Upload
vankhuong
View
224
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
Pancingan Rasisme Sang Jenderal
ChanCT
Saya SETUJUUU dengan tulisan Made Supriatma dibawah: “Cina Baik-baik” vs “Cina
Sok Jago”: Pancingan Rasisme Sang Jenderal. Tulisan sang Jenderal kemarin ini yang
bisa dikatakan Pancingan RASISME, “Ingatkan Ahok, kalau sayang sama etnis
TIonghoa, jangan sok jago ketika berkuasa!” sekalipun diikuti dengan pernyataan:
“Kesian kan Tionghoa lainnya yg baik2 dan/atau yg miskin, kalo ada yg mau mbantai
atau menjarah, mereka kan gak bisa kabur ke luar negeri � Tolong jaga Bhinneka
Tunggal Ika dan sama-sama membangun HARMONI DALAM KEBERAGAMAN. � JSP
#SaveNKRI”[2]!
Kalau jenderal saja masih berpikiran rasis begitu, nampak jelas perlu ada usaha
KETEGASAN dari pemerintah yang berkuasa, menjatuhi sanksi hukum dengan UU
Anti-Diskriminasi yang sudah diundangkan tahun 2008 itu. Bahwa dalam menilai seorang
TOKOH, pejabat adalah integritas, kejujuran dan kemampuan bekerja, tanpa harus
melihat apa Agama, ras, suku atau etnis seseorang. Begitulah kita mewujudkan BHINEKA
TUNGGAL IKA dalam kehidupan nyata dalam masyarakat dengan segala perbedaan yang
ada. Ini pertama.
Kedua, jenderal Suryo Prabowo juga masih belum bisa memperlakukan kesalahan/dosa
yang diperbuat seseorang adalah tanggungjawabnya SENDIRI! Tidak seharusnya
menyeret dan melibatkan Agama, Ras, Etnis orang bersangkutan. Bagi seorang dewasa,
tindak-tanduk yang dilakukan sepenuhnya tanggungjawabnya sendiri, sudah TIDAK lagi
bisa melibatkan orang-tuanya, menyeret ayah-ibu nya juga harus ikut bertanggungjawab
atas kesalahan yang dilakukan. Jenderal Suryo masih saja meneruskan “DOSA
TURUNAN” yang dijalankan jenderal Soeharto dalam membasmi komunis, satu
kekejaman kemanusiaan luar biasa yang terKUTUK! Harus segera diakhiri!
Ketiga, jenderal Suryo Prabowo dalam BELAJAR SEJARAH, nampak tidak berhasil
menarik kesimpulan dimana masalah sesungguhnya, apa sebab utama kerusuhan
anti-Tionghoa itu meletup berulang kali di Nusantara ini? Betulkah akibat dari
sementara Tionghoa sok jago? Begitu kah kenyataanya? TIDAK! Adanya sementara
Tionghoa yang petentengan, sok jago, pamer kekayaan dsb., dsb., ... hanya dijadikan dalih
untuk menyulut kebencian rasial, membakar sentimen-rasial saja. Hakekat masalah
bukan disitu, ada atau tidak sementara Tionghoa yang dibilang, sok jago, peteentengan,
pamer kekayaan, tidak peduli kemiskinan disekitar itu, ... kerusuhan anti-Tionghoa juga
2
akan meletup.
Coba perhatikan dimasa koloni Belanda 1740 yang dikenal dengan Tragedi Angke, 10 ribu
Tionghoa dibunuh memembuat air sungai menjadi merah darah! Bukankah hakekat
masalah terjadi karena pengusaha VOC merasa terdesak oleh kemajuan
pengusaha-pengusaha Tionghoa, dan oleh karenanya Gubernur VOC ketika itu
melancarkan pembunuhan terhjadap Tionghoa. Hanya saja berbeda dengan masa
pemerintah ORBA, VOC ketika itu sekalipun berbelit-belit, masih juga berhasil
mengambil ketegasan memecat dan kemudian menangkap Gubernur Jenderal Adriaan
Valckenier. Dibawa kembali ke Batavia dan dimasukkan ke penjara Robijn di benteng
Batavia. Sekalipun pemeriksaan Valckenier berlangsung berbelit-belit dan
berkepanjangan sampai hampir sepuluh tahun lamanya, dan Valckenier keburu meninggal
dunia pada 1751 sebelum pemeriksaan terhadap dirinya berakhir.
