Upload
others
View
17
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR
(TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)
Skripsi ini Diajukan
Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)
Oleh:
Elsa Munawaroh Karimah
NIM.13210511
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT ILMU AL-QUR’AN (IIQ) JAKARTA
1438 H/2017 M
i
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Skripsi ini berjudul “MUNASABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH
TAFSIR MAUDHU’I)” yang disusun oleh Elsa Munawaroh Karimah
dengan Nomor Induk Mahasiswa (NIM) 13210511 telah melalui proses
bimbingan dengan baik dan dinilai oleh pembimbing telah memenuhi syarat
ilmiah untuk diajukan ke sidang munaqasyah.
Jakarta, 18 Agustus 2017 M
Pembimbing
Drs. Arison Sani, MA
ii
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi dengan judul “MUNASABAH AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH
TAFSIR MAUDHU’I)” oleh Elsa Munawaroh Karimah dengan Nomor
Induk Mahasiswa 13210511 telah diujikan pada sidang Munaqasyah Fakultas
Ushuluddin Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta pada tanggal 19 Agustus
2017
Jakarta, 13 Oktober 2017
Dekan Fakultas Ushuluddin
Institut Ilmu Al-Qur‟an (IIQ) Jakarta
Dra. Hj. Maria Ulfa, MA
Ketua Sidang Sekretaris Sidang
Dr. M. Ulinnuha, Lc, MA Dra. Suci Rahayuningsih
Penguji I Penguju II
Dr. M. Ulinnuha, Lc, MA Ali Mursyid, M. Ag
Pembimbing
Drs. Arison Sani, MA
iii
PERNYATAAN PENULIS
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Elsa Munawaroh Karimah
NIM : 13210511
Tempat/Tanggal Lahir : Karawang 19 Juni 1995
Alamat : Karawang, Jawa Barat.
Menyatakan bahwa skripsi dengan judul “MUNASABAH AYAT-AYAT
SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)” adalah benar-benar asli karya
saya kecuali kutipan-kutipan yang sudah disebutkan. Kesalahan dan
kekurangan dalam karya ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya.
Jakarta, 18 Agustus 2017 M
Elsa Munawaroh Karimah
iv
1 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur`an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai
Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 2005), Cet. Xvi, h. 236.
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas
berkat, rahmat, taufik dan hidayah-Nya, penyusunan skripsi yang berjudul
“Munasabah Ayat-Ayat Syukur (Telaah Tafsir Maudhu‟i)” dapat
diselesaikan.
Shalawat beserta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi
Muhammad SAW, beserta seluruh keluarga dan sahabatnya, hingga akhir
zaman. Semoga kita termasuk ke dalam ummat yang mendapatkan syafa‟at
beliau kelak di hari akhir. Amin.
Penulisan skripsi ini diajukan guna memenuhi salah satu persyaratan
dalam mencapai gelar Sarjana Agama (S.Ag) dalam bidang Ilmu Al-Qur‟an
dan Tafsir di Fakultas Ushuluddin Institut Ilmu Al-Qur‟an (IIQ) Jakarta.
Dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini, tidak terlepas dari
bantuan, bimbingan, serta motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang
teramat dalam kepada:
1. Prof. Dr. Hj, khuzaemah T. Yanggo, M.A Rektor Institut Ilmu Al-Qur‟an
(IIQ) Jakarta yang telah memberikan kesempatan untuk menimba ilmu di
perguruan tinggi ini.
2. Drs. Hj. Maria Ulfa, MA. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin Institut Ilmu
Al-Qur‟an (IIQ) Jakarta.
3. Bapak Drs. Arison Sani, MA. selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang
selalu memberikan motivasi, menuntun dan membimbing dalam
menyelesaikan skripsi ini.
4. Seluruh Dosen Institut Ilmu Al-Qur‟an (IIQ) Jakarta, yang telah
meniupkan ruh semangat belajar dan kecintaan terhadap ilmu
pengetahuan.
5. Instruktur tahfiz yang dengan kesabaran membimbing dan memotivasi
penulis dalam menghafal Al-Qur‟an selama menjadi mahasiswa Institut
Ilmu Al-Qur‟an (IIQ) Jakarta: Dr. KH. Ahmad Fathoni, Lc. MA., Ibu Hj.
Athiqoh S.Thi, ibu Hj. Arbiyah Mahfudz S.Thi, Ibu hj. Amila S.Thi, Ka
A‟yuna Faizatul Fiqriyah S.Ud, Ibu Muthmainnah, MA, dan Ibu Hj.
Istiqomah, MA.
vi
6. Dra. Rukoyah Tamimi dan Dra. Suci Rahayuningsih selaku pembantu
dekan Fakultas Ushuluddin, yang telah membantu dan mengarahkan
penulis dalam menyelesaikan tugas sebagai mahasiswa Institut Ilmu Al-
Qur‟an (IIQ) Jakarta.
7. Kepala perpustakaan beserta staf perpustakaan Institut Ilmu Al-Qur‟an
(IIQ) Jakarta, pimpinan dan karyawan Perpustakaan Umum Universitas
Islam Negeri (UIN) Jakarta, perpustakaan Iman Jama‟ serta Pusat Studi
Al-Qur‟an (PSQ), yang telah menyediakan informasi dan buku-buku
sebagai sumber referensi bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
8. Terima kasih kepada kedua orang tua tersayang, Mamah hj. Uniroh dan
Bapak h. yusup, beserta keluarga yang telah banyak membantu, baik
berupa dukungan moril maupun materi hingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik, tanpa pernah mengeluh dan
dengan tulus selalu membimbing dan memotivasi penulis untuk
menyelami samudra ilmu pengetahuan, dan membantu dengan segenap
jiwa raga yang senantiasa teriring do‟a di setiap detak nadi.
9. Terima kasih kepada Abi Imron Rosyadi, Abih. H. Rubaeun Najib, dan
Teteh Hj. Nung Najibah yang senantiasa memberikan do‟a dan semangat
kepada penulis.
10. Teman-teman tercinta asrama Hoesen yang selalu memberi dukungan
semangat 45.
11. Kepada seluruh pihak yang ikut terlibat dalam penulisan skripsi ini, baik
secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu, semoga Allah senantiasa membalas kebaikan
kebaikannya dengan sebaik-baiknya balasan.
Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini masih banyak
kekurangan, kesalahan dan masih sangat perlu perbaikan serta
penyempurnaan karena keterbatasan penulis. Dengan segala kerendahan
hati penulis mempersembahkan skripsi ini. Semoga apa yang telah
penulis lakukan melalui penelitian ini dapat membawa manfaat dan
bernilai pahala di sisi Allah SWT. Amin.
Jakarta, 18 Agustus 2017
Penulis
Elsa Munawaroh Karimah
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................. i
LEMBAR PENGESAHAN ......................................................................... ii
PERNYATAAN PENULIS ........................................................................ iii
MOTTO ....................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ................................................................................. v
DAFTAR IS ................................................................................................ vii
ABSTRAKSI ............................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................ 1
B. Identifikasi Masalah ........................................................................ 9
C. Pembatasan Masalah ....................................................................... 9
D. Rumusan Masalah ..................................................................... 9
E. Tujuan Penelitian ............................................................................. 10
F. Manfaat Penelitian ........................................................................... 10
G. Tinjauan Pustaka ............................................................................. 10
H. Metodologi Penelitian ..................................................................... 12
1. Jenis Penelitian .......................................................................... 12
2. Sumber Data .............................................................................. 12
3. Teknik Pengumpulan Data ........................................................ 12
4. Metode Analisis Data ................................................................ 13
5. Teknik Penulisan ....................................................................... 13
I. Sistematika Penulisan ...................................................................... 13
BAB II TINJAUAN UMUM MUNASABAH
A. Definisi Munâsabah ........................................................................ 16
B. Macam-Macam Munâsabah ............................................................ 18
C. Urgensi Ilmu Munâsabah ................................................................ 25
D. Pendapat Ulama Tentang Munâsabah ............................................. 26
viii
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG SYUKUR
A. Definisi Syukur ............................................................................... 29
B. Macam-Macam Syukur ................................................................... 32
C. Manfaat Syukur ............................................................................... 33
D. Ayat-Ayat Syukur ........................................................................... 34
BAB IV TELAAH MUNASABAH AYAT-AYAT SYUKUR
A. Penafsiran 10 Ayat-ayat Syukur dalam QS. Al-Baqarah da QS. Ali
Imran ............................................................................................... 39
B. Analisis Munasabah Ayat-Ayat Syukur .......................................... 65
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................................................... 71
B. Saran-Saran ..................................................................................... 72
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 73
ix
ABSTRAK
Elsa Munawaroh Karimah. 13210511. Munasabah Ayat-ayat Syukur
(Telaah Tafsir Maudhu’i). Skripsi, Program Studi Ilmu Al-Qur`an
dan Tafsir, Fakultas Ushuluddin, Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ)
Jakarta, 1438 H / 2017 M. Pembimbing: Dr. Arison Sani.
Dalam hal ini, penulis bermaksud untuk meneliti dan mengkaji
tentang munasabah. Namun pada pembahasan munasabah ini penulis
tidak menjelaskan munasabah secara keseluruhan pada kajian Ulumul
Qur`an, akan tetapi penulis membatasi penelitian ini hanya kepada
munasabah antar ayat-ayat dalam surah yang berbeda dalam tema ayat-
ayat syukur dalam QS. Al-Baqarah, dan QS. Ali Imran.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dimensi munasabah pada
ayat-ayat syukur dalam Al-Qur`an telaah tafsir madhu‟i. Namun tidak
semua penulis bahas dalam menjelaskan semua ayat-ayat syukur, penulis
hanya memfokuskan pada ayat syukur yang terdapat dalam QS. Al-
Baqarah [2]: 52, 56, 152, 158, 172, 185, 243. Dan QS. Ali Imran [3]: 123,
144, 145.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan
(library research) Penelitian telaah pustaka ini merupakan penelitian
kualitatif dengan sumber data primer yaitu tafsir al-Misbah karya M.
Quraish Shihab dan kitab tafsir lainnya dan data sekunder berupa buku-
buku yang relevan. Dalam pengumpulan data, penulis menggunakan
penelusuran kepustakaan dan metode dokumentasi. Analisi data dalam
penelitian ini adalah analisis isi (conten analysis) dan teknik analisis
deskripsi.
Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan, ayat syukur yang
ditemukan dalam Al-Qur`an sebanyak 65 kali. Dalam munasabah ayat-
ayat syukur dalam QS. Al-Baqarah [2] dan QS. Ali Imran memiliki
hubungan. Maka dari hasil analisis di atas dapat ditarik kesimpulan
bahwa dari 10 ayat syukur yang terdapat pada QS. Al-Baqarah [2]: 52,
56, 152, 158, 172, 185,243. Dan QS. Ali Imrân [3]: 123, 144, 145.
Berdasarkan analisis yang peneliti lakukan bahwa 10 ayat ini mempunyai
sisi munâsabah yaitu pertama Allah telah memberikan kesempatan
kepada mereka yang berbuat dosa untuk bisa bertaubat dan bersyukur
terhadap apa yang Allah berikan. Kedua allah telah mencurahkan rahmat-
Nya untuk membangkitkan mereka kembali yang seolah-olah seperti
meninggal atau pingsan akibat terkena sambaran halilintar atau seperti
orang yanh hilang semangat hidupnya, kini Allah bangkitkan kembali.
x
Agar mereka bersyukur. Ketiga Allah telah memberikan perhatian-Nya
kepada hamba-Nya yang tulus dalam memohon. Keempat ibadah yang di
dasari dengan karena Allah. Kelima maka Allah Akan menjadikan
keimanan sebagai kunci dari segala sesuatu yang bersifat positif dan
hanya kepada Allah tempat kamu menyembah. Keenam maka Allah akan
menghendaki kemudahan. Ketujuh dan menjadikan anugerah untuk
dijadikan kekuatan. Kedelapan dan Allah mewajibkan bersyukur untuk
orang yang bertakwa. Kesembilan karena ketaatan manusia tidak
berpengaruh bagi Allah. Kessepuluh dan Allah hanya akan memberi
balasan kepada orang yang bersyukur.
xi
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Transliterasi dimaksudkan sebagai pengalih-hurufan dari abjad yang
satu ke abjad yang lain. Transliterasi Arab-Latin di sini ialah penyalinan
huruf-huruf Arab dengan huruf-huruf latin beserta perangkatnya. Pedoman
transliterasi yang digunakan adalah Sistem Transliterasi Arab-Latin
berdasarkan buku Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi Institut
Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta.
A. Konsonan
Huruf
Arab Nama Huruf Latin
Alif A
Bā B ة
Tā Ta
Śā Ts
Jīm J
Hā H
khā` Kha
Dal D
Żal Dz
rā` R
Zai Z
Sīn S
Syīn Sy
Şād Sh
Dād Dh
ţā` Th
zā` Zh
„ain ...„…
Gain Gh
xii
fā` F
Qāf Q
Kāf K
Lām L
Mīm M
Nūn N
Wāwu W
hā` H
Hamzah ´
yā` Y
B. Vokal
Vokal Tunggal Vokal Panjang Vokal Rangkap
Fathah : a ا : â ْي َ: ai
Kasrah : i ي :ȋ au :َ وْ
Dhamah : u و : ȗ
C. Kata Sandang
1. Kata sandang yang diikuti oleh alif lam (ال) qomariyah
Kata sandang yang diikuti oleh (ال) qomariyah ditranslitasi sesuai
dengan bunyinya contoh:
al-Madînah: انمديىت al-Baqarah : انبقرة
2. Kata sandang yang diikui oleh (ال) Syamsiyyah
Kata sandang yang diikuti (ال) syamsiyah ditransliterasikan sesuai
dengan aturan yang digariskan di depan sesuai dengan bunyinya.
Contoh:
as-Sayyidah: انسيدة ar-Rajul : انرجم
3. Syaddah (Tasydid)
Syaddah (Tasydid) dalam sistem aksara Arab digunakan lambang ()َ,
sedangkan untuk alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan cara menggandakan huruf yang bertanda tasydid. Aturan ini
berlaku secara umum, baik tasydid yang berada di tengah kata, di
akhir kata ataupun yang terletak setelah kata sandang yang diikuti
oleh huruf-huruf syamsiyah. Contoh:
xiii
Inna al-ladzîna: انّ انّذيهَ Âmannâ billâhi: امىّببب لله
4. Ta Marbuthah (ة )
Ta Marbuthah (ة ) apabila berdiri sendiri, waqaf atau diikuti oleh kata
sifat (na’at), maka huruf tersebut dialih aksarakan menjadi huruf “h”.
Contoh:
.al-Jâmi’ah al-Islâmiyyah :انجبمعت الإسلاميّت al-Af’idah : الأفئذة
Sedangkan ta marbûthah (ة) yang diikuti atau disambungkan (di-
washal) dengan kata benda (ism), maka dialih aksarakan menjadi
huruf „t‟. Contoh:
al-Âyat al-Kubrâ :الايتانكبرى Âmilatun Nâshibah‘ : عبمهت وبصبت
5. Huruf Kapital
Sistem penulisan huruf Arab tidak mengenal huruf kapital, akan tetapi
apabila telah dialih aksarakan maka berlaku ketentuan Ejaan yang
Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, seperti penulisan awal
kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri dan lain-lain.
Ketentuan yang berlaku pada EYD berlaku pula dalam alih aksara ini,
seperti cetak miring (italic) atau cetak tebal (bold) dan ketentuan
lainnya. Adapun untuk nama diri yang diawali dengan kata sedang,
maka huruf yang ditulis kapital adalah awal nama diri, bukan kata
sandangnya. Contoh: „Alî Hasan al-„Âridh, al-„Asqallânî, al-Farmawî
dan seterusnya. Khusus untuk penulisan kata Alqur‟an dan nama-
nama surahnya menggunakan huruf kapital. Contoh: Al-Qur‟an, Al-
Baqarah, Al-Fâtihah dan seterusnya.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur`an al-Karim turun sedikit demi sedikit, selama sekitar 22
tahun lebih. Ayat-ayatnya berinteraksi dengan budaya dan perkembangan
masyarakat yang dijumpainya. Kendati demikian, nilai-nilai yang
diamanatkannya dapat diterapkan pada setiap situasi dan kondisi.1
Mufassir dituntut untuk menjelaskan nilai-nilai itu sejalan dengan
perkembangan masyarakatnya sehingga Al-Qur`an dapat benar-benar
berfungsi sebagai petunjuk, pemisah antara yang haq dan batil, serta
jalan keluar bagi setiap problem kehidupan yang dihadapi.2
Al-Qur`an secara teks memang tidak berubah, tetapi penafsiran atas
teks, selalu berubah-ubah, sesuai dengan konteks ruang dan waktu
manusia. Karenanya, Al-Qur`an selalu membuka diri untuk dianalisis,
dipersepsi, dan diinterpretasikan (ditafsirkan) dengan berbagai alat,
metode, dan pendekatan untuk menguak isi sejatinya. Aneka metode dan
tafsir diajukan sebagai jalan untuk membedah makna terdalam dari Aal-
Qur`an.3
Al-Qur`an seolah menantang dirinya untuk dibedah. Tetapi, semakin
dibedah, rupanya semakin banyak saja yang tidak diketahui. Semakin
ditelaah, nampaknya semakin kaya pula makna yang terkuak darinya.4
Mencari titik temu dan relevansi antara teks dan konteks itulah tugas
berat yang diemban para mufassir, sejak zaman dahulu hingga sekarang.
Problema itulah yang melahirkan metode-metode dalam tafsir-tafsir
dengan berbagai corak dan ragamnya dengan perbagai dinamika dan
pergulatannya.
Karena itu, metode atau sistem penafsiran, apa pun namanya, menjadi
penting untuk dihadirkan, manakala “cara membaca” setiap pesan-Nya
secara autentik, antara satu mufassir dengan mufassir lainnya, ternyata
1 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur`an,
V 15, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Cet. 1, h. xx. 2 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur`an,
V. 15, h. xx. 3 Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur`an: Kajian Tematik Atas Ayat-Ayat Hukum
dalam Al-Qur`an, (Penamadani: Jakarta, 2005), Cet. 3, h. 3. 4 Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur`an: Kajian Tematik Atas Ayat-Ayat Hukum
dalam Al-Qur`an, h. 3.
2
tidaklah juga selalu dalam posisi seragam. Apalagi tanpa klaim otoritas
dan absolutisme dari masing-masing mufassir, membuat hasil kerja
sebuah tafsir, selalu memiliki kemungkinan untuk benar dan dibenarkan,
juga berpeluang untuk salah dan disalahkan.
Adalah kewajiban para ulama untuk memperkenalkan Al-Qur`an dan
menyuguhkan pesan-pesannya sesuai dengan kebutuhan dan harapan itu.
Memang, para pakar Al-Qur`an telah berhasil melahirkan sekian banyak
metode dan cara menghidangkan pesan-pesan Al-Qur`an.5
Al-Qur`an adalah kitab suci universal berlaku untuk setiap ruang dan
waktu manusia yang dianugrahkan Allah SWT. kepada seluruh umat
manusia. Keuniversalan Al-Qur`an terletak pada cakupan pesannya yang
menjangkau ke seluruhan lapisan umat manusia, kapan saja dan dimana
saja.6
Di antara kemurahan Allah terhadap manusia adalah bahwa Dia tidak
saja memberikan sifat yang bersih yang dapat membimbing dan memberi
petunjuk kepada mereka ke arah kebaikan, tetapi juga dari waktu ke
waktu Dia mengutus seorang rasul kepada umat manusia dengan
membawa al-Kitab dari Allah dan menyuruh mereka beribadah hanya
kepada Allah saja, menyampaikan khabar gembira dan memberikan
peringatan.7
Al-Qur`an memperkenalkan dirinya sebagai hudan li al-nas (petunjuk
untuk seluruh manusia). Inilah fungsi utama kehadirannya. Dalam rangka
penjelasan tentang fungsi Al-Qur`an ini, Allah menegaskan dalam
firman-Nya:
5 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur`an,
V. 15, h. xi. 6 Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur`an: Kajian Tematik Atas Ayat-Ayat Hukum
dalam Al-Qur`an, h. 4. 7 Mannā‟ Khalil al-Qaththān, studi Ilmu-ilmu Qur`an, terj. Mudzakir AS, (Bogor:
Pustaka Litera AntarNusa, 2013), Cet. 16, h. 10.
3
“Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan),
Maka Allah mengutus Para Nabi, sebagai pemberi peringatan, dan
Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk memberi
keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka
perselisihkan. tidaklah berselisih tentang kitab itu melainkan orang
yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, Yaitu setelah datang
kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki
antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang
yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka
perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. dan Allah selalu memberi
petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus”.(QS.
Al-Baqarah [2]: 213).
Kita yakin bahwa para sahabat Nabi Muhammad saw. seandainya
hidup pada saat ini, pasti akan memahami petunjuk-petunjuk Al-Qur`an
sedikit atau banyak berbeda dengan pemahaman mereka sendiri yang
telah tercatat dalam literatur keagamaan.8
Al-Qur`an sabagai Kitab Suci kaum Muslim, mengajarkan banyak
sekali nilai-nilai spiritual dan akhlak kepada pemeluknya yang telah
terbukti keberhasilannya dengan menjadikan mereka sebagai umat yang
tangguh dalam menghadapi ujian dan tantangan, sebab Kitab Suci ini
mengajarkan tentang kesabaran dan ketabahan dalam menghadapi ujian
dan cobaan, mengajarkan keikhlasan dalam bekerja, kejujuran dan
amanah dalam menjalankan tugas, bersyukur ketika mendapatkan nikmat,
tidak sombong dan takabur, peduli pada nasib orang lain dan masih
banyak lagi contoh akhlak yang lainnya.9
Jika dibandingkan dengan kitab suci yang lain, maka hanya Al-
Qur`an al-Karimlah kitab suci yang dipenuhi dengan pujian kepada Allah
SWT mengingatkan tentang keluasan ilmu-Nya, keagungan hikmah-Nya,
besarnya kekuasaan-Nya, lengkapnya kehendak-Nya, keagungan kreasi-
Nya, keluasan rahmat-Nya, pengaruh-pengaruh ketuhanan-Nya, dorongan
8 M. Quraish Shihab, Lentera Al-Qur`an: Kisah dan Hikmah Kehidupan, (Bandung:
Mizan, 2008), Cet. 2, h. 26. 9 Muchlis M. Hanafi, (eds.), Spiritualitas Dan Akhlak (Tafsir Al-Qur`an Tematik),
(Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur`an, 2010), h.33.
