2
I(OMPAS o Senin .Se:asa o Rabu o Kamis o Jumat o Sabtu o Minggu 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 ~ 15 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 OPeb o Mar OApr OMei OJun OJul OAgs OSep OOkt ONov _Des ~Nu Pinter~~ Versus ~Nu NgakaZ~~ Oleh DEDE MAR/ANA J ika kita memerhatikan aneka berita setiap saat, setiap jam, setiap hari, ternyata persoalan yang dihadapi negara ini tetaplah sama. Namun, anehnya tidak ada solusi yang jitu untuk mengatasi persoalan tersebut. Yang dimaksud dengan "sama" di sini adalah soal pertarungan kepentingan antardua kubu, yakni kaum pandai (saya menggunakan istilah nu pinter) dan kaum cerdik (saya menggunakan istilah nu nqakal). Satu ketika saya menerima pe- san singkat (SMS) dari salah se- orang yang sedang rapat di Se- kretariat Negara, Ngurus nagara teh geuning masih keneh ripuh, beuki loba jalma nu ngaku pa- linter; jadi we papinter-pinter ku- maha carana ngurus nagara, pa- dahal nu pinter teh eleh kunu "nqakdl" jeurrg nu "leukeun". Nu palinter tapi teu kawasa,jeung teu ngakal teu leukeun, ari nu ngakal tur leukeun mah nyangking ka- lungguhan. Ternyata, di ranah dan domain kaum cendekia pun, makelar ka- sus, makelar proyek tetap saja ada, Mereka menggunakan stan- dar ganda: jika berbicara, ide- alis-normatif, tetapi kelakuannya sangat pragmatis-materialis. Be- lum lagi mereka yang berperilaku sebagai "preman" dengan meng- gunakan kemasan dan pendekat- an Iegalistik, mencari kesalahan orang lain, kemudian dikumpul- kan, dan berikutnya dijadikan alat bargaining of power untuk kepentingannya sendiri. Rupanya cara seperti ini ba- nyak digunakan untuk meraih "kursi" atau "materi". Inilah awal dari sistem persekongkolan di antara semua pihak yang "cu- rang' dalam mengelola negara sebab tidak ada satu pihak pun yang luput dari "cacat", Jika su- dah seperti itu, politik menjadi panglima, sedangkan variabella- in, komponen lain, anasir lain menjadi sesuatu yang sifatnya artifisial saja, menjadi sekadar dekorasi. Ketika segala sesuatu yang berada di sekitar kita merupakan produk budaya artifisial, mung- kinkah saat ini kita sebenarnya sedang memiliki pemerintahan artifisial juga? Gejala hadirnya pemerintahan artifisial jadi re- levan manakala dikaitkan dengan konsep negara yang gagal (failed states). Hakikat kegagalan negara menunjuk kepada sebuah gejala di mana negara memiliki kapa- sitas governability yang rendah (Rotberg, 2004; Chomsky, 2006; Stewart, 2007). Benda palsu, sikap palsu, pe- rilaku palsu, sumpah palsu, janji Kliping Humas Unpad 2010 LUHUR palsu menuntun kita untuk se- pakat bahwa eufimisme untuk sesuatu yang palsu adalah ar- tifisial, alias semu, alias se- akan-akan tidak palsu. Artifisial adalah kata adjektiva yang berarti "buatan" alias "tidak asli", Kemudian mari kita perha- tikan beberapa kenyataan ber- ikut ini: pemerintah mencanang- kan sekolah gratis, tetapi kenya- taannya tidaklah gratis; peme- rintah mencanangkan obat gra- tis, tetapi di lapangan obat ter-

OPeb OAgs ~NuPinter~~Versus ~NuNgakaZ~~pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/12/... · an, dan pemburu rente, yang akhirnya menomorduakan, bah-kan menomortigakan kepenting-an

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: OPeb OAgs ~NuPinter~~Versus ~NuNgakaZ~~pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/12/... · an, dan pemburu rente, yang akhirnya menomorduakan, bah-kan menomortigakan kepenting-an

