35
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada hakekatnya manusia memiliki derajat yang sama sebagai makhluk ciptaan Tuhan, baik anak normal maupun anak yang memiliki ketunaan dalam kehidupannya sehingga memerlukan pendidikan khusus. Sebagai warga negara, baik yang normal maupun yang berkebutuhan khusus memiliki kewajiban dan hak yang sama dalam proses pembangunan bangsa. Dalam bidang pendidikan anak berkebutuhan khusus berhak mendapatkan pendidikan dan pengajaran seoptimal mungkin sesuai dengan tingkat kemampuan dan perkembangannya. Hal ini sesuai dengan falsafah Pancasila yang tertuang dalam UUD 1945 Pasal 31 yaitu “Setiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran”. Anak tuna netra seperti juga anak normal lainnya berhak mendapatkan pendidikan, Hal ini diatur dalam UUSPN tentang Sistem Pendidikan. Anak tuna netra mengalami problem dalam banyak hal, yang disebabkan anak tuna netra mengalami kesulitan dalam mengembangkan hampir bidang studi, salah satunya adalah bidang studi Matematika. 1

Outline Auditif-taktil New

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Outline Auditif-taktil New

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada hakekatnya manusia memiliki derajat yang sama sebagai

makhluk ciptaan Tuhan, baik anak normal maupun anak yang memiliki

ketunaan dalam kehidupannya sehingga memerlukan pendidikan khusus.

Sebagai warga negara, baik yang normal maupun yang berkebutuhan

khusus memiliki kewajiban dan hak yang sama dalam proses

pembangunan bangsa. Dalam bidang pendidikan anak berkebutuhan

khusus berhak mendapatkan pendidikan dan pengajaran seoptimal

mungkin sesuai dengan tingkat kemampuan dan perkembangannya. Hal

ini sesuai dengan falsafah Pancasila yang tertuang dalam UUD 1945

Pasal 31 yaitu “Setiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran”.

Anak tuna netra seperti juga anak normal lainnya berhak

mendapatkan pendidikan, Hal ini diatur dalam UUSPN tentang Sistem

Pendidikan. Anak tuna netra mengalami problem dalam banyak hal, yang

disebabkan anak tuna netra mengalami kesulitan dalam mengembangkan

hampir bidang studi, salah satunya adalah bidang studi Matematika.

Kemampuan dasar yang harus dimiliki siswa sebagai bekal

mempelajari matematika salah satunya adalah kemampuan berhitung.

Kemampuan berhitung siswa perlu dipupuk dan dilatih dengan berbagai

teknik agar tertanam dalam pola berpikir anak sehingga nantinya dalam

mempelajari matematika tak ada kendala dalam hal kemampuan

berhitung.

Setelah siswa menyelesaikan studi di tingkat SD kemampuan

berhitung yang harus telah dikuasai adalah meliputi penjumlahan,

pengurangan, perkalian, pembagian, perpangkatan, dan penarikan akar.

Kemampuan berhitung itu harus dikuasai anak untuk diterapkan pada

himpunan bilangan Asli, cacah, bulat, dan pecahan/desimal.

1

Page 2: Outline Auditif-taktil New

Salah satu kemampuan berhitung yang kurang dikuasai dengan

baik oleh siswa adalah penjumlahan dan pengurangan pada bilangan bulat

(negatif dan positif). Hal ini biasanya dikarenakan pada saat pembelajaran

siswa masih dalam tahap berpikir kongkrit sementara kebanyakan

pembelajaran di kelas tidak didukung oleh media pembelajaran yang

memadai.

Kesenjangan antara anak yang tertangani dan anak yang belum

tertangani ternyata sangat jauh berbeda. Yang belum tertangani seakan

menjadi anak yang hanya menjadi beban orang tua, saudara dan

masyarakat, dengan harapan anak yang tertangani bisa diterima dalam

keluarga masyarakat dan bisa mandiri tanpa harus tergantung pada orang

tua.

Sekolah Luar Biasa merupakan sekolah yang diselenggarakan bagi

anak yang berkebutuhan khusus yang memiliki hambatan berfikir dan

bersosialisasi. Jenjang pendidikan yang diselenggarakan meliputi Taman

Kanak-Kanak (TKLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), Sekolah

Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB) dan Sekolah Menengah Atas

Luar Biasa (SMALB).

Bidang studi Matematika untuk Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB)

dimulai dari kelas I – VI. Matematika merupakan bidang studi yang

dianggap sulit oleh banyak siswa. Berdasarkan penelitian Matematika

terdiri dari sub bidang studi Aljabar, Geometri dan Aritmatika.

Sub bidang studi Aritmatika memerlukan ketrampilan dalam

berhitung penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian. Hasil

belajar Matematika terdiri dari ranah kognitif, afektif dan psikomotorik.

Padahal manusia dalam kehidupan sehari-hari tidak lepas dari berhitung

baik dengan penjumlahan, pengurangan, perkalian ataupun pembagian.