Lalu coba perhatikan bulan Mei 1946, sebanyak 635 orang Tionghoa, termasuk 136 orang
perempuan dan anak-anak di daerah Tangerang dan sekitarnya telah menjadi korban
pembunuhan. 1.268 rumah etnis Tionghoa habis dibakar dan 236 lainnya dirusak.
Diperkirakan 25.000 orang pengungsi di Jakarta adalah datang dari daerah tersebut.
Peristiwa kejam tersebut menimbulkan kemarahan banyak orang. Masyarakat Tionghoa lalu
mengumumkan 11 Juni 1946 sebagai hari Duka Cita. Pada hari itu seluruh orang Tionghoa
menyatakan ikut berkabung dengan menutup semua toko dan perusahaan miliknya dan
sepanjang hari hanya berdiam di rumah. (Star Weekly No 24 Tahon ke 1 Edisi 16 Juni 1946;
Star Weekly No 25 Tahon ke 1 Edisi 23 Juni 1946)
Bukankah itu akibat rekayasa dari politik perang urat-syaraf yang dilancarkan koloni
Belanda! Koloni Belanda telah BERHASIL mengadu-domba antara masyarakat dengan
mengorbankan Tionghoa? Pecahnya PERSATUAN rakyat Indonesia itulah yang
dikehendaki Belanda sebagai usaha kembali berkuasa di Nusantara ini! Belanda berhasil
menjadikan etnis Tionghoa sebagai TUMBAL, ... Sekarang coba perhatikan bagaimana
konkritnya Belanda melancarkan perang Urat Syaraf untuk memecah belah persatuan
rakyat Indonesia.
Siauw Giok Tjhan dalam buku “Lima Jaman, Perwujudan Integrasi Wajar” dengan jeli
menyatakan: “Pihak penjajah dalam membina simpati ummat manusia ke pihaknya
berusaha keras menggambarkan kepada dunia bahwa pemuda Indonesia yang
berjuang bersenjata itu adalah pembunuh-pembunuh buas, perampok-perampok
milik orang lain, tukang perkosa wanita, dan lain-lain lagi. Penjajah Belanda
menggambarkan tindakan-tindakan militernya sebagai usaha memulihkan …. law and
order, memulihkan ditegakkannya hukum dan tertib hukum.
3
Dalam rangka menjalankan siasat perang urat syarfnya dengan menyalah-gunakan
kelemahan-kelemahan pihak pemuda Indonesia, penjajah Belanda berhasil
menimbulkan persoalan Tanggerang yang sangat mengejutkan dan menimbulkan
kepanikan di kalangan masyarakat Tionghoa di Indonesia. Ketika itu tersiar kabar
bahwa peranakan Tionghoa dipaksa untuk memeluk agama Islam, dipaksa untuk
sunat, serta mengalami rupa-rupa tindakan terror. Peristiwa itu sangat mengherankan
karena justru di Tanggerang telah terjadi proses pembauran luas sekali sehingga
tidak sedikit peranakan Tionghoa terabsorbsi di dalam Rakyat daerah itu. Orang tidak
dapat membedakan mana peranakan dan mana penduduk “asli” setempat, bila dilihat
dari ciri-ciri etnis saja. Malahan seorang peranakan Tionghoa di Tanggerang bila
berdiri sejajar dengan seorang pribumi dari Jawa Tengah, banyak orang mengira
bahwa orang pribumi Jawa Tengah itu adalah peranakan Tionghoa, sedang
peranakan Tionghoa dari Tanggerang itu dikira pribumi.
Di samping ciri-ciri khas etnis melenyap, sebagian terbesar Rakyat Tanggerang hidup
dari hasil usaha menggarap tanah. Peranakan Tionghoa di Tanggerang juga tidak
saling menyebut dirinya dengan nama-nama Tionghoa, melainkan dengan sebutan si
Picis, si Talen, si Ringgit, dan lain-lain lagi. Yang masih dapat membedakan siapa
peranakan Tionghoa dan siapa bukan, ternyata hanya …. agamanya.”
