ada alternatif nilai lainnya, maka yang terjadi kemudian adalah hasil

survei ditetapkan berdasarkan kesepakatan.

Page 257: Mogok Kerja Oleh serikat

251

Jelasnya, nilai KHL tidak tunduk pada hasil survei yang dilakukan

dengan sebenarnya, tetapi tunduk pada kompromi yang terjadi di dalam

Dewan Pengupahan303. Akibatnya, hasil survei yang di tetapkan pun jauh

dari kebutuhan riil buruh atas KHL. Sebagaimana diungkapkan oleh

Yasmine;

Metode rata-rata seperti ini menimbulkan kontroversi bagi buruh dimana nilai KHL bukanlah nilai riil kebutuhan hidup yang layakmelainkan merupakan nilai rata-rata. Nilai KHL pun hanya merupakansalah satu bahan pertimbangan saja dalam menentukan besaran upah(selain pertumbuhan ekonomi, produktivitas dan usaha yang palingtidak mampu/marginal) maka dari itu nilaian KHL sering tidaksepenuhnya ditetapkan sebagai upah minimum.304

Lebih lanjut Yasmine menjelaskan bahwa pertimbangan Upah

Minimum setelah disesuaikan dengan KHL dan faktor lainnya seringkali

berubah menjadi lebih kecil dari nilai KHL. Belum ada catatan sejarahnya

bahwa upah minimum lebih besar dari nilai KHL yang telah

direkomendasikan oleh Dewan Pengupahan.

Dari uraian tersebut nampak jelas bahwa dalam konteks kebijakan

upah minimum selama ini pihak buruh senantiasa berada pada pihak yang

dirugikan. Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) yang ditetapkan di

bawah nilai KHL, benar-benar merugikan buruh karena ada beberapa persen

kebutuhan bulanan pekerja/buruh yang harus dikurangi baik kuantitas

maupun kualitasnya diganti menjadi yang kurang baik. Kondisi ini juga

mempengaruhi kesehatan serta mental para pekerja/buruh yang juga dapat

303 Tjandra et all, Op. Cit., halaman 67.304 Soraya, Yasmine M. S., Op. Cit.

Page 258: Mogok Kerja Oleh serikat

252

mempengaruhi produktivitas kerja yang secara jangka panjang berdampak

pada kualitas kerja serta nilai jual untuk perusahaan.

d. Keanggotaan Dewan Pengupahan

Persoalan di seputar penetapan upah minimum sehingga seringkali

masih mendapatkan resistensi dari buruh, salah satu sebabnya menyangkut

keanggotaan Dewan Pengupahan. Wujud konkret persoalan tersebut ialah

terletak pada syarat dan mekanisme yang harus ditempuh untuk dapat

menempatkan wakil di Dewan Pengupahan.

Apabila dicermati lebih lanjut tentang keterlibatan serikat buruh di

dalam Dewan Pengupahan, sebenarnya terdapat beberapa hal yang perlu

dikritisi. Pertama adalah kedudukan wakil dari serikat buruh yang

dikonsepsikan sebagai mewakili unsur buruh secara keseluruhan.

Sebenarnya ini tidak menjadi soal apabila duduknya individu yang berasal

dari serikat buruh, yang kemudian dianggap sebagai personifikasi pihak

buruh secara utuh, berlangsung dalam suasana demokratis.

Faktanya, berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, tidak

semua serikat buruh boleh menempatkan wakilnya di dalam Dewan

Pengupahan. Tidak semua serikat buruh dapat memenuhi syarat-syarat yang

ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan tersebut.

Serikat buruh-serikat buruh kecil yang sifatnya lokal dan dalam ruang

lingkup terbatas, atau yang hanya berdiri di satu pabrik (Industrial Union),

tidak mempunyai peluang untuk mendudukkan wakilnya di dalam Dewan

Page 259: Mogok Kerja Oleh serikat

253

Pengupahan. Langkah yang bisa ditempuh oleh serikat buruh-serikat buruh

kecil agar dapat turut memberikan kontribusi di dalam proses penetapan

upah minimum ialah bergabung dengan serikat buruh lainnya, atau

berafiliasi dengan federasi serikat buruh yang ada. Konsekuensinya serikat

buruh kecil yang bergabung dengan federasi serikat buruh tidak bisa begitu

saja langsung mengajukan calon yang dikehendakinya. Calon yang mewakili

tentunya bergantung pada kebijakan organisasi federasi dan mekanisme

yang terdapat di dalamnya.

Jikapun membuat pilihan tidak berafiliasi dengan federasi serikat

buruh yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh peraturan perundang-

undangan, melainkan memilih membangun aliansi dengan sesama serikat

buruh kecil lainnya, tetap saja situasi yang berlaku adalah seperti jika

berafiliasi dengan sebuah federasi serikat buruh.

Meskipun tidak masing-masing serikat buruh menempatkan setiap

serikat buruh lainnya sebagai rival, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa

diantara beberapa serikat buruh mempunyai karakter menempatkan serikat

buruh diluar dirinya sebagai rival atau pesaing.

Adanya ketentuan ini di satu sisi sebenarnya dapat memaksa serikat

buruh-serikat buruh yang ada untuk memperkuat soliditas dan mempererat

kerjasama. Sedangkan di sisi lainnya aturan ini dapat membawa dampak

serikat buruh yang mempunyai basis massa riil dan terpercaya, tetapi tidak

memenuhi persyaratan, tidak dapat turut secara langsung memperjuangkan

upah minimum yang layak melalui mekanisme formal yang tersedia.

Page 260: Mogok Kerja Oleh serikat

254

Di atas telah dijelaskan bahwa pada kasus Jawa Timur di dalam

pembentukan Dewan Pengupahan, baik Dewan Pengupahan tingkat provinsi

maupun tingkat kabupaten/kota, dari awal sudah diwarnai oleh masalah-

masalah penyimpangan ketentuan peraturan perundang-undangan. Seperti

penunjukan anggota Dewan Pengupahan Jawa Timur dari unsur serikat

buruh yang tanpa melalui proses verifikasi terlebih dahulu merupakan

bentuk pelanggaran paling nyata. Selain itu, terjadinya kasus ini sebenarnya

mencerminkan dampak buruk dari Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 201

Tahun 2001.

Penunjukan langsung anggota Dewan Pengupahan Provinsi Jawa

Timur tanpa melalui proses verifikasi sebagaimana yang ditentukan

Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 201 Tahun 2001, jelas didasari

pemikiran dan asumsi oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur yang berakar

pada keberadaan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 201 Tahun 2001 itu

sendiri. Sejumlah anggota Dewan Pengupahan dari unsur serikat buruh yang

ditunjuk langsung tersebut berasal dari (federasi dan/atau konfederasi)

serikat buruh yang telah lama berdiri dan mempunyai cabang maupun basis

yang banyak, sehingga pemerintah provinsi sepertinya beranggapan bahwa

tanpa melalui verifikasi pun tidak masalah karena jika melalui verifikasi

kemungkinan besar mereka juga tetap lolos 305 . Sebuah pola pikir yang

pragmatis nan sesat.

305 Selain alasan di atas, sepertinya penunjukan langsung tersebut juga didasari alasan yangsifatnya politis. Seperti diketahui, sebagian dari beberapa orang yang ditunjuk langsung tersebutberasal dari serikat buruh yang merupakan underbouw, atau setidaknya berafiliasi dengan salahsatu organisasi massa keagamaan yang mempunyai basis massa terbesar di Jawa Timur. Serikat

Page 261: Mogok Kerja Oleh serikat

255

Diakui atau tidak, dari peristiwa tersebut tampak bahwa Keputusan

Menteri Tenaga Kerja No. 201 Tahun 2001 tersebut lebih menguntungkan

serikat buruh yang besar dan mapan yang telah lama berdiri, yang

mempunyai karakter sebagai “serikat buruh kuning”. Jelasnya keputusan

menteri ini hadir dengan tujuan utama memberikan ruang kepada serikat

buruh yang pada masa sebelumnya terbukti mudah dikooptasi dan kooperatif

dengan agenda-agenda kekuasaan dan kepentingan modal.

d.1. Bukti “Negara Bonapartis”

Pada pertengahan Bab III penulis telah mengetengahkan apa yang

dimaksud “negara bonapartis” dan mengindikasikan bahwa situasi yang

terjadi di Indonesia adalah menyerupai atau setidaknya mendekati situasi

yang terdapat dalam “negara bonapartis” tersebut.

Perpecahan dikalangan aliansi serikat buruh dalam kasus krisis

penetapan Upah Minimum Kabupaten/Kota di Jawa Timur adalah akibat

dari konspirasi antara pemerintah, kepentingan modal dan serikat buruh

“kuning” sehingga menyebabkan upah minimum, baik sebelum revisi

maupun sesudah revisi, tetap jauh dari kemampuan untuk mendukung buruh

agar dapat hidup layak. Bahwa loyalitas dan konsistensi bergantung pada

mental dan watak individu, itu adalah satu soal. Akan tetapi

terfragmentasinya kekuatan buruh ke dalam beberapa bagian merupakan

buruh tersebut adalah Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi). Dengan melibatkanSarbumusi melalui cara “khusus”, pemerintah provinsi berasumsi bahwa penetapan upah minimumyang rendah (di bawah KHL) dan bertujuan sebagai sarana represi upah tidak akan mengalamigejolak dan tentangan yang berarti dari buruh. Jikapun terdapat gejolak, pemerintah beranggapanhal tersebut akan mudah untuk diredam.

Page 262: Mogok Kerja Oleh serikat

256

dampak dari keberadaan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 201 Tahun

2001 juga tidak dapat dipungkiri. Walaupun pada awalnya yang terjadi

adalah penyimpangan terhadap ketentuan di dalam Keputusan Menteri

Tenaga Kerja No. 201 Tahun 2001, namun pada waktu berikutnya persoalan

yang terdapat dikalangan buruh merupakan dampak dari keberadaan dan

pemberlakuan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 201 Tahun 2001 itu

sendiri.

Dari uraian di atas mengenai fenomena yang terjadi dikalangan buruh

menunjukkan bahwa penerapan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 201

Tahun 2001 di tengah kebijakan kebebasan berserikat bagi buruh di

Indonesia mempunyai arti untuk memperlemah gerakan buruh yang radikal

sehingga tidak dapat melawan agenda politik upah murah. Pihak-pihak yang

mempunyai kepentingan terhadap upah murah sudah membaca bahwa

diantara pengurus serikat buruh yang ada terdapat orang-orang yang

mempunyai mental dapat dikooptasi dan kooperatif. Sehingga pemberlakuan

kebijakan kebebasan berserikat yang diiringi terbitnya Keputusan Menteri

Tenaga Kerja No. 201 Tahun 2001―ketentuan yang sifatnya reduksionis

terhadap kebebasan berserikat itu sendiri―tidak mempengaruhi pelaksanaan

agenda politik upah murah. Artinya di sini kebijakan kebebasan berserikat

yang diterapkan pada dasarnya bukan untuk buruh, melainkan untuk

keberhasilan penetrasi kepentingan modal di Indonesia.

