31
1 NASKAH AKADEMIK PROSPEK MSR UNTUK PENGUNAAN SUMBER DAYA THORIUM DI INDONESIA Andang Widi Harto A. PENDAHULUAN Penggunaan energi nuklir di Indonesia merupakan hal yang sangat mendesak untuk pemenuhan kebutuhan listrik di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan peningkatan kebutuhan listrik di Indonesia dari tahun ke tahun, semakin menipisnya sumber daya energi konvensional (batubara, minyak dan gas), dampak lingkungan akibat penggunaan sumber daya energi konvensional (emisi CO2, emisi senyawa-senyawa SOx dan NOx), serta ketidaksiapan penggunaan sumber daya energi terbarukan untuk mensuplai kebutuhan energi dalam jumlah besar, kontinyu dan murah. Sumber daya energi nuklir berpotensi mampu menggantikan sumber daya energi konvensional untuk mensuplai energi secara masih, kontinyu dan murah. Sumber daya energi nuklir meliputi sumber daya energi nuklir fisi dan sumber daya energi nuklir fusi. Karena alasan kematangan teknologi, maka sumber daya energi fusi nuklir yang meliputi deuterium (D) dan litium-6 (Li-6) belum dapat dimanfaatkan. Sumber daya energi fisi nuklir merupakan sumber daya energi nuklir yang sekarang dapat dimanfaatkan. Sumber daya energi nuklir terdiri dari uranium dan thorium. Uranium alam terdiri dari dua isotope, yaitu U-235 dengan fraksi mol sebesar 0,71 % dan U-238 dengan fraksi mol sebesar 99,29 %. Sedangkan thorium alam terdiri dari hanya satu isotope yaitu Th-232. Dari ketiga isotop tersebut, hanya U-235 yang dapat digunakan secara langsung untuk menghasilkan reaksi fisi (pembelahan nuklir) dengan induksi neutron. Reaksi tersebut dapat dituliskan sebagai berikut [1] : E n X X n U 1 0 2 1 1 0 235 92 (1) Dalam hal ini, 1 X dan 2 X adalah nuklida hasil pembelahan sedangkan E adalah energi yang nilainya adalah 200 MeV per reaksi. Karena reaksi fisi menghasilkan neutron dengan jumlah yang lebih banyak daripada jumlah neutron yang dipergunakan untuk menginduksi reaksi tersebut, maka dimungkinkan untuk dibuat reaktor dengan reaksi fisi berantai. Sementara itu, U-238 dan Th-232 merupakan isotop fertil. Dalam hal ini, kedua isotop tersebut tidak bisa membelah ketika ditembak dengan neutron. Akan tetapi kedua isotop ini akan menghasilkan isotop lain yang dapat berfisi jika dikenai neutron. Dalam hal ini U-238 akan menghasilkan Pu-239 dan Th-232 menghasilkan U-233. Reaksi semacam ini disebut sebagai reaksi pembiakan (breeder), yang dapat ditulis sebagai berikut : 239 92 1 0 238 92 U n U (2) 0 1 239 93 239 92 e Np U (3) 0 1 239 94 239 93 e Pu Np (4) dan : 233 90 1 0 232 90 Th n Th (5) 0 1 233 91 233 90 e Pa Th (6) 1 Lamarsh, J.R., 1966, Introduction to Nuclear Reactor Theory

NASKAH AKADEMIK PROSPEK MSR UNTUK PENGUNAAN … · NASKAH AKADEMIK PROSPEK MSR UNTUK PENGUNAAN SUMBER DAYA THORIUM DI INDONESIA Andang Widi Harto A. PENDAHULUAN Penggunaan energi

  • Upload
    others

  • View
    16

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: NASKAH AKADEMIK PROSPEK MSR UNTUK PENGUNAAN … · NASKAH AKADEMIK PROSPEK MSR UNTUK PENGUNAAN SUMBER DAYA THORIUM DI INDONESIA Andang Widi Harto A. PENDAHULUAN Penggunaan energi

1

NASKAH AKADEMIK

PROSPEK MSR UNTUK PENGUNAAN SUMBER DAYA THORIUM DI

INDONESIA

Andang Widi Harto

A. PENDAHULUAN

Penggunaan energi nuklir di Indonesia merupakan hal yang sangat mendesak untuk

pemenuhan kebutuhan listrik di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan peningkatan kebutuhan

listrik di Indonesia dari tahun ke tahun, semakin menipisnya sumber daya energi

konvensional (batubara, minyak dan gas), dampak lingkungan akibat penggunaan sumber

daya energi konvensional (emisi CO2, emisi senyawa-senyawa SOx dan NOx), serta

ketidaksiapan penggunaan sumber daya energi terbarukan untuk mensuplai kebutuhan energi

dalam jumlah besar, kontinyu dan murah. Sumber daya energi nuklir berpotensi mampu

menggantikan sumber daya energi konvensional untuk mensuplai energi secara masih,

kontinyu dan murah.

Sumber daya energi nuklir meliputi sumber daya energi nuklir fisi dan sumber daya

energi nuklir fusi. Karena alasan kematangan teknologi, maka sumber daya energi fusi nuklir

yang meliputi deuterium (D) dan litium-6 (Li-6) belum dapat dimanfaatkan. Sumber daya

energi fisi nuklir merupakan sumber daya energi nuklir yang sekarang dapat dimanfaatkan.

Sumber daya energi nuklir terdiri dari uranium dan thorium. Uranium alam terdiri dari dua

isotope, yaitu U-235 dengan fraksi mol sebesar 0,71 % dan U-238 dengan fraksi mol sebesar

99,29 %. Sedangkan thorium alam terdiri dari hanya satu isotope yaitu Th-232.

Dari ketiga isotop tersebut, hanya U-235 yang dapat digunakan secara langsung untuk

menghasilkan reaksi fisi (pembelahan nuklir) dengan induksi neutron. Reaksi tersebut dapat

dituliskan sebagai berikut [1] :

EnXXnU 1

021

1

0

235

92 (1)

Dalam hal ini, 1X dan

2X adalah nuklida hasil pembelahan sedangkan E adalah

energi yang nilainya adalah 200 MeV per reaksi. Karena reaksi fisi menghasilkan neutron

dengan jumlah yang lebih banyak daripada jumlah neutron yang dipergunakan untuk

menginduksi reaksi tersebut, maka dimungkinkan untuk dibuat reaktor dengan reaksi fisi

berantai.

Sementara itu, U-238 dan Th-232 merupakan isotop fertil. Dalam hal ini, kedua isotop

tersebut tidak bisa membelah ketika ditembak dengan neutron. Akan tetapi kedua isotop ini

akan menghasilkan isotop lain yang dapat berfisi jika dikenai neutron. Dalam hal ini U-238

akan menghasilkan Pu-239 dan Th-232 menghasilkan U-233. Reaksi semacam ini disebut

sebagai reaksi pembiakan (breeder), yang dapat ditulis sebagai berikut :

239

92

1

0

238

92 UnU (2) 0

1

239

93

239

92 eNpU (3) 0

1

239

94

239

93 ePuNp (4)

dan : 233

90

1

0

232

90 ThnTh (5) 0

1

233

91

233

90 ePaTh (6)

1 Lamarsh, J.R., 1966, Introduction to Nuclear Reactor Theory

Page 2: NASKAH AKADEMIK PROSPEK MSR UNTUK PENGUNAAN … · NASKAH AKADEMIK PROSPEK MSR UNTUK PENGUNAAN SUMBER DAYA THORIUM DI INDONESIA Andang Widi Harto A. PENDAHULUAN Penggunaan energi

2

0

1

233

92

233

91 eUPa (7)

Uranium-233 dan Plutonium-239 merupakan nuklida fisil yang dapat berfisi ketika ditembak

neutron.

EnXXnU 1

021

1

0

233

92 (8)

EnXXnPu 1

021

1

0

239

94 (9)

Proses pembiakan Pu-239 dari U-238 lebih efektif dilakukan dengan menggunakan

spectrum neutron cepat sedangkan proses pembiakan U-233 dari Th-232 lebih efektif

dilakukan dengan menggunakan spectrum neutron termal.

Karena U-235 merupakan isotope alam yang mampu berfisi, maka wajar jika

teknologi reactor nuklir awal menggunakan U-235. Lebih dari 99 % dari reactor nuklir yang

telah beroperasi dan sedang dibangun sekarang menggunakan U-235 sebagai bahan bakar

fisilnya.

Akan tetapi hal ini di kemudian hari menimbulkan masalah. Uranium 235 hanya

merupakan fraksi kecil dari uranium alam (0,71 %). Dengan demikian, reactor yang

menggunakan U-235 pada dasarnya hanya menggunakan 0,7 % dari sumber daya uranium.

Sebagian besar reactor nuklir sekarang tidak menggunakan uranium alam, melainkan

uranium diperkaya. Fraksi mol U-235 perlu ditingkatkan hingga menjadi 3 % sampai 5 %.

Reaktor berdaya 1000 MWe membutuhkan sekitar 21 ton uranium diperkaya 5 %

selama satu tahun. Untuk memperoleh 21 ton uranium diperkaya 5 %, dibutuhkan sekitar 180

ton hingga 200 ton uranium alam (tergantung tail product dari proses pengayaan). Karena

reactor nuklir sekarang hanya mampu menggunakan 0,7 % sumber daya uranium, maka

ketersediaan dari sumber daya uranium terbukti akan mengalami kelangkaan kurang lebih 50

tahun mendatang. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 4.1. dam Gambar 4.2.

Gambar 4.1. Estimasi sumber daya uranium terbukti [2]

2 Energy Watch Group, 2006, EWG Paper No 1-06, Uranium Resources and Nuclear Energy 03Dec2006 pdf

Page 3: NASKAH AKADEMIK PROSPEK MSR UNTUK PENGUNAAN … · NASKAH AKADEMIK PROSPEK MSR UNTUK PENGUNAAN SUMBER DAYA THORIUM DI INDONESIA Andang Widi Harto A. PENDAHULUAN Penggunaan energi

3

Permasalahan lainnya adalah produksi limbah radioaktif. Uranium-235 yang berfisi

menimbulkan nuklida hasil fisi yang memiliki tingkat radioaktifitas tinggi dengan umur

puluhan tahun. Akan tetapi uranium-238 yang menyerap neutron tetapi tidak secara sempurna

berhasil menjadi Pu-239 akan menjadi nuklida-nuklida yang disebut sebagai aktinida minor

(minor actinide, disingkat sebagai MA) yang memiliki aktivitas tinggi dan berumur sangat

panjang hingga puluhan ribu tahun. Teknologi reactor nuklir sekarang menghasilkan limbah

MA yang berumur panjang dan hingga sekarang belum ada pemecahannya.

Gambar 4.2. Estimasi kelangkaan sumber daya uranium terbukti [3]

B. PERLU PENGEMBANGAN TEKNOLOGI REAKTOR NUKLIR ALTERNATIF.

Dengan adanya masalah kelangkaan (shortage) uranium serta limbah radioaktif

berumur sangat panjang yang timbul akibat teknologi reactor nuklir sekarang yang

menggunakan U-235 sebagai bahan fisil, maka diperlukan pengembangan teknologi reactor

nuklir alternative yang mampu menggunakan bahan bakar non fisil (U-238 dan Th-232).

Reaktor semacam ini disebut sebagai reactor pembiak (breeder). Hal ini karena reactor harus

mampu melakukan proses pembiakan bahan fisil, yaitu mengubah U-238 menjadi Pu-238

atau mengubah Th-232 menjadi U-233.

Siklus bahan bakar nuklir yang menggunakan U-235 sebagaimana digunakan pada

teknologi reactor nuklir sekarang disebut sebagai siklus bahan bakar uranium terbuka.

Disebut terbuka karena siklus ini masih menyisakan sejumlah besar U-238 dan MA yang

seharusnya dapat dijadikan sebagai nuklida fisil dan dapat difisikan.

Siklus alternative yang perlu dikembangkan adalah siklus bahan bakar uranium

tertutup dan siklus bahan bakar thorium tertutup. Siklus uranium tertutup adalah siklus bahan

bakar yang mampu memanfaatkan U-238 melalui proses pembiakan U-238 menjadi Pu-239.

Siklus bahan bakar thorium tertutup adalah siklus bahan bakar nuklir yang mampu

memanfaatkan Th-232 melalui proses pembiakan Th-232 menjadi U-233.

Dengan demikian, terdapat tiga siklus bahan bakar nuklir fisi, yaitu :

- Siklus bahan bakar nuklir uranium terbuka

- Siklus bahan bakar nuklir uranium tertutup

3 Energy Watch Group, 2006, EWG Paper No 1-06, Uranium Resources and Nuclear Energy 03Dec2006 pdf

Page 4: NASKAH AKADEMIK PROSPEK MSR UNTUK PENGUNAAN … · NASKAH AKADEMIK PROSPEK MSR UNTUK PENGUNAAN SUMBER DAYA THORIUM DI INDONESIA Andang Widi Harto A. PENDAHULUAN Penggunaan energi

4

- Siklus bahan bakar nuklir thorium tertutup.

Siklus bahan bakar nuklir uranium terbuka diaplikasikan pada teknologi reactor nuklir

sekarang. Siklus bahan bakar nuklir uranium tertutup diaplikasikan dengan menggunakan

reactor nuklir pembiak dengan spectrum neutron cepat (Fast Breeder Reactor / FBR). Siklus

bahan bakar nuklir thorium tertutup diaplikasikan dengan menggunakan reactor pembiak

yang menggunakan spectrum neutron termal (Thermal Breeder Reactor / TBR).

Pada reactor FBR dan TBR, semua material fertile minor actinide (MA) yang

terbentuk pada akhirnya dapat dikonversi menjadi nuklida fisil sehingga terjadi reaksi fisi.

Dengan demikian, baik FBR dan TBR secara potensial mampu menggunakan seluruh sumber

daya nuklir alamiah (uranium untuk FBR dan thorium untuk TBR) secara keseluruhan. Jika

reactor sekarang memerlukan sekitar 180 ton hingga 200 ton uranium alam per GWe-tahun,

maka baik reactor FBR dan TBR hanya memerlukan 1 ton sumber daya nuklir alamiah

(uranium untuk FBR dan thorium untuk TBR) per GWe-tahun.

Jika rentang ketersediaan sumber daya uranium terbukti diestimasikan hanya bertahan

hingga 50 tahun ke depan dengan menggunakan reactor sekarang, maka rentang ketersediaan

sumber daya uranium dan torium terbukti bisa mencapai ribuan tahun ke depan dengan

menggunakan reactor FBR dan TBR.

Dari segi limbah yang dihasilkan, reactor nuklir sekarang menghasilkan sekitar 20 ton

limbah yang mengandung nuklida radioaktif dengan umur sangat panjang (hingga puluhan

ribu tahun). Sementara itu, reactor FBR dan TBR menghasilkan limbah berjumlah 1 ton per

GWe-tahun dan tidak mengandung nuklida radioaktif yang berumur sangat panjang. Dengan

demikian, dari aspek limbah radioaktif, reactor FBR dan TBR jauh lebih selamat dalam hal

jumlah massa limbah maupun umur dari limbah tersebut.

