37
PAMFLET >> Edisi 2, Mei 2014 >> >> >> >> >> >> >> MESIN WAKTU REFORMASI MENYELINAP KE HARI-HARI TRAGEDI 1998 Obrolan dengan tiga mahasiswa 1998 “MUGI, KITA AKAN DIBEBASKAN!” 1998 dari balik Jeruji MENCARI BAPAK Di tengah hiruk-pikuk kerusuhan Mei 1998, banyak nama yang tidak pernah kembali ke keluarganya. Salah satu nama yang dihilangkan adalah Yadin Muhidin. TANPA NAMA Wawancara dengan Bu Darwin. Galeri Foto MEREKA YANG MASIH HILANG KEKERASAN DAN PEREMPUAN TIMELINE TRAGEDI MEI 1998 Anonimus >> PENUMPANG GELAP REFORMASI

Pamflet #2

  • Upload
    pamflet

  • View
    2.222

  • Download
    2

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Pamflet #2

PAMFLET>>Edisi 2, Mei 2014

>>

>>

>>

>>

>>

>>

>>MESIN WAKTU

REFORMASI

MENYELINAP KE HARI-HARI TRAGEDI 1998Obrolan dengan tiga mahasiswa 1998

“MUGI, KITA AKAN DIBEBASKAN!”1998 dari balik Jeruji

MENCARI BAPAKDi tengah hiruk-pikuk kerusuhan Mei 1998, banyak nama yang tidak pernah kembali ke keluarganya. Salah satu nama yang dihilangkan adalah Yadin Muhidin.

TANPA NAMAWawancara dengan Bu Darwin.

Galeri Foto

MEREKA YANG MASIH HILANG

KEKERASAN DAN PEREMPUAN

TIMELINE TRAGEDI MEI 1998Anonimus >>PENUMPANG GELAP REFORMASI

Page 2: Pamflet #2

Seluru

h tek

s ©201

4 New

slette

r Pam

f let b

erlise

nsi di

bawah

Creative

Commons Attr

ibutio

n NonC

ommercial-

ShareA

like 3.0

Unp

orted L

icense

.

Newsletter oleh:Perkumpulan Pamf let Generasi

Jl. Kemang Raya No. 83H, Kemang, Jakarta Selatan, 12720www.pamf let.or.id

Email: pamf [email protected]

Redaksi

Raka IbrahimFarhanah Faridz

Reporter & Penulis

Niesrina NadhifahFirman SuryaniFahmi IchsanIndah YusariMaulida RaviolaFarhanahRaka Ibrahim

Layout & Desain

Syennie Valeria

Dokumentasi & Illustrasi

KontraS, John Muhammad, Trisakti Network, Nobodycorp Internationale, Tempo, Kompasiana, serenatakedang.blogspot.com, ariyurino.wordpress.com

Page 3: Pamflet #2

>>

edit

oria

l no

tes

Pada tahun 1998, Indonesia mengambil langkah berani. Masyarakat bangkit dan melawan tirani rezim Orde Baru, menggerakkan Indonesia menuju Reformasi. Perangkat dan tembok-tembok lama yang telah mengungkung kita selama 32 tahun kita preteli satu per satu. Banyak tembok tersebut, entah disadari atau tidak, masih menjulang teguh hingga kini.Enam belas tahun setelah momen penting ini, apakah kita masih ingat? Atau justru, semua tragedi dan perjuangan itu ujung-ujungnya kita lihat sebagai satu lagi babak dalam sejarah Indonesia yang panjang?Di newsletter kali ini, Pamf let memperingati 16 tahun Reformasi dengan menggali kembali bagian-bagian sejarah yang belum banyak terkuak. Para penulis dan reporter kami, yang semuanya bagian dari generasi pasca-Reformasi, bergerak dengan inisiatif sendiri dan mengumpulkan kenangan dan observasi pribadi berbagai kubu yang ada pada waktu itu mengenai Reformasi – mulai dari para aktivis di lapangan, korban penculikan paksa aparat, hingga keluarga korban – dan menyajikan Reformasi dari sudut pandang yang berbeda.Lebih dari sekadar kilas balik, ia juga menjadi panggilan ke generasi masa kini. Sebuah peringatan dari untaian kisah mereka yang tidak pernah berhenti berjuang, bahkan hingga sekarang; Bahwa generasi ini menolak berjalan mundur dan kembali membasuh kaki tirani.

Semoga berkenan membaca dan mengingat.

Tim Editorial, Raka Ibrahim & Farhanah Faridz

“BUMI PERTIWI MENANGIS,

16 TAHUN REFORMASI MANA?”

– Spanduk di jembatan Trisakti

Page 4: Pamflet #2

WAWA

NCAR

A

KE HARI-HARI TRAGEDI 1998Obrolan dengan tiga mahasiswa 1998

MENYELINAP

Tragedi 1998 kerap dilihat sebagai sebuah penanda era di negara kita. Penanda turunnya Pak Harto, jatuhnya sebuah Orde yang katanya Baru. Tragedi di bulan Mei akan membawa kita ke bayangan akan lautan mahasiswa yang turun ke jalan dan menduduki gedung DPR/MPR berhari-hari. Namun, kebanyakan bayangan kita hanya sampai di situ. Sebuah gambar besar demonstrasi dan tragedi yang kita lihat dan baca sebagai sebuah sejarah. Lewat tulisan ini, Pamf let ingin membawa kamu dalam-dalam ke barisan demonstrasi, kisah kerusuhan, sampai cerita dari belakang layar melalui obrolan bersama tiga sahabat kita yang terlibat selama bulan Mei 1998. Ketiga orang yang di masa itu masih mahasiswa ini adalah Aquino Hayunta, John Muhammad, dan Arits Jenggot.

Saat itu, mereka bertiga memang tidak saling kenal, tapi mereka sama-sama terlibat dalam perjuangan mahasiswa melalui kampus, institusi, serta peran yang berbeda-beda. Aquino Hayunta yang saat itu adalah mahasiswa Ilmu Administrasi Universitas Atmajaya Angkatan 1994 lebih banyak berperan bersama Tim Relawan untuk Kemanusiaan. Berbeda dengan John Muhammad yang sedang kuliah Arsitektur di Universitas Trisakti dan sempat menjadi koordinator lapangan tepat di hari Tragedi Trisakti, 12 Mei 1998. Sedangkan Arits Jenggot yang kuliah di Institut Islam lebih memilih ikut bergerak lewat organisasi di luar kampus, Persatuan Mahasiswa Muslim Indonesia (PMII).

Ceritain dong kalian selama tragedi itu ada di mana, ngapain aja, dan sebagai apa?

Aris Jenggot (AJ): Waktu itu lagi kuliah dan gue gabung PMII. PMII garis dasarnya dari NU, tapi nggak harus Islam yang bisa gabung di situ. Dari situ ada pelatihan analisis sosial, HAM, lalu pendidikan kader, dan baru 1998 mulai aksi. Selain itu, ada diskusi-diskusi juga. Di situ lah dijelaskan soal aksi-aksi sosial. Dari situ baru dapat gambaran soal kondisi sosial, jadi, kita tahu pas aksi itu apa yang kita tuntut. Gue juga gabung di mahasiswa antar iman. Di situ masih ada perdebatan, mau pakai (jas) almamater apa nggak. Ada yang mau nggak pake almamater, tapi saat itu ada rumor tentang intel-intel yang masuk ke kampus, ada plus-minus antara pake almamater atau nggak. Karena dari kampus-kampus ternama juga banyak yang merasa menonjol, waktu itu jadi permasalahan.Waktu tanggal 12 itu gue di kampus Az-Zahra Mampang, sudah ada tentara depan kampus. Sudah ada isu ditembak kampus. Jadi nggak bisa keluar. Waktu itu sudah mau aksi, jam 10-an baru boleh keluar. Pas sampai rumah, nonton TV ternyata ada penembakan.

keluarga”. Kalau suasana sih biasa-biasa aja, kita nggak bayangkan yang heroik. Paling kita pikir ini kena skors.

Awalnya saya jadi korlap karena dianggap tahu sejarah, agak langka buat di Trisakti yang nggak ada FISIP-nya. Kerja saya di bagian badan kajian strategi, baca-baca kejadian saat itu. Teman-teman bilang ke saya, “Ah, John teori mulu lo! Teori perubahan, Samuel Huntington lah!”. Nah, setiap aksi kan diputer siapa saja korlapnya, saya belum pernah, akhirnya saya jadi lah.

Sejak itu saya nggak pernah mau jadi korlap lagi, sekali saja udah empat (yang meninggal), nanti kalau saya lagi jadi banyak lagi yang meninggal. Posisi korlap itu yang menentukan kalau di lapangan pulang atau nggak, bentrok atau nggak. Korlap yang lapor ke koordinator aksi atau ke senat. Saya ngerasa manfaatnya itu ketemu Munir dan senior-senior aktivis, diajarin gimana kalau bentrok dan sebagainya.

John Muhammad (JM): Pertama itu karena gue ketua himpunan mahasiswa Arsitektur Universitas Trisakti. Kemudian beberapa teman di tongkrongan bilang, “Yuk, kita bikin sesuatu dengan situasi ekonomi krisis sekarang ini dan krisis politik.” Karena gue nggak mau bikin sendiri, gue pun datang ke senat, selama ini gue nggak main di senat. Di sana disarankan untuk gabung, lalu rapat lah.Memang agak di luar bayangan, di luar orang makin keras terhadap Soeharto, terutama hasil Pemilu yang dianggap curang, sidang umum Maret yang menghasilkan anak Soeharto, Mba Tutut jadi menteri, karibnya, Bob Hasan, jadi menteri, bikin orang-orang tambah muak. Tapi justru di kampus kita, Maret-April itu belum muncul kesadaran. Agak susah meyakinkan anak-anak bahwa krisis ekonomi ini bermuara di krisis politik.

Di kampus luar itu udah heboh banget. Karena saya dianggap menyukai sejarah, teman-teman ngasih tugas saya buat ketemu mahasiswa-mahasiswa di luar; ada Forum Kota dan Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta. Dari sana makin yakin bahwa problem-nya ada di politik. Jadi, tuntutannya bukan lagi turunkan harga, tapi turunkan HarGa dalam arti “Turunkan Soeharto dan

Page 5: Pamflet #2

>>

AJ: Dulu itu nggak ada HP. Gue kan tinggal di rumah bibi dan ada sepupu yang ikut aksi juga. Jadi, saat itu udah nelepon duluan, bilang akan ada aksi.AH: Bokap nyokap gue santai. Kita paling telepon pake telepon umum ke ortu untuk bilang, “Ini kayaknya ada kerusuhan nih, keluarnya bakal lama,” mereka jawab, “Oh ya udah hati-hati ya.” Tanggal 13 kan kebakaran, nggak bisa pulang, akhirnya gue nginep di rumah teman, baru pulang besoknya. Dan setelah itu ada pembentukan TRUK dan langsung ikut.

JM: Waktu itu saya udah lama nggak balik ke rumah. Tanggal 12 pagi itu cuma ganti baju, saya balik ke rumah minta izin untuk bilang kayaknya nggak bakal balik lama, cium tangan, nyokap kasih spirit bilang, “Udah nggak bener ini Suharto, perjuangin kamu sampai selesai.”

AH: Kalau aksi kan demo ke jalan, kalau TRUK lebih ke investigasi, kita tetep ikut demo tapi untuk dukung, tim relawan ini mendampingi untuk makanan, logistik, nganterin ke lapangan, nyiapin mobil kalau ada korban. Waktu pas ada penembakan (gas) air mata itu mobil gue jadi ambulans untuk bawa para korban ke rumah sakit Jakarta, gue angkutin yang luka ringan.

Itu masyarakat semua patungan sampai dua milyar. Uangnya dipakai buat sekretariat tim relawan. Ibu-ibu dari Suara Ibu Peduli juga dukung demo, tapi di belakang layar. Ada Karlina Supelli, Gadis Arivia, banyak kok. Dan ibu-ibu dari korban itu ada yang akhirnya gabung ke tim relawan juga.

AJ: Suara Ibu Peduli itu bawa logistik, makanan, susu, gitu-gitu.

JM: Pas April pertama kita bikin acara di kampus berisi keprihatinan. Yang isi itu sembarangan banget! Kampus Trisakti itu kan kampus paling mahal di Jakarta, apolitis, depolitisasinya sangat akut, jadi susah menyadarkan ini problem politik dan kita harus bergerak. Spanduk keprihatinan itu isinya nggak penting, misalnya ada yang nulis isinya “Turunkan harga make up!” atau “Turunkan harga ban mobil”. Namun, senat Trisakti dengan segala kecupuannya tetap jalan. Saya dipercaya untuk gabung dengan gerakan-gerakan grassroot. Yang lepas dari organisasi intrakampus itu lebih siap dengan demo, sudah pada ikut demo di luar, gabung sama anak UI sampai Bandung. Mereka itu yang paham politik

Aquino Hayunta (AH): Gue saat itu lagi tahun ketiga. Gue di kampus nggak ikut senat, tapi kalau ada acara cukup aktif. Pas 1998, karena itu di Atmajaya, mau nggak mau gue pas saat kejadian 12 Mei di situ. Bukan karena niat ikutan, mahasiswa kebanyakan ikut saat itu karena terjebak. Kalau yang ikut langsung itu memang senat, yang diminta koordinir demo di kampus. Baru tanggal 12 kita dengar ada penembakan mahasiswa. Tanggal 13 ke kampus lagi karena demo makin gede. Gue nggak termasuk mahasiswa aktivis, tapi karena kita dengar ada demo lagi menanggapi penembakan, jadi kita ke kampus lagi. Rumah gue kan di Pasar Minggu, gue pulang ke rumah dari Atmajaya itu jalan kaki. Di Pasar Minggu itu toko-toko dibakar habis.

Setelah kejadian 12 Mei, Romo Sandyawan membentuk Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRUK), dia merekrut lewat gereja. Di gereja gue ada perekrutan untuk siapa yang mau ikut TRUK untuk mengusut kerusuhan di Pasar Minggu. Kalau di Klender dan tempat-tempat lain itu kan terdengar banyak korban, di Pasar Minggu nggak, tapi sebenarnya dari penemuan kita itu minimal ada enam korban mayat, tapi mayatnya hilang semua nggak ada yang ketemu. Dari situ, baru gue terlibat gerakan reformasi di TRUK itu, nggak berbasis kampus.

Memang orangtua kalian saat itu nggak khawatir?

Bedanya peran TRUK dan mahasiswa waktu itu apa?

Sebagai korlap dan aktivis kampus, bagaimana cara mengumpulkan mahasiswa Trisakti untuk akhirnya bisa bergerak sebesar itu?

“Setelah nego itu, kita pun balik badan, tiba-tiba

ada suara tembakan, tembakan langsung

mengejar kita semua. Semua lari, ada yang ke kampus, ke kali, panik

lah! Kita nggak nyangka situasi lagi enak, tiba-tiba

kok gitu.”

banget. Itu yang membantu meyakinkan pimpinan-pimpinan di kampus yang pemahaman politiknya kurang itu untuk mengejar. Tetap aja secara umum, mahasiswa Trisakti sangat susah diajak demo. Udah mimbar bebas pun kita kayak orang gila, teriak-teriak di tengah, nggak ada yang turun. Sedangkan mimbar bebas UI dan UGM itu penuh.Ada satu perisitiwa menarik. Isunya kita dikirimin BH dari beberapa universitas. Tapi kemungkinan cuma gosip aja. Ini Trisakti disentuh moralnya nggak gerak, dengan marah-marah nggak gerak. Kita coba bangun sentimennya, kita malah sebarkan tuh gosip dikirimin BH yang artinya banci. Sekarang mungkin itu nggak menarik banget lah, tapi saat itu

bermanfaat, karena mereka marah, mereka bilang, “Emang kita nggak bisa demo!?” Sentimen ‘jaket’ ini kita manfaatkan untuk mereka agar mau gerak.

Page 6: Pamflet #2

JM: Tanggal 12 Mei jam 12 siang kita mulai turun ke jalan, sampai gerbang ditahan sampai Walikota Jakarta Barat oleh polisi. Di belakang polisi ada panser. Saya sebagai korlap pikir kalau plan A nggak jadi, ada plan B, kita balik lagi saja kalau nggak bisa ke DPR. Saat itu ada 5000-an orang, termasuk dosen, karyawan segala macam. Saya nggak ada pikiran bakal bentrok. Saya merasa kampus Trisakti kampus yang nggak radikal, isunya juga masih sopan, nggak berat-berat, lebih banyak cengar-cengirnya, kita nyanyi-nyanyi juga saat itu. Lebih banyak ketawa dan seru-seruannya. Setting-nya juga nggak serius karena masih pemanasan untuk aksi besar tanggal 20.

Jam 5 sore ada proses negosiasi. Polisi dan tentara itu minta kita bubar, saya bilang, “Ini kita udah bubar.” Kita berdebat dengan Timur Pradopo, Kapolres Jakarta Barat saat itu. Kita diskusi, “Bapak buka aja jalan, anak-anak ini masih ada di luar karena mereka mau pulang dan nungguin bus.” Anak-anak mahasiswa ini nongkrong di jalan, minum Teh Botol. Tapi dia bilang kita harus balik ke kampus, tapi di kampus udah nggak ada kelas. Polisi bilang takut ditimpuk. Saya bilang, “Nggak, Pak. Anak kita nggak akan gitu, manis-manis kok, Pak, anak-anak kita.” Setelah nego itu, kita pun balik badan, tiba-tiba ada suara tembakan, tembakan langsung mengejar kita semua. Semua lari, ada yang ke kampus, ke kali, panik lah! Kita nggak nyangka situasi lagi enak, tiba-tiba kok gitu.Karena sebelumnya kita udah ada latihan advokasi dari LBH sama Cak Munir. Kita dikasih tahu untuk tenang, negosiasi, tetap mencatat, ambil foto yang banyak. Saya juga menenangkan teman-teman untuk jangan lari, ambil gambar saja. Sampai habis maghrib itu tembakan masih ada.

Mulai saya ngerasa bingung pas ada teriakan “Inallilahi!”, saya samperin kok berdarah!? Yang pertama saya lihat itu Hendriawan, anak Ekonomi 1996. Saya belum kenal dia, saya bingung kok meninggal. Bingung saya belum selesai, ada lagi teriakan, saya samperin lagi, saya lihat itu Heri Hartanto, anak (jurusan) Mesin. Saya gotong ke dalam himpunan, Heri nggak langsung

Kalau kronologis Tragedi Trisakti 12 Mei?

meninggal, masih terengah-engah. Kalau Hendri dan Haf idin langsung meninggal. Semuanya korban meninggal ini kena satu peluru, berarti ini tembakan jitu, sengaja diarahkan. Di antara penembakan peringatan, ada penembak jitu.

Terakhir saya panik, Elang itu adik kelas saya, jadi saya ingat hari sebelumnya saya bilang ke dia, “Lang, besok lo pimpin jadi satgas!” Elang ini kan Bengal anaknya jadi saya taruh dia di satgas. Saya bilang ke dia, “Lo temenin angkatan lo, kumpulin teman-teman yang berani untuk di depan.” Saat itu kita susah untuk ngeluarin korban ke RS. Sampai jam 9 malam itu masih ada tembakan sesekali, yang berdarah ketembak itu puluhan orang. Yang mengenaskan, ketika mau ngeluarin Elang, mobil nggak boleh keluar. Kayak ada upaya untuk mau inspeksi ke dalam, tentara mau masuk ke dalam, kayak mau naruh barang bukti dan lain-lain. Polisi nggak ngasih kita keluar, takut bawa senjata tajam. Kita jelasin kita bawa orang sekarat, lalu dibolehkan ke luar, tapi sampai sana sudah meninggal.Saya ke senat, mereka diinstruksikan ternyata untuk menghilang. Kemungkinan kan malam itu ditangkap aktor-aktor penggeraknya, saya nggak tahu ada komando itu dari ketua senat. Dalam kebingungan saya, saya lari ke radio kampus, saya memastikan ini jumlah korban berapa. Saya akhirnya nebeng wartawan untuk ke RS Sumber Waras, saya pastikan di sana yang meninggal itu empat orang.

Di situ ada persoalan lagi, kita berantem dengan Sumber Waras. Kita minta otopsi, tapi regulasi otopsi harus ada izin dari polisi. Lah, ini kan polisi yang nembak! Malam-malam saya pun

ketemu dengan Hermawan Sulistyo (aktivis 78’). Saya bilang ke dia masalahnya. Akhirnya, dia nelepon almarhum Mun’im Idris, dia berani otopsi. Habis otopsi selesai, penguburan. Banyak gosip saat itu jenazah akan dihilangkan. Kita jaga betul-betul, kita nggak tidur, anak-anak ada yang tidur di kampus tapi kelilingin jenazah.

Saya kaget pagi-pagi setelah tragedi itu, di kampus datang Gus Dur, Emil Salim, Amien Rais, Megawati, beberapa pemimpin ormas-ormas nasional datang ke kampus. Yang bikin semangat saat mencekam gitu, anak-anak yang tanggal 12-nya nggak datang, hari itu datang ke kampus, alumni juga datang. Itu yang bikin kita nggak takut, kalau mau ditangkep ya ditangkep bareng-bareng lah. Lalu, berangkat ke Tanah Kusir. Kita bagi tugas. Ada yang jaga kampus, isunya kampus mau diserbu. Laporan teman-teman ada massa di luar, nggak jelas dari mana.

Selesai penguburan, kita nggak bisa balik ke kampus. Kata teman-teman yang di kampus, di depan Grogol mendadak ada truk sampah, itu keluar di kolong jembatan, penumpang ada empat, bakar truk sampah, ajak-ajak orang untuk ancur-ancurin, awalnya lampu merah, rambu-rambu lalu lintas, ngajak anak-anak, “Ayo kita gerak lawan tentara!”. Mulai bakar-bakar, tapi kita nggak ada yang ikut.

Page 7: Pamflet #2

Apa saja peristiwa kerusuhan yang kalian alami atau dengar waktu itu?

Mulai

Men

dudu

ki G

edun

g DP

R/MP

R JM: Tanggal 13 Mei malam, Jakarta sudah mulai rusuh, kita cari jalan alternatif biar sampai dari rumah saya di Jakarta Selatan ke kampus. Karena malam itu razia Cina, teman-teman rada khawatir, “John jangan ke kampus dulu. Muka lo kayak Cina.” Kita nge-pool dulu di rumah teman, saya ditahan sama keluarganya, khawatir. Untuk ke kampus bikin aksi lagi itu susah banget! Akhirnya berhasil ke kampus, gabung, bikin siaran pers, dan sebagainya.

Sorenya dapat info senat se-Jakarta kumpul di IKIP, saya mewakili Trisakti. Itu semua mahasiswa yang tergabung di Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se-Jakarta (FKSMJ). Rapat di situ menyiasati untuk aksi menduduki MPR/DPR, kita sepakat tanggal 18 masukin orang, tanggal 17 silakan pada demo.

Taktiknya waktu itu, dua puluh mahasiswa nebeng mobilnya Amien Rais yang dipanggil Harmoko yang mau sampaikan aspirasi. Kita nebeng mobilnya ke situ terus nggak mau pulang. Di dalam para mahasiswa yang mulai menduduki cari ruangan, cari sela, ada yang kenal sama anggota DPR juga lalu numpang di dalam. Mereka ini juga mengalami teror, ada cleaning service yang nakut-nakutin bilang, “Siapin kata-kata terakhir”, dan sebagainya. Kita yang di luar siapin massa.

