Upload
others
View
19
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
NAFKAH IDDAH PERKARA CERAI GUGAT
(Studi putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor
1542/Pdt.G/2014/PA.JS)
SKRIPSI
Di ajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
SUCI NURINDAH
11150440000017
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1440 H/2019 M
ii
NAFKAH IDDAH PERKARA CERAI GUGAT
(Studi Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor
1542/Pdt.G/2014 PA.JS)
SKRIPSI
Di ajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
SUCI NURINDAH
NIM: 11150440000017
Di Bawah Bimbingan
Qosim Arsadani, M.A
NIP. 196906292008011016
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1440 H/2019 M
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan jiplakan dari karya orang lain maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 28 Juli 2019
25 Dzul-Qa’dah 1440 H
SUCI NURINDAH
11150440000017
iv
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul NAFKAH IDDAH PERKARA CERAI GUGAT (Studi
Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor 1542/Pdt.G/2014 PA.JS),
telah diujikan dalam sidang Munaqosah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 9 Agustus 2019.
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana
Hukum (S.H) pada Program Studi Hukum Keluarga.
Jakarta, 9 Agustus 2019
Mengesahkan
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, M.A
NIP.19760807 2003121001
PANITIA UJIAN SKRIPSI
Ketua : Dr. Mesraini, M.Ag. (.....................................)
NIP. 19760213 20031222001
Sekertaris : Ahmad Chairul Hadi, M.A. (.....................................)
NIP. 19720531 2007101002
Pembimbing : Qosim Arsadani, M.A. (.....................................)
NIP. 19690629 2008011016
Penguji I : Dr. Moh. Ali Wafa, M.A. (.....................................)
NIP. 19730424 2002121007
Penguji II : Afwan Faizin, M.A. (.....................................)
NIP. 19721026 2003121001
v
ABSTRAK
Suci Nurindah. NIM 11150440000017. NAFKAH IDDAH PERKARA CERAI
GUGAT (Studi Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor
1542/Pdt.G/2014/PA.JS). Skripsi, Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta,
1440 H/2019 M.
Studi ini bertujuan untuk mengetahui aspek keadilan penerapan nafkah
iddah pada perkara cerai gugat dengan alasan bahwa mantan suami mempunyai
penghasilan yang layak, untuk mengetahui juga pandangan hukum Islam dan
hukum positif tentang hak nafkah iddah bagi istri dalam cerai gugat serta analisis
pertimbangan dan putusan hakim yang memerintahkan tergugat untuk
memberikan nafkah iddah kepada penggugat berdasarkan putusan perkara No.
1542/Pdt.G/2014/PA.JS.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
Normatif Yuridis. Sedangkan jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian
Kualitatif. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah dokumen putusan
perkara No. 1542/Pdt.G/2014/PA.JS. dan Peraturan Perundang-undangan terkait
akibat putusnya perkawinan terutama tentang nafkah iddah. Sedangkan teknik
penulisannya berdasarkan Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam putusan PA Jakarta Selatan Nomor : 1542/Pdt.G/2014/PA.JS ini
pemberian nafkah iddah oleh majelis hakim juga didasarkan dengan putusan
Mahkamah Agung RI nomor 137/K/AG/2007 tanggal 19 September 2007.
Mahkamah Agung RI nomor 137/K/AG/2007 pemberian nafkah iddah didasarkan
pada Pasal 41 huruf (c) UU No. 1 Tahun 1974 Jo. Pasal 149 KHI. Hasil penelitian
bahwa hakim dapat memberikan hak nafkah iddah kepada istri yang mengajukan
cerai gugat dengan pembuktian yang dapat meyakinkan hakim.
Kata Kunci : Nafkah Iddah, Keadilan, Putusan Pengadilan Agama
Pembimbing : Qosim Arsadani,, M.A.
Daftar Pustaka : 1997-2018
vi
PEDOMAN TRANSLITERASI
Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan
asing (terutama Arab) ke dalam tulisan Latin dimana istilah Arab tersebut belum
dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup penggunaannya masih
terbatas.
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
tidak dilambangkan ا
B Be ب
T Te ت
Ts te dan es ث
J Je ج
H ha dengan garis bawah ح
Kh ka dan ha خ
D De د
Dz de dan zet ذ
R Er ر
Z Zet ز
S Es س
Sy es dan ye ش
S es dengan garis bawah ص
D de dengan garis bawah ض
T te dengan garis bawah ط
Z zet dengan garis bawah ظ
koma terbalik di atas hadap kanan „ ع
Gh ge dan ha غ
F Ef ف
Q Qo ق
vii
K Ka ك
L El ل
M Em م
N En ن
W We و
H Ha ه
Apostrop ˋ ء
Y Ya ى
Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti bahasa Indonesia, memiliki vokal
atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal atau
monoftong, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin
Keterangan
A Fathah
I Kasrah
U Dammah
Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan alih aksaranya
sebagai berikut:
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin
Keterangan
Ai a dan i ي
Au a dan u و
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
diimbangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
viii
Tanda Vokal Tanda Vokal Keterangan
Arab Latin
 a dengan topi di
atas
Î i dengan topi di
atas
Û u dengan topi di
atas
Kata sandang, dalam bahasa Arab dilambangkan dengan alif dan lam (اي),
dialihaksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah atau huruf
qomariyyah. Misalnya:
دتهاجالإ = al-ijtihâd
al-rukhsah, bukan ar-rukhsah = الر خصة
Dalam alih aksara, syaddah atau tasydid dilambangkan dengan huruf,
yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi, hal ini tidak
berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang
yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya:
لشفعةا = al-syuf‟ah tidak ditulis asy-syuf‟ah.
Dalam penulisan ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri
(lihat contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na‟t) (lihat contoh 2), maka huruf
ta marbȗtah tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta
marbûtah tersebut diikuti dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut
dialihaksarakan menjadi huruf “t” (te) (lihat contoh 3).
No. Kata Arab Alih Aksara
syarî‟ah شريعة 1
al-syarî‟ah al-islâmiyyah لشريعة الإسلا ميةا 2
ix
muqâranat al-madzâhib مقارنة المذاهب 3
Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih
aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia
Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kara nama tersebut
berasal dari bahasa Arab, Misalnya: Nuruddin al- Raniri, tidak ditulis Nûr al-Dîn
al-Rânîrî.
Setiap kata, baik kata kerja (fi‟il) kata benda (ism) atau huruf (harf),
ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih akasara dengan
berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:
No Kata Arab Alih Aksara
الضرورة تبيح المحظورات 1
al-darûrah tubîhu al-
mahzûrât
al-iqtisâd al-islâmî الإقتصاد الإسلامي 2
usûl al-fiqh أصول الفقه 3
4
الأصل في الأشياء الإباحة
al-„asl fî al-asyya al-
ibâhah
x
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji bagi Allah S.W.T. Tuhan semesta alam, yang telah memberikan
limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada umat manusia di muka bumi ini,
khususnya kepada penulis. Shalawat beriringan salam disampaikan kepada Nabi
Muhammad SAW, keluarga, serta para sahabatnya, yang merupakan suri tauladan
bagi seluruh umat manusia.
Dalam proses penyusunan skripsi ini penulis menerima banyak bantuan dari
berbagai pihak, sehingga dapat terselesaikan atas izin-Nya. Oleh karena itu, dalam
kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terimakasih kepada semua pihak
yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materil, khususnya kepada:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag, S.H, M.H, M.A., Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta beserta Wakil Dekan I, II, dan III Fakultas Syariah dan Hukum.
2. Dr. Mesraini, M.Ag. Ketua Program Studi Hukum Keluarga beserta
Ahmad Chairul Hadi, M.A. Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga,
yang terus mendukung dan memotivasi penulis untuk segera
menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
3. Qosim Arsadani, M.A. sebagai Ketua Program Studi Hukum Pidana Islam
dan pembimbing skripsi penulis, yang telah sabar dan terus memberikan
arahannya untuk membimbing penulis dalam proses penyusunan skripsi
ini.
4. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis
selama duduk di bangku perkuliahan.
5. Pimpinan dan seluruh karyawan Perpustakaan Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas untuk
meminjamkan buku kepada penulis sebagai referensi.
6. Para nara sumber yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan
xi
data- data terkait penelitian ini.
7. Paling istimewa untuk kedua orang tua penulis, Ayahanda Pamuji dan
Ibunda Robiah, yang tak pernah jenuh dan tak menyerah untuk
memberikan dukungan serta tak henti-hentinya mendoakan penulis dalam
menempuh pendidikan, kakakku tersayang Rida Afrisa S.Pd, adikku
tercinta Jihan Nia Anindita, saudara-saudaraku, serta seluruh Keluarga
Besar di Musi Banyuasin, Palembang, dan Jambi.
8. Kepada seluruh teman-teman Hukum Keluarga angkatan 2015, dan
Keluarga HMPS (Himpunan Mahasiswa Program Studi) Fakultas Syariah
dan Hukum periode 2016 dan 2018 khususnya anggota Bidang Keislaman
2016, Abangda Rifqi Akbari S.H, Ayunda Syifa Rahmalia S.H, Nurdiana
Ramadhan S.H, Ilham Ramdhani Rahmat S.H dan Kisai K.M.
9. Keluarga tersayang khususnya IKARUS (Ikatan Keluarga Alumni
Raudhatul Ulum Sakatiga UIN Jakarta), Keluarga Exsekusi Antala’lai,
Keluarga SIMS (Silaturahmi Mahasiswa Sumatera Selatan), Keluarga RK
(Rumah Kito), Keluarga Besar KKN 32 Kebanggaan dan Keluarga Pisang
Warna Warni Group.
10. Sahabat tersayang khususnya kepada Putra Oktafiyanto, M. Cahyo
Rahmat, Risky Sapitri, Hutri Rahayu, Defanti Putri Utami, Khairunnisa,
Ana Eka Fitriani, Meyrini, Siti Dzul Rahmat Al-Istiqlali, Windia Indri
Virsada, Alawiyah, Ghina Husna dan Siti Nur Muhallilah.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih perlu mendapatkan perbaikan.
Oleh karena itu, saran dan kritik akan penulis perhatikan dengan baik. Semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya, pembaca pada umumnya
serta dicatat sebagai amal baik di sisi Allah SWT.
Jakarta, 27 Juli 2019
Penulis
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ..................................................... iv
ABSTRAK .............................................................................................................. v
PEDOMAN TRANSLITERASI ......................................................................... vi
KATA PENGANTAR ............................................................................................ x
DAFTAR ISI ........................................................................................................ xii
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................xiv
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xv
DAFTAR GAMBAR ...........................................................................................xvi
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah ................................ 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................... 8
D. Metode Penelitian .............................................................................. 9
E. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu ................................................ 11
F. Sistematika Penelitian...................................................................... 13
BAB II CERAI GUGAT DALAM FIQH DAN UNDANG-UNDANG ........ 15
A. Pengertian Cerai Gugat .................................................................... 15
1. Cerai Gugat dalam Perspektif fiqh............................................. 19
2. Cerai Gugat dalam Perspektif Undang-Undang ........................ 25
3. Akibat dari Cerai Gugat dan Khulu ........................................... 30
xiii
BAB III KONSEP KEADILAN DAN NAFKAH IDDAH .............................. 33
A. Pengertian Nafkah Iddah ................................................................ 33
1. Nafkah Iddah Dalam Perspektif Fiqh ........................................ 42
2. Nafkah Iddah Dalam Perspektif Undang-Undang ..................... 47
3. Konsep Keadilan dan Hikmah Nafkah Iddah ............................ 50
BAB IV PERTIMBANGAN DAN PENERAPAN HAKIM DALAM
MEMBERIKAN NAFKAH IDDAH .................................................. 57
A. Profil Pengadilan Agama Jakarta Selatan ....................................... 57
B. Deskripsi Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor
1542/Pdt.G/2014/PA.JS .................................................................. 61
C. Landasan dan Pertimbangan Hakim dalam menetapkan
Nafkah Iddah bagi Istri yang mengajukan Gugatan Cerai.............. 66
D. Analisis Penulis Terhadap Putusan Pengadilan Agama Jakarta
Selatan Nomor 1542/Pdt.G/2014/PA.JS......................................... 70
E. Penerapan Asas Keadilan ............................................................... 74
BAB V PENUTUP ............................................................................................ 76
A. Kesimpulan ..................................................................................... 76
B. Saran ............................................................................................... 77
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 79
LAMPIRAN .......................................................................................................... 84
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
1. Surat Permohonan Pembimbing Skripsi
2. Surat Permohonan Permintaan Lengkap Putusan Perkara
3. Salinan Putusan Perkara
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Studi Review Terdahulu........................................................................ 11
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.1 Struktur Pengadilan Agama Jakarta Selatan ................................. 53
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan yang bermasyarakat, perkawinan tidak hanya
merupakan masalah individu, antara seorang laki-laki dan perempuan, yang telah
sepakat untuk hidup bersama dalam sebuah keluarga. Perkawinan merupakan
perpaduan antara banyak aspek, yaitu nilai budaya, agama, hukum, tradisi,
ekonomi dan lain-lain. Perbedaan budaya dalam satu masyarakat dengan
masyarakat lain menyebabkan proses perkawinan serta pemilihan pasangan akan
berbeda antara satu kelompok masyarakat dengan masyarakat lainnya. Hampir
di setiap agama memiliki aturan tentang perkawinan. Di dalam agama Islam, ada
aturan ketika perkawinan tidak lagi bisa dilanjutkan, maka bisa melalui jalan
perceraian. Sementara dalam agama lain, seperti Kristen atau Katolik, perceraian
adalah sesuatu yang terlarang, meski dalam kenyataan tetap saja ada perceraian
yang secara administratif disahkan oleh Kantor catatan sipil.
Masyarakat muslim dalam berperilaku untuk berhubungan baik sesama
manusia (horizontal) maupun secara (vertikal) berhubungan dengan Allah
S.W.T telah diatur dalam hukum Islam. Titik fungsional hukum Islam terus
menerus membentuk struktur sosial masyarakat muslim dalam menjalani
kehidupan sosialnya. Karena harus ada norma yang harus dipatuhi dalam
kehidupan bersama, norma-norma melekat kuat sebagai fakta di dalam realita.1
Perkawinan merupakan jawaban bagi masalah kekosongan eksistensial
manusia. Orang dapat saling memberi dan menerima cinta, sehingga bagi setiap
pasangan berpeluang untuk bersama-sama mengembangkan diri menjadi pribadi
yang sehat dan matang. Konsep berpasang-pasangan merumuskan bahwa
hubungan antara berbeda jenis kelamin laki-laki dan perempuan menjadi unsur
1 Yayan Sopyan, Islam Negaara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam Dalam
Hukum Nasional, (Jakarta: PT. Wahana Semesta Intermedia, 2012), h., 11.
2
ibadah, sebagaimana selaras dengan konsep Hukum Islam yang dinamakan
dengan perkawinan. Perkawinan dalam hukum Islam tidaklah semata-mata
sebagai hubungan atau kontrak keperdataan biasa, namun memiliki nilai ibadah.
Oleh karena itu, amatlah tepat jika kompilasi menegaskannya sebagai akad yang
sangat kuat (miitsaqan gholiidhan) untuk mentaati perintah Allah, dan
melaksanakannya merupakan ibadah (pasal. 2 KHI).2
Ini mengisyarakatkan
bahwa pernikahan itu merupakan perjanjian serius antara mempelai pria (suami)
dengan mempelai perempuan (istri). Karenanya pernikahan yang sudah
dilakukan itu harus dipertahankan.3
Pada masa pra-Islam kedudukan perempuan berada dalam kondisi yang
tidak terhormat, bahkan dalam batas tertentu tidak dianggap sebagai manusia.
Begitu pula dalam perkawinan, perempuan dianggap sebagai barang yang
dipertukarkan, tanpa ada ikatan yang jelas. Kedatangan Islam mengangkat
derajat dan martabat perempuan salah satunya dengan disyariatkan perkawinan
yang mana didalamnya diatur mengenai hak dan kewajiban. Kemudian untuk
menjaga kelangsungan lembaga perkawinan maka diciptakan mekanisme
perceraian agar laki-laki tidak mudah untuk menceraikan isterinya.4
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum asal dari perceraian.
Sebagian ulama mengatakan bahwa hukum asalnya adalah makruh sebagaimana
ada hadist Rasulullah yang menunjukkan kearah sana. Salah satu hadistnya
adalah yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar.
2 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000),
h., 69. 3 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta:PT Jakarta
Grafindo Persada, 2005), h., 50. 4 Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013),
h., 228.
3
ثناكثيربنعبيد،حد ثنامحمدبنخالد،عنمعرفبنواصل،عنمحارببنحد
عليه وسلم دثار،عنابنعمر،عنالنبي قال:)صلى الل وأبغض الحلل إلى الل عز
(الطلق جل “Telah menceritakan kepada kami Katsiir bin ‘Ubaid, telah menceritakan kepada
kami Muhammad bin Khalid dari Muarrif bin Waashil, dari Muharrib bin Ditsar,
dari Ibnu Umar Ra. dia berkata bahwa Rasulullah SAW. bersabda, Perbuatan
yang halal yang dibenci Allah ialah talak.”5
Argumentasi lain menyatakan bahwa hukum asal dari perceraian adalah
makruh karena perkawinan merupakan nikmat Allah sehingga ketika terjadi
perceraian maka dapat diartikan sebagai bentuk pengingkaran terhadap nikmat
Allah dan perceraian merupakan sumber dari segala derita yang akan dirasakan
bukan hanya oleh pihak suami dan isteri tapi juga pihak anak.6
Dalam sistem hukum perkawinan di Indonesia Kompilasi Hukum Islam
(KHI) pasal 156 putusnya perkawinan karena perceraian dapat dibagi menjadi
dua bagian yakni perceraian talak dan gugat. Perceraian talak adalah perceraian
yang dikehendaki oleh pihak suami dan diajukan ke Pengadilan Agama, dalam
proses peradilanya disebut permohonan cerai talak. Sedangkan perceraian gugat
dapat diartikan sebagai sebuah perceraian yang dikehendaki oleh pihak isteri dan
diajukan ke Pengadilan Agama, dalam proses peradilannya disebut gugatan
perceraian.7
Perceraian merupakan sebuah keputusan yang menyakitkan bagi
pasangan suami dan isteri. Dan juga perceraian merupakan sebuah hal yang halal
namun tidak disenangi oleh Allah S.W.T. Karena sesungguhnya Allah S.W.T
melarang pertikaian dan menyenangi perdamaian. Dilihat dari Undang Undang
No.7 tahun 1989 tentang peradilan Agama dan kompilasi hukum Islam dikenal
dengan istilah cerai talak dan cerai gugat. Perceraian yang dimaksud dalam
5 Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy’atsAs-Sijistani, Sunan Abu Dawud, (Lebanon: Dar
Ar-Risalah Al-Alamiyah) Jus 3, h., 515. 6 Yayan Sopyan, Islam-Negara “Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional” , (Jakarta: PT. Wahana Semesta Intermedia, 2012), h., 179. 7
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: CV Akademika
Pressindo, 1995, Cet. Kedua, ), h., 150
4
penulisan ini adalah perceraian karena talak dan perceraian karena gugatan isteri.
Dalam pasal 39 Undang-Undang perkawinan tahun 1974menyebutkan “untuk
melakukan sebuah perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami dan
isteritidakakandapatrukunsebagaisuamiisteri”.Ceraitalakmerupakancerai
yang dilafadzkan oleh pihak suami sedangkan cerai gugat merupakan cerai yang
di ajukan oleh pihak wanita sebagai isteri.8 Dalam Kompilasi Hukum Islam
dijelaskan tentang Talak, talak adalah ikrar suami dihadapan sidang pengadilan
agama yang menjadi salah satu penyebab putusnya perkawinan, dengan cara
sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130, 131 Kompilasi Hukum Islam.
Dalam hukum positif aturan tentang nafkah setelah perceraian diatur
dalam Pasal 41 Huruf c UU No. 1 Tahun 1974 dan Pasal 149 hurub b KHI. Pasal
41 huruf c UU No. 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa Pengadilan dapat
mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau
menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri. Agak berbeda dengan UU No.
1 tahun 1974, Pasal 149 huruf b menyebutkan bahwa bilamana perkawinan
putus karena talak, maka bekas suami wajib memberi nafkah, maskan (tempat
tinggal) dan kiswah (pakaian) kepada bekas isteri selama dalam iddah (masa
tunggu), kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak ba’in (talak 1 atau 2 yang
dimungkinkan bisa rujuk kembali) atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.
Dalam hal perkawinan ketika pihak isteri ataupun pihak suami yang
memilih untuk bercerai maka mereka harus siap menghadapi konsekuensi yang
telah diambilnya. Maka, setiap keputusan yang diambil oleh suami dan istri tentu
saja memiliki resiko yang harus dihadapi. Dalam hukum perkawinan di
Indonesia tidak disebutkan secara spesifik mengenai akibat dari cerai gugat.
Sehingga adanya pernikahan antara suami dan istri maka berlakunya hak
dan kewajiban diantara keduanya sesuai dengan hukum Islam yang berlaku.
Kewajiban suami yang telah menjatuhkan talak kepada isterinya dapat diuraikan
8 Undang-Undang Pokok Perkawinan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1989), h., 39.
5
kepada beberapa macam yakni pemberian mut’ah, memberi nafkah baik itu
nafkah pakaian dan tempat kediaman untuk mantan isteri selama dalam masa
iddah, membayar atau memberikan pelunasan pada mas kawin, membayar
nafkah untuk anak-anaknya.
Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menegaskan bahwa
akibat dari putusnya perkawinan karena perceraian ialah:9
1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-
anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilamana ada
perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberi
keputusanya.
2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataanya
tidak dapat memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa
ibu ikut memikul biaya tersebut.
3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
Pasal 156 Kompilasi Hukum Islam mengatur mengenai putusnya
perkawinan sebagai akibat dari cerai gugat. Anak yang belum mumayyiz (sudah
pandai namun belum baligh) berhak mendapatkan hadhanah (hak asuh anak)
dan ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya
digantikan oleh wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu, kemudian ayah atau
wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah, dan wanita kerabat sedarah menurut
garis samping dari ayah.
9 Undang-Undang Pokok Perkawinan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1989).
6
Ibnu Rusyd mengatakan dalam bukunya yang berjudul Bidayatul
Mujtahid, bahwasanya para fuqaha berbeda pendapat mengenai tempat tinggal
dan nafkah bagi isteri yang ditalak bain tidak dalam keadaan hamil dalam tiga
pendapat. Pendapat pertama, pendapat yang dikemukakan oleh fuqaha kufah
mengatakan bahwa isteri berhak tempat tinggal dan nafkah. Sedangkan pendapat
kedua, mengatakan bahwa istri tersebut tidak memperoleh tempat tinggal
ataupun nafkah. Pendapat ini dikemukakan oleh Ahmad, Dawud, Abu Tsaur,
Ishaq dan segolongan fuqaha. Dan pendapat ketiga yang dikemukakan oleh
ImamMalik, Syafi’i, dan yang lainmengatakan bahwa isteri hanya mendapat
tempat tinggal saja tanpa adanya nafkah. Silang pendapat ini disebabkan adanya
perbedaan riwayat tentang hadist Fatimah binti Qais dan adanya pertentangan
antara hadist tersebut dengan lahir ayat al-Qur’an.10
Bila perceraian terjadi atas kehendak suami maka bekas isteri berhak
mendapatkan nafkah lahir dari suaminya selama masa iddah (masa tunggu). Hal
tersebut tercantum dalam pasal 149 Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan
apabila perkawinan putus karena talak maka bekas suami wajib memberikan
nafkah, maskan (tempat tinggal) dan kiswah (pakaian) kepada mantan isteri
selama dalammasa iddah kecuali bekas isteri dijatuhi talak ba’in atau nusyuz
dan dalam keadaan tidak hamil.11
Namun tidak semua putusan Pengadilan Agama (PA) ditanah air yang
menerapkan peraturan sesuai dengan Undang-Undang ataupun hukum Islam,
pada Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor 1542/Pdt.G/2014/PA.JS
ternyata majelis hakim memutuskan bahwa mantan isteri selaku penggugat
berhak atas nafkah selama masa iddah dari mantan suami selaku tergugat.
10
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Analisa Fiqh para Mujtahid, (Penerjemah:Imam
Ghazali dan Achmad Zaidun), Jakarta: Pustaka Amani,2007, h., 614-615 11
Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: CV Akademika
Pressindo, 2007), h., 149
7
Padahal jenis perkaranya adalah gugatan dan talak yang dijatuhkan adalah talak
bain sughra. Hal ini yang kemudian menarik penulis untuk menulis
permasalahan pada skripsi ini dengan judul “Nafkah Iddah Perkara Cerai
Gugat (Studi Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor
1542/Pdt.G/2014/PA.JS)”
B. Pembatasandan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Dalam putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor
1542/Pdt.G/2014/PA.JS banyak sekali permasalahan yang muncul untuk
dikaji dan diteliti terkait pemberian nafkah iddah pasca cera gugat. Adapun
identifikasi dalam masalah dalam penilitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana ketentuan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
dan Kompilasi Hukum Islam tentang pemberian nafkah iddah dalam
cerai gugat?
2. Apakah terjadi kontradiktif antara ketentuan UU Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam tentang pemberian
nafkah iddah dalam cerai gugat pada putusan Nomor
1542/Pdt.G/2014/PA.JS ?
3. Apa pertimbangan hakim memerintahkan kepada tergugat untuk
memberikan nafkah iddah kepada penggugat pada putusan Nomor
1542/Pdt.G/2014/PA.JS ?
4. Bagaimana analisis pertimbangan hakim memerintahkan kepada
tergugat untuk memberikan nafkah iddah kepada penggugat pada
putusan Nomor 1542/Pdt.G/2014/PA.JS ?
5. Atas dasar teori apa hakim memeberikan nafkah iddah kepada
penggugat pada putusan Nomor 1542/Pdt.G/2014/PA.JS ?
8
2. Perumusan Masalah
Dalam teorinya pada Kompilasi Hukum Islam Pasal 149
menyebutkan apabila perkawinan putus karena talak maka bekas suami
wajib memberikan nafkah, maskan (tempat tinggal) dan kiswah (pakaian)
kepada mantan isteri selama dalam masa iddah kecuali bekas isteri dijatuhi
talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil. Namun pada
praktiknya hakim memberikan nafkah iddah kepada isteri yang melakukan
gugatan perceraian ke Pengadilan Agama dan dijatuhkantalakba’in.
Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah dan
batasan-batasannya yang telah penulis kemukakan, maka ditarik rumusan
masalah sebagai berikut.
a. Bagaimana hak nafkah iddah untuk isteri yang mengajukan gugatan
perceraian?
b. Apa yang menjadi landasan dan pertimbangan
hakim untuk memberikan nafkah iddah kepada isteri yang dicerai
dengan talak ba’in?
c. Apakah penerapan tersebut sudah sesuai dengan asas keadilan?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1) Mengetahui ketentuan nafkah iddah dalam Islam dan mengetahui
proses ketentuan nafkah iddah bagi seorang isteri pasca cerai gugat.
2) Mengetahui landasan dan pertimbangan hakim untuk
memberikan nafkah iddah kepada isteri yang dicerai dengan talak
ba’in pada perkara putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Pengadilan Agama Nomor 1542/Pdt.G/2014/PA.JS.
