89
MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I) Skripsi ini Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag.) Oleh: Elsa Munawaroh Karimah NIM.13210511 PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN INSTITUT ILMU AL-QUR’AN (IIQ) JAKARTA 1438 H/2017 M

MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

  • Upload
    others

  • View
    17

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR

(TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

Skripsi ini Diajukan

Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)

Oleh:

Elsa Munawaroh Karimah

NIM.13210511

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

INSTITUT ILMU AL-QUR’AN (IIQ) JAKARTA

1438 H/2017 M

Page 2: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

i

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi ini berjudul “MUNASABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH

TAFSIR MAUDHU’I)” yang disusun oleh Elsa Munawaroh Karimah

dengan Nomor Induk Mahasiswa (NIM) 13210511 telah melalui proses

bimbingan dengan baik dan dinilai oleh pembimbing telah memenuhi syarat

ilmiah untuk diajukan ke sidang munaqasyah.

Jakarta, 18 Agustus 2017 M

Pembimbing

Drs. Arison Sani, MA

Page 3: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

ii

LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi dengan judul “MUNASABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH

TAFSIR MAUDHU’I)” oleh Elsa Munawaroh Karimah dengan Nomor

Induk Mahasiswa 13210511 telah diujikan pada sidang Munaqasyah Fakultas

Ushuluddin Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta pada tanggal 19 Agustus

2017

Jakarta, 13 Oktober 2017

Dekan Fakultas Ushuluddin

Institut Ilmu Al-Qur‟an (IIQ) Jakarta

Dra. Hj. Maria Ulfa, MA

Ketua Sidang Sekretaris Sidang

Dr. M. Ulinnuha, Lc, MA Dra. Suci Rahayuningsih

Penguji I Penguju II

Dr. M. Ulinnuha, Lc, MA Ali Mursyid, M. Ag

Pembimbing

Drs. Arison Sani, MA

Page 4: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

iii

PERNYATAAN PENULIS

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Elsa Munawaroh Karimah

NIM : 13210511

Tempat/Tanggal Lahir : Karawang 19 Juni 1995

Alamat : Karawang, Jawa Barat.

Menyatakan bahwa skripsi dengan judul “MUNASABAH AYAT-AYAT

SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)” adalah benar-benar asli karya

saya kecuali kutipan-kutipan yang sudah disebutkan. Kesalahan dan

kekurangan dalam karya ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya.

Jakarta, 18 Agustus 2017 M

Elsa Munawaroh Karimah

Page 5: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

iv

1 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur`an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai

Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 2005), Cet. Xvi, h. 236.

Page 6: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas

berkat, rahmat, taufik dan hidayah-Nya, penyusunan skripsi yang berjudul

“Munasabah Ayat-Ayat Syukur (Telaah Tafsir Maudhu‟i)” dapat

diselesaikan.

Shalawat beserta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi

Muhammad SAW, beserta seluruh keluarga dan sahabatnya, hingga akhir

zaman. Semoga kita termasuk ke dalam ummat yang mendapatkan syafa‟at

beliau kelak di hari akhir. Amin.

Penulisan skripsi ini diajukan guna memenuhi salah satu persyaratan

dalam mencapai gelar Sarjana Agama (S.Ag) dalam bidang Ilmu Al-Qur‟an

dan Tafsir di Fakultas Ushuluddin Institut Ilmu Al-Qur‟an (IIQ) Jakarta.

Dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini, tidak terlepas dari

bantuan, bimbingan, serta motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada

kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang

teramat dalam kepada:

1. Prof. Dr. Hj, khuzaemah T. Yanggo, M.A Rektor Institut Ilmu Al-Qur‟an

(IIQ) Jakarta yang telah memberikan kesempatan untuk menimba ilmu di

perguruan tinggi ini.

2. Drs. Hj. Maria Ulfa, MA. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin Institut Ilmu

Al-Qur‟an (IIQ) Jakarta.

3. Bapak Drs. Arison Sani, MA. selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang

selalu memberikan motivasi, menuntun dan membimbing dalam

menyelesaikan skripsi ini.

4. Seluruh Dosen Institut Ilmu Al-Qur‟an (IIQ) Jakarta, yang telah

meniupkan ruh semangat belajar dan kecintaan terhadap ilmu

pengetahuan.

5. Instruktur tahfiz yang dengan kesabaran membimbing dan memotivasi

penulis dalam menghafal Al-Qur‟an selama menjadi mahasiswa Institut

Ilmu Al-Qur‟an (IIQ) Jakarta: Dr. KH. Ahmad Fathoni, Lc. MA., Ibu Hj.

Athiqoh S.Thi, ibu Hj. Arbiyah Mahfudz S.Thi, Ibu hj. Amila S.Thi, Ka

A‟yuna Faizatul Fiqriyah S.Ud, Ibu Muthmainnah, MA, dan Ibu Hj.

Istiqomah, MA.

Page 7: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

vi

6. Dra. Rukoyah Tamimi dan Dra. Suci Rahayuningsih selaku pembantu

dekan Fakultas Ushuluddin, yang telah membantu dan mengarahkan

penulis dalam menyelesaikan tugas sebagai mahasiswa Institut Ilmu Al-

Qur‟an (IIQ) Jakarta.

7. Kepala perpustakaan beserta staf perpustakaan Institut Ilmu Al-Qur‟an

(IIQ) Jakarta, pimpinan dan karyawan Perpustakaan Umum Universitas

Islam Negeri (UIN) Jakarta, perpustakaan Iman Jama‟ serta Pusat Studi

Al-Qur‟an (PSQ), yang telah menyediakan informasi dan buku-buku

sebagai sumber referensi bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Terima kasih kepada kedua orang tua tersayang, Mamah hj. Uniroh dan

Bapak h. yusup, beserta keluarga yang telah banyak membantu, baik

berupa dukungan moril maupun materi hingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini dengan baik, tanpa pernah mengeluh dan

dengan tulus selalu membimbing dan memotivasi penulis untuk

menyelami samudra ilmu pengetahuan, dan membantu dengan segenap

jiwa raga yang senantiasa teriring do‟a di setiap detak nadi.

9. Terima kasih kepada Abi Imron Rosyadi, Abih. H. Rubaeun Najib, dan

Teteh Hj. Nung Najibah yang senantiasa memberikan do‟a dan semangat

kepada penulis.

10. Teman-teman tercinta asrama Hoesen yang selalu memberi dukungan

semangat 45.

11. Kepada seluruh pihak yang ikut terlibat dalam penulisan skripsi ini, baik

secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak dapat penulis

sebutkan satu persatu, semoga Allah senantiasa membalas kebaikan

kebaikannya dengan sebaik-baiknya balasan.

Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini masih banyak

kekurangan, kesalahan dan masih sangat perlu perbaikan serta

penyempurnaan karena keterbatasan penulis. Dengan segala kerendahan

hati penulis mempersembahkan skripsi ini. Semoga apa yang telah

penulis lakukan melalui penelitian ini dapat membawa manfaat dan

bernilai pahala di sisi Allah SWT. Amin.

Jakarta, 18 Agustus 2017

Penulis

Elsa Munawaroh Karimah

Page 8: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

vii

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................. i

LEMBAR PENGESAHAN ......................................................................... ii

PERNYATAAN PENULIS ........................................................................ iii

MOTTO ....................................................................................................... iv

KATA PENGANTAR ................................................................................. v

DAFTAR IS ................................................................................................ vii

ABSTRAKSI ............................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ................................................................................ 1

B. Identifikasi Masalah ........................................................................ 9

C. Pembatasan Masalah ....................................................................... 9

D. Rumusan Masalah ..................................................................... 9

E. Tujuan Penelitian ............................................................................. 10

F. Manfaat Penelitian ........................................................................... 10

G. Tinjauan Pustaka ............................................................................. 10

H. Metodologi Penelitian ..................................................................... 12

1. Jenis Penelitian .......................................................................... 12

2. Sumber Data .............................................................................. 12

3. Teknik Pengumpulan Data ........................................................ 12

4. Metode Analisis Data ................................................................ 13

5. Teknik Penulisan ....................................................................... 13

I. Sistematika Penulisan ...................................................................... 13

BAB II TINJAUAN UMUM MUNASABAH

A. Definisi Munâsabah ........................................................................ 16

B. Macam-Macam Munâsabah ............................................................ 18

C. Urgensi Ilmu Munâsabah ................................................................ 25

D. Pendapat Ulama Tentang Munâsabah ............................................. 26

Page 9: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

viii

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG SYUKUR

A. Definisi Syukur ............................................................................... 29

B. Macam-Macam Syukur ................................................................... 32

C. Manfaat Syukur ............................................................................... 33

D. Ayat-Ayat Syukur ........................................................................... 34

BAB IV TELAAH MUNASABAH AYAT-AYAT SYUKUR

A. Penafsiran 10 Ayat-ayat Syukur dalam QS. Al-Baqarah da QS. Ali

Imran ............................................................................................... 39

B. Analisis Munasabah Ayat-Ayat Syukur .......................................... 65

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ...................................................................................... 71

B. Saran-Saran ..................................................................................... 72

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 73

Page 10: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

ix

ABSTRAK

Elsa Munawaroh Karimah. 13210511. Munasabah Ayat-ayat Syukur

(Telaah Tafsir Maudhu’i). Skripsi, Program Studi Ilmu Al-Qur`an

dan Tafsir, Fakultas Ushuluddin, Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ)

Jakarta, 1438 H / 2017 M. Pembimbing: Dr. Arison Sani.

Dalam hal ini, penulis bermaksud untuk meneliti dan mengkaji

tentang munasabah. Namun pada pembahasan munasabah ini penulis

tidak menjelaskan munasabah secara keseluruhan pada kajian Ulumul

Qur`an, akan tetapi penulis membatasi penelitian ini hanya kepada

munasabah antar ayat-ayat dalam surah yang berbeda dalam tema ayat-

ayat syukur dalam QS. Al-Baqarah, dan QS. Ali Imran.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dimensi munasabah pada

ayat-ayat syukur dalam Al-Qur`an telaah tafsir madhu‟i. Namun tidak

semua penulis bahas dalam menjelaskan semua ayat-ayat syukur, penulis

hanya memfokuskan pada ayat syukur yang terdapat dalam QS. Al-

Baqarah [2]: 52, 56, 152, 158, 172, 185, 243. Dan QS. Ali Imran [3]: 123,

144, 145.

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan

(library research) Penelitian telaah pustaka ini merupakan penelitian

kualitatif dengan sumber data primer yaitu tafsir al-Misbah karya M.

Quraish Shihab dan kitab tafsir lainnya dan data sekunder berupa buku-

buku yang relevan. Dalam pengumpulan data, penulis menggunakan

penelusuran kepustakaan dan metode dokumentasi. Analisi data dalam

penelitian ini adalah analisis isi (conten analysis) dan teknik analisis

deskripsi.

Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan, ayat syukur yang

ditemukan dalam Al-Qur`an sebanyak 65 kali. Dalam munasabah ayat-

ayat syukur dalam QS. Al-Baqarah [2] dan QS. Ali Imran memiliki

hubungan. Maka dari hasil analisis di atas dapat ditarik kesimpulan

bahwa dari 10 ayat syukur yang terdapat pada QS. Al-Baqarah [2]: 52,

56, 152, 158, 172, 185,243. Dan QS. Ali Imrân [3]: 123, 144, 145.

Berdasarkan analisis yang peneliti lakukan bahwa 10 ayat ini mempunyai

sisi munâsabah yaitu pertama Allah telah memberikan kesempatan

kepada mereka yang berbuat dosa untuk bisa bertaubat dan bersyukur

terhadap apa yang Allah berikan. Kedua allah telah mencurahkan rahmat-

Nya untuk membangkitkan mereka kembali yang seolah-olah seperti

meninggal atau pingsan akibat terkena sambaran halilintar atau seperti

orang yanh hilang semangat hidupnya, kini Allah bangkitkan kembali.

Page 11: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

x

Agar mereka bersyukur. Ketiga Allah telah memberikan perhatian-Nya

kepada hamba-Nya yang tulus dalam memohon. Keempat ibadah yang di

dasari dengan karena Allah. Kelima maka Allah Akan menjadikan

keimanan sebagai kunci dari segala sesuatu yang bersifat positif dan

hanya kepada Allah tempat kamu menyembah. Keenam maka Allah akan

menghendaki kemudahan. Ketujuh dan menjadikan anugerah untuk

dijadikan kekuatan. Kedelapan dan Allah mewajibkan bersyukur untuk

orang yang bertakwa. Kesembilan karena ketaatan manusia tidak

berpengaruh bagi Allah. Kessepuluh dan Allah hanya akan memberi

balasan kepada orang yang bersyukur.

Page 12: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

xi

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Transliterasi dimaksudkan sebagai pengalih-hurufan dari abjad yang

satu ke abjad yang lain. Transliterasi Arab-Latin di sini ialah penyalinan

huruf-huruf Arab dengan huruf-huruf latin beserta perangkatnya. Pedoman

transliterasi yang digunakan adalah Sistem Transliterasi Arab-Latin

berdasarkan buku Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi Institut

Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta.

A. Konsonan

Huruf

Arab Nama Huruf Latin

Alif A

Bā B ة

Tā Ta

Śā Ts

Jīm J

Hā H

khā` Kha

Dal D

Żal Dz

rā` R

Zai Z

Sīn S

Syīn Sy

Şād Sh

Dād Dh

ţā` Th

zā` Zh

„ain ...„…

Gain Gh

Page 13: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

xii

fā` F

Qāf Q

Kāf K

Lām L

Mīm M

Nūn N

Wāwu W

hā` H

Hamzah ´

yā` Y

B. Vokal

Vokal Tunggal Vokal Panjang Vokal Rangkap

Fathah : a ا : â ْي َ: ai

Kasrah : i ي :ȋ au :َ وْ

Dhamah : u و : ȗ

C. Kata Sandang

1. Kata sandang yang diikuti oleh alif lam (ال) qomariyah

Kata sandang yang diikuti oleh (ال) qomariyah ditranslitasi sesuai

dengan bunyinya contoh:

al-Madînah: انمديىت al-Baqarah : انبقرة

2. Kata sandang yang diikui oleh (ال) Syamsiyyah

Kata sandang yang diikuti (ال) syamsiyah ditransliterasikan sesuai

dengan aturan yang digariskan di depan sesuai dengan bunyinya.

Contoh:

as-Sayyidah: انسيدة ar-Rajul : انرجم

3. Syaddah (Tasydid)

Syaddah (Tasydid) dalam sistem aksara Arab digunakan lambang ()َ,

sedangkan untuk alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu

dengan cara menggandakan huruf yang bertanda tasydid. Aturan ini

berlaku secara umum, baik tasydid yang berada di tengah kata, di

akhir kata ataupun yang terletak setelah kata sandang yang diikuti

oleh huruf-huruf syamsiyah. Contoh:

Page 14: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

xiii

Inna al-ladzîna: انّ انّذيهَ Âmannâ billâhi: امىّببب لله

4. Ta Marbuthah (ة )

Ta Marbuthah (ة ) apabila berdiri sendiri, waqaf atau diikuti oleh kata

sifat (na’at), maka huruf tersebut dialih aksarakan menjadi huruf “h”.

Contoh:

.al-Jâmi’ah al-Islâmiyyah :انجبمعت الإسلاميّت al-Af’idah : الأفئذة

Sedangkan ta marbûthah (ة) yang diikuti atau disambungkan (di-

washal) dengan kata benda (ism), maka dialih aksarakan menjadi

huruf „t‟. Contoh:

al-Âyat al-Kubrâ :الايتانكبرى Âmilatun Nâshibah‘ : عبمهت وبصبت

5. Huruf Kapital

Sistem penulisan huruf Arab tidak mengenal huruf kapital, akan tetapi

apabila telah dialih aksarakan maka berlaku ketentuan Ejaan yang

Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, seperti penulisan awal

kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri dan lain-lain.

Ketentuan yang berlaku pada EYD berlaku pula dalam alih aksara ini,

seperti cetak miring (italic) atau cetak tebal (bold) dan ketentuan

lainnya. Adapun untuk nama diri yang diawali dengan kata sedang,

maka huruf yang ditulis kapital adalah awal nama diri, bukan kata

sandangnya. Contoh: „Alî Hasan al-„Âridh, al-„Asqallânî, al-Farmawî

dan seterusnya. Khusus untuk penulisan kata Alqur‟an dan nama-

nama surahnya menggunakan huruf kapital. Contoh: Al-Qur‟an, Al-

Baqarah, Al-Fâtihah dan seterusnya.

Page 15: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur`an al-Karim turun sedikit demi sedikit, selama sekitar 22

tahun lebih. Ayat-ayatnya berinteraksi dengan budaya dan perkembangan

masyarakat yang dijumpainya. Kendati demikian, nilai-nilai yang

diamanatkannya dapat diterapkan pada setiap situasi dan kondisi.1

Mufassir dituntut untuk menjelaskan nilai-nilai itu sejalan dengan

perkembangan masyarakatnya sehingga Al-Qur`an dapat benar-benar

berfungsi sebagai petunjuk, pemisah antara yang haq dan batil, serta

jalan keluar bagi setiap problem kehidupan yang dihadapi.2

Al-Qur`an secara teks memang tidak berubah, tetapi penafsiran atas

teks, selalu berubah-ubah, sesuai dengan konteks ruang dan waktu

manusia. Karenanya, Al-Qur`an selalu membuka diri untuk dianalisis,

dipersepsi, dan diinterpretasikan (ditafsirkan) dengan berbagai alat,

metode, dan pendekatan untuk menguak isi sejatinya. Aneka metode dan

tafsir diajukan sebagai jalan untuk membedah makna terdalam dari Aal-

Qur`an.3

Al-Qur`an seolah menantang dirinya untuk dibedah. Tetapi, semakin

dibedah, rupanya semakin banyak saja yang tidak diketahui. Semakin

ditelaah, nampaknya semakin kaya pula makna yang terkuak darinya.4

Mencari titik temu dan relevansi antara teks dan konteks itulah tugas

berat yang diemban para mufassir, sejak zaman dahulu hingga sekarang.

Problema itulah yang melahirkan metode-metode dalam tafsir-tafsir

dengan berbagai corak dan ragamnya dengan perbagai dinamika dan

pergulatannya.

Karena itu, metode atau sistem penafsiran, apa pun namanya, menjadi

penting untuk dihadirkan, manakala “cara membaca” setiap pesan-Nya

secara autentik, antara satu mufassir dengan mufassir lainnya, ternyata

1 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur`an,

V 15, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Cet. 1, h. xx. 2 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur`an,

V. 15, h. xx. 3 Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur`an: Kajian Tematik Atas Ayat-Ayat Hukum

dalam Al-Qur`an, (Penamadani: Jakarta, 2005), Cet. 3, h. 3. 4 Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur`an: Kajian Tematik Atas Ayat-Ayat Hukum

dalam Al-Qur`an, h. 3.

Page 16: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

2

tidaklah juga selalu dalam posisi seragam. Apalagi tanpa klaim otoritas

dan absolutisme dari masing-masing mufassir, membuat hasil kerja

sebuah tafsir, selalu memiliki kemungkinan untuk benar dan dibenarkan,

juga berpeluang untuk salah dan disalahkan.

Adalah kewajiban para ulama untuk memperkenalkan Al-Qur`an dan

menyuguhkan pesan-pesannya sesuai dengan kebutuhan dan harapan itu.

Memang, para pakar Al-Qur`an telah berhasil melahirkan sekian banyak

metode dan cara menghidangkan pesan-pesan Al-Qur`an.5

Al-Qur`an adalah kitab suci universal berlaku untuk setiap ruang dan

waktu manusia yang dianugrahkan Allah SWT. kepada seluruh umat

manusia. Keuniversalan Al-Qur`an terletak pada cakupan pesannya yang

menjangkau ke seluruhan lapisan umat manusia, kapan saja dan dimana

saja.6

Di antara kemurahan Allah terhadap manusia adalah bahwa Dia tidak

saja memberikan sifat yang bersih yang dapat membimbing dan memberi

petunjuk kepada mereka ke arah kebaikan, tetapi juga dari waktu ke

waktu Dia mengutus seorang rasul kepada umat manusia dengan

membawa al-Kitab dari Allah dan menyuruh mereka beribadah hanya

kepada Allah saja, menyampaikan khabar gembira dan memberikan

peringatan.7

Al-Qur`an memperkenalkan dirinya sebagai hudan li al-nas (petunjuk

untuk seluruh manusia). Inilah fungsi utama kehadirannya. Dalam rangka

penjelasan tentang fungsi Al-Qur`an ini, Allah menegaskan dalam

firman-Nya:

5 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur`an,

V. 15, h. xi. 6 Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur`an: Kajian Tematik Atas Ayat-Ayat Hukum

dalam Al-Qur`an, h. 4. 7 Mannā‟ Khalil al-Qaththān, studi Ilmu-ilmu Qur`an, terj. Mudzakir AS, (Bogor:

Pustaka Litera AntarNusa, 2013), Cet. 16, h. 10.

Page 17: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

3

“Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan),

Maka Allah mengutus Para Nabi, sebagai pemberi peringatan, dan

Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk memberi

keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka

perselisihkan. tidaklah berselisih tentang kitab itu melainkan orang

yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, Yaitu setelah datang

kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki

antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang

yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka

perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. dan Allah selalu memberi

petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus”.(QS.

Al-Baqarah [2]: 213).

