9
NAMA-NAMA PAHLAWAN ACEH 1. CUT NYAK DHIEN Nama Cut Nyak Dien bagai sebuah legenda. Setelah suaminya, Teuku Umar meninggal, ia memilih melanjutkan perjuangan bersenjata dengan pilihan : hidup atau mati di hutan belantara daripada menyerah kepada Belanda. Ia membiarkan dirinya menderita dan lapar di hutan sambil terus dibayangi oleh pasukan marsose Belanda yang mengejarnya. Adakalanya ia berminggu-minggu tidak menjumpai sesuappun nasi, makan apa saja ditemui di hutan. Ia melakukan itu selama 6 tahun. Ketika itu ia sudah tua dan matanya rabun. Bila mau, dia bisa menghindari kehidupan seperti itu. Hanya orang yang luar biasa yang menjalaninya. Bagaimana tidak. Ia tumbuh sebagai anak yang manja. Sebagai anak uleebalang, ia setaraf dengan wanita bangsawan lainnya. Ia lahir tahun 1848. Ayahnya, Teuku Nanta Setia, seorang uleebalang. Ibunya juga keturunan bangsawan. Sebagai lazimmnya anak bangsawan, Cut Nyak Dien mendapatkan pendidikan yang baik, terutama pendidikan agama dan pengetahuan tentang rumahtangga. Setelah dewasa, ia dijodohkan dengan Teuku Ibrahim. Dari pernikahannya itu, ia memperoleh seorang anak laki-laki. Ia mendukung sepenuhnya apa yang dilakukan oleh suaminya di medan peperangan. Bahkan, Cut Nyak Dien aktif di garis depan. Akibatnya ia jarang berkumpul dengan suami dan anaknya. Karena Belanda lebih unggul soal persenjataan dan pengkhianatan yang dilakukan oleh orang Aceh sendiri, lama-lama daerah kekuasaan Aceh semakin banyak jatuh ke tangan Belanda – termasuk daerah yang dikuasai Cut Nyak Dien. Cut Nyak Dien dan Alvi syahri 1

