orang-jawa-di-singapura-ii_2007-2008

Embed Size (px)

Citation preview

Orang Jawa di Singapura IICatatan Tak Terjadwal dari Negeri Seberang Maret 2007 Mei 2008

Arief Yudhanto

1

Pengantar

Ada 70 esai pendek di dalam buku ini. Sebagian besar ditulis di Singapura, sebagian lagi di Amerika Serikat. Edisi online-nya dapat dilihat di http://ari3f.wordpress.com. Selamat membaca Singapura, 2008 Arief Yudhanto

2

ISII. Tokoh 1. Gajah Mada 2. Kamprad 3. Obama di Djakarta: 1967 1971* 4. Sufiah, Hothousing dan Matematika* 5. Raja 6. Goncharov 7. Leonardo da Vinci II. Kerabat dan Kawan 8. Nambar (in English) 9. Konco 10. Bubur dan Roti Montor 11. Rachid dan Humor 12. SF dan Sepupu 13. Tukang Becak 14. Kawan Lama 15. Kemprit 16. AAN III. Buku 17. Aku dan Meneer Janssens 18. Ayu Utami dan AAC 19. Membaca BTJ 20. Rumah Bambu IV. Singapura 21. Shonanto 22. Bekupon: Tentang Rumah di Singapura 23. Fabian Fobia: Tentang Etika Anak di Singapura 24. Muram: Tentang Ekspresi di Singapura 25. Adzan di Singapura 26. Ras 27. Rokok 28. Orang Bawean di Singapura 29. Big Bro Congrat 30. O$P$ V. Teknologi 31. Dari Pesawat ke HDD: Nyambungnya Di Mana? 32. Perkoro Gawean 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. V&V Ide Pesawat Terbang Dont Panic with Mechanics! Keris Mpu Gandring: Hipotesis Statistik Mancal di Rel Kereta Fitna, A380 dan Pak OD

VI. Pengalaman 41. Gempa di Silicon Valley 42. Nggragas 43. Rapapan 44. Ngimpi 45. Interview: Tentang Pekerjaan di Singapura 46. Doa 47. Attitude 48. Rugby dan 19 49. Pernikahan 50. 30 51. Hari Valentine 52. Jatim Trip 53. Santet 54. Sekolah di ITB 55. Dosen Unik di ITB 56. PhD 57. 29: Menulis Seseorang 58. 2008: Ngapain? 59. TGIF 60. Bosan VII. Budaya 61. Paguyuban 62. Indonesianis 63. Indonesia di Cornell 64. Kuda Kepang* 65. Fitna: Alat Verifikasi 66. Kopi 67. Atheist VIII. Musik 68. Gitar 69. Balawan, Sinkretisme dan Tapping 70. Jazz di Indonesia

3

I. TOKOH

4

1. Gajah Mada Di sudut halaman pertama buku pemberiannya, Viking Mythology, adik saya menulis "Untuk kakakku yang mencoba menjadi sejarawan". Sejarawan? Saya lalu melihat kembali judul-judul buku di rak. Hampir semuanya mengenai orang (terkenal) yang sudah mati, yang sudah jadi sejarah; dan saya sering bercerita tentang orang mati itu (plus pemikiran-pemikirannya) kepada adik saya. Tak heran jika dia berpikir bahwa saya memiliki properti seorang sejarawan: menceritakan orang mati (yang dulunya mencoba memecahkan teka-teki kehidupan), memetakan pemikiran dan membuat konstruk cerita. Properti ini dilatih dengan mempelajari teks sejarah. Namun, yang seharusnya dilakukan adalah petualangan, seperti yang dilakukan Indiana Jones atau ahli-ahli purbakala National Geographic Society. Sejarah, o sejarah. Beberapa minggu lalu saya teringat Gajah Mada. Sumpah Palapanya yang tertulis di Pararaton (Kitab Raja-Raja) cukup terkenal: Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukita palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tanjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palap Majapahit sangat beruntung memiliki Gajah Mada. Ia adalah seorang panglima yang setia dan memiliki ambisi besar untuk menaklukkan wilayah Nusantara. Kerajaan dan wilayah yang ditaklukkannya lebih dari apa yang dia sebut dalam sumpah: hari ini, wilayah penaklukan Gajah Mada adalah Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei dan Filipina Selatan. Di sini, kita bisa tahu bahwa kekuatan militer Majapahit tidak hanya tangguh di darat, tapi juga laut. Hal ini terjadi karena Gajah Mada berhasil mengadopsi strategi perang di darat dan laut dengan baik. Bubat barangkali saksi bisu berakhirnya Gajah Mada. Di Bubat, Gajah Mada diutus Hayam Wuruk untuk menyambut Raja Sunda (yang selama ini tak pernah mau takluk dengan Majapahit) dan puteri Dyah Pitaloka yang akan dipersunting Hayam Wuruk. Gajah Mada melihat pertemuan ini sebagai tanda takluknya Sunda, namun Raja Sunda tidak. Ini adalah kesalahpahaman. Pertempuran terjadi, dan Dyah Pitaloka bunuh diri. Hayam Wuruk segera mencopot Gajah Mada dan mengasingkannya di Madakaripura (Madangkara), di sekitar Probolinggo. Gajah Mada mati dalam kesunyian, di tempat pertapaan terakhirnya, di dekat air terjun. Hingga hari ini, sosok Gajah Mada sendiri masih misteri. Tak ada yang tahu kepribadian, kecerdasan, karya-karya atau kisah cintanya. Sebagaimana biasa dalam romantika kerajaan jaman dulu, proses penaklukan besar-besaran ini barangkali ditentukan oleh empat faktor itu. Gajah Mada jadi sangat menarik, karena ia misterius. Saya menunggu filmnya. (18 Mei 2007)

5

2. Kamprad Aku telah mengatakan semua yang aku bisa. Bisakah seseorang memaafkan kebodohan itu? Ingvar Kamprad, pendiri IKEA IKEA adalah sebuah ikon raksasa plus perusahaan home furnishing terbesar di dunia. Ada 200 outlet di 31 negara, dan dibuka di Singapura tahun 1978. Pegawainya mencapai 75000 dan Ingvar Kamprad, pendirinya, ditulis sebagai orang terkaya yang melampaui Bill Gates tahun 2004.

Desain kantor a la IKEA (www.ikea.com) Kamprad mendirikan IKEA pada umur 17. Ia pengusaha sejak dini, dan menjual apa saja: korek api, hiasan pohon natal, stoking, ikan, bibit tanaman hingga mebel. Apakah IKEA? Ini adalah kependekan dari Ingvar-Kamprad-Elmtaryd-Agunaryd. Elmtaryd adalah nama tanah pertanian tempat ia dilahirkan, dan Agunaryd adalah nama desa terdekat di sana. Tahun 1953, secara resmi IKEA berdiri dan memfokuskan diri pada kebutuhan rumah. Yang menarik dari IKEA adalah pengunjung toko bisa dengan bebas mencoba dan melihat sendiri kualitasnya, kemudian bisa membawa pulang barang yang bulky dalam packing yang flat, mendapatkan harga yang miring dan bisa memasang sendiri peralatan tanpa bantuan ahli mebel. Hanya itu saja? Lebih dari itu, IKEA selalu memperkenalkan desain baru yang dibuat di beberapa negeri seperti Swedia sendiri, Cina, Vietnam dan lainnya. Yang menarik bagi saya adalah uji kelelahan (fatigue test) terhadap kursi santai bernama Poang. Sandaran kursi didorong oleh mesin pendorong beberapa puluh kilogram, maju-mundur, seolah seseorang menggoyang-goyang sandarannya berulang kali. Bebannya tak begitu besar, namun ini dilakukan berulang-ulang hingga beberapa tahun. Apa yang ingin dihitung? Tentu saja batas kemampuan kursi menahan beban siklus ini atau dengan kata lain, kekuatan lelah (fatigue strength) kursi tadi. Uji ini biasanya dilakukan juga pada struktur pesawat terbang seperti sayap.

6

Apa yang disesali Kamprad hingga ia meminta maaf kepada seluruh karyawannya dengan surat terbuka? Tidakkah anda tahu bahwa Kamprad adalah bekas anggota Nazi? Pembunuhkah ia? Entahlah yang jelas, rapat a la Nazi melibatkan patriotisme yang kelewatan: menjustifikasi bahwa nyawa suatu kaum tak lebih berharga dari furniture

7

3. Obama di Djakarta: 1967 1971 Barack Obama, seorang kandidat presiden dari Partai Demokrat Amerika Serikat yang bersaing dengan Hillary Clinton. Ia lahir di Honolulu tahun 1961. Ia menyelesaikan sekolah hukum di Universitas Harvard dan pernah menjadi orang kulit hitam pertama yang menduduki kursi presiden Harvard Law Review. Saat ini ia adalah satu-satunya anggota senat AS yang berkulit hitam dan orang hitam ketiga yang pernah bertanding untuk kursi kepresidenan dalam 100 tahun terakhir sejarah Amerika (Jakarta Post, Nov 2006). Obama datang ke Jakarta tahun 1967. Kala itu ia masih berusia enam tahun. Jakarta berada dalam transisi dari Soekarno ke Soeharto, dan kenangan berdarah G30S (Gerakan 30 September yang membuat Partai Komunis Indonesia diganyang habishabisan) masih segar membekas. Barry, panggilan akrab Obama, lahir dari seorang ibu Kaukasian dan ayah dari Kenya. Orangtuanya adalah mahasiswa di Universitas Hawaii. Ia diberi nama persis seperti ayahnya, Barack Hussein Obama. Ayahnya meninggalkan Barry ketika ia masih dua tahun. Barry kemudian mengenal Lolo Soetoro, seorang mahasiswa dari Indonesia yang menjadi kekasih ibunya. Dan, ketika ibunya, yang bernama Stanley Ann Dunham, telah menikah dengan Lolo, ia mengajak Barry pergi ke Indonesia tahun 1967. Dalam memoarnya Dreams from My Father A Story of Race and Inheritance yang ditulis tahun 1994, ia bercerita tentang masa kecilnya di Jakarta yang ia sebut Djakarta. Jakarta yang ia gambarkan kala itu barangkali masih mirip dengan Jakarta hari ini (setidaknya di beberapa tempat): tengah kota yang sedikit modern, toko-toko kecil yang berderet di jalanan, lalu lintas yang sesak dan macet, pendorong gerobak barang, matahari yang terik dan pengemis di persimpangan jalan. Sosok lelaki asia, atau lebih khususnya Indonesia, yang melekat dalam ingatan Barry adalah Lolo Soetoro tentunya. Lolo dikenalnya sebagai pemuda yang sopan dan mudah akrab dengan siapa saja; ia juga pandai bermain tennis dan catur. Lolo beragama Islam, meski ia juga masih memberikan ruang bagi pandangan Hinduism dan animisme yang kuno. Jika mengikuti penggolongan Clifford Geertz, mendiang profesor antropologi AS, dalam The Religion of Java (yang lebih merupakan spekulasi ketimbang analisis, dan tak merepresentasikan masyarakat Jawa yang lebih luas), Lolo barangkali bisa dikategorikan abangan pemeluk Islam nominal, yang tidak sepenuhnya mempraktekkan sholat wajib dan filosofinya didasarkan pada sinkretisme antara Hindu, Buddha, animisme, dan elemen-elemen Islam. Lolo bekerja sebagai ahli geologi untuk angkatan bersenjata (army) dan ia pernah ditugaskan di New Guinea sebelum Obama dan ibunya datang ke Jakarta. Barry sering bermain dengan Lolo di waktu senggang. Mereka berbagi kesenangan dengan memberi makan binatang peliharaan seperti ayam, bebek, anjing, kera, burung cendrawasih, burung kakatua dan buaya kecil. Lolo memberi hadiah Obama sarung tinju, yang kemudian ia gunakan untuk berlatih dengannya.

