131
1 I. PENDAHULUAN A. Usahatani Kambing Produksi pertanian sangat dipengaruhi oleh kondisi biofisik dan sosial-ekonomi di suatu wilayah, sehingga bersifat dinamis terkait dimensi waktu dan ruang. Sekitar 90% populasi kambing yang mencapai sekitar 15 juta ekor dipelihara oleh petani dalam skala kecil antara 2-10 ekor dalam pola usahatani campuran (mix farming). Sistem usahatani ini telah lama berlangsung dan masih merupakan usahatani yang utama di Indonesia. Skala usaha yang tergolong kecil tersebut sangat terkait dengan luasan lahan yang dimiliki oleh petani yang di pulau Jawa hanya berkisar antara 0,2-0,5 ha. Ternak kambing memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap berbagai tipe iklim, sehingga populasinya menyebar hampir di seluruh agro-ekosistem di Indonesia. Namun demikian, konsentrasi populasi kambing terdapat di Pulau Jawa, terutama bagian timur dan Pulau Sumatera. Di wilayah padat penduduk ini usahatani campuran dilakukan secara intensif. Di wilayah lain dengan kepadatan penduduk yang lebih rendah seperti Kalimantan, Sulawesi dan sebagian Sumatera usahatani campuran bersifat semi intensif. Di wilayah ini daya dukung dan kepemilikan lahan relatif lebih luas dan potensi usaha kambing dengan skala lebih besar lebih mungkin dikembangkan. Sebagai komponen komplementer, maka pola pemeliharaan kambing dalam usahatani campuran sangat ditentukan oleh intensitas penggunaan lahan bagi komoditas utama. Pemeliharaan secara cut and carry secara penuh atau parsial (kombinasi dengan penggembalaan) dilakukan pada usahatani berbasis hortikultura ataupun tanaman pangan. Pemeliharaan pola penggembalaan secara penuh atau secara parsial (kombinasi dengan cut and carry) dapat dilakukan dalam sistem usahatani berbasis perkebunan, seperti kelapa sawit dan

Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

  • Upload
    doliem

  • View
    236

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

1

I. PENDAHULUAN

A. Usahatani Kambing

Produksi pertanian sangat dipengaruhi oleh kondisi biofisik dan sosial-ekonomi di suatu wilayah, sehingga bersifat dinamis terkait dimensi waktu dan ruang. Sekitar 90% populasi kambing yang mencapai sekitar 15 juta ekor dipelihara oleh petani dalam skala kecil antara 2-10 ekor dalam pola usahatani campuran (mix farming). Sistem usahatani ini telah lama berlangsung dan masih merupakan usahatani yang utama di Indonesia. Skala usaha yang tergolong kecil tersebut sangat terkait dengan luasan lahan yang dimiliki oleh petani yang di pulau Jawa hanya berkisar antara 0,2-0,5 ha. Ternak kambing memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap berbagai tipe iklim, sehingga populasinya menyebar hampir di seluruh agro-ekosistem di Indonesia. Namun demikian, konsentrasi populasi kambing terdapat di Pulau Jawa, terutama bagian timur dan Pulau Sumatera. Di wilayah padat penduduk ini usahatani campuran dilakukan secara intensif. Di wilayah lain dengan kepadatan penduduk yang lebih rendah seperti Kalimantan, Sulawesi dan sebagian Sumatera usahatani campuran bersifat semi intensif. Di wilayah ini daya dukung dan kepemilikan lahan relatif lebih luas dan potensi usaha kambing dengan skala lebih besar lebih mungkin dikembangkan.

Sebagai komponen komplementer, maka pola pemeliharaan kambing dalam usahatani campuran sangat ditentukan oleh intensitas penggunaan lahan bagi komoditas utama. Pemeliharaan secara cut and carry secara penuh atau parsial (kombinasi dengan penggembalaan) dilakukan pada usahatani berbasis hortikultura ataupun tanaman pangan. Pemeliharaan pola penggembalaan secara penuh atau secara parsial (kombinasi dengan cut and carry) dapat dilakukan dalam sistem usahatani berbasis perkebunan, seperti kelapa sawit dan

Page 2: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

2

Nutrisi dan Pakan Kambing

kelapa. Pada wilayah padat penduduk seperti Jawa, pola pemeliharaan tersebut juga dipengaruhi musim (basah atau kering). Pada musim basah umumnya ternak sepenuhnya dikandangkan, sedangkan pada musim kemarau kombinasi cut and carry dengan penggembalaan juga diterapkan.

Dalam pola usahatani campuran ternak kambing merupakan salah satu komponen penting yang memberikan nilai tambah (daging dan susu) dari aktivitas usahatani dan merupakan komoditas komplementer bagi komoditas utama di dalam usahatani. Oleh karena itu, kambing hampir selalu terkait dengan usahatani tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan. Produk utama yang dihasilkan dari komponen ternak kambing dalam usahatani campuran adalah daging dalam bentuk ternak hidup dari usaha pemeliharaan induk dan pupuk organik sebagai hasil samping. Usaha penggemukan berkembang secara terbatas terutama di wilayah peri-urban baik dalam usahatani campuran yang dilakukan oleh petani maupun sebagai usaha pokok yang dilakukan oleh pedagang ternak. Produksi susu sebagai usaha utama pemeliharaan kambing relatif belum berkembang dibandingkan dengan usaha penggemukan atau usaha produksi anak. Kondisi ini kemungkinan disebabkan oleh terbatasnya bibit yang secara genetik memiliki kualifikasi penghasil susu. Disamping itu, kelompok masyarakat yang memiliki preferensi untuk mengonsumsi susu relatif kecil. Konsumsi susu kambing umumnya berdasarkan pertimbangan medikatif dan bukan sebagai pangan, sehingga pola konsumsi bersifat temporal.

Salah satu keunggulan usahatani campuran terletak pada prinsip usaha yang bertumpu secara maksimal kepada sumber daya lokal dan menggunakan input produksi secara minimal atau sangat rendah. Hal tersebut membuat usahatani kambing mampu bertahan dan dapat mengatasi dinamika perubahan eksternal. Namun demikian, capaian performa kambing dalam pola usaha seperti ini tidak maksimal. Produktivitas aktual sering

Page 3: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

3

Nutrisi dan Pakan Kambing

kelapa. Pada wilayah padat penduduk seperti Jawa, pola pemeliharaan tersebut juga dipengaruhi musim (basah atau kering). Pada musim basah umumnya ternak sepenuhnya dikandangkan, sedangkan pada musim kemarau kombinasi cut and carry dengan penggembalaan juga diterapkan.

Dalam pola usahatani campuran ternak kambing merupakan salah satu komponen penting yang memberikan nilai tambah (daging dan susu) dari aktivitas usahatani dan merupakan komoditas komplementer bagi komoditas utama di dalam usahatani. Oleh karena itu, kambing hampir selalu terkait dengan usahatani tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan. Produk utama yang dihasilkan dari komponen ternak kambing dalam usahatani campuran adalah daging dalam bentuk ternak hidup dari usaha pemeliharaan induk dan pupuk organik sebagai hasil samping. Usaha penggemukan berkembang secara terbatas terutama di wilayah peri-urban baik dalam usahatani campuran yang dilakukan oleh petani maupun sebagai usaha pokok yang dilakukan oleh pedagang ternak. Produksi susu sebagai usaha utama pemeliharaan kambing relatif belum berkembang dibandingkan dengan usaha penggemukan atau usaha produksi anak. Kondisi ini kemungkinan disebabkan oleh terbatasnya bibit yang secara genetik memiliki kualifikasi penghasil susu. Disamping itu, kelompok masyarakat yang memiliki preferensi untuk mengonsumsi susu relatif kecil. Konsumsi susu kambing umumnya berdasarkan pertimbangan medikatif dan bukan sebagai pangan, sehingga pola konsumsi bersifat temporal.

Salah satu keunggulan usahatani campuran terletak pada prinsip usaha yang bertumpu secara maksimal kepada sumber daya lokal dan menggunakan input produksi secara minimal atau sangat rendah. Hal tersebut membuat usahatani kambing mampu bertahan dan dapat mengatasi dinamika perubahan eksternal. Namun demikian, capaian performa kambing dalam pola usaha seperti ini tidak maksimal. Produktivitas aktual sering

Pendahuluan

jauh di bawah potensi genetiknya dan hal ini dapat dilihat dari tampilan laju reproduksi (selang beranak) maupun produksi (pertambahan bobot hidup, skor kondisi tubuh, bobot dewasa, mortalitas anak pra-sapih). Adanya kesenjangan yang masih lebar antara performa aktual dengan potensial membuka peluang untuk introduksi berbagai inovasi teknologi yang dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya secara efisien dan tetap menjaga daya tahan sistem produksi terhadap dinamika eksternal.

B. Meningkatkan Produktivitas Kambing dalam Integrasi Kambing-Tanaman (Revitalisasi Integrasi Kambing dengan Tanaman)

Dengan meningkatnya populasi penduduk dan semakin terbatasnya lahan pertanian, maka kecenderungan integrasi aktivitas tanaman dan ternak semakin besar (Thornton dan Herrero 2001). Meningkatkan intensitas keterkaitan tanaman dengan ternak merupakan salah satu cara efektif untuk secara cepat mendaur ulang bahan organik untuk dapat digunakan oleh tanaman. Produktivitas kambing dipengaruhi oleh berbagai faktor yang secara hirarki dapat dikelompokkan sebagai faktor penentu, faktor pembatas dan faktor penghambat (van de Ven et al. 2003). Faktor penentu menentukan seberapa besar potensi produksi yang dimiliki oleh ternak kambing dan yang tergolong kedalam faktor penentu ini adalah bangsa (genetik), jenis kelamin dan iklim. Faktor pembatas mempengaruhi tampilan produksi sehingga kapasitas produksi tidak dapat terwujud maksimal. Beberapa faktor pembatas produksi tersebut adalah bahan pakan (logistik) dan unsur nutrisi (kualitas) dan air. Faktor penekan terutama adalah penyakit yang menyebabkan penurunan produktivitas. Interaksi antara ketiga faktor produktivitas tersebut akan menentukan terjadinya dan

Page 4: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

4

Nutrisi dan Pakan Kambing

besaran kesenjangan antara potensi produksi dengan produksi aktual.

Genetik ternak sebagai faktor penentu dalam produksi kambing dapat dikembangkan berdasarkan potensi bangsa kambing lokal yang telah beradaptasi dengan kondisi biofisik lokal yang spesifik. Kambing lokal yang telah dikembangkan dalam integrasi dengan tanaman antara lain adalah kambing Kacang, Peranakan Ettawa dan Kosta. Kambing Boerka yang merupakan hasil persilangan kambing Boer dengan kambing Kacang adalah kambing genotipe baru yang dapat digunakan untuk meningkatkan produktivitas. Bangsa kambing ini beradaptasi baik pada iklim tropis-basah dan memiliki tingkat pertumbuhan dan bobot tubuh yang tinggi. Seleksi berdasarkan tampilan fenotipik dalam satu bangsa kambing terpilih berperan sangat strategis dalam meningkatkan produktivitas kambing. Seleksi dapat dilakukan berdasarkan tampilan fenotipik dan produksi apabila catatan produksi tersedia dan memadai.

Penyakit sebagai faktor penekan produksi kambing dalam sistem ternak-tanaman dapat menekan potensi produksi secara signifikan. Gangguan penyakit infeksi dapat disebabkan oleh bakteri patogen, parasit maupun virus yang berdampak kepada meningkatnya morbiditas dan mortalitas. Gangguan penyakit nonpatogenik dan bersifat metabolik dapat terjadi akibat pengelolaan pakan dan nutrisi yang tidak rasional. Penyakit metabolik seperti asidosis, defisiensi mineral dan toksikosis berpeluang terjadi dalam usahatani campuran. Prevalensi penyakit sering terjadi akibat diagnosa dan monitoring penyakit dalam usahatani campuran relatif lemah. Disamping itu, infrastruktur veteriner juga belum berkembang baik, sehingga penyampaian input veteriner untuk pencegahan maupun penanganan penyakit belum memadai.

Dukungan pakan dan nutrisi sebagai faktor pembatas untuk mewujudkan potensi genetik dapat dilakukan melalui eksplorasi dan eksploitasi potensi ketersediaan bahan pakan (jumlah,

Page 5: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

5

Pendahuluan

kualitas, logistik). Eksploitasi potensi bahan baku pakan dilakukan melalui berbagai proses pengolahan atau inovasi teknologi baik biologis, fisik maupun kimiawi yang akan meningkatkan kualitas nutrisi dengan meningkatkan ketersediaan nutrien dan memaksimalkan konsumsi. Kelayakan ekonomik setiap proses pengolahan merupakan persyaratan yang tidak dapat diabaikan dalam implementasinya. Optimalisasi produktivitas dapat terwujud dengan menetapkan skala pemeliharaan berdasarkan daya dukung pakan yang dapat diestimasi dari potensi konsumsi bahan organik dan energi (energi dapat dicerna) yang terkandung di dalam bahan pakan (Ketelaar dan Tolkamp 1991; Zemmelink et al. 2003). Pemenuhan kebutuhan nutrien untuk mendukung kebutuhan hidup pokok maupun produksi dapat dilakukan dengan formula pakan yang rasional berdasarkan kombinasi dari berbagai bahan baku pakan yang tersedia secara lokal.

Dari segi kuantitas, maka sumberdaya pakan lokal yang berserat tinggi (materi ligno-selulosa) merupakan komponen yang terbesar. Pada dasarnya, bahan tersebut mengandung energi kasar yang relatif sebanding dengan kelompok biji-bijian, seperti jagung. Namun, struktur kimiawinya menyebabkan potensi energi yang besar tidak dapat digunakan sepenuhnya, apabila diberikan apa adanya. Karakter pakan lokal yang memiliki serat tinggi dan disertai dengan protein yang rendah menjadi beban yang justru lebih berat bagi ternak ruminansia dengan ukuran tubuh kecil, seperti kambing. Hal ini terkait dengan kapasitas cerna yang berbanding lurus dengan ukuran tubuh (Demment dan Van Soest 1983), sehingga waktu tahan pakan di dalam saluran cerna menjadi lebih singkat (Van Soest 1982). Selain itu, tingkat kebutuhan energi untuk hidup pokok lebih tinggi pada ternak berukuran tubuh kecil (Brody 1945; Kleiber 1961). Kedua hubungan alometris ini secara implisit menjelaskan bahwa rasio kapasitas organ pencernaan dengan kebutuhan energi akan lebih rendah pada ternak dengan ukuran

Page 6: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

6

Nutrisi dan Pakan Kambing

bobot tubuh lebih kecil dibandingkan dengan ternak besar. Dengan kata lain, efisiensi pencernaan pakan, terutama berserat tinggi, pada ternak dengan ukuran tubuh kecil lebih inferior dibandingkan dengan yang lebih besar. Prinsip ini telah menjadi dasar anggapan bahwa ruminansia kecil termasuk kambing kurang mampu memanfaatkan bahan pakan dengan karakter serat dan keambaan. Oleh karena itu, inovasi teknologi yang dapat mengatasi kendala serat yang tinggi di dalam pakan sangat relevan untuk ternak kambing.

C. Pakan sebagai Penopang Integrasi Kambing dengan Tanaman

Salah satu keuntungan komparatif daerah beriklim tropis seperti Indonesia adalah peluang berlangsungnya proses fotosintesis pada tanaman sepanjang tahun. Kondisi ini menghasilkan produk biomasa tanaman yang sangat besar yang dapat ditransformasikan menjadi bahan baku pakan ternak, khususnya ruminansia seperti kambing. Biomasa yang dapat digunakan sebagai bahan pakan dapat berasal dari kelompok tanaman pakan ternak (TPT), kelompok hasil sisa dan hasil samping/ikutan tanaman, serta kelompok hasil samping/ikutan industri agro. Tipologi agro-eko serta intensitas produksi tanaman sangat menentukan jumlah dan keragaman biomasa yang dihasilkan serta kualitas nutrisi di suatu kawasan.

Kawasan hortikultura di Indonesia merupakan pertanian campuran yang intensif dengan agro-eko lahan kering dataran tinggi. Dalam pertanian campuran ini peran ternak, terutama ruminansia sangat penting dan merupakan bagian integral dari produksi (Thorne dan Tanner 2002). Pada pertanian dengan siklus tanam yang intensif terlebih bila disertai dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi pula, maka ketersediaan lahan untuk penggembalaan ternak menjadi sangat terbatas. Dengan demikian, pola pemeliharaan ternak yang umum diterapkan

Page 7: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

7

Nutrisi dan Pakan Kambing

bobot tubuh lebih kecil dibandingkan dengan ternak besar. Dengan kata lain, efisiensi pencernaan pakan, terutama berserat tinggi, pada ternak dengan ukuran tubuh kecil lebih inferior dibandingkan dengan yang lebih besar. Prinsip ini telah menjadi dasar anggapan bahwa ruminansia kecil termasuk kambing kurang mampu memanfaatkan bahan pakan dengan karakter serat dan keambaan. Oleh karena itu, inovasi teknologi yang dapat mengatasi kendala serat yang tinggi di dalam pakan sangat relevan untuk ternak kambing.

C. Pakan sebagai Penopang Integrasi Kambing dengan Tanaman

Salah satu keuntungan komparatif daerah beriklim tropis seperti Indonesia adalah peluang berlangsungnya proses fotosintesis pada tanaman sepanjang tahun. Kondisi ini menghasilkan produk biomasa tanaman yang sangat besar yang dapat ditransformasikan menjadi bahan baku pakan ternak, khususnya ruminansia seperti kambing. Biomasa yang dapat digunakan sebagai bahan pakan dapat berasal dari kelompok tanaman pakan ternak (TPT), kelompok hasil sisa dan hasil samping/ikutan tanaman, serta kelompok hasil samping/ikutan industri agro. Tipologi agro-eko serta intensitas produksi tanaman sangat menentukan jumlah dan keragaman biomasa yang dihasilkan serta kualitas nutrisi di suatu kawasan.

Kawasan hortikultura di Indonesia merupakan pertanian campuran yang intensif dengan agro-eko lahan kering dataran tinggi. Dalam pertanian campuran ini peran ternak, terutama ruminansia sangat penting dan merupakan bagian integral dari produksi (Thorne dan Tanner 2002). Pada pertanian dengan siklus tanam yang intensif terlebih bila disertai dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi pula, maka ketersediaan lahan untuk penggembalaan ternak menjadi sangat terbatas. Dengan demikian, pola pemeliharaan ternak yang umum diterapkan

Pendahuluan

dalam produksi ini adalah pemeliharaan ternak dengan cara dikandangkan secara permanen atau dengan kombinasi dikandangkan dan penggembalaan terbatas. Pola pemeliharaan ini menyebabkan petani lebih dapat mengontrol produksi ternak dan mengelola pupuk kandang yang memiliki nilai tinggi bagi tanaman hortikultura. Namun demikian, pola tersebut juga mengakibatkan ketergantungan ternak sepenuhnya kepada jumlah dan kualitas pakan yang disediakan. Terbatasnya lahan yang tersedia sebagai sumber pakan dalam bentuk hiijauan pakan ternak, menuntut adanya upaya eksploitasi lahan secara optimal serta eksplorasi potensi dan pemanfaatan berbagai bahan baku yang bukan merupakan bahan pakan konvensional. Pemanfaatan berbagai bahan baku tersebut memerlukan sentuhan teknologi agar dapat menjadi sumber nutrisi untuk kebutuhan hidup pokok dan produksi ternak.

Bahan baku pakan ini sangat beragam, sehingga menawarkan fleksibilitas tinggi bagi peternak untuk memilih bahan baku. Namun, pada saat yang sama keragaman bahan tersebut juga menghadirkan kompleksitas agar dapat digunakan secara efisien. Dalam kajian kritis terhadap perbaikan produktivitas ternak di Asia Tenggara yang dilakukan Devendra et al. (1997), disimpulkan bahwa sumber daya pakan dan nutrisi merupakan kendala teknis yang utama yang mempengaruhi produktivitas ternak. Pakan merupakan komponen utama di dalam ekonomi usaha, karena diperkirakan dapat menyumbang biaya 50-60% dari total biaya produksi (Devendra dan Sevilla 2002). Kontribusi biaya pakan ini bahkan dapat meningkat tajam, apabila menggunakan bahan yang tidak berbasis kepada sumberdaya lokal. Selain alasan ekonomis tersebut di atas, pakan merupakan input produksi yang penyediaannya harus dilakukan setiap saat (berbasis harian) dan berlangsung sepanjang masa produksi. Oleh karena itu, aspek logistik pakan di dalam budidaya ternak kambing menjadi sangat penting.

Page 8: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

8

Nutrisi dan Pakan Kambing

Kemampuan merubah bahan baku yang bukan merupakan komponen utama dalam mata rantai pangan manusia menjadi produk pangan yang berkualitas tinggi (daging, susu) merupakan salah satu keunikan dan keunggulan ternak ruminansia, termasuk kambing. Keunikan ini terletak pada pencernaan yang kompleks yang merupakan kombinasi antara pencernaan fermentatif yang anaerobik dengan pencernaan enzimatik-oksidatif. Pencernaan fermentatif di dalam segmen organ cerna di bagian cranial (reticulo-rumen) memungkinkan ternak ruminansia menggunakan berbagai bahan baku yang tidak mungkin dilakukan secara enzimatif/oksidatif di bagian caudal cerna (usus halus). Bahan pakan tersebut dicirikan oleh kandungan karbohidrat struktural (serat kasar) tinggi yang merupakan komponen utama dinding sel. Oleh karena itu, tanaman secara alamiah telah menjadi komponen utama dalam sistem pakan ternak ruminansia. Namun demikian, dalam perkembangannya kelompok ruminansia mengalami adaptasi cerna (digesti) baik anatomis maupun fisiologis untuk menyesuaikan diri dengan kondisi habitatnya. Adaptasi ini menyebabkan adanya variasi tanaman pakan dengan karakteristik nutrisi berbeda yang menjadi pilihan utama sebagai bahan pakan. Sebagai ternak ruminansia dengan pola makan yang cenderung oportunistik, kambing memiliki adaptasi yang relatif lebih luas terhadap keragaman pakan. Perilaku makan kambing yang dapat merumput untuk memanfaatkan serat maupun meramban (browsing) untuk memanfaatkan konsentrat menunjukkan hal tersebut dengan jelas.

Salah satu karakteristik proses pencernaan yang menentukan tingkat ekstraksi nutrisi dari bahan pakan adalah turn over time saluran pencernaan (rumen), yaitu frekuensi pergantian isi rumen dengan bahan pakan yang baru (dikonsumsi). Turn over time merupakan kebalikan waktu tahan pakan dalam saluran pencernaan. Van Soest (1982) mengemukakan bahwa turn over time rumen merupakan fungsi bobot badan (hidup) pangkat 0,25

Page 9: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

9

Nutrisi dan Pakan Kambing

Kemampuan merubah bahan baku yang bukan merupakan komponen utama dalam mata rantai pangan manusia menjadi produk pangan yang berkualitas tinggi (daging, susu) merupakan salah satu keunikan dan keunggulan ternak ruminansia, termasuk kambing. Keunikan ini terletak pada pencernaan yang kompleks yang merupakan kombinasi antara pencernaan fermentatif yang anaerobik dengan pencernaan enzimatik-oksidatif. Pencernaan fermentatif di dalam segmen organ cerna di bagian cranial (reticulo-rumen) memungkinkan ternak ruminansia menggunakan berbagai bahan baku yang tidak mungkin dilakukan secara enzimatif/oksidatif di bagian caudal cerna (usus halus). Bahan pakan tersebut dicirikan oleh kandungan karbohidrat struktural (serat kasar) tinggi yang merupakan komponen utama dinding sel. Oleh karena itu, tanaman secara alamiah telah menjadi komponen utama dalam sistem pakan ternak ruminansia. Namun demikian, dalam perkembangannya kelompok ruminansia mengalami adaptasi cerna (digesti) baik anatomis maupun fisiologis untuk menyesuaikan diri dengan kondisi habitatnya. Adaptasi ini menyebabkan adanya variasi tanaman pakan dengan karakteristik nutrisi berbeda yang menjadi pilihan utama sebagai bahan pakan. Sebagai ternak ruminansia dengan pola makan yang cenderung oportunistik, kambing memiliki adaptasi yang relatif lebih luas terhadap keragaman pakan. Perilaku makan kambing yang dapat merumput untuk memanfaatkan serat maupun meramban (browsing) untuk memanfaatkan konsentrat menunjukkan hal tersebut dengan jelas.

Salah satu karakteristik proses pencernaan yang menentukan tingkat ekstraksi nutrisi dari bahan pakan adalah turn over time saluran pencernaan (rumen), yaitu frekuensi pergantian isi rumen dengan bahan pakan yang baru (dikonsumsi). Turn over time merupakan kebalikan waktu tahan pakan dalam saluran pencernaan. Van Soest (1982) mengemukakan bahwa turn over time rumen merupakan fungsi bobot badan (hidup) pangkat 0,25

Pendahuluan

(BB0,25). Hal ini mengindikasikan bahwa waktu tahan pakan dalam rumen pada kambing dengan bobot tubuh lebih kecil akan lebih singkat. Dengan kata lain, kambing yang ukuran tubuhnya relatif lebih kecil kurang mampu menahan pakan lebih lama di dalam saluran pencernaan. Akibatnya, pemanfaatan bahan-bahan pakan berserat tinggi yang proses fermentasinya relatif lambat menjadi kurang efisien. Hal ini mengindikasikan bahwa bobot tubuh yang lebih kecil memiliki beberapa konsekuensi nutrisi dan fisiologik pencernaan yang kontra produktif dengan ciri pakan lokal yang tersedia.

Untuk ternak ruminansia termasuk kambing, terdapat empat kategori pakan yang memiliki potensi sebagai sumber pakan yaitu: (1) Tanaman pakan ternak (rumput alam maupun rumput introduksi, leguminosa herba dan tanaman pohon multi guna); (2) Hasil sisa/samping tanaman; (3) Hasil samping industri-agro; dan (4) Bahan pakan non-konvensional yang belum umum digunakan namun memiliki potensi sebagai pakan. Bahan pakan tersebut mengandung berbagai kendala dalam pemanfaatannya, namun karena bahan tersebut tidak berkompetisi dengan kubutuhan manusia maupun ternak monogastrik, maka potensinya mengandung nilai yang tinggi dalam konteks penyediaan pakan bagi kebutuhan ternak. Efisiensi pemanfaatan energi dan protein pada bahan baku tersebut oleh ternak ruminansia umumnya relatif rendah dan sangat beragam, yaitu berkisar antara 2-18%, (Engelhardt 1981). Oleh karena itu, peran inovasi teknologi dalam mengoptimalkan potensi biomasa bahan pakan lokal menjadi sangat penting dan merupakan simpul strategis dalam integrasi tanaman dengan kambing.

Page 10: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

10

II. SISTEM ORGAN CERNA DAN POLA MAKAN

Proses pencernaan pakan pada kambing berlangsung secara fermentatif anaerobik maupun secara oksidatif pada serangkaian organ yang diawali dari organ mulut dan berakhir pada kolon. Sebagai ternak ruminansia, struktur dan fungsi organ cerna ini sangat kompleks. Kompleksitas ini terkait dengan peran organ cerna yang unik yaitu untuk mengumpulkan dan menyimpan pakan dalam jumlah yang banyak, namun dalam waktu singkat untuk selanjutnya didegradasi secara perlahan. Untuk lebih memudahkan pemahaman fungsi anatomik sistem cerna ini, maka struktur saluran cerna menurut posisinya terhadap diafragma dapat dikelompokkan menjadi saluran cerna pradiafragma dan pascadiafragma (Constantinescu dan Constantinescu 2010). Sistem cerna pradiafragma mencakup mulut, bibir, lidah, gigi, palatum dan kelenjar ludah. Sistem cerna pascadiafragma mencakup oesophagus, reticulum, rumen, omasum, abomasum, usus halus dan usus besar. Hubungan fungsional antar organ di dalam sistem cerna yang kompleks ini ditampilkan secara skematis pada Gambar 1. Sistem cerna pradiafragma terutama berfungsi untuk aktivitas prehensi (merenggut hijauan), mastikasi, insalivasi dan deglutinasi. Aktivitas ini menyebabkan terjadinya awal proses pencernaan secara mekanis yang terjadi secara intensif dan pencernaan enzimatis pada tingkat minimal melalui insalivasi. Berbeda dengan ternak ruminansia lain seperti domba dan sapi, organ bibir pada kambing sangat mobil, sedangkan organ lidah relatif lebih panjang dan tipis. Kedua organ ini berfungsi terutama dalam aktivitas prehensi (merenggut), dan karakter tersebut memungkinkan kambing dapat lebih fleksibel dalam melakukan seleksi terhadap berbagai jenis tanaman pakan dengan karakter morfologis dan kualitas nutrisi yang beragam. Proses seleksi pakan termasuk aspek yang sangat penting dalam pencernaan dan merupakan aktivitas awal dalam

Page 11: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

11

II. SISTEM ORGAN CERNA DAN POLA MAKAN

Proses pencernaan pakan pada kambing berlangsung secara fermentatif anaerobik maupun secara oksidatif pada serangkaian organ yang diawali dari organ mulut dan berakhir pada kolon. Sebagai ternak ruminansia, struktur dan fungsi organ cerna ini sangat kompleks. Kompleksitas ini terkait dengan peran organ cerna yang unik yaitu untuk mengumpulkan dan menyimpan pakan dalam jumlah yang banyak, namun dalam waktu singkat untuk selanjutnya didegradasi secara perlahan. Untuk lebih memudahkan pemahaman fungsi anatomik sistem cerna ini, maka struktur saluran cerna menurut posisinya terhadap diafragma dapat dikelompokkan menjadi saluran cerna pradiafragma dan pascadiafragma (Constantinescu dan Constantinescu 2010). Sistem cerna pradiafragma mencakup mulut, bibir, lidah, gigi, palatum dan kelenjar ludah. Sistem cerna pascadiafragma mencakup oesophagus, reticulum, rumen, omasum, abomasum, usus halus dan usus besar. Hubungan fungsional antar organ di dalam sistem cerna yang kompleks ini ditampilkan secara skematis pada Gambar 1. Sistem cerna pradiafragma terutama berfungsi untuk aktivitas prehensi (merenggut hijauan), mastikasi, insalivasi dan deglutinasi. Aktivitas ini menyebabkan terjadinya awal proses pencernaan secara mekanis yang terjadi secara intensif dan pencernaan enzimatis pada tingkat minimal melalui insalivasi. Berbeda dengan ternak ruminansia lain seperti domba dan sapi, organ bibir pada kambing sangat mobil, sedangkan organ lidah relatif lebih panjang dan tipis. Kedua organ ini berfungsi terutama dalam aktivitas prehensi (merenggut), dan karakter tersebut memungkinkan kambing dapat lebih fleksibel dalam melakukan seleksi terhadap berbagai jenis tanaman pakan dengan karakter morfologis dan kualitas nutrisi yang beragam. Proses seleksi pakan termasuk aspek yang sangat penting dalam pencernaan dan merupakan aktivitas awal dalam

Sistem Organ Cerna dan Pola Makan

mengekploitasi berbagai ragam sumber pakan yang diinisiasi oleh ternak sendiri.

Mastikasi (mengunyah) merupakan awal proses pencernaan pakan secara mekanis yang dilakukan dengan melemahkan struktur dan integritas sel bahan pakan. Mastikasi melibatkan sistem gigi, terutama molar. Aktivitas ini disertai dengan proses hidrasi terhadap materi pakan dengan insalivasi. Insalivasi yang terjadi di dalam rongga mulut terjadi melalui sekresi saliva dari kelenjar parotid, kelenjar mandibular dan kelenjar sublingual. Saliva pada ruminansia mengandung elektrolit, terutama ion bikarbonat (HCO3

-), fosfat (HPO42-), K+ dan Na+ serta mukus,

dan bersifat basa dengan pH sekitar 8,2. Saliva pada ruminansia tidak mengandung enzim, namun fungsi hidratif terhadap bahan pakan oleh saliva sangat penting dalam proses pencernaan.

Gambar 1. Skematis hubungan fungsional organ cerna pada kambing. (Aliran pakan ditunjukkan oleh tanda panah di dalam kompartemen)

Proses mastikasi dan insalivasi sangat berperan antara lain dalam: (i) Lubrikasi dan maserasi bahan pakan untuk

Esophagus

Rongga mulut

Omasum

Retikulum

Usus halus Usus besar

Rumen

Abomasum

Page 12: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

12

Nutrisi dan Pakan Kambing

memudahkan proses menelan dan meningkatkan konsumsi; (ii) Meningkatkan areal permukaan partikel pakan untuk mempercepat proses kolonisasi mikroba rumen; (iii) Persiapan untuk hidrasi lanjutan oleh cairan dan enzim perncernaan; dan (iv) Melepaskan sebagian komponen pakan yang mudah larut dari komponen pakan lain yang lebih sulit larut. Selama dan setelah proses mastikasi terjadi pemisahan dan pemilahan baik partikel (terkait ukuran) maupun fraksi pakan (terkait kelarutan). Fraksi pakan yang cepat dan mudah larut dipisahkan dari fraksi yang tidak larut. Mastikasi dan insalivasi juga dapat meningkatkan kontak partikel pakan dengan komponen di dalam saliva yang dapat memberikan efek perlindungan terhadap senyawa sekunder (Asplund 1994). Peran ini menjadi penting pada kambing yang memiliki perilaku meramban (browsing) dan cenderung mengkonsumsi tanaman pakan yang berpotensi mengandung senyawa sekunder tinggi, antara lain tannin. Insalivasi juga sangat penting dalam menjaga stabilitas pH rumen, kinetika air dan sebagai vektor dalam daur ulang nitrogen ke dalam rumen.

Organ pradiafragma lain yaitu pharynx dan oesophagus berperan dalam proses deglutinasi yang merupakan refleks fisiologis yang terjadi setelah terbentuknya bolus. Deglutinasi bertujuan untuk mempersiapkan bolus sebelum ditelan. Proses ini diawali dengan menekankan lidah ke bagian pharynx (hard palate) di dalam rongga mulut. Kompresi ini menyebabkan pemisahan antara cairan dengan padatan bolus. Cairan mengandung fraksi mudah larut dan partikel kecil pakan ditelan terlebih dahulu sebelum kemudian menelan padatan bolus. Dengan demikian, selama proses mastikasi dan deglutinasi terjadi pemisahan fraksi pakan berdasarkan kelarutan maupun ukuran partikel.

Oesphagus pada kambing, seperti ruminansia lainnya bukan merupakan sekedar saluran pakan yang menghubungkan organ mulut dengan reticulo-rumen, namun memiliki beberapa fungsi

Page 13: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

13

Nutrisi dan Pakan Kambing

memudahkan proses menelan dan meningkatkan konsumsi; (ii) Meningkatkan areal permukaan partikel pakan untuk mempercepat proses kolonisasi mikroba rumen; (iii) Persiapan untuk hidrasi lanjutan oleh cairan dan enzim perncernaan; dan (iv) Melepaskan sebagian komponen pakan yang mudah larut dari komponen pakan lain yang lebih sulit larut. Selama dan setelah proses mastikasi terjadi pemisahan dan pemilahan baik partikel (terkait ukuran) maupun fraksi pakan (terkait kelarutan). Fraksi pakan yang cepat dan mudah larut dipisahkan dari fraksi yang tidak larut. Mastikasi dan insalivasi juga dapat meningkatkan kontak partikel pakan dengan komponen di dalam saliva yang dapat memberikan efek perlindungan terhadap senyawa sekunder (Asplund 1994). Peran ini menjadi penting pada kambing yang memiliki perilaku meramban (browsing) dan cenderung mengkonsumsi tanaman pakan yang berpotensi mengandung senyawa sekunder tinggi, antara lain tannin. Insalivasi juga sangat penting dalam menjaga stabilitas pH rumen, kinetika air dan sebagai vektor dalam daur ulang nitrogen ke dalam rumen.

Organ pradiafragma lain yaitu pharynx dan oesophagus berperan dalam proses deglutinasi yang merupakan refleks fisiologis yang terjadi setelah terbentuknya bolus. Deglutinasi bertujuan untuk mempersiapkan bolus sebelum ditelan. Proses ini diawali dengan menekankan lidah ke bagian pharynx (hard palate) di dalam rongga mulut. Kompresi ini menyebabkan pemisahan antara cairan dengan padatan bolus. Cairan mengandung fraksi mudah larut dan partikel kecil pakan ditelan terlebih dahulu sebelum kemudian menelan padatan bolus. Dengan demikian, selama proses mastikasi dan deglutinasi terjadi pemisahan fraksi pakan berdasarkan kelarutan maupun ukuran partikel.

Oesphagus pada kambing, seperti ruminansia lainnya bukan merupakan sekedar saluran pakan yang menghubungkan organ mulut dengan reticulo-rumen, namun memiliki beberapa fungsi

Sistem Organ Cerna dan Pola Makan

penting lainnya dalam proses pencernaan. Oesophagus berfungsi dalam memobilisasi pakan baik ke arah cranial maupun caudal, berperan dalam mengeluarkan gas (eruktasi) dan regurgitasi untuk proses ruminasi. Proses ruminasi diawali dengan kontraksi gerakan antiperistaltik otot oesophagus yang mendorong pakan di dalam reticulum kembali ke dalam rongga mulut. Ruminasi yang mencakup mastikasi, insalivasi dan deglutinasi ulang terjadi di dalam rongga mulut dan hasil ruminasi (bolus) kemudian dikembalikan ke dalam reticulum dengan bantuan kontraksi peristaltik otot oesophagus. Tergantung kondisi pakan (kandungan serat), proses ruminasi pada kambing berlangsung sekitar tujuh jam dalam sehari (Lu et al. 2005).

Organ cerna pascadiafragma terdiri dari lambung dengan beberapa segmen (rumen, reticulum, omasum dan abomasum) dan usus (usus kecil dan usus besar). Rumen kambing memiliki volume antara 12-30 liter, tergantung bangsa dan umur (Kawas et al. 2012). Hampir seluruh ruang abdominal sebelah kiri atau sekitar 75% dari ruang abdominal ditempati oleh keempat organ tersebut (Vincent 2005). Rumen dipisahkan dari reticulum yang berkapasitas 1-2 liter oleh esophageal groove. Kedua organ cerna ini (reticulo-rumen) merupakan organ utama tempat terjadinya pencernaan fermentatif anaerobik yang dilakukan oleh populasi bakteri, fungi dan protozoa. Proses fermentasi di dalam reticulo-rumen berlangsung cepat dan terjadi secara terus menerus, karena asupan substrat dan pengeluaran produk fermentasi berlangsung secara berkelanjutan (continuous system). Fermentasi yang efisien memerlukan beberapa faktor pendukung seperti kondisi kedap udara (anaerobiosis), temperatur, pH dan tekanan osmosis yang terkontrol. pH optimal untuk perkembangan populasi mikroba rumen pada kambing berkisar antara 6,2-6,8 (Lu et al. 2005). Oleh karena pakan merupakan substrat utama dalam proses fermentasi, maka tingkat konsumsi pakan sangat mempengaruhi laju alir (passage

Page 14: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

14

Nutrisi dan Pakan Kambing

rate) pakan dari reticulo-rumen ke organ cerna sebelah caudal. Selain sebagai organ cerna, reticulo-rumen juga berfungsi sebagai organ absorbsi dan sekaligus organ ekskresi bagi produk hasil fermentasi. Fungsi ini dilakukan menggunakan tiga vektor yaitu: alir pakan menuju omasum, absorbsi melalui dinding sel (asam lemak terbang dan amonia) dan eruktasi komponen gas (metana dan CO2). Reticulum juga berperan dalam menyalurkan pakan dari dalam rumen menuju omasum dengan melakukan kontraksi yang memiliki efek mencampur dan mendorong pakan. Dengan demikian, reticulo-rumen berperan dalam proses pemilahan dan mengalirkan partikel pakan ke organ cerna sebelah caudal.

Omasum berperan dalam mengontrol homogenitas kandungan air dalam bahan pakan yang telah melalui proses degradasi yang mengalir dari reticulo-rumen. Kapasitas omasum pada kambing sekitar 1,0 liter, dan menyerap cairan pakan secara teratur sebelum melewatkan pakan menuju abomasum. Permukaan omasum relatif luas, sehingga hasil fermentasi (asam lemak terbang) maupun elektrolit sebagian diserap. Peran omasum yang sangat penting adalah regulasi pelepasan digesta dari reticulo-rumen ke abomasum. Peran lain adalah menurunkan buffering capacity pakan yang telah dicerna dengan melakukan secara sangat aktif pertukaran kation (Na+, K+) dan anion (HCO3

-). Proses ini penting dilakukan sebelum pakan ditransfer ke dalam organ abomasum yang membutuhkan kondisi sangat asam (pH antara 2-3) agar proses pencernaan, terutama protein berlangsung secara maksimal.

Proses pencernaan di dalam abomasum yang pada kambing kapasitasnya antara 2-3 liter terjadi secara kimiawi yaitu hidrolisis dengan bantuan HCl maupun enzimatis. Perlu diketahui bahwa sebagian besar materi yang ditransfer dari omasum ke abomasum merupakan sel bakteri yang kaya asam nukleat, lipoprotein dan juga sering mengandung mukopolisakarida. Kondisi lingkungan yang asam, adanya aktivitas enzim (pepsin) dan lysozyme yang

Page 15: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

15

Nutrisi dan Pakan Kambing

rate) pakan dari reticulo-rumen ke organ cerna sebelah caudal. Selain sebagai organ cerna, reticulo-rumen juga berfungsi sebagai organ absorbsi dan sekaligus organ ekskresi bagi produk hasil fermentasi. Fungsi ini dilakukan menggunakan tiga vektor yaitu: alir pakan menuju omasum, absorbsi melalui dinding sel (asam lemak terbang dan amonia) dan eruktasi komponen gas (metana dan CO2). Reticulum juga berperan dalam menyalurkan pakan dari dalam rumen menuju omasum dengan melakukan kontraksi yang memiliki efek mencampur dan mendorong pakan. Dengan demikian, reticulo-rumen berperan dalam proses pemilahan dan mengalirkan partikel pakan ke organ cerna sebelah caudal.

Omasum berperan dalam mengontrol homogenitas kandungan air dalam bahan pakan yang telah melalui proses degradasi yang mengalir dari reticulo-rumen. Kapasitas omasum pada kambing sekitar 1,0 liter, dan menyerap cairan pakan secara teratur sebelum melewatkan pakan menuju abomasum. Permukaan omasum relatif luas, sehingga hasil fermentasi (asam lemak terbang) maupun elektrolit sebagian diserap. Peran omasum yang sangat penting adalah regulasi pelepasan digesta dari reticulo-rumen ke abomasum. Peran lain adalah menurunkan buffering capacity pakan yang telah dicerna dengan melakukan secara sangat aktif pertukaran kation (Na+, K+) dan anion (HCO3

-). Proses ini penting dilakukan sebelum pakan ditransfer ke dalam organ abomasum yang membutuhkan kondisi sangat asam (pH antara 2-3) agar proses pencernaan, terutama protein berlangsung secara maksimal.

Proses pencernaan di dalam abomasum yang pada kambing kapasitasnya antara 2-3 liter terjadi secara kimiawi yaitu hidrolisis dengan bantuan HCl maupun enzimatis. Perlu diketahui bahwa sebagian besar materi yang ditransfer dari omasum ke abomasum merupakan sel bakteri yang kaya asam nukleat, lipoprotein dan juga sering mengandung mukopolisakarida. Kondisi lingkungan yang asam, adanya aktivitas enzim (pepsin) dan lysozyme yang

Sistem Organ Cerna dan Pola Makan

menghidrolisis mukopolisakarida sangat berperan dalam mencerna sel bakteri dan bahan pakan. Di dalam abomasum juga diproduksi chyme yang merupakan campuran pakan yang telah dicerna bersama cairan pencernaan yang selanjutnya ditransfer ke segmen duodenum pada usus kecil.

Usus pada kambing memiliki panjang antara 20-40 m yang terdiri dari usus kecil (antara 20-30 m) dan usus besar dengan panjang rata-rata 7 m (Constantinescu dan Constantinescu 2010). Usus kecil yang terdiri dari segmen duodenum, jejunum dan ileum merupakan lokasi utama berlangsungnya proses pencernaan secara enzimatis setelah proses pencernaan fermentatif. Organ ini juga berperan penting dalam penyerapan nutrisi (protein, lemak, vitamin dan mineral). Proses pencernaan terjadi dalam suasana basa dengan pH sekitar 8,0 dan dikatalisis oleh berbagai enzim spesifik yang disekskresikan terutama oleh segmen duodenum dan pankreas serta empedu yang dihasilkan oleh liver, terutama untuk pencernaan lemak. Enzim yang disekskresikan oleh pankreas sangat penting bagi proses pencernaan protein, karbohidrat dan lemak. Empedu yang diproduksi oleh sel hati dan disekskresikan ke dalam duodenum berperan penting dalam membentuk emulsi lemak, sehingga enzim lipase dapat menghidrolisis lemak dengan lebih cepat. Pada ruminansia lain, seperti sapi dan domba kapasitas usus kecil dalam mencerna karbohidrat (pati) dan lemak tergolong rendah, namun pada kambing kapasitas mencerna kedua nutrisi tersebut diduga lebih tinggi karena memiliki pola makan yang cenderung selektif terhadap bahan pakan dengan konsentrasi nutrisi tinggi (Asplund 1994).

Usus besar yang terdiri dari caecum, kolon dan rektum merupakan tempat utama terjadinya proses dehidrasi terhadap digesta yang mengalir dari usus kecil. Penyerapan air secara intensif tersebut menghasilkan feses yang padat dan berbentuk pelet yang terjadi di segmen kolon. Organ kolon yang pada kambing memiliki kapasitas antara 5-6 liter didiami oleh

Page 16: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

16

Nutrisi dan Pakan Kambing

sejumlah populasi bakteri yang memiliki aktivitas fermentatif secara ekstensif. Namun, secara nutrisi produk yang dihasilkan dari aktivitas ini berupa asam lemak terbang dan asam amino tidak berarti banyak bagi ternak, oleh karena posisinya yang caudal terhadap usus kecil yang merupakan organ utama dalam penyerapan nutrisi.

III. METABOLISME NUTRISI

A. Nutrisi Karbohidrat

Karbohidrat secara kuantitatif merupakan produk fotosintesis yang paling dominan pada tanaman. Sekitar 50-80% bahan kering tanaman pakan maupun biji-bijian merupakan senyawa karbohidrat (van Soest 1982). Dari aspek fisiologis karbohidrat yang terdapat pada tanaman pakan dapat dikelompokkan menjadi 3 kategori yaitu: (i) gula sederhana yang aktif di dalam metabolisme tanaman; (ii) karbohidrat yang berperan sebagai cadangan (pati, sukrosa dan fruktan); dan (iii) karbohidrat struktural (selulosa, hemiselulosa dan pektin). Selulosa merupakan jenis karbohidrat yang jumlahnya paling besar di antara seluruh jenis karbohidrat pada tanaman pakan, yaitu berkisar antara 20-40% dari total bahan kering tanaman (van Soest 1994). Kandungan selulosa setinggi ini dapat dijumpai pada beberapa bahan pakan yang merupakan hasil samping tanaman perkebunan, tanaman pangan, maupun hortikultura.

Fermentasi dalam pengertian biokimiawi merupakan proses reaksi oksidasi-reduksi yang menghasilkan energi dimana senyawa pemberi elektron maupun penerima elektron merupakan bahan organik (van Houtert 1993). Proses fermentasi karbohidrat di dalam organ cerna ternak ruminansia (retikulo-rumen) mentransformasi energi di dalam karbohidrat menjadi energi dalam senyawa ATP (adenosin triphosphate). Namun, jumlah ATP yang dihasilkan melalui proses fermentasi ini relatif terbatas. Hal ini disebabkan oleh tertahannya sebagian energi dalam berbagai produk samping atau hilangnya energi dalam bentuk panas. Produk samping fermentasi yang utama adalah asam lemak terbang (volatile fatty acids) yang terbentuk melalui serangkaian reaksi kimiawi (Gambar 2). Asam piruvat merupakan produk antara yang memiliki peran sentral dalam fermentasi karbohidrat di dalam rumen. Setiap kategori

Page 17: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

17

Nutrisi dan Pakan Kambing

sejumlah populasi bakteri yang memiliki aktivitas fermentatif secara ekstensif. Namun, secara nutrisi produk yang dihasilkan dari aktivitas ini berupa asam lemak terbang dan asam amino tidak berarti banyak bagi ternak, oleh karena posisinya yang caudal terhadap usus kecil yang merupakan organ utama dalam penyerapan nutrisi.

