Obat Merupakan Bahan Kimia Yang Pastinya Memiliki Efek Samping Atau Efek Lain Yang Tidak Diinginkan

Embed Size (px)

Citation preview

Obat merupakan bahan kimia yang pastinya memiliki efek samping atau efek lain yang tidak diinginkan. Sehingga untuk menghindari efek yang tidak diinginkan, maka penggunaan obat harus dilakukan secara tepat. Yang dimaksud tepat disini adalah tepat dosis, tepat cara pakai bahkan tepat waktu. Tepat dosis Dosis obat adalah jumlah dan frekuensi obat yang harus diminum/digunakan dalam rentang waktu tertentu. Efek suatu obat bergantung pada konsentrasi pada tempat kerja, sehingga dosis suatu obat adalah suatu hal yang penting diketahui dan diikuti. Jangan karena merasa penyakit anda tidak cepat hilang, maka anda menggunakan obat secara berlebihan, sehingga yang muncul bukannya efek terapi tapi malah efek toksik. Atau jangan pula ketika anda menggunakan antibiotik yang harusnya diminum secara rutin sampai habis (biasanya diberikan untuk waktu 5 hari), tapi karena merasa telah sembuh, penggunaan antibiotiknya tidak dilanjutkan Tepat cara pakai Tergantung tempat dan tujuan pemakaian obat, maka obat pun dibuat dalam bentuk sediaan yang bermacam-macam. Berikut ini beberapa contoh bentuk sediaan obat: 1.Tablet kunyah, yaitu sediaan tablet yang dikunyah dulu sebelum ditelan. Tujuan pembuatan tablet kunyah sendiri karena ada beberapa kelebihan, diantaranya memiliki ketersediaan hayati yang baik, meningkatkan disolusi (jumlah zat aktif yang

terlarut dan dapat diserap oleh tubuh). 2.Suppositoria, obat digunakan melalui rektal. Untuk zat aktif yang rusak di lambung, maka obat di buat dalam bentuk suppositoria. Obat ini pun mudah digunakan oleh bayi, pasien gangguan mental, manula atau orang-orang yang sulit menelan obat Dan masih banyak bentuk sediaan obat lainnya yang penggunaannya tertentu sesuai dengan tujuannya. Tepat waktu Pada saat anda mendapat resep, terkadang ada obat tertentu yang instruksinya harus diminum pada malam hari, karena memang obat-obat tertentu dapat memberikan efek yang lebh baik jika dikonsumsi pada malam hari. Ada juga yang sebaliknya harus diminum pada pagi hari agar tidak mengganggu masa istirahat dimalam hari, contohnya obat diuretik, pasien yang menggunakan obat jenis ini akan sering merasa ingin buang air kecil.

Interaksi obat adalah perubahan efek suatu obat akibat pemakaian obat lain (interaksi obat-obat) atau oleh makanan, obat tradisional dan senyawa kimia lain. Interaksi obat yang signifikan dapat terjadi jika dua atau lebih obat digunakan bersama-sama. Interaksi obat dan efek samping obat perlu mendapat perhatian. Sebuah studi di Amerika menunjukkan bahwa setiap tahun hampir 100.000 orang harus masuk rumah sakit atau harus

tinggal di rumah sakit lebih lama dari pada seharusnya, bahkan hingga terjadi kasus kematian karena interaksi dan/atau efek samping obat. Pasien yang dirawat di rumah sakit sering mendapat terapi dengan polifarmasi (6-10 macam obat) karena sebagai subjek untuk lebih dari satu dokter, sehingga sangat mungkin terjadi interaksi obat terutama yang dipengaruhi tingkat keparahan penyakit atau usia. Interaksi obat secara klinis penting bila berakibat peningkatan toksisitas dan/atau pengurangan efektivitas obat. Jadi perlu diperhatikan terutama bila menyangkut obat dengan batas keamanan yang sempit (indeks terapi yang rendah), misalnya glikosida jantung, antikoagulan dan obat-obat sitostatik. Selain itu juga perlu diperhatikan obat-obat yang biasa digunakan bersama-sama. Kejadian interaksi obat dalam klinis sukar diperkirakan karena : a. dokumentasinya masih sangat kurang b. seringkali lolos dari pengamatan, karena kurangnya pengetahuan akan mekanisme dan kemungkinan terjadi interaksi obat. Hal ini mengakibatkan interaksi obat berupa peningkatan toksisitas dianggap sebagai reaksi idiosinkrasi terhadap salah satu obat, sedangkan interaksi berupa penurunakn efektivitas dianggap diakibatkan bertambah parahnya penyakit pasien c. kejadian atau keparahan interaksi obat dipengaruhi oleh variasi individual, di mana populasi tertentu lebih peka misalnya pasien geriatric atau berpenyakit parah, dan bisa juga karena perbedaan kapasitas metabolisme antar individu. Selain itu faktor penyakit tertentu terutama gagal ginjal atau penyakit hati yang parah dan faktor-faktor lain (dosis besar, obat ditelan bersama-sama, pemberian kronik).