Sementara itu, dalam hal aktivitas radioaktif, ternyata aktivitas radioaktif hasil reaksi

fisi U-233 (siklus thorium tertutup) lebih rendah daripada aktivitas radioaktif hasil reaksi fisi

Pu-239 (siklus uranium tertutup). Dengan demikian, siklus uranium tertutup jauh lebih

unggul daripada siklus uranium terbuka, sedangkan siklus thorium tertutup lebih unggul

dibandingkan dengan siklus uranium tertutup. Gambar 4.3. menunjukkan perbandingan dosis

limbah radioaktif dari LWR (siklus uranium terbuka), FBR (siklus uranium tertutup) dan

MSR (siklus thorium tertutup) setelah reactor dimatikan.

Page 5: NASKAH AKADEMIK PROSPEK MSR UNTUK PENGUNAAN … · NASKAH AKADEMIK PROSPEK MSR UNTUK PENGUNAAN SUMBER DAYA THORIUM DI INDONESIA Andang Widi Harto A. PENDAHULUAN Penggunaan energi

5

Gambar 4.3. Dosis bahan bakar bekas pakai setelah reactor dimatikan [4].

Berdasarkan hal ini, dapat disimpulkan bahwa reactor berbahan bakar thorium lebih

unggul dibandingkan dengan reactor berbahan bakar uranium (baik siklus tertutup dan siklus

terbuka). Di samping itu, ketersediaan thorium alam di bumi diestimasikan lebih melimpah

dibandingkan dengan ketersediaan sumber daya uranium.

C. PENGGUNAAN THORIUM DALAM REAKTOR NUKLIR

Thorium merupakan bahan fertile, artinya thorium tidak bisa langsung mengalami

reaksi pembelahan secara langsung saat terkena neutron. Untuk itu, thorium harus dikonversi

terlebih dahulu menjadi U-233. Thorium telah digunakan pada berbagai jenis reactor nuklir,

sekalipun pada umumnya masih dalam taraf uji coba. Karena merupakan material fertile,

maka dalam penggunaannya, thorium harus didampingi dengan bahan bakar fisil.

Penggunaan bahan bakar thorium yang telah dilakukan pada umumnya masih

merupakan deminstrasi. Di Amerika Serikat, thorium pernah digunakan di LWR yaitu Elk

River Reactor (BWR) [5], Indian Point Reactor (PWR) dan Reaktor Shippingport (PWR) [6].

Setelah dimodifikasi untuk mampu menggunakan thorium, reactor Shippingport

selanjutnya dikenal sebagai LWBR (Light Water Breeder Reactor) [7]. Reaktor Shippingport

pada awalnya adalah PWR yang menggunakan air ringan (H2O) sebagai moderator sekaligus

pendingin. Reaktor Shippingport selanjutnya dimodifikasi terasnya sehingga mampu

menggunakan bahan bakar uranium dan thorium. Reaktor Shippingport dioperasikan selama

beberapa tahun dengan menggunakan bahan tersebut dan selanjutnya di-shutdown. Analisis

komposisi bahan bakar menunjukkan bahwa terbentuk U-233 dalam jumlah yang cukup yang

mengindikasikan bahwa reactor telam mencapai kemampuan pembiakan [8].

Thorium selanjutnya digunakan pada THTR (Thorium High Temperature Reactor) di

Jerman [9]. THTR adalah reactor jenis HTR dengan bahan bakar berbentuk bola grafit yang di

dalamnya terdapat ribuan coated particle (yaitu bola kecil dari bahan bakar yang dilapisi

dengan lapisan grafit dan SiC. THTR menggunakan bahan bakar fertile thorium dan uranium

berpengkayaan tinggi yaitu 92 % U-235.

Di Amerika Serikat, pernah dioperasikan reactor HTR Peach Bottom [10] dan HTR

Fort Saint Vrain yang menggunakan thorium [11]. Reaktor ini mirip dengan THTR Jerman

dalam hal penggunaan bahan bakar coated particle. HTR Fort Saint Vrain juga menggunakan

bahan bakar fertile thorium dan uranium berpengkayaan tinggi (92 % U-235). Perbedaan

HTR Fort Saint Vraint dengan THTR Jerman adalah bentuk geometri bahan bakar. Jika

THTR Jerman menggunakan bahan bakar dengan bentuk bola, maka HTR Fort saint Vrain

menggunakan bahan bakar berbentuk prisma segienam.

4 David LeBlanc, 2012, A New Look at Molten Salt Reactors, Presentation to Canadian Nuclear Safety Commission 5 Lamarsh, J.R., 1966, Introduction to Nuclear Reactor Theory 6 L. A. Neimark, Examination of an Irradiated Prototype Fuel Element for the Elk River Reactor, Argonne National

Laboratory, ANL-6160, 1961. 7 US.NRC, Safety and Regulatory Issues of the Thorium Fuel Cycle, NUREG/CR-7176 ORNL/TM/2013/543 8 W. K. Sarber, ed., Results of the Initial Nuclear Tests on the LWBR (LWBR Development Program), Bettis Atomic Power

Laboratory, WAPD-TM-1336, June 1976. 9 R. Bäumer, I. Kalinowski, E. Röhler, J. Schöning, and W. Wachholz, “Construction and operating experience with the

300-MW THTR nuclear power plant,” Nuclear Engineering and Design, Volume 121, Issue 2, 2 July 1990. 10 K. I. Kingrey, Fuel Summary for Peach Bottom Unit 1 High-Temperature Gas-Cooled Reactor Cores 1 and 2, Idaho

National Laboratory, INEEL/EXT-03-00103, April 2003. 11 D. A. Copinger and D. L. Moses, Fort Saint Vrain Gas Cooled Reactor Operation Experience, Oak Ridge National

Laboratory, NUREG/CR-6839, ORNL/TM-2003/223, January 2004

Page 6: NASKAH AKADEMIK PROSPEK MSR UNTUK PENGUNAAN … · NASKAH AKADEMIK PROSPEK MSR UNTUK PENGUNAAN SUMBER DAYA THORIUM DI INDONESIA Andang Widi Harto A. PENDAHULUAN Penggunaan energi

6

Bundel bahan bakar yang mengandung thorium pernah diujicobakan dalah reactor

PHWR di Canada [12] dan India [13]. Bundel bahan bakar tersebut sukses dalam ujicoba tanpa

mengalami kerusakan yang berarti.

Berbagai desain dan konsep penggunaan thorium telah dikembangkan. Radkowsky

Fuel Cycle Concept adalah konsep uantk menggunakan thorium sebagai bahan bakar fertile

pada LWR. Di India, dikembangkan desain reactor AHWR (Advanced Heavy Water Reactor)

yang menggunakan bahan bakar campuran dari uranium, plutonium dan thorium[14].

Reaktor-reaktor yang menggunakan thorium yang disebutkan di atas, selain dari

LWBR Shippingport, belum mencapai kemampuan pembiakan U-233. Artinya jumlah U-233

yang terbentuk masih kurang dibandingkan dibandingkan dengan penyusutan bahan bakar

fisil awal yang dipakai untuk men-start reactor tersebut.

MSR (Molten Salt Reactor) merupakan desain reactor yang dioptimalkan untuk

penggunaan thorium. Oak Rigde National Laboraory (ORNL) secara demonstrasi pernah

mengoperasikan MSRE (Molten Salt Reactor Experiment). MSRE dibangun untuk

mendemonstrasikan aplikasi bahan bakar molten salt. MSRE telah secara sukses

mendemonstrasitan penggunaan bahan bakar fisil U-233[15]. MSRE belum dilengkapi dengan

blanket thorium sehingga belum memiliki kemampuan pembiakan. Akan tetapi

pengoperasian MSRE menunjukkan kesuksesan penggunaan bahan bakar molten salt.

D. PERKEMBANGAN TEKNOLOGI REAKTOR NUKLIR DI DUNIA

Teknologi reaktor nuklir telah berkembang menuju kesempurnaan dari generasi ke

generasi. Dari sejak awal perkembangan teknologi reaktor nuklir hingga rencana

pengembangan masa depan, teknologi reactor nuklir telah dan akan berkembang melewati

generasi-generasi sebagai berikut :

- Reaktor nuklir generasi 1.

- Reaktor nuklir generasi 2

- Reaktor nuklir generasi 3

- Reaktor nuklir generasi 3+

- Reaktor nuklir NTD

- Reaktor nuklir generasi 4 atau sering disebut reactor nuklir lanjut

a. Reaktor nuklir generasi 1

Reaktor nuklir generasi 1 adalah reactor nuklir yang dikembangkan pada tahun 1950

hingga tahun 1960.

b. Reaktor nuklir generasi 2,

Dari berbagai jenis reactor nuklir yang dikembangkan pada awal perkembangan

teknologi reaktor nuklir (yaitu reactor nuklir generasi 1), beberapa jenis desain ternyata

terbukti reliable dan kompetitif secara teknologi dan ekonomi. Jenis-jenis ini selanjutnya

berkembang ke arah peningkatan aspek ekonomi dan standarisasi desain. Jenis-jenis reactor

yang mampu berkembang secara reliable dan kompetitif ini selanjutnya disebut sebagai

reactor nuklir generasi kedua.

Reaktor nuklir yang dibangun sejak sekitar tahun 1960 hingga tahun 1980 pada

dasarnya merupakan reactor nuklir generasi kedua. Reaktor generasi kedua telah dilengkapi

dengan system keselamatan yang handal dan memadai.

12 E. Critoph et al., Prospects for Self-Sufficient Equilibrium Thorium Cycles in CANDU Reactors, Atomic Energy of

Canada Limited, AECL-5501, 1976 13 S. S. Bajaj, and A. R. Gore, “The Indian PHWR,” Nuclear Engineering and Design,vol. 236, no. 7, 2006. 14 Anil Kakodkar, Towards sustainable, secure and safe energy future: Leveraging opportunities with Thorium 15 US.NRC, Safety and Regulatory Issues of the Thorium Fuel Cycle, NUREG/CR-7176 ORNL/TM/2013/543

Page 7: NASKAH AKADEMIK PROSPEK MSR UNTUK PENGUNAAN … · NASKAH AKADEMIK PROSPEK MSR UNTUK PENGUNAAN SUMBER DAYA THORIUM DI INDONESIA Andang Widi Harto A. PENDAHULUAN Penggunaan energi

7

Jenis-jenis reactor nuklir generasi kedua adalah PWR (Pressurized Water Reactor

atau Reaktor Air Tekan) [16], BWR (Boiling Water Reactor atau Reaktor Air Mendidih)[17],

PHWR (Pressurized Heavy Water Reactor atau Reaktor Air Berat Bertekanan)[18], AGR

(Advanced Gas Cooled Reactor) [19], HTR (High Temperature Reactor) [20], LMFBR (Liquid

Metal Fast Breeder Reactor atau Reaktor Pembiak Cepat dengan Pendingin Logam Cair) [21]

dan RBMK atau LWGR (Light Water Graphite Moderated Reactor).

c. Reaktor nuklir generasi 3,

Reaktor nuklir generasi ketiga masih pada jenis yang sama dengan reactor nuklir

generasi kedua, yaitu pada umumnya dari jenis PWR, BWR serta PHWR. Reaktor Nuklir

generasi ketiga merupakan modifikasi dari reactor nuklir generasi kedua dengan tujuan untuk

meningkatkan aspek keselamatan, kehandalan dan ekonomi. Reaktor nuklir yang dibangun

sejak tahun 1980 hingga tahun 2000 adalah termasuk reactor nuklir generasi ketiga.

Reaktor nuklir generasi ketiga yang merupakan pengembangan dari PWR diantaranya

adalah KNSP (Korean Standart Nuclear Power Plant) atau disebut juga sebagai OPR

(Optimized Power Reactor) yang dikembangkan oleh Korea Selatan [22], VVER yang

dikembangkan oleh Rusia. Reaktor nuklir generasi ketiga yang merupakan pengembangan

dari BWR diantaranya adalah ABWR (Advanced Boiling Water Reactor) yang dikembangkan

oleh Jepang. Reaktor nuklir generasi ketiga yang merupakan pengembangan dari PHWR

adalah CANDU-6 yang dikembangkan oleh Kanada [23]..

d. Reaktor nuklir generasi 3+,

Reaktor nuklir generasi 3+ merupakan pengembangan lebih lanjut dari reactor nuklir

generasi 3. Reaktor nuklir generasi 3+ berkembang ke arah peningkatan keselamatan lebih

lanjut dengan mengaplikasikan lebih banyak sistem keselamatan pasif dan penyederhanaan

desain. Sebagian reactor generasi 3+ masih berupa desain lengkap yang belum dibangun dan

sebagian sudah dibangun sejak tahun 2000.

Reaktor nuklir generasi 3+ yang merupakan pengembangan dari PWR diantaranya

adalah APR (Advanced Power Reactor) yang dikembangkan oleh Korea Selatan, EPR

(European Power Reactor) yang dikembangkan oleh Perancis dan Jerman, APWR (Advanved

Pressurized Water Reactor) yang dikembangkan oleh Jepang, AP-600 dan AP-1000 yang

dikembangkan oleh Amerika Serikat.

Reaktor nuklir generasi 3+ yang merupakan pengembangan dari BWR diantaranya

adalah SBWR (Simplified Boiling Water Reactor) yang dikembangkan oleh Jepang, Amerika

Serikat, Perancis dan Jerman. Sedangkan reaktor nuklir generasi ketiga yang merupakan

pengembangan dari PHWR adalah CANDU-9 yang dikembangkan oleh Kanada [24].

e. Reaktor nuklir generasi NTD

16 Tong, L.S. and Weisman, J., 1970, Thermal Analysis of Pressurizer Water Reactor, American Nuclear Society 17 Lahey, R.T. and Moody, F.J., 1975, The Thermal Hydraulics of Boiling Water Reactor, American Nuclear Society 18 AECL, 1981, CANDU Nuclear Power System, Atomic Energy of Canada Limited, Mississauga, Ontario, Canada 19 Knief, R. A., 1981, Nuclear Energy Technology – Theory and Practice of Comercial Nuclear Power, Hemisphere

Publishing Corporation, New York 20 Djokolelono, M., 1986, Sistem Pembangkit Uap Nuklir, Pengantar Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Nuklir, Badan

Tenaga Atom Nasional, Jakarta 21 Djokolelono, M., 1986, Sistem Pembangkit Uap Nuklir, Pengantar Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Nuklir, Badan

Tenaga Atom Nasional, Jakarta 22 KOPEC, Korean Standart Nuclear Power Plant, KSNP (OPR) Design, Korean power Engineering INC 23 AECL, 1996, CANDU 6 Technical Outline, Atomic Energy of Canada Limited, Mississauga, Ontario, Canada 24 Snell, V. G., and Webb, J. R., 1998, CANDU-9 – The CANDU Product to Meet Customer and Regulator Requirements

Now and in The Future, Pacific Basin Nuclear Conference Proceeding, p.p. 1445-1453

Page 8: NASKAH AKADEMIK PROSPEK MSR UNTUK PENGUNAAN … · NASKAH AKADEMIK PROSPEK MSR UNTUK PENGUNAAN SUMBER DAYA THORIUM DI INDONESIA Andang Widi Harto A. PENDAHULUAN Penggunaan energi

8

Perkembangan berikutnya adalah teknologi reaktor nuklir yang disebut sebagai NTD

(Near Term Deployment). Reaktor nuklir generasi NTD semuanya belum dibangun secara

komersial. Sebagian besar masih berupa konsep dan sedikit yang sudah dibangun dalam

bentuk prototip.