III. METABOLISME NUTRISI

A. Nutrisi Karbohidrat

Karbohidrat secara kuantitatif merupakan produk fotosintesis yang paling dominan pada tanaman. Sekitar 50-80% bahan kering tanaman pakan maupun biji-bijian merupakan senyawa karbohidrat (van Soest 1982). Dari aspek fisiologis karbohidrat yang terdapat pada tanaman pakan dapat dikelompokkan menjadi 3 kategori yaitu: (i) gula sederhana yang aktif di dalam metabolisme tanaman; (ii) karbohidrat yang berperan sebagai cadangan (pati, sukrosa dan fruktan); dan (iii) karbohidrat struktural (selulosa, hemiselulosa dan pektin). Selulosa merupakan jenis karbohidrat yang jumlahnya paling besar di antara seluruh jenis karbohidrat pada tanaman pakan, yaitu berkisar antara 20-40% dari total bahan kering tanaman (van Soest 1994). Kandungan selulosa setinggi ini dapat dijumpai pada beberapa bahan pakan yang merupakan hasil samping tanaman perkebunan, tanaman pangan, maupun hortikultura.

Fermentasi dalam pengertian biokimiawi merupakan proses reaksi oksidasi-reduksi yang menghasilkan energi dimana senyawa pemberi elektron maupun penerima elektron merupakan bahan organik (van Houtert 1993). Proses fermentasi karbohidrat di dalam organ cerna ternak ruminansia (retikulo-rumen) mentransformasi energi di dalam karbohidrat menjadi energi dalam senyawa ATP (adenosin triphosphate). Namun, jumlah ATP yang dihasilkan melalui proses fermentasi ini relatif terbatas. Hal ini disebabkan oleh tertahannya sebagian energi dalam berbagai produk samping atau hilangnya energi dalam bentuk panas. Produk samping fermentasi yang utama adalah asam lemak terbang (volatile fatty acids) yang terbentuk melalui serangkaian reaksi kimiawi (Gambar 2). Asam piruvat merupakan produk antara yang memiliki peran sentral dalam fermentasi karbohidrat di dalam rumen. Setiap kategori

Page 18: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

18

Nutrisi dan Pakan Kambing

karbohidrat yang difermentasi menjadi asam lemak terbang harus melalui asam piruvat sebagai produk antara. Asam asetat disintesis dari asam piruvat melalui produk antara asetil-CoA yang juga menghasilkan CO2 dan H2. Metabolisme oxsalo-asetat menjadi suksinat merupakan rute utama dalam sintesis asam propionat, namun sintesis langsung propionat dari piruvat merupakan jalur alternatif, terutama jika ternak mengkonsumsi pakan konsentrat (van Soest 1994). Jalur metabolisme ini akan menghasilkan propionat dalam jumlah lebih banyak. Asam butirat diproduksi melalui kondensasi dua molekul asetil-CoA. Fermentasi karbohidrat di dalam rumen juga menghasilkan produk lain seperti ethanol, asam format, asam laktat dan asam suksinat dalam jumlah lebih sedikit (van Houtert 1993). Namun, beberapa spesies bakteri di dalam rumen dengan cepat menggunakan unsur tersebut sebagai substrat dan menghasilkan produk akhir berupa asam lemak terbang, metana (CH4) dan karbon dioksida (CO2). Metana sendiri tidak digunakan lebih lanjut di dalam rumen dan dikeluarkan bersama karbon dioksida dengan cara respirasi dan eruktasi.

Gambar 2. Diagram ringkas alur fermentasi karbohidrat dalam menghasilkan asam lemak terbang pada ruminansia. Unsur dalam tanda lingkaran merupakan produk antara dari metabolisme karbohidrat

Pati Selulosa Hemi

selulos

a

Pektin

Glukosa Glukosa Xylosa Galaktosa

Asetil-CoA Asam Laktat

Asam Suksinat

Piruvat

Asam Propionat

Asam Asetat

Asam Butirat

Oxsaloasetat Aseto-asetil-

CoA

Asam Format CO2;H2

CH4

Metabolisme Nutrisi

Asam lemak terbang (asetat, propionat, butirat, valerat) diserap oleh sel mukosa rumen dan kemudian digunakan untuk sintesis biokimiawi. Asam asetat dan butirat digunakan terutama untuk lipogenesis yaitu biosintesis lemak susu dan lemak tubuh. Propionat melalui proses glukoneogenesis digunakan untuk mensintesis glukosa atau digunakan untuk mensintesis protein tubuh. Pakan dengan kandungan serat tinggi akan meningkatkan proporsi asam asetat dan mungkin juga butirat di dalam rumen. Hal ini tidak hanya disebabkan oleh tersedianya substrat dalam jumlah besar bagi perkembangan populasi bakteri selulolitik, tapi juga terkait dengan peningkatan pH rumen yang mendukung perkembangan populasi bakteri selulolitik akibat insalivasi yang lebih intensif. Namun, kinetika pencernaan selulosa menunjukkan bahwa pencernaan selulosa lebih dibatasi oleh ketersediaan substrat dan bukan oleh kapasitas bakteri selulolitik (Weimer 1998). Oleh karena itu, jumlah substrat serat yang tersedia serta akses bakteri terhadap serat menentukan intensitas pencernaan selulosa yang terdapat di dalam bahan pakan.

B. Nutrisi Protein dan Senyawa Nitrogen

Metabolisme protein pada kambing seperti umumnya ternak ruminansia menjadi sangat kompleks dengan adanya aktivitas mikroba di dalam reticulo-rumen (Gambar 3). Di dalam reticulo-rumen tidak semua protein mengalami degradasi, karena ada protein yang karena struktur molekulnya membuatnya tidak larut, sehingga melewati rumen tanpa mengalami hidrolisis. Molekul protein tersebut langsung dapat dimetabolisme di dalam usus kecil. Sebagian protein yang terdapat di dalam bahan pakan dapat melalui rumen tanpa mengalami hidrolisis yang dipengaruhi antara lain oleh karakter fisik protein (kelarutan), tingkat degradabilitas, tingkat konsumsi pakan dan laju alir pakan di dalam rumen. Proprosi protein yang tidak mengalami hidrolisis di dalam rumen sangat bervariasi yaitu berkisar antara

Page 19: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

19

Nutrisi dan Pakan Kambing

karbohidrat yang difermentasi menjadi asam lemak terbang harus melalui asam piruvat sebagai produk antara. Asam asetat disintesis dari asam piruvat melalui produk antara asetil-CoA yang juga menghasilkan CO2 dan H2. Metabolisme oxsalo-asetat menjadi suksinat merupakan rute utama dalam sintesis asam propionat, namun sintesis langsung propionat dari piruvat merupakan jalur alternatif, terutama jika ternak mengkonsumsi pakan konsentrat (van Soest 1994). Jalur metabolisme ini akan menghasilkan propionat dalam jumlah lebih banyak. Asam butirat diproduksi melalui kondensasi dua molekul asetil-CoA. Fermentasi karbohidrat di dalam rumen juga menghasilkan produk lain seperti ethanol, asam format, asam laktat dan asam suksinat dalam jumlah lebih sedikit (van Houtert 1993). Namun, beberapa spesies bakteri di dalam rumen dengan cepat menggunakan unsur tersebut sebagai substrat dan menghasilkan produk akhir berupa asam lemak terbang, metana (CH4) dan karbon dioksida (CO2). Metana sendiri tidak digunakan lebih lanjut di dalam rumen dan dikeluarkan bersama karbon dioksida dengan cara respirasi dan eruktasi.

Gambar 2. Diagram ringkas alur fermentasi karbohidrat dalam menghasilkan asam lemak terbang pada ruminansia. Unsur dalam tanda lingkaran merupakan produk antara dari metabolisme karbohidrat

Pati Selulosa Hemi

selulos

a

Pektin

Glukosa Glukosa Xylosa Galaktosa

Asetil-CoA Asam Laktat

Asam Suksinat

Piruvat

Asam Propionat

Asam Asetat

Asam Butirat

Oxsaloasetat Aseto-asetil-

CoA

Asam Format CO2;H2

CH4

Metabolisme Nutrisi

Asam lemak terbang (asetat, propionat, butirat, valerat) diserap oleh sel mukosa rumen dan kemudian digunakan untuk sintesis biokimiawi. Asam asetat dan butirat digunakan terutama untuk lipogenesis yaitu biosintesis lemak susu dan lemak tubuh. Propionat melalui proses glukoneogenesis digunakan untuk mensintesis glukosa atau digunakan untuk mensintesis protein tubuh. Pakan dengan kandungan serat tinggi akan meningkatkan proporsi asam asetat dan mungkin juga butirat di dalam rumen. Hal ini tidak hanya disebabkan oleh tersedianya substrat dalam jumlah besar bagi perkembangan populasi bakteri selulolitik, tapi juga terkait dengan peningkatan pH rumen yang mendukung perkembangan populasi bakteri selulolitik akibat insalivasi yang lebih intensif. Namun, kinetika pencernaan selulosa menunjukkan bahwa pencernaan selulosa lebih dibatasi oleh ketersediaan substrat dan bukan oleh kapasitas bakteri selulolitik (Weimer 1998). Oleh karena itu, jumlah substrat serat yang tersedia serta akses bakteri terhadap serat menentukan intensitas pencernaan selulosa yang terdapat di dalam bahan pakan.

B. Nutrisi Protein dan Senyawa Nitrogen

Metabolisme protein pada kambing seperti umumnya ternak ruminansia menjadi sangat kompleks dengan adanya aktivitas mikroba di dalam reticulo-rumen (Gambar 3). Di dalam reticulo-rumen tidak semua protein mengalami degradasi, karena ada protein yang karena struktur molekulnya membuatnya tidak larut, sehingga melewati rumen tanpa mengalami hidrolisis. Molekul protein tersebut langsung dapat dimetabolisme di dalam usus kecil. Sebagian protein yang terdapat di dalam bahan pakan dapat melalui rumen tanpa mengalami hidrolisis yang dipengaruhi antara lain oleh karakter fisik protein (kelarutan), tingkat degradabilitas, tingkat konsumsi pakan dan laju alir pakan di dalam rumen. Proprosi protein yang tidak mengalami hidrolisis di dalam rumen sangat bervariasi yaitu berkisar antara

Page 20: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

20

Nutrisi dan Pakan Kambing

10-70%, tergantung jenis bahan pakan dan metode pengolahannya (van Soest 1994). Sebagian molekul protein mengalami degradasi di dalam reticulo-rumen.

Hidrolisis molekul protein di dalam reticulo-rumen dilakukan oleh adanya aktivitas enzim yang disekresi oleh mikroba di dalam kompartmen tersebut. Degradasi protein melibatkan aktivitas enzim protease, peptidase dan deaminase yang dihasilkan oleh mikroba rumen. Bakteri proteolitik pada kambing mencakup sekitar 12-38% total populasi mikroba rumen (Solaiman dan Owens 2010). Aktivitas enzimatik menyebabkan sebagian protein di dalam bahan pakan mengalami degradasi dan menghasilkan peptida, asam amino dan amonia sebelum kemudian dikonversi kembali menjadi protein sel mikroba. Proporsi nitrogen dalam sel mikroba rumen kambing yang berasal dari amonia mencapai 77-89% (Brun-Bellut et al. 1991). Besarnya kontribusi amonia dipengaruhi oleh tingkat degradasi protein pakan dan ketersediaan energi yang berasal dari fermentasi karbohidrat untuk mensintesis amonia menjadi sel protein. Organ reticulo-rumen sendiri tidak memiliki kelenjar sekresi, dan saliva yang mengalir ke dalam organ ini bersama pakan juga tidak mengandung enzim proteolitik. Aktivitas mikroba tersebut juga memungkinkan kambing memanfaatkan senyawa nitrogen bukan protein yang terdapat di dalam bahan pakan sebagai sumber nitrogen untuk mensintesis protein melalui sel mikroba.

Aktivitas proteolitik di dalam rumen terutama dipengaruhi oleh populasi mikroba, walaupun taraf kandungan protein dalam pakan juga berpengaruh. Di dalam sel mikroba peptida dihidrolisis oleh enzim peptidase dan menghasilkan asam amino bebas yang selanjutnya didegradasi oleh enzim deaminase dan menghasilkan amonia, asam lemak terbang dan karbon dioksida. Amonia yang terbentuk di dalam rumen merupakan sumber utama nitrogen untuk perkembangan populasi mikroba rumen, terutama mikroba pemecah serat. Amonia dikonversi menjadi protein dan senyawa

Metabolisme Nutrisi

N lainnya untuk mensintesis sel mikroba. Mikroba rumen tertentu dapat menggunakan peptida atau asam amino sebagai substrat dalam mensintesis protein sel. Asimilasi amonia menjadi sel mikroba berlangsung melalui sintesis beberapa asam amino seperti alanin, glutamat, valin atau leusin, namun konversi amonia menjadi asam glutamat merupakan reaksi kunci dalam proses sintesis protein sel mikroba.

Gambar 3. Model metabolisme senyawa nitrogen (protein dan NPN) pada ruminansia (AA: Asam amino; UIP: Undegradable intake protein; DIP: Degradable intake protein (Modifikasi dari Van Soest 1994))

Konsentrasi amonia di dalam rumen bervariasi akibat kualitas pakan atau waktu setelah makan. Terjadi aliran amonia dari dalam rumen lewat aliran darah ke organ hati, namun aliran ini tidak terjadi apabila konsentrasi amonia rumen rendah (van Soest 1994). Konsentrasi amonia di dalam rumen juga

UIP DIP

Peptida NH3 NH4+

AA Rumen

Rumen Usus halus

Protein Protein Mikroba

N-Feses

Hati

Jaringan Periferi

Pool AA

Pool Urea

Pakan Saliva

Protein NPN Urea

N-Urin

Page 21: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

21

Nutrisi dan Pakan Kambing

10-70%, tergantung jenis bahan pakan dan metode pengolahannya (van Soest 1994). Sebagian molekul protein mengalami degradasi di dalam reticulo-rumen.

Hidrolisis molekul protein di dalam reticulo-rumen dilakukan oleh adanya aktivitas enzim yang disekresi oleh mikroba di dalam kompartmen tersebut. Degradasi protein melibatkan aktivitas enzim protease, peptidase dan deaminase yang dihasilkan oleh mikroba rumen. Bakteri proteolitik pada kambing mencakup sekitar 12-38% total populasi mikroba rumen (Solaiman dan Owens 2010). Aktivitas enzimatik menyebabkan sebagian protein di dalam bahan pakan mengalami degradasi dan menghasilkan peptida, asam amino dan amonia sebelum kemudian dikonversi kembali menjadi protein sel mikroba. Proporsi nitrogen dalam sel mikroba rumen kambing yang berasal dari amonia mencapai 77-89% (Brun-Bellut et al. 1991). Besarnya kontribusi amonia dipengaruhi oleh tingkat degradasi protein pakan dan ketersediaan energi yang berasal dari fermentasi karbohidrat untuk mensintesis amonia menjadi sel protein. Organ reticulo-rumen sendiri tidak memiliki kelenjar sekresi, dan saliva yang mengalir ke dalam organ ini bersama pakan juga tidak mengandung enzim proteolitik. Aktivitas mikroba tersebut juga memungkinkan kambing memanfaatkan senyawa nitrogen bukan protein yang terdapat di dalam bahan pakan sebagai sumber nitrogen untuk mensintesis protein melalui sel mikroba.

Aktivitas proteolitik di dalam rumen terutama dipengaruhi oleh populasi mikroba, walaupun taraf kandungan protein dalam pakan juga berpengaruh. Di dalam sel mikroba peptida dihidrolisis oleh enzim peptidase dan menghasilkan asam amino bebas yang selanjutnya didegradasi oleh enzim deaminase dan menghasilkan amonia, asam lemak terbang dan karbon dioksida. Amonia yang terbentuk di dalam rumen merupakan sumber utama nitrogen untuk perkembangan populasi mikroba rumen, terutama mikroba pemecah serat. Amonia dikonversi menjadi protein dan senyawa

Metabolisme Nutrisi

N lainnya untuk mensintesis sel mikroba. Mikroba rumen tertentu dapat menggunakan peptida atau asam amino sebagai substrat dalam mensintesis protein sel. Asimilasi amonia menjadi sel mikroba berlangsung melalui sintesis beberapa asam amino seperti alanin, glutamat, valin atau leusin, namun konversi amonia menjadi asam glutamat merupakan reaksi kunci dalam proses sintesis protein sel mikroba.

Gambar 3. Model metabolisme senyawa nitrogen (protein dan NPN) pada ruminansia (AA: Asam amino; UIP: Undegradable intake protein; DIP: Degradable intake protein (Modifikasi dari Van Soest 1994))

Konsentrasi amonia di dalam rumen bervariasi akibat kualitas pakan atau waktu setelah makan. Terjadi aliran amonia dari dalam rumen lewat aliran darah ke organ hati, namun aliran ini tidak terjadi apabila konsentrasi amonia rumen rendah (van Soest 1994). Konsentrasi amonia di dalam rumen juga

UIP DIP

Peptida NH3 NH4+

AA Rumen

Rumen Usus halus

Protein Protein Mikroba

N-Feses

Hati

Jaringan Periferi

Pool AA

Pool Urea

Pakan Saliva

Protein NPN Urea

N-Urin

Page 22: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

22

Nutrisi dan Pakan Kambing

mempengaruhi rute asimilasi menjadi asam amino (Mackie dan Kistner 1985). Pada situasi amonia rendah dan konsentrasi amonia intraseluler bakteri <0,5 mM, maka bakteri rumen menggunakan sistem glutamin sintetase/glutamat sintase untuk mensintesis asam amino. Afinitas sistem ini sangat tinggi terhadap amonia, sehingga efisien dalam situasi amonia rendah. Sebaliknya, bila konsentrasi amonia dalam sel bakteri tinggi (>1,0 mM), maka bakteri rumen menggunakan sistem glutamat dehidrogenase yang afinitasnya terhadap amonia lebih rendah (Hespell 1984).

Proses degradasi protein pakan dan kemudian sintesis protein mikroba menyebabkan metabolisme protein yang berasal dari bahan pakan menjadi kurang efisien. Akan tetapi, mikroba rumen juga dapat mengkonversi senyawa nitrogen bukan protein (NPN) yang terdapat di dalam pakan, seperti senyawa nitrat, nitrit dan amida menjadi protein sel mikroba yang memiliki nilai biologis lebih tinggi bagi ternak kambing. Kontribusi sel mikroba rumen dalam memenuhi kebutuhan protein kambing mencapai 80-90%. Sebagian protein ini akan tersedia bagi kambing setelah dicerna secara enzimatis di dalam saluran usus, namun sebagian tidak dapat dicerna dan dikeluarkan bersama feses. Oleh karena itu, sumber protein pada kambing dapat berasal langsung dari protein di dalam pakan yang tidak mengalami degradasi di dalam rumen dan berasal dari sel mikroba yang berkembang di dalam rumen.

Pada kambing yang dipelihara dalam sistem pakan yang berbasis hasil samping tanaman peran nitrogen endogen (recycled N) dalam menghasilkan protein mikroba semakin relevan, karena banyak bahan pakan memiliki kandungan protein rendah dan serat tinggi. Dalam situasi ini saliva dapat menjadi sumber nitrogen endogen yang sangat penting. Serat yang tinggi di dalam pakan mestimulasi sekresi saliva yang lebih banyak, sehingga urea di dalam saliva menjadi sumber N tambahan untuk mendukung perkembangan populasi mikroba di

Page 23: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

23

Metabolisme Nutrisi

dalam retikulo-rumen. Selain melalui saliva, urea dari plasma darah dapat berdifusi ke dalam rumen melalui sel epitel. Kambing memiliki kapasitas lebih baik dibandingkan dengan dalam mendaur ulang nitrogen dan memanfaatkannya dalam mensintesis protein mikroba rumen (Woodward dan Reed 1997). Besarnya N yang didaur ulang ke rumen pada kambing dipengaruhi oleh sifat degradasi protein dalam pakan dan status fisiologis. Pada induk kambing laktasi nitrogen yang didaur ulang ke dalam rumen mencapai 4,5 g/hari setara dengan 17% total konsumsi nitrogen. Namun dengan penambahan urea sebesar 0,9% BK ransum, nitrogen yang didaur ulang hanya 2,5 g/hari yaitu setara 8% total konsumsi N (Brun-Bellut et al. 1991). Hal ini menunjukkan adanya kontrol metabolik untuk menjamin tersedianya nitrogen di dalam rumen untuk aktivitas mikroba. Konsumsi N sangat mempengaruhi transfer urea ke dalam rumen (Abdoun et al. 2006). Konsentrasi urea dalam plasma berkorelasi positif dengan jumlah urea yang ditransfer ke dalam rumen, terutama bila ternak diberi ransum rendah protein (7% BK) (Reynolds dan Kristensen 2008). Namun, kandungan urea plasma yang tinggi dapat menyebabkan saturasi transfer urea ke dalam rumen. Penelitian Muscher et al. (2010) pada epitel rumen kambing menunjukkan bahwa konsentrasi plasma urea <1,75 mmol/l akan menstimulasi dengan kuat tranfer urea ke dalam rumen. Hidrolisis urea dikatalisis oleh enzim urease dan menghasilkan amonia yang selanjutnya diasimilasi menjadi asam amino dan protein mikoba. Hasil penelitian Domingue et al. (1991) menunjukkan laju asimilasi amonia menjadi protein mikroba dan serapan amonia oleh dinding sel epitel rumen lebih tinggi pada kambing (692 mg N/g N konsumsi) dibandingkan dengan domba (607 mg N/ g N konsumsi). Kapasitas asimilasi amonia tersebut dapat menyebabkan meningkatnya kemampuan kambing dalam memanfaatkan bahan pakan berkualitas rendah.

Protein dan asam amino yang tersedia untuk metabolisme sel tubuh setelah diserap usus halus berasal dari sel mikroba

Page 24: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

24

Nutrisi dan Pakan Kambing

rumen dan protein yang tidak mengalami degradasi di dalam rumen. Secara kuantitatif kontribusi protein mikroba merupakan yang paling besar (80%). Profil asam amino sel mikroba rumen relatif konstan, namun profil asam amino bahan pakan yang tidak mengalami degradasi dalam rumen sangat bervariasi. Oleh karena itu, asam amino pembatas dalam profil asam amino yang diserap dapat berfluktuasi akibat perbedaan pakan. Namun, pada ruminansia metionin merupakan asam amino pembatas pertama yang sering terjadi, diikuti oleh lisin. Pada kambing yang diberi pakan dasar tongkol jagung dan diberi suplemen bungkil kedelai dan jagung juga ditemukan bahwa asam amino pembatas pertama adalah metionin dan diikuti oleh lisin dan isoleusin (Shan et al. 2007). Kecernaan semu asam amino esensial dan nonesensial pada saluran cerna kambing dilaporkan tidak berbeda dan berkisar antara 80-82%, namun kecernaan semu asam amino esensial di organ usus halus (72%) lebih tinggi dibandingkan dengan asam amino nonesensial (65%) (Brun-Bellut et al. 1991).

C. Nutrisi Lemak

Lemak yang dikonsumsi oleh kambing yang diberi pakan berbasis hijauan relatif rendah yaitu berkisar antara 3-7% dari bahan kering pakan. Lemak yang dikonsumsi dari tanaman pakan terutama adalah lemak struktural yang terdiri dari fosfolipid, galaktolipid dan glikolipid yang terutama terdapat di dalam sel daun (membran sel). Lemak struktural pada tanaman mengandung trigliserida tidak lebih dari 50%, dan terdapat asam lemak linolenik (18:3) dalam konsentrasi tinggi. Penggunaan pakan yang berasal dari biji-bijian akan memberi kontribusi nutrien lemak dalam bentuk trigliserida yang lebih banyak, karena lemak yang terdapat di dalam biji-bijian mengandung trigliserida sekitar 65-80% dan kaya akan asam linoleat (18:2). Populasi bakteri dan protozoa di dalam rumen kambing

Page 25: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

25

Metabolisme Nutrisi

melakukan transformasi terhadap lemak yang dikonsumsi, sehingga lemak yang dikonsumsi melalui pakan sangat berbeda dengan lemak yang tersedia untuk absorbsi di usus kecil (Gambar 4).

Gambar 4. Lemak yang tersedia untuk proses absorbsi dalam usus halus. (Lemak dalam pakan (LP) yang tidak mengalami transformasi di dalam rumen, lemak yang dihidrogenasi oleh mikroba rumen (LP-h) dan lemak mikroba (LM) yang disintesis dari asam lemak terbang (VFA) di dalam rumen)

Transformasi ini dilakukan melalui reaksi lipolisis dan biohidrogenasi. Reaksi lipolisis menyebabkan terbebasnya asam lemak dari ikatan ester dengan gliserol. Biohidrogenasi mengurangi jumlah ikatan rangkap di dalam rantai asam lemak terbang, sehinga lebih jenuh. Hidrolisis trigliserida menghasilkan asam lemak rantai panjang, gula, dan gliserol, sedangkan hidrolisis galaktolipid menghasilkan galaktosa (Drackley 2000). Gliserol dan gula difermentasi dengan cepat dan terutama menghasilkan asam propionat selain asam asetat dan asam butirat. Aktivitas hidrolisis yang ekstensif di dalam rumen

Lemak dalam pakan

Lemak dalam rumen

LP-h LM

LP

VFA

Lemak dalam usus kecil

LP LP-h LM

LP

Page 26: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

26

Nutrisi dan Pakan Kambing

menyebabkan 85% trigliserida diserap di dalam usus dalam bentuk asam lemak bebas. Mikroba rumen juga melakukan aktivitas hidrogenasi secara ekstensif, sehingga asam lemak tidak jenuh dikonversi menjadi asam lemak jenuh dan menghasilkan terutama asam stearat (18:0) dan palmitat (16:0). Mikroba rumen mensintesis asam lemak dari sumber eksogen, terutama asam lemak rantai panjang maupun dari sumber endogen (de novo) dengan menggunakan karbohidrat sebagai sumber rantai karbon. Meningkatnya kandungan lemak pakan mendorong penggunaan sumber eksogen dalam sintesis lemak sel mikroba. Total kandungan lemak sel bakteri rumen berkisar antara 10-15% dan didominasi asam lemak jenuh dengan proporsi asam lemak tidak jenih antara 15-20% (Jenkins 1993).

Penggunaan lemak dalam pakan kambing dibatasi sampai 5-6% dari total pakan. Pembatasan ini antara lain untuk mencegah gangguan fermentasi yang dapat disebabkan oleh asupan lemak yang tinggi. Penurunan kecernaan karbohidrat struktural akibat kandungan lemak yang tinggi dalam pakan sering terjadi (Jenkins 1993). Penurunan kecernaan serat mencapai 50% pada pakan yang mengandung 10% lemak (Jenkins dan Palmquist 1984). Penurunan kecernaan disertai dengan berkurangnya produksi metana, hidrogen dan asam lemak terbang serta rasio asetat/propionat. Tingkat kejenuhan asam lemak merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi sejauh mana asam lemak dapat menyebabkan gangguan fermentasi. Asam lemak tidak jenuh lebih kuat mempengaruhi fermentasi karbohidrat struktural dan protein dibandingkan dengan asam lemak jenuh (Chalupa et al. 1984). Konsentrasi asam lemak tidak jenuh di dalam rumen dikendalikan oleh jumlah dan tipe lemak yang dikonsumsi serta oleh laju lipolisis dan biohidrogenasi. Laju lipolisis dan biohidrogenasi dipengaruhi oleh umur tanaman pakan, kandungan nitrogen serta ukuran partikel pakan di dalam rumen.

Page 27: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

27

Metabolisme Nutrisi

Asam lemak yang dibebaskan melalui lipolisis memiliki aktivitas antimikroba di dalam rumen, yang dapat merubah komposisi asam lemak terbang (VFA). Asam lemak tidak jenuh memiliki pengaruh antimikroba yang lebih kuat di dalam rumen dibandingkan dengan asam lemak jenuh (Jenkins 1993). Asam lemak bebas dinetralisir di dalam rumen dengan membentuk garam bersama elemen Na, K atau Ca. Asam lemak jenuh diserap lebih lambat dibandingkan dengan asam lemak tidak jenuh, namun pada ruminansia semua asam lemak dapat diserap. Biohidrogenasi asam linoleat berlangsung melalui isomerisasi yang menghasilkan konjugasi asam linoleat dan selanjutnya dihidrogenasi dan menghasilkan asam stearat. Namun, sebagian konjugasi asam linoleat terbebas dari hidrogenasi di dalam rumen, dan selanjutnya diserap oleh usus kecil, sehingga banyak terdapat di dalam daging dan air susu. Hidrolisis lemak telah terjadi di dalam rumen secara ekstensif, namun sekresi empedu dan enzim lipase dari pankreas tetap terjadi untuk menghidrolisis sebagian kecil lemak yang terbebas dari hidrolisis di dalam rumen. Hidrolisis juga diperlukan untuk mendegradasi lemak (fosfolipid) yang terdapat pada sel mikroba. Garam empedu sangat penting dalam mendisosiasi asam lemak yang terdapat pada partikel pakan. Sekresi pankreas mengandung lisolesitin yang berperan dalam menstabilkan dan melarutkan partikel lemak di dalam lumen usus kecil. Garam empedu dan lisolesitin menstimulasi pembentukan miselle untuk memudahkan absorbsi oleh sel epitel usus kecil.

D. Nutrisi Mineral

Kambing membutuhkan mineral untuk berbagai fungsi metabolik baik fungsi struktural maupun fungsi katalitik (kofaktor) dalam mengoptimalkan produksi. Fungsi ini mencakup aspek yang luas antara lain sebagai kofaktor dalam reaksi metabolik, pembawa protein, regulasi pencernaan, respirasi dan

Page 28: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

28

Nutrisi dan Pakan Kambing

keseimbangan cairan tubuh, reaksi otot, transmisi syaraf, kekuatan rangka tubuh dan keseimbangan elektrolit (Underwood dan Suttle 1999). Fungsi dan metabolisme mineral pada kambing pada prinsipnya serupa dengan ruminansia lainnya, namun terdapat beberapa aspek mineral yang spesifik untuk kambing seperti tingkat kebutuhan, batas defisiensi dan batas toksisitas. Taraf kebutuhan, batas defisiensi maupun toksisitas bervariasi antara lain menurut umur, jenis kelamin, dan tingkat produksi.

Berdasarkan kuantitas kebutuhan untuk fungsi metaboliknya mineral dikelompokkan menjadi mineral makro dan mineral mikro. Mineral makro (g/kg bahan kering pakan) yang dibutuhkan kambing adalah kalsium (Ca), fosfor (P), natrium (Na), klorium (Cl), kalium (K), magnesium (Mg) dan sulfur (S). Mineral mikro yang dibutuhkan dalam jumlah jauh lebih sedikit (mg/kg bahan kering pakan) adalah iodium (I), seng (Zn), mangan (Mn), kuprum (Cu), besi (Fe) selenium (Se), cobalt (Co), molybdenum (Mo), nikel (Ni), vanadium (Va), aluminium (Al), bromium (Br) dan lithium (Li). Keseimbangan profile mineral sangat penting diperhatikan, karena adanya interaksi yang kuat antar berbagai mineral. Interaksi tersebut merupakan salah satu penyebab penting terjadinya variasi ketersediaan mineral bagi ternak yang dapat menyebabkan gangguan absorbsi atau toksisitas dan berdampak kepada gangguan metabolik dan kesehatan. Misalnya, molibdenum (Mo) yang terlalu tinggi dapat menurunkan absorbsi kuprum (Cu), sehingga direkomendasikan rasio Cu/Mo dalam ransum kambing maksimal 2:1 (Steletta et al. 2008). Defisiensi mineral pada kambing dapat menyebabkan gejala yang non-spesifik seperti pertumbuhan lambat, nafsu makan menurun, produksi susu dan tingkat reproduksi yang rendah. Gejala spesifik akibat defisiensi mineral tertentu antara lain adalah anemia, dermatosis, deformasi kuku, goiter, bulu kasar, deformasi tulang, abortus dan tetany.

Suplai mineral dari tanaman pakan dipengaruhi oleh faktor iklim, tanah dan fase tumbuh dan fraksi tanaman (daun, batang)

Metabolisme Nutrisi

dan konsumsi. Terkait dengan kebutuhan kambing maka kebanyakan tanaman pakan cukup menyediakan kalium dan besi, tapi defisien natrium, kuprum, selenium dan yodium (Solaiman dan Owens 2010). Perubahan kandungan mineral dalam bahan pakan dan konsumsi yang besar dapat mengakibatkan defisiensi atau toksisitas mineral tertentu. Kambing yang digembalakan dan memiliki kesempatan untuk meramban untuk mengkonsumsi tanaman pakan yang lebih beragam dan berkualitas tinggi dapat mengurangi potensi terjadinya asupan mineral yang tidak seimbang, namun dalam sistem ‘cut and carry’ peluang terjadinya defisiensi atau toksisitas mineral tertentu lebih tinggi, sehingga perlu dikoreksi dengan suplementasi mineral.

E. Nutrisi Vitamin

Kambing membutuhkan vitamin untuk mengoptimalkan fungsi sistem fisiologis dalam memenuhi kebutuhan hidup pokok maupun produksi. Vitamin merupakan senyawa organik yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit, namun memiliki peran sangat penting dalam berbagai fungsi fisiologis dan mengkatalisis reaksi metabolisme. Vitamin yang larut dalam lemak (A, D, E dan K) harus dijamin tersedia di dalam ransum kambing, karena vitamin ini tidak dapat disintesis di dalam tubuh. Di antara keempat jenis vitamin tersebut di atas, vitamin yang paling sering defisien pada kambing adalah vitamin A dan vitamin D. Vitamin A tidak terkandung di dalam hijauan pakan ternak, namun mengandung karoten, terutama di dalam jaringan daun yang dapat dikonversi menjadi vitamin A di dalam tubuh kambing. Defisiensi vitamin ini dapat terjadi jika kambing diberikan pakan dalam bentuk jerami atau sisa tanaman lain, terutama yang telah dikeringkan atau hijauan yang mengalami kerusakan akibat iklim, hujan atau musim kemarau yang panjang. Kambing sebenarnya dapat menyimpan cadangan vitamin A di dalam jaringan hati sampai empat bulan, sehingga

Page 29: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

29

Metabolisme Nutrisi

dan konsumsi. Terkait dengan kebutuhan kambing maka kebanyakan tanaman pakan cukup menyediakan kalium dan besi, tapi defisien natrium, kuprum, selenium dan yodium (Solaiman dan Owens 2010). Perubahan kandungan mineral dalam bahan pakan dan konsumsi yang besar dapat mengakibatkan defisiensi atau toksisitas mineral tertentu. Kambing yang digembalakan dan memiliki kesempatan untuk meramban untuk mengkonsumsi tanaman pakan yang lebih beragam dan berkualitas tinggi dapat mengurangi potensi terjadinya asupan mineral yang tidak seimbang, namun dalam sistem ‘cut and carry’ peluang terjadinya defisiensi atau toksisitas mineral tertentu lebih tinggi, sehingga perlu dikoreksi dengan suplementasi mineral.

E. Nutrisi Vitamin

Kambing membutuhkan vitamin untuk mengoptimalkan fungsi sistem fisiologis dalam memenuhi kebutuhan hidup pokok maupun produksi. Vitamin merupakan senyawa organik yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit, namun memiliki peran sangat penting dalam berbagai fungsi fisiologis dan mengkatalisis reaksi metabolisme. Vitamin yang larut dalam lemak (A, D, E dan K) harus dijamin tersedia di dalam ransum kambing, karena vitamin ini tidak dapat disintesis di dalam tubuh. Di antara keempat jenis vitamin tersebut di atas, vitamin yang paling sering defisien pada kambing adalah vitamin A dan vitamin D. Vitamin A tidak terkandung di dalam hijauan pakan ternak, namun mengandung karoten, terutama di dalam jaringan daun yang dapat dikonversi menjadi vitamin A di dalam tubuh kambing. Defisiensi vitamin ini dapat terjadi jika kambing diberikan pakan dalam bentuk jerami atau sisa tanaman lain, terutama yang telah dikeringkan atau hijauan yang mengalami kerusakan akibat iklim, hujan atau musim kemarau yang panjang. Kambing sebenarnya dapat menyimpan cadangan vitamin A di dalam jaringan hati sampai empat bulan, sehingga

Page 30: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

30

Nutrisi dan Pakan Kambing

defisiensi pada waktu tertentu yang tidak terlalu lama dapat diatasi dengan melepas cadangan vitamin A.

Pada sistem produksi kambing yang terintegrasi dengan tanaman hortikultura, maupun dengan kelapa sawit kambing umumnya tidak digembalakan dan tetap di dalam kandang. Defisiensi vitamin D pada kambing berpotensi terjadi pada sistem ini, karena kambing perlu mendapatkan sinar matahari yang cukup untuk memungkinkan terjadinya sintesis vitamin D di dalam tubuh. Defisiensi vitamin D dapat mengganggu penyerapan mineral kalsium (Ca) yang berpotensi menyebabkan pertumbuhan tulang yang abnormal, seperti kasus rickets. Dalam kondisi seperti ini diperlukan suplemen vitamin D untuk memenuhi kebutuhan pokok dan produksi kambing. Vitamin K yang larut dalam lemak dapat disintesis di dalam rumen kambing oleh bakteri rumen, namun sintesis vitamin ini dapat terganggu oleh senyawa yang memiliki aktivitas anti vitamin K seperti coumarin (Solaiman dan Owen 2010). Vitamin yang larut dalam air (Vitamin B kompleks) dapat disintesis oleh bakteri di dalam rumen untuk memenuhi kebutuhan metabolik kambing. Namun, untuk sintesis cyanocobalamin (B12) diperlukan ketersediaan unsur mikro-mineral kobalt (Co) dan untuk sintesis thiamin (B1) dan biotin (B7) unsur sulfur (S). Dalam kondisi normal kebutuhan vitamin B kompleks dapat dipenuhi sendiri oleh kambing dari proses fermentasi di rumen. Namun, dalam kondisi tertentu seperti adanya cekaman, kondisi fisik yang lemah dan kasus penyakit suplai vitamin B mungkin tidak mencukupi kebutuhan dan perlu diberikan suplemen vitamin B kompleks. Defisiensi vitamin B1 dan B12 sering terjadi kambing, terutama akibat kekurangan unsur penyusunnya (Kawas et al. 2012). Vitamin C yang juga larut di dalam air dapat disintesis di dalam jaringan tubuh dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme.

Page 31: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

31

Nutrisi dan Pakan Kambing

defisiensi pada waktu tertentu yang tidak terlalu lama dapat diatasi dengan melepas cadangan vitamin A.

Pada sistem produksi kambing yang terintegrasi dengan tanaman hortikultura, maupun dengan kelapa sawit kambing umumnya tidak digembalakan dan tetap di dalam kandang. Defisiensi vitamin D pada kambing berpotensi terjadi pada sistem ini, karena kambing perlu mendapatkan sinar matahari yang cukup untuk memungkinkan terjadinya sintesis vitamin D di dalam tubuh. Defisiensi vitamin D dapat mengganggu penyerapan mineral kalsium (Ca) yang berpotensi menyebabkan pertumbuhan tulang yang abnormal, seperti kasus rickets. Dalam kondisi seperti ini diperlukan suplemen vitamin D untuk memenuhi kebutuhan pokok dan produksi kambing. Vitamin K yang larut dalam lemak dapat disintesis di dalam rumen kambing oleh bakteri rumen, namun sintesis vitamin ini dapat terganggu oleh senyawa yang memiliki aktivitas anti vitamin K seperti coumarin (Solaiman dan Owen 2010). Vitamin yang larut dalam air (Vitamin B kompleks) dapat disintesis oleh bakteri di dalam rumen untuk memenuhi kebutuhan metabolik kambing. Namun, untuk sintesis cyanocobalamin (B12) diperlukan ketersediaan unsur mikro-mineral kobalt (Co) dan untuk sintesis thiamin (B1) dan biotin (B7) unsur sulfur (S). Dalam kondisi normal kebutuhan vitamin B kompleks dapat dipenuhi sendiri oleh kambing dari proses fermentasi di rumen. Namun, dalam kondisi tertentu seperti adanya cekaman, kondisi fisik yang lemah dan kasus penyakit suplai vitamin B mungkin tidak mencukupi kebutuhan dan perlu diberikan suplemen vitamin B kompleks. Defisiensi vitamin B1 dan B12 sering terjadi kambing, terutama akibat kekurangan unsur penyusunnya (Kawas et al. 2012). Vitamin C yang juga larut di dalam air dapat disintesis di dalam jaringan tubuh dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme.

Metabolisme Nutrisi

F. Interaksi Energi-Protein

Produktivitas ternak merupakan hasil dinamika metabolisme nutrisi yang menghasilkan keseimbangan yang optimal antara ketersediaan nutrisi (asam amino) dan energi dengan kebutuhan ternak pada berbagai status fisiologis, seperti tumbuh, bunting dan laktasi. Untuk mencapai keseimbangan optimal tersebut berbagai substansi dan substrat dapat diarahkan dan saling dipertukarkan melalui berbagai reaksi kimiawi yang kompleks. Pusat simpul dalam dinamika metabolisme nutrisi ini adalah siklus TCA. TCA berperan dalam dua hal penting dan strategis yaitu sebagai rute untuk menghasilkan energi melalui proses oksidatif dan sebagai penyedia berbagai produk antara dalam proses interkonversi kerangka atom karbon dari lemak, protein dan metabolit glikogenik (MacRae dan Lobley 1984). Integrasi dan dinamika metabolisme nutrisi ini menjadi lebih kompleks pada ternak ruminansia dengan adanya proses fermentasi rumen yang menyebabkan konversi nutrisi dalam bahan pakan menjadi substrat sumber utama energi dan protein (asam amino) bagi ternak. Dengan demikian, pengaruh suplai energi terhadap metabolisme protein pada ruminanisa terjadi melalui dua aspek yaitu: (i) sintesis asam amino dan transformasinya selama proses fermentasi di dalam rumen; dan (ii) metabolisme asam amino di dalam jaringan atau sel tubuh ternak setelah diserap dari saluran cerna.

Pada tingkat retikulo-rumen terjadi dua proses yang saling terkait yaitu bahwa pertumbuhan dan perkembangan mikroba tergantung pada fermentasi substrat penghasil energi dan fermentasi substrat disebabkan oleh aktivitas mikroba yang berkembang. Suplai nitrogen ke dalam rumen menentukan konsentrasi amonia, dan akan memacu pertumbuhan mikroba sampai batas kebutuhan nitrogennya terpenuhi. Kebutuhan mikroba rumen akan nitrogen dapat disuplai dari protein dan senyawa nitrogen bukan protein pakan serta nitrogen endogen. Taraf kebutuhan nitrogen mikroba dibatasi oleh ketersediaan

Page 32: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

32

Nutrisi dan Pakan Kambing

energi (ATP) terutama dari degradasi dan fermentasi substrat karbohidrat di dalam rumen. Selain sebagai sumber energi, substrat penghasil energi juga penting sebagai sumber kerangka karbon untuk sintesis asam amino dan sintesis protein sel mikroba rumen.

Peran ketersediaan energi fermentasi terhadap produksi asam amino dalam sel mikroba semakin penting pada situasi kambing diberi pakan berkualitas rendah dengan ciri kandungan lignoselulosa yang tinggi serta rendah nitrogen. Dalam situasi ini yang menjadi faktor pembatas perkembangan mikroba adalah ketersediaan energi. Senyawa N yang terdapat dalam bahan pakan tersebut umumnya mudah dan cepat larut (Reid 1994), sehingga tersedia untuk mendukung fermentasi bahan pakan di dalam rumen. Namun, kandungan lignoselulosa yang tinggi menyebabkan ketersediaan energi terhambat. Ketersediaan energi dan protein yang tidak sinkron menyebabkan produksi protein mikroba terhambat. Penelitian Soto-Navarro et al. (2003) menunjukkan produksi protein mikroba yang tinggi dalam rumen kambing yang diberi asupan protein rendah (93-96 g PK/kg BK pakan). Produksi protein mikroba yang tinggi dapat dipertahankan karena dua hal yaitu adanya mobilisasi cadangan protein dari jaringan periferi yang meningkatkan suplai nitrogen di dalam rumen, dan tersedianya energi yang tinggi dengan pemberian konsentrat tinggi. Hasil penelitian ini mengindikasikan kemampuan kambing yang baik dalam memobilisasi cadang nitrogen tubuh untuk mengatasi asupan protein yang rendah. Namun, manfaat daur ulang nitrogen tersebut hanya dapat dicapai dengan tersedianya energi bagi mikroba untuk mensintesis protein. Ini merupakan strategi metabolisme yang penting, karena memungkinkan efisiensi dan tingkat produksi protein mikroba yang tinggi dalam mengatasi terbatasnya asupan nitrogen dari pakan yang sering terjadi dalam sistem produksi.

Page 33: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

33

Nutrisi dan Pakan Kambing

energi (ATP) terutama dari degradasi dan fermentasi substrat karbohidrat di dalam rumen. Selain sebagai sumber energi, substrat penghasil energi juga penting sebagai sumber kerangka karbon untuk sintesis asam amino dan sintesis protein sel mikroba rumen.

Peran ketersediaan energi fermentasi terhadap produksi asam amino dalam sel mikroba semakin penting pada situasi kambing diberi pakan berkualitas rendah dengan ciri kandungan lignoselulosa yang tinggi serta rendah nitrogen. Dalam situasi ini yang menjadi faktor pembatas perkembangan mikroba adalah ketersediaan energi. Senyawa N yang terdapat dalam bahan pakan tersebut umumnya mudah dan cepat larut (Reid 1994), sehingga tersedia untuk mendukung fermentasi bahan pakan di dalam rumen. Namun, kandungan lignoselulosa yang tinggi menyebabkan ketersediaan energi terhambat. Ketersediaan energi dan protein yang tidak sinkron menyebabkan produksi protein mikroba terhambat. Penelitian Soto-Navarro et al. (2003) menunjukkan produksi protein mikroba yang tinggi dalam rumen kambing yang diberi asupan protein rendah (93-96 g PK/kg BK pakan). Produksi protein mikroba yang tinggi dapat dipertahankan karena dua hal yaitu adanya mobilisasi cadangan protein dari jaringan periferi yang meningkatkan suplai nitrogen di dalam rumen, dan tersedianya energi yang tinggi dengan pemberian konsentrat tinggi. Hasil penelitian ini mengindikasikan kemampuan kambing yang baik dalam memobilisasi cadang nitrogen tubuh untuk mengatasi asupan protein yang rendah. Namun, manfaat daur ulang nitrogen tersebut hanya dapat dicapai dengan tersedianya energi bagi mikroba untuk mensintesis protein. Ini merupakan strategi metabolisme yang penting, karena memungkinkan efisiensi dan tingkat produksi protein mikroba yang tinggi dalam mengatasi terbatasnya asupan nitrogen dari pakan yang sering terjadi dalam sistem produksi.

IV. SISTEM ALOKASI DAN EVALUASI PAKAN

A. Alokasi pakan

Alokasi pakan menyangkut sitem logistik dan terdiri dari aspek kuantitatif, kualitatif, frekuensi, waktu pemberian pakan dan formulasi pakan. Sistem ini melibatkan tiga komponen utama yaitu ternak, pakan dan agro-ekosistemnya. Oleh karena itu, idealnya sistem alokasi pakan yang responsif dan prediktif seharusnya merupakan sistem yang dinamis dan dibangun melalui pendekatan model yang lebih mekanistik dan deterministik. Prinsip dan konsep sistem alokasi pakan yang saat ini lebih luas diterapkan adalah sistem feeding standard dan sistem feed budget (Gambar 5), walaupun kedua prinsip alokasi pakan ini pada dasarnya bersifat empiris dan cenderung statis. Prinsip feeding standard merupakan pendekatan alokasi pakan yang menempatkan kebutuhan nutrisi ternak untuk mencapai tingkat produksi tertentu sebagai dasar atau target alokasi pakan. Oleh karena itu, baik jumlah, kualitas serta formulasi atau komposisi pakan diramu sedemikian rupa untuk memenuhi kriteria tersebut di atas.

Gambar 5. Prinsip pendekatan alokasi pakan dalam sistem integrasi ternak-tanaman (P) berdasarkan daya dukung pakan (feed budget) dan kapasitas genetik ternak (feeding standard)

Daya dukung pakan

Kapasitas genetik

Feed budget

Feeding standard P

Page 34: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

34

Nutrisi dan Pakan Kambing

Pendekatan ini mengasumsikan bahwa yang menjadi faktor pembatas adalah target produksi atau kapasitas produksi (genetik) ternak serta biaya pakan, sedangkan ketersediaan pakan, baik kuantitas maupun kualitas merupakan faktor yang tidak terbatas (Schiere dan de Wit 1993). Sistem ini menuntut adanya data set menyangkut kebutuhan nutrisi ternak dan kualitas nutrisi bahan pakan serta tingkat konsumsi pakan secara akurat dan pada tingkat variasi rendah. Dengan demikian, sistem feeding standard dianggap relevan pada sistem produksi dengan ciri input produksi tinggi (high input system) dan menempatkan ternak sebagai komponen utama atau tunggal dalam sistem produksi. Hal seperti ini terjadi pada usaha produksi unggas, babi, sapi perah dan usaha penggemukan (feedlot) yang dikelola secara komersial dan intensif.