Pahlawan Aceh

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Pahlawan Aceh

Citation preview

NAMA-NAMA PAHLAWAN ACEH

1. CUT NYAK DHIENNama Cut Nyak Dien bagai sebuah legenda. Setelah suaminya, Teuku Umar meninggal, ia memilih melanjutkan perjuangan bersenjata dengan pilihan : hidup atau mati di hutan belantara daripada menyerah kepada Belanda. Ia membiarkan dirinya menderita dan lapar di hutan sambil terus dibayangi oleh pasukan marsose Belanda yang mengejarnya. Adakalanya ia berminggu-minggu tidak menjumpai sesuappun nasi, makan apa saja ditemui di hutan. Ia melakukan itu selama 6 tahun. Ketika itu ia sudah tua dan matanya rabun. Bila mau, dia bisa menghindari kehidupan seperti itu. Hanya orang yang luar biasa yang menjalaninya. Bagaimana tidak. Ia tumbuh sebagai anak yang manja. Sebagai anak uleebalang, ia setaraf dengan wanita bangsawan lainnya. Ia lahir tahun 1848. Ayahnya, Teuku Nanta Setia, seorang uleebalang. Ibunya juga keturunan bangsawan. Sebagai lazimmnya anak bangsawan, Cut Nyak Dien mendapatkan pendidikan yang baik, terutama pendidikan agama dan pengetahuan tentang rumahtangga. Setelah dewasa, ia dijodohkan dengan Teuku Ibrahim. Dari pernikahannya itu, ia memperoleh seorang anak laki-laki. Ia mendukung sepenuhnya apa yang dilakukan oleh suaminya di medan peperangan. Bahkan, Cut Nyak Dien aktif di garis depan. Akibatnya ia jarang berkumpul dengan suami dan anaknya.Karena Belanda lebih unggul soal persenjataan dan pengkhianatan yang dilakukan oleh orang Aceh sendiri, lama-lama daerah kekuasaan Aceh semakin banyak jatuh ke tangan Belanda termasuk daerah yang dikuasai Cut Nyak Dien. Cut Nyak Dien dan keluarganya terpaksa mengungsi. Pada tanggal 28 Juni 1878, Teuku Ibrahim dan pengikutnya gugur dalam pertempuran. Cut Nyak Dien menjadi janda muda, namun tetap cantik. Kebencian Cut Nyak Dien terhadap Belanda makin membara. Lalu terucaplah janjinya, lelaki yang dapat membalas kematian suaminya, akan diterimanya sebagai suami. Seorang lelaki pejuang, Teuku Umar akhirnya menebus kematian suaminya. Sebagaimana janjinya, maka ia menikah dengan Teuku Umar. Bersama Cut Nyak Dien, Teuku Umar memarakkan lagi peperangan melawan Belanda. Cut Nyak Dien dengan pengikutnya melakukan perang gerilya. Dari pernikahannya dengan Teuku Umar, ia mendapat seorang anak yang diberi nama Cut Gambang. Kemudian anaknya dinikahkan dengan Teuku Di Buket, anak lelaki Teuku Cik Di Tiro. Pada 11 Februari 1899, Teuku Umar tewas dalam pertempuran. Cut Nyak Dien kembali menjadi janda. Peperangan ia teruskan seorang diri. selama aku masih hidup, masih berdaya, perang suci melawan kafir ini kuteruskan bagian sumpah Cut Nyak Dien sepeninggal suaminya. Ia memimpin peperangan dari persembunyianya di gunung-gunung.Kehidupan Cut Nyak Dien amat sengsara. Ia tidak memiliki apaapa lagi kecuali semangat pantang menyerah. Ia pun ditinggalkan banyak pengikutnya. Mungkin karena tidak tega melihat penderitaan Cut Nyak Dien, Pang Laot Ali, selaku panglimanya mulai berpikir menyerah sebagai jalan membebaskan Cut Nyak Dien dari penderitaan. Takluk kepada kaphe ? Cis, najis, semola Allah Subhanahu Watala menjauhkan perbuatan yang sehina itu dari diriku, ujar Cut Nyak Dien. Namun, Pang Laot Ali tetap tidak sampai hati melihat penderitaan pemimpinnya. Pang Laot Ali membuat perjanjian dengan pihak Belanda agar tidak menyakiti Cut Nyak Dien. Sebagaimana petunjuk Pang Laot, persembunyian Cut Nyak Dien ditemukan oleh Belanda. Dalam keadaan buta dan lemah, ia mengangkat kedua tangannya dengan kesepuluh jarinya dikembangkan. Dari mulutnya keluar kata-kata Ya, Allah, ya Tuhan inikah nasib perjuanganku ? Di dalam bulan puasa aku diserahkan kepada kafir. Dengan tandu, Cut Nayak Dien dibawa Belanda. Tanggal 11 Desember 1906, Pemerintah Belanda mengasingkan Cut Nyak Dien dan kemanakannya ke Sumedang, Jawa Barat. Pada 9 November 1908 ia meninggal.

