25
1 *) Scientist , Consultant at Center for System Study (CSS) and as staf at Sekretariat Tetap KBI **)Dosen di ITI, Institut Teknologi Indonesia, Sekretaris Exsekutif Settap KBI dan Scientist di CSS. 251011 SM TS KIPNAS X : Bidang Pangan Makalah No.: III.5.B10 Pakem Teknologi Meningkatkan Produksi Padi Hibrida Soedjatmiko PhD * , Setiarti Sukotjo MSc ** I. Pendahuluan Banyak pemimpin dunia yang memberikan pernyataan tentang “pangan”, antara lain Soekarno, Presiden RI I yang dalam salah satu pidatonya di tahun 1952 menyebutkan bahwa masalah pangan adalah masalah mati hidupnya suatu bangsa. Selain itu, George Bush, Jr, Presiden Amerika Serikat, di 2004 juga mengatakan bahwa bangsa yang yang tidak kecukupan pangan adalah bangsa yang beresiko. FAO mengungkapkan bahwa persediaan pangan serealia dunia relatif makin berkurang, ditambah lagi dengan adanya konversi serealia menjadi biofuel yang makin meningkat. Disamping itu, perubahan iklim yang kurang menguntungkan produksi menambah kekhawatiran atas kerentanan pangan global (FAO,2007). FAO (Food Outlook, 2011) melaporkan bahwa di Indonesia rata-rata perorang mengkonsumsi serealia 208.2 kg per tahun, diantaranya 75% adalah beras (155.8 kg) dan sisanya jagung dan gandum yang masing masing 15,5% (31.6 kg) dan 9.5% (19.2 kg). Upaya untuk memenuhi kebutuhan tersebut, produksi didalam negeri dipacu dan tidak segan-segan Indonesia mengimport beras yang dalam 10 tahun terakhir rata rata sekitar 1.6 juta ton per tahun, yaitu antara 0.5 sampai 4.5 juta ton. Bahan pangan lain (pertanian) yang belum kecukupan dari produksi dalam negeri dan masih diimport yang diangap signifikan (diluar beras) ada sebanyak 14 macam dan menelan devisa sebesar lebih dari USD 8.03 milyar/tahun. Gandum dan bungkil kedelai menduduki dua tempat teratas impor, baik volume maupun nilainya, yaitu masing masing 4.5 juta ton dengan nilai USD 1.8 milyar dan 2.73 juta ton dengan nilai USD 1.04 milyar (FAO 2008). Dapatkah Indonesia dikategorikan sebagai negara beresiko sepeti yang dikatakan oleh Bush? Yang nyata bahwa bangsa kita masih “hidup” walaupun sebagian besar masih belum berdaulat dalam pangan, menurut Dewan Ketahanan Pangan dan WFP (2005), (selanjutnya dipersilahkan melihat peta kerawanan pangan 1 dan 2 di halaman 9). Untuk swasembada beras, beberapa negara penghasil padi banyak yang menaruh harapan atas prestasi padi hibrida dalam rangka keamanan dan kedaulatan pangan mereka. China telah memelopori dengan menanam lebih dari 15.2 juta ha galur CMS/hibrida dan turunan hasil rintisan Yuan Longping, yang berhasil membuat kecukupan pangan di negara tersebut. Ini adalah kemenangan mengatasi kerawanan pangan di negara subtropis tersebut (Don Paarlberg , 2000’s). Sebaliknya, banyak ilmuwan yang mengingatkan perihal resiko penanaman padi hibrida tentang erosi genetika dan kerentanan hibrida terhadap hama/penyakit di daerah tropis yang lembab. Demikian pula petani kehilangan kemandirian atas kedaulatan benih. Seberapa jauh sebenarnya kemanfaatan padi hibrida (plus dan minusnya) di Indonesia, masih diperdebatkan (Seminar “Pangan dan Benih Unggu”, Hotel Cipta, Juni 2001).

Pakem Teknologi Meningkatkan Produksi Padi · PDF fileSuatu laporan menunjukan bahwa hibrida telah ditanaman dalam ... yaitu tiap musim tanam secara ... perbedaan musim, dosis dan

Embed Size (px)

Citation preview

1

*) Scientist, Consultant at Center for System Study (CSS) and as staf at Sekretariat Tetap KBI **)Dosen di ITI, Institut Teknologi Indonesia, Sekretaris Exsekutif Settap KBI dan Scientist di CSS.

251011 SM TS KIPNAS X : Bidang Pangan Makalah No.: III.5.B10

Pakem Teknologi Meningkatkan Produksi Padi Hibrida Soedjatmiko PhD*, Setiarti Sukotjo MSc**

I. Pendahuluan

Banyak pemimpin dunia yang memberikan pernyataan tentang “pangan”, antara lain Soekarno, Presiden RI I yang dalam salah satu pidatonya di tahun 1952 menyebutkan bahwa masalah pangan adalah masalah mati hidupnya suatu bangsa. Selain itu, George Bush, Jr, Presiden Amerika Serikat, di 2004 juga mengatakan bahwa bangsa yang yang tidak kecukupan pangan adalah bangsa yang beresiko. FAO mengungkapkan bahwa persediaan pangan serealia dunia relatif makin berkurang, ditambah lagi dengan adanya konversi serealia menjadi biofuel yang makin meningkat. Disamping itu, perubahan iklim yang kurang menguntungkan produksi menambah kekhawatiran atas kerentanan pangan global (FAO,2007).

FAO (Food Outlook, 2011) melaporkan bahwa di Indonesia rata-rata perorang mengkonsumsi serealia 208.2 kg per tahun, diantaranya 75% adalah beras (155.8 kg) dan sisanya jagung dan gandum yang masing masing 15,5% (31.6 kg) dan 9.5% (19.2 kg). Upaya untuk memenuhi kebutuhan tersebut, produksi didalam negeri dipacu dan tidak segan-segan Indonesia mengimport beras yang dalam 10 tahun terakhir rata rata sekitar 1.6 juta ton per tahun, yaitu antara 0.5 sampai 4.5 juta ton.

Bahan pangan lain (pertanian) yang belum kecukupan dari produksi dalam negeri dan masih diimport yang diangap signifikan (diluar beras) ada sebanyak 14 macam dan menelan devisa sebesar lebih dari USD 8.03 milyar/tahun. Gandum dan bungkil kedelai menduduki dua tempat teratas impor, baik volume maupun nilainya, yaitu masing masing 4.5 juta ton dengan nilai USD 1.8 milyar dan 2.73 juta ton dengan nilai USD 1.04 milyar (FAO 2008).

Dapatkah Indonesia dikategorikan sebagai negara beresiko sepeti yang dikatakan oleh Bush? Yang nyata bahwa bangsa kita masih “hidup” walaupun sebagian besar masih belum berdaulat dalam pangan, menurut Dewan Ketahanan Pangan dan WFP (2005), (selanjutnya dipersilahkan melihat peta kerawanan pangan 1 dan 2 di halaman 9).

Untuk swasembada beras, beberapa negara penghasil padi banyak yang menaruh harapan atas prestasi padi hibrida dalam rangka keamanan dan kedaulatan pangan mereka. China telah memelopori dengan menanam lebih dari 15.2 juta ha galur CMS/hibrida dan turunan hasil rintisan Yuan Longping, yang berhasil membuat kecukupan pangan di negara tersebut. Ini adalah kemenangan mengatasi kerawanan pangan di negara subtropis tersebut (Don Paarlberg, 2000’s).

Sebaliknya, banyak ilmuwan yang mengingatkan perihal resiko penanaman padi hibrida tentang erosi genetika dan kerentanan hibrida terhadap hama/penyakit di daerah tropis yang lembab. Demikian pula petani kehilangan kemandirian atas kedaulatan benih. Seberapa jauh sebenarnya kemanfaatan padi hibrida (plus dan minusnya) di Indonesia, masih diperdebatkan (Seminar “Pangan dan Benih Unggu”, Hotel Cipta, Juni 2001).