Pada sistem produksi dengan ciri input produksi rendah (low-input system), relevansi pendekatan feeding standard sering dipertanyakan (Jackson 1981). Dalam sistem produksi ini target produksi ternak dapat sangat berbeda dibandingkan dengan pada sistem input produksi tinggi. Disamping itu, sebagai komponen sekunder di dalam sistem produksi, seperti halnya pada sistem integrasi ternak-tanaman, maka tingkat produksi ternak tidak selalu relevan bila ditargetkan menurut kapasitas produksi (genetik). Keterbatasan pakan secara kuantitas maupun kualitas serta keragaman nutrisi yang tinggi serta tingkat konsumsi pakan yang sulit diprediksi menyebabkan pakan menjadi faktor pembatas utama. Oleh karena itu, penggunaan pendekatan feeding standard pada sistem produksi dengan input rendah, maksimal berfungsi sebagai alat yang secara fleksibel dapat membantu arah pengelolaan pakan. Namun, penggunaan feeding standard pada sistem produksi input rendah dapat ditingkatkan apabila diadaptasikan dengan kondisi agro-ekosistem tertentu yang spesifik (Schiere dan de Wit 1993).

Pendekatan yang dianggap lebih sesuai pada sistem produksi dengan input rendah adalah prinsip feed budget. Pendekatan ini

Page 35: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

35

Sistem Alokasi dan Evaluasi Pakan

menempatkan pakan sebagai faktor pembatas dan bukan kapasitas produksi ternak, sehingga target produksi ditentukan menurut potensi ketersediaan pakan dan bukan berdasarkan kapasitas genetiknya. Dalam sistem feed budget basis pakan dikembangkan berdasarkan semua potensi sumber pakan yang mungkin tersedia disuatu agro-ekosistem atau unit usaha tani. Sumber pakan dapat merupakan hijauan pakan lokal maupun introduksi, hasil sisa tanaman ataupun hasil samping pengolahan produk tanaman. Dengan membangun basis pakan yang terkait dengan waktu ketersediaannya, maka dapat disusun kalender tahunan pakan yang sekaligus akan memberikan informasi tentang potensi terjadinya defisit atau surplus pakan. Dengan demikian, eksplorasi dan karakterisasi berbagai potensi sumber pakan penting dilakukan pada suatu sistem atau usaha tani, sehingga basis pakan yang diperoleh lebih akurat dalam memprediksi potensi besarnya kesenjangan atau surplus pakan. Fluktuasi atau variasi ketersediaan bahan pakan dari berbagai sumber tidak hanya terjadi dalam kurun waktu satu tahun kalender pakan, tapi juga antar tahun kalender. Oleh karena itu, intervensi manajemen tetap perlu dilakukan untuk mengantisipasi potensi defisit ataupun surplus pakan. Pendekatan yang dilakukan dapat bersifat taktis ataupun strategis tergantung kepada pola fluktuasi ketersediaan pakan. Menurut Bell (2009) jika pola fluktuasi ketersediaan pakan menyangkut waktu ketersediaan dan besarannya lebih sulit diprediksi, maka pendekatan taktis mungkin lebih sesuai diterapkan untuk mengatasi defisit atau surplus pakan.

Intervensi manajemen yang dapat dilakukan antara lain adalah dengan mengurangi atau menambah stok ternak yang dipelihara, penyesuaian pola tanam, diversifikasi pakan (introduksi tanaman pakan alternatif), konservasi pakan (cadangan areal penggembalaan, silase, prosesing fisik). Pendekatan taktis ini dapat dilakukan apabila tingkat fluktuasi defisit atau surplus pakan tidak terlalu tinggi dan polanya teratur. Intervensi manajemen

Page 36: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

36

Nutrisi dan Pakan Kambing

pakan yang bersifat strategis dapat dilakukan dengan mengarahkan pembentukan struktur basis pakan yang dapat memadukan antara periode saat ketersediaan pakan dengan kebutuhan nutrisi ternak (laktasi, bunting tua, sapih) maksimal.

B. Evaluasi Pakan

Potensi ketersediaan pakan pada suatu kawasan tertentu penting dikarakterisasi baik secara kualitatif maupun kuantitaif. Berbagai jenis produk mungkin digunakan sebagai bahan pakan di berbagai ekosistem, namun kualitasnya penting diidentifikasi untuk mengetahui potensinya. Karakterisasi kualitatif bertujuan untuk mengevaluasi dan mengetahui kualitas nutrisi yang selanjutnya dapat digunakan dalam memprediksi respons ternak yang mengkonsumsinya. Informasi kualitatif diperlukan oleh karena performa sangat dipengaruhi oleh jumlah bahan kering yang dapat dicerna dari suatu bahan pakan yang dapat dikonsumsi oleh ternak. Jumlah bahan kering dapat dicerna yang dikonsumsi merupakan hasil perkalian antara tingkat kecernaan dan tingkat konsumsi pakan.

Tingkat kecernaan merupakan karakteristik bahan pakan itu sendiri, sedangkan konsumsi lebih merupakan faktor ternak. Oleh karena itu, kualitas suatu bahan pakan tidak hanya ditentukan oleh karakteristik bahan itu sendiri (nilai nutrisi), namun juga sangat ditentukan oleh faktor ternak (konsumsi). Sementara nilai nutrisi tidak hanya ditentukan oleh kecernaan, tetapi juga oleh komposisi kimiawi (konsentrasi nutrisi tersedia maupun yang tidak tersedia) dan komposisi produk yang dihasilkan oleh proses pencernaan. Konsumsi merupakan fenomena yang lebih kompleks dan dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain palatabilitas, akses ternak terhadap pakan, waktu tahan pakan di dalam saluran cerna, dan kebutuhan metabolik dan fisiologik ternak. Intensitas evaluasi komposisi kimiawi bahan pakan bervariasi menurut banyaknya unsur nutrisi yang dapat dikarakterisisasi

Page 37: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

37

Nutrisi dan Pakan Kambing

pakan yang bersifat strategis dapat dilakukan dengan mengarahkan pembentukan struktur basis pakan yang dapat memadukan antara periode saat ketersediaan pakan dengan kebutuhan nutrisi ternak (laktasi, bunting tua, sapih) maksimal.

B. Evaluasi Pakan

Potensi ketersediaan pakan pada suatu kawasan tertentu penting dikarakterisasi baik secara kualitatif maupun kuantitaif. Berbagai jenis produk mungkin digunakan sebagai bahan pakan di berbagai ekosistem, namun kualitasnya penting diidentifikasi untuk mengetahui potensinya. Karakterisasi kualitatif bertujuan untuk mengevaluasi dan mengetahui kualitas nutrisi yang selanjutnya dapat digunakan dalam memprediksi respons ternak yang mengkonsumsinya. Informasi kualitatif diperlukan oleh karena performa sangat dipengaruhi oleh jumlah bahan kering yang dapat dicerna dari suatu bahan pakan yang dapat dikonsumsi oleh ternak. Jumlah bahan kering dapat dicerna yang dikonsumsi merupakan hasil perkalian antara tingkat kecernaan dan tingkat konsumsi pakan.

Tingkat kecernaan merupakan karakteristik bahan pakan itu sendiri, sedangkan konsumsi lebih merupakan faktor ternak. Oleh karena itu, kualitas suatu bahan pakan tidak hanya ditentukan oleh karakteristik bahan itu sendiri (nilai nutrisi), namun juga sangat ditentukan oleh faktor ternak (konsumsi). Sementara nilai nutrisi tidak hanya ditentukan oleh kecernaan, tetapi juga oleh komposisi kimiawi (konsentrasi nutrisi tersedia maupun yang tidak tersedia) dan komposisi produk yang dihasilkan oleh proses pencernaan. Konsumsi merupakan fenomena yang lebih kompleks dan dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain palatabilitas, akses ternak terhadap pakan, waktu tahan pakan di dalam saluran cerna, dan kebutuhan metabolik dan fisiologik ternak. Intensitas evaluasi komposisi kimiawi bahan pakan bervariasi menurut banyaknya unsur nutrisi yang dapat dikarakterisisasi

Sistem Alokasi dan Evaluasi Pakan

dalam suatu bahan pakan. Untuk tujuan efisiensi, maka intensitas evaluasi komposisi kimiawi perlu diselaraskan dengan karakteristik bahan pakan yang tersedia; lemak misalnya sangat sedikit terdapat pada tanaman.

Metodologi Evaluasi Pakan Lokal

Pengembangan suatu bahan agar layak secara teknis dan ekonomis digunakan sebagai alternatif baru pakan membutuhkan serangkaian langkah analisis (Gambar 6). Langkah awal adalah observasi dan identifikasi secara kuantitas dan logistik (pola ketersediaan, distribusi dan sentra produksi). Analisis kimiawi diperlukan untuk mengevaluasi profil kandungan zat gizi, dan mengindetifikasi klasifikasinya sebagai sumber nutrisi tertentu (protein, energi, mineral).

Sifat fisik yang perlu dievaluasi antara lain adalah keambaan, kapasitas mengikat kation, karakter serat, ukuran partikel. Karakter fisik ini diperlukan terutama dalam pengembangan pakan komplit komersial yang membutuhkan karakter fisik tertentu untuk menghasilkan tekstur pelet yang baik. Untuk bahan pakan lokal, informasi karakter fisik masih sangat terbatas sementara kecenderungan menggunakan pakan komplit diperkirakan akan semakin kuat di waktu yang akan datang. Evaluasi profil asam amino dan studi fisiologis pencernaan dan metabolisme diperlukan untuk melihat potensi nutrisi secara lebih mendasar dan secara in vivo. Rangkaian analisis tersebut akan bermuara kepada optimasi penggunaan bahan, baik sebagai pakan dasar maupun suplemen atau komponen konsentrat. Analisis optimasi akan menghasilkan informasi ada tidaknya faktor penolakan (rejection) oleh ternak. Informasi ini akan menuntun ke arah evaluasi kemungkinan adanya faktor anti nutrisi atau faktor fisik yang memerlukan penanganan tertentu atau perlunya suplementasi khusus agar nutrien yang tersedia secara kuantitatif cukup dan secara proporsional seimbang. Langkah berikutnya adalah evaluasi

Page 38: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

38

Nutrisi dan Pakan Kambing

Gambar 6. Skema pengembangan dan evaluasi pakan alternatif (dimodifkasi dari Gomez 1983)

Koleksi sampel

Koleksi Sampel

Observasi dan identifikasi bahan pakan

Kuantitas dan logistik

Analisis kimiawi

Analisis proksimat

Evaluasi sumber protein

Evaluasi sumber energi

Uji in vivo: konsumsi, kecernaan, fermentasi rumen,metabolisme

Sistem deterjen

Profil mineral

Analisis fisik

Daya ikat air

Berat jenis

Kerapatan

Profil asam amino

Protein sejati NPN

Evaluasi kecernaan in vitro

Evaluasi sumber mineral

Optimasi level penggunaan/formula pakan

Evaluasi penolakan/pembatas

Anti nutrisi Prosesing Suplementasi

Uji performa: laboratorium

Uji performa: lapang/adaptif

Evaluasi ekonomik; formulasi ransum

Status bahan pakan

Page 39: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

39

Nutrisi dan Pakan Kambing

Gambar 6. Skema pengembangan dan evaluasi pakan alternatif (dimodifkasi dari Gomez 1983)

Koleksi sampel

Koleksi Sampel

Observasi dan identifikasi bahan pakan

Kuantitas dan logistik

Analisis kimiawi

Analisis proksimat

Evaluasi sumber protein

Evaluasi sumber energi

Uji in vivo: konsumsi, kecernaan, fermentasi rumen,metabolisme

Sistem deterjen

Profil mineral

Analisis fisik

Daya ikat air

Berat jenis

Kerapatan

Profil asam amino

Protein sejati NPN

Evaluasi kecernaan in vitro

Evaluasi sumber mineral

Optimasi level penggunaan/formula pakan

Evaluasi penolakan/pembatas

Anti nutrisi Prosesing Suplementasi

Uji performa: laboratorium

Uji performa: lapang/adaptif

Evaluasi ekonomik; formulasi ransum

Status bahan pakan

Sistem Alokasi dan Evaluasi Pakan

performa pada skala laboratorium, dan selanjutnya divalidasi di lapang dalam skala yang lebih besar. Validasi lapang sudah mencakup analisis ekonomis dengan formulasi ransum yang efisien dan kompetitif. Kandungan dan profil mineral bahan baku penting untuk dianalisis, terutama untuk bahan pakan bukan merupakan pakan tradisional untuk kambing. Bahan pakan ini dapat merupakan tanaman pakan maupun hasil sisa tanaman dan hasil ikutan industri pengolahan pertanian. Informasi ini penting dalam menentukan strategi suplementasi yang bertujuan untuk mengoptimalkan produksi.

Evaluasi kimiawi untuk bahan pakan yang mengandung serat tinggi sebaiknya juga disertai dengan analisis berdasarkan komponen sel bahan pakan yang dapat menggambarkan potensi ketersediaan nutrisi yang terkandung di dalamnya. Evaluasi ini dilakukan dengan mengelompokkan komponen nutrisi ke dalam kelompok struktural yang menyusun dinding sel tanaman atau bahan pakan (cell wall) dan kelompok yang merupakan isi sel (cell contents) bahan pakan (Gambar 7).

Gambar 7. Dinding sel (struktural) dan isi sel merupakan komponen sel tanaman dan bahan pakan yang menentukan kualitas nutrisi bahan pakan pada ruminansia. (dimodifikasi dari Fisher et al. 1995)

Dinding sel

Isi sel

Page 40: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

40

Nutrisi dan Pakan Kambing

Dinding sel terutama terdiri dari karbohidrat struktural (selulosa, hemiselulosa) lignin, tannin, kutin dan silika. Karbohidrat struktural hanya dapat dihidrolisis oleh enzim yang dihasilkan oleh mikroba di dalam rumen dan merupakan substrat yang berperan besar dalam menyediakan energi bagi ternak kambing. Ikatan kimiawi kovalen antara karbohidrat struktural dengan lignin membuat hidrolisis karbohidrat secara enzimatis menjadi lebih sulit, sehingga mempengaruhi taraf kecernaan maupun konsumsi. Isi sel pada tanaman dan bahan pakan terdiri dari pati, lemak, protein, pektin, asam organik, vitamin dan mineral yang relatif mudah larut dan lebih mudah dicerna, sehingga lebih tersedia bagi kambing dibandingkan dengan komponen dinding sel (Tabel 1).

Tabel 1. Nutrien yang terdapat pada isi dan dinding sel serta ketersediaan dan faktor pembatas pemanfaatannya (adaptasi dari Fisher et al. 1995)

Komponen Ketersediaan Faktor pembatas dalam penggunaannya

Isi sel Karbohidrat larut 100% Konsumsi Pati >90% Konsumsi dan laju alir pakan dalam

rumen Asam organik 100% Konsumsi dan toksisitas Protein >90% Fermentasi rumen dan konversi

menjadi amonia Pektin >98% Konsumsi dan laju alir pakan dalam

rumen Trigliserida >90% Konsumsi dan laju alir pakan dalam

rumen Glikolipid >90% Konsumsi dan laju alir pakan dalam

rumen Dinding sel

Selulosa Bervariasi Ikatan dengan lignin, kutin dan silika Hemiselulosa Bervariasi Ikatan dengan lignin, kutin dan silika Lignin, kutin Tidak tersedia Tidak terdegradasi di dalam rumen Tannin Terbatas Sulit terdegradasi di dalam rumen

Page 41: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

41

Nutrisi dan Pakan Kambing

Dinding sel terutama terdiri dari karbohidrat struktural (selulosa, hemiselulosa) lignin, tannin, kutin dan silika. Karbohidrat struktural hanya dapat dihidrolisis oleh enzim yang dihasilkan oleh mikroba di dalam rumen dan merupakan substrat yang berperan besar dalam menyediakan energi bagi ternak kambing. Ikatan kimiawi kovalen antara karbohidrat struktural dengan lignin membuat hidrolisis karbohidrat secara enzimatis menjadi lebih sulit, sehingga mempengaruhi taraf kecernaan maupun konsumsi. Isi sel pada tanaman dan bahan pakan terdiri dari pati, lemak, protein, pektin, asam organik, vitamin dan mineral yang relatif mudah larut dan lebih mudah dicerna, sehingga lebih tersedia bagi kambing dibandingkan dengan komponen dinding sel (Tabel 1).

Tabel 1. Nutrien yang terdapat pada isi dan dinding sel serta ketersediaan dan faktor pembatas pemanfaatannya (adaptasi dari Fisher et al. 1995)

Komponen Ketersediaan Faktor pembatas dalam penggunaannya

Isi sel Karbohidrat larut 100% Konsumsi Pati >90% Konsumsi dan laju alir pakan dalam

rumen Asam organik 100% Konsumsi dan toksisitas Protein >90% Fermentasi rumen dan konversi

menjadi amonia Pektin >98% Konsumsi dan laju alir pakan dalam

rumen Trigliserida >90% Konsumsi dan laju alir pakan dalam

rumen Glikolipid >90% Konsumsi dan laju alir pakan dalam

rumen Dinding sel

Selulosa Bervariasi Ikatan dengan lignin, kutin dan silika Hemiselulosa Bervariasi Ikatan dengan lignin, kutin dan silika Lignin, kutin Tidak tersedia Tidak terdegradasi di dalam rumen Tannin Terbatas Sulit terdegradasi di dalam rumen

Sistem Alokasi dan Evaluasi Pakan

Secara biologis evaluasi berdasarkan komponen penyusun sel tanaman atau bahan pakan ini lebih berkorelasi dengan respons kambing, karena terkait langsung dengan konsumsi dan kecernaan. Industri agro, terutama perkebunan kelapa sawit, kakao dan industri pengolahan hortikultura menjadi produk pangan merupakan salah satu sumber bahan pakan alternatif yang potensial. Oleh karena itu, dalam proses pengembangan suatu jenis pakan baru akan menjadi efektif, apabila produsen bahan turut disertakan dalam rangkaian kegiatan analisis tersebut. Tergantung kepada minat dan interest mitra, maka keterlibatan produsen paling tidak sudah terlihat pada tahap analisis optimasi pada skala laboratorium. Pendekatan ini akan mempercepat proses pengembangan produk ke pasar setelah hasil penelitian menunjukkan prospek yang baik. Dalam mengembangkan pakan alternatif tersebut sangat penting melihat kemungkinan penggunaannya untuk keperluan lain selain untuk pakan (opportunity cost). Banyak bahan berupa hasil sisa, produk samping atau limbah tanaman maupun industri agro dapat digunakan untuk keperluan lain yang mungkin saja lebih ekonomis dibandingkan dengan sebagai pakan ternak. Beberapa kemungkinan untuk penggunaan bukan pakan adalah: (1) materi perbaikan kondisi tanah (kesuburan, aerasi, infiltrasi dan penyimpanan air); (2) materi konversi biologis untuk menghasilkan ethanol dari bahan sisa tanaman dengan kandungan serat tinggi (ligno-selulosa); (3) materi untuk menghasilkan karbon aktif; dan (4) penggunaan sisa tanaman sebagai bahan bakar untuk pemanas seperti boiler dalam bebagai industri yang semakin meningkat (Kumar et al. 2002). Proses konversi materi berserat tinggi menjadi etanol saat ini masih menghadapi tantangan dalam hal biaya tinggi terutama untuk menghasilkan enzim pemecah serat, disamping kandungan senyawa pentosa yang relatif tinggi, sehingga lebih sulit difermentasi menjadi ethanol (Hahn-Hagerdal et al. 1988). Namun, proses ini akan menjadi saingan yang kuat terhadap penggunaan sebagai pakan, apabila pada saatnya secara ekonomis layak untuk dikembangkan.

Page 42: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

42

V. PRINSIP DAN STRATEGI SUPLEMENTASI

A. Prinsip

Dalam sistem integrasi kambing dengan tanaman dimana pendekatan alokasi pakan berdasarkan prinsip feed budget sering menjadi pilihan terbaik, maka aspek suplementasi merupakan salah satu komponen sangat strategis dalam manajemen nutrisi dan pakan. Kelimpahan pakan dasar berupa hasil samping tanaman dan hasil ikutan agro industri ataupun tanaman pakan dalam sistem integrasi tidak selalu disertai dengan kualitas nutrisi yang memadai untuk mendukung produksi ternak. Komposisi kimiawi bahan pakan tersebut umumnya didominasi oleh karbohidrat struktural dengan konsentrasi antara 40-70%, sedangkan taraf kecernaan bahan kering tergolong rendah sampai sedang (40-55%). Kandungan nitrogen umumnya rendah dan hanya mampu memenuhi kebutuhan minimal untuk perkembangan mikroba rumen. Kandungan nitrogen cukup memadai pada tanaman pakan jenis graminae (7-11%), namun konsentrasinya menurun cepat sejalan dengan bertambahnya umur tanaman. Disamping itu, unsur mineral makro dan mikro tidak selalu seimbang akibat adanya defisiensi mineral tertentu yang terkait dengan profil mineral tanah. Kondisi nutrisi seperti ini dapat berakibat kepada rendahnya konsumsi dan efisiensi penggunaan pakan pada ternak.

Suplementasi unsur nutrisi strategis merupakan salah satu metode efektif untuk memperbaiki kondisi nutrisi yang marginal. Suplementasi berdampak kepada peningkatan asupan dan kecernaan nutrien untuk mendukung taraf produksi yang lebih tinggi. Suplementasi yang ideal diharapkan memiliki pengaruh terhadap peningkatan konsumsi dan kecernaan pakan dasar (efek aditif). Perubahan konsumsi akibat suplementasi terjadi melalui perubahan kecernaan dan laju alir pakan dalam saluran cerna terkait dengan adanya tambahan asupan nutrisi yang memiliki

Page 43: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

43

V. PRINSIP DAN STRATEGI SUPLEMENTASI

A. Prinsip

Dalam sistem integrasi kambing dengan tanaman dimana pendekatan alokasi pakan berdasarkan prinsip feed budget sering menjadi pilihan terbaik, maka aspek suplementasi merupakan salah satu komponen sangat strategis dalam manajemen nutrisi dan pakan. Kelimpahan pakan dasar berupa hasil samping tanaman dan hasil ikutan agro industri ataupun tanaman pakan dalam sistem integrasi tidak selalu disertai dengan kualitas nutrisi yang memadai untuk mendukung produksi ternak. Komposisi kimiawi bahan pakan tersebut umumnya didominasi oleh karbohidrat struktural dengan konsentrasi antara 40-70%, sedangkan taraf kecernaan bahan kering tergolong rendah sampai sedang (40-55%). Kandungan nitrogen umumnya rendah dan hanya mampu memenuhi kebutuhan minimal untuk perkembangan mikroba rumen. Kandungan nitrogen cukup memadai pada tanaman pakan jenis graminae (7-11%), namun konsentrasinya menurun cepat sejalan dengan bertambahnya umur tanaman. Disamping itu, unsur mineral makro dan mikro tidak selalu seimbang akibat adanya defisiensi mineral tertentu yang terkait dengan profil mineral tanah. Kondisi nutrisi seperti ini dapat berakibat kepada rendahnya konsumsi dan efisiensi penggunaan pakan pada ternak.

Suplementasi unsur nutrisi strategis merupakan salah satu metode efektif untuk memperbaiki kondisi nutrisi yang marginal. Suplementasi berdampak kepada peningkatan asupan dan kecernaan nutrien untuk mendukung taraf produksi yang lebih tinggi. Suplementasi yang ideal diharapkan memiliki pengaruh terhadap peningkatan konsumsi dan kecernaan pakan dasar (efek aditif). Perubahan konsumsi akibat suplementasi terjadi melalui perubahan kecernaan dan laju alir pakan dalam saluran cerna terkait dengan adanya tambahan asupan nutrisi yang memiliki

Prinsip dan strategi suplementasi

efek kuat bagi efisiensi metabolisme. Pengaruh aditif dimungkinkan apabila suplemen yang digunakan memiliki sifat katalisis yaitu dengan penggunaan bahan dalam jumlah sedikit, namun mampu meningkatkan efisiensi penggunaan pakan dasar (Cronjé 1990). Penggunaan suplemen dalam jumlah relatif banyak menghilangkan sifat katalisisnya dan dapat menimbulkan efek substitutif (nonaditif). Pengaruh tersebut biasanya terkait dengan perubahan lingkungan ekosistem di dalam rumen, seperti turunnya pH rumen yang mengganggu proses pencernaan karbohidrat struktural (selulolisis). Ambang batas penggunaan suplemen untuk mencegah efek substitutif bervariasi dan tergantung kepada jenis bahan serta karakteristik nutrisinya.

Respons kambing terhadap pemberian suplemen protein dipengaruhi oleh kandungan protein dalam pakan basal yang digunakan. Respons yang tinggi dapat terjadi apabila kandungan protein pakan dasar <7% yang merupakan batas minimum untuk memenuhi kebutuhan nitrogen bagi pertumbuhan dan daur ulang mikroba rumen. Tingkat protein yang rendah menyebabkan suplai nitrogen menjadi faktor pembatas utama (first limiting factor) bagi konsumsi dan kecernaan. Peningkatan asupan nitrogen melalui suplemen protein selalu dapat meningkatkan kecernaan komponen serat dalam pakan dasar oleh aktivitas mikroba pemecah serat yang tumbuh dengan baik akibat terpenuhinya kebutuhan akan nitrogen.

Ternak memiliki kapasitas untuk memobilisasi cadangan lemak tubuh sebagai sumber energi yang efektif untuk mendeposit protein selama asupan protein yang diterima dari pakan mencukupi (Ǿrskov 2002). Fenomena ini dapat dimanfaatkan dalam menghadapi situasi pakan yang sangat fluktuatif baik kuantitatif maupun kualitatif. Pada saat ketersediaan pakan melimpah dan dengan kualitas baik, ternak dipelihara untuk memaksimalkan produksi serta menjamin terjadinya deposisi cadangan lemak tubuh. Pada saat ketersediaan pakan sangat terbatas, cadangan lemak selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk mempertahankan bobot tubuh atau bahkan dapat menghasilkan

Page 44: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

44

Nutrisi dan Pakan Kambing

pertambahan bobot hidup dengan memberi asupan protein yang cukup. Secara ekonomis hal ini penting, karena peternak dapat lebih leluasa mempertahankan populasi ternak dan menjualnya hanya pada saat harga yang paling menguntungkan.

B. Klasifikasi

Operasional pemanfaatan nutrien pada kambing sebagai ternak ruminansia terjadi pada dua tataran yaitu pada proses fermentasi di dalam retikulo-rumen dan pada tingkat jaringan seluruh tubuh. Efisiensi proses fermentasi ditentukan oleh suplai dan keseimbangan berbagai nutrisi yang berasal dari bahan pakan sesuai taraf kebutuhan populasi mikroba yang sangat beragam dan kondisi ekosistem rumen yang kompleks. Efisiensi pemanfaatan nutrien yang diserap pada tingkat jaringan tubuh ditentukan terutama oleh asupan substrat penghasil energi dan nutrien esensial lainya, antara lain asam amino, vitamin dan mineral. Oleh karena suplementasi bertujuan untuk melengkapi keseimbangan nutrisi asal pakan dasar menurut kebutuhan ternak, maka suplemen dapat dikategorikan menjadi beberapa kelompok berdasarkan fungsi nutrisinya. Pengelompokan ini semata-mata bertujuan untuk memudahkan pemahaman akan kekhususan substrat tertentu dalam metabolisme nutrien. Hal ini penting mengingat bahwa pada prinsipnya pemanfaatan setiap kelompok nutrien hanya dapat berlangsung secara efisien dengan tersedianya kelompok nutrien lainnya dalam suatu keseimbangan. Oleh karena itu, bahan baku pakan tertentu dapat berpotensi sebagai suplemen untuk berbagai klasifikasi substrat.

1. Suplemen Karbohidrat Larut dalam Rumen

Suplemen yang menyumbang karbohidrat mudah larut beroperasi pada tataran proses fermentasi di dalam retikulo-rumen. Pemberian suplemen ini bertujuan selain untuk secara

Prinsip dan strategi suplementasi

langsung menghasilkan energi bagi ternak (asam lemak terbang) juga untuk memaksimalkan pemanfaatan pakan dasar baik dalam menghasilkan energi maupun protein (mikroba rumen) bagi kebutuhan ternak kambing. Karbohidrat yang tergolong mudah larut di dalam rumen antara lain adalah gula, dan sebagian pati. Substrat ini dapat menyediakan secara cepat energi (ATP) yang dibutuhkan untuk perkembangan populasi mikroba tertentu, seperti bakteri amilolitik. Oleh karena mudah dan cepat larut, maka substrat ini berpotensi untuk menurunkan pH dalam sistem rumen akibat terbentuknya asam lemak terbang dalam jumlah yang cepat. Dalam konteks ini suplemen dapat menimbulkan efek asosiatif terhadap pakan dasar (basal) dan taraf pemberian suplemen ini akan menentukan sifat asosiatif yang ditimbulkan.

Efek substitutif (menurunkan konsumsi pakan dasar) dapat terjadi jika suplemen digunakan pada taraf relatif tinggi. Taraf pemberian yang tinggi juga berpotensi menurunkan tingkat kecernaan pakan dasar, terutama kecernaan karbohidrat struktural (selulosa), karena bakteri pemecah serat sangat sensitif terhadap penurunan pH rumen (pH<6). Menurut Doyle (1983) penggunaan suplemen karbohidrat mudah larut sebanyak 15-20% dalam ransum dapat memberikan efek substitutif terhadap pakan dasar. Pada taraf rendah dan tidak menimbulkan penurunan pH rumen, suplemen ini dapat mempertahankan atau bahkan meningkatkan konsumsi pakan dasar. Hal ini terkait dengan optimalisasi pemanfaatan endogen urea yang berasal dari saliva atau rembesan sel epitel dinding rumen. Energi yang tersedia dari suplemen ini dapat dimanfaatkan oleh mikroba rumen untuk mensitesis protein dari amonia hasil hidrolisis endogen urea. Perbanyakan populasi mikroba selanjutnya akan meningkatkan pencernaan dan konsumsi pakan dasar. Namun demikian, taraf pemberian suplemen yang dapat memberikan pengaruh susbstitutif ataupun aditif dipengaruhi berbagai faktor lain seperti ketersediaan unsur nutrisi esensial (amonia dan mineral, terutama sulfur), frekuensi pemberian suplemen, serta kualitas pakan dasar (kandungan selulosa).

Page 45: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

45

Nutrisi dan Pakan Kambing

pertambahan bobot hidup dengan memberi asupan protein yang cukup. Secara ekonomis hal ini penting, karena peternak dapat lebih leluasa mempertahankan populasi ternak dan menjualnya hanya pada saat harga yang paling menguntungkan.

B. Klasifikasi

Operasional pemanfaatan nutrien pada kambing sebagai ternak ruminansia terjadi pada dua tataran yaitu pada proses fermentasi di dalam retikulo-rumen dan pada tingkat jaringan seluruh tubuh. Efisiensi proses fermentasi ditentukan oleh suplai dan keseimbangan berbagai nutrisi yang berasal dari bahan pakan sesuai taraf kebutuhan populasi mikroba yang sangat beragam dan kondisi ekosistem rumen yang kompleks. Efisiensi pemanfaatan nutrien yang diserap pada tingkat jaringan tubuh ditentukan terutama oleh asupan substrat penghasil energi dan nutrien esensial lainya, antara lain asam amino, vitamin dan mineral. Oleh karena suplementasi bertujuan untuk melengkapi keseimbangan nutrisi asal pakan dasar menurut kebutuhan ternak, maka suplemen dapat dikategorikan menjadi beberapa kelompok berdasarkan fungsi nutrisinya. Pengelompokan ini semata-mata bertujuan untuk memudahkan pemahaman akan kekhususan substrat tertentu dalam metabolisme nutrien. Hal ini penting mengingat bahwa pada prinsipnya pemanfaatan setiap kelompok nutrien hanya dapat berlangsung secara efisien dengan tersedianya kelompok nutrien lainnya dalam suatu keseimbangan. Oleh karena itu, bahan baku pakan tertentu dapat berpotensi sebagai suplemen untuk berbagai klasifikasi substrat.

1. Suplemen Karbohidrat Larut dalam Rumen

Suplemen yang menyumbang karbohidrat mudah larut beroperasi pada tataran proses fermentasi di dalam retikulo-rumen. Pemberian suplemen ini bertujuan selain untuk secara

Prinsip dan strategi suplementasi

langsung menghasilkan energi bagi ternak (asam lemak terbang) juga untuk memaksimalkan pemanfaatan pakan dasar baik dalam menghasilkan energi maupun protein (mikroba rumen) bagi kebutuhan ternak kambing. Karbohidrat yang tergolong mudah larut di dalam rumen antara lain adalah gula, dan sebagian pati. Substrat ini dapat menyediakan secara cepat energi (ATP) yang dibutuhkan untuk perkembangan populasi mikroba tertentu, seperti bakteri amilolitik. Oleh karena mudah dan cepat larut, maka substrat ini berpotensi untuk menurunkan pH dalam sistem rumen akibat terbentuknya asam lemak terbang dalam jumlah yang cepat. Dalam konteks ini suplemen dapat menimbulkan efek asosiatif terhadap pakan dasar (basal) dan taraf pemberian suplemen ini akan menentukan sifat asosiatif yang ditimbulkan.

Efek substitutif (menurunkan konsumsi pakan dasar) dapat terjadi jika suplemen digunakan pada taraf relatif tinggi. Taraf pemberian yang tinggi juga berpotensi menurunkan tingkat kecernaan pakan dasar, terutama kecernaan karbohidrat struktural (selulosa), karena bakteri pemecah serat sangat sensitif terhadap penurunan pH rumen (pH<6). Menurut Doyle (1983) penggunaan suplemen karbohidrat mudah larut sebanyak 15-20% dalam ransum dapat memberikan efek substitutif terhadap pakan dasar. Pada taraf rendah dan tidak menimbulkan penurunan pH rumen, suplemen ini dapat mempertahankan atau bahkan meningkatkan konsumsi pakan dasar. Hal ini terkait dengan optimalisasi pemanfaatan endogen urea yang berasal dari saliva atau rembesan sel epitel dinding rumen. Energi yang tersedia dari suplemen ini dapat dimanfaatkan oleh mikroba rumen untuk mensitesis protein dari amonia hasil hidrolisis endogen urea. Perbanyakan populasi mikroba selanjutnya akan meningkatkan pencernaan dan konsumsi pakan dasar. Namun demikian, taraf pemberian suplemen yang dapat memberikan pengaruh susbstitutif ataupun aditif dipengaruhi berbagai faktor lain seperti ketersediaan unsur nutrisi esensial (amonia dan mineral, terutama sulfur), frekuensi pemberian suplemen, serta kualitas pakan dasar (kandungan selulosa).

Page 46: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

46

Nutrisi dan Pakan Kambing

Terlepas dari kemungkinan terjadinya efek substitutif terhadap konsumsi pakan dasar, penggunaan suplemen ini umumnya cenderung meningkatkan total konsumsi energi dapat dicerna. Fluktuasi pH dan instabilitas ekosistem rumen akibat penggunaan suplemen yang kaya akan karbohidrat mudah larut dapat diatasi dengan meningkatkan frekuensi pemberian, sehingga distribusi jumlah yang diberikan lebih merata dalam sehari. Metode ini mudah dilakukan dalam sistem kandang, namun relatif sulit pada sistem pengembalaan.

2. Suplemen Karbohidrat Tidak Larut dalam Rumen

Beberapa bahan pakan mengandung karbohidrat yang mudah dicerna, namun tidak mengalami hidrolisis di dalam rumen dan tersedia utuh saat melaju dalam organ usus. Pati yang terdapat pada jagung, sorgum dan beras misalnya relatif tahan terhadap degradasi di dalam rumen, sehingga sebagian besar tersedia untuk proses pencernaan dan penyerapan dalam usus kecil. Glukosa yang dihasilkan dari proses hidrolisis akan dimetabolisme untuk berbagai fungsi penting dalam jaringan tubuh. Kebutuhan akan glukosa meningkat pada fase fisiologi tumbuh (sintesis lemak), laktasi (sintesis laktosa dan sumber NADPH untuk lemak) dan bunting (sumber energi fetus). Pada kambing dengan fetus lebih dari satu kebutuhan akan glukosa semakin tinggi. Namun, selain memiliki kapasitas terbatas dalam mengabsorpsi glukosa, ternak ruminansia juga terbatas dalam menghidrolisis pati dan gula (maltosa), karena rendahnya aktivitas amilase dan maltase (Ǿrskov dan Ryle 1998). Pada kambing dilaporkan sebanyak 80-110 g/hari pati bebas degradasi rumen adalah optimal untuk menghasilkan enzim amilase dan lipase dari sekresi pankreas (Xu et al. 2009). Jagung merupakan sumber pati yang lambat larut dalam rumen dan sekitar 40% dapat tersedia untuk pencernaan di usus kecil, walaupun degradasi pati dalam rumen sangat ditentukan oleh tingkat laju alir pakan (Ǿrskov 1986). Kecernaan

Page 47: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

47

Nutrisi dan Pakan Kambing

Terlepas dari kemungkinan terjadinya efek substitutif terhadap konsumsi pakan dasar, penggunaan suplemen ini umumnya cenderung meningkatkan total konsumsi energi dapat dicerna. Fluktuasi pH dan instabilitas ekosistem rumen akibat penggunaan suplemen yang kaya akan karbohidrat mudah larut dapat diatasi dengan meningkatkan frekuensi pemberian, sehingga distribusi jumlah yang diberikan lebih merata dalam sehari. Metode ini mudah dilakukan dalam sistem kandang, namun relatif sulit pada sistem pengembalaan.

2. Suplemen Karbohidrat Tidak Larut dalam Rumen

Beberapa bahan pakan mengandung karbohidrat yang mudah dicerna, namun tidak mengalami hidrolisis di dalam rumen dan tersedia utuh saat melaju dalam organ usus. Pati yang terdapat pada jagung, sorgum dan beras misalnya relatif tahan terhadap degradasi di dalam rumen, sehingga sebagian besar tersedia untuk proses pencernaan dan penyerapan dalam usus kecil. Glukosa yang dihasilkan dari proses hidrolisis akan dimetabolisme untuk berbagai fungsi penting dalam jaringan tubuh. Kebutuhan akan glukosa meningkat pada fase fisiologi tumbuh (sintesis lemak), laktasi (sintesis laktosa dan sumber NADPH untuk lemak) dan bunting (sumber energi fetus). Pada kambing dengan fetus lebih dari satu kebutuhan akan glukosa semakin tinggi. Namun, selain memiliki kapasitas terbatas dalam mengabsorpsi glukosa, ternak ruminansia juga terbatas dalam menghidrolisis pati dan gula (maltosa), karena rendahnya aktivitas amilase dan maltase (Ǿrskov dan Ryle 1998). Pada kambing dilaporkan sebanyak 80-110 g/hari pati bebas degradasi rumen adalah optimal untuk menghasilkan enzim amilase dan lipase dari sekresi pankreas (Xu et al. 2009). Jagung merupakan sumber pati yang lambat larut dalam rumen dan sekitar 40% dapat tersedia untuk pencernaan di usus kecil, walaupun degradasi pati dalam rumen sangat ditentukan oleh tingkat laju alir pakan (Ǿrskov 1986). Kecernaan

Prinsip dan strategi suplementasi

pati dalam total saluran cerna sapi sedang tumbuh dapat mencapai 90-100%, sedangkan dalam usus kecil kecernaan pati mencapai 75-80% dan dalam usus besar antara 44-46% (Huntington et al. 2006). Bahan pakan berserat tinggi memiliki laju alir pakan dalam retikulo-rumen yang cepat, sehingga dapat meningkatkan proporsi pati yang bebas degradasi rumen dan tersedia bagi pencernaan usus. Peningkatan kecernaan pati di dalam usus kecil dapat berdampak kepada dua hal penting yaitu: (i) meningkatnya produksi dan aliran protein mikroba rumen menuju usus kecil; dan (ii) meningkatnya taraf pencernaan pati melalui peningkatan aktivitas enzim yang disekresikan oleh pancreas sebagai respons terhadap peningkatan suplai protein kedalam usus kecil (Huntington 1997).

3. Suplemen Nitrogen Larut dalam Rumen

Mikro-organisme di dalam reticulo-rumen memerlukan nitrogen (N) sebagai substrat untuk pembentukan protein sel. Substrat utama adalah amonia, sedangkan asam amino dan peptida digunakan oleh mikroba rumen tertentu saja. Mikroba pemecah selulosa hanya menggunakan amonia sebagai sumber nitrogen pembentukan protein sel, sehingga sangat tergantung kepada konsentrasinya di dalam rumen. Kandungan nitrogen dalam pakan dasar bervariasi, namun pada bahan pakan hasil samping tanaman umumnya rendah, dan sering di bawah ambang batas minimum (7%) yang dibutuhkan untuk mempertahankan populasi mikroba rumen. Konsentrasi optimal amonia di dalam rumen menjadi parameter penting dalam memaksimalkan pemanfaatan pakan dasar berkualitas rendah. Namun, agar amonia dapat ditransformasi menjadi protein sel mikroba secara efisien dibutuhkan tersedianya energi dalam jumlah yang cukup untuk mendukung proses tersebut. Penelitian Satter dan Slyter (1974) dan Elliott et al. (1984) merekomendasikan konsentrasi amonia rumen minimal 70-80 mg/l untuk menjamin aktivitas mikroba

Page 48: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

48

Nutrisi dan Pakan Kambing

rumen. Namun, Krebs dan Leng (1984) merekomendasikan konsentrasi yang lebih tinggi yaitu 150 mg/l dengan ketersediaan energi yang lebih tinggi. Target pemberian suplemen N mudah larut dalam rumen adalah terciptanya konsentrasi amonia yang diperlukan untuk mendukung aktivitas dan perbanyakan mikroba rumen secara maksimal yang berdampak kepada peningkatkan laju perncernaan dan konsumi pakan dasar.

Urea merupakan bahan suplemen nitrogen mudah larut yang paling banyak digunakan, karena sangat praktis dan ekonomis. Penelitian Brun-Bellut et al. (1991) menghasilkan konsentrasi amonia pada kambing yang diberi urea sebesar 0,9% bahan kering ransum sebesar 167 mg/l pada induk kambing kering (non-laktasi) dan 231 mg/l pada kambing laktasi dan hanya 128 mg/l jika tidak diberi urea dalam ransum. Namun demikian, proses penguraian urea menjadi amonia berlangsung cepat, sehingga untuk menjaga konsentrasi amonia dalam rumen tetap stabil frekuensi pemberiannya perlu ditingkatkan. Sebagai sumber N yang lambat terurai banyak bahan pakan alternatif yang dapat digunakan. Kotoran ayam yang mengandung asam urat yang relatif lebih lambat terurai menjadi amonia dapat digunakan sebagai suplemen alternatif. Beberapa alternatif suplemen lain yang relatif lambat terurai menjadi amonia seperti biuret, isobutylidene diurea dan lactosyl urea tidak banyak digunakan karena faktor biaya dan ketersediaan di lapang (Doyle 1987).

4. Suplemen Nitrogen Tidak Larut dalam Rumen

Jaringan tubuh ternak ruminansia membutuhkan senyawa nitrogen dalam bentuk asam amino sebagai substrat untuk sintesis protein, selain nukleotida dan beberapa vitamin. Pemberian suplemen yang mengandung nitrogen (protein) tidak larut dan sebagian bebas degradasi dalam rumen selain dapat meningkatkan ketersediaan nitrogen (asam amino dan peptida) bagi aktivitas dan perbanyakan mikroba rumen juga untuk sintesis

Page 49: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

49

Nutrisi dan Pakan Kambing

rumen. Namun, Krebs dan Leng (1984) merekomendasikan konsentrasi yang lebih tinggi yaitu 150 mg/l dengan ketersediaan energi yang lebih tinggi. Target pemberian suplemen N mudah larut dalam rumen adalah terciptanya konsentrasi amonia yang diperlukan untuk mendukung aktivitas dan perbanyakan mikroba rumen secara maksimal yang berdampak kepada peningkatkan laju perncernaan dan konsumi pakan dasar.

Urea merupakan bahan suplemen nitrogen mudah larut yang paling banyak digunakan, karena sangat praktis dan ekonomis. Penelitian Brun-Bellut et al. (1991) menghasilkan konsentrasi amonia pada kambing yang diberi urea sebesar 0,9% bahan kering ransum sebesar 167 mg/l pada induk kambing kering (non-laktasi) dan 231 mg/l pada kambing laktasi dan hanya 128 mg/l jika tidak diberi urea dalam ransum. Namun demikian, proses penguraian urea menjadi amonia berlangsung cepat, sehingga untuk menjaga konsentrasi amonia dalam rumen tetap stabil frekuensi pemberiannya perlu ditingkatkan. Sebagai sumber N yang lambat terurai banyak bahan pakan alternatif yang dapat digunakan. Kotoran ayam yang mengandung asam urat yang relatif lebih lambat terurai menjadi amonia dapat digunakan sebagai suplemen alternatif. Beberapa alternatif suplemen lain yang relatif lambat terurai menjadi amonia seperti biuret, isobutylidene diurea dan lactosyl urea tidak banyak digunakan karena faktor biaya dan ketersediaan di lapang (Doyle 1987).

4. Suplemen Nitrogen Tidak Larut dalam Rumen

Jaringan tubuh ternak ruminansia membutuhkan senyawa nitrogen dalam bentuk asam amino sebagai substrat untuk sintesis protein, selain nukleotida dan beberapa vitamin. Pemberian suplemen yang mengandung nitrogen (protein) tidak larut dan sebagian bebas degradasi dalam rumen selain dapat meningkatkan ketersediaan nitrogen (asam amino dan peptida) bagi aktivitas dan perbanyakan mikroba rumen juga untuk sintesis

Prinsip dan strategi suplementasi

protein jaringan tubuh. Beberapa bahan pakan yang telah mengalami proses pengolahan seperti tepung ikan dan bungkil kedelai memenuhi kriteria tersebut. Dilaporkan bahwa hanya 29% protein tepung ikan dan 39% protein bungkil kedelai yang terdegradasi di dalam rumen, sedangkan selebihnya tersedia untuk pencenaan dan penyerapan di dalam usus kecil untuk sintesis protein jaringan tubuh. Tingkat degradasi protein di dalam rumen sangat dipengaruhi oleh waktu tahan pakan di dalam rumen. Pada kambing yang memiliki waktu tahan pakan relatif singkat degradasi protein bahan suplemen dapat terjadi pada tingkat yang lebih rendah.

Oleh karena itu respons positif penggunaan suplemen yang mengandung sebagian protein bebas degradasi rumen dapat terjadi melalui mekanisme penyediaan nitrogen (amonia, asam amino dan peptida) yang lebih merata sepanjang waktu dalam retikulo-rumen, penyediaan asam amino pada tingkat jaringan tubuh atau keduanya. Melalui mekanisme tersebut, penggunaan suplemen protein akan meningkatkan performa kambing yang diberi pakan hasil sisa, dan hasil samping tanaman yang umumnya berkualitas rendah.

5. Suplemen Mineral

Sulfur (sulfida) merupakan unsur penting untuk mempertahankan fungsi pencernaan serat di dalam rumen. Selain penting dalam proses sintesis protein mikroba (Elliot dan McMeniman 1987), sulfur juga penting dalam memacu pertumbuhan dan perkembangan mikroba rumen yang memiliki peran dalam mendegradasi selulosa dan hemiselulosa (Bauchop 1984). Tanaman dengan kandungan protein tinggi seperti lamtoro (Leucaena leucocephala) dan gliricidia (Gliricidia maculata) juga merupakan sumber sulfur bagi lingkungan rumen yang dapat memacu pertumbuhan dan kolonisasi fungi untuk membantu pencernaan serat.

Page 50: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

50

VI. SISTEM PAKAN DALAM INTEGRASI KAMBING DENGAN HORTIKULTURA

A. Pola Integrasi Kambing dengan Hortikultura

Dalam sistem pertanian hortikultura bahan organik yang berasal dari ternak sangat penting untuk memperbaiki struktur tanah dan sebagai sumber nutrien bagi pertumbuhan tanaman. Kebutuhan akan bahan organik ini sangat tinggi, sehingga kawasan hortikultura sangat tergantung kepada pasokan bahan organik asal ternak yang sering berada di luar kawasan hortikultura atau sistem usaha tani. Kondisi ini berpotensi meningkatkan biaya produksi dan sekaligus menekan pendapatan. Produksi dan ketersediaan bahan organik asal ternak di kawasan ini dapat ditingkatkan dengan menyertakan ternak sebagai salah satu komponen yang bersifat komplementer di dalam sistem usaha tani. Produksi bahan organik asal ternak akan maksimal apabila jumlah ternak yang dipelihara disetarakan dengan kapasitas sumberdaya pakan untuk menyediakan nutrien bagi produksi ternak. Usaha tani yang sangat intensif yang menjadi salah satu ciri budidaya tanaman hortikultura ditandai oleh penggunaan secara maksimal lahan yang relatif sempit. Dalam sistem pertanian yang intensif ini ketersediaan lahan untuk pengembangan tanaman pakan baik untuk potong-angkut maupun penggembalaan umumnya terbatas.

