93
1 OPTIMALISASI PERANAN POLISI KEHUTANAN DALAM MENANGGULANGI ILLEGAL LOGGING DI KAWASAN HUTAN PRODUKSI (Studi di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek) SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Kesarjanaan Dalam Ilmu Hukum Oleh : WIKAN BINTORO 0110103168-11 DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS BRAWIJAYA FAKULTAS HUKUM MALANG 2007

Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek).

Citation preview

Page 1: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

1

OPTIMALISASI PERANAN POLISI KEHUTANAN

DALAM MENANGGULANGI ILLEGAL LOGGING

DI KAWASAN HUTAN PRODUKSI

(Studi di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Sebagian Syarat-Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Kesarjanaan

Dalam Ilmu Hukum

Oleh :

WIKAN BINTORO

0110103168-11

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

FAKULTAS HUKUM

MALANG

2007

Page 2: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

2

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala

petunjuk serta HidayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan

judul “Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal

Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten

Trenggalek)”.

Penyusunan skripsi ini merupakan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang. Dengan

terselesaikannya penelitian ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Herman Suryokumoro, SH.MH, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Brawijaya Malang.

2. Bapak Abdul Madjid, SH.MS, selaku Ketua Program Ekstensi Fakultas

Hukum Universitas Brawijaya Malang.

3. Bapak Setiawan Noerdajasakti, SH.MS, selaku Kepala Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.

4. Ibu Mudjuni Nahdiah A, SH.MS, selaku Pembimbing Utama, yang ditengah

kesibukannya telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan

bimbingan, masukan dan arahan dengan penuh kesabaran dan perhatian

kepada penulis.

Page 3: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

3

5. Bapak Paham Triyoso, SH.MH, selaku Pembimbing Pendamping yang dengan

penuh kesabaran dan perhatian telah memberikan bimbingan, masukan dan

arahan yang sangat berguna bagi penulis hingga terselesaikannya sekripsi ini.

6. Para Dosen dan Staf Karyawan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya yang

telah memberikan ilmu pengetahuan dan pelayanan, hingga terselesaikannya

skripsi ini.

7. Semua karyawan Perum Perhutani, terutama kepada KSKPH Kediri Selatan

Bapak Asep Surahman, Asper Kampak Bapak Faturahman, Asper Dongko

Bapak Supriyanto, Asper Karangan Bapak Joko Sudarso Asper Trenggalek

Bapak Heri Argono dan Ibu Ummu di Perum Perhutani Unit II Surabaya yang

telah banyak membantu penulis pada waktu melakukan survey.

8. Kepada orang tua dan kakak-kakakku yang telah mengasuh, mendidik dan

senantiasa memberikan dukungan hingga terselesaikannya skripsi ini.

9. Kepada teman-temanku semua yang selalu memberi dukungan hingga

terselesaikannya skripsi ini.

Semoga Allah SWT membalas segala jasa baik yang telah mereka berikan.

Akhir kata penulis berharap agar skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat kepada

semua pihak yang memerlukannya.

Malang, Juli 2007 Penulis,

Wikan Bintoro

Page 4: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

4

DAFTAR ISI

Lembar Persetujuan………………………………………………………………... i

Lembar Pengesahan………………………………………………………………... ii

Kata Pengantar……………………………………………………………............... iii

Daftar Isi…………………………………………………………………………… v

Abstraksi…………………………………………………………………………… viii

BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………............ 1

A. Latar Belakang……………………………………………………………... 1

B. Perumusan Masalah………………………………………………………... 5

C. Tujuan Penelitian…………………………………………………............... 6

D. Manfaat Penelitian…………………………………………………………. 6

E. Metode Penelitian………………………………………………………….. 7

1. Metode Pendekatan……………………………………………………. 7

2. Lokasi Penelitian……………………………………………………….. 7

3. Populasi, Sample dan Responden……………………………………… 8

4. Jenis dan Sumber Data…………………………………………………. 9

5. Teknik Pengumpulan Data……………………………………............... 10

6. Teknik Analisis Data…………………………………………………… 10

F. Sistematika Pembahasan…………………………………………………… 11

BAB II TINJAUAN UMUM……………………………………………............... 13

A. Pengertian Hutan, Jenis-jenis Hutan dan Usaha Pelestarian Hutan………... 13

1. Pengertian Hutan……………………………………………………….. 13

2. Jenis-jenis Hutan……………………………………………………….. 15

Page 5: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

5

3. Usaha Pelestarian Hutan……………………………………………….. 22

B. Perlindungan Hukum Dalam Usaha Pelestarian Hutan……………………. 25

C. Tindak Pidana Yang Berhubungan Dengan Perusakan Hutan…………….. 30

1. Pengertian Dan Unsur-Unsur Tindak Pidana…………………………... 30

a. Pengertian Tindak Pidana………………………………………….. 30

b. Unsur-Unsur Tindak Pidana……………………………………….. 32

2. Tindak Pidana Dibidang Kehutanan…………………………………… 35

3. Illegal Logging…………………………………………………………. 39

D. Penyelidikan Dan Penyidikan Terhadap Pelaku Illegal Logging………….. 45

1. Pengertian Penyelidikan………………………………………………... 45

2. Pengertian Penyidikan…………………………………….….………... 46

3. Pejabat Yang Berwenang Melakukan Penyelidikan Dan Penyidikan Di

Bidang Kehutanan ……………………………………………...............48

1. Kepolisian Republik Indonesia………………………………..…… 48

2. Polisi Kehutanan…………………………………………………… 50

3. Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan……….....…….. 51

BAB III PEMBAHASAN…………………………...…………………………… 53

A. Kewenangan Polisi Kehutanan Dalam Upaya Pemberantasan Illegal Logging

di Kawasan Hutan Produksi di Kabupaten Trenggalek……..……………...53

1. Kewenangan Melakukan Penyelidikan………………………………… 53

2. Kewenangan Melakukan Penyidikan…………………..………………. 55

Page 6: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

6

B. Kendala-Kendala yang Dihadapi Polisi Kehutanan Dalam Upaya

Menanggulangi Illegal Logging di Kawasan Hutan Produksi Kabupaten

Trenggalek………………………………………………………………….59

1. Faktor geografis………………...……………..……………………….. 61

2. Faktor sarana dan prasarana……………………………………………. 61

3. Faktor keseriusan, kepedulian dan ketegasan petugas yang

berkompeten……………………………………………………………63

4. Faktor oknum petugas………………………………………………….. 63

5. Faktor modus operandi kejahatan……………………………………… 64

6. Faktor masyarakat……………………………………………………… 64

7. Faktor sanksi hukum…………………………………………………… 65

C. Upaya yang Dilakukan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal

Logging di Kawasan Hutan Produksi Kabupaten Trenggalek….………… 66

1. Upaya penanggulangan illegal logging yang bersifat preventif….……. 72

A. Upaya Pemberdayaan Masyarakat…………………………………. 72

B. Patroli rutin di dalam dan sekitar kawasan hutan………………...... 74

C. Patroli Tunggal Mandiri……………………………………………. 75

2. Upaya penanggulangan illegal logging yang bersifat represif……........ 78

BAB IV PENUTUP................................................................................................. 81

A. Kesimpulan…………………………...……………………………………. 81

B. Saran………………………………...……………………………………... 83

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………….. ix

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Page 7: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

7

ABSTRAKSI

WIKAN BINTORO, Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Juli 2007: “Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan dalam Menanggulangi Illegal Logging di Kawasan Hutan Produksi (Studi di Perum Perhutani di Kabupaten Trenggalek), Mudjuni Nahdiah A, SH. MS: Paham Triyoso, SH.MH. Kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup akibat kemiskinan di Indonesia terbukti bisa menurunkan moral masyarakat dengan meningkatnya tindak kejahatan, salah satunya illegal logging. Kejahatan penebangan kayu secara ilegal atau biasa disebt illegal logging banyak terjadi di daerah atau kota kecil yang mempunyai kawasan hutan luas, salah satu contohnya adalah Kabupaten Trenggalek. Berlatar belakang pada hal tersebut, penulis dalam penelitian ini mengangkat masalah mengenai kewenangan, kendala dan upaya yang dilakukan Polisi Kehutanan Kabupaten Trenggalek dalam menanggulangi illegal logging. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis sosiologis. Untuk jenis dan sumber data diambil dari data primer dan sekunder. Untuk populasi dan sample disini diambil dari pegawai Perum Perhutani. Kemudian metode analisa data menggunakan metode deskriptif analisis. Berdasarkan hasil penelitian, memperoleh jawaban atas permasalahan yang ada, bahwa kewenangan yang dimiliki Polisi kehutanan di Kabupaten Trenggalek yaitu kewenangan penyelidikan dan kewenangan penyidikan. Kendala yang dihadapi Polisi Kehutanan dalam upaya menanggulangi illegal logging di kawasan hutan produksi Kabupaten Trenggalek ada tujuh kendala yaitu: faktor geografis; faktor sarana dan prasarana; faktor keseriusan, kepedulian dan ketegasan petugas yang berkompeten; faktor oknum petugas; faktor modus operandi kejahatan; faktor masyarakat; dan faktor sanksi hukum. Upaya yang dilakukan polisi kehutanan dalam menanggulangi illegal logging di kawasan hutan produksi Kabupaten Trenggalek dibagi menjadi dua jenis yaitu: Upaya Preventif yang didalamnya terdapat pemberdayaan masyarakat, patroli rutin, dan patroli tunggal mandiri dan Upaya Represif.

Page 8: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

8

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Seiring dengan terus meningkatnya harga minyak dunia, harga

kebutuhan pokok masyarakat juga meningkat. Hal ini menyebabkan

masyarakat berusaha keras meningkatkan perekonomiannya agar bisa

memenuhi kebutuhan hidupnya. Akibatnya banyak orang memilih cara instant

untuk dapat meningkatkan perekonomiannya. Celakanya cara instant tersebut

seringkali dilakukan melalui kejahatan.

Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tidak ada definisi

tentang kejahatan. Hanya dalam buku kedua Kitab Undang-undang Hukum

Pidana, dirumuskan mengenai perbuatan manakah yang dianggap sebagai

suatu kejahatan. Menurut pendapat Emile Durkheiim, kejahatan adalah suatu

gejala normal di setiap masyarakat yang bercirikan heterogenitas dan

perkembangan sosial.1

Sedangkan menurut Sue Titus Reid, kejahatan adalah suatu perbuatan

yang dilakukan dengan sengaja maupun tidak sengaja, yang melanggar hukum

dan diberi sanksi oleh negara sebagai suatu tindak pidana.2 Dari pendapat Sue

Titus Reid ini batasan dari kejahatan hanyalah dilihat dari aksi atau perbuatan

yang melanggar undang-undang saja.

1. Ninik Widiyati, Panji Anaruga, Perkembangan Kejahatan Dan Permasalahannya, PT .

Pradnya Paramita, Jakarta, 1987, h. 2. 2. Soerjono Soekanto, Hengkie Liklikuwata, Mulyana W. Kusumah, Kriminologi Suatu

Pengantar, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981, h. 44.

Page 9: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

9

Berbeda dengan pendapat Herman Mannheim yang menyatakan bahwa

batasan kejahatan tidak hanya tindakan melanggar hukum atau undang-undang

saja, tetapi juga tindakan yang bertentangan dengan “conduct norm”, yaitu

tindakan yang bertentangan dengan norma yang ada dalam masyarakat

walaupun tindakan itu belum diatur dalam undang-undang.

Dalam kaitannya dengan pengertian tersebut, Mannheim menggunakan

istilah “Moraly Wrong” atau “deviant behaviors” atau tindakan yang

melanggar atau bertentangan dengan norma sosial walaupun belum diatur

dalam undang-undang. Sedangkan istilah “legally wrong” atau “crime” untuk

menunjuk setiap tindakan yang melanggar undang-undang atau hukum

pidana.3

Sementara itu di Indonesia perkembangan dan perubahan didalam

berbangsa dan bernegara telah membawa pengaruh yang sangat besar terhadap

pola kehidupan masyarakat. Hal ini juga menimbulkan berbagai masalah

berkaitan dengan kejahatan.

Adanya asumsi umum bahwa seiring perkembangan jaman kejahatan

akan terus meningkat baik secara kuantitas maupun secara kualitas,

mempertegas pendapat bahwa kejahatan merupakan masalah sosial yang

menuntut perhatian serius. Asumsi ini didukung dengan realita yang ada saat

ini, dimana Negara mengalami kesulitan dalam menanggulangi kejahatan.

Kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup akibat kemiskinan yang

merajalela terbukti bisa menurunkan moral masyarakat dengan meningkatnya

3. Mohammad Kemal, Strategi Pencegahan Kejahatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,

1994, h. 2.

Page 10: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

10

tindak kejahatan. Peningkatan tindak kejahatan ini bisa menyebabkan

menurunnya wibawa hukum dimata masyarakat. Akibatnya masyarakat tidak

lagi takut terhadap sanksi-sanksi yang diancam oleh hukum. Ini dibuktikan

dengan banyaknya berita-berita di media massa yang memberitakan tentang

maraknya tindak kejahatan, baik yang terjadi di perkotaan maupun di

pedesaan.

Salah satu dari beberapa bentuk kejahatan yang sekarang ini sering

terjadi adalah kejahatan penebangan kayu secara ilegal, atau biasa disebut

illegal logging, yang dilakukan di kawasan hutan di Indonesia. Kejahatan ini

dilakukan masyarakat dengan maksud-maksud tertentu diantaranya mencari

keuntungan yang sebesar-besarnya dan juga menjalankan tradisi yang

dilakukan secara turun temurun tanpa memikirkan akibat yang

ditimbulkannya. Padahal akibat yang ditimbulkan sangat besar yaitu selain

merugikan negara milyaran rupiah, juga dapat menimbulkan bencana alam

seperti banjir, tanah longsor dan sebagainya. Apalagi bila sisa-sisa

penebangan tersebut dibakar, akan menimbulkan kabut asap seperti yang

terjadi saat ini di beberapa daerah di Indonesia.

Indonesia memiliki hutan seluas 144 juta ha, hanya 118 juta ha yang

masih berupa hutan. Hutan seluas itu diperinci dalam hutan produksi seluas

49,3 juta ha, hutan lindung seluas 39,9 juta ha, serta hutan konservasi dan

hutan lainnya seluas 29,0 juta ha (Herman Haeruman, 1992: 1).4

4,. Salim, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, Sinar Grafika Jakarta, 2004, h. 1.

Page 11: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

11

Apabila hutan seluas itu dikelola dan dimanfaatkan sebaik-baiknya

akan memberikan dampak positif dalam menunjang pembangunan bangsa dan

negara. Namun, berdasarkan data yang dikeluarkan oleh organisasi PBB, yaitu

Food and Agriculture Organization (FAO) pada tahun 1991 dikemukakan

bahwa kerusakan hutan di Indonesia untuk kepentingan industri seluas

1.314.700 ha per tahun. Apabila dipresentasikan, kerusakan rata-rata 1,2% per

tahun. Hal ini dapat diperkirakan dalam waktu kurang dari 84 tahun hutan

tropis Indonesia akan habis (Republika, 10 November 1993).5

Pihak yang paling bertanggung jawab penyebab kerusakan hutan

akibat illegal logging dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: pemegang izin

HPH, perambah hutan dan pencuri kayu. Masing-masing memiliki pola

sendiri-sendiri dalam menjalankan aksinya.

