Upload
dzuhri-elrich-asakura
View
218
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
Mu'awiyah Radhiyallahu Anhu Juga Harus Dihormati
Senin, 7 Desember 2015 15:16:07 WIB
Kategori : Al-Masaa'il
MU'ÂWIYAH RADHIYALLAHU ANHU JUGA HARUS DIHORMATI
Oleh
Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin
Secara individual, tidak ada seorangpun dari Sahabat Radhiyallahu anhum Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam yang ma'shûm (tersucikan) dari kesalahan. Yang ma'shûm itu hanya Nabi Allâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Tetapi apakah kesalahan salah seorang dari para Sahabat
Radhiyallahu anhum menjadi celah bagi seseorang untuk bebas membicarakan kesalahan itu ?
Meskipun atas nama 'sikap kritis' termasuk terhadap Mu'awiyah bin Abu Sufyân Radhiyallahu
anhu ?!
Seorang Muslim yang baik dan tahu diri, tentu akan membersihkan hatinya dari rasa tidak suka
kepada para Sahabat Radhiyallahu anhum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dia akan menahan
lidah dan penanya dari perkataan serta tulisan yang mengandung cercaan kepada mereka. Ia
mengerti bahwa kebaikan yang dimilikinya hanya secuil saja dibandingkan dengan tumpukan
kebaikan yang menggunung yang dimiliki Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sekalipun
Sahabat Radhiyallahu anhum yang paling rendah derajat keutamaannya di antara Sahabat
lainnya. Dia ingat sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
اخ ف س أى أحذكن ) ا أصحبث، فل أى أحذكن ال تسج ، ل الز فس ثذ لوسلن: ف ال ( ن فق هثل أحذ رجب هب ثلغ هذ أحذ أ
ف. سا الج خبس هسلنص
Janganlah kalian mencaci para Sahabatku! Sesungguhnya jika seseorang di antara kalian (dalam
salah satu riwayat Muslim: Demi Allâh yang jiwaku ada ditangan-Nya, sesungguhnya jika
seseorang di antara kalian) berinfak dengan emas sebesar gunung Uhud, niscaya tidak akan bisa
menandingi satu mud (seperempat sha'/takaran) kebaikan satu orang di antara Sahabatku, bahkan
separoh mudpun tidak. [HR. Bukhâri dan Muslim.][1]
Imam Nawawi rahimahullah dalam syarahnya terhadap hadits ini menjelaskan bahwa mencerca
Sahabat Radhiyallahu anhum termasuk perkara haram yang keji, baik Sahabat Radhiyallahu
anhum yang terlilit fitnah peperangan maupun yang tidak. Mereka semua berijtihad dalam
kaitannya dengan peristiwa peperangan itu.[2]
Maka jika seseorang tanpa rasa malu mengkritisi Sahabat Radhiyallahu anhum Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dengan bahasa nyinyir, tak ubahnya ia laksana katak yang berusaha menyamai
seekor sapi. Ia akan meletus dan binasa.
Bahkan seorang Muslim sejati, selalu memaafkan Sahabat Radhiyallahu anhum ketika
menghadapi riwayat-riwayat yang menceritakan kejelekan mereka.[3] Sikapnya tetap membela
nama baik seluruh Sahabat Radhiyallahu anhum, menyebarluaskan kebaikan-kebaikan mereka
dan diam terhadap kejelekan mereka.[4]
RIWAYAT-RIWAYAT YANG MENCERITAKAN KEBURUKAN SAHABT
Tentang riwayat yang menceritakan kesalahan serta keburukan Sahabat itu sendiri, terdiri dari
tiga jenis riwayat, sebagaimana yang diterangkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah.[5]
Pertama, riwayat-riwayat dusta dan palsu yang dibuat oleh musuh untuk merusak nama baik
Sahabat Radhiyallahu anhum , sebagaimana dilakukan oleh orang-orang râfidhah dan sejenisnya
-qabbahahumullâh. Maka riwayat-riwayat ini tidak perlu diperhatikan dan harus ditolak.
