Upload
others
View
19
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
NGUMBUL : KAJIAN EKOLOGI MANUSIA DAN HUTAN DI UMBULAN
ROWOGIRI TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN (TNBBS)
SKRIPSI
Oleh
Syaiful Anwar
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
ABSTRAK
NGUMBUL : KAJIAN EKOLOGI MANUSIA DAN HUTAN
DI UMBULAN ROWOGIRI TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN
SELATAN (TNBBS)
Oleh:
Syaiful Anwar
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas masyarakat Umbulan
Rowogiri di TNBBS dan dampak dari mengolah hutan larangan di TNBBS. Tipe
penelitian ini menggunakan tipe penelitian kualitatif. Sumber data dalam
penelitian ini terdiri dari sumber data primer dan data sekunder. Teknik
pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara dan dokumentasi
penelitian. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa aktivitas masyarakat di
Umbulan Rowogiri mereka memanfaatkan lahan untuk bercocok tanam. Hasil
perkebunan mereka jual untuk memenuhi kebutuhan hidup. Penyebab terjadinya
aktivitas masyarakat Umbulan Rowogiri dengan hutan di TNBBS disebabkan
karena faktor keturunan dari orangtua, ajakan dari saudara atau kerabat, harga
tanah yang murah, serta kondisi tanah yang subur. Dampak dari adanya aktivitas
ngumbul masyarakat Umbulan Rowogiri di TNBBS ada dampak positif dan
dampak negatif bagi manusia dan lingkungan itu sendiri.
Kata kunci: aktivitas, dampak, ngumbul
ABSTRACT
NGUMBUL : STUDY of HUMAN ECOLOGY in UMBULAN
ROWOGIRI TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN (TNBBS)
By:
Syaiful Anwar
This study aims to determine the activities of Rowogiri's Umbulan society in
TNBBS and the impact of processing forest prohibition on TNBBS. Type of this
research uses a qualitative research. The data source in this study consists of
primary data sources and secondary data. Data collection techniques are carried
out by observation, interviews and research documentation. Based on the results
of the study, it was found that the activities of Rowogiri's Umbulan society in used
land for farming. Their plantation products sell to fulfill their daily needs. The
cause of the society activities of Rowogiri's Umbulan with forest in TNBBS is due
to heredity from parents, invitation from relatives or relatives, cheap land prices,
and fertile soil conditions. The impact of the ngumbul activity of the Rowogiri
Umbulan in the TNBBS has positive impacts and negative impacts on humans and
the environment itself.
Keywords: activity, impact, ngumbul
NGUMBUL : KAJIAN EKOLOGI MANUSIA DAN HUTAN DI UMBULAN
ROWOGIRI TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN (TNBBS)
Oleh
SYAIFUL ANWAR
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat Mencapai Gelar
SARJANA SOSIOLOGI
Pada
Jurusan Sosiologi
Fakultas Ilmu Soial dan Ilmu Politik
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG
2019
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Syaiful Anwar, Lahir di Pekon Sukamarga,
Kecamatan Suoh, Lampung Barat pada saat Gempa Liwa
tahun 1994. Penulis merupakan anak ke lima dari enam
berasaudra dari pasangan Bapak Sukisman dan Ibu Puriyah.
Melalui jenjang pendidikan dari MI Al-Ma’arif Ringin Sari, Kecamatan Suoh,
Kabupaten Lampung Barat tahun 1999-2005. Penulis melanjutkan pendidikan di
SMP N 2 Suoh yang kini menjadi SMP N 1 Suoh , Lampung Barat tahun 2005-
2008. Setelah itu, Pada tahun 2008-2011 penulis melanjutkan pendidikan di SMA
Bhakti Mulya Kecamatan Suoh, Kabupaten Lampung Barat.
Pada tahun 2011 penulis mengikuti Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi
Negeri (SNMPTN) mengambil jurusan Managemen dan Ekonomi Pembangunan
Fakultas Ekonomi Universitas Lampung tetapi tidak lulus dan kemudian penulis
masuk sebagai mahasiswa di Universitas Teknokrat Pada Jurusan Sistem
Informasi tetapi ditinggalkan. Tahun 2012 Penulis mencoba kembali Seleksi
Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) mengambil jurusan
Managemen dan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Lampung
dan Universitas Gajah Mada tetapi tidak lulus dan di tahun 2012 penulis mencoba
jalur masuk Ujian Mandiri (UM) di jurusan Managemen dan Sosiologi
Universitas Lampung akhirnya penulis diterima Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Lampung.
Penulis aktif berorganisasi baik dalam kampus maupun di luar kampus. Penulis
bergabung di HMJ Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Lampung sebagai Ketua Umum priode 2014-2015, PMII UNILA sebagai Wakil
Ketua Satu Kaderisasi 2013-2014, UKM Penelitian UNILA sebagai Ketua Bidang
Riset Sosial 2015-2016, Keluarga Mahasiswa Nahdatul Ulama (KMNU),
Universitas Lampung sebagai anggota. Selain itu, penulis aktif dalam
pengambilan data penelitian lapangan di berbagai lembaga seperti lembaga
penelitian, dimulai pada tahun 2013 mengikuti survei Saifulmujani Research and
Consulting (SMRC). Penulis melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) priode 2
tahun 2015 di Tiyuh Pagar Jaya Kecamatan Lambu Kibang, Kabupaten Tulang
Bawang.
MOTTO
Menjadi biasa-biasa saja. Hidup ini satu-kesatuan Joy, Sadness, Fear, Anger dan
Disgust belajarlah mengkolaborasikan, karna hidup ini akan lucu jika senang
hanya senang, sedih hanya sedih, marah hanya marah, takut hanya takut dan jijik
hanya jijik.
(Syaiful Anwar)
Hakikat hidup bukanlah apa yang kita ketahui, bukan buku-buku yang kita baca
atau kalimat-kalimat yang kita pidatokan, melainkan apa yang kita kerjakan, apa
yang paling mengakar di hati, jiwa dan inti kehidupan kita.
(EAN)
Dalam hidup nyata dan dalam perjungan yang tak mudah, kita bukan tokoh
dongeng yang gagah berani dan penuh sifat kepahlawanan.
(Abdurrahman Wahid)
PERSEMBAHAN
Bismillahhirohmanirohim
Segala puji bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Tuhan yang telah memberikan
kesempatan sehingga dapat ku selesaikan sebuah karya ilmiah ini dan kepada
Kanjeng Nabi Muhammad Shallallahu’ Alaihi Wasalam yang selalu
diharapkan Syafaatnya di hari akhir kelak. Saya persembahkan karya ini
kepada :
Kedua orang tuaku, Bapak Sukisman dan Ibu Puriah yang selalu mencintai,
menyayangi dan mengasihi serta mendoakan dengan tulus sebagai
penyemangat hidup saya.
Serta untuk Dwini Yunar Vini Agusti, Nasrudin, Sodikin, Nur Hidayah, Nur
Kholifah dan Nur Azizah yang senantiasa memberikan dukungan semangat
kepadaku sehingga karya ini dapat terselesaikan.
Almamater tercinta
UNIVERSITAS LAMPUNG
SANWACANA
Puji Syukur penulis haturkan kehadirat ALLAH SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul “Ngumbul : Kajian Ekologi Manusia dan Hutan di Umbulan
Rowogiri, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS)” sebagai salah
satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sosiologi (S.Sos) pada Jurusan
Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Lampung.
Dalam proses penyelesaian skripsi ini penulis menyadari keterbatasan
kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga penulis membutuhkan
bantuan dari berbagai pihak. Sehingga penulis ingin mengucapkan terimakasih
yang sebesar-besarnya kepada:
1. Ibu Dr. Bartoven Vivit N, S.sos, M.Si selaku dosen Pembimbing Akademik
sekaligus pembimbing utama penulis, terimakasih atas bimbingan, nasehat
dan waktu yang Ibu berikan. Terimakasih banyak bu, semoga keikhlasan dan
ketulusan Ibu dalam mendidik mendapatkan keberkahan dari Allah.
2. Bapak Drs. Bintang Wirawan, M.Hum selaku dosen pembahas, terimakasih
atas waktunya, masukan-masukan dan bimbinganya yang sangat berguna
untuk saya.
3. Seluruh dosen Sosiologi FISIP UNILA, terimakasih atas ilmu yang telah saya
peroleh selama proses perkuliahan semoga dapat menjadi bekal yang
berharga dalam kehidupan saya ke depannya. Terimakasih juga atas perhatian
yang bapak dan ibu berikan.
4. Bapak dan ibuku tersayang. Terimakasih untuk semua doa, waktu, perhatian,
semangat, kesabaran, dan biaya yang selama ini bapak dan ibu berikan.
Terimakasih sudah mengajarkan banyak hal dalam hidup, terimakasih sudah
selalu percaya meskipun sempat beberapa kali mengecewakan bapak dan ibu.
Terimakasih sudah menyekolahkan kami anak-anakmu hingga sampai ke
tahap gelar sarjana. Semoga ALLAH selalu melimpahkan kesehatan dan
keberkahan rezeki untukmu Bapak dan Ibuku.
Semoga Allah SWT selalu memberikan balasan yang lebih besar untuk Bapak,
Ibu dan teman-teman semua. Hanya ucapan terima kasih dan doa yang bisa
penulis berikan.
Bandar Lampung, 20 Juni 2019
Penulis
Syaiful Anwar
i
DAFTAR BAGAN
Bagan .................................................................................................................. Halaman
1. Kerangka Pikir ................................................................................................................ 19
2. Struktur Organisasi.......................................................................................................... 36
ii
DAFTAR TABEL
Tabel ................................................................................................................... Halaman
1. Transmigrasi Era Soeharto ............................................................................................. 2
2. Dokumen-dokumen Pendukung Penelitian .................................................................... 22
3. Lokasi dan Waktu Observasi Lapangan ......................................................................... 23
4. Identitas Informan .......................................................................................................... 23
5. Keterangan Informan ...................................................................................................... 43
6. Makna Kata Ngumbul ……………………………............................................................. 80
7. Perbedaan Makna Kata Ngumbul ................................................................................... 94
iii
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR BAGAN
DAFTAR TABEL
DAFTAR ISI
I . PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................... 7
C. Tujuan Penelitian ........................................................................... 7
D. Manfaat Penelitian......................................................................... 7
II . TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang Ekologi .............................................................. 9
B. Tinjauan Tentang Ekologi Manusia ............................................... 10
C. Perantara Hubungan Manusia dan Lingkungan ............................. 11
D. Sasaran Pengukuran Ekologi Manusia ........................................... 12
E. Batasan Ekologi Manusia ............................................................... 12
F. Kajian Ekologi Manusia ................................................................. 13
G. Prosedur-prosedur Memahami Objek-objek Ekologi Manusia ...... 13
H. Pendekatan Ekologi Manusia ......................................................... 14
1. Pendekatan Berdasarkan pada Pelaku .......................................... 14
2. Pendekatan Berdasarkan Perubahan dan Keseimbangan ............. 14
3. Pendekatan Fleksibilitas, Kreativitas dan Respon Manusia ......... 15
iv
4. Pendekatan Kontektualisasi Progresif .......................................... 16
I. Konsep Inti Ekologi Manusia .......................................................... 16
J. Kerangka Pikir ................................................................................. 18
III. METODE PENELITIAN
A. Metode Penelitian ........................................................................... 20
B. Penentuan Informan........................................................................ 20
C. Lokasi Penelitian ............................................................................ 21
D. Jenis dan Sumber Data ................................................................... 21
E. Teknik Pengumpulan Data ............................................................. 22
F. Analisis Data ................................................................................... 25
1. Reduksi Data ............................................................................... 25
2. Penyajian Data ............................................................................ 26
3. Penyimpulan dan Verifikasi ........................................................ 26
4. Kesimpulan Akhir ....................................................................... 26
IV. GAMBARAN UMUM
A. Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) .......................... 27
1. Kondisi Umum ............................................................................ 27
2. Visi dan Misi ............................................................................... 34
3. Struktur Organisasi...................................................................... 36
4. Sejarah Pengelolaan .................................................................... 37
5. Sumber Daya Manusia ................................................................. 39
B. Umbulan Rowogiri, Pekon Sukamarga, Kecamatan Suoh, Kabupaten
Lampung Barat ................................................................................... 40
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Identitas Informan .............................................................................. 42
B. Hasil Penelitian ................................................................................... 44
v
1. Sejarah Masuknya Masyarakat ke Suoh ......................................... 44
2. Pengertian Ngumbul ....................................................................... 48
3. Manusia dalam Hubungan dengan Lingkungan ............................. 50
a. Pengelolaan hutan larangan TNBBS oleh petani ......................... 50
1. Pemanfaatan lahan ...................................................................... 50
2. Pembukaan lahan ........................................................................ 52
3. Pembangunan fasilitas ................................................................. 54
4. Asal-usul kepemilikan tanah ....................................................... 56
5. Pengelolaan kebun ...................................................................... 57
6. Cara memperoleh bibit kopi ........................................................ 58
7. Sistem memanen ......................................................................... 59
8. Sistem berkebun .......................................................................... 61
9. Pemanfaatan danau...................................................................... 61
10. Berburu binatang ........................................................................ 63
11. Pengaruh sosial budaya .............................................................. 64
b. Penyebab hutan larangan dikelola ................................................... 65
1. Faktor keluarga dan saudara........................................................ 65
2. Memenuhi kebutuhan ekonomi ................................................... 67
3. Harga tanah murah di TNBBS .................................................... 68
4. Tanah di TNBBS subur ............................................................... 68
C. Dampak Mengelola Hutan Larangan.................................................. 69
1. Tumpang Tindih Kepentingan .................................................... 70
2. Danau Dijadikan Tempat Pemancingan ...................................... 70
3. Mengurangi Wilayah yang Dilindungi Oleh Negara .................. 71
4. Membuka Lapangan Pekerjaan ................................................... 71
5. Masyarakat Umbulan Rowogiri Menjadi Semakin Solid ........... 72
6. Peningkatan Perekonomian ........................................................ 73
7. Menanam Kopi Sambil Merawat Hutan ..................................... 73
vi
8. Merawat Danau ........................................................................... 75
9. Iuran ............................................................................................ 76
D. PEMBAHASAN ................................................................................ 77
1. Sejarah Masuknya Masyarakat ke Suoh ....................................... 77
2. Pengertian Ngumbul ..................................................................... 80
3. Manusia dalam Hubungan dengan Lingkungan ............................ 80
a. Pendekatan berdasarkan pelaku ................................................. 81
b. Pendekatan berdasarkan perubahan dan keseimbangan ............ 82
c. Pendekatan fleksibilitas, kreativitas dan respon manusia .......... 82
d. Pendekatan kontektualisasi progresif ........................................ 84
1. Aktivitas manusia dalam hubungan dengan lingkungan ........ 84
2. Penyebab terjadinya aktivitas ngumbul .................................. 89
3. Akibat-akibat aktivitas baik terhadap lingkungan maupun
terhadap manusia sebagai pelaku .......................................... 90
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan......................................................................................... 93
1. Sejarah Masuknya Masyarakat ke Suoh ......................................... 93
2. Pengertian Ngumbul ....................................................................... 94
3. Aktifitas Manusia dalam Hubungan dengan Lingkungan ............... 94
4. Penyebab Terjadinya Aktifitas Ngumbul ........................................ 95
5. Akibat-akibat Aktifitas Ngumbul .................................................... 96
B. Saran ................................................................................................... 96
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Transmigrasi sudah dimulai sejak tahun 1905, yaitu pada masa Pemerintah
Kolonial Belanda, yang saat itu disebut dengan Program Kolonisasi. Menurut data
Museum Transmigrasi Lampung, periode ini terjadi pada tahun 1905-1941 yang
telah memindahkan sebanyak 174.661 jiwa yang terdiri dari 44.677 KK.
Masyarakat yang mengikuti Program Kolonisasi di Provinsi Lampung berasal dari
Kedu, Banyumas, Tulung Agung, Kediri, dan Madura yang dipindahkan ke
Gedong Tataan, Kota Agung, dan Sukadana. Setelah Program Kolonisasi,
pemindahan penduduk dari Jawa ke seluruh wilayah di Indonesia. Untuk
pemindahan ke wilayah Lampung sendiri dilakukan pada tahun 1943 ke Gedong
Tataan dan Sukadana sebanyak 31.700 Jiwa yang terdiri dari 6.329 KK. (Sumber:
Museum Transmigrasi Lampung).
Setelah kedua program tersebut, Pemerintah Indonesia juga mengadakan program
serupa yakni masa pra pelita pada tahun 1950-1968 yang diberi nama Program
Transmigrasi. Program tersebut dilakukan melalui Badan Rekonstruksi Nasional
(BRN) yang diresmikan oleh Presiden Soekarno. Lokasi transmigrasi saat itu
diatur berdasarkan petunjuk dari Dinas Kehutanan Lampung yang pada saat itu
sistem pertanahan masih mengalami keterbatasan, hal tersebut menyebabkan
ketidak jelasan antara tanah untuk transmigrasi dan tanah untuk wilayah hutan
2
(Kusworo, 2000). Pada tahun 1951-1952, sekitar 500 mantan laskar pejuang 45
(Pejuang Siliwangi) beserta ribuan keluarganya dari Tasikmalaya ke wilayah
Sukapura, Sumberjaya, Kabupaten Lampung Barat. Pada 1952-1968, Pemerintah
Indonesia mengirim orang-orang dari Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat,
Yogyakarta dan Bali dengan jumlah 221.035 jiwa yang terdiri dari 53.168 KK.
Daerah yang menjadi tujuan transmigrasi seperti Lampung Timur, Lampung
Selatan, Way Kanan dan Lampung Tengah. (Sumber:
http://Antara.com/berita/769493/jejak-bung-karno-dan-nasib-transmigran-pejuang
diakses pada tanggal 08 Januari 2018 pada pukul 10.30 WIB)
Setelah itu, dilanjutkan dengan transmigrasi lokal oleh Soeharto yang dibagi
menjadi 6 tahap, yakni:
Tabel 1. Transmigrasi Era Soeharto
Keterangan Jumlah Jiwa Jumlah KK
Pelita I ( 1969-1974) 82.526 19.222
Pelita II (1974-1979) 87.762 20.135
Pelita III (1979-1984) 210.204 50.573
Pelita IV (1984-1989) 55.933 13.739
Pelita V (1989-1994) 57.536 13.810
Pelita VI (1994-1999) 24.271 5.660
Sumber: Museum Transmigrasi Lampung
Selain program transmigrasi resmi dari pemerintah, masyarakat juga ada yang
melakukan transmigrasi spontan dari Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur
yang menyebabkan pertambahan penduduk semakin pesat dan pembukaan lahan
semakin memasuki ke area yang baru. Daerah tujuan transmigrasi pada tahun
tersebut seperti di Pringsewu, dan masyarakat transmigran selanjutnya memberi
nama daerah tersebut sama dengan daerah asal mereka seperti Pagelaran,
3
Pardasuka, Gading Rejo, Sukoharjo, Ambarawa, Banyumas, dan lain-lain. Dari
tahun ke tahun, pertumbuhan penduduk transmigran mengalami kemajuan yang
sangat pesat, hal ini menyebabkan kurangnya lapangan pekerjaan dan mendorong
para transmigran untuk mencari kawasan baru seperti Suoh (Http://Tirto.id/jejak-
para-transmigran-jawa-di-lampung-cidw, diakses pada tanggal 02 Februari 2017
pada pukul 22:00 wib).
Masuknya masyarakat ke Suoh diawali dari padatnya penduduk wilayah
transmigraan dan lahan yang kian lama kian berkurang serta masuknya
masyarakat Jawa ke Lampung tidak pernah berhenti. Program transmigran tidak
lagi ada, namun masyarakat masih banyak yang melakukan perpindahan ke
Sumatera dan salah satunya Lampung disebabkan dari berkaca pada kisah sukses
masyarakat yang sudah lebih dulu pindah. Masyarakat datang ke Suoh tidak
berkelompok, melainkan ada yang sendiri dan juga bersama istri menggunakan
bus Mandala Sari, dan ada juga yang menggunakan senteweng (mobil truk).
Selanjutnya mereka membuka lahan di kawasan sekitar Suoh yang masih belum
dibuka seperti di Umbulan Rowogiri yang berada di Taman Nasional Bukit
Barisan Selatan (TNBBS).
Masyarakat dari berbagai daerah di Provinsi Lampung dan Pulau Jawa tidak
memiliki pengetahuan mengenai batas wilayah yang dapat mereka garap dan yang
tidak dapat mereka garap. Mereka membuka lahan di sekitar kebun masyarakat
yang sudah terlebih dahulu ada yakni di Dusun Kalibata. Semakin lama semakin
luas pula wilayah perkebunan baru di Umbulan Rowogiri yang dibuka oleh
masyarakat.
4
Penyebutan Rowogiri sendiri berasal dari keberadaan danau di tengah hutan
TNBBS dan kata umbulan berasal dari bahasa Lampung. Abdulsyani (1999)
mengatakan bahwa umbulan dapat diartikan dengan daerah perladangan atau
perkebunan. Bahasa umbulan diadopsi oleh masyarakat Jawa di Lampung dari
kebudayaan Lampung yang mereka dapat saat berinteraksi dengan masyarakat asli
Lampung.
Masyarakat yang membuka kebun di Umbulan Rowogiri memiliki bangunan guna
tempat tinggal mereka yang disebut dengan gubuk untuk sebutan orang pendatang
dan umbul untuk sebutan orang asli Lampung. Bangunan tersebut memiliki luas
rata-rata 12m² dan berbentuk panggung serta memiliki pelataran di bagian
depannya. Gubuk memiliki dinding yang terbuat dari anyaman bambu dan papan
serta beratap seng dan welit (anyaman ilalang). Dalam mengelola tanah garapan,
masyarakat Umbulan Rowogiri ada yang berkelompok dan ada yang secara
individu.
