Upload
mangaratua-sihombing
View
145
Download
4
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Makalah Tugas Kuliah
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Permasalahan
Setiap negara di dunia ini mempunyai perbedaan-perbedaan dalam hal sumber
daya alam, letak geografis, iklim, sumber daya manusia, serta keadaan struktur ekonomi
dan sosial, yang menciptakan adanya perbedaan barang-barang yang dihasilkan, biaya
produksi serta mutu barangnya. Atas dasar hal tersebut terciptalah suatu ketergantungan
suatu negara terhadap negara lain dalam bentuk transaksi jual beli yang melewati batas
negara. Didasarkan pada perbedaan-perbedaan tersebut, dapat dilihat bahwa tidak ada
satu negarapun yang mungkin untuk memproduksi sendiri seluruh barang-barang
kebutuhannya.
Kemustahilan untuk memproduksi sendiri seluruh kebutuhan tersebut
mengakibatkan ketergantungan antar negara, khususnya dalam bentuk transaksi jual beli
antar negara-negara tersebut. Jual beli yang antar negara-negara, yang melewati batas
negara termasuk ke dalam ruang lingkup jual beli internasional. Jual beli internasional
terlebih dahulu harus dinilai atau ditelusuri apakah hubungan hukumnya termasuk
dalam persoalan Hukum Perdata Internasional atau tidak. Suatu hubungan Hukum
Perdata Internasional akan lahir bilamana terdapat titik pertalian primer dalam
hubungan hukum tersebut.1 Titik pertalian primer (TPP)2 inilah yang kemudian
menciptakan adanya suatu unsur asing dalam suatu hubungan hukum.
Terdapatnya TPP dalam suatu hubungan hukum jual beli internasional yang
dapat berbentuk dalam hal perbedaan kewarganegaraan, perbedaan domisili, perbedaan
tempat kediaman, perbedaan pilihan hukum asing dalam hubungan hukum intern,
perbedaan tempat kedudukan badan hukum para pihak dalam suatu wilayah negara yang 1 Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Buku Kedua, (Bandung: Eresco,
1974), hal. 25.2Titik-titik pertalian primer untuk Hukum Perdata Internasional antara lain adalah
kewarganegaraan para pihak, bendera kapal, domisili dari para pihak, tempat kediaman para pihak, tempat kediaman para pihak, tempat kedudukan badan hukum dari para pihak, dan pilihan hukum dalam hubungan intern. Ibid., hal. 26-27.
1
berbeda menyebabkan jual beli internasional termasuk ke dalam suatu persoalan Hukum
Perdata Internasional (HPI).
Sudargo Gautama, menyatakan bahwa titik pertalian primer memberikan
petunjuk kepada kita bahwa apakah sedang terjadi suatu permasalahan HPI atau tidak
dalam suatu peristiwa hukum.3 Bila telah terdapat suatu perbedaan-perbedaan yang
termasuk ke dalam titik pertalian primer tersebut, dan suatu permasalahan telah
diidentifikasikan sebagai permasalahan HPI, maka selanjutnya dapat ditentukan hukum
mana yang berlaku atas permasalahan tersebut. Mengenai arti dari istilah
“Internasional” dalam Hukum Perdata Internasional, sebenarnya bukanlah menunjuk
pada sumber hukum HPI yang internasional, istilah “Internasional” hanya menunjuk
pada fakta atau materinya yang bersifat internasional.4 Jadi artinya bahwa istilah
“Internasional” pada Hukum Perdata Internasional Indonesia tidak serta merta berarti
bahwa sumber hukumnya adalah supranasional, melainkan sumber hukumnya adalah
hukum nasional suatu negara belaka. Dengan kata lain bahwa tiap-tiap negara
mempunyai Hukum Perdata Internasional-nya sendiri, yang bersumber pada hukum
nasionalnya masing-masing. Hal ini dapat pula tersirat dalam buku yang ditulis oleh
S.Van Brakel, “Grondslagen en beginselen van Nederlansch internationaal
privaatrecht”, yang menyiratkan hal yang sama yaitu bahwa Hukum Perdata
Internasional bersumber pada hukum nasional masing-masing negara, bukanlah bersifat
supranasional.5
Hal yang sama berlaku bagi jual beli internasional, bahwa sifat “internasional”
pada istilah ini diartikan bahwa pada jual beli yang demikian bukanlah bersifat supra
nasional, melainkan tetap bersumber pada hukum nasional masing-masing negara. Jual
beli yang demikian memiliki unsur(-unsur) asing. Unsur-unsur asing yang demikian
adalah bahwa subyek hukum dari jual beli tersebut adalah berasal dari negara yang
berbeda yang mempunyai yurisdiksi yang berbeda; terdapat pergerakan dari obyek
transaksi yang melintasi batas suatu negara ke negara lain; atau terjadinya kesepakatan
3 Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Buku Kedua, (Bandung: Eresco, 1974), hal. 25.
4 Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, cet. 5, (Bandung: Binacipta, 1987), hal. 3 s.d 5.