4
untuk menyembah-Nya, berdiri dihadapan pintu-Nya, mengharapkan
anugrah-Nya, takut terhadap keadilan-Nya, menyerahkan seluruh wajah
kepada-Nya, mengikhlaskan agama kepada-Nya, tenggelam cinta kepada-
Nya, senang dengan-Nya, rindu kepada-Nya, tenang dengan
menyebutnya, berusaha untuk bersyukur dan beribadah dengan baik
kepada-Nya, berytawakal kepada-Nya, kembali dan bertobat kepada-Nya,
bersabar atas cobaan-Nya, dan ridha terhadap keputusaNya.10
Setiap perintah atau anjuran Allah kepada manusia, pada dasarnya
merupakan perintah kepada jiwanya. Pada hakikatnya, eksistensi diri
manusia adalah jiwanya. Maka dari itu, Ibnu Sina seorang filsuf Muslim
berpendapat bahwa, “Sejatinya manusia itu adalah jiwanya”. Sehingga
termasuk perintah syukur pastinya ditujukan kepada jiwa, sebab jiwalah
yang mempunyai kesadaran untuk bersyukur atau tidak.11
Ajaran tentang kewajiban manusia untuk bersyukur atas nikmat
karunia Allah yang telah dilimpahkan, menempati kedudukan yang
sangat penting dalam ajaran Islam. Imam al-Ghazali menegaskan bahwa
disebutnya perintah bersyukur secara bergandengan dengan perintah
berdzikir (mengingat Allah) menunjukkan kepada kedudukan yang
penting itu. Allah Swt, berfirman:
“karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya aku ingat (pula)
kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu
mengingkari (nikmat)-Ku”.(Al-Baqarah [2]: 152).12
Dengan mengetahui kedudukan syukur yang sangat penting dalam
ajaran Islam, maka sangat dibutuhkan pemahaman yang benar dan
memadai tentang hakikat dan arti syukur. Begitu pula langkah-langkah
yang harus ditempuh menuju syukur, hambatan-hambatan yang sering
10
Yusuf Qardhawi, Berinteraksi dengan Al-Qur`an, terj. Abd Hayyie al-Kattani,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1999), Cet. 1, h. 128. 11
Rif‟at Syauqi Nawawi, Kepribadian Qur‟ani, (Jakarta: Amzah, 2011), Cet. 1, h.
100. 12
Muchlis M. Hanafi, (eds.), Spiritualitas Dan Akhlak (Tafsir Al-Qur`an Tematik),
(Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur`an, 2010), h. 415.
5
harus dihadapi dan hikmah di balik syukur, maka untuk itu sangat perlu
mendapatkan penjelasan yang cukup dalam memahami makna syukur.13
Manusia sebagai makhluk yang sempurna sekaligus sebagai makhluk
yang memiliki banyak permasalahan sangat pantas mendapatkan petunjuk
berupa Al-Qur`an untuk dijadikan sebagai pedoman hidup dalam
mengelola dan mengatur alam semesta beserta isinya.14
Al-Qur`an juga merupakan mukjizat Nabi Muhammad saw. yang
paling besar, sehingga para ulama di masa lalu sampai kini masih terus
berusaha mencari letak kemukjizatannya. Oleh sebab itu, perhatian ulama
terhadap Al-Qur`an tidak terhenti sampai pada segi kemukjizatannya,
tetapi beralih kepada hal lain, yaitu hubungan antara satu segi dalam Al-
Qur`an dan segi lainnya.15
Kitab itu berisi berbagai macam petunjuk dan peraturan yang
disyari‟atkan karena beberapa sebab dan hikmah yang bermacam-macam.
Ayat-ayatnya diturunkan sesuai dengan situasi dan kondisi yang
membutuhkan. Ayat-ayat dan surah-surahnya diterbitkan sesuai dengan
yang terdapat dalam lauhul mahfuzh, sehingga tampak adanya
persesuaian antara ayat yang satu dengan ayat yang lain dan antara surah
yang satu dengan surah yang lain.16
Berdasarkan pendapat jumhur ulama, susunan ayat dan surah dalam
Al-Qur`an adalah tauqifi. Dengan demikian, di balik susunan Al-Qur`an,
baik ayat maupun surah terdapat suatu hubungan atau korelasi. Sehingga
hal inilah yang menyebabkan banyak kalangan yang mencoba
menguraikan bentuk munasabah yang sesuai dengan ijtihadnya.17
Pengetahuan mengenai korelasi dan hubungan antara ayat-ayat itu
bukanlah hal yang tauqifi, tetapi didasarkan pada ijtihad seorang mufassir
dan tingkat penghayatannya terhadap kemukjizatan Al-Qur`an, rahasia
retorika, dan segi keterangannya yang mandiri.18
13
Muchlis M. Hanafi, (eds.), Spiritualitas Dan Akhlak (Tafsir Al-Qur`an Tematik),
h. 416. 14
Acep Hermawan,„Ulumul Qur`an: Ilmu untuk Memahami Wahyu, (Bandung:
Rosda, 2011), Cet. 1, h. 4. 15
Hasani Ahmad Said, Diskursus Munasabah Al-Qur`an dalam Tafsir Al-Misbah,
(Jakarta: Amzah, 2015), Cet. 1, h. xii-xiii. 16
Abdul Djalal, Ulumul Qur`an, (Surabaya: Duni Ilmu, 2008), Cet. 3, h. 153. 17
Hasani Ahmad Said, Diskursus Munasabah Al-Qur`an dalam Tafsir Al-Misbah,
(Jakarta: Amzah, 2015), Cet. 1, h. xiii. 18
Mannā‟ Khalil al-Qaththān, studi Ilmu-ilmu Qur`an, h. 138.
6
Al-Qur`an layaknya permata yang memancarkan cahaya yang
berbeda, sesuai dengan sudut pandang masing-masing orang yang
menelaahnya. Dengan kata lain, dari sisi manapun Al-Qur`an selalu
melahirkan cabang ilmu pengetahuan, termasuk dari segi hubungan
antara ayat dan ayat atau antara surah dan surah.19
Pengetahuan tentang munasabah atau korelasi antara ayat dengan ayat
atau surah dengan surah mempunyai arti penting dalam memahami
makna ayat Al-Qur`an serta membantu dalam proses menta‟wilkan
dengan baik dan cermat. Oleh karena sebab itu sebagian ulama
mencurahkan perhatian untuk menulis kitab mengenai masalah itu.20
Bahasan tentang ilmu munasabah ini dimunculkan pertamakali oleh
syekh Abu Bakar Abdullah bin Muhammad Ziyad an-Naisaburi yang
wafat tahun 324 H.21
Dia sangat ahli di bidang ilmu syari‟ah dan adab.22
Ilmu ini menjelaskan segi-segi hubungan antara beberapa ayat atau
beberapa surah Al-Qur`an. Apakah hubungan itu berupa ikatan antara
„am (umum) dan khusus, atau antara abstrak dan konkret, atau antara
sebab-akibat, atau antara illat dan ma‟lulnya, ataukah antara rasionil dan
irrasionil, atau bahkan antara dua hal yang kontradiksi.23
Lahirnya pengetahuan tentang teori munasabah (kolerasi) ini
tampaknya berawal dari kenyataan bahwa sistematika Al-Qur`an
sebagaimana terdapat dalam mushaf Usmani sekarang tidak berdasarkan
atas fakta kronologis turunnya. Sehubungan dengan ini, ulama salaf
berbeda pendapat tentang urutan surat di dalam Al-Qur`an. Segolongan
dari mereka berpendapat bahwa hal itu didasarkan atas pada tauqifi dari
Nabi saw. golongan lain berpendapat bahwa hal itu didasarkan atas
ijtihad para sahabat setelah bersepakat dan memastikan bahwa susunan
ayat-ayat adalah tauqifi. Golongan ketiga berpedapat serupa dengan
golongan pertama, kecuali surat Al-Anfal [8] dan Bara‟ah [9] yang
dipandang bersifat ijtihadi.24
19
Hasani Ahmad Said, Diskursus Munasabah Al-Qur`an dalam Tafsir Al-Misbah,
h. 148. 20
Muhammad Chirzin, Al-Qur`an danUlumul Qur`an, (Yogyakarta: Dana Bhakti
Prima Yasa, 1998), Cet. 1, h. 49. 21
Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: ketentuan, dan aturan yang patut anda ketahui
dalam memahami Al-Qur`an, h. 244 22
Imam Jalaluddin As-Suyuthi Rahimahullah, Samudra Ulumul Qur`an (Al-Itqan fi
Ulumil Qur`an), terj. Farikh Marzuqi, dkk. (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2008), Cet. 1, h. 527. 23
Abdul Djalal, Ulumul Qur`an, (Surabaya: Duni Ilmu, 2008), Cet. 3, h. 154. 24
Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur`an, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), Cet. 5, h. 81.
7
Atas dasar perbedaan pendapat tentang sistematika ini, wajarlah jika
masalah teori kolerasi Al-Qur`an kurang mendapat perhatian dari para
ulama yang menekuni „Ulum Al-Qur`an. Ulama yang pertama kali
menaruh perhatian pada masalah ini, menurut As-Suyuthi, adalah Syekh
Abu Bakar An-Naisaburi (324 H), kemudian menyusul beberapa ulama
ahli tafsir seperti Abu Ja‟far bin Jubair dalam kitabnya Tartib As-Suwar
Al-Qur`an, Syekh Burhanuddin al-Biqa‟i dengan bukunya Nazhm Ad-
Durar fi Tanasub al-Ayyi wa as-Suwar, As-Suyuthi sendiri dalam
bukunya Asrar Al-Tartib Al-Qur`an. Di antara ulama lain yang menulis
dalam bidang ini adalah Abu Ja‟far Ahmad bin Ibrahim bin al-Zubair Al-
Andalusi (W. 807 H) dalam karyanya Al-Burhan fi Munasabah Tartib
Suwar Al-Qur`an. Dalam konteks ini, Tafsir Al-Kabir yang ditulis oleh
Fakhr ar-Razy merupakan sebuah kitab tafsir yang banyak
mengemukakan sisi munasabah dalam Al-Quran.25
Disisi lain, bahasan ulama-ulama yang mendukung adanya
munasabah cukup banyak dan menarik. Salah seorang yang paling
memperhatikan bidang ini adalah Ibrahim bin Umar al-Biqa‟i (1406-1480
M), pengarang Tafsir Nazhem ad-Durar fi Tanasub al-Ayat wa as-Suwar
yang menghidangkan dalam tafsirnya itu ragam-ragam hubungan.26
Harus diakui bahwa bahasan tentang hubungan itu sangat
mengandalkan pemikiran, bahkan imajinasi atau kenyataan yang terjadi.
Karena itu, bisa saja ada banyak ragam hubungan yang dikemukakan oleh
para mufassir, bahkan bisa jadi seorang mufassir menghidangkan dua tiga
hubungan untuk satu ayat yang dibahasnya. Di sisi lain, dapat saja
pandangan-pandangan tentang munasabah yang ditampilkan oleh ulama
satu tidak diterima baik oleh ulama lain.27
Karena munasabah didapat
dengan cara penalaran, bukan dengan cara periwayatan. Dengan demikian
diterima atau tidaknya penalaran tersebut tergantung tingkat logikanya,
semakin logis tentu akan semakin diterima. Ada ayat-ayat yang mudah
dipahami hubungannya satu sama lain, tetapi tidak sedikit pula yang
membutuhkan pendalaman penjelasan sehingga baru tampak
munasabahnya. Bagi sebagian orang, bisa saja antara satu ayat dengan
ayat lain atau antara satu kelompok ayat dengan kelompok ayat yang
berdekatan tidak ada hubungannya sama sekali, akan tetapi bagi para
25
Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur`an, h. 81-82. 26
Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: ketentuan, dan aturan yang patut anda ketahui
dalam memahami al-Qur`an, hal. 245. 27
Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: ketentuan, dan aturan yang patut anda ketahui
dalam memahami al-Qur`an, hal. 245-246.
8
ulama yang mendalaminya mereka akan melihat bahwa ada hubungan
atau keterkaitan di dalamnya.28
Selanjutnya perlu digaris bawahi juga bahwa kendati
diperselisihkannya tentang ada atau tidaknya munasabah dalam Al-
Qur`an, demikian juga adanya perbedaan penilaian terhadap munasabah
yang dikemukakan oleh seorang ulama, namun yang pasti adalah bahasan
tentang masalah ini tetap diperlukan, bukan saja untuk menampilkan
dugaan kekacauan sistematika perurutan ayat atau surah-surah Al-Qur`an,
tetapi juga untuk membantu memahami kandungan ayat.29
Dalam hal ini, penulis bermaksud untuk meneliti dan mengkaji
tentang munasabah. Namun pada pembahasan munasabah ini penulis
tidak menjelaskan munasabah secara keseluruhan pada kajian Ulumul
Qur`an, akan tetapi penulis membatasi penelitian ini hanya kepada
munasabah antar ayat-ayat dalam surah yang berbeda dalam tema ayat-
ayat syukur dalam QS. Al-Baqarah, dan QS. Ali Imran.
Selama ini kita seringkali meminta sesuatu kepada yangAllah, namun
sangat jarang mengucapkan syukur maupun terima kasih atas apa yang
kita punya. Namun ketika sudah berhasil, justru banyak dari kita yang
lupa mengucapkan syukur dan terima kasih kepada-Nya. Meski terkesan
sederhana, namun mengucapkan syukur serasa berat untuk dilakukan.
Padahal, seharusnya kita tak lupa mengucapkan syukur baik itu sebelum,
maupun setelah memperoleh yang diinginkan.
Jangan sampai doa-doa kita menjadi sesuatu yang terkesan menuntut,
ingin segera dikabulkan, dan berprasangka buruk kepada-Nya apabila doa
belum terwujud. Doa yang tadinya ikhlas dan sederhana kian menjadi doa
yang menuntut dan berlebihan. Bahkan tak jarang doa-doa kita hanya
berisi keinginan semu belaka. Sebagai manusia, kita memang diwajibkan
untuk meminta kepada-Nya, namun jangan sampai membuat jengah Dia
yang ada di atas sana.
Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengkaji serta meneliti ayat-
ayat syukur dalam kajian munasabah. Penelitian ini akan dituangkan
dalam karya ilmiah berbentuk skripsi dengan judul “MUNASABAH
AYAT-AYAT SYUKUR (TELAAH TAFSIR MAUDHU’I)”
28
Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur`an, (Yogyakarta: Itqan Publishing, 2014), Cet.
3, h. 210-211. 29
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda
Ketahui dalam Memahami Al-Qur`an, (Jakarta: Lentera Hati, 2013), Cet. 2, h. 252.
9
B. Identifikasi Pembatasan dan Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka penulis
merasa perlu memberikan batasan dan rumusan masalah yang
menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini.
1. Identifikasi Masalah
Dari judul yang dipaparkan oleh penulis dapat diidentifikasikan
beberapa masalah yang patut dibahas, yaitu:
a. Tinjauan umum tentang „ilm munasabah.
b. Tinjauan umum tentang syukur.
c. Dimensi munasabah ayat-ayat syukur dalam Al-Qur`an.
2. Pembatasan Masalah
Melihat banyaknya masalah-masalah yang teridentifikasi
dan banyaknya ayat Al-Qur`an yang menjelaskan tentang syukur,
agar penelitian ini lebih fokus dan pembahasan tidak
menyimpang dari pokok masalah, maka penulis akan
menghadirkan sesuatu yang baru tentang pembahasan ini yaitu
dengan menggunakan kajian munasabah pada ayat-ayat syukur
yang menitikberatkan hanya pada pembahasan QS. Al-Baqarah
[2]: 52, 56, 152, 158, 172, 185, 243 dan QS. Ali Imran [3]: 123,
144,145. Selain memberi ruang bagi peneliti-peneliti lain untuk
melakukan penelitian yang sejenis, penulis menilai bahwa urgensi
kajian munasabah QS. Al-Baqarah dan QS. Ali Imran berangkat
atas beberapa alasan, yaitu:
a. QS. Al-Baqarah dan QS. Ali Imran merupakan surat terpanjang
dan jumlah ayatnya terbanyak di antara surat-surat lain dalam Al-
Qur`an.
b. Al-Baqarah dan QS. Ali Imran termasuk surat Madaniyah yang
diturunkan pada tahun-tahun permulaan periode Nabi Muhammad
Saw. di Madinah sehingga tercermin strategi Nabi dalam
meletakkan pondasi bangunan kota Madinah sebagai pusat
pemerintahan pada masa itu.
3. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka permasalahan
yang perlu mendapatkan pembahasan lebih lanjut dapat
dirumuskan sebagai berikut:
a. Bagaimana penafsiran para mufassir tentang ayat-ayat syukur?
b. Bagaimana analisis munasabah ayat-ayat syukur dalam QS.
Al-Baqarah dan QS. Ali Imran?
10
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan
skripsi ini adalah:
a. Untuk mengetahui penafsiran para mufassir pada ayat-ayat
syukur dalam QS. Al-Baqarah dan QS. Ali Imran.
b. Untuk mengetahui analisis munasabah ayat-ayat syukur dalam
QS. al-Baqarah dan QS. Ali Imran.
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Penelitian ini diharapkan sedikit banyaknya dapat memberikan
konstribusi bagi pengembangan pengetahuan ilmiah di bidang
‟Ulumul Qur`an dan tafsir.
b. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi
pengembangan ilmu keislaman, terutama dalam bidang „Ulumul
Qur`an dan tafsir. Dan dapat memberikan informasi serta
memperkaya khazanah ilmu pengetahuan pada umumnya, serta
ilmu „Ulumul Qur`an dan tafsir pada khususnya, terutama yang
berkaitan dengan munasabah ayat-ayat syukur dalam telaah tafsir
maudhu‟i/tematik.
c. Untuk memberikan sumbangsih ilmu pengetahuan kepada
masyarakat terutama di bidang „Ulumul Qur`an dan tafsir.
d. Sebagai syarat dan tugas akhir guna menyelesaikan jenjang Strata
1 pada Fakultas Ushuluddin Jurusan Ilmu Al-Qur`an dan Tafsir
Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta.
D. Tinjauan Pustaka
Dalam penyusunan skripsi ini penulis menemukan beberapa
penelitian judul skripsi yang membahas dengan judul berbeda namun
dalam kajian tema yang hampir sama, diantaranya adalah:
Pertama, Disertasi yang ditulis oleh Hasani Ahmad Sa‟id
tahun 2011 dengan judul “Diskursus Munasabah Al-Qur`an: kajian
atas tafsir al-Mishbah”, Konsentrasi Tafsir Hadis, Universitas Islam
Negri Syarif Hidayatullah Jakarta. Disertasi ini mendukung pendapat
bahwa al-Qur`an mempunyai pertalian erat antara surat yang satu
dengan surat yang lain dan antara ayat dengan ayat, dengan kata lain,
perlu adanya munasabah sebagai bentuk dari kemukjizatan al-
Qur`an.
Kedua, Tesis yang ditulis oleh Rahmawati Hunawa tahun
2011 dengan judul “Syukur dalam Perspektif Al-Qur`an (kajian Tafsir
Madhu‟i)”, Pasca Sarjana Institut Ilmu Al-Qur`an Jakarta. Tesis ini
membahas tentang bagaimana syukur dalam perspektif Al-Qur`an?
Dengan demikian, yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah
11
masalah syukur dalam perspektif Al-Qur‟an. Pembahasan tentang
ayat-ayat syukur dalam penelitian ini hanya berkisar pada pemahaman
mengenai syukur dan penerapannya menurut Al-Qur`an. Analisi
Syukur dalam Al-Qur`an yang mencakup: penafsiran para ulama
tentang ayat-ayat syukur meliputi: perintah/anjuran bersyukur, syukur
adalah pilihan yang berkonsekuensi, Nikmat adalah cobaan, syukur
mendatangkan keselamatan, syukur mendatangkan ridha, syukur
menjadi pelajaran, sindiran bagi yang tidak bersyukur, juga
pembahasan mengenai aplikasi syukur dalam realitas kehidupan.
ketiga, Tesis yang ditulis oleh Nurpawati Alwi tahun 2011
dengan judul ”Syukur Menurut Sayyid Qutb dalam Tafsir fi Dhilal Al-
Qur`an, Jakarta: PascaSarjana. Tesis ini membahas ayat-ayat yang
langsung menggunakan kata “syukur” dan segala bentuk gubahan
katanya, serta penafsiran dalam tafsir Fi Dhilal Al-Qur`an.
Keempat, Skripsi yang ditulis oleh Angga Marzuki tahun 2014
dengan judul ”Analisa Munasabah dalam Surat Al-Baqarah Ayat 1-43
dalam Kitab Shafwah al-Tafasir (Studi Munasabah Antar Ayat dalam
Satu Surat)”, Studi Tafsir Hadis, Fakultas Ushuluddin Universitas
Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini membahas
seputar bagaimana Ali al-Shabuni memaparkan munasabah antar ayat
dalam awal surat al-Baqarah ayat 1-43, hal tersebut melingkupi
pendekatan dan pola yang ia gunakan dalam menguraikan munasabah.