Menurut Kusworo (2000), Pada tahun 1990 pemerintah di bawah kepemimpinan
Soeharto menyadari pengurangan jumlah hutan yang sangat drastis di wilayah
transmigrasi dengan menggunakan satelit dan berpacu pada peta Belanda tahun
1930. Sejak saat itu hampir tidak ada kawasan taman nasional di Indonesia yang
bebas sama sekali dari konflik ruang dengan pemukiman dan pertanian (Mulyana
dkk : 2010). Banyak masyarakat yang membuka lahan untuk dikelola di TNBBS,
baik itu lahan yang berada di zona yang boleh dikelola oleh masyarakat maupun
zona yang tidak boleh dikelola oleh masyarakat. Masyarakat yang menempati
zona terlarang di taman nasional dianggap sebagai okupasi illegal atau tindak
merambah kawasan hutan negara sesuai Undang-Undang Republik Indonesia
5
Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 50 ayat 3 huruf b, e Jo pasal 78
ayat 2 dan 5.
Dalam melindungi kekayaan hayati, Lembaga Balai Taman Nasional memiliki
kepentingan global. Secara eksplisit maupun implisit, tumbuhan dan hewan sangat
menentukan kehidupan satu sama lain di dalam ekosistem baik secara material
sebagai bahan makanan maupun non material sebagai nilai ilmiah dan estetisnya
tentu saja sangat erat berhubungan dengan manusia (Suemarwoto: 1983). Perlu
adanya perlindungan dan pelestarian tumbuhan dan hewan demi kepentingan
bersama.
Bertolak belakang dengan kepentingan yang dimiliki oleh masyarakat yang berada
di sekitar wilayah TNBBS sesuai dengan konsep dasar transmigrasi di mana suatu
upaya mempertemukan sumber daya manusia dan sumber daya alam melalui
perpindahan penduduk dan pemanfaatan ruang (Anggraini, dkk: 2008). Mereka
memiliki kepentingan lokal seperti pemanfaatan tradisional, pemukiman,
pertanian dan perkebunan. Masyarakat tersebut memanfaatkan lahan kawasan
TNBBS untuk kegiatan bercocok tanam dan berkebun. Sebagian besar masyarakat
menanami areal kawasan tersebut dengan tanaman kopi, cengkeh, lada, kayu
manis, kakao, durian, pete, jengkol dan padi sebagai tanaman sampingan.
Pada pelaksanaan program transmigrasi masa sebelum otonomi memiliki sifat
sentralistik, terkesan eksklusif dan standar. Terjadinya kesenjangan antara
masyarakat transmigran dengan penduduk sekitar yang disebabkan oleh bantuan
pemerintah yang difokuskan kepada transmigran saja. Transmigrasi mendapat
tudingan negatif seperti jawanisasi, merusak hutan tropis, merusak budaya lokal,
6
hanya mengejar target jumlah KK dan penyediaan pemukiman transmigran yang
tidak layak huni (Heriawan Saleh dalam Anggraini, dkk: 2008).
Sejak tahun 1992, pemerintah memiliki strategi untuk menyelesaikan salah satu
dampak negatif yang disebabkan dari program transmigrasi. Upaya yang
dilakukan pemerintah untuk menghindari pengurangan jumlah hutan secara terus
menerus yakni dengan melakukan operasi pengusiran petani, penghapusan desa-
desa di Provinsi Lampung. Pemerintah melakukan transmigrasi ulang kepada para
transmigran yang berada di wilayah hutan negara ke tempat yang baru yakni
Sumatera Selatan, dan beberapa daerah lainnya. Tahun 1994-1995 pemerintah
juga melakukan operasi gajah guna mengusir penduduk yang berada di wilayah
hutan negara (Kusworo, 2000).
Konflik antara pemerintah dan masyarakat di hutan negara menyebabkan ribuan
masyarakat menjadi korban. Tidak hanya masyarakat yang baru membuka lahan
perkebunan tetapi juga masyarakat yang sudah lama membuka lahan sejak adanya
program transmigrasi resmi dari pemerintah masa Soekarno. Dari latar belakang
tersebut, peneliti tertarik untuk mencari tahu hubungan masyarakat setempat
dengan hutan di TNBBS melalui pendekatan kontektualisasi progresif yang
menekankan pada objek-objek kajian tentang aktivitas manusia dalam hubungan
dengan lingkungan, penyebab terjadinya aktivitas, dan akibat-akibat aktivitas baik
terhadap lingkungan maupun terhadap manusia, karena itu peneliti membuat
penelitian dengan judul “Ngumbul : Kajian Ekologi Manusia dan Hutan di
Umbulan Rowogiri TNBBS”
7
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Bagaimana aktivitas masyarakat Umbulan Rowogiri di TNBBS?
2. Apa penyebab terjadinya aktivitas mengolah hutan larangan di TNBBS?
3. Apa dampak dari mengolah hutan larangan di TNBBS?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian yang akan dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui aktivitas masyarakat Umbulan Rowogiri di TNBBS.
2. Untuk mengetahui penyebab terjadinya aktivitas mengolah hutan larangan di
TNBBS.
3. Untuk mengetahui dampak dari mengolah hutan larangan di TNBBS.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki manfaat secara :
1. Teoritik
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada ranah sosiologi,
khususnya pada sosiologi lingkungan.
2. Praktis
a. Menambah bahan informasi bagi pihak-pihak yang membutuhkan
referensi yang dapat digunakan untuk penelitian lanjutan yang berkaitan
8
dengan permasalahan dan pokok bahasan ekologi manusia dan
lingkungan.
b. Menambah pengetahuan bagi peneliti mengenai sosiologi lingkungan.
c. Menemukan titik tengah solusi yang dapat diambil pemerintah dalam
menyelesaikan konflik tanah di kawasan TNBBS.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang Ekologi
Istilah ekologi pertama kali diperkenalkan oleh Enerst Haeckel, seorang ahli
biologi bangsa Jerman pada 1869. Ritohardoyo (2013) dalam bukunya
mengatakan bahwa ekologi berasal dari bahasa Yunani yaitu oikos yang berarti
rumah dan logos yang berarti ilmu, maka ekologi berarti ilmu tentang makhluk
hidup dalam rumahnya. Sedangkan menurut Soemarwoto (1983), ekologi adalah
ilmu tentang hubungan timbal balik makhluk hidup dengan lingkungan hidupnya.
Menurut Odum (dalam Iskandar, 2001), ekologi mempelajari hubungan timbal
balik makhluk hidup dan lingkungnya. Sedangkan menurut Agung Tri Haryanta
dan Eko Sujatmiko (Susilo, 2012) dalam Kamus Sosiologi Ekologi adalah ilmu
yang mempelajari hubungan makhluk hidup dengan makhluk hidup lainnya serta
lingkungannya.
Dari uraian pernyataan di atas maka dapat disimpulkan bahwa ekologi merupakan
ilmu yang mempelajari interaksi timbal balik antara makhluk hidup dengan
makhluk hidup lainnya dan hubungan timbal balik makhluk hidup dengan
lingkungannya.
10
B. Tinjauan Tentang Ekologi Manusia
Salah satu terapan ekologi adalah ilmu lingkungan, yang merupakan terapan dari
berbagai prinsip dan ketentuan ekologi dalam kehidupan manusia. Hal ini berarti
bahwa ilmu lingkungan mengkaji bagaimana seharusnya manusia menempatkan
diri dalam ekosistem atau dalam lingkungannya. Ekologi terapan lainnya
berkenaan dengan kegiatan manusia dalam hal pengurusan dan pengelolaan
sumber daya alam. Manusia sebagai subjek kajian dalam kehidupannya tidak
hanya diperhatikan dari aspek materi, energi dan informasi saja, oleh karenanya
walaupun ekologi sangat penting tetapi bukan satu-satunya masukan untuk
mengambil keputusan dalam mengatasi masalah lingkungan hidup, karena ekologi
sangat penting dalam pengelolaan lingkungan hidup dengan sudut pandang
antoposentris, maka tekanan kajian yang diperlukan adalah ekologi manusia.
Ekologi manusia menurut Ritohardoyo (2013), adalah adaptasi manusia terhadap
lingkungan yang terdapat di sekitarnya. Begitupun menurut Soemarwoto (1983),
ekologi manusia adalah hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungan
hidupnya. Berdasarkan pendapat yang telah dikemukakan dapat dinyatakan bahwa
ekologi manusia merupakan ilmu lingkungan yang mengkaji bagaimana
seharusnya cara manusia menempatkan diri dalam ekosistem atau dalam
lingkungannya dan juga mempelajari berkenaan dengan kegiatan manusia dalam
hal pengurusan dan pengelolaan sumber daya alam.
11
C. Perantara Hubungan Manusia dan Lingkungan
Force (dalam Ritohardoyo, 2013) menjelaskan bahwa keterkaitan antara kegiatan
manusia dengan lingkungan sering melalui perantara yang menghubungkan
keduanya. Perantara tersebut berupa sekumpulan tujuan, nilai-nilai, seperangkat
pengetahuan dan kepercayaan. Keseluruhan perantara tersebut sering juga disebut
sebagai pola-pola kebudayaan. Kebudayaan itulah sebagai perwujudan usaha
manusia dalam :
1. Memahami lingkungan
2. Menafsirkan lingkungan dengan seluruh isinya
3. Menyeleksi hal-hal yang berguna baginya
4. Memanfaatkan lingkungan.
Kondisi kebudayaan dari sekelompok populasi manusia menentukan tingkat
pemahaman dengan cara penafsiran mereka tentang lingkungannya. Demikian
pula kondisi dan situasi masyarakat, juga menentukan tingkat pemahaman tentang
sumberdaya yang terdapat di lingkunganya. Dengan demikian dapat disebutkan
bahwa manusia melakukan adaptasi dengan cara manipulasi kekayaan maupun
kemampuan sosio-budaya mereka. Pengertian istilah inilah yang digunakan
beberapa pakar mendasari penggunaan istilah ekologi manusia juga disebut
sebagai ekologi budaya.
12
D. Sasaran Pengukuran Ekologi Manusia
Suparlan (1980) menyarankan perlunya pembedaan kajian ekologi manusia
berdasarkan pada sasaran pengukurannya:
1. Mempelajari ekologi manusia dengan cara mengukur tingkat adaptasi dan
kesejahteraan mereka dalam hubungannya dengan lingkungan.
2. Mempelajari ekologi manusia dengan cara mengukur pengetahuan dan
kebudayaan tentang lingkungan alamnya dari penduduk setempat untuk
mengukur tingkat adaptasi mereka.
E. Batasan Ekologi Manusia
Vayda (dalam Iskandar, 2001) seorang pakar ekologi manusia mempertajam
batasan ekologi manusia, kajian tentang hubungan timbal balik antara dinamika
populasi manusia, organisasi sosial, dan kebudayaan manusia dengan lingkungan
tempat hidup mereka. Secara singkat ekologi manusia adalah kajian tentang
interaksi antara populasi manusia dengan lingkungannya.
Batasan pengertian ekologi manusia tersebut mengandung makna bahwa dalam
kajianya lebih menekankan pada kajian dan komperatif dengan menganalisis
populasi tertentu secara mendalam. Pokok permasalahan ekologi manusia dapat
memilih salah satu di antara subjek interaksi manusia dengan lingkungannya, atau
subjek sistem pemanfaatan sumber daya yang memberikan kesempatan kepada
peneliti untuk menggunakan kerangka konsep yang bulat, dan konsep yang
memperhatikan dimensi ruang dan dimensi waktu.
13
F. Kajian Ekologi Manusia
Pada dasarnya kajian ekologi manusia lebih memusatkan perhatian pada:
1. Masalah-masalah sumber daya dan lingkungan
2. Cara menghadapi masalah lingkungan
3. Masalah efisiensi pemanfaatan sumber daya yang mencakup energi.
Slobodkin (Ritohardoyo, 2013), mengemukakan bahwa inti permasalahan penting
dalam ekologi manusia mencakup pemahaman kerusakan lingkungan dan
pemanfaatan sumber daya beserta akibat-akibatnya.
G. Prosedur-Prosedur Memahami Objek-Objek Ekologi Manusia
Dalam memahami objek-objek kajian ekologi manuasia, menurut Steward (dalam
Ritohardoyo, 2013), secara umum terdapat tiga prosedur. Ketiga prosedur tersebut
dapat ditunjukkan secara berurutan sebagai berikut:
1. Kajian hubungan antara lingkungan dengan teknologi yang eksploitatif dan
produktif.
2. Kajian pola-pola perilaku (behavioral patterns) yang melibatkan aktivitas
manusia dengan penggunaan teknologi di kawasan tertentu.
3. Kajian kesinambungan pola-pola perilaku yang terlihat pada aktivitas
eksploitasi lingkungan, yang memberikan dampak pada aspek-aspek
kebudayaan lainnya baik material maupun nonmaterial.
Tiga prosedur tersebut oleh beberapa pakar ekologi manusia, lebih lanjut
dikembangkan menjadi beberapa pendekatan yang digunakan dalam mengkaji
14
subjek kajian ekologi manusia yang pada akhirnya membentuk karakteristik setiap
pendekatan yang sifatnya berbeda-beda.
H. Pendekatan Ekologi Manusia
Pendekatan ekologi manusia ada empat:
1. Pendekatan Berdasarkan pada Pelaku (Actor Based Model)
Pendekatan ini disebut pula sebagai Individual Centered Analysis Orlove, 1980;
McCay 1978 (dalam Ritohardoyo, 2013), Pemusatan perhatian pendekatan
tersebut pada perilaku, sehingga memiliki karakteristik pendekatan sebagai
persyaratan berikut :
a. Lebih menekankan pada pemahaman proses sosial daripada struktur sosial.
b. Lebih menekankan pada pemahaman variasi dan keberagaman (diversity)
dalam populasi daripada menganggap populasi seragam.
c. Lebih menekankan pada pemahaman aspek-aspek tingkah laku dari aspek
norma dan hukum dari hubungan sosial.
2. Pendekatan Berdasarkan Perubahan dan Keseimbangan
Pendekatan ini lebih menekankan pada sudut pandang, bahwa dalam perubahan
sebenarnya merupakan proses untuk mencapai kondisi keseimbangan
(homeostasis). Holling dan Gosberg (Ritohardoyo, 2013), menyatakan bahwa key
insight (kunci pandangan) dari pendekatan ekologi manusia, adalah pengertian
bahwa sistem-sistem ekologi berada dalam keadaan yang seimbang (equilibrium,
unchanging sistem). Namun demikian harus diingat, bahwa menolak pandangan
yang berpusat pada equilibrium, sama sekali tidak berarti meninggalkan kajian
tentang proses-proses di mana beberapa sifat dari unsur (properties) sistem-sistem
15
atau mahluk hidup manusia dipertahankan tetap tidak berubah walaupun dari
unsur lainnya berubah. Oleh karna itu perubahan harus dilihat dalam kaitannya
dengan homeostasis. Pada waktu-waktu tertentu harus berubah untuk dapat
mempertahankan sifat dari unsur lain yang lebih penting dalam usaha memelihara
kelangsungan hiup. Sifat dari unsur yang berubah ini disebut resilience, yaitu
selalu tetap cukup luwes untuk dapat berubah dalam menanggapi terhadap bahaya
atau tantangan yang datang dari lingkungan yang dihadapi manusia.
3. Pendekatan Fleksibilitas, Kreativitas dan Respon Manusia
Pendekatan ini mendasarkan pada anggapan, bahwa masyarakat ataupun individu
manusia sebagai makhluk hidup memiliki fleksibilitas, kreativitas dan sifat respon
terhadap keadaan lingkungan yang selalu berubah, serta terhadap ketidakpastian
dari situasi lingkungannya (Vayda et al dalam Ritohardoyo, 2013). Dengan
menggunakan pendekatan tersebut, dalam kajian ekologi manusia perlu perhatian
dan pemahaman sebagai pertimbangan terhadap lima gejala berikut:
a. Secara umum manusia secara individu memilik kemampuan dalam membuat
keputusan dan menerapkannya secara berkesinambungan.
b. Manusia memiliki kemampuan rasionalitas dalam setiap pembuatan
keputusan dan pengambilan tindakan.
c. Manusia memiliki kemampuan untuk memodifikasi kebiasaan-kebiasaan
rutin dan kemampuan memanipulasi norma-norma yang ada secara
berkesinambungan sehingga tindakan-tindakan yang mereka lakukan dapat
mencapai tujuan yang mereka hadapai.
d. Manusia memiliki pengetahuan praktis yang diperoleh melalui pengalaman
tentang berbagai kondisi yang harus dihadapi.
16
e. Variasi dan keragaman lingkungan yang dihadapi manusia.
4. Pendekatan Kontektualisasi Progresif
Salah satu pendekatan dalam ekologi manusia yang diperkenalkan pada sekitar
tahun 1980 adalah progressive contextualization atau kontektualisasi progresif.
Pendekatan ini dikembangkan untuk mendukung penelitian-penelitian ekologi
manusia, terutama tentang pemanfaatan sumber daya oleh manusia, sebagai salah
satu wujud interaksi manusia dengan lingkungan. Vayda (dalam Ritohardoyo,
2013), menjelaskan bahwa pendekatan kontektualisasi progresif lebih
menekankan pada objek kajian tentang:
a. Aktivitas manusia dalam hubungan dengan lingkungan.
b. Penyebab terjadinya aktivitas.
c. Akibat-akibat aktivitas baik terhadap lingkungan maupun lingkungan maupun
terhadap manusia sebagai pelaku aktivitas.
Pendekatan kontektualisasi progresif dikembangkan, lebih mendasarkan pada
upaya untuk mengantisipasi masalah terapan pendekatan holistik dalam kajian
lingkungan. Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kontektualisasi
progresif untuk mengkaji ekologi manusia dan lingkungannya.
I. Konsep Inti Ekologi Manusia
Salah satu tekanan inti ekologi manusia, adalah adaptasi manusia terhadap
lingkungan yang terdapat di sekitarnya. Adaptasi manusia dalam arti luas
dimaksudkan sebagai aktivitas-aktivitas manusia dalam mencampurtangani
lingkungan, dalam rangka mempertahankan kehidupannya dengan tingkat budaya
yang dimiliki (Steward, 1955; Force, 1974 dalam Ritohardoyo, 2013). Adaptasi
17
tidak semata-mata berarti bahwa kehidupan manusia bergantung pada lingkungan
alam, tetapi adaptasi diartikan sebagai suatu kepastian proses kreatif dan tingkat
penyesuaian budaya dari manusia terhadap tantangan lingkungan alam yang tidak
dapat dihindarkan. Adaptasi manusia terhadap lingkungan, baik terhadap
tantangan, ancaman bahaya, maupun perubahan lingkungan, dikaji dengan
memusatkan perhatian pada kegiatan aktif manusia, dalam kaitannya erat dengan
gejala-gejala alam, dan juga memasukkan masyarakat sebagai bagian dari
lingkungan yang dihadapi manusia.
Manusia merupakan salah satu makhluk hidup yang memiliki kemampuan
adaptasi paling besar di antara berbagai makhluk hidup lain di bumi. Cara
makhluk hidup dalam melakukan adaptasi dapat dibedakan secara umum menjadi
tiga macam sebagai berikut:
a. Adaptasi melalui proses fisiologi, misalnya manusia dalam kehidupan sehari-
harinya terbiasa minum, mandi, maupun memasak air dari sumber air
tercemar; pada umumnya memiliki tingkat imunitas yang relatif tinggi
terhadap infeksi penyakit.
b. Adaptasi melalui proses morfologi, misalnya suku bangsa Indian yang tinggal
di Pegunungan Andes yang tinggi dan miskin oksigen, organ tubuhnya
mampu beradaptasi terhadap kadar oksigen yang ada melalui perubahan
bentuk paru-paru yang menjadi lebih besar.
c. Adaptasi melalui perilaku, misalnya masyarakat yang terbiasa hidup dengan
cara sederhana pada suatu daerah terpencil mendadak memiliki perangkat
pembangkit listrik tenaga surya. Mereka harus menyesuaikan dengan
teknologi baru yang secara otomatis mengubah pula pola berikutnya.
18
J. Kerangka Pikir
Lingkungan manusia didefinisikan sebagai segala sesuatu yang berada di
sekeliling manusia yang berpengaruh kepada kehidupan manusia itu sendiri.
Menurut Rambo (dalam Iskandar, 2001), faktor-faktor sistem biofisik atau
ekosistem di sekitar manusia sangat beragam bergantung pada di mana manusia
itu tinggal, termasuk di dalamnya iklim, udara, air, tanah, tanaman dan binatang.
Jadi kehidupan manusia sehari-hari tidak pernah lepas dari lingkungan. Hubungan
manusia dengan lingkungannya dapat disebut dengan ekologi manusia.
Penelitian ini menekankan ekologi manusia yang ditujukan untuk masyarakat
Rowogiri terhadap lingkungan hutan larangan di TNBBS. Pendekatan yang
digunakan ialah salah satu pendekatan yang dikemukakan oleh Vayda yakni
kontektualisasi progresif untuk melihat aktivitas manusia dalam hubungan
dengan lingkungan, penyebab terjadinya aktivitas, dan akibat-akibat yang
ditimbulkan baik positif ataupun negatif. Secara jelas kerangka pikir dapat dilihat
pada bagan berikut:
19
Bagan 1. Kerangka Pikir
Sumber: Diolah oleh Peneliti, 2017
Manusia
(Masyarakat Umbul
Rowogiri)
Lingkungan
(Hutan Larangan di
TNBBS)
Pendekatan Kontektualisasi
Progresif (Vayda: 1980)
Aktivitas Manusia
dalam Hubungan
dengan
Lingkungan
Penyebab
Terjadinya
Aktivitas
Akibat-Akibat
dari Aktivitas
Negatif Positif
III. METODE PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, karena penelitian ini bertujuan
untuk menjelaskan gambaran tentang hubungan ekologi manusia dengan
lingkungannya. Dalam hal ini peneliti ingin mengetahui interaksi masyarakat
Umbulan Rowogiri dengan hutan larangan di TNBBS.
B. Penentuan Informan
Teknik penentuan informan pada penelitian ini menggunakan teknik snowball.
Teknik ini merupakan suatu metode untuk mengidentifikasikan, memilih dan
mengambil informan dalam suatu jaringan atau rantai hubungan yang menerus.
