oseana_ix(2)57-65

Embed Size (px)

Citation preview

  • 8/19/2019 oseana_ix(2)57-65

    1/9

    Oseana, Volume IX, Nomor 2: 57 - 65. 1984  ISSN 0216 - 1877 

    TEKNIK PENETASAN DAN PEMANENAN ARTEMIA SALINA

    Oleh

    Maria Goretti Lili Panggabean1)

      ABSTARCT  

    TECHNIQUES FOR HATCHING AND HARVESTING  ARTEMIA SALINA. Artemia salina are

    widely used as live food in mariculture. In this case, the most importance thing is the skill on the

    aplication of the technology for hatching and separation of the hatched nauplii from the unhatched

    of the empty cysts. The system introduced by SORGELOOS & PERSOONE (1975) for hatching and

    harvesting nauplii is recommended. The recent system in preparing nauplii, "decapsulation ", was

    briefly explained. The factors that control larval growth of A. salina was also discribed. 

    PENDAHULUAN 

    Keberhasilan suatu usaha budidaya

     biota laut sangat dipengaruhi oleh berbagai

    macam kegiatan penunjang, salah satu ke-

    giatan penunjang tersebut adalah penyediaan

    makanan hidup bagi biota yang dibudidaya-

    kan. Makanan hidup dapat berupa zooplank-

    ton dan fitoplankton. Salah satu makananhidup yang biasa diberikan ialah A. salina. 

     Artemia masuk golongan udang-udang-

    an yang kecil ukurannya. Bentuk dewasanya

    mencapai ukuran 1 cm, kurang lebih sama

    ukurannya dengan jambret (Mysidanceae).

    Hidup di perairan yang kadar garamnya ting-

    gi sekali, dimana hanya beberapa jenis bakte-

    ri serta algae yang dapat bertahan hidup.

    Hewan ini makan plankton, detritus serta

     butiran halus dalam air yang dapat masuk ke

    dalam mulutnya, jadi termasuk "filter fee-

    der" Dalam kondisi kadar garam tinggi

     Artemia akan menghasilkan kista yaitu

    telur yang diseliputi oleh selubung kuat un-

    tuk melindungi embryo dari perubahan ling-

    kungan yang merugikan. Pada kadar garam

    yang tinggi, kista akan mengapung dan

    mudah dikumpulkan, dibersihkan, dikering-

    kan selanjutnya dikalengkan dan dijual. Bila

    akan digunakan sebagai makanan hidup, kista

    direndam dalam air laut dan akan menetas

    menjadi nauplius. Nauplius inilah yang digu-

    nakan untuk makanan larva udang atau ikan.

     Artemia mempunyai nama lokal ber-

    macam-macam : brine shrimp (Inggris),

     brineworm (Belanda), saltzierchen dan fez-

    zanwurum (Jerman), Verme de sale (Italia,

    Spanyol), Sofereg (Rusia), bahar el dud

    (Arab) dan Iain-lain nama. Biasanya dijual

    dalam kaleng dengan berat bermacam-ma-

    cam : 365 g, satu pond (453 g), bahkan ada

    yang seberat 5 kg. Dihasilkan oleh beberapa

    negara dan biasanya namanya disesuaikan

    dengan daerah dimana dihasilkan, seperti

    San Fransisco Bay, Great Salt Lake (Ameri-

    ka Serikat), Macau (Brasilia), Buenos Aires

    (Argentina), Laval duc (Perancis), Tientsin

    (RRC), Chaplin Lake (Kanada), Salinera Es-

     panola, San Fernando, Ibiza (Spanyol) dan

    masih banyak lagi. Artemia yang baru menetas disebut

    nauplius, ini merupakan makanan hidup

     bagi larva udang dan benih ikan. Dengan

    makanan hidup ini, mutu air dalam bak pe-

    meliharaan larva udang atau ikan akan tetap

     baik karena tidak ada sisa makanan yang

    membusuk. Lagi pula makanan ini mempu-

    1). Pusat Penelitian Ekologi Laut, Lembaga Oseanologi Nasional-LIPI, Jakarta. 

