39
BAB I PENDAHULUAN Menurut tradisi Minangkabau,kerajaan Mnangkabau didirikan oleh Iskandar Agung.Dalam kenyataannya,dulu terdapat kerajaan bernama Melayu,yang kemudian meluas hingga ketempat yang kini bernama Minangkabau,didirikan oleh para penghuni koloni hindu pada abad ke- 7.Nama Minangkabau baru muncul dalam sebuah catatan bertarikh 1265 yang mencantumkan tanah dan kabupaten di Sumatera yang membayar upeti ke Majapahit. Menurut cerita rakyat,nama “Minangkabau” berasal dari masa ketika kerajaan tersebut berusaha mempertahankan kemerdekaannya.Legenda itu juga menuturkan bahwa di suatu masa orang-orang jawa datang membawa sejumlah besar pasukan untuk menaklukan Minangkabu.para tetua dari kedua belah pihak sepakat untuk menyelesaikan sengketa tersebut melalui adu kerbau.orang – oran melayu pun bersiasat seekor anak kerbau dibiarkan kelaparan hingga sepuluh hari,hidungnya dipasangi besi tajam,lalu dilepas hingga menyeruduk perut kerbau jawa.anak kerbau yang sebenarnya mencari susu ini membunuh kerbau lawan.utuk memperingati peristiwa ini,para pemenang dari melayu menamai tanah dan rakyat mereka “ MinangKabau “ yang diambil dari anak kerbau yang menang itu. Kisah ini masih sering beredar di masyarakat minang kabau.Kerbau pun menjadi symbol kesatuan nasional.Dalam penjelasan yang ilmiah,Van Der Tuuk mengatakan bahwa nama tersebut berasal dari pinang khabu , sebuah istlah kuno yang artinya kampung halaman.penjelasan ini

niken antroologi

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: niken antroologi

BAB I

PENDAHULUAN

Menurut tradisi Minangkabau,kerajaan Mnangkabau didirikan oleh Iskandar

Agung.Dalam kenyataannya,dulu terdapat kerajaan bernama Melayu,yang kemudian meluas

hingga ketempat yang kini bernama Minangkabau,didirikan oleh para penghuni koloni hindu

pada abad ke-7.Nama Minangkabau baru muncul dalam sebuah catatan bertarikh 1265 yang

mencantumkan tanah dan kabupaten di Sumatera yang membayar upeti ke Majapahit.

Menurut cerita rakyat,nama “Minangkabau” berasal dari masa ketika kerajaan tersebut

berusaha mempertahankan kemerdekaannya.Legenda itu juga menuturkan bahwa di suatu

masa orang-orang jawa datang membawa sejumlah besar pasukan untuk menaklukan

Minangkabu.para tetua dari kedua belah pihak sepakat untuk menyelesaikan sengketa tersebut

melalui adu kerbau.orang – oran melayu pun bersiasat seekor anak kerbau dibiarkan kelaparan

hingga sepuluh hari,hidungnya dipasangi besi tajam,lalu dilepas hingga menyeruduk perut

kerbau jawa.anak kerbau yang sebenarnya mencari susu ini membunuh kerbau lawan.utuk

memperingati peristiwa ini,para pemenang dari melayu menamai tanah dan rakyat mereka “

MinangKabau “ yang diambil dari anak kerbau yang menang itu.

Kisah ini masih sering beredar di masyarakat minang kabau.Kerbau pun menjadi symbol

kesatuan nasional.Dalam penjelasan yang ilmiah,Van Der Tuuk mengatakan bahwa nama

tersebut berasal dari pinang khabu , sebuah istlah kuno yang artinya kampung

halaman.penjelasan ini nampaknya lebih bisa diterima karena sebetulnya Minangkabau adalah

kampung halaman orang Melayu.sementara satu setengah juta orang Melayu tetap tinggal di

tanah Minangkabau,dizaman Hindu penduduk dalam jumlah yang sama berimigrasi ke Malaka

dan ke sejumlah pesisir lain di Kepulauan Nusantara.Orang – orang Melayu yang sering disebut

deutro-Melayu.ini mengadopsi bentuk keluarga matrilineal.kini bahasa mereka pun sedikit

berubah dari yang dituturkan di kampung halaman mereka,Minangkabau

Di abad ke -14 dan ke – 15 daerah Minankabau melputi seluruh Sumatera

Tengah.Kerajaan ini dipecah menjadi tiga bagian yaitu : tiga luhak,tiga rantau , dan delapan

bab.

Page 2: niken antroologi

Dalam luhak (kabupaten) terdapat tanuh,Agam, dan lima puluh (lima belas kota).Tiga

Rantau (Negeri) memiliki hubungan yang longgar dengan provinsi pusat meskipun mereka

mengakui supermasi Maharaja Minangkabau.

Delapan Bab (Pintu keluar masuk kerajaan ) adalah pelabuhan besar: Padang ,

Pariaman ,Indrapura,Jambi

BAB II

Page 3: niken antroologi

PEMBAHASAN

1. Kepercayaan

Budaya Minangkabau pada mulanya bercorakkan budaya animisme dan Hindu-

Budha. Kemudian sejak kedatangan para reformis Islam dari Timur Tengah pada

akhir abad ke-18, adat dan budaya Minangkabau yang tidak sesuai dengan

hukum Islam dihapuskan. Para ulama yang dipelopori oleh Haji Piobang, Haji

Miskin, dan Haji Sumanik, mendesak Kaum Adat untuk mengubah pandangan

budaya Minang yang sebelumnya banyak berkiblat kepada budaya animisme

dan Hindu-Budha, untuk berkiblat kepada syariat Islam. Budaya menyabung

ayam, mengadu kerbau, berjudi, minum tuak, diharamkan dalam pesta-pesta

adat minangkabau.

Reformasi budaya di Minangkabau terjadi setelah Perang Padri yang berakhir

pada tahun 1837. Hal ini ditandai dengan adanya perjanjian di Bukit Marapalam

antara alim ulama, tokoh adat, dan cadiak pandai (cerdik pandai). Mereka

bersepakat untuk mendasarkan adat budaya Minang pada syariat Islam.

Kesepakatan tersebut tertuang dalam adagium Adat basandi syarak, syarak

basandi kitabullah. Syarak mangato adat mamakai. (Adat bersendikan kepada

syariat, syariat bersendikan kepada Al-Quran). Sejak reformasi budaya

dipertengahan abad ke-19, pola pendidikan dan pengembangan manusia di

Minangkabau berlandaskan pada nilai-nilai Islam. Sehingga sejak itu, setiap

kampung atau jorong di Minangkabau memiliki masjid, selain surau yang ada di

tiap-tiap lingkungan keluarga.

Pemuda Minangkabau yang beranjak dewasa, diwajibkan untuk tidur di surau. Di

surau, selain belajar mengaji, mereka juga ditempa latihan fisik berupa ilmu bela

diri pencak silat.

2. Mata pencaharian

Orang Minangkabau dikenal sebagai masyarakat yang memiliki etos

kewirausahaan yang tinggi. Hal ini terbukti dengan banyaknya perusahaan serta

bisnis yang dijalankan oleh pengusaha Minangkabau di seluruh Indonesia.

Selain itu banyak pula bisnis orang-orang Minang yang dijalankan dari Malaysia

dan Singapura. Wirausaha Minangkabau telah melakukan perdagangan di

Sumatera dan Selat Malaka, sekurangnya sejak abad ke-7. Hingga abad ke-18,

para pedagang Minangkabau hanya terbatas berdagang emas dan rempah-

Page 4: niken antroologi

rempah. Meskipun ada pula yang menjual senjata ke kerajaan malaka, namun

jumlahnya tidak terlalu besar. Pada awal abad ke-18, banyak pengusaha-

pengusaha Minangkabau yang sukses berdagang rempah-rempah. Di Selat

Malaka, Nakhoda Bayan, Nakhoda Intan, dan Nakhoda Kecil, merupakan

pedagang-pedagang lintas selat yang kaya. Kini jaringan perantauan

Minangkabau dengan aneka jenis usahanya, merupakan salah satu bentuk

kewirausahaan yang sukses di Nusantara. Mereka merupakan salah satu

kelompok pengusaha yang memiliki jumlah aset cukup besar. Pada masa-masa

selanjutnya budaya wirausaha Minangkabau juga melahirkan pengusaha-

pengusaha besar diantaranya, anwar sutan saidi Abdul latif, Fahmi idris.. Pada

masa Orde Baru pengusaha-pengusaha dari Minangkabau mengalami situasi

yang tidak menguntungkan karena tiadanya keberpihakan penguasa Orde Baru

kepada pengusaha pribumi.

