Upload
duongdan
View
246
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
NILAI-NILAI PENDIDIKAN KEPEMIMPINAN
DALAM PERSPEKTIF ISLAM (ANALISIS KITAB
I’DHOTUN NASYIIN KARANGAN SYEIKH
MUSTHAFA AL-GHALAYAINI)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan
Oleh:
Khikmatul Latifah
111-12-238
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2016
ii
iii
NILAI-NILAI PENDIDIKAN KEPEMIMPINAN
DALAM PERSPEKTIF ISLAM (ANALISIS KITAB
I’DHOTUN NASYIIN KARANGAN SYEIKH
MUSTHAFA AL-GHALAYAINI)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan
Oleh:
Khikmatul Latifah
111-12-238
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2016
iv
v
vi
vii
MOTTO
Suatu bangsa takkan hidup baik tanpa pemimpin,
Dan tidak ada guna pemimpin, jika orang-orang bodoh tampil menjadi pemimpin.
Rumah takkan bisa berdiri tegak tanpa pilar,
Dan tiada pilar yang berdiri tanpa dasar,
Jika lengkap dasar dan pilar-pilar,
Maka suatu saat rakyat itu sampai pada apa yang diharap.
-SYEIKH MUSTHAFA AL-GHALAYAINI-
viii
PERSEMBAHAN
Alhamdulillahirobbil‟alamin dengan rahmat dan hidayah Allah SWT skripsi
ini telah selesai. Skripsi ini saya persembahkan kepada:
1. Kedua orangtua saya, Bapak Muhklasin dan Ibu Sumtini yang senantiasa
memberikan nasihat dan telah mendidik saya dari kecil sampai menikmati
kuliah S1 di IAIN Salatiga ini, serta tidak lelah mendoakan tanpa henti untuk
menjadi pribadi yang lebih baik dari hari ke hari.
2. Saudara-saudaraku tersayang, Ambarwati, Zahid Fatkhurrohman, dan Uslum
Mufidatul Laila yang selalu mendoakan dan memberikan semangat sehingga
skripsi ini bisa penulis selesaikan.
3. Sahabat-sahabatku dan seluruh keluarga besar PP Nurul Asna tercinta yang aku
banggakan.
4. Bapak Mufiq, S.Ag., M.Phil. yang selalu membimbing dan memotivasi
penulis.
5. Keluarga besar PAI G, dan teman-teman PAI 2012 seperjuangan.
6. Almamaterku tercinta IAIN Salatiga.
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadiran Allah SWT. yang telah
melimpahkan rahmat, taufiq, dan hidayahnya, sehingga akhirnya penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini yang merupakan tugas dan syarat yang wajib dipenuhi
guna memperoleh gelar kesarjanaan pendidikan Agama Islam IAIN Salatiga.
Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita,
Nabi muhammad SAW. yang telah membawa risalah Islam yang penuh dengan
ilmu pengetahuan, khususnya ilmu-ilmu keislaman, sehingga dapat menjadi bekal
hidup kita di dunia dan di akhirat kelak.
Suatu kebanggaan tersendiri, jika tugas dapat terselesaikan dengan sebaik-
baiknya. Bagi penulis, penyusunan skripsi ini merupakan tugas yang tidak ringan.
Penulis banyak hambatan yang menghadang dalam proses penyususnan skripsi
ini, dikarenakan keterbatasan kemampuan penulis sendiri. Kalaupun akhirnya
skripsi dapat terselesaikan,tentunya karena beberapa pihak yang membantu
penulis dalam penyusunan skripsi ini.
Untuk itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang
telah memberikan bantuannya, khususnya kepada:
1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd. selaku rektor IAIN Salatiga
2. Bapak Suwardi, M.Pd. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
3. Ibu Rukhayati, M.Ag. selaku Ketua Jurusan PAI
4. Bapak Mufiq, S.Ag., M.Phil. selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan saran, arahan dan bimbingan serta keikhlasan dan kebijaksanaan
x
meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan dalam
penulisan skripsi ini.
5. Bapak dan Ibuku tercinta yang telah mencurahkan kasih sayang, do’a dan
dukungan demi keberhasilan penulis.
6. Kakak-kakak dan adik tersayang yang selalu mendukung dan mendoakan.
7. Teman seperjuangan, PAI 2012, yang selama ini telah berjuang bersama.
8. Sahabat-sahabat tercinta dan teman-teman yang tidak bisa disebut satu
persatu.
9. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Atas jasa mereka, penulis hanya dapat memohon doa semoga amal mereka
mendapat balasan yang lebih baik serta mendapat kesuksesan baik di dunia
maupun di akhirat.
Penulisan dalam hal ini juga mengharap kritik dan saran yang membangun
dari pembaca untuk menyempurnakan skripsi ini. Akhirnya penulis berharap
semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan pembanca pada umumnya.
Salatiga, 14 September 2016
Penulis
Khikmatul Latifah
111-12-238
xi
ABSTRAK
Latifah, Khikmatul. 2016. “Nilai-nilai Pendidikan Kepemimpinan Perspektif
Islam (Analisis Kitab I‟dhotun Nasyiin Karangan Syeikh Musthafa Al-
Ghalayaini)”. Skripsi Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas
Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri Salatiga.
Pembimbing: Mufiq, S.Ag., M.Phil.
Kata kunci: Nilai, Pendidikan Kepemimpinan, Kitab I’dhotun Nasyiin
Pada hakikatnya, semua manusia adalah pemimpin, namun kebanyakan dari
mereka melupakan atau tidak tahu menahu atas apa yang menjadi tanggung
jawabnya menjadi seorang pemimpin. Wewenang dan kekuasaan yang diberikan
kepada seorang pemimpin tidak ringan di mata Allah, seringkali godaan setan
dengan iming-iming keuntungan dunia telah memalingkan motivasi para
pemimpin dari tujuan bersama. Banyak pemimpin yang hadir dengan tanpa
mencerminkan sosok pemimpin yang seharusnya, terlihat adanya pemimpin-
pemimpin yang jauh dari harapan rakyat, tidak peduli dengan nasib rakyat bawah,
dan hampir tidak pernah berpikir untuk melayani masyarakat. Selama ini banyak
sekali pemahaman yang keliru tentang arti kepemimpinan, pada umumnya orang
melihat pemimpin sebagai sebuah kedudukan atau posisi semata. Akibatnya
banyak orang yang mengejar untuk menjadi seorang pemimpin dengan
menghalalkan banyak cara dalam mencapai tujuan tersebut.
Sehubungan dengan itu dilakukan penelitian dalam kitab I’dhotun Nasyiin
dengan rumusan masalah (1) Bagaimanakah Biografi Syeikh Musthafa Al-
Ghalayaini dan sistematika kitab I’dhotun Nasyiin?, (2) Bagaimanakah nilai-nilai
pendidikan kepemimpinan yang diajarkan dalam kitab I’dhotun Nasyiin?, (3)
Bagaimanakah relevansi nilai-nilai pendidikan kepemimpinan dalam kitab
I’dhotun Nasyiin dengan konteks kepemimpinan masa kini?. Jenis penelitian ini
adalah penelitian kepustakaan (Library Research). Pengumpulan data dilakukan
dengan mengumpulkan data atau bahan-bahan yang berkaitan dengan tema
pembahasan dan permasalahan, yang diambil dari sumber-sumber kepustakaan.
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat kami simpulkan bahwa: (1)
Syeikh Musthafa Al Ghalayaini adalah pengarang kitab I’dhotun Nasyiin, Beliau
merupakan seorang sastrawan Arab, penyair, orator, politikus dan jurnalis.(2)
Nilai-nilai kepemimpinan yang dapat diambil dalam kitab I’dhotun Nasyiin antara
lain: (a) pemimpin harus rendah hati dan sederhana (b) pemimpin harus
mempunyai sikap suka menolong (c) pemimpin harus sabar dan menjaga
kestabilan emosi (d) pemimpin harus percaya pada diri sendiri (e) pemimpin harus
bersikap jujur, adil dan dapat dipercaya, (3) Nilai-nilai pendidikan kepemimpinan
yang terkandung dalam kitab I’dhotun Nasyiin sangat relevan dengan konteks
kepemimpinan sekarang (kekinian) dan memiliki persamaan penggunaan dengan
berbagai pernyataan yang rasional baik tentang materi pendidikan, metode
pendidikan, dan tujuan pendidikan.
xii
DAFTAR ISI
SAMPUL ......................................................................................................... i
LEMBAR BERLOGO ..................................................................................... ii
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................... iv
PENGESAHAN KELULUSAN ...................................................................... v
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ....................................................... vi
MOTTO ........................................................................................................... vii
PERSEMBAHAN ............................................................................................ viii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... ix
ABSTRAK ....................................................................................................... xi
DAFTAR ISI .................................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................. 8
xiii
C. Tujuan Penelitian .............................................................................. 9
D. Kegunaan Penelitian .......................................................................... 9
E. Metode Penelitian .............................................................................. 11
F. Penjelasan Istilah ............................................................................... 14
G. Sistematika Penelitian ....................................................................... 19
BAB II LANDASAN TEORI
A. Konsep Kepemimpinan...................................................................... 21
1. Pengertian Kepemimpinan ............................................................. 21
2. ............................................................................................. Kepe
mimpinan Perspektif Islam............................................................ 24
3. ............................................................................................. Sifat-
sifat Pemimpin............................................................................... 28
4. ............................................................................................. Fung
si Kepemimpinan........................................................................... 38
B. Pemikiran Syeikh Musthafa Al Ghalayaini tentang Nilai-Nilai
Pendidikan Kepemimpinan dalam Kitab I’dhotun Nasyiin ............... 41
1. ............................................................................................. Arti
Kepemimpinan dalam kitab I’dhotun Nasyiin .............................. 41
xiv
2. ............................................................................................. Syara
t-Syarat Kepemimpinan dalam kitab I’dhotun Nasyiin................. 46
3. ............................................................................................. Tipol
ogi Kepemimpinan dalam kitab I’dhotun Nasyiin ........................ 48
4. ............................................................................................. Nilai
Pendidikan Kepemimpinan dalam Kitab I’dhotun Nasyin .......... 51
BAB III BIOGRAFI SYEIKH MUSTHAFA AL GHALAYAINI
A. Latar Belakang Penulisan Kitab I’dhotun Nasyiin ........................... 61
B. Sistematika Penulisan Kitab I’dhotun Nasyiin .................................. 62
C. Biografi Syeikh Musthafa Al-Ghalayaini dan Sosio-Kulturnya ........ 64
D. Karya-Karyanya ................................................................................. 68
E. Corak Umum Pemikiran Syeikh Musthafa Al-Ghalayaini ................ 69
F. Sinopsis Kitab I’dhotun Nasyiin ........................................................ 73
BAB IV RELEVANSI NILAI-NILAI KEPEMIMPINAN
A. Analisis Nilai-nilai Pendidikan Kepemimpinan ............................... 77
B. Relevansi Nilai-nilai Pendidikan Kepemimpinan Pada Kitab
Idhotun Nasyiin dengan Konteks Kepemimpinan Masa Kini ........... 84
xv
a) ............................................................................................. Relev
ansi Materi pendidikan Kepemimpinan ........................................ 85
b) ............................................................................................. Relev
ansi Metode Pendidikan Kepemimpinan ...................................... 87
c) ............................................................................................. Relev
ansi Tujuan Pendidikan Kepemimpinan ....................................... 91
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................................... 94
B. Saran-saran ......................................................................................... 96
C. Kata Penutup ...................................................................................... 96
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama yang sempurna. Seluruh ajarannya bersumber dari
wahyu Ilahi yang tidak akan bisa berubah-ubah sampai kapanpun. Allah
SWT telah memberikan aturan-aturan dengan rinci. Dengan aturan-aturan
itu, seluruh problem makhluk-Nya dalam situasi dan kondisi apapun dapat
diselesaikan dengan memuaskan tanpa ada satupun yang yang dirugikan.
Aturan-aturan Islam senantiasa memuaskan akal dan sesuai dengan fitrah
manusia, sebab Islam lahir dari Dzat yang menciptakan manusia. Dia Maha
Tahu atas hakikat makhluk yang diciptakan-Nya.
Konsep Islam tentang hakikat manusia secara mendasar telah
diajarkan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an yang dikembangkan lebih
lanjut oleh Nabi Muhammad SAW dalam sunnahnya. Manusia diciptakan
oleh Allah selain menjadi hamba-Nya juga menjadi penguasa (khalifah) di
atas bumi. Selaku hamba dan khalifah, manusia diberi kelengkapan
kemampuan jasmani (biologis) dan rohaniah (psikologis) yang dapat
ditumbuhkembangkan seoptimal mungkin, sehingga menjadi alat budaya,
guna dalam ikhtiar kemanusiaannya untuk melaksanakan tugas kehidupan di
dunia (Arifin, 1990 : 156).
2
Hadirnya manusia di muka bumi ini bukan atas kehendak dan
kemauan sendiri, tetapi manusia diciptakan atas kehendak dan kekuasaan
yang Maha Pencipta. Menurut Joko Suharto bin Matsnawi (2007:22)
Diciptakannya manusia bukan tanpa maksud, tetapi sebagaimana firman
Allah SWT, bahwa “Dijadikan manusia adalah untuk menjadi khalifah atau
penguasa di muka bumi”. Amanat mengemban misi suci ini disebutkan
dalam surat al Ahzab ayat 72:
Artinya: “Sesungguhnya kami Telah mengemukakan amanat kepada
langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul
amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah
amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat
bodoh”. (QS. Al Ahzab:72)
Amanat tersebut telah pernah ditawarkan Tuhan kepada langit, bumi
dan gunung-gunung, tapi semuanya enggan untuk memikulnya karena
khawatir akan mengkhianatinya. Manusialah yang suka rela menerima
untuk mengemban amanat tersebut (Musbikin, 2005:79).
Manusia yang lahir dalam keadaan tidak tahu apa-apa telah diberi
kemampuan termasuk akal serta pengetahuan-pengetahuan sehingga akan
mampu melaksanakan tugasnya selaku khalifah atau penguasa di muka
bumi ini. Dengan indra, akal, dan segenap kemampuan yang dikaruniakan
3
Allah SWT ini, manusia mempunyai kemampuan untuk memimpin,
memelihara, dan membangun kehidupan di dunia (Musbikin, 2005:22).
Islam sebagai rahmat bagi seluruh manusia, telah meletakkan
persoalan pemimpin dan kepemimpinan sebagai salah satu persoalan pokok
dalam ajarannya. Beberapa pedoman atau panduan telah digariskan untuk
melahirkan kepemimpinan yang diridhai Allah SWT, yang membawa
kemaslahatan, menyelamatkan manusia di dunia dan di akhirat kelak.
Pemimpin yang dicintai dan dipercaya serta diikuti oleh para
pengikutnya adalah pemimpin yang memiliki kemampuan untuk
memecahkan persoalan mereka. Ini dapat berupa masalah personal, publik,
atau masalah yang berhubungan dengan kehidupan pribadi seseorang,
komunitas sosial, persoalan ekonomi dan politik.
Maju mundurnya kelompok atau organisasi itu sangat tergantung oleh
pemimpinnya. Seseorang pemimpin akan dikatakan berhasil jika dalam
melakukan proses kepemimpinannya itu, ia mempunyai visi dan misi yang
jelas. Sehingga dalam melakukan proses kepemimpinannya itu akan sesuai
dengan arah yang sudah direncanakan.
Kepemimpinan adalah unsur yang tidak bisa dihindari dalam hidup
ini. Sudah merupakan fitrah manusia untuk selalu membentuk sebuah
komunitas. Dan dalam sebuah komunitas selalu dibutuhkan seorang
pemimpin. Pemimpin adalah orang yang dijadikan rujukan ketika komunitas
tersebut. Pemimpin adalah orang yang memberikan visi dan tujuan. Dalam
4
suatu kelompok katakanlah organisasi, bila tidak mempunyai tujuan sama
saja dengan membubarkan organsasi tersebut. Hal terebut bahkan
berlangsung sampai kedalam tataran Negara. Dan hanya pemimpinlah yang
mampu mengatur dan mengarahkan semua itu. Dan sejarah teori
kepemimpinan menjelaskan bahwa kepemimpinan yang dicontohkan Islam
adalah model terbaik. Model kepemimpinan yang disebut sebagai Prophetic
leadership yang contoh nyatanya adalah orang teragung sepanjang sejarah
kemanusiaan yaitu Rasullullah SAW.
Pentingnya pemimpin dan kepemimpinan ini perlu dipahami dan
dihayati oleh setiap umat Islam di negeri yang mayoritas warganya
beragama Islam ini. Pada prinsipnya menurut Islam setiap orang adalah
pemimpin, Ini sejalan dengan fungsi dan peran manusia di muka bumi
sebagai khalifatullah, yang diberi tugas untuk senantiasa mengabdi dan
beribadah kepada-Nya.
Setiap manusia adalah pemimpin, namum kebanyakan dari mereka
melupakan atau tidak menahu atas apa yang menjadi tanggungjawabnya
sebagai seorang pemimpin, sehingga para penganutnya tidak terurusi.
Manusia seperti itu telah lalai di dalam hidupnya dan kelak akan dimintai
pertanggung jawaban atas segala perbuatan yang telah mereka lakukan.
Pernyataan tersebut berkaitan dengan hadits nabi yang berbunyi:
زذثب بشش ب سذ لبي أخبشب عبذ هللا لبي أخبشب ٠ظ ع اضش لبي
عب ب عبذ هللا ع ب عش سض هللا عب أ سعي هللا ص أخبشب
5
٠مي :وى ساع وى غإي ع سع١ت اإلب ساع هللا ع١ ع
اشخ ساع ف أ غإي ع سع١ت غإي ع سع١ت
ع سع١تب اخبد ساع ف بي شأة ساع١ت ف ب١ت صخب غإتا
لبي اشخ ساع ف بي ع١ذ غإي ع سع١ت . لبي زغبت أ لذ
)سا أب١ غإي ع سع١ت وى ساع غإي ع سع١ت
ابخبس(
Artinya:“Telah menceritakan kepada kami Bisyr ibn Muhammad, dia
berkata : “Telah mengabarkan kepada kami „Abdullah”, dia berkata :
“Telah mengabarkan kepada kami Yunus dari Zuhriy”, dia berkata :
“Telah mengabarkan kepada kami Salim ibn „Abdillah dari Ibn Umar r.a”
Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : “Kalian adalah pemimpin, dan
akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Penguasa
adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas
kepemimpinannya. Suami adalah pemimpin keluarganya, dan akan dimintai
pertanggungjawaan atas kepemimpinannya. Istri adalah pemimpin di
rumah suaminya, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas
kepemimpinannya. Pelayan adalah pemimpin dalam mengolah harta
tuannya, dan akan dimintai pertanggungjawaban tentang
kepemimpinannya. Oleh karena itu kalian sebagai pemimpin akan dimintai
pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.”HR. Bukhari (Albani,
2006:357).
Di dalam konsep Islam, seorang pemimpin menempati kedudukan
yang sangat fundamental. Ia menempati posisi tertinggi dalam bangunan
masyarakat Islam. Dalam kehidupan berjama’ah, pemimpin ibarat kepala
dari seluruh anggota tubuhnya. Ia memiliki peranan yang strategis dalam
pengaturan pola (minhaj) dan gerakan (harakah). Kecakapan dalam
kepemimpinan akan mengarahkan ummatnya kepada tujuan yang ingin
dicapai, yaitu kejayaan dan kesejahteraan ummat dengan ridha Allah SWT
6
seperti dalam QS. Al-Baqarah ayat 207: “Dan diantara manusia ada orang
yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah dan Allah
Maha Penyayang kepada hamba-hamba-Nya” (Al-Baqarah:207).
Sebenarnya pemimpin yang harus diteladani adalah Rasulullah ,
karena semua yang beliau lakukan adalah berasal dari al-Qur’an. Beliau
mendidik umatnya agar menjadi pemimpin yang berakhlak seperti apa yang
beliau ajarkan kepada umatnya yaitu mengikuti al-Qur’an dan as-Sunnah.
Nabi Muhammad mempunyai semua kualitas kepemimpinan yang
diperlukan untuk keberhasilannya dalam segala aspek kehidupan. Akan
tetapi yang lebih penting lagi adalah beliau mampu memimpin umatnya
menuju keberhasilan di segala bidang. Beliau adalah sumber yang
mengalirkan semua perkembangan selanjutnya yang berhubungan dengan
komando, kenegaraan, agama, perkembangan spiritual dan sebagainya di
seluruh dunia muslim. Beliaulah kiblat dari semua pendidik sekaligus
pemimpin bagi umat Islam di dunia ini (Gulen, 2002:290).
Fenomena kehidupan sekarang ini yang semakin bobrok saja moral
dan mentalnya. Ibaratnya, semakin sulit mencari pemimpin yang baik (good
leader). Banyak pemimpin yang hadir dengan tanpa mencerminkan sosok
pemimpin yang seharusnya, malah terlihat adanya pemimpin-pemimpin
yang jauh dari harapan rakyat, tidak peduli dengan nasib rakyat bawah, dan
hampir tidak pernah berpikir untuk melayani masyarakat. Karena
kepemimpinan mereka lebih dilandasi pada keinginan pribadi dan lebih
mengutamakan kepentingan kelompok.