    57 

    sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

    Oseana, Volume IX No. 2, 1984

  • 8/19/2019 oseana_ix(2)57-65

    2/9

    nyai nilai gizi yang tinggi serta mudah

    dicer-na. Nilai nutrisi nauplius yang baru

    menetas sebagai berikut : protein 40%—

    50%, karbo-hidrat 15%-20%, lemak 15%-

    20%, abu 3% -4% sedangkan nilai kalori

    adalah 5000 — 5500 kalori per gram berat

    kering. Larva dapat makan (menangkap)

    nauplius kapan saja dia mau selama

     persediaan nauplius masih ada dalam

    tempat pemeliharaan larva itu.

    Dibandingkan dengan zooplankton

    yang lain penyediaan nauplius A. salina lebih

    mudah dan efisien. Kista-kista A. salina da-

     pat disimpan beberapa tahun. Setiap saat di-

     perlukan, kista-kista dapat diambil secukup-

    nya untuk ditetaskan dan nauplius yang di-

    hasilkan dapat segera dimanfaatkan sebagai

    makanan larva ikan.

    Untuk pertama kalinya pada tahun

    1939 ROLLEFSEN memanfaatkan nauplius

     A. salina sebagai makanan larva ikan secara

    memuaskan (NASH 1973). Keberhasilan ini

    mengundang para pengusaha untuk mengum-

     pulkan kista-kista  A. salina untuk diperda-

    gangkan di kalangan budidayawan. Kini  A.

    salina dipergunakan secara luas di kalangan

     budidayawan dan harganya cukup mahal.Harga kista-kista  Artemia sekitar US $

    15.000,- per pound (ADISUKRESNO 1983).

    Mengingat harganya yang mahal, para budi-

    dayawan harus mengusahakan daya tetas dan

    hasil panenan yang maksimal. Hal yang pen-

    ting dalam penyediaan  A. salina sebagai

    makanan hidup adalah teknik penetasan,

     pemanenan atau pemisahan nauplius dari

    kista-kista kosong dan kista-kista tidak me-

    netas serta cara pembesaran. 

    PENETASAN 

     A. salina  berkembang biak secara sek-

    sual.  Artemia menjadi dewasa setelah ber-

    umur 10-14 hari. Mulai umur ini  Artemia

    sudah mulai berenang bergandengan (riding

     position), yang jantan mencapit perut yang

     betina. Capit ini merupakan perubahan

    antenae kedua, sedangkan pada yang betina

    tetap merupakan antenae. "Riding position"

    dapat berlangsung sampai sepekan, sedang-

    kan kopulasi hanya berlangsung singkat.

    Artemia betina segera membentuk telur pada

    dua kantong telur dan kedua kantong telur

    tersebut akan bergabung yang mempunyaisatu saluran telur. Dari satu ekor  induk betina

    dihasilkan sekitar 20 - 50 butir telur.

    Sementara telur masih dalam kantong telur,

    induk telah mulai memproduksi calon telur

    dan begitu seterusnya. Telur dapat dikeluar-

    kan dalam bentuk kista atau langsung mene-

    tas menjadi nauplius tergantung dari kondisi

    lingkungannya. Pada kondisi lingkungan yang

     baik perkembangan embryonal di dalam

    kantong telur akan berlanjut sehingga akhir-

    nya terjadi penetasan. Hasil penetasan meru- pakan nauplius yang berenang bebas. Pada

    kondisi lingkungan yang buruk perkembang-

    an embryonal akan terhenti pada stadium

    gastrula dan terbentuklah cangkang telur

    dari khitin. Dengan demikian terjadilah kista-

    kista atau sering disebut "resting eggs". Sifat

    "diam" dari telur-telur  A. salina ini amat

     bermanfaat bagi budidaya bahari yaitu se-

     bagai makanan hidup. Setiap saat diperlu-

    kan, kista-kista dapat ditetaskan dan nau-

     plius dapat dipanen untuk makanan larvaudang atau ikan. 

