25
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA ------- RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR … TAHUN … TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH JAKARTA, 2015

NOMOR … TAHUN - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/md3.pdf · Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ... memberikan

Embed Size (px)

Citation preview

DEWAN PERWAKILAN DAERAH

REPUBLIK INDONESIA -------

RANCANGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR … TAHUN …

TENTANG

PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014

TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARAN RAKYAT,

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

JAKARTA, 2015

1

DEWAN PERWAKILAN DAERAH

REPUBLIK INDONESIA

-------

RANCANGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR ……. TAHUN …… TENTANG

PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014

TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa untuk melaksanakan kedaulatan rakyat atas dasar kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, perlu mewujudkan lembaga

permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan daerah yang mampu

mengejawantahkan nilai-nilai demokrasi serta menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat dan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan

bernegara;

b. bahwa dalam melaksanakan kedaulatan rakyat untuk memperjuangkan aspirasi daerah dan rakyat, perlu

penataan kembali kedudukan Dewan Perwakilan Daerah sesuai amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945;

c. bahwa Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan

Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,

Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan kebutuhan hukum masyarakat;

d. bahwa beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR dan DPD telah

2

dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

pada perkara Nomor 79/PUU-XII/2014, bertanggal 22 September 2015, sehingga untuk menindaklanjuti putusan

Mahkamah Konstitusi ini maka Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR dan DPD perlu diubah;

e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagimana dimaksud

dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah;

Mengingat: 1. Pasal 2 ayat (1),Pasal 19, Pasal 20, Pasal 20A, Pasal 22C, dan Pasal 22D Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014

Nomor 383, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5650) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,

Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 383, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 5650);

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG

MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH.

3

Pasal I Beberapa Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2014 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2014 Nomor 383, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5650) diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan huruf c Pasal 71 diubah sehingga Pasal 71 berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 71 DPR berwenang:

a. membentuk undang-undang yang dibahas dengan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama;

b. memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan

terhadap peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang diajukan oleh Presiden untuk menjadi undang-undang;

c. membahas rancangan undang-undang yang diajukan oleh

Presiden, DPR atau DPD yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta

penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, dengan mengikutsertakan DPD sebelum diambil

persetujuan bersama antara DPR dan Presiden; d. memperhatikan pertimbangan DPD atas rancangan undang-

undang tentang APBN dan rancangan undang-undang yang

berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama; e. membahas bersama Presiden dengan memperhatikan

pertimbangan DPD dan memberikan persetujuan atas rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden;

f. membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang

disampaikan oleh DPD atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan

daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama;

g. memberikan persetujuan kepada Presiden untuk menyatakan perang dan membuat perdamaian dengan negara lain;

h. memberikan persetujuan atas perjanjian internasional tertentu

yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau

mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang; i. memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pemberian

amnesti dan abolisi;

4

j. memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam hal mengangkat duta besar dan menerima penempatan duta besar negara lain;

k. memilih anggota BPK dengan memperhatikan pertimbangan DPD; l. memberikan persetujuan kepada Presiden atas pengangkatan dan

pemberhentian anggota Komisi Yudisial; m. memberikan persetujuan calon hakim agung yang diusulkan

Komisi Yudisial untuk ditetapkan sebagai hakim agung oleh

Presiden; dan n. memilih 3 (tiga) orang hakim konstitusi dan mengajukannya

kepada Presiden untuk diresmikan dengan keputusan Presiden.

2. Ketentuan huruf h Pasal 72 diubah dan ditambah satu huruf yakni

huruf ha sehingga Pasal 72 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 72

DPR bertugas: a. menyusun, membahas, menetapkan, dan menyebarluaskan

program legislasi nasional; b. menyusun, membahas, dan menyebarluaskan rancangan undang-

undang;

c. menerima rancangan undang-undang yang diajukan oleh DPD berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,

pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan

daerah; d. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang,

APBN, dan kebijakan pemerintah;

e. membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang disampaikan oleh BPK;

f. memberikan persetujuan terhadap pemindahtanganan aset negara yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan peraturan

perundang-undangan dan terhadap perjanjian yang berakibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara;

g. menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat;

h. membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang dilakukan oleh DPD atas pelaksanaan undang-undang; dan

ha. membahas dan menindaklanjuti pertimbangan DPD terhadap

calon Anggota BPK. 3. Ketentuan ayat (5) Pasal 164 diubah sehingga Pasal 164 berbunyi

sebagai berikut:

Pasal 164 (1) Usul rancangan undang-undang dapat diajukan oleh anggota DPR,

komisi, atau Badan Legislasi.