5 S. Van Brakel, Grondslagen en beginselen van Nederlands internationaal privaatrecht, cet. 2. (Zwolle: W.E.J. Tjeenk Willink, 1950)
2
para pihak untuk menundukan jual beli tersebut kepada suatu sistem hukum tertentu
(Pilihan Hukum dalam hubungan intern). Dalam pelaksaan jual beli internasional,
pertama-tama haruslah dibuat suatu perjanjian atau kontrak, yang dapat berbentuk
tertulis maupun lisan, yang penting haruslah terdapat unsur-unsur asing yang telah
dituliskan secara singkat diatas.
Seiring dengan pesatnya perkembangan jual beli internasional, berakibat kepada
terjadinya suatu perkembangan juga pada Hukum Perdata Internasional. Pentingnya
transaksi jual beli yang bersifat internasional ini menuntut terjadinya kesepakatan antar
Negara dalam bentuk konvensi (perjanjian) internasional yang tujuannya adalah untuk
mempermudah arus transaksi jual beli dari permasalahan hukum yang mungkin terjadi
akibat adanya perbedaan sistem hukum yang digunakan oleh para pihak. Pada dasarnya,
konvensi-konvensi Hukum Perdata Internasional yang mengatur tentang hal mengenai
jual beli internasional adalah
1. Convention on the Law Applicable to International Sales of Goods (Konvensi
tentang Hukum yang Berlaku untuk Jual Beli Internasional Benda-benda
Bergerak), 1955.
2. Uniform Law on the International Sale of Goods (Hukum Uniform Jual Beli
Internasional Benda-benda Bergerak), 1964, dan
3. Convention on Contracts for the International Sale of Goods (Konvensi tentang
Kontrak-kontrak Jual Beli Internasional), 1980.
Sampai saat ini memang belum ada satu dari ketiga konvensi tersebut yang telah
diratifikasi oleh Indonesia, sehingga akibatnya ketiganya bukan merupakan kaedah
hukum bagi Indonesia. Namun, ketiga konvensi tersebut telah memiliki kekuatan
berlaku dan telah digunakan dalam praktek jual beli internasional, sehingga merupakan
keuntungan tersendiri apabila Indonesia ikut menggunakan ketentuan-ketentuan yang
ada di ketiga konvensi tersebut dalam praktek jual beli internasional di Indonesia yang
kemudian dapat mempermudah transaksi jual beli internasional dan membantu
menyelesaikan permasalah yang timbul.
Pada tahun 1986 diadakan konvensi jual beli internasional yang terbaru, yaitu
Convention on the Law Applicable to Contracts for the International Sale of Goods
(Konvensi tentang Hukum yang Berlaku untuk Kontrak-kontrak Jual Beli
3
Internasional), namun konvensi ini belum mempunyai kekuatan berlaku karena belum
tercukupinya negara-negara yang meratifikasi konvensi ini.
Makalah ini akan meneliti tentang perjanjian mengenai transaksi jual beli yang
melewati batas-batas negara dimana tempat kedudukan para pihak yang melakukan
perjanjian terletak pada wilayah yurisdiksi negara yang berbeda, serta proses
perpindahan obyek perjanjian harus melewati batas negara. Tujuan dari transaksi jual
beli internasional (yang obyek perjanjiannya melintasi batas negara) adalah untuk
mendapatkan keuntungan dari adanya spesialisasi, selain untuk memperoleh barang-
barang kebutuhan yang tidak dapat diproduksi sendiri di dalam negeri akibat
keterbatasan kemampuan yang dimiliki negara tersebut.6 Makalah ini akan menganalisis
apakah perjanjian jual beli alat berat antara Bauer Technologies Far East Pte. Ltd.,
dengan PT Masterpancang Pondasi sudah memenuhi unsur-unsur yang diperlukan
sehingga perjanjian tersebut dikatakan sebagai perjanjian jual beli internasional atau
tidak, dikaitkan dengan konvensi-konvensi jual beli internasional.
1.2. Pokok Permasalahan
Pembahasan dalam makalah individual ini akan dibatasi pada satu perjanjian jual
beli internasional yaitu perjanjian jual beli alat berat antara Bauer Technologies Far East
Pte. Ltd., dengan PT. Masterpancang Pondasi.
Pokok-pokok permasalahan penulisan makalah individual ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana prinsip-prinsip pokok HPI yang terdapat dalam ketentuan Konvensi
Jual Beli Internasional 1955, 1964, 1980, dan 1986?
2. Sejauh mana prinsip-prinsip pokok HPI yang terkandung dalam ketentuan
Konvensi Jual Beli Internasional 1955, 1964, 1980 diterapkan dalam perjanjian
jual beli alat berat antara Bauer Technologies Far East Pte. Ltd., dengan PT
Masterpancang Pondasi?
6 Erman Rajagukguk et al., Jual Beli Barang secara Internasional (Jakarta: Elips Project, 1998), hal. 51.
4
1.3. Tujuan Penulisan
1. Mencari tahu prinsip-prinsip pokok HPI yang terdapat dalam ketentuan
Konvensi Jual Beli Internasional 1955, 1964, 1980, dan 1986.
