Upload
ayupraditasari
View
219
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Perpajakan II
Citation preview
NORMA PENGHITUNGAN PENGHASILAN NETTO
Penghasilan netto bagi tiap jenis usaha dihitung dengan cara mengalikan angka
presentase Norma Penghitungan Penghasilan Netto dengan peredaran bruto atau
penghasilan bruto dari kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dalam satu tahun. Dalam
menghitung besarnya PPh yang terutang oleh WPOP, sebelum dilakukan penerapan
tarif umum terlebih dahulu dihitung Penghasilan Kena Pajak dengan mengurangkan
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dari penghasilan netto.
Bagi WPOP yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha atau pekerjaan bebas,
penghitungan dilakukan terhadap masing-masing jenis usaha dengan memperhatikan
pengelompokkan wilayah. Penghasilan netto mereka ini merupakan penjumlahan
penghasilan netto dari masing-masing jenis usaha atau pekerjaan bebas.
Wajib Pajak Orang Pribadi Yang Boleh Menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto
Berikut ketentuan lama WP OP yang boleh menggunakan norma penghitungan
penghasilan neto:
1. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan
peredaran bruto sebesar Rp. 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta
rupiah) atau lebih dalam 1 (satu) tahun wajib menyelenggarakan pembukuan.
2. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan
peredaran bruto di bawah Rp. 4.800.000.000,00 (satu miliar delapan ratus juta
rupiah) dalam 1 (satu) tahun wajib menyelenggarakan pencatatan, kecuali Wajib
Pajak yang bersangkutan memilih menyelenggarakan Pembukuan.
3. Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud pada butir (2) yang tidak
memilih untuk menyelenggarakan pembukuan, menghitung penghasilan neto
usaha atau pekerjaan bebasnya dengan menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto.
Besarnya Norma
1. Norma yang digunakan adalah norma berdasarkan kota wilayah usaha
2. Yang dimaksud 10 ibukota propinsi: Medan, Jakarta, Palembang, Bandung,
Semarang, Surabaya, Manado, Makassar, Denpasar, Pontianak.
3. Kota propinsi lainnya adalah ibukota propinsi selain 10 yang disebutkan.
4. Daerah lainnya adalah daerah selain yang dimaksud diatas.
Kewajiban Bagi Pengguna Norma Penghitungan Penghasilan Neto
3
Berikut ini beberapa kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pengguna norma
penghitungan penghasilan neto:
1. Wajib Pajak yang menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto wajib
memberitahukan mengenai penggunaan Norma Penghitungan kepada Direktur
Jenderal Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak awal tahun pajak yang
bersangkutan.
2. Wajib Pajak yang tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak sesuai
dengan ketentuan diatas dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.
Kewajiban wajib pajak yang menggunakan pembukuan adalah sebagai berikut:
1. Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan yang ternyata tidak atau
tidak sepenuhnya menyeIenggarakan pembukuan, penghasilan netonya dihitung
dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
2. Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima
puluh persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar dalam tahun
pajak yang bersangkutan.
PENGHASILAN NETTO KARYAWAN YANG TIDAK PUNYA USAHA
Pajak yang dipotong dari penghasilan bulanan para karyawan disebut sebagai
Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPH 21). Adapun Skema dari perhitunganya adalah:
Pengasilan Bruto setahun —————————
Pengurang Pengasilan bruto ————————— (-)
Penghasilan netto setahun —————————
Penghasilan tidak kena pajak/PTKP ————————— (-)
Penghasilan Kena pajak —————————
PPh 21 = Tarif x Penghasilan Kena pajak
Penjelasan:
Penghasilan bruto setahun
Penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai tetap, baik berupa penghasilan
yang bersifat teratur maupun tidak teratur, termasuk pula Jaminan kecelakaan kerja,
jaminan kematian dan jaminan pelayanan kesehatan. Untuk penghasilan bersifat natura
atau kenikmatan lainya dalam nama dan bentuk apapun, yang termasuk dipotong PPH
21 adalah natura yang diberikan oleh:
1. Bukan Wajib pajak;
2. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau
4
3. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan
khusus (deemed profit).