5

(2) Usul rancangan undang-undang disampaikan secara tertulis oleh anggota DPR, pimpinan komisi, atau pimpinan Badan Legislasi

kepada pimpinan DPR disertai daftar nama dan tanda tangan pengusul.

(3) DPR memutuskan usul rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam rapat paripurna, berupa:

a. persetujuan;

b. persetujuan dengan pengubahan; atau c. penolakan. (4) Dalam hal persetujuan dengan pengubahan, DPR menugasi komisi,

Badan Legislasi, atau panitia khusus untuk menyempurnakan rancangan undang-undang tersebut.

(5) Rancangan undang-undang yang telah disiapkan oleh DPR disampaikan dengan surat pimpinan DPR kepada Presiden dan kepada pimpinan DPD untuk RUU sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 71 huruf c.

4. Ketentuan ayat (2) Pasal 165 diubah dan ditambah satu ayat yakni ayat 2a sehingga Pasal 165 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 165

(1) Rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden diajukan dengan surat Presiden kepada pimpinan DPR.

(2) Rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden berkaitan

dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber

daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah diajukan dengan surat Presiden kepada Pimpinan DPR dan Pimpinan DPD.

(2a) Rancangan undang-undang yang berasal dari DPR berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya

alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah disampaikan dengan surat Pimpinan

DPR kepada Presiden dan Pimpinan DPD.

5. Ketentuan ayat (2) dan ayat (5) Pasal 166 diubah sehingga Pasal 166

berbunyi sebagai berikut:

Pasal 166 (1) Rancangan undang-undang dapat diajukan oleh DPD berkaitan

dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan

dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

(2) Rancangan Undang-Undang beserta penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik yang berasal dari DPD disampaikan

secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR dan kepada Presiden.

6

(3) Pimpinan DPR paling lama 30 (tiga puluh) Hari sejak menerima rancangan undang-undang dari DPD sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) mengirim surat kepada Presiden untuk menunjuk menteri yang ditugasi mewakili Presiden dalam pembahasan rancangan

undang-undang bersama DPR dengan mengikutsertakan DPD. (4) Pimpinan DPR setelah menerima rancangan undang-undang dari

DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengirim surat kepada

pimpinan DPD untuk menunjuk alat kelengkapan DPD yang ditugasi mewakili DPD ikut serta dalam pembahasan rancangan undang-undang oleh DPR bersama Presiden.

(5) DPR, DPD dan Presiden mulai membahas rancangan undang-undang dari DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 60 (enam

puluh) Hari terhitung sejak surat pimpinan DPR diterima Presiden.

6. Ketentuan ayat (5) Pasal 170 dihapus sehingga Pasal 170 berbunyi

sebagai berikut:

Pasal 170 (1) Pembicaraan tingkat I dilakukan dengan kegiatan sebagai berikut:

a. pengantar musyawarah;

b. pembahasan daftar inventarisasi masalah; dan c. penyampaian pendapat mini.

(2) Dalam pengantar musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

huruf a: a. DPR memberikan penjelasan dan Presiden menyampaikan

pandangan jika rancangan undang-undang berasal dari DPR; b. DPR memberikan penjelasan serta Presiden dan DPD

menyampaikan pandangan jika rancangan undang-undang yang

berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf c berasal dari DPR;

c. DPD memberikan penjelasan serta DPR dan Presiden

menyampaikan pandangan apabila rancangan undang-undang yang berkaitan dengan kewenangan DPD berasal dari DPD;

d. Presiden memberikan penjelasan dan fraksi memberikan pandangan jika rancangan undang-undang berasal dari Presiden; atau

e. Presiden memberikan penjelasan serta fraksi dan DPD menyampaikan pandangan jika rancangan undang-undang yang

berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf c berasal dari Presiden.

(3) Daftar inventarisasi masalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

huruf b diajukan oleh: a. Presiden jika rancangan undang-undang berasal dari DPR; b. DPR jika rancangan undang-undang berasal dari Presiden;

c. DPR dan DPD jika rancangan undang-undang berasal dari Presiden sepanjang berkaitan dengan kewenangan DPD

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf c;

7

d. DPR dan Presiden jika rancangan undang-undang berasal dari DPD sepanjang terkait dengan kewenangan DPD sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 71 huruf c; atau e. DPD dan Presiden jika rancangan undang-undang berasal dari

DPR sepanjang terkait dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf c.