Jika perkembangan teknologi reactor nuklir dari generasi 1 hingga generasi 3+

mengarah kepada peningkatan daya per unit reactor dalam rangka menekan biaya

pembangkitan per satuan energi listrik output, maka reaktor nuklir NTD berkembang ke arah

simplifikasi lebih lanjut, modularitas, fleksibilitas operasi dan variasi penggunaan daya

keluaran. Perkembangan ke arah modularitas berarti merupakan perkembangan kea rah daya

yang lebih kecil per unit reactor.

Reaktor nuklir generasi NTD yang merupakan pengembangan dari PWR diantaranya

adalah SMART yang dikembangkan oleh Korea Selatan, CAREM yang dikembangkan oleh

Argentina, IRISH yang dikembangkan oleh Amerika Serikat, KLT yang dikembangkan oleh

Rusia serta PIUS yang dikembangkan oleh Swedia. Sedangkan reaktor nuklir generasi NTD

yang merupakan pengembangan dari PHWR adalah CANDU-ACR yang dikembangkan oleh

Kanada [25].

Disamping itu, terdapat reactor nuklir generasi NTD yang merupakan pengembangan

dari HTR, diantaranya adalah PBMR yang dikembangkan oleh Afrika Selatan dan China,

GT-MHR[26] yang dikembangkan oleh Amerika Serikat dan Rusia, HTTR yang

dikembangkan oleh Jepang.

Terdapat pula reactor nuklir generasi NTD yang merupakan pengembangan dari

LMFBR, yaitu PRISM yang dikembangkan oleh Amerika Serikat.

f. Reaktor nuklir generasi 4 (Reaktor Maju atau Advanced Nuclear Reactor)

Perkembangan reaktor maju ditujukan untuk mengembangkan reaktor nuklir dengan

mengadopsi semua pencapaian dalam aspek keselamatan, ekonomi, reliabitias, simplifikasi

yang telah dicapai baik secara aplikatif maupun konseptual hingga pada pengembangan

reaktor nuklir generasi 3, generasi 3+ maupun NTD. Reaktor generasi 4 dikembangkan untuk

menjawab problema yang belum terpecahkan hingga reaktor generasi sebelumnya, yaitu pada

masalah :

- ketersediaan bahan bakar nuklir

- penanganan limbah nuklir jangka panjang

Disamping itu, reactor nuklir generasi 4 dikembangkan dengan tujuan

- aplikasi sebagai pembangkit energi kalor untuk proses-proses termal

- peningkatan keamanan penggunaan material nuklir

Berbagai desain reaktor nuklir telah diusulkan untuk menjadi salah satu dari jenis-

jenis reaktor maju tersebut. Tidak semua desain ini mampu memenuhi semua kriteria reaktor

maju yang disebutkan diatas secara keseluruhan, tetapi semua jenis ini mampu memenuhi

sebagian besar kriteria desain tersebut.

Generaton IV International Forum (GIF) telah menseleksi 6 jenis desain reaktor nuklir

yang dikategorikan sebagai desain reaktor maju, yaitu :

- SCWR (Supercritical Light Water Reactor)

- VHTR (Very High Temperature Reactor)

- GFR (Gas Cooled Fast Reactor)

- LFR (Liquid Metal Fast Reactor)

- SCR (Sodium Cooled Reactor)

25 ACR – Advanced CANDU Reactor Concept, www.aecltechnologies.com 26 IAEA TECDOC – 119, Current Status and Future Development of Modular High Temperature Reactor

Page 9: NASKAH AKADEMIK PROSPEK MSR UNTUK PENGUNAAN … · NASKAH AKADEMIK PROSPEK MSR UNTUK PENGUNAAN SUMBER DAYA THORIUM DI INDONESIA Andang Widi Harto A. PENDAHULUAN Penggunaan energi

9

- MSR (Molten Salt Reactor)

Dalam perkembangan berikutnya, masing-masing konsep reaktor maju tersebut

memiliki beberapa variasi

E. MOLTEN SALT REACTOR

Molten Salt Reactor (MSR) merupakan salah satu dari 6 jenis desain reactor yang

oleg GIF dimasukkan dalam kategori reaktur maju (Advanced Reactor) atau reactor generasi

4. Molten Salt Reactor adalah reactor yang menggunakan bahan bakar berbentuk garam cair.

Jenis garam yang digunakan pada umumnya adalah garam fluoride. MSR dioptimalkan untuk

menggunakan thorium sebagai bahan bakar fertile. Thorium setelah menyerap neutron akan

terkonversi menjadi U-233. Karena U-233 tidak terdapat di alam, maka MSR generasi

pertama memerlukan material fisil selain U-233.

Material fisil ini bisa berupa uranium berpengayaan rendah, atau plutonium yang

diambil dari bahan bakar bekas LWR. Pada MSR, semua material fisil dan fertile tersebut

berupa garam. Senyawa garam yang paling cocok adalah garam fluoride (UF4, ThF4, PuF3).

Beberapa desain MSR dirancang untuk mentransmutasikan aktinida minor (MA). Nuklida-

nuklida MA juga berbentuk garam (terutama garam fluoride).

Senyawa garam fluoride dari U, Th, Pu atau MA dilarutkan dalam garam fluoride

pembawa (carrier). Garam pembawa terdiri dari senyawa atau campuran senyawa garam

fluoride seperti LiF, BeF2, NaF, ZrF4. Litium alam terdiri dari Li-6 dengan fraksi mol 7 %

dan Li-7 dengan fraksi mol 93 %. Li-6 memiliki tampang lintang serapan neutron sangat

tinggi. Untyuk digunakan dalam MSR, Li-6 harus diambil sehingga LiF untuk MSR hanya

terdiri dari Li-7.

Pada suhu rendah, garam fluoride berbentuk padat. Dengan demikian, MSR harus

dioperasikan pada suhu cukup tinggi, yaitu di atas suhu lebur dari garam cair. Garam fluoride

tidak bereaksi dengan udara dan tidak mudah larut dan bereaksi dengan air. Sifat garam

floride yang menjadi padat pada suhu rendah serta tidak mudah bereaksi dengan udara serta

tidak mudah larut dan bereaksi dengan air ini merupakan aspek penting dalam aspek

keselamatan.

Bahan bakar MSR terdiri dari campuran garan fluoride PuF3-UF4-ThF4-7LiF-BeF4

dengan komposisi mol diatur sesuai dengan karakteristik neutronik yang diharapkan.

Masing-masing unsur aktinium (Th, U, Pu) dapat diatur komposisi isotopnya. Desain MSR

menggunakan moderator grafit. Bahan bakar dalam bentuk garam lebur (molten salt)

sekaligus juga berfungsi sebagai media transfer kalor (pendingin).

Penggunaan bahan bakar dalam bentuk garam lebur pada desain MSR dilakukan

untuk memperoleh beberapa keunggulan, yaitu[27] :

1). memungkinkan reaktor dioperasikan pada suhu tinggi, karena garam lebur baru akan

mendidih pada suhu 1430 °C pada terkanan atmosferik sedangkan moderator grafit

mampu bertahan hingga suhu 3000 °C

2). reaktor dapat dioperasikan pada tekanan rendah sehingga mengeliminasikan

kemungkinan kecelakaan yang bersifat ekspansif yang melepaskan material radioaktif

dari teras

3). memungkinkan peningkatan efisiensi termodinamik dan penggunaan reaktor sebagai

sumber kalor proses endotermik

27 Forsbeg, C. W., Peterson, P. F., Zhao, H.H., 2004, An advanced Molten salt Reactor Using High Temperature Reactor

Technology, ICAPP.2004.MSR.Paper, 2004 International Congress on Advanced in Nuclear Power Plants (ICAPP ’04)

Embedded International Topical Meeting, 2004 American Nuclear Sociaty Annual Meeting, Pittsburgh, Pennsylvania.

Page 10: NASKAH AKADEMIK PROSPEK MSR UNTUK PENGUNAAN … · NASKAH AKADEMIK PROSPEK MSR UNTUK PENGUNAAN SUMBER DAYA THORIUM DI INDONESIA Andang Widi Harto A. PENDAHULUAN Penggunaan energi

10

4). bahan bakar leburan garam menjadi padat pada suhu rendah, sehingga bahan bakar

leburan garam dapat berfungsi sebagai pengungkung material radiaktif pada saat

transportasi atau saat tidak digunakan di reaktor

5). memungkinkan dilakukan reprosesing bahan bakar saat reaktor beroperasi (on line),

sehingga memungkinkan dilakukan ekstraksi produk fisi untuk memperbaiki reaktifitas

reaktor sekaligus penambahan material fisil secara on line hanya sesuai kebutuhan.

6). memungkinkan pengaturan komposisi bahan bakar fisil dan fertil secara optimum untuk

pembiakan.

Ditinjau dari aspek transfer kalor, maka terdapat berbagai jenis fluida yang dapat digunakan

sebagai pentransfer kalor dari reaktor nuklir. Diantara fluida-fluida tersebut adalah air ringan

(H2O) yang digunakan pada LWR (BWR dan PWR) dan LWGR, air berat (D2O) yang

digunakan pada PHWR (CANDU), gas yaitu CO2 yang digunakan pada reaktot MAGNOX

dan AGR dan helium (He) yang digunakan pada HTR dan GCFR (Gas Cooled Fast Reactor),

logam cair yaitu sodium (Na) yang digunakan pada LMFBR dan Pb-Bi yang digunakann

pada reaktor maju jenis LMR ( Liquid Metal Reactor) serta molten salt yang digunakan pada

MSR dan AHTR.

Molten salt memiliki semua keunggulan sebagai fluida transfer kalor yaitu dapat

beroperasi pada suhu tinggi dengan tekanan rendah serta koefisien transfer kalor tinggi.

Logam cair (liquid metal) dapat dioperasikan pada tekanan rendah dan memiliki koefisien

transfer kalor tinggi tetapi suhu operasi yang dapat dicapai tidak terlalu tinggi. Air dan air

berat memiliki koefisien transfer kalor tinggi tetapi harus dioperasikan pada tekanan tinggi

dan tidak mampu mencapai suhu terlalu tinggi. Pendingin gas dapat dioperasikan pada suhu

tinggi tetapi harus dioperasikan pada tekanan tinggi serta memiliki nilai koefisien transfer

kalor rendah.

Kemampuan beroperasi pada suhu tinggi sangat menguntungkan ditinjau dari aspek

termodinamika karena akan meningkatkan efisiensi konversi energi sehingga mengurangi

konsumsi bahan bakar. Penggunaan pendingin cair memiliki keunggulan dibandingkan

dengan pengunaan pendingin gas karena koefisien transfer kalor yang lebih tinggi serta

hambatan aliran yang lebih rendah. Sementara itu, pengoperasian pada tekanan rendah lebih

menguntungkan karena dapat menghindari kecelakaan yang disebabkan oleh overpressure.

Gambar 4.4 menunjukkan peta karakteristik suhu dan daya dari berbagai jenis reaktor.

Page 11: NASKAH AKADEMIK PROSPEK MSR UNTUK PENGUNAAN … · NASKAH AKADEMIK PROSPEK MSR UNTUK PENGUNAAN SUMBER DAYA THORIUM DI INDONESIA Andang Widi Harto A. PENDAHULUAN Penggunaan energi

11

Gambar 4.4. Peta karakteristik suhu dan daya pada berbagai jenis reaktor [28]

Reaktor berpendingin air (LWR) beroperasi pada suhu yang relatif rendah dengan

tekanan tinggi. Reaktor berpendingin logam cair dapat beroperasi pada suhu menengah

dengan tekanan rendah. Sementara itu reaktor dengan pendingin gas dan molten salt dapat

beroperasi pada suhu tinggi. Akan tetapi reaktor berpendingin gas memerlukan tekanan

operasi tinggi sedangkan reaktor molten salt tidak perlu tekanan operasi tinggi. Selain itu

reaktor berpendingin gas terbatas tingkat dayanya karena gas memiliki nilai koefisien transfer

kalor rendah dan hambatan aliran tinggi.

Pengembangan MSR dimulai sejak tahun 1950-an[29]. Pengembangan MSR dimulai

dari ARE (Aircraft Reactor Experiment), yang digunakan sebagai propulsi pesawat pembom

untuk keperluan angkatan udara Amerika Serikat. Program propulsi nuklir untuk pesawat

pembom akhirnya dihentikan, tetapi reactor ARE sempat dibuat dan dilakukan uji kritikalitas.

Dengan demikian, reactor ARE sukses untuk dioperasikan.

Kesuksesan ARE diikuti dengan pengembangan MSR untuk keperluan pembangkitan

daya. Untuk itu, dibuat MSRE (Molten Salt Reactor Experiment) [30]. MSRE dioperasikan

oleh ORNL (Oak Ridge National Laboratory) dengan daya 7,4 MWth. Bahan bakar MSRE

adalah LiF-BeF2-ZrF4-UF4 dengan perbandingan mol (65:30:5:0,1). Pada awalnya, MSRE

menggunakan U-235. Akan tetapi U-235 ini diganti dengan U-233 dan MSRE sukses

dioperasikan dengan U-233. Dengan demikian, MSRE merupakan reactor pertama yang

sukses dioperasikan dengan menggunakan bahan bakar fisil U-233. Kesuskesan MSRE

dijadikan dasar untuk untuk mendesain MSBR (Molten Salt Breeder Reactor) yang mampu

mencapai kemampuan pembiakan U-233.

28 a6-msr_fy07.external.pdf

29 M. W. Rosenthal, P. R. Kasten, and R. B. Briggs, “Molten-Salt Reactors – History, Status, and Potential,” Nuclear

Applications and Technology, vol. 8.2, pp. 107–117, 1970. 30 US.NRC, Safety and Regulatory Issues of the Thorium Fuel Cycle, NUREG/CR-7176 ORNL/TM/2013/543

Page 12: NASKAH AKADEMIK PROSPEK MSR UNTUK PENGUNAAN … · NASKAH AKADEMIK PROSPEK MSR UNTUK PENGUNAAN SUMBER DAYA THORIUM DI INDONESIA Andang Widi Harto A. PENDAHULUAN Penggunaan energi

12

Berbagai proposan desain MSR dimunculkan oleh berbagai Negara. Diantara berbagai

desain tersebut Antara lain adalah TMSR (Thorium Molten Salt Reactor) dari Perancis [31].

TMSR menggunakan spectrum neutron cepat, sehingga tidak menggunakan moderator grafit.