2. Mencari tahu penerapan prinsip-prinsip pokok HPI yang terkandung dalam
ketentuan Konvensi Jual Beli Internasional 1955, 1964, 1980 dalam perjanjian
jual beli alat berat antara Bauer Technologies Far East Pte. Ltd., dengan PT
Masterpancang Pondasi.
1.4. Kerangka Konsep
Kerangka konsepsional merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan
antara konsep-konsep khusus, yang ingin atau akan ditulis.7 Dalam rangka penulisan
makalah ini, akan digunakan beberapa konsep-konsep khusus. Bagian ini ditujukkan
untuk memberikan penjelasan mengenai konsep-konsep khusus tersebut demi
tercapainya pemahaman yang cukup terhadap penggunaan konsep-konsep ini. Adapun
konsep-konsep yang dimaksud adalah:
1. Jual beli yang “bersifat internasional” adalah jual beli yang dianggap sebagai
kebalikan dari jual beli yang hanya bersifat intern, yakni dimana sama sekali
tidak ada kontak dengan system hukum luar negeri, sama sekali tak ada
“foreign element”, taka da “foreign contact”.8
2. Perdagangan internasional merupakan transaksi jual beli (atau imbal beli)
lintas Negara, yang melibatkan dua pihak yang melakukan jual beli yang
melintasi batasan kenegaraan. Pihak-pihak ini tidaklah harus merupakan
pihak-pihak yang berasal dari Negara yang berbeda atau memiliki
nasionalitas yang berbeda.
7 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet.3, (Jakarta:Universitas Indonesia, 2007), hal. 19.
8 Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Buku Kedelapan, (Bandung: Penerbit Alumni, 2002), hal. 53.
5
3. Perjanjian jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu
mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang
lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.9
4. Jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikat
dirinya untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang dan pihak yang lain
untuk membayar harga yang telah dijanjikan.10
9 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, cet. 28, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1996), ps. 1457
10 R. Subekti, Hukum Perjanjian, cet. 12, (Jakarta: Intermasa, 1990), hal. 79.
6
BAB II
ISI
2.1. Tinjauan Umum Perjanjian Jual Beli Internasional
Hukum Perjanjian adalah salah satu bagian penting, bahkan mungkin merupakan
bagian terpenting dari Hukum Perdata Internasional, dimana banyak sekali terdapat
hubungan-hubungan internasional yang terletak dalam bidang hukum perjanjian ini,
terutama dengan tertariknya Indonesia secara langsung dalam pergaulan lalu lintas
perdagangan Indonesia.11 Suatu perjanjian melahirkan hubungan hukum antara dua
orang yang melakukan perjanjian tersebut. Menurut pasal 1457 KUHPerdata, jual beli
adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk
menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah
dijanjikan. Istilah jual beli yang berasal dari istilah koop en verkoop (bahasa Belanda),
menunjukkan adanya perbuatan menjual di satu pihak dan perbuatan membeli di pihak
lain, yang mana istilah ini menunjukkan suatu perbuatan timbal balik. Dalam hal ini, hal
yang harus seorang penjual serahkan kepada seorang pembeli adalah hak milik atas
barang, bukan kekuasaan atas barang tersebut. Sedangkan yang harus diberikan oleh
sang pembeli adalah membayar sejumlah “harga” (sudah semestinya “harga” adalah
dalam bentuk uang) yang telah disepakatinya kepada penjual. Pada saat kedua belah
pihak telah sepakat mengenai barang dan harga, maka perjanjian jual beli lahir.
Perjanjian jual beli internasional yang dibuat oleh para pihak dapat terjadi secara
tertulis, maupun lisan. Perjanjian yang dibuat secara tertulis disebut juga dengan
kontrak.12Masalah jual beli internasional selalu menarik perhatian para sarjana hokum
sejak dahulu, pun halnya dengan para pedagang atau pengusaha industry, badan-badan
ilmiah serta organisasi internasional yang mencita-citakan tercapainya unifikasi
hukum.13 Meskipun memang untuk mencapai kesatuan hokum untuk masalah jual beli
internasional ini tidaklah mudah.
11 Sudargo Gautama, op. cit., hal. 1. 12 J.C.T. Simorangkir, J.T. Prasetyo dan Rudy T. Erwin, Kamus Hukum (Jakarta: Majapahit,
1972), hal. 61. 13 Sudargo Gautama, Indonesia dan Konvensi-konvensi Hukum Perdata Internasional (Bandung:
Alumni, 1978), hal. 138.
7
Untuk paling tidak sedikit membantu tercapainya unifikasi hokum dalam hal jual
beli internasional ini, telah diadakan beberapa Konvensi HPI yang mengatur tentang
jual beli internasional, yaitu:
A. Convention on the Law Applicable to International Sales of Goods
(Konvensi tentang Hukum yang Berlaku untuk Jual Beli Internasional
Benda-benda Bergerak), 1955.
B. Uniform Law on the International Sale of Goods (Hukum Uniform Jual Beli
Internasional Benda-benda Bergerak), 1964.