Page 263: Mogok Kerja Oleh serikat

257

2. Peran Serikat Buruh dalam Mogok Kerja Menentang Penetapan Upah

Minimum

Dari paparan hasil penelitian lapangan di atas nampak bahwa serikat buruh

memegang peranan penting dalam mengorganisasikan perlawanan terhadap

ketentuan upah minimum yang cenderung merugikan dan melanggar hak-hak

buruh. Mogok kerja yang digalang dan dilancarkan oleh serikat buruh dalam

konteks di atas, ditinjau dari sudut pandang peraturan mogok kerja di bidang

hubungan industrial yang berlaku, memperlihatkan adanya ketidaksesuaian

dengan ketentuan dari regulasi yang ada. Akan tetapi persoalannya adalah tidak

semua tindakan yang dilakukan oleh serikat buruh tersebut yang bertentangan

dengan peraturan mogok kerja dibidang hubungan industrial mempunyai arti

bahwa aksi tersebut melanggar hukum sepenuhnya. Artinya, pelanggaran terhadap

ketentuan mogok di dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tidak selalu

menjadikan setiap mogok kerja oleh buruh dalam menyikapi kebijakan

perburuhan yang merugikan buruh merupakan perbuatan yang tidak sah

sepenuhnya.

a. Pemogokan Memrotes Ketentuan Upah Minimum Oleh Serikat Buruh:

Bentuk Usaha Mempertahankan dan Memperjuangkan Hak

Konstitusional Serta Pelaksanaan Kewajiban Serikat

Terkait dengan persoalan pada mekanisme penentuan dan penetapan upah

minimum yang hampir setiap penetapan oleh gubernur selalu mengundang

resistensi dari kaum buruh, jika dilihat dari prakteknya di lapangan, sekilas

Page 264: Mogok Kerja Oleh serikat

258

nampak bahwa titik persoalan terletak pada tata cara yang ditentukan oleh

peraturan perundang-undangan. Akan tetapi jika dicermati lebih lanjut, terlalu

sederhana bila melihat persoalan tersebut hanya dalam konteks regulasi.

Persoalan upah merupakan bagian dari persoalan ekonomi, sehingga secara

tidak langsung pun juga menjadi bagian dari persoalan politik. Oleh karenanya,

persoalan upah minimum pada dasarnya bukan hanya persoalan kebijakan hukum,

melainkan melibatkan pula konteks persoalan politik dan paradigma ekonomi-

politik yang diterapkan.

Jika dibaca dari sudut filsafat hukum, salah satu fungsi hukum adalah

sebagai alat perekayasa sosial. Maka terkait dengan persoalan di seputar

penetapan upah minimum, hal yang seharusnya disoroti adalah semangat yang

mendasari terbitnya peraturan perundang-undangan. Hukum dan segala

instrumennya hadir bukan semata sebagai suatu entitas yang ada begitu saja,

melainkan dilandasi dengan tujuan dan semangat, bahkan ideologi tertentu.

Antara hukum dengan kebijakan yang diambil oleh negara, terdapat

hubungan yang amat erat. Kebijakan sebagai serangkaian keputusan yang saling

berhubungan yang dibuat oleh seorang aktor politik atau suatu kelompok politik

berkenaan dengan pemilihan tujuan dan cara untuk mencapai tujuan tersebut di

dalam suatu situasi tertentu, yakni situasi di mana keputusan-keputusan itu dibuat

dalam kekuasaan aktor atau kelompok tersebut. 306 Hukum merupakan produk

kebijakan, atau seringkali disebut sebagai produk politik, tetapi hukum juga

306 Safitri dan Ghafur, “Perspektif Antropologi Hukum Dalam Kajian Kebijakan”, makalahseminar Membangun Kembali Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika: Menuju MasyarakatMultikural, Jakarta, 16-19 Juli 2002.

Page 265: Mogok Kerja Oleh serikat

259

memberi bentuk pada kebijakan itu sendiri, sehingga dapat berjalan dan

dilaksanakan di dalam masyarakat.

Peraturan perburuhan yang berlaku sekarang ini dibuat pada saat Indonesia

masih terikat dengan Structural Adjustment Program (SAP) yang dibawa

International Monetary Funding (IMF) dan Bank Dunia307. Salah satu bagian dari

SAP IMF tersebut adalah penghapusan atau pengurangan hal-hal yang dapat

menghambat masuknya investasi, seperti reformasi peraturan perundang-

undangan yang memberikan proteksi pada buruh secara ketat termasuk soal

kepastian kerja dan kesejahteraan 308 . Sehingga tidak mengherankan apabila

kemudian fakta-fakta yang tersaji atas praktek kebijakan upah minimum selama

ini menunjukkan bahwa persoalan penetapan upah minimum merupakan hasil

disain yang amat rapi. Mulai dari tingkatan regulasi sampai suasana yang timbul

saat implementasinya, sebelumnya telah diperhitungkan dan diarahkan. Sehingga,

keberadaan regulasi itu sendiri pada dasarnya ditujukan untuk memfasilitasi

kebijakan politik upah murah, atau represi upah. Seperti dikatakan oleh

Herlambang Perdana di bawah ini:

Meskipun pada mekanisme penetapan upah minimum terdapat unsur buruhdi dalamnya, serta partisipasi publik untuk memantaunya, namun skemabesaran upah tidak akan banyak bergeser jauh dari tekanan proponen neo-liberal, yang memang menghendaki proteksi buruh dilemahkan, termasukdalam kebijakan pengupahan. Sehingga, dengan demikian “regulasi” sendirisudah menjadi sasaran awal untuk menfasilitasi kebijakan politik tersebut,

307 Pada tanggal 16 Januari 1998, Pemerintah Indonesia menandatangani Letter of Intent(L.o.I) yang dibawa oleh IMF.

308 Bentuk program dari pengurangan semaksimal mungkin atas proteksi terhadap buruhantara lain adalah liberalisasi pasar kerja dan pembuatan serangkaian kebijakan untuk menekanupah buruh menjadi serendah mungkin.

Page 266: Mogok Kerja Oleh serikat

260

sementara politik gerakan buruh belum cukup kuat berhadapan atauberpengaruh kuat terhadap realitas sistem politik liberal.309

Sebagaimana telah diketahui, dalam era globalisasi perdagangan, hukum

yang berlaku adalah hukum pasar bebas yang menghendaki peranan pemerintah

menjadi semakin berkurang dan peranan swasta menjadi semakin besar. Konsep

yang demikian ini berlaku juga untuk bidang ketenagakerjaan di mana peranan

serikat pekerja dan pengusaha akan sangat berpengaruh dalam menetapkan syarat-

syarat kerja atau peraturan perusahaan yang diatur dalam perjanjian Kesepakatan

Kerja Bersama, seperti diungkapkan oleh Aloysius Uwiyono sebagai berikut;

Dalam era globalisasi perdagangan, hukum yang berlaku adalah hukumpasar bebas yang menghendaki peranan pemerintah menjadi semakinberkurang dan peranan swasta menjadi semakin besar. Hukum ini berlakujuga untuk bidang ketenagakerjaan di mana peranan serikat pekerja danpengusaha akan sangat berpengaruh dalam menetapkan syarat-syarat kerjaatau peraturan perusahaan yang diatur dalam perjanjian Kesepakatan KerjaBersama310.

Konsepsi tentang hukum dalam era globalisasi perdagangan yang

dikehendaki oleh para kapitalis tidak lain bertujuan untuk mendapatkan efisiensi

sehingga dapat melakukan pengerukan laba dan akumulasi modal sebesar-

besarnya. Dalam konteks ke-Indonesia-an konsepsi yang demikian tidak dapat

diterapkan di Indonesia yang menerapkan sistem hukum sipil (civil law), yaitu

sistem hukum yang mempunyai karakter memberikan kedudukan dan peran

sebagai regulator lebih besar kepada pemerintah dibandingkan pihak swasta.

309 Hasil wawancara dengan Herlambang Perdana, staf pengajar FH Universitas Airlanggadan anggota Dewan Penasehat Forum Buruh Surabaya, pada tanggal 09 Februari 2008.

310 Uwiyono, Aloysius, “Implikasi Hukum Pasar Bebas Dalam Kerangka AFTA”, JurnalHukum Bisnis, Vol. 22, Januari-Februari 2003, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta,halaman 41.

Page 267: Mogok Kerja Oleh serikat

261

Indonesia yang telah menyatukan diri dalam sistem ekonomi pasar bebas

dan mengharapkan masuknya investasi asing, tidak dapat melepaskan diri dari

pengaruh dan tekanan-tekanan dari para kapitalis internasional tersebut. Sehingga

metode yang ditempuh oleh pemerintah Indonesia agar tujuan dari konsepsi

tentang hukum yang disuarakan oleh kapitalis internasional tetap dapat terlaksana

tanpa berbenturan dengan sistem hukum yang diterapkan Indonesia adalah

memfasilitasi efisiensi produksi, pengerukan untung dan akumulasi modal

sebesar-besarnya melalui peraturan perundang-undangan.

Surya Tjandra saat wawancara dengan penulis juga mengungkapkan hal

yang serupa dengan apa yang diungkapkan oleh Herlambang. Surya Tjandra

mengatakan;

Regulasi perburuhan, termasuk di dalamnya aturan tentang kebijakanpengupahan didisain untuk memarjinalkan buruh. Selain untuk memfasilitasipolitik upah murah, kebijakan dan regulasi dibidang perburuhan ditujukanuntuk membatasi, mencegah dan meredam sikap serta tindakan kritis buruh,seperti melalui kriminalisasi terhadap aksi-aksi buruh.

“Hukum itu seharusnya dibuat untuk melindungi komponen masyarakat

yang lemah dari kesewenang-wenangan pihak yang lebih kuat, termasuk pula

dalam hal ini adalah pemilik modal dan negara”, demikian diungkapkan oleh

Herlambang Perdana 311 . Apabila hal ini dihubungkan dengan situasi hukum

sebagaimana penulis paparkan di atas, dalam kaitannya dengan aksi massa oleh

serikat buruh, maka dapat dipahami bahwa tindakan penggalangan aksi yang

dilakukan oleh kaum buruh dan serikat buruh hakikatnya adalah suatu usaha yang

legal. Lebih dari itu, aksi yang digalang oleh kaum buruh dan serikat buruh dalam

311 Hasil wawancara penulis dengan Herlambang Perdana

Page 268: Mogok Kerja Oleh serikat

262

konteks menolak penetapan upah minimum yang tidak sesuai dengan kebutuhan

hidup layak adalah bagian dari upaya mempertahankan dan memperjuangkan hak-

hak konstitusionalnya312.

Penetapan upah minimum dengan mekanisme sekarang justru bertentangandengan UUD 1945. Selain itu juga bertentangan dengan UU HAM.Penetapan sekarang tidak berbasis pada hitungan kelayakan upah bagi hidup“buruh dan keluarganya”, melainkan hanya “buruh lajang”. Artinya,kebijakan upah yang tidak sesuai dengan mandat Konstitusi dan UU HAMmerupakan bentuk kasar nan secara sistematik perbuatan melanggar hukumoleh negara (onrecht matige overheid daad).313

Tidak dapat dipungkiri bahwa tujuan buruh melakukan pekerjaan adalah

untuk mendapat penghasilan yang cukup untuk membiayai kehidupannya bersama

dengan keluarga secara layak dan sejahtera. Sedangkan standar minimum

penghasilan yang dianut di Indonesia adalah upah minimum. Akan tetapi secara

faktual upah minimum yang diatur saat ini tidaklah cukup memadai untuk

memenuhi kebutuhan hidup bahkan bagi kebutuhan minimum seorang buruh

lajang sekalipun. Dari hasil pengamatan dan penelitian lapangan yang dilakukan

oleh Yasmine314 menunjukkan hal tersebut disebabkan setidaknya oleh 3 (tiga)

faktor, yaitu:

a). Kebijakan upah minimum itu sendiri yang masih banyak mengandung

kekurangan-kekurangan dalam standar penghitungan upah minimum

serta dalam kebijakan penetapan upah minimum yang dirasa ganjil.