Mekanisme Interaksi Obat Interaksi diklasifikasikan berdasarkan keterlibatan dalam proses farmakokinetik maupun farmakodinamik. Interaksi farmakokinetik ditandai dengan perubahan kadar plasma obat, area di bawah kurva (AUC), onset aksi, waktu paro dsb. Interaksi farmakokinetik diakibatkan oleh perubahan laju atau tingkat absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi. Interaksi farmakodinamik biasanya dihubungkan dengan kemampuan suatu obat untuk mengubah efek obat lain tanpa mengubah sifatsifat farmakokinetiknya. Interaksi farmakodinamik meliputi aditif (efek obat A =1, efek obat B = 1, efek kombinasi keduanya = 2), potensiasi (efek A = 0, efek B = 1, efek kombinasi A+B = 2), sinergisme (efek A = 1, efek B = 1, efek kombinasi A+B = 3) dan antagonisme (efek A = 1, efek B = 1, efek kombinasi A+B = 0). Mekanisme yang terlibat dalam interaksi farmakodinamik adalah perubahan efek pada jaringan atau reseptor. Interaksi farmakokinetik 1. Absorpsi Obat-obat yang digunakan secara oral bisaanya diserap dari saluran cerna ke dalam sistem sirkulasi. Ada banyak kemungkinan terjadi interaksi selama obat melewati saluran cerna. Absorpsi obat dapat terjadi melalui transport pasif maupun aktif, di mana sebagian besar obat diabsorpsi secara pasif. Proses ini melibatkan difusi obat dari daerah dengan kadar tinggi ke daerah dengan kadar obat yang lebih rendah. Pada transport aktif terjadi perpindahan obat melawan gradien konsentrasi (contohnya ion-ion dan molekul yang larut air) dan proses ini membutuhkan energi. Absorpsi obat secara transport aktif lebih cepat dari pada secara tansport pasif. Obat dalam bentuk tak-terion larut lemak dan mudah berdifusi melewati

membran sel, sedangkan obat dalam bentuk terion tidak larut lemak dan tidak dapat berdifusi. Di bawah kondisi fisiologi normal absorpsinya agak tertunda tetapi tingkat absorpsinya biasanya sempurna. Bila kecepatan absorpsi berubah, interaksi obat secara signifikan akan lebih mudah terjadi, terutama obat dengan waktu paro yang pendek atau bila dibutuhkan kadar puncak plasma yang cepat untuk mendapatkan efek. Mekanisme interaksi akibat gangguan absorpsi antara lain : a. Interaksi langsung Interaksi secara fisik/kimiawi antar obat dalam lumen saluran cerna sebelum absorpsi dapat mengganggu proses absorpsi. Interaksi ini dapat dihindarkan atau sangat dikuangi bila obat yang berinteraksi diberikan dalam jangka waktu minimal 2 jam. b. perubahan pH saluran cerna Cairan saluran cerna yang alkalis, misalnya akibat adanya antasid, akan meningkatkan kelarutan obat yang bersifat asam yang sukar larut dalam saluran cerna, misalnya aspirin. Dengan demikian dipercepatnya disolusi aspirin oleh basa akan mempercepat absorpsinya. Akan tetapi, suasana alkalis di saluran cerna akan mengurangi kelarutan beberapa obat yang bersifat basa (misalnya tetrasiklin) dalam cairan saluran cerna, sehingga mengurangi absorpsinya. Berkurangnya keasaman lambung oleh antasida akan mengurangi pengrusakan obat yang tidak tahan asam sehingga meningkatkan bioavailabilitasnya. Ketokonazol yang diminum per oral membutuhkan medium asam untuk melarutkan sejumlah yang dibutuhkan sehingga tidakmemungkinkan diberikan bersama antasida, obat antikolinergik, penghambatan H2, atau inhibitor pompa

