Upload
michelle-natacia
View
11
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
l
Citation preview
anis khoerunnisaSelasa, 26 Juni 2012
analgetika dan antipiretika
BAB IPENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANGNyeri merupakan suatu mekanisme perlindungan tubuh untuk melindungi dan
memberikan tanda bahaya tentang adanya gangguan di tubuh.
Mekanisme nyeri
Rangsangan diterima oleh reseptor nyeri, diubah dalam bentuk impuls yang di
hantarkan ke pusat nyeri di korteks otak. Setelah di proses dipusat nyeri, impuls di
kembalikan ke perifer dalam bentuk persepsi nyeri. Rangsangan yang diterima oleh
reseptor nyeri dapat berasal dari berbagai faktor dan dikelompokkan menjadi
beberapa bagian, yaitu :
1. Rangsangan Mekanik
Nyeri yang disebabkan karena pengaruh mekanik seperti tekanan, tusukan jarum,
irisan pisau dan lain-lain.
2. Rangsangan Termal
Nyeri yang disebabkan karena pengaruh suhu, rata-rata manusia akan merasakan
nyeri jika menerima panas diatas 45 C, dimana mulai pada suhu tersebut jaringan
akan mengalami kerusakan.
3. Rangsangan Kimia
Jaringan yang mengalami kerusakan akan membebaskan zat yang disebut
mediator yang dapat berikatan dengan reseptor nyeri antara lain : bradikinin,
serotonin, histamin, asetilkolin dan prostaglandin. Bradikinin merupakan zat yang
paling berperan dalam menimbulkan nyeri karena kerusakan jaringan. Zat kimia lain
yang berperan dalam menimbulkan nyeri adalah asam, enzim proteolitik, Zat P dan
ionK+ (ion K positif ).
Proses Terjadinya Nyeri
Reseptor nyeri dalam tubuh adalah ujung-ujung saraf telanjang yang
ditemukan hampir pada setiap jaringan tubuh. Impuls nyeri dihantarkan ke Sistem
Saraf Pusat (SSP) melalui dua sistem serabut. Sistem pertama terdiri dari serabut Aδ
bermielin halus bergaris tengah 2-5 µm, dengan kecepatan hantaran 6-30 m/detik.
Sistem kedua terdiri dari serabut C tak bermielin dengan diameter 0.4-1.2 µm, dengan
kecepatan hantaran 0,5-2 m/detik. Serabut Aδ berperan dalam menghantarkan "nyeri
cepat" dan menghasilkan persepsi nyeri yang jelas, tajam dan terlokalisasi, sedangkan
serabut C menghantarkan "nyeri lambat" dan menghasilkan persepsi samar-samar,
rasa pegal dan perasaan tidak enak. Pusat nyeri terletak di talamus, kedua jenis
serabut nyeri berakhir pada neuron traktus spinotalamus lateral dan impuls nyeri
berjalan ke atas melalui traktus ini ke nukleus posteromidal ventral dan posterolateral
dari talamus. Dari sini impuls diteruskan ke gyrus post sentral dari korteks otak.
Klasifikasi Nyeri
Nyeri dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria antara lain :
a. Klasifikasi nyeri berdasarkan waktu
Nyeri Akut
Nyeri yang terjadi secara tiba-tiba dan terjadinya singkat
Contoh : Nyeri trauma
Nyeri Kronis
Nyeri yang terjadi atau dialami sudah lama
Contoh : Kanker
b. Klasifikasi nyeri berdasarkan tempat terjadinya nyeri
Nyeri Somatik
Nyeri yang dirasakan hanya pada tempat terjadinya kerusakan atau gangguan, bersifat
tajam, mudah dilihat dan mudah ditangani
Contoh : Nyeri karena tertusuk
Nyeri Visceral
Nyeri yang terkait kerusakan organ dalam
Contoh : Nyeri karena trauma di hati atau paru-paru
Nyeri Reperred
Nyeri yang dirasakan jauh dari lokasi nyeri
Contoh : Nyeri angina.
a. Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Persepsi Nyeri
Nyeri Nosiseptis
Nyeri yang kerusakan jaringannya jelas
Nyeri neuropatik
Nyeri yang kerusakan jaringan tidak jelas
Contoh : Nyeri yang diakibatkan oleh kelainan pada susunan saraf
Setelah mengetahui mekanisme nyeri, proses terjadinya nyeri, klasifikasi
nyeri, kita harus mengetahui pengobatan nyeri dengan menggunakan analgetik dan
antipiretika yang akan dibahas di bab selanjutnya.
1.2 RUMUSAN MASALAHPerkembangan teknologi membuat semua cabang ilmu pengetahuan menjadi
landasan dalam kehidupan manusia. Termasuk ilmu farmakologi yang kita pelajari
sangat erat dengan kehidupan manusia. Kita akan mengetahui penggolongan obat juga
mekanisme kerja dari masing-masing obat. Makalah ini membahas analgetika
antipiretika yang merupakan bagian dari penggolongan obat. Jenis-jenis obat dari
golongan analgetik antipiretik ini sudah tidak asing di kalangan masyarakat, konsumsi
masyarakat dengan obat analgetika antipiretika pun meningkat.
1.3 TUJUAN PENULISAN Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Biomedik V
Untuk mengetahui segala sesuatu tentang nyeri
Untuk mempelajari jenis-jenis obat analgetika antipiretika
1.4. MANFAAT PENULISAN
Dapat memperkaya teori mengenai segala sesuatu tentang nyeri
Dapat mengenal berbagai jenis obat analgetika antipiretika
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANALGETIKA2.1.1 DEFINISI
Analgetika berasal dari bahasa yunani, yaitu an berarti tanpa, dan algia berarti
nyeri. Kesimpulannya analgetika adalah obat atau zat yang dalam dosis teurapeutik
dapat mengurangi atau menekan rasa nyeri tanpa memiliki kerja anaestesi umum.
2.1.2 PATOGENESIS
Nyeri adalah suatu gejala yang berfungsi untuk melindungi
dan memberikan tanda bahaya tentang adanya gangguan-
gangguan pada tubuh seperti peradangan, infeksi-infeksi kuman,
dan kejang otot. Sehingga sesungguhnya rasa nyeri berguna
sebagai “alarm” bahwa ada yang salah pada tubuh. Misalnya, saat
seseorang tidak sengaja menginjak pecahan kaca, dan kakinya
tertusuk, maka ia akan merasakan rasa nyeri pada kakinya dan
segera ia memindahkan kakinya. Tetapi adakalanya nyeri yang
merupakan pertanda ini dirasakan sangat menggangu apalagi
bila berlangsung dalam waktu yang lama, misalnya pada penderita
kanker.
a. Penyebab timbulnya rasa nyeri
Sebab-sebab rasa nyeri adalah rangsangan mekanis atau kimia (kalor atau
listrik) yang dapat menimbulkan kerusakan-kerusakan pada jaringan dan melepaskan
zat-zat tertentu yang disebut mediator nyeri (perantara). Mediator ini merangsang
reseptor nyeri yang terletak di ujung saraf bebas dari kulit, selaput lendir dan jaringan
lainnya dan dari sini rangsangan dirasakan sebagai nyeri.
Mediator- mediator nyeri yang terpenting adalah : histamin, serotonin,
plasmakinin-plasmakinin (antara lain bradikinin ) dan prostaglandin, dan ion-ion
kalium. Zat-zat ini merangsang reseptor-reseptor nyeri pada ujung saraf bebas di kulit,
selaput lendir, dan jaringan, lalu dialirkan melalui saraf sensoris ke susunan syaraf
pusat ( SSP ) melalui sumsum tulang belakang ke talamus dan ke pusat nyeri di otak
besar ( rangsangan sebagai nyeri ). Zat-zat ini dapat mengakibatkan reaksi radang,
kejang-kejang otot dan mengaktifkan reseptor nyeri. Prostaglandin dan plasmakinin
juga dapat berkhasiat vasodilator kuat, mengakibatkan radang dan edema.
Gambar Mekanisme Nyeri dan Jalurnya
a. Penggolongan nyeri
Nyeri dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria antara lain :
Klasifikasi nyeri berdasarkan waktu
Nyeri Akut
Nyeri yang terjadi secara tiba-tiba dan terjadinya singkat
Contoh : Nyeri trauma
Nyeri Kronis
Nyeri yang terjadi atau dialami sudah lama
Contoh : Kanker
Klasifikasi nyeri berdasarkan tempat terjadinya nyeri
Nyeri Somatik
Nyeri yang dirasakan hanya pada tempat terjadinya kerusakan atau gangguan, bersifat
tajam, mudah dilihat dan mudah ditangani
Contoh : Nyeri karena tertusuk
Nyeri Visceral
Nyeri yang terkait kerusakan organ dalam
Contoh : Nyeri karena trauma di hati atau paru-paru
Nyeri Reperred
Nyeri yang dirasakan jauh dari lokasi nyeri
Contoh : Nyeri angina.
Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Persepsi Nyeri
Nyeri Nosiseptis
Nyeri yang kerusakan jaringannya jelas
Nyeri neuropatik
Nyeri yang kerusakan jaringan tidak jelas
Contoh : Nyeri yang diakibatkan oleh kelainan pada susunan saraf
b. Penanganan rasa nyeri
Berdasarkan proses terjadinya, rasa nyeri dapat dilawan dengan beberapa cara, yaitu:
Merintangi pembentukan rangsangan dalam reseptor nyeri perifer, oleh analgetika
perifer atau anestetika lokal.
Merintangi penyaluran rangsangan nyeri dalam syaraf-syaraf sensoris, misalnya oleh
anestetika lokal.
Blokade pusat nyeri pada SSP dengan analgetika sentral ( narkotika ) atau anestetika
umum.
2.1.1 PENGGOLONGAN ANALGETIKA
Berdasarkan aksinya, analgetika dibagi dalam 2 golongan besar :
A. ANALGETIKA OPIOID / ANAGETIKA NARKOTIKA
Analgetika opioid sering disebut analgetika sentral. Memiliki daya penghalang
nyeri yang kuat sekali dengan titik kerja yang terletak di SSP. Umumnya dapat
mengurangi kesadaran (mengantuk) dan memberikan perasaan nyaman (euphoria).
Analgetik opioid ini merupakan pereda nyeri yang paling kuat dan sangat efektif untuk
mengatasi nyeri yang hebat.
Dapat juga menyebabkan toleransi, kebiasaan (habituasi), ketergantungan fisik
dan psikis (adiksi) dan gejala-gejala abstinensia bila diputuskan pengobatan (gejala
putus obat). Karena bahaya dan gejala-gejala di atas maka pemakaian obat-obat ini
diawasi dengan seksama oleh DEPKES dan dimasukkan kedalam Undang-undang
Obat Bius (Narkotika).
