Upload
pretty-tamalowu
View
59
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Psikologi
Citation preview
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. PENGERTIAN MOTIVASI BELAJAR
Kata motivasi berasal dari bahasa Latin yaitu movere, yang berarti bergerak (move).
Motivasi menjelaskan apa yang membuat orang melakukan sesuatu, membuat mereka tetap
melakukannya, dan membantu mereka dalam menyelesaikan tugas-tugas. Hal ini berarti
bahwa konsep motivasi digunakan untuk menjelaskan keinginan berperilaku, arah perilaku
(pilihan), intensitas perilaku (usaha, berkelanjutan), dan penyelesaian atau prestasi yang
sesungguhnya (Pintrich, 2003).
Menurut Santrock, motivasi adalah proses yang memberi semangat, arah, dan kegigihan
perilaku. Artinya, perilaku yang memiliki motivasi adalah perilaku yang penuh energi,
terarah, dan bertahan lama (Santrock, 2007). Dalam kegiatan belajar, maka motivasi dapat
dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan
kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar dan memberikan arah
pada kegiatan belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subjek belajar itu dapat tercapai
(Sardiman, 2000). Siswa yang memiliki motivasi belajar akan bergantung pada apakah
aktivitas tersebut memiliki isi yang menarik atau proses yang menyenangkan. Intinya,
motivasi belajar melibatkan tujuan-tujuan belajar dan strategi yang berkaitan dalam mencapai
tujuan belajar tersebut (Brophy, 2004).
B. MOTIVASI DIPANDANG DARI BERBAGAI PERSPEKTIF
Terdapat empat perspektif psikologis yang dapat menjelaskan motivasi dengan cara yang
berbeda berdasarkan perspektif yang berbeda pula. keempat perspektif tersebut adalah
behavioral, humanistis, kognitif dan sosial.
1. Perspektif Humanistik
Secara ringkas, konsep Maslow mengenai kebutuhan tersebut disajikan berikut ini
langsung dalam konteks psikologi belajar.
Kebutuhan Fisiologis
Kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan yang bersifat darurat dan jarang terjadi. Apa yang
menjadi kebutuhan disini adalah hal-hal yang dapat memuaskan secara biologis seperti
makanan, air, oksigen, istirahat, aktivitas dan lain sebagainya. Walaupun dalam kelas masalah
ini biasanya kurang mendapat perhatian karena dianggap kurang penting bila dibandingkan
dengan masalah kemampuan intelektual, namun sebenarnya harus disadari bahwa efektivitas
dan efisiensi intelektual hanya dapat dicapai apabila faktor fisiologis pada diri siswa berada
dalam kondisi normal.
Kebutuhan akan rasa aman
Bila seseorang merasa bahwa kebutuhan fisiologisnya relatif telah terpenuhi, maka
perilakunya akan mulai berorientasi pada motif mencari rasa aman. Pada anak-anak yang
dibesarkan tanpa pemenuhan rasa aman dari orangtua dan keluarganya, hal tersebut tampak
jelas pada perilakunya yang didominasi oleh kehausan akan rasa aman, dalam bentuk takut
berbuat salah dan takut mencoba dikarenakan kesalahan dapat berarti terancamnya rasa aman
dirinya. Rasa aman keluarga datang dari sikap keluarga yang berdisiplin baik dan konsisten.
Dalam kelas, siswa sangat menghargai keteraturan. Dengan keteraturan siswa merasakan
adanya kepastian mengenai apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukannya.
Ketidakpastian akan menimbulkan keraguan dan ketakutan berbuat salah yang tidak akan
mendukung proses belajar. Untuk memenuhi kebutuhan akan rasa aman ini, guru harus
bersikap dan bertindak konsisten. Disiplin yang baik dan tidak kaku harus diterapkan karena
tujuan disiplin adalah menolong siswa agar menjadi individu yang independen, mandiri dan
dapat menentukan perannya sendiri. Bila disiplin lemah, kebutuhan akan rasa aman tidak
terpenuhi, maka akan sia-sialah berbicara mengenai motivasi dalam belajar. Suatu disiplin
harus ditegakkan berdasarkan aturan yang masuk akal dan kooperatif, tidak otoriter.
Adapun menurut Maslow, kebutuhan rasa aman adalah kebutuhan yang mendorong individu
untuk memperoleh ketentraman, kepastian dan keteraturan dari lingkungannya. Para psikolog
maupun guru menyatakan bahwa anak menyukai konsistensi dan kerutinan sampai batas-
batas tertentu. Keadaan-keadaan yang tidak adil, tidak wajar atau tidak konsisten pada diri
orang tua akan secara cepat mendapatkan reaksi dari anak. Selain itu, indikasi lain dari
kebutuhan akan rasa aman pada anak-anak adalah ketergantungan. Menurut Maslow, anak
akan memperoleh rasa aman yang cukup apabila ia berada dalam ikatan keluarganya.
sebaliknya, jika ikatan ini tidak ada atau lemah maka anak akan merasa kurang aman, cemas
dan kurang percaya diri yang akan mendorong anak untuk mencari area-area hidup dimana
dia bisa memperoleh ketentraman dan kepastian atau rasa aman. Kehidupan keluarga yang
harmonis dan normal adalah sebuah kebutuhan yang tidak dapat ditawar lagi bagi anak.
Dalam proses belajar mengajar misalnya, diperlukan rasa aman pada diri anak sehingga
merasa betah selama pelajaran berlangsung dan termotivasi untuk mengikuti dengan
sungguh-sungguh.
Kebutuhan akan Kasih Sayang dan Rasa Serta
Kebutuhan akan kasih sayang dan rasa serta ini terwujud dalam dorongan untuk bersahabat,
kebutuhan untuk melekat pada keluarga dan lingkungan. Kebutuhan ini juga mencakup
sejumlah aspek hubungan seksual dan hubungan antarpribadi, seperti kebutuhan untuk
memberi dan menerima cinta (Maslow, 1970 dalam Feist & Feist, 2008). Bila individu
merasakan bahwa kebutuhan rasa amannya telah tercapai, maka segera akan timbul
kebutuhan untuk memberi dan menerima afeksi kasih sayang. Bila kebutuhan akan kasih
sayang tidak terpenuhi, maka individu akan merasa tidak mempunyai rasa serta sebagai
anggota kelompoknya. Dalam situasi demikian, siswa akan menampakkan perilaku yang
tidak disukai oleh orang lain, dan akibatnya orang lain akan mengimbangi dengan sikap yang
serupa terhadap dirinya. Dengan demikian terjadilah keadaan yang merusak keinginan siswa
untuk belajar dan untuk mencapai prestasi tertentu. Siswa yang tidak disukai oleh gurunya
dan siswa yang tidak menyukai gurunya tidak akan memperoleh hasil belajar yang baik.
Kebutuhan untuk Dihargai
Menurut Maslow, kebutuhan akan harga diri, kebutuhan akan evaluasi diri yang mantap,
dapat dipenuhi oleh adanya kepercayaan diri dan kemandirian dalam diri individu serta oleh
pengakuan, perhatian dan penghargaan diri oleh orang lain. Maslow (dalam Feist&Feist,
2008) mengidentifikasi dua tingkat kebutuhan untuk dihargai, yaitu reputasi dan harga diri.
