Upload
doanhanh
View
217
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIADirektorat Jenderal Perimbangan Keuangan
LAPORAN TIM ASISTENSI KEMENTERIAN KEUANGANBIDANG DESENTRALISASI FISKAL 2013
Didukung oleh:
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH
AustralianAid
AUSTRALIA INDONESIA PARTNERSHIPFOR DECENTRALISATION (AIPD)
AustralianAid
AUSTRALIA INDONESIA PARTNERSHIPFOR DECENTRALISATION (AIPD)
AustralianAid
AUSTRALIA INDONESIA PARTNERSHIPFOR DECENTRALISATION (AIPD)
AustralianAid
AUSTRALIA INDONESIA PARTNERSHIPFOR DECENTRALISATION (AIPD)
Dr. B. Raksaka Mahi (Universitas Indonesia)
Prof. Dr. Wihana Kirana Jaya (Universitas Gajah Mada)
Dr. Fauziah Zen(Universitas Indonesia)
PENULIS EDITOR
Prof. Dr. Robert A. Simanjuntak(Universitas Indonesia)
Dr. Hefrizal Handra(Universitas Andalas)
| Mendekatkan Akses Keadilan Bagi Perempuan Korbanii
AustralianAid
AUSTRALIA INDONESIA PARTNERSHIPFOR DECENTRALISATION (AIPD)
AustralianAid
AUSTRALIA INDONESIA PARTNERSHIPFOR DECENTRALISATION (AIPD)
AustralianAid
AUSTRALIA INDONESIA PARTNERSHIPFOR DECENTRALISATION (AIPD)
AustralianAid
AUSTRALIA INDONESIA PARTNERSHIPFOR DECENTRALISATION (AIPD)
Acknowledgement
Buku Municipal Development Funds
Sebagai Alternatif Pembiayaan Infrastruktur Daerah ini
disusun oleh Tim Asistensi Kementerian Keuangan Bidang
Desentralisasi Fiskal (TADF) Republik Indonesia dan
didukung oleh Program Australia Indonesia Partnership for
Decentralisation (AIPD).
Disclaimer
Pandangan dan pendapat dalam buku Municipal
Development Funds Sebagai Alternatif Pembiayaan
Infrastruktur Daerah ini bersumber dari Tim Asistensi
Kementerian Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (TADF)
Republik Indonesia dan tidak menggambarkan pandangan
Pemerintah Australia.
| Mendekatkan Akses Keadilan Bagi Perempuan Korbaniv
v
Daftar Isi
Kata Pengantar Direktur Program AIPD ............................................. vii
Kata Pengantar Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan .............. ix
Ringkasan Eksekutif ........................................................................... xi
1 Pendahuluan ............................................................................... 1
1.1. Tujuan dan Pertanyaan Penelitian .......................................... 6
1.2. Metodologi ........................................................................... 7
1.3. Sistematika Penulisan ............................................................ 7
2 Kebutuhan Indonesia Terhadap Perantara Pembiayaan untuk
Infrastruktur Daerah ................................................................... 9
2.1. Kondisi Infrastruktur Daerah Saat Ini ..................................... 9
2.2. Keterbatasan Skema Pinjaman Daerah Saat ini ...................... 18
2.3. Besarnya Biaya Transaksi Pembiayaan Proyek Infrastruktur
Daerah .................................................................................. 21
2.4. Kebutuhan untuk Mekanisme Persetujuan Pinjaman
Kompetitif ............................................................................. 24
2.5. Kebutuhan untuk Memupuk Modal dalam Jangka Panjang .. 25
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAHvi
3 MDF: Prinsip, Karakteristik, dan Praktik Negara Lain ................. 28
3.1. Definisi dan Cakupan Municipal Development Funds. ........... 28
3.2. Implementasi MDF di Berbagai Negara ................................. 31
3.3. Sumber Modal MDF .............................................................. 34
3.4. Pentingnya MDF Bagi Kota-Kota Negara Berkembang ........... 35
4 MDF Sebagai Alternatif Pembiayaan Infrastruktur Daerah di
Indonesia ..................................................................................... 38
4.1. Analisis Awal Fungsi dan Permodalan MDF .......................... 38
4.2. Analisis Kerangka Institusional MDF ...................................... 40
4.3. Bentuk Ideal Institusi Perantara Pembiayaaan:
BLU atau BUMN? .................................................................. 50
4.4. Anatomi Kelembagaan Pembiayaan Infrastruktur Saat Ini ..... 51
4.5. Opsi Kelembagaan MDF dalam Jangka Pendek ..................... 54
5 Desain Kebijakan ......................................................................... 62
5.1. Desain Insentif ...................................................................... 62
5.2. Struktur Modal ...................................................................... 64
5.3. Model Pengelolaan ................................................................ 66
5.4. Proteksi Pinjaman .................................................................. 66
5.5. Kriteria Pemerintah Daerah yang Berhak Meminjam ............ 68
5.6. Kelembagaan MDF ............................................................... 71
5.7. Kerjasama dengan Entitas Lain .............................................. 72
6 Kesimpulan dan Rekomendasi .................................................... 74
7 Daftar Pustaka............................................................................. 77
8 Lampiran ..................................................................................... 81
8.1. Rangkuman Mengenai Findeter dan TNUDF ......................... 81
8.2. Hasil Survei Awal Kepada Pemangku Kepentingan Pinjaman
Daerah Tentang Minat Terhadap MDF ................................... 85
vii
Kata Pengantar Direktur Program AIPD
Sejak tahun 2012, Program AIPD mendukung Kementerian Keuangan,
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan melalui Tim Asistensi Ke-
menterian Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (TADF), terutama
untuk pengembangan kebijakan desentralisasi fiskal berbasis penelitian
(research based policy).
Pada tahun 2013 TADF mendapatkan mandat untuk melaksanakan em-
pat kajian dan penyusunan sejumlah policy brief. Hasil kajian tersebut telah
didokumentasikan dalam empat judul buku berikut ini:
1) Pengelolaan Dana Alokasi Khusus (DAK): Kondisi dan Strategi ke Depan;
2) Municipal Development Funds sebagai Alternatif Pembiayaan Infra
struktur Daerah;
3) Evaluasi Regulasi Pengelolaan Keuangan Daerah dan Pengaruhnya ter
hadap Upaya Peningkatan Kualitas Belanja Daerah;
4) Evaluasi Pelaksanaan UndangUndang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pa
jak Daerah dan Retribusi dan Pengaruhnya terhadap Pendapatan Daerah.
Sedangkan hasil policy brief yang disusun oleh TADF didokumentasikan
dalam buku Policy Brief 2013.
Kami mengharapkan bahwa kelima buku tersebut dapat berkontribusi
untuk dialog kebijakan yang dapat memperkuat implementasi desentralisasi
fiskal di Indonesia, terutama untuk dampak peningkatan layanan publik bagi
masyarakat.
Jessica Ludwig-Maaroof
Direktur Program
| Mendekatkan Akses Keadilan Bagi Perempuan Korbanviii
ix
Kata Pengantar Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan
Dinamika hubungan keuangan pusat dan daerah yang juga dipengaruhi
oleh perubahan kondisi global maupun dinamika politik perlu men-
dapatkan perhatian serius dari Pemerintah Pusat karena sangat ber-
kaitan dengan berbagai kebijakan yang langsung berdampak pada penyeleng-
garaan layanan publik oleh Daerah. Oleh karenanya, perbaikan kebijakan yang
didasarkan pada hasil kajian yang sifatnya netral, jujur, dan ilmiah harus dila-
ku kan secara terus menerus.
Dalam rangka melakukan perbaikan kebijakan yang berbasis penelitian
atau research based policy, maka Kementerian Keuangan telah menjalin
kerjasama dengan Tim Asistensi Kementerian Keuangan Bidang Desentralisasi
Fiskal (TADF). TADF beranggotakan para akademisi dari berbagai universitas
terkemuka di Indonesia dan para pakar di bidang desentralisasi fiskal dan
oto nomi daerah. Pada tahun 2013, TADF telah melakukan empat buah pene-
litian dan menghasilkan 7 (tujuh) buah policy brief dan 1 (satu) buah policy
note.
Salah satu hasil penelitian tersebut adalah “Municipal Development
Funds Sebagai Alternatif Pembiayaan Infrastruktur Daerah”. Penelitian ini
pada dasarnya berusaha untuk menawarkan alternatif penyediaan sumber
pembiayaan infrastruktur bagi Pemerintah Daerah. Alternatif pembiayaan
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAHx
tersebut adalah pengembangan Municipal Development Fund (MDF), seba-
gaimana yang telah diterapkan dibeberapa negara lain. Berdasarkan best
practices yang ada tim peneliti menyimpulkan bahwa MDF bisa dikembangkan
di negara Indonesia agar kebutuhan daerah akan pembiayaan infrastruktur
yang kontinyu dan jangka panjang bisa dipenuhi melalui penyediaan dana
dari institusi MDF. Untuk itulah, Pemerintah Indonesia diharapkan agar segera
merintis upaya untuk menyiapkan Institusi MDF.
Rekomendasi lain yang sangat menarik untuk ditindaklanjuti dari pene-
litian ini adalah perlu disusun tujuh buah desain kebijakan strategis dalam
rangka mengoptimalkan potensi MDF di masa mendatang. Desain kebijakan
strategis tersebut meliputi desain insentif, struktur modal, desain pengelolaan,
proteksi pinjaman, kriteria daerah yang berhak meminjam, kelembagaan
MDF dan kerjasama dengan entitas lain.
Kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang
telah memberikan kontribusi dalam penelitian ini dan juga kepada Australia
Indonesia Partnership for Decentralization yang telah mendukung terlaksana-
nya rangkaian kegiatan TADF 2013. Kami berharap bahwa hasil penelitian ini
bermanfaat bagi kita semua dan pihak-pihak terkait lainnya dalam mendukung
pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang lebih baik di
Indonesia.
Direktur Jenderal,
Boediarso Teguh Widodo
xi
Gambar 1. Persentase Akses Penduduk terhadap Air Bersih (1993–2009) ...... 11
Gambar 2. Peningkatan Panjang Jalan Kota/Kabupaten dan Provinsi (ribu km) 11
Gambar 3. Kualitas Jalan Kabupaten/Kota di Indonesia (2001-2009) ............. 12
Gambar 4. Kemampuan Pembiayaan Infrastruktur Daerah ............................ 13
Gambar 5. Profil Belanja Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota ....................... 14
Gambar 6. Incomplete Market Pembiayaan Infrastruktur Perkotaan ............ 17
Gambar 7. Pembiayaan Infrastruktur di Indonesia ......................................... 17
Gambar 8. Pinjaman dan Belanja Modal Daerah Sebagai Persentase Terhadap
Belanja Daerah (Riil) ......................................................................... 21
Gambar 9. Struktur MDF Secara Umum ......................................................... 29
Gambar 10. Tahapan dalam Pengadaan Proyek Infrastruktur ........................... 30
Gambar 11. Tantangan dalam Urbanisasi ........................................................ 36
Gambar 12. PIP dan PT. SMI Sebagai Bentuk Intervensi Pemerintah Pusat ....... 53
Gambar 13. Opsi Kelembagaan MDF dalam Jangka Pendek ............................ 55
Gambar 14. Tahapan Transisi PIP Menuju BUMN Pelaksana MDF ..................... 59
Gambar 15. Desain Insentif MDF ..................................................................... 63
Gambar 16. Alternatif Sumber Modal Bagi MDF .............................................. 65
Gambar 17. Model Pengelolaan ....................................................................... 66
Gambar 18. Proteksi Pinjaman ......................................................................... 67
Gambar 19. Kriteria Pemerintah Daerah yang Berhak Meminjam .................... 69
Gambar 20. Kerjasama MDF dengan Entitas Lain............................................. 73
Gambar 21. Operasional Findeter .................................................................... 83
Gambar 22. Operasional TNUDF ...................................................................... 84
Daftar Gambar
xii
Tabel 1. Penduduk Urban dan Rural di Indonesia ............................... 2
Tabel 2. Persentase Penduduk Urban Per Provinsi di Indonesia,
2005-2025................................................................................... 2
Tabel 3. Pemerintah Daerah Kreditor dengan Outstanding Debt
per 31 Desember 2012 .......................................................... 19
Tabel 4. Jumlah Pokok Kredit Macet Pemerintah Daerah
per 31 Desember 2012 ......................................................... 20
Tabel 5. Ringkasan Persyaratan Pinjaman Daerah ............................... 22
Tabel 6. Rincian Salah Satu Portofolio Proyek Investasi Infrastruktur
TNUDF ................................................................................... 23
Tabel 7. Berbagai Tipe Pembiayaan Perantara untuk Pemerintah Daerah 31
Tabel 8. Tantangan dalam Implementasi MDF di Negara Lain ............. 32
Tabel 9. Beberapa Contoh Sukses Implementasi MDF ......................... 33
Tabel 10. Berbagai Skema Pemodalan MDF .......................................... 34
Tabel 11. Perbandingan Bentuk Kelembagaan Penyedia Infrastruktur .. 41
Tabel 12. Anatomi Kelembagaan Formal Institusi Penyedia Infrastuktur
di Indonesia .......................................................................... 51
Tabel 13. Perbandingan PIP dengan PT. SMI ......................................... 53
Tabel 14. Fungsi Lembaga Pembiayaan Infrastruktur di Indonesia ........ 54
Daftar Tabel
xiii
Ringkasan Eksekutif
Diperkirakan akan terjadi peningkatan penduduk perkotaan,
namun antisipasi Pemerintah Daerah dalam penyediaan infra-
struktur masih rendah.
• Kawasan perkotaan merupakan mesin utama perekonomian, di mana
setengah kegiatan perekonomian dunia berjalan. Kini, kawasan perkota-
an di berbagai negara dihadapkan pada tantangan laju urbanisasi yang
tinggi. Distribusi populasi perkotaan dunia diperkirakan akan mencapai
angka 70% pada tahun 2050 (UNDESA, 2012).
• Pembangunan infrastruktur di daerah, khususnya di perkotaan sangatlah
penting dilakukan untuk mengantisipasi peningkatan penduduk yang
tinggal di perkotaan. Untuk Indonesia, diperkirakan sekitar 68% populasi
Indonesia akan hidup di wilayah perkotaan pada akhir tahun 2025. Pe-
ning katan penduduk perkotaan (urban) ini akan terjadi hampir semua
Provinsi di Indonesia.
• Namun demikian, upaya Pemerintah Daerah dalam mengantisipasi ur-
banisasi ini masih sangat minim. Hal ini terlihat dari besarnya belanja
mo dal Pemerintah Daerah tidak lebih dari 0,7% dari total PDRB pada
periode 1997-2009. Ini berakibat kurangnya penyediaan berbagai infra-
struktur dasar. Hingga saat ini hanya 50% penduduk perkotaan di Indo-
nesia yang menikmati layanan air bersih, dengan proporsi yang semakin
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAHxiv
menurun tiap tahun, sedangkan jaringan drainase ha nya ada di 11 kota
besar (Bank Dunia, 2009).
Salah satu kendala dalam peningkatan infrastruktur adalah penyedia an
sumber pembiayaan bagi Pemerintah Daerah.
• Bentuk infrastruktur yang saat ini sangat diperlukan oleh Pemerintah
Daerah adalah infrastruktur lingkungan (environmental infrastructure)
yang umumnya tidak memberikan pendapatan proyek yang menjanji-
kan (nonrevenue generating project).
• Untuk membiayai infrastruktur ini, Pemerintah Daerah memerlukan
sum ber pembiayaan tidak saja dari dana perimbangan maupun Penda-
patan Asli Daerah (PAD), tetapi juga dari pinjaman daerah, baik dengan
meminjam dari Pemerintah Pusat maupun lembaga keuangan, ataupun
dengan menerbitkan surat utang.
• Sangat tidak mudah bagi Pemerintah Daerah untuk menemukan sum ber
pinjaman jangka panjang. Saat ini sebagian besar pinjaman daerah ada-
lah warisan masa lalu dari Pemerintah Pusat melalui meka nisme pene-
rus an pinjaman (Subsidiary Loan Agreement). Skema pinjaman SLA masih
bersifat supplydriven, jumlahnya relatif terbatas dan akses pinjamannya
pun tidak terbuka bagi semua Pemerintah Daerah. Sedangkan pinjaman
demanddriven melalui Pusat Investasi Pemerintah (PIP) dikeluhkan per-
syaratan dan besaran bunganya.
• Di berbagai negara, kebutuhan pembiayaan infrastruktur jangka pan jang
ini dapat dipertemukan dengan berbagai sumber dana me lalui sebuah
lembaga perantara pembiayaan, yang sering disebut sebagai MDF (Mu
ni cipal Development Fund).
Terdapat 7 (tujuh) alasan mengapa Indonesia memerlukan kehadiran
MDF dalam pembiayaan infrastruktur daerah:
1. Sebagai sumber pembiayaan jangka panjang untuk infrastruktur daerah.
2. Menutup gap (celah) dalam penyediaan infrastruktur daerah, baik se cara
kuantitas maupun kualitas infrastruktur.
RINGKASAN EKSEKUTIF xv
3. Melengkapi pasar penyediaan infrastruktur daerah, khususnya untuk
pa sar pembiayaan infrastruktur lingkungan (environmental infra struc
ture) yang bersifat nonrevenue generating.
4. Masih adanya berbagai keterbatasan pada skema pinjaman daerah saat
ini, baik pinjaman dari Pemerintah Pusat lewat Pusat Investasi Pe merintah
maupun mekanisme penerusan pinjaman (SLA), pinjaman dari lembaga
keuangan bank dan non-bank, maupun penerbitan surat utang.
5. Memenuhi kebutuhan untuk penyediaan pinjaman yang kompetitif.
6. Kebutuhan untuk memupuk modal bagi pembiayaan infrastruktur di
masa depan, yang dapat dilakukan melalui penerbitan obligasi, sa ham
khusus, saham biasa, pinjaman kepada pihak luar, dan ku mu lasi ke un-
tungan usaha.
7. Mengurangi biaya transaksi pembiayaan proyek-proyek infrastruktur
daerah. Dalam jangka panjang, MDF juga dapat melakukan pengum pul-
an (pooling) berbagai proyek infrastruktur daerah, untuk kemudian diter-
bitkan obligasi dalam jumlah yang signifikan dalam rangka mem biayai
semua proyek tersebut di daerah.
Bentuk MDF yang optimal bagi Indonesia adalah MDF yang menya lurkan
Pinjaman daerah secara langsung kepada Pemerintah Daerah (first-tier)
dan memiliki kelembagaan berbentuk BUMN.
• Dengan kondisi saat ini, bentuk MDF yang optimal untuk Indonesia ada-
lah institusi yang memberikan pinjaman kepada daerah, bukan yang
memberikan hibah, dan juga tidak bertindak sebagai Bank Obligasi yang
membeli obligasi dari Pemerintah Daerah.
• Selain itu institusi MDF Indonesia adalah MDF yang memberikan pin jam-
an langsung kepada Pemerintah Daerah (firsttier), dan bukanlah MDF
yang menyalurkan pinjaman daerah melalui lembaga keuangan lain
(secondtier).
• Berdasarkan analisa kelembagaan menggunakan 12 (dua belas) aspek ber-
ikut ini: pertanggungjawaban (liability), orientasi perusahaan, inves tasi,
permodalan, keputusan untuk memberikan pinjaman, sumber pen dana an,
proteksi pinjaman, peraturan pendirian, koordinasi, manajemen, pasar mo-
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAHxvi
dal, dan pengawasan, dapat disimpulkan bahwa bentuk terbaik untuk
institusi MDF di Indonesia adalah BUMN (Badan Umum Milik Ne gara).
Terdapat 3 (tiga) opsi kelembagaan MDF dalam jangka pendek, yaitu (1)
Transisi melalui BUMN yang ada saat ini, (2) Transisi melalui BLU yang
ada saat ini, dan (3) Membuat BLU Baru.
1. Transisi melalui BUMN yang ada:
Saat ini terdapat PT. SMI (Sarana Multi Infrastruktur) sebagai BUMN yang
bergerak dalam pembiayaan infrastruktur nasional dan daerah, terutama
melalui mekanisme PPP (Public Private Partnership). Apabila PT. SMI di-
minta melaksanakan fungsi MDF tersebut, maka MDF ini akan menjadi
unit di bawah PT. SMI yang khusus melakukan pinjaman infra struktur
ke pada Pemerintah Daerah. Untuk melaksanakan kewajiban ini, PT. SMI
memerlukan peningkatan instrumen keamanan pinjaman, yang dapat
diusulkan kepada Pemerintah: (1) PT. SMI dapat melakukan intercept
DAU (Dana Alokasi Umum), (2) PT. SMI dapat meminta jaminan aset dari
Pemerintah Daerah, (3) PT. SMI dapat meminta komitmen dari DPRD
me lalui penerbitan Perda. Selain itu, PT. SMI memiliki kepentingan men-
jaga credit rating-nya, Penyertaan Modal Negara (PMN) sebagai modal
awal MDF lebih baik dicatatkan sebagai hibah ekuitas dibandingkan
de ngan utang, karena langsung mempengaruhi DebttoEquity Ratio
(DER), aktivitas MDF juga dapat dicatatkan dalam buku terpisah (sub
ledger).
2. Transisi melalui BLU yang ada:
Saat ini BLU yang telah aktif melakukan pinjaman daerah adalah PIP
(Pu sat Investasi Pemerintah). Sebagai pengelola kekayaan negara untuk
diinvestasikan (sovereign wealth fund) (PP 1/2008), PIP memiliki mandat
yang sangat luas baik dalam skala maupun cakupan tujuan manfaat. Di
lain pihak, tujuan dan skala MDF sangat spesifik tetapi memerlukan ke-
le luasaan ruang gerak yang sulit dilakukan jika masuk dalam sistem
birokrasi. Seandainya MDF dimasukkan ke dalam PIP, maka ada tambahan
tugas baru untuk PIP, yang memerlukan penyesuaian yang tidak se der-
hana untuk mencapai tujuan MDF. Selain itu, mengingat bahwa da lam
RINGKASAN EKSEKUTIF xvii
jangka menengah, MDF yang ideal haruslah berbentuk BUMN, maka
diperlukan sebuah mekanisme transisi dari bagian BLU menjadi BUMN
yang harus dilakukan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun. Momen pen-
tahapan ini sangat penting, mengingat bahwa menjadi MDF yang kom-
petitif haruslah MDF yang dapat mengakses pasar modal secara leluasa,
yang hanya dapat dilakukan oleh BUMN.
3. Transisi dengan mendirikan BLU baru:
Mendirikan BLU baru adalah sebuah opsi dengan maksud tidak meng-
ganggu sistem di PIP sebagai pilihan transisi, karena untuk mencapai
tujuan efektif MDF perlu dalam format BUMN. Namun pada akhirnya
harus tetap diingat bahwa secara konteks tujuan besar, yaitu untuk men-
jadi sebuah MDF potensial dalam jangka menengah dan jangka panjang,
maka pengalaman internasional membuktikan bahwa bentuk BLU baru
inipun bukanlah bentuk optimal untuk sebuah pendirian MDF. Jadi, bila
opsi membentuk BLU baru ini yang akan dipilih, maka diperlukan juga
sebuah tahapan, yang memungkinkan bahwa bentuk BLU ini akan
menjadi bentuk BUMN di dalam jangka menengah.
Untuk menjadi MDF yang potensial, setidaknya perlu dibuat sebuah de-
sain kebijakan yang meliputi 7 (tujuh) kebijakan strategis:
1. Desain Insentif: Insentif dapat diberikan dalam bentuk fiskal dan non-
fiskal. Insentif fiskal dapat diberikan dalam bentuk subsidi modal, subsidi
bunga pinjaman, atau masa tenggang waktu memulai cicilan pemba-
yaran.
2. Struktur Modal: Struktur modal awal MDF dapat berupa 100% modal
atau dengan komposisi modal-utang. Modal murni dapat menekan
biaya pinjaman, jika dipandang dari sisi neraca keuangan institusi karena
tanpa cost of funds; walaupun opportunity cost dari alokasi tersebut
harus di pertimbangkan dari sisi kebijakan fiskal. Sumber modal murni
dapat berasal dari swasta atau non-swasta
3. Model Pengelolaan: Pengelolaan MDF harus bersifat independen,
profesional, dan efisien. Dewan direksi dipagari oleh prinsip hard budget
constraint sehingga tidak ada dana tambahan Pemerintah untuk menu-
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAHxviii
tup kerugian karena kesalahan manajemen. Sistem reward and punish
ment juga harus mengacu pada pasar.
4. Proteksi Pinjaman: Pinjaman selalu mengandung risiko gagal bayar
(NonPerforming Loan, atau NPL). Lembaga pinjaman harus mempunyai
cara untuk meminimasi risiko gagal ini. Desain dari proteksi pinjaman
akan memerlukan beberapa perubahan dalam Undang-undang maupun
cukup berupa peraturan Menteri.
5. Kriteria Pemerintah Daerah yang Berhak Meminjam: Jika Pemda me-
mang belum mampu meminjam, maka seharusnya mendapatkan sum-
ber pembiayaan lain seperti hibah. Pinjaman diberikan hanya pada dae-
rah yang mempunyai kapasitas untuk membayar pinjaman dengan
kri teria meminjam yang jelas dan transparan.
6. Kelembagaan MDF: Dari uraian sebelumnya, untuk membentuk MDF
yang independen, profesional, dan efisien, dari berbagai bentuk institusi
yang telah dielaborasi, solusi ideal mengerucut pada pembentukan
sebuah BUMN baru. Dalam jangka pendek telah diuraikan beberapa opsi
yang dapat dipilih oleh Pemerintah.
7. Kerjasama dengan Entitas Lain: MDF perlu menjalin kerjasama dengan
berbagai pihak untuk penyediaan Technical Assistance dan Capacity
Building ke Pemda.
1
1
Pendahuluan
Dengan diberlakukannya otonomi daerah di Indonesia, maka keber-
hasilan pembangunan ekonomi daerah menjadi salah satu kunci
ke berhasilan pem bangunan ekonomi nasional. Langkah penting
yang harus diambil oleh Pe merintah adalah pengembangan strategi
pemberdayaan perekonomian dae rah melalui pembangunan infrastruktur—
khususnya di daerah perkota an1—sebagai simpul penghubung pertumbuhan
ekonomi di daerah.
Kawasan perkotaan merupakan mesin utama perekonomian, di mana
setengah kegiatan perekonomian dunia berjalan. Kini, kawasan perkotaan di
berbagai negara dihadapkan pada tantangan laju urbanisasi yang tinggi.
Distribusi populasi perkotaan dunia diperkirakan akan mencapai angka 70%
pada tahun 2050 (UNDESA, 2012).
Tren yang sama juga terjadi di Indonesia. Selama kurun waktu 50 tahun
terakhir, telah terjadi peningkatan yang signifikan dari proporsi populasi per-
1 Yang dimaksud dengan “perkotaan” adalah daerah yang memiliki ciri-ciri urban, dan bukan se cara khusus merujuk kepada daerah dengan klasifikasi Kota menurut Kementerian Dalam Ne geri. Di masa kini, banyak Kabupaten yang juga telah menunjukkan ciri-ciri urban (Simatupang, 2008).