8

Dalam waktu kurang dari enam bulan, Barry mahir berbahasa Indonesia. Namun, ibunya tetap mengajarkan bahasa Inggris lima hari seminggu: mereka berdua bangun pukul empat pagi dan belajar selama tiga jam sebelum Barry pergi ke sekolah. Ini juga bukan piknik yang menyenangkan bagiku, buster, begitu ibunya mengingatkan ketika Barry pura-pura sakit atau malas belajar. Obama juga bermain dengan siapa saja, termasuk anak-anak dari petani, pembantu rumah tangga dan birokrat kelas bawah. Ia bermain selayaknya anak-anak kampung di Indonesia: bekejar-kejaran di jalan kecil siang malam, menangkap jangkrik dan adu layangan (kites battle). Meski ia tak mendapatkan pengertian yang memuaskan mengenai kemiskinan, korupsi dan instabilitas keamanan (yang ia lihat di Indonesia kala itu), ia mendapatkan buku-buku tentang pergerakan hak-hak sipil, dan rekaman Mahalia Jackson (penyanyi gospel terkenal) serta pidato Dr Martin Luther King yang memukau. Di usia belia itu pula, Barry diajarkan memiliki nilai-nilai luhur manusia, seperti kejujuran, keadilan, berbicara lugas dan menilai secara independen. Ibunya kadang bercerita tentang murid-murid kulit hitam di wilayah selatan Amerika yang miskin dan hanya mendapat buku-buku bekas dari murid kulit putih, lalu mereka tumbuh menjadi dokter, pengacara dan ilmuwan. Ibunya juga bercerita tentang mars anak-anak yang lebih muda dari Barry, yang berbaris untuk kebebasan. Setiap lelaki kulit hitam adalah Thurgood Marshall atau Sidney Poitier; setiap perempuan kulit hitam adalah Fanny Lou Hamer atau Lena Horne. Menjadi kulit hitam adalah pemilik keturunan yang agung, nasib yang spesial, beban kejayaan yang hanya dipikul mereka yang kuat saja. Di sini, Barry menjadi bersemangat dan memiliki kesadaran bahwa yang-hitam bukanlah yang-kalah dan tertindas, tetapi yang penuh daya juang dan yang merdeka. Di Jakarta yang panas, Barry yang menjelang usia 10 tetap melihat bahwa penjelasan ibunya dan Lolo mengenai dunia belumlah lengkap. Ia melihat bahwa dunia itu kejam suatu pengertian yang tak bisa dipahami oleh kakek neneknya di Hawaii yang tenang dan jauh dari negeri yang terbelakang di Asia Tenggara. Ia juga melihat bahwa ras dan warna kulit tak lagi menjadi indikator antropologi belaka, tetapi lebih mengerikan: menjadi prasangka dan rendah diri. Di sini, ia mulai menilai, dalam sikap percaya diri yang kadang tak terjustifikasi, bahwa dunia memerlukan perubahan, sebagaimana ia memandang dunia dengan mata yang berbeda. Empat tahun adalah periode yang cukup bagi seorang anak untuk memahami bahwa dunia bisa tergerak oleh hal yang trivial seperti ras dan warna kulit. Dunia kadang dirundung kegilaan orang dewasa dalam melihat sesuatu. Hari ini, Barry yang sementara ini memiliki perolehan delegasi lebih banyak dari Hillary Clinton (Obama: 1202 vs Clinton: 1042) terus berusaha melanggengkan jalannya untuk naik ke kursi kepresidenan AS tahun 2008. Jika ia terpilih menjadi presiden, ia akan menjadi presiden kulit hitam pertama dalam sejarah Amerika. Janjinya mengenai perbaikan ekonomi, pelayanan kesehatan, green technology, energi,

9

lingkungan, hak sipil, kemiskinan, pendidikan, kebijakan luar negeri dan isu penting lainnya akan segera diuji setelahnya.

10

4. Sufiah, Hothousing dan Matematika Bagi orang ramai, Sufiah Yusof di masa mendatang barangkali dibayangkan sebagai pemenang Fields Medal (mirip dengan Nobel Prize bidang matematika), gelar profesor dari universitas terkemuka, atau bahkan filosof atau penulis besar seperti halnya alumni St Hildas College lainnya. Namun, harapan itu seperti kandas di usianya yang 23 tahun ini. Di sekolah itu, Sufiah dikenal sebagai independent escort. Metamorfosis dari jenius matematika ke seorang pelacur adalah ekses pemberontakan. Setidaknya inilah yang dialami Sufiah, perempuan blasteran Melayu Pakistan, yang masuk St Hildas College, Universitas Oxford, bidang matematika pada usia 13 tahun. Pemberontakan ini agaknya tidak disebabkan oleh matematika, tetapi oleh isolasi yang ditimbulkan oleh keluarganya. Hothousing Ayahnya Farooq dan ibunya Halimaton menerapkan sebuah metode bernama hothousing di mana seorang anak dilatih untuk berkonsentrasi dalam satu pelajaran biasanya matematika hingga menguasai pelbagai subjek lebih awal dari kawan sebaya. Dibarengi dengan kecerdasan Sufiah, mereka mendapatkan hasil memuaskan dalam waktu singkat, yaitu diterimanya Sufiah di Oxford. Di sana pun, Sufiah tetap mendapatkan akselerasi dalam penyerapan pelajaran. Orangtuanya secara bergantian menemaninya, sehingga ia pun mengeluh tak mempunyai banyak teman. Implikasi dari isolasi ini sangat serius: seorang anak cenderung mencari kebebasan, meninggalkan apa yang dulu ditekuninya, mencoba hal-hal baru, menguji moralitas umum, mencicipi kebahagiaan yang diraih manusia biasa. Di satu sisi, orangtua Sufiah mempunyai kekhawatiran yang umum dimiliki orangtua lainnya. Orangtua berupaya mengamankan masa depan anak yang serba tak tentu dan yang makin kompetitif dewasa ini. Dengan bekal kejeniusan anaknya ini, orangtua Sufiah cenderung mengarahkannya menjadi apa yang mereka inginkan, bukan apa yang Sufiah inginkan. Namun, hal ini malah menyebabkan seorang anak tak memiliki waktu untuk menerapkan apa yang dia pelajari di kehidupan nyata, karena waktunya habis untuk belajar, menempuh ujian dan mengerjakan pekerjaan rumah. Anak tak memiliki kepercayaan diri karena cenderung diarahkan dalam jangka waktu lama. Ia kemudian biasanya memberontak, dan mencari apa yang hilang di masa kecilnya. Tentang Matematika Penulis mengakui bahwa matematika adalah subjek yang paling tidak diminatinya ketika kecil. Hal ini lambat laun berubah karena ternyata matematika memiliki banyak kegunaan. Ekonom, jurutera, fisikawan, akuntan, pilot, dokter semua memerlukan perhitungan matematika meski dalam frekuensi penggunaan yang berbeda-beda. Sebagian profesi memerlukan matematika lebih intensif dibanding profesi lainnya. Namun, intinya: matematika akan selalu bermanfaat di manapun dan kapanpun. Matematika yang diperkenalkan di sekolah umumnya latihan mengoperasikan persamaan dan bilangan. Hal ini penting, namun yang jauh lebih penting adalah seorang anak perlu dilatih memahami penggunaannya, dan menerapkannya di

11

kehidupan nyata. Di sekolah dasar (primary school), seorang anak perlu dilatih mengkonversikan satuan panjang (misal: dari meter ke centimeter) dengan mengambil penggaris (ruler) dan mengukur panjang sisi meja. Di sekolah menengah pertama (secondary school), seorang anak perlu mengetahui bahwa pertumbuhan tinggi badan seseorang itu bisa didekati dengan fungsi kuadratik. Di sekolah menengah atas (junior college), seorang anak bisa menghitung volume mangkuk dengan integral. Dan, perkenalan terhadap aplikasi matematika ini perlu disampaikan tanpa tekanan. Dengan cara ini, matematika malah menimbulkan afeksi, kecintaan, karena di sana ada kemudahan jika kita memahaminya. Di bidang aeronautical engineering, matematika digunakan dalam menghitung kekuatan struktur sayap, gaya angkat pesawat, rute pesawat, performance terbang pesawat dan lainnya. Jika anda duduk di jendela dekat sayap pesawat, dan memperhatikan ujung sayap yang terdefleksi ke atas namun tidak patah, maka struktur sayap ini dihitung dengan baik oleh engineer dan mereka menggunakan aplikasi matematika dalam menghitungnya (dikenal dengan operasi matriks dalam metode elemen hingga). Penutup Pemahaman mengenai matematika tidak memerlukan akselerasi. Yang diperlukan adalah pengenalan matematika lewat contoh nyata, berlatih belajar mandiri dan rutinitas belajar. Sufiah sepertinya sudah mendapatkan itu semua; yang tidak ia dapatkan adalah kebebasan dalam mempelajarinya. Seandainya ada keseimbangan antara harapan orangtua dan keinginan anak maka Sufia bisa menjadi selayaknya ia. Hari ini, setiap orang mengharapkan Sufiah menjadi orang yang baik, kembali ke jalan yang lurus. Namun, Sufiah yang punya paradigma realistik dan logik tentu bertanya: aku harus jadi apa? Bermetamorfosis menjadi yang baik barangkali mengidap ketidakpastian. Dan, sulit diformulasikan dalam matematika. Jadi, tak ada solusi. Ternyata metamorfosis itu lebih susah daripada integral lipat tiga.

12

5. Raja Akhirnya "raja Jawa" itu wafat di usia 86. Suharto, bekas presiden Indonesia yang paling lama berkuasa itu, meninggal akibat kegagalan organ-organ tubuh. Salim Said mengatakan di ChannelNewsAsia (stasiun TV yang paling banyak dirujuk orang Singapura untuk berita terkini) bahwa awalnya Suharto itu "Great!". Tapi sepuluh tahun kemudian, ketika anak-anaknya beranjak dewasa, ia mulai bertindak seperti raja. Ia memanfaatkan posisinya sebagai presiden untuk memperkaya dirinya, anak-anak dan kroninya. Ia mendirikan Suharto, Inc. Di negeri yang tak-demokratik, tangan besi dan korupsi bisa menghancurkan dirinya sendiri. Empat puluh lima tahun pertama hidupnya tak banyak diketahui orang hingga ia "tiba-tiba" muncul lewat Kostrad dan memberantas PKI tahun 1965. Ia membuat Sukarno menjadi tahanan rumah, dan melalui surat sakti Supersemar (11 Maret 1966), ia menjadi presiden kedua Indonesia. Ia kemudian membangun Indonesia di segala segi, membangun ikatan dengan negara lain. Di masa itu, demokrasi jadi komoditi yang haram. Yang halal adalah kolusi, korupsi dan nepotisme; tapi tak bisa dijadikan obrolan biasa karena malah tak sakral. Tiga kata itu harus menjadi rahasia umum; harus menjadi tindakan yang diamini banyak pihak tanpa didenda, tanpa dijerat hukum, tanpa diprotes. Tiga kata itu tak muncul meski ada. Mereka invisible. Tahun 1998 ia dipaksa lengser. Tiga puluh dua tahun hidupnya membuatnya jadi bapak pembangunan sekaligus bapak korupsi Indonesia. Oleh sebab itu, ChannelNewsAsia mengatakan bahwa masyarakat Indonesia memiliki pandangan yang campur aduk (mixed) mengenai Suharto. Ini disebabkan Suharto "menari" di antara yang-baik dan yang-buruk. "Raja" yang pandai "menari" itu telah wafat. Namun ingatlah, tanpa dia, barangkali Habibie tak pernah pulang dan membangun industri pesawat terbang. Tanpa dia, ilmu penerbangan tak muncul di Bandung yang bau sampah. Tanpa dia, tak seorangpun tahu makna demokrasi, tangan besi, korupsi dan keadilan yang gagal. Indonesia, sementara ini, berkabung untuk bekas raja.

13

6. Goncharov Ketika Indonesia masih bernama Hindia Belanda, barangkali hanya orang Eropa (Belanda, Inggris, Portugis, Spanyol), Timur Tengah dan India saja yang tercatat mengunjungi, berdagang atau menjajah kita. Adakah bangsa lain yang mengunjungi Hindia Belanda? Dalam buku "Kampus Kabelnaya - Menjadi Mahasiswa di Uni Soviet", Koesalah Soebagyo Toer menulis tentang Goncharov dan Wasili Maligan. Dua orang ini terpisah waktu, tempat, aksi dan cerita. Tapi keduanya orang Rusia yang pernah menginjakkan kaki di Indonesia. Di sini saya tulis tentang Goncharov saja ... Ivan Goncharov (1812 - 1891) lahir di Simbirsk, dan dibesarkan di lingkungan aristrokat. Ia menyelesaikan pendidikan perdagangan di Universitas Moskow, dan menjadi pegawai pemerintahan selama tiga puluh tahun. Ia bertemu penyair Apollon Maikov dan Valerian yang kemudian mendorongnya menjadi penulis. Goncharov hanya menulis tiga novel sepanjang hidupnya: Kisah Biasa (1847), Oblomov (akhir 1840an) dan The Frigate Pallada (1859). Meski demikian, Dostoevsky menganggap Goncharov adalah rival yang patut dicatat dalam dunia sastra realisme Rusia. Tolstoy juga melihat Goncharov sebagai penulis yang tak terinspirasi oleh kaum buruh dan masyarakat bawah, seperti halnya kebanyakan penulis Rusia lainnya; Goncharov terinspirasi masyarakat aristokrat dan mengkritik mereka sebagai pemalas dan masyarakat tak berguna. Goncharov yang pernah singgah di Jawa (Banten) tahun 1852 menulis: Saya merasa sangat gembira bahwa akhirnya saya sampai ke pantai yang sama sekali tak punya masa lalu dan tak punya sejarah itu. Apakah Anyer itu? Suatu perkampungan Melayu yang sama sekali tak pernah mengalami perubahan. Perkampungan ini pernah ditulis oleh Turnberg. Keadannya masih seperti itu juga sekarang ini. Batavia terletak dua hari perjalanan dengan jalan darat. Kami pergi ke sana, tinggal di sana sehari dan kembali lagi. Pikir kami, di sana ada jalan besar dan kendaraan yang baik. Ternyata tidak ada apa-apa. Dua minggu sekali dari Anyer dikirim pos ke Batavia; tukang pos naik kuda ... Hari berikutnya kami tinggalkan tempat itu tanpa melihat seorang Eropa pun, sedang di Anyer hanya ada tiga orang. "Tak punya sejarah"? Apakah Goncharov tak membaca sejarah Jawa? Apakah Goncharov hanya melihat akibat Cultuurstelsel tapi tak memahami kejamnya kata itu? Apakah Goncharov tak menemukan priyayi atau aristokrat yang pemalas di Jawa?

