21
Unsur Cerita Pewayangan, Warna Lokal, Ajaran Kejawen, dan Nilai-Nilai yang Terkandung dalam Novel Punakawan Menggugat Karya Ardian Kresna Norman Mahardhika, Pudentia MPSS Program Studi Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia [email protected] ABSTRAK Skripsi ini membahas novel Punakawan Menggugat yang dikarang oleh Ardian Kresna. Pengarang menggunakan dasar kebudayaan Jawa dan konsep cerita pewayangan untuk menyampaikan pandangan tentang nilai-nilai kehidupan yang ideal. Novel ini menampilkan simbol-simbol yang terdapat dalam dunia pewayangan dan maknanya terhadap kehidupan manusia. Punakawan Menggugat juga menyediakan intisari ajaran Kejawen sebagai bahan renungan cerita. Penelitian ini menggunakan pendekatan struktural untuk melihat aspek intrinsik karya sastra dan pendekatan sosiologi sastra untuk melihat warna lokal dan nilai- nilai yang terkandung dalam novel Punakawan Menggugat. Selain itu, penelitian ini juga meninjau karakteristik cerita wayang yang diangkat oleh pengarang. The Puppet Story Elements, Local Colours, Kejawen Teachings, and Values in the Novel Punakawan Menggugat by Ardian Kresna ABSTRACT This undergraduate thesis discusses about the novel Punakawan Menggugat by Ardian Kresna. The author used the Javanese cultural basis and the concept of puppet stories to present the insight about an ideal values of life. The novel shows the symbols in the puppet world and their meaning to human’s life. Punakawan Menggugat also provides the essence of Kejawen teachings as the reflection of the story. This study uses a structural approach to see the intrinsic aspects and a sociological approach to see the local colours and values in the Unsur cerita..., Norman Mahardhika, FIB UI, 2014

Norman Mahardhika, Pudentia MPSS

  • Upload
    others

  • View
    9

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Norman Mahardhika, Pudentia MPSS

Unsur Cerita Pewayangan, Warna Lokal, Ajaran Kejawen, dan Nilai-Nilai

yang Terkandung dalam Novel Punakawan Menggugat Karya Ardian

Kresna

Norman Mahardhika, Pudentia MPSS

Program Studi Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia

[email protected]

ABSTRAK

Skripsi ini membahas novel Punakawan Menggugat yang dikarang oleh Ardian Kresna.

Pengarang menggunakan dasar kebudayaan Jawa dan konsep cerita pewayangan untuk

menyampaikan pandangan tentang nilai-nilai kehidupan yang ideal. Novel ini menampilkan

simbol-simbol yang terdapat dalam dunia pewayangan dan maknanya terhadap kehidupan

manusia. Punakawan Menggugat juga menyediakan intisari ajaran Kejawen sebagai bahan

renungan cerita. Penelitian ini menggunakan pendekatan struktural untuk melihat aspek

intrinsik karya sastra dan pendekatan sosiologi sastra untuk melihat warna lokal dan nilai-

nilai yang terkandung dalam novel Punakawan Menggugat. Selain itu, penelitian ini juga

meninjau karakteristik cerita wayang yang diangkat oleh pengarang.

The Puppet Story Elements, Local Colours, Kejawen Teachings, and

Values in the Novel Punakawan Menggugat by Ardian Kresna

ABSTRACT

This undergraduate thesis discusses about the novel Punakawan Menggugat by Ardian

Kresna. The author used the Javanese cultural basis and the concept of puppet stories to

present the insight about an ideal values of life. The novel shows the symbols in the puppet

world and their meaning to human’s life. Punakawan Menggugat also provides the essence of

Kejawen teachings as the reflection of the story. This study uses a structural approach to see

the intrinsic aspects and a sociological approach to see the local colours and values in the

Unsur cerita..., Norman Mahardhika, FIB UI, 2014

Page 2: Norman Mahardhika, Pudentia MPSS

novel Punakawan Menggugat. Furthermore, this sttudy also observes the characteristics of the

puppet stories that were raised by the author.

Keywords : Javanese, kejawen, local colours, mahabharata, punakawan, symbols, wayang

purwa

Pendahuluan

Karya sastra adalah sebuah bangunan yang dibangun dari berbagai macam sumber ide. Salah

satu sumber ide yang menarik adalah dunia pewayangan. Dunia atau budaya pewayangan di

Indonesia telah mendapatkan penghargaan dari UNESCO. Pada tanggal 21 April 2004,

UNESCO menganugerahkan penghargaan Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of

Humanity kepada kesenian wayang yang berasal dari Indonesia. Keadaan yang demikian

menjadikan wayang sebagai kesenian yang merangkum sebuah konsep hidup manusia – dan

menyangkut nilai-nilai kehidupan yang sifatnya menuntun. Wayang berkembang menjadi

sebuah fenomena budaya yang cukup bertahan lama.

Wayang berasal dari kata ‘wa’ dan ‘hyang’ yang berarti keturunan yang ilahi. Dalam

bahasa Jawa Kuna, kata ‘wayang’ sendiri berarti ‘bayang-bayang’. Dua pengertian itu

menunjukkan kondisi wayang sebagai sebuah kesenian yang memanfaatkan bayang-bayang

sebagai medianya. Dalam hal ini, kaitan bayang-bayang dengan dunia kesenian menyebabkan

kesenian wayang dapat dikategorikan sebagai seni pertunjukan. Bayang-bayang itu diciptakan

dari boneka atau manusia. Kondisi ini disebut sebagai kondisi ‘tubuh tanpa roh’ yang siap

menjalankan cerita, dalam hal ini adalah dalang (Groenendael, 1987 : 55).

Kesenian yang memanfaatkan bayang-bayang itu menggunakan cerita yang berasal

dari epos atau wiracarita Ramayana dan Mahabharata. Agama Hindu dan Buddha yang masuk

ke nusantara menyebabkan terjadinya alih wahana dari kitab epos Ramayana dan

Mahabharata menjadi sebuah pertunjukan wayang. Wayang mengadaptasi kitab ini untuk

dijadikan nyawa cerita ‘kebaikan yang mengalahkan kejahatan’ (Nurgiyantoro, 1998 : 24).

Hal ini menunjukkan hakikat wayang sebagai tontonan sekaligus tuntunan.

Wayang di Indonesia mengalami perkembangan dan pertumbuhan yang panjang.

Kitab epos Ramayana dan Mahabharata yang datang dari India tidak dijadikan tumpuan dasar.

Pada tahun 1117 Masehi, Kakawin Smaradhana dari Kerajaan Kediri digunakan sebagai

nyawa cerita sebuah kesenian wayang (Poerbatjaraka, 1919 : 478 dalam Braginsky, 1998 :

110). Selain itu, cerita tentang kerajaan Majapahit (Serat Damarwulan), penyebaran agama

Islam, kehidupan Jazirah Arab (tampak dalam Hikayat Amir Hamzah), perjuangan

kemerdekaan bangsa Indonesia, hingga inti cerita Alkitab agama Kristen dijadikan nyawa

cerita dalam kesenian wayang (Timoer, 1984 : 26, Guritno, dkk, 1985 : 94, dan Poplawska,

2004 : 196).

Unsur cerita..., Norman Mahardhika, FIB UI, 2014

Page 3: Norman Mahardhika, Pudentia MPSS

Dengan demikian, wayang adalah sebuah konsep kesenian yang memasukkan banyak

ranah kehidupan manusia untuk dimanifestasikan dalam bentuk pertunjukan dan permainan

teater, khususnya teater boneka. Akan tetapi, kitab epos Ramayana dan Mahabharata bertahan

lama dan masih populer sebagai nyawa kesenian pertunjukan wayang. Kitab epos Ramayana

dan Mahabharata dirangkum dalam khazanah cerita wayang purwa. Istilah purwa sendiri

berasal dari sebuah istilah dalam kitab Mahabharata, ‘parwa’ yang berarti pembabakan cerita

(Soekmono, 1991 : 67). Wayang Purwa juga berkembang menjadi kesenian yang diakuisisi di

berbagai daerah di Indonesia. Wayang Purwa eksis dari pulau Sumatera (Palembang),

Jawa(Sunda, Banyumas, Tegal, Yogyakarta, Surakarta, dan Jawa Timur), Bali, Lombok

(Sasak), dan Kalimantan (Banjar) (Guritno, dkk, 1985 : 95; Haryanto, 1995 : 57 – 119).