Selanjutnya marilah kita perhatikan kerusuhan anti-Tionghoa yang agak besar meletup
10 Mei 1963, yang diawali bersenggolan motor antara seorang mahasiswa Tionghoa
dengan mahasiswa “pribumi”. Ratusan toko, rumah tinggal, pabrik, kendaraan bermotor
milik Tionghoa habis di bakar, di rusak serta dijarah perusuh. Kemudian kerusuhan
meluas ke kota-kota lainnya di Jawa Barat, antara lain Tasikmalaya, Garut, Cianjur,
Sukabumi dllnya. Sangat ironis, Yap Tjwan Bing salah seorang tokoh Angkatan 45 yang
turut mendirikan Republik ini, merasa sangat kecewa menjadi korban Kerusuhan
anti-Tionghoa kali ini, akhirnya sekeluarga hijrah ke Amerika sampai menghembuskan
nafas terakhirnya.
Kerusuhan-kerusuhan rasial anti-Tionghoa yang meletup, dari Tegal, meluncur ke Cirebon,
Bandung, Sukabumi dan lain-lain tempat lagi. Jelas sehubungan dengan politik AS "China
Containment policy", Amerika berhasil menggunakan sementara pejabat-rasis, berusaha
merusak hubungan baik RI-RRT, berusaha menekan pengaruh Tiongkok di Indonesia,
khususnya dikelompok Tionghoa yang dikatakan masih "CINTA dan SETIA" pada RRT
( Republik Rakyat Tiongkok ), mudah dijadikan Kolone-5 RRT. Peristiwa 10 Mei 1963
terjadi tidak lama setelah kunjungan Liu Shao Chi, 12--14 April 1963. Kunjungan pertama
Presiden RRT ke Indonesia untuk lebih lanjut mempererat hubungan kedua negara.
4
“Anggota Baperki dan Partindo dikirim ke Cirebon untuk menolong korban
kerusuhan dan menyelidiki sebab-sebab kejadian tersebut. Mereka menyimpulkan
bahwa kerusuhan ini direkayasa oleh tokoh PSI dan Masjumi. Mereka menggunakan
isi pidato Presiden Soekarno sebagai sinyal bahwa orang Tionghoa adalah musuh
golongan Islam. Di dalam pidato tersebut, Presiden Soekarno mengucapkan terima
kasih kepada pemerintah RRT yang telah membantu pemerintah Indonesia dalam
menumpas pemberontakan PRRI/PERMESTA. Disamping itu, kerusuhan
anti-Tionghoa itu juga jelas bertujuan menjegal pelaksanaan politik Presiden
Soekarno ketika itu, yang jelas sangat tidak menguntungkan imperialisme Amerika
Serikat. Sehingga Presiden Soekarno ketika itu, secara tegas mengutuk orang-orang
yang mendalangi kerusuhan-kerusuhan anti-Tionghoa itu sebagai
kontra-revolusioner.” (Siauw Giok Tjhan: “Lima Jaman, Perwujudan Integrasi Wajar”)
Lalu, ... bagaimanapula dengan kerusuhan anti-Tionghoa yang meletup lebih kerab dan
meluas dimasa ORBA, setelah jenderal Soeharto berkuasa? Saya angkat dari
kerusuhan-kerusuhan yang terjadi berturut-turut ditahun 1996-1997, di Solo,
Situbondo, Rengas Dengklok, Pekalongan, Banjarmasin, Ujung Pandang dan mencapai
puncaknya pada Tragedi 13-14 Mei 1998 di Jakarta, Medan dan Solo.
Menjadi lebih jelas dan nyata, dari kerusuhan anti-Tionghoa yang terjadi berulang kali
itu, adalah kerusuhan yang direkayasa kekuatan tertentu, direncanakan dan
terorganisasi dengan mendatangkan sekelompok pemuda bertubuh tegap untuk
memprovokasi massa dijalan ikut merusak, menjarah toko-rumah Tionghoa. Dr. Amir
Santoso menyatakan: "…peristiwa kerusuhan yang terjadi di Situbondo, Jatim, Kamis lalu,
merupakan peristiwa yang sengaja disulut pihak-pihak tertentu secara sistimatis (Huruf
tebal – ChanCT). Sebab, peristiwa kerusuhan Situbondo merupakan lanjutan dari rangkaian
sejumlah peristiwa sebelumnya yang motifnya hampir sama." (Kompas, 14 Oktober 1996)
Sehubungan dengan kerusuhan di Tasikmalaya, Situbondo, Ketua Umum Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama (PBNU) Abdurrahman Wahid, menyatakan Humanika (Himpunan
Masyarakat Untuk Kemanusiaan Dan Keadilan) terlibat dalam kerusuhan di Tasikmalaya.