Analgetika narkoti, kini disebut juga opioida (= mirip opiate) adalah zat yang
bekerja terhadap reseptor opioid khas di susunan saraf pusat, hingga persepsi nyeri
dan respon emosional terhadap nyeri berubah (dikurangi). Minimal ada 4 jenis
reseptor, pengikatan padanya menimbulkan analgesia. Tubuh dapat mensintesa zat-zat
opioidnya sendiri, nyakni zat –zat endorphin yang juga bekerja melalui reseptor opioid
tersebut.
Tubuh sebenarnya memiliki sistem penghambat nyeri tubuh
sendiri (endogen), terutama dalam batang otak dan sumsum
tulang belakang yang mempersulit penerusan impuls
nyeri. Dengan sistem ini dapat dimengerti mengapa nyeri dalam
situasi tertekan, misalnya luka pada kecelakaan lalu lintas mula-
mula tidak terasa dan baru disadari beberapa saat kemudian.
Senyawa-senyawa yang dikeluarkan oleh sistem endogen ini
disebut opioid endogen. Beberapa senyawa yang termasuk dalam
penghambat nyeri endogen antara lain: enkefalin, endorfin, dan
dinorfin.
Endorphin (morfin endogen) adalah kelompok
polipeptidaendogen yang terdapat di CCS dan dapat menimbulkan
efek yang menyerupai efek morfin. Zat-zat ini dapat dibedakan
antara β-endorfin, dynorfin dan enkefalin (yun. Enkephalos =
otak), yang menduduki reseptor-reseptor berlainan.secara
kimiawi za-zat ini berkaitan dengan kortikotrofin (ACTH),
menstimulasi pelepasanya juga dari somatotropin dan prolaktin.
Sebaiknya pelepasan LH dan FSH dihambat oleh zat ini. β-
endorfin pada hewan berkhasiat menahan pernapasan,
menurunkan suhu tubuh dan menimbulkan ketagihan. Zat ini
berdaya analgetis kuat, dalam arti tidak merubah persepsi nyeri,
melainkan memperbaiki ‘’penerimaannya”. Rangsangan listrik
dati bagian- bagian tertentu otak mengakibatkan peningkatan
kadar endorphin dalam CCS. Mungkin hal ini menjelaskan efek
analgesia yang timbul (selama elektrostimulasi) pada akupunktur,
atau pada stress (misalnya pada cedera hebat). Peristiwa efek
placebo juga dihubungkan dengan endomorfin.
Opioid endogen ini berhubungan dengan beberapa fungsi
penting tubuh seperti fluktuasi hormonal, produksi analgesia,
termoregulasi, mediasi stress dan kegelisahan, dan
pengembangan toleransi dan ketergantungan opioid. Opioid
endogen mengatur homeostatis, mengaplifikasi sinyal dari
permukaan tubuh ke otak, dan bertindak juga sebagai
neuromodulator dari respon tubuh terhadap rangsang eksternal.
Baik opioid endogen dan analgesik opioid bekerja pada
reseptor opioid, berbeda dengan analgesik nonopioid yang target
aksinya pada enzim.
Ada beberapa jenis Reseptor opioid yang telah diketahui dan
diteliti, yaitu reseptor opioid μ, κ, σ, δ, ε. (dan yang terbaru
ditemukan adalah N/OFQ receptor, initially called the opioid-
receptor-like 1 (ORL-1) receptor or “orphan” opioid receptor dan
e-receptor, namum belum jelas fungsinya).
Reseptor μ memediasi efek analgesik dan euforia dari opioid,
dan ketergantungan fisik dari opioid. Sedangkan reseptor μ 2
memediasi efek depresan pernafasan.
Reseptor δ yang sekurangnya memiliki 2 subtipe berperan
dalam memediasi efek analgesik dan berhubungan dengan
toleransi terhadap μ opioid. reseptor κ telah diketahui dan
berperan dalam efek analgesik, miosis, sedatif, dan diuresis.
Reseptor opioid ini tersebar dalam otak dan sumsum tulang
belakang. Reseptor δ dan reseptor κ menunjukan selektifitas
untuk ekekfalin dan dinorfin, sedangkan reseptor μ selektif untuk
opioid analgesic.
Mekanisme umumnya :
Terikatnya opioid pada reseptor menghasilkan pengurangan
masuknya ion Ca2+ ke dalam sel, selain itu mengakibatkan pula
hiperpolarisasi dengan meningkatkan masuknya ion K+ ke dalam
sel. Hasil dari berkurangnya kadar ion kalsium dalam sel adalah
terjadinya pengurangan terlepasnya dopamin, serotonin, dan
peptida penghantar nyeri, seperti contohnya substansi P, dan
mengakibatkan transmisi rangsang nyeri terhambat.
Endorfin bekerja dengan jalan menduduki reseptor –
reseptor nyeri di susunan saraf pusat, hingga perasaan nyeri
dapat diblokir. Khasiat analgesic opioida berdasarkan
kemampuannya untuk menduduki sisa-sisa reseptor nyeri yang
belum di tempati endokfin. Tetapi bila analgetika tersebut
digunakan terus menerus, pembentukan reseptor-reseptor baru di
stimulasi dan pdoduksi endorphin di ujung saraf pusat dirintangi.
Akibatnya terjadilah kebiasaan dan ketagihan.
Efek-efek yang ditimbulkan dari perangsangan reseptor opioid
diantaranya:
Analgesik
Medullary effect
Miosis
Immune function and Histamine
Antitussive effect
Hypothalamic effect
GI effect
Efek samping umum
Pada dosis biasa : gangguan lambung usus (mual, muntah, obstipasi), efek saraf pusat
(kegelisahan, rasa kantuk, euphoria), dan lain-lain.
Pada dosis tinggi : efek yang lebih berbahaya seperti sulit bernafas, tekanan darah
turun, sirkulasi darah terganggu, koma, dan sampai pernafasan terhenti.
Supresi susunan saraf pusat, misalnya sedasi, menekan pernafasan dan batuk, miosis,
hypothermia, dan perubahan suasana jiwa (mood). Akibat stimulasi lagsung dari CTZ
(Chemo Trigger Zone) timbul mual dam muntah. Pada dosis lebih tinggi
mengakibatkan menurunnya aktifitas mental dan motoris.
Saluran cerna : motilitas berkurang (obstipasi), kontraksi sfingter kandung empedu
(kolik batu empedu).
Saluran urogenital : retensi urin (karena naik nonus dari tonus dan sfingter kandung
kemih), motilitas uterus berkurang (waktu persalinan diperpanjang).
Saluran nafas: bronchkontriksi, penafasan menjadi lebih dangkal dan frekuensi turun.
System sirkulasi : vasodilatasi, hypertensi dan bradycardia.
Histamine-liberator: urticaria dan gatal-gatal, karena menstimulasi pelepasan
histamine.
Kebiasaan dengan resiko adiksi pada penggunaan lama. Bila terapi dihentikan dapat
terjadi gejala abstinensia.
PENGGOLONGAN
Atas dasar cara kerjanya, obat – obat ini dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yakni :
1. Agonis opiate, yang dapat dibagi dalam :
Alkaloida candu : morfin, kodein, heroin, nicomorfin.
Zat-zat sintesis : metadon dan derivate-derivatnya (dekstromoramida, propoksifen,
bezitramida), petidin dan detivatnya (fentanil, sufentanil) dan tramadol.
Cara kerja obat-obat ini sama dengan morfin hanya berlainan dengan potensi dan lama
kerjanya. Efek samping dan resiko akan kebiasaan dengan ketergantungan fisik.
2. Antagonis opiate : nalokson, nalorfin, pentazosin, buprenorfin, dan nalbufin. Bila
digunakan sebagai analgetika, obat ini dapat menduduki salah satu reseptor.
3. Kombinasi, zat-zat ini juga mengikat pada reseptor opioid, tetapi tidak mengaktifasi
kerjanya dengan sempurna.
Undang – undang narkotika. Dikebanyakan Negara,beberapa obat dari kelompok
obat ini, seperti propoksifen, pentazosin, dan tramadol, tidak termasuk dalam undang –
undang narkotika, karena bahaya kebiasaan dan adiksinya ringan sekali. Namun,
penggunaannya dalam jangka waktu lama tidak dianjurkan. Pada tahun 1978,
propeksifen di negeri Belanda dimasukkan dalam “opiumwet”.
PENGGUNAAN
Tangga analgetika. WHO telah menyusun suatu program penggunaan analgetika untuk
nyeri hebat misalnya pada kanker, yang mengolongkan obat dalam 3 kelas, yakni :
a. Non-opioida : NSAID’s, termasuk asetosal dan kodein
b. Opioida lemah : d-propoksifen, tramadol, dan kodein, atau kombinasi parasetamol
dengan kodein
c. Opioida kuat : morfin dan derivate – derifatnya serta zat – zat sintetis opioid.
Menurut program ini, pertama-tama obat diberika 4 dd 1 g parasetamol, bila
efeknya kurang beralih ke 4-6 dd kodein 30-60 mg (bersama parasetamol). Baru bila
langkah ini tidak menghasilkan analgesi yang memuaskan, dapat biberikan opioid
kuat. Pilihan pertama dalam hal ini adalah morfin ( oral, subkutan kuntinu, intravena,
epidural atau spinal).
Tujuan utama dari program ini adalah untuk meghindari resiko kebiasaan dan
adiksi untuk opioid bila diberikan sembarangan.
KEHAMILAN DAN LAKTASI
Opioida dapat melintasi plasenta, tetapi dapat digunakan beberapa waktu sebelum
persalinan. Bila diminum terus, zat ini dapat meursak janin akibat depresi pernafasan
dan memperlambat persalinan. Banyi dan ibu yang ketagihan menderita gejala
abstinensi. Selama laktasi, ibu dapat menggunakan opioida karena hanya sedikit
terdapat pada air susu ibu.
KEBIASAAN DAN KETERGANTUNGAN
Penggunaan pada jangka waktu yang lama pada sebagian pemakai menimbulkan
kebiasaan dan ketegantungan. Penyebabnya mungkin karena berkurangnya resoprpsi
opioid atau perombakan /eliminasinya yang dipercepat atau bisa juga karena
penurunan kepekaan jaringan. Obat menjadi kurang efektif, sehingga diperlukan lagi
dosis yang lebih tinggi lagi untuk mencapai efek semula. Peristiwa ini disebut dengan
toleransi dan bercirikan pula bahwa dosis tinggi dapat lebih baik diterima tanpa
menimbulakn efek intoksikasi.