7
Saat ini banyak sekali pemimpin-pemimpin yang muslim bahkan tidak
sedikit yang menggunakan Islam sebagai identitas khasnya, tetapi malah
menjadi petualang politik yang tidak berakhlak. Bahkan tidak sedikit
pemimpin kita yang tampil ke tengah-tengah masyarakat dengan slogan
memperjuangkan Islam dan kaum muslimin, namun nyatanya bertindak
korupsi dan memalukan umat Islam sendiri di tengah-tengah publik.
Banyak pemimpin yang pada awalnya bertekad untuk selalu berbuat
adil. Keadilan ditegakkan tidak pandang bulu, jika ada yang melakukan
kesalahan, siapapun orang tersebut akan diproses dan diadili sesuai dengan
hukum yang berlaku. Hal itu disosialisasikan misalnya pada saat masa
kampanye politik. Pada awal masa pemerintahannya, boleh jadi masih
terlihat ketegasan dalam menjalankan sifat keadilan. Namun, lambat laun,
seiring dengan waktu, tekad itupun sirna sedikit demi sedikit, lalu
tampaklah sifat otoriternya. Sikapnya sudah melampaui batas. Manusia
menjadi angkuh dan semena-mena atas kekuasaan yang dipegangnya.
Pantaslah jika Allah mengkritik sifat tersebut dengan firman-Nya:
Artinya: “Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar
melampaui batas, Karena dia melihat dirinya serba cukup”.(QS. Al-Alaq:6-
7)
8
Sudah lama umat Islam yang merupakan mayoritas penduduk di
Indonesia mendambakan pemimpin Islami dalam kehidupan bernegara dan
bermasyarakat. Kepemimpinan Islami di sini adalah sikap kepemimpinan
yang berasaskan norma-norma Islam seperti halnya bersikap adil, amanah,
tabligh dan lain sebagainya. Meskipun di Indonesia ini kaum muslimin
merupakan mayoritas, namun sikap Islami dalam kepemimpinan belumlah
tampak dalam kehidupan sehari-hari sehingga kita dapat dengan mudah
melihat tampilannya pemimpin muslimin yang tidak amanah, bahkan
terseret dalam pola politik “menghalalkan segara cara” (Zaenudin, 2002:7).
Berdasarkan fenomena di atas maka penulis terdorong mengkaji lebih
lanjut tentang “NILAI-NILAI PENDIDIKAN KEPEMIMPINAN
DALAM PERSPEKTIF ISLAM (ANALISIS KITAB I’DHOTUN
NASYIIN KARANGAN SYEIKH MUSTHAFA AL-GHALAYAINI)”.
B. Rumusan Masalah
Mengacu pada uraian di atas, maka permasalahan yang akan dibahas
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah Biografi Syeikh Musthafa Al-Ghalayaini dan sistematika
kitab I’dhotun Nasyiin?
2. Bagaimanakah nilai-nilai pendidikan kepemimpinan yang diajarkan
dalam kitab I’dhotun Nasyiin?
9
3. Bagaimanakah relevansi nilai-nilai pendidikan kepemimpinan dalam
kitab I’dhotun Nasyiin dengan konteks kepemimpinan masa kini?
C. Tujuan Penelitian
Berangkat dari latar belakang masalah dan rumusan masalah di atas,
maka dapat ditetapkan beberapa tujuan penelitian sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui Biografi Syeikh Musthafa Al-Ghalayaini dan
sistematika kitab I’dhotun Nasyiin.
2. Untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan kepemimpinan dalam
perspektif Islam yang diajarkan dalam kitab I’dhotun Nasyiin.
3. Untuk mengetahui relevansi nilai-nilai pendidikan kepemimpinan
dalam kitab I’dhotun Nasyiin dengan konteks kepemimpinan masa kini.
D. Kegunaan Penelitian
Adapun penelitian atau pembahasan terhadap masalah tersebut di atas
mempunyai maksud agar berguna sebagai berikut:
1. Manfaat teoritis
a. Memberikan sumbangan pemikiran ilmu tentang pendidikan
kepemimpinan, terutama mengenai nilai-nilai pendidikan
kepemimpinan dalam perspektif Islam yang diajarkan dalam kitab
I’dhotun Nasyiin.
b. Penelitian ini memiliki relevansi dengan Ilmu Agama Islam
khususnya Program Studi Pendidikan Agama Islam, sehingga hasil
10
pembahasannya berguna menambah literatur atau bacaan tentang
nilai-nilai pendidikan kepemimpinan dalam perspektif Islam dalam
kitab I’dhotun Nasyiin.
c. Penelitian ini semoga dapat memberikan kontribusi positif bagi
masyarakat sebagai calon pemimpin khususnya
d. penulis untuk mengetahui dan mendalami nilai-nilai pendidikan
kepemimpinan dalam perspektif Islam yang diajarkan dalam kitab
I’dhotun Nasyiin. Dengan ini diharapkan dapat memperluas
kepustakaan yang dapat menjadi reverensi penelitan-penelitian
setelahnya.
2. Manfaat Praktis
Memberikan kontribusi positif untuk dijadikan pertimbangan
berfikir dan bertindak. Secara khusus penelitian ini dapat dipergunakan
sebagai berikut:
a. Dapat menjadi inspirasi bagi calon pemimpin dalam
mensosialisasikan nilai-nilai kepemimpinan di masyarakat sesuai
dengan aturan ajaran agama Islam.
b. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan acuan khususnya bagi
para calon pemimpin agar dapat mengaplikasikan nilai-nilai
kepemimpinan Islam dalam kehidupan sehari-hari.
c. Dengan skripsi ini, juga diharapkan dapat bermanfaat bagi pembaca
pada umumnya dan khususnya bagi penulis sendiri.
11
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini tergolong penelitian pustaka (library research),
karena semua yang digali adalah bersumber dari pustaka. Penulis
mengacu pada pendapat M. Arifin (1990:135) yang menyebutkan
bahwa penelitian literatur dimaksudkan sebagai studi kepustakaan,
karena penulis meneliti dan menggali datanya dari bahan-bahan tertulis.
Di mana data-data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah
berbagai tulisan yang temanya sama dengan judul yang diangkat.
Dengan mengumpulkan data-data yang diperlukan, baik yang primer
maupun yang sekunder, dicari dari sumber-sumber kepustakaan (seperti
buku, majalah, artikel dan jurnal) (Kuswaya, 2011:11).
Berkaitan dengan jenis penelitian literatur, pengumpulan data pada
penulisan ini, penulis menggunakan metode studi kepustakaan dari
buku-buku yang berkaitan langsung dengan pokok permasalahan
dimulai dengan mengumpulkan kepustakaan, pertama-tama dicari
segala buku yang ada mengenai tokoh dan topik yang bersangkutan
(Bakker, 1990:63).
2. Sumber Data
Adapun sumber data yang digunakan penulis dalam penelitian ini
adalah:
12
a. Sumber data primer
Sumber data primer adalah sumber data utama yang akan
dikaji dalam permasalahan. Karena sifat dan penelitian literatur,
maka datanya bersumber dari literature. Adapun yang menjadi
sumber data primer adalah kitab I’dhotun Nasyiin dan Terjemah
I’dhotun Nasyiin.
b. Sumber data sekunder
Data sekunder yang diambil dalam penelitian ini yaitu data
yang mengandung dan melengkapi sumber-sumber data primer.
Adapun sumber data sekunder berupa buku-buku kepemimpinan,
internet, dan informasi lainnya yang berhubungan dengan judul
skripsi ini.
3. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library
Research). Teknik pengumpulan data yang penulis lakukan dalam
penelitian ini adalah dengan mencari dan mengumpulkan buku yang
menjadi sumber data primer yakni kitab Idhotun Nasyiin dan data
sekunder yakni terjemah Idhotun Nasyiin, buku Pemimpin dan
Kepemimpinan dan buku-buku serta kitab yang relevan lainnya. Setelah
data terkumpul, maka dilakukan penelaah secara sistematis dalam
hubungannya dengan masalah yang diteliti, sehingga diperoleh
data/informasi untuk bahan penelitian.
13
4. Metode Analisis Data
Objek penelitian ini adalah buku-buku atau literatur yang termasuk
dalam kategori penelitian kepustakaan sebagai datanya. Metode
penulisan data yang digunakan penulis dalam penyusunan skripsi ini
adalah:
a. Deduktif
Metode yang digunakan untuk menjelaskan nilai pendidikan
kepemimpinan adalah metode deduktif sesuai dengan yang telah
dicanangkan pemerintah yaitu tentang kepemimpinan. Yang
dimaksud metode deduktif adalah metode berfikir yang didasarkan
pada pengetahuan umum dimana kita hendak menilai suatu
kejadian yang khusus (Hadi, 1990:42).
b. Induktif
Metode yang digunakan adalah metode induktif guna mengkaji
data yang telah didapat yang terkait dengan nilai pendidikan
kepemimpinan yang telah dipaparkan oleh Syeikh Musthafa Al-
Ghalayaini dalam kitab Idhotun Nasyiin dan dikaitkan dengan
relevansi kekinian. Metode induktif adalah metode berfikir yang
berangkat dari fakta-fakta peristiwa khusus dan konkret, kemudian
ditarik generalisasi-generalisasi yang bersifat umum (Hadi,
1990:42).
14
F. Penegasan Istilah
Untuk menghindari kesalahan dan kekeliruan tehadap judul penelitian
ini, maka penulis perlu untuk menjelaskan istilah-istilah yang terdapat
dalam judul ini antara lain:
1. Nilai Pendidikan
Nilai dalam bahasa Inggris value yang berarti quality of being
useful or desirable (Hornby, 1974:950) dan dalam bahasa Latin valere
yang berarti berguna, mampu akan, berdaya, berlaku dan kuat. Nilai
adalah sesuatu yang dipandang baik, disukai, dan paling benar menurut
keyakinan seseorang atau kelompok orang sehingga preferensinya
tercemin dalam perilaku, sikap, dan perbuatan-perbuatan (Maslikhah,
2009:106).
Nilai-nilai berasal dari kata “nilai” dapat diartikan dengan sifat-
sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan
(Poerwadarminta, 2006:801). Dalam definisi lain yang di sampaikan
Noor Syam. Bahwa nilai adalah suatu penetapan atau suatu kualitas yang
menyangkut suatu jenis apresiasi atau minat, sehingga nilai merupakan
suatu otoritas ukuran dari subjek yang menilai, dalam artian koridor
keumuman dan kelaziman dalam batas-batas tertentu yang pantas bagi
pandangan individu dan sekelilingnya.
Pendidikan merupakan usaha membimbing dan membina serta
bertanggung jawab untuk mengembangkan intelektual pribadi anak didik
ke arah kedewasaan dan dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-
15
hari (Armai, 2002:40). Pendidikan dapat diartikan sebagai usaha sadar
untuk meyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran
dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang (Mansur,
2004:57). Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta ketrampilan yang di perlukan dirinya, bangsa dan negara
(Maslikhah, 2009:130).
Menurut pandangan Islam bahwa “Pendidikan” adalah tindakan
yang dilakukan secara sadar dengan tujuan memelihara dan
mengembangkan fitrah insani menuju terbentuknya manusia seutuhnya
(insan kamil).
Dalam bahasa Arab “pendidikan” itu sama dengan at-Tarbiyyah,
sedangkan menurut Abdurrahman An-Nahlawi bahwa kata At-Tarbiyah
berasal dari tiga bentuk. Pertama kata “Robbaa-yarbuu” yang berarti
bertambah tumbuh. Kata kedua “Robiya-yarba” yang berarti menjadi
besar dan yang ketiga adalah kata “robba-yarubbu” yang berarti
menuntun, menjaga dan memelihara (Abdurrahman, 1992:31).
Menurut Syeikh Mustafa al-Ghalayaini pendidikan bukanlah
sekedar mengasuh, memelihara atau mendidik anak didik, namun
pendidikan merupakan pengembangan pengetahuan, ketrampilan,
maupun kepandaian yang melalui adanya pengajaran, latihan-latihan atau
16
pengalaman-pengalaman. Lebih lanjut anak didik secara bertahab dengan
memperhatikan usia kemampuan anak (al-Ghalayaini, t.t:189).
Dari beberapa pendapat di atas dapat dirumuskan bahwa nilai
pendidikan merupakan batasan segala sesuatu yang mendidik ke arah
kedewasaan, bersifat baik maupun buruk sehingga berguna bagi
kehidupannya yang diperoleh melalui proses pendidikan. Proses
pendidikan bukan berarti hanya dapat dilakukan dalam satu tempat dan
suatu waktu. Dihubungkan dengan eksistensi dan kehidupan manusia,
nilai pendidikan diarahkan pada pembentukan pribadi manusia sebagai
makhluk individu, sosial, religius, dan berbudaya.
2. Kepemimpinan
Kepemimpinan adalah suatu proses interaksi sosial untuk
mempengaruhi. Teknisnya adalah mempengaruhi bagian-bagian dalam
organisasi. Dalam hal ini berupa perilaku sengaja yang dijalankan oleh
seseorang untuk mengatur aktivitas, pekerjaan dan cara-cara
berhubungan di dalam sebuah kelompok/organisasi/lembaga, dalam
rangka mencapai tujuan yang diinginkan (Karim, 2010:14).
Adapun kepemimpinan menurut Syeikh Musthafa Al-Ghalayaini
“Ummat tidak mungkin memiliki sutu negara yang kokoh dan kuat,
tentram dan sejahtera, kecuali kalau di kalangan mereka itu ada
pemimpin, kepala, penganjur, pembimbing dan sebagainya yang
semakna dengan itu. Tugas orang-orang itu ialah menggerakan
ummatnya di kala ummatnya itu dalam keadaan lumpuh tidak berdaya,
17
meluruskan mereka, baik kelakuan yang tampak atau akhlak dan
tatakrama di kala menyimpang dan menyeleweng, menarik mereka di
kala mereka jatuh dan menunjukkan jalan yang benar di kala mereka
dalam keadaan tersesat. Empat itulah tugas pokok bagi setiap pemimpin
ummat” (Al-Ghayalayaini, 2002:145).
Dari pengertian di atas dapat ditarik, kesimpulan bahwa
kepemimpinan merupakan suatu hubungan proses mempengaruhi yang
terjadi dalam suatu komunitas yang diarahkan untuk tercapainya tujuan
bersama. Karena kepemimpinan merupakan proses mempengaruhi, maka
seorang pemimpin harus mempunyai kemampuan dalam bidang yang
dipimpinnya, contoh kepala sekolah harus mempunyai kompetensi yang
cukup dalam kependidikan agar mampu mempengaruhi orang-orang
yang dipimpinnya dalam mewujudkan visi dan misi kepemimpinannya.
Sedangkan kepemimpinan Islam adalah konsep yang tercantum
dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, yang meliputi kehidupan manusia dari
pribadi, berdua, kelompok, keluarga, bahkan sampai umat manusia.
Konsep ini mencakup baik cara-cara memimpin maupun dipimpin demi
terlaksananya ajaran Islam untuk menjamin kehidupan yang lebih baik di
dunia dan akhirat sebagai tujuannya.
3. Perspektif Islam
Dalam kamus Bahasa Indonesia Kontemporer perspektif diartikan
dengan sudut pandang atau pandangan (Depdikbud, 1995:1060).
Sedangkan Islam adalah ajaran atau petunjuk Allah. Selain dari pada itu,
18
Islam juga diartikan damai, tentram, atau agama yang dibawa oleh Nabi
Muhammad saw, dengan kitab suci Al-Qur’an. Arti utama kata tersebut
adalah tenang, diam, telah menunaikan kewajiban, dan memenuhi
kedamaian yang sempurna. Adapun arti lainnya adalah berserah diri pada
Tuhan pencipta kedamaian (Ali, 2008:157-158).
Dilihat dari segi bahasa, al-Islam memiliki akar kata yang sama
dengan as-Salam, yang berarti perdamaian. Kata al-Islam dan as-Salam
sama-sama berasal dari akar kata sa-li-ma, yang berarti selamat dari
bahaya atau terbebas dari gangguan. Dari kata itu terbentuk aslama yang
artinya menyerahkan diri atau tunduk dan patuh (Madkour, 319).
Sebagaimana firman Allah SWT QS. Al- baqarah:112
Artinya:“(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang
menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, Maka
baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. (QS. Al-
Baqarah:112).
Dari kata aslama itu terbentuk kata Islam. Pemeluknya disebut
Muslim. Orang yang memeluk Islam berarti menyerahkan diri kepada
Allah dan siap patuh kepada ajaran-Nya (Razak, 1986:56-57). Sehingga
dari beberapa pendapat diatas dapat diketahui bahwasannya perspektif
19
Islam mempunyai arti segala sesuatu yang ditelaah melalui sudut
pandang Islam.
G. Sistematika Penulisan Skripsi
Untuk memberikan gambaran yang jelas dan menyeluruh sehingga
pembaca nantinya dapat memahami tentang isi skripsi ini degan mudah,
penulis berusaha memberikan sistematika penulisan dengan penjelasan
secara garis besar. Skripsi ini terdiri dari lima bab yang masing-masing
saling berkait yaitu sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan, Dalam hal ini penulis menjabarkan pokok
permasalahan yang mencakup Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah,
Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Metode Penelitian dan Sistematika
Penulisan Skripsi.
BAB II Landasan Teori, berisi tentang Diskripsi Pemikiran Syeikh
Musthafa al-Ghalayaini tentang Nilai-Nilai Pendidikan Kepemimpinan
dalam perspektif Islam yang di ajarkan dalam Kitab I’dhotun Nasyiin.
BAB III Biografi Syeikh Musthafa al-Ghalayaini, Dalam hal ini
memuat beberapa pembahasan yang mencakup Latar Belakang Penulisan
Kitab I’dhotun Nasyiin, Sistematika Penulisan Kitab I’dhotun Nasyiin,
Biografi Syeikh Musthafa al-Ghalayaini dan konteks Sosio Kulturnya,
karya-karyanya, corak umum pemikiran Syeikh Musthafa al-Ghalayaini,
sinopsis Kitab I’dhotun Nasyiin.
20
BAB IV berisi tentang Relevansi Nilai-Nilai Pendidikan
Kepemimpinan dalam Perspektif Islam dalam Kitab I’dhotun Nasyiin
dengan Konteks Kepemimpinan Masa Sekarang.
BAB V berisi tentang Penutup, Kesimpulan dan Saran. Bab penutup
memuat kesimpulan penulis dari pembahasan skripsi ini, saran-saran dan
kalimat penutup yang sekiranya dianggap penting dan daftar pustaka.
21
BAB II
LANDASAN TEORI
Kehidupan manusia tidak dapat terlepas dari kepemimpinan baik
menyangkut kehidupan pribadi maupun kehidupan sosial. Selama menjalani masa
hidupnya pasti seorang manusia telah melewati sebuah peran sebagai orang yang
dipimpin maupun menjadi seorang pemimpin. Kepemimpinan merupakan sebuah
fenomena universal. Siapa pun menjalankan tugas-tugas kepemimpinan, manakala
dalam tugas itu dia berinteraksi dengan orang lain.
A. Konsep Kepemimpinan
1. Pengertian Kepemimpinan
Dalam kamus lengkap bahasa Indonesia, kepemimpinan berasal
dari kata “pimpin” yang berarti tuntunan, bimbingan, hasil memimpin.
Kepemimpinan yaitu tindakan atau perbuatan seseorang yang
menyebabkan seseorang atau kelompok lain menjadi bergerak ke arah
tujuan-tujuan tertentu. Seseorang dikatakan sebagai pemimpin apabila
orang itu dapat mempengaruhi pikiran, perasaan, dan perilaku orang lain,
baik dalam bentuk individu, maupun kelompok untuk mencapai suatu
tujuan tertentu. Makna kata “kepemimpinan” erat kaitannya dengan kata
“memimpin”. Kata memimpin mengandung makna yaitu kemampuan
untuk menggerakkan segala sumber yang ada pada suatu organisasi
22
sehingga dapat didayagunakan secara maksimal untuk mencapai tujuan
yang ditetapkan.
Jika pengertian secara harfiah yang tersaji di atas terkait dengan
kata kerja yaitu memimpin, maka masih terdapat pengertian harfiah
lainnya yang melekat pada kata atau konsep tersebut. Pemaknaan lain
terkait dengan pengertian harfiah tersebut dapat dikupas dari aspek
subjek atau pihak yang menjadi pelaku dalam kepemimpinan. Artinya
kepemimpinan juga harus dipahami dari sisi pelaku kepemimpinan, yang
disebut dengan istilah leader (pemimpin), yaitu orang yag melakukan
aktivitas atau kegiatan untuk memimpin. Pemimpin merupakan orang
yang menjalankan kepemimpinan atau dapat dimengerti sebagai a person
who leads others a long way guidance (Utomo, 2008:10).