9
3) Mengetahui konsep keadilan menurut hakim dalam memberikan
nafkah iddah pada perkara putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Nomor 1542/Pdt.G/2014/PAJS.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
1) Secara akademik, menambah ilmu pengetahuan dibidang hukum
perdata serta mengembangkan ilmu dibidang syariah, khususnya
dalam bidang perkawinan dan mengetahui dasar hukum pertimbangan
hakim dalam memutus perkara pemberian nafkah iddah kepada isteri
yang dicerai dengan talak ba’in.
2) Secara praktis, agar masyarakat mengetahui gambaran pengaturan
nafkah iddah kepada isteri yang dicerai dengan talak ba’in dalam
hukum Islam dan perundang-undangan di Indonesia.
D. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian kualitatif. Dimana penelitian kualitatif adalah berpijak dari
realita atas peristiwa yang berlangsung dilapangan. Dilihat dari segi
tujuan dalam penelitian termasuk penelitian yang bersifat deskriptif
analisis yaitu penelitian lapangan yang menggambarkan data-data dan
informasi di lapangan berdasarkan fakta yang diperoleh secara
mendalam.
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
studi, yaitu dengan memahami normative-yuridis, atau interaksi individu
di dalam suatu unit sosial atau mengenai kelompok terhadap pelaku yang
terjadi di lapangan.
10
3. Sumber Data
Sebagai sumber data dalam penelitian ini, terdiri dari dua yaitu:
Data Primer dan Data Sekunder.
a. Data primer terdiri dari Peraturan Perundang-undangan terkait akibat
putusnya perkawinan terutama tentang nafkah iddah dan data yang
didapat dari hasil pertimbangan hakim terhadap putusan Pengadilan
Agama Jakarta Selatan Nomor 1542/Pdt.G/2014/PAJS.
b. Sumber data sekunder dari penelitian ini adalah buku-buku, jurnal,
artikel, kitab fiqih, Undang-Undang, Kompilasi Hukum Islam (KHI),
dan permasalahan lain yang berhubungan dengan permasalahan yang
menjadi pokok dalam bahasan penelitian ini.
4. Teknik Pengumpulan Data Penelitian
a. Studi Putusan Yurisprudensi
Studi putusan yurisprudensi yaitu teknik pengumpulan putusan yang
sistematis dari keputusan Mahkamah Agung dan keputusan
Pengadilan Tinggi yang diikuti oleh hakim lain dalam memberikan
keputusan sosial yang sama. Dalam hal ini, studi putusan
yuresprudensi yang dilakukan adalah studi putusan Pengadilan Agama
Jakarta Selatan Nomor 1542/Pdt.G/2014/PA.JS.
b. Studi Kepustakaan (Library Research)
Studi kepustakaan dimaksudkan untuk memperoleh landasan teoritis
berupa konsep dari beberapa literatul yang terkait dengan materi
pokok permasalahan yang akan penulis bahas, baik dari buku-buku
karangan ilmiah, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah,
Kompilasi Hukum Islam serta peraturan lainnya yang erat kaitannya
dengan masalah yang dibahas.
c. Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan
11
menggunakan analisis yurisprudensi yang dilakukan yaitu studi
putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor
1542/Pdt.G/2014/PAJS. Sehingga didapatkan suatu kesimpulan yang
objektif, logis, konsisten, dan sistematis sesuai dengan tujuan yang
dikehendaki penulis dalam penulisan proposal skripsi ini.
5. Teknik Penulisan
Teknik penulisan penelitian ini merujuk pada pedoman penulisan
skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang diterbitkan oleh Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM)
Fakultas Syariah dan Hukum tahun 2017.
E. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu
Dalam karya ilmiah ini, penulisan menemukan data yang berhubungan
dengan bahasan yang ingin penulis analisis:
No Judul Pembahasan Perbedaan
1. Dalam skripsinya
Irfan Nurhasan
menuliskan tentang
Pandangan hakim
tehadap hak nafkah
iddah pada kasus
cerai gugat karena
KDRT (studi atas
Putusan
Pengadilan Agama
Bekasi Tahun
2014) tahun 2018.
Membahas tentang
pelaksanaan
pemberian nafkah
iddah pada perkara
cerai gugat dengan
alasan kekerasan
rumah tangga.
Perbedaan skripsi
tersebut dengan skripsi
yang penulis susun
adalah skripsi tersebut
lebih menekankan
kajian tentang
pemberian nafkah iddah
pada perkara cerai gugat
dengan alasan kekerasan
rumah tangga.
sedangkan pembahasan
yang disusun oleh
penulis mengenai
12
pertimbangan hakim
mengenai pemberian
nafkah iddah kepada
isteri yang di talak bain
berdasarkan Tergugat
mempunyai penghasilan
yang layak.
2. Dalam skripsinya
Rio Rusdhiyansah
menuliskan tentang
“Pelaksanaan
putusan perceraian
terhadap nafkah
iddah dan nafkah
anak dalam praktek
di Pengadilan
Agama Kota
Tangerang Tahun
2015-2016” tahun
2018.
Membahas tentang
mengenai praktek
pemberian nafkah
iddah dan nafkah
anak pasca
terjadinya
perceraian.
Perbedaan skripsi
tersebut dengan skripsi
yang penulis susun
adalah skripsi tersebut
lebih menekankan
praktek pemberian
nafkah iddah dan nafkah
anak pasca terjadinya
perceraian sedangkan
pembahasan yang
disusun oleh penulis
mengenai analisis
pertimbangan hakim
tentang pemberian
nafkah iddah kepada
isteri yang di talak bain
berdasarkan Tergugat
mempunyai penghasilan
yang layak.
3
3.
Dalam skripsinya
Dewi Uswatun
Membahas tentang
pandangan hukum
Perbedaan skripsi
tersebut dengan skripsi
13
menuliskan tentang
“Hak Nafkah Iddah
Pasca Cerai Gugat
Dan
Implementasinya
Di Pengadilan
Agama Tanjung
Pati” Tahun 2014.
islam dan hukum
positif hak
perempuan dalam
memperoleh nafkah
iddah pasca cerai
gugat.
yang penulis susun
adalah skripsi tersebut
lebih menekankan
menekankan pada
hukum islam dan hukum
positf sedangkan
pembahasan yang
disusun oleh penulis
mengenai analisis
pertimbangan hakim
tentang pemberian
nafkah iddah kepada
isteri yang di talak bain
berdasarkan Tergugat
mempunyai penghasilan
yang layak.
Table 1.1 Studi Review Terdahulu.
F. Sistematika Penulisan
Untuk lebih mempermudah pembahasan dan penulisan skripsi ini,
maka penulis mengklasifikasikan dan menjelaskan permasalahan dalam
beberapa bab dengan sistematika sebagai berikut:
Bab Pertama, merupakan bab pendahuluan yang diuraikan tentang
latar belakang masalah,identifikasi masalah, pembatas dan perumusan
masalah, manfaat dan tujuan penelitian, metode penelitian, riview studi
terdahulu, beserta sistematika penulisan.
Kemudian bab Kedua, merupakan kajian teoritis cerai gugat, tentang
pengertian cerai gugat, menurut pandangan imam mazhab dan juga peraturan
perundang-undangan perkawinan di Indonesia, serta akibat dari cerai gugat.
14
Selanjutnya bab Ketiga, dalam bab ini penulis menjelaskan tentang
pengertian nafkah iddah, menurut pandangan imam mazhab dan juga
peraturan perundang-undangan perkawinan di indonsia serta konsep keadilan
dan hikmah disyariatkanya nafkah iddah.
Selanjutnya bab keempat, dalam bab ini menjelaskan tentang profil
singkat Pengadilan Agama Jakarta Selatan serta analisa penulis terhadap
putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor 1542/Pdt.G/2014/PAJS
tentang pemberian nafkah iddah bagi isteri yang melakukan gugatan cerai.
Pada bab ini juga akan dipaparkan mengenai bagaimana pertimbangan hakim
dalam menentukan nafkah iddah pada perceraian gugat dan penerapan asas
keadilan dalam putusan hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
Adapun bab kelima, merupakan bab yang berisi kesimpulan dan
saran-saran yang diberikan untuk penulis selanjutnya yang akan mengkaji
tentang penelitian ini.
15
BAB II
CERAI GUGAT PERSPEKTIF FIQH DAN UNDANG-UNDANG
A. Pengertian Cerai Gugat
Kata cerai atau perceraian dalam kajian hukum persepektif fiqh dan
legal formal atau Undang-undang biasa disebut dengan umum dan khusus.
Penyebutan kata cerai secara umum atau dalam Undang-undang biasanya
disebutkan dengan kata talak, sedangkan secara khusus, disamping kata talak
ada juga kata khulu menurut perspektif fiqh maupun hukum Islam.
Agama Islam memiliki ajaran yang komprehensif dan terinci dalam
masalah keluarga. Dalam ayat Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad SAW,
yang memberikan petunjuk yang sangat jelas menyangkut persoalan keluarga,
mulai dari awal pembentukan keluarga, hak dan kewajiban serta tanggung
jawab masing-masing unsur dalam keluarga hingga masalah kewarisan dan
perwalian. Ini terbukti bahwa seperempat bagian dari fiqh (hukum Islam)
berbicara tentang keluarga.1
Terkadang, dalam menjalankan bahtera rumah tangga itu tidak selalu
berjalan mulus, pasti ada kesalahfahaman, dan pertentangan antara kedua
belah pihak (suami dan istri). Percekcokan dalam menangani permasalahan
keluarga ini ada pasangan yang dapat mengatasinya dan ada pula yang tidak
bisa mengatasi permasalahanya sehingga berujung pada perceraian.
Terkadang percekcokan itu juga perlu ada di tengah dinamika keluarga
sebagai bumbu keharmonisan dan variasi rumah tangga,
Namun, ada juga keluarga yang tidak dapat mengatasi problematika
ini. Apabila dipertahankan keutuhan rumah tangga, baik suami maupun istri
1 Huzaemah T. Yanggo, Hukum Keluarga Dalam Islam, (Yayasan Masyarakat
Indonesia Baru, 2013), h., 13.
16
akan mengalami penderitaan. Dalam kondisi ini dimana dharuratnya lebih
besar dari pada maslahatnya, Islam memperbolehkan terjadinya talak.2 Jadi,
bagi pasangan suami/istri yang tidak bisa mengatasi permasalahan rumah
tangga tersebut, maka jalan penengah diantara keduanya ialah perceraian.
Perceraian menurut Pasal 38 UU No. 1 Tahun 1974 adalah “Putusnya
perkawinan”. Jadi, yang dimaksud dengan perceraian adalah putusnya ikatan
lahir batin antara suami dan istri yang mengakibatkan berakhirnya hubungan
keluarga (rumah tangga) antara suami dan istri tersebut.3
Sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Al-Baqarah (2): 229 memberikan
kemungkinan terjadinya talak atau perceraian bagi keluarga yang tidak
mungkin mempertahankan kelangsungan rumah tangganya. Dari pada
mempertahankan kehidupan keluarga yang terus menerus tidak harmonis,
maka akan lebih baik mengakhiri kehidupan keluarga itu dengan cara yang
baik dan lebih terhomat. Di sinilah letak arti penting kalam Allah S.W.T: fa-
imsakun-bima’rufin au tasrihun-biihsan, mempertahankan rumah tangga
dengan cara yang baik, atau (kalau terpaksa) melepaskanya dengan cara yang
baik pula.4
Putusnya perkawinan baik kehendak dari suami atau istri ataupun
kehendak diantara keduanya, disebut dengan istilah “perceraian” yang
diantaranya bersumber dari sedikit dilaksanakanya hak dan kewajiban suami
istri yang seharusnya mereka laksanakan namun mereka lalaikan
sebagaimana menurut hukum perkawinan yang berlaku.
Ketidakharmonisan rumah tangga menjadi hilang berganti menjadi
ketidakharmonisan bisa ditimbulkan oleh beberapa hal, sebagaimana
disebutkan oleh Yayan Sopyan dalam bukunya yang berjudul Islam-Negara
2 Yayan Sopyan, Islam-Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam
Hukum Nasional, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h., 172. 3 Muhammad Syaifuddin, Hukum Perceraian, (Jakarta: Sinar Grafika,2014), h., 18.
4 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT
Jakarta Grafindo Persada, 2005), h., 177.
17
Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional, diantara
penyebabnya ialah:5
a. tidak saling menghormati diantara keduanya,
b. hilangnya rasa kepercayaan sesama mereka,
c. masalah ekonomi yang kurang mencukupi,
d. hadirnya orang ketiga diantara keluarga atau salah satu pihak
berselingkuh,
e. adanya campur tangan mertua terhadap rumah tangganya, serta terjadi
sengketa perselisihan pendapat yang tidak terselesaikan.
Pada prinsipnya, talak itu adalah hak mutlak suami. Artinya hanya
suamilah yang berhak menceraikan. Andai si istri ingin cerai dengan
suaminya maka ia harus meminta persetujuan dari suaminya, biasanya
permintaan tersebut diikuti dengan kompensasi agar supaya suami mau
melepas hak nya. Perceraian yang diusulkan dari istri kepada suami menurut
bahasa disebut dengan khulu.6
Khulu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti
perceraian atas permintaan pihak perempuan dengan membayar sejumlah
uang atau mengembaliakan maskawin yang diterimanya.7 Sedangkan didalam
Kamus Al-Munawwir Khulu berarti perceraian atas permintaan istri dengan
pemberian ganti rugi dari pihak istri.8 Menurut Ibrahim Muhammad al-Jamal,
makna khulu secara bahasa adalah berpisahnya istri atas dasar harta yang
diambil dari pelepasan pakaian, karena wanita itu pakaian pria.9 Sedangkan
menurut ilmu fiqih adalah berpisahnya suami dengan istrinya dengan ganti
yang diperolehnya. Dapat dipahami bahwa khulu adalah solusi yang
5 Yayan Sopyan, Islam-Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam
Hukum Nasional, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h., 187. 6
Yayan Sopyan, Islam-Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam
Hukum Nasional, h., 188. 7 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi Ketiga,
(Jakarta: Balai Pustaka, 2005) h.,565. 8 Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997), h., 361. 9 Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqih Wanita Islam, (Penerjemah: S. Ziyad ‘Abbas),
(Jakarta: Pustaka Panjimas, 1991), h., 87.
18
diberikan oleh hukum Islam kepada istri yang berkehendak untuk bercerai
dengan suami, dengan tujuan menghindarkan istri dari kehidupan rumah
tangga yang tidak harmonis dan menimbulkan kemudharatan jika
dipertahankan, sehingga istri khawatir tidak dapat melaksanakan hak Allah
S.W.T. untuk mentaati suami, yang dapat ditempuh dengan cara istri meminta
suami untuk menceraikannya, yang disertai uang tebusan dari istri yang
menginginkan cerai dari suaminya tersebut.10
Dengan adanya khulu ini, dapat dipahami bahwa perempuan memiliki
hak yang setara dengan laki-laki dalam menuntut pemutusan hubungan
perkawinan. Setidaknya, hal ini dapat mengimbangi proses perceraian yang
telah ada sebelum datangnya Islam, di mana laki-laki mempunyai hak penuh
dalam perceraian.11
Berdasarkan nas-nas Al-Qur’an dan al-Hadist, nusyuz tidak berlaku
dikalangan istri saja bahkan ia juga berlaku dikalangan suami. Bahkan
berdasarkan kepada maklumat semasa nusyuz dikalangan suami adalah lebih
tinggi berbanding istri. Maka nusyuz boleh dikatakan sebagai “Suami atau
istri yang lalai dalam melaksanakan tanggungjawab mereka terhadap
pasangan sebagaimana yang telah diamanahkan oleh Allah S.W.T kepada
mereka tanpa ada sebarang alasan yang disyariatkan untuk dikecualikan dari
pada melaksanakan amanah tersebut.12
Ketika terjadi pertengkaran antara kedua belah pihak antara suami atau
istri, Islam tidak langsung menganjurkan suami istri untuk mengakhiri
perkawinan, tetapi dilakukan terlebih dahulu musyawarah. Dalam
pertengkaran, bisa saja suami dan atau istri yang nusyuz (istri yang
10 Muhammad Syaifuddin, Hukum Perceraian, (Jakarta Sinar Grafika,2014), h.,
136. 11
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,
2013), h., 230. 12
Norzulaili Mohd Ghozali dan Wan Abdul Fattah Wan Ismail, Nusyuz, Syiqaq dan
Hakam Menurut Al-Qur’an, Sunnah dan Undang-Undang Keluarga Islam, (Malaysia: Kolej
Universiti Islam Malaysia, 2007), h., 2.
19
durhaka/menentang kepada suami)13
dan mengetahui bagaimana nusyuz (istri
yang durhaka/menentang kepada suami) yang telah dilakukan oleh kedua
belah pihak atau perkara yang menjadi syiqaq (persengketaan) muncul,
sehingga sebab-sebab terjadinya kesalah pahaman bisa diatasi. Jika upaya ini
tidak berhasil, maka dianjurkan untuk mengambil hakam satu orang dari
masing-masing pihak untuk menjembatani dan mencoba untuk memulihkan
kedamaian di antara mereka berdua.14
Untuk mencapai perdamaian antara suami-istri bila mana tidak dapat
diselesaikan oleh mereka, maka Islam mengajarkan agar diselesaikan melalui
hakam, yaitu dengan mengutus satu orang yang dipercaya dari pihak laki-laki
dan satu orang dari pihak perempuan guna berunding sejauh mungkin untuk
didamaikan.15
Dalam Q.s An-Nisa ayat 35 Allah berfirman:
Artinya: “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya,
Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari
keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan
perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
1. Cerai Gugat dalam Perspektif fiqh
Pengertian cerai gugat perspektif figh yang dimaksud adalah khulu,
sebagaimana dijelaskan diatas bahwasanya yang dimaksud dengan kata cerai
atau perceraian yakni ada kata talak dan khulu. Kata talak yang diusulkan
oleh suami sedangkan khulu perceraian yang diajukan oleh istri.
13 Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997), h., 1419. 14
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,
2013), h., 229. 15
Satria Effendi M.Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer:
Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah, (Jakarta: Kencana Premedia Group,
2010), h., 97.
20
Hukum Islam memberi jalan kepada istri yang menghendaki
perceraian dengan mengajukan khulu, sebagaimana hukum Islam memberi
jalan kepada suami untuk menceraikan istrinya dengan jalan talak.16
Hal ini
bukan berarti Islam terkesan maskulin dan memarjinalkan perempuan, karena
Islam pun tetap memberikan kesempatan perempuan untuk meminta
/menggugat cerai dengan cara khulu.17
Wahbah Zuhaili dalam karangan bukunya menggemukakan pendapat
bahwasanya secara fiqih, khulu memiliki beberapa makna menurut istilah
masing-masing mazhab. Menurut mazhab Hanafi khulu adalah penghilangan
kepemilikan ikatan pernikahan yang bergantung pada penerimaan si istri,
dengan lafal khulu dan kalimat lain yang memiliki makna yang sama.
Definisi khulu menurut pendapat mazhab Maliki adalah talak dengan iwa’dh,
baik talak ini berasal dari istri maupun dari orang lain yang selain istri yang
terdiri dari wali ataupun orang lain, atau talak yang diucapkan dengan lafal
khulu. Definisi ini menunjukan bahwa ada dua macam khulu: Pertama, yaitu
yang mayoritas terjadi adalah yang berdasarkan iwa’dh harta. Kedua, talak
yang terjadi dengan lafal khulu meskipun tidak berdasarkan iwa’dh apa-apa.
Menurut mazhab Maliki khulu mencakup perpisahan yang terjadi dengan
iwa’dh atau dengan tanpa iwa’dh.18
Definisi khulu menurut mazhab Syafi’i sebagaimana disebutkan oleh
Wahbah Zuhaili adalah perpisahan antara suami dan istri dengan iwa’dh
degan lafal talak atau khulu. Seperti ucapan seorang suami kepada istrinya,
“Aku talak kamu atau aku khulu kamu berdasarkan ini”, maka si istri
menerima. Ini adalah definisi yang paling pas karena sesuai dengan maksud
yang ingin di tuju pada khulu disini. Menurut mazhab Hambali yaitu
perpisahan suami dengan istrinya dengan iwa’dh yang dia ambil dari si istri,
dengan lafal khusus. Faidahnya adalah membuat si istri terlepas dari suami
16 Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenamedia Group,
2012) h., 220. 17
Dahlan Tamrin, Filsafat Hukum Islam, (UIN Malang Pers, 2007), h., 174. 18
Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Penerjemahan: Abdul Hayyie,dkk)
(Jakarta: Gema Insani, 2011), h., 418.
21
dalam bentuk yang si suami tidak memiliki kemungkinan untuk merujuk si
istri kecuali dengan keridhaan istri. Dalam satu riwayat, menurut mereka
khulu sah terjadi dengan tanpa iwa’dh adalah salah satu rukun dalam khulu,
maka tidak boleh ditinggalkan, seperti halnya pembayaran dalam jual beli.
Sedangkan menurut mayoritas ulama, khulu boleh dan tidak apa-apa untuk
dilakukan, karena manusia membutuhkannya akibat adanya persengketaan
diantara suami-istri dan tidak ada keharmonisan pada pasangan.19
Sedangkan
pendapat yang rajih menurut mazhab Hambali adalah iwa’dh salah satu rukun
dalam khulu maka tidak boleh ditinggalkan, seperti halnya pembayaran
dalam jual beli. Jika si suami mengkhulu istrinya dengan tanpa iwa’dh, maka
tidak jatuh khulu ataupun talak, kecuali jika talak ini diucapkan dengan lafal
talak atau dengan niat talak, maka jatuh talak raj’i.
Dengan demikian, terkadang khulu disamakan dengan fasakh karena
istri mengajukan cerai dari suaminya kepada hakim dengan memberikan
sejumlah tebusan, kemudian jika alasan-alasan diajukan khulu diterima,
kemudian hakim memfasakh perkawinan suami istri tersebut. Jadi yang
memutus tali perkawinan suami istri tersebut adalah hakim, bukan talak
suami.20
Hukum asal khulu ada yang berpendapat dilarang (haram) ada yang
mengatakana makruh, dan ada yang mengatakan haram kecuali darurat,
ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa hukum asal melakukan khulu itu
makruh, hanya dia menjadi sunnat hukumnya bila istri ternyata tidak baik
dalam bergaul terhadap suaminya. Khulu itu tidak dapat menjadi haram dan
tidak pula menjadi wajib. Dasar hukum disyari’atkanya khulu ialah firman
Allah S.W.T dalam Q.S. Al-Baqarah (2): 229:21
19 Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2011), h.,
418. 20
M. Zaenal Arifin, dan Muh. Anshori, Fiqih Munakahat, (Madiun: CV. Jaya Star
Nine, 2019.) h., 187. 21
Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenamedia Group,
2012), h., 225.
22
Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi
dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak
halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan
kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya
(suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada
dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus
dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya.
Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang
yang zalim.” (Q.S. Al-Baqarah (2): 229)
Ayat ini menjelaskan bahwa suami tidak diperbolehkan mengambil
segala sesuatu yang telah diberikan kepada istrinya, kecuali dengan cara
khulu. Apabila keduanya takut tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah,
dalam menjalankan hubungan berdua, maka dibenarkan melakukan khulu.
Artinya tidak berdosa bagi istri untuk membayar ganti rugi dan suami
mengambilnya.22
Ayat yang mulia ini telah menghilangkan kebiasaan yang berlaku
pada permulaan Islam, yaitu seorang laki-laki lebih berhak merujuk istrinya
meskipun ia telah menalaknya seratus kali, asalkan masih dalam masa iddah.
Manakala tradisi tersebut banyak merugikan para istri, maka Allah
membatasi mereka dengan tiga kali talak saja dan hanya membolehkan
22 Syaikh Asy-Syanqithi, Tafsir Adhwa’ul Bayan, Penerjemah: Fathurazi, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2006) h., 421.
23
mereka untuk merujuknya kembali pada talak pertama saja. Mereka tidak
boleh merujuk kembali setelah talak yang ketiga.23
Firman Allah S.W.T:
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara
yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (Q.S. Al-Baqarah (2):
229)
Ibnu Rusyd berpendapat dalam bukunya Bidayatul Mujtahid analisis
Fiqih para Mujtahid bahwasanya Jumhur fuqaha berpendapat, istri yang dapat
menguasai dirinya boleh mengadakan khulu. Akan tetapi, al-Hasan dan Ibnu
Sirin berpendapat bahwa ia tidak boleh mengadakan khulu kecuali dengan
izin penguasa. Jumhur fuqaha yang menganggap bahwa khulu itu talak,
menjadikannya sebagai talak bain. Alasanya, bahwa fasakh itu tidak lain
merupakan perkara yang menjadikan suami sebagai pihak yang kuat dalam
pemutusan ikatan perkawinan tetapi tidak berasal dari kehendaknya. Sedang
khulu ini berpangkal pada kehendak.24
Ibnu Abbas menyimpulkan dari (Q.s. Al-Baqarah (2): 229) ini bahwa
khulu itu adalah Fasakh dan bukan talak, karena Allah
berfirman: “Talak itu dua kali” kemudian disebutkan mengenai
khulu, “Maka tidak ada dosa atas keduanya
tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.” (Q.S. Al-
Baqarah (2): 229). Perbuatan ini (khulu) tidak dikategorikan sebagai talak
tiga. Karena Allah S.W.T menyebutkan talak tiga pada ayat berikutnya,
23 Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Shahih Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1,
Penerjemah: Abu ihsan al-Atsari, (Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir, 2017) cet. 17 h., 748. 24
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Analisis Fiqih para Mujtahid, Penerjemahan:
Imam Ghazali dan Achmad Zaidun, (Jakarta:Pustaka Amani, 2007), h.,558.
24
“Kemudian jika suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka
perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga ia kawin dengan suami yang
lain” Q.S. Al-Baqarah (2): 230).25
Jika tebusan tersebut adalah talak, berarti yang menyebabkan istri tidak halal
lagi bagi suami kecuali sesudah ia kawin lagi dengan lelaki yang lain itu
menjadi talak yang keempat.26
Adapun khulu diantaranya disebutkan dalam hadist riwayat Imam
Bukhari sebagaimana yang ditulis oleh Ibnu Abbas, yang dicantumkan oleh
Ibn Hajar al-Asqalani dalam kitab Shahih Bukhari:
ثنا خا لد عن عكرمة عن ابن عبا حد ب الث قفي هاثنا عبد الو حد ثنا أزهربن جميل حد
، ثابت بن قيس ما أعت س: ((أ ن ا مرأة ثابت بن قيس أتت النبي ص فقالت:يارسولااالل
أكره الكفرفي الإسلام. فقا ل رسول الله ص : اتردين ب عليه في خلق ولادين، ولكني
قال أبو عبد نعم. فقال رسول الله ص: اقبل الحديقة و طلقها تطليقة.عليه حديقته؟ قالت:
)البخارى رواه الله لايتا بع فيه عنن ابن عبا س (
Berkata kepada kami Azhar bin Jumail, berkata kepada kami Abdul Wahab
Assaqfi, berkata kepada kami Kholid dari Ikrima dari Ibnu Abbas Ra, bahwa
istri Tsabit bin Qais datang kepada Nabi SAW dan dia bertanya, “Wahai
Rasulullah, aku tidak mencela akhlak dan agama Tsabit bin Qais, tetapi aku
tidak suka menjadi kafir (kufur nikmah) dalam islam. Maka Rasulullah SAW
bersabda, "Terimalah kebun itu dan ceraikanlah dia dengan talak satu.”
