Upload
muhammad-arif-sugiarto
View
240
Download
16
Embed Size (px)
DESCRIPTION
restorative justice, penegakan hukum,
Citation preview
LEMBAGA PENDIDIKAN POLRISEKOLAH STAF DAN PIMPINAN MENENGAH
OPTIMALISASI PENERAPAN PRINSIP KERJA RESTORATIVE JUSTICE GUNA EFEKTIFITAS DAN EFISIENSI PENEGAKAN HUKUM DALAM
RANGKA TERPELIHARANYA KAMTIBMAS
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
“Fiat Justitia Ruat Coelum” adalah sebuah pepatah latin yang memiliki
arti: Meski langit runtuh, keadilan harus ditegakkan. Pepatah ini sangat
popular karena sering didengar ketika terjadi perdebatan hukum. Namun
pepatah ini mengesampingkan kemanfaatan hukum bagi terpeliharanya
kamtibmas hanya demi penegakan hukum semata.
Penegakan hukum, Pemeliharaan kamtibmas, dan pelindung, pengayom,
dan pelayan masyarakat adalah tugas-tugas pokok Polri1 dimana Polri harus
mampu meramunya sehingga saling menguatkan satu sama lain. Kapolri
seringkali menyampaikan bahwa penegakan hukum Polri harus legal dan
legitimate2. Hal tersebut berarti bahwa bukan an sich penegakan hukum
semata, namun penegakan hukum untuk mencapai keadilan yang diinginkan
masyarakat. Beberapa kali Polri menjadi sorotan yang merugikan nama baik
Polri ketika harus menangani kasus yang relatif ringan kerugiannya namun
dilanjutkan hingga ke pengadilan.
Pendekatan hukum restorative justice (RJ) adalah pendekatan dengan
menekankan keadilan berupa pemulihan kepada korban kejahatan yang
dilakukan oleh pelaku dengan mengikutsertakan komponen masyarakat sekitar
selaku pemangku kepentingan3. Pendekatan ini perlu dioptimalkan oleh Polri
guna efektifitas dan efisiensi penegakan hukum yang dilakukan dalam rangka
tetap terpeliharanya kamtibmas dan legitimasi tindakan Polri.
1 UU No. 2 tahun 2002 tentang Polri pasal 13.2 Pidato Kapolri dalam rangka HUT Bhayangkara ke-68, Juli 2013.3 http://www.unodc.org/pdf/criminal_justice/06-56290_Ebook.pdf diakses pada tanggal 17 september 2013
2. Permasalahan
Adapun permasalahan dalam NKP ini adalah “ Bagaimana
mengoptimalkan penerapan prinsip kerja RJ guna efektifitas dan efisiensi
penegakan hukum dalam rangka terpeliharanya kamtibmas ? “.
3. Pokok persoalan
Pokok-pokok persoalan yang diangkat dalam NKP ini adalah:
a. Bagaimana kesiapan SDM dalam penerapan prinsip kerja RJ ?
b. Bagaimana metode yang digunakan dalam penerapan prinsip kerja RJ ?
4. Ruang Lingkup
Adapun ruang lingkup NKP ini adalah penerapan prinsip kerja pada proses
RJ berupa mediasi korban dan pelaku (Victim Offender Mediation) beserta
pertemuan warga masyarakat dan keluarga yang terlibat (Community and
Family Groups Congerence) pada tingkat penyidikan di Sat Reskrim Polres X.
BAB II
PEMBAHASAN
5. Fakta-fakta
Di dalam Handbook on Restorative Justice Programmes4 yang
dikeluarkan oleh UNODC (United Nations Office on Drugs and Crimes)
disebutkan bahwa RJ adalah
“any programme that uses restorative processes and seeks to achieve restorative outcomes”. The emphasis is on participatory processes …in which the victim and the offender, and, where appropriate, any other individuals or community members affected by a crime, participate together actively in the resolution of matters arising from the crime, generally with the help of a facilitator”.