Sedangkan pemaknaan kepemimpinan secara definitif jauh lebih
terstruktur dan mengedepankan upaya belajar dari fenomena, kemudian
mengalami proses abstraksi, sehingga diperoleh pengertian konseptual
yang relatif tertata. Adapun contoh definisi yang dikemukakan oleh para
ahli kepemimpinan dalam bukunya Mohammad As’ad (1986:2) yang
berjudul Kepemimpinan Efektif dalam Perusahaan : Suatu Pendekatan
Psikologis, adalah:
a. Kepemimpinan
adalah kegiatan untuk memengaruhi orang-orang agar supaya bekerja
dengan ikhlas untuk mencapai tujuan bersama (Terry, 1954)
23
b. Kepemimpinan
merupakan suatu proses atau tindakan untuk memengaruhi aktivitas
suatu kelompok organisasi dalam usahanya untuk mencapai tujuan
yang telah ditentukan (Stogdill, 1977)
c. Kepemimpinan
adalah kemampuan untuk mengajak orang lain mencapai tujuan yang
sudah ditentukan dengan penuh semangat (Davis, 1977)
d. Kepemimpinan
mengandung arti mempengaruhi orang lain untuk lebih berusaha
mengarahkan tenaga dalam tugasnya, atau merubah tingkah laku
mereka (Wexley & Yulk, 1977)
e. Kepemimpinan
adalah suatu seni atau proses mempengaruhi sekelompok orang
sehingga mereka mau bekerja dengan sungguh-sungguh untuk meraih
tujuan kelompok (H. Koontz dan O’Donnell, 1982)
f. Kepemimpinan
merupakan kemampuan memperoleh konsensus dan keikatan pada
sasaran bersama melempaui syarat-syarat organisasi yang dicapai
dengan pengalaman, sumbangan dan kepuasan di pihak kelompok
kerja (Cribbin, 1982)
g. Kepemimpinan
adalah sebuah hubungan yang saling memepengaruhi diantara
24
pemimpin dan pengikutnya (bawahan) yang menginginkan perubahan
nyata yang mencerminkan tujuan bersamanya (Rost, 1993).
Para peneliti biasanya mendefinisikan “kepemimpinan” menurut
pandangan pribadi mereka, serta aspek-aspek fenomena dari kepentingan
yang paling baik bagi para pakar yang bersangkutan.
Dari beberapa penjelasan tokoh mengenai definisi kepemimpinan
dapat dikatakan bahwa kepemimpinan ialah suatu kemampuan yang
dimiliki seseorang untuk mempengaruhi, mengarahkan, membimbing,
mengkordinir, melayani serta melindungi individu lainnya dalam proses
pencapaian tujuan organisasi. Sebuah kepemimpinan di dalamnya juga
terdapat unsur seperti pemimpin, orang yang dipimpin serta sebuah
situasi atau keadaan dan pula tujuan bersama di dalam suatu organisasi.
2. Kepemimpinan Perspektif Islam
Hakikat diutusnya para Rasul kepada manusia sebenarnya hanyalah
untuk memimpin umat dan mengeluarkannya dari kegelapan kepada
cahaya. Tidak satupun umat yang eksis kecuali Allah mengutus orang
yang mengoreksi akidah dan meluruskan penyimpangan para individu
umat tersebut. Sehingga makna hakiki kepemimpinan dalam Islam adalah
untuk mewujudkan khilafah di muka bumi, demi terwujudnya kebaikan
dan reformasi (Madhi, 2001:1-2).
Di dalam Islam kepemimpinan identik dengan istilah khalifah yang
berarti wakil. Pemakaian kata khalifah setelah Rasulullah wafat
25
menyentuh juga maksud yang terkandung di dalam perkataan “amir”
(yang jamaknya umara) atau penguasa. Oleh karena itu, kedua istilah ini
dalam bahasa Indonesia disebut pemimpin formal. Namun, jika merujuk
kepada firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 30 berbunyi :
"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi."
mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di
bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji
Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya
Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Maka kedudukan non formal dari seorang khalifah juga tidak bisa
dipisahkan lagi. Perkataan khalifah dalam ayat tersebut tidak hanya
ditujukan kepada para khalifah sesudah nabi, tetapi adalah penciptaan
Nabi Adam as yang disebut sebagai manusia dengan tugas untuk
memakmurkan bumi yang meliputi tugas menyeru orang lain berbuat
amar ma’ruf dan mencegah dari perbuatan mungkar.
Selain kata Khalifah disebutkan juga kata Ulil Amri yang satu akar
dengan kata amir sebagaimana disebutkan diatas. Kata Ulil amri berarti
pemimpin tertinggi dalam masyarakat Islam. Sebagaimana firman Allah
SWT dalam surat an Nisa ayat 59 :
26
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya" (QS. An Nisa :59)
Dalam hadis Rasulullah SAW, istilah pemimpin dijumpai dengan
kata raa‟in atau amir , seperti dalam hadis yang diriwayatkan Bukhari
Muslim :
زذثب بشش ب سذ لبي أخبشب عبذ هللا لبي أخبشب ٠ظ ع اضش
عب ب عبذ هللا ع ب عش سض هللا عب أ سعي هللا لبي أخبشب
٠مي :وى ساع وى غإي ع سع١ت اإلب ص هللا ع١ ع
ساع ف أ غإي ع سع١ت اشخ ساع غإي ع سع١ت
ع سع١تب اخبد ساع ف اشأة ساع١ت ف ب١ت صخب غإت
لبي اشخ ساع ف بي ع١ذ غإي ع سع١ت . لبي زغبت أ لذ
)سا بي أب١ غإي ع سع١ت وى ساع غإي ع سع١ت
ابخبس(
27
Artinya:“Telah menceritakan kepada kami Bisyr ibn Muhammad,
dia berkata : “Telah mengabarkan kepada kami „Abdullah”, dia berkata
: “Telah mengabarkan kepada kami Yunus dari Zuhriy”, dia berkata :
“Telah mengabarkan kepada kami Salim ibn „Abdillah dari Ibn Umar
r.a” Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : “Kalian adalah
pemimpin, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas
kepemimpinannya. Penguasa adalah pemimpin, dan akan dimintai
pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Suami adalah pemimpin
keluarganya, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas
kepemimpinannya. Istri adalah pemimpin di rumah suaminya, dan akan
dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Pelayan adalah
pemimpin dalam mengolah harta tuannya, dan akan dimintai
pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. Oleh karena itu kalian
sebagai pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas
kepemimpinannya.”HR. Bukhari (Albani, 2006:357).
Berdasarkan ayat Al-Qur’an dan Hadis Rasulullah SAW tersebut
dapat disimpulkan bahwa, kepemimpinan dalam Islam adalah kegiatan
menuntun, membimbing, memandu dan menunjukkan jalan yang diridhoi
Allah SWT (Rivai, 2003:1-6).
Dua peran utama kepemimpinan menurut perspektif Islam adalah
pemimin sebagai pelayan (servant leader/خبد األ) dan pemimpin
sebagai pelindung/wali (guardian leader). Peran pertama adalah sebagai
pelayan masyarakat yaitu pemimpin bertugas memelihara kesejahteraan
masyarakat dan membimbing mereka kepada kebaikan. Selanjutnya,
peran kedua yaitu sebagai pelindung masyarakat yang bertugas untuk
melindungi komunitas mereka dari penjajahan dan ancaman (Nashori,
2009:3).
28
3. Sifat-Sifat Pemimpin
Upaya untuk menilai sukses atau gagalnya pemimpin itu dalam
melaksanakan proses kepemimpinan antara lain dapat dilakukan dengan
mengamati dan mencatat sifat-sifat dan kualitas/mutu perilakunya, yang
dipakai sebagai kriteria untuk menilai kepemimpinannya (Kartono,
2010:37).
Quraish Shihab dalam bukunya “Secercah Cahaya Ilahi”
menuturkan bahwa setidaknya ada lima sifat pokok yang hendaknya
dimiliki oleh sang pemimpin/imam. Kelima sifat tersebut terungkap
dalam dua ayat, yaitu Surah As-Sajdah (32):24 dan Al-Anbiya (21): 73.
“Dan kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang
memberi petunjuk dengan perintah kami ketika mereka sabar. dan
adalah mereka meyakini ayat-ayat kami”. (QS. As-Sajdah(32):24).
“Kami Telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin
yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan Telah Kami
wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan
sembahyang, menunaikan zakat, dan Hanya kepada kamilah mereka
selalu menyembah” (QS. Al-Anbiya(21):73)
29
Sifat yang dimaksud adalah :
a) Kesabaran dan ketabahan, Kami jadikan mereka pemimpin-
pemimpin ketika mereka tabah/sabar.
b) “Yahduna bi amrina”, mengantar (masyarakatnya) ke tujuan yang
sesuai dengan petunjuk Kami (Allah).
c) “ Wa auhaina ilaihim fi‟la al khairat”, (telah membudaya pada
diri mereka kebaikan).
d) “Abidin”, (Beribadah, termasuk melaksanakan shalat dan
menunaikan zakat).
e) “Yuqinun”, (Penuh keyakinan).
Menurut Ordway Tead dalam buku Kartini Kartono (2010:38)
sifat-sifat pemimpin terdiri dari:
a. Energi jasmaniah dan mental
Hampir semua pribadi pemimpin memilki tenaga jasmani dan
rohani yang luar biasa yaitu mempunyai daya tahan, keuletan,
kekuatan atau tenaga yang istimewa yang tampaknya seperti tidak
akan pernah habis. Hal ini ditambah dengan kekuatan-kekuatan
mental berupa semangat juang, motivasi kerja, kesabaran, ketahanan
batin dan kemauan yang luar biasa untuk mengatasi semua
permasalahan yang dihadapi.
b. Kesadaran akan tujuan dan arah
Ia memiliki keyakinan yang teguh akan kebenaran dan kegunaan
dari semua perilaku yang dikerjakan. Dia tahu persis kemana arah
30
yang akan ditujunya, serta pasti memberikan manfaat bagi diri sendiri
maupun bagi kelompok yang dipimpinnya.
c. Antusiasme (semangat, kegairahan, kegembiraan yang besar)
Pekerjaan yang dilakukan dan tujuan yang akan dicapai itu harus
sehat, berarti, bernilai, memberikan harapan-harapan yang
menyenangkan, memberikan sukses dan menimbulkan semangat
kerja. Semua ini dpat membangkitkan antusiasme, optimisme, dan
semangat besar pada pribadi pemimpin maupun para anggota
kelompok.
d. Keramahan dan Kecintaan (friendliness and affection)
Kasih sayang dan dedikasi pemimpin dapat menjadi tenaga
penggerak yang positif untuk melakukan perbuatan yang
menyenangkan bagi semua pihak. Keramah-tamahan itu mempunyai
sifat mempengaruhi orang lain juga membuka setiap hati yang masih
tertutup untuk menanggapi keramahan tersebut.
e. Integritas (keutuhan, kejujuran, dan ketulusan hati)
Pemimpin itu harus bersifat terbuka, merasa utuh bersatu, sejiwa
dan seperasaan dengan bawahannya bahkan merasa senasib dan
sepenanggungan dalam satu perjuangan yang sama.
f. Penguasaan Teknis
Kecakapan dalam memimpin sangatlah dibutuhkan. Setiap
pemimpin harus memiliki satu atau beberapa kemahiran teknis
31
tertentu, agar ia mempunyai kewibawaan dan kekuasaan untuk
memimpin kelompoknya.
g. Ketegasan dalam mengambil keputusan
Pemimpin yang berhasil itu pasti dapat mengambil keputusan
secara tepat, tegas dan cepat sebagai hasil dari kearifan dan
pengalamannya. Selanjutnya ia mampu meyakinkan para anggotanya
akan kebenaran keputusannya.
h. Kecerdasan (Intellegence)
Kecerdasan yang perlu dimiliki oleh setiap pemimpin itu
merupakan kemampuan untuk melihat dan memahami dengan baik,
mengerti sebab dan akibat kejadian, menemukan hal-hal yang krusial
dan cepat menemukan cara penyelesaiannya dalam waktu singkat.
i. Keterampilan mengajar (teaching skill)
Pemimpin yang baik itu adalah seorang guru yang mampu
menuntun, mendidik, mengarahkan, dan mendorong, serta
menggerakkan bawahannya untuk berbuat sesuatu. Sesuatu tersebut
tidaklah akan terjadi tanpa dorongan dan bimbingan dari orang yang
memimpinnya.
j. Kepercayaan (Faith)
Keberhasilan pemimpin itu pada umumnya selalu didukung oleh
kepercayaan dan loyalitas bawahannya. Yaitu kepercayaan bahwa
para anggota pasti dipimpin dengan baik, dipengaruhi secara positif,
dan diarahkan pada sasaran-sasaran yang benar. Ada kepercayaan
32
bahwa pemimpin bersama-sama dengan anggota-anggota
kelompoknya secara bersama-bersama rela berjuang untuk mencapai
tujuan yang bernilai.
Dengan demikian sifat-sifat pemimpin tersebut merupakan
landasan utama seorang pemimpin dapat membangun sebuah perilaku
positif jika dilandasi oleh sifat yang positif. Dengan kata lain ketika
seorang pemimpin memiliki sifat-sifat kepemimpinan yang baik, maka
potensial untuk menerapkan gaya kepemimpinan yang baik, sehingga
dapat mencapai efektivitas kepemimpinan pula. Jika sifat pemimpin
tersebut buruk, maka seorang pemimpin cenderung mempraktikan gaya
kepemimpinan yang kurang disukai orang lain sehingga menjadi kurang
efektif.
Pada pembahasan sifat pemimpin ini, penulis akan menyajikan
kepemimpinan Indonesia masa kini dan harapan atas pemerintahan
terpilih yang penulis ambil dari
http://bdkbandung.kemenag.go.id/jurnal/261-kepemimpinan-nasional-
indonesia-kini-dan-di-masa-mendatang, diakses pada tanggal 3 Oktober
2016 pukul 11.35, bahwasannya menjadi pemimpin di zaman reformasi
ini sungguh sangat berat. Di satu pihak kondisi ekonomi sosial
masyarakat terpuruk, tuntutan masyarakat sangat banyak, di pihak lain
sumber daya yang ada memenuhi tuntutan tersebut sangat terbatas.
Namun anehnya, dalam bayang-bayang beratnya tugas dan kewajiban
yang di emban oleh pemimpin, justru pemilihan pimpinan baik eksekutif,
33
legislatif maupun yudikatif di Era Reformasi ini menampakkan gairah
yang luar biasa.
Kepemimpinan nasional mengalami penurunan kualitas, terlihat
dari berbagai kasus penyimpangan yang dilakukan oleh pejabat publik
telah merata di seluruh lembaga negara, baik di legislatif, eksekutif,
maupun yudikatif. Hal itu membuktikan bahwa penurunan kualitas
kepemimpinan nasional telah terjadi. Pejabat publik, yang seharusnya
memberi contoh kepada masyarakat untuk keluar dari krisis nasional,
telah keluar dari nurani kebangsaannya. Kepekaan terhadap
pertanggungjawaban publik sudah hilang. Para pejabat tinggi pada
instansi-instansi strategis bukannya memberi keteladanan, melainkan
mempertontonkan perilaku buruk dalam mengelola otoritas publik.
Adanya kecenderungan kepemimpinan nasional mengalami
disfungsi dikhawatirkan akan meruntuhkan seluruh sistem penegakan
hukum, tidak berfungsinya sistem ketatanegaraan dan hilangnya
kepercayaan publik kepada para pemimpinnya. Meskipun tampak di
permukaan, mayoritas masyarakat cenderung apatis, bukan berarti tidak
ada keresahan sosial yang berpotensi memicu ledakan sosial.
Kesenjangan yang makin lebar antara rakyat kebanyakan yang sangat
menderita akibat krisis ekonomi yang belum pulih, dengan perilaku
kepemimpinan yang korup dan bermewah-mewah secara tidak sah, dapat
memicu munculnya keresahan dan anarki sosial. Bahkan, dalam banyak
kasus, pemerintah cenderung mereduksi keberadaan masyarakat.
34
Sejalan dengan paradigma pemerintahan yang baru menuntut
kegiatan nyata pemimpin yang diarahkan kepada kegiatan-kegiatan yang
kreatif, inovatif, orientasi kepentingan masyarakat, orientasi pelayanan
dan pemberdayaan masyarakat. Seorang pemimpin tidak hanya cukup
mengandalkan intuisi semata, tetapi harus didukung oleh kemampuan
intelektual dan keahlian yang memadai, ketajaman visi serta kemampuan
etika dan moral yang beradab, pemimpin dituntut untuk tanggap terhadap
aspirasi yang berkembang dalam masyarakat serta harus mampu
menyediakan barang dan jasa bagi kepentingan rakyat banyak. Dukungan
terhadap pimpinan dalam sistem pemerintahan modern sangat ditentukan
oleh kemampuannya untuk memberikan rasa aman serta meningkatkan
kesejahteraannya.
Sistem politik yang selama ini di bangun di Indonesia sangat
melekat dan diidentifikasi dengan tokoh pimpinan nasional tertentu.
Sehingga kekeliruan dan kegagalan mereka dilihat sebagai kegagalan
sistem politik secara keseluruhan. Idealnya seorang pimpinan nasional
merupakan kombinasi dari “leader” dan “manager”. Seorang “leader”
dapat mempersatukan pengikutnya serta dapat memberikan visi, misi dan
semangat. Sedangkan “manager” mampu menyatakan dan melaksanakan
tugas-tugas yang diembankan secara efektif dan efisien.
Apabila kita perhatikan, orang-orang yang telah berhasil dalam
masyarakat dan terkenal, hampir memiliki sifat yang sama, diantaranya
35
kekuatan ego yang tinggi, kemampuan berfikir strategis, analisa ke masa
depan, dan suatu kepercayaan dalam prinsip fundamental perilaku
manusia. Mereka mempunyai keyakinan yang kuat, dan tidak ragu-ragu
terhadap keputusan yang diambilnya, cerdas, mempunyai kemampuan
untuk menggunakan kekuasaan demi efisiensi dan kebaikan yang lebih
besar, serta mampu “masuk pada pikiran” orang yang berhubungan
dengan mereka.
Ada tiga karakter pemimpin yang diharapkan masyarakat: pertama,
perencana. Masyarakat membutuhkan sosok pemimpin yang memiliki
kapasitas intelektual memadai dan menguasai kondisi makro nasional
dari berbagai aspek, sehingga dapat menjaga visi perubahan yang
dicitakan bersama. Kedua, Pelayanan. Masyarakat rindu figur pemimpin
yang seorang pekerja tekun dan taat pada proses perencanaan yang sudah
disepakati sebagai konsensus nasional, menguasai detil masalah kunci
kebangsaan dan mampu melibatkan semua elemen yang kompeten dalam
tim kerja yang solid. Ketiga, Pembina. Masyarakat berharap pemimpin
menjadi tonggak pemikiran yang kokoh dan menjadi rujukan semua
pihak dalam pemecahan masalah bangsa, yang setia dengan nilai-nilai
dasar bangsa dan menjadi teladan bagi kehidupan masyarakat secara
konprehensif.
Kepemimpinan nasional baru bukanlah trial and error. Melainkan
upaya pengembangan potensi dengan dihadapkan pada kenyataan aktual.
36
Krisis ekonomi-politik yang masih terus berlanjut menuntut tokoh yang
kompeten di bidangnya dan memiliki visi yang jauh untuk
menyelamatkan bangsa dari keterpurukan. Bencana alam dan sosial yang
terjadi silih berganti menegaskan perlu hadir tokoh yang peka dan cepat
tanggap terhadap penderitaan rakyat serta berempati dengan nasib
mayoritas korban. Pemimpin baru seperti ini bukan hanya dibutuhkan
segera di pentas nasional, juga di tingkat lokal. Karena itu, bangsa ini
membutuhkan secara masif proses pengkaderan yang outputnya bisa
diuji di tingkat regional bahkan global. Indonesia tidak mungkin
memainkan peranan di arena antar bangsa tanpa anak-anak bangsa yang
memiliki kualitas kepemimpinan yang mumpuni.
Di Indonesia ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
proses pembentukan kepemimpinan nasional di masa-masa mendatang.
Indonesia memiliki tingkat kemajemukan masyarakat yang sangat tinggi.
Seorang pemimpin yang dipandang terlalu ekstrim dalam menyuarakan
aspirasi kelompoknya kemungkinan besar akan ditolak oleh kelompok-
kelompok masyarakat yang lain. Dengan demikian, seorang pemimpin
yang berpeluang menarik simpati, atau sekurang-kurangnya tidak ditolak
oleh kelompok-kelompok di luar kelompoknya sendiri, adalah seorang
yang bersikap moderat dan mampu merangkul berbagai pihak.