Keadaan yang demikian menjadikan wayang purwa sebagai salah satu nyawa bagi

penciptaan karya sastra di Indonesia. Banyak pengarang di Indonesia yang berpijak pada

wayang purwa sebagai sumber ide bagi penciptaan karyanya. Sebagai contoh, Ardian Kresna

menuliskan novel Bima Sejati (2012) dan Punakawan Menggugat (2012). Pengarang juga

memiliki penerimaan yang beragam terhadap fenomena pewayangan sebagai sumber ide. Ada

yang memparodikan, mendekonstruksi, dan ada juga yang tetap berpijak pada aturan (pakem)

dalam dunia pewayangan. Sebagai contoh, Yanusa Nugroho menciptakan kumpulan cerpen

Bulan Bugil Bulat (1990) yang memasukkan wacana urban dalam dunia pewayangan. Seno

Gumira Ajidarma juga mendekonstruksi nilai-nilai pewayangan dalam novelnya yang

berjudul Kitab Omong Kosong (2004). Selain itu, Gunarso TS menciptakan kumpulan cerpen

Wayang Semau Gue (1991) yang memparodikan wayang purwa.

Penelitian ini membahas novel Punakawan Menggugat yang tidak memparodikan

cerita wayang, tetapi mengangkat cerita wayang yang berasal dari ranah budaya Jawa.

Punakawan Menggugat mengangkat cerita wayang yang bersifat carangan. Dengan

demikian, penelitian terhadap novel Punakawan Menggugat didasarkan pada karakteristik

cerita wayang yang diangkat dan mengungkap apa saja nilai-nilai yang terkandung dalam

cerita yang bersifat carangan.

Untuk melihat itu semua, digunakan dua pendekatan. Pendekatan pertama adalah

pendekatan struktural yang digunakan untuk mengetahui struktur naratif novel Punakawan

Menggugat. Pendekatan kedua adalah pendekatan sosiologi sastra untuk mengungkap nilai-

nilai yang terkandung di dalam novel Punakawan Menggugat. Selain itu, karakteristik cerita

wayang yang bersifat carangan akan dijabarkan dalam penelitian ini.

Tinjauan Teoretis

Pembahasan terhadap novel Punakawan Menggugat meninjau adanya penelitian yang

memberikan gambaran awal. Gambaran awal penelitian ini didapatkan dari dua hasil

penelitian. Adapun kedua tinjauan teoretis yang memberikan gambaran awal bagi penelitian

ini adalah sebagai berikut.

Unsur cerita..., Norman Mahardhika, FIB UI, 2014

Page 4: Norman Mahardhika, Pudentia MPSS

• Penelitian yang dilakukan oleh Burhan Nurgiyantoro dalam bukunya

yang berjudul Transformasi Unsur Pewayangan dalam Fiksi Indonesia (1998). Buku

ini mengungkap perkembangan dan penafsiran beberapa pengarang yang mengangkat

cerita wayang ke dalam kesusastraan Indonesia. Buku ini memberikan jawaban yang

mempertemukan benang merah antara dunia kesusastraan dan budaya pewayangan.

• Skripsi yang ditulis oleh Ika Puji Hardiyati yang berjudul Analisis

Psikologi Tokoh Utama Novel Pahlawan Pilihan Kreshna Karya Ardian Kresna dan

Pembelajarannya di SMA (2012). Penelitian ini adalah skripsi pada Universitas

Muhammadiyah Purworejo yang ditujukan untuk memperoleh gelar Sarjana

Pendidikan (S. Pd.). Skripsi ini memberikan gambaran awal tentang karakteristik

Ardian Kresna dalam mengkreasikan lakon wayang carangan menjadi sebuah fiksi.

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif-analitis, terutama untuk

mengkaji struktur karya sastra, unsur pewayangan, dan nilai-nilai yang terkandung dalam

novel Punakawan Menggugat karya Ardian Kresna. Metode deskriptif-analitis dilakukan

dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang ada pada masyarakat dan mengaitkannya ke

dalam karya sastra yang hidup dalam masyarakat tersebut. Karya sastra merupakan

sekumpulan nilai-nilai yang membangun alam dan manusia melalui kata-kata. Oleh karena

itu, nilai-nilai ini butuh dikeluarkan dari karya dan direfleksikan dengan fakta-fakta yang ada

pada kehidupan masyarakat (Ratna, 2010 : 282).

Penelitian ini akan membahas dunia pewayangan dalam kesusastraan Indonesia yang tampak

pada novel Punakawan Menggugat. Selanjutnya, konsep-kosep kebudayaan yang ada pada

novel Punakawan Menggugat dideskripsikan dan dikaitkan dengan teori-teori mengenai

sastra, kebudayaan, dan studi kebudayaan yang mengacu pada keberadaan wayang purwa

dalam kesusastraan Indonesia. Dengan demikian, esensi dari karya Punakawan Menggugat

dapat ditunjukkan. Esensi karya ini dikaitkan dengan amanat-amanat yang terkandung dalam

novel Punakawan Menggugat.

Dengan demikian, ada dua tahap pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini. Tahap

pertama adalah pendekatan struktural yang digunakan untuk mengkaji struktur naratif prosa

(aspek intrinsik) yang terkandung dalam novel Punakawan Menggugat. Aspek intrisik dalam

karya sastra tidak dapat dipisahkan dari analisis struktural. Analisis struktural pada dasarnya

digunakan untuk membongkar dari dalam seluruh aspek yang ada pada karya sastra.

Pembongkaran dari dalam ini ditujukan untuk memaparkan keterkaitan antara anasir dan

aspek-aspek di dalam karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna yang menyeluruh

(Teeuw, 2003 : 115). Pendekatan struktural ini digunakan untuk mengkaji karya sastra yang

merupakan bangunan kreativitas antara nilai-nilai dalam medium bahasa (Wellek dan

Warren, 2014 : 3). Selain itu, Jakob Sumardjo mendefiniskan sastra sebagai karya seni yang

menggunakan material bahasa dan berdasarkan bahasa itulah kita mengklasifikasikan

kesastraan (1992 : 2). Dengan demikian, pendekatan struktural adalah pendekatan yang

Unsur cerita..., Norman Mahardhika, FIB UI, 2014

Page 5: Norman Mahardhika, Pudentia MPSS

penting dan tak bisa dipisahkan dari penelitian terhadap novel Punakawan Menggugat karya

Ardian Kresna.

Tahap kedua adalah pendekatan sosiologi sastra. Menurut Wellek dan Warren (2014 : 98),

Pendekatan sosiologis dalam pengamatan karya sastra memiliki tiga hal penting. Pertama,

pendekatan sosiologi sastra dilakukan dengan melihat segi-segi sosiokultural seorang

pengarang. Pendekatan pertama ini disebut sebagai pendekatan sosiologi pengarang. Kedua,

pendekatan sosiologi sastra dilakukan dengan melihat keberadaan karya dalam kehidupan

masyarakat. Pendekatan kedua ini disebut sebagai pendekatan sosiologi karya. Ketiga,

pendekatan sosiologi sastra dilakukan dengan melihat keberadaan masyarakat, kalangan

pembaca, dan penilai karyanya. Pendekatan ketiga ini disebut sebagai pendekatan sosiologi

pembaca.

Sapardi Djoko Damono menambahkan bahwa sastra dan sosiologi memiliki kesamaan dalam

mengkaji manusia dan masyarakat. Meskipun demikian, keduanya memiliki perbedaan yang

terletak pada objektivitas analisis. Sosiologi melakukan analisis ilmiah secara objektif,

sedangkan sastra menembus kehidupan sosial dan menunjukkan cara manusia menghayati

masyarakat dengan lebih subjektif (2010 : 8). Pendekatan sosiologis atas karya sastra

merupakan usaha pemahaman, penafsiran, dan pemaknaan aspek intrinsik di dalam karya

sastra dan mengaitkannya dengan aspek ektrinsikalitas atau dunia di luar karya (Mahayana,

2005 : 337). Gerbstein mengemukakan bahwa pemahaman karya sastra hanya dapat dilakukan

secara lengkap jika suatu karya tidak dipisahkan dari lingkungan, kebudayaan, atau peradaban

yang menghasilkan karya tersebut. Hal ini disebabkan karya sastra merupakan hasil pengaruh

rumit dari faktor sosial dan kultural. Karya sastra berbentuk novel tampak lebih dominan

dalam menampilkan cermin masyarakat dibandingkan puisi atau drama (Mahayana, 2005 :

338-339).