Disamping ketergantungan fisik tersebut dapat pula ketergantungan psikis, yaitu
kebutuhan mental akan efek psikotrop (euphoria, rasa nyaman dan segar) yang dapat
menjadi sangat kuat, hingga pasien seolah olah terpaksa melanjutkan penggunaan
obat.
Gejala abstinensi selalu timbul bila penggunaan obat dihentikan ( dengan
mendadak) dan semula dapat berupa menguap, berkeringan hebat dan air mata
mengalir, tidur gelisan dan merasa kedinginan.. lalu timbul muntah-muntah, diare,
tachycardia, ydriasis (pupil membesar), tremor, kejang otot, peningkatan tensi, yang
dapat disertai dengan reaksi psikis hebat (gelisah, mudah marah dank e khawatiran
mati).
Efek-efek ini menjadi penyebab mengapa penderita yang duah ketagihan sukar
sekali menghentikan opiate. Guna menghindari efek-efek opiate ini, mereka terpaksa
melanjutkan penggunaannya.
Ketergantingan fisik lazimnya sudah lenyak dua minggu setelah penggunaan obat
dihentikan. Ketergantungan psikis seringgkali sangan erat, maka pembebasan yang
tuntas skar sekali dicapai.
ANTAGONIS MORFIN
Antagonis morfin adalah zat-zat yang dapat melawan efek-efek opioida tanpa
mengurangi kerja analgetisnya. Yang paling terkenal adalah nalokson, naltrekson, dan
nalorfin. Obat ini digunakan terutama pada overdose intoksikasi. Khasiat antagonisnya
diperkirakan berdasarkan penggeseran opioda dari tempatnya di reseptor-reseptor
otak. Antagonis morfin juga berkhasiat analgetis, tetapi tidak digunakan dalam terapi
karena khasiatnya lemah an efeksampingnya mirip morfin (depresi pernafasan, reaksi
psikotis).
Macam-macam obat Analgesik Opioid :
a. Morfin (F.I) : MS Contin, kapanol.
Candu atau opium adalah getah yang dikeringkan dan diperolah
dari tumbuhan papaver somniferum (Lat = menyebabkan tidur)
morfin mengandung 2 kelompok alkaloida yang secara kimia
sangan berlainan. Kelompok fenantren meliputi morfin, kodein
dan tebain. Kelompok kedua adalah isokinolin dengan struktur
kimiawi dan khasian amat berlainan (antara lain non-narkotis),
yakni papaverin, nosapin ( = narkotin), dan narsein. Zat ini
berkhasiat analgetis sangan kuat, lagi pula memiliki jenin kerja
sentral lainnya , antara lain sedative dan hipnotis, menimbukakn
euphoria, menekan pernafasan, dan menghilangkan efek batuk,
yang semuanya berdasarkan supresi susunan saraf pusat (SSP).
Morfin juga menimbulakn efek stimulasi SSP, misalnya miosis
(peciutan pupil mata), mual, muntah-muntah, eksitasi, konvulsi.
Efek perifernya yang penting adalah obstipasi, retensi kemih, dan
vasodilatasi pembuluh kulit.
Penggunaannya khusus pada nyeri kuat kronis dan akut,
seperti pasca-bedah dan setekah infark jantung, juga pada fase
terminal dari kanker. Banyak digunakan sebagai tablet retard
untuk memperpanjang kerjanya (MS Contin, kapanol).
Resorpsinya di usus baik, tetapi BA nya hanya ca 25 % akibat
FPE besar, mulai kerjanya setelah 1-2 jam dan bertahan samai 7
jam. Resorpsi dari suppositoria umumnya sedikin lebih baik,
secara s.c./i/m baik sekali. PP nya 35% dalam hati zat ini diubah
menjadi 70% dalam bentuk glukuronida, dan hanya sebagian kecil
( 3%) dari jumlah ini terdiri dari morfin-6-glukuronida, dengan
kerja analgetis lebih kuat. Ekskresinya melalui kemih, empedu
dengan siklus enterohepatis, dan tinja.
ANTIDOTA. Pada intoksikasi digunakan antagonis morfin sebagai
antidotum, yakni nalokson
Dosis : dewasa oral 3-6 dd 10-20 mg garam-HCl, s.c/i.m.
3-6 dd 5-20 mg.
Anak-anak : oral 2 dd 0,1-0,2 mg/kg.
Sediaan
a. Pulv. Opii : 10% morfin
b. Pulv. Doveri : 1% morfin + Rad. Ipecacuanhae + K2SO4.
c. Acidov II : p. Doveri150 mg + salamid 350 mg.
d. Heroin (diamorfin, diasetilmorfin) adalah turunan semi-sintesis
dengan kerja analgetis yang 2 kali lebih kuat, tetapi
mengakibatkan adiksi yang cepat dan hebat sekali. Dengan alas
an ini heroin tidak digunakan lagi dalam terapi, tetapi sangat
disukain sekali oleh para pecandu drug.
b. Metadon : amidon, symoron
Zat sintetis ini (1947) adalah suatu campuran rasemis, yang memiliki daya
analgetik dua kali lebih kuat dari pada morfin, dan berkhasiat anastetik local.
Indikasi : Detoksifikasi ketergantungan morfin, nyeri hebat pada pasien yang di
rawat di rumah sakit.
Resorpsinya di usus baik, PP-nya 90% plasma-t-1/2-nya rata-rata 25 jam dan
efeknya dapat bertahan sampai 48 jam pada terapi pemeliharaan bagi para pecadu.
Umumnya metadon tidak menimbulkan eurofia, sehingga banyak digunakan untuk
menghindari gejala abstinensi setelah penghentian penggunaan zat opioida yang lain.
Khusus digunakan sebagai zat pengganti heroin dan morfin pada terapi subtitusi para
candu.
Efek sampingnya kurang hebat dari morfin terutama efek hipnotis dan
euforianya lemah, tetapi bertahan lebih lama. Penggunaan lama juga menimbulkan
adiksi yang lebih mudah disembuhkan. Efek obstipasinya agak ringan tetapi
penggunaannya selama selama persalinan harus dengan hati-hati karena dapat
menekan pernafasan.
Dosis : pada nyeri oral 4-6 dd 2,5 -10 mg garam HCl, maksimum 150 mg/hari.
Terapi pemeliharaan pecandu : permulaan 20-30 mg, setelah 3-4 jam 20 mg, lalu 1 dd
50-100 mg selama 6 bulan.
*Dekstromoramida (patfium) adalah opioid sintetis (1956) yang rumusnya mirip
metadon. Khasiat analgetisnya lebih kuat sedikit dari pada morfin. Mulai kerjanya
cepat, efeknya setelah 20-30 menit, dan bertahan lebih singkat, ca 3 jam. Depresi
pernafasannya lebih kuat dibandingkan morfin, pada dosis biasa dapat tejadi apnoe,
begitu pula efek adiksinya. Tidak layak untuk pengobatan nyeri kronis. Efek sedasi dan
obstipasinya lebih ringan
Dosis : oral, s.c. atau i.m. 3-4 dd 2,5-5 mg sebagai hidrogentartrat,
Efek tak diinginkan:
Depresi pernapasan
Konstipasi
Gangguan SSP
Hipotensi ortostatik
Mual dan muntah pada dosis awal
b. Fentanil : fetanyl, durogesic, *Thalamonal.
Derivate piveridin ini (1963) merupakan turunan dari petidin
(dolnatin) yang jarang digunakan lagi karena efek samping dan
sifat adiksinya. Efek analgenis agonis opiate ini 80x lebih kuat
dari pada morfin. Mulai kerjanya cepat, yaitu 2-3 menit (i.v.),
tetapi singkat hanya ca 30 menit.
Indikasi : Medikasi praoperasi yang digunakan dalan anastesi dan infack jangtung.
Efek sampingnya mirip morfin, termasuk defresi pernafasan, bronchospasme, dan
kekakuan otot (thorax). Zat ini jarang menimbulkan penghambatan sirkulasi, yakni
penurunan cardiack output dan bradycardia.
Dosis : pada infark i.v. 0,05 mg + 2,5 mg droperidl (thalamonal), bila perlu diulang
setelah setengah jam. Plester (durogenic) melepaskan secara konstan morfin selama 72
jam.
Sufentanil (sufentalforte) adalah derivat (1981) dengan daya analgetis ca 10x
lebih kuat. Sifat dan efek sampingnya sama dengan fentanil. Zat ini terutama
digunakan pada waktu anestesi dan pasca bedah, juga pada waktu his dan persalinan
(dikombinasi dengan suatu anestetikum).
Dosis : pada waktu his dan persalinan epidural 10 mcg bersama bupivakain, bila
perlu diulang 2 kali.
b. kodein (F.I.) : Metilmorfin, *Codipront
Alkaloida candu ini memiliki khasiat yang sama dengan
induknya, tetapi lebih lemah misalnya efek analgetisnya 6-7 x
kurang kuat. Efek samping dan resiko adiksinya lebih ringan,
sehingga sering digunakan sebagai obat batuk dan obat antinyeri,
yang diperkuat melalui kombinasi denagn parasetamol/asetasal.
Obstipasi dan mual dapat terjadi teruatama pada dosis lebih
tinggi (diatas 3 dd 20 mg). resorpsi oral dan rectal baik; didalam
hati obat ini diubah jadi narkodein dan morfin (10%).
Ekskresinyalewat kemih debagai glukuronoda dan 10% secara
utuh. Plasma-t1 / 2-nya 3-4 jam.
Dosis : pada nyeri oral 3-6 dd 15-60 mg garam-HCl, anak-
anak diatas 1 tahun 3-6 dd 0,5 mg/kg. pada batuk 4-6 dd 10-20
mg, maksimal 120 mg/hari, anak-anak 4-6 dd 1 mg/kg.
*Etilmorfin (Dionin) adalah derivate dengan khasiat
analgetis dan hipnotis lebih lemah, penghambatannya terhadap
pernafasannya pun lebih ringan. Untuk menekan batuk, obat ini
kurang efektif dibandingkan dengan kodein, tetapi dahulu banyak
digunakan dalam sediaan batuk.
*noskapin (narkotin, longantin, mercotin, neocodin)
adalah alkaloida candu lain, tanpa sifat narkotis, yang lebih
efektif sebagai obat batuk
Dosis : pada anak-anak 2-3 dd 150 mg, maksimum 200 mg/ hari
c. Tramadol : tramal
Derivat sikloheksanol ini (1977) adalah campuran rasemis dari 2 isomer. Khasiat
analgetisnya sedang dan berdaya menghambat reuptake noradrenalin dan antitusif
(anti-batuk). Obat ini disebagian negara sianggap sebagai analgetikum opiat karena
bekerja sentral, yakni melalui pendudukan reseptor opioid. Meskipun demikina zat ini
tidak menekan pernafasan, praktis tidak mempenganruhi sistem kardiovaskuleratau
motilitas lambung-usus. Tramadol digunakan untuk sakit nyeri menengah hingga
parah. Sediaan tramadol pelepasan lambat digunakan untuk menangani nyeri
menengah hingga parah yang memerlukan waktu yang lama.