2

*) Scientist, Consultant at Center for System Study (CSS) and as staf at Sekretariat Tetap KBI **)Dosen di ITI, Institut Teknologi Indonesia, Sekretaris Exsekutif Settap KBI dan Scientist di CSS.

Wakil-wakil organisasi petani dan masyarakat sipil Indonesia dan Internasional sebanyak 50 orang telah berkumpul di Bali pada tanggal 12 Maret 2011 untuk membahas nasib petani Indonesia terkait Benih. Dari pertemuan tersebut wakil wakil oraganisasi petani meminta agar benih tidak dikomersialkan, petani tidak dikriminalkan karena membuat, mendistribusikan dan menyimpan benih.

Politisi juga berjaga-jaga bahwa ada kerawanan strategi pangan apabila benih padi tergantung dari negara asing walaupun nantinya swasembada, jangan sampai ibarat lepas dari mulut harimau lalu masuk ke mulut buaya. Hal ini sangat logis karena “parent stock” atau tetua dari hibrida, sampai sekaramg, secara alami masih berasal dari daerah subtropis/temperate zone.

Suatu laporan menunjukan bahwa hibrida telah ditanaman dalam skala ribuan ha di zona tropis, di Idonesia, misalnya, sudah lebih dari 20.000 ha (SS. Virmani, 1994). Pro dan kontra ini mengundang perlunya penelitian sistemik untuk uji vrifikasi dan validasi produk biotek ini dan pentingnya mencari ketepatan perlakuan optimal terhadap metoda penanaman padi hibrida di daerah tropis.

II. Tujuan Penelitian

Padi hibrida dengan segala pro/kontranya merupakan bagian dari masa depan pangan di Indonesia. Dalam penelitian ini yang dimaksudkan dengan padi hibrida adalah varitas padi yang dihasilkan dari penyilangan dua jenis padi yang berbeda secara genitik. Khusus dalam konteks ini “bahan” yang dipakai adalah galur bioteknologi yang berasal dari derivatif CMS (cytopalsmic genetic male sterile) dan kombinasi hibrida lanjutannya (lebih rinci diulas dalam Bab III.).

Tujuan utama experimen teknologi dalam penelitian ini difokuskan untuk mendapatkan “pakem”, seberapa jauh ilmu dan teknologi yang “pas” dapat lebih meningkatkan hasil/produksi padi/beras hibrida yang lebih tinggi secara aman, mulai dari pembenihan sampai prosesing pemberasan. Pakem diartikan sebagai “best performance” atau ”taking hold well “ secara bebas dimaknakan “pasti pas”.

Tujuan lain adalah menyaring/filtering melalui verifikasi serta validasi terhadap daya adaptasi padi hibrida di daerah tropis dilihat dari sisi biologi dan produksi beras. Hal yang berkaitan dengan wacana kerawanan terhadap hama-penyakit, masalah sosial dan aspek parito optima (ekonomi) dibahas dalam kesempatan yang lain.

Kegunaan, sudah barang tentu penelitian yang dilakukan oleh institusi independen CSS selama 6 musim ini tidaklah dapat menjawab semua kebenaran pro dan kontra yang disebutkan terdahulu, namun akan dapat menambah khasanah kajian ilmiah, teknologi dan sekaligus praktek di lapang. Betapapun kecilnya, pasti berguna demi ikut mengawal Indonesia menuju ketahanan dan keamanan pangan nasional.

3

*) Scientist, Consultant at Center for System Study (CSS) and as staf at Sekretariat Tetap KBI **)Dosen di ITI, Institut Teknologi Indonesia, Sekretaris Exsekutif Settap KBI dan Scientist di CSS.

III. Metodologi Penelitian

Pendekatan penelitian dilakukan dengan ujicoba ilmu dan teknologi biologi padi dengan model disiplin berfikir sistem (discipline of thought). Experimen menggunakan 19 varietas padi hibrida dan inhibrida (lokal) sebagai pembanding, selama 6 musim berturut-turut dalam tahun 2009~2011.

Methodologi penelitian dengan pendekatan ilmu sistem dan biologi ini menerapkan empat jenjang atau strata, demi efisiensi, yaitu tiap musim tanam secara simultan dilakukan beberapa uji, mulai dari sebar benih dengan selang waktu (time lag) sekitar satu minggu untuk setiap tenggang strata.

Stratum kesatu: merupakan stratum identifikasi dengan cara ujicoba di laboratorium menggunakan pot. Penekanan penelitian adalah pada aspek biologi pertumbuhan hibrida yang berguna untuk mengawali penentuan dasar “pakem” perlakuan peningkatan produksi/hasil padi. Lokasi yang dipakai berada di koordinat 6017’37”LS,106049’28”BT, 40 m dpal.

Dalam stratum ini dicermati dengan perlakukan penuh kehati-hatian terhadap kemungkinan adanya hama dan penyakit yang melekat pada produk biotek ini (demikian pula seterusnya dilakukan hal yang sama untuk strata lainnya). Lokasi experimen dipilih ditempat yang terisolasi sama sekali.

Desain uji coba menggunakan multi variate model yang komplex dan mencakup variables: umur bibit, sebar lagsung (direct) dan “tandur”, jumlah benih per rumpun dan jarak serta pola tanam, lama atau durasi penyinaran matahari, perbedaan musim, dosis dan waktu pemupukan, kedalaman dan periode pengairan, terakhir perlakuan “leaf fertilizing” sewaktu fase generatif.

Stratum kesatu ini juga dimanfaatkan sebagai tolok ukur/benchmark monitoring dan kesiap siagaan mengawal experimen di lapang/sawah yang ditanam dua minggu kemudian (time lag 2 minggu). Stratum kesatu dimaksudkan juga untuk memulai verifikasi kemampuan adaptasi hibrida secara umum di zona tropis. Penelitian dalam experimen stratum kesatu juga difokuskan pada petumbuhan akar yang dapat dilihat dan diukur melalui “jendela” kaca yang setiap saat ditutup dengan black body terbuat dari plastik hitam (gelap).

Stratum kedua: adalah Stratum verifikasi terhadap model awal pakem yang diolah berdasarkan stratum kesatu, indentifikasi. Kegiatan ini dilaksanakan di petak mini berukuran 1.25 x 1.5 m2 untuk tiap varitas, terletak di 3 titik koordinat di Jakarta, Jawa Barat dan di Payangan Bali. Variables perlakuan dalam pakem yang diujicoba adalah yang dianggap paling optimal dalam stratum satu. Lokasi ujicoba terletak di koordinat 6017’37”LS,106049’28”BT, 40 m dpal dan di koordinat 6º16'39"LS, 106º67'40" BT dan 39 m dpal.

4

*) Scientist, Consultant at Center for System Study (CSS) and as staf at Sekretariat Tetap KBI **)Dosen di ITI, Institut Teknologi Indonesia, Sekretaris Exsekutif Settap KBI dan Scientist di CSS.

Gambar di sebelah merupakan model riset dengan pendekatan sistem yang didalam nya berisi standar methodo- logi seperti experimen umumnya.

Langkah pertama adalah mempelajari sifat biologis padi hibrida dalam adaptasi terhadap lingkungan.

Langkah kedua mengedentifikasi temuan atas perlakuan dengan presisi untuk mengawali model pakem.

Hasil model pakem diujicoba disawah mini untuk verifikasi presisi perlakuan.

Langkah keempat adalah Validasi atau kelayakan teknis diujicoba sebelum ditanam di lahan adaptasi.

Langkah kelima merupakan ujicoba disawah petani, apabila diyakini aman diterapkan, walaupun musim pertama dilakukan dilokasi yang terisolir dari segi geografi maupun dari segi waktu (of season).

Sampling dilakukan di sawah adaptasi untuk memperoleh data hasil/yield, untuk menilai daya adaptasi hibrida terhadap kemapuan heterosisnya.