Dengan dukungan lahan yang terbatas, maka budidaya ternak juga harus mengikuti pola yang intensif. Pilihan pola pemeliharaan kambing dalam sistem integrasi dengan tanaman hortikulktura adalah pola dikandangkan secara penuh atau kombinasi dikandangkan dan penggembalaan terbatas. Dengan pola pengandangan secara penuh, maka produksi bahan organik asal ternak yang menjadi salah satu produk penting dalam sistem integrasi dapat dikelola secara maksimal dan diproses untuk kebutuhan tanaman hortikultura.

Page 51: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

51

VI. SISTEM PAKAN DALAM INTEGRASI KAMBING DENGAN HORTIKULTURA

A. Pola Integrasi Kambing dengan Hortikultura

Dalam sistem pertanian hortikultura bahan organik yang berasal dari ternak sangat penting untuk memperbaiki struktur tanah dan sebagai sumber nutrien bagi pertumbuhan tanaman. Kebutuhan akan bahan organik ini sangat tinggi, sehingga kawasan hortikultura sangat tergantung kepada pasokan bahan organik asal ternak yang sering berada di luar kawasan hortikultura atau sistem usaha tani. Kondisi ini berpotensi meningkatkan biaya produksi dan sekaligus menekan pendapatan. Produksi dan ketersediaan bahan organik asal ternak di kawasan ini dapat ditingkatkan dengan menyertakan ternak sebagai salah satu komponen yang bersifat komplementer di dalam sistem usaha tani. Produksi bahan organik asal ternak akan maksimal apabila jumlah ternak yang dipelihara disetarakan dengan kapasitas sumberdaya pakan untuk menyediakan nutrien bagi produksi ternak. Usaha tani yang sangat intensif yang menjadi salah satu ciri budidaya tanaman hortikultura ditandai oleh penggunaan secara maksimal lahan yang relatif sempit. Dalam sistem pertanian yang intensif ini ketersediaan lahan untuk pengembangan tanaman pakan baik untuk potong-angkut maupun penggembalaan umumnya terbatas.

Dengan dukungan lahan yang terbatas, maka budidaya ternak juga harus mengikuti pola yang intensif. Pilihan pola pemeliharaan kambing dalam sistem integrasi dengan tanaman hortikulktura adalah pola dikandangkan secara penuh atau kombinasi dikandangkan dan penggembalaan terbatas. Dengan pola pengandangan secara penuh, maka produksi bahan organik asal ternak yang menjadi salah satu produk penting dalam sistem integrasi dapat dikelola secara maksimal dan diproses untuk kebutuhan tanaman hortikultura.

Sistem Pakan dalam Integrasi Kambing dengan Hortikultura

Sementara itu, pola penggembalaan secara utuh kurang sesuai karena memiliki beberapa kendala antara lain lahan yang terbatas, kurangnya tenaga untuk mengawasi penggembalaan dan tanaman hortikultura yang rawan terhadap gangguan ternak.

B. Meningkatkan Daya Dukung Pakan di Kawasan Hortikultura

Lahan yang sangat terbatas untuk pengembangan tanaman pakan ternak mengharuskan adanya upaya eksploratif dan eksploitatif terhadap sumber bahan pakan alternatif yang potensial. Potensi bahan pakan harus menggambarkan karakter kuantitatif maupun kualitatif. Dalam konteks sistem usaha tani hortikultura, maka bahan pakan alternatif dapat berasal dari hasil sisa tanaman atau hasil samping pengolahan produk hortikultura. Semua potensi biomasa hasil sisa atau samping tanaman hortikultura membutuhkan proses penanganan sebelum digunakan sebagai pakan. Hal ini disebabkan baik oleh pola ketersediaan yang tidak merata sepanjang tahun (musiman) atau oleh karakteritik fisik maupun kimiawi bahan. Proses pengolahan dapat dilakukan secara fisik, kimiawi maupun biologis, tergantung spesifikasi bahan dan tujuan pengolahan. Pengolahan pakan dengan tujuan preservatif dapat dilakukan terhadap bahan baku yang cepat rusak atau bahan pakan yang produksinya musiman. Pengolahan fisik dapat dilakukan terhadap bahan pakan yang memiliki struktur dan tekstur yang sulit dikonsumsi. Pengolahan kimiawi bermanfaat untuk meningkatkan ketersediaan nutrisi dari bahan pakan yang mengandung unsur ligno-selulosa yang tinggi. Berbagai produk biomasa tersebut dapat digunakan sebagai pakan dasar ataupun sebagai pakan suplemen tergantung kualitas nutrisi (protein, energi, konsumsi dan kecernaan).

Page 52: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

52

Nutrisi dan Pakan Kambing

1. Kulit Buah dan Biji Markisa (Paciflora edulis) sebagai Pakan Kambing

Kulit buah dan biji markisa merupakan produk samping dari industri pengolahan buah markisa segar untuk menghasilkan sari atau konsentrat markisa. Dari satu ton buah markisa segar dapat dihasilkan sebanyak 445 kg kulit buah segar dan 148 kg biji markisa (Ginting et al. 2004a). Komposisi kulit buah dan biji markisa ditampilkan pada Tabel 2. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa kadar air kulit buah markisa relatif tinggi yaitu sekitar 33%, sedangkan kadar bahan organik relatif rendah yaitu sekitar 67%.

Tabel 2. Komposisi kimiawi kulit buah dan biji markisa

Kimiawi Kulit buah markisa Biji markisa Bahan kering, % 67,2 75,3 Abu, %BK 24,1 16,3 Nitrogen, %BK 2,9 3,2 Lemak kasar, %BK 10,2 39,8 Serat kasar, %BK 22,1 34,0 NDF, %BK 54,5 44,2 ADF,%BK 44,6 36,9 Energi kasar, kkal/kgBK 4269 4852

Sumber: Ginting et al. (2004a)

Kadar serat juga tergolong tinggi, namun demikian, kulit buah markisa berpotensi sebagai sumber energi yang baik, karena mengandung lemak kasar yang relatif tinggi. Hal ini terlihat dari kandungan energi kasar yang tergolong tinggi. Kandungan protein kasar kulit buah markisa tergolong sedang yaitu sekitar 14%. Secara numerik kandungan nutrisi biji markisa terlihat lebih baik dibandingkan dengan kulit buah markisa. Sebagai sumber energi potensi biji markisa didukung oleh kandungan air yang lebih rendah, kandungan bahan organik dan lemak yang lebih tinggi

Page 53: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

53

Nutrisi dan Pakan Kambing

1. Kulit Buah dan Biji Markisa (Paciflora edulis) sebagai Pakan Kambing

Kulit buah dan biji markisa merupakan produk samping dari industri pengolahan buah markisa segar untuk menghasilkan sari atau konsentrat markisa. Dari satu ton buah markisa segar dapat dihasilkan sebanyak 445 kg kulit buah segar dan 148 kg biji markisa (Ginting et al. 2004a). Komposisi kulit buah dan biji markisa ditampilkan pada Tabel 2. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa kadar air kulit buah markisa relatif tinggi yaitu sekitar 33%, sedangkan kadar bahan organik relatif rendah yaitu sekitar 67%.

Tabel 2. Komposisi kimiawi kulit buah dan biji markisa

Kimiawi Kulit buah markisa Biji markisa Bahan kering, % 67,2 75,3 Abu, %BK 24,1 16,3 Nitrogen, %BK 2,9 3,2 Lemak kasar, %BK 10,2 39,8 Serat kasar, %BK 22,1 34,0 NDF, %BK 54,5 44,2 ADF,%BK 44,6 36,9 Energi kasar, kkal/kgBK 4269 4852

Sumber: Ginting et al. (2004a)

Kadar serat juga tergolong tinggi, namun demikian, kulit buah markisa berpotensi sebagai sumber energi yang baik, karena mengandung lemak kasar yang relatif tinggi. Hal ini terlihat dari kandungan energi kasar yang tergolong tinggi. Kandungan protein kasar kulit buah markisa tergolong sedang yaitu sekitar 14%. Secara numerik kandungan nutrisi biji markisa terlihat lebih baik dibandingkan dengan kulit buah markisa. Sebagai sumber energi potensi biji markisa didukung oleh kandungan air yang lebih rendah, kandungan bahan organik dan lemak yang lebih tinggi

Sistem Pakan dalam Integrasi Kambing dengan Hortikultura

serta kandungan serat yang lebih rendah. Potensi sebagai sumber protein juga lebih tinggi yaitu mencapai sekitar 24%. Selain mengandung lemak tinggi, komposisi asam lemak pada biji markisa didominasi oleh asam lemak esensial terutama linoleat yaitu 78% dari total asam lemak (Ginting et al. 2004a). Sebagai bahan baku pakan alternatif untuk mendukung produksi kambing, kulit buah markisa dapat dimanfaatkan baik sebagai komponen pakan penyusun konsentrat, sebagai komponen pakan dalam pakan komplit, ataupun sebagai pakan dasar (substitusi) dalam pakan komplit. Untuk menghasilkan bahan pakan yang siap pakai pengolahan kulit buah markisa dapat dilakukan melalui beberapa tahapan seperti ditampilkan pada Gambar 8.

Gambar 8. Proses pengolahan kulit buah dan biji markisa menjadi bahan baku pakan kambing

Proses pengolahan kulit buah markisa menjadi pakan kambing pada dasarnya hanya membutuhkan prosedur dan teknologi yang relatif sederhana yaitu proses pengeringan, penggilingan dan pencampuran (blending).

Buah Markisa (1000 kg)

Biji (148 kg)

Sari buah (407 kg)

Kulit buah (445 kg)

Kulit buah kering

Tepung kulit buah Tepung biji

Pengeringan

Penepungan

Formulasi

Komponen konsentrat

Komponen pakan komplit

Biji kering

Page 54: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

54

Nutrisi dan Pakan Kambing

Dari rangkaian proses tersebut pengeringan merupakan proses yang paling kritis, karena kandungan air yang relatif tinggi. Pengeringan harus segera dilakukan untuk menghindari kerusakan bahan (pelapukan) yang akan menurunkan palatabilitas dan konsumsi. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa pengeringan menggunakan energi matahari membutuhkan waktu sekitar 2-4 hari untuk mendapatkan bahan dengan kadar air sekitar 10-12%. Proses penggilingan biji markisa dapat dipercepat dengan mencampur dengan bahan lain yang berfungsi sebagai bahan pengisi (filler). Minyak (lemak) yang keluar dari endosperm biji saat digiling membuat proses penggilingan lebih sulit namun dengan penggunaan filler, maka minyak akan langsung diserap, sehingga proses penggilingan menjadi lebih efisien. Rasio campuran biji : filler yang optimal berkisar antara 1 : 5-7. Preservasi atau pengawetan kulit buah markisa dapat juga dilakukan secara biologis dengan fermentasi anaerobik (ensilase) untuk menghasilkan produk berupa silase kulit buah markisa yang dapat disimpan didalam silo selama kurang lebih tiga bulan. Penggunaan silase kulit buah markisa sebagai komponen dalam pakan komplit juga menghasilkan pertambahan bobot badan harian (PBBH) yang relatif tinggi pada kambing (63-93g) (Krisnan dan Ginting 2005). Penggunaan tepung kulit buah markisa dalam pakan komplit menghasilkan PBBH yang lebih tinggi yaitu antara 80-105 g (Simanihuruk 2009). Taraf optimal penggunaan kulit buah markisa dalam pakan komplit adalah 45% (bahan kering) dan kulit buah markisa dapat digunakan sebagai pakan dasar untuk mensubstitusi rumput atau sumber serat lain (Simanihuruk et al. 2006). Kulit buah markisa sebagai pakan dasar dikonsumsi dengan baik oleh kambing dengan taraf kecernaan dan retensi N yang baik. Potensi kulit buah markisa dalam mensubstitusi sebagian atau seluruh hijauan dalam pakan merupakan salah satu faktor kunci keberhasilan sistem produksi ternak dengan memanfaatkan kulit buah markisa sebagai salah satu komponen bahan baku pakan.

Page 55: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

55

Nutrisi dan Pakan Kambing

Dari rangkaian proses tersebut pengeringan merupakan proses yang paling kritis, karena kandungan air yang relatif tinggi. Pengeringan harus segera dilakukan untuk menghindari kerusakan bahan (pelapukan) yang akan menurunkan palatabilitas dan konsumsi. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa pengeringan menggunakan energi matahari membutuhkan waktu sekitar 2-4 hari untuk mendapatkan bahan dengan kadar air sekitar 10-12%. Proses penggilingan biji markisa dapat dipercepat dengan mencampur dengan bahan lain yang berfungsi sebagai bahan pengisi (filler). Minyak (lemak) yang keluar dari endosperm biji saat digiling membuat proses penggilingan lebih sulit namun dengan penggunaan filler, maka minyak akan langsung diserap, sehingga proses penggilingan menjadi lebih efisien. Rasio campuran biji : filler yang optimal berkisar antara 1 : 5-7. Preservasi atau pengawetan kulit buah markisa dapat juga dilakukan secara biologis dengan fermentasi anaerobik (ensilase) untuk menghasilkan produk berupa silase kulit buah markisa yang dapat disimpan didalam silo selama kurang lebih tiga bulan. Penggunaan silase kulit buah markisa sebagai komponen dalam pakan komplit juga menghasilkan pertambahan bobot badan harian (PBBH) yang relatif tinggi pada kambing (63-93g) (Krisnan dan Ginting 2005). Penggunaan tepung kulit buah markisa dalam pakan komplit menghasilkan PBBH yang lebih tinggi yaitu antara 80-105 g (Simanihuruk 2009). Taraf optimal penggunaan kulit buah markisa dalam pakan komplit adalah 45% (bahan kering) dan kulit buah markisa dapat digunakan sebagai pakan dasar untuk mensubstitusi rumput atau sumber serat lain (Simanihuruk et al. 2006). Kulit buah markisa sebagai pakan dasar dikonsumsi dengan baik oleh kambing dengan taraf kecernaan dan retensi N yang baik. Potensi kulit buah markisa dalam mensubstitusi sebagian atau seluruh hijauan dalam pakan merupakan salah satu faktor kunci keberhasilan sistem produksi ternak dengan memanfaatkan kulit buah markisa sebagai salah satu komponen bahan baku pakan.

Sistem Pakan dalam Integrasi Kambing dengan Hortikultura

2. Pemanfaatan Limbah Pengolahan Lobak (Raphanus sativus) sebagai Pakan Kambing

Lobak atau oriental radish merupakan tanaman umbian yang sangat populer sebagai pangan di negara Asia Timur. Tanaman ini memiliki nama lokal seperti lor bark di China, Mu di Korea, labanos di Filipina atau cu-cai trang di Vietnam (Okine et al. 2007). Produk limbah dari industri pengolahan umbi lobak menjadi produk pangan terdiri dari daun dan umbi afkir yang tidak dapat diolah karena kerusakan (afkir). Potensi biomasa limbah ini mencapai sekitar 20% dari total bahan baku yang digunakan dalam industri pengolahan (National Agricultural Research Organization 2001). Di Indonesia, industri pengolahan umbi lobak menjadi produk pangan dengan tujuan ekspor terdapat di Sumatera Utara. Komposisi kimiawi dan respon kambing terhadap penggunaan tepung lobak dalam konsentrat ditampilkan pada Tabel 3.

Tabel 3. Komposisi kimiawi, taraf penggunaan dan respon kambing terhadap pemanfaatan tepung lobak dalam konsentrat

Parameter Nilai

Komposisi kimiawi BK (65,3%); N (1,3%); BO (90,1%); LK (8,5%); SK (10,7%); BETN (37,2%).

Taraf penggunaan optimal dalam ransum 30%

Konversi pakan 13,3 PBBH 55-64 g/h

Limbah lobak mengandung karbohidrat mudah larut (bahan ekstrak tanpa nitrogen, BETN) yang cukup tinggi yaitu sekitar 37,2% (Ginting et al. 2004b). BETN dapat menjadi sumber energi mudah larut didalam rumen (van Soest 1982), sehingga penggunaan limbah umbi lobak dapat dikombinasikan dengan bahan lain yang memiliki kandungan nitrogen bukan protein (NBP), seperti urea untuk mengoptimalkan kondisi rumen dalam proses

Page 56: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

56

Nutrisi dan Pakan Kambing

pencernaan bahan pakan. Oleh karena kandungan airnya yang relatif tinggi (35%), maka umbi lobak tergolong wet-byproduct yang mudah rusak jika tidak diproses. Ginting et al. (2004b) melakukan proses pengeringan dan penepungan untuk memanfaatkan umbi lobak sebagai pakan suplemen pada kambing.

Penggunaan tepung umbi lobak sebagai bahan suplemen dapat menghasilkan laju PBBH sebesar 56-65 g pada kambing fase tumbuh dengan rasio konversi pakan (konsumsi/ pertambahan berat badan) antara 12-14. Tepung umbi lobak juga dapat digunakan dalam pakan komplit untuk kambing dengan taraf penggunaan antara 15-40% (bahan kering). Proses pengeringan dengan sinar matahari membutuhkan waktu antara 5-7 hari, sehingga cara ini sulit diterapkan selama musim hujan. Penggunaan mesin pengering secara teknis efektif, namun terkendala oleh kebutuhan energi yang relatif mahal. Proses pengeringan dapat dipercepat dengan terlebih dahulu melakukan chopping atau penggilingan dan selanjutnya hasil cacahan atau penggilingan dicampur dengan bahan pakan lain yang dapat berfungsi sebagai penyerap air (absorbant).

Teknologi ensilase untuk preservasi menjadi produk silase merupakan teknologi alternatif yang dapat digunakan untuk pemanfaatan umbi lobak sebagai pakan secara efisien. Hasil penelitian Okine et al. (2007) menunjukkan bahwa produk silase dapat dihasilkan dengan baik menggunakan beberapa bahan penyerap air (absorbant) seperti dedak dan kulit kacang kedelei untuk menurunkan kadar air umbi lobak. Produk silase yang dihasilkan dapat digunakan selama empat hari setelah silo dibuka, dan silase mulai mengalami pelapukan setelah hari ke lima. Dengan demikian, tekonologi ensilase ini dapat digunakan sebagai cara preservasi terutama untuk melakukan penyimpanan pakan dalam jumlah besar.

Page 57: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

57

Nutrisi dan Pakan Kambing

pencernaan bahan pakan. Oleh karena kandungan airnya yang relatif tinggi (35%), maka umbi lobak tergolong wet-byproduct yang mudah rusak jika tidak diproses. Ginting et al. (2004b) melakukan proses pengeringan dan penepungan untuk memanfaatkan umbi lobak sebagai pakan suplemen pada kambing.

Penggunaan tepung umbi lobak sebagai bahan suplemen dapat menghasilkan laju PBBH sebesar 56-65 g pada kambing fase tumbuh dengan rasio konversi pakan (konsumsi/ pertambahan berat badan) antara 12-14. Tepung umbi lobak juga dapat digunakan dalam pakan komplit untuk kambing dengan taraf penggunaan antara 15-40% (bahan kering). Proses pengeringan dengan sinar matahari membutuhkan waktu antara 5-7 hari, sehingga cara ini sulit diterapkan selama musim hujan. Penggunaan mesin pengering secara teknis efektif, namun terkendala oleh kebutuhan energi yang relatif mahal. Proses pengeringan dapat dipercepat dengan terlebih dahulu melakukan chopping atau penggilingan dan selanjutnya hasil cacahan atau penggilingan dicampur dengan bahan pakan lain yang dapat berfungsi sebagai penyerap air (absorbant).

Teknologi ensilase untuk preservasi menjadi produk silase merupakan teknologi alternatif yang dapat digunakan untuk pemanfaatan umbi lobak sebagai pakan secara efisien. Hasil penelitian Okine et al. (2007) menunjukkan bahwa produk silase dapat dihasilkan dengan baik menggunakan beberapa bahan penyerap air (absorbant) seperti dedak dan kulit kacang kedelei untuk menurunkan kadar air umbi lobak. Produk silase yang dihasilkan dapat digunakan selama empat hari setelah silo dibuka, dan silase mulai mengalami pelapukan setelah hari ke lima. Dengan demikian, tekonologi ensilase ini dapat digunakan sebagai cara preservasi terutama untuk melakukan penyimpanan pakan dalam jumlah besar.

Sistem Pakan dalam Integrasi Kambing dengan Hortikultura

3. Serat Perasan Buah Nenas sebagai Pakan Kambing

Kulit buah nenas dan perasan daging buah adalah produk samping yang dihasilkan dari proses pengolahan buah nenas menjadi sari nenas (jus). Dari 1000 kg buah nenas segar dapat dihasilkan sekitar 850 kg produk limbah berupa kulit buah dan perasan daging buah (Ginting et al. 2007). Komposisi kimiawi serat perasan buah nenas ditampilkan pada Tabel 4. Produk ini mengandung air dalam kadar tinggi yaitu sekitar 45%, sehingga tergolong produk yang cepat lapuk jika tidak segera diolah. Kandungan protein relatif rendah, sedangkan serat NDF dan ADF tergolong tinggi. Kandungan mineral juga rendah, sehingga jika digunakan sebagai pakan dasar, maka diperlukan penambahan suplemen mineral untuk mencegah timbulnya gangguan produksi karena defisiensi mineral tertentu.

Tabel 4. Komposisi kimiawi ampas nenas hasil pengolahan buah nenas menjadi sari nenas (% bahan kering)

Kimiawi Serat perasan buah nenas Bahan kering,% 50-54 Bahan organik, %BK 75-81 Abu,%BK 2-4 Protein kasar, %BK 4-8 NDF, %BK 60-75 ADF, %BK 30-45 Lemak kasar, %BK 1-2 Energi kasar, kkal/kg BK 4400-4600

Sumber: Ginting et al (2007); Wadhwa dan Bakshi (2013)

Kandungan gula larut pada serat perasan daging buah nenas berkisar antara 40-75% yang terdiri dari sukrosa (70%), glukosa (20%) dan fruktosa (10%). Dengan komposisi kimiawi seperti ini, maka potensi serat perasan buah nenas adalah sebagai sumber energi bagi ternak kambing. Kegunaan utama serat perasan buah

Page 58: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

58

Nutrisi dan Pakan Kambing

dalam produksi kambing adalah sebagai pakan dasar. Penggunaan sebagai pakan tunggal tidak mampu memenuhi kebutuhan ternak kambing untuk berproduksi maksimal, terutama dalam memenuhi kebutuhan protein (Costa et al. 2007). Konsumsi serat perasan daging buah nenas yang diberikan sebagai pakan tunggal pada kambing mencapai 332 g/hari yaitu sekitar 2,5% bobot hidup (Tabel 5). Angka ini di bawah rekomendasi untuk konsumsi pakan pada ternak sebesar 3,0-3,5% bobot badan. Untuk mencapai taraf konsumsi maksimal diperlukan masa adaptasi antara 30-45 hari. Palatabilitas serat perasan buah nenas jika diberikan dalam bentuk segar cukup tinggi, namun kadar air yang tinggi menyebabkan bahan tersebut mudah rusak, sehingga sebaiknya diberikan setelah terlebih dahulu diproses.

Tabel 5. Konsumsi dan koefisien cerna serat perasan nenas yang diberikan kepada kambing sebagai pakan tunggal

Parameter Konsumsi, g/hari Kecernaan, % Bahan kering 293 53,3 Bahan organik 269 60,2 NDF 161 52,5

Sumber: Ginting et al. (2005)

Kecernaan bahan kering serat perasan buah nenas termasuk moderat, dan hal ini terkait dengan kandungan serat (NDF) yang relatif tinggi (57%). Taraf kecernaan bahan organik termasuk kategori baik dan terkait dengan kandungan maupun jenis unsur mineral yang terdapat di dalam serat perasan nenas. Perbedaan koefisien cerna bahan kering dengan bahan organik sebesar rata-rata tujuh persen unit termasuk besar. Perbedaan ini diperoleh walaupun kandungan unsur mineral pada serat perasan nenas relatif rendah (8,1%). Hal ini dapat disebabkan kandungan unsur mineral tertentu seperti silika yang terikat dengan serat deterjen netral (Lewis 1978) dan memiliki pengaruh dalam menghambat pencernaan bahan kering serat perasan nenas (van Soest 1982).

Page 59: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

59

Nutrisi dan Pakan Kambing

dalam produksi kambing adalah sebagai pakan dasar. Penggunaan sebagai pakan tunggal tidak mampu memenuhi kebutuhan ternak kambing untuk berproduksi maksimal, terutama dalam memenuhi kebutuhan protein (Costa et al. 2007). Konsumsi serat perasan daging buah nenas yang diberikan sebagai pakan tunggal pada kambing mencapai 332 g/hari yaitu sekitar 2,5% bobot hidup (Tabel 5). Angka ini di bawah rekomendasi untuk konsumsi pakan pada ternak sebesar 3,0-3,5% bobot badan. Untuk mencapai taraf konsumsi maksimal diperlukan masa adaptasi antara 30-45 hari. Palatabilitas serat perasan buah nenas jika diberikan dalam bentuk segar cukup tinggi, namun kadar air yang tinggi menyebabkan bahan tersebut mudah rusak, sehingga sebaiknya diberikan setelah terlebih dahulu diproses.

Tabel 5. Konsumsi dan koefisien cerna serat perasan nenas yang diberikan kepada kambing sebagai pakan tunggal

Parameter Konsumsi, g/hari Kecernaan, % Bahan kering 293 53,3 Bahan organik 269 60,2 NDF 161 52,5

Sumber: Ginting et al. (2005)

Kecernaan bahan kering serat perasan buah nenas termasuk moderat, dan hal ini terkait dengan kandungan serat (NDF) yang relatif tinggi (57%). Taraf kecernaan bahan organik termasuk kategori baik dan terkait dengan kandungan maupun jenis unsur mineral yang terdapat di dalam serat perasan nenas. Perbedaan koefisien cerna bahan kering dengan bahan organik sebesar rata-rata tujuh persen unit termasuk besar. Perbedaan ini diperoleh walaupun kandungan unsur mineral pada serat perasan nenas relatif rendah (8,1%). Hal ini dapat disebabkan kandungan unsur mineral tertentu seperti silika yang terikat dengan serat deterjen netral (Lewis 1978) dan memiliki pengaruh dalam menghambat pencernaan bahan kering serat perasan nenas (van Soest 1982).

Sistem Pakan dalam Integrasi Kambing dengan Hortikultura

Proses pengeringan dan penggilingan/penepungan perlu dilakukan untuk memanfaatkan kulit dan serat perasan daging buah sebagai pakan kambing (Ginting et al. 2005). Tepung limbah nenas sebagai komponen dalam pakan komplit dapat digunakan pada taraf antara 15-40% (bahan kering) untuk menggantikan rumput. Konsumsi pakan komplit menggunakan komponen limbah nenas berkisar antara 564-584 g/ekor/hari yaitu setara dengan 3,4% bobot hidup. Pertambahan bobot hidup kambing dilaporkan berkisar antara 62-66 g/hari dengan konversi pakan antara 8,6-12,2. Costa et al. (2007) menggunakan limbah nenas yang dikeringkan sampai taraf 46% dalam pakan komplit pelet pada kambing. Pertambahan bobot hidup cenderung menurun dan nilai konversi pakan cenderung meningkat dengan semakin tingginya taraf penggunaan limbah nenas dalam ransum. Taraf optimal penggunaan serat perasan daging buah nenas dalam pakan komplit sekitar 30% (bahan kering).

Limbah ini juga dapat diproses secara fermentatif untuk menghasilkan produk silase. Silase kulit dan serat perasan buah nenas dapat digunakan sebagai pengganti rumput dalam pakan komplit (Ginting et al. 2007b). Untuk menurunkan kadar air yang tinggi sebelum diproses menjadi silase dapat digunakan bahan baku pakan yang berfungsi sebagai absorbant. Kualitas silase dapat ditingkatkan dengan penambahan bahan aditif selama proses fermentasi. Hasil penelitian (Ginting et al. 2007b) menunjukkan bahwa molases merupakan salah satu bahan aditif yang dapat meningkatkan kualitas silase serat perasan buah nenas (Tabel 6). Penggunaan molases maupun inokulum bakteri asam laktat menyebabkan temperatur dan pH yang lebih rendah dengan tingkat kontaminasi jamur paling sedikit.

Page 60: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

60

Nutrisi dan Pakan Kambing

Tabel 6. Karakteristik silase perasan buah nenas menggunakan berbagai bahan aditif dan lama fermentasi berbeda

Karakteristik serat perasan buah nenas

Lama fermentasi (hari)

Bahan aditif1)

A B C D E F

pH 6 6,3 4,4 4,2 4,5 5,3 6,1 Temperatur, C 28,0 28,0 28,5 28,0 28,5 28,0 Jamur − − − − − − pH 9 5,5 5,6 4,7 4,5 5,0 6,2 Temperatur, C 28,0 28,0 28,0 28,0 28,5 28,0 Jamur + + − − − − pH 12 6,1 5,6 4,5 4,7 5,5 6,2 Temperatur, C 28,5 28,5 28,5 28,0 29,0 28,5 Jamur + + − − − + pH 15 7,5 7,4 4,7 4,7 5,2 6,2 Temperatur, C 28,5 28,5 28,0 29,0 28,5 28,5 Jamur ++ + − − − ++ pH 18 7,5 7,4 4,9 4,7 5,2 6,4 Temperatur, C 28,5 28,5 29,0 28,5 29,0 28,5 Jamur +++ ++ + + + +++ pH 21 7,3 7,2 4,7 4,6 5,0 6,6 Temperatur, C 28,0 29,0 28,5 29,0 28,0 28,5 Jamur +++ ++ + + + +++

1)A: Urea 5% BK; B: Urea 2%+Tapioka 3%; C: Molases 5%; D: Urea 2,5%+Molases 2,5%; E: Inokulum bakteri asam laktat 5%; F: Tanpa bahan aditif

4. Citrus Pulp dan Buah Afkir Jeruk sebagai Pakan Kambing

Potensi tanaman hortikultura lain di Indonesia yang belum dieksploitasi cukup beragam. Perasan buah jeruk (citrus pulp) telah banyak digunakan di negara maju dimana industri pengolahan buah jeruk menjadi jus sudah berkembang.

Page 61: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

61

Nutrisi dan Pakan Kambing

Tabel 6. Karakteristik silase perasan buah nenas menggunakan berbagai bahan aditif dan lama fermentasi berbeda

Karakteristik serat perasan buah nenas

Lama fermentasi (hari)

Bahan aditif1)

A B C D E F

pH 6 6,3 4,4 4,2 4,5 5,3 6,1 Temperatur, C 28,0 28,0 28,5 28,0 28,5 28,0 Jamur − − − − − − pH 9 5,5 5,6 4,7 4,5 5,0 6,2 Temperatur, C 28,0 28,0 28,0 28,0 28,5 28,0 Jamur + + − − − − pH 12 6,1 5,6 4,5 4,7 5,5 6,2 Temperatur, C 28,5 28,5 28,5 28,0 29,0 28,5 Jamur + + − − − + pH 15 7,5 7,4 4,7 4,7 5,2 6,2 Temperatur, C 28,5 28,5 28,0 29,0 28,5 28,5 Jamur ++ + − − − ++ pH 18 7,5 7,4 4,9 4,7 5,2 6,4 Temperatur, C 28,5 28,5 29,0 28,5 29,0 28,5 Jamur +++ ++ + + + +++ pH 21 7,3 7,2 4,7 4,6 5,0 6,6 Temperatur, C 28,0 29,0 28,5 29,0 28,0 28,5 Jamur +++ ++ + + + +++

1)A: Urea 5% BK; B: Urea 2%+Tapioka 3%; C: Molases 5%; D: Urea 2,5%+Molases 2,5%; E: Inokulum bakteri asam laktat 5%; F: Tanpa bahan aditif

4. Citrus Pulp dan Buah Afkir Jeruk sebagai Pakan Kambing

Potensi tanaman hortikultura lain di Indonesia yang belum dieksploitasi cukup beragam. Perasan buah jeruk (citrus pulp) telah banyak digunakan di negara maju dimana industri pengolahan buah jeruk menjadi jus sudah berkembang.

Sistem Pakan dalam Integrasi Kambing dengan Hortikultura

Penggunaan produk ini telah dilakukan pada ternak kambing (Caparra et al. 2007; Oni et al. 2008) maupun domba (Piquer et al. 2009). Komponen perasan buah jeruk mencapai 50-70% dari total berat buah segar, dan terdiri dari kulit buah (60-65%), jaringan internal (30-35%) dan biji sekitar 10% (Crawshaw 2004). Komposisi kimiawi (Wadhwa dan Bakshi 2013) terdiri dari kadar air (91,5%), abu (95,5%), protein kasar (10,5%), lemak kasar (5,8%), NDF (26,5%), NDS (73,5%), ADF (24,5%) hemiselulosa (2,0%) dan hemiselulosa (12,8%). Oleh karena taraf kecernaan bahan organik tergolong tinggi (85-90%) serat perasan buah jeruk merupakan sember energi yang baik untuk ternak kambing dan ruminansia lainnya. Energi yang dihasilkan bahan ini berasal dari karbohidrat yang mudah larut (gula) dan serat yang dapat dicerna, terutama pectin. Serat perasan buah jeruk dapat menggantikan konsentrat sebanyak 30% pada kambing, namun penggunaan sampai 40% dalam ransum menurunkan palatabilitas. Penurunan palatabiltas pada dosis tinggi disebabkan oleh senyawa limonin yang memberikan rasa pahit. Pemberian secara bertahap dapat menekan pengaruh limonin terhadap konsumsi ternak.

Pengeringan dan penepungan atau pengolahan menjadi pelet dapat dilakukan sebelum digunakan sebagai pakan. Proses ensilase juga dapat dilakukan untuk preservasi dan meningkatkan masa simpan pakan. Hal ini penting untuk mengatasi mudahnya bahan mengalami pelapukan akibat kandungan air yang tinggi. Sebelum difermentasi secara anaerobik, bahan dicampur dengan tepung kapur (lime) untuk meningkatkan pH menjadi netral yaitu antara pH 6-7 dan untuk mengikat air (Wing 2003). Silase serat perasan buah jeruk yang berkualitas baik akan menghasilkan aroma wangi yang dapat meningkatkan konsumsi. Di wilayah yang belum memiliki industri pengolahan buah jeruk, maka jeruk afkir atau buah busuk yang volumenya besar memiliki peluang untuk digunakan sebagai pakan alternatif. Komposisi kimiawi buah jeruk afkir segar terdiri dari dari bahan kering sekitar 23% dan bahan organik (97,5% BK), protein kasar (6% BK), NDF (20% BK) dan

Page 62: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

62

Nutrisi dan Pakan Kambing

ADF (13% BK). Proses ensilase menghasilkan silase buah jeruk afkir dengan komposisi kimiawi terdiri dari bahan kering 19%, bahan organik (95% BK), protein kasar (8% BK), NDF (23% BK) dan ADF (17% BK). Teknologi silase telah dicobakan untuk pengolahan buah jeruk afkir pada ternak domba (Volanis et al. 2004).

5. Hasil Samping Tanaman Pisang sebagai Pakan Kambing

Hasil sisa tanaman pisang yang dapat digunakan sebagai pakan kambing adalah daun, tangkai daun (pseudo-stem) dan batang (stalk). Komposisi kimiawi dan taraf kecernaannya menunjukkan potensi sebagai sumber energi (Tabel 7). Taraf kecernaan tangkai daun lebih tinggi dibandingkan dengan fraksi daun yang kemungkinan disebabkan oleh kandungan lignin dan tannin yang relatif lebih tinggi pada fraksi daun.

Tabel 7. Komposisi kimiawi dan kecernaan in vivo fraksi tanaman pisang

Fraksi tanaman pisang

Komposisi kimiawi Kecernaan in vivo, % Bahan kering

(%) Protein kasar

(%BK) NDF

(% BK) Daun 20-22 10-12 52-56 44-46 Pseudo-stem 6-8 2-3 38-42 54-57 Batang 9-11 6-8 65-70 52-54

Sumber: Poyyamozhi dan Kadirvel (1986); Viswanathan et al. (1989)

Tangkai daun pisang yang dikeringkan dan dicacah dapat digunakan sebagai pakan kambing sebanyak 20-50% (bahan kering) dalam ransum dengan kecenderungan bahwa terjadi penurunan bobot hidup sejalan dengan meningkatnya taraf penggunaan di dalam ransum (Poyyamozhi dan Kadirvel 1986). Daun ubi jalar (Ipomea batatas) merupakan sumber hijauan yang potensial untuk ternak ruminanisia yang dikembangkan di kawasan hortikultura. Daun tanaman ini dapat digunakan sebagai suplemen

Page 63: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

63

Nutrisi dan Pakan Kambing

ADF (13% BK). Proses ensilase menghasilkan silase buah jeruk afkir dengan komposisi kimiawi terdiri dari bahan kering 19%, bahan organik (95% BK), protein kasar (8% BK), NDF (23% BK) dan ADF (17% BK). Teknologi silase telah dicobakan untuk pengolahan buah jeruk afkir pada ternak domba (Volanis et al. 2004).

5. Hasil Samping Tanaman Pisang sebagai Pakan Kambing

Hasil sisa tanaman pisang yang dapat digunakan sebagai pakan kambing adalah daun, tangkai daun (pseudo-stem) dan batang (stalk). Komposisi kimiawi dan taraf kecernaannya menunjukkan potensi sebagai sumber energi (Tabel 7). Taraf kecernaan tangkai daun lebih tinggi dibandingkan dengan fraksi daun yang kemungkinan disebabkan oleh kandungan lignin dan tannin yang relatif lebih tinggi pada fraksi daun.

Tabel 7. Komposisi kimiawi dan kecernaan in vivo fraksi tanaman pisang

Fraksi tanaman pisang

Komposisi kimiawi Kecernaan in vivo, % Bahan kering

(%) Protein kasar

(%BK) NDF

(% BK) Daun 20-22 10-12 52-56 44-46 Pseudo-stem 6-8 2-3 38-42 54-57 Batang 9-11 6-8 65-70 52-54

Sumber: Poyyamozhi dan Kadirvel (1986); Viswanathan et al. (1989)

Tangkai daun pisang yang dikeringkan dan dicacah dapat digunakan sebagai pakan kambing sebanyak 20-50% (bahan kering) dalam ransum dengan kecenderungan bahwa terjadi penurunan bobot hidup sejalan dengan meningkatnya taraf penggunaan di dalam ransum (Poyyamozhi dan Kadirvel 1986). Daun ubi jalar (Ipomea batatas) merupakan sumber hijauan yang potensial untuk ternak ruminanisia yang dikembangkan di kawasan hortikultura. Daun tanaman ini dapat digunakan sebagai suplemen

Sistem Pakan dalam Integrasi Kambing dengan Hortikultura

pada domba (Etela et al. 2008). Penelitian Classens et al. (2009) menunjukkan bahwa tanaman Ipomea batatas dapat dimanfaatkan baik sebagai pangan maupun pakan (dwi-guna) untuk meningkatkan pendapatan petani.

6. Pengembangan Tanaman Pakan Ternak Model Silvopasture

Terlepas dari sistem usaha tani yang diterapkan dalam budidaya kambing, upaya memaksimalkan penggunaan hijauan pakan biasanya dapat meminimumkan biaya pakan. Hal ini disebabkan oleh karena hijauan pakan ternak, terutama rumput dan leguminosa alam merupakan bahan pakan paling murah yang dapat digunakan di berbagai agro-ekosistem (Baumont et al. 2000; Devendra dan Sevilla 2002). Namun demikian, penting dipertimbangkan bahwa produksi atau ketersediaan serta kualitas nutrisi hijauan pakan sangat fluktuatif, dan di Indonesia hal ini terutama dipengaruhi oleh musim hujan dan kemarau serta kondisi tanah.

Di kawasan hortikultura intensitas siklus tanam umumnya tinggi, sehingga lahan tersedia bagi pengembangan tanam pakan menjadi sangat terbatas (Thorne dan Tanner 2002). Peluang untuk meningkatkan daya dukung tanaman pakan ternak di kawasan hortikultura dapat dilakukan melalui pendekatan teknologi agroforestry, misalnya pola silvopasture dengan mengintroduksi tanam pakan sebagai tanaman sela di antara tanaman buah, seperti jeruk. Selain sebagai sumber pakan, tanaman pakan ternak jenis leguminosa herba dapat pula memberi kontribusi penting dalam pengendalian erosi dan meningkatkan kesuburan tanah melalui penyediaan unsur N maupun bahan organik.

Sebagai tanaman sela, maka jenis tanaman pakan ternak yang paling sesuai untuk model silvopasture adalah spesies yang toleran terhadap naungan. Beberapa spesies rumput yang toleran terhadap naungan seperti Stenotaphrum secundatum (Stur dan

Page 64: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

64

Nutrisi dan Pakan Kambing

Shelton 1990; Sirait et al. 2005) dan Brachiaria humidicola (Wong 1990; Sirait et al. 2005) dapat menjadi pilihan utama. Selain toleran terhadap naungan kedua jenis rumput tersebut juga disukai (palatable) oleh kambing dan memiliki kecernaan nutrisi yang tinggi (Ginting dan Tarigan 2006). Jenis rumput lain jang juga dapat tumbuh dengan baik sebagai tanaman sela di areal tanaman jeruk adalah Paspalum guenoarum dan Brachiaria ruziziensis (Ginting 2007). Dari kelompok legum herba jenis Arachis pintoi dan Arachis glabrata dilaporkan toleran terhadap naungan (Ferguson dan Loch 1999; Sirait et al. 2005). Kedua jenis legum herba tersebut dapat digunakan sebagai pakan tunggal pada kambing dan memiliki palatabilitas yang tinggi (Ginting dan Tarigan 2005).

Page 65: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

65

Nutrisi dan Pakan Kambing

Shelton 1990; Sirait et al. 2005) dan Brachiaria humidicola (Wong 1990; Sirait et al. 2005) dapat menjadi pilihan utama. Selain toleran terhadap naungan kedua jenis rumput tersebut juga disukai (palatable) oleh kambing dan memiliki kecernaan nutrisi yang tinggi (Ginting dan Tarigan 2006). Jenis rumput lain jang juga dapat tumbuh dengan baik sebagai tanaman sela di areal tanaman jeruk adalah Paspalum guenoarum dan Brachiaria ruziziensis (Ginting 2007). Dari kelompok legum herba jenis Arachis pintoi dan Arachis glabrata dilaporkan toleran terhadap naungan (Ferguson dan Loch 1999; Sirait et al. 2005). Kedua jenis legum herba tersebut dapat digunakan sebagai pakan tunggal pada kambing dan memiliki palatabilitas yang tinggi (Ginting dan Tarigan 2005).

VII. SISTEM PAKAN DALAM INTEGRASI KAMBING DENGAN KELAPA SAWIT

A. Agroklimat Kelapa Sawit dan Kambing

Kondisi agroklimat yang ideal bagi tanaman kelapa sawit, menurut Sugyono et al. (2002) adalah, curah hujan antara 1500-2000 mm per tahun dengan tidak terdapat musim kering >2 bulan. Kelembapan berkisar antara 50-90% dan optimal pada kelembapan 80%. Areal kebun berada pada ketinggian 400 m dpl dengan topografi ideal antara 0-8%. Pada topografi 8-30% (bergelombang-berbukit) kelapa sawit masih dapat tumbuh dengan baik. Kisaran kondisi klimat seperti tersebut diatas juga sesuai bagi biologis kambing yang memiliki kemampuan beradaptasi yang tinggi terhadap kondisi iklim yang beragam (Singh 1992). Topografi yang bergelombang atau berbukit sesuai dangan habitat asli kambing (MacFarlane 1982), sehingga ternak akan mampu berkembang dengan baik pada berbagai keragaman topografi pada suatu areal kebun sawit yang luas. Namun, kelembapan ideal bagi tanaman kelapa sawit yang relatif tinggi pada dasarnya bukan merupakan kondisi ideal bagi ternak kambing, karena dapat memicu terjadinya berbagai kasus penyakit. Salah satu penyakit yang memiliki prevalensi tinggi pada kelembapan tinggi adalah scabies yang kronis.

B. Model Konseptual Sistem Integrasi Usaha Ternak Kambing dengan Perkebunan Kelapa Sawit

Kesertaan ternak, seperti kambing sebagai salah satu komponen di dalam sistem perkebunan kelapa sawit membentuk suatu sistem baru yang semakin kompleks, karena melibatkan beberapa komponen lain yang terkait secara integratif. Komponen tersebut adalah tanaman utama (kelapa sawit), ternak (kambing) dan lahan, hijauan pakan dan mikroklimat di bawah kanopi sawit. Selain sebagai komponen utama, tanaman

Page 66: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

66

Nutrisi dan Pakan Kambing

sawit berperan sebagai sumber pakan yaitu: (1) Tanaman kelapa sawit (daun dan pelepah); dan (2) Pabrik pengolah tandan buah segar (bungkil sawit, lumpur minyak sawit, tandan buah kosong dan serat perasan buah). Kapasitas komponen utama sebagai sumber pakan bervariasi menurut tipologi kebun (perkebunan besar, perkebunan menengah dan perkebunan rakyat), dan struktur umur tanaman kelapa sawit (tanaman belum menghasilkan dan tanaman menghasilkan). Sistem integrasi dengan empat komponen (tanaman kelapa sawit, vegetasi di bawah kanopi, pabrik pengolahan tandan dan ternak kambing) dapat dikembangkan pada tipologi perkebunan berskala besar. Pada tipologi perkebunan berskala menengah biasanya hanya terdapat tiga komponen utama yaitu tanaman kelapa sawit, vegetasi di bawah tanaman utama dan ternak kambing, namun dapat menjadi empat komponen bila terdapat pabrik pengolah TBS (skala mini). Pada tipologi perkebunan rakyat jumlah komponen utama hanya ada dua pada areal tanaman belum menghasilkan (TBM) yaitu vegetasi di bawah tanaman utama dan ternak kambing, atau tiga komponen yaitu tanaman kelapa sawit, vegetasi di bawah tanaman utama dan ternak kambing di areal tanaman yang telah menghasilkan (TM).

Komponen tanaman kelapa sawit merupakan subsistem inti karena secara langsung menentukan besaran potensi komponen “vegetasi di bawah kanopi” dan “pabrik pengolah TBS” sebagai sumber pakan dan nutrien. Bertambahnya umur tanaman kelapa sawit dan perubahan manajemen pengelolaan tanaman akan secara langsung mempengaruhi produksi biomasa vegetasi di bawah kanopi kelapa sawit (komposisi botani, kualitas nutrisi, palatabilitas), maupun produksi hasil samping pengolahan TBS. Potensi vegetasi hijauan pakan, hasil samping tanaman kelapa sawit dan hasil samping pengolahan TBS sebagai sumber pakan selanjutnya ditentukan oleh kualitas nutrisi dalam mendukung kebutuhan kambing untuk berproduksi secara efisien. Kualitas nutrisi ini merupakan fungsi dari komposisi kimiawi, tingkat

Page 67: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

67

Nutrisi dan Pakan Kambing

sawit berperan sebagai sumber pakan yaitu: (1) Tanaman kelapa sawit (daun dan pelepah); dan (2) Pabrik pengolah tandan buah segar (bungkil sawit, lumpur minyak sawit, tandan buah kosong dan serat perasan buah). Kapasitas komponen utama sebagai sumber pakan bervariasi menurut tipologi kebun (perkebunan besar, perkebunan menengah dan perkebunan rakyat), dan struktur umur tanaman kelapa sawit (tanaman belum menghasilkan dan tanaman menghasilkan). Sistem integrasi dengan empat komponen (tanaman kelapa sawit, vegetasi di bawah kanopi, pabrik pengolahan tandan dan ternak kambing) dapat dikembangkan pada tipologi perkebunan berskala besar. Pada tipologi perkebunan berskala menengah biasanya hanya terdapat tiga komponen utama yaitu tanaman kelapa sawit, vegetasi di bawah tanaman utama dan ternak kambing, namun dapat menjadi empat komponen bila terdapat pabrik pengolah TBS (skala mini). Pada tipologi perkebunan rakyat jumlah komponen utama hanya ada dua pada areal tanaman belum menghasilkan (TBM) yaitu vegetasi di bawah tanaman utama dan ternak kambing, atau tiga komponen yaitu tanaman kelapa sawit, vegetasi di bawah tanaman utama dan ternak kambing di areal tanaman yang telah menghasilkan (TM).

Komponen tanaman kelapa sawit merupakan subsistem inti karena secara langsung menentukan besaran potensi komponen “vegetasi di bawah kanopi” dan “pabrik pengolah TBS” sebagai sumber pakan dan nutrien. Bertambahnya umur tanaman kelapa sawit dan perubahan manajemen pengelolaan tanaman akan secara langsung mempengaruhi produksi biomasa vegetasi di bawah kanopi kelapa sawit (komposisi botani, kualitas nutrisi, palatabilitas), maupun produksi hasil samping pengolahan TBS. Potensi vegetasi hijauan pakan, hasil samping tanaman kelapa sawit dan hasil samping pengolahan TBS sebagai sumber pakan selanjutnya ditentukan oleh kualitas nutrisi dalam mendukung kebutuhan kambing untuk berproduksi secara efisien. Kualitas nutrisi ini merupakan fungsi dari komposisi kimiawi, tingkat

Sistem Pakan dalam Integrasi Kambing dengan Kelapa Sawit

konsumsi serta taraf kecernaan bahan. Energi tersedia yang berasal dari berbagai jenis bahan pakan yang disesuaikan dengan tingkat kebutuhan nutrisi kambing pada berbagai status fisiologis akan menentukan jumlah dan struktur populasi kambing yang dapat dipelihara pada suatu areal atau kawasan kebun sawit. Dari komponen ternak kambing akan dihasilkan produk samping berupa bahan organik yang berfungsi untuk meningkatkan produksi baik hijauan pakan maupun produktivitas tanaman kelapa sawit melalui perbaikan biofisik dan peningkatan kandungan unsur organik tanah. Dengan demikian, sebagian unsur organik dan inorganik yang telah digunakan untuk mendukung produksi kambing dapat dikembalikan ke dalam sistem.

