27
OTONOMI DAERAH, LAPANGAN KERJA, SERTA DAMPAKNYA TERHADAP MOBILITAS PENDUDUK Dr. Taufiq Ramdani, M.Sos A. Latar Belakang Masalah Memasuki era otonomi daerah, dimana status kependudukan yang terkait dengan status kedaerahan seseorang dipertanyakan “keasliannya” (putra daerah- non putra daerah), maka muncullah suatu kompleksitas ketenagakerjaan tersendiri. Setiap ada penawaran lapangan kerja khususnya dalam penjaringan pegawai sipil daerah, maka beredar anggapan bahwa status kedaerahan seseorang (putra daerah - nonputra daerah) menjadi salah satu faktor penentu tersendiri dalam pertimbangan kelulusan seseorang dalam proses penjaringan. Permasalah lanjutan yang muncul dari kompleksitas tersebut adalah pengaruhnya terhadap arus mobilitas penduduk (dalam hal ini pencari kerja). Setiap orang bila hendak mencari kerja dalam lapangan tenaga kerja negeri sipil, maka ia akan mempertimbangkan untuk kembali ke daerah asalnya,

Otonomi Daerah, Kesempatan Kerja, Serta Dampaknya Terhadap Mobilitas Penduduk (Dr. Taufiq Ramdani, M.Sos)

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Otonomi Daerah, Perubahan Trend Peluang Kerja, serta Predikat "Asli Putra Daerah", ternyata menjadi beberapa faktor yang bertalian satu sama lain di dalam mempengaruhi perubahan arah mobilitas penduduk kekinian. (Penulis: Dr. Taufiq Ramdani, M.Sos)

Citation preview

Page 1: Otonomi Daerah, Kesempatan Kerja, Serta Dampaknya Terhadap Mobilitas Penduduk (Dr. Taufiq Ramdani, M.Sos)

OTONOMI DAERAH, LAPANGAN KERJA, SERTA DAMPAKNYA TERHADAP MOBILITAS PENDUDUK

Dr. Taufiq Ramdani, M.Sos

A. Latar Belakang Masalah

Memasuki era otonomi daerah, dimana status kependudukan yang

terkait dengan status kedaerahan seseorang dipertanyakan “keasliannya”

(putra daerah-non putra daerah), maka muncullah suatu kompleksitas

ketenagakerjaan tersendiri. Setiap ada penawaran lapangan kerja khususnya

dalam penjaringan pegawai sipil daerah, maka beredar anggapan bahwa status

kedaerahan seseorang (putra daerah - nonputra daerah) menjadi salah satu

faktor penentu tersendiri dalam pertimbangan kelulusan seseorang dalam

proses penjaringan. Permasalah lanjutan yang muncul dari kompleksitas

tersebut adalah pengaruhnya terhadap arus mobilitas penduduk (dalam hal ini

pencari kerja). Setiap orang bila hendak mencari kerja dalam lapangan tenaga

kerja negeri sipil, maka ia akan mempertimbangkan untuk kembali ke daerah

asalnya, sebab hal tersebut terkait dengan peluang yang dilahirkan dari

perkembangan birokrasi di era otonomi daerah ini.

Persoalan ketenagakerjaan yang muncul dari berbagai kebijakan di

era otonomi daerah ini secara tidak langsung memberi andil yang cukup

signifikan terhadap gerak penduduk ke daerah asalnya ataupun Gerakan

Kembali Ke Desa (GKD). Pencari lapangan kerja berbondong-bondong

kembali ke daerah atau desa asalnya karena terkait dengan peluang kerja yang

pada tahap selanjutnya memunculkan persoalan mobilitas penduduk. Bahkan,

pencari kerja pada lulusan tingkat kesarjanaan yang dulunya seringkali

Page 2: Otonomi Daerah, Kesempatan Kerja, Serta Dampaknya Terhadap Mobilitas Penduduk (Dr. Taufiq Ramdani, M.Sos)

menjatuhkan pilihan tujuan mobilitas adalah daerah perkotaan, atau paling

tidak dia enggan kembali ke daerah asalnya kini mulai tersetting oleh “aturan

main” ketenagakerjaan di era otonomi daerah ini, bahwa peluang lebih besar

di daerah asal.

Mobilitas penduduk memang terkait erat dengan persoalan

lapangan kerja, ketersediaan lembaga pendidikan formal, serta tingkat

kesejahteraan yang berhubungan dengan ketersediaan sumber daya alam.