Mayoritas penduduk Indonesia adalah pemeluk agama Islam yang
cukup taat beragama. Dengan demikian faktor agama diperkirakan akan
37
memainkan peranan yang semakin penting dalam diskursus politik
nasional, termasuk dalam pemilihan pemimpin. Kehidupan nasional telah
menjadi semakin kompleks, tuntutan terhadap tersedianya pelayanan
umum juga semakin meningkat ditengah meningkatnya pendidikan dan
daya kritis masyarakat. Pemimpin masa depan dituntut untuk tidak saja
mahir mengubar janji, tetapi juga harus memiliki pengetahuan yang
memadai dan kompetensi untuk merancang dan melaksanakan program-
program pembangunan.
Pemimpin masa depan harus betul-betul mampu membangun
komunikasi dengan rakyat. Masyarakat Indonesia telah menempatkan
masalah kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) sebagai musuh utama
bangsa yang harus diperangi. Pemimpin nasional masa depan dituntut
untuk memiliki integritas dan moralitas yang tinggi, di samping
menjunjung tinggi "rule of law" demi tegaknya "good governance" dan
"clean government".
Sebagian dilahirkan jadi pemimpin, sebagian meraih prestasi untuk
menjadi pemimpin, sedangkan sebagian lagi "ketiban" jadi pemimpin
tanpa upayanya sendiri. Dalam sistem demokrasi legitimasi kekuasaan
berasal dari amanat rakyat yang datang dari bawah. Setiap pemimpin
yang muncul hendaklah berdasarkan kemampuan dan prestasi yang ia
raih sendiri, sedangkan kekuasaan yang dimiliki berasal dari rakyat
sehingga harus dipersembahkan untuk, dan dipertanggungjawabkan
38
kepada rakyat. Kepemimpinan hanyalah satu bagian saja dari sistem
pemerintahan nasional secara keseluruhannya. Yang sangat diperlukan
ialah suatu sistem politik yang memiliki ketahanan dan kekenyalan
terhadap goncangan-goncangan, antara lain dengan mempunyai
kemampuan untuk melakukan koreksi dan pembaharuan terhadap dirinya
sendiri secara terus menerus. Hal ini hanya mungkin diperoleh apabila
suatu sistem politik memiliki basis dukungan dan legitimasi yang luas,
yang senantiasi terbuka dan tanggap terhadap aspirasi dan kritik, serta
dibatasi kekuasaannya. Melalui sistem inilah para pemimpin nasional
dapat dijaring dan dikontrol. Dalam kerangka itu Negara dan bangsa
Indonesia harus membangun kepemimpinan yang kuat dan berkarakter
pada kelembagaan legislatif, yudikatif dan eksekutif, sehingga mampu
menghadapi persaingan global dan keluar dari krisis multidimensi.
4. Fungsi kepemimpinan
Tentang eksistensi seorang pemimpin, dalam Al-Qur’an surat Al
An’am:165 diterangkan:
39
"Dan dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi
dan dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain)
beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya
kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan
Sesungguhnya dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
(Departemen Agama RI, 1995:119).
Berdasarkan ayat tersebut, seorang pemimpin berarti menjalani
ujian dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya sebagai
pemimpin. Menurut Zelznick sebagaimana disalin oleh Richard H. Hall
dalam bukunya yang berjudul Organization Structure and Process,
mengatakan bahwa seorang pemimpin memiliki fungsi sebagai berikut:
a) Involes the definition of the institusional organization mission and
role
Di sini mempunyai arti bahwa seorang pemimpin harus bisa
mendefinisikan misi dan peran organisasi, sehingga seorang pemimpin
harus mengerti apa sebenarnya tujuan dan fungsi dari organisasi yang
dipimpinnya. Walaupun berjalannya kinerja dari sebuah organisasi
merupakan tanggung jawab dari semua pengurus, akan tetapi yang
menjadi penggerak utama dari berjalannya kinerja pengurus adalah
tanggung jawab dari seorang pemimpin.
b) The institusional embodiment of purpose
Seorang pemimpin merupakan pengejawantahan tujuan organisasi.
Dengan kata lain, bahwa kesuksesan dari sebuah oraganisasi bisa
dilihat dan dinilai dari seorang yang berperan menjadi pemimpin
dalam sebuah organisasi tersebut.
40
c) To defend the organnization‟s intregation
Menurutnya, seorang pemimpin harus mampu mempertahankan
keutuhan organisasi. Keutuhan organisasi bisa bertahan, manakala
seorang pemimpin mampu menghidupkan suasana kebersamaan,
kekeluargaan, dan kekompakan antar anggota. Dari situ maka masing-
masing dari anggota bisa bekerja secara profesional sesuai dengan visi
dan misi yang mengarah pada tujuan akhir dari organisasi tersebut.
d) The ondering of internal conflict
Seorang pemimpin harus memiliki kemampuan dalam
mengendalikan konflik internal yang terjadi dalam organisasinya. Ini
merupakan sebuah tantangan besar yang dihadapi pemimpin. Dalam
menghadapi tantangan eksternal, sebuah organisasi bisa menghadapi
dengan proses yang lancar apabila sudah ada kekompakan di tubuh
internal, Akan tetapi, bila di tubuh internal sendiri sudah terjadi
konflik, maka akan memicu kegagalan sebuah organisasi dalam
mencapai tujuan akhir. Disinilah, seorang pemimpin di tuntut selalu
bisa mengayomi anak buahnya tanpa adanya sentimen-sentimen
pribadi (Husaini, 2006:251).
Selanjutnya Kartini Kartono (2001:81) mengutarakan bahwa :
Fungsi kepemimpinan ialah memandu, menuntun, membimbing,
membangun, memberi atau membangunkan motivasi-motivasi
kerja, mengemudikan organisasi, menjalin jaringan-jaringan
komunikasi yang baik, memberikan supervisi/pengawasan yang
efisien dan membawa para pengikutnya kepada sasaran yang ingin
dituju, sesuai dengan ketentuan waktu dan perencanaan.
41
Dari beberapa fungsi kepemimpinan tersebut, penulis dapat
menyimpulkan bahwa fungsi kepemimpinan adalah memandu,
membimbing, memotivasi, mengkoordinir, menjalin jaringan, dan
memberi supervisi yang efisien kepada anak buahnya serta membawa
organisasi yang dipimpin pada sasaran dan sesuai program kerjanya.
B. Pemikiran Syeikh Musthafa Al Ghalayaini tentang Nilai-Nilai
Pendidikan Kepemimpinan dalam Kitab I’dhotun Nasyiin.
1. Arti Kepemimpinan dalam kitab I’dhotun Nasyiin
Manusia adalah makhluk sosial yang menjadi pemimpin bagi dirinya
sendiri dan menjadi pemimpin bagi orang lain. Menjadi pemimpin berarti
menjadi seseorang yang memiliki tanggung jawab lebih dalam hidup.
Hukum Allah (Sunatullah) telah menetapkan, bahwa dalam setiap
bentuk makhluk yang diciptakan Allah, pasti ada yang memimpin dan
ada yang dipimpin. Ada yang mengatur dan ada yang diatur. Hal itu agar
pemikiran-pemikiran itu tidak tumpang tindih dan keinginan-keinginan
tidak bersimpang siur, yang mengakibatkan keretakan kerukunan, putus
tali kasih sayang, pudar persatuan dan perselisihan (Al-Ghalayaini,
t.t:149).
Setiap golongan yang tidak memiliki pemimpin yang bisa mereka
jadikan tempat mengadukan kesulitan-kesulitan mereka itu, sama halnya
mereka sedang naik kuda (kendaraan) liar yang nakal, pada malam hari
42
yang gelap gulita (dalam keadaan panik dan bingung mengatasi kesulitan
yang dihadapi).
Para pemimpin setiap bangsa adalah roh persatuan mereka dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Apabila para pemimpin itu
rusak, maka rusaklah umat dan bangsa itu, dan jika mereka baik, maka
umat atau bangsa itu menjadi baik juga. Karena, umat akan berdiri tegak,
kokoh dan sejahtera, manakala pemimpin-pemimpin umat itu
menggerakannya. Jika mereka (umat) sedang loyo, lalu mereka
meluruskannya ketika bengkok, menarik tangannya ketika mereka (umat)
jauh dan membimbingnya ketika sedang sesat (Al-Ghalayaini, t.t:150-
151).
Al Ghalayaini mengatakan dalam kitabnya “idhotun Nasyiin”
bahwasannya:
٠ذب . تد شا ب ش ع أ و ئ ١ خ١فت هللا ف األس ض ، غب اإل
ب وبب ١ش ف اغ أزغ اعتخشج -فا ش ألطب سب ، ع ب فذ بش ثئ
خ١ش ششاع ح اعذي ف١ب، ب عب سف تب، ثش أثب سوب اتب،
ب اخب ك ات ع ببأل بظ١ اع ٠سذع ب ب، عى س١ر ب١ اص
ف١ب زمب، -عبسب خ١فت ب ب. وب ب أع ص ب١ذ ظ
“Manusia adalah khalifah Allah yang diserahi tugas memakmurkan
dan membangun bumi oleh-Nya. Apabila manusia berlaku baik di
seluruh bumi ini, mengaturnya dengan baik, membangun kawasan-
kawasan yang perlu dibangun, mengeluarkan hasil buminya dan
mengolah kekayaannya dengan cara sebaik mungkin, berbuat adil dalam
segala persoalan, menyebarkan ilmu pengetahuan di kalangan penduduk
dan tidak menyimpang dari peraturan yang telah digariskan oleh Sang
43
Pencipta, yakni Allah swt, maka manusia seperti itulah yang benar-benar
dinamakan khalifah Allah swt dan semua urusan pengendalian tugas-
tugas berada di tangan kekuasaannya” (Al-Ghalayaini, t.t:251).
Sebaliknya, barangsiapa yang buruk perilakunya dan tidak baik
dalam melaksanakan tugas-tugas yang diserahkan kepadanya, sesuai
hukum-hukum Allah serta melupakan apa yang sudah diamanatkan,
maka manusia seperti itu akan dikenai apa yang telah dialami oleh
manusia yang semacam dengannya. Keadaannya berbalik total, kalau
semula mulia berubah menjadi hina. Kalau semula tinggi kedudukannya
berbalik menjadi rendah. Kalau semula berkuasa, berbalik dikuasai
(hilang kekuasaanya). Kalau semula kaya berbalik menjadi miskin. Apa
yang dimilikinya (berupa kehormatan dan kekayaan) dicabut oleh Allah
dan diwariskan kepada orang lain. Kekuasaan yang ada padanya dicabut
oleh-Nya dan diberikan kepada orang lain. Hal ini sudah dijelaskan oleh
Allah dalam firman-Nya QS. Al- Anbiyaa:105
“Dan sungguh Telah kami tulis didalam Zabur sesudah (Kami tulis
dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi Ini dipusakai hamba-hambaKu
yang saleh”.
Yang dimaksud dengan kata-kata Ash-Shalihun (orang-orang yang
saleh) dalam ayat tersebut adalah orang-orang yang mampu menata atau
memanage bumi dengan baik, mengatur pekerjaan-pekerjaan dengan
sempurna dan memperbaiki kondisi penduduknya, dengan cara
44
menyebarkan ilmu pengetahuan, menegakkan keadilan, berhati-hati
menghadapi lawan dan menciptakan usaha-usaha yang bermanfaat,
seperti bidang pertanian, perindustrian, dan perdagangan. Jadi, kata Ash-
Shalihun tersebut, sama sekali bukan orang-orang yang rukuk dan sujud,
sementara enggan berusaha melakukan hal-hal yang menyebabkan dapat
menguasai bumi. Masalah ibadah adalah masalah spiritual (keagamaan),
yang membuatnya hanya kembali pada yang melakukannya saja di
akhirat nanti, sedangkan urusan menata bumi adalah persoalan material
(duniawi) yang tidak mungkin ditempuh, kecuali melalui usaha yang
telah ditunjukkan oleh Allah swt dan perantaraan-perantaraan yang siapa
saja mau menggunakan lantaran itu, pasti dapat memegang atau
menguasai kekuasaan di bumi ini (Al-Ghalayaini, t.t:252-254).
Pemimpin yang baik ialah pemimpin yang disayangi rakyat atau
orang bawahannya. Oleh karena itu seorang pemimpin hendaklah
memupuk kesetiaan masyarakat kepada kepemimpinannya dan jangan
melakukan sesuatu yang melemahkan kepercayaan mereka dan kesetiaan
mereka.
م د، فع١ه أ٠باب شء، بب خ ذ ا س اخب، فا بب ١ب
سأط األخالق . ، شا ع ا عش
“Wahai generasi muda, kalian wajib melaksanakan apa yang telah
menjadi kewajiban kalian semua, sebab memenuhi kewajiban itu
merupakan roh setiap barang yang ada di dunia ini. Ia merupakan
rahasia kemakmuran hidup sebagai sumber akhlak yang mulia”.
45
. فغ أ ن صف فغه، ٠ صف ابط أ
“Bersikap adil kepada orang lain, mereka pasti bersikap adil
kepada kalian”.
اخب ع بب ل ن س اخب ع١ بب غ١شن ٠م ١ه س
“Kerjakanlah kewajiban yang menjadi tanggung jawab kalian
terhadap orang lain, pasti orang lain pun akan melaksanakan
kewajibannya kepadamu”.(Al Ghalayaini, t.t:199).
Seorang pemimpin itu wajib melaksanakan kewajibannya terhadap
rakyatnya, dengan cara menjalankan tugas dengan jujur, tidak boleh
melarikan diri dari tanggung jawabnya, dan rakyat hendaklah dilayani
dengan adil dan seksama. Di setiap langkah sebagai seorang pemimpin,
Allah akan memberikan peringatan bagi kaum Muslimin agar selalu
berhati-hati tentang apa yang akan dilakukan sebagai khalifah Allah di
bumi.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan menurut
Syeikh Musthafa Al Ghalayaini ialah seseorang yang mampu
mengarahkan, mempengaruhi, membimbing, melayani dan melindungi
individu lain dalam proses pencapaian tujuan, serta ada usaha kerja sama
yang tidak menyimpang dari peraturan yang telah digariskan oleh Allah
swt sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits untuk mencapai tujuan yang
diinginkan bersama.
46
2. Syarat-Syarat Kepemimpinan dalam kitab I’dhotun Nasyiin
Menjadi seorang pemimpin bukan perkara yang mudah, pemimpin
harus memenuhi syarat-syarat tertentu agar bisa menjalankan roda
kepemimpinan dengan maksimal. Syarat pemimpin merupakan segala
sesuatu yang harus dipenuhi seorang pemimpin agar dalam menjalankan
masa kepemimpinan bisa berjalan dengan lancar dan lebih disegani
bawahannya.
Menurut Syeikh Musthafa Al-Ghalayaini dalam kitabnya “Idhotun
Nasyiin”, mengatakan bahwa :
ل ئب عت ط اش فشف١ شش ب زمب، زت تت ئ١ظ سئ١غ اش ٠ى
طب سة ت، اشب ءة، ش ا ، خذا ت ا صس ، ع ا ، عم ا
د بزي ا ا ، ىش ا ١شة، اغ زغ ش٠شة، ت اغ ئز١ب ءاأل ، ف عب١
ع١ب األعببء،وب بز لب ح ح زاا عب. ف ف سب ع ششا
ع ئل ف بء، ع اض ب صع١ ؤعبء، اش ب سئ١غ ، األع١ب
. ا دخ١ اششف طف١ ت عب اض ئب عت اش خب ت
“Seorang pemimpin itu belum bisa dianggap sebagai pemimpin
yang sejati, kecuali dia telah memenuhi syarat-syarat kepemimpinan,
yakni berpikiran cerdas, berwawasan luas, baik pendapatnya, bisa
mengendalikan diri, perkasa, bersih atau tulus hatinya, baik perilakunya,
dermawan, banyak memberikan bantuan keuangan demi kesejahteraan
umat dan giat menyebarkan ilmu pengetahuan ke seluruh pelosok tempat
tinggal umat. Barangsiapa yang jejak perjalanannya seperti itu dan
sanggup memikul tanggung jawab berat sebagaimana tersebut, maka dia
baru bisa disebut sebagai “tokoh pemimpin sejati”. Jika ada orang yang
tidak memenuhi syarat-syarat tersebut untuk menjadi pemimpin, maka
orang itu termasuk perampas yang bodoh, tetapi mengaku pintar ingin
47
menjadi pemimpin, karena gila pangkat semata” (Al-Ghalayaini,
t.t:151).
Dari beberapa syarat-syarat kepemimpinan tersebut, penulis dapat
meyimpulkan bahwa syarat kepemimpinan itu diantaranya:
a. Mempunyai moralitas yang baik
Para pemimpin itu hendaklah berakhlak terpuji, senantiasa berkata
jujur, teguh memegang amanah, tidak gemar melakukan perbuatan
dosa dan maksiat seperti korupsi, manipulasi, dusta maupun khianat
dan tidak suka bermaksiat kepada Allah.
b. Berilmu pengetahuan
Selayaknya seorang pemimpin mempunyai pengetahuan yang
mencakup tentang administrasi negara, politik, hukum, maupun
agama. Allah menggambarkan tipe pemimpin itu dalam Al Qur’an
surat Yusuf : 55
“Berkata Yusuf: "Jadikanlah Aku bendaharawan negara (Mesir);
Sesungguhnya Aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi
berpengetahuan".(Qs Yusuf:55).
c. Mempunyai kemampuan
Seorang pemimpin itu hendaknya mampu menjalankan tugas
(kompeten) dan konsekuen (istiqomah) memikul tanggung jawab yang
diamanahkan kepadanya, dan ia harus memiliki kemampuan dan
48
keberanian untuk menegakkan keadilan serta melaksanakan amar
ma‟ruf nahi munkar.
d. Mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap rakyat dan mempunyai
sifat kasih sayang
Pemimpin itu selayaknya ialah orang yang mampu mengayomi dan
bersedia berkorban untuk kepentingan rakyat yang lebih luas baik
pemimpin di bidang agama, pemerintahan maupun sosial
kemasyarakatan. Rakyat butuh pemimpin yang peduli, mampu
melindungi dan memberikan rasa aman terhadap berbagai ketakutan.
3. Tipologi Kepemimpinan dalam kitab I’dhotun Nasyiin
Kecintaan terhadap jabatan kepemimpinan (ambisi menjadi
pemimpin) adalah merupakan penyakit bangsa timur yang amat
berbahaya, sedangkan berebut atau bersaing menjadi pemimpin adalah
merupakan penyakit orang timur yang kronis. Begitu juga setiap ada
pemimpin yang tampil, pasti timbul kecemburuan terhadapnya di hati
bangsanya dan rasa dendam pada jiwa semakin membara. Lalu mereka
melakukan adu domba, menjelek-jelekkan pemimpin tadi, mencurahkan
segala kekuatan yang mereka miliki untuk menjatuhkannya, menyatakan
terang-terangan menentang (menjadi oposisi) dan menghujatnya secara
terang-terangan.
Apabila pemimpin tersebut pemimpin sejati, maka dia tidak
mempedulikan serangan-serangan itu dan menghiraukannya, Tetapi, dia
49
malah semakin teguh melanjutkan apa yang dia rencanakan, berupaya
menciptakan kemakmuran untuk rakyatnya, tanpa mempedulikan
hambatan-hambatan, pergolakan dan kesulitan-kesulitan serta tidak mau
mengumpulkan massa untuk unjuk kekuatannya. Sebaliknya, apabila
pemimpin tersebut guncang saat pertama kali mendapat tantangan, maka
dia adalah orang yang lemah kemauan dan jiwanya. Semestinya, orang
seperti ini tidak mau dijadikan pemimpin bangsanya (Al Ghalayaini,
t.t:156).
Menurut Syeikh Musthafa Al-Ghalayaini bahwasannya jabatan
kepemimpinan itu bukanlah seperti barang yang bisa dibeli dan bukan
seperti baju, yang jika dipakai seseorang, lantas seseorang itu sudah
dapat, maka dianggap menjadi pemimpin. Sesungguhnya, pemimpin itu
roh umat atau bangsa, setiap bangsa yang dipimpin oleh orang yang tidak
jelas pendiriannya, pemerintahannya dikendalikan oleh orang-orang yang
bodoh dan pemuka-pemuka atau tokoh-tokoh mereka terdiri dari orang-
orang yang rendah dan berakhlak tercela, maka bangsa itu positif bobrok,
kacau dan akhirnya hancur (Al Ghalayaini, t.t:157-158).
خبي، تشغ١ب اب ط ف سئب ٠بث اش بي، ٠بذي ا ئ١ظ ١ظ اش
ئب عت وب ت اش ئ١ظ ب اش ئ ، ت صعب ي ع تفب ف ز اإل ، عت
. أخالل خمب
“Pemimpin yang sejati itu, bukanlah orang yang suka bagi-bagi
uang dan merangkul tokoh-tokoh, yang tujuannya hanya agar orang-
orang menyukai dan mendukung kepemimpinannya. Namun, pemimpin
50
yang sebenarnya ialah orang yang kepemimpinannya itu mencerminkan
budi pekertinya yang luhur”.
