Upload
doankhanh
View
246
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
PANDANGAN AL-QUR’AN TERHADAP PRAKTEK
KOLUSI DAN NEPOTISME
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana ( S-1 )
Dalam Ilmu Ushuludin
Oleh :
ANA QONITA
NIM : 4103009
FAKULTAS USHULUDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2010
PENGESAHAN
Skripsi Saudara Ana Qonita No. Induk
4103009 telah dimunaqosyahkan oleh
Dewan Penguji Skripsi Fakultas
Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri
Walisongo Semarang, pada tanggal:
28 Juni 2010
dan telah diterima serta disyahkan sebagai
salah satu syarat guna memperoleh gelar
Sarjana dalam Ilmu Ushuluddin jurusan
Tafsir Hadits (TH).
Ketua Sidang
Drs. H. Adnan, M. AgNIP. 19650515 199303 1 003
Pembimbing I,
Moh. Masrur, M.AgNIP. 19720809 200003 1 003
Penguji I,
Mundhir, M.AgNIP:19710507 199503 1 001
Pembimbing II,
(Moh. Masrur, M.Ag) NIP. 19720809 200003 1 00
Penguji II,
Hasyim Muhammad, M.AgNIP:19720315 199703 1 002
Sekretaris Sidang,
Dr. A. Hasan Asy'ari Ulama'i, M.Ag
MOTTO
} {
} {
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isterimereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini
tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.”(Qs. Al-Mukminun : 5 – 7)1
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubah dan menyukai orang-
orang yang menyucikan diri”.
(Qs. Al-Baqarah : 222) 2
1 Mahmud Yunus, Tarjamah al-Qur an al-Karim, Bandung PT. al-Ma’aif, 1990, cet-ix, h. 526
2 Ibid., h. 26
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi
ini tidak berisi materi yang pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan.
Demikian juga skripsi ini tidak berisi satu pikiran-pikiran orang lain, kecuali
informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, 14 Juli 2010
Ana Qonita4103009
ABSTRAKSI
Penelitian ini dilatarbekangi oleh adanya beberapa ayat Al-Qur’an yangmenjelaskan tentang persoalan Kolusi dan Nepotisme. Namun selama ini ayat-ayat tersebut kurang mendapat tempat dalam aspek sebagai dasar hukum maupundalam lingkup penelitian. Oleh sebab itu perlu adanya penelitian yang berkaitandengan tafsiran ayat-ayat Kolusi dan Nepotisme.
Fokus permasalahan adalah : 1. bagaimana pandangan Al-Qur’anterhadap praktek Kolusi dan Nepotisme?. 2. bagaimana dampak praktek Kolusidan Nepotisme bagi kehidupan masyarakat?
Penelitian ini bersifat kepustakaan (Library research) atau penelitianliteratur murni. Data-data yang terkait dengan studi ini dikumpulkan melalui studipustaka. Mengingat studi ini tentang pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an dengantelaah dan analisis penafsiran terhadap kitab-kitab tafsir, maka secara metodologipenafsiran ini dalam kategori penelitian exploratif, artinya memahami ayat-ayatAl-Qur;an yang terkait dangan masalah praktek Kolusi dan Nepotisme denganmenggali penafsiran berbagai mufasir dalam berbagai karya tafsir.
Hasil penelitian ini mufassir berpendapat bahwa tindakan Kolusi danNepotisme adalah wujud dari ketiadaan keadilan. Mereka berpendapat bahwakeadilan, kebajikan, ketaqwaan dan kebenaran adalah salah satu kesatuan yangtetap harus ditegakkan tidak boleh mengalahkan yang lainnya, meskipun padaakhirnya akan menimbulkan mudarat bagi dirinya, karena hak Allah SWT haruslebih diutamakan dari pada hak makhluk.
Berdasarkan hasil penelitian ini, diharapkan dapat menjadi informasipengetahuan, masukkan serta sumbangsih pemikiran bagi mahasiswa, serta semuapihak yang membutuhkan dilingkungan Fakultas Ushuluddin IAIN WalisongoSemarang.
Ma’mun Effendi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……………………………………………………………… IHALAMAN NOTA PEMBIMBING ……………………………………………... IIHALAMAN PENGESAHAN …………………………………………………….. IIIHALAMAN DEKLARASI ……………………………………………………….. IVHALAMAN MOTTO …………………………………………………………….. VHALAMAN PERSEMBAHAN ………………………………………………….. VIHALAMAN ABSTRAK …………………………………………………………. VIIHALAMAN KATA PENGANTAR ………………………...…………………… VIIIDAFTAR ISI ……………………………………………………………………... IX
BAB I PENDAHULUANA. Latar Belakang …………………………………………………. 1B. Rumusan Masalah …………………………………………........ 6C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Skripsi ……………………........ 6D. Telaah Pustaka …………………………………………………. 7E. Metode Penulisan Skripsi ……………………………………… 8F. Sistematika Penulisan Skripsi ………………………………….. 11
BAB II GAMBARAN UMUM DAN PANDANGAN ISLAM TENTANG KOLUSI DAN NEPOTISME
A. Pengertian Kolusi dan Nepotisme ……………………………… 13B. Praktek Kolusi dan Nepotisme …………………………………. 15C. Upaya Pemberantasan Kolusi dan Nepotisme………………...... 21
C.1. Lembaga Negara……………………………………………C.2. Organisasi Massa ………………………………………….. 28
D. Pandangan Islam Tentang Kolusi dan Nepotisme …………........ 29
BAB III AYAT-AYAT AL-QURAN TENTANG PRAKTEK KOLUSIDAN NEPOTISMEA. Term-term Ayat-ayat AL-Quran Tentang Kolusi
dan Nepotisme…………………………………………………B. Penafsiran Ayat-ayat Al-Quran Tentang Kolusi
dan Nepotisme …………………………………………………
BAB IV ANALISISA. Pandangan Al-Quran Tentang Praktek Kolusi
dan Nepotisme …………………………………………………B. Dampak Praktek Kolusi dan Nepotisme bagi Masyarakat …… 42
BAB V PENUTUPA. Kesimpulan ……………………………………………..…….B. Saran-Saran ……………………………………………………C. Penutup ………………………………………………………..
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Agama Islam merupakan way of life yang menjamin kebahagiaan
hidup pemeluknya di dunia dan akhirat kelak.3 Syaratnya, segala aturan yang
ada di dalamnya harus dijalankan. Adapun dasar agama Islam, adalah Al-
Qur’an. Al-Qur’an yang telah diwahyukan kepada Rasul-Nya berguna untuk
diajarkan kepada manusia. Ia adalah rahmat, hidayah, dan petunjuk bagi
manusia. Allah SWT, menurunkan Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk, tetapi
akan lebih tepat dinyatakan bahwa ia adalah petunjuk bagi kehidupan umat
manusia, petunjuk yang menuntun manusia ke arah jalan yang lurus, yaitu
dalam konteks perjuangan menyeluruh antara yang baik dan yang buruk.4
Al-Qur’an akan selalu menjadi obyek kajian yang selalu mengundang
perhatian dan pemikiran para pemerhatinya. Hal ini bukan disebabkan oleh
semata posisinya sebagai skriptur yang transeden, melainkan juga karena
muatan nilainya yang tak pernah kekal di makan zaman dan usang di makan
ruang, shalih likulli zaman wa makan. Karena itu, tak heran jika selalu
dijadikan referensi utama untuk mengabsahkan perilaku menjustifikasi
tindakan perorangan maupun kolektif, melandasi berbagai aspirasi,
memelihara berbagai harapan dan juga memperkukuh identitas kolektivitas.
Posisi signifikan itulah yang membuat Al-Qur’an tidak saja sebagai
pusat wacana keislaman yang mendorong umat Islam untuk melakukan
interprestasi dan pengembangan makna ayat-ayat-Nya (gerak sentrifugal), tapi
juga menjadikannya sebagai referensi utama dalam hidup (gerak sentripetal).
Karena itu, semenjak pewahyuannya hingga sekarang, Al-Qur’an menjadi
3 Muhammad Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur an, Bandung, Mizan, 1996, cet. XII,hlm. 33
4 Thomas Ballentin E. Irving, Al-Qur an Tentang Akhlaq dan Segala Amal Ibadah Kita,Terj. Khursid Ahmad & Muhammad Munazir Ahasan, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1996, hlm.14-15
2
produser budaya yang telah banyak memberikan kontribusi terhadap
peradaban umat Islam dalam kurun waktu 14 abad lebih.
Zaman telah banyak mengambil perubahan seiring dengan perubahan
peradaban serta tingkah laku manusia karena derasnya arus modernisasi,
berkembangnya ilmu pengetahuan dan semakin berkembangnya pola pikir
manusia jelas mempunyai dampak tersendiri bagi kehidupan manusia, baik
dari sisi baik maupun sisi buruk. Jika kita memandang sisi baik modernisasi
jelas sangat dirasakan oleh setiap manusia, tetapi apabila kita melihat sisi
buruk yang mengakibatkan suatu modernisasi maka tidak semua dapat
merasakannya misalnya saat ini mungkin banyak sekali menemukan
perbuatan-perbuatan manusia yang telah digariskan oleh sang pencipta yaitu
Allah SWT. Kejahatan, penipuan, korupsi, nepotisme dan yang lain-lain
semakin merajalela, ketentraman dan kedamaian semakin terkikis dan pada
akhirnya hilang sama sekali. Zaman mulai menunjukkan tanda-tanda
kehancuran, mengapa itu semua bisa terjadi? karena setiap manusia saat ini
sudah tidak bisa membedakan mana yang halal dan mana yang haram, semua
sama.5
Sebelum melihat masalah Kolusi dan Nepotisme sebagai suatu
implikasi dari sikap hidup lebih besar pasak dari pada tiang, nampaknya
menghinggapi masyarakat Indonesia baik secara Nasional, dalam
pembangunan Nasional maupun yang lebih mikro lagi, dalam kegiatan
perusahaan dan kegiatan perorangan. Masyarakat Indonesia baru harus dapat
keluar dari sikap ini dengan membuang KKN dalam membangun masyarakat
Indonesia secara lebih menyeluruh, lebih terbuka, lebih demokratis dan lebih
mandiri.
Kalau basis untuk menentukan kesalahan ini adalah kerugian negara
atau masyarakat dari tindakan yang dilakukan pejabat dan yang terkait, maka
yang paling penting dari ketiga unsur dalam KKN adalah perbuatan korupsi.
5 Dr. Ahmad Shiddiq, Benang Tipis Antara Halal dan Haram, Terj. Imam Ghazali,Surabaya, Putra Pelajar, 2002, Cet. I, hlm. 277
3
Ketiganya memang dapat bergandengan, sering yang satu menyebabkan yang
lain atau memperburuk yang lain. Akan tetapi kalau yang menjadi dasar
kesalahan adalah terjadinya kerugian negara, maka pusat perhatian harus pada
tindakan atau perbuatan korupsi tersebut, untuk menentukan siapa yang
melakukannya dan apa sanksi yang harus dibebankan terhadap kesalahan
tersebut.
Kalau kita memusatkan perhatian pada pemberantasan korupsi, maka
masalahnya akan lebih jelas dan operasionalisasinya dapat menjadi lebih
nyata. Apakan hal ini bergandengan dengan Kolusi dan Nepotisme, bisa
diteliti lebih lanjut. Bahkan kalau korupsi ini terjadi dalam rangka suatu
Kolusi dan Nepotisme, maka pembuktian siapa yang terlibat dalam korupsi
akan menyangkut jaringan Kolusi dan Nepotismenya dan penyidikannya dapat
langsung menjaring mereka itu semua tetapi yang menjadi fokus jelas,
tindakan korupsi, tindakan melanggar hukum yang merugikan Negara menurut
suatu definisi yang pasti.
Seperti halnya Pengertian Kolusi dari bahasa Arab adalah:
Kerjasama secara diam-diam untuk maksud tidak terpuji
Sedangkan pengertian lain tentang istilah “nepotisme” dari Bahasa
Arab adalah:
”Tindakan mementingkan atau menguntungkan sanak saudaraatau teman-teman sendiri, terutama dalam pemerintahanwalaupun dia tidak pandai 6
Pada dasarnya adanya hubungan keluarga antara pejabat satu dengan
yang lain atau antara pejabat dan pengusaha, tidak secara otomatis
menunjukkan adanya Kolusi atau Nepotisme yang ingin kita hilangkan itu.
6 Drs. Sulchan Yasin, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Surabaya: Amanah, 1997, hlm.340.
4
Nepotisme dan Kolusi ini tidak hanya harus terbukti ada, akan tetapi untuk
dikategorikan dalam tindakan yang tidak di kehendaki hal tersebut harus juga
di ukur dengan kriteria adanya pelanggaran ketentuan hukum, misalnya
perbuatan tersebut telah merugikan negara atau masyarakat, sebagaimana
dalam kasus korupsi.
Jika kita ingin memusatkan perhatian pada penanggulan masalah
Kolusi, Nepotisme dengan mengusulkan perlunya kejelasan konsep atau
kriteria dari masing-masing tindakan dalam Kolusi, Nepotisme dan
memusatkan penanganannya pada masalah yang lebih jelas, dan lebih pokok,
yaitu korupsi. Dengan cara ini diharapkan program penanganan masalah
Kolusi, Nepotisme akan lebih terarah dan memberikan hasil yang setahap
demi setahap dapat dipergunakan untuk dijadikan basis bagi penanganan
seterusnya sampai tuntas.
Dalam kebanyakan pemberi suatu surat referensi sebagai suatu
jaminan mengenai kualifikasi seseorang untuk menempati suatu posisi adalah
di terima secara umum.yang di harapkan adalah tidak terjadi penyalahgunaan
surat referensi tersebut, jangan sampai surat ini aspal, jangan sampai referensi
ini tidak sesuai dengan kenyataannya, ini yang tidak boleh di salahgunakan.
Istilah kata belece adalah untuk penyalahgunaan kebiasaan adanya referensi
ini. Yang jelas agar ada kepastian ketentuannya harus jelas mana yang boleh
mana yang tidak, untuk menentukan apakah terjadi suatu pelanggaran
terhadap ketentuan oleh seseorang dan apakah sanksi terhadap pelanggaran
tersebut? dalam hal adanya tindakan korupsi ketentuannya telah jelas,
sedangkan bagaimana dengan Kolusi dan Nepotisme?
Mengingat kenyataan tersebut, yang harus dilakukan adalah menyusun
ketentuan untuk melarang adanya Kolusi dan Nepotisme. Akan tetapi ini
hanya menyangkut ketentuan untuk masa depan yang harus di perhatikan.
Sedangkan kita melihat bahwa praktek Kolusi dan Nepotisme dalam era Orde
Baru ini memang sangat mencolok. Karena itu emosi masyarakat meluap
untuk bisa membubarkan praktek-praktek ini dan menindak para pelakunya.
Ini adalah perasaan semua orang kecuali yang mempraktekkan.