Ketiga variabel tersebut di atas memiliki keterkaitan satu sama lain. Ketika

seseorang hendak meningkatkan derajat ekonominya, maka ia akan melakukan

tindakan-tindakan yang dianggap produktif untuk tujuannya tersebut. Orang

tersebut akan melakukan pergerakan domisili (mobilitas penduduk) guna

mencari lapangan kerja di daerah lain yang diduga berpotensi optimal, atau

mencari daerah penyanggah atau penyedia lembaga pendidikan yang dapat

mengantarnya ke jenjang lapangan kerja, atau mencari daerah yang kaya akan

sumber daya alam untuk peningkatan standar upah dan kualitas hidup. Jadi

kedua variabel (Lembaga Pendidikan Formal dan Sumber Daya Alam)

tersebut sama-sama dapat diarahkan oleh seseorang ke sektor lapangan kerja.

Kompleksitas lain yang ditimbulkan oleh mobilitas penduduk di

berbagai wilayah yang didorong oleh prospek kesempatan kerja dalam era

otonomi daerah yaitu rehomogenitas komunitas penduduk daerah tersebut.

Heterogenitas penduduk suatu daerah karena adanya mobilitas penduduk

terkait dengan terbukanya kesempatan kerja tanpa melihat keaslian status

domisili di era praotonomi daerah dapat akan segera berbalik kembali.

Demikian bahwa persoalan lapangan kerja di era otonomi daerah ini

Page 3: Otonomi Daerah, Kesempatan Kerja, Serta Dampaknya Terhadap Mobilitas Penduduk (Dr. Taufiq Ramdani, M.Sos)

melahirkan kompleksitas pergerakan penduduk yaitu kembalinya pencari kerja

ke daerah asal.

Dalam kerangka struktural, persoalan lapangan kerja yang berarti

terkait dengan sektor ekonomi, dalam banyak kasus seringkali

melatarbelakangi proses mobilitas penduduk yang umumnya terjadi dalam

konteks urbanisasi. Namun dengan kehadiran era otonomi daerah, persoalan

lapangan kerja tidak lagi mempola mobilitas penduduk dalam konteks

urbanisasi semata namun lebih pada pengertian kembali ke daerah asal.

Berangkat dari alasan-alasan tersebut di atas, maka cukup relefan

untuk dikatakan bahwa persoalan tenaga kerja dalam era otonomi daerah ini

dapat memompa lebih cepat pertumbuhan penduduk di desa-desa.

Pencari kerja di sektor swasta bisa saja tidak terpengaruh oleh

kebijakan tentang penerimaan tenaga kerja negeri sipil yang berkembang di

era otonomi daerah ini, sebab secara umum, sektor swasta tidak tersetting

untuk merubah kebijakan penerimaan perkerja dengan pertimbangan status

daerah asal pelamar namun lebih pada pertimbangan skill/keahlian, namun

sedikit tidak juga terkondisikan oleh perkembangan tersebut.

Persoalan lanjutan yang ditimbulkan oleh kompleksitas

kesempatan kerja di era otonomi daerah adalah keterpurukan pencari kerja /

tenaga kerja daerah marginal dari investasi, kegiatan ekonomi dan sumber

daya alam. Dampak lanjutan dari situasi ini adalah kian meningkatnya

mobilitas tenaga kerja ke luar negeri (migrasi)1 seperti TKI. Menjadi TKI ke

1Migrasi merupakan perpindahan penduduk dengan tujuan untuk menetap dardi suatu

tempat ke tempat lain melampaui batas politik/negara ataupun batas administrasi /batas bagian dari suatu negara. Munir Rozy, 1984, Dasar-Dasar Demografi, LD FE UI, Jakarta.

Page 4: Otonomi Daerah, Kesempatan Kerja, Serta Dampaknya Terhadap Mobilitas Penduduk (Dr. Taufiq Ramdani, M.Sos)

luar negera pada akhirnya menjadi pilihan utama terakhir guna mengatasi

sempitnya lapangan kerja lokal-nasional dan rendahnya tingkat pendidikan

dan keterampilan.