Tanggal 18 masuk, pertama UIN Ciputat sama UI, makin lama makin banyak, berkembanglah jadi gerakan besar. Ada beberapa upaya untuk mendekati gerakan mahasiswa, entah ambil hati atau emang baik hati memberikan informasi. Misalnya, saya kenal Kivlan Zen (Kakostrad saat itu), saya dapat nomernya, lalu dihubungi dan dikasih info semacam, “Tetap di DPR ya, jangan keluar.”

Saya itu bolak-balik kampus-Senayan, kasih informasi rapat yang ada di Senayan ke kampus. Di DPR itu intinya memberi tekanan anggota DPR agar segera sidang istimewa, kita ingin Pak Harto diadili lah. Yang bikin kita sebal, misalnya tanggal 14, tentara bantah untuk bilang demo sesuai prosedur, tudingannya mahasiswa bawa senjata tajam, aneh-aneh lah! Tanggal 20 malam kita dapat kabar Pak Harto turun. Pagi-pagi beberapa mahasiswa ada yang hore dan happy, tapi ada yang bingung, termasuk saya. Wah, Pak Harto mundur nih, kosong nih, Indonesia gimana sekarang?

AH: Banyakan cowo sih aktivis kampusnya.

AJ: Sama aja sebenarnya, banyak yang misalnya pacarnya kan ikutan juga.

JM: Cewek-cowok seimbang. Perempuan banyak paling depan karena kita aksinya saat itu kasih bunga. Kalau tentaranya pegang senjata, kita jahilin dengan masukin bunga ke senjata.

AJ: Tanggal 13 malem gue di Tanah Abang mau balik, ngobrol sama supir-supir angkot, soal mau ada penjarahan. Habis itu balik, paginya benar di pasar deket rumah gue, di Petojo, banyak (toko) orang Cina udah diserbu. Banyak orang yang gue tahu kalau gue lagi ke pasar, orang itu udah mulai ambilin makanan kecil sampai beras. Waktu itu orang-orang banyak yang nawarin “Mas-mas, Beng-Beng mau?” Abis itu baru banyak tulisan (di warung dan toko) “Milik Pribumi” biar nggak diserang. Di Pasar Minggu sampai sekarang masih ada satu toko yang ada tulisannya “Milik Pribumi”.

AH: Saat itu kan yang dibakar dan dijarah banyak punya pribumi juga nggak hanya Cina. Tiba-tiba rumah yang kecil-kecil di Pasar Minggu punya kulkas, tapi mereka nggak bisa nyalain karena listriknya nggak kuat.

AJ: Saat itu katanya orang semua jadi kayak superhero, kuat ngangkut apa saja.

AH: Yang kena gas air mata itu diangkutnya pakai mobil gue. Pas di mobil tancepan gas air matanya masih keluar asap, jadi satu mobil itu nangis semua. Pedas banget. Perihnya bawang mah jauh. Kayak goreng cabe, kira-kira 5 kali lipat perihnya.

AJ: Pernah di Atmajaya waktu itu, gas air mata itu kena angin juga nyebar. Dulu (senjatanya) itu odol dan air putih.

AH: Waktu itu ada anak kecil ngangkut kulkas pakai gerobaknya Supermarket Goro Pasar Minggu. Gosipnya ini terorganisir, ada yang manasin bilang “Ayo jarah!”. Dari temuan Tim Gabungan Pencari Fakta, semua pembakaran itu dikomandoi oleh “orang bertubuh tegap dan rambut cepak”. Setiap di titik kerusuhan kesaksian masyarakat sama. Paling parah itu kan di Mall Klender, orang-orang disuruh masuk dan jarah mall, lalu mall dibakar. Jenazah-jenazahnya nggak berbentuk.

Proporsisi cewe dan cowo saat itu seimbang nggak yang ikut demo?

Ada yang kena gas air mata nggak waktu itu?

Page 8: Pamflet #2

Soal pemerkosaan massal saat itu, apa pas kejadian kalian ada yang dengar atau tahu?

Kenapa anak sekarang perlu tahu soal peristiwa 1998? Mengingat anak muda kini juga banyak yang aktif membuat inisiatif.

Menurut kalian, ada kemungkinan aksi seperti 1998 bisa terulang (dalam konteks berbeda)?

JM: Kita terpecah, reformasi damai dan reformasi total. Yang dukung reformasi damai bilang ini sudah selesai, Pak Harto udah mundur. Beberapa lagi nggak setuju, belum, Pak Habibie juga kan kroninya Pak Harto. Dulu kita ngerumusin banyak hal tentang Indonesia baru dan sebagainya. Tapi karena kita nggak tahu dan ini terlalu cepat, jadi gagasan-gagasanya mentah. Kalau diskusi di Forum Kota, kita maunya cleansing rezim, kita cuci semua, kita usir, dari nol. Tapi konsep pemerintah barunya belum ada. Akhirnya ide teman-teman mahasiswa ini nggak dibeli sama elit.

FKSMJ beda lagi, idenya nyulik beberapa elit untuk menandatangani perubahan yang mereka mau, Deklarasi Ciganjur, waktu itu ada Amien Rais. Tapi di deklarasi itu juga nggak ada keberanian lawan TNI. Sepakat semua, kecuali mencabut dwifungsi ABRI. Sampai tahun 2000 sekian baru berani. Itu pun mereka nggak mau kudeta. Ada beberapa teman yang ingin triumvirat ini saja, sekelompok pemimpin lokal, kayak Amien Rais yang pimpin, kayak Rangasdengklok dulu lah. Tapi ternyata Megawati, Hamengkubuwono dan lain-lain nggak mau dengan cara itu. Akhirnya, udah lah kita nikmati masa Habibie, abis itu juga turun pas Pemilu 1999.

JM: Di Jakarta ini ada dua kubu besar, Forum Kota (Forkot) dan FKSMJ. Forkot ini mahasiswa-mahasiswa yang jarang di kampus, mainnya di luar. Mereka ini rata-rata nggak punya posisi dalam kampus, bukan ketua senat atau himpunan, sehingga di kampus agak susah ruang gerak mereka. Tapi di luar mereka punya tongkrongan dan massa. Saya melihat dari tingkat radikalisme lebih berani Forkot. Bulan April saja mereka udah demo naik bus. Kalau saya ikut dua-duanya, Trisakti agak pecun lah, kita semua temenin dua-duanya. Saya ke Forkot juga kadang, tapi memang jarang terlibat aksi bareng Forkot, biasanya rapat aja. Kalau mutusin dan sebagainya sama FKSMJ.

AJ: Pemerkosaan ramai pasca penembakan 12 Mei. Gue sih nggak dengar-dengar saat itu.

AH: Gue dengar, tapi tim relawan yang nemuin fakta. Awalnya media itu nggak tahu ada pemerkosaan. Taunya cuma ada penjarahan, penembakan, dan pembakaran. Setelah tim relawan turun ke jalan, baru ketawan ternyata banyak yang diperkosa. Ada korban yang didampingi lama, mau berangkat kesaksian di Amerika Serikat, tiba-tiba mati. Dibilangnya dibunuh sama pembantu/tukang kebun, tapi kita nggak percaya.

AJ: Bisa jadi lesson learned, ketika kita bersatu, kita bisa capai tujuan yang dimaksud. Saat itu kan mahasiwa bersatu jatuhin Soeharto. Selain itu, ada juga cabut dwifungsi ABRI, turunin harga. Sebenarnya kalau bersatu bisa. Sekarang banyak anak muda terlibat di isu-isu sosial, tapi ter fragmen. Bagaimana cari sinergi isu ke isu dan cari tujuan untuk gol bersama.

AH: Mereka harus tahu supaya punya perspektif HAM. Karena itu yang dulu diperjuangkan di 1998. Yang bikin orang bersatu itu. Sekarang kan orang bikin organisasi karena aktualisasi diri, karena activism is cool. Tapi kenapa lo aktif? Alasannya apa? Mereka bilang supaya ada perubahan. Tapi perubahan seperti apa? Ada yang jawab supaya lebih maju. Padahal seharusnya supaya hak asasi lebih terjamin. Kok hak asasi? Kalo lihat di 1998 semuanya berawal dari situ. Bukan supaya ekonomi lebih baik. Kalau ekonomi itu cuma bonus setelah hak ditegakkan. Sekarang misal anak-anak muda bikin acara ngundang Prabowo, anak presiden juga. Kalau sama anak 1998 itu diketawain, ngapain ngundang mereka. Argumentasi mereka itu nggak ada dasarnya, nggak punya pisau analisis. Kalau kita ngikutin 1998, jelas pisau analisisnya hak asasi manusia.

JM: Gue bilang sih memahami dan membaca sejarah 1998 segala macem itu sebenarnya untuk tidak memutuskan semangat perubahan anak muda saat itu. Sampai sekarang tuntutan itu masih

AH: Nggak ya. Kepentingannya sekarang sudah beda. Dulu musuhnya Oba, sekarang Orba sudah beralih muka. Nggak mungkin lah. Lihat demo buruh kemarin? Gerakan mahasiswa 1998 kayak gitu. Dulu sampai merinding lihat mahasiswa, dari Semanggi sampai Diponegoro penuh. Dulu semangat banyak teman.

AJ: Dulu kan tujuannya hanya satu, meski banyak yang menunggangi tapi nggak kelihatan. Iyah dulu semangat ya.

Setelah Pak Harto Turun>>

Tentang Dua Gerakan Mahasiswa di Jakarta Waktu itu >>

relevan, nggak ada korupsi, ada penghargaan terhadap HAM. Menurut saya kebebasan yang dimiliki gerakan mahasiswa itu nggak lepas dari pengorbanan teman-teman saat itu. Ternyata kebebasan HAM itu nggak gratis sepengalaman saya, nggak kayak oksigen. Lo harus teriak dulu, harus berdarah-darah dulu. Suatu saat saya yakin, akan ada orang gila lagi yang berupaya mengatur kita lagi. Kebebasan itu ada kalau kita teriakin. Kalau lo cuekin, lo nggak manfaatin, pasti akan ada orang gila lagi yang mau membatasi hak-hak lo itu. Peristiwa ini mengajarkan saya bahwa kekerasan sipil ini selalu mengintai, bungkusnya aja yang beda. Dulu kan bungkusnya pembangunan, stabilitas lah. Kalau sekarang macam-macam, agama lah, nasionalisme, kita harus cermat. Generasi sekarang harus memahami bentuk-bentuk lain dari upaya orang membatasi hak-hak kita. Itu yang pertama kenapa penting. Harus kami akui, gerakan kami nggak selesai dalam menghabisi rezim. Karena memang bayangan kami gerakan itu akan sampai berbulan-bulan, besar kayak di (Protes Mahasiswa 1968 di) Perancis, jadi gerakan nasional, tapi baru berapa hari Pak Harto cabut. Yang ada perpecahan dalam gerakan mahasiswa, bilang bahwa Pak Harto nggak ingin pertumpahan darah, tapi menurut saya dia licik, dia menghindari sidang, menghindari banyak hal. Pelajarannya, lo kalo nuntut emang harus energinya panjang, jangan percaya elit, harus percaya pada diri sendiri. Satu lagi! Yang nggak boleh hilang itu adalah FUN-nya. Dulu, seangker-angkernya perisitiwa, kita tetap fun kok. Ada yang dengar lagu metal segala macam.

Page 9: Pamflet #2

wawa

ncar

a

“MUGI, KITA AKAN DIBEBASKAN!”

Namanya Mugiyanto. Pada tahun 1998, aktivis PRD dan Mahasiswa

Fakultas Sastra UGM ini diculik dari rumahnya di Jakarta Timur. Dalam serangkaian teror untuk

merepresi gerakan pro-demokrasi, aparat menghilangkan 23 orang aktivis dan warga. Satu orang ditemukan meninggal.

Sembilan pulang membawa cerita pilu penuh trauma dan kenangan akan penyiksaan, intimidasi, dan teror.

Tiga belas orang masih hilang hingga kini.

Mugiyanto termasuk salah satu yang pulang. Jelang 16 tahun peringatan Reformasi, Pamf let bertemu dengannya dan mengajak ia napak tilas.

1998 dari balik Jeruji

Untuk menggambarkan situasi politik Indonesia tahun 1998, kita perlu mundur sedikit. Kita mundur dua tahun ke 1996. Yang aku maksud adalah peristiwa 27 Juli 1996. Ketika kantor PDI diserang oleh segerombolan orang. Nah, itu sebetulnya kalau... Hmm.. Saya menyebutnya sebagai awal kebangkitan gerakan rakyat. Gerakan demokrasi di Indonesia dalam menentang otoritarianisme Orde Baru. Karena sebelumnya belum pernah ada satu perlawanan yang sedemikian massive.

Dan itu terjadi, trigger-nya adalah peristiwa 27 Juli. Ketika aktivitas panggung demokrasi di depan kantor PDI diserang oleh segerombolan orang. Dan beberapa sumber menyebutkan ratusan orang hilang dan meninggal. Tapi tidak pernah ada investigasi yang komprehensif mengenai peristiwa 27 Juli karena itulah sebetulnya, karena itu kemudian ada kontroversi mengapa ketika Megawati jadi presiden, kasus tidak diusut. Segala macem.

Yang seru dari peristiwa 27 Juli 96 adalah bagaimana masyarakat yang dibungkam tiga dekade tiba-tiba berani kritis terhadap Orde Baru, terhadap Golkar, dan apa yang terjadi kemudian membuktikan bahwa masyarakat bisa melawan. Orde Baru tidak terlawan, tapi bisa panik. Dan memang benar-benar panik. Makanya, pada peristiwa tersebut kemudian Pemerintah perlu mengkambing-hitamkan kelompok yaitu Partai Rakyat Demokratik (PRD), di mana saya anggotanya.

Saya waktu itu anggota dari organisasi mahasiswa yang beraf iliasi ke PRD. Namanya SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi). Karena waktu itu saya di Yogya, mahasiswa di Yogya, saya kuliah di UGM, Sastra Inggris. Nah, itu ‘96. Kemudian situasi terus berkembang karena perlawanan masyarakat terhadap rezim Soeharto tidak turun, waktu itu walaupun organisasi kami dilarang, kami tetap bergerak mengorganisir masyarakat, berbagai macam kelompok masyarakat. Kalau saya mengorganisir mahasiswa. Dan mengorganisir buruh juga, di Surabaya dan Jakarta.

Perlawanan rakyat ini menemukan momentumnya kembali tahun 97. Saat itu ada krisis ekonomi ketika harga-harga naik karena nilai tukar rupiah sangat turun, dan segala macem. Itu momentum politik yang juga meradikalisir perlawanan rakyat. Dan karena perlawanan ini, kemudian rezim Orde Baru juga semakin represif merespon resistensi masyarakat. Karena itulah kemudian tindakan-tindakan represi dilakukan, salah satunya dengan menghilangkan orang. Menculik orang.

Makanya tahun 97 mulai ada fenomena penculikan aktivis, yang waktu itu terjadi kepada aktivis PDIP – atau PDI-nya Megawati dan PPP. Yang menjadi korban kan kalau di PDI-P Yani Afri, Soni, itu dari PDIP Jakarta Utara. Kemudian kalau dari PPP Dedy Hamdun, Noval Alkatiri dan lain-lain. Jadi kalau PDI sama PPP dijadikan target represi oleh Orde Baru, itu karena pada tahun 97 juga mulai muncul suara kritis dari dua partai politik ini. Yang sebelumnya dihegemoni sepenuhnya oleh Golkar, oleh Orde Baru, partai ini sudah mulai kritis. Dan mereka mulai... Apa namanya... berkoalisi untuk melawan OrBA, makanya tahun 97 sudah ada istilah yang namanya koalisi Mega Bintang. Mega simbol Megawati PDI, dan Bintang PPP.

Jadi itu tahun 97, secara politik momentum pemilu, radikalisasi, ekonomi hancur. Kemudian, tahun 1998 ada momentum lagi. Momentum sidang umum MPR yang akhirnya memilih Soeharto (jadi Presiden), kalau gak salah bulan Maret atau April tahun 98. Jadi pemerintah punya agenda, pemerintah Orde Baru punya agenda nasional, sidang umum, tapi di lain pihak ada resistensi atau perlawanan dari masyarakat. Dan tidak hanya

aktivis yang melawan pada waktu itu. Terutama orang-orang perkotaan, orang-orang perkotaan mulai kritis. Terutama karena harga-harga yang membumbung tinggi. Sehingga mareka minta diturunkannya harga, mulai muncul istilah-istilah KKN, pada masa Orde Baru dan lain-lain.

Sehingga kemudian praktek penghilangan paksa dilakukan lagi pada awal 98 yang terjadi ke Pius, Desmond, Haryanto Taslam dan baru yang terjadi ke saya dan kawan-kawan dari PRD itu bulan Maret 98. Jadi konteks politiknya seperti itu ada agenda politik nasional, ada pemilu, ada krisis global yang impact-nya sangat buruk ke Indonesia, dan ada sidang istimewa. Tapi di lain pihak ada gerakan rakyat yang mulai kritis ke pemerintah. Inilah yang kemudian menjadikan peristiwa penculikan-penculikan pada bulan Maret kepada saya dan kawan-kawan dan berlanjut sampai Mei ketika Soeharto mengundurkan diri. Jadi situasi politiknya seperti itu.

Bagaimana konteks situasi politik Indonesia pada masa itu?

Page 10: Pamflet #2

Pada akhir 97 saya KKN di UGM, itu masa akhir studi dan saya KKN dari bulan Oktober-Desember di sebelah selatan Candi Prambanan. Aktivitas saya mengorganisir mahasiswa berlanjut sebetulnya, tapi secara diam-diam karena kita diburu paska 27 Juli ketika kita dikambing-hitamkan sebagai master mind kejadian tersebut.

Kita tidak muncul ke publik karena kita dicari.Tetapi pada Januari, temen-temen saya meminta saya untuk kampanye internasional karena teman-teman pimpinan PRD pada dipenjara, Budiman Sudjatmiko dan lain-lain. Mesti ada yang bertugas kampanye internasional. Saya diminta dari Yogya ke Jakarta, di Jakarta kami tinggal di sebuah rumah kontrakan yang kita sebut sebagai safe house, karena begitu cara kerja kami pada waktu itu. Karena tidak seperti kalian sekarang yang bebas melakukan apapun, pada waktu itu kami tidak punya kebebasan seperti itu, karena memang masih di bawah rezim Orde Baru. Terlebih kita memang ditarget. Jadi kita tinggal di safe house di Jakarta Timur, di rumah susun Klender di lantai 2. Saya waktu itu tinggal bersama Nezar Patria, Aan Rusdianto, Andi Arief dan Petrus Bimo Anugerah. Saya tinggal berlima secara official disitu. Suatu saat saya ada tugas untuk bertemu dengan teman-teman di Australia bernama East Timor Support Center. Ketemunya di daerah Menteng. Siang sampai sore hari saya ketemu dengan mereka. Saya bertemu dengan mereka karena waktu itu salah satu program kami mendukung referendum di Timor Leste. Karena itu, kami berhubungan dengan kelompok yang bersolidaritas untuk Timor Timur.

Menurut pemahaman kami, Timor Leste merupakan negara yang merdeka, kemudian dianeksasi oleh Indonesia pada tahun 1975. Dan prinsip perjuangan kami adalah, kami merealisasikan UUD yang disebutkan di Mukadimah, yang intinya anti-penjajahan. Itu kenapa kami mendukung referendum Timor Leste. Setelah pertemuan dengan teman dari Australia itu, saya kembali ke safe house.

Sebelum pulang, di Jalan Diponegoro saya nelpon dari telepon umum ke rumah. Yang menerima Nezar. “Nezar saya mau pulang, kamu gak usah beli makan malam karena saya bawa Hoka-hoka bento.” Waktu itu saya bawa hoka-hoka bento diberi oleh dua orang dari Australia. Bagi kami pada waktu itu Hoka-hoka bento sebuah kemewahan, kami jarang makan malah dapet Hoka-hoka bento. Nah, setelah itu saya naik angkot ke Jakarta Timur.

Sampai di rumah itu, saya buka pintu, kita tinggal di Lantai dua, gak ada orang. Sepi. Di dalam kok berantakan? Kami hanya punya tikar dan satu laptop. Gak punya handphone. Waktu itu alat komunikasi yang paling canggih adalah pager. Saya masuk gak ada orang, mestinya kan Nezar sama Aan nunggu di rumah. Saya ke dapur masih ada air jeruk yang masih panas. Yaudah saya tunggu. Saya pikir Nezar sedang akses email ke wartel, tapi kok gak jelas. Akhirnya saya pager Nezar supaya telepon ke rumah. Saya pager dua kali gak datang juga. Sekitar sepuluh menit saya lihat dari jendela rumah sudah dikepung, sudah banyak orang gede-gede liatin aku di lantai dua. Saya langsung lemes. “Aduh ditangkep, mati ini udah.” Lemes. Sebelumnya saya menduga ada sesuatu yang tidak beres, karena itu saya sudah menyiapkan passport sama buku harian ku. Jadi ketika rumah dikepung, saya membawa itu, siap kabur. Saya matikan lampu, saya langsung terduduk di lantai. Di saat itu juga, pintu digedor. “Buka pintu! Buka pintu!” Saya buka pintu. Mereka masuk sekitar sepuluh orang. Dua orang berseragam. Terus mereka periksa-periksa. Kemudian saya di bawa ke bawah, dan udah ada mobil yang menunggu. Saya masuk ke mobil kemudian dibawa. Saya berpikir mau loncat karena pada waktu itu saya duduk di pintu, mobilnya Kijang, tapi kalo loncat saya mikir karena ada pengalaman kawan aktivis yang loncat kemudian ditembak. Aku pasrah aja.

Kemudian berhenti di Koramil Duren Sawit. Disitu saya diinterogasi selama setengah jam, tapi saat diintegorasi ada orang lain yang sepertinya ditangkap, wajahnya mirip Petrus Bimo. Dia diinterograsi sama tentara dan mengaku bernama Jaka. Akhirnya saya sama Jaka dibawa bak terbuka, mobil PM (Polisi

Militer), pergi ke Kodim Jaktim. Dari sana saya disuruh nunggu di ruang tamu. Di Kodim, saya dan Jaka diperebutkan oleh dua orang perwira yang membentak Polisi Militer yang membawa kami, “Turunkan mereka! Cepat turunkan mereka!”

Namun orang PM yang membawa kami tak langsung menurut. Sampai dibentak lima kali. Akhirnya saya sama Jaka diturunkan, sempat masuk ke dalam sebentar, kemudian dibawa keluar lagi sama si Jaka.

“Mugi, kamu selamat, kamu selamat! Ayo kita pulang ke rumah.”

Aku kan bingung, pulang ke rumah ke mana, Jaka ini siapa, saya gak kenal. Terakhir saya tau, ternyata dia orang Kopassus yang ditanamkan karena saya ditangkap oleh berbagai macam kesatuan. Dia rupanya Kapten Jaka Budi Utama, salah satu anggota Tim Mawar yang diadili. Dari Kodim itu, setelah digandeng Jaka, saya disuruh naik mobil, kemudian saat mobil berangkat saya disuruh buka baju dan ditutup mata.

