45
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Di antara penyakit degeneratif, diabetes adalah salah satu di antara penyakit tidak menular yang akan meningkat jumlahnya di masa datang. Diabetes sudah merupakan salah satu ancaman utama bagi kesehatan umat manusia pada abad 21. Organisasi kesehatan dunia (WHO) membuat perkiraan bahwa pada tahun 2000 jumlah pengidap diabetes di atas umur 20 tahun berjumlah 150 juta orang dan dalam kurun waktu 25 tahun kemudian, pada tahun 2025, jumlah itu akan membengkak menjadi 300 juta orang. 1 Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua- duanya. Salah satu penyebab kematian terpenting pada diabetes mellitus yang lama ialah Nefropati Diabetika atau penyakit ginjal pada pasien diabetes. Diabetes mellitus menyerang struktur dan fungsi ginjal dalam berbagai bentuk. Nefropati diabetika adalah istilah yang mencakup semua lesi yang terjadi di ginjal pada diabetes mellitus. Mengingat bahwa DM akan memberikan dampak terhadap kualitas sumber daya manusia dan peningkatan biaya kesehatan

nefro diabetik

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Internist

Citation preview

BAB IPENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG Di antara penyakit degeneratif, diabetes adalah salah satu di antara penyakit tidak menular yang akan meningkat jumlahnya di masa datang. Diabetes sudah merupakan salah satu ancaman utama bagi kesehatan umat manusia pada abad 21. Organisasi kesehatan dunia (WHO) membuat perkiraan bahwa pada tahun 2000 jumlah pengidap diabetes di atas umur 20 tahun berjumlah 150 juta orang dan dalam kurun waktu 25 tahun kemudian, pada tahun 2025, jumlah itu akan membengkak menjadi 300 juta orang.1Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.Salah satu penyebab kematian terpenting pada diabetes mellitus yang lama ialah Nefropati Diabetika atau penyakit ginjal pada pasien diabetes. Diabetes mellitus menyerang struktur dan fungsi ginjal dalam berbagai bentuk. Nefropati diabetika adalah istilah yang mencakup semua lesi yang terjadi di ginjal pada diabetes mellitus. Mengingat bahwa DM akan memberikan dampak terhadap kualitas sumber daya manusia dan peningkatan biaya kesehatan yang cukup besar, maka semua pihak, baik masyarakat maupun pemerintah, sudah seharusnya ikut serta dalam usaha penanggulangan DM, khususnya dalam upaya pencegahan.Diabetes mellitus merupakan penyakit menahun yang akan diderita seumur hidup. Dalam pengelolaan penyakit tersebut, selain dokter, perawat, ahli gizi, dan tenaga kesehatan lain, peran pada pasien dan keluarga menjadi sangat penting. Edukasi kepada pasien dan keluarganya bertujuan dengan memberi pemahaman mengenai perjalanan penyakit, pencegahan, penyulit, dan penatalaksanaan DM, akan sangat membantu meningkatkan keikutsertaan keluarga dalam usaha memperbaiki hasil pengelolaan.

B. EPIDEMIOLOGIMenurut penelitian epidemiologi yang sampai saat ini dilaksanakan di Indonesia, kekerapan diabetes di Indonesia berkisar 1,4 dengan 1,6%, kecuali di dua tempat yaitu Pekajangan 2,3% dan Manado 6%. Penelitian antara tahun 2001 2005 di daerah Depok didapatkan prevalensi DM Tipe 2 sebesar 14,7%. Ditemukan juga di Makassar, prevalensi diabetes terakhir tahun 2005 yang mencapai 12,5%. Melihat kenaikan kekerapan diabetes secara global, maka dengan demikian dapat dimengerti bila suatu saat atau lebih tepat lagi dalam kurun waktu 1 atau 2 dekade yang akan datang kekerapan DM di Indonesia akan meningkat dengan drastis. Ini sesuai dengan perkiraan WHO bahwa Indonesia akan menempati peringkat nomor 5 sedunia dengan jumlah pengidap diabetes sebanyak 12,4 juta orang pada tahun 2025, naik 2 tingkat dibanding tahun 1995.2Nefropati diabetika merupakan salah satu penyebab kematian terpenting pada diabetes mellitus yang lama. Lebih dari sepertiga dari semua pasien baru masuk dalam program ESRD menderita gagagl ginjal. Telah diperkirakan bahwa sekitar 35% hingga 40% pasien diabetes tipe 1 akan berkembang biak menjadi gagal ginjal kronik (10-20%) dengan pengecualian pada orang Indian Pima dengan insiden mendekati 50%. Penduduk asli Amerika dan Afro Amerika sangat beresiko mengalami gagal ginjal diabetik.2C. TUJUAN PENULISANTujuan pembuatan makalah ini adalah untuk menjelaskan bagimana cara mendiagnosis Diabetes Mellitus (DM), mengetahui gejala klinis dari DM, mengetahui bagaimana DM dapat menyebabkan gagal ginjal kronis atau nefropati diabetika, mengetahui pengelolaan lebih lanjut terhadap penyakit DM, terutama nefropati diabetika; baik secara non-farmakologi dan farmakologi, dan menjelaskan bagaimana cara pencegahan penyakit DM agar tidak menjadi nefropati diabetika. Terutama dalam hal pemberian nutrisi sehari-hari, agar pasien dan keluarga pasien dapat mengetahui pola makan yang baik dan benar. Selain itu bertujuan untuk menjelaskan cara pencegahan penyakit DM.