5
Untuk melacak kedudukan hukum kolusi dalam khazanah hukum
Islam bisa ditelusuri melalui konsep saraqah (pencurian) risywah (suap),
khiyanat (pengkhianatan), dan al-qasysy (penipuan). Bahasa moral dan
kemanusiaan yang sarat dengan etika dan perilaku hukum itu secara jelas
terkandung dalam Al-Qur'an dan as-Sunnah, melalui keduanya para ahli
hukum Islam menggali dan mengembangkan berbagai teori sampai
pelembagaannya dalam pranata masyarakat Islam. 7
Kalau kita lacak dalam posisi yang netral, sebenarnya Nepotisme
(mengambil kesempatan terhadap suatu keadaan, posisi atau jabatan
berdasarkan hubungan kekerabatannya) tidak selalu mempunyai konotasi
makna yang negatif. Tapi justru dalam keadaan-keadaan tertentu Islam sangat
menganjurkan untuk melakukan suatu tindakan yang memprioritaskan kepada
orang-orang yang ada hubungannya dengan kekerabatan (keluarga dan sahabat
dekat) dengan kita.8
Melihat fenomena diatas penulis sangat tertarik untuk meneliti ayat-
ayat kolusi, nepotisme dalam pandangan al-Qur’an. Yang berkaitan dengan
pemahaman ayat-ayat kolusi, nepotisme kemudian penulis fokuskan kepada
pemahaman ayat-ayat al-Qur’an tentang praktek kolusi dan nepotisme secara
kontekstual untuk mengambil pesan moral yang ada di dalamnya. Atas
pertimbangan dan alasan di atas mengilhami penulis untuk menyusun skripsi
ini dengan judul : PANDANGAN AL-QUR’AN TERHADAP PRAKTEK
KOLUSI DAN NEPOTISME.
B. Pokok Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah penulis kemukakan di
atas, maka pokok masalah yang penulis bahas dalam skripsi ini adalah:
1. Bagaimana pandangan Al-Qur'an terhadap praktek kolusi dan nepotisme?
7 Prof. Dr. Hj. Aisyah Girindra, dkk, Bahaya Makanan Haram Bagi Kesehatan Jasmanidan Kesucian Rohani, Jakarta, Al-Mawardi Prima, 2003, Cet, I, hlm. 112-113
8 Ibid, hlm. 120-121
6
2. Bagaimana dampak praktek kolusi dan nepotisme bagi kehidupan
masyarakat?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Sejalan dengan rumusan masalah diatas maka yang menjadi tujuan
penyusunan skripsi ini adalah:
1. Untuk mengetahui pandangan Al-Qur'an terhadap praktek kolusi dan
nepotisme.
2. Untuk mengetahui bagaimana dampak praktek kolusi dan nepotisme bagi
kehidupan masyarakat.
Adapun manfaat yang dapat diambil dari hasil penelitian ini antara lain
sebagai berikut:
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada
peminat studi tafsir tentang pandangan Al-Qur'an terhadap praktek kolusi
dan nepotisme.
2. Menambah khazanah keilmuan dalam bidang pemikiran Islam dan tafsir
Al-Qur'an di Fakultas Ushuluddin.
D. Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka ini dimaksudkan sebagai salah satu kebutuhan ilmiah
yang berguna untuk memberikan kejelasan dan batasan pemahaman tentang
informasi yang digunakan melalui khazanah pustaka, terutama yang berkaitan
dengan tema yang dibahas.
Pertama, Ahmad Shiddiq Terj. Imam Al-Ghazali, Benang Tipis antara
Halal dan Haram, Pustaka Pelajar, Surabaya, 2002. Buku yang berisi tentang
perbuatan-perbuatan manusia yang telah digariskan oleh Allah dan tanda-
tanda kehancuran yang disebabkan oleh manusia, begitu juga apakah setiap
manusia saat ini sudah tidak bias membedakan mana yang halal dan mana
yang semaunya sama.
7
Kedua, Aisyah Gerinda, Bahaya Makanan bagi Kesehatan Jasmani dan
Kesucian Rohani, Al-Mawardi Prima, Jakarta, 2003. Buku yang berisi tentang
kedudukan hukum Kolusi dan Nepotisme dalam khazanah Islam dan
menganjurkan untuk melakukan suatu tindakan yang memprioritaskan kepada
orang-orang yang ada hubungannya dengan kekerabatan.
Ketiga, Dr. Baharuddin, Paradigma Psikologi Islam, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 1998. Di sini dia berupaya untuk membangun teori psikologi
Islam berdasarkan pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an tentang manusia
dibangun berdasarkan metode tafsir, tematik terhadap istilah Al-Qur’an dalam
menjelaskan manusia. Konsep-konsep manusia itu, selanjutnya dianalisis
dengan metode analisis pemaknaan untuk menemukan elemen-elemen
manusia berupa : Struktur Psikis Manusia, Struktur Motivasi dan Struktur
Fungsi Psikis.
Selain buku-buku diatas, banyak lagi buku-buku atau kitab baik
literature Arab maupun Indonesia, yang membahas, tentang praktek Kolusi
dan Nepotisme secara lebih detail dan lebih komprehensif.
Tapi sejauh ini, penulis melihat bahwa kajian tentang praktek Kolusi
dan Nepotisme dilihat dari pandangan Al-Qur'an belum pernah dilakukan oleh
para akademisi melalui karya berbentuk buku. Padahal, bila dilihat dari
keutuhan substansi ajaran Islam, masalah tersebut merupakan mata rantai dari
komponen pengetahuan dan wawasan keagamaan, yang jika tidak dipahami
dengan jelas oleh umat Islam akan berdampak pada ketidaktahuan pemahaman
atas masalah yang lain. Seperti, kemungkinan terjadinya pemahaman secara
verbal daam memahami tauhid, tanpa dilandasi pengetahuan bagaimana proses
eksistensi ketauhidan Allah yang terjadi sebelum kita di lahirkan.
E. Metode Penelitian
Penelitian mengenai pandangan Al-Qur’an terhadap praktek Kolusi dan
Nepotisme, ini merupakan penelitian kualitatif, penelitian ini bukanlah
8
penelitian lapangan. Sebaliknya penelitian ini merupakan penelitian literatur
murni atau penelitian kepustakaan (Library Research).9
1. Sumber Data
Sebagaimana kita ketahui bahwa penelitian ini adalah termasuk
kepustakaan (library research) yang berisi buku-buku sebagai bahan
bacaan dan bahasan dikaitkan dengan penggunaannya dalam kegiatan
penulisan dan penyusunan skripsi ini digunakan sumber data primer dan
sumber data sekunder.
a. Sumber Data Primer
Adapun bahan bacaan yang penulis jadikan sebagai sumber data
primer adalah Tafsir Al-Azhar. Salah satunya adalah surat Ali Imran
ayat 161.
$tBurtb% x.@cÓÉ< oY Ï9b r&¨@äótƒ4t̀Burö@è=øótƒÏNù' tƒ$yJ Î/¨@xîtPöq tƒÏp yJ» uŠÉ)ø9$#4§N èO4’̄û uq è?
‘@à2<§øÿtR$̈BôMt6 |¡ x.öN èd urŸwtbq ßJ n=ôà ãƒÇÊÏÊÈ
Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan hartarampasan perang. barangsiapa yang berkhianat dalam urusanrampasan perang itu, Maka pada hari kiamat ia akan datangmembawa apa yang dikhianatkannya itu, Kemudian tiap-tiapdiri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakandengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidakdianiaya .10
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder adalah merupakan buku penunjang yang
dapat melengkapi sumber data primer dan dapat membantu dalam studi
analisis. Data-data yang terkait dengan studi ini dikumpulkan melalui
studi pustaka, atau telaah pustaka, mengingat studi ini tentang
pemahaman ayat-ayat Al-Qur'an dengan telaah dan analisis penafsiran
terhadap kitab-kitab tafsir, maka secara metodologi penafsiran ini
9 Prof. Dr. Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta,Rineka Cipta, 1998, hlm. 8
10 Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz IV, Jakarta: Panjimas, 1982, hlm. 179-182.
9
dalam kategori penelitian exploratif, artinya memahami ayat-ayat Al-
Qur'an yang terkait dengan masalah praktek kolusi dan nepotisme
dengan menggali penafsiran berbagai mufasir dalam berbagai karya
tafsir.11
2. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik
pengumpulan data kepustakaan atau studi pustaka, yaitu pengumpulan dari
berbagai buku, kitab dan karya ilmiah yang relevan dengan tema
pembahasan diatas, yaitu Kolusi dan Nepotisme.
Dalam hal ini penulis menggunakan metode tematik. Yang
dimaksud dengan metode tematik ialah membahas ayat-ayat Al-Qur'an
sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang
berkaitan, di himpun. Kemudian di kaji secara mendalam dan tuntas dari
berbagai aspek yang terkait dengannya, seperti asbab al-nuzul, kosa kata,
dan sebagainya. Semua dijelaskan dengan rinci dan tuntas, serta di dukung
oleh dalil-dalil atau fakta-fakta yang dapat di pertanggungjawabkan secara
ilmiah, baik argumen yang berasal dari Al-Qur'an, Hadits, maupun
pemikiran rasional.12
Dalam penerapan metode ini, ada beberapa langkah yang harus di
tempuh oleh munfasir. Antara lain sebagaimana diungkapkan oleh Al-
Farmawi berikut ini:
a. Menghimpun ayat-ayat yang berkenaan dengan judul tersebut sesuai
dengan kronologi urutan turunnya. Hal ini diperlukan untuk
mengetahui kemungkinan adanya ayat yang mansukhah, dan
sebagainya.
11 Dr. Baharuddin, Paradigma Psikologi Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004, hlm.41
12 Dr. Nasruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur an, Yogyakarta : PustakaPelajar, 1998, Cet, I, hlm. 151
10
b. Menelusuri latar belakang turun (asbab nuzul) ayat-ayat yang telah
dihimpun (kalau ada).
c. Meneliti dengan cermat semua kata atau kalimat yang dipakai dalam
ayat tersebut, terutama kosa kata yang menjadi pokok permasalahan di
dalam ayat itu. Kemudian mengkajinya dari semua aspek yang
berkaitan dengannya, seperti bahasa, budaya, sejarah, munasabat,
pemakaian kata ganti (dhamir), dan sebagainya.
d. Mengkaji pemahaman ayat-ayat itu dari pemahaman berbagai aliran
dan pendapat para mufasir, baik yang klasik maupun yang
kontemporer.
e. Semua itu dikaji secara tuntas dan seksama dengan menggunakan
penalaran yang objektif melalui kaidah-kaidah tafsir yang mu’tabar,
serta didukung oleh fakta (kalau ada), dan argumen-argumen dari Al-
Qur'an, Hadits atau fakta-fakta sejarah yang dapat ditemukan. Artinya,
mufasir selalu berusaha menghindarkan diri dari pemikiran-pemikiran
yang subjektif. Hal itu di mungkinkan bila ia membiarkan Al-Qur'an
membicarakan suatu kasus tanpa di intervensi oleh pihak-pihak lain
diluar Al-Qur'an, termasuk penafsir sendiri. 13
Akan tetapi di dalam penerapan cara kerja metode tafsir
tematik (maudhu i) tersebut tidak selalu harus memenuhi keseluruhan
tahapan-tahapan yang telah di tetapkan. Bisa jadi satu atau tahapan
tidak bisa di lakukan secara sempurna. Hal tersebut merupakan
keterbatasan yang ada pada diri penulis.
3. Analisis Data
Setelah semua data terkumpul maka penulis menganalisisnya
menggunakan metode-metode berikut:
a. Analisis Isi (Content Analisys)
13 Ibid, hlm. 152-153
11
Analisis ini adalah sebuah analisis yang berdasarkan fakta dan
data-data yang menjadi isi atau materi satu buku (kitab-kitab).14
b. Metode Analisis Kritis
Metode analisis kritis adalah merupakan metode diskripsi yang
di sertai dengan analisis yang bersifat kritis. Fokus penelitian analisis
kritis mendiskripsikan, membahas dan mengkritik gagasan yang
selanjutnya di konfirmasikan dengan gagasan primer yang lain dalam
upaya melakukan studi yang berupa perbandingan, hubungan dan
pengembangan model.15
Adapun langkah-langkah dalam metode analisis kritis adalah
sebagai berikut:
Langkah pertama, mendiskripsikan gagasan primer tersebut,
yang menjadi objek penelitian.
Langkah kedua, membahas gagasan primer tersebut yang pada
hakikatnya memberikan penafsiran penelitian terhadap gagasan yang
telah dideskripsikan.
Langkah ketiga, langkah melakukan kritik terhadap gagasan
primer yang telah di tafsirkan tersebut. Tujuan kritik dalam metode
analisis kritis adalah mengumpulkan kelebihan dan kekurangan dari
suatu gagasan primer.
Langkah keempat, melakukan studi analitik yakni studi terhadap
serangkaian gagasan primer dalam bentuk perbandingan, hubungan,
pengembangan model rasional, dan penelitian historis.
Langkah kelima, menyimpulkan hasil penelitian.16
F. Sistematika Penulisan Skripsi
14 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta : Rake Sarasin, 1996,hlm. 94
15 Op. Cit, hlm. 153
16 Ibid. hlm. 45-46
12
Agar diperoleh hasil pembahasan yang sistematis dan utuh, maka skripsi
disusun dengan sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan, yang berisi Latar Belakang Masalah, Pokok
Masalah, Tujuan Penelitian, Tinjauan Kepustakaan, Metode
Penelitian, serta Sistematika Penelitian.
BAB II Membicarakan Gambaran Umum dan Pandangan Islam
tentang Kolusi dan Nepotisme, sebagai landasan teori
penelitian ini mencakup: A. Pengertian Kolusi dan
Nepotisme, B. Memberantas Kolusi dan Nepotisme, C.
Upaya Pemberantasan Kolusi dan Nepotisme, C.1.
Lembaga Negara, C.2. Organisasi Masa dan D. Pandangan
Islam tentang Kolusi dan Nepotisme
BAB III. Membicarakan Pandangan Al-Qur'an terhadap Praktek
Kolusi dan Nepotisme dan Penafsirannya yang mencakup
ayat-ayat praktek tentang Kolusi dan Nepotisme.
BAB IV Analisis yang membahas bagaimana pandangan Al-Qur'an
terhadap praktek Kolusi, Nepotisme dan bagaimana
dampak praktek Kolusi, Nepotisme bagi kehidupan
Masyarakat.
BAB V. Merupakan akhir dari pembahasan dalam skripsi ini yang
berisi tentang kesimpulan, saran-saran dan penutup.
13
BAB II
GAMBARAN UMUM DAN PANDANGAN ISLAM
TENTANG KOLUSI DAN NEPOTISME
A. Pengertian Kolusi dan Nepotisme
Pada bab ini akan dibahas antara apa yang di maksud kolusi dan
nepotisme. Yang di maksud kolusi dalam kamus besar adalah kerja sama
secara diam-diam untuk maksud tidak terpuji. Tindakan kolusi biasanya tidak
terlepas dari budaya suap-menyuap (risywah) yang sudah sangat kita kenal di
lingkungan budaya birokrasi dan telah memasuki sistem jaringan yang amat
luas dalam masyarakat umum.17 Sedangkan pengertian kolusi dalam undang-
undang adalah permufakatan secara melawan hukum antara penyelenggara
negara dan pihak lain yang merugikan pihak lain, masyarakat, atau negara.18
Kolusi merupakan penyakit sosial yang menggerogoti sendi-sendi bangsa dan
merusak tatanan hidup bernegara. Kolusi adalah perbuatan untuk mencari
keuntungan pribadi atau golongan untuk merugikan negara.19
Sedangkan yang di maksud nepotisme dalam kamus besar bahasa
Indonesia adalah tindakan atau menguntungkan sanak saudara atau teman-
teman sendiri, terutama dalam pemerintahan walaupun dia tidak kompeten.