C. Optimalisasi Pemanfaatan Hasil Samping Kelapa Sawit Sebagai Pakan dalam Sistem Kebun Rakyat

Pelepah kelapa sawit merupakan bahan baku pakan yang potensial di dalam sistem perkebunan rakyat. Pelepah ini tergolong ke dalam kelompok bahan pakan berserat tinggi (roughage) yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan dasar (basal) untuk kambing. Komposisi kimiawi (Tabel 8) menunjukkan kandungan serat (selulosa dan hemiselulosa) yang tinggi. Kandungan protein kasar tergolong rendah dan berpengaruh terhadap palatabilitas dan konsumsi. Bahan pakan dengan kandungan protein <7% biasanya memiliki palatabilitas yang rendah dan menyebabkan konsumsi yang rendah pula (Trung 1986). Unsur dinding sel pada pakan (selulosa, hemiselulosa, lignin dan silika) relatif sulit dicerna dan unsur ini mendominasi komposisi kimiawi pelepah (83%) dan daun sawit (76%). Lignin yang berasosiasi dengan selulosa maupun hemiselulosa secara fisik menghambat proses penguraian selulosa dan hemiselulosa secara enzimatis dan bersama silika menyebabkan penurunan kecernaan.

Page 68: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

68

Nutrisi dan Pakan Kambing

Tabel 8. Komposisi kimiawi pelepah dan daun kelapa sawit

Bahan Protein kasar

Lemak kasar EDSBN Selulosa Hemi-

selulosa Lignin Silika

Pelepah Sawit 4,7 0,5 12,6 31,7 33,9 17,4 0,6

Daun Sawit 14,8 3,2 6,5 16,6 27,6 27,6 3,8

EDSBN: ekstrak dinding sel bebas nitrogen (terutama gula dan asam organik) Sumber: Oshio et al. (1990); Alimon dan Hair Bejo (1995); Abu Hassan (1995)

Pelepah sawit juga dilapisi oleh kulit luar yang keras, sedangkan daun sawit mengandung lidi yang keduanya menyebabkan konsumsi dan kecernaan yang rendah. Faktor fisik maupun komposisi kimiawi ini menjadi kendala utama dalam pemanfaatan pelepah dan daun sebagai pakan kambing. Oleh karena itu, terbatasnya kualitas nutrisi pelepah sebagai pakan dasar, sementara penggunaan pakan konsentrat yang relatif mahal dan tidak selalu mudah diperoleh secara lokal bukanlah pilihan yang menarik bagi petani kebun. Dalam kondisi seperti ini strategi pengelolaan pakan yang kemungkinan lebih sesuai adalah pendekatan feed budget system. Sistem ini mengutamakan pemanfaatan secara maksimal sumberdaya pakan yang aktual tersedia, mudah diakses dan ekonomis, terlepas apakah kapasitas nutrisinya mampu mendukung produksi sesuai potensi genetik (Schiere 1986). Dengan kata lain, tingkat produksi ternak disesuaikan dengan kapasitas dukung pakan yang secara aktual tersedia baik kuantitaif maupun kualitatif. Sasaran yang ingin dicapai dalam penerapan strategi ini adalah memaksimalkan ekstraksi nutrisi dari berbagai bahan pakan dengan memaksimalkan taraf konsumsi dan kecernaan.

Peningkatan konsumsi dan kecernaan pelepah dan daun sawit dapat dilakukan melalui berbagai proses pengolahan fisik,

Page 69: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

69

Nutrisi dan Pakan Kambing

Tabel 8. Komposisi kimiawi pelepah dan daun kelapa sawit

Bahan Protein kasar

Lemak kasar EDSBN Selulosa Hemi-

selulosa Lignin Silika

Pelepah Sawit 4,7 0,5 12,6 31,7 33,9 17,4 0,6

Daun Sawit 14,8 3,2 6,5 16,6 27,6 27,6 3,8

EDSBN: ekstrak dinding sel bebas nitrogen (terutama gula dan asam organik) Sumber: Oshio et al. (1990); Alimon dan Hair Bejo (1995); Abu Hassan (1995)

Pelepah sawit juga dilapisi oleh kulit luar yang keras, sedangkan daun sawit mengandung lidi yang keduanya menyebabkan konsumsi dan kecernaan yang rendah. Faktor fisik maupun komposisi kimiawi ini menjadi kendala utama dalam pemanfaatan pelepah dan daun sebagai pakan kambing. Oleh karena itu, terbatasnya kualitas nutrisi pelepah sebagai pakan dasar, sementara penggunaan pakan konsentrat yang relatif mahal dan tidak selalu mudah diperoleh secara lokal bukanlah pilihan yang menarik bagi petani kebun. Dalam kondisi seperti ini strategi pengelolaan pakan yang kemungkinan lebih sesuai adalah pendekatan feed budget system. Sistem ini mengutamakan pemanfaatan secara maksimal sumberdaya pakan yang aktual tersedia, mudah diakses dan ekonomis, terlepas apakah kapasitas nutrisinya mampu mendukung produksi sesuai potensi genetik (Schiere 1986). Dengan kata lain, tingkat produksi ternak disesuaikan dengan kapasitas dukung pakan yang secara aktual tersedia baik kuantitaif maupun kualitatif. Sasaran yang ingin dicapai dalam penerapan strategi ini adalah memaksimalkan ekstraksi nutrisi dari berbagai bahan pakan dengan memaksimalkan taraf konsumsi dan kecernaan.

Peningkatan konsumsi dan kecernaan pelepah dan daun sawit dapat dilakukan melalui berbagai proses pengolahan fisik,

Sistem Pakan dalam Integrasi Kambing dengan Kelapa Sawit

kimiawi, biologis, suplementasi atau kombinasinya (Gambar 9). Perlakuan fisik berupa pencacahan atau perajangan bertujuan untuk menghasilkan partikel bahan yang lebih halus (abon pelepah sawit). Perajangan pelepah untuk ternak kambing merupakan salah satu cara yang efektif untuk meningkatkan konsumsi. Kecernaan bahan dapat pula meningkat pada partikel pakan yang lebih kecil akibat semakin luasnya areal permukaan yang dapat diakses oleh mikroba rumen untuk membentuk koloni. Koloni mikroba di dalam rumen selanjutnya menghidrolisis dan mendegradasi substrat polimer di dalam partikel pakan secara enzimatis.

Gambar 9. Prosesing dan suplementasi untuk mengoptimalkan penggunaan pelepah kelapa sawit sebagai pakan dalam sistem perkebunan rakyat

Dalam skala usaha kecil pengolahan fisik dapat dilakukan dengan pencacahan secara manual untuk menghasilkan potongan pelepah yang lebih mudah dikonsumsi. Cara ini mudah dilakukan oleh peternak secara individu tanpa harus membentuk kelompok sebagai upaya untuk meningkatkan

Pelepah kelapa

Sawit

Rajangan pelepah

Pakan dasar

Suplementasi N

Perajangan

Hijauan leguminosa Ensilase

Amoniasi

Page 70: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

70

Nutrisi dan Pakan Kambing

kapasitas infrastruktur. Dalam skala menengah dan besar perajangan secara mekanis menggunakan mesin merupakan cara yang efisien untuk mengolah pelepah kelapa sawit. Pada sistem perkebunan rakyat biaya pengadaan mesin dan motor penggerak serta biaya operasional dan pemeliharaan umumnya sulit terjangkau. Namun, penggunaan dan pengelolaan mesin dapat dilakukan secara berkelompok untuk mencapai skala produksi yang ekonomis. Oleh karena itu, membangun kelembagaan berupa kelompok petani-peternak kambing yang kuat dan dinamis merupakan salah satu simpul strategis untuk mengembangkan sistem integrasi kambing dengan tanaman kelapa sawit.

Program bantuan pengadaan mesin perajang dapat dikembangkan sebagai salah satu pendekatan untuk memacu implementasi sistem integrasi. Peralatan ini sangat membantu kelompok dalam mengoptimalkan penggunaan pelepah sebagai pakan, meskipun biaya operasional akan dapat ditanggung oleh kelompok melalui pencapaian skala produksi yang ekonomis. Apabila teknik perajangan dapat diadopsi secara ekonomis, maka selanjutnya terbuka peluang untuk berbagai pilihan prosesing lain sesuai dengan tujuan pembuatan pakan, seperti ensilase ataupun amoniasi yang dapat meningkatkan kualitas nutrisi pelepah sawit. Ensilase sebagai salah satu cara untuk preservasi pakan sangat berguna dalam mengembangkan suatu sistem cadangan pakan. Silase pelepah sawit dapat disimpan dan kemudian digunakan sesuai dengan kebutuhan. Proses ensilase untuk cadangan pakan bermanfaat dalam mengalokasikan waktu untuk berbagai aktivitas produksi dan sosial yang harus dilakukan oleh masyarakat petani kebun.

Teknis proses ensilase dilakukan dengan mencampur rajangan pelepah dan daun sawit bersama dengan bahan aditif yang mengandung karbohidrat mudah larut sebelum difermentasi secara anaerobik. Bahan aditif yang sangat baik adalah gula tetes (molases) yaitu hasil samping pengolahan tebu menjadi

Page 71: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

71

Nutrisi dan Pakan Kambing

kapasitas infrastruktur. Dalam skala menengah dan besar perajangan secara mekanis menggunakan mesin merupakan cara yang efisien untuk mengolah pelepah kelapa sawit. Pada sistem perkebunan rakyat biaya pengadaan mesin dan motor penggerak serta biaya operasional dan pemeliharaan umumnya sulit terjangkau. Namun, penggunaan dan pengelolaan mesin dapat dilakukan secara berkelompok untuk mencapai skala produksi yang ekonomis. Oleh karena itu, membangun kelembagaan berupa kelompok petani-peternak kambing yang kuat dan dinamis merupakan salah satu simpul strategis untuk mengembangkan sistem integrasi kambing dengan tanaman kelapa sawit.

Program bantuan pengadaan mesin perajang dapat dikembangkan sebagai salah satu pendekatan untuk memacu implementasi sistem integrasi. Peralatan ini sangat membantu kelompok dalam mengoptimalkan penggunaan pelepah sebagai pakan, meskipun biaya operasional akan dapat ditanggung oleh kelompok melalui pencapaian skala produksi yang ekonomis. Apabila teknik perajangan dapat diadopsi secara ekonomis, maka selanjutnya terbuka peluang untuk berbagai pilihan prosesing lain sesuai dengan tujuan pembuatan pakan, seperti ensilase ataupun amoniasi yang dapat meningkatkan kualitas nutrisi pelepah sawit. Ensilase sebagai salah satu cara untuk preservasi pakan sangat berguna dalam mengembangkan suatu sistem cadangan pakan. Silase pelepah sawit dapat disimpan dan kemudian digunakan sesuai dengan kebutuhan. Proses ensilase untuk cadangan pakan bermanfaat dalam mengalokasikan waktu untuk berbagai aktivitas produksi dan sosial yang harus dilakukan oleh masyarakat petani kebun.

Teknis proses ensilase dilakukan dengan mencampur rajangan pelepah dan daun sawit bersama dengan bahan aditif yang mengandung karbohidrat mudah larut sebelum difermentasi secara anaerobik. Bahan aditif yang sangat baik adalah gula tetes (molases) yaitu hasil samping pengolahan tebu menjadi

Sistem Pakan dalam Integrasi Kambing dengan Kelapa Sawit

gula. Namun, molases tidak selalu mudah dapat diakses oleh petani kebun, karena terbatasnya ketersediaan di pasar. Bahan aditif lain yang dapat digunakan antara lain adalah tepung tapioka dan tepung jagung. Bahan aditif digunakan sebanyak 3-5% dari total berat pelepah (3-5 kg/100 kg pelepah). Rajangan pelepah yang telah dicampur merata dengan bahan aditif kemudian dipadatkan dalam tempat penyimpanan (silo) yang kedap udara, dan dibiarkan selama 2-3 bulan. Silase yang dihasilkan biasanya dapat bertahan selama 7-10 hari setelah tempat penyimpanan dibuka. Oleh karena itu, volume tempat pembuatan silase sebaiknya disesuaikan dengan kebutuhan pakan untuk masa keawetan silase.

Perlakuan kimiawi bertujuan untuk menghidrolisis ikatan kovalen di dalam substansi polisakarida (serat), sehingga menghasilkan substansi monomer yang selanjutnya dapat difermentasi secara anaerob oleh mikroba di dalam rumen kambing. Amoniasi merupakan cara kimiawi yang efektif dengan menggunakan urea sebagai bahan aktif. Selain memiliki fungsi hidrolisis, urea juga dapat meningkatkan kandungan protein kasar pelepah. Amoniasi dapat dilakukan dengan menambahkan urea sebanyak 3% (3 kg/100 kg bahan) dan dicampur merata. Aplikasi urea dapat juga dilakukan dengan terlebih dahulu melarutkan urea dalam air dan larutan urea selanjutnya disemprotkan secara merata.

Pendekatan suplementasi, terutama suplementasi N dan mineral dapat mengoptimalkan proses fermentasi di dalam reticulo-rumen rumen, sehingga meningkatkan taraf konsumsi dan kecernaan pakan. Ambang batas konsentrasi amonia di dalam cairan rumen yang diperlukan untuk menjamin perkembangan dan aktivitas mikroba dalam mencerna bahan pakan berkisar antara 2-5 mg/100ml. Untuk mencapai konsentrasi tersebut dibutuhkan ransum dengan kandungan protein antara 11-14% (2% N). Penggunaan pelepah sawit saja dengan kandungan protein kasar antara 4-5% ataupun campuran

Page 72: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

72

Nutrisi dan Pakan Kambing

pelepah dengan daun tidak dapat mencukupi taraf kebutuhan protein kasar (N) tersebut. Dengan demikian, ketersediaan N pada sistem ini sangat penting dan dapat dicapai dengan menggunakan tambahan pakan dengan kandungan N tinggi. Pakan konvensional sumber protein tinggi seperti tepung ikan, bungkil kacang kedelai secara teknis dapat digunakan dalam sistem integrasi, namun secara ekonomis bahan tersebut tidak selalu menguntungkan dan dipengaruhi oleh skala usaha. Pengembangan sumber pakan tinggi protein yang murah seperti tanaman leguminosa pohon ataupun herba merupakan alternatif yang menjanjikan di dalam sistem integrasi kelapa sawit dengan kambing. Berbagai jenis leguminosa pohon, antara lain lamtoro, gamal, kaliandra dan indigofera mengandung protein kasar antara 19-28% (Norton 1994; Dalzell et al. 1998). Tanaman ini mudah dikembangkan pada lahan pekarangan, pada batas lahan atau pinggiran kebun.

Optimalisasi penggunaan pelepah dapat pula dilakukan dengan hanya menggunakan bagian atau fraksi pelepah dengan kualitas nutrisi paling tinggi. Bagian atas pelepah memiliki kualitas nutrisi lebih tinggi dibandingkan dengan bagian bawah atau pangkal pelepah. Dengan hanya memanfaatkan bagian atas pelepah, maka beberapa hal penting dapat dicapai yaitu: (i) meningkatnya kualitas nutrisi bahan baku pakan; (ii) meningkatnya biomasa yang dikembalikan ke dalam sistem kebun; dan (iii) kebutuhan spesifikasi mesin untuk memproses pelepah lebih sederhana dan dengan biaya yang lebih murah. Namun, penggunaan fraksi daun kelapa sawit tetap membutuhkan mesin yang kuat yang dapat menghancurkan komponen lidi yang ada pada helai daun. Alternatif lain yang dapat digunakan adalah dengan merekayasa alat sederhana yang secara efektif dapat memisahkan helai daun dengan lidi, sehingga daun dapat diproses dengan lebih mudah dan murah. Dengan demikian, maka kendala biaya untuk pengadaan mesin shredder

Page 73: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

73

Nutrisi dan Pakan Kambing

pelepah dengan daun tidak dapat mencukupi taraf kebutuhan protein kasar (N) tersebut. Dengan demikian, ketersediaan N pada sistem ini sangat penting dan dapat dicapai dengan menggunakan tambahan pakan dengan kandungan N tinggi. Pakan konvensional sumber protein tinggi seperti tepung ikan, bungkil kacang kedelai secara teknis dapat digunakan dalam sistem integrasi, namun secara ekonomis bahan tersebut tidak selalu menguntungkan dan dipengaruhi oleh skala usaha. Pengembangan sumber pakan tinggi protein yang murah seperti tanaman leguminosa pohon ataupun herba merupakan alternatif yang menjanjikan di dalam sistem integrasi kelapa sawit dengan kambing. Berbagai jenis leguminosa pohon, antara lain lamtoro, gamal, kaliandra dan indigofera mengandung protein kasar antara 19-28% (Norton 1994; Dalzell et al. 1998). Tanaman ini mudah dikembangkan pada lahan pekarangan, pada batas lahan atau pinggiran kebun.

Optimalisasi penggunaan pelepah dapat pula dilakukan dengan hanya menggunakan bagian atau fraksi pelepah dengan kualitas nutrisi paling tinggi. Bagian atas pelepah memiliki kualitas nutrisi lebih tinggi dibandingkan dengan bagian bawah atau pangkal pelepah. Dengan hanya memanfaatkan bagian atas pelepah, maka beberapa hal penting dapat dicapai yaitu: (i) meningkatnya kualitas nutrisi bahan baku pakan; (ii) meningkatnya biomasa yang dikembalikan ke dalam sistem kebun; dan (iii) kebutuhan spesifikasi mesin untuk memproses pelepah lebih sederhana dan dengan biaya yang lebih murah. Namun, penggunaan fraksi daun kelapa sawit tetap membutuhkan mesin yang kuat yang dapat menghancurkan komponen lidi yang ada pada helai daun. Alternatif lain yang dapat digunakan adalah dengan merekayasa alat sederhana yang secara efektif dapat memisahkan helai daun dengan lidi, sehingga daun dapat diproses dengan lebih mudah dan murah. Dengan demikian, maka kendala biaya untuk pengadaan mesin shredder

Sistem Pakan dalam Integrasi Kambing dengan Kelapa Sawit

yang sulit dijangkau oleh petani atau kelompok petani dapat diatasi.

D. Optimalisasi Pemanfaatan Hasil Samping Kelapa Sawit Sebagai Pakan dalam Sistem Perkebunan Besar

Pada sistem perkebunan besar, strategi pengelolaan pakan dapat dilakukan dengan berlandaskan kepada sistem feeding standard yaitu pengembangan pakan yang disesuaikan dengan standar kebutuhan gizi ternak untuk mencapai tingkat produksi sesuai kapasitas genetiknya. Selain pelepah dan daun sawit, pada sistem perkebunan besar tersedia hasil samping tanaman berupa batang kelapa sawit pada saat dilakukan peremajaan. Dari industri pengolahan buah sawit dihasilkan tandan buah kosong, serat mesokarp, lumpur sawit atau Solid decanter dan bungkil inti sawit (Tabel 9). Kandungan serat, lignin dan silika pada serat mesokarp, tandan buah kosong dan batang kelapa sawit tergolong tinggi dan mengakibatkan rendahnya konsumsi dan kecernaan, bila digunakan sebagai pakan.

Kecernaan bahan pakan tersebut tergolong rendah yaitu berkisar antara 30-45% (Jelan et al. 1986; Oshio et al. 1990), dan dimasukkan ke dalam kelompok pakan serat (roughage) yang konsentrasi nutrisinya rendah. Namun demikian, ternak kambing dapat memanfaatkan bahan tersebut sebagai pakan dasar untuk paling tidak memenuhi kebutuhan hidup pokok (maintenance). Untuk memenuhi kebutuhan produksi, maka perlu ditambahkan bahan pakan lain (suplemen) dengan konsentrasi nutrisi yang lebih tinggi dan profil yang seimbang, terutama energi dan protein. Bungkil inti sawit dan lumpur sawit dapat memenuhi kriteria sebagai suplemen untuk memenuhi kebutuhan nutrisi kambing.

Page 74: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

74

Nutrisi dan Pakan Kambing

Tabel 9. Komposisi kimiawi beberapa hasil samping tanaman dan pabrik pengolahan kelapa sawit

Bahan Protein kasar

Lemak kasar EDSBN Selulosa Hemi-

selulosa Lignin Silika

Serat mesokarp 5,8 4,7 3,2 19,5 33,7 29,6 3,8

Batang 3,2 0,6 11,9 34,0 35,8 12,6 1,4 Tandan buah kosong 3,7 3,2 - 44,4 26,4 21,5 -

Limbah cair sawit 12,5 12,0 - 32,6 11,2 19,2 7-10

Bungkil inti sawit 17,2 1,1 - - 21,4 - -

EDSBN: ekstrak dinding sel bebas nitrogen (terutama gula dan asam organik) Sumber: Oshio et al. (1990); Alimon dan Hair Bejo (1995); Alimon dan Hair Bejo (1995);Rahman et al. (2007); Simarani et al. (2009)

1. Prosesing untuk Meningkatkan Konsumsi dan Kecernaan Pakan Dasar

Tekanan unsur lignoselulosa yang dapat bersifat anti-nutrisi terhadap ruminansia kecil diwujudkan dalam bentuk rendahnya taraf cerna dan taraf konsumsi pakan. Kedua parameter tersebut, terutama taraf konsumsi merupakan indikator utama yang menentukan efisiensi penggunaan suatu bahan pakan (Merten 1994; Baumont et al. 2000). Faktor lain yang membatasi penggunaan beberapa bahan asal perkebunan adalah keambaan (bulkiness) yang tinggi dan kandungan air yang tinggi, sehingga mudah rusak (lumpur sawit), sehingga memerlukan prosesing preservatif untuk memperpanjang masa pakai. Beberapa teknologi prosesing yang memiliki prospek dalam meningkatkan kualitas nutrisi maupun preservasi untuk ternak ruminansia kecil ditampilkan pada Gambar 10.

Page 75: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

75

Gam

bar 1

0. T

ekno

logi

pro

sesi

ng y

ang

dapa

t di

guna

kan

untu

k m

enin

gkat

kan

kual

itas

nutri

si b

ahan

pak

an a

sal

perk

ebun

an u

ntuk

rum

inan

sia

keci

l

Sistem Pakan dalam Integrasi Kambing dengan Kelapa

Sawit

Nutrisi dan Pakan Kambing

Tabel 9. Komposisi kimiawi beberapa hasil samping tanaman dan pabrik pengolahan kelapa sawit

Bahan Protein kasar

Lemak kasar EDSBN Selulosa Hemi-

selulosa Lignin Silika

Serat mesokarp 5,8 4,7 3,2 19,5 33,7 29,6 3,8

Batang 3,2 0,6 11,9 34,0 35,8 12,6 1,4 Tandan buah kosong 3,7 3,2 - 44,4 26,4 21,5 -

Limbah cair sawit 12,5 12,0 - 32,6 11,2 19,2 7-10

Bungkil inti sawit 17,2 1,1 - - 21,4 - -

EDSBN: ekstrak dinding sel bebas nitrogen (terutama gula dan asam organik) Sumber: Oshio et al. (1990); Alimon dan Hair Bejo (1995); Alimon dan Hair Bejo (1995);Rahman et al. (2007); Simarani et al. (2009)

1. Prosesing untuk Meningkatkan Konsumsi dan Kecernaan Pakan Dasar

Tekanan unsur lignoselulosa yang dapat bersifat anti-nutrisi terhadap ruminansia kecil diwujudkan dalam bentuk rendahnya taraf cerna dan taraf konsumsi pakan. Kedua parameter tersebut, terutama taraf konsumsi merupakan indikator utama yang menentukan efisiensi penggunaan suatu bahan pakan (Merten 1994; Baumont et al. 2000). Faktor lain yang membatasi penggunaan beberapa bahan asal perkebunan adalah keambaan (bulkiness) yang tinggi dan kandungan air yang tinggi, sehingga mudah rusak (lumpur sawit), sehingga memerlukan prosesing preservatif untuk memperpanjang masa pakai. Beberapa teknologi prosesing yang memiliki prospek dalam meningkatkan kualitas nutrisi maupun preservasi untuk ternak ruminansia kecil ditampilkan pada Gambar 10.

Page 76: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

76

Nutrisi dan Pakan Kambing

Teknologi prosesing secara oksidatif maupun hidrolitik berdampak kepada peningkatan kecernaan dan konsumsi pakan. Prosesing secara fisik (penurunan partikel) berdampak positif kepada konsumsi, walaupun dapat berdampak negatif kepada kecernaan (Ben-Salem dan Nefzaoui 2003). Prosesing pakan secara biologik selain dapat bersifat preservatif (ensilase) untuk memudahkan penyimpanan dan penaganan (Wang et al. 2010) juga dapat meningkatkan kecernaan melalui proses biokonversi (Villas-Boas et al. 2002). Seluruh metode prosesing tersebut dapat mengatasi cekaman nutrisi yang diakibatkan oleh tingginya unsur lignoselulosa pada bahan pakan asal perkebunan. Prinsip kerja prosesing dalam menangani lignoselulosa dipaparkan pada Gambar 11.

Gambar 11. Skema pengaruh perlakuan hidrolitik, oksidatif dan hidrotermal terhadap ikatan komplek karbohidrat-lignin. A: ikatan glikosidik; B: ikatan ester (labil alkalis); C: ikatan ether adalah matriks polisakarida (dimodifikasi dari Chesson 1993)

Perlakuan oksidatif maupun biologis memberi efek perubahan terhadap komponen senyawa fenol yang menyusun struktur

Lignin Lignin Lignin

B C

A

A

Bio-konversi

Hidrolitik

Hidrotermal

Oksidatif

Page 77: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

77

Sistem Pakan dalam Integrasi Kambing dengan Kelapa Sawit

lignin yang kompleks. Perlakuan hidrolitik menyebabkan pelepasan ikatan ester yang terbentuk antara lignin dengan karbohidrat (polisakarida). Perlakuan hidrotermal menyebabkan hidrolisis secara parsial pada ikatan glikosidik pada temperatur rendah dan menyebabkan degradasi lignin pada temperatur tinggi (>180C) (Chesson 1993). Proses oksidatif, hidrolitik, biokonversi maupun hidrotermal tersebut di atas menyebabkan tingkat degradasi dan kecernaan bahan meningkat akibat terlepasnya sebagaian atau seluruh ikatan lignin dengan karbohidrat.

Konsumsi maupun kecernaan bahan pakan berserat tinggi dapat ditingkatkan melalui berbagai proses pengolahan baik fisik (perajangan, penggilingan, hidrotermal), kimiawi (amoniasi, hidrolisis NaOH) maupun secara biologis (ensilase, biokonversi) (Gambar 12). Perlakuan fisik berupa perajangan atau penggilingan dan penepungan merupakan proses paling kritis, karena berperan sebagai perlakuan awal (pre-treatment) sebelum perlakuan lain (kimiawi dan biologis) dapat digunakan secara efisien. Upaya mengoptimalkan manfaat hasil samping kelapa sawit sebagai pakan ternak semakin penting mengingat bahwa bahan-bahan tersebut dapat pula diolah untuk menghasilkan berbagai produk lain seperti sumber pulp, kompos, etanol, bahan perabotan dan karbon aktif (Gutierrez et al. 2009). Keuntungan komparatif sebagai pakan ternak hanya dapat dicapai bila tingkat konsumsi dan kecernaan maksimal untuk mengekstraksi nutrisi yang dibutuhkan oleh ternak.

Dengan dukungan kapital dan infrastruktur yang dimiliki oleh perkebunan besar serta akses terhadap bahan baku yang relatif tidak terbatas, maka terbuka peluang untuk memproduksi pakan ruminansia dalam skala besar secara ekonomis. Kondisi ini juga membuka peluang lebih besar untuk menerapkan berbagai alternatif teknologi prosesing untuk meningkatkan kualitas nutrisi setiap bahan baku pakan. Pilihan terhadap berbagai teknologi prosesing tersedia dapat dilakukan dari yang paling sederhana

Page 78: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

78

Nutrisi dan Pakan Kambing

(ensilase dan amoniasi) sampai teknologi yang membutuhkan peralatan lebih lengkap seperti hidrotermal.

Gambar 12. Alternatif teknologi prosesing untuk mengoptimalkan pemanfaatan hasil samping kelapa sawit sebagai pakan ruminansia pada sistem perkebunan besar

2. Proses Perajangan dan Penggilingan

Proses kritis dalam pemanfaatan hasil samping kelapa sawit adalah pengolahan secara fisik untuk memperkecil partikel pakan dengan perajangan atau pencacahan/penggilingan. Proses fisik

Pelepah kelapa sawit

Perajangan

Ensilase

Amoniasi

Pakan dasar

Hidrotermal

Hidrolisis NaOH

Serat mesokarp/tandan buah kosong/ batang kelapa sawit

Pencacahan-penggilingan

Biokonversi

Pakan lengkap

Konsentrat/BIS/ lumpur sawit

Page 79: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

79

Nutrisi dan Pakan Kambing

(ensilase dan amoniasi) sampai teknologi yang membutuhkan peralatan lebih lengkap seperti hidrotermal.

Gambar 12. Alternatif teknologi prosesing untuk mengoptimalkan pemanfaatan hasil samping kelapa sawit sebagai pakan ruminansia pada sistem perkebunan besar

2. Proses Perajangan dan Penggilingan

Proses kritis dalam pemanfaatan hasil samping kelapa sawit adalah pengolahan secara fisik untuk memperkecil partikel pakan dengan perajangan atau pencacahan/penggilingan. Proses fisik

Pelepah kelapa sawit

Perajangan

Ensilase

Amoniasi

Pakan dasar

Hidrotermal

Hidrolisis NaOH

Serat mesokarp/tandan buah kosong/ batang kelapa sawit

Pencacahan-penggilingan

Biokonversi

Pakan lengkap

Konsentrat/BIS/ lumpur sawit

Sistem Pakan dalam Integrasi Kambing dengan Kelapa Sawit

lain yang efektif meningkatkan konsumsi pakan setelah perajangan adalah pengolahan pakan menjadi pelet. Sebagai contoh, pertambahan berat badan harian sapi mencapai 0,93 kg dengan pemberian pelet pelepah sawit yang memiliki nilai TDN sebesar 33,3% (Asada et al. 1991). Untuk menghasilkan produk pakan dalam bentuk pelet, diperlukan terlebih dahulu proses penepungan agar pelet yang dihasilkan memiliki tekstur yang baik. Alternatif lain yang dapat dilakukan adalah memproses hasil cacahan atau gilingan menjadi bentuk blok, lempengan, kubus, wafer yang dapat memudahkan penanganan pakan dan meningkatkan konsumsi.

3. Amoniasi

Proses amoniasi merupakan proses hidrolisis alkalis menggunakan urea sebagai bahan alkalis. Urea yang bersifat alkalis lemah dilarutkan dalam air (3-5 kg/100 l) dan larutan urea kemudian disemprotkan secara merata kepermukaan bahan pakan sebanyak 100 kg. Bahan baku pakan kemudian disimpan dalam kondisi aerobik selama 3 minggu (Zain et al. 2008). Sebelum diberikan kepada ternak sebaiknya bahan pakan terlebih dahulu ditiriskan dan diangin-anginkan untuk mengurangi aroma amonia yang dapat menurunkan palatabilitas pakan. Selain urea, larutan alkalis 3% NH4OH (3 g NH4OH/100 g bahan) juga dapat digunakan untuk meningkatkan kecernaan serat perasan buah (Ho et al. 1996).

4. Hidrolisis Alkalis

Dalam pengolahan bahan pakan ternak berskala komersil, proses hidrolisis menggunakan larutan alkalis kuat seperti NaOH banyak digunakan di negara maju. Larutan NaOH dengan konsentrasi bervariasi antara 2-5 % NaOH (2-5 g NaOH/100 g bahan) dapat meningkatkan konsumsi serta kecernaan pakan

Page 80: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

80

Nutrisi dan Pakan Kambing

(Sahoo et al. 2002; Vadiveloo dan Fadel 2009). Proses pengolahan dilakukan dengan perendaman (dipping) atau penyemprotan larutan langsung ke bahan baku pakan. Untuk memproses 100 kg bahan baku diperlukan 6 kg NaOH yang dilarutkan dalam 250-300 liter air, dan larutan ini hanya digunakan sekali pakai. Bahan pakan kemudian direndam dalam larutan NaOH selama kurang lebih 1 jam, kemudian ditiriskan selama kurang lebih 1 jam dan disimpan selama 3-6 hari sebelum diberikan kepada ternak (Westgaard dan Sunstol 1986). Metode lain menggunakan masa perendaman yang lebih lama (24 jam) dengan larutan 5% NaOH dan meningkatkan kecernaan serat mesokarp dari 43,3% menjadi 58% (Jelan et al. 1986).

5. Hidrotermal

Perlakuan hidrotermal (steam explosion) yang menggambungkan perlakuan tekanan tinggi dengan temperatur tinggi dapat meningkatkan ketersediaan energi dari bahan baku berserat tinggi. Perlakuan ini juga dapat meningkatkan palatabilitas dan konsumsi. Tekanan yang digunakan biasanya tidak lebih dari 9 kg/cm2 dengan waktu perlakuan antara 30-60 menit. Alat berupa boiler yang telah tersedia di pabrik pengolahan buah kelapa sawit dapat digunakan untuk perlakuan hidrotermal, sehingga tidak membutuhkan investasi bagi pengadaan alat baru.

6. Biokonversi

Proses biokonversi banyak diterapkan pada bahan yang mengandung materi ligno-selulosa yang tinggi untuk meningkatkan nilai tambah dan manfaat penggunaannya. Unsur lignin yang membentuk ikatan kuat dengan selulosa dan hemiselulosa, menyebabkan sulit didegradasi secara enzimatis. Oleh karena itu, dalam menerapkan proses biokonversi perlu

Sistem Pakan dalam Integrasi Kambing dengan Kelapa Sawit

dipilih mikroba (jamur) yang secara selektif hanya mendegradasi unsur lignin saja, sedangkan unsur selulosa dan hemiselulosa sedapat mungkin tidak mengalami perubahan, sehingga tersedia sebagai sumber energi bagi ternak. Kelompok jamur yang banyak digunakan adalah jamur putih (white rot fungi) dan brown rot (Flegel dan Meevootism 1986; Tong et al. 1993).

Proses biokonversi menggunakan jamur secara fermentasi padat dilakukan dengan terlebih dahulu merendam bahan baku selama satu malam, kemudian air dihilangkan dengan penetesan atau tirisan sampai kadar air sedang, lalu ditaburi dengan kapur (CaCO3) sebanyak 3-5% dan dedak padi sebanyak 10%. Campuran kemudian diaduk secara merata. Inokulum (jamur) kemudian ditambahkan dan diaduk merata ke seluruh permukaan bahan pakan. Campuran bahan ditempatkan dalam ruangan gelap pada suhu kamar dan dibiarkan selama 2-3 bulan sebelum dipanen. Bahan yang sedang dalam proses perombakan kemudian diaduk dan dibalik untuk mendapat aerasi yang baik setiap bulan. Jamur akar putih terutama dari genus Pleurotus banyak digunakan dan tersedia secara komersial.

E. Pengolahan Lumpur Sawit

Lumpur sawit ataupun Solid decanter merupakan bahan baku pakan yang memiliki karakteristik kimiawi yang berbeda dengan umumnya hasil samping tanaman kelapa sawit. Kandungan air lumpur sawit tergolong tinggi, sehingga perlu diproses agar tidak mudah rusak, misalnya dengan pengeringan. Proses pengeringan dapat dilakukan dengan sinar matahari ataupun dicampur dengan bahan pakan lain yang dapat berfungsi sebagai absorbant (penyerap air). Proses penggunaan soild sebagai pakan pada dasarnya lebih mudah, karena dapat dicampur langsung dengan bahan pakan lain. Campuran solid atau lumpur sawit dengan bungkil inti sawit dengan rasio 50/50

Page 81: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

81

Nutrisi dan Pakan Kambing

(Sahoo et al. 2002; Vadiveloo dan Fadel 2009). Proses pengolahan dilakukan dengan perendaman (dipping) atau penyemprotan larutan langsung ke bahan baku pakan. Untuk memproses 100 kg bahan baku diperlukan 6 kg NaOH yang dilarutkan dalam 250-300 liter air, dan larutan ini hanya digunakan sekali pakai. Bahan pakan kemudian direndam dalam larutan NaOH selama kurang lebih 1 jam, kemudian ditiriskan selama kurang lebih 1 jam dan disimpan selama 3-6 hari sebelum diberikan kepada ternak (Westgaard dan Sunstol 1986). Metode lain menggunakan masa perendaman yang lebih lama (24 jam) dengan larutan 5% NaOH dan meningkatkan kecernaan serat mesokarp dari 43,3% menjadi 58% (Jelan et al. 1986).

5. Hidrotermal

Perlakuan hidrotermal (steam explosion) yang menggambungkan perlakuan tekanan tinggi dengan temperatur tinggi dapat meningkatkan ketersediaan energi dari bahan baku berserat tinggi. Perlakuan ini juga dapat meningkatkan palatabilitas dan konsumsi. Tekanan yang digunakan biasanya tidak lebih dari 9 kg/cm2 dengan waktu perlakuan antara 30-60 menit. Alat berupa boiler yang telah tersedia di pabrik pengolahan buah kelapa sawit dapat digunakan untuk perlakuan hidrotermal, sehingga tidak membutuhkan investasi bagi pengadaan alat baru.

6. Biokonversi

Proses biokonversi banyak diterapkan pada bahan yang mengandung materi ligno-selulosa yang tinggi untuk meningkatkan nilai tambah dan manfaat penggunaannya. Unsur lignin yang membentuk ikatan kuat dengan selulosa dan hemiselulosa, menyebabkan sulit didegradasi secara enzimatis. Oleh karena itu, dalam menerapkan proses biokonversi perlu

Sistem Pakan dalam Integrasi Kambing dengan Kelapa Sawit

dipilih mikroba (jamur) yang secara selektif hanya mendegradasi unsur lignin saja, sedangkan unsur selulosa dan hemiselulosa sedapat mungkin tidak mengalami perubahan, sehingga tersedia sebagai sumber energi bagi ternak. Kelompok jamur yang banyak digunakan adalah jamur putih (white rot fungi) dan brown rot (Flegel dan Meevootism 1986; Tong et al. 1993).

Proses biokonversi menggunakan jamur secara fermentasi padat dilakukan dengan terlebih dahulu merendam bahan baku selama satu malam, kemudian air dihilangkan dengan penetesan atau tirisan sampai kadar air sedang, lalu ditaburi dengan kapur (CaCO3) sebanyak 3-5% dan dedak padi sebanyak 10%. Campuran kemudian diaduk secara merata. Inokulum (jamur) kemudian ditambahkan dan diaduk merata ke seluruh permukaan bahan pakan. Campuran bahan ditempatkan dalam ruangan gelap pada suhu kamar dan dibiarkan selama 2-3 bulan sebelum dipanen. Bahan yang sedang dalam proses perombakan kemudian diaduk dan dibalik untuk mendapat aerasi yang baik setiap bulan. Jamur akar putih terutama dari genus Pleurotus banyak digunakan dan tersedia secara komersial.

E. Pengolahan Lumpur Sawit

Lumpur sawit ataupun Solid decanter merupakan bahan baku pakan yang memiliki karakteristik kimiawi yang berbeda dengan umumnya hasil samping tanaman kelapa sawit. Kandungan air lumpur sawit tergolong tinggi, sehingga perlu diproses agar tidak mudah rusak, misalnya dengan pengeringan. Proses pengeringan dapat dilakukan dengan sinar matahari ataupun dicampur dengan bahan pakan lain yang dapat berfungsi sebagai absorbant (penyerap air). Proses penggunaan soild sebagai pakan pada dasarnya lebih mudah, karena dapat dicampur langsung dengan bahan pakan lain. Campuran solid atau lumpur sawit dengan bungkil inti sawit dengan rasio 50/50

Page 82: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

82

Nutrisi dan Pakan Kambing

merupakan pakan konsentrat yang baik, karena masing-masing memiliki kandungan protein dan energi relatif tinggi. Kedua bahan tersebut dapat diproses menjadi pelet dan digunakan sebagai konsentrat (Vadiveloo 1986). Solid decanter juga dapat dicampur dengan bahan pakan lain yang mudah tersedia seperti dedak padi untuk menyusun formula pakan konsentrat dengan kandungan nutrisi yang seimbang untuk kambing. Biokonversi menggunakan jamur juga dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas nutrisi solid decanter (Pasaribu et al. 1998).

F. Pakan Lengkap Berbasis Hasil Samping Kelapa Sawit

Setelah melalui berbagai proses pengolahan baik secara fisik, kimiawi, biologis atau kombinasi ketiga perlakuan, hasil samping kelapa sawit berupa pelepah, serat mesokarp, tandan buah kosong atau batang kelapa sawit dapat gunakan sebagai pakan dasar untuk menggantikan peran hijauan rumput. Peran sebagai pakan dasar sangat strategis dalam sistem integrasi sawit dengan kambing mengingat bahwa ketersediaan rumput sulit dijamin dalam jumlah besar dan tersedia sepanjang tahun untuk mendukung produksi kambing, terlebih untuk skala komersial. Untuk menghasilkan pakan komplit dengan kandungan nutrisi seimbang, maka bahan pakan lain seperti bungkil inti sawit dan lumpur minyak sawit atau bahan pakan konsentrat lain yang tersedia dengan harga kompetitif dapat digunakan sebagai sumber protein dan mineral. Dengan demikian, pada sistem perkebunan besar terbuka peluang untuk menghasilkan pakan komplit untuk kambing yang seluruh bahannya berasal dari dalam sistem perkebunan sendiri. Beberapa formula pakan komplit yang dapat digunakan untuk kambing ditampilkan pada Tabel 10.

Page 83: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

83

Nutrisi dan Pakan Kambing

merupakan pakan konsentrat yang baik, karena masing-masing memiliki kandungan protein dan energi relatif tinggi. Kedua bahan tersebut dapat diproses menjadi pelet dan digunakan sebagai konsentrat (Vadiveloo 1986). Solid decanter juga dapat dicampur dengan bahan pakan lain yang mudah tersedia seperti dedak padi untuk menyusun formula pakan konsentrat dengan kandungan nutrisi yang seimbang untuk kambing. Biokonversi menggunakan jamur juga dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas nutrisi solid decanter (Pasaribu et al. 1998).

F. Pakan Lengkap Berbasis Hasil Samping Kelapa Sawit

Setelah melalui berbagai proses pengolahan baik secara fisik, kimiawi, biologis atau kombinasi ketiga perlakuan, hasil samping kelapa sawit berupa pelepah, serat mesokarp, tandan buah kosong atau batang kelapa sawit dapat gunakan sebagai pakan dasar untuk menggantikan peran hijauan rumput. Peran sebagai pakan dasar sangat strategis dalam sistem integrasi sawit dengan kambing mengingat bahwa ketersediaan rumput sulit dijamin dalam jumlah besar dan tersedia sepanjang tahun untuk mendukung produksi kambing, terlebih untuk skala komersial. Untuk menghasilkan pakan komplit dengan kandungan nutrisi seimbang, maka bahan pakan lain seperti bungkil inti sawit dan lumpur minyak sawit atau bahan pakan konsentrat lain yang tersedia dengan harga kompetitif dapat digunakan sebagai sumber protein dan mineral. Dengan demikian, pada sistem perkebunan besar terbuka peluang untuk menghasilkan pakan komplit untuk kambing yang seluruh bahannya berasal dari dalam sistem perkebunan sendiri. Beberapa formula pakan komplit yang dapat digunakan untuk kambing ditampilkan pada Tabel 10.

Sistem Pakan dalam Integrasi Kambing dengan Kelapa Sawit

Tabel 10. Beberapa alternatif formula pakan komplit berbasis hasil samping perkebunan kelapa sawit untuk kambing

Bahan Komposisi pakan komplit

1a 2a 3b 4b 5c 6 %

Pelepah sawit 30 30 60 50 25 20 Serat mesokarp - - - - 15 10 Batang sawit - - - - - 10 Tandan buah kosong - - - - 9 9 Bungkil inti sawit 59 49 - - 40 40 Lumpur sawit 10 20 - - 10 10 Mineral Premix 1 1 - - 1 1 Konsentrat - - 40 40 - - Rumput - - - 10 - -

a)Batubara et al. (2004);b)Simanihuruk et al. (2008); c)Berdasarkan perhitungan kandungan nutrisi

Komposisi bahan baku untuk menghasilkan pakan komplit sangat fleksibel dan dapat disesuaikan dengan kebutuhan kambing dengan status fisiologis berbeda (laktasi, penggemukan, perbesaran, induk bunting, induk kering). Rentang taraf penggunaan pelepah sawit dan bungkil inti sawit di dalam pakan komplit cukup lebar masing-masing bekisar antara 30-65% dan 10-70%. Data penggunaan serat mesokarp dan tandan buah kosong dalam pakan kambing relatif masih terbatas, sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan taraf penggunaan yang optimal.

G. Tantangan Pengembangan Pakan Berbasis Hasil Samping Kelapa Sawit

Pengembangan bahan baku hasil samping kelapa sawit menjadi produk pakan ternak kambing dapat dilakukan baik in

Page 84: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

84

Nutrisi dan Pakan Kambing

situ (dalam sistem perkebunan) maupun ex situ (di luar sistem perkebunan). Dalam implementasinya pengembangan produk pakan tersebut walaupun secara kuantitatif sangat potensial, namun sampai saat ini belum berkembang. Beberapa kendala penting dalam pengembangan produk pakan tersebut ditampilkan pada Tabel 11. Pengembangan produk pakan dalam skala kecil dapat dilakukan oleh petani-peternak secara individu baik in situ maupun ex situ. Untuk skala kecil, maka proses pengolahan yang paling mudah diterapkan adalah pengolahan fisik (pencacahan, penggilingan) atau proses pengawetan (ensilase) ataupun proses biokonversi. Pencacahan dapat dilakukan petani secara manual dan ensilase dilakukan menggunakan silo dengan bahan sederhana yang terjangkau oleh petani kebun. Tantangan utama adalah jaminan akses untuk mendapatkan bahan baku untuk produksi pakan skala peternak baik in situ maupun ex situ.

Tabel 11. Beberapa tantangan dan potensi dalam pola produksi dan skala produksi pakan berbasis hasil samping kelapa sawit

Pola Produksi Pakan

Produser/Skala Produksi

Tantangan dan peluang pengembangan

Modal/ Mesin

Akses Bahan Baku

Teknologi Prioritas Usaha

Pasar Produk

In situ Peternak/Kecil ++ +++ + ** ** Kebun/Komersial *** *** *** ++ + Ex situ Peternak/Kecil ++ +++ + *** *** Industri

pakan/Komersial *** ++ *** ** +

(+):Tantangan; (*): Peluang

Pengembangan pakan secara in situ oleh industri perkebunan memiliki peluang tinggi terkait dengan kapasitas modal dan akses bahan baku yang dimiliki serta potensi penguasaan teknologi. Namun, saat ini faktor pembatas utama adalah bahwa usaha produksi pakan belum menjadi bagian

Page 85: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

85

Nutrisi dan Pakan Kambing

situ (dalam sistem perkebunan) maupun ex situ (di luar sistem perkebunan). Dalam implementasinya pengembangan produk pakan tersebut walaupun secara kuantitatif sangat potensial, namun sampai saat ini belum berkembang. Beberapa kendala penting dalam pengembangan produk pakan tersebut ditampilkan pada Tabel 11. Pengembangan produk pakan dalam skala kecil dapat dilakukan oleh petani-peternak secara individu baik in situ maupun ex situ. Untuk skala kecil, maka proses pengolahan yang paling mudah diterapkan adalah pengolahan fisik (pencacahan, penggilingan) atau proses pengawetan (ensilase) ataupun proses biokonversi. Pencacahan dapat dilakukan petani secara manual dan ensilase dilakukan menggunakan silo dengan bahan sederhana yang terjangkau oleh petani kebun. Tantangan utama adalah jaminan akses untuk mendapatkan bahan baku untuk produksi pakan skala peternak baik in situ maupun ex situ.