Kepemimpinan yang demikian itu tidak bakal terwujud, kecuali
dalam diri orang yang telah dikenal sifat-sifat kemuliaannya, tidak
berlaku negatif, murni gagasannya, teguh hatinya, tinggi cita-citanya,
bersih janjinya (tanpa menginginkan timbal balik), cerdas pikirannya,
kuat fisiknya, ramah, bersih kepribadiaannya, jelas moralnya, bersih
nasabnya dari cacat moral, tanggap terhadap tuntutan rakyat, dan bekerja
keras demi kepentingan dan kemajuan mereka. Barangsiapa yang
memiliki sifat dan kepribadian seperti yang diuraikan di atas, maka dia
pasti mempimpin dan memeritah orang banyak, semua ucapan dan
petuahnya pasti didengar dan ditaati oleh rakyat, memiliki wibawa dan
kedudukan yang tinggi di kalangan mereka (Al Ghalayaini, t.t:159).
Kepemimpinan yang bobrok dapat dilihat dari sekelompok orang,
yang jika mengalami kegagalan dalam usahanya (memenuhi ambisinya)
merebut kekuasaan (dari pemimpin yang sebenarnya sudah baik), yang
mereka inginkan, maka mereka mulai bangkit memprovokasi umat
dengan atas nama agama, padahal kelompok ini sebenarnya paling ingkar
dengan agama. Mereka gampang mengatakan orang lain sebagai kafir,
ateis, sesat dan fasik.
Untuk memenuhi keinginan yang sesat itu, mereka menggunakan
cara-cara yang hina dan keji, orang-orang yang seperti ini biasanya suka
menggunjing dan memprovokasi umat atau rakyat, agar tidak mendukung
pemimpin yang sedang berkuasa (yang sebenarnya sudah baik) dan
51
mencemarkan nama baik pemimpin-pemimpin itu, sehingga terjadi krisis
kepercayaan, yang akhirnya terjadi kefakuman. Situasi seperti itu oleh
golongan tersebut dimanfaatkan sebagai jalan mencapai apa yang mereka
maksud, yaitu mengambil alih kekusaan dan kepemimpinan, sehingga
mereka bisa menjadi pemimpin. Padahal mereka tidak menyadari, bahwa
apa yang telah mereka lakukan itu sebenarnya membuka cacat dan
kejahatan mereka sendiri, yang pada akhirnya rakyat menjauhi mereka,
tidak memperhatikannya, bahkan membenci dan marah kepada mereka
(Al-Ghalayaini, t.t:160-161).
4. Nilai-nilai Pendidikan Kepemimpinan dalam kitab I’dhotun Nasyiin
Syeikh Musthafa Al Ghalayaini dengan pemikirannya dalam kitab
Idhotun Nasyiin menekankan pada akhlak, etika dan kemasyarakatan.
Kitab ini berisi bimbingan untuk generasi muda muslim, agar menjadi
individu-individu yang bersih dari sifat-sifat yang tidak terpuji, berakhlak
mulia dan mengerti, sebagaimana ia bersikap, menghadapi segala
peristiwa yang dialami bangsanya.
Sebagaimana Al Ghalayaini dalam pidatonya yang ditulis dalam
kitab Idhotun Nasyiin terdapat nilai-nilai pendidikan kepemimpinan,
dapat dilihat dari beberapa kriteria sifat-sifat pemimpin yang baik yaitu
sebagai berikut:
a. Rendah hati dan sederhana
Firman Allah dalam QS. Luqman:18
52
“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia
(karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan
angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
sombong lagi membanggakan diri” (QS. Luqman:18).
Dari ayat tersebut sudah jelas bahwa seberapapun kita lebih
unggul dari orang lain kita tetaplah makhluk yang kecil di hadapan
sang Pencipta, dengan hendaklah selalu rendah hati.
Dalam pidatonya yang disampaikan Syeikh Musthafa Al-
Ghalayaini dimana telah dikutip dalam kitab Idhotun Nasyiin, “Wahai
generasi muda, berpegang teguhlah dengan sikap moderat (sedang).
Janganlah kalian membiarkan setan mendorongmu bersikap
terlampau berlebihan (ekstrem) atau terlampau kurang (konservatif).
Sebab, perkara yang paling baik adalah yang tengah-tengah, karena
didalamnya terdapat kemuliaan, dan kemuliaan itualah yang dicari
oleh orang-orang yang menginginkan hidup mulia” (Al-Ghalayaini,
t.t:174).
Kesederhanaan merupakan sikap tengah-tengah dalam setiap
persoalan. Menurut kaidah umum, segala sesuatu yang telah
melampaui batas maksimal, yang terjadi justru adalah sebaliknya.
Dalam hal ini Syeikh Musthafa Al-Ghalayaini memberikan gambaran
bahwa ketakwaan yang melampaui batas justru menumbuhkan rasa
was-was dalam hati.
Seorang pemimpin yang baik itu jangan sekali-kali bersikap
sombong atau juga merasa lebih tahu, lebih pandai dari yang lainnya.
Ketahuilah bahwa setiap manusia itu mempunyai kelemahan dan
53
kelebihan masing-masing, jadi tidak ada hak sama sekali seorang
pemimpin itu sombong. Pemimpin yang baik juga hendaklah
sederhana, misalnya gaya hidup tidak berlebihan dan berkemewahan
karena itu akan mengakibatkan kecemburuan dan sakit hati
bawahannya.
b. Suka menolong
Sesungguhnya sikap dan usahamu berbuat baik kepada orang
lain, berarti engkau telah menanamkan (mengukir) rasa cinta dalam
hati orang itu, yang tidak bisa dihapus, kecuali jika engkau berbuat
jahat kepadanya. Tetapi orang yang berhati mulia dan berakhlak baik,
tidak mungkin akan melakukan perbuatan jahat sesudah ia berbuat
baik.
Apabila engkau berbuat baik kepada seluruh umat, maka berarti
engkau ibarat orang yang membangun sebuah monumen dan
panggung (mimbar) kecintaan dalam setiap hari tiap-tiap anggota
umat tersebut yang tidak mungkin terlupakan selama umat itu masih
ada. Artinya kebaikan atau jasa baik kalian kepada masyarakat akan
tetap dikenang mereka selama-lamanya, selama mereka masih hidup
(Al Ghalayaini, t.t:220-221).
Seorang pemimpin hendaknya selalu siap sedia untuk membantu
bawahannya, juga hendaknya selalu mendengarkan kesulitan yang
disampaikan bawahan. Dengan begitu maka pemimpin akan dianggap
sebagai pelindung dan pembimbing yang baik.
54
c. Sabar dan kestabilan emosi
Dalam melakukan setiap perbuatan dan mengambil sebuah
keputusan, peran akan (logika) menempati posisi yang paling penting.
Sebab tanpa melibatkan akal, maka hasil yang akan diperoleh tentunya
tidak akan sesuai dengan apa yang diharapkan. Orang yang berakal
selalu memperhitungkan aspek-aspek baik dan buruk yang
ditimbulkan oleh perbuatan tersebut. Hal ini berbeda sekali dengan
orang yang lebih mengedepankan ego (hawa nafsu) ketimbang akal.
Akibatnya kemudian apabila ia menghadapi sebuah kesulitan, ia
menjadi manusia yang amat bingung, selalu berhati gelisah, tidak
berjiwa mantab dan bahkan berusaha mundur untuk menghindarkan
diri dari kesulitan tersebut.
Dalam hal ini seorang pemimpin setidaknya memiliki sifat
sabar, tidak mudah kecewa, bisa mengendalikan dirinya dalam
menghadapi anak buahnya dan harus bisa mengatur emosinya.
Dengan begitu sifat sabar tersebut akan membuat bawahan merasa
aman, tidak merasa ditekan dan tidak merasa takut.
Menurut Syeikh Musthafa Al Ghalayaini dalam kitabnya
Idhotun Nasyiin, mengatakan “Sesungguhnya orang yang berakal
sempurna ialah orang yang sabar terhadap segala macam kesulitan,
juga sanggup menghadapinya dengan hati yang tabah dan teguh.
Orang yang berakal sempurna, bukanlah orang yang mudah bingung
ketika menghadapi kesulitan dan selalu gelisah” (Al Ghalayaini,
t.t:5).
55
Jiwa orang yang cerdik itu di dalamnya mesti ada sifat atau
watak tenang dan sabar. Ia berusaha dengan tenang dalam
menyingkirkan bencana yang menimpa dirinya dan tidak bingung
dalam mencegah bencana itu.
Adapun jiwa orang-orang yang bodoh itu selalu bingung setiap
kali menghadapi kesulitan, meskipun itu sangat kecil. Sebab, dia telah
berkeyakinan, bahwa dirinya tidak sanggup menghadapinya dan tidak
mampu menolaknya. Dia merasa tidak bisa membebaskan diri dari
persoalan yang dihadapinya. Itulah perbedaan antara dua jiwa manusia
(Al Ghalayaini, t.t:6).
Allah swt akan memberi balasan kepada orang yang sabar dalam
mendidik jiwanya dan akan mengangkat derajat mereka, sama dengan
derajat orang-orang yang mendapat hidayah dan menyelamatkan
mereka dari kedudukannya yang tidak jelas.
Dalam pidatonya Syeikh Musthafa Al-Ghalayaini
menyampaikan:
عبلبت ر ه دبذ : فا و أ دع عى ز ٠ب ف بشع ت فا اص
. سغ١١ ص بب اف ، ععب دة اس١ب ت١ ، ا س٠ اذ
“Saya menyerukan kepada kalian semua, hendaklah bersabar
dalam mendidik jiwa kalian semua. Sebab, sesungguhnya hal itu
menyebabkan kebahagiaan kebahagiaan dunia dan akhirat” (Al
Ghalayaini, t.t:7).
56
d. Percaya pada diri sendiri
Bangsa barat itu tidak akan mengalami kemajuan dan tidak akan
mencapai kemajuan dalam bidang perdaban, pandangan dan
pemerintahan, kecuali setelah mereka mendidik para generasi muda
mereka untuk bebas berpikir dan percaya pada diri sendiri.
Syeikh Musthafa Al Ghalayaini mengatakan bahwasannya:
apabila seorang anak sudah mulai timbul pikirannya, maka kedua
orangtuanya wajib membiasakan anaknya itu mandiri dalam semua
urusannya, sehingga ketika dia menginjak usia remaja, akan menjadi
orang yang berjiwa gemar mengabdi kepada bangsanya, seperti
pengabdian orang-orang besar dan kuat. Manakala pemuda-pemuda
yang biasa hidup mandiri itu semakin banyak jumlahnya, maka dari
mereka inilah terbentuk bangsa yang baik dan layak menjadi pewaris
bumi (Al Ghalayaini, t.t:293).
Pemimpin itu harus mempunyai keyakinan bahwa ia mampu dan
bisa memimpin dengan apa yang dia miliki dan dia harus yakin
dengan dirinya sendiri atas kemampuan yang dimilikinya. Setiap
orang bisa mengukur kemampuan dirinya sendiri, oleh karena itu
jangan memaksakan kehendak menduduki jabatan jika memang
seseorang tidaklah mampu atas jabatan tersebut.
e. Jujur, adil dan dapat dipercaya
Perlu diingat, bahwa poros kepercayaan itu ada pada tiap-tiap
individu anggota umat. Apabila kadar kejujuran dan kemuliaan jiwa
dalam umat itu besar, maka kepercayaan di antara mereka juga besar.
Dan apabila kadar dua sifat mulia tersebut rendah, maka kepercayaan
di antara mereka juga sangat rendah dan tatanan kerja pun menjadi
rumit. Semua itu dapat mengusik ketentraman dan kebahagiaan semua
57
umat. Dalam pidatonya Syeikh Musthafa Al-Ghalayaini memberikan
pesan yang mengatakan:
ت فغى ا أ ض أ ، اع ي ، صذ ق ام عششاب شئ١ ا ، د ع
ثمت ت ت . ١ى ع ٠ ط ا ثمت بى عذ ، تى اإل٠فبء بب اإلببء
فس١ ا ت ، و بب ثمت اب ط بى ب ؛ فا ى تضعف أ ئ ٠ب و .
. تع١ش
“wahai, generasi muda, biasakanlah jujur (benar) dalam
bertutur kata dan beramal. Paksaan dirimu memenuhi janji, kalian
kan memperoleh kepercayaan dan jika engkau telah mendapat
kepercayaan dari masyarakat, maka kalian termasuk orang-orang
yang bahagia. Hati-hatilah, jangan sampai kalian meremehkan
kepercayaan, sebab dengan modal kepercayaan itulah kalian bisa
hidup” (Al Ghalayaini, t.t:209).
Pemimpin yang baik menurut Nabi, adalah pemimpin yang adil
(imamun „akilun), yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya
(Mubarok, 2003:12). Seorang pemimpin hendaknya terbuka dan terus
terang terhadap bawahannya sehingga tidak terjadi kesalahpahaman
dalam bekerja dan harus memeliki keteladanan yang baik (uswatun
hasanah) dan ucapan-ucapannya harus bisa dipertanggung
jawabkannya. Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah dalam surat
Al Maidah ayat 8:
58
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang
yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi
dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu
kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah,
Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada
Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan.”(Departemen Agama RI, 1989:159)
Dampak dari kepemimpinan seorang pemimpin akan sangat
besar implikasinya terhadap bawahannya. Jika keputusannya tepat,
maka kebaikan akan dapat dirasakan oleh anak buahnya, tapi jika
keliru maka bawahan akan menanggung derita karenanya.
Dari uraian di atas dapat dipahami bersama, bahwa dalam
menjalankan proses kepemimpinan, setidaknya ada syarat-syarat yang
harus dipenuhi agar dalam proses kepemimpinannya bisa berjalan seperti
yang telah direncanakan. Memang benar, sangat sulit untuk memenuhi
syarat menjadi pemimpin sesuai dengan teori-teori yang ada, akan tetapi
pemimpin haruslah berusaha secara maksimal agar memperoleh hasil yang
maksimal pula.
Syeikh Musthafa Al-ghalayaini menasehati kaum remaja agar
memiliki akhlak yang terpuji untuk membentuk kepemimpinan yang baik
sebagaimana dalam pidatonya sebagai berikut:
59
؛ خك افب ض ه بب غ ت ؛ اىب ء ، ئ اع ، أ ٠ب اب ش فتمذ
ا ع اع ألذ صع١ ا خر ؛ تى اش عم ا بب غتششذ ب ر ، ص
سئ١ظ عش١شته. ه ل
“Majulah, wahai, generasi muda, untuk menuntut ilmu secara
sempurna, berpegang teguhlah dengan akhlak mulia dan rajinlah
beramal saleh dengan bimbingan akal yang sehat, agar engkau kelak
menjadi pemimpin bangsamu dan kepala dalam keluargamu”
ئب عت ، ك اش ٠غش ن س ت ، أ تسذ ثه فغه بب ض عب ئ ٠ب ن ا
؛ فتدب ئ ل ب بأ ت غت أ ئ فغه از ي . ، ٠ ه ا .
"Waspadalah terhadap bisikan hatimu untuk berambisi memegang
jabatan kepemimpinan atau rayuan yang merayumu dengan keenakan
memegang jabatan kepemimpinan. Sedangkan engkau belum layak
mendudukinya, engkau justru akan menjerumuskan umatmu ke jurang
kesengsaraan dan engkau sendiri menjadi hina."
Seperti sebuah syair yang disampaikan Syeikh Musthafa Al Ghalayaini:
ض ل عشا ة ف ل ٠صر ام
ا عب د ل عشا ة ئرا خب
ا ذ ب١ت ل ٠بت ئل ع
تب د تشط أ ب د ئرا ل ع
Suatu bangsa takkan hidup baik tanpa pemimpin,
Dan tidah ada guna pemimpin, jika orang-orang bodoh tampil menjadi
pemimpin.
60
Rumah takkan bisa berdiri tegak tnpa pilar,
Dan tiada pilar yang berdiri tanpa dasar,
Jika lengkap dasar dan pilar-pilar,
Maka suatu saat rakyat itu sampai pada apa yang diharap (Al Ghalayaini,
t.t:153-154).
-(Syeikh Musthafa Al Ghalayaini)-
61
BAB III
BIOGRAFI SYEIKH MUSTHAFA AL-GHALAYAINI
A. Latar Belakang Penulisan Kitab I’dhotun Nasyiin
Kitab I’dhotun Nasyiin yang ditulis oleh Syeikh Musthafa Al-
Ghalayaini dilatar belakangi ketika al-Ghalayaini menulis nasehat-nasehat
berharga di koran al-Mufid dengan judul Nasehat untuk Generasi Muda, di
bawah asuhan Abu Fayyadh, artikel tersebut telah menyita perhatian para
pembaca karena memiliki kesan positif dan pengaruh luar biasa pada jiwa
para pembacanya, sehingga sebagian besar mereka mengusulkan, agar
artikel tersebut dibukukan, dicetak dalam bentuk buku dan diedarkan dalam
masyarakat luas, khususnya mereka yang belum sempat menelaah koran
tersebut (Al-Ghalayaini, t.t: 7).
Setelah memahami keinginan mereka kemudian al-Ghalayaini
bertekad mengedarkan nasehat-nasehat tersebut di kalangan generasi muda
ini, dengan harapan semoga nasehat-nasehat tersebut dapat menjadi
penerang dan petunjuk bagi mereka (Al-Ghalayaini, t.t:7).
Melalui buku ini Syeikh Musthafa Al-Ghalayaini seorang tokoh ulama
modern memberikan nasehat dan petunjuk yang berguna bagi kaum remaja
dan pemuda harapan bangsa sebagai penyuluh dan penerangan serta
pedoman hidup untuk mencapai akhlak yang luhur.
62
B. Sistematika Penulisan Kitab I’dhotun Nasyiin
Kitab I‟dhotun Nasyiin karya Syeikh Musthafa Al-Ghalayaini
memiliki sistematika hampir sama dengan kitab lainnya, dengan halaman
pertama judul diikuti dengan nama pengarangnya yaitu Syeikh Musthafa Al-
Ghalayaini.
Halaman berikutnya adalah tentang latar belakang penulisan kitab
I‟dhotun Nasyiin. Dengan bahasa yang halus dan sopan penulisannya
didahului dengan bacaan basmalah kemudian diikuti penjelasan tentang
permulaan kejadian yang mendorong untuk penulisan kitab I‟dhotun
Nasyiin tersebut.
Pembahasan selanjutnya tentang materi yang berhubungan dengan
akhlak, etika dan kemasyarakatan yang diakhiri dengan doa. Kitab tersebut,
menjelaskan sistem pergantian antara pembahasan masalah yang satu
dengan pembahasan masalah yang lain yang ditandai dengan bab-bab
tertentu yang sesuai dengan pembahasan masalah.
Lebih simpelnya, sistematika penulisan kitab I‟dhotun Nasyiin dapat
dibagi menjadi empat bagian, yaitu:
1. Halaman judul
2. Latar belakang penulisan
3. Muqodimah
Dalam bagian ini berisi nasihat Al Ghalayaini yang mengatakan
bahwa : “Ini adalah berbagai nasihat yang sangat berguna. Ia bagikan
mutiara yang berkilauan. Kalian semua akan melihatnya tersusun rapi
dalam tatanan yang indah, dan manfaatnya sangat banyak. Ia
diungkapkan dengan kata-kata yang penuh hikmah, dapat memberi
petunjuk ke jalan yang lurus dengan cara yang bijaksana. Ia akan
63
menuntun kepada setiap orang yang mengamalkannya ke jalan yang
benar.
Buku ini dapat dikatakan suatu wadah yang penuh ibarat, tamsil dan
percontohan, juga sebagai suatu bejana yang tiada isi dan
kandungannya kecuali petunjuk baik, nasehat berharga dan petuah yang
tiada ternilai harganya. Wahai generasi muda, berpegang teguhlah pada
nasehat-nasehat ini. Sebab, ia akan menjadi benteng yang
menyelamatkan engkau, pada saat engkau masih muda dan akan menjadi
simpanan berharga di saat engkau menjadi tua. Semiga keselamatan
diberikan kepada orang yang mendengar, mengerti dan mengamalkan isi
nasehat-nasehat ini.”
4. Isi atau kandungan kitab, yang diakhiri dengan penutup.
Secara ringkasnya buku ini berisi nasehat-nasehat yang berguna,
dengan dilandasi oleh niat yang ikhlas dan penuh keyakinan. Terdiri dari
dari berbagai macam topik dan pembahasan, yang berkaitan dengan
masalah-maslah kemasyarakatan, sosial, budi pekerti luhur serta akhlak
yang mulia. Di samping itu, juga mengandung berbagai macam persoalan
etika dan falsafah serta hikmah.
Pada bagian penutup Al-Ghalayaini menyampaikan doa yang
dipanjatkan agar keselamatan dan kesejahteraan tetap dilimpahkan oleh
Allah kepada generasi muda, demikian juga rahmat dan berkah-Nya.
Beliau sangat mengharapkan keberhasilan kaum generasi muda, dengan
harapan mereka tidak mengesampingkan atau melupakan kitab yang
berisi nasehat-nasehat itu.