Walaupun memiliki sifat adiksi ringan tetapi dalam praktek ternyata rasikonya praktis
nihil sehingga tidak termasuk daftar narkotika di kebanyakan negara deperti AS, GB,
BRD, Swis, Swedia, Jepang, termasuk Indonesia. Efek analgetis dari 120 mg tramadol
oral setaraf dengan 30-60 mg morfin. Penggunaannya oral, rektal, dan parental untuk
nyeri sedang sampai hebat, bila kombinasi parasetamol-kodein dan NSAIDs kurang
efektif atau tidak dapat digunakan. Untuk nyeri akut atau pada kanker pada umumnya
morfin lebih ampuh.
Resorpsinya di usus cepat dan tuntas dengan BA rata-rata 78%, plasma-t-1/2-
nya 6 jam. Efeknya dimulai sesudah 1 jam dan dapat bertahan hingga 6-8 jam. Dalam
hati , sebagian besar zat diuraikan menjadi antara lain metabolit dengan daya kerja 6
kali lebih kuat. Ekskresinya berlangsung lewat urin, untuk 10% secara utuh.
Efek sampingnya tak begitu berat dan sering berupa termangu-mangu,
berkeringat, pusing, mual dan muntah, juga obstipasi, gatal-gatal, rash, nyeri kepala
dan rasa letih. Resiko habituasi, ketergantungan dan adiksi dianggap ringan. Namun
tidak di anjurkan penggunaannya oleh penderita dengan sejarah pengalahgunaan
drugs.
Wanita hamil dan menyusui. Opioda dapat melintasi plasenta dan sebegitu
jauhdiketahui tidak merugikan janin bila digunakan jauh sebelum partus. Hanya o,1%
dari dosis masuk kedalam air susu ibu. Meskipun demikian, tramadok tidak
dianjurkan selama kehamilan dan laktasi.
Dosis: di atas 14 tahun 3-4 dd 50-100 mg, maksimum 400 mg sehari. Anak-anak diats 1
tahun : 3-4 dd 1-3 mg/kg.
Minumlah tramadol sesuai dosis yang diberikan, jangan minum dengan dosis lebih
besar atau lebih lama dari yang diresepkan dokter. Jangan minum tramadol lebih dari
300 mg sehari.
d. Nalokson : narcan
Antagonis morfin ini memiliki rumus morfin dengan gugus alil pada atom N
(1969). Zat ini dapat meniadakan semua khasiat morfin dan opioida lainya, terutama
depresi pernafasan tanpa mengurangi efek analgetisnya. Penekanan pernapasan dari
obat-obat depresi SSP lain ( barbital, siklopropan, eter) tidak ditiadakan, tetapi juga
tidak diperkuat seperti nalorfin. Bila madiri tidak memiliki kerja agonistis (analgetis).
Penggunaannya sebagai antidotum pada overdose opioida (dan barbital), paska operasi
untuk mengatasi depresi pernapasan oleh opioid. Atau secara diagnostis untuk
menentukan adiksi sebalum dimulai dengan penggunaan naltrexon.
Kinetik. Setelah injeksi i.v. sudah berefek setelah 2 menit, yang bertahan 1-4
jam. plasma-t-1/2-nya hanya 45-90 menit, lama kerjanya lebih singkat dari opioida,
maka lajimnya perlu diulang beberapa kali.
Efek sampingnya dapat berupa tachycarsia (setelah bedah jantung), jarang
reaksi alergi dengan shock dan edema paru-paru.
Pada penangkalan efek opioida terlalu pesat dapat menjadi mual, muntah,
berkeringat, pusing-pusing, hipertensi, tremor, serangan epilepsi, dan berhentinya
jantung.
Dosis : pada overdose opioida, intravena permula 0,4 mg, bila perlu diulang setiap 2-3
menit.
* Nalorfin (alilnormorfin) adalah zat induk nalokson (1952) dengan khasiat
sama, kecuali juga berkhasiat analgesik lemah.
Zat ini mampu meniadakan depresi e\pernapasan yang hebat oleh opioida, tetapi justru
memperkuat depresi yang bersifat ringan, atau akibat opioida dengan kerja campuran
(agonistis dan antagonistis) dan zat-zat sentral lain. Oleh karena itu, zat ini hanya
digunakan pada operdose opioida bila nalokson tidak tersedia.
Dosis : pada overdose s.c./i.m./i.c. 5-10 mg bila perlu diulang setelah 10-15 menit sampai
maksimum 40 mg sehari.
* Naltrekson (Nalorex) adalah derivat nalokson dimana gugus alil diganti
dengan siklopropil (1985). Sifatnya antagonis murni yang tidak mengakibatkan
toleransi atau ketergantungan fisik dan psikis. Dalam hati zat ini diubah menjadi
metabolit aktif 6β-naltreksol yang terutama diekresi melalui kemih. Naltrekson
mengalami siklus enterohepatis, masa paruhnya 4-12 jam.
Penggunaannya terutama untuk menghambat efek-efek opioida berdasarkan
pengikatan kompetitif pada reseptor opioida dan sebagai obat antiketagihan heroin.
Pada pecandu obat opiat dapat menimbulkan gejala abstinensi hebat dalam waktu 5
menit, yang dapat bertahan 48 jam. Obat ini hanya boleh diberikan setelah
penghentian heroin / morfin atau metadon sekurang-kurangnya masing – masing 7 dan
10 hari.
Dosis: permulaan 25 mg, bila tidak menjadi efek abstinensi setelah 1 jam diulang
dengan 25 mg. Lalu
e. Pentazocin : Fortral
Zat sintetis ini diturunkan dari morfin (1964), dimana cincin fenantren diganti
oleh naftalen. Gugus-N-allil memberika efek antagonis terhadap opioida lainnya.
Khasiatnya beragam, yakni disamping antagonis lemah, juga merupakan agonis parsiil.
Khasiat analgetisnya sedang sampai kuat, lebih kurang antara kodein dan petidin 3 – 6
kali lebih lemah dari pada morfin. Di AS sering disalahgunakan dalam kombinasi
dengan antihistaminika dan nalokson.
Resorpsinya diusus baik, tetapi BA hanya ca 20% akibat FPE besar. Mulai
kerjnya cepat, setelah 15-30 menit dan bertahan minimal 3 jam. Efek rektalnya sama
dengan pengguaan oral. PPnya 60% plasma-t-1/2-nya 2-3 jam. Dalam hati zat ini
diubah menjadi metabolit yang diekresi terutama lewat kemih.
Dosis: pada nyeri sedang – kuat 3-4 dd 50-100 mg, maksimal 600 mg sehari.
f. Kanabis : *marihuana, *hashiz,, weed, grass
Pucuk dengan kembang dan buah-buah muda yang dikeringkan dari
bentukwanita tumbuhan cannabis sativa (Asia Barat). Kandungannya 0,3% minyak
atsiri dengan zat-zat terpen, terutama tetrahidrokanabinol (THC). Zat ini banyak
khasiat farmakologisnya, yang terpenting diantaranya adalah sedatif, hipnotis, dan
analgetis, antimual dan spasmolitis.
Khasiat analgetis pada THC terjadi di batang otak, dimana terletak pula titik
kerja dari opioida. Hanya mekasime kerjanya yang berlainan, reseptor morfin tidak
memegang peranandan nalokson tiak melawan efek analgetisnya. Disamping itu
ambang nyeri diturunkan. Dahulu meski jarang kanabis digunakan sebagai obat tidur,
sedatifum, dan spasmolotikum pada tetanus, umumnya dalam bentuk ekstrak 2-3 dd
30-50 mg. Sekarang kanabis banyak disalahgunakan sebagai zat penyegar narkotik.
Akhir-akhir ini mulai digunakan lagi dengan efek sebagai anti emetikum dan
analgetikum, pada kangker, stimulans nafsu makan pada penderita AIDS, an obat
relaksasi kejang/otot pada MS.
g. Dolantin
Merupakan zat sintetis , secara kimia lebih menyerupai atropin daripada morfin.
Memiliki sifat spasmolitik, sedangkan sifat menekan terhadap pusat batuknya sama
dengan morfin.
h. Dihidromorfin dan Dilaudid
Adalah turunan morfin dengan khasiat analgetiknya kurang lebih 5 kali morfin,
tetapi jangka waktu bekerjanya lebih pendek dan khasiat membiusnya lebih lemah.
A. ANALGETIKA NON NARKOTIKA
Obat-obat ini dinamakan analgetika perifer karena tidak mempengaruhi
susunan saraf sentral, tidak menurunkan kesadaran dan tidak mengakibatkan
ketagihan.
Penggunaan Obat Analgetik Non-Narkotik atau Obat Analgesik Perifer ini
cenderung mampu menghilangkan atau meringankan rasa sakit tanpa berpengaruh
pada sistem susunan saraf pusat atau bahkan hingga efek menurunkan tingkat
kesadaran. Obat Analgetik Non-Narkotik / Obat Analgesik Perifer ini juga tidak
mengakibatkan efek ketagihan pada pengguna (berbeda halnya dengan penggunanaan
Obat Analgetika jenis Analgetik Narkotik).
Obat-obatan dalam kelompok ini memiliki target aksi pada enzim, yaitu enzim
siklooksigenase (COX). COX berperan dalam sintesis mediator nyeri, salah satunya
adalah prostaglandin. Mekanisme umum dari analgetik jenis ini adalah mengeblok
pembentukan prostaglandin dengan jalan menginhibisi enzim COX pada daerah yang
terluka dengan demikian mengurangi pembentukan mediator nyeri . Mekanismenya
tidak berbeda dengan NSAID dan COX-2 inhibitors.
Efek samping yang paling umum dari golongan obat ini adalah gangguan
lambung usus, kerusakan darah, kerusakan hati dan ginjal serta reaksi alergi di kulit.
Efek samping biasanya disebabkan oleh penggunaan dalam jangka waktu lama dan
dosis besar, oleh karena itu penggunaan analgetika secara kontinu tidak dianjurkan.