(4) Penyampaian pendapat mini sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

huruf c disampaikan pada akhir pembicaraan tingkat I oleh: a. fraksi; b. DPD, jika rancangan undang-undang berkaitan dengan

kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf c; dan

c. Presiden. (5) Dihapus. (6) Dalam pembicaraan tingkat I dapat diundang pimpinan

lembaga negara atau lembaga lain jika materi rancangan undang-undang berkaitan dengan lembaga negara atau lembaga lain.

7. Ketentuan huruf a ayat (1) Pasal 171 diubah dan menambah satu huruf

yakni huruf aa sehingga Pasal 171 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 171

(1) Pembicaraan tingkat II merupakan pengambilan keputusan oleh DPR

dan Pemerintah dalam rapat paripurna DPR dengan kegiatan: a. penyampaian laporan oleh pimpinan komisi, gabungan komisi,

Badan Legislasi, atau panitia khusus yang berisi proses

pembahasan rancangan undang-undang, pendapat DPD yang

disampaikan dalam pembicaraan Tingkat I, dan hasil

Pembicaraan Tingkat I;

aa. penyampaian pandangan akhir DPD atas materi RUU yang disampaikan oleh Pimpinan DPD atau Pimpinan Alat Kelengkapan lain yang mewakili;

b. pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi dan

anggota DPR secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat

paripurna; dan

c. pendapat akhir Presiden yang disampaikan oleh menteri yang

ditugasi.

(2) Dalam hal persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b secara musyawarah untuk mufakat tidak dapat dicapai, pengambilan

keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak. (3) Dalam hal rancangan undang-undang tidak mendapatkan

persetujuan bersama antara DPR dan Presiden, rancangan undang-undang tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.

8

8. Ketentuan ayat (2) Pasal 249 diubah sehingga Pasal 249 berbunyi

sebagai berikut:

Pasal 249 (1) DPD mempunyai wewenang dan tugas:

a. mengajukan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan

otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta

yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah kepada DPR;

b. ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan hal sebagaimana dimaksud dalam huruf a;

c. menyusun dan menyampaikan daftar inventaris masalah

rancangan undang-undang yang berasal dari DPR atau Presiden yang berkaitan dengan hal sebagaimana dimaksud

dalam huruf a; d. memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan

undang-undang tentang APBN dan rancangan undang-undang

yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama; e. dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-

undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran,

dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi

lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama; f. menyampaikan hasil pengawasan atas pelaksanaan undang-

undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran,

dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan undang-undang APBN, pajak,

pendidikan, dan agama kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti;

g. menerima hasil pemeriksaan atas keuangan negara dari BPK sebagai bahan membuat pertimbangan kepada DPR tentang rancangan undang-undang yang berkaitan dengan APBN;

h. memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota BPK; dan

i. menyusun program legislasi nasional yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan

sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

(2) Dalam menjalankan wewenang dan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPD dapat melakukan rapat dengan kementerian,

lembaga negara, BUMN, instansi vertikal di daerah, pemerintah daerah, DPRD, BUMD dan masyarakat.

9

9. Ketentuan ayat (1) Pasal 250 diubah sehingga Pasal 250 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 250

(1) Dalam melaksanakan wewenang dan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249, DPD memiliki kemandirian dalam menyusun anggaran yang dituangkan ke dalam program dan kegiatan

disampaikan kepada Presiden untuk dibahas bersama DPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Dalam menyusun program dan kegiatan DPD sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), untuk memenuhi kebutuhannya, DPD dapat menyusun standar biaya khusus dan mengajukannya kepada

Pemerintah untuk dibahas bersama. (3) Pengelolaan anggaran DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilaksanakan oleh Sekretariat Jenderal DPD di bawah pengawasan

Panitia Urusan Rumah Tangga sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) DPD menetapkan pertanggungjawaban pengelolaan anggaran DPD dalam peraturan DPD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

10. Ketentuan huruf a diubah dan diantara huruf b dan huruf c Pasal 257

disisipkan 5 (lima) huruf yakni huruf ba, huruf bb, huruf bc, huruf bd

dan huruf be sehingga Pasal 257 berbunyi sebagai berikut: Pasal 257

Anggota DPD berhak: a. mengajukan pertanyaan; b. menyampaikan usul dan pendapat;

ba. mengajukan usul rancangan undang-undang; bb. pengawasan; bc. mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah

pemilihan; bd. melakukan sosialiasi rancangan undang-undang dan undang-

undang; c. memilih dan dipilih; d. membela diri;

e. imunitas; f. protokoler; dan

g. keuangan dan administratif.