RJ adalah semua program yang menggunakan proses restoratif (pemulihan)
dan berupaya mencapai hasil yang memulihkan keadaan. Proses restoratif
adalah proses dimana korban, pelaku, dan individu-individu lain atau warga
masyarakat yang terkena dampak dari sebuah kejahatan berpartisipasi aktif
secara bersama-sama dalam pemecahan masalah yang timbul dari kejahatan
4 ibid
tersebut, pada umumnya dengan bantuan fasilitator. Yang dimaksud dengan
hasil yang memulihkan keadaan adalah sebuah perjanjian yang dicapai melalui
proses restoratif. Perjanjian itu dapat berupa kegiatan reparasi (perbaikan),
restitusi (pembayaran ganti rugi), dan pelayanan masyarakat, yang diarahkan
pada perpaduan antara kebutuhan individu dan kolektif, tanggung jawab
seluruh pihak, serta pemulihan hubungan antara korban dan pelaku. Hal
tersebut dapat dikombinasikan dengan tindakan lain apabila menyangkut
pelanggaran hukum yang serius.
RJ ini merupakan pendekatan terkini yang sedang diterapkan hampir di
seluruh dunia. RJ diberlakukan setelah masyarakat melihat proses peradilan
pidana yang selama ini menggunakan pendekatan retributive justice5 tidak
berhasil membuat keadaan menjadi lebih baik. Adapun beberapa keadaan
tersebut adalah :
a. Semakin tingginya tingkat hunian Lapas, bahkan hampir semua
Lapas melebihi kapasitas (overloaded) yang seharusnya. Kondisi
lapas yang melebihi kapasitas ini menyebabkan berbagai
permasalahan hingga akhir-akhir banyak terjadi kerusuhan dalam
Lapas yang tidak dapat dikendalikan oleh petugas Lapas yang
menyebabkan kerusakan berat dan kaburnya beberapa napi6.
Sementara negara memiliki keterbatasan dalam mengembangkan
dan memperluas Lapas.
b. Tingginya beban pemerintah dalam membiayai proses peradilan
pidana apabila semua perkara diajukan hingga tingkat pengadilan
dan diputuskan vonis penjara.
c. Terjadinya pergeseran budaya dalam Lapas sehingga tujuan Lapas
untuk membina napi menjadi lebih baik tidak tercapai. Overloaded-
nya Lapas ternyata menimbulkan banyak keuntungan bagi para
oknum petugas Lapas yang justru merusak tujuan Lapas didirikan.
Oknum petugas Lapas semakin leluasa melakukan pungli terhadap
para napi dan keluarga napi yang berkunjung. Bahkan oknum
5 Retributive Justice adalah pendekatan keadilan dengan menekankan pemberian hukuman setimpal kepada pelaku kejahatan guna memberikan efek jera. 6http://nasional.kompas.com/read/2013/07/12/1100384/ Kerusuhan.di.Lapas.Tanjung.Gusta.Tidak.Mengejutkan diakses pada tanggal 17 september 2013
petugas Lapas memberikan perlakuan khusus kepada beberapa napi
yang sanggup membayar sejumlah uang7. Praktik ketidakadilan di
Lapas ini sedikit banyak menyebabkan napi tidak berhasil menerima
konsep Lapas yang bertujuan memperbaik dirinya sebelum kembali
ke masyarakat.
d. Adanya fenomena Lapas justru membuat napi kejahatan ringan
menjadi penjahat yang lebih besar. Belum ada pemisahan antar jenis
kejahatan yang berjalan efektif di Lapas. Kondisi Lapas yang tidak
tertib seperti di atas membuat pengaruh penjahat karir8 kepada
pelaku kejahatan ringan semakin besar dan membentuk penjahat-
penjahat baru dalam jaringan kejahatan yang lebih luas setelah
keluar dari Lapas.
e. Retributive justice yang dijalankan pengadilan berlandaskan
pemikiran bahwa kejahatan merupakan pelanggaran hukum yang
dibentuk oleh negara. Pelanggar hukum dikatakan berhadapan
dengan negara dengan sedikit memberikan perhatian kepada
kepentingan korban. Hal tersebut dapat menyebabkan penegakan
hukum melalui pendekatan di atas justru tidak menimbulkan
keuntungan bagi semua pihak. Beban negara bertambah, korban
tidak dipulihkan kerugiannya/akibat yang diderita, pelaku menerima
stigma baru sebagai seorang napi, hubungan korban dan pelaku
menjadi tidak lebih baik, dan beban masyarakat sekitar menjadi
bertambah.