14

7. Leonardo da Vinci Leonardo da Vinci termasyhur sebagai pelukis dan pematung jaman Renaissance yang menghasilkan banyak mahakarya, termasuk di dalamnya, dua lukisan terkenal Monalisa dan Makan Malam Terakhir (The Last Supper). Tak hanya itu, ia juga seorang desainer peralatan militer, ilmuwan, penemu, insinyur, penulis, ahli tanaman dan musisi. Leonardo yang berambut panjang, keriting, berwarna merah tua, berperangai menyenangkan, tampan, juga berbakat sebagai pendongeng (storyteller), musisi, humoris, seniman, pecinta kebebasan dan pesulap (magic trick). Menurut catatan kakeknya, Leonardo lahir pukul 10:30 malam, Sabtu, 15 April 1452, di sebuah desa dekat kota kecil Vinci, provinsi Florence. Ibunya (Caterina) adalah petani, dan diperkirakan juga imigran dari Timur Tengah, dan ayahnya (Ser Piero da Vinci) adalah seorang akuntan dan notaris terkemuka di kotanya. Umur 5 tahun, ia kemudian diasuh oleh kakeknya yang akuntan juga. Karena orangtuanya tak pernah menikah, maka Leonardo tak bakal diperkenankan masuk Klub Notaris (Guild of Notary) nantinya. Oleh sebab itu, tahun 1466, ia kemudian dikirim kepada Andrea del Verrocchio (1435 1488), seorang pelukis dan pematung kenamaan. Di sana, bakat Leonardo makin berkembang dan melampaui gurunya, sehingga ia diperkenalkan kepada Lorenzo de Medici (Il Magnifico), penguasa Florence. Di bawah penguasa yang menyukai seni dan ilmu pengetahuan ini, Leonardo bergaul dengan banyak filosof, matematikawan dan seniman lainnya. Ia juga memperdalam ilmu anatomi di Company of St Luke tahun 1472. Pada masa di Florence ini, karya terbesarnya adalah The Adoration of the Magi, yang diperuntukkan bagi biksu biarawan di San Donato a Scopeto. Tahun 1482, Leonardo pindah ke Milan. Di bawah penguasa Ludivico the Moor Sforza, Leonardo melukis karya besarnya Makan Malam Terakhir (The Last Supper) di sebuah tembok ruang makan gereja Santa Maria delle Grazie. Perancis menyerang Milan, Sforza jatuh dan diasingkan tahun 1499. Leonardo kembali ke Florence tahun 1500. Tahun 1502 ia berpindah minat dari aspek seni-religius untuk menjadi chief engineer bagi komandan militer, Cesare Borgia. Ia kemudian membuat peta yang sangat akurat untuk enam daerah di Italia tengah. Angkatan bersenjata Borgia jatuh setahun kemudian setelah Niccolo Machiavelli gagal membantunya. Leonardo dan Machiavelli, meski demikian, berkawan dan Machiavelli membantu Leonardo sehingga ia mendapatkan komisi dari Signoria of Florence bulan April 1503. Pada masa inilah, Leonardo melukis istri ketiga bangsawan Florentine, Francesco del Giocondo. Istri ketiganya kita kenal sebagai Mona Lisa, nama kecil dari Madonna Elisabetta.

15

Dr Lillian Schwartz dari Bell Laboratories (pengarang The Computer Artists Handbook) membuat jukstaposisi gambar Mona Lisa (kiri) dan Leonardo da Vinci (kanan; foto diri yang digambar dengan kapur merah), dan menyimpulkan bahwa Mona Lisa tidak lain adalah Leonardo sendiri. Benarkah? Tahun 1512, anak Lodovico bernama Maximilian mengusir Perancis dari Milan. Leonardo pergi ke Roma untuk mengabdi kepada Leo X, paus baru Medicean. Karena posisi seniman gereja sudah diisi Michaelangelo dan Raphael, maka Leonardo yang sudah berumur 60 tahun kurang mendapat perhatian. Ia kemudian mempelajari anatomi, optik dan geometri. Ia juga sempat memberikan pengaruh kuat bagi Raphael. Tahun 1516, ditemani murid dan asistennya, ia pergi ke Amboise di wilayah Lembah Loire. Di Perancis, Leonardo mengabdi kepada Raja Perancis, Francois I. Di sini Leonardo diberi kebebasan melakukan apa saja, namun utamanya, ia diminta untuk memberikan nasihat filosofis bagi raja Francois I. Leonardo mengalami penurunan vitalitas selama di Perancis, dan stroke menyerangnya sehingga tangan kanannya lumpuh. Ia meninggal di usia 67, pada 2 Mei 1519. Leonardo telah melukis 17 karya, tapi tidak semuanya tuntas. The Last Supper, The Battle of Anghiari dan kuda Sforza tidak pernah selesai. Buku catatan, atau jurnalnya, berisi sketsa yang detil namun tidak tersusun rapi dan tak pernah dipublikasikan. Kontribusinya mendahului jamannya

40 tahun sebelum Nicolaus Copernicus (1473 1543), Leonardo mencatat bahwa matahari tidak bergerak, dan bumi bukan pusat perputaran matahari, juga bukan pusat galaksi. 60 tahun sebelum Galileo Galilei, Leonardo menyarankan agar lensa pembesar (magnifying lens) digunakan untuk mempelajari permukaan bulan dan benda

16

langit lainnya.

200 tahun sebelum Isaac Newton, Leonardo telah mengemukakan konsep gravitasi. 400 tahun sebelum Charles Darwin, Leonardo telah mengenalkan teori evolusi dengan menempatkan manusia dalam kategori yang sama dengan kera dan monyet, kecuali bahwa manusia berakal

Di bidang anatomi, Leonardo melukis penampang anggota tubuh (cross section), representasi manusia dan kuda paling detil dan komprehensif, melakukan studi bayi di dalam rahim ibu dan membuat cetakan otak dan saluran jantung. Di bidang pertanian, ia memperkenalkan geotropisme (efek gravitasi terhadap tumbuhan) dan heliotropisme (reaksi tumbuhan terhadap matahari); ia menyatakan bahwa umur pohon berhubungan dengan jumlah lingkar cincin di penampangnya; ia juga membuat sistem susunan daun pada tumbuhan. Di bidang geologi dan fisika, ia mempelajari proses fosilisasi dan fenomena erosi tanah. Di bidang engineering, ia mendesain helikopter, parasut, tangga yang bisa diperpanjang (kini dipakai oleh fire departments), perpindahan roda gigi, alat membuat ulir pada sekrup (screw), sepeda, snorkel (alat selam), kunci untuk sistem kanal, roda air horisontal, jam alarm tenaga air, kursi terapetik. Di bidang militer, ia mendesain tank, senjata mesin, mortar, guided missile dan kapal selam. Tujuh prinsip Leonardo Apa rahasia Leonardo menjadi demikian kreatif dan penuh daya cipta? Dalam bukunya How to think like Leonardo da Vinci, Michael Gelb menuliskan tujuh prinsip yang disarikan dari sikap kerja da Vinci sehingga ia mampu menghasilkan karyakarya lebih modern dari jamannya. Berikut tujuh prinsip itu: Curiosit Inti dari curiosita adalah keinginan untuk terus belajar sesuatu yang baru. Ia mengamati alam, dan mempertanyakan mengapa suatu fenomena terjadi. Dalam proses belajar ini, Leonardo menyarankan seseorang untuk memperluas cakrawala pengetahuannya dengan mempelajari bidang lain, bidang yang bukan keahliannya. Dimostrazione Leonardo tidak begitu saja mempercayai ilmu pengetahuan, dogma atau teori-teori yang sudah mantap. Ia mengujinya lewat eksperimen dan mengalaminya sendiri

17

(dimostrazione). Ketika mengalami kegagalan dalam eksperimen, dia terus berusaha, dan tidak putus asa. Sensazione Rahasia dari melakukan eksperimen adalah dengan mempertajam indera (senses). Bagi Leonardo penglihatan adalah indera yang paling penting, sehingga melukis merupakan disiplin yang dikuasainya. Pendengaran (telinga) menjadi indera penting kedua. Musik adalah saudara kandung melukis, katanya. Dengan dua indera ini, dia mempertajam indera yang lain. Sfumato Sfumato, secara literal bermakna masuk ke dalam asap, adalah kemauan untuk berkawan dengan ambiguitas (tidak jelas), paradoks (suatu yang berlawanan), ketidakpastian. Dalam hal ini, Leonardo menjadi menjadi lebih kreatif karena berpikiran terbuka. Dalam proses pencarian ilmu pengetahuan, ia kerapkali berhadapan dengan sesuatu yang tak diketahui, bertolak belakang dan tak pasti. Arte/Scienza Bagi Leonardo seni dan ilmu pengetahuan tidak bisa dipisahkan. Ia berpikir logis dalam mempelajari mekanisme suatu benda, ia juga membuat sketsa yang indah untuk catatannya. Dia disebut sebagai whole-brain thinker, tidak berat sebelah ke penggunaan otak kanan atau kiri saja. Corporalita Corporalita bermakna pemupukan keseimbangan antara tubuh dan otak. Di samping memiliki kecerdasan yang tinggi dan berbakat seni, Leonardo juga diberi kekuatan fisik yang baik. Ia pandai berkuda, berenang dan bermain anggar. Ia menyebutkan dalam bukunya bahwa aretriosclerosis dapat mempercepat penuaan, dan ini karena kurangnya olahraga. Dia juga mempercayai bahwa diet adalah kunci dari kesehatan. Connessione Connessione diartikan sebagai apresiasi terhadap hubungan antara benda dan fenomena, proses berpikir suatu sistem (systems thinking). Leonardo berusaha mempelajari bagaimana burung bisa terbang di udara dengan mengamati kegiatan berenang. Hal ini membangun kemampuannya dalam memperoleh kesimpulan dari hubungan antarsistem. ***

18

19

II. KERABAT & KAWAN

20

8. Nambar Today, a mans name, Nambar, comes to mind. I never met him since he passed away one year before I was born. This story is a compilation of hearsays. Nambar was born in a small town Blitar, East Java, in 1917. Nobody knew him except his close family, relatives, students and local teachers. In Javanese language, Nambar means avoid. It was intentionally given to him so as to avoid any illnesses. Lately, I learned that this name is widely used in Mongolia; but it could have different meaning. His parents were dukun obat (medicine shaman), and both embraced Kejawen (Javanese religious belief). Nambar has an elder sister and younger brother. When he was young, he was taught by a teacher named Mbah Sosro [1] until he finished primary school. Some said, after finished primary school, he was working in a ketchup company. Thereafter, he learned the volume precision when the machine poured ketchup into conveyed-bottles. He also had talent in teaching. He went to teach in primary school after resigning from a ketchup company. He taught sport, finance administration and algebra. He was then asked to teach secondary school, and to train new teachers on mathematics. His students loved him because of his clarity in describing the meaning of mathematical concepts and his humor [2]. However, he was also well-known as too-discipline-teacher and stressing more onto education rather than teaching only. He was married with a Priyayi (aristocratic) lady when he was 19. With their four children, they lived in a house with many bedrooms behind a Masjid Jamik (city mosque) [3]. He was not born as Muslim though. Having four children, in Indonesia 1940s, was a rare case. Most couple would have more than five children. He thought the Keluarga Berencana (family planning) should have been started now, since big family would only invite insufficient care for the children. He sublet several rooms for students. These students were sent by their parents so that they received strict observation in education. Nambar and other worlds Although he was known as a rational person, Nambar was a ghost-phobic. Story-1: At dawn, he rode his bicycle from his school. He passed through an empty highway, lined with canopy trees along the sidewalks. It was getting dark, and he rushed up his wheels. Suddenly, everything became static. He saw the same trees on his sides while he was riding his bike. It was weird. He was like running at the same spot time to time. No displacement at all. He got a goose bump all over his neck. And, suddenly, it was all disappeared. Now he could see a small house in the distant. Everything became normal. He has possibly an empty mind for a second during a ride. Story-2: His loo was built separated from the main house. Its a common architectural design during World War, or even nowadays in a sub-country area. There was no