Siswa tuna netra, baik yang termasuk dalam kategori low vision

(penglihatan lemah) ataupun buta total, memiliki karakteristik yang

berbeda. Hal ini tentu berpengaruh pula kepada cara belajar mereka. Pada

umumnya, siswa tuna netra menggunakan indera peraba atau sentuhan

2

Page 3: Outline Auditif-taktil New

pada saat belajar karena keterbatasan penglihatan mereka. Namun,

mereka juga menggunakan indera pendengaran mereka untuk menerima

materi pembelajaran. Khusus untuk siswa tuna netra kelompok low

vision, mereka masih dapat menggunakan indera penglihatan mereka,

namun dalam kondisi tertentu.

Tipe siswa yang cenderung menggunakan indera peraba atau

sentuhan, disebut tipe taktil. Tipe siswa yang cenderung menggunakan

indera pendengaran pada saat belajar, disebut tipe auditif, sedangkan

siswa yang cenderung menggunakan indera penglihatan, disebut tipe

visual. Secara umum, siswa tuna netra, terutama kelompok buta total,

mengkombinasikan dua macam indera yang mereka miliki, yaitu

pendengaran dan peraba (sentuhan). Tipe siswa seperti ini disebut tipe

auditif-taktil. Tipe belajar seperti ini dinilai lebih efektif dalam

pembelajaran karena ketika guru memberikan penjelasan materi kepada

siswa, siswa dapat belajar secara auditif, sedangkan untuk aplikasi

pembelajarannya mereka dapat belajar secara taktil. Biasanya, mereka

menggunakan huruf Braille, atau media pembelajaran tang menggunakn

sentuhan.

Siswa tuna netra dengan keterbatasan fisik harus dapat menguasai

kecakapan berhitung yang sederhana dan praktis. Dengan keterbatasan

tersebut guru dituntut untuk mencari media, metode serta memberikan

suasana belajar yang kondusif.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut :

“Bagaimana profil siswa tuna netra kelas III SD yang bertipe auditif-

taktil pada pembelajaran matematika (pokok bahasan operasi hitung) di

SDLB Kota Jambi?”

3

Page 4: Outline Auditif-taktil New

1.3 Batasan Masalah

Batasan masalah dalam penelitian ini adalah dengan memilih

pokok bahasan operasi hitung. Objek penelitian yang dipilih adalah anak-

anak tuna netra kelas II SDLB Kota Jambi.

1.4 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui permasalahan siswa tuna

netra kelas III SD yang bertipe auditif-taktil pada pembelajaran

matematika (pokok bahasan operasi hitung) di SDLB Kota Jambi

1.5 Manfaat

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Bagi guru untuk menambah kajian pengalaman dalam kegiatan belajar

mengajar sehingga akan mengubah sikap mengajar pada kegiatan

belajar mengajar berikutnya sesuai dengan tipe siswa yang diajar

2. Bagi siswa bisa mempermudah dalam menerima materi dan

mengerjakan soal-soal pada materi operasi hitung

3. Bagi dunia pendidikan memberikan motivasi kepada instansi terkait

(Depdikbud) untuk selalu memantau pelaksanaan pendidikan dan

penyesuaian model pembelajaran kepada siswa, khususnya siswa tuna

netra

4

Page 5: Outline Auditif-taktil New

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Anak Tuna Netra

2.1.1 Pengertian tentang Anak Tuna Netra

Tunanetra adalah istilah umum yang digunakan untuk

kondisi seseorang yang mengalami gangguan atau hambatan dalam

indra penglihatannya. Secara etimologi kata tunanetra berasal dari

tuna yang berarti rusak,netra berarti mata atau penglihatan. Jadi

secara umum tunanetra berarti rusak penglihatan.

Tunanetra berarti buta,tetapi buta belum tentu sama sekali

gelap atau sama sekali tidak dapat melihat. Ada anak buta yang

sama sekali tidak ada penglihatan,anak semacam ini biasanya

disebut buta total. Disamping buta total,masih ada juga anak yang

mempunyai sisa penglihatan tetapi tidak dapat dipergunakan untuk

membaca dan menulis huruf biasa. Istilah buta ini mencakup

pengertian yang sama dengan istilah tunanetra atau istilah asingnya

blind. Untuk memberikan pengertian yang tepat tentang buta itu,

perlu dirumuskan pengertian sebagai berikut :

Menurut Slamet Riadi adalah “Seseorang dikatakan buta

jika ia tidak dapat mempergunakan penglihatannya untuk

pendidikan“ (Slamet Riadi , 1984, hal. 23). Menurut Pertuni

tunanetra adalah mereka yang tidak memiliki penglihatan sama

sekali (buta total) hingga mereka yang masih memiliki sisah

penglihatan, tetapi tidak mampu menggunakan penglihatanya

untuk membaca tulisan biasa berukuran 12 point dalam keadaan

cahaya normal meski pun dibantu dengan kacamata (kurang awas).