Suporahardjo mengemukakan kondisi kebijakan kehutanan seperti

sekarang ini masih banyak menghadapi masalah kronis. Salah satu masalah

kronis adalah membudayanya kolusi antara aparat kehutanan dan pihak

pengusaha. Kondisi ini menyebabkan melembaganya berbagai pengawasan

terhadap operasi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan berbagai regulasi (aturan

hukum) yang harus dilaksanakan oleh HPH hanya menjadi persyaratan

administratif.6

Untuk mengantisipasi terjadinya kerusakan hutan oleh pemegang izin

HPH, perambah hutan dan pencuri kayu perlu dilakukan penegakan hukum

5. Ibid.

6. Ibid., h. 2.

Page 12: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

12

secara konsekuen terhadap para pelaku tanpa memandang suku, agama, dan

kedudukan sosialnya, karena semua orang harus diperlakukan sama di

hadapan hukum.

Kejahatan penebangan kayu secara ilegal atau biasa disebut illegal

logging banyak terjadi di daerah atau kota kecil yang mempunyai kawasan

hutan luas, salah satu contohnya adalah Kabupaten Trenggalek.

Hal ini yang akhirnya menggugah penulis untuk mengangkat masalah

penebangan kayu secara ilegal dalam suatu karya ilmiah (skripsi) dengan

judul: “OPTIMALISASI PERANAN POLISI KEHUTANAN DALAM

MENANGGULANGI ILLEGAL LOGGING DI KAWASAN HUTAN

PRODUKSI (Studi Di Perum Perhutani Kabupaten Trenggalek)”

B. PERUMUSAN MASALAH

Maraknya illegal logging menimbulkan masalah-masalah baik dari

segi finansial maupun non finansial di Indonesia. Saat ini pemerintah sedang

melakukan upaya untuk mengatasi masalah tersebut. Dari uraian diatas,

penulis merumuskan permasalahan yaitu:

1. Bagaimana kewenangan Polisi Kehutanan dalam upaya

pemberantasan illegal logging di kawasan hutan produksi di

Kabupaten Trenggalek?

2. Kendala-kendala apa saja yang dihadapi Polisi Kehutanan dalam

upaya menanggulangi illegal logging di kawasan hutan produksi

kabupaten Trenggalek ?

Page 13: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

13

3. Upaya apa saja yang dilakukan Polisi Kehutanan dalam

menanggulangi illegal logging di kawasan hutan produksi

kabupaten Trenggalek ?

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Penulis ingin mengetahui dan menganalisis bagaimana

kewenangan Polisi Kehutanan di Kabupaten Trenggalek dalam

melakukan proses hukum terhadap kasus illegal logging yang

terjadi.

2. Penulis ingin mengetahui dan menganalisis kendala-kendala yang

dihadapi Polisi Kehutanan dalam menanggulangi illegal logging

agar dapat ditemukan solusi yang tepat.

3. Penulis ingin mengetahui dan menganalisis upaya apa saja yang

dilakukan oleh Polisi Kehutanan di Kabupaten Trenggalek dalam

menanggulangi illegal loging.

D. MANFAAT PENELITIAN

Manfaat penelitian yang dimaksud adalah:

1. Penelitian ini dilakukan untuk memberikan informasi kepada

penegak hukum dalam rangka perbaikan kualitas pengamanan

hutan.

2. Penelitian ini dapat bermanfaat bagi para pihak yang membutuhkan

informasi tentang kehutanan.

Page 14: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

14

3. Sebagai pengalaman yang dapat dijadikan salah satu acuan untuk

melakukan penelitian selanjutnya.

E. METODE PENELITIAN

Dalam memperoleh data untuk mencapai kebenaran ilmiah maka

penulis melakukan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan penulis dalam mengkaji

permasalahan adalah yuridis sosiologis, yaitu suatu penelitian yang

menekankan pada ilmu hukum (yuridis) tetapi disamping itu juga berusaha

menelaah kaidah-kaidah hukum yang berlaku dalam masyarakat.7

Dari segi yuridis penelitian ini mencoba membahas pasal-pasal

tentang kewenangan Polisi Kehutanan dalam usaha pemberantasan illegal

logging sesuai dengan pasal 36 Peraturan Pemerintah No 45 Tahun 2004

tentang perlindungan hutan. Sedangkan dari segi sosiologis adalah untuk

membahas mengenai penerapan hukum pidana dalam usaha

pemberantasan illegal logging yang dilakukan Polisi Kehutanan.

2. Lokasi Penelitian.

Penulis memilih lokasi penelitian di Kabupaten Trenggalek, karena

kasus illegal logging di daerah tersebut tergolong relatif tinggi. Selain itu,

lokasi juga lebih dekat dan lebih memudahkan jangkauannya bagi penulis

dalam memperoleh data yang dibutuhkan, guna menunjang hasil yang

objektif dan akurat. Penulis mengadakan penelitian secara langsung di

7. Ronny Hanitijo Soemitro, 1990, Metodelogi Penelitian Hukum dan Jumetri, Jakarta

Ghalia Indonesia, h. 35.

Page 15: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

15

Perum Perhutani Kabupaten Trenggalek serta masyarakat sekitar kawasan

hutan produksi di Kabupaten Trenggalek.

3. Populasi, Sample dan Responden.

a. Populasi adalah keseluruhan atau himpunan obyek dengan ciri yang

sama.8 Populasi dalam penelitian ini adalah semua pegawai dalam

lingkup Perum Perhutani Kabupaten Trenggalek khususnya yang

berdasarkan undang-undang sudah diangkat menjadi Polisi Kehutanan.

b. Sampel adalah himpunan bagian atau sebagian dari populasi.9

Penelitian ini, penentuan sample dilakukan berdasarkan dengan cara

purposive sampling yaitu responden yang dipakai berdasarkan dengan

kriteria yang telah ditetapkan terlebih sebelumnya, yaitu responden

yang terkait dan memiliki hubungan dengan permasalahan ini.10

Penarikan sample dilakukan dengan cara mengambil subyek yang

berdasarkan pada tujuan tertentu. Sample dalam penelitian:

1. Wakil Kepala Administratur/KSKPH (Kepala Sub Kesatuan

Pemangkuan Hutan).

2. Asisten Perhutani/KBKPH (Kepala Badan Kesatuan Pemangkuan

Hutan).

3. Mantri Hutan/KRPH (Kepala Resort Pemangkuan Hutan).

8. Bambang Sunggono, 2002, Metodelogi Penelitian Hukum, Jakarta, PT Raja Grafido, h:

121. 9. Ibid. 10. Ronny Hanitojo Soemitro, op.cit. h. 65.

Page 16: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

16

c. Responden adalah pihak-pihak yang dijadikan narasumber dalam

penelitian ini.

Responden dalam penelitian ini adalah:

1. Wakil Kepala Administratur/KSKPH.

Kediri Selatan : Asep Surahman.

2. Asisten Perhutani/KBKPH.

Karangan : Joko Sudarso.

Kampak : Faturahman.

Dongko : Bpk. Supriyanto.

Trenggalek : Heri Argono.

3. Mantri/KRPH.

Pule : Imam Basori.

Kampak Utara : Warsi.

4. Jenis dan Sumber Data.

a. Data Primer yaitu data yang diambil dengan cara interview yang

berupa wawancara dan tanya jawab dengan responden.11

b. Data Sekunder yaitu data yang diambil dari studi dokumentasi dan

kepustakaan, yakni mengambil data dari dokumen dan karya tulis

ilmiah atau literatur, peraturan perundang-undangan dan sumber-

sumber tertulis lainnya serta data-data lain yang berhubungan dengan

penelitian, yang berguna sebagai landasan teori.12

11. Ronny Hanitojo Soemitro, loc it. 12. Ibid.

Page 17: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

17

5. Teknik Pengumpulan Data.

Pengumpulan data yang dipergunakan dalam penulisan ini berasal dari:

a. Data Primer penulis ambil dengan cara interview yang berupa

wawancara dan tanya jawab dengan responden. Bentuk wawancara

adalah bebas terpimpin yaitu dilakukan dengan mempersiapkan

terlebih dahulu pertanyaan-pertanyaan sebagai pedoman, tetapi masih

memungkinkan melakukan variasi-variasi pertanyaan yang sesuai

dengan situasi ketika wawancara.

b. Data Sekunder penulis ambil dari studi kepustakaan, yaitu mengambil

data dari karya tulis ilmiah atau literatur, peraturan perundang-

undangan dan sumber-sumber tertulis lainnya serta data-data lain yang

berhubungan dengan masalah pemberantasan illegal logging, oleh

Polisi Kehutanan.

6. Teknik Analisis Data.

Setelah data terkumpul, baik dari penelitian lapangan maupun dari

studi kepustakaan maka perlu dianalisa, analisa ini bertujuan untuk

memperoleh jawaban atas permasalahan yang diketengahkan. Metode

yang digunakan oleh penulis dalam menganalisa data ini adalah metode

deskriptif analitis, yaitu prosedur pemecahan masalah yang diteliti dengan

cara memaparkan data yang diperoleh dari hasil wawancara, dan

kepustakaan, kemudian data dianalisa dan diinterprestasikan lalu ditarik

suatu kesimpulan. Data juga ditabulasi yaitu dengan memasukkan data ke

Page 18: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

18

dalam tabel yang diperlukan dengan tujuan untuk lebih mudah

mengoreksi.

F. SISTEMATIKA PEMBAHASAN

Agar penulisan ini dapat dengan mudah dipahami dan dimengerti,

maka penulis mengusahakan untuk menyusunnya secara sistematis. Uraian

didalamnya terdiri dari beberapa bab, dan untuk itu penulis telah menetapkan

sistematikanya sebagai berikut:

BAB I : Merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari empat sub bab

yaitu latar belakang permasalahan dan alasan pemilihan judul,

perumusan masalah, metodologi penelitian dan sistematika

pembahasan.

BAB II : Merupakan tinjauan umum tentang kebijakan Pemerintah

dibidang kehutanan yang terdiri dari empat sub bab. Sub bab

yang pertama berisi tentang pengertian hutan, jenis-jenis hutan

dan usaha pelestarian hutan. Sub bab kedua berisi tentang

perlindungan hukum dalam usaha pelestarian lingkungan. Sub

bab ketiga berisi tentang tindak pidana yang berhubungan dengan

perusakan hutan yang didalamnya terdiri dari pengertian dan

unsur-unsur tindak pidana, tindak pidana di bidang kehutanan

dan illegal logging. Sedangkan sub bab yang keempat berisi

tentang penyelidikan dan penyidikan terhadap pelaku illegal

logging, yang di dalamnya terdiri dari pengertian penyelidikan

Page 19: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

19

dan penyidikan; dan pejabat yang berwenang melakukan

penyelidikan dan penyidikan dibidang kehutanan.

BAB III : Merupakan pembahasan dari permasalahan dalam penulisan ini,

yang terdiri dari tiga sub bab yaitu bagaimana mengoptimalkan

kewenangan Polisi Kehutanan dalam upaya pemberantasan

illegal logging di kawasan hutan produksi di Kabupaten

Trenggalek. Sub bab ini berisi tentang kewenangan penyelidikan

dan penyidikan. Sub bab kedua berisi tentang kendala-kendala

yang dihadapi polisi kehutanan dalam upaya menanggulangi

illegal logging di kawasan hutan produksi di Kabupaten

Trenggalek. Sub bab ini berisi tentang tujuh kendala obyektif

diantaranya: faktor geografis; faktor sarana dan prasarana; faktor

keseriusan, kepedulian dan ketegasan petugas yang berkompeten;

faktor oknum petugas; faktor modus operandi kejahatan; faktor

masyarakat; dan faktor sanksi hukum. Serta bagaimana upaya

Polisi Kehutanan dalam menanggulangi illegal logging di

kawasan hutan produksi di Kabupaten Trenggalek, yang di

dalamnya berisi upaya prefentif dan upaya represif.

BAB IV : Merupakan penutup, bab ini terdiri dari kesimpulan dan saran

dari penulis.

Page 20: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

20

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DIBIDANG KEHUTANAN

A. Pengertian Hutan, Jenis-jenis Hutan dan Usaha Pelestarian Hutan

1. Pengertian Hutan

Kata hutan merupakan terjemahan dari kata bos (Belanda) dan

forrest (Inggris). Forrest merupakan dataran tanah yang bergelombang,

dan dapat dikembangkan untuk kepentingan diluar kehutanan, seperti

pariwisata. Di dalam hukum Inggris kuno, forrest (hutan) adalah suatu

daerah tertentu yang tanahnya ditumbuhi pepohonan, tempat hidup

binatang buas dan burung-burung hutan.13

Menurut Dengler yang diartikan dengan hutan, adalah:

Sejumlah pepohonan yang tumbuh pada lapangan yang cukup luas, sehingga suhu, kelembapan, cahaya, angin dan sebagainya tidak lagi menentukan lingkungannya, akan tetapi dipengaruhi oleh tumbuh-tumbuhan/ pepohonan baru asalkan tumbuh pada tempat yang cukup luas dan tumbuhnya cukup rapat (horizontal dan vertical)”.14

Dalam pasal 1 ayat (1) Undang Undang Nomor 5 Tahun 1967

tentang Ketentuan Pokok Kehutanan, hutan diartikan sebagai “suatu

lapangan bertumbuhan pohon-pohon (yang ditumbuhi pepohonan) yang

secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta

lingkungannya, dan yang telah ditetapkan pemerintah sebagai hutan.”

13. Salim, loc.cit. h. 40. 14. Ibid.

Page 21: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

21

Sedangkan pengertian hutan di dalam pasal 1 ayat (2) UU Nomor

41 tahun 1999 adalah “suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan

berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam

persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak

dapat dipisahkan.”

Dalam skripsi ini penulis menggunakan pengertian hutan menurut

pasal 1 ayat (2) UU Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan. Sedangkan

pengertian hutan menurut pasal 1 ayat (1) Undang Undang Nomor 5

Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan hanya penulis gunakan

sebagai pembanding saja.

Ada 4 unsur yang terkandung dari definisi hutan diatas, yaitu

1. Unsur lapangan yang cukup luas yang disebut tanah hutan.

2. Unsur pohon (kayu, bambu, palem), flora dan fauna.

3. Unsur lingkungan.

4. Unsur penetapan pemerintah.

Unsur pertama, kedua dan ketiga membentuk persekutuan hidup

yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Pengertian hutan

disini, menganut konsepsi hukum secara vertikal, karena antara lapangan

(tanah), pohon, flora dan fauna, beserta lingkungannya merupakan satu

kesatuan yang utuh.15

15. Ibid., h. 41.

Page 22: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

22

Adanya penetapan Pemerintah mengenai hutan mempunyai arti

yang sangat penting, karena dengan adanya penetapan pemerintah

tersebut, kedudukan hutan menjadi sangat kuat.

Ada dua arti penting Penetapan Pemerintah tersebut, yaitu:

1. Agar setiap orang tidak sewenang-wenang untuk membabat,

menduduki dan atau mengerjakan kawasan hutan

2. Mewajibkan kepada Pemerintah melalui Menteri kehutanan untuk

mengatur perencanaan, peruntukan, penyediaan, dan penggunaan

hutan sesuai dengan fungsinya, serta menjaga dan melindungi hutan.

Tujuan perlindungan hutan adalah untuk menjaga kelestarian dan

fungsi hutan, serta menjaga mutu, nilai, dan kegunaan hasil.16

2. Jenis-Jenis Hutan

Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967, jenis-jenis hutan

dibedakan menjadi 3 yaitu:

1. Hutan Menurut Pemilikannya (Pasal 2 UU No. 5 Th. 1967).

a. Hutan Negara.

