Upload
kecing-juragan-kambing
View
735
Download
13
Embed Size (px)
Citation preview
OMO HADA RUMAH TRADISIONALTAHAN GEMPA NIAS
TUGAS UTSMata Kuliah Arsitektur Vernakular
Semester Gasal Tahun Akademik 2010/2011Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Untag Surabaya
Oleh
Muzakki Ahmad440901594
JURUSAN ARSITEKTURFAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SURABAYANovember 2010
1
A. GAMBARAN UMUM PULAU NIAS
Pulau Nias terletak di antara
0° 12’ - 1° 32’ LU dan 97 - 98° BT.
Kepulauan Nias yang terdiri dari
empat kabupaten ini terdiri dari
sebuah pulau yang cukup besar
yaitu pulau Nias dan 131 pulau
kecil. Pada awal 2009, sebanyak 37
pulau telah dihuni manusia dan 95
pulau sisanya belum dihuni. Luas
Pulau Nias 5.625 km² atau sekitar
7,82 % luas Sumatra Utara secara
keseluruhan. Berada di bagian barat
daya Provinsi Sumatra Utara dan berjarak 85 mil laut dari Pelabuhan Sibolga di
daratan Pulau Sumatra.
Topografi Pulau Nias berupa bukit-bukit sempit dan terjal serta
pegunungan yang memiliki ketinggian hingga 800 meter di atas permukaan laut.
Bagian wilayahnya yang berupa dataran rendah sampai bergelombang mencapai
jumlahan 24%, tanah bergelombang sampai berbukit 28,8%, sedangkan tanah
berbukit sampai pegunungan mencapai 51,2% dari seluruh luas dataran. Dataran
rendah terdapat di bagian tepi pulau, dan sebagian tepi Pulau Nias tersebut
merupakan tebing karang yang menyulitkan pencapaiannya dari arah laut. Daerah
perbukitan berada di bagian tengah pulau.
Keadaan iklim Pulau Nias yang merupakan daerah rawan gempa ini
dipengaruhi Samudra Indonesia. Curah hujan tinggi dan relatif turun sepanjang
tahun serta sering kali disertai badai besar. Musim badai biasanya berkisar antara
bulan April - Oktober, tetapi kadang-kadang terjadinya badai pada bulan-bulan
lainnya. Sering kali terjadi perubahan cuaca secara mendadak.
Mengikut pencacahan yang dilakukan Badan Pusat Statistik Kabupaten
Nias (1977) diketahui bahwa wilayah di Samudra Indonesia ini memiliki curah
hujan yang tinggi, rata-rata mencapai 3.145,1 milimeter per tahun, dan dengan
2
banyak hujan mencapai 273 hari per tahun. Besarnya curah hujan ini
menyebabkan kondisi alamnya lembab dan basah, suhu udara berkisar antara
14,3° - 30,4° C dengan kelembaban sekitar 80 - 90 % dan kecepatan angin antara
5-6 knot. Struktur geologis yang labil, dengan curah hujan tinggi menyebabkan
sering terjadinya banjir bandang yang diikuti berpindah-pindahnya aliran sungai.
B. SEJARAH MASYARAKAT NIAS
Antara tahun 851 dan 1154, orang-orang asli Pulau Nias yang menyebut dirinya
“Ono Niha” yang berarti keturunan manusia pertama terkenal sebagai kanibal dan
pemburu kepala manusia. Mereka yang menyebut tanah airnya “Tano Niha” ini
memiliki banyak emas dan sangat menghargai mayat leluhurnya.
Sekitar 500 tahun kemudian, kebudayaan Nias yang dikenal saat ini
ditularkan oleh sekelompok imigran asal China yang membawa kemajuan bagi
masyarakat Nias di beberapa bidang antara lain arsitektur, pertukangan, pertanian,
peternakan, tenunan, juga kemajuan dalam hal kebudayaan megalitik, patung,
silsilah, dan kasta.
3
Pada saat ini, puing-puing kebudayaan Megalitikum yang sangat tua dan
eksotis masih banyak terdapat di pulau ini seperti ukiran batu, kayu, dan logam.
Nias merupakan pulau dengan peradaban paling tua dan terisolir dibanding
pulau-pulau lain di perairan Hindia.
C. KEBUDAYAAN MASYARAKAT NIAS
Berikut ini adalah beberapa kebudayaan masyarakat Nias :
• Mata pencaharian penduduk pada umumnya adalah bertani dan berkebun yang
menghasilkan antara lain; padi, jagung, ketela, rambat, nilam, pisang, nanas,
jeruk, durian, langsat, mangga, karet, kelapa, kopi, cengkeh, coklat, dan
lainnya.
• Masyarakat Nias sangat lekat dengan kegiatan adat. Mendirikan rumah, selesai
membangun rumah, saat melahirkan, prosesi melamar, menikahkan anak
hingga meninggal, semua diatur dalam acara adat. Kegiatan-kegiatan adat
tersebut dilakukan di dalam rumah sehingga rumah adat Nias merupakan titik
sentral setiap kegiatan adat.