Dalam pandangan Raveinstein, keputusan melakukan migrasi tidak

lepas dari pengaruh sekeliling sang migran terutama keluarga, namun tidak

dapat dinafikan pula bahwa daya tarik daerah tujuan (sentripetal) dan daya

dorong daerah asal (sentrifugal) berada pada urutan terpenting dalam realitas

pergerakan penduduk/tenaga kerja sementara ini. Keterpurukan kondisi

ekonomi daerah asal, rendahnya gerak investasi yang berakibat pada

sempitnya lapangan kerja dan lambatnya perputaran roda ekonomi, atau

persaingan yang tinggi dalam bursa lapangan kerja karena tuntutan tingkat

pendidikan dan keterampilan menjadi daya dorong (sentrifugal) tersendiri bagi

pencari kerja di daerah-daerah marginal. Gerak mereka untuk mencari kerja ke

daerah lain terkendala oleh prospek lapangan kerja yang ditimbulkan oleh

penonjolan status kependudukan atau keterkaitan (keaslian) dengan daerah

tujuan. Kesulitan besar akan dihadapi oleh daerah-daerah marginal yang tidak

memiliki kemampun untuk memproduksi lapangan kerja yang cukup untuk

penduduknya, sementara daerah tersebut mengahadapi gelombang kedatangan

kembali penduduknya yang bertubi-tubi di era otonomi daerah ini.

Berbagai daerah, sejak diberlakukannya otonomi daerah ini

berlomba-lomba untuk mengimpelentasikan semacam keberpihakan pada

putra daerah sebagai “pembalasan” atas kebijakan praotonomi daerah yang

mengimpor pegawai-pegawai negeri / pekerja ke daerah-daerah. Kini bahkan

untuk suatu kedudukan kepegawaian di sektor birokrat seperti menjadi

Page 5: Otonomi Daerah, Kesempatan Kerja, Serta Dampaknya Terhadap Mobilitas Penduduk (Dr. Taufiq Ramdani, M.Sos)

seorang bupati atau walikota harus memiliki keterkaitan dengan istilah “putra

daerah”. Realitas tersebut memang implementasi dari keberpihakan pada nasib

putra daerah, bahwa masih banyak penduduk lokal yang mampu menduduki

suatu kedudukan dalam bursa lapangan kerja dan mereka juga membutuhkan

pengakuan dan penempatan tersebut.

Mobilitas penduduk yang timbul sebagai dampak dari berbagai

kebijakan ketenagakerjaan di era otonomi daerah ini memiliki corak tertentu.

Bahwa mobilitas penduduk terjadi di masa-masa penjaringan pegawai negeri,

dan penduduk yang melakukan mobilitas tersebut sesungguhnya hanya

kembali ke daerah asalnya, sehingga gerak ini dapat pula diamati sebagai

Gerakan Kembali Ke Desa (GKD).

B. Rumusan Masalah:

Berangkat dari uraian pada latar belakang masalah di atas, maka

dapat ditarik beberapa rumusan masalah berikut ini:

1. Sejauhmana kompleksitas peluang kerja yang ditimbulkan di era otonomi

daerah mempengaruhi mobilitas penduduk ?

2. Pembenahan apa yang perlu dilakukan guna menetralisir pengaruh negatif

dari mobilitas penduduk yang bergerak sebagai akibat dari kompleksitas

peluang tenaga kerja di era otonomi daerah ?

C. Tujuan

Penulisan karya ilmiah ini ditujukan pada dua orietasi penting:

Page 6: Otonomi Daerah, Kesempatan Kerja, Serta Dampaknya Terhadap Mobilitas Penduduk (Dr. Taufiq Ramdani, M.Sos)

1. Bertujuan untuk mengkaji sejauhmana kompleksitas kesempatan kerja

yang ditimbulkan dari berbagai kebijakan perekrutan tenaga kerja di era

otonomi daerah ini.

2. Bertujuan untuk menemukan formula pembenahan teoritis yang dapat

menetralisir dampak negatif yang mungkin ditimbulkan dari mobilitas

penduduk yang timbul sebagai dampak dari komplekstas kesempatan kerja

di era otonomi daerah ini.

D. Kegunaan

Karya ilmiah ini diharapkan akan berguna bagi tujuan teoritis dan

praktis.

1. Tujuan teoritis: memperkaya khasanah keilmuan di bidang sosial

(sosiologi) khsusunya kajian terhadap gerak penduduk dan angkatan kerja

(migrasi).

2. Tujuan praktis: tinjauan terhadap berbagai kebijakan terkait dengan

kesempatan kerja yang berhubungan dengan pengaruhnya terhadap gerak

penduduk (mobilitas penduduk).