"Humanika terlibat dalam kerusuhan Tasikmalaya. Silakan bawa saya ke pengadilan. Saya
dapat membuktikan," tegas Gus Dur dalam dialog politik yang diselenggarakan Forum
Dialog Bhinneka Tunggal Ika. Ketua PBNU juga menyatakan memiliki dokumen asli yang
siap dibuktikan di pengadilan tentang siapa yang merencanakan dan menggerakkan
kerusuhan itu dan tempat rapatnya dilakukan. (Kompas, 30 Januari 1997)
Bahkan KSAD Jenderal TNI R. Hartono dalam menanggapi kerusuhan berbau SARA yang
meletus berturut-turut itu mengatakan, patut diduga kerusuhan tersebut ada yang
5
menunggangi. Sedangkan Ketua Umum PP Muhammadiyah menyatakan, berbagai
kerusuhan di Jawa maupun Kalimantan memang ada pembuat skenario yang mempunyai
itikad sangat jahat (Kompas, 1 Pebruari 1997)
Tragedi Mei 1998, yang merupakan puncak kerusuhan juga jelas tidak luput dari adanya
skenario sementara kekuatan yang bertujuan politik, ... bahkan begitu seriusnya untuk
melacak dibentuk TGPF (Team Gabungan Pencari Fakta) antara lain menyatan: “Pola
kerusuhan bervariasi, mulai dari yang bersifat spontan, lokal, sporadis, hingga yang
terencana dan terorganisir. Para pelakunya pun beragam, mulai dari massa ikutan yang
mula-mula pasif tetapi kemudian menjadi pelaku aktif kerusuhan, provokator, termasuk
ditemukannya anggota aparat keamanan”. “Sekelompok provokator yang memancing
massa dengan berbagai modus tindakan seperti membakar dan atau memancing
perkelahian, meneriakkan yel-yel yang memanasi situasi, merusak rambu-rambu lalu lintas,
dan sebagainya. Setelah itu, provokator mendorong massa untuk mulai melakukan
pengrusakan barang dan bangunan, disusul dengan tindakan menjarah barang, dan di
beberapa tempat diakhiri dengan membakar gedung atau barang-barang lain. Di beberapa
lokasi ditemukan juga variasi, di mana kelompok provokator secara langsung melakukan
perusakan, baru kemudian mengajak massa untuk ikut merusak lebih lanjut.” “Provokator
umumnya bukan dari wilayah setempat, secara fisik tampak terlatih, sebagian memakai
seragam sekolah seadanya (tidak lengkap), tidak ikut menjarah, dan segera meninggalkan
lokasi setelah gedung atau barang terbakar. Para provokator ini juga jelas membawa dan
menyiapkan sejumlah barang untuk keperluan merusak dan membakar, seperti jenis logam
pendongkel, bahan bakar cair, kendaraan, bom molotov, dan sebagainya.”
Hanya saja sungguh sangat disesalkan, ... Pemerintah RI yang berkuasa sampai sekarang
ini, ternyata TIDAK serius dan tegas mentuntaskan Tragedi Mei 1998, membuat
KESIMPULAN dengan menindak DALANG kerusuhan yang harus bertanggungjawab.
Berbeda dengan sikap Koloni Belanda, ketika itu pihak VOC masih bisa mengambil
ketegasan memecat dan kemudian menangkap Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier
yang harus bertanggungjawab atas Peristiwa Angke, 1740, ... Sekalipun pemeriksaan
Valckenier berlangsung berbelit-belit dan berkepanjangan sampai hampir sepuluh tahun
lamanya, dan Valckenier keburu meninggal dunia pada 1751 sebelum pemeriksaan
terhadap dirinya berakhir.
Salam,
ChanCT
---------- Forwarded message ----------
6
From: Harjono Kartohadiprodjo <[email protected]>
Date: 2016-03-18 7:17 GMT+07:00
Subject: Bls: Analisis, Politik“Cina Baik-baik” vs “Cina Sok Jago”: Pancingan Rasisme Sang Jenderal
To: "[email protected]" <[email protected]>
Bung Jaya,
Pendapat dan pengalaman anda itu sangat bagi meyakinkan semua pihak. Jangankan huru hara anti
Tionghoa, kesenjangan antara suku2 juga masih dirasakan, bukan beda suku dasar keributan tsb,
tetapi lebih pada maslah kesenjangan sosial dari budaya hidup dan kerja. Sehingga ada yang
berhasil dan ada yang sengsara hidupnya.