proton (misalnya omeprazol). Jika memang dibutuhkan, sebaiknya abat-obat ini diberikan sedikitnya 2 jam setelah pemberian ketokonazol. c. pembentukan senyawa kompleks tak larut atau khelat, dan adsorsi Interaksi antara antibiotik golongan fluorokinolon (siprofloksasin, enoksasin, levofloksasin, lomefloksasin, norfloksasin, ofloksasin dan sparfloksasin) dan ion-ion divalent dan trivalent (misalnya ion Ca2+ , Mg2+ dan Al3+ dari antasida dan obat lain) dapat menyebabkan penurunan yang signifikan dari absorpsi saluran cerna, bioavailabilitas dan efek terapetik, karena terbentuknya senyawa kompleks. Interaksi ini juga sangat menurunkan aktivitas antibiotik fluorokuinolon. Efek interaksi ini dapat secara signifikan dikurangi dengan memberikan antasida beberapa jam sebelum atau setelah pemberian fluorokuinolon. Jika antasida benarbenar dibutuhkan, penyesuaian terapi, misalnya penggantian dengan obat-pbat antagonis reseptor H2 atau inhibitor pompa proton dapat dilakukan. Beberapa obat antidiare (yang mengandung atapulgit) menjerap obat-obat lain, sehingga menurunkan absorpsi. Walaupun belum ada riset ilmiah, sebaiknya interval pemakaian obat ini dengan obat lain selama mungkin. d. obat menjadi terikat pada sekuestran asam empedu (BAS : bile acid sequestrant) Kolestiramin dan kolestipol dapat berikatan dengan asam empedu dan mencegah reabsorpsinya, akibatnya dapat terjadi ikatan dengan obat-obat lain terutama yang bersifat asam (misalnya warfarin). Sebaiknya interval pemakaian kolestiramin atau kolestipol dengan obat lain selama mungkin (minimal 4 jam).

e. perubahan fungsi saluran cerna (percepatan atau lambatnya pengosongan lambung, perubahan vaksularitas atau permeabilitas mukosa saluran cerna, atau kerusakan mukosa dinding usus). Contoh-contoh interaksi obat pada proses absorpsi dapat dilihat pada tabel berikut: Obat yang Obat yang Efek interaksi dipengaruhi mempengaruhi Digoksin Metoklopramida Absorpsi digoksin Propantelin dikurangi Absorpsi digoksin ditingkatkan (karena perubahan motilitas usus) Digoksin Kolestiramin Absorpsi dikurangi Tiroksin karena ikatan dengan Warfarin kolestiramin Ketokonazol Antasida Penghambat H2 Absorpsi ketokonazol dikurangi karena disolusi yang berkurang

Penisilamin Antasida yang Pembentukan khelat mengandung Al3+, penisilamin yang kurang Mg2+ , preparat larut menyebabkan besi, makanan berkurangnya absorpsi penislinamin Penisilin Neomisin Kondisi malabsorpsi yang diinduksi neomisin