1
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH2
kotaan terhadap total populasi (lihat Tabel 1), yaitu dari dari 17,2 % di ta hun
1971 menjadi 49,8% di tahun 2010.
Tabel 1. Penduduk Urban dan Rural di Indonesia
Tahun Penduduk Urban(juta jiwa)
Penduduk Rural(juta jiwa)
Total(juta jiwa)
Penduduk Urban
(%)
1971 20,5 98,9 119,4 17,17
1980 32,8 114,1 146,9 22,33
1990 55,5 123,8 179,3 30,95
2000 85,8 117,7 203,5 42,16
2010 118,3 119,3 237,6 49,79
Sumber: diolah dari data Sensus 2010 BPS (www.bps.go.id)
Gambaran yang lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 2. Pada tahun 2005,
hanya terdapat 6 provinsi (di luar DKI Jakarta) yang memiliki proporsi pendu-
duk urban lebih dari 50% total populasi. Pada akhir tahun 2025, diperkirakan
jumlah itu akan meningkat menjadi 26 provinsi. Laju urbanisasi yang sangat
tinggi tergambarkan dari selisih jumlah penduduk urban dalam periode 2025-
2005 tersebut: Provinsi Jawa Tengah dan Lampung akan bertambah proporsi
populasi urbannya sebanyak 25,2% selama kurun waktu 20 tahun. Sehingga,
sekitar 68% populasi Indonesia akan hidup di wilayah perkotaan pada akhir
tahun 2025. Peningkatan populasi urban ini terutama akan terjadi di 25-30
kota megapolitan dan metropolitan yang kini ada.
Tabel 2. Persentase Penduduk Urban Per Provinsi di Indonesia, 2005-2025
Provinsi 2005 2015 2025Selisih 2025-2005
DKI Jakarta 100,0 100,0 100,0 0,0
DI Yogyakarta 64,3 75,2 82,8 18,5
Banten 60,2 73,0 81,5 21,3
PENDAHULUAN 3
Provinsi 2005 2015 2025Selisih 2025-2005
Jawa Barat 58,8 72,4 81,4 22,6
Bali 57,7 70,7 79,6 21,9
Kalimantan Timur 62,2 69,9 75,9 13,7
Jawa Tengah 48,6 63,1 73,8 25,2
Jawa Timur 48,9 63,1 73,7 24,8
Riau 50,4 62,1 71,1 20,7
Nusa Tenggara Barat 41,9 55,2 66,0 24,1
Sulawesi Utara 43,4 55,7 65,7 22,3
Kepulauan Bangka Belitung 47,8 56,5 63,9 16,1
Sumatera Utara 46,1 54,4 63,5 17,4
Kalimantan Selatan 41,5 51,6 60,6 19,1
Kalimantan Tengah 34,0 47,2 58,8 24,8
Bengkulu 35,2 46,5 56,5 21,3
Sumatera Barat 34,3 45,3 55,6 21,3
Sumatera Selatan 38,7 47,0 54,6 15,9
Gorontalo 31,3 42,8 53,2 21,9
Lampung 27,0 39,8 52,2 25,2
Nanggroe Aceh Darussalam 28,8 39,7 49,9 21,1
Jambi 32,4 40,6 48,4 16
Sulawesi Selatan 32,2 38,8 46,7 14,5
Kalimantan Barat 27,8 34,8 43,7 15,9
Sulawesi Tenggara 23,0 28,5 35,5 12,5
Maluku Utara 29,7 31,5 33,6 3,9
Sulawesi Tengah 21,0 24,9 29,9 8,9
Maluku 26,1 27,9 29,9 3,8
Nusa Tenggara Timur 18,0 23,5 29,3 11,3
Papua 22,8 24,3 26,0 3,2
Sumber: diolah dari estimasi BPS & LD FEUI dalam datastatistikindonesia.com
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH4
Kawasan perkotaan selama ini menjadi pusat pertumbuhan ekonomi di
Indonesia. Pertumbuhan penduduk perkotaan akan berimbas kepada me ning-
katnya kebutuhan terhadap berbagai layanan publik dan terutama, in fra-
struktur. Tanpa dibarengi penyediaan layanan publik dan infrastruktur yang
baik, urbanisasi justru dapat menghambat kemajuan pertumbuhan ekonomi
dan menurunkan kualitas hidup penduduk daerah tersebut.
Ketidaksiapan banyak Pemerintah Daerah dalam mengantisipasi urbani-
sasi terlihat dalam penyediaan berbagai infrastruktur dasar yang masih bu ruk.
Jumlah belanja modal Pemerintah Daerah tidak lebih dari 0,7% dari total PDRB
pada periode 1997-2009. Akibatnya, hanya 50% penduduk perkotaan di Indo-
nesia yang menikmati layanan air bersih, dengan proporsi yang semakin me-
nurun tiap tahun, sedangkan jaringan drainase hanya ada di 11 kota besar.
Juga, meskipun pasca-desentralisasi terdapat penambahan panjang jalan
yang signifikan, kondisi jalan di Indonesia justru semakin memburuk karena
minimnya pemeliharaan dan meningkatnya beban transportasi darat (Bank
Dunia, 2009).
Dengan kondisi tersebut, merupakan suatu prioritas genting bagi Peme-
rintah Daerah untuk memperbaiki perencanaan daerah, dan meningkatkan
kinerja penyediaan berbagai infrastruktur: transportasi, air, pengolahan lim-
bah, energi, komunikasi, dsb. Sementara beberapa tipe infratruktur relatif mu-
dah dipenuhi lewat penyediaan swasta (mis. energi, komunikasi) karena mudah
dikomersialkan, penyediaan infrastruktur-infrastruktur dasar lainnya membu-
tuhkan insentif dan intervensi dari pemerintah karena eksternalitasnya yang
tinggi, dan sifatnya yang viable secara ekonomi, tidak secara komersial. Con-
toh infrastruktur dasar adalah barang publik seperti jalan raya dan infrastruktur
lingkungan (environmental infrastructure) seperti pengolahan limbah, dan air.
Infrastruktur dasar memiliki ciri khas padat modal, dengan investasi ber-
sifat jangka panjang, serta memberikan eksternalitas tinggi kepada daerah-
daerah sekitarnya (interjurisdictional spillover). Sifat eksternalitas antardaerah
yang tinggi ini mengakibatkan tidak mudahnya membebankan retribusi atas
penggunaan fasilitas infrastruktur tersebut; pada umumnya hasil dari retribusi
ini tidak akan mampu menutup biaya investasi. Selain itu, perencanaan infra-
struktur lingkungan juga rawan dipengaruhi politik dan birokrasi.
PENDAHULUAN 5
Hal-hal di atas menyebabkan tipe infrastruktur tersebut tidak diminati oleh
pihak swasta, sehingga tidak dapat diharapkan untuk tersedia melalui meka-
nisme pasar. Padahal di sisi lain, dengan kapasitas anggaran yang terbatas—
dimana sebagian besar penerimaan adalah untuk pembayaran pegawai dan
kebutuhan rutin lainnya—Pemerintah Daerah telah terbukti sulit untuk dapat
menyediakan cukup infrastruktur dasar bagi masyarakatnya melalui ang-
garan.
Di masa lalu, pembiayaan untuk infrastruktur dasar mayoritas berasal
dari anggaran Pemerintah Pusat. Selain itu, pembiayaan juga berasal dari
hibah maupun pinjaman yang sebagian besar berupa pinjaman yang dite-
ruskan dari luar negeri (yakni Subsidiary Loan Agreement sebagai twostep
loan atau Penerusan Pinjaman Luar Negeri). Namun, praktik ini menuai ba-
nyak kritik. Karena perencanaannya yang bersifat topdown, acapkali program
yang dijalankan tidaklah sesuai dengan kebutuhan Pemerintah Daerah. Selain
itu, risiko kurs serta anuitas pinjaman menambah beban pinjaman Pemerintah
Daerah: pada akhirnya bunga pinjaman menjadi berkali lipat dibandingkan
pokoknya. Juga, pinjaman melalui skema SLA tidaklah berkesinambungan
ka rena berbasis program yang didorong oleh donor asing.
Skema lainnya yang kemudian dibuka, baik melalui Rekening Dana
Investasi (RDI), Rekening Pembangunan Daerah (RPD) pada masa Orde Baru,
maupun Pusat Investasi Pemerintah (PIP) pada masa reformasi, ternyata juga
tidak dapat diandalkan. RDI dan RPD—sebagai suatu rekening Pemerintah
Pusat—mengalami masalah supplydriven yang mirip dengan SLA, dan tidak
pernah mendapatkan kejelasan institusi. Sementara itu, pembiayaan melalui
PIP—meskipun telah mengadopsi sepenuhnya prinsip demanddriven, dan
dilaksanakan melalui Badan Layanan Umum yang diharapkan lebih lincah—
tetap tidak beranjak dari birokrasi yang panjang. Bunga yang cukup tinggi,
setara dengan bunga pasar, pun membuat skema pinjaman melalui PIP tidak
begitu atraktif bagi Pemerintah Daerah.
Tentu saja, di atas kertas juga telah diundangkan bahwa Pemerintah Dae-
rah dapat meminjam kepada pasar, baik kepada lembaga keuangan bank dan
non-bank, maupun lewat penerbitan surat utang. Namun regulasi pin jam an
daerah yang terlewat rigid (penerimaan dan aset daerah tidak diperbolehkan
sebagai pinjaman, surat utang hanya boleh diterbitkan melalui pasar modal,
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH6
dsb), justru menghambat Pemerintah Daerah untuk memanfaatkan dana yang
ada di pasar. Lembaga keuangan tidak ingin memberikan pinjaman ke pada
Daerah karena tidak adanya kolateral, sedangkan penerbitan surat utang me-
lalui pasar modal masih problematik di sisi municipality credit rating, ka rena
tidak adanya rujukan kinerja masa lalu untuk memeringkat keuangan Daerah.
Dengan berbagai kendala yang ada pada berbagai skema pembiayaan
infrastruktur yang telah ada—baik anggaran Pemerintah Daerah, skema-ske-
ma pinjaman daerah dari Pemerintah Pusat, maupun sumber pembiayaan
dari swasta—perlu suatu skema alternatif yang dapat memenuhi kebutuhan
Pemerintah Daerah akan sumber pembiayaan infrastruktur yang terbuka, ber-
kesinambungan, berbasis demanddriven, profesional, dan atraktif bagi Pe-
merintah Daerah. Hal ini dapat dilakukan melalui suatu perantara pembia ya-
an (financial intermediary) yang menghimpun dan menyalurkan dana kepada
Pemerintah Daerah.
Financial intermediary ini berupa suatu Municipal Development Fund
(MDF) yang dikhususkan untuk tujuan peningkatan infrastruktur, seperti yang
telah dijalankan di beberapa negara. Kajian MDF berikut ini adalah sebuah
upaya untuk lebih memahami sejauh mana MDF dapat dimanfaatkan diman-
faatkan sebagai sebuah instrumen pembiayaan untuk pembangunan infra-
struktur daerah di Indonesia. Dalam kajian ini akan dibahas secara rinci bebe-
rapa argumentasi tentang perlunya MDF dibangun di Indonesia serta rencana
pengembangan kelembagaan MDF di Indonesia.
1.1. Tujuan dan Pertanyaan Penelitian
Penelitian ini merupakan suatu penelitian aplikatif untuk mendukung peng-
ambilan kebijakan di bidang pinjaman daerah. Secara khusus, penelitian ini
dilatarbelakangi oleh beberapa tujuan:
a. Melakukan kajian terhadap pentingnya dibentuk MDF bagi Indonesia.
b. Melakukan kajian terhadap bentuk-bentuk institusi yang tepat agar MDF
dapat berfungsi sesuai yang diinginkan.
c. Melakukan kajian terhadap kebijakan-kebijakan pokok yang perlu diim-
plementasikan bila MDF berfungsi.
d. Melakukan inventori permasalahan dan solusinya dari MDF dalam men-
jalankan fungsi-fungsinya.
PENDAHULUAN 7
Laporan ini mencoba memenuhi tujuan penelitian dengan menjawab
beberapa pertanyaan di bawah ini:
a. Pinjaman Daerah untuk pembangunan infrastruktur dirasakan belum
optimal: Perlukah, tetapi perlukah Indonesia memiliki MDF?
b. Bila MDF dirasakan perlu untuk Indonesia, bentuk kelembagaan apakah
yang tepat untuk MDF?
c. Pokok-pokok kebijakan apa saja yang diperlukan oleh MDF untuk dapat
melaksanakan fungsi dan tugasnya?
1.2. Metodologi
Untuk menjawab ketiga pertanyaan riset, Tim Penulis menggunakan beberapa
metodologi yang digunakan:
a. Focus Group Discussion dengan berbagai pihak (Instansi Pusat, Daerah,
mitra pembangunan, serta lembaga keuangan) untuk mengetahui minat
dan kebutuhan daerah terhadap pembiayaan infrastruktur.
b. Analisis deskriptif terhadap berbagai data sekunder mengenai kondisi
infrastruktur dan pinjaman daerah kini.
c. Studi literatur untuk menganalisis dan membandingkan berbagai model
MDF di berbagai negara.
d. Institutional Development Process (Metode Analisa Kelembagaan).
Cakupan analisis ini antara lain mencakup regulasi, business process dan
kelembagaan MDF, sumber pendanaan MDF, pengelolaan MDF, dsb.
1.3. Sistematika Penulisan
Laporan ini dibagi menjadi beberapa bagian. Pada bagian pertama, 1. Penda-
huluan, dijelaskan latar belakang yang mendasari kajian mengenai MDF,
berikut Tujuan dan Pertanyaan Penelitian, Metodologi, serta Sistematika Pe-
nu lisan. Pada bagian kedua, 2. Kebutuhan Indonesia Terhadap Perantara Pem-
biayaan untuk Infrastruktur Daerah, Tim meneguhkan berbagai argumen yang
melatarbelakangi perlunya suatu perantara pembiayaan di Indonesia untuk
menjawab kondisi pembiayaan infrastruktur daerah saat ini. Bagian ketiga,
MDF: Prinsip, Karakteristik, dan Praktik Negara Lain, memaparkan hasil studi
literatur mengenai berbagai model MDF di negara lain. Analisis kelembagaan
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH8
mengenai model institusi MDF yang cocok untuk kasus Indonesia ada di ba-
gian keempat, 4. MDF Sebagai Alternatif Pembiayaan Infrastruktur Daerah di
Indonesia. Sementara itu, bagian selanjutnya, 5. Desain Kebijakan, mema par-
kan berbagai aspek yang perlu dipertimbangkan dalam desain kebijakan pen-
dirian MDF, 6. Kesimpulan dan Rekomendasi terangkum dalam bagian terakhir,
7. Daftar Pustaka, dan 8. Lampiran..
2
9
Kebutuhan Indonesia Terhadap Perantara Pembiayaan untuk Infrastruktur Daerah
Terdapat suatu celah yang besar dalam pembiayaan infrastruktur di Indo nesia. Skema-skema pembiayaan infrastruktur
yang telah ada tidak lah optimal—memiliki kendalanya masing-masing dan tidak mampu mem biayai kebutuhan infrastruktur, terutama infrastruktur dasar untuk kawasan perkotaan. Dibu tuh kan suatu terobosan bentuk pembiayaan infrastruktur baru melalui peran tara pembiayaan (financial intermediary) untuk dapat meng isi celah tersebut.
2.1. Kondisi Infrastruktur Daerah Saat Ini
Percepatan pembangunan infrastruktur daerah di Indonesia, khususnya di
kawasan perkotaan, membutuhkan tidak saja perencanaan yang baik, namun
2
‘‘’’
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH10
juga dukungan pembiayaan yang jelas. Dalam era desentralisasi, pemba ngun-
an infrastruktur publik di daerah menjadi tanggung jawah Pemerintah Dae-
rah. Sayangnya, keinginan untuk membangun layanan publik yang baik kadang
terkendala oleh kemampuan daerah menyediakan pendanaan untuk infra-
struktur tersebut.
Pendapatan Pemerintah Daerah yang berasal dari dana perimbangan mau-
pun Pendapatan Asli Daerah (PAD) bukanlah satu-satunya sumber pendanaan
untuk membangunan infrastruktur di perkotaan. Pemerintah Daerah dapat
memperoleh pembiayaan dengan melakukan pinjaman daerah, baik dengan
meminjam maupun menerbitkan surat utang. Di berbagai negara, kebutuhan
pembiayaan infrastruktur ini dapat dipertemukan dengan berbagai sumber
dana melalui sebuah lembaga perantara pembiayaan.
Mengingat kondisi infrastruktur daerah di Indonesia saat ini, dan menya-
dari besarnya kebutuhan untuk pelayanan publik di daerah, khususnya di ka wa-
san perkotaan di masa mendatang, pembentukan lembaga perantara pem bi-
aya an menjadi sangat penting. Beberapa alasan strategis yang melatarbe la kangi
pentingnya Indonesia untuk memiliki lembaga perantara pembiayaan untuk
pembiayaan infrastruktur dasar di daerah akan diuraikan dalam bagian ini.
2.1.1. Masih Besarnya Celah dalam Penyediaan Infrastruktur Daerah
Laju urbanisasi yang cepat telah menjadi tantangan utama bagi banyak ne-
gara di dunia—termasuk di Indonesia. Namun kuantitas dan kualitas infra struk-
tur dasar—terutama di perkotaan—masih cenderung buruk. Jaringan drainase
hanya ditemukan di 11 kota, hanya sekitar 2% dari penduduk perkotaan Indo-
nesia yang memperoleh akses terhadap sistem sanitasi. Selain itu, pada tahun
2009 hanya sekitar 50% penduduk di Indonesia yang memperoleh akses
terhadap air bersih, seperti yang terlihat dalam Gambar 1. Penduduk daerah
perdesaan mengalami perbaikan akses terhadap air bersih, tetapi kondisi pen-
duduk daerah perkotaan pasca-desentralisasi justru memburuk. Dapat di duga,
bahwa daerah perkotaan memiliki beban yang lebih besar akibat laju per-
tumbuhan penduduk yang lebih pesat.
KEBUTUHAN INDONESIA TERHADAP PERANTARA PEMBIAYAAN UNTUK INFRASTRUKTUR DAERAH 11
Gambar 1. Persentase Akses Penduduk terhadap Air Bersih (1993–2009)
Sumber: Bank Dunia (2012)
Gambaran lain dari keterbatasan fasilitas publik di perkotaan terlihat dari
kondisi jalan. Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi, panjang jalan di Kabupa-
ten dan Kota mengalami peningkatan sepanjang periode 1978-2008—khususnya
pada periode pasca-desentralisasi ketika terjadi peningkatan yang tajam (lihat
Gambar 2). Pertumbuhan total panjang jalan di Indonesia ditumpu oleh kinerja
pertumbuhan panjang jalan Pemerintah Kabupaten/Kota, dari 292 ribu kilo me-
ter pada tahun 2001 menjadi 353 ribu kilometer pada tahun 2007.
Gambar 2. Peningkatan Panjang Jalan Kota/Kabupaten dan Provinsi (ribu km)
Sumber: Bank Dunia (2013a)
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH12
Namun, bila dilihat dari Gambar 3, yakni ditinjau dari segi kualitas jalan,
maka kinerja Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota masih perlu diperbaiki.
Jumlah jalan Kabupaten/Kota yang memiliki kualitas baik masih berada di
bawah 40% dari total panjang jalan untuk periode 2001-2009, sementara
kondisi jalan yang jelek maupun rusak kurang lebih sekitar 40% juga dalam
periode yang sama. Ini menandakan masih buruknya kondisi jalan di Kabupa-
ten dan Kota.
Gambar 3. Kualitas Jalan Kabupaten/Kota di Indonesia (2001-2009)
Sumber: Bank Dunia (2013a)
Dari gambaran di atas, sangat nyata terdapat sebuah celah kebutuhan
yang signifikan terhadap investasi infrastruktur lingkungan (environmental
infrastructure) seperti air dan sanitasi. Selain itu, infrastruktur yang terkait de-
ngan transportasi, khususnya jalan, juga tampak mengalami celah kebutuhan
yang besar. Untuk itu, Pemerintah Daerah harus memikirkan strategi pembi-
ayaan yang tepat untuk infrastruktur lingkungan maupun transportasi yang
relatif masih sangat kurang.
Berdasarkan penelitian Tim Pokja Pinjaman Lunak pada tahun 2012, ter-
dapat celah yang signifikan antara kebutuhan daerah untuk pembangunan
infrastruktur dengan besarnya alokasi belanja modal terhadap pendapatan
daerah (Gambar 4). Pada penelitian terdahulu, kira-kira separuh responden
Pemerintah Daerah menjawab mereka hanya memiliki 10-40% kapasitas pem-
biayaan infrastruktur.
KEBUTUHAN INDONESIA TERHADAP PERANTARA PEMBIAYAAN UNTUK INFRASTRUKTUR DAERAH 13
Gambar 4. Kemampuan Pembiayaan Infrastruktur Daerah
Sumber: TADF (2012)
2.1.2. Terbatasnya Sumber Pembiayaan Jangka Panjang untuk Infrastruktur Daerah
Pada dasarnya, investasi infrastruktur perkotaan dapat dibagi menjadi 3 kate-
gori:
Pertama, adalah investasi yang bersifat barang publik murni, seperti
taman kota, jalan dalam kota, jembatan, yang pembiayaannya sepenuhnya
dapat berasal dari pajak dan pinjaman daerah.
Kedua, adalah investasi yang lebih memiliki sifat seperti barang swasta
(private goods), yaitu air bersih dan tempat pembuangan sampah. Untuk ka-
tegori ini, pembiayaan dapat berasal dari retribusi. Namun demikian, bila retri-
busi diterapkan sepenuhnya dalam rangka penggantian biaya investasi, maka
dapat dipastikan bahwa tarif retribusi akan tinggi. Oleh karena itu, pada umum-
nya tarif retribusi disubsidi untuk mengurangi tingginya tarif yang dibebankan
kepada masyarakat pengguna.
Ketiga, proyek investasi yang menghasilkan penerimaan (revenue gene
rating projects) seperti jalan tol maupun jembatan berbayar. Untuk jenis inves-
tasi ini, maka pembiayaannya dapat sepenuhnya berasal dari pungutan yang
dibebankan kepada pengguna fasilitas infrastruktur tersebut.
Dengan melihat ke 3 jenis kategori investasi tadi, setidaknya untuk inves-
tasi kategori pertama dan kedua sangat membutuhkan peran dari pendapatan
daerah. Selain itu beberapa jenis investasi pada infrastruktur lingkungan dan
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH14
trasportasi, membutuhkan pembiayaan dengan jangka waktu lebih dari satu
tahun anggaran (multiyear investment).
Bila investasi tersebut akan sepenuhnya dibiayai sendiri melalui sumber
pendapatan Pemerintah Daerah, maka terdapat keterbatasan, karena pada
umumnya anggaran belanja Pemerintah Daerah sudah tidak lagi fleksibel,
karena telah terikat kepada berbagai kebutuhan wajib tertentu dan untuk
pembiayaan satu tahun anggaran. Sebagai gambaran, berikut ini adalah ber-
bagai kemungkinan sumber pendapatan Pemerintah Daerah dan keterbatas-
annya:
Dana Alokasi Umum (DAU): Meskipun transfer Pemerintah Pusat (uta-
manya DAU) menjadi pendapatan yang besar bagi banyak Pemerintah Daerah
di Indonesia, komponen belanja pegawai masih menjadi komponen paling
signifikan dalam belanja Pemerintah Daerah.
Gambar 5. Profil Belanja Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
Sumber: diolah dari Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (2012)
Sekitar 40% dari belanja Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota merupakan
belanja pegawai, apabila dibandingkan dengan pendapatan DAU, maka pen-
dapatan DAU di hampir semua Kabupaten/Kota habis untuk belanja pega wai,
seperti yang terlihat dalam Gambar 5 di atas.
KEBUTUHAN INDONESIA TERHADAP PERANTARA PEMBIAYAAN UNTUK INFRASTRUKTUR DAERAH 15
Dana Alokasi Khusus (DAK): Beberapa DAK saat ini memang ditujukan
untuk pembangunan infrastruktur di daerah, misalnya DAK untuk pembangun-
an jalan. Namun demikian, berdasarkan peraturan yang ada, penetapan besar-
nya DAK dilakukan setiap tahun, dan tidak berbasis kepada multiyear invest
ment. Oleh karena itu untuk infrastruktur yang tidak dapat diselesaikan da lam
satu tahun anggaran, akan mengalami ketidakpastian.
Dari uraian di atas, sangatlah jelas bahwa saat ini Pemerintah Daerah masih
sangat memerlukan sumber dana pembiayaan infrastruktur dengan keterba tas-
an pendapatan yang dimilikinya saat ini, terutama untuk pembiayaan yang ber-
si fat multiyear (lebih dari satu tahun anggaran). Dalam kaitan ini, maka lem baga
MDF memiliki kapasitas untuk mengumpulkan berbagai sumber dana yang
dapat dialokasikan untuk membiayai investasi jangka menengah dan panjang.
2.1.3 Pasar Pembiayaan Infrastruktur Sebagai Suatu Incomplete Market
Berdasarkan uraian sebelumnya dapat disampaikan bahwa kebutuhan pem-
biayaan infrastruktur di perkotaan sangatlah besar, namun secara makro-
ekonomi ketersediaan sumber dananya masih terbatas. Keterbatasan skema
pembiayaan infrastruktur yang ada saat ini dapat dilihat dalam Gambar 6.
1. Skema pembiayaan infrastruktur melalui mekanisme PPP, umumnya
diminati untuk pembiayaan infrastruktur yang bersifat komersial, yaitu
jalan tol, bandar udara, pelabuhan, pasar. Pemerintah Indonesia telah
ber upaya agar mekanisme pembiayaan PPP ini dapat berjalan dengan
baik, tetapi mekanisme ini masih mengalami berbagai hambatan dalam
implementasinya di Indonesia. Meskipun suatu saat PPP akan dapat ber-
kembang, tetapi pembiayaan via PPP tidak dapat dijadikan tumpuan
untuk infrastruktur dasar, karena hanya cocok untuk diterapkan untuk
proyek-proyek dengan karakteristik tertentu. Di negara maju seperti Ing-
gris dan Afrika Selatan, pembiayaan PPP hanya sekitar 5-10% dari total
pembiayaan infrastruktur, sedangkan di Australia dan Korea sekitar 10-
15%.
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH16
2. Pinjaman langsung dari perbankan: bagi perbankan, pinjaman untuk
pembangunan infrastruktur, khususnya kepada Pemerintah Daerah, ma-
sih dianggap kurang menarik karena setidaknya dua alasan: (1) Ting kat
pengembalian investasi untuk infrastruktur umumnya lama. (2) Risiko
gagal bayar (default) dari Pemerintah Daerah masih cukup tinggi. Oleh
karena itu, sumber pendanaan dari perbankan dan lembaga keuangan
non-bank menjadi sangat terbatas. Pilihan pinjaman langsung dari bank
dan lembaga keuangan non-bank masih belum berkembang di Indo-
nesia.