Gambar 3.1. Pendekatan sistem dalam modeling

5

*) Scientist, Consultant at Center for System Study (CSS) and as staf at Sekretariat Tetap KBI **)Dosen di ITI, Institut Teknologi Indonesia, Sekretaris Exsekutif Settap KBI dan Scientist di CSS.

Stratum ketiga adalah stratum validasi di petak percobaan di sawah petani yang terisolir baik waktu maupun lokasi. Ukuran petak : 2.5 x 2.5 m2 untuk tiap varietas. Model perlakuan digunakan hasil dari experimen verifikasi pakem. Lokasi percobaan terletak di koordinat 6º18'33"LS, 107º31'21"BT dan 16 m dpal.

Stratum keempat adalah stratum adaptasi yang dilaksanakan di sawah petani seluas antara 250-330 m2 per varitas, atau disesuaikan dengan luas petak sawah yang ada. Semua kegiatan dikerjakan oleh petani mulai dari pembenihan sampai panen dengan bimbingan para peneliti. Lokasi sawah berada di koordinat 6º18'33"LS, 107º31'21"BT dan 16 m dpal, dan di Lokasi di koordinat 6.14.50.44 LS 107. 19. 21. 63 BT 6 m dpal..

Rancangan Percobaan, Ulangan, Sampling.

CRBD, Completely Randomized Block Design dipakai dalam sistem experimen hibrida ini. Tiap blok diisi dengan ulangan dari tiap varietas yang diujicoba, kecuali pada ujicoba adaptasi yang dikerjakan oleh petani. Petani secara mandiri melakukan penanaman hibrida dan varietas kontrolnya seperti kebiasaan petani umunya dengan perbaikan teknologi sesuai pakem yang disarankan oleh tim peneliti.

Angka random diperoleh dengan bantuan computer pseudorandom generator. Angka tersebut diperoleh dengan 2 cara, yaitu menggunakan Excel Program “(RAND()+RAND()-1)” dan Tim membuat program sendiri. Tim memilih cara yang kedua karena lebih “handy” dan dapat memanfaatkan dan mengintegrasikan sifat varietas yang populasinya terdistribusi normal (normally distributed, tidak skew) dengan central limit theorem. Pemograman dilakukan dengan menggunakan bahasa sederhana BASIC, seperti penjelasan di bawah.

Jumlah ulangan petak dan sub petak tiap varietas disesuaikan dengan formula yang umumnya dipakai yaitu : (n-1)x(t-1)>15; dinama n = jumlah ulangan sedangkan t = jumlah perlakuan. Sewaktu menguji 5 varietas pada sratum adaptasi, maka n (jumlah ulangan) sesuai dengan formula tersebut di atas dibulatkan menjadi 5 ulangan untuk tiap sub petak varitas.

Sampling unit, sesuai dengan central limit theorem (Gausian model) di atas, maka jumlah sampling unit cukup 12 unit, dimana sudah diperhitungkan kemungkinan di 2 “tails” terjadi nilai extrem. Jumlah unit sampling ini diterapkan untuk pengukuran semua parameter dalam experimen, kecuali pada product handling dan pemberasan. Demikian pula atas dasar pendekatan teori ini angka 12 juga dipakai untuk iteration dalam looping program di bawah, silahkan melihat no 1040 dan 1090.

6

*) Scientist, Consultant at Center for System Study (CSS) and as staf at Sekretariat Tetap KBI **)Dosen di ITI, Institut Teknologi Indonesia, Sekretaris Exsekutif Settap KBI dan Scientist di CSS.

-------- Program Computer untuk Pseudoramdom --------

999 End

1000 ‘Subroutine Random

1010 ‘Pseudo Random Generator programed by CSS/SM 200609

1020 Sum=0

1030 Randomize

1040 For I=1 to 12

1050 RND

1060 A=RND

1070 Print A

1080 Sum=Sum+A

1090 Next I

1110 Angka Random = Sum/I:Print Angka Random

1120 Return

Parameter dan fokus Pengamatan, parameter disini dimaksudkan sebagai variabel dominan penentu dalam experimen ini dan dikenal ada dua macam parameter, kwalitatif (yang diukur) dan kwantitatif (data hasil pengukuran).

Pengukuran dan Pengamatan yang dilakukan meliputi tahap tahap sebagai berikut:

Vegetatif : pengamatan difokuskan daya dan vigor benih, pertumbuhan akar (real time), jumlah, panjang dan lebar daun, jumlah anakan/tiller, tinggi tanaman. Pengukuran dilakukan setiap 4 hari sekali sesuai dengan jumlah energi yang diserap di daerah topis (setara dengan 1000C kumulatif) untuk menjadikan satu daun penuh.

Generatif : Parameter “yield determinants” dipakai sebagai dasar pengamatan untuk fase generatif dan panen. Hasil temuan rasio malai/batang, jumlah/proporsi butir bernas, hampa dan hijau merupakan tambahan manfaat sebagai indikator koreksi pakem agronomik percobaan musim berikutnya, terutama peningkatan mutu beras

Pengamatan difokuskan pada awal primordia, lama bunting, mulai berbunga (heading) dan pengisian biji padi, masa masak, rasio jumlah malai dan jumlah batang, keserempakan masak, umur padi. Catatan phenomena: hampir semua varietas padi (hibrid maupun inhibrid) masa generatif memakan waktu 60-61 hari.

7

*) Scientist, Consultant at Center for System Study (CSS) and as staf at Sekretariat Tetap KBI **)Dosen di ITI, Institut Teknologi Indonesia, Sekretaris Exsekutif Settap KBI dan Scientist di CSS.

Panen : pengamatan difokuskan pajang malai, jumlah bulir/malai, butir/biji per malai, proporsi butir bernas, hijau dan hampa, kandungan air (% berbasis basah), berat sejumlah biji dlm gram.

Product handling mengutamakan kaitannya dengan optimalisasi mutu dan rendemen beras, yaitu pengamatan dan perlakuan difokuskan pada tingkat kerontokan, rate of drying dan kebersihan gabah kering giling.

Pemberasan mengutamakan pada proses :

o Pengupasan kulit gabah (husking), yang mana menyangkut masalah optimalisasi kecepatan arus udara pembersih, renggang antara dua rubber rolls, putaran (rpm) sumbu dua rubber rolls yang berbeda dan jumlah gabah yang dialirkan melewati kedua rubber rolls tersebut.

o Pemutihan/Polishing menggunakan amarilstone (abrasive) polisher. Optimalisasi perlakuan difokuskan pada lama waktu beras pecah kulit dalam polisher, ringan atau beratnya tekanan pemutihan dalam polishing chamber.

Organoleptik, nasi hasil pemberasan dinilai atas dasar empat faktor yaitu rasa nasi, kepulenan, aroma dan penampakan. Panel yang terdiri atas berbagai ethnis menentukan skala organoleptik dari nilai 1 (sangat tidak enak) sampai angka maksimal 10.0 (sangat enak)

Analisis statistik menggunakan dua model sederhana yaitu:

Iinterpretasi rata-rata data dan sebaran (disperse) diasosiakan dengan tingkat covarian (%) yang merupakan nilai relatif standar deviasi (SD) terhadap nilai rata-rata. Berdasarkan pengalaman/empiris, maka nilai covarian, CV(%), dipakai pedoman sebagai berikut:

o Untuk data lab dianggap merata atau seragam atau homogen apabila nilai CV(%) < 5%

o Untuk data lapang yang terkontrol dianggap merata atau seragam atau homogin apabila nilai CV(%) < 10%

o Untuk data lapang umumnya dianggap merata atau seragam atau homogen apabila nilai CV(%) < 15%.

o Selanjutnya untuk hal hal yang tidak menentu seperti data iklim dianggap merata apabila nilai CV(%) < 21%.

o Khusus untuk mendapatkan angka yang mendekati “kebenaran” atas prediksi dipakai rumus : varian yang dicari (random), Y = nilai rata rata + (SD x Angka Random), SD : satandar deviasi. Catatan: angka random kemungkinan dapat negatif.