ORNL juga melakukan studi untuk mengembangkan MSR yang menggunakan spectrum

neutron cepat [32] yaitu MSFR (Molten Salt Fast Reactor)

MSBR,TMSR dan MSFR dirancang untuk memiliki kemampuan pembiakan, yaitu

mampu memproduksi material fisil (U-233) dengan laju yang sedikit lebih tinggi daripada

laju konsumsi material fisil (yaitu material fisil awal dan U-233 itu sendiri).

Disamping desain yang memiliki kemampuan pembiakan, terdapat juga proposal

desain yang MSR yang tidak memiliki kemampuan pembiakan. Diantara desain MSR

semacam ini adalah adalah MOSART (Molten Salt Actinide Recycle and Transmuter).

MOSART dirancang untuk mentransmutasikan aktinida minor (MA) berumur panjang yang

terdapat pada bahan bakar bekas reactor sekarang (LWR). MA memberi kontribusi pada

nuklida berumur panjang (hingga puluhan ribu tahun). Pada MOSART, MA akan

ditransmutasikan menjadi nuklida yang pada akhirnya dapat berfisi dan menghasilkan energi.

Desain MSR lainnya yang tidak memiliki kemampuan pembiakan adalah DMSR

(Denaturated Molten Salt Reactor) dan Thorcon MSR. Desain semacam ini bertujuan untuk

melakukan penyederhanaan. Desain MSR yang memiliki kemampuan pembiakan (breeder)

pada umumnya harus dilengkapi system dengan proses bahan bakar on line yang berfungsi

untuk mempertahankan ekonomi neutron dengan secara kontinyu mengambil hasil reaksi fisi

yang menyerap neutron. Dengan berkurangnya serapan neutron, maka kemampuan

pembiakan tetap terjaga.

Dengan menghilangkan system proses bahan bakar on line, desain menjadi lebih

sederhana. Akan tetapi nuklida produk fisi akan terakumulasi dalam bahan bakar dan

mengganggu aspek neutronik. DMSR lebih sederhana karena tidak perlu dilengkapi dengan

proses bakar on line. DMSR dirancang untuk mampu menggunakan bahan bakar secara lebih

efisien dibandingkan dengan reactor sekarang (DMSR mengkonsumsi 60 ton natural

resources per GWey sementara reactor sekarang menggunakan 180 – 200 ton natural

resources per GWey). Sekalipun demikian, angka 60 ton per GWey ini masih jauh lebih besar

dibandingkan dengan kebutuhan bahan bakar untuk MSR breeder (1 ton per GWey).

Proposal desain MSR lainnya diantaranya adalah FUJI-MSR (Jepang), integral MSR.

Di samping itu ORNL juga mengembangkan desain AHTR, yaitu desain reactor bersuhu

tinggi dengan bahan bakar padat berbentuk coated particle (seperti HTR) tetapi menggunakan

pendingin molten salt (LiF-BeF2).

F. ASPEK KESELAMATAN MSR

MSR memiliki sifat keselamatan yang sangat bagus. Karakteristik keselamatan MSR

yang berkaitan dengan keselamatan adalah :

a. Reaktivitas lebih reactor sangat rendah

b. Koefisien umpan balik daya negative

c. Frekuensi kerusakan parah teras (core damage frequency) sangat rendah

d. Mampu menerapkan system keselamatan yang secara total bersifat pasif, yang terdiri

dari : - system shutdown pasif

- system pendingin pasca shutdown pasif

- system pendingin pasif untuk system penanganan limbah radioaktif

31 L. Mathieu et al., “Possible Configurations for the TMSR and Advantages of the Fast Non Moderated Version,” Nuclear

Science and Engineering, vol. 161, pp. 78–79, 2009. 32 D. E. Holcomb et al., Fast Spectrum Molten Salt Reactor Options, Oak Ridge National Laboratory, ORNL/TM-2011/105,

July 2011.

Page 13: NASKAH AKADEMIK PROSPEK MSR UNTUK PENGUNAAN … · NASKAH AKADEMIK PROSPEK MSR UNTUK PENGUNAAN SUMBER DAYA THORIUM DI INDONESIA Andang Widi Harto A. PENDAHULUAN Penggunaan energi

13

Penggunaan bahan bakar cair memungkinkan MSR mengaplikasikan konsep on line

refueling dan sekaligus on line fuel reprocessing. Dengan aplikasi kedua konsep ini,

reaktivitas lebih bahan bakar aktual pada saat reaktor beroperasi dapat dibuat sangat kecil

tanpa menggunakan burnable poison.

Dalam kondisi teras setimbang, MSR memiliki koefisien pengurangan bahan bakar

yang bernilai negatif. Dalam kondisi teras setimbang, MSR memiliki koefisien reaktivitas

suhu yang bernilai negatif.

Hal ini menunjukkan bahwa MSR memiliki sifat keselamatan melekat (inherent save),

yaitu koefisien umpan balik daya yang bernilai negatif. Ditambah dengan reaktivitas lebih

bahan bakar aktual yang sangat kecil, maka kecelakaan exkursi daya tidak mungkin terjadi.

Kecelakaan yang mungkin terjadi pada PCMSR adalah :

- LOFFA (Loss of Fuel Flow Accident)

- LOCFA (Loss of Secondary Coolant Flow Accident)

- LHSA (Loss of Heat Sink Accident)

- LOSCA (Loss of Secondary Coolant Accident)

LOFFA adalah kecelakaan yang terjadi akibat kegagalan pompa bahan bakar sehingga

sirkulasi bahan bakar terhenti. LOCFA adalah kecelakaan yang terjadi akibat kegagalan

pompa pendingin sekunder (intermediate) sehingga menghentikan sirkulasi aliran pendingin

sekumder. LHSA adalah kecelakaan yang terjadi akibat ketidakmampuan sistem penerima

kalor untuk menerima kalor dari reactor, misalnya kecelakaan akibat kegagalan turbin dan

sistem pelesap kalor. LOSCA adalah kecelakaan yang terjadi akibat tumpahnya pendingin

sekunder (intermediate) sehingga kalor dari bahan bakar tidak dapat ditransfer ke pendingin

intermediate.

Kecelakaan-kecelakaan ini akan menyebabkan suhu bahan bakar naik. Kenaikan suhu

bahan bakar akan menurunkan reaktivitas reactor. Karena MSR memiliki reaktivitas lebih

yang sangat rendah, maka reactor menjadi sub kritis sehingga dayanya turun. Kenaikan suhu

yang lebih tinggi akan melelehkan katup keselamatan bahan bakar sehingga bahan bakar

mengalir ke tangki pengurasan bahan bakar (fuel drain tank). Bahan bakar dan moderator

terpisah sehingga kekritisan tidak tercapai).

Tangki bahan pengurasan bahan bakar dilengkapi dengan system pendinginan pasif.

Kalor peluruhan radioaktif dapat didisipasikan ke lingkungan tanpa memerlukan system

pompa yang memerlukan suplai listrik. Dengan demikian, kecelakaan yang mengakibatkan

kerusakan parah pada reactor dan mengakibatkan pelolosan material radioaktif ke lingkungan

sebagaimana yang terjadi pada reactor Fukushima Daiichi Jepang tidak dapat terjadi pada

MSR.

G. SISTEM PROSES BAHAN BAKAR ON LINE

Salah satu keunggulan MSR dengan bahan bakar cair yang tidak dimiliki oleh jenis

reaktor yang berbahan bakar padat adalah kemampuan untuk melakukan proses bahan bakar

secara on line. Sistem proses bahan bakar on line memberikan keunggulan sebagai berikut :

- Aspek keselamatan lebih tinggi (low excess reactivity)

- Performance neutronik lebih baik (lower neutron poisoning, higher conversion ratio)

- Kandungan material radioaktif dalam bahan bakar dapat dikurangi

- Isotop-isotop yang punya nilai ekonomis dapat diekstrak sebagai by product (hasil

samping) yang memiliki nilai manfaat

Dengan bahan bakar cair, nuklida fisil dapat ditambahkan pada MSR sesuai

keperluan. Pada jenis reaktor berbahan bakar padat (misalnya LWR), material fisil harus

dimuatkan dalam reaktor untuk jangka waktu lama hingga saat penggantian bahan bakar.

Karena bahan bakar fisil akan berkurang selama reaktor beroperasi, maka pada LWR,

diperlukan muatan lebih material fisil pada saat teras awal untuk mengantisipasi penyusutan

Page 14: NASKAH AKADEMIK PROSPEK MSR UNTUK PENGUNAAN … · NASKAH AKADEMIK PROSPEK MSR UNTUK PENGUNAAN SUMBER DAYA THORIUM DI INDONESIA Andang Widi Harto A. PENDAHULUAN Penggunaan energi

14

material fisil hingga saat penggantian bahan bakar. Pada MSR hal ini tidak diperlukan. Pada

MSR non breeder material fisil ditambahkan sedikit demi sedikit. Pada MSR breeder,

material fisil, akan terbentuk dengan sendirinya sehingga tidak perlu ditambahkan.

Pemuatan material berlebih ini akan memberikan reaktivitas lebih teras (excess

reactivity) yang tinggi. Hal ini memungkinkan terjadinya kecelakaan ekskursi daya (power

excursion accident) seperti misalnya terjadi pada reaktor Chernobyl. Pada MSR dengan

reaktivitas lebih yang sangat rendah, kecelakaan semacam itu dapat dihindari.

Dengan menggunakan bahan bakar cair, ekstraksi nuklida hasil reaksi fisi dapat

dilakukan secara on line (saat reaktor beroperasi). Dengan cara ini, nuklida hasil reaksi yang

bersifat menyerap neutron (misalnya Xe-135, Sm-149) dapat dikeluarkan dari reaktor. Pada

LWR, setelah reaktor dimatikan akan terjadi build up Xe-135. Serapan neutron membuat

reaktor tidak dapat dihidupkan kembali hingga beberapa jam setelah shutdown sebagai akibat

dari build up Xe-135. Kondisi reaktor yang tidak dapat dihidupkan kembali setelah shutdown

ini disebut sebagai waktu mati reaktor (reactor dead time). Pada MSR, Xe-135 dapat

dikeluarkan dari reaktor saat reaktor beroperasi sehingga efek waktu mati reaktor dapat

dikurangi. Dengan sistem ekstraksi yang bagus, sebagian besar Xe-135 dapat dikeluarkan

dari reaktor sehingga reaktor dapat dihidupkan segera setelah reaktor shutdown.

Dengan dikuranginya nuklida hasil fisi, maka serapan neutron non bahan bakar dapat

dikurangi sehingga reaktor dapat mencapai kondisi neutronik lebih baik. Hal ini sangat

diperlukan untuk mencapai kemampuan pembiakan.

Sebagian nuklida hasil reaksi fisi bersifat radioaktif dengan aktivitas tinggi. Kalor

yang dihasilkan akibat peluruhan radioaktif tetap ada setelah reaktor dimatikan. Reaktor

memerlukan pendinginan setelah shutdown untuk mentransfer kalor ini dari teras reaktor.

Kegagalan pendinginan pasca shutdown akan menyebabkan teras reaktor mengalami

overheating. Pada reaktor berbahan bakar padat, hal ini dapat menyebabkan kerusakan teras

yang mengakibatkan pelepasan material radioaktif dari teras reaktor sebagaimana yang terjadi

pada reaktor Fukushima Daiichi Jepang.

Pada MSR, proses bahan bakar on line mengurangi jumlah serta aktivitas nuklida-

nuklida hasil reaksi fisi sehingga kalor peluruhan pasca shutdown dapat dikurangi. Hal ini

memberikan jaminan keselamatan yang lebih baik. Aspek keselamatan akan menjadi semakin

baik karena bahan bakar MSR pasca shutdown ditempatkan pada tangki pengurasan bahan

bakar yang dilengkapi dengan sistem pendinginan pasif.

Hasil perhitungan dengan software PCMSRBU menunjukkan bahwa tanpa

pengoperasian proses bahan bakar on line, tingkat radioaktifitas reaktor PCMSR berdaya 920

MWth adalah 2,47 GCi sedangkan jika sistem proses bahan bakar on line dioperasikan, maka

tingkat radioaktifitas reaktor PCMSR dengan daya yang sama turun menjadi 1,92 GCi.

Sementara itu, nilai k-inf dalam kondisi setimbang adalah 1,0506 jika sistem proses bahan

bakar on line tidak dioperasikan dan 1,1691 jika sistem proses bahan bakar on line

dioperasikan.

H. PEMANFAATAN HASIL SAMPING (BY PRODUCT) DARI MSR.

Dengan menggunakan sistem proses bahan bakar on line, sebagian dari hasil reaksi

fisi dapat diekstraksi dan dikeluarkan dari reactor. Beberapa nuklida hasil fisi merupakan

nuklida yang punya nilai guna sangat tinggi karena merupakan isotop-isotop radioaktif yang

dapat digunakan untuk keperluan kedokteran, industri, dan aplikasi lainnya. Isotop-isotop

yang bermanfaat tersebut, yang dapat dihasilkan oleh MSR diantaranya adalah Sr-89, Sr-90,

Mo-99, Ru-104, I-131, I-132, I-133, Xe-135, Xe-133, Cs-134, Cs-137 dan La-140.

Hasil perhitungan dengan software PCMSRBU menunjukkan bahwa pengoperasian

PCMSR yang dilengkapi dengan sistem proses bahan bakar on line mampu secara kontinyu

menghasilkan isotop-isotop radioaktif bermanfaat sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 4.1.

Page 15: NASKAH AKADEMIK PROSPEK MSR UNTUK PENGUNAAN … · NASKAH AKADEMIK PROSPEK MSR UNTUK PENGUNAAN SUMBER DAYA THORIUM DI INDONESIA Andang Widi Harto A. PENDAHULUAN Penggunaan energi

15

Tabel 4.1. Isotop-isotop radioaktif yang dapat dihasilkan secara kontinyu oleh PCMSR yang

dilengkapi dengan sistem proses bahan bakar on line.

Isotop bermanfaat Produksi spesifik

(kCi/MWth/hari)

Isotop bermanfaat Produksi spesifik

(kCi/MWth/hari)

Sr-89 0,3 I-133 1,12

Sr-90 0,00191 Xe-133 0,0118

Mo-99 1,7 Cs-134 0,0000393

I-131 0,42 Cs-137 0,00232

I-132 0,782 La-140 1,05

Di samping itu, pada MSR yang didesain untuk mampu melakukan pembiakan,

(breeding) dapat dihasilkan aktinida berlebih (excess actinide) yang terdiri dari isotop-isotop

uranium, neptunium dan plutonium. Hasil perhitungan dengan software PCMSRBU

menunjukkan bahwa pengoperasian PCMSR (denaturated sekaligus breeder) berdaya 920

MWth yang dilengkapi dengan sistem proses bahan bakar on line mampu secara kontinyu

menghasilkan uranium berlebih sebanyak 129,6 kg/tahun dengan komposisi fraksi massa

18,38 % U-233; 2,95 % U-234; 0,74 % U-235; 0,11 % U-236 dan 77,82 % U-238. Uranium

dengan komposisi ini masi terkategori sebagai uranum berpengayaan rendah (LEU) dan dapat

digunakan pada reactor lainnya. Hasil lainnya adalah Pu-238 sebanyak 0,277 kg/tahun.