I(OMPASo Senin .Se:asa o Rabu o Kamis o Jumat o Sabtu o Minggu

2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 ~ 1518 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31

OPeb o Mar OApr OMei OJun OJul OAgs OSep OOkt ONov _Des

~NuPinter~~Versus~NuNgakaZ~~

Oleh DEDE MAR/ANA

J ika kita memerhatikan aneka berita setiap saat,setiap jam, setiap hari, ternyata persoalan yangdihadapi negara ini tetaplah sama. Namun,

anehnya tidak ada solusi yang jitu untuk mengatasipersoalan tersebut. Yang dimaksud dengan "sama" disini adalah soal pertarungan kepentingan antarduakubu, yakni kaum pandai (saya menggunakan istilahnu pinter) dan kaum cerdik (saya menggunakan istilahnu nqakal).

Satu ketika saya menerima pe-san singkat (SMS) dari salah se-orang yang sedang rapat di Se-kretariat Negara, Ngurus nagarateh geuning masih keneh ripuh,beuki loba jalma nu ngaku pa-linter; jadi we papinter-pinter ku-maha carana ngurus nagara, pa-dahal nu pinter teh eleh kunu"nqakdl" jeurrg nu "leukeun". Nupalinter tapi teu kawasa,jeung teungakal teu leukeun, ari nu ngakaltur leukeun mah nyangking ka-lungguhan.

Ternyata, di ranah dan domainkaum cendekia pun, makelar ka-sus, makelar proyek tetap sajaada, Mereka menggunakan stan-dar ganda: jika berbicara, ide-alis-normatif, tetapi kelakuannyasangat pragmatis-materialis. Be-lum lagi mereka yang berperilakusebagai "preman" dengan meng-gunakan kemasan dan pendekat-an Iegalistik, mencari kesalahanorang lain, kemudian dikumpul-kan, dan berikutnya dijadikanalat bargaining of power untukkepentingannya sendiri.

Rupanya cara seperti ini ba-

nyak digunakan untuk meraih"kursi" atau "materi". Inilah awaldari sistem persekongkolan diantara semua pihak yang "cu-rang' dalam mengelola negarasebab tidak ada satu pihak punyang luput dari "cacat", Jika su-dah seperti itu, politik menjadipanglima, sedangkan variabella-in, komponen lain, anasir lainmenjadi sesuatu yang sifatnyaartifisial saja, menjadi sekadardekorasi.

Ketika segala sesuatu yangberada di sekitar kita merupakanproduk budaya artifisial, mung-kinkah saat ini kita sebenarnyasedang memiliki pemerintahanartifisial juga? Gejala hadirnyapemerintahan artifisial jadi re-levan manakala dikaitkan dengankonsep negara yang gagal (failedstates). Hakikat kegagalan negaramenunjuk kepada sebuah gejaladi mana negara memiliki kapa-sitas governability yang rendah(Rotberg, 2004; Chomsky, 2006;Stewart, 2007).

Benda palsu, sikap palsu, pe-rilaku palsu, sumpah palsu, janji

Kliping Humas Unpad 2010

LUHUR

palsu menuntun kita untuk se-pakat bahwa eufimisme untuksesuatu yang palsu adalah ar-tifisial, alias semu, alias se-akan-akan tidak palsu. Artifisialadalah kata adjektiva yang berarti"buatan" alias "tidak asli",

Kemudian mari kita perha-tikan beberapa kenyataan ber-ikut ini: pemerintah mencanang-kan sekolah gratis, tetapi kenya-taannya tidaklah gratis; peme-rintah mencanangkan obat gra-tis, tetapi di lapangan obat ter-

Page 2: OPeb OAgs ~NuPinter~~Versus ~NuNgakaZ~~pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/12/... · an, dan pemburu rente, yang akhirnya menomorduakan, bah-kan menomortigakan kepenting-an

sebut tidaklah gratis; pemerintahmencanangkan berantas korupsi,tetapi kenyataannya korupsi ma-kin subur, pemerintah menca-nangkan agar demokrasi semakinberkualitas, tetapi kenyataannyahanya ada kebebasan tanpa ke-tertiban.