Sementara itu, berikut ini tidak termasuk. Tidak termasuk dalam pengertian
penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 sehingga tidak perlu dikalkulasi dalam
menghitung penghasilan bruto.
1. Pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi sehubungan
dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna,
dan asuransi beasiswa;
2. Penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dalam bentuk apapun
diberikan oleh Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2);
3. Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan, iuran tunjangan hari tua atau iuran jaminan hari
tua kepada badan penyelenggara tunjangan hari tua atau badan penyelenggara
jaminan sosial tenaga kerja yang dibayar oleh pemberi kerja;
4. Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil
zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah, atau sumbangan keagamaan
yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia yang diterima
oleh orang pribadi yang berhak dari lembaga keagamaan yang dibentuk atau
disahkan oleh Pemerintah sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha,
pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang
bersangkutan;
5. Beasiswa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf l Undang-Undang
Pajak Penghasilan.
Pengurang penghasilan bruto
1. Biaya jabatan
Sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya Rp
500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) sebulan atau Rp 6.000.000,00 (enam juta
rupiah) setahun. Biaya jabatan dihitung dengan mengalikan 5% dengan jumlah
penghasilan bruto, apabila dalam satu tahun hasil perkalian tersebut melebihi
6.000.000 (atau dalam satu bulan melebihi 500.000 (6.000.000 / 12 bulan)), maka
biaya jabatan yang diperkenankan hanya 6.000.000 atau 500.000. Sehingga nilai
6.000.000/500.000 tersebut dapat dikatakan sebagai nilai maksimal biaya jabatan.
2. Iuran yang terkait dengan Gaji
5
Iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh pegawai kepada dana pensiun
yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau badan
penyelenggara tunjangan hari tua atau jaminan hari tua yang dipersamakan
dengan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
Penghasilan netto
Merupakan angka yang diperoleh dari penghasilan bruto dikurangi dengan pengurang
penghasilan bruto
Penghasilan Tidak Kena Pajak/PTKP
PTKP ini dimaksudkan untuk memberikan keringanan bagi mereka yang memiliki
penghasilan di bawah jumlah tertentu. Kebijakan ini merupakan upaya pemerintah agar
pajak tidak memberatkan masyarakat, khususnya mereka yang berpenghasilan rendah.
Jika penghasilan netto berada di bawah PTKP, tentu saja mereka tidak perlu dilakukan
pemotongan PPH 21 atau dengan kata lain tidak dibebani dengan kewajiban membayar
pajak. Besarnya PTKP per tahun adalah sebagai berikut :
1. Rp 15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) untuk
diri Wajib Pajak orang pribadi;
2. Rp 1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk
Wajib Pajak yang kawin;
3. Rp 1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk
setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan
lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3
(tiga) orang untuk setiap keluarga.
Terhitung mulai 1 Januari 2013 pemerintah telah menaikkan batas penghasilan tidak
kena pajak menjadi :
1. Rp 24.300.000 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) untuk diri
Wajib Pajak orang pribadi;
2. Rp 2.025.000 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk Wajib
Pajak yang kawin;
3. Rp 2.025.000 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap
anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta
anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang
untuk setiap keluarga
Tarif Pajak
6
Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi pajak orang pribadi
dalam negeri adalah sebagai berikut:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Sampai dengan Rp50.000.000,00 5%
Rp50.000.000,00 - Rp250.000.000,00 15%
Rp 250.000.000,00 - Rp500.000.000,00 25%
Rp500.000.000,00 ke atas 30%
PAJAK TERUTANG, KREDIT PAJAK PASAL 21, 22, 23, 24 DAN PASAL 25
1. Pajak Terutang
Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa
Pajak, dalam Tahun Pajak, atau dalam Bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan
dalam Undang-Undang Perpajakan meliputi :
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang KUP (Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan).