Kelima, Skripsi yang ditulis oleh Siti Hawa tahun 2002
dengan judul “Syukur (Kajian Beberapa Ayat Al-Qur`an dalam Tafsir
Al-Azhar)”, Studi Tafsir Hadis, Fakultas Ushuluddin Institut Ilmu Al-
Qur`an Jakarta. Skripsi ini membahas tentang beberapa ayat syukur
ditinjau dari segi dampak syukur dalam kehidupan muslim menurut
kajian hamka. Di antara ayat-ayat syukur yang dibahas di dalam
skripsinya adalah QS. Al-Baqarah: 152, QS. An-Nisa: 147, QS.
Ibrahim: 7, dan QS. Lukman: 12.
Keenam, Buku yang ditulis oleh M. Quraish Shihab tahun
2007 dengan judul Wawasan Al-Qur`an: Tafsir Tematik atas Pelbagai
Persoalan Umat” yang diterbitkan oleh Mizan Bandung. Di dalam
buku tersebut mengulas banyak hal dan salah satu yang menjadi
pembahasan adalah syukur. Beliau memaparkan sekelumit ayat-ayat
tentang syukur dan permasalahan yang terkait dengannya.
E. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi
kepustakaan (Library Resech), yaitu suatu rangkaian kegiatan yang
12
berkenaan dengan pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat
serta mengkaji bahan penelitian.30
Penelitian telaah pustaka ini
merupakan penelitian kualitatif, yaitu metode penelitian yang
digunakan untuk meneliti subjek yang bersifat ilmiah, deskriptif,
dinamis dan berkembang.31
Di mana peneliti adalah sebuah instrumen
kunci, teknis analisis data yang dilakukan secara induktif yang
dimulai dengan melakukan serangkaian observasi khusus, yang
kemudian akan memunculkan tema-tema dan pola-pola hubungan di
antara tema-tema tersebut.
2. Sumber Data
a. Sumber Data Primer
Untuk menghasilkan suatu karya ilmiah yang bisa
dipertanggungjawabkan, penulis mencari sumber-sumber yang
relevan terkait penelitian ini. Yang merupakan sumber data primer
yaitu kitab-kitab tafsir sebagai referensi diantaranya Tafsir al-
Maraghi dan Tafsir al-Mishbah.
b. Sumber Data Sekunder
Selain menggunakan sumber primer, penulis juga
menggunakan data sekunder berupa buku-buku „Ulumul Qur`an,
kitab-kitab tafsir, jurnal dan tulisan-tulisan yang memiliki
relevansi dengan pokok masalah yang dikaji dalam penelitian ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam teknik pengumpulan data penulis menggunakan
metode dokumentasi, yaitu metode yang digunakan peneliti untuk
dapat memperoleh data atau informasi dari berbagai sumber
tertulis baik berupa buku, jurnal, atau dokumen lainnya.32
Langkah pertama yang dilakukan adalah yaitu dengan cara
pengumpulan data dan informasi mengenai tema pembahasan dan
beberapa literature yang masih berkaitan dengan pembahasan,
baik berupa buku-buku, skripsi, dokumen maupun yang lainnya.
Pengumpulan ini dilakukan dari beberapa sumber primer dan
sekunder. Setelah data-data terkumpul, langkah selanjutnya yaitu
30
Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2008), Cet. 1, h. 3. 31
Muhammad Idrus, Metode Penelitian Ilmu Sosial, (Yogyakarta: Erlangga, 2009),
h. 24. 32
Iskandar, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2009),
h. 134.
13
memfilter data sesuai kebutuhan pokok pada poin-poin yang akan
dijadikan objek penelitian.
4. Metode Analisis Data
Setelah melakukan pengumpulan data, langkah selanjutnya
yaitu metode analisis data. Analisis data merupakan upaya yang
dilakukan untuk mengklasifikasikan atau mengelompokkan data.33
Metode analisis yang akan penulis gunakan adalah metode
deskriptif yaitu memulai pengumpulan data baik primer maupun
sekunder, kemudian diteliti dan dianalisis dengan upaya untuk
mengkaji, memahami dan memaparkan dengan jelas sekaligus
mengambil satu kesimpulan dari komparasi antar ayat.
Kemudian untuk membahas permasalahan, penulis
menggunakan metode maudhu‟i (tematik) yang merupakan salah
satu metode yang mengarahkan pandangan pada satu tema
tertentu dengan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan,
menganalisis, dan memahaminya untuk kemudian disimpulkan
dalam satu pandangan menyeluruh terkait tema yang dibahas
tersebut.34
F. Teknik dan Sistematika Penulisan
Mengenai teknik penulisan skripsi ini, penulis merujuk pada
buku “Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi terbitan IIQ
Jakarta Press tahun 2013 (edisi revisi) yang dikeluarkan oleh Institut
Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta.
Secara keseluruhan, skripsi ini memuat lima bab yang akan saling
berkaitan dengan perincian dan sistematika sebagai berikut:
Pada bab pertama penulis memuat pendahuluan. Pendahuluan
tersebut berisi latar belakang yang membahas tentang munasabah dan
syukur, dan alasan memilih munasabah ayat-ayat syukur sebagai
pokok pembahasan penulis. Setelah latar belakang diuraikan, penulis
menjelaskan identifikasi masalah, pembatasan masalah, dan
perumusan masalah agar penelitian tidak melebar kemana-mana.
Kemudian dipaparkan juga tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan
pustaka, dan metodologi penelitian yang mencakup jenis penelitian,
sumber penelitian, teknik pengumpulan data, dan metode analisi data.
33
Mahsun, Metode Penelitian Bahasa Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya,
(Jakarta: PT Gravindo Persada, 2007), h. 253. 34
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), h. 385.
14
Dan poin terakhir bab ini dipaparkan teknik penulisan dan
sistematikanya.
Pembahasan di bab kedua akan dikemukakan beberapa poin
penting yang akan menunjang penulis dalam menyelesaikan bab
keempat, diantaranya; definisi munasabah dari beberapa perspektif
para ahli. Kemudian dikemukakan pula pandangan umum tentang
munasabah, meliputi; pengertian, macam-macam munasabah dan
urgensi munasabah. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk menelaah
lebih dalam tentang kajian munasabah ayat-ayat syukur sehingga
menarik lebih mendalam dan spesifik.
Bab ketiga dikemukakan beberapa poin penting yang akan
menunjang penulis dalam menyelesaikan bab selanjutnya yaitu
tinjauan umum tentang syukur dan ayat-ayat yang berkaitan
dengannya. Tujuan dari penulisan beberapa poin tersebut adalah
untuk membantu penulis dalam menjelaskan wawasan tentang
perkembangan ilmu „ulumul Qur`an dan tafsir.
Pembahasan bab keempat menjelaskan penafsiran para mufassir
tentang ayat-ayat syukur dalam QS. Al-Baqarah dan QS. Ali Imran,
dan menguraikan analisis munasabah (keterkaitan) ayat-ayat syukur
pada QS. Al-Baqarah [2]: 52, 56, 152. 158, 172, 185, 243 dan QS. Ali
Imran [3]: 123, 144, 145. Dalam telaah tafsir maudhu‟i.
Bab kelima merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan.
Kesimpulan tersebut merupakan hasil akhir dari penelitian yang
dilakukan terhadap masalah-masalah yang diuraikan di bab
sebelumnya. Selain itu, ditulis juga saran-saran sebagai pijakan
sementara untuk melakukan penelitian lebih lanjut dan mendalam
terkait objek masalah yang dikaji. Di akhir penulisan, dicantumkan
pula daftar pustaka yang memuat referensi-referensi yang penulis
gunakan dalam melakukan penelitian sebagai bukti kevalidan
pembahasan yang dikaji.
39
BAB IV
TELAAH MUNÂSABAH AYAT-AYAT SYUKUR
A. Penafsiran Para Mufasir pada Ayat-ayat Syukur
1. QS. Al-Baqarah [2]: 52.
“Kemudian sesudah itu Kami maafkan kesalahanmu, agar
kamu bersyukur”.(QS. Al-Baqarah [2]: 52).
M. Quraish Shihab menafsirkan ayat di atas bahwa Allah memaafkan
hamba-Nya yaitu untuk menunjukkan betapa nilai pengampunan itu
sangat tinggi dan besar. Demikian Allah membuka kesempatan buat
mereka untuk lahir dan munculnya kebaikan dari mereka.1
Sehingga Allah menghapus dosa itu dengan menerima
taubat hamba-Nya, dan Allah tidak pernah tergesa-gesa dalam
menurunkan siksaan pada hamba-Nya yang berbuat dosa. Seperti
halnya Allah sengaja menunda siksanya, sampai Musa as. Kembali
kepada kaumnya guna mengabarkan kifârat apa yang harus dilakukan
untuk menebus dosa yang telah dilakukan. Kifarat tersebut
merupakan kunci bagi ampunan Allah, agar kalian bisa terus
mensyukuri nikmat-nikmat Nya, sebab tanpa itu tidak akan pernah
bersyukur terhadap nikmat-nikmat yang Allah berikan.2
2. QS. Al-Baqarah [2]: 56.
“Setelah itu Kami bangkitkan kamu sesudah kamu mati, supaya
kamu bersyukur”. (QS. Al-Baqarah [2]: 56).
M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa, apa pun yang
terjadi, yang jelas, sekali lagi Allah mencurahkan rahmat-Nya
karena lanjutan ayat di atas menyatakan bahwa, “Kemudian Kami
1 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,
V. 1, (Jakarta: Lentera Hati, 2012), Cet. 5, h. 239. 2 Ahmad Mushtafa al-Marâghi, Tafsir al-Marâghi, terj. Anshori Umar, dkk. Juz. 1,
(Semarang: Cv. Toha Putra, 1992), Cet. 2, h. 206.
40
bangkitkan kamu setelah kematian kamu,” yakni setelah
peristiwa halilintar itu, mereka dibandingkan dengan kebangkitan
yang terjadi di dunia ini agar mereka bersyukur.3
Apakah sambaran halilintar mengakibatkan tercabutnya
nyawa mereka atau hilangnya semangat hidup mereka, ataukah
halilintar itu menjadikan mereka jatuh pingsan tidak sadarkan diri
hingga keadaan mereka serupa dengan orang mati, atau tidur, itu
semua adalah aneka pendapat para ulama dalam memahami
maksud ayat ini. Yang jelas bahwa setelah peristiwa itu Allah
masih mencurahkan rahmat-Nya.4
Kemudian Sebagian mufassirin berpendapat bahwa
setelah Allah menumpas mereka dengan petir, kemudian Allah
hidupkan kembali, setelah itu mereka melanjutkan kembali sisa
umur mereka. Jadi kematian mereka ibarat orang mati akibat
penyakit jantung, yang kemudian dihidupkan kembali oleh Allah.
Sedangkan sebagian lainnya berpendapat bahwa yang dimaksud
dengan menghidupkan kembali di sini adalah dengan cara
memperbanyak keturunan mereka. Pengertiannya adalah bahwa,
setelah Allah menimpakan siksaan kepada mereka dengan
berbagai macam penyakit, sehingga diperkirakan mereka akan
musnah, kemudian Allah memberkati mereka melalui
pengembangbiakan keturunan mereka guna membangun kembali
bangsa ini. Demikianlah, agar mereka mau mensyukuri nimat-
nikmat yang telah dikecap oleh nenek moyang mereka, yang telah
binasa akibat siksaan Allah.5
Tujuan Allah membeberkan cerita ini yang ditujukkan
kepada kaum Yahudi yang hidup semasa diturunkannya Al-
Qur`an, tiada lain karena mengingatkan adanya kesatuan umat
antara yang satu dengan lainnya. Dan kisah ini juga menjelaskan
apa yang telah dilakukan umat terdahulu berupa kenikmatan dan
kejelekan, lalu balasan mereka terima berupa kenikmatan dan
hukuman. Yang demikian itu dimaksudkan untuk mengingatkan
generasi sesudahnya, bahwa apa yang telah terjadi pada generasi
terdahulu seolah-olah terjadi atas mereka.6
3 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,
V. 1, h. 243. 44
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,
V. 1, h. 243-244. 5 Ahmad Mushtafa al-Marâghi, Tafsir al-Marâghi, terj. Anshori Umar, dkk. Juz. 1,
h. 213. 6 Ahmad Mushtafa al-Marâghi, Tafsir al-Marâghi, terj. Anshori Umar, dkk. Juz. 1,
h. 213.
41
3. QS. Al-Baqarah [2]: 152.
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya aku ingat (pula)
kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu
mengingkari (nikmat)-Ku”. (QS. Al-Baqarah [2]: 152).
Pada ayat ini M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa:
Demikian limpahan karunia-Nya. Karena itu, ingatlah kamu kepada-
Ku dengan lidah, pikiran hati, dan anggota badan; lidah menyucikan
dan memuji-Ku, pikiran dan hati melalui perhatian terhadap tanda-
tanda kebesaran-Ku, dan anggota badan dengan jalan melaksanakan
perintah-perintah-Ku. Jika itu semua kamu lakukan niscaya Aku ingat
pula kepada kamu sehingga Aku akan selalu bersama kamu saat suka
dan dukamu dan bersyukurlah kepada-Ku dengan hati, lidah, dan
perbuatan kamu pula, niscaya-Ku tambah nikmat-Ku dan janganlah
kamu mengingkari nikmat-Ku agar siksa-Ku tidak menimpa kamu.7
Di atas, terbaca bahwa Allah mendahulukan perintah
mengingat diri-Nya atas mengingat nikmat-Nya karena mengingat
Allah lebih utama daripada mengingat nukmat-nikmat-Nya.8
Tentu saja, untuk mencapai sukses meraih segala yang
diharapkan, diperlukan kesungguhan upaya. Ia harus diperjuangkan.
Untuk itu, ayat berikut mengajarkan semua kaum beriman dua cara
utama untuk meraih sukses.9
Maksudnya, ingatlah kalian kepada-Ku (Allah) melalui dzikir,
hamdalah dan tasbih. Di samping itu, membaca Kitab-Ku (Allah)
yang diturunkan kepada Muhavmmad saw. dengan penuh
penghayatan. Di samping itu, pikirkanlah dalil-dalil yang telah Allah
paparkan di alam semseta ini agar menjadi tanda bagi kebesaran Allah
dan bukti kekuasaan dan keesaan Allah. Dan ingatlah Allah melalui
anggota badan kalian dengan menjalankan perintah Allah, dan
menjauhi larangan yang telah Allah tetapkan. Dengan demikian, Allah
7 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,
V. 1, h. 433. 8 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,
V. 1, h. 433. 9 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,
V. 1, h. 433.
42
akan membalas amal kalian dengan pahala dan balasan yang baik.
Allah akan membuka pintu kebaikan, bahkan kalian akan selalu
menang dan berjaya serta berkuasa.10
”Allah SWT. telah berfirman, „Aku hanya menuruti prasangka
hamba-Ku terhadap Dzat-Ku, dan Aku selalu bersamanya. Jika ia
mengingat-Ku di dalam dirinya, maka Aaku mengingatnya di dalam
Dzat-Ku. Jika ia mengingat-Ku pada suatu kelompok, maka Aku
mengingatnya dalam kelompok yang lebih baik dari kelompoknya.
Dan apabila ia mendekat kepada-Ku sejengkal, maka Aku akan
mendekatinya sehasta...”11
Hal ini merupakan pendidikan paling baik dari Tuhan terhadap
manusia. Jika mereka mengingat Allah, maka Allah akan mengingat
mereka dengan kelestarian kenikmatan dan kemurahan-Nya. Apabila
mereka melupakan Allah, maka Allah akan melupakan mereka
dengan menurunkan hukuman sesuai dengan keadilan-Nya.12
Setelah Allah memberikan penjelasan tentang sebab-sebab
lestarinya kenikmatan, maka Allah memberi petunjuk tentang sebab-
sebab bertambahnya kenikmatan dengan kemurahan-Nya.
Untuk itu Allah berfirman:
“Bersyukurlah kalian kepada-Ku atas nikmat-nikmat yang
telah Ku limpahkan kepada kalian dengan cara mengelola dan
memanfaatkan semua nikmat sesuai dengan masing-masing
fungsinya.13
Dan panjatkanlah pujian kepada-Ku dengan lisan dan hati untuk
memberi pernyataan kasih sayang Allah kepada kalian. Dan janganlah
kalian mengingkari semua anugerah tersebut dengan cara
membelanjakan ke jalan yang bertentangan dengan syari‟at dan
sunnatullah.14
10
Ahmad Mushtafa al-Marâghi, Tafsir al-Marâghi, terj. Anshori Umar, dkk. Juz. 2,
h. 32. 11
Ahmad Mushtafa al-Marâghi, Tafsir al-Marâghi, terj. Anshori Umar, dkk. Juz. 2,
h. 33. 12
Ahmad Mushtafa al-Marâghi, Tafsir al-Marâghi, terj. Anshori Umar, dkk. Juz. 2,
h. 33. 13
, 33. 14
Ahmad Mushtafa al-Marâghi, Tafsir al-Marâghi, terj. Anshori Umar, dkk. Juz. 2,
h., 33.
43
Ayat ini merupakan peringatan kepada umat manusia agar
tidak terperosok seperti umat-umat terdahulu. Sebab, mereka (umat
terdahulu) telah menging kari nikmat-nikmat Allah. Mereka tidak
menggunakan akal dan indara untuk merenungkan dan memikirkan
untuk apa nikmat-nikmat tersebut, dan bagaimana cara
penggunaannya. Sebagai akibatnya, nikmat tersebut dicabut untuk
menghukum mereka, di samping sebagai pelajaran bagi yang
lainnya.15
Kaum Muslimin benar-benar melaksanakan perintah-perintah ini.
Tetapi sangat disayangkan, mereka hanya melaksanakan dalam waktu
yang sangat singkat. Mereka meninggalkan secara sedikit demi
sedikit hingga mereka tertimpa bencana dan malapetaka yang
sekarang bisa kita saksikan. Padahal, jauh sebelum itu, Allah telah
memperingatkan mereka melalui firman berikut ini:
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan;
Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah
(nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka
Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (QS. Ibrahim [4]: 7).16
Firman Allah SWT: “Karena it, ingatlah kamu
kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu,” ini adalah sebuah
perintah sekaligus dengan jawabannya. Karena akan ada
penganugerahan oleh karena itu kata perintahnya sangat ditekankan.
Hukum asal dari dzikir (mengingat) ini adalah penerapannya di dalam
hati terhadap apa yang di ingat serta kesadaran penuh dalam
mengingatnya. Namun, terkadang kata dzikir diindikasikan untuk
dzikir dengan lisan saja, karena mungkin dzikir dengan lisan juga
menunjukkan dzikir di dalam hati. Hanya saja, karena sebutan dzikir
ini sudah terlalu sering digunakan untuk perkataan yang diucapkan
15
Ahmad Mushtafa al-Marâghi, Tafsir al-Marâghi, terj. Anshori Umar, dkk. Juz. 2,
h. , 33. 16
Ahmad Mushtafa al-Marâghi, Tafsir al-Marâghi, terj. Anshori Umar, dkk. Juz. 2,
h. , 34.
44
melalui lisan, maka ketika disebut dzikir maka yang terlintas secara
langsung adalah dzikir dengan lisan.
Makna sebenarnya dari ayat ini adalah, “Ingatlah Aku melalui
ketaatan, maka Aku akan mengingatmu dengan memberikan pahala
dan ampunan.
Firman Allah SWT: dan
bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-
Ku.” Al-Farra` mengtakan bahwa bahasa arab membolehkan
penyebutan dua kata untuk syakara (rasa terima kasih) yaitu:
syakartuka dan syakartu laka dalam bahasa inggris syakartuka artinya
thank you, sedangkan syakartu laka artinya thanks to you. Namun,
kata pertama lebih dari kata kedua.
Kata syukur ini sendiri memiliki arti: mengekspresikan suatu
perasaan atas sebuah kebaikan. Dalam etimologi bahasa, kata syukur
ini artinya: menampakkan.
Oleh karena itu, rasa syukur seorang hamba kepada Allah
SWT, dapat diaplikasikan dengan pemujaan dan pemujian kepada-
Nya, serta menyebutkan segala kebaikan yang telah diberikan pada
dirinya. Sementara bentuk dari syukur kepada Allah yang sebenarnya
adalah dengan melakukan ketaan kepadanya. Hanya saja, syukur bagi
seorang hamba harus dilakukan dengan pengucapan lisan dan
ketetapan hati, atas nikmat yang diberikan Allah kepadanya, yang
disertai juga denan ketaatan.
Firman Allah SWT: “Dan janganlah kamu
mengingkari (nkmat)-Ku” Kalimat pada akhir ayat ini adalah sebuah
larangan, karena itu, nun jama‟ yang seharusnya ada pada setiap kata
jamak mudzakar salim pada ayat ini dihilangkan. Adapun huruf nun
yang ada di akhir kata takfuruni adalah nun mutakallim. Dan huruf
ya‟ pada kata tersebut juga dihilangkan, karena ia terletak pada akhir
ayat, dimana pemakainnya baik pula digunakan pada selain Al-
Qur`an. adapun makna dari ayat ini adalah, “Janganlah kamu
mengingkari nikmat dan pemberian-Ku.” Dengan demikian, maka
kata kafara (ingkar) pada ayat ini bermakna menutupi kenikmatan,
dan bukan penolakan.
4. QS. Al-Baqarah [2]: 158.
45
“Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi'ar
Allah. Maka Barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau
ber-'umrah, Maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i antara
keduanya. dan Barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan
dengan kerelaan hati, Maka Sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri
kebaikan lagi Maha mengetahui”. (QS. Al-Baqarah [2]: 158).
Kesabaran orang-orang yang ciri-cirinya dibicarakan di ats, bukan
berarti mereka berpangku tangan tanpa upaya. Mereka berupaya.