Reputasi adalah persepsi, pengakuan atau ketenaran yang berhasil dicapai seseorang di mata
orang lain, sementara harga diri adalah perasaan seseorang terhadap keberhargaan dan
keyakinan dirinya. Harga diri berbeda dengan reputasi, karena harga diri didasarkan pada
kompetensi nyata dan bukan sekedar opini dari orang lain. Sekali manusia dapat memenuhi
kebutuhan untuk dihargai, mereka sudah siap untuk memasuki gerbang aktualisasi diri.
Guna memenuhi kebutuhan untuk dihargai dalam diri siswa, guru haruslah dapat menemukan
sesuatu yang mampu dilakukan oleh siswa sehingga dapat membuatnya merasa penting.
Dalam memberikan perasaan penting dan rasa diakui ini guru perlu memperhatikan
perbedaan individual dalam berbagai aspek, seperti perbedaan status ekonomi sosial, status
kemampuan intelektual, dan sebagainya.
Kebutuhan akan Aktualisasi Diri
Aktualisasi diri sebagai tingkat kebutuhan yang tertinggi menurut konsepsi Maslow,
merupakan pencapaian apa yang memang mampu dicapai oleh seseorang. Seseorang yang
belum dapat mencapai prestasi tertinggi sesuai dengan kemampuannya belum akan
merasakan perlu untuk berusaha mencapai prestasi tersebut apabila kebutuhan tingkat di
bawah aktualisasi diri belum terpuaskan. Timbulnya kebutuhan untuk melakukan apa yang
dapat dilakukannya sebagai aktualisasi diri pribadinya secara utuh hanya akan terjadi bila
individu merasakan bahwa kebutuhan fisiologisnya terpenuhi, kebutuhan akan rasa aman dan
kasih sayang tercapai, serta kebutuhan harga dirinya terpuaskan. Apabila tidak, maka individu
akan cenderung untuk mengarahkan perilakunya ke tujuan-tujuan pemuasan kebutuhan
tersebut. Kebutuhan aktualisasi diri mencakup pemenuhan diri, realisasi semua potensi dan
keinginan untuk menjadi kreatif dalam makna yang sepenuhnya (Maslow, 1970 dalam
Feist&Feist, 2008).
Rasa butuh untuk aktualisasi diri dapat dijadikan landasan dalam memberikan motivasi bila
sejak awal siswa mulai diajar menentukan pilihan dan mengambil keputusan sendiri. Suatu
tujuan yang dipilih dan ditetapkan sendiri akan mengandung unsur motivasi yang lebih kuat
daripada tujuan yang ditetapkan oleh orang lain. Apabila tujuan terlalu banyak ditentukan
oleh orang lain, maka seringkali tujuan itu tidak sesuai dengan kemampuan siswa. Mungkin
terlalu rendah sehingga terlalu mudah dicapai, mungkin terlalu tinggi sehingga tidak mungkin
dapat dicapai. Yang manapun, akan mengakibatkan tidak terpuaskannya kebutuhan
aktualisasi diri siswa yang bersangkutan dan menjadikannya tidak berusaha dan tidak
berkeinginan untuk mencapai tujuan tersebut.
2. Perspektif Behaviorisme
Perspektif behaviorisme menekankan imbalan dan hukuman eksternal sebagai kunci
dalam menentukan motivasi murid. Insentif adalah peristiwa atau stiimuli positif atau negatif
yang dapat memotivasi perilaku murid. Pendukung penggunaan insentif menekankan bahwa
insentif dapat menambah minat atau kesenangan pada pelajaran, dan mengarahkan perhatian
pada perilaku yang tepat dan menjauhkan mereka dari perilaku yang tidak tepat (Emmer, dkk
2000 dalam Santrock, 2004). Pemberian insentif ini dapat berupa pemberian penghargaan,
reinforcement, maupun punishment.
Inti dari penerapan pandangan ahli-ahli Behavioristik adalah apa yang disebut dengan
“contingency management” yaitu penguatan tingkah laku melalui akibat dari tingkah laku itu
sendiri. Kalau peserta didik bertingkah laku benar, maka akibat dari tingkah lakunya itu akan
mendapatkan kesenangan, yaitu menerima hadiah atau penghargaan. Sebaliknya jika tingkah
lakunya salah, maka peserta didik mendapat hukuman atau ketidakenakan. Berdasarkan
pendapat yang praktis itu, maka dengan melaksanakan contingency management pendidikan
dapat menangani situasi kelas dan dapat memakainya sebagai alat untuk memotivasi peserta
didik.
Dari uraian di atas maka menurut paham behavioristik, motivasi merupakan faktor
ekstemal yang perlu didesain untuk merubah perilaku individu sesuai dengan perilaku yang
diharapkan dengan jalan melakukan modifikasi perilaku yang diterapkan dengan
mengaplikasi konsekuensi dari perilaku yang ditampilkan individu. Oleh sebab itu, semua
faktor yang berkaitan dengan hal tersebut perlu disediakan agar individu termotivasi untuk
melakukan kegiatan yang ditujukan pada perubahan perilaku yang diharapkan. Di dalam
pendidikan faktor-faktor tersebut, di antaranya, meliputi penciptaan iklim belajar yang
kondusif, penyediaan fasilitas belajar yang sesuai dengan kebutuhan, dan adanya guru yang
dapat dijadikan model dari perilaku yang diharapkan. Kegagalan peserta didik dalam belajar
berarti kegagalan pendidik dalam mengatur program belajar, bukan kegagalan peserta didik
karena ketidak mampuannnya.
Dalam teori behavioristik, belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus
dan respon (Slavin, 2000:143). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat
menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah
input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang
diberikan guru kepada pebelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan
pebelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara
stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak
dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang
diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pebelajar (respon) harus dapat
diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan
suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya adalah Thorndike, Watson, Clark Hull,
Edwin Guthrie, dan Skinner. Berikut akan dibahas karya-karya para tokoh aliran
behavioristik dan analisis serta peranannya dalam pembelajaran.
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon.
Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran,
perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon
adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa
pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan
belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang
tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran,
tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat
diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme (Slavin, 2000).
Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun
dari semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap
perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti
Teaching Machine, Pembelajaran berprogram, modul dan program-program pembelajaran
lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-
faktor penguat (reinforcement), merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori
belajar yang dikemukakan Skiner.
Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi
belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan
pendidikan dan/atau belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan
respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi
dalam hubungan stimulus dan respon.
Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi
pembelajar, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini
tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan
pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran
berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan
behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka
tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan
unsur-unsur yang diamati tersebut.
Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan pembelajar untuk berfikir linier,
konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar
merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa pebelajar menuju atau
mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik tidak bebas berkreasi dan
berimajinasi. Padahal banyak faktor yang mempengaruhi proses belajar, proses belajar
tidak sekedar pembentukan atau shaping.
Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak
menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun apa yang
mereka sebut dengan penguat negatif (negative reinforcement) cenderung membatasi
pebelajar untuk berpikir dan berimajinasi.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal
seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan
fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori
behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah.
Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan
pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of
knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk
menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui proses berpikir yang dapat
dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini
ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar diharapkan akan
memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang
dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.
Demikian halnya dalam pembelajaran, pembelajar dianggap sebagai objek pasif yang
selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para
pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standar-
standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para pebelajar. Begitu
juga dalam proses evaluasi belajar pebelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan
dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses
evaluasi.
Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan
teratur, maka pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang
jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat
esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan
disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan
sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan
dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan
pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Pebelajar atau peserta didik
adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus
dipegang oleh sistem yang berada di luar diri pebelajar.
3. Perspektif Kognitif
Menurut perspektif kognitif, pemikiran murid akan memandu motivasi mereka.
belakangan ini muncul minat besar pada perspektif kognitif (Pintrich & Schunk, 2002).
Minat ini berfokus pada ide-ide seperti motivasi internal murid untuk mencapai sesuatu,
atribusi mereka (persepsi tentang sebab-sebab kesuksesan dan kegagalan, terutama
persepsi bahwa usaha adalah faktor penting dalam prestasi), dan keyakinan mereka bahwa
mereka dapat mengontrol lingkungan mereka secara efektif. Perspektif kognitif juga
menekankan arti penting dari penentuan tujuan, perencanaan dan monitoring kemajan
menuju suatu tujuan (Schunk &Ertmer, 2000; Zimmerman & Schunk, 2001).
Perbedaan perspektif kognitif dari perspektif lainnya adalah perspektif kognitif
berpendapat bahwa tekanan eksternal seharusnya tidak dilebih-lebihkan. Perspektif
kognitif merekomendasikan agar murid diberi lebih banyak kesempatan dan tanggung
jawab untuk mengontrol hasil prestasi mereka sendiri.
Persepsi kognitif tentang motivasi sesuai dengan gagasan R.W. White (1959), yang
mengusulkan konsep motivasi kompetensi, yakni ide bahwa orang termotivasi untuk
menghadapi lingkungan mereka secara efektif, menguasai dunia mereka, dan memproses
informasi secara efisien. White mengatakan bahwa orang melakukan hal-hal tersebut
bukan karena kebutuhan biologis, tetapi karena orang punya motivasi internal untuk
berinteraksi dengan lingkungan secara efektif.
Menurut Robert White (dalam Tanwey Gerson Ratumanan, 2002 ), setiap manusia
mempunyai keinginan untuk menunjukkan kompetensi dengan menaklukkan
lingkungannya.Worell dan Stilwell (dalam Tanwey Gerson Ratumanan, 2002)
mengatakan bahwa faktor-faktor kognitif di dalam motivasi kompetensi ini mencakup
enam keterampilan kompetensi diri yang berhubungan dengan kegiatan-kegiatan siswa,
yakni :
a. Keterampilan untuk mengevaluasi diri sehubungan dengan pelaksanaan tugas tersebut
b. Nilai tugas bagi siswa
c. Harapan-harapan untuk sukses di dalam tugas tersebut
d. Patokan keberhasilan tugas
e. Lokus kendali (locus of control), yaitu dengan faktor-faktor apa siswa mengkaitkan
keberhasilan maupun kegagalan yang dialami
f. Penguatan diri untuk mencapai tujuan
4. Perspektif Sosial
Motif Sosial
Latar belakang sosial anak akan mempengaruhi kehidupan mereka di sekolah. Setiap
hari murid membangun dan mempertahankan hubungan sosial. Motif sosial adalah
kebutuhan dan keinginan yang dikenal melalui pengalaman dengan dunia sosial. Perhatian
terhadap motif sosial muncul dari catalog kebutuhan (atau motif) yang disusun oleh
Henry Murray (dalam Santrock, 2007) yang mencakup kebutuhan akan afiliasi atau
keterhubungan, yakni motif untuk merasa cukup terhubung dengan orang lain. Kebutuhan
ini membutuhkan pembentukan, pemeliharaan, dan pemulihan hubungan yang akrab,
hangat, dan personal. Kebutuhan sosial murid direfleksikan dalam keinginan mereka
untuk popular di mata teman sebaya dan kebutuhan punya satu kawan akrab atau lebih,
dan keinginan untuk menarik di mata orang yang mereka sukai. Meskipun setiap murid
punya kebutuhan afiliasi, beberapa murid punya kebutuhan yang lebih kuat ketimbang
murid lain (O’Conner & Rosenblood dalam Santrock, 2007). Beberapa murid suka
dikelilingi banyak kawan. Di SMP dan SMA, beberapa murid merasa ada yang hilang
dalam kehidupan mereka jika mereka tidak punya pacar untuk diajak kencan pada malam
minggu. Murid lainnya tidak punya kebutuhan afiliasi sekuat itu. Mereka tidak peduli
apakah mereka punya banyak kawan atau tidak dan tidak cemas jika mereka tidak
mempunyai pacar.
Penerimaan guru dan teman adalah motif sosial penting bagi kebanyakan murid. Pada
masa SD murid lebih termotivasi untuk menyenangkan orang tuanya ketimbang
menyenangkan temannya (Berndt dalam Santrock, 2007). Menjelang akhir masa SD,
penerimaan orang tua dan teman berada dalam posisi seimbang dalam sistem motif anak.
Pada grade delapan atau sembilang (sekolah menengah), penerimaan teman kurang
penting karena murid sudah mulai mandiri dan membuat keputusan sendiri.
Remaja dapat merupakan masa peralihan penting dalam motivasi prestasi dan
motivasi sosial (Henderson & Dweck dalam Santrock, 2007). Tekanan akademik dan
sosial memaksa remaja mengambil peran baru yang melibatkan tanggung jawab yang
lebih besar. Setelah remaja mengalami tekanan yang lebih kuat untuk berprestasi,
kepentingan sosial mereka mungkin akan agak terabaikan karena mereka lebih fokus pada
persoalan akademik atau ambisi di satu bidang dapat melemahkan tujuan di bidang lain,
seperti ketika tujuan mengejar prestasi akademik menyebabkan hilangnya motif sosial.
Pada masa remaja awal ini, murid menghadapi pilihan antara mengejar tujuan sosial atau
mengejar tujuan akademik. Hasil dari keputusan ini akan berefek jangka panjang dalam
tujuan akademik dan karier mereka.
Hubungan Sosial
Hubungan murid dengan orang tua, teman sebaya, kawan, guru, dan mentor, dan
orang lain, dapat mempengaruhi prestasi dan motivasi sosial mereka.