3. Pembiayaan dari APBD. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, pem-
biayaan melalui APBD masih sangat terbatas. Melihat keterbatasan keuang-
an daerah pada umumnya, maka sumber pembiayaan dari APBD hanya
mampu untuk melakukan perbaikan secara marjinal pada fasilitas publik
yang mengalami kerusakan, seperti jalanan kota, taman dan lampu jalan.
Sifatnya lebih kepada rehabilitasi daripada investasi baru.
4. Pembiayaan investasi daerah yang bersifat multi-year melalui lem-
baga perantara pembiayaan (financial intermediaries). Skema pen-
da naan ini memiliki potensi yang sangat tinggi untuk dikembangkan di
Indonesia. Fokus dari pembiayaannya adalah pembangunan fasilitas da-
sar publik, seperti air bersih, sanitasi, tempat pembuangan sampah dan
transportasi dalam kota. Pertimbangannya tidak semata-mata dari segi
keuangan, namun lebih pada segi efisiensi ekonomis, jadi bukanlah se-
mata-mata proyek yang menghasilkan pendapatan (revenuegenerating
projects). Saat ini dapat dikatakan bahwa terjadi kevakuman (ketiadaan)
pembiayaan untuk kebutuhan investasi ini. Yang terjadi saat ini masih
me rupakan pinjaman dari Pusat, yang dikelola melalui sistem pinjaman
SLA (Subsidiary Loan Agreement) yang sangat terbatas dan tidak pasti.
Oleh karena itu, salah satu bentuk ideal untuk memenuhi kekosongan
pasar ini adalah dengan membentuk lembaga perantara pembiayaan
seperti MDF (Municipal Development Fund).
KEBUTUHAN INDONESIA TERHADAP PERANTARA PEMBIAYAAN UNTUK INFRASTRUKTUR DAERAH 17
--------------
Skema pembiayaan PPP (Public-Private Partnership), penerbitan obligasiProyek berskala besar, berjangka panjang, yang menciptakan penerimaan dan menarik bagi swasta. Jumlahnya terbatas.
--------------
Pinjaman langsung dari perbankanProyek berskala menengah dan besar, yang dianggap bankable. Saat ini tidak berkembang karena bank menganggap pinjaman daerah berisiko.
--------------
Pembiayaan investasi daerah yang bersifat multi-year melalui lembaga perantara pembiayaan (financial intermediary)Proyek berskala dan berjangka menengah dan panjang, umumnya tidak dapat menciptakan penerimaan karena eksternalitas yang tinggi. Proyek-proyek ini saat ini tidak memiliki dukungan pembiayaan yang jelas, sehingga ada bagian yang tak lengkap dalam pembiayaan infrastruktur perkotaan.
--------------
Pembiayaan melalui APBDPemeliharaan dan proyek berskala kecil dengan jangka pendek.
Gambar 6. Incomplete Market Pembiayaan Infrastruktur Perkotaan
Sumber: Bank Dunia (2013c)
Pembiayaan yang belum ada sumber dananya: IDR 300-400 Triliun (Nominal 2012)
Gambar 7. Pembiayaan Infrastruktur di Indonesia
Pilihan Pembiayaan:
1. PPP + Privatisasi (terbatas)2. Pinjaman komersial (bank):
mahal dan umumnya jangka pendek
3. Bonds dan Pasar Modal: belum siap
4. Pinjaman dari Lembaga Keuangan/Bank Pembangunan
MDF mengisi sebagian peran ini
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH18
Apabila kebutuhan belanja infrastrukur di Indonesia dihitung secara kasar
(10% dari Produk Domestik Bruto), maka pembiayaan infrastruktur di Indo-
nesia membutuhkan sumber pembiayaan lain sebesar 300-400 triliun rupiah
per tahun. Tentu saja, sebagian dari belanja ini akan disumbangkan oleh privat.
Namun, belanja infrastruktur privat menunjukkan tren menurun (Bank Dunia,
2013a). Pilihan pembiayaan lain yang dapat dilakukan adalah PPP dan priva-
tisasi, maupun utang oleh Pemerintah, baik melalui pinjaman maupun pener-
bitan obligasi. MDF akan membantu mengisi sebagian celah pembiayaan me-
lalui pinjaman dari lembaga keuangan non-bank kepada Pemerintah Dae rah.
2.2. Keterbatasan Skema Pinjaman Daerah Saat ini
Skema pinjaman yang tersedia bagi Pemerintah Daerah saat ini adalah melalui
SLA (Subsidiary Loan Agreement) dan pinjaman daerah yang dilakukan oleh
PIP (Pusat Investasi Pemerintah). Di masa lalu pernah terdapat mekanisme
pinjaman melalui Rekening Dana Investasi (RDI) dan Rekening Pembangunan
Daerah (RPD), yang dianggap bermasalah, sehingga tidak lagi dilanjutkan.
Pada masa lalu, pinjaman SLA—terutama yang berada di bawah program
IUIDP (Integrated Urban Infrastructure Development Program)—telah dikritik
atas sifatnya yang supplydriven, yang didesain oleh lembaga donor asing
tanpa melibatkan Pemerintah Daerah dalam perencanaannya (Lewis, 2007).
RPD kemudian didirikan pada tahun 1988 sebagai respon terhadap permin-
taan Pemerintah Daerah akan mekanisme pembiayaan infrastruktur yang
lebih baik dibandingkan dengan SLA, terutama dari sisi kecocokan permintaan
Pemerintah Daerah akan pembiayaan. Meskipun ada sedikit perbaikan, seba-
gian besar proyek yang didanai RPD masih berupa proyek yang direncanakan
oleh Pemerintah Pusat (Departemen Pekerjaan Umum).
Mekanisme pinjaman SLA, RDI, dan RPD telah digunakan Pemerintah
Indo nesia untuk menyalurkan pinjaman jangka panjang kepada Provinsi,
Kabupaten/Kota, dan PDAM (BUMD). Secara jumlah, pinjaman Pemerintah
Daerah lewat mekanisme SLA dan RPD sangat kecil; sepanjang tahun 1975-
2004 hanya ada 838 transaksi pinjaman. Umumnya, jangka waktu pinjaman
SLA, RDI, dan RPD adalah sekitar 18-20 tahun, dengan grace period selama
3-5 tahun, dengan komposisi cicilan-pokok berupa anuitas (Lewis, 2007).
KEBUTUHAN INDONESIA TERHADAP PERANTARA PEMBIAYAAN UNTUK INFRASTRUKTUR DAERAH 19
Saat ini, skema pinjaman SLA jumlahnya relatif terbatas dan akses pinja-
mannya pun tidak terbuka (no open access) bagi semua Pemerintah Daerah.
Pada umumnya Pemerintah Pusat telah memiliki ketentuan tentang daerah
yang dapat memperoleh fasilitas pinjaman SLA. Mekanisme pinjaman SLA juga
tidak kompetitif, tidak memiliki kriteria penetapan yang jelas (non criteria
based lending). Bila dilihat praktek pinjaman SLA yang pernah terjadi, misalnya
pinjaman SLA kepada PDAM untuk penyediaan air bersih, tampak bahwa pin-
jaman tersebut diberikan tanpa kriteria yang jelas. Sebagai akibatnya, bebe-
rapa PDAM yang tidak memiliki kinerja keuangan yang baik juga tetap mem-
peroleh kesempatan meminjam, dan menimbulkan banyak kejadian gagal
bayar pada sejumlah PDAM. Non Performing Loan (NPL) pada PDAM sangatlah
besar, dan belum terselesaikan hingga saat ini.
Tabel 3. Pemerintah Daerah Kreditor dengan Outstanding Debt
per 31 Desember 2012
Pemerintah Daerah BUMD
RDI 8 13
RPD 79 195
SLA 144 197
Jumlah 231 405
Sumber: Direktorat Jenderal Perbendaharaan (2012)
Pada tahun 2010, utang jatuh tempo Pemerintah Daerah dan PDAM me-
lalui mekanisme SLA, RDI, dan RPD, adalah sebesar 5,1 Trilliun rupiah. Sebagian
besar utang ini adalah utang PDAM, dimana dari 205 PDAM yang mendapatkan
pinjaman, 175 menunggak (Direktorat Jenderal Perbendaharaan, 2010). Bu-
ruknya tingkat gagal bayar PDAM telah memaksa Pemerintah Pusat untuk me-
lakukan restrukturisasi utang. Pada tahun 2012, kredit pokok macet Peme-
rin tah Daerah tetap didominasi oleh BUMD PDAM, dengan total kredit pokok
macet sejumlah 564 miliar rupiah (lihat Tabel 4).
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH20
Tabel 4. Jumlah Pokok Kredit Macet Pemerintah Daerah
per 31 Desember 2012
(juta rupiah)
Pemerintah Daerah BUMD Jumlah
RDI 13.489 8.604 22.093
RPD 26.090 349.220 375.311
SLA 44.872 206.645 251.517
Total 84.451 564.469 648.920
Sumber: Direktorat Jenderal Perbendaharaan (2012)
Gagalnya SLA, RDI, dan RDP sebagai sumber pembiayaan infrastruktur
daerah berbasis pinjaman, serta stagnannya pinjaman daerah kepada lem-
baga keuangan bank, membuat Pemerintah Pusat memberi mandat kepada
Badan Layanan Umum (BLU) Pusat Investasi Pemerintah (PIP) untuk menja-
lankan fungsi sebagai lembaga penyalur pinjaman daerah.
Tahun 2013, PIP menyalurkan pinjaman daerah sebesar 1,56 triliun
rupiah. Jumlah yang sangat kecil bila dibandingkan dengan total kelolaan
dana PIP sebesar 26,4 triliun rupiah pada tahun yang sama. Fungsi lembaga
penyedia pinjaman daerah yang tidak maksimal ini ditengarai akibat berben-
turan dengan mandat lain yang juga dijalankan PIP, yakni sebagai lembaga
pengelola sovereign wealth fund, yang merupakan mandat utamanya.
Di luar itu, Pemerintah Daerah mengeluhkan panjangnya birokrasi dan
tingginya bunga pinjaman yang diberikan oleh PIP. Cukup banyak juga usulan
pembiayaan proyek kepada PIP yang tidak disetujui, karena berbagai persya-
ratan yang kurang. Salah satu yang dianggap menyulitkan Pemerintah Daerah
adalah diperlukannya Peraturan Daerah yang disetujui DPRD sebagai wujud
komitmen melakukan pinjaman kepada PIP. Selain itu Pemerintah Daerah
ma sih menganggap ketentuan tingkat bunga yang diberikan PIP masih diang-
gap tinggi, dimana tinggi bunga adalah berbasis kepada tingkat bunga SBI
ditambah tingkat bunga untuk menutup administrasi dan keuntungan, yang
berakibat berkurangnya minat Pemerintah Daerah meminjam kepada PIP.
KEBUTUHAN INDONESIA TERHADAP PERANTARA PEMBIAYAAN UNTUK INFRASTRUKTUR DAERAH 21
Gambar 8. Pinjaman dan Belanja Modal Daerah Sebagai Persentase
Terhadap Belanja Daerah (Riil)
Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (2012)
Berbagai mekanisme pinjaman daerah yang telah ada masih belum da-
pat mengembangkan kinerja pinjaman daerah. Meskipun terlihat tren positif
dalam lima tahun terakhir, pinjaman daerah masih merupakan setitik kecil
komponen anggaran Pemerintah Daerah, dengan proporsi pinjaman daerah
Provinsi/Kabupaten/Kota selama 5 tahun berturut-turut konsisten di bawah
1% apabila dibandingkan dengan total belanjanya. Selama 5 tahun terakhir,
(2007-2012), belanja modal daerah stagnan dan cenderung menurun, dari
kisaran sepertiga total belanja daerah, menjadi di bawah seperempat total
belanja daerah (22,27%).
2.3. Besarnya Biaya Transaksi Pembiayaan Proyek Infrastruktur Daerah
Pembiayaan infrastruktur di mata Pemerintah Daerah membutuhkan belanja
modal yang besar, yang mana memerlukan keterlibatan sektor swasta untuk
turut meningkatkan kemampuan pembiayaan ini. Idealnya dapat diperoleh
biaya yang murah untuk jangka panjang, sehingga APBD dapat juga diman-
faatkan optimal untuk keperluan lainnya.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang relatif tinggi dewasa ini mening-
katkan kemampuan penawaran dana dari pihak swasta, yang dapat diman-
faatkan untuk membiayai proyek infrastruktur. Namun, proyek infrastruktur
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH22
daerah, khususnya infrastruktur lingkungan, masih belum menjadi minat bagi
investor swasta ini, karena dua alasan: pertama, pada umumnya pinjaman
daerah yang dibutuhkan untuk pembiayaan proyek ini tidaklah besar, yang
berakibat tingginya biaya transaksi. Kedua, beragamnya sumber-sumber pen-
dapatan daerah yang dipergunakan untuk membiayai bunga pinjaman (debt
service), yang memiliki beragam risiko yang berbeda.
Tabel 5. Ringkasan Persyaratan Pinjaman Daerah
Investasi Pemerintah
PusatPPLN LK Bank/Non-
BankSurat Utang
Pemangku kepenting-an
Kemenkeu Kemenkeu, Kemendagri
Kemenkeu, Kemendagri, Gubernur
Kemenkeu
Kisaran bunga
> Bunga pasar 11,5%-11,75% (Lewis, 2007)
> Bunga pasar Belum ada contoh
Dokumen untuk appraisal
RPJMD, audit WTP 3x berturut-turut, APBD, persetujuan DPRD, dsb
Rekomendasi Kemendagri, RPJMD, audit WTP 3x berturut-turut, APBD, persetujuan DPRD, dsb
Rekomendasi Kemendagri, RPJMD, audit WTP 3x berturut-turut, APBD, persetujuan DPRD, dsb
Persetu-juan DPRD, credit rating (hingga saat ini hanya ada shadow rating), dsb
Status Terbatas Terbatas, mayoritas supplydriven
Terbatas Belum ada contoh
Jangka Menengah & Panjang
Menengah & Panjang
Pendek-Panjang
Panjang
Lama proses
>1 tahun > 1 tahun > 1 tahun Belum ada contoh
Jaminan Tidak ada Tidak ada Tidak ada Kegiatan serta barang yang melekat pada kegiatan tsb
KEBUTUHAN INDONESIA TERHADAP PERANTARA PEMBIAYAAN UNTUK INFRASTRUKTUR DAERAH 23
Tabel 5 tersebut di atas menunjukkan bahwa persyaratan pinjaman
daerah masih tergolong tinggi, misalnya tingkat bunga. Selain itu prosedur
yang diperlukan dalam melakukan proses pinjaman daerah juga harus meng-
ikuti prosedur yang panjang, yaitu perlunya persetujuan DPRD.
Oleh karena itu, dibutuhkan suatu lembaga perantara pembiayaan yang
dapat mengurangi biaya transaksi pinjaman daerah, baik lewat prosedur
yang lebih dipermudah, maupun lewat inovasi baru. Misalnya, mengumpulkan
(pooling) berbagai kebutuhan investasi Pemerintah Daerah ini, dan kemudian
mengelolanya menjadi paket investasi yang menarik, untuk mengurangi
risiko dan juga biaya transaksi.
Dengan menggunakan mekanisme pooling ini, maka lembaga perantara
pembiayaan membuka akses (openaccess) bagi setiap jenis daerah, baik Ka-
bu paten/Kota besar maupun kecil, yang memiliki rencana investasi infrastruk-
tur dan berminat untuk mendapatkan pembiayaan berbasis kriteria. Sebagai
ilustrasi, lembaga perantara pembiayaan Tamil Nadu Urban Development
Fund (TNUDF) membuat bundling berbagai proyek pembangunan infrastruktur
lingkungan dan transportasi di Provinsi Tamil Nadu, India. Dengan pooling
berbagai proyek infrastruktur ini, maka biaya transaksi untuk penerbitan obli-
gasi daerah menjadi lebih murah dan dibebankan secara proporsional kepada
Pemerintah Daerah sesuai ukuran proyeknya. Contoh salah satu portofolio
investasi infrastruktur yang telah diterbitkan obligasinya oleh TNUDF dapat
dilihat dalam Tabel 6.
Tabel 6. Rincian Salah Satu Portofolio Proyek Investasi
Infrastruktur TNUDF
No Rincian Biaya proyek
Pagu pinjaman
Pinjaman tersalurkan
Skema Penyediaan Air
1 Ambattur Municipality 336,56 67,32 67,32
2 Tambaram Municipality 182,00 109,20 109,20
3 Madhavaram Municipality 325,00 195,00 105,75
4 Rajapalayam Municipality 85,00 51,00 51,00
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH24
No Rincian Biaya proyek
Pagu pinjaman
Pinjaman tersalurkan
Daerah Sekitar Perkotaan /Adjacent Urban Areas (AUA)
5 (i) Alandur Municipality 427,00 403,00 403,00
6 (ii) Pammal Municipality 378,00 357,00 357,00
7 (iii) Ankapathur Town Panchayat
188,00 178,00 178,00
8 (iv) Ullagaram Town Panchayat
298,00 281,00 281,00
9 (v) Porur Town Panchayat 579,00 547,00 547,00
10 (vi) Maduravoyal Town Panchayat
146,00 138,00 138,00
11 (vii) Valsaravakkam Town Panchayat
189,00 179,00 179,00
12 (viii) Meenambakkam Town Panchayat
17,00 16,00 16,00
Drainase Bawah Tanah
13 Madurai Corporation 1407,00 500,00 325,00
Total 4557,56 3021,52 2757,27
Sumber: www.tnuifsl.com
2.4. Kebutuhan untuk Mekanisme Persetujuan Pinjaman Kompetitif
Prosedur dan mekanisme persetujuan pinjaman melalui lembaga perantara
pembiayaan semacam MDF memungkinkan penerapan sistem keberhati-
hatian untuk menghindari gagal bayar. Untuk itu setiap Pemerintah Daerah
yang akan melakukan pinjaman dievaluasi tidak saja kemampuan membayar
kembali pinjaman, namun juga kesediaannya untuk membuka rekening ber-
sama yang merupakan rekening untuk pengembalian pinjaman (escrow
account).
Untuk mengurangi risiko gagal bayar, maka MDF dapat menetapkan ting-
kat bunga dan nilai tukar tetap. Selain itu MDF juga memiliki petunjuk kriteria
KEBUTUHAN INDONESIA TERHADAP PERANTARA PEMBIAYAAN UNTUK INFRASTRUKTUR DAERAH 25
yang jelas, yang secara mudah dapat dipergunakan untuk mengidentifikasi
batas kemampuan pinjaman Pemerintah Daerah, berdasarkan kepada kapa-
sitas pembayaran hutang.
Berikut ini adalah beberapa mekanisme yang umumnya diterapkan oleh
MDF untuk memperkuat persetujuan pinjaman ke pemerintah kota:
a. Terdapat kriteria pinjaman yang jelas
b. Sistem penilaian proposal pinjaman dilakukan oleh lembaga inde pen-
den
c. Latar belakang pinjaman masa lalu diperhitungkan (credit history)
d. Memiliki jaminan pemda yang diperkuat dengan esrow account
e. Pinjaman obligasi dievaluasi atas dasar rating-nya oleh lembaga rating
independen
Pengalaman dua MDF yang dianggap sukses dalam tingkat pengembalian
pinjaman, yaitu MUFIS (Republik Ceko) dan FINDETER (Kolombia) bekerja sama
dengan bank swasta untuk sepenuhnya melakukan analisa kelayakan kredit
dari Pemerintah Daerah untuk semua aspek risiko dan menggunakan sistem
komersial untuk melakukan penagihan/pembayaran pinjaman.
Namun demikian, metode evaluasi kelayakan kredit yang ketat ini me-
merlukan persyaratan tersendiri, yaitu adanya kestabilian pendapatan peme-
rintah kota. Untuk kasus Indonesia, sebenarnya hal ini tidaklah sulit, meng-
ingat bahwa porsi terbesar dari pendapatan pemerintah kota adalah berasal
dari dana transfer, khususnya Dana Alokasi Umum (DAU), yang selama ini telah
terbukti stabil dan pasti, dari segi besarannya maupun penyalurannya setiap
bulan ke daerah.
2.5. Kebutuhan untuk Memupuk Modal dalam Jangka Panjang
Salah satu kelebihan dari MDF adalah dapat menarik investor-investor baru
yang tertarik untuk melakukan pembiayaan infrastruktur perkotaan. Dengan
demikian terjadi peningkatan modal pada MDF. Selain itu, kelebihan dari MDF
adalah, keuntungan yang diperoleh dari pembiayaan infrastruktur dapat di-
pupuk kembali untuk menambah modal. Dengan demikian, lembaga MDF
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH26
dapat memiliki struktur permodalan yang kuat dan pada akhirnya mampu
meningkatkan pinjaman untuk pembiayaan infrastruktur perkotaan.
Sifat pemupukan modal ini akan makin besar apabila bentuk kelem ba-
gaannya adalah sebuah perseroan terbatas, atau lembaga yang pengelola an-
nya terpisah dari pemerintah. Lembaga ini dengan demikian akan meningkat-
kan kapasitas modalnya untuk lebih jauh menarik investor yang berminat
melakukan investasi pembiayaan infrastruktur kota, khususnya infrastruktur
lingkungan, dalam durasi jangka menengah dan panjang.
Untuk meningkatkan modal, maka dapat dilakukan beberapa cara:
1. Menerbitkan obligasi. Keuntungan dari penerbitan obligasi oleh MDF
adalah memungkinkannya untuk memperoleh tingkat bunga yang lebih
rendah, karena umumnya tingkat bunga obligasi memperoleh perlakuan
tingkat pajak yang lebih rendah. Namun demikian, bagi MDF yang pada
tahun tertentu tidak memiliki kinerja yang baik, tetap diwajibkan mela ku-
kan pembayaran bunga obligasi ini kepada pembelinya. Selain itu, seba-
gai pilihan alternatif ekspansi dari sebuah MDF, maka sangat tergantung
dari ukuran MDF itu sendiri. Bila MDF yang masih relatif kecil, maka pem-
beli obligasinya umumnya menginginkan tingkat bunga yang lebih tinggi,
yang pada akhirnya membebani MDF yang bersangkutan.
2. Menerbitkan Saham Khusus (Preferred Stock). MDF dapat memilih un-
tuk menerbitkan saham preferred untuk meningkatkan modalnya. Pem-
beli saham ini akan memperoleh status khusus dalam hal MDF memiliki
masalah keuangan.Selain itu pemilik saham khusus ini juga akan mem-
peroleh keistimewaan dalam hal memperoleh terlebih dahulu dividen
yang dibayarkan.
3. Menerbitkan Saham biasa (Common Stock). Apabila MDF dalam per-
kem bangannya memiliki kinerja keuangan yang sangat baik, maka salah
satu sumber utama dalam meningkatkan modal adalah dengan mener-
bit kan saham biasa, yang dilakukan di pasar modal. Prosesnya adalah me-
lalui IPO (initial public offering). Pada umumnya untuk penerbitan saham
ini dapat dibantu oleh sebuah Bank/Lembaga Investasi yang setuju untuk
membeli saham tersebut pada harga minimum tertentu, dalam kasus ma-
syarakat tidak tertarik membeli saham yang ditawarkan oleh MDF ter-
sebut.
KEBUTUHAN INDONESIA TERHADAP PERANTARA PEMBIAYAAN UNTUK INFRASTRUKTUR DAERAH 27
4. Melakukan Pinjaman. Pada umumnya, karena fungsinya yang jelas, yaitu
pembiayaan infrastruktur jenis tertentu (misalnya infrastruktur lingkung-
an), maka sebuah MDF dapat melakukan ekspansi melalui pinjaman ke-
pada lembaga komersial tertentu. Selain itu, bila komposisi kepemilikan-
nya masih didominasi oleh pemerintah, maka dimungkinkan MDF terse but
untuk memperoleh pinjaman berbunga murah dari lembaga internasio-
nal, seperti Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia dan lainnya.
5. Mempergunakan Kumulasi dari Keuntungan (profit). Strategi dasar
dari sebuah korporasi untuk melakukan pemupukan modal adalah me-
lalui laba yang ditahan (retained earnings). Besarnya laba yang ditahan
ini berbeda-beda untuk setiap jenis MDF yang melakukan pengembangan
sektor yang berbeda.
28
MDF: Prinsip, Karakteristik, dan Praktik Negara Lain
Municipal Development Funds merupakan suatu perantara pembiayaan (financial intermediary)
yang dikhususkan kepada pem biaya an infrastruktur bagi Pemerintah Daerah. MDF dapat memberikan pembiayaan berbasis utang maupun hibah, baik dengan cara mem berikan pinjaman langsung, tak lang sung, menerbitkan surat utang, maupun mene ruskan hibah.
3.1. Definisi dan Cakupan Municipal Development Funds.
Berbagai bentuk dan peran MDF di berbagai negara telah dibahas pada bab
sebelumnya. Walaupun bentuk kelembagaan memiliki perbedaan antara satu
MDF dengan MDF lainnya, namun pada dasarnya setiap MDF memiliki fungsi
yang kurang lebih sama, yaitu :
3
‘‘’’
MDF: PRINSIP, KARAKTERISTIK, DAN PRAKTIK NEGARA LAIN 29
1. Membentuk dan meningkatkan modal
2. Memberikan pinjaman modal kepada pemerintah kota atau lembaga
investasi pembangunan infrastruktur kota.
3. Melakukan penagihan pinjaman berikut bunganya.
Gambar 9. Struktur MDF Secara Umum
Davey (1988) mendeskripsikan Municipal Development Fund sebagai
berikut:
“A municipal development fund is a pool of money operated at a level above
individual subnational governments that is available to the subnational
government for investment purposes.
The main objective of these pools of funds is to mobilize resources from
private lenders, the central government, and donor agencies, and to make
these resources available for investment in urban infrastructure.”
Dari definisi di atas, terlihat bahwa MDF berperan layaknya institusi khu-
sus yang mengumpulkan berbagai sumber dana. MDF didesain untuk sebagai
perantara Pemerintah Daerah mengakses sumber pembiayaan untuk penye-
diaan infrastruktur.
Beberapa literatur melaporkan bahwa MDF memiliki perbedaan-perbe-
daan dalam wilayah kerjanya (lihat Peterson, 1996, dan Alm, 2010). Area tang-
’’
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH30
gungjawab yang nantinya akan dimandatkan kepada MDF harus berpijak pada
tujuan-tujuan yang ingin dicapai dan batasan-batasan yang dimiliki. Proyek-
proyek infrastruktur dapat dipecah menjadi 5 tahapan yang tergambar dalam
bagan di bawah ini. Fokus pada satu atau dua tahapan dapat menjadi salah
satu kunci sukses MDF dalam menjalankan bisnisnya. Dalam hal ini, fokus MDF
adalah kepada pendanaan/pembiayaan infrastruktur daerah.