21

electricity, so people relied on oil-lamp. The connection between main house and the loo was very dark at night. Nambar went out to the loo, did his business and immediately came back to the main house. It was eerie out there. But, somehow, he could not open the door. The door was lock. He was panic, and scared. He knocked the door like crazy but no response. He could not speak; something closed his mouth, he said. He felt his body weakened, and he was slowly falling in front of the door. Suddenly, his youngest son opened the door. Whats wrong, Pak?? [4] Nambar sat down in front of the door. Powerless. He answered: There was a ghost When they were all inside, his son told him that the door was actually unlocked. Its also smooth, right? He checked his students workbooks. In one of his students book he found this: Her cheek is so smooth. I want to kiss her. Coldly, he called the student affront. Everyone began to look at the student. In such cold event, students were ready to hear thunderstorm anger from his teacher. Can you get a bottle of ketchup from the foodstall behind? Nambar asked the sweating student. Not so long, the student came back with a bottle of ketchup. Its an empty bottle. Nambar said: Please clean it up. The student followed. Do you remember what you wrote in this book? he asked. He student nodded. Now you may kiss the bottle, Nambar coldly asked the student. Laugh was bursting out of the class! But that student needed to kiss the bottle though. After several kisses, Nambar smiled at the student: Its also smooth, right? Laugh was getting louder! Bells code Nambar had a bell in his house. Each bells code had different meaning. For example, ting-ting was used to call person A, and ting-ting-ting was used to call person B. This code was not only for his children; his tenants were also subjected to this rule! There was also a collective bells code; it means everyone must be at home immediately once they heard the bell. His house was located nearby the city square where his children and his tenants usually played. They played only 50 meters away (blocked by the mosque), and his bell was actually effective. Most people found his bell was annoying and they thought it was better to ignore him. But, no one dared to play deaf. Until today, during the reunion, they still couldnt know why they cant play deaf by saying: Im sorry I didnt hear your bell Learning Arabic As mentioned, Nambars parents believed in Kejawen. Practically, he was not Muslim and was not able to read Quran (Islams bible) in Arabic. In his 50s, he turned to Islam, and began to learn Quran. He started to pray five times per day and fasting during Ramadhan month. He was a practical man: he memorized Asmaul Husnah (99 names of god) by which he expected god would give him a special place in heaven. He also suggested his wife to memorize these names. In the third-year of his self-learning, he was able to read Quran. Then, he regularly helped mosque employee to convey

22

Quran messages for older people. He translated Quran messages into Javanese. His son asked him once: How did you do that? His reply was short: Just read Cheque Nambars cousin came to his house. She was with her daughter. They intended to borrow some money of Rp 60000 (~ SGD 10) for a tuition fee. Nambar has only 60000 in his pocket, but he gave all the money to them. He asked them to pay the tuition fee immediately before its too late. But, as kitchen minister, his wife complained that she needed the money to shop the day after. Why you give all the money? his wife was upset. Nambar said Tomorrow, Ill eat whatever you cook. Rice and salt will do. The money will be used to pay someones tuition fee. School is more important. God will repay us fold-wisely. Next day, Nambar came home with smiley face. He waved a cheque to his wife. Look at this! Remember what Ive told you: God will repay us! He got a cheque sent by his son. Last Day Nambar had high-blood pressure although he was humorous and friendly guy. He had an appointment with a doctor in Syaiful Anwar General Hospital, Malang, 80 km from Blitar. Before they left, Nambar asked his wife to bring all of the jewelleries. They brought three pieces of steamed-banana, and they took a train to Malang. He was checked by the doctor, while his wife was waiting in the hospital corridor. The doctor went out to see his wife, and politely told her (in Javanese) that his husband has passed away. It was quiet. Her tears dripped down. She immediately sold all the jewelleries and brought her husband back to Blitar. Nambar rested in peace in Blitar, the city he was born, in 1977. Referensi [1] Mbah Sosro: his real name was Raden Soekemi Sosrodihardjo; Soekarnos father (Soekarno was the first president of Indonesia). [2] He could do three-digit multiplication mentally (without paper and calculator) [3] His first son was an assistant professor at the Institut Teknologi Bandung after obtaining a PhD in Chemical Engineering from Wisconsin University, USA. He lives with his wife in US. His second daughter used to be a vice principal of a highschool in Surabaya; she was teaching sport and English; she passed away in 2005. His third son is retiree of government office; he previously studied Economics in Airlangga University. His last son has been a director of four general hospitals in East Java; he opens a private clinic in Bondowoso. [4] Pak is daddy, mister.

23

9. Konco Hidup saya di kantor tinggal 7 hari lagi. Minggu depan, untuk terakhir kalinya saya duduk di sebuah cubicle yang selalu berantakan dengan bongkaran hard disk drive dan tumpukan paper. Hari itu saya bebas dari disorientasi riset yang selama ini menganggu saya. Disorientasi ini berasal dari kepemimpinan riset yang bobrok dan tak jujur. Kini saya sadar bahwa seorang bodoh yang jujur (secara intelektual terhadap diri sendiri) jauh lebih bermanfaat daripada seorang PhD yang sok tahu. Yang saya ingat dari tempat ini adalah (1) pekerjaan saya, (2) orang-orang yang unik, (3) cerita lucu dan (4) insiden. Yang nomor 2 sungguh berkesan. Di sini saya berjumpa dengan seorang peneliti senior yang gemar mengumpat. Umpatannya dilafalkan dalam beberapa bahasa: Inggris, Mandarin, Hokkien, Melayu. Karena sangat mengimani metode eksperimental, ia seolah menuhankan hasil eksperimen. There is only one true result, and it is only obtained by experiment, demikian kirakira kalau perilakunya difirmankan. Saya yang orang simulation sungguh beruntung diajak bergabung dalam timnya: saya bisa belajar bagaimana eksperimen dilakukan, nama-nama peralatan, akurasi, trik dan analisis data. Memang tidak mendalam, tapi cukup mendapat dasar dalam melihat seberapa benar suatu eksperimen dilakukan. Di luar diskusi riset yang biasanya bersemangat, ia selalu bercerita mengenai pengalamannya ikut wajib militer. Selama 22 tahun ia pulang pergi ke barak setiap beberapa waktu untuk memenuhi panggilan tugas. Kini ia tak dipanggil lagi karena sudah 40 tahun. Ia tak disukai oleh beberapa peneliti lain lantaran sering mengumpat, konfrontasi dengan suara bising, menang sendiri. Seorang mengatakan bahwa ia mengidap inferiority complex. Waduh panganan opo iki? Maksudnya karena ia tak mampu secara finansial dan intelektual (padahal ia PhD lho tapi masih ada aja yang bilang ia kurang canggih), ia menggunakan kata-kata dan sikap kasar dalam berkonfrontasi. Di luar itu, bagi saya, ia adalah teman baik yang selalu punya cerita ketika mampir di cubicle saya.

24

10. Bubur dan Roti Montor

Pagi ini ayah saya dilarikan ke rumah sakit. Kata ibu saya, dia diopname karena tekanan darahnya 170. Gejala: tangannya geringgingen (kesemutan). Sorenya saya telpon untuk mengetahui perkembangannya. Ketika saya telpon, lho kok dia ketawa-ketawa becanda nih opname-nya? Nggak. Sore itu tekanannya sudah kembali normal, sistole (atau diastole ya?) alias upper bound-nya 130 (satuannya apa ya? mm-Hg?). Jadi, sore itu makanya dia udah bisa ngguyu-ngguyu. Saya tanya kenapa kok tekanannya bisa sampai 170. Kepikiran apa? Stress? atau karena makanan? Nah, ayah-ibu saya rebutan njawab: panganan panganan! Oalah Sore itu juga adik saya menelpon. Dia bilang Mama ngasih sate kambing ke papa. Makanya, tekanan langsung nglonjak. Karena sudah mendingan, saya bilang ke ayah saya: Ben tambah normal, cepet waras, kudu tuku bubur kacang ijo karo roti montor! Ayah saya ngakak Kacang ijo + roti montor ini punya sejarah. Begini: ketika kecil, dua makanan itu adalah makanan mewah bagi keluarganya yang miskin. Karena (barangkali) ngidam buanget, maka ia jadi sakit. Anak terkecil biasanya dimanja, jadi ia memanfaatkan itu untuk pengen bubur karo roti montor. Ayahnya langsung membelikannya, dan ia dengan cepat jadi sehat. Pesan moral: makanlah sesuatu yang diidamkan, niscaya kesembuhan cepat datang. Ketika sakit tubuh perlu energi untuk sembuh; makanan biasa terlalu hambar; jadi belilah yang bener-bener diinginkan *Peringatan pemerintah: sate kambing out of topic bagi pengidap darah tinggi!

25

11. Rachid dan Humor Tentang Rachid. Seperti biasa, saya makan siang dengan kawan baru bernama Rachid. Tubuhnya menjulang 185 cm, berwajah Arab, olahragawan plus programmer, muslim by birth dan berbahasa Inggris dengan logat Perancis. Hidupnya menarik meski bukan seorang eksil: ayahnya imigran dari Maroko yang kemudian hidup di pinggiran Perancis, membenci kehidupan riset di Perancis karena elitist, menyelesaikan S1 di Perancis dan S2 di Singapore (gak kesasar ta?), juara triathlon di NUS dan suka Laksa. Rachid adalah orang yang ramah namun senyap; ia menikmati kesendirian tanpa mengeluh dan gundah. O ya, ia akan menikahi seorang gadis China yang bilingual: Mandarin + French. Tentang Humor. Turun dari shuttle bus sehabis makan siang, Rachid cerita humor. Humornya dalam bahasa Perancis. Judulnya Pirate alias bajak laut. Kami ketawa-tawa dan di lingkungan English-Malay-Chinese ini, Perancis adalah bahasa alien. Kemudian saya bercerita pada istri saya. Hah, iso boso Perancis ta awakmu?? tanyanya (yang sudah saya duga). Saya senyum-senyum saja, dan bilang Hehe pokoke mau kethok pinter boso Perancis! Lumayanlah tumben-tumben saya bisa mengerti humor yang benar-benar kocak dalam bahasa asing, terutama bahasa Perancis yang (katanya) seksi dan njlimet. Mau tahu rahasianya ? Mudah saja. Pertama saya ceritakan satu humor kepada Rachid. Ini sungguh bikin pusing karena humor ini aslinya dalam bahasa Jawa (Suroboyoan). Dalam kepala, proses translasi mulai bekerja Jawa English. Dengan bantuan peragaan akhirnya kelucuan dari humor ini tersampaikan semua. Rachid terpingkal-pingkal karena tiga alasan: (1) kok ya ada orang gendheng jadi peneliti?, (2) kok ya ada humor khayal kayak gini!, (3) benar-benar kocak. Kedua, saya minta Rachid mengulang humor itu dalam bahasa Perancis. Cerita lucu biasanya mudah diingat, jadi dia dengan mudah menerjemahkannya. Dia juga minta dikoreksi jika ada kesalahan detil cerita. Mudah kan? By the way, pasti anda penasaran dengan humornya! Bagi non-pembahasa Jawa mohon minta kawan Suroboyo atau Jatim-nya untuk menerjemahkan. Ini saya paste di sini: Muntiyadi pethuk ambek Gempil koncone sing dines ndhik angkatan darat. Tibake Gempil iku saiki sikile sing kiwo yo dingklang pisan, ambek tangane sing tengen tibake yo tughel digenti cathoke bakul beras. Sing luwih nemen maneh, motone gempil kari sing kiwo. Moto sing tengen wis cumplung ditutupi kain ireng malih koyok bajak laut. Lho Mun, sikilmu opoko? takok Gempil. Mari ngono Muntiyadi cerito pengalamane kijolan sikile wong wedhok. Lha awakmu opoko kok mreteli pisan? Muntiyadi genti takok nang Gempil . Pas aku patroli nang Aceh, sikilku ngincak granat, langsung puthul. Pas iku onoke sikile sapi, berhubung aku gak gelem, akhire yo ngene sikilku dhadhi mek sithok.

26

Waduh cik apese nasipmu, lha tanganmu opoko kok digenti cathoke beras? takok Muntiyadi maneh. Mari sikilku tughel iku mau, aku dirawat ndhik barak. Moro-moro barakku dibom ambek mungsuh, kenek tanganku, langsung tughel. Pas iku onoke cathoke beras, timbangane gak onok blas, akhire aku gelem. jarene Gempil maneh. Wah kayal thok kon iku, lha motomu opoko kok cumplung pisan? Kelilipengranat tah? takok Muntiyadi maneh. Oo iku seje ceritone. Enak-enak cangkruk nyeritakno pengalamanku iku mau, moromoro onok manuk nembeleki mripatku, jare Gempil. Wah kon iku tambah ngawur thok ae, lha mosok ditembeleki manuk isok motone cumplung, Muntiyadi mulai gak percoyo. Lho iku dhudhuk mergo tembelek manuk, jare Gempil. Lho opoko? takok Muntiyadi. Iku pas dino pertama aku nggawe cathok beras.