312 Lihat Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan bahwa setiap warga negara berhakatas pekerjaan dan penghidupan yang layak.

313 Hasil wawancara dengan Herlambang Perdana pada tanggal 09 Februari 2008.314 Soraya, Op. Cit

Page 269: Mogok Kerja Oleh serikat

263

b). Di dalam pelaksanaan proses penetapan upah minimum masih banyak

terjadi pelanggaran-pelanggaran sehingga upah minimum yang

dihasilkan setiap tahunnya tidaklah maksimal atau tidak sesuai dengan

standar hidup layak yang dimaksudkan oleh peraturan perundang-

undangan dan konstitusi.

c). Para aktor (stakeholder) yang berwenang dan berkaitan dengan upah

minimum tidak menjalankan peran masing-masing dengan optimal

sehingga masih terdapat banyak penyimpangan-penyimpangan dalam

pelaksanaan upah minimum.

Peraturan mengenai upah minimum telah berkali-kali mengalami perubahan.

Perubahan tersebut dimaknai sebagai perbaikan karena ditujukan agar kebijakan

upah minimum lebih dapat membawa buruh pada tingkat kesejahteraan yang

memadai, akan tetapi kenyataannya sampai hari ini upah minimum yang

ditetapkan masih saja jauh dari kebutuhan hidup layak, atau setidaknya mampu

meningkatkan kesejahteraan buruh ke taraf yang lebih baik. Hal ini menunjukkan

bahwa kebijakan upah minimum dengan segala atributnya pada dasarnya bergerak

dan didisain agar tetap dalam kerangka politik upah murah dan menandai bahwa

represi terhadap upah buruh masih tetap berlangsung.

Dengan demikian jelas bahwa ketentuan upah minimum yang tidak

mencerminkan pemenuhan kebutuhan hidup layak adalah pelanggaran hak buruh

untuk hidup secara layak bersama keluarganya yang mana hak tersebut telah

dijamin oleh Konstitusi Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar 1945, dan juga

Universal Declaration of Human Rights Perserikatan Bangsa-Bangsa yang di

Page 270: Mogok Kerja Oleh serikat

264

adopsi oleh Indonesia melalui UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi

Manusia315 dan UU No. 11 Tahun 2005 Tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan

Budaya316.

Di dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 kebijakan upah minimum

dijelaskan sebagai kebijakan yang diarahkan untuk pencapaian kehidupan yang

layak317. Ketentuan di dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tersebut jika

dihubungkan dengan ketentuan di dalam sejumlah undang-undang lainnya,

misalnya seperti Undang-Undang No. 11 Tahun 2005, memuat arti bahwa

ketentuan upah minimum harus memuat perbaikan kondisi hidup buruh secara

terus menerus setiap tahunnya. Perbaikan tersebut bukan hanya meliputi

penyesuaian terhadap kondisi perekonomian semata, tetapi peningkatan kualitas

hidup dan kesejahteraan buruh.

Pada Bab II penulis telah menjelaskan latar belakang munculnya buruh

industri dengan segala persoalannya. Dari pemaparan yang penulis ungkapkan

pada bab tersebut terlihat bahwa buruh bukan merupakan entitas alamiah,

melainkan hasil atau dampak dari perubahan mode produksi masyarakat. Artinya

seseorang yang kebetulan menjadi buruh bukan hanya sebagai tenaga kerja

315 Pasal 38 ayat (4) UU No. 39 Tahun 1999 menyatakan, “Setiap orang, baik pria maupunwanita, dalam melakukan pekerjaan yang sepadan dengan martabat kemanusiaannya berhak atasupah yang adil sesuai dengan prestasinya dan dapat menjamin kelangsungan kehidupankeluarganya”, sedangkan Pasal 40 menyebutkan, “Setiap orang berhak untuk bertempat tinggalserta berkehidupan yang layak”.

316 Pasal 11 ayat (1) Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budayamenyatakan, “Negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas standar kehidupanyang layak baginya dan keluarganya, termasuk pangan, sandang dan perumahan, dan atasperbaikan kondisi hidup terus menerus. Negara Pihak akan mengambil langkah-langkah yangmemadai untuk menjamin perwujudan hak ini dengan mengakui arti penting kerjasamainternasional yang berdasarkan kesepakatan sukarela”.

317 Oleh pemerintah, bunyi ketentuan di dalam UU No. 13 Tahun 2003 tersebut diartikanketentuan upah minimum tidak harus secara persis sesuai dengan kebutuhan hidup layak.

Page 271: Mogok Kerja Oleh serikat

265

upahan semata, tetapi secara nyata dalam dirinya tetaplah merupakan manusia.

Sebagai manusia, secara riil buruh tentunya mempunyai kepentingan sosial.

Sedangkan sebagai buruh, ia mempunyai kepentingan ekonomi. Dari penalaran

yang demikian ini di dapat sebuah kenyataan bahwa jika dilihat dari perspektif

sosial-ekonomi, dalam diri buruh sejatinya terdapat hak ekonomi dan hak sosial.

Merujuk pada pendapat Prof. Sudikno Mertokusumo yang menyatakan

bahwa hak adalah kepentingan yang dilindungi oleh hukum318, maka hak ekonomi

buruh dapat didefinisikan sebagai “kepentingan seorang individu mendapat

penghasilan atau tunjangan bagi diri dan keluarganya yang cukup untuk hidup

secara jasmaniah (sandang, pangan, perumahan, pelayanan kesehatan) dan sosial

(pengetahuan dasar untuk bertahan hidup dalam suatu sistem sosial, tidak

terisolasi” 319 . Sedangkan hak sosial adalah “kepentingan seseorang tidak

disingkirkan dari institusi dan jaringan sosial yang berguna bagi kehidupannya,

dan mendapatkan pengetahuan yang membuatnya tidak tersingkir dari sistem yang

ada”320.

Mengingat bahwa di dalam diri buruh terdapat kepentingan ekonomi dan

kepentingan sosial, serta dari definisi tersebut di atas, maka kelayakan atau

ketidaklayakan suatu besaran nominal upah minimum dinilai dari kemampuan

nominal upah tersebut mencakup perhitungan biaya ekonomi dari kebutuhan

sosial, yaitu:

318 Mertokusumo, Sudikno, Op. Cit., halaman 43.319 Tim Studi ELSAM, tanpa tahun, Analisa Dampak Proyek Terhadap Hak Asasi Manusia:

Kasus Perkebunan Inti Rakyat dan Perburuhan.320 Ibid.

Page 272: Mogok Kerja Oleh serikat

266

a. Membuat pergaulan dengan kelompok yang dipilihnya. Konsekuensinyajuga meliputi keadaan di mana seorang buruh tidak harus bekerja mati-matian hingga kehabisan waktu dan tenaga untuk memenuhi kebutuhandasarnya.

b. Mendapatkan pengetahuan, informasi dan keterampilan untuk tidaktersingkir dari sistem yang ada321.

Sehingga dari uraian ini dapat dikatakan bahwa ketentuan upah minimum

yang tidak mencakup perhitungan biaya ekonomi atas kebutuhan sosial buruh,

bertentangan dengan kewajiban negara (pemerintah) sebagaimana yang tercantum

di dalam peraturan perundang-undangan.

b. Pengorganisasian Mogok Kerja Sebagai Bentuk Pelaksanaan Fungsi

dan Kewajiban Serikat

Pada Bab II penulis telah menjelaskan fungsi dan kewajiban sebuah serikat

buruh. Fungsi, tugas dan kewajiban serikat buruh sebagaimana dijelaskan pada

bab tersebut bukan hanya karena ditentukan atau didefinisikan oleh sebuah rezim

hukum yang berlaku. Melainkan sudah menjadi sebuah keniscayaan. Menjadi

semacam panggilan sejarah yang kemudian diatur oleh peraturan perundang-

undangan, di mana untuk konteks keindonesiaan ditegaskan melalui Undang-

Undang No. 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Buruh/Serikat Pekerja.

Pada konteks mogok kerja yang terjadi di Jawa Timur tersebut, serikat buruh

bergerak tidak lebih selain dalam kerangka melaksanakan dan menunaikan fungsi

dan kewajibannya untuk memperjuangkan kepentingan dan mempertahankan hak-

hak sosial-ekonomi buruh. Perbedaan penafsiran terhadap suatu fenomena dan

aturan hukum merupakan sesuatu yang lumrah di negara yang menganut paham

321 Ibid.

Page 273: Mogok Kerja Oleh serikat

267

demokrasi, dan karenanya suatu tindakan yang bertujuan untuk menyuarakan

aspirasi oleh suatu kelompok harus dipahami sebagai pengejewantahan prinsip-

prinsip demokrasi itu sendiri. Apabila terdapat dua atau lebih ketentuan aturan

yang mengatur obyek yang sama, dan dalam taraf tertentu terlihat saling

bertentangan―antara peraturan yang satu dengan peraturan yang lain karena

perbedaan penafsiran yang dilatarbelakangi oleh perbedaan paradigma, maka

sudah semestinya untuk menilai suatu persoalan yang sedang berkembang apabila

kemudian peraturan-peraturan tersebut ditafsirkan secara sistematis322.

Di dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 pada Pasal 1 angka 1

disebutkan,

Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, danuntuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun diluar perusahaan, yangbersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis dan bertanggungjawab gunamemperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerjadan buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.

Pada pasal lainnya, masih di dalam undang-undang yang sama, dijelaskan

bahwa pada diri serikat buruh dilekatkan peran dan kewenangan untuk

mengorganisasikan pemogokan sebagai alat untuk memperjuangkan hak dan

kepentingan buruh 323 . Sedangkan pada bagian peraturan perundang-undangan

yang lainnya, yaitu Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 dan sejumlah peraturan

pelaksananya, mogok kerja diberi batasan-batasan dan dikategorisasikan.

Pembatasan dan pengkategorian mogok kerja ke dalam dua kualifikasi tersebut

322 Penafsiran sistematis adalah “menafsirkan undang-undang sebagai bagian darikeseluruhan sistem perundang-undangan dengan jalan menghubungkannya dengan undang-undanglainnya”

(Mertokusumo, Sudikno, Op. Cit., halaman 157)

323 Pasal 4 ayat (2) huruf e UU No. 21 Tahun 2000.

Page 274: Mogok Kerja Oleh serikat

268

pada tingkat tertentu dapat mereduksi makna serikat buruh dan mogok kerja itu

sendiri. Artinya pelaksanaan peraturan perundang-undangan dengan penafsiran

yang sempit berpotensi menghilangkan, atau setidaknya menghalangi kemampuan

serikat buruh untuk memperjuangkan kepentingan dan mempertahankan hak serta

usaha-usaha meningkatkan kesejahteraan buruh.