Gambar 10. Tahapan dalam Pengadaan Proyek Infrastruktur
Lembaga MDF harus menjalankan beberapa fungsi dasar sebagai ber ikut:
• Menghimpun modal agar dapat menyalurkan lebih banyak kredit kepada
Pemerintah Daerah;
• Menyediakan pinjaman untuk Pemerintah Daerah/lembaga lain dalam
rangka penyediaan infrastruktur daerah;
• Menarik angsuran pinjaman.
Dalam menyediakan pembiayaan kepada Pemerintah Daerah, MDF me-
lakukan beberapa tugas: (1) uji kelayakan keuangan/ekonomi; (2) menentukan
pendanaan yang tepat bagi proyek yang berbeda; (3) pengawasan pelak sa-
naan proyek (perencanaan/selama konstruksi/setelah konstruksi); (4) pendam-
pingan teknis; (5) penyaluran pinjaman. Fungsi-fungsi tersebut dalam dilak sa-
nakan seluruhnya atau melimpahkan sebagian fungsi ke lembaga yang lain.
Sangat penting bagi MDF untuk melaksanakan kemampuan utamanya
untuk mencapai kinerja yang efektif dan efisien. Mengabaikan prinsip ini da pat
MDF: PRINSIP, KARAKTERISTIK, DAN PRAKTIK NEGARA LAIN 31
menyebabkan MDF terpapar oleh berbagai risiko yang beragam. Apabila dike-
lola secara profesional, MDF pada akhirnya akan dapat meningkatkan efisiensi
dalam investasi proyek infrastruktur di daerah, dan meningkatkan transparansi
keuangan daerah.
Sebagai penyalur pinjaman, MDF harus menjalankan beberapa fungsi da-
sar sebagai berikut:
- Menghimpun modal agar dapat menyalurkan lebih banyak kredit kepada
Pemerintah Daerah
- Menyediakan pinjaman untuk Pemerintah Daerah/lembaga lain dalam
rangka penyediaan infrastruktur daerah
- Menarik angsuran pinjaman berikut bunga
Dengan memegang prinsip:
- Memiliki kriteria pinjaman yang jelas
- Bersifat openaccess (dapat diakses semua Pemerintah Daerah)
- Appraisal yang independen
- Memiliki mekanisme pengaman (kolateral, escrow account, dsb)
- Memperhitungkan credit history debitur
- Manajemen risiko dan portofolio yang baik
- Berkesinambungan (memupuk modal)
3.2. Implementasi MDF di Berbagai Negara
Tabel 7. Berbagai Tipe Pembiayaan Perantara untuk Pemerintah Daerah
Penyalur Pinjaman(First-Tier Lender)
Penyalur Pinjaman Level
Kedua(Second-Tier
Lender)
Bank Obligasi
Penyalur Hibah
Basis Utang Hibah
Dana Awal Berbagai sumber
Berbagai sumber
Berbagai sumber
Pemerintah, Mitra Pem-ba ngun an
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH32
Debitur Pemerintah Daerah
Lembaga Keuangan yang memberikan pinjaman kepada Pemerintah Daerah
Pemerintah Daerah
-
Akses ke Pasar Modal
Dimungkinkan Dimungkinkan Terintegrasi -
Pemupukan Modal
Dimungkinkan Dimungkinkan Dimung-kinkan
-
Contoh TNUDF, India Findeter, Kolombia
Bond Bank, Amerika Serikat
RIF, Australia
Sumber: kompilasi Tim dari berbagai sumber
Menjadi hal yang penting untuk memahami bahwa mengimplementasikan
MDF bukan sebuah tugas yang mudah. Meskipun beberapa negara menunjuk-
kan keberhasilan dalam implementasi MDF, beberapa negara lainnya meng-
alami pengalaman yang buruk. MDF yang terbukti berhasil dalam implemen-
tasinya ternyata didukung oleh penerapan disiplin pasar dan keuangan serta
penilaian proyek yang ketat. Tabel berikut ini menyajkan beberapa pelajaran
berharga dari beberapa negara tentang berbagai tantangan yang mereka
hadapi dalam implementasi MDF:
Tabel 8. Tantangan dalam Implementasi MDF di Negara Lain
Negara:Institusi MDF Tantangan/Permasalahan dengan Implementasi MDF
India:Tamil Nadu Urban Development Fund (TNUDF)
Sektor swasta belum menyuntikkan modal tambahan •dan belum melaksanakan skema pembiayaan bersama di tingkat daerahAdanya kompetitor bagi lembaga ini yang justru •dibentuk oleh pemerintah Tamil NaduJatuhnya tingkat suku bunga membuka ruang •kompetisi dengan lembaga pembiayaan lainnyaPrinsip-prinsip pasar tidak sepenuhnya diterapkan, •karena institusi MDF dijalankan sebagai badan pemerintah bukan sebagai konsep Kerjasama Pemerintah-Swasta.
MDF: PRINSIP, KARAKTERISTIK, DAN PRAKTIK NEGARA LAIN 33
Negara:Institusi MDF Tantangan/Permasalahan dengan Implementasi MDF
Nepal:Town Development Fund Board (TDBF)
Pemerintah Daerah memiliki kapasitas yang terbatas •dalam mempersiapkan studi kelayakan proyek dan detailed engineering design untuk pinjaman yang mereka ajukanPemerintah Daerah memiliki kompetensi yang •terbatas dalam memulai sebuah proyek dan penyusunan dokumen pengajuan pinjamanSengketa dengan masyarakat karena buruknya •pengelolaan masyarakat dan perubahan terhadap desain teknis yang sudah disepakati di awalKartel kontraktor menjadi hambatan untuk •mendapatkan kontraktor yang layakProsedur birokrasi yang tidak efisien•Diperlukan persetujuan dari kementerian tertentu•Adanya kepentingan politik terselubung•Batas atas pinjaman yang terlalu rendah.•
Kolombia: FINDETER
Krisis keuangan (1999-2001) memaksa FINDETER untuk mengurangi persetujuan pinjamannya menjadi COP (Colombian Peso) 229 miliar
Georgia Tidak terlalu banyak Pemerintah Daerah yang mampu melakukan pinjaman untuk utang jangka pendek dan menengah.
Sumber: kompilasi Tim dari berbagai sumber
Sebaliknya, aspek keberhasilan MDF disajikan secara singkat dalam tabel
di bawah:
Tabel 9. Beberapa Contoh Sukses Implementasi MDF
Negara: MDF
Dampaknya Terhadap Penyediaan Infrastruktur
Nilai Kredit yang Disetujui
Kolombia: FINDETER
Keberhasilan dalam pembayaran dari sektor pelayanan publik (30% dari pem-bayaran); jalan & transportasi (30%) dan fasilitas pendidikan (13%)
COP (Colombia Peso) 37 miliar pada tahun 1990, naik menjadi COP 413,5 miliar dan mencapai COP 1,02 triliun pada 2003
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH34
Georgia Peningkatan kualitas pelayanan •publik, 83 proyek infrastruktur dis-etujui oleh MDF (2002);55% pinjaman dialokasikan untuk •perbaikan jalan perkotaan dan 20% lainnya untuk air bersih dan saluran pembuangan;
USD (United States Dollar) 17 juta pada tahun 2002
Sumber: kompilasi Tim dari berbagai sumber
3.3. Sumber Modal MDF
Beberapa peneliti mengungkapkan bahwa tidak ada sumber dana tunggal
bagi sebuah MDF dan sumber permodalannya bervariasi untuk beberapa ne-
gara. Namun demikian, APBN adalah sumber dana awal yang standar bagi ope-
rasional awal MDF karena seringkali MDF dibentuk atas inisiatif pemerintah.
Akses terhadap pasar modal yang lebih luas dan kompetitif sepenuhnya ter-
gantung dari peringkat kredit yang diperoleh MDF yang ditentukan oleh
kinerja keuangannya. Kinerja keuangan ini juga ditentukan oleh baik tidaknya
penerapan disiplin pasar dan rendahnya kredit macet. Memastikan bahwa
Pemerintah Daerah yang meminjam dana mampu membayar angsuran
kreditnya dengan lancar adalah aspek yang paling utama untuk mencapai
peringkat kredit yang baik. Di bawah ini adalah contoh internasional tentang
berbagai sumber dana MDF:
Tabel 10. Berbagai Skema Pemodalan MDF
Negara:MDF
Peme-rintah
dan/atau Donor
Tabungan Peme-rintah Daerah
Lembaga Simpanan
Pasar Modal
Pasar Kredit Daerah
Brazil:PrAM/PIMES Ya Tidak Tidak Tidak Tidak
Kolombia:FINDETER Ya Tidak Ya Ya (kecil) Ya
Rep. Ceko:MUFIS Ya Tidak Tidak Tidak Ya
MDF: PRINSIP, KARAKTERISTIK, DAN PRAKTIK NEGARA LAIN 35
Ekuador: BEDE Ya Ya Tidak Tidak Tidak
Honduras: BANMA Ya Ya Ya Tidak Tidak
Indonesia: RDP1 Ya Tidak Tidak Tidak Tidak
Yordania: CVDB Ya Ya Ya Parsial Tidak
Kenya:LGLA Ya Ya Tidak Tidak Tidak
Maroko:FEC Ya Ya Ya Partial Tidak
Filipina: MDF Ya Ya Tidak Tidak Tidak
Sumber: Peterson (1996)1
3.4. Pentingnya MDF Bagi Kota-Kota Negara Berkembang
Seperti yang telah dijelaskan dalam bagian awal tulisan ini, Pemerintah Dae-
rah harus mewaspadai peningkatan populasi di tahun-tahun mendatang.
Urbanisasi yang sangat pesat memicu peningkatan kebutuhan akan pelayanan
publik dan infrastrukur yang lebih banyak dan lebih baik kualitasnya. Sayang-
nya, kota-kota di negara berkembang memiliki keterbatasan kapasitas untuk
meningkatkan pendanaan karena terbatasnya ruang fiskal atau rendahnya
keberanian birokrat untuk mengelola risiko. Bahkan ketika terdapat akses ter-
hadap pasar modal dan ruang fiskal yang cukup, Pemerintah Daerah sering-
kali tidak memiliki kompetensi yang cukup dalam pengelolaan keuangan dan
proyek. Ketika tantangan tersebut diatasi secara bertahap, urbanisasi akan
te rus terjadi dan kebutuhan akan infrastruktur akan terus meningkat.
Bersamaan dengan fenomena urbanisasi, Pemerintah Daerah terutama
di negara-negara berkembang yang menerapkan desentralisasi fiskal tetap
diharuskan untuk: (1) meningkatkan daya saing ekonomi lokal; (2) memenuhi
1 Catatan untuk Indonesia: Beberapa ahli menganggap bahwa Rekening Pembangunan Daerah (RPD) di Indonesia di masa lalu adalah suatu bentuk MDF.
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH36
kebutuhan akan layanan publik; (3) memperluas dan melakukan diversifikasi
basis pajak daerah; (4) mengupayakan pendanaan bagi investasi. MDF meng isi
kebutuhan Pemerintah Daerah akan sumber dana investasi yang berkelanjutan
untuk menyediakan kebutuhan infrastruktur di daerah.
Gambar 11. Tantangan dalam Urbanisasi
Pengalaman internasional mengungkapkan bahwa pinjaman jangka
panjang terpapar beberapa risiko (risiko gagal bayar, risiko kurs, risiko politik,
risiko pasar, risiko makroekonomi, dsb). Risiko-risiko ini memerlukan skema
pendanaan yang berbeda. Sebagai contoh, negara-negara di Amerika Utara
cenderung mengandalkan pada obligasi Pemerintah Daerah, negara-negara
Eropa Barat mengandalkan bank pembangunannya. Sementara itu, negara-
negara berkembang seringkali tidak dapat mengakses pasar modal sehingga
menerbitkan obligasi daerah menjadi sesuatu yang sulit dilakukan. Negara-
negara ini cenderung menerapkan skema pendanaan berlapis, secara lang-
sung atau melalui lembaga keuangan intermedier (Venkatachalam, 2005). MDF
adalah suatu bentuk financial intermediary (lembaga keuangan inter medier)
Terdapat beberapa manfaat yang mungkin dapat dituai dari penerapan
MDF:
1. Aksesibilitas Pemerintah Daerah kepada pasar kredit berarti bahwa Pe-
me rintah Daerah memiliki akses terhadap sumber belanja modal;
2. Kesiapan proyek yang lebih baik. Pemerintah Daerah didorong untuk meng-
akses pasar kredit dan juga berusaha untuk layak mendapatkan pinjaman
MDF: PRINSIP, KARAKTERISTIK, DAN PRAKTIK NEGARA LAIN 37
dengan cara mengusahakan persiapan pengajuan proyek yang baik dan
juga adanya dukungan teknis;
3. Jumlah dan kualitas infrastruktur yang dibangun dengan memanfaatkan
fasilitas kredit dari MDF. Aspek ini dapat dilihat sebagai salah satu indika-
tor bahwa tujuan utama pendirian MDF telah tercapai.
4. Kinerja MDF yang membuatnya mampu mengakses pasar kredit interna-
sional. Sebagai contoh adalah BNG di Belanda yang mendapatkan invest
ment grade dari lembaga pemeringkat internasional. Hal tersebut menun-
juk kan bahwa BNG berhasil mengelola pinjamannya. Investment grade
akan membuat MDF memiliki kesempatan yang lebih luas untuk mening-
katkan dana dari pasar modal internasional.
38
MDF Sebagai Alternatif Pembiayaan Infrastruktur Daerah di Indonesia
Di Indonesia, MDF dapat didirikan sebagai pemberi pinjaman first-tier (lang sung). Idealnya, MDF merupakan institusi yang
fleksibel dan independen, se hingga bentuk institusi BUMN adalah bentuk ideal. Tetapi yang juga pen ting untuk ditilik adalah strategi jangka pendek dalam pelaksanaan MDF.
4.1. Analisis Awal Fungsi dan Permodalan MDF
4.1.1. Bentuk Pembiayaan: Pinjaman vs Hibah vs Bank Obligasi
Seperti yang telah dikemukakan pada Bab sebelumnya, untuk membentuk
sebuah MDF, memiliki 3 (tiga) alternatif fungsi utama yang dapat dijalankan,
yaitu memberikan hibah, menjadi bank obligasi, atau berkonsentrasi sebagai
lembaga pinjaman kepada daerah.
4
‘‘’’
MDF SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH DI INDONESIA 39
1. Hibah: Saat ini peraturan hibah yang ada barulah bersifat hibah yang
merupakan penerusan pinjaman pusat ke daerah. Sejauh ini belum ada
kerangka hukum untuk hibah bersifat demanddriven. Secara lebih men-
dasar lagi, keberadaan hibah yang tidak memerlukan kewajiban pengem-
balian dana dapat menjadi moral hazard. Oleh karena itu, dapat disim pul-
kan bahwa MDF yang akan dikembangkan di Indonesia sebaiknya tidak
berfungsi memberikan hibah.
2. Bank obligasi: Berdasarkan pengalaman dari Negara lain, seperti di Ame-
rika Serikat, maka MDF yang berfungsi sebagai Bank Obligasi memiliki
dukungan yang kuat dari Pemerintah Daerah, yang menerbitkan obligasi
daerah. Namun demikian, bila fungsi ini yang akan diutamakan bagi MDF
di Indonesia, maka akan memiliki hambatan mendasar, karena Pemerin-
tah Daerah hanya diperbolehkan menjual surat utang di pasar modal,
dan sampai saat ini belum ada satupun Pemerintah Daerah yang telah
menerbitkan surat utang. Oleh karena itu, MDF yang akan dibentuk di
Indo nesia tidak akan dapat menjalankan fungsi sebagai Bank Obligasi
dalam waktu dekat.
3. Pinjaman daerah: Pemberian pinjaman kepada Pemerintah Daerah telah
dilakukan dalam periode yang cukup lama di Indonesia, namun demikian
kurang berjalan dengan baik, dan hasilnya belum optimal. MDF yang di-
kembangkan di Indonesia sebaiknya memiliki fokus pemberian pinjaman
kepada daerah, karena pinjaman daerah sekaligus juga memperbaiki
go vernance dan accountability dari Pemerintah Daerah.
4.1.2. Level Pembiayaan: First-Tier vs Second-Tier
MDF dapat menyalurkan pinjaman pada first-tier (langsung) maupun second
tier (tidak langsung). Mengingat kondisi pinjaman daerah saat ini yang sangat
minim, maka dapat dipastikan tidak akan tercapainya skala ekonomi untuk
mendirikan MDF yang merupakan penyalur pinjaman secondtier (menyalur-
kan dana kepada lembaga keuangan, yang kemudian lembaga keuangan
tersebut meminjamkannya kepada Pemerintah Daerah). Oleh karena itu, un-
tuk Indonesia, sebaiknya MDF harus menjadi penyalur pinjaman langsung
kepada Pemerintah Daerah (firsttier lender). Dalam jangka panjang, ketika pasar
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH40
pembiayaan daerah sudah berkembang, Indonesia dapat saja meng adopsi
kedua bentuk model pembiayaan, baik firsttier maupun juga secondtier.
4.1.3. Komposisi Modal: Debt vs Equity
MDF yang didirikan dengan 100% modal yang dialokasikan pemerintah akan
memiliki perilaku organisasi yang berbeda dengan MDF yang memiliki ke wa-
jiban untuk mengembalikan utang. MDF yang memiliki kewajiban pengembali-
an utang diharapkan akan lebih responsible dan accountable. Namun demi-
kian, utang yang tinggi akan menyebabkan cost of fund yang juga tinggi,
dan ini akan mempengaruhi loan pricing untuk pinjaman daerah yang di sa-
lurkan oleh MDF, melalui peningkatan bunga bagi debitur. Oleh karena itu,
MDF yang akan dibentuk untuk Indonesia haruslah memiliki proporsi ekuitas
dan utang dalam jumlah yang tepat.
4.2. Analisis Kerangka Institusional MDF
Kata “kelembagaan” sering diterjemahkan dengan “organisasi”, namun de-
mi ki an “kelembagaan” memiliki definisi yang berbeda dalam New Institutional
Economics (NIE). Pada literatur NIE, Kelembagaan definisikan sebagai “aturan
formal dan informal beserta mekanisme penegakannya yang membentuk
perilaku individu dan organisasi dalam masyarakat” (North, 1990). Berbeda
dengan definisi organisasi, dimana definisi organisasi adalah, Sebuah kesatu-
an yang terdiri dari sekelompok orang yang bertindak secara bersama-sama
dalam rangka mencapai tujuan bersama (Burki dan Perry, 1998).
Organisasi dan individu mencapai kepentingan mereka di dalam sebuah
struktur Kelembagaan berupa aturan-aturan formal (hukum, peraturan, kon-
trak, hukum konstitusional) dan aturan informal (etika, kepercayaan, dan norma-
norma yang tidak tertulis lainnya). Organisasi kemudian memiliki aturan in-
ter nal (yaitu kelembagaan) untuk menangani permasalahan personalia, ang-
garan, pengadaan dan prosedur pelaporan, yang membatasi perilaku ang-
gota mereka. Dengan demikian, kelembagaan merupakan struktur insentif
(pendorong) bagi perilaku organisasi dan individu.
Dalam kajian ini, untuk melakukan pemilihan kelembagaan yang tepat
bagi MDF di Indonesia, maka dilakukan tinjauan terhadap bentuk kelembagaan
MDF SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH DI INDONESIA 41
yang ada, yaitu Badan Layanan Umum (BLU) dan Badan Umum Milik Negara
(BUMN). Perbedaan yang secara khusus dimiliki dari kedua bentuk kelem ba-
gaan tersebut akan dikaji kepentingannya dalam konteks untuk pengem-
bangan sebuah MDF di Indonesia. Untuk itu dilakukan tinjauan terhadap be-
berapa aspek berikut ini:
1. Pertanggungjawaban (liability)
2. Orientasi perusahaan
3. Investasi
4. Permodalan
5. Keputusan untuk memberikan pinjaman
6. Sumber pendanaan
7. Proteksi pinjaman
8. Peraturan pendirian
9. Koordinasi
10. Manajemen
11. Pasar modal
12. Pengawasan
Tabel 11. Perbandingan Bentuk Kelembagaan Penyedia Infrastruktur
Aspek BLU BUMN
Pertanggung-jawaban
Tidak terbatas (unlimited liability) à implikasinya risiko fiskal ditanggung sepenuhnya oleh Pemerintah PusatSoft budget constraint
Terbatas (limited liability)Risiko fiskal tidak ditanggung Pemerintah PusatHard budget constraint
Orientasi Pelayanan masyarakat(dapat menjadi moral hazard, dianggap sebagai subsidi)
Profitoriented dan juga sebagai bentuk intervensi Pemerintah à sesuai dengan UU BUMN(dapat diberi target)(dapat dipandang sebagai perintis untuk missing/incomplete market: pinjaman jangka panjang yang untuk infrastruktur)
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH42
Aspek BLU BUMN
Investasi Investasi jangka panjang dibatasi Fleksibel dalam investasi jangka panjang
Permodalan
Kepemilikan 100% Pemerintah Pencatatan utang masih belum jelasSecara teoritis dapat mengakumulasikan modal, tetapi umumnya laba dihabiskan, sebagian disetor sebagai PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak).
Kepemilikan bisa beragamUtang dapat dicatatkan eksplisit.Dapat mengakumulasi dan menghimpun modal dari berbagai sumber
Keputusan untuk memberikan pinjaman
Ditentukan oleh Kepala BLU (dan Komite Investasi apabila pinjaman sangat besar)
Otonom dan dapat dipertanggung-jawabkan (Pemerintah Pusat sebagai regulator)
Sumber pendanaan
Terbatas, terutama dari APBN Terbuka untuk berbagai sumber (kecuali simpanan)
Proteksi pinjaman
Dapat melakukan intercept berupa pemotongan DAU (Dana Alokasi Umum) daerah, dengan kuasa dari Menteri Keuangan.
Memerlukan mekanisme jaminan lainnya, misalnya berupa escrow account.
Peraturan pendirian
Peraturan Menteri Keuangan Peraturan Pemerintah dengan persetujuan Menteri Keuangan, Menteri BUMN, dan Menteri Teknis
Koordinasi Internal Kementerian Dapat melibatkan lembaga lain sebagai pemangku kepentingan
Manajemen Cenderung lebih birokratis Dapat diperamping dan diharapkan profesional
Pasar modal Sulit mengakses pasar modal (penerbitan surat utang dilakukan oleh Kementerian Keuangan)
Dengan status PT Tbk, dapat melakukan penghimpunan modal masyarakat melalui pasar modal, dengan berstatus PT, dapat menerbitkan efek surat utang
Pengawasan Pengawasan internal dan eksternal (BPK)
Dewan Komisaris dan BPK
MDF SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH DI INDONESIA 43
4.2.1. Aspek Pertanggungjawaban (Liability)
Sesuai dengan perundang-undangan yang ada, apabila MDF yang akan di ben-
tuk adalah sebuah BLU, maka sesuai fungsinya, BLU adalah sebuah unit yang
diperuntukkan untuk menjalankan berbagai kebijakan belanja Peme rin tah
Pusat. Dalam konteks ini, bila sebuah BLU memiliki tugas untuk menyalur kan
pinjaman kepada Pemerintah Daerah, maka sumber pendanaannya sepe nuh-
nya berasal dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Per tang-
gungjawaban menjadi tidak terbatas, karena pada dasarnya Pemerintah Pu-
sat adalah yang menanggung risikonya. Dalam konteks ini, maka pelaksanaan
kegiatan pada sebuah BLU dapat menghasilkan softbudget constraint.
Sebaliknya, bila MDF merupakan sebuah bentuk BUMN, bentuk per tang-
gung-jawaban ini memiliki keterbatasan, sebatas modal yang dimilikinya.
Na mun demikian, BUMN ke depan dapat mengembangkannya sesuai dengan
strategi peningkatan modal yang ada. Oleh karena itu, sebuah MDF yang
ber bentuk BUMN akan memberikan risiko fiskal yang kecil bagi pemerintah
bila terjadi gagal bayar oleh Pemerintah Daerah. Dengan liablity yang terba-
tas, maka pengelolaan MDF dalam bentuk BUMN akan dapat mengikuti hard
budget constraint. Dengan demikian, ditinjau dari aspek liability, tampaknya
bentuk MDF yang ideal adalah sebuah BUMN, karena memberika risiko fiskal
yang lebih kecil bagi pemerintah.
4.2.2. Aspek Orientasi Perusahaan
Badan Layanan Umum (BLU) didirikan untuk meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan
kehidupan bangsa dengan memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan ke-
uangan berdasarkan prinsip ekonomi dan produktivitas, dan penerapan prak-
tek bisnis yang sehat. Pengertian dari pernyataan tersebut adalah bahwa
dalam melaksanakan kegiatan usahanya, BLU tidak menjadikan profit sebagai
tujuan utama BLU. Namun, orientasi BLU yang ditujukan untuk melayani ma-
syarakat dapat menimbulkan potensi moral hazard karena dianggap sebagai
salah satu bentuk dari subsidi Pemerintah.
Di lain pihak, BUMN berbentuk perseroan terbatas dituntut untuk dapat
menyetor dividen kepada Pemerintah Pusat, selain mengemban misi sebagai
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH44
penyedia barang dan jasa yang berkualitas bagi masyarakat. Oleh karena itu,
BUMN berusaha untuk melaksanakan proyek-proyek yang feasible secara
keuangan maupun membuat sebuah proyek yang pada awalnya kurang la-
yak menjadi layak melalui bimbingan teknis dan persiapan proyek yang ma-
tang serta dalam beberapa kasus menyediakan fasilitasi kepada dana penja-
minan infrastuktur.
Secara singkat bentuk BUMN lebih berorientasi pada penciptaan ke un-
tungan dan sebagai bentuk intervensi pemerintah seperti yang telah diama-
natkan dalam UU BUMN. Dari tinjaun aspek orientasi ini, bila diharapkan bah-
wa sebuah MDF dapat memupuk keuntungan yang sustainable secara ins titusi,
maka atas dasar ini bentuk MDF yang tepat adalah BUMN.
4.2.3. Aspek Investasi
Pada umumnya sebuah BLU diperkenankan untuk memungut biaya atas jasa
pendanaan yang diberikan kepada mitranya. Jasa pendanaan ini adalah salah
satu bentuk investasi yang dapat dilakukan BLU khususnya di bidang infra-
struktur melalui penyertaan modal maupun pemberian pinjaman. Beberapa
BLU juga diperkenankan untuk melakukan pembelian saham dan pembelian
surat utang untuk mengisi portfolio usahanya. Namun demikian, investasi
yang sifatnya jangka panjang umumnya dibatasi. Investasi jangka panjang
ini meliputi penyertaan modal, pemilikan obligasi untuk jangka panjang, atau
investasi langsung dalam bentuk pendirian usaha. BLU
BUMN di lain pihak juga memiliki strategi investasi yang beragam. BUMN
umumnya memiliki keleluasaan yang lebih besar dari BLU dalam melakukan
investasi jangka panjang. Sebuah BUMN dapat melakukan aksi korporasi,
baik untuk investasi jangka pendek maupun jangka panjang sejauh portfolio
tersebut dinilai mampu memberikan imbal hasil yang optimum dengan risiko
yang mampu dikelola oleh perusahaan.