Karya sastra merupakan sebuah cerminan dari masyarakat tertentu. Karya sastra tidak dapat

dipahami secara selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan

dan peradaban yang telah menghasilkannya (Damono, 1978 : 4). Selain itu, Sapardi Djoko

Damono juga menekankan bahwa karya sastra adalah cermin langsung dari berbagai segi

struktur sosial, hubungan kekeluargaan, pertentangan kelas, dan lain-lain (1978 : 9). Sosiologi

sastra bertugas untuk menghubungkan pengalaman tokoh-tokoh khayali dan situasi ciptaan

pengarang itu dengan keadaan sejarah yang merupakan asal-usulnya (Damono, 1978 : 9).

Dalam pembahasan terhadap novel Punakawan Menggugat, pernyataan Sapardi Djoko

Damono diperkuat oleh pernyataan Rene Wellek dan Austin Warren. Teknik-teknik sastra

tradisional seperti simbolisme dan matra bersifat sosial karena merupakan konvensi dan

norma masyarakat (Wellek dan Warren, 2014 : 98). Dengan pernyataan Rene Wellek dan

Austin Warren, novel Punakawan Menggugat yang bersumber dari unsur pewayangan adalah

cermin bagi kondisi masyarakat, khususnya Jawa.

Dengan demikian, pendekatan sosiologi sastra yang digunakan dalam penelitian ini juga

diperkuat dengan referensi-referensi pendukung. Referensi-referensi yang mendukung

pendekatan ini adalah pennelitian tentang warna lokal, dunia pewayangan, dan konsep ajaran

Kejawen.

Unsur cerita..., Norman Mahardhika, FIB UI, 2014

Page 6: Norman Mahardhika, Pudentia MPSS

Pembahasan

Pembahasan yang pertama kali dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis struktural

terhadap novel Punakawan Menggugat karya Ardian Kresna. Pembahasan ini diawali dengan

sebuah uraian cerita singkat dari novel Punakawan Menggugat. Uraian cerita yang singkat ini

akan memberikan gambaran tentang isi keseluruhan novel Punakawan Menggugat.

Punakawan Menggugat menceritakan sepak terjang para punakawan dalam

menggugat para tuannya. Para tuannya adalah kelompok tokoh Pandawa yang dikisahkan

sebagai tokoh yang melupakan jasa-jasa para punakawan. Para punakawan juga

menggunakan intrik dalam menjalankan gugatannya, yaitu dengan mengubah Raden

Abimanyu menjadi seekor ikan nila bersisik emas. Melalui media ini, para punakawan

menjadikan keseluruhan lakon gugatannya tercapai. Para punakawan terkesan mengatur

jalannya cerita dengan melibatkan tokoh-tokoh yang berada di luar pihak Pandawa. Tokoh-

tokoh itu adalah kelompok tokoh dari negara Parang Gumiwang dan negara Imantaka. Ikan

Nila bersisik emas yang dibuat oleh para punakawan itu dijadikan sayembara oleh negara

Astinapura hingga melibatkan kedua kelompok tokoh tersebut. Secara otomatis, pemenang

sayembara itu adalah Bagong dari kelompok punakawan. Akan tetapi, perjalanan mereka

masih dihiasi dengan aksi-aksi gugatan yang dilancarkan oleh Gareng dan Petruk. Gareng dan

Petruk mengubah dirinya menjadi raja yang sakti mandraguna hingga mampu mengobrak-

abrik tatanan Amartapura beserta Astinapura. Aksi Gareng dan Petruk dilakukan dengan

membonceng negara Parang Gumiwang dan negara Imantaka. Pada akhir cerita, tatanan

negara Astinapura dan Amartapura kembali pulih dengan adanya peleraian kejadian oleh

Semar. Semar tampil sebagai tokoh yang menjelaskan maksud gugatan para punakawan.

Analisis pertama yang dilakukan dalam pendekatan struktural adalah analisis

mengenai tokoh-penokohan. Ada sembilan kelompok tokoh yang berperan dalam novel

Punakawan Menggugat. Kelompok tokoh yang terlibat dalam novel Punakawan Menggugat

adalah kelompok tokoh Punakawan, Pandawa (Negara Amartapura), Raden Abimanyu,

Raden Gatotkaca, Kelompok tokoh Kurawa (Negara Astinapura), Kelompok tokoh

Dwarawati, Kelompok Tokoh Glagah Arum, Kelompok tokoh Parang Gumiwang, dan

kelompok tokoh Imantaka.

Kelompok punakawan dikisahkan sebagai tokoh yang dominan dalam cerita. Hal ini

disebabkan oleh karena mereka adalah kelompok tokoh yang menggugat para tuannya.

Kelompok tokoh yang dijadikan peran antagonis (peran lawan) adalah kelompok tokoh

Kurawa (Negara Astinapura). Raden Abimanyu dan Raden Gatotkaca muncul dengan peran

yang khas. Raden Abimanyu adalah tokoh yang dijadikan media penggugatan para

punakawan dengan perubahan wujudnya menjadi ikan nila bersisik emas. Raden Gatotkaca

adalah tokoh yang membantu Bagong (anggota punakawan) untuk memenangkan sayembara

ikan nila bersisik emas yang diadakan oleh pihak Astinapura. Kelompok tokoh Kurawa

memiliki peran sebagai medium jalannya penggugatan para punakawan. Kelompok tokoh

Parang Gumiwang, Glagah Arum, dan Imantaka adalah kelompok tokoh yang masuk ke

dalam kelompok tokoh non-Mahabharata dan memperkuat karakteristik carangan yang

Unsur cerita..., Norman Mahardhika, FIB UI, 2014

Page 7: Norman Mahardhika, Pudentia MPSS

terkandung dalam novel Punakawan Menggugat. Kelompok tokoh Dwarawati memiliki porsi

sebagai tokoh yang ikut memberikan solusi bagi peredaman konflik cerita – terutama dengan

tampilnya sosok Sri Kresna.

Gagasan yang muncul dalam novel ini menekankan pada peran dan fungsi

punakawan sebagai kelompok tokoh protagonis dan membawa nilai-nilai keutamaan hidup.

Hal itu dimunculkan pada sosok Semar dan anak-anaknya. Kutipan di bawah ini akan

memperjelas gagasan yang terkandung dalam novel Punakawan Menggugat.

(Adegan kilas balik cerita Ekalaya yang menggambarkan segi keluguan Bagong)

“Waduh…, orang mati kok tidak boleh. Apa hanya gara-gara Bharatayuda, Permadi,

yang sudah jelas berbuat untuk menebus karma kesalahannya itu, harus hidup terus?

Lha kok enak ya, Kang Gareng?...” Bagong semakin tak terkendali dengan jawaban

lugunya.

(hlm. 42)

(Rancangan peristiwa yang dilakukan oleh Punakawan)

“Nah, kini bendoromu sudah berubah bentuk menjadi ikan nila bersisik emas. Ikan

ini harus segera dilepaskan di sebuah telaga yang bernama Tirtaranu di Puncak

Gunung Parasu. Biarlah jelmaan Gusti Abimanyu betapa di sana sampai saatnya

kembali menjadi sedia kala.” (…) Ketiga anak Semar membisu. Sepertinya mereka

enggan melaksanakan tugas itu.

“Hmmm…, dasar kalian pemalas! Aku tak bisa dibohongi karena dalam hati

kalian sudah menolak tugas ini, hehehe… tapi jangan khawatir. Justru dari masalah

inilah kalian semua akan mendapat peranan di jagat pewayangan ini, Ngger. Biarlah

untuk sementara waktu, aku yang sedikit mengambil peran dan mengatur agar tatanan

kehidupan ini menjadi selaras kembali…” Semar memancing teka-teki kepada anak-

anaknya.

( hlm. 34)

(Semar yang mulai membuka wejangannya ketika semua peristiwa sudah terjadi)

“Kejadian ini telah kalian lewatkan. Pasti kalian bingung tentang apa arti semua ini.

Nah, kini aku akan memberikan sedikit pengertian kautamaning ngaurip atau

keutamaan hidup.”