Walau kita lacak dalam posisi yang netral, sebenarnya nepotisme (mengambil
kesempatan terhadap suatu keadaan, posisi atau jabatan berdasarkan hubungan
kekerabatan) tidak selalu mempunyai konotasi makna yang negatif.
Sedangkan pengertian nepotisme dalam Islam adalah menganjurkan untuk
mendahulukan pemberian atau mementingkan sanak saudara atau teman
17 Thabib al-Asyhar, Bahaya Makanan bagi Kesehatan Jasmani dan Rohani, Jakarta, PT.Al-Mawardi, 2003, cet.. I, hlm. 116
18 Tim Redaksi Fokus Media, Himpunan Peraturan Perundangan-UndanganPemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bandung : Fokus Media, 2008, Cet, I, hlm. 122
19 Abu Fida Abdul Rafi, Terapi Penyakit Korupsi, Jakarta, Penerbit Republik, 2006, Cet. Ihlm. 1
14
sendiri, terutama dalam hal sedekah, infak dan zakat yang betul-betul
membutuhkan dan mendesak.20
Ada pula pengertian Nepotisme dalam Undang-Undang adalah setiap
perbuatan penyelenggaraan negara secara melawan hukum yang
menguntungkan kepentingan keluarganya atau kroninya diatas kepentingan
masyarakat, negara dan bangsa.21 Yang menjadi persoalan adalah jika
tindakan nepotisme dikaitkan pemberian posisi atau jabatan tertentu kepada
orang yang mempunyai kekerabatan dengan seorang pelakunya tanpa
memperdulikan unsur-unsur sebagai berikut :
Pertama, unsur keahlian atau kemampuan yang dimiliki, kalau
nepotisme dilakukan dengan tidak memperdulikan kualitas, maka pelakunya
bisa dikategori sebagai orang yang dzalim dan dapat merusak tatanan
kehidupan, baik keluarga, masyarakat, negara, maupun agama.
Kedua, unsur kejujuran dalam menjalankan amanat, Jika nepotisme
dijalankan dengan cara yang tidak dibenarkan dalam suatu peraturan atau
hukum tertentu, seperti menutup kesempatan kepada orang lain yang sama-
sama mempunyai hak, maka ia termasuk kelompok yang bisa dikategorikan
sebagai orang yang tidak jujur dan khianat terhadap amanat.22
Kalau kita amati apa yang berlangsung sekarang ini, orang menggabung
tindak pidana atau pelanggaran ketentuan ini menjadi satu istilah menjadi
yaitu Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN). Ketiga hal ini seolah-olah telah
menjadi satu kata, akan tetapi sebagai akibatnya pembahasan masalahnya
sendiri menjadi tidak fokus, sebagai konsep mengambang, dan secara
operasional menyulitkan.
Istilah Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) dianggap dipahami semua
orang, tetapi begitu dibahas mendalam, ternyata orang mempunyai konsep
atau definisi yang berbeda satu dengan yang lain. Kejelasan konsep atau
20 op. cit, hlm. 121
21 Ibid., hlm. 122
22 Ibid., hlm. 122-124
15
definisi sangat penting, akan tetapi ini baru langkah berikutnya. Memang
tanpa kejelasan ini gerakan menghapus Korupsi Kolusi Nepotisme hanya
mendasarkan diri pada emosi bagi yang menuntun dan bagi yang menangani.
Penanggulangan masalah Koruspsi Kolusi Nepotisme sampai sekarang atas
dasar kedekatan seseorang dengan penguasa, ini tidak menyelesaikan masalah
bahkan membuat masalah baru.
Tanpa adanyan kejelasan atau definisi dari masing-masing unsur Korupsi
Kolusi Nepotisme, tanpa adanya program menyeluruh apa yang akan
dilakukan. Tindakan yang sporadis hanya menumbuhkan kecurigaan-
kecurigaan yang tidak perlu. Karena itu, dalam keadan masih kokohnya
kredibilitas aparat penegak hukum, penanganan Korupsi Kolusi Nepotisme
harus didasarkan atas konsep yang jelas dan didefinisakan dengan kriteria atau
batasan-batasannya.
B. Praktek Kolusi dan Nepotisme di Indonesia
Pada akhir 1990-an, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme menjadi kata kunci
yang menunjukan penyakit rezim Orde Baru Presiden Soeharto. KKN tersebut
bergulir hingga pada tahun 2000, posisi indek persepsi Korupsi di Indonesia
ketika itu dinyatakan berada pada peringkat 85 dari 89 Negara oleh
Transparancy Internacional, dengan nilai 1,7 sebagai mana diketahui bahwa
angka terbaik adalah angka 10.
Kekuasaan memungkinkan praktik Neopotisme dan Kolusi: keputusan
atau kebijakan yang memihak sebagai balasan atas jasa yang di berikan,
pemberian jabatan politik sebagai hadiah untuk individu atau kelompok yang
disukai, pembuatan kebijakan yang ditujukan untuk memperoleh kekayaan
pribadi atau pengaruh. Hasil dari praktik Kolusi dan Nepotisme ada 2 :
Pertama, ia menimbulkan suatu pemerintahan yang memerintah berdasarkan
kepentingan-kepentingan yang sempit dan memihak dengan mengorbankan
kepentingan lainnya. Kedua, ia menumbuhkan sinisme dalam masyarakat
yang akan menghalangi pemerintahan yang baik.
Mekanisme yang menanamkan pertanggungjawaban pada publik dan
transparansi dapat mengurangi praktik Kolusi dan Nepotisme. Setelah
16
pemilihan umum di Afrika Selatan, untuk pertama kalinya di negara tersebut,
sebuah aturan perilaku dimunculkan yang membatasi kelakuan yang berkaitan
dengan penerimaan hadiah dan imbalan, sehingga mengurangi resiko yang
korup.23
Contoh kasus praktek Kolusi dan Nepotisme adalah kasus Akbar
Tanjung dengan dakwaan Kolusi dan Nepotisme penggelapan dana non-
neraca bulog Rp 40 Milyar. Bukti yang sangat kuat terhadap tindak pidana
Kolusi dan Nepotisme itu adalah pengembalian dana Rp 40 milyar oleh
terdakwa Winfried Simatupang kepada penyidik. Vonis bebas Akbar Tanjung
terjadi ditengah persiapan pembentukan pengadilan khusus korupsi (KPK)
yang akan mengkhususkan diri dalam pemerikasaan perkara Kolusi dan
Nepotisme dengan puncak pemeriksaan di Mahkamah Agung..
Membahas pemeriksaan kasus Akbar Tanjung tidak bisa ditilik hanya
dari sudut hukum semata karena kasus itu sendiri syarat muatan politis sebagai
kosekuensi logis posisi Akbar Tanjung sebagai ketua DPR dan ketua umum
partai Golkar. Kekuatan politik Akbar Tanjung juga dapat dilihat dari
kegagalan pembentukan pansus Bulloggate II.24
Di Era Orde Baru, sejumlah proses peradilan kasus korupsi sampai
ditingkat Mahkamah Agung memberi gambaran rapuhnya indenpedensi
peradilan dan bayang-bayang praktik Kolusi antara hakim dan petugas
pengadilan dengan pencari keadilan ataupun terdakwa. Kasus yang dapat
merepresentasi kasus Kolusi antara pihak berperkara adalah GMS. Ironisnya,
Adi Andojo dicopot dari jabatan ketua muda pidana umum karena dinilai telah
mencemarkan Mahkamah Agung dengan laporan temuan Kolusinya itu
kepada publik.
Contoh lain dari rentannya Mahkamah Agung dari tekanan politik adalah
gagalnya persidangan kasus penggelapan dana 7 yayasan pimpinan mantan
23 Drs. Suyitno, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Jakarta : CV. Muliasari, 2005, Cet,. I. hlm.20
24 Kompas, Jihad Melawan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Jakarta : Penerbit BukuKompas, 2005, Cet. I. hlm. 177-178
17
Presiden Seoharto. Pemeriksaan kasus dana yayasan tersebut terpaksa
dihentikan setelah kejaksaan gagal menghadirkan Soeharto kemuka
pengadilan dengan alasan terdakwa mengalami sakit gangguan otak permanen.
Kegagalan mengadili Soeharto seolah telah diskenariokan karena kejaksaan
tidak bersungguh-sungguh membawa secara paksa yang bersangkutan ke
pengadilan. Fakta itu sangat kontras, misalnya peradilan AM Fatwa dalam
perkara Tanjung Priok yang di paksa hadir ke ruang sidang sekalipun dia itu
dalam keadaan sakit.
Sebagai penutup kiranya perlu refisi kedudukan Komisi Pemberantasan
Korupsi agar tidak ditempatkan sebagai sub bordinasi Mahkamah Agung,
melainkan sebagai pengadilan khusus yang sejajar Mahkamah Agung
sebagaimana sandikan bayan (Pengadilan Anti Korupsi) di Filipina.25
Keterlibatan faktor kekuasan yang menjadi saran efektif dalam praktik
Kolusi dan Nepotisme politik mengindikasikan bahwa faktor pemimpin
menjadi faktor determinan timbulnya praktik Kolusi dan Nepotisme dengan
berbagai jenis dan gradasinya, seperti dikemukakan oleh Munawar Fuad Noeh
bahwa dalam konteks pemberantasan Kolusi dan Nepotisme, diperlukan
seorang pemimpin pemerintahan yang punya kemauan keras dan didukung
aparat yang berwawasan dan jujur, pemberantasan korupsi bisa gagal apabila
pemimpin tertinggi tidak memberikan dukungan penuh.26
Meluasnya praktik Kolusi dan Nepotisme dalam berbagai sendi
pemerintahan telah mengganggu roda pemerintahan dan melahirkan kerugian
yang sangat besar terhadap keuangan dan perekonomian negara, melihat
kerugian yang ditimbulkan maka Kolusi dan Nepotisme dapat dikategorikan
sebagai regilatory offencesatau delik yang menghalangi bahkan merampas
hasil upaya pemerintah dalam mensejahterakan rakyatnya.27
25 Ibid, hlm. 181
26 Dr. Artija Al-Kautsar, SH. L.L.M., Korupsi Politik di Negara Indonesia, Yogyakarta: FH UIIPress, 2008, Cet. I, hlm. 346.
27 Kompas, op.cit, hlm. 95
18
Praktik Kolusi dan Nepotisme di Indonesia sudah menjadi suatu
kebiasaan yang dilakukan sejak zaman kerajaan di mana masyarakatnya
selalu memberikan upeti kepada pejabat baik berupa uang maupun hasil
kebunnya. Hal ini dimaksudkan sebagai tanda loyalitas serta ada juga untuk
mengambil hati pejabat dan menjalin hubungan dengan pejabat saat itu.
Sehingga apabila mereka menghadapi suatu permasalahan mereka akan
meminta bantuan kepada pejabat tersebut sebagai suatu imbalan dari
pemberian tersebut.
Kondisi ini terus berlangsung lama dan sampai saat ini terus
dipraktekkan hampir di seluruh aspek kehidupan baik di sekolah, perekrutan
pegawai, dalam praktik pelanggaran lalu lintas, pada legislatif, eksekutif,
yudikatif, dan dunia usaha. Kolusi dan Nepotisme sudah mengakar serta
membudaya pada masyarakat Indonesia misalnya, apabila seorang pejabat
tinggi atau seorang menteri datang ke daerah, seluruh keperluannya diurus
oleh daerah bahkan menteri atau pejabat tersebut masih dibekali dengan oleh-
oleh yang biasanya adalah ciri khas dari daerah tersebut.28
Parahnya praktik Kolusi dan Nepotisme di Indonesia dapat dilihat dari
tingginya tingkat kebocoran dana pembangunan pada tahun 1989-1993 yang
menurut Soemitro Djoyohadi Kusumo mencapai sebesar 30% atau 45%
menurut versi World Bank. .Pantas saja Indonesia secara berturut-turut dari
tahun 1995-2000 masuk dalam sepuluh besar sebagai negara paling korup di
dunia menurut versi Transparecy Internasional (TI) posisi yang kemudian
diketahui sukses dipertahankan negara ini pada lima tahun berikutnya, tahun
2001-2005 secara berturut-turut pula.
Meluasnya praktik Kolusi dan Nepotisme telah melahirkan kerugian
yang sang besar terhadap keuangan dan perekonomian negara, sedemikian
besarnya uang negara yang diambil sehingga Kolusi dan Nepotisme sudah
merupakan perampasan sebagian besar hak-hak ekonomi dan sosial rakyat
28 M. Akil Mochtar, SH. MH, Memberantas Korupsi, Jakarta Q-Communication, 2006,hlm. 10
19
oleh sebagian individu atau kelompok dalam masyarakat karena itu paradigma
pemberantasan Kolusi dan Nepotisme di Indonesia sudah seharusnya dilihat
dari perspektif pelanggaran Hak Asasi Manusia terutama. Hak ekosob
(ekonomi, sosial, budaya). Sebab, perbuatan Kolusi dan Nepotisme telah
merugakan dan mengancam kehidupan orang banyak. Karena kondisinya yang
sudah luar biasa parah, maka pamberantasan tindakan Kolusi dan Nepotisme
butuh cara yang luar biasa pula. Pemberantasan Kolusi dan Nepotisme juga
harus dilakukan dengan cara khusus, salah satunya dengan menerapkan sistem
pembalikan beban pembuktian yang telah berhasil diselenggarakan di berbagai
negara yaitu: Inggris, Malaysia, dan Singapura. Dalam sistem ini pembuktian
dibebankan kepada terdakwa, terdakwa sudah dianggap terbukti Kolusi dan
Nepotisme kecuali jika ia mampu membuktikan dirinya tidak melakukan
Kolusi dan Nepotisme.29
Praktik kejahatan Kolusi dan Nepotisme pada dasarnya merupakan
masalah sensitif bagi masyarakat yang bersangkutan, karena menyangkut
nasib masa kini dan masa depan kehidupan bersama. Fenomena Kolusi dan
Nepotisme ini menunjukkan bahwa hal itu muncul di sekitar kekuasaan-
kekuasan yang tanpa nilai menjadi penyebab timbulnya kolusi dan Nepotisme.
Politik tanpa nilai di sini, berarti tidak sesuai dengan etika dan moral yang ada,
dalam hal ini ditunjukkan dalam praktik Kolusi dan Nepotisme.30
Praktik-praktik yang tidak jelas dan penuh tanda tanya semacam itu
sebenarnya perlu direspon secara moral oleh masyarakat, supaya tidak
menjadi beban moral masyararat dan menurunkan wibawa hukum, begitu pula
praktik perbuatan lain yang perlu mendapat fasilitas milik negara diluar dinas.
Sedikit banyak akibat dari perbuatan ini, negara akan menderita kerugian.
Dalam era reformai, praktik Kolusi dan Nepotisme tetap marak di
Indonesia. Slogan reformasi sebenarnya juga menyangkut pemberantasan
KKN. Dengan mengutip George Horance Lorimer tahun 1879-1937, yang
29 Ibid., hlm. 95
30 Ibid., hlm. 104-105
20
mengatakan: Sungguh baik untuk memiliki dan hal-hal bisa dibeli dengan
uang. Akan tetapi, sungguh baik pula untuk memeriksa dan meyakinkan
diri kita bahwa kita tidak akan kehilangan hal-hal yang tidak bisa dibeli
dengan uang.’