1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang PPh (Pajak Penghasilan)
2. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang PPN dan PPnBM (Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah)
1. Kredit Pajak Pasal 21, 22, 23, 24, dan Pasal 25
Untuk mendapatkan pajak yang masih harus dibayar pada suatu tahun pajak maka
atas pajak yang terhutang perlu dikurangi dengan kredit pajak.
Kredit pajak penghasilan adalah pajak-pajak yang telah dibayar sendiri atau telah
dipotong oleh pihak lain yang berkaitan dengan transaksi antara Wajib Pajak dengan
pihak lain. Yang perlu diperhatikan atas pajak-pajak yang dapat dikreditkan antara lain
seperti berikut ini:
1. PPh yang dapat dikreditkan tersebut berhubingan dengan kegiatan usaha Wajib
Pajak dalam rangkan mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan.
2. Masa bulan perolehan PPh yang dikreditkan berada pada masa tahun PPh yang
terhutang.
Kredit pajak penghasilan dapat dibedakan menjadi seperti berikut ini:
1. Pajak yang dipotong/dipungut pihak lain
2. Pajak yang dibayar sendiri
3. Surat Tagihan Pajak
1. Pajak yang Dipotong atau Dipungut Pihak Lain
7
Pajak yang dipungut atau dipotong pihak lain dapat berbentuk seperti PPH
pasal 21, PPh pasal 22, PPh pasal 23, dan PPh pasal 24.
PPh Pasal 21
PPh Pasal 21 yang dikreditkan bagi Wajib Pajak adalah PPh pasal 21 yang
dipotong atas penghasilan yang diterima oleh wajib pajak sendiri dari pemberi
kerja atau pihak lain, baik dari hubungan sebagia karyawan maupun dalam rangka
pemberian jasa, dan bukan PPh pasal 21 yang dipotong sendiri atas karyawan dari
wajib pajak bersangkutan.
PPh Pasal 22
Objek penghasilan yang harus dikenakan PPh pasal 22 dapat dibedakan
menjadi 3 macam, seperti berikut ini:
1. PPh Pasal 22 Bendaharawan Pemerintah
Setiap transaksi yang terjadi antara Wajib Pajak dengan
bendaharawan pemerintah yang mengeluarkan dana dari APBN atau
APBD, oleh bendaharawan pemerintah akan dipotong PPh pasal 22 sebesar
1,5%, yang oleh Wajib Pajak Dapat diperlakukan sebagai kredit pajak.
2. PPh Pasal 22 Impor Barang
Atas pengadaan barang yang dilakuakan Wajib Pajak dari luar pabean
atua luar begeri akan dikenakan PPh pasal 22 impor sebesar 2,5% (yang
menggunakan API) dari nilai impornya dengan menggunakan kurs pajak.
3. PPh Pasal Industri Tertentu; seperti industri kertas, baja dan otomotif
1. PPh Industri Kertas: setiap distributor kertas membeli produk kertas
pada industri kertas sebagai pabrikan, distributor akan dipotong PPh
pasal 22 sebesar 0,1% dari DPP. PPN.
2. PPh Industri Baja: pada setiap pembelian industri baja dari pabrikan,
distributor akan dipotong PPh pasal 22 sebesar 0,3% dari DPP. PPN.
3. PPh Industri Otomotif: setiap pembelian produk otomotif dari pabrikan
atau perusahaan sebagai ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merk),
APM (Agen Pemegang Merk) serta sebagai importir umum maka
distributor otomotif akan dipotong PPh pasal 22 sebesar 0,45% dari
DPP. PPN.
PPh Pasal 23
PPh pasal 23 terhutang atas berbagai kegiatam pemberian jasa serta sewa seperti
berikut ini:
8
1. PPh Pasal 23 Jasa Katering: setiap terjadi transaksi yang berkaitan dengan
jasa katering, pihak yang menggunakan jasa akan memotong PPh pasal
23 sebesar 1,5% dari DPP. PPN.
2. PPh Pasal 23 Jasa Kebersihan Lingkungan: setiap terjadi transaksi yang
berkaitan dengan jasa kebersihan lingkungan, pihak yang menggunakan
jasa akan memotong PPh pasal 23 sebesar 3% dari DPP. PPN.