Jika ketentuan di dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 dihubungkan

dengan ketentuan lain seperti yang terdapat dalam Undang-Undang No. 39 Tahun

1999 dan Kovensi Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang diratifikasi oleh

Indonesia melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 2005, fungsi dan tugas serikat

buruh untuk memperjuangkan kepentingan buruh bukan hanya berada dalam

konteks hubungan industrial atau ketika berhadapan dengan pengusaha saja.

Melainkan juga dalam bentuk pengartikulasian hak-hak politik ekonomi untuk

menyuarakan aspirasi ketika berhadapan dengan kebijakan negara yang

mempunyai dampak terhadap kehidupan buruh beserta keluarganya.

Dari uraian di atas tersebut dapat dipahami dan disimpulkan bahwa mogok

kerja yang dilaksanakan oleh serikat buruh dalam menentang ketetapan upah

minimum, yang merupakan produk kebijakan pemerintah, merupakan bentuk

pelaksanaan fungsi, tugas dan kewajiban yang melekat pada serikat buruh sebagai

alat perjuangan buruh.

c. Mogok sebagai Hak Politik

Buruh secara nyata bukan hanya makhluk yang berada pada ranah sosial-

ekonomi. Sebagai manusia dan warga negara, buruh juga merupakan makhluk

Page 275: Mogok Kerja Oleh serikat

269

politik yang mempunyai hak-hak politik sebagaimana dipunyai oleh elemen

masyarakat lainnya. Secara substantif, hak politik mempunyai makna adanya

“kesempatan bersuara dalam pengalokasian sumber daya masyarakat serta

pengaturan hubungan-hubungan sosial”324. Dan hak-hak politik tersebut bukan

sebatas wacana, tetapi suatu hak yang diberikan oleh hukum yang berlaku di

Indonesia.

Sebagai pemangku hak politik, buruh dilindungi oleh hukum yang menjamin

kebebasannya untuk melakukan aktivitas politik, menyuarakan pendapat dan

aspirasinya, serta mengajukan kepentingan dan tuntutan kepada pihak-pihak yang

berkompeten. Termasuk menyebarluaskannya kepada publik masyarakat luas

dengan melalui beberapa tindakan yang oleh hukum dilegalkan.

Menyuarakan aspirasi dan mengajukan kepentingan melalui tindakan mogok

atau melalui beragam aksi massa lain, di Indonesia dikonsepkan sebagai bentuk

hak politik menyampaikan pendapat di muka umum yang dilindungi oleh hukum.

Sebagaimana telah penulis sebutkan pada Bab II penulisan hukum ini, kebebasan

dalam mengeluarkan pendapat merupakan bagian dari hak asasi manusia yang

dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 yang menyatakan

bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan

lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Kemudian

lebih lanjut lagi dalam pasal 28 E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa

setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan

pendapat.

324 Tim Studi ELSAM, Op. Cit.

Page 276: Mogok Kerja Oleh serikat

270

Dari uraian tersebut dapat dijelaskan bahwa hak mogok buruh merupakan

bagian dari hak politik; hak atas kemerdekaan mengeluarkan pendapat. Hal ini

dapat dilihat pada Pasal 25 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 yang

menyebutkan, ”setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka

umum, termasuk hak untuk mogok sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan”.

Ketentuan di dalam Pasal 25 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tersebut,

jika dilihat dengan memperhatikan bahwa Undang-Undang No. 39 Tahun 1999

dibentuk sebagai umbrella act atas peraturan-peraturan yang ditujukan untuk

penghormatan dan perlindungan serta penegakan HAM yang berangkat dari nilai-

nilai universal, memberikan penafsiran bahwa ketentuan “[…] sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan” yang terdapat dalam pasal tersebut

bukan dimaksudkan menunjuk ketentuan mogok di dalam peraturan perundang-

undangan dibidang perburuhan.

Di Indonesia, pengaturan mengenai kebebasan menyampaikan pendapat di

muka umum di atur dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 Tentang

Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum. Pada Pasal 2 dari

Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 disebutkan:

(1) Setiap warga negara, secara perorangan atau kelompok, bebasmenyampaikan pendapat sebagai perwujudan hak dan tanggung jawabberdemokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, danbernegara.

(2) Penyampaian pendapat di muka umum dilaksanakan sesuai denganketentuan Undang-undang ini.

Page 277: Mogok Kerja Oleh serikat

271

Berdasar bunyi pada Pasal 2 Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tersebut,

maka jelas bahwa ketentuan yang terdapat pada Pasal 25 Undang-Undang No. 39

Tahun 1999 menunjuk pada Undang-Undang No. 9 Tahun 1998.

Untuk memahami bagaimana konstruksi hukum atas situasi saat aksi massa

yang dilakukan oleh Koalisi Buruh Rakyat Jawa Timur Menggugat, perhatikan

contoh berikut. Sebagai contoh misalnya ialah aksi massa yang sering dilakukan

oleh sebuah partai politik untuk menyuarakan dan menyerukan solidaritas bagi

rakyat Timur-Tengah tentu bukan dalam jangkauan peraturan perundang-

undangan sektor perburuhan. Seandainya sebagian dari peserta aksi tersebut

adalah massa buruh, aksi massa tersebut secara an sich tidak berada dalam rezim

hukum perburuhan, tetapi tunduk pada peraturan hukum yang mengatur tentang

tata tertib umum. Walaupun begitu, bukan berarti dalam konteks contoh kasus ini

hukum perburuhan tidak mempunyai kekuasaan sama sekali.

Secara sederhana persoalan ini dapat digambarkan demikian, seorang buruh

yang sedang terlibat aksi massa―seperti dalam contoh―tunduk pada dua rezim

peraturan, yaitu untuk keikutsertaannya pada aksi massa, ia tunduk pada peraturan

yang mengatur tentang tata tertib umum dan aturan mengenai tata cara

penyampaian pendapat di muka umum―yakni, Undang-Undang No. 9 Tahun

1998; sedangkan apabila karena mengikuti aksi massa tersebut buruh yang

bersangkutan meninggalkan pekerjaannya, itu tunduk pada rezim hukum

perburuhan.

Dengan demikian soal mogok secara riil bukan hanya ada dalam konteks

hubungan industrial, atau hanya berada dalam konteks yang sedikit lebih luas,

Page 278: Mogok Kerja Oleh serikat

272

yakni ranah sosial-ekonomi. Mogok di Indonesia berada di dua ranah yang

berbeda, yaitu ranah sosial-ekonomi dan sosial-politik. Artinya hak mogok yang

dimiliki oleh kaum buruh merupakan hak dibidang sosial-ekonomi dan juga hak

dibidang sosial-politik.

Pelaksanaan mogok kerja dalam menentang kebijakan pemerintah yang

merugikan buruh, dalam kasus ini ialah menentang ketetapan upah minimum,

merupakan hak politik. Sebagai hak dan tindakan politik, bukan berarti tidak

mempunyai hubungan sama sekali dengan ranah sosial-ekonomi. Antara hak

politik dengan hak sosial-ekonomi, keduanya mempunyai hubungan dan

keterkaitan seperti yang penulis sebutkan dalam contoh di atas. Akan tetapi

keduanya sebenarnya dua hal yang berbeda. Sebagai hak politik, pada tingkatan

tertentu terpisah dari persoalan hubungan kerja yang hanya melibatkan buruh dan

pengusaha semata.

Hak secara nyata bukan hanya sebagaimana yang disebutkan pada kalimat

dalam hukum positif yang sedang berlaku. Segala sesuatu yang menjadi hak

belum tentu semuanya diatur oleh hukum positif yang berlaku, atau sesuatu hal

yang pada kurun waktu tertentu dikategorikan sebagai hak yang diakui oleh

hukum (positif) yang berlaku pada kurun waktu tersebut tetapi tidak disebutkan

secara detail. Seiring dengan perjalanan waktu dan perubahan materi hukum yang

terjadi pada waktu berikutnya, sangat mungkin sesuatu yang belum disebutkan

sebagai hak kemudian dikualifikasikan sebagai hak, atau suatu hak yang belum

diatur secara detail kemudian ditegaskan serta diperjelas secara rinci. Tuntutan

agar sesuatu hak―yang belum tercantum dalam hukum positif―dimasukkan dan

Page 279: Mogok Kerja Oleh serikat

273

disebutkan serta diatur secara jelas di dalam hukum merupakan suatu tindakan

atau aksi politik.

Dalam konteks konflik di penetapan upah minimum, mogok kerja yang

dilancarkan oleh buruh adalah untuk menuntut dan memperjuangkan hak, yaitu

hak untuk mendapatkan upah yang layak. Akan tetapi, “upah yang layak” itu

sendiri masih belum jelas bentuknya, sehingga “hak mendapatkan upah yang

layak” itu sendiri juga belum mendapatkan bagaimana bentuk sebenarnya, atau

berapa nilai pasti dari yang dimaksud “upah yang layak”. Dan agar “upah yang

layak” tersebut mempunyai kejelasan yang memadai sehingga dapat

diaplikasikan, diperlukan pemberian bentuk kepadanya.

Pada titik itulah, yakni pada kurun waktu dan ruang di dalam upaya

pemberian bentuk tersebut, terjadi pertarungan kepentingan, masing-masing pihak

yang terlibat di dalamnya mempunyai hak untuk menyampaikan pendapatnya, dan

segala tindakan yang diambil pada saat yang demikian ini dikategorikan sebagai

aksi politik. Apa yang dilakukan oleh “Koalisi Buruh Rakyat Jawa Timur

Menggugat” melalui aksi massa dan mogok berada dalam kerangka seperti ini,

yakni merupakan aksi politik berupa penyampaian pendapat di muka umum

melalui unjuk rasa (demonstrasi)325.

Aksi buruh yang tergabung dalam Koalisi Buruh Rakyat Jawa Timur

Menggugat merupakan hasil dari kesadaran politik massa buruh. Bahwa aksi

325 Menurut Pasal 9 ayat (1) UU No. 9 Tahun 1998, bentuk penyampaian pendapat di mukaumum dapat berupa:

a.) unjuk rasa atau demonstrasi;b.) pawai;c.) rapat umum; dan ataud.) mimbar bebas

Page 280: Mogok Kerja Oleh serikat

274

terebut berlangsung dalam skala massif dan luas hal itu tidak lain merupakan

wujud dari kesadaran politik kolektif yang diorganisasikan oleh serikat buruh.

Makna kesadaran politik dalam hal ini lebih mengacu pada tindakan untuk

mengaktualisasikan diri karena hak dan kepentingannya dilanggar oleh pihak lain.

d. Kategori Mogok Kerja Menyoal Ketentuan Upah Minimum oleh

Serikat Buruh

Terhadap pemogokan yang dilakukan untuk menekan pemerintah agar

merubah ketetapan upah minimum yang merugikan buruh, yang berarti tidak

mempunyai kaitan langsung dengan kebijakan pengusaha, ada dua skenario yang

berlaku, yaitu: pertama, dapat dikategorikan sebagai tindakan ilegal; dan kedua,

mogok kerja tersebut merupakan mogok kerja yang sah. Berikut pembahasan

mengenai kedua skenario dan ruang lingkupnya masing-masing.

1). Sebagai Mogok Kerja Tidak Sah

Jika dilihat dari penafsiran hukum yang sifatnya yuridis normatif,

pemogokan yang tidak ada kaitan langsung dengan kebijakan pengusaha bisa

digolongkan sebagai tindakan yang ilegal. Mogok kerja yang dilancarkan oleh

buruh dalam kasus menentang ketentuan upah minimum di Jawa Timur

dikategorikan sebagai perbuatan mogok yang tidak sah dilihat dari sudut pandang:

mogok kerja sebagai hak dibidang sosial-ekonomi.