Kedua, riwayat-riwayat yang mungkin memiliki asal-usul yang sah, tetapi terdapat penambahan
atau pengurangan, sehingga merusak riwayat aslinya. Maka yang ini tidak boleh dijadikan
sandaran. Orang harus kembali kepada riwayat-riwayat yang muhkam (pasti) tentang Sahabat
Radhiyallahu anhum . Yaitu bahwa mereka semua adalah generasi yang utama, shaleh dan adil.
Jika terdapat riwayat-riwayat yang membingungkan dan menceritakan kejelekan atau kesalahan
Sahabat Radhiyallahu anhum , maka hal itu tidak merusak keutamaannya. Terutama karena
riwayat-riwayat itu telah bercampur dengan kebathilan.
Ketiga, riwayat-riwayat shahih. Maka dalam hal ini kemungkinan kesalahan Sahabat
Radhiyallahu anhum terbagi menjadi dua jenis kesalahan. Kesalahan yang berbentuk ijtihadi.
Dan kesalahan yang benar-benar merupakan kesalahan nyata yang bukan ijtihadi.
MENYIKAPI DUA JENIS KEMUNGKINAN KESALAHAN SAHABAT:
Pertama : Kesalahan Ijtihadi:
Para Sahabat Radhiyallahu anhum adalah para Ulama, bahkan tokoh Ulama. Merekalah orang-
orang yang paling pertama memiliki kapasitas untuk berijtihad dalam istinbâth hakum syar'i.
Ijtihad Ulama tidak lepas dari kemungkinan salah atau benar. Sehingga apabila para Sahabat
Radhiyallahu anhum berijtihad, kemungkinannya adalah benar atau salah. Apabila benar
ijtihadnya, maka mereka mendapat dua pahala, yaitu pahala ijtihad dan pahala kebenaran dalam
ijtihad. Sementara apabila salah ijtihadnya, maka mereka mendapatkan satu pahala dari
ijtihadnya, sedangkan kesalahannya dimaafkan. Jadi mereka tidak berdosa karena kesalahan
ijtihadnya, bahkan mendapat pahala meskipun salah.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang ijtihad:
إرا حكن فبجتذ ثن أخطأ فل أجش. هتفق عل إرا حكن الحبكن فبجتذ ثن أصبة فل أجشاى،
Apabila seorang Hakim ingin menetapkan hukum, maka ia berijtihad, kemudian ijtihadnya
benar, maka ia mendapatkan dua pahala. Dan apabila ia ingin menetapkan hokum, maka ia
berijtihad, kemudian ijtihadnya salah, maka ia mendapatkan satu pahala[6].
Jadi, kesalahan Sahabat Radhiyallahu anhum sangat dimungkinkan terjadi karena ijtihad. Dengan
demikian, mereka tidak berdosa dan tidak tercela atas kesalahannya, bahkan mereka mendapat
pahala.
Ijtihad ialah pengerahan segenap kemampuan untuk memahami hukum syar'i.[7] Pengerahan
kemampuan seperti ini tentu berkait dengan penguasaan nash, hubungan antara satu nash dengan
nash lain, pendapat-pendapat Ulama tentang nash, kaidah-kaidah hukum, kaidah-kaidah bahasa,
tafsir dan sebagainya. Para Sahabat Radhiyallahu anhum memiliki kapasitas untuk itu.
Kedua : Kesalahan Diluar Ijtihad:
Dalam hal ini, baik yang berupa dosa besar maupun dosa kecil. Para Sahabat Radhiyallahu
anhum adalah manusia biasa yang tidak lepas dari kemungkinan terjerumus dalam perbuatan
dosa, karena secara individu, mereka tidak ma'shûm. Tetapi mereka memiliki bermacam-macam
penghapus dosa yang jumlahnya banyak. Di antaranya :
1. Memiliki banyak sekali keutamaan dan amal shaleh sejak sebelum melakukan kesalahan
hingga seterusnya. Hal ini pasti menyebabkan ampunan bagi mereka jika melakukan kesalahan.
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
ئبد جي الس إى الحسبد ز
Sesungguhnya, perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapus (dosa) perbuatan-perbuatan yang
buruk. [Hûd/11:114]
Apabila ayat ini berlaku untuk seluruh kaum Mu'minin, bahwa perbuatan yang baik akan
menghapus dosa dari perbuatan yang buruk, maka lebih layak lagi ayat ini berlaku untuk para
Sahabat Radhiyallahu anhum .