Salam,
MHK
Dikirim dari ponsel cerdas BlackBerry 10 saya dengan jaringan Telkomsel.
Dari: [email protected]
Terkirim: Jumat, 18 Maret 2016 07.07
Sebagai insan yang tiga kali ( 1965-66 1980an 1998 ) secara pribadi pernah berpengalaman
menjadi korban huruhara (sekolah dibakar, rumah dirusak, ayah kandung dan sanak
keluarga dibunuh) saya hanya mampu mengharap dari lubuk sanubari terdalam bahwa
prahara angkara murka kekerasan tidak terjadi kembali di Tanah ir tercinta ini. Saya
pribadi tidak menganggap huruhara sebagai masalah rasialisme sebab pada kenyataan
saya justru ditolong dan diselamatkan oleh tetangga dan teman2 suku justru bukan sesama
keturunan China . Menurut saya penyebab utama huruhara adalah kesenjangan sosial.
Maka di masa sisa hidup dengan segala keterbatasan kemampuan yg saya miliki, saya
hanya mampu berupaya peduli terhadap nasib kaum miskin, papa dan tergusur yang tidak
berdaya menghadapi angkara murka kekuasaan dan kekerasan. Salam hormat dari jaya
suprana
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Indosat network.
7
From: <[email protected]>
Date: 2016-03-17 2:20 GMT+01:00
Sebuah tulisan yg cerdas:
http://indoprogress.com/2016/03/cina-baik-baik-vs-cina-sok-jago-pancingan-rasisme-sang-jenderal/
“Cina Baik-baik” vs “Cina Sok Jago”: Pancingan Rasisme Sang Jenderal
17 March 2016
Made Supriatma
Harian Indoprogress
Print PDF
HAJATAN pilkada DKI Jakarta belum lagi dimulai, tetapi kampanye hitam, provokasi,
dan fitnah sudah mulai gencar ditebarkan. Misalnya sebuah berita dari PosMetro[1],
yang dengan cepat tersebar ke mana-mana. Berita yang dimuat PosMetro itu sebenarnya
hanyalah tentang status Facebook seseorang yang bernama Suryo Prabowo. Atau
8
lengkapnya Letjen TNI (Pur.) Johannes Suryo Prabowo, mantan wakil kepala staf
angkatan darat (Wakasad) dan mantan kepala staf umum (Kasum) TNI.
Dalam status Facebooknya, Suryo Prabowo menulis demikian, “Man-teman … Terutama
#TemanAhok … Kalau sayang dgn teman2 atau sahabat dari etnis Tionghoa, tolong
diingatkan agar jangan ada etnis Tionghoa yg “sok jago” ketika berkuasa atau dekat
dengan penguasa. Kesian kan Tionghoa lainnya yg baik2 dan/atau yg miskin, kalo ada yg
mau mbantai atau menjarah, mereka kan gak bisa kabur ke luar negeri � Tolong jaga
Bhinneka Tunggal Ika dan sama-sama membangun HARMONI DALAM KEBERAGAMAN.
� JSP #SaveNKRI”[2]
Status Surya Praboow ini sungguh mengganggu saya. Ia mengesankan dirinya bersikap
netral, padahal sejatinya ia sedang melakukan insinuasi. Saya memutuskan untuk
meletakkan status Facebook milik Suryo Prabowo ini ke dalam satu perspektif. Ini
mengingat bahwa penulisnya adalah seseorang yang punya kehidupan publik sebagai
mantan petinggi militer dan seorang politisi. Dia adalah lulusan Akabri terbaik angkatan
1976.
Dalam status tersebut ada juga gambar yang lumayan menyeramkan. Ada mayat terbakar.
Ada toko yang dibakar. Di sana kemudian ia memajang tulisan seperti ini.
“Siapa bilang sejarah kekejaman thd etnis Cina tidak berulang?
Sepanjang penyebabnya berulang
Sejarah kelam pasti berulang
Sepanjang ada China sok jago, pasti …
China yang baik-baik jadi korban
Thn 1740-1743: 10.000 etnis China dibantai
Thn 1959 ribuan etnis China exodus ke RRC
Thn 1966 ribuan etnis China kembali ke RRC
Thn 1998 ribuan etnis China kabur ke LN”
Status ini bertanggal 15 Maret, 2016.