Suku Minang terutama menonjol dalam bidang perdagangan dan pemerintahan. Kuranglebih

dua pertiga dari jumlah keseluruhan anggota suku ini berada dalamperantauan. Minang

perantauan pada umumnya bermukim di kota-kota besar, sepertiJakarta, Bandung,

Pekanbaru, Medan,Batam, Palembang, dan Surabaya. Untuk di luarwilayah Indonesia, suku

Minang banyak terdapat di Malaysia (terutama NegeriSembilan) dan Singapura. Di seluruh

Indonesia dan bahkan di mancanegara, masakankhas suku ini, populer dengan

sebutan,masakan Padang sangat terkenal.

3. Bahasa

4. Kesenian

a. System kemasayarakatan (garis keturunan)

Suku-suku dalam Etnik Minangkabau Dalam etnis Minangkabau terdapat banyak lagi

klan, yang oleh orang Minang sendiri hanya disebut dengan istilah suku. Beberapa suku

besar mereka adalah suku Piliang,Bodi Caniago, Tanjuang, Koto, Sikumbang, Malayu,

Jambak; selain terdapat pula suku pecahan dari suku-suku utama tersebut. Kadang

beberapa keluarga dari suku yang sama, tinggal dalam suatu rumah yang disebut

Rumah Gadang.Di masa awal Minangkabau mengemuka, hanya ada empat suku dari

dua lareh atau kelarasan (laras). Suku-suku tersebut adalah:

Suku Koto

Suku Piliang

Suku Bodi

Suku Caniago

Page 5: niken antroologi

Dan dua kelarasan itu adalah :

- Lareh Koto Piliang yang digagas oleh Datuk Ketumanggungan

- Lareh Bodi Caniago, digagas oleh Datuk Perpatih Nan Sebatang

Dalam masa selanjutnya, muncullah satu kelarasan baru bernama Lareh Nan

Panjang,diprakarsai oleh Datuk Sakalok Dunia Nan Bamego-mego. Sekarang, suku-

suku dalam Minangkabau berkembang terus dan sudah mencapai ratusan suku,

yang terkadang sudah sulit untuk mencari persamaannya dengan suku induk.

Diantara suku-suku tersebut adalah:

- Suku Tanjung

- Suku Sikumbang

- Suku Sipisang

- Suku Bendang

- Suku Melayu (Minang)

- Suku Guci

- Suku Panai

- Suku Jambak

- Suku Kutianyie

- Suku Kampai

- Suku Payobada

- Suku Pitopang

- Suku Mandailiang

- Suku Mandaliko

- Suku Sumagek

- Suku Dalimo

- Suku Simabua

- Suku Salo

- Suku Singkuan

b. Sistem perkawinan (prosesi adat perkawinan)

Adat Perkawinan Minang kabau

Ditulis oleh palantaminang.wordpress.com, Kamis, 06 November 2008

Page 6: niken antroologi

Adat Perkawinan Minang kabau

1. Fungsi perkawinan

ImageManusia dalam perjalanan hidupnya melalui tingkat dan masa-masa tertentu yang

dapat kita sebut dengan daur-hidup. Daur hidup ini dapat dibagi menjadi masa balita (bawah

usia lima tahun), masa kanak-kanak, masa remaja, masa pancaroba, masa perkawinan,

masa berkeluarga, masa usia senja dan masa tua. Tiap peralihan dari satu masa ke masa

berikutnya merupakan saat kritis dalam kehidupan manusia itu sendiri. Salah satu masa

peralihan yang sangat penting dalam Adat Minangkabau adalah pada saat menginjak masa

perkawinan.

Masa perkawinan merupakan masa permulaan bagi seseorang melepaskan dirinya dari

lingkungan kelompok keluarganya, dan mulai membentuk kelompok kecil miliknya sendiri,

yang secara rohaniah tidak lepas dari pengaruh kelompok hidupnya semula. Dengan

demikian perkawinan dapat juga disebut sebagai titik awal dari proses pemekaran kelompok.

Pada umumnya perkawinan mempunyai aneka fungsi sebagai berikut :

* Sebagai sarana legalisasi hubungan seksual antara pria dengan wanita dipandang dari

sudut adat dan agama serta undang-undang negara.

* Penentuan hak dan kewajiban serta perlindungan atas suami istri dan anak-anak.

* Memenuhi kebutuhan manusia akan teman hidup status sosial dan terutama untuk

memperoleh ketentraman batin.

Memelihara kelangsungan hidup “kekerabatan” dan menghindari kepunahan. (Sumber :

Adat Minangkabau, Pola & Tujuan Hidup Orang Minang)

2. Perkawinan Adat Minangkabau

Dalam tiap masyarakat dengan susunan kekerabatan bagaimanapun, perkawinan

Page 7: niken antroologi

memerlukan penyesuaian dalam banyak hal. Perkawinan menimbulkan hubungan baru tidak

saja antara pribadi yang bersangkutan, antara marapulai dan anak dara tetapi juga antara

kedua keluarga. Latar belakang antara kedua keluarga bisa sangat berbeda baik asal-usul,

kebiasaan hidup, pendidikan, tingkat sosial, tatakrama, bahasa dan lain sebagainya. Karena

itu syarat utama yang harus dipenuhi dalam perkawinan, kesediaan dan kemampuan untuk

menyesuaikan diri dari masing-masing pihak. Pengenalan dan pendekatan untuk dapat

mengenal watak masing-masing pribadi dan keluarganya penting sekali untuk memperoleh

keserasian atau keharmonisan dalam pergaulan antara keluarga kelak kemudian. Perkawinan

juga menuntut suatu tanggungjawab, antaranya menyangkut nafkah lahir dan batin, jaminan

hidup dan tanggungjawab pendidikan anak-anak yang akan dilahirkan. Berpilin duanya antara

adat dan agama Islam di Minangkabau membawa konsekwensi sendiri. Baik ketentuan adat,

maupun ketentuan agama dalam mengatur hidup dan kehidupan masyarakat Minang, tidak

dapat diabaikan khususnya dalam pelaksanaan perkawinan. Kedua aturan itu harus dipelajari

dan dilaksanakan dengan cara serasi, seiring dan sejalan. Pelanggaran apalagi pendobrakan

terhadap salah satu ketentuan adat maupun ketentuan agama Islam dalam masalah

perkawinan, akan membawa konsekwensi yang pahit sepanjang hayat dan bahkan

berkelanjutan dengan keturunan. Hukuman yang dijatuhkan masyarakat adat dan agama,

walau tak pernah diundangkan sangat berat dan kadangkala jauh lebih berat dari pada

hukuman yang dijatuhkan Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negara. Hukuman itu tidak

kentara dalam bentuk pengucilan dan pengasingan dari pergaulan masyarakat Minang.

Karena itu dalam perkawinan orang Minang selalu berusaha memenuhi semua syarat

perkawinan yang lazim di Minangkabau. Syarat-syarat itu menurut Fiony Sukmasari dalam

bukunya Perkawinan Adat Minangkabau adalah sebagai berikut : Kedua calon mempelai

harus beragama Islam.

* Kedua calon mempelai tidak sedarah atau tidak berasal dari suku yang sama, kecuali

pesukuan itu berasal dari nagari atau luhak yang lain.

* Kedua calon mempelai dapat saling menghormati dan menghargai orang tua dan keluarga

kedua belah pihak.

* Calon suami (marapulai) harus sudah mempunyai sumber penghasilan untuk dapat

menjamin kehidupan keluarganya.

Page 8: niken antroologi

Perkawinan yang dilakukan tanpa memenuhi semua syarat diatas dianggap perkawinan

sumbang, atau perkawinan yang tidak memenuhi syarat menurut adat Minang. Selain dari itu

masih ada tatakrama dan upacara adat dan ketentuan agama Islam yang harus dipenuhi

seperti tatakrama jopuik manjopuik, pinang meminang, batuka tando, akad nikah, baralek

gadang, jalang manjalang dan sebagainya. Tatakrama dan upacara adat perkawinan inipun

tak mungkin diremehkan karena semua orang Minang menganggap bahwa “Perkawinan itu

sesuatu yang agung”, yang kini diyakini hanya “sekali” seumur hidup. (Sumber : Adat

Minangkabau, Pola & Tujuan Hidup Orang Minang)

3. Perkawinan Eksogami

Menurut ajaran Islam sebagai agama satu-satunya yang dianut orang Minang dikatakan

bahwa ada 3 hal yang mutlak hanya diketahui dan ditentukan Tuhan untuk masing-masing

kita. Pertama adalah umur kita sebagai manusia. Tidak seorangpun tahu kapan dia akan mati.

Kedua adalah rezeki. Sebagai manusia kita hanya dituntut berikhtiar dan berusaha namun

berapa rezeki yang akan diberikan kepada kita secara mutlak ditentukan oleh Tuhan. Ketiga

adalah jodoh. Apapun upaya yang dilakukan oleh anak manusia, bagaimanapun cintanya dia

kepada seseorang, kalau Tuhan tidak mengizinkan, perkawinan tidak akan terlaksana.