    Telur  Artemia yang baru dibuka dari

    kaleng berbentuk bola kempes, jadi bukan

    seperti bola bundar, Hal ini disebabkan kare-

    na waktu pemrosesan telur tersebut didehi-

    drasi sehingga kadar air tinggal sekitar 10 %.

    Telur yang dimasukkan dalam air dalam

    waktu satu sampai dua jam telah menyerap

    air dan bentuknya menjadi bulat. Sekitar 15

     jam kemudian telur mulai menetas, dari da-

    lam telur keluar bentuk bulat telur yang ma-sih terbungkus dalam selaput tipis, bentuk

    ini disebut "umbrella stage". Setelah bebe-

    rapa jam, maka lapisan tipis ini pecah dan

    keluarlah nauplius (Gambar 1). Untuk men-

    dapatkan hasil penetasan yang baik, maka

     perlu diperhatikan beberapa faktor : 

    1. Hidrasi dari kista-kista. Kista-kista yang

    58 

    sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

    Oseana, Volume IX No. 2, 1984

  • 8/19/2019 oseana_ix(2)57-65

    3/9

    dimasukkan ke dalam media air laut akan

    segera mengalami hidrasi dan terjadilah

     perkembangan embryonal di dalam kista.

    Hidrasi ini dapat terjadi pada kisaran sali-

    nitas antara 5‰ — 70‰. 

    2. Erasi. Oksigen sangat dibutuhkan untuk

     perkembangan embryonal  A. salina.

    Oleh karena itu erasi harus diberikan

    terus sampai terjadi penetasan, Selain

    untuk mencukupi kebutuhan akan oksi

    gen, erasi dapat mencegah terjadinya

     pengendapan kista-kista di dasar tangki.

    Pengendapan kista-kista dapat menimbul-

    kan kondisi "anaerob" pada kista-kista

    tersebut sehingga perkembangan embryo

    akan terhambat. Kandungan oksigen yangminimal untuk penetasan A. salina adalah

    3 ppm.

    3.  Penyinaran pada kista yang sudah menga

    lami hidrasi. Cahaya dapat merangsang

     pengaktifan kembali perkembangan em

     bryo A. salina. Rangsangan cahaya ini ha-

    nya efektif pada hidrasi aerob. Dengan

    demikian kista-kista yang sudah mengala

    mi hidrasi dapat dirangsang dengan penyi

    naran bersama-sama dengan erasi.

    4. Suhu. Suhu yang optimum untuk mem-

     peroleh hasil penetasan yang baik adalah

     berbeda-beda menurut strain yang diper-

    gunakan. Suhu optimum untuk strain

    California-USA adalah 28°C, untuk

    strain Utah-USA adalah 30°C dan untuk

    strain RRC adalah 35°C.

    5.  pH (derajat keasaman). Proses pecahnya.

    lapisan tipis pada saat "umbrella stage"

    sangat dipengaruhi oleh enzym penetas,

    dimana enzym ini pada pH 8,0 — 9,0

    mempunyai aktivitas yang optimum. Pe

    netasan tidak terjadi bila pH kurang dari

    7,0 terutama bila kepadatan telur yang

    tinggi. Untuk menaikkan pH air laut da

     pat ditambah dengan 1 — 2 g kapur

     per liter atau dengan NaOH 0,5 N seba-

    nyak 1,5 per liter air.

    6. Kepadatan. Untuk penetasan yang effi-

    sien kepadatan 10 g/1 memberi hasil yang

    memuaskan. Pada saat proses penetasan,

    telur menghasilkan enzym trehalose dan

    ini akan mempercepat penetasan telur

    di sekitarnya. Dengan kepadatan yangcukup maka trehalose ini cepat mempe-

    ngaruhi telur di sekitarnya dan proses

     penetasan dapat berlangsung lebih seren-

    tak. 

    Gambar 1. Nauplius Artemia salina. 