Pertuni (persatuan tunanetra indonesia) yang berkedudukan di

jakarta. Salh satu wadah institusi ormas, yang mengakfokasi hak-

hak tunanetra dalam kehidupan dan penghidupan dalam

5

Page 6: Outline Auditif-taktil New

masyarakat. Baik dari segi hukum, HAM (hak asasi manusia) dan

pendidikan.

Definisi masih bersifat umum dan pengertiannya pun

terlalu luas, meskipun telah diarahkan untuk keperluan pendidikan.

Untuk itu kami memberikan pengertian secara khusus, bahwa

orang yang kehilangan penglihatan sedemikian rupa, sehingga

seseorang itu sukar atau tidak mungkin dapat mengikuti pendidikan

dengan metode yang biasanya dipergunakan disekolah biasa.

Sebenarnya anak buta dalam pendidikan tidak saja

mempergunakan metode khusus, melainkan juga alat-alat bantu

khusus, yang digunakan untuk membaca dan menulis diantaranya

adalah : huruf braille, riglet dan pen.

Huruf Braille adalah huruf timbul yang khusus digunakan

untuk para penyandang tuna netra. Huruf ini terdiri dari kumpulan

titik-titik yang disusun sedemikian rupa untuk menggantikan huruf

biasa. Penulisannya pun menggunakan mesin ketik khusus Braile.

Namun untuk penghitungan, penyandang tuna netra dapat

menggunakan sempoa atau dekak-dekak.

Alat bantu untuk mobilitasnya bagi tuna netra dengan

menggunakan tongkat khusus, yaitu berwarna putih dengan ada

garis merah horizontal. Akibat hilang/berkurangnya fungsi indra

penglihatannya maka tunanetra berusaha memaksimalkan fungsi

indra-indra yang lainnya seperti, perabaan, penciuman,

pendengaran, dan lain sebaginya sehingga tidak sedikit

penyandang tuna netra yang memiliki kemampuan luar biasa

misalnya di bidang musik atau ilmu pengetahuan.

2.1.2 Klasifikasi Tuna Netra

Klasifikasi yang dialami oleh anak tunanetra, antara lain:

6

Page 7: Outline Auditif-taktil New

Menurut Lowenfeld, (1955:p.219), klasifikasi anak tunanetra

yang didasarkan pada waktu terjadinya ketunanetraan, yaitu :

1. Tunanetra sebelum dan sejak lahir; yakni mereka yang sama

sekali tidak memiliki pengalaman penglihatan.

2. Tunanetra setelah lahir atau pada usia kecil; mereka telah

memiliki kesan-kesan serta pengalaman visual tetapi belum

kuat dan mudah terlupakan.

3. Tunanetra pada usia sekolah atau pada masa remaja; mereka

telah memiliki kesan-kesan visual dan meninggalkan pengaruh

yang mendalam terhadap proses perkembangan pribadi.

4. Tunanetra pada usia dewasa; pada umumnya mereka yang

dengan segala kesadaran mampu melakukan latihan-latihan

penyesuaian diri.

5. Tunanetra dalam usia lanjut; sebagian besar sudah sulit

mengikuti latihan-latihan penyesuaian diri.

6. Tunanetra akibat bawaan (partial sight bawaan)

Klasifikasi anak tunanetra berdasarkan kemampuan daya

penglihatan, yaitu :

1. Tunanetra ringan (defective vision/low vision); yakni mereka

yang memiliki hambatan dalam penglihatan akan tetapi

mereka masih dapat mengikuti program-program pendidikan

dan mampu melakukan pekerjaan/kegiatan yang

menggunakan fungsi penglihatan.

2. Tunanetra setengah berat (partially sighted); yakni mereka

yang kehilangan sebagian daya penglihatan, hanya dengan

menggunakan kaca pembesar mampu mengikuti pendidikan

biasa atau mampu membaca tulisan yang bercetak tebal.

3. Tunanetra berat (totally blind); yakni mereka yang sama

sekali tidak dapat melihat.

7

Page 8: Outline Auditif-taktil New

Menurut WHO, klasifikasi didasarkan pada pemeriksaan

klinis, yaitu :

1. Tunanetra yang memiliki ketajaman penglihatan kurang dari

20/200 dan atau memiliki bidang penglihatan kurang dari 20

derajat.

2. Tunanetra yang masih memiliki ketajaman penglihatan antara

20/70 sampai dengan 20/200 yang dapat lebih baik melalui

perbaikan.

Menurut Hathaway, klasifikasi didasarkan dari segi

pendidikan, yaitu :

1. Anak yang memiliki ketajaman penglihatan 20/70 atau

kurang setelah memperoleh pelayanan medik.

2. Anak yang mempunyai penyimpangan penglihatan dari yang

normal dan menurut ahli mata dapat bermanfaat dengan

menyediakan atau memberikan fasilitas pendidikan yang

khusus.