Antasida yg Terbentuknya kompleks mengandung yang sukar terabsorpsi 3+,Mg2+ , 2+, Al Fe Zn, susu Tetrasiklin Antasida yang Terbentuknya kompleks mengandung Al3+, yang sukar terabsorpsi Mg2+ , Fe2+, Zn, susu Di antara mekanisme di atas, yang paling signifikan adalah pembentukan kompleks tak larut, pembentukan khelat atau bila obat terikat resin yang mengikat asam empedu. Ada juga beberapa obat yang mengubah pH saluran cerna (misalnya antasida) yang mengakibatkan perubahan bioavailabilitas obat yang signifikan. .1. Distribusi Setelah obat diabsorpsi ke dalam sistem sirkulasi, obat di bawa ke tempat kerja di mana obat akan bereaksi dengan berbagai jaringan tubuh dan atau reseptor. Selama berada di aliran darah, obat dapat terikat pada berbagai komponen darah terutama protein albumin. Obat-obat larut lemak mempunyai afinitas yang tinggi pada jaringan adiposa, sehingga obat-obat dapat tersimpan di jaringan adiposa ini. Rendahnya aliran darah ke jaringan lemak mengakibatkan jaringan ini menjadi depot untuk obat-obat larut lemak. Hal ini memperpanjang efek obat. Obat-obat yang sangat larut lemak misalnya golongan fenotiazin, benzodiazepin dan barbiturat. Sejumlah obat yang bersifat asam mempunyai afinitas terhadap protein darah terutama albumin. Obat-obat yang bersifat basa mempunyai afinitas untuk berikatan dengan asam--glikoprotein. Ikatan protein plasma (PPB : plasma protein binding) dinyatakan

Antibiotik kuinolon

sebagai persen yang menunjukkan persen obat yang terikat. Obat yang terikat albumin secara farmakologi tidak aktif, sedangkan obat yang tidak terikat, biasa disebut fraksi bebas, aktif secara farmakologi. Bila dua atau lebih obat yang sangat terikat protein digunakan bersama-sasam, terjadi kompetisi pengikatan pada tempat yang sama, yang mengakibatkan terjadi penggeseran salah satu obat dari ikatan dengan protein, dan akhirnya terjadi peninggatan kadar obat bebas dalam darah. Bila satu obat tergeser dari ikatannya dengan protein oleh obat lain, akan terjadi peningkatan kadar obat bebas yang terdistribusi melewati berbagai jaringan. Pada pasien dengan hipoalbuminemia kadar obat bebas atau bentuk aktif akan lebih tinggi. Asam valproat dilaporkan menggeser fenitoin dari ikatannya dengan protein dan juga menghambat metabolisme fenitoin. Jika pasien mengkonsumsi kedua obat ini, kadar fenitoin tak terikat akan meningkat secara signifikan, menyebabkan efek samping yang lebihbesar. Sebaliknya, fenitoin dapat menurunkan kadar plasma asam valproat. Terapi kombinasi kedua obat ini harus dimonitor dengan ketat serta dilakukan penyesuaian dosis. Obat-obat yang cenderung berinteraksi pada proses distribusi adalah obat-obat yang : a. persen terikat protein tinggi ( lebih dari 90%) b. terikat pada jaringan c. mempunyai volume distribusi yang kecil d. mempunyai rasio eksresi hepatic yang rendah e. mempunyai rentang terapetik yang sempit f. mempunyai onset aksi yang cepat g. digunakan secara intravena. Obat-obat yang mempunyai kemampuan tinggi untuk menggeser

obat lain dari ikatan dengan protein adalah asam salisilat, fenilbutazon, sulfonamid dan anti-inflamasi nonsteroid. .2. Metabolisme Untuk menghasilkan efek sistemik dalam tubuh, obat harus mencapai reseptor, berarti obat harus dapat melewati membran plasma. Untuk itu obat harus larut lemak. Metabolisme dapat mengubah senyawa aktif yang larut lemak menjadi senyawa larut air yang tidak aktif, yang nantinya akan diekskresi terutama melalui ginjal. Obat dapat melewati dua fase metabolisme, yaitu metabolisme fase I dan II. Pada metabolisme fase I, terjadi oksidasi, demetilasi, hidrolisa, dsb. oleh enzim mikrosomal hati yang berada di endothelium, menghasilkan metabolit obat yang lebih larut dalam air. Pada metabolisme fase II, obat bereaksi dengan molekul yang larut air (misalnya asam glukuronat, sulfat, dsb) menjadi metabolit yang tidak atau kurang aktif, yang larut dalam air. Suatu senyawa dapat melewati satu atau kedua fasemetabolisme di atas hingga tercapai bentuk yang larut dalam air. Sebagian besar interaksi obat yang signifikan secara klinis terjadi akibat metabolisme fase I dari pada fase II. a. Peningkatan metabolisme Beberapa obat bisa meningkatkan aktivitas enzim hepatik yang terlibat dalam metabolisme obat-obat lain. Misalnya fenobarbital meningkatkan metabolisme warfarin sehingga menurunkan aktivitas antikoagulannya. Pada kasus ini dosis warfarin harus ditingkatkan, tapi setelah pemakaian fenobarbital dihentikan dosis warfarin harus diturunkan untuk menghindari potensi toksisitas. Sebagai alternative dapat digunakan sedative selain barbiturate, misalnya golongan benzodiazepine. Fenobarbital juga meningkatkan metabolisme obat-obat lain seperti hormone steroid. Barbiturat lain dan obat-obat seperti karbamazepin, fenitoin