    Karena telur-telur  Artemia cukup ma-

    hal harganya maka perlu diusahakan hasil

     penetasan yang maksimal. Untuk mendapat-

    kan hasil penetasan yang baik, dapat diguna-

    kan wadah yang dasarnya berbentuk keru-cut, atau wadah berbentuk corong dari gelas

    atau plastik (Gambar 2) seperti yang dianjur-

    kan oleh SORGELOOS &  PERSOONE

    (1975). Bentuk dasar kerucut ini tidak me-

    merlukan erasi yang terlampau kuat. Sedikit

    erasi dari dasar kerucut sudah dapat membe-

    rikan adukan pada telur-telur  Artemia.

    Meskipun kepadatan tinggi (10 g/1) telur-

    telur  Artemia dapat tetap melayang dan

    mendapat oksigen cukup. 

    Wadah dibuat dari bahan gelas atau plastik yang memungkinkan cahaya masuk.

    Dengan demikian kista-kista yang terhidrasi

    dalam kondisi aerob dapat dirangsang

    dengan cahaya yang masuk. Rangsangan

    cahaya dapat dilakukan selama kurang lebih

    5 jam - 10 jam setelah telur direndam, sete-

    lah itu tidak diperlukan cahaya lagi. Jadi

    sebaiknya penetasan telur mulai dari pagi ha-

    59

    sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

    Oseana, Volume IX No. 2, 1984

  • 8/19/2019 oseana_ix(2)57-65

    4/9

    ri di saat masih cukup sinar rnatahari. Penyi-

    naran secara langsung harus dihindari karena

    sinar matahari mengandung sinar ultra violet

    yang dapat merusakkan embryo telur. 

    Gambar 2. Alat penetasan Artemia salina

    (Menurut PERSOONE &

    SORGELOOS 1975) 

    PEMANENAN DAN PEMISAHAN

    NAUPLIUS 

     Nauplius  A. salina yang baru menetas

    merupakan makanan yang baik sekali untuk

    larva ikan. Oleh karena itu nauplius harus

    langsung dipanen setelah menetas. Nauplius

    yang terlambat dipanen mempunyai nilai

    gizi yang kurang baik dibandingkan dengan

    nauplius yang baru menetas. Yang harus

    dilakukan setelah terjadinya penetasan  A.

    salina adalah pemisahan nauplius dari kista-

    kista yang tidak menetas maupun kista-kista

    yang sudah kosong. Hal ini penting dilaku-

    kan karena kista-kista dapat mengganggu

    atau membahayakan larva ikan, karena

    apabila termakan akan menyebabkan pe-nyumbatan pada ususnya. 

    Pemanenan nauplius ada beberapa

    cara. Cara lama yang biasa dilakukan pada

     pemanenan  A. salina adalah mematikan

    erator dan kemudian dilakukan sifonisasi.

    Setelah erator dimatikan, maka kista-kista

    yang tidak menetas dan kista-kista yang ko-

    song akan mengambang di permukaan. Kista-

    kista yang belum menetas akan mengendap

    di dasar. Nauplius yang berenang-renang di

     bawah kista-kista yang tidak menetas dapatdisifon keluar. Cara lama ini ada kelemahan-

    nya, antara lain : Pertama, memerlukan wak-

    tu yang agak lama tanpa erasi sehingga

    mungkin berpengaruh terhadap nauplius

    yang baru menetas. Kedua, membutuhkan 

    ketrampilan supaya nauplius tidak banyak

    tercampur dengan kista-kista yang kosong.

    Cara kedua, memanfaatkan sifat nau-

     plius  A. salina yang bergerak kearah cahaya

    (fototaksis positif). Prinsip dasarnya adalah

    menempatkan cahaya pada salah satu sudutatau celah. Nauplius akan berkumpul pada

     bagian yang intensitas cahayanya lebih tinggi

    dan mudah dipanen. Cara ini kurang efektif

    untuk wadah yang besar. Hal ini disebabkan

    karena sifat nauplius cenderung berkumpul

     pada sudut-sudut, Rangsangan cahaya pada

    sudut yang lain terlalu jauh bagi nauplius

    tersebut. 

    60 

    sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

    Oseana, Volume IX No. 2, 1984

  • 8/19/2019 oseana_ix(2)57-65

    5/9

    Cara yang ketiga, adalah sistem pema-

    nenan menurut SORGELOOS & PERSOO-

     NE (1975). Pemanenan nauplius mengguna-

    kan alat yang berbentuk silinder (Gambar 3).