C. Convention on Contracts for the International Sale of Goods (Konvensi
tentang Hukum yang Berlaku untuk Kontrak-kontrak Jual Beli
Internasional), 1986.
D. Convention on the Law Applicable to Contracts for the International Sale of
Goods (Konvensi tentang Hukum yang Berlaku untuk Kontrak-kontrak Jual
Beli Internasional), 1986.
A. Konvensi Jual Beli Internasional 1951, 1955
Convention on the Law Applicable to International Sales of Goods (Konvensi
tentang Hukum yang Berlaku untuk Jual Beli Internasional Benda-benda Bergerak)
diterima tahun 1951 dan mulai ditandatangani pertama kali pada tanggal 15 Juni
1955 oleh Belgia. Sehingga, konvensi ini sering disebut sebagai Konvensi Jual Beli
Internasional 1951, 1955.
1. Pengertian dan luas bidang
Konvensi ini berlaku hanya bagi jual beli benda-benda bergerak yang bersifat
internasional, namun tidak diatur secara khusus apa sebenarnya pengertian jual beli
internasional. Jual beli menjadi bersifat internasional apabila terdapat kontak dengan
sistem hukum luar negeri atau terdapat unsur asing, sehingga bidang jual beli
internasional sangat luas menurut konvensi ini. Konvensi ini tidak berlaku untuk jual
beli sekuritas; kapal atau pesawat terbang yang didaftarkan; dan jual beli melalui
pengadilan atau karena pelaksanaan eksekusi.14
14 Konvensi Jual Beli 1951, 1955, ps. 1 alinea 2.
8
2. Unifikasi hukum
Konvensi ini hendak mengatasi kesulitan-kesulitan di bidang HPI mengenai
hokum yang harus dipergunakan dalam jual beli internasional, sehingga unifikasi
hokum yang dilakukan dalam konvensi ini adalah melalui unifikasi kaedah-kaedah HPI.
Konvensi ini mewajibkan negara-negara peserta untuk memasukkan ketentuan-
ketentuan pokok konvensi (pasal 1 s.d. pasal 6) dalam hukum nasional mereka masing-
masing,15 akan tetapi memperbolehkan ketentuan konvensi ini dikesampingkan apabila
bertentangan dengan ketertiban umum.16
3. Pembentukan kontrak
Ketentuan ini menyatakan bahwa Konvensi Jual Beli 1951, 1955 tidak mengatur
mengenai masalah pembentukan kontrak.17
4. Pilihan hukum
Kebebasan untuk melakukan pilihan hukum diberikan konvensi ini kepada para
pihak. Kebebasan melakukan pilihan hukum disimpulkan dari ketentuan pasal 2 alinea
pertama konvensi ini yang menyatakan bahwa suatu perjanjian diatur oleh hukum
nasional suatu negara yang dipilih para pihak. Pilihan hukum harus dinyatakan secara
tegas atau dapat disimpulkan secara jelas berdasarkan isi perjanjian.18
5. Pilihan forum
Konvensi ini tidak mengatur mengenai masalah pilihan forum.
B. Konvensi Jual Beli Internasional 1964
Konvensi ini dihasilkan di Den Haag pada tanggal 2 s.d. 25 April 1964 dalam
Konferensi Diplomatik itu. Konvensi Jual Beli 1964 diterima pada tanggal 1 Juli
1964.19 Pada tanggal 31 Desember 1965 konvensi ini ditandatangani oleh 11 negara.
15 Ibid, ps. 7. 16 Ibid, ps. 6. 17 Ibid, ps. 5 angka 2. 18 Ibid, ps. 2 ayat (2). 19 Konvensi Jual Beli 1964, ps. 1 ayat (5).
9
Terdapat berbagai salah tafsir antara Konvensi Jual Beli 1951, 1955 dan Konvensi
Jual Beli 1964 karena tidak terdapat koordinasi antara keduanya.
1. Pengertian dan luas bidang
Pengertian jual beli internasional tidak dirumuskan dalam Konvensi Jual Beli
1964. Konvensi ini berlaku untuk jual beli internasional atas benda bergerak berwujud
yang memenuhi 2 (dua) syarat mutlak, yaitu:
Syarat subyektif
Para pihak mempunyai tempat kediaman di negara yang berbeda pada
saat perjanjian jual beli dilangsungkan.
Syarat obyektif
a) Pada saat perjanjian ditutup, barang-barang obyek perjanjian jual beli
harus diangkut atau akan diangkut dari suatu negara ke negara lain;
atau
b) Perbuatan penawaran dan penerimaan penawaran dilakukan dalam
wilayah negara yang berbeda; atau
c) Negara tempat pengiriman barang dilangsungkan berbeda dengan
negara tenpat dilakukannya penawaran dan penerimaan.
2. Unifikasi hukum
Untuk mencapai unifikasi hukum, konvensi ini menggunakan unifikasi seluruh
system hukum (kaedah-kaedah materiil) negara-negara yang menandatangani konvensi
ini. Negara-negara tersebut wajib untuk menginkorporasikan ketentuan konvensi ke
dalam peraturan perundang-undangan nasional mereka.20
Sehingga tidak perlu lagi adanya pembuktian terhadap konvensi ini, dan dapat
diuji oleh Mahkamah Peradilan tertinggi negara yang bersangkutan apabila timbul
sengketa di kemudian hari.