2. Kebaikan-kebaikan yang dimiliki para Sahabat Radhiyallahu anhum lebih layak untuk dilipat
gandakan nilainya dibandingkan dengan orang lain. Sebab Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda :
ن. سا الجخبس هسلن ي ل ن ثن الز ي ل ش البس قش ثن الز خ
Sebaik-baik manusia adalah (kaum Muslimin) pada generasiku, kemudian orang-orang yang
sesudahnya, kemudian orang-orang yang sesudahnya lagi. [HR. Bukhari dan Muslim][8]
Apabila pahala dari perbuatan baik seorang Muslim biasa bisa berlipat sepuluh kali kebaikan,
tentu pahala dari perbuatan baik para Sahabat Radhiyallahu anhum yang merupakan generasi
terbaik umat Islam, akan lebih layak lagi untuk dilipat gandakan, bahkan hingga menjadi 700
kali lipat.
3. Bentuk-bentuk penghapus dosa mereka sangat beragam dan sangat banyak. Bahkan mungkin
mereka memiliki semua itu. Misalnya, taubat, jihad, hijrah, infak, shadaqah, mushibah-mushibah
yang menimpa, syafa'at Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , pembelaan kepada agama,
penaklukan negeri-negeri kafir, pemberantasan syirik, bid'ah serta khurafat, peperangan melawan
orang-orang murtad, dan lain-lain. Hal-hal yang bila itu terjadi pada orang lain, maka tidak akan
sehebat yang terjadi pada para Sahabat. Apabila orang yang bertauhid selain mereka bisa
mendapat syafa'at dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka para Sahabat Radhiyallahu
anhum tentu lebih layak mendapatkannya.
Apabila demikian kenyataannya, bahwa dosa mereka yang benar-benar nyata, terampunkan
karena mereka memiliki begitu banyak penghapus dosa, maka apalagi jika kesalahan yang
mereka lakukan hanyalah kesalahan ijtihad.
Kesimpulannya, kesalahan yang dilakukan Sahabat, di samping karena kesalahan itu sedikit, juga
kesalahan itu tidak keluar dari dua kemungkinan:
Pertama, kesalahan karena ijtihad. Mereka tidak berdosa karenanya. Sebab kesalahan itu
diampuni oleh Allâh Azza wa Jalla , dan bahkan mendapat pahala karena ijtihadnya.
Kedua, kesalahan yang bukan karena ijtihad. Untuk kesalahan ini mereka memiliki banyak dan
beragam penghapus dosa. Sementara kesalahan itu jumlahnya sedikit, tenggelam dalam
kabaikan-kebaikan serta keutamaan-keutamaan yang sangat banyak.
BAGAIMANA DENGAN MU’AWIYAH)?
Beliau adalah seorang Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti Sahabat Radhiyallahu
anhum lainnya. Tidak boleh seorangpun membiarkan hatinya memendam rasa tidak suka kepada
beliau Radhiyallahu anhu . Tidak boleh seorangpun membiarkan lidahnya mengobral ungkapan
celaan kepada beliau Radhiyallahu anhu , meskipun dibungkus dengan kata-kata yang terkesan
manis, misalnya bahwa itu bukan celaan, tetapi demi keadilan, kritis, dan lain sebagainya'. Itulah
kebiasaan orang munafik, membungkus tendensi duniawi dengan kata-kata mempesona. Allâh
Azza wa Jalla berfirman :
ل ف الحبح الذ هي البس هي عججك ق ألذ الخصبم ب هب ف قلج عل ذ للا ش ف السض ٤٠٢﴿ سع ل إرا ت ﴾
ال حت الفسبد لفسذ فب للا السل لك الحشث
Dan di antara manusia ada yang perkataannya tentang kehidupan dunia mempesona hatimu, dan
dipersaksikannya kepada Allâh (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penentang yang
paling keras. Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berusaha di muka bumi untuk membuat
kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman serta binatang ternak. Dan Allâh tidak
menyukai kerusakan. [Al-Baqarah/2:204-205]
Hadits yang dikemukakan pada permulaan tulisan ini tentang larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam untuk mencela para Sahabat Radhiyallahu anhum , meskipun wurudnya (yang
melatarbelakanginya) berkaitan dengan Khâlid bin Walîd dan Abdur Rahman bin Auf
Radhiyallahu anhuma, tetapi hadits itu berlaku umum, mencakup larangan untuk mencela
Mu'awiyah bin Abi Sufyan Radhiyallahu anhuma. Keterangan Imam Nawawi rahimahullah di
atas berkenaan dengan ma'na hadits tersebut cukup jelas, yaitu bahwa mencela para Sahabat
Radhiyallahu anhum termasuk perkara haram yang keji, baik Sahabat Radhiyallahu anhum yang
terlilit fitnah peperangan maupun yang bukan. Sebab mereka semua terlibat dalam fitnah itu
karena ijtihad.