    Silinder PVC ini dibagi menjadi 3 bagian : 

    1.  Silinder dalam yang melekat pada dasar

    silinder besar. Silinder dalam ini raem-

     punyai celah-celah horisontal yang berha-

    dap-hadapan. Lebar celah 1 cm dan pan-

     jangnya kurang dari ¼ diameter silinder.

    2. Silinder luar yang dapat diputar juga

    mempunyai celah-celah yang tepat sama

    dengan celah-celah silinder dalam.

    3.  Penutup silinder dalam bagian atas.

    Cara kerja dari sistem ini adalah sebagai

     berikut : mula-mula campuran nauplius dan

    kista-kista yang terkontaminasi dengan bakte-

    ri dicuci dengan air laut yang bersih, kemu-

    dian baru dituangkan ke dalam silinder da-

    lam. Celah-celah masih dalam keadaan tertu-

    tup. Kemudian bagian luar silinder diisi de-

    ngan air laut yang bersih sama tinggi dengan

     permukaan air silinder dalam . Kemudian

     bagian atas silinder dalam ditutup dan silin-

    der luar diputar sehingga celah-celah terbu-ka. Bagian luar silinder dirangsang dengan

    cahaya sehingga nauplius berpindah keluar.

    Setelah 10 menit - 15 menis silinder dalam

    ditutup kembali, maka akan diperoleh

    90 % - 95 % nauplius. Nampak bahwa sistem

     pemanenan ini cukup efektif. 

    DEKAPSULASI 

    Cara terbaru sebelum penetasan A. sa-Una adalah "dekapsulasi" (HAINES et al.

    1980). "Dekapsulasi" adalah suatu teknik

     pengupasan untuk membuka lapisan luar kis-

    ta A salina. Menurut HAINES et al. (1980),

    95 % kista-kista yang telah mengalami "de-

    kapsulasi" dapat menetas. Apabila diperhi-

    tungkan secara ekonomis, cara ini 2,7 kali

    lebih menguntungkan dari pada cara lama

    (penetasan tanpa dekapsulasi). Untuk mem-

     buka kista, nauplius A, salina menggunakan

    20 % energi cadangannya. Dengan demikian

    nauplius yang menetas dari kista yang telah

    di "dekapsulasi" akan mempunyai nilai nut-

    risi yang lebih tinggi. Nauplius dari hasil penetasan dengan dekapsulasi dapat langsung

    dipanen untuk makanan benih ikan atau

    udang karena lapisan kista telah hilang. Cara

    dekapsulasi 

    Seratus gram kista-kista  Artemia dihi-

    drasi dengan 51 air laut dan dierasi selama

    1 jam. Kista-kista kemudian dituang kedalam

    saringan, dibilas lagi dengan 31 air atau lebih

    untuk membersihkan kotoran-kotoran yang

    menempel. Setelah ditiriskan kista-kista di-

    rendam dalam 700 ml air laut. Sambil di-aduk ditambahkan 33 ml larutan NaOH

    40 % dan 600 ml Clorox (5,25 % NaOCl).

    Pengadukan dilakukan terus menerus hingga

    membentuk pusaran air. Suhu harus sering

    diperiksa. Apabila suhu mendekati 35°C,

    harus didinginkan dengan menambah es batu.

    Suhu tidak boleh mencapai 40°C karena da-

     pat membunuh embryo. Pengadukan dilaku-

    kan sampai terjadi perubahan warna dari

    coklat menjadi putih dan akhirnya berwarna

     jingga. Warna jingga menandakan bahwa de-kapsulasi hampir sempurna. Setelah warna