Yaitu merupakan kawasan hutan dan hutan alam yang

tumbuh diatas tanah yang bukan hak milik. Selain pengertian itu,

yang juga merupakan hutan negara, adalah hutan alam atau hutan

tanam diatas tanah yang diberikan kepada Daerah Tingkat II, dan

diberikan dengan hak pakai atau hak pengelolaan.

16. Ibid.

Page 23: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

23

b. Hutan Milik.

Yaitu hutan yang tumbuh diatas hak milik. Hutan ini

disebut juga sebagai hutan rakyat. Yang dapat memiliki dan

menguasai hutan milik, adalah orang (baik perorangan maupun

bersama-sama dengan orang lain), dan atau badan hukum.

2. Hutan Menurut Fungsinya (Pasal 3 UU Nomor 5 Th. 1967).

a. Hutan Lindung.

Yaitu kawasan hutan, dan karena sifat alamnya digunakan

untuk:

• Mengatur tata air

• Mencegah terjadinya banjir dan erosi

• Memelihara kesuburan tanah

b. Hutan Produksi.

Yaitu kawasan hutan untuk memproduksi hasil hutan, yang

dapat memenuhi:

• Keperluan masyarakat pada umumnya

• Pembangunan industri

• Keperluan ekspor

c. Hutan Suaka Alam.

Yaitu kawasan hutan yang keadaan alamnya sedemikian

rupa, sangat penting bagi ilmu pengetahuan dan teknologi. Hutan

suaka alam dibagi menjadi dua jenis yaitu:

Page 24: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

24

a. Kawasan hutan yang dengan keadaan alam yang khas,

termasuk flora dan fauna diperuntukkan bagi ilmu pengetahuan

dan teknologi.

b. Hutan suaka margasatwa, yaitu kawasan hutan untuk tempat

hidup margasatwa (binatang liar) yang mempunyai nilai khas

bagi ilmu pengetahuan dan kebudayaan serta merupakan

kekayaan dan kebanggaan nasional.

c. Hutan Wisata.

Merupakan kawasan wisata yang diperuntukkan secara

khusus, dan dibina dan dipelihara bagi kepentingan pariwisata

dan atau wisata baru.

Hutan wisata digolongkan menjadi dua jenis yaitu:

1. Hutan Taman Wisata

Yaitu kawasan hutan yang memiliki keindahan

alamnya sendiri yang mempunyai corak yang khas yang

dimanfaatkan bagi kepentingan rekreasi dan kebudayaan.

2. Hutan Taman Buru

Yaitu kawasan hutan yang didalamnya terdapat

satwa buru yang memungkinkan diselenggarakan

pemburuan yang teratur bagi kepentingan rekreasi.

Page 25: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

25

3. Hutan Menurut Peruntukannya (Pasal 4 UU Nomor 5 Th. 1967).

a. Hutan Tetap.

Yaitu hutan, baik yang sudah ada, yang akan ditanami,

maupun yang tumbuh secara alami di dalam hutan.

b. Hutan Cadangan.

Yaitu hutan yang berada di luar kawasan hutan yang

peruntukannya belum ditetapkan, dan bukan hak milik. Apabila

diperlukan hutan cadangan, ini dapat dijadikan hutan tetap.

c. Hutan Lainnya

Yaitu hutan yang berada di luar kawasan hutan dan hutan

cadangan, misalnya hutan yang terdapat pada tanah milik, atau

tanah yang dibebani hak lainnya.

Menurut Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan, pasal 5 sampai dengan pasal 9, ditentukan empat jenis hutan

yaitu:

1. Hutan berdasarkan statusnya (Pasal 5 UU Nomor 41 Tahun 1999).

Yang dimaksud dengan hutan berdasarkan statusnya adalah

suatu pembagian hutan yang didasarkan pada status (kedudukan)

antara orang, badan hukum, atau institusi yang melakukan

pengelolaan, pemanfaatan, dan perlindungan terhadap hutan

tersebut.hutan berdasarkan statusnya dibagi dua macam yaitu:

Page 26: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

26

a. Hutan negara.

Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang

tidak dibebani hak atas tanah. Yang termasuk dalam kualifikasi

hutan negara adalah:

• Hutan adat yaitu hutan negara yang diserahkan pengelolaannya

kepada masyarakat hukum adat (rechtgemeenschap).

• Hutan desa adalah hutan negara yang dikelola oleh desa dan

dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa.

• Hutan kemasyarakatan adalah hutan negara yang

pemanfaatannya untuk memberdayakan masyarakat.

b. Hutan hak.

Hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang

dibebani hak atas tanah (Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 41 Tahun

1999).

2. Hutan berdasarkan fungsinya (Pasal 6 sampai dengan Pasal 7UU

Nomor 41 Tahun 1999).

Hutan berdasarkan fungsinya adalah penggolongan hutan yang

didasarkan pada kegunaannya. Hutan ini dapat digolongkan menjadi

tiga macam yaitu:

a. Hutan konservasi.

Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan cirri

tertentu yang mempunyai fungsi pokok pengawetan

Page 27: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

27

keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya.hutan

konservasi terdiri atas tiga macam, yaitu:

• Kawasan hutan suaka alam adalah hutan dengan ciri khas

tertentu yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan

pengaetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta

ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai ilayah sistem

penyangga kehidupan.

• Kawasan hutan pelestarian alam adalah hutan dengan ciri khas

tertentu yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem

penyangga kehidupan pengawetan keanekaragaman jenis

tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber

daya alam hayati dan ekosistemnya.

• Taman buru adalah kawasan hutan yang ditetapkan sebagai

tempat wisata berburu.

b. Hutan lindung.

Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai

fungsi pokok sebagai perlimdungan sistem penyangga kehidupan

untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi,

mencegah intrusi (penerobosan) air laut, dan memelihara

kesuburan tanah.

c. Hutan produksi.

Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai

fungsi pokok memproduksi hasil hutan.

Page 28: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

28

3. Hutan berdasarkan tujuan khusus, yaitu penggunaan hutan untuk

keperluan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta

untuk kepentingan religi dan budaya setempat (Pasal 8 UU Nomor 41

Tahun 1999) syaratnya tidak mengubah fungsi pokok kawasan hutan.

4. Hutan berdasarkan pengaturan iklim mikro, estetika, dan resapan air

disetiap kota ditetapkan kawasan tertentu sebagai hutan kota.hutan

kota adalah hutan yang berfungsi sebagai pengaturan iklim mkro,

estetika, dan resapan air (Pasal 9 UU Nomor 41 Tahun 1999)

Di samping pembagian itu, dikenal juga pembagian lain

sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4 Reglemen 1927 tentang Undang-

Undang Hutan untuk Jawa dan Madura. Ada dua jenis hutan yang diatur

dalam Pasal 4 Reglemen 1927, yaitu: (1) hutan yang dipertahankan, dan

(2) hutan yang tidak dipertahankan.17

Yang termasuk golongan hutan yang dipertahankan, yaitu:

a. Hutan jati, yaitu tanah dan tempat yang mempunyai ciri seperti berikut

ini:

• Seluruhnya atau sebagian besar ditumbuhi pohon jati.

• Ditumbuhi pepohonan atau tidak, yang oleh Pemerintah telah

ditunjuk untuk perluasan hutan jati.

b. Hutan belukar yang ditentukan oleh Menteri Kehutanan untuk

dipelihara.

17. Ibid., h. 45.

Page 29: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

29

c. Hutan kayu belukar, yaitu hutan yang tidak dipertahankan, yang

meliputi:

• Hutan belukar yang tumbuh secara alami dan tidak ditunjuk untuk

dipelihara.

• Hutan jati dan hutan kayu yang dalam peraturan mengenai batas-

batas daerah yang dipelihara telah dihapuskan.

Dalam skripsi ini jenis-jenis hutan yang penulis pakai adalah

menurut UU Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan. Sedangkan jenis-

jenis hutan menurut Undang Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang

Ketentuan Pokok Kehutanan dan Reglemen 1927 tentang Undang-

Undang Hutan untuk Jawa dan Madura hanya digunakan sebagai

pembanding saja.

3. Usaha Pelestarian Hutan

Hutan Indonesia yang mencakup 63 % dari luas daratan merupakan

karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang tak ternilai.18 Negara

sebagai penguasa sumber daya hutan secara keseluruhan harus mampu

mengelola secara benar sehingga memberikan manfaat serbaguna bagi

kesejahteraan masyarakat Indonesia maupun kemasyalahatan umat

manusia di Dunia. Karenanya, sumber daya hutan wajib disyukuri, diurus,

dimanfaatkan secara optimal dan dijaga kelestariannya untuk sebesar-

18. Rahmi Hidayati D; Charles CH Tambunan; Agung Nugraha; Iwan Aminidin,

Pemberantasan Illegal Logging Dan Penyelundupan Kayu: Menuju Kelestarian Hutan Dan Peningkatan Kinerja Sektor Kehutanan, Wana Aksara, Banten, 2006, h: 30.

Page 30: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

30

besarnya kemakmuran rakyat bagi generasi sekarang maupun generasi

mendatang.

Pengelolaan hutan secara baik didasarkan pada hakekat hutan yang

merupakan kekayaan sekaligus aset potensial bagi pembangunan nasional

yang mencakup berbagai bidang. Sementara disisi lain dari aspek tinjauan

lingkungan hidup hutan tropis Indonesia yang sangat luas mempunyai

fungsi sebagai salah satu paru-paru kehidupan dunia. Oleh karena itu

keberadaan dan kelestarian hutan Indonesia adalah satu keniscayaan.

Kelestarian hutan tropis bukan hanya menjadi kepentingan bangsa

Indonesia sendiri, melainkan juga menjadi kepentingan bangsa-bangsa di

seluruh dunia.

Artinya pengelolaan hutan di Indonesia harus menjamin

pemeliharaan keamanan dari keseluruhan flora dan fauna yang ada di

dalam kawasan hutan Negara. Hal ini ditujukan agar sumber daya hutan

mampu memberikan daya dukung lingkungan secara menyeluruh dan

berkelanjutan bagi kelangsungan hidup dan kehidupan umat manusia di

dunia yang mencakup batasan lintas generasi maupun lintas teritori.

Arti penting sumber daya hutan yang teramat luas bagi

kelangsungan hidup umat manusia secara lintas teritori tersebut menjadi

kewajiban bersama seluruh umat manusia di dunia untuk menjaga dan

mempertahankan kelestarian fungsi sumber daya hutan. Hutan secara

hakiki memiliki tiga kelestarian fungsi utama, yaitu kelestarian fungsi

ekologi, ekonomi dan sosial. Kelestarian fungsi ekologi hutan adalah

Page 31: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

31

menjaga kelestarian dan menjadi penyangga keseimbangan ekosistem

kehidupan masyarakat dunia. Selanjutnya fungsi ekonomi hutan adalah

menjadi sumber pendapatan keuangan dan devisa Negara. Sementara

secara sosial hutan berfungsi sebagai penyedia lapangan kerja dan sumber

pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat.

Hutan sebagai salah satu sistem penyangga kehidupan dan sumber

kemakmuran rakyat dalam realitasnya terus mengalami penurunan kondisi.

Dalam kurun waktu yang tidak terlalu panjang telah terjadi perusakan

hutan yang cukup signifikan diseluruh Indonesia. Dari data terakhir

disebutkan kerusakan hutan telah mencapai cakupan 101,73 juta hektar.19

Artinya, kerusakan hutan telah benar-benar melumpuhkan potensi

sekaligus salah satu pondasi perekonomian bangsa. Oleh karena itu

menjadi kesepakatan bersama untuk mempertahankan kelestarian sumber

daya hutan secara optimal melalui penjagaan daya dukungnya secara

lestari, diurus dengan akhlak, adil, arif, bijaksana, terbuka dan

bertanggung jawab.

Dalam rangka menjaga kesinambungan pembangunan kehutanan

untuk mewujudkan sistem pengelolaan hutan yang adil, lestari dan

berkelanjutan, pemerintah melalui Departemen Kehutanan telah

menetapkan lima Kebijakan Prioritas atau target sukses pembangunan

Kehutanan 2005-2009 yang meliputi:

19. Ibid., h. 33.

Page 32: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

32

1. Pemberantasan pencurian kayu di hutan Negara dan perdagangan kayu

illegal.

2. Revitalisasi sektor kehutanan, khususnya industri kehutanan.

3. Rehabilitasi dan konservasi sumber daya hutan.

4. Pemberdayaan ekonomi masyarakat didalam dan disekitar hutan.

5. Pemantapan kawasan hutan. 20

Penerbitan lima kebijakan prioritas tersebut dimaksudkan untuk

mengamankan hutan, memperbaiki kondisi hutan yang rusak,

memantapkan kawasan hutan dan memberdayakan ekonomi masyarakat

disekitar hutan. Muara dari maksud kebijakan prioritas program

pembangunan kehutanan adalah untuk mewujudkan kelestarian hutan dan

kemakmuran masyarakat.21

B. Perlindungan Hukum Dalam Usaha Pelestarian Hutan

Perlindungan hukum dalam usaha pelestarian hutan, yang dilakukan

Pemerintah adalah dengan mengeluarkan berbagai peraturan perundang-

undangan tentang kehutanan yang di dalamnya terdapat poin-poin penting

tentang pelestarian hutan.

Peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan Pemerintah yang

berkaitan dengan usaha pelestarian hutan diantaranya:

1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok

Kehutanan.

20. Ibid., h. 62. 21. Ibid.

Page 33: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

33

2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya

Alam dan Ekosistemnya.

3. Ratifikasi atas konvensi PBB tentang Konservasi Sumber Daya Alam

Hayati.

4. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan

Hidup.

5. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

6. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Hutan.

7. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan.

8. Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 2004 tentang Perizinan Atau

Perjanjian Di Bidang Pertambangan Yang Berada Di Kawasan Hutan.

9. Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan

Penebangan Kayu Secara Illegal dan Peredarannya Di Seluruh Wilayah

Negara Republik Indonesia.

Menurut pasal 15 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967, yang

dimaksud usaha untuk melindungi dan mengamankan fungsi hutan adalah

suatu usaha untuk:

a. Melindungi dan membatasi kerusakan-kerusakan hutan dan hasil-hasil

hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia dan ternak, kebakaran,

daya-daya alam, hama dan penyakit.

b. Mempertahankan dan menjaga hak-hak Negara atas hutan dan hasil hutan.

Page 34: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

34

Sedangkan menurut pasal 47 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999

tentang Kehutanan ditentukan bahwa perlindungan hutan dan kawasan hutan

merupakan usaha untuk:

a. Mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan

yang disebabkan oleh perbuatan manusia dan ternak, kebakaran, daya-

daya alam, hama serta penyakit.

b. Mempertahankan dan menjaga hak-hak Negara, masyarakat dan

perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta

perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.

Perbedaan yang prinsip dari kedua ketentuan diatas, adalah bahwa

dalam ketentuan Pasal 15 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 hanya

perlindungan terhadap hak Negara atas hutan dan hasil hutan, tetapi ketentuan

yang terdapat dalam Pasal 47 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tidak

hanya hak Negara atas hutan yang dilindungi, tetapi juga hak masyarakat dan

perorangan juga mendapat perlindungan sebagaimana mestinya.