Orang tua. Telah dilakukan riset tentang hubungan antara parenting dengan motivasi
murid. Studi-studi tersebut mengkaji karakteristik demografis, praktik pengasuhan anak,
dan provisi pengalaman spesifik di rumah (Eccles, Wigfield, & Schiefele dalam Santrock,
2007). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mawarsih (2013) mengenai pengaruh orang
tua pada motivasi dan prestasi belajar siswa menunjukkan hasil bahwa terdapat pengaruh
signifikan antara perhatian yang diberikan orang tua terhadap motivasi dan prestasi
belajar anak.
a) Karakteristik Demografis
Orang tua dengan pendidikan yang lebih tinggi akan lebih mungkin percaya
bahwa keterlibatan mereka dalam pendidikan anak adalah penting. Mereka lebih
mungkin untuk berpartisipasi dalam pendidikan anak dan memberi stimuli intelektual
di rumah (Schneider & Coleman dalam Santrock, 2007). Ketika waktu dan energy
orang tua lebih banyak dihabiskan untuk orang lain atau untuk sesuatu yang lain
ketimbang untuk anaknya, motivasi anak mungkin akan menurun tajam. Prestasi
murid dapat menurun apabila mereka tinggal dalam keluarga single-parent, tinggal
bersama orang tua yang waktunya dihabiskan untuk bekerja, dan tinggal dalam
keluarga besar.
b) Praktik Pengasuhan Anak
Walaupun faktor demografis dapat memengaruhi motivasi murid, faktor yang
lebih penting adalah praktik pengasuhan anak oleg orang tuanya (Eccles, Wigfield, &
Schiefele dalam Santrock, 2007). Berikut ini beberapa praktik parenting positif yang
dapat meningkatkan motivasi dan prestasi :
Mengenal betul anak dan memberi tantangan dan dukungan dalam kadar yang
tepat.
Memberikan iklim emosional yang positif, yang memotivasi anak untuk
menginternalisasikan nilai dan tujuan orang tua.
Menjadi perilaku yang memberi motivasi; bekerja keras dan gigih menghadapi
masalah.
c) Provisi Pengalaman Spesifik di rumah
Selain praktik pengasuhan umum, orang tua dapat memberikan pengalaman
spesifik di rumah untuk membantu murid menjadi lebih termotivasi. Membacakan
buku untuk anak prasekolah dan memberikan materi bacaan di rumah akan memberi
efek positif pada prestasi dan motivasi membaca anak (Wigfield & Asher dalam
Santrock, 2007).
Teman Sebaya (Peer). Teman sebaya dapat memengaruhi motivasi anak melalui
perbandingan sosial, kompetensi, dan motivasi sosial, belajar bersama, dan pengaruh
kelompok teman sebaya (Eccles, Wigfield, & Schiefele dalam Santrock, 2007). Murid
yang lebih diterima oleh teman sebayanya dan mempunyai keahlian sosial yang baik
sering kali lebih bagus belajarnya di sekolah dan mempunyai motivasi akademik yang
positif (Asher, Coie, dan Wentzel dalam Santrock, 2007). Sebaliknya, murid yang ditolak
oleh temannya, terutama yang sangat agresif, berisiko mengalami problem belajar, seperti
mendapat nilai buruk, dan keluar tau dikeluarkan dari sekolah.
Guru. Banyak anak yang tidak bagus belajarnya di sekolah mempunyai hubungan
yang negatif dengan guru mereka (Stipek dalam Santrock, 2007). Mereka sering kali
mengalami masalah karena, misalnya tidak mengerjakan tugas, tidak memerhatikan, atau
karena bikin onar. Para riset telah menemukan bahwa murid yang merasa punya guru
yang suportif dan perhatian akan lebih termotivasi untuk belajar ketimbang murid yang
merasa mempunyai guru yang tidak suportif dan tidak perhatian (McCombs & dkk dalam
Santrock, 2007). Motivasi murid akan bertambah jika guru memberi tugas yang
menantang dalam lingkungan yang mendukung proses penguasaan materi. Guru mesti
memberi dukungan emosional dan kognitif, memberi materi yang berarti dan menarik
untuk dipelajari dan dikuasai, dan memberi dukungan yang cukup bagi terciptanya
kemandirian dan inisiatif murid (Eccles & dkk dalam Santrock, 2007).
Guru dan Orang Tua. Ketika guru secara sistematis dan kerap memberi informasi
kepada orang tua tentang kemajuan anak mereka dan membantu mereka terlibat dalam
aktivitas pembelajaran anak, maka anak mereka sering kali meningkatkan prestasi
akademiknya (Epstein dalam Santrock, 2007).
Konteks Sosiokultural
Status sosioekonomi, etnis, dan gender dapat memengaruhi motivasi dan prestasi yang
memfokuskan pada diversitas.
Status sosioekonomi dan Etnisitas. Diversitas dalam kelopok minoritas etnis juga
memengaruhi prestasi. Misalnya, banyak murid Asia mempunyai orientasi prestasi
akademik yang kuat, tetapi sebagian tidak. Dalam sebuah studi di mana partisipannya
terutama adalah murid etnis minoritas dari keluarga berpendapatan rendah, kelas yang
mampu memotivasi murid menguasi materi dan memberi dukungan yang cukup ternyata
memengaruhi peningkatan motivasi murid untuk belajar dan membantu menghindarkan
adanya tekanan emosional yang mengganggu proses belajar mereka (Strobel dalam
Santrock, 2007). Tantangan utama bagi banyak murid dari etnis minoritas, khususnya
mereka yang dari keluarga miskin, adalah soal prasangka rasial, konflik antara nilai
kelompok mereka dengan kelompok mayoritas, dan kurangnya orang dewasa yang
berprestasi tinggi dalam kelompok cultural mereka yang dapat bertindak sebagai model
peran positif (Mcloyd & dkk dalam Santrock, 2007).
Gender. Gender dan motivasi difokuskan pada bagaimana pria dan wanita berbeda
dalam keyakinan dan nilai yang mereka anut. Keyakinan yang berkaitan dengan soal
kompetensi yang dianut murid pria dan wanita berbeda-beda menurut konteks prestasinya.
Misalnya, murid laki-laki lebih punya keyakinan kompetensi yang lebih tinggi ketimbang
murid wanita untuk pelajaran matematika dan olahraga, sedangkan murid keyakinan
perempuan lebih tinggi ketimbang murid lelaki untuk pelajaran bahasa inggris, membaca,
dan aktivitas sosial (Eccles & dkk dalam Santrock, 2007). Berkenaan dengan nilai
prestasi, sejak SMA murid wanita tidak terlalu menghargai prestasi matematika
dibandingkan murid lelaki. Murid wanita berbakat sering kali mengalami konflik antara
peran gender dan prestasi. Sebuah studi terhadap gadis berbakat menunjukkan perasaan
mereka yang terjebak di antara prestasi dan penampilan feminitas (Bell dalam Santrock,
2007).
Motivasi Untuk Meraih Sesuatu
Perhatian terhadap motivasi di sekolah telah dipengaruhi oleh perspektif kognitif.
Selanjutnya kita akan membahas sejumlah strategi kognitif efektif untuk meningkatkan
motivasi murid untuk meraih sesuatu atau untuk berprestasi. Penjelasan mengenai Motivasi
ekstrinsik dan intrinsik, akan membawa ka pada pembahasan mengenai pandangan
kognitif penting tentang motivasi.