Sebagaimana telah diungkapkan penulis pada Bab I, peraturan yang

mengatur tentang pemogokan hanya merumuskan dua tipe pemogokan, yaitu

Page 281: Mogok Kerja Oleh serikat

275

pemogokan yang mempermasalahkan soal-soal normatif, dan pemogokan yang

bersumber dari perselisihan yang sifatnya non-normatif. Akan tetapi kedua jenis

kategori tersebut berspektif bipartit; hanya mendasarkan pada perselisihan yang

timbul dalam hubungan antara pengusaha dan buruh.

Pada bagian lain, Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 dan Peraturan

Menteri Tenaga Kerja No. 232 Tahun 2003 memberikan pengaturan, “mogok

kerja dilakukan secara sah, tertib, damai dan sebagai akibat gagalnya

perundingan”. Pasal 3 huruf a Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 232 Tahun

2003 menyebutkan mogok kerja tidak sah salah satunya disebabkan bukan akibat

gagalnya perundingan. Yang dimaksud gagalnya perundingan adalah tidak

tercapainya kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dapat

disebabkan oleh salah satu pihak tidak mau melakukan perundingan atau

perundingan menemui jalan buntu. Disinilah titik kruisialnya326.

Dalam konteks penetapan upah minimum, pihak yang terlibat mencakup tiga

pihak, yaitu buruh, pengusaha dan negara (pemerintah). Sehingga jikapun terdapat

konflik, maka jelas konflik tersebut melibatkan tiga pihak yang ada. Akan tetapi

Kenyataan ini tidak dijangkau oleh peraturan perundang-undangan yang ada, yang

mengatur tentang pemogokan. Peraturan perundang-undangan yang ada saat ini

hanya menggunakan asumsi dan logika bahwa perselisihan hubungan industrial

326 Pasal 4 Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 232 Tahun 2003 menyebutkan;

Gagalnya perundingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a adalah tidaktercapainya kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dapatdisebabkan karena pengusaha tidak mau melakukan perundingan walaupun serikatpekerja/serikat buruh atau pekerja/buruh telah meminta secara tertulis kepada pengusaha2 (dua) kali dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari kerja atau perundingan-perundingan yang dilakukan mengalami jalan buntu yang dinyatakan oleh para pihakdalam risalah perundingan

Page 282: Mogok Kerja Oleh serikat

276

selalu hanya menyangkut pihak buruh dan pengusaha semata. Konsekuensinya,

perundingan yang dimaksudkan dalam peraturan tersebut adalah perundingan

yang berakar dari konflik antara pengusaha dan buruh. Sedangkan posisi

pemerintah di dalam perundingan adalah sebagai mediator yang menjembatani

dan memfasilitasi perundingan tersebut.

Wujud utama persoalannya ialah agar mogok kerja tidak masuk kategori

tidak sah, salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah mogok kerja tersebut

merupakan akibat gagalnya perundingan. Syarat ini hampir mustahil dipenuhi jika

berada dalam kerangka konflik saat penetapan upah minimum. Pola konflik di

dalam konteks penetapan upah minimum berbeda dengan konflik yang hanya

melibatkan buruh dan pengusaha semata.

Perundingan yang dimaksud oleh sejumlah peraturan tersebut di atas

dilatarbelakangi oleh keberadaan konflik terkait hubungan kerja antara buruh dan

pengusaha yang telah ada terlebih dahulu. Sedangkan konflik pada soal penetapan

upah minimum bukanlah konflik yang berlandaskan hubungan kerja—yang

sifatnya bipartit—antara buruh dan pengusaha. Sehingga dalam soal penetapan

upah minimum, apabila terdapat konflik—seperti pada kasus Jawa Timur yang

penulis angkat, mekanisme penyelesaian tidak melalui prosedur sebagaimana

yang diatur oleh Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 maupun Peraturan Menteri

Tenaga Kerja No. 232 Tahun 2003. Akibatnya, mengingat bahwa mogok kerja

yang sah menurut peraturan perundang-undangan adalah sebagai sebab dari

gagalnya perundingan, maka pemogokan yang dilakukan oleh pihak buruh dalam

rangka menolak ketentuan upah minimum yang jauh dari kemampuan memenuhi

Page 283: Mogok Kerja Oleh serikat

277

kebutuhan hidup layak secara yuridis formal digolongkan sebagai mogok kerja

yang tidak sah.

2). Terkategorikan Sebagai Mogok Kerja Sah

Menyikapi kondisi perburuhan di Indonesia, Herlambang Perdana

menyatakan;

[…] bila dilihat dari dimensi politik ekonomi, di mana buruh senantiasaberposisi sangat lemah dalam perebutan pengaruh kebijakan yang pro-buruh,maka tindakan buruh itu bisa disebut sebagai “in kauf nehmen”, apa bolehbuat karena tidak ada pilihan hukum bagi buruh untuk bertahan atau resistenatas legalisasi pengaturan yang melemahkan proteksi buruh (legalizedviolation of human rights)327.

Artinya apabila perspektif hukum yang sifatnya legal-formal sudah tidak

dapat menjangkaunya, maka fenomena yang ada, yakni tindakan mogok kerja

yang dilakukan oleh buruh, harus dilihat dalam kerangka perspektif yang lebih

luas, yaitu bahwa di alam demokrasi setiap manusia mempunyai kebebasan untuk

berkumpul, berserikat dan mengemukakan serta menyampaikan pendapat.

Sebagaimana telah penulis sebutkan di muka, setiap orang berhak mengemukakan

pendapatnya di muka umum dan menyuarakan aspirasinya kepada pihak-pihak

tertentu agar kepentingannya dapat diwujudkan.

Pembahasan yang menyangkutkan aksi mogok buruh dengan soal

demokrasi, tetap juga menyentuh aspek hukum, atau bukan hanya bergerak dalam

dimensi politik semata. Hanya saja pendekatan yang diterapkan berbeda dengan

ketika menggunakan perspektif legal-formal. Melalui pendekatan seperti ini,

peraturan hukum dibidang perburuhan dilihat sebagai bagian dari sistem hukum

327 Hasil wawancara dengan Herlambang Perdana.

Page 284: Mogok Kerja Oleh serikat

278

secara utuh; dihubungkan dan dibandingkan dengan peraturan-peraturan lainnya

yang pada saat bersamaan juga mempunyai status sebagai hukum positif yang

masih berlaku mengikat.

Sebagaimana telah disinggung di atas, di dalam sistem hukum Indonesia

terdapat sejumlah peraturan yang menyebutkan setiap manusia mempunyai hak

untuk mendapatkan penghasilan yang layak agar dapat memenuhi kebutuhan

hidupnya secara layak termasuk bersama keluarganya. Antara lain adalah seperti

Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (Pasal 38 ayat

(4)); Undang-Undang No. 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Konvenan Hak-

Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya jo. Undang-Undang No. 11 Tahun 2006, dan

bahkan UUD 1945 sendiri.

Dari ketentuan yang terdapat pada beberapa peraturan tersebut di atas dapat

ditarik sebuah pemahaman bahwa tindakan buruh melakukan mogok kerja

menuntut upah minimum yang layak bukan merupakan semata-mata sebagai aksi

yang sifatnya politis, melainkan tindakan hukum karena berusaha

mempertahankan dan memperjuangkan hak yang dijamin oleh hukum.

Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa menurut Undang-Undang

Dasar 1945 Pasal 28 E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan “setiap orang berhak

atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”; Pasal 2 ayat

(1) Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 yang menyatakan, “Setiap warga negara,

secara perorangan atau kelompok, bebas menyampaikan pendapat sebagai

perwujudan hak dan tanggung jawab berdemokrasi dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”; serta menurut Pasal 25 Undang-

Page 285: Mogok Kerja Oleh serikat

279

Undang No. 39 Tahun 1999 yang menyebutkan, “Setiap orang berhak untuk

menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk hak untuk mogok sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”, maka aksi massa yang

digalang oleh Koalisi Buruh Rakyat Jawa Timur Menggugat merupakan aksi yang

berada dalam kerangka pelaksanaan suatu hak.

Di dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 memang disebutkan bahwa

pencapaian penghasilan yang layak secara kemanusiaan bagi buruh ditempuh

melalui penerapan serangkaian kebijakan pengupahan seperti pengaturan upah

lembur dan sebagainya, dan bukan hanya melalui kebijakan upah minimum

semata―sehingga kebijakan upah minimum menurut Undang-Undang No. 13

Tahun 2003 dikonsepsikan sebagai instrumen yang diarahkan kepada pencapaian

kebutuhan hidup layak.

Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian dari keseluruhan kaum

buruh hanya mempunyai sumber penghasilan dari upah sebesar ketentuan upah

minimum kabupaten/kota setempat yang berlaku. Misalnya adalah buruh yang

sistem kerjanya borongan, atau buruh outsource, yang mana karena profil

pekerjaannya sifatnya statis—seperti bagian cleaning-service—mereka tidak

mengenal kerja lembur, sehingga penghasilan mereka hanya bersumber dari upah

yang mereka terima tiap bulan sebesar ketentuan upah minimum.

Artinya sebagian buruh tersebut mengandalkan kelangsungan dan kualitas

hidupnya pada sejumlah upah yang mereka terima. Apabila upah yang mereka

terima sesuai dengan kondisi riil kebutuhan hidup layak; mempunyai kemampuan

untuk memenuhi kebutuhan hidup secara layak, maka mereka dapat menjalani dan

Page 286: Mogok Kerja Oleh serikat

280

menikmati hidup yang layak. Sebaliknya, apabila upah yang mereka tidak

mencerminkan kebutuhan hidup layak, tentunya mereka amat susah untuk dapat

menjalani hidup secara layak.

Disinilah pentingnya merumuskan dan menerapkan kebijakan upah

minimum sebagai salah satu alat untuk mengaplikasikan ketentuan di dalam

Konstitusi dan juga di dalam Deklarasi HAM Universal oleh PBB —yang mana

telah diadobsi oleh Indonesia melalui UU No. 39 Tahun 1999— yang menegaskan

bahwa setiap manusia berhak atas penghasilan yang layak menurut kemanusiaan.

Artinya, ketentuan upah minimum yang ditetapkan sudah semestinya merupakan

instrumen pemenuhan hak buruh untuk memperoleh penghasilan yang layak

secara kemanusiaan.

Memang terhadap segala sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan

diberikan sebagai hak, subyek pemangku hak tersebut tidak berarti dapat

menggunakan segala cara untuk mempertahankan hak yang bersangkutan. Untuk

dapat mempertahankan hak tersebut, haruslah menggunakan tata cara yang telah

disediakan oleh hukum. Demikian logika yang berlaku di dalam hukum.

Akan tetapi pemahaman akan logika hukum formal tersebut jangan sampai

melupakan bahwa ketika hukum memberikan hak, pada dasarnya hukum

menjamin dan melindungi kekuasaan untuk melaksanakan hak yang bersangkutan.

Sebagaimana diungkapkan Sudikno Mertokusumo yang menyatakan:

Hak adalah kepentingan yang dilindungi oleh hukum, sedangkankepentingan adalah tuntutan perorangan atau kelompok yang diharapkanuntuk dipenuhi. Kepentingan pada hakekatnya mengandung kekuasaan yangdijamin dan dilindungi oleh hukum dalam melaksanakannya328.