64
C. Biografi Syeikh Musthafa Al-Ghalayaini dan Sosio-Kulturnya
Nama lengkapnya adalah Musthafa bin Muhammad Salim al-
Ghalayaini. Dalam kitab “Mu‟jam al-Muallafin Tarajum Mushanafi al-
Kutub al-Arabiyyah” yang ditulis oleh Umar Ridha Kahalah, ia
mengungkapkan bahwa Musthafa Al-Ghalayaini dilahirkan pada tahun 1303
Hijriyah atau bertepatan pada tahun 1808 Masehi. Walaupun demikian,
dengan dikaruniai umur sekitar 59 tahun ternyata telah banyak sekali
predikat atau gelar yang beliau sandang di antaranya selain dikenal sebagai
ulama yang berpandangan modern dan berkaliber internasional beliau
adalah seorang sastrawan, penulis, penyair, orator, linguis, politikus,
kolomnis maupun wartawan (Kahalah,1993: 881).
Al-Ghalayaini lahir di kota Beirut, ibukota negara Libanon. Di masa
pertumbuhannya Al-Ghalayaini ketika masih kecil sudah menunjukkan
kecerdasan intelektual melebihi teman-temannya. Dan ia mendapatkan
pendidikan dasar dari guru atau syeikh terkenal pada saat itu, diantaranya
adalah Muyiddin al-Khayyath (1310 H), Abdul Basith al-Fakhuri (1323 H),
Shalih al-Rofi’i dan lainnya. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar dan
menengah di tanah kelahirannya, beliau kemudian melanjutkan pendidikan
tingginya di Mesir, tepatnya di Universitas Al-Azhar Kairo, di sana beliau
berguru kepada seorang yang di dunia Islam dikenal sebagai pembaharu
pemikiran islam, yakni Muhammad Abduh (Kahalah, 1993: 881).
Pengaruh pemikiran Muhammad Abduh terhadap Syeikh Musthafa
Al-Ghalayaini dalam kitab I‟dhotun Nasyiin terlihat gaya penulisan dalam
65
isi kitab ini. Kontribusi pembaharuan pemikiran Muhammad Abduh yang
bersifat rasional sangat tampak dalam kitab ini. Hal tersebut sangat tampak
dalam pembahasan tentang pembaharuan, kemerdekaan, rakyat dan
pemerintah, yang menekankan pada kebebasan berpikir, berpendapat, dan
bernegara. Pemikiran Muhammad Abduh yang juga sangat jelas
mempengaruhi pemikiran Syeikh Musthafa Al-Ghalayaini dalam hal ini
dijelaskan pentingnya seseorang memiliki sifat tawakal. Dalam konteks ini,
Muhammad Abduh menyatakan bahwa terdapat dua ketentuan yang sangat
mendasari perbuatan manusia, yaitu: pertama, manusia melakukan
perbuatan dengan gaya kemampuannya. Kedua, kekuasaan Allah adalah
tempat kembali semua yang terjadi (Sucipto, 2003: 152).
Di samping itu, Muhammad Abduh juga mempengaruhi pemikiran
Syeikh Mushthafa al-Ghalayani dalam hal gagasan dan gerakan
pembaharuannya yang modernis. Muhammad Abduh adalah seorang
reformis yang toleran, liberal dan kaya akan gagasan modern. Tapi di satu
sisi, Muhammad Abduh dilihat sebagai seorang alim, mujtahid, dan
penganjur doktrin orisinalitas Islam (Sucipto,2003: 153).
Kemudian setelah menamatkan pendidikan di Universitas al-Azhar
Kairo, beliau kembali lagi ke Beirut dan aktivitasnya tiada lain adalah
mengamalkan seluruh ilmu yang telah didapatkan di Kairo tersebut. Beliau
aktif mengajar di beberapa Universitas, di antaranya adalah Universitas
Umari, Maktab Sulthani, Sekolah Tinggi Usmani, dan Sekolah Tinggi
Syari’ah lainnya (al-Ghalayaini, 2002: 4).
66
Selain aktif sebagai pengajar beliau juga sangat berminat menggeluti
dunia penerbitan. Beliau menerbitkan majalah Nibrasy di Beirut dan
berpartisi aktif dalam dunia perpartaian, yakni dengan bergabungnya beliau
kepada kelompok Hizb al Ittihad al-Taraqqi (Partai Persatuan
Pembangunan). Tapi, tidak berapa lama kemudian beliau mengundurkan diri
dari keterlibatannya di partai tersebut dan bergabung dengan Hizb al-I‟tilaf
(Partai Koalisi). Sama seperti di partai sebelumnya, atas ketidaksepahaman
pendapat dengan golongan elit terpelajar yang bergabung dengan partai itu,
beliau lagi-lagi mengulangi keputusannya untuk menarik diri.
Menurutnya kejelekan mereka adalah terlalu mengabdikan diri kepada
pemimpin keagamaan tradisional yang cenderung sektarian dan non-
egaliter. Partai-partai politik yang ada juga tidak dapat diterimanya karena
mereka cenderung akomodatif hanya terhadap salah satu kelompok saja dan
tidak aspiratif serta mau berjuang dan membela masyarakat umum. Hal
inilah yang mendorong Syeikh Musthafa Al-Ghalayaini beserta para
intelektual lainya dengan gagasan, visi dan misi yang sama terketuk untuk
membentuk partai baru yang disebut dengan Hizb-al-Islah (Partai
Reformasi). Maka sesuai namanya partai ini lebih beriontasi kepada
perjalanan Islam yang bernuansa reformis dan modernis serta membela hak-
hak orang yang tertindas dan mewujudkan masyarakat umum (Kahalah,
1993: 881).
Setelah sekian lama berkecimpung dalam partai politik, beliau
kemudian oleh pemerintah diangkat menjadi orator (ahli pidato) untuk
67
mendampingi pasukan Ustmani IV pada perang dunia pertama. Beliau juga
menyertainya dalam perjalanan dari Damaskus menyeberangi gurun menuju
Terusan Suez dari Arah Isma’iliyah, dan ikut hadir di medan perang
walaupun kemudian mengalami suatu kekalahan.
Beberapa peristiwa yang melingkupi perjalanan karir beliau, baik
yang berkaitan dengan dunia politik dan perang telah memberikan pelajaran
sangat berarti bagi diri Al-Ghalayaini. Berdasarkan keinginan yang kuat
untuk mengabdikan diri kepada dunia pendidikan, beliau lagi-lagi ke Beirut
dan aktif sebagai tenaga pengajar. Di sela-sela kesibukannya sebagai tenaga
edukatif, beliau mendapatkan kepercayaan dari pemerintah yang waktu itu
negara berada di bawah pemerintahan raja Faisal untuk mengunjungi kota
Damaskus, dan disana beliau diangkat sebagai pegawai di kantor
administrasi keamanan publik sekaligus juga sebagai tenaga sukarela pada
tentara Arab.
Di tahun berikutnya kembali ke Beirut, lalu dengan tanpa alasan yang
jelas beliau ditahan oleh pemerintah, tapi tidak lama kemudian beliau
dibebaskan. Sebagai seorang yang suka berkelana dan menjelajah dari suatu
kota ke kota lainya yang masih dalam lingkup tanah Arab, beliau kemudian
pergi ke Jordania Timur di sana diangkat sebagai pengasuh dua anak Amir
Abdullah dan menetap dalam waktu yang tidak lama.
Perjalanan ke Jordania Timur membuatnya tidak betah berlama-lama
di negeri orang, lalu kembali lagi ke Beirut. Tapi sesampainya di Beirut
bukan malah mendapatkan suatu penyambutan yang meriah, melainkan
68
suatu penahanan yang dilakukan oleh otoritas Prancis yang sudah lama
berada di tanah Beirut untuk kemudian diasingkan ke Negara Palestina dan
selanjutnya menetap di daerah Haifa.
Setelah dibebaskan dari pengasingannya dan menghirup kembali alam
bebas, beliau berniat kembali ke tanah kelahiranya, yaitu Beirut. Beliau
ternyata masih mendapat kepercayaan dari rakyat untuk memangku
beberapa jabatan sekaligus, di antaranya adalah beliau diangkat sebagai
kepala Majelis Islam, hakim Syari’ah serta penasehat pada Mahkamah
Banding Syari’ah Sunni sekaligus terpilih sebagai anggota Dewan Keilmuan
Damaskus. Beliau wafat di Beirut pada tanggal 17 Februari 1945 tepat
diusianya yang ke 59 tahun (Kahalah, 1993: 881).
D. Karya-Karyanya
Adapun karya-karya Syeikh Musthafa Al-Ghalayaini dalam bidang
bahasa Arab meliputi:
a) Al Thurayya Al Mudhiyyah fi Al Durus Al Arudhiyyah
b) Al Qawaid Al Arabiyyah
c) Rijal Al Mu‟allaqat Al‟Asyr
d) Al Durus Al Arabiyyah
e) Jami‟ Al Durus Al Arabiyyah
f) Nadzarat fi Al Lughati wa Al Adab
Al Ghalayaini juga memiliki banyak tulisan tentang kemasyarakatan,
pendidikan, politik, perbaikan diri, dan tentang beberapa metode pengajaran.
Diantaranya:
69
a) Arij Al Zuhr
b) Al Islam Ruh Al Madinah fi Al Rad „Ala Kurmur
c) Idzat Al Nasyiin
d) Nadzarat fi Al Adab wa Al Fiqh
e) Lubab Al Khair fi Siyar Al Nabi Al Mukhtar
f) Al Ta‟awun Al Ijtima‟i
g) Nukhbatun min Al Kalam Al Nabawy
h) Diwan Al Ghalayini (fi Syi‟r Fakhr wa Al Hikmat wa Al Wathaniyyah)
i) Nadzarat fi Al Sufur wa Al Hijab.
(Http://ngalapberkahtiyangsoleh.blogspot.co.id/2014/01/syeikh-
mustafa-al-ghalayini.html.) Di akses pada tanggal 24 Agustus 2016
pukul 14.30
E. Corak Umum Pemikiran Syeikh Musthafa Al-Ghalayaini
Ciri khas yang paling menonjol dalam kitab I‟dhatun Nasyiin karya
Syeikh Musthafa Al-Ghalayaini ini yang disusun dengan gaya pidato
dengan berbagai poin yang menjadi tema pokoknya sekaligus dilengkapi
dangan solusi-solusi dan langkah-langkah ke depan yang lebih baik. Isinya
bukan saja menawarkan sederetan teori ilmiah, melainkan juga arahan
operasional yang lebih praktis. Nasehat-nasehatnya tediri dari berbagai
macam topik dan pembahasan yang berkaitan dengan masalah-masalah
sosial dan moral. Di samping itu juga mengandung berbagai macam
persoalan etika dan falsafah serta hikmah.
70
Untuk memahami pemikiran seorang cendekiawan secara objektif,
kita harus memberikan perhatian pada situasi dan kondisi yang melingkupi
realitas zamannya. Karena kondisi itulah yang mendorong seorang
cendekiawan untuk mengartikulasi gagasan, pandangan, dan sikapnya.
Kondisi itulah yang mendorong untuk menentukan metode yang dia tempuh
untuk mengekspresikan segala ide-idenya. Bahkan, cendekiawan yang
berhasil adalah mereka yang mampu menjadikan dirinya cermin atas realitas
zamannya. Kemudian, dia juga berusaha menjadikan pemikirannya sebagai
solusi efektif untuk memecahkan tantangan realitas yang semakin maju. Dia
akan dianggap lebih berhasil, apabila dia sanggup mengubah sisi negatif
bagi perjalanan kehidupan ke depan, dan memanfaatkan perubahan yang ada
demi kemaslahatan masyarakat (Mu’thi, 2000: 84).
Sedangkan pendapat yang lain mengatakan bahwa, beberapa faktor
yang mewarnai pemikiran seseorang diantaranya, adalah pertama,
kebutuhan masyarakat dan penguasa akan sistem ajaran tertentu. Kedua,
ortodoksi yakni paham yang dianut oleh mayoritas kaum muslimin yang
pembentukannya tidak lepas dari kepentingan-kepentingan keduniawian.
Ketiga, sumber ajaran islam, al-Qur’an dan al-Hadits, yang tertuang dalam
bahasa Arab yang dipakai oleh orang-orang Arab pada tempat dan waktu
tertentu itu menimbulkan persoalan pemahaman bagi orang-orang yang
masa hidupnya jauh dari masa hidup Nabi Muhammad SAW. Keempat,
adanya kecenderungan manusia untuk bebas dari suatu pihak yang lain.
Kelima, adanya pertentangan kepentingan. Demikian juga tingkat
71
intelegensi, kecenderungan, latar belakang kependidikan, perkembangan
ilmu pengetahuan, kondisi sosial budaya, politik, ekonomi, dan lain-lainya
memberikan warna terhadap paradigma pemikirannya (Maragustan, 2000:
43).
Pada bab di atas telah disinggung mengenai latar belakang kehidupan,
perjalanan menempuh pendidikan, serta pergulatannya dengan dunia karir
al-Ghalayaini, walaupun tidak begitu lengkap dan mendetail. Namun
demikian, setidaknya dengan pemaparan di atas bisa menjadi sebuah
patokan tersendiri untuk menelusuri sejauh mungkin paradigma berpikirnya
al-Ghalayaini tentang konsep pendidikan akhlak, etika dan sosialnya yang
dituangkan dalam menulis kitab I‟dhatun Nasyiin tersebut. Sebab karya
tersebut boleh dibilang bukan sebuah karya utuh dan sistematis sebagai
sebuah tulisan ilmiah berbentuk buku sebagaimana karangan-karangan yang
lain. Tulisan tersebut merupakan essai bebas yang dia tulis dari balik jeruji
besi. Karena di situlah beliau mengalami proses pencerahan diri yang sangat
luar biasa berartinya, yakni pencerahan secara intelektual dan spiritual.
Baginya penjara bukan merupakan tempat yang menakutkan yang bisa
memasung kreatifitas berpikir dan menulis gagasan-gagasan aktual
mengenai kondisi riil moralitas remaja Lebanon pada saat itu. Karena ketika
kebebasan berbicara sudah dibungkam, maka tidak ada pilihan lain kecuali
tulisan-tulisan kritislah yang harus dikemukakan ke arah publik. Hal inilah
yang dilakukan al-Ghalayaini menghadapi rezim yang otoriter (Subairi,
2005:36).
72
Lebih jauh al-Ghalayaini dalam sejarah kehidupannya kaya akan
pengalaman bergumul dengan gejolak sosial dan politik yang sudah
mengarah pada kondisi anomie, kondisi masyarakat dimana agama,
pemerintah dan moralitas telah memudar keefektifannya, akibat keakutan
dan krisis Psiko-sosial yang terjadi. Al-Ghalayaini dengan getol melakukan
refleksi kritis dengan menggagas lahirnya tata kehidupan yang normatif-etis.
Dalam kondisi yang serba sulit itulah, tidak dapat dipungkiri akan
kemungkinan terjadinya clash (benturan). Pemikiran dan kepentingan
berbagai pihak baik kalangan atas maupun kalangan masyarakat bawah. Ini
berarti kondisi sosial-budaya yang dihadapi al-Ghalayaini tampak mirip
dengan kondisi sekarang ini. Dengan demikian, kajian terhadap
pemikiranya, terutama terkait dengan lingkup akhlak (moral) dan sosial
kemasyarakatan yang belum banyak disentuh, di satu sisi dinilai relevan-
fungsional bagi upaya menyumbangkan penemuan solusi problem-problem
kontemporer di atas, dan di sisi yang lain bagi upaya memperkaya khasanah
pemikiran teoritik khusus akhlak (moral) dan pendidikan (Subairi, 2005:36).
Al-Ghalayaini sangat apresiatif terhadap otonomi akal atau kebebasan
dalam melontarkan sebuah gagasan. Menurutnya, fungsi akal dapat
dipandang sebagai sumbu keutamaan dan sumber moral (akhlak). Akal
dalam pandangan al-Ghalayaini tidak hanya sekedar mudrik (berfungsi
mengatahui), melainkan juga sebagai hakam (pemutus/penentu baik, buruk).
Jadi pendidikan yang dikehendakinya adalah yang mampu menyadarkan
peserta didik akan realitas yang dihadapi dengan cara yang mengakibatkan
73
mampu melakukan tindakan efektif terhadap realitas tersebut. Untuk
merealisasikan ini, hal mendasar yang perlu digarap adalah dengan
pendidikan akal. Sebab dengan akal manusia mampu memahami taklif
Allah dan mengatur kehidupan dunia ini.
F. Sinopsis Kitab I’dhotun Nasyiin
Menjadi sebuah keniscayaan, seorang pengarang dengan yang lain
memiliki karakter dan warna tersendiri. Perbedaan ini dipengaruhi latar
belakang kehidupan, misalnya pendidikan, pengetahuan, pengalaman dalam
berkarya dan kecenderungan pengarangnya. Background inilah yang
kemudian memunculkan satu bentuk karakteristik tersendiri dalam hasil
karyanya.
Karakteristik Musthafa Al-Ghalayaini dalam kitab I‟dhatun Nasyiin
kental dengan muatan keagamaan seperti: pendidikan, budi pekerti, dan
sosial budaya. Untuk itu kitab I‟dhatun Nasyiin karangan Syekh Musthafa
Al-Ghalayaini dapat dikategorikan menjadi 3 hal:
1. Hal-hal yang berupa pengembaraan seseorang dalam menjalani proses
kehidupan di mana kemudian akan menemukan sebuah bentuk jati diri
yang sejati, tetapi hal tersebut harus ditunjang dengan sikap dan
perilaku yang baik tentunya. Karena dengan menemukan bentuk jati
dirinya ia akan berkembang menjadi kenal sesama maupun Tuhannya.
2. Hal-hal yang berbicara tentang perenungan seseorang untuk melalui
berbuat baik terhadap sesamanya sebagai bentuk manifestasi dari ajaran
74
Islam. Kerena dengan menjadikan Islam sebagai ajaran agama maka
keselamatan akan mudah diraih, baik didunia maupun diakhirat.
3. Mengenai sosial-politik. Wacana tentang sosial-politik utama di
Libanon pada waktu itu nampaknya berjalan kurang harmonis. Hal ini
terlihat oleh berbagai macam kepentingan antar kelompok sehingga
memunculkan sebuah pemikiran adanya suatu masalah dalam
pemerintah yang kontra konsep dan realitas.
Selanjutnya berkenaan dengan sinopsis kitab tersebut , bahwa kitab ini
secara keseluruhan berisi tentang ajaran moral dan menjalani proses
kehidupan dengan nuansa pribadi yang penuh optimisme. Sehingga
kemudian akan tercipta sebuah komunitas masyarakat yang benar-benar
menjujung tinggi moral dan mencegah akan terjadinya dekadensi moral
yang sudah demikian parah.
Adapun tema-tema yang tertuang dalam kitab tersebut terdiri dari
empat puluh empat tema, diantaranya sebagai berikut:
1. Berani maju ke depan
2. Sabar
3. Kemunafikan
4. Keikhlasan
5. Berputus asa
6. Harapan
7. Sifat licik atau penakut
8. Bertindak tanpa perhitungan
75
9. Keberanian
10. Kemashlahatan umum
11. Kemuliaan
12. Lengah dan waspada
13. Revolusi Budaya
14. Rakyat dan pemerintah
15. Tertipu oleh perasaan sendiri
16. Pembaharuan
17. Kemewahan
18. Agama
19. Peradaban
20. Nasionalisme
21. Kemerdekaan
22. Macam-macamnya kemerdekaan dan kebebasan
23. Kemauan
24. Kepemimpinan
25. Orang-orang yang ambisi menjadi pemimpin
26. Dusta dan sabar
27. Kesederhanaan
28. Kedermawanan
29. Kebahagiaan
30. Melaksanakan kewajiban
31. Dapat dipercaya
76
32. Hasud dan dengki
33. Tolong menolong
34. Sanjungan dan Kritikan
35. Kefanatikan
36. Para pewaris bumi
37. Peristiwa pertama
38. Nantikankah saat kebinasaannya
39. Memperbagus pekerjaan dengan baik
40. Wanita
41. Berusahalah dan tawakalah
42. Percaya pada diri sendiri
43. Tarbiyah atau pendidikan
44. Penutup
Inilah gambaran singkat mengenai biografi dan perjalanan karir
beserta paradigma berpikirnya Syeikh Musthafa Al-Ghalayaini, diharapkan
ke depan kita dapat memanfaatkan ilmunya sehingga kita benar-benar
menjadi insan yang berkualitas dan berguna bagi diri sendiri, bangsa, dan
negara. Amin.
77
BAB IV
RELEVANSI NILAI-NILAI KEPEMIMPINAN
A. Analisis Nilai-nilai Pendidikan Kepemimpinan
Pemimpin dan kepemimpinan adalah fitrah kemanusiaan. Sejak
manusia ada, pada saat itu pula pemimpin dan kepemimpinan telah ada.
Oleh sebab itu, tema pemimpin dan kepemimpinan merupakan topik yang
selalu menarik untuk diperbincangkan dan tak akan pernah habis dibahas.