Dari tinjauan terhadap kemampuan melakukan investasi, maka dapat
disimpulkan bahwa bentuk MDF sebagai BUMN akan memiliki fleksibilitas
yang lebih besar dan ini sangat diperlukan dalam rangka pengembangan MDF
tersebut dalam jangka panjang.
MDF SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH DI INDONESIA 45
4.2.4. Aspek Permodalan
Sebuah BLU memperoleh modalnya dari anggaran Pemerintah. Dalam istilah
BLU sebenarnya tidak mengenal istilah modal, tetapi biasa disebut sebagai
anggaran, yang dialokasikan pemerintah setiap tahun berdasarkan atas
rencana belanja BLU yang bersangkutan.
Di pihak lain, sebuah BUMN yang keseluruhan sahamnya masih dimiliki
oleh pemerintah juga tergantung pada alokasi pemerintah. Namun demikian,
kedudukan BUMN berbeda dengan BLU, karena modal BUMN berasal dari
kekayaan negara yang dipisahkan. Laba yang diperoleh BUMN dapat ditahan
dan kemudian memperkuat struktur permodalan BUMN yang bersangkutan.
Sementara itu, Laba bersih dari BLU dapat disetor ke APBN sebagai komponen
Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Oleh karena kedudukannya sebagai bagian dari pemerintah, maka mo-
dal BLU tidak terbagi atas saham-saham layaknya BUMN. BUMN dapat me-
nambah ataupun memperoleh modal dari saham dan penerbitan surat utang
yang dihimpun dari masyarakat (dana pihak ketiga). Untuk merubah struktur
permodalan BUMN, diperlukan Peraturan Pemerintah sedangkan struktur
permodalan (anggaran) BLU tidak memerlukan Peraturan Pemerintah karena
BLU dapat menambah struktur modalnya melalui anggaran tambahan dari
Pemerintah.BLU juga dapat menambah kemampuan keuangannya melalui
pendapatan-pendapatan yang diperoleh dari keuntungan investasi yang di-
dapat, barang atau dana yang diamanatkan oleh pihak lain untuk dikelola
BLU dan sumber pendapatan lainnya yang sah.
Ditinjau dari aspek permodalan, tampak bahwa kemampuan MDF seba-
gai BUMN akan lebih menguntungkan karena memiliki fleksibilitas dan ke-
mampuan meningkatkan permodalan yang lebih luas, tidak tergantung dari
satu sumber, yaitu pemerintah. Sebuah MDF yang berupa BLU hanya dapat
diuntungkan dari segi permodalan apabila Pemerintah memiliki kapasitas
ti dak terbatas dalam memberikan modal (anggaran) kepada BLU yang ber-
sangkutan.
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH46
4.2.5. Aspek Keputusan Untuk Memberikan Pinjaman
Pada dasarnya untuk pengambilan keputusan terdapat mekanisme yang ham-
pir sama antara sebuah BLU dengan sebuah BUMN. Kedua bentuk institusi
tersebut dapat menerapkan analisis yang objektif untuk melakukan penilaian
kelayakan pemberian pinjaman. BLU dapat mensyaratkan calon debitur untuk
mengajukan proposal dan telah memiliki studi kelayakan atas proyek yang
diusulkan untuk dibiayai BLU. Kemudian akan dilakukan proses assessment
terhadap risiko dan kelayakan dari proyek tersebut dari sudut pandang kre-
ditur. Keputusan final untuk pinjaman dalam jumlah tertentu dapat langsung
ditentukan oleh Kepala BLU setelah mendengarkan masukan dan analisis dari
subordinasinya. Namun demikian, keputusan untuk alokasi yang lebih besar
memerlukan pesetujuan pemerintah.
BUMN di sisi lain memiliki otonomi dalam memberikan persetujuan pin-
jaman dan pemerintah berfungsi sebagai regulator saja. BUMN ini juga mela-
kukan analisis kelayakan proyek yang akan didanai. Namun, BUMN dapat
terjun langsung dalam menyusun prefeasibility studies proyek bersangkutan
secara sendiri maupun menggandeng pihak lain. Setelah dinilai layak, BUMN
akan melaksanakan proses selanjutnya seperti market sounding, penyiapan
dokumen pelelangan, asistensi pelaksanaan pelelangan dan dukungan untuk
tercapainya Financial Close (Perolehan Pembiayaan). Proses yang diambil ini
sejalan dengan visi perusahaan yang ingin menjadi fasilitator/katalis penye-
diaan infrastruktur terutama melalui proyek KPS. Proses pengambilan kepu-
tusan berada di level dewan direksi.
Dari aspek keputusan memberikan pinjaman, pada dasarnya bila MDF
berupa sebuah BLU ataupun BUMN tidaklah terlalu berbeda, pada skala jum-
lah pinjaman tertentu. Namun demikian, pada skala pinjaman yang besar, dapat
terjadi MDF yang berupa BLU memerlukan proses yang lebih panjang dan
rumit karena melibatkan proses birokrasi pemerintahan. Sebaliknya, dalam
bentuk sebagai BUMN, maka pengambilan keputusan untuk skala pinjaman
besar dapat melalui persetujuan dari dewan komisaris, yang merupakan
bagian dari birokrasi internal perusahaan.
MDF SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH DI INDONESIA 47
4.2.6. Aspek Sumber Pendanaan
Sejalan dengan keterangan yang telah disebutkan pada aspek permodalan,
sebuah BLU mengandalkan sumber pendanaan dari Pemerintah, dan tidak
diperbolehkan untuk mencari pendanaan dari pasar, dengan kata lain BLU
tidak diperbolehkan untuk menghimpun dana dari masyarakat. Sedangkan
BUMN dapat mencari pendanaan dari berbagai macam sumber kecuali dari
proses penghimpunan dana masyarakat (deposit).
Atas dasar ini, maka kemampuan MDF yang berbentuk BUMN akan lebih
unggul dalam menghimpun dana dibandingkan bila MDF tersebut berbentuk
BLU.
4.2.7. Aspek Proteksi Pinjaman
Peraturan perundangan hanya memungkinkan MDF untuk memberikan un
secured loan (pinjaman tanpa jaminan/agunan). Biasanya, unsecured loan
memiliki bunga yang lebih tinggi sebagai bentuk proteksi. Apakah bunga
akan tetap atraktif? Mekanisme proteksi apa sajakah yang dapat dilakukan
agar MDF dapat menjaga suku bunga yang atraktif tanpa mengorbankan
prinsip kehati-hatian? Apakah mungkin membuat escrow account? Apakah
perlu mekanisme intercept (mis. pemotongan DAU)?
Sebuah BLU dengan peraturan menteri, dapat memberikan pinjaman
kepada debitur misalnya Pemerintah Daerah tanpa mensyaratkan adanya
agunan (collateral). Risiko default akan diantisipasi dengan skema intercept
dimana BLU, melalui Kementerian Keuangan dapat melakukan pemotongan
Dana Alokasi Umum (DAU) maupun Dana Bagi Hasil (DBH) terhadap Pemerin-
tah Daerah yang tidak lancar dalam membayar angsuran pinjaman. BLU
dapat pula meminta debitur untuk membuka rekening khusus yang ditujukan
untuk pembayaran angsuran pinjaman (escrow accounts).
Di lain pihak, BUMN menekan risiko default khususnya dalam proyek
KPS dengan skema penerapan agunan. Skema penjaminan ini dilaksanakan
dalam rangka meningkatkan derajat kelayakan sebuah proyek infrastruktur.
Skema penjaminan lainnya adalah melalui pembukaan rekening yang dituju-
kan khusus untuk pembayaran angsuran pinjaman (escrow accounts). Skema
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH48
pembayaran dengan menggunakan escrow account ini juga dapat dilakukan
oleh sebuah BLU.
Berdasarkan tinjauan atas keamanan pinjaman, dapat disimpulkan
bahwa, sebuah MDF yang berbentuk BLU memiliki instrumen untuk memasti-
kan keamanan pinjaman yang lebih beragam daripada sebuah BUMN. Namun
seberapa efektif instrumen tersebut dapat dimanfaatkan, terpulang kepada
MDF yang bersangkutan.
4.2.8. Aspek Peraturan Pendirian
Dari aspek pendiriannya, maka sebuah BLU memiliki kemudahan dalam pro-
ses pendiriannya, karena umumnya hanyalah berdasarkan keputusan menteri
yang bertanggung jawab atas kegiatan utama dari BLU tersebut. Karena BLU
adalah instrumen belanja dari pemerintah yang dilakukan oleh kementerian,
maka pendirian BLU sangat tergantung dari keputusan menteri. Sebaliknya,
untuk proses pendirian BUMN memerlukan proses yang lebih komprehensif,
dan tidak saja diusulkan oleh salah satu kementerian, namun harus disetujui
oleh berbagai stakeholder yang terkait dengan kegiatan utama BUMN terse-
but.
Dengan demikian, dari aspek pendirian kelembagaan, maka pendirian MDF
yang berbentuk BLU akan lebih mudah dan lebih cepat dibandingkan dengan
BUMN.
4.2.9. Aspek Koordinasi
Koordinasi BLU cukup dilaksanakan dalam internal Kementerian maupun BLU
sendiri. Namun demikian, ketika berhadapan dengan pengajuan pendanaan
untuk jumlah yang besar, maka rentang koordinasi akan meningkat dan meli-
batkan organisasi kementerian. Sebuah BUMN di lain pihak, tidak terlalu
me li batkan Pemerintah kecuali apabila salah satu Kementerian/Lembaga/
Pemerintah Daerah memiliki kegiatan proyek yang akan didanai atau dikerja-
samakan dengan BUMN. Koordinasi BUMN dengan pihak lain semisal lem-
baga multi/bilateral, lembaga donor maupun swasta juga tidak memerlukan
keterlibatan pemerintah secara rutin.
Dengan demikian, dari segi aspek koordinasi tampaknya MDF berbentuk
BUMN tidak akan melibatkan banyak stakeholder dalam pelaksanaan kegiat-
MDF SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH DI INDONESIA 49
annya, khususnya memberikan pinjaman daerah. Baik pinjaman dalam jum-
lah kecil maupun besar dapat ditangani sendiri dalam instansi MDF yang
berbentuk BUMN tersebut.
4.2.10. Aspek Manajemen
Sebuah BLU umumnya dikepalai oleh seorang birokrat dari lingkungan Ke-
menterian dibantu oleh PNS yang ditugaskan. Oleh karena itu, karakteristik
manajemen yang cenderung menonjol adalah birokraktik yang cenderung
kaku. Di sisi lain, BUMN dapat diisi oleh para profesional yang berkompeten
di bidangnya dan menerapkan Standard Operating Procedures (SOP) dan
nilai-nilai perusahaan yang berbeda dengan nilai-nilai birokrasi sehingga da-
pat lebih fleksibel dalam hal operasional dan pengembangan bisnisnya (stream
lined). Walaupun BLU memiliki fleksibilitas yang sama atas anggaran penda-
pat annya, namun aksi “korporasi” yang dilakukan tidak terbebas dari hierarki
organisasi Kementerian induknya.
Dari aspek manajemen ini, dapat disimpulkan bahwa MDF berbentuk
BUMN akan cenderung tidak terlalu birokratis dalam pengelolaan dan peng-
ambilan keputusannya dibandingkan dengan MDF yang berbentuk BLU.
4.2.11. Aspek Pasar Modal
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa BLU tidak dapat mengakses pasar
modal untuk meningkatkan anggarannya kecuali dari pendapatan dari imbal
hasil atau dividen yang diperoleh dari penempatan dananya di portfolio sa-
ham atau obligasi jangka pendek.
Di lain pihak, BUMN dapat menerbitkan obligasi korporasi untuk menda-
patkan dana tambahan untuk diputar sebagai investasi dalam sebuah proyek.
Namun, penjualan saham BUMN harus berbentuk perseroan terbatas agar
dapat mengakses pasar modal secara luas. Oleh karena itu untuk BUMN yang
akan masuk pasar modal, harus melakukan perubahan status dari perseroan
tertutup menjadi perseroan terbuka (ketika telah memenuhi syarat) dan juga
peraturan lain yang mendukung adanya perubahan dalam struktur kepemi-
likan saham.
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH50
Oleh karena itu, dari segi akses pasar modal, maka sebuah MDF yang ber-
ben tuk BUMN akan lebih diuntungkan karena memiliki akses untuk mening-
kat kan modal yang lebih besar, sejauh BUMN tersebut telah menjadi Per-
usahaan Terbuka.
4.2.12. Aspek Pengawasan
Sebuah BLU memiliki Satuan Pengawas Internal sebagai satuan yang melaksa-
na kan fungsi pengawasan pelaksanaan tugas BLU. Sebagai bagian dari lem-
baga negara, maka BLU juga menjadi subjek BPK untuk pelaksanaan adminis-
trasi keuangan negara.
BUMN, sesuai dengan Undang Undang No.19 Tahun 2003 tentang BUMN,
akan diawasi oleh Dewan Komisaris sebagai perwakilan dari pemegang sa ham.
Dengan permodalan yang berasal dari keuangan negara, maka BUMN juga
menjadi subjek pemeriksaan oleh BPK dalam aspek pengadministrasian ke-
uangannya. Dengan diterbitkannya Peraturan Ketua Bapepam-LK Nomor:
PER-02/BL/2012 tentang Pedoman Pemeriksaan Perusahaan Pembiayaan Infra-
struktur, maka aktifitas usaha BUMN akan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) yang menggantikan fungsi Bappepam-LK yang dahulu berada di bawah
Kementerian Keuangan.
Dari segi pengawasan tampaknya MDF yang berbentuk BUMN akan
memiliki pengawasan yang ketat dan berjenjang. Demikian juga dengan MDF
yang berbentuk BLU. Pada dasarnya keketatan pengawasan dari kedua ben-
tuk kelembagaan tersebut akan relatif sama.
4.3. Bentuk Ideal Institusi Perantara Pembiayaaan: BLU atau BUMN?
Dari tinjauan atas berbagai aspek penting di atas, dapat disimpulkan bahwa
bentuk terbaik dari MDF bila hendak dikembangkan oleh Indonesia adalah
sebuah BUMN (Badan Umum Milik Negara). Berbagai fleksibilitas yang dimiliki
khususnya dalam hal kemampuannya melakukan pemupukan modal, mem-
peroleh sumber pendanaan dan strategi investasi jangka panjang, serta se-
cara langsung tidak memiliki risiko fiskal yang besar bagi keuangan negara
MDF SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH DI INDONESIA 51
(APBN) menjadi alasan-alasan pokok pentingnya MDF dalam bentuk sebuah
BUMN dan bukanlah dalam bentuk BLU.
4.4. Anatomi Kelembagaan Pembiayaan Infrastruktur Saat Ini
Sebagai bentuk intervensi Pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan
infrastruktur daerah, pembiayaan pinjaman daerah oleh MDF dapat berupa
investasi Pemerintah Pusat (yang dilakukan melalui Pusat Investasi Pemerintah
-PIP) ataupun pinjaman lewat lembaga keuangan non-bank (yang dilakukan
melalui BUMN, misalnya PT.Sarana Multi Infrastruktur - SMI).
Penyertaan modal pemerintah dalam bentuk BUMN memerlukan per-
aturan pemerintah untuk realisasi penanaman modal maupun penambahan
penanaman modalnya. Ijin usaha BUMN tersebut, dalam hal ini BUMN disah-
kan dengan peraturan setingkat menteri (dalam hal ini Menteri Keuangan).
Sedangkan untuk BLU, pelaksanaannya secara bertahap dan kemudian me-
ning kat menjadi BLU penuh disahkan dengan peraturan setingkat menteri,
sebagai contoh untuk PIP (Pusat Investasi Pemerintah) dibentuk dengan meng-
gunakan Peraturan Menteri Keuangan RI dan Keputusan Menteri Keuangan
RI. Dasar hukum yang lebih tinggi dalam pendirian PIP adalah UU No.1/2004
tentang Perbendaharaan Negara (pasal 41) dan Peraturan Pemerintah
No.8/2007 jo Peraturan Pemerintah No.1/2008 tentang Investasi Pemerin tah.
Tabel 12. Anatomi Kelembagaan Formal Institusi Penyedia Infrastuktur
di Indonesia
Institusi/ Aspek Peran UU PP Peraturan setingkat
Menteri
PT. SMI katalis/fasilitator bagi pemilik proyek dan investor + pendanaan
- PP No. 66 Tahun 2007- PP No. 85 Tahun 2010- PP No. 104 Tahun 2012
- Keputusan Menteri Keuangan No. 100/KMK.06/2011- Keputusan Menteri Keuangan No. 396/KMK.01/2009
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH52
PIP Pendanaan bagi investasi Pemerintah --> menentukan playing field dengan lembaga
Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004
PP No. 8 Tahun 2007 jo PP No. 1 Tahun 2008
- Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1005/KMK.05/2006- Keputusan Menteri Keuangan Nomor 52/PMK.01/2007- Keputusan Menteri Keuangan Nomor 91/KMK.05/2009
Sumber: situs resmi PT. SMI dan PIP serta beberapa peraturan perundangundangan yang relevan
Pada saat ini ke dua lembaga tersebut, yaitu PIP dan PT. SMI telah melak-
sana kan beberapa fungsi dasar dari MDF, yaitu memberikan pinjaman untuk
proyek yang diajukan oleh pemerintah kota/kabupaten dalam rangka menda-
nai proyek infrastruktur di daerahnya.
Beberapa faktor yang mungkin menyebabkan masih sedikitnya jumlah
proyek di daerah yang didanai adalah masih terbatasnya sosialisasi tentang
peranan lembaga pembiayaan di atas, terbatasnya proyek yang cocok dibiayai
dengan skema pembiayaan yang ada atau rendahnya kemauan daerah untuk
mengajukan proposal kredit karena alasan regulasi ataupun keengganan
untuk memasuki disiplin pasar.
Apabila tujuan besar yang ingin dicapai adalah meningkatkan kuantitas
dan kualitas infrastruktur di daerah khususnya di perkotaan, maka diperlukan
sebuah diseminasi informasi tentang alternatif mekanisme pembiayaan be-
serta lembaga pembiayaan yang saat ini sudah ada agar Pemerintah Daerah
tertarik untuk mencari alternatif pendanaan infrastruktur di daerahnya.
Dari kondisi existing tersebut, kita dapat melihat bahwa kedua bentuk
kelembagaan tersebut berbeda jika dilihat dari sudut pandang pelaksanaan
pengadaan infrastruktur. Bentuk kelembagaan yang berbeda memungkinkan
adanya keterbatasan/keleluasaan dalam ruang gerak operasionalnya.
Beberapa paragraf berikut mencoba untuk menampilkan perbedaan-
perbedaan dua bentuk lembaga pembiayaan infrastruktur dalam beberapa
aspek. Kedua lembaga tersebut yaitu BLU PIP dan PT. SMI sebagai BUMN di
bawah Kementerian Keuangan RI.
MDF SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH DI INDONESIA 53
Intervensi Pemerintah
Investasi Pemerintah Pusat
Pinjaman Lewat Lembaga Keuangan Non-Bank
Badan Layanan Umum (contoh: PIP)
Badan Usaha Milik Negara (contoh: PT SMI)
Gambar 12. PIP dan PT. SMI Sebagai Bentuk Intervensi Pemerintah Pusat
Institusi-insitusi yang telah ada saat ini yang menjalankan peran penye-
diaan pinjaman daerah:
Tabel 13. Perbandingan PIP dengan PT. SMI
Aspek BLU:Pusat Investasi Pemerintah
BUMN:PT. SMI
Mandat Mandat utama berinvestasi sebagai sovereign wealth fund
Mandat utama terkait dengan project development untuk PPP
Kinerja Selama Ini
Investasi pinjaman daerah kurang dari 15% portofolio
Belum ada proyek yang berhasil masuk ke dalam pipeline.
Kemungkinan Sebagai Institusi MDF
Akan berkonflik dengan mandat utamanya.Juga membutuhkan serangkaian perubahan kebijakan agar dapat menjalankan fungsi sebagai MDF.
PIP adalah sebuah unit kerja di bawah Kementerian Keuangan RI yang
menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. Sedangkan
PT. SMI adalah BUMN yang bergerak di bidang fasilitasi dan juga pendanaan
proyek infrastruktur yang seluruh sahamnya dimiliki oleh Pemerintah RI. Ke-
dua lembaga ini memiliki cakupan operasional yang berbeda, seperti telah
disarikan dalam tabel berikut ini.
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH54
Tabel 14. Fungsi Lembaga Pembiayaan Infrastruktur di Indonesia
InstitusiPeni-laian
Proyek
Alter-natif
Sum ber Dana
Persi-apan & Pelak-sanaan Proyek
Jasa Konsul-
tasi Proyek
Pena-rikan Ang-suran
Pinjam-an
Mana-jemen Risiko
PT. SMI √
√(Saat ini masih 100% Peme-rintah
RI)
√ √ √ √
BLU PIP √
X(hanya
dari APBN)
X X √ √
Sumber: Disarikan dari situs resmi PT. SMI dan PIP
4.5. Opsi Kelembagaan MDF dalam Jangka Pendek
Seperti yang telah diuraikan dalam analisis kelembagaan, bentuk ideal bagi
sebuah MDF yang akan dikembangkan di Indonesia adalah sebuah BUMN
baru. Namun demikian, dalam upaya untuk membentuk sebuah BUMN baru,
diperlukan berbagai proses, prosedur dan persyaratan yang biasanya tidak
mudah dipenuhi dalam jangka pendek (satu tahun).
Mengingat urgensi dari pembangunan infrastruktur di daerah saat ini,
maka perlu dipertimbangkan beberapa opsi jangka pendek yang dapat dipilih
oleh pemerintah, dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pokok MDF terse-
but, apabila pemerintah berkehendak untuk menjalankan beberapa kegiatan
pokok MDF saat ini.
Opsi jangka pendek ini adalah sebuah rencana transisi menuju ke bentuk
MDF yang ideal yaitu sebuah BUMN, seperti yang telah diuraikan sebe lum nya.
Berikut ini adalah beberapa opsi yang dimungkinkan dalam jangka pen-
dek:
MDF SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH DI INDONESIA 55
1. Transisi dari BUMN yang telah ada.
2. Transisi dari BLU yang telah ada
3. Membentuk BLU baru.
Gambar 13. Opsi Kelembagaan MDF dalam Jangka Pendek
4.5.1. Transisi dari BUMN yang telah ada
Untuk mewujudkan MDF dalam waktu yang tidak terlalu lama, salah satu
kemungkinan yang dielaborasi adalah “menitipkan” MDF pada BUMN yang
sudah ada. Saat ini PT. SMI adalah BUMN yang mempunyai fokus untuk men-
dukung pembangunan infrastruktur di Indonesia melalui fungsinya sebagai
katalisator/fasilitator antara pemilik proyek dan investor. Dua aktivitas utama
PT. SMI adalah memberikan fasilitas advisory dan menyediakan pinjaman
pembiayaan bersama (cofinancing). PT. SMI juga mempunyai posisi strategis
dalam pembangunan infrastruktur berskema PPP dimana sponsor utama
pembiayaan adalah pihak swasta.
Jika MDF dijadikan bagian dari PT. SMI, maka Pemerintah perlu melakukan
beberapa perubahan/penyesuaian untuk mengadopsi tujuan dan karakteristik
MDF yang agak berbeda dengan tujuan PT. SMI saat ini. Selain itu, PT. SMI
juga mempunyai kepentingan untuk menghimpun modal dari luar, sehingga
perlu menjaga credit rating yang baik. Memasukkan MDF sebagai suatu divisi
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH56
baru di PT. SMI akan membawa beberapa konsekuensi, misalnya perlunya pe-
nambahan sumber daya, penyesuaian terhadap aturan atau acuan pemberian
pinjaman, mempengaruhi neraca keuangan PT. SMI, dan sebagainya.
Dalam skenario MDF sebagai anak perusahaan PT. SMI, PT. SMI bukanlah
satu-satunya pemegang saham, tetapi idealnya ada dua atau tiga pemegang
saham lainnya. Penyertaan modal Pemerintah dititipkan melalui PT. SMI ka rena
PT. SMI mempunyai bisnis yang sejalan dan kompetensi yang sesuai untuk
menjadi pengawas/shareholder dari MDF. Pendirian MDF sebagai anak per usa-
haan PT. SMI perlu dikaji lebih serius, terutama aspek proses legal dan dam-
paknya terhadap kinerja dan operasional PT. SMI.
Untuk menjaga kepastian pengamanan pinjaman, BUMN MDF memerlu-
kan beberapa skenario yang memerlukan campur tangan Pemerintah:
1. Saat ini BUMN tidak memiliki instrumen untuk mengamankan pinjaman
ke daerah. Berbeda dengan PIP, maka PT. SMI atau BUMN MDF tidak me-
miliki kemampuan untuk melakukan intercept, yang berupa pemotongan
DAU/DBH Pemerintah Daerah yang mengalami masalah dalam pengem-
balian pinjamannya. Oleh karena itu, salah satu aspek yang diusulkan oleh
PT. SMI adalah diberikannya kemampuan untuk melakukan intercept yang
berupa pemotongan DAU, untuk Pemda yang mengalami masalah da-
lam pinjamannya. Mekanisme ini dapat diberikan secara tidak langsung,
artinya yang akan melakukan eksekusi dari intercept ini bukanlah PT. SMI,
melainkan Kementerian Keuangan, selaku regulator dan Ditjen terkait
yang akan melaksanakan pemotongan DAU kepada Pemda yang tidak
mengembalikan pinjaman kepada BUMN MDF. Untuk itu perlu disusun
desain kerja yang jelas antara Kementerian Keuangan dan BUMN MDF
terkait dengan operasional intercept ini, misalnya bagaimana mekanisme
agar Pemerintah bisa membayarkan uang tersebut ke MDF.
2. Opsi lain adalah dengan membuat rekening bersama (escrow account).
Namun hal ini berpotensi melanggar aturan pelarangan memberikan kola-
teral (jaminan pinjaman) dari Pemda sesuai dengan UU No. 33 Tahun 2004
yang menyatakan bahwa Pemerintah Daerah tidak diperbolehkan men-
jadikan pendapatan daerah dan aset daerah sebagai jaminan pinjaman.
Untuk itu, sebagai upaya untuk memperkuat penjaminan atas pinjaman
MDF SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH DI INDONESIA 57
daerah, maka diusulkan agar Pasal 55 (2) UU No. 33 Tahun 2004 direvisi
sehingga memungkinkan penjaminan kolateral untuk pinjaman daerah.