(hlm. 362)

Ketiga kutipan di atas menunjukkan gagasan yang ingin diangkat oleh pengarang dalam novel

Punakawan Menggugat. Kutipan pertama menunjukkan adanya sikap dari Bagong yang ingin

memperbaiki sifat negatif yang dimiliki oleh Raden Arjuna. Bagong memiliki sikap itu dalam

lamunannya yang menjadikan dasar tindakan penggugatan para punakawan. Dengan adanya

lamunan itu, novel ini menggunakan gagasan campuran yang dipadukan dalam alur yang

Unsur cerita..., Norman Mahardhika, FIB UI, 2014

Page 8: Norman Mahardhika, Pudentia MPSS

memanfaatkan kilasan balik (memorial plot). Kutipan kedua semakin menunjukkan gagasan

tentang pentingnya peran punakawan dalam cerita wayang purwa, khususnya novel

Punakawan Menggugat. Punakawan diberikan porsi yang pentingoleh karena kesaktiannya

untuk mengatur laku, cerita, dan peristiwa yang dialami oleh para tuannya. Hal ini

menunjukkan konsep kosmologi Jawa yang menekankan pada konsep ‘vox populi, vox dei’,

kehendak Tuhan sama dengan kehendak rakyat. Kutipan ketiga menunjukkan peran

punakawan sebagai rakyat jelata sekaligus sebagai pemerhati dan pengatur kehidupan para

penguasanya. Melalui tokoh Semar, para punakawan berniat menjelaskan maksud

gugatannya untuk menyadarkan tuannya yang melupakan kewajibannya terhadap rakyat.

Analisis kedua yang dilakukan dalam pendekatan struktural adalah analisis mengenai

latar. Latar yang dibangun meliputi latar tempat, waktu, dan latar sosial. Latar tempat yang

diangkat dalam novel Punakawan Menggugat adalah latar tempat yang mengacu pada kondisi

dan alam pulau Jawa. Hal itu semakin nyata dalam kutipan berikut.

Badan gapura istana berkilauan karena sepuhan emas yang memboreh di sekujur

dindingnya. Di dua sisinya, tampak dua buah patung Dwarapala besar yang tak kalah megah

karena diukir dari emas murni dengan mahkota intan berwarna-warni. (…)

Istana megah didukung oleh keindahan alam yang asri. Siapa yang tak kenal dengan

negara Astinapura yang namanya telah begitu harum dan menggetarkan hati seluruh

penduduk pulau Jawadwipa?

( hlm. 51-53)

Dengan adanya kata „Jawadwipa‟, latar tempat yang dibangun adalah latar tempat

yang mengacu pada kondisi dan alam pulau Jawa. Hal ini menunjukkan karakteristik cerita

wayang yang diangkat. Cerita wayang yang diangkat dalam novel ini adalah cerita wayang

yang bersumber dari penafsiran Mahabharata versi Jawa. Latar waktu tidak ditampakkan

dengan baik. Latar waktu yang ditampilkan hanya sebatas waktu yang wajar antara pagi

hingga malam hari. Latar sosial yang ditampakkan adalah latar sosial yang mengacu pada

kondisi masyarakat Jawa yang terbagi ke dalam kelas sosial – umumnya antara penguasa

dengan rakyat jelata. Meskipun demikian, keberadaan tokoh punakawan menunjukkan

gagasan kondisi sosial yang ideal – para penguasa berhak mendapatkan gugatan dari

rakyatnya.

Pembahasan berikutnya adalah Alur. Alur yang ditampilkan di dalam novel ini adalah

alur campuran. Konflik terjadi sebanyak tiga kali dan konflik yang ketiga adalah konflik

utama. Konflik pertama dan kedua adalah konflik yang didapatkan dari lamunan para

punakawan tentang sikap para Pandawa yang negatif – padahal Pandawa adalah ksatria

berwatak positif. Alur ini ditutup dengan kondisi yang diciptakan oleh tokoh Semar. Semar

memberikan wejangan di akhir cerita dan menjadikan kondisi itu sebagai bentuk leraian

hingga selesaian. Hal yang kurang tampak dalam alur di novel ini adalah suspense, hubungan

sebab-akibat, dan plausibilitas dalam cerita.

Pembahasan berlanjut ke pokok bahasan tentang sudut pandang. Dalam cerita wayang,

sudut pandang adalah hal yang penting. Hal ini dilakukan untuk menemukan kemungkinan

peran pengarang sebagai dalang – orang ketiga yang serba tahu terhadap keseluruhan cerita.

Unsur cerita..., Norman Mahardhika, FIB UI, 2014

Page 9: Norman Mahardhika, Pudentia MPSS

Ternyata, hal itu terbukti. Kutipan di bawah ini adalah contoh sudut pandang orang ketiga

serba tahu yang dimunculkan oleh pengarang.

Adalah negara Parang Gumiwang yang istananya tak kalah megah dengan istana yang dari

negara-negara yang acap kali menjadi buah bibir dalam lakon-lakon pewayangan. Kerajaan

Parang Gumiwang ini berada di sebuah pulau yang terletak di seberang Samudera Selatan

Pulau Jawadwipa.

Inilah negara para raksasa dengan istananya yang serba berlapis emas. Demikian pula

perabotan di dalamnya yang tak kalah menampilkan keindahan. Tembok benteng yang

mengelilingi istananya terukir beraneka ragam jenis bunga dengan sepuhan warna emas,

menyilaukan mata, bahkan matahari pun serasa gelap jika diperbandingkannya.

( hlm. 71)

Kutipan di atas adalah sampel dari pengetahuan pengarang tentang pengetahuan orang ketiga

yang serba tahu terhadap alam cerita novel Punakawan Menggugat. Dengan lancar,

pengarang mampu menceritakan kondisi alam negara Parang Gumiwang yang tampak pada

kutipan tersebut. Pengarang meletakkan porsinya sebagai dalang sehingga perannya adalah

sebagai tuhan atas cerita Punakawan Menggugat.

Pembahasan terakhir dalam analisis struktural adalah pokok bahasan mengenai tema.

Tema yag dibangun dalam novel Punakawan Menggugat adalah tema mengenai dinamika

kehidupan masyarakat antara penguasa dan rakyat jelata. Hal itu dibuktikan dengan adanya

kelompok tokoh punakawan yang dominan terhadap cerita. Tema dalam novel ini juga

dibangun dalam motif-motif cerita seperti : mimpi, „anak mencari ayahnya‟, sayembara,

pertempuran, dan pemberian wejangan. Keempat motif itu dijadikan sebuah urutan untuk

mencapai sebuah cita-cita sempurna masyarakat Jawa, yaitu sebuah keseimbangan dalam

hidup bermasyarakat. Motif mimpi adalah motif yang menunjukkan karakteristik manusia

yang selalu mencari makna hidupnya. Selain itu, motif „anak mencari ayahnya‟ menunjukkan

bahwa seorang anak yang berusia remaja harus mengetahui asal-usul keluarganya. Sosok anak

itu ditampilkan pada tokoh Raden Harya Prabakusuma dari kelompok tokoh Glagah Arum

yang mencari ayahnya, Raden Arjuna (salah satu anggota Pandawa Lima). Motif sayembara

dan pertempuran memiliki arti dinamika manusia untuk mencari nilai kebaikan yang hakiki.

Motif pemberian wejangan adalah motif akhir cerita yang menunjukkan tema utama novel

Punakawan Menggugat. Punakawan Menggugat mengangkat tema tentang keseimbangan

hidup yang harus senantiasa diperjuangkan.

Pembahasan mengenai tema ini akan semakin lengkap dengan adanya pendekatan

kedua, yaitu pendekatan sosiologi sastra. Pendekatan sosiologi sastra digunakan untuk

menemukan nilai-nilai yang lebih dalam dari analisis struktural. Pendekatan sosiologi sastra

akan digunakan dalam pembahasan unsur ekstrinsik.

Sebelum sampai pada pembahasan ekstrinsik, pembahasan yang harus dilakukan

adalah menemukan karakteristik cerita wayang yang tampak dalam novel Punakawan

Menggugat. Karakteristik cerita wayang yang tampak dalam novel Punakawan Menggugat

Unsur cerita..., Norman Mahardhika, FIB UI, 2014

Page 10: Norman Mahardhika, Pudentia MPSS

adalah karakteristik yang masuk ke dalam sifat cerita carangan. Novel Punakawan

Menggugat akan dicari karakteristik dan sifat carangannya mulai dari lakon wayang

carangan yang identik hingga basis cerita wayang yang diangkat.