Masalah kepemimpinan akan selalu hidup dan digali pada setiap zaman, dari
generasi ke generasi guna mencari formulasi sistem kepemimpinan yang
aktual dan tepat untuk diterapkan pada zamannya. Pemimpin memiliki peran
strategis dalam sebuah organisasi karena kesuksesan organisasi ditentukan
moralitas dan kompetensi pemimpinnya. Hal ini mengindikasikan bahwa
paradigma kepemimpinan adalah sesuatu yang sangat dinamis dan memiliki
kompleksitas yang tinggi.
Bahasan mengenai pemimpin dan kepemimpinan pada umumnya
menjelaskan bagaimana pemimpin yang baik, tipe dan sifat yang sesuai
dengan kepemimpinan serta kemampuan-kemampuan apa saja yang perlu
dimiliki oleh seorang pemimpin agar bisa menjadi pemimpin yang
diidolakan.
78
Sebuah ungkapan “tidak akan pernah ada suatu negara atau organisasi
yang tidak mempunyai pemimpin, kalaupun ada, pasti tidak akan bertahan
lama.” Di dalam suatu negara atau masyarakat yang sedang membangun,
diperlukan banyak warga masyarakat yang mempunyai kemampuan
kepemimpinan yang handal. Semakin banyak jumlah anggota masyarakat
yang mempunyai ketrampilan kepemimpinan, semakin cepat pertumbuhan
pembangunan menuju ke arah yang diidam-idamkan oleh masyarakat
tersebut. Semakin banyak anggota masyarakat yang mempunyai ketrampilan
kepemimpinan, sesungguhnya semakin mendorong tumbuhnya berbagai
organisasi yang bisa melayani berbagai kebutuhan masyarakat yang terus
menerus tumbuh sesuai dengan visi suatu negara atau masyarakat tersebut.
Dalam prakteknya kepemimpinan sudah ada semenjak manusia hidup
berkelompok. Namun demikian, sebagian ilmu kepemimpinan baru
mendapat perhatian sejak timbulnya manejemen ilmiah yang dipelopori
oleh Frederich Winslow Taylor. Di Indonesia, masalah kepemimpinan baru
berkembang sejak berdirinya Lembaga Administrasi Negara (LAN) tahun
1957. Masalah kepemimpinan mengundang berbagai pihak untuk
mempelajari dan mengembangkannya, karena kepemimpinan menduduki
tempat yang sangat penting, bahkan sangat menentukan dalam organisasi
modern (Sutikno, 2014:3-4).
79
Di dalam suatu negara yang sedang membangun, diperlukan banyak
warga masyarakat yang mempunyai kemampuan kepemimpinan yang
handal. Semakin banyak anggota masyarakat yang mempunyai ketrampilan
kepemimpinan akan semakin cepat pertumbuhan pembangunan menuju ke
arah seperti yang diharapkan oleh masyarakat tersebut. Suatu ungkapan
yang mulia mengatakan bahwa pemimpinlah yang bertanggung jawab atas
kegagalan pelaksanaan suatu pekerjaan. Hal ini menunjukkan bahwa posisi
pemimpin dalam suatu organisasi berada pada posisi yang terpenting.
Demikian juga pemimpin di manapun letaknya akan selalu mempunyai
beban untuk mempertanggungjwabkan kepemimpinannya.
Menurut Ihsan Tanjung (2002) kepemimpinan di dalam Islam pada
hakekatnya adalah berkhidmat atau menjadi pelayan umat. Kepemimpinan
yang asalnya adalah hak Allah diberikan kepada manusia sebagai
Khalifatullah fil ardli, wakil Allah SWT di muka bumi. Jika bukan karena
iradahNya, tak ada seorangpun yang mendapatkan amanah kepemimpinan,
baik kecil maupun besar. Oleh karena itu setiap amanah kepemimpinan
harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Allah memberikan amanah
kepada pemimpin untuk (1) mengatur urusan orang yang dipimpinnya (2)
mengarahkan perjalanan sekelompok manusia yang dipimpinnya guna
mencapai tujuan bersama (3) menjaga dan melindungi kepentingan yang
dipimpinnya. Wewenang dan kekuasaan yang diberikan kepada seorang
pemimpin tidaklah ringan di mata Allah. Meskipun seringkali godaan setan
80
dengan iming-iming keuntungan dunia telah memalingkan motivasi para
pemimpin dari tujuan bersama (Moedjiono, 2002:11).
Pelanggaran manusia atas batas-batas ketentuan Allah SWT berarti
penyelewengan manusia dan penyalahgunaan wewenang yang telah
diberikan Allah SW kepada manusia. Hal ini akan membawa kehancuran
bagi hidup dan kehidupan manusia itu sendiri.
Sebagai khalifah di bumi, kekuasaan manusia dibatasi oleh ketentuan-
ketentuan yang telah digariskan Allah SWT untuknya yang berupa hukum-
hukum Allah SWT baik yang tersirat dan tersembunyi dalam kandungan
alam maupun yang tertuang di dalam kitab-kitab suci-Nya. Manusia harus
mengikuti kaidah-kaidah hukum Allah SW yang telah ditentukan sehingga
mereka tidak tersesat dalam mengemban amanat Allah SWT
(Fatchurrohman, 2006:26).
Dengan demikian bisa dikatakan bahwa manusia sebagai khalifah di
muka bumi dengan segala bekal potensi kemampuan dan akalnya yang
dinamis dan kreatif diberi wewenang untuk mengolah dan mengatur alam
semesta secara bebas bertanggung jawab sesuai dengan kaidah hukum yang
diberikan kepadanya. Dengan kata lain, manusia adalah subjek di alam, dan
dibumi dengan segala isinya adalah objek olahan dan aturan bagi manusia
(Fatchurrohman, 2006:28).
Pada hakikatnya, semua manusia adalah pemimpin. Hanya wilayah
kepemimpinannya saja yang berbeda. Seorang suami adalah pemimpin
81
untuk keluarganya, seorang direktur adalah pemimpin untuk perusahaannya,
seorang presiden adalah pemimpin untuk negaranya, seorang Nabi dan
Rasul adalah pemimpin untuk ummatnya.
Urgensi kepemimpinan ini sangatlah ditekankan oleh Rasulullah saw.
Dalam sebuah hadis beliau bersabda yang maknanya adalah jika ada di
antara kita yang melakukan suatu perjalanan, dan perjalanan itu melibatkan
minimal tiga orang, maka salah satu dari mereka harus menjadi pemimpin
untuk rombongan itu (Suryaman, 2016:7-8).
Tentu pemimpin yang punya banyak pengikut adalah pemimpin yang
memiliki pengaruh yang besar. Setidaknya dampak kepemimpinannya
menimbulkan kebaikan di tengah pengikutnya. Sehingga mereka dengan
serta merta mengikuti apapun kemauan pemimpinnya. Apapun, bahkan
sampai perilaku dan gaya hidupnya.
Menurut Suryaman selama ini banyak sekali pemahaman yang keliru
tentang arti kepemimpinan, pada umumnya orang melihat pemimpin sebagai
sebuah kedudukan atau posisi semata. Akibatnya banyak orang yang
mengejar untuk menjadi seorang pemimpin dengan menghalalkan banyak
cara dalam mencapai tujuan tersebut. Mulai dari membeli kedudukan
dengan uang, menjilat atasan. Menyikut pesaing atau teman, atau cara-cara
lainnya demi mengejar posisi pemimpin. Pemimpin hasil dari cara ini akan
selalu menggunakan kekuasaannya untuk mengarahkan, memperalat,
bahkan menguasai orang lain untuk mengikutinya. Umumnya, jenis
82
pemimpin seperti ini suka menekan. Akibatnya, hal tersebut melahirkan
pemimpin yang tidak dicintai, tidak disenangi, tidak ditaati dan bahkan
dibenci (Suryaman, 2016:38).
Permasalahan kepemimpinan yang diuraikan Suryaman tersebut
sepaham dengan pemikiran Syeikh Musthafa Al Ghalayaini dalam kitab
Idhotun Nasyiin tentang ambisi seseorang untuk menjadi pemimpin.
Sehingga Al Ghalayaini pun memberikan nasehat kepada generasi muda
bahwasannya:
“Wahai generasi muda, aku mohonkan engkau perlindungan kepada
Allah, janganlah kalian merebut jabatan kepemimpinan dengan cara-cara
yang terkutuk, sebagaimana disebutkan di atas. Sebab, cara seperti itu
menyebabkan hubunganmu sebagi pemimpin dengan rakyat terputus, rakyat
menjauhimu dan engkau sendiri akan jauh dari sifat mulia (menjadi tidak
terhormat). Jangan sekali-kali kailan memiliki sifat senang (ambisi)
menjadi pemimpin, kecuali jika jabatan itu datang sendiri atau rakyat
memaksa harus menduduki jabatan pemimpin, karena mereka memang
melihatmu sebagai orang yang mau bekerja dengan baik, bersih dan baik
akhlak serta mulia kepribadiannya”(Al Ghalayini, t.t:162).
Banyak sekali orang yang akalnya berebut menjadi pemimpin,
padahal mereka tidak memenuhi syarat-syarat menjadi pemimpin sedikit
pun. Mereka itu tidak sadar, bahwa pemimpin bangsa itu sebenarnya adalah
juru bicara yang menyuarakan hati nurani rakyat, pemikir mereka, tempat
pengaduan rakyat ketika mereka menghadapi kesulitan dan pelindung
mereka ketika dalam keadaan bahaya, tempat meminta pertolongan saat
dilanda krisis dan sebagai tempat sandaran rakyat di waktu mereka
menghadapi persoalan besar.
Menurut Sutikno (2014), Keberhasilan suatu organisasi sangat
tergantung pada kepemimpinan dari pimpinan organisasi tersebut. Karena
83
sebagai pemimpin di lembaganya, maka dia harus mampu membawa
lembaganya ke arah tercapainya tujuan yang telah ditetapkan. Dia harus
mampu melihat adanya perubahan serta mampu melihat masa depan dalam
kehidupan globalisasi yang lebih baik. Profesionalisme pemimpin menjadi
syarat mutlak terwujudnya organisasi yang berdaya saing tinggi. Kalau
pemimpin yang memimpin organisasi pasif dan miskin ide, maka organisasi
tersebut akan mengalami kemunduran. Oleh karena itu jangan sekali-kali
meremehkan posisi pemimpin. Sebaik apapun sistem yang dibangun, kalau
pemimpinnya buruk maka akan sulit untuk melakukan perubahan kearah
yang lebih baik. Di sini urgensinya mengembangkan kualitas pemimpin
agar mampu memimpin organisasi secara dinamis, kompetitif, dan produktif
sesuai dengan tantangan zaman (Sutikno, 2014:85).
Sejalan dengan itu Al Ghalayaini pun mengatakan “Para pemimpin
setiap bangsa adalah roh persatuan mereka dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Apabila para pemimpin itu rusak, maka
rusaklah umat dan bangsa itu, dan jika mereka baik, maka umat atau
bangsa itu menjadi baik juga. Karena, umat akan berdiri tegak, kokoh dan
sejahtera, manakala pemimpin-pemimpin umat itu menggerakannya. Jika
mereka (umat) sedang loyo, lalu mereka meluruskannya ketika bengkok,
menarik tangannya ketika mereka (umat) jauh dan membimbingnya ketika
sedang sesat”. (Al-Ghalayaini, t.t:150-151).
Terdapat kesamaan antara kepemimpinan Syeikh Musthafa Al
Ghalayaini dengan kepemimpinan menurut Suryaman dan Sutikno. Menjadi
pemimpin adalah amanah. Oleh sebab itu prasyarat yang harus terpenuhi
adalah kerelaan hati orang-orang yang dipimpinnya untuk menyerahkan dan
mempercayakan segala urusannya yang berkaitan dengan upaya meraih
kepentingan-kepentingan dan cita-cita (politik, ekonomi, hukum, budaya,
84
dan lain sebagainya). Untuk itu perlu disadari bersama bahwa menjadi
pemimpin bukanlah alat untuk gagah-gagahan tetapi pemimpin itu untuk
mengabdi dan menjalankan tugas.
Kewajiban untuk taat dan patuh kepada pemimpin dalam pandangan
Islam adalah karena ia dipilih oleh umat, dengan sifat-sifat yang terpuji.
Dengan demikian, seorang pemimpin dalam proses kepemimpinannya tidak
terlepas dari pandangan Allah dan umat (yang dipimpinnya). Pemimpin
harus memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi, baik di hadapan Allah
maupun manusia. Agar tanggung jawab kepemimpinannya dapat terlaksana
dengan baik, maka ia harus memiliki sifat-sifat yang dicontohkan oleh
Rasulullah, yang dalam hal ini merupakan teladan yang baik dan telah
berhasil memimpin dunia karena ia memiliki sifat-sifatnya yang mulia
sehingga sampai sekarang sifat-sifat kepemimpinannya menjadi acuan bagi
setiap pemimpin, khususnya bagi umat Islam.
B. Relevansi Nilai-nilai Pendidikan Kepemimpinan pada Kitab Idhotun
Nasyiin dengan Konteks Kepemimpinan Masa Kini
Al Ghalayaini mengatakan bahwa “Anak-anak kita yang masih kecil
sekarang ini kelak di masa mendatang akan menjadi pemimpin-pemimpin.
Apabila mereka membiasakan diri dengan akhlak yang baik, yang dapat
meninggikan derajat mereka dan berhasil mempelajari ilmu-ilmu yang
bermanfaat untuk dirinya dan bermanfaat untuk negara, maka anak-anak itu
berarti berarti menjadi dasar yang kokoh untuk kebangkitan umat. Ini adalah
85
perkara yang tidak dapat dipungkiri oleh siapapun. Sebaliknya, apabila
anak-anak telah terbiasa dengan akhlak yang tidak terpuji dan enggan
menuntut ilmu pengetahuan yang menjadi sebab utama bangsa-bangsa bisa
hidup, maka mereka, anak-anak itu, akan menjadi bencana bagi umat dan
menjadi pengacau negara yang mereka diami” (Al Ghalayaini, t.t:297).
1. Relevansi Materi pendidikan Kepemimpinan
Mengenai materi pendidikan Al Ghalayaini berpendapat bahwa
Al-Qur’an beserta kandungannya adalah merupakan ilmu
pengetahuan. Isinya sangat bermanfaat bagi kehidupan, membersihkan
jiwa, memperindah akhlak, dan mendekatkan diri pada Allah (Nizar,
2002:90). Ini berarti materi pendidikan adalah semua yang terkandung
dalam Al-Qur’an antara lain materi keimanan, akhlak, kemasyarakatan
salah satu diantaranya adalah kepemimpinan.
Menurut Al Ghalayaini pendidikan adalah usaha menanamkan
akhlak terpuji dalam jiwa anak-anak, Akhlak yang sudah tertanam itu
harus disirami dengan bimbingan dan nasihat, sehingga menjadi watak
atau sifat yang melekat dalam jiwa. Sesudah itu buah tanaman akhlak
itu akan tampak berupa amal perbuatan yang mulia dan baik serta
gemar bekerja demi kebaikan negara.
Anak itu wajib diberi pendidikan tentang keberanian, maju,
kedermawanan, kesabaran, ikhlas dalam beramal, mementingkan
kemaslahatan umum di atas kepentingan pribadi, kemuliaan jiwa,
harga diri, keberanian yang beradab, pemahaman agama yang bersih
86
dari khufarat, peradaban yang bersih dari kerusakan, kebebasan
berbicara dan bertindak yang baik dan cinta tanah air (Al Ghalayaini,
t.t:299-230).
Kita berkewajiban juga memberi pendidikan kepada anak-anak
tentang iradah, yakni kemauan yang keras, kejujuran, senang
memberi bantuan dan pertolongan kepada orang-orang yang melarat
dan tertindas, proyek-proyek yang bermanfaat dan melatihnya, biasa
melakukan kewajiban dan sebagainya, yang berkaitan dengan akhlak
yang mulia. Tentu saja kita berkewajiban menjauhkan anak-anak itu
dari kebiasaan dan akhlak yang berlawanan dengan kebiasaan dan
akhlak terpuji yang tersebut di atas (Al Ghalayaini, t.t230).
Menurut kodrat serta irodratnya bahwa manusia dilahirkan
untuk menjadi pemimpin. Sejak Adam diciptakan sebagai manusia
pertama dan diturunkan ke bumi, Ia ditugasi sebagai Khalifah fil
ardhi. Sebagaimana tertulis dalam Al-Qur’an surat Al Baqarah ayat 30
yang berbunyi:
87
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya
dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan
memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Dari uraian tersebut jelaslah bahwa manusia telah dikaruniani
sifat dan sekaligus tugas sebagai seorang pemimpin. Pada masa
sekarang ini setiap individu sadar akan pentingnya ilmu sebagai
petunjuk/alat/panduan untuk memimpin umat manusia yang semakin
besar jumlahnya serta komplek persoalannya. Atas dasar itulah dan
relevan dengan upaya proses pembelajaran yang mewajibkan kepada
setiap umat manusia untuk mencari ilmu. Dengan demikian dengan
upaya tersebut tidak lepas dengan pendidikan, dan tujuan pendidikan
tidak akan tercapai secara optimal tanpa adanya menejemen atau
pengelolaan pendidikan yang baik, yang selanjutnya dalam kegiatan
menejemen diperlukan adanya pemimpin yang memiliki kemampuan
untuk menjadi seorang pemimpin.
2. Relevansi Metode Pendidikan Kepemimpinan
Menurut Armai dalam kutipannya secara etimologi, istilah metode
berasal dari bahasa Yunani “metodos”. Kata ini terdiri dari dua suku
kata; yaitu “metha” yang berarti melalui atau melewati dan “hodos”
yang berarti jalan atau cara. Metode berarti jalan yang dilalui untuk
mencapai suatu tujuan (Armai, 2002:40). Dalam bahasa Arab metode
disebut “Thariqat”, dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, “metode”
88
adalah : “Cara yang teratur dan berfikir baik-baik untuk mencapai
maksud, sehingga dapat dipahami metode berarti suatu cara yang
harus dilalui untuk menyajikan bahan pelajaran agar tercapai tujuan
pengajaran” (Armai, 2002:40).
Metode dapat didenifisikan sebagi cara kerja yang bersistem untuk
mempermudah pelaksanaan suatu kegiatan untuk mencapai tujuan
yang ditentukan (Departemen Agama RI, 2001:19). Jadi metode
pendidikan adalah suatu cara kerja secara sistematis yang bertujuan
untuk mempermudah pelaksanaan kegiatan untuk mencapai tujuan
yang telah ditentukan berhubungan dengan pendidikan.
Dalam kitab ini Al-Ghalayaini menggunakan metode ceramah yaitu
cara penyampaian sebuah materi pelajaran dengan cara penuturan
lisan kepada siswa atau khalayak ramai. Ini relevan dengan definisi
yang dikemukakan oleh Armai yang dikutip Ramayulis, bahwa
metode ceramah ialah “Penerangan atau penuturan secara lisan guru
terhadap murid-murid di ruangan kelas” (Armai, 2002: 136).
Dari kedua definisi di atas, terlihat bahwa subtansi metode adalah
sama yaitu menerangkan materi pelajaran kepada anak didik dengan
penuturan kata-kata/lisan. Metode ceramah dikenal dengan metode
kuliah, karena umumnya banyak dipakai di Perguruan tinggi, dan
disebut juga metode pidato atau khutbah. Dalam bahasa Inggris
metode ceramah disebut denga istilah “Lecturing method” atau
89
“Telling method”. Metode ini sering digunakan, karena metode ini
sangat mudah dilakukan (Armai, 2002:136).
Menurut Omar Mohammad al Toumy al Syaibani (1979:553)
memaknai metode mengajar sebagai bentuk kegiatan terarah yang
dikerjakan pendidik dalam menyampaikan materi pendidikan kepada
peserta didik sesuai dengan tingkat perkembangan jiwa dan kondisi
lingkungan sekitarnya. Hal ini dimaksudkan untuk menolong peserta
didik mencapai tujuan pendidikan yang berupa perubahan perilaku,
penguasaan ilmu pengetahuan, keterampilan-keterampilan maupun
kebiasaan-kebiasaan.
Dalam menyiarkan agama Islam, Rasulullah saw berpidato di
depan khalayak ramai sambil membacakan ayat-ayat Al-Qur’an yang
berisi petunjuk peribadatan kepada Allah SWT. Media dakwah
lainnya, Rasulullah saw memberikan pelajaran Agama Islam secara
menyeluruh di rumah-rumah dan di masjid-masjid, sebagai tempat
pertemuan dan bermusyawarah (Armai, 2002:43).
Sejak zaman Rasulullah metode caramah merupakan cara yang
paling awal yang dilakukan Rasulullah saw, dalam menyampaikan
wahyu kepada umat. Karakteristik yang menonjol dari metode
ceramah adalah peranan guru tampak lebih dominan, sementara anak
didik lebih banyak pasif dan menerima apa yang disampaikan guru.
90
Hal ini berkenaan dengan firman Allah swt dalam QS. Yusuf:2-3
yang berbunyi:
Sesungguhnya kami menurunkannya berupa Al Quran dengan
berbahasa Arab, agar kamu memahaminya. Kami menceritakan
kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al Quran Ini
kepadamu, dan Sesungguhnya kamu sebelum (Kami mewahyukan) nya
adalah termasuk orang-orang yang belum Mengetahui.