• Mengutamakan prinsip kegotong-royongan.
• Atraksi lompat batu sebagai test
kedewasaan pria Nias.
• Hukum yang berlaku di Nias
adalah hukum penggal bagi
seseorang yang terbukti
bersalah. Kemudian tengkorak-
nya dikubur di dalam batu yang
diletakkan di halaman rumah.
• Orang yang meninggal secara
wajar, tulangnya disimpan
hingga busuk, baru kemudian
disimpan dalam batu.
4
• Untuk menghormati orang tua yang sudah meninggal, biasanya seorang anak
akan membuat patung orang tuanya dan diletakkan di depan rumah.
• Sangat suka beternak babi dengan dibiarkan berkeliaran di halaman rumah
layaknya memelihara kucing dan anjing.
D. GAMBARAN UMUM OMO HADA
Dalam sebuah perkampungan Nias, terdapat dua jenis rumah dapat
dijumpai yaitu rumah untuk warga biasa atau "Omo Pasisir" dan rumah
adat/tradisional yang dikenal sebagai Omo Hada. Omo Hada inilah yang menjadi
tempat tinggal raja atau kepala suku (tuhenori/salawa). Berikut ini adalah
beberapa gambaran umum Omo Hada :
• Tiang-tiang kayu bulat besar dan keras sebagai kolom-kolom struktur utama
yang cukup tinggi berdasarkan pengalaman sejarah suku Nias yang bertempat
tinggal di bukit bahwa tempat perlindungan (rumah) terbaik adalah memakai
tiang tinggi. Selain itu kolong rumah bisa meredam kelembaban yang tinggi.
• Selain itu terdapat tiang penyangga saling menyilang sebagai penyangga rumah
dari terpaan angin yang kuat di Pulau Nias yaitu antara 5-6 knot. Tiang-tiang
tersebut tidak ditancapkan ke tanah melainkan ditumpukan pada umpak.
• Sambungan sistem pasak digunakan untuk membuat ikatan sendi dan rol antar
kolom yang menjadikan bangunan ini tahan gempa.
• Ukuran bangunan yang besar karena sering digunakan sebagai tempat
pertemuan. Luas ruangan berkisar antara panjang 9 - 10 m dan lebarnya 24 -
28 m. Tinggi ruangan antara 3 - 4 m di atas tanah. Sedangkan tinggi bubungan
atapnya antara 4 - 5 m.
• Konstruksi dinding yang dimiringkan ke depan dengan jendela yang selalu
terbuka memudahkan penghuni untuk melihat ke halaman sekaligus
mengawasi ternak babi yang sengaja dibiarkan berkeliaran di halaman. Selain
itu juga berfungsi sebagai ventilasi.
• Tangga dengan jumlah anak tangga yang selalu ganjil 5 – 7 buah diletakkan di
bagian bawah rumah karena konon kabarnya pada zaman dahulu banyak
pengayau (emali) yang sering mengambil kepala orang. Selain itu juga sering
5
terjadi perkelahian antar kampung sehingga pada saat rumah diserbu, musuh
yang mendekati tangga dapat dengan mudah dibunuh dari dalam rumah.
• Dipenuhi ukiran baik 2 dimensi maupun 3 dimensi hampir di seluruh ruangan
dan terdapat sebuah tiang (kholo-kholo) yang sengaja dirancang untuk
dipenuhi dengan ukiran-ukiran.
• Skylight pada atap yang bisa dibuka-tutup dengan penyangga berupa kayu.
E. PROSES PEMBANGUNAN RUMAH ADAT NIAS
Rumah adat Nias didirikan atas dasar kesatuan seluruh warga kampung
dalam menyampaikan pendapat bersama secara kekeluargaan untuk membangun
sebuah rumah. Diadakanlah musyawarah besar yang disebut famagolo yang
bertujuan untuk membicarakan tentang pembangunan sebuah rumah.
Dalam musyawarah itu dihadiri para penatua adat (Satua Mbanua), warga
kampung juga para tukang. Musyawarah tersebut membahas besarnya upah para
tukang yang disesuaikan dengan besarnya bangunan. Ukuran besar bangunan
yang digunakan adalah balika yang diperkirakan 1,2 meter atau sepanjang helai
atap dari rumbia yang dianyam dari daun sagu.
Ada dua kewajiban yang harus dipenuhi oleh orang yang mendirikan
rumah adalah famato yaitu menentukan besarnya upah yang harus dibayar pada
para tukang dan fanu’a yaitu menentukan ukuran rumah yang akan dibangun.
Setelah itu pemilik rumah memberikan uang untuk pembangunan rumah
tersebut kepada para penatua adat untuk dimusyawarahkan kembali. Kemudian
dalam musyawarah, mereka membahas tentang bahan-bahan bangunan yang
dibutuhkan dan siapa-siapa saja yang bisa menyediakan bahan-bahan bangunan
tersebut. Misalnya ada yang mampu menyediakan kayu yang sangat kokoh untuk
bahan bangunan yang sering disebut manawa tentunya dengan imbalan uang yang
layak dari uang yang telah diserahkan pada penatua adat tadi.