Ada dua macam usaha untuk mempertahankan, menjaga dan

melindungi hak Negara atas hutan, yaitu usaha perlindungan hutan atau

disebut usaha pengamanan teknis hutan dan usaha pengamanan hutan, atau

disebut usaha pengamanan polisionil hutan.22

Usaha perlindungan hutan adalah suatu usaha untuk mencegah

terjadinya kerusakan hutan. Ada lima golongan kerusakan hutan yang perlu

mendapat perlindungan yaitu:

22. Salim, op.cit. h. 114.

Page 35: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

35

1. Kerusakan akibat pengerjaan/pendudukan tanah hutan secara tidak sah,

penggunaan hutan yang menyimpang dari fungsinya, dan pengusahaan

hutan yang tidak bertanggung jawab.

2. Kerusakan hutan akibat pengambilan batu, tanah dan bahan galian lainnya,

serta penggunaan alat-alat yang tidak sesuai dengan kondisi tanah/tegakan.

3. Kerusakan hutan akibat pencurian kayu dan penebangan tanpa izin.

4. Kerusakan hutan akibat penggembalaan ternak dan akibat kebakaran.

5. Kerusakan hasil hutan akibat perbuatan manusia, gangguan hama dan

penyakit serta daya alam.23

Keberhasilan pembangunan dibidang kehutanan tidak saja ditentukan

oleh aparatur yang cakap dan terampil. Tetapi juga harus juga didukung

dengan peran serta masyarakat.

Perlunya peran serta masyarakat dalam perlindungan hutan adalah

didasari pemikiran bahwa dengan adanya peran serta tersebut dapat

memberikan informasi kepada Pemerintah dan mengingatkan kesediaan

masyarakat untuk menerima keputusan.

Kewajiban peran serta masyarakat dalam bidang kehutanan ini diatur

dalam peraturan perundang-undangan, diantaranya:

• Pasal 15 Ayat (3) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 yang berbunyi

“Untuk menjamin terlaksananya perlindungan hutan dengan sebaik-

baiknya maka rakyat diikut sertakan.” Ketentuan ini hanya mengikut

sertakan masyarakat dalam tahap pelaksanaan dari suatu kegiatan dibidang

23. Ibid.

Page 36: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

36

kehutanan, sedangkan dalam tahap perencanaan dan penilaiannya

masyarakat kurang dilibatkan, terbukti dalam rencana peruntukan dan

pengukuhan hutan, pemerintahlah yang menentukan secara sepihak.

• Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 tentang

Perlindungan Hutan juga diatur tentang peran serta masyarakat. Peran

serta tersebut ditujukan kepada masyarakat yang bermukim di sekitar

kawasan hutan diwajibkan ikut serta dalam usaha pencegahan dan

pemadaman kebakaran hutan.

• Pasal 5 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup juga telah diatur tentang peran serta masyarakat. Pasal

5 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 berbunyi: “(1) Setiap orang

mempunyai hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. (2) Setiap

orang berkewajiban memelihara lingkungan hidup dan mencegah serta

menanggulangi kerusakan dan pencemarannya.”

• Pasal 6 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 ditentukan bahwa setiap

orang mempunyai hak dan kewajiban untuk berperan serta dalam rangka

pengelolaan lingkungan hidup.

• Di dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan peran

serta masyarakat dalam usaha pelestarian hutan diatur dalam pasal 68

sampai pasal 70 meliputi hak dan kewajiban masyarakat terhadap hutan.

Masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan

hutan. Namun berdasarkan pasal 69 ditentukan bahwa masyarakat juga

Page 37: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

37

berkewajiban untuk ikut serta memelihara dan menjaga kawasan hutan

dari gangguan dan perusakan.

• Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan

Hutan, menjelaskan bahwa masyarakat hukum adat diberi hak untuk

mengelola kawasan hutan dan berkewajiban untuk melakukan

perlindungan hutan. Selanjutnya dalam Pasal 26 Peraturan Pemerintah

Nomor 45 Tahun 2004 setiap orang yang berada di dalam dan di sekitar

hutan wajib untuk berperan aktif dalam usaha membatasi meluasnya

kebakaran hutan dan mempercepat pemadaman kebakaran hutan.

C. Tindak Pidana Yang Berhubungan Dengan Perusakan Hutan.

1. Pengertian dan unsur-unsur tindak pidana.

a. Pegertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal

dalam hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit. Walaupun istilah ini

terdapat dalam WvS Belanda dengan demikian juga WvS Hindia

Belanda (KUHP), tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang

dimaksud dengan stafbaar feit itu. Karena itu para ahli hukum

berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu. 24

Istilah-istilah yang pernah digunakan baik dalam perundang-

undangan yang ada maupun dalam literatur hukum sebagai terjemahan

dari stafbaar feit adalah: 25

24. Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana (Bagian I), BKBH Fakultas Hukum

Universitas Brawijaya, Malang, 2001, h. 74. 25. Ibid.

Page 38: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

38

a. Tindak pidana dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam

perundang-undangan pidana Indonesia. Dalam hampir seluruh

peraturan perundang-undangan Indonesia menggunakan istilah

tindak pidana. Ahli hukum yang menggunakan istilah Tindak

Pidana adalah Prof. Dr. Wirdjono Prodjodikoro, S.H.

b. Peristiwa Pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum,

diantaranya Mr. R. Tresna dalam bukunya “Azas-azas Hukum

Pidana”, Mr. Drs. H.J. van Schravendijk dalam buku-buku

pelajaran tentang hukum pidana Indonesia, Prof. A. Zainal Abidin,

S.H. dalam buku beliau “Hukum Pidana”.

c. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin “delictum” juga

digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud

dengan stafbaar feit. Ahli hukum yang menggunakan istilah ini

dalam buku-bukunya diantaranya Prof. Drs. E. Utrecht, S.H, Prof.

A. Zainal Abidin, S.H, Prof. Moeljatno.

d. Pelanggaran Pidana, dapat dijumpai dalam buku Pokok-pokok

Hukum Pidana yang ditulis oleh Mr. M.H. Tirtaamidjaja.

e. Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan oleh Mr.

Karni dan Mr. Drs. H.J. van Schravendijk.

f. Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan oleh Pembentuk

Undang-undang dalam Undang-undang Nomor 12/Drt/1951

tentang Senjata Api dan Bahan Peledak.

Page 39: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

39

g. Perbuatan Pidana, digunakan oleh Prof. Mr. Moeljatno dalam

berbagai tulisan beliau, misalnya dalam buku Azas-azas Hukum

Pidana.

b. Unsur-unsur Tindak Pidana

Dalam mengkaji unsur-unsur tindak pidana dikenal dua aliran

yaitu aliran monistis dan aliran dualistis.

Aliran monistis, memandang semua syarat untuk menjatuhkan

pidana sebagai unsur tindak pidana. Aliran ini tidak memisahkan unsur

yang melekat pada perbuatannya (criminal act) dengan unsur yang

melekat pada orang yang melakukan tindak pidana (criminal

responsibility atau criminal liability yang berarti pertanggungan-jawab

dalam hukum pidana). Sarjana-sarjana yang termasuk kelompok aliran

monistis diantaranya: Simon, Mezger, dan Wiryono Prodjodikoro.26

Simon mengemukakan unsur-unsur tindak pidana sebagai

berikut:

• Perbuatan manusia (positif atau negatif).

• Diancam dengan pidana.

• Melawan hukum.

• Dilakukan dengan kesalahan.

• Oleh orang yang mampu bertanggung jawab.

Unsur-unsur tersebut oleh simon dibedakan antara unsur

objektif dan unsur subjektif. Yang termasuk dalam unsur objektif

26. Masruchin Ruba’I, Asas-asas Hukum Pidana, UM PRESS bekerjasama dengan

UNIBRAW, Malang, 2001, h. 22.

Page 40: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

40

adalah: perbuatan orang, akibat yang kelihatan dari perbuatan itu, dan

kemungkinan adanya keadaan tertentu yang menyertai, misalnya unsur

“dimuka umum” dalam pasal 218 KUHP. Yang termasuk dalam unsur

subjektif adalah: orang yang mampu bertanggung jawab dan

melakukan kesalahan.27

E. Mezger mengemukakan unsur-unsur tindak pidana sebagai

berikut:

• Perbuatan dalam arti yang luas dari manusia.

• Sifat melawan hukum.

• Dapat dipertanggungjawabkan kepada seseorang.

• Diancam pidana.28

Wiryono Prodjodikoro mengemukakan unsur-unsur tindak

pidana sesuai dengan definisi yang dikemukakannya sebagai berikut:

“tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat

dikenakan pidana”. Unsur-unsur tindak pidana menurut Wiryono

meliputi unsur perbuatan dan pelaku.29

Aliran dualistis memisahkan antara criminal act dengan

criminal responsibility, yang menjadi unsur tindak pidana menurut

aliran ini hanyalah unsur-unsur yang melekat pada criminal act

27. Ibid. 28. Ibid. 29. Ibid.

Page 41: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

41

(perbuatan yang dapat dipidana). Sarjana-sarjana yang termasuk dalam

aliran dualistis diantaranya: H.B. Vos, W.P.J. Pompe, Moelyatno.30

H.B. Vos menyebutkan unsur-unsur tindak pidana sebagai

berikut:

• Kelakuan manusia.

• Diancam pidana.

W.P.J. Pompe mengemukakan unsur-unsur tindak pidana

sebagai berikut:

• Perbuatan.

• Diancam pidana dalam ketentuan undang-undang.

Menurut Pompe untuk menjatuhkan pidana di samping adanya

tindak pidana diperlukan adanya orang yang dapat dipidana. Orang

tidak akan dapat dipidana apabila tidak terdapat kesalahan pada

dirinya, dan perbuatannya tidak bersifat melawan hukum. Bagi Pompe

sifat melawan hukum dan kesalahan merupakan syarat pemindanaan.31

Prof. Moelyatno mengemukakan unsur-unsur tindak pidana

sebagai berikut:

• Perbuatan (manusia).

• Memenuhi rumusan undang-undang.

• Bersifat melawan hukum.

30. Ibid., h. 23. 31. Ibid.

Page 42: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

42

Memenuhi rumusan undang-undang merupakan syarat formil.

Keharusan demikian merupakan konsekuensi dari asas legalitas.

Bersifat melawan hukum merupakan syarat materiil. Keharusan

demikian, karena perbuatan yang dilakukan itu harus betul-betul oleh

masyarakat dirasakan sebagai perbuatan yang tidak patut dilakukan.

Menurut (Mulyatno, 1965) bersifat melawan hukum itu merupakan

syarat mutlak untuk tindak pidana.32

2. Tindak Pidana Dibidang Kehutanan

Ada 10 kategori tindak pidana dibidang kehutanan yang dapat

dihukum dengan hukuman penjara dan denda, yang diatur dalam pasal 78

ayat (1) sampai dengan ayat (11) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999

tentang Kehutanan yaitu:

a. Merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan dan kerusakan

hutan.

Dalam pasal 78 ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun

1999 ditentukan dua jenis tindak pidana yang dapat dihukum, yaitu:

• Dengan sengaja merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan

(pasal 50 ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999).

• Dengan sengaja menimbulkan kerusakan hutan (pasal 50 ayat (2)

Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999).

Kategori orang yang dapat dihukum yang dengan sengaja

menimbulkan kerusakan hutan ini adalah setiap orang yang diberikan

32. Ibid.

Page 43: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

43

izin, terutama izin usaha pemanfaatan kawasan hutan, izin usaha

pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu

dan bukan kayu, izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu.

b. Membakar hutan.

Ada dua kategori tindak pidana yang disebutkan dalam pasal

78 ayat (2) dan ayat (3) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999, yaitu:

• Sengaja membakar hutan.

• Karena kelalaiannya menimbulkan kebakaran hutan.

c. Menebang pohon dan memiliki hasil hutan secara illegal.

Dalam pasal 78 ayat (3) Undang-undang Nomor 41 Tahun

1999 ditentukan dua jenis tindak pidana yang dilanggar, yaitu:

1. Melanggar pasal 50 ayat (3) huruf e.

Unsur-unsur tindak pidana yang diatur dalam pasal ini yaitu

barang siapa; menebang pohon; memanen atau memungut hasil

hutan; didalam hutan; tanpa hak atau izin dari pejabat yang

berwenang.

2. Melanggar pasal 50 ayat (3) huruf f.

Unsur-unsur tindak pidana yang disebutkan dalam oasal ini

adalah barang siapa; menerima, membeli atau menjual; menerima

tukar atau menerima titipan; atau memiliki hasil hutan; diketahui

atau patut diduga berasal dari kawasan hutan; yang diambil atau

dipungut secara tidak sah.

Page 44: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

44

d. Melakukan penambangan dan eksplorasi serta eksploitasi bahan

tambang tanpa izin.

Ada dua jenis pasal yang dilanggar yang diatur dalam pasal 78

ayat (5) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999, yaitu:

1. Pasal 38 ayat 4.

Unsur tindak pidana yang tercantum dalam pasal ini yaitu

barang siapa; melakukan penambangan; pola terbuka; dikawasan

hutan lindung.

2. Pasal 50 ayat (3) huruf g

Unsur tindak pidana yang diatur dalam pasal ini barang

siapa; melakukan kegiatan; penyelidikan umum atau eksplorasi;

eksploitasi (pengambilan); barang tambang; dalam kawasan hutan

tanpa izin Menteri.

e. Memiliki hasil hutan tanpa keterangan.

Pasal 78 ayat (6) huruf h Undang-undang Nomor 41 Tahun

1999 berbunyi: “barangsiapa melanggar ketentuan sebagaimana yang

dimaksud dalam pasal 50 ayat (3) diancam dengan pidana penjara

paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000,00

(sepuluh juta rupiah).” Unsur-unsur yang harus terpenuhi dalam pasal

50 ayat (3) yaitu barang siapa; dengan sengaja; menggangkut;

menguasai atau memiliki hasil hutan; tidak dilengkapi bersama-sama

dengan surat keterangan sahnya hasil hutan.

Page 45: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

45

f. Menggembalakan ternak.

Dalam pasal 78 ayat (7) Undang-undang Nomor 41 Tahun

1999 ditentukan hanya satu pasal yang dilanggar, yaitu melanggar

pasal 50 ayat (3) huruf i. unsur-unsur tindak pidana yang dimaksud

dalam ketentuan ini yaitu barang siapa; dengan sengaja;

menggembalakan ternak; di dalam kawasan hutan; tidak ditunjuk

secara khusus oleh pejabat yang berwenang.

g. Membawa alat-alat berat tanpa izin.

Pasal 78 ayat (8) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999

menentukan satu pasal yang dilanggar yaitu pasal 50 ayat (3) huruf j.

unsur-unsur pidana yang tercantum dalam pasal 50 ayat (3) huruf j

yaitu barang siapa; dengan sengaja; membawa alat-alat berat atau alat-

alat lainnya yang tak lazim atau patut diduga; akan digunakan untuk

menggangkut hasil hutan; dalam kawasan hutan; tanpa izin pejabat

yang berwenang.

h. Membawa alat-alat yang lazim digunakan.

Didalam pasal 78 ayat (9) Undang-undang Nomor 41 Tahun

1999 ditentukan satu pasal yang dilanggar yaitu pasal 50 ayat (3) huruf

k. Unsur-unsur tindak pidana yang diatur dalam kedua pasal ini yaitu

barang siapa; dengan sengaja; membawa alat-alat yang lazim

digunakan; untuk menebang, memotong atau membelah pohon; dalam

kawasan hutan; tanpa izin pejabat yang berwenang.