BAB IIPEMBAHASANA. DEFINISI DAN KLASIFIKASIMenurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya.3,4Diabetes Melitus adalah kelainan endokrin yang ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa darah atau suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar gula ( glukosa ) darah akibat kekurangan insulin baik absolut ataupun relatif. Penderita DM mempunyai risiko untuk menderita komplikasi yang spesifik akibat perjalanan penyakit ini, yaitu retinopati (bisa menyebabkan kebutaan), gagal ginjal, neuropati, aterosklerosis (bisa menyebabkan stroke), gangren, dan penyakit arteria koronaria (Coronary artery disease).5,6Diabetes dapat diklasifikasikan menjadi empat kategori, yaitu: 1) Tipe 1, destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut (autoimun, idiopatik); 2) Tipe 2, bervariasi mulai yang dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang dominan defek sekresi insulin disertai resistensi insulin; 3) Tipe lain, karena defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, karena obat atau zat kimia, infeksi, sebab imunologi yang jarang, sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM; 4) DM gestasional, merupakan diabetes yang terjadi selama masa kehamilan.3,4B. ETIOLOGIMenurut anjuran PERKENI yang sesuai dengan anjuran ADA 1997,DM bisa diklasifikasikan secara etiologi menjadi diabetes tipe 1, diabetes tipe 2, diabetes dalam kehamilan, dan diabetes tipe lain.5,6Diabetes Tipe 1 DM tipe 1 atau yang dulu dikenal dengan nama Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM), terjadi karena kerusakan sel b pankreas (reaksi autoimun). Bila kerusakan sel beta telah mencapai 80--90% maka gejala DM mulai muncul. Perusakan sel beta ini lebih cepat terjadi pada anak-anak daripada dewasa.7 Sebagian besar penderita DM tipe 1 mempunyai antibodi yang menunjukkan adanya proses autoimun, dan sebagian kecil tidak terjadi proses autoimun. Kondisi ini digolongkan sebagai type 1 idiopathic. Sebagian besar (75%) kasus terjadi sebelum usia 30 tahun, tetapi usia tidak termasuk kriteria untuk klasifikasi.6,7Diabetes Tipe 2 DM tipe 2 merupakan 90% dari kaaus DM yang dulu dikenal sebagai non insulin dependent Diabetes Mellitus (NIDDM). Pada diabetes ini terjadi penurunan kemampuan insulin bekerja di jaringan perifer (insulin resistance) dan disfungsi sel beta. Akibatnya, pankreas tidak mampu memproduksi insulin yang cukup untuk mengkompensasi insulin resistance. Kedua hal ini menyebabkan terjadinya defisiensi insulin relatif.6-8Gejala minimal dan kegemukan sering berhubungan dengan kondisi ini, yang umumnya terjadi pada usia > 40 tahun. Kadar insulin bisa normal, rendah, maupun tinggi, sehingga penderita tidak tergantung pada pemberian insulin.6DM Dalam Kehamilan DM dan kehamilan (Gestational Diabetes Mellitus - GDM) adalah kehamilan normal yang disertai dengan peningkatan insulin resistance (ibu hamil gagal mempertahankan euglycemia). Faktor risiko GDM: riwayat keluarga DM, kegemukan, dan glikosuria. GDM ini meningkatkan morbiditas neonatus, misalnya hipoglikemia, ikterus, polisitemia, dan makrosomia.Hal ini terjadi karena bayi dari ibu GDM mensekresi insulin lebih besar sehingga merangsang pertumbuhan bayi dan makrosomia. Frekuensi GDM kira-kira 3--5% dan para ibu tersebut meningkat risikonya untuk menjadi DM di masa mendatang.6Diabetes Tipe Lain6,8a) Defek genetik fungsi sel beta kromosom 12, HNF-1 alfa ( dahulu MODY 3 ) kromosom 7, glukokinase ( dahulu MODY 2 ) kromosom 20, HNF-4 alfa ( dahulu MODY 1 ) DNA Mitokondriab) Defek Genetik kerja insulinc) Penyakit Eksokrin Pankreas : Pankreatitis Trauma Neoplasma Cystic Fibrosis Hemochromatosis Pankreatopati fibrokalkulusd) Endokrinopati Akromegali Sindroma Cushing Feokromositoma Hipertiroidismee) Karena obat / zat kimia yang menganggu fungsi sel beta seperti : Asam nikotinat Glukokortikoid Hormon Tiroid Tiazid Dilantin Interferon Alfaf) Infeksi : rubella, congenital dan CMVg) Proses Imunologi ( Jarang ) seperti antibody antireseptor insulinh) Sindrom genetik lain seperti Sindrom Down, Sindrom Klinefelter, Sindrom Turner, Huntington Chorea, Sindrom Prader Willi.