11. Ketentuan ayat (1) Pasal 259 diubah sehingga Pasal 259 berbunyi

sebagai berikut:

Pasal 259

(1) Alat kelengkapan DPD terdiri atas: a. Badan Musyawarah Dewan;

b. komite; c. Badan Perancang Undang-Undang; d. Badan Rumah Tangga;

10

e. Badan Kerja Sama Antar-Parlemen; f. Badan Kehormatan Dewan;

g. panitia khusus; dan h. alat kelengkapan lain yang diperlukan dan dibentuk oleh rapat

paripurna. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, susunan,

serta wewenang dan tugas alat kelengkapan DPD diatur dalam

peraturan DPD tentang tata tertib.

12. Judul Paragraf 2 Bagian Ketujuh BAB IV diubah sehingga judul

Paragraf 2 Bagian Ketujuh BAB IV berbunyi sebagai berikut:

Paragraf 2 Badan Musyawarah

13. Ketentuan Pasal 262 diubah sehingga Pasal 262 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 262

Badan Musyawarah dibentuk oleh DPD dan merupakan alat

kelengkapan DPD yang bersifat tetap. 14. Ketentuan Pasal 263 diubah sehingga Pasal 263 berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 263 (1) Badan Musyawarah bertugas menetapkan jadwal dan acara

persidangan.

(2) Apabila Badan Musyawarah tidak dapat mengadakan rapat untuk menetapkan jadwal dan acara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan DPD dapat menetapkan jadwal dan acara tersebut

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan dan mekanisme kerja Badan Musyawarah diatur dalam peraturan DPD

tentang tata tertib. 15. Judul Paragraf 3 Bagian Ketujuh Bab IV diubah sehingga judul

Paragraf 3 Bagian Ketujuh Bab IV berbunyi sebagai berikut:

Paragraf 3 Komisi

16. Ketentuan Pasal 264 diubah sehingga Pasal 264 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 264 (1) Komisi dibentuk oleh DPD dan merupakan alat kelengkapan DPD

yang bersifat tetap. (2) Keanggotaan komis ditetapkan oleh sidang paripurna DPD pada

permulaan masa kegiatan DPD dan pada setiap permulaan tahun

11

sidang, kecuali pada permulaan tahun sidang terakhir dari masa keanggotaan DPD.

(3) Komisi dipimpin oleh pimpinan komisi.

17. Ketentuan Pasal 265 diubah sehingga Pasal 265 berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 265 (1) Tugas komisi dalam pengajuan rancangan undang-undang adalah

mengadakan persiapan dan pembahasan rancangan undang-undang

tertentu. (2) Tugas komisi dalam pembahasan rancangan undang-undang yang

berasal dari DPR atau Presiden adalah melakukan pembahasan serta menyusun pandangan dan pendapat DPD.

(3) Tugas komisi dalam pemberian pertimbangan adalah:

a. melakukan pembahasan dan penyusunan pertimbangan DPD mengenai rancangan undang-undang tentang APBN dan rancangan

undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama; dan

b. menyusun pertimbangan DPD terhadap calon anggota BPK yang

diajukan DPR. (4) Tugas komisi di bidang pengawasan adalah:

a. melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang bidang

tertentu pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama; dan

b. membahas hasil pemeriksaan BPK. 18. Ketentuan Pasal 266 diubah sehingga Pasal 266 berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 266

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan dan mekanisme kerja komisi diatur dalam peraturan DPD tentang tata

tertib. 19. Judul Paragraf 4 Bagian Ketujuh Bab IV diubah sehingga judul

Paragraf 4 Bagian Ketujuh Bab IV berbunyi sebagai berikut:

Paragraf 4 Badan Legislasi

20. Ketentuan Pasal 267 diubah sehingga Pasal 267 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 267 (1) Badan Legislasi dibentuk oleh DPD dan merupakan alat

kelengkapan DPD yang bersifat tetap. (2) Keanggotaan Badan Legsilasi ditetapkan oleh sidang paripurna DPD

pada permulaan masa keanggotaan DPD dan pada setiap permulaan

12

tahun sidang, kecuali pada permulaan tahun sidang terakhir masa keanggotaan DPD.