3. Untuk proteksi pinjaman, selain kedua kebijakan tersebut, pada dasarnya
BUMN MDF juga dapat memberikan persyaratan komitmen dari Peme-
rintah Daerah untuk melakukan pembayaran pinjaman sesuai dengan
jadwal yang telah ditentukan. Salah satu bentuk yang dapat dilakukan
adalah, setiap pinjaman daerah tersebut harus disetujui oleh DPRD dan
dituangkan dalam suatu Perda (Peraturan Daerah) yang menyatakan ke-
sediaan Pemerintah Daerah untuk melunasi pinjaman sesuai tenor dan
tidak tergantung pada pergantian pejabat kepala daerah. Praktek ini
telah dilakukan oleh PIP, dan keliatannya cukup berhasil dalam mengelola
pinjaman daerah yang telah diberikan oleh PIP. Pertanyaannya, seberapa
jauh sebuah BUMN dapat menerapkan ketentuan ini kepada sebuah
Pemerintah Daerah, termasuk DPRD. Sedikit berbeda dengan PIP, yang
posisinya sebagai belanja investasi melekat pada fungsi Pemerintah Pusat,
yang dapat menerapkan ketentuan penerbitan Perda tersebut. Mung-
kinkah BUMN MDF dapat menerapkan ketentuan ini untuk setiap pin-
jaman daerah yang akan diberikan? Hal ini membutuhkan kajian menge-
nai aspek legal formal dan teknis secara lebih mendalam.
4. Agar credit rating PT. SMI dapat terjaga, maka aktivitas MDF perlu dica tat-
kan dalam buku yang terpisah (subledger). Pencatatan Penyertaan Modal
Negara (PMN) awal untuk MDF sebagai hibah akan memberikan efek netral
terhadap kinerja keuangan PT. SMI. Ini berlawanan dengan pencatatan
PMN sebagai utang, yang antara lain dapat langsung menghempaskan
DebttoEquity Ratio (DER) PT. SMI.
5. Di sisi lain, masuknya dana titipan untuk modal BUMN MDF melalui PT.
SMI membuat pencatatan ekuitas PT. SMI meningkat. Yang patut dipikir-
kan adalah bagaimana supaya BUMN MDF ini dapat bekerja cepat se hing-
ga modal kerjanya cepat tersalurkan sebagai investasi jangka panjang.
Dengan demikian, nilai Return on Equity (ROE) PT. SMI tidak menjadi
turun akibat penempatan dana ke MDF.
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH58
4.5.2. Transisi dari BLU yang telah ada
PIP sebagai BLU telah melakukan beberapa pinjaman ke daerah berbasis pro-
yek. Model pinjaman yang dijalankan oleh PIP adalah suatu model pinjaman
pemerintah sebagai bagian dari kebijakan fiskal, atau dengan kata lain, PIP
sebagai BLU menjalankan fungsi belanja investasi Kementerian Keuangan.
Hal ini berbeda dengan MDF yang bukan bertindak sebagai spending agent
dari Kementerian Keuangan untuk menyalurkan dana APBN. Sebagai BLU, PIP
terikat pada sistem birokrasi dan mempunyai tujuan dan aktivitas sendiri. PIP
sendiri saat ini telah mempunyai kapasitas dan metode untuk menjalankan
tugas tersebut.
BLU—seperti yang dibahas pada aspek institusional—memiliki beberapa
keterbatasan sistem yang tidak mendukung tujuan MDF seperti yang di usul-
kan. Sebagai bagian dari exercise untuk mengelaborasi semua kemungkinan
pendirian MDF dalam jangka pendek, seandainya PIP akan mengemban tugas
sebagai MDF, maka ada beberapa hal yang harus dicarikan solusinya, ter utama:
(a) apakah PIP dapat mengubah konsep pemberian pinjaman dari project
based ke entitybased? Pinjaman MDF disematkan pada kemampuan Pemda
(capacity of borrower) sebagai entitas debitur yang akan bertanggung jawab
untuk menjalankan proyek dan membayar kembali pinjaman, bukan pada
kemampuan proyek untuk menghasilkan penerimaan dan membayar pinjam-
an, (b) bagaimana dampak MDF terhadap sistem yang melingkupi PIP jika
MDF memerlukan penghimpunan dana atau menerima dana hibah sebagai
komponen insentif pada calon peminjam, dan (c) apakah konsep MDF yang
ramping dan independen dapat terwujud jika didirikan sebagai bagian dari
PIP yang telah mapan dengan kondisi tersendiri untuk melaksanakan bebe-
rapa tugas lain yang diamanatkan pada PIP.
Mandat PIP sebagai pengelola kekayaan negara untuk diinvestasikan
(sovereign wealth fund) sesuai dengan PP No. 1 Tahun 2008 sangat luas baik
dalam skala maupun cakupan tujuan manfaat. Di lain pihak, tujuan dan skala
MDF sangat spesifik tetapi memerlukan keleluasaan ruang gerak yang sulit
dilakukan jika masuk dalam sistem birokrasi. Dalam melaksanakan tugasnya
yang besar ter sebut, PIP sebagai lembaga yang relatif baru tampaknya masih
dalam proses, karena jumlah modal kelolaan yang belum tersalurkan masih
cukup besar.
MDF SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH DI INDONESIA 59
Seandainya MDF dimasukkan ke dalam PIP, maka ada tambahan tugas
baru untuk PIP dan kondisi baru yang memerlukan penyesuaian yang tidak
sederhana untuk mencapai tujuan MDF. Hal ini berpotensi mengganggu PIP
dalam menjalankan tujuan dan tugasnya saat ini, dan mungkin menuntut “pe-
ngorbanan” PIP jika mengutamakan memenuhi konsep MDF. Dalam jangka
menengah, MDF yang ideal adalah berbentuk BUMN, hal ini merupakan fak-
tor yang harus dipertimbangkan secara serius: apakah PIP atau divisi MDF PIP
dalam jangka menengah bisa ditransformasikan ke dalam bentuk BUMN?
Untuk tetap memegang teguh hasil analisis kelembagaan, dimana ben-
tuk terbaik untuk MDF adalah berupa BUMN, maka opsi jangka pendek de ngan
“menitipkan” fungsi MDF kepada PIP dilakukan melalui sebuah mekanisme
transisi secara bertahap yang dapat diilustrasikan dalam Gambar berikut ini:
Gambar 14. Tahapan Transisi PIP Menuju BUMN Pelaksana MDF
Gambar 14 menunjukkan ilustrasi tahapan transisi jika fungsi MDF da lam
jangka pendek diintegrasikan ke dalam PIP. Karena MDF mempunyai karak-
teristik dan tujuan tersendiri, maka untuk membuat PIP dapat melaksanakan
dengan segera fungsi MDF ini, diperlukan sebuah penugasan baru oleh Men-
teri Keuangan. Dalam statusnya sebagai sebuah BLU dengan beberapa keter-
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH60
batasan, maka fungsi utama MDF yang pertama akan dilaksanakan oleh PIP
adalah memberikan pinjaman daerah. Walaupun PIP saat ini telah melakukan
pinjaman daerah, namun pinjaman yang akan diberikan oleh PIP sebagai MDF
tidak terbatas pada project based financing namun juga entity based financing
untuk infrastruktur daerah yang tidak menghasilkan penerimaan (nonrevenue
generating project). Sumber pembiayaan PIP dalam melaksanakan fungsi MDF
ini adalah dana kelolaan PIP yang belum disalurkan yang berasal dari APBN
(Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara).
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, agar Indonesia memiliki se buah
MDF yang kuat dan strategis sebagai institusi pembiayaan infrastruktur dae-
rah, maka bentuk MDF yang optimal adalah berupa BUMN (Badan Usaha Milik
Negara). Oleh karena itu, diperlukan sebuah itikad yang besar untuk mewujud-
kan cita-cita ini. Salah satu bentuk komitmen yang dapat dilakukan pemerintah
adalah saat menugaskan pelaksanaan fungsi MDF kepada PIP, Menteri Ke uangan
juga memberikan batasan waktu transisi fungsi MDF di dalam PIP. Dalam
skenario yang dibuat oleh kajian ini, Menteri Keuangan menetapkan waktu
transisi selama 3 tahun bagi MDF untuk berada dalam PIP dengan tugas
utama melakukan penyaluran pinjaman daerah untuk infrastruktur daerah,
baik revenue maupun nonrevenue generating projects. Setelah itu, PMK
menyatakan sebuah komitmen untuk menjadikan MDF sebagai BUMN pada
tahun ke-4, dengan fungsi yang lebih luas yaitu tidak saja menyalurkan pin-
jaman tapi juga memiliki kemampuan menghimpun modal dari sumber di
luar pemerintah.
Di masa depan MDF diharapkan menjadi BUMN yang tumbuh dan sinam-
bung, dengan jumlah modal yang makin meningkat. Dengan kemampuan MDF
untuk beritengrasi ke Pasar Modal, maka tidak hanya BUMN MDF yang akan
mendapatkan keuntungan untuk menghimpun modalnya sendiri, tetapi juga
membuka kemungkinan buat menawarkan bonds paket investasi proyek
Pemda secara kumpulan.
4.5.3. Transisi dengan BLU Baru
Alternatif lain yang dipertimbangkan adalah membentuk MDF sebagai suatu
BLU baru. Dalam konteks konsep ideal MDF seperti yang dituliskan sebelumnya
pada subbab ini, pada masa depan MDF akan berbentuk BUMN. Mendirikan
MDF SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH DI INDONESIA 61
BLU baru dengan maksud tidak mengganggu sistem di PIP sebagai pilihan tran-
sisi, karena untuk mencapai tujuan efektif MDF perlu dalam format BUMN.
Jadi kondisi yang disyaratkan adalah BLU MDF hanyalah bersifat semen-
tara, untuk kemudian ditransformasikan sebagai BUMN baru. Secara biaya
(termasuk biaya perubahan, biaya administrasi, dan sebagainya), membentuk
BLU baru ini akan lebih murah dibanding mengubah PIP, karena hal ini terkait
dengan tujuan utama PIP sebagai Sovereing Wealth Fund, yang perlu me nye-
suaikan dengan fungsi MDF untuk melakukan pinjaman daerah yang memiliki
risiko besar terutama untuk nonrevenue generating projects.
Namun pada akhirnya harus tetap diingat bahwa secara konteks tujuan
besar, yaitu untuk menjadi sebuah MDF potensial dalam jangka menengah
dan jangka panjang, maka pengalaman internasional membuktikan bahwa
bentuk BLU baru inipun bukanlah bentuk optimal untuk sebuah pendirian
MDF. Jadi, bila opsi membentuk BLU baru ini yang akan dipilih, maka diperlu-
kan juga sebuah tahapan, yang memungkinkan bahwa bentuk BLU ini akan
menjadi bentuk BUMN di dalam jangka menengah. Tahapan yang akan ditem-
puh kurang lebihnya mirip dengan tahapan transisi dengan BLU yang sudah
ada (PIP).
62
Desain Kebijakan
Desain kebijakan yang mencakup insentif, struktur modal, model pengelolaan dan kriteria penting lainnya diperlukan
sebagai koridor untuk mencapai tujuan yang diinginkap. Pemilihan Opsi jangka pendek diikuti dengan persyaratan kondisi untuk mempersiapkan MDF menjadi BUMN setelah tiga tahun.
5.1. Desain Insentif
Insentif dapat diberikan dalam bentuk fiskal dan non-fiskal. Insentif fiskal
da pat diberikan dalam bentuk subsidi modal, subsidi bunga pinjaman, atau
masa tenggang waktu memulai cicilan pembayaran.
Subsidi modal cocok untuk proyek berskala menengah-besar atau untuk
Pemerintah Daerah (Pemda) yang tidak mempunyai keleluasaan besar dalam
kapasitas fiskalnya. Seperti halnya dalam dukungan Vialibity Gap Funding
(VGF) yang diberikan pemerintah melalui Permenkeu No.223/PMK.011/2012
untuk proyek PPP, insentif biaya konstruksi dapat diberikan hanya jika kriteria
5
‘‘’’
DESAIN KEBIJAKAN 63
tertentu dipenuhi, misalnya: ukuran proyek minimal Rp 100 miliar dan subsidi
tidak mendominasi dari keseluruhan nilai proyek. Keunggulan dari subsidi
modal adalah menurunkan biaya proyek yang ditanggung pembangun se-
hing ga dapat menekan ongkos pengembalian, misalnya melalui user charges
yang lebih rendah.
Gambar 15. Desain Insentif MDF
Subsidi bunga pinjaman memberikan efek psikologis “pinjaman murah”
bagi Pemerintah Daerah peminjam, walaupun dalam kalkulasi total pemberi
pinjaman, subsidi bunga dapat diatur pada nilai yang sama dengan subsidi
modal. Subsidi ini akan meningkatkan popularitas MDF sehingga cocok un-
tuk alat marketing. Meskipun demikian, bunga pinjaman yang terlalu rendah
dapat menimbulkan insentif psikologis seakan proyek tersebut proyek murah
yang tidak membutuhkan komitmen tinggi. MDF dapat memanfaatkan sub-
sidi bunga dengan menetapkan bunga pinjaman di bawah bunga komersial
yang berlaku tetapi tidak terlalu rendah, sehingga tetap menutup biaya ope-
rasi, cost of funds, dan menambah akumulasi modal. Pada saat ini tingkat
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH64
bunga PIP berada pada kisaran 9% per tahun dengan masa tenggang 12
bu lan, sedangkan dari studi TADF tahun 2012 diperkirakan angka 3% sebagai
tingkat bunga pinjaman yang dianggap Pemda sesuai. Dari pengalaman
TNDUF, biaya operasional berada pada kisaran di bawah 0,5%, sehingga jika
MDF dapat beroperasi secara efisien, tingkat bunga 3%-5% sudah cukup
un tuk menutup semua biaya dan tujuan di atas yang mencakup biaya operasi,
biaya pinjaman/ekuitas, dan tambahan modal.
Masa tenggang memulai pengembalian utang atau grace period me-
rupakan penundaan yang dapat dikuantifikasi dan dihitung secara ekuivalen
sebagai subsidi fiskal, karena adanya konsep time value of money. Penundaan
cicilan memberikan ruang bagi Pemda untuk melakukan konsolidasi anggaran
dan menerima manfaat proyek sebelum memulai kewajiban cicilan.
Selain insentif fiskal, dimungkinkan untuk memberi insentif non-fiskal
yang berupa: fasilitas bantuan teknis untuk persiapan proyek (Project Develop
ment Fund / PDF), pembangunan kapasitas penyelenggara proyek di daerah
(capacity building), bantuan teknis untuk perbaikan sistem di Pemda, serta
ban tuan untuk mendapatkan credit rating dari pemeringkat. Insentif non-
fiskal ini penting untuk meningkatkan kemampuan Pemda dalam meren-
canakan, melaksanakan dan mengelola proyek infrastruktur, membangun
sistem yang lebih baik untuk Pemda yang lebih kredibel, kompeten, dan
transparan, serta mengurangi risiko kegagalan.
5.2. Struktur Modal
Struktur modal awal MDF dapat berupa 100% modal atau dengan komposisi
modal-utang. Modal murni dapat menekan biaya pinjaman, jika dipandang
dari sisi neraca keuangan institusi karena tanpa cost of funds; walaupun oppor
tunity cost dari alokasi tersebut harus dipertimbangkan dari sisi kebijak an fiskal.
Mengingat bahwa tujuan MDF adalah meningkatkan investasi infra struktur
daerah yang menjadi permasalahan nasional selama dekade terakhir, maka
justifikasi opportunity cost menjadi valid. Sumber modal murni dapat ber asal
dari Pemerintah atau Non Pemerintah seperti ilustrasi pada Gambar 16.
DESAIN KEBIJAKAN 65
Gambar 16. Alternatif Sumber Modal Bagi MDF
Konsekuensi pilihan modal atau utang yang berasal dari Pemerintah
adalah potensi munculnya problem soft budget constraint dimana pengelola
MDF akan merasa dana tersebut lunak dan tidak ada sanksi keras jika tidak bisa
memenuhi target. Kecenderungan untuk disiplin dalam pengelolaan dana
akan semakin tinggi jika dana tersebut terikat dengan kondisi yang ke tat dan
konsekuensinya ditegakkan. Biasanya hal ini berlaku jika entitas kreditur ada-
lah entitas yang berbeda dari pengelola, semisal kreditur utang dari peme rin-
tah/lembaga internasional/swasta dan pengelola dari kalangan profesional
independen.
Selain itu, utang yang berasal dari lembaga luar negeri mempunyai kon-
sekuensi fiskal ke APBN, melalui kewajiban pemerintah sebagai debitur. Ka rena
itu, salah satu proposal modal yang patut dipertimbangkan adalah komposisi
ekuitas dominan dari Pemerintah ditambah ekuitas/utang langsung dari
lembaga non-pemerintah yang tidak berbentuk two-step loan. Tetapi utang
dari lembaga non-pemerintah mungkin akan didapat pada tingkat bunga
lebih tinggi dari 2,5% sehingga tidak mungkin MDF memberikan pinjaman
dengan kisaran bunga 3%.
Pilihan terbaik untuk tahap awal pendirian adalah komposisi modal murni
campuran, yaitu berasal dari APBN dan pemodal lainnya. Pemilik modal lain-
nya bisa berasal dari mana saja, sepanjang komposisi saham mereka cukup
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH66
signifikan untuk memberi suara dan melakukan pengawasan aktif, tetapi
tidak tunggal sehingga tidak ada dominasi satu pemilik modal.Ke depannya,
terbuka kemungkinan MDF menambah utang sebagai modal kerja tambahan,
misalnya melalui penerbitan bonds.
5.3. Model Pengelolaan
Pengelolaan MDF harus bersifat independen, profesional, dan efisien. Dewan
direksi dipagari oleh prinsip hard budget constraint sehingga tidak ada dana
tambahan Pemerintah untuk menutup kerugian karena kesalahan manajemen.
Sistem reward and punishment juga harus mengacu pada pasar, sehingga
MDF mampu menarik best talents di kalangan profesional dan fleksibel untuk
mengganti direktur dan staf yang tidak berhasil dalam menjalankan misi
MDF. Harus dibuat Key Perpormance Indicator (KPI) yang jelas dan terukur
sebagai target kerja pengelola dan acuan evaluasi.
Gambar 17. Model Pengelolaan
5.4. Proteksi Pinjaman
Pinjaman selalu mengandung risiko gagal bayar (NonPerforming Loan/NPL).
Lembaga pinjaman harus mempunyai cara untuk meminimasi risiko gagal ini.
Dalam kasus pinjaman dari Pemerintah ke daerah yang dilakukan oleh Men-
teri Keuangan atau pejabat yang diberi kuasa oleh Menteri Keuangan (ter-
DESAIN KEBIJAKAN 67
masuk PIP), sanksi bagi daerah penunggak melalui pemotongan DAU dan
atau DBH telah diatur dalam PMK No 47/PMK.07/2011 , dengan memperhati-
kan kapasitas fiskal daerah yang bersangkutan. Intersep ini memberikan satu
sistem pengaman dari NPL bagi PIP. Hal ini membuka satu opsi kemungkinan
apakah MDF dapat menggunakan sistem intersep dana transfer sebagai
pem bayaran otomatis ketika Pemda gagal bayar.
Gambar 18. Proteksi Pinjaman
Cara pengamanan pinjaman lainnya adalah melalui pemanfaatan escrow
account atau rekening khusus proyek yang dapat diakses oleh kreditur.
Escrow account dapat dijadikan rekening yang memakai autodebet untuk
pembayaran cicilan pada saat Pemda tidak gagal bayar, atau membayar cicil-
an otomatis saat Pemda gagal bayar ke rekening kreditur.
Selain itu, patut diperhatikan PP No. 30 Tahun 2011 tentang Pinjaman
Daerah, pa sal 5 yang menyatakan bahwa (i) Pemerintah Daerah tidak dapat
memberikan jaminan atas pinjaman pihak lain, dan (ii) Pendapatan Daerah
dan/atau ba rang milik daerah tidak dapat dijadikan jaminan Pinjaman Daerah.
Hal ini akan berpengaruh pada jenis pelaksana proyek yang ditunjuk Pemda,
apakah terpisah atau merupakan bagian dari Pemda. Selain itu pendapatan
dan aset daerah tidak dapat dijadikan kolateral pinjaman. Dari sini terlihat
bah wa peraturan yang ada saat ini membatasi ruang gerak pinjaman yang
berbasis proyek sehingga MDF akan menganut konsep pinjaman berbasis
entitas peminjam (Pemda). Ini juga merupakan konsep pinjaman yang
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH68
dilakukan oleh TNUDF. Proyek merupakan alasan legal bagi daerah untuk
mengajukan proposal pinjaman ke MDF tetapi kemampuan meminjam dan
membayar pinjaman akan diputuskan berdasarkan kondisi dan kapasitas
Pemerintah Daerah tersebut. Dalam hal ini, MDF menyediakan solusi bagi
Pemda untuk membangun infrastruktur yang menyediakan layanan publik
walaupun tidak menghasilkan pemasukan atau cashflow proyek tidak cukup
untuk mencapai titik impas utang.
Sistem pengaman yang mungkin dipilih akan dikaji lebih jauh lagi –ter-
masuk kelebihan dan kekurangannya– dalam studi teknis pendirian MDF.
Secara prinsip, ada dua hal yang menjadi spirit sistem tersebut: (i) memilih
peminjam yang mempunyai risiko gagal minimal, dan (ii) mempunyai exit stra
tegy untuk menyelesaikan NPL. Karena itu proses penyaringan bagi Pemda
yang ingin mengajukan pinjaman akan menjadi filter pertama dan utama
sebelum memutuskan memberikan pinjaman. Hal ini sesuai dengan konsep
MDF yang memberi pinjaman dengan mengutamakan penilaian terhadap
profil peminjam, bukan hanya profil proyek.
5.5. Kriteria Pemerintah Daerah yang Berhak Meminjam
Kriteria peminjam merupakan hal yang paling penting karena sistem tidak
menginginkan adanya kegagalan secara struktural. Jika Pemda memang be-
lum mampu meminjam, maka seharusnya mendapatkan sumber pembiaya an
lain seperti hibah. Pinjaman diberikan hanya pada daerah yang mempunyai
kapasitas untuk membayar pinjaman.
Kriteria peminjam secara umum mencakup dua hal, pertama adalah
kriteria yang menunjukkan potensi kemampuan meminjam, dan kedua
adalah kemampuan meyakinkan kreditur. Pengertian pertama mencakup
kondisi ekonomi dan keuangan daerah sedangkan kriteria kedua berkaitan
dengan hal teknis semisal membuat proposal yang memenuhi syarat dan
menunjukkan komitmen yang serius.
DESAIN KEBIJAKAN 69
Gambar 19. Kriteria Pemerintah Daerah yang Berhak Meminjam
Potensi daerah untuk meminjam ditunjukkan oleh beberapa penilaian
yang mencakup: a) keadaan ekonomi daerah, b) kinerja anggaran, c) du-
kungan politik daerah, d) kapasitas manajemen proyek, e) transparansi dan
akuntabilitas, f) strategi pembiayaan (belanja modal) dan pengelolaan utang,
dan g) jaminan yang dapat diberikan.
Kemampuan daerah untuk meyakinkan kreditur ditunjukkan antara lain
melalui: a) proposal meminjam yang memenuhi standar, dan b) kemampuan
bernegosiasi dan menunjukkan komitmen. Kedua hal ini berkaitan erat de-
ngan kapasitas Pemda. Tampaknya cukup banyak Pemda yang mampu me-
menuhi kriteria pertama, yaitu kondisi ekonomi dan keuangan daerah yang
memenuhi syarat, tetapi belum tentu mempunyai kemampuan untuk mem-
buat proposal pinjaman dan bernegosiasi. Hal ini mendukung adanya sistem
yang diusulkan sebelumnya yaitu alokasi dana insentif non-fiskal dalam ben-
tuk Capacity Building dan Technical Assistance.
Barang publik lokal yang berkaitan dengan kualitas kesejahteraan ma-
syarakat dan pendukung aktivitas ekonomi masyarakat umumnya dimiliki oleh
daerah Kabupaten dan Kota. Tetapi Pemerintah Provinsi juga memiliki wewe-
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH70
nang untuk membangun jalan provinsi, rumah sakit provinsi, sistem integrasi
antar daerah untuk air bersih, sanitasi dan lingkungan, dan beberapa barang
publik provinsi lainnya. Berdasarkan FGD dan penyebaran kuesioner yang di-
lakukan pada tahun 2012, yang mencakup Provinsi dan Kabupaten/Kota, di-
temukan bahwa potensi meminjam untuk membangun infrastruktur muncul
dari kedua jenis pemerintahan. Dengan demikian, diusulkan bahwa MDF da-
pat meminjamkan dana infrastruktur baik kepada Pemerintah Provinsi mau-
pun Pemerintah Daerah, sepanjang memenuhi kriteria jenis infrastruktur dan
kriteria pinjaman.
Pembahasan mengenai eligibitas Pemerintah Daerah untuk meminjam
tidak akan dapat lepas dari pembahasan mengenai tunggakan pinjaman
daerah saat ini. Saat ini ratusan Pemerintah Daerah dan BUMD tercatat me-
miliki total tunggakan kepada Pemerintah Pusat dari rejim pinjaman masa
lalu berupa Rekening Dana Investasi dan Rekening Pembangunan Daerah
sebesar hampir 30 triliun rupiah (Direktorat Jenderal Perbendaharaan, 2012).
Apabila dihitung secara kasar dengan menggunakan asumsi sederhana sesuai
dengan peraturan perundangan yang berlaku saat ini, dimana seluruh
Pemerintah Daerah dapat meminjam hingga 75% dari kapasitas APBD me-
reka, dengan total defisit nasional sebesar 2,5%, maka sesungguhnya kapa-
sitas maksimal Pemerintah Daerah untuk menyerap pinjaman daerah untuk
infrastruktur dari berbagai sumber dapat mencapai angka 91 triliun rupiah.
Dengan adanya tunggakan pinjaman daerah kepada Pemerintah Pusat
warisan masa lalu, angka itu turun menjadi sekitar 60 triliun rupiah.
Salah satu problematika penyelesaian tunggakan tersebut adalah keti-
dakjelasan mekanisme pembayaran kembali. Karena itu, diperlukan suatu stra-
tegi untuk penyelesaian tunggakan pinjaman daerah masa lalu untuk mem-
perbesar kapasitas Pemerintah Daerah dalam menyerap pinjaman, sekaligus
juga menyelesaikan kendala administrasi di beberapa Daerah yang secara
kapasitas fiskalnya mampu meminjam tetapi terdiskualifikasi karena masih
memiliki tunggakan pinjaman dari masa lalu.
DESAIN KEBIJAKAN 71
5.6. Kelembagaan MDF
Dari uraian sebelumnya tentang berbagai bentuk institusi yang telah diela-
borasi untuk membentuk MDF yang independen, profesional, dan efisien,
kita sampai pada solusi ideal yang mengerucut pada pembentukan sebuah
BUMN baru. Jika Pemerintah memilih melakukan hal ini, maka perlu disiapkan
draft PP dan kerjasama dengan Kementerian Negara BUMN. Keperluan pem-
bangunan infrastruktur daerah perlu direspon secepatnya melalui berbagai
jalan yang mungkin. Jika Pemerintah menginginkan pendirian MDF dalam jangka
pendek, strategi yang mungkin diambil adalah memilih opsi dengan proses
administrasi dan politik yang sesederhana mungkin.