Untuk masuk ke dalam pembahasan ekstrinsik ini, perlu diketahui pengertian dan

hakikat dari lakon wayang carangan. Lakon wayang purwa terbagi menjadi dua. Pertama,

wayang purwa memiliki lakon wayang pakem yang pasti berbeda di setiap daerah yang

memiliki kesenian wayang purwa. Lakon pakem adalah lakon yang sebagian besar masih

sama dengan induk cerita Ramayana dan Mahabharata. Perbedaan antara lakon wayang

pakem dengan induk cerita Ramayana dan Mahabharata hanya terletak pada nama-nama

tokoh, kosmologi cerita, logika cerita, dan nilai-nilai yang terkandung. Lakon pakem

menyesuaikan induk cerita Mahabharata menjadi semakin dekat dengan masyarakat,

khususnya masyarakat asli Indonesia di setiap daerah yang menerima cerita wayang.

Lakon wayang kedua yang diangkat dalam khazanah cerita wayang purwa adalah lakon

wayang carangan atau sempalan. Dari akar katanya, kata „carang‟ berarti ranting pohon.

Lakon wayang carangan adalah lakon wayang yang merupakan ranting atau cabang dari

pohon cerita utama. Pohon cerita utama itu adalah Ramayana dan Mahabharata.

Hingga saat ini, cerita-cerita carangan dalam khazanah cerita Wayang Purwa semakin

bertambah. Pola perwatakan yang terdapat pada tokoh-tokoh Ramayana atau Mahabharata

lebih dinamis dan tidak terpaku pada pakem (Mulyono, 1989a : 179-180 dalam Nurgiyantoro,

1998 : 48). Tujuan dibuatnya cerita-cerita wayang carangan adalah sebagai kritik terhadap

nilai-nilai yang sudah ada pada pakem aslinya. Lakon wayang carangan merupakan cerita

wayang yang kental dengan porsi wacananya. Wacana yang ada di dalam lakon wayang

carangan biasanya aktual terhadap zaman dan berfungsi untuk mengkomunikasikan kritik

atau pesan-pesan tertentu (Chatman 1980 : 19 dalam Nurgiyantoro, 1998 : 47).

Pada dasarnya lakon wayang pakem dan carangan masih memiliki intisari nilai yang

sama. Selebihnya, lakon wayang carangan berlaku lebih „nakal‟, „liar‟, komunikatif, dan

dekat dengan masyarakat yang tergolong unlettered. Lakon wayang carangan adalah sebuah

penggarapan cerita wayang dengan tidak memparodikan – tetapi memperbaharui isi pakem

(Foley, 1979 : 104-108 dalam Weintraub, 2004 : 49).

Cerita yang tampak dalam novel Punakawan Menggugat memiliki kesamaan motif

cerita terhadap tiga lakon wayang carangan. Ketiga lakon wayang carangan itu adalah

Gareng Dadi Ratu, Mustakaweni Maling, dan Ulamsari (Hardjowirogo, 1982 : 227; 314 –

315 dan Soma, 2003 : Jilid 1, 2, dan 3). Kesamaan motif itu terletak pada nama tokoh, pusaka

yang digunakan, sayembara, dan tindakan penggugatan punakawan kepada para tuannya.

Lakon Gareng Dadi Ratu menceritakan perjalanan Gareng yang menggugat Raden Arjuna

karena telah dicampakkan oleh Raden Arjuna. Raden Arjuna tega membunuh Gareng oleh

karena kesalahan yang sepele. Gareng berubah menjadi raja dan berhasil membuat tindakan

penggugatan kepada Raden Arjuna. Lakon Mustakaweni Maling menceritakan perjalanan

Dewi Mustakaweni untuk mencuri Pusaka Kalimasada dari Negara Amarta. Mustakaweni

harus berperang melawan Srikandi dan diapun kalah dengan utusan Srikandi yang merupakan

Unsur cerita..., Norman Mahardhika, FIB UI, 2014

Page 11: Norman Mahardhika, Pudentia MPSS

anak tirinya sendiri. Mustakaweni tidak merasa kalah, malahan jatuh cinta kepada Raden

Priyambada (utusan Srikandi) yang telah mengalahkannya. Pusaka Kalimasada yang berhasil

direbut oleh Priyambada dititipkan kepada Petruk. Petruk menyalahgunakan kesempatan itu

untuk mengubah diri menjadi raja sakti dan menggugat para tuannya, Pandawa. Tampaklah

bahwa percampuran konflik yang terjadi di lakon Mustakaweni Maling adalah bukti bahwa

lakon ini bersifat carangan karena mengangkat isu dan dilema yang digemari oleh masyarakat

luas. Lakon Ulamsari berasal dari ranah cerita wayang purwa carangan gaya Sunda.

Meskipun demikian, ada kesamaan yang muncul antara lakon Ulamsari dengan novel

Punakawan Menggugat. Keduanya sama-sama menceritakan sayembara ikan bersisik emas

dan bermata intan. Perbedaannya terletak pada tokoh punakawan yang berperan dan nama

ikan yang disayembarakan. Pada lakon Ulamsari ikan yang disayembarakan adalah ikan

Ulamsari sedangkan pada novel Punakawan Menggugat adalah ikan Nilasari. Meskipun

demikian, hampir sebagian besar isinya sama.

Diagram 1

Kesamaan motif antara novel Punakawan Menggugat dengan Tiga Lakon Wayang Carangan yang Identik

Setelah itu, pembahasan mengenai basis cerita wayang yang tampak dalam novel

Punakawan Menggugat perlu dilakukan sebelum sampai kepada bahasan ekstrinsik dalam

pendekatan sosiologi sastra. Konsep pewayangan yang diangkat dalam novel Punakawan

Menggugat adalah konsep wayang purwa Jawa. Dengan demikian, novel ini diangkat dari

cerita wayang versi Jawa yang berbeda dengan cerita wayang versi India. Konsep wayang

purwa Jawa itu tampak pada tokoh punakawan, nama-nama tempat yang ada di dalam cerita

Punakawan Menggugat, dan tafsiran ulang pengarang terhadap nilai-nilai pewayangan.

Konsep yang pertama dibahas adalah konsep punakawan yang diangkat dalam cerita

Punakawan Menggugat. Konsep punakawan ini dibahas sebagai langkah awal memahami

konsep wayang purwa versi Jawa. Adapun nama para punakawan yang berperan adalah

Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Keempat punakawan ini berasal dari pemikiran dalam

kebudayaan Jawa. Dalam pertunjukan wayang kulit purwa, para punakawan biasanya

dimunculkan pada adegan gara-gara. Adegan ini berfungsi sebagai hiburan karena tokoh-

tokoh ini identik dengan tingkah laku yang kocak dan menghibur (Damono, 2011 : 279).

Selain fungsi hiburan, para punakawan dimunculkan sebagai „juru dakwah‟ dan penyampai

pesan moral dari pertunjukan wayang kulit.

Punakawan berasal dari kata „pana‟ yang berarti „cerdik‟ dan „kawan‟ yang berarti

„kawan‟. Kemunculan para punakawan merupakan kebutuhan para ksatria untuk

mendapatkan kawan yang cerdik dalam mengemban tugasnya di dunia (Haryanto, 1995 : 67).

Para punakawan diciptakan dengan label „abdi‟ atau „pembantu‟. Para punakawan bertugas

mengiringi para ksatria dengan wataknya masing-masing. Para Ksatria mengatur rakyat jelata

Unsur cerita..., Norman Mahardhika, FIB UI, 2014

Page 12: Norman Mahardhika, Pudentia MPSS

dan masyarakat yang berada di bawah kelas sosialnya. Keberadaan punakawan ini menjadi

bentuk dialog antara para ksatria sebagai pemegang nilai utama dengan rakyat jelata.

Punakawan lahir dari golongan rakyat jelata tetapi bisa mengatur dan mengasuh para ksatria

yang berstatus sosial lebih tinggi. Dengan demikian, para punakawan ini menjadi simbol

keseimbangan antara penguasa dengan rakyat jelata.