Page 7: Otonomi Daerah, Kesempatan Kerja, Serta Dampaknya Terhadap Mobilitas Penduduk (Dr. Taufiq Ramdani, M.Sos)

BAB II

PEMBAHASAN

A. Peluang Kerja di Era Otonomi Daerah dan Mobilitas Penduduk

Peluang kerja tidak terlepas dari orientasi kebijakan politik, sosial-

udaya, ekonomi (pembangunan). Begitu peluang kerja terinterpensi oleh

muatan politis atau ideologi tertentu, dimisalkan ideologi kapitalis atau

komunis, maka orang yang memiliki hubungan struktural ataupun kulural

dengan ideologi tersebut tentunya akan memiliki peluang yang lebih besar

untuk mendapatkan lapangan kerja yang tersedia dibandingkan “pihak luar”

yang berposisi antagonis terhadap ideologi tersebut atau paling tidak ia dalam

status out group. Di sinilah sistem kerja konsep in group dan out gorup

bekerja. In Group merupakan kelompok sosial dengan mana individu

mengidentifikasi dirinya, kelompok sosial dalam hal ini terkait dengan

kesukuan, etnisitas, putra daerah-non putra daerah. Sedangkan out group

diartikan oleh individu sebagai kelompok yang menjadi lawan atau berbeda

dengan in-group-nya (Soekanto, 2002: 123).

Maka, analisis teoritis terhadap bagaimana keterkaitan orientasi

kebijakan penjaringan tenaga kerja di era otonomi daerah ini dengan

kesempatan kerja serta dampaknya terhadap mobilitas penduduk tentunya

dapat dipahami dari proposisi tersebut di atas.

Status kedaerahan (putra daerah-nonputra daerah) melahirkan

dikotomi tak berimbang dalam bursa penjaringan tenaga kerja di era otonomi

daerah ini, sehingga melahirkan semacam stratifikasi terkait dengan status

Page 8: Otonomi Daerah, Kesempatan Kerja, Serta Dampaknya Terhadap Mobilitas Penduduk (Dr. Taufiq Ramdani, M.Sos)

pengakuan. Non putra daerah akan menjadi kelas kedua, dan putra daerah

akan menjadi kelas pertama (kompleksitas superioritas dan imperioritas).

Dampak lanjutan dari kondisi tersebut di atas, bahwa kelas yang

merasa teralokasi sebagai kelas imperior atau kelas kedua akan mencari

pengakuan untuk mengatasi rasa imperiornya ke daerah lain yang tentunya ke

daerah sendiri atau daerah asal. Maka mobilitas penduduk menjadi pilihan dan

alternatif yang tak terhindarkan dari kasus tersebut di atas. Banyak orang tentu

akan merasa memiliki kepercayaan diri untuk tampil sebagai pencari kerja di

daerahnya sendiri ketika status kedaerahan disorot dalam bursa lapangan kerja

di daerah lain. Maka dampaknya daerah marginal yang tidak memiliki

kemampuan memadai untuk memproduksi dan menyediakan lapangan kerja

bagi gelombang mobilitas penduduk yang kembali ke daerah asalnya akan

menghadapi situasi yang sangat sulit, seperti peningkatan jumlah

pengangguran pada tingkat usia produktif. Terkait dengan situasi

penyebabnya, maka pengangguran yang muncul sebagai akibat dari

kompleksitas alokasi peluang kerja di era otonomi daerah ini dapat

digolongkan ke dalam pengangguran struktural yang terkait juga dengan jenis

pengangguran lainnya. Adapun jenis pengangguran bila dilihat dari penyebab

terjadinya, maka tipe pengangguran dapat digolongkan ke dalam 8 jenis

berikut:

1. Pengangguran Konjungtural: pengangguran yang timbul karena “penurunan kegiatan ekonomi”. Pengangguran ini terjadi di dunia pada tahun 1929 dan 1982. Karena resesi ekonomi, sedangkan tampak nyatai di Indonesia pada tahun 1997 yang hingga awal tahun 1999 belum tampak mereda samapi saat ini sebagai dampak dari krisis moneter yang disulut oleh adanya musim kemarau berkepanjangan yang

Page 9: Otonomi Daerah, Kesempatan Kerja, Serta Dampaknya Terhadap Mobilitas Penduduk (Dr. Taufiq Ramdani, M.Sos)

merupakan dampak ‘el-nino’, yang menyebabkan kegiatan ekonomi menurun.