Kita yakin bahwa para sahabat Nabi Muhammad saw. seandainya

hidup pada saat ini, pasti akan memahami petunjuk-petunjuk Al-Qur`an

sedikit atau banyak berbeda dengan pemahaman mereka sendiri yang

telah tercatat dalam literatur keagamaan.8

Al-Qur`an sabagai Kitab Suci kaum Muslim, mengajarkan banyak

sekali nilai-nilai spiritual dan akhlak kepada pemeluknya yang telah

terbukti keberhasilannya dengan menjadikan mereka sebagai umat yang

tangguh dalam menghadapi ujian dan tantangan, sebab Kitab Suci ini

mengajarkan tentang kesabaran dan ketabahan dalam menghadapi ujian

dan cobaan, mengajarkan keikhlasan dalam bekerja, kejujuran dan

amanah dalam menjalankan tugas, bersyukur ketika mendapatkan nikmat,

tidak sombong dan takabur, peduli pada nasib orang lain dan masih

banyak lagi contoh akhlak yang lainnya.9

Jika dibandingkan dengan kitab suci yang lain, maka hanya Al-

Qur`an al-Karimlah kitab suci yang dipenuhi dengan pujian kepada Allah

SWT mengingatkan tentang keluasan ilmu-Nya, keagungan hikmah-Nya,

besarnya kekuasaan-Nya, lengkapnya kehendak-Nya, keagungan kreasi-

Nya, keluasan rahmat-Nya, pengaruh-pengaruh ketuhanan-Nya, dorongan

8 M. Quraish Shihab, Lentera Al-Qur`an: Kisah dan Hikmah Kehidupan, (Bandung:

Mizan, 2008), Cet. 2, h. 26. 9 Muchlis M. Hanafi, (eds.), Spiritualitas Dan Akhlak (Tafsir Al-Qur`an Tematik),

(Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur`an, 2010), h.33.

Page 18: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

4

untuk menyembah-Nya, berdiri dihadapan pintu-Nya, mengharapkan

anugrah-Nya, takut terhadap keadilan-Nya, menyerahkan seluruh wajah

kepada-Nya, mengikhlaskan agama kepada-Nya, tenggelam cinta kepada-

Nya, senang dengan-Nya, rindu kepada-Nya, tenang dengan

menyebutnya, berusaha untuk bersyukur dan beribadah dengan baik

kepada-Nya, berytawakal kepada-Nya, kembali dan bertobat kepada-Nya,

bersabar atas cobaan-Nya, dan ridha terhadap keputusaNya.10

Setiap perintah atau anjuran Allah kepada manusia, pada dasarnya

merupakan perintah kepada jiwanya. Pada hakikatnya, eksistensi diri

manusia adalah jiwanya. Maka dari itu, Ibnu Sina seorang filsuf Muslim

berpendapat bahwa, “Sejatinya manusia itu adalah jiwanya”. Sehingga

termasuk perintah syukur pastinya ditujukan kepada jiwa, sebab jiwalah

yang mempunyai kesadaran untuk bersyukur atau tidak.11

Ajaran tentang kewajiban manusia untuk bersyukur atas nikmat

karunia Allah yang telah dilimpahkan, menempati kedudukan yang

sangat penting dalam ajaran Islam. Imam al-Ghazali menegaskan bahwa

disebutnya perintah bersyukur secara bergandengan dengan perintah

berdzikir (mengingat Allah) menunjukkan kepada kedudukan yang

penting itu. Allah Swt, berfirman:

“karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya aku ingat (pula)

kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu

mengingkari (nikmat)-Ku”.(Al-Baqarah [2]: 152).12

Dengan mengetahui kedudukan syukur yang sangat penting dalam

ajaran Islam, maka sangat dibutuhkan pemahaman yang benar dan

memadai tentang hakikat dan arti syukur. Begitu pula langkah-langkah

yang harus ditempuh menuju syukur, hambatan-hambatan yang sering

10

Yusuf Qardhawi, Berinteraksi dengan Al-Qur`an, terj. Abd Hayyie al-Kattani,

(Jakarta: Gema Insani Press, 1999), Cet. 1, h. 128. 11

Rif‟at Syauqi Nawawi, Kepribadian Qur‟ani, (Jakarta: Amzah, 2011), Cet. 1, h.

100. 12

Muchlis M. Hanafi, (eds.), Spiritualitas Dan Akhlak (Tafsir Al-Qur`an Tematik),

(Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur`an, 2010), h. 415.

Page 19: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

5

harus dihadapi dan hikmah di balik syukur, maka untuk itu sangat perlu

mendapatkan penjelasan yang cukup dalam memahami makna syukur.13

Manusia sebagai makhluk yang sempurna sekaligus sebagai makhluk

yang memiliki banyak permasalahan sangat pantas mendapatkan petunjuk

berupa Al-Qur`an untuk dijadikan sebagai pedoman hidup dalam

mengelola dan mengatur alam semesta beserta isinya.14

Al-Qur`an juga merupakan mukjizat Nabi Muhammad saw. yang

paling besar, sehingga para ulama di masa lalu sampai kini masih terus

berusaha mencari letak kemukjizatannya. Oleh sebab itu, perhatian ulama

terhadap Al-Qur`an tidak terhenti sampai pada segi kemukjizatannya,

tetapi beralih kepada hal lain, yaitu hubungan antara satu segi dalam Al-

Qur`an dan segi lainnya.15

Kitab itu berisi berbagai macam petunjuk dan peraturan yang

disyari‟atkan karena beberapa sebab dan hikmah yang bermacam-macam.

Ayat-ayatnya diturunkan sesuai dengan situasi dan kondisi yang

membutuhkan. Ayat-ayat dan surah-surahnya diterbitkan sesuai dengan

yang terdapat dalam lauhul mahfuzh, sehingga tampak adanya

persesuaian antara ayat yang satu dengan ayat yang lain dan antara surah

yang satu dengan surah yang lain.16

Berdasarkan pendapat jumhur ulama, susunan ayat dan surah dalam

Al-Qur`an adalah tauqifi. Dengan demikian, di balik susunan Al-Qur`an,

baik ayat maupun surah terdapat suatu hubungan atau korelasi. Sehingga

hal inilah yang menyebabkan banyak kalangan yang mencoba

menguraikan bentuk munasabah yang sesuai dengan ijtihadnya.17

Pengetahuan mengenai korelasi dan hubungan antara ayat-ayat itu

bukanlah hal yang tauqifi, tetapi didasarkan pada ijtihad seorang mufassir

dan tingkat penghayatannya terhadap kemukjizatan Al-Qur`an, rahasia

retorika, dan segi keterangannya yang mandiri.18

13

Muchlis M. Hanafi, (eds.), Spiritualitas Dan Akhlak (Tafsir Al-Qur`an Tematik),

h. 416. 14

Acep Hermawan,„Ulumul Qur`an: Ilmu untuk Memahami Wahyu, (Bandung:

Rosda, 2011), Cet. 1, h. 4. 15

Hasani Ahmad Said, Diskursus Munasabah Al-Qur`an dalam Tafsir Al-Misbah,

(Jakarta: Amzah, 2015), Cet. 1, h. xii-xiii. 16

Abdul Djalal, Ulumul Qur`an, (Surabaya: Duni Ilmu, 2008), Cet. 3, h. 153. 17

Hasani Ahmad Said, Diskursus Munasabah Al-Qur`an dalam Tafsir Al-Misbah,

(Jakarta: Amzah, 2015), Cet. 1, h. xiii. 18

Mannā‟ Khalil al-Qaththān, studi Ilmu-ilmu Qur`an, h. 138.

Page 20: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

6

Al-Qur`an layaknya permata yang memancarkan cahaya yang

berbeda, sesuai dengan sudut pandang masing-masing orang yang

menelaahnya. Dengan kata lain, dari sisi manapun Al-Qur`an selalu

melahirkan cabang ilmu pengetahuan, termasuk dari segi hubungan

antara ayat dan ayat atau antara surah dan surah.19

Pengetahuan tentang munasabah atau korelasi antara ayat dengan ayat

atau surah dengan surah mempunyai arti penting dalam memahami

makna ayat Al-Qur`an serta membantu dalam proses menta‟wilkan

dengan baik dan cermat. Oleh karena sebab itu sebagian ulama

mencurahkan perhatian untuk menulis kitab mengenai masalah itu.20

Bahasan tentang ilmu munasabah ini dimunculkan pertamakali oleh

syekh Abu Bakar Abdullah bin Muhammad Ziyad an-Naisaburi yang

wafat tahun 324 H.21

Dia sangat ahli di bidang ilmu syari‟ah dan adab.22

Ilmu ini menjelaskan segi-segi hubungan antara beberapa ayat atau

beberapa surah Al-Qur`an. Apakah hubungan itu berupa ikatan antara

„am (umum) dan khusus, atau antara abstrak dan konkret, atau antara

sebab-akibat, atau antara illat dan ma‟lulnya, ataukah antara rasionil dan

irrasionil, atau bahkan antara dua hal yang kontradiksi.23

Lahirnya pengetahuan tentang teori munasabah (kolerasi) ini

tampaknya berawal dari kenyataan bahwa sistematika Al-Qur`an

sebagaimana terdapat dalam mushaf Usmani sekarang tidak berdasarkan

atas fakta kronologis turunnya. Sehubungan dengan ini, ulama salaf

berbeda pendapat tentang urutan surat di dalam Al-Qur`an. Segolongan

dari mereka berpendapat bahwa hal itu didasarkan atas pada tauqifi dari

Nabi saw. golongan lain berpendapat bahwa hal itu didasarkan atas

ijtihad para sahabat setelah bersepakat dan memastikan bahwa susunan

ayat-ayat adalah tauqifi. Golongan ketiga berpedapat serupa dengan

golongan pertama, kecuali surat Al-Anfal [8] dan Bara‟ah [9] yang

dipandang bersifat ijtihadi.24

19

Hasani Ahmad Said, Diskursus Munasabah Al-Qur`an dalam Tafsir Al-Misbah,

h. 148. 20

Muhammad Chirzin, Al-Qur`an danUlumul Qur`an, (Yogyakarta: Dana Bhakti

Prima Yasa, 1998), Cet. 1, h. 49. 21

Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: ketentuan, dan aturan yang patut anda ketahui

dalam memahami Al-Qur`an, h. 244 22

Imam Jalaluddin As-Suyuthi Rahimahullah, Samudra Ulumul Qur`an (Al-Itqan fi

Ulumil Qur`an), terj. Farikh Marzuqi, dkk. (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2008), Cet. 1, h. 527. 23

Abdul Djalal, Ulumul Qur`an, (Surabaya: Duni Ilmu, 2008), Cet. 3, h. 154. 24

Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur`an, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), Cet. 5, h. 81.

Page 21: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

7

Atas dasar perbedaan pendapat tentang sistematika ini, wajarlah jika

masalah teori kolerasi Al-Qur`an kurang mendapat perhatian dari para

ulama yang menekuni „Ulum Al-Qur`an. Ulama yang pertama kali

menaruh perhatian pada masalah ini, menurut As-Suyuthi, adalah Syekh

Abu Bakar An-Naisaburi (324 H), kemudian menyusul beberapa ulama

ahli tafsir seperti Abu Ja‟far bin Jubair dalam kitabnya Tartib As-Suwar

Al-Qur`an, Syekh Burhanuddin al-Biqa‟i dengan bukunya Nazhm Ad-

Durar fi Tanasub al-Ayyi wa as-Suwar, As-Suyuthi sendiri dalam

bukunya Asrar Al-Tartib Al-Qur`an. Di antara ulama lain yang menulis

dalam bidang ini adalah Abu Ja‟far Ahmad bin Ibrahim bin al-Zubair Al-

Andalusi (W. 807 H) dalam karyanya Al-Burhan fi Munasabah Tartib

Suwar Al-Qur`an. Dalam konteks ini, Tafsir Al-Kabir yang ditulis oleh

Fakhr ar-Razy merupakan sebuah kitab tafsir yang banyak

mengemukakan sisi munasabah dalam Al-Quran.25

Disisi lain, bahasan ulama-ulama yang mendukung adanya

munasabah cukup banyak dan menarik. Salah seorang yang paling

memperhatikan bidang ini adalah Ibrahim bin Umar al-Biqa‟i (1406-1480

M), pengarang Tafsir Nazhem ad-Durar fi Tanasub al-Ayat wa as-Suwar

yang menghidangkan dalam tafsirnya itu ragam-ragam hubungan.26

Harus diakui bahwa bahasan tentang hubungan itu sangat

mengandalkan pemikiran, bahkan imajinasi atau kenyataan yang terjadi.

Karena itu, bisa saja ada banyak ragam hubungan yang dikemukakan oleh

para mufassir, bahkan bisa jadi seorang mufassir menghidangkan dua tiga

hubungan untuk satu ayat yang dibahasnya. Di sisi lain, dapat saja

pandangan-pandangan tentang munasabah yang ditampilkan oleh ulama

satu tidak diterima baik oleh ulama lain.27

Karena munasabah didapat

dengan cara penalaran, bukan dengan cara periwayatan. Dengan demikian

diterima atau tidaknya penalaran tersebut tergantung tingkat logikanya,

semakin logis tentu akan semakin diterima. Ada ayat-ayat yang mudah

dipahami hubungannya satu sama lain, tetapi tidak sedikit pula yang

membutuhkan pendalaman penjelasan sehingga baru tampak

munasabahnya. Bagi sebagian orang, bisa saja antara satu ayat dengan

ayat lain atau antara satu kelompok ayat dengan kelompok ayat yang

berdekatan tidak ada hubungannya sama sekali, akan tetapi bagi para

25

Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur`an, h. 81-82. 26

Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: ketentuan, dan aturan yang patut anda ketahui

dalam memahami al-Qur`an, hal. 245. 27

Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: ketentuan, dan aturan yang patut anda ketahui

dalam memahami al-Qur`an, hal. 245-246.

Page 22: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

8

ulama yang mendalaminya mereka akan melihat bahwa ada hubungan

atau keterkaitan di dalamnya.28

Selanjutnya perlu digaris bawahi juga bahwa kendati

diperselisihkannya tentang ada atau tidaknya munasabah dalam Al-

Qur`an, demikian juga adanya perbedaan penilaian terhadap munasabah

yang dikemukakan oleh seorang ulama, namun yang pasti adalah bahasan

tentang masalah ini tetap diperlukan, bukan saja untuk menampilkan

dugaan kekacauan sistematika perurutan ayat atau surah-surah Al-Qur`an,

tetapi juga untuk membantu memahami kandungan ayat.29

Dalam hal ini, penulis bermaksud untuk meneliti dan mengkaji

tentang munasabah. Namun pada pembahasan munasabah ini penulis

tidak menjelaskan munasabah secara keseluruhan pada kajian Ulumul

Qur`an, akan tetapi penulis membatasi penelitian ini hanya kepada

munasabah antar ayat-ayat dalam surah yang berbeda dalam tema ayat-

ayat syukur dalam QS. Al-Baqarah, dan QS. Ali Imran.

Selama ini kita seringkali meminta sesuatu kepada yangAllah, namun

sangat jarang mengucapkan syukur maupun terima kasih atas apa yang

kita punya. Namun ketika sudah berhasil, justru banyak dari kita yang

lupa mengucapkan syukur dan terima kasih kepada-Nya. Meski terkesan

sederhana, namun mengucapkan syukur serasa berat untuk dilakukan.

Padahal, seharusnya kita tak lupa mengucapkan syukur baik itu sebelum,

maupun setelah memperoleh yang diinginkan.

Jangan sampai doa-doa kita menjadi sesuatu yang terkesan menuntut,

ingin segera dikabulkan, dan berprasangka buruk kepada-Nya apabila doa

belum terwujud. Doa yang tadinya ikhlas dan sederhana kian menjadi doa

yang menuntut dan berlebihan. Bahkan tak jarang doa-doa kita hanya

berisi keinginan semu belaka. Sebagai manusia, kita memang diwajibkan

untuk meminta kepada-Nya, namun jangan sampai membuat jengah Dia

yang ada di atas sana.

Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengkaji serta meneliti ayat-

ayat syukur dalam kajian munasabah. Penelitian ini akan dituangkan

dalam karya ilmiah berbentuk skripsi dengan judul “MUNASABAH

AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)”

28

Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur`an, (Yogyakarta: Itqan Publishing, 2014), Cet.

3, h. 210-211. 29

M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda

Ketahui dalam Memahami Al-Qur`an, (Jakarta: Lentera Hati, 2013), Cet. 2, h. 252.

Page 23: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

9

B. Identifikasi Pembatasan dan Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka penulis

merasa perlu memberikan batasan dan rumusan masalah yang

menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini.

1. Identifikasi Masalah

Dari judul yang dipaparkan oleh penulis dapat diidentifikasikan

beberapa masalah yang patut dibahas, yaitu:

a. Tinjauan umum tentang „ilm munasabah.

b. Tinjauan umum tentang syukur.

c. Dimensi munasabah ayat-ayat syukur dalam Al-Qur`an.

2. Pembatasan Masalah

Melihat banyaknya masalah-masalah yang teridentifikasi

dan banyaknya ayat Al-Qur`an yang menjelaskan tentang syukur,

agar penelitian ini lebih fokus dan pembahasan tidak

menyimpang dari pokok masalah, maka penulis akan

menghadirkan sesuatu yang baru tentang pembahasan ini yaitu

dengan menggunakan kajian munasabah pada ayat-ayat syukur

yang menitikberatkan hanya pada pembahasan QS. Al-Baqarah

[2]: 52, 56, 152, 158, 172, 185, 243 dan QS. Ali Imran [3]: 123,

144,145. Selain memberi ruang bagi peneliti-peneliti lain untuk

melakukan penelitian yang sejenis, penulis menilai bahwa urgensi

kajian munasabah QS. Al-Baqarah dan QS. Ali Imran berangkat

atas beberapa alasan, yaitu:

a. QS. Al-Baqarah dan QS. Ali Imran merupakan surat terpanjang

dan jumlah ayatnya terbanyak di antara surat-surat lain dalam Al-

Qur`an.

b. Al-Baqarah dan QS. Ali Imran termasuk surat Madaniyah yang

diturunkan pada tahun-tahun permulaan periode Nabi Muhammad

Saw. di Madinah sehingga tercermin strategi Nabi dalam

meletakkan pondasi bangunan kota Madinah sebagai pusat

pemerintahan pada masa itu.

3. Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka permasalahan

yang perlu mendapatkan pembahasan lebih lanjut dapat

dirumuskan sebagai berikut:

a. Bagaimana penafsiran para mufassir tentang ayat-ayat syukur?

b. Bagaimana analisis munasabah ayat-ayat syukur dalam QS.

Al-Baqarah dan QS. Ali Imran?

Page 24: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

10

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan

skripsi ini adalah:

a. Untuk mengetahui penafsiran para mufassir pada ayat-ayat

syukur dalam QS. Al-Baqarah dan QS. Ali Imran.

b. Untuk mengetahui analisis munasabah ayat-ayat syukur dalam

QS. al-Baqarah dan QS. Ali Imran.

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Penelitian ini diharapkan sedikit banyaknya dapat memberikan

konstribusi bagi pengembangan pengetahuan ilmiah di bidang

‟Ulumul Qur`an dan tafsir.

b. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi

pengembangan ilmu keislaman, terutama dalam bidang „Ulumul

Qur`an dan tafsir. Dan dapat memberikan informasi serta

memperkaya khazanah ilmu pengetahuan pada umumnya, serta

ilmu „Ulumul Qur`an dan tafsir pada khususnya, terutama yang

berkaitan dengan munasabah ayat-ayat syukur dalam telaah tafsir

maudhu‟i/tematik.

c. Untuk memberikan sumbangsih ilmu pengetahuan kepada

masyarakat terutama di bidang „Ulumul Qur`an dan tafsir.

d. Sebagai syarat dan tugas akhir guna menyelesaikan jenjang Strata

1 pada Fakultas Ushuluddin Jurusan Ilmu Al-Qur`an dan Tafsir

Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta.

D. Tinjauan Pustaka

Dalam penyusunan skripsi ini penulis menemukan beberapa

penelitian judul skripsi yang membahas dengan judul berbeda namun

dalam kajian tema yang hampir sama, diantaranya adalah:

Pertama, Disertasi yang ditulis oleh Hasani Ahmad Sa‟id

tahun 2011 dengan judul “Diskursus Munasabah Al-Qur`an: kajian

atas tafsir al-Mishbah”, Konsentrasi Tafsir Hadis, Universitas Islam

Negri Syarif Hidayatullah Jakarta. Disertasi ini mendukung pendapat

bahwa al-Qur`an mempunyai pertalian erat antara surat yang satu

dengan surat yang lain dan antara ayat dengan ayat, dengan kata lain,

perlu adanya munasabah sebagai bentuk dari kemukjizatan al-

Qur`an.

Kedua, Tesis yang ditulis oleh Rahmawati Hunawa tahun

2011 dengan judul “Syukur dalam Perspektif Al-Qur`an (kajian Tafsir

Madhu‟i)”, Pasca Sarjana Institut Ilmu Al-Qur`an Jakarta. Tesis ini

membahas tentang bagaimana syukur dalam perspektif Al-Qur`an?

Dengan demikian, yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah

Page 25: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

11

masalah syukur dalam perspektif Al-Qur‟an. Pembahasan tentang

ayat-ayat syukur dalam penelitian ini hanya berkisar pada pemahaman

mengenai syukur dan penerapannya menurut Al-Qur`an. Analisi

Syukur dalam Al-Qur`an yang mencakup: penafsiran para ulama

tentang ayat-ayat syukur meliputi: perintah/anjuran bersyukur, syukur

adalah pilihan yang berkonsekuensi, Nikmat adalah cobaan, syukur

mendatangkan keselamatan, syukur mendatangkan ridha, syukur

menjadi pelajaran, sindiran bagi yang tidak bersyukur, juga

pembahasan mengenai aplikasi syukur dalam realitas kehidupan.

ketiga, Tesis yang ditulis oleh Nurpawati Alwi tahun 2011

dengan judul ”Syukur Menurut Sayyid Qutb dalam Tafsir fi Dhilal Al-

Qur`an, Jakarta: PascaSarjana. Tesis ini membahas ayat-ayat yang

langsung menggunakan kata “syukur” dan segala bentuk gubahan

katanya, serta penafsiran dalam tafsir Fi Dhilal Al-Qur`an.

Keempat, Skripsi yang ditulis oleh Angga Marzuki tahun 2014

dengan judul ”Analisa Munasabah dalam Surat Al-Baqarah Ayat 1-43

dalam Kitab Shafwah al-Tafasir (Studi Munasabah Antar Ayat dalam

Satu Surat)”, Studi Tafsir Hadis, Fakultas Ushuluddin Universitas

Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini membahas

seputar bagaimana Ali al-Shabuni memaparkan munasabah antar ayat

dalam awal surat al-Baqarah ayat 1-43, hal tersebut melingkupi

pendekatan dan pola yang ia gunakan dalam menguraikan munasabah.