Page 46: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

46

i. Membuang benda-benda yang berbahaya.

Unsur-unsur tindak pidana yang tercantum dalam pasal 78 ayat

(10) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999, yaitu barang siapa;

dengan sengaja; membuang benda-benda; menyebabkan kebakaran;

kerusakan; membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi

hutan; dalam kawasan hutan.

j. Membawa satwa liar dan tumbuh-tumbuhan yang dilindungi.

Supaya pelaku dapat dihukum berdasarkan pasal 78 ayat (11)

ada 7 unsur yang harus dipenuhi sesuai dengan pasal 50 ayat (3) huruf

m Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 yaitu; barang siapa; dengan

sengaja; mengeluarkan, membawa, dan mengangkut; tumbuh-

tumbuhan dan satwa liar; yang dilindungi Undang-undang; berasal dari

kawasan hutan; tanpa izin dari pejabat yang berwenang.

3. Illegal Logging

Definisi illegal logging menurut Tacconi (2003) adalah kegiatan

illegal yang berkaitan dengan ekosistem hutan yaitu pepohonan dan

hewan, industri terkait hutan dan juga produk hutan kayu dan non kayu.

Sedangakan aktifitas ilegal logging adalah kegiatan menebang,

mengangkut, dan menjual kayu dengan melanggar ketentuan perundangan

nasional dan atau internasional33.

Departemen Kehutanan menegasakan yang disebut illegal logging

adalah tindak pidana penebangan pohon dengan aktifitasnya dengan

33. Rahmi Hidayati D, op.cit. h. 10.

Page 47: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

47

mengacu pada UU No 41 Tahun 1999 dan PP No 34 Tahun 1999 yang

meliputi kegiatan menebang atau memanen hasail hutan di dalam kawasan

hutan tanpa memiliki hak atau ijin yang berwenang, serta menerima,

memberi atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan,

mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi

dengan surat sahnya hasil hutan. Termasuk juga didalamnya kegiatan

pemegang ijin pemanfaatan yang melakukan kegiatan yang tidak sesuai

dengan aturan yang ditetapkan, seperti melakukan penebangan melampaui

target volume dan sebagainya.34 Untuk selanjutnya dalam skripsi ini,

penulis menganut pengertian illegal logging menurut UU No 41 Tahun

1999 tentang Kehutanan.

Kejaksaan Negeri Sangatta (2003) mendefinisikan illegal logging

sebagai bentuk kegiatan penebangan pohon atau memanen atau memungut

hasil hutan didalam kawasan hutan tanpa memiliki hak atau izin dari

pejabat yang berwenang dan kegiatan mengangkut, menguasai atau

memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat

keterangan sahnya hasil hutan.35

Pemerintah mempunyai komitmen yang kuat untuk memberantas

praktek illegal logging dan penyelundupan kayu. komitmen pemerintah

didasarkan okeh pemahaman atas realita lapangan yang menunjukkan,

bahwa malpraktek illegal logging dan penyelundupan kayu benar-benar

berdampak luar biasa yang dapat mengancam stabilitas keamanan yang 34. Ibid. 35. Ibid., h. 11.

Page 48: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

48

pada akhirnya akan mengancam kelangsungan dan keutuhan Negara

Kesatuan Republik Indonesia.

Komitmen dan kesungguhan pemerintah untuk memberantas

illegal logging tersebut direlisasikan dengan dikeluarkannya beberapa

peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dalam

melakukan pemberantasan illegal logging.

1. Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

• Pasal 50 Ayat (3) huruf e berbunyi:

“Setiap orang dilarang: menebang pohon atau memanen

atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau

ijin dari pejabat yang berwenang.”

• Pasal 50 Ayat (3) huruf f berbunyi:

“Setiap orang dilarang: menerima, membeli atau menjual,

menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil

hutan yang diketahui atau patut diduga dari kawasan hutan yang

diambil atau dipungut secara tidak sah.”

• Pasal 50 Ayat (3) huruf h berbunyi:

“Setiap orang dilarang: mengangkut, menguasai, atau

mrmiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan

surat keterangan sahnya hasil hutan (SKSHH).”

• Pasal 50 Ayat (3) huruf j berbunyi:

“Setiap orang dilarang: membawa alat-alat berat dan

atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan

Page 49: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

49

digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan

hutan, tanpa ijin pejabat yang berwenang.”

• Pasal 50 Ayat (3) huruf k berbunyi:

“Setiap orang dilarang: membawa alat-alat yang

lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau

membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin

pejabat yang berwenang.”

2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2004

tentang Perlindungan Hutan.

Di dalam Peraturan Pemerintah ini lebih jelas lagi usaha yang

dilakukan pemerintah untuk mencegah illegal logging.

• Pasal 12 Ayat (1) berbunyi:

“Setiap orang yang mengangkut, menguasai atau

memiliki hasil hutan wajib dilengkapi bersama-sama

dengan surat keterangan sahnya hasil hutan.”

• Pasal 12 Ayat (2) berbunyi:

“Termasuk dalam pengertian hasil hutan yang tidak

dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya

hasil hutan adalah:

a. Asal usul hasil hutan dan tampat tujuan pengangkutan

tidak sesuai dengan yang tercantum dalam surat

keterangan sahnya hasil hutan;

Page 50: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

50

b. Apabila keadaan fisik, baik jenis, jumlah maupun

volume hasil hutan yang diangkut, dikuasai atau

dimiliki sebagian atau seluruhnya tidak sama dengan isi

yang tercantum dalam surat keterangan sahnya hasil

hutan;

c. Pada waktu dan tempat yang sama tidak disertai dan

dilengkapi surat-surat yang sah sebagai bukti;

d. Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan masa berlakunya

telah habis;

e. Hasil hutan tidak mempunyai tanda sahnya hasil hutan.”

3. Instruksi Presiden No. 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan

Penebangan Kayu Secara Illegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya

di Seluruh Wilayah Republik Indonesia.

Inpres tersebut menginstruksikan kepada seluruh pejabat

pemerintah Negara Republik Indonesia untuk melakukan percepatan

pemberantasan illegal logging di wilayah Negara Republik Indonesia.

Bagian pertama Instruksi Presiden No. 4 Tahun 2005 ini

merupakan instruksi umum, yaitu tindakan yang harus dilakukan

pejabat pemerintah Negara Republik Indonesia terhadap pelaku illegal

logging. Tindakan yang harus dilakukan tersebut diantaranya:

1. Melakukan percepatan pemberantasan penebangan kayu secara

illegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah

Page 51: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

51

Republik Indonesia, melalui penindakan terhadap setiap orang atau

badan yang melakukan kegiatan:

a. Menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan

kayu yang berasal dari kawasan hutan yang tidak memiliki hak

atau izin dari pejabat yang berwenang.

b. Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima

titipan, menyimpan, atau memiliki dan menggunakan hasil

hutan kayu yang diketahui atau patut diduga berasal dari

kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah.

c. Menggangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang

tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya

hasil hutan kayu.

d. Membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim

atau patut diduga akan digunakan untuk menggangkut hasil

hutan di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang

berwenang.

e. Membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang,

memotong atau membelah pohon di dalam kawasan hutan

tanpa izin pejabat yang berwenang.

2 Menindak tegas dan memberikan sanksi terhadap oknum petugas

dilingkup instansinya yang terlibat dengan kegiatan penebangan

kayu secara illegal di dalam kawasan hutan dan peredarannya.

Page 52: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

52

3 Melakukan kerja sama dan saling berkoordinasi untuk

melaksanakan pemberatasan penebangan kayu secara illegal di

kawasan hutan dan peredarannya diseluruh wilayah Republik

Indonesia.

4 Memanfaatkan informasi dari masyarakat yang berkaitan dengan

adanya kegiatan penebangan kayu secara illegal dan peredarannya.

5 Melakukan penanganan sesegera mungkin terhadap barang bukti

hasil operasi pemberantasan penebangan kayu secara illegal di

kawasan hutan dan perdarannya di seluruh wilayah Republik

Indonesia dan atau alat-alat bukti lain yang digunakan dalam

kejahatan dan atau alat angkutnya untuk penyelamatan nilai

ekonominya.

Sedangkan bagian kedua, ketiga dan keempat Instruksi

Presiden No. 4 Tahun 2005 merupakan instruksi khusus kepada

pejabat pemerintah Negara Republik Indonesia tertentu, sesuai dengan

kewenangan yang diberikan Inpres ini untuk melakukan percepatan

pemberantasan illegal logging di wilayah Negara Republik Indonesia.

D. Penyelidikan Dan Penyidikan Terhadap Pelaku Illegal Logging.

1. Pengertian Penyelidikan.

Pasal 1 angka 5 KUHAP memberi definisi penyelidikan sebagai

“Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan

menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna

Page 53: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

53

menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang

diatur menurut undang-undang.”

Sedangkan yang dimaksud penyelidik menurut pasal 1 angka 4

KUHAP adalah “Penyelidik adalah pejabat polisi Negara Republik

Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk

melakukan penyelidikan.”

2. Pengertian Penyidikan.

Istilah penyidikan dimaksudkan sejajar dengan istilah-istilah asing,

seperti opsporing (Belanda) yang berarti pemeriksaan permulaan dan

investigation (Inggris) yang berarti investigasi, atau penyiasatan atau

siasat (Malaysia).36

KUHAP memberi definisi penyidikan sebagai:

“Serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.”37

Dalam bahasa Belanda ini sama dengan opsporing. Menurut de

Pinto, menyidik (opsporing) berarti “pemeriksaan permulaan oleh pejabat-

pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah mereka

dengan jalan apapun mendengar kabar yang sekedar beralasan, bahwa ada

terjadi suatu pelanggaran hukum.38

36. Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, CV Sapta Artha Jaya, Jakarta, 1996,

h. 121. 37. _______KUHP & KUHAP. Rineka Cipta, Jakarta. 1998. h. 229. 38. Andi Hamzah, op.cit.

Page 54: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

54

Pengetahuan dan pengertian penyidikan perlu dinyatakan dengan

pasti dan jelas, karena hal itu langsung menyinggung dan membatasi hak-

hak asasi manusia. Bagian-bagian hukum acara pidana yang menyangkut

penyidikan adalah:

1. Ketentuan tentang alat-alat penyidik.

2. Ketentuan tentang terjadinya delik.

3. Pemeriksaan di tempat kejadian.

4. Pemanggilan tersangka atau terdakwa.

5. Penahanan sementara.

6. Penggeledahan.

7. Pemeriksaan atau interogasi.

8. Berita acara (penggeledahan, interogasi dan pemeriksaan di

tempat).

9. Penyitaan.

10. Penyampingan perkara.

11. Pelimpahan perkara kepada penuntut umum dan

pengembaliannya kepada penyidik untuk disempurnakan.39

Sedangkan yang dimaksud dengan penyidik menurut pasal 1 angka

1 KUHAP adalah “Penyidik adalah pejabat polisi Negara Republik

Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang

khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.”

39. Ibid.

Page 55: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

55

3. Pejabat Yang Berwenang Melakukan Penyelidikan Dan Penyidikan

Di Bidang Kehutanan

1. Kepolisian Republik Indonesia.

Secara umum tugas dan wewenang Kepolisian Republik

Indonesia diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP) meliputi:

1. Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang bertugas

sebagai penyelidik (pasal 5 KUHAP).

a. Karena kewajibannya mempunyai wewenang:

1. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang

adanya tindak pidana.

2. Mencari keterangan dan barang bukti.

3. Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan

serta memeriksa tanda pengenal diri.

4. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang

bertanggung jawab.

b. Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa:

1. Penangkapan, larangan meninggalkan tempat,

penggeledahan dan penyitaan.

2. Pemeriksaan dan penyitaan surat.

3. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang.

4. membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik.

Page 56: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

56

2. Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang bertugas

sebagai penyidik menurut pasal 7 KUHAP mempunyai wewenang:

a. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya

tindak pidana.

b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian.

c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda

pengenal diri tersangka.

d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan

penyitaan.

e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.

f. Mengambil sidik jari dan memotret seorang.

g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai

tersangka atau saksi.

h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya

dengan pemeriksaan perkara.

i. Mengadakan penghentian penyidikan.

j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung

jawab.

Sedangkan khusus untuk tindak pidana dibidang kehutanan,

tugas dan wewenang Kepolisian Republik Indonesia menurut Instruksi

Presiden No. 4 Tahun 2005 yang diinstruksikan melalui Kepala

Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:

Page 57: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

57

a. Menindak tegas dan melakukan penyidikan terhadap para pelaku

kegiatan penebangan kayu secara illegal di dalam kawasan hutan

dan peredarannya.

b. Melindungi dan mendampingi aparat kehutanan yang

melaksanakan kegiatan pemberantasan penebangan kayu secara

illegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah

Republik Indonesia.

c. Menempatkan petugas Kepolisian Republik Indonesia di lokasi

rawan penebangan kayu secara illegal dan peredarannya sesuai

kebutuhan.

2. Polisi Kehutanan

Di dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah No 45 Tahun

2004 tentang perlindungan hutan, yang dimaksud dengan polisi

kehutanan adalah:

Pejabat tertentu dalam lingkup instansi kehutanan pusat dan daerah yang sesuai dengan sifat pekerjaannya, menyelenggarakan dan atau melaksanakan usaha perlindungan hutan yang oleh kuasa undang-undang diberikan wewenang kepolisian khusus dibidang kehutanan dan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

Pengertian Polisi Kehutanan juga diatur dalam Pasal 32 Peraturan

Pemerintah No 45 Tahun 2004 tentang perlindungan hutan. Polisi

Kehutanan menurut pasal ini adalah Pejabat Kehutanan tertentu yang

diberikan wewenang kepolisian khusus sesuai dengan sifat

pekerjaannya oleh Undang-Undang.

Page 58: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

58

Pejabat kehutanan tertentu yang mempunyai wewenang

kepolisian khusus tersebut meliputi:

a. Pegawai Negeri Sipil yang diangkat sebagai pejabat fungsional

Polisi Kehutanan:

b. Pegawai Perusahaan Umum Kehutanan Indonesia (Perum

Perhutani) yang diangkat sebagai Polisi Kehutanan:

c. Pejabat Struktural Instansi Kehutanan Pusat maupun Daerah yang

sesuai dengan tugas dan fungsinya mempunyai wewenang dan

tanggung jawab di bidang perlindungan hutan.

3. Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan.

Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil diatur dalam pasal 6

ayat (1) huruf b yang berbunyi “penyidik adalah pejabat pegawai

negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-

undang.”

Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil kehutanan diberi

wewenang khusus oleh Undang-undang yaitu pasal 77 ayat (1)

Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang berbunyi:

“Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengurusan hutan, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.”

Kemudian dalam pasal 37 Peraturan Pemerintah No 45 Tahun

2004 tentang perlindungan hutan, dijelaskan bahwa Polisi Kehutanan

Page 59: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

59

yang telah memenuhi persyaratan berdasarkan, dapat diangkat menjadi

Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan.

Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan menurut

Pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah No 45 Tahun 2004 adalah

pejabat pegawai negeri sipil tertentu dalam lingkup instansi kehutanan

pusat dan daerah yang oleh undang-undang diberi wewenang khusus

penyidikan dibidang kehutanan dan konservasi sumber daya alam

hayati dan ekosistemnya.