27

12. SF dan Sepupu Kota San Francisco ternyata kecil! Luasnya kira-kira 7 x 7 mil2. Ia disusun oleh blok persegi sempurna, dan dipenuhi townhouse yang sempit. Menuju ke perimeternya, jalan mulai menanjak, dan ikon tram kereta kuno yang masih kuat berkeliaran naik-turun. Relnya membelah jalan raya yang sudah sempit, dan penumpang bergelantungan. Kota ini tak dipenuhi gagasan ilmiah atau teknologi seperti halnya San Jose atau Santa Clara, tapi lebih menyerupai objek wisata dengan landmark yang memikat seperti Golden Gate. Lanjutkan ke Pier 39, Union Square, Market Street, SoMA (South of Market), City Light Bookshop, Golden Gate, Chinatown, etc. Golden Gate Bridge

Chinatown

28

Trem

Fishermans Wharf di Sabtu Pagi

Hari Sabtu saya berjumpa dengan seseorang yang berwajah sangat Indonesia, berkacamata, bernama Jawa dan masih senyap. Dua belas tahun tak begitu mengubah wajahnya, tapi ia nampak lebih kurus. Harus menjaga pola makan, karena punya darah tinggi, begitu katanya. Ia tak bisa bahasa Indonesia (dan Jawa!) meski orangtuanya bercakap-cakap dalam dua bahasa itu. Singkat kata: americanized. Malam itu saya bermalam di tempatnya; sebuah rumah tiga tingkat yang tak banyak barang kecuali dalam ruang kerja dan kamarnya yang sedikit berantakan. Ia pecinta gadget. Pernah membuat perusahaan sendiri bersama kawan-kawannya pada 1990an, lalu dijual ke Sapient Corp., dan berhenti setelah 1 tahun bekerja di sana. Alasannya: tak cocok dengan gaya kerja orang-orang corporate.

29

Ketika ngobrol di cafe, ia banyak bertanya mengenai Singapura. Bagaimana kalian hidup di sebuah negeri di mana permen karet dilarang dan menyebrang jalan sembarangan (jaywalking) dikenai denda? begitu tanyanya. Untuk ukuran orang yang tak mengenal Singapura, kecuali dari bahan bacaan, ia cukup teliti dalam bertanya. Saya kemudian menjelaskan bagaimana bekerja di sana. Namun, saat itu juga saya merasa bahwa saya berasal dari sebuah negeri yang opresif, sekaligus komunistik di mana seseorang (sedikit banyak) ditentukan nasibnya oleh negara. Kebebasan jadi barang mahal, dan demarkasi antara Singapura dan Amerika dipisahkan oleh kata ini. Ah, sudahlah. Mengeluh adalah indikasi bahwa kita terjangkit penyakit Singaporean: tak pernah puas. Dua hari itu saya senang sekali karena telah berjumpa dengan sepupu saya.

30

13. Tukang Becak Pada 11 Agustus 2005 di Singapura, dalam sebuah ruang interview, seorang manajer memberikan pertanyaan pertama yang mengejutkan: "Where is Bondowoso?" Saya mengangkat alis, apakah ini serius? Ia kemudian bertanya lagi: "Bondowoso, which part of Indonesia is it?" Kemudian, dengan bersemangat, saya menjelaskan bahwa ia terletak di sisi timur pulau Jawa, dekat dengan Bali meski harus nyebrang selat; sekitar 4 jam bermobil dari Surabaya. Saya ragu bahwa geografinya bagus, tapi barangkali ia hanya ingin memecah kebekuan wawancara.

Bondowoso itu yang paling kiri. Diletakkan bersebelahan dengan Bali supaya orang langsung ngeh, Bondowoso itu sebelah kirinya Bali to hehe ... 2.5jam naik mobil *** Senin pagi, 4 Feb, kami (saya, olit, tuti) naik becak Pak Kus ke Pecinan, dan membeli pecel Mbak Debri (tak ada nama toko, letaknya di pinggir gang Gereja). Bosan menunggu antrian, saya pergi ke luar dan ngobrol dengan Pak Kus. Lelaki ini berumur 60, tapi ia tak terlihat renta. Ia nampak sehat, meski kulitnya yang hitam terbakar terik mulai keriput. Dia bercerita: setiap pagi pergi pukul lima pagi, dan mengayuh sejauh 2 km ke pasar, berbelanja, lalu mengirim belanjaan ke masjid jamik. Kemudian ia mulai mangkal di depan rumah saya. Kalau sedang untung, ia bisa mendapat 35 ribu/hari. Kalau lagi sepi, ia hanya dapat 15 - 20 ribu/hari. Ia hidup bersama istri dan cucu perempuan yang hampir lulus SMP. Ia berencana menyekolahkan cucunya di kota untuk SMA-nya, dan membiayainya sendiri. Pukul 10-11 pagi, biasanya ia pulang ke rumah, beristirahat. Esoknya ia mulai bekerja lagi. Jam kerjanya pendek, namun ia bilang ia akan tetap

31

mbecak selagi masih sehat. Ia tak ingin jadi beban anak-anaknya, ia ingin mandiri, dan ingin tetap "memberi" selama jantung masih berdetak. Di Bondowoso yang sunyi, tukang becak mengingatkan kita agar mensyukuri keberuntungan, dan menikmati kesederhanaan tujuan hidup. Terbiasakah kita?

32

14. Kawan-Kawan Lama Semalam saya terlalu nganggur hingga akhirnya saya nelponin kawan-kawan lama masa SMP - SMA yang berdomisili di Jember dan Surabaya. Tidak banyak yang ditelpon karena bill telpon bisa melonjak. Sunu. Dia sudah masuk blog beberapa kali. Dia yang mengajarkan bermain gitar waktu SMP. Ketika SMA, kami ikut ekskul pecinta alam dan mendirikan band yang bernama "Springfield". Ia kemudian keluar dari band dan solo karir. Setamat SMA, Sunu pindah ke Yogya dan menimba ilmu Food & Beverage di AMPTA (akademi perhotelan). Tahun 1998, saya sempat mampir di Yogya dan menginap beberapa hari di kos-kosannya. Meski sempat menyaksikan sisa-sisa kerusuhan, kesan tentang Yogya masih sama: slow motion, friendly people. Sunu bertanya: wong Singapur opo nggapleki? kok soko critomu koyoke ngono (orang Singapura apa nyebelin? dari ceritamu sepertinya gitu). Saya lupa menjawab apa; barangkali "Iya, sebagian". Sunu masih bermain band dan ia main bass. Ia bekerja untuk bagian manajemen di sebuah apartemen di Surabaya. Tidak memasak roti lagi sepertinya. Ia masih single dan tertawanya masih sama: menggelegar dan diskrit (seperti kita semua). Dan cara berbicaranya pun masih sama. Hahang. Orang pasti bertanya "Kok namanya Hahang? Ini nama asli? Dari mana nama itu berasal?" Yah dia pun barangkali tidak tahu, kecuali bahwa itu pemberian orangtua lalu distempel di akta lahir. Awal Januari 2008 Hahang sempat patah hati, tapi hanya sebentar (seperti halnya laki-laki kebanyakan). Di hari ia memutus pacarnya, ia kemudian (katanya) pergi menjemput adik kelasnya yang lain (laaaa). Tahun 1996 ia bersekolah di Surabaya, mengambil jurusan kedokteran ... hewan. Woof woof. Akhirnya ia lulus dan bekerja di perusahaan pakan ternak di Surabaya. Tetap sebagai dokter hewan. Dulu kami sering meledeknya: wah susah lho jadi dokter hewan ... setiap kali nanya pasien "Kamu sakit apa? Di mana sakitnya? Pasti dijawabnya cuma dengan, misal, "Mbeeeek ....mbeeek" What a job. Hahang masih seperti dulu, cara bicaranya pun sama. Reinhardt. Ini teman satu band di Springfield. Barangkali ia pemain gitar terbaik di angkatan saya. Dia orang Batak, tapi lahir dan besar di Jember. Kata seperti "Bah", "cem mana la kau!", "Eh kek mana ni..." kayaknya gak pernah saya dengar. Logatnya sudah Jawa, langgamnya pun Jawa. Dia belajar gitar 12 jam per hari, low profile, cepat membaca tempo dan playing by heart (meski ia juga bisa membaca not balok). Dia sempat main di beberapa kafe di Samarinda, Batam, dan kini ia di Surabaya. Dia sempat kena peluru nyasar waktu ada pertikaian gank di kafe di Samarinda itu. Sempat kritis, dan dioperasi bagian pipi hingga leher. Untung dia selamat, dan semalam bisa ngomong dengan lancar. Pertanyaan pertama saya waktu menelpon dia: "Heh ... sik urip koen?? Hehe" (Eh masih hidup kamu?). Dia sedikit pendiam, kadang saya juga bingung mau ngomong apa sama dia. Tapi dia orangnya baik. Agak unik: pernah ditemukan tidur siang sambil ngelonin gitar, sampe ngiler. Hehe. (Mudah2an tulisan ini tak dibacanya!)

33

Kurniawan. Namanya panggilannya banyak, seperti Wawan, Beben, Kur-Kur, Brodin, dan terakhir ya Kurinawa. Tapi saya selalu memanggilnya Wawan. Kurniawan adalah satu kawan yang sukses jadi pengusaha. Dia selalu bilang "Aduh opone pengusaha ... aku iki akeh utange, Rip..." (Aduh apanya pengusaha ... aku ini banyak hutangnya Rip". Benarkah? Sepertinya setiap orang pasti punya hutang; yang beda ya besar kecilnya, plus deadline-nya. Kurniawan memulai usahanya dengan membuka percetakan, kemudian merambah ke pengadaan hardware komputer, penyewaan mobil, cuci mobil, toko handphone, penyewaan game, kini membuka centrabiz di jalan Karimata. Wah pokoknya semuanya harus dijadikan duit. Orangnya cekatan, pandai berkomunikasi, mencari tahu dan pekerja keras. Ia juga penggemar kopi dan rokok. Dia masih bisa krama inggil! (this is something, man). Yang tidak pernah berubah adalah: ia selalu meminta saya jadi investor. Ha ha .... tunggu 10 tahun lagi kaleee .. Begitulah sebagian kawan-kawan lama saya. Biasa saja. Tapi mereka yang memberikan hangatnya persahabatan selama 15 tahun lebih: dari jaman pake kathok SMP sampe umur 30 sekarang ini. How is yours?

34

15. Kemprit Tanggal 14 Januari saya menerima sms: Breaking news: fridia udah kawin sama arief, sabtu 12jan pk16 di kapel ursulin, tanpa ngundang2, jd sorry ya? doain aja ... Padahal dia ngundang saya sebulan lalu; supaya saya pergi ke Bandung menghadiri perkawinan dia. Tapi sayang saya tidak bisa hadir. Akhirnya saya telpon dia setelah nrima sms itu. Bilang "selamat sudah menjadi seorang istri sekarang", lalu ngobrol sebentar dengan dia, plus dengan suaminya Mas Arief (aduh nama kok pasaran ya hehe). Dengan suaminya, saya malah ngobrol komputer Asus yang mau dia beli. Hehe. Mbak Fridia, saudara-saudaranya memanggilnya kemprit, adalah perempuan Tionghoa yang barangkali 8 tahun lebih tua dari saya. Ia berasal dari Kupang, namun lama di Bandung. Ia seorang psikolog khusus anak-anak autis. Ia hidup bersama maminya. Ia penggemar seni, teh, buku dan suka ngobrol. Ia juga suka traveling. Tutur bahasanya rapi: mirip seragam SD yang habis disetrika ... mirip buku-buku formal gitu lah. Awal ketemu dengan Mbak Fridia gimana ya? Tahun 2001 (kalau gak salah), di dalam kereta jurusan Surabaya - Bandung, seorang perempuan dengan ransel besar mendekat. Mirip orang Jepang. Ia kemudian duduk di sebelah saya, di dekat jendela. Ia lalu mengeluarkan beberapa majalah dan mulai membaca. Karena ia juga mengeluarkan majalah National Geographic, maka saya langsung (tanpa jaim) pinjem majalah itu. Setelah itu, obrolan terbuka dan kami jadi teman baik hingga hari ini. Ya perempuan "Jepang" itu Mbak Fridia. Mbak Fridia menikahi seorang lelaki Jawa (yang Islam, tapi selalu dibilangnya agnostik). Keluarganya (dulu) tak setuju, karena seorang CK (dia bilang: Cina Katolik) harus menikahi CK juga. Tapi, lama-lama, peraturan sepertinya melunak seperti jenang. Oleh sebab itu, ia dan Mas Arief bisa menikah di gereja. Di gereja, katanya, calon suami-istri tak perlu punya agama sama. Tapi di kantor catatan sipil ... sepertinya harus beragama sama. Cinta terhalang tembok. Yah mirip cerita sinetron jaman dulu. Tapi yang ini kawin beneran ... Sebelum tutup telpon tempo hari, saya bilang: Ayo ayo ... bikin anak! Dia bilang: iya mudah-mudahan lah ... biar gak kena deadline (umur) nih.