Sebaliknya kalau memang jodohnya, kenal dua minggupun, perkawinan dapat terjadi. Karena

itu sebagai orang Islam kita hanya senantiasa berdoa semoga dipanjangkan umurnya, diberi

rezeki yang banyak dan dientengkan jodohnya, disamping tetap berusaha mencari pasangan

hidupnya. Sekalipun demikian masyarakatpun mempunyai peranan yang besar dalam

penetapan jodoh. Dalam masyarakat Jawa misalnya, pemilihan jodoh hampir tidak ada

pembatasan. Namun perkawinan antara saudara sekandung tetap tidak diperbolehkan. Pada

tiap masyarakat, orang memang harus kawin diluar batas suatu lingkungan tertentu.

Perkawinan diluar batas tertentu ini disebut dengan istilah “eksogami”. Istilah eksogami ini

mempunyai pengertian yang sangat nisbi (relatif). Pengertian diluar batas lingkungan bisa

diartikan luas namun bisa pula sangat sempit. Menurut Prof. Dr. Koentjaraningrat kalau orang

dilarang kawin dengan saudara-saudara kandungnya, maka kita sebut “eksogami keluarga

batih”. Kalau orang dilarang kawin dengan semua orang yang mempunyai marga “marga”

yang sama, disebut “eksogami marga”. Kalau orang dilarang kawin dengan orang yang

berasal dari “nagari” yang sama, kita sebut dengan “eksogami nagari”. Adat Minang

Page 9: niken antroologi

menentukan bahwa orang Minang dilarang kawin dengan orang dari suku yang serumpun.

Oleh karena garis keturunan di Minangkabau ditentukan menurut garis ibu, maka suku

serumpun disini dimaksudkan “serumpun menurut garis ibu”, maka disebut “eksogami

matrilokal atau eksogami matrilinial”. Dalam hal ini para ninik-mamak, alim ulama,

cendekiawan, para pakar adat dan pecinta adat Minang dituntut untuk memberikan kata

sepakat mengenai rumusan (definisi) pengertian kata serumpun ini yang akan diperlakukan

dalam perkawinan di Minang kabau. Apakah “serumpun” itu sama dengan “samande”,

“saparuik”, “sajurai”, “sasuku”, ataukah “sasuduik”. Pengamatan kami membuktikan bahwa

pengertian “serumpun” ini tidak sama di Minangkabau. Bahkan dalam satu nagari saja,

pengertian ini tidak sama, sehingga sangat membingungkan masyarakat awam, apalagi

generasi muda Minangkabau. Di nagari kubang di Luhak 50-Kota misalnya, pengetian

serumpun disamakan dengan “sasuduik”. Yang dimaksudkan dengan “sasuduik” adalah satu

kelompok dari beberapa “suku”. Misalnya “Suduik nan 5″, terdiri dari 5 (lima) buah suku yaitu

suku Jambak, suku Pitopang, suku Kutianyir, suku Salo dan suku Banuhampu. Kelima buah

suku ini dianggap serumpun, sehingga antara kelima buah suku itu tidak boleh dilakukan

perkawinan. Kalau sampai terjadi bisa “dibuang sepanjang adat” karena dianggap perkawinan

“endogami” atau perkawinan didalam rumpun sendiri, yang berlawanan dengan prinsip

“eksogami” yang dianut di Minangkabau. Tapi pengertian “sarumpun” sama dengan

“sasuduik” ini tidak konsisten pula, sebab ternyata perkawinan sesama anggota dari “suduik

nan 6″ dan sama-sama berasal dari suku “Caniago” dan dalam nagari yang sama, malah

diperbolehkan. Pengertian “serumpun” yang tidak konsisten semacam ini, jelas akan sangat

membingungkan anak kemenakan di Minangkabau dalam memahami adat perkawinan di

Minangkabau. Pengertian serumpun yang tidak sama ini juga merupakan penghalang dalam

mencari jodoh. Semakin luas atau semakin banyak suku yang terhimpun dalam “serumpun”

semakin “sempit” arena perburuan mencari jodoh. Hal ini berakibat makin lama, makin sulit

bagi muda-mudi mencari pasangan dalam lingkungan masyarakatnya sendiri. Misalnya bagi

muda-mudi dari sudut nan 5 diatas, sangat musykil mencari jodoh di nagari Kubang itu. Ini

adalah suatu realita yang dapat dibuktikan. Akibatnya banyak yang kawin ke luar “nagari”,

bahkan sudah ada yang sampai ke luar negeri. Kami tidak mengatakan bahwa hal ini

menunjukkan gejala yang baik, atau tidak baik, tetapi sekedar menunjukkan bahwa prinsip

“eksogami matrilinial” akan mandek sendiri, bila pengertian serumpun tidak segera direvisi

dan diperkecil dari pengertian umum yang ada sekarang. Hal ini perlu segera dilakukan bila

kita ingin melestarikan prinsip-prinsip pokok adat perkawinan Minangkabau khususnya

Page 10: niken antroologi

4. Urang Sumando

Disamping menganut sistem eksogami dalam perkawinan, adat Minang juga menganut paham

yang dalam istilah antropologi disebut dengan sistem “matri-local” atau lazim disebut dengan

sistem “uxori-local” yang menetapkan bahwa marapulai atau suami bermukim atau menetap

disekitar pusat kediaman kaum kerabat istri, atau didalam lingkungan kekerabatan istri. Namun

demikian status pesukuan marapulai atau suami tidak berubah menjadi status pesukuan

istrinya. Status suami dalam lingkungan kekerabatan istrinya adalah dianggap sebagai “tamu

terhormat”, tetap dianggap sebagai pendatang. Sebagai pendatang kedudukannya sering

digambarkan secara dramatis bagaikan “abu diatas tunggul”, dalam arti kata sangat lemah,

sangat mudah disingkirkan. Namun sebaliknya dapat juga diartikan bahwa suami haruslah

sangat berhati-hati dalam menempatkan dirinya dilingkungan kerabat istrinya. Dilain pihak

perkawinan bagi seorang perjaka Minang berarti pula, langkah awal bagi dirinya meninggalkan

kampung halaman, ibu dan bapak serta seluruh kerabatnya, untuk memulai hidup baru

dilingkungan kerabat istrinya. Prosesi turun janjang dari rumah tangga orang tuanya, bagi

seorang perjaka Minang adalah suatu peristiwa yang sangat mengharukan. Rasa sedih dan

gembira bergalau menjadi satu. Upacara turun janjang ini, dilakukan dalam rangka upacara

“japuik menjapuik”, yang berlaku dalam perkawinan adat Minang. Pepatah Minang mengatur

upacara ini sebagai berikut; Sigai mancari anau Anau tatap sigai baranjak Datang dek bajapuik

Pai jo baanta Ayam putieh tabang siang Basuluah matoari Bagalanggang mato rang banyak.,

(Tangga mencari enau) Enau tetap tangga berpindah Datang karena dijemput

Pergi dengan diantar (Bagaikan) Ayam putih terbang siang Bersuluh matahari Bergelanggang

(disaksikan) mata orang banyak. Maksud dari pepatah diatas adalah bahwa dalam setiap

perkawinan adat Minang “semua laki-laki yang diantar ke rumah istrinya, dengan dijemput oleh

keluarga istrinya secara adat dan diantar pula bersama-sama oleh keluarga pihak laki-laki

secara adat pula. Mulai sejak itu suami menetap di rumah atau dikampung halaman istrinya.”

Bila terjadi perceraian, suamilah yang harus pergi dari rumah istrinya. Sedangkan istri tetap

tinggal dirumah kediamannya bersama anak-anaknya sebagaimana telah diatur hukum adat.

Bila istrinya meninggal dunia, maka kewajiban keluarga pihak suami untuk segera menjemput

suami yang sudah menjadi duda itu, untuk dibawa kembali kedalam lingkungan sukunya atau

kembali ke kampung halamannya. Situasi ini sungguh sangat menyedihkan, namun begitulah

Page 11: niken antroologi

ketentuan adat Minang. Secara lahiriyah maupun rohaniah yang memiliki rumah di

Minangkabau adalah wanita dan kaum pria hanya menumpang. Tempat berlindung pria Minang

adalah surau. Menyedihkan memang. Tapi ini pula yang menjadi sumber dinamika pria Minang,

sehingga mereka menjadi perantau atau pengembara yang tangguh. Kenyataan ini dihayati dan

diterima dengan sadar oleh hampir seluruh warga Minang, baik mereka yang menempati

Rumah Gadang tradisional, maupun yang menempati rumah gedung modern, baik mereka yang

bermukim di kampung halaman, maupun mereka yang sudah merantau ke kota besar.