dan rifampisin juga menyebabkan induksi enzim. Piridoksin mempercepat dekarboksilasi levodopa menjadi metabolit aktifnya, dopamine, dalam jaringan perifer. Tidak seperti levodopa, dopamine tidak dapat melintasi sawar darah otak untuk memberikan efek antiparkinson. Pemberian karbidopa (suatu penghambat dekarboksilasi) bersama dengan levodopa, dapat mencegah gangguan aktivitas levodopa oleh piridoksin, b. Penghambatan metabolisme Suatu obat dapat juga menghambat metabolisme obat lain, dengandampak memperpanjang atau meningkatkan aksi obat yang dipengaruhi. Sebagai contoh, alopurinol mengurangi produksi asam urat melalui penghambatan enzim ksantin oksidase, yang memetabolisme beberapa obat yang potensial toksis seperti merkaptopurin dan azatioprin. Penghambatan ksantin oksidase dapat secara bermakna meningkatkan efek obat-obat ini. Sehingga jika dipakai bersama alopurinol, dosis merkaptopurin atau azatioprin harus dikurangi hingga 1/3 atau dosis biasanya. Simetidin menghambat jalur metabolisme oksidatif dan dapat meningkatkan aksi obat-obat yang dimetabolisme melalui jalur ini (contohnya karbamazepin, fenitoin, teofilin, warfarin dan sebagian besar benzodiazepine). Simetidin tidak mempengaruhi aksi benzodiazein lorazepam, oksazepam dan temazepam, yang mengalami konjugasi glukuronida. Ranitidin mempunyai efek terhadap enzim oksidatif lebih rendah dari pada simetidin, sedangkan famotidin dan nizatidin tidak mempengaruhi jalur metabolisme oksidatif. Eritromisin dilaporkan menghambat metabolisme hepatik beberapa obat seperti karbamazepin dan teofilin sehingga meningkatkan efeknya. Obat golongan fluorokuinolon seperti

siprofloksasin juga meningkatkan aktivitas teofilin, diduga melalui mekanisme yang sama. 3. Ekskresi Kecuali obat-obat anestetik inhalasi, sebagian besar obat diekskresi lewat empedu atau urin. Darah yang memasuki ginjal sepanjang arteri renal, mula-mula dikirim ke glomeruli tubulus, dimana molekul-molekul kecil yang cukup melewati membran glomerular (air, garam dan beberapa obat tertentu) disaring ke tubulus. Molekul-molekul yang besar seperti protein plasma dan sel darah ditahan. Aliran darah kemudian melewati bagian lain dari tubulus ginjal dimana transport aktif yang dapat memindahkan obat dan metabolitnya dari darah ke filtrat tubulus. Sel tubulus kemudian melakukan transport aktif maupun pasif (melalui difusi) untuk mereabsorpsi obat. Interaksi bis terjadi karena perubahan ekskresi aktif tubuli ginjal, perubahan pH dan perubahan aliran darah ginjal. a. Perubahan ekskresi aktif tubuli ginjal b. perubahan pH urin c. Perubahan aliran darah ginjal