(3) Badan Legislasi dipimpin oleh pimpinan Badan Legislasi.

21. Ketentuan Pasal 268 diubah sehingga Pasal 268 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 268 Badan Legislasi bertugas:

a. merencanakan dan menyusun program serta urutan prioritas

pembahasan usul rancangan undang-undang untuk 5 (lima) tahun dan prioritas tahunan di lingkungan DPD;

b. membahas usul rancangan undang-undang berdasarkan program prioritas yang telah ditetapkan;

c. melakukan kegiatan pembahasan, harmonisasi, pembulatan, dan

pemantapan konsepsi usul rancangan undang-undang yang disiapkan oleh DPD;

d. melakukan pembahasan, pengubahan, dan/atau penyempurnaan rancangan undang-undang yang secara khusus ditugaskan oleh Badan Musyawarah dan/atau sidang paripurna;

e. melakukan koordinasi, konsultasi, dan evaluasi dalam rangka mengikuti perkembangan materi usul rancangan undang-undang yang sedang dibahas oleh komisi;

f. melakukan evaluasi terhadap program penyusunan usul rancangan undang-undang; dan

g. membuat laporan kinerja dan inventarisasi masalah, baik yang sudah maupun yang belum terselesaikan untuk dapat dipergunakan sebagai bahan oleh Badan Legsilasi pada masa keanggotaan berikutnya.

22. Ketentuan Pasal 269 diubah sehingga Pasal 269 berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 269

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan dan mekanisme kerja Badan Legislasi diatur dalam peraturan DPD tentang tata tertib.

23. Judul Paragraf 5 Bagian Ketujuh Bab IV diubah sehingga judul

Paragraf 5 Bagian Ketujuh Bab IV berbunyi sebagai berikut:

Paragraf 5

Mahkamah Kehormatan 24. Ketentuan Pasal 270 diubah sehingga Pasal 270 berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 270 (1) Mahkamah Kehormatan dibentuk oleh DPD dan merupakan alat

kelengkapan DPD yang bersifat tetap.

13

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan Mahkamah Kehormatan diatur dalam peraturan DPD tentang tata tertib.

25. Ketentuan Pasal 271 diubah sehinggan Pasal 271 berbungyi sebagai

berikut:

Pasal 271

(1) Mahkamah Kehormatan bertugas melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap anggota karena: a. tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 258; b. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau

berhalangan tetap sebagai anggota DPD selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apa pun;

c. tidak menghadiri sidang paripurna dan/atau rapat alat

kelengkapan DPD yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah;

d. tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPD sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD; dan/atau

e. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

(2) Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah

Kehormatan melakukan evaluasi dan penyempurnaan peraturan DPD tentang tata tertib dan kode etik DPD.

(3) Mahkamah Kehormatan berwenang memanggil pihak terkait dan melakukan kerja sama dengan lembaga lain

(4) Mahkamah Kehormatan membuat laporan kinerja pada akhir masa

keanggotaan. 26. Ketentuan Pasal 272 diubah sehingga Pasal 272 berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 272 Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme pelaksanaan wewenang dan tugas Mahkamah Kehormatan diatur dalam peraturan DPD tentang tata

beracara Mahkamah Kehormatan.

27. Judul Paragraf 6 Bagian Ketujuh Bab IV diubah sehingga judul Paragraf 6 Bagian Ketujuh Bab IV berbunyi sebagai berikut:

Paragraf 6 Badan Urusan Rumah Tangga

28. Ketentuan Pasal 273 diubah sehingga Pasal 273 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 273

14

(1) Badan Urusan Rumah Tangga dibentuk oleh DPD dan merupakan alat kelengkapan DPD yang bersifat tetap.

(2) Keanggotaan Badan Urusan Rumah Tangga ditetapkan oleh sidang paripurna DPD pada permulaan masa kegiatan DPD dan pada setiap

permulaan tahun sidang, kecuali pada permulaan tahun sidang terakhir dari masa keanggotaan DPD.