Sementara al-Hâfizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah menjelaskan bahwa larangan bagi
sebagian orang yang sempat berjumpa dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yaitu sebagian
Sahabat) untuk mencerca Sahabat Radhiyallahu anhum pendahulunya, memberikan pengertian
bahwa larangan itu lebih layak lagi berlaku bagi orang yang tidak pernah berjumpa dengan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[10]
Andaikata tidak satupun nash yang secara khusus memberikan pujian kepada Sahabat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tertentu, maka kedudukannya sebagai Sahabat Radhiyallahu anhum
sudah cukup merupakan pujian, dan orang yang bukan Sahabat Radhiyallahu anhum tidak
berhak untuk mencelanya, berdasarkan hadits di atas dan nash-nash lainnya.
Sementara terdapat sejumlah nash yang berisi pujian kepada Mu’âwiyah Radhiyallahu anhu , di
samping nash-nash umum. Beliau Radhiyallahu anhu juga dikenal memiliki banyak keutamaan,
di samping sebagai penulis Wahyu, juga sebagai penakluk dan sebagai mujahid. Jasanya sangat
banyak bagi Islam dan kaum Muslimin.
PENEGASAN IMAM ABU ZUR’AH AR-RAZI RAHIMAHULLAH
Beliau rahimahullah menegaskan, "Apabila engkau melihat seseorang mencela seorang Sahabat
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka ketahuilah bahwa dia adalah zindiq. Sebab, bagi kami,
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah benar, al-Qur'ân adalah benar. Sedangkan yang
menyampaikan al-Qur'ân dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita adalah para
Sahabat Radhiyallahu anhum . Sementara yang mereka inginkan dengan mencela Sahabat
Radhiyallahu anhum tidak lain hanyalah untuk mencela para saksi kita, sehingga mereka dapat
menyatakan bathilnya al-Qur'ân dan Sunnah. Padahal celaan lebih pantas ditujukan kepada para
pencela Sahabat itu, sebab mereka adalah orang-orang zindiq.[11]
Imam Abu Zur'ah adalah salah seorang Imam besar yang masyhur di kalangan Ulama, seorang
tokoh yang banyak disebut-sebut, dan seorang hafizh hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang mutqin (mantap)[12]. Beliau rahimahullah bernama Ubaidullah bin Abdul Karim
bin Yazid bin Farrukh al-Qurasyi al-Makhzumi, Abu Zur'ah ar-Razi. Dilahirkan pada tahun 200
H dan wafat tahun 264 H. Ibnu Hibban dalam kitabnya Ats-Tsiqat menyatakan: Beliau
merupakan salah seorang Imam Dunia dalam bidang hadits, di samping agama, sikap wara' dan
disiplinnya menjaga, menghafal serta mengulang-ulang pelajaran ilmu. Dan juga meninggalkan
kehidupan duniawi serta apa yang biasa dikejar manusia.[13]
PENGERTIAN ZINDIQ
Zindiq artinya memendam kekafiran dalam hati, tetapi menampakkan Islam secara lahir. Seorang
zindiq bisa merupakan seorang râfidhi atau kaki tangan râfidhah, bisa pula golongan Khawarij,
bisa pula golongan-golongan lain yang memusuhi Islam. Sebenarnya ada beberapa pengertian
yang dijelaskan oleh para Ulama tentang zindiq. Tetapi inilah pengertian yang masyhur di
kalangan Fuqaha' (para Ahli Fiqih).