Pemberian obat ikut juga dalam menentukan cepat lambatnya dan lengkap tidaknya resorpsi suatu obat. Tergantung dari efek yang diinginkan, yaitu efek sistemik obat (di seluruh tubuh) atau efek lokal obat (setempat) dan keadaan pasien serta sifat-sifat fisiko-kimiawi obat, dapat dipilih di antara berbagai cara untuk memberikan obat. Termasuk juga dalam hal pemberian obat Antibiotik dosis dan cara pemberiannya perlu sekali

diperhatikan. Pemberian obat yang tepat dan benar baik dalam dosis dan caranya masuk dalam hal faktor yang memepercepat kesembuhan pasien itu sendiri. Ada beberapa jenis obat yang diberikan dengan cara yang berbeda, berikut adalah beberapa macam tehnik pemberian obat diantaranya yaitu : 1. Pemberian Obat Secara Oral. 2. Pemberian Obat Secara Sublingual. 3. Pemberian Obat Secara Inhalasi. 4. Pemberian Obat Secara Rektal 5. Pemberian Obat Secara Pervaginam. 6. Pemberian Obat Secara Perenteral. 7. Pemberian Obat Secara Topikal/lokal. Yang perlu diperhatikan dan diketahui dalam pemberian obat secara oral adalah : 1. Pemberiannya obatnya adalah melalui mulut. 2. Mudah dan aman pemakaiannya, lazim dan praktis dalam memberikannya. 3. Tidak semua obat dapat diberikan per-oral, contohnya adalah : obat yang bersifat merangsang (emetin, aminofilin) atau yang diuraikan oleh getah lambung (benzilpenisilin, insulin dan oksitoksin). 4. Pemberian obat oral ini dapat terjadi inaktivasi oleh hati sebelum diedarkan ke tempat kerjanya 5. Dapat juga untuk mencapai efek lokal yang diinginkan dan dikehendaki contohnya adalah : obat cacing, obat diagnostik untuk pemotretan lambung - usus (pemeriksaan

diagnostik). 6. Baik sekali untuk mengobati infeksi usus 7. Bentuk sediaan oral diantaranya yaitu : Tablet, Kapsul, Obat hisap, Sirup dan Tetesan. Yang perlu diperhatikan dan diketahui dalam pemberian obat secara Sublingual adalah : 1. Pemberian Obat dengan cara ditaruh dibawah lidah. 2. Tidak melalui hati sehingga tidak diinaktif. 3. Dari selaput di bawah lidah langsung ke dalam aliran darah, sehingga efek yang dicapai lebih cepat misalnya : Pada pasien serangan Jantung dan juga penyakit asma. 4. Kekurangannya kurang praktis untuk digunakan terus menerus dan dapat merangsang selaput lendir mulut. 5. Hanya untuk obat yang bersifat lipofil. 6. Bentuknya tablet kecil atau spray, contohnya adalah : Isosorbid Tablet ( ISDN ). Yang perlu diperhatikan dan diketahui dalam tehnik pemberian obat secara Inhalasi adalah : 1. Obat diberikan untuk disedot melalui hidung atau mulut atau disemprotkan 2. Penyerapan obat yang diberikan dengan inhalasi ini dapat terjadi pada selaput mulut, tenggorokan dan pernafasan 3. Bentuk sediaan obat inhalasi adalah dalam bentuk gas dan zat padat, tetapi bisa juga mempunyai efek sistemik. Bentuk inhalasi ini bisa dalam wadah yang diberi tekanan dan mengandung zat pemancur (aerosol, contohnya yaitu : Alupent Metered Aerosol ). Yang perlu diperhatikan dan diketahui dalam pemberian obat

secara Rektal yaitu :aa 1. Pemberian obat melalui rectal adalah maksudnya pemberian obat melalui dubur (rektal). 2. Bentuknya suppositoria dan clysma (obat pompa). 3. Baik sekali untuk obat yang dirusak oleh asam lambung. 4. Diberikan untuk mencapai takaran yang cepat dan tepat. 5. Efek sistemiknya lebih cepat dan lebih besar bila dibandingkan dengan peroral, berhubung pembuluhpembuluh darah pertama. Misalnya adalah : pada pengobatan asma (amecain suppositoria) , pada bayi (stesolid rectal, dalam pengobatan kejang akut) 6. Tetapi bentuk suppositoria dan clysma sering digunakan untuk efek lokal misalnya untuk wasir dan laxativ. 7. Pemberian obat melalui rektal dapat dioleskan pada permukaan rektal berupa salep dan hanya mempunyai efek lokal. Yang perlu diperhatikan dan diketahui dalam tehnik pemberian obat secara Pervaginam (Intra Vaginal) yaitu :

1. Pemberian Obat yang diberikan melalui selaput lendir/mukosa vagina. 2. Diberikan pada antifungi dan anti kehamilan. 3. Bentuknya : Tablet, Salep, Krim dan Cairan bilasan.

