Objektivitas Dan Subjektivitas

Embed Size (px)

DESCRIPTION

jii

Citation preview

FILSAFAT SEJARAH

1. ANNISA VATHIERA 1101688/2011 26 April 20142. IRFAN 1101686/2011

OBYEKTIVITAS DAN SUBYEKTIVITAS SEJARAHa. Objektivitas >< SubyektitasOBYEKTIVITASSUBYEKTIVITAS

Bebas dari fikiran dan intervensi subjek (bebas nilai) Adanya pemisahan yang tegas antara objek yang diteliti dan subjek peneliti. Pengetahua yang significan yang bermakna untuk semua Bebas dari unsur emosi

Adanya intervensi dan penilaian pribadi subjek Berhubungan dengan ciptaan subjek (peneliti) Memiliki nilai (value) yang terbatas

Tidak bebas dari unsur emosi

Pertentangan obyektivitas dan subyektivitas bersumber dari pendirian aliran postivisme yang melihat bahwa obyektivitas sebagai satu-satunya standar menetapkan kebenaran dalam penyelidikan ilmiah. Kebenaran obyektif mengandaikan ilmu itu bebas nilai, tegasnya obyektivitas mengakui tidak ada hubungan antara subjek dengan objek. maksudnya, pengetahuan yang diperoleh dari objek tanpa melibatkan pemikiran subjek dalam proses memperoleh suatu pengetahuan sehingga tidak ada moral dalam ilmu.Namun demikian, aliran positivisme percaya bahwa ilmu positivistik merupakan prasyarat untuk mencapai kemajuan umat manusia. Pernyataan itu menggeser ilmu sebagai tujuan menjadi ilmu sebagai alat, berarti sudah ada nilai dalam ilmu. Karena ditemukan adanya kegunaan praktis ilmu untuk mencapai cita-cita demi kemajuan umat manusia, dengan begitu ilmu sudah memasuki wilayah nilai.Dalam ilmu alam, paham positivistik tersebut tidak banyak menemui kendala karena objeknya adalah materi atau benda. Tetapi ketika diterapkan pada ilmu sosial, maka bukan saja sulit dilakukan, tetapi juga banyak ditentang oleh ilmuwan-ilmuwan sosial. Penganut paham positivistik tersebut berpendapat bahwa segala sesuatu itu tidak boleh melebihi fakta dan hanya berdasarkan fakta saja. Dalam paham nonpositivistik, kebenaran tidak hanya berhenti pada fakta, melainkan apa makna di balik fakta tersebut sehingga muncul interpretasi fakta dari peneliti.Paradoks ilmu positivistik ini memicu perdebatan bersamaan dengan munculnya kelompok antipositivisme. Aliran ini menentang doktrin ilmu bebas nilai karena ada saatnya dimana ilmu pengetahuan tidak lagi semata-mata mengabdi untuk mencari kebenaran objektif tetapi juga mengabdi pada teknik dan dengan itu ikut serta dalam memenuhi kebutuhan tertentu. Inilah inti problem aksiologis ilmu yang membawa orang pada perdebatan obyektivitas.Menurut aliran post-modernis, siapapun subjek yang memperoleh suatu pengetahuan atau melakukan penelitian, dari semula sudah diintervensi dari dua hal dalam dirinya sendiri. Yang pertama, pengandaian- pengandaian mengenai objek yang ditelitinya. Tidak ada proses penyelidikan ilmiah tanpa pengandaian karena hal ini terkait dengan kerangka pemikiran tertentu. Kedua, dalam kegiatan penelitian, masalah harus diajukan atau dipertanyakan. Masalah-masalah tersebut pada dasarnya juga penilaian. Jadi, penilaian sudah