Setelah itu proses persiapan bahan bangunan pun dilakukan dengan
bergotong-royong. Musyawarah kembali diadakan setelah semua persiapan bahan
bangunan selesai untuk membahas proses pembangunan. Dalam proses
pembangunan, seluruh warga kampung tak terkecuali tua-muda bahkan anak-anak
6
yang bisa bekerja diharuskan ikut membantu. Mereka melakukan gotong-royong
ini tanpa diberi upah melainkan hanya diberi sepiring nasi saja yang telah
disiapkan oleh pemilik bangunan yang juga memotong beberapa ekor babi untuk
lauknya. Semangat kebersamaan ini sesuai dengan semboyan masyarakat Nias
yaitu “aoha noro nilului wahea aoha noro nilului waoso alisi khoda tafadaya hulu
tafaewolo wolo” yang artinya sesulit dan seberat apapun pekerjaan akan terasa
mudah jika dikerjakan bersama-sama.
Pada saat peresmian bangunan, mereka melakukan suatu atraksi menari
dengan gerakan melompat-lompat di ruang tamu rumah baru tersebut yang
tujuannya untuk menguji ketahanan rumah. Dalam pesta peresmian juga
dilakukan pemajangan semua rahang babi yang telah disembelih sejak awal
pembangunan rumah adat. Rahang-rahang babi yang dipajang di dinding itu
merupakan lambang kejayaan dan kenang-kenangan untuk anak cucu pemilik
rumah.
F. JENIS-JENIS OMO HADA
7
Omo Hada dibedakan menjadi dua tipe yaitu tipe gomo yang bentuknya
bujur sangkar dengan sisi lengkung dan tipe moro yang bentuknya oval.
Tipe gomo adalah Omo Hada daerah Nias bagian Selatan sedangkan tipe
moro adalah Omo Hada daerah Nias bagian Utara.
G. OMO HADA TIPE GOMO
Rumah adat Nias tipe gomo
yang masih alami bisa ditemui di
desa Orahili, Kecamatan Gomo dan
di desa Bawomataluo, Kecamatan
Teluk Dalam. Desa Bawomataluo
sendiri berarti desa "bukit
matahari” karena desa ini memang
berada di atas bukit, seolah dekat
dengan matahari. Untuk sampai ke
desa Bawomataluo diawali dengan
melewati kurang lebih 86 anak
tangga yang dianggap sebagai
gerbang desa sehingga tidak dapat
dilalui oleh kendaraan. Berikut ini
adalah gambaran khusus Omo
Hada tipe gomo yang bentuknya
menyerupai sebuah perahu dari segi struktur bangunan, layout, hingga ukiran-
ukiran pada interior dan eksterior yang penjelasannya ditekankan pada kehidupan
sosial dan kebudayaan masyarakat Nias.
1. Struktur Bangunan
Sebagaimana Omo Hada pada umumnya, tipe gomo memiliki dole-dole
yaitu tiang-tiang bulat besar mengelilingi bentuk bangunan sebagai kolom-kolom
struktur bangunan dan tiang penyangga saling menyilang yang terletak lebih
masuk ke kolong rumah sebagai penguat tiang utama.
8
Struktur Omo Hada tidak sekaku struktur rumah beton. Karena rangka
utamanya (core frame) terdiri dari batu (umpak), kolom utama, dan kolom-kolom
penguat. Kolom utama umumnya berdiri tegak dan diantaranya terdapat kolom-
kolom penguat yang bersilangan, menyerupai huruf X miring. Kolom-kolom
inilah yang berfungsi untuk menahan beban lateral yang bergerak horizontal
ketika terjadi gempa.
Kolom rumah memiliki tumpuan sendi dan rol atau ikatan antara balok
kayu yang saling mengunci tanpa dipaku. Kolom-kolom tegak dihubungkan
dengan kolom-kolom penguat atau balok-balok penyangga melalui sambungan
sistem pasak. Teknik pasak pada sambungan kayu membuat balok-balok kayu
tidak patah ketika terjadi gempa, karena balok-balok penyangga ini yang dapat
berputar bebas seperti engsel pada jarak tertentu.
9
Pada halaman depan bangunan, terdapat tiang-tiang yang besarnya lebih
dari sepelukan manusia berdiameter 70 cm. di sela-sela tiang, tampak sederetan
papan disusun di atas galang pada permukaan tanah, yang dibuat jalan menuju
pintu masuk melalui kolong bangunan. Gagasan tersebut mungkin dirancang
demikian untuk menghindarkan diri dari perang antar suku.