Dengan demikian, maka tujuan hukum sebagai alat rekayasa masyarakat
untuk menjadi lebih tertib dan damai tidak tercapai9 sebagaimana
dimaksudkan Roscoe Pound dalam kalimat “Law is a tool of social
engineering”. Efektifitas dan efisiensi proses penegakan hukum dalam
sistem peradilan pidana tidak optimal.
Sementara RJ melihat kejahatan sebagai bentuk pelanggaran terhadap
manusia dan hubungan antar manusia serta merusak kedamaian di dalam 7 http://www.suarapembaruan.com/home/denny-persoalan-utama-lapas-adalah-pungli/39370 diakses pada tanggal 17 September 20138 Penjahat karir adalah penjahat yang menjadikan kejahatan sebagai mata pencaharian.9 Ashari, Adi SH MH. 2013. Perkembangan Hukum di Indonesia. Hanjar Sespimmen 53 T.A. 2013: Lembang
masyarakat, bukan sekedar perbuatan melawan negara. RJ menekankan pada
pemulihan keadaan yang tertib dan damai sebagaimana sebelum terjadinya
kejahatan.
RJ tidak dapat diberlakukan terhadap semua kejahatan. RJ diberlakukan
khususnya terhadap tindak kejahatan di mana “kerusakan” yang ditimbulkan
oleh tindak kejahatan tersebut masih bisa di restorasi sehingga kondisi yang
telah “rusak” dapat dikembalikan menuju keadaan semula.
DR. Setyo Utomo , SH, MHum menyampaikan bahwa sasaran akhir RJ
adalah10 :
a. Berkurangnya jumlah tahanan di dalam penjara;
b. Menghapuskan stigma/cap dan mengembalikan pelaku kejahatan
menjadi manusia normal;
c. Pelaku kejahatan dapat menyadari kesalahannya;
d. Memberdayakan masyarakat dalam mengatasi kejahatan;
e. Pengintegrasian pelaku kejahatan kembali ke masyarakat.
Dari sasaran akhir RJ tersebut di atas, maka dapat dikatakan RJ adalah
solusi tepat dalam mengatasi permasalahan yang timbul dalam sistem
peradilan pidana (SPP) di Indonesia.
Salah satu bagian dari RJ sebagaimana disebutkan di awal bab ini adalah
proses restoratif. Adapun proses restoratif dimaksud antara lain adalah.
Mediasi korban dan pelaku (Victim Offender Mediation- VOM) beserta
pertemuan warga masyarakat dan keluarga yang terlibat ( Community and
Family Group conference) guna menunjang proses tersebut hingga tercapai
hasil restoratif. Dalam pelaksanaannya, pada umumnya dibantu oleh
fasilitator. Apabila proses restoratif tersebut dilaksanakan pada proses
penyidikan di kepolisian, maka salah satu fasilitator mediasinya adalah
penyidik kepolisian itu sendiri.
10 Wiratama, KBP Adithya SH dan KBP Drs Makmur Ginting. 2013. Kajian Perkembangan Hukum di Indonesia. Hanjar Sespimmen 53 T.A. 2013: Lembang
Dalam melaksanakan fungsinya sebagai fasilitator mediasi (mediator)
dalam RJ, terdapat 4 prinsip kerja (working principles)11 yang dapat
diaplikasikan oleh penyidik Polres X, yaitu:
a. Penanganan konflik (Conflict Handling): Tugas mediator ada
membuat para pihak melupakan kerangka hukum dan mendorong
mereka terlibat dalam proses komunikasi. Hal ini didasarkan pada
ide bahwa kejahatan telah menimbulkan konflik interpersonal.