Dalam era globalisasi terjadinya fenomina baru dalam praktik Kolusi
dan Nepotisme yaitu dimana suatu negara menyuap negara lain atau pejabat
biadab Internasional. Praktik suap menyuap antar negara ini terjadi karena
pelaksanaan kekuasaan yang begitu besar dan ada pihak yang sanggup
melakukan kontrol, kendatipun banyak rakyat yang menyuap dan negara
rakyat yang disuap itu tidak setuju praktek Kolusi tersebut. Dalam hal ini juga
terkait dengan munculnya Kolusi dan Nepotisme yang dilakukan oleh
pemerintah atau lembaga Internasional.
Sikap Bank Dunia yang tidak memberi respon dan tidak menjatuhkan
sanksi terhadap praktik Kolusi dan Nepotisme di negara yang diberi pinjaman
merupakan salah satu faktor munculnya Kolusi dan Nepotisme.31
C. Upaya Pemberantasan Kolusi dan Nepotisme
1. Lembaga Negara
a. Indonesia
Kolusi dan Nepotisme merupakan salah satu penyakit
masyarakat, sama dengan jenis kejahatan lain seperti pencurian yang
sudah ada sejak manusia ada di muka bumi ini. Akan tetapi, masalah
utama yang dihadapi di negara ini adalah Korupsi. Korupsi meningkat
seiring dengan kemajuan, kemakmuran dan teknologi. Pengalaman
memperlihatkan semakin maju pembangunan suatu bangsa semakin
meningkat pula kebutuhan hidup dan mendorong orang untuk
melakukan berbagai kejahatan termasuk Korupsi. Kenyataan empiris
di Indonesia di mana pembangunan ekonomi semakin hebat sampai
pertumbuhan ekonomi mencapai 7 % setahun tetapi Korupsi
meningkat juga dan semakin meluas hingga akhirnya menimbulkan
31 Dr. Artijo Al-Kautsar, op.cit, hlm. 199-200
21
bencana krisis moneter yang berkepanjangan dan ekonomi Indonesia
terpuruk hingga saat ini.
Kolusi dan Nepotisme di Indonesia pada level baik legislatif,
eksekutif, yudikatif, swasta, bahkan di dunia pendidikan.
Mengherankan jika Indonesia terus-menerus memegang rekor sebagai
negara terkorup di Asia setelah Vietnam dan bahkan masuk sepuluh
besar di dunia. Menurut PERC (Political And Economic Risk
Consultance), kondisi mengindikasikan bahwa tidak ada perbaikan
mendasar dalam permasalahan Korupsi Kolusi Nepotisme di
Indonesia.32 Upaya pemberantasan Kolusi dan Nepotisme di Indonesia
sudah di mulai sejak tahun 1950-an. Kejaksaan Agung di bawah
pimpinan Jaksa Agung Soeprapto sudah melakukan berbagai tindakan
pemberantasan Kolusi dan Nepotisme yang berakhir dengan
penuntutan terhadap beberapa orang menteri. Akan tetapi tuntutan
masyarakat sudah semakin keras untuk memberantas Kolusi dan
Nepotisme yang di pimpin Kolonel Zulkifli dan Kolonel Kawilarang,
pada saat itu beberapa tokoh berhasil di tangkap dan di adili.
Di era 1960-an berdasarkan hukum darurat (SB) muncul
kembali tim pemberantasan Kolusi dan Nepotisme yang di pimpin
Jenderal Ahmad Haris Nasution dan sekretaris Kolonel Muktiyo. Akan
tetapi tim ini terpaksa di bubarkan mengingat politik era Orde Lama.
Era tahun 1970-an pemerintah Orde Baru membentuk tim
pemberantasan Kolusi dan Nepotisme, namun juga tidak berjalan
efektif. Ini disebabkan terlalu besarnya campur tangan kekuasaan
terhadap proses pemeriksaan yang sedang dilakukan tim
pemberantasan korupsi.
Beranjak dari uraian di atas dapatlah di simpulkan bahwa
perkembangan Korupsi di Indonesia selama 50 tahun terakhir ini
menunjukkan kondisi yang sangat memprihatinkan meskipun sudah
32 Ibid, hlm. 387
22
ada upaya-upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan. Korupsi
Kolusi Nepotisme bukan semakin berkurang malah semakin
bertambah baik kuantitas maupun kualitasnya. Jika kita ingin
memusatkan perhatian pada penanggulangan masalah Kolusi dan
Nepotisme dengan mengusulkan perlunya kejelasan konsep atau
kriteria dari masing-masing tindakan Kolusi dan Nepotisme, dan
memusatkan penanganannya pada masalah yang lebih jelas dan lebih
pokok yaitu korupsi. Dengan cara ini diharapkan penanganan masalah
Kolusi dan Nepotisme akan lebih terarah dan memberikan hasil yang
setahap demi setahap dapat dipergunakan untuk di jadikan basis bagi
penanganan seterusnya sampai tuntas.
b. Negara Lain
Di dunia ini tidak ada satu pun negara yang bebas dari
perbuatan Kolusi dan Nepotisme. Sebab Kolusi dan Nepotisme
merupakan bagian yang tidak terlepaskan dalam sejarah perkembangan
peradaban manusia dan termasuk jenis kejahatan yang tertua termasuk
korupsi. Tetapi kita dapat membedakan perbuatan Kolusi dan
Nepotisme antara satu negara dengan negara-negara yang lainnya, dari
intensitas dan modus operandinya yang sangat tergantung kualitas
masyarakat,adat istiadat dan sistem penegakan hukum disuatu negara.
Kolusi dan Nepotisme sering dipandang oleh masyarakat
sebagai perbuatan yang ditentang dan dikutuk, dicaci maki, serta
digambarkan sebagai perbuatan tidak bermoral dan berkaitan dengan
keserakahan, dan ketamakan sekelompok masyarakat dengan
menggunakan harta negara serta melawan hukum. Penyalahgunaan
jabatan serta perbuatan lain yang dipandang sebagai hambatan dan
gangguan dalam membangun negara.
Usaha untuk memberantas Kolusi dan Nepotisme sudah
menjadi masalah global bukan lagi nasional atau regional. Gejala
Kolusi dan Nepotisme ada pada setiap negara, terutama negara yang
sedang membangun sudah hampir menjadi conditio sine quo non. Ada
23
usaha terutama desakan rakyat agar Kolusi dan Nepotisme diberantas
habis sehingga jika perlu digunakan hukum darurat, seperti pidana
yang berat, sistem pembalikan pembuktian, pembebasan penanganan
Kolusi dan Nepotisme dari instansi pemerintah kepada suatu badan
independen yang terjamin kredibilitasnya dan integritasnya.
Beranjak dari uraian di atas maka usaha ke arah pemberantasan
Kolusi dan Nepotisme jelas merupakan suatu persoalan yang rumit dan
komplek sehingga sulit untuk cepat diatasi. Hal ini dapat dibuktikan
dari banyaknya peraturan perundang-undangan yang ada di setiap
negara, ternyata kolusi dan nepotisme masih saja sering terjadi.
Upaya untuk dapat melaksanakan pemberantasan Kolusi dan
Nepotisme secara efektif dan efisien, salah satunya adalah melalui
penerapan sistem pembalikan beban pembuktian dan pembuktian suatu
badan atau lembaga khusus yang independen dalam rangka
pemberantasan tindak pidana Kolusi dan Nepotisme.
Hal ini juga dilakukan oleh Negara lain :
1) HONGKONG
Masalah Kolusi dan Nepotisme yang sangat meluas di
Hongkong terutama era 1960 dan 1970 tidak terlepas dari masalah
Narkotika.Pada saat itu Hongkong merupakan tempat transit para
pengedar Narkotika yang berkolusi dengan aparat Kepolisian yang
pada umumnya dipegang oleh orang-orang Inggris .Selain
berkolusi dengan pengedar narkotika ,Polisi Hongkong juga
menjadi God Father tempat perjudian dan pelacuran,serta
melakukan Kolusi dan Nepotisme terkait pelanggaran lalu lintas.33
Pada tahun 1972 di Hongkong dibentuk Anti Coruption
Office yang merupakan bagian anti Kolusi dan Nepotisme di
Kepolisian Hongkong, akan tetapi badan ini tidak efektif dan
Kolusi Nepotisme masih tetap merajalela.
33 M. Akil Mochtar, SH. MH., op. cit., hlm. 44.
24
Kolusi dan Nepotisme yang meluas dan menjalar ke seluruh
sektor kehidupan masyarakat serta melembaga di Kepolisian ini
membuat kaum intelektual dan generasi muda masyarakat
Hongkong merasa prihatin. Karena itu pada tanggal 17 Oktober
1973 dicanangkan pembentukan Independend Commision Against
Coruption (ICAC) untuk memerangi kolusi dan nepotisme,yaitu
dengan dibentuk badan khusus anti Kolusi dan Nepotisme.
2) AUSTRALIA
Pada awal sejarahnya 200 tahun yang lalu, pemerintah
Australia di dominasi oleh Militer. Australia merupakan tempat
pembuangan penjahat kelas kakap yang pemerintahan berjalan
sangat korup.Namun saat ini Australia merupakan salah satu
negara yang cukup bersih dari Kolusi dan Nepotisme juga dari
Korupsi. Kondisi ini diperkuat dengan dibentuknya komisi anti
Korupsi yang memegang teguh asas Kejujuran, Netralitas, dan
pejabat publik yang berkualitas.34
Independent Commision Agains Corruption (ICAC)
merupakan lembaga independen untuk memberantas Korupsi Di
Astralia Khusunnya negara Bagian New South Wales,negara
bagian ini memiliki komisi anti korupsi yang lengkap, independen
serta berjalan efektif. ICAC dibentuk berdasarkan Undang-Undang
ICAC tahun 1988 nomor 35 dan beroperasi sejak tanggal 13 maret.
Pembantukan ICAC didasari sebuah keputusan politik dari
pemerintah yang berkuasa serta mendapat dukungan dari oposisi
untuk meminimalisir Korupsi di New South Wales melalui
investigasi, pencegahan dan pendidikan.
3) MALAYSIA
34 Ibid., hlm. 49.
25
Sebagai negara modern Malaysia pada awalnya juga
terkena wabah Kolusi dan Nepotisme juga Korupsi,dimana sisa-
sisa sistem feodal masih melekat didalamnya,yaitu kebiasaan
memberi upeti sebagai salah satu penyebabnya, namun hal ini tidak
barlangsung terus menerus karena dengan budaya yang kuat dalam
kehidupan masyarakat malaysia serta pengaruh Islam yang sangat
dominan menjadi salah satu sebab berkurangnya Kolusi dan
Nepotisme.
Untuk memberantas Kolusi dan Nepotisme Malaysia
mempunyai tiga Undang-Undang Anti Kolusi dan Nepotisme
yaitu;35
a) Prevention of coruption Act atau Undang-Undang pencegahan
Kolusi dan Nepotisme no.57.
b) Emergency (Essential power) ordonance nomor 22 tahun 1970.
c) Anti Coruption Act 1982 (Act 271).
Tetapi melalui tiga Undang-Undang ini masih ada juga
celah-celah untuk terjadinya Kolusi dan Nepotisme sehingga
akhirnya di bawah kantor Perdana Menteri Malaysia di dirikan
Badan Anti Korupsi Malaysia yang dikenal dengan sebutan Badan
Pencegah Rusuah (BPR)
Kedudukan BPR sangat kuat karena didukung oleh
legimitasi yang kuat dalam figur pemimpinnya yang dapat dilihat
dalam praktik pemilihan ketua BPR melalui dua tahapan
pemilihan.Yakni, pertama; calon ketua diusulkan oleh Perdana
Menteri, dan kedua; setelah disetujui baru dilantik oleh Sri Paduka
Baginda yang dipertuan Agung.
4) SINGAPURA
Hasil survey Transparency Internasional dan PERC tehadap
negara-negara di Asia menunjukkan bahwa Singapura yang
35 Ibid., hlm. 52.
26
penduduknya tak lebih dari 4 juta jiwa,dalam lima tahun
belakangan ini menempatkan diri sebagai negara paling barsih di
Asia. Hal ini juga berdampak positif ditingkat internasional dimana
Singapura selalu menempatkan diri dalam posisi sepuluh negara
yang terbaik dalam pelayanan masyarakat.36
Namun demikian untuk memperoleh predikat ini tidaklah
mudah dan membutuhkanperjalanan sangat panjang,karena
keadaannya juga sama dengan negara-negara lain didunia dimana
sesungguhnya Singapura pada awalnya juga tidak terhindar dari
maraknya kegiatnan kolusi dan nepotisme yang dimulai pada akhir
1940-an.
Pada saat itu perkembangan Kolusi, Nepotisme juga
korupsi sangat pesat.penduduk Singapura yang mayoritas Cina
tidak bisa dipisahkan dari budaya masyarakatnya yang suka
memberikan hadiah. Maraknya perjudian makin menambah
pesatnya Kolusi, Nepotisme juga Korupsi, karena para bandar judi
yang meminta perlindungan dari Polisi mau tidak mau
mengeluarkan uang suap untuk keamanan lahan perjudiannya.
Perdana Menteri Singapura menyadari betul akan perlunya
badan atau lembaga yag terpisah dari Kepolisian, juga menyadari
bahwa untuk memulainya gerkan anti Kolusi dan Nepotisme teus
dimulai dengan adanya Politicial Will pemerintah. Sebab apabila
strategi pemberantasan Kolusi dan Nepotisme hanya
mengandalkan kekuasaan badan atau lembaga dan dukugan
masyarkat, tanpa adanya dukungan dari pemerintah maka hasilnya
kurang efektif.
Ternyata stategi yang di lakukan ini membawa hasil karena
hal ini didukung dangan dibentuknya Undang-Undang Anti Kolusi
dan Nepotisme, dan didukung penuh oleh masyarakat selain itu
36 Ibid., hlm. 54-55.
27
pecegahan kolusi dab nepotisme juga dilakukan melalui pengkajian
praktik-praktik dilapangan yang dilakukan oleh CPIB, karena
bukan tidak mugkin kousi dan nepotisme juga terjadi di luar aparat
penegak hukum yang tidak adil.37
5) THAILAND
Sesudah kudeta militer yang menggulingkan kerajaan
absolut tahun 1932 oleh militer, maka sampai tahun 1970 Thailand
berada dalam dalam kekuasaan militer dan baru pada tahun 1973
Thailand kembali pada dunia demokrasi. Selanjutnya
pembangunan di thailand berjalan dengan upaya kerja keras untuk
memberantas Kolusi, Nepotisme juga Korupsi yang merajalela
sejak militer berkuasa.
Sebelum tahun 1975, penyidikan pemberantasan Kolusi dan
Nepotisme dilakukan oleh penegak hukum biasa seperti polisi dan
pengawasan dilakukan dibadan itu sendiri.hukum yang diterapkan
adalah hukam pidana biasa dan peraturan kepegawaian ditambah
beberapa delik berkaitan dengan penegakan hukum Kolusi dan
Nepotisme.