8

*) Scientist, Consultant at Center for System Study (CSS) and as staf at Sekretariat Tetap KBI **)Dosen di ITI, Institut Teknologi Indonesia, Sekretaris Exsekutif Settap KBI dan Scientist di CSS.

Time series - Fitness Curve dipakai untuk “membaca” tingkat adaptasi pertumbuhan hibrida dan varitas lokal dilokasi experimen, yaitu dengan melihat koefisien korelasi (R2) dan koefisien determinasinya (r = sqrR2). (R2) makin mendekati angka satu makin “fit” untuk tingkat adaptasinya. Indikator (R2) ini sangat berguna untuk mempelajari, terutama, pertumbuhan vegetatif, yaitu model pertumbuhan anakan atau “tiller” secara alami seharusnya mempunyai model eksponensial (anak beranak).

Experimen yang dilakukan oleh CSS hanya menggunakan hibrida CMS’s, terutama yang belum banyak diteliti institusi lain secara independen. Sebagai referensi digunakan Sertani 8, hasil pemuliaan Dayang Rindu dan Sirendah yang dilaporkan dengan hasil setara padi hibrida, namun waktu pertumbuhannya lebih lama.

IV. Bahan Bacaan

1. Padi hibrida.

Beberapa Negara telah memproduksi padi hibrida yang semuanya bersumber dari CMS ~ WA (wild rice with abortive pollen). Secara singkat padi hibrida diartikan sebagai hasil persilangan dari 2 jenis padi yang berbeda. Keunggulan padi hibrida (F1) sebagai hasil persilangan tersebut menunjukan sifat heterosis atau vigor hibrida (diantaranya kemampuan menghasilkan produksi yang tinggi). Selanjutnya tidak ada kepastian bahwa turunan berikutnya (F2 dan seterusnya) akan sama unggulnya, bahkan umumnya vigor atau sifat heterosisnya jauh menurun. Pada waktu sekarang ada 3 metoda untuk menghasilkan galur hibrida, yaitu metoda galur 3 (CMS), galur dua (PTGMS) dan galur satu (Apomixsi) yang selanjutnya akan diuraikan secara singkat di bawah.

Pada waktu sekarang, hibrida masih diperdebatkan apakah masuk ranah bioteknologi atau disiplin bioscience atau dua-duanya. Hal ini sengaja dicatat disini karena akan menyangkut legalitas tentang hak atas kekayaan intelektual (HAKI) atau intelectual property right (IPR) yang nantinya berpengaruh pada perdagangan benih padi, peraturan perundangan dan akan menyetuh hak asasi petani atas benih.

Yuan Longping (1970) menemukan padi yang bertumbuh di alam bebas, yaitu tumbuh dengan tepung sari (male pollen) yang mandul atau gabug. Padi yang ditemukan ini mempunyai sifat khusus, yang mana cytoplast, suatu substansi yang melingkupi inti sel (nuleous) menyebabkan kemandulan benang sari/bunga jantan setelah berinteraksi dengan inti sel. Setelah berulang kali diadakan penyilangan balik-ulang dengan padi lain, akhirnya diperoleh galur mandul jantan atau CMS (cyplasmic male sterile) yang stabil, yang merupakan galur “maintenance”. Hasil persilangan balik-ulang ini menjadikan galur tetua (parent stock) yang bila disilangkan dengan padi lain akan menghasilkan padi

9

*) Scientist, Consultant at Center for System Study (CSS) and as staf at Sekretariat Tetap KBI **)Dosen di ITI, Institut Teknologi Indonesia, Sekretaris Exsekutif Settap KBI dan Scientist di CSS.

hibrida (F1) yang dapat ditanam oleh petani. Galur lain adalah “restorer” , yaitu yang dapat menurunkan/membuat fertilitas CMS apabila dilakukan pesilangan dengan padi lain lagi. Model sistem reproduksi hibrida ini disebut juga model 3 galur, yaitu galur CMS, galur “maintenance” and galur “restorer”.

Padi hibrida secara populer dihasilkan dari 3 metoda, yaitu sistem tiga galur atau CMS (sudah diuraikan di atas), sistem dua galur (PTGMS, Photo-Thermo Genitic Male Sterile) dan sistem satu galur atau sistem Apomixis.

2. Sistem dua galur atau PTGMS system.

Sistem tiga galur atau CMS dianggap lebih ruwet dan ada kendala kelangkaan CMS’s. Para ilmuwan sekarang mencoba medesain padi hibrida dengan mengunakan teknik sistem kepekaan/sensitivitas terhadap lingkungan atau “environement genetic male sterility” , yaitu dengan memanfaatkan dua sifat sensitivitas padi yang berbeda yaitu photoperiodic dan thermo sensitive genitic male sterility.

Shi Mingsun, ilmuwan China yang lain, dalam tahun 1973, menemukan padi dengan benang sari gabug total secara alami, apabila kondisi “day length” yang panjang dan suhu udara yang tinggi/panas. Sebaliknya dalam “day length” yang pendek dan suhu udara yang dingin/rendah padi ini masih bertumbuh “feritle” atau tidak gabug benang sarinya. Padi semacam ini (PTGMS) memiliki sifat dual atau ganda, yaitu peka/sensitif terhadap perubahan kondisi photo/penyinaran dan termo/suhu yang berakibat benang sari gabug atau sebaliknya. Keuntungan dari PTGMS tidak memerlukan galur “maintenace’, dan ketersediaan tetua (parent stock) lebih luas ragamnya serta efek negatif seperti yang dimiliki sistem CMS, minim atau tidak ada. Contoh varitas: Nongken 58S yang memiliki sifat kesuburan (fertility) berganti ganti (PTGMS) ini, hasil/produksi cukup baik yaitu lebih tinggi 5%-10% dibanding dengan sistem 3 galur atau CMS (ICAR, 2009).

3. Sistem satu galur atau Apomixis system

Dalam jangka panjang pengembangan satu galur dengan teknik apomixis merupakan harapan (walau masih tentatif) untuk menghasilkan hibrida yang F1 nya tidak lagi tersegregasi hingga dapat dibenihkan sendiri oleh petani. Peran kombinasi bioteknologi dan breeding konvensional sangat diperlukan. Apomixis memanfaatkan sifat kemampuan tanaman bereproduksi tanpa pembuahan (asexual). Nantinya padi apomixsi menghasilkan biji tanpa proses pembuahan, yaitu tanpa proses merger tepung sari dan bakal buah. Apomixis banyak dijumpai pada gandum, tetapi belum ditemukan pada genus padi. Ilmuwan berharap dapat mentransfer gen dari “pearl millet” (Pennisetum glaucum), semacam juwawut. Millet ini termasuk tanaman purba yang sekarang banyak berkembang di Afrika dan India, tahan kekeringan, tahan salinity dan pH rendah, serta dapat tumbuh dengan baik di tanah yang tidak subur. Cara lain untuk model satu galur ini dengan genetic engineering atau menggunakan biochemical gametocides (S.S. Virmani, 1994, dan Wikipedia,2011).).

Keunggulan dan kelemahan padi hibrida dibanding unggul nasional diklaim hasil lebih tinggi sampai 15-20%, bahkan ada yang mengklaim + 30% per musim per ha di sawah

10

*) Scientist, Consultant at Center for System Study (CSS) and as staf at Sekretariat Tetap KBI **)Dosen di ITI, Institut Teknologi Indonesia, Sekretaris Exsekutif Settap KBI dan Scientist di CSS.

petani, rasa lebih enak, umur lebih pendek dan tidak mudah rontok, rendemen beras lebih tinggi.

Dilain pihak pada waktu bersamaan diperkirakan sangat rentan terhadap hama dan penyakit di daerah tropis, menyedot sumber zat hara lebih intens dari tanah dan tidak tahan stres kekeringan. Di China Padi hibrida menghasilkan beras kurang bermutu, karena banyak beras “kapur” dan rendemen beras yang rendah bila dibandingkan beras umumnya.