2. Pengangguran Struktural: pengangguran struktural terjadi karena adanya perubahan struktur kegiatan ekonomi, misalnya dari struktur ekonomi agraris ke struktur industri akan menimbulkan pengangguran yang cukup banyak. Perubahan struktur semacam itu memerlukan jenis ketrampilan yang berbeda. Mereka yang tidak mampu menyesuaikan diri akan menjadi penganggur.

3. Pengangguran Friksional: pengangguran Friksional adalah pengangguran yang terjadi karena kesulitan yang sementara sifatnya, misalnya karena kesulitan ketemunya fihak pencari kerja dan pencari tenaga kerja, umumnya disebankan oleh faktor kesenjangan komunikasi dan lokasi.

4. Pengangguran Musiman: pengangguran yang terjadi karena pergantian musim.

5. Pengangguran Teknologi: pengangguran yang terjadi karena adanya perubahan pada teknologi produksi sehingga menggantikan tenaga manusia, atau membutuhkan tenaga-tenaga kerja baru yang terampil dan mampu untuk mengoperasikan teknologi tersebut.

6. Pengangguran Muda: adalah suatu keadaan di mana para pemuda terkena proses pengangguran sebagai akibat dari usianya yang muda sehingga belum ada pengalaman kerja dan ditolak dalam penjaringan tenaga kerja.

7. Pengangguran Keterbelakangan Kulural: pengangguran jenis ini diakibatkan oleh faktor antropologi budaya yang menghambat laju pembangunan..

8. Pengangguran Isolasi Geografis: Jenis pengangguran ini dialami oleh masyarakat yang tinggal di wilayah yang terpencil ataupun seolah-olah terisolasi dari daerah lain yang lebih maju kegiatan ekonominya. Karena jauh dari kegiatan ekonomi maka lowongan kerja pun sangat terbatas, kadangkala bahkan tidak ada kegiatan ekonomi yang berarti.

Pada level pemegang kebijakan ketenagakerjaan, andil mereka

terhadap kompleksitas mobilitas penduduk di era tonomi daerah adalah pada

saat mereka tersetting untuk memberi kesan keberpihakan pada putra daerah

di bursa lapangan kerja. Maka, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkanpun akan

diwarnai oleh motivasi tersebut yaitu keberpihakan pada putra daerah. Analisis

praktisnya adalah ketika di tingkat elit bursa kerja seperti penjaringan kepala

Page 10: Otonomi Daerah, Kesempatan Kerja, Serta Dampaknya Terhadap Mobilitas Penduduk (Dr. Taufiq Ramdani, M.Sos)

daerah (bupati), begitu sang bupati merasa terselamatkan oleh status

kedaerahannya dalam proses penjaringan dan pemilihan, tentunya ia akan

memiliki kepentingan dan semacam hutang budi untuk bekerja dan membuat

kebijakan yang menghargai status kedaerahan tersebut. Maka sekali lagi, non

putra daerah akan merasa tersingkirkan dan pada akhirnya akan memilih

menyingkir dan melakukan mobilitas domisili (mobilitas penduduk).

Mobilitas penduduk bila tersetting untuk hanya bergerak ke arah

tertentu tanpa mepertimbangkan alokasi lapangan kerja yang tersedia, yang

tentunya terkait dengan ketersediaan kekayaan alam, investasi, jumlah

penduduk, lembaga pendidikan, pusat dan kegiatan perdagangan, maka akan

berakibat pada munculkan kesenjangan kualitas daerah dan perkembangan

daerah. Daerah yang memiliki sumber daya alam yang melimpah dengan

jumlah penduduk yang relatif sedikit serta ditunjang dengan kualitas

pendidikan dan penduduk yang cukup tinggi tentunya akan jauh meninggalkan

daerah lain yang berkondisi sebaliknya. Maka dari realitas tersebut

dikhawatirkan akan lahirkan semacam kecemburuan antar daerah yang

berujung terhadap ancaman disintegrasi bangsa. Ekslufisme kesukuan bila

mempengaruhi sistem penjaringan tenaga kerja akan melahirkan iklim tidak

sehat dalam lingkungan kerja dan kemunikasi antar wilayah, sebab setiap

orang akan mengidentifikasi orang lain dan dirinya sendiri dengan simbol

kesukuan (putra daerah-non putra daerah), pada akhirnya iklim kerja

(struktural dan kultural) akan terpengaruh dalam pola dikotomi tersebut.