Peneliti menggunakan metode ini dengan cara memilih informan awal yang sesuai
dengan kriteria peneliti. Kriteria tersebut seperti:
1. Informan mengetahui mengenai sejarah masuknya masyarakat di Umbulan
Rowogiri.
2. Informan mengetahui awal mula pembukaan lahan di Umbulan Rowogiri.
3. Informan memiliki lahan dan tinggal di Umbulan Rowogiri.
21
C. Lokasi Penelitian
Lokasi Penelitian ini dilakukan di Umbulan Rowogiri yang menjadi pusat
aktivitas ngumbul berkelompok, beragam daerah asalnya dan paling banyak jika
dibandingkan tempat ngumbul lainnya serta memiliki danau yang asri. Dengan
demikian diharapkan dapat memberi gambaran tentang konsep dan analisis
ngumbul di TNBBS.
D. Jenis dan Sumber Data
Data adalah catatan atas kumpulan fakta yang ada, merupakan hasil pengukuran
atau pengamatan suatu variabel yang bentuknya dapat berupa angka, kata-kata
atau citra. Menurut Loftland (dalam Moleong, 2007) sumber data utama penelitian
kualitatif ialah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti
dokumen dan lain-lain. Adapun sumber data dalam penelitian ini adalah:
1. Data primer
Data primer yaitu berupa kata-kata dan tindakan informan serta peristiwa-
peristiwa tertentu yang berkaitan dengan fokus penelitian yang seluruhnya
berkaitan dengan permasalahan, pelaksanaan, dan merupakan hasil
pengumpulan peneliti sendiri selama berada di lokasi penelitian. Data primer
ini diperoleh peneliti selama proses pengumpulan data dengan menggunakan
teknik wawancara mendalam dan observasi.
2. Data sekunder
Data sekunder adalah data tertulis yang digunakan sebagai data pendukung
dalam analisis data primer. Data sekunder dalam penelitian ini berbentuk
Undang-Undang Republik Indonesia dan Peraturan Menteri.
22
Tabel 2. Dokumen-dokumen Pendukung Penelitian
No. Nama Dokumen
1. Undang-undang No. 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan Pasal 50 ayat 3
huruf b,e Jo Pasal 78 ayat 2 dan 5.
2. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.56/Menhut-II/2006 Tentang
Pedoman zonasi Taman Nasional.
3. Peraturan Menteri Khutanan Nomor P.19/Menhut-II/2004 Tentang
Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian
Alam.
4. Surat Pernyataan Menteri Pertanian Nomor 736/Mentan/X/1982
Kawasan Suaka Alam
5. Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Luas
Kawasan Hutan dan Kawasan Konservasi Perairan Indonesia
Berdasarkan SK Menteri.
6. Undang-undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
7. Undang-undang No. 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusak Hutan.
Sumber: Diolah oleh Peneliti, 2018
E. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data adalah langkah yang sangat penting dalam penelitian, selain itu
peneliti harus memastikan data yang diambil benar dan valid. Pada pengumpulan
data harus dilakukan secara sistematis standar untuk memperoleh data yang
diperlukan.
1. Observasi langsung
Observasi langsung pengumpulan data dengan menggunakan mata tanpa ada
pertolongan alat standar lainnya untuk keperluan tersebut. Observasi langsung
dilakukan pada saat peneliti memasuki kehidupan masyarakat yang melakukan
aktivitas ngumbul. Pengamatan dilakukan dalam kegiatan sehari-hari tentu
dilakukan secara sistematis tentang proses dan kebiasaan pada masyarakat yang
melakukan aktivitas ngumbul.
23
Tujuan menggunakan metode ini untuk mencatat hal-hal, perilaku, perkembangan
dan sebagainya tentang perilaku kebiasaan pada lokasi penelitian, sewaktu-waktu
kejadian tersebut berlaku sehingga tidak menguntungkan data dari ingatan. Dari
metode ini diharapkan dapat memperoleh data dari subjek baik yang tidak dapat
berkomunikasi secara verbal atau yang tidak mau berkomunikasi secara verbal.
Tabel 3. Lokasi dan Waktu Observasi Lapangan
No. Nama lokasi observasi Waktu Pelaksanaan
1. Umbulan di kawasan TNBBS 10 Agustus 2016-6Juni 2017
2. Danau di TNBBS 10 Agustus 2016-6Juni 2017
3. Kebun di TNBBS 10 Agustus 2016-6Juni 2017
Sumber: Data Diolah Peneliti, 2018
2. Wawancara Mendalam
Wawancara yang didapat dari keterangan Informan yang dilakukan dengan cara
tanya jawab secara bertatap muka antara peneliti dan Informan dengan
menggunakan alat panduan wawancara dan direkam. Tujuan peneliti
menggunakan metode ini, untuk memperoleh data secara mendalam, jelas dan
konkrit guna untuk mempermudah untuk menganalisis data. Dalam penelitian ini
masyarakat yang melakukan aktivitas ngumbul di TNBBS.
Tabel. 4. Identitas Informan
No. Nama Profesi Lama
berkebun
Tanggal
Wawancara
Substansi
Wawancara
1. Mislan
Petani di Desa
Gayam,
Lampung
Selatan
56 Tahun 08 Januari
2019
Pengertian
ngumbul
2. Arsan
Petani di Desa
Penengahan,
Lampung
Selatan
32 Tahun 21 Januari
2019
Pengertian
ngumbul
24
No. Nama Profesi Lama
berkebun
Tanggal
Wawancara
Substansi
Wawancara
3. Usman
Petani di Desa
Way Nukak,
Pesisir Barat
25 Tahun 14 Januari
2019
Pengertian
ngumbul
4. Masri
Petani di Desa
Lemong,
Lampung
Barat
36 Tahun 31 Januari
2019
Pengertian
ngumbul
5. Puriyah
Pedagang hasil
bumi di Pekon
Sukamarga,
Suoh,
Lampung
Barat
60 Tahun 28 Desember
2018
Sejarah
masyarakat
transmigrasi ke
Suoh
6. Yusuf
Petani di
Pekon
Sukamarga,
Suoh
Lampung
Barat
40 Tahun 28 Desember
2018
Sejarah
masyarakat
transmigrasi ke
Rowogiri
7. Sukisman
Petani di
Pekon
Sukamarga,
Suoh,
Lampung
Barat
63 Tahun 29 Desember
2018
Sejarah
masyarakat
transmigrasi ke
Rowogiri
8. Damin
Petani di
pekon
Ringinsari,
Lampung
Barat
48 Tahun 30 Desember
2018
Sejarah
masyarakat
transmigrasi ke
Rowogiri
9.
KM1
Petani di
Umbulan
Rowogiri
23 Tahun 12 mei 2017 Pengelolaan lahan
10.
MO 2
Petani di
Umbulan
Rowogiri
35 Tahun 21 mei 2017 Pengelolaan lahan
11.
HI 3
Petani di
Umbulan
Rowogiri
4 Tahun 22 mei 2017 Pengelolaan lahan
12.
HR4
Petani di
Umbulan
Rowogiri
6 Tahun 22 mei 2017 Pengelolaan lahan
13.
KN 5
Petani di
Umbulan
Rowogiri
20 Tahun 24 juni 2017 Pengelolaan lahan
14.
Ahim
Lurah
Kepala Pekon
Sukamarga - 28 mei 2017
Pengelolaan lahan
dan status tanah
tnbbs
Sumber: Data Diolah Peneliti, 2018
25
3. Dokumentasi
Dokumentasi adalah bahan tertulis baik berupa karangan, memo, pengumuman,
instruksi, foto, rekaman, buletin dan lain sebagainya. Dokumentasi metode yang
erat kaitannya dengan pengumpulan data dengan catatan penting yang sangat erat
hubungannya dengan objek penelitian. Dengan tujuan untuk memperoleh data
secara jelas dan kongkrit dari masyarakat yang melakukan aktivitas ngumbul di
TNBBS.
F. Analisis Data
Analisis data yang di dalam kegiatannya untuk mengatur, mengurutkan,
mengelompokkan, memberi kode-kode atau tanda dan mengkategorikan sehingga
ditemukannya suatu fokus atau masalah yang ingin dijawab. Melalui rangkaian
aktivitas tersebut, untuk mempermudah peneliti dalam menyederhanakan data
yang banyak dan bertumpuk-tumpuk dari lapangan agar mudah untuk dipahami.
Mengingat dalam analisis kualitatif cukup sulit karna tidak ada pedoman baku,
tidak ada proses linier, dan tidak ada urutan-urutan yang sistematis. Analisis data
dilakukan selama pengumpulan data di lapangan dan setelah semua data
terkumpul dengan teknik analisis model interaktif.
Berikut analisis data secara bersama-sama dengan proses pengumpulan data
dengan tahapannya :
1. Reduksi Data
Data yang diperoleh ditulis dalam bentuk laporan atau data yang terperinci.
Laporan yang disusun berdasarkan data yang diperoleh direduksi, dirangkum,
dipilih hal-hal yang pokok, difokuskan dengan hal-hal yang penting. Data hasil
26
selanjutnya dipilih berdasarkan satuan konsep, tema, dan kategori tertentu yang
akan memberikan gambaran yang lebih tajam tentang hasil pengamatan serta
mempermudah peneliti dalam mencari kembali data sebagai data tambahan atas
data sebelumnya yang diperoleh jika diperlukan.
2. Penyajian Data
Penyajian data diperoleh dengan mengkategorisasikan menurut pokok
permasalahan dan dibuat dalam bentuk matriks sehingga memudahkan peneliti
melihat pola-pola hubungan satu data dengan yang lainnya.
3. Penyimpulan dan Verifikasi
Kegiatan penyimpulan merupakan langkah lebih lanjut dari kegiatan reduksi dan
penyajian data. Data yang sudah direduksi dan disajikan secara sistematis akan
disimpulkan sementara. Kesimpulan yang diperoleh pada tahap awal biasanya
masih kurang jelas, tetapi pada tahap-tahap selanjutnya akan semakin tegas dan
memiliki dasar yang kuat. Kesimpulan pertama perlu diverifikasi dengan
menggunakan teknik verifikasi triangulasi sumber data.
4. Kesimpulan Akhir
Pada kesimpulan akhir diperoleh berdasarkan kesimpulan sementara yang telah
diverifikasi. Kesimpulan final ini diharapkan dapat diperoleh setelah
pengumpulan data selesai.
IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS)
1. Kondisi Umum
a. Letak dan Luas
Kawasan TNBBS meliputi areal seluas ± 355.511 ha yang membentang dari ujung
selatan bagian Barat Provinsi Lampung sampai dengan Selatan Provinsi Bengkulu
yang secara geografis terletak pada 4o29’ – 5
o57’LS dan 103
o24’ – 104
o44’BT.
Menurut administrasi pemerintahan, kawasan TNBBS termasuk dalam wilayah 2
(dua) Provinsi yaitu Provinsi Lampung yang meliputi 3 (tiga) kabupaten yaitu
Kabupaten Tanggamus seluas ± 10.500 ha, serta Kabupaten Lampung Barat dan
Pesisir Barat seluas ± 280.300 ha, dan Provinsi Bengkulu hanya meliputi
Kabupaten Kaur seluas ± 64.711 ha. Batas Kawasan TNBBS :
1. Sebelah utara : Kab. Kaur
2. Sebelah timur : Kab. Lampung Barat dan Pesisir Barat
3. Sebelah selatan : Selat Sunda
4. Sebelah barat : Samudera Hindia
(Sumber : BTNBBS, 2011).
28
b. Tipe Ekosistem
Kawasan konservasi tersebut memiliki bentang alam lengkap mulai dari
ketinggian 0 mdpl sampai dengan 1.964 mdpl. Ekosistem alami yang membentang
di kawasan TNBBS mewakili tipe vegetasi hutan mangrove, hutan pantai, hutan
pamah tropika sampai hutan pegunungan di Sumatera. Kawasan TNBBS
merupakan kawasan hutan hujan dataran rendah terluas yang tersisa di Sumatera
dan memiliki beberapa tipe ekosistem yang lengkap dan tidak terputus meliputi
ekosistem kelautan dan ekosistem terestrial, yaitu hutan pantai (1%), hutan
hujan dataran rendah (45%), hutan hujan bukit (34%), hutan hujan pegunungan
bawah (17%), hutan hujan pegunungan tinggi (3%), ekosistem mangrove,
ekosistem rawa, dan estuaria. Tutupan hutan yang demikian, menjadikan TNBBS
sebagai habitat dari jenis-jenis flora yang sangat beraneka ragam dan
menakjubkan termasuk habitat terbaik bagi beragam jenis fauna (Sumber :
BTNBBS, 2011).
c. Flora
TNBBS merupakan habitat bagi jenis-jenis flora yang menakjubkan. Selain
terdapat raflesia sebagai bunga langka terbesar di dunia, juga terdapat
amorphophallus sebagai bunga tertinggi di dunia. Jenis-jenis flora lainnya
mencapai 514 jenis pohon dan tumbuhan bawah, 126 jenis anggrek, 26 jenis
rotan, dan 25 jenis bambu.
(Sumber : BTNBBS, 2011).
29
d. Fauna
TNBBS memiliki nilai penting bagi perlindungan beberapa mamalia besar.
Terdapat sedikitnya 122 jenis mamalia termasuk enam spesies terancam punah
menurut Red Data Book IUCN seperti gajah sumatera (elephas maximus
sumatranus), badak sumatera (dicerorhinus sumatrensis), tapir (tapirus indicus),
harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), beruang madu (helarcto
malayanus), dan ajag (cuon alpinus); 123 jenis herpetofauna (reptil dan amphibia
termasuk penyu); 53 jenis ikan; 221 serangga dan 450 jenis burung termasuk 9
jenis rangkong. TNBBS menjadi Daerah Penting Bagi Burung (DPB), dengan
kriteria A1 burung terancam punah dan A2 burung sebaran terbatas. TNBBS juga
menjadi salah satu landscape prioritas pelestarian habitat harimau sumatera
(Sumber : BTNBBS, 2011).
e. Iklim
Menurut Badan Meteorologi dan Geofisika (1973), berdasarkan curah hujan rata-
rata tahunan, kawasan TNBBS dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu
bagian barat taman nasional dengan curah hujan cukup tinggi yaitu berkisar antara
3000-3500 mm per tahun dan bagian timur taman nasional berkisar antara 2500-
3000 mm per tahun. Perbedaan ini disebabkan oleh pengaruh rantai pegunungan
Bukit Barisan Selatan sehingga kawasan bagian timur lebih kering.
30
Berdasarkan klasifikasi Scmidt dan Ferguson, bagian barat kawasan TNBBS
termasuk dalam tipe ilkim A sedangkan di bagian timur termasuk dalam tipe ilkim
B menurut Koppen, kawasan TNBBS termasuk dalam tipe iklim A.
Musim hujan berlangsung dari bulan November sampai Mei. Musim kemarau dari
bulan Juni sampai Agustus. Bulan-bulan agak kering adalah September – Oktober.
Jumlah hari hujan di musim penghujan rata-rata tiap bulannya 10 – 16 hari dan di
musim kemarau 4 – 8 hari. Keadaan angin musim hujan lebih besar dari musim
kemarau.
Menurut Peta Geologi Sumatera yang disusun oleh Lembaga Penelitian Tanah
(1966), kawasan TNBBS terdiri dari batuan endapan (miosin bawah, neogen,
paleosik tua, aluvium), batuan vulaknik (recent, kuatener tua, andesit tua, basa
intermediet) dan batuan plutonik (batuan asam) di mana yang tersebar paling luas
adalah batuan vulkanik yang dijumpai di bagian tengah dan utara taman nasional.
Kawasan TNBBS berdasarkan Peta Lerang dan Kemampuan Tanah Propinsi
Lampung, berada pada Zona Sesar Semangka yang rawan gempa, tanah longsor,
banjir dan peka terhadap erosi. Terbentuk dari depresi tektonik yang ditutupi oleh
sedimen-sedimen dari celah vulkanik (ficuves eruption) yang menutupi wilayah
Bukit Barisan pada zaman kuarter. Patahan aktif akan terus bergerak sehingga
menimbulkan kerusakan di dalam dan di atas permukaan tanah. Pada siklus
waktu, pergeseran ini akan menimbulkan gempa dengan kekuatan yang cukup
besar, gempa bumi besar terjadi pada tahun 1933 yang diakibatkan oleh
meletusnya Gunung Ratu dan membentuk gunung baru yaitu Gunung Loreng di
dalam kawasan TNBBS. Kemudian pada tahun 1994 kembali terjadi gempa bumi
31
besar (terkenal disebut gempa “Liwa”) berskala 6,9 Sekala Richter yang
mengakibatkan sebagian Gunung Loreng tenggelam.
(Sumber : BTNBBS, 2011).
f. Tanah
Berdasarkan Peta Tanah yang dikeluarkan oleh Lembaga Penelitian Tanah Bogor
tahun 1976, tanah di kawasan TNBBS terdiri dari 6 jenis tanah yaitu aluvial,
rensina, latosol, podsolik merah kuning dan 2 jenis andosol yang berbeda di dalam
bahan induknya, di mana yang paling labil dan rawan erosi, sangat asam dan
kurang sesuai untuk mengembangkan pertanian karena kombinasi asam dan
lereng yang terjal dengan potensi tererosi tinggi
(Sumber : BTNBBS, 2011).
g. Topografi
Kawasan TNBBS terletak di ujung selatan dari rangkaian pegunungan Bukit
Barisan yang membujur sepanjang Pulau Sumatera, sehingga memiliki topografi
yang cukup bervariasi yaitu mulai datar, landai, bergelombang, berbukit-bukit
curam dan bergunung-gunung dengan ketinggian berkisar antara 0 – 1.964 mdpl.
Lereng timurnya cukup curam sedangkan lereng barat kearah Samudera Hindia
agar landai. Daerah berdataran rendah (0 – 600 mdpl) dan berbukit (600 – 1000
mdpl) terletak di bagian selatan taman nasional sementara daerah pegunungan
(1000 – 2000 mdpl) terletak di bagian tengah dan utara taman nasional.
32
Puncak tertinggi adalah Gunung Palung (1.964 mdpl) yang terletak di sebelah
barat Danau Ranau, Lampung Barat. Gunung-gunung lain yang memiliki
ketinggian > 1.500 mdpl adalah Gunung. Sekincau (1.738 m) dan Gunung.
Balirang (1.703 m), di bagian barat Taman Nasional. Bukit Gedang (1.627 m) dan
Bukit Pandan (1.678 m) di perbatasan Propinsi Sumatera Selatan dan Bengkulu
serta Bukit Napalan (1.526 m) di bagian utara taman nasional termasuk dalam
wilayah Kabupaten Kaur.
Keadaan lapangan bagian utara bergelombang sampai berbukit-bukit dengan
kemiringan bervariasi antara 20 – 80%. Bagian selatan merupakan daerah yang
datar dengan beberapa bukit yang agak tinggi dan landai di mana makin selatan
makin datar dengan kemiringan berkisar antara 3 – 5%. Lereng dan arah sisi timur
taman nasional tergolong terjal (20 – 45%) sedangkan arah barat lebih landai.
(Sumber : BTNBBS, 2011).
h. Hidrologi
Kawasan TNBBS merupakan bagian hulu dari sungai-sungai yang akan mengalir
ke daerah pemukiman dan pertanian di daerah hilir sehingga berperan sangat
penting sebagai daerah tangkapan air (catchment area) dan melindungi sistem tata
air.
Sebagian besar dari sungai-sungai yang ada mengalir ke arah barat daya dan
bermuara di Samudera Indonesia sementara sebagian lagi bermuara ke Teluk
Semangka. Sungai-sungai yang mengalir di bagian utara taman nasional terdiri
dari Air Nasal Kiri, Air Sambat, Air Nasal Kanan, Way Menula, Way Simpang
dan Way Laai. Sungai-sungai yang mengalir di bagian tengah taman nasional
33
terdiri dari Way Tenumbang, Way Biha, Way Marang, Way Ngambur Bunuk,
Way Tembuli, Way Ngaras, Way Pintau, Way Pemerihan, Way Semong, dan
Way Semangka. Sementara di bagian selatan taman nasional mengalir Way
Canguk, Way Sanga, Way Menanga Kiri, Way Menanga Kanan, Way Paya, Way
Kejadian, Way Sulaeman dan Way Blambangan.
Di bagian ujung selatan taman nasional terdapat danau yang dipisahkan hanya
oleh pasir pantai selebar puluhan meter yaitu Danau Menjukut (150 ha). Di bagian
tengah yaitu di daerah Suoh terdapat 4 (empat) buah danau yang letaknya
berdekatan yaitu Danau Asam (160 ha), Danau Lebar (60 ha), Danau Minyak (10
ha), dan Danau Belibis (3 ha). Sementara bagian tenggara, selatan dan barat taman
nasional dikelilingi oleh lautan yaitu perairan Teluk Semangka, Tanjung Cina dan
Samudera Indonesia.
(Sumber : BTNBBS, 2011).
i. Aksesibilitas
Menuju kawasan TNBBS dapat ditempuh melalui jalan darat dengan rute :
a. Dari Bandar Lampung – Kota Agung – Sedayu – TNBBS (Sukaraja) ± 125
km dapat ditempuh selama ± 3 jam.
b. Dari Bandar Lampung – Kota Agung – Banding – TNBBS (Suoh) ± 142 km
dapat ditempuh selama ± 7 jam.
c. Dari Bandar Lampung – Kotabumi – Bukit Kemuning – Liwa – TNBBS
(Kubuperahu) ± 246 km dapat ditempuh dengan kendaraan roda empat
selama ± 6 jam.
34
d. Dari Bengkulu – Manna – Merpas – TNBBS (Way Menula) ± 180 km dapat
ditempuh dengan kendaraan roda empat selama ± 3 jam.
e. Menuju kawasan TNBBS dapat ditempuh melalui jalan laut dengan rute
f. Dari Kota Agung – TNBBS (Tampang) selama ± 4 jam.
g. Kota Agung – TNBBS (Belimbing) selama ± 6 jam.
h. Bandar Lampung (Tarahan) – TNBBS (Belimbing) selama ± 8 jam.
i. Menuju keseluruhan akses jalan darat mengitari TNBBS, terdapat beberapa
ruas jalan tembus memotong kawasan TNBBS masing-masing
j. Jalan tembus Sanggi – Bengkunat ± 12 km.
k. Jalan tembus Liwa – Krui sepanjang ± 15 km.
l. Jalan tembus Pugung Tampak – Manula sepanjang ± 14 km.
m. Jalan tembus Suoh – Sukabumi sepanjang ± 8 km.