(H.R. Al- Bukhari)27
Khulu hanya boleh bila ada sebab yang dituntut. Seperti suami tercela
atau buruk akhlaknya atau ia suka menyakiti si istri dan tidak melaksanakan
hak dan kewajiban terhadap istri atau istri takut jauh dari Allah S.W.T jika
menuruti suaminya. Jika tidak ada sebab tertentu maka khulu dilarang.28
25 Syaikh Asy-Syanqithi, Tafsir Adhwa’ul Bayan, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006) h.,
423. 26
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Analisis Fiqih para Mujtahid, Penerjemahan:
Imam Ghazali dan Achmad Zaidun, (Jakarta:Pustaka Amani, 2007), h., 559. 27
Abi Abdullah Muhammad bin Ismail Bukhari, Shahih Bukhari, (Dar Ibnu Katsir:
Damaskus 1423 H/ 2002 M), h., 67. 28
Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqih Wanita Islam, (Penerjemah: S. Ziyad
‘Abbas), (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1991), h., 88 .
25
Adapun yang menjadi ‘illat untuk pembolehan khulu ialah suami istri tersebut
tidak dapat lagi menjalankan peraturan-peraturan Tuhan, jika mereka
meneruskan hubungan perkawinanya.29
Sebagaimana dijelaskan dalam ayat
Al-Qur’an Q.S Ar-Rum (30): 21) bahwasanya tujuan dari perkawinan adalah
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berfikir.” (Q.S Ar-Rum (30): 21)
2. Cerai Gugat dalam Perspektif Undang-Undang
Dalam kehidupan rumah tangga, meskipun pada mulanya dua suami-
istri penuh kasih sayang seolah-olah tidak akan menjadi pudar, namun pada
kenyataannya rasa kasih sayang itu bila tidak dirawat bisa menjadi pudar,
bahkan bisa hilang berganti dengan kebencian. Kalau kebencian sudah
datang, dan suami-istri tidak dengan sungguh hati mencari jalan keluar dan
memulihkan kembali kasih sayangnya, akan berakibat negatif bagi anak
keturunanya. Oleh karena itu, upaya memulihkan kembali kasih sayang
merupakan suatu hal yang diperlukan.30
Dalam perkawinan menurut agama Islam cerai gugat dapat berupa
gugatan karena suami melanggar ta’lik talak, gugatan karena syiqaq, gugatan
karena fasakh, dan gugatan karena alasan-alasan sebagaimana yang tersebut
29 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta:1981) h., 115.
30 Satria Effendi M.Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer
(Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah), (Jakarta: Kencana Premedia Group,
2010), h., 96.
26
dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975.31
Pasal 38 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan
bahwa perkawinan dapat diputus karena:
a. Kematian,
b. Perceraian dan
c. atas Keputusan Pengadilan.
Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menegaskan bahwa:32
1) Perceraian hanya dapat dilakukan didepan Sidang Pengadilan setelah
Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak.
2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara
suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.
3) Tatacara perceraian didepan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan
perundangan tersendiri.
Sedangkan menurut pendapat Kamarusdiana dan Jaenal Aripin alasan-
alasan perceraian menurut UU Perkawinan (Pasal 39 ayat (2) UU No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan ialah sebagai berikut:33
1) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat,
penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
2) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal lain diluar kemampuannya.
3) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
31 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:
Kencana Prena Media Group, 2008, Cet. Kedua), h., 19. 32
Sudarsono, Hukum Kekeluargaan Nasional, (Jakarta: Pt. Rineka Cipta, 1991, Cet.
Pertama), h., 318. 33
Kama Rusdiana, dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Press, 2007), h., 42.
27
4) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat
yang membahayakan pihak yang lain.
5) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan
akibat-akibat tidak dapat menjalankan kewajibanya sebagai suami
istri.
6) Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga.
Alasan-alasan yang sama diatur pula oleh PP No. ( Tahun 1975
pada asal 19 dan Kompilasi HUkum Islam (KHI) pada pasal 116.
perbedaanya, pasal 116 KHI memasukan 2 poin baru alasan
perceraian.
7) Suami melanggar taklik talak.
8) Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidakrukunan dalam rumah tangga.
Bentuk perceraian lain yang diatur dalam Undang-Undang No.7 Tahun
1989 ialah bentuk “cerai gugat”. Bentuk cerai gugat diatur dalam Bab IV,
Bagian Kedua, Paragraf 3. Pada dasarnya proses pemeriksaan perkara cerai
gugat tidak banyak berbeda dengan cerai talak. Oleh karena itu, dalam uraian
mengenai cerai gugat, hanya membahas hal-hal yang berlainan dengan cerai
talak. Sepanjang hal-hal yang sama tidak akan diulangi lagi. Misalnya tentang
hal yang berkenaan dengan dengan pengiriman salinan dan pemberian akta
cerai adalah sama seperti apa yang sudah dijelaskan pada cerai talak.34
Sedangkan dalam Hukum Islam permohonan talak istri kepada suami dengan
membayar iwadl ini disebut dengan khulu.35
Khulu atau talak tebus menurut soemiyati adalah bentuk perceraian
atas persetujuan suami istri dengan jatuhnya talak satu dari suami kepada istri
34 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU
No.7 tahun 1989, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h., 234. 35
Dahlan Tamrin, Filsafat Hukum Islam (Filsafat Hukum Keluarga dalam Islam),
(UIN Malang Pers, 2007), h., 175.
28
dengan tebusan harta atau uang dari pihak istri yang menginginkan cerai
khulu itu. Sedangkan menurut Idris Ramulyo menjelaskan bahwa khulu
artinya melepaskan kekuasaannya sebagai suami dan memberikan kepada
istrinya dalam bentuk talak.36
Pasal 73 ayat (1) Undang-Undang No.7 Tahun 1989 telah menetapkan
secara permanen bahwa dalam perkara cerai gugat yang bertindak dan
berkedudukan sebagai penggugat adalah “istri” pada pihak lain “suami”
ditempatkan sebagai pihak tergugat. Dengan demikian, masing-masing telah
mempunyai jalur tertentu dalam upaya menuntut perceraian. Jalur suami
melalui upaya cerai talak dan jalur istri melalui upaya cerai gugat.37
Proses hukum khusus gugatan perceraian yang diajukan oleh dan atas
dasar inisiatif istri di Pengadilan Agama telah diatur dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009
tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989. Perceraian
dalam pengertian cerai gugat menurut hukum Islam yang telah dipositifkan
dalam pasal 38 dan pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang
telah dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 adalah
perceraian yang diajukan gugatan cerainya oleh dan atas inisiatif istri kepada
Pengadilan Agama, yang dianggap terjadi dan berlaku beserta segala akibat
hukumnya sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap. (lihat pasal 20 - pasal 36).38
Pada Bab 1 tentang Ketentuan Umum huruf i diterangkan, khulu
adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan memberikan
36 Muhammad Syaifuddin, Hukum Perceraian, (Jakarta Sinar Grafika,2014), h., 132.
37 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU
No.7 tahun 1989, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h., 234. 38
Muhammad Syaifuddin, Hukum Perceraian, (Jakarta Sinar Grafika,2014), h., 7-
20.
29
tebusan atau ’iwadl kepada dan atas persetujuan suaminya. Jadi, dengan
demikian maka khulu termasuk kedalam kategori cerai gugat. Dalam PP
Nomor 9 Tahun 1975 gugatan perceraian bisa diajukan oleh suami atau istri,
sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dan Kompilasi,
gugatan perceraian diajukan oleh istri (kuasanya). Dan prinsipnya pengadilan
tempat mengajukan gugatan perceraian dalam PP diajukan di pengadilan
yang mewilayahi tempat tergugat sedangkan dalam Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1989 dan Kompilasi, di pengadilan yang mewilayahi kediaman
penggugat.39
Kompilasi Hukum Islam (KHI) nampaknya membedakan cerai gugat
dan khulu meskipun keduanya memiliki kesamaan. Kesamaanya bahwa
keinginan mengajukan gugatan datangnya dari pihak istri. Perbedaannya
adalah dalam gugat cerai tidak otomatis menggunakan uang ‘iwadh
(tebusan) sedangkan dalam khulu masalah uang iwadh (tebusan) menjadi
bagian pokok terselesaikanya khulu dan apabila hal itu tidak merupakan
pelanggaran perjanjian (taklik talak) masalah besarnya uang iwadl (tebusan)
dapat dibicarakan bersama untuk mencari kesepakatan. Sedangkan dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dan PP Nomor 9 Tahun 1975 tidak
membedakan antara khulu dan cerai gugat.40
Dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) pun ditegaskan bahwa seorang
suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya mengajukan
permohonan, baik lisan maupun tertulis, kepada Pengadilan Agama yang
mewilayahi tempat tinggal istri disertai dengan alasan serta meminta agar
diadakan sidang untuk keperluan itu. Namun, KHI (Kompilasi Hukum Islam)
dibedakan antara perceraian yang diakibatkan karena talak dan perceraian
karena gugatan perceraian. Permohonan cerai talak dilakukan oleh suami dan
diajukan kepada Pengadilan Agama, sedangkan gugatan perceraian diajukan
39 Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013),
h., 237. 40
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h., 242-243.
30
oleh istri.41
Perbedaan ini memberikan konsekuensi yang berbeda,
diantaranya istri tidak punya upaya hukum apa-apa, sedangkan si suami
mempunyai upaya hukum seperti biasanya dalam perkara perdata, yaitu hak
banding dan kasasi.
3. Akibat dari Cerai Gugat
Dalam sebuah rumah tangga sulit digambarkan tidak terjadinya sebuah
percekcokan. Akan tetapi, percekcokan itu sendiri beragam bentuknya ada
yang ibarat seni dan irama dalam kehidupan rumah tangga yang tidak
mengurangi keharmonisan, dan ada pula yang menjurus kepada kemelut yang
berkepanjangan bisa mengancam eksistensi lembaga perkawinan.42
Dalam bukunya Tihami dan Sohari Sahrani menyampaikan pendapat
para imam, Imam Malik berpendapat bahwa khulu itu tidak dapat diikuti
dengan talak, kecuali jika pembicaraannya bersambung. Sedangkan Imam
Abu Hanifah mengatakan bahwa dapat diikuti tanpa memisah-misahkan
antara penentuan waktunya, yaitu dilakukan dengan segera atau tidak.
Perbedaan ini terjadi karena golongan pertama berpendapat bahwa iddah
termasuk hukum talak, sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat termasuk
hukum nikah. Oleh karena itu, ia tidak membolehkan seseorang menikahi
perempuan yang saudara perempuannya masih dalam iddah (masa tunggu)
talak ba’in.43
Bagi Imam Abu Hanifah yang mengatakan bahwa iddah termasuk
dalam hukum pernikahan, mereka berpendapat bahwa khulu tersebut dapat
diikuti dengan talak. Sedangkan yang tidak berpendapat bahwa iddah
termasuk dalam hukum pernikahan, mengatakan bahwa khulu tersebut tidak
41 Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,
2013), h., 232.
42 Satria Effendi M.Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer:
Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah, (Jakarta: Kencana Premedia Group,
2010), h., 107. 43
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Lengkap, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2010), h., 315.
31
dapat diikuti dengan talak.44
Adapun akibat hukum dari adanya khulu adalah sebagai berikut45
:
a. Adanya tebusan yang harus dikeluarkan oleh istrinya berupa benda, bisa
maskawin, bisa benda yang lebih murah dari maskawin atau yang lebih
mahal tergantung pada kesepakatan suami.
b. Boleh dilakukan baik dalam keadaan suci maupun dalam keadaan haid.
Biasaanya talak tebus ini terjadi karena perasaan si istri yang tidak dapat
dipertahankan lagi.
c. Perceraian yang dilakukan berakibat jatuhnya talak bain shughra yakni
bekas suami yang tidak boleh menambah talak sewaktu masa iddah, dan
hanya diperbolehkan menikah kembali dengan akad baru.
d. Talak tebus tidak boleh lahir karena kehendak suami atau tekanan suami.
Karena hal ini berarti paksaan kepada istri untuk mengorbankan hartanya
guna keuntungan suami dan jika suami ingin bercerai ia dapat bertindak
dengan cerai talak, sebab talak itu ada dalam kekuasaannya.
Maksud dengan disyariatkanya khulu ialah untuk mencegah perbuatan
melanggar ketentuan-ketentuan Allah S.W.T yang ditetapkan untuk suami
istri, yaitu bergaul dengan baik dan masing-masing melaksanakan hak-hak
pasangannya yang diwajibkan atasnya.46
Adapun hikmah dari adanya khulu adalah sebagai berikut47
:
1) Untuk menghilangkan mudharat dari istri disebabkan berlanjutnya ikatan
pernikahan antara dirinya dengan suaminya, padahal istri tidak menyukai
suaminya, atau suami tidak memenuhi hak-haknya.
44 Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenamedia Group,
2012), h., 274. 45
Yayan Sopyan, Islam-Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam
Hukum Nasional, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h., 188. 46
Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fikih Sunnah, (Jakarta: Darus
Sunnah, 2017), h., 464. 47
Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fikih Sunnah, h., 469.
32
2) Untuk kemaslahatan suami sebab ia dapat melepaskan diri mudharat
yang diakibatkan oleh berlanjutnya ikatan rumah tangga dengan
keinginanya sendiri, dengan cara menjatuhkan talak tanpa menunggu
persetujuan dari si istri, dan menolak mudharat yang lainnya.
33
BAB III
KONSEP KEADILAN DAN NAFKAH IDDAH
A. Pengertian Nafkah Iddah
Islam telah menetapkan tata aturan pernikahan berikut hal-hal yang
terkait dengannya sedemikian rupa, dan lebih dari itu, agama Islam telah
meletakkan dasar-dasar pergaulan hidup dan hubungan suatu keluarga yang
terbentuk akibat dari pernikahan itu sendiri. Agama Islam telah menghapuskan
sejumlah aturan-aturan pernikahan yang dipandang tidak sesuai dengan sistem
hukum pernikahan yang disyariatkan oleh Allah S.W.T.1 Dalam menjalankan
perkawinan suatu keluarga harus dijalani dengan konsep mawadah wa rahmah
(saling cinta mencintai, saling mengasihi) saling memberi dan menerima,
saling terbuka. Sehingga dikiyaskan dalan Q.S. Ar-Rum (4): 21, bahwa tali
perkawinan sebagai ikatan yang kuat.2
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berfikir.” (Q.S. Ar-Rum (4): 21)
Perkawinan akan semakin jelas dan sangat penting eksistensinya ketika
dilihat dari aspek hukum, termasuk didalamnya hukum Islam. Dari segi
hukum, perkawinan dipandang sebagai suatu perbuatan (peristiwa)
1 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta:PT
Jakarta Grafindo Persada, 2005) h., 80. 2
Yayan Sopyan, Islam-Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam
Hukum Nasional, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h., 172.
34
hukum (rechfeit), yakni: “Perbuatan dan tingkah laku subjek hukum yang
membawa akibat hukum, karena hukum mempunyai kekuatan mengikat bagi
subjek hukum atau karena subjek hukum itu terikat oleh kekuatan hukum”.3
Kata nafkah secara etimologi artinya biaya, belanja, dan pengeluaran
uang.4 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata nafkah berarti
belanja hidup atau (uang) pendapatan.5 Sedangkan menurut Ulin Na’mah
dalam bukunya mengatakan bahwa nafkah secara bahasa atau النفقة adalah ism
al-masdar yang berarti pengeluaran dan pergi atau hilang, dan bentuk
jamaknya adalah نفقات. Adapun secara istilah adalah pengeluaran yang
biasanya dipergunakan oleh seseorang untuk sesuatu yang baik atau
dibelanjakan untuk orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya. Atau
pemenuhan kebutuhan orang yang berada dibawah tanggung jawabnya yang
meliputi kebutuhan makan, pakaian dan tempat tinggal.6 Ulama meriwayatkan
dua kata dasar bagi nafkah (nafqah); ada yang mengatakan berasal dari akar
kata al-infaq yang berarti pengeluaran, ada juga yang mengatakan bahwa ia
berasal dari akar kata al-nufuq yang berarti hancur. Ibn Bakar menjelaskan
bahwa nafkah yang dimaksud di sini bukanlah berasal dari akar kata al-nufuq,
nafaq atau nifaq. Akan tetap ia merupakan nama bagi sesuatu yang
dinafkahkan seseorang terhadap keluarganya. Sedang secara syara', seperti
disebutkan al-Munawiy, ia berarti sesuatu yang mesti dibayarkan seseorang
bual kehidupan orang yang menjadi tanggungannya, seperti isterinya,
3 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta:PT
Jakarta Grafindo Persada, 2005) h., 81 4 Ahmad Warsono Munawwir, Kamus Al- Munawwir Arab-Indonesia, (Surabaya:
Pustaka Progresif, 1997), h., 1449. 5 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi Ketiga,
(Jakarta: Balai Pustaka, 2005) h., 770. 6 Ulin Na’mah, Cerai Talak: Maknanya bagi Para Pelaku Malrilocal Residence di
Lingkungan Masyarakat Muslim, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2016), h., 14.
35
budaknya dan hewan ternaknya. Maleri nafkah itu sendiri biasanya dibatasi
pada tiga unsur utama, yaitu makanan, pakaian dan tempat tinggal.7
Dalam Hukum Islam, akad nikah yang sah menimbulkan hak dan
kewajiban antara suami-istri. Di antaranya, pihak isteri berhak untuk
mendapatkan nafkah dari pihak yang menikahinya. Sebaliknya, di atas pundak
suami terletak kewajiban untuk menafkahi isterinya. Banyak ayat Al-Qur’an
diantaranya Q.S. Al-Baqarah (2): 233:
Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun
penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban
ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf.
Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.
Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang
ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya
ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan
permusyawaralan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin
anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu
memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada
Allah S.W.T dan ketahuilah bahwa Allah S.W.T Maha Melihat apa yang kamu
kerjakan”. (Q.S. Al-Baqarah (2): 233)
7 Muhammad Fauzan, “Maqasid Nafkah Iddah dan Perlindungan Perempuan”,
dalam http://moraref.kemenag.go.id/documents/article?q=nafkah+iddah diakses pada 1 Juni
2016, h., 73.
36
Ayat diatas memerintahkan kepada pihak suami untuk memberikan jaminan
nafkah kepada isterinya. Ada tiga macam nafkah yang ditegaskan dalam ayat
tersebut, yaitu: (1) makanan, (2) pakaian, dan (3) tempat tinggal.8
Wahbah Az-Zuhaili dalam bukunya, mengutip pendapat Mazhab Maliki
bahwasanya maksud ayat menunjukan wajibnya nafkah anak
atas bapaknya karena ia masih lemah. Yang dimaksud adalah
orang yang anaknya lahir (yakni bapak), dan bentuk ini dipakai untuk tunggal
dan jamak. Nafkah wajib yang berupa sandang dan pangan itu diberikan secara
makruf, yakni sesuai dengan kebiasaan syariat, tidak berlebihan dan tidak
kekurangan. Pemberian nafkah ini disesuaikan kadarnya dengan kekayaan
suami dan keadaan istri.9
Iddah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah masa tunggu
(belum boleh menikah) bagi wanita yang berpisah dengan suami, baik karena
talak maupun cerai mali.10
Sedangkan didalam Kamus Al Munawwir iddah
berarti jumlah/iddahnya orang perempuan.11
Al-iddah diambil dari kata
al-‘adad, karena masa iddah ini terbatas, artinya masa menunggu bagi wanita
dengan jangka waktu tertentu menurut ketentuan syariat dan menahan diri
untuk tidak kawin setelah bercerai dengan suaminya.12
Sedangkan secara
istilah iddah mengandung arti masa menunggu bagi wanita untuk melakukan
perkawinan setelah terjadinya perceraian dengan suaminya, baik cerai hidup
8
Salria Effendi M.Zein, Problemalika Hukum Keluarga Islam Kontemporer:
Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah, (Jakarta: Kencana Premedia Group,
2010), h., 152. 9 Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Munawir Jilid 1, Judul asli Al-Tafsirul-Muniir: Fil
‘Aqidah wasy-Syari’ah wal Manhaj, Penerjemah: Abdul Hayyie al Kaltani, dkk., (Jakarta:
Gema Insani, 2013) h., 571. 10
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi Ketiga,
(Jakarta: Balai Pustaka, 2005) h., 416. 11
Ahmad Warsono Munawwir, Kamus Al- Munawwir Arab-Indonesia, (Surabaya:
Pustaka Progresif, 1997), h., 903. 12
Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenadamedia Group,
2016), h., 173.
37
maupun cerai mali, dengan tujuan untuk mengetahui keadaan rahimnya atau
untuk berpikir bagi suami13
Menurut Sayuti Thalib dalam bukunya yang berjudul Hukum
Kekeluargaan Indonesia, ia berpendapat bahwa arti yang sesungguhnya dari
kata-kata masa iddah menurut hukum perkawinan dapat dilihat dari dua segi
pandangan di bawah ini:14
a) Dilihat dari segi kemungkinan keutuhan perkawinan yang telah ada,
suami dapat ruju’ kepada istrinya. Dengan demikian maka kata iddah
dimaksudkan sebagai suatu istilah hukum yang mempunyai arti
tenggang waktu sesudah jaluh talaq, dalam waktu mana pihak suami
dapat rujuk kepada istrinya.
b) Dengan demikian dilihat dari segi istri, maka masa iddah itu akan
berarti sebagai suatu tenggang waktu dalam waktu mana si istri belum
dapat melangsungkan perkawinan baru dengan pihak laki-laki lain.
Ada sejumlah nash Al-Qur’an yang mengungkap hukum iddah talak Allah
S.W.T berfirman:
“Para istri yang diceraikan (wajib menahan diri mereka (menunggu) tiga kali
quru (tiga kali suci)” (Q.S. al-Baqarah (2): 228).
Tentang tidak adanya kewajiban iddah bagi wanita yang ditalak sebelum
berhubungan intim Allah S.W.T berfirman:
13
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdala Islam di Indonesia,
(Jakarta: Kencana, 2004), h., 240. 14
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: 1981), h., 122.
38
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi
perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka
sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas
mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka
berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang
sebaik- baiknya.” (Q.S. al-Ahzab (33): 49).
Sedangkan tentang iddah bagi wanita hamil hingga bersalin Allah S.W.T
berfirman:
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah
sampai mereka melahirkan kandungannya,” (Q.S. al-Thalaq (65): 4).
Tentang iddah wanita menopouse15
dan gadis kecil Allah S.W.T berfirman:
Artinya: “Perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopouse) diantara
istri-istri kalian jika kalian ragu (tentang masa iddahnya) maka iddahnya
adalah tiga bulan, dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid,”
(Q.S. al-Thalaq (65): 4).
Dalam Pengadilan Agama, dikenal dua bentuk perceraian yaitu cerai
gugat dan cerai talak. Cerai gugat adalah sebuah gugatan permintaan cerai
yang diajukan oleh istri kepada suami, sedangkan cerai talak adalah
permohonan yang dilakukan suami kepada pengadilan untuk dapat dan atau
15
Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i, (Penerjemah: Muhammad Alifi, dan Abdul
Hafiz), (Jakarta: Almahira, 2012, Cet.2), h.,1.
39
diperbolehkan untuk menjatuhkan talak kepada istri dengan atasan yang telah
diajukan sebelumnya.
Dalam hukum Islam sendiri sebenarnya putusnya perkawinan dalam
bentuk talak dan khulu tidak membutuhkan atasan sebagai syaral untuk
terjadinya. Hal ini dikarenakan suami berkewajiban untuk membayarkan
mahar dan memberikan nafkah kepada istri dengan demikian suami berhak
mentalak istri tanpa ada atasan. Namun dalam konteks hukum positif di
Indonesia hal ini tidak berlaku karena talak yang sah adalah yang dijatuhkan
di depan sidang pengadilan dengan melalui pertimbangan oleh majelis hakim
terhadap atasan-atasan dan bukti-bukti yang diajukan di persidangan.16
Setelah terjadinya perceraian tentunya masalah tersebut belum selesai
seperti halnya dengan perkawinan, dalam Kompilasi Hukum Islam
disebutkan bahwa perceraian juga memiliki akibat hukum tersendiri apabila
terjadi diantaranya: (a) memberikan mut’ah yang layak kepada bekas
isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla
al-dukhûl; (b) memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri
selama dalam iddah, kecuali bekas isteri telah di jatuhi talak ba’in atau
nushuz dan dalam keadaan tidak hamil; (c) melunasi mahar yang masih
terhutang seluruhnya, dan separoh apabila qobla al-dukhûl; dan (d)
memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur
21 tahun.17
Sebelum membahas tentang nafkah bagi perempuan yang beriddah,
maka perlu dikemukakan tentang bentuk-bentuk talak dihubungkan dengan
ada atau tidaknya hak rujuk bagi suami setelah perceraian.
16
Syaiful Hidayat, “Pemenuhan Nafkah Iddah, Mut’ah, dan Madiyah istri sebagai
syaral penjaluhan talak di Peradilan Agama di Indonesia” dalam
https://www.google.com/search?safe=strict&biw=1350&bih=591&ei=tyw1XfXAOJO5rQG
OgJTgDw&q=jurnal+nafkah+iddah+cerai+gugat&oq=jurnal+nafkah+iddah+cerai+gugat&gs
_l=psy-ab.3...9487.11960..12312...0.0..0.180.839.7j2......0....1..gws-wiz.......35i304i39j0i8i13
i30.mTMhsVPYiHM&ved=0ahUKEwi1-OWMysfjAhWTXCsKHQ4ABfw4FBDh1QMICg
&uact=5 diakses pada 22 Juli 2019. 17
Lihat Kompilasi Hukum Islam Ps.149.
40
Pertama; talak raj’i, yaitu talak kesatu atau kedua yang dijatuhkan
oleh suami kepada istrinya, yang mana seorang suami, menurut Wahbah
al-Zuhayli, masih boleh rujuk kepada istrinya itu tanpa memerlukan akad
yang baru selama istri masih beriddah. Hal itu terjadi setelah talak kesatu dan
kedua yang tidak termasuk kalegori ba`in apabila telah sempurna rujuk
sebelum habis masa iddah. Ketentuan ini didasarkan kepada Q.S al-
Baqarah (2): 228-229. Setelah suami menjatuhkan talak kesatu atau talak
kedua, maka dia boleh rujuk kepada bekas istrinya sebelum habis masa
iddahnya tanpa memerlukan akad yang baru dan tak perlu membayar
mahar, tetapi bila habis masa iddahnya, maka diwajibkan untuk melakukan
akad nikah lagi apabila suami ingin hidup bersama kembali dengan bekas
istrinya. Akad nikah yang baru ini harus disertai dengan pembayaran mahar
yang baru.18
Kedua, talak ba`in, yaitu talak yang tidak memberi peluang rujuk bagi
bekas suami terhadap bekas istrinya, dan untuk mengembalikan bekas istri ke
dalam ikatan perkawinan dengan suami sebelumnya harus melaksanakan
akad baru yang memenuhi syaral dan rukun perkawinan.19
Talak ba`in
terbagi dua, yaitu bain sughra dan bain kubra. Talak ba`in sughra adalah talak
yang dijatuhkan oleh suami terhadap istrinya dan konsekwensinya ia tidak
dapat rujuk lagi, kecuali dengan aqad dan maskawin (mahar) baru, seperti
telah disampaikan oleh Wahbah al-Zuhayli. Lebih rinci penyebab talak ba`in
sughra itu ialah:20
1. Talak sebelum berkumpul/sebelum istri digauli oleh suaminya.
Dalam bentuk ini tidak memerlukan iddah. Oleh karena tidak ada
masa iddah, maka tidak ada kesempatan rujuk, sebab rujuk hanya
dilakukan dalam masa iddah. Hal ini sesuai dengan Q.S. Al- Ahzab
(33): 49.