Mobilitas penduduk terutama pada pola migrasi dan urbanisasi

memang oleh beberapa penulis seperti Astrid P. Susanto, dikaji dalam dataran

Page 11: Otonomi Daerah, Kesempatan Kerja, Serta Dampaknya Terhadap Mobilitas Penduduk (Dr. Taufiq Ramdani, M.Sos)

sebagai dampak-dampak lain non peluang kerja di daerah yang memudian

melahirkan pola tersebut di atas. Astrid memaparkan mobilitas penduduk dari

dampak berikut:

a. Kemiskinan yang makin mencekam yang dihubungkan

dengan sistem nilai masyarakat

b. Nilai sosial budaya suatu masyarakat yang dapat berubah

karena desakan ekonomi yang terlalu parah, sehingga

lahirlah urbanisasi; urbanisasi akan lebih maju dengan

tersedianya kesempatan kerja di kota dan makin

meningkatnya pendapatan masyarakat pedesaan sebagai

akibat (positif) pembangunan.

c. Urbanisasi bagi kota sendiri mengakibatkan beberapa

masalah sosial-ekonomi-budaya yang baru seperti:

pertumbuhan nilai sosial, menurunya kualitas kebersihan

kota dan kesehatan, meningkatnya bahaya kebakaran dan

lain-lain, hal ini diakibatkan oleh peningkatan penduduk

per km per segi di kota-kota (Astrid, 1984: 19).

Kini, kompleksitas yang melahirkan pola mobilitas penduduk

adalah situasi terbalik dari yang diuraikan oleh Astri tersebut di atas. Saat ini

mobilitas penduduk lebih berpola pada bentuk Gerakan Kembali ke Desa

(daerah asal), dan penyebabkan tidak bertumpu pada persoalan perubahan

nilai budaya karena desakan ekonomi semata, atau karena desakan ekonomi

kemiskinan langsung, tetapi lebih karena masalah kesempatan kerja yang

tersetting oleh kebijakan pro putra daerah di era otonomi daerah ini.

Page 12: Otonomi Daerah, Kesempatan Kerja, Serta Dampaknya Terhadap Mobilitas Penduduk (Dr. Taufiq Ramdani, M.Sos)

Sejalan dengan perkembangan ekonomi, penduduk Indonesia

secara absolut jumlahnya terus bertambah. Pada tahun 1970 jumlahnya 119

juta lebih berdasarkan sensus 1971, kemudian naik lagi menjadi 147, 5 juta

berdasarkan sensus 1990. Selanjutnya diperkirakan pada tahun 2005 ini

penduduk Indonesia akan meningkat lagi menjadi 230 juta lebih (Sarmito,

1987: 28). Bila diamati dengan realitas real di lapangan secara seksama maka

pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia tersebut di atas lebih terkonsentrasi

di pulau Jawa. Itu artinya bahwa pada kondisi tertentu seperti penerapan

otonomi daerah ini, pulau Jawa akan penuh sesak oleh pencari kerja yang

kembali ke daerah asalnya karena merasa memiliki pengakuan dan peluang di

daerah asalnya. Maka pulau Jawa yang secara kuntitas/jumlah penduduk dan

kualitas penduduk telah mendominasi akan semakin jauh mendominasi dan

meninggalkan daerah lain. Jumlah penduduk jawa akan terus bertambah,

kemudian berdampak pada pesatnya pertumbuhan dan pembangunan

infrastruktur perdagangan, pendidikan, hiburan dan transportasi. Sebaliknya

daerah pelosok wilayah timur semisal Maluku Utara dengan kekayaan daerah

yang terbatas, kuantitas dan kualitas penduduk (ketrampilan pragmatis) yang

relatif sedikit akan kian tertinggal dengan daerah lain. Maka kondisi tersebut

akan berdampak pada kian senjangnya kualitas dan kuantitas perkembangan

antara daerah di Indonesia. Daerah yang kaya Sumber Daya Alam dan Sumber

Daya Manusia baik dalam kualitas maupun kuantitas akan semakin

berkembang jauh meninggalkan daerah yang relatif miskin Sumber Daya

Manusia dan Sumber Daya Alam.

Page 13: Otonomi Daerah, Kesempatan Kerja, Serta Dampaknya Terhadap Mobilitas Penduduk (Dr. Taufiq Ramdani, M.Sos)

B. Analisis Dampak Alokasi Peluang Kerja Di Era Otonomi Daerah dan

Solusinya.