(3) Badan Urusan Rumah Tangga dipimpin oleh pimpinan Badan Urusan

Rumah Tangga. 29. Ketentuan Pasal 274 diubah sehinggan Pasal 274 berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 274 (1) Badan Urusan Rumah Tangga bertugas:

a. membantu pimpinan DPD dalam menentukan kebijakan

kerumahtanggaan DPD, termasuk kesejahteraan anggota dan pegawai Sekretariat Jenderal DPD;

b. membantu pimpinan DPD dalam melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan kewajiban yang dilakukan oleh Sekretariat Jenderal DPD;

c. membantu pimpinan DPD dalam merencanakan dan menyusun kebijakan anggaran DPD;

d. melaksanakan tugas lain yang berhubungan dengan masalah

kerumahtanggaan DPD yang ditugaskan oleh pimpinan DPD berdasarkan hasil rapat Badan Musyawarah; dan

e. menyampaikan laporan kinerja dalam sidang paripurna DPD yang khusus diadakan untuk itu.

(2) Badan Urusan Rumah Tangga dapat meminta penjelasan dan data

yang diperlukan kepada Sekretariat Jenderal DPD. (3) Badan Urusan Rumah Tangga membuat inventarisasi masalah, baik

yang sudah maupun yang belum terselesaikan untuk dapat

digunakan sebagai bahan oleh Badan Urusan Rumah Tangga pada masa keanggotaan berikutnya.

30. Ketentuan Pasal 275 diubah sehingga Pasal 275 berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 275

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan dan mekanisme kerja Badan Urusan Rumah Tangga diatur dalam peraturan DPD tentang tata tertib

31. Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) Pasal 276 diubah sehingga Pasal 276

berbunyi sebagai berikut:

Pasal 276 (1) DPD dapat mengajukan rancangan undang-undang yang berkaitan

dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan

15

dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan

dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. (2) Rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

yang disertai dengan naskah akademik dapat diusulkan oleh Badan Legislasi dan/atau komisi.

(3) Rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

diputuskan menjadi rancangan undang-undang yang berasal dari DPD dalam sidang paripurna DPD.

32. Ketentuan ayat (1) Pasal 277 diubah sehingga Pasal 277 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 277 (1) Rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal

276 ayat (3) beserta naskah akademik disampaikan dengan surat

pengantar pimpinan DPD kepada pimpinan DPR dan Presiden. (2) Surat pengantar pimpinan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) menyebut juga Panitia Perancang Undang-Undang dan/atau panitia kerja yang mewakili DPD dalam melakukan pembahasan rancangan undang-undang tersebut.

33. Ketentuan Pasal 281 diubah sehingga Pasal 281 berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 281 DPD memberikan pertimbangan terhadap rancangan undang-undang

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 248 ayat (1) huruf c kepada DPR. 34. Ketentuan ayat (1) Pasal 284 diubah sehingga Pasal 284 berbunyi

sebagai berikut: Pasal 284

(1) DPD menyampaikan hasil pengawasan atas pelaksanaan undang-

undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 248 ayat (1) huruf d beserta rekomendasi kepada DPR dan kepada Pejabat/Pihak terkait

untuk ditindaklanjuti. (2) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diputuskan

dalam sidang paripurna DPD.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan DPD

tentang tata tertib.

Pasal II

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik

Indonesia.

16

Disahkan di Jakarta pada tanggal ...............

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

JOKO WIDODO

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,

YASONNA HAMONANGAN LAOLY

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR ….

17

PENJELASAN ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR ……. TAHUN …… TENTANG

PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN

RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN

RAKYAT DAERAH

I. UMUM

Mahkamah Konstitusi memutus perkara pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

terhadap UUD 1945. Dalam putusan Nomor 92/PUU-X/2012 dan Nomor 79/PUU-XII/2014, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan Dewan Perwakilan Daerah selaku pemohon untuk

membatalkan beberapa ketentuan dalam ketiga Undang-Undang tersebut yang dinilai mereduksi kewenangan Dewan Perwakilan Daerah dalam proses pembentukan undang-undang dan kemandirian anggaran. DPR,

DPD, dan Presiden menyelenggarakan kedaulatan rakyat di bidang pembentukan undang-undang sesuai dengan ketentuan UUD 1945.