Sementara itu, bahan bakar bekas pakai dari suatu MSR yang mempunyai

kemampuan pembiakan memiliki perbandingan mol nuklida fisil dan fertile yang mampu

mencapai kondisi kritis dan sekaligus juga mampu mencapai kemampuan pembiakan.

Dengan demikian, bahan bakar bekas pakai dari suatu MSR siap digunakan untuk MSR

sejenis pada generasi selanjutnya. Oleh karena itu bahan bakar siap pakai dari suatu MSR

tidak bias dikatakan sebagai limbah (waste).

I. PENANGANAN LIMBAH MSR

Limbah MSR terdiri dari :

1. Limbah yang berasal dari nuklida-nuklida yang diekstraksi oleh sistem proses bahan

bakar yang dianggap tidak bernilai ekonomis

2. Bahan bakar bekas pakai dari MSR pada saat dekomisioning

Bahan bakar bekas pakai dari MSR pada saat dekomisioning siap digunakan pada

MSR yang dibangun pada generasi berikutnya. Dengan kata lain, bahan bakar MSR generasi

sebelumnya dapat diwariskan kepada MSR generasi berikutnya. Hal ini karena bahan bakar

bekas pakai dari suatu MSR (breeder) mengandung cukup nuklida fisil (U-233) yang mampu

mencapai kondisi kritis jika dipakai pada MSR geberasi berikutnya. Dengan demikian, bahan

bakar bekas pakai dari suatu MSR pada dasarnya bukan merupakan limbah, tetapi merupakan

kandidat bahan bakar untuk reaktor MSR berikutnya. Hal ini merupakan alasan mengapa

penggunaan thorium pada MSR mampu mencapai “long term sustainability”.

Limbah yang berasal dari nuklida-nuklida yang diekstraksi oleh sistem proses bahan

bakar yang dianggap tidak bernilai ekonomis ditangani secara langsung pada sistem

penanganan limbah on line MSR. Jumlah limbah ini sekitar 0,8 – 1 ton per GWey dan

didominasi oleh produk fisi yang berumur relatif pendek (puluhan tahun). Jumlah ini sangat

kecil dibandingkan dengan limbah bahan bakar bekas LWR sejumlah 20 – 30 ton per GWey

dan mengandung aktinida dengan umur hingga puluhan ribu tahun.

Limbah MSR dari ekstraksi on line ini langsung dimasukkan dalam wadah ketika

masih berbentuk cair. Limbah yang terkungkung dalam wadah didinginkan dalam kolam

penyimpan limbah sehingga kalor peluruhan semakin berkurang, suhu menurun dan menjadi

padat. Sistem penanganan limbah MSR dapat didesain untuk mampu menampung semua

Page 16: NASKAH AKADEMIK PROSPEK MSR UNTUK PENGUNAAN … · NASKAH AKADEMIK PROSPEK MSR UNTUK PENGUNAAN SUMBER DAYA THORIUM DI INDONESIA Andang Widi Harto A. PENDAHULUAN Penggunaan energi

16

limbah dari ekstraksi bahan bakar hingga menjadi padat selama umur operasi reactor. Setelah

menjadi padat, maka zat radioaktif yang tersisa terkungkung dalam padatan tersebut beserta

wadahnya. Level radioaktivitas limbah mencapai nilai “clearance” (hazard index = 1 atau

setara dengan tingkat radioaktivitas bijih uranium alam) setelah puluhan tahun penyimpanan.

J. ASPEK EKONOMI MSR

J.1. Keekonomian MSR dibandingkan dengan teknologi reaktor sekarang yang menggunakan

siklus bahan uranium open cycle

MSR sangat berpotensi jauh lebih ekonomis dibandingkan dengan teknologi reaktor

nuklir yang sekarang ditinjau dari beberapa aspek, yaitu :

- konsumsi bahan bakar dan produksi limbah radioaktif

- penyederhanaan dalam keseluruhan proses bahan bakar dan pengolahan limbah

- desain yang lebih sederhana dan kompak

- aplikasi sistem keselamatan yang secara total bersifat pasif

a. Ditinjau dari aspek konsumsi bahan bakar dan limbah radioaktif

Sebagian besar teknologi reaktor nuklir yang sekarang adalah LWR (Light Water

Reactor yang terdiri dari BWR = Boiling Water Reactor dan PWR = Pressurized Water

Reactor). Kedua desain ini menjadi desain yang populer pada reaktor generasi 2, reaktor

generasi 3 dan reaktor generasi 3+. Di samping itu, terdapat juga jenis PHWR, LWGR,

MAGNOX dan AGR yang sekarang masih beroperasi. Semua jenis reaktor nuklir yang

beroperasi sekarang menggunakan uranium dengan siklus bahan bakar terbuka. Artinya,

jenis-jenis reaktor ini menggunakan U-235 sebagai material fisil. U-238 dimasukkan dalam

reaktor tetapi tidak dapat dimanfaatkan secara optimal.

Jika diasumsikan reaktor nuklir memiliki efisiensi konversi energi 33 % (tipikal LWR

sekarang), maka untuk mencapai produksi energi 1000 MWe dalam satu tahun operasi penuh

(= 1 GWey) diperlukan kurang lebih 1 ton (1000 kg) material fisil baik U-235, U-233

maupun Pu-239. Hal ini didasarkan dari perhitungan neraca energi overall dengan asumsi

bahwa tiap reaksi fisi menghasilkan energi sebesar 200 MeV. Jika efisiensi konversi energi

dapat ditingkatkan, maka kebutuhan bahan bakar fisil akan menjadi lebih rendah. Misal jika

efisiensi konversi energi sebesar 44 %, maka kebutuhan bahan bakar fisil menjadi 750 kg per

GWey.

Reaktor MAGNOX dan PHWR-CANDU menggunakan uranium alam. Uranium alam

terdiri dari 0,7 % U-235. Dengan demikian, hanya 0,7 % dari material bahan bakar yang

dapat digunakan secara efektif. Efisiensi reaktor MAGNOX adalah 25 % sedangkan efisiensi

PHWR-CANDU adalah 30 %. Dengan demikian, konsumsi bahan bakar siap pakai pada

reaktor MAGNOX adalah 186 ton uranium alam per GWey sedangkan konsumsi bahan bakar

siap pakai untuk PHWR-CANDU adalah 155 ton uranium alam per GWey[33].

Reaktor LWR generasi kedua menggunakan bahan bakar dengan pengayaan rata-rata

3 % U-235 sedangkan reaktor LWR generasi 3 dan 3+ menggunakan bahan bakar dengan

pengayaan 5 % U-235. Dengan demikian, LWR generasi 2 serta generasi 3 dan 3+ masing-

secara efektif hanya mampu menggunakan 2 % dan 3 % dari bahan bakar dari bahan bakar

siap pakai yang diumpankan. Efisiensi konversi energi LWR tidak banyak berukan dari

generasi 2 hingga generasi 3+. Dengan demikian, konsumsi bahan bakar siap pakai untuk

LWR generasi 2 adalah 33,4 ton per GWey dan untuk LWR generasi 3 dan 3+ adalah 20 ton

per GWey.

33 David LeBlanc, 2012, Molten Salt Reactors and the Oil Sands: Odd Couple or Key to North American Energy

Independence?, Presentation to Canadian Nuclear Safety Commission

Page 17: NASKAH AKADEMIK PROSPEK MSR UNTUK PENGUNAAN … · NASKAH AKADEMIK PROSPEK MSR UNTUK PENGUNAAN SUMBER DAYA THORIUM DI INDONESIA Andang Widi Harto A. PENDAHULUAN Penggunaan energi

17

Reaktor AGR menggunakan bahan bakar dengan tingkat pengayaan 2,5 % U-235 dan

memiliki efisiemsi konversi energi sebesar 40 %. Maka konsumsi bahan bakar siap pakai

untuk AGR adalah 33 ton per GWey.

AGR dan LWR menggunakan bahan bakar uranium diperkaya. Untuk itu diperlukan

proses pengayaan uranium. Dengan asumsi bahwa hasil samping dari proses pengayaan

(yaitu DU = Depleted Uranium) masif mengadung U-235 dengan fraksi 0,2 % hingga 0,3 %,

maka berdasarkan neraca massa U-235 dan neraca massa uranium total pada proses

pengayaan, diperoleh hasil perhitungan kebutuhan sumber daya uranium alam per GWey.

Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, kebutuhan uranium alam untuk LWR baik generasi 2

maupun generasi 3 dan 3+ berkisar antara 170 ton hingga 220 ton per GWey[34]. Sedangkan

kebutuhan uranium alam untuk AGR berkisar antara 140 ton hingga 185 ton per GWey.

Angka selisih dari kebutuhan uranium alam dengan kebutuhan bahan bakar siap pakai

merupakan jumlah DU per GWey.

Saat reaktor dioperasikan, U-235 berfisi menghasilkan energi dan isotop-isotop hasil

reaksi fisi. Sebagian dari hasil reaksi fisi ini bersifat radioaktif dengan umur puluhan tahun.

Artinya, diperlukan waktu puluhan tahun sehingga tingkat radioaktivitasnya menjadi sama

dengan tingkat radioaktivitas bijih uranium alam.

Sementara itu, U-238 tidak dapat dimanfaatkan secara optimal. Sebagian besar (98 %)

tetap sebagai U-238 sedangkan 2 % sisanya berubah menjadi isotop-isotop plutonium (Pu-

238, Pu-239, Pu-240, Pu-241, Pu-242) dan aktinida minor (Minor Actinide = MA) yang

terdiri dari isotop-isotop Np, Cm dan Am. Nuklida-nuklida yang merupakan isotop dari Pu

dan MA memberikan kontribusi kepada pembentukan limbah radioaktif yang berumur sangat

panjang hingga puluhan ribu tahun. Artinya, diperlukan waktu puluhan ribu tahun sehingga

tingkat radioaktivitasnya menjadi sama dengan tingkat radioaktivitas bijih uranium alam.

Pada reaktor yang memiliki kemampuan pembiakan, hampir semua nuklida fisil dan

fertil serta MA pada akhirnya berfisi atau dapat dikonversi menjadi nuklida yang dapat

berfisi. Dengan demikian, kebutuhan bahan bakarnya adalah sekitar 1 ton per GWey dan

limbah yang dihasilkan juga sekitar 1 ton per GWey yang didominasi oleh hasil reaksi fisi

dengan umur puluhan tahun (bukan puluhan ribu tahun).

Berkaitan dengan kemampuan penggunaan bahan bakar, terdapat dua jenis MSR yaitu

MSR pembiak dan MSR non pembiak. MSR pada dasarnya merupakan reaktor pembiak

(breeder). MSR non pembiak dirancang dengan tujuan utaka penyederhanaan desain. MSR

non pembiak (misalnya DMSR) memiliki rasio konversi yang lebih tinggi dibandingkan

LWR sehingga konsumsi bahan bakarnya jauh lebih rendah dibandingkan LWR tetapi jauh

lebih tinggi dibandingkan MSR pembiak. DMSR mengkonsumsi 35 ton per GWey uranium

alam[35]. Tabel 4.2. menunjukkan konsumsi bahan bakar, produksi limbah radioaktif, proses

front end dan kebutuhan reposesing berbagai jenis reaktor.

Tabel 4.2. Konsumsi bahan bakar, produksi limbah radioaktif, proses front end dan

kebutuhan reposesing berbagai jenis reaktor

Jenis reaktor Kebutuhan

bahan bakar

siap pakai

(ton/GWey)

Kebutuhan

sumber

daya alam

bahan bakar

Produksi

limbah

radioaktif

dari bahan

Proses

penyiap-

an bahan

bakar

Kebutuhan

reproses-

ing untuk

menuju

34 David LeBlanc, 2012, Molten Salt Reactors and the Oil Sands: Odd Couple or Key to North American Energy

Independence?, Presentation to Canadian Nuclear Safety Commission 35 David LeBlanc, 2012, Molten Salt Reactors and the Oil Sands: Odd Couple or Key to North American Energy

Independence?, Presentation to Canadian Nuclear Safety Commission

Page 18: NASKAH AKADEMIK PROSPEK MSR UNTUK PENGUNAAN … · NASKAH AKADEMIK PROSPEK MSR UNTUK PENGUNAAN SUMBER DAYA THORIUM DI INDONESIA Andang Widi Harto A. PENDAHULUAN Penggunaan energi

18

(ton/GWey) bakar

(ton/GWey)

(front

end)

siklus

tertutup

LWR generasi 2 33,4 170 - 220 33,4 perlu

beberapa

tahap

proses

dan

fabrikasi

ya

LWR generasi 3 dan 3+ 20,0 170 - 220 20,0 ya

AGR 33,0 140 - 185 33,0 ya

PHWR-CANDU 155,0 155 155,0 ya

MAGNOX 186,0 186 186,0 ya

FBR 1,0 1,0 1,0 ya

MSR non breeder 3,0 35,5 3,0 tanpa

fabrikasi

tidak

MSR breeder 0,8 - 1,0 0,8 - 1,0 0,8 - 1,0 tidak

Dengan kebutuhan bahan bakar yang lebih sedikit serta proses penyiapan bahan lebih

sederhana, maka biaya bahan bakar MSR lebih rendah dibandingkan dengan biaya bahan

bakar reaktor LWR sekarang.

MSR beroperasi pada suhu yang lebih tinggi dibandingkan dengan LWR sekarang.

Pengoperasian pada suhu tinggi, penggunaan bahan moderator dan struktur yang memiliki

serapan neutron rendah (grafit) ditambah dengan sifat molten salt yang memiliki kemampuan

transfer kalor tinggi menyebabkan MSR dapat dirancang dengan ukuran relatif lebih kecil

dibandingkareaktor lainnya untuk tingkat daya yang sama. Gambar 4.5 menunjukkan dimensi

beberapa jenis desain reaktor baru berdaya rendah (Small Modular). Pada Gambar 4.5

tersebut, dibandingkan beberapa desain reaktor Small Modular yaitu IMSR (InntMolten salt

Reactor), SmAHTR (Small Modular Advanced High Temperature Reactor), Nu-Scale dan

B$W mPower.

ISMR merupakan reaktor MSR integral, yaitu menempatkan reaktor dan alat penukar

kalor (heat exchanger) berada dalam satu bejana. SmAHTR adalah reaktor dengan bahan

bakar padat seperti HTR tetapi menggunakan pendingin molten salt. Sementara itu Nu-Scale

dan B$W mPower keduanya adalah turunan dari LWR dengan desain integral serta dengan

tingkat daya yang diperkecil. Pada Gambar 4.5. dapat ditunjukkan bahwa MSR memiliki

dimensi paling kecil dibandingkan dengan reaktor lainnya yang memiliki tingkat saya setara.

Ukuran yang lebih lebih kecil menyebabkan desain yang lebih murah.

