Upload
dinhkhue
View
231
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
NILAI-NILAI PANCASILA DALAM ISLAM
(Tinjauan Historis)
Oleh: Kanca Sanjaya1
A. Pendahuluan
Melalui perdebatan yang panjang, Pancasila pada akhirnya hadir sebagai
gentlemen‟s agreement dan falsafah negara Indonesia. Di dalamnya, Pancasila
mengandung nilai-nilai yang mencerminkan karakteristik bangsa yang plural. Yaitu,
negara Indonesia yang terdiri dari 34 provinsi dan 84.190 wilayah yang tersebar di 511
kabupaten-kota dengan 16.056 Pulau2 yang terbentang dari sabang hingga merauke.
Untuk dapat melalui kehidupan bernegara yang majemuk itu, maka Pancasila
diperlukan sebagai landasan dalam kehidupan bernegara. Dibentuknya Pancasila
diharapkan dapat menjadi jalan tengah dan solusi keberagaman di Indonesia. Nilai-nilai
yang terkandung didalamnya diharapkan dapat merukunkan perbedaan yang ada
ditengah masyarakat yang plural.
Namun sayang, realitas yang terjadi saat ini tidaklah demikian adanya. Pancasila
yang dibentuk dengan segenap perjuangan dan pengorbanan, nilai-nilainya tidak dapat
di implementasikan dengan baik. Pasca kemerdekaan Indonesia, konflik demi konflik
terus terjadi. Konflik dan perpecahan yang terjadi pun tidak hanya antar agama atau
antar suku, melainkan juga sesama agama dan sesama suku. Sehingga membuat
Pancasila saat ini hanyalah sebatas formalisme, hanya digunakan sebagai alat retotika,
dan kepentingan politik, bukan sebagai nilai yang harus diterapkan dalam kehidupan.3
Dahulu, sebelum Pancasila terbentuk dan menjadi landasan dalam kehidupan
bernegara, masyarakat Indonesia dapat bersatu dan saling menghargai ditengah
masyarakatnya yang plural. Bahkan ketika kolonialisme masuk di Indonesia,
1 Mahasiswa Program Kaderisasi ‗Ulama Angkatan ke XII
2 Subdirektorat Publikasi dan Kompilasi Statistik, Statistik Indonesia 2018 (Jakarta: Badan Pusat
Statistik). 3 Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, Peranan Agama Dalam Pemantapan Ideologi
Negara Pancasila (Departemen Agama R.I, 1984), p. 38.
2
masyarakat dapat bersatu untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Dengan
beragamnya suku, agama, etnis, dan lain sebagainya, masyarakat Indonesia mampu
menanamkan nilai toleransi dan gotong royong meskipun tanpa Pancasila. Hal ini dapat
terjadi karna nilai-nilai luhur yang ada pada masyarakat dahulu tidak hanya tersurat,
melainkan sudah tersirat pada setiap diri masyarakat Indonesia. Sehingga, meski tanpa
alat pemersatu (Pancasila) masyarakat tetap dapat hidup dalam kerukunan. Jika melihat
perjalanan sejarah Indonesia, Nilai-nilai antara Islam, Pancasila dan Indonesia telah
terjalin dan memiliki hubungan yang erat selama berabad-abad lamanya. Berangkat
dari hal tersebut, makalah ini akan membahas nilai-nilai dalam Pancasila Islam
melalui sejarahnya.
B. Relasi Islam dan Nusantara
Islam telah melakukan hubungan dengan Nusantara Indonesia jauh sejak sebelum
bangsa Eropa masuk ke Indonesia. Hubungan antara Islam dan Indonesia ini dapat
ditelusuri dengan melihat sejarah awal masuknya Islam hingga dapat berkembang dan
mendirikan kekuasaan politik berupa kerajaan dan kesultanan. Namun, para ahli
sejarah memiliki pendapat yang berbeda mengenai awal masuknya Islam di Nusantara
ini. Karena luasnya wilayah Nusantara Indonesia dan terpencar pada beberapa pulau
besar dan kecil, sehingga untuk menemukan kebenaran kapan dan dimana awal
masuknya Islam di Nusantara Indonesia memiliki perbedaan pendapat. Setidaknya ada
beberapa sumber pendukung Masuknya Islam di Indonesia, diantaranya adalah:
1. Berita dari Arab
Berita ini diketahui dari pedagang Arab yang melakukan aktivitas perdagangan
dengan bangsa Indonesia. Pedagang Arab Telah datang ke Indonesia sejak masa
kerajaan Sriwijaya (abad ke-7 M) yang menguasai jalur pelayaran perdagangan di
Selat Malaka. Groneveld, dalam Thomas W. Arnold, The Preaching of Islam juga
mengungkapkan bahwa sejak tahun 674 M, pantai bagian Barat Sumatera telah
3
terdapat pemukiman wirausahawan Arab.4 Tidak hanya itu, ditemukannya makam
Syaikh Mukaiddin di Baros, Tapanuli, juga menguatkan tesis mengenai kedatangan
Islam di Nusantara. Pada makam Syaikh Mukaidin tersebut terdapat nisan yang
bertulisakan 48 Hijriah, atau 670 masehi. Pendapat mengenai masuknya Islam dari
wilayah Arab ini dikemukakan oleh Crawfurd, Keyzer, Nieman, de Hollander, dan
beberapa tokoh Islam di Indonesia seperti Hamka dan Abdullah bin Nuh.5 Bahkan
Hamka pernah mempopulerkan teori ini dalam seminarnya di Medan yang berjudul
Masuknya Agama Islam ke Indonesia.6
2. Berita Eropa
Berita ini datangnya dari Marcopolo tahun 1292 M. Ia adalah orang Eropa
pertama kali menginjakan kakinya di Indonesia, ketika ia kembali dari cina menuju
Eropa melalui jalan laut. Ia dapat tugas dari kaisar Cina untuk mengantarkan
putrinya yang dipersembahkan kepada kaisar Romawi, dari perjalannya itu ia
singgah di Sumatera bagian utara. Di daerah ini ia menemukan adanya kerajaan
Islam, yaitu kerajaan Samudera dengan ibukotanya Pasai.7 Teori ini kemudian
dibawa oleh Prof. Dr. C Snouck Hurgronje, namun Snouck tidak menjelaskan
bagaimana proses masuknya islam pada saat itu, bagaimana mungkin, Islam dapat
masuk kemudian mendirikan sebuah kerajaan Samudra Pasai tanpa melalui proses
yang Panjang.8
3. Berita India
Berita ini menyebutkan bahwa para pedagang India dari Gujarat mempunyai
peranan penting dalam penyebaran agama dan kebudayaan Islam di Indonesia. Dari
berita ini, Prof. Dr. C Snouck Hurgronje, mengembangkan teori sebelumnya
4 T. W. Arnold Arnold, The Preaching Of Islam: A History of The Propagation of The Muslim
Faith (Archibald Constable & CO, 1896), p. 294. 5 Lihat, Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, Mahakarya Perjuangan Ulama Dan Santri
Dalam Menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, 1 (Bandung: Surya Dinasti, 2018), IV, p.
101. Lihat juga, Syed Mohammad Naquib Al-Attas, Himpunan Risalah (Kuala Lumpur: IBFIM,
2015), p. 417. 6 Ibid
7 Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2008), p. 195.
8 Ibid.
4
menjadi teori Gujarat. Menurut teori ini, Islam masuk ke kepulauan Indonesia di
kerajaan Samoedra Pasai melalui ajaran tasawuf yang berkembang di Gujarat,
India.9 Namun pada teori ini, Snouck tidak menjelaskan antara masuk dan
berkembangnya Islam di Nusantara. Teori ini juga menjelaskan mazhab yang
dianut oleh India, dan mazhab apa yang dianut oleh kerajaan Samoedra Pasai di
kepualauan Nusantara. Pendukung teori ini, diantaranya adalah Dr. Gonda, Van
Ronkel, Marrison, R.A. Kern, dan C.A.O. Van Nieuwinhuize.10
4. Berita dari Cina
Berita ini diketahui melalui catatan dari Ma Huan, seorang penulis yang
mengikuti perjalanan Laksamana Cheng-Ho. Thomas W. Arnold pun mengatakan
para pedagang Arab yang juga merupakan pendakwah, menyebarkan agama Islam
di Nusantara sejak abad ke-7 M.11
Dalam sumber-sumber Cina disebutkan bahwa
pada abad ke-7 M seorang pedagang Arab menjadi pemimpin sebuah pemukiman
Arab Muslim dipesisir pantai Sumatera (disebut Ta‟shih).12
5. Sumber dalam Negeri
Terdapat sumber-sumber dari dalam negeri yang menerangkan berkembangnya
pengaruh Islam di Indonesia. Yakni Penemuan sebuah batu di Leran (Gresik)., batu
tersebut menggunakan huruf dan bahasa Arab, yang sebagian tulisannya telah
rusak. Batu itu memuat tentang meninggalnya seorang perempuan yang bernama
Fatimah Binti Maimun (1028). Kedua, Makam Sultan Malikul Saleh di Sumatera
Utara yang meninggal pada bulan Ramadhan tahun 676 H atau tahun 1297 M.
Ketiga, makam Syekh Maulana Malik Ibrahim di Gresik yang wafat tahun 1419
M.13
9 Suryanegara, OpCit p. 101.
10 Supriyadi, OpCit p. 191.
11 T. W. Arnold Arnold, The Preaching Of Islam: A History of The Propagation of The Muslim
Faith (Archibald Constable & CO, 1896), pp. 293–294. 12
Mengenai Islam dari Berita Cina dapat dilihat Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo: buku pertama
yang mengungkap Wali Songo sebagai fakta sejarah, 2016. 13
Lihat, Ibid.