2.1.3 Penyebab Tuna Netra

Secara ilmiah, ketunanetraan anak dapat disebabkan oleh

berbagai faktor, apakah itu faktor dalam diri anak (internal)

ataupun faktor dari luar anak (eksternal). Hal-hal yang termasuk

faktor internal yaitu faktor-faktor yang erat hubungannya dengan

keadaan bayi selama masih dalam kandungan : faktor gen (sifat

pembawa keturunan), kondisi psikis ibu, kekurangan gizi,

keracunan obat dan sebagainnya.

Faktor eksternal yaitu faktor-faktor yang terjadi pada saat

atau sesudah bayi dilahirkan. Misalnya : kecelakaan, terkena

penyakit siphilis yang mengenai matanya saat dilahirkan, pengaruh

alat bantu medis (tang) saat melahirkan sehingga system sayafnya

8

Page 9: Outline Auditif-taktil New

rusak, kurang gizi atau vitamin, terkena racun, virus trachoma,

panas badan yang terlalu tinggi, dan peradangan mata karena

penyakit, bakteri, atau virus.

2.1.4 Karakteristik Anak Tuna Netra

1. Karakteristik Anak Tuna Netyra dalam Aspek Akademis

Bateman dalam Hallahan &Kauffman (1991:312)

mengemukakan bahwa dari hasil penelitian, diperoleh beberapa

fakta yang memberikan kesan bahwa anak tunanetra baik yang

kurang lihat maupun buta, ketinggalan dari temannya yang

awas. Berkaitan dengan tersebut, Samuel Hayes dalam Moh.

Amin (1986:13) telah mengukur kecerdasan tunanetra dengan

menggunakan tes kecerdasan Hayes Binet dengan

menghilangkan nomor-nomor yang menggunakan penglihatan

dan menggantinya dengan nomor-nomor yang tidak

menggunakan penglihatan dari Standford-Binet. Tes tersebut

menguji 2.312 anak-anak buta, dan menemukan bahwa angka

IQ rata-rata mereka adalah 98,8.

Studi yang dilakukan oleh kephart 7 Schwartz (1974)

menunjukkan bahwa anak-anak yang mengalami gangguan

penglihatan yang berat cenderung memperoleh kemampuan

berkomunikasi secara lisan, dan mampu berprestasi, seperti

anak awas.

2. Karakteristik Anak Tuna Netra dalam Aspek Pribadi dan Sosial

Hallahan & Kauffman (1991:313) mengemukakan

bahwa hasil penelitian tidak menunjukkan bahwa anak

tunanetra secara umum tidak dapat menyesuaikan diri

(maladjusted) sehingga masalah kepribadian bukan merupakan

sifat/pembawaan dari ketunanetraannya.

9

Page 10: Outline Auditif-taktil New

Sikap negatif orang awas, dapat terjadi karena adanya

penilaian yang salah atau persepsi negatif terhadap tunanetra

Beberapa literatur mengemukakan karakteristik yang mungkin

terjadi pada anak tunanetra yang tergolong buta sebagai akibat

langsung maupun tidak langsung dari kebutaannya ialah :

1) Curiga pada orang lain

2) Mudah tersinggung

3) Ketergantungan pada orang lain

3. Karakteristik Anak Tuna Netra dalam Aspek Fisik/Sensoris dan

Motorik/Perilaku

1. Aspek Fisik dan Sensoris

Dari kondisi matanya dan sikap tubuhnya yang kurang ajeg

serta agak kaku.Dari segi indera, umumnya anak tunanetra

menunjukkan kepekaan yang lebih baik pada indera

pendengaran dan perabaan dibanding dengan anak awas.

2. Aspek Motorik

Dari aspek motorik/perilaku anak tunanetra menunjukkan

karakteristik sebagai berikut :

a. Gerakannya agak kaku dan kurang fleksibel

b. Perilaku Stereotipee (Stereotip behavior)

2.1.5 Permasalahan Anak Tuna Netra

Permasalahan strategi pembelajaran dalam pendidikan anak

tunanetra didasarkan pada dua pemikiran, yaitu :

1. Upaya memodifikasi lingkungan agar sesuai dengan kondisi

anak (di satu sisi).

2. Upaya pemanfaatan secara optimal indera-indera yang masih

berfungsi, untuk mengimbangi kelemahan yang disebabkan

hilangnya fungsi penglihatan (di sisi lain).

10

Page 11: Outline Auditif-taktil New

Strategi pembelajaran dalam pendidikan anak tunanetra

pada hakekatnya adalah strategi pembelajaran umum yang

diterapkan dalam kerangka dua pemikiran di atas. Pertama-tama

guru harus menguasai karakteristik/strategi pembelajaran yang

umum pada anak-anak awas, meliputi tujuan, materi, alat, cara,

lingkungan, dan aspek-aspek lainnya.