Ayat di atas menerangkan bahwa Tuhan menurunkan Al Qur’an
dengan memakai bahasa Arab dan menyampaikannya kepada Nabi
Muhammad saw, dengan jalan cerita dan ceramah. Dari pemaparan
sebelumnya dapat dikatakan bahwa metode ceramah masih merupakan
metode mengajar yang masih dominan dan paling banyak dipakai,
khususnya di sekolah-sekolah tradisional (Armai, 2002:137).
Sedangkan metode penyampaian materi pendidikan kepemimpinan
dalam kitab I’dhotun Nasyiin adalah hanya dengan menggunakan
metode ceramah seperti nasehat dan anjuran, menurut penulis metode
ceramah tidak bisa diterapkan di era zaman sekarang. Karena zaman
sekarang dibutuhkan juga metode keteladanan, metode pemberian
91
ganjaran, metode kebiasaan dan metode-metode pembelajaran lainnya
agar kegiatan pembelajaran lancar dan sesuai dengan tujuan.
Mengenai pendidikan di Indonesia saat ini, guna untuk
mempersiapkan anak didik tentu sangat membutuhkan metode
ceramah sebagaimana yang telah dilakukan oleh Syaikh Mustafa Al-
galayaini.
Menurut pengamatan penulis dalam penyampaian materi al-
Ghalayaini lebih banyak menggunakan metode ceramah metode ini
sangat relevan jika mengajar peserta didik dengan jumlah yang
banyak dan waktu yang sedikit.
3. Relevansi Tujuan Pendidikan Kepemimpinan
Suatu usaha yang tidak memiliki tujuan tidak akan mempunyai arti
apa-apa. Ibarat seseorang yang bepergian tak tentu arah maka hasilnya
pun tak lebih dari pengalaman selama perjalanan.
Pendidikan merupakan usaha yang dilakukan secara sadar dan jelas
memiliki tujuan. Sehingga diharapkan dalam penerapannya ia tak
kehilangan arah dan pijakan. Dalam perkembangannya teori-teori
tentang tujuan pendidikan menjadi perhatian yang cukup besar dari
para pakar pendidikan.
Berdasarkan kepada pengertian pendidikan Islam yaitu sebuah
proses yang dilakukan untuk menciptakan manusia-manusia
seutuhnya beriman dan bertakwa kepada Tuhan serta mampu
mewujudkan eksistensinya sebagai khalifah Allah di muka bumi, yang
92
berdasarkan kepada ajaran Al-Qur’an dan sunnah, maka tujuan dalam
konteks ini berarti terciptanya insan-insan kamil setelah proses
pendidikan berakhir (Armai, 2002:16).
Islam adalah agama ilmu dan cahaya, bukan merupakan agama
kebodohan dan kegelapan. Wahyu Allah SWT yang pertama
diturunkan mengandung perintah membaca kepada Rasulullah SAW.
Pengulangan atas perintah tersebut dan menyebutan masalah ilmu
dapat dirasakan dalam suatu pendidikan. Allah berfirman dalam surat
Al-Alaq ayat 1-5 yang artinya:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang
Menciptakan.Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,Yang mengajar
(manusia) dengan perantaran kalam.Dia mengajar kepada manusia
apa yang tidak diketahuinya”.
Tujuan adalah suatu yang diharapkan tercapai setelah usaha atau
kegiatan selesai dilaksanakan. Tujuan pendidikan bukanlah suatu
benda yang bersifat tetap dan statis, tetapi merupakan suatu
keseluruhan dari kepribadian seseorang yang berhubungan dengan
seluruh aspek kehidupannya.
93
Tujuan pendidikan yang ideal itu nampak pada tujuan akhir. Tujuan
akhir biasanya dirumuskan secara singkat dan padat, seperti
terbentuknya manusia sempurna, terbentuknya kepribadian muslim
(Marimba, 1989:45). Lain halnya dengan tujuan ditulisnya buku
Idhotun Nasyiin ini, Syeikh Musthafa Al Ghalayaini mempunyai
tujuan agar generasi muda muslim menjadi individu-individu yang
bersih dari sifat-sifat yang tidak terpuji, berakhlak mulia dan mengerti
bagaimana seharusnya dia bersikap menghadapai segala peristiwa
yang dialami bangsanya. Dari individu-individu seperti itulah akan
terbentuk masyarakat dan bangsa (umat) yang beradab dan bermoral
serta menjunjung tinggi kebenaran yang sejati, sehingga mereka
menjadi bangsa yang tetap eksis. Sesungguhnya suatu bangsa itu akan
hidup dan tetap hidup, selama mereka bermoral dan beradab, jika
moral bangsa itu bejat, maka hancur dan binasalah mereka.
Ini mengandung makna bahwa dengan pendidikan kepemimpinan
itu diharapkan menghasilkan manusia yang berguna bagi dirinya dan
masyarakat serta gemar mengamalkan dan mengembangkan ajaran
Islam baik yang berhubungan dengan Tuhan maupun dengan sesama
manusia, serta dapat mengambil manfaat dari alam semesta untuk
kepentingan di dunia dan di akhirat nanti.
94
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan-pembahasan dan analisis pada bab-bab
sebelumnya, akhirnya penulis dapat membuat beberapa butir atas
kesimpulan yang dituangkan dalam kitab “I’dhotun Nasyiin” karya Syeikh
Musthafa Al-Ghalayaini. Adapun butir-butir tersebut sebagai berikut:
1. Nama lengkap Syeikh Musthafa Al-Ghalayaini adalah Musthafa bin
Muhammad Salim al-Ghalayaini. Dia adalah seorang sastrawan Arab,
penyair, orator, grammer (ahli bahasa), politikus dan jurnalis.
Dilahirkan di Beirut, Libanon pada tahun 1303 H/1886 M dan wafat
pada tahun 1364 H/1944 M tepat diusianya yang ke 59 tahun.
2. Pemimpin adalah seseorang yang mampu mengarahkan,
mempengaruhi, membimbing, melayani dan melindungi individu lain
dalam proses pencapaian tujuan, serta ada usaha kerja sama yang tidak
menyimpang dari peraturan yang telah digariskan oleh Allah swt
sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits untuk mencapai tujuan yang
diinginkan bersama. Definisi di atas memberikan analisa bahwa
pemimpin itu merupakan ujung tombak dalam memberikan arah dan
tujuan yang jelas, yang ingin dicapai bersama-sama. Oleh karena itu
pemimpin harus berperilaku sesuai status atau kedudukan dan peranan
95
sebagai orang yang duduk di lapisan terdepan. Ia harus benar-benar
menjadi teladan dan tempat bercermin bagi orang-orang yang
dipimpinnya.
Nilai yang dibangun dari pendidikan kepemimpinan Syeikh Musthafa
Al Ghalayaini dalam kitab Idhotun Nasyiin, dapat dilihat dari
beberapa kriteria sifat-sifat pemimpin yang baik yaitu sebagai berikut:
Pertama, pemimpin harus rendah hati dan sederhana; Kedua,
pemimpin harus mempunyai sikap suka menolong; Ketiga, pemimpin
harus sabar dan menjaga kestabilan emosi; Keempat, pemimpin harus
percaya pada diri sendiri; Kelima, pemimpin harus bersikap Jujur, adil
dan dapat dipercaya.
3. Nilai-nilai pendidikan kepemimpinan dalam kitab I’dhotun Nasyiin
dengan konteks kepemimpinan masa sekarang memiliki persamaan
penggunaan dan kebutuhan. Di dalam suatu negara yang sedang
membangun, diperlukan banyak warga masyarakat yang mempunyai
kemampuan kepemimpinan yang handal, baik kemampuan intelektual
maupun kemampuan etika moral yang beradab. Oleh karena itu
semakin banyak anggota masyarakat yang mempunyai ketrampilan
kepemimpinan akan semakin cepat pertumbuhan pembangunan
menuju ke arah yang diharapkan oleh masyarakat. Hal tersebut
relevan dengan pentingnya pendidikan kepemimpinan dari berbagai
pernyataan yang rasional baik tentang meteri pendidikan, metode
pendidikan, dan tujuan pendidikan.
96
B. Saran-Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas maka penilis memberikan saran
sebagai berikut:
1. Untuk dunia pendidikan Islam
Kepemimpinan sangat perlu dipelajari, karena setiap ada kelompok
manusia yang saling berinteraksi, pasti akan terjadi proses
kepemimpinan di dalamnya. Demikian juga dalam dunia penididikan.
Oleh sebab itu, para aktivis kependidikan perlu mempelajari seluk
beluk kepemimpinan yang berasaskan Islam.
2. Untuk para pemimpin
Kekuasaan bukanlah satu-satunya hal yang bisa dibanggakan
selamanya, oleh sebab itu, ketika seseorang menjadi pemimpin,
jadilah pemimpin yang jujur, dapat dipercaya, cerdas selalu
menyampaikan informasi kepada para pengikutnya, agar sesuai
dengan sistem kepemimpinan Rasulullah saw, sehingga terwujudlah
baldatun toyyibatun wa robbun ghoffur.
C. Kata Penutup
Dengan mengucap syukur Alhamdulillah kehadirat Allah, Tuhan
semesta alam. Maha pengasih dan Maha penyayang dan hanya Allah yang
berhak di sembah dan diibadahi dengan benar.
Shalawat beriring salam kepada Rasulullah Muhammad saw yang
menjadi tauladan sekaligus mampu mengubah dan membentuk umat menuju
akhlak mulia.
97
Ucapan terima kasih tidak lupa penulis sampaikan kepada semua
pihak yang telah membimbing, mengarahkan dan membantu
terselesaikannya penulisan skripsi ini.
Penulisan skripsi ini, mengingat kemampuan yang ada, tentulah
skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Kebenaran Mutlak adalah milik Allah
yang Esa, maka penulis menyadari bila skripsi ini masih perlu dilengkapi
dan diberikan saran yang membangun. Maka penulis mengharapkan kepada
para pembaca yang budiman untuk memberi kritik dan saran sebagai kajian
lebih lanjut. Sehingga skripsi ini mendekati kebenaran dan kesempurnaan
sebuah karya ilmiah. Akhirnya ridha Allah SWT semata yang senantiasa
penulis harapkan sehingga skripsi ini akan menjadi salah satu sumbangan
khasanah keilmuan Islam, dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis
khususnya dan bagi pembaca pada umumnya di dunia dan akhirat. Amin-
amin yarobbal alamin.
98
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman. 1992. Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam. Terj. Hery
Noer Ali. Bandung:CV Diponegoro.
Al Bani, Al Nashiruddin Muhammad. 2006. Shahih Sunan Abu Daud. Jakarta :
Pustaka Azam.
Al-Ghalayaini, Musthafa. 2002. I‟dhotun Nasyiin (Bimbingan Menuju Akhlak
Luhur) Diterjemahkan oleh Moh. Abdai Rathomy. Semarang: PT Karya
Toha Putra.
Al-Ghalayaini, Musthafa. Idhotun Nasyiin Alih Bahasa H.M. Fadlil Said An-
Nadwi. Surabaya:Al-Hidayah.
Anshari, Saifuddin, Endang. 1978. Kuliah Al-Islam. Bandung : Pustaka Bandung.
Arief, Armai. 2002. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta:
Ciputat Press.
Arifin, Tatang M. 1990. Menyusun Rencana Penelitian. Jakarta:Rajawali.
As’ad, Moh. 1986. Kepemimpinan Efektif dalam Perusahaan: Suatu Pendekatan
Psikologik. Yogyakarta:Liberty.
Bakker, Anton. 1990. Metodologi Penelitian Filsafat. Yogyakarta:Kanisius.
99
Danim, Sudarwan. 2004. Motivasi Kepemimpinan dan Fektifitas Kelompok.
Jakarta: Rineka Cipta.
Dekdikbud. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Departemen Agama RI. 2001. Metodologi Pendidikan Agama Islam. Jakarta:
Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam.
Fatchurrohman. 2006. Demokratisasi Pendidikan dalam Al-Qur‟an.
Salatiga:STAIN SALATIGA Press
Gulen, M. Faetullah. 2002. Versi Terdalam Kehidupan Rasul Allah Muhammad.
Jakarta:PT Raja Grafindo Persada.
Hadi, Sutrisno. 1990. Metodologi Research. Yogyakarta: Andi Offset.
Husaini. 2006. Manajemen Teori dan Riset Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara.
Kahalah, Ridho Umar. 1993. Mu‟jam al-Muallafin Tarajum Mushannafi al-Kutub
al-Arabiyah. Beirut: Muassasah al-Risalah.
Karim, Mohammad. Pemimpin Transformasional di Lembaga Pendidikan Islam.
Malang:UIN-Maliki PRESS.
Kartono, Kartini. 2010. Pemimpin dan Kepemimpinan (Apakah Pemimpin
Abnormal Itu?). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Kuswaya, Adang. 2011. Metode Tafsir Kontemporer. Yogyakarta:CV. Orbittust
Corp.
100
Madhi, Jamal. 2001. Menjadi Pemimpin yang Efektif dan Berpengaruh: Tinjauan
Manajemen Kepemimpinan Islam. Bandung :PT. Syamil Cipta Media.
Mansur. 2004. Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam. Yogyakarta:Pustaka
Pelajar.
Maragustan. 2000. Studi Krisis Ide-Ide Sentral K.H.A Wahid Hasyim Tentang
Pendidikan Islam. Yogyakarta:Jurnal Penelitian Agama Nomor 25.
Maslikhah. 2009. Ensiklopedia Pendidikan. Salatiga:STAIN Salatiga Press.
Moedjino, Imam. 2002. Kepemimpinan & Keorganisasian. Yogyakarta:UII Press.
Muhadjir, Noeng. 1996. Metode Kualitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Musbikin, Imam, Sholeh, Moh. 2005. Agama Sebagai Terapi.
Yogyakarta:Pustaka Belajar.
Nashori, Fuad. 2009. Psikologi Kepemimpinan: Peran Psikologi Islami dalam
Pengembangan Moralitas Pemimpin. Yogyakarta: Pustaka Fahima.
Poerwadarminta, WJ.S. 2006. Kamus Umum Bahasa Indonesia edisi ketiga, cet
ke-3. Jakarta:Ciputat Press.
Razak, Nasruddin. 1986. Dienul Islam. Bandung : Al-Ma’arif.
Riberu, J. 1992. Dasar-dasar Kepemimpinan. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya
Rivai, Veithzal. 2003. Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
101
Siagian, Sondang P. 2010. Teori dan Praktek Kepemimpinan. Jakarta:PT Rineka
Cinta.
Subairi, 2005. Nilai Pendidikan Akhlak dalam Kitab Izhah An Nasyi‟in dan
Implikasinya terhadap Pendidikan Akhlak Remaja. Skripsi tidak diterbitkan.
Yogyakarta: Jurusan Tarbiah UIN SUKA.
Suharto, Joko. 2007. Menuju Ketenangan Jiwa. Jakarta:PT Rineka Cipta.
Suryaman, Yana. 2016. Great leader 4 Kunci Sakti Menjadi Pemimpin Hebat.
Jakarta: Bestari.
Sutikno, M. Sobry. 2014. Pemimpin dan Kepemimpinan Ips Praktis untuk
Menjadi Pemimpin yang Diidolakan. Lombok: Holistica.
Utomo, Warsito. 2008. Kepemimpinan Profesional (Pendekatan Leadership
Games). Yogyakarta: Gava Media.
Zaenudin, Mahdi. 2002. Studi Kepemimpinan Islam. Yogyakarta:Al-Muhsin.
Http://ngalapberkahtiyangsoleh.blogspot.co.id/2014/01/syeikh-mustafa-al-
ghalayini.html. Di akses pada tanggal 24 Agustus 2016 pukul 14.30
Http://bdkbandung.kemenag.go.id/jurnal/261-kepemimpinan-nasional-indonesia-
kini-dan-di-masa-mendatang, Diakses pada tanggal 3 Oktober 2016 pukul
11.35
102
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
1. Nama : Khikmatul Latifah
2. Tempat, Tanggal Lahir : Magelang, 16 September 1995
3. Jenis Kelamin : Perempuan
4. Warga Negara : Indonesia
5. Agama : Islam
6. Alamat : Ngadisono Rt. 01/Rw. 06, Selomirah, Ngablak,
Magelang.
7. Riwayat Pendidikan :
a. SD N Selomirah : Tahun 2000-2006
b. SMP N 2 Grabag : Tahun 2006-2009
c. MAN 1 Kota Magelang : Tahun 2009-2012
Demikian daftar riwayat hidup ini penulis buat dengan sebenar-benarnya
Salatiga, 12 September 2016
Penulis
Khikmatul Latifah
111-12-238
103
104
DAFTAR NILAI SKK
Nama : Khikmatul Latifah
NIM : 111-12-238
Jurusan : Pendidikan Agama Islam
Fakultas : Tarbiyah dan Ilmu Pendidikan
Dosen Pembimbing : Mufiq, S.Ag., M.Phil.
NO Jenis Kegiatan Pelaksanaan Keterangan Skor
1. Orientasi Pengenalan Akademik dan
Kemahasiswaan (OPAK) dengan Tema “
Progresifitas Kaum Muda, Kunci Perubahan
Indonesia”.
05-07 September 2012 Peserta
3
2. Orientasi Pengenalan Akademik dan
Kemahasiswaan (OPAK) Jurusan Tarbiyah
dengan tema “ Mewujudkan Gerakan
Mahasiwa Tarbiyah sebagai Tonggak
Kebangkitan Pendidikan Indonesia”
08-09 September 2012 Peserta
3
3. Orientasi Dasar Keislaman (ODK) dengan
Tema “ Membangun Karakter Keislaman
Bertaraf Internasional di Era Globalisasi
Bahasa”
10 September 2012 Peserta
2
4. Seminar Entrepreneurhip dan Perkoperasian
2012 dengan tema “ Explore Your
Entrepreneurship Talent”
11 September 2012 Peserta
2
5. Achievment Motivation Training (AMT)
dengan Tema “ Dengan AMT, Bangun
Karakter Raih Prestasi”
12 September 2012 Peserta
2
6 Library User Education (Pendidikan
Pemakai Perpustakaan) oleh UPT
Perpustakaan STAIN Salatiga
13 September 2012 Peserta
2
7. Membentuk Militansi Kader Menuju
Mahasiswa yang Ideal
05-07 Oktober 2012 Peserta 2
8. Seminar “Penyelesaian Sengketa Ekonomi
Syariah dalam Perspektif Hukum Positif
dan Syariah”
17 Desember 2012 Peserta
2
9. Seminar Nasional “Ahlussunnah
Waljamaah dalam Perspektif Islam
26 Maret 2013 Peserta
8
105
Indonesia”
10.
Seminar Nasional Entrepreneurship
“Menumbuhkan Jiwa Entrepreneur
Generasi Muda”.
27 Mei 2013 Peserta
8
11. Akhirussanah Ma’had STAIN Salatiga
“Pesantren Sebagai Wadah Perkembangan
Karakter Pemuda Islam yang berakhlaqul
Karimah dan Bernalar Ilmiah”
30 Juni 2013 Peserta
2
12. Piagam Penghargaan Musabaqah Tilawatil
Qur’an (MTQ) Mahasiswa V Tingkat
Mahasiswa, SMA Se-Derajat dan Pondok
Pesantren Se-Salatiga dan sekitarnya.
dengan tema “HTQ Wahana Apresiasi
untuk Mencetak Insan Qur’ani”.
23 Oktober 2013 Peserta
2
13. Dialog Interaktif & Edukatif “DIASPORA
Politik Indonesia di Tahun 2014, Memilih
Untuk Salatiga Hati Beriman”.
01 April 2014 Peserta
2
14. Seminar Nasional LPM Dinamika “Idealime
Mahasiswa”
03 Juni 2014 Peserta
8
15. Public Hearing “STAIN Menuju IAIN Dari
Mahasiswa Oleh Mahasiswa Untuk
Mahasiswa”
10 Juni 2014 Peserta
2
16.
“Training Pembuatan Makalah” oleh
Lembaga Dakwah Kampus (LDK) Darul
Amal STAIN Salatiga
17 Sepetember 2014 Peserta
2
17. Gebyar Seni Qur’aniyy (GSQ) umum ke-VI
SE- JAWA TENGAH “Aktualisasi Makna
dan Syiar Al-Qur’an sebagai Sumber
Inspirasi” oleh JQH AL-FURQON STAIN
SALATIGA
05 November 2014 Peserta 4
18. Diklat Microteaching Himpunan Mahasiswa
Program Studi (HMPS) Pendidikan Agama
Islam Jurusan Tarbiyah STAIN Salatiga
08 November 2014 Peserta
2
19. Seminar Nasional Entrepreneurship
RACANA Kusuma Dilaga-Woro Srikandhi
16 November 2014 Peserta
8
20. Pelatihan Pertanian, Peternakan, Perikanan
dan Fermentasi Yayasan PonPes Nurul
Asna
31 Januari 2015 Peserta
2
106
107
108