Berdasarkan pola yang demikian, sudah lazim penghuni Rumah Gadang di Minangkabau

adalah kaum wanita dengan suami dan anak-anak mereka terutama anak-anak wanita. Anak-

anak laki-laki mulai usia sekolah, dulu sudah harus mengaji di surau-surau, belajar silat, bergaul

dengan pria dalam segala tingkat usia, sehingga mereka terbiasa hidup secara spartan (secara

keras dan jantan). Dalam struktur adat Minang, kedudukan suami sebagai orang datang (Urang

Sumando) sangat lemah. Sedangkan kedudukan anak-lelaki, secara fisik tidak punya tempat di

rumah ibunya. Bila terjadi sesuatu di rumah tangganya sendiri, maka ia tidak lagi memiliki

tempat tinggal. Situasi macam ini secara logis mendorong pria Minang untuk berusaha menjadi

orang baik agar disengani oleh dunsanaknya sendiri, maupun oleh keluarga pihak istrinya. Pada

dasarnya di Minangkabau anak laki-laki sejak kecil sudah dipaksa hidup berpisah dengan orang

tua dan saudara-saudara wanitanya. Mereka dipaksa hidup berkelompok di surau-surau dan

tidak lagi hidup di rumah Gadang dengan ibunya. Sekalipun di rumah gedung modern sudah

ada pencampuran hidup bersama antara anak lelaki dan anak wanita Minang, namun prinsip

pergaulan terpisah ini tetap dijalankan. Antara mereka anak lelaki dan anak wanita tetap

mempunyai jarak dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini merupakan salah satu dasar dari ajaran

moralita menurut adat Minang. Adat Minang tidak mengenal ajaran pergaulan bebas, walau

antara saudara kandung sendiri. Kehidupan keluarga yang seperti ini, diperkirakan telah

melahirkan watak perantau bagi pria Minang dan watak Bundo Kanduang bagi wanita Minang,

mereka menjadi wanita yang sangat terampil dan cermat dalam mendidik anak-anak dan dalam

mengendalikan harta pusaka. Dengan adanya ketentuan domisili-matrilokal ini, mengharuskan

para suami bersikap hati-hati karena akan selalu mendapat sorotan dari keluarga istri. Berbagai

istilah diberikan oleh orang Minang sebagai penilaian atas perangai dan tingkah laku Urang

Sumando mereka. Ada Urang Sumando memperoleh sebutan terhormat sebagai “Rang

Sumando Niniek-mamak”, karena tingkah laku dan adat istiadatnya menyenangkan pihak

keluarga istri. Namun sebaliknya banyak pula Urang Sumando ini yang mendapat gelar-gelar

ejekan yang diberikan kepada Urang Sumando itu sesuai dengan tingkah polah perangai

mereka itu. “Rang Sumando” yang kerjanya hanya kawin-cerai di setiap kampung dan

Page 12: niken antroologi

meninggalkan anak dimana-mana disebut dengan “Rang Sumando” Langau-Hijau atau “Rang

Sumando” Lalat-Hijau yang kerjanya meninggalkan larva (ulat) dimana-mana. “Rang Sumando”

yang kerjanya hanya mengganggu ketentraman tetangga karena menghasut dan memfitnah,

atau memelihara binatang ternak yang dapat mengganggu lingkungan seperti itik, ayam,

kambing dan lainnya diberi gelar “Rang Sumando Kacang Miang”, yaitu sejenis kacang-

kacangan yang kulitnya berbulu gatal-gatal. Di Minangkabau berlaku pepatah “Kaluak paku

kacang balimbing, daun simantuang lenggang-lenggangkan anak dipangku kemenakan

dibimbing urang kampung dipatenggangkan “. Kalau seorang suami sampai lupa kepada

kemenakan dan kampung halamannya sendiri, karena sibuk dan rintang dengan anak dan

istrinya saja, maka suami yang demikian itu diberi gelar oleh orang kampungnya sendiri sebagai

“Rang Sumando Lapiak Buruak”, yang artinya Rang Sumando yang diibaratkan sama dengan

tikar pandan yang lusuh di rumah istrinya. Bagi suami atau “Rang Sumando” yang kurang

memperhatikan kewajiban terhadap anak-anaknya sendiri, maka “Rang Sumando” yang

demikian itu mendapat gelar “Rang Sumando apak paja”, yang artinya hanya berfungsi sebagai

pejantan biasa dan Rang Sumando semacam ini merupakan kebalikan dari Rang Sumando

lapiak buruak yang menjadi “orang pandie” di rumah istrinya. Dalam zaman modern ini, dimana

kehidupan telah berubah dari sektor agraria menjadi sektor jasa dan industri, maka sebagian

keluarga Minang terutama di rantau telah berubah dan cenderung kearah pembentukan

keluarga batih dalam sistem patrilinial atau sistem keluarga barat dimana bapak merasa dirinya

sebagai kepala keluarga dan sekaligus sebagai kepala kaum, menggantikan kedudukan

mamak. Kecenderungan semacam ini telah merusak tatanan sistem kekerabatan keluarga

Minang yang telah melahirkan pula jenis. “Rang Sumando”, bentuk baru yang dapat kita beri

sebutan sebagai “Rang Sumando Gadang Malendo”, yang tanpa malu-malu telah

menempatkan dirinya sendiri sebagai kepala kaum, sehingga menyulitkan kedudukan mamak

terhadap para kemenakannya. (Sumber : Adat Minangkabau, Pola & Tujuan Hidup Orang

Minang)

bondo

5. Maresek

Awal dari sebuah perkawinan jika menjadi urusan keluarga, bermula dari

Page 13: niken antroologi

penjajakan. Di Minangkabau sendiri kegiatan ini disebut dengan berbagai istilah.

Ada yang menyebut maresek, ada yang mengatakan marisiak, ada juga yang

menyebut marosok sesuai dengan dialek daerah masing-masing. Namun arti dan

tujuannya sama, yaitu melakukan penjajakan pertama. Siapa yang harus

melakukan penjajakan ini ? Apakah pihak keluarga yang wanita, atau pihak

keluarga yang laki-laki ?. Inipun berbeda-beda pelaksanaannya di Sumatera

Barat. Ada nagari-nagari dimana pihak perempuan yang datang lebih dahulu

melamar. Tapi ada juga nagari-nagari dimana pihak laki-laki yang melakukan

pelamaran. Namun sesuai dengan sistem kekerabatan matrilineal yang berlaku

di Minangkabau, maka yang umum melakukan lamaran ini adalah pihak keluarga

perempuan. Sebagaimana telah kita sebutkan diatas sebelum lamaran yang

sebenarnya dilakukan, maka yang dilaksanakan terlebih dahulu adalah

penjajakan. Untuk ini tidak perlu ayah-ibu atau mamak-mamak langsung dari si

anak gadis yang akan dicarikan jodoh itu yang datang. Biasanya perempuan-

perempuan yang sudah berpengalaman untuk urusan-urusan semacam itu yang

diutus terlebih dahulu. Tujuannya adalah mengajuk-ajuk apa pemuda yang dituju

telah niat untuk dikawinkan dan kalau sudah berniat apakah ada kemungkinan

kalau dijodohkan dengan anak gadis si Anu yang juga sudah berniat untuk

berumah tangga. Jika mamak atau ayah bundanya nampak memberikan respon

yang baik, maka angin baik ini segera disampaikan kembali oleh si telangkai tadi

kepada mamak dan ayah bunda pihak si gadis. Urusan resek maresek ini tidak

hanya berlaku dalam tradisi lama, tetapi juga berlaku sampai sekarang baik bagi

keluarga yang masih berada di Sumatera Barat, maupun bagi mereka yang

sudah bermukim dirantau-rantau. Terutama tentu saja bagi keluarga-keluarga

yang keputusan-keputusan penting mengenai hidup dan masa depan anak-

anaknya masih tergantung kepada orang-orang tua mereka. Untuk kasus-kasus

yang semacam ini, tentang siapa yang harus terlebih dahulu melakukan

penjajakan, tidaklah merupakan masalah. Karena disini berlaku hukum sesuai

dengan pepatah petitih : Sia marunduak sia bungkuakSia malompek sia

patahArtinya siapa yang lebih berkehendakTentulah dia yang harus mengalah

Seringkali resek-maresek ini tidak selesai satu kali, tapi bisa berlanjut dalam

beberapa kali perundingan. Dan jika semuanya telah bersepakat untuk saling

menjodohkan anak kemenakan masing-masing dan segala persyaratan untuk

itupun telah disetujui oleh pihak keluarga laki-laki dengan telangkai yang datang,

Page 14: niken antroologi

maka barulah langkah selanjutnya ditentukan untuk mengadakan pertemuan

secara lebih resmi oleh keluarga kedua belah pihak. Acara inilah yang disebut

acara maminang. (Sumber : Tata Cara Perkawinan Adat Istiadat Minangkabau)

6. Maminang

Pada hari yang telah ditentukan, pihak keluarga anak gadis yang akan

dijodohkan itu dengan dipimpin oleh mamak mamaknya datang bersama-sama

kerumah keluarga calon pemuda yang dituju. Lazimnya untukacara pertemuan

resmi pertama ini diikuti oleh ibu dan ayah si gadis dan diiringkan oleh beberapa

orang wanita yang patut-patut dari keluarganya. Dan biasanya rombongan yang

datang juga telah membawa seorang juru bicara yang mahir berbasa-basi dan

fasih berkata-kata, jika sekiranya si mamak sendiri bukan orang ahli untuk itu.