Pemerintah Thailand bertekad untuk memberantas kolusi,
nepotisme juga korupsi, dan dituangkan dalam konstitusi Thailand
1974, pasal 66 : negara harus mengorganisasikan sistem efisien
pada pekerjaan pelayanan pemerintah dan pekerjaan lain dari
negara dan harus mengambil segala langkah untuk mencegah dan
pemberantasan pencarian keuntungan dengan jalan Kolusi,
Nepotisme dan juga Korupsi.38
2. Organisasi Massa
Salah satu peran masyarakat dalam memberantas Kolusi dan
Nepotisme adalah dibentuknya kegiatan masyarakat seperti Lembaga
37 Ibid., hlm. 56.
38 Ibid., hlm. 58-59.
28
Swadaya Masyarakat (LSM). Istilah LSM muncul di Indonesia pada akhir
tahun 1970-an. Istilah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) merupakan
pengganti istilah organisasi non-pemerintah (OR NOB).
Lemabaga Swadaya Masyarakat (LSM) adalah organiosasi atau
lembaga yang dibentuk oleh anggota masyarakat Warga Negara Republik
Indonesia secara sukarela atas kehendak sendiri dan berminat di bidang
kegiatan tertentu yang di tetapkan oleh organisasi atau lembaga sebagai
wujud partisipasi masyarakat yang menitik berat kepada pengabdian
swadaya (Instruksi Mendagri No 8 tahun 1990 tentang pembinaan LSM).
Operasionalisasi peran masyarakat ini juga dapat direpresentasikan
dalam bentuk kegiatan Lembaga Swadaya Masyarakat dengan berbagai
corak organisasi watch, pemantau, transparansi, atau nama lain sejenisnya.
Sebagai konsekuensi dimungkuinkannya peran masyarakat ini, perlu di
atur tentang jaminan perlindungan bagi saksi dan pelapor. Tanpa adanya
jaminan perlindungan bagi saksi atau pelapor, maka tidak akan ada
partisipasi optimal dari masyarakat.
Peran serta masyaralkat dalam penyelenggaraan negara telah di
atur dalam bentuk Peraturan Pemerintah No 68 Tahun 1999. ketentuan ini
sebagai manifestasi dari pasal 9 ayat 3 UU No 28 tahun 1999 tenatang
Penyelengaraan Negara yang Bersih Bebas Korupsi Kolusi, Nepotisme
(KKN). Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara untuk
mewujudkan negara yang bersih dilaksanakan dalam bentuk :
a. Hak mencari, memperoleh dan memberikan informasi mengenai
penyelenggaraan negara.
b. Hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dar
penyelenggara negara.
c. Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab
terhadap kebijakan penyelenggara negara.
d. Hak memperoleh perlindungan hukum.
Peran masyarakat sangat di perlukan, karena ketika upaya
penanggulangan kolusi, nepotisme tidak berhasil, pada umumnya ada satu
29
unsur yang tidak ada yaitu peran masyarakat. Sehubungan dengan hal
tersebut Jeremy Pope (2003: 59) mengemukakan bahwa:
Sikap rakyat banyak menerima kolusi dan nepotisme sebagai faktakehidupan dan rasa putus asa, inilah yang harus di benahi. Sebagianbesar warga masyarakat berkepentingan dengan sistem integritasyang efektif. Betapa pemecahan bagi kolusi dan nepotisme ada didalam masyarakat itu sendiri. Upaya apapun yang dilakukan untukmengembangkan anti kolusi dan nepotisme tetapi tanpa melibatkanmasyarakat, akan sia-sia karena tidak memanfaatkan salah satu alatyang berpotensi yaitu masyararakat. (Jeremy Pope (2003: 59).
D. Pandangan Islam Tentang Kolusi dan Nepotisme
Yang dimaksud dengan Kolusi di sini ialah persengkolongan antara
dua pihak untuk suatu perbuatan melanggar hukum dan merugikan orang lain.
Umpamanya seorang pejabat yang berwenang memutuskan pemenang sebuah
tender bersepakat dengan salah seorang Pengaju tender agar tendernya yang
dimenangkan, maka kesepakatan itu disebut “kolusi”. Begitu juga hakim di
pengadilan yang berkolusi dengan pihak-pihak yang berperkara, agar
perkaranya dimenangkan. Dalam bahasa agamanya, kolusi bisa disebut
dengan “risywah” tetapi dalam bahasa politiknya, kolusi sering disebut “al-
mahsubiyah”, dan istilah “Nepotisme” biasa dipakai untuk menerangkan
praktek dalam kekuasaan umum yang mendahulukan kepentingan keluarga
dekat untuk mendapatkan suatu kesempatan. Dalam bahasa arabnya dipakai
dengan istilah “al-Muhabah”. Dalam pandangan Islam, suatu jabatan harus
dipegang oleh orang yang berkompeten, ahli untuk bidang yang ditawarkan.
Adapun jika yang diserahi tugas itu adalah kerabat dekat dari orang yang
memberi tugas, bukanlah menjadi persoalan. Yang terpentin apakah orang
tersebut memenuhi persyaratan atau tidak. Jadi prinsip yang ditanamkan
dalam Islam adalah kompetensi seseorang atas sesuatu jabatan, bukan ada
tidaknya hubungan kekerabatan. Kalaupun sekiranya pemangku jabatan
adalah keluarga dari orang menunjuk, selama orang tersebut berkompeten
berhak dan tidak ada pihak-pihak yang merasa dizhalimi, maka hal itu tidak
akan menjadi persoalan. Jika kita memegang prinsip “kekerabatan” sebagai
landasan, dalam arti setiap ada hubungan kekerabatan seseorang dengan
30
pejabat yang menunjuk maka itu sudah merupakan Nepotisme yang terlarang,
secara rasional barangkali sikap ini kurang obyektifnya. Hanya gara-gara
hubungan kerabat, seseorang tidak berhak mendapatkan haknya, padahal ia
berkompeten dalam urusan itu, tentu sikap seperti ini berlebihan yang tidak
pada tempatnya. Jadi dalam pandangan Islam, Nepotisme tidak selamanya
tercela. Yang dilarang adalah menempatkan keluarga yang tidak punya
keahlian dalam suatu posisi karena didasari oleh adanya hubungan
kekeluargaan atau punya kapasitas, tetapi masih ada orang yang lebih berhak
untuk jabatan itu, namun yang didahulukan adalah keluarganya. Ini juga
Nepotisme yang tercela, karena ada orang lain yang dizhalimi, tidak
mendapatkan haknya.39
wur(#þqè=ä.ù's?Nä3s9ºuqøBr&Nä3oY÷•t/È@ ÏÜ» t6ø9 $$ Î/(#qä9 ô‰è? ur!$ ygÎ/’ n< Î)ÏQ$¤6çtø:$#(#qè=à2 ù'tG Ï9$ Z)ƒÌ• sùô Ï̀iBÉAºuqøBr&
Ĩ$ ¨Y9 $#ÉOøOM}$$ Î/óOçFRr&urtbqßJ n=÷è s?ÇÊÑÑÈ
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yanglain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamumembawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapatmemakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan(jalan berbuat) dosa, padahal kamu Mengetahui.
: :
.)(
Dari Abu Hurairah ra berkata: Rasulullah SAW melaknat orang yangmenyuap dan orang yang disuap dalam hukum. Dalam riwayat lain:dari Tsauban ra berkata: Rasulullah SAW melaknat orang yangmenyuap, orang yang disuap, dan orang yang menyebabkan adanyasuap menyuap . (H.R. Tarmidzi dan Ghoirihi).
39 http://daudrasyid.com. index.php? option=com/ diakses pada tanggal 20/01/2010.
31
BAB IIIAYAT-AYAT AL-QUR’AN TENTANG PRAKTEK KOLUSI DAN
NEPOTISME
A. Term-term Ayat-ayat Al-Qur’an tentang Kolusi dan NepotismeUntuk melacak kedudukan hukum kolusi, Nepotisme dalam
khazanah Islam bisa ditelusuri melalui konsep saraqah (pencurian),risywah (suap), khiyanat (pengkhianatan), al-qasysy (penipuan). Bahasamoral dan kemanusiaan yang sarat dengan etika dan perilaku hukum itusecara jelas terkandung dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, melaluikeduanya para ahli hukum Islam menggali dan mengembangkan berbagaiteori sampai pelembagaannya dalam pranata masyarakat Islam.40
B. Penafsiran Ayat-ayat Al-Qur’an tentang Kolusi dan Nepotisme1. Kolusi
Kata kolusi berasal dari bahasa Inggris, yaitu Collution; artinyakerjasama rahasia untuk maksud tidak terpuji, persekongkolan.41
Indikasi adanya tindakan kolusi adalah terjadinya proses tindakantawar menawar kepentingan demi keuntungan, kerja sama tersembunyidan penuh materi, manipulasi prosedur birokrasi, pemaksaankeputusan atau kebijakan secara struktural.Memberikan bantuan atau dalam bentuk kerjasama salingmenguntungkan yang dilakukan dengan cara yanhg bertentangandengan ketentuan dan peraturan adalah termsuk perbuatan dosa yangdimungkinkan dapat menimbulkan rasa ketidakpuasan atau bahkanpermusuhan. Perbuatan demikian dilarang oleh Islam sebagaimanafirman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 2 yang berbunyi:
Ÿwur(#q çRur$ yès?’n? tãÉOøO M}$#Èbºurô‰ãèø9$#ur4
“Dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa danpermusuhan.”QS Al-Maidah ayat (2)42
Dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan sebagai berikut:
40 Kamus Lengkap; Inggris-Indonesia Indonesia-Inggris; edisi Smart, Penerbit Arkola; Surabaya;Pengarang Priyo Darmanto – Puji Wiyoto; tanpa tahun; halaman 62.
41 Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi kedua, halaman 514.
42 Al-Qur an Dan Terjemahannya, Departemen Agama, Penerbit PT Bumi Restu, Halaman 157.
32
“Dan mereka dicegah untuk tolong menolong pada perbuatan bathildan tolong menolong pada bermacam dosa dan berbagai perbuatanharam”.
Kolusi sering dilakukan dengan suap-menyuap untuk lancarnyamaksud dan tujuan. Jika hal yang demikian terjadi, perbuatan itutermasuk tindakan risywah. Rasulullah bersabda:
Terjadinya kolusi cenderung untuk memperoeh keuntungan dengancara-cara licik, menyuap piahk lain agar dengan diajak kerjasamasecara rahasia suap menyuap atau risywah merupakan gejala penyakitsosial yang muncul subur bersamaan dengan pemerintah yang korup,menghalalkan segala cara. Islam secara tersirat telah menerangkanlarangan tentang melakukan perbuatan bathil, sebagaimana firmanAllah berikut:
Surat Ali Imron ayat 161
$tBurtb% x.@cÓÉ< oY Ï9br&¨@äótƒ4t̀Burö@è=øótƒÏNù' tƒ$yJ Î/¨@xîtPöq tƒÏp yJ» uŠÉ)ø9$#4§N èO4’̄û uq è?‘@à2<§øÿtR
$̈BôMt6 |¡ x.öN èd urŸwtbq ßJ n=ôà ãƒÇÊÏÊÈ
Artinya : Tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan hartarampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalamurusan rampasan perang itu, Maka pada hari kiamat iaakan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu,kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apayang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedangmereka tidak dianiaya.(Q.S. Ali Imron ayat 161)
Didalam ayat ini terdapat kalimat Yaghulla dan Yaghlul,yahng kita terjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan katacurang. Dia dalam kamus Arabi tersebut arti ghalla-yaghullu-ghallan, yaitu mengambil barang sesuatu lalu dimasukkan dengansembunyi ke dalam kumpulan barang yang lain. Kemudiandipakailah kedua kalimat ini untuk orang yang mendapatkan hartarampasan perang (ghanimah), lalu sebelum barang itu dibagi secaraadil oleh kepala perang, telah terlebih dahulu disembunyikankedalam penaruhanny. Sehingga barang itu tidak masuk dalampembagian. Maka samalah keadaan itu dengan mencuri. Karenamenurut peraturan perang, harta rampasan itu dikumpulkanmenjdai satu terlebih dahulu sehabis perang. Baik besar ataupunkecil. Lalu oleh kepala perang barang itu dibagikan menurutadilnya, walaupun menurut kebijksanaan beliau barang yang
33
didapat si fulan diserahkan pula kepadanya, untuk dimiliki sendiritetapi yang terlebih dahulu hendaknya semua dijadikan hak BaitulMaal. Maka orang yang bersikap curang main ghalul itu dipandangsebagai orang yang berkhianat.
Menurut riwayat yang disampaikan oleh Abu DAud, At-Tirmidzi, Ibnu Jarir dari Ibnu Abbas bahwa ayat ini asbabul nuzulkarena ketika terjadi peperangan Badar setelah harta rampasandikumpulkan, ternyata hilang sehelai Khathifah, yaitu sehelaiselendang bulu (wol) berwarna merah yang bisa dipergunakanpenutup kepala pada musim dingin. Maka ada yang berkata :“Mungkin Rasulullah SAW sendiri yang mengambil untuk beliau.”Orang ini berkata tidaklah dengan maksud menuduh ataumemburukkan. Melainkan merasa bahwa jika beliau yangmengambil, itu adalah hak beliau. Tetapi riwayat ini didhaifkanoleh setengah ahli tafsir. Sebab riwayat Ibnu Abbas ini mengenaiperang Uhud.
Tetapi menurut riwayat yang dikuatkan oleh Al-Kalby danMuqatil, memang sebab turun ayat ini ialah pada saat perang Uhudketika pemanah-pemanah yang dipandang bersalah, Karenameninggalkan posnya itu menyangka, bahwa harta rampasan(ghanimah) tidak akan dibagikan kepada mereka, sebagaimana diperang Badar. Apalagi mereka merasa bersalah. Dan mendengarperkataan itu, berkatah Rasulullah SAW: “Apakah kamu sangkakami berbuat curang dan tidak akan membaginya kepada kamu?”karena itu turunlah ayat itu.
Riwayat lain lagi, ialah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dariAdh-Dhahhak, bahwa Rasulullah SAW mengirimkan beberapaorang pengintai kepada suatu daerah musuh. Kemudian daerah itudiperangi dan dikalahkan serta harta rampasan itu dibagi-bagi. Laluada diantara mereka yang menyangka, bahwa mereka tidak akandaapt pembagian. Kemudian setelah mereka datang ternyata bagianmereka ada disediakan, maka turunlah ayat ini untuk menegurpersangkaan mereka yang buruk itu, dan ditegaskan pula bahwaNabi tidaklah akan berbuat curnag dengan pembagian hartarampasan dan sekali-kali tidaklah Nabi akan menyembunyikansesuatu untuk kepentingan diri Beliau sendiri.
Ayat ini dapat kita ambil saripatinya untuk menjadi I’tibarbagi kita, jika kita mendapat kesempatan menduduki tempat yangmulia seperti kedudukan Nabi ketika itu, yang menjadi kepalaperang atau kepala pemerintahan, bahwa jika ada kekayaanNegara, janganlah dicurangi dan janganlah berbuat korupsi denganharta Negara.