Motivasi Ekstrinsik dan Intrinsik
Motivasi ekstrinsik. Motivasi ekstrinsik adalah melakukan sesuatu untuk mendapatkan
sesuatu yang lain (cara untuk mencapai tujuan). Motivasi ekstrinsik sering dipengaruhi oleh
insentif eksternal seperti imbalan dan hukuman. Perspektif behavioral menekankan penting
arti penting dari motivasi ekstrinsik dalam mencapai prestasi, sedangkan pendekatan
kognitif dan humanistis lebih menekankan pada arti penting dari motivasi intrinsik dalam
prestasi. Motivasi intrinsik adalah motivasi internal untuk melakukan sesuatu demi
sesuatu itu sendiri (tujuan itu sendiri).
Bukti terbaru mendukung pembentukan iklim kelas dimana murid bisa termotivasi secara
intrinsik untuk belajar (Wigfield & Eccles, 2002; Hennesey & Amabile, 1998). Murid
termotivasi untuk belajar saat mereka diberi pilihan, senang menghadapi tantangan yang
sesuai dengan kemampuan mereka, dan mendapat imbalan yang mengandung nilai
informasional tetapi bukan dipakai untuk kontrol. Pujian juga bisa memperkuat motivasi
intrinsik murid. Untuk menjawab mengapa hal ini bisa terjadi, dapat dijelaskan dengan
pembahasan mengenai dua jenis motivasi intrinsik:
1. Determinasi diri dan pilihan personal
Salah satu pandangan tentang motivasi intrinsik menekankan pada determinasi diri
(DeCharms, 1984 dalam Santrock, 2004). Dalam pandangan ini, murid ingin percaya
bahwa mereka melakukan sesuatu karena kemauan senditi, bukan karena kesuksesan atau
imbalan eksternal. Para periset menemukan bahwa motivasi internal dan minat intrinsik
dalam tugs sekolah naik apabila murid punya pilihan dan peuang untuk mengambil
tanggung jawab personal atas pembelajaran mereka.
2. Pengalaman optimal
Mihaly Csikszentmihalyi (1990) juga mengambangkan ide relevan untuk memahami
motivasi intrinsik. Dia mempelajari pengalaman optimal dari orang-orang selama lebih dari
dua dekade. Orang melaporkan bahwa pengalaman optimal ini berupa perasaan senang dan
bahagia yang besar. Csikszentmihalyi menggunakan istilah flow untuk mendeskripsikan
penngalaman optimal dalam hidup. Dia menemukan bahwa pengalaman optimal itu
kebanyakan terjadi ketika orang merasa mampu menguasai dan berkonsentrasi penuh saat
melakukan suatu aktivitas. Dia mengatakan bahwa pengalaman optimal ini terjadi ketika
individu terlibat dalam tantangan yang mereka aggap tidak terlalu sulit tetapi juga tidak
terlalu mudah.
Anggapan murid terhadap level keahlian mereka sendiri
Anggapan murid
terhadap level
tantangan
Rendah Tinggi
Rendah Apati Kejemuan
Tinggi Kecemasan Flow
C. Imbalan Ekstrinsik dan Motivasi Intrinsik
Imbalan eksternal dapat berguna untuk mengubah perilaku. Akan tetapi, dalam beberapa
situasi imbalan atau hadiah dapat melemahkan pembelajaran. Hadiah di kelas dapat berguna, dua
kegunaannya adalah sebagai insentif agar mau mengerjakan tugas dimana tujuannya adalah
mengontrol perilaku murid, dan mengandung informasi tentang penguasaan keahlian sehingga
murid akan merasa kompeten dan bersemangat. Imbalan yang digunakan sebagai insentif
menimbulkan persepsi bahwa perilaku murid disebabkan oleh imbalan eksternal, bukan oleh
motivasi dalam diri murid untuk menjadi pandai.
Terdapat sebuah contoh yang dapat digunakan untuk memahami penjelasan tersebut.
“Seorang guru menggunakan sistem hadiah dimana semakin banyak tugas yang diselesaikan
murid, semakin banyak poin yang mereka raih. Murid akan termotivasi untuk mengerjakan tugas
guna memperoleh poin tersebut karena mereka diberi tahu bahwa poin itu dapat ditukar dengan
hadiah. Namun poin itu juga memberikan informasi tentang kemampuan mereka. Yakni, semakin
besar poin mereka, semakin banyak tugas yang telah mereka selesaikan. Saat mereka
mengumpulkan poin, murid akan merasa kompeten. Sebaliknya, jika poin itu diberikan hanya
untuk imbalan, maka tugas akan dianggap sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang berupa
hadiah itu”. Dalam kasus ini, karena poin itu tidak menyampaikan informasi apapun tentang
kemampuan murid, maka murid kemungkinan akan menganggap imbalan atau hadiah sebagai
pengontrol perilaku mereka.
Jadi, hadiah yang mengandung informasi tentang kemampuan murid dapat meningkatkan
motivasi intrinsik dengan meningkatkan perasaan bahwa diri mereka kompeten. Namun, umpan
balik negatif, seperti kritik, yang mengandung informasi bahwa murid tidak pandai, dapat
melemahkan motivasi intrinsik terutama apabila murid meragukan kemampuan mereka untuk
menjadi kompenten (Stipek, 2002).
Ringkasnya, adalah penting untuk mengkaji adakah kandungan informasi kompetensi di
dalam hadiah. Ketika hadiah dikaitkan dengan kompetensi, maka hadiah bisa menaikkan motivasi
dan minat. Jika tidak, hadiah tidak akan menaikkan motivasi atau mungkin justru melemahkan
motivasi ketika hadiah tidak diberikan lagi (Schunk, 2000).
D. Pergeseran Developmental dalam Motivasi Ekstrinsik dan Intrinsik
Banyak psikolog dan pendidik percaya bahwa penting bagi murid untuk mengembangkan
internalisasi dan motivasi intrinsik yang lebih besar saat mereka tumbuh. Akan tetapi, periset
menemukan bahwa saat murid pindah dari SD ke sekolah menengah, motivasi intrinsik mereka
menurun (Harter, 1996). Salah satu penjelasannya adalah karena praktik kenaikan kelas
memperkuat orientasi motivasi eksternal. Artinya, saat murid bertambah usia, mereka
terkungkung dalam penekanan pada tujuan naik kelas dan karenanya motivasi internalnya turun.
Beberapa perubahan spesifik dalam konteks sekolah yang dapat membantu menjelaskan
penurunan motivasi intrinsik adalah, murid sekolah menengah lebih formal, lebih evaluatif dan
lebih kompetitif ketimbang anak SD. Murid membandingkan diri mereka dengan murid lain
karena mereka dinilai berdasarkan kinerja relatif mereka dalam mengerjakan tugas-tugas dan
ujian standar.