3. PPh Pasal 23 Jasa Pelaksana Kontruksi: setiap terjadi transaksi yang
berkaitan dengan jasa pelaksanaan konstruksi yang nilai kontraknya di atas
Rp 1.000.000.000,00, pihak yang menggunakan jasa akan memotong
PPh pasal 23 sebesar 2% dari DPP PPN.
4. PPh Pasal 23 Jasa Perencana dan Pengawasan Konstruksi: setiap terjadi
transaksi yang berkaitan dengan jasa perencanaan atau pengawasan
konstruksi yang nilai kontruksinya di atas Rp 1.000.000.000,00, pihak
yang menggunakan jasa akan memotong PPh pasal 23 sebesar 4% dari
DPP. PPN.
5. PPh Pasal 23 Jasa Tenaga Ahli: setiap terjadi transaksi dengan jasa tenaga
ahli, pihak yang menggunakan jasa akan memotong PPh pasal 23
sebesar 7,5% dari DPP. PPN. Yang termasuk jasa tenaga ahli diantaranya
adalah jasa dokter, notaris, akuntan, penilai, aktuaris.
6. PPh Pasal 23 Jasa Lainnya: yang termasuk jasa lainnya seperti jasa
manajemen, jasa perancang interior, jasa perancang iklan, perancang mesin,
jasa perawatan mesin, perawatan kendaraan dan sangat banyak jenis jasa
lainnya yang tidak termasuk dalam kategori jasa yang telah dibahaw di atas.
Maka setiap terjadi traksaksi yang berkaitan dengan jasa lainnya tersebut,
pihak yang menggunakan jasa akan memotong PPh pasal 23 sebesar 6%
dari DPP. PPN.
7. PPh Pasal 23 Sewa Angkutan Darat: yang termasuk dalam kriteria sewa
angkutan darat adalah:
1. Sewa kendaraan angkutan umum berupa bus, minibus, taksi yang
disewa atau dicarter untuk jangka waktu tertentu baik secara harian,
mingguan maupun bulanan, berdasarkan suatu perjanjian tertulis atau
tidak tertulis antara pemilik kendaraan angkutan umum dengan WP
badan atau orang pribagi yang ditunjuk sebagai pemotong PPh 23
9
sehingga mengakibatkan masyarakat umum tidak dapat lagi
menumpang kendaraan umum yang bersangkutan.
2. Sewa kendaraan milik perusahaan persewaan mobil, perusahaan bus
wisata dan milik orang pribadi yang bukan merupakan kendaraan
angkutan umum yang disewakan kepada WP badan atau WP orang
pribadi yang ditunjuk sebagai pemotong PPh pasal 23.
3. Sewa kendaraan berupa truk, mobil derek, taksi milik
perusahaan/orang pribadi yang disewa atau dicarter oleh suatu
perusahaan angkutan untuk keperluan operasi udaha angkutan darat
atau untuk keperluan lain.
Setiap transaksi yang berkaitan dengan sewa angkutan darat, pihak
yang menyewa akan memotong PPh pasal 23 sebesar 3% dari DPP. PPN.
8. PPh Pasal 23 Sewa Penggunaan Harta Lainnya: termasuk sewa penggunaan
harta lainnya misalnya sewa mesin, sewa peralatan, sewa kapal, dan
berbagai jenis sewa barang lainnya. Setiap terjadi transaksi yang berkaitan
dengan sewa harta lainnya tersebut, pihak yang menyewa akan memotong
PPh 23 sebesar 6% dari DPP. PPN.
PPh Pasal 24
PPh pasal 24 adalah PPh yang diakui atas pajak yang telah dikenakan atas
penghasilan di luar negeri yang berkaitan dengan kegiatan perusahaan dalam
menghasilkan, merawat dan menjaga penghasilan di Indonesia.
PPh pasal 24 perhitungan, dihitung sesuai perbandingan antara penghasilan
dair luar negeri dengan total penghasilan total penghasilan yang dikalikan PPh
terhutang atas total penghasilan tersebut.