5
Terlepas dari semua berita mengenai Masuknya Islam di Nusantara Indonesia,
Kedatanagan Islam di Nusantara tidak mengenal adanya pemaksaan pembelajaran
agama Islam dengan pedang. Sebagaimana diungkapkan oleh Jhon Crawford dalam
Prof. Ahmad Mansyur Suryanegara Api Sejarah mengatakan:14
“Para wiraswasta Muslim tidak datang sebagai penakluk seperti yang
dikerjakan oleh bangsa spanyol. Pada abad ke-16. Mereka tidak
menggunakan pedang dalam dakwahnya, juga tidak memiliki hak untuk
melakukan penindasan terhadap rakyat bawahnya. Para da‟I hanya sebagai
wiraswasta yang memanfaatkan kecerdasan dan peradaban mereka yang
lebih tinggi untuk kepentingan dakwahnya. Harta perniagaannya lebih
mereka utamakan sebagai modal dakwah daripada untuk memperkaya diri.”
Wibawa dan kecerdasan para wiraswasta Muslim saat itu pada akhirnya dapat
membuat masyarakat Nusantara Indonesia banyak yang memilih untuk beragama
Islam. Sejak saat itu, Islam terus berkembang hingga membentuk kekuasaan politik
berupa kerajaan Islam.15 Sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Khaldun li anna al nāsa
„alā dīni mulūkihā wa „awā‟idiha,16
yang artinya, rakyat itu akan mengikuti agama dan
kebiasaan-kebiasaan rajanya. Berdasarkan hal tersebut, berdirinya kerajaan Islam mulai
abad ke-13 mendorong rakyatnya untuk mengikuti agama dan kebiasaan rajanya,
sehingga membuat agama Islam semakin meluas, meskipun masih massif.17
Proses penyebaran dan pemahaman tentang Islam yang telah dilakukan selama
berabad-abad, membuat masyarakat Indonesia memiliki hubungan yang erat dengan
Islam. Kehadiran Islam di Nusantara Indonesia juga pada akhirnya membuat hukum
Islam dan hukum adat Indonesia mengalami integrasi. Sehingga hukum yang berlaku di
14
Suryanegara, OpCit, IV, p. 123. 15
Beberapa kerajaan Islam yang ada pada masa itu ialah Aceh Darussalam, Samudra Pasai,
Kerajaan Demak, Kerajaan Mataram, Kerajaan Banten, Kesultanan Cirebon, Kesultanan Makassar,
Kerajaan Banjar, Kesultanan Ternate dan Kesultanan Tidore. Lihat: Sejarah Nasional Indonesia lihat
juga Suryanegara, OpCit IV. 16
Abdurrahman Ibnu Khaldun, Muqaddimah (Beirut: Dar el Fikr), p. 297. 17
Ensiklopedi Tematis dunia Islam, ed. by Taufik Abdullah (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,
2002), p. 18.
6
Indonesia ialah hukum islam, dalam pemerintahan yang berbentuk kerajaan dan
kesultanan. Sehingga Setiap masyarakat Indonesia, tanpa paksaan dan tekanan, pada
saat itu dapat melaksanakan syariat Islam sebagaimana mestinya.
C. Pengaruh Masuknya Bangsa Eropa terhadap Masyarakat Indonesia
Pada saat semakin berkembangnya kekuasaaan politik Islam di Nusantara
Indonesia, Bangsa Eropa mulai masuk dan mulai melakukan hubungan dengan
Indonesia. Bangsa Eropa pada saat itu bukanlah bangsa yang maju, seperti yang diakui
Ricklefs, bahwa yang paling maju saat itu ialah Islam, yang mana pada tahun 1453
telah menundukkan Konstantinopel, bahkan pengetahuan bangsa Eropa mengenai
geografi dan astronomi berasal dari Islam.18
Kedatangan Bangsa Eropa di Nusantara
Indonesia diawali dengan masuknya Bangsa Portugis di Malaka pada tahun 1511 M,
dan kemudian diikuti oleh Bangsa Belanda yang menduduki wilayah Jayakarta pada
1619.19 Kedua bangsa kolonial tersebut datang ke Indonesia dengan membawa program
trilogy imperialism, yaitu, Gold, Gospel, and Glory.20
Datangnya bangsa Eropa tidak hanya melakukan hubungan dagang saja, melainkan
juga melakukan kristenisasi kepada bangsa Indonesia yang pada saat itu mayoritas
telah memeluk Islam. Hal ini dapat dilihat dari usaha bangsa Eropa menurunkan Raja
Ternate (Raja Tarbiji) bahkan mengkristenkannya. Hingga akhir hidupnya, Raja Tarbiji
meninggal dalam keadaan Kristen, dan sebelum ia wafat, ia telah menyerahkan pulau
Ambon kepada bangsa Portugis, pada akhirnya di pulau inilah yang menjadi pusat
utama kegiatan Postugis di maluku.21
Tidak cukup sampai disana, usaha krristenisasi
juga dilakukan ke Banda, namun rakyat Banda yang pada saat itu tela emenarpkan
syariat Islam didaerahnya, bersikeras menolak bangsa Eropa masuk dan mendirikan
18 M.C Rickflefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005),
p. 61. 19
Suryanegara, OpCit, p. 157. 20
Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat, Dari Hegemoni Kristen Ke Dominasi Sekular-Liberal
(Jakarta: Gema Insani, 2005), p. 371. 21
M.C Rickflefs, OpCit, pp. 65–66.
7
benteng disana.22
Hal inilah yang kemudian membuat wilayah Timur Bangsa Indonesia
menolak adanya kalimat ―Dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi
Pemeluk-Pemeluknya‖ pada sila pertama. Karena tegaknya Syariat Islam akan
membuat upaya kristenisasi menjadi terhambat, seperti yang pernah dilakukan bangsa
Eropa kepada Banda yang pada saat itu menerapkan hukum Islam.
Meskipun sudah ditolak di Banda, Bangsa Eropa terus melakukan usaha-usaha lain
demi tercapainya cita-cita, Gold, Gospel, Glory. Hingga pada tahun 1651 pihak
Klolonial melarang segala aktivitas keagamaan, baik Islam maupun Kong Fu Tsu atau
Lao Tse. Kemudian pada 1621 diberlakukanlah hukum sipil Belanda ditanah Indonesia
untuk melemahkan bangsa Indonesia yang pada saat itu mayoritas beragama Islam.23
Hal ini pada akhirnya mengakibatkan masyarakat Islam di Indonesia terbagi atas tiga
golongan, yaitu, golongan tradisional, golongan muslim pembaharuan, dan golongan
sekular. Ketiga golongan tersebut mendasari ideologinya kepada ideologi kebangsaan,
ideologi Islam, dan ideologi sekuler. Ketiga ideologi ini pada akhirnya memicu
perdebatan panjang tentang ideologi yang akan dianut bangsa Indonesia ketika akan
merdeka.24
D. Perdebatan Ideologi dan Proses Pembentukan Pancasila
Sejak awal abad ke 20, perdebatan mengenai Ideologi Negara telah terjadi.
Soekarno dan M. Natsir misalnya, kedua tokoh besar Indonesia ini selalu beradu ide
dan argumentasi melalui tulisan-tulisan mereka yang dimuat dalam majalah-majalah
Indonesia, diantaranya adalah Pandji Islam, Al-Manar, Pembela Islam dan lain-lain.25
Pada kisaran tahun 1938-1940an, Soekarno banyak menulis dalam Majalah Pandji
22
M.C Rickflefs, OpCit, p. 68. 23
Lihat, Suryanegara, OPCIT pp. 175–180., Lihat Juga, jeje Zaenudin, Metode Dan Strategi
Penerapan Syari‟at Islam Di Indonesia (Jakarta: Pembela Islam, 2015), pp. 21–30. 24
Kategorisasi golongan Nasionalis Islam dan Sekuler pada saat itu haruslah dibaca dalam
orientasi politik, bukan pada orientasi agama. Lihat: Ahmad Syafii Maarif, Islam Dalam Bingkai
Keindonesiaan Dan Kemanusiaan; Sebuah Refleksi Sejarah, 2nd edn (Bandung: Mizan, 2015), p. 130. 25
Perdebatan antara M. Natsir dan Soekarno dapat ditemui dalam buku M. Natsir, Capita Selecta
(Jakarta: Bulan Bintang, 1973). Yang mana dalam buku tersebut terdapa bantahan M. Natsir terhadap
gagasan Soekarno mengenai Islam dan negara.
8
Islam.26
Dalam tulisan-tulisannya, Soekarno menginginkan pembaharuan dalam Islam,
dengan tulisan tersebut ia menghantam kebekuan dan kekolotan Islam. Hal ini tentunya
tidak didapat hanya dari fikiran Soekarno saja, ia bercermin dari Mustafa Kemal
Attaturk,27
salah seorang tokoh penganut faham Sekularisme.28
Tulisan-tulisan milik
Soekarno itu pun dibantah oleh tokoh-tokoh Islam, diantaranya ialah M. Natsir.