Selain daripada abdi atau pamong, punakawan juga dimunculkan sebagai „juru

dakwah‟. Punakawan memiliki peran yang berbagai macam karena mereka adalah

representasi antara Tuhan dan manusia. Keadaan mereka menjadi kompleks dan

perwatakannya disesuaikan dengan kebutuhan penikmat cerita wayang (Mulyono, 1982 : 42).

Punakawan dimunculkan ketika pulau Jawa mengalami persinggungan budaya dan religi

antara Hindu, Buddha, Islam, dan aliran lokal yang ada di Jawa.

Pada intinya, konsep punakawan dalam wayang purwa merupakan sebuah konsep

cerita Ramayana dan Mahabharata versi Jawa. Konsep itu menjadi sebuah pemikiran

masyarakat Jawa dalam memadukan nilai-nilai tradisi Hindu-Buddha dan Islam. Perpaduan

itu dikolaborasikan dengan nilai-nilai asli budaya Jawa. Pada akhirnya, konsep wayang

purwa yang menempatkan para punakawan sebagai salah satu bagiannya menjadi nilai

budaya. Nilai budaya itu kemudian dijadikan sumber rujukan kultural dan dapat digunakan

dalam berbagai produk kebudayaan. Novel Punakawan Menggugat adalah salah satu

contohnya.

Selain konsep punakawan, konsep yang dibahas selanjutnya adalah basis cerita

wayang yang diangkat dalam novel Punakawan Menggugat. Basis cerita yang tampak dalam

novel Punakawan Menggugat adalah basis cerita Mahabharata. Basis cerita Mahabharata ini

tidak sama dengan Mahabharata versi India. Basis cerita Mahabharata dalam novel

Punakawan Menggugat adalah basis cerita Mahabharata versi Wayang Purwa Jawa.

Mahabharata versi Wayang Purwa Jawa adalah kisah epos Mahabharata yang

digabungkan dengan Lokapala dan Ramayana. Wayang Purwa Jawa mengawali ceritanya dari

cerita Lokapala, Ramayana, hingga Mahabharata sebagai pemuncak cerita Wayang Purwa.

Dengan demikian, ketiga pokok cerita itu merupakan satu kesatuan dan berlaku sebagai

penanda zaman dalam kosmologi cerita wayang purwa Jawa.

Tabel 1

Cerita Wayang Purwa Versi Jawa

Wayang Purwa Versi Jawa

Zaman

Sumber Cerita

Inti Cerita

Jumlah Lakon

Unsur cerita..., Norman Mahardhika, FIB UI, 2014

Page 13: Norman Mahardhika, Pudentia MPSS

Tokoh-Tokoh Cerita yang Terkenal

Lokapala

Serat Lokapala

Masa penciptaan dunia hingga pemerintahan Kerajaan Medang Kamulan dan Ayodya yang pertama. Inti cerita

Lokapala sampai pada kelahiran Rahwana dan Rama.

5

Prabu Srimahapunggung,

Prabu Arjunasasrabahu,

Prabu Kalmasapada,

Resi Wisrawa, Dewi Sukesi, dan

Resi Gotama.

Ramayana

Kitab Epos Ramayana

Kisah petualangan Rama dalam mencari istrinya, Dewi Sinta yang diculik oleh Rahwana.

18

Prabu Ramawijaya,

Raden Lesmana,

Raden Gunawan Wibisana,

Anoman,

Prabu Rahwana,

dan Dewi Sinta.

Mahabharata

Kitab Epos Mahabharata

Kisah perebutan tahta dan kekuasaan antara Pandawa dan Kurawa. Pandawa dan Kurawa adalah keturunan

Bharata yang berkedudukan di negara Astina. Kisah ini dilanjutkan dalam fragmen perang Bharatayudha hingga

kematian Pandawa. Kisah ini ditutup dengan cerita Parikesit sebagai pemimpin negara Astinapura yang terakhir.

147

Prabu Sentanu, Resi Bhisma, Adipati Drestarastra, Prabu Pandu, Patih Sengkuni, Kurawa, Pandawa, Raden

Gatotkaca, Raden Abimanyu, Adipati Karna, Prabu Salya, Prabu Matswapati, Resi Durna, dan Prabu Parikesit.

Unsur cerita..., Norman Mahardhika, FIB UI, 2014

Page 14: Norman Mahardhika, Pudentia MPSS

Dalam novel Punakawan Menggugat, kesatuan kosmologi cerita ini ditampakkan pada

kutipan di bawah ini.

Petruk merindukan kembali saat keadaan kawula ini gemah ripah loh jinawi tata titi

tentrem kerta raharja sebagaimana pemerintahan Prabu Sri Mahapunggung yang dibantu

oleh Patih Jakapuring. Kedua bangsawan itu terbukti akrab dan gigih bahu-membahu

memberdayakan rakyatnya untuk mandiri serta mampu mengupayakan kesejahteraan

rakyatnya.

(hlm. 22)

Kutipan di atas menunjukkan bahwa novel ini memberikan penekanan pada wayang

purwa Jawa dengan sifat yang carangan. Punakawan memiliki kondisi yang immortal dan

mampu mengalami semua zaman yang ada pada kosmologi cerita wayang purwa. Dengan

demikian, konsep wayang purwa yang diangkat dalam novel ini adalah wayang purwa dengan

basis cerita Jawa dan bersifat carangan.

Pembahasan berikutnya masuk ke dalam ranah pendekatan sosiologi sastra yang

paling inti. Pembahasan berikutnya adalah warna lokal yang tampak pada novel Punakawan

Menggugat karya Ardian Kresna. Dalam dimensi sosiologi sastra, ada salah satu pokok

bahasan yang membahas warna lokal. Warna lokal adalah kesan dan esensi karya yang

mengacu pada lokalitas sebuah daerah. Sastra warna lokal ditandai dengan pemanfaatan

setting dan pengarang berfungsi sebagai wisatawan atau pemandu wisata. Sastra warna lokal

berbeda dengan sastra regional. Sastra warna lokal menggunakan bahasa yang berlaku lebih

universal sedangkan sastra regional menggunakan bahasa asli daerah. Dalam sejarah sastra

Indonesia, sastra warna lokal adalah karya sastra yang melukiskan ciri khas wilayah etnis

tertentu dengan penggunaan bahasa Indonesia sebagai medium bahasanya (Ratna, 2010 : 384-

385).

Dengan demikian, novel Punakawan Menggugat dapat dirumuskan segala aspek yang

membangun warna lokalnya. Warna lokal yang tampak dalam novel ini adalah penggunaan

dialek atau istilah yang khas Jawa, eksistensi geografis, dan falsafah yang terkandung di

dalam novel Punakawan Menggugat. Warna lokal yang paling terlihat adalah warna lokal

tentang penggunaan dialek atau istilah Jawa dan warna lokal tentang eksistensi geografis.

Sampel yang ada di bawah ini menunjukkan warna lokal yang tampak dalam novel

Punakawan Menggugat.

Tabel 2

Warna Lokal Istilah atau Dialek Jawa

Tokoh yang Menggunakan Istilah dan Dialek Lokal Jawa

Ujaran

Istilah atau Dialek yang diperoleh

Arti

Unsur cerita..., Norman Mahardhika, FIB UI, 2014

Page 15: Norman Mahardhika, Pudentia MPSS

(Kamus Bahasa Jawa Online kamus.ugm.ac.id/jowo.php)

Dewi Banowati

“Ayo, Nduk…, segera kita menghadap ayahmu yang sudah menunggu di paseban ndalem…”

(hlm. 146)

Nduk Genduk

Sebutan atau persona pronomina bagi „anak perempuan‟ dalam satu keluarga.

Selain nukilan tabel yang tampak di atas, kutipan di bawah ini menunjukkan warna lokal

tentang eksistensi geografis yang dimunculkan. Kutipan di bawah ini adalah sampel dari

pemunculan eksistensi geografis yang dilakukan oleh pengarang.

(Penggambaran bentang alam dari desa Karang Kabolotan)

Kicauan burung prenjak mengalun merdu dari atas pohon dadap srep yang berada di sebelah

samping kanan sebuah gubuk limasan, tak begitu besar. Mentari pagi baru saja beranjak dari

balik bebukitan sebelah timur Desa Karang Kabolotan. Sapuan kabut tipis masih lamat-lamat

membuat kabur pandangan jika mata menerawang ke arah cakrawala biru muda di atas

hamparan sawah-sawah yang bagaikan permadani raksasa tergelar menghijau kekuningan.