     jingga, pengadukan dilakukan terus sampai

    lebih kurang 7 menit — 15 menit. Setelah

    dekapsulasi, campuran kista-kista disaring

    dan dicuci dengan 5l air atau lebih hingga

    kotoran dan bau clorine hilang, kemudian

    ditiriskan dengan baik untuk menetralkan

    chlorine yang tertinggal. Selanjutnya telur-

    telur direndam dalam air yang ditambah

    dengan 5,3 ml larutan 1 % sodium thisulfat

    selama 3 menit. Kemudian ditiriskan, dicuci

    dengan 5 1 air atau lebih dan ditiriskan kem-

     bali. Telur-telur lalu dimasukkan ke dalam

    667 ml larutan garam (1 mangkok NaCl/l

    air) dan dierasi selama 3 jam — 4 jam. Se-

    telah erasi dihentikan, maka, telur-telur

    yang sudah tidak mengandung kista akan

    mengendap di dasar dan kista-kista yang

    masih utuh mengambang dipermukaan. Kista-

    61 

    sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

    Oseana, Volume IX No. 2, 1984

  • 8/19/2019 oseana_ix(2)57-65

    6/9

     

    Gambar 3. Alat penetasan Artemia. 

    1.  Silinder boks. 4. Tutup.

    2.  Silinder dalam 5. Celah-celah

    3.  Silinder luar 6. Kran pembuangan.

    62 

    sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

    Oseana, Volume IX No. 2, 1984

  • 8/19/2019 oseana_ix(2)57-65

    7/9

    kita tersebut dapat diambil dan disimpan

    dalam larutan garam untuk diproses kembali. 

    Prosedur "dekapsulasi" yang telah di-

    terangkan di atas berlaku untuk telur-telur

    dan California. Untuk telur-telur jenis lain

    mungkin dosis larutan yang dipakai dapat berbeda. Prinsip dasarnya hampir sama. 

    Telur-telur yang sudah mengalami

    ''dekapsulasi" dapat langsung diberikan pada

     benih ikan udang, langsung ditetaskan atau

    disimpan. Penyimpanan dapat dilakukan de-

    ngan cara perendaman dalam larutan garam

    dan disimpan dalam ruang gelap untuk bebe-

    rapa hari. Dapat pula disimpan pada suhu

    4°C atau kurang selama 8 pekan. 

    PEMBESARAN 

     Nauplius  A. salina yang baru menetas

    merupakan makanan yang baik sekali untuk

    larva ikan. Tetapi sebagai makanan larva

    yang lebih besar, nauplius dapat diberi ma-

    kanan yang bergizi sehingga tumbuh lebih

     besar.  A. salina  bersifat "filter feeder", cara

    makannya adalah dengan menyaring fito-

     plankton. Dengan fitoplankton yang cukup

    maka pertumbuhannya sangat cepat. 

    Menurut REEVE (1963),  A. salina da-

     pat menyaring Platymonas sp. sebanyak

    40260 sel/jam. Di samping fitoplankton dapat

     pula diberikan makanan buatan, misal-nya

    orang Jepang menggunakan tepung kedelai,

    tetapi pertumbuhannya kurang baik.

    Pertumbuhan  A. salina  pernah diteliti oleh

    REEVE pada tahun 1963. Nauplius yang

     baru menetas panjangnya 0,44 mm dan be-

    ratnya sekitar 0,003 mg, setelah dewasa pan-

     jangnya menjadi 8 mm dan beratnya 1 mg.

    Berarti ada pertambahan panjang sekitar

    200 x dan pertambahan biomassa sekitar

    500 x. Sedangkan waktu yang dibutuhkan

    untuk mencapai kedewasaan hanya sekitar

    6 sampai 12 hari. Dalam pertumbuhannya, A. 

    salina  akan mengalami penurunan kadar

    lemak dan peningkatan kadar protein, se-

    hingga meningkatkan daya cerna larva.

    Kadar lemak per satuan berat kering pada

    nauplius adalah 23,2 %; pada metanuplius 16,5

    % dan 7 %  pada awal kedewasaan. Sedangkan

    kadar protein pada nauplius yang baru menetas

    adalah 42,5 % dan pada  A. salina dewasa

    adalah 62,78 %. 