Menurut tokoh-tokoh Islam pada saat itu, Soekarno masih belum mengetahui dengan
jelas mengenai hukum dan hudud dalam Islam.29
Hal ini dikarenakan Soekarno
mendapatkan pengetahuan tentang Islam dari sumber yang tidak dapat dipertanggung
jawabkan, yakni sumber dari penulis yang non-muslim, yang ditulis dari Bahasa
Belanda, Inggris, Jerman, Perancis, dan Bahasa barat lainnya.30
Tidak hanya melalui tulisan, Perdebatan persoalan negara ini juga dilakukan secara
langsung pada saat persiapan kemerdekaan Indonesia. Yakni ketika Jepang mulai
melakukan Intervensi dengan dalih membantu kemerdekaan Indonesia.31 Pihak Jepang
membuat sebuah Institusi bernama BPUPK yang diketuai oleh Radjiman
Wedyodiningrat pada 29 April 1945.32 Keanggotaan BPUPK terdiri dari 62 orang33
26
M. Natsir, OpCit p. 429. 27
Mustafa Kemal Attaturk merupakan peletak dasar Sekularisme di Turki, Ia merupakan tokoh
yang memutuskan Turki dengan sejarahnya, yang mana agenda pertamanya ialah mengapuskan sistem
kekhalifahan di Turki pada saat itu. Lihat Arfan Mu‘ammar, M, Majukah Islam Dengan Menjadi
Sekular? , Kasus Turki (Ponorogo: Centre for Islamic and Occidental Studies). 28
Sekularisme berarti menolak nilai-nilai spiritual. sekularisme berasal dari kata saeculum yang
menunjukkan konotasi makna masa dan tempat. masa menunjukkan saat ini dan tempat menunjukkan
dunia. adapun sekularisasi merupakan proses penduniaan atau proses untuk menuju sekuler
perpindahan dari kesakralan menuju kesekuleran. Harvey Cox, berpendapat bahwa selularisasi
merupakan pembebasan manusia dari proteksi agama dan metafisika. Sedangkan Nurcholis Madjid
memaknai sekularisasi sebagai menduniakan hal yang bersifat duniawi dan meng-ukhrawikan yang
bersifat ukhrawi. Lihat, Webster Comprehensive International Dictionary of the English Language.
(Chicago, Il: American International Press, 1995). Lihat juga, Harvey Cox, The Secular City (New
York: The Macmill an Company, 1967)., Syed Mohammad Naquib Al Attas, Islam and Secularism
(Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Islamic Ciilization (ISTAC), 1993).,
Nurcholis Madjid, Islam, Kemodernan, Dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1993). 29
M. Natsir, OpCit, p. 429. 30
Ibid. 31
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila sebagai dasar negara: studi tentang perdebatan
dalam konstituante, Ed. rev (Jakarta: LP3ES, 2006), p. 98. 32
Faisal Ismail, Panorama Sejarah Islam Dan Politik Indonesia (Yogyakarta: IRCiSoD, 2017),
p. 30.
9
termasuk ketua dan wakilnya dan dilantik pada tanggal 28 Mei 1945 oleh Komandan
militer jepang. Selama berdirinya, BPUPK telah melaksanakan sidangnya sebanyak 2
kali.34 Sidang pertama dilaksanakan selama 4 hari, yaitu pada tanggal 29 Mei 1945
sampai tanggal 1 Juni 1945. Ketika membuka sidang pertama, Radjiman
mengemukakan sebuah pertanyaan, ―Negara Indonesia yang akan kita bangun itu, apa
dasarnya?”.35 Kemudian pada tanggal 1 Juni, Soekarno menyampaikan pidatonya
mengenai dasar negara yang kemudian usulan mengenai dasar negara itu ia namakan
Pancasila.36 Hingga saat ini, pidato Soekarno mengenai Pancasila tersebut diperingati
sebagai hari lahirnya Pancasila37. Diakhir persidangan pertama, ketua BPUPK
membentuk Panitia Kecil yang berjumlah delapan orang.38 Panitia Kecil ini terdiri dari
enam orang dari perwakilan golongan Nasionalis Sekuler39 dan dua orang golongan
Nasionalis Islam40.41 Pada akhir pertemuan Panitia Kecil, Soekarno membentuk Panitia
Kecil lain yang tidak resmi berjumlah sembilan orang anggota42. Panitia yang dibuat
33
Untuk keanggotaan BPUPK dapat dilihat di Pandji Setijo, Pendidikan Pancasila: Perspektif
Sejarah Perjuangan Bangsa, 4th edn (Jakarta: PT Grasindo, 2016), p. 43., lihat juga Kaelan, Negara
Kebangsaan Pancasila: Kultural, Historis, Filosofis, Yuridis Dan Aktualisasinya, 1st edn (Yogyakarta:
Paradigma, 2013). 34
Irfan S. Awwas, Trilogi Kepemimpinan Negara Islam Indonesia: Menguak Perjuangan Umat
Islam Dan Pengkhianatan Kaum Nasionalis-Sekuler (Yogyakarta: Uswah, 2008), p. 121. 35
Hamka Haq Al-Badry, Pancasila 1 Juni & Syariat Islam, Cet. 1 (Jakarta: RM Books, 2011), p.
32. 36
Pancasila berasal dari bahasa Sanskerta yaitu panca yang berarti lima, dan sila yang berarti
asas. Jadi Pancasila adalah lima asas. Istilah Pancasila dapat ditemukan dalam kitab Negarakertagama
yang ditulis oleh Mpu Prapanca Lihat: Kaelan, OpCit p. 11. 37
Terdapat perdebatan mengenai hari lahir Pancasila ini, perdebatan tersebut mengenai pencipta
dan pencetus pertama dari isi yang terkandung didalam Pancasila. Salah seorang sarjana Belanda
mengatakan bahwa berdasarkan pidato M. Yamin pada 29 Mei, pencetus asli Pancasila ialah M.
Yamin, bukan Soekarno.Muhmmad Hatta, berpendapat sebaliknya, bahkan ia mengemukakan bahwa
yang mengusulkan mengenai Pancasila juga adalah Soekarno. Lihat: Ismail, Panorama Sejarah
Islam…. p. 32–39. 38
Yudi Latif, Negara Paripurna, Historitas, Rasionalitas, Dan Aktualitas Pancasila, 4th edn
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012), p. 21. 39
Nasionalis Sekuler diwakili oleh Soekarno, M. Hatta, M. Yamin, A. Maramis, M. Sutarjo
Kartohadikoesoemo, dan Otto Iskandardinata. 40
Nasionalis Islam diwakili oleh Ki Bagoes Hadikoesoemo dan K.H. Wachid Hasyim. 41
Latif, Negara Paripurna, Historitas, Rasionalitas, Dan Aktualitas Pancasila, p. 21. 42
Panitia Kecil ini beranggotakan Soekarno, Muhammad Hatta, AA Maramis, Abikusno
Tjokrosurojo, Abdul Kahar Muzakkir, Haji Agus Salim, Ahmad subardjo, KHA Wahid hassjim, dan
10
oleh Soekarno ini kemudian dikenal dengan nama Panitia Sembilan.43 Komposisi
Panitia Sembilan ini lebih seimbang jika dibandingkan dengan Panitia Delapan. Jika
pada Panitia Delapan hanya terdapat dua orang perwakilan golongan nasionalis Islam,
pada Panitia Sembilan terdapat empat orang dari perwakilan nasionalis Islam, ditambah
empat orang perwakilan nasionalis Sekuler dan Soekarno selaku ketua dan penengah.
Setelah melalui perdebatan yang panjang, Panitia Sembilan pada akhirnya menyepakati
sebuah rancangan Pembukaan UUD44 yang didalamnya terdapat dasar negara
Indonesia, Pancasila. Rancangan ini ditandatangani oleh setiap anggota panitia
Sembilan pada 22 juni. Kesepakatan mengenai Rancangan Pembukaan UUD ini
kemudian dinamai ―Mukaddimah‖ oleh Soekarno, sedangkan oleh M. Yamin dinamai
dengan ―Piagam Jakarta‖ dan oleh Sukirman Wirjosandjojo sebagai ―Gentleman‟s
Agreement”.45
Setelah rancangan Pembukaan UUD 1945 disepakati, perdebatan mengenai dasar
negara kembali berlangsung pada sidang kedua. Pada permulaan sidang kedua, tanggal
10 Juli 1945, ditambahkan 6 orang46 anggota baru, sehingga anggota sidang BPUPK
menjadi 68 orang. Saat sidang pertama dimulai, Kalimat ―…dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemulknya‖ pada sila ketuhanan mendapatkan
respon negatif dan keberatan, khususnya oleh kelompok Kristen.47 Pada tanggal 11 Juli
1945, Latuharhary, seorang Protestan yang juga menjadi salah seorang anggota
Muhammad Yamin. Lihat: Hasan Muari Ambar, Suplemen Ensiklopedia (PT Mandiri Abadi, 2000), p.
146. 43
Latif, Negara Paripurna, Historitas, Rasionalitas, Dan Aktualitas Pancasila, p. 23. 44
Isi dari Rancangan Pembukaan UUD 1945 dapat dilihat pada, Hazairin, Demokrasi Pancasila
(Jakarta: PT Rineka Cipta, 1990), VI, p. 141. 45
Latif, Negara Paripurna, Historitas, Rasionalitas, Dan Aktualitas Pancasila, p. 24. 46
6 Orang tersebut ialah: Abdul Fatah Hasan, Asikin Natanegara, Sujohamidjojo, Mohammad
Noor, Mohammad Besar, dan Abdul Kaffar lihat; Panji Setijo OpCit, p. 43. Lihat juga,Kaelan, OpCit
p. 28. 47
Latif, Negara Paripurna, Historitas, Rasionalitas, Dan Aktualitas Pancasila, p. 62.