Kelima, Skripsi yang ditulis oleh Siti Hawa tahun 2002

dengan judul “Syukur (Kajian Beberapa Ayat Al-Qur`an dalam Tafsir

Al-Azhar)”, Studi Tafsir Hadis, Fakultas Ushuluddin Institut Ilmu Al-

Qur`an Jakarta. Skripsi ini membahas tentang beberapa ayat syukur

ditinjau dari segi dampak syukur dalam kehidupan muslim menurut

kajian hamka. Di antara ayat-ayat syukur yang dibahas di dalam

skripsinya adalah QS. Al-Baqarah: 152, QS. An-Nisa: 147, QS.

Ibrahim: 7, dan QS. Lukman: 12.

Keenam, Buku yang ditulis oleh M. Quraish Shihab tahun

2007 dengan judul Wawasan Al-Qur`an: Tafsir Tematik atas Pelbagai

Persoalan Umat” yang diterbitkan oleh Mizan Bandung. Di dalam

buku tersebut mengulas banyak hal dan salah satu yang menjadi

pembahasan adalah syukur. Beliau memaparkan sekelumit ayat-ayat

tentang syukur dan permasalahan yang terkait dengannya.

E. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi

kepustakaan (Library Resech), yaitu suatu rangkaian kegiatan yang

Page 26: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

12

berkenaan dengan pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat

serta mengkaji bahan penelitian.30

Penelitian telaah pustaka ini

merupakan penelitian kualitatif, yaitu metode penelitian yang

digunakan untuk meneliti subjek yang bersifat ilmiah, deskriptif,

dinamis dan berkembang.31

Di mana peneliti adalah sebuah instrumen

kunci, teknis analisis data yang dilakukan secara induktif yang

dimulai dengan melakukan serangkaian observasi khusus, yang

kemudian akan memunculkan tema-tema dan pola-pola hubungan di

antara tema-tema tersebut.

2. Sumber Data

a. Sumber Data Primer

Untuk menghasilkan suatu karya ilmiah yang bisa

dipertanggungjawabkan, penulis mencari sumber-sumber yang

relevan terkait penelitian ini. Yang merupakan sumber data primer

yaitu kitab-kitab tafsir sebagai referensi diantaranya Tafsir al-

Maraghi dan Tafsir al-Mishbah.

b. Sumber Data Sekunder

Selain menggunakan sumber primer, penulis juga

menggunakan data sekunder berupa buku-buku „Ulumul Qur`an,

kitab-kitab tafsir, jurnal dan tulisan-tulisan yang memiliki

relevansi dengan pokok masalah yang dikaji dalam penelitian ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam teknik pengumpulan data penulis menggunakan

metode dokumentasi, yaitu metode yang digunakan peneliti untuk

dapat memperoleh data atau informasi dari berbagai sumber

tertulis baik berupa buku, jurnal, atau dokumen lainnya.32

Langkah pertama yang dilakukan adalah yaitu dengan cara

pengumpulan data dan informasi mengenai tema pembahasan dan

beberapa literature yang masih berkaitan dengan pembahasan,

baik berupa buku-buku, skripsi, dokumen maupun yang lainnya.

Pengumpulan ini dilakukan dari beberapa sumber primer dan

sekunder. Setelah data-data terkumpul, langkah selanjutnya yaitu

30

Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia, 2008), Cet. 1, h. 3. 31

Muhammad Idrus, Metode Penelitian Ilmu Sosial, (Yogyakarta: Erlangga, 2009),

h. 24. 32

Iskandar, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2009),

h. 134.

Page 27: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

13

memfilter data sesuai kebutuhan pokok pada poin-poin yang akan

dijadikan objek penelitian.

4. Metode Analisis Data

Setelah melakukan pengumpulan data, langkah selanjutnya

yaitu metode analisis data. Analisis data merupakan upaya yang

dilakukan untuk mengklasifikasikan atau mengelompokkan data.33

Metode analisis yang akan penulis gunakan adalah metode

deskriptif yaitu memulai pengumpulan data baik primer maupun

sekunder, kemudian diteliti dan dianalisis dengan upaya untuk

mengkaji, memahami dan memaparkan dengan jelas sekaligus

mengambil satu kesimpulan dari komparasi antar ayat.

Kemudian untuk membahas permasalahan, penulis

menggunakan metode maudhu‟i (tematik) yang merupakan salah

satu metode yang mengarahkan pandangan pada satu tema

tertentu dengan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan,

menganalisis, dan memahaminya untuk kemudian disimpulkan

dalam satu pandangan menyeluruh terkait tema yang dibahas

tersebut.34

F. Teknik dan Sistematika Penulisan

Mengenai teknik penulisan skripsi ini, penulis merujuk pada

buku “Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi terbitan IIQ

Jakarta Press tahun 2013 (edisi revisi) yang dikeluarkan oleh Institut

Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta.

Secara keseluruhan, skripsi ini memuat lima bab yang akan saling

berkaitan dengan perincian dan sistematika sebagai berikut:

Pada bab pertama penulis memuat pendahuluan. Pendahuluan

tersebut berisi latar belakang yang membahas tentang munasabah dan

syukur, dan alasan memilih munasabah ayat-ayat syukur sebagai

pokok pembahasan penulis. Setelah latar belakang diuraikan, penulis

menjelaskan identifikasi masalah, pembatasan masalah, dan

perumusan masalah agar penelitian tidak melebar kemana-mana.

Kemudian dipaparkan juga tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan

pustaka, dan metodologi penelitian yang mencakup jenis penelitian,

sumber penelitian, teknik pengumpulan data, dan metode analisi data.

33

Mahsun, Metode Penelitian Bahasa Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya,

(Jakarta: PT Gravindo Persada, 2007), h. 253. 34

M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), h. 385.

Page 28: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

14

Dan poin terakhir bab ini dipaparkan teknik penulisan dan

sistematikanya.

Pembahasan di bab kedua akan dikemukakan beberapa poin

penting yang akan menunjang penulis dalam menyelesaikan bab

keempat, diantaranya; definisi munasabah dari beberapa perspektif

para ahli. Kemudian dikemukakan pula pandangan umum tentang

munasabah, meliputi; pengertian, macam-macam munasabah dan

urgensi munasabah. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk menelaah

lebih dalam tentang kajian munasabah ayat-ayat syukur sehingga

menarik lebih mendalam dan spesifik.

Bab ketiga dikemukakan beberapa poin penting yang akan

menunjang penulis dalam menyelesaikan bab selanjutnya yaitu

tinjauan umum tentang syukur dan ayat-ayat yang berkaitan

dengannya. Tujuan dari penulisan beberapa poin tersebut adalah

untuk membantu penulis dalam menjelaskan wawasan tentang

perkembangan ilmu „ulumul Qur`an dan tafsir.

Pembahasan bab keempat menjelaskan penafsiran para mufassir

tentang ayat-ayat syukur dalam QS. Al-Baqarah dan QS. Ali Imran,

dan menguraikan analisis munasabah (keterkaitan) ayat-ayat syukur

pada QS. Al-Baqarah [2]: 52, 56, 152. 158, 172, 185, 243 dan QS. Ali

Imran [3]: 123, 144, 145. Dalam telaah tafsir maudhu‟i.

Bab kelima merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan.

Kesimpulan tersebut merupakan hasil akhir dari penelitian yang

dilakukan terhadap masalah-masalah yang diuraikan di bab

sebelumnya. Selain itu, ditulis juga saran-saran sebagai pijakan

sementara untuk melakukan penelitian lebih lanjut dan mendalam

terkait objek masalah yang dikaji. Di akhir penulisan, dicantumkan

pula daftar pustaka yang memuat referensi-referensi yang penulis

gunakan dalam melakukan penelitian sebagai bukti kevalidan

pembahasan yang dikaji.

Page 29: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

39

BAB IV

TELAAH MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR

A. Penafsiran Para Mufasir pada Ayat-ayat Syukur

1. QS. Al-Baqarah [2]: 52.

“Kemudian sesudah itu Kami maafkan kesalahanmu, agar

kamu bersyukur”.(QS. Al-Baqarah [2]: 52).

M. Quraish Shihab menafsirkan ayat di atas bahwa Allah memaafkan

hamba-Nya yaitu untuk menunjukkan betapa nilai pengampunan itu

sangat tinggi dan besar. Demikian Allah membuka kesempatan buat

mereka untuk lahir dan munculnya kebaikan dari mereka.1

Sehingga Allah menghapus dosa itu dengan menerima

taubat hamba-Nya, dan Allah tidak pernah tergesa-gesa dalam

menurunkan siksaan pada hamba-Nya yang berbuat dosa. Seperti

halnya Allah sengaja menunda siksanya, sampai Musa as. Kembali

kepada kaumnya guna mengabarkan kifârat apa yang harus dilakukan

untuk menebus dosa yang telah dilakukan. Kifarat tersebut

merupakan kunci bagi ampunan Allah, agar kalian bisa terus

mensyukuri nikmat-nikmat Nya, sebab tanpa itu tidak akan pernah

bersyukur terhadap nikmat-nikmat yang Allah berikan.2

2. QS. Al-Baqarah [2]: 56.

“Setelah itu Kami bangkitkan kamu sesudah kamu mati, supaya

kamu bersyukur”. (QS. Al-Baqarah [2]: 56).

M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa, apa pun yang

terjadi, yang jelas, sekali lagi Allah mencurahkan rahmat-Nya

karena lanjutan ayat di atas menyatakan bahwa, “Kemudian Kami

1 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,

V. 1, (Jakarta: Lentera Hati, 2012), Cet. 5, h. 239. 2 Ahmad Mushtafa al-Marâghi, Tafsir al-Marâghi, terj. Anshori Umar, dkk. Juz. 1,

(Semarang: Cv. Toha Putra, 1992), Cet. 2, h. 206.

Page 30: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

40

bangkitkan kamu setelah kematian kamu,” yakni setelah

peristiwa halilintar itu, mereka dibandingkan dengan kebangkitan

yang terjadi di dunia ini agar mereka bersyukur.3

Apakah sambaran halilintar mengakibatkan tercabutnya

nyawa mereka atau hilangnya semangat hidup mereka, ataukah

halilintar itu menjadikan mereka jatuh pingsan tidak sadarkan diri

hingga keadaan mereka serupa dengan orang mati, atau tidur, itu

semua adalah aneka pendapat para ulama dalam memahami

maksud ayat ini. Yang jelas bahwa setelah peristiwa itu Allah

masih mencurahkan rahmat-Nya.4

Kemudian Sebagian mufassirin berpendapat bahwa

setelah Allah menumpas mereka dengan petir, kemudian Allah

hidupkan kembali, setelah itu mereka melanjutkan kembali sisa

umur mereka. Jadi kematian mereka ibarat orang mati akibat

penyakit jantung, yang kemudian dihidupkan kembali oleh Allah.

Sedangkan sebagian lainnya berpendapat bahwa yang dimaksud

dengan menghidupkan kembali di sini adalah dengan cara

memperbanyak keturunan mereka. Pengertiannya adalah bahwa,

setelah Allah menimpakan siksaan kepada mereka dengan

berbagai macam penyakit, sehingga diperkirakan mereka akan

musnah, kemudian Allah memberkati mereka melalui

pengembangbiakan keturunan mereka guna membangun kembali

bangsa ini. Demikianlah, agar mereka mau mensyukuri nimat-

nikmat yang telah dikecap oleh nenek moyang mereka, yang telah

binasa akibat siksaan Allah.5

Tujuan Allah membeberkan cerita ini yang ditujukkan

kepada kaum Yahudi yang hidup semasa diturunkannya Al-

Qur`an, tiada lain karena mengingatkan adanya kesatuan umat

antara yang satu dengan lainnya. Dan kisah ini juga menjelaskan

apa yang telah dilakukan umat terdahulu berupa kenikmatan dan

kejelekan, lalu balasan mereka terima berupa kenikmatan dan

hukuman. Yang demikian itu dimaksudkan untuk mengingatkan

generasi sesudahnya, bahwa apa yang telah terjadi pada generasi

terdahulu seolah-olah terjadi atas mereka.6

3 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,

V. 1, h. 243. 44

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,

V. 1, h. 243-244. 5 Ahmad Mushtafa al-Marâghi, Tafsir al-Marâghi, terj. Anshori Umar, dkk. Juz. 1,

h. 213. 6 Ahmad Mushtafa al-Marâghi, Tafsir al-Marâghi, terj. Anshori Umar, dkk. Juz. 1,

h. 213.

Page 31: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

41

3. QS. Al-Baqarah [2]: 152.

“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya aku ingat (pula)

kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu

mengingkari (nikmat)-Ku”. (QS. Al-Baqarah [2]: 152).

Pada ayat ini M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa:

Demikian limpahan karunia-Nya. Karena itu, ingatlah kamu kepada-

Ku dengan lidah, pikiran hati, dan anggota badan; lidah menyucikan

dan memuji-Ku, pikiran dan hati melalui perhatian terhadap tanda-

tanda kebesaran-Ku, dan anggota badan dengan jalan melaksanakan

perintah-perintah-Ku. Jika itu semua kamu lakukan niscaya Aku ingat

pula kepada kamu sehingga Aku akan selalu bersama kamu saat suka

dan dukamu dan bersyukurlah kepada-Ku dengan hati, lidah, dan

perbuatan kamu pula, niscaya-Ku tambah nikmat-Ku dan janganlah

kamu mengingkari nikmat-Ku agar siksa-Ku tidak menimpa kamu.7

Di atas, terbaca bahwa Allah mendahulukan perintah

mengingat diri-Nya atas mengingat nikmat-Nya karena mengingat

Allah lebih utama daripada mengingat nukmat-nikmat-Nya.8

Tentu saja, untuk mencapai sukses meraih segala yang

diharapkan, diperlukan kesungguhan upaya. Ia harus diperjuangkan.

Untuk itu, ayat berikut mengajarkan semua kaum beriman dua cara

utama untuk meraih sukses.9

Maksudnya, ingatlah kalian kepada-Ku (Allah) melalui dzikir,

hamdalah dan tasbih. Di samping itu, membaca Kitab-Ku (Allah)

yang diturunkan kepada Muhavmmad saw. dengan penuh

penghayatan. Di samping itu, pikirkanlah dalil-dalil yang telah Allah

paparkan di alam semseta ini agar menjadi tanda bagi kebesaran Allah

dan bukti kekuasaan dan keesaan Allah. Dan ingatlah Allah melalui

anggota badan kalian dengan menjalankan perintah Allah, dan

menjauhi larangan yang telah Allah tetapkan. Dengan demikian, Allah

7 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,

V. 1, h. 433. 8 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,

V. 1, h. 433. 9 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,

V. 1, h. 433.

Page 32: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

42

akan membalas amal kalian dengan pahala dan balasan yang baik.

Allah akan membuka pintu kebaikan, bahkan kalian akan selalu

menang dan berjaya serta berkuasa.10

”Allah SWT. telah berfirman, „Aku hanya menuruti prasangka

hamba-Ku terhadap Dzat-Ku, dan Aku selalu bersamanya. Jika ia

mengingat-Ku di dalam dirinya, maka Aaku mengingatnya di dalam

Dzat-Ku. Jika ia mengingat-Ku pada suatu kelompok, maka Aku

mengingatnya dalam kelompok yang lebih baik dari kelompoknya.

Dan apabila ia mendekat kepada-Ku sejengkal, maka Aku akan

mendekatinya sehasta...”11

Hal ini merupakan pendidikan paling baik dari Tuhan terhadap

manusia. Jika mereka mengingat Allah, maka Allah akan mengingat

mereka dengan kelestarian kenikmatan dan kemurahan-Nya. Apabila

mereka melupakan Allah, maka Allah akan melupakan mereka

dengan menurunkan hukuman sesuai dengan keadilan-Nya.12

Setelah Allah memberikan penjelasan tentang sebab-sebab

lestarinya kenikmatan, maka Allah memberi petunjuk tentang sebab-

sebab bertambahnya kenikmatan dengan kemurahan-Nya.

Untuk itu Allah berfirman:

“Bersyukurlah kalian kepada-Ku atas nikmat-nikmat yang

telah Ku limpahkan kepada kalian dengan cara mengelola dan

memanfaatkan semua nikmat sesuai dengan masing-masing

fungsinya.13

Dan panjatkanlah pujian kepada-Ku dengan lisan dan hati untuk

memberi pernyataan kasih sayang Allah kepada kalian. Dan janganlah

kalian mengingkari semua anugerah tersebut dengan cara

membelanjakan ke jalan yang bertentangan dengan syari‟at dan

sunnatullah.14

10

Ahmad Mushtafa al-Marâghi, Tafsir al-Marâghi, terj. Anshori Umar, dkk. Juz. 2,

h. 32. 11

Ahmad Mushtafa al-Marâghi, Tafsir al-Marâghi, terj. Anshori Umar, dkk. Juz. 2,

h. 33. 12

Ahmad Mushtafa al-Marâghi, Tafsir al-Marâghi, terj. Anshori Umar, dkk. Juz. 2,

h. 33. 13

, 33. 14

Ahmad Mushtafa al-Marâghi, Tafsir al-Marâghi, terj. Anshori Umar, dkk. Juz. 2,

h., 33.

Page 33: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

43

Ayat ini merupakan peringatan kepada umat manusia agar

tidak terperosok seperti umat-umat terdahulu. Sebab, mereka (umat

terdahulu) telah menging kari nikmat-nikmat Allah. Mereka tidak

menggunakan akal dan indara untuk merenungkan dan memikirkan

untuk apa nikmat-nikmat tersebut, dan bagaimana cara

penggunaannya. Sebagai akibatnya, nikmat tersebut dicabut untuk

menghukum mereka, di samping sebagai pelajaran bagi yang

lainnya.15

Kaum Muslimin benar-benar melaksanakan perintah-perintah ini.

Tetapi sangat disayangkan, mereka hanya melaksanakan dalam waktu

yang sangat singkat. Mereka meninggalkan secara sedikit demi

sedikit hingga mereka tertimpa bencana dan malapetaka yang

sekarang bisa kita saksikan. Padahal, jauh sebelum itu, Allah telah

memperingatkan mereka melalui firman berikut ini:

“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan;

Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah

(nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka

Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (QS. Ibrahim [4]: 7).16

Firman Allah SWT: “Karena it, ingatlah kamu

kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu,” ini adalah sebuah

perintah sekaligus dengan jawabannya. Karena akan ada

penganugerahan oleh karena itu kata perintahnya sangat ditekankan.

Hukum asal dari dzikir (mengingat) ini adalah penerapannya di dalam

hati terhadap apa yang di ingat serta kesadaran penuh dalam

mengingatnya. Namun, terkadang kata dzikir diindikasikan untuk

dzikir dengan lisan saja, karena mungkin dzikir dengan lisan juga

menunjukkan dzikir di dalam hati. Hanya saja, karena sebutan dzikir

ini sudah terlalu sering digunakan untuk perkataan yang diucapkan

15

Ahmad Mushtafa al-Marâghi, Tafsir al-Marâghi, terj. Anshori Umar, dkk. Juz. 2,

h. , 33. 16

Ahmad Mushtafa al-Marâghi, Tafsir al-Marâghi, terj. Anshori Umar, dkk. Juz. 2,

h. , 34.

Page 34: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

44

melalui lisan, maka ketika disebut dzikir maka yang terlintas secara

langsung adalah dzikir dengan lisan.

Makna sebenarnya dari ayat ini adalah, “Ingatlah Aku melalui

ketaatan, maka Aku akan mengingatmu dengan memberikan pahala

dan ampunan.

Firman Allah SWT: dan

bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-

Ku.” Al-Farra` mengtakan bahwa bahasa arab membolehkan

penyebutan dua kata untuk syakara (rasa terima kasih) yaitu:

syakartuka dan syakartu laka dalam bahasa inggris syakartuka artinya

thank you, sedangkan syakartu laka artinya thanks to you. Namun,

kata pertama lebih dari kata kedua.

Kata syukur ini sendiri memiliki arti: mengekspresikan suatu

perasaan atas sebuah kebaikan. Dalam etimologi bahasa, kata syukur

ini artinya: menampakkan.

Oleh karena itu, rasa syukur seorang hamba kepada Allah

SWT, dapat diaplikasikan dengan pemujaan dan pemujian kepada-

Nya, serta menyebutkan segala kebaikan yang telah diberikan pada

dirinya. Sementara bentuk dari syukur kepada Allah yang sebenarnya

adalah dengan melakukan ketaan kepadanya. Hanya saja, syukur bagi

seorang hamba harus dilakukan dengan pengucapan lisan dan

ketetapan hati, atas nikmat yang diberikan Allah kepadanya, yang

disertai juga denan ketaatan.

Firman Allah SWT: “Dan janganlah kamu

mengingkari (nkmat)-Ku” Kalimat pada akhir ayat ini adalah sebuah

larangan, karena itu, nun jama‟ yang seharusnya ada pada setiap kata

jamak mudzakar salim pada ayat ini dihilangkan. Adapun huruf nun

yang ada di akhir kata takfuruni adalah nun mutakallim. Dan huruf

ya‟ pada kata tersebut juga dihilangkan, karena ia terletak pada akhir

ayat, dimana pemakainnya baik pula digunakan pada selain Al-

Qur`an. adapun makna dari ayat ini adalah, “Janganlah kamu

mengingkari nikmat dan pemberian-Ku.” Dengan demikian, maka

kata kafara (ingkar) pada ayat ini bermakna menutupi kenikmatan,

dan bukan penolakan.

4. QS. Al-Baqarah [2]: 158.

Page 35: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

45

“Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi'ar

Allah. Maka Barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau

ber-'umrah, Maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i antara

keduanya. dan Barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan

dengan kerelaan hati, Maka Sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri

kebaikan lagi Maha mengetahui”. (QS. Al-Baqarah [2]: 158).

Kesabaran orang-orang yang ciri-cirinya dibicarakan di ats, bukan

berarti mereka berpangku tangan tanpa upaya. Mereka berupaya.