328 Mertokusumo, Sudikno, Op. Cit. Halaman 43.

Page 287: Mogok Kerja Oleh serikat

281

Keabsahan aksi buruh dalam hal ini tidak dinilai dari sisi prosedural,

melainkan lebih pada sisi substansi muatan hak mogok yang dimiliki oleh buruh.

Memang secara logika hukum yang formalistik, dipenuhi atau tidaknya suatu

prosedur memberikan pengaruh pada tingkat keabsahan suatu tindakan. Jika

prosedur yang disyaratkan tidak dipenuhi, maka tindakan yang ada merupakan

tindakan yang tidak sah. Akan tetapi persoalannya, bagaimana jika ketentuan

prosedur yang disyaratkan tidak mungkin dipenuhi karena perbedaan konstruksi

kasus yang menyentuh ranah substansi?

Prosedur dapat diartikan sebagai bagian dari tata cara pelaksanaan suatu

tindakan, baik yang menjadi hak maupun tindakan yang merupakan sebuah

kewajiban. Dalam konteks prosedur untuk pelaksanaan suatu tindakan yang

menjadi hak, bagaimana jika prosedur yang ada tersebut justru dapat membawa

dampak tereduksinya hak itu sendiri? Prosedur memang merupakan sesuatu yang

penting, akan tetapi hak merupakan sesuatu yang lebih utama yang harus

dilindungi.

Keabsahan aksi buruh di dalam proses penentuan upah minimum terletak

pada aksi buruh sebagai pelaksanaan hak politik yang dipunyai oleh buruh. Tidak

terpenuhinya ketentuan di dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 oleh aksi

buruh di dalam penentuan upah minimum adalah karena ketentuan tersebut dibuat

dengan mengabaikan hak mogok buruh sebagai bagian dari hak politik yang

dipunyai buruh. Sedangkan hak mogok sebagai bagian dari hak politik, telah

ditegaskan oleh Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 11

Tahun 2005. Dengan demikian, pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 137

Page 288: Mogok Kerja Oleh serikat

282

Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 disebabkan oleh tidak mungkin dipenuhinya

syarat-syarat yang terdapat di dalamnya oleh buruh.

3. Akibat Hukum Mogok Kerja Menyoal Ketentuan Upah Minimum

Sebagaimana telah disinggung di muka, menyikapi aksi mogok kerja dan

demonstrasi yang dilakukan oleh buruh, kalangan pengusaha mengeluarkan

ancaman kepada perangkat aksi aliansi dan pengurus serikat buruh yang

bergabung di dalam aliansi, serta kepada peserta aksi biasa. Pada intinya, seluruh

lapisan aliansi tersebut tidak ada yang luput dari ancaman pihak pengusaha dan

APINDO.

Jika dicermati dan dianalisis lebih lanjut, maka hasil yang muncul kemudian

adalah ancaman pihak pengusaha tersebut tidak lebih sebagai bentuk reaksi

spontan yang bingung menghadapi aksi massa buruh yang massif. Dari ketiga

bentuk ancaman tersebut, yang memungkinkan untuk dijalankan ialah

mengkualifikasikan sebagai tindakan mangkir kerja. Sedangkan untuk soal pidana

dan gugatan perdata, pihak pengusaha tidak mempunyai alasan yang kuat.

a. Diperkarakan Secara Pidana Oleh Pengusaha

Pidana merupakan instrumen hukum di mana pihak yang diharuskan

mempunyai inisiatif beracara adalah pihak penguasa atau pemerintah negara yang

bersangkutan. Hukum pidana bersifat strict atau tertutup. Seseorang hanya dapat

dijatuhi hukuman pidana apabila sebelumnya telah ada peraturan atau ketentuan

hukum yang menyatakan bahwa tindakan atau perbuatan tertentu yang dilakukan

Page 289: Mogok Kerja Oleh serikat

283

oleh seseorang tersebut adalah sebagai perbuatan pidana. Apabila seseorang

melakukan pencurian, sedangkan pencurian itu sendiri misalnya tidak

dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana, maka sesorang yang mencuri tersebut

tidak dapat diproses dan dilakukan pemidanaan. Nullum delictum nulla poena sine

praevia lege poenali, itulah prinsip dasar yang berlaku di dalam hukum pidana

yang umum disebut sebagai asas legalitas, yang tercantum dalam Pasal 1 Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Mogok kerja dan melakukan demonstrasi bukanlah tindakan pidana apabila

dilakukan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Setidaknya hal

ini diperoleh dari ketentuan di dalam Konstitusi Republik Indonesia, dan Pasal 25

Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak

menyampaikan pendapat dan aspirasinya di muka umum, termasuk menggunakan

mogok sebagai alat untuk menyuarakan aspirasinya selama tidak bertentangan

dengan hukum yang berlaku.

Penjelasan mengenai mogok kerja dan demonstrasi bukan merupakan suatu

tindak pidana di dapat dari ketentuan di dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1998

Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum sebagaimana

telah disebutkan di atas. Bahkan menurut undang-undang ini, seseorang atau

kelompok yang menyampaikan pendapatnya di muka umum dengan tanpa

melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) mendapatkan perlindungan hukum329.

Ketentuan di dalam Pasal 186 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 yang

mengkualifikasikan mogok kerja yang tidak sesuai dengan Pasal 137 dan Pasal

329 Pasal 5 huruf b UU No. 9 Tahun 1998.

Page 290: Mogok Kerja Oleh serikat

284

138 ayat (1) sebagai perbuatan pidana pun sudah tidak dapat diberlakukan lagi

akibat dibatalkan oleh Mahkamah Kosntitusi pada tanggal 26 Oktober 2004.

Terkait dengan ancaman pihak pengusaha yang akan memperkarakan secara

pidana, memang di dalam hukum pidana ada beberapa pasal atau ketentuan yang

mengatur bahwa suatu tindak pidana tertentu hanya dapat diproses apabila ada

aduan atau laporan terlebih dahulu—hal yang kemudian umum disebut sebagai

delik aduan. Akan tetapi, pasal-pasal dan ketentuan yang mengatur tentang delik

aduan sama sekali tidak ada yang mengkategorikan mogok dan aksi demonstrasi

sebagai perbuatan pidana delik aduan, sehingga dengan demikian pihak

pengusaha tidak mempunyai legal standing.

b. Digugat Perdata

Selain mengancam akan memperkarakan secara pidana, pengusaha yang

tergabung dalam APINDO juga berniat menggugat secara perdata kepada buruh

dan serikat buruh yang melakukan aksi demonstrasi menentang ketentuan upah

minimum. Seperti telah penulis sebutkan di atas, aksi demonstrasi dan mogok

kerja yang dilancarkan oleh kaum buruh, walaupun dilakukan bukan dengan

maksud menekan dan mendesakkan kepentingannya kepada pihak pengusaha,

melainkan kepada pemerintah, akan tetapi hal tersebut telah mengganggu

kelancaran aktivitas produksi.

Terhambatnya aktivitas produksi, bagi pengusaha merupakan sebuah

peristiwa yang menyebabkan kerugian, atau setidaknya menghilangkan

kesempatan meraih keuntungan. Selain itu, untuk beberapa perusahaan atau

Page 291: Mogok Kerja Oleh serikat

285

pengusaha yang kebetulan pada masa-masa itu sedang dikejar target memenuhi

pesanan, terhambatnya atau terhentinya aktivitas produksi memunculkan potensi

perusahaan yang bersangkutan mengalami tuntutan klaim dari mitra bisnisnya

karena tidak mampu memenuhi pesanan tepat pada waktunya sebagaimana yang

dijanjikan akibat buruh-buruhnya melakukan mogok kerja.

Bahwa pengusaha melontarkan ancaman akan menggugat serikat buruh

secara perdata diilhami oleh konsepsi berpikir tentang perjanjian dan wanprestasi

di dalam hukum perdata yang berakar pada KUHPerdata. Buruh mogok kerja dan

meninggalkan pekerjaan yang menjadi kewajibannya, dikualifikasikan oleh

kalangan pengusaha sebagai bentuk wanprestasi atas perjanjian kerja, sehingga

apabila kemudian perusahaan mengalami kerugian atau tuntutan klaim ganti rugi

dari mitra bisnisnya, buruh dituding sebagai penyebab semuanya dan dianggap

turut mempunyai kewajiban menanggung kerugian dan/atau klaim yang diderita

perusahaan.

Penggunaan beberapa pasal ketentuan di dalam KUHPerdata sebagai

kerangka berpikir untuk mengajukan gugatan ganti rugi perdata kepada buruh,

menurut penulis, merupakan seseuatu yang tidak tepat. Argumentasinya ialah:

pertama, persoalan hubungan kerja pada masa sekarang ini telah diatur secara

tersendiri melalui Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, Undang-Undang No. 21

Tahun 2000, dan Undang-Undang No. 2 Tahun 2004. Di dalam ilmu hukum

dikenal asas lex speciali derogat lex generali, peraturan yang khusus

mengesampingkan peraturan yang umum. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003,

Undang-Undang No. 21 Tahun 2000, dan Undang-Undang No. 2 Tahun 2004,

Page 292: Mogok Kerja Oleh serikat

286

adalah peraturan yang secara khusus mengatur tentang hubungan industrial,

sehingga berdasar asas lex speciali derogat lex generali mengesampingkan

ketentuan-ketentuan mengenai hubungan kerja yang terdapat di dalam peraturan

perundang-undangan lainnya, termasuk KUHPerdata. Sehingga apabila terdapat

suatu masalah atau konflik hubungan industrial, upaya penyelesaiannya haruslah

menggunakan kerangka instrumen hukum perburuhan tersebut.

Kedua, ketentuan tentang perikatan dan perjanjian di dalam KUHPerdata

sifatnya adalah fakultatif atau pelengkap. Kaedah hukum di dalam KUHPerdata

tersebut tidak secara a priori mengikat. Artinya ketentuan di dalam KUHPerdata

tersebut dapat disimpangi oleh para pihak yang akan dan/atau sedang mengadakan

hubungan hukum. Pada konteks ini, perjanjian kerja yang dibuat oleh buruh dan

pengusaha bisa saja menyimpangi ketentuan-ketentuan di dalam KUHPerdata,

sehingga―sebagaimana menurut asas pacta sunt servanda, semua perjanjian yang

dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

membuatnya―yang berlaku adalah klausula perjanjian kerja yang dibuat antara

buruh dan pengusaha. Untuk itu, apabila pengusaha berniat menggugat buruh

dengan menggunakan keempat pasal sebagaimana tersebut di atas, maka

setidaknya pengusaha harus menggunakan dasar klausula perjanjian yang dibuat

antara pengusaha dan buruh. Sedangkan klausula perjanjian kerja itu sendiri tidak

boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dibidang perburuhan

yang berlaku.