35

16. AAN Clementi 2003 Sebelum ke Singapura tanggal 19 Juli 2003, saya kenalan dengan seorang kawan (baru) lewat email. Namanya Ahmad Ali Nurdin (AAN). Dia katanya baru pulang dari mondok di Australia, dan mampir ke Singapura, tepatnya di padepokan NUS, untuk studi Master yang ke-2 (master). Ketika itu kami mencari kos-kosan bersama dekat kampus (sebenarnya yang nyariin dia sih, karena dia sudah di Singapura duluan). Saya lagi di Bandung, dan sibuk mindahin barang-barang dari kos-kosan di Cisitu ke rumah kakak & pacar di Jakarta. Akhirnya, dengan bantuan housing agent, yang namanya masih kami ingat yaitu Tan Man Lee, kami diantar ke Blok 335 di Clementi. Di sana, kami viewing rumah baru. Kami memutuskan untuk menyewa master bedroom yang ada kamar mandi dalam. Rumahnya ada di lantai 6; dan lift hanya berhenti di lantai 1, 6 dan 11. Jadi, kami lumayan beruntung tidak perlu naik turun tangga. Flat ini estate lama; lokasinya dekat dengan MRT station Clementi (6 menit jalan kaki), jendela belakang terhalang pohon jadi agak sungup, dan ada seorang lelaki yang tidur di kamar lain, pacar pemilik rumah, namanya Bob (meski aslinya bernama Arab, yaitu Arba'a). Ada dua tempat tidur di kamar itu, ada 1 lemari pakaian, 1 meja belajar. Satu tempat tidur yang saya gunakan hanyalah matras setebal (awalnya) 15 cm. Tapi setelah 6 bulan, bagian tengah matras jadi 5 cm; jadi punggung agak dingin ketika malam tiba. Malam hari sepulang dari kampus, kami biasanya nonton TV, ngobrol, minum coke atau kopi, ngrokok Gudang Garam. Dia sebenarnya bukan perokok; tapi karena saya rajin membeli GG di Clementi, maka dia ikutan ngrokok (di Jember ini disebut perokok pasif - artinya "njaluk rokok" hehe). Kini GG yang Internasional tidak ada lagi di Singapura; dilarang beredar sejak 2004. Extinct. Di depan rokok, TV dan kadang gitar, kami ngobrol soal macam-macam, terutama soal budaya, agama, politik, kehidupan dan topik favoritnya, "Australia". Pasir Panjang 2004 Setelah 6 bulan di sana, kami pindah ke sebuah landed house di Pasir Panjang, namanya The Village. Di sana kami tinggal sekamar lagi. Tapi kali ini sekamar diisi 3 orang. Seorang lagi adalah anak Lumajang (alumni ITB) yang kuliah di NUS juga. Jadilah, tiga bujangan di pinggir galangan kapal, West Coast. Tiap malam, seperti ritual sebelumnya, kami mengadakan "meeting". Meeting adalah ngobrol di beranda depan, dekat kolam renang, sambil ngopi, ngrokok dan main gitar. Obrolannya lebih bervariasi, tergantung partisipan dan ada beberapa housemate cewek yang ikut nimbrung. Setelah 6 bulan, AAN pulang ke Bandung untuk kembali mengajar di almamaternya, UIN Bandung. Dia yang asli kuningan ini adalah dosen muda yang lebih banyak menghabiskan waktu belajar daripada mengajar. Ya gimana mau ngajar, kan selalu di LN untuk menuntut ilmu. Tapi dia tidak pernah lepas kontak dengan kawan-kawan

36

dosen di sana. Dia juga bilang banyak adik kelasnya yang nyalip dia gara-gara lama gak balik ke kampus. Tapi tak apa. Jalan hidup kadang memang tak bisa diduga. Dia sendiri tidak punya impian ke LN sebelum lulus dari UIN, begitu katanya. Tapi menjelang lulus, keinginan ke LN itu muncul. Jadilah ia ke Australia sebelum ke Singapura. Bukit Panjang 2006 & 2008 AAN kembali ke Singapura tahun 2006. Kali ini ia mengambil PhD di bidang politik. Dan, ia membawa serta keluarganya. Dia menyewa flat di Bukit Panjang, beberapa blok dari tempat saya menyewa kamar. Setelah 1-1.5 tahun mereka sekeluarga pulang ke Kuningan. Setelah field work dan cuti hingga 9 bulan, ia kembali ke Singapura. Kebetulan akhirnya saya menyewa flat sendiri di Bukit Panjang, maka ia tinggal sebentar di sini. Setelah 7 bulan, ia pulang kampung ke Kuningan pagi tadi pukul 5.30. Ia tinggal menulis conclusion saja untuk thesisnya. Penutup Seperti halnya Gus Dur, Ulil, mereka yang dididik secara tradisional di pesantren kemudian terekspos risalah ilmiah dari Barat, biasanya memiliki pemikiran agama yang progresif, tidak jumud, fleksibel dan liberal. Demikian juga AAN. Maka, berdiskusi dengannya mengenai Islam progresif selalu membuahkan pandangan atau pengetahuan baru. Saya sendiri tidak pernah dididik di pesantren. Dan, dulu agak ngeri kalau diancam akan dimasukkan pesantren waktu kecil. Tapi di pertengahan kuliah di Bandung, saya membaca banyak sekali buku-buku pemikiran Barat yang mudah didapat di toko-toko kecil dekat kampus. Buku-buku ini tentu saja tidak berguna untuk kuliah saya. Dan, saya sendiri selalu bingung kalau ditanya kenapa membaca buku-buku seperti itu (seperti Fyodor Dostoevsky, Gogol, Sartre, Foucoult, Nietzsche, Marx, Arkoun, Fazlurrahman, Hassan Hanafi, Geertz, Anne-Marie Schimmel, M Iqbal dll). Tidak ada tujuan kecuali ingin tahu ranah lain di bumi ini. Mereka tentu tidak berbicara nonsense, itu saja yang saya percaya. Kalau non-sense, kenapa buku-buku itu dibahas di universitas besar di dunia? Jadi, agak eklektik dan self-enrichment. Belakangan, terasa sekali manfaatnya. Tanpa membaca buku-buku itu, barangkali saya tidak bisa nyambung dengan AAN. Buku-buku itu secara tidak langsung memberikan hal-hal berikut: (1) kecenderungan untuk terbuka kepada pemikiran baru; (2) memahami dengan lebih cepat fenomena yang non-mekanistik; (3) memahami mengapa komunitas bertindak ini itu; (4) kesempatan untuk menguji metode ilmiah di bidang sains ke bidang sosial; (5) lebih bisa masuk ke banyak kalangan yang nonteknik karena ada hal yang diobrolkan. AAN dulunya studi hadits, lalu berekspansi ke jalur pemikiran politik dan Islam liberal. AAN adalah seseorang yang produktif dalam dunia jurnalistik. Tulisannya menghiasi koran-koran di Indonesia dan Singapura; dan lewat kenalan dia ini, saya bisa memasukkan artikel di koran Singapura. AAN Ia juga menunggu satu bukunya

37

diterbitkan di Thailand, dan ini mengenai Islam. juga orang yang sederhana dan tidak ambisius. Ambisinya hanya dituangkan lewat jalur akademis dan pemikiran saja; meski ada juga profesor yang mengatakan tulisannya konservatif. AAN sangat ingin kembali ke Australia, entah untuk belajar lagi atau mengajar. Negeri ini sangat berkesan baginya. AAN sedang menantikan anak keduanya (yang katanya Made in Singapore - hehe and born elsewhere, probably). AAN adalah orang yang sering dipermudah jalannya oleh Tuhan meski dihadapkan pada berbagai masalah pelik. Selamat jalan kawan ... keep on writing.

38

III. BUKU

39

17. Aku dan Meneer Janssens Pagi itu aku murung: ayah-ibuku mati tertabrak lori. Air mataku menetes, lalu diseka Meneer Janssens, bekas majikan orangtuaku. Pada umur 11 tahun itu, aku diasuh Meneer: ini semacam privilege yang aku bayar dengan menjadi jongosnya. Enam tahun kemudian, Meneer mengirimku ke Amsterdam. Pendidikan adalah bekal untuk mandiri, pesannya. Di sana, aku belajar ilmu hukum di sebuah universitas. Setelah lulus, aku bekerja di sebuah firma huku. Karena inlander, upahku rendah. Namun aku betah di Belanda: sebuah negeri yang berbeda dari Jawa, di mana sistem berjalan tanpa cambuk rotan. Suatu sore aku mendapati surat Meneer: Tole, pulanglah segera. Alasannya tak jelas, tapi aku tahu bahwa Meneer memerlukan aku di Jawa. Balasan suratku mungkin menyakitinya: Meneer, aku tak ingin pulang, karena aku menyukai kehidupan Belanda, dan aku memiliki perempuan idaman di sini. Beberapa hari kemudian, dugaanku benar: surata balasan Meneer membuat kita saling melukai. O, Meneer, bukan aku tak ingin membalas budi, tapi bisakah engkau membebaskan aku? Tak ada balasan. Lima tahun kemudian, aku pulang ke Jawa. Dalam pelukan rindu kami, Meneer berbisik: komunis di mana-mana, berhati-hatilah Esoknya, aku melihat tubuh Meneer tak lagi bernyawa: ia kena serangan jantung. Dua tahun kemudian, orang komunis diberangus, dipenggal, ditembak dan dibuang ke sungai. Bau anyir mayat mengundang mual. Aku tak mual, karena aku ada di antara tumpukan mayat-mayat itu. *Diterbitkan di Flash! Flash! Flash! Kumpulan Cerita Sekilas (Blogfam & Penerbit Gradien, 2006); jumlah kata = 216

40

18. Ayu Utami dan AAC Ada beberapa orang yang nanya ke saya: sudahkah membaca Ayat-Ayat Cinta (AAC)? Saya selalu jawab belum. Kalau AAS (Ayat-Ayat Setan - Satanic Verses - Salman Rushdie) dulu pernah baca tapi gak tuntas. Katanya juga, filmnya sudah beredar di Indonesia dan ditonton 3 juta orang. Sensasional kayaknya. Dan, ini bukti bahwa saya kuper (ha ha). Saya nemu komentar Ayu Utami mengenai AAC ini. Novel Ayu Utami yang saya kagumi adalah Saman. Novel lainnya, seperti Larung, kurang 'menggigit'. Dalam Saman, Ayu mendobrak pintu sastra yang kokoh, rapi, bersih dan keramat. Ia tidak seperti itu: ia vulgar, apa adanya, sedikit 'kotor' dan ramai kritik. Sastra memang seperti itu: membuka pergulatan, bukan memberi solusi. Yang memberi solusi (khususnya happy ending) biasanya ya Hollywood. Kalau Bollywood? Ada lapangan, ada lagu, ada pertempuran, ada hero, ada nangis (tapi kadang kocak juga). Saya percaya Ayu Utami memberi komentar yang objektif mengenai AAC. Seperti: Ayat-ayat Cinta itu novel Hollywood, novel yang akan membuat senang pembacanya. Cara membuat senang itu dengan memakai resep cerita pop, misalnya berita happy ending, katakan yang orang ingin dengar, jangan katakan yang tidak ingin didengar. Nah kan ... Cerita novel ini sangat laki-laki, memenuhi keinginan dan impian semua laki-laki untuk dicintai banyak perempuan, yang perempuan istri pertama menyuruh dia kimpoi lagi. Lalu penyelesaiannya untuk kompromi simpel, perempuan yang istri kedua mati. Kalau dalam novel ini, kasus poligami disikapi dengan pengecut. Dalam arti, sebagian besar perempuan tidak mau dipoligami. Bila pun ada, perempuan yang mau dipoligami itu, biasanya mereka sebagai istri kedua, ketiga, atau keempat. Kekuatan novel ini? Judulnya kuat, ini mengingatkan pada Ayat-Ayat Setan, atau lagu Laskar Cinta. Kemudian enak dibaca, dia punya keterampilan menulis. Tapi saya kira kekuatan AyatAyat Cinta ini adalah kemampuannya untuk menyenangkan, untuk mengkonfirmasi apa yang dipercaya kebanyakan orang. Mental masyarakat itu merindukan orang untuk masuk ke agamanya, kita senang bila ada yang masuk agama kita. Di sini, masuk Islam, di Hollywood masuk Kristen. Kelemahan novel ini? Paling lemah, kalau menurut saya, adalah nafsunya pada kebenaran. Begitu bernafsu untuk menunjukkan kebenaran. Tapi dia mengakui ini novel dakwah, jadi nggak masalah.