Perkembamgan luas padi hibrida yang ditanam di beberapa negara, diperkirakan sebagai beirkut:

Bangladess 40 000 ha China 15.215 000 ha India 200 000 ha Indonesia 20 000 ha Myanmar 50 000 ha Philippine 208 342 ha Vietnam 480 000 ha

Indonesia pada data tersebut di atas terlihat relatif paling sedikit luasan hibridanya, ada dua dugaan yaitu Indonesia penuh kehati-hatian atau masih menunggu sebab lain, diantaranya mengembangkan sendiri padi hibrida dan sudah berhasil, diantaranya varietas Rokan, Maro, Hipa 3 sampai Hipa 8. Hasil umumnya lebih tinggi, yaitu dari hasil rata rata sampai potensi tinggi antara 6~10 ton/ha-musim, lebih tahan terhadap hama dan penyakit tropis. (BBP Tanaman Padi, 2009).

Lokasi daerah dengan mozaik kecukupan dan kekurangan konsumsi serealia serta penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan dapat dilihat pada gambar peta di bawah (Dewan Ketahanan Pangan dan WFP).

Gambar 1: Rasio Konsumsi Normatif perkapita terhadap Produksi Bersih Serealia.

11

*) Scientist, Consultant at Center for System Study (CSS) and as staf at Sekretariat Tetap KBI **)Dosen di ITI, Institut Teknologi Indonesia, Sekretaris Exsekutif Settap KBI dan Scientist di CSS.

Legenda: = Konsumsi kurang atau Kemiskinan berat; = Kecukupan

Gambar 2: Penduduk hidup dibawah garis kemiskinan.

V. Pelaksanaan dan Hasil Pengukuran

1. Pertumbuhan Vegetatif

Pengukuran Umur, Jumlah Daun, Jumlah Batang dan rasio Daun / Batang berguna untuk berbagai hal seperti (a) perhitungan timing pemupukan, (b) pengaturan pengairan, dan pemeliharaan hibrida lainnya, (c) sebagai indikator tingkat adaptasi terhadap photo dan termo sensitivitas yang berhubungan dengan biomass formation yang "ditabung" dalam batang oleh hibrida di daerah tropis.

Tabel 5.1 : Data vegetatif rata rata 10 varitas sewaktu masa awal primordia + 21 hari.

No Parameter Kwalitatif Unit Data / Kwantum Keterangan

1 Panjang daun Cm 82,25

2 Lebar daun Cm 1,76

3 Jumlah daun lembar 75,5

4 Jumlah batang batang 19,5

5 Tinggi tanaman Cm 84.4

6 Rasio daun/batang Index 3,88

7 Rata rata luas per daun*) Cm2 110,12 *) Canopy Index tidak dihitung. 8 Pekiraan seluruh luas daun Cm2 8 306.51

12

*) Scientist, Consultant at Center for System Study (CSS) and as staf at Sekretariat Tetap KBI **)Dosen di ITI, Institut Teknologi Indonesia, Sekretaris Exsekutif Settap KBI dan Scientist di CSS.

Parameter kwantitatif yang terdiri atas panjang dan lebar daun, jumlah daun, jumlah anakan dan rasio daun per batang dianalisis guna menilai daya adaptasi hibrida di daerah tropis seperti yang disajikan pada Tabel di atas.

Rata-rata per batang hibrida mempunyai 3.8 daun dari awal tanam sampai panen. Daun 3.8 lembar inilah yang berfungsi mengkonversikan energi dalam fotosintesis ke biomass yang selanjutnya untuk pengisian biji/gabah.

Energi akumulatif setara dengan + 100 oC selama ± 4 hari untuk tiap "full leaf elongation".

Dapat pula dicatat bahwa batang yang mempunyai daun kurang dari 2.5 lembar, biasanya tidak menghasilkan malai bernas yang baik dan akan mempunyai biji hijau dan hampa yang banyak.

Untuk pengamatan pertumbuhan perakaran, dilakukan dengan menanam hibrida di pot khusus yang dipotong diagonal dan dipasang kaca jendela yang ditutup dengan “black body“ (bahan berwarna hitam). Pengamatan pada pot kaca khusus ini bermanfaat untuk menemukan ”keniscayaan waktu” yang tepat untuk pemupukan urea susulan dan mengamati pertumbuhan akar seiring waktu.

Pengamatan pertumbuhan vegetatif ini (di atas ataupun di bawah permukaan tanah) sangat bermanfaat untuk melakukan tindakan koreksi terhadap perlakuan agronomi yang kurang pas. Jadi, ketelitian dalam pengamatan ”life root system” menjadi penting. Pada contoh pot kaca (Gambar 5.1), terbukti bahwa akar masih mampu menembus pada kedalaman lebih dari 26 cm dan oksigen masih dapat pula menembus kedalaman tersebut. Akar padi hibrida terlihat tumbuh luar biasa pada pot kaca tersebut. Pada kasus uji coba ini perlakukan sesuai dengan ”pakem” yang sudah diperoleh dalam 2 musim sebelumnya.

Akar hibrida nampak dengan jelas ada 3 macam, yaitu : i). akar jangkar yang tegak lurus ke bawah, ii). akar lateral yang berkisar antara sudut 60o ~ 30o terhadap akar jangkar dan iii). akar permukaan yang bersudut tegak lurus ke akar jangkar. Tiap-tiap macam perakaran tersebut erat kaitannya dengan “timing” pertumbuhan vegetatif (i. perakaran dan daun, ii. anakan atau tiller) maupun generatif (iii. pembungaan, pengisian biji). Kaitan lainnya adalah terhadap tingkat kemampuan menyerap zat hara tanaman berdasarkan fase pertumbuhan daun, generatif dan perakaran tersebut.

13

*) Scientist, Consultant at Center for System Study (CSS) and as staf at Sekretariat Tetap KBI **)Dosen di ITI, Institut Teknologi Indonesia, Sekretaris Exsekutif Settap KBI dan Scientist di CSS.

Gambar 5.1. Pengamatan ”life root system” pada pot yang dimodifikasi

Gambar 5.2. Pertumbuhan akar padi hibrida

Secara rata-rata pertumbuhan fase vegetatif terlihat pada Tabel 5.1. di atas bahwa daya adaptif hibrida di lingkungan tropis termasuk kreteria bagus. Rasio daun/batang menunjukan signifikan optimal dengan index normal, yaitu 3,88 perbatang, yang berarti dalm kisaran + 5% dari 4 lembar daun. Tingkat keseragaman respon terhadap lingkungan berada dalam skala homogen sampai heterogen ringan (mildly heterogen), yaitu pada CV(%) di bawah 5% sampai 12%, baik di laboratorium maupun di sawah.

Akar Jangkar

Akar Lateral

Akar Permukaan

Oxigen masih efektif masuk sampai 26 Cm

14

*) Scientist, Consultant at Center for System Study (CSS) and as staf at Sekretariat Tetap KBI **)Dosen di ITI, Institut Teknologi Indonesia, Sekretaris Exsekutif Settap KBI dan Scientist di CSS.

Dari segi fase (rate) pertumbuhan menunjukan dinamika yang bagus, yang mana indikator korelasi sepanjang pertumbuhan vegetatif menunjukkan persamaan alami normal: model ekponensial dengan R2 atau koefisien korelasi tinggi. Semua varietas berada di atas 0,95 bahkan ada yang mendekati 1,00, yaitu 0,985 ( lihat Gambar 5.3. di bawah).