Opsi yang tersedia adalah mendirikan MDF sebagai salah satu divisi
PT SMI. Jika MDF dititipkan di bawah PT SMI maka proses pembentukan akan
lebih sederhana tetapi masih perlu kajian lebih dalam mengenai efektivitas
bentuk ini. Dengan tujuan dan tugas MDF yang spesifik dan cukup kompleks
karena memberikan pinjaman kepada Pemerintah Daerah yang diikat oleh
berbagai peraturan perundangan, maka pendirian divisi MDF pada PT SMI
berpotensi menambah beban PT SMI saat ini dan berpotensi mengganggu
tujuan utama didirikannya PTSMI. Selain itu, usulan untuk mempunyai kom-
posisi modal campuran antara pemerintah (>50%) dan pihak swasta lainnya,
tidak sesuai dengan status PT SMI yang sahamnya 100% dimiliki pemerintah.
Opsi selanjutnya adalah membentuk MDF sebagai anak perusahaan
PT SMI. Jika pemerintah memilih untuk mendirikan MDF sebagai salah satu
anak perusahaan PT SMI, sebaiknya pemilik modal adalah campuran, bukan
hanya PT SMI. Dari sisi legal formal, proses yang diperlukan tidak rumit yaitu
melalui keputusan RUPS. Tetapi untuk pemodalan, permintaan dana baru dari
APBN memerlukan persetujuan dari Kementerian Keuangan dan juga dari
DPR. Hal ini bisa menjadi kendala serius dari sisi waktu.
Pilihan lainnya yang terbuka adalah mendirikan MDF sebagai bagian
dari PIP (Pusat Investasi Pemerintah). Sebagai BLU yang sudah beroperasi
dan dibawah otoritas penuh Menteri Keuangan pilihan ini adalah pilihan
yang mungkin bisa dilaksanakan dalam waktu yang paling singkat dibanding
opsi lainnya. Selain itu, opsi terakhir yang mungkin adalah pendirian BLU MDF
(baru) sebagai transisi ke BUMN. BLU ini bisa mendapatkan modal yang
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH72
disuntikkan dari PIP sebagai bagian dari investasi PIP. Kedua opsi terakhir ini
hanya memerlukan keputusan pada tingkat Peraturan Menteri Keuangan.
Dua pilihan terakhir, yaitu MDF dalam bentuk BLU atau bagian dari PIP
harus dipandang sebagai proses transisi menuju PT. MDF, demi menjaga agar
di masa depan fungsi dan tujuan MDF tercapai. Proses transisi ini harus diberi
kerangka yang jelas dan terukur, termasuk: (i) lama waktu transisi, (ii) proses
yang dilakukan pada masa transisi, (iii) prinsip yang harus diterapkan oleh
MDF PIP atau BLU MDF, dan (iv) model pengelolaan MDF PIP atau BLU MDF.
Lama waktu transisi sebaiknya dibatasi maksimum 3 tahun, dengan
pertimbangan bahwa waktu tersebut cukup untuk mempersiapkan PP
BUMN dan melakukan koordinasi serta sosialisasi. Sementara itu MDF PIP
selama masa 3 tahun ini diharapkan sudah melakukan fungsinya yang men-
cakup membangun sistem seperti SOP, audit, dan sebagainya, serta menya-
lurkan pinjaman, membantu membangun kapasitas Pemda, dan mengaku-
mulasikan pengalaman dan pengetahuan (experience and knowledge accum
mulation).
Proses yang perlu dilakukan adalah merumuskan model pengelolaan
MDF yang akan dilakukan pada saat MDF menjadi BUMN, melakukan moni-
toring dan evaluasi dari pinjaman yang disalurkan untuk menyempurnakan
SOP, dan membuat rencana pengelolaan dan penghimpunan modal sebagai
BUMN.
5.7. Kerjasama dengan Entitas Lain
Jika MDF didirikan, baik sebagai BUMN baru, maupun sebagai BLU MDF, tetap
dimerlukan kerjasama dengan berbagai pihak. MDF dapat menjalin kerjasama
dengan PT SMI dalam penyediaan Technical Assistance dan Capacity Building
bagi Pemda. Kerjasama juga dapat dilakukan dengan PIP, terutama untuk
me nangani aspek administrasi daerah yang dipelajari dari pengalaman PIP
memberikan pinjaman ke daerah.
DESAIN KEBIJAKAN 73
Gambar 20. Kerjasama MDF dengan Entitas Lain
Selain itu, kerjasama dengan pihak yang relevan dan kompeten di bidangnya
akan sangat membantu efektivitas dan percepatan pekerjaan MDF. Pihak luar
ini semisal lembaga penilai kelayakan proyek, konsultan dalam bidang analisis
investasi yang spesifik, lembaga pemeringkat, konsultan manajemen proyek,
penilai dampak lingkungan, perbankan, dan sebagainya. Kerjasama ini diper-
lu kan untuk mendukung konsep lembaga MDF yang ramping, independen
dan profesional; sehingga pekerjaan yang bersifat tidak reguler dan berubah-
ubah sebaiknya dilakukan dalam bentuk outsourcing.
Prinsip di atas juga berlaku jika Pemerintah memilih mendirikan MDF di
bawah PIP sebagai transisi. MDF bisa memanfaatkan kompetensi PIP dan be-
kerjasama dengan pihak lain. Apapun keputusan Pemerintah mengenai ben-
tuk MDF, masih memerlukan studi mengenai aspek legal formal dan teknis,
yang diturunkan dari prinsip-prinsip yang diuraikan dalam laporan ini. Peme-
rin tah juga perlu memperhatikan dan memberikan batasan timing yang tepat:
mulai dari kegiatan tindak lanjut, waktu terbentuknya MDF, dan masa transisi
(jika bukan BUMN) sampai target 3 tahun pertama dari MDF ini.
74
Kesimpulan dan Rekomendasi
Laporan ini mengelaborasi alasan dibutuhkannya pendirian MDF dengan
prinsip dasarnya di Indonesia, serta memuat aspek kelembagaan dan
teknis yang terkait. Dapat disimpulkan bahwa MDF dibutuhkan sebagai
salah satu alternatif untuk mengisi celah pembiayaan infrastruktur daerah.
MDF tidak mengeliminasi atau bersaing dengan institusi lain yang sudah ada,
tetapi bersifat melengkapi. Dengan karakteristiknya yang tersendiri, tugas
MDF tidak akan mengganggu tugas PIP atau PT. SMI.
Seiring dengan pertumbuhan penduduk dan ekonomi, kebutuhan infra-
struktur akan terus meningkat. MDF bukanlah suatu onestopsolution yang
dapat menyelesaikan segala permasalahan pembiayaan infrastruktur daerah.
Di masa depan diharapkan berbagai alternatif pembiayaan infrastruktur dae-
rah dengan skema yang lebih maju—seperti penerbitan obligasi daerah dan
implementasi PPP untuk daerah—akan lebih berkembang.
Laporan ini mengusulkan bahwa, MDF di Indonesia sebaiknya didesain
sebagai first-tier lender, yakni sebagai pemberi pinjaman tangan per-
tama/langsung kepada Pemerintah Daerah. Tujuan MDF harus dibuat fokus
dan terukur sehingga mudah untuk bergerak dan dievaluasi. Jenis proyek/
sub sektor yang dapat dibiayai dari pinjaman MDF harus dibatasi dan jelas.
Kriterianya adalah barang publik lokal yang menjadi tugas Pemda, terutama:
6
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 75
(i) infrastruktur dasar: air bersih, sanitasi, pengelolaan sampah, transportasi
(jalan, jembatan, terminal umum), irigasi; (ii) infrastruktur kesehatan (RS dan
fasilitas kesehatan lainnya), dan (iii) infrastruktur pendidikan: sekolah dasar-
menengah.
Secara institusional MDF idealnya berbentuk BUMN dengan modal
kombinasi dari APBN (dominan) dan sumber lainnya. Pada awal pendirian
MDF, sebaiknya modal tidak mengandung utang. Ketiadaan utang dalam
dana awal MDF dimaksudkan untuk menghindari cost of funds yang tinggi,
yang pada akhirnya juga akan mempengaruhi tingginya bunga kepada Peme-
rintah Daerah selaku peminjam. Utang juga mengandung konsekuensi tam-
bahan beban fiskal jangka panjang, terutama kepada APBN. Tetapi di masa
depan, MDF memungkinkan untuk mempunyai utang sebagai tambahan
modal kerja. Bentuk BUMN dianggap paling tepat untuk mengakomodasi
pe ran negara sebagai institusi yang independen, profesional, dan cukup
fleksibel dalam mengelola (termasuk menghimpun dan menyalurkan) dana
serta tidak membebani keuangan negara dalam jangka panjang. APBN juga
tidak akan terpapar dengan berbagai potensi risiko yang dihadapi MDF.
Laporan ini juga memaparkan berbagai opsi pendirian MDF dalam
jangka pendek beserta berbagai konsekuensinya, yaitu memulai MDF
dari BUMN yang ada saat ini (PT. SMI), memulai MDF dari BLU yang ada
saat ini (PIP) maupun membuat BLU baru. Masing-masing memiliki kele-
bihan dan kelemahannya sebagai pilihan jangka pendek. Dari pembahasan
sebelumnya, kajian ini mengusulkan jika pemerintah memilih opsi jangka
pendek (BLU) maka dibatasi hanya untuk waktu maksimal 3 tahun, dan
selanjutnya ditransformasikan ke dalam bentuk BUMN, karena bentuk
optimal MDF –yang telah terbukti dengan pengalaman internasional– adalah
bentuk BUMN.
Pemodalan dari beberapa sumber diusulkan untuk meningkatkan azas
kepatuhan Good Corporate Governance (GCG) dengan pengawasan yang
lebih baik dari beberapa pemegang saham utama. Idealnya, selain pemerintah
sebagai pemegang saham mayoritas (perkiraan sekitar 51-60%) ada 2-3 pe mo-
dal lain dengan komposisi saham masing 15-20%. Dengan demikian, penga-
wasan akan cukup efektif tapi tidak rumit. Penyertaan modal peme rin tah da-
pat dititipkan melalui sebuah BUMN yang telah memiliki fokus infrastruktur,
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH76
misalnya PT. SMI, sehingga prosedur berdirinya MDF sebagai anak perusahaan
dari BUMN yang sudah ada akan lebih sederhana jika dibandingkan dengan
mendirikan MDF sebagai BUMN yang baru.
Untuk menentukan besaran modal MDF yang optimal, dibutuhkan studi
yang lebih mendalam mengenai analisis kebutuhan pinjaman daerah, ter uta-
ma untuk mengidentifikasi daerah yang memiliki proyek potensial sebagai
pilot project MDF. Namun, dalam perkiraan kasar sementara, modal awal MDF
adalah sebesar Rp 3-4 triliun, yang disuntikkan bertahap selama 3 tahun.1
MDF akan mempunyai paling tidak dua akun terpisah, yang pertama untuk
mengadministrasikan pinjaman pada Pemda, dan yang kedua untuk mem-
biayai dukungan non-fiskal (capacity building, bantuan teknis, persiapan un-
tuk mendapatkan credit rating, dan sebagainya).
MDF memberi pembiayaan untuk proyek yang diusulkan oleh Pemerintah
Daerah; baik proyek dengan skala satu Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota, mau-
pun proyek berskala antardaerah (antar Provinsi/Kabupaten/Kota). Pembiayaan
diberikan apabila proyek dan kreditur memenuhi kriteria-kriteria tertentu, de-
ngan fokus penilaian kelayakan pada profil peminjam (Pemda yang bersang-
kutan).
Untuk menjamin agar MDF dibentuk dan dioperasikan sesuai dengan ha-
rapan, perlu dilakukan studi mendalam mengenai berbagai aspek, yang antara
lain mencakup kebutuhan pinjaman daerah dan upaya membentuk kesiapan
pasar, simulasi biaya modal, struktur dan komposisi modal, biaya operasional,
income stream, alokasi subsidi, persentase pembiayaan outsourcing, struktur
organisasi, target kinerja, sistem insentif, kriteria proyek dan pinjaman, financing
windows (pemisahan dana untuk kebutuhan terpisah), dan hubungan kerja-
sama dengan pihak lain.
1 Dengan modal awal Rp 1 triliun di tahun pertama, dan ditambahkan tiap tahun sampai tahun ketiga, MDF akan beroperasi dengan menangani sekitar 2-4 peminjam baru setiap tahun. Asumsi yang dipakai adalah: rata-rata lama pinjaman 10 tahun ditambah grace period 2 tahun atau selama masa konstruksi, bunga 3-4%, profit ditahan menjadi akumulasi kapital sampai 3 tahun pertama, alokasi dana untuk subsidi project preparation adalah 10% dari modal, dan biaya operasional maksimal 1% dari modal tahun pertama.
77
Daftar Pustaka
Alm, James. 2010. Municipal Finance of Urban Infrastructure: Knowns and
Unknowns. Massachusetts. Wolfensohn Center for Development.
Bank Dunia. 2009. IndonesiaThe Rise of Metropolitan Regions: Towards
Inclusive and Sustainable Regional Development. Diakses melalui
http://www.urbanknowledge.org/ur/docs/Indonesia_Report.pdf pada
1 September 2013.
Bank Dunia. 2012. Indonesia Water Investment Roadmap 20112014. Diakses
melalui http://water.worldbank.org/sites/water.worldbank.org/files/
publication/WATER-Indonesia-Water-Investment-Roadmap-2011-
2014.pdf pada 1 September 2013.
Bank Dunia. 2013a. Indonesia Economic Quarterly: Pressure Mounting. Diakses
melalui http://www.worldbank.org/content/dam/Worldbank/docu-
ment/EAP/Indonesia/IEQ-MARCH-2013-English.pdf pada 1 September
2013.
Bank Dunia. 2013b. Planning, Connecting, and Financing Cities Now: Priori ties
for City Leaders. Diakses melalui http://siteresources.worldbank.org/
EXTSDNET/Resources/Urbanization-Planning-Connecting-Financing-
2013.pdf pada 23 November 2013.
Bank Dunia. 2013c. Program Pembangunan Perkotaan Nasional (P3N) Bap
penas.
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH78
Bank Dunia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa. 2012. Ancaman Alami, Bencana
Tidak Alami: Ekonomi untuk Pencegahan yang Efektif (Natural Hazards,
Unnatural Disasters: The Economics of Effective Prevention). Jakarta.
Penerbit Salemba Empat.
Burki, Shahid J., dan Guillermo E. Perry. 1998. Beyond the Washington Con
sen sus: Institutions Matter. World Bank.
Davey, Kenneth J. 1988. Municipal Development Funds and Intermediaries
(Vol. 32). World Bank Publications.
Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Kementerian Keuangan. 2010. Data
Pinjaman Daerah SLA, RDI, dan RPD.
Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Kementerian Keuangan. 2012. Data
Pinjaman Daerah SLA, RDI, dan RPD.
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan. 2012.
Data Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 20002012.
Gyawali, Hemant. 1997. A Case Study on Municipal Development Fund in
Nepal. USAID.
Lewis, Blane D. 2007. On-lending in Indonesia: Past Performance and Future
Prospects. Bulletin of Indonesian Economical Studies, 43(1), 35-58.
North, D. C. 1990. Institutions, Institutional Change and Economic Perfor
mance. Cambridge University Press.
Peterson, George. 1996. Using Municipal Development Funds to Build Muni
cipal Credit Markets. World Bank, Washington DC.
Peterson, George E. dan Annez, Patricia Clarke. 2007. Financing Cities: Fiscal
Responsibility and Urban Infrastructure in Brazil, China, India, Poland
and South Africa. New Delhi. SAGE Publication.
Sadewa, Puraya Yudhi. 2013. Meningkatkan Peran PIP Dalam Pembiayaan Infra
struktur Indonesia. Danareksa Research Institute.
Serageldin, Mona, David Jones, François Vigier and Elda Solloso. 2008. Muni
cipal Financing and Urban Development. Nairobi. UN Habitat.
Simatupang, Wita. 2008. “Conurbations in Java, Indonesia”, prosiding 44th
ISOCARP Congress 2008, diakses melalui http://www.isocarp.net/data/
case_studies/1279.pdf pada 28 November 2013.
DAFTAR PUSTAKA 79
Siregar, Soritaon. 2013. Fasilitas Pembiayaan Infrastruktur Daerah. Disam pai-
kan dalam Investment Gathering dan Workshop Pinjaman Daerah Pu-
sat Investasi Pemerintah, Kementerian Keuangan, Batam 4 Juli 2013.
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (TADF). 2012.
Potensi Penyediaan Pinjaman Lunak ke Daerah untuk Pembiayaan Infra
struktur. Jakarta: DJPK Kementerian Keuangan.
Venkatachalam, Pritha. 2005. Innovative Approaches to Municipal Infrastruc
ture Financing: A Case Study on Tamil Nadu, India. London. Development
Studies Institute LSE.
United Nations, Department of Economic and Social Affairs (UNDESA). 2012.
2011 Revision of World Urbanization Prospects. Diakses melalui http://
esa.un.org/unup/pdf/FINAL-FINAL_REPORT%20WUP2011_Annex-
tables_01Aug2012_Final.pdf pada 1 September 2013.
Utomo, Wahyu. 2013. Peran PIP dalam Pembangunan Infrastruktur Daerah.
Disampaikan dalam Investment Gathering dan Workshop Pinjaman
Daerah Pusat Investasi Pemerintah, Kementerian Keuangan, Batam 4
Juli 2013.
Undang-Undang No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Undang-Undang No.19 Tahun 2003 tentang BUMN.
Undang-Undang No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Undang-Undang No.1 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
Peraturan Pemerintah No. 8/2007 jo Peraturan Pemerintah No. 1/2008 ten tang
Investasi Pemerintah.
Peraturan Pemerintah No. 66/2007 tentang Penyertaan Modal Negara Re pu-
blik Indonesia untuk Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) di Bidang
Pembiayaan Infrastruktur
Peraturan Pemerintah No. 85/2010 jo No. 104/2012 tentang Penambahan
Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke Dalam Modal Saham
Perusahaan Perseroan (Persero) PT Sarana Multi Infrastruktur
Peraturan Pemerintah No. 30/2011 tentang Pinjaman Daerah
Peraturan Menteri Keuangan No.223/PMK.011/2012
Peraturan Menteri Keuangan No 47/PMK.07/2011
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH80
Peraturan Ketua Bapepam-LK Nomor: PER-02/BL/2012
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1005/KMK.05/2006
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 52/PMK.01/2007
Keputusan Menteri Keuangan No. 396/KMK.01/2009
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 91/KMK.05/2009
Keputusan Menteri Keuangan No. 100/KMK.06/2011
www.bps.go.id
www.datastatistik-indonesia.com
www.iif.co.id
www.iigf.co.id
www.ptsmi.co.id
www.pip-indonesia.com
www.smf-indonesia.co.id
www.tnuifsl.com
81
Lampiran
8.1. Rangkuman Mengenai Findeter dan TNUDF1
8.1.1. Findeter
Di Kolombia, bank komersial belum memiliki pengalaman meminjamkan ke-
pada Pemerintah Daerah hingga akhir 1990an. Pasar pembiayaan daerah ber-
kembang semenjak ada stimulasi dari Financiera de Desarrollo Territorial
(Findeter). Findeter, yang didirikan pada 1989 sebagai lembaga keuangan
semi-publik yang independen secara hukum, bertindak sebagai pemberi pin-
jaman tangan kedua (secondtier) yang mendorong pemberi pinjaman ta ngan
pertama/komersial (firsttier) untuk membiayai Pemerintah Daerah. Dengan
menurunkan biaya pinjaman, Findeter meningkatkan minat bank komersial
untuk memberikan pinjaman kepada Pemerintah Daerah.
Findeter merediskon pinjaman yang disalurkan oleh bank komersial
kepada Pemerintah Daerah; metode ini dapat membuat penyaluran pinjaman
kepada Pemerintah Daerah lebih atraktif secara finansial bagi bank komersial.
Dalam prakteknya, ini berarti bahwa Pemerintah Daerah mengajukan aplikasi
pinjaman kepada bank komersial. Bank komersial dan Findeter kemudian
menilai aplikasi tersebut, dan, jika disetujui, bank komersial kemudian mem-
1 Disadur dari Bank Dunia (2013b) dan rangkuman dari FGD dengan Rajivan Krishnaswamy (Eks-CEO TNUDF) dan Dianna Bonilla Pereira (Findeter).
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH82
berikan pinjaman kepada Pemerintah Daerah. Findeter, pada gilirannya, akan
memberikan pendanaan kepada bank komersial dengan suku bunga terdiskon
yang sudah disepakati sebelumnya. Bank komersial ini bertanggungjawab
pe nuh untuk mengembalikan pendanaan yang telah diperoleh dari Findeter,
terlepas dari kinerja pembayaran dari Pemerintah Daerah. Sehingga, seluruh
risiko kredit ditanggung oleh bank komersial. Pemerintah Daerah juga harus
membuat rekening khusus (escrow account) tempat penyimpanan transfer
dari Pemerintah Pusat. Bank komersial memiliki hak utama untuk memotong
penerimaan Pemerintah Daerah melalui rekening tersebut, apabila telah ja tuh
tempo. Bank komersial, kemudian meneruskan penjaminan ini kepada Findeter.
Sehingga, apabila bank peserta mengalami masalah likuiditas, Findeter tetap
dapat mengumpulkan cicilan (lihat gambar di bawah).
Findeter telah mendorong bank komersial untuk menawarkan pinjaman
jangka panjang kepada Pemerintah Daerah pada tingkat suku bunga yang
menarik. Findeter juga memungkinkan pembiayaan jangka panjang hingga
15 tahun, dimana jangka pinjaman biasanya hanya 3-5 tahun. Dalam kurun
waktu 1990 hingga 2003, Findeter telah menyalurkan pembiayaan sebesar
2 miliar dollar AS dalam bentuk pinjaman kepada lebih dari 700 kota, dan
pada 2006 hingga 2010, jumlah yang disalurkan adalah 4 miliar dollar AS.
Di samping itu, Findeter dapat menjaga tingkat pinjaman bermasalah di ba-
wah 2 persen.
Findeter telah sukses menunjukkan dirinya sebagai lembaga keuangan
yang sehat. Meskipun pada awalnya Findeter bergantung kepada sokongan
dari donor—terutama dari Inter-American Development Bank dan Bank Du-
nia—pendapatan dari pinjaman yang sedang berjalan telah dapat membiayai
lebih dari 78 persen aktivitasnya sejak 2006. Selain itu, Findeter telah men-
capai credit rating lokal setingkat AAA (dari Duff & Phelps), yang telah mem-
bantunya mengakses sumber pendanaan yang lebih murah.
LAMPIRAN 83
Gambar 21. Operasional Findeter
Sumber: diterjemahkan dari Bank Dunia (2013b)
8.1.2. TNUDF
Pada akhir tahun 1990an, Pemerintah Daerah Tamil Nadu di India menghadapi
tantangan untuk memenuhi kebutuhan investasi infrastruktur dan menambah
suplai untuk layanan dasar perkotaan yang masih sangat kurang. Kondisi ini
disebabkan oleh terbatasnya kapasitas teknis dan finansial dari Pemerintah
Daerah, dan kurangnya pembiayaan jangka panjang. Untuk menyelesaikan
permasalahan ini, pemerintah mendirikan Tamil Nadu Urban Development
Fund (TNUDF) pada 1996 sebagai perantara pembiayaan pertama di India yang
merupakan kerjasama publik dan swasta, yang bertujuan untuk memperbaiki
pembiayaan jangka panjang untuk infrastruktur perkotaan di Tamil Nadu.
Se lain itu, cakupan luas TNUDF termasuk menarik dana swasta ke dalam infra-
struktur perkotaan dan mefasilitasi akses Pemerintah Daerah kepada pasar
modal.
TNUDF memiliki kerangka institusional dan manajerial yang efisien. TNUDF
merupakan badan hukum yang otonom, di luar pemerintah, dan juga memi-
liki bagian ekuitas dari 3 lembaga keuangan swasta di India. Struktur ini men-
dukung hubungan positif dengan sektor privat, dan memfasilitasi pengambilan
keputusan investasi yang efisien.
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH84
TNUDF menarik dana swasta dengan penerbitan obligasi dan memfasilitasi
skema pembiayaan yang inovatif seperti credit pooling, sekuritisasi, dan
pembiayaan publik-swasta.
- Penerbitan obligasi. Pada tahun 2000, TNUDF telah berhasil menerbitkan
obligasi domestik (59,3 juta dolar AS) dengan rating LAA, yang menan-
dakan tingkat keamanan tinggi dan risiko sedang, berkat posisi keuangan
TNUDF yang kuat. Di India, obligasi tersebut menjadi penerbitan obligasi
tak beragun (unsecured) dan tak bergaransi (nonguaranteed) pertama
yang sukses oleh suatu lembaga perantara pembiayaan.
- Penghimpunan pembiayaan. TNUDF mewadahi fasilitas credit pooling
untuk pembiayaan Pemerintah Daerah yang memiliki kapasitas pem bi-
ayaan terbatas, terutama daerah-daerah kecil. Dalam skema ini, proyek-
proyek air dan sanitasi yang kecil kemudian dihimpun bersama dalam
satu penerbitan obligasi, untuk kemudian dibayar kembali lewat pene-
rimaan proyek. Penerbitan ini menerima rating AA dari Fitch.
Gambar 22. Operasional TNUDF
Sumber: diterjemahkan dari Bank Dunia (2013b)
LAMPIRAN 85
- Sekuritisasi. TNUDF menstrukturkan refinancing (pembiayaan kembali)
dari proyek Bypass Madurai, proyek jalan toll pertama yang berbasis user
charge. Setelah fasilitas tersebut mulai menciptakan penerimaan, Peme-
rintah Daerah kemudian menerbitkan obligasi untuk membiayai kembali
pinjaman yang dilakukan oleh TNUDF pada tingkat bunga yang lebih
rendah. Obligasi tersebut terjual sepenuhnya kepada bank-bank dan
in vestor lainnya.
- Pembiayaan PPP. TNUDF membantu refinancing (pembiayaan kembali)
dari jembatan Karur, jembatan berbayar pertama di India dengan skema
pembiayaan PPP BuildOperateTransfer (BOT). Penerbitan obligasi
dijamin dengan kontrak yang memungkinkan pembangun/pemilik untuk
meningkatkan tarif hingga 8 persen per tahun. Proyek tersebut memiliki
kontribusi modal yang besar dari pembangun/pemilik.
Tinggal pembayaran kembali yang tinggi (sekitar 98 persen) telah me-
mungkinkan TNUDF untuk membiayai dan mendukung proyek infrastruktur
perkotaan yang lebih luas (181 pinjaman kepada 732 Pemerintah Daerah
de ngan total kumulatif pinjaman disetujui sebanyak 95 juta dollar AS pada
Februari 2012). Selain itu, keberhasilan TNUDF juga berkat dukungan berbagai
donor seperti Bank Dunia, ADB, ICA, dan grup perbankan KfW di Jerman.