Upaya tersebut dinamai oleh Al-Qur`an () sa‟i yang arti
harfiahnya adalah usaha. Arti syariahnya pada ibadah haji dan
umrah adalah berbolak-balik sebanyak tujuh kali antara bukti Shafa
dan Marwah demi melaksanakan perintah Allah.sedang, penerapan
sa‟i dalam kehidupan sehari-hari adalah “usaha sungguh-sungguh
mencari sumber kehidupan dengan memulainya dari shafa yang
berarti kesucian dan berakhir di Marwah yang berarti kepuasan
hati”. Inilah agaknya yang menghubungkan ayat yang berbicara
tentang kesabaran dengan ayat 158 yang berbicara tentang sa‟i
dalam berbagai maknanya itu memerlukan kesabaran.17
Sesungguhnya, Shafa dan Marwah adalah sebagian dari
syiar Allah. Shafa dan Marwah adalah dua bukit yang tadinya
berada sekitar 300 meter dari Masjid al-Haram. Kini setelah
perluasan Masji al-Haram ia telah merupakan bagian dari masjid
terebut.18
Shafa dan Marwah termasuk syiar Allah. Kata ()
syi‟ar seakar dengan kata () syu‟ur yang berarti rasa. Syi‟ar
17
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-
Qur`n, V. 1, h. 439-440. 18
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,
V. 1, h. 440.
46
adalah tanda-tanda itu dinamai syiar karena ia seharusnya
menghasilkan rasa hormat dan agung kepada Allah SWT.19
Dengan ber-sa‟i sesuai dengan tuntunan-Nya,
seseorang mengedepankan dan memaklumkan rasa tunduk dan
ketaatan kepada Allah SWT. Tadinya kaum musykirin melakukan
pula sa‟i yang mengandung unsur kemusyrikan dan penyembahan
berhala. Mereka berihram atas nama berhala Manat, kemudian
melkukan sa‟i. Di puncak bukit Shafa, mereka meletakan patung
yang merek namakan Isaf. Sedang, di puncak Marwah, diletakkan
berhala () Na‟ilah. Kaum muslimin sepenuhnya sadar bahwa hal
tersebut idak dibenarkan agama sehingga mereka ragu melakukan
sa‟i. Untuk menghilangkan keraguan tersebut, ayat di atas
melanjutkan: Maka, barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah
atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa‟i
antara keduanya”.
Haji adalah berkunjung ke Mekkah dan sekitarnya
demi karena Allah dengan berihram pada waktu tertentu dan
melaksanakan amal-amal ibadah tertentu, seperti thawaf, sa‟i,
wuquf di Arafah, melontar dan lain-lain. Sedang Umroh adalah
berkunjung ke Masjid al-Haram demi karena Allah, dengan
berihram dan melaksanakan thawaf serta sa‟i antara Shafa dan
Marwah, kemudian menggunting rambut setelah selesai
berthawaf.20
Semua yang melakukan sa‟i (usaha), baik dalam
konteks melaksanakan ibadah haji dan Umrah, wajib atau sunnah,
maupun usaha lainnya untuk mendapatkan kebahagian hidup
duniawi, selama dilakukan secara tulus untuk kebaikan, dimulai
dari kesucian dan berakhir dengan kepuasan, maka semua akan
mendapat ganjaran, karena Allah sangat mensyukuri kebaikan
yakni aktivitas yang dilandasi keikhlasan dan ketaatan kepada-Nya
lagi Maha Mengetahui aktivitas dan niat para pelakunya.21
Anda tentu masih ingat bahwa masalah dan penjelasan-
penjelasan yang terbaca pada kelompok ayat-ayat yang lalu
dikemukakan dalam konteks pembicaraan tentang Bani Isra‟il. Nah,
kalau berbicara tentang kiblat diisyaratkan bahwa sebenarnya
mereka mengetahui kebenaran, antara lain kebenaran kenabian Nabi
19
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,
V. 1, h. 440. 20
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,
V. 1, h. 440. 21
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,
V. 1,, h. 441.
47
Muhammad saw. pada kelompok ayat ini ditegaskan kecaman,
kutukan, dan ancaman siksa bagi siapa pun yang menyembunyikan
pengetahuan yang dibutuhkan manusia, termasuk menyembunyikan
apa yang mereka ketahui tentang Nabi Muhammad saw.22
Barang siapa yang memperbanyak sikap taat dengan
menambah perbuatan sunnah di samping yang wajib, Allah-lah yang
akan membalasnya. Kebaikan pasti akan dibalas Allah dengan
kebaikan. Dan Allah Maha Mengetahui siapa yang berhak mendapat
balasan pahala. Ihsan sebagai balasan Allah.23
Di dalam pengungkapan ayat yang mengistilahkan kebaikan
Allah itu sebagai syukur, adalah untuk memberi pengajaran kepada
hamba-Nya suatu tata krama yang baik dan akhlak mulia. Hal ini jelas,
karena manfaat perbuatan ibadah mereka akan dikembalikan kepada
mereka sendiri. Sekalipun demikian, Allah menyatakan syukur atas
segala jerih payah manusia yang telah beramal. Kemudian, apakah
setelah itu manusia akan menyia-nyiakan nikmat Allah dalam
pengertian tidak menyatakan syukur dan tidak meletakkan sesuatu pada
tempatnya? Apakah pantas bagi orang yang tidak bersyukur terhadap
Yang Maha menganugerahi segala kenikmatan terssebut?24
Bersyukurlah kalian kepada Yang Maha Memberi nimat yang
merupakan tiang penunjang pembangunan, mampu mengerahkan
potensi tenaga, dan memotivasi orang-orang yang berjiwa ikhlas dan
bercita-cita luhur untuk negara dan bangsa, bahkan dunia, untuk lebih
giat bekerja.25
Hal ini seperti sikap tidak bersikap syukur atas kebaikan orang
lain yang merupakan perbuatan jahat terhadap diri sendiri dan orang
lain. Sebab jika orang-orang yang telah berbuat baik itu tidak mendapat
tanggapan masyarakat atau tidak diperdulikan, maka orang tersebut
akan meninggalkan perbuatannya itu tidak berfaedah, atau menghindari
hal-hal yang tidak diinginkan lantaran orang-orang dengki sering
menyakiti orang-orang yang berbuat baik.
Para ulama menceritakan sebuah hadits yang menunjukkan
bahwa Rasulullah saw. merasa bergembira jika perbuatan beliau yang
mulia dan kecintaan Nabi terhadap kebaikan itu disebut (di puji).
22
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,
V. 1, h. 441. 23
Ahmad Mushtafa al-Marâghi, Tafsir al-Marâghi, terj. Anshori Umar, dkk. Juz. 2,
h. , 48. 24
Ahmad Mushtafa al-Marâghi, Tafsir al-Marâghi, terj. Anshori Umar, dkk. Juz. 2,
h. 48. 25
Ahmad Mushtafa al-Marâghi, Tafsir al-Marâghi, terj. Anshori Umar, dkk. Juz. 2,
h. 49.
48
Padahal Nabi adalah seikhlas-ikhlas orang di hadapan Allah, yang
hanya mencari keridhaan-Nya.26
5. QS. Al-Baqarah [2]: 172.
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki
yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan
bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya
kamu menyembah”. (QS. Al-Baqarah [2]: 172).
M. Quraish Shihab menafsirkan ayat di atas bahwa, Kesadaran iman
yang bersemi di hati mereka menjadikan ajakan Allah kepada orang-
orang beriman sedikit berbeda dengan ajakan-Nya kepada seluruh
manusia. Bagi orang-orang mukmin, tidak lagi disebut kata halal,
sebagaimana yang disebut pada ayat 168 yang lalu, karena keimanan
yang bersemi di dalam hati merupakan jaminan kejauhan mereka dari
yang tidak halal. Mereka di sini bahkan diperintah untuk bersyukur
disertai dengan dorongan kuat yang tercermin pada penutup ayat 172
ini, yaitu bersyukurlah kepada Allah jika benar-benar hanya kepada-
Nya kamu menyembah.27
Syukur adalah mengakui dengan tulus bahwa anugerah yang
diperoleh semata-mata bersumber dari Allah sambil menggunakannya
sesuai tujuan penganugrahannya atau menempatkannya pada tempat
yang semestinya.28
Setelah menekankan perlunya makan makanan yang baik-baik,
dijelaskan-Nya makanan yang buruk, dalam bentuk redaksi yang
mengesankan bahwa hanya yang disebut itu yang terlarang, walau pada
hakikatnya tidak demikian.29
26
Ahmad Mushtafa al-Marâghi, Tafsir al-Marâghi, terj. Anshori Umar, dkk. Juz. 2,
h. 49. 27
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,
V. 1, h. 461. 28
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,
V. 1, h. 461. 29
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,
V. 1, h. 461.
49
Agama Kristen juga demikian. Walaupun dalam kitab
Perjanjian Baru tidak ada isyarat tentang kewajiban puasa, dalam
praktik keberagamaan mereka dikenal aneka ragam puasa yang
ditetapkan oleh pemuka-pemuka agama.
Kewajiban tersebut dimaksudkan agar kamu bertakwa, yakni
terhindar dari segala macam sanksi dan dampak buruk, baik duniawi
atau ukhrawi. Jangan duga, kewajiban yang akan dibebankan kepada
kamu in sepanjang tahun. Tidak! Ia hanya beberapa hari tertentu, itu
pun masih harus melihat kondisi kesehatan dan keadaan kalian. Karena
tu, barang siapa di ntara kamu sakit yang memberatkan baginya puasa,
aku menduga kesehatannya akan terlambat pulih bila berpuasa, iatau ia
benar-benar dalam perjalanan (kata benar-benar dipahami dari kata
) „ala dalam redaksi ( „ala safarin , jadi bukan peralanan
biasa yang mudah. Dahulu perjalanan itu dinilai sejauh sekitar sembilan
puluh kilo meter), jika yang sakit dan yang dalam perjalanan itu
berbuka, maka wajiblah baginya berpuasa pada hari-hari lain, baik
berturut-turut maupun tidak, sebanyak hari yang ditinggalkan itu.30
Adapun kondisi badannya menjadikan ia mengalami kesulitan
berat bila berpuasa, baik karena usia lanjut atau penyakit yang diduga
tidak akan sembuh lagi atau pekerjaan berat yang mesti dan harus
dilakukannya sehingga bila ia tinggalkan menyulitkan diri atau
keluarga yang ditanggungnya, wajib bagi orang-orang yang berat
menjalankannya itu jika mereka tidak berpuasa—membayar fidyah,
yaitu memberi makan seorang miskin. Setelah menjelaskan izin
tersebut, Allah mengingatkan bahwa Barang siapa yang dengan
kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik
baginya. Dan berpuasalah lebih baik bagi kamu jika kamu
mengetahui.31
Setelah diketahui siapa yang wajib berpuasa dan yan diberi
izin untuk tidak melaksanakannya, dijelaskan tentang masa puasa yang
sebelum ini dinyatakan bahwa ia hanya pada hari-hari tertentu.32
6. QS. Al-Baqarah [2]: 185.
30
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,
V. 1, h. 486. 31
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,
V. 1, h. 486. 32
, M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-
Qur`n, V. 1, h. 486.
50
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan,
bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran
sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan
mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang
bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri
tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa
pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan
(lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak
hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan
bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas
petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur”. (QS. Al-Baqarah [2]: 185).
Beberapa hari yang ditentukan, yakni dua puluh sembilan
atau tiga puluh hari saja selama bulan Ramadhan. Bulan tersebut dipilih
karena ia adalah bulan yang mulia. Bulan yang di dalamnya diturunkan
permulaan Al-Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-
penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda yang jelas antara yang
hak dan yang batil.33
Al-Qur`an merupakan petunjuk bagi manusia menyangkut
tuntunan yang berkaitan dengan akidah, dan penjelasan-penjelasan
mengenai petunjuk itu dalam hal perincian hukum-hukum syariat.
Demikian satu pendapat. Bisa juga dikatakan, Al-Qur`an petunjuk bagi
manusia dalam arti bahwa Al-Qur`an adalah kitab yang Mahaagung
sehingga, secara berdiri sendiri, ia merupakan petunjuk. Banyak nilai
33 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,
V. 1,487.
51
universl dan pokok yang dikandungannya, tetapi nilai-nilai itu
dilengkapi lagi dengan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu,
yakni keteranag dan perinciannya. Wujud Tuhan dan keesaan-Nya
dijelaskan sebagai nilai utama dan pertama. Ini dijelaskan perinciannya,
ukan saja menyangkut dalil-dalil pembuktiannya, tetapi sifat-sifat dan
nama-nama yang wajar disandang-Nya. Keadilan adalah prinsip utama
dalam berinteraksi; Al-Qur`an tidak berhenti dalam memerintahkan
atau mewajibkannya. Dalam Al-Qur`an dijelaskan lebih jauh beberapa
perincian tentang bagaiamna menerapkannya, misalnya dalam kehidupa
rumah tangga. Dengan demikian, Al-Qur`an mengandung petunjuk
sekaligus penjelasan tentang petunjuk-petunjuk itu.34
Penegasan bahwa Al-Qur`an yang demikian itu sifatnya
diturunkan pada bulan Ramadhan mengisyaratkan bahwa sangat
dianjurkan untuk membaca da mempelajari Al-Qur`an selama bulan
ramadhan, dan yang mempelajarinya diharapkan dapat
memperolehpetunjuk serta memahami dan menerapkan penjelasan-
penjelasnnya. Karena, dengan membaca Al-Qur`an, ketika itu yang
bersangkutan menyiapkan wadah hatinya untuk menerima petunjuk
Ilahi berkat makanan ruhani—bukan jasmani—yang memenuhi
kalbunya. Bahkan, jiwanya akan sedemikian cerah, pikirannya begitu
jernih, sehingga ia akan memerileh kemampuan untuk membedakan
antara yang haq dan yang batil.35
Setelah jelas hari-hari tertentu yang harus diisi dengan
puasa, lanjutan ayat ini menetapkan siapa yang wajib berpuasa, yakni,
karena puasa diwajibkan pada bulan Ramadhan, maka barabg siapa di
antara kamu hadir pada bulan itu, yakni berada di negeri tempat
tinggalnya atau mengetahui culnya awal bulan Ramadhan sedang dia
tidak berhalangan dengan halangan yang dibenarkan agama, maka
hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. Penggalan ayat ini dapat juga
berarti, maka barang siapa di antara kamu mengetahui kehadiran bulan
itu, dengan melihatnya sendiri atau melalui informasi dari yang dapat
dipercaya, maka hendaklah ia berpuasa.36
Setelah menjelaskan hal di atas, ayat ini mengulang kembali
penjelasan yang lalu, yaitu barang siapa yang sakit atau dalam
34
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,
V. 1, h. 487. 35
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,
V. 1 , h. 487-488. 36
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,
V. 1, h. 488.
52
perjalanan lalu ia berbuka, maka wajiblah baginya berpuasa sebanyak
hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.37
Pengulanagn ini diperlukan agar tidak timbul kesan bahwa
komentar yang menyusul izin pada ayat 184 tersebut yakni berpuasa
lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahui merupakan desakan dari
Tuhan agar tetap berpuasa walau dalam keadaan perjalanan yang
melelahkan, sakit yang parah, atau bagi orang-orang yang telah tua. Ini
tidak dikehendaki Allah. Maka, diulangilah penjelasan di atas, dan kali
ini ditambah dengan penjelasan bahwa Allah menghendaki kemudahan
bagi kamu, dan tidak mengehndaki kesukaran bagi kamu.38
Keringanan untuk menggantikan puasa Ramadhan pada
hari-hari lain juga dimaksudkan agar bilangan puasa 29 atau 30 hari
dapat terpenuhi. Karena itu, lanjutan ayat di atas menyatakan, Dan
hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah juga kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kamu
supaya kamu bersyukur.39
Dengan ayat-ayat di atas, jelas sudah kedudukan hukum
puasa Ramadhan, keistimewan, dan manfaat, serta masa dan
bilangannya. Jelas juga siapa yang wajib melaksanakannya dan siapa
pula yang diizinkan untuk menunda atau tidak melaksanakannya serta
bagaimana menggantinya. Yang belum dijelaskan adalah lama berpuasa
setiap hari dan bagaimana caranya. Ini dijelaskan pada ayat-ayat
berikut, tetapi sebelum menjelaskannya, terlebih dahulu digaris bawahi
suatu hal yang amat perlu dilakukan oleh setiap orang, khususnya yang
berpuasa di bulan Ramadhan.40
Memang, tidak dapat disangkal bahwa puasa adalah suatu
kewajiban yang memerlukan kesabaran. Allah dengan kemurahan-Nya
bermaksud memberi imbalan bagi yang memenuhi apa yang
diwajibkan-Nya itu, apalagi ditegaskan-Nya melalui sebuah hadits
qudsi bahwa Puasa untuk-Ku dan Aku yang akan memberi
ganjarannya. Untuk itu, Allah menegaskan kedekatan-Nya kepada
hamba-hamba-Nya, khususnya mereka yang berpuasa, dan
menganjurkan kepada mereka agar dalam bulan puasa itu banyak-
banyak mengajukan permohonan dan harapan kepada-Nya. Ini
37
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,
V. 1, h. 490. 38
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,
V. 1, h. 490. 39
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,
V. 1, h. 490. 40
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,
V. 1, h. 490-491.
53
disisipkan sebelum menjelaskan lama berpuasa setiap hari dan
bagaimana caranya.41
Melaksanakan ibadah di bulan Ramadhan ini secara lebih
bersemangat, termasuk mengingat akan hidayah Allah, sekaligus
sebagai tanda syukur atas anugerah yang dilimpahkan kepada kita,
yakni Al-Qur`an. bulan ini juga merupakan bulan syi‟ar agama, di
samping merupakan musim meningkatnya ibadah kita kepada Allah.42
Barang siapa menyaksikan masuknya bulan, sidang ia tidak
dalam perjalanan, dan kesaksiannya itu melalui melihatnya hilâl tanda
masuk bulan, maka hendaknya berpuasa. Jadi, siapa pun melihat hilal
atau mengetahui melalui orang lain, hendaknya ia melakukan puasa.
Keterangan hadits mengenai masalah ini sangat banyak yang
disebutkan dalam sunnah nabawi dan sudah dilaksanakn sejak Islam
permulaan hingga sekarang.43
Dan bagi siapa saja yang tidak melihat hilal seperti
penduduk kutub utara atau selatan, di kutub jika malam itu panjang,
maka siang hanya sedikit sekali, begitu di utara maupun selatan secara
bergantian per setengah tahun. Maka kaum Muslim yang menempati
tempat-tempat tersebut, harus memperkirakan waktu selama sebulan.
Sedang ukuran yang dipakai untuk wilayah ini adalah berdasarkan
keadaan yang sedang (sub tropis), seperti permulaan disyari‟atkannya
puasa, Makkah dan Madinah. Dan ada pula yang mengatakan
disamakan dengan negara-negara tetangga, yang bermusim sedang.44
Dsini disebutkan penyebutan rukhshah sekali lagi, agar
tidak timbul dugaan bahwa kewajiban puasa itu tidak dapat ditawar
lagi, tidak ada kemurahan atau disangka boleh melakukan rukhshah
tetapi termasuk tidak terpuji, karena setelah dijelaskan tentang
keagungan puasa dengan berbagai keistimewaan sebagai tersebut di
dalam pembahasan terdahulu, sehingga terdapat suatu riwayat yang
menceritakan prihal sebagian para sahabat Nabi saw. sekalipun
mereka mengetahui hukum rukhshah ini dari Al-Qur`an, tetepi mereka
masih enggan melakukan buka puasa di siang hari jika di dalam
perjalanan. Sampai-sampai, di dalam suatu perjalanan Nabi
memerintahkan mereka agar berbuka puasa, tetapi mereka tidak
41
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-
Qur`n, V. 1, h. 491. 42
Ahmad Mushtafa al-Marâghi, Tafsir al-Marâghi, terj. Anshori Umar, dkk. Juz. 2,
h. 136. 43
Ahmad Mushtafa al-Marâghi, Tafsir al-Marâghi, terj. Anshori Umar, dkk. Juz. 2,
h. 136. 44
Ahmad Mushtafa al-Marâghi, Tafsir al-Marâghi, terj. Anshori Umar, dkk. Juz. 2,
h. 136-137.
54
menggubris perintah tersebut. Sehingga, Nabi sendirilah yang
memulai berbuka puasa.45
Allah menghendaki kemudahan dalam masalah puasa dan
pada setiap yang disyari‟atkan untuk memperingan beban kalian, dan
menjadikan agama menjadi mudah tidak ada kesulitan di dalamnya.
Ayat ini menjelaskan bahwa puasa yang paling utama adalah apabila
yang menjalankan puasa tidak menemukan masyaqat. Dengan
demikian, tiadak ada alasan baginya untuk meninggalkan puasa.
Banyak sekali hadits yang mengungkapakan makna yang senada
dengan ayat ini. Diantaranya adalah hadits Anas bin Malik:
“Permudahlah, dan jangan kalian memperulit diri, dan buatlah
selonggar gkin, jangan mempersulit diri”.46
Allah telah memberikan kemurahan kepada kalian dengan
dibolehkannya puasa ketikan kalian sedang dalam perjalanan dan
dalam keadaan sakit. Sebab, Allah mengehndaki kemudahan untuk
kalian agar kalian biasa menyempurnakan bilangan hari-hari puasa.