18
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. (Jakarta: Kencana,
2009) h., 221. 19
Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2010) h., 198. 20
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. h., 221.
41
2. Talak yang dilakukan dengan adanya tebusan dari istri atau khulu.
Hal ini dapat dipahami dari isyaral al-Qur`an dalam Q.S. al-
Baqarah (2): 229.
3. Talak yang dijatuhkan sebab aib seperti cacal badan, atau salah
seorang masuk penjara, atau talak disebabkan penganiayaan atau
yang semacamnya.
4. Perceraian yang diputuskan oleh hakim di pengadilan atau yang
disebut fasakh.
Adapun talak ba`in kubra yaitu talak yang menghilangkan
kepemilikan bekas suami terhadap bekas istri dan menghilangkan kehalalan
bekas suami untuk kawin kembali dengan istrinya itu, kecuali bekas istrinya
itu sudah menikah terlebih dahulu dengan laki-laki lain. Pernikahan kedua
bekas istri itu tidak hanya sekedar aqad, tetapi juga telah melakukan
hubungan kelamin (wala`) dan kemudian sudah diceraikan pula oleh suami
barunya itu dan telah habis pula masa iddahnya.21
Hal ini disebutkan dalam
Q.S. al- Baqarah (2): 230, yang intinya membolehkan pernikahan kembali
antara keduanya apabila mantan istri sudah diceraikan oleh suami keduanya
atau perceraian karena kematian. Ada dua kalegori yang termasuk talak dalam
bentuk ba`in kubra ini, yaitu:22
1. Istri yang telah ditalak tiga kali, atau talak tiga. Talak tiga dalam
pengertian talak ba`in itu adalah talak tiga yang diucapkan secara
terpisah dalam kesempatan yang berbeda antara satu dengan
lainnya diselingi oleh masa iddah. Inilah yang pendapat yang
disepakati ulama.
2. Istri yang diceraikan oleh suaminya karena sebab li’an. Bedanya
dengan kalegori pertama adalah di mana bekas istri yang di li’an
itu tidak boleh dinikahi lagi, meskipun sesudah diselingi oleh
adanya muhallil menurut jumhur ulama.
21
Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillaluhu, (Penerjemahan: Abdul Hayyie,dkk),
(Jakarta: Gema Insani, 2011), h., 379. 22
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2009) h., 322.
42
1. Nafkah Iddah Dalam Perspektif Fiqh
Iddah dengan meng Kasrahkan huruf ‘ain dan jama’nya adalah ‘idad.
Makna secara bahasa adalah hitungan, diambil dari kalimal al-‘adad karena
biasanya mencakup hitungan bulan. Maknanya secara istilah menurut
pendapat mazhab Hanafi adalah masa yang ditentukan secara syariat dengan
berakhirnya berbagai dampak perkawinan yang masih tersisa.23
Dengan
ibaral lain, iddah merupakan nama untuk masa bagi perempuan untuk
menunggu dan mencegahnya untuk menikah setelah wafalnya suami atau
berpisah dengannya.24
Sedangkan Mahmudin Bunyamin di dalam bukunya menggemukakan
pendapat Abu Zahra mengatakan bahwa iddah adalah suatu masa untuk
mengakhiri pengaruh-pengaruh perkawinan. Oleh karena itu, apabila terjadi
perceraian, seorang istri tidak serta-merta dapat menikah dengan orang lain,
tetapi ia diwajibkan menunggu masa tertentu sampai habis masa iddah, atau
jika wanita tersebut hamil, iddahnya sampai melahirkan.25
Dalam buku yang diterjemahkan oleh Ismuha, Syaikh Mahmoud
Syaltout dan Syaikh M. Ali As-Sayisi berpendapat bahwa para ulama sepakat,
seorang suami wajib untuk menafkahi istrinya selama istrinya itu berada
dalam ikatan perkawinan atau yang secara hukum seperti itu, yaitu istri masih
tertalak raj’i, masih dalam masa iddah, demikian pula talak bain yang sedang
hamil. Selanjutnya ulama berbebeda pendapat mengenai perempuan yang
ditalak bain tetapi tidak mengandung. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa
perempuan yang tertalak bain dalam keadaan tidak hamil berhak nafakah. Ini
adalah mazhab Umar Ibnul Khaltab, ‘Umar Ibnu Abdul Aziz, Tsaury dan
lain-lain. Imam Ahmad berpendapat bahwa perempuan itu tidak berhak
nafkah dan tempat tinggal. Ini adalah pendapat Daud, Abi Tsaur dan satu
23
Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillaluhu, (Penerjemahan: Abdul Hayyie,dkk),
(Jakarta: Gema Insani, 2011), h., 535. 24
Ali Yusuf As-Subki, Fiqih Keluarga; Pedoman Berkeluarga dalam Islam (Jakarta:
Amzah, 2012), h., 348. 25
Mahmudin Bunyamin, dan Agus Hermanto, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta:
CV Pustaka Setia, 2017), h., 194.
43
Jama’ah. Mazhab Maliki dan Asy-Syafi’i berpendapat bahwa perempuan itu
berhak mendapatkan tempat tinggal selama ia dalam keadaan iddah, tetapi ia
tidak mendapatkan nafkah.26
Bagi perempuan yang diceraikan dan sudah
disetubuhi dalam kalegori ini, dia memiliki dua keadaan.27
1) Perempuan itu dalam keadaan hamil. Masa iddah baginya adalah
sampai melahirkan kandungannya. Allah S.W.T Berfirman:
“….Dan perempuan-perempuan yang hamil maka iddah mereka
adalah sampai mereka melahirkan kandunganya”. ( Q.S. al- thalaq
(65): 4).
2) Perempuan itu tidak dalam keadaan hamil. Dalam keadaan seperti ini,
dia tidak luput dari dua kemungkinan. Pertama, dia masih menstruasi.
Dalam keadaan ini, iddahnya adalah tiga kali menstruasi. Allah S.W.T
berfirman, “…wanita-wanita yang ditalak hendaknya menahan diri
(menunggu) tiga kali quru” (Q.S. Al- Baqarah (2): 228). Kata quru’
disini lebih tepal diartikan dengan menstruasi, bukan suci. Makna ini
dikuatkan sebuah Hadist Aisyah, beliau menceritakan, Ummu
Habibah tengah mengalami menstruasi. Dia lalu bertanya kepada
rasulullah SAW. Dan beliau menyuruhnya untuk meninggalkan shalal
berhari-hari menstruasinya. Kedua, dia tidak mengalami masa-masa
menstruasi, seperti anak kecil yang belum menstruasi atau perempuan
dewasa yang sudah menopouse. Masa iddah bagi perempuan seperti
ini adalah selama tiga bulan. Alllah S.W.T berfirman:
26
Syaikh Mahmoud syaltout dan Syaikh M.Ali As-Sayis, Perbandingan Mazhab
dalam masalah Fiqih, judul Asli: Muqaranalul Mazahub fil-Fiqhi, Penerjemah: Ismuha,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1993, Cet. 7), h. 234. 27
‘Abd al-Qadir Manshur, Buku Pintar Fikih Wanita Segala Hal yang ingin Anda
Ketahui tentangPerempuan dalam Hukum Islam, (Penerjemah: Muhammad Zaenal Arifin),
(Jakarta: Penerbit Zaman, 2009), h., 130.
44
Artinya: “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi
(monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu
(tentang masa iddahnya). Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan;
dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan
perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah
sampai mereka melahirkan kandungannya dan barang -siapa yang
bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya
kemudahan dalam urusannya.” (Q.S. al-Thalaq (65): 4)
Mazhab Hambali berdalil bahwa perempuan yang ditalak bain tetapi
tidak mengandung berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal, dengan
berdasar pada nash berdasarkan firman Allah S.W.T (Q.S. al-Thalaq (65): 6).
Artinya: “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal
menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk
menyempitkan (hali) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah
ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga
mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu
maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara
kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka
perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya”. (Q.S. al-Thalaq
(65): 6)
Letak pengambilan dalil ayat di atas adalah bahwasanya Allah S.W.T
mewajibkan agar perempuan itu mendapat tempat tinggal dengan nash secara
ekplisit dari ayat tersebut. Begitu pula wajib mendapatkan nafkah secara
implisit dari ayat tersebut. Sebab, dalam ayat tersebut ada larangan untuk
45
melakukan perbuatan yang menyusahkan dan menyempitkan hali. Sedangkan
tidak memberikan nafkah merupakan penyusahan dan penyempitan yang
sangat besar. Hal inilah yang menjadi dalil atas kewajiban memberi nafkah
dan tempat tinggal adalah dua hal yang saling berkaitan. Ketika saatnya harus
maka yang lain juga harus, sebab dalam syariat tidak diketahui adanya
pemisahan antara keduanya.28
Menurut Amiur Nuruddin dalam bukunya
menggemukakan pendapat Muhammad Baqir Al-habsyi bahwasanya ada
empal hak perempuan yang berada dalam masa iddah:29
1) Perempuan dalam masa iddah akibat talak raj’i berhak menerima
tempat tinggal dan nafkah, mengingat bahwa stalusnya masih sebagai
istri yang sah dan karenanya tetap memiliki hak-hak sebagai istri.
Kecuali ia dianggap nusyuz (melakukan hal-hal yang dinggap
“durhaka” yakni melanggar kewajiban taal kepada suaminya) maka ia
tidak berhak apa-apa.
2) Perempuan dalam masa iddah akibat talak ba’in (yakni yang tidak
mungkin rujuk) apabila ia dalam keadaan mengandung, berhak juga
atas tempat tinggal dan nafkah.
3) Perempuan dalam masa iddah akibat talak ba’in (yakni yang tidak
mungkin rujuk) apabila ia dalam keadaan tidak mengandung, baik
akibat talak tebus (khulu) atau talak tiga, hanya memperoleh tempat
tinggal ini menurut pendapat Malik dan Syafi’i. Sedangkan menurut
Abu Hanifah, ia berhak memperoleh nafkah dan tempat tinggal
selama menjalani masa iddah.
4) Perempuan dalam masa iddah akibat suaminya meninggal dunia
menurut sebagian ulama tidak mempunyai hak nafkah maupun tempat
tinggal, mengingat bahwa harta peninggalan suaminya kini telah
menjadi hak ahli waris, termasuk ia dan anak-anaknya.
28
Abdus Sami’ Ahmad Imam, Pengantar Studi Perbandingan Mazhab, (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2016), h., 190. 29
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdala Islam di Indonesia,
(Jakarta: Kencana, 2004), h., 249.
46
Menurut Sulaiman Rasjid mengatakan dalam bukunya, sebagian ulama
juga berpendapat bahwa talak bain yang tidak hamil, tidak berhak
mendapatkan nafkah dan tidak pula tempat tinggal.30
Daruquthni dan Nasa’i
meriwayatkan tentang kisah Fatimah binti Qais R.a., yaitu ketika suaminya
menjatuhkan talak satu yang masih tersisa untuknya.
حد ثنا الرحمن بن مهدي ،(.....) حد ثنا محمد بن المثني وابن بشار، قالا: حد ثنا عبد
سلمة بن كهيل عن الشعبي عن فاطمة بنت قيس عن النبي ص في المطلقة فيان عنس
ثلاثا قال: (ليس لها سكن ولا نفقة)
“Berkata kepad kami Muhammad bin Musanni dan ibnu Basyar, Berkata
keduanya: berkata kepada kami Abburrahman bin Mahdi , berkata kepada
kami Sufyan, dari Salamah bin Kuhail, dari Sya’bi, dari Fatimah bin Qais
Radliyallaahu 'anhu dari Nabi SAW bersabda tentang perempuan yang ditalak
tiga, Dia tidak mendapat hak tempat tinggal dan nafkah." (H.R Muslim).31
Hadist di atas menerangkan hukum memberi nafkah wanita yang
dalam masa iddah talak ba’in, sedangkan Q.S. al-Thalaq (65): 6 menerangkan
hukum memberi nafakah. Menurut imam Hanafi: bahwa wanita yang dalam
masa iddah talak ba’in, berhak mendapat dari suaminya berdasarkan umum
Q.S. al-Thalaq (65): 6.32
Sedangkan Ibnu Rusyd berpendapat bahwa fuqaha berselisih pendapat
mengenai tempat tinggal dan nafkah bagi isteri yang ditalak bain tidak dalam
keadaan hamil. Pendapat pertama, menetapkan isteri berhak tempat tinggal
dan nafkah, berdasarkan lahir ayat Al-Qur’an Q.S. al-Thalaq (65): 6 dan
Sunah Rasul SAW yang telah diketahui atau ketentuan umum ayat Al-Qur’an
ini dibatasi (ditakhshish) keumumannya dengan hadist Falimah binti Qais.
Akan tetapi, pemisahan antara kewajiban nafkah dan tempat tinggal sulit
diterima, dan segi kesulitannya adalah karena dalilnya lemah. Pendapat ini
30
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo,2006), h., 417. 31
Al Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih
Muslim, (Dar Toyibah: 2006), h., 689. 32
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: PT. Bulan
Bintang, 1987, Cet. 2), h., 236.
47
dikemukakan olen fuqaha Kufah.33
Pendapat kedua, mengatakan bahwa isteri
tersebut tidak memperoleh tempat tinggal maupun nafkah, bagi isteri tersebut.
Pendapat ini dikemukakan oleh Ahmad, Dawud, zabu Tsaur, Ishaq, dan
segolongan fuqaha. Pendapat ketiga, hanya menetapkan tempat tinggal saja
untuk isteri tersebut tanpa nafkah. Pendapat ini dikemukakan oleh Malik,
Syafi’i, dan yang lain. Silang pendapat ini adanya perbedaan riwayat antara
hadist Falimah binti Qais dengan adanya pertentangan antara hadist dengan
lahir ayat Al-Qur’an.34
2. Nafkah Iddah Dalam Perspektif Undang-Undang
Di Indonesia, aturan tentang nafkah iddah diatur dalam Pasal 41 Huruf
c UU No. 1 Tahun 1974 dan Pasal 149 hurub b Kompilasi Hukum Islam
(KHI). Pasal 41 huruf c UU No. 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa
Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri. Agak
berbeda dengan UU No. 1 tahun 1974, Pasal 149 huruf b KHI menyebutkan
bahwa bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib
memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam
iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam
keadaan tidak hamil.35
Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberi
biaya penghidupan dan atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri
(pasal 41 UU No. 1 Tahun 1974) ketentuan ini dimaksudkan agar bekas istri
yang telah diceraikan suaminya jangan sampai menderita karena tidak mampu
memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan demikian apabila terjadi perceraian,
33
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Analisis Fiqih para Mujtahid, (Penerjemah:
Imam Ghazali dan Achmad Zaidun), (Jakarta:Pustaka Amani, 2007), h., 617. 34
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Analisis Fiqih para Mujtahid, h., 615. 35 Muhammad Fauzan, “Maqasid Nafkah Iddah dan Perlindungan Perempuan”,
dalam http://moaref.kemenag.go.id/documents/article?q=nafkah+iddah diakses pada 1 Juni
2016.
48
suami mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu yang harus dipenuhi kepada
bekas istrinya, kewajiban-kewajiban tersebut adalah:36
a) Memberikan mut’ah yang layak kepada istrinya, baik berupa uang
atau benda, kecuali bekas isteri tersebut, qobla al dukhul (sebelum
berhubungan badan);
b) Memberi nafkah kepada bekas isteri selama masa iddah, kecuali bekas
isteri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak
hamil;
c) Melunasi mahar yang masih terutang dan apabila perkawinan itu
qobla al dukhul mahar dibayar setengahnya, yakni: Memberikan biaya
hadanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai 21 tahun.
Dalam klasifikasi berdasarkan pihak yang berhak menerimanya,
nafkah biasanya dibagi menjadi dua, yaitu nafkah untuk diri sendiri dan
nafkah untuk orang lain. Dengan pembagian itu, maka seseorang dituntut
untuk mendahulukan nafkah untuk dirinya daripada nafkah untuk orang lain.
Adanya nafkah untuk orang lain disebabkan oleh tiga hal, yaitu karena
hubungan perkawinan, hubungan kekerabatan, dan hubungan kepemilikan
(tuan terhadap budaknya).14
Salah satu nafkah yang disebabkan perkawinan
adalah nafkah kepada istri yang wajib dibayarkan selama terikat ikatan
perkawinan dan tetap berlanjut setelah perceraian, yakni selama masa iddah.37
Undang-undang Perkawinan nampaknya tidak mengatur tentang
iddah ataupun waktu tunggu secara rinci. Satu-satunya pasal yang bicara
tentang waktu tunggu adalah pasal 11 ayat 1 dan 2 sebagai berikut38
:
36
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdala Islam di Indonesia,
(Jakarta: Kencana, 2004), h., 255. 37
Muhammad Fauzan, “Maqasid Nafkah Iddah dan Perlindungan Perempuan”,
dalam http://moraref.kemenag.go.id/documents/article?q=nafkah+iddah diakses pada 1 Juni
2016. 38
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdala Islam di Indonesia
h., 253.
49
1) Bagi seorang wanita yang putus perkawinanya berlaku jangka waktu
tunggu.
2) Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur
dalam Peraturan Pemerintah lebih lanjut.
Di dalam Kompilisai Hukum Islam masalah iddah diatur dalam Pasal
153 yang berbunyi39
:
(1) Bagi seorang isteri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu
atau iddah, kecuali qabla al dukhul dan perkawinannya putus bukan
karena kematian suami.
(2) Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut:
a. Apabila perkawinan putus karena kematian, wataupun qabla al
dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 (seralus tiga puluh) hari;
b. Apabila perkawinan putus karena perceraian,waktu tunggu bagi
yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan
sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan bagi yang
tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari;
c. Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda
tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai
melahirkan;
d. Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut
dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai
melahirkan.
3) Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena
perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya qabla
al dukhul.
4) Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu
tunggu dihitung sejak jaluhnya, Putusan Pengadilan Agama yang
mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan
39
Kompilasi Hukum Islam (Fokus Media) h., 49.
50
yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak
kematian suami.
5) Waktu tunggu bagi isteri yang pernah haid sedang pada waktu
menjalani iddah tidak haid karena menyusui, maka iddahnya tiga kali
waktu haid.
6) Dalam hal keadaan pada ayat (5) bukan karena menyusui, maka
iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun
tersebut ia haid kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali waktu suci.
Adapun yang berkaitan dengan hak-hak mantan istri, Kompilasi
Hukum Islam (KHI) Pasal 149 perkawinan putus karena talak, maka bekas
suami wajib40
:
a. memberikan mut`ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa
uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al dukhul;
b. memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama dalam
iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyur dan
dalam keadaan tidak hamil;
c. melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh
apabila qobla al dukhul;
d. memberikan biaya hadhanan untuk anak-anaknya yang belum
mencapai umur 21 tahun.
3. Konsep Keadilan dan Hikmah Nafkah Iddah
Keadilan berasal dari kata adil, menurut Kamus Bahasa Indonesia adil
adalah tidak sewenang-wenang. Tidak memihak, tidak berat sebelah. Adil
terutama mengandung arti bahwa suatu keputusan dan tindakan didasarkan
atas norma-norma yang objektif, jadi tidak subjektif apalagi
sewenang-wenang. Keadilan pada dasarnya adalah suatu konsep yang relalif,
setiap orang tidak sama, adil menurut satu belum tentu adil bagi yang lainya,
kapan seseorang menegaskan bahwa ia melakukan suatu keadilan, hal itu
tentunya harus relavan dengan ketertiban umum dimana suatu skala keadilan
40
Kompilasi Hukum Islam (Fokus Media), h., 48.
51
diakui.41
Skala keadilan sangat bervariasi sesuai dengan tempat, setiap skala
didefenisikan dan sepenuhnya ditentukan oleh masyarakat sesuai dengan
ketertiban umum dari masyarakat tersebut.42
Dalam konsepsi Islam, adil berasal dari bahasa Arab adl, yang
merupakan kata benda berasal dari kata kerja adala berarti: (1) meluruskan
atau jujur; mengubah; (2) menjauh, meninggalkan dari satu jalan (salah)
menuju jalan yang benar; (3) menjadi sama atau sesuai atau menyamakan; (4)
membuat seimbang atau menyeimbangkan. Dalam Kamus al-Arab
menyalakan bahwa: “suatu hal yang ada dalam pikiran dalam keadaan jujur
adalah keadilan, setiap yang tidak lurus atau layak dianggap sebagai tidak
adil.43
Menurut Plalo, dalam bukunya Herman Bakir yang berjudul Filsafal
Hukum, Keadilan merupakan “besaran-besaran” atau “aset-aset” tertentu
yang akan membuat kondisi kemasyarakatan menjadi “selaras”
(mengharmonikan) dan “seimbang”. Keadilan yang dimaksudkan adalah
besaran yang bersumber dari dalam jiwa tiap-tiap masyarakat manusia itu
sendiri, yang pada dirinya “tidak dapat dipahami” atau “tidak dapat
eskplisitkan (dijabarkan) melalui argumentasi-argumentasi” (dirasionalkan).44
Sedangkan Aristoteles membedakan keadilan menjadi dua, yaitu:45
41
Muhammad Sadi Is, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana, Cet. 2, 2017), h.,
196. 42
Fadhilalul Maulida, “Nafkah Iddah Akibat Talak Ba’in dalam Perspektif
Gender (Analisa Terhadap Hukum Perkawinan Indonesia), Alhurriyah : Jurnal Hukum
Islam”, Vol. 03., No.02. Juli-Desember 2018,
http://garuda.ristekdikti.go.id/documents/detail/967041 h., 119 diakses pada tanggal, 18 Juli,
2018.
43 Agus Santoso, Hukum Moral, dan Keadila Sebuah Kajian Filsafal Hukum,
(Jakarta: Kencana, Cet. 3, 2015) h., 86. 44
Herman Bakir, Filsafal Hukum Desain dan Arsitektur Kesejahteraan, (Bandung:
PT Refika Aditama, 2007), h., 177. 45
Muhammad Sadi Is, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana, Cet. 2, 2017), h.,
196.
52
a. Keadilan distributif adalah keadilan yang berlaku dalam hukum publik
yaitu berfokus pada distribusi, horor kekayaan, dan barang-barang lain
yang diperoleh oleh anggota masyarakat.
b. Keadilan Korektif, adalah keadilan yang berhubungan dengan
pembetulan sesuatu yang salah, memberikan kompensasi bagi pihak
yang dirugikan atau hukuman yang pantas bagi pihak yang dirugikan
atau hukuman yang pantas bagi pelaku kejahatan.
Perlu kita pahamkan berbagai arti tentang dalam hal bagaimana
seseorang dapat disebut tidak adil. Dalam pikiran umum lukisan tidak adil itu
dianggap dapat diterapkan baik kepada orang yang mengambil lebih dari pada
haknya maupun kepada orang yang telah melanggar hukum. Kelanjutanya
ialah bahwa orang yang tidak mengambil lebih dari pada haknya adalah adil.
Jadi adil itu berarti menurut hukum dan apa yang sebanding atau
semestinya.46
Tidak dapat disangkal bahwa keadilan, dalam segala aspeknya,
merupakan dambaan setiap individu dan masyarakat. Karena itulah semua
agama mengajarkanya, bahkan memerintahkan manusia berlaku adil,
meskipun terhadap dirinya sendiri. Bahkan salah satu sila dari asas kehidupan
bermasyarakat adalah keadilan, sedangkan berbual baik yang melebihi
keadilan seperti berbual baik kepada mereka yang bersalah, akan dapat
menggoyahkan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat.47
Adapun hak-hak perempuan yang telah dicerai adalah sebagai berikut:48
a) Islam memberikan syaral agar pelaksanaan talak pada waktu suci tidak
terjadi setelah berkumpul. Ia tidak dalam masa haidh, karena hal itu
memberikan tenggang masa iddah bagi perempuan. Jika suami ingin
46
Lili Rasjidi, dan Arief Sidharta, Filsafal Hukum Mazhab dan Refleksinya,
(Bandung: Remadja Karya Offset, 1989), h., 25. 47
M. Quraish Shihab, Lentera Al-Qur’an (Kisah dan Hikmah Kehidupan),
(Bandung: PT Mizan Pustaka, Cet. 2, 2008) h., 286. 48
Ali Yusuf As-Subki, Fiqih Keluarga; Pedoman Berkeluarga dalam Islam
(Jakarta: Amzah, 2012), h., 341.
53
menceraikan istrinya lalu terjadi talak sekiranya perempuan menghadapi
masa iddahnya secara langsung dikarenakan membahayakan berupa
lamanya masa iddah dan kebosanan menunggu. Allah S.W.T berfirman:
Artinya: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka
hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi)
iddahnya (yang wajar)” (Q.S. Al-Thalaq (65): 1)
b) Berbuat baik terhadap perempuan yang dicerai dan berhubungan yang
baik dengannya. Allah S.W.T berfirman:
Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk
lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik”.
(Q.S. Al-Baqarah (2): 229)
c) Islam mewajibkan perempuan yang dicerai dengan kecukupan harta
untuk melindungi dari jiwa-jiwa yang dengki dan benci. Memberikan
udara yang harum dengan pennuh kehalusan dan kasih sayang. Allah
S.W.T berfirman:
Artinya: “Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan
oleh suaminya) mut'ah menurut yang ma'ruf, sebagai suatu kewajiban
bagi orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. Al-Baqarah (2): 241)
d) Islam mengharuskan tetapnya perempuan yang dicerai selama masa iddah
dalam rumah tangganya kecuali ia datang dengan huru hara dan membuat
keburukan-keburukan, maka boleh mengusirnya. Allah S.W.T berfirman:
Artinya: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka
hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat
(menghadapi) iddahnya (yang wajar)” (Q.S. Al-Thalaq (65): 1)
e) Nafkah bagi perempuan yang dicerai jika ia dalam keadaan hamil sampai
melahirkan. Jika ia tidak dalam keadaan talak ba’in makaa selama masa
54
iddah. Ia adalah perempuan yang diceraikan bukan yang ketiga. Hal
tersebut sebagai wujud adanya hubungan antara ia dan suaminya, dengan
adanya janin jika ia dalam keadaan hamil. Atau kekuasaan suami untuk
kembali kepadanya jika ia tidak dalam talak ba’in. Allah S.W.T
berfirman:
Artinya: “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat
tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan
mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri
yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka
nafkahnya hingga mereka bersalin” (Q.S. Al-Thalaq (65): 6)
f) Hak untuk kembali bagi suami dalam masa iddah. Jika ia telah
menceraikannya dengan sekali talak atau dua kali talak dengan tanpa
perlu meminta izin dan kesaksian. Jika telah habis masa iddah maka perlu
untuk akad baru. Tiada seseorang yang mencegahnya sealama ia
bersepakat. Allah S.W.T berfirman:
Artinya: “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa
iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin
lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara
mereka dengan cara yang ma'ruf.” (Q.S. Al-Baqarah (2): 232)
55
Agaknya ulama fiqih melihat masalah iddah ini tergolong kepada
masalah ta’abbudi (sesuatu yang tidak diketahui secara pasti hikmahnya,
tetapi dilaksanakan sebagai ibadah kepada Allah S.W.T semata-mata
berdasarkan peritah-Nya). Wataupun demikian, para ulama berupaya untuk
menggali hikmah iddah sebagai berikut49
:
1) Memberi kesempatan bagi kedua suami istri untuk memikirkan
kembali dengan tenang dan bijaksana setelah meredahnya amarah,
hubungan antara mereka berdua, lalu melakukan rujuk, sekiranya itu
lebih baik bagi mereka maupun anak-anak mereka.