Page 19: NASKAH AKADEMIK PROSPEK MSR UNTUK PENGUNAAN … · NASKAH AKADEMIK PROSPEK MSR UNTUK PENGUNAAN SUMBER DAYA THORIUM DI INDONESIA Andang Widi Harto A. PENDAHULUAN Penggunaan energi

19

Gambar 4.5 menunjukkan dimensi beberapa jenis desain reaktor baru berdaya rendah (Small

Modular) [36]

Tabel 4.2. menunjukkan biaya pembangkitan listrik di berbagai negara dengan

menggunakan berbagai moda pembangkitan dengan estimasi tinggi (10 % discount rate).

Pada Tabel ini, biaya pembangkitan listrik menggunakan tenaga nuklir dihitung berdasarkan

biaya pembangkitan total dari LWR karena LWR merupakan jenis reaktor nuklir yang paling

banyak digunakan sekarang. Berdasarkan Tabel 4.2. dapat dilihat bahwa biaya pembangkitan

listrik dengan menggunakan tenaga nuklir dengan teknologi LWR dapat bersaing dengan

biaya pembangkitan listrik dengan menggunakan bahan bakar batubara dan gas. Sementara

itu, biaya pembangkitan listrik dengan menggunakan sumber daya energi terbarukan (hidro,

angin dan solar (PV)) secara umum jauh lebih tinggi dibandingkan dengan biaya

pembangkitan listrik total menggunakan sumber daya energi konvensional (batubara, minyak

dan gas). Dengan demikian, pembangkitan listrik menggunakan sumber daya energi

terbarukan tidak mampu bersaing dengan pembangkitan listrik menggunakan sumber daya

energi konvensional dan nuklir (LWR).

Biaya pembangkitan listrik dengan menggunakan MSR belum dapat ditunjukkan pada

Tabel 4.2. karena pembangkitan listrik dengan menggunakan MSR belum berkembang

sekarang. Akan tetapi dengan kebutuhan bahan bakar MSR yang lebih rendah dibandingkan

dengan kebutuhan bahan bakar LWR, proses penyiapan bahan bakar MSR yang lebih

sederhana dibandingkan dengan proses penyiapan bahan bakar LWR, penanganan limbah

MSR yang lebih sederhana dibandingkan dengan penanganan limbah LWR, desain MSR

yang lebih sederhana dibandingkan dengan desain LWR serta kemungkinan untuk

36 David LeBlanc, 2013, The Curious Tale of Molten Salt Reactor, Presentation to Canadian Nuclear Safety Commission,

Ottawa Branch

Page 20: NASKAH AKADEMIK PROSPEK MSR UNTUK PENGUNAAN … · NASKAH AKADEMIK PROSPEK MSR UNTUK PENGUNAAN SUMBER DAYA THORIUM DI INDONESIA Andang Widi Harto A. PENDAHULUAN Penggunaan energi

20

memperoleh produk samping yang bernilai ekonomis pada MSR,maka biaya pembangkitan

listrik total dengan MSR diestimasikan jauh lebih rendah dibandingkan dengan biaya

pembangkitan listrik total dengan LWR.

Tabel 4.2. Biaya pembangkitan listrik di berbagai negara dengan menggunakan berbagai

moda pembangkitan dengan estimasi tinggi (10 % discount rate).

Negara

Biaya pembangkitan listrik total estimasi tinggi (US$/MWh) [37]

Batubara Minyak Gas Hidro Solar

(PV) Angin

Nuklir

(LWR)

Belgia 100,43 99,54 146,78 109,14

Perancis 388,14 194,74 92,38

Jerman 109,41 122,61 439,77 186,76 82,64

Italia 91,44 615,98 229,97

Hongaria 121,62

Jepang 107,03 119,53 281,51 76,46

Korea Selatan 74,25 94,70 48,38

Austria 92,58

Belanda 91,06 86,48 704,73 196,53 105,06

Swedia 136,69

Slovakia 141,64 97,92

Swiss 105,19 169,79 234,32 136,50

Mexico 92,27 56,07 91,85

Amerika Serikat 93,92 213,14 104,19 332,78 146,44 77,39

Brazil 79,02 94,84 34,30 105,29

China 34,43 39,91 51,50 186,54 72,01 54,61

Russia 118,34 65,13 89,60 68,15

Afrika Selatan 53,99 52,70

Rerata Dunia (hasil

studi IEA/NEA

estimasi tengah)

28 - 75 41 - 69 91 33 - 74

K. PROSPEK PENGEMBANGAN MSR DI INDONESIA

MSR memiliki prospek yang bagus untuk dikembangkan di Indonesia, terutama

pengembangan menuju kepada MSR yang memiliki kemampuan pembiakan (breeding)

menggunakan bahan bakar fertil thorium. Hal ini karena Indonesia memiliki cadangan

sumber daya thorium yang cukup untuk memenuhi kebutuhan energi di Indonesia secara

berkelanjutan dalam jangka waktu yang lama.

Di samping sebagai pembangkit listrik, MSR dengan bahan bakar berbentuk cair serta

sistem proses bahar on line mampu menghasilkan produk samping yang berguna, yaitu

berbagai jenis nuklida rraf hasil dari reaksi fisi.

Dengan kemampuan beroperasi pada suhu tinggi, energi kalor yang dihasilkan dapat

digunakan untuk berbagai proses termal seperti desalinasi, refrigerasi termal, pengeringan

bahan, pemanasan ruangan, berbagai proses kimia endotermik suhu menengah dan suhu

tinggi.

K.1. MSR Sebagai sumber energi untuk proses produksi hidrogen dengan bahan baku air

Salah satu prospek yang sangat menarik adalah aplikasi untuk produksi hidrogen

secara murah dengan bahan baku air. Hidrogen pada masa depan digunakan sebagai bahan

37 Projected Cost of Generating Electricity, IEA, NEA, 2010

Page 21: NASKAH AKADEMIK PROSPEK MSR UNTUK PENGUNAAN … · NASKAH AKADEMIK PROSPEK MSR UNTUK PENGUNAAN SUMBER DAYA THORIUM DI INDONESIA Andang Widi Harto A. PENDAHULUAN Penggunaan energi

21

bakar bagi transportasi laut dan mobil. Hidrogen juga dapat dimanfaatkan sebagai reduktor.

Karbon (kokas) sekarang ini merupakan reduktor yang digunakan oleh sebagian besar

industri logam. Penggunaan karbon sebagai reduktor akan menghasilkan emisi CO2.

Hidrogen dapat digunakan sebagai bahan reduktor tanpa mengemisikan CO2. Hidrogen juga

merupakan bahan baku bagi berbagai jenis industri kimia.

Peran yang besar dari hidrogen ini akan menimbulkan tuntutan peningkatan produksi

hidrogen. Hidrogen di bumi terdapat dalam jumlah besar tetapi terikat dalam senyawa lain

seperti air, hidrokarbon dan material organik biologis. Untuk memperoleh hidrogen dalam

bentuk H2 diperlukan proses kimia yang bersifat endotermis sehingga memerlukan energi.

Produksi hidrogen dengan bahan baku sumber daya hidrokarbon (minyak dan gas

alam) tidak direkomendasikan karena prosesnya akan mengemisikan CO2. Sementara itu,

produksi hidrogen dengan bahan baku material organik biologis juga tidak direkomendasikan

karena material organik biologis lebih baik digunakan untuk keperluan lain terutama sebagai

bahan makanan.

Dengan demikian, produksi hidrogen dengan bahan baku air merupakan solusi yang

paling sesuai. Produksi hidrogengan bahan baku air ini, berapapun besarnya kapasitas

produksi hidrogen yang dihasilkan, tidak akan mengurangi jumlah air di bumi. Hal ini karena

pada saat hidrogen digunakan sebagai bahan bakar, akan kembali diemisikan uap air. Emisi

uap air ini jauh lebih bersih dan ramah lingkungan dibandingkan dengan dengan emisi CO2.

Produksi hidrogen dengan bahan baku air bersifat endotermik. Gambar 4.6.

menunjukkan nilai entalpi yang diperlukan untuk proses produksi hidrogen dengan bahan

baku air sebagai fungi suhu. Berdasarkan gambar 4.6. dapat dibuat ilurasi bahwa untuk

memproduksi 2 kg/s (1 kmol/s) hidrogen, yaitu setara dengan 7,2 ton hidrogen per jam, pada

suhu 500 ºC, diperlukan daya sebesar 250 MW dalam kondisi ideal. Daya ini semakin besar

pada suhu makin tinggi. Tetapi hal ini bukan merupakan masalah sebab daya yang dihasilkan

pada saat penggunaan hidrogen sebagai bahan bakar juga semakin besar pada suhu semakin

tinggi.

Gambar 4.6. Entalpi yang diperlukan untuk memproduksi satu mol hidrogen dari air[38]

Karena produsi hydrogen dengan bahan baku membutuhkan energi, maka untuk dapat

memproduksi hidrogen dalam jumlah yang cukup banyak, diperlukan energi yang bersifat

38 Nuclear Options for Hydrogen and Hydrogen Based Liquid Fuel Production, MIT Report : MIT-NES-TR-001, September

2003

Page 22: NASKAH AKADEMIK PROSPEK MSR UNTUK PENGUNAAN … · NASKAH AKADEMIK PROSPEK MSR UNTUK PENGUNAAN SUMBER DAYA THORIUM DI INDONESIA Andang Widi Harto A. PENDAHULUAN Penggunaan energi

22

masif, kontinyu, murah serta tidak mengemisikan CO2. Sumber daya energi fosil mampu

mensuplai energi secara masif, kontinyu dan murah. Akan tetapi penggunaan sumber daya

energi fosil menghasilkan emisi CO2 sehingga tidak cocok untuk produksi hydrogen yang

bertujuan untuk menyediakan bahan bakar tanpa emisi CO2.

Penggunaan sumber daya energi terbarukan seperti geothermal dan hydropower

mampu mensuplai energi secara masif, kontinyu dan tidak mengemisikan CO2. Sumber daya

energu geothermal dan hydropower cocok untuk mensuplai energi bagi proses produksi

hydrogen. Akan tetapi ketersediaan sumber daya tersebut hanya pada tempat tertentu dan

relative terbatas. Produksi hydrogen seringkali diperlukan pada lokasi yang jauh dari sumber

daya energi geothermal dan hydropower.

Penggunaan sumber daya energi terbarukan seperti surya, angin, mikrohidro,

gelombban, arus laut dsb tidak mengemisikan CO2. Akan tetapi sumber daya energi ini tidak

mampu untuk mensuplai energi secara masif dan kontinyu karena karakteristiknya yang

hanya mampu mensuplai energi dalam jumlah kecil, tidak kontinyu (intermiten) serta tidak

murah. Oleg karena itu, sumber daya semacam ini tidak cocok untuk menyediakan energi

bagi produksi hidrogen secara masif dan kontinyu.

Sumber daya energi nuklir mampu mensuplai energi secara masih, kontinyu, murah

dan tidemisikan CO2. Dengan demikian, penggunaan sumber daya energi nuklir paling cocok

untuk menyediakan energi bagi produksi hidrogen dengan bahan baku air dkapasitas produksi

yang besar.

Terdapat dua komponen energi yang harus disuplai untuk produksi hidrogen, yaitu

koen energi termal (TΔs) dan komponen energi non termal (Δg). Karena reaktor nuklir

menghasilkan energi utama dalam bentuk energi termal, maka produksi hidrogen dengan

reaktor nuklir akan menjadi semakin efisien jika komponen energi termal (TΔs) nilainya

semakin besar.

Gambar 4.6 menunjukkan bahwa pada suhu semakin tinggi, komponen energi termal

semakin besar. Hal menunjukkan bahwa produksi hidrogen akan semakin efisien pada suhu

semakin tinggi. Dengan demikian, reaktor nuklir yang beroperasi pada suhu tinggi akan

mampu untuk mensuplai energi semakin efisien jika dibandingkan dengan rrelir yang

beroperasi pada suhu yang lebih rendah. MSR mampu beroperasi pada suhu yang lebih tinggi

dibandingan LWR. Oleh karena itu MSR lebih sesuai (lebih efisien) dibandingkan dengan

LWR untuk digunakan sebagai pensuplai energi bagi proses produksi hidrogen dengan bahan

baku air.

Terdapat dua proses yang dianggap paling sesuai untuk diaplikasikan sebagai proses

produksi hidrogen bersuhu tinggi dengan bahan baku air laut, yaitu proses elektrolisa uap air

pada suhu tinggi (High Temperature Electrolysis of Steam = HTES) dan proses sulfur yod

(Hydrogen Iod Sulphur Proccess = H-I-S). Kedua proses tersebut mampu memproduksi

hidrogen dengan efisiensi termodinamik hingga mencapai 60 % dengan suhu operasi sekitar

900 ºC. Gambar 4.7. menunjukkaan skematik HTES sedangkan Gambar 4.8 menunjukkan

diagram skematik proses H-I-S.

Reaktor nuklir dapat dikopel dengan sistem desalinasi air laut untuk meningkatkan

efisiensi pemanfaatan energi. Kalor buangan dari sistem turbin digunakan sebagai sumberr

kalor untuk proses desalinasi. Sebuah reaktor nuklir MSR dengan daya 450 MWth dengan

efisiensi 50 % mampu menghasilkan 225 MWe daya listrik. Daya listrik ini ditambah dengan

sebagian daya termal reaktor sebagian dapat digunakan untuk proses produksi hidrogen

sesuai keperluan. Jika kapasitas produksi hidrogen sebesar 1 kg/s (86,4 ton/hari), diperlukan

energi setara listrik sebesar 125 MWe.

Page 23: NASKAH AKADEMIK PROSPEK MSR UNTUK PENGUNAAN … · NASKAH AKADEMIK PROSPEK MSR UNTUK PENGUNAAN SUMBER DAYA THORIUM DI INDONESIA Andang Widi Harto A. PENDAHULUAN Penggunaan energi

23

Cooler

Blower

7a

H2

17 16

15

14

13a Distribution

Header

13

12

11

10

9 8

7

6

5

4 3

2

1

Hydrogen

Steam

Cooler

Oxygen

Cooler

Electrolyzer

Jet Pump

Distribution

Header

Hydrogen

Separator

Distribution

Header

Circulation

Pump

Distribution

Header Feed Pump H2O

Process

Heater

O2

Gambar 4.8. Diagram skematik sistem produksi hidrogen dengan elektrolisa uap air (HTES)

suhu tinggi dilengkapi dengan sistem pengembali kalor regeneratif [39]

KALOR

BUANGAN

H2O

H2SO4

H2O + SO2

SUMBER KALOR

Reaksi Disosiasi H2SO4 (850 °C)

H2SO4 ↔ H2O + SO2 + 0,5 O2

2 HI

H2 0,5 O2

Reaksi Disosiasi HI (400 °C)

2 HI ↔ H2 + I2

Reaksi Bunsen (120 °C)

2 H2O + SO2 + I2 ↔ 2 HI + H2SO4

I2

Gambar 4.8. Diagram proses produksi hidrogen dengan proses H-I-S [40]

39 Harto, A.W., Kogenerasi Nuklir 40 Harto, A.W., Kusnanto, Negara, T.,A., Melfiana, E., 2007, Analisis Sistem Produksi Hidrogen dari Air Menggunakan

Reaktor Nuklir Generasi Keempat

Page 24: NASKAH AKADEMIK PROSPEK MSR UNTUK PENGUNAAN … · NASKAH AKADEMIK PROSPEK MSR UNTUK PENGUNAAN SUMBER DAYA THORIUM DI INDONESIA Andang Widi Harto A. PENDAHULUAN Penggunaan energi

24

Sisa daya listrik sebesar 100 MWe disuplai ke konsumen pengguna listrik. Kalor

buangan sistem turbin sebesar 225 MWth dapat digunakan untuk desalinasi air laut dan

mampu menghasilkan hingga 10000 ton air bersih per hari. Untuk kapasitas produksi

hidrogen sebesar 1 kg/s (86,4 ton/hari), diperlukan umpan air sebesar 9 kg/s (778 ton/hari).