11
BPUPK mengungkapkan keberatannya, ia mengungkapkan bahwa anak kalimat pada
kata ketuhanan akan menimbulkan kesulitan ketika berhadapan dengan hukum adat.48
Bagi golongan nasionalis Islam, tujuh kata tersebut merupakan hal yang penting,
karena hal itu menandai bahwa Islam yang sejak zaman kolonial selalu dipinggirkan
dan didiskriminasi oleh pihak kolonial akan mendapatkan tempat yang layak didalam
negara Indonesia.49 Sementara itu, golongan nasionalis sekuler menganggap
penambahan tujuh kata tersebut justru akan membuat bangsa Indonesia menjadi tidak
netral. Menanggapi hal tersebut, Haji Agus Salim menyatakan bahwa ada atau tidaknya
negara Indonesia merdeka, umat Islam tetap wajib melaksanakan Syariat Islam,
biarpun tidak ada hukum dasar Indonesia, adalah hak umat Islam untuk menjalankan
syariat agama yang dipegangnya.50 Hingga akhirnya Soekarno meminta agar
Latuharhary menerima preambule yang sebelumnya sudah didiskusikan oleh kedua
golongan dengan susah payah. Akhirnya Seluruh anggota BPUPK bersepakat bahwa
negara Indonesia akan berdasarkan kepada Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Sehari setelah diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945,
rancangan Pembukaan UUD 1945 yang didalamya terdapat dasar negara Indonesia,
serta pasal-pasal yang sudah disepakati sebelumnya kembali dipersoalkan pada sidang
PPKI. Berbeda dengan BPUPK, PPKI memiliki tugas untuk menyusun dan
menetapkan UUD.51 Keanggotaan yang berada didalamnya pun berbeda, jika pada
BPUPK keanggotaannya berdasarkan ideologi dan golongan, pada persidangan PPKI
keanggotaannya didasarkan kepada kedaerahan.52 Hal ini membuat golongan Islam
yang mempertahankan tujuh kata pada sidang BPUPK berkurang. Pada sidang PPKI
48
Mohammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 (Bandung: Yayasan
Prapanca, 1959), p. 259. 49
Latif, Negara Paripurna, Historitas, Rasionalitas, Dan Aktualitas Pancasila, p. 24. 50
Adian Husaini, Pancasila Bukan Untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam:
Kesalahpahaman Dan Penyalahpahaman Terhadap Pancasila, 1945-2009, Cet. 1 (Jakarta: Gema
Insani, 2009), p. 40. 51
Latif, Negara Paripurna, Historitas, Rasionalitas, Dan Aktualitas Pancasila, p. 78. 52
Latif, Negara Paripurna, Historitas, Rasionalitas, Dan Aktualitas Pancasila, p. 34.
12
yang berjumlah 21 orang, perwakilan dari golongan Islam hanya berjumlah 2 orang,
yakni Ki Bagoes Hadikoesoemo dari perwakilan Muhammadiyah, dan K.H. Wachid
Hasyim dari perwakilan NU. Melihat hal ini, Soekarno pun menambahkan enam orang
anggota pada kepanitiaan PPKI. Dari keenam orang tersebut, dua orang53 diantaranya
dianggap bisa mewakilkan suara Islam, sehingga golongan Islam pada sidang tersebut
berjumlah 4 orang.54 Meskipun demikian, ketika sidang pada tanggal 18 Agustus itu
berlangsung, hanya Ki Bagoes Hadikoesoemo dan Teuku Hasan yang dapat mengikuti
sidang.55
Sebelum sidang berlangsung, Hatta mengaku pada sore hari seusai proklamasi
kemerdekaan ia mendapat sebuah pesan dari golongan Katolik dan Protestan, yang
disampaikan oleh angkatan laut Jepang. Dalam pesan tersebut, terdapat penolakan
terhadap tujuh kata pada sila pertama, dan jika kalimat tersebut tetap dipertahankan,
maka mereka lebih suka berdiri diluar republik Indonesia.56 Karena hal tersebut, Hatta
pada akhirnya mendekati tokoh Islam sebelum persidangan pada tanggal 18 Agustus
dimulai. Hatta mencoba melobby tokoh Islam yang ada agar bersedia mengganti
kalimat ―Dengan Kewajiban Menjalankan Syari‘at Islam Bagi Pemeluk-Pemeluknya‖
menjadi ―Yang Maha Esa‖ demi menjaga kesatuan Bangsa.57 Atas usul tersebut, Teuku
Hasan menyambutnya secara positif, namun Ki Bagoes menolak. Akhirnya Hatta
meminta bantuan dari Kasman untuk dapat menerima hal tersebut, Ki Bagoes pun pada
akhirnya menerima perubahan pada anak kalimat yang telah disepakati sebelumnya.58
53
Dua orang tambahan yang mewakili Islam tersebut ialah Kasman Singodimedjo dan Teuku
Hasan. Meskipun Teuku hasan tidak mewakili golongan Islam, ia dianggap memiliki kedekatan
dengan dengan Islam karna berasal dari Aceh, Lihat, Latif, Negara Paripurna, Historitas,
Rasionalitas, Dan Aktualitas Pancasila, p. 35. 54
Lukman Hakiem, Jejak Perjuangan Para Tokoh Muslim Mengawal NKRI (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2018), p. 48. 55
Pada saat sidang PPKI, K.H Wachid Hasyim tidak datang, karna sedang berada dalam
perjalanan dari Jawa Timur, sedangkan Kasman baru menerima undangan pagi itu, sehingga belum
siap berurusan dengan hal itu. Lihat, Latif, Negara Paripurna, Historitas, Rasionalitas, Dan Aktualitas
Pancasila, p. 36. 56
Awwas, OpCit p. 142. 57
Latif, Negara Paripurna, Historitas, Rasionalitas, Dan Aktualitas Pancasila, p. 83. 58
Awwas, OpCit p. 144.
13
Ketika sidang dimulai, hanya dalam waktu 15 menit, sebuah kesepakatan yang
sebelumnya diperdebatkan selama berhari-hari akhirnya berubah.59 Sila pertama yang
pada awalnya ―Ketuhanan, Dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam Bagi
Pemeluk-Pemeluknya‖ berubah menjadi ―Ketuhanan Yang Maha Esa‖. Perubahan ini
juga akhirnya berdampak pada pasal 6 dan 29 yang saat ini berbunyi ―Presiden ialah
orang Indonesia asli‖ dan ―Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa‖. Tidak
hanya itu, kata mukadimah yang sebelumnya menjadi kata pembuka UUD, berubah
menjadi Pembukaan.60 Terdapat dua kemungkinan mengapa golongan Islam yang
diwakili oleh Ki Bagoes dan Teuku Hasan menerima perubahan tersebut. Yang
pertama ialah, perubahan kalimat menjadi ―Yang Maha Esa‖ merupakan sebuah
langkah simbolik untuk menunjukkan unsur monoteistik Islam kepada ideology
negara.61 Dalam hal ini, K.H. Wachid Hasyim cukup yakin bahwa kalimat ―Yang Maha
Esa‖ merupakan cerminan dari prinsip Tauhid dalam islam.62 Yang kedua ialah
persoalan situasi, yang mana pada saat itu Indonesia masih berada dalam keadaan yang
terjepit.63 Sehingga membuat golongan nasionalis Islam pada akhirnya dapat menerima
gagasan Hatta tersebut. Besarnya toleransi umat Islam dalam perumusan Pancasila,
dapat menjadi cerminan kesatuan yang saling menghargai dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara.64
E. Problematika Tafsir Pancasila
Pancasila tidak menghendaki perwujudan negara agama, yang hanya
merepresentasikan satu agama saja. hal yang demikian menurut Yudi Latif
dikhawatirkan akan mematikan pluralitas kebangsaan dan menjadikan pengikut agama
59
Artawijaya, Belajar Dari Partai Masjumi (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014), p. 46. Lihat,
Ismail, p. 66. Lihat juga, Endang Saifudin Anshari, Piagam Jakarta, 22 Juni 1945, Sebuah
KonsensusNasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (Jakarta: Gema Insani, 1997). 60
Faisal Ismail, OpCit p. 64. Lihat juga, Yamin, p. 40–410. 61
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: transformasi pemikiran dan praktik politik Islam di
Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1998), p. 91. 62
Bahtiar Effendy, OpCit p. 91. Lihat juga, Daeliar noer, Partai Islam Dalam Pentas Nasional
1945-1965 (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti), p. 41. 63
Bahtiar Effendy, OpCit p. 91. 64
Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, OpCit p. 8.
14
lain sebagai warga kelas dua.65 Meskipun demikian, bukan berarti agama tidak
memiliki kedudukan di dalam negara Indonesia.
Problem dalam menafsirkan Pancasila yang sering menjadi perdebatan ialah pada
sila pertama. Kebanyakan tokoh menganggap sila Ketuhanan tidaklah mendefinisikan
Tuhan pada suatu agama, sehingga membuat tafsir Tuhan pada sila pertama menjadi
bermacam-macam. Soekarno, Pada pidatonya tanggal 1 Juni 1945, ia memberikan
pandangan mengenai ketuhanan sebagai ketuhanan yang berkebudayaan, yang saling
hormat-menghormati satu dengan yang lainnya, tidak hanya itu, pada pidatonya ia juga
menganjurkan seluruh rakyat Indonesia untuk ber-Tuhan. Namun sayangnya, Soekarno
tidak pernah mengatakan bahwa Tuhan pada sila pertama itu merupakan Tuhan pada
suatu agama. Sehingga membuat tafsir mengenai sila prtama ini bermacam-macam.
Yudi Latif, dalam memaknai sila pertama hanya sebagai kepercayaan kepada
Tuhan yang ―bebas‖, bukan Tuhan pada suatu agama tertentu. Sehingga, dalam
pandangannya mengenai sila pertama, Pancasila dapat menerima bentuk atheisme
dalam negara Indonesia. Ketuhanan pada Pancasila, menurutnya berarti boleh saja
seseorang yang tidak memeluk agama secara formal (agnostic bahkan atheis) dapat
hidup di Indonesia selama menghormati nilai-nilai ketuhanan dan tidak menolak atau
membenci agama.66
Dalam kehidupan bernegara, hal ini bisa saja dibenarkan, demi menjaga keutuhan
negara yang plural untuk saling mneghormati, namun jika diterapkan dalam kehidupan
individu, pemahaman yang demikian pada akhirnya akan memudarkan nilai-nilai
agama. Karena pada akhirnya, hal ini akan membuat seseorang berbuat tanpa
mempedulikan agama dan bukan tuntunan agama. Asalkan percaya Tuhan itu ada,
maka dianggap sudah beragama, cukup menjadi orang baik, tanpa menjadi pemeluk
65
Latif, Negara Paripurna, Historitas, Rasionalitas, Dan Aktualitas Pancasila, p. 111. 66
Lihat, Latif, Negara Paripurna, Historitas, Rasionalitas, Dan Aktualitas Pancasila, p. 112.