Pemerintah mengakui kita ke-kurangan rupiah untuk pemba-ngunan, tetapi kenyataannya gajipejabat negara terus naik, ber-samaan dengan pemberian fa-silitas yang kian mewah bagi me-reka Fenomena tersebut dapatdilihat secara kasatmata m la-pangan, tidak dalam rapat resmieksekutif ataupun legislatif.

Laten dan mayaKembali ke masalah perse-

kongkolan. Mereka bersindikatuntuk saling mengamankan, sa-ling .melindungi, saling membe-la, dan seterusnya. Mereka ber-gerak secara sporadis "di bawahtanah" sehingga bersifat latendan maya. Karena itu, instrumenhukum yang legalistik dan for-malistik kesulitan menjerat me-reka

Sinyalemen seperti itu dapatdengan mudah dilihat dari ja:batan atau golongan yang merekasandang dengan gaya hidup yangmereka pertontonkan. SeorangGayus, yang PNS golongan Ill,misalnya, memiliki gaya hidupyang sangat berkelimpahan danmenjadi salah seorang "mafioso"dari sekian sindikat yang lebihbesar dan lebih banyak lagi.

Rupanya itulah yang me-nyebabkan pemerintah "kewa-lahan" mengurus negara. Ja-ngankan mengurus negara,mengurus seorang Gayus,mengurus kemacetan, mengurusbanjir saja pun seakan tidakmampu lagi. Ya, seakan tidakmampu sebab seharusnya peme-rintah mampu karena pemerin-tah pastilah punya kuasa, we-wenang, dan sumber daya yangmelimpah.

Apa sebab pemerintah tidakmampu atau kemampuan (go-vernance ability)-nya sangat ren-dah? Ini karena tampaknya su-dah terlalu banyak benalu m tu-buh pemerintah dan negara yangsudah sangat akut dan kronis.Pemerintah terlampau banyakdigayuti parasit, terutama parasitkepentingan kelompok, golong-an, dan pemburu rente, yangakhirnya menomorduakan, bah-kan menomortigakan kepenting-an publik.

Ambivalen-paradoksTelah banyak orang pandai

yang mencoba menyusun terapimelalui perangkat metodologiuntuk menyelesaikan setiap per-soalan. Namun, lagi-lagi kaumpandai ill tidak memiliki ke-wenangan apa pun sebab hanyasebatas membuat rekomendasimelalui sejumlah penelitian.

Adapun konsentrasi kerja parapengambil kebijakan sudah ter-ganggu oleh perhitungan politisdan kalkulasi ekonomis yang ber------

orientasi kepada keuntungan ke-lompoR dan golongan yang cen-derung berburu rente. Akibatnya,setiap keputusan yang diambiltidak pernah tegas, selalusamar-samar, selalu ambivalen,selalu paradoks.

Sesungguhnya sudah banyakpihak yang mengetahui kondisiburuk seperti itu. Telah banyakpula aneka kekhawatiran yangmuncul, terutama dari tokoh aga-ma dan kemanusiaan, yang tidakbosannya melakukan sejumlahkritik agar negeri ill semakinsehat dan beradab dalam kese-jahteraan dan keadilan berda-sarkan hukurn.

Jam, persoalan besar danmendasar m dalam pengelolaanurusan publik m negara Indo-nesia hari ini adalah siapa me-ngendalikan siapa? Apakah pe-merintah sudah benar-benar bisamengendalikan semua kekuatandan kepentingan yang berada msekitarnya? Atau, jangan-jangan

'kekuatan nonformal yang ber-sifat maya dan bekerja "m bawahtanah" itulah yang mengenda-likan pemerintah?

Saya kira, pemerintah tidaksaja harus menjawab pertanyaanitu m hadapan publik, tetapi jugaharus bisa membuktikan bahwadirinya tidak berada dalam diktekelompok kepentingan yang ber-ada m sekitar dirinya

DEDE MARlANAGuru Besar

Ilmu PemerintahanUniversitas Padjadjaran