Langkah berikutnya adalah menganalisis komponen-

komponen mana saja yang perlu atau tidak perlu

dirubah/dimodifikasi dan bagaimana serta sejauh mana modifikasi

itu dilakukan jika perlu. Pada tahap berikutnya, pemanfaatan

indera yang masih berfungsi secara optimal dan terpadu dalam

praktek/proses pembelajaran memegang peran yag sangat penting

dalam menentukan keberhasilan belajar.

Dalam pembelajaran anak tunanetra, terdapat prinsip-

prinsip yang harus diperhatikan, antara lain :

1. Prinsip Individual

Prinsip individual adalah prinsip umum dalam

pembelajaran manapun (PLB maupun pendidikan umum) guru

dituntut untuk memperhatikan adanya perbedaan-perbedaan

individu. Dalam pendidikan tunanetra, dimensi perbedaan

individu itu sendiri menjadi lebih luas dan kompleks. Di

samping adanya perbedaan-perbedaan umum seperti usia,

kemampuan mental, fisik, kesehatan, sosial, dan budaya, anak

tunanetra menunjukkan sejumlah perbedaan khusus yang

terkait dengan ketunanetraannya (tingkat ketunanetraan, masa

terjadinya kecacatan, sebab-sebab ketunanetraan, dampak

sosial-psikologis akibat kecacatan, dll). Secara umum, harus

ada beberapa perbedaan layanan pendidikan antara anak low

vision dengan anak yang buta total. Prinsip layanan individu

11

Page 12: Outline Auditif-taktil New

ini lebih jauh mengisyaratkan perlunya guru untuk merancang

strategi pembelajaran yang sesuai dengan keadaan anak. Inilah

alasan dasar terhadap perlunya (Individual Education

Program – IEP).

2. Prinsip Kekonkritan/Pengalaman Penginderaan

Strategi pembelajaran yang digunakan oleh guru harus

memungkinkan anak tunanetra mendapatkan pengalaman

secara nyata dari apa yang dipelajarinya. Dalam bahasa Bower

(1986) disebut sebagai pengalaman penginderaan langsung.

Anak tunanetra tidak dapat belajar melalui pengamatan visual

yang memiliki dimensi jarak, bunga yang sedang mekar,

pesawat yang sedang terbang, atau seekor semut yang sedang

mengangkut makanan. Strategi pembelajaran harus

memungkinkan adanya akses langsung terhadap objek, atau

situasi. Anak tunanetra harus dibimbing untuk meraba,

mendengar, mencium, mengecap, mengalami situasi secara

langsung dan juga melihat bagi anak low vision. Prinsip ini

sangat erat kaitannya dengan komponen alat/media dan

lingkungan pembelajaran. Untuk memenuhi prinsip

kekonkritan, perlu tersedia alat atau media pembelajaran yang

mendukung dan relevan. Pembahasan mengenai alat

pembelajaran akan disampaikan pada bagian khusus.

3. Prinsip Totalitas

Strategi pembelajaran yang dilakukan guru haruslah

memungkinkan siswa untuk memperoleh pengalaman objek

maupun situasi secara utuh dapat terjadi apabila guru

mendorong siswa untuk melibatkan semua pengalaman

penginderaannya secara terpadu dalam memahami sebuah

konsep. Dalam bahasa Bower (1986) gagasan ini disebut

12

Page 13: Outline Auditif-taktil New

sebagai multi sensory approach, yaitu penggunaan semua alat

indera yang masih berfungsi secara menyeluruh mengenai

suatu objek. Untuk mendapatkan gambaran mengenai burung,

anak tunanetra harus melibatkan perabaan untuk mengenai

ukuran bentuk, sifat permukaan, kehangatan. Dia juga harus

memanfaatkan pendengarannya untuk mengenali suara burung

dan bahkan mungkin juga penciumannya agar mengenali bau

khas burung. Pengalaman anak mengenai burung akan

menjadi lebih luas dan menyeluruh dibandingkan dengan anak

yang hanya menggunakan satu inderanya dalam mengamati

burung tersebut. Hilangnya penglihatan pada anak tunanetra

menyebabkan dirinya menjadi sulit untuk mendapatkan

gambaran yang utuh/menyeluruh mengenai objek-objek yang

tidak bisa diamati secara seretak (suatu situasi atau benda

berukuran besar). Oleh sebab itu, perabaan dengan beberapa

tekhnik penggunaannya menjadi sangatlah penting.

4. Prinsip Aktivitas Mandiri

Strategi pembelajaran haruslah memungkinkan atau

mendorong anak tunanetra belajar secara aktif dan mandiri.