Al-Hâfizh Ibnu Hajar al-Asqalaniy rahimahullah menyimpulkan, zindiq adalah setiap orang yang
menyembunyikan kekafiran dan menampakkan keislaman. Beliau menukil perkataan Imam
Mâlik rahimahullah dan juga menyebutkan bahwa demikianlah pengertian yang dikemukakan
oleh sejumlah Fuqaha' dari kalangan madzhab Syafi'iyah.[14] Ibnu Qudamah juga mengatakan
demikian.[15]
Dengan demikian, jika ada yang lancang mulut dan berani mencela Mu’âwiyah Radhiyallahu
anhu , maka seperti yang dikatakan oleh Imam Abu Zur'ah ar-Râzi rahimahullah , ia adalah
zindiq. Celaan serta cacian lebih layak ditujukan kepada orang ini karena ia adalah zindiq. Ia
layak diwaspadai ketika menyerukan ukhuwah Islamiyah, karena seruannya adalah dusta. Ia
sudah sejak dini meruntuhkan prinsip ukhuwah Islamiyah dengan celaannya kepada Sahabat
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Bagi kaum Muslimin, para Sahabat Radhiyallahu anhum
merupakan sanad pertama bagi kebenaran Islam. Maka jika seseorang dengan mudahnya
mencerca Sahabat, ia akan lebih mudah lagi mencerca dan mengkhianati orang yang bukan
Sahabat. Oleh karena itu, kaum Muslimin tidak sudi bersaudara dengan pencerca individu-
individu generasi terbaik umat ini.
PENUTUP
Siapa yang menyatakan bahwa sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk Mu'awiyah
Radhiyallahu anhu (artinya): Semoga Allâh tidak mengenyangkan Mu'awiyah, adalah doa jelek,
berarti orang itu sedang mencari celah untuk melancarkan fitnah dan syubhat. Para Ulama justeru
menganggap bahwa hadits itu merupakan pujian bagi Mu’âwiyah Radhiyallahu anhu . Dan itu
bukan distorsi penafsiran. Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarah Muslim menegaskan,
Imam Muslim telah mendudukkan hadits tersebut sebagai salah satu bentuk pujian kepada
Mu'awiyah. Karena Imam Muslim menderetkan hadits tersebut dengan hadits-hadits lain yang
menjelaskan, bila Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan jelek terhadap seseorang,
sedangkan orang tersebut tidak layak didoakan jelek, maka itu berarti kebaikan baginya,
termasuk terhadap Mu'awiyah. Dan ini adalah tafsir para Ulama semenjak dahulu.[16] Sementera
Syaikh al-Albani rahimahullah telah menukil lengkap pernyataan Imam Nawawi
rahimahullahersebut dalam Silsilah Shahihah.[17]
Begitu juga riwayat yang mengisahkan bahwa pada masa akhir kehidupannya, Mu'awiyah
mengalami berbagai penyakit berat. Itu sama sekali bukan merupakan cela bagi Mu’âwiyah
Radhiyallahu anhu . Bukan pula merupakan akibat jelek dari do'a Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi
wa sallam . Bukankah wajar manusia mendapatkan banyak penyakit diusia senjanya ? Dengan
penyakit semacam itu, beliau Radhiyallahu anhu lebih berhak, dibandingkan yang bukan
Sahabat, untuk mendapat penghapusan dosa dari kesalahan yang mungkin Beliau lakukan
sebagai manusia biasa yang tidak ma'shûm, sebagaimana dijelaskan oleh Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Tetapi kebiasaan pengikut hawa nafsu, memang senang mendramatisir perkara yang wajar
menjadi seakan-akan aneh. Itulah syubhat yang dilancarkan untuk menebar fitnah dan kerusakan.
Sebagai mana yang disebutkan oleh Allâh dalam firman-Nya :
اثتغبء الفت غ فتجعى هب تشبث ه ن ص ب الزي ف قلث فأه لاثتغبء تأ خ
Adapun orang-orang yang di dalam hatinya ada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat
mutasyabihat untuk maksud mencari fitnah dan mencari ta'wilnya. [Ali Imrân/3:7]
Di samping itu, mereka senang sekali memotong-motong perkataan orang, bahkan kalau perlu
hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , supaya sesuai dengan keinginan hawa nafsunya.
Nas'alullâha as-Salâmah.