20 Sudargo Gautama, Hukum Perdata dan Dagang Internasional (Bandung: Alumni, 1980), hal. 234.
10
3. Pembentukan kontrak
Konvensi ini tidak mengatur mengenai pembentukan kontrak jual beli
internasional.21 Namun, menurut ketentuan Konvensi Jual Beli 1964, tidak ada
persyaratan formal atau formalitas tertentu dalam pembentukan kontrak.22
4. Pilihan hukum
Prinsip pilihan hukum dalam konvensi ini bersifat lebih luas dibandingkan
Konvensi Jual Beli 1951, 1955. Para pihak dapat mengesampingkan sebagian atau
seluruh konvensi ini. Pilihan hukum baik secara tegas atau diam-diam.
5. Pilihan forum
Pilihan forum tidak diatur dalam konvensi ini.
C. Konvensi Jual Beli Internasional 1980
Pada tanggal 10 Maret s.d. 11 April 1980 diadakan konferensi diplomatic PBB
di Vienna yang dihadiri oleh 62 negara. Konferensi PBB ini menghasilkan
penerimasn Convention on Contracts for the International of Goods (Konvensi
tentang Kontrak-kontrak Jual Beli Internasional) yang disebut dengan Konvensi Jual
Beli 1980. Konvensi ini dibuka untuk penandatanganan pada tanggal 11April 1980
dan mulai mempunyai kekuatan berlaku sejak tanggal 1 Januari 1988.
1. Pengertian dan luas bidang
Konvensi Jual Beli 1980 berlaku untuk jual beli bagi para pihak yang
mempunyai tempat usaha di negara yang berbeda:
apabila negara-negara tersebut adalah peserta konvensi, atau
jika kaedah Hukum Perdata Internasional menunjukkan berlakunya
hukum negara peserta.23
21 Konvensi Jual Beli 1964, ps. 8. 22 Ibid, ps. 15. 23 Konvensi Jual Beli 1980, ps. 1 ayat (1).
11
Keberlakuan konvensi ini tidak memperhatikan kewarganegaraan para pihak,
sifat perdata atau dagang para pihak atau kontrak.24 Pengertian goods dan jual beli
internasional tidak dirumuskan dalam ketentuan konvensi ini. Konvensi ini berlaku bagi
perjanjian penyediaan barang untuk diproduksi apabila pihak penyedia barang
berkewajiban menyediakan bagian terpenting yang diperlukan untuk proses produksi
tersebut akan tetapi penyediaan tenaga kerja atau jasa lainnya tidak menjadi
kewajibannya. Konvensi ini hanya mengatur tentang pembentukan kontrak jual beli
internasional serta hak dan kewajiban para pihak yang timbul dari kontrak.
2. Unifikasi hukum
Konvensi ini merupakan suatu model kontrak yang dapat dipakai atau
dikesampingkan para pihak. UNCITRAL mempergunakan konvensi ini mencapai
harmonisasi kaedah-kaedah hukum dagang internasional.
3. Pilihan hukum
Berdasarkan pada ketentuan pasal 6 konvensi ini, para pihak dapat meniadakan,
menyimpang atau seluruh ketentuan konvensi ini. Hal tersebut berarti para pihak diberi
kebebasan untuk menentukan hukum yang berlaku bagi perjanjian jual beli mereka.
4. Pilihan forum
Pilihan forum tidak diatur dalam konvensi ini.
D. Konvensi Jual Beli Internasional 1986
Konvensi ini belum memiliki kekuatan berlaku karena negara peserta konvensi
belum mencapai lima negara.25
Jika konvensi ini telah memiliki kekuatan berlaku, maka konvensi ini akan
menggantikan Konvensi Jual Beli 1951, 1955.
1. Pengertian dan luas bidang
24 Ibid, ps. 1 ayat (3). 25 Konvensi Jual Beli 1986, ps. 27 ayat (1).
12
Konvensi ini berlaku untuk jual beli antara para pihak yang mempunyai tempat
usaha dalam wilayah negara yang berbeda atau melakukan pilihan hukum asing untuk
jual beli tersebut. Konvensi ini tidak memberikan definisi dari jual beli internasional.
Konvensi ini berlaku bagi perjanjian berdasarkan dokumen (pasal 2 Konvensi Jual Beli
1986), dan perjanjian penyediaan barang yang akan diproduksi asalkan penyediaan
bagian terpenting untuk proses produksi menjadi kewajiban pihak penyedia barang dan
penyedia barang tidak berkewajiban menyediakan tenaga kerja atau jasa lainnya.
2. Unifikasi hukum
Unifikasi hukum yang dilakukan dalam konvensi ini adalah unifikasi dari
kaedah-kaedah HPI. Konvensi ini hendak mengatasi kesulitan-kesulitan di bidang HPI
tentang masalah hukum yang berlaku untuk kontrak jual beli internasional.