Pada masa pemerintahan Umar bin Khathab sahabat rasulyang terkenal, Abu Hurairah telah diangkat menjadi pemungutzakat. Setelah berhasil memungut zakat itu, beliaupun kembali keMadinah dan menyerahkan Khalifah untuk dimasukan ke Baitul
34
Maal. Setorannya baik, tanggung jawabnya selesai, tidak ada yangmencurigakan. Tetapi ditangannya ada satu barang yang tidakdiserahkan. Khalifah bertanya: Anna laka hadzal ( ini dari manaengkau dapat). Lalu Abu Hurairah menjawab, bahwa barangtersebut adalah hadiah dari salah seorang pembayar zakat untukdirinya sendiri. Dengan tegas Khalifah memerintahkan supayabarang itu pun diserahkan, karena kalau bukan dia diutus untukmemungut zakat , tidak adalah ada sebab baginya menerima hadiahitu. Kejadian itu di atas menunjukkan bahwa korupsi, kolusi itudilarang.43
Surat Al-Anfal ayat 27
$pkš‰ r' ¯» tƒz̀ ƒ Ï%©!$#(#q ãZtB#uäŸw(#q çRq èƒrB©!$#tAq ß™§•9$#ur(#þq çRq èƒrBuröN ä3 ÏG» oY» tBr&öN çFRr&urtbq ßJ n=÷ès?ÇËÐÈ
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamumengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga)janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yangdipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.(Q.S.Al-Anfal ayat 27)
Dalam suatu riawayt. Dari hadits Jabir bahwasanya AbuSufyan yang pada masa itu memimpin perlawanan kaum Quraisyterhadap Rasulullah SAW, pada suatu hari telah keluar dariMakkah hendak memerangi Rasulullah SAW. Tetapi Rasulullahsegera menerima berita itu, lalu beliau bersiap. Maka seorang darikalangan Muslim sendiri segera dengan sembunyi-sembunyimengirim surat kepada Abu Sufyan mengatakan bahwa RasulullahSAW telah mengirim surat kepada Abu Sufyan mengatakan bahwaRasulullah telah tahu maksudmu, sebab itu hendaklah engkaubersiap-siap dengan berawas.
Tetapi ada lagi riwayat lain, yang dibawakan oleh Abdullahbin Qatadah dan Az-Zuhri dan Al-Kalbi dan As-Suddi danIkrimah, bahwa ada seorang penduduk Anshar di Madinahbernama Abu Lubabah. Dia telah lama mengikat janji setia denganBani Quraizhah yang sesudah Rasulullah SAW mengusir seluruhBani Nadhir dari Madinah, dan sesudah itu Nabi pun menghadapBani Quraizhah, yang dikepung oleh Al- Ahzab (sekutu). Setelahmereka dikepung beberapa lama sehingga tidak berdaya lagi,mereka dipersilahkan turun dari benteng mereka untuk menerimahukum keputusan dari Sa’adbin Mu’az dan Sa’ad ini dahulupun,sebeleum mereka untuk mengkhianati janji mereka dengan Nabiitu, telah mengikat janji persetiaan pula dengan Bani Quraizhah itu.Tetapi secara sembunyi-sembunyi Abu Lubabah tersebut telah
43 Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz IV, Jakarta, Panjimas, 1982, hlm. 179-182
35
member isyarat kepada Bani Quraizhah supaya jangan diterimatawaran itu, sambil menggesengkan tangannya kepada lehernyasendiri berarti bahwa hukum yang akan dijatuhkan Sa’ad binMu’az kelak tidak lain memotong leher mereka. Karean perbuatanAbu Lubabah yangf demikian itu turunlah ayat ini.
Maka ayat ini adalah teguran keras kepada Abu Lubabah,sebab dia telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya. Dia telahmembuka rahasia kepada Yahudi Bani Quraizhah itu seketikamereka disuruh saja turun dari benteng pertahanan yang tidak akandapat lagi mereka pertahanka itu. Mengapa dia larang merekaturun? Mengapa dia membuka rahasia bahwa hukuman Sa’ad kelakialah potong leher? Setelah ayat ini turun, terasalah oleh AbuLubabah sesal yang sangat karena membuka rahasia itu, goyangrasanya bumi ini dia pijakan, sebab Allah sendiri telahmenuduhnya berkhianat, membuka rahasia.
Dari riwayat yang dibawakan oleh Abd bin Humaid dari al-kalbi, bahwa Abu Lubabah itu diutus Nabi kepada Bani Quraizhah,sebab dia selama ini adalah sahabat baik dari persekutuan Yahuditersebut. diriwayatkan pula bahwa diapun menitipkan harta bendadan anak-anaknya pada Bani Quraizhah. Maka setelah bertemudengan pemuka-pemuka Yahudi itu, dia sampaikanlah usulan Nabisupaya mereka turun dari benteng dan menyerah kepada keputusanhukum Sa’ad bin Mu’az. Lalu pemuka Yahudi itu bertanya, kalaumereka mau turun, apa kira-kira hukumannya yang akan dijatuhkanSa’ad kepada mereka. Lalu dengan tidak pikir panjang AbuLubahah membawa tangannya ke lehernya, mengisyaratkan akandipotong leher semua. Kelancangan inilah yang ditegur oleh ayatini. Ini memang suatu kelancangan, ataupun satu pengkhianatan.Abu Lubabah telah bertindak lancang berkata demikian, karena diamerasa kasihan kepada Bani Quraizhah, ataupun mempertakut-takuti, padahal kita tahu setelah membaca riwayat penghukumanBani Quraizhah tiu sampai kepada saat itu Nabi sendiri pun belumtahu hukuman apa yang akan dijatuhkan oleh Sa’ad bin Mu’azkepada mereka.
Tersebut dalam riwayat bahwa Rasulullah SAW setelahayat ini turun segera memanggil isteri Abu Lubabah, lalu bertanya :“Apakah Abu Lubabah tetap mengerjakan puasa, dan sembahyangdan adakah dia mandi junub setelah setubuh? Isterinya menjawab:Dia puasa, sembahyang dan mandi junub, bahkan cinta kepadaAllah dan Rasul-Nya. Nabi sampai bertanya demikian, tandanyabeliau syak ragu atas keimanannya, sehingga ditanyai isterinyatentang kehidupan sehari-hari, apakah dia betul-betul Islam atauIslam Munafiq. Isterinya menjawab dengan pasti bahwa dia puasa,dia sembahyang kalau habis setubuh dia tetap mandu junub.Menandakan amal keislamannya baik. Tetapi dia telah berbuat
36
perbuatan yang khianat, lancang, dan membuka rahasia, yaituperbuatan orang munafiq.
Meskipun dia bukan seorang munafiq, tetapikelamcangannya menyebabkan dia berkhianat. Sebab kitapunmendapat kesan, bahwa walaupun orang telah tunggat-tunggitsembahyang, puasa senin-kamis, taat beribadat, belumlah yangdemikian dapat dijamin kebersihannya, kalau dia tidak setiamemegang amanat. Abu Lubabah telah menambah dengankehendak sendiri suatu hal yang dipercayakan kepada dia, padahaldia utusan. Menjadi peringatan kepada kita ummat MuhammadSAW buat selanjutnya. Kekuatan ibadah wajib kita sejalan dengankesetiaan dan keteguhan memegang kedisiplinan. Perbuatan AbuLubabah dapat menimbulkan tindakan kolusi, kerja sama denganpihak lain.
2. NepotismeKata Nepotisme berasal dari bahasa Inggris, yaitu nepotism
artinya pemberian jabatan yang berat sebelah karena hanya saudara-saudar saja yang diangkat.44
Adapun menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, nepotisme diartikandengan dua pengertian, yaitu:1. Kecenderungan untuk mengutamakan (menguntungkan) sanak
saudara sendiri, terutama di jabatan, rangkat di lingkunganpemerintahan.
2. Tindakan memilih kerabat atau sanak saudara sendiri untukmemegang pemerintahan.45
Nepotisme menurut JW. Schoorl adalah praktek seorang pegawainegeri yang mengangkat seorang atau lebih dari keluarga (dekatnya)menjadi pegawai pemerintah atau member perlakuan yang istimewakepada mereka dengan maksud untuk menjunjung nama keluarga,menambah penghasilan keluarga, atau membantu menegakkan suatuorganisasi politik, sedang ia seharusnya mengabdi pada kepentinganumum.46
44 Kamus Inggris-indonesia, penerbit Praduga Paramita, Djakarta, karangan E. Pino. T.Wittermans, tahun 1971, cetakan ke-9, halaman 269.
45 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan PengembanganBahasa, departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Penerbit Balai Pustaka, Edisi Kedua, Cetakanketiga, tahun 1994, halaman 287.
46 JW. Schoorl, Modernisasi, Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-negara SedangBerkembang, Penerbit Gramedia, Jakarta, Tahun 1980, halaman 175
37
Sedang menurut UU Nomor 28 Tahun 1999 Pasal 1 ayat 5,nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggaraan Negara secaramelawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan /atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan Negara.47
Apakah suatu kebijakan atau tindakan termasuk dalam kategorinepotisme atau tidak? Hal tersebut memerlukan suatu ukuran ataucriteria yang tegas. Islam memberikan petunjuk mengenai pemilihandan pengangkatan seseorang untuk menjabat suatu kedudukan ataudasar pertimbangan kapabilitas ( kemampuan) dan rasa tanggungjawab), profesionalitas (keahlian), dan moralitas (akhlaqul karimah).Jadi, seorang keluarga dekat dapat saja diangkat untuk jabatan tertentu,jika ia mempunyai kemampuan dan keahlian serta akhlak yang terpujidi matas masyarakat.Nepotisme yang memenuhi criteria, profesionalitasdan moralitas tidakdilarang dalam Islam. Hal ini dilakukan oleh Nabi Musa, mengangkatsaudara kandungnya Nabi Harun untuk mendampingi dalammengemban risalah kenabian, sebagaimana diabadikan di dalam Al-Qur’an surat Thoha ayat 29-34 dan Surat Al_Qashash ayat 34.
Nabi Musa memiliki pertimbangan terhadap saudaranya NabiHarun karena Nabi Harun lebih fasih lisannya. Karena itu selainkapabilitas, profesionalitas dan moralitas juga memiliki integritaspribadi dan kredibilitas yang tinggi.
Secara spesifik Al-Qur’an memang tidak menyebutkan tindakan kolusidan nepotisme, akan tetapi secara umum telah disinggung sebagaimanaayat-ayat Al-Qur’an dibawah ini:
Surat Al-Baqarah ayat 188
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hakim yangbersumber dari Said bin Jubair, asbabul nuzul ayat 188 surat Al-Baqarah ini berkenaan dengan Imra’ul Qais berselisih dengan Abdanbin Asyma al-Hadhrami soal sengketa tanah. Imra’ul Qais berusahauntuk mendapatkan tanah itu menjadi miliknya dengan bersumpahdidepan hakim. Ayat ini sebagai peringatan kepada orang-orang yangmerampas hak orang dengan cara yang bathil.
Islam melarang umatnya dalam mencari harta benda dengancara-cara yang curang dan licik, seperti perampok, pemalsuan dan
47 UU Nomor 28 Tahun 1999
38
reklame yang beraroma membohongi public, menyimpan barang untukdijual setelah harga mahal, riba dan usaha-usaha yang syubhat karenamakan harta diantara manusia dengan cara bathil adalah perbuatandosa. Mencari anugrah (rizqi) Allah di bumi adalah suatu keharusan,namun harus dalam koridor ketentuan islam, seperti jual beli dan lai-lain.Surat Al-Maidah ayat 8
$pkš‰ r' ¯» tƒšúï Ï% ©!$#(#q ãY tB#uä(#q çRq ä.šúü ÏBº§q s%¬!uä!#y‰pkàÅÝó¡ É)ø9$$Î/(ŸwuröN à6 ¨ZtBÌ• ôftƒ
ãb$t«oY x©BQöq s%
#’n? tãžwr&(#q ä9ω÷ès?4(#q ä9ωôã $#uq èdÜ> t• ø%r&3“uq ø)G=Ï9((#q à)̈?$#ur©!$#4žcÎ)©!$#7Ž•Î6 yz$yJ Î/
šcq è=yJ ÷ès?ÇÑÈ
Artinya : Hai orang-orang yang beriman hendaknya kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran ) karena Allah,menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kalikebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untukberlaku adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepadatakwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya AllahMaha Mengetahui apa yangkamu kerjakan. (Q.S. Al-Maidah: 8)
Wahai orang-orang yang beriman Hendaklah kamumenjadi yang lurus karena Allah . Kalimat Qawwamin dari kataQiyam, yang artinya tegak lurus. Berjiwa besar karena bertauhid.Tidak ada tempat merundukkan diri melainkan Allah. Sikap lemah-lembut tetapi teguh dalam memegang kebenaran. Kata orangsekarang: “Berpribadi”. Bukan lemah lunglai direbah-rebahkanangina kemana hendak dibawanya, lemah pendirian dan mudahditawar. Bukan begitu orang mukmin. Wajahnya yang sekurang-kurangnya lima kali sehari semalam menghadap Tuhan, yang tegakberdiri ketika mulai sembayang, yang rukuk hanya kepada Allahdan sujud hanya kepada Allah, tidaklah mudah direbahkan olehorang lain. Tidak termuram terhuyung-huyung kerena ditimpamusibah, tidak pula melambung laksana balon ketika masih berisiangin ketika mendapat keuntung, sehabis angin mengerucut turun.
Menjadi saksi dengan adil . Kalau seorang mukmindiminta kesaksiannya dalam suatu hal atau perkara, hendaklah diamemberikan kesaksian yang sebenarnya saja, yakni yang adil.Tidak membolak-balik karena pengaruh sayang atau benci, karenalawan atau kawan, karena yang dihadapi akan diberikan kesaksiantentang kaya, lalu segan karena kayanya. Atau miskin, lalu kasihankarena kemiskinannya. Katakana apa yang engkau tahu dalam hal
39
itu, katakana yang sebenarnya, walaupun kesaksian itumenguntungkan orang yang tidak engkau senangi atau merugikanorang yang engkau senangi.
Dan janganlah menimbulkan benci kepadamupenghalangan dari satu kaum, bahwa kamu tidak akan adil .Misalnya orang yang akan engkau berikan kesaksianmu atasnyaitu, maka janganlah kebencianmu itu menyebabkan kamumemberikan kesaksian dusta untuk melepaskan sakit hatimukepadanya, sehingga kamu tidak berlaku adil lagi. Kebenaran yangada dipihak dia, jangan dikhianati Karena rasa bencimu. Karenakebenaran akan kekal dan ras benci adalah perasaan bukan aslidalam jiwa, itu adalah hawa dan nafsu yang satu waktu akanmereda teduh.
Berlaku adillah itulah yang akan melebih-dekatkan kamukepada taqwa. Keadilan adlah pintu yang dekat kepada taqwa,sedangkan bendi adalah membawa jauh dari Tuhan. Apabila kamutelah dapat menegakkan keadilan, jiwamu sendiri akan merasakankemenangan yang tiada taranya, dan akan membawa martabatmunaik di sisi manusia dan di sisi Allah.
Dan taqwalah kepada Allah. Peliharalah hubungan baikdengan Tuhan, supaya lebih dekat kepada Tuhan. SesungguhnyaAllah amat mengetahui apa pun yang kamu kerjakan . Jiwamanusia dibawah pengawasan Tuhan, adakah dia setia memegangkeadilan atau tidak. Jika masyarakat Islam telah diberi Allahkarunia kekuasaan, mengatur pemerintah, adakah dia adil atautidak.