Riset menunjukkan bahwa, seperti transisi ke SMP, transisi ke masa SMA juga
menimbulkan problem yang serupa (Eccles, Wigflied, & Schiefele, 1998; Wehlage, 1989). Di
SMA sense of community-nya biasanya melemah, dimana murid dan guru tidak banyak
kesempatan untuk saling mengenal satu sama lain secara lebih dekat. Akibatnya,
ketidakpercayaan antara guru dan murid mudah timbul dan hanya ada sedikit komunikasi
mengenai tujuan murid. Konteks semacam ini dapat melemahkan motivasi murid yang tidak
bagus secara akademik. Oleh karena itu, murid SMP dan SMA akan lebih banyak mendapat
manfaat apabila guru membuat setting sekolah mereka lebih personal, kurang formal dan lebih
menantang secara intrinsik.
BAB III
CONTOH KASUS
1. Perspektif Humanistik
Berikut contoh-contoh hirarki Maslow dalam kehidupan sehari-hari :
Kebutuhan fisiologis
Contoh dari kebutuhan ini dapat dilihat bahwa disetiap sekolah bahkan perguruan tinggi,
menyediakan waktu istirahat untuk siswa maupun mahasiswanya. Biasanya jam istirahat ini
dilakukan pada jam makan siang agar siswa-siswa diberi waktu istirahat agar mereka tidak
lupa makan siang sebelum melanjutkan pelajaran selanjutnya.
Kebutuhan akan rasa aman
Contohnya seperti peraturan-peraturan yang dibuat pada pihak sekolah, seperti jam masuk
dan pulang sekolah, tatakrama, ketertiban, dll. Setiap sekolah ataupun perguruan tinggi
memiliki peraturan-peraturan intrinsik yang berlaku untuk sekolah dan perguruan tinggi
tersebut. Seperti masuk pukul 7, tidak boleh berlarian di koridor sekolah, harus mengenakan
topi selama upacara, dsb.
Kebutuhan akan Kasih Sayang
Contoh dalam hal ini adalah metode belajar kelompok yang digunakan di sekolah maupun
perguruan tinggi.
Kebutuhan akan Harga Diri
Contohnya dalam hal ini, guru yang memberikan pengakuan ataupun penghargaan terhadap
prestasi muridnya. Pengakuan ataupun penghargaan ini dapat berupa pujian ataupun hadiah.
Seperti saat siswanya memenangkan olimpiade di salah satu bidang, maka gurunya akan
memberikan selamat, pujian dan pengakuan akan kemampuannya.
Kebutuhan Aktualisasi Diri
Contohnya ketika individu menyadari bahwa tujuan hidupnya adalah untuk menjadi seorang
professor di bidang psikologi, maka ketika dia akhirnya menjadi seorang profesor di bidang
psikologi maka dapat dikatakan bahwa individu tersebut telah mencapai aktualisasi dirinya.
Kemudian jika mengambil contoh kasus dalam film The Freedom Writerini, kita dapat
melihat banyaknya perang dan pembunuhan yang terjadi di Long Beach karena perebutan
kekuasaan. Hal ini menyebabkan kebutuhan akan rasa aman orang-orang yang tinggal di area
Long Beach sebagian besar tidak terpenuhi. Terlihat juga bahwa sebagian besar siswa di kelas
Ms. G tidak memiliki hubungan yang baik dengan keluarga mereka atau mereka memiliki
keluarga yang bermasalah sehingga mereka tidak begitu terbuka atau merasa aman dengan
orang lain. Seperti Eva yang ayahnya dipenjara, Andre Bryant yang tidak memiliki hubungan
yang baik dengan ibunya semenjak ibu dan ayahnya bercerai. Brandy yang dipukuli dan
melihat ibunya dipukuli, Marcus yang memiliki hubungan yang tidak baik dengan ibunya,
dan banyak lagi siswa-siswanya yang mengalami ketakutan karena perang yang terjadi di
lingkungan mereka.
2. Perspektif Behaviorisme
Contoh contiguity adalah ketika guru memberikan contoh-contoh setelah penjelasan
materi. Di prodi psikologi sendiri, ketika belajar mengenai teori psikologi, biasanya dosen
akan menyertakan contoh-contoh kasus terkait teori tersebut.
Contoh reinforcement, seperti ketika individu meraih prestasi dikelas, individu tersebut
diberikan buku atau alat-alat tulis lainnya untuk memotivasi individu tersebut agar lebih rajin
belajar.
Contoh punishment, seperti ketika individu datang terlambat ke sekolah maka individu
tersebut diberikan hukuman berupa tidak dapat mengikuti pelajaran sekolah pada saat
itu.contoh lain juga, ketika tidak mengerjakan tugas, maka gurunya akan memberikan
hukuman.
Contoh kasus modelling, yaitu dengan memberikan contoh yang baik kepada siswa agar
contoh tersebut juga diikuti oleh siswa. Seperti memberi contoh bagaimana cara menulis,
membaca, dsb. Dengan adanya contoh yang jelas, menurut teori ini individu akan semakin
termotivasi
Jika dilihat dalam film The Freedom Writer ini adalah ketika guru mereka yaitu Erin
Gruwell, memberikan penghargaan atau pengakuan pada para murid seperti meminta mereka
menulis surat kepada Miep Gies, orang yang menculik Anna Frank karena murid-muridnya
sudah memiliki keinginan untuk membaca buku mengenai Anna Frank. Hal ini menjadi
reinforcement positif pada siswa-siswanya untuk lebih banyak belajar. Ms. G juga mengajak
murid-muridnya untuk berwisata (touring) sebagai bentuk penghargaan kepada siswa-
siswanya karena sudah mau belajar dan juga agar siswa-siswanya mempunyai pandangan
yang lebih luas sehingga setelah perlakuan Ms. G tersebut membuat para murid-muridnya
jauh lebih bisa memperlihatkan perilaku yang diinginkan.
3. Perspektif Kognitif
Contoh motivasi perspektif kognitif dalam kehidupan sehari-hari, terlihat pada bagaimana
siswa mengevaluasi dirinya setelah tugas mereka diberi nilai atau bagaimana siswa tersebut
mengerjakan tugas mereka. Biasanya mahasiswa psikologi setelah mengerjakan tugas, akan
diberi umpan balik oleh dosen atas hasil pekerjaan mereka. Beberapa siswa akan menerima
umpan balik tersebut dan menjadikannya pelajaran untuk mengerjakan tugas lebih baik lagi,
namun beberapa siswa tetap tidak menunjukkan perubahan di tugas selanjutnya bahkan
setelah diberi umpan balik.
Contoh dari motivasi intrinsik dan ekstrinsik ini adalah misalnya siswa A dan siswa B
adalah dua orang siswa sekolah menengah atas. Kedua siswa ini akan mengikuti ujian bahasa
inggris esok hari. Siswa A yang memang tertarik dengan mata pelajaran bahasa inggris,
belajar setiap hari, bahkan jauh hari sebelum ujian bahasa inggris diadakan, sedangkan siswa
B belajar sehari sebelum ujian bahasa inggris diadakan agar bisa lulus pada ujian di mata
pelajaran tersebut dan menerima hadiah dari orang tuanya. Dari kedua siswa ini salah satunya
adalah siswa dengan motivasi intrinsik dan salah satunya adalah siswa dengan motivasi
ekstrinsik.
Sedangkan pada contoh kasus yang terdapat dalam film The Freedom Writers terlihat
ketika mereka termotivasi untuk suatu tujuan, mereka memiliki tujuan untuk berubah, dan
juga mereka tidak ingin bernasib seperti Holocaust.