Keesokan harinya, 16 Maret 2016, Suryo Prabowo kembali ke luar dengan status yang
sama. Dia mengingatkan Ahok dan Teman Ahok, sembari menegaskan dirinya pencinta
NKRI dan sahabat semua suku, termasuk Tionghoa (sekarang dia pakai istilah ini).[3]
Pada status ini dia mengakui bahwa peran orang etnis Cina adalah sebagai saudagar. Dia
bahkan mengatakan, jumlah orang pribumi yang menjadi karyawan perusahan-perusahan
milik orang Tionghoa lebih besar daripada jumlah PNS. “Jadi menurutku wajar bila saya
9
tidak mau kalau warga TIONGHOA yg baik-baik jadi korban kelakuan orang-orang yg
tidak bertanggung-jawab yg memprovokasi terjadi amuk massa.”
Selanjutnya Jenderal ini mengatakan, “Oleh sebab itu beberapa saat lalu saya
mengingatkan (BUKAN MEMPROVOKASI) kepada … entah itu # TemanAhok
# KawanAhok atau siapapun PENCINTA # Ahok supaya menghentikan kampanye yg
berbau SARA, dan menghentikan kampanye yg dgn arogan MENANTANG sistem
POLITIK dgn mengadu anggota partai vs kelompok independen pendukung #Ahok.
Kampanye kalian seperti itu justru MEMPROVOKASI terjadinya KONFLIK
HORISONTAL antar kedua pihak yg pro dan kontra #Ahok.”
Tidak lupa pula dia memosisikan Indonesia sebagai negara yang terancam. Inilah yang dia
bayangkan akan terjadi:
“Bila ditahun 2017 nanti Ahok terpilih jadi Gubernur DKI Jakarta. Sangat mungkin
pendukungnya eforia, dan bisa jadi Ahok makin “sok jago”. Bagaimana tidak ? Lha wong
baru jadi gubernur karena dapat “muntahan” dari pak Jokowi yang jadi presiden saja, dia
sudah sok jago seperti sekarang.
Situasi seperti itu bisa membuat “pribumi” dan kelompok muslim marah. Lalu terjadi
akumulasi kemarahan akibat invasi buruh dari Negara China, dan keberpihakan
pemerintah terhadap “modal” dari Negara China yang akan memicu terjadinya AMUK
MASSA terhadap etnis Tionghoa di Jakarta, dan kota-kota besar lainnya. Sehingga
menimbulkan kerugian dan korban jiwa yg masif tidak hanya dari etnis Tionghoa saja.
Ujung-ujungnya nanti yang disalahkan dan dituduh melakukan PELANGGARAN HAM
adalah TNI/Polri karena dinilai melakukan PEMBIARAN.
Kondisi seperti itu tentu bisa dijadikan alasan bagi ” dunia”, terutama AS cs dan negara
China, untuk melakukan operasi militer di wilayah NKRI dengan judul “Humanitarian
Intervention”.
Telunjuk Suryo Prabowo dengan sangat telanjang menuding Ahok dan relawan
pendukungnya. Tapi sesungguhnya dia juga tahu persis bahwa empat jari lainnya
menunjuk pada dirinya. Dia mengklaim dirinya sebagai sahabat semua suku, termasuk
Tionghoa (yang dia tulis dengan huruf kapital), namun dia tahu persis bahwa dia sedang
mengaduk perasaan kebencian terhadap etnis Cina.
Suryo Prabowo dengan jelas membuat pembilahan tentang dua Cina (dia menambahkan
huruf ‘h’). Yang satu adalah, yang menurutnya, ‘Cina baik-baik’ dan miskin yang akan
10
menjadi korban kerusuhan karena tidak bisa lari ke mana-mana kalau diserang. Yang lain
adalah ‘Cina yang tidak baik’, yaitu Ahok dan relawannya yang arogan dan sok jago.
Pembilahan ala Suryo Prabowo ini mau tidak mau mengingatkan saya pada kategori yang
sama yang ditangkap oleh intelektual Afrika keturunan India, Mahmood Mamdani, ketika
menelisik masalah terorisme pasca serangan 11 September 2001. Mamdani melihat usaha
untuk membingkai konflik ini bukan dengan memisahkan antara ‘teroris’ dengan
‘masyarakat sipil’, namun dengan membikin penggolongan antara ‘Good Muslims’ dan ‘Bad
Muslims.’ Jika pemilahan yang diambil adalah antara ‘teroris’ dengan ‘masyarakat sipil’
maka akan jelas tampak bahwa masyarakat sipil lah yang menjadi korban terorisme, tidak
peduli apa agamanya, etnisnya, warna kulitnya, dan lain sebagainya.