Upaya tersebut dinamai oleh Al-Qur`an () sa‟i yang arti

harfiahnya adalah usaha. Arti syariahnya pada ibadah haji dan

umrah adalah berbolak-balik sebanyak tujuh kali antara bukti Shafa

dan Marwah demi melaksanakan perintah Allah.sedang, penerapan

sa‟i dalam kehidupan sehari-hari adalah “usaha sungguh-sungguh

mencari sumber kehidupan dengan memulainya dari shafa yang

berarti kesucian dan berakhir di Marwah yang berarti kepuasan

hati”. Inilah agaknya yang menghubungkan ayat yang berbicara

tentang kesabaran dengan ayat 158 yang berbicara tentang sa‟i

dalam berbagai maknanya itu memerlukan kesabaran.17

Sesungguhnya, Shafa dan Marwah adalah sebagian dari

syiar Allah. Shafa dan Marwah adalah dua bukit yang tadinya

berada sekitar 300 meter dari Masjid al-Haram. Kini setelah

perluasan Masji al-Haram ia telah merupakan bagian dari masjid

terebut.18

Shafa dan Marwah termasuk syiar Allah. Kata ()

syi‟ar seakar dengan kata () syu‟ur yang berarti rasa. Syi‟ar

17

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-

Qur`n, V. 1, h. 439-440. 18

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,

V. 1, h. 440.

Page 36: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

46

adalah tanda-tanda itu dinamai syiar karena ia seharusnya

menghasilkan rasa hormat dan agung kepada Allah SWT.19

Dengan ber-sa‟i sesuai dengan tuntunan-Nya,

seseorang mengedepankan dan memaklumkan rasa tunduk dan

ketaatan kepada Allah SWT. Tadinya kaum musykirin melakukan

pula sa‟i yang mengandung unsur kemusyrikan dan penyembahan

berhala. Mereka berihram atas nama berhala Manat, kemudian

melkukan sa‟i. Di puncak bukit Shafa, mereka meletakan patung

yang merek namakan Isaf. Sedang, di puncak Marwah, diletakkan

berhala () Na‟ilah. Kaum muslimin sepenuhnya sadar bahwa hal

tersebut idak dibenarkan agama sehingga mereka ragu melakukan

sa‟i. Untuk menghilangkan keraguan tersebut, ayat di atas

melanjutkan: Maka, barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah

atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa‟i

antara keduanya”.

Haji adalah berkunjung ke Mekkah dan sekitarnya

demi karena Allah dengan berihram pada waktu tertentu dan

melaksanakan amal-amal ibadah tertentu, seperti thawaf, sa‟i,

wuquf di Arafah, melontar dan lain-lain. Sedang Umroh adalah

berkunjung ke Masjid al-Haram demi karena Allah, dengan

berihram dan melaksanakan thawaf serta sa‟i antara Shafa dan

Marwah, kemudian menggunting rambut setelah selesai

berthawaf.20

Semua yang melakukan sa‟i (usaha), baik dalam

konteks melaksanakan ibadah haji dan Umrah, wajib atau sunnah,

maupun usaha lainnya untuk mendapatkan kebahagian hidup

duniawi, selama dilakukan secara tulus untuk kebaikan, dimulai

dari kesucian dan berakhir dengan kepuasan, maka semua akan

mendapat ganjaran, karena Allah sangat mensyukuri kebaikan

yakni aktivitas yang dilandasi keikhlasan dan ketaatan kepada-Nya

lagi Maha Mengetahui aktivitas dan niat para pelakunya.21

Anda tentu masih ingat bahwa masalah dan penjelasan-

penjelasan yang terbaca pada kelompok ayat-ayat yang lalu

dikemukakan dalam konteks pembicaraan tentang Bani Isra‟il. Nah,

kalau berbicara tentang kiblat diisyaratkan bahwa sebenarnya

mereka mengetahui kebenaran, antara lain kebenaran kenabian Nabi

19

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,

V. 1, h. 440. 20

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,

V. 1, h. 440. 21

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,

V. 1,, h. 441.

Page 37: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

47

Muhammad saw. pada kelompok ayat ini ditegaskan kecaman,

kutukan, dan ancaman siksa bagi siapa pun yang menyembunyikan

pengetahuan yang dibutuhkan manusia, termasuk menyembunyikan

apa yang mereka ketahui tentang Nabi Muhammad saw.22

Barang siapa yang memperbanyak sikap taat dengan

menambah perbuatan sunnah di samping yang wajib, Allah-lah yang

akan membalasnya. Kebaikan pasti akan dibalas Allah dengan

kebaikan. Dan Allah Maha Mengetahui siapa yang berhak mendapat

balasan pahala. Ihsan sebagai balasan Allah.23

Di dalam pengungkapan ayat yang mengistilahkan kebaikan

Allah itu sebagai syukur, adalah untuk memberi pengajaran kepada

hamba-Nya suatu tata krama yang baik dan akhlak mulia. Hal ini jelas,

karena manfaat perbuatan ibadah mereka akan dikembalikan kepada

mereka sendiri. Sekalipun demikian, Allah menyatakan syukur atas

segala jerih payah manusia yang telah beramal. Kemudian, apakah

setelah itu manusia akan menyia-nyiakan nikmat Allah dalam

pengertian tidak menyatakan syukur dan tidak meletakkan sesuatu pada

tempatnya? Apakah pantas bagi orang yang tidak bersyukur terhadap

Yang Maha menganugerahi segala kenikmatan terssebut?24

Bersyukurlah kalian kepada Yang Maha Memberi nimat yang

merupakan tiang penunjang pembangunan, mampu mengerahkan

potensi tenaga, dan memotivasi orang-orang yang berjiwa ikhlas dan

bercita-cita luhur untuk negara dan bangsa, bahkan dunia, untuk lebih

giat bekerja.25

Hal ini seperti sikap tidak bersikap syukur atas kebaikan orang

lain yang merupakan perbuatan jahat terhadap diri sendiri dan orang

lain. Sebab jika orang-orang yang telah berbuat baik itu tidak mendapat

tanggapan masyarakat atau tidak diperdulikan, maka orang tersebut

akan meninggalkan perbuatannya itu tidak berfaedah, atau menghindari

hal-hal yang tidak diinginkan lantaran orang-orang dengki sering

menyakiti orang-orang yang berbuat baik.

Para ulama menceritakan sebuah hadits yang menunjukkan

bahwa Rasulullah saw. merasa bergembira jika perbuatan beliau yang

mulia dan kecintaan Nabi terhadap kebaikan itu disebut (di puji).

22

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,

V. 1, h. 441. 23

Ahmad Mushtafa al-Marâghi, Tafsir al-Marâghi, terj. Anshori Umar, dkk. Juz. 2,

h. , 48. 24

Ahmad Mushtafa al-Marâghi, Tafsir al-Marâghi, terj. Anshori Umar, dkk. Juz. 2,

h. 48. 25

Ahmad Mushtafa al-Marâghi, Tafsir al-Marâghi, terj. Anshori Umar, dkk. Juz. 2,

h. 49.

Page 38: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

48

Padahal Nabi adalah seikhlas-ikhlas orang di hadapan Allah, yang

hanya mencari keridhaan-Nya.26

5. QS. Al-Baqarah [2]: 172.

“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki

yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan

bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya

kamu menyembah”. (QS. Al-Baqarah [2]: 172).

M. Quraish Shihab menafsirkan ayat di atas bahwa, Kesadaran iman

yang bersemi di hati mereka menjadikan ajakan Allah kepada orang-

orang beriman sedikit berbeda dengan ajakan-Nya kepada seluruh

manusia. Bagi orang-orang mukmin, tidak lagi disebut kata halal,

sebagaimana yang disebut pada ayat 168 yang lalu, karena keimanan

yang bersemi di dalam hati merupakan jaminan kejauhan mereka dari

yang tidak halal. Mereka di sini bahkan diperintah untuk bersyukur

disertai dengan dorongan kuat yang tercermin pada penutup ayat 172

ini, yaitu bersyukurlah kepada Allah jika benar-benar hanya kepada-

Nya kamu menyembah.27

Syukur adalah mengakui dengan tulus bahwa anugerah yang

diperoleh semata-mata bersumber dari Allah sambil menggunakannya

sesuai tujuan penganugrahannya atau menempatkannya pada tempat

yang semestinya.28

Setelah menekankan perlunya makan makanan yang baik-baik,

dijelaskan-Nya makanan yang buruk, dalam bentuk redaksi yang

mengesankan bahwa hanya yang disebut itu yang terlarang, walau pada

hakikatnya tidak demikian.29

26

Ahmad Mushtafa al-Marâghi, Tafsir al-Marâghi, terj. Anshori Umar, dkk. Juz. 2,

h. 49. 27

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,

V. 1, h. 461. 28

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,

V. 1, h. 461. 29

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,

V. 1, h. 461.

Page 39: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

49

Agama Kristen juga demikian. Walaupun dalam kitab

Perjanjian Baru tidak ada isyarat tentang kewajiban puasa, dalam

praktik keberagamaan mereka dikenal aneka ragam puasa yang

ditetapkan oleh pemuka-pemuka agama.

Kewajiban tersebut dimaksudkan agar kamu bertakwa, yakni

terhindar dari segala macam sanksi dan dampak buruk, baik duniawi

atau ukhrawi. Jangan duga, kewajiban yang akan dibebankan kepada

kamu in sepanjang tahun. Tidak! Ia hanya beberapa hari tertentu, itu

pun masih harus melihat kondisi kesehatan dan keadaan kalian. Karena

tu, barang siapa di ntara kamu sakit yang memberatkan baginya puasa,

aku menduga kesehatannya akan terlambat pulih bila berpuasa, iatau ia

benar-benar dalam perjalanan (kata benar-benar dipahami dari kata

) „ala dalam redaksi ( „ala safarin , jadi bukan peralanan

biasa yang mudah. Dahulu perjalanan itu dinilai sejauh sekitar sembilan

puluh kilo meter), jika yang sakit dan yang dalam perjalanan itu

berbuka, maka wajiblah baginya berpuasa pada hari-hari lain, baik

berturut-turut maupun tidak, sebanyak hari yang ditinggalkan itu.30

Adapun kondisi badannya menjadikan ia mengalami kesulitan

berat bila berpuasa, baik karena usia lanjut atau penyakit yang diduga

tidak akan sembuh lagi atau pekerjaan berat yang mesti dan harus

dilakukannya sehingga bila ia tinggalkan menyulitkan diri atau

keluarga yang ditanggungnya, wajib bagi orang-orang yang berat

menjalankannya itu jika mereka tidak berpuasa—membayar fidyah,

yaitu memberi makan seorang miskin. Setelah menjelaskan izin

tersebut, Allah mengingatkan bahwa Barang siapa yang dengan

kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik

baginya. Dan berpuasalah lebih baik bagi kamu jika kamu

mengetahui.31

Setelah diketahui siapa yang wajib berpuasa dan yan diberi

izin untuk tidak melaksanakannya, dijelaskan tentang masa puasa yang

sebelum ini dinyatakan bahwa ia hanya pada hari-hari tertentu.32

6. QS. Al-Baqarah [2]: 185.

30

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,

V. 1, h. 486. 31

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,

V. 1, h. 486. 32

, M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-

Qur`n, V. 1, h. 486.

Page 40: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

50

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan,

bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran

sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan

mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang

bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri

tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa

pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan

(lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak

hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah

menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki

kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan

bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas

petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu

bersyukur”. (QS. Al-Baqarah [2]: 185).

Beberapa hari yang ditentukan, yakni dua puluh sembilan

atau tiga puluh hari saja selama bulan Ramadhan. Bulan tersebut dipilih

karena ia adalah bulan yang mulia. Bulan yang di dalamnya diturunkan

permulaan Al-Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-

penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda yang jelas antara yang

hak dan yang batil.33

Al-Qur`an merupakan petunjuk bagi manusia menyangkut

tuntunan yang berkaitan dengan akidah, dan penjelasan-penjelasan

mengenai petunjuk itu dalam hal perincian hukum-hukum syariat.

Demikian satu pendapat. Bisa juga dikatakan, Al-Qur`an petunjuk bagi

manusia dalam arti bahwa Al-Qur`an adalah kitab yang Mahaagung

sehingga, secara berdiri sendiri, ia merupakan petunjuk. Banyak nilai

33 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,

V. 1,487.

Page 41: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

51

universl dan pokok yang dikandungannya, tetapi nilai-nilai itu

dilengkapi lagi dengan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu,

yakni keteranag dan perinciannya. Wujud Tuhan dan keesaan-Nya

dijelaskan sebagai nilai utama dan pertama. Ini dijelaskan perinciannya,

ukan saja menyangkut dalil-dalil pembuktiannya, tetapi sifat-sifat dan

nama-nama yang wajar disandang-Nya. Keadilan adalah prinsip utama

dalam berinteraksi; Al-Qur`an tidak berhenti dalam memerintahkan

atau mewajibkannya. Dalam Al-Qur`an dijelaskan lebih jauh beberapa

perincian tentang bagaiamna menerapkannya, misalnya dalam kehidupa

rumah tangga. Dengan demikian, Al-Qur`an mengandung petunjuk

sekaligus penjelasan tentang petunjuk-petunjuk itu.34

Penegasan bahwa Al-Qur`an yang demikian itu sifatnya

diturunkan pada bulan Ramadhan mengisyaratkan bahwa sangat

dianjurkan untuk membaca da mempelajari Al-Qur`an selama bulan

ramadhan, dan yang mempelajarinya diharapkan dapat

memperolehpetunjuk serta memahami dan menerapkan penjelasan-

penjelasnnya. Karena, dengan membaca Al-Qur`an, ketika itu yang

bersangkutan menyiapkan wadah hatinya untuk menerima petunjuk

Ilahi berkat makanan ruhani—bukan jasmani—yang memenuhi

kalbunya. Bahkan, jiwanya akan sedemikian cerah, pikirannya begitu

jernih, sehingga ia akan memerileh kemampuan untuk membedakan

antara yang haq dan yang batil.35

Setelah jelas hari-hari tertentu yang harus diisi dengan

puasa, lanjutan ayat ini menetapkan siapa yang wajib berpuasa, yakni,

karena puasa diwajibkan pada bulan Ramadhan, maka barabg siapa di

antara kamu hadir pada bulan itu, yakni berada di negeri tempat

tinggalnya atau mengetahui culnya awal bulan Ramadhan sedang dia

tidak berhalangan dengan halangan yang dibenarkan agama, maka

hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. Penggalan ayat ini dapat juga

berarti, maka barang siapa di antara kamu mengetahui kehadiran bulan

itu, dengan melihatnya sendiri atau melalui informasi dari yang dapat

dipercaya, maka hendaklah ia berpuasa.36

Setelah menjelaskan hal di atas, ayat ini mengulang kembali

penjelasan yang lalu, yaitu barang siapa yang sakit atau dalam

34

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,

V. 1, h. 487. 35

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,

V. 1 , h. 487-488. 36

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,

V. 1, h. 488.

Page 42: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

52

perjalanan lalu ia berbuka, maka wajiblah baginya berpuasa sebanyak

hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.37

Pengulanagn ini diperlukan agar tidak timbul kesan bahwa

komentar yang menyusul izin pada ayat 184 tersebut yakni berpuasa

lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahui merupakan desakan dari

Tuhan agar tetap berpuasa walau dalam keadaan perjalanan yang

melelahkan, sakit yang parah, atau bagi orang-orang yang telah tua. Ini

tidak dikehendaki Allah. Maka, diulangilah penjelasan di atas, dan kali

ini ditambah dengan penjelasan bahwa Allah menghendaki kemudahan

bagi kamu, dan tidak mengehndaki kesukaran bagi kamu.38

Keringanan untuk menggantikan puasa Ramadhan pada

hari-hari lain juga dimaksudkan agar bilangan puasa 29 atau 30 hari

dapat terpenuhi. Karena itu, lanjutan ayat di atas menyatakan, Dan

hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah juga kamu

mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kamu

supaya kamu bersyukur.39

Dengan ayat-ayat di atas, jelas sudah kedudukan hukum

puasa Ramadhan, keistimewan, dan manfaat, serta masa dan

bilangannya. Jelas juga siapa yang wajib melaksanakannya dan siapa

pula yang diizinkan untuk menunda atau tidak melaksanakannya serta

bagaimana menggantinya. Yang belum dijelaskan adalah lama berpuasa

setiap hari dan bagaimana caranya. Ini dijelaskan pada ayat-ayat

berikut, tetapi sebelum menjelaskannya, terlebih dahulu digaris bawahi

suatu hal yang amat perlu dilakukan oleh setiap orang, khususnya yang

berpuasa di bulan Ramadhan.40

Memang, tidak dapat disangkal bahwa puasa adalah suatu

kewajiban yang memerlukan kesabaran. Allah dengan kemurahan-Nya

bermaksud memberi imbalan bagi yang memenuhi apa yang

diwajibkan-Nya itu, apalagi ditegaskan-Nya melalui sebuah hadits

qudsi bahwa Puasa untuk-Ku dan Aku yang akan memberi

ganjarannya. Untuk itu, Allah menegaskan kedekatan-Nya kepada

hamba-hamba-Nya, khususnya mereka yang berpuasa, dan

menganjurkan kepada mereka agar dalam bulan puasa itu banyak-

banyak mengajukan permohonan dan harapan kepada-Nya. Ini

37

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,

V. 1, h. 490. 38

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,

V. 1, h. 490. 39

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,

V. 1, h. 490. 40

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,

V. 1, h. 490-491.

Page 43: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

53

disisipkan sebelum menjelaskan lama berpuasa setiap hari dan

bagaimana caranya.41

Melaksanakan ibadah di bulan Ramadhan ini secara lebih

bersemangat, termasuk mengingat akan hidayah Allah, sekaligus

sebagai tanda syukur atas anugerah yang dilimpahkan kepada kita,

yakni Al-Qur`an. bulan ini juga merupakan bulan syi‟ar agama, di

samping merupakan musim meningkatnya ibadah kita kepada Allah.42

Barang siapa menyaksikan masuknya bulan, sidang ia tidak

dalam perjalanan, dan kesaksiannya itu melalui melihatnya hilâl tanda

masuk bulan, maka hendaknya berpuasa. Jadi, siapa pun melihat hilal

atau mengetahui melalui orang lain, hendaknya ia melakukan puasa.

Keterangan hadits mengenai masalah ini sangat banyak yang

disebutkan dalam sunnah nabawi dan sudah dilaksanakn sejak Islam

permulaan hingga sekarang.43

Dan bagi siapa saja yang tidak melihat hilal seperti

penduduk kutub utara atau selatan, di kutub jika malam itu panjang,

maka siang hanya sedikit sekali, begitu di utara maupun selatan secara

bergantian per setengah tahun. Maka kaum Muslim yang menempati

tempat-tempat tersebut, harus memperkirakan waktu selama sebulan.

Sedang ukuran yang dipakai untuk wilayah ini adalah berdasarkan

keadaan yang sedang (sub tropis), seperti permulaan disyari‟atkannya

puasa, Makkah dan Madinah. Dan ada pula yang mengatakan

disamakan dengan negara-negara tetangga, yang bermusim sedang.44

Dsini disebutkan penyebutan rukhshah sekali lagi, agar

tidak timbul dugaan bahwa kewajiban puasa itu tidak dapat ditawar

lagi, tidak ada kemurahan atau disangka boleh melakukan rukhshah

tetapi termasuk tidak terpuji, karena setelah dijelaskan tentang

keagungan puasa dengan berbagai keistimewaan sebagai tersebut di

dalam pembahasan terdahulu, sehingga terdapat suatu riwayat yang

menceritakan prihal sebagian para sahabat Nabi saw. sekalipun

mereka mengetahui hukum rukhshah ini dari Al-Qur`an, tetepi mereka

masih enggan melakukan buka puasa di siang hari jika di dalam

perjalanan. Sampai-sampai, di dalam suatu perjalanan Nabi

memerintahkan mereka agar berbuka puasa, tetapi mereka tidak

41

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-

Qur`n, V. 1, h. 491. 42

Ahmad Mushtafa al-Marâghi, Tafsir al-Marâghi, terj. Anshori Umar, dkk. Juz. 2,

h. 136. 43

Ahmad Mushtafa al-Marâghi, Tafsir al-Marâghi, terj. Anshori Umar, dkk. Juz. 2,

h. 136. 44

Ahmad Mushtafa al-Marâghi, Tafsir al-Marâghi, terj. Anshori Umar, dkk. Juz. 2,

h. 136-137.

Page 44: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

54

menggubris perintah tersebut. Sehingga, Nabi sendirilah yang

memulai berbuka puasa.45

Allah menghendaki kemudahan dalam masalah puasa dan

pada setiap yang disyari‟atkan untuk memperingan beban kalian, dan

menjadikan agama menjadi mudah tidak ada kesulitan di dalamnya.

Ayat ini menjelaskan bahwa puasa yang paling utama adalah apabila

yang menjalankan puasa tidak menemukan masyaqat. Dengan

demikian, tiadak ada alasan baginya untuk meninggalkan puasa.

Banyak sekali hadits yang mengungkapakan makna yang senada

dengan ayat ini. Diantaranya adalah hadits Anas bin Malik:

“Permudahlah, dan jangan kalian memperulit diri, dan buatlah

selonggar gkin, jangan mempersulit diri”.46

Allah telah memberikan kemurahan kepada kalian dengan

dibolehkannya puasa ketikan kalian sedang dalam perjalanan dan

dalam keadaan sakit. Sebab, Allah mengehndaki kemudahan untuk

kalian agar kalian biasa menyempurnakan bilangan hari-hari puasa.