    Adapun teknologi pada pembesaran  A.

    salina tidak akan dibahas karena masih dalam

    taraf pengembangan. Akan tetapi faktor-

    faktor yang berpengaruh selama pembesaran

    A. salina telah dipelajari. MOFFET &

    FISHER pada tahun 1978 menghubungkan

    faktor-faktor tersebut dengan produksi amo-

    nia. Amonia ditimbulkan dari sisa-sisa meta-

     bolisme orgnisme yang dibudidayakan. Amonia

    ini kadarnya harus rendah karena dapat.

    merupakan racun bagi mereka. Adapunfaktor-faktor yang harus diperhatikan pada

     pembesaran A. salina adalah : 

    1. Padat Penebaran.  Padat penebaran yang

    telah diuji untuk  A. salina dewasa adalah

    antara 200 ekor-1600 ekor/l. Hasil pengujian

    tidak menunjukkan beda yang nyata. Pada

    kepadatan 1600 ekor/l belum nampak adanya

    gejala kelebihan amonia. SORGELOOS &

    PERSOONE (1975) mencoba membesarkan  A.

    salina dengan kepadatan 3 ekor/ml dan hasilnyacukup baik. Dengan padat penebaran 3

    ekor/ml, air laut harus diganti setiap hari. Dalam

    hal penebaran A. salina kepadatan nauplius juga

    harus diperhatikan. Padat penebaran yang telah

    diuji pada nauplius adalah antara 1000 ekor-

    9000 ekor/l. Pada nauplius ini ada gejala yang

    menarik. Ternyata kandungan amonia justru

    lebih tinggi pada kepadatan rendah. Produksi

    amonia pada padat penebaran 6000 ekor/l tidak

     berbeda nyata dengan padat penebaran

    9000 ekor/l. Padat penebaran rendah terjadi peningkatan aktifitas dengan semakin besarnya

    ruang gerak sehingga produksi amonia

     bertambah karena metabolisme meningkat.

    Sebaliknya dengan padat penebaran nauplius

    yang tinggi akan mengurangi raung gerak se-

    hingga akan mengurai metabolisme nauplius dan

     produksi amenia akan menurun. 

    63 

    sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

    Oseana, Volume IX No. 2, 1984

  • 8/19/2019 oseana_ix(2)57-65

    8/9

    2.  Suhu.  A. sa lina sebaiknya dipeliha-

    ra dengan suhu yang rendah karena suhu

    tinggi akan meningkatkan metabolisme  A.

    salina  sehingga produksi amonia akan ber-

    tambah.

    3.  Salinitas. Saalinitas yang tinggi akan

    mengurangi respirasi pada A. salina. Sebalik-

    nya, pada salinitas yang rendah atau larutan

    hipotonik, konsumsi O2  akan meningkat dan

    ekskresi NH3 juga bertambah. 

    Lingkungan dengan salinitas 10 ‰ 

    adalah isotonik dengan cairan haemolymph

    di dalam tubuh  A. salina (ROVERTSON

    1960). Tetapi penurunan produksi amonia

    terjadi pada salinitas di atas 15 ‰. 

    4.  pH.  Kenaikan pH dari 7 menjadi 9

    tidak mempengaruhi kandungan amonia to

    tal (NH3  + NH4+). Walaupun demikian kan

    dungan NH3  yang tidak terionisasi mening

    kat sampai 50 kali dan NH3  ini bersifat ra-

    cun bagi A. salina.

    5. 

    Pemberian makanan.  A. salina yang

    diberi makan dengan algae maupun A salina

    yang tidak diberi makan akan mengekskresi-

    kan amonia hampir sama banyaknya A. sali-

    na yang diberi makan mengkoversikan algae

    menjadi jarangan tubuh. Sedangkan  A. sali-

    na yang tidak diberi makan membongkar

    cadangan makanan di dalam tubuhnya.

    Dengan demikian produksi amonia menjadi

    lebih banyak atau hampir sama dengan pro

    duksi amonia pada  A. salina yang diberi

    makan. 

    6.  Erasi.  Menurut SORGELOOS (1973),

    erasi yang terus menerus akan menghambat

     pertumbuhan larva  A. salina. 9a mem- besarkan  A. salina dengan erasi secara

     periodik yaitu satu menit setiap setengah

     jam.