2. CUT MEUTIAMemegang pedang yang sudah dikeluarkan dari sarungnya, rambut terurai, tanpa ada keraguan sedikit pun, Cut Nyak Meutia menyongsong pasukan Belanda yang dipimpin oleh Mosselman. Satu peluru di kepala dan dua di tubuhnya merubuhkan wanita yang digambarkan berparas cantik, kulit kuning berambut panjang. Ia tewas tangal 25 Oktober 1910 di hulu Sungai Peutoe setelah pengejaran yang melelahkan oleh pasukan elit Belanda. Cut Muetia lahir tahun 1870. Ayahnya, Teuku Ben Daud, seorang uleebalang Pirak yang setia terhadap Sultan Aceh, Muhammad Daud Syah. Ibunya bernama Cut Jah. Ia mempunyai empat saudara laki-laki. Cut Meutia tumbuh menjadi gadis cantik dan bertubuh indah dengan pembawaan yang lembut. Pesonanya sesuai dengan namanya Muetia yang diartikan Mutiara. Kecantikan dan kehalusan budinya membuat dirinya menjadi primadona.Banyak pria yang hendak meminangnya sampai akhirnya ia menikah dengan Teuku Syamsarif seorang uleebalang tahun 1890 dalam sebuah pernikahan yang agung sebagai anak uleebalang. Dibalik wajahnya yang lembut dan tutur bahasanya yang santun itu, hatinya sebetulnya bagai kawah gunung berapi yang bergelegak memendam kebencian terhadap Belanda sebagaimana juga ayahnya dan saudara-saudaranya. Sebagai anak bangsawan yang dimanjakan, ia sebetulnya tidak menuntut kemewahan dan kemanjaan. Dirinya adalah lambang penderitaan rakyatnya. Kepribadiannya itu tidak dapat diubah oleh siapapun, termasuk oleh suaminya sendiri. Pandangan dan kepribadiannya seperti itu sangat bertentangan dengan suaminya yang senang kedudukan, kemewahan serta mengagungkan martabat tinggi.Untuk memenuhi kesenangannya, ia bersedia bekerja sama dengan Belanda. Ia memangku uleebalang atas pilihan Belanda. Sedangkan jauh sebelumnya, Sultan Aceh, Muhammad Daud Syah sudah mengangkat Teuku Cut Mahammad, adik Teuku Syamsarif sebagai uleebalang. Jadi, ketika itu, di Keureutoe terdapat dua uleebalang. Kakak beradik itu bagai langit dan bumi. Sang kakak berkiblat kepada Belanda, sedangkan sang adik berpihak kepada kemerdekaan.Antara Cut Meutia dengan Teuku Syamsarif seperti campuran minyak dengan air. Cut Meutia sudah berusaha membujuk suaminya agar berpaling dari penjajah, tetapi tidak pernah ditanggapi. Karena tidak juga diindahkan, Cut Meutia meminta diceraikan saja oleh suaminya. Akhirnya Cut Meutia kembali kepada orangtuanya. Karena Teuku Syamsarif tidak menjemputnya dan juga memberikan nafkah, maka mereka dianggap sudah bercerai. Bercerai dari suaminya, gelora jiwanya terlepas bebas sudah. Ia pun ikut bergerilya bersama ayah dan saudara-saudaranya. Namun, Teuku Ben Daud tidak mengizinkannya karena yang ia seorang janda. Kemudian ia dinikahkan dengan Teuku Cut Muhammad (Chik Tunong) dan barulah ia benar-benar ikut angkat senjata. Seterusnya ia mendampingi suaminya berperang. Tanggal 5 Maret 1905, Teuku Chik Tunong tertangkap kemudian dihukum tembak. Sebelum dijatuhi hukuman, ia meminta bertemu dulu dengan Cut Meutia dan anaknya Teuku Raja Sabi, 5 tahun. Ia berpesan agar melanjutkan perlawanan terhadap Belanda, anaknya dididik agar terus mempunyai kebencian terhadap Belanda. Cut Muhammad menyarankan menikah Cut Meutia dengan Pang Naggore.Pang Nanggroe adalah seorang panglima perang cerdik dan licin. Setelah melahirkan anaknya dari Chik Tunong, akhirnya Cut Meutia menikah dengan Pang Nanggroe. Bersama suaminya yang ketiga ini, Cut Meutia meneruskan perjuangan sampai akhirnya ditemukan Belanda. Perjuangannya diteruskan oleh anaknya, Teuku Raja Sabi.

Lahir di Meulaboh, 1854Aceh BaratWafat di Meulaboh,11 Februari1899Dimakamkan di :

Kampung Mugo, Meulaboh, Aceh Barat, NAD, Indonesia.Memimpin perang gerilya di Aceh (1873-1899)