Dan barang siapa yang tidak lengkap (tidak mampu

menyempurnakan), karena udzur seperti sakit, bepergian, maka ia

dibolehkan melengkapi di hari-hari lain (qadha). Dengan demikian,

kalian akan mendapatkan kebaikan bulan puasa, dan kalian akan

mendapatkan berkahnya.47

Yakni berupa hukum yang di dalamnya terkandung nilai

kebahagiaan di dunia maupun di akherat. Karenanya, kita wajib

menyatakan syukur kepada keagungan Tuhan yang telah

menganugerahkan kepada kita semua dengan hukum-hukum yang

tidak keras dan tidak sulit. Buktinya, jika kita sedang dalam keadaan

udzur, maka Allah memberi kelonggaran sesuai dengan kondisi kita.48

Hendaknya kalian bersyukur kepada Allah atas karunia yang

Dia berikan kepada kita. Karenanya, memang sudah seharusnya kita

bersyukur kepada Alah dengan cara melaksanakan semua perintah,

„azimah dan rukhsaha-Nya secara bena, karena melaksanakn perintah

45

Ahmad Mushtafa al-Marâghi, Tafsir al-Marâghi, terj. Anshori Umar, dkk. Juz. 2,

h. 137. 46

Ahmad Mushtafa al-Marâghi, Tafsir al-Marâghi, terj. Anshori Umar, dkk. Juz. 2,

h. 137. 47

Ahmad Mushtafa al-Marâghi, Tafsir al-Marâghi, terj. Anshori Umar, dkk. Juz. 2,

h. 138 . 48

Ahmad Mushtafa al-Marâghi, Tafsir al-Marâghi, terj. Anshori Umar, dkk. Juz. 2,

h. 138.

Page 45: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

55

ini, iman kita akan semakin sempurna, dan kita akan mendapatkan

ridha-Nya.49

7. QS. Al-Baqarah [2]: 243.

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang ke

luar dari kampung halaman mereka, sedang mereka beribu-

ribu (jumlahnya) karena takut mati; Maka Allah berfirman

kepada mereka: "Matilah kamu", kemudian Allah

menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah mempunyai

karunia terhadap manusia tetapi kebanyakan manusia tidak

bersyukur”. (QS. Al-Baqarah [2]: 243).

Setelah Allah menguraikan tentang kehidupan rumah tangga yang

diakhiri dengan uraian tentang suami yang mati dan

meninggalkan istri, di sini diuraikan tentang kematian. Melalui

ayat-ayat berikut Allah hendak menekankan bahwa seseorang

tidak dapat mengelak dari takdir Allah kecuali menuju kepada

takdir-Nya yang lain.50

Nabi Muhammad saw. pasti akan meninggal dunia, dan

memang beliau telah wafat. Karena itu, umat Islam harus

memiliki pegangan yang kukuh untuk menghadapi masa depan.

Untuk itu, Allah menghidangkan kepada mereka pengalaman

umat yang lalu guna menjadi pelajaran bagi umat Islam. Yang

dihidangkan-Nya itu adalah pengalaman Bani Isra‟il yang dalam

sejumlah kelompok ayat lalu surah ini telah banyak

dibicarakan.51

Melalui ayat-ayat ini, Al-Qur`an hendak

49

Ahmad Mushtafa al-Marâghi, Tafsir al-Marâghi, terj. Anshori Umar, dkk. Juz. 2,

h. 138. 50

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian

Al-Qur`n, V. 1,h. 638.

51

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian

Al-Qur`n, V. 1, h. 638.

Page 46: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

56

menekankan bahwa kematian dan kehidupan berada di tangan

Allah sehingga seorang muslim tidak akan ragu melaksanakan

kewajiban dan tuntunan Ilahi. Ada dua kisah dalam kelompok

ayat ini yang dikemukakann sebagai pelajaran.52

Uraian ayat ini dimulai dengan firman Allah SWT.

yang mengatakan: apakah kamu tidak melihat orang-orang yang

keluar dari kampung halaman mereka. Tentu saja, Nabi saw. dan

setiap orang yang hidup pada masa turunnya ayat ini apalagi yang

hidup sesudahnya tidak dapat melihat peristiwa tersebut dengan

mata kepala karena peristiwanya telah terjadi sebelum mereka.

Jika demikian, kata melihat di sini berarti melihat dengan mata

hati, merenungkan peristiwa yang terjadi itu. Ia harus dipahami

demikian, apalagi untuk melihat sesuatu dengan mata kepala,

objek yang dilihat harus wujud di hadapan mata. Ini berbeda

dengan perintah merenungkan satu keadaan atau peristiwa yang

diceritakan. Ketika itu, walau peristiwanya tidak dilihat dengan

mata kepala, ia dapat dipikirkan dan direnungkan.53

Al-Qur`an tidak menjelaskan di mana peristiwa itu

terjadi, tidak juga kapan terjadinya, karena yang ingin

ditekankannya adalah peristiwa itu sendiri dan pelajaran yang

harus diambil darinya. Ayat ini hanya menyatakan bahwa mereka

kaluar dari kampung halaman mereka dalam jumlah yang besar

ulūf/beribu-ribu. Jumlahnya—menurut al-Biqa‟i—melibihi

sepuluh ribu orang berdasar penggunaan bentuk jamak taksir

yang digunakan ayat ini. Ada juga yang memahami kata

/ulūf yang digunakan ayat ini dalam arti sehati, tidak saling

bermusushan.54

Mereka keluar karena takut mati. Tidak dijelaskan

mengapa mereka takut, bisa jadi karena ada wabah penyakit, bisa

pula karena ada musuh yang mereka takuti. Na, yng pasti bahwa

52

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian

Al-Qur`n, V. 1, h. 638.

53

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian

Al-Qur`n, V. 1, h. 637-638.

54

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian

Al-Qur`n, V. 1, h. 638.

Page 47: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

57

ada usaha mereka menghindar dari kematian yang tidak dapat

mereka capai karena dengan satu kata—walau Allah tidak

membutuhkan kata itu untuk mewujudkan kehendak-Nya. Allah

berfirman kepada mereka dengan perintah takwini, yakni perintah

tentang mewujudkan sesuatu, bukan perintah agar mereka

melaksanakannya, “Matilah kamu semua”, dan seketika itu juga

segala upaya menghindar menjadi sia-sia. Kematian yang mereka

alami itu adalah kematian spontan dan kolektif, tidak berangsur-

angsur. Demikian yang dipahami oleh sementara mufassir dari

penggunaan redaksi matilah kamu, bukan “maka Allah

mematikan mereka”. Kemudian, setelah berlaku sekian lama,

Allah menghiupkan mereka kembali.55

Apa makna kematian dan kehidupan mereka?

Mayoritas ulama memahaminya dalam arti hakiki, tetapi ada juga

yang memahami kematian an kehidupan itu dalam arti hakiki,

tetapi ada juga yang memahami kematian dan kehidupan itu

dalam arti majazi, yakni kematian semangat hidup, atau kematian

eksistensi mereka ebagai suatu kesatuan umat akibat rasa takut

menyelimuti jiwa mereka. Memang, umat mengalami kematian

akibat rasa takut sehingga musuh menguasai mereka dan

menduduki wilayah mereka. Adapun kehidupan umat adalah

dengan semangat hidup mengantar kepada upaya meraih

kemerdekaan serta membangun negeri setempat tumpah darah.

Dmikian lebih kurang tulis Syaikh Muhammad Abduh.56

Kehidupan seseorang atau masyarakat merupakan

anugrah Ilahi, dan apa yang dialami oleh umat yang peristiwanya

diuraikan ini adalah anugerah Allah yang harus disyukuri.

Karena sesungguhnya Allah mempunyai anugerah terhadap

manusia, tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.57

Allah-lah yang akan memberikan anugerah kepada umat

manusia dengan cara mematikan mereka terlebih dahulu sebagai tanda

kehidupan atau kebangkitannya. Allah menjadikan musibah dan

malapetaka yang menimpa mereka sebagai tanda untuk membangunkan

55

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian

Al-Qur`n, V. 1, h. 638.

56

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian

Al-Qur`n, V. 1, h. 638.

57

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,

V. 1, h. 639.

Page 48: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

58

mereka kembali. Sebagaimana Allah menjadikan sifat pengecut,

penakut dan watak-watak yang sejenis sebagai sebab kelemahan dan

kehancuran suatu umat. Sebab, dengan adanya kelemahan ini

menyebabkan umat yang kuat berambisi untuk menaklukanya. Dan

serangan yang dilakukan oleh umat yang kuat ini sebagai perintangan

untuk mereka sehingga bangkit dari tidur, untuk selanjutnya bangkit

hidup bagaikan umat kuat yang disegani dan ditakuti oleh lawan-

lawannya.58

Kesimpulannya, suatu umat akan mati (hancur) setelah

dikuasai oleh musuh dan dianiaya oleh mereka. Umat itu baru bisa

bangkit dengan lahirnya generasi penerus yang berusaha keras

mengembalikan kejayaan umatnya yang telah hilang. Sama halnya

dengan sebuah bangunan tua yang harus dirobohkan, kemudian di

bangun kembali sesuai dengan tuntutan masa, atau ibarat anggota

badan yang rusak dan dipotong oleh dokter sehingga anggota badan

yang lain menjadi selamat.59

Tetapi kebayakan orang tidak menunaikan kewajiban dan nikmat yang

dikaruniakan. Bahkan mereka lupa akan nikmat Allah tersebut.

Karenanya, seharusnya kaum Muslim mengambil contoh agar jangan

sampai tertimpa oleh apa yang pernah menimpa mereka. Dan mau

mengambil pelajaran dari kejadian yang telah lalu. Dengan demikian,

jika mereka tertimpa musibah karena perbuatan mereka, maka mereka

saling bahu membahu menanggulanginya, atau tidak asal selamat. Perlu

diketahui bahwa kehidupan yang sentosa dan sejahtera takkan bisa

tercapai pada suatu umat kecuali jika mereka mampu mengusir bahaya

musuh. Demikianlah ringkasan dari penafsiran yang dikemukakan oleh

Muhammad „Abduh.60

Di samping itu Muhammad „Abduh juga memilih suatu

pendapat bahwa ayat ini menunjukkan kejadian yag sebenarnya. Dan

mereka benar-benar keluar dari negara karena lari dari musuh yang

akan menyerang mereka.61

58

Ahmad Mushtafa al-Marâghi, Tafsir al-Marâghi, terj. Anshori Umar, dkk. Juz. 2,

h. 387. 59

Ahmad Mushtafa al-Marâghi, Tafsir al-Marâghi, terj. Anshori Umar, dkk. Juz. 2,

h. 387. 60

Ahmad Mushtafa al-Marâghi, Tafsir al-Marâghi, terj. Anshori Umar, dkk. Juz. 2,

h. 388. 61

Ahmad Mushtafa al-Marâghi, Tafsir al-Marâghi, terj. Anshori Umar, dkk. Juz. 2,

h. 388.

Page 49: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

59

Pendapat ini didasarkan pada sebuah hadits yang diriwayatkan

oleh Abdullah ibnu Abbas, bahwa ada seorang raja dari kalangan Bani

Isra‟il memerintahkan tentaranya agar maju memerangi musuh. Tetapi

tentaranya itu menolak, bahkan perintah tersebut dijawab oleh mereka.

“Negara yang akan kita serang ini sedang tertimpa penyalit menular.

Karenanya, biarkanlah kami menunggu sampai wabah tersebut hilang”.

Kemudian Allah SWT. membunuh mereka dalam tempo delapan hari,

sehingga tampak tubuh mereka membengkak, dan Bani Isra‟il tidak

mampu menguburkan mereka karena terlalu banyaknya mayat. Setelah

lewat delapan haari, Allah SWT. menghidupkan kembali, tetapi bau

anyir sebagai mayit masih menempel di tubuh mereka. Para perawi

mengatakan bahwa mati yang mereka alami bukanlah mati yang hakiki,

yakni kematian yang sewajarnya yang kemudian dibangkitkan dari

kubur . tetapi kematian yang mereka alami lebih mirip dengan orang

yang terkena penyakit jantung atau ayan, smapai-smapai orang yang

melihatnya menduga bahwa mereka benar-benar mati.62

Ada pula riwayat yang mengatakan bahwa peristiwa tersebut

adalah kejadian yang menyimpang dari hukum alam. Karenanya, tidak

bisa ditafsirkan dengan pengertian mati biasa. Wallahu a‟lam.63

8. QS. Ali Imrân [3]: 123.

“Sungguh Allah telah menolong kamu dalam peperangan Badar,

Padahal kamu adalah (ketika itu) orang-orang yang lemah. karena

itu bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mensyukuri-Nya”.

(QS. Ali Imran [3]: 123).

Boleh jadi apa yang dialami kaum muslimin dalam perang Uhud

menimbulkan semacam keraguan di hati sementara mereka tentang

janji-janji Allah sebelum ini. Untuk menghilangkan keraguan itu,

Allah menegaskan bahwa sungguh Allah telah menolong kamu dalam

perang Badar, yang terjadi pada 17 Ramadhan tahun kedua hijrah itu,

padahal ketika itu menurut ukuran kamu sendiri adalah orang-orang

yang lemah karena jumlah kamu tidak lebih dari sepertiga musuh,

62

Ahmad Mushtafa al-Marâghi, Tafsir al-Marâghi, terj. Anshori Umar, dkk. Juz. 2,

h. 388. 63

Ahmad Mushtafa al-Marâghi, Tafsir al-Marâghi, terj. Anshori Umar, dkk. Juz. 2,

h. 389.

Page 50: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

60

perlengkapan kamu pun sangat sederhana dan sedikit. Ketika itu,

Allah membantu kamu karena kamu bertakwa dan berserah diri

kepada-Nya setelah segala usaha kamu lakukan. Karena itu, sejarak

sekarang sampai masa-masa yang akan datang bertakwalah kepada

Allah dalam setiap dan segala urusan kamu supaya dengan bertakwa

itu kamu melaksanakan kewajiban bersyukur kepada-Nya.64

9. QS. Ali Imrân [3]: 144.

“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah

berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika Dia wafat

atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang

berbalik ke belakang, Maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat

kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi Balasan kepada

orang-orang yang bersyukur”. (QS. Ali Imrân [3]: 144).

Ayat ini, masih merupakan lanjutan kecaman terhadap sebagian besar

yang terlibat dalam perang uhud itu, bahkan kini kritikan tersebut

lebih tajam lagi. Seperti diketahui, ketika para pemanah

meninggalkan pos, mereka mendorong untuk mendapat rampasan

perang. Kaum musyrikin di bawah pimpinan Khalid Ibn al-Walid,

yang ketika itu belum memeluk Islam, mengambil keempatan tersebut

untuk mengatur barisannya da menyerang balik kaum muslimin.

Akibatnya, terjadi kekacauan dan ketika itu muncul isu bahwa Nabi

Muhammad saw. telah gugur. Mendengar isu tersebut, pasukan kaum

muslimin, yang memang telah kacau, bertambah kacau dan sebagian

besar mereka meninggalkan medan tempur. Yang tinggal bertahan

bersama Rasul saw. hanya beberapa orang saja. berbeda riwayat yang

64

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,

V. 1, , h. 245.

Page 51: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

61

menyebutkan tentang jumlahnya, antara sepuluh sampai tiga puluh

orang. Sikap mereka itulah yan ditegur dan dikecam Allah SWT.65

Kamu menduga bahwa Nabi Muhammad saw. telah wafat

sehingga kamu berpaling meninggalkannya, seakan-akan kamu tidak

menyembah Tuhan yan Mahahidup, dan tidakpula berjuang untuk

menegakkan nilai-nilai-Nya. Ketahuilah bahwa suatu ketika beliau

pasti meninggalkan dunia ini karena Nabi Muhammad yang selama

ini berada bersama kamu tidak lain hanyalah seorang rasul,

sebagaimana rasul-rasul yang lain yang di utus kepada kaum mereka.

Dia adalah makhluk sebagaimana makhluk lain yang pasti akan

direnggut nyawanya oleh kematian sebagaiman yang dialami oleh

rasul-rasul yang lain. Sungguh telah berlalu dengan kematian mereka

sebelumnya, yakni sebelum Nabi Muhammad saw. beberapa orang

rasul. Apakah jika dia wafat, yakni meninggal secara normal,

misalnya karena sakit atau nyawanya berpisah dengan tubuhnya

karena ulah manusia, misalnya karena dibunuh sehingga dia tidak

berada lagi di tengah-tengah kamu, apakah bila itu terjadi kamu

berbalik ke belakang meninggalkan pula agamanya dan menjadi

murtad? Barang siapa berbalik ke belakang, dengan meninggalkan

agama Allah dan tuntunan-tuntunan Nabi-Nya, maka dia sendiri yang

rugi dan celaka, dia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada

Allah sedikit pun karena kedurhakaan makhluk tidak mengurangi

sedikit kekuasaan-Nya dan tidak juga ketaatan mereka menambah

setetes pun dari kerajaan-Nya dan Allah akan memberi balasan

kepada orang-orang yang bersyukur serta menyiksa orang-orang

yang kafir.66

“Muhammad tidak lain kecuali seorang rasul.” Dalam Al-

Qur`an, nama Nabi Muhammad saw. bila disebut selalu dirangkaikan

dengan gelar beliau, kecuali sekali, yaitu dalam surah yang

menyandang nama beliau (QS. Muhammad [47]: 2). Ini berbeda

dengan nama nabi dan rasul-rasul yang lain, yang biasanya disebut

tanpa gelar mereka. lalu dari sisi keniscayaan kematian untuk

membantah mereka yang redaksi ayat ini menonjolkan sifat kerasulan

Nabi Muhammad saw. yang serupa dengan rasul-rasul yang lalu dari

sisi keniscayaan kematian unttuk membantah mereka yang boleh jadi

menduga bahwa sifat kerasulan bertentangan dengan kematian, atau

65

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,

V. 2, h. 284. 66

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-

Qur`n, V. 2, h. 285.

Page 52: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

62

menduga bahwa kerasulan Nabi Muhammad saw. memiliki kelebihan

dibanding denngan kerasulan yang lain dalam hal keabadian hidup.

Ini, kalau pun tidak terbetik dalam hati para sahabat beliau, tetapi

sikap mereka yang meninggalkan Rasul saw. ketika it, dapat dinilai

sebagai sikap yang menduga seperti itu. Bahkan, boleh jadi, ada yang

menduga bahwa usia beliau akan sedemikian panjang, sehingga tidak

akan percaya bila suatu saat beliau wafat, sebagaimana yang

kemudian di alami oleh Sayyidina „Umar ra. Menjadi khalifah sehari

setelah wafatnya Nabi saw. bahwa: “Aku tadinya mengharap Rasul

saw. hidup sehingga menjadi manusia yang paling belakang wafat di

antara kita semua, tetapi Allah memilihkan untuk Rasul-Nya apa yang

ada di sisi-Nya, bukan apa yang ada di sisi kita..‟‟67

Firman-Nya: inqalabtum „ala a‟qabikum yang

diteremahkan di atas dengan berbalik ke belakang adalah satu istilah

yang digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang sangat buruk.

Seorang yang meninggalkan kebenaran dan petunjuk Ilahi dan

menggantinya dengan kesehatan keadaannya diibaratkan seperti

seorang yang dur ke belakang sedang matanya mengarah ke depan.

Sedang kata a‟qab jamak „aqib, yakni tumitnya yang

menuntun dia ke belakang sehingga dia dalam keadaan berbalik,

kepalanya di bawah dan kakinya di atas. Demikian penjelasn

Muhammad Sayyid Thanthawi dalam tafsir al-Wasith.68

Firman-Nya: Allah akan memberi balasan kepada orang-

orang yang bersyukur mengisyaratkan bahwa sebagian dari kaum

muslimin yang terlibat dalam perang Uhud telah melaksanakan tugas

mereka dengan baik, bertahan dan berjuang walau situasi yang

mereka hadapi sudah sedemikian gawat, membahayakan dan

mengancam jiwa mereka. 69

Ayat ini dipahami juga oleh sementara ilmuwan sebagai

petunjuk untuk tidak menjadikan penilaian baik buruk satu ide

berdasarkan pencetus ide itu atau faktor-faktor luar lainnya, seperti

keuntungan materi, tetapi hendaknya didasarkan oleh nilai-nilai ide

itu sendiri. Sementara itu, sahabat Nabi saw. memeluk Islam karena

67

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,

V. 2, h. 285-286. 68

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,

V. 2, h. 286 69

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,

V. 2, h. 286

Page 53: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

63

terkagum-kagum kepada Nabi saw. dan memang kepribadian beliau

merupakan salah satu faktor sedemikian mengagumkan sehingga

mereka memeluk Islam. Melalui kecaman ini, Allah meluruskan sikap

para sahabat itu. Hemat penulis, pendapat ini baik, tetapi itu bukan

berarti larangan mengagumi Nabi saw. atau larangan menjadikan

beliau teladan dan idola kaum muslimin. Yang dimaksud adalah

jangan menjadikan seseorang sebagai tolok ukur kebenaran, tetapi

hendaknya tolok ukur kebenaran adalah kebenaran itu sendiri, siapa

pun yang menyapaikannya, () unzhur ila al-

maqal wa la tanzhur man qala/lihatlah apa yang dikatakannya

janganlah engkau melihat siapa yang mengatakannya.70

10. QS. Ali Imrân [3]: 145.

“Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin

Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. barang

siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya

pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat,

Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. dan Kami akan

memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur”. (QS. Ali

Imran [3]: 145).