Di dalam rumah terdapat empat tiang utama dan dua tiang penyangga
balok nok serta sebuah tiang yang dihias (kholo-kholo) yang kesemuanya dikenal
dengan sebutan tiang tarunahe yang berfungsi sebagai tiang penyangga balok
(tutup tiang) yang memikul balok-balok lain. Tiang-tiang tersebut seolah-olah
tergantung tanpa ada penyokongnya. Dengan demikian tiang tarunahe selain
mempunyai fungsi artistik juga mempunyai fingsi praktis dan struktural. Susunan
balok Omo Hada saling menopang satu sama lain, namun merupakan satu
kesatuan yang utuh secara konstruktif dan sekaligus sebagai dekorasi interior.
Dinding pengisi yang membagi ruangan-ruangan di dalam rumah
menggunakan bahan papan balok. Untuk memperkuat konstruksi tegaknya, pada
bagian bawah ruang dilubangi setebal papan balok tersebut, kemudian papan
balok itu dimasukkan lubang dengan melebihkan sebagian papan balok keluar.
Papan-papan dinding tersebut dikunci dengan sebuah papan balok yang melintang
horisontal mulai dari sudut dinding bagian kiri sampai bagian kanan.
2. Layout Bangunan dan Pembagian Ruang
Ukuran Omo Hada yaitu panjang 28,9 m dan lebar 9,1 m. Tinggi
ruangannya sekitar 3,85 m di atas tanah dan tinggi bubungan atapnya sekitar 5 m.
Pintu dan tangga terdapat di bawah rumah bagian depan atau dalam artian
10
sebelum masuk ke rumah harus melalui kolong rumah terlebih dahulu. Setelah
melalui tangga dan memasuki rumah langsung menghadap sebuah ruangan yang
sangat besar yaitu ruang depan yang biasa dipakai tempat pertemuan.
Penataan ruangan pada Omo Hada tipe gomo terbagi antara lain ruang
depan yang berfungsi sebagai tempat pertemuan yang dalam layout bangunan
disetting berada tepat di tengah bangunan yang membagi antara pintu masuk dan
ruang untuk kamar raja dan keluarganya. Di dekat pintu masuk juga terdapat
sebuah kamar yang kemungkinan digunakan sebagai tempat penyimpanan hasil
kebun dan barang-barang lain. Dari kamar inilah yang biasanya digunakan untuk
mengintip ke halaman melalui jendela pada dinding yang miring sekaligus
mengawasi ternak babi yang dibiarkan berkeliaran di halaman. Di kamar ini pula
terdapat skylight pada atapnya yang biasanya digunakan untuk menjemur pakaian
di atas atap.
Tempat pertemuan ditata secara bertingkat dan membagi lantainya menjadi
tiga tingkatan. Lantai pertama disebut tawalo, dipakai untuk tempat duduk orang-
orang kebanyakan; Lantai kedua disebut bantonili, dibuat untuk tempat duduk
para bangsawan dan orang-orang yang dihormati selain itu dipakai untuk tempat
tidur para tamu yang bermalam di tempat itu; Lantai ketiga disebut salagoto,
letaknya lebih tinggi dibuat untuk tempat duduk para penatua adat. Bagi penatua
adat yang dipandang tertua, duduk di sebelah kanan salagoto sebagai
penghormatan tertinggi. Bentuk lantai ketiga ini dibuat menyerupai sebuah
bangku panjang, direncanakan sedemikian rupa menyatu dengan dinding-dinding
yang miring ke depan, sehingga sekaligus dapat dijadikan tempat sandaran.
Di bagian belakang terdapat ruang kecil yang disebut garo. Kamar ini
dipakai untuk tempat tidur raja beserta permaisurinya. Sedangkan kamar
sebelahnya yang lebih luas dipakai untuk kamar keluarga keturunan raja. Menjadi
satu dengan ruang pertemuan, tanpa dipisahkan dinding terdapat dapur dengan
sebuah tempat perapian yang berfungsi sebagai dapur umum pada waktu raja
mengadakan pesta adat. Di dekat dapur umum terdapat sebuah WC.
11
3. Tata Massa Perkampungan
Susunan rumah adat Nias di desa Bawomataluo, dirancang berderetan dari
ujung ke ujung tanpa ada dinding pembatas. Setiap unit Omo Pasisir dibuat pintu
yang dapat menghubungkan antara satu rumah dengan rumah berikutnya,
sehingga mirip dengan susunan gerbong kereta api, dimana gerbong satu dengan
yang lainnya dapat saling berhubungan. Pola susunannya membentuk letter U
dengan dua rangkaian gerbong Omo Pasisir yang saling berhadapan dan Omo
Hada terletak diantara ujung keduanya. Pola penyusunan konstruksi bangunan
yang saling berhubungan ini menunjukkan karakter dari suatu keluarga besar yang
menyatu oleh adanya dasar kehidupan adat yang sama.
12
Susunan yang membentuk letter U membentuk sebuah halaman kampung
yang menjadi sumbu kampung dan juga menjadi jalan utama menuju sebuah
lapangan desa tempat melaksanakan upacara adat yang berada di depan Omo
Hada. Baik jalan maupun lapangan tersebut diperkeras dengan batu. Batu-batu
tersebut ditatah dengan ukiran, terutama batu-batu besar yang atasnya diratakan.