C. PATOFISIOLOGIDidalam tubuh terjadi suatu proses metabolisme dimana dalam hal ini yang memegang peranan penting yaitu insulin guna memasukkan glukosa kedalam sel, untuk selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan bakar dimana insulin merupakan suatu zat atau hormon yang dikeluarkan oleh sel beta di pankreas.9Pankreas9Adalah suatu kelenjar yang letaknya dibelakang lambung dimana didalamnya terdapat kumpulan sel yang berbentuk seperti pulau pada peta karenanya disebut pulau-pulau langerhans yang berisi sel beta yang mengeluarkan hormon insulin. Disamping itu juga memproduksi glukagon yang bekerja sebaliknya dari insulin yaitu meningkatkan kadar glukosa darah serta sel delta yang mengeluarkan somatostatin.Kerja Insulin9Insulin diibaratkan sebagai anak kunci yang dapat membuka pintu masuknya glukosa kedalam sel untuk kemudian di dalam sel glukosa itu dimetabolismekan menjadi tenaga. Sehingga bila insulin tidak ada, maka glukosa tidak dapat masuk sel dengan demikian kadar glukosa dalam darah akan meningkat. Dalam keadaan ini badan menjadi lemah dan tidak ada sumber energi dalam tubuh. Diabetes Tipe I Merupakan penyakit hiperglikemia akibat ketidakabsolut insulin. Penderita penyakit ini harus mendapat insulin pengganti. Biasanya ditemukan pada orang yang tidak gemuk dan berusia kurang dari 30 tahun. Diperkirakan timbul akibat destruksi autoimun sel-sel beta pulau Langerhans yang dicetuskan oleh lingkungan. Serangan autoimun dapat timbul setelah infeksi virus misalnya Mumps, Rubella, atau setelah pajanan obat atau toksik. Pada saat diagnosis diabetes tipe I ditegakan ditemukan antibody terhadap sel-sel pulau langerhans pada sebagian pasien. Terbentuknya antibody terhadap sel-sel pulau langerhans tidak diketahui penyebabnya.9Diabetes Tipe II Merupakan suatu kelainan yang heterogenik dengan karakteristik utama hiperglikemia kronis. Meskipun pola pewarisnya belum jelas, faktor genetik dikatakan memiliki peran yang kuat dalam munculnya DM tipe II ini. Faktor genetik akan berinteraksi dengan faktor lingkungan seperti gaya hidup, diet, rendahnya aktivitas fisik, obesitas dan tingginya kadar asam lemak bebas.Pada dasarnya pada DM tipe II ini memiliki 2 kelainan dasar seperti : Resistensi InsulinDapat menyebabkan intoleransi glukosa, hiperinsulinemia, peningkatan trigliserida VLDL, penurunan konsentrasi HDL, hipertensi.(13) Biasa terjadi pada organ target seperti pada liver, jaringan lemak, dan otot rangka merupakan defek utama pada pasien DM tipe II serta pasien dengan gangguan toleransi glukosa (Reaven1988; Hafner 1999).10Resistensi Insulin didefinisikan sebagai kegagalan respons efek fisiologis insulin terhadap metabolisme glukosa, lipid, protein serta fungsi endotel vascular. Mekanisme patologi yang melatarbelakangi resistensi insulin tetap belum sepenuhnya diketahui meskipun telah dilakukan penelitian-penelitian secara intensif. Adapun defek seluler dan molekuler yang diduga bertanggungjawab adalah ketdkmampuan reseptor insulin, abberant receptor signalling pathway,dan abnormalitas transport atau metabolisme glukosa.10Selama Hiperinsulinemia cukup adekuat mengatasi resistensi insulin, maka toleransi glukosa akn tetap normal. Pada pasien yang kemudian menjadi DM tipe II respon kompensasi sel beta ini menurun, sehingga akan berkembang menjadi defisiensi insulin baik yang relatif maupun absolut. Defek sekresi InsulinAkan menurunkan penyimpanan glukosa sebagai glikogen di otot dan hati. Hal ini bias timbul sebagian oleh karena komponen genetik berkaitan dengan GLUT 4 Transporter dan Hiperglikemia Kronik dapat menyebabkan gangguan ambilan glukosa otot melalui downregulation GLUT 4 Transporter. Selain itu juga sering ditemukan penurunan aktivitas tirosin kinase dan IRS-1 (Insulin Receptor Substrat-1).10Salah satu mekanisme penting namun tidak secara langsung pada resistensi insulin adalah adanya peningkatan asam lemak bebas dalam sirkulasi. Asam lemak bebas dapat menganggu kerja dari insulin dan metabolisme glukosa melalui beberapa cara. Salah satunya penting pada otot rangka dan liver.Asam lemak tinggimenganggu kerja insulin hepatositekstrasi insulin hepar dan glukoneogenesis meningkat ( kdr asam lemak bebas tinggi ) lebih dioksidasi oleh sel otot daripada glukosaasam lemak akan memproduksi produksi insulin (lipotoxicity). Dimana paparan sel beta dalam jangka panjang terhadap asam lemak bebas akan menganggu respon sekresi insulin terhadap glukosa.10Secara Umum pasien DM tipe II mengalami gangguan pada proses lipolisis sehingga hampir sebagian besar ditemukan memiliki berat badan berlebih / obese.D. MANIFESTASI KLINISGejala khas awal yang sering dijumpai (karena hiperglikemia) berupa poliuria/banyak kencing (terutama pada malam hari), polifagia/banyak makan, polidipsi/banyak minum, penurunan berat badan secara cepat. Gejala lain yang mungkin dikeluhkan pasien adalah kesemutan / rasa baal, gatal, mata kabur, dan impotensi pada pria serta pruritus vulva pada wanita.(14,15) Gejala sering timbul secara perlahan-lahan dan seringnya diagnosis ditegakkan ketika seseorang yang belum ada keluhan akan tetapi didapatkan peningkatan glukosa plasma pada pemeriksaan laboratorium rutin.6Manifestasi klinis diabetes dikaitkan dengan konsekuensi metabolik defisiensi insulin. Pasien dengan defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal atau toleransi glukosa setelah makan karbohidrat. Jika hiperglikeminya berat dan melebihi ambang ginjal untuk zat ini, maka timbul glikosuria. Glikosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotik yang meningkatkan pengeluaran urin (poliuria) dan timbul rasa haus (polidipsi). Karena gkukosa hilang bersama urin, maka pasien mengalami keseimbangan kalori negatif dan penurunan berat badan. Rasa lapar yang semakin besar (polifagia) mungkin akan timbul sebagai akibat kehilangan kalori. Pasien juga mengeluh lelah dan mengantuk.