Mobilitas penduduk yang mengarah pada satu pola tertentu

tentunya akan menegasikan pola-pola lain yang dapat saja memberi kontribusi

positif. Pola pergerakan penduduk yang lahir dari akibat alokasi kesempatan

kerja yang tidak berimbang di era otonomi daerah ini karena terkait dengan

kondisi daerah yang berbeda-beda dan kemampuan memproduksi dan

menyediakan lapangan kerja tentunya akan melahirkan kesenjangan kondisi

daerah yang pada akhrinya berakibat pada kecemburuan antar daerah, yang

kemudian berlanjut pada kecemburuan etnis, suku, yang kemudian

mengancam kesatuan bangsa (integrasi nasional). Ketika setiap orang terlepas

dari pengidentifikasian orang lain dan dirinya dalam identitas yang sama

dalam cakupan nasional-kebangsaan, maka orangpun akan terlepas dari

identitas kebangasannya dan tergantikan oleh identitas kesukuannnya.

Peluang kerja memang terkait dengan kemampuan memperluas

pasar kerja atau membuka pasar-pasar kerja baru dari waktu ke waktu. Namun

ketika pasar kerja tersebut dialokasikan secara primordial kesukuan, maka

tentunya akan menghambat perkembangan dunia kerja itu sendiri, sebab input

dan output berputar dalam kuantitas dan kualitas yang relatif sama dari waktu-

ke waktu dan bahkan seringkali berkurang, sebab individu atau kelompok

yang merasa tidak memiliki ikatan kesukuan dengan tempat tersebut akan

mengidentifikasi dirinya sebagai orang luar (out group) yang tidak akan

memiliki peluang yang baik untuk beraktifitas di tempat tersebut.

Page 14: Otonomi Daerah, Kesempatan Kerja, Serta Dampaknya Terhadap Mobilitas Penduduk (Dr. Taufiq Ramdani, M.Sos)

Menurut Magnun Suroto (1992) pasar kerja (employment job

market) adalah seluruh kebutuhan dan persediaan tenaga kerja, atau seluruh

permintaan dan penawarannya dalam masyarakat dengan seluruh mekanisme

yang memungkinkan adanya transaksi produktif di antara orang yang menjual

tenaganya (perkerja) dengan pihak penguasa (pemberi kerja) yang

membutuhkan tenaga kerja tersebut. Maka dari definisi tersebut dapat

dianalisis bagaimana sebuah kebijakan pihak penguasa (pemberi kerja) ketika

terinterpensi oleh arus keberpihakan pada putra daerah pada era otonomi

daerah ini akan menghasilkan transaksi yang kurang produktif.

Skill/keterampilan dan pendidikan berada pada urutan kedua setelah status

kedaerahan (putra daerah-nonputra daerah). Dampak dari situasi tersebut

adalah kepakuman perkembangan dunia kerja di daerah yang tertinggal dan

perkembangan pesat dunia kerja di daerah yang telah lama maju dan memiliki

sumber daya (SDM dan SDA) memadai.

Produk tenaga kerja yang lahir dari berbagai lembaga-lembaga

pendidikan di kota-kota seperti Universitas, Sekolah Tinggi, Institut, Lembaga

Keterampilan dan sebagainya, tentunya membutuhkan penempatan yang

sesuai dengan keahliannya, namun pergerakan mereka tentunya terpengaruh

oleh peluang yang mampu mereka predikasi. Pada saat daerah lain yang

membutuhkan banyak tenaga ahli mesin misalnya, namun di satu sisi pencari

kerja putra daerah bukan tenaga ahli di bidang mesin maka akan melahirkan

situasi dilematis, antara mengutamakan dan memperhatikan nasib putra daerah

dengan prioritas profesionalitas kerja.

Page 15: Otonomi Daerah, Kesempatan Kerja, Serta Dampaknya Terhadap Mobilitas Penduduk (Dr. Taufiq Ramdani, M.Sos)

Demarkasi kedaerahan yang ditimbulkan oleh kebijakan

penjaringan lapangan kerja daerah pada akhirnya harus kita akui akan

menimbulkan dampak negatif terhadap kesetaraan pembangunan/

perkembangan daerah-daerah di Indonesia, ,mengurangi intensitas komunikasi

dan interaksi antar berbagai suku-budaya di tanah air. Dari kesenjangan

keadaan/perkembangan daerah tersebut serta kritisnya komunikasi dan

interaksi antar suku-budaya di tanah air pada akhirnya akan mengikis rasa

toleransi dan perasaan kebersamaan antar lintas budaya / daerah. Sekali lagi

dampak negatif yang timbul dari kompleksitas peluang kerja di era otonomi

terhadap mobilitas penduduk akan berdampak pada lahirnya ekslusifisme

kedaerahan (disintegrasi bangsa). Konflik dapat terjadi dalam suatu

masyarakat tatkala terjadi kesenjangan yang terlampau mencolok dalam

masyarakat tersebut. Dapat terjadi dalam masyarakat lintas daerah atau

wilayah.