Page 60: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

60

BAB III

PEMBAHASAN

A. Kewenangan Polisi Kehutanan Dalam Upaya Pemberantasan Illegal

Logging di Kawasan Hutan Produksi di Kabupaten Trenggalek.

1. Kewenangan Melakukan Penyelidikan.

Kewenangan yang dimiliki Polisi Kehutanan untuk melakukan

penyelidikan terhadap tindak pidana illegal logging secara umum diatur

dalam pasal 36 ayat (3) Peraturan Pemerintah No 45 Tahun 2004 tentang

perlindungan hutanyang berbunyi “Polisi Kehutanan atas perintah

pimpinan, berwenang untuk melakukan penyelidikan, dalam rangka

mencari dan menangkap tersangka”.

Dalam melakukan kegiatan penyelidikan terhadap tindak pidana

illegal logging, acuan yang digunakan polisi kehutanan di Kabupaten

Trenggalek adalah pasal 36 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah No 45

Tahun 2004 tentang perlindungan hutan. Kewenangan tersebut meliputi

kegiatan dan tindakan kepolisian khusus dibidang kehutanan yang bersifat

preventif, tindakan administratif dan operasi represif.

Kewenangan yang dimiliki Polisi Kehutanan di Kabupaten

Trenggalek dalam melakukan penyelidikan untuk mencegah tindak pidana

illegal logging di kawasan hutan produksi diantaranya:

Page 61: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

61

a. Mengadakan patroli/perondaan di dalam kawasan hutan atau

wilayah hukumnya.

b. Memeriksa surat-surat atau dokumen yang berkaitan dengan

pengangkutan hasil hutan di dalam kawasan hutan atau wilayah

hukumnya.

c. Menerima laporan tentang telah terjadinya tindak pidana yang

menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan.

d. Mencari keterangan dan barang bukti terjadinya tindak pidana

yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan.

e. Dalam hal tertangkap tangan, wajib menangkap tersangka

untuk diserahkan kepada yang berwenang.

f. Membuat laporan dan menandatangani laporan tentang

terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan

hutan dan hasil hutan.

Dari hasil survey di lapangan, kewenangan Polisi Kehutanan di

kabupaten Trenggalek dalam hal melakukan penyelidikan terhadap tindak

pidana illegal logging terbatas hanya di dalam wilayah hukum Polisi

Kehutanan di Kabupaten Trenggalek. Wilayah hukum Polisi kehutanan di

Kabupaten Trenggalek adalah di dalam kawasan hutan dan sekitar

kawasan hutan produksi.40

Sedangkan kewenangan diluar wilayah hukum tersebut tidak

dimiliki polisi kehutanan dan hanya dimiliki oleh POLRI. Untuk itu dalam

40. Wawancara dengan KBKPH Kampak, Bpk. Faturahman tanggal 25 Mei 2007.

Page 62: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

62

melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana illegal logging, Polisi

Kehutanan selalu berkoordinasi dengan POLRI. Tujuannya agar pelaku

yang sudah keluar dari wilayah hukum Polisi Kehutanan dapat ditangkap

oleh POLRI. 41

2. Kewenangan Melakukan Penyidikan.

Kewenangan untuk melakukan proses hukum terhadap kasus

illegal logging dimiliki oleh pejabat penyidik pegawai negeri sipil

kehutanan. Dalam pasal 37 Peraturan Pemerintah No 45 Tahun 2004

tentang perlindungan hutan, dijelaskan bahwa “Polisi Kehutanan yang

telah memenuhi persyaratan dapat diangkat menjadi Pejabat Penyidik

Pegawai Negeri Sipil Kehutanan.”

Wewenang pejabat penyidik pegawai negeri sipil kehutanan

berdasarkan pasal 36 ayat (2) Peraturan Pemerintah No 45 Tahun 2004

tentang perlindungan hutan diantaranya:

a. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau

keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana yang

menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan.

b. Melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga

melakukan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan

hutan dan hasil hutan.

c. Memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam

kawasan hutan atau wilayah hukumnya.

41. Ibid.

Page 63: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

63

d. Melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak

pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

e. Meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan

hukum. Sehubungan dengan tindak pidana yang menyangkut

hutan, kawasan hutan dan hasil hutan.

f. Menangkap dan menahan dalam koordinasi dan pengawasan

Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai Kitab Undang-

undang Hukum Acara Pidana.

g. Membuat dan menandatangani berita acara.

h. Menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti

tentang adanya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan

hutan dan hasil hutan.

Berdasarkan pasal 39 ayat (1), (2), dan (5) serta pasal 40 ayat (1)

Peraturan Pemerintah No 45 Tahun 2004 tentang perlindungan hutan,

pejabat penyidik pegawai negeri sipil kehutanan juga memiliki

kewenangan diantaranya:

1. Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan berwenang

melakukan penyidikan terhadap tindak pidana kejahatan dan

pelanggaran di bidang kehutanan.

2. Dalam rangka kegiatan administrasi penyidikan. Pejabat

Penyidik Pegawai Negeri Sipil dalam hal tertentu dapat secara

Page 64: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

64

langsung menyampaikan surat penberitahuan kepada instansi

terkait dan tembusannya kepada Penyidik Kepolisian Negara

Republik Indonesia.

3. Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil pada waktu

melaksanakan penyidikan atas tindak pidana kehutanan apabila

menemukan adanya perbuatan yang patut diduga merupakan

kejahatan atau pelanggaran yang bersifat pidana umum yang

terkait dengan tindak kehutanan, harus segera menyerahkan

kepada Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik

Indonesia.

4. Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil dapat melakukan

penahanan dalam koordinasi dan pengawasan Penyidik

Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai Kitab Undang-

undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Dari fakta yang penulis dapatkan di lapangan, tidak ada Polisi

Kehutanan di Kabupaten Trenggalek yang diangkat menjadi Pejabat

Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan. Terdapat beberapa alasan

mengapa Polisi Kehutanan di Kabupaten Trenggalek tidak ada yang

diangkat menjadi Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan,

diantaranya:

Page 65: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

65

a. Polisi Kehutanan yang bertugas di Kabupaten Trenggalek

semua berasal dari Pegawai Badan Usaha Milik Negara

(BUMN) yang bergerak dibidang kehutanan yaitu pegawai

Perum Perhutani dan bukan Pegawai Negeri Sipil, sehingga

tidak memiliki dasar hukum untuk menjadi Pejabat Penyidik

Pegawai Negeri Sipil Kehutanan. Ketentuan mengenai Pejabat

Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan diatur dalam Pasal 1

angka 3 Peraturan Pemerintah No 45 Tahun 2004 yang

berbunyi:

“Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu dalam lingkup instansi kehutanan pusat dan daerah yang oleh undang-undang diberi wewenang khusus penyidikan dibidang kehutanan dan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.”

b. Saat ini Perum Perhutani masih memprioritaskan pelestarian

Sumber Daya Hutan (SDH) dari kerusakan.42 Akan tetapi

kedepan bisa saja dibentuk Pejabat Penyidik Pegawai Negeri

Sipil Kehutanan, bila dirasa sangat mendesak, yaitu apabila

pihak kepolisian kewalahan dengan banyaknya kasus illegal

logging. Untuk itu Perum Perhutani harus segera menyiapkan

Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan.43

42. Wawancara dengan KSKPH Kediri Selatan Bpk. Asep Surahman tanggal 5 Juni 2007. 43. Ibid.

Page 66: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

66

Berdasarkan fakta yang penulis dapatkan di lapangan diatas, dapat

ditarik kesimpulan kewenangan penuh masih dimiliki POLRI dalam

melakukan penyidikan terhadap kasus illegal logging yang terjadi di

Kabupaten Trenggalek. Sedangkan kewenangan Polisi Kehutanan di

Kabupaten Trenggalek hanya terbatas pada kewenangan untuk melakukan

penyelidikan saja.

B. Kendala-Kendala yang Dihadapi Polisi Kehutanan Dalam Upaya

Menanggulangi Illegal Logging di Kawasan Hutan Produksi Kabupaten

Trenggalek.

Luas keseluruhan hutan yang dikelola oleh Perum Perhutani di

Kabupaten Trenggalek adalah seluas 61.394,2 ha yang terdiri dari:

1. Hutan Produksi seluas 43.760,4 ha.

2. Hutan Lindung seluas 17.633,8 ha.

Jenis tanaman yang ditanam dikawasan hutan produksi sejak tahun

1969 sampai dengan tahun 2006 hanya satu jenis yaitu pohon pinus. Mulai

tahun 2006 sampai dengan sekarang jenis tanaman yang ditanam dikawasan

hutan produksi ditambah lagi satu jenis pohon menjadi dua jenis pohon yaitu

pohon pinus dan pohon mindi. Sedangkan untuk hutan lindung, jenis tanaman

yang ditanam terdiri dari berbagai jenis pohon.44

Karena pohon pinus sudah ditanam sejak tahun 1969, maka sampai

dengan pertengahan tahun 2006 pohon pinus rata-rata sudah besar. Sedangkan

44. Wawancara dengan KBKPH Dongko Bpk. Supriyanto tanggal 26 Mei 2007.

Page 67: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

67

pohon mindi sampai dengan sekarang masih kecil karena baru ditanam sejak

pertengahan tahun tahun 2006. Untuk itu sampai dengan sekarang pohon

pinus masih menjadi prioritas utama Perum Perhutani dalam menanggulangi

illegal logging di kawasan hutan produksi di Kabupaten Trenggalek.

Data jumlah pohon pinus yang tercatat hilang dikawasan hutan

produksi di Kabupaten Trenggalek selama 5 tahun terakhir menyebutkan:

Tahun Jml Pohon Pinus

Yang Tercatat Hilang

Nilai (Miliar)

2002 249724 12.592003 68428 3.752004 106477 8.552005 331809 17.892006 5746 0.43

Jumlah 762184 43.21Data dari: Arsip KSKPH Kediri Selatan.

Dari data diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa praktek illegal

logging di kawasan hutan produksi di Kabupaten Trenggalek relatif tinggi

sebelum tahun 2006. Kondisi ini terjadi sejak tahun 1998 sampai dengan tahun

2005. Penyebab utamanya adalah stabilitas politik yang tidak menentu yang

terjadi di Indonesia. Gerakan reformasi di Indonesia yang bertujuan

mengembalikan hak-hak rakyat dalam tatanan demokrasi ditanggapi salah

oleh masyarakat. Masyarakat menganggap hutan juga dikembalikan kepada

rakyat. Akibatnya masyarakat yang rata-rata berpendidikan rendah beramai-

ramai menebang pohon secara besar-besaran. Kondisi inilah yang

dimanfaatkan para cukong untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.45

45. Wawancara dengan KBKPH Dongko Bpk. Supriyanto tanggal 26 Mei 2007.

Page 68: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

68

Sampai akhirnya pada tahun 2006 sudah ada kesadaran dari semua

pihak baik pemerintah Perum Perhutani maupun masyarakat, setelah adanya

Instruksi Presiden No. 4 Tahun 2005 tentang pemberantasan penebangan kayu

secara illegal di kawasan hutan dan peredarannya diseluruh wilayah Republik

Indonesia. Perum Perhutani sendiri juga mengadakan perubahan besar dalam

hal usaha perlindungan hutan.46

Berdasarkan kajian dari Perum Perhutani di Kabupaten Trenggalek,

terdapat tujuh faktor yang menjadi kendala objektif terkait dengan usaha

pemberantasan illegal logging di kawasan hutan produksi di Kabupaten

Trenggalek. Kelima faktor tersebut meliputi:

1. Faktor geografis.

Kawasan hutan produksi di Kabupaten Trenggalek sebagian besar

terletak di daerah pegunungan. Sehingga menyulitkan aparat dalam

menjalankan tugas untuk melakukan pengawasan dilapangan. Aparat juga

harus benar-benar menguasai medan karena dihadapkan dengan

kenyataan alam yang penuh dengan jurang yang terjal dan rimbun semak

yang tak jarang memerlukan tenaga ekstra untuk dapat menjalankan tugas

yang sesuai dengan harapan dan target yang telah di tentukan.47

2. Faktor sarana dan prasarana.

Kelengkapan sarana dan prasarana dalam kegiatan pemberantasan

illegal logging melalui operasi merupakan faktor yang menentukan

46. Ibid. 47. Ibid.

Page 69: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

69

keberhasilan program. Sementara keterbatasan sarana dan prasarana akan

berdampak pada optimalisasi pelaksanaan program. Berdasarkan realita di

lapangan, terdapat dua kendala obyektif yang dihadapi Polisi Kehutanan di

Kabupaten Trenggalek terkait dengan sarana dan prasarana yang

berdampak pada optimalnya hasil operasi, yaitu:

1. Minimnya sarana dan prasarana yang mendukung operasi,

seperti tidak tersedianya alat berat dan alat angkut untuk

mengangkut dan menyimpan barang bukti dari lokasi

penemuan/penyitaan ke tempat penampungan.

2. Tidak teralokasinya anggaran yang memadai untuk

kepentingan penyelidikan dan penyidikan, mulai dari kegiatan

operasional, tindakan upaya paksa, pengangkutan sampai

dengan pengamanan dan penghitungan barang bukti yang

membutuhkan biaya yang cukup tinggi.48

Realita keterbatasan sarana dan prasarana yang dimiliki Polisi

Kehutanan di Kabupaten Trenggalek mengakibatkan operasi

pemberantasan praktek illegal logging belum membuahkan hasil secara

optimal.

48. Wawancara dengan KRPH Pule Bpk. Imam Basori tanggal 22 Mei 2007.

Page 70: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

70

3. Faktor keseriusan, kepedulian dan ketegasan petugas yang

berkompeten.

Belum adanya pemahaman dan komitmen tentang keseriusan,

kepedulian dan ketegasan terhadap pemberantasan praktek illegal logging

oleh Polisi Kehutanan, Polri dan juga penegak hukum lainnya berdampak

pada masih merebaknya praktek illegal logging di lapangan. Lemahnya

para penegak hukum tersebut salah satunya tercermin dari ringannya

sanksi hukum bagi para pelaku illegal logging yang dapat diseret ke meja

pengadilan.49

4. Faktor oknum petugas.

Adanya oknum petugas baik dari Polisi Kehutanan sendiri, POLRI

maupun pejabat dari instansi lain yang membekingi praktek illegal

logging, menyebabkan sulitnya upaya pemberantasan illegal logging.