Dan barang siapa yang tidak lengkap (tidak mampu
menyempurnakan), karena udzur seperti sakit, bepergian, maka ia
dibolehkan melengkapi di hari-hari lain (qadha). Dengan demikian,
kalian akan mendapatkan kebaikan bulan puasa, dan kalian akan
mendapatkan berkahnya.47
Yakni berupa hukum yang di dalamnya terkandung nilai
kebahagiaan di dunia maupun di akherat. Karenanya, kita wajib
menyatakan syukur kepada keagungan Tuhan yang telah
menganugerahkan kepada kita semua dengan hukum-hukum yang
tidak keras dan tidak sulit. Buktinya, jika kita sedang dalam keadaan
udzur, maka Allah memberi kelonggaran sesuai dengan kondisi kita.48
Hendaknya kalian bersyukur kepada Allah atas karunia yang
Dia berikan kepada kita. Karenanya, memang sudah seharusnya kita
bersyukur kepada Alah dengan cara melaksanakan semua perintah,
„azimah dan rukhsaha-Nya secara bena, karena melaksanakn perintah
45
Ahmad Mushtafa al-Marâghi, Tafsir al-Marâghi, terj. Anshori Umar, dkk. Juz. 2,
h. 137. 46
Ahmad Mushtafa al-Marâghi, Tafsir al-Marâghi, terj. Anshori Umar, dkk. Juz. 2,
h. 137. 47
Ahmad Mushtafa al-Marâghi, Tafsir al-Marâghi, terj. Anshori Umar, dkk. Juz. 2,
h. 138 . 48
Ahmad Mushtafa al-Marâghi, Tafsir al-Marâghi, terj. Anshori Umar, dkk. Juz. 2,
h. 138.
55
ini, iman kita akan semakin sempurna, dan kita akan mendapatkan
ridha-Nya.49
7. QS. Al-Baqarah [2]: 243.
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang ke
luar dari kampung halaman mereka, sedang mereka beribu-
ribu (jumlahnya) karena takut mati; Maka Allah berfirman
kepada mereka: "Matilah kamu", kemudian Allah
menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah mempunyai
karunia terhadap manusia tetapi kebanyakan manusia tidak
bersyukur”. (QS. Al-Baqarah [2]: 243).
Setelah Allah menguraikan tentang kehidupan rumah tangga yang
diakhiri dengan uraian tentang suami yang mati dan
meninggalkan istri, di sini diuraikan tentang kematian. Melalui
ayat-ayat berikut Allah hendak menekankan bahwa seseorang
tidak dapat mengelak dari takdir Allah kecuali menuju kepada
takdir-Nya yang lain.50
Nabi Muhammad saw. pasti akan meninggal dunia, dan
memang beliau telah wafat. Karena itu, umat Islam harus
memiliki pegangan yang kukuh untuk menghadapi masa depan.
Untuk itu, Allah menghidangkan kepada mereka pengalaman
umat yang lalu guna menjadi pelajaran bagi umat Islam. Yang
dihidangkan-Nya itu adalah pengalaman Bani Isra‟il yang dalam
sejumlah kelompok ayat lalu surah ini telah banyak
dibicarakan.51
Melalui ayat-ayat ini, Al-Qur`an hendak
49
Ahmad Mushtafa al-Marâghi, Tafsir al-Marâghi, terj. Anshori Umar, dkk. Juz. 2,
h. 138. 50
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian
Al-Qur`n, V. 1,h. 638.
51
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian
Al-Qur`n, V. 1, h. 638.
56
menekankan bahwa kematian dan kehidupan berada di tangan
Allah sehingga seorang muslim tidak akan ragu melaksanakan
kewajiban dan tuntunan Ilahi. Ada dua kisah dalam kelompok
ayat ini yang dikemukakann sebagai pelajaran.52
Uraian ayat ini dimulai dengan firman Allah SWT.
yang mengatakan: apakah kamu tidak melihat orang-orang yang
keluar dari kampung halaman mereka. Tentu saja, Nabi saw. dan
setiap orang yang hidup pada masa turunnya ayat ini apalagi yang
hidup sesudahnya tidak dapat melihat peristiwa tersebut dengan
mata kepala karena peristiwanya telah terjadi sebelum mereka.
Jika demikian, kata melihat di sini berarti melihat dengan mata
hati, merenungkan peristiwa yang terjadi itu. Ia harus dipahami
demikian, apalagi untuk melihat sesuatu dengan mata kepala,
objek yang dilihat harus wujud di hadapan mata. Ini berbeda
dengan perintah merenungkan satu keadaan atau peristiwa yang
diceritakan. Ketika itu, walau peristiwanya tidak dilihat dengan
mata kepala, ia dapat dipikirkan dan direnungkan.53
Al-Qur`an tidak menjelaskan di mana peristiwa itu
terjadi, tidak juga kapan terjadinya, karena yang ingin
ditekankannya adalah peristiwa itu sendiri dan pelajaran yang
harus diambil darinya. Ayat ini hanya menyatakan bahwa mereka
kaluar dari kampung halaman mereka dalam jumlah yang besar
ulūf/beribu-ribu. Jumlahnya—menurut al-Biqa‟i—melibihi
sepuluh ribu orang berdasar penggunaan bentuk jamak taksir
yang digunakan ayat ini. Ada juga yang memahami kata
/ulūf yang digunakan ayat ini dalam arti sehati, tidak saling
bermusushan.54
Mereka keluar karena takut mati. Tidak dijelaskan
mengapa mereka takut, bisa jadi karena ada wabah penyakit, bisa
pula karena ada musuh yang mereka takuti. Na, yng pasti bahwa
52
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian
Al-Qur`n, V. 1, h. 638.
53
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian
Al-Qur`n, V. 1, h. 637-638.
54
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian
Al-Qur`n, V. 1, h. 638.
57
ada usaha mereka menghindar dari kematian yang tidak dapat
mereka capai karena dengan satu kata—walau Allah tidak
membutuhkan kata itu untuk mewujudkan kehendak-Nya. Allah
berfirman kepada mereka dengan perintah takwini, yakni perintah
tentang mewujudkan sesuatu, bukan perintah agar mereka
melaksanakannya, “Matilah kamu semua”, dan seketika itu juga
segala upaya menghindar menjadi sia-sia. Kematian yang mereka
alami itu adalah kematian spontan dan kolektif, tidak berangsur-
angsur. Demikian yang dipahami oleh sementara mufassir dari
penggunaan redaksi matilah kamu, bukan “maka Allah
mematikan mereka”. Kemudian, setelah berlaku sekian lama,
Allah menghiupkan mereka kembali.55
Apa makna kematian dan kehidupan mereka?
Mayoritas ulama memahaminya dalam arti hakiki, tetapi ada juga
yang memahami kematian an kehidupan itu dalam arti hakiki,
tetapi ada juga yang memahami kematian dan kehidupan itu
dalam arti majazi, yakni kematian semangat hidup, atau kematian
eksistensi mereka ebagai suatu kesatuan umat akibat rasa takut
menyelimuti jiwa mereka. Memang, umat mengalami kematian
akibat rasa takut sehingga musuh menguasai mereka dan
menduduki wilayah mereka. Adapun kehidupan umat adalah
dengan semangat hidup mengantar kepada upaya meraih
kemerdekaan serta membangun negeri setempat tumpah darah.
Dmikian lebih kurang tulis Syaikh Muhammad Abduh.56
Kehidupan seseorang atau masyarakat merupakan
anugrah Ilahi, dan apa yang dialami oleh umat yang peristiwanya
diuraikan ini adalah anugerah Allah yang harus disyukuri.
Karena sesungguhnya Allah mempunyai anugerah terhadap
manusia, tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.57
Allah-lah yang akan memberikan anugerah kepada umat
manusia dengan cara mematikan mereka terlebih dahulu sebagai tanda
kehidupan atau kebangkitannya. Allah menjadikan musibah dan
malapetaka yang menimpa mereka sebagai tanda untuk membangunkan
55
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian
Al-Qur`n, V. 1, h. 638.
56
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian
Al-Qur`n, V. 1, h. 638.
57
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,
V. 1, h. 639.
58
mereka kembali. Sebagaimana Allah menjadikan sifat pengecut,
penakut dan watak-watak yang sejenis sebagai sebab kelemahan dan
kehancuran suatu umat. Sebab, dengan adanya kelemahan ini
menyebabkan umat yang kuat berambisi untuk menaklukanya. Dan
serangan yang dilakukan oleh umat yang kuat ini sebagai perintangan
untuk mereka sehingga bangkit dari tidur, untuk selanjutnya bangkit
hidup bagaikan umat kuat yang disegani dan ditakuti oleh lawan-
lawannya.58
Kesimpulannya, suatu umat akan mati (hancur) setelah
dikuasai oleh musuh dan dianiaya oleh mereka. Umat itu baru bisa
bangkit dengan lahirnya generasi penerus yang berusaha keras
mengembalikan kejayaan umatnya yang telah hilang. Sama halnya
dengan sebuah bangunan tua yang harus dirobohkan, kemudian di
bangun kembali sesuai dengan tuntutan masa, atau ibarat anggota
badan yang rusak dan dipotong oleh dokter sehingga anggota badan
yang lain menjadi selamat.59
Tetapi kebayakan orang tidak menunaikan kewajiban dan nikmat yang
dikaruniakan. Bahkan mereka lupa akan nikmat Allah tersebut.
Karenanya, seharusnya kaum Muslim mengambil contoh agar jangan
sampai tertimpa oleh apa yang pernah menimpa mereka. Dan mau
mengambil pelajaran dari kejadian yang telah lalu. Dengan demikian,
jika mereka tertimpa musibah karena perbuatan mereka, maka mereka
saling bahu membahu menanggulanginya, atau tidak asal selamat. Perlu
diketahui bahwa kehidupan yang sentosa dan sejahtera takkan bisa
tercapai pada suatu umat kecuali jika mereka mampu mengusir bahaya
musuh. Demikianlah ringkasan dari penafsiran yang dikemukakan oleh
Muhammad „Abduh.60
Di samping itu Muhammad „Abduh juga memilih suatu
pendapat bahwa ayat ini menunjukkan kejadian yag sebenarnya. Dan
mereka benar-benar keluar dari negara karena lari dari musuh yang
akan menyerang mereka.61
58
Ahmad Mushtafa al-Marâghi, Tafsir al-Marâghi, terj. Anshori Umar, dkk. Juz. 2,
h. 387. 59
Ahmad Mushtafa al-Marâghi, Tafsir al-Marâghi, terj. Anshori Umar, dkk. Juz. 2,
h. 387. 60
Ahmad Mushtafa al-Marâghi, Tafsir al-Marâghi, terj. Anshori Umar, dkk. Juz. 2,
h. 388. 61
Ahmad Mushtafa al-Marâghi, Tafsir al-Marâghi, terj. Anshori Umar, dkk. Juz. 2,
h. 388.
59
Pendapat ini didasarkan pada sebuah hadits yang diriwayatkan
oleh Abdullah ibnu Abbas, bahwa ada seorang raja dari kalangan Bani
Isra‟il memerintahkan tentaranya agar maju memerangi musuh. Tetapi
tentaranya itu menolak, bahkan perintah tersebut dijawab oleh mereka.
“Negara yang akan kita serang ini sedang tertimpa penyalit menular.
Karenanya, biarkanlah kami menunggu sampai wabah tersebut hilang”.
Kemudian Allah SWT. membunuh mereka dalam tempo delapan hari,
sehingga tampak tubuh mereka membengkak, dan Bani Isra‟il tidak
mampu menguburkan mereka karena terlalu banyaknya mayat. Setelah
lewat delapan haari, Allah SWT. menghidupkan kembali, tetapi bau
anyir sebagai mayit masih menempel di tubuh mereka. Para perawi
mengatakan bahwa mati yang mereka alami bukanlah mati yang hakiki,
yakni kematian yang sewajarnya yang kemudian dibangkitkan dari
kubur . tetapi kematian yang mereka alami lebih mirip dengan orang
yang terkena penyakit jantung atau ayan, smapai-smapai orang yang
melihatnya menduga bahwa mereka benar-benar mati.62
Ada pula riwayat yang mengatakan bahwa peristiwa tersebut
adalah kejadian yang menyimpang dari hukum alam. Karenanya, tidak
bisa ditafsirkan dengan pengertian mati biasa. Wallahu a‟lam.63
8. QS. Ali Imrân [3]: 123.
“Sungguh Allah telah menolong kamu dalam peperangan Badar,
Padahal kamu adalah (ketika itu) orang-orang yang lemah. karena
itu bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mensyukuri-Nya”.
(QS. Ali Imran [3]: 123).
Boleh jadi apa yang dialami kaum muslimin dalam perang Uhud
menimbulkan semacam keraguan di hati sementara mereka tentang
janji-janji Allah sebelum ini. Untuk menghilangkan keraguan itu,
Allah menegaskan bahwa sungguh Allah telah menolong kamu dalam
perang Badar, yang terjadi pada 17 Ramadhan tahun kedua hijrah itu,
padahal ketika itu menurut ukuran kamu sendiri adalah orang-orang
yang lemah karena jumlah kamu tidak lebih dari sepertiga musuh,
62
Ahmad Mushtafa al-Marâghi, Tafsir al-Marâghi, terj. Anshori Umar, dkk. Juz. 2,
h. 388. 63
Ahmad Mushtafa al-Marâghi, Tafsir al-Marâghi, terj. Anshori Umar, dkk. Juz. 2,
h. 389.
60
perlengkapan kamu pun sangat sederhana dan sedikit. Ketika itu,
Allah membantu kamu karena kamu bertakwa dan berserah diri
kepada-Nya setelah segala usaha kamu lakukan. Karena itu, sejarak
sekarang sampai masa-masa yang akan datang bertakwalah kepada
Allah dalam setiap dan segala urusan kamu supaya dengan bertakwa
itu kamu melaksanakan kewajiban bersyukur kepada-Nya.64
9. QS. Ali Imrân [3]: 144.
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah
berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika Dia wafat
atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang
berbalik ke belakang, Maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat
kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi Balasan kepada
orang-orang yang bersyukur”. (QS. Ali Imrân [3]: 144).
Ayat ini, masih merupakan lanjutan kecaman terhadap sebagian besar
yang terlibat dalam perang uhud itu, bahkan kini kritikan tersebut
lebih tajam lagi. Seperti diketahui, ketika para pemanah
meninggalkan pos, mereka mendorong untuk mendapat rampasan
perang. Kaum musyrikin di bawah pimpinan Khalid Ibn al-Walid,
yang ketika itu belum memeluk Islam, mengambil keempatan tersebut
untuk mengatur barisannya da menyerang balik kaum muslimin.
Akibatnya, terjadi kekacauan dan ketika itu muncul isu bahwa Nabi
Muhammad saw. telah gugur. Mendengar isu tersebut, pasukan kaum
muslimin, yang memang telah kacau, bertambah kacau dan sebagian
besar mereka meninggalkan medan tempur. Yang tinggal bertahan
bersama Rasul saw. hanya beberapa orang saja. berbeda riwayat yang
64
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,
V. 1, , h. 245.
61
menyebutkan tentang jumlahnya, antara sepuluh sampai tiga puluh
orang. Sikap mereka itulah yan ditegur dan dikecam Allah SWT.65
Kamu menduga bahwa Nabi Muhammad saw. telah wafat
sehingga kamu berpaling meninggalkannya, seakan-akan kamu tidak
menyembah Tuhan yan Mahahidup, dan tidakpula berjuang untuk
menegakkan nilai-nilai-Nya. Ketahuilah bahwa suatu ketika beliau
pasti meninggalkan dunia ini karena Nabi Muhammad yang selama
ini berada bersama kamu tidak lain hanyalah seorang rasul,
sebagaimana rasul-rasul yang lain yang di utus kepada kaum mereka.
Dia adalah makhluk sebagaimana makhluk lain yang pasti akan
direnggut nyawanya oleh kematian sebagaiman yang dialami oleh
rasul-rasul yang lain. Sungguh telah berlalu dengan kematian mereka
sebelumnya, yakni sebelum Nabi Muhammad saw. beberapa orang
rasul. Apakah jika dia wafat, yakni meninggal secara normal,
misalnya karena sakit atau nyawanya berpisah dengan tubuhnya
karena ulah manusia, misalnya karena dibunuh sehingga dia tidak
berada lagi di tengah-tengah kamu, apakah bila itu terjadi kamu
berbalik ke belakang meninggalkan pula agamanya dan menjadi
murtad? Barang siapa berbalik ke belakang, dengan meninggalkan
agama Allah dan tuntunan-tuntunan Nabi-Nya, maka dia sendiri yang
rugi dan celaka, dia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada
Allah sedikit pun karena kedurhakaan makhluk tidak mengurangi
sedikit kekuasaan-Nya dan tidak juga ketaatan mereka menambah
setetes pun dari kerajaan-Nya dan Allah akan memberi balasan
kepada orang-orang yang bersyukur serta menyiksa orang-orang
yang kafir.66
“Muhammad tidak lain kecuali seorang rasul.” Dalam Al-
Qur`an, nama Nabi Muhammad saw. bila disebut selalu dirangkaikan
dengan gelar beliau, kecuali sekali, yaitu dalam surah yang
menyandang nama beliau (QS. Muhammad [47]: 2). Ini berbeda
dengan nama nabi dan rasul-rasul yang lain, yang biasanya disebut
tanpa gelar mereka. lalu dari sisi keniscayaan kematian untuk
membantah mereka yang redaksi ayat ini menonjolkan sifat kerasulan
Nabi Muhammad saw. yang serupa dengan rasul-rasul yang lalu dari
sisi keniscayaan kematian unttuk membantah mereka yang boleh jadi
menduga bahwa sifat kerasulan bertentangan dengan kematian, atau
65
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,
V. 2, h. 284. 66
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-
Qur`n, V. 2, h. 285.
62
menduga bahwa kerasulan Nabi Muhammad saw. memiliki kelebihan
dibanding denngan kerasulan yang lain dalam hal keabadian hidup.
Ini, kalau pun tidak terbetik dalam hati para sahabat beliau, tetapi
sikap mereka yang meninggalkan Rasul saw. ketika it, dapat dinilai
sebagai sikap yang menduga seperti itu. Bahkan, boleh jadi, ada yang
menduga bahwa usia beliau akan sedemikian panjang, sehingga tidak
akan percaya bila suatu saat beliau wafat, sebagaimana yang
kemudian di alami oleh Sayyidina „Umar ra. Menjadi khalifah sehari
setelah wafatnya Nabi saw. bahwa: “Aku tadinya mengharap Rasul
saw. hidup sehingga menjadi manusia yang paling belakang wafat di
antara kita semua, tetapi Allah memilihkan untuk Rasul-Nya apa yang
ada di sisi-Nya, bukan apa yang ada di sisi kita..‟‟67
Firman-Nya: inqalabtum „ala a‟qabikum yang
diteremahkan di atas dengan berbalik ke belakang adalah satu istilah
yang digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang sangat buruk.
Seorang yang meninggalkan kebenaran dan petunjuk Ilahi dan
menggantinya dengan kesehatan keadaannya diibaratkan seperti
seorang yang dur ke belakang sedang matanya mengarah ke depan.
Sedang kata a‟qab jamak „aqib, yakni tumitnya yang
menuntun dia ke belakang sehingga dia dalam keadaan berbalik,
kepalanya di bawah dan kakinya di atas. Demikian penjelasn
Muhammad Sayyid Thanthawi dalam tafsir al-Wasith.68
Firman-Nya: Allah akan memberi balasan kepada orang-
orang yang bersyukur mengisyaratkan bahwa sebagian dari kaum
muslimin yang terlibat dalam perang Uhud telah melaksanakan tugas
mereka dengan baik, bertahan dan berjuang walau situasi yang
mereka hadapi sudah sedemikian gawat, membahayakan dan
mengancam jiwa mereka. 69
Ayat ini dipahami juga oleh sementara ilmuwan sebagai
petunjuk untuk tidak menjadikan penilaian baik buruk satu ide
berdasarkan pencetus ide itu atau faktor-faktor luar lainnya, seperti
keuntungan materi, tetapi hendaknya didasarkan oleh nilai-nilai ide
itu sendiri. Sementara itu, sahabat Nabi saw. memeluk Islam karena
67
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,
V. 2, h. 285-286. 68
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,
V. 2, h. 286 69
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,
V. 2, h. 286
63
terkagum-kagum kepada Nabi saw. dan memang kepribadian beliau
merupakan salah satu faktor sedemikian mengagumkan sehingga
mereka memeluk Islam. Melalui kecaman ini, Allah meluruskan sikap
para sahabat itu. Hemat penulis, pendapat ini baik, tetapi itu bukan
berarti larangan mengagumi Nabi saw. atau larangan menjadikan
beliau teladan dan idola kaum muslimin. Yang dimaksud adalah
jangan menjadikan seseorang sebagai tolok ukur kebenaran, tetapi
hendaknya tolok ukur kebenaran adalah kebenaran itu sendiri, siapa
pun yang menyapaikannya, () unzhur ila al-
maqal wa la tanzhur man qala/lihatlah apa yang dikatakannya
janganlah engkau melihat siapa yang mengatakannya.70
10. QS. Ali Imrân [3]: 145.
“Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin
Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. barang
siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya
pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat,
Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. dan Kami akan
memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur”. (QS. Ali
Imran [3]: 145).