(Sumber: https://programs.wcs.org/btnbbs/ diakses pada tanggal 28 Januari 2019
pukul 13.04 WIB)
2. Visi dan Misi
TNBBS adalah kawasan pelestarian alam dan benteng terakhir hutan hujan tropis
di Provinsi Lampung yang memiliki potensi sumber daya alam hayati dan non
hayati yang cukup tinggi serta ekosistem lengkap mulai dari ekosistem pantai,
hutan hujan dataran rendah sampai hutan hujan pegunungan.
Potensi kawasan TNBBS diharapkan mampu berfungsi sebagai perlindungan
sistem penyangga kehidupan serta mendukung pembangunan daerah yang
berkelanjutan mengingat TNBBS merupakan daerah tangkapan air (cathment
area) bagi DAS Semaka dan Semaka DS. Oleh karena itu Kawasan TNBBS perlu
35
dikelola dengan sebaik-baiknya, terarah, terencana, sesuai dengan daya
dukungnya dan peraturan perundang-undangan.
Sebagaimana visi dan misi, sasaran program serta kebijakan prioritas, program
dan kegiatan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam yang
harus ditindaklanjuti oleh seluruh unit-unit pelaksana teknisnya, maka Balai Besar
TNBBS telah menetapkan visi Tahun 2010 – 2014 adalah :
“Terwujudnya TNBBS sebagai situs warisan alam dunia yang berperan penting
bagi terjaganya ekosistem lokal dan global”
Untuk mewujudkan visi tersebut di atas, ditetapkan misi pengelolaan TNBBS
sebagai berikut :
1. Meningkatkan kapasitas perlindungan dan pengamanan hutan TNBBS
serta pengendalian kebakaran hutan;
2. Mengoptimalkan fungsi TNBBS beserta biodiversitasnya;
3. Meningkatkan pemanfaatan jasa lingkungan dan wisata alam bagi
kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan TNBBS;
4. Memperkuat kapasitas kelembagaan Balai Besar TNBBS;
5. Meningkatkan peranserta masyarakat dan stakeholders serta memperkuat
kemitraan dalam pengelolaan TNBBS.
(Sumber: https://programs.wcs.org/btnbbs/ diakses pada tanggal 28 Januari 2019
pukul 13.04 WIB)
36
3. Struktur Organisasi
Sesuai dengan Permenhut Nomor: P.03/Menhut-II/2007 tanggal 1 Februari 2007,
Permenlhk Nomor: P.18/Menlhk-II/2015 tanggal 14 April 2015, dan SK Menlhk
Nomor: 335/Menlhk-Setjen/2015 tanggal 18 April 2015, maka organisasi Balai
Besar TNBBS adalah unit pelaksana teknis setingkat eselon II b yang berada di
bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal Konservasi
Alam Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan RI dengan struktur organisasi sebagai berikut :
Bagan 2. Struktur Organisasi TNBBS
Sumber : https://programs.wcs.org/btnbbs/
Dalam pengelolaan TNBBS dibagi menjadi 2 (dua) Bidang Pengelolaan Taman
Nasional Wilayah (Bidang PTN Wilayah), yaitu BPTN Wilayah I Semaka di
Sukaraja Atas, BPTN Wilayah II Liwa di Liwa, dan 4 (empat) Seksi Pengelolaan
Taman Nasional Wilayah (SPTN Wilayah) yaitu SPTN Wilayah I Sukaraja di
37
Sukaraja, SPTN Wilayah II Bengkunat di Bengkunat, SPTN III Krui di Krui, dan
SPTN Wilayah IV Bintuhan di Bintuhan serta dibagi dalam unit terkecil 17 (tujuh
belas) resort Pengelolaan Taman Nasional Wilayah dengan tugas dan fungsi
melindungi dan mengamankan seluruh kawasan TNBBS dalam mewujudkan
pelestarian sumber daya alam menuju pemanfaatan yang berkelanjutan.
Ketujuhbelas resort tersebut meliputi Ulu Belu Resort Sukaraja Atas, Resort Way
Nipah, Resort Tampang, Resort Way Haru, Resort Pemerihan, Resort Ngambur,
Resort Biha, Resort Balai Kencana, Resort Pugung Tampak, Resort Merpas,
Resort Muara Sahung, Resort Makakau Ilir, Resort Lombok, Resort Balik Bukit,
Resort Sekincau, Resort Suoh.
(Sumber: https://programs.wcs.org/btnbbs/ diakses pada tanggal 28 Januari 2019
pukul 13.04 WIB)
4. Sejarah Pengelolaan
Secara singkat sejarah kawasan TNBBS adalah sebagai berikut :
Pada tahun 1935 asal mula kawasan TNBBS adalah Kawasan Suaka Margasatwa
yang ditetapkan melalui Besluit Van der Gouvernour-Generat Van Nederlandseh
Indie No 48 stbl. 1935, dengan nama SSI (Sumatera Selatan I) seluas 356.800 ha
yang mencakup wilayah Reg. 49B Krui Barat, Reg. 46B Sekincau, Reg. 47B
Bukit Penetoh, Reg. 22B Kubunicik, Reg. 49 SSI bagian Selatan dan Reg. 52
Kaur Timur,
Pada tanggal 1 April 1979 berdasarkan SK Menteri Pertanian No.
429/Kpts/Org/7/1978 tanggal 10 Juli 1978 tentang Susunan Organisasi dan Tata
38
Kerja Balai KSDA bahwa pengelolaan Kawasan Suaka Margasatwa Sumatera
Selatan I dikelola oleh Sub Balai Kawasan Pelestarian Sumatera Selatan I yang
berada di bawah Balai KSDA Wil. II Tanjung Karang
Pada tanggal 14 Oktober 1982 Kawasan Suaka Margasatwa Sumatera Selatan I
dinyatakan sebagai kawasan TNBBS melalui Surat Pernyataan (SP) Menteri
Pertanian No. 736/Mentan/X/1982,
Pada tahun 1984, berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 096/Kpts-II/1984
tanggal 12 Mei 1984 tentang Organisasi dan Tata Kerja Taman Nasional bahwa
organisasi Sub Balai Kawasan Pelestarian Sumatera Selatan I ditingkatkan
statusnya menjadi TNBBS setingkat Eselon III di bawah Direktorat Jenderal
PHKA,
Berdasarkan SK Dirjen PHKA No. 46/Kpts/IV-Sek/84 tanggal 11 Desember 1984
tentang Penunjukan Wilayah Kerja Taman Nasional bahwa wilayah kerja TNBBS
adalah Suaka Margasatwa Sumatera Selatan I, Pada tahun 2004, TNBBS
ditetapkan oleh UNESCO pada sidang komisi warisan dunia sebagai tapak
warisan dunia,
Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.03/Menhut-II/2007 tanggal 1
Februari 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman
Nasional bahwa Balai TNBBS ditetapkan menjadi Balai Besar TNBBS.
Selain kawasan darat seluas ± 356.800 ha, ditetapkan pula Cagar Alam Laut
(CAL) Bukit Barisan Selatan seluas ± 21.600 ha dalam pengelolaan TNBBS
melalui SK Menhut No.71/Kpts-II/1990 tanggal 15 Februari 1990 jo SK Menhut
39
No. 256/KPTS-II/2000 tanggal 23 Agustus 2000 CAL BBS seluas 17.280,75 ha
(Sumber : BTNBBS, 2011).
5. Sumber Daya Manusia
Jumlah pegawai Balai Besar TNBBS sebanyak 127 orang terdiri dari :
a. Eselon II sebanyak 1 orang
b. Eselon III sebanyak 4 orang
c. Eselon IV sebanyak 9 orang
d. Fungsional Umum sebanyak 52 orang
e. Fungsional Polhut sebanyak 43 orang
f. Fungsional PEH sebanyak 10 orang
g. Fungsional Penyuluh Kehutanan sebanyak 5 orang
h. Fungsional Pengadaan Barang dan Jasa sebanyak 3 orang
Berdasarkan Pasal 7 huruf d dan huruf i Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun
2004 tentang Perlindungan Hutan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 60 Tahun 2009, untuk mencegah, membatasi dan
mempertahankan hutan, pemerintah memfasilitasi terbentuknya kelembagaan
masyarakat dalam rangka mencegah perusakan hutan. Berdasarkan pertimbangan
tersebut telah ditetapkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.56/Menhut-
II/2014 tanggal 27 Agustus 2014 tentang Masyarakat Mitra Polisi Kehutanan.
Sebagai implementasi peraturan tersebut, Balai Besar TNBBS pada tahun 2015
telah merekrut masyarakat menjadi Masyarakat Mitra Polhut (MMP) sebanyak
107 orang yang tersebar di 17 (tujuh belas) Resort Pengelolaan TNBBS. (Sumber:
40
https://programs.wcs.org/btnbbs/ diakses pada tanggal 28 Januari 2019 pukul
13.04 WIB)
B. Umbulan Rowogiri, Pekon Sukamarga, Kecamatan Suoh, Kabupaten
Lampung Barat
Umbulan Rowogiri berada dalam wilayah administrasi di Pemangku Kalibata,
Pekon Sukamarga, Kecamatan Suoh, Kabupaten Lampung Barat dengan luas
sekitar . Batas wilayah Umbulan Rowogiri:
1. Sebelah utara : Umbul Pring dan Umbul Bedor
2. Sebelah timur : Umbul Angin, Umbul Serun, dan Lembah Sutiah
3. Sebelah selatan : Umbul Ayem
4. Sebelah barat : Talang Sunda, Umbul Batu
Masyarakat yang tinggal di Umbulan Rowogiri sampai saat ini ada 23 kepala
keluarga. Sebagian besar masyarakat tersebut adalah para transmigran spontan
dari Kota Agung, Wonosobo, Semaka, Pringsewu, Pagelaran dan langsung dari
Pulau Jawa. Masyarakat Umbulan Rowogiri seluruhnya adalah suku Jawa, baik
itu Jawa Timur dan Jawa Tengah, serta agamanya adalah agama Islam. Untuk
latar belakang pendidikan, rata-rata sekolah dasar dan tidak tamat sekolah dasar
Di Umbulan Rowogiri, masyarakat bekerja sebagai petani, ada yang menjadi
petani kopi, selain itu ada juga lada, pala, durian, petai, alpukat, cabe, dan kakao.
Luas kepemilikan lahan kebun rata rata setiap orang di Rowogiri bisa mencapai
setengah hektar bahkan sampai empat hektar. Model kepemilikan lahannya pun
tanpa sertifikat jual beli hanya menggunakan saling percaya dan saksi
41
Rowogiri dijadikan sebagai tempat tinggal utama dalam jangka waktu yang lama
bagi masyarakat disana. Ada yang tinggal bersama keluarga, dan ada juga yang
tinggal bersama teman-teman satu pekerjaan. Untuk tempat tinggal sendiri,
biasanya mereka membuat rumah gubuk panggung dengan luas rata-rata 12m².
Gubuk tersebut berdinding dari anyaman bambu (gedeg) dan untuk atapnya
biasanya terbuat dari anyaman ilalang (welit) dan ada juga dari seng. Bagian
depan rumah memiliki pelataran seadanya. Saat malam hari mereka menggunakan
penerangan lampu berbahan bakar minyak solar yang biasa disebut lampu ublik.
Selain itu mereka juga menggunakan energi tenaga surya sebagai sumber
penerangan.
Umbulan Rowogiri memiliki satu mushola yang digunakan untuk sembahyang
dan kegiatan keagamaan. Mushola tersebut diberi nama Ataqwa yang dibangun
menggunakan dana swadaya masyarakat yang dikerjakan dengan gotong royong
masyarakat sekitar. Akses jalan menuju umbulan sudah mulai lancar karena sudah
bagus untuk dilewati motor, jalan tersebut terbuat dari semen dan batu yang
merupakan swadaya dari masyarakat serta gotong royong.
Umbulan Rowogiri memiliki danau yang lebarnya 150.000 m2
dengan
keanekaragaman hayati di dalamnya. Ada berbagai macam ikan seperti ikan
gabus, belut, gurame, emas, nila, patin, betok, dan masih banyak lagi. Dengan
bervariasinya ikan yang ada maka masyarakat memanfaatkannya menjadi tempat
pemancingan bersama, namun tetap menjaga kelestariannya dengan melakukan
tebar benih ikan setelah masa panen hasil tani.
IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS)
1. Kondisi Umum
a. Letak dan Luas
Kawasan TNBBS meliputi areal seluas ± 355.511 ha yang membentang dari ujung
selatan bagian Barat Provinsi Lampung sampai dengan Selatan Provinsi Bengkulu
yang secara geografis terletak pada 4o29’ – 5
o57’LS dan 103
o24’ – 104
o44’BT.
Menurut administrasi pemerintahan, kawasan TNBBS termasuk dalam wilayah 2
(dua) Provinsi yaitu Provinsi Lampung yang meliputi 3 (tiga) kabupaten yaitu
Kabupaten Tanggamus seluas ± 10.500 ha, serta Kabupaten Lampung Barat dan
Pesisir Barat seluas ± 280.300 ha, dan Provinsi Bengkulu hanya meliputi
Kabupaten Kaur seluas ± 64.711 ha. Batas Kawasan TNBBS :
1. Sebelah utara : Kab. Kaur
2. Sebelah timur : Kab. Lampung Barat dan Pesisir Barat
3. Sebelah selatan : Selat Sunda
4. Sebelah barat : Samudera Hindia
(Sumber : BTNBBS, 2011).
28
b. Tipe Ekosistem
Kawasan konservasi tersebut memiliki bentang alam lengkap mulai dari
ketinggian 0 mdpl sampai dengan 1.964 mdpl. Ekosistem alami yang membentang
di kawasan TNBBS mewakili tipe vegetasi hutan mangrove, hutan pantai, hutan
pamah tropika sampai hutan pegunungan di Sumatera. Kawasan TNBBS
merupakan kawasan hutan hujan dataran rendah terluas yang tersisa di Sumatera
dan memiliki beberapa tipe ekosistem yang lengkap dan tidak terputus meliputi
ekosistem kelautan dan ekosistem terestrial, yaitu hutan pantai (1%), hutan
hujan dataran rendah (45%), hutan hujan bukit (34%), hutan hujan pegunungan
bawah (17%), hutan hujan pegunungan tinggi (3%), ekosistem mangrove,
ekosistem rawa, dan estuaria. Tutupan hutan yang demikian, menjadikan TNBBS
sebagai habitat dari jenis-jenis flora yang sangat beraneka ragam dan
menakjubkan termasuk habitat terbaik bagi beragam jenis fauna (Sumber :
BTNBBS, 2011).
c. Flora
TNBBS merupakan habitat bagi jenis-jenis flora yang menakjubkan. Selain
terdapat raflesia sebagai bunga langka terbesar di dunia, juga terdapat
amorphophallus sebagai bunga tertinggi di dunia. Jenis-jenis flora lainnya
mencapai 514 jenis pohon dan tumbuhan bawah, 126 jenis anggrek, 26 jenis
rotan, dan 25 jenis bambu.
(Sumber : BTNBBS, 2011).
29
d. Fauna
TNBBS memiliki nilai penting bagi perlindungan beberapa mamalia besar.
Terdapat sedikitnya 122 jenis mamalia termasuk enam spesies terancam punah
menurut Red Data Book IUCN seperti gajah sumatera (elephas maximus
sumatranus), badak sumatera (dicerorhinus sumatrensis), tapir (tapirus indicus),
harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), beruang madu (helarcto
malayanus), dan ajag (cuon alpinus); 123 jenis herpetofauna (reptil dan amphibia
termasuk penyu); 53 jenis ikan; 221 serangga dan 450 jenis burung termasuk 9
jenis rangkong. TNBBS menjadi Daerah Penting Bagi Burung (DPB), dengan
kriteria A1 burung terancam punah dan A2 burung sebaran terbatas. TNBBS juga
menjadi salah satu landscape prioritas pelestarian habitat harimau sumatera
(Sumber : BTNBBS, 2011).
e. Iklim
Menurut Badan Meteorologi dan Geofisika (1973), berdasarkan curah hujan rata-
rata tahunan, kawasan TNBBS dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu
bagian barat taman nasional dengan curah hujan cukup tinggi yaitu berkisar antara
3000-3500 mm per tahun dan bagian timur taman nasional berkisar antara 2500-
3000 mm per tahun. Perbedaan ini disebabkan oleh pengaruh rantai pegunungan
Bukit Barisan Selatan sehingga kawasan bagian timur lebih kering.
30
Berdasarkan klasifikasi Scmidt dan Ferguson, bagian barat kawasan TNBBS
termasuk dalam tipe ilkim A sedangkan di bagian timur termasuk dalam tipe ilkim
B menurut Koppen, kawasan TNBBS termasuk dalam tipe iklim A.
Musim hujan berlangsung dari bulan November sampai Mei. Musim kemarau dari
bulan Juni sampai Agustus. Bulan-bulan agak kering adalah September – Oktober.
Jumlah hari hujan di musim penghujan rata-rata tiap bulannya 10 – 16 hari dan di
musim kemarau 4 – 8 hari. Keadaan angin musim hujan lebih besar dari musim
kemarau.
Menurut Peta Geologi Sumatera yang disusun oleh Lembaga Penelitian Tanah
(1966), kawasan TNBBS terdiri dari batuan endapan (miosin bawah, neogen,
paleosik tua, aluvium), batuan vulaknik (recent, kuatener tua, andesit tua, basa
intermediet) dan batuan plutonik (batuan asam) di mana yang tersebar paling luas
adalah batuan vulkanik yang dijumpai di bagian tengah dan utara taman nasional.
Kawasan TNBBS berdasarkan Peta Lerang dan Kemampuan Tanah Propinsi
Lampung, berada pada Zona Sesar Semangka yang rawan gempa, tanah longsor,
banjir dan peka terhadap erosi. Terbentuk dari depresi tektonik yang ditutupi oleh
sedimen-sedimen dari celah vulkanik (ficuves eruption) yang menutupi wilayah
Bukit Barisan pada zaman kuarter. Patahan aktif akan terus bergerak sehingga
menimbulkan kerusakan di dalam dan di atas permukaan tanah. Pada siklus
waktu, pergeseran ini akan menimbulkan gempa dengan kekuatan yang cukup
besar, gempa bumi besar terjadi pada tahun 1933 yang diakibatkan oleh
meletusnya Gunung Ratu dan membentuk gunung baru yaitu Gunung Loreng di
dalam kawasan TNBBS. Kemudian pada tahun 1994 kembali terjadi gempa bumi
31
besar (terkenal disebut gempa “Liwa”) berskala 6,9 Sekala Richter yang
mengakibatkan sebagian Gunung Loreng tenggelam.
(Sumber : BTNBBS, 2011).
f. Tanah
Berdasarkan Peta Tanah yang dikeluarkan oleh Lembaga Penelitian Tanah Bogor
tahun 1976, tanah di kawasan TNBBS terdiri dari 6 jenis tanah yaitu aluvial,
rensina, latosol, podsolik merah kuning dan 2 jenis andosol yang berbeda di dalam
bahan induknya, di mana yang paling labil dan rawan erosi, sangat asam dan
kurang sesuai untuk mengembangkan pertanian karena kombinasi asam dan
lereng yang terjal dengan potensi tererosi tinggi
(Sumber : BTNBBS, 2011).
g. Topografi
Kawasan TNBBS terletak di ujung selatan dari rangkaian pegunungan Bukit
Barisan yang membujur sepanjang Pulau Sumatera, sehingga memiliki topografi
yang cukup bervariasi yaitu mulai datar, landai, bergelombang, berbukit-bukit
curam dan bergunung-gunung dengan ketinggian berkisar antara 0 – 1.964 mdpl.
Lereng timurnya cukup curam sedangkan lereng barat kearah Samudera Hindia
agar landai. Daerah berdataran rendah (0 – 600 mdpl) dan berbukit (600 – 1000
mdpl) terletak di bagian selatan taman nasional sementara daerah pegunungan
(1000 – 2000 mdpl) terletak di bagian tengah dan utara taman nasional.
32
Puncak tertinggi adalah Gunung Palung (1.964 mdpl) yang terletak di sebelah
barat Danau Ranau, Lampung Barat. Gunung-gunung lain yang memiliki
ketinggian > 1.500 mdpl adalah Gunung. Sekincau (1.738 m) dan Gunung.
Balirang (1.703 m), di bagian barat Taman Nasional. Bukit Gedang (1.627 m) dan
Bukit Pandan (1.678 m) di perbatasan Propinsi Sumatera Selatan dan Bengkulu
serta Bukit Napalan (1.526 m) di bagian utara taman nasional termasuk dalam
wilayah Kabupaten Kaur.
Keadaan lapangan bagian utara bergelombang sampai berbukit-bukit dengan
kemiringan bervariasi antara 20 – 80%. Bagian selatan merupakan daerah yang
datar dengan beberapa bukit yang agak tinggi dan landai di mana makin selatan
makin datar dengan kemiringan berkisar antara 3 – 5%. Lereng dan arah sisi timur
taman nasional tergolong terjal (20 – 45%) sedangkan arah barat lebih landai.
(Sumber : BTNBBS, 2011).
h. Hidrologi
Kawasan TNBBS merupakan bagian hulu dari sungai-sungai yang akan mengalir
ke daerah pemukiman dan pertanian di daerah hilir sehingga berperan sangat
penting sebagai daerah tangkapan air (catchment area) dan melindungi sistem tata
air.