Oknum tersebut memiliki peran yang sangat penting dalam praktek illegal

logging. Selain memberikan jaminan keamanan juga memberikan peluang

kepada pelaku untuk menjalankan praktek illegal logging. Hal ini

menunjukkan betapa rumitnya permasalahan illegal logging di kawasan

hutan produksi di Kabupaten Trenggalek.50

49. Wawancara dengan KSKPH Kediri Selatan Bpk. Asep Surahman tanggal 5 Juni 2007. 50. Ibid.

Page 71: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

71

5. Faktor modus operandi kejahatan.

Kendala lain yang dihadapi oleh Polisi Kehutanan sebagai aparat

penegak hukum di lapangan adalah pola kegiatan illegal logging itu

sendiri. Saat ini ada cara baru terkait dengan modus operandi illegal

logging, yaitu dengan mengolah terlebih dahulu kayu menjadi barang jadi

atau setengah jadi. Kayu didistribusikan tidak dalam bentuk kayu bulat,

melainkan diolah terlebih dahulu dalam bentuk kayu olahan yang dimuat

dalam truk dengan dilengkapi dokumen resmi. Untuk mengelabuhi aparat

penegak hukum kayu olahan yang dimuat tersebut digabung dengan kayu

olahan lain yang berasal dari penebangan resmi. Akibatnya, aparat

penegak hukum harus memilahkan terlebih dahulu antara yang resmi dan

yang illegal sehingga memerlukan kecermatan dan waktu yang lebih

lama.51

6. Faktor masyarakat.

Faktor masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan

produksi di Kabupaten Trenggalek, mayoritas berada dalam kondisi

ekonomi yang termasuk dalam kelompok miskin juga menjadi salah satu

kendala. Keterbatasan akses, rendahnya tingkat pendidikan dan minimnya

lapangan kerja berdampak pada kesejahteraan masyarakat disekitar dan

dalam hutan produksi. Realitas ini dimanfaatkan oleh para cukong dan

para pemilik modal melalui praktek illegal logging. Masyarakat dijadikan

51. Wawancara dengan KBKPH Karangan Bpk. Joko Sudarso tanggal 22 Mei 2007.

Page 72: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

72

ujung tombak lapangan dalam praktek illegal logging yang menghasilkan

kondisi rusaknya sumber daya hutan produksi di Kabupaten Trenggalek.

Melalui masyarakat juga, para cukong dan pemodal illegal logging

bersembunyi dan selalu berusaha mengadu domba keduanya. Mengambil

hati dengan membagi uang kepada masyarakat merupakan salah satu trik

dari cukong untuk tetap bisa mengeksploitasi sumber daya hutan.52

Banyaknya masyarakat yang hidup di dalam dan atau disekitar

hutan yang bergabung dalam kelompok illegal logging berdampak pada

meningkatnya laju kerusakan hutan. Akibatnya, faktor masyarakat menjadi

kendala utama yang dihadapi Polisi Kehutanan dalam upaya

pemberantasan praktek illegal logging di kawasan hutan produksi di

Kabupaten Trenggalek.53

7. Faktor sanksi hukum.

Sanksi hukum pidana terhadap praktek illegal logging masih belum

maksimal sehingga tidak sepadan dengan kerugian Negara yang

ditimbulkan oleh praktek illegal logging ini.54 Sanksi pidana terhadap

praktek illegal logging diatur dalam pasal 78 Undang-undang No. 41

Tahun 1999 tentang Kehutanan jo pasal 42, 43 dan 44 Peraturan

Pemerintah No 45 Tahun 2004 tentang perlindungan hutan.

52. Wawancara dengan KSKPH Kediri Selatan Bpk. Asep Surahman tanggal 5 Juni 2007. 53. Ibid. 54. Ibid.

Page 73: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

73

C. Upaya yang Dilakukan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal

Logging di Kawasan Hutan Produksi Kabupaten Trenggalek.

Praktek illegal logging telah memberikan dampak ekonomi, ekologi

dan sosial yang sangat besar. Pemerintahpun melalui berbagai instansi terkait

telah menetapkan upaya pemberantasan dan penanggulangannya sebagai skala

prioritas program.

Secara garis besar terdapat dua upaya pendekatan pemberantasan

praktek illegal logging yang dilakukan pemerintah.

1. Pendekatan kesejahteraan yang bersifat preventif.

Pendekatan ini dilakukan pemerintah dengan cara menggalang

kekuatan dari masyarakat sekitar hutan untuk menolak praktek illegal

logging. Masyarakat sekitar hutan merupakan gerbang utama dan

lokomotif dari praktek illegal logging karena faktor kemiskinan dan

ketidakberdayaan. Karena itu kunci keberhasilan pemberantasan praktek

illegal logging terletak pada bagaimana para pihak mampu meningkatkan

kesejahteraan dan kemandirian masyarakat yang hidup dan tinggal di

sekitar kawasan hutan. 55

2. Pendekatan keamanan yang bersifat represif.

Pendekatan ini dalam upaya pemberantasan praktek illegal logging

perlu dilakukan untuk menciptakan kepastian usaha dan penegakan

55. Rahmi Hidayati D; Charles CH Tambunan; Agung Nugraha; Iwan Aminidin,

Pemberantasan Illegal Logging Dan Penyelundupan Kayu: Menuju Kelestarian Hutan Dan Peningkatan Kinerja Sektor Kehutanan, Wana Aksara, Banten, 2006, h: 14.

Page 74: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

74

hukum. Pendekatan keamanan dilakukan terkait dengan penyimpangan

peraturan perundang-undangan (khususnya peraturan di bidang

kehutanan), baik menyangkut perijinan penebangan, keberadaan dokumen

hasil hutan, proses pengangkutan hingga pemanfaatannya.

Melihat luasnya obyek pendekatan dan banyaknya keterlibatan para

pihak, maka pemerintah melalui Departemen Kehutanan memandang perlu

bekerjasama dengan berbagai aparat keamanan dan aparat penegak hukum,

salah satunya adalah bekerjasama dengan Polisi Kehutanan pegawai Perum

Perhutani.

Hutan Produksi yang berada di Kabupaten Trenggalek seluruh

pengelolaannya dikuasai oleh Perusahaan Umum Kehutanan Indonesia

(Perum Perhutani).56 Untuk itu Perum Perhutani memiliki hak untuk

melakukan eksploitasi sumberdayanya dan juga berkewajiban untuk menjaga

kelestariannya. Untuk menjaga kelancaran eksploitasi sumber daya hutan dan

untuk menjaga kelestarian hutan, Perum Perhutani mengadakan kegiatan

perlindungan hutan, yang juga merupakan bagian dari kegiatan pengelolaan

hutan.57

Kegiatan perlindungan hutan menurut pasal 3 ayat (2) PP Nomor 45

tahun 2004 yang menjadi kewenangan pemerintah dan atau pemerintah daerah

dapat dilimpahkan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak

di bidang kehutanan. Begitu juga yang terjadi di Kabupaten Trenggalek.

56. Wawancara dengan KSKPH Kediri Selatan Bpk. Asep Surahman tanggal 5 Juni 2007. 57. Pasal 2 ayat (1) PP Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan.

Page 75: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

75

Seluruh kegiatan perlindungan hutan di kawasan hutan produksi di Kabupaten

Trenggalek dilimpahkan kepada Perum Perhutani.58

Dalam rangka melaksanakan usaha perlindungan hutan, berdasarkan

Pasal 9 ayat (3) PP Nomor 30 Tahun 2003 tentang Perusahaan Umum

Kehutanan Negara (Perum Perhutani), Perum Perhutani yang kantor pusatnya

berkedudukan di Jakarta (Pasal 4 PP Nomor 30 Tahun 2003) membagi

wilayah kerjanya menjadi 3 unit yaitu:

1. Wilayah Kerja Unit Jawa Tengah, disebut Unit I Jawa Tengah.

2. Wilayah Kerja Unit Jawa Timur, disebut Unit II Jawa Timur.

3. Wilayah Kerja Unit Jawa Barat dan Banten, disebut Unit III Jawa Barat

dan Banten.

Wilayah kerja Unit dibagi menjadi Kesatuan Pemangkuan Hutan

(KPH) yang penetapannya dilakukan oleh Menteri atas usul Direksi.59

Kemudian KPH sendiri dibagi menjadi beberapa Sub KPH (SKPH).

Kabupaten Trenggalek berada di wilayah kerja Unit II Jawa Timur dan berada

di bawah KPH Kediri yaitu berada di SKPH Kediri Selatan.

SKPH Kediri Selatan membawahi lima Badan Kesatuan Pemangkuan

Hutan (BKPH) yang terdiri dari empat BKPH di Kabupaten Trenggalek dan

satu BKPH di Kabupaten Tulungagung. Kemudian setiap BKPH membawahi

58. Wawancara dengan KSKPH Kediri Selatan Bpk. Asep Surahman tanggal 5 Juni 2007. 59. Pasal 9 ayat (4) PP Nomor 30 Tahun 2003 tentang Perusahaan Umum Kehutanan Negara

(Perum Perhutani).

Page 76: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

76

beberapa Resort Pemangkuan Hutan (RPH).60 Adapun BKPH di Kabupaten

Trenggalek yaitu:

1. BKPH Karangan membawahi 4 RPH yaitu:

a. RPH Karangan

b. RPH Tugu

c. RPH Gandusari

d. RPH Pule

2. BKPH Dongko membawahi 5 RPH yaitu:

a. RPH Dongko Utara

b. RPH Sumberbening

c. RPH Dongko Selatan

d. RPH Banjar

e. RPH Panggul

3. BKPH Kampak membawahi 4 RPH yaitu:

a. RPH Kampak Utara

b. RPH Kampak Selatan

c. RPH Munjungan Barat

60. Wawancara dengan KBKPH Kampak, Bpk. Faturahman tanggal 25 Mei 2007.

Page 77: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

77

d. RPH Munjungan Timur

4. BKPH Trenggalek membawahi 4 RPH yaitu:

a. RPH Bendungan

b. RPH Sumurup

c. RPH Trenggalek

d. RPH Durenan

Resort Pemangkuan Hutan (RPH) memiliki beberapa petugas lapangan

(Mandor) yang semuanya bertugas langsung di lapangan untuk mengelola

hutan. Tiap Mandor memiliki tugas perbidang (fungsional) yaitu:

a. Mandor dibidang persemaian.

Bertugas untuk melakukan persemaian tanaman yang akan ditanam

di kawasan hutan.

b. Mandor dibidang tanam.

Bertugas melakukan penanaman tanaman baru dari hasil

persemaian yang sudah siap ditanam.

c. Mandor dibidang pemeliharaan.

Bertugas memelihara tanaman dikawasan hutan produksi.

d. Mandor dibidang sadap.

Bertugas melakukan penyadapan getah pinus di kawasan hutan

produksi.

Page 78: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

78

e. Mandor dibidang tebang.

Bertugas melakukan penebangan pohon yang sudah siap untuk

dipanen.

f. Mandor dibidang keamanan.

Bertugas mengamankan tanaman di kawasan hutan produksi dari

penjarahan.

Dari seluruh jajaran pegawai Perum Perhutani diatas, yang disebut

sebagai Polisi Kehutanan pegawai Perum Perhutani adalah:61

1. Polhutan (Polisi Khusus Kehutanan) yaitu seluruh jajaran aparat

pelaksana Perum Perhutani yang mengemban tugas pengamanan

hutan secara umum yang mempunyai wewenang kepolisian

khusus.

2. Polhutan Teritorial (Polhuter) yaitu unsur Polhutan yang terdiri

dari para aparat pelaksana pengamanan hutan yang bertugas di

dalam hutan dan pejabat pengelola hutan yang disamping

menjalankan tugas-tugas teknis kehutanan juga diberi wewenang

kepolisian terbatas dibidang pengamanan hutan diwilayah

kerjanya.

3. Polhutan Mobil (Polhutmob) yaitu unsur Polhutan berbentuk

kesatuan/regu yang bersifat mobil dan mempunyai tugas-tugas

61. Keputusan Direksi Perum Perhutani Nomor: 1838/KPTS/DIR/1998 Tentang Pedoman

Pengamanan Hutan Dengan System Patroli Tunggal Mandiri (PTM).

Page 79: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

79

taktis Kepolisian, membantu Polhutan Teritorial dibidang

pengamanan hutan. Kedudukan Polhutan Mobil ini berada di KPH

dan wilayah kerjanya meliputi seluruh Sub KPH dalam satu

KPH.62

Polisi Kehutanan di Kabupaten Trenggalek dalam menanggulangi

praktek Illegal Logging di kawasan hutan produksi melakukan upaya-upaya

diantaranya:

1. Upaya penanggulangan illegal logging yang bersifat preventif.

Upaya preventif merupakan upaya yang pencegahaan terhadap

praktek illegal logging. Upaya ini dilakukan Perhutani dengan cara:

A. Upaya Pemberdayaan Masyarakat.

Upaya pemberdayaan masyarakat ini dilakukan Polisi

Kehutanan di Kabupaten Trenggalek dengan cara melakukan

pembinaan kepada masyarakat dengan menggandeng unsur-unsur yang

ada dalam masyarakat. Upaya ini penekanannya lebih kepada sosial

masyarakat yaitu dengan melakukan Pengelolaan Hutan Bersama

Masyarakat (PHBM). Dengan adanya PHBM, Perum Perhutani dalam

mengelola hutan selalu berbagi dengan masyarakat. Salah satu wujud

dari PHBM ini adalah dibentuknya Lembaga Masyarakat Hutan

(LMH) oleh Polisi Kehutanan di Kabupaten Trenggalek. 63

62. Wawancara dengan KBKPH Kampak, Bpk. Faturahman tanggal 25 Mei 2007. 63. Wawancara dengan KRPH Pule Bpk. Imam Basori tanggal 22 Mei 2007.

Page 80: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

80

Lembaga Masyarakat Hutan (LMH) dibentuk oleh Polisi

Kehutanan dengan menggandeng tokoh-tokoh masyarakat sekitar

hutan. LMH diberi hak khusus oleh Perum Perhutani untuk melakukan

pemanfaatan kawasan hutan produksi di Kabupaten Trenggalek. Hak

khusus ini diberikan Perum Perhutani kepada LMH berpedoman pada

OHL TB yang menekankan pada pemberdayaan masyarakat sekitar

dan dalam kawasan hutan. Hak-hak yang dimiliki LMH tersebut

diantaranya:

1. Pemanfaatan lahan hutan Produksi untuk lahan pertanian

tanpa merusak lahan dan tanaman asli hutan yang sudah

ada.

2. LMH diberi hak untuk memungut ranting-ranting pohon

dikawasan hutan untuk kayu bakar.

Kegiatan yang dilakukan Polisi Kehutanan Kabupaten

Trenggalek yaitu, setiap ada waktu dan kesempatan memberikan

penyuluhan/sosialisasi tentang hukum dan peraturan-peraturan yang

menyangkut tindak pidana di bidang kehutanan kepada masyarakat

khususnya anggota LMH. Tujuannya adalah supaya masyarakat kecil

di dalam dan sekitar kawasan hutan mengetahui perbuatan apa saja

yang dianggap legal atau tidak legal dibidang kehutanan. Diharapkan

juga dengan dibentuknya LMH, masyarakat mampu untuk

Page 81: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

81

mengamankan hutan dengan cara menolak setiap provokasi dari pihak-

pihak yang ingin mencari keuntungan dari praktek illegal logging.64

LMH terbukti sangat efektif dalam hal pengamanan hutan

produksi di Kabupaten Trenggalek dari praktek illegal logging. hal ini

terbukti dengan menurunnya praktek illegal logging dalam kurun

waktu tahun 2006.65

B. Patroli rutin di dalam dan sekitar kawasan hutan.

Patroli rutin yang dilakukan Polisi Kehutanan di Kabupaten

Trenggalek dilakukan dengan cara memeriksa kelengkapan surat-surat

atau dokumen yang berkaitan dengan pengangkutan hasil hutan

dilakukan Polisi Kehutanan di Kabupaten Trenggalek berkoordinasi

dengan POLRI. Surat-surat atau dokumen yang diperiksa tersebut

diantaranya:

a. SKSHH (Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan) kayu

bulat.

b. FAKO (Faktur Angkut Kayu Olahan)

c. Surat Ijin Tebang dari aparat desa dimana dilakukan

penebangan.