Saya gak lihat apa-apa. Kemudian perjalanan cukup lama, kendaraan berhenti, saya turun melangkah. Udaranya dingin. Ada suara air mengalir, ada suara sirine meraung-raung, ada suara cambuk. Wah saya pikir, “Saya dibawa ke sawah untuk dibunuh.” Terus saya ditanya, sambil masih berdiri itu, “Nama kamu siapa? Kamu sama siapa?” Dan saya selalu jawab, “Aku sendiri, pak.”

Aku bilang sendiri dan langsung dihajar sama mereka, “Kamu bohong!” Jatuh, ditendang, dipukul, saya gak merasakan. Yang jelas bibir saya pecah-pecah. Saya diberdirikan lagi. Mereka gak suka jawaban saya, lalu marah lagi. Akhirnya saya disuruh buka celana dan buka sepatu. Saya cuma pake celana dalam. Kemudian saya ditidurkan diikat dua tangan dua kaki, dan itu terjadi selama dua hari dua malam.

Ditanya, mengapa kami anti dwi-fungsi ABRI, mengapa kami anti-Soeharto, mengapa kami mendukung Timor Timur, apa kenal Megawati dan Amien Rais, dan sebagainya. Mereka juga tanya, menurut kami solusi terhadap krisis ekonomi Indonesia itu apa, apakah IMF itu baik atau tidak. Jadi itu selama dua hari-dua malam. Termasuk pertanyaan di mana kawan-kawan saya, dimana Andi Arief, di mana yang lain. Itu yang paling mereka cari.

Dan di situlah saya baru sadar ketika mereka berhenti menyiksa saya, suara cambuk itu adalah alat setrum. Nah ketika mereka berhenti menyiksa saya, ada suara orang menjerti-jerit. Di situlah saya tahu itu Nezar. Setelah selesai Nezar disiksa, ada suara lagi menjerit, ternyata itu Aan. Jadi dari situ saya baru tahu, ternyata dua kawan ini sudah di sini sebelum saya. Setelah itu kami selalu bertiga. Yang paling mengerikan itu bukan ketika saya disiksa, tapi ketika mendengar kawan lain disiksa. Itu paling menyakitkan.

Bagaimana kronologis penculikan anda?

>>

“Sekitar sepuluh menit saya lihat dari jendela rumah sudah dikepung, sudah

banyak orang gede-gede liatin aku di lantai dua. Saya langsung lemes. ‘Aduh ditangkep,

mati ini udah.’”

Page 11: Pamflet #2

Pada akhir 97 saya KKN di UGM, itu masa akhir studi dan saya KKN dari bulan Oktober-Desember di sebelah selatan Candi Prambanan. Aktivitas saya mengorganisir mahasiswa berlanjut sebetulnya, tapi secara diam-diam karena kita diburu paska 27 Juli ketika kita dikambing-hitamkan sebagai master mind kejadian tersebut.

Kita tidak muncul ke publik karena kita dicari.Tetapi pada Januari, temen-temen saya meminta saya untuk kampanye internasional karena teman-teman pimpinan PRD pada dipenjara, Budiman Sudjatmiko dan lain-lain. Mesti ada yang bertugas kampanye internasional. Saya diminta dari Yogya ke Jakarta, di Jakarta kami tinggal di sebuah rumah kontrakan yang kita sebut sebagai safe house, karena begitu cara kerja kami pada waktu itu. Karena tidak seperti kalian sekarang yang bebas melakukan apapun, pada waktu itu kami tidak punya kebebasan seperti itu, karena memang masih di bawah rezim Orde Baru. Terlebih kita memang ditarget. Jadi kita tinggal di safe house di Jakarta Timur, di rumah susun Klender di lantai 2. Saya waktu itu tinggal bersama Nezar Patria, Aan Rusdianto, Andi Arief dan Petrus Bimo Anugerah. Saya tinggal berlima secara official disitu. Suatu saat saya ada tugas untuk bertemu dengan teman-teman di Australia bernama East Timor Support Center. Ketemunya di daerah Menteng. Siang sampai sore hari saya ketemu dengan mereka. Saya bertemu dengan mereka karena waktu itu salah satu program kami mendukung referendum di Timor Leste. Karena itu, kami berhubungan dengan kelompok yang bersolidaritas untuk Timor Timur.

Menurut pemahaman kami, Timor Leste merupakan negara yang merdeka, kemudian dianeksasi oleh Indonesia pada tahun 1975. Dan prinsip perjuangan kami adalah, kami merealisasikan UUD yang disebutkan di Mukadimah, yang intinya anti-penjajahan. Itu kenapa kami mendukung referendum Timor Leste. Setelah pertemuan dengan teman dari Australia itu, saya kembali ke safe house.

Sebelum pulang, di Jalan Diponegoro saya nelpon dari telepon umum ke rumah. Yang menerima Nezar. “Nezar saya mau pulang, kamu gak usah beli makan malam karena saya bawa Hoka-hoka bento.” Waktu itu saya bawa hoka-hoka bento diberi oleh dua orang dari Australia. Bagi kami pada waktu itu Hoka-hoka bento sebuah kemewahan, kami jarang makan malah dapet Hoka-hoka bento. Nah, setelah itu saya naik angkot ke Jakarta Timur.

Sampai di rumah itu, saya buka pintu, kita tinggal di Lantai dua, gak ada orang. Sepi. Di dalam kok berantakan? Kami hanya punya tikar dan satu laptop. Gak punya handphone. Waktu itu alat komunikasi yang paling canggih adalah pager. Saya masuk gak ada orang, mestinya kan Nezar sama Aan nunggu di rumah. Saya ke dapur masih ada air jeruk yang masih panas. Yaudah saya tunggu. Saya pikir Nezar sedang akses email ke wartel, tapi kok gak jelas. Akhirnya saya pager Nezar supaya telepon ke rumah. Saya pager dua kali gak datang juga. Sekitar sepuluh menit saya lihat dari jendela rumah sudah dikepung, sudah banyak orang gede-gede liatin aku di lantai dua. Saya langsung lemes. “Aduh ditangkep, mati ini udah.” Lemes. Sebelumnya saya menduga ada sesuatu yang tidak beres, karena itu saya sudah menyiapkan passport sama buku harian ku. Jadi ketika rumah dikepung, saya membawa itu, siap kabur. Saya matikan lampu, saya langsung terduduk di lantai. Di saat itu juga, pintu digedor. “Buka pintu! Buka pintu!” Saya buka pintu. Mereka masuk sekitar sepuluh orang. Dua orang berseragam. Terus mereka periksa-periksa. Kemudian saya di bawa ke bawah, dan udah ada mobil yang menunggu. Saya masuk ke mobil kemudian dibawa. Saya berpikir mau loncat karena pada waktu itu saya duduk di pintu, mobilnya Kijang, tapi kalo loncat saya mikir karena ada pengalaman kawan aktivis yang loncat kemudian ditembak. Aku pasrah aja.

Kemudian berhenti di Koramil Duren Sawit. Disitu saya diinterogasi selama setengah jam, tapi saat diintegorasi ada orang lain yang sepertinya ditangkap, wajahnya mirip Petrus Bimo. Dia diinterograsi sama tentara dan mengaku bernama Jaka. Akhirnya saya sama Jaka dibawa bak terbuka, mobil PM (Polisi

Militer), pergi ke Kodim Jaktim. Dari sana saya disuruh nunggu di ruang tamu. Di Kodim, saya dan Jaka diperebutkan oleh dua orang perwira yang membentak Polisi Militer yang membawa kami, “Turunkan mereka! Cepat turunkan mereka!”

Namun orang PM yang membawa kami tak langsung menurut. Sampai dibentak lima kali. Akhirnya saya sama Jaka diturunkan, sempat masuk ke dalam sebentar, kemudian dibawa keluar lagi sama si Jaka.

“Mugi, kamu selamat, kamu selamat! Ayo kita pulang ke rumah.”

Aku kan bingung, pulang ke rumah ke mana, Jaka ini siapa, saya gak kenal. Terakhir saya tau, ternyata dia orang Kopassus yang ditanamkan karena saya ditangkap oleh berbagai macam kesatuan. Dia rupanya Kapten Jaka Budi Utama, salah satu anggota Tim Mawar yang diadili. Dari Kodim itu, setelah digandeng Jaka, saya disuruh naik mobil, kemudian saat mobil berangkat saya disuruh buka baju dan ditutup mata.

Saya gak lihat apa-apa. Kemudian perjalanan cukup lama, kendaraan berhenti, saya turun melangkah. Udaranya dingin. Ada suara air mengalir, ada suara sirine meraung-raung, ada suara cambuk. Wah saya pikir, “Saya dibawa ke sawah untuk dibunuh.” Terus saya ditanya, sambil masih berdiri itu, “Nama kamu siapa? Kamu sama siapa?” Dan saya selalu jawab, “Aku sendiri, pak.”

Aku bilang sendiri dan langsung dihajar sama mereka, “Kamu bohong!” Jatuh, ditendang, dipukul, saya gak merasakan. Yang jelas bibir saya pecah-pecah. Saya diberdirikan lagi. Mereka gak suka jawaban saya, lalu marah lagi. Akhirnya saya disuruh buka celana dan buka sepatu. Saya cuma pake celana dalam. Kemudian saya ditidurkan diikat dua tangan dua kaki, dan itu terjadi selama dua hari dua malam.

Ditanya, mengapa kami anti dwi-fungsi ABRI, mengapa kami anti-Soeharto, mengapa kami mendukung Timor Timur, apa kenal Megawati dan Amien Rais, dan sebagainya. Mereka juga tanya, menurut kami solusi terhadap krisis ekonomi Indonesia itu apa, apakah IMF itu baik atau tidak. Jadi itu selama dua hari-dua malam. Termasuk pertanyaan di mana kawan-kawan saya, dimana Andi Arief, di mana yang lain. Itu yang paling mereka cari.

Dan di situlah saya baru sadar ketika mereka berhenti menyiksa saya, suara cambuk itu adalah alat setrum. Nah ketika mereka berhenti menyiksa saya, ada suara orang menjerti-jerit. Di situlah saya tahu itu Nezar. Setelah selesai Nezar disiksa, ada suara lagi menjerit, ternyata itu Aan. Jadi dari situ saya baru tahu, ternyata dua kawan ini sudah di sini sebelum saya. Setelah itu kami selalu bertiga. Yang paling mengerikan itu bukan ketika saya disiksa, tapi ketika mendengar kawan lain disiksa. Itu paling menyakitkan.

Jadi sebelumnya Mas Mugi bukan ditangkap langsung oleh Kopasus?

Nampaknya begitu. Ada Kopassus, tapi ada satuan lain. Yang sepuluh orang menangkap saya di rumah itu campuran. Waktu itu kan secara politik ada perebutan pengaruh. Ada Soeharto, Prabowo, Wiranto dll. Mereka ingin dapat kreditlah. Karena itu mereka rebutan. Dan Kopasus sebagai satuan paling kuat merasa kecolongan,karena aku mungkin didapatkan oleh banyak kesatuan. Makanya aku waktu ditangkap perlu mampir ke Koramil, dan Kodim. Sementara Nezar dan Aan dari rumah langsung ke tempat X. Aan dan Nezar langsung ditangkap oleh Kopasus.

Aku juga berpikir, alasan kami dilepaskan adalah karena saya sempat mampir-mampir gitu sehingga banyak kesatuan yang tahu. Setelah hari ketiga, Sjafrie Sjamsudin sebagai Pangdam bikin Konferensi pers bahwa mereka menangkap kami.

“Aku merasakan setiap saat para penculik itu masih bisa ambil aku, dan polisi nggak bisa

ngapa-ngapain karena sedemikian powerful-nya para penculik itu.”

Kemudian setelah itu apa yang terjadi?

Setelah tiga hari, pada tanggal 15 saya dibawa ke Polda Metro Jaya. Di situlah kami diperiksa dan dikenakan tuduhan UU Anti-Subversif karena melawan pemerintah. Diinterograsi dari jam 5 sampai 11 malam. Kemudian kami dimasukan ke sel. Baju lengan panjang dan celana panjang digunting, saya tanya kenapa pak, supaya tidak dipakai bunuh diri katanya. Kemudian saya masuk sel isolasi. Kami bertiga dipisah. Sel ukuran 6x14, tapi kita sendirian, kita gak boleh interaksi. Itu berlangsung selama 3 bulan - dari bulan Maret sampai 6 Juni 1998.

Jadi ketika mahasiswa demonstrasi, kita mengikuti dari dalam penjara. Ada tahanan sebelah mengabari kita bahwa mahasiswa demonstrasi terus menerus. Di situlah kita termotivasi akan dibebaskan, Soeharto akan turun dan kita akan dibebaskan. Walaupun aku juga merasa bahwa akan ditahan selama beberapa tahun, karena pada waktu itu pengadilan untuk kawan-kawan PRD telah berlangsung dan ada yang dihukum 12 tahun, 8 tahun, jadi aku membayangkan 10 tahun.

Di situlah aku baru merasakan makna kebebasan.

Penculik itu sedemikian perkasanya, gitu lho. Sehingga waktu saya sudah berada di sel Polda Metro Jaya masih merasa nggak aman. Aku merasakan setiap saat para penculik itu masih bisa ambil aku, dan polisi nggak bisa ngapa-ngapain karena sedemikian powerful-nya para penculik itu. Bayanganku seperti itu sehingga masih trauma. Sampai sekarang juga masih trauma kalau mendengar handie talkie karena ketika saya diculik, diambil dari Kodim ke tempat X oleh Kopasssus itu, itu kan mata ditutup dan mereka pakai alat komunikasi itu. Jadi ya masih trauma kalau denger gitu-gitu.

Bayangkan, kita nggak ada yang mengunjungi, kami nggak dikunjungi. Oleh temen-temen nggak, karena temen-temen semuanya jadi target operasi, buron. Yang mengunjungi saya pertama kali itu Bapak saya sama kakak saya yang perempuan. Dan itu sangat emosional, itu peristiwa yang luar biasa dalam hidupku. Pagi-pagi, penyidikku namanya Kapten Haris Munandar, datang ke sel.

Dia ketuk-ketuk pintu sel, “Mugi, ada yang mengunjungi kamu.” “Siapa Pak?” “Sudah, kamu temui saja.”

Terus aku buka pintu sel itu, aku jalan, itu kan lewat koridor dari sel nomor 11 kan jauh ada sekitar 50 meter. Panjang, jauh... Jalan melangkah ke sana, kira-kira jam 9 pagi itu.

Ternyata aku lihat Bapakku. Bapakku sudah tua, kurus. Dari kampung kan, dari Jepara dari sebuah desa kecil, sama kakakku yang perempuan. Di situ aku nangis, aku nggak bisa mengucapkan sepatah kata pun. Aku cuma bisa nangis. Aku peluk Bapakku. Nangis. Sudah.

Page 12: Pamflet #2

Tapi keluarga memang tahu aktivitas politik Mas Mugi?

Bapakku tahu. Ketika aku di UGM, aku sudah kasih tahu Bapakku. Bapak pesennya ya, “Sudah nggak apa-apa. Hati-hati saja. Karena yang kamu lawan ini kuat sekali. Yang kamu lawan ini negara. Hati-hati saja.” Itu saja. Pesennya seperti itu. Tapi dia tahu, tapi mungkin tidak ngerti bahwa sebesar ini resikonya. Ya itulah yang sangat emosional, berbagai macam perasaan, dan perasaan salah.

Bukan salah bahwa saya telah melawan Orde Baru, tapi salah kenapa saya harus ditangkap? Sehingga Bapakku repot. Tapi Bapakku luar biasa, tidak pernah menyalahkan aku, selalu membesarkan hatiku. Memotivasi. Dia selalu membesarkan aku. Itu kan ketemu kita-nya setengah jam, yang ngomong Bapakku. Kakakku juga nggak bisa, kakakku cuma nangis. Aku cuma nangis. Bapakku yang ngomong.

Kelompok saya, tentu saja tidak. Kalau kelompok saya, PRD, kita organisasi yang tidak menggunakan kekerasan. Kita tidak percaya dengan kekerasan. Yang kita gunakan adalah strategi gerakan massa. Demonstrasi, aksi, tapi tidak dengan kekerasan. Dan aku pikir, statement-statement seperti itu, seperti yang disampaikan oleh Fadli Zon, itu sangat standar. Sangat standar dalam arti... Itu memang pengalaman-pengalaman di negara lain, di mana negara-negara otoriter atau cinta militer melawan politik pro demokrasi selalu menggunakan (alasan) itu. Dibilang teroris, kekerasan, dan sebagainya.

Tetapi bisa jadi juga ada kekerasan. Bisa jadi memang ada kekerasan, katanya di Tanah Tinggi, segala macem. Tapi kalau di Indonesia, itu kan sangat mungkin justru Tentara yang melakukan untuk memberikan pembenaran (agar mereka) bisa menindak kita. Itu kan terjadi di gerakan-gerakan Islam juga. Bagaimana ternyata yang di belakang, yang melatih, juga mereka sendiri. Nah itu, jadi sebagai prinsip utama organisasi, praktek kami, kami tidak pernah menggunakan apalagi cara-cara teror, teroris.

Dan itulah nggak bisa, apa namanya, apa yang kita perjuangkan, nah itu bertentangan dengan prinsip apa yang diperjuangkan. Karena kita kan memperjuangan demokrasi, sistem multiparti bagaimana demokrasi dengan cara-cara seperti itu? Makanya, saya juga sangat marah ketika Fadli Zon (bilang begitu).

Kami tidak kaget, tapi marah. Dibilang bahwa kami teroris, kekerasan, seperti yang disampaikan si maknyus – Bondan di tweet

Selama ini juga muncul opini bahwa penculikkan itu dilakukan karena kegiatan beberapa aktivis yang

melakukan pengeboman dan teror. Itu sebetulnya dilakukan nggak, oleh

kelompok Mas Mugi dan teman-teman?

“Cak Munir bilang: ‘Mugi, kamu pulang,

sekarang.’”

>>

dan segala macem. Persis di Argentina juga begitu, penculikan-penculikan itu. Dilakukan oleh kelompok-kelompok teroris, atau kalau masa Orde Baru kan tuduhan komunis. Kami kan juga dituduh komunis. Setelah insiden 27 Juni kan katanya kita revival of the Communist Party. Dan sebagainya, jadi dan buktinya kan ketahuan apa yang kami perjuangkan pada waktu itu, menjadi common struggle gitu kan. Dan ya kita bisa nikmati seperti sekarang ini.

Tapi memang itu penting itu, untuk di-counter. Supaya orang tidak sesat. Tetapi sekalipun bahkan ketika ada tindakan kekerasan pun, tidak bisa dijadikan justif ikasi untuk menculik dan menghilangkan orang. Bahwa kalau memang ada yang melakukan tindakan kekerasan, ya ditangkap, di hukum, di proses hukum. Dan ternyata, sebagai informasi, orang yang ditangkap dalam kasus peledakan di Tanah Tinggi, yang ditangkap itu adalah Agus Priyono. Agus Jabo, dia ketua PRD beberapa tahun yang lalu dan sekarang dia bersama dengan Gerindra.

Sehingga saya curiga, waktu itu memang Kopassus, yang menyusupkan agen dia untuk melakukan itu. Untuk dijadikan justif ikasi supaya bisa menghukum kita. Ya, Agus Priyono jadi Gerindra sekarang. Itu yang sangat menyakitkan. Dulu kita berjuang bareng, tiba-tiba...

Itu dramatis, iya. Tetapi banyak bersifat-bersifat dramatis yang lain sebelumnya, ketika kita masih di dalam. Ketika saya ketemu Bapak, itu sangat emosional. Kedua, ketika gerakan mahasiswa bangkit pada bulan-bulan April. Di Kampus-Kampus. Jadi, Maret-April 1998, ada demonstrasi di Yogya, itu besar sekali. Di UGM, di Undip, di Solo, di Medan. Karena kita punya jaringan di sana juga. Terus, di situlah kita saling memotivasi antara Nizar, sama aku. Kita saling memotivasi, saling membesarkan hati. “Mugi, apa kabar kamu?” Teriak-teriak gitu. “Mugi, kita akan dibebaskan.” “Kenapa, Niz?” “Demonstrasi semakin besar. Mahasiswa semakin banyak yang demonstrasi.”

Seneng kita. Dan 12 Mei di TV, ada siaran langsung Mahasiswa Trisakti ditembakin. Itu suasana di tahanan itu sangat emosional. Pada nyanyi lagu Gugur Bunga di tahanan. Karena di tahanan itu sudah banyak tahanan pendukung Aktivis,

pendukung Megawati yang demonstrasi menuntut penurunan harga. Itu banyak. Salah satunya Guan Lie yang dulu di KontraS. Pernah ditahan dan dia support aku. Dia yang ngasih aku makanan, rokok, koran, kayak gitu. Nah nyanyi lagu Gugur Bunga itu sangat emosional tanggal 12.

Tanggal 13-14 ada suara tembakan di dekat Polda. Polisi sudah pada pegang senjata, katanya penjara mau diserang. Tanggal 14-15 Jakarta terbakar. Terus tanggal 15-16, banyak tahanan masuk. Sehingga sel kami yang isolasi, diubah. Saya dipindahkan, saya bergabung dengan banyak sekali tahanan. Tanggal 20 Soeharto turun. Langsung kita semua bersyukur. Kita menyanyi-nyanyi. Di situlah pihak penjara mulai berubah sikap ke kita juga, setelah Soeharto turun.

Makanan kita diganti. Sebelumnya makanan kita cuma sepiring nasi putih, nasinya jelek kualitasnya. Sama sayur bayam atau kangkung. Yang jelek juga, dingin. Sama tempe goreng satu. Udah. Itu menu kita tiap hari. Setelah Soeharto turun, kita dikasih

Nasi Padang. Sipir-sipir mendekati kita: “Nanti kalau sudah ini jangan lupa kita..”

Kita sudah boleh ikut senam pagi, setiap hari Jum’at. Sebelumnya kita nggak boleh berinteraksi, nggak boleh senam. Karena kita orang bahaya, tahanan politik, menurut cara berpikir mereka. Kemudian, waktu itu pengacara saya Munir, Ester Yusuf, dan Ori Rahman. Tiga orang itu yang selalu saya ingat. Dan karena saya tidak ada yang mengunjungi kecuali Bapak saya, saya seneng sekali setiap dikunjungi mereka.

Ketika mereka datang, aku damai. Ada rasa damai dan merasa aman juga. Karena waktu itu, walaupun di sana, saya masih merasa nggak aman. Seringkali setiap dipanggil setiap apa namanya Kapten Haris Munandar datang aku deg-degan terus: “Mau diapakan lagi, mau diapakan lagi…” Kan sering di-bon, diperiksa guspom TNI, diperiksa oleh kesatuan ini, Kodam, segala macem. Jadi, ada pengacara, Munir, Ester yang orangnya berani tapi kalo ke kita cool.

Kronologi pembebasan Mas kan pasti sangat dramatis ya?

Page 13: Pamflet #2

Waktu itu Munir dan kawan-kawannya itu jadi

pengacara Mas Mugi atau yang lainnya juga?

Setelah Andi Arif ditangkap, bagaimana kondisi PRD?

Berarti Mas Mugi waktu itu nggak dapet kabar dari

teman-teman yang lain? Seperti Andi Arif dan yang lainnya.