Sisa air bersih sebanyak 9222 ton per hari merupakan produk air bersih yang dapat digunakan

konsumen. Produk samping lainnya yang dapat digunakan adalah oksigen (O2) sebesar 8 kg/s

(691 ton/hari). Gambar 4.9. menunjukkan berbagai jenis produk bernilai yang dapat

dihasilkan dari sebuah reaktor MSR breeder berdaya termal 450 MWth.

Desalinasi

air laut

Elektrolisis

suhu tinggi

(HTES)

Thorium

(200 kg/tahun) Energi listrik (205 MWe) Produk energi listrik

(100 MWe)

Energi

kalor

Umpan air laut

(20000 ton/hari)

Air destilat

(10000 ton/hari)

Produk air bersih

(9222 ton/hari)

Oksigen Produk O2

(691 ton/hari)

Hidrogen Produk H2

(86,4 ton/hari)

Produk brine

(10000 ton/hari)

105

MWe

HT 20

MWth

LT 225

MWth 778

ton/hari

MSR

breeder

(450 MWth)

Valuable Isotopes :

Mo-99 (765 kCi/hari)

Sr-89 (135 kCi/hari)

I-131 (189 kCi/hari)

HT = High Temperature

LT = Low Temperature

Gambar 4.9. Berbagai jenis produk bernilai yang dapat dihasilkan dari sebuah reaktor MSR

breeder berdaya termal 450 MWth [41].

K.2. MSR sebagai sumber energi untuk membangun sistem industri yang menyerap CO2

atmosferik dan menghasilkan produk yang memiliki nilai ekonomis.

Emisi CO2 menjadi masalah ekosistem serius karena menumbulkan efek global

warming. Pertumbuhan industri tetap merupakan hal penting untuk mendorong pertumbuhan

ekonomi yang menghasilkan peningkatan kesejahteraan umat manusia. Pertumbuhan industri

memerlukan peningkatan suplai energi. Dengan sistem energi yang sekarang, maka

pertumbuhan industri akan selalu berkorelasi dengan peningkatan emisi CO2 ke atmosfir.

Upaya mitigasi yang dapat dilakukan sekarang adalah mengurangi emisi CO2 dengan

meningkatkan porsi penggunaan sumber daya energi non fosil. Teknologi nuklir memiliki

peran besar dalam hal ini, apalagi jika teknologi nuklir dapat dikembangkan menjadi

teknologi yang lebih selamat, aman, murah, tidak menimbulkan masalah limbah radioaktif

jangka panjang serta mampu mencapai sustainabilitas dalam ketersediaan sumber daya

nuklir. Teknologi MSR breeder secara potensial mampu menjawab masalah ini.

Peran teknologi nuklir yang sustainable tersebut dapat dikembangkan lebih lanjut

untuk mengembangkan sistem industri yang secara netto tidak hanya mengurangi emisi CO2,

tetapi akan membuat nilai emisi CO2 menjadi negatif. Dengan demikian, sistem industri yang

dimaksudkan secara netto justru akan mengabsorpsi (menyerap) CO2 dari atmosfir. Dengan

demikian, sistem industri dan energi ke depan akan mengurangi konsentrasi CO2 di atmosfir.

41 Harto, A.W., Kogenerasi Nuklir, dengan beberapa modifikasi

Page 25: NASKAH AKADEMIK PROSPEK MSR UNTUK PENGUNAAN … · NASKAH AKADEMIK PROSPEK MSR UNTUK PENGUNAAN SUMBER DAYA THORIUM DI INDONESIA Andang Widi Harto A. PENDAHULUAN Penggunaan energi

25

Konsep yang telah dikembangkan untuk menyerap CO2 sering dikenal sebagai konsep

sequestrasi CO2. Konsep sequestrasi CO2 pada awalnya diaplikasikan untuk menangkap CO2

secara langsung dari pengemisi CO2, misalnya saluran gas buang dari mesin-mesin

pembakaran damlam (internal combustion engine), mesin turbin gas dan pengemisi CO2

lainnya. Beberapa jenis senyawa kimia digunakan untuk menangkap CO2, misalnya adalah

MEA (metil etil amina). Dengan demikian, konsep ini hanya dapat menangkap CO2 yang

terkonsentrasi tinggi. Konsep ini dapat diaplikasikan pada pengemisi CO2 yang tidak

bergerak seperti pembangkit listrik, mesin-mesin industri dan proses-proses industri lainnya

yang mengemisikan CO2 karena sistem penangkap CO2 harus dipasang langsung pada

saluran gas buang mesin atau proses yang bersangkutan. Untuk pengemisi CO2 yang

bergerak, misalnya kendaraan seperti mobil, pesawat terbang dan kapal laut, maka konsep ini

sulit diaplikasikan.

Untuk dapat menangkap CO2 secara umum, maka dikembangkan konsep

penangkapan CO2 atmosferik. Konsep ini bertujuan untuk menangkap CO2 yang terdapat di

atmosfir. Perbedaan utama konsep ini dibandingkan dengan konsep sebelumnya adalah

konsentrasi CO2 yang ditangkap. Sistem penangkapan CO2 atmosferik harus mampu

menangkap CO2 yang berkonsentrasi rendah (300 ppm – 400 ppm) yang terdapat di atmosfir

sedangkan sistem pengangkapan CO2 yang disebutkan sebelumnya hanya mampu menangkap

CO2 berkonsentrasi tinggi (hingga 15%) yang terdapat dalam gas buang proses pembakaran

bahan bakar fosil. Sistem penangkapan CO2 atmosferik diharapkan mampu menangkap CO2

di mana saja tanpa harus dipasang di dekat pengemisi CO2.

Terdapat berbagai konsep penangkapan CO2 atmosferik. Konsep yang paling

menjanjikan adalah konsep dari Stolaroff [42] . Sistem pengangkapan CO2 atmosferik konsep

Stolaroff bekerja dengan cara mengontakkan aliran udara dengan larutan NaOH. Reaksi

Penyerapan CO2 oleh larutan oleh larutan NaOH adalah sebagai berikut:

CO2(g) CO2(aq)

2 NaOH(aq) + CO2(aq) Na2CO3(aq) + H2O(l)

Setelah dialirkan dalam bentuk droplet pada kolom kontak, larutan penyerap yang

lebih kaya CO2 (dalam bentuk Na2CO3) ditampung dalam kolam penampung larutan

penyerap yang terdapat dalam dasar sistem penangkap CO2. Cairan ini selanjutnya dialirkan

ke reaktor regenerasi NaOH. Dalam reaktor regenerasi ini, Na2CO2 dikembalikan menjadi

NaOH dengan cara direaksikan dengan Ca(OH)2. Reaksi regenerasi adalah sebagai berikut:

Na2CO3(aq) + Ca(OH)2(s) CaCO3(s) + 2 NaOH(aq)

Selanjutnya endapan yang menjadi lebih kaya dengan CaCO3 dipisahkan dari larutan

dengan penyaringan. Larutan yang menjadi lebih kaya dengan NaOH selanjutnya dialirkan ke

sistem penyemprot (spray) yang terdapat pada kolom kontak untuk dipergunakan kembali

dalam proses penyerapan CO2 berikutnya.

Endapan CaCO3 selanjutnya dipisahkan dari larutan dengan cara penyaringan.

Endapan CaCO3 yang telah dipisahkan dari larutan selanjutnya dikirimkan ke lokasi

sequestrasi. Diagram sistem penangkapan CO2 atmosferik konsep Stolaroff dapat dilihat pada

Gambar 4.10.

Pada konsep Stolaroff (penangkapan CO2 atmosferik) maupun konsep yang dijelaskan

sebelumnya (yaitu penangkapan CO2 langsung pada emiternya), CO2 yang ditangkap 42 Joshuah K Stolaroff, et.al. , Carbon Dioxide Capture from Atmospheric Air Using Sodium Hidroxide Spray, Environt.

Sci. Technol, 2008, 42, 2728 – 2735

Page 26: NASKAH AKADEMIK PROSPEK MSR UNTUK PENGUNAAN … · NASKAH AKADEMIK PROSPEK MSR UNTUK PENGUNAAN SUMBER DAYA THORIUM DI INDONESIA Andang Widi Harto A. PENDAHULUAN Penggunaan energi

26

selanjutnya disequestrasikan. Pada konsep Stolaroff, CO2 dijadikan CaCO3. Pada konsep

penangkapan CO2 langsung, CO2 yang ditangkap oleh MEA juga diubah menjadi CaCO3.

Pada kedua konsep ini, CaCO3 selanjutnya disimpan di suatu tempat penyimpanan di bawah

tanah dengan maksud supaya CO2 tidak lagi terlepas lagi ke atmosfir. Penyimpanan senyawa

CO2 dalam bentuk padat ini dikenal dengan konsep sequestrasi CO2.

1

2

3

4

5

7

8

KETERANGAN :

1 : Blower aliran udara 11 : Sistem filter

2 : Kolam larutan penyerap CO2 12 : Pompa sirkulasi larutan

3 : Pengarah aliran udara 13 : Reaktor pelepasan CO2

4 : Kolom kontak udara dan larutan NaOH 14 : Reaktor Regenerasi Ca(OH)2

5 : Sistem spray NaOH 15 : Pompa sirkulasi Ca(OH)2 slurry

6 : Demister 16 : Kompresor CO2

7 : Chimney 17 : Motor penggerak kompresor CO2

8 : Pompa sirkulasi Na2CO3

9 : Reaktor regenerasi NaOH

10 : Pengarturan konsentrasi NaOH

18 : Tangki penampung CO2 untuk

proses selanjutnya

9

Udara keluar

(300 ppm CO2)

Udara

masuk

(400

ppm

CO2)

Udara

masuk

(400

ppm

CO2)

NaOH(aq)

Na2CO3(aq)

6

2 NaOH(aq) + CO2(g)

Na2CO3(aq) + H2O(l)

(slight exothermic)

Na2CO3(aq) + Ca(OH) 2(s)

2 NaOH(aq) + CaCO3(s)

(slight endothermic)

11

12

CaCO3(s)

CaCO3(s)

CaO(s) + CO2(g)

(endothermic)

13

CaO(s)

14

CaO(s) + H2O(l)

Ca(OH)2(s)

(exothermic)

Ca(OH)(s)

(slurry)

15

CO2(g)

16 17

18

10

H2O(l)

Gambar 4.10. Diagram skematik sistem penangkap CO2 atmosferik [43]

Konsep sequestrasi CO2 di satu sisi cukup menarik karena mampu menyerap CO2

atmosferik. Akan tetapi konsep ini di kemudian hari akan menimbulkan masalah serius.

Masalah pertama adalah konsep sequestrasi tidak menghasilkan hasil yang bernilai ekonomis.

Dengan demikian, penerapan konsep sequestrasi akan menjadi beban ekonomi dan beban

peradaban manusia. Masalah kedua bagi penerapan konsep aplikasi adalah kebutuhan

material sequestrasi (misalnya CaO) untuk mengikat CO2. Sedangkan masalah ketiga adalah

kebutuhan lokasi yang tepat untuk sequestrasi.

Supaya sistem penangakapan CO2 tidak menjadi beban ekonomi bagi peradaban

manusia, maka dikembangkan sistem industri yang secara netto bersifat menyerap CO2. Pada

konsep industri yang bersifat menyerap CO2 netto, CO2 hasil tangkapan akan diproses untuk

menjadi senyawa hidrokarbon atau material karbon yang memiliki nilai ekonomi.

Pengurangan konsentrasi CO2 dari 400 ppm (level sekarang) menjadi 300 ppm akan mampu

menyediakan 120 milyar ton karbon. Konsep industri ini akan diberlakukan kurang lebih satu

43 Diagram skematik disusun berdasarkan konsep dari Joshuah K Stolaroff, et.al. , Carbon Dioxide Capture from

Atmospheric Air Using Sodium Hidroxide Spray, Environt. Sci. Technol, 2008, 42, 2728 – 2735

Page 27: NASKAH AKADEMIK PROSPEK MSR UNTUK PENGUNAAN … · NASKAH AKADEMIK PROSPEK MSR UNTUK PENGUNAAN SUMBER DAYA THORIUM DI INDONESIA Andang Widi Harto A. PENDAHULUAN Penggunaan energi

27

abad ke depan dan dihentikan ketika konsentrasi CO2 di atmosfir telah berkurang hingga

mencapai level tertentu untuk selanjutnya dievaluasi dampaknya.

Kunci dari sistem industri semacam ini adalah mereaksikan CO2 yang telah ditangkap

dari atmosfir menjadi senyawa yang memiliki nilai ekonomis. Di antara reaksi yang memiliki

prospek adalah mereaksikan CO2 dengan hidrogen sehingga dihasilkan metanol.

Endapan CaCO3 yang dihasilkan dari proses penangkapan CO2 atmosferik

dimasukkan suatu reactor yang telah diisi dengan gas hidrogen yang disuplai oleh suatu

sistem produksi hidrogen. Reactor selanjutnya dipanaskan dan diatur tekanan dan suhunya

hingga mencapai suhu dan tekanan tertentu. Akibat pemanasan, gas CO2 terlepas dari

endapan CaCO2 dengan reaksi sebagai berikut:

CaCO3(s) CaO(s) + CO3(g)

Padatan CaO selanjutnya direaksikan dengan air sebagai berikut:

CaO(s) + H2O Ca(OH)2(s)

Selanjutnya Ca(OH)2 siap digunakan kembali untuk regenerasi Na2CO3 menjadi NaOH.

Gas CO2 yang terlepas dalam reactor akan bereaksi dengan gas hydrogen dan

membentuk methanol dengan reaksi sebagai berikut :

CO2(g) + 3 H2(g) CH3OH(g) + H2O(g)

Metanol yang dihasilkan dapat secara langsung diperdagangkan karena metanol merupakan

senyawa yang memiliki nilai ekonomi.

Jika diinginkan untuk mendapatkan nilai tambah lebih lanjut, maka metanol dapat

diproses dalam suatu reaktor dehidrasi. Pada reaktor ini, metanol didehidrasi menjadi dimetil

eter (DME) dengan reaksi :

2 CH3OH(g) CH3OCH3(g) + H2O(g)

Dimetil eter juga merupakan suatu produk yang memiliki nilai ekonomi sehingga dapat

diperdagangkan. Proses dehidrasi dapat dilanjutkan sehingga dimetil eter (DME) terdehidrasi

menjadi menjadi etilena dengan reaksi sebagai berikut :

CH3OCH3(g) H2C=CH2(g) + H2O(g)

Selanjutnya, etilena dipolimerisasikan menjadi senyawa hidrokarbon sintetik. Jumlah

rerata atom C pada rantai senyawa hidrokarbon sintetik tergantung dari katalisator yang

dipilih dan tingkat berlangsungnya reaksi.