Sedangkan pembilahan antara ‘good Muslims’ dan ‘bad Muslims’ itu mengharuskan suatu
penyelesaian dengan ‘perang saudara’ antara keduanya. Negara-negara Barat
mengharuskan dirinya untuk membantu pihak ‘good Muslims.’ Tentu saja, pembilahan
‘good and bad Muslims’ ini didefinisikan menurut kekuasaan tafsir negara-negara Barat
itu sendiri.
Persis inilah yang dilakukan Suryo Prabowo. Dan saya kira banyak orang yang sepaham
dengan dia baik dalam dinas militer maupun sipil. Pemikiran ini pulalah yang menjadi arus
utama (mainstream)pada jaman Orde Baru. Ideal Suryo Prabowo ini adalah sama persis
seperti idealnya Soeharto. Tidak terlalu mengherankan juga karena orang seperti Suryo
Prabowo ini dididik oleh rezimnya Soeharto.
“Cina yang baik” adalah Cina yang hanya berdagang, yang punya toko, yang membikin
perusahan, yang menjadi distribusi barang dan jasa. Orang akan menjadi Cina yang baik
sepanjang dia tetap berada pada koridor itu. Dan dia akan menjadi Cina yang teramat
baik kalau dia menjadi ‘kroni.’ Kosa kata ini seperti lenyap ditelan bumi. Walaupun
sebenarnya masih ada dan tetap subur. Kroni artinya adalah Cina yang berdagang dengan
perlindungan kekuasaan dari orang kuat (biasanya militer dan pribumi) yang menjadi
konco-nya.
Sedangkan ‘Cina yang buruk’ adalah Cina yang masuk ke dalam dunia politik. Sebenarnya
tidak saja politik, tetapi juga dunia yang menyentuh kehidupan publik. Yap Thiam Hien
adalah Cina yang buruk karena menjadi pembela lawan-lawan politik militer Orde Baru.
Demikian pula dengan Arief Budiman atau adiknya Soe Hok Gie. Sebaliknya, Liem Bian Kie,
sekalipun masuk ke dunia politik bisa menjadi Cina yang baik karena bisa diajak
cincai-cincaimembangun Golkar. Akhirnya dia pun menjadi Yusuf Wanandi. Demikian pula
dengan Harry Tjan Silalahi (Tjan Tjoen Hok). Namun toh, diakhir kekuasaan Soeharto,
11
mereka berdua ini menjadi ‘Cina yang buruk’ lagi karena berani menentang kekuasaan
Soeharto yang pernah dibantunya.
Dalam kerangka inilah Ahok diletakkan. Ahok tidak saja Cina yang buruk. Dilihat dari
kacamata Suryo Prabowo, dia adalah Cina yang amat buruk karena dia ‘sok jago.’ Ini
adalah kata lain dari ‘mentang-mentang’ karena mendapat kekuasaan.
Cara berpikir seperti ini sesungguhnya sangat rasialis. Orang Cina tidak boleh memiliki
kekuasaan politik. Karena mereka itu ‘pendatang’ (sekalipun sudah hidup di bumi
Nusantara ini selama sekian puluh atau bahkan ratusan tahun), mereka itu ‘minoritas’
(sekalipun pengaruhnya dalam bidang pemikiran terbentang luas dan sangat mayoritas),
dan mereka itu ‘orang lain.’ Orang Cina harusnya tetap berdagang saja. Dan, tentu saja,
akan lebih baik kalau menjadi kroni.
Namun harus diingat bahwa pola berpikir seperti ini tidak hanya milik kaum seperti
Suryo Prabowo saja. Banyak juga orang Cina punya pikiran yang sama. Mereka kuatir
kalau ada orang Cina yang berpolitik maka konsekuensinya akan menimpa orang Cina yang
lain, yang tidak tahu apa-apa. Jaya Suprana, misalnya, pernah menulis surat tentang
kekhawatirannya pada Ahok. Menurut Suprana, ucapan dan tingkah Ahok yang
kontroversial akan membahayakan kepentingan orang Cina pada umumnya.