Lihat juga, Yudi Latif, Mata Air Keteladanan, Pancasila Dalam Perbuatan (Jakarta: Mizan, 2014), p.
32.
15
agama tertentu.67 Pemahaman yang demiikian pada akhirnya akan membawa kepada
pemahaman yang sekular. Karena Sekularisme bukan hanya ideologi politik yang
memisahkan agama dengan negara, melainkan juga pemikiran yang hanya bersifat
keduniawian, yakni melakukan suatu perbuatan bukan karena bersandarkan kepada
Tuhan atau agama, melainkan sesuai kehendak pribadi dan untuk kepentingan dunia
saja. Masalahnya, pada persidangan pembentukan Pancasila tidak pernah ada definisi
mutlak mengenai sila ini, hingga tak jarang ada yang mengartikan ketuhanan sebagai
Tuhan negara, Tuhan yang merupakan gabungan dari agama-agama dan kepercayaan
yang ada di Indonesia, bukan Tuhan pada suatu agama.
Bagi warga Indonesia, persoalan beragama dan berbuat sebagaimana aturan agama,
seharusnya menjadi hal pokok dalam memaknai sila pertama, bukan memaknainya
dengan bebas sehingga melakukan suatu perbuatan dengan kehendak sendiri. Karena
sila pertama ini yang menjadikan Pancasila berbeda dengan ideologi yang diterapkan di
negara Barat. Berkaitan dengan permasalahan tafsir atas Pancasila ini, pada pertemuan
Wanhamkamnas 25 Agustus 1976 Prof Hamka pernah mengatakan:68
“Ada yang sebagai orang kecemasan menerangkan bahwa Ketuhanan Yang
Maha Esa yang kita cantumkan dalam UUD ‟45, pasal 29 itu bukanlah Tuhan
yang diajarkan oleh suatu agama. Ada pula yang menafsirkan bahwa
Ketuhanan Yang Maha Esa itu bersumber dari jiwa bangsa Indonesia sendiri,
lama sebelum agama Islam datang ke Indonesia. Tafsir-tafsir yang berbagai
ragam itu kadang-kadang dengan tidak disadari telah menyinggung perasaan
orang yang beragama. Seakan-akan Tuhan sepanjang ajaran agama itu tidak
boleh dicampur aduk dengan Tuhan Kenegaraan.
Hamka beranggapan jika tafsir pada sila pertama berarti Tuhan kenegaraan dan
bukan Tuhan pada suatu agama, hal ini akan menyinggung perasaan orang yang
beragama. Karna Tuhan dan agama memiliki keterkaitan yang kuat, setiap agama
67
James C. Turner, Without God, Without Creed: The Origins of Unbelief in America… dalam
Syamsuddin Arif,Islam dan Diabollisme Intelektual…. p. 66. 68
Saifudin Anshari, OpCit, p. 224.
16
pasti memiliki Tuhan. Jika memang Tuhan yang dimaksud pada sila pertama itu
bukan Tuhan pada suatu agama tertentu, lantas apa gunanya pasal 29 ayat 2, yang
memerintahkan kepada tiap-tiap penduduk untuk beribadah sesuai agamanya.
Padahal beribadah berarti melakukan suatu perbuatan yang diperintah oleh Tuhan.
Berarti, ketika seorang muslim beribadah, maka ibadahnya itu semata-mata karna
Tuhannya, Allah SWT, begitu pula dengan agama Kristen, Hindu, Budha, dan
Kong Fu Tsu, ketika mereka beribadah, mereka akan beribadah sesuai tuntunan
agamanya, sebagaimana yang Tuhan mereka maksudkan, bukan karena Tuhan
negara. Hal inilah yang menurut Hamka akan menyinggung perasaan umat
beragama ketika Tuhan pada sila pertama hanya ditafsirkan sebagai Tuhan
Negara, bukan Tuhan pada suatu sila tertentu.
Sebagai seseorang yang beragama, maka tafsirkanlah Pancasila sesuai dengan
pemahaman agamanya masing-masing. Dan bagi seorang muslim, akan jauh lebih
baik jika memandang dan memaknai Pancasila dengan worldview69
Islam.
Meskipun negara Indonesia bukanlah negara Islam, sebagai seorang muslim
sudah sepatutnya untuk mengaplikasikan ajaran-ajaran Islam dalam
kehidupannya, termasuk dalam memaknai dan mengaplikasikan nilai-nilai dalam
Pancasila. Karna Pemikiran Islam merupakan yang paling relevan dengan
Pancasila.70 Meskipun kaitan tersebut tidak bersifat formal, kaitan Islam dan
Pancasila dapat ditemukan dalam prinsip Keesaan Tuhan, demokrasi, keadilan
sosial, dan kemanusiaan.71
F. Nilai-Nilai Pancasila dalam Islam
Nilai atau dalam Bahasa Inggris value, memiliki makna keberhargaan sesuatu.
Dalam Webster Comprehensive International Dictionary of the English Language, nilai
69
Worldview secara Bahasa berarti pandangan dunia, namun juga dimaknai sebagai pandangan
hidup atau pandangan alam, di Indonesia sitilah worldview juga dikenal dengan makna filsafat hidup,
maupun filosofi. Lihat, Abdul Wahid, ed, Worldview Islam (Ponorogo: Pusat Islamisasi Ilmu, UNIDA
Gontor Press, 2018). 70
C.A.O. Van Nieuwenhuijze, Islam and National Self-Realization in Indonesia (The Hauge:
Monton and Co, 1963), p. 153. Dalam, Bahtiar Effendy, OpCit, p. 27. 71
Nieuwenhuijze, OpCit pp. 185–217.dalam Bahtiar Effendy, OpCit, p. 27.
17
atau Value, diartikan dengan; something regarded as desirable, worthy, or right, as a
belief, standard or precept.72
Dalam Bahasa Arab, nilai diterjemahkan dengan Al-
qīmah, yang berarti harga sesuatu, beserta penilaian atau penaksirannya ―tsamanu al-
syayi bittaqwīm”.73
Menilai merupakan kegiatan manusia untuk menghubungkan suatu
hal atau benda dengan sesuatu yang berada diluar hal tersebut, untuk selanjutnya
diambil sebuah keputusan. Keputusan dalam hal ini berkaitan dengan nilai dari sesuatu
yang dimaksud, yang mana nilai tersebut akan menyatakan tentang berguna atau
tidaknya, benar atau tidak benar, baik atau tidak baik, indah atau tidak indah.74
Dalam
memaknai nilai, terdapat perbedaan atas susunan hierarkinya, tergantung kepada sudut
pandang apa yang digunakan. Kalangan materialis misalnya, mereka memandang bahwa
nilai tertinggi ialah nilai materi, atau kalangan hedonis yang memandang kenikmatan
sebagai nilai tertinggi. Meskipun memiliki perbedaan mengenai hierarkis nilai, pada
hakikatnya semua memiliki satu pandangan bahwa dalam menilai sesuatu, terdapat nilai
tertinggi yang hanya dapat dinikmati oleh si penilai, tergantung pada sudut pandangnya.
Dalam menilai Pancasila, Kaelan berpendapat bahwa dalam setiap sila, Pancasila
memiliki tingkatan dan bobot yang berbeda, namun nilai tersebut tidak bertentangan
satu dengan yang lainnya.75
Dalam pandangannya, susunan Pancasila memiliki sifat
yang hierarkis dan berbentuk pyramidal, yang mana KetuhananYang Maha Esa menjadi
basis daripada keempat sila setelahnya. Jika digambarkan dalam bentuk pyramidal,
hierarkis Pancasila akan tersusun sebagai berikut:
72
Webster Comprehensive International Dictionary of the English Language., p. 1386. 73
Ibn Manzur, Līsan Al-'Arab (Al-Qāhirah: Dar Al-Ma‘arif), p. 3783. 74
Kaelan, OpCit, p. 158. 75
Kaelan, OpCit, p. 164.
Sila ke-1
Sila ke-2
Sila ke-3
Sila ke-4
Sila ke-5
18
Gambar 1. Hierarki Pancasila dan berbentuk piramidal
Dari gambar tersebut, nilai yang termuat dalam Pancasila merupakan suatu hierarki
yang saling mengkualifikasi. Yang mana didalamnya, Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
merupakan tingkatan nilai tertinggi, yang menjadi dasar dari sila lainnya dan menjiwai
sila yang lainnya.
Untuk melihat nilai-nilai Pancasila yang memiliki keterkaitan dengan Islam
perlulah difahami dengan mendalam makna dari setiap kata dan kalimat pada setiap
silanya. Karna setiap kata pada hakikatnya memiliki makna, dan setiap makna
mengandung konsep, dan setiap konsep dihasilkan dari worldview.76
Karena jika
ditelusuri, terdapat kata yang kemudian akan tertuju pada nilai Islam, sehingga untuk
memaknainya akan lebih bijak jika menggunakan worldview Islam.77
Untuk melihat
nilai dan makna ini lebih mendalam, maka akan dijabarkan pada penjelasan dibawah ini:
Pertama, Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, yang mana sila ini memiliki dua kata
kunci, yang apabila dua kata tersebut dihilangkan, maka hilanglah makna dari sila
tersebut. Kedua kata itu ialah ―Ketuhanan‖ dan ―Esa‖, sifat Tuhan dan Tunggal. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata Ketuhanan berasal dari kata Tuhan yang berarti
sesuatu yang diyakini dan dipercaya sebagai sesuatu yang Maha Kuasa, Maha Perkasa
dan lain sebagainya.78 Jika diberi imbuhan kata ke- dan –an, maka kata tuhan memiliki
makna sifat keadaan Tuhan. Kemudian kata esa, dalam Kamus Besar Bahasa Idonesia
76
Hamid Fahmy Zarkasyi, MIsykat; Refleksi Tentang Westernisasi, Liberalisasi, Dan Islam
(Jakarta: Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSIST), 2012), p. xxvii. 77
Untuk melihat penjelasan mengenai worldview islam, dapat dilihat; Abdul Wahid, ed, OpCit
pp. 7–22. 78
‗Arti Kata Tuhan - Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online‘
<https://kbbi.web.id/Tuhan> [accessed 13 November 2018].