Dalam penggunaannya, obat mempunyai berbagai macam bentuk. Semua bentuk obat mempunyai karakteristik dan tujuan

tersendiri. Ada zat yang tidak stabil jika berada dalam sediaan tablet sehingga harus dalam bentuk kapsul atau ada pula obat yang dimaksudkan larut dalam usus bukan dalam lambung. Semua diformulasikan khusus demi tercapainya efek terapi yang diinginkan. Ketikapun bagi kita yang berpraktek di apotek, maka perlu diperhatikan benar etiket obat yanbg dibuat. Misalnya tablet dengan kaplet itu berbeda, atau tablet yang harus dikunyah dulu (seperti obat maag golongan antasida), seharusnyalah etiket obat memuat instruksi yang singkat namun benar dan jelas. Jangan sampai pasien menjadi bingung dengan petunjuk etiket obat. Oleh karena itu penting sekali bagi kita semua untuk mengetahui bentuk sediaan obat. Diantara bentuk dan tujuan penggunaan obat adalah sebagai berikut : 1. Pulvis (serbuk) Merupakan campuran kering bahan obat atau zat kimia yang dihaluskan, ditujukan untuk pemakaian luar. 2. Pulveres Merupakan serbuk yang dibagi bobot yang kurang lebih sama, dibungkus menggunakan bahan pengemas yang cocok untuk sekali minum.Contohnya adalah puyer. 3. Tablet (compressi) Merupakan sediaan padat kompak dibuat secara kempa cetak dalam bentuk tabung pipih atau sirkuler kedua permukaan rata atau cembung mengandung satu jenis obat atau lebih dengan atau tanpa bahan tambahan. a. Tablet kempa

paling banyak digunakan, ukuran dapat bervariasi, bentuk serta penandaannya tergantung desain cetakan. b. Tablet cetak Dibuat dengan memberikan tekanan rendah pada massa lembab dalam lubang cetakan c. Tablet trikurat tablet kempa atau cetak bentuk kecil umumnya silindris. sudah jarang ditemukan d. Tablet hipodermik Dibuat dari bahan yang mudah larut atau melarut sempurna dalam air. Dulu untuk membuat sediaan injeksi hipodermik, sekarang diberikan secara oral. e. Tablet sublingual dikehendaki efek cepat (tidak lewat hati). Digunakan dengan meletakan tablet di bawah lidah. f. Tablet bukal Digunakan dengan meletakan diantara pipi dan gusi g. Tablet Effervescent Tablet larut dalam air. harus dikemas dalam wadah tertutup rapat atau kemasan tahan lembab. Pada etiket tertulis "tidak untuk langsung ditelan" h. Tablet kunyah Cara penggunaannya dikunyah. Meninggalkan sisa rasa enak dirongga mulut, mudah ditelan, tidak meninggalkan rasa pahit

atau tidak enak. 4. Pil (pilulae) Merupakan bentuk sediaan padat bundar dan kecil mengandung bahan obat dan dimaksudkan untuk pemakaian oral. Saat ini sudah jarang ditemukan karena tergusur tablet dan kapsul. Masih banyak ditemukan pada seduhan jamu. 5. Kapsul (capsule) Merupakan sediaan padat yang terdiri dari obat dalam cangkang keras atau lunak yang dapat larut. keuntungan/tujuan sediaan kapsul adalah : a. b. c. menutupi bau dan rasa yang tidak enak menghindari kontak langsung dengan udara dan sinar matahari Lebih enak dipandang (memperbaiki penampilan)

d. Dapat untuk 2 sediaan yang tidak tercampur secara fisis (income fisis), dengan pemisahan antara lain menggunakan kapsul lain yang lebih kecil kemudian dimasukan bersama serbuk lain ke dalam kapsul yang lebih besar. e. Mudah ditelan 6. Kaplet (kapsul tablet) Merupakan sediaan padat kompak dibuat secara kempa cetak, bentuknya oval seperti kapsul.