Konflik itulah yang dituju oleh proses mediasi.
b. Berorientasi pada proses (Process oriented): Mediasi penal lebih
berorientasi pada kualitas proses daripada hasil, yaitu: menyadarkan
pelaku tindak pidana akan kesalahannya, kebutuhan-kebutuhan
konflik akan terpecahkan, ketenangan korban dari rasa takut, dan
sebagainya.
c. Proses Informal (Informal Process): Mediasi penal merupakan suatu
proses yang informal, tidak bersifat birokratis, menghindari
prosedur yang ketat.
d. Partisipasi aktif dan otonom para pihak (Active and Autonomous
Participation) : Para pihak (pelaku dan korban) tidak dilihat sebagai
obyek dalam prosedur hukum pidana, tetapi lebih sebagai subyek
yang mempunyai tanggung jawab pribadi dan kemampuan untuk
berbuat. Mereka diharapkan berbuat atas kemauan sendiri.
Adapun fakta-fakta yang didapatkan di Polres X terkait dengan pokok-
pokok persoalan adalah sebagai berikut:
a. Kesiapan SDM dalam penerapan prinsip kerja RJ
1) Pengetahuan dan keterampilan
a) Penyidik belum memahami dengan benar tentang pendekatan RJ
dalam menegakkan hukum. Masih terdapat anggota yang masih
berpedoman pada kerangka hukum dimana perdamaian hanya sekedar
meringankan dalam proses hukum di pengadilan. Masih berpedoman
bahwa alasan yang bisa menghentikan penyidikan adalah tidak cukup
bukti, bukan merupakan tindak pidana, dan demi hukum ( tersangka
11 Mulyadi, Lilik. 2013. Mediasi Penal dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia: pengkajian asas, norma, teori, dan praktik. Yustisia Edisi 85 Januari-April 2013.
mati, Kadaluwarsa, Nebis in idem, dan delik aduan yang dicabut
pengaduannya).
b) Penyidik kurang mempunyai keterampilan sebagai mediator. Dalam
hal ini, terkait kemampuan komunikasi menjembatani antara pelaku
dan korban (VOM) sehingga akhirnya kedua belah pihak menyepakati
penyelesaian permasalahan hukum melalui pendekatan RJ. Kestabilan
emosi penyidik dalam mengatasi konflik antara pelaku dan korban
sangat diperlukan karena seringkali korban atau bahkan pelaku
merasa benar dan melepaskan kekesalannya dalam proses RJ tersebut.
2) Perilaku
a) Masih adanya sikap penyidik yang melaksanakan pemerasan terhadap
pelaku yang menempuh proses RJ.
b) Masih adanya sikap penyidik yang enggan atau tidak mempedulikan
pendekatan RJ dalam melakukan penyidikan. Penyidik dimaksud
hanya menekankan pendekatan formal yuridis tanpa mau melakukan
proses informal untuk memediasi pelaku dan korban dengan
melibatkan warga masyarakat dan keluarga terkait (stakeholders).
b. Metode yang digunakan terkait penerapan prinsip kerja RJ
1) Penyidik dan atasan penyidik masih seringkali hanya percaya pada yang
tertulis di atas kertas berupa surat penyataan perdamaian antara pelaku
dan korban serta surat permohonan untuk diselesaikan secara RJ tanpa
terlebih dahulu melakukan pengecekan kepada para pihak apakah
dilakukan tanpa tekanan atau dengan kata lain dilakukan secara aktif
berpartisipasi dan otonom.
2) Penyidik seringkali hanya melibatkan pelaku dan korban dalam proses
RJ. Warga masyarakat dan keluarga yang terkait, baik langsung maupun
tidak langsung, dengan permasalahan tidak dilibatkan. Kearifan lokal
(local genus / local wisdom) kurang didayagunakan, seperti adat istiadat
setempat, Banjar, Desa adat/pekraman, dan aparatnya.
3) Penyidik jarang bahkan tidak pernah melibatkan peran satuan fungsi lain
yang mempunyai peranan Polmas dan berada di tengah-tengah
masyarakat, yaitu: Bhabinkamtibmas dan FKPM, dalam proses RJ yang
sedang ditangani.