Sebagian besar dari sungai-sungai yang ada mengalir ke arah barat daya dan
bermuara di Samudera Indonesia sementara sebagian lagi bermuara ke Teluk
Semangka. Sungai-sungai yang mengalir di bagian utara taman nasional terdiri
dari Air Nasal Kiri, Air Sambat, Air Nasal Kanan, Way Menula, Way Simpang
dan Way Laai. Sungai-sungai yang mengalir di bagian tengah taman nasional
33
terdiri dari Way Tenumbang, Way Biha, Way Marang, Way Ngambur Bunuk,
Way Tembuli, Way Ngaras, Way Pintau, Way Pemerihan, Way Semong, dan
Way Semangka. Sementara di bagian selatan taman nasional mengalir Way
Canguk, Way Sanga, Way Menanga Kiri, Way Menanga Kanan, Way Paya, Way
Kejadian, Way Sulaeman dan Way Blambangan.
Di bagian ujung selatan taman nasional terdapat danau yang dipisahkan hanya
oleh pasir pantai selebar puluhan meter yaitu Danau Menjukut (150 ha). Di bagian
tengah yaitu di daerah Suoh terdapat 4 (empat) buah danau yang letaknya
berdekatan yaitu Danau Asam (160 ha), Danau Lebar (60 ha), Danau Minyak (10
ha), dan Danau Belibis (3 ha). Sementara bagian tenggara, selatan dan barat taman
nasional dikelilingi oleh lautan yaitu perairan Teluk Semangka, Tanjung Cina dan
Samudera Indonesia.
(Sumber : BTNBBS, 2011).
i. Aksesibilitas
Menuju kawasan TNBBS dapat ditempuh melalui jalan darat dengan rute :
a. Dari Bandar Lampung – Kota Agung – Sedayu – TNBBS (Sukaraja) ± 125
km dapat ditempuh selama ± 3 jam.
b. Dari Bandar Lampung – Kota Agung – Banding – TNBBS (Suoh) ± 142 km
dapat ditempuh selama ± 7 jam.
c. Dari Bandar Lampung – Kotabumi – Bukit Kemuning – Liwa – TNBBS
(Kubuperahu) ± 246 km dapat ditempuh dengan kendaraan roda empat
selama ± 6 jam.
34
d. Dari Bengkulu – Manna – Merpas – TNBBS (Way Menula) ± 180 km dapat
ditempuh dengan kendaraan roda empat selama ± 3 jam.
e. Menuju kawasan TNBBS dapat ditempuh melalui jalan laut dengan rute
f. Dari Kota Agung – TNBBS (Tampang) selama ± 4 jam.
g. Kota Agung – TNBBS (Belimbing) selama ± 6 jam.
h. Bandar Lampung (Tarahan) – TNBBS (Belimbing) selama ± 8 jam.
i. Menuju keseluruhan akses jalan darat mengitari TNBBS, terdapat beberapa
ruas jalan tembus memotong kawasan TNBBS masing-masing
j. Jalan tembus Sanggi – Bengkunat ± 12 km.
k. Jalan tembus Liwa – Krui sepanjang ± 15 km.
l. Jalan tembus Pugung Tampak – Manula sepanjang ± 14 km.
m. Jalan tembus Suoh – Sukabumi sepanjang ± 8 km.
(Sumber: https://programs.wcs.org/btnbbs/ diakses pada tanggal 28 Januari 2019
pukul 13.04 WIB)
2. Visi dan Misi
TNBBS adalah kawasan pelestarian alam dan benteng terakhir hutan hujan tropis
di Provinsi Lampung yang memiliki potensi sumber daya alam hayati dan non
hayati yang cukup tinggi serta ekosistem lengkap mulai dari ekosistem pantai,
hutan hujan dataran rendah sampai hutan hujan pegunungan.
Potensi kawasan TNBBS diharapkan mampu berfungsi sebagai perlindungan
sistem penyangga kehidupan serta mendukung pembangunan daerah yang
berkelanjutan mengingat TNBBS merupakan daerah tangkapan air (cathment
area) bagi DAS Semaka dan Semaka DS. Oleh karena itu Kawasan TNBBS perlu
35
dikelola dengan sebaik-baiknya, terarah, terencana, sesuai dengan daya
dukungnya dan peraturan perundang-undangan.
Sebagaimana visi dan misi, sasaran program serta kebijakan prioritas, program
dan kegiatan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam yang
harus ditindaklanjuti oleh seluruh unit-unit pelaksana teknisnya, maka Balai Besar
TNBBS telah menetapkan visi Tahun 2010 – 2014 adalah :
“Terwujudnya TNBBS sebagai situs warisan alam dunia yang berperan penting
bagi terjaganya ekosistem lokal dan global”
Untuk mewujudkan visi tersebut di atas, ditetapkan misi pengelolaan TNBBS
sebagai berikut :
1. Meningkatkan kapasitas perlindungan dan pengamanan hutan TNBBS
serta pengendalian kebakaran hutan;
2. Mengoptimalkan fungsi TNBBS beserta biodiversitasnya;
3. Meningkatkan pemanfaatan jasa lingkungan dan wisata alam bagi
kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan TNBBS;
4. Memperkuat kapasitas kelembagaan Balai Besar TNBBS;
5. Meningkatkan peranserta masyarakat dan stakeholders serta memperkuat
kemitraan dalam pengelolaan TNBBS.
(Sumber: https://programs.wcs.org/btnbbs/ diakses pada tanggal 28 Januari 2019
pukul 13.04 WIB)
36
3. Struktur Organisasi
Sesuai dengan Permenhut Nomor: P.03/Menhut-II/2007 tanggal 1 Februari 2007,
Permenlhk Nomor: P.18/Menlhk-II/2015 tanggal 14 April 2015, dan SK Menlhk
Nomor: 335/Menlhk-Setjen/2015 tanggal 18 April 2015, maka organisasi Balai
Besar TNBBS adalah unit pelaksana teknis setingkat eselon II b yang berada di
bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal Konservasi
Alam Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan RI dengan struktur organisasi sebagai berikut :
Bagan 2. Struktur Organisasi TNBBS
Sumber : https://programs.wcs.org/btnbbs/
Dalam pengelolaan TNBBS dibagi menjadi 2 (dua) Bidang Pengelolaan Taman
Nasional Wilayah (Bidang PTN Wilayah), yaitu BPTN Wilayah I Semaka di
Sukaraja Atas, BPTN Wilayah II Liwa di Liwa, dan 4 (empat) Seksi Pengelolaan
Taman Nasional Wilayah (SPTN Wilayah) yaitu SPTN Wilayah I Sukaraja di
37
Sukaraja, SPTN Wilayah II Bengkunat di Bengkunat, SPTN III Krui di Krui, dan
SPTN Wilayah IV Bintuhan di Bintuhan serta dibagi dalam unit terkecil 17 (tujuh
belas) resort Pengelolaan Taman Nasional Wilayah dengan tugas dan fungsi
melindungi dan mengamankan seluruh kawasan TNBBS dalam mewujudkan
pelestarian sumber daya alam menuju pemanfaatan yang berkelanjutan.
Ketujuhbelas resort tersebut meliputi Ulu Belu Resort Sukaraja Atas, Resort Way
Nipah, Resort Tampang, Resort Way Haru, Resort Pemerihan, Resort Ngambur,
Resort Biha, Resort Balai Kencana, Resort Pugung Tampak, Resort Merpas,
Resort Muara Sahung, Resort Makakau Ilir, Resort Lombok, Resort Balik Bukit,
Resort Sekincau, Resort Suoh.
(Sumber: https://programs.wcs.org/btnbbs/ diakses pada tanggal 28 Januari 2019
pukul 13.04 WIB)
4. Sejarah Pengelolaan
Secara singkat sejarah kawasan TNBBS adalah sebagai berikut :
Pada tahun 1935 asal mula kawasan TNBBS adalah Kawasan Suaka Margasatwa
yang ditetapkan melalui Besluit Van der Gouvernour-Generat Van Nederlandseh
Indie No 48 stbl. 1935, dengan nama SSI (Sumatera Selatan I) seluas 356.800 ha
yang mencakup wilayah Reg. 49B Krui Barat, Reg. 46B Sekincau, Reg. 47B
Bukit Penetoh, Reg. 22B Kubunicik, Reg. 49 SSI bagian Selatan dan Reg. 52
Kaur Timur,
Pada tanggal 1 April 1979 berdasarkan SK Menteri Pertanian No.
429/Kpts/Org/7/1978 tanggal 10 Juli 1978 tentang Susunan Organisasi dan Tata
38
Kerja Balai KSDA bahwa pengelolaan Kawasan Suaka Margasatwa Sumatera
Selatan I dikelola oleh Sub Balai Kawasan Pelestarian Sumatera Selatan I yang
berada di bawah Balai KSDA Wil. II Tanjung Karang
Pada tanggal 14 Oktober 1982 Kawasan Suaka Margasatwa Sumatera Selatan I
dinyatakan sebagai kawasan TNBBS melalui Surat Pernyataan (SP) Menteri
Pertanian No. 736/Mentan/X/1982,
Pada tahun 1984, berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 096/Kpts-II/1984
tanggal 12 Mei 1984 tentang Organisasi dan Tata Kerja Taman Nasional bahwa
organisasi Sub Balai Kawasan Pelestarian Sumatera Selatan I ditingkatkan
statusnya menjadi TNBBS setingkat Eselon III di bawah Direktorat Jenderal
PHKA,
Berdasarkan SK Dirjen PHKA No. 46/Kpts/IV-Sek/84 tanggal 11 Desember 1984
tentang Penunjukan Wilayah Kerja Taman Nasional bahwa wilayah kerja TNBBS
adalah Suaka Margasatwa Sumatera Selatan I, Pada tahun 2004, TNBBS
ditetapkan oleh UNESCO pada sidang komisi warisan dunia sebagai tapak
warisan dunia,
Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.03/Menhut-II/2007 tanggal 1
Februari 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman
Nasional bahwa Balai TNBBS ditetapkan menjadi Balai Besar TNBBS.
Selain kawasan darat seluas ± 356.800 ha, ditetapkan pula Cagar Alam Laut
(CAL) Bukit Barisan Selatan seluas ± 21.600 ha dalam pengelolaan TNBBS
melalui SK Menhut No.71/Kpts-II/1990 tanggal 15 Februari 1990 jo SK Menhut
39
No. 256/KPTS-II/2000 tanggal 23 Agustus 2000 CAL BBS seluas 17.280,75 ha
(Sumber : BTNBBS, 2011).
5. Sumber Daya Manusia
Jumlah pegawai Balai Besar TNBBS sebanyak 127 orang terdiri dari :
a. Eselon II sebanyak 1 orang
b. Eselon III sebanyak 4 orang
c. Eselon IV sebanyak 9 orang
d. Fungsional Umum sebanyak 52 orang
e. Fungsional Polhut sebanyak 43 orang
f. Fungsional PEH sebanyak 10 orang
g. Fungsional Penyuluh Kehutanan sebanyak 5 orang
h. Fungsional Pengadaan Barang dan Jasa sebanyak 3 orang
Berdasarkan Pasal 7 huruf d dan huruf i Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun
2004 tentang Perlindungan Hutan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 60 Tahun 2009, untuk mencegah, membatasi dan
mempertahankan hutan, pemerintah memfasilitasi terbentuknya kelembagaan
masyarakat dalam rangka mencegah perusakan hutan. Berdasarkan pertimbangan
tersebut telah ditetapkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.56/Menhut-
II/2014 tanggal 27 Agustus 2014 tentang Masyarakat Mitra Polisi Kehutanan.
Sebagai implementasi peraturan tersebut, Balai Besar TNBBS pada tahun 2015
telah merekrut masyarakat menjadi Masyarakat Mitra Polhut (MMP) sebanyak
107 orang yang tersebar di 17 (tujuh belas) Resort Pengelolaan TNBBS. (Sumber:
40
https://programs.wcs.org/btnbbs/ diakses pada tanggal 28 Januari 2019 pukul
13.04 WIB)
B. Umbulan Rowogiri, Pekon Sukamarga, Kecamatan Suoh, Kabupaten
Lampung Barat
Umbulan Rowogiri berada dalam wilayah administrasi di Pemangku Kalibata,
Pekon Sukamarga, Kecamatan Suoh, Kabupaten Lampung Barat dengan luas
sekitar . Batas wilayah Umbulan Rowogiri:
1. Sebelah utara : Umbul Pring dan Umbul Bedor
2. Sebelah timur : Umbul Angin, Umbul Serun, dan Lembah Sutiah
3. Sebelah selatan : Umbul Ayem
4. Sebelah barat : Talang Sunda, Umbul Batu
Masyarakat yang tinggal di Umbulan Rowogiri sampai saat ini ada 23 kepala
keluarga. Sebagian besar masyarakat tersebut adalah para transmigran spontan
dari Kota Agung, Wonosobo, Semaka, Pringsewu, Pagelaran dan langsung dari
Pulau Jawa. Masyarakat Umbulan Rowogiri seluruhnya adalah suku Jawa, baik
itu Jawa Timur dan Jawa Tengah, serta agamanya adalah agama Islam. Untuk
latar belakang pendidikan, rata-rata sekolah dasar dan tidak tamat sekolah dasar
Di Umbulan Rowogiri, masyarakat bekerja sebagai petani, ada yang menjadi
petani kopi, selain itu ada juga lada, pala, durian, petai, alpukat, cabe, dan kakao.
Luas kepemilikan lahan kebun rata rata setiap orang di Rowogiri bisa mencapai
setengah hektar bahkan sampai empat hektar. Model kepemilikan lahannya pun
tanpa sertifikat jual beli hanya menggunakan saling percaya dan saksi
41
Rowogiri dijadikan sebagai tempat tinggal utama dalam jangka waktu yang lama
bagi masyarakat disana. Ada yang tinggal bersama keluarga, dan ada juga yang
tinggal bersama teman-teman satu pekerjaan. Untuk tempat tinggal sendiri,
biasanya mereka membuat rumah gubuk panggung dengan luas rata-rata 12m².
Gubuk tersebut berdinding dari anyaman bambu (gedeg) dan untuk atapnya
biasanya terbuat dari anyaman ilalang (welit) dan ada juga dari seng. Bagian
depan rumah memiliki pelataran seadanya. Saat malam hari mereka menggunakan
penerangan lampu berbahan bakar minyak solar yang biasa disebut lampu ublik.
Selain itu mereka juga menggunakan energi tenaga surya sebagai sumber
penerangan.
Umbulan Rowogiri memiliki satu mushola yang digunakan untuk sembahyang
dan kegiatan keagamaan. Mushola tersebut diberi nama Ataqwa yang dibangun
menggunakan dana swadaya masyarakat yang dikerjakan dengan gotong royong
masyarakat sekitar. Akses jalan menuju umbulan sudah mulai lancar karena sudah
bagus untuk dilewati motor, jalan tersebut terbuat dari semen dan batu yang
merupakan swadaya dari masyarakat serta gotong royong.
Umbulan Rowogiri memiliki danau yang lebarnya 150.000 m2
dengan
keanekaragaman hayati di dalamnya. Ada berbagai macam ikan seperti ikan
gabus, belut, gurame, emas, nila, patin, betok, dan masih banyak lagi. Dengan
bervariasinya ikan yang ada maka masyarakat memanfaatkannya menjadi tempat
pemancingan bersama, namun tetap menjaga kelestariannya dengan melakukan
tebar benih ikan setelah masa panen hasil tani.
V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini peneliti menyajikan hasil penelitian dan pembahasan. Hasil
penelitian disajikan berdasarkan apa saja yang telah peneliti temukan di lapangan,
pada saat penelitian berlangsung, serta pada saat pengerjaan bagian pembahasan
dari hasil penelitian. Pembahasan pada penelitian ini mengenai hubungan
masyarakat di Umbulan Rowogiri, Pekon Sukamarga, Kecamatan Suoh,
Kabupaten Lampung Barat dengan hutan di TNBBS. Sebagai langkah dalam
penyajian data, maka peneliti pada tahap ini menguraikan hasil penelitian yang
diperoleh di lapangan pada saat penelitian berlangsung, selanjutnya hasil temuan
di lapangan disesuaikan dengan rumusan masalah yang telah ditentukan
sebelumnya.
A. Identitas Informan
Informan dalam penelitian ini adalah 1 orang kepala Pekon Sukamarga,
Kecamatan Suoh, Kabupaten Lampung Barat serta 4 orang bersuku Lampung dan
4 orang masyarakat Pekon Sukamarga, juga 5 orang yang melakukan aktivitas
ngumbul di TNBBS.
43
Tabel 5. Keterangan Informan
No. Nama Keterangan
1. Mislan Petani di Desa Gayam, Lampung Selatan dan sudah bertani
selama 56 tahun, beliau bersuku Lampung
2. Arsan Petani di Desa Penengahan, Lampung Selatan dan sudah
bertani selama selama 32 tahun, beliau bersuku Lampung.
3. Usman Petani di Desa Way Nukak, Pesisir Barat dan sudah bertani
selama 25 tahun, beliau bersuku Lampung.
4. Masri Petani di Desa Lemong, Lampung Barat dan sudah bertani
selama 36 tahun, beliau bersuku Lampung.
5. Puriyah Pedagang hasil bumi di Pekon Sukamarga, Suoh, Lampung
Barat selama 45 tahun, bersuku Jawa.
6. YU Petani di Pekon Sukamarga, Suoh Lampung Barat dan sudah
bertani selama 40 Tahun, bersuku Jawa.
7. Sukisman Petani di Pekon Sukamarga, Suoh, Lampung Barat dan sudah
bertani selama 55 tahun, bersuku Jawa.
8. DM Petani di pekon Ringinsari, Lampung Barat dan sudah bertani
selama 48 tahun, bersuku Jawa.
9.
KM1
Petani di Umbulan Rowogiri dan sudah bertani selama 23
tahun, bersuku Jawa.
10.
MO 2
Petani di Umbulan Rowogiri dan sudah bertani selama 35
tahun, bersuku Jawa.
11.
HI 3
Petani di Umbulan Rowogiri dan sudah bertani selama 4 tahun,
bersuku Jawa.
12.
HR4
Petani di Umbulan Rowogiri dan sudah bertani selama 6 tahun,
bersuku Jawa.
13.
KN 5
Petani di Umbulan Rowogiri dan sudah bertani selama 20
tahun, bersuku Jawa.
14. Ahim
Lurah
Kepala Pekon Sukamarga menjabat 2 tahun, bersuku Jawa
44
B. Hasil Penelitian
1. Sejarah Masuknya Masyarakat ke Suoh
Masyarakat Jawa banyak yang melakukan perpindahan ke daerah lain termasuk
Lampung disebabkan karena lancarnya hubungan Jawa dengan Sumatera, hal ini
sesuai dengan yang dijelaskan oleh Sungkoro (mantan Kepala Pekon Sukamarga,
Suoh) yakni:
“Rata-rata yang datang ke sini itu diajak teman dan saudara, karena
banyak yang masih sering pulang ke Jawa balik ke sini membawa
saudaranya” Hasil wawancara pada tanggal 30 Desember 2018
Daerah yang menjadi tujan masyarakat Jawa adalah Pringsewu, dan selanjutnya
para masyarakat pendatang memberi nama daerah-daerah di Pringsewu sama
dengan daerah asal mereka seperti Pagelaran, Pardasuka, Gading Rejo, Sukoharjo,
Ambarawa, Banyumas, dan lain-lain. Puriyah ( Pedagang dan Pengepul Hasil
Bumi di Pekon Sukamarga ) menjelaskan bahwa:
“Semakin lama, semakin banyak teman-teman dari Jawa yang datang ke
Lampung, membuat lahan kosong makin sempit untuk digarap, makanya
banyak yang mencari lahan kosong baru seperti di Suoh” Hasil wawancara
pada tanggal 28 Desember 2018
Perpindahan yang terus terjadi menyebabkan masyarakat pendatang kehabisan
lahan baru untuk mereka garap dan juga susahnya mencari pekerjaan. Hal tersebut
mendorong masyarakat tersebut untuk mencari lahan baru di daerah lain seperti
Suoh, hal ini sesuai dengan yang dijelaskan oleh Sukisman (Petani di Pekon
Sukamarga):
“Banyak teman-teman di Pringsewu yang pindah ke Suoh karena di sana
susah mencari pekerjaan” Hasil wawancara pada tanggal 29 Desember
2018
45
Suoh menjadi destinasi baru yang menjanjikan bagi masyarakat pendatang dan hal
ini terjadi bukan saat ada program transmigrasi resmi dari pemerintah, melainkan
dilakukan secara mandiri oleh masyarakat Jawa. DM (Petani di Pekon
Sukamarga) menjelaskan bahwa:
“Orang-orang yang pada pindah ke Suoh bukan dari program transmigrasi
resmi dari Pulau Jawa, tetapi ada yang dari Jawa langsung ada dari
Lampung seperti Wonosobo, Pringsewu, dan Kota Agung. Waktu itu ya
tidak ramai-ramai, melainkan sendiri-sendiri, ada juga yang bareng
keluarganya tetapi tidak membawa anaknya” Hasil wawancara pada
tanggal 30 Desember 2018
Adanya ajakan dari orang lain yang terlebih dulu merantau ke Suoh dan dinilai
berhasil merupakan daya tarik tersendiri bagi masyarakat lain untuk ikut juga
merantau ke Suoh. Seperti yang dijelaskan oleh Sukisman (Petani di Pekon
Sukamarga)
“Orang di sini yang boleh dikatakan berhasil biasanya punya bujangan
(orang yang bekerja tetap membatu di kebun), bujangannya biasanya ada
yang dari Jawa ada juga yang dari wilayah Lampung seperti Talang
Padang, Wonosobo, Pagelaran, Pringsewu, Lampung Tengah dll kemudian
bujangannya tidak lagi pulang tetapi hidup berkeluarga di suoh kalau dia
tidak berhasil mengumpulkan uang untuk membeli tanah ya dia membuka
kawasan.” Hasil wawancara pada tanggal 29 Desember 2018
Bujangan merupakan laki-laki belum menikah yang membatu seseorang serta
tinggal dengan orang tersebut. Bujangan ini bisa menjadi salah satu cara
masyarakat pendatang datang ke Suoh dan menambah populasi di sana. Bagi
Bujangan yang tidak memiliki modal untuk membeli lahan di Suoh, maka mereka
akan membuka lahan yang masih belum dikelola. DM (Petani di Pekon
Sukamarga) menjelaskan bahwa:
“Dulu tidak jelas mengenai batas wilayah yang boleh dikelola dan yang
tidak boleh dikelola, jadi kami buka-buka saja di sekitar kebun yang sudah
ada”. Hasil wawancara pada tanggal 30 Desember 2018
46
Ketidak jelasan batas wilayah tersebut menyebabkan masyarakat membuka lahan
tanpa arahan. Saat itu Suoh masih menjadi wilayah yang sulit dijangkau karena
kondisi wilayah yang secara umum adalah hutan belantara sesuai dengan yang
dijelaskan oleh Puriyah (Pedagang dan Pengepul Hasil Bumi di Pekon
Sukamarga):
“Dari dulu saya sudah berdagang dari Suoh sampai Pringsewu, waktu itu
di sini masih hutan belantara” Hasil wawancara pada tanggal 28
Desember 2018
Kondisi tersebut menyebabkan sedikitnya akses untuk datang ke Suoh, Yusuf
(Petani di Pekon Sukamarga) menjelaskan bahwa:
“Kendaraan umum waktu dulu mah masih sedikit sekali, mungkin kalau
orang-orang ke Suoh itu ya naik Sentewong (mobil angkut kayu milik
Nyonya Wi, orang luar negeri) dari Pangkul (Kecamatan Wonosobo,
Tanggamus) sampai ke Suoh, namun banyak juga transmigran yang
pindah dengan jalan kaki.” Hasil wawancara pada tanggal 28 Desember
2018
Selain itu juga Sukisman (Petani di Pekon Sukamarga) menjelaskan bahwa:
“Dulu saya datang ke sini dari pringsewu menggunakan bus Mandala Sari
sampai Wonosobo, waktu itu bentuknya masih bukaan belakang dan
terbuat dari kayu busnya” Hasil wawancara pada tanggal 29 Desember
2018
Untuk datang ke Suoh, hanya bus Mandala Sari yang menjadi alternatif bagi
masyarakat. Setelah itu mereka bisa melanjutkan perjalanan menggunakan
sentewong dari Pangkul sampai ke Suoh. Selain menggunakan sentewong, ada
juga yang memilih dengan jalan kaki untuk menuju ke Suoh.