8.2. Hasil Survei Awal Kepada Pemangku Kepentingan Pinjaman Daerah Tentang Minat Terhadap MDF
8.2.1. Latar Belakang
Studi Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (TADF) ta-
hun fiskal 2012 mengenai pinjaman daerah menyimpulkan bahwa Pemerintah
Daerah (Pemda) memerlukan suatu bentuk intervensi untuk menggalakkan
pinjaman daerah. Kesimpulan tersebut terutama didasari oleh temuan bahwa
skema-skema pinjaman daerah yang telah ada tidaklah cukup efisien, efektif,
serta atraktif bagi Pemerintah Daerah selaku calon debitur. Faktor yang men-
jadi penghalang antara lain adalah bunga pinjaman yang tinggi, serta biro-
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH86
krasi yang panjang yang harus ditempuh Pemda untuk dapat menerima pin-
jaman (TADF, 2012).
Pada tahun fiskal 2013, TADF menindaklanjuti studi tersebut dengan
mengeksplorasi kemungkinan Municipal Development Fund (MDF) sebagai
bentuk intervensi yang dapat mengatasi kelesuan pinjaman daerah dan
membantu Pemda mendapatkan sumber dana untuk membangun
infrastruktur non-komersil. Sebagai bagian dari studi, diadakan beberapa
Focus Group Discussion (FGD) bersama beberapa pemangku kepentingan
untuk memperoleh respon mereka terhadap ide MDF.
FGD yang pertama diadakan 3 September 2013 di Jakarta, terdiri dari 3
sesi: (i) internal Kementerian Keuangan, (ii) pihak regulator lembaga keuangan
serta lembaga keuangan bank dan non-bank, (iii) lembaga donor. FGD yang
kedua dan ketiga diadakan di Jakarta dan Surabaya, pada 17 dan 20
September 2013, yang masing-masing menyasarkan ke Pemerintah Daerah
(DKI Jakarta, dan Indonesia bagian Timur).
Selain itu, Tim juga mengadakan FGD dengan ahli MDF India (Rajivan
Krishnaswamy, Eks-CEO TNUDF) dan ahli MDF Kolombia (Dianna Bonilla
Pereira, Direktur Penelitian dan Pengembangan Findeter) di Hotel Borobudur
Jakarta, 25-27 November 2013.
LAMPIRAN 87
8.2.2. Hasil & Analisis
8.2.2.1. Kebutuhan Infrastruktur & Minat Meminjam Pemerintah Daerah
Pemerintah Daerah memiliki kebutuhan yang tinggi untuk membangun in-
frastruktur yang nonrevenue generating, dibandingkan dengan infra struktur
yang revenuegenerating/komersil (misalnya MRT, monorel). Kebanyakan
infrastruktur non-komersil yang dibutuhkan oleh Daerah adalah jalan, jem-
batan, sanitasi (pengolahan sampah & limbah), serta air. Data dari 9 Peme-
rintah Daerah yang disurvei menunjukkan bahwa jumlah proyek infrastruktur
non-komersil yang terencanakan selama 5 tahun mendatang adalah hampir
2 kali lipat jumlah infrastruktur komersil.
Dalam membangun infrastruktur, Pemerintah Daerah masih sangat
meng andalkan sumber dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD), dibandingkan dengan sumber-sumber dana lainnya. Temuan yang
cukup menarik adalah bahwa responden Pemerintah Daerah mengandalkan
PPP di peringkat kedua sebagai sumber pembiayaan pembangunan infra-
struktur (terutama transportasi massal MRT dan monorel), meskipun sampai
saat ini di Indonesia belum ada satupun proyek berskema PPP yang telah ber-
jalan. Beberapa Daerah mendapatkan pinjaman untuk pembangunan infra-
struktur dari Pemerintah Pusat dengan skema Penerusan Pinjaman Luar Negeri
(PPLN), tetapi pinjaman ini dikeluhkan karena sifat perencanaannya yang
topdown, serta anuitas yang dirasakan kurang adil, dimana besaran bunga
yang harus dibayarkan jauh melebihi pinjaman pokok.
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH88
Namun, kritik terhadap Penerusan Pinjaman Luar Negeri tidaklah menyu-
rutkan minat Pemerintah Daerah untuk mendapatkan pinjaman. Meskipun
keputusan Pemerintah Daerah untuk meminjam juga sangat dipengaruhi
oleh Kepala Daerah yang sedang menjabat, sebagian besar Pemerintah Dae-
rah responden masih memiliki rencana melakukan pinjaman untuk memba-
ngun infrastruktur. Pinjaman daerah tersebut dilakukan baik dengan peng-
ajuan pinjaman ke lembaga keuangan bank dan non-bank (misal Pusat Inves-
tasi Pemerintah), maupun dengan penerbitan obligasi. Sayangnya, regulasi
pinjaman daerah yang rigid menghambat tumbuhnya pinjaman daerah. Aki-
batnya, pinjaman kepada lembaga keuangan harus menjalani birokrasi yang
panjang seperti yang dituntut oleh regulasi (umumnya memakan waktu 1-2
tahun), sedangkan penerbitan obligasi hanya dibatasi melalui pasar modal,
sehingga membutuhkan kapasitas Pemerintah Daerah yang tinggi untuk
dapat menangani segala aspek yang berkaitan. Untuk penerbitan obligasi,
Pemerintah Daerah responden masih dalam taraf meningkatkan kapasitas
me lalui berbagai bantuan teknis Pemerintah Pusat dan mitra pemba ngunan.
LAMPIRAN 89
Dengan berbagai kendala yang dihadapi untuk dapat melakukan pin-
jaman daerah—dimana kendala-kendala tersebut seyogyanya bermuara pada
regulasi pinjaman daerah yang rigid—Pemerintah Daerah menjadi menaruh
harapan tinggi kepada Pemerintah Pusat sebagai penyelia pinjaman.
8.2.2.2. Respon Pemerintah Daerah terhadap Ide MDF
Indonesia dirasakan memerlukan suatu institusi yang berperan sebagai Mu
nicipal Development Funds (MDF) untuk menampung permintaan Pemerintah
Daerah terhadap sumber pembiayaan multiyear untuk infrastruktur non-
komersil. Sebagian besar Pemerintah Daerah responden berminat meman fa-
atkan pinjaman lunak jangka panjang dari Pemerintah Pusat untuk infra-
struktur. Perlu dicatat bahwa responden Pemerintah Provinsi DKI (diwakili
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) menjawab “Tidak” hanya untuk
situasi saat ini, dan tidak menutup kemungkinan bahwa DKI juga ingin men-
dapatkan pinjaman lunak jangka panjang dari Pemerintah Pusat di masa
mendatang.
6, 86%
1, 14%
Iya Tidak
Apakah P emerintah Daerah berminat memanfaatkan pinjaman lunak jangka panjang dari P emerintah P us at untuk infras truktur? R es ponden: 7 Pemerintah Daerah: - 2 Pemerintah Provinsi - 5 Pemerintah Kabupaten/Kota
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH90
Atas MDF sebagai penyalur pinjaman lunak jangka panjang dari Peme-
rintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, sebagian besar responden dari ber-
bagai latar belakang menjawab bahwa pendirian MDF memiliki urgensi yang
tinggi, dengan berbagai alasan.
Institusi responden yang merasa MDF memiliki urgensi tinggi, berpen-
dapat bahwa fasilitas pinjaman daerah MDF dapat menjadi terobosan untuk
dapat mengatasi masalah laju pertumbuhan kebutuhan infrastruktur yang
jauh melampaui laju kapasitas pembangunan Daerah. Fasilitas pinjaman dae-
rah MDF juga diharapkan dapat memenuhi kebutuhan Pemerintah Daerah
akan sumber pembiayaan infrastruktur yang dikelola secara profesional dan
akuntabel. Di sisi lain, pinjaman daerah juga menuntut Pemerintah Daerah
menjadi lebih transparan.
Sedangkan institusi responden yang merasa pendirian MDF belum pen-
ting berpendapat bahwa skema-skema pinjaman daerah yang ada saat ini su-
dah cukup mumpuni, hanya belum dioptimalkan. Juga, apabila fasilitas pin-
jaman daerah MDF dikelola oleh Pemerintah Pusat bukan sebagai kekayaan
negara yang dipisahkan, maka akan timbul risiko bagi Pemerintah Pusat jika
terjadi gagal bayar. Selain itu, ide mengenai MDF ini dipandang belum me-
mi liki kejelasan dari aspek kelembagaan serta sumber pendanaannya.
LAMPIRAN 91
Institusi responden memiliki beberapa pendapat tentang prinsip-prinsip
apa sajakah yang harus dimiliki MDF sebagai fasilitas pinjaman daerah:
Di antara berbagai alasan, aspek good corporate governance menduduki
peringkat pertama. Institusi responden juga berpendapat penting bagi MDF
untuk menjadi kekayaan negara yang dipisahkan agar risikonya tidak menular
kepada keuangan negara. Bersamaan dengan itu, institusi responden merasa-
kan pentingnya MDF untuk memiliki segi kelembagaan yang jelas agar tidak
terjadi tumpang tindih fungsi, karena saat ini juga terdapat Pusat Investasi
Pemerintah (PIP) yang berbentuk Badan Layanan Umum (BLU), dan PT. Sarana
Multi Infrastruktur (SMI) yang berbentuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN),
yang keduanya juga menjalankan fasilitas pinjaman daerah. Tidak kalah pen-
tingnya adalah bagaimana MDF dapat menjaga agar ongkos pinjaman cukup
murah agar bunga yang dikenakan kepada Pemerintah Daerah tidaklah setinggi
seperti skema-skema yang ada saat ini (yakni sebesar BI rate ditambah 2%
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH92
apabila Pemerintah Daerah meminjam melalui PIP, atau sebesar bunga pasar
apabila Pemerintah Daerah meminjam kepada lembaga keuangan bank).
Mengenai aspek kelembagaan, sebagian institusi responden tidak me-
miliki gambaran siapakah yang seharusnya menjalankan peran sebagai MDF.
Sedangkan jumlah responden yang memiliki pendapat MDF seharusnya dija-
lan kan oleh/bukan oleh PIP adalah berimbang. Responden yang menjawab
MDF dapat dijalankan oleh PIP berpendapat bahwa PIP cukup profesional dan
telah memiliki mandat yang sesuai, sedangkan sebaliknya, responden yang
menjawab MDF harus dijalankan oleh lembaga selain PIP berpendapat bahwa
PIP memiliki tujuan yang berbeda dengan MDF, juga PIP memiliki keterbatasan
dana dan skala prioritas.
LAMPIRAN 93
Institusi responden berpendapat bahwa tantangan yang akan ditemui
dalam pendirian MDF sebagai fasilitas pinjaman kepada Pemerintah Daerah
terutama akan berupa tantangan dari segi regulasi, institusi, serta sumber
pendanaan.
Mengenai sumber pendanaan untuk MDF, sebagian besar institusi res-
ponden (terutama dari pihak lembaga keuangan dan regulatornya) berpen-
dapat bahwa sumber dana haruslah datang dari Pemerintah Pusat. Sedangkan
sebagian besar responden Pemerintah Daerah sendiri justru berpendapat
bahwa dana untuk MDF dapat berasal dari Pemerintah Pusat dan Swasta, di-
mana adanya bagian swasta diharapkan akan dapat meningkatkan profesio-
nalisme MDF yang pada akhirnya juga akan menekan ongkos pinjaman. Res-
ponden Pemerintah Daerah juga berharap bahwa di masa depan, MDF harus
dapat menghimpun dana dari masyarakat, agar dapat berkesinambungan.
8.2.2.3. Kesimpulan
• Pemerintah Daerah membutuhkan sumber pembiayaan untuk pemba-
ngunan infrastruktur yang dapat diandalkan selain APBD, terutama un-
tuk membangun infrastruktur non-komersil.
• Pemerintah Daerah berharap kepada Pemerintah Pusat untuk dapat me-
nyediakan fasilitas pinjaman daerah jangka panjang yang atraktif dan
efisien.
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH94
• MDF, sebagai bentuk intervensi untuk menggalakkan pinjaman daerah
untuk pembangunan infrastruktur, mendesak untuk segera didirikan.
MDF harus menjunjung aspek good corporate governance, berupa keka-
yaan negara yang dipisahkan agar meminimalkan risiko terhadap ke-
uangan negara, serta memiliki kelembagaan yang jelas.
• Pendirian MDF akan menemui tantangan terutama dari segi regulasi,
institusi, serta sumber pendanaan.
• Sumber pendanaan MDF dapat berasal dari Pemerintah Pusat maupun
Swasta, dengan komposisi yang sesuai agar ongkos pinjaman menjadi
murah. Ke depannya MDF harus dapat menghimpun dana dari masya-
rakat agar dapat berkesinambungan tanpa bantuan dari APBN.
8.2.2.4. Lampiran Kuesioner FGD 3 September 2013: Sesi Internal Kementerian Keuangan
Untuk menggiatkan pinjaman/hibah daerah dalam rangka mendukung
pembangunan infrastruktur, salah satu alternatif adalah dengan membangun
institusi Municipal Development Fund. MDF akan difokuskan untuk mengelola
pinjaman/hibah ke daerah untuk pembangunan infrastruktur.
1. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu tentang urgensi pendirian MDF di Indo-
nesia?
a) Penting
b) Saat ini belum penting
c) Tidak Perlu didirikan
Paparkan argumentasi Bapak/Ibu: ...........
2. MDF dapat dikembangkan berbasis institusi PIP (Pusat Investasi Pemerin-
tah). Menurut Bapak/Ibu, apa hambatan yang akan ditemui bila MDF
di kembangkan dalam PIP?
a) …………………………………
b) …………………………………
c) …………………………………
LAMPIRAN 95
3. Sebaliknya, apa hambatan bila MDF dikembangkan secara terpisah dari
PIP?
a) …………………………………
b) …………………………………
c) …………………………………
4. Menurut Bapak/ibu, darimana sebaiknya sumber-sumber pendanaan
untuk MDF?
a) Pemerintah
b) Swasta
c) Pemerintah dan Swasta
d) Lainnya
Paparkan argumentasi Bapak/Ibu: ...........
5. Bagaimana menjamin keberlangsungan ketersediaan sumber dana untuk
MDF?
a) Apakah selalu dianggarkan dalam APBN?
b) Apakah sumber dana sebaiknya dari Pinjaman dan Hibah Luar Ne-
geri?
c) Apakah sumber dana merupakan earmark dari salah satu komponen
penerimaan negara?
6. Prinsip-prinsip apa yang sepengetahuan Bapak/ibu perlu dimiliki oleh
MDF bila hendak dibuat untuk Indonesia?
……………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………
7. Tantangan apa yang perlu dipikirkan ke depan dalam membentuk MDF
di Indonesia.
a) Jangka pendek
b) Jangka menengah
c) Jangka panjang
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH96
8.2.2.5. Lampiran Kuesioner FGD 3 September 2013: Sesi Regulator & Lembaga Keuangan
Untuk menggiatkan pinjaman/hibah daerah dalam rangka mendukung
pembangunan infrastruktur, salah satu alternatif adalah dengan membangun
institusi Municipal Development Fund. MDF akan difokuskan untuk mengelola
pinjaman/hibah ke daerah untuk pembangunan infrastruktur.
1. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu tentang urgensi pendirian MDF di Indo-
nesia?
a) Penting
b) Saat ini belum penting
c) Tidak Perlu didirikan
Paparkan argumentasi Bapak/Ibu: …………………………………...………
2. MDF dapat dikembangkan berbasis institusi PIP (Pusat Investasi Pemerin-
tah). Namun demikian MDF dapat juga berdiri sendiri, bagaimana pendapat
Bapak/Ibu?
a) …………………………………
b) …………………………………
3. Bagaimana peran Perbankan dan Lembaga Keuangan lainnya dalam
hubungannya dengan MDF?
a) Bekerja-sama
b) Competitive
c) Lainnya
Mohon disampaikan argumentasinya.
4. Menurut Bapak/ibu, darimana sebaiknya sumber-sumber pendanaan
untuk MDF?
a) Pemerintah
b) Swasta
c) Pemerintah dan Swasta
d) Lainnya
Paparkan argumentasi Bapak/Ibu: ………………………………...…………
LAMPIRAN 97
5. Bagaimana menjamin keberlangsungan ketersediaan sumber dana untuk
MDF?
a) Apakah selalu dianggarkan dalam APBN?
b) Apakah sumber dana sebaiknya dari Pinjaman dan Hibah Luar
Negeri?
c) Apakah sumber dana merupakan earmark dari salah satu komponen
penerimaan negara?
6. Prinsip-prinsip apa yang sepengetahuan Bapak/ibu perlu dimiliki oleh
MDF bila hendak dibuat untuk Indonesia?
……………………………………………………
7. Tantangan apa yang perlu dipikirkan ke depan dalam membentuk MDF
di Indonesia.
a) Jangka pendek
b) Jangka menengah
c) Jangka panjang
8.2.2.6. Lampiran Kuesioner FGD 3 September 2013: Sesi Lembaga Donor
The rate of infrastructure development in Indonesia has been slower. Under
the context of fiscal decentralization, some sectors and types of infrastructure
have been transferred to the Subnational Government (SNG) as local infrastruc-
ture. Regions usually complain for lacking of funds to build their infrastructure.
MDF is one alternative to provide SNGs with additional source of funds to de-
ve lop infrastructure projects, in the form of loans, grants, or combination of
both.
1. What do you think about the idea of establishing an MDF (for infrastruc-
ture) in Indonesia? Why? On what factors that the government should pay
careful attention?
2. Currently, MOF has Government Investment Center (PIP= Pusat Investasi
Investasi) that channel government’s money in some activities including
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH98
equity in SOEs and loan for Subnational Government. Given broad objec-
tives assigned to PIP, some critics point the potential of ineffectiveness.
The MDF will have a specific focus on lending to SNGs for infrastructure
projects. Thus, MDF will be likely set up as a separate body outside PIP.
How do you see this option?
What are the potential problems and advantages of separating MDF from
PIP?
3. One possible structures of MDF is as follows:
While stages of MDF development are as follows:
To be able to work professionally, MDF should be equipped by majo-
rity of market actors and some senior government officers. The merit-based
salary and performance-based promotion will attract best talents from
labor market in this field. MDF experts should consist of financial experts,
civil engineers, project managers, lawyers, and investment analysts. The
body should be kept small but of high productive.
LAMPIRAN 99
The main function of MDF core team is to develop the efficient and
effective system, including the rules to ensure GCG compliance. It will
involve several regulatory functions as mandated by Finance Minister. The
tasks to assess detailed technical proposal can be done by independent
assessor. The tasks to manage disbursement and collect repayment can
also be delegated to appropriate institutions such as banks or other finan-
cial institutions.
In the next stage, MDF can take another focus on business develop-
ment. The task of this division is to look at regional prospects, to encourage
market for loans, to list the potential sectors/projects, and to work with
other stakeholders in developing Subnational Government Rating System.
We hope that in the future, SNG can have larger access to the capital mar-
ket directly or through MDF, thus MDF is a catalyst to achieve that goal.
Could you please share your thoughts on this idea?
4. What are possible and suitable sources of fund for MDF? Why?
5. Could you share your thoughts on what you think it will be important
aspect for Indonesian effort to establish MDF? It could from your
knowledge or experience both from Indonesia and the world.
8.2.2.7. Lampiran Kuesioner FGD 17 September 2013: Pemerintah Daerah DKI Jakarta
A. Keperluan Pembangunan Infrastruktur dan Pembiayaannya.
1. Proyek-proyek pembangunan infrastruktur apa sajakah yang menjadi
urgensi Pemda saat ini dan 5 tahun mendatang?
2. Darimanakah sumber pembiayaan pembangunan infrastruktur daerah
tersebut? Apakah dari APBD saja? Adakah sumber-sumber yang berasal
dari Hibah?
3. Bagaimana Bapak/Ibu menentukan skema pembiayaan yang tepat (skema
pembiayaan APBD murni, campuran APBN-APBD, PPP, Privatisasi, dsb)
un tuk suatu proyek infrastruktur di DKI?
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH100
B. Pinjaman Daerah.
4. Adakah rencana untuk melakukan pinjaman daerah untuk pembiayaan
infrastruktur tersebut?
5. Dari siapakah diharapkan pinjaman daerah diperoleh? Pemerintah Pusat?
Perbankan? Lainnya?
6. Bagaimana proses penentuan keputusan meminjam untuk pembiayaan
proyek infrastruktur di DKI? Apa kriterianya? Bagaimana urutan proses
di la ku kan dan siapa pengambil keputusan utama? Berapa lama biasanya
waktu yang diperlukan dalam suatu proses keputusan pinjaman? Bagai-
mana Pemda menentukan cara/sumber pengembalian pinjaman? Apakah
ada Tim Ahli yang merumuskan perhitungan dan memberikan rekomen-
dasi keputusan untuk meminjam atau tidak?
7. Apa saja permasalahan yang dirasakan pemda untuk memperoleh pin-
jam an
a) Dari Pusat?
b) Dari Perbankan?
c) Dari Institusi lainnya?
d) Dari Pusat Investasi Pemerintah (PIP), pernahkan meminjam dan
untuk apa?
8. Apakah Pemda berniat menerbitkan Obligasi Daerah? Bila Tidak, sebutkan
alasan-alasannya!
9. Jika Pemerintah Pusat menyediakan fasilitas pinjaman lunak (tingkat bu-
nga 3%) jangka panjang untuk membiayai pembangunan infrastruktur
di Daerah, apakah Pemerintah DKI Jakarta berminat memanfaatkannya?
10. Sektor/proyek apa yang akan dipilih untuk dibiayai dari pinjaman lunak
tsb?
11. Menurut penilaian Bapak/Ibu dari sisi kapasitas fiskal dan kemampuan
menyerap, berapa kisaran pinjaman lunak yang optimal untuk Pemda DKI
(bisa dalam satuan nominal Rupiah, atau dalam persentase terhadap
APBD/PAD/PDRB DKI)?
12. Pemerintah Pusat juga menyediakan fasilitas penjaminan dan dukungan
fiskal untuk proyek dalam skema PublicPrivate Partnership (PPP). Tetapi
sampai saat ini belum ada Pemda yang sudah merealisasikan skema ini
dalam pembangunan proyek di daerah. Menurut Bapak/Ibu, apakah Pemda
LAMPIRAN 101
DKI mempunyai proyek yang sesuai untuk diajukan sebagai proyek PPP?
Apakah ada masalah/hambatan dalam merencanakan proyek dengan
skema PPP? Jika ya, apakah hambatan tersebut?
C. Municipal Development Fund (MDF)
13. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu tentang urgensi pendirian MDF di Indo-
nesia?
a) Penting
b) Saat ini belum penting
c) Tidak perlu didirikan
d) Tidak tahu
Paparkan argumentasi Bapak/Ibu: …………………........…………………..
14. Menurut Pemda, permasalahan apakah yang akan ditemui bila di Indo-
ne sia dibuat MDF?
15. Apakah Pemda berniat untuk melakukan pinjaman melalui MDF?
16. Menurut Bapak/Ibu, darimana sebaiknya sumber-sumber pendanaan
untuk MDF?
a) Pemerintah
b) Swasta
c) Pemerintah dan Swasta
d) Lainnya
17. Paparkan argumentasi Bapak/Ibu: ……………………………………………
8.2.2.8. Lampiran Kuesioner FGD 20 September 2013: Pemerintah Daerah Indonesia Bagian Timur
A. Keperluan Pembangunan Infrastruktur dan Pembiayaannya.
1. Proyek pembangunan infrastruktur apa sajakah yang menjadi urgensi saat
ini & 5 tahun mendatang?
2. Darimanakah sumber pembiayaan pembangunan infrastruktur daerah
tersebut?
a) APBD b) Hibah c) Pinjaman d) Lainnya
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH102
3. Bagaimana Bapak/Ibu menentukan skema pembiayaan yang tepat untuk
suatu proyek infrastruktur di daerah Bapak/Ibu?
a) APBD Murni apabila …….
b) Campuran APBN-APBD apabila……..
c) Public Private Partnership (PPP) apabila…..
d) Privatisasi apabila …………………..
B. Pinjaman Daerah.
4. Adakah rencana untuk melakukan pinjaman daerah untuk pembiayaan
infrastruktur tersebut?
a) Ada b) Tidak ada
Alasan :……………………………..
5. Dari siapakah diharapkan pinjaman daerah diperoleh?
a) Pemerintah Pusat
b) Perbankan
c) Lainnya : (Sebutkan)
6. Mohon dijelaskan proses penentuan keputusan meminjam untuk pem-
biayaan proyek infrastruktur di daerah Bapak/Ibu dengan menjawab
beberapa pertanyaan berikut ini:
a) Apa kriteria proyek yang dibiayai pinjaman daerah?
b) Bagaimana urutan proses dilakukan dan siapa pengambil keputusan
utama?
c) Berapa lama biasanya waktu yang diperlukan dalam suatu proses
keputusan pinjaman? Bagaimana Pemda menentukan cara/sumber
pengembalian pinjaman?
d) Apakah ada Tim Ahli yang menghitung dan merekomendasikan
keputusan meminjam?
7. Uraikan beberapa permasalahan yang dirasakan pemda untuk memper-
oleh pinjaman
a) Dari Pusat?
b) Dari Perbankan?
c) Dari Institusi lainnya?
d) Dari Pusat Investasi Pemerintah (PIP), pernahkan meminjam dan
un tuk apa?
LAMPIRAN 103
8. Apakah Pemda berminat menerbitkan Obligasi Daerah?
a) Berminat.
b) Tidak Berminat ( sebutkan alasannya)
9. Jika Pemerintah Pusat menyediakan fasilitas pinjaman lunak (tingkat
bunga 3%) jangka panjang untuk membiayai pembangunan infrastruktur
di Daerah, apakah Pemda berminat memanfaatkannya?
a) Berminat (Sebutkan Alasannya)
b) Tidak Berminat (Sebutkan alasannya)
10. Sektor/proyek apa yang akan dipilih untuk dibiayai dari pinjaman lunak
tsb?
11. Menurut penilaian Bapak/Ibu dari sisi kapasitas fiskal dan kemampuan
menyerap, berapa kisaran pinjaman lunak yang optimal untuk Pemerintah
Daerah?
12. Pusat juga menyediakan fasilitas penjaminan & dukungan fiskal dalam
skema PPP. Tetapi sampai saat ini belum ada yang sudah merealisasikan.
Menurut Bapak/Ibu, Pemda mempunyai proyek yang sesuai sebagai pro-
yek PPP? Apakah ada hambatan dalam merencanakan proyek dengan
ske ma PPP? Jika ya, apakah hambatan tersebut?
C. Municipal Development Fund (MDF)
13. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu tentang urgensi pendirian MDF di Indo-
nesia?
a) Penting
b) Saat ini belum penting
c) Tidak perlu didirikan
d) Tidak tahu
Paparkan argumentasi Bapak/Ibu: ……………………………………………
14. Menurut Pemda, permasalahan apakah yang akan ditemui bila di Indo-
ne sia dibuat MDF?
15. Apakah Pemda berniat untuk melakukan pinjaman melalui MDF?
16. Berminat
17. Kurang Berminat (alasan)
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH104
18. Menurut Bapak/Ibu, darimana sebaiknya sumber-sumber pendanaan un-
tuk MDF?
a) Pemerintah
b) Swasta
c) Pemerintah dan Swasta
d) Lainnya
Paparkan argumentasi Bapak/Ibu: ……………………………………………