Guna mencegah kemungkinan dampak negatif tersebut di atas,

maka perlu kiranya kebijakan pengalokasian pengisi lapangan kerja di daerah-

daerah pada level non-elit daerah tidak menonjolkan penghargaan yang

berlebihan terhadap status kedaerahan (dikotomi putra dareah-nonputra

daerah) yang bertentangan dengan prinsip profesionalitas. Namun prinsip

profesionalitas tersebut bukan berarti meninggalkan dan mengabaikan

perhatian daerah terhadap nasib putra daerah, sebab menegaskan

profesionalisme bukan berarti kemudian menyingkirkan prioritas terhadap dua

sisi yang memiliki tingkat kualitas yang sama. Artinya bila ada dua pencari

kerja yang memiliki kualitas yang sama, maka status kedaerahan baru

Page 16: Otonomi Daerah, Kesempatan Kerja, Serta Dampaknya Terhadap Mobilitas Penduduk (Dr. Taufiq Ramdani, M.Sos)

diperhitungkan. Kebijakan yang cukup berimbang tersebut dapat menetralisir

dampak negatif dari mobilitas berpola tunggal tersebut di atas.

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

Dari pembahasan yang dipaparkan pada bab dua tersebut di atas, maka

didapatkan dua kesimpulan yang mencoba untuk menjawab dua rumusan masalah

pada bab pertama, yaitu:

1. Status kedaerahan (putra daerah-nonputra daerah) melahirkan dikotomi tak

berimbang dalam bursa penjaringan tenaga kerja di era otonomi daerah ini

sehingga melahirkan semacam stratifikasi terkait dengan status pengakuan.

Non putra daerah akan menjadi kelas kedua, dan putra daerah akan menjadi

kelas pertama (kompleksitas superioritas dan imperioritas). Dampak

lanjutan dari kondisi tersebut di atas, bahwa kelas yang merasa teralokasi

sebagai kelas imperior atau kelas kedua akan mencari pengakuan untuk

mengatasi rasa imperiornya ke daerah lain yang tentunya ke daerah sendiri

atau daerah asal. Maka mobilitas penduduk menjadi pilihan dan alternatif

yang tak terhindarkan dari kasus tersebut di atas.

2. Guna menetralisir dampak negatif dari moblitias penduduk yang lahir dari

kompleksitas peluang kerja di era otonomi daerah ini, maka perlu kiranya

kebijakan pengalokasian kesempatan kerja di daerah-daerah pada level non-

elit daerah tidak menonjolkan penghargaan yang berlebihan terhadap status

kedaerahan (dikotomi putra dareah-nonputra daerah) yang bertentangan

Page 17: Otonomi Daerah, Kesempatan Kerja, Serta Dampaknya Terhadap Mobilitas Penduduk (Dr. Taufiq Ramdani, M.Sos)

dengan prinsip profesionalitas. Namun prinsip profesionalitas tersebut

bukan berarti meninggalkan dan mengabaikan perhatian daerah terhadap

nasib putra daerah, sebab menegaskan profesionalisme bukan berarti

kemudian menyingkirkan prioritas terhadap dua sisi yang memiliki tingkat

kualitas yang sama. Artinya bila ada dua pencari kerja yang memiliki

kualitas yang sama, maka status kedaerhan baru diperhitungkan. Kebijakan

yang cukup berimbang tersebut dapat menetralisir dampak negatif dari

mobilitas berpola tunggal tersebut di atas.

DAFTAR PUSTAKA

Susanto, Astrid, S., 1984, Sosiologi Pembangunan, Bina Cipta, Jakarta.Sosiologi Suatu Pengantar

Munir, Rozy, Dasar-Dasar Demografi, LD FE-UI, Jakarta.

Soekanto, Suryono, 2002, , PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Suroto, 1992, Strategi Pembangunan dan Perencanaan Kesempatan Kerja, Gajah Mada University Press, Yogyarakat.