E. KOMPLIKASIKomplikasi-komplikasi diabetes dapat dibagi menjadi dua kategori mayor; (1) Komplikasi metabolik akut, dan (2) Komplikasi vaskular jangka panjang.Komplikasi akut yang dapat terjadi seperti hipoglikemia dan hiperglikemia. Hipoglikemia adalah keadaan klinik gangguan saraf yang disebabkan penurunan glukosa darah. Gejala ini dapat terjadi dari ringan sampai berat berupa gelisah sampai koma dengan kejang. Penyebab tersering adalah obat hipoglikemik golongan sulfonilurea, khususnya glibenklamid. Pada keadaan apapun pengobatan yang paling baik adalah pencegahan namun bila sudah telanjur harus segera diatasi terutama gangguan terhadap otak, organ yang paling sensitive terhadap penurunan glukosa darah. Dapat diberikan gula murni 30 g atau makanan yang mengandung hidrat arang dan diberhentikan pemakaian obat hipoglikemik untuk sementara. Namun bila sudah terjadi koma hipoglikemia penanganan harus cepat, beri larutan glukosa 40% sebanyak 2 flakon melalui vena setiap 10-20 menit hingga pasien sadar disertai pemberian cairan dextrose 10% per infus 6 jam per kolf, untuk mempertahankan glukosa darah dalam nilai normal atau diatas normal.Hiperglikemia sering ditandai dengan kesadaran menurun disertai dehidrasi berat. Biasanya ditemukan adanya masukan kalori yang berlebihan, penghentian obat oral maupun insulin yang didahului oleh stress akut. Dapat terjadi ketoasidosis diabetik dan hiperosmolar non-ketosis. Ketoasidosis diabetik (KAD) merupakan defiensi insulin berat dan akut dari suatu perjalanan penyakit diabetes mellitus. Dapat dilihat dari gejala klinik utama seperti poliuria, polidipsia, hiperventilasi (pernafasan Kussmaul), takikardia, dan dehidrasi. Pasien sering mengeluarkan bau keton mirip buah yang khas dari nafasnya. Mual-muntah dan nyeri pucat sering terjadi. Sedangkan pada hiperosmolaritas non-ketoasidosis, individu mempunyai jumlah insulin yang cukup untuk mencegah ketoasidosis tetapi tidak cukup untuk mempertahankan homeostatis glukosa yang normal. Pengobatan dimulai dari rehidrasi, pemberian insulin, koreksi elektrolit dengan pemberian natrium bikarbonat, kalium serta pemberian antibiotika untuk mencegah infeksi.12Komplikasi vaskular jangka panjang dari diabetes melibatkan pembuluh-pembuluh kecil (mikroangiopati) dan melibatkan pembuluh-pembuluh sedang serta besar (makroangiopati).11Mikroangiopati merupakan lesi spesifik diabetes yang menyerang kapiler dan arteriola retina (retinopati diabetik), glomerulus ginjal (nefropati diabetik), dan saraf-saraf perifer (neuropati diabetik), otot-otot serta kulit. Dipandang dari sudut histokimia, lesi-lesi ini ditandai dengan peningkatan penimbunan glikoprotein. Selain itu, karena senyawa kimia dari membran dasar dapat berasal dari glukosa, maka hiperglikemia menyebabkan bertambahnya kecepatan pembentukan sel-sel membran dasar. Penggunaan glukosa dari sel-sel ini tidak membutuhkan insulin.11Makroangiopati diabetik mempunyai gambaran histopatologis berupa aterosklerosis. Gabungan dari gangguan biokimia yang disebabkan oleh insufisiensi insulin dapat menjadi penyebab jenis penyakit vaskuler ini. Gangguan-gangguan ini berupa; penimbunan sorbitol dalam intima vaskuler, hiperlipoproteinemia, dan kelainan pembekuan darah. Makroangiopati diabetik ini pada akhirnya akan mengakibatkan penyumbatan vaskuler. Jika mengenai arteri-arteri perifer, maka dapat mengakibatkan insufisiensi vaskuler perifer yang disertai klaudikasio intermiten dan gangren pada ekstremitas serta insufisiensi serebral dan stroke. Jika yang terkena adalah arteri koronaria dan aorta, maka dapat mengakibatkan angina dan infark miokardium.11Nefropati DiabetikNefropati Diabetik adalah penyakit ginjal atau kerusakan ginjal sebagai hasil dari komplikasi diabetes.(3) Nefropati diabetika merupakan salah satu penyebab kematian terpenting pada diabetes mellitus yang lama. Penyakit ginjal akibat penyakit DM yang merupakan penyebab utama gagal ginjal di Eropa dan USA.(9) Pada umumnya nefropati diabetik didefinisikan sebagai sindrom klinis pada pasien DM yang ditandai dengan albuminuria menetap (>300 mg/24 jam atau >200 g/menit) pada 2 kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan.11Ada 5 fase Nefropati Diabetika. Fase I, adalah hiperfiltrasi dengan peningkatan GFR, AER (albumin ekretion rate) dan hipertrofi ginjal. Fase II ekresi albumin relative normal (300mg/24 jam, pada fase ini terjadi penurunan GFR dan hipertensi biasanya terdapat. Fase V merupakan End StageRenal Disease (ESRD), dialisa biasanya dimulai ketika GFR-nya sudah turun sampai 15ml/mnt.KlasifikasiMogensen membagi 5 tahapan nefropati diabetik, yaitu : 1,2a. Tahap 1Terjadi hipertrofi dan hiperfiltrasi pada saat diagnosis ditegakkan. Laju filtrasi glomerolus dan laju ekskresialbumindalam urin meningkat.b. Tahap 2Secara klinis belum tampak kelainan yang berarti, laju filtrasi glomerolus tetap meningkat, ekskresi albumin dalam urin dan tekanan darah normal. Terdapat perubahan histologis awal berupa penebalan membrana basalis yang tidak spesifik. Terdapat pula peningkatan mesangium fraksional.c. Tahap 3Pada tahap ini ditemukan mikroalbuminuria. Laju filtrasi glomerulus meningkat atau dapat menurun sampai derajat normal. Laju ekskresi albumin dalam urin adalah 30-300 mg/24 jam. Tekanan darah mulai meningkat. Secara histologis, didapatkan peningkatan ketebalan membrana basalis dan volume mesangium fraksional dalam glomerulus.d. Tahap 4Merupakan tahap nefropati yang sudah lanjut. Perubahan histologis lebih jelas, juga timbul hipertensi pada sebagian besar pasien. Sindroma nefrotik sering ditemukan pada tahap ini. Laju filtrasi glomerulus menurun, sekitar 10 ml/menit/tahun dan kecepatan penurunan ini berhubungan dengan tingginya tekanan darah.e. Tahap 5Timbulnya gagal ginjalterminal.Patofisiologi1,2Patofisiologi nefropati diabetik dapat dilihat sebagai urutan peristiwa yang berkembang dalam pola bertahap dimulai dengan disfungsi sel endotel dan berakhir dengan gagal ginjal stadium akhir. Namun, disfungsi sel endotel didahului oleh hyperperfusion glomerulus dan hiperfiltrasi.Sampai saat ini, hiperfiltrasi masih dianggap sebagai awal dalam laju kerusakan ginjal. Penelitian Bremmer dkk pada hewan menunjukkan bahwa saat jumlah nefron mengalami pengurangan yang berkelanjutan, filtrasi glomerulus dari nefron yang masih sehat akan meningkat sebagai bentuk kompensasi. Hiperfiltrasi dari nefron yang sehat lambat laun akan menyebabkan sklerosis dari nefron tersebut.Mekanisme terjadinya peningkatan laju filtrasi glomerulus pada nefropati diabetic ini masih belum jelas benar, tetapi kemungkinan disebabkan oleh dilatasi arteriol aferen oleh efek yang tergantung glukosa, yang diperantarai hormon vasoaktif IGF-1,Nitric Oxide, prostaglandin dan glukagon. Efek langsung dari hiperglikemia adalah rangsangan hipertrofi sel, sintesis matriks ekstraseluler, serta produksi TGF- yang diperantarai oleh aktivasi protein kinase-C (PKC) yang termasuk dalam serine-threonin kinase yang memiliki fungsi pada vaskular seperti kontraktilitas, aliran darah, proliferasi sel dan permeabilitas kapiler. Hiperglikemi kronik dapat menyebabkan terjadinya glikasi nonenzimatik asam amino dan protein (reaksi Mallard dan Browning). Pada awalnya glukosa akan mengikat residu asam amino secara non enzimatik menjadi basa Schiff glikasi, lalu terjadi penyusunan ulang untuk mencapai bentuk yang lebih stabil tetapi masih reversibel dan disebut sebagai produk amadori. Jika proses ini berlangsung terus akan terjadi Advance Glycation End Products (AGEs) yang irreversible. AGEs diperkirakan menjadi perantara bagi beberapa kegiatan seluler seperti ekspresi adhesion molecules yang berperan dalam penarikan sel-sel mononuklear, juga pada terjadinya hipertrofi sel,sintesa sel matriks ekstraseluler, serta inhibisi sintesis Nitric Oxide. Proses ini akan terus berlanjut sampai terjadi ekspansi sesuai tahap-tahap pada mogensen. Hipertensi yang timbul bersama dengan bertambahnya kerusakan ginjal juga akan mendorong sklerosis pada ginjal pasien DM. Penelitian pada hewan DM menunjukkan adanya vasokonstriksi arteriol sebagai akibat kelainan renin/angiotensin sistem. Diperkirakan bahwa hipertensi pada DM terutama disebabkan oleh spasme arteriol eferen intrarenal atau intraglomerulus.(8)Secara ringkas, faktor-faktor etiologi timbulnya penyakit ginjal diabetic adalah : Kurang terkendalinya kadar gula darah (gula darah puasa >140-160 mg/dl [7,7-8,8mmol/l]); A1C > 7-8%. Faktor-faktor genetik Kelainan hemodinamik (peningkatan aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus, peningkatan tekanan intraglomerulus) Hipertensi sistematik Sindrom resistensi insulin ( sindroma metabolik ) Peradangan Perubahan permeabilitas pembuluh darah Asupan protein berlebih Gangguan metabolik (gangguan metabolisme polyol, pembentukan advance glycation end products, peningkatan produksi sitokin) Pelepasan growth factors Kelainan metabolisme karbohidrat / lemak / protein Kelainan struktural (hipertrofi glomerulus, ekspansi mesangium, penebalan membran basalis glomerulus) Gangguan ion pumps (peningkatan Na+-H+ pump dan penurunan Ca+ ATPase pump) Hiperlipidemia (hiperkolesterolemia dan hipertrigliseridemia) Aktivasi proteinkinaseC. (3)Pada saat diagnosa DM ditegakkan, kemungkinan adanya penurunan fungsi ginjal juga harus diperiksa, demikian pula saat pasien sudah menjalani pengobatan rutin DM. Pemantauan yang dianjurkan oleh ADA antara lain pemeriksaan terhadap adanya mikroalbuminuria serta penentuan kreatinin serum dan klirens kreatinin. Untuk mempermudah evaluasi klirens kreatinin, dapat digunakan perhitungan LFG dengan menggunakan rumus dari Cockroft-Gault, yaitu (Sudoyo, 2006).:

*) LFG dalam ml/menit/1,73 m2

Dalam perkembangannya, nefropati diabetik lama kelamaan akan menjadi gagal ginjal kronik yang merupakan kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m. Batasan penyakit ginjal kronik:1,.21. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan: Kelainan patologik Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada pemeriksaan pencitraan radiologi 2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m selama > 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal.Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, klasifikasi stadium ditentukan oleh nilai laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai laju filtrasi glomerulus yang lebih rendah. Klasifikasi tersebut membagi penyakit ginjal kronik dalam lima stadium. Stadium 1 adalah kerusakan ginjal dengan fungsi ginjal yang masih normal, stadium 2 kerusakan ginjal dengan penurunan fungsi ginjal yang ringan, stadium 3 kerusakan ginjal dengan penurunan yang sedang fungsi ginjal, stadium 4 kerusakan ginjal dengan penurunan berat fungsi ginjal, dan stadium 5 adalah gagal ginjal. Tabel 1. Klasifikasi penyakit ginjal kronik berdasarkan laju filtrasi glomerolus.1,3DerajatPenjelasanLFG (mL/menit/1,73m2)

1Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau 90

2Kerusakan ginjal dengan LFG ringan60-89

3Kerusakan ginjal dengan LFG sedang30-59

4Kerusakan ginjal dengan LFG berat15-29

5Gagal ginjal 9011HTNormal

60 8922HT dengan penurunan GFRPenurunan GFR

30 593333

15 294444

< 15 (atau dialisis)5555

F. PEMERIKSAAN PENUNJANGUntuk diagnosis DM: pemeriksaan glukosa darah/hiperglikemia (puasa, 2 jam setelah makan/post prandial/PP) dan setelah pemberian glukosa per-oral (TTGO).5-7Antibodi untuk petanda (marker) adanya proses autoimun pada sel beta adalah islet cell cytoplasmic antibodies (ICA), insulin autoantibodies (IAA), dan antibodi terhadap glutamic acid decarboxylase (anti-GAD). ICA bereaksi dengan antigen yang ada di sitoplasma sel-sel endokrin pada pulau-pulau pankreas. ICA ini menunjukkan adanya kerusakan sel. Adanya ICA dan IAA menunjukkan risiko tinggi berkembangnya penyakit ke arah diabetes tipe 1. GAD adalah enzim yang dibutuhkan untuk memproduksi neurotransmiter g-aminobutyric acid (GABA). Anti GAD ini bisa teridentifikasi 10 tahun sebelum onset klinis terjadi. Jadi, 3 petanda ini bisa digunakan sebagai uji saring sebelum gejala DM muncul.(2) Untuk membedakan tipe 1 dengan tipe 2 digunakan pemeriksaan C-peptide. Konsentrasi C-peptide merupakan indikator yang baik untuk fungsi sel beta, juga bisa digunakan untuk memonitor respons individual setelah operasi pankreas. Konsentrasi C-peptida akan meningkat pada transplantasi pankreas atau transplantasi sel-sel pulau pankreas.6Pemeriksaan untuk Pemantauan Pengelolaan DM Yang digunakan adalah kadar glukosa darah puasa, 2 jam PP, dan pemeriksaan glycated hemoglobin, khususnya HbA1C, serta pemeriksaan fruktosamin. Pemeriksaan fruktosamin saat ini jarang dilakukan karena pemeriksaan ini memerlukan prosedur yang memakan waktu lama. Pemeriksaan lain yang bisa dilakukan ialah urinalisa rutin. Pemeriksaan ini bisa dilakukan sebagai self-assessment untuk memantau terkontrolnya glukosa melalui reduksi urin.5,6Pemeriksaan HbA1C HbA1C adalah komponen Hb yang terbentuk dari reaksi non-enzimatik antara glukosa dengan N terminal valin rantai b Hb A dengan ikatan Almidin. Produk yang dihasilkan ini diubah melalui proses Amadori menjadi ketoamin yang stabil dan ireversibel. Metode pemeriksaan HbA1C: ion-exchange chromatography, HPLC (high performance liquid chromatography), Electroforesis, Immunoassay, Affinity chromatography, dan analisis kimiawi dengan kolorimetri.5,6HbA1C akan meningkat secara signifikan bila glukosa darah meningkat. Karena itu, HbA1C bisa digunakan untuk melihat kualitas kontrol glukosa darah pada penderita DM (glukosa darah tak terkontrol, terjadi peningkatan HbA1C -nya ) sejak 3 bulan lalu (umur eritrosit). HbA1C meningkat: pemberian terapi lebih intensif untuk menghindari komplikasi. Nilai yang dianjurkan PERKENI untuk HbA1C (terkontrol): 4%-5,9%. Jadi, HbA1C penting untuk melihat apakah penatalaksanaan sudah adekuat atau belum. Sebaiknya, penentuan HbA1C ini dilakukan secara rutin tiap 3 bulan sekali.7