berlangsung pada tahap awal penelitian. Tujuan ilmu demi ilmu jarang sekali terjadi, karena sudah diintervensi oleh tujuan ekstra ilmu yaitu demi kemajuan peradaban manusia dalam arti luas.Meskipun demikian, sejauh ini masih banyak yang percaya, bahwa ilmu itu sendiri netral, tidak ada moral dalam ilmu. Pandangan yang konvensional ini masih tetap dianut, bahwa cita-cita ilmu adalah mencari kebenaran sejati. Tegasnya, objektivitas yang mengakui tidak ada hubungan subjek dengan objek.b. Obyektivitas dan subyektivitas sejarah.Dalam penyelidikan pengetahuan sejarah, fakta merupakan konsep yang rumit, karena fakta tidak semula jadi atau tersedia dengan sendirinya. Menurut Carr, fakta sejarah tidak pernah datang dalam bentuk yang murni. Karena itu sejarawanlah yang menyuruhnya berbicara, maka kehadiran fakta juga melibatkan fikiran. Pendukung subyektifitas memandang fakta lambang atau wakil dari sesuatu yang pernah nyata atau ada tetapi fakta-fakta itu tidak memiliki kenyataan objektif sendiri. dengan kata lain, fakta itu hanya terdapat dalam pikiran pengamat atau sejarawan untuk dipelajari secara obyektif dengan maksud meperoleh pengetahuan yang tak memihak dan benar, bebas dari reaksi pribadi seseorang. Sesuatu pertama kali harus menjadi objek , Ia harus mempunyai eksistensi yang merdeka diluar pikiran manusia, namun, dan hal sejarah lisan kebanyakan sejarah didasarkan atas kenangan atau kesaksian tertulis dan lisan sehingga kenangan tidak mempunyai eksistensi diluar pikiran manusia. Meskipun demikian, pengetahuan tetap dapat diperoleh dengan jalan melakukan penyelidikan yang tidak memihak dan bebas mengenai gambaran, proses, konsep dan proses mental yang berbeda satu atau dua langkah dari realitas objektif.Sejarawan tetap dituntut untuk memberikan penjelasan rasional atas dasar prinsip-prinsip metodologi, misalnya merumuskan masalah dan pegangandaian-pengandaian serta hipotesis yang dibangunnya.Menurut Myrdal, tidak ada ilmu sosial yang pernah netral atau hanya melaporkan fakta mentah, malahan sesungguhnya tak pernah ada yang disebut objektif jika yang dimaksud dengan kata itu dipahami dalam kerangka berfikir positivistik. Karena kebutuhan logis, tiap ilmu pengetahuan selalu dilandasi dengan penilaian dan rekomendasi pada kontes mana ilmu itu terpakai. Sehingga kebenaran objektif dan kebenaran etis memiliki batas yang tipis, diantaranya terselip gagasan nilai. Objektivitas ilmu alam dan ilmu sosial memiliki takarannya masing-masing. Selain itu perlu diingatkan bahwa objektivitas kebenaran tidak boleh dikacaukan dengan masalah kemutlakan kebenaran karena objektivitas itu sendiri sebenarnya hanyalah kriteria metodologi untuk mencapai kebenaran.c. Kedudukan Objektivitas dalam Sejarah.Masalah objektivitas juga menjadi masalah yang rumit dalam studi sejarah karena diantara filsuf sejarah kritis dan sejarawan terdapat perbedaan pendapat tentang kedudukan objektivitas dalam studi sejarah. Berikut ini kedudukan objektivitas dalam studi sejarawan antara lain:

Kedudukan objektivitas dikalangan sejarawan

Pendukung obyektivismePendukung subyektivismePendukung jalan tengah

1. Pendukung obyektivisme Gaya aliran positivisme jelas mempengaruhi lahirnya suatu jenis pengetahuan sejarah yang baru yang disebut dengan sejarah positivistik. Dibawah pengaruh aliran ini, ahli-ahli sejarah dengan antusias menggabungkan diri mereka sepenuhnya kedalam program positivistisit. Sejakitumerekamengolah data dengan cara kerja positivistik, hasilnya ialah suatu pengetahuan fakta yang luas dan terperinci berdasarkan pemeriksaan yang kritis yang belum pernah dilakukan sebelumnya sebagai bahan pembuktian sejarah.Leopold von Ranke (1795-1886) adalah figur yang mewakili pandangan sejarah positivistik. Ia menegaskan bahwa tugas sejarawan hanya semata-mata untuk menunjukan apa yang sesungguhnya terjadi, bebas dari faktor subjektif. Oleh karena itu dikenal semboyan Ranke No document no history.Bagi Ranke, tujuan yang paling utama mengkaji sejarah adalah untuk mewujudkan suatu peristiwa yang dikaji itu seperti fakta aslinya, didasarkan pada sumber-sumber yang ada, seperti sebenarnya yang telah berlaku ( wei es eigentlich gewe sen), dan bukan demi tujuan-tujuan yang tinggi seperti untuk mengadili masa lalu atau kepentingan zaman-zaman akan datang. Ungkapan wei es eigentlich gewe sen, dianggap sebagai tonggak pensejarahan Ranke, sehingga pengikut-pengikutnya menganggap bahwa ungkapan tersebut merupakan tuntutan yang mutlak bagi pengkajian sejarah. Sejak masa Ranke inilah, ilmu sejarah menjadi bagian dari kurikulum Perguruan Tinggi dan berkembang hingga kini dengan berbagai ragam ekspalanasi di kalangan ahli sejarah.2. Pendukung subyektivismeJuru bicara yang paling sistematik aliran ini ialah Wilhem Dilthey (1833-1911),Ia begitu menyadari ada bidang yang tidak bisa disentuh dengan metode ilmualam, yaitu pengalaman manusia yang bergelora dan sikap dinamis dalam kehidupan. Bidang ini tidak bisa dijelaskan dalam metode ilmu alam.Bidang ini hanya bisa disentuh dengan pemahaman (Verstehen) dan interpretasi. Berangkat dari keyakinan itu Dilthey menolak setiap bentuk penjelasan trasendental atau penyempitan realitas dalam positivisme.Pemikiran, penilaian, normadansemuaaturanberasaldarikehidupanempirismanusia.SedangkanpemahamanatauVerstehenmenurutAnkersmitadalahsuatu proses mengetahui kehidupan kejiwaan lewat ekspresi-eksoersinya yang diberikan pada indera. Memahami adalah mengetahui yang dialami orang lain, lewat suatu tiruan pengalamannya. dengan kata lain Verstehen adalah menghidupkan kembali atau mewujudkan kembali pengalaman seseorang dalam diriku. (Ankersmit, 1987:162).aliran ini menawarkan formulasi tandingan positivisme dengan beberapa premis berikut ini. Pemikiran subyektif menurut aliran ini tetap berlandaskan pada alasan yang masuk akal dan dapat dijelaskan dalam kerangka metodologi sejarah. Hubungan kognitif antara sejarawan dengan objeknya bersifat aktif, karena sudah terjadi proses berfikir karena untuk mengetahui suatu objek, peneliti telah diperlengkapi oleh kerangka pemikiran tertentu, entah itu asumsi, teori atau konsep-konsep dan bahasa yang kita miliki. Penolakan terhadap etos kebenaran objektif tidak berarti menolak pandangan bahwa ilmu itu objektif, melainkan mengajukan suatu solusi alternatif tentang konsep dan analisis tentang objektivitas keilmuan. Yang mereka tentang adalah pandangan tentang ilmu itu bebas nilai.3. Pendukung jalan tengah.Mereka memiliki pendirian bahwa pengetahuan objektif tidak pernah sempurna. Sifat trial dan error juga bagian dari essensial cara kerja ilmu. Belajar dari kesalahan tidak mengurangi objektivitas ilmu karena ilmuwan selalu berupaya memperbaiki dan mengoreksi kesalahan terdahulu. Premis aliran ini yaitu yang pertama perspektivisme. Pengetahuan sejarah yang objektif mungkin dicapai atau tidak tergantuk pada titik pandang yang digunakan sejarawan dalam melihat objek penelitiannya. Meskipun akan terdapat perbedaan pendapat dikalangan sejarawan namun hal ini dapat membantu mengklarifikasi interpretasi sejarawan dalam menjelaskan pokok persoalan yang menjadi bidang perhatiannya. Hal ini mestinya bisa meningkatkan objektifitas pengetahuan sejarah. Yang kedua, relativisme, cenderung berendirian bahwa objektivitas tidaklah mungkin dicapai tetapi itu harus diupayakan karena menjangkau kebenaran objektif tidak mungkin dilakukan dengan menghilangkan sama sekali nilai moral dalam pengetahuan sebagai produk.

SUMBER:Mestika Zed. Pengantar Filsafat Sejarah. UNP Press. Padang 2010Abdurrahman,Dudung. Metodologi Penelitian Sejarah. Yogyakarta: Ar Ruzz Media. 2007Gottschak,Louis. Mengerti Sejarah, terj.Nugroho Notosusanto. Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia.1975Mestika Zed. Teori dan Metodologi. UNP Press. Padang. 2011Ankersmit, FR, 1987. Refleksi Tentang Sejarah, Pendapat-Pendapat Modern tentang Filsafat Sejarah. (terj. Dick Hartoko), Jakarta, Gramedia.