6. Analisa
a. Kesiapan SDM dalam penerapan prinsip kerja RJ
1) Pengetahuan dan keterampilan
a) Kurangnya pemahaman penyidik terkait dengan pendekatan RJ dalam
proses penyidikan atau penegakan hukum dikarenakan kurangnya
pengarahan dari atasan penyidik tentang konsep RJ. Hal tersebut
diperparah dengan belum adanya SOP tentang penerapan RJ dalam
penegakan hukum. Beberapa arahan dari Bareskrim (terlampir)
tentang penerapan RJ tidak segera diturunkan oleh Polda ke Polres
jajaran, termasuk Polres X akibat sikap saling menunggu antara Dit
Reskrimsus dan Dit Reskrimum. Selanjutnya, hal tersebut juga cukup
dimaklumi karena secara formal yuridis, pendekatan RJ atau sebagian
orang mengatakan dengan istilah mediasi penal tidak dikenal dalam
hukum positif Indonesia saat ini. Keadaan seperti ini dapat
menghambat proses RJ yang dikembangkan untuk mengatasi
permasalahan yang terjadi dalam SPP.
b) Penyidik memang tidak dipersiapkan atau dilatih sebagai mediator
dalam permasalahan pidana yang ditangani. Ketidakmampuan
penyidik dalam berkomunikasi sebagai mediator dapat menghambat
bahkan menggagalkan proses RJ yang berlangsung. Terdapat
tahapan-tahapan dalam proses mediasi yang harus dipahami dan
dikuasai serta teknik-teknik untuk tercapainya tujuan mediasi, yaitu
kesepakatan RJ.
2) Perilaku
a) Pemerasan yang merupakan tindakan menyimpang oleh penyidik
dikarenakan adanya sikap mental yang buruk penyidik dalam
mengartikulasikan kewenangan diskresi penyidik untuk memilih
pendekatan RJ atau melanjutkan kasus tersebut secara formal yuridis
melalui sidang pengadilan. Pengawasan dalam proses RJ kurang
optimal sehingga tindakan pemerasan masih terjadi. Tindakan ini
tentunya menghilangkan tujuan luhur RJ untuk menciptakan proses
penegakan hukum yang cepat, mudah, terjangkau, dan untuk
kepentingan terciptanya kedamaian bagi pihak yang terlibat. Dan
tentunya mengurangi tingkat kepercayaan masyarakat kepada Polri
secara umum.
b) Hal tersebut terjadi karena keengganan melakukan perubahan cara
berpikir ke dalam pendekatan baru penegakan hukum yaitu RJ.
Disamping itu, beberapa penyidik masih belum paham benar tentang
proses RJ dan takut disalahkan oleh pimpinan. Hal ini menyebabkan
pendekatan RJ tidak optimal diaplikasikan guna mencapai sasaran
akhirnya sebagaimana telah dijelaskan di atas.
b. Metode yang digunakan terkait dengan prinsip kerja RJ
1) Hal tersebut terjadi karena penyidik dan atau atasan penyidik masih
berpikir secara formal. Mereka tidak menekankan atau berorientasi pada
proses untuk mengetahui bahwa proses RJ yang dilakukan betul-betul
dilakukan melalui partisipasi aktif para pihak dan dilakukan secara
otonom. Hal tersebut dapat menyebabkan hasil RJ berupa perjanjian
perdamaian dilakukan secara semu. Artinya, terdapat tekanan dari satu
pihak terhadap pihak lain sehingga tidak tercapai keadilan yang
diinginkan bersama. Hal ini dapat menyebabkan sikap dari pelaku yang
menganggap remeh proses RJ dan kemungkinan dapat terulang di
kemudian hari dengan korban yang sama atau berbeda.
2) Hal tersebut terjadi karena berdasarkan peraturan, tidak ada kewajiban
bagi penyidik untuk melibatkan stakeholders selain pelaku dan korban.
Hal tersebut mengakibatkan kebijakan yang diambil penyidik dalam
proses RJ tidak sesuai dengan kondisi masyarakat lainnya yang terkena
dampak kejahatan tersebut. Hal tersebut dapat mengakibatkan
masyarakat tidak mempunyai nilai tawar lebih dalam mengawasi pelaku
untuk bertindak tertib pada masa selanjutnya jika dibandingkan apabila
masyarakat sekitar dilibatkan dan dibutuhkan persetujuannya dalam
proses RJ dimaksud.