Anak belajar mencari dan menemukan, sementara guru adalah

fasilitator yang membantu memudahkan siswa untuk belajar

dan motivator yang membangkitkan keinginannya untuk

belajar. Prinsip ini pun mengisyaratkan bahwa strategi

pembelajaran harus memungkinkan siswa untuk bekerja dan

mengalami, bukan mendengar dan mencatat. Keharusan ini

memiliki implikasi terhadap perlunya siswa mengetahui,

menguasai, dan menjalani proses dalam memperoleh fakta

atau konsep. Isi pelajaran (fakta, konsep) adalah penting bagi

anak, tetapi akan lebih penting lagi bila anak menguasai dan

mengalami guna mendapatkan isi pelajaran tersebut.

13

Page 14: Outline Auditif-taktil New

Permasalahan pembelajaran dalam pendidikan tunanetra

adalah masalah penyesuaian. Penyelenggaraan pendidikan dan

pembelajaran pada anak tunanetra lebih banyak berorientasi pada

pendidikan umum, terutama menyangkut tujuan dan muatan

kurikulum. Dalam strategi pembelajaran, tugas guru adalah

mencermati setiap bagian dari kurikulum, mana yang bisa

disampaikan secara utuh tanpa harus mengalami perubahan, mana

yang harus dimodifikasi, dan mana yang harus dihilangkan sama

sekali.

2.2. Tipe Belajar Siswa

Setiap anak dilahirkan dengan aspek kecerdasan yang berbeda

sesuai dengan fungsi otaknya. Otak berkaitan dengan mata dan dengan

modalitas. Modalitas menurut DePorter (2005: 84) merupakan jaringan

kerja saraf yang jauh lebih kompleks daripada televisi. Modalitas yang

dimaksud adalah modalitas visual, auditorial, dan kinestetik. Setiap

jaringan saraf memiliki kemungkinan tidak terbatas, semuanya berasal

dari tempat yang sama. Semua orang memiliki akses pada ketiga

modalitas tersebut. Akan tetapi, hampir semua orang cenderung pada

salah satu modalitas belajar yang berperan sebagai saringan untuk

pembelajaran, pemrosesan, dan komunikasi (Bandler dan Grinder dalam

DePorter, 2005:84). Ada juga orang yang kecenderungannya tidak hanya

pada salah satu aspek modalitas, tetapi juga memanfaatkan kombinasi

modalitas tertentu yang memberi mereka bakat dan kekurangan alami

tertentu (Markova dalam DePorter, 2005: 85). Dalam tulisan ini istilah

ketiga yang menunjukkan pada gerak dan rasa, digunakan dengan istilah

”taktil” (Waluyo, 1995:78). Taktil (Inggris: tactile yang berarti berkenaan

dengan indra perasa atau pengecap).

14

Page 15: Outline Auditif-taktil New

Teori lain seperti yang dikatakan di atas, teknik ini didasari oleh

adanya keragaman tipe belajar yang dilakukan anak. Keberagaman tipe

belajar ini tentu akan mempengaruhi daya tangkap, pemahaman dan gaya

belajarnya. Untuk itu, bagi seorang guru, pemahaman akan tipe belajar

siswa penting sekali diketahui agar dapat mengoptimalkan kelebihan

potensi siswa yang ada atau sebaliknya dapat juga mengatasi segala

kekurangannya. Karena itu, dalam kaitannya dengan penelitian ini guru

perlu memahami teori-teori berkenaan dengan accelerated learning,

accelerated teaching, quantum learning, dan lain-lain.

Berdasarkan keragaman tipe belajar, siswa dapat dikelompokkan

dari segi cara-cara yang mereka senangi dalam mengenali sesuatu, yakni

ada siswa bertipe visual, bertipe auditif, dan bertipe taktil. Pada dasarnya

semua siswa memiliki ketiga tipe belajar tersebut. Hanya, setiap siswa

mempunyai kecenderungan pada gaya mana yang lebih ia sukai daripada

gaya-gaya yang lain.

2.2.1 Tipe Visual

Seorang siswa yang bertipe visual, perolehan belajar akan

lebih cepat dengan cara melihat (proses visualisasi). Oleh karena

itu, untuk menciptakan gambaran, ingatan ataupun pemahaman

dalam otaknya harus ada gambar-gambar sebagai medianya.

Sangat sulit bagi anak bertipe visual ini kalau hanya

membayangkan dan mendengarkan hal-hal yang akan

dipelajarinya, tetapi tidak ada alat peraganya. Dengan kata lain,

seorang visual, belajar akan lebih cepat dengan menggunakan mata

sebagai indera pelengkap.