19
memiliki makna tunggal atau satu.79 Jadi, Ketuhanan Yang Maha Esa memiliki makna
sifat keadaan Tuhan yang Satu, Tuhan yang maha satu.
Dari segi makna pada sila pertama memiliki makna Tauhid dalam Islam, yakni
Tuhan yang satu, sebagaimana prinsip tauhid menyatakan lāilāha illallāh, tidak ada
tuhan selain Allah, Tuhan hanya satu yaitu Allah. Tauhid merupakan esensi dari agama
Islam. Tanpa tauhid tidak akan ada Islam. Karenanya, prinsip Tauhid merupakan
fondamen dari seluruh kesalehan, religiositas dan seluruh kebaikan.80 Al-Faruqi
berpendapat bahwa pernyataan yang sangat singkat ini (tauhid) memiliki makna yang
paling agung dan paling kaya dalam seluruh khazanah islam, segala macam keragaman,
sejarah, pengetahuan dan kebijaksanaan budaya Islam terangkum dalam kalimat lā ilāha
illallāh.81 Menurutnya, mengakui keberadaan Tuhan yang esa ini merupakan inti
pengalaman keagamaan, kepercayaan terhadap Allah menempati posisi sentral dalam
setiap kedudukan, tindakan, dan pemikiran setiap muslim kapanpun dan dimanapun ia
berada.82
Wachid Hasyim, sebagai salah satu tokoh yang terlibat dalam perumusan hingga
disahkannya Pancasila meyakini bahwa sila tersebut merupakan cerminan dari prinsip
Tauhid dalam Islam.83 Tidak hanya Wachid Hasyim, Hatta, sebagai orang yang paling
bertanggung jawab atas dihapuskannya ―Tujuh Kata‖ pada Piagam Jakarta menegaskan,
bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa itu bukan hanya sebagai dasar untuk saling hormat-
menghormati agama seperti yang dikemukakan oleh Soekarno melainkan dasar yang
memimpin ke jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran dan persaudaraan.84 Tidak
hanya itu, pada bulan Juni dan Agustus 1945, ketika ia mengusulkan sila pertama
dengan ―Ketuhanan Yang Maha Esa‖, Hatta menjelaskan bahwa Tuhan Yang Maha Esa
79
‗Arti Kata Esa - Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online‘ <https://kbbi.web.id/esa> [accessed
13 November 2018]. 80
Isma‘il Raji Al-Faruqi, Tauhid (Bandung: Pustaka, 1982), p. 18. 81
Isma‘il Raji Al-Faruqi, OpCit, p. 9. 82
Isma‘il Raji Al-Faruqi, OpCit p. 1. 83
Deliar Noer, Partai Islam dalam Pentas Nasional, .Dalam Bahtiar Effendy, OpCit, p. 91. 84
Mohammad Hatta, Pengertian Pancasila dalam, Adian Husaini, Mewujudkan Indonesia Adil
Dan Beradab (Jakarta: Bina Qalam Indonesia, 2015), p. 132.
20
itu ialah Allah, ia berharap pada sila pertama Allah dengan Nur-nya dapat menyinari
keempat sila lainnya.85 Hamka juga memberikan pandangannya mengenai Tuhan pada
sila pertama. Pada penjelasannya, ia mengungkapkan bahwa Pembukaan UUD 1945,
yang memiliki keterkaitan dengan Pancasila, sebenarnya sudah menggambarkan tentang
siapa Tuhan yang dimaksud pada sila pertama. Menurutnya, pada alenia ke tiga
pembukaan UUD 1945, yang menyebutkan ―dengan rahmat Allah Yang Maha
Kuasa…‖ kata Allah tersebut merupakan Tuhan yang dimaksud pada sila pertama.86
Karena Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 merupakan dua hal yang berhubungan,
maka Tuhan yang dimaksud pada sila pertama itu tidak mungkin bertentangan dengan
apa yang tercantum pada alenia ketiga Pembukaan UUD 1945, yaitu ―Allah Yang Maha
Kuasa‖.
Di Indonesia, istilah Allah sebagai nama Tuhan sangat identik dengan konsep
ketuhanan Islam, karna hanya umat Islam yang selalu dengan tegas menyebutkan nama
Tuhannya dengan lafal Allah.87 Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, sila
Ketuhanan Yang Maha Esa menjiwai sila yang lainnya dan memiliki nilai yang
tertinggi, maka tidaklah Pancasilais seseorang sebelum menerapkan prinsip ketuhanan
yang benar dalam kehidupan bernegaranya.
Kedua, Adil dan Adab, kedua kata ini merupakan dua kata yang tidak dipisahkan
pada sila kemanusiaan. Berdeda dengan sila pertama, kesepakatan mengenai sila kedua
ini tidak berubah sejak Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945. Sila kemanusiaan
yang diusulkan oleh Soekarno, dilengkapi oleh para anggota sidang yang didalamnya
terdapat empat orang golongan nasionalis Islam dengan kata Adab dan Adil. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, kemanusiaan berarti ―sifat-sifat manusia‖ atau ―sebagai
manusia‖88
, sedangkan adil berarti ―berpihak kepada yang benar‖ atau ―berpegang pada
kebenaran‖, kemudian beradab memiliki arti ―berbudi pekerti yang baik‖. Dari segi
85
Husaini, Pancasila Bukan Untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam, p. 151. 86
Husaini, Mewujudkan Indonesia Adil Dan Beradab, p. 138. 87
Husaini, Pancasila Bukan Untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam, p. 179. 88
‗Arti Kata Manusia - Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online
<https://kbbi.web.id/manusia> [accessed 21 November 2018].
21
Bahasa Indonesia maka kemanusiaan yang adil dan beradab dapat dimaknai ―sebagai
manusia, maka hendaknya berpegang teguh pada kebenaran dan memiliki budi yang
baik‖.
Pada sila kedua ini, kata hubung yang digunakan ialah ―dan‖, bukan ―atau‖ dan
bukan pula kata penghubung lainnya. Hal ini dikarenakan kata Adil dan Adab,
meskipun memiliki arti yang berbeda, namun keduanya tidak dapat dipisahkan
Karenanya Al-Attas mengungkapkan “Loss of Adab implies loss of justice”, hilangnya
adab berakibat pada hilangnya keadilan atau dengan kata lain, keadilan tidak dapat hadir
jika tidak ada adab. Menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Adab merupakan suatu
perbuatan yang benar, yang berasaskan dari ilmu dan bersumber dari hikmah.89
Lebih
jelasnya dapat difahami penjelasan Al-Attas berikut:90
“Penjelmaan Adab dalam diri-diri persendian yang membentuk masyarakat
sebagai suatu kumpulan membayangkan keadaan keadilan; dan keadilan itu
sediri adalah suatu yang menayangkan hikmah, yang merupakan cahaya nan
terbit dari lampu nubuwwat, yang membolehkan si penerimanya mendapat
tahu letaknya tempat yang betul dan wajar bagi suatu benda atau kewujudan
makhluk. Keadaan berada pada tempat yang wajar itulh keadilan, dan adab
itu perbuatan yang disadari yang dengannya kita menjelmakan keadaan
berada pada tempat yang wajar. Jadi adab, dalam pengertian yang dita‟rifkan
disini adalah juga suatu pancaran hikmah. Dan berkenaan dengan
masyarakat, adab itu peraturan adil yang terdapat didalamnya. Dita‟rifkan
dengan ringkas, adab itu tampaknya keadilan sebagaimana ia dipancarkan
oleh hikmah”
Kemanusiaan tidak bisa tercapai apabila belum memiliki sifat yang beradab, dan
dari manusia yang beradab, akan melahirkan sikap manusia yang adil. Dan Yang perlu
difahami kembali ialah, prinsip Kemanusiaan tidak bisa terlepaskan dari prinsip
Ketuhanan, karena kesatuan nilai-nilai Pancasila yang saling mengkualifikasi satu
89
Al-Attas, Himpunan Risalah, p. 382. 90
Al-Attas, Himpunan Risalah, p. 383.
22
dengan yang lainnya dan berbentuk hierarkis pyramidal. Dengan kata lain, sila
kemanusiaan tidak akan dapat terlaksana dengan sempurna, tanpa
mengimplementasikan nilai ketuhanan terlebih dahulu. Karena sila kedua dijiwai oleh
sila pertama, maka kemanusiaan tanpa dasar ketuhanan tidaklah Pancasilais, dan
kalaupun sila ini tetap dipaksakan berjalan tanpa diiringi nilai ketuhanan maka tidak
akan berjalan sebagaimana mestinya.