Di pinggir jalan dibuat saluran, juga dari batu. Di lapangan itu pula ditempatkan
susunan batu-batu setinggi 2 meter lebih untuk tradisi acara lompat batu.
4. Ukiran Hias Interior dan Eksterior
Ukiran-ukiran pada Omo Hada baik dua dimensi maupun tiga dimensi
banyak mengandung nilai magis dan simbolis. Motif yang digunakan untuk ukiran
antara lain motif hewan, tumbuhan, hingga pahatan relief manusia. Kholo-kholo
merupakan hiasan interior yang paling mencolok karena merupakan tiang
tarunahe yang sengaja dihias sebagai tanda kebesaran raja. Karena fungsinya
sebagai tiang, maka kholo-kholo terbuat dari kayu bulat yang diukir yang berdiri
tegak di tengah ruang pertemuan.
Ukiran pada balok dibentuk lewat pahatan bermotif hewan dengan gaya
ekspresif. Juga terdapat relief manusia dalam gaya primitif, dibuat sebagai
gambaran patung nenek moyang dipasang menghadap ke bawah di bagian lantai
kedua (bantonili). Balok ini mengandung pengertian magis. Menurut kepercayaan
masyarakat Nias, relief pada balok tersebut adalah dewa keberkatan yang disebut
bewola-wole. Mereka yang ingin meminta restu dan berkah dari bewola-wole,
maka didudukkan di bawah relief balok tersebut. Relief tersebut merupakn hasil
imajinasi pemahatnya yang diungkapkan secara impresif dalam pola-pola yang
13
primitif. Detail relief timbul yang diungkapkan senimannya memvisualisasikan
gaya burung elang yang sedang terbang dengan kepala dirundukkan ke bawah
seolah-olah sedang mengintai mangsanya, diciptakan lewat bentuk anthromorphis
dan zoomorphis dengan motif pola manusia raksasa.
Pada balok yang lain, ada hiasan buaya dalam bentuk relief. Hiasan ini
disebut buayana yang artinya buaya emas. Motif relief buaya digambarkan dalam
dua jenis berbeda yaitu motif buaya yang lidahnya bercabang dua dan motif buaya
yang ekornya bercabang dua. Motif ini juga diabstraksikan lewat papan pengapit
dinding bagian luar. Ujung papan dibuat mencuat keluar seolah-olah tampak
seekor buaya yang sedang mengangakan mulutnya, disebut shikoli yang artinya
lambang kekuasaan raja.
Ujung papan pengapit yang dipasang pada bagian kiri dan kanan dibuat
sedemikian rupa bagaikan leher burung bangau tanpa kepala yang disebut sicholi.
Pada papan pengapit ini terdapat motif hiasan geometris denga pewarnaan hitam
putih, merupakan pernyataan ekspresi dalam bentuk ornamen yang mengandung
nilai magis. Di bagian lain ada bentuk hiasan tiga dimensi dengan pola ragam hias
raksasa yang diukir dengan komposisi artistik namun tampak menyeramkan.
Konsep keindahan terdapat pada penataan pemasangannya, ditambah dengan
perpaduan elemen-elemen hiasan bentuk segitiga yang disebut niobawa lasara,
perlambang dewa pembina dan kekuasaan raja. Motif yang serupa jumlahnya tiga
buah, dipasang dengan cermat menghadap ke halaman pekarangan rumah,
14
difungsikan sebagai penolak bala bagi keluarga. Bentuk eksterior lainnya dapat
dilihat pada penataan batu-batu megalit yang disusun dengan komposisi yang
indah. Susunan batu-batu berukir difungsikan sebagai tempat duduk pada saat
mengadakan sidang di lapangan terbuka.
Gambar sebuah sangkutan kalung yang biasa dipakai oleh raja pada waktu
upacara adat, dipahat menyatu dengan dinding dalm bentuk ornamen tiga dimensi.
Dua buah daun pakis dengan garis-garis geometris menopang di atasnya
menbentuk setengah lingkaran, sehingga terwujud suatu bentuk dekorasi yang
indah. Pada bagian bawahnya diukir duplikat sebuah kalung leher,
15
divisualisasikan lewat penataan yang cermat dan disebut nifuloluo yang
merupakan lambang keagungan raja.
Pada papan balok yang dinding pengisi di dalam rumah, terdapat bagian
yang dilebihkan kedepan dan diukir gambar seekor kera sedang menangkap ujung
dahan dengan kedua kaki dan tangannya, diekspresikan lewat bentuk tiga dimensi.
Hiasan ini dibuat sebagai tanda kelincahan serta simbol karakter seorang raja yang
sedang merangkap sebagai panglima perang. Pada ujung balok yang lain diukir
sebuah mahkota sebagai simbol kebesaran raja.