4. Perspektif Sosial
BAB IV
ANALISIS
1. Perspektif Humanistik
Kebutuhan Fisiologis
Kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan yang mencakup hal-hal yang dapat memuaskan
individu secara biologis yang seperti makanan, air, oksigen, istirahat, aktivitas, dan
sebagainya. Sebagai contoh, seseorang tidak akan dapat berpikir dengan baik bila sedang
berada dalam keadaan lapar (butuh makan) atau berada dalam keadan letih (butuh istirahat).
Dalam keadaan-keadaan kebutuhan fisiologis seperti itu sedang dirasakan, maka perilaku
seseorang akan banyak didominasi oleh hasrat untuk memuaskan kebutuhan
tersebut.berdasarkan dari contoh di atas terlihat betapa pentingnya kebutuhan fisiologis untuk
dipenuhi saat belajar. Akan sulit untuk mencapai efektivitas dan efisiensi apabila faktor
psikologis pada siswa tidak berada dalam kondisi normal. Kebutuhan fisiologis ini
merupakan kebutuhan paling dasar dari hierarki kebutuhan Maslow, kalau kebutuhan ini tidak
terpenuhi, maka akan sulit untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan di atasnya. Salah satu
penelitian yang dilakukan oleh Yanuari (2012), menunjukkan bahwa keadaan fisiologis siswa
memberikan pengaruh terhadap proses belajar dan hasil belajar siswa.
Kebutuhan rasa aman
Berdasarkan contoh di atas, dapat dilihat bahwa dengan keteraturan siswa akan merasakan
adanya kepastian mengenai apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan sehingga akan
mendukung proses belajarnya. Untuk memenuhi kebutuhan ini juga, guru harus bersikap dan
bertindak konsisten.
Kebutuhan akan Kasih Sayang
Dari contoh kasus di atas, hal tersebut dilakukan untuk melatih kemampuan berkolaborasi
siswa agar mereka mempunyai rasa serta sebagai bagian dari suatu kelompok, dengan begitu
siswa akan menunjukkan perilaku yang disukai oleh kelompoknya dan semakin
meningkatkan motivasi belajarnya untuk mencapai prestasi yang diinginkannya. Salah satu
jurnal penelitian (Huda, 2013) yang dilakukan terkait pengaruh teman sebaya dan motivasi
belajar memperoleh hasil bahwa kedua hal tersebut memberikan pengaruh signifikan terhadap
hasil belajar siswa.
Kebutuhan akan Harga Diri
Berdasarkan conttoh kasus di atas bahwa guru yang memberikan pengakuan ataupun
penghargaan pada muridnya akan membentuk rasa harga diri dalam diri siswanya yang
membuat mereka merasa penting.
Kebutuhan Aktualisasi Diri
Individu tersebut dikatakan mencapai aktualisasi dirinya karena individu tersebut yang
menentukan sendiri tujuan hidupnya. Jika semua kebutuhan sebelum kebutuhan ini terpenuhi,
seperti kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan akan rasa kasih sayang, dan
kebutuhan akan rasa harga diri, maka individu tersebut dapat mencapai aktualisasi dirinya
apabila ia mencapai prestasi tertinggi sesuai kemampuan yang dimilikinya, namun jika tidak
maka individu tersebut mungkin akan berpikir bahwa hal tersebut sebagai sesuatu yang
terllau tinggi sehingga sulit untuk dicapainya.
Kemudian di atas terdapat pula contoh kasus yang dipaparkan dalam film The Freedom
Writers bahwa hal tersebut sejalan dengan yang dinyatakan oleh Maslow bahwa anak akan
memperoleh rasa aman yang cukup apabila ia berada dalam ikatan keluarganya. sebaliknya,
jika ikatan ini tidak ada atau lemah maka anak akan merasa kurang aman, cemas dan kurang
percaya diri yang akan mendorong anak untuk mencari area-area hidup dimana dia bisa
memperoleh ketentraman dan kepastian atau rasa aman. Salah satu hal ini dapat dilihat ketika
Ms. G untuk pertama kalinya mengajar dikelas, terlihat bahwa para murid tidak begitu
memberikan respon positif terhadapnya, salah satu alasannya dikarenakan Ms. G memiliki
kulit berwarna putih sedangkan sebagian besar dari mereka tidak menyukai orang-orang yang
berkulit putih.
Akan tetapi, setelah Ms.G dengan cepat belajar mengenai kondisi para muridnya, beliau
mulai memakai metode-metode baru yang diawali dengan bermain game pertanyaan-
pertanyaan yang membuat para muridnya maju ke garis merah jika mereka berpendapat
demikian dan meminta muridnya untuk menuliskan apapun dalam buku yang telah ia siapkan
ketika ia mendapatkan karikatur rasis penuh kebencian bahwa gambar tersebut adalah seni,
salah satu bakat yang dimiliki oleh murid tersebut. Hal ini juga sejalan dalam teori yang
menyatakan bahwa dalam proses belajar mengajar diperlukan rasa aman pada diri anak
sehingga merasa betah selama pelajaran berlangsung dan termotivasi untuk mengikuti dengan
sungguh-sungguh. Hal ini ditunjukkan ms. G dengan memberikan muridnya sebuah buku
baru, kemudian membawa mereka makan sekaligus sberbincang-bincang dengan korban
Holocaust seperti Elisabeth Mann, Gloria Ungar, Eddie Ilam, dan juga Renee Firestone,
sehingga dengan usaha-usaha yang diberikan oleh Ms. G untuk meningkatkan rasa
kekeluargaan diantara mereka tersebut membuat para muridnya semakin hari semakin bisa
menunjukkan rasa keamanan, memiliki penerimaan diri yang positif, dan bahkan dapat
mengembangkan potensi-potensi yang mereka miliki.
2. Perspektif Behaviorisme
Berdasarkan contoh contiguity yang telah dipaparkan diatas, dapat diketahui bahwa
dengan memberikan contoh-contoh setelah penjelasan materi, individu akan lebih mudah
untuk memahami materi yang disampaikan tersebut, sehingga dengan hal tersebut membuat
individu semakin termotivasi untuk belajar.
Kemudian dari contoh reinforment di atas, dapat dilihat bahwa penguat untuk menjadikan
siswa tersebut agar lebih rajin belajar adalah diberikannya sebuah buku atau alat-alat tulis
lainnya. Hal ini sejalan dengan teori yang telah dipaparkan diatas bahwa reinforcement dapat
dilakukan melalui pujian, hadiah dan hal-hal penguat lainnya atau menunda sesuatu yang
diinginkan individu sebelum ia menunjukkan perilaku yang diharapkan (negative
reinforcement). Dimana hadiah dan hal-hal penguat lainnya yaitu berupa buku atau alat-alat
lainnya agar siswa tersebut lebih rajin belajar, dan juga berdasarkan jurnal yang kami
dapatkan dari penelitian Nughraheni tahun 2011 menyatakan bahwa pemberian reinforcement
memberikan pengaruh terhadap prestasi belajar siswa, salah satunya dengan memberikan
reinforcement lewat angka. Dengan memperoleh angka yang memuaskan maka siswa akan
semakin termotivasi untuk belajar.