    7.  Cahaya. Cahaya dapat menghambat per

    tumbuhan  A. salina, karena ia bersifat

    fototaksis positif. Kemungkinan adanya ca-

    haya menyebabkan aktifitas yang tinggi dari

    larva, dengan demikian energi yang seharus-

    nya dipergunakan untuk pertumbuhan diper-

    gunakan untuk aktifitas pergerakannya. 

    KESIMPULAN 

    Sistem penetasan dan pemanenan  A.

    salina menurut SORGELOOS & PERSOONE

    (1975) yang menggunakan rangsangan cahaya

    dapat diterapkan untuk menunjang budidaya

     biota laut. Sistem ini cukup sederhana dan

    hasilnya cukup memuaskan. 

    Sistem penetasan terbaru adalah dengan

    melakukan "dekapsulasi" sebelum penetas-

    an. Sistem ini sangat praktis karena pemisah-

    an nauplius dari kista-kista kosong atau yang

    tidak menetas tidak perlu dilakukan. Dansistem ini menghasilkan nauplius dengan kan-

    dungan nutrisi yang tinggi. 

    Teknik pembesaran  A. Salina  belum

    dapat dirumuskan secara pasti walaupun

    demikian pembesaran A. salina dapat dilaku-

    kan dengan meperhatikan faktor-faktor

    yang mempengaruhi pertumbuhannya. Nam-

     paknya untuk pembesaran A. salina dibutuh-

    kan peralatan yang agak khusus. Untuk fak-

    tor suhu, diperlukan ruangan AC yang dapat

    membuat suhu ruangan sekitar 15°C. Kom- presor untuk erasi harus dilengkapi dengan

    alat otomatis yang dapat mengatur periode

     pemberian erasi. Berbeda dengan sistim

     penetasnnya, dalam pembesaran  A. salina

    cahayanya harus dikurangi sebanyak mung-

    kin. 

    DAFTAR PUSTAKA 

    ADISUKRESNO, S. 1983. Mengenal  Arte-mia. Buletin Warta Mina. 2 (4) : 11 - 16. 

    HAINES, P.B., R.G. HOWEY dan G.L.

    THEIS 1980. Decapsulation of brine

    shrimp (Anemia salina) cysts.  Lamar

     Information Leaflet 80 - 106 Lamar

    Fish cultural Development Center, Pen-

    sylvania, U.S.A. 

    64 

    sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

    Oseana, Volume IX No. 2, 1984

  • 8/19/2019 oseana_ix(2)57-65

    9/9

    MOFFET, W.L. dan W.S. FISHER 1978.

    Ammonia production rates of Artemia sa-

    lina under various culture conditions.

     J. Fish. Res. Board Can. 35 : 1643 -

    1649. 

     NASH, C.E. 1973. Antomated mass produc-

    tion of  Artemia salina nauplius for hat-

    cheries.  Aquaculture 2 : 289 - 298.

    PERSOONE, G. dan P. SORGELOOS 1975.

    Technological imporvements for the

    cultivation of invertebrates as food for

    fishes and crsutaceans I. Devices and

    methods.  Aquaculture 6 : 275 - 289.

    REEVE, R.M. 1963. Browth efficiency in

     Artemia under laboratory conditions. Biol. Bull. 125 : 135 - 145. 

    ROBERTSON, J.D. 1960. Osmotic and ionic

    regulation. In : The physiology of crusta-

    cean (T.H. WATERMAN ed) I. Metabo-

    lism and growth. Academic Press, New

    York and London, 670 hal.

    SORGELOOS, P. 1973. High density cultu-

    ring of the brine shrimp (Artemia salina

     L). Aquaculture 1 : 385 - 391.

    SORGELOOS, P. dan G. PERSOONE 1975.

    Technological imporvements for the culti-

    vation of invertebrates as food for fishes

    and crsutaceans II. Hatching and cultu-

    ring of the brine shrimp Artemia salina L.

     Aquaculture 6 : 303-317. 

    65

    sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

    Oseana, Volume IX No. 2, 1984