Nah itu lalu Budiman sudah ketangkap?

Pengacara kita bertiga. Kita bertiga kan bareng. Di Polda kan bareng terus. Kami bertiga jadi satu paket, sejak di tempat penyekapan, sampai kita dilepaskan bertiga.

Masih jalan terus. Karena memang di-represi, tapi masih ada kemungkinan. Jadi kita organisasi yang memang sudah di-design untuk menghadapi represi. Selalu ada orang yang melanjutkan. Tapi tentu saja skalanya berbeda dibanding pas kita masih lengkap. Tapi selalu bisa berjalan dan melawan dengan berbagai macam nama organisasi, pada waktu itu.

Kita tau. Dari Media. Kita baca koran, kita denger dari tetangga sebelah, akhir bulan, Andi Arif ketangkep. Nah. Ya ampun, ketangkep.

Iya. Dia ketangkep Agustus 96.

>>

Jadi mas Mugi dulu yang ketangkep?

Iya. Andi Arif kemudian. Ketika saya diperiksa, diinterogasi, diperiksa, pertanyaan yang paling keras itu soal Andi Arif. “Mugi, di mana Andi Arif? Di mana Andi Arif?” Yang mereka incer memang Andi Arif karena waktu itu Andi Arif pimpinan kami pengganti Budiman pada waktu itu. Waktu itu aku punya alibi soal Andi Arif, karena Andi Arif itu mestinya berada di Jakarta pada hari itu. Karena malamnya, itu kita telfon Andi Arif supaya datang ke Jakarta. Jadi, pikiranku, Andi Arif sedang di Jakarta.

Makanya aku bilang, ketika di interogasi aku bilang “Rumahnya di Lampung. Pasti dia di Lampung. Sama orangtuanya.” Rupanya dia benar-benar di Lampung, di tempat kakaknya. Mereka nggak percaya, “Nggak ada di Lampung. Dia nggak ada di Lampung. Berapa sih besarnya Lampung, setiap jengkal tanah di Lampung sudah kami cari, nggak ada Andi Arif.” Ya, Andi Arif sangat mereka cari. Kemudian kami dengar berita kalau Andi Arif ketangkep, ya ampun.

Kemudian kita tahu bahwa ternyata Reza, Jati, Herman, hilang juga. Udah, berarti kita ketangkep semua. Terus bulan April, ada informasi. Jati dipulangkan ke rumah. Faisal Reza dipulangkan ke rumah. Kita tunggu beberapa hari, kok Herman nggak dipulangkan ke rumah? Terus, oleh kapten Haris Munandar, bilang katanya Herman mau datang ke Polda. Jadi waktu itu kami, saya, dan teman-teman merasakan Herman akan datang ke Polda.

Tapi nggak pernah datang, sampai detik ini. Bahkan waktu itu kita punya istilah, Herman Tidak Mampir Di Polda. Karena waktu itu kan sedang populer novelnya Ayu Utami yang Laila Tidak Mampir Ke New York. Jadi, Herman Tidak Mampir Di Polda. Hingga hari ini tidak ada berita. Ya itulah, Soeharto turun, diganti Habibie, Habibie mencabut Undang-Undang Anti Subversi.

Kemudian kami dibebaskan. Tuduhannya hilang.

“Sebelum kita dilepas, kita diancam. ‘Kau tidak boleh ngomong tentang apa yang terjadi. Begitu kamu ngomong, kami akan segera mencarimu.

Dan, satu-dua hari mungkin kamu bisa escape, bisa lepas, tapi kami akan terus cari.’”

Page 14: Pamflet #2

Kemudian pas hari pembebasan itu, bagaimana Mas bisa

diceritain?

Kalau informasi soal di mana mereka, tidak ada. Tapi rumor banyak. Rumor tentang beberapa orang, ada. Rumor tentang Widji Thukul, terutama kan. Ada informasi Widji Thukul ada di sini gitu-gitu, kita cari itu, kita tindak lanjuti. Bimo Petrus katanya ada di Lampung, kita cari, dan tidak hanya kami, orangtua juga mencari. Kayak Pak Utomo mencari Bimo Petrus ke Lampung. Pak Utomo juga menggunakan jasa ‘orang pinter’ segala macem. Pak Utomo juga pernah diperas orang, orang nelpon ngasih tahu “Saya tahu dimana anaknya, Pak.” Dimintai uang. Itu juga ada.

Tapi semuanya nggak ada yang verified. Termasuk intrik-intrik, terutama Widji Thukul itu. Ya itu yang menurut aku sangat menyakitkan, dan sangat tidak manusiawi lah. Ngasih tau Mbak Sipon, “Widji Thukul itu ada. Dia menikah sudah punya anak.” Itu kan sangat menyakitkan, tapi tidak ada bukti. Ada yang bilang Widji Thukul ke luar negeri, tapi nggak ada orang yang bisa membuktikan. Oiya waktu itu ada satu ini, tahun 99 mungkin. Nggak deh, 98 masih. Sekitar September atau Oktober, saya sedang di Manila. Saya sedang di Manila, karena waktu itu saya oleh KontraS ditugaskan untuk melakukan kampanye. Saya dapat informasi dari temen-temen di Jakarta, bahwa Herman Hendrawan ada di Davao, di Filipina Selatan. Saya kemudian pergi ke sana. Bersama dengan Mas Dadang Trisasongko, yang sekarang di Transparency International. Pergi ke Davao, untuk bertemu dengan orang yang namanya Herman Hendrawan. Ke konsulat Indonesia.

Hari pembebasan, kita tidak tahu bahwa kita akan dibebaskan. Tetapi beberapa hari sebelumnya, Cak Munir ngasih tau kita bahwa mereka sedang memperjuangkan supaya kita dibebaskan, ditangguhkan penanganannya, begitu bahasanya. Penangguhan Penahanan. Jadi, benar-benar terjadi itu Penangguhan Penahanan. Jadi sebetulnya tidak dibebaskan. Tapi ditangguhkan penahannya sampai saat ini. Jadi artinya masih menunggu proses hukum.

Nah ya, pagi-pagi itu kita dipanggil oleh Haris Munandar, kita bertiga dikeluarkan. Diperiksa kan biasanya, BAP. Nah tapi di situ rupanya sudah ada Cak Munir, ada Ester, ada Ori, mungkin ada yang lain tapi aku lupa. Tapi tiga nama, itu tiga orang itu yang selalu aku ingat sampai sekarang. Nah, sudah, Cak Munir bilang:

“Mugi, kamu pulang, sekarang.” Wah aku seneng banget itu. Pulang, tapi ya masih ketakutan. Mereka masih sangat powerfull. Orang sebelum kita dilepas dari tempat X tadi yang dua hari, kita kan diancam bahwa “Kau tidak boleh ngomong tentang apa yang terjadi. Begitu kamu ngomong, kami akan segera mencarimu. Dan, satu-dua hari mungkin kamu bisa escape, bisa lepas, tapi kami akan terus cari.” Ya, itu ancaman mereka. Setelah kami dilepas tanggal 6, kami tidak langsung bergabung ke KontraS. Kami ditempatkan di sebuah tempat aman oleh Cak Munir.

Di situlah saya menulis, kami menulis testimoni yang sampai sekarang ada itu. Tertanggal 8 Juni itu, aku, Nizar, Aan menulis. Tanggal 8 kalau tidak salah, konferensi pers itu. Sama Munir. Aku, Nizar, Aan, yang ada fotonya itu. Di situ masih ketakutan, habis itu kemudian juga masih diamankan di suatu tempat itu. Pindah-pindah dari tempat-tempat. Suatu saat, kita ditempatkan di rumahnya Munir yang di Jatinegara. Di Prumpung, daerah situlah. Di situ kita didudukkan: aku, Andi Arif, dan yang lain-lain ketika sudah bebas.

Di depan rumah Munir itu, agak jauh sekitar 100 meter, ada telepon umum, aku melihat ke luar kok kayaknya yang nelpon ini ngeliatin aku. Aku nggak ngerti apa itu paranoia, atau bener dia memang ngawasin kita. Nggak ngerti. Tapi intinya, aku masih ketakutan, masih trauma. Nah kemudian, aku masih lupa kapan, tapi akhirnya aku juga pulang ke kampungku. Tapi tidak ke Jepara, waktu pertama kali pulang, ke Salatiga ke tempat kakakku. Ketika Ibuku sedang pergi ke Salatiga dari Jepara, kita bertemu di Salatiga. Yah begitulah.

Saya ketemu sama dia di Davao. Orangnya memang mirip dengan Herman. Pakai kacamata. Tapi dia bukan Herman. Saya tahu karena Herman kawan saya. Tetapi si Herman ini bisa bercerita bahwa dia memang korban penculikan di Jakarta. Kemudian terdampar di sana. Tapi itu bukan Herman Hendrawan. Dia mengaku bernama Herman Hendrawan, tapi bukan. Akhirnya orangnya balik ke Indonesia itu. Kalau menurut orang Konsulat, biasanya banyak orang yang anggota MILF (Moro Islamic Liberation Front, organisasi separatis di Filipina - red) yang kemudian pengen keluar dari MILF. Katanya ada yang kayak begitu.

Tapi bisa jadi dia memang korban. Aku menduga dia memang korban, bukan Herman Hendrawan, tapi artinya ada orang lain yang menjadi korban mirip dengan kita. Karena dia aktivis dari Bandung katanya. Kuliah di Bandung. Bisa menceritakan. Bisa jadi. Memang bisa jadi dia korban salah tangkap, karena dikira Herman Hendrawan. Bisa jadi. Informasi lain yang berkenaan dengan 13 orang hilang ini tidak ada. Paling itu.

“Prabowo tidak bisa lepas tangan dari itu. Walaupun Prabowo sudah melepaskan kami, ber-9,

bukan berarti dia tidak bersalah. Dia juga melakukan tindak pidana. Aku disiksa.

Kebebasanku dirampas.”

Masih ada 13 orang yang hilang. Selama kurun waktu dari 1998 hingga sekarang, Mas Mugi

benar-benar tidak tahu sama sekali nasib mereka, atau ada semacam isu yang berkembang di kalangan Mas

Mugi, Cak Munir, atau teman-teman yang lain tentang 13 orang ini

sebetulnya ke mana/di mana?

Page 15: Pamflet #2

Kalau ceritaku seperti tadi. Nizar dan Aan, seperti tadi. Pius, Desmon, Haryanto Taslam, itu sama dengan cara-cara yang dialami Nizar. Sama dengan yang dialami Jati, Herman, dan Reza. Diambil di jalan. Dan dari jalan itu, langsung ke tempat X. Langsung ke Kopassus, artinya pelakunya adalah Kopassus. Dan mereka bertemu di sana. Karena di tempat X itu mereka bisa bercerita. Karena kan mereka lama di sana. Dan mata mereka dibuka. Jadi mereka bisa melihat, di sel, Jati itu bisa menggambarkan selnya.

Ada di buku kok. Jadi ada sekitar 8 ruangan, sel kecil. Jadi dia bisa tahu ini kamar siapa, karena mereka saling berkomunikasi. Berteriak-teriak, “Hei kamu siapa?” Nah di situlah kemudian. Nggak tahu tempatnya. Kita cuma bisa bercerita soal ciri-ciri, suasana, ruangan, kemudian ketika menuju ke situ. Tapi kan kemudian itu di confirm oleh temuan Buspom, temuan TGPF, kemudian Pengadilan Militer juga mengkonf irmasi bahwa itu di Markas Kopassus di Cijantung. Berarti pelakunya sama, oleh mereka. Tetapi kalau aku, melibatkan banyak satuan. Andi Arif, diambil dari Lampung oleh Kopassus, kemudian di tengah perjalanan kan nyebrang Bakaheuni, di situ orang-orang Kopassus berantem sama Polisi. Tapi Polisi kan bisa dikalahkan sama Kopassus, bisa mengalahkan apapunlah mereka. Mereka kan juga lintas kota otoritasnya.

Yang menarik dari Andi Arif adalah, kemudian Andi Arif diserahkan ke Polisi. Pada akhirnya, ditahan di Polda Metro Jaya juga. Tetapi pihak

Kepolisian diminta. Saya nggak tahu persis ya tapi biasa dicek, tapi logiknya adalah begini. Andi Arif diminta bercerita bahwa dia diculik, diambil oleh Polisi pada tanggal 8, misalnya. Padahal sebetulnya Andi Arif itu diserahkan ke Polisi pada tanggal 15. Jadi dari tanggal 8 sampai 15, 8 hari itu sebetulnya dia ditahan Kopassus. Tetapi oleh Kopassus, di BAP-nya, dan sebagainya, disebutkan bahwa dia ditahan oleh Polisi, sejak tanggal 8. Artinya Polisi kemudian selama 8 hari itu diminta mengakui telah menculik Andi Arif, padahal tidak, yang menculik adalah Kopassus. Jadi melibatkan Kepolisian, yang jelas. Itu tapi semuanya Kopassus.

Jadi memang Kopassus yang paling (terlibat). Makanya sampai naruh Jaka Budi Utama supaya bisa dapat aku. Yang penting juga adalah argumen Prabowo itu tadi, argumen Prabowo itu kan selalu mengatakan “Saya hanya menculik 9 orang, semuanya sudah aku lepaskan.” Nah itu yang kita mau bantah. Itu tidak benar. Kenapa? Karena beberapa dari mereka yang masih hilang, itu masih sempat berkomunikasi dengan kami yang sudah dibebaskan. Satu tempat itu. Yani Afri, dan sebagainya. Dedi Hamdun, pernah di tempat yang sama. Artinya kan ini oleh Prabowo, sama. Prabowo tidak bisa lepas tangan dari mereka itu. Dan juga, walaupun Prabowo sudah melepaskan kami, ber-9, bukan berarti dia tidak bersalah. Dia juga melakukan tindak pidana. Aku disiksa. Kebebasanku dirampas. Jadi kasus penghilangan paksa, itu tidak hanya identik dengan 13 orang yang masih hilang. Tetapi juga, saya berhak mendapatkan keadilan. Dan Prabowo belum pernah mempertanggungjawabkan. Belum pernah ada tanggung jawab apapun. Itu yang banyak sekali dipelintir.

Kalau dari cerita-cerita Mas Mugi dan 9 orang yang kembali itu, mereka

juga diculiknya oleh satuan Kopassus, atau dari kesatuan yang beda?

Kalau dengan Pius, Desmon, Haryanto Taslam kita beda organisasi. Saya nggak kenal mereka. Desmon itu LBH Bandung. Kalau Haryanto Taslam PDI, kita berhubungan dengan Haryanto Taslam di Jakarta. Karena kami waktu itu, posisi politik PRD kan mendukung Megawati. Kita memberikan Critical Support kepada Megawati. Kita mendukung Megawati menjadi Presiden, pada waktu itu. Makanya kita bekerjasama dengan Haryanto Taslam. Karena Haryanto Taslam yang megang massa PDI di Jakarta.

Makanya mobilisasi-mobilisasi besar, itu karena Haryanto Taslam. Makanya Haryanto Taslam juga ditarget itu juga karena dia pegang massa. Nah jadi kalau dengan tiga orang itu, saya tidak dekat. Bahkan tidak kenal. Kalau dengan yang lain memang kawan. Kawan dekat. Kita lama bersama-sama, dengan Faisal Reza, apalagi dengan

dia saya satu fakultas. Di Sastra, Faisal Reza. Yang sekarang bersama dengan Cak Imin – Muhaimin Iskandar. Juru bicaranya Cak Imin. Dengan Waluyo Jati, saya beda fakultas tapi deket juga karena Jati sama-sama dari Jepara. Dengan Aan, tidak terlalu dekat karena dia dari Semarang, aku dari Yogya, dan kita baru ketemu di Jakarta waktu itu. Dan Aan sekarang bareng sama Gerindra. Jadi Caleg itu, tapi kayaknya nggak jadi itu.

Mas dengan 9 orang ini masih suka bertemu satu sama lain?

>>

>>

Page 16: Pamflet #2

Tim Mawar

Menurut saya, soal Hak Asasi Manusia. Anak muda mesti tahu soal Hak Asasi Manusia. Banyak orang yang mengatakan tahu, tapi sebetulnya tidak tahu. Punya versi-versi, padahal Hak Asasi Manusia adalah universal, tidak ada versi-versian. Hak Asasi Manusia yang saya maksud adalah yang berhubungan dengan kasus orang hilang, adalah bahwa walaupun kalian pemberontak sekalipun, tidak boleh orang itu dihilangkan secara paksa.

Konvensi PBB yang terbaru, yang International Convention on the Protection of All Persons from Enforced Disappearances itu mestinya diratif ikasi Indonesia. Itu menyebutkan soal “the right not to be disappeared,” hak untuk tidak dihilangkan secara paksa. Sebagai hak, ya itu harus dilindungi Negara itu mesti. Karena kan banyak orang, anak-anak muda beranggapan “Ya mereka teroris sih,” “PKI sih,” Nggak, nggak seperti itu. Even if they are, nggak. Itu yang penting ya yang aku bilang. Dan tanggung jawab ada di Negara, prinsip soal Hak Asasi Manusia itu kan bahwa ada Hak yang melekat dan tanggung jawab itu, hanya dan selalu oleh Negara. Pelaku pelanggaran, selalu elemen-elemen Negara. Karena sering dikacaukan.

Kemudian yang kedua, yang penting juga untuk anak-anak muda, soal Pilpres, soal pentingnya soal bahayanya ketika kita tidak mengutuk penghilangan paksa. Condemnation itu penting, karena kalau tidak, ntar kita menolerir. Jangankan pengadilan, jangankan proses hukum, mengaku saja tidak. Bahayanya kan disitu. Yang ada hanya pengingkaran, denial, dan Negara juga tidak menindaklanjuti. Pentingnya di situ, jadi kita harus mengatakan bahwa orang tuh tak boleh dihilangkan secara paksa.

Dan kita harus mengatakan tidak pada penghilangan paksa. Karena kalau kita tidak mengatakan tidak, itu berarti boleh. Bahayanya itu. Ketika kasus ini tidak diselesaikan, ketika Prabowo tidak dihukum, message-nya adalah “You may. You can commit disappearances.” Message-nya kan seperti itu, ketika tidak tegas mengatakan stop.

Dan itu harus dilakukan oleh Negara. Harus secara official. Makanya lalu perlakuan Negara itu penting. Pengutukan State Condemnation itu penting. Untuk bisa. Ya kalau Presiden SBY tidak bisa mengadili Prabowo, please admit, at least. Dan berikan pesan bahwa tidak boleh lagi. Itu yang penting dan menurut saya, bahayanya dalam konteks pemilu adalah orang yang mestinya bertanggungjawab atas semua ini bisa ada di bangku kekuasaan. Please jangan lah. Karena bahayanya itu tadi. Kita membiarkan saja, bahaya. Apalagi menjadikan dia tokoh nasional. Itu yang harus diketahui oleh anak-anak muda sebetulnya soal ini. Itu bisa terjadi pada siapapun.

Dan yang teman-teman mesti ingat juga bahwa yang menjadi target penculikan itu tidak semata-mata aktivis. Kalau kita lihat 23 orang yang hilang, tidak semuanya aktivis kok. Anyone can be. Karena penculik, alat-alat Negara itu punya berbagai macam motivasi. Ketika menghilangkan orang, itu ada motivasi macem-macem. Bisa personal motive. Tapi selalu dibumbui oleh politik. Akhirnya justif ikasinya adalah politik.

Kalau kita melihat adanya pengalaman tahun 65 kan juga begitu. Di Argentina kan juga begitu, anak-anak mahasiswa yang paling pintar di sekolah (direpresi). Di Argentina, Penculikan, Penghilangan Paksa yang terjadi pada tahun 78 sampai 83 itu, sebagian besar yang ditarget pertama kali itu adalah perempuan yang brilliant di kampus-kampusnya. Mereka tidak selalu aktivis. Tapi mereka diambil, diculik. Di Indonesia, juga mungkin, apalagi kalau kita melihat manifestonya Gerindra, statement-statementnya yang mengatakan bahwa Hak Asasi Manusia nggak penting. Itu bahaya sekali.

Nggak ngerti aku. Nggak ada info. Dan hanya mereka yang tahu kan. Justru itu tuh yang mesti diselidiki. Temuan Komnas HAM itu yang kemudian penting adanya sebuah Komisi Kebenaran, seperti di Amerika Latin yang ada Komisi Orang Hilang.

Setelah Junta militer tumbang, hal pertama yang dibentuk oleh pemerintahan demokratis itu membentuk Komisi Orang Hilang. Dari Komisi Orang Hilang itulah, yang kemudian bisa mengungkap soal siapa, bagaimana, di mana sekarang, dan sebagainya. Itu yang tidak ada di Indonesia.

Aku nggak ngerti persis, tapi aku pikir tidak. Jawaban mereka sama dengan Prabowo. Hanya menculik 9, yang lain tidak tahu menahu. Itu yang mereka sangkal.

Kalau menurut Mas Mugi, kan sekarang kasus Orang Hilang mandek di Kejaksaan Agung, sementara Komisi KKR kan juga dibatalkan MK. Kira-kira peluang untuk penuntasan kasus ini gimana?

Sebetulnya rekomendasi DPR itu jalan menuju penyelesaian. Dan menurut kami, sudah cukup komprehensif. Empat itu. Tidak ada cara lain kecuali itu. Penyelesaian yang menyeluruh. Jangankan menyeluruh, partial aja tidak dilakukan oleh SBY. Tapi itu nggak ada jalan lain. Nggak ada opsi lain.

Kalau dugaan Mas Mugi gimana? Kenapa bisa ada yang nggak balik?

Kalau sama proses yang Tim Mawar itu, yang di Mahkamah Militer itu,

pernah nggak terungkap atau ada pengakuan dari Kolonel dan yang

lain-lain soal 13 orang itu?

Kita kan sebagai anak muda sebenarnya rentan nih, dikacaukan pikirannya dengan banyaknya

expose-expose berita. Kira-kira apa aja sih yang mesti kita tahu, atau

anak-anak muda secara general tahu, fakta-faktanya dan terkait juga soal

pencalonan Prabowo sebagai presiden.

Kalau menurut Mas Mugi, kan sekarang kasus Orang Hilang mandek

di Kejaksaan Agung, sementara Komisi KKR kan juga dibatalkan MK. Kira-kira peluang untuk penuntasan kasus ini

gimana?

Ya kalau pengadilan, yang begitu-begitu kan bisa dibicarakan, itu negotiable. Tapi setidaknya jangan mengingkari bahwa ini pernah ada. Kalau soal dia yang melakukan biar proses hukum. Tapi kita akui bahwa ini pernah ada dan dilakukan oleh militer. Itu penting. Dan yang selanjutya kan bahwa saat ini proses pengadilan kan tidak ada. Itu yang perlu di counter karena adanya yang mengatakan dia tidak bersalah kok pada kasus itu.

Tapi kan mereka itu tidak bersalah karena tidak ada proses hukum terhadap mereka. Proses hukum yang hendak dijalankan, dalam konteks Indonesia, kan melalui Komnas HAM. Mereka tidak bekerjasama, mereka menolak hadir. Dan karena mereka masih kuat melawan Komnas HAM, bisa menolak, karena mereka masih kuat, masih punya banyak senjata, pengaruh politik, tapi itu bukan berarti kalau mereka tidak bersalah. Mereka salah, dan itu harus diproses di pengadilan.