3. Pembentukan kontrak
Ketentuan konvensi ini mengatur bahwa pembentukan kontrak tidak
memerlukan persyaratan formal.
4. Pilihan hukum
Para pihak dapat melakukan pilihan hukum untuk sebagian atau keseluruhan
kontrak, asalkan pilihan hukum tersebut dilakukan secara tegas dan jelas baik dalam
ketentuan kontrak maupun melalui tindakan para pihak. Jika tidak dilakukan pilihan
hukum maka hukum yang berlaku adalah hukum negara dimana penjual mempunyai
tempat usaha.
5. Pilihan forum
Konvensi ini tidak mengatur mengenai masalah pilihan forum.
2.2. Ringkasan mengenai Perjanjian Jual Beli Alat Berat antara Bauer
Technologies Far East Pte. Ltd., dengan PT Masterpancang Pondasi
Dalam penulisan makalah individu ini akan dianalisa satu perjanjian jual beli
internasional dikaitkan dengan segi-segi Hukum Perdata Internasional dan dikaitkan
13
dengan konvensi-konvensi mengenai jual beli internasional yang ada. Perjanjian yang
akan dianalisa adalah perjanjian jual beli alat berat antara sebuah perusahaan asing,
yaitu Bauer Technologies Far East Pte. Ltd., dengan perusahaan Indonesia, yaitu PT
Masterpancang Pondasi.
Perjanjian jual beli internasional yang akan dianalisa dari segi-segi Hukum
Perdata Internasional dalam bahasan makalah individual ini adalah Sales & Purchase
Agreement KTFAGRSG201010001 antara PT Masterpancang Pondasi, Indonesia, dan
Bauer Technologies Far East Pte. Ltd., Singapura.
2.2.1. Sales & Purchase Agreement KTFAGRSG201010001 (terlampir)
Perjanjian jual beli ini dibuat antara:
Bauer Technologies Far East Pte. Ltd., sebagai penjual, beralamat di 27,
Senoko Road, Singapore 758135; dan
PT Masterpancang Pondasi, sebagai pembeli, beralamat di Jalan A.M. Sangaji
No. 11K, Jakarta Pusat, 10160, Indonesia.
2.2.2. Perihal Perjanjian
a. PT Masterpancang Pondasi mengirimkan suatu penerimaan penawaran kepada
Bauer Technologies Far East Pte. Ltd. melalui mesin faks.
b. Penerimaan penawaran ini perihal keinginan PT Masterpancang Pondasi
membeli alat berat (drilling rig dan kelly bar) dan aksesorisnya dari Bauer Technologies
Far East Pte. Ltd. dengan kondisi-kondisi tertentu seharga € 360.000.00 totalnya.
c. Jangka waktu Bauer Technologies Far East Pte. Ltd. untuk menyetujui
penerimaan penawaran PT Masterpancang Pondasi adalah 7 (tujuh) hari dan cara
penerimaan penawaran dengan menandatangani penawaran dan mengirimkannya
kembali kepada PT Masterpancang Pondasi.
d. Dalam jangka waktu yang disyaratkan, Bauer Technologies Far East Pte. Ltd.
mengirimkan persetujuannya kepada PT Masterpancang Pondasi melalui mesin faks.
e. Lahirlah kontrak jual beli internasional antara Bauer Technologies Far East
Pte. Ltd. dan PT Masterpancang Pondasi.
14
f. Sampai berakhirnya kontrak jual beli internasional ini, tidak terjadi suatu
masalah hukum antara para pihak, perjanjian jual beli internasional antara para pihak
berjalan dengan baik.
2.3. Analisa Perjanjian
PT Masterpancang Pondasi beralamat di Jalan A.M. Sangaji No. 11K, Jakarta
Pusat 10160, Indonesia. Alamat PT Masterpancang Pondasi ini diasumsikan sebagai
tempat kedudukannya, yang kemudian dengan asumsi ini, PT Masterpancang Pondasi
berkedudukan di Indonesia. Berdasarkan teori tempat kedudukan secara statutair26,
maka hukum yang berlaku bagi PT Masterpancang Pondasi adalah Hukum Indonesia.
Bauer Technologies Far East Pte. Ltd. beralamat di 27, Senoko Road, Singapore
75813. Alamat ini diasumsikan sebagai tempat kedudukannya, sehingga dengan asumsi
ini, Bauer Technologies Far East Pte. Ltd. Berkedudukan di negara Singapura.
Berdasarkan teori tempat kedudukan secara statutair, maka hukum yang berlaku bagi
Bauer Technologies Far East Pte. Ltd. adalah Hukum Singapura.
Dengan demikian dalam perjanjian antara PT Masterpancang Pondasi dan Bauer
Technologies Far East Pte. Ltd. terjadi pertautan dua stelsel hukum yang berbeda. Letak
kedudukan para pihak dalam wilayah negara yang berbeda merupakan titik pertalian
primer yang menyebabkan perjanjian jual beli menjadi bersifat internasional dan
termasuk dalam ruang lingkup persoalan Hukum Perdata Internasional.