Untuk menghindarkan hal-hal yang dapat menjadi penghalang bagi kelancaran

pertemuan kedua keluarga untuk pertama kali ini, lazimnya si telangkai yang

telah marisiak, sebelumnya telah membicarakan dan mencari kesepakatan

dengan keluarga pihak pria mengenai materi apa saja yang akan dibicarakan

pada acara maminang itu. Apakah setelah meminang dan pinangan diterima lalu

langsung dilakukan acara batuka tando atau batimbang tando ? Batuka tando

secara harfiah artinya adalah bertukar tanda. Kedua belah pihak keluarga yang

telah bersepakat untuk saling menjodohkan anak kemenakannya itu, saling

memberikan benda sebagai tanda ikatan sesuai dengan hukum perjanjian

pertunangan menurut adat Minangkabau yang berbunyi : Batampuak lah buliah

dijinjiang,

Batali lah buliah diirik Artinya kalau tanda telah dipertukarkan dalam satu acara

resmi oleh keluarga kedua belah pihak, maka bukan saja antar kedua anak muda

tersebut telah ada keterikatan dan pengesahan masyarakat sebagai dua orang

yang telah bertunangan, tetapi juga antar kedua belah keluarga pun telah terikat

untuk saling mengisi adat dan terikat untuk tidak dapat memutuskan secara

sepihak perjanjian yang telah disepakati itu.

Barang-barang yang Dibawa

Page 15: niken antroologi

Barang-barang yang dibawa waktu maminang, yang utama adalah sirih pinang

lengkap. Apakah disusun dalam carano atau dibawa dengan kampia, tidak

menjadi soal. Yang penting sirih lengkap harus ada. Tidaklah disebut beradat

sebuah acara, kalau tidak ada sirih diketengahkan. Pada daun sirih yang akan

dikunyah menimbulkan dua rasa dilidah, yaitu pahit dan manis, terkandung

simbol-simbol tentang harapan dan kearifan manusia akan kekurangan-

kekurangan mereka. Lazim saja selama pertemuan itu terjadi kekhilafan-

kekhilafan baik dalam tindak-tanduk maupun dalam perkataan, maka dengan

menyuguhkan sirih di awal pertemuan, maka segala yang janggal itu tidak akan

jadi gunjingan. Sebagaimana dalam pasambahan siriah disebutkan :

Kok Siriah lah kami makan

Manih lah lakek diujuang lidah

Pahik lah luluih karakuangan

Jika sirih sudah kami makan

Yang manis lekat di ujung lidah

Yang pahit lolos ke kerongkongan

Artinya orang tidak lagi mengingat-ingat segala yang jelek, hanya yang manis

saja pada pertemuan itu yang akan melekat dalam kenangannya. Kalau

disepakati sebelumnya bahwa pada acara maminang tersebut sekaligus juga

akan dilangsungkan acara batuka tando atau batimbang tando maka benda yang

akan dipertukarkan sebagai tanda itu juga dibawa; yang tentu saja diletakkan

pada satu wadah yang sudah dihiasi dengan bagus (dulung atau nampan). Yang

dijadikan sebagai tanda untuk dipertukarkan lazimnya adalah benda-benda

pusaka, seperti keris, atau kain adat yang mengandung nilai sejarah bagi

keluarga. Jadi bukan dinilai dari kebaruan dan kemahalan harganya, tetapi justru

karena sejarahnya itu yang sangat berarti dan tidak dapat dinilai dengan uang.

Umpamanya sebuah kain balapak yang telah berumur puluhan tahun yang

pernah diwariskan oleh nenek si gadis sebelum meninggal, atau kain adat yang

pernah dipakai oleh ibu si gadis pada perkawinannya puluhan tahun yang lalu.

Karena nilai-nilai sejarahnya inilah maka barang-barang yang dijadikan tanda itu

menjadi sangat berharga bagi keluarga yang bersangkutan dan karena itu pula

maka setelah nanti akad nikah dilangsungkan, masing-masing tanda ini harus

Page 16: niken antroologi

dikembalikan lagi dalam suatu acara resmi oleh kedua belah pihak. Sesuai

dengan etika pergaulan, bertandang biasapun kerumah orang, lazim kita

membawa buah tangan, maka dalam acara resmi beradat, seyogyanya pihak

rombongan yang datang juga membawa kue-kue atau buah-buahan sebagai

oleh-oleh.

Urutan Acara

Pembicaraan dalam acara maminang dan batuka tando ini berlangsung antara mamak atau

wakil dari pihak keluarga si gadis dengan mamak atau wakil dari pihak keluarga pemuda.

Bertolak dari penjajakan-penjajakan yang telah dilakukan sebelumnya ada empat hal secara

simultan yang dapat dibicarakan, dimufakati dan diputuskan oleh kedua belah pihak saat ini.

1. Melamar => menyampaikan secara resmi lamaran dari pihak keluarga si gadis kepada pihak

keluarga si pemuda

2. Batuka tando => Mempertukarkan tanda ikatan masing-masing

3. Baretong => Memperembukkan tata cara yang akan dilaksanakan nanti dalam penjemputan

calon pengantin pria waktu akan dinikahkan

4. Manakuak hari => Menentukan waktu kapan niat itu akan dilaksanakan

Namun menurut yang lazim dikampung, jika acara maminang itu bukan sesuatu yang sudah

direkayasa oleh kedua keluarga sebelumnya, maka acara ini akan berlangsung berkali-kali

sebelum urutan ketentuan diatas dapat dilaksanakan. Karena pihak keluarga pemuda pasti tidak

dapat memberikan jawaban langsung pada pertemuan pertama itu. Orang tuanya atau ninik

mamaknya akan meminta waktu terlebih dahulu untuk memperembukkan lamaran itu dengan

keluarga-keluarganya yang patut-patut lainnya. Paling-paling pada pertemuan tersebut, pihak

keluarga pemuda menentukan waktu kapan mereka memberikan jawaban atas lamaran itu.

Page 17: niken antroologi

Acara maminang yang berlangsung dikota-kota umumnya sudah dibuat dengan skenario yang

praktis berdasarkan persetujuan kedua keluarga, sehingga urutan-urutan seperti yang

dicantumkan diatas dapat dilaksanakan secara simultan dan diselesaikan dalam satu kali

pertemuan. (Sumber : Tata Cara Perkawinan Adat Istiadat Minangkabau)

7. Minta Izin / Mahanta Siriah

Bila seseorang pemuda telah ditentukan jodoh dan hari perkawinannya, maka kewajiban yang

pertama menurut adat yang terpikul langsung ke diri orang yang bersangkutan, ialah memberi

tahu dan mohon doa restu kepada mamak-mamaknya, kepada saudara-saudara ayahnya;

kepada kakak-kakaknya yang telah berkeluarga dan kepada orang-orang tua lainnya yang

dihormati dalam keluarganya. Acara ini pada beberapa daerah di Sumatera Barat disebut minta

izin. Bagi pihak calon pengantin wanita, kewajiban ini tidaklah terpikul langsung kepada calon

anak daro, tetapi dilaksanakan oleh kaum keluarganya yang wanita yang telah berkeluarga.

Acaranya bukan disebut minta izin tapi mahanta siriah atau menghantar sirih. Namun maksud

dan tujuannya sama. Tugas ini dilaksanakan beberapa hari atau paling lambat dua hari sebelum

akad nikah dilangsungkan.

Tata Cara

Pada hari yang telah ditentukan calon mempelai pria dengan membawa seorang kawan

(biasanya teman dekatnya yang telah atau baru berkeluarga) pergi mendatangi langsung rumah

isteri dari keluarga-keluarga yang patutu dihormati seperti disebutkan diatas. Setelah

menyuguhkan rokok (menurut cara lama menyuguhkan salapah yang berisi daun nipah dan

tembakau) sebagai pembuka kata, kemudian secara langsung pula memberitahu kepada

keluarga yang didatangi itu bahwa ia kalau diizinkan Allah, akan melaksanakan akad nikah.

Kemudian menjelaskan segala rencana perhelatan yang akan diadakan oleh orang tuanya. Lalu

minta izin (mohon doa) restu dan kalau perlu minta sifat dan petunjuk yang diperlukan dalam

rencana perkawinan itu. Terakhir tentu memohon kehadiran orang bersangkutan serta seluruh

keluarganya pada hari-hari perhelatan tersebut. Biasanya keluarga-keluarga yang didatangi

tidaklah melepas pulang begitu saja keluarganya yang datang minta izin secara akrab seperti

itu. Dengan dihormati begitu oleh anak kemenakannya, mereka juga merasa terpanggil untuk

ikut memikul beban (ringan sama dijinjing, berat sama dipikul) dengan memberikan bingkisan-

bingkisan yang berguna bagi orang yang akan pesta. Walaupun misalnya hanya satu kilogram

Page 18: niken antroologi

gula pasir saja, sesuai dengan kemampuannya.