Kerusakan lambung usus (golongan salisilat dan p-aminofenol)
Kerusakan darah seperti leukopenia, agranulositosis (golongan salisilat, p-aminofenol,
pirazolon dan antranilat)
Kerusakan hati dan ginjal, khususnya derivate p-aminofenol
Interaksi, kebanyakan analgetik memperkuat efek koagulasi antikoagulansia, kecuali
parasetamol dan glafenin. Kedua obat ini pada dosis biasa dapat dikombinasi dengan
aman untuk waktu maksimal 2 minggu.
Nonopioid
Analgetika non narkotika memiliki daya kerja :
Khasiat antipiretik : menurunkan suhu badan pada saat demam (analgetika).
Khasiat berdasarkan rangsangan terhadap pusat pengatur kalor di hipotalamus,
mengakibatkan vasodilatasi perifer di kulit dengan berbahayanya pengeluaran kalor
disertai keluarnya banyak keringat . Misalnya: Parasetamol, Aminofenazon, dan lain-
lain.
Khasiat anti flogistik : anti radang atau anti inflamasi.
Anti radang sama kuat dengan analgetik : digunakan sebagai anti nyeri atau rematik.
Contoh : Asetosal, Amidopirin, Ibuprofen, dan Asam Mefenamat.
Anti radangnya lebih kuat : Fenilbutazon, Nifluminat, Metiazinan, dan lain-lain.
Bekerja analgetik jika serentak terdapat peradangan , antara lain Indometazin dan
Benzidamin.
Penggolongan obat analgetika non narkotika :
Secara kimiawi, analgetika perifer dapat dibagi dalam beberapa kelompok, yakni:
1. Parasetamol
2. Salisilat : asetosal, salisilamida, dan benorilat
3. Penghambat prostaglandin (NSADs), ibuprofen, dan lain-lain
4. Derivate-derivat antranilat : mefenaminat, asam niflumat glafenin, floktafenin
5. Derivate-derivat pirizolinon : aminofenazon, isopropilfenazon (*migrant, *sedanal),
isopropilaminofenazon
6. Lainnya : benzidamin
* co-analgetika adalah obat yang khasiat dan indikasi utamanya bukanlah menghalau
nyeri, yakni NSADs (Non Sterois Anti Inflamantory Drugs), antisedativa trisiklis
(amitriptilin), dan antiepileptika (karmamazepin, valproat). Obat – obat ini digunakan
tunggal atau kombinasi dengan analgetika lain pada keadaan – keadaan tertentu
seperti pada nyeri akibat peradangan dan neuropatik.
Penggunaan
obat ini mampu neringankan atau meghilangkan rasa nyeri, tanpa mempengaruhi
SSP atau menurunkan kesadaran, juga tidak menimbulkan ketagihan. Kebanyakan zat
ini juga berdaya antipiretis dan atau antiradang. Oleh karena itu obat ini tidak hanya
digunakan untuk obat nyeri melainkan pula pada gangguan demam (infeksi
virus/kuman, salesma, pilek) dan peradangan seperti rema dan encok. Obat ini banyak
digunakan pada nyeri ringan sampai sedang, yang penyebabnya beraneka ragam
misalnya: nyeri kepala, gigi, otot atau sendi (rema, encok), perut, nyeri haid
(dysmenorroe), nyeri akibat benturan atau kecelakaan (trauma). Untuk kedua nyeri
terakhir, NSAIDs lebih layak. Pada nyeri lebih berat, seperti nyeri setelah pembedahan
atau fraktur (tulang patah) kerjanya kurang efektif.
* Daya antipiretisnya, berdasar rangsangan terhadap pusat pengatur kalor di
hipotalamus, yang mengakibatkan vasodilatasi perifer (dikulit) dengan bertambahnya
pengeluaran kalor dan disertai keluarnya banyak keringat.
*Daya antiradangnya (antifogistis), kebanyakan analgetika memiliki daya antiradang,
khususnya kelompok barat dari zat-zat penghambat prostaglandin, (NSAID, termasuk
asetasol), begitu pula benzidamin. Zat-zat ini banyak digunakan untuk rasa nyeri yang
disertai dan peradangan.
*Kombinasi dari dua atau lebih analgetika sering kali digunakan, karena terjadi efek
potensiasi. Lagi pula efek sampingnya, yang masing-masing terletak dibidang yang
berlainan, berkurang karena dosisnya masing-masing dapat diturunkan. Kombinasi
analgetika dengan kofein dan kodein sering kali dibuat, khususnya dalam sediaan
dengan parasetamol dan asetasol.
Kehamilan dan Laktasi
Hanya parasetamol yang dianggap aman bagi wanita hamil dan menyusui,
meskipun dapa mencapai air susu. Asetasol dan salisilat, NSAIDs dan metamazol dapat
mengganggu perkembangan janin, sehingga sebaiknya dihindari. Dari aminofenazon
dan propifenazon belum terdapat cukup data.
Macam-macam obat Analgetika Non-Narkotika :
a. Ibuprofen
Ibuprofen merupakan devirat asam propionat yang diperkenalkan banyak negara.
Obat ini bersifat analgesik dengan daya antiinflamasi yang tidak terlalu kuat. Efek
analgesiknya sama dengan aspirin. Ibu hamil dan menyusui tidak di anjurkan
meminum obat ini.
b. Paracetamol : asetaminofen, panadol, Tylenol, tempra, *nipe
Derivate asetanilida ini adalah metabolit dari fenasetin, yang dahulu banyak
digunakan sebagai analgetikum, tetapi pada tahun 1978 telah ditarik dari peredaran
karena efek sampingnya (nefrotoksisitas dan karsinogen). Khasiatnya analgetis dan
antipiretis, tetapi tidak antiradang. Dewasa ini pada umumnya dianggap sebagai zat
antinyeri yang paling aman, juga untuk swamedikasi (pengobatan mandiri). Efek
analgetisnya diperkuat oleh kofein dengan kira-kira 50% dan kodein.
Resorpsinya dari usus cepat dan praktis, secara rectal lebih lambat. PP-nya ca 25%,
plasma-t1/2-nya 1-4 jam. Antara kadar plasma dan efeknya tidak ada hubungan.
Dalam hati zat ini diuraikan menjadi metabolit-metabolit toksis yang dieksresi dengan
kemih d\sebagai konyugat-glukuroni-da dan sufat.
Efek samping tak jarang terjadi, antara lain reaksi hypersensitivitas dan kelainan
darah. Pada penggunaan kronis dari 3-4 g sehari dapat terjadi kerusakan hati, pada
dosis diatas 6 g mengakibatkan nekrosis hati yang tidak reversible. Hepatoksisitas ini
diakibatkan oleh metabolit-metabolitnya, yang pada dosis normal dapat ditangkal oleh
glutathione (suatu tripeptida dengan –SH). Pada dosis diatas 10 g, persediaan peptide
tersebut habis dan metabolit-metabolit mengikat pada protein dengan –SH di sel-sel
hati dan terjadilah kerusakan irreversible. Dosis dari 20 g sudah berefek fatal, overdose
bias menimbulkan antara lain : mual, muntah dan anorexia.penanggulangannya
dengan cuci lambung, juga peru diberikan zat- zat penawar (asam amino N-asetilsistein
atau metionin) sedini mungkin, sebaiknya dalam 8-10 jam setelah intoksikasi.
Interaksi. Pada dosis tinggi dapat memperkuat efek antikoagulansia dan pada dosis
biasa tidak interaktif. Masa paruh kloampenikol dapat sangat diperpanjang.
Kombinasi dengan oabt AIDS zidovudin meningkatkan resiko akan neutropenia.
Dosis : untuk nyeri dan demam oral 2-3 dd 0,5 -1 . maksimal 4g/hari, pada
penggunaan kronis maksimal 2,5 g/hari. Anak –anak : 4-6 dd 10 mh/hari yakni rata-
rata usia 3-12 bulan 60 mg. 1-4 tahun 120-180 mg, 4-6 tahun 180 mg, 7-12 tahun 240-
360 mg, 4-6 kali sehari. Rectal 20 mh / kg tiap kali, dewasa 4 dd 0,5-1 g, anak-anak usia
3-12 bulan 2-3 dd 120 mg, 1-4 tahun 2-3 dd 240 mg, 2-6 tahun 4 dd 240 mg, dan 7-12
tahun 2-3 dd 0,5 g.
c. Asam Mefenamat
Asam mefenamat digunakan sebagai analgesik. Asam mefenamat sangat kuat
terikat pada protein plasma, sehingga interaksi dengan obat antikoagulan harus
diperhatikan. Efek samping terhadap saluran cerna sering timbul misalnya dispepsia
dan gejala iritasi lain terhadap mukosa lambung.
d. Asam asetil salisilat
Dari semua senyawa salisilat, asetosal memiliki khasiat analgetik, antipiretik, dan
anti flogistik yang terkuat. Maka banyak digunakan dalam segala macam preparat
untuk melawan demam, influenza, sakit kepala, oto, sendi, gigi dan lainnya, namun
untuk nyeri di dalam (organ-organ) kurang efektif. Untuk rematik, penghambat
prostaglandin ini sering dianggap sebagai obat pilihan pertama, meskipun banyak obat
rematik baru telah dikeluarkan.
Efek samping yang sering terjadi adalah iritasi mukosa lambung dengan terjadinya
borok lambung dan kehilangan darah okult (tersembunyi). Efek-efek ini lumrah sekali
pada zat-zat yang berkhasiat anti radang dan dapat dikurangi dengan penggunaan
bersamaan dengan antasida atau dengan menggunakan garam kalsium (Ascal) yang
mudah larut atau pula sebagai tablet enteric coated yang baru melarut (pecah) dalam
usus.
Selain itu Asetosal memperbanyak keluarnya keringat dan pada dosis lebih tinggi
dari normal dapat mengakibatkan tinnitus (suara bergema di telinga), gangguan pada
pernafasan (hiperventilasi), juga mengigau.
Natrium salisilat, berkhasiat lebih lemah dari asetosal, maka dosisnya harus lebih
tinggi, efek sampingnya lebih kurang sama dengan Asetosol, terkecuali tidak
mengurangi tergumpalnya pelat-pelat darah namun hanya pada dosis tinggi (rematik)
dapat memperpanjang waktu protrombin.
Salisilamida, adalah turunan salisilat, yang juga lebih lemah dari asetosal khasiat
analgetiknya, lagi pula efeknya tidak dapat di percaya. Lebih sering mengganggu
pencernaan, pendarahan okult lebih ringan. Di dinding usus mengalami FPE (First
Pass Effect = pengurain) yang besar, maka dosisnya harus tinggi. Dalam tubuh tidak
dirombak menjadi salisilat.
e. Aminofenazon (Aminopirin)
Derivat pirazolon ini memiliki khasiat analgetik, antipiretik dan antiflogistik yang
kuat sekali dan digunakan pada nyeri hebat (dengan radang) yang tidak dapat di
kendalikan oleh asetosal atau parasetamol. Mula kerjanya lebih cepat dari pada
salisilat. Hampir tidak digunakan sebagai obat rematik.