Di Suoh, masyarakat pendatang fase pertama membuka lahan dan bercocok tanam
sesuai dengan kebiasaan masyarakat jawa pada umumnya yakni menanam padi.
Seiring berjalannya waktu, masyarakat pendatang telah berinteraksi dengan
47
masyarakat pribumi menyebabkan perubahan cara pandang dalam bercocok
tanam. Sesuai dengan yang dijelaskan oleh Sukisman (Petani di Pekon
Sukamarga):
“Saat saya pertama kali ke suoh kami menanam padi seperti di jawa, terus
setelah menikah saya ikut orang pribumi cari bibit lada dan kopi, terus
saya buka lahan. ” Hasil wawancara pada tanggal 29 Desember 2018
Pada fase kedua yang tinggal di suoh lebih memilih untuk mengikuti kebiasaan
bercocok tanam orang pribumi yakni lada dan kopi. Selain mengikuti kebiasaan
pribumi pilihan bercocok tanam juga dipengaruhi oleh kondisi tanah, harga hasil
bumi dan ketersediaan lahan. Seperti yang diungkapkan oleh Monajat (Petani di
Umbulan Rowogiri)mengatakan bahwa:
“Saya melihat orang-orang yang nanam lada dan kopi berhasil, harganya
bagus dan tanahnya cocok sedangkan tanah untuk buka sawah juga sudah
tidak ada. ” Hasil wawancara pada tanggal 20 Desember 2018.
Setelah fase kedua menaman lada dan kopi merupakan hal yang umum dilakukan
oleh mayarakat di suoh hal ini mempengaruhi masyarakat fase ketiga yang hanya
mengikuti kebiasaan bercocok tanam di sana seperti yang diungkapkan oleh KM
(Petani di Umbulan Rowogiri):
“Saya ikut orang tua, pada nanam kopi” Hasil wawancara pada tanggal 21
Mei 2017
Hal serupa diungkapkan HR (Petani Umbulan Rowogiri) :
“Saya membeli kebun yang sudah di tanami kopi.” Hasil wawancara pada
tanggal 22 Mei 2017.
Pada fase ketiga ini masyarakat sudah tidak lagi melakukan pembukaan lahan,
melainkan hanya membeli kebun yang sudah ada dari orang lain.
48
2. Pengertian Ngumbul
Ngumbul merupakan kata yang berasal dari bahasa Lampung, menurut Arsan
(Petani di Desa Penengahan, Lampung Selatan):
“Ngumbul itu kita tinggal di kebun. Jadi semua kegiatan kita ya di kebun,
ga punya rumah yang lain lagi, dan juga dilakukan oleh orang yang miskin
banget”. Hasil wawancara pada tanggal 21 Januari 2019
Hal serupa juga diungkapkan oleh Masri (Petani di Desa Lemong, Lampung
Barat):
“Walaupun kita punya rumah di tempat lain, tetapi rumah utama kita di
kebun, dan kegiatan kita di kebun sehari-harinya ya itu namanya ngumbul.
Jadi walaupun pergi-pergi tetap kembali lagi ke kebun”. Hasil wawancara
pada tanggal 31 Januari 2019
Syarat pertama yang harus dipenuhi dalam ngumbul yakni adanya tempat tinggal
yang digunakan sebagai tempat menetap di kebun. Lalu syarat yang kedua yakni
dijelaskan oleh Mislan (Petani di Desa Gayam, Lampung Selatan):
“Umbul itu ya rumah di kebun, kalau Ngumbul ya orang yang menginap di
kebun bertahun-tahun”. Hasil wawancara pada tanggal 8 Januari 2019
Usman (Petani di Desa Way Nukak, Pesisir Barat) juga mengatakan hal serupa,
yakni:
“Kalau hanya seminggu atau dua minggu ya bukan ngumbul namanya, jadi
harus lama, bisa sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun”. Hasil
wawancara pada tanggal 14 Januari 2019
Dari pernyataan di atas maka dapat diketahui bahwa syarat ngumbul yang kedua
adalah waktu yang lama, bahkan bisa sampai selamanya.
Peneliti dapat menarik kesimpulan dari hasil yang telah didapat yakni, kata
ngumbul sendiri memiliki arti kegiatan berkebun yang dilakukan oleh seseorang
49
dengan membuat rumah pokok di kebun dan tinggal di rumah tersebut dalam
jangka waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun dan dilakukan oleh
masyarakat dengan kondisi ekonomi lemah. Untuk kegiatan berkebun yang tidak
diiringi dengan kegiatan menginap di kebun dalam jangka waktu yang lama maka
belum dapat dikatakan sebagai ngumbul. Abdulsyani (1999), juga mengatakan
bahwa kegiatan menginap di kebun untuk jangka waktu yang lama dapat
dikatakan dengan istilah “ngumbul”.
Pengertian ngumbul tidak seutuhnya diserap oleh masyarakat pendatang yang
membuka lahan pertanian di Lampung. hal ini dapat dilihat dari hasil wawancara
peneliti yang telah dilakukan pada petani pendatang di Suoh, seperti pernyataan
Sukisman (Petani di Pekon Sukamarga):
“Dulu saya kalau ngumbul bisa sampai satu minggu kalo hari jumat saya
pulang dan tidak pernah lebih dari satu bulan” Hasil wawancara pada
tanggal 29 Desember 2018.
Hal serupa juga dikatakan oleh Km (Petani di Umbulan Rowogiri).
“Kalo saya ngumbul setiap malem minggu saya pulang” Hasil wawancara
pada tanggal 21 Mei 2017
Dari dua pernyataan di atas maka peneliti dapat mengetahui bahwa terdapat
perbedaan makna yang berbeda dari kata ngumbul. Menurut masyarakat
Lampung, ngumbul bisa terjadi jika menginap di kebun dilakukan selama
berbulan bulan, bahkan bisa selamanya. Namun bagi masyarakat pendatang,
ngumbul hanyalah sebatas kegiatan menginap di kebun, dan tidak dipengaruhi
oleh waktu. Pernyataan ini diperkuat dari hasil wawancara dengan HR (Petani di
Umbulan Rowogiri) yang mengatakan:
50
“Saya ngumbul-nya kalo ada kerjaan misal miwil, nyemprot, panen dll.”
Hasil wawancara pada tanggal 22 Mei 2017
Dan pernyataan Hari (Petani di Umbulan Rowogiri), yakni:
“Biasanya saya ngumbul kalo kerjaan di sawah beres.” Hasil wawancara
pada tanggal 23 Mei 2017
Dari pernyataan tersebut, ngumbul dilakukan hanya untuk sebatas mengurus
kebun saja, belum dijadikan sebagai bagian dari hidup.
3. Manusia dalam Hubungan dengan Lingkungan
Pada penelitian ini penjelasan mengenai aktivitas, sebab dan akibat hubungan
manusia dengan hutan larangan di TNBBS dilakukan dengan pendekatan
kontektualisasi progresif, adapun hasil penelitiannya sebagai berikut:
a. Pengolahan hutan larangan TNBBS oleh petani
1. Pemanfaatan lahan
Bentuk aktivitas masyarakat di Pekon Sukamarga, Umbulan Rowogiri,
Kecamatan Suoh, Kabupaten Lampung Barat dengan hutan larangan di TNBBS
adalah dengan pemanfaatan lahan dengan menanam tanaman yang dapat dipanen
dan diperjual belikan agar mendapatkan penghasilan. Tanaman tersebut seperti
yang dikemukakan oleh KM1 (masyarakat Pekon Sukamarga, Umbulan
Rowogiri, Kecamatan Suoh, Kabupaten Lampung Barat):
“Saya menggarap lahan di sini, saya membuka lahan untuk menanam kopi
dan di setiap gang saya tanami lada serta kakao.” Hasil wawancara pada
tanggal 12 Mei 2017
51
Hal serupa juga dikemukakan oleh MO2 (masyarakat Pekon Sukamarga,
Umbulan Rowogiri, Kecamatan Suoh, Kabupaten Lampung Barat):
“Saya membuka lahan di sini sudah lama. Sejak daerah Rowogiri baru
dibuka dan saya menanam kopi, lada, sayuran, dan kakao.” Hasil
wawancara pada tanggal 21 Mei 2017
Lalu HI3 (masyarakat Pekon Sukamarga, Umbulan Rowogiri, Kecamatan Suoh,
Kabupaten Lampung Barat) mengatakan:
“Saya bisanya ngumbul bersama kawan kawan saya menanam kopi”. Hasil
wawancara pada tanggal 22 Mei 2017
Ada juga masyarakat Umbulan Rowogiri yang lain seperti HR4 (Masyarakat
Pekon Ringinsari, Kecamatan Suoh, Lampung Barat) mengatakan:
”Menggarap kebun kopi di Rowogiri bersama kakakku” Hasil wawancara
pada tanggal 22 Mei 2017
KN5 (masyarakat Pekon Ringinsari Kecamatan Suoh, Kabupaten Lampung Barat)
mengatakan:
“Saya bertempat tinggal di sini (Rowogiri) dan menanam kopi” Hasil
wawancara pada tanggal 22 Mei 2017
Dari beberapa pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa masyarakat Umbulan
Rowogiri membuka lahan di kawasan TNBBS untuk memanfaatkannya dengan
cara menanam berbagai tanaman perkebunan seperti kopi, lada, kakao dan
sayuran. Pemanfaatan lahan ini adalah suatu bentuk aktivitas masyarakat dalam
mengelola lahan hutan larangan TNBBS.
52
2. Pembukaan lahan
Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan pasal 50 ayat 3 huruf b, e
Jo pasal 78 ayat 2 dan 5 mengatakan bahwa:
Setiap orang dilarang :
1. Merambah kawasan hutan.
2. Menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan
tanpa memiliki hak atau ijin pejabat berwenang.
3. Membakar hutan.
Dari pernyataan undang-undang tersebut sudah jelas bahwa masyarakat dilarang
untuk membuka lahan di kawasan hutan, termaksud wilayah di TNBBS.
Menanggapi adanya aturan tersebut KM1 (masyarakat Pekon Ringinsari
Kecamatan Suoh, Kabupaten Lampung Barat) mengatakan bahwa:
“Kalau sekarang ya sudah tau kalau dilarang tapi yang tidak diperbolehkan
kalau itu garapan baru kalau udah ada lahannya ya tidak apa-apa” Hasil
wawancara pada tanggal 12 Juni 2017
Hal serupa juga diungkapkan oleh HR4 (Masyarakat Pekon Ringinsari,
Kecamatan Suoh, Lampung Barat):
“Yang dilarang kebun yang baru buka kalau kebun yang sudah jadi ya
tidak apa-apa”. Hasil wawancara pada tanggal 22 Juni 2017
KN5 (Masyarakat Pekon Sukamarga, Kecamatan Suoh, Lampung Barat) juga
mengatakan:
“Kalau punya kebun di sini tidak masalah asal tidak membakar hutan,
memburu hewan dilindungi seperti rusa dan menebang hutan.” Hasil
wawancara pada tanggal 24 Juni 2017
53
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa masyarakat Umbulan Rowogiri
telah mengetahui adanya larangan tersebut, dan larangan berlaku hanya untuk
lahan yang belum digarap saja. Masyarakat yang sudah terlanjur membuka lahan
sejak dulu diperbolehkan untuk mengurusi lahan mereka namun tidak boleh
membuka lahan yang baru dan tidak boleh memburu binatang yang dilindungi
seperti rusa. Ada konsekuensi tersendiri bagi masyarakat yang membuka lahan
baru, seperti yang diungkapkan oleh HI3 (masyarakat Pekon Sukamarga,
Kecamatan Suoh, Kabupaten Lampung Barat):
“Pernah waktu itu ada bukaan lahan baru di Pekon lain, ya kopi yang
ditanam akan dicabuti oleh polisi hutan. Kebun yang diurus ya kebun yang
sudah jadi kalau hutan tidak boleh di tebang. Dulu tidak ada larangan tapi
sekarang ada dilarang seinget saya tahun 2008 mulai ada larangan”. Hasil
wawancara pada tanggal 20 Juni 2017
Masyarakat yang membuka lahan baru maka tanaman yang telah mereka tanam
akan dicabuti oleh polisi hutan. Larangan untuk membuka lahan di hutan ada
sejak tahun 2008, jadi banyak masyarakat yang sudah terlanjur membuka lahan di
hutan TNBBS sebelum adanya larangan tersebut muncul.
Selain mencabuti tanaman kopi baru, pemerintah juga memiliki program
rehabilitasi hutan konservasi pada tahun 2014 tujuannya untuk reboisasi
pengkayaan tanaman seperti yang diungkapkan oleh Ahim (kepala Pekon
Sukamarga, Kecamatan Suoh Lampung Barat):
“Di sini ada aturan bagi masyarakat yang membuka lahan di TNBBS harus
menanam tanaman kayu sebanyak 40% dan tanaman kebun 60%.”
Wawancara pada tanggal 28 Mei 2017
54
Lalu KM1 (masyarakat Pekon Ringinsari Kecamatan Suoh, Kabupaten Lampung
Barat) menjelaskan bahwa:
“PPA menyuruh masyarakat di sini untuk menanam tanaman kayu juga di
kebun, hal itu bisa membuat tanaman kopi tidak berbuah karena tidak
mendapat sinar matahari untuk berfotosintesis”.Hasil wawancara pada
tanggal 22 Mei 2017
Hal senada juga dijelaskan oleh MO2 (masyarakat Pekon Ringinsari, Kecamatan
Suoh, Kabupaten Lampung Barat):
”Sepertinya tahun 2014 ada program pemerintah yang menyuruh
masyarakat dan TNI untuk menanam pohon cempaka, jambon, durian dan
randu. Hal itu sama saja mengusir petani di sini”. Hasil wawancara pada
tanggal 21 Mei 2017
Dari dua pernyataan di atas dapat diketahui bahwa masyarakat yang membuka
lahan diwajibkan untuk menanam tanaman kayu di kebun mereka, dan hal
tersebut berdampak kurang baik untuk perkembangan tanaman kebun mereka.
Seperti tanaman kopi yang menjadi tidak berbuah diakibatkan tidak terkena sinar
matahari yang terhalang oleh tanaman kayu. Dengan adanya peraturan tersebut,
masyarakat merasa terusir secara perlahan oleh pemerintah.
3. Pembangunan fasilitas
Untuk dapat melaksanakan aktivitasnya dengan baik, maka masyarakat Umbulan
Rowogiri berinisiatif melakukan gotong royong dalam pembangunan jalur menuju
ladang mereka yang berada di TNBBS. KM1 (masyarakat Pekon Ringinsari
Kecamatan Suoh, Kabupaten Lampung Barat) mengatakan:
55
“Jalan menuju kebun dulu tanah merah dan licin di waktu hujan tetapi
sekarang sudah dibangun setiap Jumat gotong royong dan iyuran untuk
beli semen untuk membangun jalan”. Hasil wawancara pada tanggal 12
Mei 2017
MO2 (masyarakat Pekon Ringinsari, Kecamatan Suoh, Kabupaten Lampung
Barat) juga mengatakan bahwa:
“Setiap hari Jumat gotong royong membersihkan jalan dan memperbaiki
jalan yang rusak.” Hasil wawancara pada tanggal 21 Mei 2017
Hal senada juga diungkapkan oleh HI3 (masyarakat Pekon Sukamarga,
Kecamatan Suoh, Kabupaten Lampung Barat):
“Kalau hari Jumat pada gotong royong membersihkan sanitasi dan
memperbaiki jalan rusak.” Hasil wawancara pada tanggal 22 Mei 2017
Kemudian HR4 (Masyarakat Pekon Ringinsari, Kecamatan Suoh, Lampung
Barat) mengatakan:
“Setiap hari Jumat gotong royong apalagi kalau musim hujan.” Hasil
wawancara pada tanggal 22 Mei 2017
Setiap hari Jumat masyarakat Umbulan Rowogiri bergotong royong untuk
membersihkan sanitasi dan memperbaiki jalan menuju perkebunan di TNBBS.
Menurut Ahim (kepala Pekon Sukamarga, Kecamatan Suoh Lampung Barat):
“Kalau wilayah Pekon Sukamarga yang masuk wilayah TNBBS dana desa
tidak bisa untuk pembangunan pekon, jadi pembangunan jalan dan
perawatan 100% swadaya masyarakat”. Wawancara pada tanggal 28 Mei
2017
Beliau menjelaskan bahwa dana desa tidak bisa digunakan untuk pembangunan
daerah yang berada di kawasan TNBBS, sehingga pembangunan apapun itu
56
bentuknya dilakukan menggunakan dana swadaya masyarakat dengan sistem
iuran.
4. Asal-usul kepemilikan tanah
Mengenai asal-usul wilayah perladangan yang sedang digarap oleh masayarakat
Umbulan Rowogiri dijelaskan oleh KM1 (masyarakat Pekon Ringinsari
Kecamatan Suoh, Kabupaten Lampung Barat):
“Kebun yang saya garap sekarang dulu punya Parjo dan Supat dari
Pagelaran di sini tidak ada sertifikat adanya cuma surat jual beli saja dan
dulu belinya tidak tidak langsung tiga hektar awalnya cuma setengah
hektar.” Hasil wawancara pada tanggal 12 Mei 2017
MO2 (masyarakat Pekon Ringinsari, Kecamatan Suoh, Kabupaten Lampung
Barat) juga mengatakan:
“Yang asli saya menebang hutan dan dijadikan kebun sekarang sudah
tidak saya urus yang saya urus hanya kebun yang saya beli dari Mbah Nyai
dari Dusun Kalibata Pekon Sukamarga, sekarang saya mengurus kebun
kopi sekitar 2,5ha kalau kebun di sini tidak bisa dibuat sertifikat SHM”.
Hasil wawancara pada tanggal 21 Mei 2017
Lalu HI3 (masyarakat Pekon Sukamarga, Kecamatan Suoh, Kabupaten Lampung
Barat) mengatakan:
“Pas saya beli kebun dulu adanya surat jual beli ada saksinya, sekarang
saya mengurus kebun 1 hektar.” Hasil wawancara pada tanggal 22 Mei
2017
Dari beberapa pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa sebagian besar
masyarakat Umbulan Rowogiri memiliki lahan di TNBBS karena mereka
membeli dari masyarakat yang telah membuka lahan terlebih dahulu. Sampai saat
ini lahan perladangan yang berada di TNBBS tidak memiliki sertifikat yang resmi,
57
masyarakat hanya memiliki surat jual beli saja. Sesuai dengan yang diungkapkan
oleh Ahim (kepala Pekon Sukamarga, Kecamatan Suoh Lampung Barat):
“Kalau Masalah jual beli untuk Wilayah yang masuk kawasan TNBBS
mereka hanya memakai surat jual beli saja”
5. Pengelolaan kebun
Beberapa cara masyarakat dalam mengolah tanaman perkebunan seperti yang
diungkapkan oleh KM1 (masyarakat Pekon Ringinsari Kecamatan Suoh,
Kabupaten Lampung Barat):
“Kalau untuk membasmi rumput saya menggunakan Roundap sifatnya
membunuh dengan tuntas tapi lambat, kalau mau cepet mati menggunakan
racun rumput Gramason tapi jarang saya gunakan, Pupuk yang saya
gunakan Pupuk ZA dan Poska kalau buah biasanya menggunakan
Amistartop dan Alika tapi jarang.” Hasil wawancara pada tanggal 12 Mei
2017
Lalu MO2 (masyarakat Pekon Ringinsari, Kecamatan Suoh, Kabupaten Lampung
Barat) mengatakan:
“Kalau kopi hanya memakai pupuk ZA saja tapi jarang, kalau sayuran
untuk mengusir rusa dan babi saya menggunakan Parfum baju dicantelin
atau ditempatkan di sekitar sayurannya di pager juga menggunakan
kawat.” Hasil wawancara pada tanggal 21 Mei 2017
HI3 (masyarakat Pekon Sukamarga, Kecamatan Suoh, Kabupaten Lampung
Barat) mengatakan:
“Saya tidak menggunakan pupuk yang penting dihilangkan tunasnya dan
rumputnya disemprot.” Hasil wawancara pada tanggal 22 Mei 2017
58
HR4 (Masyarakat Pekon Ringinsari, Kecamatan Suoh, Lampung Barat)
mengatakan:
“Kadang kadang saya pupuk dengan pupuk poska”. Hasil wawancara pada
tanggal 22 Mei 2017
KN5 (Masyarakat Pekon Sukamarga, Kecamatan Suoh, Lampung Barat)
mengatakan:
“Di sini tanahnya subur jadi ngak perlu pupuk yang penting rumputnya
jangan sampai panjang” Hasil wawancara pada tanggal 22 Mei 2017
Dari beberapa pernyataan di atas dapat diketahui bahwa beragam cara masyarakat
dalam memelihara tanaman kebun di TNBBS, ada yang memberikan pupuk pada
tanaman, menghilangkan tunas kopi yang tumbuh berlebih, mencabuti rumput di
sekitar tanaman, memberikan racun pada rumput agar mati dan bagi hama babi
biasanya mereka menjaga tanaman dengan cara memagari dengan kawat serta
memberikan pewangi pakaian pada pagar kawat tersebut.