Gambar 5.3. Grafik pertumbuhan parameter vegetatif

Dalam masa vegetatif selama 31 sampai 49 hari dari sebar benih (tergantung varietas), dapat dikatakan hibrida menunjukan konsistensi sifat heterosis atau vigor yang baik. Satu varietas (“CSS5”) gagal bertahan pada uji validasi, baik di lab maupun di sawah adaptasi. Varietas “CSS5” bertumbuh di lab lebih dari 122 hari dan di sawah umur 41 hari sudah berbunga (heading) yang berarti masa vegetatifnya hanya 20 hari, tidak ada konsistensi heterosisnya. Pembentukan biomass di sawah tidak cukup waktu dan semua mati meranggas. Penyakit Pseudomoas varingae dan Pericularia oryzae yang banyak terdapat di daeah sub temperate dan subtropis, tidaklah ditemukan pada ujicoba ini.

Seperti diutarakan pada Bab III, bahwa masalah hama dan penyakit dibahas pada kesempatan lain. Pada uji coba ini didapati hama lembing atau walang sangit

15

*) Scientist, Consultant at Center for System Study (CSS) and as staf at Sekretariat Tetap KBI **)Dosen di ITI, Institut Teknologi Indonesia, Sekretaris Exsekutif Settap KBI dan Scientist di CSS.

(Leptocorisa oratorius) pada straum kesatu (lab) dan serangan berat tikus (Ratus argentiventer) pada stratum kedua (sawah mini). Di petak dan sawah adaptasi di Pantura (stratum ketiga dan keempat) didapati beberapa batang terserang hama penggerek batang (Scirpophaga innotata) dan 4 rumpun kelihatan seperti kerdil rumput (virus).

2. Pertumbuhan Generatif.

Pada pertumbuhan generatif, parameter yang diamati terdiri atas umur hibrida, ∑ Batang per rumpun, ∑ Malai per rumpun, ∑ Malai baik. Dari parameter tersebut, dapat dihitung rasio (persentase) malai baik terhadap jumlah batang dan jumlah malai. Data pengamatan pertumbuhan generatif dapat dilihat pada Tabel 5.2. di bawah ini.

Tabel 5.2. Hasil pengukuran dan pengamatan parameter pertumbuhan generatif

No Varitas Jumlah Batang

Jumlah Malai

Malai Baik

Rasio Malai Baik terhadap jml Batang dan jml malai (%) Keterangan Per

Batang Per Malai

1 CSS-1 24.6 19 17,4 70,73 91,56 2 CSS-2 20.4 23,4

14.21,8

893,16 93,16

3 CSS-3 4 CSS-4 21.2 17,3 14,3 67,45 82,66 5 CSS-5 47.0 na na 6 Css-6 24.5 21,5 19,0 77,55 88,37 7 CSS7-1 20,4 19.0 93,14 19 8 CSS8-2 22,6 18.6 82,30 23 9 CSS9-3 18,6 18.0 96,77 18 10 CSS10-4 20,4 19.2 94,12 21 11 CSS11-5 19,8 19.2 96,97 17 12 CSS12-6 21,2 18.4 86,79 15 13 CSS13-7 24,0 23. 6 98,33 20 14 CSS14-8 20,0 18.4 92,00 19 15 CSS15-9 20,4 18.8 92,16 20 16 CSS16-10

26,0 22.2

85,38 19

17 CSS-17 18 CSS-18 Average 75,78 91,05 SD CV (%) 19 CSS-19 21,57 21,29 15,07 69,87 70,78 Inhibrida 20 CSS-20 32,25 24,3 22,57 69,98 92,88

16

*) Scientist, Consultant at Center for System Study (CSS) and as staf at Sekretariat Tetap KBI **)Dosen di ITI, Institut Teknologi Indonesia, Sekretaris Exsekutif Settap KBI dan Scientist di CSS.

Batang per rumpun yang menghasilkan malai yang baik diamati karena sangat berhubungan dengan perlakuan (ketepatan teknik pengairan, jarak tanam serta model "larikan” dan pemupukan) terutama diseputar awal pertumbuhana primordia. Kalau rasio malai/batang perumpun dibawah 80% maka diperlukan tindakan perbaikan agronomi pada musim berikutnya.

Pengamatan generatif seperti tercermin pada Tabel 5.2. di atas menggambarkan bahwa dengan perlakuan pakem yang pas, cukup berhasil yang mana prosentase malai bagus terhadap jumlah malai total rata-rata mencapai 91,05%. Umumnya prosentase ini sekitar 82%-90%. Belum pasti benar apakah index yang tinggi ini karena sifat heterosis atau karena pakem ataupun karena kombinasi dua-duanya. Kecondongan mengarah kepada pendapat bahwa pakem sudah baik, karena padi lokal dengan kode CSS-20 menunjukan index 92,88.

Prosentase malai baik terhadap jumlah batang menunjukan index yng rendah, yaitu sekitar 76%. Angka ini adalah ambang bawah dari pertumbuhan generatif padi umumnya. Hal ini memerlukan perbaikan (bukan koreksi) penanganan sewaktu masa vegetatif pada masa berikutnya.

3. Panen

Pengamatan yang dipakai untuk masa panen adalah waktu panen, pengukuran dan pengamatan ditujukan pada 7+1 = 8 parameter, yaitu umur hibrida, keserempakan bijji masak, ∑ malai ”bernas” per rumpun, panjang malai , ∑ biji per malai, ∑ biji bernas per malai, ∑ biji hampa per malai, berat 1000 biji pada kadar air 14%. Untuk mengukur berat 1000 biji digunakan micro scale seperti yang terlihat pada Gambar 5.4. Sementara itu, Gambar 5.5 menunjukkan alat kaliper elektronik yang dipakai untuk mengukur panjang, lebar/ketebalan, dan kepipihan biji.

Gambar 5.4. Micro scale Gambar 5.5. Kaliper Elektronik

Pengamatan waktu panen mencakup parameter hasil lapang (setidaknya 8 faktor tersebut di atas) yang pada prinsipnya tidak saja untuk mengetahui hasil padi akan tetapi juga bermanfaat untuk melihat ketepatan perlakuan sesudah padi berbunga, sampai pengisian biji agar dapat berhasil baik dan dapat dipanen lebih serempak. Ketepatan teknik

17

*) Scientist, Consultant at Center for System Study (CSS) and as staf at Sekretariat Tetap KBI **)Dosen di ITI, Institut Teknologi Indonesia, Sekretaris Exsekutif Settap KBI dan Scientist di CSS.

pengairan, perlindungan tanaman dan penguatan asimilasi/fotosintesis melalui pemupukan daun sangat penting, terutama sewaktu menjelang pengisian biji. Beberapa Tabel di bawah (Tabel 5.3 - menyajikan hasil pengukuran dan pengamatan terhadap 8 parameter tersebut di atas.

Ketentuan masak dan waktu panen adalah apabila lebih dari 80% biji sudah masak, berwarna kuning dan umumnya daunpun mulai menguning. Pengamatan lapang memperlihatkan bahwa daun masih tetap hijau, walaupun padi sebagian besar sudah masak. Ada efek baik tidaknya, bila dilakukan pemanenan saat padi belum masak, diantaranya akan timbul butir padi yang masih hijau yang menyebabkan dihasilkannya beras “kapur”

Tabel 5.3. Data Umur Hibrida, Jumlah Malai di Lab dan di Sawah Adaptasi

Kode Varitas

Umur di Sawah (Hari)

Jumlah Malai di Laboratorium

Jumlah Malai di Sawah.

Jml Malai di Sawah/Lab (%)

Keterangan

CSS7-1 109 19 20,4 107 CSS8-2 102 23 26 113 CSS9-3 112 18 18,6 103 CSS10-4 102 21 20,4 97,1 CSS11-5 92 19 19,8 104 CSS12-6 109 15 15,6 104 CSS13-7 102 20 24 120 CSS14-8 102 19 20 105 CSS15-9 91 20 21,4 107 CSS16-10 109 19 23,2 122 Average 102,33 19,1 19,3 108 SD 7,23 2,18 2,06 7,79 CV (%) 7,06 11,43 10,7 7,2 CSS-19 119 22 na na Varitas

Lokal CSS-20 124 24 na na

18

*) Scientist, Consultant at Center for System Study (CSS) and as staf at Sekretariat Tetap KBI **)Dosen di ITI, Institut Teknologi Indonesia, Sekretaris Exsekutif Settap KBI dan Scientist di CSS.