Pemeriksaan untuk Memantau Komplikasi DM Komplikasi spesifik DM: aterosklerosis, nefropati, neuropati, dan retinopati. Pemeriksaan laboratorium bisa dilakukan untuk memprediksi beberapa dari komplikasi spesifik tersebut, misalnya untuk memprediksi nefropati dan gangguan aterosklerosis.Pemeriksaan untuk memantau komplikasi nefropati: mikroalbuminuria serta heparan sulfat urine (pemeriksaan ini jarang dilakukan).5-7 Pemeriksaan lainnya yang rutin adalah pemeriksaan serum ureum dan kreatinin untuk melihat fungsi ginjal.5Mikroalbuminuria: ekskresi albumin di urin sebesar 30-300 mg/24 jam atau sebesar 20-200 mg/menit.6,7 Mikroalbuminuria ini dapat berkembang menjadi makroalbuminuria. Sekali makroalbuminuria terjadi maka akan terjadi penurunan yang menetap dari fungsi ginjal. Kontrol DM yang ketat dapat memperbaiki mikroalbuminuria pada beberapa pasien, sehingga perjalanan menuju ke nefropati bisa diperlambat.7 Pemeriksaan albuminuria sebaiknya dilakukan minimal 1 kali per tahun pada semua penderita DM usia > 12 tahun. Pemeriksaan untuk memantau komplikasi aterosklerosis ini ialah profil lipid, yaitu kolesterol total, low density lipoprotein cholesterol (LDL-C), high density lipoprotein cholesterol (HDL-C), dan trigliserida serum, serta mikroalbuminuria.(6,21,22) Pada pemeriksaan profil lipid ini, penderita diminta berpuasa sedikitnya 12 jam (karena jika tidak puasa, trigliserida > 2 jam dan mencapai puncaknya 6 jam setelah makan). Terkadang juga dibutuhkan pemeriksaan lain untuk melihat gejala komplikasi dari DM, misalnya adanya gangguan keseimbangan elektrolit dan asidosis/alkalosis metabolik maka perlu dilakukan pemeriksaan elektrolit dan analisa gas darah. Pada keadaan ketoasidosis juga dibutuhkan adanya pemeriksaan keton bodies, misalnya aceton/keton di urine, kadar asam laktat darah, kadar beta hidroksi butarat dalam darah, dan lain-lainnya. Selain itu, mungkin untuk penelitian masih dilakukan pemeriksaan biomolekuler, misalnya HLA (Human Lymphocyte Antigen) serta pemeriksaan genetik lain. G. DIAGNOSISAda perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik DM dilakukan pada mereka yang menujukkan gejala/tanda DM, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai risiko DM.2Gejala khas DM terdiri dari poliuria, polidipsia, polifagia, dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas, sedangkan gejala tidak khas DM diantaranya lemas, kesemutan, luka yang sulit sembuh, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi (pria) dan pruritus vulva (wanita). Apabila ditemukan gejala khas DM, pemeriksaan glukosa darah abnormal satu kali saja sudah cukup untuk menegakkan diagnosis, namun apabila tidak ditemukan gejala khas DM, maka diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa darah abnormal.2,3Selain itu diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:2,31. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dl (11,1 mmol/L) sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa 126 mg/dl (7,0 mmol/L) dengan adanya keluhan klasik. Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam.3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Glukosa plasma 2 jam pada TTGO 200 mg/dl (11,1 mmol/L). TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air. Meskipun TTGO lebih sensitif dan spesifik disbanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan sendiri, TTGO sulit dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus.Selain tiga cara tersebut, pemeriksaan HbA1c ( 6,5%) oleh ADA 2011 sudah dimasukkan menjadi salah satu criteria diagnosis DM, jika dilakukan pada sarana laboratorium yang telah terstandardisasi dengan baik.Tabel 3. Konsentrasi Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa Sebagai Patokan Penyaring dan Diagnosis DM (mg/dl)Bukan DMBelum Pasti DMDM

Konsentrasi glukosa darah sewaktu (mg/dl)Plasma VenaDarah Kapiler< 100< 90100-19990-199 200 200

Konsentrasi glukosa darah puasa (mg/dl)Plasma VenaDarah Kapiler< 100< 90100-12590-99 126 100

Gambar 1. Langkah-langkah Diagnostik DM dan Toleransi Glukosa Terganggu2Sedangkan, diagnosis Nefropati Diabetika dapat dibuat apabila dipenuhi persyaratan seperti di bawah ini:1. DM2. Retinopati Diabetika3. Proteinuri yang presisten selama 2x pemeriksaan interval 2 minggu tanpa penyebab proteinuria yang lain, atau proteinuria 1x pemeriksaan plus kadar kreatinin serum >2,5mg/dl.

Data yang didapatkan pada pasien antara lain pada:1. AnamnesisDari anamnesis kita dapatkan gejala-gejala khas maupun keluhan tidak khas dari gejala penyakit diabetes. Keluhan khas berupa poliuri, polidipsi, polipagi, penurunan berat badan. Keluhan tidak khas berupa: kesemutan, luka sukar sembuh, gatal-gatal pada kulit, ginekomastia, impotens.

2. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan MataPada Nefropati Diabetika didapatkan kelainan pada retina yang merupakan tanda retinopati yang spesifik dengan pemeriksaan Funduskopi, berupa :a). Obstruksi kapiler, yang menyebabkan berkurangnya aliran darahdalam kapiler retina.b). Mikroaneusisma, berupa tonjolan dinding kapiler, terutama daerahkapiler vena.c). Eksudat berupa : Hard exudate. Berwarna kuning, karena eksudasi plasma yang lama. Cotton wool patches.d). Shunt artesi-vena, akibat pengurangan aliran darah arteri karena obstruksi kapiler.e). Perdarahan bintik atau perdarahan bercak, akibat gangguan permeabilitas mikroaneurisma atau pecahnya kapiler.f). Neovaskularisasi

Bila penderita jatuh pada stadium end stage (stadium IV-V) atau CRF end stage, didapatkan perubahan pada : Cor (kardiomegali) Pulmo (edema pulmo)

3. Pemeriksaan LaboratoriumProteinuria yang persisten selama 2 kali pemeriksaan dengan interval 2 minggu tanpa ditemukan penyebab proteinuria yang lain atau proteinuria satu kali pemeriksaan plus kadar kreatinin serum > 2,5 mg/dl.