Ketiga, Persatuan Indonesia, pada prinsipnya sila ini merupakan penegasan bahwa
negara Indonesia yang terdiri atas 34 provinsi dan 84.190 wilayah yang tersebar di 511
kabupaten-kota dengan 16.056 Pulau91 yang terbentang dari sabang hingga merauke
merupakan suatu kesatuan. Dari ribuan pulau dan willayah tersebut, terdapat berbagai
macam etnis, suku bangsa, adat-istiadat, Bahasa dan lain sebagainya. Dengan
kemajemukan bangsa Indonesia ini, maka diperlukan suatu pengikat, dibawah ikatan
Pancasila dan konstiutsi UUD 1945, diharapkan rakyat Indonesia akan benar-benar ber-
Bhineka Tunggal Ika.
Pancasila merupakan suatu kesepakatan antara golongan nasionalis Islam dan
Sekuler, yang mana didalamnya juga terdapat perwakilan dari kalangan non muslim.
Kesepakatan tersebut, menjadi tanggug jawab seluruh elemen dalam masyarakat
Indonesia untuk menghargai dan mengimlementasikannya dalam kehidupan bernegara.
Jauh sebelum Pancasila hadir, Rasulullah SAW pernah beberapa kali dalam hidupnya
melakukan kesepakatan serupa untuk mengatur kehidupan bersama antara kaum
muslimin dan kaum lainnya, salah satunya ialah Piagam Madinah. Piagam Madinah
merupakan Piagam tertulis pertama dalam sejarah umat manusia92
, yang mana
didalamnya terdapat kesepakatan antara kaum muslimin dan kaum lainnya di
Madinah93
. Ditetapkannya Piagam politik tersebut merupakan salah satu kompromi
91
Subdirektorat Publikasi dan Kompilasi Statistik. 92
Ahmad Sukardja, Piagam Madinah Dan Undang-Undang Dasar NRI 1945, Kajian
Perbandingan Tentang Dasar Hidup Bersama Dalam Masyarakat Yang Majemuk (Jakarta: Sinar
Grafika, 2014), p. vi. 93
Ada tiga belas kelompok yang megikatkan diri pada Piagam Madinah, yaitu Kaum muslimin
Muhajirin dari suku Quraisy Mekah, Kaum Muslimin dari Yastrib, Kaum Yahudi dai Bani Auf, Kaum
Yahudi dari Bani Sa‘idah, Kaum Yahudi dari Bani al-Hars, Bani Jusyam, Kaum Yahudi dari Bani al-
23
yang dimaksudkan untuk membina kesatuan hidup antara umat muslim dengan berbagai
golongan warga Madinah.94
Dalam pasal 25 Piagam Madinah disebutkan, ―Bagi Umat
Yahudi agama mereka, dan bagi umat Islam agama mereka‖, maka dalam hal ini, kedua
golongan diberikan kebebasan dalam beragama dan menjalankan agama sesuai tuntunan
agamanya masing-masing. Tidak hanya itu, dalam Pasal 24, 37, dan 38 juga
mencantumkan kewajiban bersama semua golongan untuk bersama-sama melawan
terhadap pihak yang menyerang Madinah.
Dalam Islam, umat non-Islam yang berada dalam naungan negara Islam disebut Ahl
Al-Dhimmah. Semua hal yang berkaitan dengan hak Ahl Al-Dimmah dijamin oleh
negara, hak untuk tinggal, menjalankan ibadah sesuai agamanya, merayakan hari besar
keagamaannya, hak untuk mempertahankan keberlangsunagn agamanya dan hak untuk
mengadakan peradilan sesuai dengan agamanya semua dijamin bahkan dilindungi oleh
negara.95
Namun demikian, bukan berarti Ahl Al-Dhimmi dapat melakukan apa saja
dengan bebas. Ahl Al-Dhimmi juga harus menghargai aturan yang berlaku pada negara
dan umat lain yang berada disana, dan dalam menjalankan hak-haknya itu, haruslah
melihat etis atau tidaknya perbuatan mereka yang menyangkut kemashlahatan bersama.
Misalnya makan dan minum ditempat terbuka saat bulan Ramadhan, atau menjual dan
meminum khamr secara terang-terangan.96
Dari penjelasan diatas, dapat difahami bahwa Islam sangat memperhatikan
persoalan persatuan. Tidak hanya persatuan antar sesama Islam, melainkan juga
persatuan dengan umat non muslim. Sebagai seorang muslim, perlu kembali memahami
persatuan dalam kehidupan bernegara dalam pandangan Islam, sebagaimana yang
dilakukan Rasulullah SAW dalam menyatukan kota madinah dengan kesepakatan yang
disebut Piagam Madinah. Dalam negara Indonesia, kesepakatan serupa telah dilakukan
dalam proses pembentukan dasar negara, Pancasila dan UUD ‘45. Antara Piagam
Najjar, Kaum Yahudi dari Bani‘Amr ibn Auf, Bani al-Nabit, Bani Al-Aus, Kaum Yahudi dari Bani
Sa‘labah, Suku Jafnah dari Bani Sa‘labah dan Bani Syuthaybah. Lihat Sukardja. 94
Ahmad Sukardja, OpCit, p. 3. 95
Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, Tinjauan Kritis (Jakarta: Gema Insani, 2005), pp.
255–57. 96
Anis Malik Thoha, OpCit, p. 258.
24
Madinah, Pancasila, dan UUD 1945 yang perlu diperhatikan ialah sifatnya yang islami.
Yang mana merupakan sebuah kesepakan antara umat Muslim dan non-muslim di suatu
negara, untuk menjaga kedamaian dan keberlangsungan hidup dalam negara. Yang
mana seharusnya tidak ada pelanggaran atasnya, namun bukan berarti menyamaratakan
semuaya. Dan yang perlu diperhatikan kembali ialah persatuan Indonesia tidak akan
tercapai dengan sempurna sebelum terlaksananya sila pertama dan sila kedua, karna
kedua sila ini menjiwai sila Persatuan. Dari manusia yang mendasarkan perbuatannya
karna Tuhan Yang Maha Esa (Beriman) maka akan melahirkan manusia yang adil dan
beradab, ketika telah beriman, adil, dan beradab, maka Persatuan di negara Indonesia
akan dapat tercapai.
Keempat, Kerakyatan Yang dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan. Pada prinsipnya, sila keempat ini merupakan nilai
daripada prinsip demokrasi, yaitu demokrasi yang memiliki ciri khas bangsa Indonesia,
demokrasi dalam Musyawarah. Permusyawaratan adalah suatu tata cara khas
kepribadian Indonesia untuk merumuskan atau memutuskan suatu hal berdasarkan
kehendak rakyat untuk mencapai mufakat.97
Seperti pepatah Minangkabau
mengatakan; “Bulek aei dek pembuluah, bulek kato dek mufakat” (Bulat air karena
pembuluh/bamboo, bulat kata karena mufakat).98
Maka dengan bermusyawarah, akan
mengatasi arogansi perorangan, dan dengan kerakyatan, maka semua warga memiliki
kedudukan yang sama dalam pandangan Tuhan sebagai makhluk dan dimata hukum
dalam pemerintahan.
Dari segi Bahasa, Musyawarah berasal dari bahasa Arab yaitu syawara yusyawiru
yang berarti menampakkan dan menawarkan atau mengambil sesuatu. Kata
Musyawarah juga merupakan sinonim dari kata syura, yang berarti dirundingkan,
permusyawaratan, bermusyawarah atau berkonsultasi. Secara etimologi, Musyawarah
mempunyai arti nasihat, konsultasi, perundingan, pikiran, atau konsideran
97
Latif, Negara Paripurna, Historitas, Rasionalitas, Dan Aktualitas Pancasila, p. 387. 98
Latif, Negara Paripurna, Historitas, Rasionalitas, Dan Aktualitas Pancasila, p. 388.
25
permufakatan.99
Sedangkan secara teminologis berarti majlis yang dibentuk untuk
mendengarkan saran dan ide, bagaimana mestinya dan terorganisasir dalam urusan
negara.100
Islam yang berdasarkan kepada Al-Qur‘an dan Hadits telah mengatur segala aspek
dalam kehidupan termasuk dalam bermusyawarah.101
Musyawarah tidak hanya
berpegang pada prinsip kebebasan berpendapat untuk mencapai mufakat. Yang lebih
utama adalah berpegang pada prinsip dasarnya yaitu, ―Ketuhanan Yang Maha Esa‖.
Setelah kembali kepada prinsip dasarnya, maka tidak pula melupakan prinsip setelahnya
yaitu, ―Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab‖ serta ―Persatuan Indonesia‖ sebagaimana
tercantum dalam pembukaan UUD 1945, “…berkedaulatan rakyat dengan berdasar
kepada...Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan
Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan...”, dan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, sila
keempat ini dijiwai oleh sila pertama, kedua, dan ketiga. Maka jika dalam melaksanakan
sila keempat tanpa dibarengi dengan sila sebelumnya, sila ini tidak akan dapat terlaksana
sebagaimana mestinya.
Kelima, Keadilan Sosial, ketika sila kelima ini diajukan oleh Soekarno, besar
harapannya untuk menyejahterakan rakyat dalam kehidupan kenegaraan, dan dalam
mewujudkan hal ini, kapitalis adalah tantangan terbesar dalam mewujudkannya.102
Berbeda dengan sila-sila sebelumnya yang merupakan dasar berprilaku dalam negara,
sila kelima merupakan tujuan dari negara Indonesia. Sebagaimana dikatakan oleh
Kaelan, “…tujuan negara yang dirumusakan dalam filsafat negara, baik hukum formal
maupun material mendasarkan kepada sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia”.103
Tidak hanya itu, dalam pembukaan UUD 1945 alenia ke empat juga
disebutkan, ―…Untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
99
Manzur. līsan Al-„Arab OpCIt 100
Lihat, Manzur. līsan Al-„Arab OpCIt 101
Sebagai Contoh, Lihat Q.S. Al-Baqarah: 233, Ali-Imran:159, Asy-Syura: 38. 102
Kaelan, p. 382. 103
Kaelan, p. 388.