Ayat ini, dapat dipahami sebagai lanjutan kecaman terhadap mereka

yang kocar-kacir setelah mendengar isu wafatnya Rasu saw. mereka

dikecam karena melupakan dan lengah terhadap janji Allah yang

menegaskan bahwa yang Mahakuasa itu akan memelihara Rasul-Nya

dan akan mengalami sesuatu yang menghambat suksesnya risalah

beliau sebagaimana dinyatakan dalam firan-Nya: “Wahai Rasul,

sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan

jika kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak

kamu tidak menyampaikan amanah-Nya. Allah memelihara kamu dari

gangguan manusia. Sesungguhnya Allah tidak memeberi petunjuk

70

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,

V. 2, h. 286.

Page 54: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

64

kepada orang-orang kafir” (QS. Al-Ma‟idah [5]: 67). Anda baca

diatas perintah menyampaikan risalah dibarengi dengan jaminan

pemeliharaan dari gangguan manusia yang dapat menghambat tugas

tersebut. Dapat juga ayat ini merupakan kecaman kepada mereka

karena tidak bertahan menghadapi serangan orang-orang musyrik

karena khawatir gugur bertahan menghadapi serangan orang-orang

musyrik karena khawatir gugur di medan juang, padahal kematian

tidak akan menjemput kecuali seizin Allah dan Allah pun telah

menentukan waktunya bagi masing-masing.71

Al-Biqa‟i menghubungkan ayat ini dengan ayat sebelumnya

dengan berkata bahwa kematian pimpinan pendukung-pendukung

suatu agama tidak wajar dijadikan sebab untuk mengelak dari

pertempuran dan meninggalkan medannya, kecuali jika kematian itu

terjadi tanpa izin Tuhan, Pemilik agama itu. Di sisi lain,

meninggalkan medan perang tidak akan ada manfaatnya kecuali jika

itu menjadi sebab keselamatan. Kalau tidak demikian, dalam arti

kalau kematiannya tidak dapat terjadi kecuali atas izin-Nya dan lari

dari medan perang tidak menjadi sebab panjang atau pendeknya

usia,apa yang dilakukan oleh sebagian peserta perang Uhud adalah

sesuatu yang sangat tidak pada tempatnya. Inilah pesan yang

dikandung oleh ayat ini, yakni sesuatu yang bernyama makhluk apa

pun ia, dan setinggi apa pun kedudukan dan kemampuannya tidak

akan mati dengan satu dan lain sebab melainkan dengan izin Allah,

yang memerintahkna kepada malaikat maut untuk mencabut

nyawanya, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya

sehingga tidak akan bertambah usia itu dengan lar dari peperangan

tidak juga berkurang bila bertahan dan melanjutkan perjuangan.72

Firmna-Nya: wa ma kana dari segi bahasa pada

mulanya berarti tidak wajar. Ketika kata itu dikaitkan dengan

kematian satu jiwa linafsin an tamut, terjemahannya

secara harfiah adalah “Tidak wajar satu jiwa mati...” Redaksi ini

menimbulkan pertanyaan karena jika Anda berkata: “Tidak wajar

yang ini”, akan timbul pertanyaan, “Apa yang wajar?” dan ketika itu

terkesan adanya pilihan. Nah, sekali lagi timbul pertanyaan: “Apakah

ada yang wajar atau tidak wajar untuk menetukan datangnya

71

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,

V. 2, h. 287 72

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,

V. 2, h. 287-288

Page 55: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

65

kematian? Adakah pilihan bagi seseorang menyangkut kematian?”

Tentu saja jawabnya “Tidak ada!” Jika demikian, mengapa redaksi

ayat itu berbunyi seperti itu? Syaikh Mutawalli asy-Sya‟rawi memberi

jawaban sebagai berikut: “Seandainya ada seseorang yang akan

membunuh dirinya, ada dia tidak akan mati walau usahanya telah

maksimal, kecuali sudah izin Allah kepada malaikat maut untuk

mencabut nyawanya. Kalau yang mau membunuh diri saja tidak dapat

mati keuali seizin-Nya, lebih-lebih mereka yang memelihara dirinya.

Hal tersebut demikian karena ajal telah ditentukan Allah dan dengan

demikian, wajar seseorang menghundar dari peperangan karena takut

mati.”73

Selanjutnya, karena motivasi yang lari dari perang Uhud itu

adalah keingninan meraih materi dan motivasi yang bertahan

melanjutkan perjuangan mengharapkan ganjaran Ilahi, ditegaskan-

Nya bahwa. Barang siapa menghendaki dengan usahanya pahala

dunia itu apa yang Kami kehendaki bagi siapa yang Kami kehendaki.

Kata sebagian dipahami dari minha. Dan barang siapa

menghendaki pahala akhirat, maka Kami berikan pula kepadanya

pahala akhirat sebagai anugerah dari Kami atas upaya menggunakan

nikmat yang telah kami berikan kepadanya sesuai dengan apa yang

Kami gariskan, dan memang Kami akan memberi balasan kepada

orang-orang yang bersyukur.74

Ayat ini dijelaskan lebih terperinci maknanya oleh QS. Al-

Isra‟ [17]: 18-19).

“Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi),

Maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami

kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki dan Kami

73

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,

V. 2, h. 287 74

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,

V. 2, h. 288-289.

Page 56: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

66

tentukan baginya neraka Jahannam; ia akan memasukinya

dalam Keadaan tercela dan terusir. Dan Barangsiapa yang

menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu

dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, Maka

mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi

dengan baik”. (QS. Al-Isrâ‟ [17]: 18-19)

Ini berarti bahwa sukses duniawi dapat diraih oleh mereka

yang tidak beriman, tetapi sukkses itu tidak terlepas dari kehendak

Ilahi juga, yang telah menetapkan sunnah-sunnah-Nya, yakni hukum-

hukum kemasyarakatan yang berlaku umum bagi siapa pun dalam

kehidupan dunia ini. Tetapi, sukses tersebut tidak akan berlanjut

hingga hari kemudian.75

Ayat ini bukan berarti bahwa yang mengehendaki pahala

duniawi tidak akan memeroleh pahala ukhrawi jika ia berusaha ke

arah sana. Cukup banyak ayat yang menunjukkan bahwa keduanya

dapat diraih oleh seorang muslim selama dia berusaha untu kitu.

Bukankah dunia ladang untuk akhirat, semakin banyak diraih di sini

dan digunakan untuk kepentingan akhirat, semakin banyak pula

ganjaran yang diperoleh di akhirat? Bukankah Allah mengajarkan kita

agar berdoa meraih hasanah (kebaikan) di dunia dan hasanah di

akhirat?76

B. Analisis Munasabah Ayat-Ayat Syukur pada QS. Al-Baqarah dan

QS. Ali Imran.

Dari uraian QS. Al-Baqarah [2]: 52 berdasarkan hasil telaah penulis,

di dalam ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah telah memberikan

ampunan sedemikan luasnya sehingga ketika hamba-Nya melalukan

perbuatan dosa Allah tidak langsung menghukumnya, melainkan

Allah telah memberikan kesempatan kepada para hamba-Nya untuk

bertaubat. Maka atas itu Allah mempunyai haq dan tujuan untuk

menyuruh kapada hamba-hamba-Nya agar bersyukur terhadap apa

yang telah Allah berikan kepada hamba-Nya.

Kemudian pada QS. Al-Baqarah [2]: 56 berdasarkan hasil telaah

penulis, di dalam ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah telah

mencurahkan rahmat-Nya dengan membangkitkan kembali orang

75

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,

V. 2, h. 289. 76

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,

V. 2, h. 289.

Page 57: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

67

yang terkena sambaran halilintar sehingga mengakibatkan tercabutnya

nyawa atau hilangnya rasa semangat hidup yang ada pada diri

mereka, atau mereka jatuh pingsan seperti orang yang tidak sadarkan

diri seperti orang yang sudah mati, tetapi Allah tetap saja

mencurahkan rahmat-Nya terhadap mereka yang berbuat dosa dan

keburukan yang oleh Allah meminta agar bersyukur sekaligus

mengingat nikmat Allah.

Pada QS. Al-Baqarah [2]: 152 di sini Allah telah memberikan

perhatian-Nya kepada hamba-hamba-Nya dengan cara memilihkan

yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya yang tulus bermohon dan

memberi tahu bahwa Allah mendahulukan perintah mengingat diri-

Nya atas mengingat nikmat-Nya. Jika itu semua dilakukan maka

Allah akan mengingat pula hamba-Nya. “Aku (Allah) akan selalu

bersama kamu saat suka dan dukamu dan bersyukurlah kepada-Ku

dan janganlah kamu mengingkari nikmat-Ku agar siksa-Ku tidak

menimpa mu.

Pada QS. Al-Baqarah [2]: 158 ayat ini menjelaskan tentang ibadah

yang di dasari karena Allah. Maka ayat syukur di sini berbeda dengan

ayat-ayat syukur yang terdahulu, dalam ayat ini di jelaskan bahwa

Allah mensyukuri kebaikan hamba-Nya yang dilandasi dengan

keikhlasan dan ketaatan kepada-Nya dan mengetahui aktivitas dan

niat para pelakunya.

Pada QS. Al-Baqarah [2]: 172 ayat ini menjelaskan bahwa keimanan

yang tertanam dalam hati seorang mukmin menjadikan sedikit

berbeda dengan ajakan-Nya kepada seluruh manusia. Seperti dalam

terjemahan di atas tidak menggunakan kata halal melainkan

menggunakan kata yang baik-baik, padahala pada ayat sebelumnya

ayat 168 menggunakan kata halal ketika menyeru untuk makan.

Karena menurut pendapat mufassir tafsir al-mishbah mengtakan

bahwa keimanan yang bersemi di dalam hati merupakan jaminan

kejauhan mereka dari yang tidak halal. Sehingga mereka diperintah

untuk bersyukur disertai dengan dorongan kuat yang tercermin pada

penutup ayat 172, yaitu bersyukurlah kepada Allah jika benar-benar

hanya kepada-Nya kamu menyembah. Maka syukur di sini digunakan

sesuai dengan tujaun penganugerahannya atau menempatkan pada

tempat yang semestinya.

QS. Al-Baqarah [2]: 185 Dalam ayat ini dijelaskan bahwa banyak

nilai universal dan pokok yang dikandungnya, tetapi nilai itu

dilengkapi lagi dengan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk dan

perinciannya seperti menjelskan tentang barang siapa yang sakit atau

dalam perjalanan lalu ia berbuka, maka wajiblah baginya berpuasa

sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari lain dan Allah

Page 58: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

68

menghendaki kemudahan bagi kamu, dan tidak mengehendaki

kesukaran bagi kamu.

Kemudian QS. Al-Baqarah [2]: 243 menjelaskan Kehidupan

seseorang atau masyarakat merupakan anugrah Ilahi, dan apa yang

dialami oleh umat yang peristiwanya diuraikan ini adalah anugerah

Allah yang harus disyukuri. Karena sesungguhnya Allah mempunyai

anugerah terhadap manusia, tetapi kebanyakan manusia tidak

bersyukur.77

Allah-lah yang akan memberikan anugerah kepada umat

manusia dengan cara mematikan mereka terlebih dahulu sebagai

tanda kehidupan atau kebangkitannya. Allah menjadikan musibah dan

malapetaka yang menimpa mereka sebagai tanda untuk

membangunkan mereka kembali. Sebagaimana Allah menjadikan

sifat pengecut, penakut dan watak-watak yang sejenis sebagai sebab

kelemahan dan kehancuran suatu umat. Sebab, dengan adanya

kelemahan ini menyebabkan umat yang kuat berambisi untuk

menaklukanya. Dan serangan yang dilakukan oleh umat yang kuat ini

sebagai perintangan untuk mereka sehingga bangkit dari tidur, untuk

selanjutnya bangkit hidup bagaikan umat kuat yang disegani dan

ditakuti oleh lawan-lawannya.78

Pada QS. Ali Imrân [3]: 123 Allah akan membantu hamba-

Nya jika hamba-Nya mau bertakwa dan berserah diri kepada-Nya

setelah segala usaha yang dilakukan. Karena itu, bertakwalah kepada

Allah dalam setiap dan segala urusan kamu supaya dengan bertakwa

itu kamu dapat melaksanakan kewajiban bersyukur kepada-Nya.

Dilihat dari uraian di atas maka QS.Ali Imrân [3]: 144

menjelaskan bahwa kedurhakaan makhluk tidak mengurangi sedikit

kekuasaan-Nya dan tidak juga ketaatan mereka menambah setetes pun

dari kerajaan-Nya dan Allah akan memberi balasan kepada orang-

orang yang bersyukur serta menyiksa orang-orang yang kafir.

Dari uraian di atas maka QS. Ali Imrân an [3]: 145

menjelaskan bahwa barang siapa yang menghendaki pahala akhirat,

maka Allah akan memberikan pula kepadanya pahala akhirat sebagai

anugerah dari-Nya atas upaya menggunakan nikmat yang telah Allah

berikan kepadanya sesuai dengan apa yang gariskan, dan Allah hanya

akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.

77

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,

V. 1, h. 639. 78

Ahmad Mushtafa al-Marâghi, Tafsir al-Marâghi, terj. Anshori Umar, dkk. Juz. 2,

h. 387.

Page 59: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

69

Berdasarkan analisis yang peneliti lakukan bahwa 10 ayat

syukur yang terdapat pada QS. Al-Baqarah [2]: 52, 56, 152, 158,

172, 185,243. Dan QS. Ali Imrân [3]: 123, 144, 145. ini

mempunyai sisi munâsabah yaitu pertama Allah telah memberikan

kesempatan kepada mereka yang berbuat dosa untuk bisa bertaubat

dan bersyukur terhadap apa yang Allah berikan. Kedua allah telah

mencurahkan rahmat-Nya untuk membangkitkan mereka kembali

yang seolah-olah seperti meninggal atau pingsan akibat terkena

sambaran halilintar atau seperti orang yanh hilang semangat

hidupnya, kini Allah bangkitkan kembali. Agar mereka bersyukur.

Ketiga Allah telah memberikan perhatian-Nya kepada hamba-Nya

yang tulus dalam memohon. Keempat ibadah yang di dasari dengan

karena Allah. Kelima maka Allah Akan menjadikan keimanan

sebagai kunci dari segala sesuatu yang bersifat positif dan hanya

kepada Allah tempat kamu menyembah. Keenam maka Allah akan

menghendaki kemudahan. Ketujuh dan menjadikan anugerah untuk

dijadikan kekuatan. Kedelapan dan Allah mewajibkan bersyukur

untuk orang yang bertakwa. Kesembilan karena ketaatan manusia

tidak berpengaruh bagi Allah. Kessepuluh dan Allah hanya akan

memberi balasan kepada orang yang bersyukur.

Page 60: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

70

Page 61: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

29

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG SYUKUR

A. Definisi Syukur

Kata “Syukur” berasal dari syakara-yasykuru-syukran, yang

artinya terima kasih. Namun tidak sekadar ucapan di bibir, “terima

kasih”. Bersyukur yang diperintahkan Al-Qur`an memiliki konsep

yang dalam, terkait dengan konsep pengelolaan berbagai nikmat yang

diberikan Allah SWT.1

Kata "syukur" adalah kata yang berasal dari bahasa Arab. Kata

ini dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai: (1) rasa

terima kasih kepada Allah, dan (2) untunglah (menyatakan lega,

senang, dan sebagainya). Namun pengertian kebahasaan ini tidak

sepenuhnya sama dengan pengertiannya menurut asal kata itu

(etimologi) maupun menurut penggunaan Al-Quran atau istilah

keagamaan.2

Menurut istilah syara‟, syukur adalah pengakuan terhadap

nikmat yang diberikan oleh Allah SWT. dengan disertai ketundukan

kepada-Nya dan mempergunakan nikmat tersebut sesuai dengan

kehendak Allah SWT.3

Menurut Muhammad ar-Razi syukur ialah sebagai memuji

pihak yang telah berbuat baik atas kebaikan yang telah ia berikan.4

Syukur menurut al-Fayyumi yaitu syukur kepada Allah

sebagai mengakui nikmat-Nya dan melakukan apa yang wajib

dilakukan, yaitu dengan berupa melaksanakan ketaatan dan

meninggalkan kemaksiatan. Dengan demikian, kata al-Fayyumi

selanjutnya, syukur memiliki dua bentuk: syukur dengan ucapan dan

syukur dengan perbuatan.5

1 Rif‟at Syauqi Nawawi, Kepribadian Qur`ani, (Jakarta: Amzah, 2011), Cet. 1, h.

100. 2 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur`an: Tafsir Maudhu‟i atas Pelbagai

Persoalan Umat, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2005), Cet.16, h.215. 3 Muhammad Syafi‟ie el-Bantanie, Dahsyatnya Syukur, (Jakarta: Qultum Media,

2009), h. 2 4 Muchlis M. Hanafi, (eds.), Spiritualitas Dan Akhlak (Tafsir Al-Qur`an Tematik),

(Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur`an, 2010), h. 420. 5 Muchlis M. Hanafi, (eds.), Spiritualitas Dan Akhlak (Tafsir Al-Qur`an Tematik),

(Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur`an, 2010), h. 420.

Page 62: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

30

Lebih lengkap lagi pengertian syukur yang dikemukakan oleh

ar-Raghib al-Ashfahani yang menyatakan bahwa syukur berarti

menggambarkan nikmat dan menampakkannya (tashawwur an-

ni‟mah wa idzharuha) yang merupakan lawan dari kata kufur yang

artinya melupakan nikmat dan menutupinya (nisyan an-ni‟mah wa

satruha). Dan menurutya syukur ada tiga macam: syukurnya hati

(syukr al qalb) yaitu berupa penggambaran nikmat, syukurnya lisan

(syukr al-lisan) yaitu berupa pujian kepada sang pemberi nikmat dan

syukurnya anggota tubuh yang lain (syukr sairil-jawarih) yaitu

dengan mengimbangi nikmat itu menurut kadar kepantasannya.6

Sedangkan menurut sebagian ulama, Syukur berasal dari kata

“syakara”, yang artinya membuka atau menampakkan.7 Jadi, hakikat

syukur adalah menampakkan nikmat, menampakkan nikmat antara

lain berarti menggunakannya pada tempat dan sesuai dengan yang

dikehendaki oleh pemberinya, juga menyebut-nyebut nikmat dan

pemberinya dengan lidah.8

“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, Maka hendaklah kamu

siarkan”.

Sudah barang tentu pengertian syukur Allah berbeda dengan

pengertian syukur manusia. Seperti dinyatakan oleh Muhammad

„Abduh, penyebutan Allah sebagai pihak yang bersyukur (asy-syakir)

tidak bisa diartikan secara hakiki, melainkan harus diartikan secara

majazi (metaforik). Dalam pengertian bahasa, syukur berarti

membalas dan mengimbangi nikmat dengan pujian dan pengakuan.9

Syukur manusia kepada Allah dalam istilah syara‟ adalah

menggunakan nikmat Allah kepada hal-hal yang menjadi tujuan

diciptakannya nikmat itu oleh Allah (sarf ni‟amihi fima khuliqat

lahu). Kedua pengertian ini tidak mungkin dikaitkan dengan Allah,

karena tidak ada seorangpun yang memberi nikmat atau jasa kepada

6 Muchlis M. Hanafi, (eds.), Spiritualitas Dan Akhlak (Tafsir Al-Qur`an Tematik),

(Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur`an, 2010), h. 420. 7 Aura Husna (Neti Suriana), Kaya dengan Bersyukur: Menemukan Makna Sejati

Bahagia dan Sejahtera dengan Mensyukuri Nikmat Allah, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

Utama, 2013), h. 110-111 8 Muhammad Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an: Tafsir Maudhu‟i atas

Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1996), h. 216.

9 Muchlis M. Hanafi, (eds.), Spiritualitas Dan Akhlak (Tafsir Al-Qur`an Tematik),

(Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur`an, 2010), h. 421.

Page 63: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

31

Allah sehingga layak untuk Dia syukuri dengan pengertian syukur

seperti tersebut di atas. Dengan demikian makna Allah mensyukuri

ialah Allah Kuasa untuk memberi balasan pahala kepada orang-orang

yang berbuat baik dan Dia tidak akan menyia-nyiakan balasan bagi

orang-orang yang beramal. Dengan pengertian seperti ini inilah,

pemberian imbalan kepada orang yang berbuat baik disebut sebagai

bentuk syukur.10

Kembali kepada pengertian syukur manusia kepada Allah,

tampak kepada kita bahwa syukur tidaklah sederhana yang

dibayangkan dan dipraktekan oleh sebagian orang. Pengertian syukur

sangatlah komprehensif, mencakup sikap hati, lisan dan perbutan.

Untuk itu, dapat dipahami apabila Al-Qur`an berulang-ulang

menyebut tentang sedikitnya jumlah orang yang bersyukur, antara

lain dalam firmany-Nya:

“...Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima

kasih”. (QS. Saba‟ [34]: 13).11

Menurut Ibnu „Alan, dalam kitab Dalil Al-Falihin, Asy-Syukru

huwa sharf al-„abdi jami‟a ma an „amallahu „alaihi liajlihi (Syukur

adalah pengelolaan seorang hamba atas berbagai nikmat yang

diberikan Allah kepadanya, untuk mencapai cinta-Nya). Jadi, semua

nikmat yang diperoleh harus disyukuri. Dari yang namanya hidup

sampai dengan segala sesuatu yang diberikan Allah selama hidup,

dikelola dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan petunjuk dan aturan-

Nya, agar Dia meridhoi. Jika tidak pandai bersyukur (kufur nikmat),

alias nikmat tidak dikelola sesuai tuntunan-Nya, maka silahkan

tanggung akibatnya. Sebagaimana dalam firman Allah QS. Ibrahim

[14]: 7.12

10

Muchlis M. Hanafi, (eds.), Spiritualitas Dan Akhlak (Tafsir Al-Qur`an Tematik),

(Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur`an, 2010), h. 421. 11

Muchlis M. Hanafi, (eds.), Spiritualitas Dan Akhlak (Tafsir Al-Qur`an Tematik),

(Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur`an, 2010), h. 421. 12

Rif‟at Syauqi Nawawi, Kepribadian Qur`ani, h. 101

Page 64: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

32

“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan;

"Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan

menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari

(nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".

(QS. Ibrahim [14]: 7).

Perlu dikemukakan, bahwa syukur tidak selalu ditujukan kepada Allah,

melainkan juga ditujukan kepada sesama manusia. Dalam Bahasa

Indonesia, syukur kepada sesama manusia. Ini disebut terimakasih.

Islam memerintahkan umatnya untuk membalas kebaikan orang lain

dengan berterimakasih atau bersyukur. Bahkan dinyatakan bahwa

keengganan untuk bersukur kepada manusia berarti keengganan untuk

bersyukur kepada Allah. Nabi bersabda:

Barang siapa tidak bersyukur kepada manusia, berarti ia tidak bersyukur

kepada Allah. (HR. At-Thabrani dari Jarir).