TEUKU UMARBeliau menikahi janda Cut Nyak Dien (1880) puteri pamannya.Keduanya berjuang bersama melancarkan serangan terhadap pos-pos Belanda di Krueng. Belanda berdamai dengan pasukan Teuku Umar pada tahun 1883. Satu tahun kemudian (tahun 1884) pecah kembali perang di antara keduanya. Taktik perang dengan berpura-pura bekerja sama dengan Belanda. Teuku Umar masuk dinas militer. Dianugerahi gelar Johan Pahlawan (1-1-1894) dan diizinkan untuk membentuk legium pasukan sendiri yang berjumlah 250 tentara dengan senjata lengkap. Keluar dari dinas militer Belanda dengan membawa pasukannya beserta 800 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, 500 kg amunisi, dan uang 18.000 dollar.(30 Maret 1896) Dengan kekuatan yang semakin bertambah, Teuku Umar bersama 15 orang berbalik kembali membela rakyat Aceh. Perjuangan beliau mendapat dukungan dari Teuku Panglima Polem Muhammad Daud yang bersama 400 orang ikut menghadapi serangan Belanda. Serangan secara mendadak ke daerah Melaboh menyebabkan Teuku Umar tertembak dan gugur dalam medan perang, yaitu di Kampung Mugo, pedalaman Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899.

lahir pada tahun 1836, bertepatan dengan 1251 Hijriah di Dayah Jrueng kenegerian Cumbok Lam Lo, Tiro, daerah Pidie,Wafat di benteng Aneuk Galong. Aneuk Galong, Aceh Besar, Januari 1891 Teungku Chik di Tiro Bahasa Aceh, artinya Imam ulama di daerah Tiro atau Muhammad SamanTEUKU TJIK DITIROHidup : 1836-1891Beliau Putra dari Teungku Syekh Ubaidillah. Ibunya bernama Siti Aisyah, putri Teungku Syekh Abdussalam Muda Tiro. Aceh. Ia dibesarkan dalam lingkungan agama yang ketat Ketika ia menunaikan ibadah haji di Mekkah, ia memperdalam lagi ilmu agamanya. Dan menjumpai pimpinan-pimpinan Islam yang ada di sana, sehingga ia mulai tahu tentang perjuangan para pemimpin tersebut dalam berjuang melawan imperialisme dan kolonialisme. Sesuai dengan ajaran agama yang diyakininya, Muhammad Saman sanggup berkorban apa saja baik harta benda, kedudukan, maupun nyawanya demi tegaknya agama dan bangsa. Keyakinan ini dibuktikan dengan kehidupan nyata, yang kemudian lebih dikenal dengan Perang Sabil.Dengan Perang Sabilnya, satu persatu benteng Belanda dapat direbut. Begitu pula wilayah-wilayah yang selama ini diduduki Belanda jatuh ke tangan pasukannya. Pada bulan Mei tahun 1881, merebut benteng Belanda Lam Baro, Aneuk Galong dan lain-lain. Belanda merasa kewalahan akhirnya memakai "siasat liuk" dengan mengirim makanan yang sudah dibubuhi racun. Tanpa curiga sedikitpun ia memakannya, dan akhirnya Muhammad Saman meninggal.

'(1891-1941)'Panglima Polembernama lengkapTeuku Panglima Polem Sri Muda Perkasa Muhammad Daudadalah seorang panglimaAceh. Sampai saat ini belum ditemukan keterangan yang jelas mengenai tanggal dan tahun kelahiran Panglima Polem, yang jelas ia berasal dari keturunan kaum bangsawan Aceh. Ayahnya bernama Panglima Polem VIII Raja Kuala anak dari Teuku Panglima Polem Sri Imam Muda Mahmud Arifin yang juga terkenal dengan Cut Banta (Panglima Polem VII (1845-1879). Mahmud Arifin merupakan Panglima Sagoe XXIIMukimAceh BesarTEUKU PANGLIMA POLIMTeuku Panglima Polim Seri Muda Perkasa Daudmerupakan keturunan bangsawan Aceh yang dilahirkan di Aceh pada tahun 1891. Panglima Polim adalah salah satu putra Aceh yang gagah berani, dan telah banyak menimbulkan kerugian di pihak Belanda. Mengenai pendidikan sejarah belum mencatatnya. Ketika terjadi perang Aceh pada tahun 1873-1903, beliau melakukan perjuangan dengan menjadi pemimpin untuk melawan Belanda. Beberapa kali beliau dikepung oleh Belanda tetapi selalu dapat saja meloloskan diri. Namun pada tahun 1903, Panglima Polim akhirnya tertangkap oleh Belanda dan dipenjara. Pada tanggal 30 Juni 1941 beliau meninggal dunia dan dimakamkan di Aceh.