2) Demi menghargai urusan pernikahan sebagai sesuatu yang agung dan
sakral, yang tidak dapat berlangsung tanpa adanya saksi dan tidak
terputus sepenuhnya kecuali setelah masa penantian cukup lama.
3) Untuk mengetahui secara pasti bahwa perempuan itu tidak sedang
hamil dari mantan suaminya, sehingga nasab anaknya kelak menjadi
jelas.
Sedangkan menurut Dahlan Tamrin dalam bukunya yang berjudul
Filsafal Hukum Islam, hikmah iddah dan filsafalnya mengapa iddah itu hanya
bagi perempuan dan mengapa harus menunggu sampai tiga kali suci haid
adalah antara lain sebagai berikut50
:
a) Untuk melihat kondisi rahim sang istri secara ilmiah, apakah ada
janinnya atau tidak, wataupun teknologi modern sudah bisa
memprediksi apakah rahim seseorang itu positif atau negatif.
b) Untuk menghormali sakral dan agungnya pernikahan, sehingga
setelah cerai bagi perempuan tidak diperbolehkan langsung menikah
lagi sebelum masa iddahnya habis.
c) Untuk memberi kesempatan lebih lama bagi suami pertama (yang
mencerai) untuk mempertimbangkan dan melakukan ruju’ dengan
49
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdala Islam di Indonesia,
(Jakarta: Kencana, 2004), h., 244. 50
Dahlan Tamrin, Filsafal Hukum Islam, (UIN Malang Pers,2007), h., 1.78
56
mantan istrinya bila masih dalam batasan thalaq raj’i yakni talak satu
dan dua yang belum habis masa iddah.
d) Untuk menyakinkan calon suami kedua bahwasanya ia sudah
benar-benar bercerai dengan suami pertama dan rahimnya bersih dari
benih suami pertama.
57
BAB IV
PERTIMBANGAN DAN PENERAPAN HAKIM DALAM MEMBERIKAN
NAFKAH IDDAH
A. Profil Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Pengadilan Agama Jakarta Selatan dibentuk berdasarkan surat
keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 1963. Pada
mulanya Pengadilan Agama di wilayah DKI Jakarta hanya terdapat tiga kantor
yang dinamakan Kantor Cabang, yaitu:
1. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Utara
2. Kantor Pengadilan Agama Jakarta Tengah
3. Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya sebagai Induk
Semua Pengadilan Agama tersebut di atas termasuk Wilayah Hukum
Cabang Mahkamah Islam Tinggi Surakarta. Kemudian setelah berdirinya
Cabang Mahkamah Islam Tinggi Bandung berdasarkan surat keputusan
Menteri Agama Nomor 71 tahun 1976 tanggal 16 Desember 1976. Semua
Pengadilan Agama di Propinsi Jawa Barat termasuk Pengadilan Agama yang
berada di Daerah Ibu Kota Jakarta Raya berada dalam Wilayah Hukum
Mahkamah Islam Tinggi Cabang Bandung. Dalam perkembangan selanjutnya
istilah Mahkamah Islam Tinggi menjadi Pengadilan Tinggi Agama (PTA).
Berdasarkan surat keputusan Menteri Agama RI Nomor 61 Tahun 1985,
Pengadilan Tinggi Agama Surakarta dipindah ke Jakarta, akan tetapi
realisasinya baru terlaksana pada tanggal 30 Oktober 1987 dan secara otomatis
Wilayah Hukum Pengadilan Agama di Wilayah DKI Jakarta adalah menjadi
Wilayah Hukum Pengadilan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta.1
Pengadilan Agama Jakarta Selatan sebagai salah satu instansi yang
melaksanakan tugasnya, memiliki dasar hukum dan landasan kerja sebagai
berikut:
1. Undang-undang Dasar 1945 Pasal 24;
1 Admin “Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan” dalam
https://www.pa-jakartaselatan.go.id/tentang-pengadian/sejarah-pengadilan diakses pada
tanggal 8 juni 2019.
58
2. Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009, tentang Kekuasaan
Kehakiman;
3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974;
4. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana diubah dengan
Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009, tentang perubahan kedua atas
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, tentang Peradilan Agama
5. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975;
6. Keputusan Menteri Agama RI Nomor 69 Tahun 1963, tentang
Pembentukan Pengadilan Agama Jakarta Selatan;
7. Peraturan-peraturan lain yang berhubungan dengan Tata Kerja dan
Wewenang Pengadilan Agama;
Terbentuknya kantor Pengadilan Agama Jakarta Selatan merupakan
jawaban dari perkembangan masyarakat Jakarta, yang ketika itu pada tahun
1967 merupakan cabang di Pengadilan agama Istimewa Jakarta Raya yang
berkantor di jalan Otista Raya Jakarta Timur. Sebutan pada waktu itu adalah
cabang Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Kantor cabang Pengadilan Agama
Jakarta Selatan dibentuk sesuai dengan banyaknya jumlah penduduk dan
bertambahnya pemahaman penduduk serta tuntutan masyarakat Jakarta
Selatan yang wilayahnya cukup luas. Keadaan kantor ketika itu masih dalam
keadaan darurat yaitu menempati gedung bekas kantor Kecamatan Pasar
Minggu di suatu gang kecil yang sampai saat ini dikenal dengan gang
Pengadilan Negeri yang ketika itu dipimpin oleh Bismar Siregar, S.H.2
Pada tahun 1976, gedung kantor cabang Pengadilan Agama Jakarta
Selatan dipindah ke blok D Kebayoran Baru Jakarta Selatan dengan
menempati serambi Masjid Syarief Hidayatullah dan sebutan kantor cabang
pun dihilangkan menjadi Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Kemudian
diangkat pula beberapa hakim honorer yang diantaranya adalah H. Ichtijanto,
S.A., S.H. Penunjukan tempat tersebut atas inisiatif kepala Kandepag Jakarta
Selatan yang waktu itu dijabat pula Drs. H. Muhdi Yasin. Seiring dengan
2 Admin “Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan” dalam
https://www.pa-jakartaselatan.go.id/tentang-pengadian/sejarah-pengadilan diakses pada
tanggal 8 juni 2019.
59
perkembangan tersebut, diangkat pula 8 karyawan untuk menangani
tugas-tugas kepaniteraan yaitu, Ilyas Hasbullah, Hasan Jauhari, Sukandi,
Saimin, Tuwon Haryanto, Fathullah AN., Hasan Mughni, dan Imron. Keadaan
penempatan kantor di serambi Masjid tersebut, bertahan hingga tahun 1979.
Selanjutnya pada akhir April 2010, gedung baru Pengadilan Agama
Jakarta Selatan diresmikan oleh Ketua Mahkamah Agung RI. Kemudian pada
awal Mei 2010, diadakan tasyakuran dan sekaligus dimulainya aktifitas
perkantoran di gedung baru tersebut. Pada saai itu Ketua Pengadilan Agama
Jakarta Selatan dijabat oleh Drs. H. Ahsin A. Hamid, S.H. Sejak menempati
gedung baru yang cukup megah dan representatif tersebut, di Pengadilan
Agama Jakarta Selatan dilakukan pembenahan dalam segala hal, baik dalam
hal pelayanan terhadap pencari keadilan maupun dalam hal peningkatan TI
(Teknologi Informasi) yang sudah semakin canggih disertai dengan
aplikasi-aplikasi yang menunjang pelaksanaan tugas pokok, seperti aplikasi
SIADPA (Sistem Informasi Administrasi Perkara Pengadilan Agama) yang
sudah berjalan, sistem informasi manidiri dengan layar sentuh (touchscreen),
serta situs web "http://www.pa-jakartaselatan.go.id".3
Susunan Pengadilan diatur dalam Bab II Pasal 6 sampai dengan Pasal
48 UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Susunan organisasi
Pengadilan Agama terdiri dari pimpinan, hakim anggota, panitera, sekretaris
dan juru sita.4
1) Pimpinan Pengadilan
Pimpinan Pengadilan Agama terdiri dari seorang ketua dan seorang
wakil ketua.
2) Hakim
Hakim adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman.
Hakim pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh presiden atas usul
3 Admin, “Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan” dalam
https://www.pa-jakartaselatan.go.id/tentang-pengadian/sejarah-pengadilan diakses
padatangga 8 juni 2019.
4 Admin, “Struktur Organisasi Pengadilan Agama Jakarta Selatan” dalam
https://www.pa-jakartaselatan.go.id/tentang-pengadian/sejarah-pengadilan diakses pada tanggal
22 Juli 2019.
60
ketua Mahkamah Agung.
3) Panitera atau Sekretaris
Mengenai struktur kepaniteraan sebagai salah satu sistem pendukung
utama fungsi peradilan, menurut pasal 26 ayat (7) jo. Pasal 44,
mempunyai tugas “ganda” pada diri dan jabtannya melekat jabatan
panitera merangkap sekretaris pengadilan.
Struktur organisasi Pengadilan Agama Jakarta Selatan mengacu pada
Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Surat
Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor KMA/004/II/92 tentang
organisasi dan Tata Kerja Kepaniteraan Pengadilan Agama dan Pengadilan
Tinggi Agama, KMA Nomor 5 Tahun 1996 tentang Struktur Organisasi
Peradilan, dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2015 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kepaniteraan dan Kesekretariatan Peradilan.
Gambar 4.1 Struktur Organisasi Pengadilan Agama Jakarta Selatan
61
B. Deskripsi Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor
1542/Pdt.G/2014/PA.JS
Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor
1542/Pdt.G/2014/PA.JS adalah perkara cerai gugat yang telah didaftarkan di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada tanggal 3 Juni 2014 dengan duduk
perkara5:
Penggugat merupakan seorang isteri berusia umur 41 tahun, beragama
islam, pekerjaan karyawati, tempat kediaman di Jakarta Selatan dalam hal ini
memberikan kuasa hukum kepada Erniwaty Hutagalung, S.H dan Firman A.
Hutapea, S.H, yang merupakan Advokat dan Konsultan Hukum Ernie
Hutagalung dan Patners.
Tergugat merupakan suami dari Penggugat, beragama Islam dan
bekerja sebagai karyawan swasta, Tergugat bertempat tinggal di Jakarta
Selatan.
Penggugat dengan Tergugat melangsungkan pernikahan pada tanggal
22 Agustus 1999 bertetapan dengan 10 Jumadil Awal 1420 H, sebagaimana
tercatat dalam kutipan akta nikah No.-, tertanggal 22 Agustus 1999, yang
dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Cikole, Sukabumi,
Jawa Barat.
Kondisi rumah tangga antara Penggugat dengan Tergugat berjalan
harmonis selama 10 tahun pernikahan mereka. Bahwa sekitar 2001, Penggugat
memutuskan untuk berhenti bekerja agar dapat menemani Tergugat ditugaskan
ke Hongkong. Dan selama di Hongkong Penggugat tidak bekerja. Sejak
kepindahan ke Hongkong perselisihan antara Penggugat dan Tergugat sudah
mulai terjadi. Akan tetapi Penggugat beranggapan bahwa itu adalah ujian dan
cobaan dalam menjalani kehidupan berumah tangga di 5 Tahun pertama.
Kemudian dalam jangka waktu 1 sampai 4 tahun perselisihan mulai
terjadi antara pengggugat dan Tergugat sampai puncaknya pada tahun 2014
5 Salinan Putusan Nomor 1542/Pdt.G/2014/PA.JS
62
terjadi pertengkaran hebat antara Penggugat dengan Tergugat. Adanya
pertengkaran tersebut diakui oleh Penggugat dan Tergugat dikarenakan sudah
tidak ada lagi kecocokan satu dengan yang lainnya serta tidak dapat
didamaikan lagi sehingga untuk mencapai tujuan perkawinan sebagaimana
diamanatkan peraturan-peraturan perundang-undangan sangat sulit terpenuhi.
Semakin hari hubungan antara Penggugat dan Tergugat terasa hambar,
maka Penggugat berusaha untuk memperbaikinya dengan cara menyarankan
agar Penggugat dan Tergugat berkonsultasi kepada konsultan Pernikahan.
Konsultasi tersebut dilakukan bersama-sama anatara Penggugat dan Tergugat,
akan tetapi tidak memberikan hasil yang baik. Karena komunikasi yang
semakin memburuk antara Penggugat dan Tergugat membuat situasi makin
tidak tertahankan oleh Penggugat, sedangkan Tergugat tidak mau berbicara
dengan Penggugat dengan alasan tidak mau ada keributan. Hal tersebut
diketahui oleh anak-anak Penggugat dan Tergugat, serta mereka seringkali
menanyakan kepada Penggugat mengapa Tergugat tidak pernah berbicara
dengan Penggugat.
Sejak peristiwa yang tersebut Penggugat merasa kecewa dan sedih
terhadap situasi rumah tangga antara Penggugat dan Tergugat karena
komunikasi semakin jarang dan sering terjadi kesalahpahaman antara
Penggugat dan Tergugat sehingga terjadi pertengkaran terus-menerus yang
menimbulkan ketidaknyamanan dalam rumah tangga dan memberikan dampak
yang kurang baik bagi jiwa dan perkembangan anak-anak serta berdampak
terhadap batin Penggugat seorang ibu atau istri.
Dalam kurun waktu tersebut, kehidupan rumah tangga Penggugat dan
Tergugat berjalan layaknya seperti dua orang yang baru kenal, dengan tidak
adanya hubungan yang harmonis lagi antara Penggugat dan Tergugat,
membuat perkawinan antara Penggugat dan Tergugat tidak ada lagi harapan
untuk hidup rukun dalam satu rumah tangga yang bahagia. Dengan demikian
dapatlah disimpulkan bahwa perkawinan antara Penggugat dan Tergugat sudah
tidak ada lagi kecocokan satu dengan yang lainnya serta tidak dapat
didamaikan lagi sehingga untuk mencapai tujuan perkawinan sebagaimana
63
yang diamanatkan peraturan perundang-undangan sangat sulit untuk dipenuhi.
Pertengkaran-pertengkaran dan ketidakcocokan antara Penggugat dan
Tergugat secara terus menerus dan tidak ada harapan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga tersebut telah memenuhi syarat dan alasan perceraian
sebagaimana diatur dalam Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah nomor 9
Tahun 1975 jo penjelasan Pasal 39 ayat (2) hutuf f Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan jo Pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam.
Perselisihan dan pertengkaran diantara Penggugat dengan Tergugat
semakin memburuk dan berkepanjangan tanpa ada perdamaian diantara
keduanya. Intensitas komunikasi antara Penggugat dengan Tergugat sudah
berkurang bahkan hampir tidak ada komunikasi apalagi antara Penggugat
dengan Tergugat, dengan alasan Tergugat tidak mau ada keributan. Hal
tersebut diketahui oleh anak-anak Penggugat dan Tergugat, serta seringkali
menanyakan kepada Penggugat mengapa Tergugat tidak pernah berbicara
dengan Penggugat.
Dalam petitumnya Penggugat meminta kepada Pengadilan Agama
Jakarta Selatan untuk menetapkan hak asuh anak kepada Penggugat dan
meminta Tergugat untuk memberikan biaya Hadhanah atau nafkah anak
sebesar Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) setiap bulan, guna biaya
hidup, pendidikan dan keperluan hingga kedua orang anak tersebut dewasa dan
dapat mengurus diri sendiri. Serta membebankan kepada Tergugat untuk
memberikan nafkah iddah dan mut’ah kepada Penggugat, sesuai dengan
kesanggupan dan ke ikhlasan Tergugat.
Dari duduk perkara yang telah diuraikan diatas majelis hakim
memberikan pertimbangan antara lain:6 menimbang bahwa majelis hakim
telah berusaha mendamaikan Penggugat dan Tergugat demikian pula telah
ditempuh proses mediasi melalui Mediator, akan tetapi tidak berhasil. Dengan
demikian pemeriksaan a-quo telah memenuhi maksud Pasal 82 (1)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama Jo. Pasal 2
ayat (2) dan Pasal 7 ayat (1) Perma 1 Tahun 2008 Tentang prosedur mediasi di
6 Salinan Putusan Nomor 1542/Pdt.G/2014/PA.JS
64
Pengadilan.
Majelis hakim juga menimbang bahwa dalam kondisi yang tidak
harmonis tersebut Majelis Hakim berpendapat ikatan perkawinan antara
Penggugat dan Tergugat telah pecah yang disebabkan oleh hal-hal
sebagaimana tersebut diatas tanpa mempersoalkan siapa yang salah sehingga
antara Penggugat dan Tergugat sulit untuk dapat dirukunkan lagi untuk
membina rumah tangga. Sesuai dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI
Nomor 237 K/AG/1998 tanggal 17 Maret 1999 yang menetapkan bahwa
cekcok, hidup berpisah tidak dalam satu tempat kediaman bersama, salah satu
pihak tidak berniat meneruskan kehidupan bersama merupakan fakta yang
cukup untuk dijadikan alasan perceraian.
Selanjutnya Majelis hakim juga menimbang bahwa berdasarkan fakta
tersebut diatas gugatan Penggugat telah memenuhi maksud Pasal 39
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan beserta
penjelasanya dan pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintahan Nomor 9 Thun 1975
tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan Jo. Pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam dengan demikian
gugatan Penggugat untuk bercerai dari Tergugat cukup beralasan dan tidak
melawan hukum oleh karenanya Majelis Hakim dapat mengabulkan gugatan
tersebut.
Dalam hal nafkah iddah majelis hakim mempertimbangkan karena
Tergugat mempunyai penghasilan dan dikaitkan dengan memperhatikan
keterangan Penggugat bahwa kebiasaan dari Tergugat yang biasa
memeberikan nafkah untuk keluarganya setiap bulanya dan itupun rutin natara
Rp. 27.000.000.- (dua puluh tujuh juta rupiah) sampai dengan Rp. 30.000.000,-
(tiga puluh juta rupiah) berarti Tergugat mempunyai penghasilan yang layak.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas majelis hakim
berpendapat bahwa Tergugat layak untuk dihukum memberikan nafkah iddah
kepada Penggugat setiap bulannya sejumlah Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta
rupiah) dan jika dikaitkan dengan usia Penggugat dinilai oleh majelis hakim
maka masa iddahnya itu 3 (tiga) sehingga jumlah seluruhnya Rp. 30.000.000,-
65
(tiga puluh juta rupiah) dengan demikian majelis Hakim menghukum Tergugat
untuk memberikan nafkah iddah kepada Penggugat selama masa iddah
sejumlah Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah).
Dari duduk perkara dan pertimbangan hakim sebagaimana yang telah
diuraikan diatas, majelis hakim memutuskan perkara ini dengan amar sebagai
berikut7 :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menjatuhkan talak satu ba’in sugra Tergugat terhadap
Penggugat;
3. Menetapkan anak yang bernama Anak I Penggugat dan Tergugat
bin Widya Permana, laki-laki lahir dijakarta tanggal 13 Juni
2000 dan Anak II Penggugat dan Tergugat bin Widya Permana,
perempuan lahir di Jakarta tanggal 17 November 2005 berada
pemeliharaan(hadhanah) Penggugat;
4. Memberikan izin kepada Tergugat tanpa mengurangi ataupun
membatasi hak-hak Tergugat selaku ayahnya untuk bertemu dan
menyalurkan kasih sayangnya kepada kedua orang anaknya
dalam diktum angka 3 (tiga) tersebut sepanjang tidak
menganggu kepentingan pendidikan dan kesehatannya;
5. Menghukum Tergugat untuk memberikan biaya hadhanah
(nafkah anak) dalam diktum angka 3 (tiga) tersebut kepada
Penggugat setiap bulannya minimal Rp. 20.000.000,- (dua puluh
juta rupiah) sampai anak tersebut dewasa atau mandiri;
6. Menghukum Tergugat untuk memberikan kepada Penggugat
nafkah selama masa iddah sejumlah Rp. 30.000.000,- (tiga puluh
juta rupiah);
7. Memerintahkan kepada Panitera Pengadilan Jakarta Selatan
untuk mengirimkan salinan putusan perkara ini setelah
berkekuatan hukum tetap kepada Kantor Urusan Agama yang
mewilayahi tempat tinggal Penggugat dan Tergugat
7 Salinan Putusan Nomor 1542/Pdt.G/2014/PA.JS
66
dilangsungkan untuk dicacat dalam register yang tersedia untuk
itu;
8. Membebankan kepada Penggugat untuk membayar biaya
perkara hingga putusan ini diucapkan sejumlah Rp. 916.000,-
(sembilan ratus enam belas ribu rupiah);
9. Menolak untuk selain dan sebagainya;
C. Landasan dan Pertimbangan Hakim Dalam Menetapkan Nafkah Iddah
bagi Istri yang mengajukan Gugatan Cerai
Hak nafkah iddah sejatinya diberikan kepada isteri yang mendapat
cerai talak raj’i sebagai kompensasi pihak suami kepada isterinya atas
putusnya hubungan perkawinan. Namun dewasa ini hak nafkah iddah tidak
hanya diberikan kepada isteri yang dicerai talak namun juga bagi isteri yang
menggugat cerai pun mendapatkan nafkah iddah.
Putusan cerai gugat biasanya tidak diikuti dengan kewajiban suami
untuk membayar nafkah iddah terhadap isteri yang telah diceraikan, hal ini
dikarenakan adanya peraturan yang mengatur bahwa isteri tidak akan
mendapat nafkah iddah apabila nusyuz atau mendapat talak bain sugra.
Sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 41 huruf (c) Undang- Undang No.1
Tahun 1974. Namun hakim tentu saja tidak serta merta mengikuti teks
Undang-Undang melainkan juga melakukan pertimbangan menggunakan
ijtihadnya sebagai seorang hakim yang memiliki tujuan untuk mencapai
keadilan. Adapun yang menjadi pertimbangan hakim dalam menghukum
Tergugat diantaranya adalah nusyuz tidaknya isteri dan kemampuan suami
secara materi.8
Dalam menyelesaikan perkara cerai gugat ini, bermula dari penerimaan
perkara sampai dengan jatuhnya putusan hakim terhadap perkara tersebut,
8 Erwin Hikmatiar, “Nafkah Iddah Pada Perkara Cerai Gugat Analisis Putusan Nomor
2615/Pdt. G/2011/PA.JS.” (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015), h., 56.
67
secara hukum formil9 maupun materiil para Hakim Pengadilan Agama Jakarta
Selatan sudah merujuk kepada ketentuan yang berlaku di peradilan agama dan
tidak bergeser dari bunyi perundang-undangan yang sudah ada, yaitu: HIR,
R.Bg, Undang-undang Dasar 1945 Pasal 24, Undang-undang Nomor 48 Tahun
2009, tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974,
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana diubah dengan
Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009, tentang perubahan kedua atas
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, tentang Peradilan Agama, Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Keputusan Menteri Agama RI Nomor 69
Tahun 1963, tentang Pembentukan Pengadilan Agama Jakarta Selatan,
Peraturan-peraturan lain yang berhubungan dengan Tata Kerja dan Wewenang
Pengadilan Agama, dan Kompilasi Hukum Islam.
Semua perkara cerai gugat di Pengadilan diputus dengan talak satu
ba’in shugra yang berakibat hukum bahwa talak ini merupakan talak yang
tidak boleh rujuk akan tetapi boleh dengan akad nikah yang baru walaupun istri
masih dalam masa iddah. Hal ini sesuai dengan Pasal 119 KHI. Karena hakim
beranggapan bahwa cerai gugat yang diajukan dengan inisiatif istri maka
dijatukan dengan talak satu ba’in shugra.10
Sedangkan landasan hukum yurisprudensi11
dapat digunakan untuk
memperkuat hak istri memperoleh nafkah iddah adalah Yurisprudensi
Mahkamah Agung Mahkamah agung RI Nomor 137K/AG/2007 tanggal 19
September 2007 yang dalam pertimbangannya menyebutkan bahwa sesuai
ketentuan Pasal 41 huruf (c) Undang-Undang Nomor 1 Tahun1974 dan Pasal
149 huruf (b) Kompilasi Hukum Islam, meskipun perkara ini cerai gugat dan
9 Hukum acara yang berlaku di peradilan agama adalah sama dengan yang berlaku di
lingkungan peradilan umum, kecuali hal-hal yang mengatur secara khusus dalam UU Peradilan Agama
dan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kewenangan peradilan agama. Lihat Abdul
Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkunagn Peradilan Agama, ( Jakarta:Kencana, 2008), h.
8. 10 Irfan Nurhasan, Pandangan Hakim Terhadap Hak Nafkah Iddah pada kasus Cerai Gugat
karena KDRT, Studi Atas Putusan Pengadilan Agama Bekasi Tahun 2014, (Skripsi S-1 Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016), h., 58.
11 Yurisprudensi adalah pengumpulan yang sistematis dari Keputusan Mahkamah Agung dan
Keputusan Pengadilan Tinggi yang diikuti oleh hakim lain dalam memberikan keputusan dalam
persoalan yang sama. Lihat Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkunagn Peradilan
Agama, h. 10.
68
tidak terbukti istri melakukan nusyuz, maka hakim menghukum
suami untuk memberikan nafkah iddah kepada istri dengan alasan istri harus
menjalani masa iddah dan tujuan dari masa iddah tersebut adalah istibra’. Dan
istibra’ tersebut terkait dengan kepentingan suami. Dengan adanya landasan
diatas dan dengan adanya keterangan Penggugat bahwa Tergugat masih rutin
memberikan nafkah setiap bulannya, berarti Tergugat mempunyai penghasilan
yang layak, maka atas dasar pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas
majelis hakim berpendapat bahwa Tergugat layak untuk dihukum memberikan
nafkah iddah kepada Penggugat setiap bulannya sejumlah Rp. 10.000.000,-
(sepuluh juta rupiah) dan jika dikaitkan dengan usia Penggugat dinilai oleh
majelis hakim masa iddahnya itu 3 (tiga) kali suci sehingga jumlah Rp.
10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) itu dikalikan tiga (tiga) sehingga jumlah
seluruhnya Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah).