Sementara pada papan balok yang melintang horisontal, terdapat sederetan
sangkutan pada ujung-ujungnya diukir motif hiasan pilin. Di bagian atas dari
sangkutan itu, dipajang ratusan rahang babi, ditata bertingkat hingga memberikan
kesan warna putih yang membentuk komposisi di antara sederetan sangkutan dan
hiasan-hiasan lain yang ada di sekelilingnya. Kepala babi yang dipajang
merupakan lambang prestasi serta menjadi simbol sosial.
G. OMO HADA TIPE MORO
Rumah adat Nias tipe moro yang masih meninggalkan jejak-jejak kearifan
para arsitek jaman dahulu bisa ditemui di desa Sihireo Siwahili, Kabupaten
Gunung Sitoli. Berbeda dengan kawasan desa-desa tradisional di Nias Selatan
yang memerlukan waktu dan tenaga ekstra untuk mencapainya, desa ini bisa
dicapai dengan kendaraan hanya dalam waktu 30 menit melalui jalan aspal yang
relatif mulus. Berikut ini adalah gambaran khusus Omo Hada tipe moro.
1. Struktur Bangunan
Sama seperti tipe gomo,
Omo Hada tipe moro juga secara bi-
jak dirancang dengan prinsip tahan
gempa. Di bagian kaki bangunan,
kolom-kolom terbagi menjadi dua
jenis yaitu kolom-kolom struktur
utama yang berdiri dalam posisi
tegak (ehomo) dan kolom-kolom penguat yang terletak dalam posisi silang menyi-
16
lang membentuk huruf X miring (diwa). Balok-balok kayu ataupun batu-batu be-
sar sengaja diletakkan di sela-sela kolom penguat sebagai pemberat untuk mena-
han bangunan dari terpaan angin. Sedangkan ujung atas kolom-kolom tegak di-
hubungkan dengan balok-balok penyangga melalui sambungan sistem pasak
(siloto) yang kemudian ditumpangi oleh balok-balok lantai di atasnya.
Kolom-kolom diagonal, tanpa titik awal maupun akhir saling jalin men-
jalin untuk menopang bangunan berdenah oval dengan kantilever mengelilingi
seluruh sisi lantai denah. Bagaikan sabuk, rangkaian balok dipasang membujur
sekeliling tubuh bangunan. Di atas sabuk bangunan, sirip-sirip tiang dinding ber-
17
jarak 80 centimeter di pasang berjajar dengan posisi miring ke arah luar. Diantara
sirip-sirip dipasang dinding pengisi dari lembaran-lembaran papan (bagolo).
Penggunaan kolong memang bukan satu-satunya di Nias. Di beberapa
wilayah Nusantara, kolong disamping mengemban fungsi stuktur juga mencip-
takan ruang yang cukup efektif untuk menyiasati masalah kelembapan yang ditim-
bulkan oleh iklim tropis. Kolong juga dapat menghindari kontak langsung
penghuni dengan tanah yang cenderung becek di saat hujan. Namun berbeda den-
gan daerah lain, di Nias kolong tidak menjadi ruang positif yang berfungsi sebagai
tempat menenun, menyimpan barang atau memelihara ternak. Jadi di Nias kolong
benar-benar mengemban fungsi struktural. Kolom-kolom ini berukuran cukup be-
sar sehingga kekokohannya bukan saja mampu mempertinggi angka keamanan
bangunan terhadap gempa, namun secara psikologis juga memberi perasaan aman
bagi penghuninya. Sebab di atas kolom berdiri dengan megah bangunan berskala
besar dengan atap menjulang. Roxana Waterson, seorang pakar antropologi ar-
sitektur tradisional dari NUS (National University of Singapore) menyatakan
bahwa di seluruh kawasan Asia Tenggara, rumah Nias Utara adalah buah karya
arsitektur vernakular yang paling ekspresif dalam menampilkan kesan monumen-
talitasnya.
Di bagian tengah bangunan, kolom-kolom dari kolong yang menjulang ke
atas menembus lantai hingga bubungan atap (tuwu), bertugas mendukung struktur
atap. Jumlah tiang-tiang pendukung struktur atap pada tipe moro lebih banyak
daripada tipe gomo yaitu 8 tiang utama, 4 tiang penyanggah balok nok, dan tak
ketinggalan sebuah tiang yang berhias (cholo-cholo) pada tempat pertemuan.
Sedangkan di bagian pinggir bangunan, kolom-kolom berhenti di atas ruang hu-
nian dan membentuk jurai atap. Sebagaimana dinding, atap bangunan juga
mengikuti bentuk lantai yang oval. Daun rumbia yang dianyam pada sebilah
bambu menghasilkan lembaran - lembaran yang dirangkai sebagai penutup atap.