6. Cara memperoleh bibit kopi
Dalam hal penanaman, sebagian masyarakat menggunakan bibit yang tumbuh liar
di bawah pohon kopi secara langsung, seperti yang dijelaskan oleh KM1
(masyarakat Pekon Ringinsari Kecamatan Suoh, Kabupaten Lampung Barat):
“Mencari bibit kopi dengan benih yang tumbuh di bawah pohon kopi
kemudian dipindahkan langsung.” Hasil wawancara pada tanggal 12 Juni
2017
59
MO2 (masyarakat Pekon Ringinsari, Kecamatan Suoh, Kabupaten Lampung
Barat) juga mengatakan bahwa:
“Di sini benih tidak perlu ditanam polibek benih yang tumbuh liar
langsung dipindah juga bagus.” Hasil wawancara pada tanggal 15 juni
2017
Selain menggunakan bibit yang tumbuh liar di bawah pohon kopi, ada juga
masyarakat yang menggunakan cara lain seperti yang dijelaskan oleh KN5
(Masyarakat Pekon Sukamarga, Kecamatan Suoh, Lampung Barat):
“Kadang-kadang saya ya membuat benih sendiri, kadang kadang juga
mengambil benih liar yang ada di bawah pohon kopi.” Hasil wawancara
pada tanggal 24 Juni 2017
Terkadang ada juga masyarakat yang sengaja menyemai biji kopi untuk
selanjutnya dijadikan bibit.
7. Sistem memanen
Bila musim panen tiba, masyarakat Umbulan Rowogiri biasanya membuka sistem
upahan bagi buruh harian lepas. KM1 (masyarakat Pekon Ringinsari, Kecamatan
Suoh, Kabupaten Lampung Barat) mengatakan:
“Waktu panen biasanya untuk memetik kopi saya memperkerjakan lebih
dari tujuh orang, biasanya dibayar Rp 30.000 sampai Rp 35.000 sehari.
Tetapi kadang-kadang bergantian tenaga kerja seperti waktu panen di
tempat saya dia membantu saya terus ketika panen di tempat dia saya
membantu dia jadi saling membantu.” Hasil wawancara pada tanggal 12
Juni 2017
MO2 (masyarakat Pekon Ringinsari, Kecamatan Suoh, Kabupaten Lampung
Barat) juga mengatakan bahwa:
60
“Yang kerja orang enam untuk mengunduh kopi, sehari Rp 35.000 makan
ditanggung.” Hasil wawancara pada tanggal 21 Mei 2017
Lalu KN5 (Masyarakat Pekon Sukamarga, Kecamatan Suoh, Lampung Barat)
mengatakan:
“Waktu musim biasanya aku mengerjakan orang-orang, ada orang sini,
sama ada orang Pagelaran.” Hasil wawancara pada tanggal 24 Juni 2017
Saat musim panen tiba merupakan hal yang menguntungkan bagi semua pihak,
baik itu pemilik lahan maupun buruh harian lepas. Masyarakat yang biasanya
bekerja buruh dapat mencari rejeki dengan membantu bekerja memanen kopi.
Biasanya sehari para buruh harian lepas akan dibayar sekitar Rp. 30.000 sampai
Rp. 35.000 dan untuk makan ditanggung oleh pemilik lahan. Namun ada juga
pemilik lahan yang tidak menggunakan sistem upahan, mereka menggunakan
sistem barter jasa, seperti yang diungkapkan oleh HR4 (Masyarakat Pekon
Ringinsari, Kecamatan Suoh, Lampung Barat):
“Gantian tenaga untuk memanen kopinya.”Hasil wawancara pada tanggal
22 Juni 2017
Dan HI3 (masyarakat Pekon Sukamarga, Kecamatan Suoh, Kabupaten Lampung
Barat) mengatakan:
“Kalau musim biasanya aku memetik gantian tenaga bersama dengan
teman-temanku.” Hasil wawancara pada tanggal 20 Juni 2017
Pada intinya poin ini menjelaskan bahwa ada pula masyarakat yang menggunakan
sistem saling bergotong royong dalam memanen. Mereka saling membantu
masyarakat yang sedang panen, lalu begitupun sebaliknya.
61
8. Sistem berkebun
KM1 (masyarakat Pekon Ringinsari Kecamatan Suoh, Kabupaten Lampung
Barat) menjelaskan bahwa:
“Saya masih bujang, tinggal di sini bersama teman-teman, yakni rumah
utama kami, namun kadang ya main ke rumah orang tua di bawah.” Hasil
wawancara pada tanggal 12 Mei 2017
Lalu MO2 (masyarakat Pekon Ringinsari, Kecamatan Suoh, Kabupaten Lampung
Barat) mengatakan:
“Setiap hari saya turun ke bawah (ke Pekon Ringinsari) untuk menjual
sayuran, kalau musim kopi bisa sebulan sekali jual sayurannya soalnya
memetik kopi dan menjemurnya.” Hasil wawancara pada tanggal 21 Mei
2017
KN5 (masyarakat Pekon Sukamarga, Kecamatan Suoh, Lampung Barat)
menjelaskan:
“Saya bertempat tinggal di sini (Rowogiri) dan menanam kopi.” Hasil
wawancara pada tanggal 22 Mei 2017
Dari beberapa penjelasan di atas dapat diketahui bahwa sistem berkebun
masyarakat Umbulan Rowogiri adalah menggunakan sistem ngumbul di mana
mereka menjadikan rumah yang ada di Umbulan Rowogiri dalam hal ini kebun
sebagai rumah utama mereka. Dalam melakukan kegiatan sehari-hari mereka
menghabiskan sebagian besar waktu di Umbulan Rowogiri di tempat lain.
9. Pemanfaatan danau
Selain dengan memanfaatkan lahan di TNBBS untuk berkebun, masyarakat
Umbulan Rowogiri juga memanfaatkan danau yang ada di TNBBS, seperti yang
62
dijelaskan oleh KM1 (masyarakat Pekon Ringinsari Kecamatan Suoh, Kabupaten
Lampung Barat):
“Belut di sini besar-besar, saya biasanya memancing ikan di sore hari dan
memasang tajur (alat penangkap ikan tradisional) kalo di sini tidak
diperbolehkan menggunakan setrum dan racun ikan).” Hasil wawancara
pada tanggal 12 Mei 2017
Lalu MO2 (Masyarakat Pekon Ringinsari, Kecamatan Suoh, Lampung Barat) juga
menjelaskan:
“Kalo di sini tidak boleh menggunakan jenu (racun ikan tradisional) kalau
aku kadang-kadang saja saya memancing, kalaupun mancing bersama
teman-teman.” Hasil wawancara pada tanggal 22 Mei 2017
Hal senada juga dijelaskan oleh HI3 (masyarakat Pekon Sukamarga, Kecamatan
Suoh, Kabupaten Lampung Barat):
“Jarang saya memancing mungkin hanya satu bulan sekali dan kalau
mengambil ikannya menggunakan putas (racun ikan) maka tidak
diperbolehkan.” Hasil wawancara pada tanggal 22 Mei 2017
KN5 (Masyarakat Pekon Sukamarga, Kecamatan Suoh, Lampung Barat)
menjelaskan:
“Saya memasang tajur, kriding, bubu (alat penagkap ikan tradisional) dan
memasang jaring untuk menangkap ikan kalo di sini ada aturan tidak boleh
menggunakan racun ikan seperti jenu, putas dan disetrum).”Hasil
wawancara pada tanggal 22 Mei 2017
Sebagian masyarakat Umbulan Rowogiri memanfaatkan danau di TNBBS dengan
mengambil ikannya dan belutnya dengan cara yang berbeda-beda seperti
memancing, menggunakana jaring, bubu dan tajur. Mereka semua sepakat bahwa
63
menangkap ikan dengan cara meracun dan menyetrum ikan adalah hal yang
dilarang.
10. Berburu binatang
Bagi masyarakat yang memiliki lahan dan berladang di TNBBS sering berburu
binatang yang ada di TNBBS, namun tidak semua binatang yang ada di TNBBS
mereka buru, hanya beberapa saja seperti yang dijelaskan oleh KM1 (masyarakat
Pekon Ringinsari Kecamatan Suoh, Kabupaten Lampung Barat):
“Biasanya saya mencari burung kruok untuk dimasak daengan cara pakai
pancing dan suara kalo hewan dilindungi saya tidak berani.”Hasil
wawancara pada tanggal 12 Mei 2017
HR4 (Masyarakat Pekon Ringinsari, Kecamatan Suoh, Lampung Barat)
mengatakan:
“Biasanya malam hari menangkap burung kruok kalau hewan dilindungi
tidak pernah.” Hasil wawancad ra pada tanggal 22 Mei 2017
KM1 (masyarakat Pekon Ringinsari Kecamatan Suoh, Kabupaten Lampung
Barat) mengatakan:
“Anger enek manuk kacer nagkene rebutan suarane apik angr karo luak
biasane akeh seng are tuku.” (kalo ada burung kacer di sini rebutan
suaranya bagus untuk dipelihara kalo luwak biasanya banyak yang mau
beli). Hasil wawancara pada tanggal 12 Mei 2017
Lalu KM1 (masyarakat Pekon Ringinsari Kecamatan Suoh, Kabupaten Lampung
Barat) mengatakan:
“Kadang-kadang cari tupai untuk dimasak.” Hasil wawancara pada
tanggal 12 Mei 2017
64
Masyarakat hanya memburu binatang yang tidak dilindungi oleh Negara seperti
burung kruok, tupai, luwak dan burung kacer. Mereka menangkap bintang-
binatang tersebut dengan banyak cara seperti memancing burung kruok dengan
menggunakan suara burung kruok betina yang direkam di handphone pada malam
hari. Menangkap burung kacer dengan cara mengikuti induk burung samapi ke
sarang, lalu mengambil anak burung kacer. Menangkap tupai dengan cara
menembaknya menggunakan senapan angin. Mereka juga mengambil anak luwak
yang biasanya ada di pohon bambu. Hasil buruan sebagian besar dikonsumsi
pribadi dan hanya beberapa yang dijual seperti burung kacer dan luwak.
11. Pengaruh sosial budaya
Dalam aktivitas masyarakat di hutan TNBBS masih dipengaruhi oleh
kepercayaan-kepercayaan mitos seperti yang dijelaskan oleh KM1 (masyarakat
Pekon Ringinsari Kecamatan Suoh, Kabupaten Lampung Barat):
“Aku mikat kruok kejadian yang dialami diri saya sendiri waktu malam itu
memang ada yang datang memang kenyataanya ada yang datang ketika itu
saya bersama kawan kawan saya bertiga pernah melakukan pemikatan
burung kruok kemudian diikuti oleh kuntilanak sampai ke umbulan mulai
saat itu sudah berhenti tidak memburu burung kruok selain itu juga ada
aturan disini tidak diperbolehkan membunuh ular besar maupun kecil.”
Hasil wawancara pada tanggal 12 Juni 2017
Lalu MO2 (masyarakat Pekon Ringinsari, Kecamatan Suoh, Kabupaten Lampung
Barat) mengatakan:
“Kalau di sini tidak boleh membunuh ular dan rata rata yang menangkap
burung kruok diikuti Kuntilanak.” Hasil wawancara pada tanggal 15 juni
2017
Hal senada dijelaskan oleh KN5 (Masyarakat Pekon Sukamarga, Kecamatan
Suoh, Lampung Barat):
65
“Dulu cerita danau di Rowogiri danau ini dulunya besar empat kali lipat
dari yang sekarang cuman seiring berjalannya waktu di pinggir-pingir
danau dibuat sawah dulu pernah ada orang membedah danau untuk
dihabiskan airnya dan diambili ikannya di pinggir utara danau dibuat
siring atau aliran air yang lebarnya kurang lebih satu meter setengah
sampai dua meter dalamnya aliran sungai ini sampai tiga meter kemudian
air danau mulai habis kemudian ada ular yang membendung aliran sungai
sampai alirannya tidak mengalir kemudian dipercaya tidak di
perbolehkannya oleh penduduk danau atau lelembut tidak diperbolehkan.”
Hasil wawancara pada tanggal 24 Juni 2017
Menurut kepercayaan di Umbulan Rowogiri bagi masyarakat yang menangkap
burung kruok maka akan diikuti oleh sejenis makhluk gaib yang sering disebut
dengan kuntilanak. Dengan kepercayaan tersebut maka membuat sebagian
masyarakat tidak berani lagi untuk menangkap burung kruok. Ada pula
kepercayaan lain yang mengatakan bahwa di danau ada ular penunggu danau yang
sangat besar. Ada beberapa masyarakat mengaku pernah melihat ular besar
tersebut. Dari kepercayaan masyarakat tersebut maka membuat mereka menjadi
selalu menjaga keadaan danau agar tetap lestari agar tidak membuat marah
penunggunya.
b. Penyebab hutan larangan dikelola
Terjadinya sebuah aktivitas pasti memiliki sebab yang melatarbelakanginya,
seperti aktivitas masyarakat Umbulan Rowogiri dengan hutan di TNBBS. Ada
banyak penyebab masyarakat mengolah lahan di TNBBS seperti:
1. Faktor keluarga dan saudara
Faktor keluarga adalah yang paling erat penyebab masyarakat Umbulan Rowogiri
mengelola hutan karena sudah terbiasa dari kecil diajak oleh keluarga untuk
ngumbul hingga ia tumbuh dewasa, maka aktivitas ngumbul menjadi kebiasaan
66
bagi seseorang. Sebagaimana yang dijelaskan oleh KM1 (masyarakat Pekon
Ringinsari Kecamatan Suoh, Kabupaten Lampung Barat):
“Dulu bapakku dulu sering ngajak saya ngumbul, terus pas saya lulus
sekolah MTs ada lahan di samping lahannya bapakku dijual dan dibeli
bapakku terus saya yang ngurus dan sekarang sudah menjadi kebun saya.”
Hasil wawancara pada tanggal 12 Mei 2017
Hal senada juga diungkapkan oleh MO2 (masyarakat Pekon Ringinsari,
Kecamatan Suoh, Kabupaten Lampung Barat):
“Dulu saya ke suoh dibawa oleh orang tua saya ketika masih kecil, orang
tuaku dari Jawa Timur Banyuwangi ke sini bareng bersama sodara-
saudaranya terus membuka lahan kebun di Rowogiri dan menetap di
Pekon Ringinsari. Yang saya tebang sendiri sudah tidak saya urus.” Hasil
wawancara pada tanggal 21 Mei 2017
Dari dua pernyataan di atas dapat diketahui bahwa masyarakat yang mengolah
lahan perkebunan di kawasan TNBBS saat ini disebabkan oleh turun temurun dari
orang tua. Namun ada juga yang mengolah lahan disebabkan diajak oleh orang
lain seperti saudara atau teman, diungkapkan oleh HR4 (Masyarakat Pekon
Ringinsari, Kecamatan Suoh, Lampung Barat):
“Tadinya saya cuma ikut bekerja buruh harian metik kopi, terus ada yang
menawarkan tanah garapan ya saya ambil, statusnya masih punya
kakakku.” Hasil wawancara pada tanggal 22 Mei 2017
Dan KN5 (Masyarakat Pekon Sukamarga, Kecamatan Suoh, Lampung Barat)
menjelaskan:
“Dulu aku punya saudara punya kebun di Rowogiri saudaraku rumahnya
Pagelaran Pringsewu, saya juga dulu rumahnya di Pagelaran saya diajakin
membuat kebun di Rowogiri menanam kopi saya lihat tanah di rowogiri
subur terus saya ikut membuat kebun di Rowogiri sekarang saya sudah
menetap di Rowogiri dan menanam kopi.” Hasil wawancara pada tanggal
22 Mei 2017
67
Selain karena faktor keturunan dan juga diajak oleh teman atau saudara untuk
sama-sama menggarap tanah di kawasan TNBBS.
2. Memenuhi kebutuhan ekonomi
Memenuhi kebutuhan merupakan faktor yang penting juga sebagai penyebab
masyarakat membuka dan mengolah lahan di TNBBS. Seperti yang dijelaskan
oleh MO2 (masyarakat Pekon Ringinsari, Kecamatan Suoh, Kabupaten Lampung
Barat):
“Saya memiliki anak dan istri yang harus diberi nafkah, sehingga memiliki
lahan di sini sangat membantu saya untuk memenuhi kebutuhan keluarga.”
Hasil wawancara pada tanggal 21 Mei 2017
HI3 (masyarakat Pekon Sukamarga, Kecamatan Suoh, Kabupaten Lampung
Barat):
“Penghasilanku dari mana lagi kalau mengandalkan buruh tani saja tidak
cukup.” Hasil wawancara pada tanggal 22 Mei 2017
HR4 (Masyarakat Pekon Ringinsari, Kecamatan Suoh, Lampung Barat):
“Kalo penghasilan dari kebun Rowogiri lebih cukup untuk menyekolahkan
anak dan untuk biaya sehari hari.” Hasil wawancad ra pada tanggal 22 Juni
2017
KN5 (Masyarakat Pekon Sukamarga, Kecamatan Suoh, Lampung Barat) :
“Saya membuat kebun di sini agar ada yang diandalkan untuk memberi
makan anak dan istri”. Hasil wawancara pada tanggal 22 Mei 2017
68
3. Harga tanah murah di TNBBS
Adapula faktor penyebab lain yang mendukung seperti yang dijelaskan oleh KM1
(masyarakat Pekon Ringinsari Kecamatan Suoh, Kabupaten Lampung Barat):
“Tanah yang bersertifikat mayoritas mahal kalau untuk orang seperti saya
tidak terjangkau, harga tanah rata rata sampai 150juta apalagi sawah bisa
tiga kali lipatnya. Kalou saya sedikit demi sedikit muai menabung.” Hasil
wawancara pada tanggal 12 Mei 2017
HI3 (masyarakat Pekon Sukamarga, Kecamatan Suoh, Kabupaten Lampung
Barat) mengatakan:
“Mau kerja di mana lagi kalau setiap hari buruh tani tidak bisa memenuhi
kebutuhan dan saya ingin punya kebun sendiri bisa belinya di Rowogiri”.
Hasil wawancara pada tanggal 22 Mei 2017
Dari dua pernyataan di atas maka dapat diketahui bahwa faktor penyebab
selanjutnya adalah murahnya harga tanah yang berada di kawasan TNBBS dan
mahalnya harga tanah yang berada di kawasan marga. Sebagian masyarakat
Umbulan Rowogiri merasa kurang mampu untuk membeli tanah di kawasan
marga dan hanya mampu membeli tanah di TNBBS.
4. Tanah di TNBBS subur
Selain harga yang murah, tanah di TNBBS juga memiliki kualitas tanah yang baik
seperti yang dijelaskan oleh KM1 (masyarakat Pekon Ringinsari Kecamatan
Suoh, Kabupaten Lampung Barat):
“Tanah di sini subur sekali kalau cuacanya mendukung, panen kopi bisa
dapat 2 ton satu hektarnya” Hasil wawancara pada tanggal 12 Mei 2017
69
MO2 (masyarakat Pekon Ringinsari, Kecamatan Suoh, Kabupaten Lampung
Barat) mengatakan:
“Orang tua saya dulu dari Jawa ke sini melihat tanah di sini subur jadi
pada buka lahan di sini dulu belum ada larangan.” Hasil wawancara pada
tanggal 21 Mei 2017
HI3 (masyarakat Pekon Sukamarga, Kecamatan Suoh, Kabupaten Lampung
Barat) juga mengatakan bahwa:
“Kalau pas musim kopi lebat lebatnya rata-rata yang kerja metik kopi rata-
rata ingin punya kebun di sini”. Hasil wawancara pada tanggal 22 Mei
2017
Kesuburan tanah juga menjadi faktor utama dalam sebuah perkebunan, dan hal
tersebut dimiliki oleh tanah di wilayah TNBBS. Keadaan tersebutlah yang
mendorong masyarakat untuk membuka lahan di wilayah TNBBS. Tanaman kopi
bisa berbuah lebat dan masyarakat bisa mendapatkan hasil panen yang banyak,
kurang lebih untuk tanah 1 hektar mereka bisa mendapatkan hasil 2 ton.
C. Dampak Mengelola Hutan Larangan
Adanya aktivitas manusia dengan lingkungan pasti memiliki dampak bagi
lingkungan maupun bagi manusia itu sendiri. Dampak tersebut bisa berupa hal
yang positif dan hal negatif, begitu pula dengan aktivitas masyarakat Umbulan
Rowogiri di hutan TNBBS. Dengan adanya aktivitas masyarakat di hutan TNBBS
maka berdampak sebagai berikut:
70
1. Adanya Tumpang Tindih Kepentingan
Adanya Undang-Undang No. 1 tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 50 ayat 3
huruf b, e Jo pasal 78 ayat 2 dan 5 berisi tentang: Setiap orang dilarang (1).