2.1 ANTIPIRETIKA2.2.1 DEFINISI
Obat antipiretik adalah obat untuk menurunkan demam. Pada umumnya
demam adalah suatu gejala dan bukan merupakan penyakit tersendiri. Kini para ahli
berpendapat bahwa demam adalah suatu reaksi tangkis yang berguna bagi tubuh
terhadap infeksi. Pada suhu diatas 37oC limfosit dan makrofag menjadi lebih aktif.
Suhu melampaui 40-41 oC, barulah terjadi situasi kritis yang bisa menjadi fatal, karena
tidak terkendalikan lagi oleh tubuh.
Hanya menurunkan temperatur tubuh saat panas tidak berefektif pada orang
normal. Dapat menurunkan panas karena dapat menghambat prostatglandin pada
CNS.
2.2.2 JENIS OBAT ANTIPIRETIKA
1. Benorylate
Benorylate adalah kombinasi dari parasetamol dan ester aspirin. Obat ini
digunakan sebagai obat antiinflamasi dan antipiretik. Untuk pengobatan demam pada
anak obat ini bekerja lebih baik dibanding dengan parasetamol dan aspirin dalam
penggunaan yang terpisah. Karena obat ini derivat dari aspirin maka obat ini tidak
boleh digunakan untuk anak yang mengidap Sindrom Reye.
2. Fentanyl
Fentanyl termasuk obat golongan analgesik narkotika. Analgesik narkotika
digunakan sebagai penghilang nyeri. Dalam bentuk sediaan injeksi IM (intramuskular)
Fentanyl digunakan untuk menghilangkan sakit yang disebabkan kanker.
Menghilangkan periode sakit pada kanker adalah dengan menghilangkan rasa
sakit secara menyeluruh dengan obat untuk mengontrol rasa sakit yang
persisten/menetap. Obat Fentanyl digunakan hanya untuk pasien yang siap
menggunakan analgesik narkotika.
Fentanyl bekerja di dalam sistem syaraf pusat untuk menghilangkan rasa sakit.
Beberapa efek samping juga disebabkan oleh aksinya di dalam sistem syaraf pusat.
Pada pemakaian yang lama dapat menyebabkan ketergantungan tetapi tidak sering
terjadi bila pemakaiannya sesuai dengan aturan.
Ketergantungan biasa terjadi jika pengobatan dihentikan secara mendadak.
Sehingga untuk mencegah efek samping tersebut perlu dilakukan penurunan dosis
secara bertahap dengan periode tertentu sebelum pengobatan dihentikan.
3. Pirazolon
Di pasaran pirazolon terdapat dalam antalgin, neuralgin, dan novalgin. Obat ini
amat manjur sebagai penurun panas dan penghilang rasa nyeri. Namun pirazolon
diketahui menimbulkan efek berbahaya yakni agranulositosis (berkurangnya sel darah
putih), karena itu penggunaan analgesik yang mengandung pirazolon perlu disertai
resep dokter.
2.2 NSAIDs (ANTI INFLAMASI)Inflamasi adalah rekasi tubuh untuk mempertahankan atau menghindari
faktor lesi. COX2 dapat mempengaruhi terbentuknya PGs dan BK. Peran PGs didalam
peradangan yaitu vasodilatasi dan jaringan edema, serta berkoordinasi dengan
bradikinin menyebabkan keradangan.
Mekanisme Anti Inflamasi : Menghambat prostaglandin dengan menghambat COX.
Karakteristik Anti Inflamasi
NSAID hanya mengurangi gejala klinis yang utama (erythema, edema,
demam, kelainan fungsi tubuh dan sakit). Radang tidak memiliki efek pada
autoimunological proses pada reumatik dan reumatoid radang sendi. Memiliki
antithrombik untuk menghambat trombus atau darah yang membeku.
Obat ini dipakai pula untuk mencegah pembengkakan bila diminum sedini
mungkin dalam dosis yang cukup tinggi. Selanjutnya NSAIDs juga digunakan untuk
kolik saluran empedu dan kemih, serta keluhan tulang pinggang dan nyeri haid.
Akhirnya NSAIDs juga berguna untuk kanker akibat metastase tulang. Yang banyak
digunakan untuk kasus ini adalah zat-zat yang efek sampingnya relative sedikit, yakni :
ibuprofen, naproksen, dan diklofenak.
Penggolongan
Secara kimiawi obat – obat ini dapat di kelompokan menjadi :
a. Salisilat : asetaso, benorelat, dan diflunisal. Dosis antiradang nya terletak 2-3 kali lebih
tinggi dari pada dosis analgetisnya. Berhubung resiko efek sampingnya maka jarang
digunakan pada rema.
b. Asetal : alklofenac (mirvan), diklofenac, indometasin, dan sulindac, juga fentiazac
(norvedan). Alcofenac jarang digunakan lagi karena sering menimbulkan reaksi kulit.
Indometasin termasuk obat yang terkuat obat antiradangnya, tetapi sering
menyebabkan keluhan lambung usus.
c. Propionate : ibuprofen, ketoprofen, flurbprofen, naproksen, tiaprofenat, dan
fenoprofenat (fefron).
d. Oxicam : piroxicam, tenoxicam, dan meloxicam
e. d.antranilat : mefenaminat, nifluminat, dan meclofenamic acid (meclomen)
f. pirazolon : (oxy) fenilbutazon dan azapromazon (prolixan)
g. lainnya : nabumeton, benzidamid krem 3%, bufexamac krem 5% (parfenac),
benzidamin berkhasiat antiradang agak kuat, tetapi kuarang efektif pada gangguan
rematik.
Penggunaan local. Sejumlah NSAID digunakan topical dalam krem atau gel,
misalnya piroxicam 0,5%, naproxen 10% (gel), niflumix acid, dan diklofenac (dieter-
amonium) 1%, juga benzidamid 5%.
PROSTAGLANDIN
Hormone jaringan ini memiliki rumus asam bebas lemak tak jenuhyang
dihidroksilasi. Semula sintesanya diduga hanya dalam prostat sehingga diberi
namanya. Akan tetapi, kemudian ternyata senyawa ini dapat di bentuk local diseluru
tubuh, misalnya didinding pembuluh dan lambung, trombosit, ginjal, rahim, dan paru-
paru. Obat ini memiliki sejumlah efek fasiologis dan farmakologi luas, antara lain
terhadap otot polos (dinding pembuluh dan rahim, bronci, dan lambung-usus), agregasi
trombosit , produksi hormone, lipolysis di depot lemak dan SSP.
Sintesanya. Bila membrane sel mengalami kerusakan oleh suatu rangsangan
kimiawi, fisik atau mekanik, maka enzim fosfolipase diaktifkan untuk mengubah
fosfolipida yang terdapat di situ menjadi asam arachidonat. Asam lemak poli tak jenuh
ini (C20, delta 5,8,11,14) kemudian untuk sebagian diubah oleh enzim cyclo-oxygenase
menjadi asam endoperoksida dan seterusnya menjadi zat-zat prostaglandin. Bagian
lain dari arachidonan diubah oleh enzim lipoxygenase menjadi zat-zat leukotrien. Baik
prostaglandin maupun leukotrien bartanggung jawab bagi sebagian besar dari gejala
peradangan. Peroksida melepaskan radikal bebas oksigen yang juga memegang
peranan pada timbulnya rasa nyeri.
*Cyclo-oxygenase terdiri dari dua isoenzim, yakni COX-1 dan COX-2, dengan
berat molekul dan daya enzimatis yang sama. COX-1 terdapat dikebanyakan jaringan,
antara lain dipelat-pelat darah, ginjal, dan saluran cerna. Zat ini berperan pada
pemeliharaan perfusi ginjal, homeostase vaskuler, dan melindungi lambung dengan
jalan membentuk bikarbonan dan lender, serta menghambat produksi asam. COX-2
dalam keadaan normal tidak terdapat di jaringan, tetapi di bentuk selama proses
peradangan oleh sel-sel radang, dan kadarnya dalam sel meningkat sampei 80 kali.
Penurut perkiraan, penghambatan COX-2 lah yang memberikan NSAID efek
antiradangnya.
*Penghambatan COX-1 dengan demikian bertanggung jawab atas efek
sampingnya terhadap mukosa lambung-usus dan di ginjal, sedangkan efek negatifnya,
seperti ritasi dan efek toksiknya terhadap ginjal. Atas dasar perbedaan ini telah
dikembangkan NSAID selektif, yang terutama menghambat COX-2 dan kurang
mempengaruhi COX-1. Obat ini dinamakan penghambat COX-2 selektif dan kini
tersedia nabumeton, moloxicam, dan celecoxib.
Penggolongan. Jenis prostaglandin yang dikenal termasuk 3 golongan, yakni :
1. Prostaglandin A-F (PgA – PgF), yang dapat di bentuk oleh semua jaringan. Yang
terpenting adalah PgE2 dan PgF2. Setiap Pg memiliki no sebanyak jumlah ikatan tak
jenuhnya, jika perlu dengan tambahan alfa atau beta tergantung dari posisi rantai
sisinya dalam ruang. Contohnya PgF2 adalah stereoisomeralfa dengan dua ikatan tak
jenuh. Zat-zat ini berdaya vasodilatasi dan meningkatkan permiabilitas dinding
pembuluh dan membrane synovial, sehingg terjadi radang dan rasa nyeri. Selain itu,
reseptor nyeri disensibilisasi hingg efek dari mediator lain (histamine, bradikinin, dan
lain-lain) diperkuat. Jika mandiri obat ini tidak menyebabkan nyeri.
*PgE2 dan terjadinya tumor. PgE2 berkhasiat menstimulasi pertumbuhan tumor
dan terdapat dalam kadar tinggi di mukosa usus, penghambatan sintesanya untuk
waktu yang lama menghasilkan efek antitumor kuat terhadap kanker di usus besar dan
rectum. Sifat ini khususnya pada NSAIDs dengan siklus enterohepatis, seperti
indometasin, sulindac, dan piroxicam. Supresi lambung dari pelepasan bradikinin,
penghambatan migrasi, dan fagocytose dari granulosit juga memegang peranan.
2. prostacyclin (PgI2) dibentuk terutama di dinding pembuluh. Berdaya vasodilatasi
(brochi, lambung, rahim, dan lain-lain), dan antitrombosis, juga memiliki efek protektif
terhadap mukosa lambung. Pada perokok dan pasien tukak lambung, produksi
PgI2 menurun.