3) Tidak dilibatkannya satuan fungsi lain dalam proses RJ terkait proses
penyidikan yang dilakukan dikarenakan adanya ego sektoral Sat
Reskrim bahwa hal tersebut adalah pekerjaan intern Sat Reskrim. Hal
tersebut menghilangkan peluang FKPM dan Bhabinkamtibmas untuk
lebih berperan di tengah-tengah masyarakat sehingga masyarakat
merasakan manfaat FKPM dan BKPM yang pada gilirannya
menimbulkan dukungan masyarakat terhadap pelaksanaan tugas FKPM
dan BKPM.
7. Upaya Optimalisasi penerapan prinsip kerja RJ
a. Kesiapan SDM dalam menerapkan prinsip kerja RJ
1) Pengetahuan dan Keterampilan
a) Pemberian pengarahan secara khusus tentang RJ kepada seluruh
anggota, khususnya penyidik. Selanjutnya dalam setiap kesempatan
ditekankan tentang RJ sebagai pendekatan terkini dalam penegakan
hukum. Arahan-arahan dari satuan atas terkait RJ diminta secara pro
aktif ke Polda untuk selanjutnya diarahkan kepada seluruh anggota
penyidik Polres X dan dikompulir menjadi satu.
b) Memberikan pelatihan tentang teknik-teknik mediasi dan
pentahapannya. Meminta satuan fungsi lain yang mempunyai anggota
dengan kualifikasi atau kemampuan mediasi untuk memberikan
kemampuannya kepada anggota sat reskrim.
2) Perilaku
a) Pemberian hukuman terhadap anggota yang melakukan pemerasan.
Pemberian hukuman (punishment) merupakan salah satu cara dalam
teori perubahan perilaku sebagaimana dimaksud Joel Fischer dkk
(1979)12. selanjutnya diberdayakan pengawasan terhadap penyidik,
yaitu: Pengawas Penyidikan yang ditunjuk sesuai kasus dimaksud,
kasat reskrim, kanit reskrim yang menangani, Sie Propam, dan Sie
Was.
b) Coch and French (1948)13 menyatakan terdapat teknik untuk
menangani resistensi anggota terhadap anak buah. Pertama-tama
dengan cara memberikan pendidikan dan komunikasi agar segenap
anggota jelas tentang RJ selanjutnya diambil keputusan secara
partisipatif guna tindak lanjut RJ dalam penyidikan. Dan akhirnya
memaksa anggota sat reskrim untuk mengikuti keputusan bersama
tersebut
12 Fischer, Joel &Gochros, Haevey L. 1979. Planned Behavior Change: Behavior Modification in Social Work. The Free Press13 L. Coch dan J.R.P.French,Jr. 1948. Overcoming Resistance to change.
b. Metode yang digunakan terkait dengan prinsip kerja RJ
1) Pembuatan SOP tentang penerapan pendekatan RJ dalam penegakan
hukum di Polres X. Salah satu contoh SOP dimaksud sebagaimana yang
dibuat oleh Polres Pariaman.14
2) Melakukan kerjasama dan penggalangan terhadap tokoh-tokoh
masyarakat dan adat tentang dukungan terhadap pelaksanaan RJ dalam
penegakan hukum di Polres X. Selanjutnya juga mendorong agar
masyarakat mampu untuk menyelesaikan permasalahannya sendiri
sesuai pranata sosial yang berlaku. Dan Polres X beserta jajarannya
mendukung upaya tersebut apabila diperlukan sewaktu-waktu.
3) Memberikan pemahaman tentang HTCK antar fungsi terkait dengan
penyelesaian permasalahan hukum di tengah-tengah masyarakat dengan
melibatkan sat fungsi terkait. Selanjutnya, HTCK tersebut dituangkan
kembali dalam SOP penerapan RJ di Polres X.
BAB III
PENUTUP
8. Kesimpulan
a. Kesiapan SDM Polres X dalam menerapkan prinsip kerja belum optimal.