Dari teori yang dipaparkan di atas menyatakan bahwa punishment merupakan bentuk
hukuman diberikan kepada individu apabila ia tidak melakukan tindakan seperti yang
diharapkan, hal ini dapat dilihat dari contoh kasus di atas bahwa perlakuan yang tidak
diharapkan oleh individu tersebut ialah karena datang terlambat kesekolah, juga tidak
mengerjakan tugas sehingga punishment yang diberikan oleh individu tersebut ialah tidak
dapat mengikuti pelajaran sekolah pada saat itu juga. Berdasarkan hasil jurnal penelitian dari
Aromdani tahun 2014 juga menyatakan bahwa terdapat perbedaan pada prestasi belajar antara
siswa yang diberikan reward dan punishment dengan yang tidak. Siswa yang diberi
punishment dan reward memperoleh prestasi belajar yang lebih baik daripada yang tidak.
Kemudian contoh kasus dari film The Freedom Writer di atas, dapat diketahui bahwa
seperti yang dinyatakan oleh Emmer dan dkk (2000) bahwa pemberian insentif adalah
peristiwa atau stimuli positif atau negatif yang dapat memotivasi perilaku murid. Pendukung
penggunaan insentif menekankan bahwa insentif dapat menambah minat atau kesenangan
pada pelajaran dan mengarahkan perhatian pada perilaku yang tepat dan menjauhkan mereka
dari perilaku yang tidak tepat. Salah satu bentuk insentif positif yang dapat terlihat dalam film
The Freedom Writer ini adalah ketika guru mereka yaitu Erin Gruwell, memberikan
penghargaan atau pengakuan pada para murid seperti meminta mereka menulis surat kepada
Miep Gies, orang yang menculik Anna Frank karena murid-muridnya sudah memiliki
keinginan untuk membaca buku mengenai Anna Frank. Hal ini menjadi reinforcement positif
untuk siswa-siswanya sehingga mereka menjadi lebih senang belajar. Ms. G juga mengajak
murid-muridnya untuk berwisata (touring) sebagai bentuk penghargaan kepada siswa-
siswanya karena sudah mau belajar dan juga agar siswa-siswanya mempunyai pandangan
yang lebih luas sehingga setelah perlakuan Ms. G tersebut membuat para murid-muridnya
jauh lebih bisa memperlihatkan perilaku yang diinginkan.
3. Perspektif Kognitif
Pada contoh di atas dapat terlihat bahwa menurut perspektif kognitif, siswa yang
menerima umpan balik dan menjadikan umpan balik tersebut sebagai pelajaran untuk
mengerjakan tugas lebih baik lagi kedepannya adalah mahasiswa dengan motivasi
kompetensi. Mereka termotivasi untuk menghadapi lingkungan mereka secara efektif,
menguasai dunia mereka, dan memproses informasi secara efisien. Mereka memiliki enam
kompetensi diri menurut Worell dan Stiwell, yaitu memilii keterampilan untuk mengevaluasi
diri, memiliki harapan untuk sukses di tugas selanjutnya, locus of control internal, penguatan
diri untuk mencapai tujuan, dsb.
Sedangkan pada contoh motivasi instrinsik dan juga ekstrinsik terlihat bahwa siswa A
memiliki motivasi instrinsik, karena siswa A belajar bahasa inggris karena memang dia ingin
mendapatkan pengetahuan, nilai ataupun keterampilan agar dapat mengubah tingkah lakunya,
bukan untuk tujuan yang lain. Sedangkan siswa B memiliki motivasi ekstrinsik, karena siswa
B belajar ketika mengetahui bahwa besok akan diadakan ujian dengan harapan lulus di mata
pelajaran tersebut, dan siswa B dapat memperoleh hadiah yang telah dijanjikan oleh orang
tuanya apabila ia lulus mata pelajaran tersebut. Namun bagaimanapun kedua motivasi ini
memiliki pengaruh terhadap prestasi belajar siswa. Dalam beberapa penelitian yang dilakukan
oleh para ahli, diperoleh hasil bahwa motivasi memiliki pengaruh terhadap prestasi belajar
siswa, terutama motivasi intrinsik (Rafiqah, 2013).
Adapun pada contoh kasus dalam film The Freedom Writers di atas, terlihat bahwa
murid-murid memiliki motivasi intrinsik, bukan ekstrinsik karena tidak ada imbalan maupun
hukuman yang diberikan ms. G. Dalam film ini terlihat para siswa di kelas ms. G memiliki
motivasi intrinsik karena mereka termotivasi untuk suatu tujuan. Mereka memiliki tujuan
untuk berubah. Mereka tidak ingin diri mereka bernasib sama seperti Holocaust.
4. Perspektif Sosial
Dalam film Freedom Writers, kita dapat melihat bagaimana mrs. Gruwell dan murid-
murid yang belajar di kelasnya saling memberikan penerimaan. Mrs. Gruwell sebagai guru
menerima murid-muridnya dengan berbagai latar belakang yang berbeda. Hal ini yang
kemudian memotivasi murid-muridnya untuk mengikuti pelajaran mrs. Gruwell. Selain itu,
murid-murid di kelas mrs. Gruwell juga saling menerima satu sama lain, sehingga hal tersebut
juga memotivasi murid-murid di kelas tersebut karena mendapat penerimaan baik dari guru
maupun dari teman-temannya.
BAB V
KESIMPULAN
Jadi berdasarkan analisis kami menggunakan teori-teori dari beberapa perspektif
psikologis, dapat disimpulkan bahwa motivasi belajar berperan pada individu baik secara
intrinsik maupun ekstrinsik. Motivasi belajar ini dapat memberikan pengaruh terhadap
prestasi belajar siswa.
Dari perspektif humanistik, dapat dilihat bahwa motivasi belajar siswa dipengaruhi oleh
lima hierarki kebutuhan yang dikemukakan oleh Maslow. Sedangkan Dari perspektif
behavioristik, terlihat bahwa perspektif behavioral menekankan pemberian insentif sebagai
kunci dalam menentukan motivasi murid. Adapun dari perspekti kognitif, dapat dilihat
bahwa motivasi belajar siswa dipengaruhi oleh bagaimana mereka memandang tugas mereka
tersebut dan keinginan intrinsik dari diri mereka untuk mengevaluasi diri mereka. Terakhir,
dari perspektif sosial, lebih menekankan pada kebutuhan akan afiliasi atau keterhubungan,
yakni motif untuk merasa cukup terhubung dengan orang lain.
Terdapat dua bentuk motivasi untuk meraih sesuatu. Motivasi tersebut adalah motivasi
ekstrinsik dan motivasi intrinsik. Motivasi ekstrinsik adalah melakukan sesuatu untuk
mendapatkan sesuatu yang lain (cara untuk mencapai tujuan), sedangkan Motivasi intrinsik
adalah motivasi internal untuk melakukan sesuatu demi sesuatu itu sendiri (tujuan itu sendiri).