41

Benarkah? Mesti membaca sendiri kayaknya. Ada yang berbaik hati mengirimi saya? hehe

42

19. Membaca BTJ Urip iku mung mampir ngombe Anonim Sejak hari Minggu, saya baca buku Babad Tanah Jawi (Javaansche Rijkskroniek) yang ditulis oleh WL Olthof tahun 1941. Bukunya berbahasa Indonesia dan saya beli ketika pulang ke Jember. Awalnya agak membosankan, tapi begitu lewat 20 halaman, isinya menarik. Isinya mengenai cerita raja-raja Jawa dan keturunannya, konflik dan kesaktian. Makin ke belakang (tahun 1400an), mungkin karena sumber literatur mulai lengkap, maka isi buku banyak dibumbui dialog dan catatan yang rinci. Alasan tiba-tiba tertarik membaca buku ini ya karena akhir-akhir ini sering mikir tentang "Jawa", budaya nenek moyang. Alasan lain ya karena dulu sempat membaca cerita Amangkurat II yang kejamnya minta ampun (ia menghabisi 6000 orang termasuk perempuan dan anak-anak di alun-alun kota dalam waktu setengah jam - ini karena ia cemburu lantaran istrinya selingkuh dengan adik lelakinya). Katanya cerita Amangkurat II ini ada di Babad Tanah Jawi. Tapi belum sampe ke sana sih. Jadi mesti lanjut membaca. Alasan lain lagi kenapa membaca buku ini karena ingin tahu cerita tentang Gajah Mada. Tapi lumayan kecewa, karena cerita tentang Gajah Mada tidak banyak. Mungkin karena Gajah Mada ini bukan raja kali... Namun, sekilas, penulisnya kagum dengannya, tapi tidak hendak merinci lebih jauh. Mungkin keterbatasan data sejarah. Beda dengan Langit Kresna Hariadi, yang menulis tiga jilid tentang Gajah Mada. Saya sendiri pengen sekali beli buku-bukunya. Nanti kalau sudah pulang ke Jember, atau main ke Batam :) Pertanyaan yang mesti saya jawab adalah: Gajah Mada ini orang mana sih? Orang Jember ta? He he ... Soalnya hal ini sendiri masih kontroversi. Ada yang bilang GM ini (bukan Goenawan Mohamad lho ya) orang Melayu, orang Jawa, orang Myanmar, orang Mongolia, dan lainnya. Dan, kematian GM sendiri masih sangat misterius. Katanya sih, dia konflik dengan Hayam Wuruk, lalu diasingkan ke Probolinggo dan nyepi di dekat air terjun. Lalu lenyap. Atau kemudian bekerja di BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) setempat hehe. Hush ... GM kok diguyoni... Ya begitulah, belum ada hasil membaca BTJ, kecuali bahwa pas tidur siang hari minggu saya mimpi Raden Pajang merencanakan hendak membunuh Arya Penansang. Gila! Sampe terbawa mimpi bo ...

43

20. Rumah Bambu Tahun 1998 saya sempat main ke gang Kuwera, Yogyakarta. Ada rumah yang agak tertutup di sana. Dari luar nampak sebuah ruang di tingkat dua yang penuh buku. Ia tak memiliki balkon, dan hanya dilapisi kaca besar, terawang, sehingga orang bisa mengintip tatanan buku di lemari. Rumah siapakah itu? Dua tahun kemudian (2000) saya membaca Rumah Bambu. Buku ini berisi cerpencerpen yang ditulis YB Mangunwijaya. Kemudian saya melanjutkan ke buku-bukunya yang lain seperti Burung-Burung Manyar, dan beberapa biografinya, sehingga saya "mengenal" YBM. Rumah di gang Kuwera itu rumah YB Mangunwijaya. Sayangnya, 1 tahun sebelumnya ia meninggal. YBM ini unik: arsitek/engineer, pastor, pekerja sosial, agamawan, sosiolog (antropolog), penulis dan banyak lagi atribut lainnya. Gus Dur bilang "Ia adalah pemilik moral yang absolut." Desain rumah yang dibuatnya di Kali Code, Yogya, memenuhi kriteria "rumah", layak huni, ventilasi dan pencahayaan yang baik dan dibuat dengan bahan yang mudah didapat. Rumah-rumah itu dibangun untuk penduduk tak mampu di sana. Ia juga terlibat dalam INTERFIDEI (lembaga dialog antaragama). Satu cerita dalam Rumah Bambu masih saya ingat: Rheinstein. Barangkali ini cerpen paling panjang dalam buku itu (long short-story) dan ia bercerita tentang kebosanan, kerinduan, keinginan, gairah, seks dan kesetiaan. Tunggu ... ada suara petikan Dewa Budjana dan tiupan Embong Rahardjo dalam Early Mornin' (album SAMSARA) ... indah sekali. Seseorang dengan baik hati meng-upload potongan cerpen Rheinstein. (Potongannya bisa dibaca di Yendi's Blog). Rheinstein menulis tentang perempuan. Kadang ia muak dengan kesetiaan: Jangan tanya. Kesetiaan memang memuakkan. Makanya setiap pagi aku muntahmuntah, persis seperti perempuan hamil yang mengidam untuk mencium aroma lelakinya. Pun hanya selembar kemejamu yang tertinggal. Ya, kesetiaan memang membuat mual. Apalagi setiaku tumbuh merambat seperti tanaman di dinding lumut. Liar dan menjalar. Tapi kadang ia membuktikan kesetiaan dengan menunggu: Tepat di pukul empat, aku pasti menunggu. Menunggu memang bisa membunuh, seperti yang kurasakan. Tepat pukul empat, tubuhku seperti ditusuk-tusuk ratusan jarum. Rasanya aneh. Pertama geli, lalu aku mulai kejang karena kesakitan dan disambung perih yang tanpa jeda. Begitu setiap hari sampai menjelang malam, rasa itu akan hilang dengan sendirinya dan aku jadi terbiasa.

44

Untungnya, menungguku adalah bagian dari setia padamu. Jadi perih itu bisa kunikmati. Karena kesetiaan hakikinya memang indah. Kalau istilahmu, cantik. Cantik itu setia. Cantik itu menunggu. Aku ingin cantik di matamu jadi aku setia dan menunggu. Menunggu waktu berbaur dengan harapan dan mungkin ditambah setengah tetes doa, bisa jadi mantra untuk hidup bahagia. Lalu ia membuat pengakuan Tapi aku mau membuat pengakuan. Pernah aku hampir menyerah kalah. Saat tubuhku mulai kebal dari rasa perih dan cecap darah di sudut bibir justru terasa manis. Aku menangis meraung-raung. Kugigiti tubuhku sendiri. Semalaman. Aku tidak ingin menunggumu lagi. Aku bosan, dan aku mulai terbunuh oleh setiaku sendiri. Tersiksa sekali rasanya. Mungkin karena aku manusia. Bukan titisan Drupadi yang punya kesabaran tanpa batas cakrawala atau kekuatan seperti milik Mutjingga2 yang bisa menyatukan segala roh dan membuatnya terlahir kembali dengan suci. Tapi untung saja aku kembali terjaga dalam setiaku. Dalam menunggumu. Kembali kuperca kain yang kali ini kupilihkan dengan warna biru awan. Agar kamu tahu bahwa kesetiaanku hanya langit batasannya. Dan ia hanyalah perempuan ... Aku perempuan. Dan hanya kesetiaan yang bernilai untuk kupersembahkan padamu. Bukan gerai rambut yang kuronce dengan melati atau tarian srimpi yang kutarikan dengan cadar emas atau selembar dua daun mindi yang kubiarkan kering agar aromanya menempel di tubuhku. Aku perempuan dan terlanjur mencintaimu. Seriously, bagaimana YB Mangunwijaya bisa begitu pandai membahasakan perempuan? Bagaimana ia bisa berempati dengan perempuan lewat perasaan yang terbahasakan? Sampai sekarang masih terkesan dengan cerpen dan kata-kata dalam cerpen itu.

45

IV. SINGAPURA

46

21. Shonanto Bukan, itu Shnant bukan nama Jawa, tapi kependekan dari Showa no jidai ni eta minami no shima (pemendekan dengan metode gimana ya?) alias pulau di selatan yang didapat di era kaisar Jepang, Showa. Shnant adalah nama lain Singapura. Selanjutnya bisa dibaca di Wikipedia. Empat puluh dua tahun silam (+ dua hari) Singapura merdeka dari Malaysia. 9 Agustus. Negeri yang disebut punya anomali antropologi (sebuah pulau yang dominan imigran China di antara raksasa Melayu) ini bisa mengatur dirinya sendiri. Dalam sebuah buku (lupa judulnya, tapi risalah serius seorang ahli politik-ekonomi Asia), Singapura adalah satu-satunya negeri di ekuator yang punya GDP tertinggi. Dalam hal kemakmuran, ia juga anomali. Titik merah ini agresif dalam ekspansi bisnis; ia juga punya kualitas layanan keuangan yang fleksibel sekaligus terpercaya; ia punya cita-cita besar; tapi ia juga diatur dengan sistem politik demokrasi terpimpin. Demokrasi ada karena ada kompetisi partai dan pemilu, terpimpin karena bak seorang raja yang infalibel, perdana menteri punya kuasa penuh atas segala aspek Singapura. Presiden hanyalah simbol. Yang lebih aneh lagi: ada tiga perdana menteri di pulau berpenduduk 4.5 juta ini (perdana menteri, menteri senior dan guru menteri). Peran ketiganya sama, yaitu mengatur negara, dan punya wilayah otoritas sendiri. Jangan belajar politik di Singapura karena tak menarik.

Dua hari lalu ada National Day Parade. Suatu peringatan besar-besaran. Di teluk Marina itu, merah di mana-mana. Saya tak menonton karena fobia keramaian (halah!). Tidak ada yang istimewa, kecuali bahwa ini (katanya) pesta kemerdekaan terbesar

47

dalam sejarah Singapura. Tapi teman saya mengutip LKY: setiap kembang api yang meledak selalu diiringi bau uang yang terbakar (begitu parafrasenya). Dan uang itu adalah uang rakyat yang bulan lalu berkontribusi untuk kenaikan gaji perdana menteri, dan terkena kenaikan pajak jadi 7%. Tak ada yang sensitif. Karena yang sensitif pasti kena Al-Sensor. Selamat ulang tahun Singapura. Kowe oleh sedho sak marine aku sedho.

48

22. Bekupon: Tentang Rumah di Singapura Di Singapura, (katanya) 80% keluarga hidup di HDB flat. HDB ini badan pemerintah yang mengurusi perumahan rakyat. Di Indonesia HDB ini barangkali mirip dengan Perumnas. Pemilik HDB flat memiliki rumah, tapi tak memiliki tanah. Bilik dibatasi oleh dinding. Kemudian tetangga ditumpuk di atas dan di bawahnya. Lalu disediakan lift supaya tak penat naik turun tangga, terutama jika flat-nya sampai 30 lantai. Air dan listrik tersedia (kemudian disebut PUB alias Public Utility Board). Tapi jangan lupa bayar tiap bulan. Enam bulan pertama di Singapura saya hidup di HDB flat. Lewat sebuah agen perumahan (calo atau makelar), saya mendapatkan rumah itu.Bangunannya lama, dan lift hanya berhenti di lantai 1, 6 dan 11. Total 12 lantai. Kanan-kiri flat dilingkupi pohon rindang. Jadi, kadang ada burung jalak (Tiong bird) atau gagak yang bertengger di jendela. Ruangannya sungup alias gelap berlembab. Arah bangunan tak utara selatan, jadi tak kebagian matahari. Angin lumayan kencang. Bila hujan tiba, dan lupa menutup jendela, beceklah dapur dan kamar. Kini saya pindah ke HDB flat di wilayah lain. Lebih bersih, lebih baru, dapat banyak matahari dan angin. Daerahnya seperti pinggir kota. Ayah saya bilang: Iki luwih sepi timbang Bondowoso. Tapi saya suka tinggal di sini. Memang mirip Bondowoso, tapi supermarket (plus kedai kopi, ATM) tinggal selemparan batu (dengan syarat nglemparnya harus kayak nglempar granat ~ 100 m). Mari loncat ke Surabaya. Ketika kecil saya sering ke tempat paman di tengah kota Surabaya. Rumahnya kecil dan berdempetan dengan tetangga lain. Maklum, rumahnya model kampung. Di sana, banyak sekali orang memelihara burung merpati. Sebagian dipelihara untuk kontes. Burung-burung itu dipelihara dalam rumah kecil di atas tiang, dan dikenal dengan nama bekupon. Nama lainnya pagupon. Kadang ada yang tumpuk-tumpuk 3 lantai. HDB flat ini mirip dengan bekupon. Tapi tentu lebih canggih: penghuni flat lebih pandai internetan. Tinggal di condo hampir tidak ada beda. Kecuali mereka punya sarana olahraga seperti kolam renang dan gym. Selebihnya ya ditumpuk. Kalau merpati bisa ngomong dan punya anatomi mirip manusia, barangkali dia juga mesti bayar PUB.