(hlm. 7)

Dari kutipan di atas, kata-kata yang dicetak miring adalah bentuk-bentuk pemunculan

eksistensi geografis yang ada di Jawa. Kata-kata itu menunjukkan keberadaan kekayaan alam

atau kekayaan produk budaya yang terdapat di Jawa. Pada intinya, burung prenjak, pohon

dadap srep, dan gubuk limasan adalah contoh-contooh nyata yang dapat dijumpai di wilayah

Jawa.

Selain warna lokal, pembahasan terakhir yang memperuat pendekatan sosiologi sastra

adalah pembahasan mengenai nilai-nilai yang terkandung dalam novel Punakawan

Menggugat. Melalui tokoh Semar, para Punakawan banyak menjabarkan ajaran Kejawen

yang merupakan inti dan cita-cita masyarakat Jawa.

Ajaran Kejawen yang diangkat adalah ajaran Kejawen yang dapat diaplikasikan dalam

kehidupan antara manusia dengan manusia, dan antara manusia dengan Tuhan. Kesatuan

manusiawi dan kosmos adalah terkoordinasi, dan merupakan bagian dari suatu keseluruhan,

dan bila bagian-bagian itu berusaha keras ke arah kesatuan dan keharmonisan, hidup akan

menjadi nikmat (Mulder, 1984 : 15). Ajaran Kejawen mewajibkan manusia harus selaras

dengan alam sekitar. Ajaran Kejawen menyadari bahwa manusia tidak dapat hidup tanpa

unsur-unsur lain yang lebih besar daripada diri manusia itu sendiri.

Selain itu, dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara pun juga diatur dalam

falsafah ajaran Kejawen. Kewajiban moral setiap individu adalah menjaga tatanan harmonis

itu dan dengan setia menjalankan kewajiban-kewajiban sosial. Kewajiban-kewajiban sosial itu

Unsur cerita..., Norman Mahardhika, FIB UI, 2014

Page 16: Norman Mahardhika, Pudentia MPSS

berkaitan dengan sistem hubungan-hubungan sosial; hubungan-hubungan ini tidaklah

sederajat melainkan merupakan sistem hirarkis (Mulder, 1984 : 49). Ajaran Kejawen yang

terakhir adalah mengenai spiritualitas dalam kehidupan manusia. Pada intinya, manusia Jawa

harus berani pasrah, bekerja tanpa pamrih, dan hidup seimbang terhadap semua unsur yang

ada. Kutipan di bawah ini akan semakin memperkuat ajaran Kejawen yang ditampilkan dalam

novel Punakawan Menggugat.

(Tokoh Semar memberi pesan kepada Abimanyu)

“Lakukan sembah kepada Sang Maha Pencipta dalam tiga tahapan. Pertama adalah sembah

cipta, artinya menyembah dengan tata laku beribadah seperti yang diajarkan oleh agama-agam

suci. Kedua sembah rasa, yang artinya menyatukan segenap perasaan agar perhatianmu tertuju

pada hanya kepada yang engkau sembah dengan menutup godaan-godaan dari panca indramu.

Yang ketiga adalah sembah kalbu atau sembah jiwa, yang maksudnya dalam melaksanakan

ibadah itu sebaiknya memilih tempat yang sepi, jauh dari keramaian yang akan mengganggu

konsentrasi, memasrahkan segenap jiwa dan raga kepada Sang Maha Kuasa atas hidupmu, dan

memohonkan keinginan kepada Sang Maha Pengasih dan Penyayang.

(hlm. 32)

“Ketahuilah bahwa keprihatinanku dengan apa yang terjadi pada bangsa di tanah Jawadwipa ini

belumlah berhenti. Bencana alam masih silih berganti. Menjadikan manusia harus mulat sarira

dengan bertekun samadi karena serba kekurangan bahan makanan, kurang sandang, sulit mata

pencaharian, sehingga jual-beli pun menjadi terpuruk. Negara menjadi bangkrut dan nyaris

ambruk, rakyatnya carut-marut dan mudah bertengkar satu dengan yang lainnya. Namun, semua

ini hanyalah nggenepi laku di masa goro-goro bumi ini. Jangan mengeluh, jangan menggerutu

terus-menerus dengan keadaan! Jalani semua ini dengan tabah dan tulus, jangan grenengan agar

anugerah agung tidak gagal didapat.

(hlm. 363-364)

Dengan adanya ajaran Kejawen ini, novel Punakawan Menggugat juga memunculkan sebuah

pesan atau nillai tentang komunikasi politik. Dengan berperannya Semar sebagai penyampai

pesan, novel ini memiliki muatan tentang nilai politik ‘vox populi, vox dei’, yang berarti suara

rakyat adalah suara Tuhan. Novel ini memberikan sebuah gambaran ideal bagi kehidupan

manusia Jawa dan disajikan dalam Bahasa Indonesia. Hal itu berarti nilai-nilai dari pemikiran

tradisional Jawa yang tampak dalam ranah pewayangan diangkat ke dalam khazanah

kesusastraan Indonesia.

Kesimpulan

Sebagai sebuah karya sastra, novel Punakawan Menggugat menggunakan basis cerita wayang

dan pemikiran tradisional Jawa. Kedua nilai tersebut menajadi nyawa yang penting karena

Ardian Kresna ikut mengangkat nilai-nilai tradisional ke dalam ranah kesusastraan Indonesia.

Unsur cerita..., Norman Mahardhika, FIB UI, 2014

Page 17: Norman Mahardhika, Pudentia MPSS

Novel ini diterbitkan dan didistribusikan dalam lingkungan percetakan modern. Dengan

demikian, nilai pewayangan sebagai unsur tradisional dihadirkan dalam penerbitan modern.

Pengarang mengambil ranah cerita wayang yang bersifat carangan. Pengarang juga

ikut mendekosntruksi nilai-nilai yang terdapat dalam pakem wayang purwa. Hal ini tampak

pada pemberian porsi yang lebih banyak bagi kelompok tokoh punakawan. Selain itu,

kelompok tokoh Pandawa pun diberikan porsi sebagai tokoh antagonis (tokoh lawan) yang

digugat oleh para punakawan. Dengan demikian, pengarang memiliki penafsiran mengenai

kehidupan ideal yang berdasarkan simbol-simbol pewayangan, khususnya novel Punakawan

Menggugat yang mengambil berbagai macam unsur carangan.

Unsur yang dimainkan adalah unsur alur yang tidak linier. Alur yang terdapat di

dalam novel ini adalah alur campuran yang menyebabkan kemungkinan terjadinya konflik

lebih dari satu kali. Kilasan balik dimunculkan untuk menambah kekuatan alasan bagi

tindakan penggugatan para punakawan. Latar tempat memiliki acuan kepada wayang purwa

Jawa dan latar sosialnya mengacu pada kondisi masyarakat Jawa. Latar waktu dalam novel ini

tidak menonjol sehingga logika ceritanya kurang berterima. Latar waktu yang hanya

meletakkan perputaran waktu yang wajar menyebabkan suspense dan plausibilitas cerita

kurang dalam. Sudut pandang dimunculkan dalam bentuk orang ketiga serba tahu yang

menyebabkan pengarang berlaku seperti Dalang. Tema diangkat dari motif cerita wayang

pada umumnya dan bersifat tradisional. Tema cerita dalam novel Punakawan Menggugat

dibangun dari motif mimpi, „anak mencari ayahnya‟, sayembara, pertempuran, dan pemberian

wejangan yang menunjukkan dinamika kehidupan manusia. Motif-motif ini menjadikan

semacam siklus bagi perputaran konflik dalam novel Punakawan Menggugat.

Pembahasan mengenai unsur ekstrinsik novel ini menekankan pada pendekatan

sosiologi sastra untuk mengungkap warna lokal dan nilai-nilai yang terkandung dalam novel

Punakawan Menggugat. Dari pendekatan sosiologi sastra, novel Punakawan Menggugat

menampilkan warna lokal yang terkait dengan istilah atau dialek Jawa dan eksistensi

geografis. Kedua warna lokal tersebut dimunculkan untuk menambah kesan budaya dan

pemikiran Jawa dalam cerita wayang carangan yang diangkat. Cerita wayang yang diangkat

adalah cerita wayang yang berbasis pada wayang purwa bergaya Jawa. Konsep Punakawan

sebagai rakyat jelata sekaligus Tuhan dimunculkan. Selain itu, basis cerita Mahabharata

dalam novel Punakawan Menggugat diperkuat dengan penerimaan wayang purwa Jawa yang

menempatkan Lokapala, Ramayana, dan Mahabharata menjadi satu kosmologi cerita.

Perbandingan novel ini dengan tiga lakon wayang carangan yang terkait semakin

memperkuat sifat cerita carangan pada novel Punakawan Menggugat. Pengarang mengangkat

lakon-lakon yang hidup sebagai lakon wayang carangan dan menggabungkannya menjadi

satu kesatuan cerita. Hal ini terbukti dari kesamaan motif cerita, pusaka, dan beberapa di

antaranya memiliki kesamaan pada nama-nama tokoh yang berperan. Meskipun demikian, hal

ini tidak menjadikan konflik cerita berdasarkan alasan yang logis dan berterima. Novel ini

terkesan terburu-buru untuk menyelesaikan konflik yang sudah terbangun. Apabila

dikategorikan, novel adalah novel cerita wayang berdasarkan lakon wayang bersifat

carangan.

Unsur cerita..., Norman Mahardhika, FIB UI, 2014

Page 18: Norman Mahardhika, Pudentia MPSS

Sebagai sebuah karya sastra, Punakawan Menggugat berhasil menunjukkan peran

sekaligus arti punakawan. Punakawan Menggugat adalah bentuk pemikiran orang Jawa

tentang kehidupan yang ideal. Bentuk pemikiran orang Jawa itu disajikan dalam bahasa

Indonesia dan bisa diterima secara luas. Ardian Kresna mengambil peran dalam

mengajarkan nilai-nilai tradisional Jawa melalui novelnya.

Daftar Pustaka

Anderson, Benedict R.O‟G. 2000. Mitologi dan Toleransi Orang Jawa. Yogyakarta :

Penerbit Qalam.

Ajidarma, Seno Gumira. 2004. Kitab Omong Kosong. Yogyakarta : Bentang.

Braginsky, Vladimir I. 1998. Yang Indah, Berfaedah, dan Kamal. Jakarta :

Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies.

Damono, Sapardi Djoko. 2011. Mengapa Ksatria Memerlukan Panakawan?

Dalam Bahasa, Sastra, dan Budaya Indonesia dalam Jebakan Kapitalisme.

Yogyakarta : Penerbit Universitas Sanata Dharma.

____________________. 1978. Sosiologi Sastra; Sebuah Pengantar Ringkas.

Jakarta : PPPB Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

____________________. 2010. Sosiologi Sastra : Pengantar Ringkas. Ciputat :

Editum.

Groenendael, Victoria M. Clara. 1987. Dalang di Balik Wayang. Jakarta :

Penerbit Grafitti.

Gunarso TS. 1991. Wayang Semau Gue. Jakarta : Penerbit Pos Kota.

Guritno, Pandam dkk. 1985. Lordly Shades; Wayang Purwa Indonesia. Jakarta

: Published through the generosity of Bapak Probosoetedjo.

Hardiyati, Ika Puji. 2012. Analisis Psikologi Tokoh Utama Novel Pahlawan

Pilihan Kresna Karya Ardian Kresna. Skripsi pada Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan Universitas Muhammadiyah Purworejo

Hardjowirogo. 1989. Sejarah Wayang Purwa. Jakarta : Balai Pustaka.

Unsur cerita..., Norman Mahardhika, FIB UI, 2014

Page 19: Norman Mahardhika, Pudentia MPSS

Haryanto, S. 1995. Bayang-Bayang Adiluhung; Filsafat, Simbolis, dan Mistik

dalam Wayang. Semarang : Dahara Prize.

Jenks, Chris. 2013. Culture; Studi Kebudayaan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Kramadibrata, Dewaki. 2010. Lakon Jaka Sukara. Depok : Yanassa.

Kresna, Ardian. 2012. Bima Sejati; Perjalanan Sang Legenda Mencari Tirta

Pawitra. Yogyakarta : Diva Press.

Kresna, Ardian. 2012. Punakawan Menggugat; Kisah Heroik dari Para Abdi

Sejati. Yogyakarta : Diva Press.

_____________. 2012. Punakawan; Simbol Kerendahan Hati Orang Jawa.

Yogyakarta : Penerbit Narasi.

Mahayana, Maman S. 2005. Sembilan Jawaban Sastra Indonesia. Jakarta :

Bening Publishing.

__________________. 2007. Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia. Jakarta : PT.

Raja Grafindo Persada.

Mudjanattistomo, R.M. dkk. 1977. Pedhalangan Ngayogyakarta; Jilid 1;

Gegaran Pamulangan Habirandha. Yogyakarta : Yayasan Habirandha.

Mulder, Niels. 1984. Kebatinan dan Kelangsungan Hidup Sehari-Hari Orang

Jawa; Kelangsungan dan Perubahan Kulturil. Jakarta : Penerbit PT. Gramedia.

Mulyono, Sri. 1982. Apa dan Siapa Semar. Jakarta : Penerbit Djambatan.

Nugroho, Yanusa. 1990. Bulan Bugil Bulat. Jakarta : Grafiti.

Nurgiyantoro, Burhan. 2013. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah

Mada University Press.

__________________.1998. Transformasi Unsur Pewayangan dalam Fiksi

Indonesia. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Poplawaska, Marzanna. 2004. Wayang Wahyu as an Example of Christian

Forms of Shadow Theatre Dalam Asian Theatre Journal Vol. 21, no.2, hal. 194 –

202. Hawai University Press.

Unsur cerita..., Norman Mahardhika, FIB UI, 2014

Page 20: Norman Mahardhika, Pudentia MPSS

Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Antropologi Sastra; Peranan Unsur-Unsur

Kebudayaan dalam Proses Kreatif. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

____________________. 2011. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta :

Pustaka Pelajar.

_____________________. 2010. Sastra dan Cultural Studies;

Represantasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Rush, Michael dan Phillip Althoff. 2011. Pengantar Sosiologi Politik.

Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Samba, I Gde. 2013. Pencarian ke Dalam Diri; Merajut Ulang Budaya Luhur

Bangsa; Tinjauan Filsafati Cerita Ramayana dan Mahabharata. Bandung :

Yayasan Dajan Rurung.

Soekmono, R. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia Jilid 2.

Yogyakarta : Kanisius.

Soma, Saleh Ardi. 2003. Ulamsari; Berdasarkan Lakon Wayang Carangan

Gaya Sunda. Jilid 1-3. Jakarta : Elex Media Komputindo.

Sudjiman, Panuti. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.

Sumardjo, Jakob dan Saini KM. 1992. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta :

Penerbit PT. Gramedia.

Sumardjo, Jakob. 2004. Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal. Yogyakarta

: Galang Press.

Sunarto. 1997. Seni Gatra dalam Wayang Kulit Purwa. Semarang : Dahara

Prize.

Teeuw. A. 2003. Sastera dan Ilmu Sastera. Jakarta : Pustaka Jaya.

Timoer, Soenarto. 1984. Damarwulan; Sebuah Lakon Wayang Krucil. Jakarta :

PN. Balai Pustaka

Weintraub. Andrew Noah. 2004. Power Plays : Wayang Golek Puppet Theater

of West Java. Ohio : OURISS South East Asia Studies.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 2014. Teori Kesusastraan. Jakarta :

Gramedia Pustaka Utama.

Unsur cerita..., Norman Mahardhika, FIB UI, 2014

Page 21: Norman Mahardhika, Pudentia MPSS

Publikasi Elektronik

SENAWANGI (Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia). Leaflet

Informasi Pewayangan Indonesia. Diunduh dari www.pdwi.org, 12 Januari

2014, pukul 21.54 WIB.

Sumari. 2001. Mengenal Pakem Pedalangan. Makalah pada laman

www.pdwi.org. Diunduh pada tanggal 23 April 2014, pukul 15.27 WIB.

Kamus Dalam Jaringan

Kamus Besar Bahasa Indonesia Dalam Jaringan www.kbbi.web.id

Kamus Online Bahasa Jawa www.kamus.ugm.ac.id/jowo.php

Unsur cerita..., Norman Mahardhika, FIB UI, 2014