Ayat ini, dapat dipahami sebagai lanjutan kecaman terhadap mereka
yang kocar-kacir setelah mendengar isu wafatnya Rasu saw. mereka
dikecam karena melupakan dan lengah terhadap janji Allah yang
menegaskan bahwa yang Mahakuasa itu akan memelihara Rasul-Nya
dan akan mengalami sesuatu yang menghambat suksesnya risalah
beliau sebagaimana dinyatakan dalam firan-Nya: “Wahai Rasul,
sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan
jika kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak
kamu tidak menyampaikan amanah-Nya. Allah memelihara kamu dari
gangguan manusia. Sesungguhnya Allah tidak memeberi petunjuk
70
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,
V. 2, h. 286.
64
kepada orang-orang kafir” (QS. Al-Ma‟idah [5]: 67). Anda baca
diatas perintah menyampaikan risalah dibarengi dengan jaminan
pemeliharaan dari gangguan manusia yang dapat menghambat tugas
tersebut. Dapat juga ayat ini merupakan kecaman kepada mereka
karena tidak bertahan menghadapi serangan orang-orang musyrik
karena khawatir gugur bertahan menghadapi serangan orang-orang
musyrik karena khawatir gugur di medan juang, padahal kematian
tidak akan menjemput kecuali seizin Allah dan Allah pun telah
menentukan waktunya bagi masing-masing.71
Al-Biqa‟i menghubungkan ayat ini dengan ayat sebelumnya
dengan berkata bahwa kematian pimpinan pendukung-pendukung
suatu agama tidak wajar dijadikan sebab untuk mengelak dari
pertempuran dan meninggalkan medannya, kecuali jika kematian itu
terjadi tanpa izin Tuhan, Pemilik agama itu. Di sisi lain,
meninggalkan medan perang tidak akan ada manfaatnya kecuali jika
itu menjadi sebab keselamatan. Kalau tidak demikian, dalam arti
kalau kematiannya tidak dapat terjadi kecuali atas izin-Nya dan lari
dari medan perang tidak menjadi sebab panjang atau pendeknya
usia,apa yang dilakukan oleh sebagian peserta perang Uhud adalah
sesuatu yang sangat tidak pada tempatnya. Inilah pesan yang
dikandung oleh ayat ini, yakni sesuatu yang bernyama makhluk apa
pun ia, dan setinggi apa pun kedudukan dan kemampuannya tidak
akan mati dengan satu dan lain sebab melainkan dengan izin Allah,
yang memerintahkna kepada malaikat maut untuk mencabut
nyawanya, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya
sehingga tidak akan bertambah usia itu dengan lar dari peperangan
tidak juga berkurang bila bertahan dan melanjutkan perjuangan.72
Firmna-Nya: wa ma kana dari segi bahasa pada
mulanya berarti tidak wajar. Ketika kata itu dikaitkan dengan
kematian satu jiwa linafsin an tamut, terjemahannya
secara harfiah adalah “Tidak wajar satu jiwa mati...” Redaksi ini
menimbulkan pertanyaan karena jika Anda berkata: “Tidak wajar
yang ini”, akan timbul pertanyaan, “Apa yang wajar?” dan ketika itu
terkesan adanya pilihan. Nah, sekali lagi timbul pertanyaan: “Apakah
ada yang wajar atau tidak wajar untuk menetukan datangnya
71
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,
V. 2, h. 287 72
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,
V. 2, h. 287-288
65
kematian? Adakah pilihan bagi seseorang menyangkut kematian?”
Tentu saja jawabnya “Tidak ada!” Jika demikian, mengapa redaksi
ayat itu berbunyi seperti itu? Syaikh Mutawalli asy-Sya‟rawi memberi
jawaban sebagai berikut: “Seandainya ada seseorang yang akan
membunuh dirinya, ada dia tidak akan mati walau usahanya telah
maksimal, kecuali sudah izin Allah kepada malaikat maut untuk
mencabut nyawanya. Kalau yang mau membunuh diri saja tidak dapat
mati keuali seizin-Nya, lebih-lebih mereka yang memelihara dirinya.
Hal tersebut demikian karena ajal telah ditentukan Allah dan dengan
demikian, wajar seseorang menghundar dari peperangan karena takut
mati.”73
Selanjutnya, karena motivasi yang lari dari perang Uhud itu
adalah keingninan meraih materi dan motivasi yang bertahan
melanjutkan perjuangan mengharapkan ganjaran Ilahi, ditegaskan-
Nya bahwa. Barang siapa menghendaki dengan usahanya pahala
dunia itu apa yang Kami kehendaki bagi siapa yang Kami kehendaki.
Kata sebagian dipahami dari minha. Dan barang siapa
menghendaki pahala akhirat, maka Kami berikan pula kepadanya
pahala akhirat sebagai anugerah dari Kami atas upaya menggunakan
nikmat yang telah kami berikan kepadanya sesuai dengan apa yang
Kami gariskan, dan memang Kami akan memberi balasan kepada
orang-orang yang bersyukur.74
Ayat ini dijelaskan lebih terperinci maknanya oleh QS. Al-
Isra‟ [17]: 18-19).
“Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi),
Maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami
kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki dan Kami
73
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,
V. 2, h. 287 74
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,
V. 2, h. 288-289.
66
tentukan baginya neraka Jahannam; ia akan memasukinya
dalam Keadaan tercela dan terusir. Dan Barangsiapa yang
menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu
dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, Maka
mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi
dengan baik”. (QS. Al-Isrâ‟ [17]: 18-19)
Ini berarti bahwa sukses duniawi dapat diraih oleh mereka
yang tidak beriman, tetapi sukkses itu tidak terlepas dari kehendak
Ilahi juga, yang telah menetapkan sunnah-sunnah-Nya, yakni hukum-
hukum kemasyarakatan yang berlaku umum bagi siapa pun dalam
kehidupan dunia ini. Tetapi, sukses tersebut tidak akan berlanjut
hingga hari kemudian.75
Ayat ini bukan berarti bahwa yang mengehendaki pahala
duniawi tidak akan memeroleh pahala ukhrawi jika ia berusaha ke
arah sana. Cukup banyak ayat yang menunjukkan bahwa keduanya
dapat diraih oleh seorang muslim selama dia berusaha untu kitu.
Bukankah dunia ladang untuk akhirat, semakin banyak diraih di sini
dan digunakan untuk kepentingan akhirat, semakin banyak pula
ganjaran yang diperoleh di akhirat? Bukankah Allah mengajarkan kita
agar berdoa meraih hasanah (kebaikan) di dunia dan hasanah di
akhirat?76
B. Analisis Munasabah Ayat-Ayat Syukur pada QS. Al-Baqarah dan
QS. Ali Imran.
Dari uraian QS. Al-Baqarah [2]: 52 berdasarkan hasil telaah penulis,
di dalam ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah telah memberikan
ampunan sedemikan luasnya sehingga ketika hamba-Nya melalukan
perbuatan dosa Allah tidak langsung menghukumnya, melainkan
Allah telah memberikan kesempatan kepada para hamba-Nya untuk
bertaubat. Maka atas itu Allah mempunyai haq dan tujuan untuk
menyuruh kapada hamba-hamba-Nya agar bersyukur terhadap apa
yang telah Allah berikan kepada hamba-Nya.
Kemudian pada QS. Al-Baqarah [2]: 56 berdasarkan hasil telaah
penulis, di dalam ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah telah
mencurahkan rahmat-Nya dengan membangkitkan kembali orang
75
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,
V. 2, h. 289. 76
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,
V. 2, h. 289.
67
yang terkena sambaran halilintar sehingga mengakibatkan tercabutnya
nyawa atau hilangnya rasa semangat hidup yang ada pada diri
mereka, atau mereka jatuh pingsan seperti orang yang tidak sadarkan
diri seperti orang yang sudah mati, tetapi Allah tetap saja
mencurahkan rahmat-Nya terhadap mereka yang berbuat dosa dan
keburukan yang oleh Allah meminta agar bersyukur sekaligus
mengingat nikmat Allah.
Pada QS. Al-Baqarah [2]: 152 di sini Allah telah memberikan
perhatian-Nya kepada hamba-hamba-Nya dengan cara memilihkan
yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya yang tulus bermohon dan
memberi tahu bahwa Allah mendahulukan perintah mengingat diri-
Nya atas mengingat nikmat-Nya. Jika itu semua dilakukan maka
Allah akan mengingat pula hamba-Nya. “Aku (Allah) akan selalu
bersama kamu saat suka dan dukamu dan bersyukurlah kepada-Ku
dan janganlah kamu mengingkari nikmat-Ku agar siksa-Ku tidak
menimpa mu.
Pada QS. Al-Baqarah [2]: 158 ayat ini menjelaskan tentang ibadah
yang di dasari karena Allah. Maka ayat syukur di sini berbeda dengan
ayat-ayat syukur yang terdahulu, dalam ayat ini di jelaskan bahwa
Allah mensyukuri kebaikan hamba-Nya yang dilandasi dengan
keikhlasan dan ketaatan kepada-Nya dan mengetahui aktivitas dan
niat para pelakunya.
Pada QS. Al-Baqarah [2]: 172 ayat ini menjelaskan bahwa keimanan
yang tertanam dalam hati seorang mukmin menjadikan sedikit
berbeda dengan ajakan-Nya kepada seluruh manusia. Seperti dalam
terjemahan di atas tidak menggunakan kata halal melainkan
menggunakan kata yang baik-baik, padahala pada ayat sebelumnya
ayat 168 menggunakan kata halal ketika menyeru untuk makan.
Karena menurut pendapat mufassir tafsir al-mishbah mengtakan
bahwa keimanan yang bersemi di dalam hati merupakan jaminan
kejauhan mereka dari yang tidak halal. Sehingga mereka diperintah
untuk bersyukur disertai dengan dorongan kuat yang tercermin pada
penutup ayat 172, yaitu bersyukurlah kepada Allah jika benar-benar
hanya kepada-Nya kamu menyembah. Maka syukur di sini digunakan
sesuai dengan tujaun penganugerahannya atau menempatkan pada
tempat yang semestinya.
QS. Al-Baqarah [2]: 185 Dalam ayat ini dijelaskan bahwa banyak
nilai universal dan pokok yang dikandungnya, tetapi nilai itu
dilengkapi lagi dengan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk dan
perinciannya seperti menjelskan tentang barang siapa yang sakit atau
dalam perjalanan lalu ia berbuka, maka wajiblah baginya berpuasa
sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari lain dan Allah
68
menghendaki kemudahan bagi kamu, dan tidak mengehendaki
kesukaran bagi kamu.
Kemudian QS. Al-Baqarah [2]: 243 menjelaskan Kehidupan
seseorang atau masyarakat merupakan anugrah Ilahi, dan apa yang
dialami oleh umat yang peristiwanya diuraikan ini adalah anugerah
Allah yang harus disyukuri. Karena sesungguhnya Allah mempunyai
anugerah terhadap manusia, tetapi kebanyakan manusia tidak
bersyukur.77
Allah-lah yang akan memberikan anugerah kepada umat
manusia dengan cara mematikan mereka terlebih dahulu sebagai
tanda kehidupan atau kebangkitannya. Allah menjadikan musibah dan
malapetaka yang menimpa mereka sebagai tanda untuk
membangunkan mereka kembali. Sebagaimana Allah menjadikan
sifat pengecut, penakut dan watak-watak yang sejenis sebagai sebab
kelemahan dan kehancuran suatu umat. Sebab, dengan adanya
kelemahan ini menyebabkan umat yang kuat berambisi untuk
menaklukanya. Dan serangan yang dilakukan oleh umat yang kuat ini
sebagai perintangan untuk mereka sehingga bangkit dari tidur, untuk
selanjutnya bangkit hidup bagaikan umat kuat yang disegani dan
ditakuti oleh lawan-lawannya.78
Pada QS. Ali Imrân [3]: 123 Allah akan membantu hamba-
Nya jika hamba-Nya mau bertakwa dan berserah diri kepada-Nya
setelah segala usaha yang dilakukan. Karena itu, bertakwalah kepada
Allah dalam setiap dan segala urusan kamu supaya dengan bertakwa
itu kamu dapat melaksanakan kewajiban bersyukur kepada-Nya.
Dilihat dari uraian di atas maka QS.Ali Imrân [3]: 144
menjelaskan bahwa kedurhakaan makhluk tidak mengurangi sedikit
kekuasaan-Nya dan tidak juga ketaatan mereka menambah setetes pun
dari kerajaan-Nya dan Allah akan memberi balasan kepada orang-
orang yang bersyukur serta menyiksa orang-orang yang kafir.
Dari uraian di atas maka QS. Ali Imrân an [3]: 145
menjelaskan bahwa barang siapa yang menghendaki pahala akhirat,
maka Allah akan memberikan pula kepadanya pahala akhirat sebagai
anugerah dari-Nya atas upaya menggunakan nikmat yang telah Allah
berikan kepadanya sesuai dengan apa yang gariskan, dan Allah hanya
akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.
77
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesana, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`n,
V. 1, h. 639. 78
Ahmad Mushtafa al-Marâghi, Tafsir al-Marâghi, terj. Anshori Umar, dkk. Juz. 2,
h. 387.
69
Berdasarkan analisis yang peneliti lakukan bahwa 10 ayat
syukur yang terdapat pada QS. Al-Baqarah [2]: 52, 56, 152, 158,
172, 185,243. Dan QS. Ali Imrân [3]: 123, 144, 145. ini
mempunyai sisi munâsabah yaitu pertama Allah telah memberikan
kesempatan kepada mereka yang berbuat dosa untuk bisa bertaubat
dan bersyukur terhadap apa yang Allah berikan. Kedua allah telah
mencurahkan rahmat-Nya untuk membangkitkan mereka kembali
yang seolah-olah seperti meninggal atau pingsan akibat terkena
sambaran halilintar atau seperti orang yanh hilang semangat
hidupnya, kini Allah bangkitkan kembali. Agar mereka bersyukur.
Ketiga Allah telah memberikan perhatian-Nya kepada hamba-Nya
yang tulus dalam memohon. Keempat ibadah yang di dasari dengan
karena Allah. Kelima maka Allah Akan menjadikan keimanan
sebagai kunci dari segala sesuatu yang bersifat positif dan hanya
kepada Allah tempat kamu menyembah. Keenam maka Allah akan
menghendaki kemudahan. Ketujuh dan menjadikan anugerah untuk
dijadikan kekuatan. Kedelapan dan Allah mewajibkan bersyukur
untuk orang yang bertakwa. Kesembilan karena ketaatan manusia
tidak berpengaruh bagi Allah. Kessepuluh dan Allah hanya akan
memberi balasan kepada orang yang bersyukur.
70
29
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG SYUKUR
A. Definisi Syukur
Kata “Syukur” berasal dari syakara-yasykuru-syukran, yang
artinya terima kasih. Namun tidak sekadar ucapan di bibir, “terima
kasih”. Bersyukur yang diperintahkan Al-Qur`an memiliki konsep
yang dalam, terkait dengan konsep pengelolaan berbagai nikmat yang
diberikan Allah SWT.1
Kata "syukur" adalah kata yang berasal dari bahasa Arab. Kata
ini dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai: (1) rasa
terima kasih kepada Allah, dan (2) untunglah (menyatakan lega,
senang, dan sebagainya). Namun pengertian kebahasaan ini tidak
sepenuhnya sama dengan pengertiannya menurut asal kata itu
(etimologi) maupun menurut penggunaan Al-Quran atau istilah
keagamaan.2
Menurut istilah syara‟, syukur adalah pengakuan terhadap
nikmat yang diberikan oleh Allah SWT. dengan disertai ketundukan
kepada-Nya dan mempergunakan nikmat tersebut sesuai dengan
kehendak Allah SWT.3
Menurut Muhammad ar-Razi syukur ialah sebagai memuji
pihak yang telah berbuat baik atas kebaikan yang telah ia berikan.4
Syukur menurut al-Fayyumi yaitu syukur kepada Allah
sebagai mengakui nikmat-Nya dan melakukan apa yang wajib
dilakukan, yaitu dengan berupa melaksanakan ketaatan dan
meninggalkan kemaksiatan. Dengan demikian, kata al-Fayyumi
selanjutnya, syukur memiliki dua bentuk: syukur dengan ucapan dan
syukur dengan perbuatan.5
1 Rif‟at Syauqi Nawawi, Kepribadian Qur`ani, (Jakarta: Amzah, 2011), Cet. 1, h.
100. 2 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur`an: Tafsir Maudhu‟i atas Pelbagai
Persoalan Umat, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2005), Cet.16, h.215. 3 Muhammad Syafi‟ie el-Bantanie, Dahsyatnya Syukur, (Jakarta: Qultum Media,
2009), h. 2 4 Muchlis M. Hanafi, (eds.), Spiritualitas Dan Akhlak (Tafsir Al-Qur`an Tematik),
(Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur`an, 2010), h. 420. 5 Muchlis M. Hanafi, (eds.), Spiritualitas Dan Akhlak (Tafsir Al-Qur`an Tematik),
(Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur`an, 2010), h. 420.
30
Lebih lengkap lagi pengertian syukur yang dikemukakan oleh
ar-Raghib al-Ashfahani yang menyatakan bahwa syukur berarti
menggambarkan nikmat dan menampakkannya (tashawwur an-
ni‟mah wa idzharuha) yang merupakan lawan dari kata kufur yang
artinya melupakan nikmat dan menutupinya (nisyan an-ni‟mah wa
satruha). Dan menurutya syukur ada tiga macam: syukurnya hati
(syukr al qalb) yaitu berupa penggambaran nikmat, syukurnya lisan
(syukr al-lisan) yaitu berupa pujian kepada sang pemberi nikmat dan
syukurnya anggota tubuh yang lain (syukr sairil-jawarih) yaitu
dengan mengimbangi nikmat itu menurut kadar kepantasannya.6
Sedangkan menurut sebagian ulama, Syukur berasal dari kata
“syakara”, yang artinya membuka atau menampakkan.7 Jadi, hakikat
syukur adalah menampakkan nikmat, menampakkan nikmat antara
lain berarti menggunakannya pada tempat dan sesuai dengan yang
dikehendaki oleh pemberinya, juga menyebut-nyebut nikmat dan
pemberinya dengan lidah.8
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, Maka hendaklah kamu
siarkan”.
Sudah barang tentu pengertian syukur Allah berbeda dengan
pengertian syukur manusia. Seperti dinyatakan oleh Muhammad
„Abduh, penyebutan Allah sebagai pihak yang bersyukur (asy-syakir)
tidak bisa diartikan secara hakiki, melainkan harus diartikan secara
majazi (metaforik). Dalam pengertian bahasa, syukur berarti
membalas dan mengimbangi nikmat dengan pujian dan pengakuan.9
Syukur manusia kepada Allah dalam istilah syara‟ adalah
menggunakan nikmat Allah kepada hal-hal yang menjadi tujuan
diciptakannya nikmat itu oleh Allah (sarf ni‟amihi fima khuliqat
lahu). Kedua pengertian ini tidak mungkin dikaitkan dengan Allah,
karena tidak ada seorangpun yang memberi nikmat atau jasa kepada
6 Muchlis M. Hanafi, (eds.), Spiritualitas Dan Akhlak (Tafsir Al-Qur`an Tematik),
(Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur`an, 2010), h. 420. 7 Aura Husna (Neti Suriana), Kaya dengan Bersyukur: Menemukan Makna Sejati
Bahagia dan Sejahtera dengan Mensyukuri Nikmat Allah, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2013), h. 110-111 8 Muhammad Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an: Tafsir Maudhu‟i atas
Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1996), h. 216.
9 Muchlis M. Hanafi, (eds.), Spiritualitas Dan Akhlak (Tafsir Al-Qur`an Tematik),
(Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur`an, 2010), h. 421.
31
Allah sehingga layak untuk Dia syukuri dengan pengertian syukur
seperti tersebut di atas. Dengan demikian makna Allah mensyukuri
ialah Allah Kuasa untuk memberi balasan pahala kepada orang-orang
yang berbuat baik dan Dia tidak akan menyia-nyiakan balasan bagi
orang-orang yang beramal. Dengan pengertian seperti ini inilah,
pemberian imbalan kepada orang yang berbuat baik disebut sebagai
bentuk syukur.10
Kembali kepada pengertian syukur manusia kepada Allah,
tampak kepada kita bahwa syukur tidaklah sederhana yang
dibayangkan dan dipraktekan oleh sebagian orang. Pengertian syukur
sangatlah komprehensif, mencakup sikap hati, lisan dan perbutan.
Untuk itu, dapat dipahami apabila Al-Qur`an berulang-ulang
menyebut tentang sedikitnya jumlah orang yang bersyukur, antara
lain dalam firmany-Nya:
“...Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima
kasih”. (QS. Saba‟ [34]: 13).11
Menurut Ibnu „Alan, dalam kitab Dalil Al-Falihin, Asy-Syukru
huwa sharf al-„abdi jami‟a ma an „amallahu „alaihi liajlihi (Syukur
adalah pengelolaan seorang hamba atas berbagai nikmat yang
diberikan Allah kepadanya, untuk mencapai cinta-Nya). Jadi, semua
nikmat yang diperoleh harus disyukuri. Dari yang namanya hidup
sampai dengan segala sesuatu yang diberikan Allah selama hidup,
dikelola dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan petunjuk dan aturan-
Nya, agar Dia meridhoi. Jika tidak pandai bersyukur (kufur nikmat),
alias nikmat tidak dikelola sesuai tuntunan-Nya, maka silahkan
tanggung akibatnya. Sebagaimana dalam firman Allah QS. Ibrahim
[14]: 7.12
10
Muchlis M. Hanafi, (eds.), Spiritualitas Dan Akhlak (Tafsir Al-Qur`an Tematik),
(Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur`an, 2010), h. 421. 11
Muchlis M. Hanafi, (eds.), Spiritualitas Dan Akhlak (Tafsir Al-Qur`an Tematik),
(Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur`an, 2010), h. 421. 12
Rif‟at Syauqi Nawawi, Kepribadian Qur`ani, h. 101
32
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan;
"Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan
menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari
(nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".
(QS. Ibrahim [14]: 7).
Perlu dikemukakan, bahwa syukur tidak selalu ditujukan kepada Allah,
melainkan juga ditujukan kepada sesama manusia. Dalam Bahasa
Indonesia, syukur kepada sesama manusia. Ini disebut terimakasih.
Islam memerintahkan umatnya untuk membalas kebaikan orang lain
dengan berterimakasih atau bersyukur. Bahkan dinyatakan bahwa
keengganan untuk bersukur kepada manusia berarti keengganan untuk
bersyukur kepada Allah. Nabi bersabda:
Barang siapa tidak bersyukur kepada manusia, berarti ia tidak bersyukur
kepada Allah. (HR. At-Thabrani dari Jarir).
Berterimakasih atas kebaikan sesama manusia sangat penting untuk
menciptakan kebaikan hidup bersama. Ia dapat membangkitkan semangat
dan tekad para pelaku kebajikan yang ikhlas dalam beramal untuk
semakin giat. Mereka melihat bahwa amal kebajikan mereka bermanfaat
untuk orang lain.13
B. Macam-Macam Syukur
Al Kharraz (892 M/899 M) yang dikutip oleh Amir An-Najjar
mengatakan syukur itu terbagi menjadi tiga bagian yaitu:
1. Syukur dengan hati adalah mengetahui bahwa nikmat-nikmat itu
berasal dari Allah SWT bukan selain dari-Nya.
2. Syukur dengan lisan adalah dengan mengucapkan al-Hamdulillah
dan memuji-Nya.
3. Syukur dengan jasmani adalah dengan tidak mempergunakan
setiap anggota badan dalam kemaksiatan tetapi untuk ketaatan
kepada-Nya. Termasuk juga mempergunakan apa yang diberikan
13
Muchlis M. Hanafi, (eds.), Spiritualitas Dan Akhlak (Tafsir Al-Qur`an Tematik),
h. 433.
33
oleh Allah swt berupa kenikmatan dunia untuk menambah
ketaatan kepada-Nya bukan untuk kebatilan.14
Sama halnya seperti yang dikemukakan M. Quraish Shihab dalam
bukunya yang berjudul wawasan Al-Qur`an, beliau mengatakan
bahwa syukur mencakup tiga sisi, yaitu:
a) Syukur dengan hati, ialah kepuasan batin atas anugerah yang
diperolehnya.
Syukur dengan hati dilakukan dengan menyadari sepenuhnya
bahwa nikmat diperoleh adalah semata-semat karena anugerah
dan kemurahan Ilahi.
b) Syukur dengan lidah, ialah mengakui dengan ucapan dan memuji
pemberinya bahwa sumber nikmat anugerah adalah Allah.15
Karena lisan mempunyai fungsi sebagai alat untuk
berkomunikasi, baik dengan sesama manusia maupun dengan
Allah. Namun terdapat dua fungsi yang harus kita pertegas; fungi
lisan yang digunakan untuk hal positif dan untuk hal negatif.
Ketika lisan terpakai untuk hal-hal yang negatif, maka hilanglah
keindahan dan tujuannya, yaitu untuk berdzikir, membaca Al-
Qur`an, maupun membicarakan persoalan agama.16
Untuk itu perlu kiranya kita mempergunakan lisan untuk
berdzikir, mengingat banyak sekali dari kita yang menyalah
gunakan fungsi lisan untuk hal-hal yang negatif.17
c) Syukur dengan perbuatan, ialah dengan memanfaatkan anugerah
yang diperoleh sesuai dengan tujuan penganugerahannya.18
C. Manfaat Syukur
Dalam kaitannya dengansyukur kepada Allah, manfaatnya akan
kembali kepada pelakunya, bukan kepada Allah sebagai pemberi
nikmat. Kebesaran dan kekuasaan Allah tidak akan bertambah lantara
syukurnya manusia. Demikian pula sebaliknya, kerugian akibat
perilaku kufur tidak merugikan Allah. Kebesaran dan kekuasaan-Nya
tidak akan berkuurang lantaran ingkarnya manusia terhadap nikmat
14
Amir An-najjar, Ilmu Jiwa dalam Tasawwuf Studi Komparatif dengan Ilmu Jiwa
Kontemporer, Terj. Hasan Abrori, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2001), h. 251-252. 15
Muhammad Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an: Tafsir Maudhu‟i atas
Pelbagai Persoalan Umat, h. 220. 16
Shodiq A. Winarko, Dzikir-Dzikir Peredam Stres, (Depok: Mutiara Allamah
Utama, 2014), Cet.1, h. 38. 17
Shodiq A. Winarko, Dzikir-Dzikir Peredam Stres, h. 39. 18
Muhammad Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an: Tafsir Maudhu‟i atas
Pelbagai Persoalan Umat, h. 217.
34
yang telah Dia berikan. Hal ini sesuai dengan penegasan Al-Qur`an
melaalui lisan Nabi Sulaiman:
“Barangsiapa yang bersyukur Maka Sesungguhnya Dia
bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan Barangsiapa
yang ingkar, Maka Sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi
Maha Mulia". (QS. An-Naml [27]: 40).
Seperti yang dikatakan oleh al-Qurthubbi, dengan bersyukur
seseorang akan memperoleh kesempurnaan, kelestarian dan
pertambahan nikmat. Dengan syukur, nikmat yang telah ada akan
terjaga, sebagaimana nikmat yang hilang akan diperoleh kembali.19
D. Ayat-Ayat Syukur
Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan, penulis
menemukan beberapa ayat-ayat tentang syukur dalam Al-Qur`an
dengan cara membuka kitab mu‟jam al-mufahras li al-fazh al-Qur`an
al-karim karya Muhammad Fuad „Abd al-Baqi. Di dalam kitab ini
mencantumkan banyak ayat yang hanya menjelaskan tentang syukur
di antaranya terdapat pada: QS. Al-Baqarah [2]: 52, 56, 152, 158, 172,
185, 243. QS. Ali Imran [3]: 123, 144, 145. QS. An-Nisa [4]: 147.
QS. Al-Ma‟idah [5]: 6, 89. QS. Al-An‟am [6]: 53, 63. QS. Al-A‟raf
[7]: 10, 17, 58, 144, 189. QS. Al-Afal [8]: 26. QS. Yunus [10]: 22, 60.
QS. Yusuf [12]: 38. QS. Ibrahim [14]: 7, 37. QS. An-Nahl [16]: 14,
78, 114, 121. QS. Al-Isra [17]: 3, 19. QS. Al-Anbiya [21]: 80. QS. Al-
Hajj [2]: 36. QS. Al-Mu‟minun [23]: 78. QS. Al-Furqan [25]: 62. QS.
An-Naml [27]: 19, 40, 73. QS. Al-Qashash [28]: 73. QS. Al-„Ankabut
[29]: 17. QS. Ar-Rum [30]: 46. QS. Luqman [31]: 12, 14, 31. QS. As-
Sajdah [32]: 9. QS. Saba‟ [34]: 13, 15. QS. Fathir [35]: 12, 30, 34.
QS. Yasin [36]: 35, 73. QS. Az-Zumar [39]: 7, 66. QS. Ghafir [40]:
61. QS. Asy-Syura [42]: 23, 33. QS. Al-Jatsiyah [45]: 12. QS. Al-
Ahqaf [46]: 15. QS. Al-Qamar [54]: 35. QS. Al-Waqi‟ah [56]: 70.
QS. At-Taghabun [64]: 17. QS. Al-Mulk [67]: 23. QS. Al-Insan [76]:
22.20
19
Muchlis M. Hanafi, (eds.), Spiritualitas Dan Akhlak (Tafsir Al-Qur`an Tematik),
h. 434. 20
Muhammad Fuad „Abd Baqiy, Al-Mu‟jam Al-Mufahras Li Al-Fazh Al-Qur`an
Al-Karim, (Beirut Libanon: Darul Fikr), h. 489-491.
35
Di antara sekian banyaknya ayat-ayat syukur yang terdapat
dalam Al-Qur`an, akhirnya disini penulis hanya akan membahas pada
beberapa ayat saja, diantaranya:
1. (QS. Al-Baqarah [2]: 52, 56, 152, 158, 172, 185, 243)
“Kemudian sesudah itu Kami maafkan kesalahanmu, agar
kamu bersyukur”.(QS. Al-Baqarah [2]: 52).
“Setelah itu Kami bangkitkan kamu sesudah kamu mati,
supaya kamu bersyukur”. (QS. Al-Baqarah [2]: 56).
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya aku ingat
(pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan
janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku”. (QS. Al-
Baqarah [2]: 152).
“Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebahagian dari
syi'ar Allah. Maka Barangsiapa yang beribadah haji ke
Baitullah atau ber-'umrah, Maka tidak ada dosa baginya
mengerjakan sa'i antara keduanya. dan Barangsiapa yang
mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, Maka
Sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha
mengetahui”. (QS. Al-Baqarah [2]: 158).
36
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki
yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan
bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya
kamu menyembah”. (QS. Al-Baqarah [2]: 172).
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan
Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan
(permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda
(antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa
di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan
itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan
Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka),
Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang
ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan
bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah
atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur”. (QS. Al-Baqarah [2]: 185).
37
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang ke
luar dari kampung halaman mereka, sedang mereka beribu-
ribu (jumlahnya) karena takut mati; Maka Allah berfirman
kepada mereka: "Matilah kamu", kemudian Allah
menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah mempunyai
karunia terhadap manusia tetapi kebanyakan manusia tidak
bersyukur”. (QS. Al-Baqarah [2]: 243).
2. QS. Ali Imran [3]: 123, 144, 145.
“Sungguh Allah telah menolong kamu dalam peperangan
Badar, Padahal kamu adalah (ketika itu) orang-orang
yang lemah. karena itu bertakwalah kepada Allah, supaya
kamu mensyukuri-Nya”. (QS. Ali Imran [3]: 123).
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul,
sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul.
Apakah jika Dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke
belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke
belakang, Maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat
kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi
Balasan kepada orang-orang yang bersyukur”. (QS. Ali
Imran [3]: 144).
38
“Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan
dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah
ditentukan waktunya. barang siapa menghendaki pahala
dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu,
dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami
berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. dan Kami
akan memberi Balasan kepada orang-orang yang
bersyukur”. (QS. Ali Imran [3]: 145).
15
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG MUNASABAH
Pada bab ini penulis mencoba untuk menguraikan teori-teori
terkait dengan ilmu munasabah Al-Qur`an secara umum, meskipun
dalam skripsi ini penulis tidak menggunakan semua teori ilmu
munasabah, dalam skripsi ini penulis hanya membahas ilmu
munasabah antar ayat dalam surah yang berbeda dengan tema yang
sama.
Seperti halnya pengetahuan tentang asbabun nuzul yang
mempunyai pengaruh dalam memahami makna dan menafsirkan ayat,
maka pengetahuan tentang munasabah atau korelasi antara ayat
dengan ayat dan surah dengan surah juga membantu dalam
pentakwilan dan pemahaman ayat dengan baik dan cermat.1
Menurut as-Suyuthi, ilmu munasabah adalah ilmu yang sangat
penting dalam penafsiran Al-Qur`an, tetapi hanya sedikit di antara
para mufassir yang memberikan perhatiannya karena ilmu ini sangat
memerlukan ketelitian dan kejelian.2
Pengetahuan tentang munasabah ini adalah sangat mulia. Para
ahli tafsir jarang memperhatikannya karena kerumitannya. Di antara
ulama yang banyak berbicara tentang hal ini adalah al Imam
Fakhruddin. Dia berkata di dalam, kitab tafsirnya: “Kebanyakan
keindahan Al-Qur`an itu terletak pada urutan dan sambungan antar
ayat-ayatnya”.3
Studi tentang munasabah Al-Qur`an atau korelasi ayat dengan
ayat atau surah dengan surah mempunyai pengaruh penting dalam
menggali kandungan-kandungan Al-Qur`an, lebih lagi dalam proses
pentakwilan dengan menafsirkan Al-Qur`an secara holistik (analisa
secara menyeluruh), berlandaskan dari itu, telah banyak ulama yang
mendalami studi ini.4
1 Manna‟ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur`an, terj. Mudzakir AS, (Bogor:
Pustaka Litera AntarNusa, 2013), Cet. 16, h.137 2 Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur`an, (Yogyakarta: Itqan Publishing, 204), Cet.
3, h. 225. 3 Jalaluddin as-Suyuthi, Samudra Ulumul Qur`an (Al-Itqan fi Ulumil Qur`an), Jld.
3, terj. Farikh Mrzuki dan Imam Fauzi, (Surabaya: Pt Bina Ilmu, 2008), Cet. 1, h. 527. 4 Hasani Ahmad Said, Diskursus Munasabah Al-Qur`an: Kajian atas Tafsir Al-
Misbah, h. 45.
16
A. Definisi Munasabah
Munasabah secara etimologi berarti dan
artinya keserasian dan kedekatan.5 Munasabah di dalam bahasa
adalah perpadanan dan kedekatan. Dan tempat kembalinya pada ayat-
ayat adalah kepada suatu makna yang menghubungkan dengannya,
baik yang umum atau yang khusus, yang bersifat logis, atau indrawi,
atau khayalan atau hubungan-hubungan yang lain atau keterkaitan
yang bersifat logika seperti antara sebab dan akibat, antara dua hal
yang sepadan, dua hal yang berlawanan dan sebagainya.6
Oleh sebab itu al-munâsabah adalah sesuatu yang masuk akal,
jika dikemukakan kepada akal akan diterima. Mencari kedekatan
antara dua hal adalah mencari hubungan atau kaitan antara keduanya
seperti hubungan sebab akibat, persamaan, perbedaannya, dan
hubungan-hubungan lainnya yang bisa ditemukan antara dua hal.7
Munâsabah (korelasi) dalam pengertian bahasa berarti
kedekatan. Dikatakan, “si anu munasabah dengan si fulan” berarti ia
mendekati dan menyerupai si fulan itu. Dan di antara pengertian ini
ialah munasabah „illat hukum dalam bab kias, yakni sifat yang
berdekatan dengan hukum.8
Secara terminologis yang dimaksud dengan munâsabah adalah
mencari kedekatan, hubungan, kaitan, antara satu ayat atau kelompok
ayat dengan ayat atau kelompok ayat yang berdekatan, baik dengan
yang sebelumnya maupun yang sesudahnya. Termasuk mencari
keterkaitan antara ayat yang berada pada akhir sebuah surat dengan
ayat yang berada pada awal surat berikutnya atau antara satu surat
dengan surat sesudah atau sebelumnya.9
Ilmu munâsabah berarti ilmu yang menerangkan hubungan
antara ayat/surah yang satu dengan ayat/ surah yang lain. Karena itu,
sebagian pengarang menamakan ilmu ini dengan “Ilmu Tanasubil
Ayati Was Suwari” yang artinya juga sama, yaitu ilmu yang
menjelaskan persesuaian antara ayat atau surah yang satu dengan
ayat atau surah yang lain.10
5 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur`an, (Bandung: Mizan, 1996), Cet. 4, h. 319.
6 Imam Jalaluddin as-Suyuthi, Samudra Ulumul Qur`an (Al-Itqan fi Ulumil
Qur`an), jld. 3, terj. Farikh Mrzuki dan Imam Fauzi, h. 529. 7 Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur`an, (Yogyakarta: Itqan Publishing, 204), Cet.
3, h. 207. 8 Manna‟ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur`an, terj. Mudzakir AS, (Bogor:
Pustaka Litera AntarNusa, 2013), Cet. 16, h.137
9 Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur`an, h. 208.
10 Abdul Djalal, Ulumul Qur`an, (Surabaya: Duni Ilmu, 2008), Cet. 3, h. 154.
17
Secara sederhana Mannâ‟ al-Qaththân mendefinisikan munâsabah
sebagai berikut:
“Bentuk hubungan antara satu kalimat dengan kalimat lain
dalam satu ayat, atau antara satu ayat dengan ayat lain
dalam satu kelompok ayat, atau antara satu surat dengan
surat yang lain”.11
Yang dimaksud dengan munasabah di sini ialah segi-segi
hubungan antara satu ayat dengan ayat lain dalam banyak ayat, atau
antara satu surah dengan surah yang lain. Pengetahuan tentang
munasabah ini sangat bermanfaat dalam memahami keserasian antar
makna, mukjizat Qur`an secara retorik, kejelasan keterangannya,
keteraturan susunan kalimatnya dan keindahan gaya bahasanya.12
“Kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta
dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah)
yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu”. (QS. Hūd [11]: 1).
Para ulama berbeda pendapat tentang susunan surah-surah Al-
Qur`an, Manna‟ Al-Qattan mengemukakan tiga pendapat yaitu:
Pertama, bahwa susunan surah adalah tauqifi dan ditangani langsung
oleh Nabi sebagaimana diberitahukan Jibril kepadanya atas perintah
Tuhan.kedua, susunan surahitu ijtihad para sahabat, mengingat adanya
perbedaan susunan di dalam mushaf-mushaf mereka. Misalnya
mushaf „Ali disusun menurut susunan turunnya dimulai dari Iqra‟.
Dan ketiga, sebagian surah susunannya tauqifi dan bagiannya
ijtihadi.13
11
Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur`an, h. 208. 12
Manna‟ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur`an, terj. Mudzakir AS, (Bogor:
Pustaka Litera AntarNusa, 2013), Cet. 16, h.138 13
Hasani Ahmad Said, Diskursus Munasabah Al-Qur`an: Kajian atas Tafsir Al-
Misbah, (Tangerang: Puspita Press, 2011), Cet. 1, h. 284.
18
B. Macam-macam Munasabah
1. Munasabah antar surah dengan surah sebelumnya.
2. Munasabah antar nama surah dan tujuan turunya.
3. Munasabah antar bagian suatu ayat.
4. Munasabah antar ayat yang letaknya berdampingan .
5. Munasabah antar suatu kelompok ayat dengan kelompok ayat
disampingnya
6. Munasabah antar fashilah (pemisah) dan isi ayat.
7. Munasabah antar awal surah dengan akhir surah yang sama.
8. Munasabah antar penutup suatu surat dengan awal surat
berikutnya.14
Dalam pembagian munasabah ini, para ulama juga berbeda
pendapat mengenai pengelompokan munasabah dan jumlahnya, hal
ini dipengaruhi bagaimana seorang ulama tersebut memandang suatu
ayat, dari segi yang berbeda. Menurut Chaerudji A. Chalik dalam
buku „Ulum Al-Qur`an yang dikutip oleh Acep Hermawahan bahwa
munasabah dapat dilihat dari dua segi, yaitu sifat dan materinya.15
Dilihat dari segi bentuk hubungan antara satu kalimat dengan
kalimat berikutnya dalam satu ayat, atau bentuk hubungan antara satu
ayat dengan ayat berikutnya, maka munasabah dapat dibagi dalam
kategori berikut ini. 16
Secara sistemik, munasabah terbagi menjadi dua bagian:
1. Ditinjau dari Sifat Korelasinya
Jika ditinjau dari segi sifat munasabah atau keadaan persesuaian
dan persambungannya, maka munasabah itu dibagi menjadi dua,
yaitu:
a. (Hubungan yang Jelas)
Adakalanya hubungan antara satu kalimat dengan kalimat
berikutnya atau satu ayat dengan ayat berikutnya tampak
nyata. Adakalanya kalimat atau ayat yang kedua bisa berupa
ta‟kid (penegasan), tafsir (penjelasan), i‟tiradh (bantahan),
atau tasydid (penekanan) terhadap kalimat atau ayat yang
pertama. Satu bagian ayat tergantung dengan bagian
sebelumnya, tidak bisa dipisahkan, satu ayat tergantung
dengan ayat sesudahnya, juga tidak bisa dipisahkan. Maka
14
Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur`an, h. 98. 15
Acep Hermawan, „Ulumul Qur`an: Ilmu untuk Memahami Wahyu, (Bandung: PT
Remaja RosdaKarya, 2011), Cet. 1, h. 124. 16
Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur`an, (Yogyakarta: Itqan Publishing, 204), Cet.
3, h. 215.
19
jikalau dipisahkan maknanya menjadi tidak sempurna, bahkan
bisa menimbulkan pemahaman yang keliru.17
Seperti contoh
pada ayat 4 Surah al-Ma‟un:
“ Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat”
(QS. Al-Ma‟un [107]: 4).
Bagaimana mungkin orang-orang yang shalat akan
celaka? Ayat tersebut baru bisa dipahami dengan benar apabila
diteruskan dengan ayat-ayat selanjutnya:
“(yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-
orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong
dengan) barang berguna”. (QS. Al-Ma‟un [107]: 5-7)
b. (Hubungan yang Samar)
Adakalnya hubungan antara satu kalimat dengan kalimat
berikutnya atau antar satu ayat dengan ayat berikutnya tidak
tampak nyata. Masing-masing berdiri sendiri tidak tergantung
dengan kalimat atau ayat berikutnya. Kalau dipisahkan
maknanya tetap sempurna. Irtibath jenis ini hanya dapat
diketahui setelah dikaji dan didalami dengan baik.
Ada dua bentuk irtibath yang tidak tampak ini.
Pertama, irtibath ma‟tufah dan kedua, irtibath ghairu
ma‟thufah. Masing-masing akan dijelaskan di bawah ini:
1) Irtibath Ma‟thufah
Irtibath antara satu bagian dengan bagian lain dari ayat
menggunakan huruf „athaf. Bagian kedua bisa berupa
nazhir (bandingan) dan syarik (mitra) dari bagian
sebelumnya dan bisa juga berupa al-madhadhah (lawan
17
Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur`an, h. 215.
20
katanya). Seperti contoh yang terdapat dalam QS. Al-
Hadid [57]: 4.
“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam
masa: kemudian Dia bersemayam di atas ´arsy Dia
mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang
keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa
yang naik kepada-Nya. dan Dia bersama kamu di mama saja
kamu berada. dan Allah Maha melihat apa yang kamu
kerjakan”. (QS. Al-Hadid [57]: 4).
Kata kerja (masuk) dalam ayat di atas adalah bandingan
atau nazhir dari kata kerja (keluar). Begitu juga kata kerja
(turun) adalah bandingan dari kata kerja (naik). Tampak dalam
ayat di atas bagaimana kaitan antara kalimat apa yang masuk ke
dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya; dan kaitan antara apa
yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya, sehingga
kalimatnya menjadi sangat serasi.18
2) Irtibath Ghairu Ma‟thufah
Jika irtibath antara satu bagian dengan bagian lain dari
ayat atau antara satu ayat dengan ayat berikutnya tidak
menggunakan huruf „athaf maka dalam hal ini untuk
mencari munasabahnya harus dicari qarain maknawiyah,
(petunjuk-petunjuk yang didapat dari pengertian
maknanya).19
Petunjuk-petunjuk maknawiyah yang bisa digunakan
antara lain adalah:
18
Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur`an, h. 216-217. 19
Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur`an, h. 220.
21
a) At-Tanzhir
Yaitu membandingkan dua hal yang sebanding,
menurut kebiasaan orang yang berakal. Misalnya:
Sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu pergi dari rumahmu
dengan kebenaran, Padahal Sesungguhnya sebagian dari
orang-orang yang beriman itu tidak menyukainya. (QS. Al-Anfal
[8]: 5).
Sedangkan ayat sebelumnya QS. Al-Anfal [8]: 4.
“Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya.
mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi
Tuhannya dan ampunan serta rezki (nikmat) yang mulia”.
(QS. Al-Anfal [8]: 4).
Di sini ada dua keadaan yang sebanding, yaitu mereka yang
mengikuti perintah Tuhannya akan mendapat imbalan sesuai dengan
kerjanya. Imbalan tersebut adalah kebaikan dunia dalam bentuk
materi dari harta rampasan, dan imbalan akhirat adalah pahala yang
berlipat ganda serta ampunan dari Allah.20
b) Al-Madhadhah
Petunjuk makna lain yang dapat digunakan untuk
mencari munasabah antara ayat yang tidak ada huruf
„athafnya adalah dengan mencari sisi lawannya.
20
Abu Anwar, Ulumul Qur`an, (tt.p: Amzah, 2009), Cet. 3, h. 70-71.
22
“Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka,
kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan,
mereka tidak juga akan beriman”. (QS. Al-Baqarah [2]: 6)
Di awal surah telah disebutkan tentang Kitab Suci Al-Qur`an,
dan sikap yang berlawanan, yaitu sikap orang-orang yang kafir yang
mengingkarinya.21
c) Al-Istidhrad
Kaitan antara satu ayat dengan ayat sebelumnya dapat dilihat dari
sisi istithrad (peralihan kepada penjelasan yang lain).
“Hai anak Adam, Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu
pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk
perhiasan. dan pakaian takwa Itulah yang paling baik. yang
demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah,
Mudah-mudahan mereka selalu ingat”. (QS. Al-A‟raf [7]: 26)
Ayat tersebut menjelaskan tentang nikmat Allah, sedang
ditengahnya dijumpai kata yang mengalihkan
perhatian pada penjelasan ini (pakaian). Dalam hal ini munasabah
yang dapat dilihat adalah antara menutup tubuh atau aurat dengan
kata takwa.22
d) At-Takhallus
Mirip dengan istidhrad adalah takhallus, yaitu perpindahan dari
pembicaraan semula kepada pembicaraan lain tanpa dirasakan oleh
pembaca, karena begitu dekatnya isi pembicaraan kedua dengan
yang pertama.23
Tetapi peralihat disini secara terus-menerus
21
Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur`an, h. 222. 22
Abu Anwar, Ulumul Qur`an, h. 72-73. 23
Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur`an, h. 215-223.
23
sehingga tidak kembali pada pembicaraan yang pertama.24
Seperti
contoh pada ayat:
“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi.
perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang
yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. pelita itu
di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang
bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak
dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh
tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah
barat(nya), yang minyaknya (saja) Hampir-hampir
menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas
cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-
Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat
perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha
mengetahui segala sesuatu”. (QS. An-Nur [24]: 35).
Ada 5 takhallush dalam ayat ini. Setelah menjelaskan sifat cahaya
(nur) dan perumpamannya, lalu berpindah kepada pembicaraan
tentang kaca (zujazah) dan sifatnya, kemudian kembali pembicaraan
tentang cahaya dan minyak yang membuatnya menyala, kemudian
berpindah kepada pembicaraan tentang pohon (syajarah), kemudian
berpindah lagi kepada pembicaraan tentang sifat minyak (zait),
kemudian berpindah lagi kepada sifat cahaya (nur) yang berlipat
ganda, kemudian berpindah kepada pembicaraan tentang nikmat-
24
Abu Anwar, Ulumul Qur`an, h. 73.
24
nikmat Allah SWT berupa petunjuk kepada siapa saja yang
dikehendaki-Nya.25
2. Ditinjau dari Materi Munasabah
Munasabah dari segi materinya, terbagi menjadi dua, yaitu
munasabah antar ayat dan munasabah antar surah.
a. (munasabah atau antar ayat-ayat)
Munasabah antar ayat, yaitu munasabah antara ayat yang satu
dengan ayat yang lain, berbentuk persambungan-persambungan
ayat, meliputi:
1) Diathaf-kannya ayat yang satu pada ayat yang lain.
2) Tidak diathaf-kannya ayat yang satu kepada yang lain.
3) Digabungkannya dua hal yang sama.
4) Dikumpulkannya dua hal yang kontradiksi (al-Mutashaddatu).
5) Dipindahkannya satu pembicaraan ke pembicaraan yang
lain.26
b. (munasabah antar surah-surah)
Yaitu munasabah atau keterkaitan antara surah yang satu dengan
surah yang lain. Munasabah kedua ini ada beberapa bentuk, sebagai
berikut:
1) Munasabah antara dua surah dalam soal materinya, yaitu
materi surah yang satu sama dengan materi surah yang lain.
2) Munasabah antara permulaan surah dengan penutupan surah
sebelumnya. Sebab, semua pembukaan surah itu erat sekali
kaitannya dengan akhiran dari surah sebelumnya, sekalipun sudah
dipisah dengan basmalah.
3) Munasabah antara pembukaan dan akhiran sesuatu surah.
Sebab, semua ayat dari suatu surah dari awal sampai akhir itu selalu
bersambungan dan bersesuaian.27
C. Urgensi ‘Ilm Munasabah
Kajian tentang munasabah sangat diperlukan dalam penafsiran
Al-Qur`an untuk menunjukkan keserasian antara kalimat dengan
kalimat dalam satu ayat, keserasian antara satu ayat dengan ayat
25
Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur`an, h. 224. 26
Abdul Djalal, Ulumul Qur`an, h. 158-161. 27
Abdul Djalal, Ulumul Qur`an, h. 163.
25
berikutnya, bahkan juga keserasian antara satu surah dengan surah
berikutnya. Tatkala menemukan ayat-ayat yang sepertinya tidak
punya kaitan sama sekali, sebagian orang yang tidak mengerti
munasabah akan langsung mempertanyakan kenapa penyajian Al-
Qur`an melompat-lompat dari satu masalah ke masalah lain, atau dari
satu tema ke tema yang lain secara tidak sistematis. Setelah
mengetahui munasabah, tentu orang yang terburu-buru menilai
seperti itu akan segera menarik pandangannya dan menyadari betapa
Al-Qur`an tersusun dengan sangat serasi dan sistematis, tetapi tentu
saja berbeda dengan sistematika buku-buku dan karya ilmiyah buatan
manusia.28
Kajian ilmu munasabah mendapatkan tempat dan apresiasi
yang cukup tinggi dalam pandangan ilmu-ilmu Al-Qur`an, serta
memiliki fungsi atau pengaruh yang sangat signifikan dalam
memahami dan menafsirkan Al-Qur`an. Lebih lagi Hasani Ahmad
dalam disertasinya berpendapat bahwa ada sebuah potensi ilmu
munasabah menjadi salah satu tolak ukur dalam menetahui kualitas
kecerdasan dan kepiawaian seorang mufassir. Lebih-lebih
menurutnya urgensi keberadaan „ilm munasabah akan semakin terasa
kebutuhannya manakala seorang yang menafsirkan Al-Qur`an
menggunakan metode tematik (mudhu‟i) dan tafsir komparasi
(muqaran). Karena dalam penerapan dua metode tafsir di atas
penggunaan „ilm munasabah sangat terasa urgensinya, karena di
dalamnya menuntut si mufassir untuk memfokuskan ayat-ayat yang
memiliki keterkaitan dan keserasian agar mendapatkan penafsiran
yang tidak parsial. Di antara urgensi „ilm munasabah ialah sebagai
berikut:
1. Mengetahui persambungan atau hubungan antara bagian Al-
Qur`an, baik antara kalimat-kalimat atau ayat-ayat maupun surat-
suratnya yang satu dengan yang lain, sehingga lebih
memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab Al-
Qur`an dan memperkuat keyakinan terhadap kewahyuan dan
kemukjizatannya.
2. Dapat diketahui mutu dan tingkat kebalaghahan bahasa Al-Qur`an
dan konteks kalimat-kalimatnya yang satu dengan yang lainnya,
serta persesuaian ayat atau surah yang satu dari yang lain.
3. Dapat membantu dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur`an setelah
diketahui hubungan suatu kalimata atau ayat dengan kalimat atau
ayatyang lain.
28
Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur`an, h. 225.
26
Jika diperhatikan, ternyata urgensi ilmu munasabah akan semakin
kelihatan jelas, kalau digunakan untuk melihat salah satu
keistimewaan Al-Qur`an itu sendiri. Menurut Subhi Sholeh dalam
komentarnya, bahwa di antara keistimewaan Al-Qur`an adalah
memiliki sifat syumul (serba mencakup). Maka untuk mengetahui Al-
Qur`an yang syumul tersebut, salah satu diantaranya harus melihat
korelasi antara satu surah dengan surah yang lainnya.29
D. Pendapat Ulama Tentang Munasabah
Dalam al-Itqan, as-Suyuthi menukil apa yang ada dalam
nadzhm ad-Durar, yang dinukil oleh al-Biqa‟i dari gurunya Abu al-
Fadhl Muhammad Ibnu Muhammad al-Misydali al-Maghrabi (w 865
H) bahwa: “Prinsip pokok yang mengantar kepada pengetahuan
tentang hubungan antar ayat dalam seluruh Al-Qur`an adalah
mengamati tujuan yang oleh karenanya surah diturunkan, serta
melihat apa yang dibutuhkan untuk tujuan tersebut menyangkut
mukadimah atau pengantarnya, dan memerhatikan pula tingkat-
tingkat pengantar itu dari segi kedekatan atau kejauhannya.30
Ulama-ulama abad XX yang menulis tentang hubungan ayat-
ayat dan tema pokok surah, jumlah mereka pun masih terbatas.
Syaikh Muhammad „Abduh, pada awal abad XX, memberi perhatian
terhadap persoalan ini. Muhammad „abduh memiliki kaidah-kaidah
yang ia jadikan patokan umum dalam menafsirkan ayat-ayat Al-
Qur`an. Salah satu di antaranya adalah kesatuan uraian surah.
Tidaklah tepat (menurutnya) menfsirkan satu ayat terlepas atau jauh
dari kandungan ayat sebelumnya karena ayat-ayat satu surah saling
berkaitan. Murid dan sahabat „Abduh, Sayyid Muhammad Rasyid
Ridha, mempunyai pandangan yang sama. Ia memilih dan memilah
kemudian menghimpun sekian ayat yang ditafsirkannya dalam
kelompok tersendiri, lalu menghubungkan dengan kelompok yang
lain. Di sisi lain, hampir di setiap surah yang ditafsirkannya, ia
merangkum pokok-pkok masalah, walau keterkaitan pokok-pokok
tersebut dalam uraiannya belum terlalu jelas dengan tema surah.31
„Abdullah Darraz (1894 M) merupakan salah seorang yang
menggaris bawahi pentingnya bahasan ini (munasabah). Dalam
29
Abu Anwar, Ulumul Qur`an, (tt.p: Amzah, 2009), Cet. 3, h. 62. 30
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur`an, v.
1, (Jakarta: Lentera Hati: 2002), Cet. 1, h. xxviii. 31
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur`an,
v. 1, h. xxix-xxx.
27
pandangannya, satu surah Al-Qur`an merupakan satu kesatuan yang
tidak dapat dipisahkan. Uraian bagian-bagiannya yang juz‟i,
walaupun turun dalam waktu yang berbeda-beda tetapi saling
berhubungan dan saling terpadu bagaikan keterpaduan anggota tubuh
manusia. Sebagaimana ada perekat dalam diri seseorang antar satu
anggota badan dan anggota badan yang lain, demikian juga dengan
ayat-ayat Al-Qur`an. Setiap surah mengalir ke satu arah teretentu, dan
bagian-bagiannya pun mengarah ke satu tujuan khusus bersama. Ada
sistematika yang jelas dan tegas pada setiap surah, terdiri dari
mukadimah, uraian dan penutup. Ayat-ayat yang terdapat pada awal
surah berfungsi sebagai mukadimah bagi tema surah yang akan
dibacakan, kemudian tampil uraian terperinci tentang tema itu dalam
bentuk yang sangat teratur, tidak saling bertabrakan bagian dengan
bagian yang lain karena semua mengambil tempatnya yang wajar, dan
akhirnya tampil penutup surah yang serasi dengan mukadimahnya.
Dengan demikian pandangan „Abdullah Darraz yang penulis (M.
Quraish Shihab) sadur dari dua bukunya, an-Naba‟ al-„azhim dan al-
Madkhal ila Al-Qur`an al-Karim.32
Banyak ulama yang membatasi apa yang mereka namakan
dengan „Ilm al-Munasabah hanya bagian pertama di atas. Bahasan
tentang hal ini dimunculkan pertamakali oleh Abu Bakar Abdullah
bin Muhammad Ziyad an-Naisabury yang wafat tahun 2324 H. 33
Ulama berbeda pendapat menyangkut ada atau tidaknya
hubungan/Munasabah dalam pengertian pertama di atas. Ada yang
menolak dengan alasan, antara lain, bahwa ayat-ayat Al-Qur`an turun
dalam masa yang berbeda-beda dan tidak mungkin ada kaitan antara
uraian masa lalu dan masa kemudian.
Pendapat di atas sepenuhnya benar, karena setiap ayat yang
turun, Rasul saw. menjelaskan kepada penulis wahyu dimna ayat itu
ditempatkan. Memang, penempatan sesuatu katakanlah para tamu
undangan tidak harus berdasar masa kehadirannya. Presiden yang
datang paling akhir menempati tempat paling depan. Yanng
mendampingi beliaupun bisa berbeda-beda antara satu acara dengan
acara yang lain.34
32
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur`an,
v. 1, h. xxx. 33
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: ketentuan, dan aturan yang patut anda ketahui
dalam memahami al-Qur`an, (Jakarta: Lentera Hati, 2013), cet. II, hal.244 34
Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: ketentuan, dan aturan yang patut anda ketahui
dalam memahami al-Qur`an, (Jakarta: Lentera Hati, 2013), Cet. II, hal.244-245.
28
71
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ilmu munâsabah berarti ilmu yang menerangkan hubungan
antara ayat/surah yang satu dengan ayat/ surah yang lain. Atau ilmu
yang menjelaskan “Bentuk hubungan antara satu kalimat dengan
kalimat lain dalam satu ayat, atau antara satu ayat dengan ayat lain
dalam satu kelompok ayat, atau antara satu surat dengan surat yang
lain”.1
Dan yang dimaksud dengan munasabah di sini ialah segi-segi
hubungan antara satu ayat dengan ayat lain dalam banyak ayat, atau
antara satu surah dengan surah yang lain. Pengetahuan tentang
munasabah ini sangat bermanfaat dalam memahami keserasian antar
makna, mukjizat Qur`an secara retorik, kejelasan keterangannya,
keteraturan susunan kalimatnya dan keindahan gaya bahasanya.2
Maka dari hasil analisis di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dari 10
ayat syukur yang terdapat pada QS. Al-Baqarah [2]: 52, 56, 152, 158,
172, 185,243. Dan QS. Ali Imrân [3]: 123, 144, 145. Berdasarkan
analisis yang peneliti lakukan bahwa 10 ayat ini mempunyai sisi
munâsabah yaitu pertama Allah telah memberikan kesempatan kepada
mereka yang berbuat dosa untuk bisa bertaubat dan bersyukur terhadap
apa yang Allah berikan. Kedua allah telah mencurahkan rahmat-Nya
untuk membangkitkan mereka kembali yang seolah-olah seperti
meninggal atau pingsan akibat terkena sambaran halilintar atau seperti
orang yanh hilang semangat hidupnya, kini Allah bangkitkan kembali.
Agar mereka bersyukur. Ketiga Allah telah memberikan perhatian-Nya
kepada hamba-Nya yang tulus dalam memohon. Keempat ibadah yang
di dasari dengan karena Allah. Kelima maka Allah Akan menjadikan
keimanan sebagai kunci dari segala sesuatu yang bersifat positif dan
hanya kepada Allah tempat kamu menyembah. Keenam maka Allah
akan menghendaki kemudahan. Ketujuh dan menjadikan anugerah
untuk dijadikan kekuatan. Kedelapan dan Allah mewajibkan bersyukur
untuk orang yang bertakwa. Kesembilan karena ketaatan manusia tidak
berpengaruh bagi Allah. Kessepuluh dan Allah hanya akan memberi
balasan kepada orang yang bersyukur.
1 Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur`an, h. 208.
2 Manna’ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur`an, terj. Mudzakir AS, (Bogor:
Pustaka Litera AntarNusa, 2013), Cet. 16, h.138
72
B. Saran
1. Penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, masih
banyak kekurangan dan kesalahan. Tentunya saran dan kritik
yang membangun yang penulis harapkan untuk perbaikan yang
lebih bagus ke depannya.
2. Dengan hadirnya skripsi ini penulis sangat berharap kepada
pembaca untuk lebih intens dan mengkaji lebih mendalam
tentang munâsabah ayat-ayat syukur. Setidaknya skripsi ini
dapat menjadi oase bagi para penjelajah ilmu pengetahuan
73
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Abu, Ulumul Qur`an, tt.p: Amzah, 2009.
Anwar, Rosihon Ulum Al-Qur`an, Bandung: Pustaka Setia, 2013.
An-njar, Amir, Ilmu Jiwa dalam Tasawwuf Studi Komparatif dengan Ilmu
Jiwa Kontemporer, Terj. Hasan Abrori, Jakarta: Pustaka Azzam, 2001.
Baqiy, Fuad ‘Abd Muhammad Al-Mu‟jam Al-Mufahras Li Al-Fazh Al-
Qur`an Al-Karim, Beirut Libanon: Darul Fikr.
Chirzin, Muhammad Al-Qur`an danUlumul Qur`an, Yogyakarta: Dana
Bhakti Prima Yasa, 1998.
Djalal, Abdul , Ulumul Qur`an, Surabaya: Duni Ilmu, 2008.
Hanafi, Muchlis M. (eds.), Spiritualitas Dan Akhlak (Tafsir Al-Qur`an
Tematik), Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur`an, 2010.
Hermawan, Acep, „Ulumul Qur`an: Ilmu untuk Memahami Wahyu, Bandung:
Rosda, 2011.
Husna, Aura (Neti Suriana), Kaya dengan Bersyukur: Menemukan Makna
Sejati Bahagia dan Sejahtera dengan Mensyukuri Nikmat Allah,
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2013.
Idrus, Muhammad, Metode Penelitian Ilmu Sosial, Yogyakarta: Erlangga,
2009.
Ilyas, Yunahar, Kuliah Ulumul Qur`an, Yogyakarta: Itqan Publishing, 204.
Iskandar, Metodologi Penelitian Kualitatif, Jakarta: Gaung Persada Press,
2009.
Mahsun, Metode Penelitian Bahasa Tahapan Strategi, Metode, dan
Tekniknya, Jakarta: PT Gravindo Persada, 2007.
el-Bantanie, Muhammad Syafi’ie Dahsyatnya Syukur, Jakarta: Qultum
Media, 2009.
74
al-Marâghi, Ahmad, Mushtafa Tafsir al-Marâghi, terj. Anshori Umar, dkk.
Juz. 1.
_______Tafsir al-Marâghi, terj. Anshori Umar, dkk. Juz. 2.
Nawawi, Syauqi, Rif’at Kepribadian Qur‟ani, Jakarta: Amzah, 2011.
Qardhawi, Yusuf Berinteraksi dengan Al-Qur`an, terj. Abd Hayyie al-
Kattani, Jakarta: Gema Insani Press, 1999.
al-Qattan, Manna’ Khalil Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur`an, terj. Mudzakir AS,
Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2013.
Al-Qurthubi, Syaikh Imam, Tafsir al-Qurthubi, terj. Fathurrahman, Ahmad
hotib (ed), Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.
Said, Hasani, Ahmad Diskursus Munasabah Al-Qur`an dalam Tafsir Al-
Misbah, Jakarta: Amzah, 2015.
Shihab, M. Quraish Kaidah Tafsir: Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda
Ketahui dalam Memahami Al-Qur`an, Jakarta: Lentera Hati, 2013.
Shihab, Umar, Kontekstualitas Al-Qur`an: Kajian Tematik Atas Ayat-Ayat
Hukum dalam Al-Qur`an, Penamadani: Jakarta, 2005.
Shihab, M. Quraish Lentera Al-Qur`an: Kisah dan Hikmah Kehidupan,
Bandung: Mizan, 2008.
_______Tafsir Al-Misbah: Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur`an, v. 1,
Jakarta: Lentera Hati: 2002.
_______Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur`an, V 15,
Jakarta: Lentera Hati, 2002.
_______Wawasan Al-Qur`an: Tafsir Maudhu‟i atas Pelbagai Persoalan
Umat, Bandung: PT Mizan Pustaka, 2005.
_______Wawasan Al-Qur‟an: Tafsir Maudhu‟i atas Pelbagai Persoalan
Umat, Bandung: Mizan, 1996.
75
as-Suyuthi, Jalaluddin, Samudra Ulumul Qur`an (Al-Itqan fi Ulumil
Qur`an), Jld. 3, terj. Farikh Mrzuki dan Imam Fauzi, Surabaya: Pt
Bina Ilmu, 2008.
Winarko, Shodiq A. Dzikir-Dzikir Peredam Stres, Depok: Mutiara Allamah
Utama, 2014.
Zed, Mestika, Metode Penelitian Kepustakaan, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2008.