Berterimakasih atas kebaikan sesama manusia sangat penting untuk

menciptakan kebaikan hidup bersama. Ia dapat membangkitkan semangat

dan tekad para pelaku kebajikan yang ikhlas dalam beramal untuk

semakin giat. Mereka melihat bahwa amal kebajikan mereka bermanfaat

untuk orang lain.13

B. Macam-Macam Syukur

Al Kharraz (892 M/899 M) yang dikutip oleh Amir An-Najjar

mengatakan syukur itu terbagi menjadi tiga bagian yaitu:

1. Syukur dengan hati adalah mengetahui bahwa nikmat-nikmat itu

berasal dari Allah SWT bukan selain dari-Nya.

2. Syukur dengan lisan adalah dengan mengucapkan al-Hamdulillah

dan memuji-Nya.

3. Syukur dengan jasmani adalah dengan tidak mempergunakan

setiap anggota badan dalam kemaksiatan tetapi untuk ketaatan

kepada-Nya. Termasuk juga mempergunakan apa yang diberikan

13

Muchlis M. Hanafi, (eds.), Spiritualitas Dan Akhlak (Tafsir Al-Qur`an Tematik),

h. 433.

Page 65: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

33

oleh Allah swt berupa kenikmatan dunia untuk menambah

ketaatan kepada-Nya bukan untuk kebatilan.14

Sama halnya seperti yang dikemukakan M. Quraish Shihab dalam

bukunya yang berjudul wawasan Al-Qur`an, beliau mengatakan

bahwa syukur mencakup tiga sisi, yaitu:

a) Syukur dengan hati, ialah kepuasan batin atas anugerah yang

diperolehnya.

Syukur dengan hati dilakukan dengan menyadari sepenuhnya

bahwa nikmat diperoleh adalah semata-semat karena anugerah

dan kemurahan Ilahi.

b) Syukur dengan lidah, ialah mengakui dengan ucapan dan memuji

pemberinya bahwa sumber nikmat anugerah adalah Allah.15

Karena lisan mempunyai fungsi sebagai alat untuk

berkomunikasi, baik dengan sesama manusia maupun dengan

Allah. Namun terdapat dua fungsi yang harus kita pertegas; fungi

lisan yang digunakan untuk hal positif dan untuk hal negatif.

Ketika lisan terpakai untuk hal-hal yang negatif, maka hilanglah

keindahan dan tujuannya, yaitu untuk berdzikir, membaca Al-

Qur`an, maupun membicarakan persoalan agama.16

Untuk itu perlu kiranya kita mempergunakan lisan untuk

berdzikir, mengingat banyak sekali dari kita yang menyalah

gunakan fungsi lisan untuk hal-hal yang negatif.17

c) Syukur dengan perbuatan, ialah dengan memanfaatkan anugerah

yang diperoleh sesuai dengan tujuan penganugerahannya.18

C. Manfaat Syukur

Dalam kaitannya dengansyukur kepada Allah, manfaatnya akan

kembali kepada pelakunya, bukan kepada Allah sebagai pemberi

nikmat. Kebesaran dan kekuasaan Allah tidak akan bertambah lantara

syukurnya manusia. Demikian pula sebaliknya, kerugian akibat

perilaku kufur tidak merugikan Allah. Kebesaran dan kekuasaan-Nya

tidak akan berkuurang lantaran ingkarnya manusia terhadap nikmat

14

Amir An-najjar, Ilmu Jiwa dalam Tasawwuf Studi Komparatif dengan Ilmu Jiwa

Kontemporer, Terj. Hasan Abrori, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2001), h. 251-252. 15

Muhammad Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an: Tafsir Maudhu‟i atas

Pelbagai Persoalan Umat, h. 220. 16

Shodiq A. Winarko, Dzikir-Dzikir Peredam Stres, (Depok: Mutiara Allamah

Utama, 2014), Cet.1, h. 38. 17

Shodiq A. Winarko, Dzikir-Dzikir Peredam Stres, h. 39. 18

Muhammad Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an: Tafsir Maudhu‟i atas

Pelbagai Persoalan Umat, h. 217.

Page 66: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

34

yang telah Dia berikan. Hal ini sesuai dengan penegasan Al-Qur`an

melaalui lisan Nabi Sulaiman:

“Barangsiapa yang bersyukur Maka Sesungguhnya Dia

bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan Barangsiapa

yang ingkar, Maka Sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi

Maha Mulia". (QS. An-Naml [27]: 40).

Seperti yang dikatakan oleh al-Qurthubbi, dengan bersyukur

seseorang akan memperoleh kesempurnaan, kelestarian dan

pertambahan nikmat. Dengan syukur, nikmat yang telah ada akan

terjaga, sebagaimana nikmat yang hilang akan diperoleh kembali.19

D. Ayat-Ayat Syukur

Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan, penulis

menemukan beberapa ayat-ayat tentang syukur dalam Al-Qur`an

dengan cara membuka kitab mu‟jam al-mufahras li al-fazh al-Qur`an

al-karim karya Muhammad Fuad „Abd al-Baqi. Di dalam kitab ini

mencantumkan banyak ayat yang hanya menjelaskan tentang syukur

di antaranya terdapat pada: QS. Al-Baqarah [2]: 52, 56, 152, 158, 172,

185, 243. QS. Ali Imran [3]: 123, 144, 145. QS. An-Nisa [4]: 147.

QS. Al-Ma‟idah [5]: 6, 89. QS. Al-An‟am [6]: 53, 63. QS. Al-A‟raf

[7]: 10, 17, 58, 144, 189. QS. Al-Afal [8]: 26. QS. Yunus [10]: 22, 60.

QS. Yusuf [12]: 38. QS. Ibrahim [14]: 7, 37. QS. An-Nahl [16]: 14,

78, 114, 121. QS. Al-Isra [17]: 3, 19. QS. Al-Anbiya [21]: 80. QS. Al-

Hajj [2]: 36. QS. Al-Mu‟minun [23]: 78. QS. Al-Furqan [25]: 62. QS.

An-Naml [27]: 19, 40, 73. QS. Al-Qashash [28]: 73. QS. Al-„Ankabut

[29]: 17. QS. Ar-Rum [30]: 46. QS. Luqman [31]: 12, 14, 31. QS. As-

Sajdah [32]: 9. QS. Saba‟ [34]: 13, 15. QS. Fathir [35]: 12, 30, 34.

QS. Yasin [36]: 35, 73. QS. Az-Zumar [39]: 7, 66. QS. Ghafir [40]:

61. QS. Asy-Syura [42]: 23, 33. QS. Al-Jatsiyah [45]: 12. QS. Al-

Ahqaf [46]: 15. QS. Al-Qamar [54]: 35. QS. Al-Waqi‟ah [56]: 70.

QS. At-Taghabun [64]: 17. QS. Al-Mulk [67]: 23. QS. Al-Insan [76]:

22.20

19

Muchlis M. Hanafi, (eds.), Spiritualitas Dan Akhlak (Tafsir Al-Qur`an Tematik),

h. 434. 20

Muhammad Fuad „Abd Baqiy, Al-Mu‟jam Al-Mufahras Li Al-Fazh Al-Qur`an

Al-Karim, (Beirut Libanon: Darul Fikr), h. 489-491.

Page 67: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

35

Di antara sekian banyaknya ayat-ayat syukur yang terdapat

dalam Al-Qur`an, akhirnya disini penulis hanya akan membahas pada

beberapa ayat saja, diantaranya:

1. (QS. Al-Baqarah [2]: 52, 56, 152, 158, 172, 185, 243)

“Kemudian sesudah itu Kami maafkan kesalahanmu, agar

kamu bersyukur”.(QS. Al-Baqarah [2]: 52).

“Setelah itu Kami bangkitkan kamu sesudah kamu mati,

supaya kamu bersyukur”. (QS. Al-Baqarah [2]: 56).

“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya aku ingat

(pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan

janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku”. (QS. Al-

Baqarah [2]: 152).

“Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebahagian dari

syi'ar Allah. Maka Barangsiapa yang beribadah haji ke

Baitullah atau ber-'umrah, Maka tidak ada dosa baginya

mengerjakan sa'i antara keduanya. dan Barangsiapa yang

mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, Maka

Sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha

mengetahui”. (QS. Al-Baqarah [2]: 158).

Page 68: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

36

“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki

yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan

bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya

kamu menyembah”. (QS. Al-Baqarah [2]: 172).

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan

Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan

(permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan

penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda

(antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa

di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan

itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan

Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka),

Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang

ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah

menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki

kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan

bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah

atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu

bersyukur”. (QS. Al-Baqarah [2]: 185).

Page 69: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

37

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang ke

luar dari kampung halaman mereka, sedang mereka beribu-

ribu (jumlahnya) karena takut mati; Maka Allah berfirman

kepada mereka: "Matilah kamu", kemudian Allah

menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah mempunyai

karunia terhadap manusia tetapi kebanyakan manusia tidak

bersyukur”. (QS. Al-Baqarah [2]: 243).

2. QS. Ali Imran [3]: 123, 144, 145.

“Sungguh Allah telah menolong kamu dalam peperangan

Badar, Padahal kamu adalah (ketika itu) orang-orang

yang lemah. karena itu bertakwalah kepada Allah, supaya

kamu mensyukuri-Nya”. (QS. Ali Imran [3]: 123).

“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul,

sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul.

Apakah jika Dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke

belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke

belakang, Maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat

kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi

Balasan kepada orang-orang yang bersyukur”. (QS. Ali

Imran [3]: 144).

Page 70: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

38

“Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan

dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah

ditentukan waktunya. barang siapa menghendaki pahala

dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu,

dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami

berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. dan Kami

akan memberi Balasan kepada orang-orang yang

bersyukur”. (QS. Ali Imran [3]: 145).

Page 71: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

15

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG MUNASABAH

Pada bab ini penulis mencoba untuk menguraikan teori-teori

terkait dengan ilmu munasabah Al-Qur`an secara umum, meskipun

dalam skripsi ini penulis tidak menggunakan semua teori ilmu

munasabah, dalam skripsi ini penulis hanya membahas ilmu

munasabah antar ayat dalam surah yang berbeda dengan tema yang

sama.

Seperti halnya pengetahuan tentang asbabun nuzul yang

mempunyai pengaruh dalam memahami makna dan menafsirkan ayat,

maka pengetahuan tentang munasabah atau korelasi antara ayat

dengan ayat dan surah dengan surah juga membantu dalam

pentakwilan dan pemahaman ayat dengan baik dan cermat.1

Menurut as-Suyuthi, ilmu munasabah adalah ilmu yang sangat

penting dalam penafsiran Al-Qur`an, tetapi hanya sedikit di antara

para mufassir yang memberikan perhatiannya karena ilmu ini sangat

memerlukan ketelitian dan kejelian.2

Pengetahuan tentang munasabah ini adalah sangat mulia. Para

ahli tafsir jarang memperhatikannya karena kerumitannya. Di antara

ulama yang banyak berbicara tentang hal ini adalah al Imam

Fakhruddin. Dia berkata di dalam, kitab tafsirnya: “Kebanyakan

keindahan Al-Qur`an itu terletak pada urutan dan sambungan antar

ayat-ayatnya”.3

Studi tentang munasabah Al-Qur`an atau korelasi ayat dengan

ayat atau surah dengan surah mempunyai pengaruh penting dalam

menggali kandungan-kandungan Al-Qur`an, lebih lagi dalam proses

pentakwilan dengan menafsirkan Al-Qur`an secara holistik (analisa

secara menyeluruh), berlandaskan dari itu, telah banyak ulama yang

mendalami studi ini.4

1 Manna‟ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur`an, terj. Mudzakir AS, (Bogor:

Pustaka Litera AntarNusa, 2013), Cet. 16, h.137 2 Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur`an, (Yogyakarta: Itqan Publishing, 204), Cet.

3, h. 225. 3 Jalaluddin as-Suyuthi, Samudra Ulumul Qur`an (Al-Itqan fi Ulumil Qur`an), Jld.

3, terj. Farikh Mrzuki dan Imam Fauzi, (Surabaya: Pt Bina Ilmu, 2008), Cet. 1, h. 527. 4 Hasani Ahmad Said, Diskursus Munasabah Al-Qur`an: Kajian atas Tafsir Al-

Misbah, h. 45.

Page 72: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

16

A. Definisi Munasabah

Munasabah secara etimologi berarti dan

artinya keserasian dan kedekatan.5 Munasabah di dalam bahasa

adalah perpadanan dan kedekatan. Dan tempat kembalinya pada ayat-

ayat adalah kepada suatu makna yang menghubungkan dengannya,

baik yang umum atau yang khusus, yang bersifat logis, atau indrawi,

atau khayalan atau hubungan-hubungan yang lain atau keterkaitan

yang bersifat logika seperti antara sebab dan akibat, antara dua hal

yang sepadan, dua hal yang berlawanan dan sebagainya.6

Oleh sebab itu al-munâsabah adalah sesuatu yang masuk akal,

jika dikemukakan kepada akal akan diterima. Mencari kedekatan

antara dua hal adalah mencari hubungan atau kaitan antara keduanya

seperti hubungan sebab akibat, persamaan, perbedaannya, dan

hubungan-hubungan lainnya yang bisa ditemukan antara dua hal.7

Munâsabah (korelasi) dalam pengertian bahasa berarti

kedekatan. Dikatakan, “si anu munasabah dengan si fulan” berarti ia

mendekati dan menyerupai si fulan itu. Dan di antara pengertian ini

ialah munasabah „illat hukum dalam bab kias, yakni sifat yang

berdekatan dengan hukum.8

Secara terminologis yang dimaksud dengan munâsabah adalah

mencari kedekatan, hubungan, kaitan, antara satu ayat atau kelompok

ayat dengan ayat atau kelompok ayat yang berdekatan, baik dengan

yang sebelumnya maupun yang sesudahnya. Termasuk mencari

keterkaitan antara ayat yang berada pada akhir sebuah surat dengan

ayat yang berada pada awal surat berikutnya atau antara satu surat

dengan surat sesudah atau sebelumnya.9

Ilmu munâsabah berarti ilmu yang menerangkan hubungan

antara ayat/surah yang satu dengan ayat/ surah yang lain. Karena itu,

sebagian pengarang menamakan ilmu ini dengan “Ilmu Tanasubil

Ayati Was Suwari” yang artinya juga sama, yaitu ilmu yang

menjelaskan persesuaian antara ayat atau surah yang satu dengan

ayat atau surah yang lain.10

5 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur`an, (Bandung: Mizan, 1996), Cet. 4, h. 319.

6 Imam Jalaluddin as-Suyuthi, Samudra Ulumul Qur`an (Al-Itqan fi Ulumil

Qur`an), jld. 3, terj. Farikh Mrzuki dan Imam Fauzi, h. 529. 7 Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur`an, (Yogyakarta: Itqan Publishing, 204), Cet.

3, h. 207. 8 Manna‟ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur`an, terj. Mudzakir AS, (Bogor:

Pustaka Litera AntarNusa, 2013), Cet. 16, h.137

9 Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur`an, h. 208.

10 Abdul Djalal, Ulumul Qur`an, (Surabaya: Duni Ilmu, 2008), Cet. 3, h. 154.

Page 73: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

17

Secara sederhana Mannâ‟ al-Qaththân mendefinisikan munâsabah

sebagai berikut:

“Bentuk hubungan antara satu kalimat dengan kalimat lain

dalam satu ayat, atau antara satu ayat dengan ayat lain

dalam satu kelompok ayat, atau antara satu surat dengan

surat yang lain”.11

Yang dimaksud dengan munasabah di sini ialah segi-segi

hubungan antara satu ayat dengan ayat lain dalam banyak ayat, atau

antara satu surah dengan surah yang lain. Pengetahuan tentang

munasabah ini sangat bermanfaat dalam memahami keserasian antar

makna, mukjizat Qur`an secara retorik, kejelasan keterangannya,

keteraturan susunan kalimatnya dan keindahan gaya bahasanya.12

“Kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta

dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah)

yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu”. (QS. Hūd [11]: 1).

Para ulama berbeda pendapat tentang susunan surah-surah Al-

Qur`an, Manna‟ Al-Qattan mengemukakan tiga pendapat yaitu:

Pertama, bahwa susunan surah adalah tauqifi dan ditangani langsung

oleh Nabi sebagaimana diberitahukan Jibril kepadanya atas perintah

Tuhan.kedua, susunan surahitu ijtihad para sahabat, mengingat adanya

perbedaan susunan di dalam mushaf-mushaf mereka. Misalnya

mushaf „Ali disusun menurut susunan turunnya dimulai dari Iqra‟.

Dan ketiga, sebagian surah susunannya tauqifi dan bagiannya

ijtihadi.13

11

Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur`an, h. 208. 12

Manna‟ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur`an, terj. Mudzakir AS, (Bogor:

Pustaka Litera AntarNusa, 2013), Cet. 16, h.138 13

Hasani Ahmad Said, Diskursus Munasabah Al-Qur`an: Kajian atas Tafsir Al-

Misbah, (Tangerang: Puspita Press, 2011), Cet. 1, h. 284.

Page 74: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

18

B. Macam-macam Munasabah

1. Munasabah antar surah dengan surah sebelumnya.

2. Munasabah antar nama surah dan tujuan turunya.

3. Munasabah antar bagian suatu ayat.

4. Munasabah antar ayat yang letaknya berdampingan .

5. Munasabah antar suatu kelompok ayat dengan kelompok ayat

disampingnya

6. Munasabah antar fashilah (pemisah) dan isi ayat.

7. Munasabah antar awal surah dengan akhir surah yang sama.

8. Munasabah antar penutup suatu surat dengan awal surat

berikutnya.14

Dalam pembagian munasabah ini, para ulama juga berbeda

pendapat mengenai pengelompokan munasabah dan jumlahnya, hal

ini dipengaruhi bagaimana seorang ulama tersebut memandang suatu

ayat, dari segi yang berbeda. Menurut Chaerudji A. Chalik dalam

buku „Ulum Al-Qur`an yang dikutip oleh Acep Hermawahan bahwa

munasabah dapat dilihat dari dua segi, yaitu sifat dan materinya.15

Dilihat dari segi bentuk hubungan antara satu kalimat dengan

kalimat berikutnya dalam satu ayat, atau bentuk hubungan antara satu

ayat dengan ayat berikutnya, maka munasabah dapat dibagi dalam

kategori berikut ini. 16

Secara sistemik, munasabah terbagi menjadi dua bagian:

1. Ditinjau dari Sifat Korelasinya

Jika ditinjau dari segi sifat munasabah atau keadaan persesuaian

dan persambungannya, maka munasabah itu dibagi menjadi dua,

yaitu:

a. (Hubungan yang Jelas)

Adakalanya hubungan antara satu kalimat dengan kalimat

berikutnya atau satu ayat dengan ayat berikutnya tampak

nyata. Adakalanya kalimat atau ayat yang kedua bisa berupa

ta‟kid (penegasan), tafsir (penjelasan), i‟tiradh (bantahan),

atau tasydid (penekanan) terhadap kalimat atau ayat yang

pertama. Satu bagian ayat tergantung dengan bagian

sebelumnya, tidak bisa dipisahkan, satu ayat tergantung

dengan ayat sesudahnya, juga tidak bisa dipisahkan. Maka

14

Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur`an, h. 98. 15

Acep Hermawan, „Ulumul Qur`an: Ilmu untuk Memahami Wahyu, (Bandung: PT

Remaja RosdaKarya, 2011), Cet. 1, h. 124. 16

Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur`an, (Yogyakarta: Itqan Publishing, 204), Cet.

3, h. 215.

Page 75: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

19

jikalau dipisahkan maknanya menjadi tidak sempurna, bahkan

bisa menimbulkan pemahaman yang keliru.17

Seperti contoh

pada ayat 4 Surah al-Ma‟un:

“ Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat”

(QS. Al-Ma‟un [107]: 4).

Bagaimana mungkin orang-orang yang shalat akan

celaka? Ayat tersebut baru bisa dipahami dengan benar apabila

diteruskan dengan ayat-ayat selanjutnya:

“(yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-

orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong

dengan) barang berguna”. (QS. Al-Ma‟un [107]: 5-7)

b. (Hubungan yang Samar)

Adakalnya hubungan antara satu kalimat dengan kalimat

berikutnya atau antar satu ayat dengan ayat berikutnya tidak

tampak nyata. Masing-masing berdiri sendiri tidak tergantung

dengan kalimat atau ayat berikutnya. Kalau dipisahkan

maknanya tetap sempurna. Irtibath jenis ini hanya dapat

diketahui setelah dikaji dan didalami dengan baik.

Ada dua bentuk irtibath yang tidak tampak ini.

Pertama, irtibath ma‟tufah dan kedua, irtibath ghairu

ma‟thufah. Masing-masing akan dijelaskan di bawah ini:

1) Irtibath Ma‟thufah

Irtibath antara satu bagian dengan bagian lain dari ayat

menggunakan huruf „athaf. Bagian kedua bisa berupa

nazhir (bandingan) dan syarik (mitra) dari bagian

sebelumnya dan bisa juga berupa al-madhadhah (lawan

17

Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur`an, h. 215.

Page 76: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

20

katanya). Seperti contoh yang terdapat dalam QS. Al-

Hadid [57]: 4.

“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam

masa: kemudian Dia bersemayam di atas ´arsy Dia

mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang

keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa

yang naik kepada-Nya. dan Dia bersama kamu di mama saja

kamu berada. dan Allah Maha melihat apa yang kamu

kerjakan”. (QS. Al-Hadid [57]: 4).

Kata kerja (masuk) dalam ayat di atas adalah bandingan

atau nazhir dari kata kerja (keluar). Begitu juga kata kerja

(turun) adalah bandingan dari kata kerja (naik). Tampak dalam

ayat di atas bagaimana kaitan antara kalimat apa yang masuk ke

dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya; dan kaitan antara apa

yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya, sehingga

kalimatnya menjadi sangat serasi.18

2) Irtibath Ghairu Ma‟thufah

Jika irtibath antara satu bagian dengan bagian lain dari

ayat atau antara satu ayat dengan ayat berikutnya tidak

menggunakan huruf „athaf maka dalam hal ini untuk

mencari munasabahnya harus dicari qarain maknawiyah,

(petunjuk-petunjuk yang didapat dari pengertian

maknanya).19

Petunjuk-petunjuk maknawiyah yang bisa digunakan

antara lain adalah:

18

Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur`an, h. 216-217. 19

Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur`an, h. 220.