Ketiga, jikapun memungkinkan menggunakan ketentuan di dalam

KUHPerdata sebagai dasar gugatan kepada buruh dan serikat buruh yang

Page 293: Mogok Kerja Oleh serikat

287

menggalang dan mengorganisasikan aksi mogok, penggunaan ketentuan Pasal

1365 dan 1366 adalah kurang tepat. Pasal 1367 ayat (3) KUHPerdata

menyebutkan, “majikan-majikan dan mereka yang mengangkat orang-orang lain

untuk mewakili urusan-urusan mereka, adalah bertanggung jawab tentang

kerugian yang diterbitkan oleh pelayan-pelayan atau bawahan-bawahan mereka di

dalam melakukan pekerjaan untuk mana orang-orang ini dipakainya”330. Bunyi

ketentuan di dalam Pasal 1367 ayat (3) tersebut menunjukkan ancaman gugatan

perdata yang dilontarkan oleh pengusaha tidaklah mempunyai dasar.

c. Dikualifikasikan Sebagai Mangkir Kerja

Dari beberapa jenis “ancaman” yang dilontarkan oleh pengusaha,

mengkualifikasikan buruh yang mengikuti aksi menentang ketetapan upah

minimum sebagai perbuatan mangkir kerja, merupakan hal yang paling mungkin

dilaksanakan. Dapat diterapkannya kualifikasi mangkir kerja terhadap buruh yang

mengikuti aksi demonstrasi menentang upah minimum bukan berarti

membuktikan bahwa buruh yang bersangkutan melakukan pelanggaran hukum

sepenuhnya.

Perbedaan substansi antara mogok yang dilaksanakan dalam rangka

menentang ketentuan upah minimum dengan konsepsi mogok yang diatur dalam

peraturan perundang-undangan sektor perburuhan telah menempatkan buruh

sebagai “pelaku pelanggaran”. Peraturan tentang mogok di dalam hukum

perburuhan tidak memberikan ruang bagi pemogokan yang menyikapi kebijakan

330 Subekti, R., dan Tjitrosudibio, R., Op. Cit.

Page 294: Mogok Kerja Oleh serikat

288

negara. Mogok kerja di tingkatan peraturan perburuhan hanya dimaknai berada

dalam konteks hubungan kerja antara perusahaan dan buruh.

Secara langsung peraturan mogok kerja hanya memuat konsepsi tuntutan

kesejahteraan buruh terbatas pada perbaikan kondisi kerja dan tuntutan kolektif

dalam suatu hubungan kerja. Pemahaman yang demikian ini menafikan peran

negara yang dapat menerbitkan kebijakan yang mempunyai implikasi terhadap

kehidupan buruh. Mengingat standar kondisi kerja dalam suatu hubungan

industrial secara formal harus mengacu pada peraturan perundang-undangan yang

berlaku, konsepsi yang dibawa oleh peraturan mogok mengindikasikan bahwa

standar yang diterapkan oleh pemerintah seolah telah mengakomodasi

kesejahteraan buruh. Padahal dalam banyak kasus tidaklah demikian

kenyataannya. Banyak regulasi tentang perburuhan yang tidak mencerminkan

standar kesejahteraan buruh yang layak. Dengan kata lain, ada sejumlah peraturan

yang keberadaannya sudah menjadi persoalan tersendiri331.

Pengkualifikasian sebagai mangkir kerja pada dasarnya tidak menjadi soal

apabila hal tersebut tidak mengancam keamanan kelangsungan kerja buruh yang

bersangkutan. Akan tetapi mengingat bahwa di dalam Pasal 6 ayat (2) dan (3)

Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 232 tahun 2003, kualifikasi “mangkir kerja”

331 Sebagai contoh misalnya adalah ketentuan tentang sistem kerja kontrak dan outsourcingdi dalam UU No. 13 Tahun 2003 yang menciptakan ketidakpastian kelangsungan kerja bagi buruh,apakah hal ini sudah memuat dan mengakomodasi tuntutan kesejahteraan buruh? Tentu tidak.Makna kesejahteraan bukan hanya menyangkut besaran upah, melainkan lebih dari itu, termasukdijaminnya keamanan kelangsungan kerja buruh sehingga buruh mampu merencanakankehidupannya dan keluarganya secara terukur.

Page 295: Mogok Kerja Oleh serikat

289

dapat membawa konsekuensi dianggap mengundurkan diri, hal tersebut sangat

merugikan buruh332.

Ancaman yang diberikan oleh ketentuan Pasal 6 ayat (1), (2) dan (3)

Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 232 Tahun 2003, menurut penulis,

merupakan hal yang sangat berlebihan. Sebenarnya tanpa pencantuman dan

penerapan sanksi sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 6 Peraturan Menteri

Tenaga Kerja No. 232 Tahun 2003, telah ada suatu ketentuan yang relatif adil

untuk menyikapi mogok kerja yang dikategorikan sebagai mogok kerja tidak sah,

yaitu asas no work no pay, tidak bekerja tidak mendapatkan upah.

Jika terhadap mogok kerja yang sah pengusaha mempunyai kewajiban

membayar upah kepada buruh yang melakukan mogok kerja, maka adalah logis

dan rasional apabila buruh yang melakukan mogok kerja tidak sah cukup diberi

sanksi tidak mendapatkan upah sesuai jumlah hari kerja yang ditinggalkannya.

Sebagaimana telah penulis sebutkan di atas, mogok kerja yang tidak memenuhi

ketentuan mogok di dalam peraturan perundang-undangan perburuhan, bukan

berarti melanggar hukum sepenuhnya karena mogok merupakan salah satu hak

politik yang dimiliki oleh buruh.

332 Pasal 6 ayat (2) Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 232 tahun 2003 menyatakan,“Pemanggilan untuk kembali bekerja bagi pelaku mogok sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)dilakukan oleh pengusaha 2 kali berturut-turut dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari dalam bentukpemanggilan secara patut dan tertulis”.

Sedangkan Pasal 6 ayat (3) berbunyi, “Pekerja/buruh yang tidak memenuhi panggilansebagaimana dimaksud pada ayat (2) maka dianggap mengundurkan diri”.

Page 296: Mogok Kerja Oleh serikat

290

4. Konsekuensi Kualifikasi Mangkir Kerja Menurut Peraturan Menteri

Tenaga Kerja No. 232 Tahun 2003 sebagai Bentuk Dehumanisasi

Terhadap Buruh

Menurut logika hukum ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia sekarang

dan penalaran hukum yang sifatnya yuridis-normatif, mogok kerja yang

dilaksanakan tidak menurut ketentuan di dalam Undang-Undang No. 13 Tahun

2003, mulai dari Pasal 137 sampai pada Pasal 140, dikategorikan sebagai mogok

kerja tidak sah. Sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 142 ayat (1) Undang-Undang

No. 13 Tahun 2003. Dan, terhadap pelaku dan peserta mogok kerja tidak sah,

pengusaha dapat memutus hubungan kerja apabila pengusaha telah melakukan

pemanggilan untuk kembali bekerja bagi pelaku mogok selama 2 kali berturut-

turut dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari dalam bentuk pemanggilan secara patut

dan tertulis, buruh yang bersangkutan tetap melakukan mogok kerja. Buruh yang

demikian ini dianggap mengundurkan diri, sebagaimana disebutkan oleh Pasal 6

ayat (2) dan (3) Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 232 Tahun 2003.

Dengan pemberlakuan ketentuan pada Pasal 6 Peraturan Menteri Tenaga

Kerja No. 232 Tahun 2003, negara dan pengusaha sejatinya telah mengingkari dan

mereduksi sebagian dari hak buruh, yaitu hak politik buruh. Manusia yang

kebetulan menjadi buruh dikonstruksikan sebagai entitas yang hanya berada pada

ranah sosial-ekonomi semata, bahkan hanya dianggap berada dalam kegiatan

produksi. Artinya, dengan adanya Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 232 Tahun

2003 telah terjadi proses dehumanisasi terhadap buruh melalui pengingkaran

sebagian hak buruh sebagai manusia yang dijamin oleh peraturan perundang-

Page 297: Mogok Kerja Oleh serikat

291

undangan lainnya, instrumen hukum internasional dan Konstitusi Indonesia

sendiri. Selain itu, keberadaan ketentuan tersebut semakin memperjelas dan

menegaskan bahwa peraturan perburuhan pada dasarnya di disain untuk

memudahkan mobilisasi buruh dalam aktivitas produksi demi kepentingan modal

melakukan akumulasi keuntungan.

Page 298: Mogok Kerja Oleh serikat

DAFTAR PUSTAKA

BUKUAli, Chidir, 1987, Badan Hukum, Alumni, Bandung.

Binawan, Al Andang L., dan A. Prastyantoko (editor), 2004, Keadilan Sosial: UpayaMencari Makna Kesejahteraan Bersama Di Indonesia, Kompas, Jakarta.

Budiman, Arief, 1995, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Gramedia Pustaka Utama,Jakarta.

_____________, 1996, Teori Negara (Negara, Kekuasaan dan Ideologi), GramediaPustaka Utama, Jakarta.

Das, Maitreyi Bordia, 2004, Dampak Kebijakan Upah Minimum Terhadap PasarTenaga Kerja: Kasus Timor-Leste Dalam Perspektif Komparatif, Bank

Dunia-Timor Leste, Dili, Republik Timor Leste.

Djumadi, 2005, Sejarah Keberadaan Organisasi Buruh Di Indonesia, Rajawali Press,Jakarta.

Fenwick, Colin, dan Lindsey, Tim, dan Arnold, Luke, 2002, Reformasi PenyelesaianPerselisihan Perburuhan Di Indonesia (Pedoman terhadap Kebijakan danMasalah Hukum sekitar Rancangan Undang-Undang PenyelesaianPerselisihan Hubungan Industrial), ILO Kantor Indonesia, Jakarta.

H.D. Oey (editor), 2003, Gerakan Serikat Buruh: Jaman Kolonial Hindia BelandaHingga Orde Baru, Hasta Mitra, Jakarta.

Huntington, Samuel P., dan Joan M. Nelson, 1990, Partisipasi Politik di NegaraBerkembang [No Easy Choice: Political Participation In DevelopingCountries], terjemahan Sahat Simamora, Rineka Cipta, Jakarta.

ICFTU, tanpa tahun, Sejarah Ringkas Gerakan Serikat Buruh Internasional.

ILO, 2003, Perundingan Bersama Serta Keterampilan Negosiasi (Pedoman PelatihanUntuk Serikat Pekerja), ILO Indonesia, Jakarta.

Iskandar, A. Muhaimin, 2004, Membajak Di Ladang Mesin (Simpang KepentinganBuruh-Negara-Modal di Tengah Arus Kapitalisme Global), Yayasan WahyuSosial, Semarang.

Kelly, Peggy, 2002, Menegakan Demokrasi dan Perdamaian Melalui Dialog Sosial:Kajian tentang Lembaga-lembaga dan Proses Dialog Sosial di Indonesia,International Labour Office, Jenewa, Swiss.

Khakim, Abdul, 2003, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (BerdasarkanUndang-Undang Nomor 13 Tahun 2003), Citra Aditya Bhakti, Bandung.

Page 299: Mogok Kerja Oleh serikat

______________, 2006, Aspek Hukum Pengupahan (Berdasarkan Undang-UndangNomor 13 Tahun 2003), Citra Aditya Bhakti, Bandung.

Labour Education Center, 2001, Organisasi Serikat Buruh, LEC, Bandung.

Markam, Roekmono, 1981, Masalah Pengupahan Di Dalam Hubungan Perburuhan,Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Marx, Karl, 1887, Capital (Volume I, II, III), English Edition (1958), ForeignLanguages Publishing House, Moscow.