26
Sesuai dengan sila-sila sebelumnya, tidak hanya menjadikan manusia yang
berketuhanan, adil, dan beradab, namun juga perlu memperhatikan kesejahteraan seluruh
rakyat Indonesia. Tidak hanya itu, dalam pembukaan UUD 1945 juga dikatakan bahwa
negara juga bermaksud untuk “…memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan
kehidupan bangsa”. Dan untuk mencapai cita-cita tersebut, maka empat sila sebelumnya
yang merupakan landasan dalam berprilaku perlulah dilaksanakan. Atau dengan kata
lain, untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan juga
untuk memberikan keadilan yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia, maka perlulah
setiap individu untuk bertuhan dengan benar dan menyandarkan segala prilakunya sesuai
dengan perintah Tuhan yang Esa, agar dapat menjadi manusia yang adil dan beradab,
bersatu untuk Indonesia, serta mendasarkannya kepada kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat dalam musyawarah.
G. Kesimpulan
Indonesia yang memiliki keragaman dalam masyarakatnya memiliki Pancasila
sebagai landasan dalam bernegara. Yang mana didalamnya terdapat dasar acuan
berprilaku dalam bernegara dan juga terdapat cita-cita bangsa yaitu keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Untuk dapat menjadi sosok yang Pancasilais maka perlu
memperhatikan setiap sila didalam Pancasila dan mengimplementasikannya dalam
kehidupannya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Kaelan, “Ketuhanan yang maha
esa adalah meliputi dan menjiwai sila-sila kemanusiaan yang adil dan beradab,
persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” maka
untuk menjadi seorang yang Pancasilais perlulah menjadi sosok yang religius terlebih
dahulu, karna Ketuhanan merupakan dasar dari sila yang lainnya.
Dalam Islam, Tauhid atau mengesakan Tuhan menempati posisi sentral dalam setiap
kedudukan, tindakan, dan pemikiran setiap muslim kapanpun dan dimanapun ia berada.
27
Seseorang yang telah bertauhid, makai ia telah beriman, orang yang beriman dalam
Islam disebut Mukmin. Keimanan terhadap Tuhan pada hakikatnya akan berimplikasi
pada seluruh aspek dalam kehidupannya. Tidak hanya dalam hubungannya kepada
Tuhan, melainkan juga terhadap sesama manusia dan lingkungannya. Dan untuk
mengimplementasikan hal tersebut, perlulah seseorang untuk berilmu. Setelah berilmu,
maka seorang muslim itu akan berakhlak. Maka dari itu, dengan beriman dan
menjalankan semua perintah serta menjauhi larangan-Nya, maka seseorang sudah bisa
dikatakan sebagai orang yang Pancasilais. Sebab Tauhid (Iman) dalam Islam adalah
dasar dan sumber dari segala macam kebaikan, dan implikasinya ialah berbuat adil
kepada seluruh manusia dan lingkungan disekitarnya. Maka dengan kata lain, seorang
mulsim/mukmin merupakan orang yang pancasilais sekaligus.
28
Daftar Pustaka
Abdullah, Taufik, ed., Ensiklopedi Tematis dunia Islam (Jakarta: Ichtiar Baru van
Hoeve, 2002)
Al-Attas, Syed Mohammad Naquib, Himpunan Risalah (Kuala Lumpur: IBFIM,
2015)
———, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic
Thought and Islamic Ciilization (ISTAC), 1993)
Al-Badry, Hamka Haq, Pancasila 1 Juni & Syariat Islam, Cet. 1 (Jakarta: RM Books,
2011)
Al-Faruqi, Isma‘il Raji, Tauhid (Bandung: Pustaka, 1982)
Ambar, Hasan Muari, Suplemen Ensiklopedia (PT Mandiri Abadi, 2000)
Arif, Syamsuddin, Islam Dan DIabolisme Intelektual (Jakarta: Institute for the Study
of Islamic Thought and Civilizations (INSIST), 2017)
Arnold, T. W. Arnold, The Preaching Of Islam: A History of The Propagation of The
Muslim Faith (Archibald Constable & CO, 1896)
Artawijaya, Belajar Dari Partai Masjumi (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014)
‗Arti Kata Esa - Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online‘
<https://kbbi.web.id/esa> [accessed 13 November 2018]
‗Arti Kata Manusia - Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online‘
<https://kbbi.web.id/manusia> [accessed 21 November 2018]
‗Arti Kata Tuhan - Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online‘
<https://kbbi.web.id/Tuhan> [accessed 13 November 2018]
Awwas, Irfan S., Trilogi Kepemimpinan Negara Islam Indonesia: Menguak
Perjuangan Umat Islam Dan Pengkhianatan Kaum Nasionalis-Sekuler
(Yogyakarta: Uswah, 2008)
Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, Peranan Agama Dalam Pemantapan
Ideologi Negara Pancasila (Departemen Agama R.I, 1984)
Boland, B.J., The Struggle of Islam In Modern Indonesia (The Hauge: Martinus
Nijhoff, 1971)
29
Cox, Harvey, The Secular City (New York: The Macmill an Company, 1967)
Effendy, Bahtiar, Islam dan Negara: transformasi pemikiran dan praktik politik
Islam di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1998)
Hakiem, Lukman, Jejak Perjuangan Para Tokoh Muslim Mengawal NKRI (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2018)
Hazairin, Demokrasi Pancasila (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1990), VI
Husaini, Adian, Mewujudkan Indonesia Adil Dan Beradab (Jakarta: Bina Qalam
Indonesia, 2015)
———, Pancasila Bukan Untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam:
Kesalahpahaman Dan Penyalahpahaman Terhadap Pancasila, 1945-2009,
Cet. 1 (Jakarta: Gema Insani, 2009)
———, Wajah Peradaban Barat, Dari Hegemoni Kristen Ke Dominasi Sekular-
Liberal (Jakarta: Gema Insani, 2005)
Ibnu Khaldun, Abdurrahman, Muqaddimah (Beirut: Dar el Fikr)
Ismail, Faisal, Panorama Sejarah Islam Dan Politik Indonesia (Yogyakarta:
IRCiSoD, 2017)
Kaelan, Negara Kebangsaan Pancasila: Kultural, Historis, Filosofis, Yuridis Dan
Aktualisasinya, 1st edn (Yogyakarta: Paradigma, 2013)
Latif, Yudi, Mata Air Keteladanan, Pancasila Dalam Perbuatan (Jakarta: Mizan,
2014)
———, Negara Paripurna, Historitas, Rasionalitas, Dan Aktualitas Pancasila, 4th
edn (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012)
Madjid, Nurcholis, Islam, Kemodernan, Dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1993)
Malik Thoha, Anis, Tren Pluralisme Agama, Tinjauan Kritis (Jakarta: Gema Insani,
2005)
Manzur, Ibn, Lisanul Arab (Al-Qahirah: Dar Al-Ma‘arif)
Mu‘ammar, M, Arfan, Majukah Islam Dengan Menjadi Sekular? , Kasus Turki
(Ponorogo: Centre for Islamic and Occidental Studies, 2007)
Natsir, M., Capita Selecta (Jakarta: Bulan Bintang, 1973)
30
Nieuwenhuijze, C.A.O. Van, Islam and National Self-Realization in Indonesia (The
Hauge: Monton and Co, 1963)
Noer, Deliar, Partai Islam Dalam Pentas Nasional 1945-1965 (Jakarta: Pustaka
Utama Grafiti)
Rickflefs, M.C, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (Jakarta: Serambi Ilmu
Semesta, 2005)
Saifudin Anshari, Endang, Piagam Jakarta, 22 Juni 1945, Sebuah
KonsensusNasional Tentang DAsar Negara Republik Indonesia (Jakarta:
Gema Insani, 1997)
Setijo, Pandji, Pendidikan Pancasila: Perspektif Sejarah Perjuangan Bangsa, 4th edn
(Jakarta: PT Grasindo, 2016)
Subdirektorat Publikasi dan Kompilasi Statistik, Statistik Indonesia 2018 (Jakarta:
Badan Pusat Statistik)
Sukardja, Ahmad, Piagam Madinah Dan Undang-Undang Dasar NRI 1945, Kajian
Perbandingan Tentang Dasar Hidup Bersama Dalam Masyarakat Yang
Majemuk (Jakarta: Sinar Grafika, 2014)
Sunyoto, Agus, Atlas Wali Songo: buku pertama yang mengungkap Wali Songo
sebagai fakta sejarah, 2016
Supriyadi, Dedi, Sejarah Peradaban Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2008)
Suryanegara, Ahmad Mansur, Api Sejarah, Mahakarya Perjuangan Ulama Dan
Santri Dalam Menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, 1
(Bandung: Surya Dinasti, 2018), IV
Syafii Maarif, Ahmad, Islam Dalam Bingkai Keindonesiaan Dan Kemanusiaan;
Sebuah Refleksi Sejarah, 2nd edn (Bandung: Mizan, 2015)
———, Islam dan Pancasila sebagai dasar negara: studi tentang perdebatan dalam
konstituante, Ed. rev (Jakarta: LP3ES, 2006)
Wahid, ed, Abdul, Worldview Islam (Ponorogo: Pusat Islamisasi Ilmu, UNIDA
Gontor Press, 2018)
Webster Comprehensive International Dictionary of the English Language. (Chicago,
Il: American International Press, 1995)
31
Yamin, Mohammad, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 (Bandung:
Yayasan Prapanca, 1959)
Zaenudin, jeje, Metode Dan Strategi Penerapan Syari‟at Islam Di Indonesia (Jakarta:
Pembela Islam, 2015)
Zarkasyi, Hamid Fahmy, MIsykat; Refleksi Tentang Westernisasi, Liberalisasi, Dan
Islam (Jakarta: Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations
(INSIST), 2012)