H. PENATALAKSANAANTujuan penatalaksanaan pada DM secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup penyandang diabetes. Tujuan jangka pendek adalah menghilangkan keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman, dan mencapai target pengendalian glukosa darah. Sedangkan tujuan jangka panjang mencegah dan menghambat progresivitas penyulit mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara holistik dengan mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan perilaku.3Ada empat pilar dalam penatalaksanaan DM, yaitu edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani, dan intervensi farmakologis. Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, dan adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan.31. Pengendalian Gula DarahPengendalian hiperglikemia merupakan langkah penting untuk mencegah/mengurangi semua komplikasi makroangiopati dan mikroangiopati. Terapi Nutrisi Medis (TNM)Terapi nutrisi medis merupakan salah satu terapi non farmakologi yang sangat direkomendasikan bagi penyandang diabetes. Beberapa manfaat yang telah terbukti dari TNM ini antara lain: 1) menurunkan berat badan; 2) menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik; 3) menurunkan kadar glukosa darah; 4) memperbaiki profil lipid; 5) meningkatkan sensitivitas reseptor insulin; 6) memperbaiki sistem koagulasi darah.Adapun tujuan dari TNM adalah untuk mencapai dan mempertahankan: 1) kadar glukosa darah mendekati normal, yaitu gula darah puasa berkisar 90-130 mg/dl, glukosa darah 2 jam setelah makan < 180 mg/dl, kadar A1c < 7%; 2) tekanan darah < 130/80 mmHg; 3) profil lipid, kolesterol LDL < 100 mg/dl, kolesterol HDL > 40 mg/dl, Trigliserida < 150 mg/dl; 4) berat badan senormal mungkin.Pada Konsensus Perkumpulan Endokrinologi Indonesia ( PERKENI ) telah ditetapkan bahwa standar yang dianjurkan adalah santapan dengan komposisi seimbang berupa karbohidrat ( 60-70%), protein (10-15% ), lemak ( 20-25% ). Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stress akut, dan kegiatan jasmani untuk mencapai berat badan ideal. Selain itu kebutuhan kalori juga perlu diketahui oleh para pasien DM, ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori. Diantaranya adalah dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30 kalori/kgBB ideal, ditambah atau dikurangi bergantung pada beberapa faktor seperti: jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dan lain-lain.Perhitungan berat badan Ideal (BBI) dengan rumus Brocca yang dimodifikasi adalah sebagai berikut:Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150 cm, rumus dimodifikasi menjadi :Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x 1 kg.BB Normal : BB ideal 10 %Kurus : < BBI - 10 %Gemuk : > BBI + 10 %Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT). Indeks massa tubuh dapat dihitung dengan rumus:IMT = BB(kg)/ TB(m2)Klasifikasi IMT: BB Kurang < 18,5; BB Normal 18,5-22,9; BB Lebih 23,0; Dengan risiko 23,0-24,9; Obes I 25,0-29,9; Obes II > 30

Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain :a. Jenis KelaminKebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria. Kebutuhan kalori wanita sebesar 25 kal/kg BB dan untuk pria sebesar 30 kal/ kg BB.b. UmurUntuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5% untuk dekade antara 40 dan 59 tahun, dikurangi 10% untuk dekade antara 60 dan 69 tahun dan dikurangi 20%, di atas usia 70 tahun.c. Aktivitas Fisik atau Pekerjaan Kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas aktivitas fisik. Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada kedaaan istirahat, 20% pada pasien dengan aktivitas ringan, 30% dengan aktivitas sedang, dan 50% dengan aktivitas sangat berat.d. Berat Badan Bila kegemukan dikurangi sekitar 20-30% tergantung kepada tingkat kegemukan. Bila kurus ditambah sekitar 20-30% sesuai dengan kebutuhan untuk meningkatkan BB. Untuk tujuan penurunan berat badan jumlah kalori yang diberikan paling sedikit 1000-1200 kkal perhari untuk wanita dan 1200-1600 kkal perhari untuk pria. InsulinOptimalisasi terapi insulin eksogen sangat penting . Normalisasi metabolisme seluler dapat mencegah penimbunan toksin seluler (polyol) dan metabolitnya (myoinocitol) Insulin dapat mencegah kerusakan glomerulus Mencegah dan mengurangi glikolisis protein glomerulus yang dapat menyebabkan penebalan membran basal dan hilangnya kemampuan untuk seleksi protein dan kerusakan glomerulus (permselectivity). Memperbaiki fatal tubulus proksimal dan mencegah reabsorpsi glukosa sebagai pencetus nefromegali. Kenaikan konsentrasi urinary N-acetyl-Dglucosaminidase (NAG) sebagai petanda hipertensi esensial dan nefropati. Mengurangi dan menghambat stimulasi growth hormone (GH) atau insulin-like growth factors (IGF-I) sebagai pencetus nefromegali. Mengurangi capillary glomerular pressure (Poc)(10)

Pada penderita DM, Insulin diperlukan pada keadaan: Penurunan berat badan yang cepat Hiperglikemia berat yang disertai ketosis Ketoasidosis diabetik Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik Hiperglikemia dengan asidosis laktat Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke) Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasionalyang tidak terkendali dengan perencanaan makan Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO. Perhatikan tabel 3 dan gambar 2.

Tabel 4. Jenis-jenis Insulin dan Cara Kerjanya

Obat Hipoglikemi OralPemilihan macam/tipe OHO harus diperhatikan efek farmakologi dan farmakokinetik antara lain :a). Eliminasi dari tubuh dalam bentuk obat atau metabolitnya.b). Eliminasi dari tubuh melalui ginjal atau hepar.c). Perbedaan efek penghambat terhadap arterial smooth muscle cell (ASMC).d). Retensi Na+ sehingga menyebabkan hipertensi.(10)

Pemicu sekresi insulin Sulfonilurea. Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang Namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang. Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial. Peningkat sensitivitas terhadap insulinTiazolidindion (pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-g), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala. Penghambat glukoneogenesisMetformin. Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin >1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebro-vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah makan. Selain itu harus diperhatikan bahwa pemberian metformin secara titrasi pada awal penggunaan akan memudahkan dokter untuk memantau efek samping obat tersebut. Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose). Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulens.2. Pengendalian Tekanan Darah