Maraji'
1. Fathul Bâri, al-Hâfizh Ibnu Hajar al-Asqalâni
2. Shahîh Muslim Bi Syarh al-Imâm an-Nawawi, tahqiq: Khalail Ma'mun Syiha XVI/308-309,
no. 6434, 6435
3. Majmû' Fatâwâ, Jam'u wa Tartib: Ibnu Qasim
4. Syarhul Aqîdah al-Wasithiyah, Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Maktabah al-Ma'arif,
Riyadh, cet. VI, th. 1413 H/1993 M.
5. Al-Qaulus Sadîd, Syaikh Abdur Rahman bin Nashir as-Sa'di.
6. Tahdzîb al-Kamal Fi Asmâ'ir Rijâl, Imam al-Mizzi, tahqiq: Dr. Basysyar 'Awwad Ma'ruf,
Mu'assasah ar-Risalah, cet. I, 1422 H/2002 M
7. Tahdzîbut Tahdzîb, Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, cet. I pada Percetakan Majlis Da'irati al-
Ma'arif an-Nizhamiyah, Haidar Abad, India, th. 1326 H
8. Al-Mughni wasy Syarhil Kabîr, Dar al-Fikr, 1412 H/1992 M
9. Silsilah Ahâdîts Shahîhah, Syaikh al-Albâni
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XVI/1434H/2013. Diterbitkan Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-
761016]
_______
Footnote
[1]. Shahîhul Bukhâri no, 3673 dalam Fathul Bâri VII/21, dan Muslim dalam Shahîh Muslim Bi
Syarh al-Imam an-Nawawi, tahqiq: Khalail Ma'mun Syiha XVI/308-309, no. 6434, 6435
[2]. Shahîh Muslim Syarh al-Imam an-Nawawi, op.cit. XVI/309, dengan bahasa bebas
[3]. Lihat keterangan Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan; Syarhul Aqîdah al-Wasithiyah,
Maktabah al-Ma'arif, Riyadh, cet. VI, th. 1413 H/1993 M, hlm. 203
[4]. Muqaddimah al-Qaul as-Sadid, Syaikh Abdur Rahman bin Nashir as-Sa'di t , bagian akhir.
[5]. Majmû' Fatâwâ, Jam'u wa Tartib: Ibnu Qasim, III/155, dan juga keterangan Syaikh Shalih al-
Fauzan, dalam Syarhul Aqîdah al-Wasithiyah, op.cit. hlm. 201-205
[6]. Shahihul Bukhâri no, 7352 dalam Fathul Bâri XIII/318. Shahîh Muslim Bi Syarh al-Imam
an-Nawawi, op. cit. XII/239-240, no. 4462
[7]. Syaikh Shalih al-Fauzan, dalam Syarhul Aqîdah al-Wasithiyah, op.cit. hlm. 205
[8]. Shahîhul Bukhâri no, 3651 dalam Fathul Bâri VII/3, dan Shahîh Muslim Bi Syarh al-Imam
an-Nawawi, op.cit. XVI/302-303, no. 6419.
[9]. Lihat sekali lagi keterangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan syarahnya oleh Syaikh Shalih
al-Fauzan, dalam Syarhul Aqîdah al-Wasithiyah, op.cit. hlm. 201-205
[10]. Fathul Bâri VII/34 dengan bahasa bebas.
[11]. Tahdzîbul Kamal Fi Asmâ'ir Rijâl, karya Imam al-Mizzi (654 H-742 H), tahqiq: Dr.
Basysyar 'Awwad Ma'ruf, Mu'assasah ar-Risalah, cet. I, 1422 H/2002 M, juz IX/96, tentang
Ubaidullah bin Abdul Karim bin Yazid bin Farrukh al-Qurasyi al-Makhzumiy
[12]. Ibid. IX/89
[13]. Ibid IX/89 dst. Lihat pula Tahdzîbut Tahdzîb, Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, cet. I pada
Percetakan Majlis Da'irati al-Ma'arif an-Nizhamiyah, Haidar Abad, India, th. 1326 H, VII/30-33,
Ubaidullah bin Abdul Karim bin Yazid
[14]. Fathul Bâri XII/271 pada syarah hadits no. 6922 tentang kisah Ali membakar orang-orang
zindiq, Bab Hukmu al-Murtad wa al-Murtaddah wa istitaabatuhum.