Page 17: Pamflet #2

Mas tadi sempat singgung soal si Jaka itu. Itu bagaimana proses pengadilannya?

Menurut saya, soal Hak Asasi Manusia. Anak muda mesti tahu soal Hak Asasi Manusia. Banyak orang yang mengatakan tahu, tapi sebetulnya tidak tahu. Punya versi-versi, padahal Hak Asasi Manusia adalah universal, tidak ada versi-versian. Hak Asasi Manusia yang saya maksud adalah yang berhubungan dengan kasus orang hilang, adalah bahwa walaupun kalian pemberontak sekalipun, tidak boleh orang itu dihilangkan secara paksa.

Konvensi PBB yang terbaru, yang International Convention on the Protection of All Persons from Enforced Disappearances itu mestinya diratif ikasi Indonesia. Itu menyebutkan soal “the right not to be disappeared,” hak untuk tidak dihilangkan secara paksa. Sebagai hak, ya itu harus dilindungi Negara itu mesti. Karena kan banyak orang, anak-anak muda beranggapan “Ya mereka teroris sih,” “PKI sih,” Nggak, nggak seperti itu. Even if they are, nggak. Itu yang penting ya yang aku bilang. Dan tanggung jawab ada di Negara, prinsip soal Hak Asasi Manusia itu kan bahwa ada Hak yang melekat dan tanggung jawab itu, hanya dan selalu oleh Negara. Pelaku pelanggaran, selalu elemen-elemen Negara. Karena sering dikacaukan.

Kemudian yang kedua, yang penting juga untuk anak-anak muda, soal Pilpres, soal pentingnya soal bahayanya ketika kita tidak mengutuk penghilangan paksa. Condemnation itu penting, karena kalau tidak, ntar kita menolerir. Jangankan pengadilan, jangankan proses hukum, mengaku saja tidak. Bahayanya kan disitu. Yang ada hanya pengingkaran, denial, dan Negara juga tidak menindaklanjuti. Pentingnya di situ, jadi kita harus mengatakan bahwa orang tuh tak boleh dihilangkan secara paksa.

Dan kita harus mengatakan tidak pada penghilangan paksa. Karena kalau kita tidak mengatakan tidak, itu berarti boleh. Bahayanya itu. Ketika kasus ini tidak diselesaikan, ketika Prabowo tidak dihukum, message-nya adalah “You may. You can commit disappearances.” Message-nya kan seperti itu, ketika tidak tegas mengatakan stop.

Dan itu harus dilakukan oleh Negara. Harus secara official. Makanya lalu perlakuan Negara itu penting. Pengutukan State Condemnation itu penting. Untuk bisa. Ya kalau Presiden SBY tidak bisa mengadili Prabowo, please admit, at least. Dan berikan pesan bahwa tidak boleh lagi. Itu yang penting dan menurut saya, bahayanya dalam konteks pemilu adalah orang yang mestinya bertanggungjawab atas semua ini bisa ada di bangku kekuasaan. Please jangan lah. Karena bahayanya itu tadi. Kita membiarkan saja, bahaya. Apalagi menjadikan dia tokoh nasional. Itu yang harus diketahui oleh anak-anak muda sebetulnya soal ini. Itu bisa terjadi pada siapapun.

Dan yang teman-teman mesti ingat juga bahwa yang menjadi target penculikan itu tidak semata-mata aktivis. Kalau kita lihat 23 orang yang hilang, tidak semuanya aktivis kok. Anyone can be. Karena penculik, alat-alat Negara itu punya berbagai macam motivasi. Ketika menghilangkan orang, itu ada motivasi macem-macem. Bisa personal motive. Tapi selalu dibumbui oleh politik. Akhirnya justif ikasinya adalah politik.

Kalau kita melihat adanya pengalaman tahun 65 kan juga begitu. Di Argentina kan juga begitu, anak-anak mahasiswa yang paling pintar di sekolah (direpresi). Di Argentina, Penculikan, Penghilangan Paksa yang terjadi pada tahun 78 sampai 83 itu, sebagian besar yang ditarget pertama kali itu adalah perempuan yang brilliant di kampus-kampusnya. Mereka tidak selalu aktivis. Tapi mereka diambil, diculik. Di Indonesia, juga mungkin, apalagi kalau kita melihat manifestonya Gerindra, statement-statementnya yang mengatakan bahwa Hak Asasi Manusia nggak penting. Itu bahaya sekali.

Pengadilannya kan Pengadilan Militer, atas Tim Mawar Kopassus. Saya waktu sedang berada di Luar Negeri, sehingga waktu itu saya tidak pernah menghadiri persidangan. Yang hadir itu Nizar. Kalau Jaka aku nggak ngerti, tapi bisa dicek berapa bulan dia itu dapat vonis. Tapi kan range-nya antara 6 bulan sampai 20 atau 24 bulan. Beberapa malah dipromosikan.

Menyakitkan nggak juga sih. Dalam artian, ya sudahlah. Ya gimana ya? Yang ingin aku sampaikan adalah, itu tidak begitu penting, dalam artian, bahkan ketika semua, kecuali saya, bergabung dengan Prabowo. Tidak berarti tindak pidananya itu nggak terjadi. Gitu prinsipnya.

Karena ini bukan dari aduan. Penghilangan paksa, penyelidikan Komnas, itu menyebutkan ini Crimes Against Humanity – kejahatan terhadap Hak Asasi Manusia. Itu unsurnya terpenuhi. Artinya semua gabung sama mereka pun, bukan berarti. Dan bukan hanya korban yang punya otoritas mengadvokasi ini, kalian juga otoritas, apalagi kalian anak-anak muda yang harus memastikan bahwa kalian tidak akan dihilangkan di masa yang akan datang.

Kalau tanggapan Mas Mugi terkait yang sempat diculik, seperti Desmon, Pius, Aan, yang

kemudian bergabung dengan Gerindra, kan itu cukup melemahkan perjuangan ya karena ada argumen bahwa: “Ah kan ini aja yang pernah

diculik aja bergabung kok”. Nah menurut mas Mugi gimana? Terutama Aan ya, kan karena satu

organisasi…

Ya kalau pengadilan, yang begitu-begitu kan bisa dibicarakan, itu negotiable. Tapi setidaknya jangan mengingkari bahwa ini pernah ada. Kalau soal dia yang melakukan biar proses hukum. Tapi kita akui bahwa ini pernah ada dan dilakukan oleh militer. Itu penting. Dan yang selanjutya kan bahwa saat ini proses pengadilan kan tidak ada. Itu yang perlu di counter karena adanya yang mengatakan dia tidak bersalah kok pada kasus itu.

Tapi kan mereka itu tidak bersalah karena tidak ada proses hukum terhadap mereka. Proses hukum yang hendak dijalankan, dalam konteks Indonesia, kan melalui Komnas HAM. Mereka tidak bekerjasama, mereka menolak hadir. Dan karena mereka masih kuat melawan Komnas HAM, bisa menolak, karena mereka masih kuat, masih punya banyak senjata, pengaruh politik, tapi itu bukan berarti kalau mereka tidak bersalah. Mereka salah, dan itu harus diproses di pengadilan.

Page 18: Pamflet #2

WAWA

NCAR

A

“Gue tidak dikasih tahu secara langsung (soal hilangnya Bapak). Waktu umur 8 tahun, ada yang bilang bokap diculik. Dan sebenarnya bokap gue yang saat ini bukan bokap gue yang asli. Gue sempat penasaran dan gue menemukan KK, nama gue beda dengan sodara-sodara gue yang lain, beda sama nama bokap sekarang.

Udah mulai juga bertanya-tanya dengan pertanyaan gue yang aneh-aneh, kenapa namanya beda? Dan pertanyaan aneh-aneh anak kecil lainnya. Tiap ditanya ke nyokap, kadang dia menjawab, kadang dia diam aja, atau ninggalin gue pergi. Mungkin karena gue belum waktunya untuk mendapatkan semua informasi itu.

Gue empat bersaudara, tetapi kakak-kakak beda secara hukum. Jadi, sekarang nama gue di KK sendirian. Nyokap udah ga ada dan bokap ga jelas. Kemarin waktu mau mencantumkan nama bokap, karena orangnya tidak ada dan KTP-nya tidak diperpanjang pula jadi susah dicantumkan. KK dan KTP gue saat ini tunggal, karena gue tinggal sendiri.

Bokap gue ilang saat gue berusia 2 tahun, karena pas tahun 1998. Dan gue mulai tahu nya pada usia 8 tahun. Karena gue ketemu bokap hanya beberapa kali doang. Gue tinggal di Tegal dan bokap di Jakarta. Waktu itu bokap masih kuliah di sekolah pelayaran maritim, sehingga tidak tiap hari ketemu, jadi ingatannya hanya saat dia pergi saja yang paling melekat.

Waktu itu dia udah mau lulus. Tinggal nunggu wisuda. Ada semacam PKL. Waktu itu bokap lagi di Tegal, tapi karena bokap mau berlayar ke Singapura, dia minta izin ke Jakarta. Tiga hari setelah hilang seharusnya dia berlayar. Tapi Tuhan berkehendak lain, dia mengilang.”

Di tengah hiruk-pikuk kerusuhan Mei 1998, banyak nama yang tidak pernah kembali ke keluarganya. Mulai dari aktivis hingga warga sipil, mereka menjadi korban penghilangan paksa yang dilakukan aparat dalam usaha untuk

mengendalikan gelombang protes massal. Salah satu nama yang dihilangkan adalah Yadin Muhidin.Ia kuliah di Sekolah Pelayaran Maritim dan bermimpi akan menjadi kapten kapal suatu saat nanti. Tanggal 14 Mei 1998 siang, ia keluar dari rumah bersama temannya. Hingga Maghrib, tidak ada kabar. Keluarganya mulai khawatir. Kabar

simpang siur membuat mereka bingung. Di tengah kekacauan itu, mereka terus mencari.Yadin Muhidin tidak pernah pulang. Usianya 22 tahun.

Pamf let bertemu dengan Novrianda Dinis, anak Yadin Muhidin.

MENCARI BAPAK

Pertanyaan Pertama“Ada orang sampai sekejam itu

menghilangkan orang lain. Orang nyolong ayam aja bisa digebukin, ini

orang ngilangin orang lain aja masih ada, tidak fair banget. Sampai gue harus

menunggu 16 tahun dengan pertanyaan-pertanyaan gue yang aneh dan konyol. Menunggu setelah sekian

lama cuma buat mengetahui itu.”

Page 19: Pamflet #2

“Gue mulai tahu kronologisnya (hilangnya Bapak) dari baca-baca buku di sini (KontraS) dan cerita dari nenek. Karena nyokap benar-benar ga mau cerita. Takut pikiran gue aneh-aneh karena masih kecil juga. Dan setelah gue berada di Kontras gue pelajarin banget.

Sebenarnya Nyokap benar-benar tahu kronologisnya. Pas gue SMA, saat dia sakit, dan saat dia pulih gue mulai bertanya sedikit-sedikit di mana Bapak berada. Nyokap juga cerita tentang saat sebelum menikah, masih pacaran. Mungkin dia mulai cerita karena sudah waktunya. Gue suka bertanya juga kepada nenek seperti apa ceritanya. Dan ternyata tidak jauh berbeda dengan kronologis yang gue baca dari buku versi Komnas HAM, dari KontraS, semua tidak jauh beda. Karena semua dari dia-dia juga.

Nenek gue yang lebih banyak berjuang (untuk menemukan Bapak). Gue cuma menyambungkan doang apa yang diperjuangkan nenek gue. Sekarang dia udah sakit-sakitan, ga bisa jalan, udah tidak bisa ngapain-ngapain lagi, kerjanya hanya di tempat tidur doang.

Dulu kan bokap bersahabat 3 orang. Bokap, si A, dan si B. Dan saat ini si A yang paling dekat dengan gue. Apapun dia cerita, dulu-dulu seperti apa dan akhirnya gue tahu. Cuma pas bokap mau ilang, si A tuh lagi ga di Indonesia, dia lagi di Jepang, lagi berlayar juga.

Perlahan-lahan gue jadi mengenal banget (sosok Bapak). Sampai saat gue main ke rumah sahabat bokap, dia sampai mencari-cari foto bokap dulu. Sampai diceritakan sedih-sedihnya juga, marahnya, lucunya. Bisa tahu akhirnya. Menurut cerita dari Nenek, bokap bukan orang yang suka ‘neko-neko.’

Dan (saat tahu sejarahnya) perasaan pasti kaget. Ada orang sampai sekejam itu menghilangkan orang lain. Orang nyolong ayam aja bisa digebukin, ini orang ngilangin orang lain aja masih ada, tidak fair banget. Sampai gue harus menunggu 16 tahun dengan pertanyaan-pertanyaan gue yang aneh dan konyol. Menunggu setelah sekian lama cuma buat mengetahui itu.

Berasa banget dunia tidak adil. Cuma kan tidak harus berkata seperti itu. Menerima sih menerima. Cuma pelakunya masih bisa melanglang buana, ya perasaan gue kesel banget.(Sejarah ini) benar-benar kosong dan tanda tanya banget. Karena tidak ada yang bisa menjawabnya.”

Mulai Mencari Tahu

Anak muda tidak merespon isu seperti ini...

Setelah Hilang

“Anak muda sekarang aja pelanggaran HAM belum tentu dia tahu. HAM itu paling cuma tahu hak yang ada dari awal lahir hingga mati, udah gitu aja. Yang sepikiran gue. Karena sejauh ini, teman-teman gue aja setelah tahu gue bergabung (di LSM), kakak-kakak kelas gue tahu, langsung dibilang orang yang ‘cenderung’ terlibat dengan politik, judgement apalah itu. Padahal gue cuma kasih tahu ke mereka, mereka sendiri yang menilai. cuma kadang ya gue juga kesel kenapa mereka ga mau percaya dengan gue yang jelas-jelas ada faktanya.

Ada yang menjawab (kalau isu seperti ini tidak penting), soalnya ga cuma 1 atau 2 orang yang tahu (soal kasus penghilangan paksa). Pasti banyak orang yang tahu, tetapi ya no comment lah. Apalah. Mereka bertanya mengapa gue ‘cenderung’ banget ke politik. Hidup lo aja belum tentu benar, kata mereka. Banyak lah komentar orang. Cuma ya biarin ajalah, mereka mungkin ga merasakan bagaimana sakitnya menjadi korban dan bagaimana lamanya gue menunggu pertanyaan-pertanyaan itu dijawab. Dan ternyata hingga saat ini masih tanda tanya. Karena pelakunya aja masih ada. Kita tidak punya pengadilan yang benar-benar menyelesaikan ini semua.

Mereka tuh tidak merasakan, bagaimana rasanya menjadi gue. Okelah kita minta pemerintah lebih otoriter, tetapi mereka tidak belajar dari pengalaman, cuma teori doang. Ketika sudah otoriter, terus salah satu keluarga lo diperlakukan seperti itu, pasti mereka akan minta seperti dulu yang demokratis. Guru gue juga ada seperti itu, lebih nyaman dengan masa Soeharto. Ada yang salah tinggal tembak, ada yang ngomong jelek tinggal tembak, tapi lo ga merasakan bagaimana seandainya keluarga lo yang ditembak. Pasti lo juga nyesel dan nangis-nangis. Cuma yang membedakan dengan salah satu korban, misalnya Leonardus Nugroho Iskandar (Gilang), yaitu dia jelas sudah meninggal. Jenazahnya ada, keluarga bisa menerima.

Lah, sedangkan gue? Bokap gue diculik, jenazahnya entah di mana, dan pelakunya masih melanglangbuana, sampai bisa jadi capres, itu ga fair. Sedangkan gue hidup dalam sekian puluh tahun tanpa ada yang bisa meng-handle semua pertanyaan gue tentang bokap gue. Kalau menurut gue Prabowo itu ga gentle, semua mengungkapkan semua di media, tetapi ga pernah langsung ke Komnas membawa gue atau keluarga korban yang lain.Miris, tragis banget. Katanya kita negara hukum, tetapi kasus seperti itu tidak diselesaikan dengan benar-benar secara hukum. Apalagi politik bisa dibayar dengan uang. Jelas-jelas negara kita sudah jelek, (mengakunya) negara hukum. Tetapi pejabat-pejabatnya cuma, istilahnya, mereka cuma bisa santai-santai doang. Masa sih kita meski ikut jadi gitu juga? Masa kita tidak berf ikir memperbaiki negara kita? Untuk mengurangi angka korupsi, untuk menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi. Kita ga mungkin stuck di negara berkembang ini, kapan kita majunya?”

“Sudah terlalu banyak orang yang berbicara tentang

politik.”

“Mungkin, karena pada saat itu gue masih kecil dan nyokap harus memposisikan untuk terus bertahan hidup. Dia sempat ke Jakarta, tapi karena kontra dengan keluarga bokap, kemudian pulang lagi ke Tegal. Waktu nyokap menikah dengan bokap, mereka tidak serumah dengan keluarga, sehingga mereka ngontrak.Beberapa bulan setelah kejadian, Nenek gue sudah melakukan pengajuan untuk mencari bokap. Tapi di Komnas itu orang-orangnya ga jelas. (Kasus ini) selalu jadi tanda tanya besar. Dulu kan gue sering bertanya-tanya aneh, sering juga di bully pas SMP karena pada saat Soeharto akan meninggal, gue bilang bahwa orang yang paling gue benci adalah Soeharto dan Prabowo. Karena setahu gue mereka yang telah menculik bokap. Dari SMP gue udah merasa di-bully dan dijauhi oleh teman-teman, jadi merasa diasingkan.Waktu itu karena masih bocah-bocah. Gue bilang, ‘Ngapain dukung Soeharto, ngapain doain mereka pas akan meninggal? Oke lah boleh didoain, tapi kan dia udah hilangin bokap gue!” Tapi kan beberapa anak masih mendukung Soeharto karena menurut mereka dia berhasil menurunkan kurs dolar, BBM bisa turun dengan harga murah. Tapi tetep aja di mata gue dia jahat.Masyarakat belum tahu soal HAM, karena kan ga ada asupan secara khusus didalam pendidikan tentang HAM, dan juga tidak ada inisiatif untuk mencari sendiri. Karena kan HAM itu dimasukan ke dalam pendidikan hanya sedikit doang, di PKN. Malah pelajaran itu akan dihapus. Cuma ada penerapan doang menghargai orang, menghormati oran, itu sudah termasuk. Hanya untuk konteks ini, hak asasi manusia belum ada. Karena beda lingkungan antara keluarga dan negara.Saat SMA, gue gak terlalu diajari soal Reformasi. Karena guru sejarah gue tidak terlalu pintar, menurut gue. Nilai sejarah gue juga jelek. Dan gue belajar pada saat ada waktu luang. Gue inget kata-kata Nenek gue tentang apa itu ‘KontraS.’ Karena mungkin dulu gue di kampung, SMA gue di Cilacap jadi benar-benar kampung yang sulit akses informasi/internet. Semua cuma dari buku, seandainya mau dapat internet harus keluar ke daerah Jawa Barat. Setelah lulus SMA, pada

saat nunggu hasil-hasil ujian, gue pergi ke Jakarta (KontraS), minjem buku, dan bertanya-tanya semua orang.”

Page 20: Pamflet #2

>>

Setelah Hilang

“Sudah ada ide untuk membuat paguyuban bagi anak-anak korban. Sejauh yang gue tahu, beberapa korban yang hilang itu yang punya anak ada Yadin Muhidin, Wiji Thukul, dan Yani Afri. Gue sih baru merancang bikin komunitas seperti itu karena pas kebetulan itu, anaknya Yani Afri udah akrab dengan gue, anaknya Wiji Thukul, Wani, gue baru kenalan. Kita baru mau janjian. Semoga aja kita semua dipertemukan. Karena susah banget mencari mereka, sehingga ini baru direncanakan.

Pengalaman hidup kita pasti beda. Tapi ketika menjadi satu isu, kita jadi sama rasa.Banyak yang sudah gerak dengan caranya sendiri-sendiri. Kalau Wani dan Merah kan benar-benar sudah politis banget yang diomongin. Sedangkan kalau gue cenderung dari perasaan gue. Gue kan belum tahu banyak tentang politik, sejahat apa politik, jadi ya meskipun sudah membaca, gue belum mendapatkan gelar di belakang nama gue. Jadi gue ga usah berbicara mengenai itu dulu lah, gue akan lebih bercerita tentang perasaan gue.

Percuma, karena sudah terlalu banyak orang yang berbicara tentang politik, bahkan bicara politik-pun tidak ada yang merespon. Apalagi perasaan gue membuat mereka empati, sama semua keluarga korban bagaimana sakitnya ditinggal dan diilangi, dibunuh di depan mata, apalagi disiksa seperti itu.

Gue sih belum tahu politik sampai sejauh itu. Cuma mereka (Wani & Merah) sudah benar-benar kritis, kalau gue kan istilahnya masih bisa kesel. Kalau mereka udah bisa meredam kekesalan mereka dan terus sampai ada orang yang mau kenal dengan mereka karena anaknya Wiji Thukul, itu kan kalau emang dia udah bisa meng-handle itu dengan kata-kata dia yang kritis banget, ya menurut gue sih keren.

Cuma kalau sampai politik itu Wani dan Merah itu bawa ke pengadilan sih belom. Sejauh ini gue liat sih udah politis, ga dibawa perasaan lagi. Mereka udah cukup tenar dibandingkan gue, semua orang sudah pada kenal dengan mereka dengan karya-karyanya.

Menurut gue sih (masyarakat & keluarga korban) harus sadar, karena kan hak asasi manusia itu memang semua orang yang memiliki, jadi mereka ketika harus memilih antara keluarga korban atau masyarakat, kalau korban ini kan mereka merasakan, sedangkan masyarakat itu hanya melihat dan menilai saja. Kalau kita tidak selalu suplai, mereka tidak akan tahu. Dan seharusnya peran anak muda besar banget, karena mereka kan generasi berikutnya. Jangannya sampai kita salah pilih, terus kita harus terjun lagi seperti ke Orde Baru, yang otoritarian.

Semua juga berperan, hanya saja LSM itu hanya penyalur. Sedangkan gue dari apa yang gue rasakan. Cuma seandainya tidak ada LSM percuma juga, ga ada yang menyalurkan keadilan.”

Korban Berkumpul

“(Sisa Orde Baru) masih banyak. Kemarin tuh terakhir katanya masih ada yang semacam training tentang peta Indonesia, di sini akan ada ini, ini, cuma gue belum tahu presentasinya gimana. Guru gue sendiri aja bersikap otoriter, masih ada orang yang main tangan.

Terakhir gue denger, kasus ini sudah masuk hingga ke Kejaksaan Agung, hanya saja kasusnya emang mandek. Dan juga mungkin tidak ada kemauan dari Presiden untuk menyelesaikan kasus-kasus itu. Mungkin karena Prabowo sudah kebanyakan uang, presiden aja bisa dibayar.

Suatu saat nanti kasus ini akan dibuka. Namanya bau itu walaupun ditutup-tutupi dengan apapun akan kecium juga. Tapi kita ga tahu kapan, tapi pasti suatu saat akan ada yang berbicara.