Tata Busananya

Untuk melaksanakan acara ini calon pengantin pria diharuskan untuk mengenakan busana

khusus. Ada dua pilihan untuk itu yang lazim berlaku sampai sekarang dibeberapa daerah di

Sumatera Barat :

1. Mengenakan celana batik dengan baju gunting cina berkopiah hitam dan menyandang kain

sarung palekat (atau sarung Bugis)

2. Mengenakan celana batik dengan kemeja putih yang diluarnya dilapisi dengan jas, kerah

kemeja keluar menjepit leher jas. Tetap memakai kopiah dengan kain sarung pelekat yang

disandang di bahu atau dilingkarkan di leher.

Dahulu si calon mempelai juga diharuskan untuk membawa salapah (semacam tempat untuk

rokok daun nipah dengan tembakaunya). Tapi sekarang anak-anak muda telah menukarnya

dengan rokok biasa. Sebab tujuan membawa barang tersebut hanyalah sebagai suguhan

pertama sebelum membuka kata. Bagi keluarga calon pengantin wanita yang bertugas

melaksanakan acara ini yang disebut mahanta siriah, peralatan yang dibawa sesuai dengan

namanya yaitu seperangkat daun sirih lengkap bersadah pindang yang telah tersusun rapi baik

diletakkan diatas carano maupun didalam kampia (tas yang terbuat dari daun pandan). Sebelum

maksud kedatangan disampaikan maka sirih ini terlebih dahulu yang disuguhkan kepada orang

yang didatangi. (Sumber : Tata Cara Perkawinan Adat Istiadat Minangkabau)

8. Malam Bainai

Secara harfiah bainai artinya melekatkan tumbukan halus daun pacar merah yang dalam istilah

Page 19: niken antroologi

Sumatera Barat disebut daun inai ke kuku-kuku jari calon pengantin wanita. Tumbukan halus

daun inai ini kalau dibiarkan lekat semalam, akan meninggalkan bekas warna merah yang

cemerlang pada kuku. Lazimnya dan seharusnya acara ini dilangsungkan malam hari sebelum

besok paginya calon anak daro melangsungkan akad nikah. Apa sebab demikian ? Pekerjaan

mengawinkan seorang anak gadis untuk pertama kalinya di Minangkabau bukan saja dianggap

sebagai suatu yang sangat sakral tetapi juga kesempatan bagi semua keluarga dan tetangga

untuk saling menunjukkan partisipasi dan kasih sayangnya kepada keluarga yang akan

berhelat. Karena itu jauh-jauh hari dan terutama malam hari sebelum akad nikah dilangsungkan

semua keluarga dan tetangga terdekat tentu akan berkumpul di rumah yang punya hajat.

Sesuai dengan keakraban masyarakat agraris mereka akan ikut membantu menyelesaikan

berbagai macam pekerjaan, baik dalam persiapan di dapur maupun dalam menghias ruangan-

ruangan dalam rumah. Pada kesempatan inilah acara malam bainai itu diselenggarakan,

dimana seluruh keluarga dan tetangga terdekat mendapat kesempatan untuk menunjukkan

kasih sayang dan memberikan doa restunya melepas dara yang besok pagi akan dinikahkan.

Selain dari tujuan, menurut kepercayaan orang-orang tua dulu pekerjaan memerahkan kuku-

kuku jari calon pengantin wanita ini juga mengandung arti magis. Menurut mereka ujung-ujung

jari yang dimerahkan dengan daun inai dan dibalut daun sirih, mempunyai kekuatan yang bisa

melindungi si calon pengantin dari hal-hal buruk yang mungkin didatangkan manusia yang

dengki kepadanya. Maka selama kuku-kukunya masih merah yang berarti juga selama ia

berada dalam kesibukan menghadapi berbagai macam perhelatan perkawinannya itu ia akan

tetap terlindung dari segala mara bahaya. Setelah selesai melakukan pesta-pesta pun warna

merah pada kuku-kukunya menjadi tanda kepada orang-orang lain bahwa ia sudah berumah

tangga sehingga bebas dari gunjingan kalau ia pergi berdua dengan suaminya kemana saja.

Kepercayaan kuno yang tak sesuai dengan tauhid Islam ini, sekarang cuma merupakan bagian

dari perawatan dan usaha untuk meningkatkan kecantikan mempelai perempuan saja. Tidak

lebih dari itu. Memerahkan kuku jari tidak punya kekuatan menolak mara bahaya apa pun,

karena semua kekuatan adalah milik Allah semata-mata. Dibeberapa nagari di Sum Bar acara

malam bainai ini sering juga diawali lebih dahulu dengan acara mandi-mandi yang dilaksanakan

khusus oleh wanita-wanita disiang hari atau sore harinya. Maksudnya kira-kira sama dengan

acara siraman dalam tradisi Jawa. Calon anak daro dibawa dalam arak-arakan menuju ke

tepian atau ke pincuran tempat mandi umum yang tersedia dikampungnya. Kemudian

perempuan-perempuan tua yang mengiringkan termasuk ibu dan neneknya, setelah

membacakan doa, secara bergantian memandikan anak gadis yang besok akan dinobatkan jadi

pegantin itu. Jika kita simpulkan maka hakikat dari kedua acara ini untuk zaman kini mempunyai

Page 20: niken antroologi

tujuan dan makna sbb:

1. Untuk mengungkapkan kasih sayang keluarga kepada sang dara yang akan meninggalkan

masa remajanya,

2. Untuk memberikan doa restu kepada calon pengantin yang segera akan membina kehidupan

baru berumahtangga,

3. Untuk menyucikan diri calon pengantin lahir dan batin sebelum ia melaksanakan acara yang

sakral, yaitu akad nikah,

4. Untuk membuat anak gadis kelihatan lebih cantik, segar dan cemerlang selama ia berdandan

sebagai anak daro dalam perhelatan-perhelatannya.

Bagi orang-orang Minang yang mengawinkan anak gadisnya di Jakarta, acara-acara ini juga

sudah lazim dilaksanakan. Tetapi untuk efisiensi waktu dan pertimbangan-pertimbangan lain

seringkali kedua acara tersebut pelaksanaannya digabung menjadi satu. Acara mandi-

mandipun dibuat praktis tanpa harus benar-benar mengguyur si calon pengantin, tapi cukup

dengan memercikkan saja air yang berisi haruman tujuh kembang itu di beberapa tempat

ditubuhnya.

Tata busana

Untuk melaksanakan acara ini calon pengantin wanita didandani dengan busana khusus yang

disebut baju tokah dan bersunting rendah. Tokah adalah semacam selendang yang dibalutkan

menyilang di dada sehingga bagian-bagian bahu dan lengan nampak terbuka. Untuk serasi

dengan suasana, maka orang-orang yang hadir biasanya juga mengenakan baju-baju khusus.

Teluk belanga bagi pria dan baju kurung ringan bagi wanita, begitu juga ayah bunda dari calon

anak daro. Disamping itu biasanya juga disiapkan beberapa orang teman-teman sebaya anak

daro yang sengaja diberi berpakaian adat Minang untuk lebih menyemarakkan suasana.

Tata cara

Jika acara mandi-mandi dilaksanakan secara simbolis maka di salah satu ruangan di atas

rumah ditempatkan sebuah kursi dengan payung kuning terkembang melindunginya. Sesudah

sembahyang Magrib kalau tamu-tamu sudah cukup hadir, maka calon anak daro yang telah

didandani dibawa keluar dari kamarnya, diapit oleh gadis-gadis kawan sebayanya yang

Page 21: niken antroologi

berpakaian adat. Untuk memberikan warna Islami, keluarnya calon anak daro dari kamarnya ini

disambut oleh kelompok kesenian yang mendendangkan salawat Nabi yang mengiringkannya

sampai duduk di kursi yang telah disediakan. Seorang dari saudaranya yang laki-laki, apakah

kakaknya atau adiknya, berdiri dibelakangnya memegang payung kuning. Ini maknanya ialah

bahwa saudara laki-laki yang kelak akan menjadi mamak bagi anak-anak yang akan dilahirkan

oleh calon pengantin merupakan tungganai rumah yang bertanggung jawab untuk melindungi

dan menjaga kehormatan saudara-saudaranya dan kemenakan-kemenakannya yang wanita.