Tabel 11. Beberapa tantangan dan potensi dalam pola produksi dan skala produksi pakan berbasis hasil samping kelapa sawit

Pola Produksi Pakan

Produser/Skala Produksi

Tantangan dan peluang pengembangan

Modal/ Mesin

Akses Bahan Baku

Teknologi Prioritas Usaha

Pasar Produk

In situ Peternak/Kecil ++ +++ + ** ** Kebun/Komersial *** *** *** ++ + Ex situ Peternak/Kecil ++ +++ + *** *** Industri

pakan/Komersial *** ++ *** ** +

(+):Tantangan; (*): Peluang

Pengembangan pakan secara in situ oleh industri perkebunan memiliki peluang tinggi terkait dengan kapasitas modal dan akses bahan baku yang dimiliki serta potensi penguasaan teknologi. Namun, saat ini faktor pembatas utama adalah bahwa usaha produksi pakan belum menjadi bagian

Sistem Pakan dalam Integrasi Kambing dengan Kelapa Sawit

integral di dalam strategi pengembangan perusahaan. Selama diversifikasi usaha berupa produksi pakan berbasis hasil samping tanaman kelapa sawit belum menjadi komponen di dalam industri perkebunan yang dituangkan di dalam company profile, maka sulit diharapkan terjadinya akselerasi pengembangan produk pakan dalam skala besar untuk menjadikan hasil samping tanaman kelapa sawit menjadi bagian di dalam sistem pakan ternak ruminansia.

Alternatif pengembangan lain yang potensial adalah melibatkan industri pakan ternak atau peternak skala besar/komersial dalam pemanfaatan hasil samping kelapa sawit menjadi produk pakan seperti ditampilkan pada Gambar 13. Dalam pola ini, industri perkebunan dapat berperan sebagai pemasok bahan baku (pakan dasar) atau konsentrat yang telah diproses terlebih dahulu menjadi produk antara, misalnya tepung serat dari berbagai jenis hasil samping tanaman sawit. Selanjutnya tepung serat akan diolah menjadi pakan komplit oleh pabrik pakan komersial sesuai dengan kebutuhan nutrisi berbagai jenis ternak ruminansia (kambing, domba, sapi potong, sapi perah). Melalui mekanisme ini peluang pemasaran produk pakan menjadi jauh lebih luas untuk menjangkau wilayah yang secara geografis jauh dari sentra perkebunan.

Gambar 13. Alternatif model konseptual pengembangan pakan ruminansia berbasis hasil samping kelapa sawit skala komersial

Pabrik pakan: Pakan lengkap

Prosesing

Tepung/ Partikel Serat

Perkebunan Kelapa Sawit:

Serat Mesikarp Tandan buah kosong Pelepah Batang

Pasar

Peternak komersial: Pakan lengkap

Page 86: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

86

Nutrisi dan Pakan Kambing

Produk pakan dasar dapat pula di pasarkan kepada industri ternak kambing dan ruminansia lain seperti sapi dan domba. Pengembangan pakan dengan model ini dapat memacu perkembangan usaha dan meningkatan produktivitas ternak ruminansia secara nasional. Kelemahan sistem ini adalah terjadinya aliran materi secara masif keluar dari sistem perkebunan yang dalam jangka panjang dapat menurunkan produktivitas tanaman. Namun, hal ini dapat diatasi dengan membatasi skala produksi bahan baku pakan, misalnya dengan menetapkan proporsi bahan yang tetap tinggal di dalam areal kebun untuk menjamin ketersediaan bahan organik tanah.

Page 87: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

87

Nutrisi dan Pakan Kambing

Produk pakan dasar dapat pula di pasarkan kepada industri ternak kambing dan ruminansia lain seperti sapi dan domba. Pengembangan pakan dengan model ini dapat memacu perkembangan usaha dan meningkatan produktivitas ternak ruminansia secara nasional. Kelemahan sistem ini adalah terjadinya aliran materi secara masif keluar dari sistem perkebunan yang dalam jangka panjang dapat menurunkan produktivitas tanaman. Namun, hal ini dapat diatasi dengan membatasi skala produksi bahan baku pakan, misalnya dengan menetapkan proporsi bahan yang tetap tinggal di dalam areal kebun untuk menjamin ketersediaan bahan organik tanah.

VIII. SISTEM PAKAN DALAM INTEGRASI KAMBING DENGAN TANAMAN PANGAN DI LAHAN MARGINAL

A. Keunggulan Komparatif Kambing di Lahan Pertanian Marginal

Agroekosistem marginal sering berasosiasi dengan kemiskinan akibat terbatasnya kapasitas sumberdaya yang tersedia untuk berproduksi secara intensif. Dalam kondisi terbatas ini, ternak ruminansia, terutama kambing memiliki peran penting, karena dapat secara komplementer terintegrasi dengan komoditas tanaman pertanian dalam memanfaatkan secara lebih maksimal sumberdaya yang terbatas. Dalam situasi ini konsep usaha tani tanaman-ternak menjadi semakin relevan (Devendra et al. 2001). Kontribusi penting komoditas ternak, khususnya ruminansia di lahan pertanian marginal terletak pada karakternya yang tidak bersaing secara langsung dengan kebutuhan manusia ataupun jenis ternak lain dalam memanfaatkan berbagai sumberdaya yang tersedia. Misalnya, di lahan marginal yang tidak mampu mendukung produksi tanaman pangan secara intensif, maka tanaman pakan baik rumput ataupun leguminosa dapat dikembangkan sebagai alternatif. Disamping itu, hasil sisa atau limbah tanaman pertanian dapat ditransformasikan menjadi produk yang benilai ekonomis tinggi seperti daging dan pupuk kandang. Pupuk organik sangat penting untuk memperbaiki kesuburan tanah di lahan marginal (Aichi et al. 2005).

Dalam sistem usaha tani tanaman-ternak ketersediaan bahan pakan sepanjang tahun dan efisiensi penggunaannya merupakan salah satu kunci keberhasilan. Tantangan ini semakin penting pada wilayah dengan musim kering yang panjang dan kesuburan lahan yang rendah. Pengembangan sistem usaha tani yang dapat meningkatkan ketahanan baik pangan maupun pakan melalui sistem food-feed (Devendra et al. 2001) dengan sendirinya menjadi sangat strategis. Sebagai ternak ruminansia dengan

Page 88: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

88

Nutrisi dan Pakan Kambing

bobot tubuh relatif kecil (small ruminant) ternak kambing memiliki beberapa keunggulan dalam beradaptasi pada lingkungan marginal dibandingkan dengan ternak ruminansia besar, bahkan dengan ruminansia kecil lain seperti domba. Adaptasi morfo-fisiologis pada alat cerna seperti organ mulut memungkinkan kambing melakukan seleksi lebih intens terhadap beragam jenis tanaman pakan sebagai upaya untuk mendapatkan pakan dengan kualitas nutrisi terbaik untuk memenuhi kebutuhan (Hoffman 1988). Hal ini meningkatkan kemampuan kambing untuk lebih bertahan pada kondisi pakan yang terbatas. Secara fisiologis kambing juga memiliki mekanisme konservasi air yang baik, sehingga lebih mampu bertahan pada kondisi lingkungan kering. Fenomena ini terkait dengan fungsi penting organ reticulo-rumen sebagai penampung air untuk mempertahankan proses metabolisme selama musim kering (Shkolnik 1992). Ternak kambing juga memiliki mekanisme konservasi nitrogen (N) yang baik dengan menghambat laju N yang hilang melalui defekasi maupun sekresi N dari tubuh, dan memacu daur ulang (recycling) N ke dalam reticulo-rumen. Proses ini sangat penting untuk memaksimalkan efisiensi penggunaan pakan dengan kualitas rendah (tinggi serat dan rendah protein), seperti hasil sisa atau limbah tanaman. Peristiwa daur ulang N berperan sangat penting dalam menyumbang ketersediaan N bagi pertumbuhan mikrobia rumen, sehingga pencernaan pakan secara fermentatif dapat berlangsung secara maksimal. Penelitian Engelhardt and Hinderer (1976) pada kambing menunjukkan dengan jelas bawa penggantian pakan (kandungan N tinggi) dengan pakan (kandungan N rendah) dapat mengakibatkan peningkatan sebesar 400% transfer urea dari darah ke dalam reticulo-rumen (recycling N). Pada saat yang sama, transfer urea ke usus besar menurum tajam dari 8,0% menjadi hanya 1,0% dari total transfer urea ke dalam sistim saluran pencernaan. Kombinasi berbagai mekanisme adaptasi morfo-fisiologi tersebut berdampak kepada keunggulan komparatif

Page 89: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

89

Nutrisi dan Pakan Kambing

bobot tubuh relatif kecil (small ruminant) ternak kambing memiliki beberapa keunggulan dalam beradaptasi pada lingkungan marginal dibandingkan dengan ternak ruminansia besar, bahkan dengan ruminansia kecil lain seperti domba. Adaptasi morfo-fisiologis pada alat cerna seperti organ mulut memungkinkan kambing melakukan seleksi lebih intens terhadap beragam jenis tanaman pakan sebagai upaya untuk mendapatkan pakan dengan kualitas nutrisi terbaik untuk memenuhi kebutuhan (Hoffman 1988). Hal ini meningkatkan kemampuan kambing untuk lebih bertahan pada kondisi pakan yang terbatas. Secara fisiologis kambing juga memiliki mekanisme konservasi air yang baik, sehingga lebih mampu bertahan pada kondisi lingkungan kering. Fenomena ini terkait dengan fungsi penting organ reticulo-rumen sebagai penampung air untuk mempertahankan proses metabolisme selama musim kering (Shkolnik 1992). Ternak kambing juga memiliki mekanisme konservasi nitrogen (N) yang baik dengan menghambat laju N yang hilang melalui defekasi maupun sekresi N dari tubuh, dan memacu daur ulang (recycling) N ke dalam reticulo-rumen. Proses ini sangat penting untuk memaksimalkan efisiensi penggunaan pakan dengan kualitas rendah (tinggi serat dan rendah protein), seperti hasil sisa atau limbah tanaman. Peristiwa daur ulang N berperan sangat penting dalam menyumbang ketersediaan N bagi pertumbuhan mikrobia rumen, sehingga pencernaan pakan secara fermentatif dapat berlangsung secara maksimal. Penelitian Engelhardt and Hinderer (1976) pada kambing menunjukkan dengan jelas bawa penggantian pakan (kandungan N tinggi) dengan pakan (kandungan N rendah) dapat mengakibatkan peningkatan sebesar 400% transfer urea dari darah ke dalam reticulo-rumen (recycling N). Pada saat yang sama, transfer urea ke usus besar menurum tajam dari 8,0% menjadi hanya 1,0% dari total transfer urea ke dalam sistim saluran pencernaan. Kombinasi berbagai mekanisme adaptasi morfo-fisiologi tersebut berdampak kepada keunggulan komparatif

Sistem Pakan dalam Integrasi Kambing dengan Tanaman Pangan

kambing pada kondisi yang marginal dibandingkan dengan ternak lain.

B. Strategi Pengembangan Pakan

Tantangan dalam pengembangan ternak kambing dalam mendukung usaha tani di wilayah marginal adalah bagaimana meminimalkan dan mengendalikan fluktuasi baik dalam jumlah maupun mutu pakan untuk memenuhi kebutuhan produksi. Keadaan ini tidak terlepas dari besarnya kontribusi berbagai tanaman pangan dalam penyediaan bahan baku pakan dalam bentuk hasil sisa maupun limbah olahan. Oleh sebab itu, prinsip yang menjadi dasar dalam pengembangan strategi pakan di wilayah marginal adalah jaminan ketersediaan bahan pakan sepanjang tahun dengan kualitas yang memadai. Strategi ini mencakup tiga pendekatan yaitu: (1) Pengembangan tanaman pakan yang memiliki kesesuaian dengan lahan marginal dan iklim kering serta bersifat komplementer dengan tanaman pangan; (2) Memaksimalkan pemanfaatan berbagai jenis hasil sisa tanaman sebagai pakan dasar maupun suplemen atau komponen konsentrat; dan (3) Pengembangan pakan suplemen berbasis bahan baku lokal. Pada prinsipnya pengembangan tanaman pakan bertujuan untuk mengeksploitasi pemanfaatan berbagai jenis tanaman leguminosa pohon, tanaman perdu, rumput eksotik maupun tanaman lain sebagai pakan pokok (basal) ataupun sebagai suplemen untuk meningkatkan ketersediaan nutrisi. Pengembangan tanaman pakan dilakukan secara intercropping dengan tanaman utama dan/atau pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan tanaman pertanian.

1. Sistem Silvopastura

Pengembangan jenis rumput eksotik secara monokultur dapat meningkatkan produksi dan ketersediaan pakan. Namun, kualitas

Page 90: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

90

Nutrisi dan Pakan Kambing

nutrisi rumput tropis umumnya menurun dengan cepat akibat peningkatan unsur serat dan penurunan kandungan protein seiring bertambahnya umur tanaman. Penurunan kualitas juga dipercepat oleh kondisi kekeringan yang panjang. Oleh karena itu, kombinasi tanaman pakan jenis rumput dengan jenis leguminosa dapat dilakukan untuk mempertahankan kualitas pakan. Leguminosa herba, seperti jenis stilo pada pola pastura campuran rumput-legum dalam jangka panjang jarang yang mampu bertahan, karena kurang mampu bersaing dengan tanaman rumput akibat pemotongan yang berulang (Wongsuan dan Watkin 1990; Hare et al. 1999). Jenis leguminosa pohon sebagai pengganti leguminosa herba dalam suatu pastura campuran rumput-legum dapat bertahan lebih lama (Tudsri et al. 1999). Pengembangan tanaman pakan dengan cara integrasi (intercrop) tanaman lamtoro (Leucaena leucocephala) dengan beberapa jenis rumput antara lain rumput ruzi (Brachiaria ruziziensis) atau rumput gajah (Pennisetum purpureum) (Tabel 12) menghasilkan produksi pakan kualitas tinggi yang mampu memenuhi kebutuhan ternak ruminansia dalam jangka waktu yang relatif panjang (Tudsri dan Kaewkunya 2002).

Total produksi bahan kering campuran tanaman lamtoro dengan rumput gajah lebih tinggi dibandingkan dengan campuran lamtoro-ruzi, sedangkan produksi lamtoro tidak berbeda antara kedua jenis campuran. Akibatnya, rasio lamtoro pada campuran lamtoro-ruzi lebih tinggi dibandingkan dengan pada lamtoro-rumput gajah. Hal ini memberikan konsekuensi penting, bila dikaitkan dengan kualitas pakan dan kebutuhan ternak kambing. Kebutuhan protein dalam ransum pada kambing adalah sekitar 14% (Kearl 1982) dan penggunaan ransum dengan rasio legum/ rumput sebesar 30/70 dapat memenuhi kebutuhan protein tersebut. Dalam hal ini, kontribusi lamtoro sebagai penyumbang protein adalah yang utama, karena mengandung protein antara 21-27% dengan kandungan bahan kering cukup tinggi yaitu 38% dan bahan organik 81-93% (Tolera et al. 1998; Rajendran et al.

Page 91: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

91

Nutrisi dan Pakan Kambing

nutrisi rumput tropis umumnya menurun dengan cepat akibat peningkatan unsur serat dan penurunan kandungan protein seiring bertambahnya umur tanaman. Penurunan kualitas juga dipercepat oleh kondisi kekeringan yang panjang. Oleh karena itu, kombinasi tanaman pakan jenis rumput dengan jenis leguminosa dapat dilakukan untuk mempertahankan kualitas pakan. Leguminosa herba, seperti jenis stilo pada pola pastura campuran rumput-legum dalam jangka panjang jarang yang mampu bertahan, karena kurang mampu bersaing dengan tanaman rumput akibat pemotongan yang berulang (Wongsuan dan Watkin 1990; Hare et al. 1999). Jenis leguminosa pohon sebagai pengganti leguminosa herba dalam suatu pastura campuran rumput-legum dapat bertahan lebih lama (Tudsri et al. 1999). Pengembangan tanaman pakan dengan cara integrasi (intercrop) tanaman lamtoro (Leucaena leucocephala) dengan beberapa jenis rumput antara lain rumput ruzi (Brachiaria ruziziensis) atau rumput gajah (Pennisetum purpureum) (Tabel 12) menghasilkan produksi pakan kualitas tinggi yang mampu memenuhi kebutuhan ternak ruminansia dalam jangka waktu yang relatif panjang (Tudsri dan Kaewkunya 2002).

Total produksi bahan kering campuran tanaman lamtoro dengan rumput gajah lebih tinggi dibandingkan dengan campuran lamtoro-ruzi, sedangkan produksi lamtoro tidak berbeda antara kedua jenis campuran. Akibatnya, rasio lamtoro pada campuran lamtoro-ruzi lebih tinggi dibandingkan dengan pada lamtoro-rumput gajah. Hal ini memberikan konsekuensi penting, bila dikaitkan dengan kualitas pakan dan kebutuhan ternak kambing. Kebutuhan protein dalam ransum pada kambing adalah sekitar 14% (Kearl 1982) dan penggunaan ransum dengan rasio legum/ rumput sebesar 30/70 dapat memenuhi kebutuhan protein tersebut. Dalam hal ini, kontribusi lamtoro sebagai penyumbang protein adalah yang utama, karena mengandung protein antara 21-27% dengan kandungan bahan kering cukup tinggi yaitu 38% dan bahan organik 81-93% (Tolera et al. 1998; Rajendran et al.

Sistem Pakan dalam Integrasi Kambing dengan Tanaman Pangan

2001). Oleh karena itu, kombinasi lamtoro-ruzi lebih berpeluang sebagai ransum yang seimbang bagi ternak kambing. Disamping itu, rumput ruzi yang sifatnya membentuk stolon lebih toleran terhadap kekeringan, sehingga lebih sesuai untuk wilayah marginal dengan musim kering yang panjang.

Tabel 12. Agronomi dan produksi pastura campuran rumput-legum dengan pola inter cropping

Karateristik Lamtoro-rumput ruzi

Lamtoro-rumput gajah

Jarak tanam lamtoro, m antar baris 1-2 1-2 dalam baris 0,5 0,5

Jarak tanam rumput antar baris 0,5 0,5 dalam baris 0,5 0,5 Interval pemotongan, hari 30-40 30-40

Tinggi pemotongan, cm Rumput 10 10 Lamtoro 25 25

Produksi bahan kering, ton/ha/tahun

Lamtoro jarak tanam 1 m 2,1 2,1 Lamtoro, jarak tanam 2 m 1,4 1,2 Rumput ruzi 7,1 - Rumput gajah - 11,2

Total 8,5-9,2 12,6-13,4 Proporsi lamtoro,% 15,2-24,7 10,4-16,7

Sumber: Dianalisis dari Tudsri dan Kaewkunya (2002)

Page 92: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

92

Nutrisi dan Pakan Kambing

2. Sistem Agrosilviculture: Pengembangan Ubi kayu dengan Legum Pohon sebagai Sumber Pakan

Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan tanaman pangan yang dibudidayakan secara meluas di lahan yang kurang subur dengan musim kering yang panjang. Biomasa fraksi daun yang tersedia dalam jumlah besar, terutama saat dipanen merupakan bahan pakan berkualitas tinggi dengan kandungan protein kasar antara 17-34% serta 85% dari total protein kasar tersebut merupakan protein sesungguhnya (true protein) (Tung et al. 2001). Oleh karenanya, daun ubikayu sangat berpotensi sebagai suplemen protein pada ternak kambing di wilayah kering. Terdapat faktor anti nutrisi pada daun ubikayu seperti asam sianida (HCN) dan tannin. Kandungan HCN dapat mencapai 1,0 g/kg bahan kering (Man dan Wiktorsson 2001), sedangkan dosis letal HCN pada ruminansia berkisar antara 2-4 mg HCN/kg BB (Kumar 1992). Akan tetapi, mikrobia rumen mampu menghidrolisis HCN, sehingga jarang menyebabkan keracunan pada ternak ruminansia. Disamping itu, pelayuan atau pengeringan dengan sinar matahari dapat menghilangkan hampir 90% HCN dalam daun. Tannin yang terkandung di dalam daun ubi kayu sebenarnya dapat lebih meningkatkan suplai protein kepada ternak, karena senyawa kompleks protein-tannin yang tidak terhidrolisis di dalam rumen akan meningkatkan ketersediaan protein bagi ternak setelah diabsorbsi di usus kecil.

Intercropping ubi kayu dengan leguminosa pohon, seperti lamtoro, Gliricidia atau tanaman perdu seperti murbei merupakan cara alternatif lain untuk pengembangan ketahanan pakan ternak pada kondisi marginal. Dalam sistem ini ubi kayu ditanam dengan jarak tanam 30 40 cm atau 25 25 cm antar tanaman dan antar baris. Pemotongan pertama dilakukan pada saat ubikayu mencapai umur 3 bulan dengan interval pemotongan 6-8 minggu dengan tinggi pemotongan 20-30 cm di atas permukaan tanah. Produksi daun (bahan kering) mencapai 7,5 ton/ha/tahun. Jarak

Page 93: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

93

Nutrisi dan Pakan Kambing

2. Sistem Agrosilviculture: Pengembangan Ubi kayu dengan Legum Pohon sebagai Sumber Pakan

Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan tanaman pangan yang dibudidayakan secara meluas di lahan yang kurang subur dengan musim kering yang panjang. Biomasa fraksi daun yang tersedia dalam jumlah besar, terutama saat dipanen merupakan bahan pakan berkualitas tinggi dengan kandungan protein kasar antara 17-34% serta 85% dari total protein kasar tersebut merupakan protein sesungguhnya (true protein) (Tung et al. 2001). Oleh karenanya, daun ubikayu sangat berpotensi sebagai suplemen protein pada ternak kambing di wilayah kering. Terdapat faktor anti nutrisi pada daun ubikayu seperti asam sianida (HCN) dan tannin. Kandungan HCN dapat mencapai 1,0 g/kg bahan kering (Man dan Wiktorsson 2001), sedangkan dosis letal HCN pada ruminansia berkisar antara 2-4 mg HCN/kg BB (Kumar 1992). Akan tetapi, mikrobia rumen mampu menghidrolisis HCN, sehingga jarang menyebabkan keracunan pada ternak ruminansia. Disamping itu, pelayuan atau pengeringan dengan sinar matahari dapat menghilangkan hampir 90% HCN dalam daun. Tannin yang terkandung di dalam daun ubi kayu sebenarnya dapat lebih meningkatkan suplai protein kepada ternak, karena senyawa kompleks protein-tannin yang tidak terhidrolisis di dalam rumen akan meningkatkan ketersediaan protein bagi ternak setelah diabsorbsi di usus kecil.

Intercropping ubi kayu dengan leguminosa pohon, seperti lamtoro, Gliricidia atau tanaman perdu seperti murbei merupakan cara alternatif lain untuk pengembangan ketahanan pakan ternak pada kondisi marginal. Dalam sistem ini ubi kayu ditanam dengan jarak tanam 30 40 cm atau 25 25 cm antar tanaman dan antar baris. Pemotongan pertama dilakukan pada saat ubikayu mencapai umur 3 bulan dengan interval pemotongan 6-8 minggu dengan tinggi pemotongan 20-30 cm di atas permukaan tanah. Produksi daun (bahan kering) mencapai 7,5 ton/ha/tahun. Jarak

Sistem Pakan dalam Integrasi Kambing dengan Tanaman Pangan

tanam dapat diperlebar menjadi 60 40 cm. Lamtoro ditanam setiap antara 10-15 baris ubi kayu. Daun dan cabang lamtoro mulai dapat dipanen setelah berumur 6 bulan dengan interval pemotongan 4-8 minggu.

3. Tanaman Murbei Sebagai Sumber Pakan

Murbei (Morus spp.) adalah tanaman tahunan yang selama ini lebih dikenal sebagai tanaman sumber pakan dalam produksi ulat sutra (sericulture). Diperkirakan terdapat sebanyak 68 spesies dari genus Morus yang tersebar di Asia (Datta 2002). Beberapa varietas Murbei seperti M. alba (murbei putih), M. nigra (murbei hitam), M. catayana dan M. multicaulis, M. rubra (murbei merah) dan M. indica menyebar dan beradaptasi baik di daerah tropik maupun daerah sub tropik mulai dari ketinggian 0-4000 m dpl. Kualitas nutrisi dan penggunaan murbei jenis Morus alba untuk ternak ruminansia sangat menjanjikan (Omar et al. 1999; Ansbarasu et al. 2004; Kabi dan Bareeba 2008). Kandungan protein pada daun sekitar 15-16% (Omar et al. 1999), namun Saddul et al. (2004a) melapokan angka yang lebih tinggi yaitu 26-35%. Kecernaan bahan kering M. alba mencapai 63-66% (Omar et al. 1999; Doran et al. 2007). Jika digunakan sebagai pakan tunggal Morus alba dapat menghasilkan pertumbuhan antara 86-92 g/hari pada kambing. Tanaman ini toleran terhadap kekeringan dan tumbuh baik di agroekosistem semi arid (Omar et al. 1999). Di Indonesia, paling tidak terdapat tujuh spesies murbei (Katsumata 1972 disitasi oleh Sanchez 2002) yaitu M. alba var. tartanica, M. alba var. macrophyla, M. nigra, M. multicaulis, M. australia, M. chatayana dan M. mierovra.

Secara terbatas murbei telah digunakan sebagai bahan pakan ternak ruminansia. Sebagai bahan pakan ternak daun murbei memiliki kualitas nutrisi yang sangat baik (Tabel 13). Kandungan bahan kering dan energi kasar serta protein tergolong tinggi, sedangkan kandungan serat kasar termasuk rendah, terutama

Page 94: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

94

Nutrisi dan Pakan Kambing

pada fraksi daun. Profil asam amino yang terkandung dalam protein daun dilaporkan seimbang, sedangkan tingkat kecernaan bahan kering dan palatabilitasnya tergolong tinggi (Sanchez 2002).

Tabel 13. Komposisi kimiawi (%) dan energi (Kkal/kg BK) tanaman murbei sebagai bahan pakan ternak

Fraksi tanaman

Bahan kering Abu Protein

kasar NDF ADF Lemak Energi

Daun 23-34 4-17 15-35 24-32 17-37 2-7 4500-4900 Batang 23-36 2-10 5-16 61-66 45-56 1500-2500 Daun dan batang 25-34 8-19 8-32 22-25 21-52 5-6 3100-4500

Sumber: Benavides (2000); Sanchez (1999); Saddul et al. (2004a)

Keragaman kandungan nutrisi tanaman murbei terlihat cukup tinggi, dan hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti varietas tanaman, kondisi tanah, iklim, umur tanaman saat dipananen serta intensitas pemupukan. Kandungan nutrisi fraksi batang (cabang) secara konsisten lebih rendah dibandingkan dengan fraksi daun, namun bila dibandingkan dengan komposisi kimiawi beberapa jenis tanaman rumput, maka kualitas nutrisi fraksi batang tersebut masih setara atau dapat lebih tinggi. Kandungan senyawa kimiawi yang memiliki efek anti nutrisi pada murbei relatif rendah, misalnya kandungan total fenol sebesar 2,99%, tannin terkondensasi sebesar 0,05%, tannin terhidrolisis 2,94% dan oksalat sebesar 0,39% (Bakhsi dan Wadhwa 2004). Tingginya palatabilitas murbei pada ternak kemungkinan terkait dengan rendahnya unsur faktor anti nutrisi tersebut di atas.

Karakteristik kualitas nutrisi lain seperti degradabilitas bahan kering dan protein tanaman murbei juga tergolong tinggi (Tabel 14). Potensi bahan kering daun dapat terdegradasi di dalam rumen mencapai 79%. Degradabilitas yang relatif tinggi ini akan lebih menjamin konsumsi pakan yang lebih tinggi pula akibat

Page 95: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

95

Nutrisi dan Pakan Kambing

pada fraksi daun. Profil asam amino yang terkandung dalam protein daun dilaporkan seimbang, sedangkan tingkat kecernaan bahan kering dan palatabilitasnya tergolong tinggi (Sanchez 2002).

Tabel 13. Komposisi kimiawi (%) dan energi (Kkal/kg BK) tanaman murbei sebagai bahan pakan ternak

Fraksi tanaman

Bahan kering Abu Protein

kasar NDF ADF Lemak Energi

Daun 23-34 4-17 15-35 24-32 17-37 2-7 4500-4900 Batang 23-36 2-10 5-16 61-66 45-56 1500-2500 Daun dan batang 25-34 8-19 8-32 22-25 21-52 5-6 3100-4500

Sumber: Benavides (2000); Sanchez (1999); Saddul et al. (2004a)

Keragaman kandungan nutrisi tanaman murbei terlihat cukup tinggi, dan hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti varietas tanaman, kondisi tanah, iklim, umur tanaman saat dipananen serta intensitas pemupukan. Kandungan nutrisi fraksi batang (cabang) secara konsisten lebih rendah dibandingkan dengan fraksi daun, namun bila dibandingkan dengan komposisi kimiawi beberapa jenis tanaman rumput, maka kualitas nutrisi fraksi batang tersebut masih setara atau dapat lebih tinggi. Kandungan senyawa kimiawi yang memiliki efek anti nutrisi pada murbei relatif rendah, misalnya kandungan total fenol sebesar 2,99%, tannin terkondensasi sebesar 0,05%, tannin terhidrolisis 2,94% dan oksalat sebesar 0,39% (Bakhsi dan Wadhwa 2004). Tingginya palatabilitas murbei pada ternak kemungkinan terkait dengan rendahnya unsur faktor anti nutrisi tersebut di atas.

Karakteristik kualitas nutrisi lain seperti degradabilitas bahan kering dan protein tanaman murbei juga tergolong tinggi (Tabel 14). Potensi bahan kering daun dapat terdegradasi di dalam rumen mencapai 79%. Degradabilitas yang relatif tinggi ini akan lebih menjamin konsumsi pakan yang lebih tinggi pula akibat

Sistem Pakan dalam Integrasi Kambing dengan Tanaman Pangan

waktu tahan pakan di dalam saluran cerna (turn over time) menjadi lebih singkat.

Tabel 14. Degradabilitas bahan kering dan protein tanaman murbei

Fraksi tanaman Parameter degradabilitas a (%) b (%) c (%/jam) DE (%) Bahan kering1

Daun 29 50 5,7 64 Protein kasar2

Daun 40 59 8,0 88 Batang 51 29 13,9 68 Daun dan batang 37 60 7,1 84

1Bakshi dan Wadhwa (2000); 2Saddul et al. (2004b)

Proporsi protein yang mudah larut dalam rumen (fraksi a) tergolong tinggi dan hal ini memberi kontribusi terhadap tingginya potensi degradabilitas (fraksi a+b) yaitu berkisar antara 80-99%. Laju degradasi (c) protein yang juga termasuk tinggi, terutama pada batang menyebabkan degradabilitas efektif terkoreksi dan berkisar antara 64% sampai 88%. Koefisien degradabilitas ini mengindikasikan bahwa sebagian terbesar protein pada tanaman murbei akan dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikroba rumen dan sebagian kecil yang bebas degradasi. Beberapa spesies murbei yang ada di Indonesia seperti M. multicaulis, M. nigra, M. kanva dan M. chatayana telah diteliti sebagai pakan kambing. Taraf konsumsi keempat spesies tersebut berkisar antara 470-580 g BK per ekor per hari dengan koefisien cerna berkisar antara 60-65%. Angka tersebut menunjukkan potensinya sebagai pakan suplemen dan dari keempat spesies ini, maka M. multicaulis paling disukai kambing (palatabilitasnya tinggi).

Hasil penelitian Saddul et al. (2004b) menyimpulkan bahwa tanaman murbei dapat dipotong pertama kali pada umur 5 bulan dengan interval pemotongan antara 3-9 minggu. Pada interval

Page 96: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

96

Nutrisi dan Pakan Kambing

pemotongan yang lebih panjang produksi bahan kering meningkat, namun dilaporkan bahwa interval pemotongan yang optimal adalah 5 minggu, bila produksi bahan kering dikaitkan dengan kualitas nutrisinya. Dengan jarak tanam 5060 cm (20.000 tanaman per ha) tanaman murbei dapat menghasilkan produksi bahan segar (daun dan batang) berkisar antara 21-43 ton/ha/tahun yaitu setara dengan 5,2-15,2 ton/ha/tahun bahan kering, tergantung interval pemotongan. Penggunaan daun murbei sebagai suplemen pada kambing dilaporkan dapat menghasilkan pertambahan bobot hidup sampai 220 g/hari (Liu et al. 2001).

4. Tanaman Indigofera sebagai Sumber Pakan

Indigofera sp. adalah jenis tanaman leguminosa pohon yang menyebar di daerah tropis Afrika, Asia, Australia dan Amerika. Tanaman ini memiliki karakteristik agronomik dan nutrisi yang membuatnya sebagai tanaman pakan potensial untuk wilayah marginal. Indigofera sp. dikenal toleran terhadap kekeringan dan genangan serta mampu beradaptasi dan tumbuh baik pada kondisi tanah bergaram, masam dan kurang subur (Hassen et al. 2007). Kandungan protein kasar pada berbagai jenis Indigofera sp. bekisar antara 18-29% (Ginting 2012). Dibandingkan dengan beberapa tanaman leguminosa lain, seperti Leucaena sp., Caliandra sp. dan Ficus sp. kandungan NDF Indigofera sp. lebih tinggi, namun kandungan tannin pada Indigofera sp. dilaporkan relatif rendah (Tsherning et al. 2006). Salah satu jenis Indigofera yang relatif digunakan luas sebagai pakan ternak adalah Indigofera arrecta. Produksi biomasa I. arrecta dapat mencapai 15 ton/ha/tahun pada interval pemotongan 60 hari dan tinggi pemotongan 1 m di atas permukaan tanah. (Tarigan et al. 2010). Tanaman ini dapat digunakan sebagai sumber hijauan tunggal dalam ransum kambing atau sebagai pakan suplemen dan dapat pula diproses menjadi silase sebagai upaya melakukan

Page 97: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

97

Nutrisi dan Pakan Kambing

pemotongan yang lebih panjang produksi bahan kering meningkat, namun dilaporkan bahwa interval pemotongan yang optimal adalah 5 minggu, bila produksi bahan kering dikaitkan dengan kualitas nutrisinya. Dengan jarak tanam 5060 cm (20.000 tanaman per ha) tanaman murbei dapat menghasilkan produksi bahan segar (daun dan batang) berkisar antara 21-43 ton/ha/tahun yaitu setara dengan 5,2-15,2 ton/ha/tahun bahan kering, tergantung interval pemotongan. Penggunaan daun murbei sebagai suplemen pada kambing dilaporkan dapat menghasilkan pertambahan bobot hidup sampai 220 g/hari (Liu et al. 2001).

4. Tanaman Indigofera sebagai Sumber Pakan

Indigofera sp. adalah jenis tanaman leguminosa pohon yang menyebar di daerah tropis Afrika, Asia, Australia dan Amerika. Tanaman ini memiliki karakteristik agronomik dan nutrisi yang membuatnya sebagai tanaman pakan potensial untuk wilayah marginal. Indigofera sp. dikenal toleran terhadap kekeringan dan genangan serta mampu beradaptasi dan tumbuh baik pada kondisi tanah bergaram, masam dan kurang subur (Hassen et al. 2007). Kandungan protein kasar pada berbagai jenis Indigofera sp. bekisar antara 18-29% (Ginting 2012). Dibandingkan dengan beberapa tanaman leguminosa lain, seperti Leucaena sp., Caliandra sp. dan Ficus sp. kandungan NDF Indigofera sp. lebih tinggi, namun kandungan tannin pada Indigofera sp. dilaporkan relatif rendah (Tsherning et al. 2006). Salah satu jenis Indigofera yang relatif digunakan luas sebagai pakan ternak adalah Indigofera arrecta. Produksi biomasa I. arrecta dapat mencapai 15 ton/ha/tahun pada interval pemotongan 60 hari dan tinggi pemotongan 1 m di atas permukaan tanah. (Tarigan et al. 2010). Tanaman ini dapat digunakan sebagai sumber hijauan tunggal dalam ransum kambing atau sebagai pakan suplemen dan dapat pula diproses menjadi silase sebagai upaya melakukan

Sistem Pakan dalam Integrasi Kambing dengan Tanaman Pangan

penyimpanan pakan yang melimpah selama musim hujan untuk digunakan pada musim kemarau (Ginting et al. 2010).

5. Leguminosa Pohon Lain sebagai Sumber Pakan

Beragam jenis leguminosa semak dan pohon yang dapat dikembangkan sebagai sumber pakan berprotein tinggi di wilayah marginal dengan musim kering yang panjang. Dari apsek komposisi kimiawinya, tanaman pakan ini memiliki kualitas nutrisi antara sedang sampai tinggi (Tabel 15). Kandungan protein jauh melebihi kebutuhan minimal (6-7%) untuk aktivitas mikroba rumen. Bahan kering dan bahan organik tergolong tinggi yang menggambarkan potensinya sebagai sumber energi.

Tabel 15. Komposisi kimiawi beberapa tanaman leguminosa pohon sebagai bahan pakan ternak

Spesies BK BO PK EE NDF ADF Sumber Gliricidia sepium 24-26 87-93 20-24 1,7 32-40 11-23 1,4

Acasia seiberina 32,2 93,4 16,2 3,1 54,4 36,4 2

Acasia nilotica 93-95 14-17 18-50 7-34 1

Flemingia macrophylla 30-35 85 14-16 48-57 41-44 3

Artocarpus heterophyllus 30-40 88 11-16 54 42 3

Ficus polita 44,1 89,1 19,3 4,2 52,3 31,1 2

Ficus sycomorus 34,3 87,6 19,6 2,2 55,6 36,9 2

1Rubanza et al. (2003); 2Yahya et al. (2001); 3Nguyen et al. (2002); 4Krishnamoorthy et al. (1995)

Tanaman pakan tersebut di atas merupakan sumber mineral yang potensial dengan kandungan abu berkisar antara 7-15%. Kandungan serat antara rendah-sedang memungkinkan bahan lebih mudah dicerna oleh ternak, sehingga lebih banyak nutrisi yang dapat diekstraksi. Hal ini dapat dilihat dari karakteristik

Page 98: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

98

Nutrisi dan Pakan Kambing

kecernaan tanaman (Tabel 16). Proporsi tanaman yang cepat larut di dalam saluran cerna (Fraksi a) cukup tinggi berkisar antara 19-38%, sedangkan proporsi yang tidak larut, namun dapat didegradasi di dalam rumen (Fraksi b) berkisar antara 32-65%. Laju degradasi fraksi b (c) relatif tinggi, terutama pada Gliricidia sepium, dengan proporsi degradabilitas efektif (DE) berkisar antara 50-78%. Parameter cerna tersebut di atas mengindikasikan bahwa energi yang terkandung di dalam leguminosa pohon dapat diekstraksi dengan baik oleh ternak, dan hal ini tidak terlepas dari relatif rendahnya kandungan serat (NDF dan ADF). Karakteristik cerna dan komposisi kimiawi ini menunjukkan potensi leguminosa pohon sebagai sumber bahan pakan suplemen yang berkualitas tinggi terutama untuk memenuhi kebutuhan protein, sehingga dapat berperan strategis untuk meningkatkan produktivitas kambing.

Tabel 16. Degradabilitas bahan kering beberapa tanaman leguminosa semak sebagai sumber pakan ternak kambing

Spesies a (%) b (%) c (%)/jam DE,% Sumber Leucaena leucocephala 29-38 35-54 4-8 50-64 1,2

Acacia nilotica 25-31 37-59 5-6 59,9 1,4

Gliricidia sepium 8-19 58-65 18 63-78 2,3

Albizia procera 20 32 3,3 - 4

Sesbania acculeata 24 63 3,8 - 4

1Bakshi dan Wadhwa (2004); 2Khamseekhiew et al. (2001); 3Rubanza et al. (2003); 4Alam et al. (2007)

Berbagai sistem pengembangan dapat diintroduksi untuk meningkatkan ketersediaan pakan. Tanaman leguminosa pohon, misalnya dapat dikembangkan bersama dengan tanaman pangan (agrosilviculture) dengan pola tanam inter cropping atau alley cropping. Tanaman pangan, antara lain kacang tanah, kacang kedelai, kacang hijau, ubi kayu dapat digunakan sebagai tanaman utama, mengingat adanya potensi sisa tanaman setelah panen

Page 99: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

99

Nutrisi dan Pakan Kambing

kecernaan tanaman (Tabel 16). Proporsi tanaman yang cepat larut di dalam saluran cerna (Fraksi a) cukup tinggi berkisar antara 19-38%, sedangkan proporsi yang tidak larut, namun dapat didegradasi di dalam rumen (Fraksi b) berkisar antara 32-65%. Laju degradasi fraksi b (c) relatif tinggi, terutama pada Gliricidia sepium, dengan proporsi degradabilitas efektif (DE) berkisar antara 50-78%. Parameter cerna tersebut di atas mengindikasikan bahwa energi yang terkandung di dalam leguminosa pohon dapat diekstraksi dengan baik oleh ternak, dan hal ini tidak terlepas dari relatif rendahnya kandungan serat (NDF dan ADF). Karakteristik cerna dan komposisi kimiawi ini menunjukkan potensi leguminosa pohon sebagai sumber bahan pakan suplemen yang berkualitas tinggi terutama untuk memenuhi kebutuhan protein, sehingga dapat berperan strategis untuk meningkatkan produktivitas kambing.

Tabel 16. Degradabilitas bahan kering beberapa tanaman leguminosa semak sebagai sumber pakan ternak kambing

Spesies a (%) b (%) c (%)/jam DE,% Sumber Leucaena leucocephala 29-38 35-54 4-8 50-64 1,2

Acacia nilotica 25-31 37-59 5-6 59,9 1,4

Gliricidia sepium 8-19 58-65 18 63-78 2,3

Albizia procera 20 32 3,3 - 4

Sesbania acculeata 24 63 3,8 - 4

1Bakshi dan Wadhwa (2004); 2Khamseekhiew et al. (2001); 3Rubanza et al. (2003); 4Alam et al. (2007)

Berbagai sistem pengembangan dapat diintroduksi untuk meningkatkan ketersediaan pakan. Tanaman leguminosa pohon, misalnya dapat dikembangkan bersama dengan tanaman pangan (agrosilviculture) dengan pola tanam inter cropping atau alley cropping. Tanaman pangan, antara lain kacang tanah, kacang kedelai, kacang hijau, ubi kayu dapat digunakan sebagai tanaman utama, mengingat adanya potensi sisa tanaman setelah panen

Sistem Pakan dalam Integrasi Kambing dengan Tanaman Pangan

berupa jerami yang akan meningkatkan ketersediaan pakan. Penggunaan hasil sisa tanaman pangan sebagai pakan dasar yang disuplementasi dengan daun leguminosa meningkatkan efisiensi penggunaan pakan dan produktivitas ternak kambing.

Gliricidia sepium atau Erythrina sp. yang ditanam dengan pola alley cropping dalam jarak 4 m antar baris dilaporkan menghasilkan bahan kering pakan sebesar 5,0-12,5 ton/ha/ tahun dengan frekuensi pemotongan 3-4 kali per tahun (Szott et al. 1987). Produktivitas tanaman pakan ini akan dipengaruhi oleh tinggi serta frekuensi pemotongan. Tanaman legum semak biasanya dipotong pertama kali pada umur berkisar antara 8-12 bulan dengan tinggi pemotongan antara 1,0-1,5 m dari permukaan tanah dengan interval pemotongan 50-60 hari. Penggunaan campuran antara S. Grandiflora, L. Leucochepala dan G. Sepium (50%) dan rumput raja (50%) pada kambing fase bunting dan laktasi nyata meningkatkan produksi induk kambing. Angka mortalitas anak menurun dari 35% pada induk yang tidak diberi campuran legum menjadi hanya 14% pada induk yang diberi campuran legum. Angka kematian anak bahkan 0% pada induk yang diberi campuran legum 100% (Dahlanuddin 2004). Pertumbuhan anak pra-sapih juga meningkat dengan pemberian campuran leguminosa. Pemberian campuran legum diduga meningkatkan produksi air susu induk akibat meningkatnya asupan protein. Pemanfaatan hubungan komplementer antara berbagai macam tanaman pakan dan kombinasinya dengan tanaman pangan dapat menjadi strategi pengembangan pakan yang menjanjikan di wilayah marginal.

C. Memaksimalkan Hasil Sisa/Limbah Tanaman sebagai Pakan

Pada agroekosistem marginal hasil sisa tanaman atau limbah merupakan sumber pakan ternak kambing yang sangat penting dalam mempertahankan ketersediaan pakan secara berkelanjutan.

Page 100: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

100

Nutrisi dan Pakan Kambing

Kendala utama dalam memanfaatkan hasil sisa tanaman adalah kualitas nutrisi yang sangat rendah akibat kandungan serat kasar (NDF) yang tinggi dan dapat melebihi 70%, lambat degradasi (<3%/jam) dan sangat rendah nitrogen (<7%) serta rendah mineral esensial seperti sulfur (S) yang merupakan salah satu unsur penting bagi perkembangan mikroba rumen (Osuji 1994). Bahan pakan dengan karakteristik nutrisi seperti tersebut di atas menyebabkan proses cerna secara fermentatif di dalam rumen menjadi lambat dan tidak efisien, dan mengakibatkan rendahnya tingkat konsumsi pakan. Oleh karena itu, upaya pemanfaatan hasil sisa tanaman secara maksimal memerlukan suplementasi bahan lain yang dapat mengoreksi berbagai defisiensi nutrien esensial terutama protein, energi dan mineral.

1. Suplementasi Protein Menggunakan Legum Pohon

Perlakuan fisik atau kimiawi untuk meningkatkan kualitas nutrisi sisa atau limbah tanaman sering tidak praktis ataupun ekonomis, terlebih pada kondisi yang serba terbatas di wilayah marginal. Perlakuan tersebut membutuhkan input yang tidak selalu tersedia atau tidak terjangkau oleh petani. Suplementasi merupakan cara yang lebih mudah diterapkan, namun suplementasi menggunakan bahan pakan konvensional tinggi energi, protein dan mineral relatif mahal atau tidak tersedia secara lokal. Suplementasi menggunakan bahan yang dapat diproduksi secara lokal, berkesinambungan dan murah merupakan pendekatan yang menjanjikan. Tanaman leguminosa pohon merupakan sumber nutrisi yang dapat dikembangkan sebagai sumber bahan suplemen. Dalam hal ini leguminosa berperan penting sebagai sumber utama protein, energi, mineral dan vitamin yang murah dan tersedia secara lokal. Beberapa jenis tanaman legum pohon seperti lamtoro, Gliricidia, Kaliandra, Indigofera dan Sesbania telah banyak diteliti dan terbukti efektif dalam meningkatkan produktivitas kambing dengan basis pakan

Page 101: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

101

Nutrisi dan Pakan Kambing

Kendala utama dalam memanfaatkan hasil sisa tanaman adalah kualitas nutrisi yang sangat rendah akibat kandungan serat kasar (NDF) yang tinggi dan dapat melebihi 70%, lambat degradasi (<3%/jam) dan sangat rendah nitrogen (<7%) serta rendah mineral esensial seperti sulfur (S) yang merupakan salah satu unsur penting bagi perkembangan mikroba rumen (Osuji 1994). Bahan pakan dengan karakteristik nutrisi seperti tersebut di atas menyebabkan proses cerna secara fermentatif di dalam rumen menjadi lambat dan tidak efisien, dan mengakibatkan rendahnya tingkat konsumsi pakan. Oleh karena itu, upaya pemanfaatan hasil sisa tanaman secara maksimal memerlukan suplementasi bahan lain yang dapat mengoreksi berbagai defisiensi nutrien esensial terutama protein, energi dan mineral.

1. Suplementasi Protein Menggunakan Legum Pohon

Perlakuan fisik atau kimiawi untuk meningkatkan kualitas nutrisi sisa atau limbah tanaman sering tidak praktis ataupun ekonomis, terlebih pada kondisi yang serba terbatas di wilayah marginal. Perlakuan tersebut membutuhkan input yang tidak selalu tersedia atau tidak terjangkau oleh petani. Suplementasi merupakan cara yang lebih mudah diterapkan, namun suplementasi menggunakan bahan pakan konvensional tinggi energi, protein dan mineral relatif mahal atau tidak tersedia secara lokal. Suplementasi menggunakan bahan yang dapat diproduksi secara lokal, berkesinambungan dan murah merupakan pendekatan yang menjanjikan. Tanaman leguminosa pohon merupakan sumber nutrisi yang dapat dikembangkan sebagai sumber bahan suplemen. Dalam hal ini leguminosa berperan penting sebagai sumber utama protein, energi, mineral dan vitamin yang murah dan tersedia secara lokal. Beberapa jenis tanaman legum pohon seperti lamtoro, Gliricidia, Kaliandra, Indigofera dan Sesbania telah banyak diteliti dan terbukti efektif dalam meningkatkan produktivitas kambing dengan basis pakan

Sistem Pakan dalam Integrasi Kambing dengan Tanaman Pangan

hasil sisa tanaman. Penggunaan campuran beberapa jenis legum sebagai suplemen dapat memberikan hasil yang lebih efektif, karena konsentrasi faktor anti nutrisi yang terkandung dalam satu jenis tanaman dapat dikurangi dalam campuran pakan.