Dinding yang sengaja dibuat miring memungkinkan privasi karena seluruh
kegiatan dibalik rumah tidak nampak dari luar, walaupun jerajak (sandrela nomo)
dibiarkan terbuka sepanjang hari. Bukaan dengan posisi miring mampu mengatasi
tampias air hujan. Ukurannya cukup lebar sehingga udara dan cahaya alam bebas
18
menerobos masuk ke dalam rumah. Di ruang duduk dan dapur, salah satu bagian
atap dapat berfungsi sebagai skylight,
sama dengan skylight pada tipe gomo
yaitu cukup dengan cara mendorongnya
ke arah luar lalu menopangnya dengan
tongkat dari dalam namun perbedaan
terdapat pada perletakannya, jika pada
tipe gomo hanya diletakkan pada atap bagian depan, pada tipe moro yang atapnya
berbentuk oval merata dengan bentukan yang sama, sehingga skylight bisa dile-
takkan di atap bagian mana saja.
Walaupun rumah-rumah oval di Nias Utara terbukti tahan gempa, mungkin
mereka tak akan mampu bertahan dari terjangan tsunami. Besar kemungkinan
bahwa inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa mereka memilih daerah
perbukitan sebagai lokasi untuk meletakkan rumah-rumah oval mereka.
2. Layout Bangunan dan Pembagian Ruang
Ukuran Omo Hada tipe moro yaitu panjang 24 m dan lebar 9 m. Tinggi
ruangannya sekitar 4 m di atas tanah dan tinggi bubungan atapnya sekitar 5 m.
Mirip seperti Omo Hada tipe gomo, tangga pada tipe moro terdapat di bawah
rumah bagian depan namun bedanya tangga pada tipe moro tidak menghadap ke
depan namun menghadap ke samping. Setelah melalui tangga (nora) kemudian
ditemui dua macam pintu rumah yaitu pintu seperti rumah biasa dan pintu
horisontal dengan daun pintu membuka ke atas. Pintu masuk seperti ini
dimaksudkan untuk menghormati pemilik rumah juga agar musuh sukar
19
menyerang ke dalam rumah bila terjadi peperangan. Setelah masuk ke rumah, juga
langsung dihadapkan pada ruang depan yang menjadi tempat pertemuan.
Penataan ruangan pada Omo Hada tipe moro terbagi antara lain ruang
depan yang berfungsi sebagai tempat pertemuan dan ruang belakang yang terdapat
kamar raja (bate’e), tempat tidur keluarga keturunan raja yang menyatu dengan
sebuah dapur (naha nawu).
Tempat pertemuan (tawalo) juga ditata secara bertingkat seperti pada tipe
gomo namun pada tipe moro, lantainya dibagi menjadi lima tingkatan. Lantai
pertama disebut sowat, dipakai untuk tempat duduk rakyat biasa; Lantai kedua
disebut bule, dibuat untuk tempat duduk para bangsawan; Lantai ketiga disebut
dane-dane, yaitu tempat duduk para penatua adat; Lantai keempat disebut
salohate yang digunakan sebagai tempat bersandar para penatua adat; Lantai
kelima disebut harefa yaitu tempat untuk menyimpan barang-barang tamu. Di
ruang pertemuan juga terdapat dapur umum seperti pada tipe gomo.
Di bagian belakang terdapat forema yaitu ruang tempat tidur keluarga
keturunan raja dan tempat untuk menerima tamu wanita serta ruang makan para
penatua adat saat ada pesta, itulah mengapa di ruang ini juga terdapat dapur. Di
dekat dapur terdapat sebuah WC dibuat lebih menjorok keluar. Selain di ruang
belakang, terdapat pula sebuah WC di dekat dapur umum pada tawalo.
3. Tata Massa Perkampungan
Sangat berbeda dengan tipe gomo, Di Sihireo Siwahili rumah adat tipe
moro yang berbentuk oval membuat rumah-rumah berdiri bebas satu sama lain
dikelilingi pepohonan pada bagian belakangnya Omo Pasisir terletak berderet
20
tetap dengan susunan letter U dengan Omo Hada terletak di tengah susunan
namun dengan tatanan yang sedikit tidak beraturan. Ada beberapa rumah yang
tersusun horisontal sejajar dengan jalan, dan ada beberapa rumah yang bubungan
atapnya menghadap ke jalan.
Susunan Omo Pasisir yang
membentuk letter U dengan pepohonan
pada bagian belakang setiap rumah
membentuk sebuah jalan sumbu kampung
yang juga menuju sebuah lapangan desa
tempat melaksanakan upacara adat. yang
berada di depan Omo Hada. Sam dengan
di desa Bawomataluo, jalan dan lapangan tersebut juga diperkeras dengan batu
yang atasnya diratakan dan diukir. Begitu juga di lapangan juga terdapat susunan
batu-batu setinggi 2 meter lebih untuk tradisi acara lompat batu (zawo-zawo).