PPh pasal 24 yang dapat dikreditkan adlah jumlah yang lebih kecil antara
perbandingan antara PPh pasal 24 yang dikenakan/dipotong di luar negeri dengan
PPh pasal 24 perhitungan.
1. Kredit Pajak yang Dibayar Sendiri
Pajak yang dibayar sendiri ileh Wajib Pajak yang dapat dikreditkan adalah PPh
pasal 25 dan Fiskal Luar Negeri.
PPh Pasal 25
PPh pasal 25 adalah uang muka PPh yang akan diperhitungkan atas PPh
yang terhutang di akhir tahun. Besarnya PPh pasal 25 dihitung dengan cara
sebagai berikut:
10
1. Setelah SPT Tahunan Dilaporkan
Setelah SPT Tahunan dilaporkan maka besarnya PPh pasal 25
dihitung dari PPh yang terhutang dikurangi dengan PPh yang
dipotong/dipungut dibagi 12 (dua belas).
Besarnya PPh yang terhutang didapat dari penghasilan uang teratur
yaitu dari penghasilan pokok perusahaan termasuk penghasilan karena
selisih kurs, sedangkan penghasilan lainnya dianggap bukan penghasilan
teratur.
2. Sebelum SPT Tahunan Dilaporkan
Sebelum SPT Tahunan dilaporkan oleh Wajib Pajak, besarnya PPh
pasal 25 yang harus dibayar adalah sama dengan angsuran PPh pasal 25
tahun sebelumnya.
3. Setelah Diterbitkan Surat Keputusan
Surat keputusan yang mengubah besarnya angsuran PPh pasal 25
antara lain:
1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
2. Surat Ketetapan Pajak Lebiah Bayar (SKPLB)
3. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
4. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar Tambahan (SKPLBT)
5. Surat Keputusan Keberatan/Banding
Fiskal Luar Negeri
Bagi wajib pajak yang akan bepergian ke luar negeri diharuskan membayar
pajak yang lebih dikenal dengan fiskal luar negeri sebesar Rp 1.000.000,00 bagi
yang mempergunakan pesawat dan Rp 500.000,00 bagi yang mempergunakan
kapal laut. Pembayaran pajak Fiskal Luar Negeri dapat dilakuakan oleh:
1. Wajib Pajak Orang Pribadi: orang pribadi yang terdaftar sebagia Wajib
Pajak dapat mengkreditka Fiskal Luar negeri yang telah dibayarnya.
2. Wajib Pajak Pemberi Kerja (Badan atau Prang Pribadi): apabila kepergian
orang pribadi tersebut ditanggung pemberi kerja maka kredit atas Fiskal
Luar Negeri tersebut dpaat dilakukan oleh pemberi kerja dengan cara
mencantumakan NPWP pemberi kerja tersebut pada formulir fiskal luar
negeri.
11
Fiskal luar negeri dapat dikreditkan apabila tujuan kepergian ke luar negeri
adalah sehubungan dengan kepergian usaha dari Wajib Pajak dan tidka termasuk
keluarganya.
3. Surat Tagihan Pajak (STP)
Surat Tagihan Pajak (STP) diterbitkan oleh fiscus apabila Wajib Pajak tidak
atau kurang melakukan pembayaran angsuran PPh pasal 25. Besarnya STP adalah
sesuai dengan kekurangan besarnya angsuran setiap bulannya ditambah dengan
sanksi 2% per bulan, dihitung sejak bulan mulai terlambat sampai dengan bulan
diterbitkannya STP dan untuk satu tahun pajak STP dapat diterbitkan lebih dari
satu kali STP.
Surat Tagihan Pajak yang dapat dikreditkan adalah sebesar pokok STP, atau
tidak termasuk bunyanya, biak STP tersebut sudah dibayar oleh WP atau belum
dibayar.
