Upload
others
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan tentang Nyeri
2.1.1 Definisi Nyeri
Nyeri merupakan “gejala” suatu penyakit adanya kerusakan jaringan dalam
tubuh yang disebabkan karena stimulasi mekanik, kimia, panas, dan listrik yang
menyebabkan kerusakan sel kemudian melepaskan mediator nyeri (Nugroho,
2015). The International Study of Pain mendefinisikan nyeri sebagai perasaan
sensorik dan emosional tidak menyenangkan yang dihubungkan dengan kerusakan
jaringan yang telah atau akan terjadi. Nyeri bersifat subyektif karena ambang nyeri
setiap individu berbeda-beda. Ambang nyeri akan turun pada saat kita merasa lelah,
cemas, sedih, marah, depresi, bosan, takut, dan terisolasi (Farastuti dan Windiastuti,
2005). World Health Organization (WHO) telah memberikan pedoman terapi
farmakologis untuk nyeri yang digambarkan sebagai stepladder (anak tangga).
Pada nyeri ringan, digunakan NSAID. Jika nyeri tidak teratasi, maka dapat
diberikan opioid lemah. Jika nyeri tetap tidak teratasi, maka perlu dipertimbangkan
pemberian opiod seperti morfin (Farastuti dan Windiastuti, 2005).
2.1.2 Mekanisme Nyeri
Reseptor nyeri tersebar luas pada permukaan superfisial kulit dan juga di
jaringan dalam tertentu, misalnya dinding arteri, permukaan sendi, dan tentorium
tempurung kepala. Mekanisme nyeri diawali dengan pengeluaran mediator nyeri
seperti bradykinin, prostaglandin, histamine, serotonin yang akan merangsang
ujung saraf bebas. Stimulus ini akan diubah menjadi impuls listrik dan dihantarkan
melalui saraf menuju ke system saraf pusat. Adanya stimulus nyeri akan
menyebabkan keluarnya endorphin yang akan berikatan dengan reseptor.
Terikatnya endorphin pada reseptor akan menyebabkan hambatan pengeluaran
mediator sehingga menghambat penghantaran impuls ke otak (Farastuti dan
Windiastuti, 2005).
6
2.2 Tinjauan tentang Analgesik
Analgesik adalah istilah kimia untuk zat-zat yang dapat menurunkan rasa
sakit, seperti heroin, opium, pethidine, dan codein. Efek penghilang rasa sakit
dimunculkan dengan mereduksi kepekaan fisik dan emosional individu, serta
memberikan penggunanya rasa hangat dan nyaman (Amriel, 2007).
Analgesik diberikan kepada penderita untuk mengurangi rasa nyeri yang
dapat ditimbulkan oleh berbagai rangsang mekanis, kimia, dan fisis yang
melampaui suatu nilai ambang tertentu (nilai ambang nyeri). Rasa nyeri tersebut
terjadi akibat terlepasnya mediator-mediator nyeri (misalnya bradikinin,
prostaglandin) dari jaringan yang rusak yang kemudian merangsang reseptor nyeri
di ujung saraf perifer ataupun ditempat lain. Dari tempat-tempat ini selanjutnya
rangsang nyeri diteruskan ke pusat nyeri di korteks serebri oleh saraf sensoris
melalui sumsum tulang belakang dan thalamus. Obat penghalang nyeri (analgesik)
mempengaruhi proses pertama dengan mempertinggi ambang kesadaran akan
perasaan sakit, sedangkan narkotik menekan reaksi-reaksi fisik yang diakibatkan
oleh rangsangan sakit (Anief, 2000).
Analgesik juga dapat diartikan sebagai senyawa yang dapat menekan fungsi
sistem saraf pusat secara selektif, digunakan untuk mengurangi rasa sakit tanpa
mempengaruhi kesadaran. Analgesik bekerja dengan meningkatkan nilai ambang
persepsi rasa sakit. Berdasarkan mekanisme kerja pada tingkat molekul, analgetik
dibagi menjadi dua golongan yaitu analgetika narkotik dan analgetika non-
narkotika (Siswandono dan Widiandani, 2016).
2.2.1 Tinjauan tentang Analgesik Non Narkotika
Analgetika non narkotika digunakan untuk mengurangi rasa sakit yang ringan
sampai moderat, sehingga disebut dengan analgesik ringan, juga untuk menurunkan
suhu badan pada keadaan panas badan yang tinggi dan sebagai antiradang untuk
pengobatan rematik. Analgetika non narkotik bekerja pada perifer dan sentral
sistem saraf pusat. Obat golongan ini mengadakan potensisasi dengan obat-obatan
penekan sistem saraf pusat (Siswandono dan Purwanto, 2016).
Analgesik non narkotika menimbulkan efek analgesik dengan cara
menghambat secara langsung dan selektif enzim-enzim pada sistem saraf pusat
yang mengkatalis biosintesis prostaglandin, seperti siklooksigenase yaitu enzim
7
yang bertanggung jawab dalam pembentukan prostaglandin (Budianto, dkk., 2018).
Sehingga mencegah sensitiasi reseptor rasa sakit oleh mediator-mediator rasa sakit,
seperti bradikinin, histamin, serotonin, protasiklin, prostaglandin, ion-ion hidrogen
dan kalium, yang dapat merangsang rasa sakit secara mekanis atau kimiawi.
(Siswandono dan Purwanto, 2016).
(1) Tinjauan tentang Asam Salisilat
Gambar 2.1 Struktur Senyawa Asam Salisilat
Asam salisilat memiliki nilai Log P = 1,18 dan berat molekul 43,29 cm3/mol.
Asam salisilat mengandung gugus fungsi fenolik (-OH) sebagai gugus tambahan
pada gugus asam karboksilat (National Center for Biotechnology Information,
2019). Karena asam salisilat mengandung gugus asam organik dan salisilat, dapat
dilakukan upaya untuk memodifikasi molekul asam salisilat sehingga sifat
analgesik dan antipiretiknya dapat diterima oleh tubuh (Zumdahl dan Zumdahl,
2014).
Asam salisilat sangat mengiritasi sehingga hanya digunakan sebagai obat
luar. Oleh karena itu, berbagai turunan asam ini telah disintesis untuk penggunaan
sistemik. Ini mencakup dua golongan besar yaitu ester asam salisilat yang diperoleh
melalui substitusi pada gugus karboksilnya dan ester salisilat berbagai asam
organik, yaitu gugus karboksil pada asam salisilat dipertahankan dan substitusi
dilakukan pada gugus hidroksinya. Karena digunakan sedemikian luas dan mudah
didapat, salisilat sering menjadi penyebab intoksikasi. Keracunan atau intoksikasi
serius sering terjadi pada anak-anak dan kadang-kadang fatal (Hardman, dkk.,
2012). Asam salisilat yang banyak digunakan sebagai analgesik-antipiretik adalah
senyawa turunannya. Turunan asam salisilat digunakan untuk mengurangi rasa
sakit pada nyeri kepala, sakit otot dan sakit yang berhubungan dengan rematik.
8
Kurang efektif untuk mengurangi sakit gigi, sakit pada waktu menstruasi dan sakit
karena kanker. Tidak efektif untuk mengurangi sakit karena kram, kolik dan
migrain (Siswandono dan Purwanto, 2016).
(2) Tinjauan tentang Aspirin
Gambar 2.2 Struktur Senyawa Aspirin
Aspirin atau asam asetil salisilat memiliki nilai Log P = 1,19 dan berat
molekul 180,2 cm3/mol. Aspirin adalah NSAID yang paling bertahan lama dan
merupakan analgesik efektif, dengan durasi kerja sekitar 4 jam. Aspirin diabsorbsi
dengan baik secara oral. pH asam dalam lambung menjaga fraksi besar aspirin tidak
terionisasi sehingga menunjang absorbsi dalam lambung, karena aspirin merupakan
asam lemah dengan pKa 3,5 (National Center for Biotechnology Information,
2019). Meskipun banyak aspirin diabsorbsi melalui area permukaan yang luas dari
usus kecil bagian atas. Aspirin yang diabsorbsi mengalami hidrolisis oleh esterase
dalam darah dan jaringan menjadi salisilat yang aktif dan asam asetat. Sebagian
besar salisilat diubah dalam hati menjadi konjugat larut air yang cepat diekskresi
oleh ginjal (Neal, 2006).
Efek samping yang paling sering terjadi adalah iritasi mukosa lambung
dengan risiko tukak lambung dan perdarahan samar (accolt blood) gastro-intestinal.
Penyebabnya adalah sifat asam dari asetosal, yang dapat dikurangi melalui
kombinasi dengan suatu antacid (MgO, alumunium hidroksida, CaCO3) atau
digunakan garam kalsiumnya. Selain itu, aspirin menimbulkan efek spesifik seperti
reaksi alergi kulit dan tinnitus pada dosis lebih tinggi. Efek yang paling serius
adalah kejang bronki hebat, yang pada pasien asma dapat menimbulkan serangan,
walapun dalam dosis rendah (Tjay dan Rahardja, 2015).
9
2.3 Tinjauan tentang Modifikasi Molekul
Modifikasi merupakan bagian yang terpenting dalam pencarian senyawa obat
baru yang mempunyai khasiat lebih baik dan harga yang lebih ekonomis. Sintesis
dilakukan dengan penggabungan molekul, pengubahan gugus fungsi atau
memasukkan gugus yang bersifat toksigenik senyawa penuntun yang telah
diketahui khasiat atau aktivitas biologisnya. Modifikasi molekul merupakan
metode yang digunakan untuk mendapatkan obat baru dengan aktivitas yang
dikehendaki, antara lain yaitu meningkatkan aktivitas obat, menurunkan efek
samping atau toksisitas, meningkatkan selektifitas obat memperpanjang masa kerja
obat, meningkatkan kenyamanan penggunaan obat dan meningkatkan aspek
ekonomi obat (Siswandono dan Purwanto, 2008).
Modifikasi molekul umumnya dilakukan dengan cara seleksi atau sintesis
“obat lunak”, pembuatan pra obat dan obat target dan modifikasi molekul obat yang
telah diketahui aktifitas biologisnya. Dalam pembentukan senyawa baru, dapat
dilakukan modifikasi struktur dengan substitusi pada gugus hidroksil yang didasari
oleh prinsip salol dan invivo yang dihidrolisis menjadi aspirin, cincin aromatik atau
mengubah gugus fungsionalnya (Purwanto dan Susilowati, 2000).
2.4 Tinjauan Reaksi Esterifikasi
Esterifikasi adalah suatu reaksi antara asam karboksilat dan alkohol yang
membentuk ester. Ester dapat dibuat dari halida asam dan anhidrida. Reaksi ini
dikatalis oleh asam kuat. Asam karboksilat terprotonasi bereaksi dengan alkohol
menghasilkan kation tetrahedral. Oksigen pada gugus OH mengalami protonasi
sehingga mengubah OH menjadi gugus lepas yang lebih baik. Zat antara ini
menghilangkan molekul air dan menghasilkan ester setelah di protonasi (Bresnick,
2003).
Gambar 2.3 Reaksi Esterifikasi Fisher
Gambar 2.3 menunjukkan ester dapat dibentuk dengan mereaksikan asam
asam karboksilat dengan alkohol yang dikatalis dengan asam dan panas sehingga
membentuk gugus ester dan air. Ester terbentuk melalui serangan elektrofilik.
10
karbon karbonil oleh alkohol, yag dikatalis asam. Gambar 2.4 memperlihatkan
pembentukan ester oleh reaksi asam karboksilat dan alkohol. Pembentukan ester
lebih mudah dilakukan dari turunan asam karboksilat, seperti asam klorida. Asam
klorida merupakan gugus lepas dari senyawa sebelumnya (Bresnick, 2003).
Gambar 2.4 Reaksi Esterifikasi Asil Halida
Substitusi Nukleofilik dua (SN2) dimana substitusi nukleofilik mengalami
suatu pergantian atom H dengan menambahkan gugus pergi yang akan digantikan
oleh gugus nukleofilik. Dengan kata lain, reaksi ini merupakan substrat nukleofilik
dengan dua pereaksi dan merupakan reaksi satu tahap. Reaksi substitusi nukleofilik
terdiri dari dua jenis, yaitu SN1 dan SN2. Yang membedakan antara keduanya yaitu
pengaruh substrat dan nukleofil terhadap laju reaksi. Pada reaksi SN1, hanya
substrat yang mempengaruhi laju reaksi sehingga mengikuti reaksi orde satu
dengan persamaan kecepatan reaksi = k.[RX]. Sedangkan pada reaksi SN2
mempengaruhi laju reaksi adalah substrat dan reaktan sehingga reaksi substitusi
berlangsung mengikuti orde dua dengan persamaan reaksi k = [RX] [Nu-] dimana
terjadi inversi pada atom karbon pusat alkil halida primer dan sekunder (McMurry,
2008).
Substitusi nukleofilik dua (SN2) merupakan reaksi satu tahap, biomolekular.
Nukleofil mendekati elektrofil pada sepanjang garis ikatan gugus pergi elektrofil,
dipole yang terbentuk oleh terlepasnya gugus elektronegatif itu menjadikan ikatan
karbon mengandung muatan δ+. Nukleofil menyerang saat terlepasnya gugus pergi.
Ikatan baru antara nukleofil dan elektrofil terbentuk dan ikatan gugus pergi
elektrofil terputus. Pada reaksi substitusi nukleofilik, atom-atom gugus yang diganti
mempunyai elektronegatifitas lebih besar dari atom C, dan atom atau gugus
pengganti adalah suatu nukleofil, baik nukleofil netral maupun nukleofil yang
bermuatan negatif nukleofil adalah spesi yang kaya elektron, sehingga dia tidak
suka akan elektron tapi suka akan nukleous (Bresnick, 2003).
11
2.5 Tinjauan tentang Bahan Sintesis
2.5.1 Tinjauan tentang Senyawa Asam 5-metoksisalisilat
Gambar 2.5 Struktur Senyawa Asam 5-metoksisalisilat
Struktur kimia dari asam 5-metoksisalisilat adalah C8H8O4, dengan berat
molekul 168.148 g/mol (National Center for Biotechnology Information, 2019),
dan titik didih 141 - 143 °C. Senyawa ini memiliki struktur kristal dan berwarna
putih kekuningan (Sigma Aldrich, 2016). Substituen pada posisi 5 gugus benzoil
akan mengakibatkan sifat kimia fisika senyawa yang dapat mempengaruhi aktivitas
biologisnya. Sifat lipofilik Aspirin dapat dilihat dari nilai Log P = 1,19 dan MR=
43,29 cm3/mol. Secara teoritis gugus metoksi pada asam O-(4-nitrobenzoil)-5-
metoksisalisilat merupakan gugus alkil yang merupakan gugus pendorong elektron.
Semakin besar gugus alkil, daya dorong elektronnya juga akan semakin kuat dan
menyebabkan mudah terlepasnya atom H. Contoh gugus alkil lainnya adalah
(CH3)3C-, (CH3)2C-, CH3CH2-, CH3- (Sutresna, 2007). Gugus ini memiliki sifat
lipofilik yang lebih besar dan elektronnya lebih besar. Hal ini menandakan adanya
peningkatan kelarutan dalam membran. (National Center for Biotechnology
Information, 2019).
2.5.2 Tinjauan tentang Senyawa 4-Nitrobenzoil Klorida
Gambar 2.6 Senyawa 4-Nitrobenzoil Klorida
12
4-nitrobenzoil klorida merupakan senyawa turunan asam benzoat. Nitro
merupakan gugus elektronegatif yaitu gugus penarik elektron. Semakin
elektronegatif suatu gugus, daya tarik elektronnya semakin kuat. Contoh gugus
penarik elektron lainnya seperti F, Cl, Br, I, OH, dan C6H5 (Sutresna, 2007).
Struktur kimia dari senyawa ini adalah C7H4ClNO3, dengan berat molekul 185,56
g/mol, rentang titik didih dan titik lebur 71- 74 °C. Senyawa ini memiliki struktur
kristal dan berwarna kuning (Sigma Aldrich, 2016). Turunan Benzoil Klorida
bersifat sangat reaktif, dengan adanya air yang dapat berubah kembali menjadi
asam karboksilat dan dengan adanya alkohol (ROH) dapat membentuk ester
(RCOOR’) (Mc Murry, 2008).
Pada gambar 2.6 menunjukkan sturktur senyawa 4-nitrobenzoil klorida.
Senyawa ini tidak stabil di lingkungan yang lembab dan harus disimpan dalam
wadah tertutup rapat. Bereaksi dengan air atau uap (National Center for
Biotechnology Information, 2019). 4-Nitrobenzoil Klorida tidak sesuai dengan basa
(termasuk amina), dengan oksidator kuat, dan dengan alkohol. Dapat bereaksi
dengan reduktor. Dapat bereaksi dengan cepat atau eksplosif jika dicampur dengan
diisopropil eter atau eter lainnya dengan adanya sejumlah kecil garam logam
(National Center for Biotechnology Information, 2019) Stabil di bawah kondisi
penyimpanan yang disarankan, dan hindari kelembaban. Benzoil Klorida yang
termasuk halida asam paling reaktif diantara semua derivat asam karboksilat. Ion
halida merupakan gugus pergi yang baik (Sigma Aldrich, 2016).
Benzoil klorida yang bereaksi dengan alkohol akan menghasilkan ester dan
HCl dalam suatu reaksi yang beranalogi langsung dengan hidrolisis. Biasanya HCl
mudah lepas dari dalam campuran reaksi setelah terbentuk, karena HCl dapat
bereaksi dengan alkohol dan menghasilkan alkil klorida atau alkena dan air.
Biasanya suatu amina tersier atau piridina ditambahkan sebagai senyawa yang
menghasilkan HCl (Fessenden and Fessenden, 1999).
13
2.5.3 Tinjauan tentang Tetrahydrofuran
Gambar 2.7 Senyawa Tetrahydrofuran (THF)
Tetrahydrofuran atau sering disebut dengan THF memiliki berat molekul
72,11 g/mol. Penyimpanannya hasrus pada wadah tertutup rapat ditempat yang
kering dan berventilasi baik. Wadah yang sudah dibuka harus disegel kembali, dan
disimpan pada tempat yang dingin. Tetrahydrofuran berbentuk cair, dan tidak
berwarna, baunya seperti Eter.
pH sediaan ini adalah 7, memiliki rentang titik lebur -108,44˚C, dan titik didih
sekitar 65,0-67,0 ˚C. Kelarutan dalam air adalah larut. Stabil pada kondisi
penyimpaan yang sudah direkomendasikan. Sediaan ini merupakan oksidator kuat,
atau Asam. LD50 dari sediaan ini secara oral untuk tikus yaitu 1.650 mg/kg (Sigma
Aldrich, 2016).
2.5.4 Tinjauan tentang Triethylamine
Gambar 2.8 Senyawa Triethylamine (TEA)
Triethylamine (TEA) merupakan oksidator kuat dengan berat molekul 101,19
g/mol. Sediaan ini berbentuk cair dan tidak berwarna. Berbau seperti amina. pH
sediaan ini adalah 12,7 pada 100 g/l dengan suhu 15 ˚C. Rentag titik lebur sediaan
ini adalah -115 ˚C. Rentang didih sdiaan ini yaitu 88,8 ˚C. Kelarutannya dalam air
yaitu 112g/l pada suhu 20 ˚C. Koefisien partisinya sebesar 1.15. Sediaan ini stabil
pada penyimpanan yang telah direkomendasikan (Sigma Aldrich, 2016).
14
2.5.5 Tinjauan tentang Etanol
Etanol memiliki rumus C2H6O dengan berat molekul 46,07 g/mol. Dapat
disimpan di tempat yang dingin dengan wadah tertutup rapat. Wadah yang sudah
dibuka harus disegel kembali untuk mencegah kebocoran. Sediaan ini berbentuk
cair, tidak berwarna dan tidak berbau. Titik lebur sediaan ini -143,99 ˚C dan titik
didih 78,0-80,0 ˚C. Kelarutan dalam air yaitu benar-benar larut. Etanol merupakan
logam alkali, oksidator, dan peroksida. LD50 secara oral pada tikus yaitu 10,470
mg/kg (Sigma Aldrich, 2016).
Gambar 2.9 Senyawa Etanol
2.5.6 Tinjauan tentang Metanol
Gambar 2.10 Senyawa Metanol
Metil Alkohol atau Metanol memiliki berat molekul 32,04 g/mol.
Penyimpanan sediaan ini harus pada wadah tertutup rapat ditempat yang kering dan
berventilasi baik. Wadah yang sudah dibuka harus di segel kembali dan di simpan
dengan baik. Sediaan ini berbentuk cairan tidak berwarna dan memiliki bau yang
tajam. Methanol berada pada rentang titik lebur -98 ˚C dan titik didih 64,7 ˚C.
Kelarutan metanol dalam air data tercampur sepenuhnya. Stabil pada kondisi
penyimpanan yang direkomendasikan (Sigma Aldrich, 2016).
15
2.5.7 Tinjauan tentang Aseton
Aseton atau dapat disebut dengan Dimethylformaldehyde memiliki rumus
molekul C3H6O dengan berat molekul 58,08 g/mol. Bentuk sediaan ini adalah
cairan yang tidak berwarna dan mudah menguap, mudah terbakar, transparan
dengan bau manis dan rasa manis pedas. Aseton digunakan sebagai pelarut atau
kosolven dalam sediaan topikal. Titik didih methanol yaitu 56,2 ˚C dan titik lebur
94,3 ˚C. Kelarutan sediaan ini dalam air, mudah larut dalam etanol 95%. Metanol
harus didimpan di tempat yang sejuk, kering, berventilasi baik dari sinar matahari
langsung (Rowe, dkk., 2009).
Gambar 2.11 Senyawa Aseton
2.5.8 Tinjauan tentang Etil Asetat
Etil asetat memiliki rumus molekul C4H8O2 dengan berat molekul 88,1 g/mol.
Etil asetat berfungsi sebagai pelarut, termasuk dalam larutan gel dan gel topikal.
Etil asetat adalah cairan bening, tidak berwarna, mudah menguap, berbau seperti
buah, dan mudah terbakar. Titik didih etil asetat yaitu 77 ˚C dengan konstanta
dielektrik 6,11. Etil asetat larut 1 dalam 10 air pada suhu 25 ˚C lebih larut dalam air
pada suhu rendah daripada suhu yang lebih tinggi. Dapat larut dengan aseton,
kloroform, dikloro metana, etanol 95%, dan eter (Rowe, dkk., 2009).
Etil asetat harus disimpan dalam wadah kedap udara, terlindung dari cahaya
matahari secara langsung, dan suhu yang melebihi 30 ˚C. Etil asetat mudah terurai
oleh kelembapan dan menjadi asam. LD50 pada mencit secara oral yaitu 5,62 g/kg
(Rowe, dkk., 2009).
Gambar 2.12 Senyawa Etil Asetat
16
2.5.9 Tinjauan tentang Dimethyl Sulfoxide
Dimethyl Sulfoxide atau DMSO memiliki rumus molekul C2H6OS dengan
berat molekul 78,13. DMSO berupa cairan yang tidak berwarna, kental, atau Kristal
tidak berwarna yang dapat larut dengan air, alcohol, dan eter. Sediaan ini memiliki
rasa yang agak pahit denngan rasa manis setelahnya. Tidak berbau atau memiliki
sedikit bau karakteristik dimethyl sulfoxide dan berfungsi sebagai pelarut
spektroskopi NMR. DMSO bersifat sangat higroskopis, menyerap hingga 70% dari
beratnya sendiri dalam air dengan bantuan panas (Rowe, dkk., 2009).
Ph sediaan ini adalah 8,5 untuk campuran 50:50 dengan air. DMSO memiliki
titik didih 189 derajat celcius dengan konstanta dielektrik 48,9. DMSO larut dalam
air dengan evolusi panas, juga dapat diubah dengan etanol 95%, eter dan sebagian
besar pelarut organik tidak apat bercampur dengan paraffin, hidrokarbon. Praktis
tidak larut dalam aseton, kloroform, etanol 95 % dan eter. Dimethyl Sulfoxide cukup
stabil terhadap panas, tetapi pada refluks yang berkepanjangan, dekomposisi sedikit
terurai menjadi metil metakaptan dan bismetiltiometana. Ketika dipanaskan hingga
terurai, beracun pada suhu 40 dan 60 ˚C. DMSO harus disimpan dalam wadah
kedap udaa dan kedap cahaya. Terkhusus untuk menggunakan wadah kaca dan
menghindari wadah plastik (Rowe, dkk., 2009).
Gambar 2.13 Senyawa Dimethyl Sulfoxide (DMSO-D6)
2.5.10 Tinjauan tentang Asam Asetat Glasial
Gambar 2.14 Senyawa Asam Asetat Glasial
Asam asetat glasial atau Ethanoic acid memiliki rumus molekul C2H4O2
dengan berat molekul 60,05. Asam asetat glasial berbentuk massa kristal atau
17
larutan yang mudah menguap dan tidak berwarna, memiliki bau yang menyengat.
Titik didih sediaan ini 118 ˚C dan titik leburnya 17 ˚C. Asam asetat glasial larut
dalam etanol, eter, gliserin, air dan minyak tetap dan volatile lainnya. Berat jenis
asam asetat glasial yaitu 1,045. Asam asetat glasial harus disimpan dalam wadah
kedap udara di tempat sejuk dan kering (Rowe, dkk., 2009).
2.5.11 Tinjauan tentang Carboxymethylcellulose Sodium
Carboxymethylcellulose Sodium atau biasa disebut CMC-Na berbentuk
bubuk putih hingga hampir putih, tidak berbau, tidak berasa dan bersifat
higroskopis. CMC-Na berfungsi sebagai zat penstabil, agen suspensi, maupun
penambah air yang mengikat viskositas. Memiliki rentang titik lebur sekitar 227 ̊ C.
CMC-Na menyerap sejumlah besar air pada suhu hingga 37 ˚C pada suhu relativ
rendah sekitar 80%. Sediaan ini praktis tidak larut dalam aseton, etanol 95%, eter,
dan toluene, namun mudah didispersikan dalam air pada semua suhu (Rowe, dkk.,
2009).
CMC-Na merupakan bahan yang stabil, meskipun higroskopis. Dalam
kondisi kelembapan tinggi, CMC-Na dapat menyerap air dalam jumlah besar
(>50%). Larutan berair yang disimpan dalam waktu lama harus mengandung bahan
pengawet antimikroba. Bahan harus disimpan dalam wadah tertutup dengan baik di
tempat yang sejuk dan kering (Rowe, dkk., 2009).
Gambar 2.15 Senyawa Carboxymethylcellulose Sodium (CMC-Na)
2.6 Tinjauan tentang Uji Kemurnian Senyawa Hasil Modifikasi
Uji kemurnian dan tujuan pengukuran kadar, pesifisitas ditunjukkan oleh
daya pisah dua senyawa yang berdekatan sebagaimana dalam kromatografi.
18
Senyawa-senyawa tersebut biasanya adalah komponen utama atau komponen aktif
dan/atau suatu pengotor. Jika dalam suatu uji terdapat suatu pengotor (impurities),
maka metode uji harus tidak terpengaruh dengan adanya pengotor ini (Rohman,
2014).
2.6.1 Tinjauan tentang Titik Lebur
Senyawa-senyawa organik pada umumnya mempunya titik didih dan titik
lebur yang rendah. Ini berbeda dengan senyawa-senyawa anorganik yang pada
umumnya mempunyai titik didih dan titik lebur yang tinggi. Senyawa organik
jarang memiliki titik lebur di atas 300˚C, sedangkan senyawa anorganik jarang yang
mempunyai titik lebur dibawah 700˚C. Titik lebur lemak rendah, tetapi lebih tinggi
dari suhu saat menjadi padat kembali. Panjang dan pendeknya rantai karbon asam-
asam lemak penyusun juga mempengaruhi titik lebur lemak. Makin panjang rantai
karbon asam lemak penyusunnya, makin tinggi titik lebur lemak tersebut. Titik
lebur lemak juga dipengaruhi oleh jumlah ikatan rangkap asam lemak penyusunnya.
Makin banyak ikatan rangkapnya, makin rendah titik lebur lemak tersebut. Titik
lebur dipengaruhi oleh keisomeran geometrik asam lemak penyusunnya. Apabila
asam lemak penyusunnya mempunyai bentuk cis, titik leburnya akan lebih rendah
dibandingkan yang berbentuk trans (Sumardjo, 2008). Umumnya senyawa murni
memiliki jarak lebur tidak lebih dari 2˚C (Gandjar, 2018).
Suatu zat dikatakan murni apabila titik lebur yang diperoleh dari
percobaan sama dengan yang ada dalam literatur. Tetapi bila suatu zat itu tidak
murni (terdapat campuran / campuran eutentik) maka ikatan antar molekulnya
semakin kecil dan ikatannya mudah lepas sehingga titik leburnya akan lebih kecil
dari pada zat murni. Perbedaan titik lebur senyawa-senyawa dipengaruhi oleh
beberapa hal, diantaranya adalah perbedaan kuatnya ikatan yang dibentuk antar
unsur dalam senyawa tersebut. Semakin kuat ikatan yang dibentuk, semakin besar
energi yang diperlukan untuk memutuskannya. Dengan kata lain, semakin tinggi
juga titik lebur unsur tersebut. Perbedaan titik lebur antara senyawa-senyawa pada
golongan yang sama dapat dijelaskan dengan perbedaan elektronegativitas
unsur-unsur pembentuk senyawa tersebut (Syarif, 2012).
19
2.6.2 Tinjauan tentang Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi melibatkan pemisahan terhadap campuran berdasarkan
perbedaan-perbedaan tertentu yang dimiliki oleh senyawanya. Perbedaan yang
dapat dimanfaatkan meliputi kelarutan dalam berbagai pelarut serta sifat polar.
Kromatografi biasanya terdiri dari fase diam dan fase gerak. Fase gerak membawa
komponen suatu campuran melalui fase diam, dan fase diam akan berikatan dengan
komponen tersebut dengan afinitas yang berbeda-beda (Bresnick, 2003).
Kromatografi Lapis Tipis digunakan untuk memantau kemajuan reaksi dan
untuk mengenali komponen tertentu. Teknik ini sering dilakukan dengan lempeng
gelas atau plastik yang dilapisi oleh fase diam. Fase gerak cair adalah pelarut.
Campuran yang akan dianalisis diteteskan pada dasar lempengan, dan pelarut akan
bergerak naik oleh gaya kapiler. Umumnya fase diam bersifat polar, dan senyawa
polar akan melekat lebih kuat pada lempeng daripada senyawa tidak polar akibat
interaksi tarik-menarik dipol-dipol. Senyawa polar cenderung berdekatan dengan
tempat semula dibandingkan dengan senyawa tak polar. Senyawa tak polar kurang
melekat erat pada fase diam polar sehingga bergerak maju lebih jauh keatas
lempeng. Jarak keatas lempengan merupakan cerminan polaritas senyawa.
Peningkatan polaritas pelarut akan menurunkan interaksi senyawa dengan fase
diam sehingga memungkinkan semyawa dalam fase gerak bergerak lebih jauh pada
lempeng (Bresnick, 2003).
Nilai Rf merupakan jarak yang ditempuh bahan dari tempat penotolannya
dibandingkan dengan jarak yang ditempuh pelarut dari titik tempat penotolan
sampel. Umumnya, kita dapat melihat secara visual seberapa tinggi pelarut
mencapai ujung atas plat/lempeng. Perbandingan seberapa jauh sebuah komponen
dalam sampel bergerak dibagi dengan jarak pergerakan pelarut disebut faktor
retensi atau nilai Rf. Nilai Rf merupakan nilai yang spesifik untuk tiap komponen
dalam sampel pada kondisi percobaan tersebut (Bloch, 2013).
Rf = Jarak (cm)𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑔𝑎𝑟𝑖𝑠 𝑎𝑤𝑎𝑙 𝑘𝑒𝑝𝑢𝑠𝑎𝑡 𝑧𝑜𝑛𝑎
𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 (𝑐𝑚)𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑎𝑤𝑎𝑙 𝑘𝑒𝑔𝑎𝑟𝑖𝑠 𝑑𝑒𝑝𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑙𝑎𝑟𝑢𝑡
20
2.7 Tinjauan tentang Uji Karakterisasi Struktur
2.7.1 Tinjauan tentang Spektrofotometer UV-Vis
Spektrofotometer ultraviolet membangkitkan radiasi elektromagnetik di
daerah 200 sampai 400 nm. Instrument memindai daerah ini dan spektrum serapan
dicetak dalam bentuk grafik yang mencatat absorbansi pada skala vertical (0 sampai
1,0) dan panjang gelombang pada skala horizontal. Sampel dilarutkan dalam pelarut
dan dimasukkan dalam sebuah sel yang tidak menyerap pada daerah ultraviolet
yang digunakan. Selain itu, digunakan sel pembanding yang hanya berisi pelarut.
Absorbansi (A) sampel dilaporkan sebagai log perbandingan intensitas berkas
cahaya yang masuk, (I0) dibagi intensitas cahaya, (I) yang ditransmisikan melalui
sampel. Absorbansi juga sebanding dengan konsentrasi sampel (c), panjang
(ketebalan) sel sampel dan Absorptivitas molar (ε) (Bloch, 2013).
Spektrofotometer ultraviolet yang sesuai untuk pengukuran di daerah
spektrum ultraviolet dan sinar tampak terdiri atas suatu sistem optik dengan
kemampuan menghasilkan sinar monokromatis dalam jangkauan panjang
gelombang 200-800 nm. Gugus-gugus yang dapat menyerap radiasi pada sinar UV
dan sinar tampak inilah yang disebut gugus kromofor (Pavia, 2009). Gugus
kromofor merupakan gugus tak jenuh (pada ikatan kovalen) yang bertanggung
jawab terhadap terjadinya absorbs elektroni, misalnya C=C, C=O, dan NO2.
Sedangkan gugus Auksokrom merupakan gugus jenuh dengan adanya electron
bebas (tidak terikat), dimana jika gugus ini bergabung dengan kromofor, akan
mempengaruhi panjang gelombang dan intensitas absorban (Dachriyanus, 2004).
Suatu diagram sederhana UV-vis ditunjukkan dengan komponen yang meliputi
sumber sinar, monokromator, kuvet, dan sistem optik. Sprektofotometer berkas
tunggal digunakan di hampir semua sistem spektroskopi emisi, sementara
spektroskopi ganda digunakan pada hampir semua sistem absorbsi. Keuntungan
spektrofotometer berkas ganda adalah bahwa spektrum UV-vis yang diperoleh
sudah berupa spektrum net. Spektrum net adalah spektrum yang diperoleh dengan
cara mengurangkan spektrum UV-vis dengan spektrum blanko (Gandjar dan
Rohman, 2018).
21
2.7.2 Tinjauan tentang Spektrofotometer Inframerah
Spektrofotometer inframerah mengukur interaksi (serapan) radiasi
inframerah dengan molekul. Ikatan-ikatan antar atom umumnya dinyatakan sebagai
panjang spesifik, yang menyatakan ikatan yang kaku antara atom-atom. Ikatan
antara dua atom juga dinyatakan memiliki sifat seperti sebuah pegas. Ikatan pegas
bervibrasi dengan jarak rata-rata antara kedua atom yang dihubungkan dinyatakan
sebagai panjang ikatan. Ikatan bervibrasi dengan frekuensi yang khas untuk ikatan
yang spesifik tersebut. Ikatan C-H, ikatan tunggal C-C, dan ikatan rangkap dua C=C
memiliki frekuensi vibrasi yang berbeda. Radiasi elektron elektromagnetik juga
dinyatakan dalam bentuk frekuensi. Molekul dapat menyerap radiasi
elektromagnetik jika frekuensi vibrasi ikatan cocok dengan frekuensi radiasi
elektromagnetik. Ikatan-ikatan bervibrasi pada rentang frekuensi inframerah
sehingga menyerap radiasi inframerah (Bloch, 2013).
2.7.3 Tinjauan tentang Spektrometer 1H-NMR
Spektrometer 1H-NMR adalah spektrometer NMR proton. Definisi proton
adalah atom hidrogen tanpa elektron, H+. NMR proton mempelajari atom-atom
hidrogen yang berikatan secara kovalen dengan atom lain, biasanya karbon, dan
bukan mempelajari proton bebas. Akan tetapi, penambahan NMR menggunakan
istilah proton dan atom hidrogen secara bergantian. NMR dapat bermanfaat sebagai
alat diagnostik jika atom hidrogen (proton) dalam lingkungan kimia yang berbeda
menyerap gelombang radio pada frekuensi yang berbeda. Inti sebuah atom hidrogen
dikelilingi oleh awan elektron dari elektron-elektron ikatannya. Medan magnet
eksternal menghasilkan sebuah gaya (gaya putar) pada elektron-elektron itu
sehingga elektron tersebut menciptakan suatu medan magnet, Hlokal yang
berlawanan dengan medan magnet eksternal, H0 (Bloch, 2013).
Densitas elektron sekitar sebuah inti hidrogen berbeda untuk proton-proton
yang berada dalam lingkungan kimia yang berbeda. Karena densitas elektron
berbeda-beda, medan magnet yang dirasakan oleh Hidrogen (Hef = H0 – Hllocal) juga
berbeda. Jika medan magnet yang dirasakan oleh inti berubah, frekuensi
penyerapan radiasi juga berubah. Frekuensi penyerapan radiasi memberikan
informasi tentang lingkungan kimia proton yang menyebabkan serapan tersebut
(Bloch, 2013).
22
2.8 Tinjauan tentang Metode Uji Aktivitas Analgesik
Dalam mempelajari mekanisme nyeri menggunakan hewan coba, perlu
dilakukan metode yang dapat digunakan untuk mengukur respon terhaap
rangsangan bahaya. Metode ini diterapkan dan direspon melalui perlaku, hal ini
disebut uji analgesiometri. Sebagian besar uji analgesik melibatkan respon motorik
untuk rangsangan bahaya, terjadi karena hubungan yang kuat antara noniseptif dan
aktivitas motorik. Rangsangan bahaya dapat dibagi menjadi empat kelas yaitu
termal, mekanik, listrik dan rangsangan kimia (Hau dan Steven, 2011).
2.8.1 Tinjauan tentang Metode Stimulasi Kimia
Writhing test secara kimia menginduksi dengan memberikan respon
menggeliat. Hal ini paling sering digunakan untuk skrining obat analgesik dengan
menyuntikkan kedalam rongga perut hewan, terjadinya menggeliat termasuk
kontraksi dari perut hewan, dan berkurangnya aktivitas motorik. Metode ini
sederhana untuk dilakukan dan juga sensitif dalam mendeteksi efek analgesik,
terutama NSAID. Namun hasil test harus diintepretasikan dengan hati-hati, karena
telah menunjukkan bahwa hewan menggeliat tanpa sifat analgesik dari manusia
(Hau dan Steven, 2011). Metode ini tidak hanya sederhana dan dapat dipercaya
tetapi juga memberikan evaluasi yang cepat terhadap jenis analgesik perifer (Gupta
et al., 2003).
2.8.2 Tinjauan tentang Metode Stimulasi Listrik
Sebagai respon terhadap nyeri, hewan akan menunjukkan gerakan atau
cicitan. Arus listrik dapat ditingkatkan sesuai dengan kekuatan analgesik yang
diberikan. Metode ini dapat dilakukan terhadap kera, anjing, kucing, kelinci, tikus
dan mencit (Manihuruk, 2000). Keuntungan metode stimulasi listrik adalah
stimulant dapat dikontrol menggunakan stimulator arus listrik yang dipertahankan
konstran walaupun terjadi fluktuasi daya tahan subyek, dapat digunakan dan diukur
dengan mudah, dapat menghasilkan rasa sakit yang hebat tanpa merusak jaringan,
dapat diulang dengan interval yang sangat pendek, onsetnya cepat, dan dapat
digunakan pada segala macam spesies.
23
2.8.3 Tinjauan tentang Metode Stimulasi Panas
Uji hot-plate juga salah satu metode panas. Uji ini umumnya dilakukan
dengan menempatkan hewan pada permukaan yang dipanaskan sampai 55˚C dan
respon dari hewan dicatat. Respon yang diberikan merupakan perilaku menghindar
seperti melompat dan bersikap protektif seperti menjilati kakinya (Hau dan Steven,
2011). Peningkatan waktu reaksi yaitu waktu antara pemberian stimulus nyeri dan
terjadinya respon dapat dijadikan parameter untuk evaluasi aktivitas analgesik
(Adeyemi, 2001).
2.8.4 Tinjauan tentang Metode Stimulasi Tekanan
Uji tekanan kaki adalah metode untuk menilai nyeri mekanis akut. Dilakukan
dengan menerapkan tekanan ke kaki belakang atau kadang kadang ekor mencit.
Tekanan ditingkatkan sampai hewan menyuarakan atau mencoba menarik kaki dan
ekornya. Tail flick test adalah metode yang digunakan untuk menguji sifat analgesik
dari obat-oabatan yang memiliki potensi efektif. Uji ini sebagian besar dilakukan
pada tikus dan mencit, dimana panas radiasi diproyeksikan ke ekor, hingga hewan
menjentikkan ekor jauh dari sumber panas yang diukur. Tail flick test tidak
melibatkan fungsi-fungsi yang berhubungan dengan rasa sakit yang dimediasi pada
tingkat yang lebih tinggi, meskipun kontrol penghambatan dari panas radiasi turun.
Uji ini umumnya digunakan baik untuk skrining obat di industri farmasi pengujian
ini mudah dilakukan dan tidak menyebabkan kerusakan, dan kemungkinan besar
tidak terjadi rasa sakit atau penderitaan yang terus menerus pada hewan (Hau dan
Steven, 2011).