Diet Rendah GaramDiet rendah garam (DRG) kurang dari 5 gram per hari penting untuk mencegah retensi Na+ (sembab dan hipertensi) dan meningkatkan efektivitas obat antihipertensi yang lebih poten. Obat Anti-HipertensiDiuretik merupakan initialdrug choices, obat ini biasanya menjadi pilihan untuk terapi awal hipertensi yang tidak disertai dengan komplikasi / kondisi khusus. Diuretik menurunkan tekanan darah dengan cara mengeluarkan cairan dan garam. Minum diuretik menyebabkan frekuensi miksi (kencing) jadi meningkat. Contoh diuretik adalah HCT (Hidroklorotiazid').Angiotensin-Converting Enzyme (ACE)Inhibitor. Obat ini mencegah konstriksi (pengkerutan) pembuluh darah akibat formasi hormon angiotensin II dengan cara memblokade enzim ACE, mencegah pembentukan angiotensin I menjadi angiotensin II. Contoh obat golongan ini : Kaptopril.Angiotensin II Reseptor Blocker akan secara langsung memblokade aksi hormon angiotensin II. Obat ini dapat digunakan bila penggunaan ACE inhibitor menimbulkan keluhan / efek samping.Contoh obat golongan ini : Valsartan, Telmisartan, Olmesartan.Golongan Beta Blocker ini memblokade aksi adrenalin padasistemsaraf otonom, sehingga menurunkan frekuensi jantung (heart's rate) dan curah jantung (heart'soutput). Golongan beta blocker juga akan mengurangi beban jantung. Contoh obat golongan ini : Propanolol,Atenolol.Calcium Chanel Blocker dapat melebarkan pembuluh darah sehingga tekanan kapiler menurun. Obat ini mencegah masuknya kalsium ke jaringan melalui Calcium Channel sehingga akan merelaksasi dinding pembuluh darah arteri dan menurunkan kontraksi jantung. Contoh obat golongan ini :Verapamil, Diltiazem,Nifedipine.3. Pengendalian Fungsi Ginjal Diet Rendah ProteinDRP (0,6-0,8 gram per kg BB per hari) sangat penting untuk mencegah progresivitas penurunan faal ginjal. Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.4. Pengendalian faktor-faktor komorbiditasContohnya ialah dengan mengendalikan kadar lemak, mengurangi obesitas, dll. Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalas-malasan.Prinsip latihan jasmani bagi diabetes, persis sama dengan prinsip latihan jasmani secara umum, yaitu memenuhi beberapa hal seperti, frekuensi, intensitas, durasi dan jenis. Frekuensi, yaitu jumlah olahraga per minggu sebaiknya dilakukan dengan teratur 3-5 kali per minggu. Intensitasnya ringan dan sedang (60-70% Maximum Heart Rate), durasinya 30-60 menit, dan jenis latihan jasmani endurans (aerobik) untuk meningkatkan kemampuan kardiorespirasi seperti jalan, jogging, berenang, dan bersepeda.Latihan jasmani yang dipilih sebaiknya yang disenangi serta memungkinkan untuk dilakukan dan hendaknya melibatkan otot-otot besar. Untuk menentukan intensitas latihan, dapat digunakan Maximum Heart Rate (MHR) yaitu 220 - umur. Setelah MHR didapatkan, dapat ditentukan Target Heart Rate (THR). Sebagai contoh: suatu latihan bagi seorang diabetisi berumur 60 tahun disasarkan sebesar 75%, maka THR = 75% x (220 60) = 120. Dengan demikian, diabetisi tersebut dalam melakukan latihan jasmani, sasaran denyut nadinya adalah sekitar 120x/menit.

5. Terapi Pengganti GinjalTerapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit gagal ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal.a. HemodialisisTindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m, mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat.b. Dialisis peritoneal (DP)Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien- pasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal.c. Transplantasi ginjal

BAB IIIPENUTUPKESIMPULANDiabetes Melitus (DM) merupakan penyakit metabolik yang berlangsung kronik dimana penderita diabetes tidak bisa memproduksi insulin dalam jumlah yang cukup atau tubuh tidak mampu menggunakan insulin secara efektif sehingga terjadilah kelebihan gula di dalam darah dan baru dirasakan setelah terjadinya keomplikasi lanjut pada organ tubuh. Nefropati diabetik merupakan komplikasi vaskular jangka panjang dari diabetes melitus. Pada sebagian penderita komplikasi ini berlanjut menjadi gagal ginjal terminal yang memerlukan pengobatan cuci darah atau transplantasi ginjal.Nefropati diabetik merupakan kelainan degeneratif vaskuler ginjal yang ditandai dengan albuminuria menetap (> 300mg/24jam atau > 200 u g/menit) pada minimal 2 kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan. Apabila tanda-tanda tersebut dapat diketahui secara dini, penderita bisa mendapat bantuan untuk mengubah atau menyesuaikan gaya hidup agar bisa lebih memperlambat kegagalan tersebut, atau bahkan menghentikan kegagalan ginjal tersebut, tergantung dari penyebabnya.Tujuan pengelolaan nefropati diabetik adalah mencegah atau menunda progresifitas penyakit ginjal dan memperbaiki kualitas hidup pasien sebelum menjadi gagal ginjal terminal.

DAFTAR PUSTAKA1. Suyono S. Diabetes melitus di Indonesia. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid III. Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing, 2009.h.1874-9.2. Purnamasari D. Diagnosis dan klasifikasi diabetes melitus. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid III. Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing, 2009.h.1880-3.3. Perkumpulan Endokronologi Indonesia (PERKENI). Konsensus pengendalian dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di Indonesia 2011. Jakarta: PERKENI, 2011.h.3-11, 15-30, 35-6, 48-54.4. American Diabetes Association. Standards of medical care in diabetes-2014. Diabetes Care vol. 37, January 2014.p.14-6, 21-3, 26-33.5. Sacks D.B. Carbohydrates. In Tietz Fundamentals of Clinical Chemistry, Eds Burtis C.A, Ashwood E.R, 5th Edition, W.B. Saunders Company, USA, 2001. p427-61. 6. Soegondo S. Farmakoterapi pada pengendalian glikemia diabetes melitus tipe 2. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid III. Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing, 2009.h.1884-90.7. Foster D.W. Diabetes Mellitus. In Harrisons Principles of Internal Medicine, Eds Fauci, Braunwald, Isselbacher, et al, 14th Edition, McGraw-Hill Companies, USA, 1998. p623-75 8. Soegondo S. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus Terkini. In : Soegondo S, Soewondo P, Subekti I, editor. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. 4th ed. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2004. p. 17-27.9. Suyono S. Patofisiologi Diabetes Melitus. In : Soegondo S, Soewondo P, Subekti I, editor. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. 4th ed. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2004. p 7-15.10. Hendromartono. Resistensi Insulin pada Diabetes Tipe II. In : Prodjosudjiadi W, Setiati S, Alwi I, editor. Pertemuan Ilmiah Nasional I PB PAPDI. Jakarta : Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI ; 2003. p. 83-7.11.

30