Seluruh aspek penyelenggaraan Negara harus berdasarkan kedaulatan rakyat yang merujuk ketentuan Undang-Undang Dasar. Dalam sistem konstitusional, kewenangan dan kekuasaan masing-masing lembaga negara

diatur dan dirinci sedemikian rupa dan saling mengimbangi dan membatasi antara satu dan yang lainnya berdasar ketentuan Undang-Undang Dasar. Sistem demikian membawa konsekuensi konstitusional pada tingkat

penerapan dan penyelenggaraan kekuasaan negara, antara lain, terhadap struktur, mekanisme, dan hubungan tata kerja antar lembaga-lembaga

negara. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah yang dibentuk pasca Putusan Mahkamah Konstitusi sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009

tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, tetap saja memuat ketentuan pasal-pasal yang mereduksi, menegasikan, bahkan

mengikis kewenangan konstitusional sebagaimana telah ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian diperlukan perubahan kedua atas UndangaUndang

Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah. Materi muatan perubahan Undang-Undang ini meliputi norma dalam petitum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-XII/2014.

18

Perumusan kembali putusan Mahkamah Konstitusi tersebut pada hakikatnya mengandung dua arti penting. Pertama; mengembalikan

mekanisme checks and balances dalam sistem demokrasi desentralistik seturut dengan constitutional jurisprudence yang telah temukan oleh

Mahkamah Konstitusi melalui constitutional judicial. Kedua, mengembalikan marwah Putusan Mahkamah Konstitusi No. 92/PUU-X/2014 dan Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-XII/2014 yang sekaligus juga menghormati keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga konstitusional yang diberi wewenang melakukan tafsir Undang-Undang

terhadap UUD 1945. Dengan pengembalian marwah Putusan MK tersebut, berarti para pembentuk Undang-Undang tidak dipandang telah melakukan

contempt of court. Selain itu dalam perubahan ini juga ditambahkan beberapa ketentuan yang terkait dengan aspek kelembagaan dan kemandirian anggaran. Hal ini mengingat sebagai lembaga negara maka

pengaturan tentang aspek kelambagaan dan anggaran harus bersifat equal dan nondiskriminatif.

II. PASAL DEMI PASAL Pasal I

Angka 1

Pasal 71 Huruf a Cukup jelas.

Huruf b Cukup jelas.

Huruf c Menurut Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Perkara Nomor 92/PUU-X/2012 dan Putusan Perkara Nomor

79/PUU-XII/2014, pembahasan RUU dari DPD harus diperlakukan sama dengan RUU dari Presiden dan DPR. Terhadap RUU dari Presiden, Presiden diberikan

kesempatan memberikan penjelasan, sedangkan DPR dan DPD memberikan pandangan. Begitu pula terhadap RUU

dari DPR, DPR diberikan kesempatan memberikan penjelasan, sedangkan Presiden dan DPD memberikan pandangan. Hal yang sama juga diperlakukan terhadap

RUU dari DPD, yaitu DPD diberikan kesempatan memberikan penjelasan, sedangkan DPR dan Presiden

memberikan pandangan. Konstruksi UUD 1945 mengenai pembahasan RUU antara Presiden dan DPR, serta DPD (dalam hal terkait RUU tertentu) dilakukan antara

lembaga negara, sehingga DIM, diajukan oleh masing-masing lembaga negara, dalam hal ini bagi DPR seharusnya DIM diajukan oleh DPR, bukan DIM diajukan

oleh fraksi. Walaupun demikian, Mahkamah dapat memahami bahwa mekanisme pembahasan RUU dengan

membahas DIM yang diajukan oleh fraksi adalah praktik pembahasan RUU sebelum perubahan UUD 1945.

19

Selain itu, dalam pembahasan tersebut DPD diikutsertakan sebelum mengambil persetujuan bersama

antara DPR dengan presiden Huruf d

Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas.

Huruf f Cukup jelas. Huruf g

Cukup jelas. Huruf h

Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas.

Huruf j Cukup jelas.

Huruf k Cukup jelas. Huruf l

Cukup jelas. Huruf m Cukup jelas.

Huruf n Cukup jelas.

Angka 2 Pasal 72

Huruf a

Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas.

Huruf c Cukup jelas.

Huruf d Cukup jelas. Huruf e

Cukup jelas. Huruf f

Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas.

Huruf h Cukup jelas. Huruf ha

Ketentuan ini perlu ditambahkan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 23F UUD 1945 bahwa Anggota Badan

Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh Presiden.

20

Angka 3 Pasal 164

Ayat (1) Cukup jelas.

Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3)

Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas.

Ayat (5) Melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

92/PUU-X/2012 bahwa ketentuan sebelumnya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak

dimaknai, “Rancangan Undang-Undang yang telah disiapkan oleh DPR disampaikan dengan surat pimpinan

DPR kepada Presiden dan kepada pimpinan DPD untuk Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,

pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan

daerah”. Angka 4

Pasal 165 Ayat (1) Cukup jelas.

Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (2a)

Melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 bahwa ketentuan sebelumnya

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Rancangan Undang-Undang yang berasal dari

Presiden diajukan dengan surat Presiden kepada pimpinan DPR dan kepada pimpinan DPD untuk

Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan

daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah”.

Angka 5 Pasal 166

Ayat (1) Cukup jelas

21

Ayat (2) Melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara

Nmor 79/PUU-XII/2014 bahwa ketentuan sebelumnya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Rancangan Undang-Undang beserta penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik

yang berasal dari DPD disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR dan Presiden”.

Ayat (3)

Cukup jelas Ayat (4)

Cukup jelas Ayat (5)

Melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

92/PUU-X/2012 bahwa “ikut membahas” harus dimaknai DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi

daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,

serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, bersama DPR dan Presiden.

Angka 6

Pasal 170 Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas.

Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4)

Cukup jelas. Ayat (5)

Melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 bahwa Pendapat MK menyatakan Pasal ini mereduksi kewenangan Konstitusional DPD RI

sebagaimana di sebutkan “setiap RUU sepanjang yang berkaitan dengan kewenangan Pemohon (DPD)

seharusnya dibahas oleh DPR yang diwakili oleh alat kelengkapan DPR in casu bukan fraksi, Presiden yang diwakili oleh menteri yang ditunjuk, dan Pemohon (DPD)

yang diwakili oleh alat kelengkapan Pemohon (DPD)”. Angka 7

Pasal 171 Ayat (1) Huruf a

Melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 bahwa “DPD menyampaikan pendapat pada pembahasan

22

Tingkat II dalam rapat paripurna DPR sampai dengan sebelum tahap persetujuan”.

Huruf b Cukup jelas.

Huruf c Cukup jelas. Ayat (2)

Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.

Angka 8 Pasal 249

Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)

Ketentuan ini untuk melakukan penyesuaian dengan pelaksanaan tugas DPD di daerah.

Angka 9 Pasal 250

Ayat (1)

Melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014 bahwa: Dalam melaksanakan wewenang dan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal

249, DPD memiliki kemandirian dalam menyusun anggaran yang dituangkan ke dalam program dan

kegiatan disampaikan kepada Presiden untuk dibahas bersama DPD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3)

Cukup jelas. Ayat (4)

Cukup jelas. Angka 10

Pasal 257

Cukup jelas. Angka 11

Pasal 259 Cukup jelas. Angka 12

Cukup jelas. Angka 13

Pasal 262

Cukup jelas. Angka 14

Pasal 263 Cukup jelas.

23

Angka 15 Cukup jelas.

Angka 16 Pasal 264

Cukup jelas. Angka 17

Pasal 265

Cukup jelas. Angka 18

Pasal 266

Cukup jelas. Angka 19

Cukup jelas. Angka 20

Pasal 267

Cukup jelas. Angka 21

Pasal 268 Cukup jelas. Angka 22

Pasal 269 Cukup jelas. Angka 23

Cukup jelas. Angka 24

Pasal 270 Cukup jelas. Angka 25

Pasal 271 Cukup jelas. Angka 26

Pasal 272 Cukup jelas.

Angka 27 Cukup jelas.

Angka 28

Pasal 273 Cukup jelas.

Angka 29 Pasal 274

Cukup jelas.

Angka 30 Pasal 275

Cukup jelas.

24

Angka 31 Pasal 276

Ayat (1) Melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

92/PUU-X/2012 bahwa “dalam keadaan tertentu, DPR, DPD, atau Presiden dapat mengajukan Rancangan Undang- Undang diluar Prolegnas mencakup:

a. untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; dan

b. keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya

urgensi nasional atas suatu Rancangan Undang-Undang yang dapat disetujui bersama oleh alat

kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum”.

Ayat (2) Cukup jelas.

Ayat (3) Cukup jelas. Angka 32

Pasal 277 Ayat (1)

Melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara

Nomor 79/PUU-XII/2014 bahwa bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 sepanjang tidak dimaknai, “Rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 276 ayat (3) beserta naskah akademik disampaikan dengan surat

pengantar pimpinan DPD kepada pimpinan DPR dan Presiden”.

Ayat (2)

Cukup jelas. Angka 33

Pasal 281 Cukup jelas. Angka 34

Pasal 284 Cukup jelas.

Pasal II

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR