Upload
dinhnhan
View
240
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
TIM PENELITI PUSAT PERANCANGAN HUKUM FH UNUD
DENPASAR 2013
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH
KOTA DENPASAR
TENTANG
PENGELOLAAN AIR TANAH
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA KERJA SAMA
PEMERINTAH KOTA DENPASAR
PUSAT PERANCANGAN HUKUM | CENTER FOR LEGAL DRAFTING |
KAMPUS SANGLAH JALAN BALI NOMOR 1 DENPASAR 80114 TELP (0361) 222666
DENPASAR 2011
iii
NARASI PENGANTAR
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-
daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri atas daerah-daerah kabupaten dan kota. Setiap
daerah tersebut mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan
pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat.
Air Tanah merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia, sehingga sumber daya
air tanah dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran
masyarakat. Pengelolaan air tanah secara nasional dilaksanakan atas dasar Cekungan Air
Tanah. Kebijakan strategis pengelolaan sumber daya air tanah akan menjadi landasan
koordinasi, kerja sama serta penyusunan program pembangunan dalam pengelolaan
sumber daya air tanah yang berbasis cekungan air tanah dan berwawasan lingkungan.
Negara pun mengakui begitu penting dan vitalnya air sehingga secara negara
mengaturnya dalam ketentuan pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang menentukan Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besar untuk
kemakmuran rakyat.
iv
DAFTAR ISI
Narasi Pengantar >> > iii Daftar Isi >>> iv Daftar Tabel >>> vi BAB I. PENDAHULUAN >>> 1 A. Latar Belakang >>> 1 B. Identifikasi Masalah >>> 2 C. Tujuan dan Kegunaan >>> 2 D. Metode
>>> 3
BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS >>> 5 A. Kajian Teoretis >>> 5 B. Kajian Terhadap Asas/Prinsip Yang Terkait Dengan
Penyusunan Norma
>>> 6 C. Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi
Yang Ada, Serta Permasalahan yang Dihadapi Masyarakat
>>> 10 D. Kajian Terhadap Implikasi Penerapan Sistem Baru
Yang Akan Diatur Dalam Peraturan Daerah Terhadap Aspek Kehidupan Masyarakat dan Dampaknya Terhadap Aspek Beban Keuangan Daerah
>>> 11
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
>>> 13
A. Peraturan Perundang-undangan yang Menjadi Dasar Hukum Pembentukan Peraturan Daerah
>>> 13
B. Peraturan Perundang-Undangan Yang Mengamanatkan Materi Muatan Tertentu Diatur Dalam Peraturan Daerah
>>>17 C. Keterkaitan Peraturan Daerah Baru (Yang Akan
Dibentuk) dengan Peraturan Perundang-Undangan Lain
>>>18 D. Status Peraturan Perundang-undangan Lama
>>>19
BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS >>> 28 A. Pandang Ahli dan Hukum Positif tentang Landasan
Filosofis, Landasan Sosiologis, dan Landasan Yuridis
>>> 28 B. Relevansinya dengan Pembentukan Peraturan Daerah
>>> 34
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH
>>> 36
A. Sasaran, Arah dan Jangkauan Pengaturan >>> 36 B. Ruang Lingkup Pengaturan
>>> 36
BAB VI PENUTUP A. Simpulan >>> 57
v
B. Saran
>>> 57
DAFTAR PUSTAKA >>> 58 DAFTAR PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN >>> 59 LAMPIRAN 1. Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Pengelolaan Air Tanah 2. Rancangan Penjelasan Atas Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang
Pengelolaan Air Tanah
vi
DAFTAR TABEL
Tabel 1: Persentase Rumah Tangga Menurut Jarak Sumber Air
Minum ke Tempat Penampungan Limbah Kota Denpasar 2012
>>> 11
Tabel 2: Analisis Dasar Kewenangan Peraturan Daerah Pengelolaan Air Tanah
>>> 14
Tabel 3: Dasar Kewenangan Pembentukan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Air Tanah dan Keterkaitan Dengan Peraturan Perundang-undangan
>>> 18
Tabel 4: Analisis Peraturan Walikota Nomor 22 Tahun 2011 tentang Pengaturan Perizinan Peruntukan Penggunaan dan Pengusahaan Air Tanah
>>> 19
Tabel 5: Analisis Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Air Tanah Usulan SKPD
>>> 21
Tabel 6: Landasan Keabsahan Peraturan Perundang-undangan Menurut Para Sarjana
>>> 30
Tabel 7: Pandangan Teoretik tentang Landasan Keabsahan Peraturan Perundang-undangan
>>> 32
Tabel 8: Landasan Keabsahan Peraturan Perundang-undangan Berdasarkan Pandangan Teoretik dan UU No. 12/2011
>>> 32
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Air Tanah merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia, sehingga sumber daya air
tanah dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran masyarakat.
Pengelolaan air tanah secara nasional dilaksanakan atas dasar Cekungan Air Tanah.
Kebijakan strategis pengelolaan sumber daya air tanah akan menjadi landasan koordinasi, kerja
sama serta penyusunan program pembangunan dalam pengelolaan sumber daya air tanah
yang berbasis cekungan air tanah dan berwawasan lingkungan. Negara pun mengakui begitu
penting dan vitalnya air sehingga secara negara mengaturnya dalam ketentuan pasal 33 ayat 3
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menentukan Bumi dan air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan
sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat.
Pengelolaan air bawah tanah telah diatur dalam Peraturan Walikota Denpasar Nomor 22
Tahu 2011 tentang Pengaturan, Perizinan, Perutukan, Penggunaan dan Pengusahaan Air
Tanah. Dengan diundang-undangkannya Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 Tentang
Sumber Daya Air yang mengantikan Undang-Undang No 11 tahun 1974 Tentang Pengairan
telah menetapkan bahwa sejalan dengan pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 sumber daya air dikuasai oleh negara dan dikuasai sebesar-
besarnya untuk kemakmuran rakyat secara adil. Atas penguasaan sumber daya air tersebut,
negara menjamin setiap orang untuk mendapatkan pemenuhan air bagi kebutuhan pokok
masyarakat sehari-hari dan melakukan pengaturan hak atas air.
Selain itu, penguasaan negara atas sumber daya air diselenggarakan oleh pemerintah
dan/atau pemerintah daerah dengan tetap mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat adat beserta hak-hak ulayat sepenjang keberadaannya masih diakui, hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Hal ini seiring pula dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah, oleh karena itu perlu disusun sebuah produk peraturan perundang-
undangan berupa peraturan daerah di wilayah Kota Denpasar tentang Pengelolaan Air Tanah.
Dalam upaya membentuk pengaturan bagi pengelolaan air tanah yang didasarkan pada
cekungan air tanah yang diselenggarakan berlandaskan pada kebijakan pengelolaan air tanah
2
dan strategi pengelolaan air tanah pemerintah Kota Denpasar membentuk Peraturan Daerah
Tentang Pengelolaan Air Tanah.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas dapat dilakukan identifikasi masalah, yakni
bahwa Kota Denpasar pusat pengelolaan air tanah untuk wilayah Bali oleh karena itu perlu
Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Pengelolaan Air Tanah.
Berdasarkan pada identifikasi masalah tersebut dapat dirumuskan 3 (tiga) pokok masalah,
yaitu sebagai berikut:
1. Permasalahan hukum apakah yang dihadapi sebagai alasan pembentukan Rancangan
Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Pengelolaan Air Tanah?.
2. Apakah yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis
pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Pengelolaan Air
Tanah ?
3. Apakah sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan
arah pengaturan dalam Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang
Pengelolaan Air Tanah ?.
C. Tujuan dan Kegunaan
Sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang dikemukakan di atas, tujuan
penyusunan Naskah Akademik dirumuskan sebagai berikut:
1. Merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi sebagai alasan pembentukan
Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Pengelolaan Air Tanah.
2. Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis pembentukan
Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Pengelolaan Air Tanah.
3. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan
arah pengaturan dalam Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang
Pengelolaan Air Tanah.
Adapun kegunaan penyusunan Naskah Akademik adalah sebagai acuan penyusunan
dan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Pengelolaan Air
Tanah.
3
D. Metode
Penyusunan Naskah Akademik ini yang pada dasarnya merupakan suatu kegiatan
penelitian penyusunan Naskah Akademik digunakan metode yang berbasiskan metode
penelitian hukum.1
Metode penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian penyusunan Naskah Akademik
ini melalui cara-cara sebagai berikut:
1. Melakukan studi tekstual, yakni menganalisis teks hukum yaitu pasal-pasal dalam
peraturan perundang-undangan dan kebijakan publik (kebijakan negara) secara kritikal
dan dijelaskan makna dan implikasinya terhadap subjek hukum (terutama dalam hal ini
adalah Pelaku dan Pengusaha pengelolaan air tanah).2
2. Melakukan studi kontekstual, yakni mengaitkan dengan konteks saat peraturan
perundang-undangan itu dibuat ataupun ditafsirkan dalam rangka pembentukan
Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Pengelolaan Air Tanah.
Intinya, metode penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian penyusunan Naskah
Akademik ini berada dalam paradigma interpretivisme terkait dengan hermeneutika hukum.3
Hermeneutika hukum pada intinya adalah metode interpretasi atas teks hukum, yang
menampilkan segi tersurat yakni bunyi teks hukum dan segi tersirat yang merupakan gagasan
yang ada di belakang teks hukum itu. Oleh karena itu untuk mendapatkan pemahaman yang
1 Lampiran I Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan (selanjutnya disebut UU 12/2012), prihal Teknik Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undan-Undang, Rancangan Peratuan Daerah Provinsi, dan Rancangan Peratuan Daerah Kabupaten/Kota.
Dalam Lampiran I itu selanjunya dikemukakan, bahwa penelitian hukum dapat d0ilakukan melalui metode yuridis normatif dan metode yuridis empiris. Metode yuridis empiris dikenal juga dengan penelitian sosiolegal. Metode yuridis normatif dilakukan melalui studi pustaka yang menelaah (terutama) data sekunder yang berupa Peraturan Perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian, kontrak, atau dokumen hukum lainnya, serta hasil penelitian, hasil pengkajian, dan referensi lainnya. Metode yuridis normatif dapat dilengkapi dengan wawancara, diskusi (focus group discussion), dan rapat dengar pendapat. Metode yuridis empiris atau sosiolegal adalah penelitian yang diawali dengan penelitian normatif atau penelaahan terhadap Peraturan Perundang-undangan (normatif) yang dilanjutkan dengan observasi yang mendalam serta penyebarluasan kuesioner untuk mendapatkan data faktor nonhukum yang terkait dan yang berpengaruh terhadap Peraturan Perundang-undangan yang diteliti. Jadi, pembentuk UU 12/2012 menyamakan metode yuridis empiris dengan sosiolegal. Bersebrangan dengan itu, Soelistyowati Irianto mengemukakan, ―Dalam rangka luasnya ruang metodologi yang dapat dimasuki oleh studi sosiolegal, tidak tepat untuk mereduksi penelitian sosiolegal sebagai penelitian hukum empiris‖. Penelitian hukum empiris adalah suatu ranah penelitian hukum yang biasanya diasosiasikan dengan studi lapangan untuk mengetahui bagaimana hukum bekerja dan beroperasi dalam masyarakat. Soelistyowati Irianto, ―Memperkenalkan Studi Sosiolegal dan Implikasi Metodologisnya‖, dalam Soelistyowati Irianto dan Shidarta, eds., Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009, hlm. 173-190 (177). 2 Diadaptasi dari Soelistyowati Irianto, ―Memperkenalkan Studi Sosiolegal …‖, Ibid., hlm. 177-178
3 Lihat Soelistyowati Irianto, ―Memperkenalkan Studi Sosiolegal …‖, Ibid., hlm. 181
4
utuh tentang makna teks hukum itu perlu memahami gagasan yang melatarbelakangi
pembentukan teks hukum dan wawasan konteks kekinian saat teks hukum itu diterapkan atau
ditafsirkan. Kebenaran dalam ilmu hukum merupakan kebenaran intersubjektivitas, oleh karena
itu penting melakukan konfirmasi dan konfrontasi dengan teori, konsep, dan pemikiran para
sarjana yang mempunyai otoritas di bidang keilmuannya berkenaan dengan tematik penelitian
penyusunan Naskah Akademik ini.4
4 Diadaptasi dari Gede Marhaendra Wija Atmaja, ―Politik Pluralisme Hukum dalam Pengakuan Kesatuan
Masyarakat Hukum Adat dengan Peraturan Daerah‖, Disertasi Doktor, Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 2012, hlm. 17-18
5
BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
A. Kajian teoretis.
Dalam Program Pembangunan Nasional, pemerintah telah menetapkan sasaran
penyediaan air bersih bagi penduduk Indonesia, yaitu jumlah penduduk yang terlayani air bersih
ditargetkan sebesar 80% untuk daerah perkotaan,dan 60% untuk daerah pedesaan. Sebagai
dasar dalam perencanaan tersebut, pemerintah telah membagi kota berdasarkan jumlah
penduduknya menjadi 5 (lima) kategori, antara lain :
a. Kategori I : Kategori Mertopolitan, jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 jiwa.
b. Kategori II : Kota Besar, jumlah penduduk antara 500.000 – 1.000.000 jiwa.
c. Kategori III : Kota Sedang, jumlah penduduk antara 100.000 – 500.000 jiwa.
d.Kategori IV : Kota Kecil, jumlah penduduk antara 20.000 – 100.000 jiwa.
e. Kategori V : Ibu Kota Kecamatan , jumlah penduduk antara 3.000 – 10.000 jiwa.
Sedangkan patokan kebutuhan air bersih untuk keperluan rumah tangga untuk masing-
masing kategori kota tersebut adalah sebagai berikut :
a. Kategori I : rata-rata 125/liter/orang/hari
b. Kategori II : rata-rata 110/liter/orang/hari
c. Kategori III : rata-rata 100/liter/orang/hari
d. Kategori IV : rata-rata 90/liter/orang/hari
e. Kategori V : rata-rata 45/liter/orang/hari
Perkembangan Provinsi Bali sebagai daerah pariwisata, industri, dan pendidikan serta
pesatnya laju pertumbuhan jumlah penduduk mengakibatkan meningkatnya kebutuhan akan air
bersih untuk berbagai keperluan. Berdasarkan hasil penelitian dari Departemen Energi dan
Sumber Daya Mineral Direktorat Jendral Geologi dan Sumber Daya Mineral Direktorat Tata
Lingkungan Geologi dan Kawasan Pertambangan, terhadap konservasi air tanah di Bali,
6
terungkap produksi air bersih di kesembilan PDAM yang ada di Bali berjumlah 92.974.955 m3
/tahun atau ± 254.725,9 m3 /hari, dimana sumber air bakunya sebagian besar ( 68,59%) masih
mengandalkan dari air tanah, sehingga dapat dikatakan peranan air tanah masih dominan
dalam pemenuhan air bersih bagi penduduk di daerah Bali ini5, sedangkan untuk menghitung
kebutuhan air bersih penduduk seluruh daerah Bali, oleh pihak PDAM setempat telah
ditargetkan, bahwa untuk penduduk daerah kabupaten/kota rata-rata membutuhkan air bersih
80 liter/orang/hari. Dengan demikian perkiraan kebutuhan akan air bersih penduduk di daerah
Bali guna memenuhi tata kehidupannya saat ini ± 279.957 m3 /hari.
Dari perhitungan tersebut, kebutuhan akan air bersih untuk penduduk di daerah Bali
ternyata sangat besar, sehingga untuk mengantisipasi perkembangan di masa mendatang
masih sangat diperlukan usaha peningkatan produksi air bersih.
Mengingat sumber air baku untuk pengadaan air bersih dan air permukaan (air sungai)
sangat terbatas di daerah Bali, karena debitnya kecil, maka ditinjau dari segi kualitas dan
kuantitas, maupun biaya, maka pilihan jatuh cendrung pada pemanfaatan sumber air tanah,
dengan melakukan penyadapan terhadap cadangan air tanah yang ada di daerah Bali ini.
Berdasarkan pada Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1451
K/10/M.EM/2000 bahwa yang dimaksud dengan pengelolaan air tanah adalah pengelolaan
dalam arti luas, yang mencakup segala usaha inventarisasi, pengaturan pemanfaatan, perijinan,
pembinaan, pengendalian dan pengawasan dalam rangka konservasi air tanah. Dengan
demikian konservasi air tanah merupakan tindakan atau langkah/upaya yang harus
dilaksanakan dalam mengelola air tanah, agar pemanfaatannya optimal dan berkelanjutan serta
tidak menimbulkan dampak terhadap air tanah itu sendiri, maupun lingkungan sekitar.
B. Kajian Terhadap Asas/Prinsip Yang Terkait Dengan Penyusunan Norma.
Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik (AP3YB), yang
berkarakter formal dan berkarakter materiil, telah dipositifkan dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU
12/2011). AP3YB formal dituangkan dalam Pasal 5 UU 12/2011 dan AP3YB materiil dituangkan
dalam Pasal 6 UU 12/2011.
5 Sihwanto, Konservasi Air Tanah Daerah Bali, Departemen Energi Dan Sumber Daya Mineral Direktorat Jendral Geologi
Dan Sumber Daya Mineral Direktorat Tata Lingkungan Geologi Dan Kawasan Pertambangan, Bandung, 2004, halm. 12.
7
Sebelumnya, dipositifkan dalam UU 10/2004, dan sebelum itu telah dikenal secara
teoretik dan praktik. Pembedaan asas formal dan asas materiil tersebut berasal dari ranah
teoretik tentang AP3YB (A. Hamid S. Attamimi 1990). Sebagai asas hukum, AP3YB berfungsi
membimbing para legislator dalam penyusunan produknya, yang berlangsung dengan cara
menjadikan dirinya sebagai titik tolak bagi permusan norma hukum ke dalam aturan hukum
(Gede Marhaendra Wija Atmaja 2012).
Pasal 5 UU 12/2011 menentukan, dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan
harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang
baik. Salah satu asas tertuang dalam huruf b, yakni asas ―kelembagaan atau pejabat
pembentuk yang tepat‖. Penjelasan Pasal 5 huruf b UU 12/2011 menjelaskan:
Yang dimaksud dengan ―asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat‖ adalah bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang. Asas tersebut menyangkut dasar kewenangan lembaga negara atau pejabat Pembentuk
Peraturan Perundang-undangan. Suatu lembaga negara atau pejabat harus memiliki
kewenangan untuk membentuk Peraturan Perundang-undangan. Tanpa adanya kewenangan
itu, maka Peraturan Perundang-undangan yang dibentuknya dapat dibatalkan atau batal demi
hukum.
Pentingnya dasar kewenangan ditegaskan kembali dalam Teknik Penyusunan Peraturan
Perundang-Undangan, yang juga telah dipositifkan dalam UU 12/2011, ayat (1) dan ayat (2)
Pasal 64 menentukan:
(1) Penyusunan Rancangan Peraturan Perundang-undangan dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan.
(2) Ketentuan mengenai teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan (TP3), sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 64 ayat (2) UU 12/2011, yang tercantum dalam Lampiran II, menentukan pada
angka 28 (TP3-28):
Dasar hukum diawali dengan kata Mengingat. Dasar hukum memuat: a. Dasar kewenangan pembentukan Peraturan Perundang-undangan; dan b. Peraturan Perundang-undangan yang memerintahkan pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
8
Dasar kewenangan pembentukan Peraturan Perundang-undangan, bagi pembentukan
Peraturan Daerah ditentukan dalam TP3-39:
Dasar hukum pembentukan Peraturan Daerah adalah Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang tentang Pembentukan Daerah dan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah.
Berikut diuraikan masing peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum
pembentukan Peraturan Daerah. Pertama, Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), yang menentukan pemerintahan daerah berhak
menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan
tugas pembantuan. Ketentuan ini merupakan landasan hukum konstitusional bagi pembentukan
Peraturan Daerah. Mengenai otonomi dan tugas pembantuan ditentukan dalam Pasal 18 ayat
(2) UUD 1945, bahwa pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang
oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat (Pasal 18 ayat (5) UUD
1945).
Kedua, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1992 tentang
Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Denpasar (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3465)
selanjutnya disebut UU 1/1992.
Pasal 2 UU 1/1992 menentukan ―Dengan Undang-undang ini dibentuk Kotamadya
Daerah Tingkat II Denpasar dalam wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Bali‖, dengan urusan
rumah tangga daerah, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 10:
(1) Pada saat terbentuknya Kotamadya Daerah Tingkat II Denpasar, diserahkan sebagian urusan-urusan pemerintahan sebagai kewenangan pangkal yang meliputi: a. Pengaturan dan penyelenggaraan kewenangan untuk mewujudkan ketenteraman
dan ketertiban kehidupan masyarakat di daerah yang bersangkutan; b. Pengelolaan air tanah; c. Pekerjaan Umum; d. Tata Kota dan Pertamanan; e. Kebersihan; f. Kesehatan;
g. Pendidikan Dasar; h. Pertanian Tanaman Pangan; i. Pemadam Kebakaran; j. Pendapatan;
k. Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. (2) Penambahan atau pengurangan urusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
Pasal ini diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
9
Pasal 1 angka 1 UU 1/1992 mengartikan Daerah adalah Daerah Otonom sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 huruf e Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan Di Daerah. Sebagai Daerah Otonom, maka Kotamadya Daerah Tingkat II
Denpasar, yang sekarang adalah Kota Denpasar, mempunyai hak sebagaimana dijamin Pasal
18 ayat (6) UUD 1945 untuk menetapkan Peraturan Daerah.
Ketiga, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844) selanjutnya disebut
UU 32/2004.
UU 32/2004 merupakan dasar hukum pembentukan peraturan daerah. Pasal 136
menentukan:
(1) Perda ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD.
(2) Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/kabupaten/kota dan tugas pembantuan.
(3) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah.6
(4) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundangundangan yang lebih tinggi.
(5) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku setelah diundangkan dalam lembaran daerah.
Pasal 136 ayat (2) dan ayat (3) UU 32/2004 adalah menyangkut materi muatan peraturan
daerah. Berkenaan dengan materi muatan peraturan daerah, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 14
UU 32/2004 memberikan arahan dalam pembentukan peraturan daerah di bidang pengelolaan
air.
Dilanjutkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintah Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota (selanjutnya disebut PP 38/2007), yang memasukan urusan pemerintahan
6 Bandingkan ketentuan dalam Pasal 136 ayat (2) dan ayat (3) tersebut dengan Pasal 14 UU
12/2011, yang menentukan materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
10
bidang pengelolaan air tanah sebagai urusan pilihan, pada bagian H. Pembagian Urusan
Pemerintahan Bidang Lingkungan Hidup, dengan Sub Bidang Pengendalian Dampak
Lingkungan, sub-sub bidang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air
Kabupaten mempunyai kewenangan untuk melakukan pengelolaan air tanah.
Ketentuan tersebut diimplementasikan dalam Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 4
Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintah Kota Denpasar (Lembaran Daerah Kota Denpasar
Tahun 2008 Nomor 4 Tambahan Lembaran Daerah Kota Denpasar Nomor 4) selanjutnya
disebut Perda Denpasar 4/2008, sebagaimana dapat disimak dalam Lampiran B.Urusan
pemerintahan bidang pemerintahan, sub bidang Upaya Kesehatan, sub-sub bidang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air Urusan Pemerintah Kota :
1. Pengelolaan kualitas air skala kota 2. Penatapan kelas air pada sumber air skala kota 3. Pemantauan kualitas air pada sumber air skala kota 4. Pengendalian dampak pencemaran air pada sumber air skata kota 5. Pengawasan terhadap penaatan persyaratan yang tercantum dalam izin
pembuangan air limbah ke air atau sumber air 6. Penerapan paksaan pemerintahan atau uang paksa terhadap
pelaksanaan penangguhangan pencemaran air skala kota pada keadaan dan / atau keadaan yang tidak terduga lainnya
7. Pengaturan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air skala kota
8. Perizinan pembuangan air limbah ke air dan sumber air 9. Perizinan pemanfaatan air limbah ke tanah untuk aplikasi pada tanah 10. Pengendalian LC domisili skala kota
.
Berdasarkan UU 32/2004 beserta turunannya tersebut, menunjukan Pemerintahan
Daerah Kota Denpasar memiliki kewenangan mengatur Pengelolaan air tanah.
C. Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi Yang Ada, Serta Permasalahan Yang Dihadapi Masyarakat.
Limbah cair dapat berasal dari rumah penduduk (limbah domestik) dan limbah dari
kegiatan lain seperti pasar, pariwisata, dan lain-lain (limbah non domestik). Volume
limbah cair sangat berhubungan dengan kepadatan dan jenis kegiatan penduduk. Selama ini
limbah domestik tidak dianggap sebagai penyebab tercemarnya lingkungan.
Ini juga diindikasikan oleh tercemarnya sungai-sungai dan sumur oleh minyak-lemak.
Masih banyaknya penduduk yang menggunakan sumur gali sebagai sumber air minum, maka
syarat kesehatan seperti jarak sumur dengan jamban minimal 10 meter, harus dipenuhi, namun
hal ini semakin sulit dipenuhi karena kepadatan penduduk semakin tinggi dan apalagi bila
11
terjadi di daerah pesisir yang tanahnya bersifat porous. Kota Denpasar belum memiliki instalasi
pengolahan limbah cair, sehingga ini menjadi masalah yang serius. Kota Denpasar sangat
mendesak mempunyai instalasi
pengolahan air limbah (IPAL).
Tabel 1. Persentase Rumah Tangga Menurut Jarak Sumber Air Minum Ke Tempat Penampungan Limbah Kota Denpasar Tahun 2002
Jumlah KK Jarak Penampungan Tinja dalam Jarak Terdekat
<10 >10 Tidak Tahu
73.180 29.21 51.28 19.51
Sumber: Susenas 2002 Jumlah KK menggunakan air minum dari sumber air tanah
Panjang total saluran drainase di Kota Denpasar adalah 138,2 km, terdiri dari saluran
primer sepanjang 58,15 km dan saluran sekunder 80,05 km. Kondisi saluran, 65% baik dan
35% buruk. Daerah genangan dan banjir di Kota Denpasar dibagi dalam lima wilayah utama
yaitu:
1. Sistem I Drainase Tukad Badung dan Sekitarnya
2. Sistem II Drainase Tukad Ayung dan Sekitarnya
3. Sistem III Drainase Tukad Mati dan Sekitarnya
4. Sistem IV Drainase Niti Mandala Renon dan Sekitarnya
5. Sistem V Drainase Pemogan dan Sekitarnya
Genangan terparah terjadi pada wilayah Sistem III Drainase Tukad Mati dan Sekitarnya,
tepatnya di daerah perumahan Monang Maning, yang mencapai kedalaman genangan 1,00 m.
D. Kajian Terhadap Implikasi Penerapan Sistem Baru Yang Akan Diatur Dalam Peraturan Daerah Terhadap Aspek Kehidupan Masyarakat Dan Dampaknya Terhadap Aspek Beban Keuangan Daerah.
Pembentukan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Pengelolaan Air Tanah di
membawa implikasi pada aspek kehidupan masyarakat, yakni:
1. Adanya pembatasan terhadap perilaku masyarakat, terutama pengusaha pengelolaan air
tanah, berupa kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya.
2. Adanya tuntutan kesadaran hukum pada pengusaha usaha wisata, untuk memahami
jalur hukum yang disediakan untuk menyelesaikan masalah hukum berkenaan
pelanggaran kewajiban-kewajiban berkaitan dengan Pengelolaan Air Tanah.
12
3. Adanya tuntutan sikap profesional kepada pemerintah dan pegusaha pengelolaan air
tanah yang mengemban tugas pengawasan pendaftaran usaha wisata, dan sikap tidak
diskriminatif kepada pengusaha.
4. Adanya tuntutan bagi Pemerintah yang mengemban tugas dan ngawasan
Penyelenggaraan Izin di Bidang Pengelolaan Air Tanahuntuk mengadakan sosialisasi
dan konsultasi publik untuk meningkatkan kesadaran hukum pengusaha akan
kewajibannya berkenaan dengan Pengelolaan Air Tanah.
Pembentukan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Pengelolaan Air Tanah
membawa implikasi pada aspek keuangan daerah, yakni memberikan beban pada APBD dalam
rangka melakukan Pengelolaan Air Tanah.
13
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
A. Peraturan Perundang-Undangan Yang Menjadi Dasar Hukum Pembentukan Peraturan Daerah.
Kewenangan pengaturan tentang Pengelolaan Air Tanah diatur dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air yaitu dalam Pasal 16 :
Wewenang dan tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota meliputi :
a. menetapkan kebijakan pengelolaan sumber daya air di wilayahnya berdasarkan kebijakan nasional sumber daya air dan kebijakan pengelolaan sumber daya air provinsi dengan memperhatikan kepentingan kabupaten/kota sekitarnya;
b. menetapkan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota;
c. menetapkan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan kabupaten/kota sekitarnya;
d. menetapkan dan mengelola kawasan lindung sumber air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota;
e. ...
Selain dasar kewenangan pengaturan dalam Undang-Undang, juga pengaturannya
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Sumber Daya air dalam
Pasal 3 ayat (3) mengatur bahwa Kebijakan pengelolaan sumber daya air pada tingkat
kabupaten/kota disusun dan dirumuskan oleh wadah koordinasi pengelolaan sumber daya air
kabupaten/kota dan ditetapkan oleh bupati/walikota.Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43
Tahun 2008 Tentang Air Tanah dalam Pasal 6 yang mengatur :
(1) Kebijakan pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dijabarkan lebih lanjut dalam kebijakan teknis pengelolaan air tanah.
(2) Kebijakan teknis pengelolaan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. kebijakan teknis pengelolaan air tanah nasional;
b. kebijakan teknis pengelolaan air tanah provinsi; dan
c. kebijakan teknis pengelolaan air tanah kabupaten/ kota.
(3) Menteri menyusun dan menetapkan kebijakan teknis pengelolaan air tanah nasional dengan mengacu pada kebijakan nasional sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf a.
(4) Gubernur menyusun dan menetapkan kebijakan teknis pengelolaan air tanah provinsi dengan mengacu pada kebijakan teknis pengelolaan air tanah nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan berpedoman pada kebijakan pengelolaan sumber daya air pada tingkat provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf b.
(5) Bupati/walikota menyusun dan menetapkan kebijakan teknis pengelolaan air tanah kabupaten/kota dengan mengacu pada kebijakan teknis pengelolaan air tanah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan berpedoman pada kebijakan pengelolaan
14
sumber daya air pada tingkat kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf c.
(6) Penyusunan kebijakan teknis pengelolaan air tanah oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) dilakukan sesuai dengan kewenangannya melalui konsultasi publik dengan mengikutsertakan instansi teknis dan unsur masyarakat terkait
Pengaturan tentang kebijakan pengelolaan air tanah juga diatur dalam
PeraturanPemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2008 Tentang Air Tanah
Dalam Keputusan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor : 1451
K/10/Mem/2000 Tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas Pemerintahan Di Bidang
Pengelolaan Air Bawah Tanah, dalam Bab III Tentang Pengelolaan Pasal 3 :
1. Pengelolaan cekungan air bawah tanah yang berada di dalam satu wilayah Kabupaten/Kota ditetapkan oleh Bupati/Walikota.
2. Pengelolaan cekungan air bawah tanah yang melintasi wilayah Propinsi atau Kabupaten/Kota ditetapkan oleh masing-masing Gubernur atau Bupati/Walikota berdasarkan kesepakatan Bupati/Walikota yang bersangkutan dengan dukungan koordinasi dan fasilitasi dari Gubernur
3. Teknis pengelolaan air bawah tanah dilakukan melalui tahapan kegiatan :
a. inventarisasi; b. perencanaan pendayagunaan; c. konservasi; d. peruntukan pemanfaatan; e. perizinan; f. pembinaan dan pengembangan
Adapun cakupan kewenangan pengaturan tentang Pengelolaan Air Tanah ) dapat
disimak dalam matrik berikut:
Tabel 2 : Analisis Dasar Kewenangan Pembentukan Perda Pengelolaan Air Tanah
UU 32/2004
BESERTA
TURUNANNY
A
CAKUPAN KEWENANGAN PENERBITAN SIUP
ANALISA UU PP PERMEN
Berdasarka
n UU
32/2004,
PP
38/2007,
Kewenangan pengaturan tentang Pengelolaan Air Tanah diatur dalam Undang-
Pasal 6 yang
mengatur :
a. Kebijakan pengelolaan sumber daya air
Pasal 3
1. Pengelolaan cekungan air bawah tanah yang berada di dalam satu
menetapkan
kebijakan
pengelolaan
sumber daya
air di
15
dan Perda
Denpasar
4/2008,
UndangRepublik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air yaitu dalam Pasal 16 :
Wewenang dan tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota meliputi :
a. menetapkan kebijakan pengelolaan sumber daya air di wilayahnya berdasarkan kebijakan nasional sumber daya air dan kebijakan pengelolaan sumber daya air provinsi dengan memperhatikan kepentingan kabupaten/kota sekitarnya;
b. menetapkan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota;
c. menetapkan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan kabupaten/kota sekitarnya;
d. menetapkan
sebagaimana dimaksu dalam Pasal 5 ayat (2) dijabarkan lebih lanjut dalam kebijakan teknis pengelolaan air tanah.
(2) Kebijakan teknis pengelolaan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
(3) kebijakan teknis pengelolaan air tanah nasional;
a. kebijakan teknis pengelolaan air tanah provinsi; dan
b. kebijakan teknis pengelolaan air tanah kabupaten/ kota.
c. Menteri menyusun dan menetapkan kebijakan teknis pengelolaan air tanah nasional dengan mengacu pada kebijakan nasional sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf a.
(4) Gubernur menyusun dan menetapkan kebijakan teknis pengelolaan air tanah provinsi dengan mengacu pada kebijakan teknis pengelolaan air
wilayah Kabupaten/Kota ditetapkan oleh Bupati/Walikota.
2. Pengelolaan cekungan air bawah tanah yang melintasi wilayah Propinsi atau Kabupaten/Kota ditetapkan oleh masing-masing Gubernur atau Bupati/Walikota berdasarkan kesepakatan Bupati/Walikota yang bersangkutan dengan dukungan koordinasi dan fasilitasi dari Gubernur
3.Teknis pengelolaan air bawah tanah dilakukan melalui tahapan kegiatan : a.inventarisasi; b.perencanaan
pendayagunaan;
c. konservasi; d. peruntukan
pemanfaatan;
e. perizinan; f.pembinaan dan pengembangan
wilayahnya
berdasarkan
kebijakan
nasional
sumber daya
air dan
kebijakan
pengelolaan
sumber daya
air provinsi
dengan
memperhatika
n kepentingan
kabupaten/kot
16
dan mengelola kawasan lindung sumber air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota;
e. ...
tanah nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan berpedoman pada kebijakan pengelolaan sumber daya air pada tingkat provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf b.
(5) Bupati/walikota menyusun dan menetapkan kebijakan teknis pengelolaan air tanah kabupaten/kota dengan mengacu pada kebijakan teknis pengelolaan air tanah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan berpedoman pada kebijakan pengelolaan sumber daya air pada tingkat kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf c.
(6) Penyusunan kebijakan teknis pengelolaan air tanah oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) dilakukan sesuai dengan kewenangannya melalui konsultasi publik
17
dengan mengikutsertakan instansi teknis dan unsur masyarakat terkait
B. Peraturan Perundang-undangan yang Mengamanatkan Materi Muatan tertentu Diatur dalam Peraturan Daerah
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber
Daya Air Pasal 16 mengamanatkan wewenang dan tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota
meliputi :
a. menetapkan kebijakan pengelolaan sumber daya air di wilayahnya
berdasarkan kebijakan nasional sumber daya air dan kebijakan pengelolaan
sumber daya air provinsi dengan memperhatikan kepentingan kabupaten/kota
sekitarnya;
b. menetapkan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam
satu kabupaten/kota;
c. menetapkan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai
dalam satu kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan
kabupaten/kota sekitarnya;
d. menetapkan dan mengelola kawasan lindung sumber air pada wilayah sungai
dalam satu kabupaten/kota;
e. melaksanakan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan kabupaten/kota sekitarnya;
f. mengatur, menetapkan, dan memberi izin penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan air tanah di wilayahnya serta sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota;
g. membentuk dewan sumber daya air atau dengan nama lain di tingkat kabupaten/kota dan/atau pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota;
h. memenuhi kebutuhan pokok minimal sehari-hari atas air bagi masyarakat di wilayahnya; dan
i. menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten
Dalam rangka memberikan dasar hukum bagi pengelolaan air tanah yang lebih
berkualitas, ketersediaan data dan informasi yang akurat yang berhubungan dengan
pengelolaan air tanah, tertib izin usaha-usaha lainnya perlu selalu diupayakan dan semakin
ditingkatkan.
18
C. Keterkaitan Peraturan Daerah Baru (Yang Akan Dibentuk) Dengan Peraturan Perundang-Undangan Lain.
Dalam penyusunan Perda ini didasarkan pada adanya kewenangan untuk membentuk
Perda. Pembentukan Perda ini mempunyai beberapa keterkaitan dengan peraturan perundang-
undangan. Ketertakitan tersebut sebagaimana dipaparkan dalam table berikut ini :
Tabel 3 .Dasar Kewenangan Pembentukan Perda tentang Pengelolaan Air Tanah dan
keterkaitan dengan peraturan perundang-undangan.
UU 7/2004 PP 38/2007 ANALISA
1 2 4
Kewenangan pengaturan tentang Pengelolaan Air Tanah diatur dalam Undang-UndangRepublik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air yaitu dalam Pasal 16 :
Wewenang dan tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota meliputi :
a. menetapkan kebijakan pengelolaan sumber daya air di wilayahnya berdasarkan kebijakan nasional sumber daya air dan kebijakan pengelolaan sumber daya air provinsi dengan memperhatikan kepentingan kabupaten/kota sekitarnya;
b. menetapkan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota;
c. menetapkan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan kabupaten/kota sekitarnya;
d. menetapkan dan mengelola kawasan lindung sumber air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota;
e. ...
SUB BIDANG : Pengendalian dampak lingkingan
sub-sub bidang : 3. Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air
Kewenangan kabupaten/kota :
1. Pengelolaan kualitas air skala kabupaten/kota.
2. Penetapan kelas air pada sumber air skala kabupaten/kota.
3. Pemantauan kualitas air pada sumber air skala kabupaten/kota.
4. Pengendalian pencemaran air pada sumber air skala kabupaten/kota.
5. Pengawasan terhadap penaatan persyaratan yang tercantum dalam izin pembuangan air limbah ke air atau sumber air
6. Penerapan paksaan pemerintahan atau uang paksa terhadap pelaksanaan penanggulangan pencemaran air skala kabupaten/kota pada keadaan darurat dan/atau keadaan yang tidak terduga lainnya.
7. Pengaturan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air skala kabupaten/kota
8. Perizinan pembuangan air
Pemerintah Kota Denpasar berwenang membentuk Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Air Tanah
19
limbah ke air atau sumber air.
9. Perizinan pemanfaatan air limbah ke tanah untuk aplikasi pada tanah.
10. —
Sumber : Diolah dari UU 7/2004 dan PP 38/ 2007
D. Status Peraturan Perundang-undangan Lama
Pemerintah Kota Denpasar selama ini mengatur tentang Pengelolaan Air Tanah
berdasarkan Peraturan Walikota Nomor 22 Tahun 2011 tentang Pengaturan
Perizinan,Peruntukan, Penggunaan dan Pengusahaan Air Tanah yang apabila dianalisis dapat
dipaparkan dalam tabel :
Tabel. 4 Analisa Peraturan Walikota Nomor 22 Tahun 2011 tentang Pengaturan Perizinan, Peruntukan, Penggunaan dan Pengusahaan Air Tanah
No. PERATURAN WALIKOTA NOMOR 22 TAHUN 2011 TENTANG PENGATURAN
PERIZINAN,PERUNTUKAN, PENGGUNAAN DAN PENGUSAHAAN
AIR TANAH
ANALISIS
1. Judul: PENGATURAN PERIZINAN,PERUNTUKAN, PENGGUNAAN DAN PENGUSAHAAN AIR TANAH
Penulisan judul berdasarkan Lampiran II angka 3 UUP3 Nama Peraturan Perundang–undangan dibuat secara singkat dengan hanya menggunakan 1 (satu) kata atau frasa tetapi secara esensial maknanya telah dan mencerminkan isi Peraturan Perundang– undangan -judul perwali terlalu luas tidak menunjukkan sesensi pengaturan
2. Menimbang : j. Bahwa untuk menyikapi
menghadapi... k. Bahwa pengelolaan air tanah... l. ... m. ...
Dalam pendelegasian kewenangan mengatur seharusnya berdasarkan lampiran II angka 198-201 UUP3, dalam konsiderans menimbang seharusnya menunjukkan dasar hukum pembentukan Perwali dalam arti bahwa harus disebutkan dasar hukum pendelegasiannya.
3 Mengingat : 1. Undang-undang nomor 11 Tahun
1967 tentang ketentuan Pokok-pokok Pertambangan ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2831)
2. ... 3. ... 4. ...
Beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan yang dimuat dalam Ranperda ini relevan dirujuk dijadikan ketentuan dasar mengingat.
20
5. ... 6. ... 7. ... 8. ... 9. ... 10... 11....
4. M E M U T U S K A N:
Menetapkan :
PENGATURAN
PERIZINAN,PERUNTUKAN,
PENGGUNAAN DAN PENGUSAHAAN
AIR TANAH
Tidak sesuai dengan Pasal 16 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 Tentang
Sumber Daya Air
5. BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
1. Pemerintah Provinsi adalah
Pemerintah provinsi Bali.
2. ....
3. ...
4. ...
5. ...
6. ...
7. ...
8. ...
9. ...
10. ...
11. ...
12. ...
13. ...
14. ...
15. ...
16. ...
17. ...
Tidak relevan dengan : 1. Tidak sesuai dengan Pasal 16 Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun
2004 Tentang Sumber Daya Air.
2. PenulisanKetentuan Umum berdasarkan
Lampiran II angka 96-109 UUP3 sesuai
dengan lingkup pengaturan perwali
6. BAB II KEWENANGAN PEMERINNTAH KOTA
DENPASAR
Teknik penulisan ―DENPASAR‖ tidak tepat mengingat dalam pengaturan tentang Perwali berlaku di Kota Denpasar.
7. BAB III PERIZINAN
Relevan dengan Pasal 16 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air
8. BAB IV PERUNTUKAN
Relevan dengan Pasal 16 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air
21
9. BAB V TATA CARA PEMBERIAN IZIN DAN
PERSYARATAN PERIZINAN
Sebaiknya materi muatan ini dikelompokkan dengan Bab III sehingga pengelompokan materi muatan dalam satu Bab lebih tepat
10. BAB VI PEMAKAIAN AIR TANAH
Relevan dengan Pasal 16 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air
11. BAB VII PELAPORAN
Relevan dengan Pasal 16 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air
12. BAB VIII BERAKHIRNYA IZIN
Sebaiknya materi muatan ini dikelompokkan dengan Bab III sehingga pengelompokan materi muatan dalam satu Bab lebih tepat
13. BAB IX KETENTUAN PENUTUP
Sesuai dengan Lampiran II UUP3
Berdasarkan analisis tersebut terlihat ada beberapa yang tidak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan terkait. Dalam hal bentuk hukum yang dibentuknya yaitu dalam bentuk
Peraturan Walikota adalah kurang tepat mengingat dalam Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air pendelegasian kewenangan dalam bentuk
Kebijakan hukum yang dituangkan dalam Peraturan Daerah.
Usulan Ranperda Pemkot Denpasar Tentang Pengelolaan Air Tanah Dan Air
Permukaan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang tugas dan wewenangnya telah
membuat usulan Raperda Kota Denpasar tentang Pengelolaan Air Tanah. Naskah usulan ini
perlu juga dianalisis berkenaan dengan kerangka dan materi muatan, untuk mengetahui derajat
kesesuaiannya dengan peraturan perundang-undangan.
Tabel 5 : Analisis Raperda Usulan SKPD tentang Pengelolaan Air Tanah
RAPERDA USULAN SKPD TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DAN AIR
PERMUKAAN
Analisis
Nama dalam judul: PENGELOLAAN AIR
TANAH
Terhadap judul dapat dikemukan sebagai berikut : 1. Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011
Nama Peraturan Perundang–undangan dibuat secara singkat dengan hanya menggunakan 1 (satu) kata atau frasa tetapi secara esensial maknanya telah dan mencerminkan isi Peraturan Perundang-undangan.
2. UU No 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah, Pasal 2 na menentukan: (1) Jenis Pajak provinsi terdiri atas:
a. ... d. Pajak Air Permukaan
(2) Jenis Pajak kabupaten/kota terdiri atas: a. ... b. Pajak Air Tanah
22
Dari ketentuan ini dapat diketahui bahwa pemerintah daerah provinsi mempunyai kewenangan pengenaan pajak air permukaan. Dengan demikian logika hukumnya, maka Air Permukaan menjadi kewenangan dari Pemerintah Daerah Provinsi. Pasal 1 angka 18 Undang-Undang ini menentukan Air Permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah,tidak termasuk air laut, baik yang berada dilaut maupun di darat. Dengan demikian judul draft Ranperda ini sebaiknya dibatasi cukup tentang Pengelolaan Air Tanah.
Menimbang :
a. bahwa air tanah merupakan kekayaan alam sebagai karunia Tuhan yang dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, maka untuk memenuhi kebutuhan dan sebagai aktivitas masyarakat perlu dilakukan pengaturan;
b. bahwa pemanfaatan air tanah untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat maupun komersial yang tidak disertai dengan upaya pengelolaan secara baik dan benar, dikhawatirkan akan merusak kelestarian sumber daya air;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan huruf b perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Air Tanah ;
Pokok pikiran pada konsiderans Undang–Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota memuat unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukannya yang penulisannya ditempatkan secara berurutan dari filosofis, sosiologis, dan yuridis. Unsur filosofis menggambarkan bahwa
peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Unsur sosiologis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek.
Unsur yuridis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Usulan draft yang diajukan, sudah mengandung unsur filosofis, sosiologis dan yuridis, namun perlu dirumuskan ulang, supaya kelihatan jelas unsur filosofis,sosiologis dan unsur yuridisnya yang berkaitan dengan pengelolaan air tanah.
Mengingat 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967
tentang Ketentuan Pokok-Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2831);
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor
Beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan yang dimuat dalam Ranperda ini relevan dirujuk dijadikan ketentuan dasar mengingat.
23
22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3274);
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3478);
4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1992 tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Denpasar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3465);
5. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4377);
6. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali terkahir dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
7. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Pengelolaan Lingkungan Hidup tentang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor , Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor );
8. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3644);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3838);
10.Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten / Kota ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor
24
82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 473)
11.Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2008 tentang Air Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4859);
11.Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1451/K/10/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas Pemerintahan di Bidang Pengelolaan Air Bawah Tanah;
12.Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 4 Tahun 2008 tentang Urusan Yang Menjadi Kewenangan Pemerintah Kota Denpasar (Lembaran Daerah Kota Denpasar Tahun 2008 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Kota Denpasar Nomor 4);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
KOTA DENPASAR
Dan
WALIKOTA DENPASAR
M E M U T U S K A N:
Menetapkan :
PERATURAN DAERAH TENTANG
PENGELOLAAN AIR TANAH
Pengaturan Pengeloaan Air Tanah sesuai dengan
UU Sumber Daya Air
BABI KETETUA UMUM
Pasal 1
1. Kota adalah Kota Denpasar. 2. Pemerintahan Kota adalah Pemerintahan
Kota Denpasar. 3. Walikota adalah Walikota Denpasar. 4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang
selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Denpasar.
5. Pejabat yang ditunjuk adalah Pejabat di Lingkungan Pemerintahan Daerah dibidang pengelolaan air tanah yang mendapat pendelegasian wewenang dari Walikota.
6. Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disebut PPNS adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di Lingkungan Pemerintah Kota Denpasar
7. Air tanah adalah air yang terdapat dalam
Ada beberapa istilah atau difinisi dalam Pasal 1 ini
yang relevan untuk dipergunakan dalam draft
Rancangan Perda Pengelolaan Air Tanah.
25
lapisan tanah atau batuan dibawah permukaan tanah.
8. Akuifer atau Lapisan Pembawa Air adalah lapisan batuan jenuh air tanah yang dapat menyimpan dan meneruskan air tanah dalam jumlah cukup dan ekonomis.
9. Cekungan air tanah adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas hidrogeologis, tempat semua kejadian hidrogeologis seperti proses pengimbuhan, pengaliran dan pelepasan air tanah berlangsung.
10. Wilayah Cekungan Air Tanah adalah Kesatuan Wilayah pengelolaan air tanah secara alamiah pada cekungan air tanah.
11. Daerah imbuhan air tanah adalah resapan air yang mampu menambah air tanah secara alamiah pada cekungan air tanah.
12. Daerah lepasan air tanah adalah daerah keluaran air yang mampu menambah air tanah secara alamian pada cekungan air tanah.
13. Rekomendasi teknis adalah persyaratan teknis yang bersifat mengikat dalam pemberian izin pemakaian air tanah atau izin pengusahaan air tanah.
14. Pengelolaan air tanah adalah upaya merencanakan, melaksanakan, memantau, mengevaluasi penyelenggaraan konservasi air tanah, pendayagunaan air tanah, dan pengendalian daya rusak air tanah.
15. Pengambilan air tanah adalah setiap kegiatan pengambilan air tanah yang dilakukan dengan cara penggalian, pengeboran atau dengan cara membuat bangunan penurap lainnya untuk dimanfaatkan airnya dan / atau tujuan lainnya.
16. Inventarisasi air tanah adalah kegiatan untuk memperoleh data dan informasi air tanah.
17. Konservasi air tanah adalah upaya memelihara keberadaan serta berkelanjutan keadaan, sifat, dan fungsi air tanah agar senantiasa tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang memadai untuk memenuhi kebutuhan mahluk hidup, baik pada waktu sekarang maupun yang akan datang.
18. Pelestarian Air Tanah adalah upaya mempertahankan kelestarian kondisi dan lingkungan air tanah agar tidak mengalami perubahan.
19. Perlindungan Air Tanah adalah upaya
26
menjaga keberadaan dan mencegah terjadinya kerusakan kondisi lingkungan air tanah.
20. Pemeliharaan Air Tanah adalah upaya memelihara keberadaan air tanah sesuai fungsinya.
21. Pendayagunaan air tanah adalah upaya penatagunaan, penyediaan, penggunaan, pengembangan dan pengusahaan air tanah secara optimal agar berhasil guna dan berdayaguna.
22. Pengendalian daya rusak air tanah adalah upaya untuk mencegah, menanggulangi, dan memulihkan kerusakan kualitas lingkungan yang disebabkan oleh daya rusak air tanah.
23. Pengeboran air tanah adalah kegiatan membuat sumur bor air tanah yang dilaksanakan sesuai dengan pedoman teknis sebagai sarana eksplorasi, pengambilan, pemakaian dan pengusahaan, pemantauan, atau imbuhan air tanah.
24. Penggalian air tanah adalah kegiatan membuat sumur gali, saluran air, dan terowongan air untuk mendapatlan air tanah yang dilaksanakan sesuai dengan pedoman teknis sebagai sarana eksplorasi, pengambilan, pemakaian dan pengusahaan, pemantauan, atau imbuhan air tanah.
25. Hak guna air dari pemanfaatan air tanah adalah hak guna air untuk memperoleh dan memakai atau mengusahakan air tanah untuk berbagai keperluan.
26. Hak guna air dari pemanfaatan air tanah
adalah hak untuk memperoleh dan memakai air tanah.
27. Hak guna usaha air dari pemanfaatan air tanah adalah hak untuk memperoleh dan mengusahakan air tanah.
28. Izin pemakaian air tanah adalah izin untuk memperoleh hak guna pakai air dari pemanfaatan air tanah.
29. Izin pengusahaan air tanah adalah izin untuk memperoleh hak guna usaha air dari pemanfaatan air tanah.
30. Badan usaha adalah badan usaha, baik berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum.
31. Sumur Bor adalah sumur yang pembuatannya dilakukan dengan cara pengeboran dan konstruksi dengan pipa bergaris tengah lebih dari 2 inchi (+ 5 cm).
27
32. Sumur Gali adalah sumur yang pembuatannya dilakukan dengan cara penggalian oleh tenaga manusia.
33. Sumur Pantau adalah sumur yang dibuat untuk memantau muka dan mutu air tanah dari lapisan pembawa air (aquifer) tertentu.
34. Sumur Resapan adalah sumur yang dibuat dengan tujuan untuk meresapkan air kedalam tanah yang bentuknya berupa sumur gali atau sumur bor dangkal.
35. Dampak Lingkungan adalah perubahan lingkungan diakibatkan oleh sesuatu kegiatan.
36. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan serta penyelenggaraan usaha dan atau kegiatan.
37. Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) adalah dokumen yang mengandung upaya penanganan dampak terhadap lingkungan hidup yang ditimbulkan akibat dari kegiatan.
38. Upaya Pemantauan Lingkungan adalah dokumen yang mengandung upaya pemantauan komponen lingkungan hidup yang terkena dampak akibat dari kegiatan.
39. Eksplorasi Air Tanah adalah penyidikan air tanah secara detail untuk menetapkan lebih teliti / seksama tentang sebaran dan karakteristik sumber air tersebut.
40. Eksplorasi adalah rangkaian kegiatan pada suatu wilayah kerja tertentu yang meliputi pengeboran sumur pengembangan dan sumur injeksi, pembangunan fasilitas lapangan dan operasi produksi air tanah.
41. Pembinaan adalah kegiatan yang mencakup pemberian pengarahan, petunjuk, bimbingan, pelatihan dan penyuluhan dalam melaksanakan pengelolaan air tanah.
42. Pengendalian adalah kegiatan yang mencakup pengaturan, penelitian dan pemantauan pengambilan air tanah untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana demi menjaga kesinambungan ketersediaan dan mutunya.
43. Pengawasan adalah kegiatan yang dilakukan untuk menjamin tegaknya
28
peraturan perundang-undangan pengelolaan air tanah.
44. Persyaratan Teknik adalah ketentuan teknis yang harus dipenuhi untuk melakukan kegiatan bidang air tanah.
BAB II ASAS,MAKSUD DAN TUJUAN SERTA
RUANG LINGKUP
Asas, Maksud dan Tujuan sepanjang berkaitan dengan Air Tanah relevan untuk diatur.
BAB III LANDASA PEGELOLAAN AIR TANAH
Wewenang dan Tanggung jawab sepanjang
berkaitan dengan Pengelolaan Air Tanah, relevan
untuk diatur.
BAB IV PENGELOLAAN AIR TANAH
Perlu diperhatikan Pasal 16 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 Tentang
Sumber Daya Air Dengan demikian Ruang lingkup
CAT lintas Kabupaten/Kota sebaiknya tidak diatur
dalam draft Rancangan Perda tentang Pengellaan
Air Tanah.
BAB V PERIZINAN
.
Relevan untuk diatur dalam draft rancangan Perda,
sepanjang menyangkut tentang air tanah.
BAB VI SISTEM INFORMASI AIR TANAH
Relevan diatur, sepanjang berkaitan dengan air
tanah.
BAB VII PEMBIAYAAN
Relevan diatur dalam Ranperda berkaitan dengan
Perizinan dan Rekomendasi, sepanjang mengatur
tentang Air Tanah.
BAB VIII PEMBIAYAAN,PENGENDALIAN DAN
PENGAWASAN
Bab Pembinaan,Pengendalian dan Pengawasan relevan diatur dalam draft Rancangan Perda Pengelolaan Air Tanah.
BAB IX
PENYIDIKAN
Relevan untuk diatur
BAB X
KETENTUAN PIDANA
Relevan untuk diatur
BABXI
KETENTUAN PERALIHAN
Relevan untuk diatur terutama terkait dengan izin
yang masih berlaku.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Relevan untuk diatur
29
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
A. Pandang Ahli dan Hukum Positif tentang Landasan Filosofis, Landasan Sosiologis, dan Landasan Yuridis.
Validitas, sebagaimana dimaksudkan oleh Hans Kelsen, adalah eksistensi spesifik dari
norma-norma. Mengatakan suatu norma adalah valid, sama halnya mengakui eksistensinya
atau menganggap norma itu mengandung ―kekuatan mengikat‖ bagi mereka yang
perbuatannya diatur oleh peraturan tersebut7.
Validitas hukum adalah suatu kualitas hukum, yang menyatakan norma-norma hukum
itu mengikat dan mengharuskan orang berbuat sesuai dengan yang diharuskan oleh norma-
norma hukum. Suatu norma hanya dianggap valid berdasarkan kondisi bahwa norma tersebut
termasuk ke dalam suatu sistem norma.
Berkenaan dengan validitas, Satjipto Rahardjo dengan mendasarkan pada pandangan
Gustav Radbruch mengungkapkan, bahwa validitas adalah kesahan berlaku hukum serta
kaitannya dengan nilai-nilai dasar dari hukum. Bahwasanya hukum itu dituntut untuk memenuhi
berbagai karya dan oleh Radbruch disebut sebagai nilai-nilai dasar dari hukum, yakni keadilan,
kegunaan, dan kepastian hukum8.
Uraian tersebut menunjukkan keterhubungan antara validitas hukum dengan nilai-nilai
dasar hukum, bahwasanya hukum didasarkan pada keberlakuan filsafati supaya hukum
mencerminkan nilai keadilan, didasarkan pada keberlakuan sosiologis supaya hukum
mencerminkan nilai kegunaan, dan didasarkan pada keberlakuan yuridis supaya hukum
mencerminkan nilai kepastian hukum
Uraian tentang validitas hukum atau landasan keabsahan hukum dalam kaitannya dengan
peraturan perundang-undangan di Indonesia dapat ditemukan dalam sejumlah buku yang ditulis
oleh sarjana Indonesia, antara lain Jimly Assiddiqie, 9 Bagir Manan10, dan Solly Lubis11.
Pandangan ketiga sarjana itu dapat disajikan dalam tabel berikut.
7 Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, terjemahan Raisul Muttaqien dari judul asli:
General Theory of Law and State, (Bandung: Penerbit Nusamedia dan Penerbit Nuansa, 2006), hlm. 40 8 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 19
9 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hlm. 169-174, 240-244
10 Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, (Jakarta: Penerbit Ind-Hill.Co, 1992), hlm.
14-17. 11
M. Solly Lubis, Landasan dan Teknik Perundang-undangan, (Bandung: Penerbit CV Mandar Maju, 1989), hlm. 6-9.
30
Tabel 6: Landasan Keabsahan Peraturan Perundang-undangan menurut Para Sarjana
Indonesia12
LANDASAN JIMLY ASSHIDDIQIE
BAGIR MANAN M. SOLLY LUBIS
Filosofis
Bersesuaian dengan nilai-nilai filosofis yang dianut oleh suatu Negara. Contoh, nilai-nilai filosofis Negara Republik Indonesia terkandung dalam Pancasila sebagai ―staatsfunda-mentalnorm‖.
Mencerminkan nilai yang terdapat dalam cita hukum (rechtsidee), baik sebagai sarana yang melindungi nilai-nilai maupun sarana mewujudkannya dalam tingkah laku masyarakat.
Dasar filsafat atau pandangan, atau ide yang menjadi dasar cita-cita sewaktu menuangkan hasrat dan kebijaksanaan (pemerintahan) ke dalam suatu rencana atau draft peraturan Negara.
Sosiologis Mencerminkan tuntutan kebutuhan masyarakat sendiri akan norma hukum. [Juga dikatakan, keberlakuan sosiologis berkenaan dengan (1) kriteria pengakuan terhadap daya ikat norma hukum; (2) kriteria penerimaan terhadap daya ikat norma hukum; dan (3) kriteria faktisitas menyangkut norma hukum secara faktual memang berlaku efektif dalam masyarakat].
Mencerminkan kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Kenyataan itu dapat berupa kebutuhan atau tuntutan atau masalah-masalah yang dihadapi yang memerlukan penyelesaian.
-
Yuridis Norma hukum itu sendiri memang ditetapkan (1) sebagai norma hukum berdasarkan norma hukum yang lebih tinggi; (2) menunjukkan
Keharusan (1) adanya kewenangan dari pembuat peraturan perundang-undangan; (2) adanya kesesuaian bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan dengan materi yang diatur;
Ketentuan hukum yang menjadi dasar hukum bagi pembuatan suatu peraturan, yaitu: (1) segi formal, yakni landasan yuridis yang memberi kewenangan untuk membuat peraturan tertentu; dan (2) segi
12 Gede Marhaendra Wija Atmaja, “Politik Pluralisme Hukum ….”, Op. Cit., hlm. 38.
31
hubungan keharusan antara suatu kondisi dengan akibatnya; (3) menurut prosedur pembentukan hukum yang berlaku; dan (4) oleh lembaga yang memang berwenang untuk itu.
(3) tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan (4) mengikuti tata cara tertentu dalam pembentukannya.
materiil, yaitu landasan yuridis untuk mengatur hal-hal tertentu.
Politis Harus tergambar adanya cita-cita dan norma dasar yang terkandung dalam UUD NRI 1945 sebagai politik hukum yang melandasi pembentukan undang-undang [juga dikatakan, pemberlakuannya itu memang didukung oleh faktor-faktor kekuatan politik yang nyata dan yang mencukupi di parlemen].
Garis kebijaksanaan politik yang menjadi dasar bagi kebijaksanaan-kebijaksanaan dan pengarahan ketatalaksanaan pemerintahan. Misalnya, garis politik otonomi dalam GBHN (Tap MPR No. IV Tahun 1973) memberi pengarahan dalam pembuatan UU Nomor 5 Tahun 1974.
Pandangan teoritik tentang landasan keabsahan peraturan perundang-undangan tersebut
menunjukan:
1. Pemahaman keabsahan peraturan perundang-undangan pada ranah (1) normatif; dan
(2) sosiologis. Pemahaman dalam ranah sosiologis tampak pada pandangan Jimly
Asshiddiqie tentang landasan sosiologis dan politis yang terdapat dalam tanda kurung
([…]). Dalam konteks landasan keabsahan peraturan perundang-undangan, yang
menyangkut pembentukan peraturan perundang-undangan, lebih tepat memahami
landasan keabsahan peraturan perundang-undangan dalam ranah normatif.
2. Landasan keabsahan politis pada ranah normatif dari Jimly Asshiddiqie,
mengambarkan politik hukum, yakni adanya cita-cita dan norma dasar yang terkandung
dalam UUD NRI 1945 (Pembukaan dan pasal-pasalnya), yang dapat diakomodasi
dalam landasan filosofis dan yuridis.
32
3. Landasan keabsahan politis dari M. Solly Lubis yang menggambarkan garis politik
hukum dalam Ketetapan MPR, yang dapat diakomodasi dalam landasan yuridis
Berdasarkan pandangan para sarjana tersebut tentang landasan keabsahan atau dasar
keberlakuan peraturan perundang-undangan, maka landasan keabsahan filosofis, sosiologis,
dan yuridis dapat dirangkum sebagai berikut:
Tabel 7: Pandangan teoritik tentang landasan keabsahan peraturan perundang-undangan 13
LANDASAN URAIAN
Filosofis Mencerminkan nilai-nilai filosofis atau nilai yang terdapat dalam cita hukum (rechtsidee). Diperlukan sebagai sarana menjamin keadilan.
Sosiologis Mencerminkan tuntutan atau kebutuhan masyarakat yang memerlukan penyelesaian. Diperlukan sebagai sarana menjamin kemanfaatan.
Yuridis Konsistensi ketentuan hukum, baik menyangkut dasar kewenangan dan prosedur pembentukan, maupun jenis dan materi muatan, serta tidak adanya kontradiksi antar-ketentuan hukum yang sederajat dan dengan yang lebih tinggi. Diperlukan sebagai sarana menjamin kepastian hukum.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan (UU 12/2011) mengadopsi validitas tersebut sebagai (1) muatan menimbang, yang
memuat uraian singkat mengenai pokok pikiran yang menjadi pertimbangan dan alasan
pembentukan Peraturan Perundang–undangan, ditempatkan secara berurutan dari filosofis,
sosiologis, dan yuridis; dan (2) harus juga ada dalam naskah akademis rancangan peraturan
perundang-undangan.
Merujuk pada pandangan teoritik dari para sarjana yang telah dikemukakan di atas,
dikaitkan dengan ketentuan tentang teknik penyusunan peraturan perundang-undangan14 dan
teknik penyusunan naskah akademik15 yang diadopsi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
(UU No 12/2011), ketiga aspek dari validitas tersebut dapat disajikan dalam tabel berikut:
Tabel 8. Landasan Keabsahan Peraturan Perundang-undangan Berdasarkan Pandangan
Teoritik dan UU No. 12/2011
LANDASAN URAIAN
Filosofis Menggambarkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum itu, pada dasarnya berkenaan dengan keadilan yang mesti dijamin dengan adanya peraturan perundang-undangan.
13
Gede Marhaendra Wija Atmaja, ―Politik Pluralisme Hukum ….‖, Ibid., hlm. 29. 14
Angka 18 dan 19 TP3 (vide Pasal 64 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011). 15
Pasal 57 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
33
Sosiologis Menggambarkan kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek yang memerlukan penyelesaian, yang sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara.
Kebutuhan masyarakat pada dasarnya berkenaan dengan kemanfaatan adanya peraturan perundang-undangan.
Yuridis Menggambarkan permasalahan hukum yang akan diatasi, yang sesungghunya menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur.
Permasalahan hukum yang akan diatasi itu pada dasarnya berkenaan dengan kepastian hukum yang mesti dijamin dengan adanya peraturan perundang-unda
ngan, oleh karena itu harus ada konsistensi ketentuan hukum, menyangkut dasar kewenangan dan prosedur pembentukan, jenis dan materi muatan, dan tidak adanya kontradiksi antar-ketentuan hukum yang sederajat dan dengan yang lebih tinggi.
Sumber: Diolah dari berbagai sumber
Tanggung jawab Negara diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945 alenia; ke -4
anatara lain adalah ; 1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia ;
dan 2) memajukan kesejahteraan umum
Perlindungan yang menjadi tanggung jawab Negara itu tidak saja terhadap setiap orang
baik dari arti individual dan kelompok berikut identitas budaya yang melekat padanya, tetapi
juga perlindungan terhadap tanah air, yang tercakup di dalamnya sumber daya alam dan
lingkungan hidupPerlindungan tersebut diarahkan dalam rangka memajukan kesejahteraan
umum, yang juga merupakan tanggung jawab Negara.
Dalam rangka menjamin kepastian hukum dalam pengelolaan air tanah diadakan
perizinan. Untuk itu perlu diberikan arahan dan landasan hukum bagi semua pihak yang yang
terlibat dalam pendaftaran pengelolaan air tanah, baik bagi Pemerintah Kota beserta
aparaturnya.
Berdasarkan uraian tersebut diatas maka landasan filosofis, sosiologis dan yuridis
pembentukan Perda tentang pendaftaran pengelolaan air tanah adalah:
a. bahwa pengelolaan air tanah merupakan bagian dari kePengelolaan air tanahan untuk
mendorong peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat;
b. bahwa terhadap pengelolaan air tanah perlu dilakukan pendaftaran ke dalam Daftar
pengelolaan air tanah sehingga dapat menyediakan sumber informasi bagi semua
pemangku kepentingan dalam penyelenggaraan pengelolaan air tanah;
c. bahwa pendaftaran pengelolaan air tanah dilakukan untuk menjamin kepastian hukum
dalam menyelenggarakan pengelolaan air tanah, oleh karena itu perlu diberikan arahan
34
dan landasan hukum bagi semua pihak yang terlibat, baik bagi Pemerintah Kota
beserta aparaturnya, maupun pengusaha Pengelolaan air tanah, yang terlibat dalam
pendaftaran pengelolaan air tanah;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan
huruf c, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang pengelolaan air tanah;
B. Relevansinya dengan Pembentukan Peraturan Daerah.
Pengaturan Pengelolaan Air Tanah mendasarkan pada tiga landasan keabsahan, yakni
filofofis, yuridis, dan sosiologis, sebagaimana diamanatkan UU P3. Pertama, Landasan
Filosofis. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bertujuan untuk
memberikan pengayoman dan memajukan kesejahteraan masyarakat dalam rangka
mewujudkan tata kehidupan bangsa yang aman, tertib, sejahtera, dan berkeadilan. Ketentuan
konstitusional tersebut dilaksanakan dengan Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Berlakunya Undang-Undang ini, maka
penyelenggaraan pemerintahan daerah dilakukan dengan memberikan kewenangan yang
seluas-luasnya, disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi
daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan Negara.
Kedua, Landasan Yuridis. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, yakni Pasal 18 ayat (1), ayat (2), dan ayat (5), penyelenggaraan
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan
daerah provinsi terdiri atas daerah-daerah kabupaten dan kota. Tiap-tiap daerah tersebut
mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk
meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada
masyarakat. Penyelenggaran Pemerintahan Daerah selanjutnya diatur dalam Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali,
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam Keputusan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor : 1451
K/10/Mem/2000 Tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas Pemerintahan Di Bidang
Pengelolaan Air Bawah Tanah BAB III PENGELOLAAN Pasal 3,
35
1. Pengelolaan cekungan air bawah tanah yang berada di dalam satu wilayah
Kabupaten/Kota ditetapkan oleh Bupati/Walikota.
2. Pengelolaan cekungan air bawah tanah yang melintasi wilayah Propinsi atau Kabupaten/Kota ditetapkan oleh masing-masing Gubernur atau Bupati/Walikota berdasarkan kesepakatan Bupati/Walikota yang bersangkutan dengan dukungan koordinasi dan fasilitasi dari Gubernur.
3. Teknis pengelolaan air bawah tanah dilakukan melalui tahapan kegiatan : a. inventarisasi; b. perencanaan pendayagunaan; c. konservasi; d. peruntukan pemanfaatan; e. perizinan; f. pembinaan dan pengembangan
Uraian tersebut menegaskan landasan yuridis pengaturan Pengelolaan Air Tanah
adalah Keputusan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor : 1451 K/10/Mem/2000
Tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas Pemerintahan Di Bidang Pengelolaan Air
Bawah Tanah
Ketiga, Landasan Sosiologis Peraturan Walikota Nomor 22 Tahun 2011 tentang
Pengaturan Perizinan,Peruntukan, Penggunaan dan Pengusahaan Air Tanah. Perwali tersebut
pada saat ini tidak dapat menampung kebutuhan masyarakat dalam kaitannyA pengaturan
tentang Pengelolaan air tanah.
36
BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN
RUANG LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH
A. Sasaran, Arah dan Jangkauan Pengaturan.
Sasaran yang hendak dicapai dengan diundangkannya Peraturan Daerah tentang
Pengelolaan Air Tanah adalah:
a. tercapainya keselarasan, keserasian, dan keseimbangan dalam pemanfaatan
sumber daya air;
b. terwujudnya masyarakat yang memiliki sikap dan tindak melindungi serta
membina sumber daya air;
c. tercapainya kepentingan akan kebutuhan air bagi generasi sekarang dan
generasi yang akan datang;
d. tercapainya kesinambungan fungsi sumber daya air; dan
e. terkendalinya pemanfaatan sumber daya air secara bijaksana.
Selanjutnya, arah yang hendak dituju adalah tercapainya pengelolaan air tanah
berdasarkan azas pemanfaatan, keseimbangan, dan berkesinambungan, serta pengelolaan
berdasarkan prinsip keterpaduan dengan air permukaan.
B. Ruang Lingkup Pengaturan.
1. Judul
Pedoman angka 2, 3, dan 4 TP3 mengatur bahwa Judul Peraturan Perundang-
undangan memuat keterangan mengenai jenis, nomor, tahun pengundangan atau penetapan,
dan nama Peraturan Perundang-undangan.
Selanjutnya, Nama Peraturan Perundang-undangan dibuat secara singkat dan
mencerminkan isi Peraturan Perundang-undangan, dan Judul ditulis seluruhnya dengan huruf
kapital yang diletakkan di tengah marjin tanpa diakhiri tanda baca. Peraturan daerah ini berjudul
: Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Pengelolaan Air Tanah.
37
2. Pembukaan
Pada pembukaan tiap jenis Peraturan Perundang-undangan sebelum nama jabatan
pembentuk Peraturan Perundang-undangan dicantumkan frase DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA yang ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah
marjin.
a. Konsiderans
Ketentuan angka 17, 18, dan 19 TP3 disebutkan bahwa Konsiderans diawali dengan
kata Menimbang. Konsiderans memuat uraian singkat mengenai pokok-pokok pikiran yang
menjadi latar belakang dan alasan pembuatan Peraturan Perundang-undangan. Pokok-pokok
pikiran pada konsiderans Undang-Undang atau peraturan daerah memuat unsur filosofis,
yuridis, dan sosiologis yang menjadi latar belakang pembuatannya.
Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Pengelolaan Air Tanah memuat Konsiderans:
a. bahwa air tanah merupakan unsur yang sangat penting bagi kehidupan
masyarakat dalam menunjang kegiatan pembangunan, oleh karena itu harus
dikelola secara adil dan bijaksana dengan melakukan pengaturan yang
menyeluruh dan berwawasan lingkungan;
b. bahwa air tanah merupakan sumber daya alam yang harus dikelola secara
terpadu, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan yang bertujuan untuk
mewujudkan keseimbangan ketersediaan dan pemanfaatannya serta
berdampak terhadap kehidupan dan kelestarian lingkungan;
c. bahwa hak atas air tanah merupakan hak guna air yang pengelolaannya
diselenggarakan untuk mewujudkan keseimbangan antara upaya konservasi dan
pendayagunaan air tanah;
d. bahwa pengelolaan air tanah di wilayah Kota Denpasar merupakan sebagian
urusan Pemerintah Kota Denpasar;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf
b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Pengelolaan
Air Tanah;
b. Dasar Hukum
Ketentuan angka 28, dan 39 disebutkan bahwa dasar hukum diawali dengan kata
Mengingat. Dasar hukum memuat dasar kewenangan pembuatan Peraturan Perundang-
undangan dan Peraturan Perundang-undangan yang memerintahkan pembuatan Peraturan
Perundang-undangan tersebut. Peraturan Perundang-undangan yang digunakan sebagai dasar
hukum hanya Peraturan Perundangundangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi.
38
Dasar hukum Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Pengelolaan Air Tanah:
1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1992 tentang Pembentukan Kotamadya Daerah
Tingkat II Denpasar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3465);
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya
Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4377);
4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 44 37) sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 59 Tahun
2008, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
5. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);
6. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor
82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan
Pemerintahan Daerah Kota/Kota(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya
Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 82, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4858);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2008 tentang Air Tanah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4859);
39
3. Batang Tubuh
3.1. Ketentuan Umum
Pedoman angka 98 Ketentuan umum berisi:
a. batasan pengertian atau definisi;
b. singkatan atau akronim yang dituangkan dalam batasan pengertian atau
definisi; dan/atau
c. hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal atau beberapa
pasal berikutnya antara lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud,
dan tujuan tanpa dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab.
Pedoman angka 103 Apabila rumusan definisi dari suatu Peraturan Perundang-
undangan dirumuskan kembali dalam Peraturan Perundang-undangan yang akan dibentuk,
rumusan definisi tersebut harus sama dengan rumusan definisi dalam Peraturan
Perundang-undangan yang telah berlaku tersebut.
Mengacu pada pedoman tersebut, ketentuan umum dalam konsep awal Raperda tentang
Pengelolaan Air Tanah berisi antara lain:
1. Kota adalah Kota Denpasar.
2. Pemerintah Kota adalah Pemerintah Kota Denpasar.
3. Walikota adalah Walikota Denpasar.
4. Air tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan
tanah.
5. Akuifer adalah lapisan batuan jenuh air tanah yang dapat menyimpan dan meneruskan air
tanah dalam jumlah cukup dan ekonomis.
6. Cekungan air tanah adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas hidrogeologis, tempat
semua kejadian hidrogeologis seperti proses pengimbuhan, pengaliran, dan pelepasan air
tanah berlangsung.
7. Daerah imbuhan air tanah adalah daerah resapan air yang mampu menambah air tanah
secara alamiah pada cekungan air tanah.
8. Daerah lepasan air tanah adalah daerah keluaran air tanah yang berlangsung secara
alamiah pada cekungan air tanah.
9. Rekomendasi teknis adalah persyaratan teknis yang bersifat mengikat dalam pemberian
izin pemakaian air tanah atau izin pengusahaan air tanah.
10. Pengelolaan air tanah adalah upaya merencanakan, melaksanakan, memantau,
mengevaluasi penyelenggaraan konservasi air tanah, pendayagunaan air tanah, dan
pengendalian daya rusak air tanah.
40
11. Inventarisasi air tanah adalah kegiatan untuk memperoleh data dan informasi air tanah.
12. Konservasi air tanah adalah upaya memelihara keberadaan serta keberlanjutan keadaan,
sifat, dan fungsi air tanah agar senantiasa tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang
memadai untuk memenuhi kebutuhan makhluk hidup, baik pada waktu sekarang maupun
yang akan datang.
13. Pendayagunaan air tanah adalah upaya penatagunaan, penyediaan, penggunaan,
pengembangan, dan pengusahaan air tanah secara optimal agar berhasil guna dan
berdayaguna.
14. Pengendalian daya rusak air tanah adalah upaya untuk mencegah, menanggulangi, dan
memulihkan kerusakan kualitas lingkungan yang disebabkan oleh daya rusak air tanah.
15. Pengeboran air tanah adalah kegiatan membuat sumur bor air tanah yang dilaksanakan
sesuai dengan pedoman teknis sebagai sarana eksplorasi, pengambilan, pemakaian dan
pengusahaan, pemantauan, atau imbuhan air tanah.
16. Penggalian air tanah adalah kegiatan membuat sumur gali, saluran air, dan terowongan
air untuk mendapatkan air tanah yang dilaksanakan sesuai dengan pedoman teknis
sebagai sarana eksplorasi, pengambilan, pemakaian dan pengusahaan, pemantauan,
atau imbuhan air tanah.
17. Hak guna air dari pemanfaatan air tanah adalah hak guna air untuk memperoleh dan
memakai atau mengusahakan air tanah untuk berbagai keperluan.
18. Hak guna pakai air dari pemanfaatan air tanah adalah hak untuk memperoleh dan
memakai air tanah.
19. Hak guna usaha air dari pemanfaatan air tanah adalah hak untuk memperoleh dan
mengusahakan air tanah.
20. Izin pemakaian air tanah adalah izin untuk memperoleh hak guna pakai air dari
pemanfaatan air tanah.
21. Izin pengusahaan air tanah adalah izin untuk memperoleh hak guna usaha air dari
pemanfaatan air tanah.
22. Badan usaha adalah badan usaha, baik berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum.
23. Menteri adalah Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang air tanah.
3.2. Materi Pokok Yang Diatur
a. Azas, Maksud Dan Tujuan Pengelolaan Air Tanah
Pengelolaan air tanah berdasarkan azas pemanfaatan, keseimbangan, dan
berkesinambungan. Air tanah dikelola dengan prinsip keterpaduan dengan air permukaan
41
Maksud pengelolaan air tanah adalah:
a. tercapainya keselarasan, keserasian, dan keseimbangan dalam pemanfaatan
sumber daya air;
b. terwujudnya masyarakat yang memiliki sikap dan tindak melindungi serta
membina sumber daya air;
c. tercapainya kepentingan akan kebutuhan air bagi generasi sekarang dan
generasi yang akan datang;
d. tercapainya kesinambungan fungsi sumber daya air; dan
e. terkendalinya pemanfaatan sumber daya air secara bijaksana.
Sumber daya air termasuk di dalamnya air tanah dikelola secara menyeluruh, terpadu
dan berwawasan lingkungan hidup dengan tujuan untuk mewujudkan kemanfaatan air yang
berkelanjutan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
b. Landasan Pengelolaan Air Tanah
Pengelolaan air tanah didasarkan pada cekungan air tanah yang diselenggarakan
berlandaskan pada kebijakan pengelolaan air tanah dan strategi pengelolaan air tanah.
Hak atas air tanah adalah hak guna air yang berupa hak guna pakai air dan hak guna
usaha air. Hak guna air tanah tersebut tidak dapat dipindahtangankan sebagian atau
seluruhnya kepada pihak lain. Hak guna pakai air tanah diperoleh tanpa izin untuk memenuhi
kebutuhan air minum dan rumah tangga dengan debit pemakaian tidak melebihi 100 meter
kubik per bulan dan tidak dikomersilkan.
Hak guna pakai air tanah memerlukan izin apabila :
a. cara pengambilannya dapat menimbulkan kerusakan akuifer; dan/atau
b. ditujukan untuk memenuhi kebutuhan
c. Wewenang dan Tanggung Jawab
Wewenang dan tanggung jawab Walikota meliputi:
a. menyusun dan menetapkan kebijakan pengelolaan air tanah Kota dengan
mengacu pada kebijakan teknis pengelolaan air tanah provinsi dan berpedoman
pada kebijakan pengelolaan sumber daya air tanah pada tingkat Kota16;
b. menetapkan kerangka dasar pengelolaan air tanah pada cekungan air tanah
Kota;
c. menetapkan rencana pengelolaan air tanah Kota;
d. mengatur dan menetapkan penyediaan, pengambilan, peruntukan, penggunaan,
air tanah pada cekungan air tanah Kota;
16
Kebijakan tersebut adalah kebijakan teknis pengelolaan air tanah Kota dan ditujukan dalam penyelenggaraan konservasi tanah, pendayagunaan air tanah, pengendalian daya rusak air tanah, dan informasi air tanah. Wewenang dan tanggung jawab tersebut dapat didelegasikan kepada Kepala Dinas
42
e. menyediakan dukungan dalam pengembangan dan pemanfaatan air tanah;
f. menentukan cekungan air tanah skala lebih besar dari 1 : 50.000;
g. mengkoordinasikan kegiatan pengelolaan air tanah dalam rangka inventarisasi,
konservasi, dan pendayagunaan air tanah pada cekungan air tanah Kota;
h. memberikan rekomendasi teknis penerbitan izin penggalian, pengeboran,
penurapan, dan pengambilan air tanah termasuk mata air pada cekungan air
tanah sekitar Kota;
i. mengelola dan memberikan pelayanan data dan informasi air tanah di Kota;
j. menetapkan daerah imbuhan dan lepasan air tanah pada cekungan air tanah
Kota;
k. menetapkan dan mengatur jaringan sumur pantau pada cekungan air tanah
Kota;
l. melaksanakan pengelolaan air tanah sesuai ketentuan teknis yang ditetapkan
oleh Menteri; dan
m. melakukan pemantauan, pengendalian, dan pengawasan pengelolaan air tanah
pada cekungan air tanah Kota.
d. Pengelolaan Air Tanah
Inventarisasi
Inventarisasi air tanah dilaksanakan untuk memperoleh data dan informasi air
tanah, yang dilakukan pada setiap cekungan air tanah. Inventarisasi air tanah
dilakukan melalui kegiatan pemetaan, penyelidikan, dan penelitian, eksplorasi,
serta evaluasi data air tanah untuk menentukan :
o kuantitas dan kualitas air tanah;
o kondisi lingkungan hidup dan potensi yang terkait dengan air tanah;
o sebaran cekungan air tanah;
o daerah imbuhan dan lepasan air tanah;
o geometri dan karakteristik akuifer;
o neraca dan potensi air tanah;
o perencanaan pengelolaan air tanah;
o pengambilan dan pemanfaatan air tanah; dan
o upaya konservasi air tanah.
Kegiatan inventarisasi air tanah dilaksanakan untuk penyusunan pengembangan
terpadu air tanah yang disajikan pada peta skala lebih besar dari 1 : 50.000.
43
Hasil inventarisasi air tanah digunakan sebagai dasar perencanaan konservasi
dan pendayagunaan air tanah.
Penetapan zona konservasi
Data dan informasi hasil kegiatan inventarisasi digunakan sebagai bahan
penyusunan zona konservasi air tanah. Zona konservasi air tanah ditetapkan
oleh Walikota sesuai dengan kewenangannya setelah melalui konsultasi publik
dengan mengikutsertakan instansi teknis dan unsur masyarakat terkait.
Zona konservasi air tanah memuat ketentuan mengenai konservasi dan
pendayagunaan air tanah pada cekungan air tanah.
Zona konservasi air tanah disajikan dalam bentuk peta yang diklasifikasikan
menjadi:
a. zona perlindungan air tanah yang meliputi daerah imbuhan air tanah; dan
b. zona pemanfaatan air tanah yang meliputi zona aman, rawan, kritis, dan
rusak.
Zona konservasi air tanah yang telah ditetapkan dapat ditinjau kembali apabila
terjadi perubahan kuantitas, kualitas, dan/atau lingkungan air tanah pada
cekungan air tanah yang bersangkutan.
Konservasi
Konservasi air tanah ditujukan untuk menjaga kelangsungan keberadaan, daya
dukung, dan fungsi air tanah. Konservasi air tanah bertumpu pada asas
kelestarian, kesinambungan ketersediaan, dan kemanfaatan air tanah serta
lingkungan keberadaannya.
Pelaksanaan konservasi air tanah didasarkan pada:
a. hasil inventarisasi, identifikasi dan evaluasi cekungan air tanah;
b. hasil kajian daerah imbuhan dan lepasan air tanah;
c. rencana pengelolaan air tanah pada cekungan air tanah; dan
44
d. hasil pemantauan perubahan kondisi dan lingkungan air tanah.
Konservasi air tanah dilakukan secara menyeluruh pada cekungan air tanah
mencakup daerah imbuhan dan daerah lepasan air tanah melalui:
a. penentuan zona konservasi air tanah;
b. perlindungan dan pelestarian air tanah;
c. pengawetan air tanah;
d. pemulihan air tanah;
e. pengendalian pencemaran air tanah; dan
f. pengendalian kerusakan air tanah.
Konservasi air tanah harus menjadi salah satu pertimbangan dalam perencanaan
pendayagunaan air tanah dan perencanaan tata ruang wilayah.
Semua pihak yang berkaitan dengan kegiatan pendayagunaan air tanah wajib
melaksanakan konservasi air tanah.
Untuk menjamin keberhasilan konservasi air tanah dilakukan pemantauan air
tanah yang dilakukan untuk mengetahui perubahan kualitas, kuantitas, dampak
lingkungan akibat pengambilan dan pemanfaatan air tanah, dan/atau perubahan
lingkungan. Pemantauan dilakukan pada sumur pantau dan/atau sumur produksi
dengan cara :
a. mengukur dan mencatat kedudukan muka air tanah;
b. mengukur dan mencatat debit mata air;
c. memeriksa sifat fisika, kandungan unsur kimia, kandungan biologi atau
radioaktif dalam air tanah;
d. memetakan perubahan kualitas dan/atau kuantitas air tanah;
e. mencatat jumlah pengambilan dan pemanfaatan air tanah; dan
f. mengamati dan mengukur perubahan lingkungan fisik akibat pengambilan
air tanah.
Pemantauan air tanah dilakukan secara berkala sesuai dengan jenis kegiatan
pemantauan. Hasil pemantauan air tanah berupa rekaman data yang merupakan
bagian dari sistem informasi air tanah Kota yang selanjutnya digunakan oleh
Walikota sesuai dengan kewenangannya sebagai bahan evaluasi pelaksanaan
45
konservasi, pendayagunaan, dan pengendalian daya rusak air tanah.
Sumur pantau digunakan sebagai alat pengendalian penggunaan air tanah yang
wajib disediakan dan dipelihara oleh Walikota dan atau pemegang izin sesuai
dengan kewenangannya.
Walikota sesuai dengan kewenangannya menetapkan jaringan sumur pantau
pada setiap cekungan air tanah berdasarkan:
a. kondisi geologis dan hidrogeologis cekungan air tanah;
b. sebaran sumur produksi dan intensitas pengambilan air tanah; dan
c. kebutuhan pengendalian penggunaan air tanah.
Perlindungan dan pelestarian air tanah ditujukan untuk melindungi dan
melestarikan kondisi dan lingkungan serta fungsi air tanah.
Untuk melindungi dan melestarikan air tanah Walikota sesuai kewenangannya
menetapkan kawasan lindung air tanah. Pelaksanaan perlindungan dan
pelestarian air tanah dilakukan dengan: a. menjaga daya dukung dan fungsi
daerah imbuhan air tanah; b. menjaga daya dukung akuifer; dan/atau c.
memulihkan kondisi dan lingkungan air tanah pada zona kritis dan zona rusak.
Pendayagunaan
Perencanaan pendayagunaan air tanah dilaksanakan sebagai dasar
pendayagunaan air tanah pada cekungan air tanah. Kegiatan ini dilakukan
dalam rangka pengaturan pengambilan dan pemanfaatan serta pengendalian air
tanah.
Perencanaan pendayagunaan air tanah didasarkan pada hasil inventarisasi dan
konservasi air tanah. Dalam melaksanakan perencanaan pendayagunaan air
tanah wajib melibatkan peran serta masyarakat .Hasil perencanaan
pendayagunaan air tanah merupakan salah satu dasar dalam penyusunan
rencana tata ruang wilayah.
Pendayagunaan air tanah ditujukan untuk memanfaatkan air tanah dengan
mengutamakan pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari masyarakat secara adil
dan berkelanjutan.
46
Pendayagunaan air tanah dilaksanakan berdasarkan rencana pengelolaan air
tanah.
Pendayagunaan air tanah dilakukan melalui:
a. penatagunaan;
b. penyediaan;
c. penggunaan;
d. pengembangan; dan
e. pengusahaan.
Walikota sesuai dengan kewenangannya menyelenggarakan pendayagunaan air
tanah dengan mengikutsertakan masyarakat.
Penggunaan air tanah ditujukan untuk pemanfaatan air tanah dan prasarana
pada cekungan air tanah.
Penggunaan air tanah terdiri atas pemakaian air tanah dan pengusahaan air
tanah.
Penggunaan air tanah dilakukan sesuai dengan penatagunaan dan penyediaan
air tanah yang telah ditetapkan pada cekungan air tanah.
Penggunaan air tanah dilakukan dengan mengutamakan pemanfaatan air tanah
pada akuifer dalam yang pengambilannya tidak melebihi daya dukung akuifer
terhadap pengambilan air tanah.
Debit pengambilan air tanah ditentukan berdasar atas:
a. daya dukung akuifer terhadap pengambilan air tanah;
b. kondisi dan lingkungan air tanah;
c. alokasi penggunaan air tanah bagi kebutuhan mendatang; dan
d. penggunaan air tanah yang telah ada.
Urutan prioritas peruntukan pemanfaatan air tanah ditetapkan sebagai berikut :
a. air minum;
b. air untuk rumah tangga;
c. air untuk peternakan dan pertanian rakyat;
47
d. air untuk irigasi;
e. air untuk industri;
f. air untuk pertambangan;
g. air untuk usaha perdagangan; dan
h. air untuk kepentingan lainnya.
Urutan prioritas peruntukan pemanfaatan air tanah tersebut di atas dapat
berubah dengan memperhatikan kepentingan umum dan kondisi setempat.
Peruntukan pemanfaatan air tanah untuk keperluan selain air minum dapat
ditentukan apabila tidak dapat dipenuhi dari sumber air lainnya.
e. Pengelolaan Data Air Tanah
Data dan informasi air tanah pada Instansi/Lembaga Pemerintah dan Swasta dilaporkan
kepada Walikota melalui Dinas.
Data dan informasi hasil kegiatan inventarisasi, konservasi, dan pendayagunaan air
tanah wajib disampaikan kepada Walikota melalui Dinas. Walikota mengirim data kepada
Menteri dan Gubernur dengan tembusan ke DPRD.
Data dan informasi air tanah dikelola oleh Walikota sebagai dasar pengelolaan air tanah.
f. Perizinan
Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi meliputi pengeboran, penggalian, penurapan, dan
pengambilan air tanah hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh izin dari Walikota.
Kegiatan eksploitasi yang tidak memerlukan izin adalah:
a. pengambilan dan pemanfaatan air untuk keperluan peribadatan,
penanggulangan bahaya kebakaran, penelitian ilmiah, dan keperluan air minum
dan/atau rumah tangga dengan jumlah pengambilan kurang dari 100 meter kubik
per bulan dan sampai kedalaman 60 meter; dan
b. keperluan pembuatan sumur imbuhan.
Jenis izin pengelolaan air tanah meliputi:
a. izin pengeboran eksplorasi air tanah;
b. izin pengeboran eksploitasi air tanah;
c. izin juru bor;
48
d. izin penurapan mata air;
e. izin pengambilan air tanah;
f. izin pengambilan air dari mata air;
g. izin sumur pantek;
h. izin pembuatan sumur pantau;
i. izin pengambilan dan pemanfaatan air sumur pantek; dan
j. izin perusahaan pengeboran air tanah.
Izin diberikan atas nama pemohon untuk setiap titik pengambilan air. Untuk
mendapatkan izin diajukan kepada Walikota melalui Dinas. Izin ditetapkan oleh Walikota
berdasarkan kelengkapan persyaratan yang ditentukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Izin tidak dapat dipindahtangankan kecuali dengan persetujuan Walikota.
Tata Cara Memperoleh Izin
Untuk memperoleh izin pemakaian air tanah atau izin pengusahaan air tanah,
pemohon wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Walikota melalui
Dinas dengan tembusan kepada Gubernur.
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri informasi
a. peruntukan dan kebutuhan air tanah;
b. rencana pelaksanaan pengeboran atau penggalian air tanah; dan
c. UKL atau UPL atau Amdal sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Izin pemakaian air tanah atau izin pengusahaan air tanah diterbitkan oleh
Walikota yang tembusannya disampaikan kepada Gubernur.
Setiap izin pemakaian air tanah atau izin pengusahaan air tanah yang telah
diterbitkan Walikota, disertai dengan kewajiban untuk membuat sumur resapan.
Setiap pemohon izin pemakaian air tanah atau izin pengusahaan air tanah yang
mengambil air tanah di zona kritis wajib melakukan eksplorasi air tanah. Hasil
eksplorasi air tanah digunakan sebagai dasar perencanaan:
a. kedalaman pengeboran atau penggalian air tanah;
b. penempatan saringan pada pekerjaan konstruksi; dan
c. debit dan kualitas air tanah yang akan dimanfaatkan.
Pemegang izin pemakaian air tanah atau izin pengusahaan air tanah hanya
dapat melakukan pengeboran atau penggalian air tanah di lokasi yang telah
ditetapkan. Pengeboran dan penggalian air hanya dapat dilakukan oleh instansi
49
pemerintah, perseorangan atau perusahaan yang memenuhi kualifikasi dan
klasifikasi untuk melakukan pengeboran atau penggalian air tanah.
Perusahaan pengeboran harus merupakan badan usaha yang telah memiliki Izin
Perusahaan Pengeboran Air Tanah dan Sertifikat Badan Usaha Jasa
Pengeboran Air Tanah.
Kualifikasi dan klasifikasi untuk melakukan pengeboran dan penggalian air tanah
dapat diperoleh melalui:
a. sertifikasi instalasi bor air tanah; dan
b. sertifikasi keterangan juru pengeboran air tanah.
Jangka waktu izin pemakaian air tanah atau izin pengusahaan air tanah dapat
diberikan selama 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang. Perpanjangan izin
diberikan oleh Walikota. Dalam proses perpanjangan izin harus memperhatikan:
a. ketersediaan air tanah; dan
b. kondisi dan lingkungan air tanah.
Walikota melakukan evaluasi terhadap izin pemakaian air tanah atau izin
pengusahaan air tanah yang diterbitkan yang dilakukan mulai dari kegiatan
pengeboran atau penggalian.
Evaluasi dilakukan terhadap debit dan kualitas air tanah yang dihasilkan guna
menetapkan kembali debit yang akan dipakai atau diusahakan sebagaimana
tercantum dalam izin.
Evaluasi dilakukan berdasarkan laporan hasil pelaksanaan pengeboran atau
penggalian air tanah.
Laporan hasil pelaksanaan pengeboran atau penggalian air tanah paling sedikit
memuat:
a. gambar penampang litologi dan penampang sumur;
b. hasil analisis fisika dan kimia air tanah;
c. hasil analisis uji pemompaan terhadap akuifer yang disadap; dan
d. gambar konstruksi sumur berikut bangunan di atasnya.
Izin pemakaian air tanah atau izin penggunaan air tanah dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku apabila:
a. pemegang izin tidak mengajukan perpanjangan izin;
b. izin dikembalikan oleh pemegang izin;
c. pemegang izin tidak mematuhi ketentuan yang tercantum dalam surat izin
50
atau ketentuan lainnya; dan
d. berdasarkan pertimbangan teknis menimbulkan dampak negatif yang
tidak dapat diperkirakan sebelumnya.
g. Hak dan Kewajiban Pemegang Izin
Setiap pemegang izin pemakaian air tanah atau izin penggunaan air tanah berhak untuk
memperoleh dan menggunakan air tanah sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam izin.
Pemegang izin berkewajiban:
a. memasang meter air atau alat pengukur debit pada setiap titik pengambilan air
tanah sesuai ketentuan yang berlaku;
b. melaporkan pelaksanaan UKL, UPL, atau Amdal;
c. memberikan sebagian air kepada masyarakat sekitar kecuali ketersediaan air
tersebut tidak terganggu;
d. pemegang izin berkewajiban membayar pajak air tanah dari air tanah yang
diambil; dan
e. mengikutsertakan karyawannya dalam program perlindungan tenaga kerja.
Pemegang izin pengambilan air tanah dan pengambilan air dari mata air wajib :
a. melaporkan hasil kegiatan secara tertulis kepada Walikota melalui Dinas; dan
b. melaporkan hasil kegiatan pengambilan air tanah dan hasil rekaman sumur
pantau secara tertulis setiap bulan kepada Walikota melalui Dinas.
Setiap titik atau lokasi pengambilan air tanah dan air dari mata air yang telah mendapat
izin harus dilengkapi dengan meter air atau alat pengukur debit air yang sudah ditera atau
dikalibrasi oleh Instansi Teknis yang berwenang.
Pengawasan dan pengendalian pemasangan meter air atau alat pengukur debit air
dilakukan oleh Dinas dan instansi teknis yang berwenang. Pemegang izin wajib memelihara
dan bertanggung jawab atas kerusakan meter air.
Pemohon izin baik secara sendiri-sendiri maupun bersama- sama wajib menyediakan
sumur pantau berikut kelengkapannya untuk memantau kedudukan muka air tanah di
sekitarnya.
Kewajiban dilakukan di:
a. setiap keberadaan 1 (satu) sumur produksi dengan debit pengambilan 50 (lima
51
puluh) liter/detik atau lebih;
b. setiap keberadaan lebih dari 1 (satu) sumur produksi pada 1 (satu) sistem akuifer
dengan total debit pengambilan 50 (lima puluh) liter/detik atau lebih dalam areal
pengambilan air tanah seluas kurang dari 10 (sepuluh) hektar;
c. setiap keberadaan 5 (lima) sumur produksi dari 1 (satu) sistem dalam areal
pengambilan air tanah seluas kurang dari 10 (sepuluh) hektar; dan
d. di tempat-tempat tertentu yang kondisi air tanahnya dinyatakan rawan dan kritis.
Pengelolaan sumur pantau berikut alat pantaunya yang kepemilikannya lebih dari 1
(satu) orang atau lebih dari 1 (satu) badan usaha, biaya pengadaannya ditanggung bersama.
Besarnya biaya pengadaan sumur pantau ditanggung bersama yang jumlah
penyertaannya disesuaikan dengan jumlah kepemilikan sumur produksi atau jumlah
pengambilan air tanah.
Pemilik sumur pantau wajib memelihara sumur pantau dan melakukan pemantauan
kedudukan muka air tanah dan melaporkan hasilnya setiap 1 (satu) bulan kepada Walikota
melalui Dinas.
Penetapan lokasi titik, jaringan, dan konstruksi sumur pantau dan sumur resapan pada
cekungan air tanah ditentukan oleh Dinas.
Untuk rencana pengambilan air tanah yang dilakukan oleh pemohon dengan debit
kurang dari 50 (lima puluh) liter/detik pada satu sumur produksi wajib dilengkapi dokumen UKL
dan UPL. Untuk rencana pengambilan air tanah yang dilakukan oleh pemohon dengan debit 50
(lima puluh) liter/detik atau lebih, baik dari satu sumur maupun lebih produksi, wajib dilengkapi
dengan dokumen AMDAL. Hasil pelaksanaan UKL dan UPL sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) atau AMDAL sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilaporkan kepada Walikota
melalui Dinas.
h. Pengawasan dan Pengendalian
Pengawasan dan pengendalian kegiatan pengelolaan air tanah dilaksanakan oleh
Dinas. Pengawasan dan pengendalian meliputi:
a. lokasi titik pengambilan air tanah;
b. teknis konstruksi sumur bor, sumur gali, sumur pantek dan uji pemompaan;
c. pembatasan debit pengambilan air tanah;
d. penataan teknis dan pemasangan alat ukur debit pemompaan;
e. pendataan volume pengambilan air tanah;
f. teknis penurapan mata air; g. kajian hidrogeologi; dan
52
g. pelaksanaan UKL dan UPL atau Amdal.
Masyarakat dapat melaporkan kepada Dinas, apabila menemukan pelanggaran
pengambilan air tanah serta merasakan dampak negatif sebagai akibat pengambilan air tanah.
i. Pembiayaan
Biaya operasional pengawasan dan pengendalian air tanah dibebankan pada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah.
j. Larangan
Setiap pemegang izin dilarang:
a. merusak, melepas, menghilangkan dan memindahkan meter air atau alat ukur
debit air dan atau merusak segel tera pada meter air atau alat ukur debit air;
b. mengambil air tanah dari pipa sebelum meter air atau alat ukur debit air;
c. mengambil air tanah melebihi debit yang ditentukan dalam izin;
d. menyembunyikan titik pengambilan atau lokasi pengambilan air tanah;
e. memindahkan letak titik pengambilan atau lokasi pengambilan air tanah;
f. memindahkan rencana letak titik pengeboran dan/atau letak titik penurapan atau
lokasi pengambilan air tanah;
g. mengubah konstruksi sumur bor atau penurapan mata air;
h. menyampaikan laporan pengambilan dan pemanfaatan air tanah atau
melaporkan tidak sesuai dengan kenyataan;
i. tidak melaporkan hasil rekaman sumur pantau;
j. tidak melaporkan pelaksanaan UKL dan UPL atau AMDAL; dan
k. tidak melaksanakan ketentuan yang tercantum dalam izin.
Pelanggaran akan dikenakan sanksi adminitratif berupa peringatan tertulis sebanyak 3
(tiga) kali secara berturut-turut dengan jangka waktu masing-masing 1 (satu) bulan.
Pemegang izin yang tidak melaksanakan kewajibannya setelah berakhirnya jangka
waktu peringatan dikenakan sanksi administratif berupa penghentian sementara seluruh
kegiatan selama jangka waktu 3 (tiga) bulan.
Pemegang izin yang tidak melaksanakan kewajiban setelah berakhirnya jangka waktu
penghentian sementara seluruh kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dikenakan
sanksi administratif berupa pencabutan izin.
53
k. Sanksi Administrasi
Setiap pemegang izin yang melanggar Peraturan Daerah ini dapat dikenakan sanksi
administrasi berupa :
a. pencabutan izin usaha perusahaan pemboran air tanah;
b. penyegelan alat pengeboran dan titik pengambilan air tanah;
c. pencabutan izin pengambilan dan pemanfaatan air tanah;
d. penutupan sumur bor atau bangunan penurapan mata air.
3.3. Ketentuan Penyidikan
(1) PPNS tertentu di lingkungan pemerintah daerah diberi wewenang khusus
sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang
pengelolaan air tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
(2) Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah :
a. menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan
berkenaan dengan tindak pidana di bidang pengelolaan air tanah agar
keterangan atau laporan tersebut menjadi lengkap dan jelas;
b. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau
badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak
pidana pengelolaan air tanah tersebut;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan
dengan tindak pidana dibidang pengelolaan air tanah;
d. memeriksa buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen- dokumen lain berkenaan
dengan tindak pidana di bidang pengelolaan air tanah;
e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan,
pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti
tersebut;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak
pidana di bidang pengelolaan air tanah;
g. menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau
tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas
orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang pengelolaan
air tanah;
i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai
tersangka atau saksi;
j. menghentikan penyidikan; dan/atau
k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana
54
dibidang pengelolaan air tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan
dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum, sesuai dengan ketentuan
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
3.4. Ketentuan Pidana
Pemegang Izin yang melakukan pelanggaran ketentuan diancam dengan pidana
kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah). Denda disetorkan ke Kas Daerah.
Selain tindak pidana yang menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan hidup dan/atau
kerusakan kondisi dan lingkungan air tanah diancam pidana sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang- undangan.
Pasal 14 UU P3 dan Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan, angka 112,
angka 117 dan angka 118menentukan:
1. Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam Undang-undang
dan Peraturan Daerah.
2. Ketentuan pidana memuat rumusan yang menyatakan penjatuhan pidana atas
pelanggaran terhadap ketentuan yang berisi norma larangan atau perintah.
3. Rumusan ketentuan pidana harus menyebutkan secara tegas norma larangan atau
perintah yang dilanggar dan menyebutkan pasal (-pasal) yang memuat norma tersebut.
Dengan demikian, perlu dihindari pengacuan kepada ketentuan pidana Peraturan
Perundang-undangan lain.
Ketentuan tersebut memberikan pemahaman, bahwa ketentuan pidana dapat dimuat
dalam Peraturan Daerah manakala dalam Peraturan Daerah telah dirumuskan norma primer
berupa norma larangan atau perintah. Ketentuan pidana diperlukan norma primer tatkala
dilanggar.
Isu hukumnya adalah mengenai ketentuan pidana yang dapat dimuat dalam Peraturan
Daerah atau materi muatan ketentuan pidana dalam Peraturan Daerah, bukan tentang
ketentuan pidana yang menjadi dasar hukum penegakan Peraturan Daerah. Ketika materi
muatan ketentuan pidana telah dirumuskan dalam Peraturan Daerah, maka isu hukumnya
adalah ketentuan pidana sebagai hukum penegakan Peraturan Daerah.
Naskah ini membedakan dua kategori ketentuan pidana, yakni: [1] ketentuan pidana
sebagai materi muatan Undang-Undang dan Peraturan Daerah, dan [2] ketentuan pidana
55
sebagai dasar hukum penegakan Undang-Undang dan Peraturan Daerah. Ketentuan pidana
sebagai materi muatan Undang-Undang merupakan kewenangan badan legislatif, dalam hal ini
Dewan Perwakilan Rakyat, yang menurut Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 memegang kekuasaan
membentuk Undang-Undang. Berbeda dengan Undang-Undang, untuk Peraturan Daerah,
ketentuan pidana yang dapat dimuat di dalamnya, pembentuk Peraturan Daerah tidak
mempunyai kewenangan penuh untuk menentukan ketentuan pidana yang dapat dimuat dalam
Peratruran Daerah. Melainkan harus mendasarkan pada UU Pemda.
Pasal 143 ayat (2) UU Pemda menentukan, Perda dapat memuat ancaman pidana
kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah). Selanjutnya dalam ayat (3) ditentukan, Perda dapat memuat ancaman pidana
kurungan atau denda selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sesuai dengan yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan lainnya.
Ketentuan-ketentuan tersebut mengatur tentang ancaman pidana yang dapat dimuat
dalam Perda (bukan ancaman pidana sebagai dasar penegakan hukum Undang-Undang), yang
memuat unsur-unsur:
1. Ancaman pidana yang dapat dimuat dalam Perda berupa pidana kurungan paling lama
6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Kewenangan pembentuk Peraturan Daerah menetapkan meteri muatan ketentuan
pidana berkisar pada angka-angka tersebut. Frase paling lama, membolehkan
pembentuk Peraturan Daerah menetapkan materi muatan ketentuan pidana berupa
pidana kurungan paling 3 (tiga) bulan, misalnya. Frase paling banyak, membolehkan
pembentuk Peraturan Daerah menetapkan materi muatan ketentuan pidana berupa
denda paling banyak Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah), misalnya.
2. Ancaman pidana yang dapat dimuat dalam Perda sesuai dengan yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan lainnya.
Apabila terdapat Undang-Undang sektoral atau Peraturan Pemerintah yang mengatur,
bahwa Peraturan Daerah dapat memuat ancaman pidana kurungan atau denda lebih
dari yang ditentukan dalam Pasal 143 ayat (2) tersebut, maka pembentuk Peraturan
Daerah dapat mencantumkannya dalam Peraturan Daerah.
3.5. Ketentuan Peralihan
Ketentuan peralihan memuat penyesuaian terhadap Peraturan Perundang-undangan
yang sudah ada pada saat Peraturan Perundang-undangan baru mulai berlaku, agar Peraturan
56
Perundang-undangan tersebut dapat berjalan lancar dan tidak menimbulkan permasalahan
hukum. Sehingga Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Pengelolaan Air Tanah akan
mempunyai narasi sebagai berikut : Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka izin yang
telah diterbitkan sebelum ditetapkannya Peraturan Daerah ini, masih tetap berlaku sampai
dengan berakhirnya izin yang bersangkutan.
3.6. Ketentuan Penutup
Jika materi dalam Peraturan Perundang-undangan baru menyebabkan perlunya
penggantian seluruh atau sebagian materi dalam Peraturan Perundang-undangan lama, di
dalam Peraturan Perundangundangan baru harus secara tegas diatur mengenai pencabutan
seluruh atau sebagian Peraturan Perundang-undangan lama.
Rumusan pencabutan diawali dengan frase Pada saat Undang-Undang ini mulai
berlaku, kecuali untuk pencabutan yang dilakukan dengan Peraturan Perundang-undangan
pencabutan tersendiri. Demi kepastian hukum, pencabutan Peraturan Perundang-undangan
hendaknya dirumuskan dengan tegas Peraturan Perundang-undangan mana yang dicabut,
dengan menggunakan frase dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, sehingga ketentuan
peralihan akan memiliki narasi sebagai berikut : Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku,
Peraturan Daerah Nomor…..Tahun ……. tentang Pengelolaan Air Bawah Tanah, dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku. Dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini, semua perizinan
yang berkaitan dengan pengelolaan air tanah yang telah diterbitkan sebelum ditetapkannya
Peraturan Daerah ini dinyatakan tetap berlaku sampai dengan masa berlakunya berakhir.
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Denpasar.
57
BAB VI PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan kajian yang telah di lakukan di BAB terdahulu, dapat ditarik konklusi
sebagai berikut :
1. Peraturan Walikota Nomor 22 Tahun 2011 tentang Pengaturan Perizinan,Peruntukan,
Penggunaan dan Pengusahaan Air Tanah. Perwali tersebut pada saat ini tidak dapat
menampung kebutuhan masyarakat dalam kaitannya pengaturan tentang Pengelolaan
air tanah). Peraturan Walikota tersebut pada saat ini tidak dapat menampung
kebutuhan masyarakat dalam kaitannya pengaturan tentang Pengelolaan Air Tanah.
2. Kewenangan pengaturan tentang Pengelolaan Air Tanah dapat disimak dalam Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air, Peraturan
Pemerintah Nomor 43 Tahun 2008 Tentang Air Tanah dan Menteri Energi Dan Sumber
Daya MineralNomor : 1451 K/10/Mem/2000 Tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan
Tugas Pemerintahan Di Bidang Pengelolaan Air Bawah Tanah.
Berdasarkan pada dasar kewenenangan pembentukan Perda tentang Pengelolaan Air
Tanah tersebut pemerintah Kota Denpasar mempeunyai kewenangan untuk membentuk
Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Air Tanah.
B. Saran
Agar diselenggarakan proses konsultasi publik sehingga masyarakat dapat memberikan
masukan dalam penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang
Pengelolaan Air Tanah, sesuai dengan asas keterbukaan dan ketentuan tentang partisipasi
masyarakat dalam Pasal 96 UU P3 2011 dan Pasal 139 ayat (1) UU Pemerintahan Daerah
2004.
58
DAFTAR PUSTAKA
A. Hamid S. Attamimi, ―Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara: Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita IV‖, Disertasi Doktor, Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990.
Abdul Hamid Saleh Attamimi, ―UUD 1945TAP MPRUndang-undang: Kaitan Norma Hukum Ketiganya‖, dalam Padmo Wahjono, ed., Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini, Ghalia Indonesia, 1984.
Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Sinar Harapan, Jakarta, 1994.
Gede Marhaendra Wija Atmaja, ―Ruang Lingkup Materi Muatan Peraturan Daerah Tingkat II (Kasus Kabupaten Daerah Tingkat II Badung dan Kotamadya Daerah Tingkat II Denpasar)‖, Tesis Magister, Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, 1995.
Gede Marhaendra Wija Atmaja, ―Politik Pluralisme Hukum dalam Pengakuan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dengan Peraturan Daerah‖, Disertasi Doktor, Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 2012.
59
DAFTAR PERATURAN PERUNDANG-UNDANG
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1992 tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Denpasar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3465).
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844).
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737).
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4858);
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2008 tentang Air Tanah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4859);
Peraturan Menteri Pengelolaan Air Tanah Republik Indonesia Nomor: 36/M-DAG/PER/9/2007 tentang Penerbitan Surat Izin Pengelolaan air tanah, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Pengelolaan Air Tanah Republik Indonesia Nomor: 39/M-DAG/PER/12/2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Pengelolaan Air Tanah Republik Indonesia Nomor 36/M-DAG/PER/9/2007 tentang Penerbitan Surat Izin Pengelolaan air tanah.
Peraturan Menteri Pengelolaan Air Tanah Republik Indonesia Nomor: 43/M-DAG/PER/9/2009 tentang Pengadaan, Pengedaran, Penjualan, Pengawasan, dan Pengendalian Minuman Beralkohol, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Pengelolaan Air Tanah Republik Indonesia Nomor : 54/M-DAG/PER/18/2012 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Menteri Pengelolaan Air Tanah Nomor 43/M-DAG/PER/9/2009 tentang Ketentuan Pengadaan, Pengedaran, Penjualan, Pengawasan, Dan Pengendalian Minuman Beralkohol.
Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 4 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintah Kota Denpasar (Lembaran Daerah Kota Denpasar Tahun 2008 Nomor 4 Tambahan Lembaran Daerah Kota Denpasar Nomor 4).
60
Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1451/K/10/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas Pemerintahan di Bidang Pengelolaan Air Bawah Tanah
Peraturan Walikota Nomor 22 Tahun 2011 tentang Pengaturan Perizinan,Peruntukan, Penggunaan dan Pengusahaan Air Tanah
1
Lampiran 1. Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Pengelolaan Air Tanah
PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR
NOMOR........TAHUN........
TENTANG
PENGELOLAAN AIR TANAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
WALIKOTA DENPASAR,
Menimbang: a. bahwa air tanah merupakan unsur yang sangat penting bagi kehidupan
masyarakat dalam menunjang kegiatan pembangunan, oleh karena itu
harus dikelola secara adil dan bijaksana dengan melakukan pengaturan
yang menyeluruh dan berwawasan lingkungan;
b. bahwa air tanah merupakan sumber daya alam yang harus dikelola
secara terpadu, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan yang
bertujuan untuk mewujudkan keseimbangan ketersediaan dan
pemanfaatannya serta berdampak terhadap kehidupan dan kelestarian
lingkungan;
c. bahwa hak atas air tanah merupakan hak guna air yang pengelolaannya
diselenggarakan untuk mewujudkan keseimbangan antara upaya
konservasi dan pendayagunaan air tanah;
d. bahwa pengelolaan air tanah di wilayah Kota Denpasar merupakan
sebagian urusan Pemerintah Kota Denpasar;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf
a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Peraturan Daerah
tentang Pengelolaan Air Tanah;
Mengingat: 1.
Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1992 tentang Pembentukan
Kotamadya Daerah Tingkat II Denpasar (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1992 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3465);
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang
2
Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4377);
4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 44 37)
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2008,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
5. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5059);
6. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5234);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kota/Kota(Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan
Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4858);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2008 tentang Air Tanah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 83,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4859);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA DENPASAR
dan
WALIKOTA DENPASAR
M E M U T U S K A N:
Menetapkan: PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH
BAB I
KETENTUAN UMUM
3
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
24. Kota adalah Kota Denpasar.
25. Pemerintah Kota adalah Pemerintah Kota Denpasar.
26. Walikota adalah Walikota Denpasar.
27. Air tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan
tanah.
28. Akuifer adalah lapisan batuan jenuh air tanah yang dapat menyimpan dan meneruskan air
tanah dalam jumlah cukup dan ekonomis.
29. Cekungan air tanah adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas hidrogeologis, tempat
semua kejadian hidrogeologis seperti proses pengimbuhan, pengaliran, dan pelepasan air
tanah berlangsung.
30. Daerah imbuhan air tanah adalah daerah resapan air yang mampu menambah air tanah
secara alamiah pada cekungan air tanah.
31. Daerah lepasan air tanah adalah daerah keluaran air tanah yang berlangsung secara
alamiah pada cekungan air tanah.
32. Rekomendasi teknis adalah persyaratan teknis yang bersifat mengikat dalam pemberian
izin pemakaian air tanah atau izin pengusahaan air tanah.
33. Pengelolaan air tanah adalah upaya merencanakan, melaksanakan, memantau,
mengevaluasi penyelenggaraan konservasi air tanah, pendayagunaan air tanah, dan
pengendalian daya rusak air tanah.
34. Inventarisasi air tanah adalah kegiatan untuk memperoleh data dan informasi air tanah.
35. Konservasi air tanah adalah upaya memelihara keberadaan serta keberlanjutan keadaan,
sifat, dan fungsi air tanah agar senantiasa tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang
memadai untuk memenuhi kebutuhan makhluk hidup, baik pada waktu sekarang maupun
yang akan datang.
36. Pendayagunaan air tanah adalah upaya penatagunaan, penyediaan, penggunaan,
pengembangan, dan pengusahaan air tanah secara optimal agar berhasil guna dan
berdayaguna.
37. Pengendalian daya rusak air tanah adalah upaya untuk mencegah, menanggulangi, dan
memulihkan kerusakan kualitas lingkungan yang disebabkan oleh daya rusak air tanah.
38. Pengeboran air tanah adalah kegiatan membuat sumur bor air tanah yang dilaksanakan
sesuai dengan pedoman teknis sebagai sarana eksplorasi, pengambilan, pemakaian dan
pengusahaan, pemantauan, atau imbuhan air tanah.
39. Penggalian air tanah adalah kegiatan membuat sumur gali, saluran air, dan terowongan
air untuk mendapatkan air tanah yang dilaksanakan sesuai dengan pedoman teknis
sebagai sarana eksplorasi, pengambilan, pemakaian dan pengusahaan, pemantauan,
atau imbuhan air tanah.
40. Hak guna air dari pemanfaatan air tanah adalah hak guna air untuk memperoleh dan
4
memakai atau mengusahakan air tanah untuk berbagai keperluan.
41. Hak guna pakai air dari pemanfaatan air tanah adalah hak untuk memperoleh dan
memakai air tanah.
42. Hak guna usaha air dari pemanfaatan air tanah adalah hak untuk memperoleh dan
mengusahakan air tanah.
43. Izin pemakaian air tanah adalah izin untuk memperoleh hak guna pakai air dari
pemanfaatan air tanah.
44. Izin pengusahaan air tanah adalah izin untuk memperoleh hak guna usaha air dari
pemanfaatan air tanah.
45. Badan usaha adalah badan usaha, baik berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum.
46. Menteri adalah Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang air tanah.
BAB II
AZAS, MAKSUD DAN TUJUAN PENGELOLAAN AIR TANAH
Pasal 2
Pengelolaan air tanah berdasarkan azas pemanfaatan, keseimbangan, dan
berkesinambungan.
Pasal 3 Air tanah dikelola dengan prinsip keterpaduan dengan air permukaan.
Pasal 4 Maksud pengelolaan air tanah adalah:
f. tercapainya keselarasan, keserasian, dan keseimbangan dalam pemanfaatan
sumber daya air;
g. terwujudnya masyarakat yang memiliki sikap dan tindak melindungi serta
membina sumber daya air;
h. tercapainya kepentingan akan kebutuhan air bagi generasi sekarang dan
generasi yang akan datang;
i. tercapainya kesinambungan fungsi sumber daya air; dan
j. terkendalinya pemanfaatan sumber daya air secara bijaksana.
Pasal 5
Sumber daya air termasuk di dalamnya air tanah dikelola secara menyeluruh, terpadu
dan berwawasan lingkungan hidup dengan tujuan untuk mewujudkan kemanfaatan air
yang berkelanjutan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
5
BAB III
LANDASAN PENGELOLAAN AIR TANAH
Pasal 6
Pengelolaan air tanah didasarkan pada cekungan air tanah yang diselenggarakan
berlandaskan pada kebijakan pengelolaan air tanah dan strategi pengelolaan air tanah.
Pasal 7
(1) Hak atas air tanah adalah hak guna air.
(2) Hak guna air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa hak guna pakai air dan
hak guna usaha air.
(3) Hak guna air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat
dipindahtangankan sebagian atau seluruhnya kepada pihak lain.
Pasal 8
(2) Hak guna pakai air tanah diperoleh tanpa izin untuk memenuhi kebutuhan air minum
dan rumah tangga dengan debit pemakaian tidak melebihi 100 meter kubik per
bulan dan tidak dikomersilkan.
(3) Hak guna pakai air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memerlukan izin
apabila :
a. cara pengambilannya dapat menimbulkan kerusakan akuifer; dan/atau
b. ditujukan untuk memenuhi kebutuhan selain sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
BAB IV
WEWENANG DAN TANGGUNG JAWAB
Pasal 9
(2) Wewenang dan tanggung jawab Walikota meliputi:
a. menyusun dan menetapkan kebijakan pengelolaan air tanah Kota dengan
mengacu pada kebijakan teknis pengelolaan air tanah provinsi dan berpedoman
pada kebijakan pengelolaan sumber daya air tanah pada tingkat Kota;
b. menetapkan kerangka dasar pengelolaan air tanah pada cekungan air tanah
Kota;
c. menetapkan rencana pengelolaan air tanah Kota;
d. mengatur dan menetapkan penyediaan, pengambilan, peruntukan, penggunaan,
air tanah pada cekungan air tanah Kota;
e. menyediakan dukungan dalam pengembangan dan pemanfaatan air tanah;
f. menentukan cekungan air tanah skala lebih besar dari 1 : 50.000;
g. mengkoordinasikan kegiatan pengelolaan air tanah dalam rangka inventarisasi,
6
konservasi, dan pendayagunaan air tanah pada cekungan air tanah Kota;
h. memberikan rekomendasi teknis penerbitan izin penggalian, pengeboran,
penurapan, dan pengambilan air tanah termasuk mata air pada cekungan air
tanah sekitar Kota;
i. mengelola dan memberikan pelayanan data dan informasi air tanah di Kota;
j. menetapkan daerah imbuhan dan lepasan air tanah pada cekungan air tanah
Kota;
k. menetapkan dan mengatur jaringan sumur pantau pada cekungan air tanah
Kota;
l. melaksanakan pengelolaan air tanah sesuai ketentuan teknis yang ditetapkan
oleh Menteri; dan
m. melakukan pemantauan, pengendalian, dan pengawasan pengelolaan air tanah
pada cekungan air tanah Kota.
(3) Kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah kebijakan teknis
pengelolaan air tanah Kota dan ditujukan dalam penyelenggaraan konservasi tanah,
pendayagunaan air tanah, pengendalian daya rusak air tanah, dan informasi air
tanah.
(4) Wewenang dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
didelegasikan kepada Kepala Dinas.
(5) Dalam melaksanakan wewenang dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), Kepala Dinas berkoordinasi dengan instansi terkait.
BAB V
PENGELOLAAN AIR TANAH
Bagian Kesatu Inventarisasi
Pasal 10
(1) Inventarisasi air tanah dilaksanakan untuk memperoleh data dan informasi air
tanah.
(2) Inventarisasi air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada setiap
cekungan air tanah.
(3) Inventarisasi air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui
kegiatan pemetaan, penyelidikan, dan penelitian, eksplorasi, serta evaluasi data air
tanah untuk menentukan :
a. kuantitas dan kualitas air tanah;
b. kondisi lingkungan hidup dan potensi yang terkait dengan air tanah;
c. sebaran cekungan air tanah;
d. daerah imbuhan dan lepasan air tanah;
e. geometri dan karakteristik akuifer;
7
f. neraca dan potensi air tanah;
g. perencanaan pengelolaan air tanah;
h. pengambilan dan pemanfaatan air tanah; dan
i. upaya konservasi air tanah.
(4) Kegiatan inventarisasi air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
untuk penyusunan pengembangan terpadu air tanah yang disajikan pada peta skala
lebih besar dari 1 : 50.000.
(5) Hasil inventarisasi air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) digunakan
sebagai dasar perencanaan konservasi dan pendayagunaan air tanah.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara inventarisasi air tanah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Walikota.
Bagian Kedua Penetapan Zona Konservasi
Pasal 11
(1) Data dan informasi hasil kegiatan inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10 digunakan sebagai bahan penyusunan zona konservasi air tanah.
(2) Zona konservasi air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh
Walikota sesuai dengan kewenangannya setelah melalui konsultasi publik dengan
mengikutsertakan instansi teknis dan unsur masyarakat terkait.
(3) Zona konservasi air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat ketentuan
mengenai konservasi dan pendayagunaan air tanah pada cekungan air tanah.
(4) Zona konservasi air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disajikan dalam
bentuk peta yang diklasifikasikan menjadi:
a. zona perlindungan air tanah yang meliputi daerah imbuhan air tanah; dan
b. zona pemanfaatan air tanah yang meliputi zona aman, rawan, kritis, dan rusak.
(5) Zona konservasi air tanah yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dapat ditinjau kembali apabila terjadi perubahan kuantitas, kualitas, dan/atau
lingkungan air tanah pada cekungan air tanah yang bersangkutan.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan zona konservasi air tanah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Walikota.
Bagian Ketiga Konservasi
Paragraf 1
Umum
Pasal 12
(1) Konservasi air tanah ditujukan untuk menjaga kelangsungan keberadaan, daya
8
dukung, dan fungsi air tanah.
(2) Konservasi air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertumpu pada asas
kelestarian, kesinambungan ketersediaan, dan kemanfaatan air tanah serta
lingkungan keberadaannya.
(3) Pelaksanaan konservasi air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan
pada:
a. hasil inventarisasi, identifikasi dan evaluasi cekungan air tanah;
b. hasil kajian daerah imbuhan dan lepasan air tanah;
c. rencana pengelolaan air tanah pada cekungan air tanah; dan
d. hasil pemantauan perubahan kondisi dan lingkungan air tanah.
Pasal 13
(1) Konservasi air tanah dilakukan secara menyeluruh pada cekungan air tanah
mencakup daerah imbuhan dan daerah lepasan air tanah melalui:
a. penentuan zona konservasi air tanah;
b. perlindungan dan pelestarian air tanah;
c. pengawetan air tanah;
d. pemulihan air tanah;
e. pengendalian pencemaran air tanah; dan
f. pengendalian kerusakan air tanah.
(2) Konservasi air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menjadi salah
satu pertimbangan dalam perencanaan pendayagunaan air tanah dan perencanaan
tata ruang wilayah.
Pasal 14
(1) Semua pihak yang berkaitan dengan kegiatan pendayagunaan air tanah wajib
melaksanakan konservasi air tanah.
(2) Kegiatan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan berpotensi mengubah
atau merusak kondisi dan lingkungan air tanah wajib disertai dengan upaya
konservasi air tanah.
Pasal 15
(1) Untuk menjamin keberhasilan konservasi air tanah dilakukan pemantauan air tanah.
(2) Pemantauan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk
mengetahui perubahan kualitas, kuantitas, dampak lingkungan akibat pengambilan
dan pemanfaatan air tanah, dan/atau perubahan lingkungan.
(3) Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada sumur pantau
9
dan/atau sumur produksi dengan cara :
a. mengukur dan mencatat kedudukan muka air tanah;
b. mengukur dan mencatat debit mata air;
c. memeriksa sifat fisika, kandungan unsur kimia, kandungan biologi atau radioaktif
dalam air tanah;
d. memetakan perubahan kualitas dan/atau kuantitas air tanah;
e. mencatat jumlah pengambilan dan pemanfaatan air tanah; dan
f. mengamati dan mengukur perubahan lingkungan fisik akibat pengambilan air
tanah.
(4) Pemantauan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan secara
berkala sesuai dengan jenis kegiatan pemantauan.
(5) Hasil pemantauan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa rekaman
data yang merupakan bagian dari sistem informasi air tanah Kota.
(6) Hasil pemantauan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (5) digunakan oleh
Walikota sesuai dengan kewenangannya sebagai bahan evaluasi pelaksanaan
konservasi, pendayagunaan, dan pengendalian daya rusak air tanah.
Pasal 16
(1) Sumur pantau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) digunakan sebagai
alat pengendalian penggunaan air tanah.
(2) Sumur pantau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disediakan dan
dipelihara oleh Walikota dan atau pemegang izin sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 17
(1) Walikota sesuai dengan kewenangannya menetapkan jaringan sumur pantau pada
setiap cekungan air tanah berdasarkan:
a. kondisi geologis dan hidrogeologis cekungan air tanah;
b. sebaran sumur produksi dan intensitas pengambilan air tanah; dan
c. kebutuhan pengendalian penggunaan air tanah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jaringan sumur pantau sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Walikota.
Paragraf 2 Perlindungan dan Pelestarian
Pasal 18
(1) Perlindungan dan pelestarian air tanah ditujukan untuk melindungi dan melestarikan
kondisi dan lingkungan serta fungsi air tanah.
10
(2) Untuk melindungi dan melestarikan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Walikota sesuai kewenangannya menetapkan kawasan lindung air tanah.
(3) Pelaksanaan perlindungan dan pelestarian air tanah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dengan: a. menjaga daya dukung dan fungsi daerah imbuhan air
tanah; b. menjaga daya dukung akuifer; dan/atau c. memulihkan kondisi dan
lingkungan air tanah pada zona kritis dan zona rusak.
Bagian Keempat Pendayagunaan
Paragraf 1
Umum
Pasal 19
(1) Perencanaan pendayagunaan air tanah dilaksanakan sebagai dasar
pendayagunaan air tanah pada cekungan air tanah.
(2) Kegiatan perencanaan pendayagunaan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan dalam rangka pengaturan pengambilan dan pemanfaatan serta
pengendalian air tanah.
(3) Perencanaan pendayagunaan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
didasarkan pada hasil inventarisasi dan konservasi air tanah.
(4) Dalam melaksanakan perencanaan pendayagunaan air tanah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib melibatkan peran serta masyarakat .
(5) Hasil perencanaan pendayagunaan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
merupakan salah satu dasar dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah.
Pasal 20
(1) Pendayagunaan air tanah ditujukan untuk memanfaatkan air tanah dengan
mengutamakan pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari masyarakat secara adil
dan berkelanjutan.
(2) Pendayagunaan air tanah dilaksanakan berdasarkan rencana pengelolaan air
tanah.
(3) Pendayagunaan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. penatagunaan;
b. penyediaan;
c. penggunaan;
d. pengembangan; dan
e. pengusahaan.
(4) Walikota sesuai dengan kewenangannya menyelenggarakan pendayagunaan air
tanah dengan mengikutsertakan masyarakat.
11
Paragraf 2
Penggunaan
Pasal 21
(1) Penggunaan air tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) huruf c
ditujukan untuk pemanfaatan air tanah dan prasarana pada cekungan air tanah.
(2) Penggunaan air tanah terdiri atas pemakaian air tanah dan pengusahaan air tanah.
(3) Penggunaan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai
dengan penatagunaan dan penyediaan air tanah yang telah ditetapkan pada
cekungan air tanah.
(4) Penggunaan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
mengutamakan pemanfaatan air tanah pada akuifer dalam yang pengambilannya
tidak melebihi daya dukung akuifer terhadap pengambilan air tanah.
(5) Debit pengambilan air tanah ditentukan berdasar atas:
a. daya dukung akuifer terhadap pengambilan air tanah;
b. kondisi dan lingkungan air tanah;
c. alokasi penggunaan air tanah bagi kebutuhan mendatang; dan
d. penggunaan air tanah yang telah ada.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan air tanah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Walikota.
Pasal 22
(1) Urutan prioritas peruntukan pemanfaatan air tanah ditetapkan sebagai berikut :
a. air minum;
b. air untuk rumah tangga;
c. air untuk peternakan dan pertanian rakyat;
d. air untuk irigasi;
e. air untuk industri;
f. air untuk pertambangan;
g. air untuk usaha perdagangan; dan
h. air untuk kepentingan lainnya.
(2) Urutan prioritas peruntukan pemanfaatan air tanah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat berubah dengan memperhatikan kepentingan umum dan kondisi
setempat.
(3) Peruntukan pemanfaatan air tanah untuk keperluan selain air minum dapat
ditentukan apabila tidak dapat dipenuhi dari sumber air lainnya.
12
BAB VI PENGELOLAAN DATA AIR TANAH
Pasal 23
(1) Data dan informasi air tanah pada Instansi/Lembaga Pemerintah dan Swasta
dilaporkan kepada Walikota melalui Dinas.
(2) Data dan informasi hasil kegiatan inventarisasi, konservasi, dan pendayagunaan air
tanah wajib disampaikan kepada Walikota melalui Dinas.
(3) Walikota mengirim data sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) kepada Menteri dan
Gubernur dengan tembusan ke DPRD.
(4) Data dan informasi air tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
dikelola oleh Walikota sebagai dasar pengelolaan air tanah.
BAB VII PERIZINAN
Bagian Kesatu
Izin dan Jenis Izin
Pasal 24
(2) Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi meliputi pengeboran, penggalian, penurapan,
dan pengambilan air tanah hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh izin dari
Walikota.
(3) Kegiatan eksploitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak memerlukan
izin adalah:
a. pengambilan dan pemanfaatan air untuk keperluan peribadatan,
penanggulangan bahaya kebakaran, penelitian ilmiah, dan keperluan air minum
dan/atau rumah tangga dengan jumlah pengambilan kurang dari 100 meter kubik
per bulan dan sampai kedalaman 60 meter; dan
b. keperluan pembuatan sumur imbuhan.
Pasal 25
(2) Jenis izin pengelolaan air tanah meliputi:
a. izin pengeboran eksplorasi air tanah;
b. izin pengeboran eksploitasi air tanah;
c. izin juru bor;
d. izin penurapan mata air;
e. izin pengambilan air tanah;
f. izin pengambilan air dari mata air;
g. izin sumur pantek;
h. izin pembuatan sumur pantau;
13
i. izin pengambilan dan pemanfaatan air sumur pantek; dan
j. izin perusahaan pengeboran air tanah.
(3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan atas nama pemohon untuk
setiap titik pengambilan air.
(4) Untuk mendapatkan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan kepada
Walikota melalui Dinas.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara permohonan izin
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Walikota.
Pasal 26
(1) Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) ditetapkan oleh Walikota
berdasarkan kelengkapan persyaratan yang ditentukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dipindahtangankan kecuali
dengan persetujuan Walikota.
Bagian Kedua
Tata Cara Memperoleh Izin
Pasal 27
(1) Untuk memperoleh izin pemakaian air tanah atau izin pengusahaan air tanah,
pemohon wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Walikota melalui
Dinas dengan tembusan kepada Gubernur.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri informas;
a. peruntukan dan kebutuhan air tanah;
b. rencana pelaksanaan pengeboran atau penggalian air tanah; dan
c. UKL atau UPL atau Amdal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 28
(1) Izin pemakaian air tanah atau izin pengusahaan air tanah diterbitkan oleh Walikota.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tembusannya disampaikan kepada
Gubernur.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Walikota.
14
Pasal 29
(1) Setiap izin pemakaian air tanah atau izin pengusahaan air tanah yang telah
diterbitkan Walikota, disertai dengan kewajiban untuk membuat sumur resapan.
(2) Tata cara pelaksanaan kewajiban pembuatan sumur resapan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Walikota.
Pasal 30
(1) Setiap pemohon izin pemakaian air tanah atau izin pengusahaan air tanah yang
mengambil air tanah di zona kritis wajib melakukan eksplorasi air tanah.
(2) Hasil eksplorasi air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai
dasar perencanaan:
a. kedalaman pengeboran atau penggalian air tanah;
b. penempatan saringan pada pekerjaan konstruksi; dan
c. debit dan kualitas air tanah yang akan dimanfaatkan.
Pasal 31
(1) Pemegang izin pemakaian air tanah atau izin pengusahaan air tanah hanya dapat
melakukan pengeboran atau penggalian air tanah di lokasi yang telah ditetapkan.
(2) Pengeboran dan penggalian air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
dapat dilakukan oleh instansi pemerintah, perseorangan atau perusahaan yang
memenuhi kualifikasi dan klasifikasi untuk melakukan pengeboran atau penggalian
air tanah.
(3) Perusahaan pengeboran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus merupakan
badan usaha yang telah memiliki Izin Perusahaan Pengeboran Air Tanah dan
Sertifikat Badan Usaha Jasa Pengeboran Air Tanah.
(4) Kualifikasi dan klasifikasi untuk melakukan pengeboran dan penggalian air tanah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diperoleh melalui:
a. sertifikasi instalasi bor air tanah; dan
b. sertifikasi keterangan juru pengeboran air tanah.
(5) Pelaksanaan sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diselenggarakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai kualifikasi dan klasifikasi untuk melakukan
pengeboran atau penggalian air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur
dengan Peraturan Walikota.
15
Bagian Ketiga Jangka Waktu Izin
Pasal 32
(1) Jangka waktu izin pemakaian air tanah atau izin pengusahaan air tanah dapat
diberikan selama 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang.
(2) Perpanjangan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Walikota.
(3) Dalam proses perpanjangan izin harus memperhatikan:
a. ketersediaan air tanah; dan
b. kondisi dan lingkungan air tanah.
Bagian Keempat Evaluasi
Pasal 33
(1) Walikota melakukan evaluasi terhadap izin pemakaian air tanah atau izin
pengusahaan air tanah yang diterbitkan.
(2) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan mulai dari kegiatan
pengeboran atau penggalian.
(3) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap debit dan
kualitas air tanah yang dihasilkan guna menetapkan kembali debit yang akan
dipakai atau diusahakan sebagaimana tercantum dalam izin.
(4) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan berdasarkan laporan hasil
pelaksanaan pengeboran atau penggalian air tanah.
(5) Laporan hasil pelaksanaan pengeboran atau penggalian air tanah sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) paling sedikit memuat:
a. gambar penampang litologi dan penampang sumur;
b. hasil analisis fisika dan kimia air tanah;
c. hasil analisis uji pemompaan terhadap akuifer yang disadap; dan
d. gambar konstruksi sumur berikut bangunan di atasnya.
Bagian Kelima Pencabutan Izin
Pasal 34
Izin pemakaian air tanah atau izin penggunaan air tanah dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku apabila:
a. pemegang izin tidak mengajukan perpanjangan izin;
b. izin dikembalikan oleh pemegang izin;
c. pemegang izin tidak mematuhi ketentuan yang tercantum dalam surat izin atau
ketentuan lainnya; dan
16
d. berdasarkan pertimbangan teknis menimbulkan dampak negatif yang tidak dapat
diperkirakan sebelumnya.
BAB VIII
HAK DAN KEWAJIBAN PEMEGANG IZIN
Pasal 35 Setiap pemegang izin pemakaian air tanah atau izin penggunaan air tanah berhak untuk
memperoleh dan menggunakan air tanah sesuai dengan ketentuan yang tercantum
dalam izin.
Pasal 36
Pemegang izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 berkewajiban:
f. memasang meter air atau alat pengukur debit pada setiap titik pengambilan air
tanah sesuai ketentuan yang berlaku;
g. melaporkan pelaksanaan UKL, UPL, atau Amdal;
h. memberikan sebagian air kepada masyarakat sekitar kecuali ketersediaan air
tersebut tidak terganggu;
i. pemegang izin berkewajiban membayar pajak air tanah dari air tanah yang
diambil; dan
j. mengikutsertakan karyawannya dalam program perlindungan tenaga kerja.
Pasal 37
Pemegang izin pengambilan air tanah dan pengambilan air dari mata air wajib :
c. melaporkan hasil kegiatan secara tertulis kepada Walikota melalui Dinas; dan
d. melaporkan hasil kegiatan pengambilan air tanah dan hasil rekaman sumur
pantau secara tertulis setiap bulan kepada Walikota melalui Dinas.
Pasal 38
(1) Setiap titik atau lokasi pengambilan air tanah dan air dari mata air yang telah
mendapat izin harus dilengkapi dengan meter air atau alat pengukur debit air yang
sudah ditera atau dikalibrasi oleh Instansi Teknis yang berwenang.
(2) Pengawasan dan pengendalian pemasangan meter air atau alat pengukur debit air
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Dinas dan instansi teknis yang
berwenang.
(3) Pemegang izin wajib memelihara dan bertanggung jawab atas kerusakan meter air.
17
Pasal 39
(2) Pemohon izin baik secara sendiri-sendiri maupun bersama- sama wajib
menyediakan sumur pantau berikut kelengkapannya untuk memantau kedudukan
muka air tanah di sekitarnya.
(3) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di:
a. setiap keberadaan 1 (satu) sumur produksi dengan debit pengambilan 50 (lima
puluh) liter/detik atau lebih;
b. setiap keberadaan lebih dari 1 (satu) sumur produksi pada 1 (satu) sistem akuifer
dengan total debit pengambilan 50 (lima puluh) liter/detik atau lebih dalam areal
pengambilan air tanah seluas kurang dari 10 (sepuluh) hektar;
c. setiap keberadaan 5 (lima) sumur produksi dari 1 (satu) sistem dalam areal
pengambilan air tanah seluas kurang dari 10 (sepuluh) hektar; dan
d. di tempat-tempat tertentu yang kondisi air tanahnya dinyatakan rawan dan kritis.
(4) Pengelolaan sumur pantau berikut alat pantaunya sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b dan huruf c yang kepemilikannya lebih dari 1 (satu) orang atau lebih
dari 1 (satu) badan usaha, biaya pengadaannya ditanggung bersama.
(5) Besarnya biaya pengadaan sumur pantau sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
ditanggung bersama yang jumlah penyertaannya disesuaikan dengan jumlah
kepemilikan sumur produksi atau jumlah pengambilan air tanah.
(6) Pemilik sumur pantau sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib memelihara
sumur pantau dan melakukan pemantauan kedudukan muka air tanah dan
melaporkan hasilnya setiap 1 (satu) bulan kepada Walikota melalui Dinas.
(7) Penetapan lokasi titik, jaringan, dan konstruksi sumur pantau dan sumur resapan
pada cekungan air tanah ditentukan oleh Dinas.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (5) ditetapkan dengan Keputusan
Walikota.
Pasal 40
(1) Untuk rencana pengambilan air tanah yang dilakukan oleh pemohon dengan debit
kurang dari 50 (lima puluh) liter/detik pada satu sumur produksi wajib dilengkapi
dokumen UKL dan UPL.
(2) Untuk rencana pengambilan air tanah yang dilakukan oleh pemohon dengan debit
50 (lima puluh) liter/detik atau lebih, baik dari satu sumur maupun lebih produksi,
wajib dilengkapi dengan dokumen AMDAL.
(3) Hasil pelaksanaan UKL dan UPL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau
AMDAL sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilaporkan kepada Walikota
melalui Dinas.
18
BAB IX PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN
Pasal 41
(2) Pengawasan dan pengendalian kegiatan pengelolaan air tanah dilaksanakan oleh
Dinas.
(3) Pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi:
a. lokasi titik pengambilan air tanah;
b. teknis konstruksi sumur bor, sumur gali, sumur pantek dan uji pemompaan;
c. pembatasan debit pengambilan air tanah;
d. penataan teknis dan pemasangan alat ukur debit pemompaan;
e. pendataan volume pengambilan air tanah;
f. teknis penurapan mata air; g. kajian hidrogeologi; dan
g. pelaksanaan UKL dan UPL atau Amdal.
Pasal 42
Masyarakat dapat melaporkan kepada Dinas, apabila menemukan pelanggaran
pengambilan air tanah serta merasakan dampak negatif sebagai akibat pengambilan air
tanah.
BAB X PEMBIAYAAN
Pasal 43
Biaya operasional pengawasan dan pengendalian air tanah dibebankan pada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah.
BAB XI LARANGAN
Pasal 44
(2) Setiap pemegang izin dilarang:
a. merusak, melepas, menghilangkan dan memindahkan meter air atau alat ukur
debit air dan atau merusak segel tera pada meter air atau alat ukur debit air;
b. mengambil air tanah dari pipa sebelum meter air atau alat ukur debit air;
c. mengambil air tanah melebihi debit yang ditentukan dalam izin;
d. menyembunyikan titik pengambilan atau lokasi pengambilan air tanah;
e. memindahkan letak titik pengambilan atau lokasi pengambilan air tanah;
f. memindahkan rencana letak titik pengeboran dan/atau letak titik penurapan atau
lokasi pengambilan air tanah;
19
g. mengubah konstruksi sumur bor atau penurapan mata air;
h. menyampaikan laporan pengambilan dan pemanfaatan air tanah atau
melaporkan tidak sesuai dengan kenyataan;
i. tidak melaporkan hasil rekaman sumur pantau;
j. tidak melaporkan pelaksanaan UKL dan UPL atau AMDAL; dan
k. tidak melaksanakan ketentuan yang tercantum dalam izin.
(3) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan
dikenakan sanksi adminitratif berupa peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali
secara berturut-turut dengan jangka waktu masing-masing 1 (satu) bulan.
(4) Pemegang izin yang tidak melaksanakan kewajibannya setelah berakhirnya jangka
waktu peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikenakan sanksi
administratif berupa penghentian sementara seluruh kegiatan selama jangka waktu
3 (tiga) bulan.
(5) Pemegang izin yang tidak melaksanakan kewajiban setelah berakhirnya jangka
waktu penghentian sementara seluruh kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan izin.
BAB XII PENYIDIKAN
Pasal 45
(3) PPNS tertentu di lingkungan pemerintah daerah diberi wewenang khusus sebagai
penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang pengelolaan air tanah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana.
(4) Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah :
a. menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan
berkenaan dengan tindak pidana di bidang pengelolaan air tanah agar
keterangan atau laporan tersebut menjadi lengkap dan jelas;
b. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau
badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak
pidana pengelolaan air tanah tersebut;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan
dengan tindak pidana dibidang pengelolaan air tanah;
d. memeriksa buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen- dokumen lain berkenaan
dengan tindak pidana di bidang pengelolaan air tanah;
e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan,
pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti
tersebut;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak
20
pidana di bidang pengelolaan air tanah;
g. menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau
tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas
orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang pengelolaan
air tanah;
i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai
tersangka atau saksi;
j. menghentikan penyidikan; dan/atau
k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana
dibidang pengelolaan air tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(5) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya
penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum, sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana.
BAB XIII SANKSI ADMINISTRASI
Pasal 46
Setiap pemegang izin yang melanggar Peraturan Daerah ini dapat dikenakan sanksi
administrasi berupa :
a. pencabutan izin usaha perusahaan pemboran air tanah;
b. penyegelan alat pengeboran dan titik pengambilan air tanah;
c. pencabutan izin pengambilan dan pemanfaatan air tanah;
d. penutupan sumur bor atau bangunan penurapan mata air.
BAB XIV SANKSI PIDANA
Pasal 47
(1) Pemegang Izin yang melakukan pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 30, Pasal 36,
Pasal 37, Pasal 38 ayat (3), Pasal 39, Pasal 40 dan Pasal 44 diancam dengan
pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp.
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(2) Denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetorkan ke Kas Daerah.
(3) Selain tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang menyebabkan
21
terjadinya kerusakan lingkungan hidup dan/atau kerusakan kondisi dan lingkungan
air tanah diancam pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
BAB XV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 48 Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka izin yang telah diterbitkan sebelum
ditetapkannya Peraturan Daerah ini, masih tetap berlaku sampai dengan berakhirnya
izin yang bersangkutan.
BAB XVI KETENTUAN PENUTUP
Pasal 49
(1) Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, Peraturan Daerah Nomor…..Tahun
……. tentang Pengelolaan Air Bawah Tanah, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
(2) Dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini, semua perizinan yang berkaitan
dengan pengelolaan air tanah yang telah diterbitkan sebelum ditetapkannya
Peraturan Daerah ini dinyatakan tetap berlaku sampai dengan masa berlakunya
berakhir.
Pasal 50
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Denpasar.
Ditetapkan di Denpasar pada tanggal............................. WALIKOTA DENPASAR RAI DHARMA WIJAYA MANTRA Diundangkan di Denpasar Pada tanggal SEKRETARIS DAERAH KOTA DENPASAR A.A. NGR RAI ISWARA
23
Lampiran 2. Rancangan Penjelasan Atas Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang
Pengelolaan Air Tanah
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR
NOMOR TAHUN
TENTANG
PENGELOLAAN AIR TANAH
I. UMUM Air tanah adalah salah satu elemen terpenting dalam kehidupan manusia, demikian juga
merupakan unsur yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat dalam menunjang kegiatan pembangunan. Oleh karena sudah selayaknyalah air tanah dikelola secara adil dan bijaksana dan menyeluruh serta berwawasan lingkungan.
Selanjutnya, air tanah merupakan sumber daya alam yang harus dikelola secara terpadu, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan yang bertujuan untuk mewujudkan keseimbangan ketersediaan dan pemanfaatannya serta berdampak terhadap kehidupan dan kelestarian lingkungan.
Hak atas air tanah dalam peraturan daerah ini merupakan hak guna air yang pengelolaannya diselenggarakan untuk mewujudkan keseimbangan antara upaya konservasi dan pendayagunaan air tanah.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Cukup jelas
Pasal 3
Pasal 4 Cukup jelas Pasal 5
Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas Pasal 7 Cukup jelas Pasal 8
Cukup jelas Pasal 9
Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas Pasal 11
Cukup jelas. Pasal 12
24
Cukup jelas Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas Pasal 15 Cukup jelas Pasal 16
Cukup jelas Pasal 17
Cukup jelas. Pasal 18
Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas Pasal 20 Cukup jelas Pasal 21
Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas Pasal 26 Cukup jelas Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas Pasal 31 Cukup jelas Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36 Cukup jelas.
Pasal 37
25
Cukup jelas
Pasal 38 Cukup jelas.
Pasal 39 Cukup jelas.
Pasal 40 Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas
Pasal 42
Cukup jelas
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas Pasal 47 Cukup jelas Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas Pasal 50 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KOTA DENPASAR…..NOMOR…….