3. tromboxan (TxA2,TxB2) khusus dibentuk dalam thrombosis, berdaya vasokontriksi
(antara lain dijantung) dan menstimulasi agresi pelat darah (thrombosis).
Dalam otak, prostaglandin dibentuk sebagai reaksi terhadap zat-zat pirogen
berasal dari bakteri. Pg ini menstimulasi pusat regulasi suhu di hipotalamus dan
menimbulkan demam.
Di rahim, Pg mengakibatkan kontraksi dengan terjadinya kekurangan darah,
dari otat rahimdisensibilisasi, yang menyebabkan kontraksilitas berlebihan dan nyeri
mirip kolik. Selain itu zat ini juga dapat menyebabkan nyeri kepala, diare, nausea,
muntah, yang intensitasnya berhubungan langsung dengan kadar PG.
Mekanisme kerja NSAIDs dan kortokosteroida
Cara kerja NSAIDs untuk sebagian besar berdasarkan hembatan sintesa
prostaglandin, dimana kedua jenis cyclo-oxygenase diblokir. NSAIDs ideal hendaknya
hanya menghambat COX-2 (peradangan) dan tidak COX-1 (perlindungan mukosa
lambung), lagi pula menghambat lipo-oxygenase (pembentukan leukotrien). Walaupun
dilakukan daya upaya intensif sejak tahun 1980-an, hingga kini obat ideal demikian
belum ditemukan, dewasa ini hanya tersedia 3 obat dengan kerja agak selektif, yakni
COX-2 inhibitor agak baru nabumeton dan meloxicam. Dari obat baru celecoxib
(celebrex,1999) diklaim tidak menghambat COX-1 sama sekali pada dosis biasa, tetapi
efek klinisnya mengalami iritasi mukosa lambung perlu dibuktikan. Diklofenac,
naproksen dan katoprofen juga kurang lebih bekerja selektif, sedangkan sulfasalazim
diperkirakan menghambat kedua enzim COX.
Efek samping
Sejumlah efek samping berkaitan dengan penghambatan sintesa prostaglandin,
dan terutama terjadi pada lambung-usus., ginjal, dan fungsi trombosit. Frekuensinya
berbeda-beda untuk berbagai jenis obat dan pada umumnya efek –efek ini meningkat
dengan besarnya dosis dan lama penggunaannya, kecuali efeknya terhadapa
thrombosis.
1. Efek ulcerogen : mual, muntah, nyeri lambung, tukak lambung-usus, dan perdarahan
samar (occult) yang disebabkan perintangan sintesa prostacyclin dan kehilangan daya
perlindungannya. Karena perintangan ini sifatnya sistemis, maka efek ini juga terjadi
pada penggunaan rectal. Risikinya terutama pada mereka diatas 60 tahun, khususnya
wanita. Penggunaan serentak pada kortikosteroida meningkatkan resiko. Profilaksis
dapat dilakukan dengan pemberian misoprostol sebagai substitusi PgI2, dengan efek
protektif terhadap mukosa.
Obat dengan masa paruh panjang mengnakibatkan resiko gangguan lambung-
usus lebih besar dari pada obat dengan masa paruh pendek. Obat yang terbanyak
menimbulkan keluhan lambung-usus serium adalah indometasin, azapropazon, dan
piroxicam. Obat dengan keluhan lebih kurang salah satunya adalah : ketoprofen,
naproksen, flurbiprofen, sulindac, dan dklofenac, dedangkan ibuprofen paling sedikit.
2. Gangguan fungsi ginjal : insufisiensi, nefritis interstisiil, dan kelainan pada regulasi air
dan elektrolit (edema, hyperkaliemia). Prostaglandin memelihara volume darah yang
mengalir melalui ginjal (perfusi). Zat ini juga menghalangi vasokontriksi terlampau
kuat dalam ginjal pada, misalnya pasien gagal jantung, cirrhosis hati, dan penyakit
ginjal kronis. Karena terhambatnya sistesa Pg, maka perfusi dan laju filtrasi
glomelurus berkurang dengan efek-efek tersebut, para lansia sangan peka untuk efek
ginjal ini, dan dapat menderita nefritis irreveribel, khususnya pada indometasin. Efek
diuretika dikurangi oleh NSAIDs.
3. Agregasi trombosit dikurangi, sehingga masa pendarahan dapat diperpanjang. Efek ini
reversible, kecuali pada asetosal.
4. Reaksi kulit : ruam dan urticaria, relative sering terjadi pada diklofenacdan sulindac.
5. Bronchokontriksi pada penderita asma yang hipersensitif bagi NSAIDs.
6. Efek sentral : nyeri kepala, pusing, tinnitus (telinga berdengung), termanggu-manggu,
sukar tidur, adakalanya depresi dan gangguan penglihatan.
7. Lain-lain : gangguan fungsi hati (khususnya diklofenac), gangguan haid (diklofenac,
indometasin), jarang anemia aplastis.
Wanita hamil tidak boleh diberikan NSAIDs selama triwulan terakhir
berhubung menghambat his dan memperlambat persalinan. NSAID masuk kedalam air
susu ibu maka sebaiknya jangan digunakan selama laktasi. Pengecualiannya adalah
ibuprofen, flurbiprofen, naproksen, dan diklofenac, yang pada dosis biasa hanya
sedikut timbul dalam air susu ibu.
Penderita asma dan lambung juga tidak boleh diberikan obat – obat ini.
Interaksi. NSAIDs adalah asam-asam organis yang terikat kuat pada protein darah
yang mampu menggeser obat-obat lain dengan PP tinggi dan demikian memperkuat
kerjanya. Contohnya antikoagulansia dan antidiabetika oral. Juga ekskresi dari asam-
asam organis lain seperti penisilin, furosemida, HCT, dan metotreksat diperlambat,
hingga obat ini lebih lama kerjanya.
Macam –macam Obat Anti Radang :
a. Ibuprofen : brufen, arthrofen
Obat pertama dari kelompok propionate ini adalah NSAID yang paling banyak
digunakan, berkat efek sampingnya yang relative ringan dan status OTC-nya
dikebanyakan Negara. Zat ini merupakan campuran rasemis, dengan bentuk dextro
yang aktif. Daya analgetis dan antirangnyasudah cukup baik dan sudah banyak
mendesak salisilat pada penanganan bentuk rema yang tidak begitu hebatdan
gangguan dari alat gerak. Ibuprofen 400 mg oral sama efeknya dengan 500 mg rectal.
Resorpsinya dari usus cepat dan baik (ca 80%), resorpsi rectal lebih lambat. PP
nya 90-99%, plasma-t1/2-nya ca 2 jam.
Ekskresinya berlangsung terutama sebagai metabolit-metabolit dan konyugat-
konyugatnya.
Dosis : nyeri (haid), demam, dan rema, permulaan 400mg p.c/d.c., lalu 3-4 dd 200-
400 mg . demam pada anak-anak : 6-12 tahun 3 dd 50 mg, 1-3 tahun 3-4 dd 50 mg, 4-8
tahun 3-4 dd 100 mg, 9-12 tahun 3-4 dd 200 mg. pada migraine-single-dose 600 mg, 15-
30 menit sesudah diberikan domperidon atau metoklopramida. Rectal : 3-4 dd 500 mg.
*ketoprofen ( profenid, orudis, oscorel) adalah derivate benzoil yang sedikit lebih
kuat khasianya, sifat-sifat lain hamper sama dengan ibuprofen, efek samping nya lebih
sering terjadi.
Dosis: 1-3 dd 25-50 mg p.c./d.c. pada rema 2-4 dd 25-50 mg, rectal 2-3 dd 100 mg.
b. Naproksen : naxen, maprosyn
Derivate-derivat dari propionate ini berdaya analgetis dan antiradang yang baik, maka
sering digunakan dalam berbagai nyeri, juga untuk mengnatasi serangan encok kuat.
Resorpsinya dari usus cepat dan lengka, muali kerjanya 1 jam dan bertahan 7 jam. PP
nya lebih dari 99%, plama-t1/2-nya panjang 10-16 jam, ekskresinya terutama melalui
kemih sebagai konyugatnya.
Dosis : oral dan rectal 2 dd 375-500 mg (garam – Na) d.c./p.c, nyeri haid permulaan 500
mg, lalu 2-3 dd 250 mg. serangan encok : permulaan 750 mg, setelah 8 jam 500 mg, lalu
setiap 8 jam 250 mg. migraine : sekaligus 1000 mg, 15-30 menit setelah minum
domperidom atau metoklopramida.
c. Diklofenac : voltaren, cataflam, *arthrotec
Derivate fenilasetat ini termasuk NSAID yang terkuat daya antiradangnya
dengan efek samping yang kuanag keras dibandingkan dengan obat kuat lainya seperti,
indometasin dan piroxicam. Obat ini sering digunakan untuk segala macam nyeri, juga
pada migraine dan encok. Secara parenteral sangat efektif untuk menanggulangi nyeri
kolik hebat (kadung kemih dan kandung empedu). Kerusakan hati fatal telah
dilaporkan.
Resorpsinya dari usus cepat dan lengkap, tetapi BAnya rata-rata 55% akibat
FPE besar. Efek analgetisnya dimulai setelah 1 jam, secara rectal dan itramuskuler
lebih cepat, masing-masing setelah 30 dan 15 menit. Penyerapan garam-K (cataflam)
lebih pesat daripada garam-Na PP nya diatas 99%, plasma-t1/2-nya ca 1 jam.
Ekskresinya melalui kemih berlangsung untuk 60% sebagai metabolit dan untuk 20%
dengan empedu dan tinja.
Dosis : oral 3 dd 25-50 mg garamNa/K d.c./p.c, rectal 1 dd 50-100 mg, i.m. pada
nyeri kolik atau serangan encok : 1-2 dd 75 mg selama 1-3 hari. Pra- dan pasca-bedah
(“staar”, bular-mata) dalam tetes mata 0,1% : 3-5 kali 1 tetes.
d. Indometasin : confortid, indocid.
Derivate indolilasetat berkhasiat amat kuat, dapat disamakan dengan
diklofenac, tetapi lebih sering menimbulkan efek samping, khususnya efek ulserogen
dan perdarahan occult. Penggunaannya juga sama termasuk pada mata untuk
mencegah udema macula lutea (bercak kuning diselaput jala)setelah pembedahan bular
mata (katarak, “staar”). Secara local gel 3% dikatakan efektif untuk menghilangkan
nyeri sendi (jari-jari).
Resorpsinya dari usus lengkap dan cepat, pada rectum tergantung basis
suppositorianya dan dapat menurun sampai 60%.
Efeksampingnya berupa gejala umum, terutama pada permulaan dan dosis
tinggi sering terjadi gangguan usus dan lambung, dan efek-efek sentral seperti nyeri
kepala, perasaan kacau, rasa lelah dan depresi, Reaksi gastrointrestianal : anorexia
(kehilangan nafsu makan), vomiting (mual), sakit abdominal, dan diare. Alergi : reaksi
yang umumnya adalah alergi pada kulit dan dapat menyebabkan asma.
Dosis : oral 2-3 dd 25-50 mg d.c./p.c., maks. 200 mg sehari, rectal 1-2 dd 100 mg i.m.
sebagai permulaan terapi 25-100 mg garam-Na. okuler untuk profilaksis udema : 3-5
kali 1 tetes sebelum dan setelah pembedahan.
e. Piroxicam : feldene, brexine
Derivate benzothiazin ini berkhasiat analgetis, antipiretis, dan antiradang kuat
dam lama (plama-t1/2-nya rata-rata 50 jam). Kompleksnya dengan betadex
(=cyclodextrin) (brexine) dikatakan lebig cepat resorpsinya dari usus, tetapi
diperlambat olah makanan. Obat ini sering digunakan untuk nyeri haid dan serangan
encok.
Dosis : oral, rectal dan i.m. 1 dd 20 mg (d.c./p.c.), dysmenorrea primer, 1 dd 40 mg
selama 2 hari, lalu bila perlu 1 dd 20 mg pada serangan encok, permulaan 40 mg, lalu 2
dd 20 mg selama 4-6 jam.
f. Asam mefenaminat : mefenamik acid, menin, ponstan
Derivate antranilat (= o-aminobemzoat) ini memiliki daya antiradang sedang,
kira-kira 50% dari khasiat fenilbutazin. Plasma-t1/2-nya 2-4 jam. Penggunaannya
sebagai obat antinyeri dan obat rema terbatas karena sering menimbulkan gangguan
lambung-usus, terutama dyspepsia dan diare hebat. Tidak dinjurkan untuk anak-anak.
Dosis : pada nyeri kuat permulaan 500 mg d.c./p.c, kemudian 3-4 dd 250 mg
selama maksimal 7 hari.
g. Fenilbutazon : butazolidin, irgapa, pehazon, new skelan
Derivate pyrazolidin ini sebagai penghambat sintesa prostaglandin, berkhasiat
antiradang yang lebih kuat dari pada daya analgenisnya, juga berdaya urikosuris
lemah, tetapi kini tidak digunakan lagi dalam terapi encok, berhubungan efek
buruknya terhadap darah, penggunaannya sudah banyak teredesak. Dewasa ini khusus
digunakan untuk kasus-kasus yang tidak dapat ditangani oleh obat NSAIDs lainnya
misalnya p.bechterw dan S.reiter.
Resorpsinys diusus baik PP nya 98%, plasma-t1/2-nya rata-rata 77 jam, dari
oksifenbutazol 77 jam sampai 105 jam (pada lansia). Didalam hati obat ini diubah
menjadi metabolit-metabolit aktifnya oksifenbutazon dan hidroksifenbutazon, yang
dimetabolisasikan lebih lanjut dan dikeluarkan terutama melalui kemih.
Efek sampingnya bermacam – macam dan tidak tergantung dari dosis
dan terjadi pada rata-rata 30% dari pasien yang tidak tergantung dari dosis. Yang
terpenting adalah supresi sumsum tulang hebat, dengan agranulocytos, anemia aplastis
dengan angka kematian tinggi. Leucopenia, dan kelainan darah lainnya. Yang sering
terjadi adalah keluhan lambung, pusing, reaksi alergi pada kulin dan udema, akibat
resorpsi kembali dari natrium dan air sehingga volume plasma meningkat. Gangguan
fungsi hari, kerusakan ginjal, dan memburuknya tukak lambung, serta perforasi
jarang terjadi. Pembesaran tiroid dengan hipotirosis telah dilaporkan.
Dosis : diatas 14 tahun oral 1 dd 300-400 mg d.c./p.c. selama 1 minggu, pemeliharaan 1
dd 100-200 mg. pengawasan darah secara teratur mutlak dilakukan.
h. Benzidamin : tantumforal rinse
Struktur derivate indazol ini mirip rumus indometasin, tetapi daya
antiradangnya berlainan dari analgetika antiflogistis dan kortikosteroida. Oleh karena
itu obat ini tidak digunakan untuk obat rema, melainkan terhadap peradangan dan
bengkaka sesudah pembedahan dan trauma, misalnya luka akibat jatuh dan keseleo,
juga sebagai obat kumur pada radang mulut dan tenggorokan.
Resorpsinya dari usus agak lambat, plasma-t1/2-nya ca 2 jam, PP nya agak besar.
Efek sampingnya agak ringan dan berupa gangguan lambung usus,
jarang juga penglihatan ganda, tachycardia, dan debar jantung. Pada penggunaan local
kreem 3% dapat terjadi iritasi.
Dosis : oral 23 dd 50 mg garam –HCl p.c. anak-anak 25-50 mg sehari. Sebagai obat
kumur 0,15 % : 6 dd 15 ml.
i. Misoprostol : cytotec, atrhotec
Ester meti ini dari prostaglandin-E1 berkhasiat menghambat produksi asam
lambung dan melindungi mukosa. Obat ini meningkatkan sekresi mucus dan
bikarbonat dan memperbaiki sirkulasi darah dimukosa erapi tulambung. Misoprostol
khusus digunakan untuk prevensi tukak lambung selama penggunaan NSAID dimana
terjadi kekurangan prostacyclin yang berdaya melindungi. Untuk tukak, obat ini tidak
bermanfaat dibandingkan zat-zat penghambat asam.
Resorpsinya cepat dan baik. Didalam hati zat ini dirombak menjadi metabolit
aktif asam misoprostolat dengan PP ca 85% dan t1/2 20-40 menit. Ekskresi berlangsung
terutama lewat kemih dan sebagai kecil dengan tinja,
Efek sampingnya sering berupa diare (selewat). Dan gangguan lambung usus
lain ( mual, dyspepsia, nyeri perut, flatulensi), saki kepala, pusing-pusing. Dysmenorrea
dan perdarahan. Wanita hamil tidak boleh diberi obat ini karena resiko kontrasi
uterus.
Dosis : sebagai pencegah tukak 2 dd 200-400 msg, bersama suatu NSAID, terapi
tukak lambung usus 4 dd 200 mcg selama 2-8 minggu.
BAB IIIPENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Nyeri merupakan perasaan tidak menyenangkan yang merupakan pertanda
bahwa tubuh telah mengalami kerusakan atau terancam oleh suatu cedera.
Nyeri berawal dari reseptor nyeri yang tersebar di seluruh tubuh.
Reseptor nyeri ini menyampaikan pesan sebagai impuls listrik di sepanjang saraf yang
menuju ke medula spinalis dan kemudian diteruskan ke otak.
Analgetika antipiretika juga NSAID ini dalam dosis teurapeutik ini dapat
merintangi nyeri dan menekan nyeri tanpa menimbulkan ketergantungan.
Dapat disimpulkan bahwa Analgetika terbagi atas 2 bagian :
Analgetika narkotika
Analgetika non narkotika
Obat-obat analgetika narkotika terdiri dari morfin, metadon, tramadol, petidin,
dolantin, kodein, dihidromorfinon, dilaudid, heroin, diasetilmorfin, pentazocin, fortal,
wintrop, nalorfin, alilnomorfin, pentoxosin, dan nalokson.
Obat-obat analgetika non narkotika terdiri dari ibuprofen, acetaminophen atau
paracetamol, asam mefenamat, asam asetilsalisilat, dan aminofenazon.
Sedangkan antipiretika, obat-obatnya adalah benorylate, fentanyl, pirazolon,
tramadol, asam mefenamat, ibuprofen, juga acetaminophen/paracetamol.
Yang terakhir yaitu NSAID, obat-obatnya adalah naproksen, indometazine,
diklofenak, piroksikam, asam mefenamat, fenilbutazon, ibuprofen, benzidamin, juga
misoprostol.
3.2 SARAN Diperlukan peninjauan ulang terhadap golongan analgetika, antipiretika, dan NSAID
yang penyusun bahas, agar sesuai dengan fakta terbaru yang ada di kehidupan nyata.
Perlu banyak informasi tambahan tentang jenis obat-obatannya agar informasi yang
didapat adalah informasi yang sedang berkembang.
BAB IVDAFTAR PUSTAKA
Katzung, G.Bertram.,2007,Basic & Clinical Pharmacology – 10th
Ed.,The
McGraw-Hill Companies. Inc, New York.
Craig, R.Craig and Robert E.Stitzel,2007,Modern Pharmacology
With Clinical Application-6th Ed,, Lippncott Williams & Wilkin,
Virginia.
Neal,J.Michael, 2002, Medical Pharmacology at a glance-4th Ed.,
Blackwell science Ltd,London
Goodman and Gilman,2006,The Pharmacologic Basis of
Therapeutics – 11th Ed.,McGraw-Hill Companies. Inc, New York.
Lüllmann, Heinz … [et al.] ,2000,Color Atlas of Pharmacology 2nd
Ed., Thieme,New York
http://habib.blog.ugm.ac.id/kuliah/analgetic-dan-obat-obatnya/
Katzung, B.G. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik buku 2. Jakarta : Salemba Medika.
Widodo, Samekto dan Abdul Gofir . 2001. Farmakoterapi dalam Neurologi . Jakarta :
Salemba Medika
Deglin, Judith Hopfer . 2005. Pedoman Obat Untuk Perawat. Jakarta : EGC
Tan, Hoan Tjay dan Kirana Rahardja. 2002. Obat – Obat Penting. Jakarta : Gramedia
Diposkan oleh anis khoerunnisa di 07.03
Reaksi:
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook Bagikan ke Pinterest
Tidak ada komentar:
Poskan Komentar
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
Langganan: Poskan Komentar (Atom)
apakah menarik??
Translate
Diberdayakan oleh Terjemahan
Cari Blog IniTop of Form
Daily Calendar
PengikutArsip Blog Mengenai Saya
▼ 2012 (4)o ▼ Juni (4) TERMINOLO
GI URIN (uji urin) Suatu Kisah
Cinta Sejati analgetika
dan antipiretika EKONOMI
KESEHATAN (DASAR AKUNTANSI KESEHATAN)
anis khoerunnisa
aku imuttttt bgt kaya semut hehheheee
Lihat profil lengkapku
Windows Live Messenger + Facebook
Template Travel. Diberdayakan oleh Blogger.