Setelah itu dua wanita saudara-saudara ibunya berdiri mengapit dikiri kanan sambil memegang

kain simpai. Ini maknanya : menurut sistem kekerabatan matrilinial, saudara-saudara ibu yang

wanita adalah pewaris pusako yang berkedudukan sama dengan ibu anak daro. Karena itu dia

juga berkewajiban untuk melindungi anak daro dari segala aib yang bisa menimbulkan

gunjingan yang dapat merusak integritas kaum seperinduan. Walaupun acara mandi-mandi

dilaksanakan secara simbolik, kecuali ayah kandungnya maka orang-orang yang diminta untuk

memandikan dengan cara memercikkan air haruman tujuh macam bunga kepada calon

pengantin wanita ini hanya ditentukan untuk perempuan-perempuan tua dari keluarga terdekat

anak daro dan dari pihak bakonya. Jumlahnya harus ganjil. Umpamanya lima, tujuh atau

sembilan orang. Dan yang terakhir melakukannya adalah ayah ibunya. Jumlah ganjilnya ini

ditetapkan sesuai dengan kepercayaan nenek moyang dahulu yang mungkin mengambil

pedoman dari kekuasaan Tuhan dan peristiwa alam, atau karena angka-angka ganjil selalu

berhubungan dengan peristiwa-peristiwa sakral. Seperti sembahyang lima waktu, langit berlapis

tujuh, sorga yang paling diidamkan oleh seorang Muslim juga sorga ketujuh. Tawaf keliling

Ka’bah dan Sa’i pulang balik antara Safa dan Marwa dilaksanakan juga tujuh kali. Pada

beberapa kenagarian calon anak daro yang akan dimandikan itu selain disiram dengan air yang

berisi racikan tujuh kembang, maka tubuhnya juga dibaluti dengan tujuh lapis kain basahan

yang berbeda-beda warnanya. Setiap kali satu orang tua selesai menyiramkan air ketubuhnya,

maka satu balutan kain dibuka, dst.’ Jika acara mandi-mandi ini dilaksanakan secara simbolik,

maka air haruman tujuh bunga itu dipercikkan ketubuh calon anak daro dengan

mempergunakan daun sitawa sidingin. Tumbukan daun ini dikampung-kampung sering dipakai

diluar maupun diminum, ia berkhasiat untuk menurunkan panas badan. Karena itu disebut daun

sitawa sidingin. Acara memandikan calon anak daro ini diakhiri oleh ibu bapaknya. Setelah itu

kedua orang tuanya itu akan langsung membimbing puterinya melangkah menuju ke pelaminan

ditempat mana acara bainai akan dilangsungkan. Perjalanan ini akan ditempuh melewati kain

jajakan kuning yang terbentang dari kursi tempat mandi-mandi ke tempat pelaminan. Langkah

diatur sangat pelan-pelan sekali karena kedua orang tua harus menghayati betul acara itu yang

Page 22: niken antroologi

mengandung nilai-nilai simbolik yang sangat berarti. Setelah sekian tahun ia membesarkan dan

membimbing puterinya dengan penuh kehormatan dan kasih sayang, maka malam itu adalah

kesempatan terakhir ia dapat melakukan tugasnya sebagai ibu bapa, karena besok setelah

akad nikah maka yang membimbingnya lagi adalah suaminya. Kain jajakan kuning ini setelah

diinjak dan ditempuh oleh calon anak daro, segera digulung oleh saudara kali-lakinya yang tadi

waktu acara mandi-mandi memegang payung kuning. Tindak penggulungan kain kuning itu

mengandung harapan-harapan, bahwa si calon anak daro benar-benar melakukan perkawinan

itu cukuplah satu kali itu saja seumur hidupnya. Kalaupun akan berulang, maka itu karena maut

yang memisahkan mereka.

  #9  

26th November 2008, 10:30

10. Manjapuik Marapulai

Ini adalah acara adat yang paling penting dalam seluruh rangkaian acara perkawinan menurut

adat istiadat Minangkabau. Menjemput calon pengantin pria ke rumah orang tuanya untuk

dibawa melangsungkan akad nikah di rumah kediaman calon pengantin wanita.

Dahulu di kampung-kampung biasanya cukup beberapa orang laki-laki saja dari keluarga calon

pengantin wanita yang menjemput calon pengantin pria ini untuk melafaskan ijab kabul di

mesjid-mesjid. Setelah selesai akad nikah barulah kemudian keluarga besar kembali menjemput

Page 23: niken antroologi

menantunya itu ke rumah orang tuanya untuk dipersandingkan di rumah pengantin wanita.

Tetapi sekarang untuk efisiensi waktu yang lazim berlaku di kota-kota besar, akad nikah

diadakan di rumah calon pengantin wanita dan setelah itu langsung kedua pengantin

dipersandingkan di pelaminan. Maka untuk acara yang semacam ini, penjemputan calon

mempelai pria ke rumah orang tuanya harus dilaksanakan sepanjang adat dengan memenuhi

syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang telah disepakati sebelumnya. Sering terjadi sampai

sekarang terutama untuk perkawinan-perkawinan yang diatur oleh orang tua-tua sebuah

rencana perkawinan batal gara-gara ketidakcocokan dalam soal jemput menjemput calon

marapulai atau mempelai ini. Kekisruhan ini bisa terjadi bukan saja karena tidak sesuainya

barang-barang yang dibawa pihak keluarga calon pengantin wanita untuk menjemput, tapi bisa

juga karena dirasa juga tidak memenuhi ketentuan-ketentuan adat istiadat menurut tata cara

kampungnya atau luhak adatnya yang berbeda-beda. Secara umum menurut ketentuan adat

yang lazim, dalam menjemput calon pengantin pria keluarga calon pengantin wanita harus

membawa tiga bawaan wajib, yaitu :

Pertama : Sirih lengkap dalam cerana menandakan datangnya secara beradat

Kedua : Pakaian pengantin lengkap dari tutup kepala sampai ke alas kaki yang akan dipakai

oleh calon pengantin pria

Ketiga : Nasi kuning singgang ayam dan lauk pauk yang telah dimasak serta makanan dan kue-

kue lainnya sebagai buah tangan

Hal-hal diluar ini, itu tergantung kepada adat istiadat daerah masing-masing yang berbeda-

beda, serta perjanjian yang telah disepakati sebelumnya. Umpamanya untuk daerah pesisir

Sumatera Barat seperti Padang dan Pariaman, berlaku ketentuan untuk membawa payung

kuning tujuh tungketan, tombak janggo janggi, pedang (kalau si calon pengantin prianya

bergelar Marah, Sidi dan Bagindo) dll. Jika ada perjanjian-perjanjian yang dibuat sebelumnya

dimana pihak keluarga calon pengantin wanita harus membawa uang jemputan, uang hilang,

atau apapun namanya,maka segala yang dijanjikan itu harus dibawa secara resmi waktu

melakukan acara menjemput marapulai ini. Semua bawaan ini ditata rapi pada wadahnya

masing-masing. Banyak atau sedikitnya bawaan yang dibawa serta banyak atau sedikitnya

jumlah keluarga pihak calon pengantin wanita yang datang menjemput, sering menjadi ukuran

besar kecilnya pesta yang diadakan itu. Untuk melepas anak kemenakan mereka yang akan

Page 24: niken antroologi

melakukan akad nikah ini, pihak keluarga calon pengantin pria biasanya juga mengumpulkan

seluruh keluarganya yang patut-patut. Termasuk ninik mamak dan para rang sumandonya.

Situasi ini dengan sendirinya membuat acara tersebut menjadi sangat resmi, dimana kedua

belah pihak keluarga saling berusaha untuk memperlihatkan adat sopan dan basa-basi yang

baik. Adat sopan dan basa-basi yang baik itu, bukan hanya tercermin dalam sikap dan tindak

tanduk saja, tetapi juga harus terungkap didalam tutur kata. Oleh karena itulah maka pada

acara manjapuik marapulai ini, kedua belah pihak keluarga harus menyediakan jurubicara yang

dianggap mahir untuk bersikap dan bertutur kata yang baik sesuai dengan tata cara adat yang

disebut alur pasambahan, atau yang pandai melaksanakan sambah manyambah. Untuk acara

sambah-manyambah dalam alek kawin ini menurut adat Minangkabau tidak perlu harus

dilakukan oleh seorang ninik mamak atau penghullu, tetapi dipercayakan kepada yang muda-

muda terutama para rang sumando baru dalam lingkungan keluarga masing-masing. Sebagai

orang yang dihormati dan dituakan maka ninik mamak dan penghulu dalam pesta perkawinan

berperan sebagai tumpuan untuk bermufakat atau tempat memulangkan kata, jika ada hal-hal

alam pembicaraan yang memerlukan petunjuk dan saran dari yang tua-tua. Oleh karena

kewajiban sambah-manyambah ini merupakan keahlian yang tidak dimiliki oleh setiap orang,

maka seringkali dikampung-kampung dulunya acara semacam ini oleh para jurubicara yang

ditunjuk, dijadikan ajang untuk saling memamerkan kefasihan mereka masing-masing dalam

melafalkan pepatah-petitih dan merentetkan kembali tambo alam Minangkabau, sehingga acara

menjadi bertele-tele memakan waktu yang panjang dan membosankan. Sesuai dengan efisiensi

waktu pada zaman sekarang ini, dimana akad nikah juga harus tunduk kepada jadwal yang

telah ditentukan, maka dengan tidak mengurangi hakekat acara tersebut sebagai suatu yang

harus nampak beradat, maka acara sambah-manyambah ini bisa dipadatkan dengan hanya

menyebut bagian-bagian yang memang perlu dan wajib disebut sesuai dengan tujuan

kedatangan rombongan itu sendiri. Oleh karena didalam pelajaran sambah-manyambah pun

ada tata cara pasambahan yang dikategorikan sebagai pangka batang untuk setiap acara yang

dihadapi. Di dalam acara manjapuik marapulai ini maka yang pokok-pokok harus disebut itu

adalah sbb:

1. Pasambahan menghormati yang tua-tua dan yang patut-patut yang ada diatas rumah,

2. Pasambahan menyuguhkan sirih adat,

3. Menyampaikan maksud kedatangan,

4. Memohon semua keluarga tuan rumah ikut mengiringkan,

5. Menanyakan gelar calon menantu mereka,

Page 25: niken antroologi

6. Berterima kasih atas sambutan dan hidangan yang disuguhkan.

Tata cara

Sesuai dengan hari dan jam yang telah disepakati dengan memperhitungkan jarak yang akan

ditempuh serta jadwal waktu akad nikah yang telah ditetapkan sesuai dengan undangan, maka

rombongan penjemput berangkat menuju rumah calon pengantin pria bersama-sama sambil

membawa segala perlengkapan sebagaimana yang telah disebutkan pada bab terdahulu. Pihak

keluarga calon pengantin pria menyambut dan menunggu tamunya di pekarangan rumah sambil

menyiapkan pula sejumlah orang-orang yang akan menjawat atau menerima barang-barang

yang dibawa oleh rombongan yang datang. Setelah segala bawaan yang dibawa oleh

rombongan penjemput ini diterima dihalaman, maka semua rombongan penjemput dipersilakan

naik ke atas rumah. Para tamu yang datang menurut adat Minang didudukkan pada bagian

yang paling baik di atas rumah. Kalau ada pelaminan; disekitar pelaminan menghadap ke pintu

masuk, sedangkan tuan rumah (sipangka) berjejer sekitar pintu atau pada bagian yang dilalui

untuk menuju ke dapur atau ke ruang dalam. Barang-barang bawaan rombongan penjemput

termasuk sirih dalam cerana setelah diterima di halaman, biasanya ditata dulu dengan baik dan

dijejerkan ditengah-tengah rumah agar dapat disaksikan oleh semua orang. Dalam acara

manjapuik marapulai ini yang lazim pembicaraan dimulai oleh pihak yang datang. Jika

rombongan yang datang membawa seorang juru bicara yang pandai sambah manyambah,

maka sebelum pembicaraan dimulai haruslah terlebih dahulu pihak yang datang sambil berbisik

bertanya kepada orang yang menanti kepada siapa sembah ini akan ditujukan. Pertanyaan

berbisik ini merupakan tata tertib yang perlu dilaksanakan, agar sambah yang akan ditujukan itu

jatuh kepada orang yang tepat, artinya orang yang memang telah mempunyai keahlian sepadan

untuk menjawab kata secara alur persembahan. Sebab kalau tidak, maka sembah yang

dituhuakkan kepada seseorang yang ternyata bukan seorang yang menguasai seni ini, maka ini

dapat membuat malu dan canggung orang yang dituju dan bahkan juga dapat menimbulkan

Page 26: niken antroologi

rasa kurang enak dihati tuan rumah. Pembicaraan pertama yang dibuka oleh pihak yang datang

ini, tidak pulalah sopan jika secara langsung mengungkapkan maksud kedatangan rombongan.

Yang lazim adalah juru bicara setelah menyatakan terima kasih atas penyambutan yang ramah

dan baik dari tuan rumah dalam menerima kedatangan mereka, maka ia akan bertanya terlebih

dahulu, apakah dia sudah dibenarkan untuk menyampaikan maksud dari kedatangan

rombongan. Didalam alur persembahan kalimat bertanya tersebut terungkap dalam kata-kata

bersayap sbb:

Jikok ado nan takana di ati

Nan tailan-ilan dimato

Alah kok buliah kami katangahkan ?

Lazimnya menurut tata tertib yang betul sebagaimana yang tetap berlaku sampai sekarang di

ranah minang, tuan rumah melalui jurubicaranya tidaklah akan menjawab begitu saja secara

langsung memberikan izin kepada rombongan yang datang untuk menyampaikan maksud

kedatangan mereka. Orang bertamu ke rumah orang lain biasanya disuguhi air minum agak

seteguk lebih dahulu sebelum berunding, apalagi satu rombongan yang datang secara beradat.

Ini sesuai dengan idiom Minang yang mengatakan :

Jikok manggolek di nan data

Jikok batanyo lapeh arak

Jikok barundiang sudah makan

Demikian pembicaraan akan terputus sementara untuk mempersilakan tamu-tamu makan atau

setidak-tidaknya minum segelas air dan mencicipi kue-kue yang telah disediakan. Setelah

selesai acara santap atau makan kue-kue kecil ini, barulah juru bicara pihak rombongan yang

datang kembali mengangkat sembah, mengulangi kembali pertanyaan yang tertunda tadi.

Setelah jurubicara tuan rumah menyatakan bahwa runding sudah bisa dilanjutkan, maka

barulah jurubicara yang datang secara terperinci mengemukakan maksud kedatangan

rombongan dalam alur persembahannya yang pokok-pokok isinya harus memenuhi ketentuan-

ketentuan adat menjemput maapulai sbb :

1. Menyatakan bahwa mereka itu merupakan utusan resmi mewakili pihak keluarga calon

pengantin wanita.

Page 27: niken antroologi

2. Bahwa mereka datang secara adat. Maningkek janjang manapiak bandua dengan membawa

sirih dalam carano.

3. Bahwa tujuan mereka adalah untuk menjemput calon mempelai pria (sebutkan namanya dan

nama orang tuanya dengan jelas).

4. Menegaskan bahwa jemput itu jemput terbawa, sekalian dengan keluarga yang akan

mengiringkan.

Kalimat-kalimat dalam alur persembahan bisa bervariasi panjang dengan menyebut dan

membeberkan kembali sejarah kelahiran seorang anak sampai dewasa dan sampai berumah

tangga atau mengulang-ulang tambo sejarah ninik moyang orang Minang mulai dari puncak

Gunung Merapi sampai ke laut yang sedidih dsb. Tetapi itu tidak ada kaitannya sama sekali

dengan inti maksud kedatangan rombongan, kecuali hanya untuk memamerkan keahlian si

tukang sembah. Sedangkan yang pokok menurut adat untuk disebut adalah yang berhubungan

dengan empat ketentuan di atas. Setelah keempat maksud itu disampaikan, dan diterima oleh

jurubicara tuan rumah maka barulah seperangkat pakaian yang dibawa oleh rombongan

penjemput diserahkan kepada tuan rumah untuk bisa segera dipakaikan kepada calon

mempelai pria. Sambil menunggu calon mempelai pria berpakaian, barulah dilanjutkan lagi

acara dengan alur persembahan menanyakan gelar calon mempelai pria. Setelah selesai acara

sambah-manyambah ini, dan setelah selesai calon mempelai pria didandani dan dikenakan

busana yang dibawa oleh keluarga calon mempelai wanita, maka sebelum rombongan

termasuk rombongan keluarga yang laki-laki berangkat bersama-sama menuju rumah kediaman

calon mempelai wanita, haruslah calon mempelai pria memohon doa restu terlebih dahulu

kepada kedua orang tuanya dan kepada keluarga-keluarganya yang tua-tua dan yang pantas

untuk dihormati dalam kaumnya. Oleh karena anak laki-laki di dalam kekerabatan Minang kalau

sudah beristeri biasanya akan tinggal di rumah isterinya, maka sering juga anak laki-laki yang

akan kawin itu disebut akan menjadi “anak orang lain”. Sehingga momen permohonan doa restu

ketika akan berangkat nikah, seringkali menjadi sangat mengharukan, dimana yang dilepas dan

yang melepas saling bertangis-tangisan. Lazimnya dalam acara menjemput calon mempelai

pria ini, pihak keluarga calon mempelai wanita juga membawa dua orang wanita muda yang

baru berumah tangga untuk dijadikan pasumandan yang mengiringkan dan mengapit calon

mempelai pria mulai turun rumahnya sampai disandingkan di pelaminan setelah akad nikah.

Pasumandan ini juga didandani dengan baju kurung khusus dan kepalanya dihiasi dengan

sunting rendah.

k.

Page 28: niken antroologi

6. Organisasi social

7. System pengetahuan (berhubungan dengan mata pencaharian)

a. Hari baik mendirikan rumah

b. Hari baik untuk perkawinan

8. Peralatan dan perlengkapan hidup

a. Rumah adat

b. Senjata adat

c. Perang adat (factor-faktor)

d. Pakaian tradisional

e. Transporatasi adat

f. Peralatan atau perlengkapan hidup