Berdasarkan Konvensi Jual Beli 1951, 1955, perjanjian ini termasuk dalam
ruang lingkup perjanjian jual beli internasional karena bersifat internasional dimana
terjadi pertautan dua stelsel hukum yang berbeda. Begitupun halnya dengan Konvensi
Jual Beli 1964, bahwa perjanjian jual beli ini termasuk kedalam perjanjian jual beli
internasional, karena kediaman para pihak di negara yang berbeda dan barang-barang
obyek perjanjian, drilling rig dan kelly bar, diangkut dari Singapura ke Indonesia.
Berdasarkan Konvensi Jual Beli 1980, perjanjian jual beli ini termasuk dalam ruang
26 Teori statutair menyatakan bahwa hukum yang berlaku bagi suatu badan hukum adalah hukum dari tempat dimana badan hukum yang bersangkutan berkedudukan. Lihat Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Buku Ketujuh, cet. 1 edisi ke-2, (Bandung: Alumni, 1995), hal. 337.
15
lingkup perjanjian jual beli internasional karena tempat usaha para pihak di negara
berbeda, serta transaksi jual beli bukan merupakan untuk keperluan pribadi, tidak
melalui lelang dan bukan karena pelaksanaan eksekusi.
Dalam pembuatan kontrak jual beli internasional ini, para pihak, PT
Masterpancang Pondasi dan Bauer Technologies Far East Pte. Ltd. tidak hadir secara
bersamaan di suatu tempat tertentu atau dengan kata lain contracts between absent
persons. Keadaan ini karena para pihak membuat kontrak dengan cara surat-menyurat
menggunakan mesin faks. Menjadi suatu pertanyaan, dimanakah sesungguhnya tempat
pembuatan kontrak (locus contractus). Terjadi perbedaan kwalifikasi untuk menentukan
hal ini. Dari yang telah diuraikan sebelumnya di perihal perjanjian, PT Masterpancang
Pondasi, sebagai pembeli, mengirimkan persetujuannya atas penawaran Bauer
Technologies Far East Pte. Ltd. (penerimaan penawaran) dari negara Indonesia.
Berdasarkan mail-box theory, tempat pembuatan kontraknya adalah di Indonesia.
Sedangkan berdasarkan acceptance theory, teori yang juga dianut Konvensi Jul Beli
198027, maka tempat pembuatan kontraknya adalah di Singapura.
Menurut Konvensi Jual Beli 1980, ketika penerimaan penawaran PT
Masterpancang Pondasi diterima oleh pemberi penawaran Bauer Technologies Far East
Pte. Ltd. maka penerimaan penawaran telah berlaku efektif. Pada saat penerimaan
penawaran berlaku efektif maka pembentukan kontrak dianggap selesai, sehingga
pembentukan perjanjian jual beli internasional ini dianggap selesai pada saat
penerimaan penawaran PT Masterpancang Pondasi diterima oleh Bauer Technologies
Far East Pte. Ltd.
Terdapatnya dua stelses hukum yang berbeda dalam perjanjian jual beli
internasional ini menimbulkan pertanyaan hukum manakah yang berlaku bagi hubungan
hukum antara Bauer Technologies Far East Pte. Ltd. dan PT Masterpancang Pondasi.
Untuk itu, menurut Prof. Sudargo Gautama, dipergunakanlah titik pertalian sekunder28.
Dalam perjanjian jual beli internasional ini tidak ditemukan hukum mana yang dipilih
secara tegas, terlihat bahwa pada dasarnya tidak ada sama sekali kemauan para pihak
27 Konvensi Jual Beli 1980, ps. 18 ayat (2). 28 Titik pertalian sekunder adalah factor-faktor dan keadaan-keadaan yang menentukan hukum
manakah yang harus dipilih daripada stelsel-stelsel hukum yang dipertautkan.Lihat Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Buku Kedua (Bandung: Eresco, 1986), hal. 22.
16
untuk melakukan suatu pilihan hukum dalam kontrak yang mereka buat, sehingga
pilihan hukum29 dari kontrak ini adalah pilihan hukum secara hipotesis. Prof. Sudargo
Gautama mengatakan bahwa hukum yang dipilih para pihak dalam perjanjian jual beli
internasional hanya mengatur mengenai pelaksanaan dan akibat-akibat perjanjian,
bukan mengenai kesahan dan pembentukan perjanjian. Walaupun tidak secara tegas
dipilih hukum mana yang berlaku bagi perjanjian jaul beli internasional ini, masing-
masing pihak tetap harus mentaati ketentuan memaksa masing-masing negara lainnya
yang bersangkutan, berkenaan dengan ekspor atau impor ke luar negeri. Sehingga hal
ini meminimalisasi kemungkinan terjadinya sengketa dikemudian hari.
Berkaitan dengan pilihan forum, pilihan hukum berbeda dengan pilihan forum.