Mas’oed, Mochtar, dan Colin MacAndrews, 1987, Perbandingan Sistem Politik,Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Mertokusumo, Sudikno, 1999, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Penerbit Liberty,Yogyakarta.

Najih, M., dan Sugianto, I (editor), 2005, Munir dan Gerakan Perlawanan Buruh:Catatan Pikiran dan Pengalaman Pemberdayaan Buruh (Sebelum tahun1995), InTrans Press, Malang.

Ruspriyanto, Adi, (penerjemah), 2004, Bagaimana Membangun Serikat Pekerja?(Pengalaman dari Philipina), Young Image Book , Yogyakarta.

Samuelson dan Nordhaus, W., 2001, Ilmu Mikroekonomi (Edisi 17), terjemahan NurRosyidah, Anna Elly dan Bosco Carvallo, Media Global Edukasi, Jakarta.

Sandra, 1961, Sejarah Pergerakan Buruh Indonesia, Pustaka Rakyat, Jakarta.

Shamad, Yunus, 1995, Hubungan Industrial di Indonesia, Bina Sumber DayaManusia, Jakarta.

Sinaga, Marsen, 2006, Pengadilan Perburuhan di Indonesia (Tinjauan Hukum Kritisatas Undang-Undang PPHI), Perhimpunan Solidaritas Buruh, Yogyakarta.

Siregar, A. Madjid, 1953, Perkembangan Serikat Buruh di Beberapa Negara,Penerbit Kebangsaan Pustaka Rakyat N.V., Jakarta.

Soepomo, Iman, 1995, Pengantar Hukum Perburuhan, Penerbit Djambatan, Jakarta.

Soraya, Yasmine M. S., 2007, Upah Minimum: Advokasi Kebijakan dan PenetapanUpah Minimum, TURC Jakarta.

Suseno, Franz Magnis, 2001, Kuasa dan Moral, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

___________________, 2001, Pemikiran Karl Marx (Dari Utopis Sampai Revisionis),Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Page 300: Mogok Kerja Oleh serikat

Subekti, R., dan Tjitrosudibio, R., 1999, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata(terjemahan Burgerlijk Wetboek), Pradnya Paramita, Jakarta.

Tjandra, Surya, dan Soraya, Yasmine MS, dan Jamaludin, 2007, AdvokasiPengupahan Di Daerah (Strategi Serikat Buruh di Era Otonomi Daerah),TURC, Jakarta.

Ungpakorn, Ji Giles, 1999, Perjuangan Kelas Di Tengah Krisis Ekonomi: BelajarDari Perjuangan Buruh Thailand�, YLBHI, Jakarta.

Uwiyono, Aloysius, 2001, Hak Mogok Di Indonesia, Program Pascasarjana FakultasHukum Universitas Indonesia, Jakarta.

Weber, Max, 2006, Sosiologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Wibawanto, Agung, dan Imam Baskara, dan Jirnadra, 1998, Siasat Buruh DibawahRepresi, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta.

Wibawa, Aris, (penyunting), 1998, Menuju Hubungan Perburuhan Demokratik,Lapera Yogyakarta & Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas AtmaJaya Yogyakarta.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang No. 21 Tahun 1954 Tentang Perjanjian Perburuhan Antara SerikatBuruh Dan Majikan

Undang-Undang No. 18 Tahun 1956 Tentang Berlakunya Dasar Dasar Daripada HakUntuk Berorganisasi Dan Berunding Bersama

Undang-Undang No. 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan

Undang-Undang No. 14 Tahun 1969 Tentang Pokok-pokok Ketenagakerjaan

Undang-Undang No. 25 Tahun 1997 Tentang Ketenagakerjaan

Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan PendapatDi Muka Umum

Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Serikat Buruh/Serikat Pekerja

Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Page 301: Mogok Kerja Oleh serikat

Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Pengadilan Perselisihan HubunganIndustrial

Undang-Undang No. 10 tahun 2004 tentang Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Konvensi ILO No. 87 Tahun 1948.

Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981 Tentang Perlindungan Upah

Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah danKewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom.

Keputusan Presiden No. 83 Tahun 1998 Tentang Ratifikasi Konvensi ILO No. 87

Keputusan Presiden No. 107 Tahun 2004 Tentang Dewan Pengupahan.

Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 01 Tahun 1999 Tentang Upah Minimum

Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 226 Tahun 2000 Tentang Perubahan Pasal 1,Pasal 3, Pasal 4, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 20 Dan Pasal 21 Peraturan MenteriTenaga Kerja Nomor Per-01/Men/1999 Tentang Upah Minimum

Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia No. 201Tahun 2001 Tentang Keterwakilan Dalam Kelembagaan Hubungan Industrial

Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 232 Tahun 2003 tentang Akibat Hukum MogokKerja Tidak Sah

Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.17 tahun 2005 tentang Komponen danPelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak.

PUTUSAN PENGADILAN

Putusan Mahkamah Konstitusi RI Perkara Nomor 012/PUU-I/2003

MAKALAH, ARTIKEL, SURAT KABAR, MAJALAH, JURNAL

Asian Development Bank, 2005, Jalan Menuju Pemulihan: Memperbaiki IklimInvestasi di Indonesia.

Bappenas, 2003, Kebijakan Pasar Tenaga Kerja dan Hubungan Industrial UntukMemperluas Kesempatan Kerja.

________, 2005, Perbaikan Iklim Ketenagakerjaan.

Billah, M.M., “Analisis Sosial dan Pemberdayaan Buruh”, Makalah dalam diskusi

Page 302: Mogok Kerja Oleh serikat

KBB Bandung Masalah Perburuhan, Bandung 31 Agustus 1996.

Irwan, Alexander, tanpa tahun, Perkembangan Modal dan Gerakan Buruh DiIndonesia.

Iryanti, Rahma, “Kualitas Tenaga Kerja: Mengantisipasi Perubahan Dalam PasarKerja”, makalah pada lokakarya Kebijakan Pasar Tenaga Kerja danHubungan Industrial Untuk Memperluas Kesempatan Kerja, Surabaya 16September 2003.

ILO, 1983, Freedom of Association and Collective Bargaining: General Survey of theCommittee of Experts on the Application of Conventions andRecommendations (Report III (4B) 69th Session). Jawa Pos, edisi 07 Mei 2007.

________, edisi 11 Juli 2007.

Jurnal “Analisis Sosial”, Vol. 7, No. 1 Februari 2002, Upah Minimum danKesejahteraan Buruh: Peluang dan Tantangan bagi Serikat Buruh, Akatiga,Bandung.

___________________, Vol. 8, No. 3 Desember 2003, Antara Informalisasi,Jaminan Sosial, dan Pengorganisasian Buruh, Akatiga, Bandung.

___________________, Vol. 10, No. 1, Juni 2005, Perdebatan Konseptual TentangKaum Marginal, Akatiga, Bandung.

Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 22, Januari-Februari 2003, Yayasan PengembanganHukum Bisnis, Jakarta.

Jurnal Kajian Perburuhan “SEDANE”, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2004, Buruh danDemokrasi, Lembaga Informasi Perburuhan Sedane, Bogor.

Kompas, edisi 09 Januari 1995.

______, edisi 17 Maret 2003.

______, edisi 11 Maret 2004.

______, edisi 20 Desember 2005.

______, edisi 02 Oktober 2006.

LBH Bandung, tanpa tahun, Kertas Kerja Perburuhan: Membangun PerspektifGerakan Buruh Dalam Aktivitas Bantuan Hukum. Media Indonesia, edisi 27Februari 2006.

Radjab, Suryadi A., tanpa tahun, Buruh Dalam Formasi Sosial Kapitalis

Page 303: Mogok Kerja Oleh serikat

Safitri, Myrna A., dan Ghafur, A. Hanief Saha, “Perspektif Antropologi HukumDalam Kajian Kebijakan”, makalah seminar Membangun Kembali Indonesiayang Bhineka Tunggal Ika: Menuju Masyarakat Multikural, Jakarta, 16-19Juli 2002.

Sandyawan, dan Herry, dan Adil, dkk, “Beberapa Catatan Kecil Untuk Arah danStrategi Masa Depan Forum Solidaritas Untuk Buruh”, makalah dalamdiskusi Pencarian Arah dan Strategi Masa Depan Forum Solidaritas UntukBuruh, Jakarta, 8 Desember 1994.

Setiawan, Asep, dan Tambunan, Rita Olivia, “Upah Murah Dan Kebijakan EkonomiNeoliberal (Analisis Terhadap Kebijakan Upah Minimum 2005)”, DiscussionPaper Trade Union Rights Centre (TURC), Jakarta, April 2005

Suara Merdeka, Edisi 04 Agustus 2005

Prisma, No. 1. Tahun XI, Januari 1982, Ideologi Ekonomi (Bung Hatta, PergiBersama Demokrasi, LP3ES, Jakarta.

______, No. 11 Tahun 1985, LP3ES, Jakarta.

______, No. 5 Tahun XVIII, 1989, Transformasi Tenaga Kerja: Mencari Pilihan,LP3ES, Jakarta.

______, No. 1, Tahun XXI Januari, 1992, Kerja Upahan: Gerak Ke Industrialisasi,LP3ES, Jakarta.

______, No. 4 tahun XXIII, April 1994, Pasang Naik Gelombang Pemogokan danPolitik Perburuhan, LP3ES, Jakarta.

Pontianak Pos, edisi 19 Februari 2007

Puspitaningrum, Maria Dona Dewi, 2004, Working Paper AKATIGA No. 20: InstitusiPengupahan Kabupaten/Kota: Studi Kasus Cilacap, Sidoarjo, Gresik,Akatiga, Bandung.

Rachman, Hassanudin, “Kebijakan Penetapan UMP DKI Jakarta Sebagai SaranaTerciptanya Stabilitas Dalam Hubungan Industrial Sesuai KemampuanPerusahaan di Wilayah Propinsi DKI Jakarta”, makalah pada seminarPengaruh Pengupahan Sebagai Langkah Strategi Stabilitas Dalam HubunganIndustrial, Jakarta, 7 April 2005

SMERU, 2001, Dampak Kebijakan Upah Minimum terhadap Tingkat Upah danPenyerapan Tenaga Kerja di Daerah Perkotaan.

_______, 2002, Hubungan Industrial di Jabotabek, Bandung dan Surabaya Pada EraKebebasan Berserikat

Page 304: Mogok Kerja Oleh serikat

Thamrin, Juni, tanpa tahun, Perubahan Struktural Dalam Hubungan Industrial:Distorsi Dan Inkonsistensi Kebijakan Perburuhan Di Indonesia.

Tim Studi ELSAM, tanpa tahun, Analisa Dampak Proyek Terhadap Hak AsasiManusia: Kasus Perkebunan Inti Rakyat dan Perburuhan.

Ulum, Bachrul, “Keberpihakan Pada Buruh Melalui Kebijakan Tentang PenyelesaianPerselisihan Industrial”, makalah pada lokakarya Kebijakan Pasar TenagaKerja dan Hubungan Industrial Untuk Memperluas Kesempatan Kerja,Surabaya 16 September 2003.

INTERNET

www.perhimpunan-rakyat-pekerja.org

www.marxist.org

www.rumahkiri.com

www.csis.or.id

www.indoprogress.blogspot.com

www.kompas.com

www.surya-online.com.

www.apindo.com

www.turc.or.id

www.hukumonline.com