7. larutan (solutiones) Merupakan sedian cair yang mengandung satu atau lebih zat kimia yang dapat larut, biasanya dilarutkan dalam air, yang karena bahan-bahannya,cara peracikan, atau penggunaannya,tidak dimasukan dalam golongan produk lainnya. Dapat juga dikatakan sedian cair yang mengandung satu atau lebih zat kimia yang larut, misalnya terdispersi secara molekuler dalam pelarut yang sesuai atau campuran pelarut yang saling bercampur. Cara penggunaannya yaitu larutan oral (diminum) dan larutan topikal (kulit). 8. Suspensi (suspensiones) Merupakan sedian cair mengandung partikel padat tidak larut terdispersi dalam fase cair. Macam suspensi antara lain : suspensi oral (juga termasuk susu/magma), suspensi topikal (penggunaan pada kulit), suspensi tetes telinga (telinga bagian luar), suspensi optalmik, suspensi sirup kering. 9. Emulsi (elmusiones) Merupakan sediaan berupa campuran dari dua fase dalam sistem dispersi, fase cairan yang satu terdispersi sangat halus dan merata dalam fase cairan lainnya, umumnya distabilkan oleh zat pengemulsi. 10. Galenik Merupakan sediaan yang dibuat dari bahan baku yang berasal dari hewan atau tumbuhan yang disari.

11. Ekstrak (extractum) Merupakan sediaan yang pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat dari simplisisa nabati atau simplisia hewani menggunakan zat pelarut yang sesuai.kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian sehingga memenuhi baku yang ditetapkan. 12.Infusa Merupakan sediaan cair yang dibuat dengan mengekstraksi simplisia nabati dengan air pada suhu 90 derajat celcius selama 15 menit. 13.Imunoserum (immunosera) Merupakan sediaan yang mengandung imunoglobulin khas yang diperoleh dari serum hewan dengan pemurnian. Berkhasiat menetralkan toksin kuman (bisa ular0 dan mengikut kuman/virus/antigen. 14. Salep (unguenta) Merupakan sediaan setengah padat ditujukan untuk pemakaian topikal pada kulit atau selaput lendir. Salep dapat juga dikatakan sediaan setengah padat yang mudah dioleskan dan digunakan sebagai obat luar. Bahan obat harus larut atau terdispersi homogen dalam dasar salep yang cocok. 15. Suppositoria Merupakan sedian padat dalam berbagai bobot dan bentuk, yang

diberikan melalui rektal, vagina atau uretra,umumnya meleleh, melunak atau melarut pada suhu tubuh. Tujuan pengobatan adalah : a. Penggunaan lokal -> memudahkan defekasi serta mengobati gatal,iritasi, dan inflamasi karena hemoroid. b. Penggunaan sistematik -> aminofilin dan teofilin untuk asma,klorpromazin untuk anti muntah,kloral hidrat untuk sedatif dan hipnitif,aspirin untuk analgesik antipiretik. 16. Obat tetes (guttae) Merupakan sediaan cair berupa larutan,emulsi atau suspensi, dimaksudkan untuk obat dalam atau obat luar. Digunakan dengan cara meneteskan menggunakan penetes yang menghasilkan tetesan setara dengan tetesan yang dihasilkan penetes baku yang disebutkan farmakope indonesia. Sediaan obat tetes dapat berupa antara lain : guttae (obat dalam), guttae oris (tetes mulut), guttae auriculares (tetes telinga), guttae nasales (tetes hidung), guttae opthalmicae (tetes mata). 17. Injeksi (injectiones) Merupakan sediaan steril berupa larutan,emulsi atau suspensi atau serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan terlebih dahulu sebelum digunakan, yang disuntikan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit atau selaput lendir. Tujuannya agar kerja obat cepat serta dapat diberikan pada pasien yang tidak dapat menerima pengobatan melalui mulut. aa