4. Ukiran Hias Interior dan Eksterior
Pada Omo Hada tipe moro, ukiran-ukiran
lebih banyak terdapat pada interior daripada
eksterior. Begitu pula jika dibandingkan dengan
ukiran-ukiran pada tipe gomo yang lebih merata di
seluruh bagian interior dan eksteriornya, tipe
moro lebih minim dari segi ukiran. Tiang
penyangga struktur atap yang berhias yang pada
tipe gomo disebut kholo-kholo, pada tipe moro
disebut cholo-cholo, sama pengucapan namun
beda penulisan. Pada cholo-cholo terdapat saita
yaitu sebuah ukiran tiga dimensi berbentuk
menyerupai burung enggang (gogowaya) yang merupakan burung paling besar
dan kuat serta mulia di Nias sebagai perlambang kekuasaan. Saita sendiri
berfungsi sebagai sangkutan untuk pakaian. Selain pada cholo-cholo, saita juga
terdapat pada dinding. Berbeda dengan saita, ukiran burung enggang juga terdapat
pada silalo yawa yaitu sebuah tonggak yang terdapat di dalam rumah yang
21
gunanya untuk menggantung pakaian kebesaran raja yang juga berfungsi sebagai
ornamen interior.
Di dinding juga terdapat nahanadu, yakni singgasana yang dibuat senyawa
dengan dinding dan digunakan sebagai tempat patung nenek moyang. Sama
seperti dinding pada tipe gomo, pada tipe moro juga digantungkan tulang-tulang
rahang babi yang dipotong saat mengadakan pesta adat. Menurut cerita, pada
tempat pertemuan dahulu digantungkan tengkorak kepala manusia yang
dipancung untuk tumbal pendirian rumah. Namun setelah Belanda datang,
kebiasaan tersebut disingkirkan.
Pada tawalo, interior dindingnya terdapat berbagai macam ukiran seperti
kera (bae) yang menjadi lambang kejantanan; ikan (ni’o’i’a) yang dikatikan
dengan kecerdikan atau kecekatan; perahu-perahu yang menjadi lambang
kekaisaran, cecak (cia-cia) yang melambangkan tukang tenung/peramal. Selain
terdapat pada dinding, ukiran cia-cia juga terdapat pada palang pintu. Pada palang
22
pintu juga terdapat ukiran burung
(fofo) yang melambangkan
keterbukaan orang Nias dalam
menerima tamu.
Pada dinding dapur terdapat
ukiran berbentuk anjing (ni’o’asu)
yang melambangkan pelindung raja
dan pencari makanan. Selain
sebagai teman perjalanan, anjing
juga berguna untuk melacak
keberadaan hewan buruan, oleh
karena itu ukiran jenis ini terdapat
di dapur Omo Hada. Selain anjing
yang merupakan pencari makanan,
juga terdapat ukiran hewan untuk
bahan makanan juga terdapat di
dapur yaitu bawi yang berarti babi.
Lazara yaitu ukiran tiga dimensi yang menggambarkan bentuk kepala
raksasa dengan mulut terbuka lebar dan bertaring panjang serta menyeramkan.
Biasa diletakkan menonjol di bagian depan dinding rumah menghadap ke
pekarangan sebagai lambang dewa yang jantan, pembina, dan kekuasaan. Motif
ini juga digunakan pada patung kuburan raja.
Ni’obuaya yang bentuknya
menyerupai buaya yang menurut
masyarakat Nias, buaya adalah raja
di dalam air dan melambangkan
kekuasaan raja yang bersifat adil
dan melindungi serta mengayomi
rakyatnya. Ukiran jenis ini terdapat
pada daro-daro yaitu batu yang
berfungsi sebagai tempat duduk
23
raja di lapangan Omo Hada saat sidang terbuka. Selain daro-daro, banyak pula
jenis batu-batu megalit yang diukir sebagai hiasan eksterior yang diletakkan di
pekarangan rumah seperti siraha salawa (patung nenek moyang); siraha bwa
alawa (patung pemimpin perang); behu (patung ibu dan bayi); osa-osa (patung
laki-laki dan perempuan) yang hanya bisa dimiliki oleh orang yang sudah pernah
mengadakan pesta adat di rumahnya sampai sembilan kali.
24
DAFTAR PUSTAKA
Foto Kopi Modul Perkuliahan Arsitektur Vernakular - Rumah untuk seluruh
rakyat.
Foto Kopi Modul Perkuliahan Arsitektur Vernakular - Rumah-Rumah Tradisional
Bagian I.
Zebua, Tri Selamat. 2009. Skripsi Tugas Akhir D3 Pariwisata Universitas
Sumatera Utara - Potensi Rumah Adat Nias Utara Sebagai Objek Wisata
Budaya di Kabupaten Nias.
http://www.goethe.de/. 2010. Rumah-rumah oval tahan gempa di nias utara.
http://huntervan.student.umm.ac.id/. "Omo Hada" Rumah Tradisional Tahan
Gempa Warisan Langka Dunia.
http://www.insidesumatera.com/. 2008. Tano Niha.
Kustoro, Lucas Partanda dkk. 2007. Tradisi Megalitik di Pulau Nias. Medan :
Balai Arkeologi Medan
25