Tabel 5.4. Data Umur Hibrida, Panjang Malai di Lab dan di Sawah Adaptasi

Kode Varitas

Umur di Sawah (Hari)

Panjang Malai di Laboratorium

(Cm)

Panjang Malai di Sawah (Cm)

Panjang Malai

Sawah/Lab (%).

Keterangan

CSS7-1 109 24,00 24,33 101,0 CSS8-2 102 24,38 24,00 98,4 CSS9-3 112 27,78 26,33 94,8 CSS10-4 102 25,56 23,00 90,0 CSS11-5 92 24,33 22,67 93,2 CSS12-6 109 24,08 24,00 99,7 CSS13-7 102 27,17 25,00 92,0 CSS14-8 102 24,75 25,33 102 CSS15-9 91 23,72 23,00 97,0 CSS16-10 109 27,50 24,00 87,3 Average 102,33 25,09 24,18 95,6 SD 7,23 1,46 1,21 4,75 CV (%) 7,06 5,82 5,02 5,0 CSS-20 SP 119 28,47 na Varitas

Lokal CSS-21 SK 124 36,10 na

19

*) Scientist, Consultant at Center for System Study (CSS) and as staf at Sekretariat Tetap KBI **)Dosen di ITI, Institut Teknologi Indonesia, Sekretaris Exsekutif Settap KBI dan Scientist di CSS.

Tabel 5.5. Data Jumlah Biji, Biji Bernas, Densiti dan Boot Biji di Sawah Adaptasi

Kode Varitas

∑ Biji/Malai

Biji bernas/ Malai

Bernas/Total (%)

Density Biji

Bernas/Cm

Bobot per 1000 biji (Gram)

CSS7-1 159,84 145,17 90,82 6.05 25.3 CSS8-2 133,36 114,75 86,05 4.71 28.6 CSS9-3 217,24 207,42 95,48 7.47 29.1 CSS10-4 166,65 144,42 86,66 5.65 30.4 CSS11-5 134,3 120,83 89,97 4.97 27.6 CSS12-6 144,72 135,75 93,80 5.64 26.0 CSS13-7 124,71 109,50 87,80 4.03 31.8 CSS14-8 133,65 121,00 90,53 4.89 31.6 CSS15-9 123,11 113,58 92,26 4.79 29.0

CSS16-10 188,65 178,92 94,84 6.51 26.3

Average 152,62 139,13 90,82 5.5 28.6 SD 30,73 31,82 3,31 1.01 2.28

CV (%) 20,14 22,87 3,65 18.45 7.98 CSS-20 SP 221,00 216,00 97,74 7,77 23,0-27,0 CSS-21 SK 410,80 358,92 87,37 11,38

20

*) Scientist, Consultant at Center for System Study (CSS) and as staf at Sekretariat Tetap KBI **)Dosen di ITI, Institut Teknologi Indonesia, Sekretaris Exsekutif Settap KBI dan Scientist di CSS.

Tabel 5.6. Hasil panen di laboratorium dan di sawah

4. Product Handling

Penanganan hasil dan prosesing sewaktu panen memerlukan kecermatan, hingga data hasil riset dapat lebih optimal. Hal ini ditujukan untuk mengurangi susut jumlah dan memperbaiki mutu produk. Perlakukan panen dan pasca panen yang baik akan dapat meningkatkan rendemen giling dan mutu beras.

Dalam riset ini, yang dimaksud dengan kecermatan dan optimal pada penanganan hasil prosesing meliputi :

No Kode Varietas

Umur (Hari)

Laboratorium

Sawah 1 m2 (Kg)

Prosentase Sawah/

Lab Keterangan 5

Rumpun per Pot (Gram)

Kesetaraan 1 m2 (Kg)

1 CSS9-3 112 359 1,795 1,591 88,65

2 CSS16-10 109 335 1,675 1,377 82,22

3 CSS10-4 102 264 1,320 1,299 98,39

4 CSS7-1 109 256 1,280 1,272 99,36

5 CSS14-8 102 221 1,105 1,015 91,85

6 CSS11-5 92 202 1,010 0,937 92,76

7 CSS13-7 102 195 0,975 0,839 86,02

8 CSS12-6 109 167 0,835 0,767 91,80

9 CSS15-9 91 184 0,920 0,763 82,97

10 CSS8-2 102 212 1,060 0,684 64,53

Avrg 103,00 239,50 1,20 1,05 87,85

SD 7,13 64,20 0,32 0,31 10,01

CV (%) 6,93 26,81 26,81 29,42 11,40

11 CSS-20 SP 119 468,67 2,34 na na

12 CSS-21 SK 124 807,58 4,04 na na

21

*) Scientist, Consultant at Center for System Study (CSS) and as staf at Sekretariat Tetap KBI **)Dosen di ITI, Institut Teknologi Indonesia, Sekretaris Exsekutif Settap KBI dan Scientist di CSS.

pembersihan gabah dengan blower dengan kecepatan arus uadra/angin yang pas (disetel dengan berulang kali uji coba) hingga gabah bersih dari kotoran, butir hampa dan butir hijau (yang biasanya lebih ringan dari gabah bernas), grading tidak dilakukan;

proses pengeringan dalam experimen ini dan sesuai anjuran, ternyata yang terbaik penurunan kadar air per jam (i) di atas 1,2-2.0% pada fase falling rate, (ii) antara 0,8% sampai 1,2% pada fase zona transisi, dan (iii) dibawah 0,8% pada fase steady state. Dalam experimen ini suhu ambien berkisar antara 28oC sampai 33oC dan dalam plenum chamber sekitar 56oC (steady state) sampai 60oC (falling rate). Dalam falling state hanya digunakan aliran udara kencang saja bila suhu ambien diatas 32oC. Penurunan rendemen dan banyaknya jumlah beras patah akan terjadi apabila pengeringan terlalu cepat, karena difusi air dari bagian dalam gabah tidak secepat penurunan kadar air di laminar gabah. Kalau hal ini terjadi, maka akan banyak biji beras patah dan retak.

Alat pengering skala lab dibuat CSS sendiri karena jumlah sample tidak banyak dan harus presisi. Alat pemanas dan sekaligus blowernya menggunakan perangkat yang disatukan dan rpm (putaran mesin per menit) serta suhu dapat diatur sesuai kebutuhan optimal di atas.

Hasil akhir pengeringan adalah gabah dengan kadar air antara 13,8% sampai 14,1%. Semua perhitungan dalam prosesing hasil dikonversikan kedalam kadar air 14%, agar semua dapat diperbandingkan. Sewaktu panen kadar air tidak seragam tergantung musim dan keadaan lapang.

5. Prosesing dalam Pemberasan

Parameter yang dipakai untuk tahap prosesing dan pemberasan adalah waktu prosesing gabah, butir hijau sebelum dan sesudah dibersihkan, proporsi beras PK, berat sekam, material lain. Selain itu, dilakukan analisis untuk mengetahui proporsi beras putih, bekatul, material lain, proporsi beras utuh, beras pecah, nilai organoleptik, dan Harga (Rp) per satuan berat beras. Analisis hasil prosesing dan pemberasan dapat dilihat pada Tabel 5.7 d bawah ini.

22

*) Scientist, Consultant at Center for System Study (CSS) and as staf at Sekretariat Tetap KBI **)Dosen di ITI, Institut Teknologi Indonesia, Sekretaris Exsekutif Settap KBI dan Scientist di CSS.