Siswa visual senang belajar dari buku, presentasi yang

menggunakan gambar-gambar, video, dan berbagai alat belajar

yang menarik bagi mata (Bang Al, 2005). DePorter & Hernacki

(2003: 116-118) menjelaskan beberapa ciri orang visual, orang

auditori, dan orang bertipe taktil (kinestetik) seperti pada bagian di

bawah ini. Pada orang bertipe visual, ia menyebutkan sejumlah

15

Page 16: Outline Auditif-taktil New

ciri sebagai berikut: (1) mengingat apa yang dilihat daripada apa

yang didengar; (2) mengingat dengan aosiasi visual; (3)

mempunyai masalah untuk mengingat instruksi verbal kecuali jika

ditulis, dan sering minta bantuan orang untuk mengulanginya; (4)

membutuhkan pandangan dan tujuan yang menyeluruh dan

bersikap waspada sebelum secara mental merasa pasti tentang

suatu masalah; (5) mencoret-coret tanpa arti selama berbicara di

telepon atau di dalam kegiatan rapat; (6) lebih suka melakukan

demonstrasi daripada berpidato; (7) sering menjawab pertanyaan

dengan jawaban singkat ya atau tidak; (8) pengeja yang baik dan

dapat melihat kata-kata yang sebenarnya dalam pikiran mereka;

dan (9) teliti terhadap detail, dan lain-lain.

2.2.2 Tipe Auditori

Seorang siswa yang bertipe auditori lebih suka belajar

dengan cara mendengarkan dibanding disuruh membaca sendiri. Ia

berpikir logis analitis dan memiliki urutan dalam berpikir. Ia lebih

nyaman bila pembelajaran yang diberikan berkaitan dengan bunyi

dan angka, mengikuti petunjuk dengan keteraturan. Ia lebih banyak

mempergunakan kemampuan mendengar dengan koordinasi

imajinasi dan kemampuan fantasinya untuk memahami suatu

konsep maupun untuk menyimpan suatu ingatan. Karena itu, siswa

auditori lebih mudah menangkap pelajaran yang disampaikan

dengan lantunan kaset, ceramah yang disampaikan dengan suara

merdu dan enak didengar, serta berbagai media yang menggunakan

media suara. Siswa auditori kurang tertarik membaca, kalaupun

membaca dengan suara keras. Itu sebabnya, siswa auditori mudah

terganggu oleh keributan. Kalau membaca mudah mengantuk.

Karena itu, bagi siswa auditori kegiatan membaca sebaiknya

dilakukan bersama-sama dengan membuat catatan-catatan pendek

atau merekam suaranya sendiri ketika membaca.

16

Page 17: Outline Auditif-taktil New

Berdasarkan uraian di atas, orang bertipe auditori menurut

DePorter & Hernacki (2003: 116-118) memiliki ciri-ciri seperti:

(1) belajar dengan mendengarkan dan mengingat apa yang

didiskusiakan daripada apa yang dilihat; (2) merasa kesulitan

dalam menulis tetapi hebat dalam bercerita; (3) berbicara dengan

irama yang terpola; (3) pembicara yang fasih; (4) suka berbicara,

suka berdiskusi, dan menjelaskan sesuatu dengan panjang lebar;

(5) senang membaca keras dan mendengarkan; (6) dapat

mengulangi kembali dan menirukan nada, birama, dan warna

suara; dan (7) mudah terganggu oleh keributan.

2.2.3 Tipe Taktil

Selanjutnya, seorang siswa yang bertipe taktil, belajar lebih

mudah diserap melalui alat peraba, yaitu tangan atau kulit. Pada

sumber lain (DePorter & Hernacki, 2003: 113) menyebutkan

tangan merupakan modalitas belajar kinestetik, yakni belajar

dengan cara bergerak, bekerja, dan menyentuh. Orang-orang yang

bertipe ini mempunyai ciri: (1) berbicara dengan perlahan; (2)

menanggapi perhatian fisik; (3) menyentuh orang untuk

mendapatkan perhatian mereka; (4) berdiri dekat ketika berbicara

dengan orang lain; (5) selalu berorientasi pada fisik dan banyak

bergerak; (6) belajar melalui memanipulasi dan praktik; (7)

menghapal dengan cara berjalan dan melihat; (8) banyak

menggunakan isyarat tubuh; dan(9) tidak dapat duduk diam untuk

waktu lama.

Dalam kegiatan belajar, visual, audio, dan kinestetik ini

merupakan konsep kunci berbagai teori dan strategi belajar

(DePorter & Hernacki, 2003: 16). Berlandaskan pada teori di atas,

ketiga modalitas belajar tersebut dapat disatukan. Namun, pada

siswa tuna netra, secara umum tentu modalitas visual tidak dapat

digunakan, terutama pada anak yang buta total. Oleh karena itu,

pada penelitian ini hanya ditujukan untuk anak tuna netra dengan

17

Page 18: Outline Auditif-taktil New

menggunakan modalitas belajar auditori dan taktil, yang

selanjutnya disebut dengan tipe auditif-taktil.