Seandainya bokap meninggal pun, gue cuma pengen tahu di mana jenazahnya. Jadi bisa dimakamkan, diberi bunga, diberi wangi-wangi. Posisi seperti ini tidak enak, karena gue mau berdoa tapi gue ga tahu bokap di mana.

Apakah benaran meninggal atau masih hidup?”

>>

Page 21: Pamflet #2

WAWA

NCAR

A

TANPA NAMA

“Pak, pak, jangan dibakar! Di dalam banyak orang!”

Bu Darwin, 67 tahun. Anaknya enam. Si

sulung, Eten Karyana, adalah seorang guru Bahasa Inggris. Ia

tulang punggung keluarga.Pada 13 Mei 1998, Yogya Plaza terbakar.

Mall yang terletak di daerah Klender tersebut menjadi saksi penjarahan

massal, yang berujung pada dibakarnya mall tersebut. Sekitar 400 orang sirna di Yogya Plaza.

Salah satunya adalah Eten.

Waktu itu jam 7 pagi. Anak saya guru Bahasa Inggris di Bekasi, dia berangkat pagi-pagi sekali. Terus sekitar tengah hari, ada ribut. Katanya Yogya Plaza (sekarang Citra Mall) di Klender kebakaran. Kemudian denger juga kalau di daerah sana itu ada yang keluar masuk mall.

Nah, anak saya sampai jam 2-3 gak pulang. Terus adiknya bilang, “Mah, katanya tadi Eten kelihatan di Yogya Plaza di Klender itu. Tapi dia lagi ngerokok bertiga di trotoar.” Kemudian dia melihat anak kecil terkurung api, jadi dia masuk ke gedung yang kebakaran itu. Sampai beberapa kali, tidak bisa keluar.

Dia ngelihat anak kecil itu berseragam merah. Keponakannya masih kecil, dan dia kan sering diantar sekolah sama dia. Jadinya teringat. Dia langsung masuk aja ke situ, gak dipeduliin. Dikiranya mungkin itu kebakaran biasa.

Akhirnya, dia gak bisa keluar lagi. Ternyata sudah ada berita di Cakrawala (program berita di ANTV saat itu). Saya di rumah sudah gelisah. Karena katanya Yogya Plaza ini kelihatannya.. kok kebakaran sampai seperti itu? Apinya kayak gitu, dan ada banyak orang yang kejebak di gedung itu. Nah, ada yang bilang kalau orang-orang itu keluar masuk bawa barang.Dia pernah ditepuk sama Kakaknya, “Kamu jangan

masuk. Udah di sini aja.” Terus ada kabar juga dari masyarakat di sana, kalau orang-orang itu ada yang nyuruh masuk ke gedung itu. ‘Udah, ambil aja apa yang ada di situ.” Awalnya kelihatan kan orang-orang bawa tivi, apalagi situasi saat itu lagi krisis moneter. Dan di sekitar situ banyak lah anak anak suka ngamen, anak-anak SMA, pelajar, semuanya masuk ke gedung itu. Mereka lagi susah, diiming-imingi, ada yang nyontohin duluan, lagi. Mereka keluar masuk, dan begitu masuk lagi, udah gelap. Keluar asap. Mereka gak bisa keluar.

Saya tunggu-tunggu sampai sore kabar anak saya. Sampai maghrib, saya bingung. Jangan-jangan kenapa-napa ini anak? Gak mungkin lah dia berbuat seperti itu (menjarah), apalagi dia seorang guru. Akhirnya saya dapat informasi lagi dari tetangga, pada waktu itu emang kejadiannya di Klender itu bukan cuma barang-barangnya, tapi orang-orang yang di dalam juga kebakar semua.

Page 22: Pamflet #2

Ada yang bilang ke saya, dari Pondok Kopi ke Klender ada yang ngebawa bensin beberapa jerigen ke gedung-gedung itu, lalu dibakar. Setelah dibakar dia lari, padahal masyarakat setempat yang ngelihat udah bilang, “Pak, pak, jangan dibakar! Di dalam banyak orang!” Gak digubrisnya, langsung aja dibakar. Di situ terjadilah, berapa ratus jiwa manusia termasuk anak sana sendiri hilang.

Apa

seb

abny

a?

Anak saya sudah jadi abu. Ketahuannya begini; ada siaran berita yang bilang, “Telah ditemukan sebuah dompet berisi KTP yang tidak terbakar”. Kemudian dompet itu dimasukkan ke dalam kantong plastik yang berisikan abu. Nah, saya bertanya-tanya, kok isinya abu sih? Langsung saya gak kuat.

Yang menyampaikan kabar itu tidak langsung kasih tahu ke saya, tapi kasih tahu ke Bapaknya. Salah satu teman almarhum bilang, jangan ngomong di depan Ibu. Tapi kan saya langsung denger. Saya langsung cerita bapaknya. Akhirnya mantu saya hujan-hujan jemput itu kantung plastik yang isinya abu. Karena di KTP-nya disebutkan di televisi juga, ETEN KARYANA, PENGGILINGAN. Jadi jelas, anak saya sudah meninggal di situ.

Tapi kenapa ini dompet tidak terbakar? Dan KTP-nya pun masih bisa dibaca, cuma lusuh?

Terus saya lapor ke Kelurahan, “Pak anak saya meninggal.” Katanya udahlah Bu, itu kecelakaan. KTP-nya mau mereka ambil. Saya bilang gak, ini buat kenang-kenangan saya pak. “Tapi itu kan kecelakaan, bu!” Saya gak didenger. Saya dulu aktif di Kelurahan. Setelah itu saya berhenti.Sampai sekarang saya pegang itu KTP…

“Mereka kan tidak berdosa. Kalau ingin kekuasaan, jangan bikin orang lain celaka. Jangan jadikan rakyat

kecil ini tumbal!”

Ada banyak orang tidak berdosa di situ, termasuk anak saya, anak-anak sekolahan, orang yang lagi belanja di situ. Kenapa mereka tiba-tiba terbakar? Tidak, mereka dibakar.

Ada anak sekampung dari Penggilingan juga di situ. Itu dia sudah tidak berupa manusia. Tinggal tangannya aja, ada gelang. Dia sudah nelungkup gini di depan kaca. Ibunya sendiri gak mengenali. Tapi saudara-saudaranya pada datang ke situ.

Penggilingan waktu itu rame. Nangis guling-guling semuanya. Gak nyangka! Termasuk anak saya sendiri sampai begitu terjadinya. Apa sebabnya kok bisa trjadi seperti itu? Padahal waktu itu kan krisis Moneter ya dek, terus kenapa waktu itu orang disuruh masuk ke dalam gedung lalu dibakar? Kenapa sih? Mereka kan tidak berdosa. Kalau ingin kekuasaan, jangan bikin orang lain celaka. Jangan jadikan rakyat kecil ini tumbal!

Selama ini bener, dek, saya berjuang untuk kemanusiaan. Saya berjuang buat 400 jiwa itu yang hangus, bener-bener hangus. Bentuknya tidak berupa manusia lagi. Udah tinggal sepotong sepotong. Kayak arang aja!

Tapi herannya, anak saya itu dompetnya tidak terbakar dan dalamnya masih ada KTP. Ini yang masih jadi tanda tanya sampai sekarang. Udahlah, saya ikhlaskan aja.

Saya gak ngerti apa-apa waktu itu. Saya diam aja di rumah. Tiba-tiba ada anak mahasiswa yang datang ke rumah. Bapaknya langsung marah-marah, ngomelin mereka. Ternyata itu Tim Relawan. Mereka datang ke rumah mau menanyakan, bukan mau apa-apa. Nanya, “Siapa yang jadi korban di sini, bu?” Mereka pernah ngedata ke beberapa rumah, dan orangnya malah lari. Ngerasa takut karena dianggap menjarah.

Tapi alhamdulillah, saya didatangi orang dari RT, dari RW dan kelurahan. Anak saya ini jiwa sosialnya tinggi. Kalau ngajar Bahasa Inggris, gak pakai target harganya berapa. “Pokoknya anak Ibu pinter, saya sudah seneng.”

Ketika didata, saya datang ke Jalan Arus, kantornya Tim Relawan Kemanusiaan. Saya diminta ngumpul di sana, dan orang-orang pada datang. Waktu itu menjelang 100 hari.

Saya masuk ke situ, dan orang banyak banget. Ternyata itu korban semua. Mereka didata, lalu ngumpul di situ. Suasananya lagi sedih banget, dek. Eh, tiba-tiba Tim Relawan itu membawakan amplop. “Ini bu,” katanya. “Untuk sedekahan.” Tangan saya gemeteran, dek. “Masa sih anak saya harus ditukar dengan uang? Anak saya dibakar di sana...”

Kata mereka, “Bu, tenang bu. Ini sekedar untuk sedekah, sebagai bentuk simpati kami. Bukan untuk menukar anak Ibu.” Saya dikasih amplop sebesar Rp 500 ribu.

Saya nangis di jalanan, dek. “Pak, kok ini kita dikasih uang?”Apalagi waktu kita lewat di Yogya Plaza. Kan masih baru kebakar. Saya gak mau nengok. Saya gak berani nengok. Rasanya sedih sekali, dik. Anak yang jadi tumpuan Ibu, yang jadi tulang punggung saya, direnggut begitu saja. Seharusnya di usia tua seperti ini ada yang ngedampingin Ibu.

Ibu sedih banget, dik. Orangnya baik. Nurut banget sama orang tua. Apapun kebutuhan orang tua, dia selalu berusaha. Bawa beras ke rumah. “Bapak ke mana, bu?” Belum pulang, kata saya. Kemarin baru bantuin temen skripsi, dia bilang. Dapat duit, jadi beliin beras buat di rumah. Beli beras, minyak goreng. Saya tanya, kenapa dia taruh semuanya di meja? “Gapapa, ma, biar nanti Bapak pulang terus dia tahu.”

Dia mikirin adik-adiknya. Waktu itu adiknya masih SMA, masih SMP, ada yang SD. Dia yang bantuin mereka. Suka ada aja uangnya.

Dia suka bikin makalah. Kalau dulu kan belum ada komputer, harus pakai mesin tik gitu. Sampai malem bunyi terus! Tak, tok, tak, tok.

Kertas sampai ampar-amparan ke mana-mana. Kadang-kadang dia sampai ketiduran di atas buku. Tidur gitu, nginep di kampus.Waktu itu dia nginep, ketiduran, pakai baju biru. Masih inget saya.

Habis kejadian Trisakti tanggal 12 Mei 1998, dia masih ada, kan. Saya nonton tivi aja, eh dia ada di belakang Ibu. “Wah, Mama serius banget, sih. Kayak politikus aja.” Gitu katanya. “Kasihan ya, ma?” kata dia. “Itu, temen-temen di Trisakti. Kok bisa ditembak kayak gitu, ya?” Iya, kata saya. Kasihan orang tuanya juga, gimana ya perasaan mereka. Eh, gak tahunya tanggal 13 Mei dia yang dibakar. Ternyata dia gak kembali. Yang kembali cuma KTP.Baik banget anaknya.

Page 23: Pamflet #2

“Yang kita tuntut dari negara adalah pengakuan, keadilan, dan tanggung

jawab.”

Ini sudah 16 tahun, dik. Kita belum mendapat apa-apa. Dari pemerintah belum ada pengakuan. Tapi berkas-berkas dari kita, untuk kasus 13 Mei 1998, sudah ada di Kejaksaan. Dan harapan kita, semua itu ditindaklanjuti. Belakangan ini Presiden-Presiden sebelumnya cuma janji-janji melulu! Tidak ada kepastian. Saya mengharapkan agar yang akan memimpin sekarang ini akan benar-benar peduli HAM dan memperhatikan kejadian-kejadian pelanggaran HAM berat masa lalu.

Ada kasus-kasus lain, tapi yang penting kan kasus Mei itu dulu. Berkas-berkas itu sudah lama disampaikan ke Kejagung. Awalnya kan ke Komnas HAM, dari situ dilempar ke Kejagung, dari situ dibalikkin lagi ke Komnas HAM, kayak gitu! Kayak main bola. Tendang sana, tendang sini. Ya kita kan nunggu? Kita keluarganya, tidak mungkin kan kita dihilangkan begitu saja. Kita gak mungkin diam aja.

Bukannya kita ingin membalas. Tapi kita ingin ada pengakuan dari negara. Kami ingin ada tanggung jawab tentang peristiwa Mei 1998. Jangan biarkan keluarga korban ini harus berpikir, harus melamun, harus berjuang mati-matian, tapi tidak ada kepastian. Mereka harus diberikan kepastian.Yang kita tuntut dari negara adalah pengakuan, keadilan, dan tanggung jawab.

Pengakuan aja – siapa itu pelakunya? Tidak mungkin kalau tidak ada pelaku. Pelakunya ada, dek! Kalau saya sebut nama, nanti saya kena masalah. Tapi ya, begitulah. Mereka tidak mau karena kekuasaan, karena kekayaan, karena korupsi. Pelanggaran HAM yang kelihatan sekarang sangat sedikit. Memangnya apa sih yang ada di pikiran mereka?

Ternyata yang di pikiran mereka cuma uang. Kekayaan, yang bermilyar-milyar. Sementara rakyat yang miskin banyak, yang gak bisa sekolah banyak. Sementara mereka senang-senang begitu dengan uang rakyat.

Ini kan peristiwa yang harusnya diperhatikan pemerintah. Apa mereka akan merugi berapa puluh milyar? Enggak! Pengakuan dulu, lah. Ngomong lah sama para korban. Yang penting itu kejujuran. Saya nggak akan diam sampai saya mendapatkan keadlian. Saya akan menunggu terus.Kita nggak diam aja begini, apalagi kalau diam! Lama-lama hilang semua. Kan kasihan. Mereka yang berbuat mah enak, senang-senang. Nari di atas penderitaan rakyat yang jadi korban.

Ini negara apa? Ke mana hukum itu? Masa rakyat sudah jadi korban, sudah begitu lama ditunggu, masih harus ditunda-tunda? Kok harus ada kehalang ini, kehalang itu? Pelanggaran HAM ini sudah masa lalu. Ke depannya mungkin masih ada lagi. Dan itu harapan kami, agar semua ini tidak terulang kembali. Udah, jangan sampai.

Tapi ada aja sekarang, kan? Itu kok bisa terjadi juga? Mungkin mereka merasa, yah sudah. Begitu ya begitu aja. Tidak ada problem.

Kita sering buat aksi sama Tim Relawan, dan kami mendatangi instansi pemerintah. Ke DPR, Menhankam, Kejaksaan Agung. Ke Komnas HAM juga pernah.

Terus aja kami bikin aksi, sampai akhirnya kami aksi di Kamisan. Karena tenaga kita untuk terus teriak-teriak di jalanan udah gak kuat. Dulu Ibu bener, masih ada foto-fotonya. Ibu sama Bapak di depan, ngebawa foto almarhum. Ditanyain, “Bu Darwin capek gak?” Saya jawab, “Gak, gak capek!” Saya jalan terus.

Kalau aksi kan kadang-kadang kami membawa keranda yang diusung-usung. Terus kami pakai ikat kepala bertuliskan “Korban Menuntut”. Sering itu dulu.

Tapi ya begitu, dek. Tidak ada tanggapan.Makanya ini sudah 16 tahun. Saya benar-benar berharap agar semua kasus pelanggaran HAM

ini bisa dituntaskan. Pokoknya ada pengakuan dulu dari pemerintah. Korban tahun 1965 berjuang terus, tapi akhirnya meninggal. Sudah banyak yang meninggal.

Dulu ada korban 1965 yang sering duduk sama saya. Saya kaget, biasanya sering rapat bareng di KontraS, tahu-tahu dia sudah meninggal. Mereka kan sudah sepuh. Berjuang terus untuk dapat keadilan, untuk dapat rehabilitasi. Itu kan kasihan, orang sudah tua. Tolong diperhatikan.

Tapi, ada satu kegembiraan sedikit. Saya sudah mengajukan agar di TPU Pondok Rangon, tempat korban Yogya Plaza dikuburkan, dibikinkan satu monumen atau gapura. Diberi tanda agar orang yang datang ke situ tahu. Oh iya, ini adalah makam dari korban 13 Mei 1998. Alhamdulillah, sudah disetujui oleh Dinas Pemakaman-nya, oleh Ahok, oleh Jokowi. Nanti acara puncaknya 18 Mei, ada peletakan batu pertama untuk membikin monumen itu.

Walaupun hanya peletakan batu pertama, tapi setidaknya ada perhatian. Dia merasa simpati dengan kita. Sebenarnya dulu juga pernah kami ajukan. Tapi, waktu itu Gubernur Sutiyoso belum bisa. Jadi kami lanjutkan dengan rekan-rekan kami di Tim Relawan Kemanusiaan, itu gagal. Lalu saya ajukan lagi dengan Elsam. Saya diundang juga oleh Komnas Perempuan, lalu kata mereka usulan saya sudah diterima. Sudah di-acc sama Dinas Pemakaman, Ahok, dan Jokowi. Tanggal 18 Mei nanti acara puncaknya di Pondok Rangon.

Makam-makam itu akan dibersihkan dan dicat ulang, karena sudah pudar, kan. Dan dicat mengikuti sebelumnya, “Korban Tragedi 13 Mei 1998 – Tanpa Nama”.

Dulu kan gak pernah ada seperti ini. Baru sekarang ada. Kami berdiri ratusan minggu di depan Istana Negara itu, sampai sekarang belum ada tanggapan apa-apa. Sementara kita

“Kami berdiri ratusan minggu di depan Istana Negara itu, sampai sekarang belum ada

tanggapan apa-apa. Sementara kita berdiri di situ, mau panas, kehujanan, capek. Hanya

satu – menuntut keadilan.”

berdiri di situ, mau panas, kehujanan, capek. Hanya satu – menuntut keadilan.

Sementara kita terus berkoar-koar. Itu apa mereka ditutup kupingnya atau matanya? Apa mereka ngetawain kita juga? “Itu nenek-nenek dari dulu masih teriak-teriak aja!” Masa bodoh amat saya! Emangnya kalau gak kayak gitu, mau ngapain? Keadilan itu harus kita dapat.

Kalau kita tetap diam, ya tambah menjadi-jadi.Apalagi di kasus Mei 1998. Yang berjuang bukan hanya saya sendiri. Dan mereka semua kebanyakan sudah lelah. Udah capek, dek. Udah gak mau. Misalnya, kalau KontraS ada aksi, ada orasi, saya datangin kalau saya sehat. Saya ikutin terus.

Kan ada Paguyuban-nya itu, anggotanya sekitar 50 orang. Awalnya, mereka banyak. Kita ketemuan terus setiap bulan. Sejak sekitar tahun 2003, anggotanya berkurang terus. Sekarang ada koperasinya, dan di situ kita suka ketemu bareng. Itupun belum tentu banyak orang yang datang. Mungkin mereka punya kesibukan masing-masing.

Kadang kawan saya bilang, “Udahlah, win, ngapain capek-capek terus menuntut? Ke Istana lagi, berdiri lagi. Kita mau cuap-cuap di depan Istana juga gak didengerin sama SBY.” Emang sih, tapi kalau kita diam, kita tambah menghilang. Masa kasusnya menghilang begitu aja tanpa ada perhatian dan keadilan dari pemerintah? Coba ungkapkan kasus 13 Mei 1998. Itu belum disentuh, walau udah ada berkas-berkasnya yang sudah diserahkan ke Kejaksaan Agung.

Prosesnya harus terbuka. Itu kan sudah ada TGPF, Tim Gabungan Pencari Fakta. Dan itu bukan cuma dari LSM aja, dari Kepolisian juga ada. Udah lengkap. Tapi kenapa kok pemerintah membiarkan aja kayak gitu? Ya korban yang masih ada akan menuntut terus penyelesaian semua ini.

Walaupun, kayaknya sekarang ini harapan untuk korban menyempit sekali. Tapi ya sudahlah. Saya harap monumen makam yang sudah di-acc Jokowi dan Ahok itu berjalan lancar. Agar orang tahu, di situ makam korban.

Peristiwa Mei 1998 itu korbannya ribuan, dik. Di Yogya Plaza aja ada 400, belum di tempat-tempat lain. Kan di semua titik ada. Anehnya, Itu dengan waktu yang bersamaan. Udah jelas itu terorganisir. Harus semuanya dibakar, dihanguskan.

Itu untuk apa? Kenapa mereka harus dijadikan korban, bukannya dirangkul? Padahal itu kan krisis moneter...Saya sangat kecewa, apalagi dengan pemerintahan SBY ini. Janji-janji mulu. Udah kita turun ke jalanan, udah ke Istana, ke DPR, tapi belum ada kepastiannya. Saya berharap sekali agar berkas-berkas yang sudah ada di Kejaksaan itu bisa ditindaklanjuti. Supaya ini cepat selesai. Tanjung Priok, 1965, penghilangan paksa. Penghilangan Paksa kasusnya udah dapat

rekomendasi dari DPR. Tapi sampai sekarang mana? Kan hanya omongan kayak gitu aja, ga ada apa-apa. Semua kasus itu tidak terselesaikan.

Mudah-mudahan masih ada celah untuk korban. Walaupun masih berantakan, tapi mudah-mudahan bisa berlanjut dengan baik dan bisa dibuktikan. Itu perjuangan kami semua. Monumen itu bentuk perjuangan kami. Tapi, kami akan tetap menuntut keadilan untuk anak-anak kami yang menjadi korban. Demi anak saya sendiri.

Sekarang anak muda mulai muncul. Mereka mulai bertanya sama saya. Dan bener sih, dik. Harusnya sudah ada generasi baru yang muncul melanjutkan ini. Saya berharap banyak sama mereka. Waktu itu ada anak-anak dari UI yang bertanya-tanya ke saya. Anak Ibu kan anak UI juga, dan dia meninggal di Yogya Plaza dengan kondisi seperti itu. Anak yang jadi harapan Ibu direnggut nyawanya begitu saja.

Anak-anak mahasiswa itu siap membantu. Mereka sudah mulai ada.

Page 24: Pamflet #2

Kita sering buat aksi sama Tim Relawan, dan kami mendatangi instansi pemerintah. Ke DPR, Menhankam, Kejaksaan Agung. Ke Komnas HAM juga pernah.

Terus aja kami bikin aksi, sampai akhirnya kami aksi di Kamisan. Karena tenaga kita untuk terus teriak-teriak di jalanan udah gak kuat. Dulu Ibu bener, masih ada foto-fotonya. Ibu sama Bapak di depan, ngebawa foto almarhum. Ditanyain, “Bu Darwin capek gak?” Saya jawab, “Gak, gak capek!” Saya jalan terus.

Kalau aksi kan kadang-kadang kami membawa keranda yang diusung-usung. Terus kami pakai ikat kepala bertuliskan “Korban Menuntut”. Sering itu dulu.

Tapi ya begitu, dek. Tidak ada tanggapan.Makanya ini sudah 16 tahun. Saya benar-benar berharap agar semua kasus pelanggaran HAM

ini bisa dituntaskan. Pokoknya ada pengakuan dulu dari pemerintah. Korban tahun 1965 berjuang terus, tapi akhirnya meninggal. Sudah banyak yang meninggal.

Dulu ada korban 1965 yang sering duduk sama saya. Saya kaget, biasanya sering rapat bareng di KontraS, tahu-tahu dia sudah meninggal. Mereka kan sudah sepuh. Berjuang terus untuk dapat keadilan, untuk dapat rehabilitasi. Itu kan kasihan, orang sudah tua. Tolong diperhatikan.