Page 77: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

21

a) At-Tanzhir

Yaitu membandingkan dua hal yang sebanding,

menurut kebiasaan orang yang berakal. Misalnya:

Sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu pergi dari rumahmu

dengan kebenaran, Padahal Sesungguhnya sebagian dari

orang-orang yang beriman itu tidak menyukainya. (QS. Al-Anfal

[8]: 5).

Sedangkan ayat sebelumnya QS. Al-Anfal [8]: 4.

“Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya.

mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi

Tuhannya dan ampunan serta rezki (nikmat) yang mulia”.

(QS. Al-Anfal [8]: 4).

Di sini ada dua keadaan yang sebanding, yaitu mereka yang

mengikuti perintah Tuhannya akan mendapat imbalan sesuai dengan

kerjanya. Imbalan tersebut adalah kebaikan dunia dalam bentuk

materi dari harta rampasan, dan imbalan akhirat adalah pahala yang

berlipat ganda serta ampunan dari Allah.20

b) Al-Madhadhah

Petunjuk makna lain yang dapat digunakan untuk

mencari munasabah antara ayat yang tidak ada huruf

„athafnya adalah dengan mencari sisi lawannya.

20

Abu Anwar, Ulumul Qur`an, (tt.p: Amzah, 2009), Cet. 3, h. 70-71.

Page 78: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

22

“Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka,

kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan,

mereka tidak juga akan beriman”. (QS. Al-Baqarah [2]: 6)

Di awal surah telah disebutkan tentang Kitab Suci Al-Qur`an,

dan sikap yang berlawanan, yaitu sikap orang-orang yang kafir yang

mengingkarinya.21

c) Al-Istidhrad

Kaitan antara satu ayat dengan ayat sebelumnya dapat dilihat dari

sisi istithrad (peralihan kepada penjelasan yang lain).

“Hai anak Adam, Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu

pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk

perhiasan. dan pakaian takwa Itulah yang paling baik. yang

demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah,

Mudah-mudahan mereka selalu ingat”. (QS. Al-A‟raf [7]: 26)

Ayat tersebut menjelaskan tentang nikmat Allah, sedang

ditengahnya dijumpai kata yang mengalihkan

perhatian pada penjelasan ini (pakaian). Dalam hal ini munasabah

yang dapat dilihat adalah antara menutup tubuh atau aurat dengan

kata takwa.22

d) At-Takhallus

Mirip dengan istidhrad adalah takhallus, yaitu perpindahan dari

pembicaraan semula kepada pembicaraan lain tanpa dirasakan oleh

pembaca, karena begitu dekatnya isi pembicaraan kedua dengan

yang pertama.23

Tetapi peralihat disini secara terus-menerus

21

Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur`an, h. 222. 22

Abu Anwar, Ulumul Qur`an, h. 72-73. 23

Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur`an, h. 215-223.

Page 79: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

23

sehingga tidak kembali pada pembicaraan yang pertama.24

Seperti

contoh pada ayat:

“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi.

perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang

yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. pelita itu

di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang

bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak

dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh

tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah

barat(nya), yang minyaknya (saja) Hampir-hampir

menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas

cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-

Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat

perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha

mengetahui segala sesuatu”. (QS. An-Nur [24]: 35).

Ada 5 takhallush dalam ayat ini. Setelah menjelaskan sifat cahaya

(nur) dan perumpamannya, lalu berpindah kepada pembicaraan

tentang kaca (zujazah) dan sifatnya, kemudian kembali pembicaraan

tentang cahaya dan minyak yang membuatnya menyala, kemudian

berpindah kepada pembicaraan tentang pohon (syajarah), kemudian

berpindah lagi kepada pembicaraan tentang sifat minyak (zait),

kemudian berpindah lagi kepada sifat cahaya (nur) yang berlipat

ganda, kemudian berpindah kepada pembicaraan tentang nikmat-

24

Abu Anwar, Ulumul Qur`an, h. 73.

Page 80: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

24

nikmat Allah SWT berupa petunjuk kepada siapa saja yang

dikehendaki-Nya.25

2. Ditinjau dari Materi Munasabah

Munasabah dari segi materinya, terbagi menjadi dua, yaitu

munasabah antar ayat dan munasabah antar surah.

a. (munasabah atau antar ayat-ayat)

Munasabah antar ayat, yaitu munasabah antara ayat yang satu

dengan ayat yang lain, berbentuk persambungan-persambungan

ayat, meliputi:

1) Diathaf-kannya ayat yang satu pada ayat yang lain.

2) Tidak diathaf-kannya ayat yang satu kepada yang lain.

3) Digabungkannya dua hal yang sama.

4) Dikumpulkannya dua hal yang kontradiksi (al-Mutashaddatu).

5) Dipindahkannya satu pembicaraan ke pembicaraan yang

lain.26

b. (munasabah antar surah-surah)

Yaitu munasabah atau keterkaitan antara surah yang satu dengan

surah yang lain. Munasabah kedua ini ada beberapa bentuk, sebagai

berikut:

1) Munasabah antara dua surah dalam soal materinya, yaitu

materi surah yang satu sama dengan materi surah yang lain.

2) Munasabah antara permulaan surah dengan penutupan surah

sebelumnya. Sebab, semua pembukaan surah itu erat sekali

kaitannya dengan akhiran dari surah sebelumnya, sekalipun sudah

dipisah dengan basmalah.

3) Munasabah antara pembukaan dan akhiran sesuatu surah.

Sebab, semua ayat dari suatu surah dari awal sampai akhir itu selalu

bersambungan dan bersesuaian.27

C. Urgensi ‘Ilm Munasabah

Kajian tentang munasabah sangat diperlukan dalam penafsiran

Al-Qur`an untuk menunjukkan keserasian antara kalimat dengan

kalimat dalam satu ayat, keserasian antara satu ayat dengan ayat

25

Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur`an, h. 224. 26

Abdul Djalal, Ulumul Qur`an, h. 158-161. 27

Abdul Djalal, Ulumul Qur`an, h. 163.

Page 81: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

25

berikutnya, bahkan juga keserasian antara satu surah dengan surah

berikutnya. Tatkala menemukan ayat-ayat yang sepertinya tidak

punya kaitan sama sekali, sebagian orang yang tidak mengerti

munasabah akan langsung mempertanyakan kenapa penyajian Al-

Qur`an melompat-lompat dari satu masalah ke masalah lain, atau dari

satu tema ke tema yang lain secara tidak sistematis. Setelah

mengetahui munasabah, tentu orang yang terburu-buru menilai

seperti itu akan segera menarik pandangannya dan menyadari betapa

Al-Qur`an tersusun dengan sangat serasi dan sistematis, tetapi tentu

saja berbeda dengan sistematika buku-buku dan karya ilmiyah buatan

manusia.28

Kajian ilmu munasabah mendapatkan tempat dan apresiasi

yang cukup tinggi dalam pandangan ilmu-ilmu Al-Qur`an, serta

memiliki fungsi atau pengaruh yang sangat signifikan dalam

memahami dan menafsirkan Al-Qur`an. Lebih lagi Hasani Ahmad

dalam disertasinya berpendapat bahwa ada sebuah potensi ilmu

munasabah menjadi salah satu tolak ukur dalam menetahui kualitas

kecerdasan dan kepiawaian seorang mufassir. Lebih-lebih

menurutnya urgensi keberadaan „ilm munasabah akan semakin terasa

kebutuhannya manakala seorang yang menafsirkan Al-Qur`an

menggunakan metode tematik (mudhu‟i) dan tafsir komparasi

(muqaran). Karena dalam penerapan dua metode tafsir di atas

penggunaan „ilm munasabah sangat terasa urgensinya, karena di

dalamnya menuntut si mufassir untuk memfokuskan ayat-ayat yang

memiliki keterkaitan dan keserasian agar mendapatkan penafsiran

yang tidak parsial. Di antara urgensi „ilm munasabah ialah sebagai

berikut:

1. Mengetahui persambungan atau hubungan antara bagian Al-

Qur`an, baik antara kalimat-kalimat atau ayat-ayat maupun surat-

suratnya yang satu dengan yang lain, sehingga lebih

memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab Al-

Qur`an dan memperkuat keyakinan terhadap kewahyuan dan

kemukjizatannya.

2. Dapat diketahui mutu dan tingkat kebalaghahan bahasa Al-Qur`an

dan konteks kalimat-kalimatnya yang satu dengan yang lainnya,

serta persesuaian ayat atau surah yang satu dari yang lain.

3. Dapat membantu dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur`an setelah

diketahui hubungan suatu kalimata atau ayat dengan kalimat atau

ayatyang lain.

28

Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur`an, h. 225.

Page 82: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

26

Jika diperhatikan, ternyata urgensi ilmu munasabah akan semakin

kelihatan jelas, kalau digunakan untuk melihat salah satu

keistimewaan Al-Qur`an itu sendiri. Menurut Subhi Sholeh dalam

komentarnya, bahwa di antara keistimewaan Al-Qur`an adalah

memiliki sifat syumul (serba mencakup). Maka untuk mengetahui Al-

Qur`an yang syumul tersebut, salah satu diantaranya harus melihat

korelasi antara satu surah dengan surah yang lainnya.29

D. Pendapat Ulama Tentang Munasabah

Dalam al-Itqan, as-Suyuthi menukil apa yang ada dalam

nadzhm ad-Durar, yang dinukil oleh al-Biqa‟i dari gurunya Abu al-

Fadhl Muhammad Ibnu Muhammad al-Misydali al-Maghrabi (w 865

H) bahwa: “Prinsip pokok yang mengantar kepada pengetahuan

tentang hubungan antar ayat dalam seluruh Al-Qur`an adalah

mengamati tujuan yang oleh karenanya surah diturunkan, serta

melihat apa yang dibutuhkan untuk tujuan tersebut menyangkut

mukadimah atau pengantarnya, dan memerhatikan pula tingkat-

tingkat pengantar itu dari segi kedekatan atau kejauhannya.30

Ulama-ulama abad XX yang menulis tentang hubungan ayat-

ayat dan tema pokok surah, jumlah mereka pun masih terbatas.

Syaikh Muhammad „Abduh, pada awal abad XX, memberi perhatian

terhadap persoalan ini. Muhammad „abduh memiliki kaidah-kaidah

yang ia jadikan patokan umum dalam menafsirkan ayat-ayat Al-

Qur`an. Salah satu di antaranya adalah kesatuan uraian surah.

Tidaklah tepat (menurutnya) menfsirkan satu ayat terlepas atau jauh

dari kandungan ayat sebelumnya karena ayat-ayat satu surah saling

berkaitan. Murid dan sahabat „Abduh, Sayyid Muhammad Rasyid

Ridha, mempunyai pandangan yang sama. Ia memilih dan memilah

kemudian menghimpun sekian ayat yang ditafsirkannya dalam

kelompok tersendiri, lalu menghubungkan dengan kelompok yang

lain. Di sisi lain, hampir di setiap surah yang ditafsirkannya, ia

merangkum pokok-pkok masalah, walau keterkaitan pokok-pokok

tersebut dalam uraiannya belum terlalu jelas dengan tema surah.31

„Abdullah Darraz (1894 M) merupakan salah seorang yang

menggaris bawahi pentingnya bahasan ini (munasabah). Dalam

29

Abu Anwar, Ulumul Qur`an, (tt.p: Amzah, 2009), Cet. 3, h. 62. 30

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur`an, v.

1, (Jakarta: Lentera Hati: 2002), Cet. 1, h. xxviii. 31

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur`an,

v. 1, h. xxix-xxx.

Page 83: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

27

pandangannya, satu surah Al-Qur`an merupakan satu kesatuan yang

tidak dapat dipisahkan. Uraian bagian-bagiannya yang juz‟i,

walaupun turun dalam waktu yang berbeda-beda tetapi saling

berhubungan dan saling terpadu bagaikan keterpaduan anggota tubuh

manusia. Sebagaimana ada perekat dalam diri seseorang antar satu

anggota badan dan anggota badan yang lain, demikian juga dengan

ayat-ayat Al-Qur`an. Setiap surah mengalir ke satu arah teretentu, dan

bagian-bagiannya pun mengarah ke satu tujuan khusus bersama. Ada

sistematika yang jelas dan tegas pada setiap surah, terdiri dari

mukadimah, uraian dan penutup. Ayat-ayat yang terdapat pada awal

surah berfungsi sebagai mukadimah bagi tema surah yang akan

dibacakan, kemudian tampil uraian terperinci tentang tema itu dalam

bentuk yang sangat teratur, tidak saling bertabrakan bagian dengan

bagian yang lain karena semua mengambil tempatnya yang wajar, dan

akhirnya tampil penutup surah yang serasi dengan mukadimahnya.

Dengan demikian pandangan „Abdullah Darraz yang penulis (M.

Quraish Shihab) sadur dari dua bukunya, an-Naba‟ al-„azhim dan al-

Madkhal ila Al-Qur`an al-Karim.32

Banyak ulama yang membatasi apa yang mereka namakan

dengan „Ilm al-Munasabah hanya bagian pertama di atas. Bahasan

tentang hal ini dimunculkan pertamakali oleh Abu Bakar Abdullah

bin Muhammad Ziyad an-Naisabury yang wafat tahun 2324 H. 33

Ulama berbeda pendapat menyangkut ada atau tidaknya

hubungan/Munasabah dalam pengertian pertama di atas. Ada yang

menolak dengan alasan, antara lain, bahwa ayat-ayat Al-Qur`an turun

dalam masa yang berbeda-beda dan tidak mungkin ada kaitan antara

uraian masa lalu dan masa kemudian.

Pendapat di atas sepenuhnya benar, karena setiap ayat yang

turun, Rasul saw. menjelaskan kepada penulis wahyu dimna ayat itu

ditempatkan. Memang, penempatan sesuatu katakanlah para tamu

undangan tidak harus berdasar masa kehadirannya. Presiden yang

datang paling akhir menempati tempat paling depan. Yanng

mendampingi beliaupun bisa berbeda-beda antara satu acara dengan

acara yang lain.34

32

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur`an,

v. 1, h. xxx. 33

M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: ketentuan, dan aturan yang patut anda ketahui

dalam memahami al-Qur`an, (Jakarta: Lentera Hati, 2013), cet. II, hal.244 34

Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: ketentuan, dan aturan yang patut anda ketahui

dalam memahami al-Qur`an, (Jakarta: Lentera Hati, 2013), Cet. II, hal.244-245.

Page 84: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

28

Page 85: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

71

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Ilmu munâsabah berarti ilmu yang menerangkan hubungan

antara ayat/surah yang satu dengan ayat/ surah yang lain. Atau ilmu

yang menjelaskan “Bentuk hubungan antara satu kalimat dengan

kalimat lain dalam satu ayat, atau antara satu ayat dengan ayat lain

dalam satu kelompok ayat, atau antara satu surat dengan surat yang

lain”.1

Dan yang dimaksud dengan munasabah di sini ialah segi-segi

hubungan antara satu ayat dengan ayat lain dalam banyak ayat, atau

antara satu surah dengan surah yang lain. Pengetahuan tentang

munasabah ini sangat bermanfaat dalam memahami keserasian antar

makna, mukjizat Qur`an secara retorik, kejelasan keterangannya,

keteraturan susunan kalimatnya dan keindahan gaya bahasanya.2

Maka dari hasil analisis di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dari 10

ayat syukur yang terdapat pada QS. Al-Baqarah [2]: 52, 56, 152, 158,

172, 185,243. Dan QS. Ali Imrân [3]: 123, 144, 145. Berdasarkan

analisis yang peneliti lakukan bahwa 10 ayat ini mempunyai sisi

munâsabah yaitu pertama Allah telah memberikan kesempatan kepada

mereka yang berbuat dosa untuk bisa bertaubat dan bersyukur terhadap

apa yang Allah berikan. Kedua allah telah mencurahkan rahmat-Nya

untuk membangkitkan mereka kembali yang seolah-olah seperti

meninggal atau pingsan akibat terkena sambaran halilintar atau seperti

orang yanh hilang semangat hidupnya, kini Allah bangkitkan kembali.

Agar mereka bersyukur. Ketiga Allah telah memberikan perhatian-Nya

kepada hamba-Nya yang tulus dalam memohon. Keempat ibadah yang

di dasari dengan karena Allah. Kelima maka Allah Akan menjadikan

keimanan sebagai kunci dari segala sesuatu yang bersifat positif dan

hanya kepada Allah tempat kamu menyembah. Keenam maka Allah

akan menghendaki kemudahan. Ketujuh dan menjadikan anugerah

untuk dijadikan kekuatan. Kedelapan dan Allah mewajibkan bersyukur

untuk orang yang bertakwa. Kesembilan karena ketaatan manusia tidak

berpengaruh bagi Allah. Kessepuluh dan Allah hanya akan memberi

balasan kepada orang yang bersyukur.

1 Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur`an, h. 208.

2 Manna’ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur`an, terj. Mudzakir AS, (Bogor:

Pustaka Litera AntarNusa, 2013), Cet. 16, h.138

Page 86: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

72

B. Saran

1. Penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, masih

banyak kekurangan dan kesalahan. Tentunya saran dan kritik

yang membangun yang penulis harapkan untuk perbaikan yang

lebih bagus ke depannya.

2. Dengan hadirnya skripsi ini penulis sangat berharap kepada

pembaca untuk lebih intens dan mengkaji lebih mendalam

tentang munâsabah ayat-ayat syukur. Setidaknya skripsi ini

dapat menjadi oase bagi para penjelajah ilmu pengetahuan

Page 87: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

73

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Abu, Ulumul Qur`an, tt.p: Amzah, 2009.

Anwar, Rosihon Ulum Al-Qur`an, Bandung: Pustaka Setia, 2013.

An-njar, Amir, Ilmu Jiwa dalam Tasawwuf Studi Komparatif dengan Ilmu

Jiwa Kontemporer, Terj. Hasan Abrori, Jakarta: Pustaka Azzam, 2001.

Baqiy, Fuad ‘Abd Muhammad Al-Mu‟jam Al-Mufahras Li Al-Fazh Al-

Qur`an Al-Karim, Beirut Libanon: Darul Fikr.

Chirzin, Muhammad Al-Qur`an danUlumul Qur`an, Yogyakarta: Dana

Bhakti Prima Yasa, 1998.

Djalal, Abdul , Ulumul Qur`an, Surabaya: Duni Ilmu, 2008.

Hanafi, Muchlis M. (eds.), Spiritualitas Dan Akhlak (Tafsir Al-Qur`an

Tematik), Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur`an, 2010.

Hermawan, Acep, „Ulumul Qur`an: Ilmu untuk Memahami Wahyu, Bandung:

Rosda, 2011.

Husna, Aura (Neti Suriana), Kaya dengan Bersyukur: Menemukan Makna

Sejati Bahagia dan Sejahtera dengan Mensyukuri Nikmat Allah,

Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2013.

Idrus, Muhammad, Metode Penelitian Ilmu Sosial, Yogyakarta: Erlangga,

2009.

Ilyas, Yunahar, Kuliah Ulumul Qur`an, Yogyakarta: Itqan Publishing, 204.

Iskandar, Metodologi Penelitian Kualitatif, Jakarta: Gaung Persada Press,

2009.

Mahsun, Metode Penelitian Bahasa Tahapan Strategi, Metode, dan

Tekniknya, Jakarta: PT Gravindo Persada, 2007.

el-Bantanie, Muhammad Syafi’ie Dahsyatnya Syukur, Jakarta: Qultum

Media, 2009.

Page 88: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

74

al-Marâghi, Ahmad, Mushtafa Tafsir al-Marâghi, terj. Anshori Umar, dkk.

Juz. 1.

_______Tafsir al-Marâghi, terj. Anshori Umar, dkk. Juz. 2.

Nawawi, Syauqi, Rif’at Kepribadian Qur‟ani, Jakarta: Amzah, 2011.

Qardhawi, Yusuf Berinteraksi dengan Al-Qur`an, terj. Abd Hayyie al-

Kattani, Jakarta: Gema Insani Press, 1999.

al-Qattan, Manna’ Khalil Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur`an, terj. Mudzakir AS,

Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2013.

Al-Qurthubi, Syaikh Imam, Tafsir al-Qurthubi, terj. Fathurrahman, Ahmad

hotib (ed), Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.

Said, Hasani, Ahmad Diskursus Munasabah Al-Qur`an dalam Tafsir Al-

Misbah, Jakarta: Amzah, 2015.

Shihab, M. Quraish Kaidah Tafsir: Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda

Ketahui dalam Memahami Al-Qur`an, Jakarta: Lentera Hati, 2013.

Shihab, Umar, Kontekstualitas Al-Qur`an: Kajian Tematik Atas Ayat-Ayat

Hukum dalam Al-Qur`an, Penamadani: Jakarta, 2005.

Shihab, M. Quraish Lentera Al-Qur`an: Kisah dan Hikmah Kehidupan,

Bandung: Mizan, 2008.

_______Tafsir Al-Misbah: Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur`an, v. 1,

Jakarta: Lentera Hati: 2002.

_______Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur`an, V 15,

Jakarta: Lentera Hati, 2002.

_______Wawasan Al-Qur`an: Tafsir Maudhu‟i atas Pelbagai Persoalan

Umat, Bandung: PT Mizan Pustaka, 2005.

_______Wawasan Al-Qur‟an: Tafsir Maudhu‟i atas Pelbagai Persoalan

Umat, Bandung: Mizan, 1996.

Page 89: MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)

75

as-Suyuthi, Jalaluddin, Samudra Ulumul Qur`an (Al-Itqan fi Ulumil

Qur`an), Jld. 3, terj. Farikh Mrzuki dan Imam Fauzi, Surabaya: Pt

Bina Ilmu, 2008.

Winarko, Shodiq A. Dzikir-Dzikir Peredam Stres, Depok: Mutiara Allamah

Utama, 2014.

Zed, Mestika, Metode Penelitian Kepustakaan, Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia, 2008.