Dalam menyelesaikan perkara cerai gugat tersebut, hakim secara ex
officio dapat mewajibkan bekas suami (Tergugat) memberi nafkah iddah bagi
bekas istri sebagai janda cerai gugat. Pengertian hak ex officio hakim adalah
hak atau kewenangan yang dimiliki oleh hakim karena jabatannya, dan salah
satunya adalah untuk memutus atau memberikan sesuatu yang tidak ada dalam
tuntutan. Hak ex officio hakim merupakan yang dimiliki oleh hakim walaupun
hak tersebut tidak ada dalam tuntutan atau permohonan dari istri dalam
perceraian. Dalam perkara perceraian, hakim dapat memutus lebih dari yang
diminta karena jabatannya, hal ini berdasarkan Pasal 41 huruf c
Undang-Undang Perkawinan,12 “Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas
suami untuk memberi biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu
kewajiban bagi bekas istrinya”. Hak ex officio ini sejatinya bukan hal yang
baru lagi, karena sudah ada sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan.12
Untuk merealisasikan maksud pasal di atas, Mahkamah Agung telah
memberikan perintah sebagaimana yang tertulis dalam Buku II secara jelas
menyatakan bahwa pengadilan agama secara ex officio sepanjang istrinya tidak
12
Pasal 41 huruf c Undang-Undang Nomor: 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
69
terbukti berbuat nusyuz, dan menetapkan kewajiban mut’ah. Oleh karenanya
hakim pengadilan agama sedapat mungkin berupaya mengetahui jenis
pekerjaan suami yang jelas dan pasti serta mengetahui perkiraan rata-rata per
bulan untuk dijadikan dasar pertimbangan dalam menetapkan nafkah ‘iddah
dan mut’ah bahkan madhiah dan nafkah anak hingga dewasa.13
Hakim dalam memberikan hak ex officio ini dapat dianalogikan atau
di qiyas-kan dengan janda cerai talak yang didasarkan atas beberapa
pertimbangan sebagai berikut: Pertama, bahwa Pasal 41 huruf (c)
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa
pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan /atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri. Kedua,
bahwa bekas suami dan bekas istri dapat terjadi baik dalam cerai talak maupun
cerai gugat. Ketiga, bahwa selama dalam masa iddah, bekas istri wajib
menjaga dirinya, tidak boleh menerima pinangan orang lain dan tidak boleh
menikah dengan pria lain.14
Dapat dikatakan bahwa hakim bukanlah corong Undang-undang.
Melainkan hakim adalah penegak hukum dan keadilan. Pengadilan dilarang
menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang
diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan
wajib menggali, memahami dan mengikuti nilai-nilai hukum dan keadilan
yang hidup di masyarakat agar putusan-putusannya memenuhi rasa keadilan.
Dalam khazanah Hukum Islam, terobosan hukum ini disebut istimbath yang
dilakukan melalui ijtihad.15
Terobosan hukum harus dilakukan menurut hukum dan tidak boleh
melanggar hukum. Dalam praktik peradilan, terobosan hukum dapat terjadi
baik dalam hukum acara maupun hukum materil. Pertama, terobosan dalam
hukum acara berada antara larangan bahwa hakim tidak boleh memutus lebih
13
Ahmad Fanani, Hak Ex Officio Hakim: Studi Kasus Perceraian di Pengadilan
Agama Sidoarjo No. 3513 Th. 2015, dalam
https://ejournal.unida.gontor.ac.id/index.php/tsaqafah/article/view/1091/1120 h., 344, diakses
pada tanggal 18 juli, 2019. 14 Lihat Kompilasi Hukum Islam Pasal 151. 15 A. Mukti Arto, Pembaruan Hukum Islam Melalui Putusan Hakim, (Pustaka Pelajar:
Yogyakarta, 2015), h. 204.
70
dari yang diminta dan hak ex officio (hak yang dimiliki hakim karena
jabatannya) yang diberikan oleh Undang- undang kepada hakim untuk
memutus lebih dari yang diminta demi terwujudnya keadilan dan penyelesaian
perkara tuntas dan final. Kedua, sedangkan terobosan dalam hukum materiil
adalah manakala kaidah hukum yang tidak mampu menyelesaikan masalah
secara adil dan tuntas sehingga hakim harus melakukan penemuan hukum yang
baru. Penemuan hukum ini pada hakikatnya merupakan proses pembentukan
hukum baru yang bersifat kasuistis.16
D. Analisis Penulis Terhadap Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Nomor 1542/Pdt.G/2014/PA.JS
Pada pembahasan sebelumnya, ketika istri mengajukan cerai gugat ke
pengadilan agama terhadap suaminya, maka hakim menjatuhkan putusan talak
satu ba’in shugra yang mana talak ini berakibat hukum talak yang tidak boleh
rujuk akan tetapi boleh rujuk jika dengan akad nikah yang baru walaupun istri
masih dalam masa iddah dan berakibat hukum bahwa istri tidak mendapatkan
nafkah iddah dan mut’ah.
Wanita yang menjalani ‘iddah karena ditalak dan masih bisa dirujuk,
maka wajib mendapatkan tempat tinggal dan nafkah. Adapun wanita yang
menjalani ‘iddah karena ditalak dan tidak bisa dirujuk, maka wajib
mendapatkan tempat tinggal dan tidak mendapatkan nafkah. Wajib bagi wanita
yang ditinggal mati oleh suaminya melakukn ‘ihdad, yaitu tidak berhias dan
memakai wewangian. Wanita yang ditinggal mati oleh suaminya dan wanita
yang ditalak ba’in (talak tiga) harus berada dirumah, kecuali untuk suatu
kebutuhan.17
Menurut penulis aturan hukum dalam Pasal 149 (b) KHI (Kompilasi
Hukum Islam) sepanjang mengenai nafkah iddah talak ba`in kurang tepat untuk
diterapkan karena tidak memenuhi rasa keadilan, sebab dalam keadaan ini
16 A. Mukti Arto, Pembaruan Hukum Islam Melalui Putusan Hakim, (Pustaka Pelajar:
Yogyakarta, 2015), h., 205.
17
Musthafa Diib Al-Bugha, Fikih Islam Lengkap penjelasan Hukum-hukum Islam
Madzhab Syafi’i, (Solo: Media Zikir, 2009), h., 400.
71
mantan istri dikategorikan tidak mampu menafkahi dirinya sendiri selama
menjalani masa iddah karena harus terikat dengan masa tunggunya yang cukup
lama dan dalam keadaan masa tunggu tersebut istri tidak diperbolehkan keluar
rumah kecuali dengan kondisi tertentu saja. Apalagi selama masa
perkawinannya ia hanya mengharapkan nafkah dari suaminya. Maka mantan
istri akan sulit untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari ketika menjalani
masa iddah tersebut apalagi jika istri tidak memiliki pekerjaan, hanya sebagai
Ibu Rumah Tangga saja. Dengan dikesampingkannya ketentuan pasal tersebut
maka penafsiran pasal 41 huruf c Undang-undang No. 1 Tahun 1974 meliputi
talak raj’i dan talak ba`in. Hal ini juga telah ditegaskan dalam buku II
Mahkamah Agung tentang Pedoman Pelaksanaan tugas dan administrasi
Peradilan Agama sekalipun tidak ada kata tegas untuk mengenyampingkan
ketentuan pasal 149 (b).
Ketentuan dalam pasal 149 (b) ini, jika dilihat dari perspektif keadilan,
maka menurut penulis terlihat kurang adil atau berat sebelah di mana nafkah
iddah hanya diberikan kepada mantan istri jika ia ditalak raj’i dalam artian
suami yang menjatuhkan talak kepada istri atas keinginan suami, sedangkan
dalam keadaan istri yang menggugat cerai suami atas keinginan istri, ketika
diputus pengadilan dengan status talak ba`in, maka istri tidak berhak mendapat
nafkah iddah. Hal ini terlihat kurang adil sebab jika suami yang menjatuhkan
talak maka baru istri mendapat nafkah iddah sedangkan jika istri yang
menggugat cerai maka haknya mendapat nafkah iddah menjadi hilang. Apalagi
jika diketahui bahwasanya istri tidak melakukan nusyuz kepada suami, ini
sangat kurang adil menurut penulis.
Dalam fiqh diatur bahwasanya pemberian nafkah iddah berdasarkan
jatuhnya talak kepada isteri, nafkah iddah hanya diberikan kepada isteri yang
mendapat talak raj’i.18
Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974
tentang Perkawinan pasal 41 huruf c menyebutkan bahwa Pengadilan dapat
mewajibkan kepada bekas suami memberikan biaya penghidupan dan /atau
18 Erwin Hikmatiar, “Nafkah Iddah Pada Perkara Cerai Gugat Analisis Putusan Nomor
2615/Pdt. G/2011/PA.JS.” (Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015), h., 60.
72
menentukan kewajiban bagi kepada bekas istri, demikian juga dalam
Kompilasi Hukum Islam pasal 149 ayat (b) yang menyatakan bahwa
“Bilamana perkawinan putus karena talak maka suami wajib memberikan
nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah, kecuali
bekas isteri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak
hamil” akan tetapi pada prakteknya pemberian nafkah iddah pada perkara
perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Selatan ditetapkan berdasarkan bahwa
suaminya berpenghasilan yang cukup dan juga dilihat dari segi istrinya yang
dinggap tidak melakukan nusyuz. Hal ini dilakukan dalam rangka upaya hakim
untuk menerapkan asas keadilan yang objektif.
Ditinjau dari perspektif maqâshid al-Syarî‟ah maka seorang mantan
istri selama dalam masa iddah wajib diberikan nafkah karena tanpa adanya
nafkah maka mantan istri tersebut akan berada dalam kondisi bahaya
disebabkan tidak adanya nafkah. Mantan istri yang dijatuhkan talak wajib
diberikan nafkah tanpa dibedakan apakah talak tersebut raj’iy atau ba’in.
Hukum wajib ini berdasar kepada pertimbangan maqâshid al Syarî’ah, yakni
memelihara mashlahah jiwa (hifzh al-nafs). Dengan wajibnya pemenuhan
nafkah mantan istri selama masa iddah maka mantan istri tersebut terjamin
kehidupannya sampai dia bisa kawin lagi atau bisa menghidupi dirinya sendiri
setelah keluar dari aturan iddah yang memagarnya. Dikaitkan dengan
dharuriyat al-khamsah (lima mashlahah pokok), mashlahah dalam
perlindungan mantan istri tersebut adalah hifzh al-nafs (memelihara jiwa). Jiwa
merupakan salah satu dari dharuriyat al-Khamsah yang wajib dipelihara.
Wajibnya memelihara jiwa telah dimulai sejak di alam rahim berupa
pemeliharaan hasil pembuahan sperma dan ovum bahkan sebelum adanya
pembuahan dengan syari’at nikah dan pengharaman zina. Perlindungan jiwa
tersebut berlanjut dengan kewajiban orang tua megurus anak tersebut sejak
lahir sampai mandiri bagi laki-laki atau sampai menikah bagi perempuan. Bagi
seorang perempuan, setelah menikah maka kepengurusannya beralih kepada
suami dan setelah terjadinya perceraian semestinya suami belum bebas dari
73
tanggung jawab sampai habisnya masa iddah.19
Menurut penulis tidak adanya nafkah iddah dan mut’ah pada perkara
cerai gugat tentunya menimbulkan kerugian bagi bekas istri. Bekas istri
tentunya sangat membutuhkan biaya atau uang untuk menghidupi dirinya
sendiri dan anak-anaknya setelah perceraian. Jika nafkah iddah dan mut’ah
diberikan maka dapat menjamin kehidupan bekas istri selama masa iddahnya.
Hal tersebut tentunya lebih mengakomodasi kepada kepentingan bagi bekas
istri selama masa iddahnya berlangsung.
Banyak kasus cerai gugat yang diajukan ke Pengadilan Agama dengan
alasan bahwa perempuan itu merasa menjadi korban karena merasa dirugikan
oleh suami. Sebagai contoh adalah ketika perempuan yang mengajukan cerai
gugat tersebut dirugikan karena mendapatkan perlakuan tidak bertanggung
jawab, melakukan KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), poligami, atau
perlakuan buruk lainnya seperti kesalahpahaman yang berkepanjangan hingga
mengakibatkan perceraian. Hal ini tentu saja harus menjadi pertimbangan
hakim dalam pemberian putusan di dalam perkara cerai gugat, sehingga perlu
dikaji ulang.20
Apabila perempuan mendapat perlakuan yang merugikan dirinya
tersebut, perempuan akan sangat wajar jika mempunyai hak terkait dalam
nafkah iddah, maskan dan kiswah dalam konteks dan istilah apapun dalam
perkara perceraian. Perlu dipertimbangkan lagi bahwa jika perempuan
mendapatkan hak nafkah iddah, maskan dan kiswah harus dengan catatan
bahwa istri tidak nuzyus. Dengan ini maka perlu adanya pendekatan dari sisi
kemanusian dari hakim dalam memutuskan penetapan nafkah iddah bagi bekas
istri. Maka hakim dapat menggunakan Hak ex officio nya dalam menetapkan
nafkah iddah bagi istri yang ditalak. Dalam memberikan hak ex officio hakim
19
Muhammad Fauzan, Maqasid Nafkah Iddah dan Perlindungan Perempuan, Hukum
Islam,Vol.XVINo.1Juni,http://ejournal.uin-suska.ac.id/index.php/hukumislam/article/view/26
84/1696, diakses pada Rabu, 17 Juli 2019.
20 M. Ulil Azmi, “Pemberian Nafkah Iddah dalam Cerai Gugat (Analisis Putusan Nomor
1445/Pdt. G/2010/PA.JS.” (Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015), h., 71.
74
ini bertujuan untuk melindungi hak-hak istri dan mensejahterakan kehidupan
mantan istri yang ditalak oleh suaminya serta sebagai penghibur hati dalam
menjalankan kehidupan setelah ditalak.21
E. Penerapan asas Keadilan
Dalam membuat putusan, hakim harus memuat idée des recht, yang
meliputi tiga unsur, yaitu: keadilan (gerechtigkeit), kepastian hukum
(rechtsicherheit) dan kemanfaatan (zwechtmassigkeit). Ketiga unsur tersebut
harus dipertimbangkan dan diterapkan secara proporsional. Namun dalam
praktek peradilan, sangat sulit bagi seorang hakim untuk mengakomodir ketiga
asas tersebut dalam satu putusan. Jika diibaratkan dalam sebuah garis, hakim
dalam memeriksa dan memutuskan suatu perkara berada diantara dua titik
pembatas dalam garis tersebut, yang mana berdiri pada titik keadilan dan
kepastian hukum, sedangkan titik kemanfaatan berada diantara keduanya.
Adapun penekanan pada kepastian hukum, lebih cenderung untuk
mempertahankan norma-norma hukum tertulis dari hukum positif yang ada.22
Sedangkan penekanan pada asas keadilan, berarti hakim harus
mempertimbagkan hukum yang hidup di dalam masyarakat, yang terdiri atas
kebiasaan dan ketentuan hukum yang tidak tertulis. Penekanan pada asas
kemanfaatan lebih bernuansa kepada segi ekonomi, dengan dasar pemikiran
bahwa hukum itu ada dan untuk manusia, sehingga tujuan hukum itu harus
berguna bagi masyarakat. Dengan berpedoman pada asas-asas di atas, hakim
dalam mengambil sebuah keputusan agar dapat mempertimbangkanya terlebih
dahulu, sehingga putusan yang ditetapkan oleh hakim dapat diterima di
Masyarakat.
Perlindungan hukum bagi pihak berperkara, secara umum, ditegaskan
21
Titin Titawati dan Nuning Pujiastuti, “Pemberian Nafkah Iddah di tinjau dari
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam Studi Kasus di Pengadilan
Agama kelas 1 A Kota Mataram” GaneÇ Swara Vol. 11 No.1 Maret 2017, dalam
https://scholar.google.co.id/scholar?start=60&q=keadilan+nafkah+iddah+bagi+cerai+gugat&
hl=id&as_sdt=0,5 di akeses pada tanggal 23 Juli 2019. 22
Nurul Mahmudah, “Aspek Sosiologis dalam putusan Pengadilan pada perkara
Cerai Gugat”, Vol 7 No 01 (2019): Hukum Islam, dalam
http://garuda.ristekdikti.go.id/documents/detail/1039093 di akses pada tanggal 23 Juli 2019.
75
dalam Pasal 17 UU No. 39 Tahun 199923
yang mengatur bahwa “Setiap orang
tanpa diskriminasi berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan
permohonan pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata
maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan
tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang
objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil
dan benar”.
Bentuk perlindungan hukum bagi pihak perempuan/istri yang
mengajukan gugat cerai di Pengadilan Agama selama dalam proses
persidangan, dalam sistem hukum Indonesia, mengatur persamaan kedudukan
dalam hukum, perlakuan yang sama di depan hukum dan hak memperoleh
keadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 (1), Pasal 28 C, Pasal 28 G, Pasal
38 H, Pasal 38 I, UUD 1945 pasca amandemen. Demikian juga dalam UU No.
7 tahun 1984 yang merupakan ratifikasi CEDAW dan dimaksudkan untuk
menghapus diskriminasi terhadap wanita, serta melindungi hak-hak wanita.
Perlindungan hukum juga diatur dalam Pasal 16 dan Pasal 17 UU KDRT yang
mengatur bahwa setiap orang berhak mendapatkan perlindungan dari pihak
Kepolisian. Selain itu, dalam UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM, pe-
rempuan/ istri mempunyai hak memperoleh keadilan bagi setiap orang (Pasal
17), hak perempuan adalah bagian dari HAM (Pasal 45), hak perempuan atas
perbuatan hukum yang mandiri (Pasal 50) dan hak perempuan dalam
perkawinan, perceraian, dan pengasuhan anak (Pasal 51).24
Berlandaskan
dengan pasal-pasal di atas, demi mencapai keadilan dan kesejahteraaan bagi
mantan istri, maka hakim berhak memberikan nafkah iddah bagi mantan istri
dengan menggunakan hak ex officio hakim.
23
Lihat Pasal 17 Undang-undang No. 39 Tahun 1999. 24
M. Syarifuddin dan Sri Turatmiyah, “Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan
dalam proses Gugat Cerai (Khulu’) di Pengadilan Agama Palembang” dalam
http://garuda.ristekdikti.go.id/documents/detail/260877 di akeses pada tanggal 23 Juli 2019.
76
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis menyelesaikan pembahasan dalam bentuk skripsi
tentang “Nafkah Iddah Perkara Cerai Gugat (Studi putusan Pengadilan
Agama Jakarta Selatan Nomor 1542/Pdt.G/2014/PA.JS)” dapat penulis
simpulkan sebagai berikut:
1. Pada dasarnya nafkah iddah hanya berlaku/ diberikan pada perkara kasus
cerai talak saja. Tetapi hakim dapat membebankan kepada pihak Tergugat
untuk memberikan nafkah iddah kepada Penggugat berdasarkan
pertimbangan tertentu. Dalam hukum Islam, pemberian nafkah iddah dan
mut’ah pada talak ba’in didasarkan pada pendapat Imam Hanafi. Ulama
Hanafiyah berpendapat bahwa wanita tersebut berhak nafkah dan tempat
tinggal secara bersama, kecuali jika wanita tersebut nusyuz terhadap
suami. Pendapat ulama’ Hanafiyah ini juga dikuatkan oleh Umar bin
Khattab ra, Umar bin Abdul Aziz dan Sufyan Ats Tsauri. Mereka
mengambil dalil kepada firman Allah Q.S Al Thalaq ayat 6:“…
Tempatkanlah mereka (para istri) dimana kamu berada (bertempat
tinggal) menurut kemampuanmu”. Ayat ini menerangkan wajibnya
memberi tempat tinggal. Jika secara hukum wajib memberikan tempat
tinggal, maka dengan sendirinya wajib memberikan nafkah, karena adanya
kewajiban memberi tempat tinggal hakim memiliki kebebasan dalam
memberikan putusan kepada suami agar dapat mewajibkan biaya
penghidupan bagi bekas istri yang sudah di talak. Dasar pemberian nafkah
kepada bekas istri pada perkara cerai juga diperkuat oleh Pasal 149 KHI
dan putusan Mahkamah Agung RI nomor 137/K/AG/2007 tanggal 19
September 2007.
77
2. Dalam putusan PA Jakarta Selatan Nomor : 1542/Pdt.G/2014/PA.JS ini
pemberian nafkah iddah oleh majelis hakim didasarkan dengan putusan
Mahkamah Agung RI nomor 137/K/AG/2007 tanggal 19 September 2007.
Dan didasarkan juga pada Pasal 41 huruf (c) UU No. 1 Tahun 1974 Jo.
Pasal 149 KHI. Hakim MA memutuskan memberi nafkah karena
pertimbangan bahwa istri harus menjalani iddah sehingga membebankan
nafkah juga. Diberikan nafkah iddah karena adanya kepentingan bekas
suami untuk mengetahui kebersihan rahim dan menjamin kebutuhan bekas
istri selama iddah. Kemudian yang patut diperhatikan dalam salinan
putusan Nomor : 1542/Pdt.G/2014/PA.JS ini bahwa tindakan penggugat
oleh majelis hakim tidak dianggap nusyuz. Dan majelis hakim tetap
memutuskan adanya nafkah iddah sesuai dengan Pasal 41 huruf (c) UU
No. 1 Tahun 1974 Jo. Pasal 149 huruf (a) dan (b) KHI tentang akibat
putusnya perkawinan karena talak. Selain dari yurisprudensi putusan MA
nomor 137/K/AG/2007 tanggal 19 September 2007, hakim memberikan
nafkah iddah kepada bekas istri dengan pertimbangan bahwa suami atau
tergugat mempunyai penghasilan yang layak.
3. Dalam putusan Nomor 1542/Pdt.G/2014/PA.JS, hakim membebankan
kepada Tergugat untuk memberikan nafkah iddah kepada Penggugat,
padahal pada teorinya, nafkah iddah hanya dibebankan pada kasus cerai
talak. Dalam hal ini hakim memberikan keputusan berdasarkan
pertimbangan kesaksian para pihak yang dihadirkan pada saat
persidangan, dimana ditemukan bukti bahwa Penggugat tidaklah nusyuz
dan oleh karenanya berdasarkan teori keadilan dan perlindungan terhadap
hak-hak perempuan, maka hakim dapat memberikan putusan sesuai
dengan ijtihad yang dilakukannya.
B. Saran
Berdasarkan hasil analisis terhadap masalah yang telah penulis
paparkan, maka dapatlah disampaikan beberapa saran sebagai berikut:
78
1. Dalam cerai gugat biasanya isteri kehilangan haknya untuk mendapatkan
nafkah iddah pasca perceraian, ini sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam
(KHI) dan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, namun
dalam kasus cerai gugat tidak semua istri yang menggugat dikategorikan
nusyuz (membangkang) sehingga perlu adanya pembaruan hukum yang
kondusif untuk pemenuhan keadilan bagi bekas isteri yang menggugat
cerai supaya mendapatkan hak nafkah iddah untuk pemenuhan kebutuhan
sehari-hari pasca terjadinya perceraian.
2. Pengadilan Agama merupakan lembaga pertama yang menjadi tempat
putusnya suatu perkawinan (perceraian), diharapkan agar dapat menjaga
dan menjalankan tugasnya secara baik dan diharapkan juga dapat
mengantisipasi adanya berbagai penyalahgunaan kewajiban serta hak-hak
dalam perceraian, sehingga hak isteri dapat terlindungi dengan baik.
3. Asas keadilan merupakan elemen penting dalam suatu proses penegakan
hukum khususnya dalam sengketa perceraian. Hakim dalam memutuskan
suatu perkara, perlu adanya pemahaman yang lebih mendalam mengenai
asas keadilan, sehingga masyarakat mengerti akan hak dan kewajiban
mereka secara baik dan benar atas apa yang telah ditetapkan oleh Hakim
dalam sebuah putusan.
79
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahan, Departemen Agama RI.
Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: CV Akademika
Pressindo, 2007.
Al-Bugha, Musthafa Diib. Fikih Islam Lengkap Penjelasan Hukum-hukum Islam
Madzhab Syafi’i, Solo: Media Zikir, 2009.
Agus, Santoso. Hukum Moral, dan Keadilan Sebuah Kajian Filsafat Hukum, Cet.
3, Jakarta: Kencana, 2015.
Al-jami, Ibrahim Muhammad. Fiqih Wanita Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas,
1991.
Al-Mubarakfuri, Syaikh Shafiyyurrahman. Shahih Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1,
Penerjemah: Abu ihsan al-Atsari, Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir, 2017.
An-Naisaburi, Al Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi, Shahih
Muslim, Dar Toyibah: 2006.
Arifin, M. Zaenal, dan Muh. Anshori. Fiqih Munakahat, Madiun: CV. Jaya Star
Nine, 2019.
Arto, A. Mukti. Pembaruan Hukum Islam Melalui Putusan Hakim, Pustaka
Pelajar: Yogyakarta, 2015.
As-Sijistani, Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy’ats, Sunan Abu Dawud, (Lebanon:
Dar Ar-Risalah Al-Alamiyah) Jus, 3.
As-Subki, Ali Yusuf. Fiqih Keluarga; Pedoman Berkeluarga dalam Islam,
Jakarta: Amzah, 2012.
Asy-Syanqithi, Syaikh. Tafsir Adhwa’ul Bayan, Penerjemah: Fathurazi, Jakarta:
Pustaka Azzam, 2006.
Az-Zuhaili, Wahbah. Tafsir Munawir Jilid 1, Judul asli At-Tafsirul-Muniir: Fil
‘Aqidah wasy-Syari’ah wal Manhaj, Penerjemah: Abdul Hayyie al Kattani,
dkk., Jakarta: Gema Insani, 2013.
Bakir, Herman. Filsafat Hukum Desain dan Arsitektur Kesejahteraan, Bandung:
PT Refika Aditama, 2007.
Bukhari, Abi Abdullah Muhammad bin Ismail. Shahih Bukhari, Dar Ibnu
Katsir:Damaskus 1423 H/ 2002 M.
Bunyamin, Mahmudin, dan Agus Hermanto. Hukum Perkawinan Islam, Jakarta:
CV Pustaka Setia, 2017.
80
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi Ketiga,
Jakarta: Balai Pustaka, 2005.
Ghozali, Abdul Rahman. Fiqih Munakahat, Jakarta: Kencana Prenamedia Group,
2012.
Ghozali, Norzulaili Mohd, dan Wan Abdul Fattah Wan Ismail. Nusyuz, Syiqaq
dan Hakam Menurut Al-Qur’an, Sunnah dan Undang-Undang Keluarga
Islam, Malaysia: Kolej Universiti Islam Malaysia, 2007.
Harahap, M. Yahya. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU
No.7 tahun 1989, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Imam, Abdus Sami’ Ahmad. Pengantar Studi Perbandingan Mazhab, Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2016.
Is, Muhammad Sadi. Pengantar Ilmu Hukum, Cet. 2, Jakarta: Kencana, 2017.
Kamal, Abu Malik bin As-Sayyid Salim. Shahih Fikih Sunnah, Jakarta: Darus
Sunnah, 2017.
Kharlie, Ahmad Tholabi. Hukum Keluarga Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika,
2013.
_________, Kompilasi Hukum Islam (Fokus Media).
Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Cet. 2, Jakarta:
Kencana Prena Media Group, 2008.
Manshur, ‘Abd al-Qadir. diterjemahkan oleh Muhammad Zaenal Arifin, Buku
Pintar Fikih Wanita Segala Hal yang ingin Anda Ketahui
tentangPerempuan dalam Hukum Islam, Cet.1, Jakarta: Penerbit Zaman,
2009.
Mardani. Hukum Keluarga Islam di Indonesia, Jakarta: Prenadamedia Group,
2016.
Mukhtar, Kamal. Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, Cet. 2, Jakarta: PT.
Bulan Bintang, 1987.
Munawwir, Ahmad Warson. Al Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997.
Na’mah, Ulin. Cerai Talak: Maknanya bagi Para Pelaku Matrilocal Residence di
Lingkungan Masyarakat Muslim, Pustaka Pelajar, 2016.
Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia,
Jakarta: Kencana, 2004.
81
Rasjidi, Lili dan Arief Sidharta. Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya,
Bandung: Remadja Karya Offset, 1989.
Rasjid, Sulaiman. Fiqih Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2006.
Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2000.
Rusdiana, Kama dan Jaenal Aripin. Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Press, 2007.
Rusyd, Ibnu. Terjemahan Bidayatul Mujtahid Analisa Fiqh Para Mujtahid,
Jakarta: Pustaka Amani, 2007.