Sehingga meskipun tidak adanya pilihan hukum dalam perjanjian jual beli internasional
ini, bukan berarti tidak ada badan peradilan yang dipilih sebagai badan atau forum yang
berwenang untuk menyelesaikan masalah yang mungkin timbul. Dalam perjanjian jual
beli internasional ini, para pihak melakukan pilihan forum. Para pihak memilih badan
arbitrase di Singapura berdasarkan UNCITRAL Arbitration rules, yaitu Singapore
International Arbitration Centre. Bila terjadi suatu sengketa dikemudian hari, maka
penyelesaian sengketa antara kedua belah pihak diselesaikan sesuai dengan prosedur
arbitrase ini, dan keputusan dari arbitrase ini adalah final dan mengikat bagi para pihak.
Pelaksanaan dari proses arbitrase ini dilakukan dalam bahasa Inggris.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
29 Lihat Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Buku Kelima, cet.2 yang diperbaiki, (Bandung: Alumni, 1992), hal. 28 s.d. 61.
17
1. Ketidakmampuan negara-negara untuk memenuhi seluruh barang-barang
yang menjadi kebutuhan menimbulkan atau mengakibatkan suatu
ketergantungan antar negara-negara tersebut dalam bentuk transaksi jual beli
internasional yang melewati batas negara tersebut. Dalam hal ini, istilah
“internasional” tersebut tidaklah menunjuk kepada sumber hukumnya, tetapi
menunjuk kepada fakta atau materinya yang bersifat internasional. Sumber
hukumnya tetaplah dari hukum nasional suatu negara yang bersangkutan.
2. Perkembangan jual beli internasional yang sangat pesat melahirkan
konvensi-konvensi dalam bidang jual beli internasional yang memang
membantu meminimalisasi sengketa yang mungkin timbul:
Convention on the Law Applicable to International Sales of Goods
(Konvensi tentang Hukum yang Berlaku untuk Jual Beli
Internasional Benda-benda Bergerak), 1955.
Uniform Law on the International Sale of Goods (Hukum Uniform
Jual Beli Internasional Benda-benda Bergerak), 1964.
Convention on Contracts for the International Sale of Goods
(Konvensi tentang Kontrak-kontrak Jual Beli Internasional), 1980
dan
Convention on the Law Applicable to Contracts for the International
Sale of Goods (Konvensi tentang Hukum yang Berlaku untuk
Kontrak-kontrak Jual Beli Internasional) yang disebut dengan
Konvensi Jual Beli 1986.
3. Konvensi Jual Beli 1955, 1964 dan 1980 telah digunakan dalam praktek jual
beli internasional, sedangkan Konvensi Jual Beli 1986 berkekuatan berlaku.
Saat Konvensi Jual Beli 1986 mempunyai kekuatan berlaku, maka konvensi
ini akan menggantikan Konvensi Jual Beli 1955.
4. Indonesia belum meratifikasi Konvensi Jual Beli 1955, 1964, 1980 dan 1986.
5. Asas pilihan hukum dianut dalam Konvensi Jual Beli 1955, 1964, 1980 dan
1986.
6. Memang Indonesia belum meratifikasi semua Konvensi Jual Beli tersebut,
namun sebagian perjanjian jual beli internasional di Indonesia telah
18
menerapkan prinsip pokok HPI yang terkandung dalam konvensi-konvensi
jual beli tersebut yaitu melakukan pilihan hukum.
7. Pilihan forum tidak diatur dalam Konvensi Jual Beli 1955, 1964, 1980, 1986.
DAFTAR PUSTAKA
Brakel, S. Van, Grondslagen en beginselen van Nederlands Internationaal
Privaatrecht. Cet. 2. Zwolle: W. E. J. Tjeenk Willink, 1950.
Convention on Contracts for the International Sale of Goods (Konvensi Jual Beli 1980).
19
Convention on the Law Applicable to Contracts for the International Sale of Goods
(Konvensi Jual Beli 1986).
Convention on the Law Applicable to International Sales of Goods (Konvensi Jual Beli
1955).
Gautama, Sudargo. Hukum Perdata Internasional Indonesia, Buku Kedua. Bandung:
Eresco, 1974.
_______________. Indonesia dan Konvensi-konvensi Hukum Perdata Internasional.
Bandung: Alumni, 1978.
_______________. Hukum Perdata dan Dagang Internasional. Bandung: Alumni,
1980.
_______________. Hukum Perdata Internasional Indonesia, Buku Kelima. Cet. 2 yang
diperbaiki. Bandung: Alumni, 1992.
_______________. Hukum Perdata Internasional Indonesia, Buku Ketujuh. Cet. 1 edisi
ke-2. Bandung: Alumni, 1995.
_______________. Hukum Perdata Internasional Indonesia, Buku Kedepan. Cet. 3.
Bandung: Alumni, 1998.
Indonesia. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Diterjemahkan
oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio. Cet. 28. Jakarta: Pradnya Paramita, 1996.
Rajagukguk, Erman et al. Jual Beli Barang secara Internasional. Jakarta: Elips Project,
1998.
Simorangkir, J. C. T., J. T. Prasetyo dan Rudy T. Erwin. Kamus Hukum. Jakarta:
Majapahit, 1972.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Cet.3. Jakarta: Universitas
Indonesia, 2007.
20