Tapi, ada satu kegembiraan sedikit. Saya sudah mengajukan agar di TPU Pondok Rangon, tempat korban Yogya Plaza dikuburkan, dibikinkan satu monumen atau gapura. Diberi tanda agar orang yang datang ke situ tahu. Oh iya, ini adalah makam dari korban 13 Mei 1998. Alhamdulillah, sudah disetujui oleh Dinas Pemakaman-nya, oleh Ahok, oleh Jokowi. Nanti acara puncaknya 18 Mei, ada peletakan batu pertama untuk membikin monumen itu.

Walaupun hanya peletakan batu pertama, tapi setidaknya ada perhatian. Dia merasa simpati dengan kita. Sebenarnya dulu juga pernah kami ajukan. Tapi, waktu itu Gubernur Sutiyoso belum bisa. Jadi kami lanjutkan dengan rekan-rekan kami di Tim Relawan Kemanusiaan, itu gagal. Lalu saya ajukan lagi dengan Elsam. Saya diundang juga oleh Komnas Perempuan, lalu kata mereka usulan saya sudah diterima. Sudah di-acc sama Dinas Pemakaman, Ahok, dan Jokowi. Tanggal 18 Mei nanti acara puncaknya di Pondok Rangon.

Makam-makam itu akan dibersihkan dan dicat ulang, karena sudah pudar, kan. Dan dicat mengikuti sebelumnya, “Korban Tragedi 13 Mei 1998 – Tanpa Nama”.

Dulu kan gak pernah ada seperti ini. Baru sekarang ada. Kami berdiri ratusan minggu di depan Istana Negara itu, sampai sekarang belum ada tanggapan apa-apa. Sementara kita

berdiri di situ, mau panas, kehujanan, capek. Hanya satu – menuntut keadilan.

Sementara kita terus berkoar-koar. Itu apa mereka ditutup kupingnya atau matanya? Apa mereka ngetawain kita juga? “Itu nenek-nenek dari dulu masih teriak-teriak aja!” Masa bodoh amat saya! Emangnya kalau gak kayak gitu, mau ngapain? Keadilan itu harus kita dapat.

Kalau kita tetap diam, ya tambah menjadi-jadi.Apalagi di kasus Mei 1998. Yang berjuang bukan hanya saya sendiri. Dan mereka semua kebanyakan sudah lelah. Udah capek, dek. Udah gak mau. Misalnya, kalau KontraS ada aksi, ada orasi, saya datangin kalau saya sehat. Saya ikutin terus.

Kan ada Paguyuban-nya itu, anggotanya sekitar 50 orang. Awalnya, mereka banyak. Kita ketemuan terus setiap bulan. Sejak sekitar tahun 2003, anggotanya berkurang terus. Sekarang ada koperasinya, dan di situ kita suka ketemu bareng. Itupun belum tentu banyak orang yang datang. Mungkin mereka punya kesibukan masing-masing.

Kadang kawan saya bilang, “Udahlah, win, ngapain capek-capek terus menuntut? Ke Istana lagi, berdiri lagi. Kita mau cuap-cuap di depan Istana juga gak didengerin sama SBY.” Emang sih, tapi kalau kita diam, kita tambah menghilang. Masa kasusnya menghilang begitu aja tanpa ada perhatian dan keadilan dari pemerintah? Coba ungkapkan kasus 13 Mei 1998. Itu belum disentuh, walau udah ada berkas-berkasnya yang sudah diserahkan ke Kejaksaan Agung.

Prosesnya harus terbuka. Itu kan sudah ada TGPF, Tim Gabungan Pencari Fakta. Dan itu bukan cuma dari LSM aja, dari Kepolisian juga ada. Udah lengkap. Tapi kenapa kok pemerintah membiarkan aja kayak gitu? Ya korban yang masih ada akan menuntut terus penyelesaian semua ini.

Walaupun, kayaknya sekarang ini harapan untuk korban menyempit sekali. Tapi ya sudahlah. Saya harap monumen makam yang sudah di-acc Jokowi dan Ahok itu berjalan lancar. Agar orang tahu, di situ makam korban.

Peristiwa Mei 1998 itu korbannya ribuan, dik. Di Yogya Plaza aja ada 400, belum di tempat-tempat lain. Kan di semua titik ada. Anehnya, Itu dengan waktu yang bersamaan. Udah jelas itu terorganisir. Harus semuanya dibakar, dihanguskan.

Itu untuk apa? Kenapa mereka harus dijadikan korban, bukannya dirangkul? Padahal itu kan krisis moneter...Saya sangat kecewa, apalagi dengan pemerintahan SBY ini. Janji-janji mulu. Udah kita turun ke jalanan, udah ke Istana, ke DPR, tapi belum ada kepastiannya. Saya berharap sekali agar berkas-berkas yang sudah ada di Kejaksaan itu bisa ditindaklanjuti. Supaya ini cepat selesai. Tanjung Priok, 1965, penghilangan paksa. Penghilangan Paksa kasusnya udah dapat

rekomendasi dari DPR. Tapi sampai sekarang mana? Kan hanya omongan kayak gitu aja, ga ada apa-apa. Semua kasus itu tidak terselesaikan.

Mudah-mudahan masih ada celah untuk korban. Walaupun masih berantakan, tapi mudah-mudahan bisa berlanjut dengan baik dan bisa dibuktikan. Itu perjuangan kami semua. Monumen itu bentuk perjuangan kami. Tapi, kami akan tetap menuntut keadilan untuk anak-anak kami yang menjadi korban. Demi anak saya sendiri.

Sekarang anak muda mulai muncul. Mereka mulai bertanya sama saya. Dan bener sih, dik. Harusnya sudah ada generasi baru yang muncul melanjutkan ini. Saya berharap banyak sama mereka. Waktu itu ada anak-anak dari UI yang bertanya-tanya ke saya. Anak Ibu kan anak UI juga, dan dia meninggal di Yogya Plaza dengan kondisi seperti itu. Anak yang jadi harapan Ibu direnggut nyawanya begitu saja.

Anak-anak mahasiswa itu siap membantu. Mereka sudah mulai ada.

“Kami sudah berkali-kali menuntut pada pemerintah, jangan sampai ada

stigma seperti ini lagi. Anak kami masuk ke situ ada yang nyuruh.”

Sekarang muncul lagi f ilm Mall Klender. Itu kan menjadi kontroversi sendiri. Saya ngomong ke Komnas Perempuan, “Bagaimana ini, bu? Kita kan sedang ingin memperingati Mei 1998, kenapa malah muncul f ilm seperti itu?” Sementara, f ilm itu malah menonjolkan sisi yang angker-angker. Film horor.

Memang proyek komersial. Tapi seharusnya mereka mengajak keluarga korban ngomong dulu. Apalagi kalau mereka mau menyebarkan ke daerah-daerah. Kami dirugikan sih enggak, tapi kami sakit. Kami ingin bertemu dengan mereka. Kami sudah kirim surat ke produsernya, dan kapan-kapan pasti akan ada pertemuan dengan mereka. Tujuannya apa. Kenapa harus f ilm itu yang dibuat? Kenapa harus horornya yang disorot? Sementara kita ingin ada keadilan dan agar korban tenang di sisi Allah SWT.Saya gak tahu mereka ada keperluan apa. Tapi kalau f ilm ini mau disebarkan ke daerah-daerah, saya minta bantuan dari berbagai lembaga dan teman-teman agar f ilm ini tidak dilanjutkan. Bahaya. Nanti sejarah dibelokkan.

Anak-anak sekarang dari mulai SMA sampai Universitas sudah tahu soal Mei 1998. Kalau tiba-tiba mereka terpengaruh dengan f ilm seperti itu, tentunya mereka akan bertanya-tanya. Kenapa harus keangkerannya yang disorot? Saya bingung. Nanti mungkin setelah Mei ini kami bertemu dengan mereka.Jangan dilanjutkan. Itu saja pesan para keluarga korban. Kami semua marah, dek.

Begitu saya dengan kabar ini, saya langsung telepon semua Ibu-Ibu keluarga korban. “Wah, gak bisa itu bu!” Sabar, kata saya. Ada Komnas Perempuan yang mau mendampingi kita. “Saya waktu itu ke situ waktu kejadiannya malem-malem,” kata teman saya. “Kaga ada apa-apa. Yang namanya itu setan-setan kaga ada, bu!”

Kita lagi berjuang. Lalu tiba-tiba ada f ilm horor kayak begini yang ngedokumentasikan sejarah kita. Kan jadinya lucu. Makanya kami minta f ilm itu distop. Apalagi kalau ke daerah. Katanya mau dibawa ke Aceh, dek.

Pihak masyarakat Tionghoa juga marah, dek. Kemarin waktu ketemuan di Komnas Perempuan mereka angkat bicara. Ada juga perwakilan Tionghoa yang masih muda. “Saya sangat sedih dengan adanya f ilm itu,” katanya. “Perlu diurusin. Gak bisa dibiarin aja.”

Pada waktu itu memang antara etnis pribumi dan Tionghoa sering diadu domba. Padahal sebenarnya biasa-biasa saja. Makanya waktu itu muncul penjarahan. Kami sudah berkali-kali menuntut pada pemerintah, jangan sampai ada stigma seperti ini lagi. Anak kami masuk ke situ ada yang nyuruh. Ditepuk-tepuk, dibilang “Ambil aja tuh semuanya.” Mungkin ada yang memang datang ingin menjarah, tapi gak mungkin semuanya berani kalau gak ada yang “nyuruh”.

Saya sempat nonton di f ilmnya, ada adegan yang seolah memperlihatkan Yogya Plaza pada waktu itu. Sedangkan saya kalau mau tabur bunga atau membuat peringatan harus memberi pemberitahuan dulu, kenapa buat f ilm itu bisa? Seolah-olah benar itu yang terjadi di sana. Yang diceritakan cuma yang serem-serem. Ini akan jadi problem juga.

Filmnya sembarangan gitu. Emangnya sebelum 1998, di mall itu gak ada kejadian apa-apa? Dan ini kejadian besar, 400 jiwa hilang di situ. Dibakar. Kalau muncul f ilm horor seperti itu, apa gak menyentak perasaan kita? Efeknya bagaimana ke korban?

Mereka sudah 16 tahun capek menunggu, kepanasan, kehujanan, berjuang. Efeknya gimana?

Page 25: Pamflet #2

Sekarang muncul lagi f ilm Mall Klender. Itu kan menjadi kontroversi sendiri. Saya ngomong ke Komnas Perempuan, “Bagaimana ini, bu? Kita kan sedang ingin memperingati Mei 1998, kenapa malah muncul f ilm seperti itu?” Sementara, f ilm itu malah menonjolkan sisi yang angker-angker. Film horor.

Memang proyek komersial. Tapi seharusnya mereka mengajak keluarga korban ngomong dulu. Apalagi kalau mereka mau menyebarkan ke daerah-daerah. Kami dirugikan sih enggak, tapi kami sakit. Kami ingin bertemu dengan mereka. Kami sudah kirim surat ke produsernya, dan kapan-kapan pasti akan ada pertemuan dengan mereka. Tujuannya apa. Kenapa harus f ilm itu yang dibuat? Kenapa harus horornya yang disorot? Sementara kita ingin ada keadilan dan agar korban tenang di sisi Allah SWT.Saya gak tahu mereka ada keperluan apa. Tapi kalau f ilm ini mau disebarkan ke daerah-daerah, saya minta bantuan dari berbagai lembaga dan teman-teman agar f ilm ini tidak dilanjutkan. Bahaya. Nanti sejarah dibelokkan.

Anak-anak sekarang dari mulai SMA sampai Universitas sudah tahu soal Mei 1998. Kalau tiba-tiba mereka terpengaruh dengan f ilm seperti itu, tentunya mereka akan bertanya-tanya. Kenapa harus keangkerannya yang disorot? Saya bingung. Nanti mungkin setelah Mei ini kami bertemu dengan mereka.Jangan dilanjutkan. Itu saja pesan para keluarga korban. Kami semua marah, dek.

Begitu saya dengan kabar ini, saya langsung telepon semua Ibu-Ibu keluarga korban. “Wah, gak bisa itu bu!” Sabar, kata saya. Ada Komnas Perempuan yang mau mendampingi kita. “Saya waktu itu ke situ waktu kejadiannya malem-malem,” kata teman saya. “Kaga ada apa-apa. Yang namanya itu setan-setan kaga ada, bu!”

Kita lagi berjuang. Lalu tiba-tiba ada f ilm horor kayak begini yang ngedokumentasikan sejarah kita. Kan jadinya lucu. Makanya kami minta f ilm itu distop. Apalagi kalau ke daerah. Katanya mau dibawa ke Aceh, dek.

Pihak masyarakat Tionghoa juga marah, dek. Kemarin waktu ketemuan di Komnas Perempuan mereka angkat bicara. Ada juga perwakilan Tionghoa yang masih muda. “Saya sangat sedih dengan adanya f ilm itu,” katanya. “Perlu diurusin. Gak bisa dibiarin aja.”

Pada waktu itu memang antara etnis pribumi dan Tionghoa sering diadu domba. Padahal sebenarnya biasa-biasa saja. Makanya waktu itu muncul penjarahan. Kami sudah berkali-kali menuntut pada pemerintah, jangan sampai ada stigma seperti ini lagi. Anak kami masuk ke situ ada yang nyuruh. Ditepuk-tepuk, dibilang “Ambil aja tuh semuanya.” Mungkin ada yang memang datang ingin menjarah, tapi gak mungkin semuanya berani kalau gak ada yang “nyuruh”.

Saya sempat nonton di f ilmnya, ada adegan yang seolah memperlihatkan Yogya Plaza pada waktu itu. Sedangkan saya kalau mau tabur bunga atau membuat peringatan harus memberi pemberitahuan dulu, kenapa buat f ilm itu bisa? Seolah-olah benar itu yang terjadi di sana. Yang diceritakan cuma yang serem-serem. Ini akan jadi problem juga.

Filmnya sembarangan gitu. Emangnya sebelum 1998, di mall itu gak ada kejadian apa-apa? Dan ini kejadian besar, 400 jiwa hilang di situ. Dibakar. Kalau muncul f ilm horor seperti itu, apa gak menyentak perasaan kita? Efeknya bagaimana ke korban?

Mereka sudah 16 tahun capek menunggu, kepanasan, kehujanan, berjuang. Efeknya gimana?

Saya sudah tua, dik.

Anak saya sandaran hidup saya. Dia tulang punggung keluarga. Paling tinggi dia pendidikannya, dik, dari UI jurusan Sastra Perancis. Dia paling tinggi sendiri, dek. Dia paling membantu orang tua. Sampai sekarang juga kalau lagi sedih, saya cuma bisa mandang fotonya aja.

Semua anak-anak saya sudah berkeluarga. Jadi saya cuma tinggal berdua sama Bapaknya. Rumah saya ngontrak. Bapaknya kerjanya kalau lagi ada ya ada, namanya juga udah tua. Kalau gak ada ya gitu. Jadi ya saya tetap harus banting tulang juga, walaupun udah tua. Untuk ekonomi, untuk kehidupan, untuk menuntut keadilan.Alhamdulillah, usia saya sudah 67 tahun, tapi saya masih diberi kekuatan. Mudah-mudahan aja, sebelum ini semua selesai, saya bisa berjuang terus.

Semoga. Amin.<<<<<

Page 26: Pamflet #2

GALE

RI F

OTO

Abdun Naher Dedi Hamdun

Hendra Hambali

MEREKA YANG MASIH HILANG

Herman Hendrawan

Petrus Bima Anugerah

Yadin Muhidin

Yani Afri

Ucok Munandar Siahaan

Ismail

Suyat

Page 27: Pamflet #2

KEKERASAN DAN

PEREMPUAN:1998 dan Kenapa Kita Jangan Sampai Lupa

“Tetapi saya mengatakan bahwa korban itu ada, saya menangani tiga orang dan salah satunya adalah anak berumur 14 tahun. Dan salah satu akibat dari perkosaan itu adalah ketiga-tiganya agak – seakan-akan—pikirannya hilang, tetapi yang paling nyata adalah

anak yang berumur 14 tahun ini menjadi gila, agak gila..” [1]

Dalam artikel wawancara sepanjang enam halaman tersebut, kita akan tahu bagaimana kekerasan terhadap perempuan yang terjadi selama Mei 1998 bukanlah suatu dampak atau rentetan kekerasan yang muncul begitu saja, melainkan sebuah kejahatan yang sistematis dan terencana dengan perempuan sebagai kelompok yang dikorbankan demi kepentingan politik. Secara resmi, Data Tim Gabungan Pencari Fakta menyebutkan bahwa terdapat 52 orang korban perkosaan, 14 korban perkosaan dengan penganiayaan, 10 orang korban penyerangan/penganiayaan seksual, dan 9 korban pelecehan seksual — namun ini hanya jumlah selama kerusuhan Mei terjadi, belum termasuk jumlah korban sebelum dan sesudah kerusuhan. Kekerasan seksual ini tidak hanya terjadi di tempat umum seperti di jalan atau di tempat-tempat usaha, tetapi juga di dalam rumah atau bangunan. Sebagian besar korban diperkosa oleh lebih dari satu orang pada satu waktu yang sama (gang rape) di hadapan orang lain, serta mayoritas korban adalah perempuan dari etnis Tionghoa [2].

Selama melakukan investigasi dan mendampingi korban, Tim Relawan untuk Kemanusiaan mencatat bagaimana pola pemerkosaan yang terjadi dan mengapa mayoritas korban merupakan perempuan dari etnis Tionghoa. Hal ini diterangkan oleh Palupi, staf Divisi Pendataan dari Tim Relawan untuk Kemanusiaan, dalam artikel yang sama dari majalah Jakarta, Jakarta. Awal pemerkosaan itu diawali dengan pengkondisian untuk menjadikan perempuan Tionghoa menjadi target kebencian. Ada usaha-usaha orang yang berkeliling ke perkampungan miskin, mencari pemuda-pemuda yang diajak untuk melakukan pemerkosaan. Awalnya, mereka mentraktir pemuda-pemuda itu jajan, rokok dan minum, hingga kemudian sampai mereka akrab, mereka mengatakan, “Sebentar lagi kalian dapat barang-barang mewah dan perempuan-perempuan Cina yang selama ini elu nggak bisa jamah.” [3]

Bisa jadi kita adalah anak-anak muda yang merasakan sendiri bagaimana di dalam sekolah, bangunan pengetahuan dan ingatan kita seputar tragedi 1998 berkisar di antara frasa-frasa seperti “Turunnya Soeharto”, “demonstrasi mahasiswa”, atau “krisis ekonomi.” Kita belajar dan menghafal nama-nama mahasiswa yang ditembak aparat, tempat-tempat kerusuhan meledak, sampai apa persisnya kata-kata Soeharto ketika ia memutuskan berhenti menjadi Presiden. Namun, kita sering lupa membahas lagi siapa sebenarnya kelompok yang karena mereka kita kini memiliki semacam jaminan dan perlindungan untuk bebas dari kekerasan: perempuan.

Pada bulan Agustus 1998, sebuah artikel berjudul “Siapa Dalang Perkosaan Massal?” dicabut dan batal terbit dari majalah Jakarta, Jakarta nomor 610. Artikel tersebut berisi wawancara bersama narasumber Romo I. Sandyawan Sumardi S.J., atau Romo Sandy, yang saat itu bekerja sebagai Sekretaris Tim Relawan untuk Kemanusiaan. Beberapa di antara pekerjaan yang dilakukan Romo Sandy adalah menemui keluarga korban Tragedi 1998, termasuk juga para perempuan korban perkosaan dan kekerasan seksual. Lima tahun kemudian, artikel yang dicabut tersebut akhirnya diterbitkan dan dimuat dalam buku berjudul “Surat dari Palmerah”, yang sebenarnya merupakan kumpulan editorial yang ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma, pemimpin redaksi majalah Jakarta, Jakarta pada periode 1996-1999.

Faktanya, berbicara tentang kekerasan terhadap perempuan merupakan sebuah usaha yang dulu amat sulit untuk dilakukan. Jika kita memikirkan kembali mengapa terjadi kekerasan terhadap perempuan dalam konteks peristiwa 1998, misalnya, kita akan teringat bagaimana kita diajarkan di sekolah bahwa kekerasan ini adalah dampak dari kesenjangan dan himpitan krisis ekonomi yang dialami oleh masyarakat, hingga akhirnya mendorong perilaku agresif yang salah satunya mewujud menjadi tindak pemerkosaan massal. Pemerkosaan massal ini terjadi secara spontan, sporadis, dan tak terlacak oleh aparat. Di dalam masyarakat yang kerap memandang bahwa kejahatan dan kekerasan adalah suatu hal yang lumrah terjadi pada perempuan, runutan sebab akibat tersebut tidak sulit diterima, setidaknya bagi masyarakat secara umum. Namun, kenapa artikel wawancara bersama Romo Sandy kemudian batal terbit?

ARTI

KEL

Page 28: Pamflet #2

Pada saat itu, di tengah situasi yang mencekam sepanjang Mei 1998, sekretariat Tim Relawan didatangi para pelapor sampai dengan 20-30 orang per harinya. Keberadaan sekretariat maupun posko-posko relawan seperti ini menjadi amat penting untuk perlindungan korban dan pengumpulan fakta. Pemerkosaan massal, misalnya, merupakan salah satu kasus yang faktanya sulit terungkap dan lamban ditangani oleh pemerintah karena faktanya dianggap simpang siur. Saat itu, data terkait pemerkosaan seperti siapa korbannya, di mana terjadinya, atau bahkan apakah benar ada perkosaan atau tidak, menjadi alasan mengapa pemerintah lamban bertindak menangani kejahatan yang menurut Romo Sandy merupakan “kebiadaban massal yang sistematis dan terorganisir” ini.

Menurut beliau, tidak adanya pengaduan atau laporan ke pemerintah bukan berarti tidak adanya pemerkosaan. Sederhana saja, ujar beliau, sebab pemerintah abai kepada kondisi-kondisi seperti rasa malu, aib, beban f isik dan batin yang dirasakan oleh para perempuan yang menjadi korban maupun saksi mata dari pemerkosaan massal. Belum lagi ada teror yang dilakukan kepada para korban maupun para relawan pendamping. Romo Sandy bertutur bagaimana situasi para relawan ini hanya berbeda tipis dengan para korban kerusuhan dan perkosaan. Mereka juga diancam, diteror, bahkan dikirimi granat. Semua ini yang semakin meyakinkan Romo Sandy bahwa pemerkosaan dan kerusuhan didalangi oleh aktor(-aktor) yang sama, bahwa ada usaha untuk menutupi fakta dan meneror siapa saja yang berusaha mengungkapkan kebenaran [4].

Ada sebuah ungkapan yang mengatakan bahwa tragedi mempersatukan umat manusia. Sekretariat Tim Relawan untuk Kemanusiaan mungkin menjadi saksi untuk itu. Di sinilah, ujar Romo Sandy, solidaritas korban dan empati terjalin, juga terbentuk konsolidasi perjuangan untuk melawan kekerasan terhadap sesama manusia. Tidak hanya Tim Relawan, saat itu para aktivis perempuan dan penggiat hak asasi manusia membentuk juga kelompok yang disebut Masyarakat Anti-Kekerasan terhadap Perempuan.