Hal tersebut dikarenakan pendekatan RJ ini dalam penegakan hukum relatif
baru sehingga semangat RJ belum terinternalisasi dalam mind set dan
culture set penyidik dimana penyidik masih menekankan pada kerangka
hukum formal yang belum mengakomodir RJ. Aturan hukum secara formal
terkait RJ belum siap sementara perkembangan hukum sudah mendesak
diberlakukannya pendekatan RJ dalam penegakan hukum. Di lain pihak,
aturan-aturan internal kepolisian tentang penerapan RJ berupa arahan
Bareskrim tidak disalurkan dengan baik kepada satuan bawah oleh Polda.
Pemerasan masih terjadi terhadap pihak-pihak dalam proses RJ, terutama
terhadap pelaku. Oleh karena itu, pendidikan latihan, penanaman kode etik
Polri, serta pengawasan perlu dilakukan untuk mengoptimalkan kesiapan
SDM dimaksud.
14 http://polrespariaman.com/sop/fungsi-operasional/sop-restoratif-justice/ diakses pada tanggal 19 September 2013
b. Metode yang digunakan terkait dengan penerapan prinsip kerja RJ belum
Optimal. Hal ini dikarenakan masih adanya tekanan-tekanan pada pihak-
pihak yang terlibat dalam proses mencapai hasil restoratif. Partisipasi aktif
dan otonom para pihak belum sepenuhnya berjalan dengan baik. Orientasi
prosess belum dilaksanakan untuk memastikan pendekatan RJ yang
dilakukan sudah sesuai dengan konsep pemberdayaan korban, pelaku, dan
stakeholders, bukan hanya melihat hasil berupa surat perdamaian dan surat
permohonan penyelesaian secara RJ yang dibuat para pihak. SOP adalah
salah satu upaya untuk memberikan pedoman kepada penyidik.
9. Rekomendasi
a. Direkomendasikan kepada Kapolda cq Dir reskrimum/sus untuk
memberikan arahan dan pelatihan terkait RJ termasuk teknik-teknik
mediasi untuk efektifitas dan efisiensi penegakan hukum melalui
pendekatan RJ. Disamping itu untuk menghindari kesalahan yang
berimplikasi baik disiplin maupun kode etik profesi dalam penerapan RJ.
b. Direkomendasikan kepada Kapolda untuk membuat peraturan Kapolda
tentang prosedur RJ dan HTCK antar fungsi teknis kepolisian yang terkait
serta pelibatan potensi masyarakat. Peraturan Kapolda tersebut dapat
dijadikan pedoman dan penyesuaian SOP Polres X dalam menerapkan
prinsip kerja RJ guna efektifitas dan efisiensi penegakan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Ashari, Adi SH MH. 2013. Perkembangan Hukum di Indonesia. Hanjar
Sespimmen 53 T.A. 2013: Lembang
Fischer, Joel &Gochros, Haevey L. 1979. Planned Behavior Change: Behavior
Modification in Social Work. The Free Press
L. Coch dan J.R.P.French,Jr. 1948. Overcoming Resistance to change.
Mulyadi, Lilik. 2013. Mediasi Penal dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia:
pengkajian asas, norma, teori, dan praktik. Yustisia Edisi 85 Januari-
April 2013.
http://nasional.kompas.com/read/2013/07/12/1100384/
Kerusuhan.di.Lapas.Tanjung.Gusta.Tidak.Mengejutkan diakses pada
tanggal 17 september 2013
http://polrespariaman.com/sop/fungsi-operasional/sop-restoratif-justice/ diakses
pada tanggal 19 September 2013
http://www.suarapembaruan.com/home/denny-persoalan-utama-lapas-adalah-
pungli/39370 diakses pada tanggal 17 September 2013
http://www.unodc.org/pdf/criminal_justice/06-56290_Ebook.pdf diakses pada
tanggal 17 september 2013
UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
Wiratama, KBP Adithya SH dan KBP Drs Makmur Ginting. 2013. Kajian
Perkembangan Hukum di Indonesia. Hanjar Sespimmen 53 T.A. 2013:
Lembang