Surat An-Nisa ayat 58
*¨b Î)©!$#öN ä. ã• ãBù' tƒb r&(#r–Šxs è?ÏM» uZ» tBF{ $##’n<Î)$ygÎ=÷d r&#sŒÎ) urO çFôJ s3 ymtû÷ü t/Ĩ$̈Z9$#b r&
(#q ßJ ä3 øtrB
ÉAô‰yèø9$$Î/4¨b Î)©!$#$K ÏèÏR/ ä3 Ýà Ïètƒÿ¾Ïm Î/3¨b Î)©!$#tb% x.$Jè‹ Ïÿxœ#ZŽ•ÅÁ t/ÇÎÑÈ
Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikanamanat kepada yang berhak menerimanya, dan(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antaramanusia supaya kamu menetapkan dengan adil.Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Mahamendengar lagi Maha melihat.
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa setelah FathulMakkah Rosulullah Saw memanggil Utsman bin Thalhah untukmeminta kunci Ka’bah ketika Utsman dating menghadap, Nabi
40
meyerahkan kunci itu, berdirilah Abbas dan berkata : YaRasulullah, demi Allah, serahkan kunci itu kepadaku untuk sayarangkap jabatan tersebut dengan jabatan Siqoyah (urusanpengairan). Utsman menarik kembali tangannya. Maka bersabdalahRasulullah SAW, berikanlah kunci itu kepadaku wahai Utsman.Utsman berkata inilah dia, amanat dari Allah. Maka berdirilahRasulullah SAW membuka Ka’bah dan terus keluar untuk thawafdi Baitullah. Turunlah jibril membawa perintah supaya kunci itudiserahkan kembali kepada Utsman. Rasulullah SAWmelaksanakan perintah tersebut sambil membaca ayat diatas. (HR.Ibnu Marduwah dari Al-Kalby dari Abi Sholeh yang bersumberdari Ibnu Abbas).
Pada riwayat lain dikemukakan bahwa turunnya ayat iniberkenaan dengan Utsman bin Thalhah. Ketika itu RasulullahSAW mengambil kunci Ka’bah dari padanya pada saat FathulMakkah. Dengan kunci itu Rasulullah SAW masuk Ka’bah. Disaatkeluar dari Ka’bah beliau membaca ayat ini, kemudian Beliaumemanggil Utsman untuk menyerahkan kembali kunci itu.Menurut Umar bin Khathab kenyataan ayat ini turun didalamKa’bah, karena pada waktu itu Rasulullah keluar dari Ka’bah,membaca ayat itu, dan ia bersumpah bahwa sebelumnya belumpernah mendengar ayat itu. (diriwayatkan oleh Syu’bah di dalamtafsirnya dari Hajaj yang bersumber dari Ibnu Juraj).
Dari penegasan ayat diatas bahwa amanat yang telahdipikul oleh seseorang, maka ia harus menjaga amanat itu dengansebaik-baiknya. Kemampuan memelihara amanat tidak serta mertadialihkan kepada siapapun, tetapi dalam harus melalui proses yangtelah dibuktikan kemampuannya. Dalam sejarah Islam, Khalifahyang sangat terkenal dan disegani adalah Umar bin Khathab.Ketika Beliau ditikam dan luka parah, karena sakitnya sepertisudah sulit disembuhkan, Beliau mengumpulkan sahahbat-sahabatnya untuk membicarakan figur pengganti Beliau. Kemudianmuncul usulan agar Abdullah bin Umar dijadikan penggantiBeliau, karena Abdullah bin Umar orang shalih, ahli ibadah, danamanah. Ternyata Abdullah bin Umar menolak bahkan Abdullahhanya diberi hak untuk mendengarkan saja tanpa boleh untukbicara. Abdullah bin Umar diberi hak untuk sebagai seorang anakyang taat dan patuh kepada orang tuanya. Dari peristiwa ini,nepotisme sebisa mungkin untuk dihindari.
41
BAB IV
ANALISIS
A. Pandangan Al-Qur’an Terhadap Praktek Kolusi Dan Nepotisme
Allah SWT berfirman dalam surat Hud ayat 6, bahwa tidak satu
binatang melata pun di bumi ini yang tidak dijamin rezekinya oleh Allah. Ini
artinya binatang yang pernah mendapat kesempatan hidup pasti pernah
mendapatkan rezeki dari Allah.
Perintah agama kepada kita dalam soal rezeki adalah adanya ikhtiar
yang sungguh-sungguh untuk mendapatkan rezeki yang halal. Dengan arti, apa
yang menjadi rezeki bagi kita sekaligus adalah milik kita. Sesuatu yang
menjadi milik yang syah bagi seseorang atau suatu lembaga, tidak berubah
menjadi milik orang atau lembaga lain, kecuali dengan melalui thuruq
masru ah (cara-cara yang dibenarka oleh agama). 48
Harta yang diperoleh seseorang dengan jalan yang tidak benar,
misalnya uang hasil mencuri, riba, korupsi dan lain-lain, adalah haram.
Selama berstatus haram, maka harta tersebut tidak bisa digunakan karena
bukan miliknya. Dia berkewajiban mengembalikan kepada pemilik yang sah.
Ironisnya, pemeluk agama banyak yang sudah tidak peduli pada halal dan
haram. Buktinya tidak sedikit dari mereka yang berani melakukan kolusi dan
nepotisme dan tindak kejahatan lainnya. Kata kolusi dan nepotisme juga
korupsi menjadi kata yang sangat banyak diucapkan orang di negeri ini.
Kolusi dan nepotisme adalah pengkhianatan terhadap amanah
(kepercayaan) dengan mengambil atau menerima barang, uang, atau manfaat
yang merugikan publik secara moral dan material. Kolusi dan nepotisme bisa
disebut sebagai pencurian tingkat elit, karena hanya bisa dilakukan oleh orang
yang sedang mendapat kepercayaan dalam berbagai levelnya.
48. P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat), Korupsi di NegeriKaum Beragama, Jakarta: Kementerian Partnership, 2004, hlm. 167-168
42
Menjadi koruptor tidak gampang, karena salah satu pra syaratnya
adalah adanya amanah yang dipercayakan kepadanya yang ternyata salah
alamat. Orang yang memikul amanah yang kemudian menjadi koruptor itu
adakalanya pada awalnya amanah (jujur) tapi kemudian berubah menjadi
pengkhianat, yang jelas koruptor itu dalam banyak hal merupakan produk
sistem yang rusak. Sebab ada dugaan keras, bahkan keyakinan, bahwa
maraknya kolusi dan nepotisme juga korupsi di negara ini adalah cerminan
dari rusaknya masyarakat kita, khususnya dibidang akhlak dan moralitas,
sehingga orang jujur disini menjadi makhluk langka.49
Kolusi sebenarnya berasal dari bahasa latin collution yang artinya
penyuapan atau corumpere yang artinya merusak, kolusi adalah tindak
kejahatan penyelewengan dana, wewenang, amanat, dan sebagainya untuk
kepentingan pribadi, keluarga, kroni, dan kelompoknya yang dapat merugikan
negara maupun pihak lain.50
Syari’at Islam bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi umat
manusia, yakni apa yang disebut sebagai maqashidush syari ah. Diantara
kemaslahatan yang hendak dituju tersebut adalah terpeliharanya harta (hifdzul
mal) dari berbagai bentuk pelanggaran dan penyelewengan.
Perbuatan kolusi dapat dilihat dari berbagai segi: Pertama,
perbuatan korupsi merupakan perbuatan curang dan penipuan yang berpotensi
merugikan keuangan negara dan kepentingan publik. Hal ini ada relevansinya
dengan kandungan surat Ali Imran (3): 161. Kedua, perbuatan kolusi dan
nepotisme berupa penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang untuk
memperkaya diri sendiri maupun orang lain merupakan pengkhianatan
terhadap amanat dan sumpah jabatan. Mengkhianati amanat adalah perbuatan
dosa dan salah satu karakter munafik yang dibenci oleh Allah SWT, sehingga
hukumnya haram. (al-Anfal, 8: 27; dan an-Nisa’,4: 58). Ketiga, perbuatan
49. Ibid, hlm.170
50. Ibid. hlm. 171
43
kolusi dan nepotisme untuk memperkaya diri dan orang lain atas harta negara
adalah perbuatan dzalim, karena kekayaan negara adalah harta publik yang
berasal dari jerih payah masyarakat termasuk kaum miskin dan rakyat kecil.
Perbuatan dzalim ini patut mendapat adzab yang pedih.(Az-Zukhruf 43: 65).
Keempat, termasuk kategori korupsi adalah kolusi dan nepotisme dengan
memberikan fasilitas negara kepada seseorang yang tidak berhak karena deal-
deal tertentu, seperti menerima suap (pemberian) dari pihak yang
diuntungkannya tersebut. 51
Tindak pidana kolusi dan nepotisme berkaitan erat dengan proses
pentasarupan yang dilakukan oleh seseorang yang mendapat amanat dalam
suatu jabatan. Dalam hal ini ada relevansinya dengan kaidah:
(Pentasarupan imam (pemimpin) terhadap
rakyat haruslah didasarkan atas kemaslahatan) (As-Suyuthi, Al-Asybah wan-
Nadhoir: 83) dan juga dengan kaidah:
(setiap orang yang bertasaruf untuk kepentingan orang lain, dia berkewajiban
untuk mentasarupkannya berdasarkan kemaslahatan) (as-Subky, Al-Asybah
wan-Nadhoir I: 310).
Dengan demikian pula tindak pidana kolusi dan nepotisme ini ada
hubungannya dengan kaidah: (sesuatu yang diharamkan
di dalam memperolehnya, diharamkan pula untuk diberikan kepada pihak
lain). (As-Suyuthi, Al-Asybah wan-Nadhoir: 102). Harta dan lain-lain yang
diperoleh dari hasil kolusi dan nepotisme juga haram untuk ditasyarufkan
dalam berbagai hal termasuk dalam “amal salih”.
Berdasarkan uraian di atas dapatlah dikatakan bahwa tindak pidana
kolusi dan nepotisme dikategorikan sebagai tindakan pengkhianatan terhadap
amanat dan juga merupakan perbuatan dzalim. Secara totalitas kolusi dan
nepotisme dapat dikategorikan sebagai ma’syiat, namun tidak ada ketentuan
dari syari’ tentang bentuk sanksinya di dunia.
51 . Ibid, hlm.176
44
Untuk melacak kedudukan hukum korupsi dan kolusi dalam
khazanah hukum Islam bisa ditelusuri melalui konsep saraqah (pencurian),
risywah (suap), khiyanat (pengkhianatan), gasysy (penipuan). Bahasa moral
dan kemanusiaan yang sarat dengan etika dan perilaku hukum itu secara jelas
terkandung dalam Al-Qur’an dan As-sunnah melalui keduanya para ahli
Hukum Islam menggali dan mengembangkan berbagai teori sampai
pelembagaannya dalam pranata masyarakat Islam.52
Secara teoritis, kedudukan korupsi sebagai inti tindakan yang
biasanya didukung oleh tindakan kolusi dan nepotisme merupakan tindakan
kriminal (jinayah atau jarimah). Asas legalitas hukum Islam tentang korupsi
sangat jelas dan tegas. Tindakan kolusi mengandung delik pencurian
(saraqah) karena mengambil hak atau harta suatu lembaga atau orang lain
dengan cara yang tidak sah. Hal ini sangatlah bertentangan dengan peringatan
Allah dalam Al-Qur’an yang melarang perbuatan ini.
Adapun hukuman bagi seorang koruptor (pencuri) ditetapkan oleh
Al-Qur’an dengan hukum potong tangan (walaupun ada perbedaan pendapat
antara ulama fikih berkaitan dengan penafsiran implementasi qatha’a (potong
tangan).53
Tindakan kolusi dan nepotisme yang hakekatnya delik pencurian
memang harus diberikan hukuman yang setimpal sesuai dengan dampak yang
ditimbulkannya. Tindakan kolusi dan nepotisme mungkin tidak bisa
disamakan dengan tindakan pencurian biasa, karena kolusi dan nepotisme
biasanya dilakukan oleh orang yang mempunyai akses kekuasaan dalam
semua tingkatan. Dampak yang ditimbulkannya begitu dahsyat, khususnya
koruptor dari pejabat atau birokrat yang mempunyai akses kekuasaan yang
sangat besar.
52 . Tobib Al-Asyhar, Bahaya Makanan Haram Bagi Kesehatan Jasmani dan KesucianRohani, Jakarta: PT. Al-Mawardi Prima, 2003, hlm. 112-113
53 . Ibid, hlm.115
45
Tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme biasanya tidak terlepas dari
budaya suap-menyuap (risywah) yang sudah sangat kita kenal dilingkungan
budaya birokrasi, dan telah merasuki sistem jaringan yang amat luas dalam
masyarakat umum.
Menurut pandangan Yusuf Qardhawi, bahwa tindakan penyuapan
merupakan suatu tindakan untuk mencapai tujuan tertentu. Tindakan
penyuapan, terutama bagi seorang Hakim yang disuap, patut dijuluki sebagai
penjahat yang sangat keji. Perbuatannya merupakan kezaliman yang sangat
destruktif, baik secara moral sosial maupun ekonomi.
Oleh karenanya, hukum Islam memposisikan tindakan korupsi (dan
kolusi juga nepotisme) sebagai bentuk kegiatan kriminal dalam segala
bentuknya. Pelaku korupsi (kolusi dan nepotisme yang ujung-ujungnya
meraup harta yang bukan miliknya dengan cara yang tidak syah) dalam
konteks hukum Islam dapat disebut sebagai pencuri, penyuap, pengkhianat
dan penipu, yang karena itu harus diberi hukuman yang setimpal sesuai
dampak sosial yang ditimbulkannya dan haram bagi para pelakunya untuk
masuk surga.54
B. Dampak Praktek Kolusi dan Nepotisme Bagi Kehidupan Masyarakat
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di Indonesia sudah
sedemikian menghujam dan menukik sampai wilayah terendah dalam struktur
pemerintahan kita. Upaya pemberantasannya pun telah diupayakan
sedemikian lama. Pada 1960, misalnya dengan dikeluarkannya Perpu No.
24/1960 yang kemudian oleh UU No. 1/1961 dinyatakan sebagai undang-
undang dengan nama undang-undang tentang pengusutan, penuntutan, dan
pemeriksaan tindak pidana korupsi.
54 . Ibid, hlm.116
46
Dari titik itulah, kemudian melahirkan UU No. 3/1971 tentang
pemberantasan tindak korupsi. Hasilnya juga sangat memprihatinkan, bahkan
negeri kita dalam deretan nomor tiga negara korup.55
Pada masa awal reformasi baru bergulir, rakyat pernah memiliki
mimpi-mimpi indah. Rakyat bermimpi, bahwa pada suatu saat nanti akan
lahir sebuah tatanan kenegaraan yang bersih dan berwibawa. Para
pemimpinnya dihargai rakyat, rakyat mematuhi segala peraturan yang ada.
Ada rasa saling asah, asuh dan asih sesama warga bangsa. Tidak ada
pemborosan dan kebocoran yang berlebih-lebihan kalau toh ada, masih dalam
batas kewajaran dan kelaziman.