Santoso, Agus. Hukum Moral, dan Keadilan Sebuah Kajian Filsafat Hukum, Cet.
3, Jakarta: Kencana, 2015.
Shihab, M. Quraish. Lentera Al-Qur’an (Kisah dan Hikmah Kehidupan), Cet. 2,
Bandung: PT Mizan Pustaka, 2008.
Sopyan, Yayan. Islam Negara: Transformasi Hukum Perkawina Islam Dalam
Hukum Nasional, Jakarta: PT. Wahana Semesta Intermedia, 2012.
Sudarsono. Hukum Kekeluargaan Nasional, Jakarta: Pt. Rineka Cipta, 1991.
Suma, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta:PT
Jakarta Grafindo Persada, 2005.
Syaifuddin, Muhammad. Hukum Perceraian, Jakarta: Sinar Grafika, 2014.
Syaltout, Syaikh Mahmoud dan Syaikh M. Ali As-Sayis. Perbandingan Mazhab
dalam masalah Fiqih, Cet. 7, Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
Tamrin, Dahlan. Filsafat Hukum Islam (Filsafat Hukum Keluarga dalam Islam,
UIN Malang Pers, 2007.
Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta:1981.
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Lengkap, Jakarta:
Rajawali Pers, 2010.
__________, Undang-Undang Pokok Perkawinan, Jakarta: Bumi Aksara, 1989.
Yanggo, Huzaemah T. Hukum Keluarga Dalam Islam, Yayasan Masyarakat
Indonesia Baru, 2013.
Zein, Satria Effendi M. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer:
Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah, Jakarta: Kencana
Premedia Group, 2010.
82
Zuhaili, Wahbah. Fiqih Imam Syafi’i, Cet. 2, Penerjemah: Muhammad Alifi, dan
Abdul Hafiz, Jakarta: Almahira, 2012.
Zuhaili, Wahbah. Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jakarta: Gema Insani, 2011.
Jurnal
Fanani, Ahmad. Hak Ex Officio Hakim: Studi Kasus Perceraian di Pengadilan
Agama Sidoarjo No. 3513 Th. 2015,
https://ejournal.unida.gontor.ac.id/index.php/tsaqafah/article/view/1091/11
20 h., 344, diakses pada tanggal 18 juli, 2019.
Fauzan, Muhammad. “Maqasid Nafkah Iddah dan Perlindungan Perempuan”,
dalam http://moraref.kemenag.go.id/documents/article?q=nafkah+iddah
diakses pada 1 Juni 2016
Mahmudah, Nurul. “Aspek Sosiologis dalam putusan pada perkara Cerai Gugat”,
Vol 7 No 01 (2019): Hukum Islam,
http://garuda.ristekdikti.go.id/documents/detail/1039093 di akses pada
tanggal 23 Juli 2019
Maulida, Fadhilatul. “Nafkah Iddah Akibat Talak Ba’in dalam Perspektif
Keadilan Gender (Analisa Terhadap Hukum Perkawinan Indonesia),
Alhurriyah : Jurnal Hukum Islam”, Vol. 03., No.02. Juli-Desember 2018,
http://garuda.ristekdikti.go.id/documents/detail/967041 h., 119 diakses
pada tanggal, 18 Juli, 2018.
Syarifuddin, M. dan Sri Turatmiyah, “Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan
dalam proses Gugat Cerai (Khulu’) di Pengadilan Agama Palembang”
http://garuda.ristekdikti.go.id/documents/detail/260877 di akeses pada
tanggal 23 Juli 2019.
Titawati, Titin. dan Nuning Pujiastuti, “Pemberian Nafkah Iddah di tinjau dari
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam Studi
Kasus di Pengadilan Agama kelas 1 A Kota Mataram” GaneÇ Swara Vol.
11 No.1 Maret
2017,https://scholar.google.co.id/scholar?start=60&q=keadilan+nafkah+id
dah+bagi+cerai+gugat&hl=id&as_sdt=0,5 di akeses pada tanggal 23 Juli
2019.
Skripsi
Azmi, M. Ulil.“Pemberian Nafkah Iddah dalam Cerai Gugat (Analisis Putusan
Nomor 1445/Pdt. G/2010/PA.JS.” Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015.
Hikmatiar, Erwin. “Nafkah Iddah Pada Perkara Cerai Gugat Analisis Putusan
Nomor 2615/Pdt. G/2011/PA.JS.” Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015.
83
Nurhasan, Irfan. Pandangan Hakim Terhadap Hak Nafkah Iddah pada kasus Cerai
Gugat karena KDRT, Studi Atas Putusan Pengadilan Agama Bekasi Tahun
2014, Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016.
Internet
Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan
https://www.pa-jakartaselatan.go.id/tentang-pengadian/sejarah-pengadilan
diakses pada 8 juni 2019
Struktur Organisasi Pengadilan Agama Jakarta Selatan
https://www.pa-jakartaselatan.go.id/tentang-pengadian/sejarah-pengadilan
diakses pada tanggal 22 Juli 2019
SALIN AN
PUTUSAN
Nomor 1542/Pdt.G/2014/PAJS
f'P"Y' ~_y1 Ji1 ~
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang memeriksa dan mengadili
perkara pada tingkat pertama dalam persidangan Majelis Hakim telah
menjatuhkan putusan cerai gugat dan lainnya antara :
PENGGUGAT, umur 41 tahun, agama Islam, pekerjaan karyawati, tempat
kediaman di Jakarta Selatan dalam hal ini memberikan
kuasa hukum kepada Erniwaty Hutagalung, S.H., dan
Firman A. Hutapea, S.H., Advokat dan konsultan hukum
dari Kantor Advokat & Konsultan Hukum Ernie Hutagalung
& Partners, yang beralamat di Jakarta Selatan - 12780
Telp. 021-79188231, Fax. 021-79188230 sesuai dengan
Surat Kuasa Khusus tertanggal 20 Mei 2014 yang terdaftar
dikepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta Selatan dengan
nomor 525/Pdt.GNl/2014 tanggal 3 Juni 2014 sebagai
Penggugat;
melawan
TERGUGAT, umur 44 tahun, agama Islam, pekerjaan ka,ryawan swasta,
tempat kediaman di Jakarta Selatan sebagai Tergugat;
Pengadilan Agama tersebut;
Telah memeriksa berkas perkara yang bersangkutan;
Telah mendengar keterangan Penggugat dan Tergugat serta telah memeriksa
bukti- bukti dalam persidanga:i;
DUDUK PERKARA
Menimbang, bahwa Penggugat dengan suratnya tertanggal 03 Juni
2014 telah mengajukan gugatan cerai dan lainnya terhadap Tergugat ke
Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang kemudian terdaftar dalam register
,.
,. R
sebagai perkara Nomor 1542/Pdt.G/2014/PAJS tanggal 03 Juni 2014 dengan
menerangkan atau mengajukan hal-hal sebagai berikut :
1. Bahwa Penggugat dan Tergugat telah melangsungkan pernikahan pada
tanggal 22 Agustus 1999 bertepatan dengan 10 Jumadil awal 1420 H,
sebagaimana tercantum dalam Kutipan Akta Nikah No -, tertanggal 22
Agustus 1999, yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama (KUA)
Kecamatan Cikole, Sukabumi, Jawa Barat;
2. Bahwa dari pernikahan Penggugat dan Tergugat tersebut, telah dikaruniai 2
(dua) orang, yaitu anak laki-laki yang bernama ANAK I PENGGUGAT DAN
TERGUGAT, lahir di Jakarta pada tanggal 13 Juni 2000 (Usia 13 Tahun),
yang telah dicatatkan pada Kantor Dinas Kependudukan Catatan Sipil
Propinsi OKI Jakarta, sebagaimana terbukti dari Kutipan Akta Kelahiran No
- tertanggal 3 Juli 2000, dan anak perempuan yang bernama ANAK II
PENGGUGAT DAN TERGUGAT, lahir di Jakarta pada tanggal 17
November 2005 (Usia 8 Tahun), yang telah dicatatkan pada Kantor Catatan
Sipil Kotamadya Jakarta Selatan, sebagaimana terbukti dari Kutipan Akta
Kelahiran No.: -tertanggal 6 Desember 2005;
3. Bahwa diawal pernikahan Penggugat dan Tergugat, keduanya bertempat
tinggal dirumah sendiri (tidak tinggal dengan orang tua) yaitu di Jakarta
Selatan;
4. Bahwa diawal pernikahan Penggugat dan Tergugat, sama-sama sudah
bekerja di perusahaan swasta;
5. Bahwa sekitar tahun 2001, Penggugat memutuskan untuk berhenti bekerja
agar dapat menemani Tergugat ditugaskan ke Hongkong. Dan selama di
Hongkong Penggugat tidak bekerja.
6. Bahwa sejak kepindahan ke Hongkong perselisihan antara Penggugat dan
Tergugat sudah mulai terjadi. Akan tetapi Penggugat beranggapan bahwa
itu adalah ujian dan cobaan dalam menjalani kehidupan berumah tangga di
5 tahun pertama;
7. Bahwa dalam hal ini Penggugat yakin suatu Perkawinan itu bertujuan untuk
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan
warahmah;
8. Bahwa setelah kelahiran anak kedua pada tanggal 17 November 2005,
perselisihan antara Penggugat dan Tergugat sering kali terjadi dan
komunikasi semakin memburuk;
9. Bahwa oleh karena semakin hari hubungan antara Penggugat dan
Tergugat terasa hambar, maka Penggugat berusaha untuk memperbaikinya
dengan cara menyarankan agar Penggugat dan Tergugat berkonsultasi
kepada Konsultan Pernikahan yaitu Prof. Dadang Hawari. Konsultasi
pernikahan tersebut dilakukan bersama-sama antara Penggugat dan
Tergugat, akan tetapi tidak memberikan hasil yang baik;
10. Bahwa karena komunikasi yang sangat buruk antara Penggugat dan
Tergugat membuat situasi makin tidak tertahankan oleh Penggugat,
sedangkan Tergugat tidak mau berbicara dengan Penggugat dengan
alasan tidak mau ada keributan. Hal tersebut diketahui oleh anak-anak
Penggugat dan Tergugat, serta mereka seringkali menanyakan kepada
Penggugat mengapa Tergugat tidak pernah berbicara dengan Penggugat;
11. Bahwa sejak peristiwa yang sudah disebutkan di atas, Penggugat merasa
kecewa dan sedih terhadap situasi rumah tangga antara Penggugat dan
Tergugat karena komunikasi semakin jarang dan sering terjadi
kesalahpahaman antara penggugat dan tergugat sehingga terjadi
pertengkaran terus menerus yang menimbulkan ketidaknyamanan dalam
rumah tangga dan memberikan dampak yang kurang baik bagi jiwa dan
perkembangan anak-anak serta berdampak terhadap bathin Penggugat
sebagai seorang lbu dan lstri;
12. Bahwa dalam kurun waktu tersebut, kehidupan rumah tangga Penggugat
dan Tergugat berjalan layaknya seperti dua orang yang baru kenal,
menyapa hanya jika ada yg harus dibicarakan, selebihnya Penggugat dan
Tergugat lebih banyak diam, Tergugat dengan kesibukannya, dan
Penggugat selain bekerja lebih banyak menghabiskan waktu bersama
anak-anak, menemani mereka dan berusaha memenuhi semua kebutuhan
anak-anak akan perhatian dari orang tuanya;
13. Bahwa dengan tidak adanya hubungan yang harmonis lagi antara
Penggugat dengan Tergugat, membuat perkawinan antara Penggugat dan
Tergugat tidak ada lagi harapan untuk hidup rukun dalam satu rumah
tangga yang bahagia, dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa
perkawinan antara Penggugat dan Tergugat sudah tidak ada lagi
kecocokan satu dengan yang lainnya serta tidak dapat didamaikan lagi
sehingga untuk mencapai tujuan perkawinan sebagaimana diamanatkan
peraturan perundang-undangan sangat sulit terpenuhi;
14. Bahwa pertengkaran-pertengkaran dan ketidakcocokan antara Penggugat
dengan Tergugat secara terus-menerus dan tidak ada harapan akan hidup
rukun lagi dalam rumah tangga tersebut telah memenuhi syarat dan alasan
perceraian sebagaimana diatur dalam Pasal 19 huruf f Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo Penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo Pasal 116 huruf f
Kompilasi Hukum Islam;
15. Bahwa perilaku Tergugat yang tidak pernah berbicara pada Penggugat
tersebut sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak-anak yang
dilahirkan dalam perkawinan Penggugat dan Tergugat. Maka dari itu demi
perkembangan yang baik bagi psikologis anak-anak, Penggugat sebagai
seorang lbu sudah sepantasnya mendapatkan hak asuh atas kedua orang
anak dari hasil perkawinan Penggugat dan T ergugat yang bernama ANAK I
PENGGUGAT DAN TERGUGAT dan ANAK II PENGGUGAT DAN
TERGUGAT, namun Penggugat mengijinkan serta tidak mengurangi
ataupun membatasi hak-hak Tergugat selaku ayahnya untuk bertemu dan
menyalurkan kasih sayang kepada kedua orang anaknya atau sesekali
membawa serta kedua orang anak tersebut untuk berlibur, sepanjang tidak
mengganggu kepentingan pendidikan dan kesehatan kedua orang anak;
16. Bahwa menurut ketentuan pada Pasal 156 huruf d Kompilasi Hukum Islam
diwajibkan kepada Tergugat sebagai ayah untuk memberikan biaya
hadhanah dan nafkah anak, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut
dewasa (usia 21 tahun) dan dapat mengurus diri sendiri. Berdasarkan
ketentuan di atas, Penggugat menuntut Tergugat untuk memberikan nafkah
perbulannya untuk memenuhi kebutuhan kedua orang anak hasi:
perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat sebesar Rp. 30.000.000,
(tiga puluh juta rupiah) tiap bulannya sebagai tunjangan atau nafkah kedua
orang anak hingga mereka dewasa dan mandiri;
17. Bahwa untuk menjamin dan melindungi kedua orang anak hasil dari
perkawinan Penggugat dan Tergugat, agar mendapatkan haknya untuk
hidup, tumbuh berkembang secara optimal, maka Tergugat harus
memberikan tunjangan kesehatan (asuransi kesehatan) untuk kedua orang
anak hasil perkawinan Penggugat dan Tergugat;
18. Bahwa mengingat putusnya perkawinan antara Penggugat dan T ergugat,
Tergugat diwajibkan untuk memberikan nafkah iddah kepada Penggugat
sesuai dengan kesanggupan dan ke ikhlasan Tergugat, dan juga
memberikan mut'ah kepada Penggugat sebagai penghargaan atas
pengabdian yang diberikan oleh Penggugat kepada Tergugat sepanjang
pernikahan;
Berdasarkan alasan-alasan hukum sebagai mana diuraikan di atas,
Penggugat mohon agar dapat kiranya Pengadilan Agama Jakarta Selatan
berkenan untuk memeriksa dan memutuskan permohonan yang diajukan
oleh Penggugat kepada Tergugat sebagai berikut:
Dalam Pokok Perkara
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya ;
2. Menyatakan bahwa perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat
yang dilangsungkan pada tanggal 22 Agustus 1999 bertepatan dengan
10 Jumadil awal 1420 H, sebagaimana tercantum dalam Kutipan Akta
Nikah No - tertanggal 22 Agustus 1999, yang dikeluarkan oleh Kantor
Urusan Agama (KUA) Kecamatan Cikole, Sukabumi, Jawa Barat, Jakarta
Selatan, putus karena perceraian dengan segala akibat hukumnya;
3. Memberikan hak asuh anak kepada Penggugat, untuk mengasuh,
memelihara serta mendidik kedua orang anak laki-laki dari hasil
perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat yaitu ANAK
PENGGUGAT DAN TERGUGAT, lahir di Jakarta pada tanggal 13 Juni
2000 (usia 13 tahun), yang telah dicatatkan pada Kantor Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil Propinsi OKI. Jakarta, sebagaimana
terbukti dari Kutipan Akta Kelahiran No - tertanggal 3 Juli 2000, dan anak
perempuan yang bernama ANAK II PENGGUGAT DAN TERGUGAT,
lahir di Jakarta pada tanggal 17 November 2005 (usia 8 tahun), yang
telah dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil Kotmadya Jakarta Selatan,
sebagaimana terbukti dari Kutipan Akta Kelahiran No -tertanggal 6
Desember 2005,
4. Memberikan ijin kepada Tergugat tanpa mengurangi ataupun membatasi
hak-hak Tergugat selaku ayahnya untuk bertemu dan menyalurkan kasih
sayang kepada kedua orang anaknya, sepanjang tidak mengganggu
kepentingan pendidikan dan kesehatan kedua orang anak;
5. Membebankan kepada Tergugat untuk memberikan biaya haddanah
atau nafkah anak sebesar Rp 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) setiap
bulan, guna biaya hidup, pendidikan dan keperluan kedua orang anak
dari hasil perkawinan Penggugat dan Tergugat, hingga kedua anak
tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri;
6. Membebankan kepada Tergugat untuk memberikan tunjangan
kesehatan (asuransi kesehatan) untuk kedua orang anak dari hasil
perkawinan Penggugat dan Tergugat;
7. Membebankan Tergugat untuk memberikan nafkah iddah dan mut'ah
kepada Penggugat, sesuai dengan kesanggupan dan ke ikhlasan
Tergugat;
8. Menetapkan biaya perkara menurut hukum;
Atau apabila Pengadilan Agama Jakarta Selatan berpendapat lain, mohon
Penggugat diberikan putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono);
Menimbang, bahwa Majelis Hakim telah mendamaikan Penggugat
dengan Tergugat agar rukun kembali namun tidak berhasil;
Menimbang, bahwa Penggugat dengan Tergugat juga telah diupayakan
mediasi dengan Mediator Syamsul Huda, S.H., Mediator Nonhakim namun
mediasi gagal merukunkan Penggugat dengan Tergugat;
Menimbang, bahwa kemudian persidangan dilanjutkan kepada
pemeriksaan pokok perkara dengan diawali pembacaan surat gugatan
Penggugat dan Penggugat menyatakan secara lisan menambahkan
keterangannya yaitu sebagai berikut;
o Bahwa Penggugat dengan Tergugat masih se rumah;
o Bahwa Penggugat dengan Tergugat lebih kurang 4 (empat) tahun lamanya
telah berpisah kamar;
o Bahwa Tergugat bekerja pada Bank Asing dan mempunyai penghasilan
tetap setiap bulannya;
o Bahwa T ergugat sampai dengan sekarang masih rutin memberikan nafkah
kepada Penggugat setiap bulannya antara Rp 27.000.000,- (dua puluh tujuh
juta rupiah) sampai dengan Rp 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah);
Menimbang, bahwa terhadap surat gugatan Penggugat berikut
keterangan tambahannya tersebut Tergugat tidak dapat didengar keterangan
atau jawabannya karena Tergugat tidak pernah hadir lagi dalam persidangan
jawab menjawab meskipun telah diberitahukan oleh majelis untuk hadir dalam
persidangan juga telah dipanggil secara resmi dan patut oleh Jurusita
Pengganti Pengadilan Agama Jakarta Selatan;
Menimbang, bahwa untuk menguatkan dalil gugatannya Penggugat
telah menyerahkan alat bukti tertulis berupa;
1. Fotokopi dari Buku Kutipan Akta Nikah atas nama Penggugat dengan
Tergugat Nomor - yang aslinya dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama
(KUA) Kecamatan Cikole tanggal 23 Agustus 1999 yang telah
bermateraikan secukupnya dan telah dicocokan dengan aslinya ternyata
sesuai kemudian oleh Ketua Majelis diberi kode P1;
2. Fotokopi dari akta kelahiran atas nama ANAK I PENGGUGAT DAN
TERGUGAT, nomor - yang aslinya dikeluarkan oleh Kantor Satuan
Pelaksana Catatan Sipil Kotamadya Jakarta Selatan tanggal 03 Juli 2000
yang telah bermateraikan secukupnya dan telah dicocokan dengan aslinya
ternyata sesuai kemudian oleh Ketua Majelis diberi kode P 2;
3. Fotokopi dari akta kelahiran atas nama ANAK II PENGGUGAT DAN
TERGUGAT. nomor - yang aslinya dikeluarkan oleh Kantor Suku Dinas
Kependudukan Dan Catatan Sipil Kotamadya Jakarta Selatan tanggal 06
Desember 2005 yang telah bermateraikan secukupnya dan telah dicocokan
dengan aslinya ternyata sesuai kemudian oleh Ketua Majelis diberi kode
P3;
4. Fotokopi dari fotokopi penghasilan Tergugat tahun 2013 yang telah
bermateraikan secukupnya kemudian oleh Ketua Majelis diberi kode P4;
Menimbang, bahwa Penggugat juga telah menghadirkan saksi keluarga
dan orang dekat dengan Penggugat yang bernama;
1. SAKSI I, di bawah sumpahnya memberikan keterangan yang pada
pokoknya adalah sebagai berikut :
• Bahwa Penggugat dengan Tergugat adalah suami isteri;
• Bahwa Penggugat dengan Tergugat mempunyai anak 2 (dua) orang;
• Bahwa jarak rumah saksi dengan rumah Penggugat dan Tergugat
berdekatan dan jika ada waktu sering berkunjung;
• Bahwa yang saksi ketahui rumah tangga Penggugat dengan Tergugat
awalnya baik, rukun dan harmonis kemudian tidak rukun lagi dari sekitar
5 (lima) tahun terakhir ini karena saksi melihat Penggugat dengan
Tergugat itu sudah masing-masing artinya tidak seperti pasangan suami
isteri yang biasanya;
• Bahwa Penggugat dengan Tergugat masih se rumah namun telah
berpisah kamar sekitar 4 (empat) tahun terakhir ini;
• Bahwa Tergugat bekerja pada bank Asing yaitu Bank ANZ;
• Bahwa saksi tidak tahu jabatannya Tergugat dan tidak tahu juga gajinya;
• Bahwa anak Penggugat dengan Tergugat kondisinya sehat, tumbuh
kembang seperti anak seusianya;
• Bahwa Penggugat orangnya perhatian terhadap anak-anaknya, sayang
dan sanggup untuk mengurus, memelihara dan merawat anak-anaknya;
• Bahwa saksi telah berusaha bahkan sering menyarankan Penggugat
dengan Tergugat agar rukun kembali namun tidak berhasil;
• Bahwa saksi mengetahui jika pada bulan Februari tahun 2014 keluarga
Penggugat dan keluarga Tergugat pernah merukunkan Penggugat
dengan Tergugat namun tidak berhasil merukunkannya;
• Bahwa saksi tidak akan mencoba untuk menyarankan Penggugat
dengan Tergugat agar rukun kembali;
2. SAKSI 11, di bawah sumpahnya memberikan keterangan yang pada
pokoknya adalah sebagai berikut :
• Bahwa saksi teman dekat Penggugat sejak SMP;
• Bahwa saksi kenal baik dengan Penggugat maupun dengan T ergugat;
• Bahwa Penggugat dengan Tergugat adalah suami isteri;
• Bahwa saksi setelah sekian lama tidak bertemau dengan Penggugat
kemudian bertemau lagi pada tahun 2009;
• Bahwa saksi sering datang ke rumah Penggugat dan Tergugat;
• Bahwa sejak saksi bertemu dengan Penggugat, Penggugat
menceritakan kepada saksi jika rumahtangganya sudah tidak harmonis
lagi;
• Bahwa waktu saksi datangpun saksi melihat Penggugat dengan
Tergugat itu sudah masing-masing;
• Bahwa saksi melihat komunikasi Penggugat dengan Tergugat juga
sudah tidak kurang baik;
• Bahwa saksi mendapatkan informasi dari Penggugat jika Penggugat
dengan Tergugat telah berpisah kamar sejak tahun 2010;
• Bahwa Penggugat dengan Tergugat mempunyai anak 2 (dua) orang;
• Bahwa anak Penggugat dengan Tergugat itu kondisinya sehat, dan
tumbuh kembang seperti anak seusianya;
• Bahwa Penggugat orangnya perhatian terhadap anak-anaknya, sayang
dan sanggup untuk mengurus, memelihara dan merawat anak-anaknya;
• Bahwa Tergugat bekerja pada bank Asing yaitu Bank ANZ;
• Bahwa Tergugat berpenghasilan di atas Rp 60.000.000,- (enam puluh
jutaan) setiap bulannya;
• Bahwa anak Penggugat dengan Tergugat sehat, tumbuh kembang
seperti anak seusianya;
• Bahwa Penggugat orangnya perhatian terhadap anak-anaknya, sayang
dan sanggup untuk mengurus, memelihara dan merawat anak-anaknya;
• Bahwa saksi telah berusaha menyarankan Penggugat agar rukun
kembali dengan Tergugat namun tidak berhasil;
• Bahwa saksi tidak akan mencoba untuk menyarankan Penggugat
dengan Tergugat agar rukun kembali;
Menimbang, bahwa terhadap keterangan saksi-saksi tersebut
Penggugat membenarkannya;
Menimbang, bahwa karena anak Penggugat dan Tergugat yang pertama
telah di atas 12 (dua belas) tahun dan tidak dapat hadir namun Penggugat
menyerahkan surat dari anaknya tersebut;
Menimbang, bahwa pada tahap kesimpulan Penggugat menyampaikan
kesimpulan akhirnya secara lisan yaitu;
• Bahwa Pengugat merasa bahwa rumah tangganya sulit untuk dipertahankan
mengingat seringnya bertengkar bahkan sudah cukup lama telah berpisah
kamar;
• Bahwa saksi-saksi juga mengetahui jika rumah tangga Penggugat dengan
Tergugat sudah tidak harmonis;
• Bahwa Penggugat mohon dikabulkan seluruh gugatan Penggugat;
Menimbang, bahwa mengenai jalannya pemeriksaan perkara ini
selengkapnya telah dicatat dalam berita acara yang bersangkutan. Maka untuk
meringkas putusan ini selanjutnya Majelis Hakim menunjuk berita acara
tersebut sebagai bagian yang tak terpisahkan dari putusan ini;
PERTIMBANGAN HUKUM
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan daripada gugatan Penggugat
adalah seperti terurai di atas;
Menimbang, bahwa perkara ini mengenai gugatan cerai dan lainnya
yang diajukan oleh pihak yang beragama Islam, oleh karenanya berdasarkan
Pasal 49 (a) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan
perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, maka
perkara a quo merupakan kewenangan absolut peradilan agama;
Menimbang, bahwa Penggugat mendalilkan telah melangsungkan
perkawinan dengan Tergugat yang dicatatkan di KUA Kecamatan Cikole;
Menimbang, bahwa untuk menguatkan dalilnya tersebut Penggugat
mengajukan bukti yang diberi kode P1 (fotokopi Kutipan Akta Nikah) yang
merupakan akta otentik dan telah bermaterai cukup dan telah cocok dengan
aslinya oleh karena itu bukti tersebut telah memenuhi Pasal 2 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 Tentang Bea Materai dan Pasal 1888
KUH Perdata sehingga bukti tersebut mempunyai kekuatan bukti yang
sempurna dan mengikat;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas terbukti
bahwa Penggugat adalah istri sah Tergugat. Dengan demikian Penggugat dan
Tergugat berkualilas sebagai subjek hukum (legitima persons standi in judicio)
dalam perkara a quo;
Menimbang, bahwa majelis hakim telah berusaha mendamaikan
Penggugat dan Tergugat demikian pula telah ditempuh proses mediasi melalui
Mediator dengan mediator Syamsul Huda, S.H., Mediator nonhakim akan
tetapi tidak berhasil. Dengan demikian pemeriksaan perkara a-quo telah
memenuhi maksud Pasal 82 (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
Tentang Peradilan Agama Jo. Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (1) Perma 1
Tahun 2008 Tentang Prosedur mediasi dipengadilan;
Menimbang, bahwa yang menjadi dalil gugatan Penggugat untuk