Tabel 5.7. Analisis hasil prosesing dan pemberasan

Kode Varietas

Gabah Bersih

Pecah Kulit

Beras Putih

Rendemen (%)

Skala Organoleptik (max. 10.00)

Keterangan

CSS7-1 256 205 165 64,45 5,79 5,12

CSS8-2 212 148 135 63,68 6,79 6,30

CSS9-3 359 293 241 67,13 6,73 6,41

CSS10-4 264 220 179 67,80 7,14 6,66

CSS11-5 202 165 141 69,80 7,88 6,43

CSS12-6 167 137 118 70,66 6,58 6,79

CSS13-7 195 152 130 66,67 7,55 6,74

CSS14-8 221 182 137 61,99 7,18 6,75

CSS15-9 184 152 127 69,02 8,06 7,76

CSS16-10 335 272 223 66,57 7,08 6,27

Average 239,50 192,60 159,60 66,78 7,08 6,52

SD 64,20 54,30 42,40 2,76 0,66 0,65

CV (%) 26,81 28,20 26,57 4,13 9,37 9,99

CSS-20 SP 100,00 77,00 66,33 66,67 8,26 Varitas Lokal,

hanya berbeda dipertumbuhannya CSS-21

SK 100,00 77,00 66,33 66,7 8,26

Tingkat mutu nasi dilihat dari penilaian panel organoleptik, terlihat bahwa varitas lokal berskala lebih tinggi 1,18 atau 16,7% dari rata rata 10 hibrida, pada 7,08 dari maksimum 10.00. Sedangkan dengan perlakuan yang sama ternyata rendemen juga sam sama baiknya pada angka 66% - 67%.

23

*) Scientist, Consultant at Center for System Study (CSS) and as staf at Sekretariat Tetap KBI **)Dosen di ITI, Institut Teknologi Indonesia, Sekretaris Exsekutif Settap KBI dan Scientist di CSS.

6. Uji Organoleptik

Sebagai analisis tambahan dilakukan uji organoleptik yang terdiri atas 4 parameter, yaitu rasa, aroma, penampilan dan tekstur. Uji menggunakan skala 1-10, yang mana skor 1 adalah yang paling tidak disukai, sedang skor 10 adalah untuk yang paling disukai. Hasil analisis uji organoleptik disajikan pada Tabel 5.8 di bawah ini.

Tabel 5.8. Hasil analisis uji organoleptik

VI. Diskusi dan Kesimpulan

Perlakuan penanaman dengan pakem hasil experimen memungkinkan pengungkapan atau discovery fakta adaptasi sifat heterosis hibrida untuk divalidasi dilingkungan tropis dan kesimpulannya disajikan seperti dibawah.

Pertumbuhan vegetatif disawah menunjukan kebenaran bahwa hibrida mempunyai daya adaptasi vegetatif yang baik sekali. Indikator yang dipakai adalah tingkat korelasi pertumbuhan diasosiasikan dengan waktu (dynamic of time) yaitu R2 dalam model analisis exponensial mencapai diatas 0.98 dari max 1.00.

Kode Varitas Rasa Aroma Penampilan Texture Rata Rata Keterangan

CSS7-1 5,79 5,45 4,75 4,50 5,12 Panel

Organoleptik terdiri atas multi-etnis, oleh karena itu skalanya adalah relatif

CSS8-2 6,79 6,81 6,58 5,00 6,30 CSS9-3 6,73 6,81 6,58 5,50 6,41 CSS10-4 7,14 6,82 6,67 6,00 6,66 CSS11-5 7,88 6,15 5,67 6,00 6,43 CSS12-6 6,58 7,15 6,42 7,00 6,79 CSS13-7 7,55 7,17 5,75 6,50 6,74 CSS14-8 7,18 6,5 6,83 6,50 6,75 CSS15-9 8,06 7,49 7,50 8,00 7,76 CSS16-10 7,08 6,81 6,17 5,00 6,27 Average 7,08 6,72 6,29 6,00 6,52 SD 0,66 0,58 0,76 1,05 0,65 CV (%) 9,37 8,60 12,02 17,57 10,00

24

*) Scientist, Consultant at Center for System Study (CSS) and as staf at Sekretariat Tetap KBI **)Dosen di ITI, Institut Teknologi Indonesia, Sekretaris Exsekutif Settap KBI dan Scientist di CSS.

Umur hibrida tercatat rata rata 103 hari dengan kisaran 90-112 hari. Umur didaerah tropis ini sangat pendek bila dibandingkan dengan umur didaerah asalnya (Sicuan, Tiongkok) yang rata rata antara 140-145 hari. Umur yang pendek ini memungkinkan menanam padi 3 x dalam satu tahun dengan satu musim beresiko terserang hama penyakit secara eksplosif.

Proporsi malai hibrida yang bernas terhadap jumlah batang adalah wajar wajar saja yaitu 75,78%. Hasil ini lebih tinggi dibandingkan dengan varitas pembanding lokal sebesar 69,87%. Demikian pula rasio malai bagus per jumlah seluruh malai per rumpun mencapai 91,05%, adalah proporsi yang baik. Jumlah malai di sawah lebh banyak 8% dibandingkan dengan di lab, namun panjang malai lebih pendek 4,4% dibanding dengan yang di lab.

Jumlah biji per malai disawah seluruhnya rata rata 152,62 butir dan diantaranya 139,13 merupakan biji bernas (90,82%), sisanya 13,49 (8.86%) adalah gabah hijau dan hampa. Kerapatan biji per cm tercatat 5,5/cm, angka ini jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan pembanding lokal yang mencapai 7,7 – 11,8 biji/cm.

Hasil sampling disawah adaptasi rata rata 1,05 kg per m2 dibandingkan dengan di lab 1,20 kg per m2 , artinya hasil disawah hanya 87,85% dari hasil di lab. Hasil tertinggi yang dicapai hibrida disawah adalah 1,59 kg/m2 dan yang terendah 0,68 kg/m2.

Rendemen pemberasan cukup baik yaitu 66,78% dan varitas lokal juga sama baiknya yaitu 66,67%. Sedangkan rata rata skala hibrida 7,08 sedangkan lokal 8,26 dari skala maximum 10,0.

Akhirnya dapat disimpulkan bahwa daya adaptif hibrida galur CMS’s dibidang produksi didaerah tropis adalah baik dan hasil lebih tinggi dari pada varitas inhibrida umumnya . Varitas lokal inhibrida Sertani-8 (pembanding) mempunyai prospek yang sangat baik, paling tidak sama dengan potensi hibrida dan dalam beberapa hal lebih menguntungkan, yaitu petani dapat mempunyai benih sendiri, hanya umurnya lebih panjang yaitu diatas 120 hari.

Sifat heterosis yang dimiliki hibrida dipastikan turun drastis pada F2 dan selanjutnya, hingga petani harus membeli bibit hibrida dari luar setiap waktu musim tanaman. Pada konteks seperti ini petani menanggung resiko mendapatkan benih hibrida pada musim berikutnya

Demi kewaspadaan: pengembangan hibrida harus dibayangi atau didampingi pengembangan varitas unggul lokal sepanjang masa.

Kesimpulan lainnya adalah ilmu dan teknologi sangat menolong untuk melakukan verifikasi dan validasi terhadap peningkatan produksi beras dan sekaligus, dalam experimen pegembangan biotek padi ini , menghasilkan methoda berproduksi dengan pakem yang pasti pas untuk meningkatkan hasil bertanam padi.

25

*) Scientist, Consultant at Center for System Study (CSS) and as staf at Sekretariat Tetap KBI **)Dosen di ITI, Institut Teknologi Indonesia, Sekretaris Exsekutif Settap KBI dan Scientist di CSS.

Daftar Pustaka

Balai Besar Penelitian Tanaman Padi: Deskripsi Varitas Padi, 2009.

Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Masalah Lapang: hama, penyakit, hara,

Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, PengelolaanTanaman Terpadu: Padi Sawah Irigasi

Surono Danu : Benih Padi Hasil Tinggi – Sertani 8, 2011

PT Speed Sindo Mandiri, Feather Tea, L254/Organik/Deptan-PPI/X/2008

SS. Virmani, berbagai publikasi hibrida (via Internet Surfing).