Namun apa yang terjadi? Mimpi-mimpi indah itu berubah menjadi
mimpi-mimpi buruk. Dimana wakil rakyat yang sebenarnya bisa mengontrol
roda pemerintahan, justru semakin tidak bisa dikontrol. Masalah pengeluran
dana bukan hanya terjadi kebocoran, tetapi yang terjadi adalah kebanjiran,
harapan terciptanya kondisi pemerintahan yang bersih dan berwibawa justru
sebaliknya kotor dan memalukan. Mimpi-mimpi indah rakyat ini, paralel
dengan mimpi-mimpi indah yang pernah dimiliki oleh para aktivis Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM), mahasiswa dan orang-orang yang peduli dengan
nasib rakyat pada saat berhasil menggulirkan isu-isu besar di awal reformasi.
Mimpi-mimpi indah para aktivis sosial ini, juga berhasil seperti mimpi-mimpi
rakyat. Realitas yang diperoleh, justru sebaliknya, dimana mereka tidak lagi
menemui birokrasi yang bersih, legislatif yang berwibawa karena kekritisan
dan komitmennya untuk mengontrol eksekutif.
Mereka kini disuguhi dengan kondisi sebaliknya, yakni budaya
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang semakin menggila. Efektivitas
penegakan hukum yang semakin tidak ada, jual beli jabatan, putusan peradilan
dan barter kebijakan dengan uang terjadi disemua lini kekuasaan dan akhirnya,
mereka tidak berdaya untuk melakukan sesuatu untuk memenuhi mimpi-
55 . Dwi Saputra. dkk, Tiada Ruang Tanpa Korupsi, Semarang : Basmala Mutiara Grafika,2004, hlm. 99
47
mimpi indahnya. Kini partai politik sudah diramaikan dengan perekrutan para
calon legislatif. 56
Sudah menjadi kelaziman, kalau kegiatan tersebut diwarnai dengan
kasak-kusuk, sodok sana-sini, bahkan ada yang berani tawar-menawar harga
kursi, kursi jadi dan kursi tidak jadi. Antar caleg juga sudah melakukan
kontrak-kontrak politik, kompensasi apa yang akan diberikan dari caleg yang
jadi anggota terhadap caleg yang tidak jadi anggota dewan. Masalah hubungan
famili, kedekatan pribadi dengan top partai, hubungan santri-kyai, dan lain-
lain, menjadi sisi penentu untuk lolos menjadi caleg juga ramai
diperbincangkan. Masih banyak lagi dampak praktik kolusi dan nepotisme lain
bagi masyarakat.
Praktek kejahatan kolusi dan nepotisme pada dasarnya merupakan
masalah sensitif bagi masyarakat yang bersangkutan, karena menyangkut
nasib masa kini dan masa depan kehidupan bersama. Fenomena kolusi dan
nepotisme ini menunjukkan bahwa hal itu muncul disekitar kekuasaan-
kekuasaan yang tanpa nilai menjadi penyebab timbulnya kolusi dan nepotisme
politik, tanpa nilai. Di sini berarti tidak sesuai dengan etika dan moral yang
ada.57
Praktek-praktek perbuatan yang tidak jelas dan penuh tanda tanya
semacam itu sebenarnya perlu direspon secara moral oleh masyarakat, supaya
tidak menjadi beban moral masyarakat dan menurunkan wibawa hukum begitu
pula praktek perbuatan lain yang perlu mendapat fasilitas milik negara di luar
dinas. Sedikit banyak akibar dari perbuatan ini, negara akan menderta
kerugian. Kejahatan kolusi dan nepotisme secara langsung maupun tidak
langsung merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, yang pada
saat yang sama, upaya pemberantasan kolusi dan nepotisme tidak realistis jika
tanpa mengkut sertakan partisipasi masyarakat dalam pasal 41 UU No. 31
56 . Ibid, hlm.165
57 . Dr. Artidjo al-Kautsar, SH.LLM, Korupsi Politik di Negara Modern, Yogyakarta : FH UIIPress. 2008, hlm. 199
48
tahun 1999 tentang pemberantasan kolusi dan maysarakat untuk memberikan
kontribusi peran sosial dalam pemberantasan kolusi dan nepotisme.
Operasionalisasi peran masyarakat ini juga dapat direpresentasikan
dalam bentuk kegiatan LSM dengan berbagai corak organisasi seperti
pemantauan, transparansi atau nama lain sejenisnya. Sebagai konsekuensi
dimungkinkannya peran masyarakat ini, perlu diatur tentang jaminan
perlindungan bagi saksi dan pelapor, maka tidak akan ada partisipasi optimal
dari masyarakat. Kehadiran LSM dalam sebuah masyarakat merupakan
kenyataan yang tidak dapat ditolak. Hal itu karena bagaimana pun juga,
kapasitas pemerintah terbatas, tidak semua kebutuhan warga masyarakat
dipenuhi oleh pemerintah. Kegiatan pelayanan tidak jarang akan lebih efisien
dan efektif kalau dilakukan oleh masyarakat.
Paparan diatas menunjukkan bahwa mencakup praktek kolusi dan
nepotisme disuatu pemerintahan cenderung diakibatkan oleh suasana
pemerintahan yang korup, pemerintahan yang sudah meninggalakan nilai-nilai
moralitas. Budaya malu telah lenyap. Keyakinan adanya pembalasan terhadap
segala perilaku keimanan mulai diragukan. Segala akibat aktifitas diukur
dengan materi.
Terapi terhadap gejala penyakit sosial yang demikian menurut
pandangan islam karena lemahnya keimanan dan keyakinan akan kebenaran
ayat-ayat Al-Qur’an yang menjadi pedoman umat islam. Oleh karena itu perlu
adanya upaya peningkatan keimanan bagi seluruh komponen bangsa juga yang
harus ditegakkan adalah adanya supremasi hukum.
49
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berbagai penjelasan mengenai Kolusi dan Nepotisme pada bab
sebelumnya dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Kolusi terdiri dari dua unsur utama, yaitu adanya persekongkolan dan
salah satu yang melakukannya adalah aparat pemerintahan. Oleh karena
itu, dalam pandangan Al-Qur’an Kolusi tidak dapat di benarkan,karena,
tindakan tersebut merupakan bentuk dari saling tolong menolong dalam
dosa dan pelanggaran yang tidak dapat dibenarkan,dan pelakunya tidak
akan dapat mencapai derajat ketaqwaan karena tindakannya tersebut.
Sedangkan tindakan Nepotisme tidak diperbolehkan menurut Al-
Qur’an,karena tindakan tersebut merupakan salah satu bentuk ketidak
adilan, baik terhadap dirinya,kerabatnya,apalagi terhadap rakyat. Hal
tersebut disebabkan karena tindakan Nepotisme tersebut tidak
menempatkan seseorang sesuai kapasitasnya.
Mufassir berpendapat bahwa tindakan Kolusi dan Nepotisme
adalah wujud dari ketiadaan keadilan. Mereka berpendapat bahwa
keadilan, kebajikan,ketaqwaan dan kebenaran adalah salah satu kesatuan
yang tetap harus ditegakkan tidak boleh mengalahkan yang
lainnya,meskipun pada akhirnya akan menimbulkan mudarat bagi
dirinya,karena hak Allah SWT harus lebih diutamakan dari pada hak
makhluk.
Seorang muslim hendaknya berusaha keras menjauhi praktek
risywah dalam hidupnya, ini adalah prinsip yang hendaknya kita pegang
teguh mengingat janji Rosul SAW bagi pelaku risywah itu.
Menurut Dr. Yusuf Al-Qardhawy, bahwa tindakan penyuapan
merupakan satu tindakan untuk mencapai tujuan tertentu. Tindakan
penyuapan terutama bagi seorang hakim yang disuap, patut dijuluki
50
sebagai penjahat yang sangat keji perbuatannya merupakan kezaliman
yang sangat destruktif baik secara moral social maupun ekonomi
Bila kita membahas masalah Kolusi dalam tinjauan hokum syara’,
maka kita dapat temukan beberapa nash yang secara langsung dan tegas
berbicara tentang masalah Kolusi ini, diantaranya Firman Allah SWT.
wur(#þq è=ä. ù' s?N ä3 s9ºuq øBr&N ä3 oY ÷• t/È@ÏÜ» t6 ø9$$Î/(#q ä9ô‰è?ur!$ygÎ/’n<Î)ÏQ$¤6 çtø:$#(#q è=à2ù' tG Ï9
$Z)ƒ Ì• sùô Ï̀iBÉAºuq øBr&Ĩ$̈Y9$#ÉO øO M}$$Î/óOçFRr&urtbq ßJ n=÷ès?ÇÊÑÑÈ
Dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim dengantujuan memakan harta orang lain dengan cara yang tidak sah, pada halkamu mengetahuinya.
Dalam ayat diatas, praktik bersekongkol antara pihak yang
berperkara dengan penguasa dan hakim dengan tujuan untuk memakan
harta orang lain dengan cara yang berdosa adalah perbuatan terlarang dan
di haramkan.
Disamping itu,kita juga dapat menemukan Hadist Rasul SAW
yang secara tegas berbicara tentang Kolusi yaitu :
)(
Rasulullah SAW “ melaknat orang yang memberikan uang sogok(risywah) penerima sogok dan perantara keduanya
Dalam pandangan Islam, suatu jabatan harus dipegang oleh orang
yang berkompeten, ahli untuk bidang yang ditawarkan. Adapun prinsip
yang ditanamkan dalam Islam adalah soal kompetensi seseorang atas suatu
jabatan, bukan ada tidaknya hubungan kekerabatan.
Jika kita memegang prinsip “kekerabatan” sebagai landasan dalam
arti setiap ada hubungan kekerabatan sesorang dengan pejabat yang
menunjuk maka itu sudah merupakan Nepotisne yang terlarang, secara
rasional barang kali sikap ini kurang obyektif. Dalam pandangan Islam,
Nepotisme tidak selamanya tercela. Yang dilarang adalah menempatkan
51
keluarga yang tidak punya keahlian dalam suatu posisi tetapi dilandasi
oleh adanya hubungan kekeluargaan
2. Dampak terjadinya praktek kolusi dan nepotisme bagi masyarakat adalah :
a. Munculnya paham materialisme
Dengan munculnya paham materialisme dalam kehidupan
masyarakat maka dapat menimbulkan cara berpikir yang hanya
memandang kebendaan atau materi, sehingga segala sesuatu akan
diukur dengan materi.
b. Moral dan akhlak yang rendah
Rendahnya moral dan akhlak masyarakat akan menimbulkan
pandangan hidup yang hanya mementingkan keduniawian saja,
sehingga munculah hedonisme. Akhlak yang rendah akan menurunkan
tingkat rasa malu pada individu, sehingga jika ia mengambil uang atau
hak dari orang lain, maka ia akan merasa biasa-biasa saja seolah tidak
pernah melakukan pelanggaran.
c. Nafsu keserakahan
Rasa keserakahan akan menimbulkan rasa yang tidak akan
kunjung puas untuk memiliki suatu benda maupun materi dalam
bentuk uang. Dengan keserakahan pula dapat membutakan mata hati
seseorang, sehingga bisa saja memperoleh rejeki dengan cara yang
tidak halal.
B. Saran-Saran
Setelah penulis menyelesaikan proses penulisan skripsi ini, penulis
berusaha memberikan saran-saran sebagai berikut:
1. Bagi pembaca, penulis berharap untuk tidak mengklaim suatu penafsiran
tanpa kita ketahui lebih dahulu tafsir tersebut secara mendalam.
2. Sebelum mengkaji suatu ayat meneliti dulu corak penafsirannya, sehingga
nantinya tidak terjebak setelah mengerjakan persoalan yang diangkat dari
tafsir tersebut.
52
C. Penutup
Puji syukur penulis senantiasa panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas
segala limpahan rahmat dan petunjuk yang telah diberikan, sehingga
penyusunan skripsi yang sederhana ini dapat terselesaikan. Penulis menyadari
skripsi ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis sangat
mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun dari semua pihak.
Namun demikian harapan penulis ialah semoga hasil penulisan skripsi ini
dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca umumnya.
53
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran dan Terjemahannya, Departemen Agama RI Jakarta, Edisi Terbaru,revisi tahun 2004, Penerbit CV Al-Waah.
Tafsirul Qur anil Adzim, Al-hafidz Imaduddin Abi Fida’i, Ismail bin Katsir AlQuraisyi Ad Damasqy, penerbit Thoha Putra, Semarang, Indonesia.
Tafsir Al-Azhar, Prof. Dr. Hamka, Penerbit PT Pustaka Panji Mas, Jakarta, EdisiBaru, Cetakan Februari 2007.
Asbabul Nuzul, K.H. Qomaruddin Saleh, H.A.A. Dahlan, Dr. M.D. DahlanCetakan ke-6, penerbit CV Diponegoro, Bandung, Tahun 1985.
Thomas Balletin E. Irving, Al-Qur an Tentang Akhlaq dan Segala Amal IbadahKita, Terjemahan Khursid Ahmad dan Muhammad Munazir Ahasan,Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1996.
Dr. Ahmad Shiddiq, Benang Tipis Antara Halal dan Haram, terjemahan ImamGhazali, Surabaya, Putra Pelajar, 2002, cetakan I.
Dr. Subhan Yasin, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Surabaya, Amamah, 1997.
Prof. Dr. Hj. Aisyiah Girindra, dkk, Bahaya Makanan Haram Bagi KesehatanJasmani dan Kesucian Rohani, Jakarta, Al-Mawardi Prima, 2003,Cetakan I.
Abu Muhammad bin Ismail Al-Bukhori, Shahih Bukhari.
Prof. Dr. Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik,Jakarta, Rineka Cipta, 1998.
Dr. Baharuddin, Paradigma Psikologi Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004
Dr Nasrudin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur an, Yogyakarta, PustakaPelajar, 1998, Cetakan I
Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta, Rika Smasim,1996.
Thabib Al-Asyhar, Bahaya Makanan bagi Kesehatan Jasmani dan Rohani,Jakarta, PT Al-Mawardi, 2003, Cetakan I.
Tim Redaksi Fokus Media, Himpunan Peraturan Perundang-undanganPemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bandung, Fokus Media, 2008,Cetakan I.
54
Abu Fida Abdul Rafi, Terapi Penyakit Korupsi, Jakarta, Penerbit Republik, 2006,Cetakan I.
Drs. Suyitno, , Jakarta, CV Muhasari, 2005, Cetakan I. Korupsi, Kolusi danNepotisme
Dr. Artija Al-Kautsar, S.H. L.L.M, Korupsi Politik di Negara Indonesia,Yogykarta, FH UII Press, 2008, cetakan I.
M. Akil Muchtar, S.H, M.H, Memberantas Korupsi di Jakarta, Q.communication,2006.
P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat), Korupsi di NegeriKaum Beragama, Jakarta, Kementrian Partnetship, 2004.
Dwi Saputra dkk, Tiada Ruang Tanpa Korupsi, Semarang, Basmala MutiaraGrafika, 2004.
Prof. Dr. Hj. Huzaimah Tahido Yanggo, M.A; Masail Fiqhiyah, Kajian HukumIslam Kontemporer, Penerbit Angkasa, Bandung, Cetakan I, 2005.
Kompas, Jihad Melawan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
http://daudrasyid.com/index.php)option.com/diakses pada tanggal 20/01/2010