melakukan perceraian dengan Tergugat didasarkan kepada bahwa sejak
kepindahan ke Hongkong tahun 2001 sudah mulai terjadi perselisihan namun
masih dianggap oleh Penggugat sebagai ujian tetapi setelah kelahiran anak
kedua perselisihan antara Penggugat dan Tergugat sering kali terjadi dan
komunikasi semakin memburuk, semakin jarang komunikasi dan Penggugat
merasa kecewa, sedih bahkan sering terjadi kesalahpahaman antara
Penggugat dan Tergugat sehingga terjadi pertengkaran yang terus menerus
bahkan lebih kurang 4 (empat) tahun lamanya Penggugat dengan Tergugat
telah berpisah kamar;
Menimbang, bahwa terhadap dalil gugatan Penggugat tersebut Tergugat
tidak dapat didengar keterangan atau jawabannya karena Tergugat tidak hadir
dalam persidangan tahap jawab menjawab meskipun telah diberitahukan untuk
hadir bahkan telah dipanggil secara resmi dan patut oleh Jurusita Pengganti
Pengadilan Agama Jakarta Selatan dengan demikian majelis hakim
berpendapat bahwa Tergugat telah menghilangkan haknya untuk menjawab
dalil-dalil gugatan Penggugat tersebut oleh karenannya dalil gugatan
Penggugat tersebut tidak terbantahkan;
Menimbang, bahwa meskipun dalil gugatan Penggugat tidak
terbantahkan oleh Tergugat namun karena perkara perceraian menyangkut
putusnya ikatan perkawinan yang bernilai sakral maka Majelis Hakim tetap
akan memberikan pertimbangan-pertimbangan dengan melihat bukti lainnya
untuk menentukan patut dan tidak patutnya perkawinan antara Penggugat dan
Tergugat diputuskan;
Menimbang, bahwa Penggugat juga mengajukan bukti P2 sampai
dengan P4 yang bukti tersebut merupakan fotokopi dari aslinya kecuali P4 tidak
ada aslinya dan majelis hakim akan mempertimbangkannya tersendiri;
Menimbang, bahwa bukti yang diberi kode P2 dan P3 (fotokopi dari
kutipan akta kelahiran anak Penggugat dan Tergugat) yang merupakan akta
otentik dan telah bermaterai cukup dan telah cocok dengan aslinya oleh
karena itu bukti tersebut telah memenuhi Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 1985 Tentang Bea Materai dan Pasal 1888 KUH Perdata
sehingga bukti tersebut mempunyai kekuatan bukti yang sempurna dan
mengikat;
Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P2 dan P3 terbukti bahwa
Penggugat dengan Tergugat mempunyai anak 2 (dua) orang yang bernama
ANAK I PENGGUGAT DAN TERGUGAT dan ANAK II PENGGUGAT DAN
TERGUGAT;
Menimbang, bahwa karena bukti P4 merupakan fotokopi dari fotokopinya
maka majelis hakim menilai bahwa bukti tersebut merupakan sebagai bukti
awal atau permulaan dan membutuhkan bukti yang lainnya untuk mendukung
bukti tersebut;
Menimbang, bahwa Penggugat juga telah menghadirkan saksi keluarga
dan orang dekat dengan Penggugat yang masing-masing saksi bersumpah
menurut agamanya dan memberikan keterangan dihadapan Majelis Hakim
yang keterangannya sebagaimana dalam duduk perkara ini ternyata
keterangan saksi- saksi tersebut saling bersesuian pada pokoknya
menguatkan dalil gugatan Penggugat;
Menimbang, bahwa saksi keluarga dan orang dekat dengan Penggugat
tersebut telah didengar kesaksiannya dalam persidangan adalah untuk
memenuhi maksud pasal 76 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989
Tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 dan telah diubah juga dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun
2009 jo pasal 22 PP Nomor 9 tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang
undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan pasal 134 Kompilasi
Hukum Islam;
Menimbang, bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap surat
gugatan Penggugat berikut keterangan dan kesimpulannya, bukti-bukti
dipersidangan Majelis Hakim menemukan fakta sebagai berikut;
• Bahwa Penggugat dengan Tergugat adalah suami isteri;
• Bahwa sejak kepindahan ke Hongkong tahun 2001 sudah mulai terjadi
perselisihan;
• Bahwa setelah kelahiran anak kedua perselisihan antara Penggugat dan
Tergugat sering kali terjadi dan komunikasi semakin memburuk, semakin
jarang komunikasi dan Penggugat merasa kecewa, sedih bahkan sering
terjadi kesalahpahaman antara Penggugat dan Tergugat sehingga terjadi
pertengkaran yang terus menerus;
• Bahwa Penggugat dengan Tergugat lebih kurang 4 (empat) tahun lamanya
telah berpisah kamar;
• Bahwa Penggugat dengan Tergugat mempunyai anak 2(dua) orang;
• Bahwa anak Penggugat dengan Tergugat kondisinya sehat, tumbuh
kembang seperti anak seusianya;
• Bahwa Penggugat orangnya perhatian terhadap anak-anaknya, sayang dan
sanggup untuk mengurus, memelihara dan merawat anak-anaknya;
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta tersebut di atas terbukti bahwa
rumah tangga Penggugat dan Tergugat sudah tidak harmonis lagi sejak
kepindahan ke Hongkong (tahun 2001) karena Penggugat dengan Tergugat
mulai terjadi perselisihan kemudian perselisihan dan pertengkaran itu sering
terjadi setelah kelahiran anak yang kedua kemudian lebih kurang 4 (empat)
tahun lamanya juga Penggugat dengan Tergugat telah berpisah kamar
sehingganya harapan untuk hidup rukun kembali dalam membina rumahtangga
Penggugat dengan Tergugat sangat sulit;
Menimbang, bahwa berdasarkan hal tersebut Majelis Hakim
berpendapat bahwa hubungan antara Penggugat dan Tergugat dalam membina
rumah tangga sudah tidak harmonis sehingga sulit untuk mewujudkan tujuan
perkawinan sebagaimana maksud dari Al Qur'an Surat Ar-Rum Ayat 21 dan
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Jo. Pasal
3 Kompilasi Hukum Islam (INPRES Nomor 1Tahun1991);
Menimbang, bahwa Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 197 4
tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa;
Menimbang, bahwa ikatan batin menurut penjelasan pasal tersebut
merupakan unsur yang penting dalam suatu perkawinan, dengan demikian
Majelis hakim berpendapat bahwa apabila ikatan batin sudah tidak ada lagi,
maka perkawinan tersebut sudah pecah sehingga mempertahankan
perkawinan tersebut merupakan hat yang sia-sia dan tidak akan bermanfaat
bagi kedua belah pihak;
Menimbang, bahwa adanya kehendak yang kuat dari Penggugat untuk
bercerai dari Tergugat dalam perkara a quo sudah merupakan petunjuk bahwa
antara Penggugat dan Tergugat sudah tidak terdapat ikatan batin lagi;
Menimbang, bahwa dalam kondisi tidak harmonis tersebut Majelis Hakim
berpendapat ikatan perkawinan antara Penggugat dan Tergugat telah pecah
yang disebabkan oleh hal-hal sebagaimana tersebut di atas tanpa
mempersoalkan siapa yang salah sehingga antara Penggugat dan Tergugat
sulit untuk dapat dirukunkan kembali untuk membina rumah tangga bersama;
Menimbang, bahwa sesuai dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI
Nomor 237 K/AG/1998 tanggal 17 Maret 1999 yang menetapkan bahwa
cekcok, hidup berpisah tidak dalam satu tempat kediaman bersama, salah satu
pihak tidak berniat meneruskan kehidupan bersama dengan pihak lain
merupakan fakta yang cukup untuk dijadikan alasan perceraian;
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta tersebut di atas juga gugatan
Penggugat telah memenuhi maksud Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan beserta penjelasannya dan Pasal 19 huruf f
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang
undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Jo. Pasal 116 huruf f
Kompilasi Hukum Islam dengan demikian gugatan Penggugat untuk bercerai
dari Tergugat cukup beralasan dan tidak melawan hukum oleh karenanya
Majelis Hakim dapat mengabulkan gugatan Penggugat tersebut;
l..J
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-petimbangan tersebut di
atas telah cukup alasan bagi Majelis Hakim untuk mengabulkan gugatan
Penggugat dengan menjatuhkan talak satu bain sughra Tergugat (Widya
Permana, S.E., M.BA bin Emon Rivai Arganata) terhadap Penggugat (
PENGGUGAT);
Menimbang, bahwa Penggugat disamping mengajukan gugatan cerai
juga mengajukan gugatan hadhanah, nafkah anak, nafkah iddah dan mut'ahnya
kepada T egugat;
Menimbang, bahwa kumulasi gugatan diperbolehkan sepanjang ada
dibenarkan oleh Undang-Undang dan ada relevansinya dengan gugatan pokok,
dan oleh karena gugatan ini merupakan akibat perceraian yang telah
dikabulkan sebagaimana dalam pertimbangan di atas dan dengan berdasar
kepada ketentuan Pasal 41 huruf (c) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan, legal formal kumulasi gugatan tersebut dapat diterima
dan majelis hakim akan mempertimbangkan gugatan Penggugat tersebut
sebagaimana di bawah ini;
Menimbang, bahwa Penggugat juga mohon agar anak Penggugat dan
Tergugat yang bernama ANAK I PENGGUGAT DAN TERGUGAT, laki-laki lahir
di Jakarta tanggal 13 Juni 2000 dan ANAK II PENGGUGAT DAN TERGUGAT,
perempuan lahir di Jakarta tanggal 17 November 2005 agar ditetapkan berada
di bawah pemeliharaan (hadhanah) Penggugat;
Menimbang, bahwa terhadap hal tersebut Tergugat tidak dapat didengar
keterangan atau jawabannya karena tidak hadir dalam persidangan jawab
menjawab dengan demikian Tergugat menghilangkan hanya untuk menjawab
dari gugatan Penggugat tersebut dan majelis hakim menilai gugatan Penggugat
tersebut tidak terbantahkan oleh Tergugat;
Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P2 dan P3 sebagaimana tersebut
di atas terbukti bahwa Penggugat dengan Tergugat mempunyai anak 2 (dua)
orang yang bernama ANAK I PENGGUGAT DAN TERGUGAT, laki-laki lahir di
Jakarta tanggal 13 Juni 2000 dan ANAK II PENGGUGAT DAN TERGUGAT,
perempuan lahir di Jakarta tanggal 17 November 2005;
Menimbang, bahwa berdasarkan bukti saksi sebagaimana
dipertimbangkan di atas terbukti juga anak-anak Penggugat dan Tergugat
10
tersebut sekarang dalam kondisi sehat dan Penggugat juga orangnya perhatian
sayang dan sanggup untuk memelihara anaknya;
Menimbang, bahwa orang tua yang pertama-tama harus
bertanggungjawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara rohani,
jasmani maupun sosial (vide Pasal 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979
Tentang Kesejahteraan Anak), sehingga walaupun terjadi perceraian, kedua
orangtua tetap harus bertanggung jawab atas terwujudnya kesejahteraan anak;
Menimbang, bahwa dengan adanya perceraian antara ayah dan ibu tidak
akan menyebabkan putusnya hubungan anak dengan kedua orangtua masing
masing, namun untuk melindungi kepentingan anak terjamin, terpenuhinya hak
hak anak sebagainana dimaksud oleh Pasal 41 huruf (a) Udang-undang Nomor
1Tahun1974 Tentang Perkawinan Jo. Pasal 3 dan Pasal 26 ayat (1) huruf (~)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, di mana
anak seharusnya berada di bawah pengasuhan, perlindungan, pemeliharaan
dan pendidikan kedua orangtuanya, namun apabila terjadi perceraian, maka
perlu ditetapkan siapa di antara bekas suami isteri yang diberi kewenangan
hadhanah bagi anak-anaknya;
Menimbang, bahwa Majelis hakim mengambil pendapat ahli fiqih yang
diambil sebagai pendapat Majelis dari kitab l'anatuthalibin jilid IV halaman 101-
102 sebagaii berikut:
~Jfa ~ ~i ~\ ~l ~y lJA ~y ~J 4.,j\.;.,g\l~ c.)3'Jl3 'A€ ;A _)1#\ ,ljc. ulS ctS..ll\ lJA ol~i L;ft! ul~IJ y.. 'Jy
Artinya: "Yang diutamakan mengurus anak yang belum mumayyiz ialah ibunya
yang janda dan kalau sudah mumayyiz dan ibu bapaknya telah
bercerai, maka dia boleh tinggal di pihak mana yang ia sukai"
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas
. _ dan ternyata anak Penggugat dan Tergugat yang kedua tersebut masih di \-·.//
::___,- bawah umur 12 tahun dan dengan mempedomani ketentuan Pasal 105 huruf
(a) dan Pasal 156 huruf (a) INPRES Nomor 1 Tahun 1991 (Kompilasi Hukum
Islam) maka gugatan Penggugat dapat dikabulkan dengan menetapkan anak
Penggugat dan Tergugat yang kedua bernama ANAK II PENGGUGAT DAN
TERGUGAT, perempuan lahir di Jakarta tanggal 17 November 2005 di
tetapkan di bawah hadhanah Penggugat mengingat Penggugat juga tidak
terdapat halangan untuk ditetapkan sebagai pemegang hak hadhanah
sedangkan anak yang pertamanya majlis hakim akan mempertimbangkannya
sebagai berikut;
Menimbang, bahwa anak pertama Penggugat dan Tergugat yang
bernama ANAK I PENGGUGAT DAN TERGUGAT telah berusia lebih dari 12
(dua belas) tahun namun pada persidangan Penggugat tidak dapat
menghadirkannya sehingga majelis hakim tidak dapat secara langsung untuk
mendengar keterangannya namun Penggugat menyerahkan surat dari
anaknya tersebut dan setelah dibaca ternyata anaknya tersebut memilih tinggal
disini dipahami itu adalah rumah yang sekarang ditempati;
Menimbang, bahwa karena Tergugat tidak hadir dan telah
dipertimbangkan di atas berarti gugatan Penggugat tidak terbantahkan oleh
Tergugat maka majelis hakim berpendapat bahwa anak Penggugat dan
Tergugat yang pertamapun yang bernama ANAK I PENGGUGAT DAN
TERGUGAT ditetapkan hak asuhnya ada pada Penggugat;
Menimbang, bahwa Penggugat juga dalam petitumnya memberikan ijin
kepada Tergugat tanpa mengurangi ataupun membatasi hak-hak Tergugat
selaku ayahnya untuk bertemu dan menyalurkan kasih sayang kepada kedua
orang anaknya, sepanjang tidak mengganggu kepentingan pendidikan dan
kesehatan kedua orang anak;
Menimbang, bahwa terhadap kehendak Penggugat tersebut karena
Tergugat juga tidak hadir dalam jawab menjawab sehingganya tidak diketahui
jawabannya namun meskipun demikian majelis hakim berpendapat bahwa hak
yang diberikan atau dikehendaki oleh Penggugat tersebut tidak bertentangan
dengan aturan yang berlaku dan merupakan hak Tergugat juga maka majelis
hakim dapat mengabulkannya dengan memberi izin kapada Tergugat tanpa
mengurangi ataupun membatasi hak-hak Tergugat selaku ayahnya untuk
bertemu dan menyalurkan kasih sayangnya kepada kedua orang anaknya
tersebut sepanjang tidak mengganggu kepentingan pendidikan dan
kesehatannya yang amarnya akan disebutkan dalam putusan ini;
Menimbang, bahwa Penggugat juga menuntut agar Tergugat
memberikan biaya hadhanah atau nafkah anak sebesar Rp. 30.000.000,- (ti~a
puluh juta rupiah) setiap bulan, guna biaya hidup, pendidikan dan keperluan
kedua orang anak dari hasil perkawinan Penggugat dan Tergugat, hingga
kedua anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri;
Menimbang, bahwa terhadap gugatan Penggugat tersebut karena
Tergugat tidak hadir dalam persidangan jawab menjawab sehingga tidak
diketahui setuju atau tidaknya namun majelis hakim akan
mempertimbangkannya sebagai berikut;
Menimbang, bahwa untuk biaya kehidupan atau untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari anak Penggugat dan Tergugat tersebut tetap merupakan
kewajiban Tergugat sebagai ayahnya meskipun Penggugat dengan Tergugat
bercerai hal ini sesuai dengan maksud pasal pasal 41 huruf (b) Undang- -
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo 105 huruf (c) pasal 156
huruf (d) Kompilasi Hukum Islam;
Menimbang, bahwa di atas Tergugat telah dipertimbangkan mempunyai
penghasilan dan dikaitkan dengan memperhatikan keterangan Penggugat
bahwa kebiasaan dari Tergugat yang biasa memberikan nafkah untuk
keluarganya setiap bulannya dan itupun rutin antara Rp 27.000.000,- (dua
puluh tujuh juta rupiah) sampai dengan Rp 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah)
dihubungkan dengan kewajibannya sebagai ayah dari anak-anaknya maka
cukup layak dan mampu untuk memberikan nafkah untuk kedua orang anaknya
tersebut dengan demikian Majelis Hakim menghukum Tergugat untuk
memberikan kepada Penggugat nafkah untuk anak-anaknya tersebut minimal
·, _____ /s~jumlah Rp 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) setiap bulan sampai anak-
anaknya dewasa atau mandiri yang amarnya akan disebutkan dalam amar
putusan ini ;
Menimbang, bahwa Penggugat juga menuntut agar Tergugat
memberikan tunjangan kesehatan (asuransi kesehatan) untuk kedua orang
anak dari hasil perkawinan Penggugat dan Tergugat;
Menimbang, bahwa terhadap hal tersebut Tergugat juga karena tidak
hadir dalam persidangan jawab menjawab sehingga tidak diketahui jawabannya
namun majelis hakim mempertimbangkannya sebagai berkut;
l ':J
Menimbang, bahwa di atas Tergugat sebagai ayahnya telah dihukum
untuk memberikan nafkah hadhanah setiap bulan dengan jumlah sebagaimana
dipertimbangkan tersebut di atas sehingganya majelis hakim berpendapat
bahwa tuntutan yang dikemukakan Penggugat tersebut yang sifatnya akan
datang dan kewajiban orangtua terhadap anak itu tidak dibebankan kepada
ayahnya saja dan ibunyapun jika mampu ikut bersama-sama menanggungnya
dan majelis hakim menilai bahwa Penggugat juga sebagai ibunya mempunyai
kemampuan dari segi materi dengan demikian gugatan Penggugat tersebut
tidak cukup beralasan sehingganya dinyatakan tidak dapat diterima;
Menimbang, bahwa Penggugat juga menuntut agar Tergugat untuk
memberikan nafkah iddah dan mut'ah kepada Penggugat, sesuai dengan
kesanggupan dan ke ikhlasan Tergugat;
Menimbang, bahwa terhadap hal tersebut Tergugat tidk dapat didengar
keterangannya karena tidak hadir dalam persidangan jawab menjawab namun
majelis hakim akan mempertimbangkannya sebagai berikut;
Menimbang, bahwa dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan pasal 41 huruf d menyebutkan bahwa Pengadilan dapat
mewajibkan kepada bekas suami memberikan biaya penghidupan dan /aj9.11 ___
menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri sedangkan dalam pasa(149 1
··-------··
huruf b Kompilasi hukurri' islam disebutkan bahwa memberi nafkah, maskan dan
kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah kecuali bekas isteri telah
dijatuhi talak bain atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil sedangkan
dalam putusan/ Mahkamah Agung RI Nomor 137K/AG/2007 tanggal 19
September 2007 pertimbangannya adalah meskipun gugatan diajukan oleh
isteri dan isteri tidak terbukti nusuz kemudian istri juga harus menjalani masa
iddah dan tujuan dari iddah itu antara lain untuk istibra yang istibra tersebut
menyangkut kepentingan suami ;
Menimbang, bahwa sesuai juga dengan keterangan Penggugat bahwa
Tergugat secara rutin masih memberikan nafkah setiap bulannya antara Rp
27.000.000,- (dua puluh tujuh juta rupiah) sampai dengan Rp 30.000.000,- (tiga
puluh juta rupiah) berarti Tergugat mempunyai penghasilan yang layak;
LV
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di
atas majelis hakim berpendapat bahwa Tergugat layak untuk dihukum
memberikan nafkah iddah kepada Penggugat setiap bulannya sejumlah Rp
10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan jika dikaitkan dengan usia Penggugat
dinilai oleh mejlis hakim maka masa iddahnya itu 3 (tiga) kali suci sehingganya
jumlah Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) itu dikalikan 3 (tiga) sehingga
jumlah seluruhnya Rp 30.000.000;- (tiga puluh juta rupiah) dengan demikian
majelis hakim menghukum Tergugat untuk memberikan nafkah iddah kepada
Penggugat selama masa iddah sejumlah Rp 30.000.000,- (tiga puluh juta
rupiah) yang amarnya akan disebutkan dalam amar putusan ini;
Menimbang, bahwa Penggugat juga mohon agar Tergugat memberikan
mut'ah dan majelis hakim akan mempertimbangkannya sebagai berikut;
Menimbang, bahwa mut'ah adalah pemberian bekas suami kepada isteri
yang dijatuhi talak berupa benda atau uang dan lainnya;
Menimbang, bahwa sesuai dengan ketentuan pasal 149 Kompilasi
hukum Islam huruf (a) menyebutkan antara lain bilamana perkawinan putus
karena talak maka bekas suami wajib memberikan mut'ah ·yang layak kepada
bekas isterinya, baik berupa uang atau benda;
Menimbang, bahwa mengingat gugatan dalam perkara ini diajukan oleh
Penggugat (~erai gugat) dan Mahkamah Agung RI juga dalam putusannya
Nomor 137K/AG/2007 tanggal 19 September 2007 tidak ada menyebutkan
tentang pemberian mut'ah dalam perkara gugatan cerai dengan demikian maka
tuntutan agar Tergugat memberikan mut'ah kepada Penggugat tersebut tidak
cukup beralasan dengan demikian majelis hakim menyatakan tidak menerima
terhadap gugatan Penggugat tersebut;
Menimbang, bahwa berdasarkan pasal 84 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan
undang-undang nomor 3 tahun 2006 dan telah diubah juga dengan Undang
Undang Nomor 50 Tahun 2009 pengiriman salinan putusan ke Kantor Urusan
Agama merupakan kewajiban yang melekat pada Panitera Pengadilan Agama
oleh karenanya Majelis Hakim perlu untuk menambahkan amar dalam putusan
ini dengan memerintahkan kepada Panitera Pengadilan Agama Jakarta Selatan
untuk mengirimkan salinan putusan perkara ini setelah berkekuatan hukum
L. I
yang tetap kepada Kantor Urusan Agama yang mewilayahi tempat tinggal
Penggugat dan Tergugat dan Kantor Urusan Agama tempat pernikahan
Penggugat dan Tergugat dilangsungkan untuk dicatat dalam register yang
tersedia untuk itu;
Menimbang, bahwa karena perkara ini termasuk bidang perkawinan
maka sesuai dengan pasal 89 ayat 1 Undang-Undang 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3
tahun 2006 dan telah diubah juga dengan Undang-undang Nomor 50 tahun
2009 segala biaya yang timbul dalam perkara ini dibebankan kepada
Penggugat;
Memperhatikan segala peraturan dan perundang-undangan yang
berlaku serta hukum syara' yang berhubungan dengan ,Perkara ini ;
MENGADILI
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menjatuhkan talak satu ba'in sughra Tergugat terhadap Penggugat;
3. Menetapkan anak yang bernama ANAK I PENGGUGAT DAN TERGUGAT
bin Widya Permana, laki-laki lahir di Jakarta tanggal 13 Juni 2000 dan
ANAK II PENGGUGAT DAN TERGUGAT binti Widya Permana, perempuan
lahir di Jakarta tanggal 17 November 2005 berada di bawah pemeliharaan
(hadhanah) Penggugat;
4. Memberi izin kapada Tergugat tanpa mengurangi ataupun membatasi hak
hak Tergugat selaku ayahnya untuk bertemu dan menyalurkan kasih
sayangnya kepada kedua orang anaknya dalam diktum angka 3 (tiga)
tersebut sepanjang tidak mengganggu kepentingan pendidikan dan
kesehatannya;
5. Menghukum Tergugat untuk memberikan biaya hadhanah (nafkah anak)
dalam diktum angka 3 (tiga) tersebut kepada Penggugat setiap bulannya
minimal Rp 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) sampai anak tersebut
dewasa atau mandiri;
6. Menghukum Tergugat untuk memberikan kepada Penggugat nafkah
selama masa iddah sejumlah Rp 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah);
22
7. Memerintahkan kepada Panitera Pengadilan Agama Jakarta Selatan untuk
mengirimkan salinan putusan perkara ini setelah berkekuatan hukum yang
tetap kepada Kantor Urusan Agama yang mewilayahi tempat tinggal
Penggugat dan Tergugat dan Kantor Urusan Agama tempat pernikahan
Penggugat dan Tergugat dilangsungkan untuk dicatat dalam register yang
tersedia untuk itu;
8. Membebankan kepada Penggugat untuk membayar biaya perkara hingga
putusan ini diucapkan sejumlah Rp 916.000,- (sembilan ratus enam belas
ribu rupiah);
9. Menolak untuk selain dan selebihnya ;
Demikian putusan ini dijatuhkan dalam rapat permusyawaratan Majelis
Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada hari Selasa tanggal 28
Oktober 2014 Masehi bertepatan dengan tanggal 4 Muharram 1436 Hijriyah
oleh DRS. AGUS ABDULAH, M.H. sebagai Ketua Majelis, ELVIN NAILANA,
S.H., M.H., dan DRS. H. SUNARDl.M, S.H., M.HI., masing-masing sebagai
Hakim Anggota, putusan tersebut pada hari itu juga dibacakan oleh Ketua
Majelis tersebut dalam persidangan yang terbuka untuk umum dengan
didampingi Hakim-Hakim Anggota tersebut dibantu oleh NE NE NG KU RN IA Tl,
S.Ag. sebagai Panitera Pengganti yang dihadiri oleh Kuasa Hukum Penggugat
di luar hadirnya Tergugat.
i~ r.~
L.)
KETUA MAJELIS
Ttd
Ors. AGUS ABDULAH, M.H.
HAKIM ANGGOTA HAKIM ANGGOTA
Ttd Ttd
ELVIN NAILANA, S.H., M.H. DRS. H. SUNARDl.M, S.H., M.HI.
Perincian biaya perkara : 1 . Pendaftaran 2. Proses 3. Panggilan 4. Redaksi 5. Materai
Jumlah
PANITERA PENGGANTI
Ttd
NENENG KURNIATI, S.Ag.
Rp. 30.000,Rp. 75.000,Rp. 800.000,-Rp. 5.000,-Rp. 6.000,+ Rp. 916.000.-
Untuk salinan yang sama bunyinya
Oleh Panitera Pengadilan Agama Jakarta Selatan
H. Ahmad Majid, S.H.,M.H.