Jangan ditanya landasan sosiologis atau historis dari cara berpikir seperti ini. Rasisme
tidak memiliki landasan apapun kecuali prasangka dan kebencian. Diatasnya adalah adalah
nafsu untuk berkuasa. Rasisme adalah kehendak berkuasa – atau menunjukkan
kekuasaan – atas dasar prasangka dan kebencian.
Bukankah semua kerusuhan anti-Cina itu terjadi sebagai pelampiasan kebencian akan
status ekonomi orang Cina? Disinilah sebenarnya inti dari insinuasi rasial Suryo Prabowo
terhadap Ahok dan kaum relawannya TemanAhok itu. ‘Cina yang baik’ itu harus terus
menerus berada dalam ghetto ekonomi karena dengan demikian Cina mudah dikontrol.
Sepanjang orang Cina hanya mengurusi dagangnya, menumpuk harta dan menjadi kaya
raya, maka kerusuhan rasial yang bertindihan dengan kesenjangan ekonomi itu dengan
mudah disulut. Persoalannya adalah siapakah yang menyulut? Sementara banyak
kerusuhan sosial ini pelakunya adalah gerombolan massa, maka penyulut itu biasanya
adalah apa yang disebut oleh para ahli kerusuhan sosial sebagai ‘riots entrepreneurs.’
Siapakah yang punya kemampuan itu? Jelas, mereka yang punya kontrol terhadap
kekuasaan politik.
Orang yang berpikir dalam aras ini tidak akan bisa mengerti bahwa jalan terbaik untuk
mencegah terjadinya kerusuhan anti-Cina adalah dengan memberikan hak-hak
12
kewarganegaraan yang sama kepada orang Cina. Termasuk didalamnya untuk berpolitik
dan mengabdikan hidup untuk kepentingan publik. Ketika orang Cina diberi hak
kewarganegaraan yang sama maka ketika itu juga dia menjadi bagian dari masyarakat
sipil. Dia tidak lagi terisolasi dalam ghetto ekonominya.
Dan lebih sulit lagi legitimasi untuk menyulut kerusuhan rasial. Bukankah ketika Orde
Baru yang rasis itu jatuh dan orang Cina mendapat kesempatan untuk memangku jabatan
publik (Ahok salah satunya!), hampir tidak ada lagi kerusuhan rasial terhadap etnis Cina?
Itu terjadi karena sudah sangat berkurang proses ‘pencina-cinaan’ orang Cina, sebuah
proses yang menjadikan Cina hanya sebagai simbol keserakahan ekonomi.
Dengan menjadi politisi, orang Cina mengemban tanggung jawab tidak lagi sebagai orang
Cina yang serakah, tetapi juga sebagai bupati, walikota, gubernur, menteri, anggota
parlemen, dan lain sebagainya. Dia akan diminta pertanggungjawaban sesuai dengan
jabatan publik yang diembannya. Perlakuan yang diterima pun sama seperti warga negara
lainnya. Walikota etnis Cina yang korupsi, misalnya, akan diperlakukan sebagai walikota
yang korup. Dia adalah koruptor. Titik. Bukan karena dia berasal dari etnis Cina.
Apa yang dilakukan Suryo Prabowo ini adalah apa yang umum dikenal sebagai ‘race
baiting.’ Dia dengan sadar menuduh pihak lain, dalam hal ini Ahok dan TemanAhok,
sebagai pihak yang memakai isu SARA dalam kampanye. Sementara, Suryo Prabowo
sendiri berusaha tampak netral, seolah-olah bersahabat dengan siapa saja,
mengagungkan Bhineka Tunggal Ika, tidak bias. Namun persis pada saat bersamaan dia
juga mengingatkan khalayak bahwa orang atau golongan yang dia sasar adalah etnis Cina.
Dia melakuan ‘pencinaan’ terhadap Ahok dan TemanAhok. Suryo Prabowo bahkan maju
lebih jauh dengan mengklaim bahwa mereka ini bukan dari jenis ‘Cina yang baik’
Race baiting adalah rasisme. Pengucapnya adalah rasis. Sesederhana itu. ***
————
[1]http://www.posmetro.info/2016/03/ingatkan-ahok-suryo-prabowo-kalau.html
[2]https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10207471977815845&set=a.10206870547300458.10737
41826.1180308793&type=3&theater
[3]https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10207482099748887&set=a.10206870547300458.1073
741826.1180308793&type=3&theater
Sent from my iPhone