Respons ternak kambing dengan pemberian beberapa jenis legum pohon sebagai suplemen pakan berbasis sisa tanaman antara lain adalah meningkatnya konsumsi dan pertambahan bobot hidup atau mencegah terjadinya penurunan bobot hidup, meningkatnya bobot lahir dan bobot sapih anak. Sebagai suplemen tunggal legum semak maupun tanaman pohon dapat diberikan tidak terbatas (ad libitum). Hasil penelitian Yahya et al. (2001) menunjukkan bahwa pemberian jenis legume Ficus polita sebagai suplemen tunggal nyata meningkatkan konsumsi pakan, bobot tubuh pada ternak domba dan sangat sesuai sebagai bahan pakan pada musim kering yang panjang.

Penelitian Thanh dan Ledin (2002) menunjukkan bahwa suplementasi campuran daun tanaman nangka (Artocarpus heterophylla) dengan Flemingia (Flemingia macrophylla) dalam konsentrat pada induk bunting meningkatkan bobot lahir dan pertumbuhan anak. Penggunaan Flemingia dalam konsentrat disarankan tidak lebih dari 20% untuk menghindari penurunan konsumsi. Campuran kedua jenis legum tersebut juga dapat digunakan untuk menggantikan bungkil kedelai dalam konsentrat berbasis dedak padi dan memberikan respon yang tinggi pada induk kambing laktasi (Mui et al. 2002).

2. Suplementasi Protein dengan Hay Daun Ubi Kayu

Pengolahan daun ubi kayu segar melalui pengeringan untuk menghasilkan produk hay daun ubi kayu merupakan salah satu cara praktis untuk mengkonservasi daun ubi kayu agar dapat digunakan dalam jangka waktu lebih lama, terutama selama musim kering. Pembuatan daun ubi kayu menjadi hay dilakukan dengan terlebih dahulu memanen daun pada umur tanaman

Page 102: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

102

Nutrisi dan Pakan Kambing

sekitar 3 bulan, kemudian dicacah menjadi potongan dengan panjang 2-5 cm, lalu dikeringkan di bawah sinar matahari selama 2-3 hari atau sampai kadar air mencapai 10-20%. Pengeringan akan menurunkan kadar HCN sampai 90% dan meningkatkan palatabilitas serta daya simpan. Hay daun ubi kayu dapat digunakan sebagai suplemen tunggal pengganti konsentrat atau sebagai komponen dalam konsentrat menggantikan sumber protein dari bahan konvensional yang harganya lebih tinggi. Untuk meningkatkan kualitasnya, maka hay daun ubi kayu selanjutnya dapat diperkaya dengan penambahan larutan yang mengandung molases (81%), sulfur (0,5%), urea (0,5%) dan air (18%) (Wanapat et al. 2000).

3. Suplementasi Energi dan Mineral

Defisiensi energi dan mineral pada bahan pakan berbasis hasil sisa/limbah tanaman sering terjadi dan perlu dikoreksi agar proses fermentasi pakan di dalam rumen berlangsung secara maksimal. Penggunaan suplemen blok dengan basis utama molases telah lama diketahui dan memiliki potensi untuk meningkatkan ketersediaan energi dan mineral. Ragam komposisi pakan blok pada prinsipnya dapat dirancang secara tidak terbatas sesuai ketersediaan bahan baku. Akan tetapi, dalam menyusun formula pakan blok faktor biaya dan kelengkapan nutrisinya harus menjadi perhatian utama. Beberapa komposisi suplemen blok dengan basis molases dan urea dapat dilihat pada Tabel 17. Kandungan urea maupun molases dalam blok urea-molases terlihat dapat bervariasi luas, dan hal ini akan menentukan rasio N/E (nitrogen/energi) yang tersedia bagi perkembangan dan aktivitas mikrobia untuk proses fermentasi dalam rumen. Rasio N/E yang tinggi dibutuhkan untuk menghasilkan respons mikroba yang maksimal, namun taraf penggunaan urea perlu dibatasi untuk mencegah keracunan.

Page 103: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

103

Nutrisi dan Pakan Kambing

sekitar 3 bulan, kemudian dicacah menjadi potongan dengan panjang 2-5 cm, lalu dikeringkan di bawah sinar matahari selama 2-3 hari atau sampai kadar air mencapai 10-20%. Pengeringan akan menurunkan kadar HCN sampai 90% dan meningkatkan palatabilitas serta daya simpan. Hay daun ubi kayu dapat digunakan sebagai suplemen tunggal pengganti konsentrat atau sebagai komponen dalam konsentrat menggantikan sumber protein dari bahan konvensional yang harganya lebih tinggi. Untuk meningkatkan kualitasnya, maka hay daun ubi kayu selanjutnya dapat diperkaya dengan penambahan larutan yang mengandung molases (81%), sulfur (0,5%), urea (0,5%) dan air (18%) (Wanapat et al. 2000).

3. Suplementasi Energi dan Mineral

Defisiensi energi dan mineral pada bahan pakan berbasis hasil sisa/limbah tanaman sering terjadi dan perlu dikoreksi agar proses fermentasi pakan di dalam rumen berlangsung secara maksimal. Penggunaan suplemen blok dengan basis utama molases telah lama diketahui dan memiliki potensi untuk meningkatkan ketersediaan energi dan mineral. Ragam komposisi pakan blok pada prinsipnya dapat dirancang secara tidak terbatas sesuai ketersediaan bahan baku. Akan tetapi, dalam menyusun formula pakan blok faktor biaya dan kelengkapan nutrisinya harus menjadi perhatian utama. Beberapa komposisi suplemen blok dengan basis molases dan urea dapat dilihat pada Tabel 17. Kandungan urea maupun molases dalam blok urea-molases terlihat dapat bervariasi luas, dan hal ini akan menentukan rasio N/E (nitrogen/energi) yang tersedia bagi perkembangan dan aktivitas mikrobia untuk proses fermentasi dalam rumen. Rasio N/E yang tinggi dibutuhkan untuk menghasilkan respons mikroba yang maksimal, namun taraf penggunaan urea perlu dibatasi untuk mencegah keracunan.

Sistem Pakan dalam Integrasi Kambing dengan Tanaman Pangan

Tabel 17. Beberapa formula pakan blok yang menggunakan molases dan urea sebagai komponen utama sumber nitrogen dan energi

Bahan Komposisi urea-molases (%)

A1 B1 C2 D2 E3 F4 G5 Molases 83 28 56 65 65 55 45 Urea 3 9,3 8 6 6 9 15 Tepung kerang - 4,6 8 5 - 9 4 Bentonit - - - - - - 3 Semen - 13 - - 5 - - Garam - 2,3 - - - 0,3 8 Tepung tulang - 2,3 - - - - - Dedak - 33,5 27 14 14 27 - Mineral mix - - 1 - - 0,7 - Tepung jagung - - - 10 10 - - Bungkil biji kapuk - - - - - - 10 Air 14 7 - - - - -

1Plazier et al. (1999), 2Huq et al. (1996), 3Rafiq et al. (1996), 4Hossain et al. (1995),5Singh (1995)

Suplementasi menggunakan molases dan urea dapat pula diberikan dalam bentuk cair (Komposisi A) dan hanya menggunakan kedua bahan tersebut sebagai sumber energi dan N. Selain dedak atau tepung jagung yang merupakan sumber energi lambat larut, bahan lain yang tersedia di lokasi dapat digunakan, seperti umbi ubi kayu atau ubi jalar. Penggunaan bentonit selain berperan sebagai bahan pengikat (binder) untuk menghasilkan tekstur pakan blok yang baik, juga merupakan sumber N yang lambat larut, sehingga memberikan nilai tambah sebagai bahan pakan. Penggunaan garam dan campuran mineral (mineral mix) sangat penting untuk meningkatkan suplai mineral, khususnya sulfur (S) yang esensial bagi pertumbuhan mikroba rumen. Keterbatasan penggunaan blok berbasis urea-molases adalah jangkauan ketersediaan molases yang relatif terbatas,

Page 104: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

104

Nutrisi dan Pakan Kambing

karena belum adanya sistem pemasaran yang menjangkau wilayah yang luas.

Page 105: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

105

Nutrisi dan Pakan Kambing

karena belum adanya sistem pemasaran yang menjangkau wilayah yang luas.

IX. PENUTUP

Pemeliharaan kambing merupakan aktivitas yang penting dalam sistem usaha tani di berbagai wilayah dan agroekosistem di Indonesia. Populasi kambing nasional telah mencapai sekitar 14 juta ekor dan hampir seluruhnya merupakan komponen di dalam sistem usaha tani campuran. Sebaran populasi kambing terbesar di Jawa (54%) dengan sentra populasi ada di Jawa Tengah (21%) dan Jawa Timur (17%) (Soedjana 2008). Skala pemeliharaan kambing tergolong kecil (<10 ekor) di daerah padat penduduk dengan kepemilikan lahan pertanian yang sempit seperti Jawa dan Bali. Dalam pola usaha yang bersifat sambilan skala usaha tersebut kemungkinan optimal secara ekonomi, karena pemeliharaan sepenuhnya tergantung kepada ketersediaan tenaga keluarga dengan alokasi biaya input produksi yang minimal. Penggunaan tenaga kerja untuk mendapatkan hijauan pakan dengan cara potong-angkut tergolong intensif (Amir et al. 1985). Di wilayah dengan ketersediaan lahan yang lebih luas dan memungkinkan pemeliharaan secara ekstensif skala pemeliharaan kambing lebih besar dan dapat mencapai 40-50 ekor.

Walaupun kambing dipelihara umumnya sebagai usaha sampingan, namun kontribusinya terhadap pendapatan keluarga sangat berarti yaitu dapat mencapai 30%, dan merupakan komoditas yang dapat dikonversi dengan mudah menjadi uang tunai setiap saat diperlukan. Sebagai sumber pangan, kambing dan domba menyumbang sekitar 6% dari total konsumsi daging nasional, dan juga menghasilkan susu yang memiliki pasar tertentu. Konsumsi susu kambing umumnya terkait dengan pertimbangan medikasi, sehingga harga per liter jauh lebih tinggi dibandingkan dengan susu sapi. Harga yang tinggi ini menjadi salah satu faktor yang dapat mendorong usaha pemeliharaan kambing secara lebih intensif. Pasar ekspor yang tetap terbuka untuk komoditas kambing seyogyanya juga dapat menjadi

Page 106: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

106

Nutrisi dan Pakan Kambing

pendorong intensifikasi usaha kambing yang berorientasi komersil.

Pakan yang tersedia sepanjang tahun dengan kualitas yang memadai dan dengan harga yang berdaya saing merupakan tantangan utama dalam mengembangkan usaha kambing secara lebih intensif, berskala ekonomi dan efisien. Sistem pakan yang dapat memenuhi kriteria tersebut di atas perlu dibangun pada setiap wilayah, kawasan atau agro-ekosistem yang memiliki potensi sumber daya untuk pengembangan kambing. Agro-ekosistem yang memiliki peluang besar sebagai wilayah baru pengembangan kambing adalah padang penggembalaan. Sub-sistem pakan di dalam sistem pertanian ini berbeda dengan pola pertanian campuran baik dalam hal keragaman pakan maupun pola interface antara kambing dengan pakan. Skala pemeliharaan yang jauh lebih besar dan ekonomis dapat dibangun pada kawasan padang penggembalaan dengan pilihan pola pemeliharaan ekstensif, semi-ekstensif atau intensif.

Terkait dengan pengembangan sistem pakan, peran teknologi dan manajemen sangat strategis. Daya dukung pakan dapat ditingkatkan dengan mengeksploitasi secara maksimal dan efisien segala potensi sumber pakan yang ada, terutama berbagai macam bahan baku inkonvensional yang belum dimanfaatkan secara optimal. Inovasi teknologi dan manajemen perlu diarahkan untuk mengatasi permasalahan pakan yang umum terjadi dalam sistem integrasi tanaman dengan ternak antara lain: (1) Rendahnya taraf konsumsi bahan pakan berserat tinggi; (2) Fluktuasi ketersediaan dan kecernaan pakan; (3) Rendahnya kandungan protein; (4) Defisiensi mineral tertentu; (5) Tingginya kandungan air yang menyebabkan masa simpan yang singkat; dan (6) Tingginya kandungan substansi tertentu yang memiliki efek anti nutrisi. Beberapa prinsip kunci yang perlu dipertimbangkan untuk mengatasi permasalahan pakan tersebut antara lain adalah: (1) Jenis bahan baku yang tersedia; (2) Pola (defisit/surplus) dan waktu ketersediaan bahan pakan;

Penutup

(3) Keseimbangan nutrien yang tersedia untuk diserap dalam saluran cerna; (4) Taraf konsumsi; dan (5) Target fisiologis kambing yang akan menggunakan pakan (bunting, laktasi, tumbuh). Untuk mengantisipasi fluktuasi ketersediaan bahan baku pakan dalam kurun waktu tertentu sebaiknya dikembangkan sistem kalender pakan. Kalender pakan untuk periode satu tahun dapat disusun untuk menggambarkan ketersediaan berbagai macam bahan pakan serta potensi biomasanya pada setiap bulan. Kalender pakan akan bermanfaat untuk mengantisipasi potensi defisit atau surplus pakan serta berbagai alternatif tindakan antisipatif untuk mengelolanya.

Pemanfaatan bahan pakan inkonvensional tidak selalu mudah dan dengan cepat diadopsi oleh peternak tradisional. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai fakor, antara lain keterbatasan tenaga untuk proses pengolahan, keengganan untuk mengalokasikan input tambahan yang diperlukan dalam proses pengolahan, dampak penggunaan pakan terhadap produktivitas yang bervariasi, logistik bahan baku (transportasi dan fluktuasi ketersediaan) dan orientasi pemeliharaan yang bersifat tradisional yang belum mementingkan efisiensi usaha produksi baik teknis maupun ekonomis. Keberhasilan adopsi teknologi pengolahan pakan sangat ditentukan oleh adanya motivasi yang kuat dari petani-ternak, inovasi teknologi yang menyelesaikan permasalahan, dan teknologi serta manajemen yang selaras dengan sumber daya yang dimiliki serta tujuan usaha petani ternak.

Tanaman pakan, hasil samping atau sisa tanaman dan hasil samping pengolahan industri pertanian telah dan akan tetap menjadi bahan baku pakan yang bernilai untuk ternak kambing dalam sistem produksi tanaman-ternak yang terintegrasi. Karakter sistem tanaman-ternak serta kondisi sosial-ekonomi petani-ternak sebagai pelaku usaha bersifat dinamis. Berbagai potensi dan peluang untuk mengembangkan sistem pakan

Page 107: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

107

Nutrisi dan Pakan Kambing

pendorong intensifikasi usaha kambing yang berorientasi komersil.

Pakan yang tersedia sepanjang tahun dengan kualitas yang memadai dan dengan harga yang berdaya saing merupakan tantangan utama dalam mengembangkan usaha kambing secara lebih intensif, berskala ekonomi dan efisien. Sistem pakan yang dapat memenuhi kriteria tersebut di atas perlu dibangun pada setiap wilayah, kawasan atau agro-ekosistem yang memiliki potensi sumber daya untuk pengembangan kambing. Agro-ekosistem yang memiliki peluang besar sebagai wilayah baru pengembangan kambing adalah padang penggembalaan. Sub-sistem pakan di dalam sistem pertanian ini berbeda dengan pola pertanian campuran baik dalam hal keragaman pakan maupun pola interface antara kambing dengan pakan. Skala pemeliharaan yang jauh lebih besar dan ekonomis dapat dibangun pada kawasan padang penggembalaan dengan pilihan pola pemeliharaan ekstensif, semi-ekstensif atau intensif.

Terkait dengan pengembangan sistem pakan, peran teknologi dan manajemen sangat strategis. Daya dukung pakan dapat ditingkatkan dengan mengeksploitasi secara maksimal dan efisien segala potensi sumber pakan yang ada, terutama berbagai macam bahan baku inkonvensional yang belum dimanfaatkan secara optimal. Inovasi teknologi dan manajemen perlu diarahkan untuk mengatasi permasalahan pakan yang umum terjadi dalam sistem integrasi tanaman dengan ternak antara lain: (1) Rendahnya taraf konsumsi bahan pakan berserat tinggi; (2) Fluktuasi ketersediaan dan kecernaan pakan; (3) Rendahnya kandungan protein; (4) Defisiensi mineral tertentu; (5) Tingginya kandungan air yang menyebabkan masa simpan yang singkat; dan (6) Tingginya kandungan substansi tertentu yang memiliki efek anti nutrisi. Beberapa prinsip kunci yang perlu dipertimbangkan untuk mengatasi permasalahan pakan tersebut antara lain adalah: (1) Jenis bahan baku yang tersedia; (2) Pola (defisit/surplus) dan waktu ketersediaan bahan pakan;

Penutup

(3) Keseimbangan nutrien yang tersedia untuk diserap dalam saluran cerna; (4) Taraf konsumsi; dan (5) Target fisiologis kambing yang akan menggunakan pakan (bunting, laktasi, tumbuh). Untuk mengantisipasi fluktuasi ketersediaan bahan baku pakan dalam kurun waktu tertentu sebaiknya dikembangkan sistem kalender pakan. Kalender pakan untuk periode satu tahun dapat disusun untuk menggambarkan ketersediaan berbagai macam bahan pakan serta potensi biomasanya pada setiap bulan. Kalender pakan akan bermanfaat untuk mengantisipasi potensi defisit atau surplus pakan serta berbagai alternatif tindakan antisipatif untuk mengelolanya.

Pemanfaatan bahan pakan inkonvensional tidak selalu mudah dan dengan cepat diadopsi oleh peternak tradisional. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai fakor, antara lain keterbatasan tenaga untuk proses pengolahan, keengganan untuk mengalokasikan input tambahan yang diperlukan dalam proses pengolahan, dampak penggunaan pakan terhadap produktivitas yang bervariasi, logistik bahan baku (transportasi dan fluktuasi ketersediaan) dan orientasi pemeliharaan yang bersifat tradisional yang belum mementingkan efisiensi usaha produksi baik teknis maupun ekonomis. Keberhasilan adopsi teknologi pengolahan pakan sangat ditentukan oleh adanya motivasi yang kuat dari petani-ternak, inovasi teknologi yang menyelesaikan permasalahan, dan teknologi serta manajemen yang selaras dengan sumber daya yang dimiliki serta tujuan usaha petani ternak.

Tanaman pakan, hasil samping atau sisa tanaman dan hasil samping pengolahan industri pertanian telah dan akan tetap menjadi bahan baku pakan yang bernilai untuk ternak kambing dalam sistem produksi tanaman-ternak yang terintegrasi. Karakter sistem tanaman-ternak serta kondisi sosial-ekonomi petani-ternak sebagai pelaku usaha bersifat dinamis. Berbagai potensi dan peluang untuk mengembangkan sistem pakan

Page 108: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

108

Nutrisi dan Pakan Kambing

berdasarkan kondisi eksis saat ini perlu dibangun, namun pada saat yang sama berbagai skenario sistem pakan, terkait dinamika sosial ekonomi pelaku usaha tani perlu diantisipasi. Inovasi teknologi dan manajemen yang dihasilkan dari kegiatan riset akan menjadi komponen sangat penting dalam membangun skenario tersebut. Prinsip kunci yang akan menentukan keberhasilan adopsi hasil riset oleh petani-ternak dalam sistem integrasi tanaman-ternak adalah kemudahan implementasinya, memberikan manfaat yang terukur, risiko yang rendah serta padu-padan dengan kapasitas sumberdaya dan tujuan usahatani peternak.

Page 109: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

109

Nutrisi dan Pakan Kambing

berdasarkan kondisi eksis saat ini perlu dibangun, namun pada saat yang sama berbagai skenario sistem pakan, terkait dinamika sosial ekonomi pelaku usaha tani perlu diantisipasi. Inovasi teknologi dan manajemen yang dihasilkan dari kegiatan riset akan menjadi komponen sangat penting dalam membangun skenario tersebut. Prinsip kunci yang akan menentukan keberhasilan adopsi hasil riset oleh petani-ternak dalam sistem integrasi tanaman-ternak adalah kemudahan implementasinya, memberikan manfaat yang terukur, risiko yang rendah serta padu-padan dengan kapasitas sumberdaya dan tujuan usahatani peternak.

DAFTAR PUSTAKA

Abdoun K, Stumpff F, Martens H. 2006. Amonia and urea transport across the rumen epithelium: A review. Anim Health Res Rev. 7:43-59.

Abu Hassan, O. 1995. Utilization of oil palm trunk and fronds. In Proceedings 1st Int. Symp. On Integration of Livestock to Oil Palm Production. Kuala Lumpur (Malaysia). p. 129-138.

Alam MR, Amin MR, Kabir AKMA, Moniruzza M, McNeill DM. 2007. Effects of tannins in Acasia nilotica, Albizia procera and Sesbania acculeata foliage determined in vitro, in sacco and in vivo. Asian-Aus J Anim Sci. 20:220-228.

Alimon AR, Hair Bejo M. 1995. Feeding systems based on oil palm by-products in Malaysia. 1st International Symposium on integration of livestock to oil palm production. MSAP/FAO and UPM, 25-27th June 1995, Kuala Lumpur Malaysia. p. 105-113.

Amir P, Soedjana TD, Knipsheer H. 1985. Labour use of small ruminants in three Indonesian villages. Small Ruminant-Collaborative Research Support Program. Working Paper No. 62. Winrock International.

Ansbarasu C, Dutta N, Sharma K, Rawat M. 2004. Response of goats to partial replacement of dietary protein by a leaf meal mixture containing Leucaena leucocephala, Morus alba and Tectona grandis. Small Rumin Res. 51:47-56.

Asada T, Konno T, Saito T. 1991. Study on the conversion of oil palm leaves and petioles into feed for ruminants. In: Proc 3rd Int Symp on the Nutrition of Herbivores. Penang, Malaysia, 1991 Aug 25-30. Penang (Malaysia). p. 104.

Asplund. 1994. Principle of Protein Nutrition of Ruminants. CRC Press. 207 p.

Bakshi MPS, Wadhwa M. 2004. Evaluation of forest tree leaves of semi–hilly arid region as livestock feed. Asian-Aust J Anim Sci. 17:777-783.

Page 110: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

110

Nutrisi dan Pakan Kambing

Bauchop T. 1984. Biotechnology and recombinant DNA technology in the animal production industries. In: Leng RA, Barker JSF, Adams DB, Hutchinson KJ, editors. Reviews in Rural Science 6. p. 118-123. Armidale (NSW): University of New England.

Baumont R, Prache S, Meuret M, Morand-Fehr P. 2000. How forage characteristics influence behaviour and intake in small ruminant: a review. Liv Prod Sci. 64:15-28.

Bell L. 2009. Building better feed systems. Trop Grassland 43:199-206.

Benavides. 2000. Utilization of mulberry in animal production system. In: Sanchez MD, editor. Animal Health and Production Paper No. 147. FAO, Rome, Italy. p. 285-320.

Ben-Salem H, Nefzaoui A. 2003. Feed blocks as alternative supplements for sheep and goats. Small Rumin Res. 49:275-288.

Brody, S. 1945. Biogenetics and growth. New York (USA): Reinhold Publishing Co.

Brun-Bellut J, Kelly JM, Mathison GW, Christopherson RJ. 1991. Effect of rumen degradable protein and lactation on nitrogen metabolism in dairy goats. Can J Anim Sci. 71:1111-1124.

Caparra P, Foti F, Scerra M, Sinatra MC, Scerre V. 2007. Solar-dried citrus pulp as an alternative energy source in lamb diet: Effects on growth and carcass and meat quality. Small Rumin Res. 68:303-311.

Chalupa W, Rickabaugh B, Kronfeld DS, Sklan D. 1984. Rumen fermentation in vitro as influenced by long chain fatty acids. J Dairy Sci. 67:1439-1448.

Chesson A. 1993. Mechanistic models of forage cell wall degradation. In: Peterson GA, Baenziger PS, Luxmoore RJ editors. Forage Cell Wall Structure and Digestibility. American Society of Agronomy, Crop Science Society of America, Soil Science Society of America. p. 347-376.

Classens L, Stoorvogel JJ, Antle JM. 2009. Ex ante assessment of dual purpose sweet potato in the crop-livestock system of Western Kenya: A minimum data approach. Agric Syst . 99:13-22.

Page 111: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

111

Nutrisi dan Pakan Kambing

Bauchop T. 1984. Biotechnology and recombinant DNA technology in the animal production industries. In: Leng RA, Barker JSF, Adams DB, Hutchinson KJ, editors. Reviews in Rural Science 6. p. 118-123. Armidale (NSW): University of New England.

Baumont R, Prache S, Meuret M, Morand-Fehr P. 2000. How forage characteristics influence behaviour and intake in small ruminant: a review. Liv Prod Sci. 64:15-28.

Bell L. 2009. Building better feed systems. Trop Grassland 43:199-206.

Benavides. 2000. Utilization of mulberry in animal production system. In: Sanchez MD, editor. Animal Health and Production Paper No. 147. FAO, Rome, Italy. p. 285-320.

Ben-Salem H, Nefzaoui A. 2003. Feed blocks as alternative supplements for sheep and goats. Small Rumin Res. 49:275-288.

Brody, S. 1945. Biogenetics and growth. New York (USA): Reinhold Publishing Co.

Brun-Bellut J, Kelly JM, Mathison GW, Christopherson RJ. 1991. Effect of rumen degradable protein and lactation on nitrogen metabolism in dairy goats. Can J Anim Sci. 71:1111-1124.

Caparra P, Foti F, Scerra M, Sinatra MC, Scerre V. 2007. Solar-dried citrus pulp as an alternative energy source in lamb diet: Effects on growth and carcass and meat quality. Small Rumin Res. 68:303-311.

Chalupa W, Rickabaugh B, Kronfeld DS, Sklan D. 1984. Rumen fermentation in vitro as influenced by long chain fatty acids. J Dairy Sci. 67:1439-1448.

Chesson A. 1993. Mechanistic models of forage cell wall degradation. In: Peterson GA, Baenziger PS, Luxmoore RJ editors. Forage Cell Wall Structure and Digestibility. American Society of Agronomy, Crop Science Society of America, Soil Science Society of America. p. 347-376.

Classens L, Stoorvogel JJ, Antle JM. 2009. Ex ante assessment of dual purpose sweet potato in the crop-livestock system of Western Kenya: A minimum data approach. Agric Syst . 99:13-22.

Daftar Pustaka

Constantinescu GM, Constantinescu IA. 2010. Functional Anatomy of the Goat. In: Solaiman SG editor. Goat Science and Production. Wiley-Blackwell. 425 p.

Costa RG, Correira MXC, Da Silva JHV, De Medeiros AN, De Carvalho FFR. 2007. Effect of different level of dehydrated pineapple by-products on intake, digestibility and performance of growing goats. Small Rumin Res. 71:138-143.

Crawshaw R. 2004. Co-product feeds. Animal Feeds from the food and drink industries. UK: Nothingham University Press.

Cronjé PB 1990. Supplementary feeding in ruminants -a physiological approach. S Afr J Anim Sci. 3:110-115.

Dahlanuddin, Zainuri LA, Panjaitan T, Muzani. 2002. Optimalisasi penggunaan daun turi (Sesbania glandifora) sebagai pakan ternak kambing. Pros iding Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Pemnafaatan Sumberdaya Pertanian dan Penerapan Teknologi Tepat Guna. Mataram, 20-21 November 2002. Mataram (Indonesia): BPTP Nusa Tenggara Barat. hlm. 148-155.

Dalzell SA, Stewart JL, Tolera A McNeill DM. 1998. Chemical composition of Leucaena and implication for forage quality. In: Shelton HM, Guttridge RC, Mullen BF, RA Bray, editors. Leucaena–Adaptation, quality and farming systems. ACIAR Proceedings No. 86. ACIAR, Canberra, ACT 2601. p.227-246.

Datta. 2002. Mulberry cultivation and utilization in India. In: Sanchez MD, editor. Proc Electronic Conference. FAO Animal Production and Health Paper 147. Rome (Italy): FAO. p. 45-62.

Demment MW, van Soest PJ. 1983. Body size, digestive capacity and feeding strategies of herbivores. Petit Jean Mountain, Morrilton, AR (USA): Winrock International Livestock Research and Training Centre.

Devendra C, Sevilla C, Pezo D. 2001. Food-Feed Systems in Asia-Review. Asian-Aust J Anim Sci. 14:733-745.

Devendra C, Seville CC. 2002. Availability and use of feed resource in crop-animal system. Agric Syst. 71:59-73.

Page 112: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

112

Nutrisi dan Pakan Kambing

Devendra C, Thomas D, Jabbar MA, Zerbini E. 1997. Improvement of livestock production in rain-fed agro-ecological zones of South-East Asia. Nairobi (Kenya): ILRI.

Domingue BMF, Dellow DW, Wilson PR, Barry TN. 1991. Nitrogen metabolism, rumen fermentation, and water absorption in red deer, goats, and sheep. NZ J Agric Res. 34:391-400.

Doran MP, Laca EA, Sainz RD. 2007. Total tract and rumen digestibility of mulberry foliage (Morus alba), alfalfa hay and oat hay in sheep. Anim Feed Sci Technol. 138:239-253.

Doyle PT 1987. Supplements other than forages. In: Hacker JB, Ternouth JH, editors. The Nutrition of Herbivores. Academic Press. p. 429-464.

Drackley JK. 2000. Lipid metabolism. In: de Mello JPF, editor. Farm Animal Metabolism and Nutrition. CABI Publishing. p. 97-120.

Elliot R, McMeniman NP. 1987. Supplementation of ruminant diets with forages. In: Hacker JB, Ternouth JH editors. The Nutrition of Herbivores. Academic Press. p. 409-428.

Elliot R, McMeniman NP, Norton BW, Calderon Cortes FJ. 1984. The food intake response of sheep fed five roughage without urea. Proc Aust Soc Anim Prod. 15:337-340.

Engelhardt VW, Hinderer S. 1976. Transfer of blood urea into the goat colon. In: Tracer Studies on Non-Protein Nitrogen for Ruminants. III. Vienna (Austria): International Atomic Energy Agency. p. 57-58.

Engelhardt VW. 1981. Some physiological aspects on the digestion of poor quality, fibrous diets in ruminants. Agric env. 6:145-152.

Etela I, Larbi A, Bamikole MA, Ikhatua UJ, Oji UI. 2008. Rumen degradation characteristics of sweet potato foliage and performance by local and crossbred calves fed milk and foliage from three cultivars. Livest Sci. 115:20-27.

Ferguson JE, Loch DS. 1999. Arachis pintoi in Australia and Latin America. In: Forage seed production. Vol 2. Tropical and subtropical species. Wallingford, Oxon (UK): CABI Publising. p. 427-434.

Page 113: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

113

Nutrisi dan Pakan Kambing

Devendra C, Thomas D, Jabbar MA, Zerbini E. 1997. Improvement of livestock production in rain-fed agro-ecological zones of South-East Asia. Nairobi (Kenya): ILRI.

Domingue BMF, Dellow DW, Wilson PR, Barry TN. 1991. Nitrogen metabolism, rumen fermentation, and water absorption in red deer, goats, and sheep. NZ J Agric Res. 34:391-400.

Doran MP, Laca EA, Sainz RD. 2007. Total tract and rumen digestibility of mulberry foliage (Morus alba), alfalfa hay and oat hay in sheep. Anim Feed Sci Technol. 138:239-253.

Doyle PT 1987. Supplements other than forages. In: Hacker JB, Ternouth JH, editors. The Nutrition of Herbivores. Academic Press. p. 429-464.

Drackley JK. 2000. Lipid metabolism. In: de Mello JPF, editor. Farm Animal Metabolism and Nutrition. CABI Publishing. p. 97-120.

Elliot R, McMeniman NP. 1987. Supplementation of ruminant diets with forages. In: Hacker JB, Ternouth JH editors. The Nutrition of Herbivores. Academic Press. p. 409-428.

Elliot R, McMeniman NP, Norton BW, Calderon Cortes FJ. 1984. The food intake response of sheep fed five roughage without urea. Proc Aust Soc Anim Prod. 15:337-340.

Engelhardt VW, Hinderer S. 1976. Transfer of blood urea into the goat colon. In: Tracer Studies on Non-Protein Nitrogen for Ruminants. III. Vienna (Austria): International Atomic Energy Agency. p. 57-58.

Engelhardt VW. 1981. Some physiological aspects on the digestion of poor quality, fibrous diets in ruminants. Agric env. 6:145-152.

Etela I, Larbi A, Bamikole MA, Ikhatua UJ, Oji UI. 2008. Rumen degradation characteristics of sweet potato foliage and performance by local and crossbred calves fed milk and foliage from three cultivars. Livest Sci. 115:20-27.

Ferguson JE, Loch DS. 1999. Arachis pintoi in Australia and Latin America. In: Forage seed production. Vol 2. Tropical and subtropical species. Wallingford, Oxon (UK): CABI Publising. p. 427-434.

Daftar Pustaka

Fisher DS, Burns JC, Moore JE. 1995. The nutritive evaluation of forage. In: Barnes RF, Miller DA, Nelson CJ, editors. Forages Introduction to Grassland. Ames (IA): Iowa State University Press. 105-115.

Frier HI, Gorgacz EJ, Hall RC, Gallina AM, Roussen JE, Eaton HD, NielsenSW. 1974. Formation and absorbtion of cerebrospinal fluid in adult goats with hypo- and hypervitaminosis A. Am J Vet Res. 35:45-55.

Flegel TW, Meevootism V. 1986. Biological treatment of straw for animal feed. In: Ibrahim MNM, Schiere JB, editors. Rice Straw and Related Feed in Ruminant Rations. Proceedings of International Workshop Straw Utilization Project. Publication No. 2. Departement of Tropical Animal Production, Wagenigen (Netherlands): Wagenigen Agricultural University. p. 181-191.

Ginting SP. 2012. Kualitas dan pemanfaatan genus Indigofera sebagai pakan ternak ruminansia. Dalam: Ginting SP, Prawiradiputra BR, Purwantari ND, penyunting. Pengembangan dan pemanfaatan tanaman Indigofera mendukung produksi ternak ruminansia. Jakarta (Indonesia): IAARD Press.

Ginting SP, Batubara LP, Tarigan A, Krisnan R, Junjungan. 2004a. Komposisi kimiawi, konsumsi dan kecernaan kulit buah dan biji markisa (Paciflora edulis) yang diberikan kepada kambing. Dalam: Iptek sebagai Motor Penggerak Pembangunan Sistem dan Usaha Agribisnis Peternakan. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 4-5 Agustus 2004. Bogor (Indonesia): Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. hlm. 396-401.

Ginting SP, Batubara LP, Tarigan A, Krisnan R, Junjungan. 2004b. Pemanfaatan limbah industri pengolahan sayur lobak (Raphanus sativa) sebagai pakan kambing. Dalam: Iptek sebagai Motor Penggerak Pembangunan Sistem dan Usaha Agribisnis Peternakan. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 4-5 Agustus 2004. Bogor (Indonesia): Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. hlm. 403-406.

Ginting SP, Tarigan A. 2005. Kualitas nutrisi bebeapa legum herba pada kambing: Konsumsi, kecernaan dan neraca nitrogen. JITV. 10:268-273.

Page 114: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

114

Nutrisi dan Pakan Kambing

Ginting SP, Krisnan R, Tarigan A. 2005. Substitusi Hijauan Dengan Limbah Nenas Dalam Pakan Komplit Untuk Kambing. Dalam: Inovasi Teknologi Peternakan untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat dalam Mewujudkan Kemandirian dan Ketahanan Pangan Nasional. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 12-13 September 2005. Bogor (Indonesia): Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. hlm. 604-610.

Ginting SP, Tarigan A. 2006. Kualitas nutrisi Stenotaphrum secundatum dan Brachiaria humidicola pada kambing. JITV. 11:273-279.

Ginting SP. 2007. Produktivitas Paspalum guenoarum dan Brachiaria ruziziensis pada lahan jeruk dan estimasi daya dukung pakan terhadap ternak kambing. Prosiding Seminar Nasional Inovasi dan Alih Teknologi Spesifik Lokasi Mendukung Revitalisasi Pertanian. Medan, 5 Juni 2007. Bogor (Indonesia): Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. hlm. 617-622.

Ginting SP, Krisnan R, Simanihuruk K. 2007. Silase kulit nenas sebagai pakan dasar pada kambing persilangan Boer Kacang sedang tumbuh. JITV. 12:195-201.

Ginting SP, Krisnan R, Sirait J, Antonius. 2010. The utilization of Indigofera sp as the sole foliage in goat diets supplemented with high carbohydrate or high protein concentrates. JITV. 15:261-268.

Gomez M. 1983. Nutritinal characteristics of some selected nonconventional feedstuffs: their acceptability, improvement, and potential use in poultry feeds. In: Kiflewahid B, Potts GR, Drysdale RM, editors. By-Product Utilization for Animal Production. Proc Workshop on Applied Research, Nairobi, Kenya, 1982, 26-30 September. IDRC. p. 71-81.

Gutierrez LF, Sanchez OJ, Cardona CA. 2009. Process integration possibilities for biodiesel production from palm oil using ethanol obtained from lignocellulolisic residues of oil palm industry. Biores Technol. 100:1227-1237.

Hahn-Hagerdal B, Folke Tj, Guido Z. 1988. Production of ethanol from lignocellulosic materials. Anim Feed Sci Technol. 21:175-182.

Page 115: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

115

Nutrisi dan Pakan Kambing

Ginting SP, Krisnan R, Tarigan A. 2005. Substitusi Hijauan Dengan Limbah Nenas Dalam Pakan Komplit Untuk Kambing. Dalam: Inovasi Teknologi Peternakan untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat dalam Mewujudkan Kemandirian dan Ketahanan Pangan Nasional. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 12-13 September 2005. Bogor (Indonesia): Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. hlm. 604-610.

Ginting SP, Tarigan A. 2006. Kualitas nutrisi Stenotaphrum secundatum dan Brachiaria humidicola pada kambing. JITV. 11:273-279.

Ginting SP. 2007. Produktivitas Paspalum guenoarum dan Brachiaria ruziziensis pada lahan jeruk dan estimasi daya dukung pakan terhadap ternak kambing. Prosiding Seminar Nasional Inovasi dan Alih Teknologi Spesifik Lokasi Mendukung Revitalisasi Pertanian. Medan, 5 Juni 2007. Bogor (Indonesia): Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. hlm. 617-622.

Ginting SP, Krisnan R, Simanihuruk K. 2007. Silase kulit nenas sebagai pakan dasar pada kambing persilangan Boer Kacang sedang tumbuh. JITV. 12:195-201.

Ginting SP, Krisnan R, Sirait J, Antonius. 2010. The utilization of Indigofera sp as the sole foliage in goat diets supplemented with high carbohydrate or high protein concentrates. JITV. 15:261-268.

Gomez M. 1983. Nutritinal characteristics of some selected nonconventional feedstuffs: their acceptability, improvement, and potential use in poultry feeds. In: Kiflewahid B, Potts GR, Drysdale RM, editors. By-Product Utilization for Animal Production. Proc Workshop on Applied Research, Nairobi, Kenya, 1982, 26-30 September. IDRC. p. 71-81.

Gutierrez LF, Sanchez OJ, Cardona CA. 2009. Process integration possibilities for biodiesel production from palm oil using ethanol obtained from lignocellulolisic residues of oil palm industry. Biores Technol. 100:1227-1237.

Hahn-Hagerdal B, Folke Tj, Guido Z. 1988. Production of ethanol from lignocellulosic materials. Anim Feed Sci Technol. 21:175-182.

Daftar Pustaka

Hare MD, Booncharerern P, Tatsapong P, Wongpichet K, Kaewkunya C, Thummasaeng K. 1999. Performances of Para grass (Brachiaria mutica) and Ubon paspalum (Paspalum atratum) on seasonally wet soils. Trop Sub Trop Agroecosyst. 33:75-81.

Hassen A, Rethman NFG, Van Niekerk, Tjelele TJ. 2007. Influence of Season/year and Species on Chemical Composition and In Vitro Digestibility of Five Indigofera accessions. Anim Feed Sci Technol. 136:312-322.

Hespel RB. 1984. Influence of ammonia assimilation pathway and survival strategy on rumen microbial growth. In: Gilchrist FMC, Mackie RI, editors. Herbivore Nutrition in the Subtropics and Tropics. South Africa: The Science Press. pp. 346-358.

Ho YW, Abdullah N, Jalaludin S. 1996. Microbial colonization and degradation of some fibrous crop residues in the rumen of goats. Asian-Aust J Anim Sci. 9:519-524.

Hofmann RR. 1988. Anatomy of gastro-intestinal tract. In: Church DC, editor. The Ruminant Animal Digestive Physiology and Nutrition. Englewood Cliffs (NJ): Prentice Hall. p. 14-43.

Hossain KB, Sarker NR, Saadullah M, Beg MAH, Khan TM. 1995. Effects of feeding straw supplementing with urea molasses block diet on the performance of sheep. Asian-Austl J Anim Sci. 8:289-293.

Huntington GB. 1997. Starch utilization by ruminants: From basic to the bunk. J Anim Sci. 75:852-867.

Huntington GB, Harmon DL, Richards CJ. 2006. Sites, rates, and limits of starch digestion and glucose metabolism in growing cattle. J Anim Sci. 84(E. Suppl.):E14-E24.

Huq MA, Akhter S, Hashem MA, Howlider MAR, Saadullah M, Hossain MM. 1996. Growth and feed utilization in Black Bengal goat on road side grass based diet supplemented with fish meal and urea molasses block. Asian-Aust J Anim Sci. 9:155-158.

Jackson MG. 1981. Who needs feeding standard? Anim Feed Sci Technol. 6:101-104.

Page 116: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

116

Nutrisi dan Pakan Kambing

Jelan ZA, Jalaludin S, Vijchulata P. 1986. In Final RCM on isotop-aided studies on non-protein nitrogen and agro-industrial by-products utilization by ruminants. Vienna (Austria): International Atomic Energy Agency. p.77.

Jenkins TC. 1993. Lipid metabolism in the rumen. J Dairy Sci. 76:3851-3863.

Jenkins TC, Palmquist DL. 1984. Effect of fatty acids or calcium soaps on rumen and total nutrient digestibility of dairy rations. J Dairy Sci. 67:978-988.

Kabi F, Bareeba FB. 2008. Herbage biomass production and nutritive value of mulberry (Morus alba) and Calliandra calothyrsus harvested at different cutting frequencies. Anim Feed Sci Technol. 140:178-190.

Katsumata. 1972. Mulberry species in West Java and their peculiarities. J Seric Sci Jpn. 42:213-223.

Kawas JR, Mahgoub OG, Lu CD. 2012. Nutrition of the Meat Goat. In: Mahgoub O, Kadim IT, Webb EC, editors. Goat Meat Production and Quality.CABI. p. 161-195.

Kearl LC. 1982. Nutrient requirements of ruminants in developing countries. Logan (USA): International Feedstuffs Institute, Utah University.

Ketelaars JJMH, Tolkamp BJ. 1991. Toward a new theory of feed intake regulation in ruminants.1. causes of differences in voluntary feed intake: Critique of current views. Livest Prod Sci. 30:269-296.

Khamseekhiew B, Liang JB, Wong CC, Jelan ZA. 2001. Ruminal and instestinal digestibility of some tropical legume forages. Asian-Aust J Anim Sci. 14:321-325.

Kitalyi A, Mtenga L, Morton J, McLeod A, Thornton P, Dorward A, Saadullah M. 2005. Why keep livestock if you are poor. In: Owen E, Kitalyi A, Jayasuriya N, Smith T, editors. Livestock and Wealth Creation. Improving the husbandry of animals kept by resource-poor people in developing countries. Nottingham (UK): Nottingham University Press. p. 13-27.

Kleiber M. 1961. The f ire of life: An introduction to animal energetics. New York (USA): John Wiley and Sons.

Page 117: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

117

Nutrisi dan Pakan Kambing

Jelan ZA, Jalaludin S, Vijchulata P. 1986. In Final RCM on isotop-aided studies on non-protein nitrogen and agro-industrial by-products utilization by ruminants. Vienna (Austria): International Atomic Energy Agency. p.77.

Jenkins TC. 1993. Lipid metabolism in the rumen. J Dairy Sci. 76:3851-3863.

Jenkins TC, Palmquist DL. 1984. Effect of fatty acids or calcium soaps on rumen and total nutrient digestibility of dairy rations. J Dairy Sci. 67:978-988.

Kabi F, Bareeba FB. 2008. Herbage biomass production and nutritive value of mulberry (Morus alba) and Calliandra calothyrsus harvested at different cutting frequencies. Anim Feed Sci Technol. 140:178-190.

Katsumata. 1972. Mulberry species in West Java and their peculiarities. J Seric Sci Jpn. 42:213-223.

Kawas JR, Mahgoub OG, Lu CD. 2012. Nutrition of the Meat Goat. In: Mahgoub O, Kadim IT, Webb EC, editors. Goat Meat Production and Quality.CABI. p. 161-195.

Kearl LC. 1982. Nutrient requirements of ruminants in developing countries. Logan (USA): International Feedstuffs Institute, Utah University.

Ketelaars JJMH, Tolkamp BJ. 1991. Toward a new theory of feed intake regulation in ruminants.1. causes of differences in voluntary feed intake: Critique of current views. Livest Prod Sci. 30:269-296.

Khamseekhiew B, Liang JB, Wong CC, Jelan ZA. 2001. Ruminal and instestinal digestibility of some tropical legume forages. Asian-Aust J Anim Sci. 14:321-325.

Kitalyi A, Mtenga L, Morton J, McLeod A, Thornton P, Dorward A, Saadullah M. 2005. Why keep livestock if you are poor. In: Owen E, Kitalyi A, Jayasuriya N, Smith T, editors. Livestock and Wealth Creation. Improving the husbandry of animals kept by resource-poor people in developing countries. Nottingham (UK): Nottingham University Press. p. 13-27.

Kleiber M. 1961. The f ire of life: An introduction to animal energetics. New York (USA): John Wiley and Sons.

Daftar Pustaka

Krebs G, Leng RA. 1984. The effect of supplementation with molasses/urea blocks on ruminal digestion. Proc Aust Soc Anim Prod. 15:704.

Krishnamoorthy U, Soller H, Steingass H, Menke KH. 1995. Energy and protein evaluation of tropical feedstuffs for whole tract and ruminal digestion by chemical analyses and rumen inoculum studies in vitro. Anim Feed Sci Technol. 52:177-188.

Krisnan R, Ginting SP. 2005. Produktivitas kambing Kacang dengan pemberian pakan komplit buah Markisa (Passiflora edulis Sims. F. Edulis Deg) terfermentasi Aspergillus niger. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 12-13 September 2005. Bogor (Indonesia): Puslitbang Peternakan. hlm. 625-629.

Kumar R. 1992. Anti-nutritional factors, the potential risks of toxicity and methods to alleviate them. In: Speedy A, Pugliese P, editors. Legume trees and other fodder tree as protein sources for livestock. FAO, Animal Production and Health Paper 102:145-160.

Liu JX, Bao J, Yan B, Yu JQ, Shi ZQ. 2001. Effects of mulberry leaves to replaced rapeseed meal on performance of sheep on ammoniated rice straw diet. Small Rumin Res. 39:131-136.

Lu CD, Kawas JR, Mahgoub OG. 2005. Fibre digestion and utilization in goats. Small Rumin Res. 60:45-52.

MacFarlane WV. 1982. Concepts in animal adaptation. Proceedings 3rd International Conference on Goat Production and Disease. 1982, January, 10-15. Tucson (AZ): Arizona College of Agriculture, The Universi ty of Arizona. p. 375-385.

Mackie RI, Kistner A. 1985. Some frontiers of research in basic ruminant nutrition. Afr J Anim Sci. 15:72.

MacCrae JC, Lobley GE. 1984. Interaction between energy and protein. In: Milligan LP, Grovum WL, Dobson A, editors. Control of Digestion and Metabolism in Ruminants. Englewood Cliffs (NJ): Prentice Hall. p. 367-385.

Man NV, Wiktorsson H. 2001. Cassava tops ensiled with or without molasses as additive effects on quality, feed intake

Page 118: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

118

Nutrisi dan Pakan Kambing

and digestibility by heifers. Asian-Aust J Anim Sci. 14:624-630.

Merten DR. 1994. Regulation of forage intake. In: Fahey GC Jr, editor. Forage Quality, Evaluation, and Utilization. Madison, Wisconsin (USA) American Society of Agronomy. p.450-493.

Mui Ng T, Ledin I, Uden P, Binh DV. 2002. The foliage of Flemingia macrophylla) or Jackfruit (Artocarpus heterophyllus) as a substitute for ricebran-soybean concentrate in the diet of lactating goats. Asian-Aust J Anim Sci. 15:45-54.

Muscher AS, Schroder B, Breves G, Huber K. 2010. Dietary nitrogen reduction enhances urea transport across goat rumen epithelium. J Anim Sci. 88:3390-3398.

National Agricultural Research Organization. 2001. Standard tables of feed composition in Japan. Japan Livestock Industry Association.

Nguyen TM, Ledin I, Uden P, Binh DV. 2002. Nitrogen balance in goats fed Flemingia (Flemingia macrophylla) and Jackfruit (Artocarpus heterophyllus) foliage based diets and effect of a daily supplementation of polyethylene glycol (PEG) on intake and digestion. Asian-Aust J Anim Sci. 15:699-707.