Merambah kawasan hutan, (2).Menebang pohon atau memanen atau memungut
hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau ijin dari pejabat berwenang
dan (3).Membakar hutan. Dengan adanya larangan tersebut bertujuan untuk
melestarikan hutan-hutan beserta yang ada di dalamnya. Berbeda dengan
kepentingan masyarakat seperti yang diungkapkan oleh HI3 (masyarakat Pekon
Sukamarga, Kecamatan Suoh, Kabupaten Lampung Barat):
“Saya bekerja membuka lahan di sini karena ingin mempunyai
penghasilan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari”. Hasil wawancara
pada tanggal 22 Mei 2017
Ia mengatakan bahwa adanya kepentingan masyarakat untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehingga mereka membuka lahan di TNBBS.
2. Danau Dijadikan Tempat Pemancingan
Danau yang ada di TNBBS dirawat oleh masyarakat dan dijadikan sebagai tempat
pemancingan, seperti yang dikatakan oleh KM1 (masyarakat Pekon Ringinsari
Kecamatan Suoh, Kabupaten Lampung Barat):
“Danau di sini menjadi tempat pemancingan orang-orang dari berbagai
pekon seperti Pekon Hantatai, Sumber Agung, Sukamarga.” Hasil
wawancara pada tanggal 12 Mei 2017
Lalu KN5 (Masyarakat Pekon Sukamarga, Kecamatan Suoh, Lampung Barat)
juga mengatakan:
71
“Banyak warga dari luar Rowogiri yang datang ke danau untuk berwisata
karena pemandangannya indah dan juga bisa memancing di danau.” Hasil
wawancara pada tanggal 22 Mei 2017
3. Mengurangi Wilayah yang Dilindungi oleh Negara
Umbulan Rowogiri masuk ke dalam register 47B, dengan adanya pembukaan
lahan maka akan mengurangi wilayah yang dilindungi oleh Negara.
4. Membuka Lapangan Pekerjaan
Saat musim panen, masyarakat menggunakan sistem upahan, di mana pemilik
lahan membuka lapangan pekerjaan bagi buruh harian lepas untuk membantu
memanen. KN5 (Masyarakat Pekon Sukamarga, Kecamatan Suoh, Lampung
Barat) mengatakan:
“Waktu musim biasanya aku mempekerjakan orang-orang ada orang sini
ada orang pagelaran.” Hasil wawancara pada tanggal 24 Juni 2017
KM1 (masyarakat Pekon Ringinsari Kecamatan Suoh, Kabupaten Lampung
Barat) juga mengatakan:
“Waktu panen biasanya aku untuk memetik kopi saya memperkerjakan
lebih dari tuju orang tapi kadang kadang gentian tenaga kerja seperti waktu
panen di tempat saya dia membantu saya terus ketika panen di tempat dia
saya membantu dia jadi saling membantu” Hasil wawancara pada tanggal
12 Juni 2017
Dengan adanya sistem upahan tersebut maka para buruh harian lepas akan
memiliki pekerjaan sesaat dan mendapatkan penghasilan.
72
5. Masyarakat Umbulan Rowogiri Menjadi Semakin Akrab
Masyarakat Umbulan Rowogiri menjadi semakin akrab dilihat dari pernyataan
MO2 (masyarakat Pekon Ringinsari, Kecamatan Suoh, Kabupaten Lampung
Barat):
“Setiap hari Jumat gotong royong membersihkan jalan dan memperbaiki
jalan yang rusak.” Hasil wawancara pada tanggal 21 Mei 2017
KM1 (masyarakat Pekon Ringinsari Kecamatan Suoh, Kabupaten Lampung
Barat) juga mengatakan:
“Biasanya sehabis musim panen, kami iuran untuk membeli bibit ikan.”
Hasil wawancara pada tanggal 12 Mei 2017
Ahim (kepala Pekon Sukamarga, Kecamatan Suoh Lampung Barat) mengatakan:
“Kalau wilayah Pekon Sukamarga yang masuk wilayah TNBBS dana desa
tidak bisa untuk pembangunan pekon, jadi pembangunan jalan dan
perawatan 100% swadaya masyarakat” Wawancara pada tanggal 28 Mei
2017
Masyarakat Umbulan Rowogiri selalu mengadakan gotong royong membangun
jalan menuju TNBBS setiap hari Jumat dan juga mengadakan yasinan setiap
sehabis panen lalu iyuran untuk membeli bibit ikan yang akan disebar di danau.
Dalam pembangunan jalan juga masyarakat menggunakan dana pribadi yang
mereka kumpulkan karena tidak dapat menggunakan dana desa. Hal tersebut
membuat hubungan masyarakat semakin akrab dan kompak.
73
6. Peningkatan Perekonomian
Pembuakaan lahan perkebunan di TNBBS memiliki dampak pada peningkatan
perekonomian masyarakat, seperti yang diungkapkan oleh HR4 (Masyarakat
Pekon Ringinsari, Kecamatan Suoh, Lampung Barat):
“Syukur kepada Tuhan saya punya lahan di sini jadi mempunyai
penghasilan dan bisa membantu perekonomian keluarga.”Hasil wawancara
pada tanggal 22 Juni 2017
Ahim (kepala Pekon Sukamarga, Kecamatan Suoh Lampung Barat) mengatakan:
“Dengan membuka lahan, masyarakat menjadi memiliki lahan dan
pekerjaan. Hal tersebut berdampak pada peningkatan ekonomi
masyarakat” Wawancara pada tanggal 28 Mei 2017
7. Menanam Kopi Sambil Merawat Hutan
Menurut Mulyana dkk (2010) Semua kawasan konservasi yang merupakan aset
umum dan dikelola oleh pemerintah untuk kepentingan umum telah mengalami
kerusakan, pengurangan luas, atau diperebutkan oleh pihak lain yang ingin
memanfaatkan kawasan tersebut untuk kepentingan lain. Untuk menangani
masalah tersebut pemerintah memiliki solusi yakni melalui Peraturan Menteri
Kehutanan No. P.19/Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan
Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Dalam peraturan tersebut pemerintah
dan masyarakat saling bekerja sama. Masyarakat diminta pemerintah untuk
menanam tanaman kayu seperti cempaka dan masyarakat tetap diperbolehkan
menanam kopi.
74
Pemerintah tidak meninggalkan masyarakat yang ngumbul begitu saja tetapi tetap
dikontrol oleh polisi hutan yang rutin mengingatkan masyarakat, seperti yang
dijelaskan oleh KM1 (masyarakat Pekon Ringinsari Kecamatan Suoh, Kabupaten
Lampung Barat):
“PPA (polisi hutan) setiap minggu rutin mengontrol ke sini dan
menasehati, intinya disuruh menanam pohon cempaka mengikuti
keinginan pemerintah)” Hasil wawancara pada tanggal 12 Mei 2017
Kemudian Ahim (kepala Pekon Sukamarga, Kecamatan Suoh Lampung Barat)
menjelaskan:
“Diwilayah TNBBS sekarang rutin patroli apalagi semenjak meningkatnya
status diakui oleh UNESCO” Hasil wawancara pada tanggal 28 Mei 2017
Masyarakat di Umbulan Rowogiri sadar akan pentinya menjaga fungsi hutan
dengan melakukan beberapa cara yang diungkapkan oleh MO2 (Masyarakat
Pekon Ringinsari, Kecamatan Suoh, Lampung Barat) juga menjelaskan:
“Saya menilai pemerintah baik yakni untuk menjaga hutan dan saya
melaksanakan, tetapi tidak pro rakyat karna yang mereka suruh menanam
tanaman tanam yang tidak cocok untuk bayangan tanaman kopi” Hasil
wawancara pada tanggal 22 Mei 2017
KN5 (Masyarakat Pekon Sukamarga, Kecamatan Suoh, Lampung Barat)
menjelaskan:
“Kita sebenarnya secara tidak langsung sudah melestarikan hutan karna
tanaman kopi juga perlu bayangan untuk menyaring sinar matahari
tanaman yang kita tanam tanaman yang bedaun kecil agar tidak terlalu
rimbun seperti petai.”Hasil wawancara pada tanggal 22 Mei 2017
Lalu menjelaskan KM1 (masyarakat Pekon Ringinsari Kecamatan Suoh,
Kabupaten Lampung Barat):
“Saya tidak setuju jika kami di tuduh merusak hutan karena kami juga
menanam tanaman kayu untuk bayangan kopi sebelum ada konsep
75
kolaborasi dan kita juga tidak membunuh binatang yang datang ke sini
seperti rusa, kukang dll”. Hasil wawancara pada tanggal 12 Mei 2017
Tuduhan merusak hutan oleh pemerintah di bantah oleh masyarakat Umbulan
Rowogiri karena mereka tidak hanya menanam tanaman kebun tetapi juga
menanam tanaman yang digolongkan tanaman hutan seperti petai, duren, asem
dan lain-lain. Selama bertani di Umbulan Rowogiri mereka juga tidak membunuh
hewan-hewan yang datang seperti rusa, kancil, gajah dll.
8. Merawat Danau
Selain dengan memanfaatkan lahan di TNBBS untuk berkebun, masyarakat
Umbulan Rowogiri juga memanfaatkan danau yang ada di TNBBS, seperti yang
dijelaskan oleh KM1 (masyarakat Pekon Ringinsari Kecamatan Suoh, Kabupaten
Lampung Barat):
“Belut di sini besar-besar, saya biasanya memancing ikan di sore hari dan
memasang tajur (alat penangkap ikan tradisional) kalo di sini tidak
diperbolehkan menggunakan setrum dan racun ikan. Hasil wawancara
pada tanggal 12 Mei 2017
Lalu MO2 (Masyarakat Pekon Ringinsari, Kecamatan Suoh, Lampung Barat) juga
menjelaskan:
“Kalo di sini tidak boleh menggunakan jenu (racun ikan tradisional) anger
aku kadang-kadang saja saya memancing, kalaupun mancing bersama
teman-teman.” Hasil wawancara pada tanggal 22 Mei 2017
Hal senada juga dijelaskan oleh HI3 (masyarakat Pekon Sukamarga, Kecamatan
Suoh, Kabupaten Lampung Barat):
76
“Jarang saya memancing mungkin hanya satu bulan sekali kalau
menggunakan putas (racun ikan) tidak diperbolehkan”. Hasil wawancara
pada tanggal 22 Mei 2017
KN5 (Masyarakat Pekon Sukamarga, Kecamatan Suoh, Lampung Barat)
menjelaskan:
“Saya memasang tajur, kriding, bubu (alat penagkap ikan tradisional) dan
memasang jaring untuk menagkap ikan kalo di sini ada aturan tidak boleh
menggunakan racun ikan seperti jenu, putas dan disetrum.”Hasil
wawancara pada tanggal 22 Mei 2017
Sebagian masyarakat Umbulan Rowogiri memanfaatkan danau di TNBBS dengan
mengambil ikannya dan belutnya dengan cara yang berbeda-beda seperti
memancing, menggunakana jaring, bubu dan tajur. Mereka semua sepakat bahwa
menangkap ikan dengan cara meracun dan menyetrum ikan adalah hal yang
dilarang.
9. Iuran
Selain mengambil hasil danau, masyarakat juga memikirkan hal yang akan
datang, seperti kelestarian hasil danau yang mungkin saja bisa habis jika diambil
terus menerus. Untuk mengantisipasi hal tersebut, masyarakat punya cara
tersendiri sesuai dengan yang diungkapkan oleh KM1 (masyarakat Pekon,
Ringinsari Kecamatan Suoh, Kabupaten Lampung Barat):
“Biasanya sehabis musim panen, kami iuran untuk membeli bibit ikan.”
Hasil wawancara pada tanggal 12 Mei 2017
MO2 (masyarakat Pekon Ringinsari, Kecamatan Suoh, Kabupaten Lampung
Barat) mengatakan bahwa:
77
“Iuran ikan mas, gurame, nila dan patin biasanya dibeli sehabis musim
kopi.” Hasil wawancara pada tanggal 21 Mei 2017
Hal senada juga dikatakan oleh HI3 (masyarakat Pekon Sukamarga, Kecamatan
Suoh, Kabupaten Lampung Barat):
“Saya ikut iyuran untuk beli bibit ikan”. Hasil wawancara pada tanggal 22
Mei 2017
Lalu KN5 (Masyarakat Pekon Sukamarga, Kecamatan Suoh, Lampung Barat)
mengatakan bahwa:
“Setiap sehabis musim kopi biasanya di yasinan musyawarah menentukan
bibit ikan apa saya yang mau dibeli bibitnya, biasanya ikan emas, nila,
gurame dan patin iyurannya 20rb perorang yang biasanya iyuran sekitar
30orang” Hasil wawancara pada tanggal 22 Mei 2017
Setiap sehabis panen, masyarakat biasanya melakukan yasinan, saat momen
tersebut masyarakat mengambil kesempatan untuk bermusyawarah menentukan
bibit ikan apa saja yang akan dibeli guna diletakkan di danau yang berada di
TNBBS. Ada sektar 30 orang yang ikut iuran ini, untuk tiap orang dikenai tarif
Rp. 20.000/orang. Untuk bibit biasanya masyarakat membeli bibit ikan yang
biasanya dibeli adalah ikan mas, gurame, nila dan patin.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
Pada bab ini peneliti akan menyajikan kesimpulan mengenai penelitian yang telah
peneliti laksanakan terkait hubungan masyarakat Umbulan Rowogiri dengan
hutan di TNBBS.
A. Kesimpulan
1. Sejarah Masuknya Masyarakat ke Suoh
Masuknya pendatang dari wilayah Pringsewu, Pagelaran, Kota Agung,
Wonosobo dan Jawa ke Suoh disebabkan oleh faktor berikut :
a. Perkembangan penduduk di wilayah Transmigrasi seperti Pringsewu,
Pagelaran, Kota Agung, Wonosobo dan lainya menjadi semakin padat
sehingga membutuhkan wilayah baru.
b. Lancarnya hubungan Sumatera dan Jawa mengakibatkan masyarakat
Jawa lainnya untuk datang ke Lampung bahkan tanpa program
transmigrasi dari pemerintah atau secara mandiri.
c. Kurangnya lapangan pekerjaan di wilayah tujuan Program transmigrasi
pemerintah menyebabkan masyarakat pendatang kehabisan lahan baru
untuk mereka garap dan juga susahnya mencari pekerjaan.
d. Masyarakat membuka lahan dan taraf ekonomi membaik, mereka mulai
mengajak para bujangan dari Jawa untuk ikut merantau ke Suoh dan
94
bekerja dengan mereka di sana. Serta lambat laun para bujangan menjadi
warga tetap di Suoh.
2. Pengertian Ngumbul
Terdapat dua perbedaan makna kata ngumbul dari kedua pihak, yang
dirincikan pada tabel di bawah ini:
Tabel 7. Perbedaan makna kata ngumbul.
No. Unsur Lampung Pendatang
1. Kegiatan Tinggal di kebun Menginap di kebun
2. Waktu Berbulan-bulan, bahkan
selamanya Semalam atau lebih
3. Sifat Tempat tinggal utama Hanya sementara
3. Aktivitas Manusia dalam Hubungan dengan Lingkungan
Hasil dari analisa hubungan masyarakat Umbulan Rowogiri dengan hutan di
TNBBS menggunakan pendekatan kontektualisasi progresif menurut Vayda
disimpulkan bahwa :
Masyarakat mengetahui adanya larangan untuk membuka lahan di hutan
TNBBS tetapi hanya berlaku untuk hutan yang belum dirambah dan bukan
lahan yang telah mereka kelola. Semenjak adanya larangan tersebut hingga
saat ini, masyarakat Umbulan Rowogiri tidak ada yang pernah membuka
lahan lagi di TNBBS.
Masyarakat memanfaatkan lahan untuk berkebun kopi, lada, kakao, dan
sayuran. Hasil perkebunan mereka jual untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Pemanfaatan lahan selain untuk kebutuhan hidup juga untuk merawat dan
melestarikan hutan dengan menanam pohon seperti pete, asem, durian dll
95
untuk bayangan atau mengurangi paparan langsung sinar matahari terhadap
tanaman kopi.
Dalam berburu masyarakat hanya memburu binatang yang tidak dilindungi
oleh Negara seperti burung kruok, tupai, luwak dan burung kacer. Hasil
buruan dikonsumsi pribadi dan beberapa yang dijual seperti burung kacer dan
luwak.
Selain mengelola lahan masyarakat umbulan juga memanfaatkan danau yang
ada dikawasan TNBBS. Pemanfaatan danau dengan cara mengambil hasil
danau seperti ikan dan belut. Cara pengambilan ikan yang dilakukan oleh
masyarakat tidak merusak danau, mereka menggunakan cara tradisional
seperti memancing, menggunakan jaring, bubu, dan tajur. Tidak hanya
mengambil isi danaunya saja tetapi mereka juga membudidayakan ikan yang
ada di danau. Dari pemaparan aktivitas tersebut dapat dikatakan bahwa
masyarakat di sana tidak merusak hutan seperti yang di tuduhkan oleh
pemerintah.
4. Penyebab Terjadinya Aktivitas Ngumbul
Penyebab terjadinya aktivitas masyarakat Umbulan Rowogiri dengan hutan di
TNBBS disebabkan karena empat faktor:
a. Adanya faktor keturunan dari orang tua yang telah membuka lahan
perkebunan sejak anak-anak mereka kecil, dan setelah dewasa diwariskan
pada anak-anak mereka.
b. Adanya ajakan dari saudara atau kerabat yang telah memiliki lahan
perkebunan terlebih dahulu di hutan TNBBS.
96
c. Harga tanah yang murah di hutan TNBBS.
d. Kondisi tanah yang subur di hutan TNBBS.
5. Akibat-akibat Aktivitas Ngumbul
Dengan adanya aktivitas ngumbul masyarakat Umbulan Rowogiri di TNBBS
ada dampak positif dan dampak negatif bagi manusia dan lingkungan itu
sendiri.
Dampak Positif dari adanya aktivitas ngumbul di TNBBS antara lain ialah:
a. Menjadikan danau lestari dan menjadi objek wisata pemancingan.
b. Mengurangi pengangguran saat musim panen kopi.
c. Membuat masyarakat menjadi kompak dalam berbagai aktivitas.
d. Meningkatkan perekonomian.
Dampak Negatif dari adanya kegiatan ngumbul di TNBBS antara lain ialah :
1. Adanya ketidaksesuaian antara kepentingan pemerintah dengan
kepentingan masyarakat.
2. Daerah Umbulan Rowogiri dengan adanya pembukaan lahan membuat
daerah yang dilindungi oleh negara berkurang.
3. Sistem Kolaborasi merugikan masyarakat.
B. Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka peneliti memberikan saran
antara lain :
1. Pemerintah memberikan sosialisasi pada masyarakat tentang betapa
pentingnya fungsi TNBBS bagi kehidupan saat ini maupun yang akan datang.
97
2. Pemerintah harus memiliki rencana jangka panjang membuat hutan repong
dan mensosialisasikan pada masyarakat tentang tanaman-tanaman hutan yang
memiliki nilai ekonomis tinggi.
3. Pemerintah melakukan pemberdayaan masyarakat yang ada di kawasan
TNBBS untuk menanam tanaman hutan yang memiliki nilai ekonomis tinggi
seperti durian, damar, dan sebagainya.
4. Pembukaan hutan menjadi kebun tidak diperbolehkan lagi dan mulai
mengubah taman kopi menjadi tanaman hutan bernilai ekonomis.
98
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abdulsyani. (1999). Identifikasi dan Inventarisasi Benda-benda Hasil Karya
Budaya Masyarakat Lampung. Bandar Lampung: Tidak diterbitkan.
Anggraini, Retno, Widarjanto, Jeni Delam dan Eti Diana. 2008. Permasalahan
dan Alternatif Solusi Penyelenggaraan Transmigrasi. Jakarta: Bangkit Daya
Insana.
[BTNBBS] Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. 2006a. Database
Pengembangan Daerah Penyangga. Tanggamus : Balai Besar TNBBS.
Hartanta Agung Tri & Sujatmika Eko. 2012. Kamus Sosiologi. Surakarta.
Irawan Djamal Zuer’aini. 2002. Prinsip-prinsip Ekologi dan Organisasi
Ekosistem Komunitas dan Lingkungan. Jakarta: Bumi Aksara.
Iskandar, Johan. 2001. Manusia Budaya dan Lingkungan. Bandung: Humaniora
Utama Peress Bandung.
Kusworo, Ahmad. 2000. Perambah Hutan atau kambing Hitam. Bogor: Pustaka
Latin.
Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosdakarya
Museum Transmigrasi Lampung.
Ritohardoyo, Su. 2013. Ekologi Manusia. Yogyakarta: Ombak Dua.
Soemarwoto, Otto. 1983. Ekologi Lingkungan Hidupdan Pembangunan. Jakarta:
Djambatan.
Susilo, Rachmad K. Dwi. 2012. Sosiologi Lingkungan. Jakarta: Rajawali Pers.
99
Jurnal
Mulyana, Agus, Miora Moeliono, Pam Minnigh, Yayan Indriatmoko, Godwin
Limberg, Nugroho Adi Utomo, Ramses Iwan, Saparudin, dan Hamzah.
2010. “ Kebijakan Pengelolaan Zona Khusus”. Brief Cifor. Ford
Foundation.
Website
http://tfcasumatera.org/bukit-barisan-selatan/diakses pada tanggal 03 Januari 2017
pukul 19.25 WIB.
https://programs.wcs.org/btnbbs/ diakses pada tanggal 28 Januari 2019 pukul
13.04 WIB.
Http://Tirto.id/jejak-para-transmigran-jawa-di-lampung-cidw, diakses pada
tanggal 02 Februari 2017 pada pukul 22:00 wib.
http://Antara.com/berita/769493/jejak-bung-karno-dan-nasib-transmigran-pejuang
diakses pada tanggal 08 Januari 2018 pada pukul 10.30 WIB.
Peraturan Perundang-undangan
Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Luas Kawasan
Hutan dan Kawasan Konservasi Perairan Indonesia Berdasarkan SK Menteri
Kehutanan, 2015.
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.56/Menhut-II/2006 Tentang Pedoman
Zonasi Taman Nasional.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tetang Kehutanan
Surat Pernyataan Menteri Pertanian Nomor 736/Mentan/X/1982 tentang Kawasan
Suaka Alam.
Peraturan Menteri Khutanan Nomor P.19/Menhut-II/2004 Tentang Kolaborasi
Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.
Undang-undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
Undang-undang No. 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Perusak Hutan.