Pemeriksaan kelengkapan surat-surat atau dokumen oleh Polisi

Kehutanan dilakukan dengan cara menghentikan setiap kendaraan

64. Wawancara dengan KRPH Pule Bpk. Imam Basori tanggal 22 Mei 2007. 65. Arsip KSKPH Kediri Selatan, Bpk. Asep Surahman.

Page 82: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

82

yang membawa kayu saat melintas di dalam dan sekitar kawasan

hutan. Surat-surat atau dokumen tersebut kemudian dicocokkan

dengan kayu yang ada di dalam kendaraan.66

Adapun kategori hasil hutan yang tidak dilengkapi dengan

surat-surat atau dokumen adalah:67

1. Asal usul hasil hutan tempat tujuan pengangkutan tidak

sesuai dengan yang tercantum dalam surat keterangan

sahnya hasil hutan.

2. Apabila keadaan fisik, baik jenis, jumlah maupun volume

hasil hutan yang diangkut, dikuasai atau dimiliki sebagian

atau seluruhnya tidak sama dengan yang tercantum dalam

surat keterangan sahnya hasil hutan.

3. Pada waktu dan tempat yang sama tidak dilengkapi dengan

surat-surat yang sah sebagai bukti.

4. Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan masa berlakunya

telah habis.

5. Hasil hutan tidak mempunyai tanda sahnya hasil hutan.

C. Patroli Tunggal Mandiri.

Patroli Tunggal Mandiri yang dilakukan Polisi Kehutanan di

Kabupaten Trenggalek dasar hukumnya adalah Keputusan Direksi

Perum Perhutani Nomor: 1838/KPTS/DIR/1998 tentang Pedoman

Pengamanan Hutan Dengan Sistem Patroli Tunggal Mandiri. 66. Wawancara dengan KBKPH Karangan Bpk. Joko Sudarso tanggal 22 Mei 2007. 67. Wawancara dengan KSKPH Kediri Selatan Bpk. Asep Surahman tanggal 5 Juni 2007.

Page 83: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

83

Upaya penanggulangan illegal logging dengan sistem Patroli

Tunggal Mandiri dilatar belakangi oleh adanya ancaman dan gangguan

keamanan hutan terutama pada hutan Pinus di kawasan hutan produksi

di Kabupaten Trenggalek semakin meningkat dari waktu ke waktu

terutama disebabkan tekanan kependudukan, karena nilai kayu sangat

tinggi dan jumlah permintaan pasar yang melebihi jumlah produksi

Perhutani. Ancaman/gangguan terutama dalam bentuk pencurian

akhir-akhir ini semakin meningkat dan cenderung terorganisir bahkan

semakin nekat.

Oleh karena itu tindakan pengamanan harus ditingkatkan baik

kuantitas maupun kualitas dan salah satu diantaranya sistem Patroli

Tunggal Mandiri (PTM). Fungsi dari kegiatan Patroli Tunggal Mandiri

yaitu:

1. Mencegah kerusakan hutan dari pencurian, bibrikan,

penggembalaan, perencekan dan kebakaran hutan.

2. Menekan/mencegah kerugian material maupun kerusakan

hutan beserta fungsi-fungsinya.

3. Sebagai media shock therapy, bahwa tindakan perusakan hutan

merupakan tindakan kriminal dan diproses secara hukum

(bersifat mendidik dan menyadarkan).

Kegiatan Patroli Tunggal Mandiri diprioritaskan dalam

kawasan hutan yang dibedakan menjadi: aman, rawan, dan sangat

Page 84: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

84

rawan didasarkan pada frekuensi kejadian, modus operandi dan

kuantitas kerusakan hutan.68 Adapun lingkup kegiatan PTM

diantaranya:

1. Patroli Tunggal Mandiri (PTM), merupakan suatu kegiatan

pengamanan hutan pada suatu daerah yang sangat

rawan/rawan tertentu, yang bersifat kontinyu (terus

menerus), mobile/dinamis (bergerak mengikuti gerak

kerawanan),dan mandiri (tanpa menunggu perintah).

2. Kegiatan Pengamanan Tunggal merupakan operasi

pengamanan hutan dan hasil hutan berupa

patroli/perondaan yang dilaksanakan oleh jajaran Perum

Perhutani sendiri.

3. Patroli gabungan merupakan operasi pengamanan hutan

dan hasil hutan yang dilakukan bersama-sama antara Perum

Perhutani dengan aparat keamanan terkait.

4. Pengendalian operasional ditunjang oleh sarana dan

prasarana antara lain: Posko Wasdal, Poskodal, Poskowil,

Pos PTM, Alkom, kelengkapan petigas, dan kelengkapan

lainnya.

68. Keputusan Direksi Perum Perhutani Nomor: 1838/KPTS/DIR/1998 tentang Pedoman

Pengamanan Hutan Dengan Sistem Patroli Tunggal Mandiri.

Page 85: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

85

5. Sasaran patroli PTM diprioritaskan di dalam wilayah

jangkauan (covering area) sekitar 350-400 ha, dengan

personil 5-6 orang.

6. Jenis kegiatan yang ditangani oleh PTM meliputi:

- Penguasaan wilayah (dalam kawasan dan luar

kawasan).

- Perencanaan kegiatan.

- Pelaksanaan operasional.

- Pelaporan.

7. Maksud dan tujuan diadakannya PTM.

- Sebagai pedoman bagi pelaksana untuk keseragaman

operasional.

- Bertujuan agar ancaman dan gangguan keamanan hutan

dapat ditekan atau ditanggulangi seminimal mungkin.

2. Upaya penanggulangan illegal logging yang bersifat represif.

Upaya pemberantasan illegal logging melalui pendekatan

keamanan dalam kerangka penegakan hukum telah menjadi salah satu

kebijakan sekaligus program prioritas Polisi Kehutanan di Kabupaten

Trenggalek. Upaya ini merupakan bentuk upaya penanggulangan praktek

illegal logging yang bersifat represif (paksa). Upaya paksa ini dilakukan

Page 86: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

86

Polisi Kehutanan di Kabupaten Trenggalek dengan cara menggelar

operasi-operasi di dalam kawasan hutan yang dilakukan apabila diduga

telah terjadi praktek illegal logging di dalam hutan.

Pedoman Polisi kehutanan di Kabupaten Trenggalek dalam

melakukan operasi adalah hasil Mou antara Departemen Kehutanan

dengan Kapolri yaitu Operasi Hutan Lestari I dan II. Sesuai dengan Mou,

dalam melakukan operasi di lapangan, Polisi Kehutanan di Kabupaten

Trenggalek berkoordinasi dengan POLRI. Langkah ini bertujuan agar

pelaku illegal logging yang melarikan diri keluar dari kawasan hutan yang

menjadi wilayah kerja Polisi Kehutanan, dapat ditangkap oleh Polri. Polisi

Kehutanan hanya memiliki kewenangan kepolisian terbatas di dalam dan

sekitar hutan saja. Sedangkan kewenangan kepolisian diluar kawasan

hutan tetap dimiliki oleh Polri.

Dalam melakukan upaya ini, Polisi Kehutanan Kabupaten

Trenggalek yang bekerjasama dengan Polri langsung masuk ke hutan

untuk mencari pelaku-pelaku illegal logging yang sedang menebang pohon

di dalam hutan. Selain masuk ke dalam hutan, Polisi Kehutanan

Kabupaten Trenggalek yang bekerjasama dengan Polri dalam menjalankan

upaya yang bersifat represif ini juga menggeledah rumah-rumah warga

yang diduga digunakan sebagai tempat penyembunyian barang bukti.

Penggeledahan ini dilakukan setelah anggota Polisi Kehutanan

Page 87: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

87

mendapatkan kepastian dari hasil penyelidikan sebelumnya, tentang

adanya barang bukti hasil illegal logging di rumah-rumah warga.69

Berdasarkan data laporan Kepolisian RI, sepanjang periode 2005

Operasi Hutan Lestari I dan Operasi Hutan Lestari II telah berhasil

membongkar sejumlah besar kasus praktek illegal logging. Salah satu

keberhasilan operasi polisionil yang bersifat represif tersebut telah

mengakibatkan terputusnya mata rantai jaringan illegal logging. Para

memodal yang selama ini dikenal sebagai cukong illegal logging tercerai

berai. Sementara oknum aparat bersembunyi dan harus berpikir ulang

untuk kembali menjadi beking praktek yang sangat merugikan Negara

tersebut. Operasi Hutan Lestari (OHL) II sudah berakhir 6 Mei 2006.

69. Wawancara dengan KSKPH Kediri Selatan Bpk. Asep Surahman tanggal 5 Juni 2007.

Page 88: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

88

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan.

Berdasarkan pada beberapa uraian hasil penelitian yang terdapat pada

bab-bab sebelumnya, maka penulis dapat menarik kesimpulan bahwa :

1. Kewenangan polisi kehutanan dalam upaya pemberantasan illegal logging

di kawasan hutan produksi di Kabupaten Trenggalek dibedakan menjadi

dua jenis kewenangan yaitu:

A. Kewenangan Melakukan Penyelidikan yaitu kewenangan untuk

mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak

pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan

menurut cara yang diatur menurut undang-undang.

Kewenangan yang dimiliki Polisi Kehutanan di Kabupaten

Trenggalek dalam melakukan penyelidikan untuk mencegah tindak

pidana illegal logging di kawasan hutan produksi diantaranya:

a. Mengadakan patroli/perondaan di dalam kawasan hutan

atau wilayah hukumnya.

b. Memeriksa surat-surat atau dokumen yang berkaitan

dengan pengangkutan hasil hutan di dalam kawasan hutan

atau wilayah hukumnya.

c. Menerima laporan tentang telah terjadinya tindak pidana

yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan.

Page 89: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

89

d. Mencari keterangan dan barang bukti terjadinya tindak

pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil

hutan.

e. Dalam hal tertangkap tangan, wajib menangkap tersangka

untuk diserahkan kepada yang berwenang.

f. Membuat laporan dan menandatangani laporan tentang

terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan

hutan dan hasil hutan.

B. Kewenangan Melakukan Penyidikan.

Dari fakta yang penulis dapatkan di lapangan, tidak ada Polisi

Kehutanan di Kabupaten Trenggalek yang diangkat menjadi Pejabat

Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan.

2. Kendala-kendala yang dihadapi polisi kehutanan dalam upaya

menanggulangi illegal logging di kawasan hutan produksi Kabupaten

Trenggalek ada tujuh kendala yaitu: faktor geografis; faktor sarana dan

prasarana; faktor keseriusan, kepedulian dan ketegasan petugas yang

berkompeten; faktor oknum petugas; faktor modus operandi kejahatan;

faktor masyarakat; dan faktor sanksi hukum.

3. Upaya yang dilakukan polisi kehutanan dalam menanggulangi illegal

logging di kawasan hutan produksi Kabupaten Trenggalek dibagi menjadi

dua jenis yaitu:

1. Upaya Preventif, merupakan upaya pencegahaan terhadap praktek

illegal logging. Upaya ini dilakukan Perhutani dengan cara melakukan

Page 90: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

90

pemberdayaan masyarakat; melakukan patroli rutin dan melakukan

patroli tunggal mandiri.

2. Upaya Represif, merupakan upaya paksa yang dilakukan Polisi

Kehutanan di Kabupaten Trenggalek. Upaya ini dilakukan dengan cara

menggelar operasi-operasi di dalam kawasan hutan yang dilakukan

sewaktu-waktu.

B. Saran.

Berdasarkan pada hasil kesimpulan di atas, maka penulis dapat

memberikan saran:

1. Kewenangan untuk melakukan penyidikan tindak pidana kehutanan

hendaknya diberikan kepada Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil

Kehutanan supaya dalam menentukan sanksi kepada tersangka tidak

disamakan dengan sanksi tindak pidana umum.

2. Kendala-kendala yang dihadapi dalam menanggulangi illegal logging

dapat ditekan dengan cara meningkatkan profesionalisme kerja Polisi

Kehutanan, sehingga tidak ditemukan oknum petugas yang bermain

dibelakang praktek illegal logging.

3. Upaya penanggulangan praktek illegal logging yang bersifat represif

sebaiknya dikurangi karena tidak efektif. Upaya yang bersifat preventif

ditingkatkan terutama program pemberdayaan masyarakat karena lebih

efektif.

Page 91: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

91

Daftar Pustaka

1. Hidayati D., Rahmi; Charles CH., Tambunan; Nugraha, Agung; Aminudin,Iwan. Pemberantasan Illegal Logging Dan Penyelendupan Kayu. Wana Aksara. Tangerang:2006

2. UU & Perpu Kehutanan Beserta PP Tentang Perencanaan & perlindungan Hutan.Pusat Info Data Indonesia (PIDI).Jakarta:2006.

3. Salim,H.S.,S.H.,M.S.Dasar-Dasar Hukum Kehutanan.Sinar Grafika.Jakarta:2003.

4. Sunggono,Bambang.Metodelogi Penelitian Hukum.Rajawali

Press.Jakarta:2002.

5. Chazawi, Adami.Drs.S.H.Pelajaran Hukum Pidana (Bagian I).BKBH Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.Malang:2001.

6. Ruba’I,Masruchin,S.H.,M.S.Asas-Asas Hukum Pidana.UM

Press.Malang:2001.

7. Hamzah,Andi,D.R.,S.H.KUHP & KUHAP.Rineka Cipta.Jakarta:1998.

8. _______ Hukum Acara Pidana Indonesia.CV. Sapta Artha Jaya.Jakarta:1996.

9. Kemal, Mohammad. Strategi Pencegahan Kejahatan.PT. Citra Aditya Bakti. Bandung:1994

10. Soemitro, Ronny Hanitijo.Metodelogi Penelitian Hukum dan Jumetri.Ghalia Indonesia.Jakarta:1990.

11. Widiyati, Ninik; Anaruga,Panji. Perkembangan Kejahatan Dan Permasalahannya. PT Pradnya Paramita. Jakarta: 1987.

12. Soerjono Soekanto, Hengkie Liklikuwata, Mulyana W. Kusumah.Kriminologi Suatu Pengantar.Ghalia Indonesia.Jakarta:1981.

Page 92: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

92

13. Buku Pedoman Program Ekstensi.Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.Malang:2001

14. Utomo, Warsito Hadi. Hukum Kepolisian Di Indonesia. Prestasi Pustaka.

Jakarta: 2005 Peraturan Perundang-Undangan

Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2003 Tentang

Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum

Perhutani).

Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan.

Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan.

Keputusan Presiden No. 41 Tahun 2004 tentang Perizinan Atau Perjanjian Di

Bidang Pertambangan Yang Berada Di Kawasan

Hutan.

Instruksi Presiden No. 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu

Secara Illegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di

Seluruh Wilayah RI.

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.51/Menhut-Ii/2006 tentang Penggunaan

Surat Keterangan Asal Usul (Skau) Untuk

Pengangkutan Hasil Hutan Kayu Yang Berasal Dari

Hutan Hak Menteri Kehutanan.

Page 93: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

93

Daftar Lampiran Lampiran 1. Surat Penetapan Pembimbing Skripsi. Lampiran 2. Perpanjangan SK Bimbingan Skripsi. Lampiran 3. Surat Keterangan Telah Melakukan penelitian di Kantor Perum

Perhutani Sub KPH Kediri Selatan. Lampiran 4. Surat Ijin Survey dari Perum Perhutani Unit II Jawa Timur di

Surabaya. Lampiran 5. Kartu Bimbingan Skripsi. Lampiran 6. Daftar Nominatif Karyawan Perum Perhutani di Kabupaten

Trenggalek.