4. PPH YANG MASIH HARUS DIBAYAR (PASAL 29/28 A) DAN ANGSURAN
PPH PASAL 25 TAHUN BERJALAN
1. Pelunasan Pajak Penghasilan Pada Akhir Tahun Pajak
Pada akhir tahun pajak, atas seluruh penghasilan yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak selama tahun pajak yang bersangkutan harus dihitung
Pajak Penghasilan yang terutang. Pajak Penghasilan yang harus dilunasi pada
akhir tahun pajak dihitung dengan cara : Pajak Penghasilan yang terutang atas
seluruh penghasilan (yang merupakan objek pajak) selama tahun pajak yang
bersangkutan dikurangi dengan Kredit Pajak yaitu Pajak Penghasilan yang
dilunasi dalam tahun pajak berjalan baik yang dibayar sendiri maupun yang
dipotong atau dipungut oleh pihak lain. Hasil penghitungan Pajak Penghasilan
pada akhir tahun tersebut, dapat mengakibatkan kurang bayar atau lebih bayar,
sebagai berikut :
1. Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih kecil dari
jumlah kredit pajak (Pajak yang dilunasi dalam tahun berjalan), maka
setelah dilakukan pemeriksaan, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan
setelah diperhitungkan dengan utang pajak berikut sanksi-sanksinya. (Pasal
28 A UU PPh).
2. Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih besar dari
kredit pajak (Pajak yang dilunasi dalam tahun berjalan), maka kekurangan
pajak yang terutang harus dilunasi selambat-lambatnya pada tanggal 25
12
bulan ketiga setelah tahun pajak berakhir, sebelum Surat Pemberitahuan
(SPT) Tahunan disampaikan. Apabila tahun buku sama dengan tahun
takwim maka kekurangan pajak tersebut wajib dilunasi selambat-lambatnya
pada tanggal 25 Maret setelah tahun pajak berakhir, sedangkan apabila
tahun buku tidak sama dengan tahun takwim, misalnya mulai tanggal 1 Juli
sampai dengan 30 Juni, maka kekurangan pajak wajib dilunasi selambat-
lambatnya pada tanggal 25 September. (Pasal 29 UU PPh).
3. Cara menghitung besarnya PPh Pasal 25
Angsuran pajak dalam tahun berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib
Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang menurut
Surat Pemberitahuan Pajak Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu
dikurangi dengan :
1. Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
dan pasal 23,serta Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22.
2. Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh
dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
Dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
1. Hal- Hal Tertentu Untuk Penghitungan Besarnya Angsuran PPh Pasal 25
Direktur Jenderal Pajak diberi wewenang untuk menyesuaikan besarnya angsuran
pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dalam tahun berjalan,apabila :
1. Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian
2. Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur
3. SPT Tahunan PPh tahun yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu
yang ditentukan
4. Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT
Tahunan PPh
5. Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT Tahunan PPh yang mengakibatkan
angsuran bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum pembetulan
6. Terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak
DAFTAR PUSTAKA
Lumbantoruan, Sophar. 2005. Akuntansi Pajak. Jakarta: PT. Gramedia.
13
Mardiasmo. 2011. Perpajakan Edisi Revisi. Yogyakarta: Penerbit ANDI Yogyakarta.
Muljono, Djoko. 2006. Akuntansi Pajak. Yogyakarta: Penerbit ANDI.
Resmi, Siti. 2009. Perpajakan: Teori dan Kasus, Edisi 5. Jakarta: Salemba Empat.
Sugiono, Arief dan Untung Edy. 2008. Panduan Praktis Dasar Analisa Laporan Keuangan.
Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo).
Waluyo. 2010. Akuntansi Pajak, Edisi 3. Jakarta: Salemba Empat.
http://www.pajakonline.com/engine/learning/view.php?id=131 (diakses tanggal 6 Oktober
2014)
http://www.pajak.go.id/content/norma-penghitungan (diakses tanggal 6 Oktober 2014)
http://www.pajak.go.id/content/seri-pph-norma-perhitungan-penghasilan-netto (diakses
tanggal 6 Oktober 2014)
http://www.wibowopajak.com/2012/02/pengertian-pajak-yang-terutang.html (diakses tanggal
6 Oktober 2014)
14