18

Page 19: Outline Auditif-taktil New

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian jenis ini termasuk jenis penelitian kualitatif yang

menggunakan metodologi penelitian kualitatif deskritif. Menurut Riduwan

(2009) Penelitian Deskriptif adalah jenis penelitian yang memberikan

gambaran atau uraian atas suatu keadaan sejelas mungkin tanpa ada perlakuan

terhadap objek yang diteliti. Oleh karena itu, penelitian ini akan berangkat

dari penggalian data berupa pandangan berupa informan dalam bentuk cerita

rinci atau asli yang diungkapkan apa adanya sesuai dengan bahasa dan

pandangan para subjek penelitian. Penelitian ini akan dilaksanakan pada siswa

tuna netra kelas III SDLB Kota Jambi.

Hal yang dideskripsikan dalam penelitian ini adalah profil siswa tuna

netra tipe auditif-taktil kelas III SD pada pembelajaran matematika (pokok

bahasan operasi hitung) di SDLB Kota Jambi. Pendeskripsian ini ditelusuri

melalui pengamatan langsung dalam proses pelaksanaan pembelajaran

matematika yang di lakukan oleh subjek penelitian maupun dari hasil

wawancara yang dilakukan.

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang prosedur penelitiannya

menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-

orang atau perilaku yang dapat diamati (Moleong 2007: 6). Maka penelitian

ini dikategorikan sebagai penelitian kualitatif-deskriptif.

3.2 Subjek Penelitian

Sumber data adalah siswa kelas III SDLB Kota Jambi. Subjek dalam

penelitian ini adalah siswa tuna netra. Dari sumber data tersebut dipilih siswa

tuna netra kelas III SDLB sebagai subjek penelitian. Pemilihan subjek

penelitian ini berdasarkan hasil observasi langsung (pengamatan ciri fisik).

19

Page 20: Outline Auditif-taktil New

3.3 Instrumen Penelitian

Dalam penelitian kualitatif, yang menjadi instrumen atau alat

penelitian adalah peneliti itu sendiri (Sugiyono, 2009). Jadi Instrumen utama

penelitian ini adalah peneliti sendiri. Sebagai instrumen utama, peneliti

berperan sebagai perencana pengumpul data, analisator, penafsir data, dan

pelapor penelitian (Sugiyono, 2009)

Menurut Moleong (2010:163), kedudukan peneliti dalam penelitian

kualitatif adalah cukup rumit yaitu menjadi instrumen penelitian. Instrumen

utama dalam penelitian adalah pewawancara (peneliti sendiri) yang dipandu

dengan pedoman observasi. Sebagai instrumen utama, peneliti berperan

sebagai perencana, pelaksana pengumpul data, penganalisis, penafsir data,

dan akhirnya menjadi pelapor hasil penelitiannya.

Instrumen lainnya adalah berupa angket untuk memilih subjek,

mengindentifikasi permasalahan yang di hadapi siswa saat melaksanakan

pembelajaran matematika, dan pedoman wawancara, pedoman observasi yang

dimaksudkan untuk membimbing peneliti dalam mengungkap permasalahn,

kendala yang di hadapai siswa tersebut.

1.4. Pedoman observasi

Pedoman observasi berupa aspek-aspek yang akan diamati selama

pembelajaran matematika berlangsung. Observasi atau pengamatan

difokuskan pada kegiatan siswa pada pelaksanaan pembelajaran matematika

berlangsung guna mengidentifikasi permasalahan-permasalahan yang dialami

siswa. Pedoman observasi yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu

pedoman observasi tentang profil siswa tuna netra tipe auditif-taktil kelas III

SD pada pembelajaran matematika (pokok bahasan operasi hitung) di SDLB

Kota Jambi. Sebelum membuat pedoman observasi tersebut, peneliti membuat

kisi-kisi yang akan menjadi acuan dalam pembuatan pedoman observasi. Kisi-

kisi tersebut ditentukan dengan mengkaji proses kegiatan siswa selama

20

Page 21: Outline Auditif-taktil New

persiapan dan pelaksanaan pembelajaran. Lalu dari kisi-kisi tersebut disusun

pedoman observasi.

3.5 Pengumpulan Data

Proses pengumpulan data ini menggunakan wawancara berdasarkan

lembar tugas pemecahan masalah. Cara yang dilakukan adalah dengan

wawancara dan direkam melalui audio visual. Secara garis besar langkah-

langkah wawancara berdasarkan pedoman observasi, angket dan wawancara

secara mendalam untuk menggali tentang apa, bagaimana dan mengapa,

berkaitan dengan permasalahan yang diberikan.

3.6 Analisis Data

Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistimatis

data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan

lain dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke

dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana

yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga

mudah dipahami oleh diri sendiri atau orang lain (Sugiyono, 2009: 274).

Sedangkan menurut Bogdan dan Biklen yang dikutip oleh Moleong

(2007: 248) analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan

bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi

satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan apa

yang penting dan apa yang dipelajari dan memutuskan apa yang dapat

diceriterakan kepada orang lain.

Jadi, analisis data yang akan dilakukan adalah dengan mengolah semua

data yang telah diperoleh dari hasil observasi, baik yang tertulis maupun lisan.

Misalnya data dari hasil wawancara dan angket.

21