49

23. Fabian Fobia: Tentang Anak di Singapura Phobia terhadap ketinggian, ruang yang luas dan laba-laba barangkali biasa. Yang lebih biasa lagi adalah phobia terhadap bos. Kalau phobia terhadap tetangga umur 7 tahun, nah ini luar biasa. Istri saya mengidap ini. Fabian adalah nama anak ini. Seorang murid SD kelas 2 tapi tak pandai membaca. Dia suka menyapa dan kadang berdiri di depan rumah dan berkata Can I come to your house?. Tentu kami mempersilakan masuk. Dia kemudian main dengan anak kami. Ada yang unik: tata kramanya beda. Dia tanpa permisi langsung masuk ke kamar tidur, naik ke box bayi, lalu lari ke dapur, membuka kulkas dan minta ijin untuk minum susu. Lama kelamaan tingkah lakunya menjengkelkan: jika ia ingin makan cereal ia langsung bilang Hey, I want this. Dia juga suka berbohong kepada kakekneneknya: Please dont tell my Ah Kong that I eat this, OK? Dia tak boleh makan coklat di rumahnya, tapi kami tetap memberinya karena tidak tega (tidak tega membiarkan ompongnya cuma dua hehe). Dia juga tak kenal waktu jika ingin main. Jam 8 pagi sampai jam 8 malam. Akhirnya kadang kita suruh dia pulang alias usir dengan alasan Baby wants to sleep atau Were going out in a minute Dia juga pernah tertangkap basah mau mengantongi mainan. Klepto. Kadang-kadang kami mendengar ia bertengkar dengan kakeknya dan saling bentak. Ribut banget deh. Singkatnya: arek iki nggapleki pol Dengan anak kecil yang lain, istri saya tidak phobia. Cuma sama Fabian aja dia phobia. Barangkali dia phobia dengan tingkah laku yang menjengkelkan itu. Kenapa ya anak kecil kok bisa berperilaku begitu? Kami tak habis pikir. Tapi kami tidak menyerah: kami menyimpulkan bahwa dia anak yang kekurangan kasih sayang orang tua. Dia tinggal dengan kakek-neneknya, dan orang tuanya datang seminggu sekali (woi ini Singapore gitu lho koyok Surabaya-Jember wae!). Dia juga jarang diajak bermain ke rumah orang dan diberi petunjuk mengenai sikap-sikap baik ketika bertamu. Jadi ya begitu main ke rumah orang ia seenaknya sendiri. Ini salah siapa coba?

50

24. Muram: Tentang Ekspresi di Singapura Setiap pagi saya jalan kaki ke bus interchange. Jika antrian bus sepi, saya bisa memilih tempat duduk yang strategis; tempat di mana saya bisa melakukan people watching yang diskontinu dan agak invisible. Perilaku ini sebenarnya mengganggu bagi orang lain. Siapa yang suka diam-diam diamati makhluk lain? Tapi ini jadi kebiasaan. Saya bisa melihat sesuatu yang konstan di Singapura: wajah muram. Apa sebab seseorang berwajah muram di pagi yang segar? Umumnya karena ngantuk; sebab lain: tumpukan tugas dan kerja yang menanti; alasan lain: setelan mulut sudah demikian murung; coro londo-nya: life sucks! Saya pernah bertanya kepada seorang kawan yang energik dan ceria: Are you happy here? Jawabannya ekspres: No! Apa pasal? Ia lalu mendadak muram dan berjalan gontai: semua perlu uang, bayar ini bayar itu, sedangkan gaji kecil. Jika memang demikian: life barangkali memang sucks. Hidup itu menghisap seperti lintah. Tapi apakah kita dalam hidup? Kemudian, siapakah lintah itu? Seperti mengejar ekor sendiri, sumber kemuraman adalah kita sendiri. Seorang kawan pernah dikenal sebagai source of happiness di Singapura yang muram. Dia mencari masalah, kadang juga sial tertimpa masalah, jadinya penuh masalah. Harusnya ia muram. Tapi tidak. Ia selalu ceria. Kenapa demikian? Singkat saja: aku tak punya pilihan lain selain menjadi ceria; ini untuk anakku; sebaiknya ia tak melihat aku murung; aku ingin ia selalu melihat ayahnya ceria. Apakah ini berbohong pada diri sendiri? Iya, tapi itu tak soal baginya. Karena hidup hari ini lebih bermakna jika kita berbuat baik pada dua orang: diri kita sendiri dan seseorang yang kita cintai. Naif barangkali. Tapi hasilnya positif. Setiap pagi saya naik bus. Lewat pintu yang terbuka otomatis dan bunyi teeeet kartu bus yang ditempel, wajah muram masuk berurutan. Inilah Singapura. Jangan heran.

51

25. Adzan di Singapura Adzan adalah pengingat dan panggilan bagi muslim supaya sembahyang. Bagi saya, yang pernah hidup 25 tahun di Indonesia (di mana adzan adalah lantunan yang terjadwal), adzan adalah bukti pemerintah yang tak represif terhadap agama meski Indonesia cenderung sekuler. Di Bondowoso, kota masa kecil saya, lonceng gereja juga diperbolehkan berdenting tiap hari minggu. Panggilan massal untuk berdoa ini tak mengganggu; malah memperkaya bunyi di keseharian. Lain halnya di Singapura. Seberapapun besar masjid dibangun di sini, tak 1 dB-pun bunyi adzan boleh dilantunkan. Menganggu ketenangan, kata seseorang. Meski muslim perlu pengingat sholat yang unik seperti adzan, tapi karena pemerintah tidak memahami esensi adzan maka adzan dilarang bunyi. Karena minoritas maka muslim di Singapura diam saja. Bergeming. Diam juga pilihan dan mereka membunyikan adzan lewat speaker dalam ruangan masjid saja: tak sampai keluar. Satu-satunya (mungkin) masjid yang boleh membunyikan adzan adalah masjid Sultan di sekitar Arab Street. Masjid Sultan adalah masjid tertua kedua di Singapura dan dikategorikan national heritage. Oleh sebab itu, ia mendapat perkecualian.

Masjid Sultan, Kampung Glam, Singapura Yang diijinkan berbunyi di Singapura, antara lain: bunyi memekakkan seperti crengcreng dan tabuh-tabuhan yang mengiringi barongsai, lagu-lagu ketika ada perkawinan Melayu, pukulan kayu sekelompok penyembah api yang berjubah putih seperti Ku Klux Klan (ini pernah saya saksikan sendiri di Bukit Panjang - entah agama apa), dan lainnya.

52

Sebentar lagi puasa. Saya sebenarnya kangen sekali dengan adzan. Di Bondowoso, sebelum buka puasa atau imsak, adzan dibunyikan setelah bunyi sirine branwir selama 1 menit. Akhir kata: adzan pun kena sensor di Singapura.

53

26. Ras

Di bawah selubung kota yang teratur diatur dan taat hukum (karena denda), orang Singapura terbiasa dengan (dan dibiasakan ber-) corak pikir rasis. Are you Chinese? Are you Malay? Are you Indian? terdengar rutin (selama 5 tahun hidup di Singapura). Ras ditulis jelas-jelas di kartu identitas. Untuk apa? Untuk membedakan hak dan kewajiban tentunya. Terdengar klasik? Iya. Dan di sana tumbuh purbasangka ras di benak setiap penduduk Singapura. Menyedihkan. Padahal sebuah nasion yang besar adalah nasion yang terbentuk oleh mozaik etnik yang kemudian melebur dan tak dipertanyakan lagi: sebuah negeri yang barangkali utopia (meski Amerika atau Indonesia) tengah berjuang ke arah sana. Tapi tidak Singapura. Saya membaca Minoritas yang ditulis Goenawan Mohamad beberapa waktu lalu. Minoritas didasarkan pada apresiasi tari masyarakat Papua berjudul In front of Papua di mana keserempakan gerak, laku yang jenaka dan sayu, serta tata tari (koreografi) yang rapi adalah inti dari pertunjukan. Sekali lagi: apresiasi. Seorang penonton (Singaporean) lalu bertanya: Apakah ini tarian dari kebudayaan minoritas? Orang Singapura tak akan terkejut mendengar pertanyaan ini; malah makin penasaran. Tapi orang Indonesia menilai sebaliknya.

Tari Irian (sumber: travel.webshot.com) Kemudian GM menulis panjang lebar: Minoritas tak seorang pun di Indonesia akan menggunakan kata itu buat orang Papua, ataupun sebuah suku kecil sekalipun di pulau itu. Tapi saya kira saya tahu mengapa orang ini bertanya demikian. Seperti kebanyakan orang Singapura, ia

54

terbiasa hidup dengan ruang yang tak bersentuhan langsung dengan alam. Ia mudah melihat ekspresi yang primitif, eksotik yang praktis tak ada di London atau New York sebagai sesuatu yang terpencil, ganjil, dan nyaris hilang. Modernitas ada di mana-mana; yang beda dari itu adalah minoritas. Barangkali GM masih halus. Tapi mayoritas dan minoritas dalam benak orang Singapura adalah ekspresi tak sadar (unconsciousness) yang kerapkali muncul di mana saja termasuk di warung kopi. Ras menjadi penting - sepenting antri membeli lotre, membayar CPF, merangsek dalam antrian bus kota (dan bergaya kiasu). Dalam hal pertunjukan tari itu, kita sebaiknya hanya mengharapkan satu dari Singapura: menyediakan panggung dan sound system yang apik. Mengharapkan apresiasi tari? Next life maybe ketika reinkarnasi tak menjadikannya tuna-seni.

55

27. Rokok 3 May 2007 Rokok, tak peduli di Singapura yang sepi senyum maupun di Jakarta yang ramai Bajaj, adalah komoditi yang mudah ditemui dan dihirup. Variannya pun banyak rupa, namun metode menikmatinya tetap sama: disulut-dihisap-dihembuskan. Yang khas dari rokok adalah "tekstur" fluida (tekstur ini diindikasikan dengan mudah oleh kata "halus", "kering" dan "kasar"), rasa, aroma dan kepekatan. Semua bersumber dari tembakau, filter dan bumbu tambahan lain seperti cengkeh. Selain kerapkali dijadikan alasan sebagai penghilang stress, rokok adalah sumbu pertemanan; ada manfaat sosial di sana, meski dalam jangka panjang, rokok dikategorikan pembunuh terbesar ketiga di dunia. Di Singapura, jumlah perokok pernah mencapai 18% pada 1992. Namun, angka ini kemudian turun menjadi 12% tahun-tahun belakangan ini. Kurang lebih 540 ribu orang merokok sekarang ini; dan statistik menyebutkan bahwa mayoritas perokok adalah laki-laki (mungkin tak hanya konteks Singapura, di dunia pun laki-laki adalah gender mayoritas perokok). Mengapa jumlah perokok menurun? Merokok itu mahal di Singapura. Bayangkan ini: uang yang digunakan membeli rokok satu pak selama sebulan (~ S$ 300) di Singapura cukup untuk menggaji seorang profesor di ITB yang telah mengabdi hampir 30 tahun. Sedangkan di Indonesia, dengan uang S$ 300 itu kita bisa membeli hampir 300 pak. Ruang perokok dibatasi. Dulu, di setiap kedai atau pun bar, setiap orang boleh merokok. Kini, di setiap restoran atau kedai, hanya 10-20% meja yang boleh digunakan sebagai "pojok merokok". Tempat (sampah) untuk mematikan puntung diperbanyak jumlahnya di jalanan. Kotak rokok dengan organ rusak yang "memukau". Di Indonesia, kotak rokok cukup "sopan" dalam mengingatkan perokok. Paling tidak ada tulisan ini: "Merokok dapat menyebabkan gangguan jantung, paru-paru dan kehamilan" dan sejenisnya. Tapi di Singapura, selain mencantumkan kandungan nikotin dan tar serta tulisan semacam itu, foto organ (leher, jantung, gigi, gusi) yang hancur rusak dan berdarah ditampilkan dengan "memukau". Orang jadi segan membeli rokok; tapi mereka tak kekurangan akal. Setelah memindahkan isinya ke kotak rokok pribadi (cigarette case), kotak "artistik" itu dibuang. *** Tahun 2003, penggemar Garpit (Gudang Garam International) masih bisa menemui rokok Indonesia ini di Clementi. Rasanya sama persis dengan yang ada di Indonesia (berat, tebal dan manis), meski kandungan tar dan nikotin (barangkali) dibuat rendah. Setahun kemudian, rokok ini lenyap. Penyebabnya? Entahlah. Ia hilang begitu saja dari peredaran dunia rokok.

56

Extinction is forever. Conserve now! Oleh sebab itu, saya selalu berterima kasih (jika mungkin sambil membungkukbungkuk a la Jepang) jika ada orang yang membawakan saya Garpit meski hanya sekotak.

57

28. Orang Bawean di Singapura Apakah itu Boyan? Pada bulan Desember 2005, seorang kawan menawarkan roti boyan kepada saya. Alih-alih menikmatinya, saya jadi bertanya: apakah Boyan itu? Dijelaskannya bahwa Boyan adalah nama lain Bawean, sebuah pulau di dekat Surabaya. Bagaimana Bawean bisa menjadi Boyan? Hal ini mungkin disebabkan oleh absorbsi bahasa yang menyebabkan ketidakaslian bentuk kata yang umum terjadi pada jaman dulu (sebagian orang menyebutnya korupsi kata). Nama bawean sendiri diberikan oleh orang-orang Majapahit (kerajaan Hindu terbesar di Jawa) pada abad ke 13 yang berarti matahari t