Kelompok ini tidak hanya mendampingi korban, tetapi juga berinisiatif untuk menemui Presiden Habibie dan menuntut agar Presiden mengutuk dan meminta maaf atas kejadian yang dialami korban kerusuhan, serta agar pemerintah segera melakukan investigasi independen dan mengadili para pelaku tindak kekerasan tersebut. Lewat perjuangan inilah Keputusan Presiden tanggal 15 Oktober 1998 lahir, yang merupakan instruksi untuk pembentukan sebuah komisi independen yang saat ini kita kenal dengan nama Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, atau Komnas Perempuan.

Teman-teman, melalui artikel wawancara bersama Romo Sandy yang syukurlah akhirnya dapat terbit dan kita baca tersebut, juga dengan membahas

Catatan Kaki:[1] Kesaksian Ibu Edith Witoha, konselor, dalam http://kabarinews.com/kesaksian-kasus-perkosaan-mei-1998/31292. Laman ini memuat transkrip wawancara yang dilakukan oleh Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) bersama sembilan orang saksi yang melihat, mendengar dan membantu korban perkosaan pada Mei 1998.[2]Data-data ini diambil dari Seri Dokumen Kunci “Temuan Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa Kerusuhan Mei 1998”, diterbitkan oleh Komnas Perempuan pada November 1999, yang dapat diunduh bebas dari http://www.komnasperempuan.or.id/wp-content/uploads/2014/02/SDK-2-Temuan-Tim-Gabungan-Pencari-Fakta-Peristiwa-Kerusuhan-.pdf.[3][4] Kutipan-kutipan wawancara ini dapat dibaca dalam kumpulan tulisan Seno Gumira Ajidarma, Surat dari Palmerah (Kepustakaan Populer Gramedia, 2002), pada bagian “Dokumen Wawancara yang Tidak Disiarkan” halaman 272-285.

Untuk yang tertarik membaca wawancara penuh dengan Romo Sandyawan, silahkan buka situs Pamflet di Pamflet.or.id.

kembali kasus kekerasan seksual terhadap perempuan selama 1998, ada beberapa hal yang harus kita pikirkan kembali secara lebih dalam. Salah satunya misalnya apakah kita, juga aparat dan masyarakat, telah memiliki sensitivitas terhadap perempuan sebagai korban kekerasan atau pun perkosaan. Kedua, apakah situasi saat ini sudah berubah? Bisa saja saat ini kita adalah anak-anak muda yang hidup dan tumbuh besar dalam masyarakat yang lebih demokratis, lebih terbuka, dan kita tahu bahwa kita selalu bisa menuntut hak kita jika kita mengalami ketidakadilan dan kekerasan dalam bentuk apapun.

Tapi bagaimana kita kemudian memaknai bahwa kekuasaan dan kepentingan politik dari seseorang atau suatu rezim, sewaktu-waktu, dapat memposisikan kita atau siapa saja sebagai korban? Bagaimana jika kita lah yang menjadi korban — akankah kita punya keberanian untuk bersuara? Dan bagaimana kita, sebagai anak muda yang menikmati buah perjuangan dari Romo Sandy dan tokoh-tokoh lainnya, yang tercatat atau pun tidak di buku sejarah kita, memiliki keberpihakan terhadap para korban dan orang-orang yang memperjuangkan agar hidup kita lebih layak?

Di atas itu semua, maukah kita semua melakukan sesuatu untuk memastikan agar segala bentuk kekerasan tidak terulang lagi?

Page 29: Pamflet #2

TIMELINETRAGEDI MEI 1998

ARTI

KEL

>>

4 Mei 1998

Pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak). Hal ini memicu protes dari banyak kalangan karena membawa dampak kepada kenaikan harga bahan makanan yang sebelumnya juga sudah melambung. Banyak aksi yang dilakukan oleh mahasiswa sebagai bentuk protes terhadap kekacauan pemerintahan Orde Baru dan menuntut adanya Reformasi. Mahasiswa bersama rakyat menuntut Presiden Soeharto untuk turun. Setiap aksi damai mahasiswa ini selalu dihadang oleh aparat keamanan dan tidak jarang berbuntut pada aksi kekerasan aparat.

Di Medan kerusuhan mulai pecah. Penjarahan, pengerusakan, dan pembakaran terhadap toko, bank, pasar, dan kendaraan dilakukan oleh massa yang mengamuk. Kerusuhan yang terjadi di Medan ini berlangsung sampai tanggal 7 Mei 1998. Selain itu terdapat juga korban pelecehan seksual berdasarkan hasil Temuan Tim Pecari Fakta Kerusuhan Mei 1998.

Juli 1997-Februari 1998

Bola salju dari krisis ekonomi yang terjadi di kawasan Asia, terutama Thailand dan Korea Selatan, sampai di Indonesia. Kurs rupiah terhadap dollar turun drastis yang menyebabkan pengusaha-pengusaha yang meminjam uang dengan dollar kewalahan untuk membayar hutang dan banyak yang menukarkan rupaiahnya dengan dollar. Hal ini berdampak pada inf lasi rupiah dan kenaikan besar-besaran pada harga bahan makanan. Pemerintah dianggap lamban menangani krisis ekonomi yang melanda Indonesia sehingga kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan Orde Baru pun semakin menurun. Sampai kemudian, pada Februari 1998, Presiden Soeharto memberhentikan Gubernur Bank Indonesia, J. Soedradjad Djiwandono. Namun, ternyata ini bukan merupakan jalan keluar dari krisis ekonomi yang melanda Indonesia.

10 Maret 1998

Berdasarkan sidang MPR, Presiden Soeharto disahkan kembali untuk ke tujuh kalinya sebagai Presiden Republik Indonesia. Hal ini menuai berbagai protes dari berbagai kalangan, termasuk mahasiswa. Mulai berbagai kritik dikeluarkan terhadap keburukan pemerintahan Presiden Soeharto, baik itu tindakan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), pembungkaman media massa, diskriminasi terhadap etnis Tionghoa, dan juga kesenjangan ekonomi.

2 Mei 1998

Mahasiswa bersama dengan masyarakat dari semua golongan; seperti pelajar, buruh, pekerja sosial, seniman, masyarakat sekitar Salemba, ibu rumah tangga, bahkan kalangan pendidik melakukan mimbar bebas untuk memperingati Hari Pendidikan Nasional. Mereka saling berorasi di Salemba menyuarakan berbagai macam tuntutan mulai dari turunnya harga bahan makanan sampai dengan keinginan untuk meminta presiden turun dari jabatannya. Akan tetapi pada saat mahasiswa ingin melakukan long march dari kampus ABA/ABI di Matraman, mereka dihadang oleh aparat dengan gas air mata dan berujung pada bentrokan antara mahasiswa dan aparat. Peristiwa ini mengakibatkan 1 korban dari Fakultas Ekonomi Univeristas Indonesia, 2 orang mahasiswa dari UKI, dan 1 orang mahasiswa dari ABA/ABI.

Di tempat lain, ada peristiwa kekerasan juga yang terjadi. Petugas antihuru-hara dan Brimob melakukan kekerasan terhadap mahasiswa dan juga warga pada aksi damai di depan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Rawamangun. Berdasarkan catatan dari AJINews, ada 6 orang yang terkena luka tembak, 33 orang luka serius, puluhan luka ringan bahkan pada saat berita tersebut diturunkan ada 59 mahasiswa dan 3 orang warga yang belum kembali akibat diciduk petugas. Peristiwa pada hari itulah yang kemudian menyulut keberanian mahasiswa dan masyarakat untuk melakukan protes terhadap pemerintahan Orde Baru dan menuntut Presiden Soeharto untuk turun dari jabatannya.

Page 30: Pamflet #2

>>>

5 Mei 1998

Di Yogyakarta aksi oleh Front Aksi Mahasiswa Peduli Rakyat yang merupakan gabungan mahasiswa dari Atma Jaya, IAIN, USD, UII-Syariah, STPMD-APMD, Janabadra, UMY, dan ISI. Pada pelaksanaannya, mahasiswa juga bergabung dengan masyarakat melakukan long march dan berorasi menuntut turunnya harga, reformasi, dan mundurnya Presiden Soeharto. Aksi ini juga diwarnai dengan kekerasan yang dilakukan oleh aparat. Mahasiswa dan masyarakat yang sedang long march tiba-tiba diserbu oleh ratusan polisi dengan gas air mata. Bahkan polisi merusak toko-toko dan kendaraan milik warga yang ada di pinggir jalan. Kerusuhan yang terjadi di Yogyakart berlangsung sampai tanggal 8 Mei 1998.

Di Jakarta pun terjadi aksi mahasiswa yang berujung tindakan kekerasan oleh aparta keamanan, yaitu di Universitas Mercu Buana (UMB) dan Universitas Nasional (UNAS). Mahasiswa UMB yang berorasi di jalan dipaksa mundur ke dalam kampus oleh polisi dengan pentungan, gas air mata, dan peluru karet. Diperkirakan ada 16 mahasiswa yang terluka akibat dari kejadian ini.

Di UNAS pun terjadi hal serupa. Mahasiswa dipaksa masuk kembali ke dalam kampus dengan pentungan rotan dan gas air mata. Dari UNAS ada 8 korban luka akibat aksi kekerasan aparat keamanan ini. Selain di Jakarta dan Yogyakarta, hal seperti ini juga terjadi di Medan, Bandung, dan Ujung Pandang (Makassar). Dari semua aksi mahasiswa ini, tuntutannya sama, yaitu menginginkan adanya reformasi di Indonesia, turunnya harga BBM dan harga bahan makanan.

7 Mei 1998

Aksi yang dilakukan mahasiswa dan masyarakat terus berlangsung dan terjadi di banyak kota. Dari aksi-aksi tersebut rata-rata berujung pada terjadinya kerusuhan akibat dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan.

Pada tanggal 7 Mei 1998, di Padang terjadi aksi demonstrasi besar gabungan dari mahasiswa, pelajar, dan masyarakat. Pada saat itu disertai dengan mogok massal angkutan umum. Massa yang berkumpul melakukan long march sampai ke gedung Bupati Padang dan melakukan mimbar bebas menyampaikan tuntutan turunnya harga BBM dan terciptanya Reformasi di Indonesia. Pada tanggal serupa juga terjadi aksi oleh mahasiswa di Palembang bahkan di Samarinda dan Medan berbuntut pada kerusuhan yang mengakibatkan jatuhnya korban.

Page 31: Pamflet #2

>>>

12 Mei 1998

Empat orang mahasiswa Univeristas Trisakti tewas akibat tembakan membabi buta aparat keamanan ke dalam kampus. Pada hari itu, pukul 10.30 Senat Mahasiswa Universitas Trisakti melakukan mimbar bebas yang menuntut Reformasi di Indonesia, termasuk juga meminta Presiden Soeharto turun dari jabatannya. Setelah Mimbar Bebas selesai ribuan mahasiswa, yang merupakan gabungan dari mahasiswa Universitas Indonesia, Universitas Atma Jaya, Universitas Tarumanegara, serta beberapa universitas lainnya, turun ke jalan namun tidak mendapatkan izin dari aparat keamanan untuk melanjutkan aksi ke gedung MPR/DPR. Dengan kecewa, perlahan mahasiswa kembali satu-satu ke kampus mereka, akan tetapi ada juga yang memilih untuk aksi duduk di depan Kantor Walikota hingga pada akhirnya tercipta kerusuhan karena aparat keamanan “menghadiahkan” tembakan gas air mata dan peluru karet ke arah mahasiswa yang tidak mau dipaksa mundur. Bentrok mahasiswa dengan aparat terus berlangsung sampai terdengar tembakan ke arah kampus yang menyebabkan 4 orang tewas dan puluhan orang luka-luka.

Empat orang mahasiswa Trisakti yang tewas adalah:• Hery Hartanto• Hendriawan Sie• Haf idin Royan• Elang Mulyana

8-9 Mei 1998

Pada tanggal 8 Mei 1998, mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS) di Surakarta melakukan aksi mendukung Reformasi. Aksi ini berujung pada bentrokan dengan aparat keamanan bahkan mengakibatkan 1 orang mahasiswa ISI Yogyakarta, Yudi, meninggal akibat ditembak oleh aparat keamanan dari jarak dekat.

Peristiwa berdarah ini juga terjadi di Yogyakarta. Pada tanggal 8-9 Mei 1998, Yogyakarta dilanda kerusuhan besar. Masyarakat bergabung dengan mahasiswa dalam aksi menuntut turunnya harga BBM dan Presiden Soeharto. Kerusuhan ini terjadi akibat aparat keamanan yang melakukan tindakan kekerasan, membabi buta menyerang mahasiswa dan warga yang bahkan tidak melakukan perlawanan. Satu korban tewas adalah Moses Gatutkaca yang merupakan mahasiswa Fakultas MIPA Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Korban diidentif ikasikan mengalami pemukulan dan penyiksaan yang menyebabkan tulang dasar otaknya retak. Selain itu, aparat keamanan bahkan memukuli setiap orang yang ditemui di jalan, juga mengobrak abrik rumah warga dan akan memukul setiap anak laki-laki yang ditemui di dalam rumah tersebut.

Page 32: Pamflet #2

13 Mei 1998

Setelah peristiwa penembakan di Universitas Trisakti yang mengakibatkan 4 orang mahasiswa Universitas Trisakti tewas, kondisi Jakarta semakin parah. Kerusuhan meletus di seluruh wilayah Jakarta. Massa mulai melakukan penjarahan, pengrusakan bahkan pembakaran toko-toko dan yang menjadi sasaran adalah toko-toko milik keturunan Tionghoa. Selain itu, penjarahan, pengerusakan, dan pembakaran show room mobil, bank, bahkan pusat perbelanjaan seperti Yogya Plaza di Klender. Isu rasisme mencuat di masyarakat seperti bahan bakar yang siap menghanguskan Jakarta. Hal sadis lain yang terjadi adalah perkosaan terhadap perempuan-perempuan keturunan Tionghoa. Setelah mejarah dan merusak toko milik keturunan Tionghoa, para pelaku kemudian mencari perempuan, baik itu anak atau ibu, dan memperkosanya beramai-ramai.

15 Mei 1998

Kerusuhan masih berlangsung dan tindakan perkosaan terhadap perempuan keturunan Tionghoa semakin meluas. Berdasarkan laporan dari dokumentasi Temuan Tim Pencari Fakta Kerusuhan Mei 1998 korban perkosaan melebihi angka 100 jiwa, termasuk korban yang meninggal dunia.

Catatan:Pangkostrad pada saat kerusuhan Mei 1998, yang juga seharusnya bertanggung jawab dan mempunyai peran besar dalam pergerakan anggota ABRI adalah Letjen TNI Prabowo SubiantoMenhankam pada saat itu adalah Wiranto yang seharusnya bertanggung jawab terhadap keamanan negara.Pius L. Lanang dan Desmond J. Mahesa yang merupakan korban penculikan Mei 1998 yang kembali saat ini menjadi pengurus di Partai Gerindra dimana partai tersebut bentukan dari Prabowo yang merupakan salah satu orang yang berada di balik kerusuhan Mei 1998.

14 Mei 1998

Demonstrasi mahasiswa masih berlangsung di wilayah Jakarta, salah satunya di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di Salemba yang dihadiri ribuan mahasiswa. Mimbar bebas dilakukan dengan tuntutan turunnya Presiden Soeharto dan terciptanya Reformasi di Indonesia. Aksi mahasiswa juga berlangsung di Bogor, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, dan Solo. Penjarahan, pengerusakan, dan pembakaran toko masih terjadi di seluruh wilayah Jakarta. Isu anti-Tionghoa pun semakin panas. Perempuan keturunan Tionghoa semakin jadi sasaran tindakan perkosaan. Tindakan tidak berperikemanusiaan semakin meluas dan memakan banyak korban. Di daerah lain seperti Solo terjadi hal serupa. Warga melakukan pembakaran show room mobil Timor (milik Tommy Soeharto), dealer Yahama, swalayan, toko-toko, mall, bank, bioskop, juga rumah-rumah mewah. Solo menjadi lumpuh dan aparat kemanan tidak bisa melakukan apa-apa.

18 Mei 1998

Di tanggal sebelumnya mahasiswa sudah mulai menduduki kantor-kantor pemerintahan. Mahasiswa di Jakarta mulai bergerak ke arah gedung MPR/DPR bahkan mahasiswa dari luar daerah pun berdatangan. Di tanggal 18 Mei 1998, mahasiswa berhasil meduduki gedung MPR/DPR sebagai simbol bahwa Presiden Soeharto telah kehilangan kekuasaannya. Mahasiswa terus meneriakkan tuntutan agar Presiden Soeharto yang pada waktu itu ada di Mesir untuk turun dari jabatannya. Kerusuhan, penjarahan, pembakaran, pemerkosaan masih terus berlangsung. Jakarta lumpuh total dan dalam keadaan mencekam.

21 Mei 1998

Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya dari jabatan Presiden Republik Indonesia. Pengunduran dirinya ini disampaikan melalui pidato di Istana Merdeka dan menyerahkan jabatan presiden kepada wakilnya, B.J. Habibbie.

Page 33: Pamflet #2

>>>>

Page 34: Pamflet #2
Page 35: Pamflet #2

ANON

IMUS

PENUMPANGGELAP

REFORMASIBanyak yang berpendapat bahwa Reformasi 1998 seperti masakan yang disajikan sebelum matang. Tuntutan reformasi total saat itu terpecah seketika saat Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya. Tuntutan reformasi total untuk menghabiskan rezim sampai ke akar-akarnya menjadi blur dan terbagi fokus dengan gagasan reformasi damai. Para pendukung reformasi damai berpendapat: toh, Soeharto sebagai simbol rezim Orde Baru kebapakan yang murah senyum itu sudah turun. Mau apalagi? Masih haruskah ada pertumpahan darah di jalan-jalan? Harus ada lagikah nyawa yang melayang? Sudahlah, waktunya merayakan sambil menanti!

Namun, pendukung reformasi total yang didominasi oleh mahasiswa tersebut kecewa. Menurut mereka, turunnya Soeharto tidak berarti reformasi. Reformasi harus mengubah seluruh struktur, membangkitkan kesadaran secara nasional, sehingga seluruh rakyat dari Sabang sampai Merauke ini serentak mengangguk setuju bahwa Orde Baru itu brengsek, dan konsep pemerintahan baru pun dimulai. Jika saja reformasi seperti ini yang terjadi, tak mungkin ada itu stiker-kaos-dan-gambar-di belakang-bus-atau-truk bergambar Pak Harto melambaikan tangan sambil bilang, “Piye Kabare? Enak jamanku tho?” Menyebarnya meme tersebut adalah bukti bahwa reformasi baru sampai dahan.

Tengok saja pemerintahan selanjutnya dengan para Soehartois yang masih duduk. Golkar masih hidup. Soeharto boleh turun, tapi tidak dengan kebobrokan birokrasi dan sistem negara kita. Ekstrak Soeharto masih mengalir dan tak pernah berhenti menggentayangi politik kita. Bahkan sampai pada Pemilihan Umum tahun ini. Partai yang diusung oleh orang-orang Soeharto tidak cuma satu. Tokoh-tokoh yang dulu bekerja di bawah Soeharto bahkan dengan percaya dirinya maju ke arena pemilihan presiden. Dengan slogan-slogan baru dan janji-janji yang didaur ulang.

Ngomong-ngomong soal daur ulang, akhir-akhir ini ada yang sedang gemar sekali menggunakan kata-kata ‘daur ulang’ untuk mendef inisikan suara-suara aktivis pro-Reformasi. Mereka yang menuntut penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, yang menginginkan demokrasi tak sebatas pemilu, dan mengandaikan keadilan tanpa pandang bulu, dicap sebagai pasukan nasi bungkus yang gemar memojokkan pihak tertentu. Mendaur ulang? Hei, kita bicara soal nyawa manusia, bukan kaleng bekas minuman!

Reformasi, menurut KBBI, memiliki arti sebagai sebuah perubahan drastis untuk perbaikan (bidang sosial, politik, ekonomi, hukum, dsb) di suatu masyarakat atau negara. Idealnya, reformasi menghasilkan sebuah kondisi baru, di mana semua rakyat negara ini (dimungkinkan untuk) sejahtera. Atau, selemah-lemahnya iman, paling tidak reformasi menjamin bahwa proses demokratisasi di republik ini tidak jalan di tempat. Tapi sayang, reformasi kini ternyata dimanfaatkan oleh mereka yang Nandra J Piliang sebut dalam bukunya sebagai: penumpang gelap demokrasi. Layaknya penumpang gelap pada umumnya, mereka hanya mengutamakan kepentingan mereka tanpa benar-benar peduli orang-orang di sebelahnya. Mereka hanya mengedepankan mimpi-mimpinya untuk berkuasa, tanpa sebetulnya berpihak pada kesetaraan, kemajemukan, dan keadilan - sebagai cita-cita demokrasi yang utuh.

Di tengah situasi sekarang ini di mana kasus penghilangan paksa (penculikan aktivis 1997-1998) mandek di Kejaksaan Agung, di mana sebuah kabupaten di Jawa Timur masih terus bercokol di kubangan lumpur panas, dan di mana sekelompok warga negara masih harus terus mengungsi di tempat tidak layak hanya karena memiliki keyakinan berbeda dengan orang kebanyakan, tampaknya kita memang harus waspada. Waspada terhadap segala tindak-tanduk ‘penumpang gelap reformasi’ yang seenaknya mengobral kata jujur, adil, sejahtera, dan perubahan, semurah gorengan. Seperti halnya kebanyakan makan gorengan, sehabis itu mungkin kita akan

kenyang, namun tak lama akan sakit tenggorokan. Kita mungkin akan merasa janji-janji mereka memuaskan, namun makin lama kita akan merasa bahwa yang dijanjikan itu tidaklah sungguh-sungguh terjadi.

Standar rasa aman dan nyaman hidup kita pasca Reformasi 1998 harus dipertinggi. Kita harus peka bahwa masih banyak hutang-hutang Orde Baru yang belum selesai. Masalah-masalah yang rezim bobrok itu tinggalkan masih menggunung dan tersimpan rapi dalam kemasan baru yang saru. Kita tidak bisa begitu saja percaya kepada mereka yang konon "berjuang untuk rakyat." Karena sesungguhnya semua orang bisa jadi jahat jika sudah berkuasa, bisa jadi pelupa akut, bahkan bisa jadi ilusionis handal kapanpun mereka mau.

Apakah kita mau terus-terusan makan masakan yang belum matang? Apakah kita sebegitu mudahnya tertipu (lagi) dan memilih remah-remah Orba yang menyamar di kotak-kotak suara pemilu?

Page 36: Pamflet #2

Kotak Suara Mesin WaktuHei kamu yang baru mandi

berjalan menuju mesin waktuberbentuk kotak suara

Gambar partai dan kepala berpeciNavigasi yang perlu kamu bolongi

Tak semua tombol menuju masa depanTak semua tombol menuju mana-mana

Bisa saja kamu ke bulanMendarat di tahun duaribu sekian belasAtau hanya ke sebelum sembilan lapan

Yang turunkan lagi harga beras

Di mesin waktu yang kaucoblosBanyak remah-remah orba

Yang sok polosYang coba-coba

Page 37: Pamflet #2

pamflet.or.id