Norton BW. 1994. The nutritive value of tree legumes. In: Guttridge RC, Shelton HMq, editors. Forage Tree Legumes in Tropical Agriculture. CAB International. p. 177-191.

Okine A, Yimamu A, Hanada M, Izumita M, Zunong M, Okamoto M. 2007. Ensiling characteristics of daikon (Raphanus sativus) by-product and its potenstial as an animal feed resouce. Anim Feed Sci Technol. 136:248-264.

Omar SS, Shayo CM, Uden P. 1999. Voluntary intake and digestibility of mulberry (Morus alba) diets by growing goats. Trop Grass. 33:177-181.

Oni AO, Onwuka CFI, Odiguwa OO, Onifade OS, Arigbede OM. 2008. Utilization of citrus pulp based diets and Enterolobium cyclocarpum (JACQ.GRISEB) foliage by West African dwarf goats. Livest Sci. 117:184-191.

Oshio S, Takigawa A, Abe A, Nakanishi N, Osman AH, Daud MJ, Ismail D. 1990. Processing and utilization of oil palm by-products for ruminants TARC and MARDI. p.110.

Page 119: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

119

Nutrisi dan Pakan Kambing

and digestibility by heifers. Asian-Aust J Anim Sci. 14:624-630.

Merten DR. 1994. Regulation of forage intake. In: Fahey GC Jr, editor. Forage Quality, Evaluation, and Utilization. Madison, Wisconsin (USA) American Society of Agronomy. p.450-493.

Mui Ng T, Ledin I, Uden P, Binh DV. 2002. The foliage of Flemingia macrophylla) or Jackfruit (Artocarpus heterophyllus) as a substitute for ricebran-soybean concentrate in the diet of lactating goats. Asian-Aust J Anim Sci. 15:45-54.

Muscher AS, Schroder B, Breves G, Huber K. 2010. Dietary nitrogen reduction enhances urea transport across goat rumen epithelium. J Anim Sci. 88:3390-3398.

National Agricultural Research Organization. 2001. Standard tables of feed composition in Japan. Japan Livestock Industry Association.

Nguyen TM, Ledin I, Uden P, Binh DV. 2002. Nitrogen balance in goats fed Flemingia (Flemingia macrophylla) and Jackfruit (Artocarpus heterophyllus) foliage based diets and effect of a daily supplementation of polyethylene glycol (PEG) on intake and digestion. Asian-Aust J Anim Sci. 15:699-707.

Norton BW. 1994. The nutritive value of tree legumes. In: Guttridge RC, Shelton HMq, editors. Forage Tree Legumes in Tropical Agriculture. CAB International. p. 177-191.

Okine A, Yimamu A, Hanada M, Izumita M, Zunong M, Okamoto M. 2007. Ensiling characteristics of daikon (Raphanus sativus) by-product and its potenstial as an animal feed resouce. Anim Feed Sci Technol. 136:248-264.

Omar SS, Shayo CM, Uden P. 1999. Voluntary intake and digestibility of mulberry (Morus alba) diets by growing goats. Trop Grass. 33:177-181.

Oni AO, Onwuka CFI, Odiguwa OO, Onifade OS, Arigbede OM. 2008. Utilization of citrus pulp based diets and Enterolobium cyclocarpum (JACQ.GRISEB) foliage by West African dwarf goats. Livest Sci. 117:184-191.

Oshio S, Takigawa A, Abe A, Nakanishi N, Osman AH, Daud MJ, Ismail D. 1990. Processing and utilization of oil palm by-products for ruminants TARC and MARDI. p.110.

Daftar Pustaka

Ǿrskov ER. 1986. Starch digestion and utilization in ruminants. J Anim Sci. 63:1624-1633.

Ǿrskov ER, Ryle M. 1998. Energy Nutrition in Ruminants. Lincoln (UK): Chalcombem Publication. 149 pp.

Ǿrskov ER. 2002. Trials and Trials in Livestock Research. Scotland: Halcoln Printing. p.204.

Oshio S, Takigawa A, Abe A, Nakanishi N, Osman AH, Daud MJ, Ismail D. 1990. Processing and utilization of oil palm by-products for ruminants TARC and MARDI. p.110.

Osuji PO. 1994. Nutritional and anti-nutritional values of multipurpose trees used in agroforestry system. In: Copland JW, Djajanegara A, Sabrani M, editors. Agroforestry and Animal Production for Human Welfare. ACIAR Proceeding No. 55. Australian Centre for International Agricultural Research. p. 82-88.

Pasaribu T, Sinurat AP, Purwadaria T, Supriyati, Hamid H. 1998. Peningkatan nilai gizi lumpur sawit melalui proses fermentasi: Pengaruh jenis kapang, suhu dan lama proses ensimatis. JITV. 3:237-242.

Piquer O, Rodenas L, Casado C, Blass E, Pascual JJ. 2009. Whole citrus fruits as an alternative to wheat grain or citrus pulp in sheep diet: Effect on the evolution of ruminal parameters. Small Rumin Res. 83:14-21.

Plazier JCB, Nkya R, Shen MN, Urio NA, McBride BW. 1999. Supplementation of dairy cows with nitrogen molasses mineral blocks and molasses urea mix during dry season. Asian-Austrl J Anim Sci. 12:735-741.

Poyyamozhi VS, Kadirvel R. 1986. The value of banana stalk as feed for goats. Anim Feed Sci Technol. 15:95-100.

Rafiq M, Jadoom JK, Mahmood K, Naqwi MA. 1996. Economic benefit of supplementing lambs with urea molasses block on range of Pakistan. Asian-Aust J Anim Sci. 9:127-132.

Rahman SHA, Choudhury JP, Ahmad AL, Kamarudin AH. 2007. Optimization studies on acid hydrolysis of oil palm empty fruit buch fiber for production of xylose. Bioresour Technol. 98:554-559.

Page 120: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

120

Nutrisi dan Pakan Kambing

Rajendran D, Pattanik AK, Khan SA, Bedi SPS. 2001. Iodine supplementation of Leucaena leucocephala diet for goats. I. Effect on nutrient utilization. Asian-Aust J Anim Sci. 14:785-790.

Rantan K, Ginting SP. 2010. Komposisi kimiawi buah jeruk afkir segar dan silase. (Unpublished).

Reid RL. 1994. Nitrogen compound of forages and feedstuffs. In: Asplund JM, editor. Principles of Protein Nutrition of Ruminants. CRC Press. p. 43-70.

Reynolds CK, Kristensen NB. 2008. Nitrogen recycling through the gut and the nitrogen economy of ruminants: An asynchronous symbiosis. J Anim Sci. 86 (Suppl.):E293-E305.

Rubanza CDK, Shem MN, Otsyina R, Ichinohe T, Fujihara T. 2003. Nutritive evaluation of some browse tree legume foliage native to semi-arid areas in Western Tanzania. Asian-Aust J Anim Sci. 16:1429-1437.

Saddul D, Jelan ZA, Liang JB, Halim RA. 2004a. Mulberry (Morus alba): A promising forage supplement for ruminants. In: Wong HK, Liang JB, Jelan ZA, Ho YW, Goh YM, Panandam JM, Mohamad WZ, editors. New Dimensions and Challenges for Sustainable Livestock Farming. Proceedings 11th Animal Science Congress. AAAAP 5-9th September 2004. Kuala Lumpur, Malaysia. p. 402-404.

Saddul D, Jelan ZA, Liang JB, Halim RA. 2004b. The potential of Mulberry (Morus alba) as a fodder crop: The effect of plant maturity on yield, persistency and nutrient composition of plant fraction. Asian-Aust J Anim Sci. 17:1657-1662.

Sahoo B, Saraswat ML, Haque N, Khan MY. 2002. Influence of chemical treatment of wheat straw on carbon-nitrogen and energy balance in sheep. Small Rumin Res. 44:201-206.

Sanchez MD. 2000. Mulberry is an exceptionally forage available worldwide! In: Sanchez MD, editor. Animal Health and Production Paper No. 147. FAO, Rome, Italy.

Sanchez M.D. 2002. World distribution and utilization of mulberry, potential for animal feeding. In: Sanchez MD, editor Mulberry for Animal Production. Proceedings of an Electronic Conference FAO Animal Production and Health Paper. p. 1-10.

Page 121: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

121

Nutrisi dan Pakan Kambing

Rajendran D, Pattanik AK, Khan SA, Bedi SPS. 2001. Iodine supplementation of Leucaena leucocephala diet for goats. I. Effect on nutrient utilization. Asian-Aust J Anim Sci. 14:785-790.

Rantan K, Ginting SP. 2010. Komposisi kimiawi buah jeruk afkir segar dan silase. (Unpublished).

Reid RL. 1994. Nitrogen compound of forages and feedstuffs. In: Asplund JM, editor. Principles of Protein Nutrition of Ruminants. CRC Press. p. 43-70.

Reynolds CK, Kristensen NB. 2008. Nitrogen recycling through the gut and the nitrogen economy of ruminants: An asynchronous symbiosis. J Anim Sci. 86 (Suppl.):E293-E305.

Rubanza CDK, Shem MN, Otsyina R, Ichinohe T, Fujihara T. 2003. Nutritive evaluation of some browse tree legume foliage native to semi-arid areas in Western Tanzania. Asian-Aust J Anim Sci. 16:1429-1437.

Saddul D, Jelan ZA, Liang JB, Halim RA. 2004a. Mulberry (Morus alba): A promising forage supplement for ruminants. In: Wong HK, Liang JB, Jelan ZA, Ho YW, Goh YM, Panandam JM, Mohamad WZ, editors. New Dimensions and Challenges for Sustainable Livestock Farming. Proceedings 11th Animal Science Congress. AAAAP 5-9th September 2004. Kuala Lumpur, Malaysia. p. 402-404.

Saddul D, Jelan ZA, Liang JB, Halim RA. 2004b. The potential of Mulberry (Morus alba) as a fodder crop: The effect of plant maturity on yield, persistency and nutrient composition of plant fraction. Asian-Aust J Anim Sci. 17:1657-1662.

Sahoo B, Saraswat ML, Haque N, Khan MY. 2002. Influence of chemical treatment of wheat straw on carbon-nitrogen and energy balance in sheep. Small Rumin Res. 44:201-206.

Sanchez MD. 2000. Mulberry is an exceptionally forage available worldwide! In: Sanchez MD, editor. Animal Health and Production Paper No. 147. FAO, Rome, Italy.

Sanchez M.D. 2002. World distribution and utilization of mulberry, potential for animal feeding. In: Sanchez MD, editor Mulberry for Animal Production. Proceedings of an Electronic Conference FAO Animal Production and Health Paper. p. 1-10.

Daftar Pustaka

Sato J., Zahari MW. 2003.The cattle industryutilizing OPF-TMR feed in the oil palm plantation. In: Wahid MB, Zakaria ZZ, Awaluddin R, Ismail S, editors. Proc 2nd National Seminar on Livestock and Crop Integration (LCI) with oil palm optimizing Use-Maximizing Income. Selangor (Malaysia): Malaysian Palm Oil Board. 25 March 2003:40-48.

Satter LD, Slyter LL. 1974. Effect of ammonia concentration on rumen microbial protein production in vitro. Br J Nutr. 32:199-208.

Schiere JB. 1986. Socio-economic considerations relevant for developing small farmers’ (livestock) production. In: Ibrahim MNM, Schiere JB, editors. Rice Straw and Related Feed in Ruminant Rations. Proc. Intl. Workshop. Straw Utilization Project.Publication No.2. Departement of Tropical Animal Production, Wagenigen (Netherlands): Wageningen Agricultural University. p. 25-36.

Schiere JB, de Wit J. 1993. Feeding standards and feeding systems. Anim Feed Sci Technol.43:121-134.

Shan JG, Tan ZL, Sun ZH, Hu JP, Tang SX, Jiang HL, Zhou CS, Wang M, Tayo GO. Limiting amino acids for growing goats fed a corn grain, soybean meal and maize stover based diet. Anim Feed Sci Technol. 139:159-169.

Shkolnik A. 1992. Digestive efficiency: Significance of body size and of adaptation to a stressful environment. In: Acharya RM, editor. Pre-Conference Proceedings Invited Papers Vol. II, Part I. V International Conference on Goats. New Delhi (India): Indian Council of Agricultural Research. p.255-260.

Simanihuruk K, Wiryawan KG, Ginting SP. 2006. Pengaruh taraf kulit buah markisa (Passiflora edulis Simf. edulis Deg) sebagai campuran pakan kambing Kacang: I. Konsumsi, kecernaan dan retensi nitrogen. JITV. 11:97-105.

Simanihuruk K. 2009. Pengaruh kulit buah markisa (Passiflora edulis Sim f. Edulis Deg) sebagai campuran pakan kambing Kacang fase pertumbuhan. JITV. 14:36-44.

Simarani K, Hassan MA, Aziz S, Wakisaka M, Shira Y. 2009. Effect palm oil mill sterilization process on the physicochemical characteristics and enzymatic hydrolysis of empty fruit bunch. Asian J Biotechnol. 1:57-66.

Page 122: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

122

Nutrisi dan Pakan Kambing

Singh M. 1992. Adaptability to hot climates for growth and reproductive performance. In: Lokeshwar RR editor. Proceedings of V International Conference on Goats: Pre-Conference Proceedings Invited Papers Vol. II, Part I. p. 244-252.

Singh GP, Mohini M, Gupta BN. 1995. Effect of partial replacement of concentrate with urea-molasses-mineral lick in growing animal ration on growth and economic feeding. Asian-Aust J Anim Sci. 8:443-447.

Sirait J, Ginting SP, Tarigan A. 2005. Karakteristik morfologik dan produksi legum pada tiga taraf naungan di dua agro-ekosistem. Dalam: Subandriyo, Diwyanto K, Inounu I, Prawiradiputra BR, Setiadi B,Nurhayati, Priyanti A, penyunting. Prosiding Loka Karya Nasional Tanaman Pakan Ternak. Bogor, 16 September 2005. Bogor (Indonesia): Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. hlm. 87-94.

Smith GS, Nelson BA, Boggino EJA. 1971. Digestibility of forages in vitro as affected by content of silica. J Anim Sci. 33:466-471.

Soedjana TD. 2008. Recent development in goat production for meat and milk in Indonesia. Paper presented at Seminar on Production Increases in Meat Goat and Dairy Goat by Incremental Improvement of Its Technology and Infrastructure for Asian Small-Scale Farmer. Ciawi, Bogor, August 4-8, 2008. Bogor (Indonesia): FFTC-IRIAP.

Solaiman SG, Owen FN. 2010. Digestive Physiology and Nutrient Metabolism In: Solaiman SG, editor. Goat Science and Production. Wiley-Blackwell. p. 157-178.

Soto-Navarro SA, Goetch AL, Sahlu T, Puchala R, Dawson LJ. 2003. Effects of ruminally degraded nitrogen source and level in a high concentrate diet on site of digestion in yearling Boer Spanish wether goats. Small Rumin Res. 50:117-128.

Steletta C, Gianesella M, Morgante M. 2008. Metabolic and Nutritional Diseases. In: Cannas A, Pulina G, editors. Dairy Goats Feeding and Nutrition. CABI. p. 263-288.

Page 123: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

123

Nutrisi dan Pakan Kambing

Singh M. 1992. Adaptability to hot climates for growth and reproductive performance. In: Lokeshwar RR editor. Proceedings of V International Conference on Goats: Pre-Conference Proceedings Invited Papers Vol. II, Part I. p. 244-252.

Singh GP, Mohini M, Gupta BN. 1995. Effect of partial replacement of concentrate with urea-molasses-mineral lick in growing animal ration on growth and economic feeding. Asian-Aust J Anim Sci. 8:443-447.

Sirait J, Ginting SP, Tarigan A. 2005. Karakteristik morfologik dan produksi legum pada tiga taraf naungan di dua agro-ekosistem. Dalam: Subandriyo, Diwyanto K, Inounu I, Prawiradiputra BR, Setiadi B,Nurhayati, Priyanti A, penyunting. Prosiding Loka Karya Nasional Tanaman Pakan Ternak. Bogor, 16 September 2005. Bogor (Indonesia): Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. hlm. 87-94.

Smith GS, Nelson BA, Boggino EJA. 1971. Digestibility of forages in vitro as affected by content of silica. J Anim Sci. 33:466-471.

Soedjana TD. 2008. Recent development in goat production for meat and milk in Indonesia. Paper presented at Seminar on Production Increases in Meat Goat and Dairy Goat by Incremental Improvement of Its Technology and Infrastructure for Asian Small-Scale Farmer. Ciawi, Bogor, August 4-8, 2008. Bogor (Indonesia): FFTC-IRIAP.

Solaiman SG, Owen FN. 2010. Digestive Physiology and Nutrient Metabolism In: Solaiman SG, editor. Goat Science and Production. Wiley-Blackwell. p. 157-178.

Soto-Navarro SA, Goetch AL, Sahlu T, Puchala R, Dawson LJ. 2003. Effects of ruminally degraded nitrogen source and level in a high concentrate diet on site of digestion in yearling Boer Spanish wether goats. Small Rumin Res. 50:117-128.

Steletta C, Gianesella M, Morgante M. 2008. Metabolic and Nutritional Diseases. In: Cannas A, Pulina G, editors. Dairy Goats Feeding and Nutrition. CABI. p. 263-288.

Daftar Pustaka

Stur WW, Shelton HM. 1990. Review of forage resources in plantation crops of Southeast Asia and the Pacific. In: Shelton HM, Stur WW editors. Forage for Plantation Crops. Proceedings ACIAR No. 32. Bali, 27-29 Juni 1990. Canberra (Australia): ACIAR. p. 25-31.

Sugiyono, Harahap IY, Winarno, Koedariri AD, Purba A, Purba P. 2002. Kesesuaian lahan dan agroklimat. Dalam: Kultur Teknis Kelapa Sawit. Buana L, Siahaan D, Adiputra S, penyunting. Modul M 100-203. Pusat Penelitian Kelapa Sawit.

Szott LT, Davey CB, Palm CA. 1987. Tropical Soils Technical Report 1985-1986. North Carolina State University. p. 23-26.

Tarigan A, Abdullah L, Ginting SP, Permana IG. 2010. Produksi dan komposisi nutrisi serta kecernaan in vitro Indigofera sp. pada interval dan tinggi pemotongan berbeda. JITV. 15:188-195.

Tcherning K, Lascano C, Barrios E, Schultze-Kraft R, Peters M. 2006. The effect of mixing prunings of two tropical shrub legumes (Calliandra houstoniana and Indigofera zollingeriana) with contrasting quality on N release in the soil and apparent N degradation in the rumen. Plant and Soil 280:357-368.

Thanh DT, Ledin I. 2002. Effects of different foliages and sugar cane in the diet in late pregnancy on ewe and lamb performance. Asian-Aust J Anim Sci. 15:828-833.

Thorne PJ, Tanner JC. 2002. Livestock and nutrient cycling in crop-animal system in Asia. Agric System 71:111-126.

Thornton PK, Herrero M. 2001. Integrtated crop-livestock simulation models for scenario analysis and impact assessment. Agric Syst. 70:581-560.

Tolera A, Seyoum M, Sundstol F. 1998. Nutritive evaluation of Leucaena leucocephala, L. diversiflora and L. pallida an Awassa, Southern Ethiopia. In: Shelton HM, Gutteridge RC, Mullen BF, Bray RA, editors. Leucaena-Adaptation, Quality and Farming Systems. ACIAR Proccedings No 86. p. 261-264.

Tong C, Saw-Lee C, Wahab MN. 1993. Delignification of palm-pressed fibre by white-rot fungi for enzymic saccharification of cellulose. Pertanika J Trop Agric Sci. 16:193-199.

Page 124: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

124

Nutrisi dan Pakan Kambing

Trung Le T. 1986. Improving feeding values of crop residus for ruminants: principles and practices. In: Ibrahim MNM, Schiere JB editors. Rice Straw and Related Feed in Ruminant Rations. Proceedings International Workshop. Straw Utilization Project. Publication No.2. Wagenigen (Netherlands): Departement of Tropical Animal Production, Wagenigen Agricultural University. p. 138-154.

Tudsri S, Sawadipanich S, Prasanpanich S, Jaripakorn P, Iswilanons S. 1999. Development of sustainable pasture production systems for small dairy farm in Central Plain Areas. Final Report summitted to the National Research Council of Thailand Ministry of Science and Technology.

Tudsri S, Kaewkunya C. 2002. Effect of Leucaena row spacing and cutting intensity on the growth of Leucaena and three associated grass in Thailand. Asian-Aust J Anim Sci. 15:986-991.

Tung CM, Liang JB, Tan SL, Ong HK, Jelan ZA. 2001. Fodder productivity and growth persistency of three local cassava varieties. Asian-Aust J Anim Sci. 14:1253-1259.

Underwood EJ, NF Suttle. 1999. The Mineral Nutrition of Livestock. 3rd Ed. Cabi Publishing. 614 p.

Vadiveloo J. 1986. The effect of alkali treatment of straw and dried palm-oil sludge on the intake and performance of goats of varying genotypes. Agric Wastes. 18:233-245.

Vadiveloo J, JG Fadel. 2009. The respose of rice straw varietes to urea treatment. Anim Feed Sci Technol. 151:291-298.

Van Houtert MFJ. 1993. The production and metabolism of volatile fatty acids by ruminants fed roughages: A review. Anim Feed Sci Technol. 43:189-225.

Van Soest PJ. 1982. Nutritional ecology of the ruminan. Itacha (NY): Comstock Publishing Accociates, Cornell University Press.

Van Soest PJ. 1988. A comparison of grazing ang browsing ruminants in the use of feed resources. In: Thomson EF, Thomson FS, editors. Increasing Small Ruminant Productivity in Semi-arid Areas. Kluwer Academic Publishers. p. 67-80.

Daftar Pustaka

Van Soest PJ. 1994. Nutritional Ecology of the Ruminant, 2nd ed. Itacha (NY): Comstock Publishing Associates, Cornell University Press.

Villas-Boas SG, Esposito E, Mitchell DA. 2002. Microbial conversion of lignocellulosic residues for production of animal feeds. Anim Feed Sci Technol. 98:1-12.

Vincent B. 2005. Farming Meat Goats-Breeding, Production and Marketing. Australia: Landlinks Press. 274 pp.

Viswanathan K, Kadirvel R, Chandrasekaran D. 1989. Nutritive value of banana stalk (Musa cavendishi) as a feed for sheep. Anim Feed Sci Technol. 154:271-275.

Volanis M, Zolopoulos P, Panagous E, Tzeraki C. 2004. Utilization of ensiled citrus pulp in the feeding of lac tating dairy ewes. Small Rumin Res. 64:190-195.

Wadhwa M, Bakhsi MPS. 2013. Utilization of fruit and vegetable wastes as livestock feed and as substrates for generation of other value-added products. RAP Publication 2013/04. FAO.

Wanapat M, Petlum A, Pimpa O. 2000. Supplementation of cassava hay to replace concentrate use in lactating Holstein Frisiean crossbreds. Asian-Aust J Anim Sci. 13:600-604.

Wang J, Wang JQ, Bu DP, Guo WJ, Song ZT, Zhang JY. 2010. Effects of storing total mixed rations anaerobically in bales on feed quality. Anim Feed Sci Technol. 161:94-102.

Weimar PJ. 1998. Manipulating ruminal fermentation: A microbial perspective. J Anim Sci. 76:3114-3122.

Westgaard P, Sundstol F. 1986. History of straw treatment in Europe. In: Ibrahim MNM, Schiere JB, editors. Rice Straw and Related Feed in Ruminant Rations. Proceedings International Workshop Straw Utilization Project. Publication No.2. Departement of Tropical Animal Production, Wagenigen (Netherlands): Wagenigen Agricultural University. p. 155-163.

Wing JM. 2003. Citrus Feedstuffs for dairy cattle. University of Florida, IFAS. p.829.

Wong CC. 1990. Shade tolerance of tropical forages: A Review. In: Forage for Plantation Crops. Shelton HM, Stur WW, editors. Proc. ACIAR No. 32. Bali, 27-29 Juni 1990. ACIAR. Canberra, Australia. p. 25-31.

Page 125: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

125

Nutrisi dan Pakan Kambing

Trung Le T. 1986. Improving feeding values of crop residus for ruminants: principles and practices. In: Ibrahim MNM, Schiere JB editors. Rice Straw and Related Feed in Ruminant Rations. Proceedings International Workshop. Straw Utilization Project. Publication No.2. Wagenigen (Netherlands): Departement of Tropical Animal Production, Wagenigen Agricultural University. p. 138-154.

Tudsri S, Sawadipanich S, Prasanpanich S, Jaripakorn P, Iswilanons S. 1999. Development of sustainable pasture production systems for small dairy farm in Central Plain Areas. Final Report summitted to the National Research Council of Thailand Ministry of Science and Technology.

Tudsri S, Kaewkunya C. 2002. Effect of Leucaena row spacing and cutting intensity on the growth of Leucaena and three associated grass in Thailand. Asian-Aust J Anim Sci. 15:986-991.

Tung CM, Liang JB, Tan SL, Ong HK, Jelan ZA. 2001. Fodder productivity and growth persistency of three local cassava varieties. Asian-Aust J Anim Sci. 14:1253-1259.

Underwood EJ, NF Suttle. 1999. The Mineral Nutrition of Livestock. 3rd Ed. Cabi Publishing. 614 p.

Vadiveloo J. 1986. The effect of alkali treatment of straw and dried palm-oil sludge on the intake and performance of goats of varying genotypes. Agric Wastes. 18:233-245.

Vadiveloo J, JG Fadel. 2009. The respose of rice straw varietes to urea treatment. Anim Feed Sci Technol. 151:291-298.

Van Houtert MFJ. 1993. The production and metabolism of volatile fatty acids by ruminants fed roughages: A review. Anim Feed Sci Technol. 43:189-225.

Van Soest PJ. 1982. Nutritional ecology of the ruminan. Itacha (NY): Comstock Publishing Accociates, Cornell University Press.

Van Soest PJ. 1988. A comparison of grazing ang browsing ruminants in the use of feed resources. In: Thomson EF, Thomson FS, editors. Increasing Small Ruminant Productivity in Semi-arid Areas. Kluwer Academic Publishers. p. 67-80.

Daftar Pustaka

Van Soest PJ. 1994. Nutritional Ecology of the Ruminant, 2nd ed. Itacha (NY): Comstock Publishing Associates, Cornell University Press.

Villas-Boas SG, Esposito E, Mitchell DA. 2002. Microbial conversion of lignocellulosic residues for production of animal feeds. Anim Feed Sci Technol. 98:1-12.

Vincent B. 2005. Farming Meat Goats-Breeding, Production and Marketing. Australia: Landlinks Press. 274 pp.

Viswanathan K, Kadirvel R, Chandrasekaran D. 1989. Nutritive value of banana stalk (Musa cavendishi) as a feed for sheep. Anim Feed Sci Technol. 154:271-275.

Volanis M, Zolopoulos P, Panagous E, Tzeraki C. 2004. Utilization of ensiled citrus pulp in the feeding of lac tating dairy ewes. Small Rumin Res. 64:190-195.

Wadhwa M, Bakhsi MPS. 2013. Utilization of fruit and vegetable wastes as livestock feed and as substrates for generation of other value-added products. RAP Publication 2013/04. FAO.

Wanapat M, Petlum A, Pimpa O. 2000. Supplementation of cassava hay to replace concentrate use in lactating Holstein Frisiean crossbreds. Asian-Aust J Anim Sci. 13:600-604.

Wang J, Wang JQ, Bu DP, Guo WJ, Song ZT, Zhang JY. 2010. Effects of storing total mixed rations anaerobically in bales on feed quality. Anim Feed Sci Technol. 161:94-102.

Weimar PJ. 1998. Manipulating ruminal fermentation: A microbial perspective. J Anim Sci. 76:3114-3122.

Westgaard P, Sundstol F. 1986. History of straw treatment in Europe. In: Ibrahim MNM, Schiere JB, editors. Rice Straw and Related Feed in Ruminant Rations. Proceedings International Workshop Straw Utilization Project. Publication No.2. Departement of Tropical Animal Production, Wagenigen (Netherlands): Wagenigen Agricultural University. p. 155-163.

Wing JM. 2003. Citrus Feedstuffs for dairy cattle. University of Florida, IFAS. p.829.

Wong CC. 1990. Shade tolerance of tropical forages: A Review. In: Forage for Plantation Crops. Shelton HM, Stur WW, editors. Proc. ACIAR No. 32. Bali, 27-29 Juni 1990. ACIAR. Canberra, Australia. p. 25-31.

Page 126: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

126

Nutrisi dan Pakan Kambing

Wongsuwan N, Watkin BR. 1990. The management of grass/ legume pasture in Thailand-A problem and challenge. ACIAR Forage Newsletter No. 15:5-7.

Woodward A, Reed JD. 1997. Nitrogen metabolism of sheep and goats consuming Acasia brevispica and Sesbania sesban. J Anim Sci. 75:1130-1139.

Xu M, Du S, Wang J, Yu ZP, Harmon DL, Yao JH. 2009. Influence of rumen escape starch on pancreatic exocrine secretion of goats. J Anim Physiol Anim Nutr. 1:122-129.

Yahya MS, Kibon A, Aregheore EM, Abdulrazak SA, Takahasi J, Matsuoka S. 2001. The evaluation of nutritive value of three tropical browse species for sheep using in vitro and in vivo digestibility. Asian-Aust J Anim Sci. 14:496-500.

Zain M, T Sutardi, Suryahadi, N Ramli. 2008. Effect of defaunation and supplementation methionine hydroxy analogue and branched-chain amino acids in growing sheep diet based on palm pressed fibre ammoniated. Pak J Nutr. 6:813-816.

Zemmelink G, Sifor S, Oosting SJ. 2003. Optimum ut ilization of feed studies in East Java Indonesia. Agric Syst. 76:77-94.

Page 127: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

127

Nutrisi dan Pakan Kambing

Wongsuwan N, Watkin BR. 1990. The management of grass/ legume pasture in Thailand-A problem and challenge. ACIAR Forage Newsletter No. 15:5-7.

Woodward A, Reed JD. 1997. Nitrogen metabolism of sheep and goats consuming Acasia brevispica and Sesbania sesban. J Anim Sci. 75:1130-1139.

Xu M, Du S, Wang J, Yu ZP, Harmon DL, Yao JH. 2009. Influence of rumen escape starch on pancreatic exocrine secretion of goats. J Anim Physiol Anim Nutr. 1:122-129.

Yahya MS, Kibon A, Aregheore EM, Abdulrazak SA, Takahasi J, Matsuoka S. 2001. The evaluation of nutritive value of three tropical browse species for sheep using in vitro and in vivo digestibility. Asian-Aust J Anim Sci. 14:496-500.

Zain M, T Sutardi, Suryahadi, N Ramli. 2008. Effect of defaunation and supplementation methionine hydroxy analogue and branched-chain amino acids in growing sheep diet based on palm pressed fibre ammoniated. Pak J Nutr. 6:813-816.

Zemmelink G, Sifor S, Oosting SJ. 2003. Optimum ut ilization of feed studies in East Java Indonesia. Agric Syst. 76:77-94.

INDEKS SUBJEK

A Abortus 28 Absorbant 56; 59; 81 Adenosin triphosphate (ATP)

17; 32; 45 ADF 52; 57; 61; 62; 94; 97; 98 Aerasi 41; 81 Afinitas 22 Agro-eko 6 Agro-ekosistem 1; 106 Agroforestry 63 Agroklimat 65 Agrosilviculture 92; 98 Alanin 21 Alley cropping 98; 99 Alokasi pakan 33 Amonia 14; 20; 21; 22; 23; 31;

40; 45; 47; 48; 49; 71; 79 Amoniasi 69; 70; 71; 77; 78; 79 Anemia 28 Asam amino 16; 20; 21; 22; 23;

24; 31; 32; 37; 38; 44; 47; 48; 49; 94

Asam lemak jenuh 26; 27 Asam lemak terbang (volatile

fatty acids) 14; 16; 17; 18; 19; 20; 24; 25; 26; 27; 45 Asetat 18; 19; 26 Butirat 18; 19 Propionat 18; 19; 26 Valerat 19

Asam piruvat 17; 18 Asetil-CoA 18 Asimilasi 21; 22; 23

B Bakteri proteolitik 19 Bakteri selulolitik 19 Bentonit 103 Biji Markisa 52; 53; 54 Biohidrogenasi 25; 26; 27 Biokonversi 76; 77; 78; 80; 81;

82; 84 Biotin 30 Boiler 80 Bolus 12; 13 Browsing 8; 12 Buffering capacity 14 Bulu kasar 28 C Caudal 8; 13; 14; 16 Cell contents 39 Cell wall 39 Chyme 15 Citrus pulp 60 Cranial 8; 13 Cut and carry 1; 2; 29 D Defisiensi vitamin 29; 30 Deformasi kuku 28 Deformasi tulang 28 Degradasi protein 20; 22; 23; 49

Deaminase 20; 32 Peptidase 20 Protease 20

Dehidrogenase 22 Dermatosis 28 Duodenum 15

Page 128: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

128

Nutrisi dan Pakan Kambing

E Ekstensif 16; 25; 26; 27; 105; 106 Energi 5; 9; 17; 20; 31; 32; 37;

40; 43; 44; 45; 46; 48; 51; 52; 54; 55; 56; 57; 61; 62; 67; 73; 80; 81; 82; 93, 94, 97, 98, 100, 102, 103

Ensilase 54; 56; 61; 62; 70; 76; 77; 78; 84

Enzimatis 10; 14; 15; 40; 67; 69; 80

Epitel 23; 27 Esophageal groove 13 Etanol 41; 77 Ex situ 84 F Feed budget 33; 34; 35; 42; 68 Feeding standard 33; 34; 73 Feedlot 34 Fenotipik 4 Fermentasi 9; 13; 14; 15; 16;

17; 18; 19; 20; 26; 30; 31; 32; 38; 40; 44; 54; 59; 60; 70; 71; 81; 102

Filler 54 Fotosintesis 6; 17 Fungi 81

Red rot 81 White rot 81

G Glikosidik 76; 77 Gliserol 25 Glukoneogenesis 19 Glukosa 19; 46; 57 Glutamat 21; 22 Glutamin 22 Goiter 28

Graminae 42 H Hemiselulosa 17; 40; 49; 61;

67; 80; 81 Hidrolisis 14; 19; 20; 22; 23;

25; 26; 27; 40; 45; 46; 71; 77; 79

High input system 34 Hortikultura 1; 2; 6; 7; 17; 30;

41; 50; 51; 60; 63 I Ileum 15 Indigofera sp. 96; 100 Infiltrasi 41 In situ 84 Intensif 1; 6; 10; 15; 19; 34; 50;

87; 105; 106 Intercropping 89; 92; 98 Interface 105 J Jaringan periferi 32 Jejunum 15 Jeruk afkir 61; 62 K Karbohidrat 8; 15; 17; 18; 20;

26; 32; 40; 42; 43; 44; 45; 46; 55; 61; 70; 76; 77

Karoten 29 Keambaan 6; 37 Kecernaan 24; 36; 38; 40; 41;

42; 43; 45; 47; 51; 54; 58; 61; 62; 64; 67; 68; 69; 71; 73; 74; 76; 77; 79; 80

Kelenjar mandibular 11 Kelenjar parotid 11 Kelenjar sublingual 11 Komponen komplementer 1

Indeks Subjek

Kompos 77 Komposisi kimiawi 36; 37; 42;

52; 55; 57; 61; 62; 66; 67; 68; 74; 94; 97; 98

Konsumsi 2; 5; 8; 12; 13; 19; 23; 29; 34; 36; 40; 42; 43; 45; 46l 51; 54; 56; 58; 59; 61; 67; 68; 69; 71; 73; 74; 76; 77; 79; 80; 94; 95; 100; 101

Kualitas nutrisi 5; 6; 10; 34; 36; 39; 42; 51; 63; 66; 68; 70; 72; 74; 75; 77; 82; 88; 89; 93; 94; 96; 97; 100

Kulit buah Markisa 52; 53; 54 Kulit buah Nenas 57 L Lahan marginal 87 Lemak struktural 24

Fosfolipid 24; 27 Galaktolipid 24; 25 Glikolipid 24; 40

Leusin 21 Lignin 40; 41; 62; 67; 68; 73;

74; 76; 77; 80; 81 Ligno-selulosa 5; 32; 41; 51;

74; 76; 80 Lime 61 Limonin 61 Lipogenesis 19 Lipolisis 25; 26; 27 Logistik 5; 7; 33; 37; 107 Low-input system 34 Lubrikasi 11 Lysozyme 14 M Maserasi 11 Meramban 8; 12; 29

Metabolisme 17; 18; 19; 21; 22; 24; 28; 29; 30; 31; 32; 37; 43; 44; 46

Mikroba 12; 13; 19; 20; 21; 22; 24; 25; 26; 27; 31; 32; 37; 42; 43; 44; 45; 47; 48; 49; 50; 69; 71; 81; 95; 97; 100; 102; 103

Mineral makro 28; 42 Mineral mikro 28 Miselle 28 Mix farming 1 Monomer 71 Murbei 92; 93; 94; 95; 96 N NDF 52; 57; 58; 61; 62; 94; 96;

97; 98; 100 Nilai tambah 2; 80; 103 Nitrogen endogen 22; 31 Nutrisi 3; 4; 5; 6; 7; 8; 9: 10; 15;

16; 17; 19; 24; 27; 31; 33; 34; 36; 37; 39; 42; 43; 44; 45; 51; 52; 63; 64; 66; 67; 68; 70; 72; 73; 74; 75; 76; 77; 82; 83; 85; 88; 89; 90; 92; 93; 94; 96; 97; 100; 101

O Opportunity cost 41 P Pakan 3; 4; 5; 6; 7; 8; 9; 10; 11;

12; 13; 14; 15; 16; 17; 18; 19; 20; 21; 22; 24; 25; 26; 27; 28; 29; 31; 32; 33; 34; 35; 36; 37; 38; 39; 40; 41; 42; 43; 44; 45; 46; 47; 48; 49; 50; 51; 52; 53; 54; 55; 56; 57; 58; 59; 60; 62; 63; 64; 65; 66; 67; 68; 69; 70;

Page 129: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

129

Nutrisi dan Pakan Kambing

E Ekstensif 16; 25; 26; 27; 105; 106 Energi 5; 9; 17; 20; 31; 32; 37;

40; 43; 44; 45; 46; 48; 51; 52; 54; 55; 56; 57; 61; 62; 67; 73; 80; 81; 82; 93, 94, 97, 98, 100, 102, 103

Ensilase 54; 56; 61; 62; 70; 76; 77; 78; 84

Enzimatis 10; 14; 15; 40; 67; 69; 80

Epitel 23; 27 Esophageal groove 13 Etanol 41; 77 Ex situ 84 F Feed budget 33; 34; 35; 42; 68 Feeding standard 33; 34; 73 Feedlot 34 Fenotipik 4 Fermentasi 9; 13; 14; 15; 16;

17; 18; 19; 20; 26; 30; 31; 32; 38; 40; 44; 54; 59; 60; 70; 71; 81; 102

Filler 54 Fotosintesis 6; 17 Fungi 81

Red rot 81 White rot 81

G Glikosidik 76; 77 Gliserol 25 Glukoneogenesis 19 Glukosa 19; 46; 57 Glutamat 21; 22 Glutamin 22 Goiter 28

Graminae 42 H Hemiselulosa 17; 40; 49; 61;

67; 80; 81 Hidrolisis 14; 19; 20; 22; 23;

25; 26; 27; 40; 45; 46; 71; 77; 79

High input system 34 Hortikultura 1; 2; 6; 7; 17; 30;

41; 50; 51; 60; 63 I Ileum 15 Indigofera sp. 96; 100 Infiltrasi 41 In situ 84 Intensif 1; 6; 10; 15; 19; 34; 50;

87; 105; 106 Intercropping 89; 92; 98 Interface 105 J Jaringan periferi 32 Jejunum 15 Jeruk afkir 61; 62 K Karbohidrat 8; 15; 17; 18; 20;

26; 32; 40; 42; 43; 44; 45; 46; 55; 61; 70; 76; 77

Karoten 29 Keambaan 6; 37 Kecernaan 24; 36; 38; 40; 41;

42; 43; 45; 47; 51; 54; 58; 61; 62; 64; 67; 68; 69; 71; 73; 74; 76; 77; 79; 80

Kelenjar mandibular 11 Kelenjar parotid 11 Kelenjar sublingual 11 Komponen komplementer 1

Indeks Subjek

Kompos 77 Komposisi kimiawi 36; 37; 42;

52; 55; 57; 61; 62; 66; 67; 68; 74; 94; 97; 98

Konsumsi 2; 5; 8; 12; 13; 19; 23; 29; 34; 36; 40; 42; 43; 45; 46l 51; 54; 56; 58; 59; 61; 67; 68; 69; 71; 73; 74; 76; 77; 79; 80; 94; 95; 100; 101

Kualitas nutrisi 5; 6; 10; 34; 36; 39; 42; 51; 63; 66; 68; 70; 72; 74; 75; 77; 82; 88; 89; 93; 94; 96; 97; 100

Kulit buah Markisa 52; 53; 54 Kulit buah Nenas 57 L Lahan marginal 87 Lemak struktural 24

Fosfolipid 24; 27 Galaktolipid 24; 25 Glikolipid 24; 40

Leusin 21 Lignin 40; 41; 62; 67; 68; 73;

74; 76; 77; 80; 81 Ligno-selulosa 5; 32; 41; 51;

74; 76; 80 Lime 61 Limonin 61 Lipogenesis 19 Lipolisis 25; 26; 27 Logistik 5; 7; 33; 37; 107 Low-input system 34 Lubrikasi 11 Lysozyme 14 M Maserasi 11 Meramban 8; 12; 29

Metabolisme 17; 18; 19; 21; 22; 24; 28; 29; 30; 31; 32; 37; 43; 44; 46

Mikroba 12; 13; 19; 20; 21; 22; 24; 25; 26; 27; 31; 32; 37; 42; 43; 44; 45; 47; 48; 49; 50; 69; 71; 81; 95; 97; 100; 102; 103

Mineral makro 28; 42 Mineral mikro 28 Miselle 28 Mix farming 1 Monomer 71 Murbei 92; 93; 94; 95; 96 N NDF 52; 57; 58; 61; 62; 94; 96;

97; 98; 100 Nilai tambah 2; 80; 103 Nitrogen endogen 22; 31 Nutrisi 3; 4; 5; 6; 7; 8; 9: 10; 15;

16; 17; 19; 24; 27; 31; 33; 34; 36; 37; 39; 42; 43; 44; 45; 51; 52; 63; 64; 66; 67; 68; 70; 72; 73; 74; 75; 76; 77; 82; 83; 85; 88; 89; 90; 92; 93; 94; 96; 97; 100; 101

O Opportunity cost 41 P Pakan 3; 4; 5; 6; 7; 8; 9; 10; 11;

12; 13; 14; 15; 16; 17; 18; 19; 20; 21; 22; 24; 25; 26; 27; 28; 29; 31; 32; 33; 34; 35; 36; 37; 38; 39; 40; 41; 42; 43; 44; 45; 46; 47; 48; 49; 50; 51; 52; 53; 54; 55; 56; 57; 58; 59; 60; 62; 63; 64; 65; 66; 67; 68; 69; 70;

Page 130: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

130

Nutrisi dan Pakan Kambing

71; 72; 73; 74; 75; 76; 77; 78; 79; 80; 81; 82; 83; 84; 85; 86; 87; i88; 89; 90; 92; 93; 94; 95; 96; 97; 98; 99; 100; 101; 102; 103

Palatable 64 Pascadiafragma 10; 13

Abomasum 10; 11; 13; 14; 15 Oesophagus 10; 12; 13 Omasum 10; 13; 14 Reticulum 10; 13; 14 Rumen 8; 13; 14; 17; 19; 20; 21; 22; 23; 24; 25; 26; 27; 30; 31; 32; 41; 42; 43; 44; 45; 46; 47; 48; 49; 55; 69; 71; 88; 92; 94; 95; 97; 98; 100; 102; 103

Pectin 61 Pelet 61 Penyakit metabolik 4

Asidosis 4 Defisiensi mineral 4; 28 Toksikosis 4

Peristaltik 13 Perkebunan 1; 2; 17; 41; 65;

66; 67; 69; 70; 73; 74; 75; 76; 77; 78; 82; 83; 84; 85; 86

Pharynx 12 Pola makan 10; 15 Polimer 69 Polisakarida 71; 76; 77 Pradiafragma 10; 12

Deglutinasi 10; 12; 13 Insalivasi 10; 11; 12; 13 Mastikasi 11; 12; 13 Prehensi 10

Protein 5; 9; 14; 15; 19; 20; 21; 22; 23; 24; 26; 27; 31; 32; 37; 40; 51; 52; 53; 57; 58; 61; 62; 67; 68; 71; 72; 73; 74; 82; 88; 90; 92; 93; 94; 95; 96; 97; 98; 99; 100; 101; 102; 106

Pseudo-stem 62 Pulp 60 R Recycling N 88 Reticulo-rumen 8; 12; 13; 14;

19; 20; 71; 88 Roughage 67; 73 S Saliva 11; 12; 20; 22; 23 Selulosa 17; 19; 33; 40; 45; 47;

49; 67; 80; 81 Selulolisis 43 Semi-ekstensif 106 Serat mesokarp 73; 74; 78; 80; 82; 83 Serat ADF 57 Serat NDF 57 Serat perasan buah 57; 58; 59;

60; 61 Sericulture 93 Siklus TCA 31 Silika 40; 58; 67; 68; 73; 74 Silvopasture 63 Sintesis 18; 19; 21; 22; 26; 30;

31; 32; 46; 48; 49 Sistem pakan 22; 65; 85; 87;

106; 108 Solid decanter 73; 81; 82 Stalk 62

Page 131: Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

131

Nutrisi dan Pakan Kambing

71; 72; 73; 74; 75; 76; 77; 78; 79; 80; 81; 82; 83; 84; 85; 86; 87; i88; 89; 90; 92; 93; 94; 95; 96; 97; 98; 99; 100; 101; 102; 103

Palatable 64 Pascadiafragma 10; 13

Abomasum 10; 11; 13; 14; 15 Oesophagus 10; 12; 13 Omasum 10; 13; 14 Reticulum 10; 13; 14 Rumen 8; 13; 14; 17; 19; 20; 21; 22; 23; 24; 25; 26; 27; 30; 31; 32; 41; 42; 43; 44; 45; 46; 47; 48; 49; 55; 69; 71; 88; 92; 94; 95; 97; 98; 100; 102; 103

Pectin 61 Pelet 61 Penyakit metabolik 4

Asidosis 4 Defisiensi mineral 4; 28 Toksikosis 4

Peristaltik 13 Perkebunan 1; 2; 17; 41; 65;

66; 67; 69; 70; 73; 74; 75; 76; 77; 78; 82; 83; 84; 85; 86

Pharynx 12 Pola makan 10; 15 Polimer 69 Polisakarida 71; 76; 77 Pradiafragma 10; 12

Deglutinasi 10; 12; 13 Insalivasi 10; 11; 12; 13 Mastikasi 11; 12; 13 Prehensi 10

Protein 5; 9; 14; 15; 19; 20; 21; 22; 23; 24; 26; 27; 31; 32; 37; 40; 51; 52; 53; 57; 58; 61; 62; 67; 68; 71; 72; 73; 74; 82; 88; 90; 92; 93; 94; 95; 96; 97; 98; 99; 100; 101; 102; 106

Pseudo-stem 62 Pulp 60 R Recycling N 88 Reticulo-rumen 8; 12; 13; 14;

19; 20; 71; 88 Roughage 67; 73 S Saliva 11; 12; 20; 22; 23 Selulosa 17; 19; 33; 40; 45; 47;

49; 67; 80; 81 Selulolisis 43 Semi-ekstensif 106 Serat mesokarp 73; 74; 78; 80; 82; 83 Serat ADF 57 Serat NDF 57 Serat perasan buah 57; 58; 59;

60; 61 Sericulture 93 Siklus TCA 31 Silika 40; 58; 67; 68; 73; 74 Silvopasture 63 Sintesis 18; 19; 21; 22; 26; 30;

31; 32; 46; 48; 49 Sistem pakan 22; 65; 85; 87;

106; 108 Solid decanter 73; 81; 82 Stalk 62

Indeks Subjek

T Tanaman pakan 6; 8; 9; 10; 12;

17; 24; 27; 29; 35; 39; 42; 50; 51; 63; 87; 88; 89; 90; 96; 97; 99

Tanaman pangan 1; 2; 17; 87; 89; 92; 98; 99

Tandan buah kosong 66; 73; 74; 75; 82; 83; 85

Tannin 12; 40; 62; 92; 94; 96 TBM 66 TBS 66 Tetany 28 Thiamin 30

Transfer urea 88 Turn over time 8; 95 U Urea 22; 23; 45; 48; 55; 60; 71;

79; 88; 102; 103 Usahatani campuran 1 V Valin 21 Vegetasi 66 Vitamin B kompleks 30 Vitamin K 30

Coumarin 30 Cyanocobalamin 30