Senyawa hidrokarbon sintetik dapat digunakan sebagai bahan bakar hidrokarbon

sintetik atau untuk material bahan baku industri berbasis polimer atau grafit komposit.

Penggunaan senyawa hidrokarbon sintetik sebagai bahan bakar akan menghasilkan

sistem industri dan sistem energi yang secara netto mengemisikan CO2 ke atmosfir sebesar

nol (zero atmospheric CO2 emission). Jika senyawa hidrokarbon sintetik tersebut digunakan

sebagai bahan bakau material, baik material polimer atau material berbasis grafit komposit,

maka akan dapat dikembangkan sistem industri yang secara netto bersifat menyerap CO2 atau

mengemisikan CO2 ke atmosfir berjumlah negatif (negative atmospheric CO2 emission).

Gambar 4.11. menunjukkan sistem penangkapan CO2 atmosferik yang dilanjutkan

dengan proses-proses untuk menghasilkan produk-produk bernilai ekonomi.

Page 28: NASKAH AKADEMIK PROSPEK MSR UNTUK PENGUNAAN … · NASKAH AKADEMIK PROSPEK MSR UNTUK PENGUNAAN SUMBER DAYA THORIUM DI INDONESIA Andang Widi Harto A. PENDAHULUAN Penggunaan energi

28

1

2

3

4

5

7

8

KETERANGAN :

1 : Blower aliran udara 13 : Reaktor pelepasan CO2

2 : Kolam larutan penyerap CO2 14 : Reaktor Regenerasi Ca(OH)2

3 : Pengarah aliran udara 15 : Pompa sirkulasi Ca(OH)2 slurry

4 : Kolom kontak udara dan larutan NaOH 16 : Kompresor CO2

5 : Sistem spray NaOH 17 : Motor penggerak kompresor CO2

6 : Demister 18 : Reaktor sintesa metanol

7 : Chimney 19 : Kompresor hidrogen

8 : Pompa sirkulasi Na2CO3 20 : Motor penggerak kompresor

9 : Reaktor regenerasi NaOH 21 : Sistem pensuplai hidrogen

10 : Pengatur konsentrasi larutan 22 : Reaktor dehidrasi metanol

11 : Sistem filter 23 : Reaktor dehidrasi dimetil eter

12 : Pompa sirkulasi larutan 24 : Sistem penambah air

9

Udara keluar

(300 ppm CO2)

+ uap air

Udara

masuk

(400

ppm

CO2)

Udara

masuk

(400

ppm

CO2)

NaOH(aq)

Na2CO3(aq)

6

2 NaOH(aq) + CO2(g)

Na2CO3(aq) + H2O(l)

(slight exothermic)

Na2CO3(aq) + Ca(OH) 2(s)

2 NaOH(aq) + CaCO3(s)

(slight endothermic)

11

12

CaCO3(s)

CaCO3(s)

CaO(s) + CO2(g)

(endothermic)

13

CaO(s)

14

CaO(s) + H2O(l)

Ca(OH)2(s)

(exothermic)

Ca(OH)(s)

(slurry)

15

CO2(g)

16 17

18

CO2(g) + 3 H2(g)

CH3OH(g) + H2O(g)

(slight exothermic)

19 20

21

CO2(g)

H2(g)

CH3OH(g)

(metanol)

22

2 CH3OH(g)

CH3OCH3 + H2O(g) CH3OCH3(g)

(dimetil eter /

DME)

23

CH3OCH3 C2H4

+ H2O(g)

10

H2O(l)

C2H4(g)

(etilena)

Polimerisasi etilena

Produk

hidrokarbon

sintetik

24

Gambar 4.11. Diagram skematik sistem penangkap CO2 atmosferik [44] yang dilanjutkan

dengan proses produksi hidrokarbon sintetik

Keseluruhun proses yang digambarkan pada Gambar 4.11. bersifat endotermik

sehingga memerlukan suplai energi. Suplai energi dari bahan bakar konvensional akan

menyebabkan sistem ini tidak ada artinya karena penggunaan sumber daya energi

konvensional akan mengemisikan CO2. Sementara itu, suplai energi dari sumber daya energi

terbarukan mumbuat sistem ini kurang bernilai karena sifat dari sumber daya energi

terbarukan yang hanya mampu mensuplai energi dalam skala kecil dan intermitten.

Penggunaan sumber daya energi nuklir adalah paling sesuai dengan syarat sumber

daya energi nuklir tersebut digunakan pada reactor nuklir yang mampu mencapai

sustainabilitas jangka panjang (reactor pembiak / breeder), tidak menghasilkan limbah nuklir

44 Diagram skematik disusun berdasarkan konsep dari Joshuah K Stolaroff, et.al. , Carbon Dioxide Capture

from Atmospheric Air Using Sodium Hidroxide Spray, Environt. Sci. Technol, 2008, 42, 2728 – 2735 dan

dimodifikasi dengan penambahan proses sintesa methanol dan hidrokarbon

Page 29: NASKAH AKADEMIK PROSPEK MSR UNTUK PENGUNAAN … · NASKAH AKADEMIK PROSPEK MSR UNTUK PENGUNAAN SUMBER DAYA THORIUM DI INDONESIA Andang Widi Harto A. PENDAHULUAN Penggunaan energi

29

jangka panjang, selamat, aman dan murah. MSR breeder yang menggunakan sumber daya

thorium sangat sesuai sebagai pensuplai energi untuk sistem ini.

Kebutuhan energi terbesar untuk penerapan sistem industri yang secara netto

menyerap CO2 adalah untuk penyediaan hydrogen. Kebutuhan energi untuk proses lainnya

relative lebih kecil dibandingkan kebutuhan energi untuk penyediaan hydrogen. Reaktor

MSR yang mampu beroperasi pada suhu tinggi berpotensi untuk dijadikan sebagai sumber

energi yang murah pada proses produksi hydrogen sebagaimana dijelaskan pada sub bab K.1.

Gambar 4.12. menunjukkan diagram proses dan produk pada aplikasi nuklir pada

Produksi hidrokarbon sintetik jenis kedua yang dilengkapi dengan sistem produksi hidrogen

dan desalinasi secara mandiri.

Desalinasi

air laut

Elektrolisis

suhu tinggi

SUMBER DAYA

ENERGI NUKLIR

(uranium, torium)

REAKTOR

DAYA NUKLIR

(MSR)

Energi listrik Produk

energi listrik

Aneka

penggunaan

energi kalor

Energi

kalor

Umpan air

laut Air destilat Produk air

destilat

Oksigen Produk

Oksigen

Hidrogen Produk

hidrogen Produk

brine

Udara

lingkungan

Sistem

penangkap

CO2 CO2

Udara bersih

Produk

metanol Sintesa

metanol Metanol

Dehidrasi

metanol

DME Produk

DME

Dehidrasi

DME Etilen

Produk bahan bakar

hidrokarbon sistetis

Produk polimer

polietilen

Berbagai moda

Polimerisasi

etilen

Proses produksi

grafit komposit

Produk grafit

komposit

Gambar 4.12. Diagram proses dan produk pada aplikasi nuklir pada Produksi hidrokarbon

sintetik jenis kedua yang dilengkapi dengan sistem produksi hidrogen dan desalinasi secara

mandiri [45]

45 Harto, A.W., Kogenerasi Nuklir

Page 30: NASKAH AKADEMIK PROSPEK MSR UNTUK PENGUNAAN … · NASKAH AKADEMIK PROSPEK MSR UNTUK PENGUNAAN SUMBER DAYA THORIUM DI INDONESIA Andang Widi Harto A. PENDAHULUAN Penggunaan energi

30

L. ASPEK HUKUM PENGEMBANGAN MSR DI INDONESIA

Sekalipun konsep MSR telah berhasil dikembangkan sejak tahun 1958, hingga

sekarang belum ada reaktor nuklir komersial berbasis MSR. Untuk Indonesia, dalam

pembangunan reaktor nuklir komersial mengharuskan bahwa reaktor nuklir yang dibangun

secara teknologi harus terbukti (proven). Dengan demikian status MSR yang dikembangkan

pertama kali di Indonesia adalah prototip pra komersial. Penerapan teknologi reaktor nuklir

prototip pra komersial di Indonesia telah diatur dalam PP No. 02 tahun 2014 tentang perijinan

instalasi nuklir.

M. KESIMPULAN

a. Perkembangan penerapan teknologi nuklir global dan nasional menuju ke generasi 4

b. Pemilihan teknologi MSR mampu menjawab kekurangan teknologi uranium open cycle

c. MSR memiliki tingkat keselamatan dan keekonomian tinggi di kategori reactor nuklir

generasi 4

d. Keekonomian MSR dapat bersaing dengan batubara

e. Penerapan prototype pra komersial di Indonesia telah diatur dalam PP No.02 tahun 2014

tentang perijinan instalasi nuklir

f. MSR memiliki potensi by product yang memiliki nilai tambah yang besar

REFERENSI

1. Lamarsh, J.R., 1966, Introduction to Nuclear Reactor Theory

2. Energy Watch Group, 2006, EWG Paper No 1-06, Uranium Resources and Nuclear

Energy 03Dec2006 pdf

3. David LeBlanc, 2012, A New Look at Molten Salt Reactors, Presentation to Canadian

Nuclear Safety Commission

4. L. A. Neimark, Examination of an Irradiated Prototype Fuel Element for the Elk River

Reactor, Argonne National Laboratory, ANL-6160, 1961

5. US.NRC, Safety and Regulatory Issues of the Thorium Fuel Cycle, NUREG/CR-7176

ORNL/TM/2013/543

6. W. K. Sarber, ed., Results of the Initial Nuclear Tests on the LWBR (LWBR Development

Program), Bettis Atomic Power Laboratory, WAPD-TM-1336, June 1976

7. R. Bäumer, I. Kalinowski, E. Röhler, J. Schöning, and W. Wachholz, “Construction and

operating experience with the 300-MW THTR nuclear power plant,” Nuclear

Engineering and Design, Volume 121, Issue 2, 2 July 1990

8. K. I. Kingrey, Fuel Summary for Peach Bottom Unit 1 High-Temperature Gas-Cooled

Reactor Cores 1 and 2, Idaho National Laboratory, INEEL/EXT-03-00103, April 2003

9. D. A. Copinger and D. L. Moses, Fort Saint Vrain Gas Cooled Reactor Operation

Experience, Oak Ridge National Laboratory, NUREG/CR-6839, ORNL/TM-2003/223,

January 2004

10. E. Critoph et al., Prospects for Self-Sufficient Equilibrium Thorium Cycles in CANDU

Reactors, Atomic Energy of Canada Limited, AECL-5501, 1976

11. S. S. Bajaj, and A. R. Gore, “The Indian PHWR,” Nuclear Engineering and Design,vol.

236, no. 7, 2006.

12. Anil Kakodkar, Towards sustainable, secure and safe energy future: Leveraging

opportunities with Thorium

13. Tong, L.S. and Weisman, J., 1970, Thermal Analysis of Pressurizer Water Reactor,

American Nuclear Society

14. Lahey, R.T. and Moody, F.J., 1975, The Thermal Hydraulics of Boiling Water Reactor,

American Nuclear Society

Page 31: NASKAH AKADEMIK PROSPEK MSR UNTUK PENGUNAAN … · NASKAH AKADEMIK PROSPEK MSR UNTUK PENGUNAAN SUMBER DAYA THORIUM DI INDONESIA Andang Widi Harto A. PENDAHULUAN Penggunaan energi

31

15. AECL, 1981, CANDU Nuclear Power System, Atomic Energy of Canada Limited,

Mississauga, Ontario, Canada

16. Knief, R. A., 1981, Nuclear Energy Technology – Theory and Practice of Comercial

Nuclear Power, Hemisphere Publishing Corporation, New York

17. Djokolelono, M., 1986, Sistem Pembangkit Uap Nuklir, Pengantar Ilmu Pengetahuan

dan Teknologi Nuklir, Badan Tenaga Atom Nasional, Jakarta

18. KOPEC, Korean Standart Nuclear Power Plant, KSNP (OPR) Design, Korean power

Engineering INC

19. AECL, 1996, CANDU 6 Technical Outline, Atomic Energy of Canada Limited,

Mississauga, Ontario, Canada

20. Snell, V. G., and Webb, J. R., 1998, CANDU-9 – The CANDU Product to Meet

Customer and Regulator Requirements Now and in The Future, Pacific Basin Nuclear

Conference Proceeding, p.p. 1445-1453

21. ACR – Advanced CANDU Reactor Concept, www.aecltechnologies.com

22. IAEA TECDOC – 119, Current Status and Future Development of Modular High

Temperature Reactor

23. Forsbeg, C. W., Peterson, P. F., Zhao, H.H., 2004, An advanced Molten salt Reactor

Using High Temperature Reactor Technology, ICAPP.2004.MSR.Paper, 2004

International Congress on Advanced in Nuclear Power Plants (ICAPP ’04) Embedded

International Topical Meeting, 2004 American Nuclear Sociaty Annual Meeting,

Pittsburgh, Pennsylvania

24. a6-msr_fy07.external.pdf

25. M. W. Rosenthal, P. R. Kasten, and R. B. Briggs, “Molten-Salt Reactors – History,

Status, and Potential,” Nuclear Applications and Technology, vol. 8.2, pp. 107–117,

1970

26. L. Mathieu et al., “Possible Configurations for the TMSR and Advantages of the Fast

Non Moderated Version,” Nuclear Science and Engineering, vol. 161, pp. 78–79, 2009

27. D. E. Holcomb et al., Fast Spectrum Molten Salt Reactor Options, Oak Ridge National

Laboratory, ORNL/TM-2011/105, July 2011

28. David LeBlanc, 2012, Molten Salt Reactors and the Oil Sands: Odd Couple or Key to

North American Energy Independence?, Presentation to Canadian Nuclear Safety

Commission

29. David LeBlanc, 2013, The Curious Tale of Molten Salt Reactor, Presentation to

Canadian Nuclear Safety Commission, Ottawa Branch

30. Projected Cost of Generating Electricity, IEA, NEA, 2010

31. Nuclear Options for Hydrogen and Hydrogen Based Liquid Fuel Production, MIT Report

: MIT-NES-TR-001, September 2003

32. Harto, A.W., Kogenerasi Nuklir

33. Harto, A.W., Kusnanto, Negara, T.,A., Melfiana, E., 2007, Analisis Sistem Produksi

Hidrogen dari Air Menggunakan Reaktor Nuklir Generasi Keempat

34. Joshuah K Stolaroff, et.al. , Carbon Dioxide Capture from Atmospheric Air Using

Sodium Hidroxide Spray, Environt. Sci. Technol, 2008, 42, 2728 – 2735