13
Pandangan Hukum atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Perkebunan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Details Published Date Hits: 43 0 Comments Pandangan Hukum atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Perkebunan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Oleh: Achmad Mangga Barani *) Ermanto Fahamsyah **) _________________________________________________________________ ______________________ Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang “Perkebunan”, selanjutnya disebut UU Perkebunan, disahkan dan diundangkan pada tanggal 11 Agustus 2004 dengan arah kebijakan atau dengan latar belakang utamanya untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan sesuai amanat UUD 1945 melalui fungsi dan peranan pembangunan perkebunan. Di samping itu untuk memberikan landasan hukum guna kepastian hukum dalam penyelenggaraan perkebunan yang sesuai dengan perkembangan lingkungan strategis. Berdasarkan landasan filosofis, landasan yuridis, dan landasan sosiologis berikut diuraikan pandangan hukum terhadap UU Perkebunan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi.

Pandangan Hukum Atas Undang

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Pandangan Hukum Atas Undang

Pandangan Hukum atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Perkebunan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

DetailsPublished Date Hits: 43

0 Comments

Pandangan Hukum

 atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Perkebunan

Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

Oleh: Achmad Mangga Barani*)

Ermanto Fahamsyah**)

_______________________________________________________________________________________

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang “Perkebunan”, selanjutnya disebut UU Perkebunan, disahkan dan diundangkan pada tanggal 11 Agustus 2004 dengan arah kebijakan atau dengan latar belakang utamanya untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan sesuai amanat UUD 1945 melalui fungsi dan peranan pembangunan perkebunan.  Di samping itu untuk memberikan landasan hukum guna kepastian hukum dalam penyelenggaraan perkebunan yang sesuai dengan perkembangan lingkungan strategis.

Berdasarkan landasan filosofis, landasan yuridis, dan landasan sosiologis berikut diuraikan pandangan hukum terhadap UU Perkebunan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi.

Pertama, landasan filosofis

Dasar filosofis dari suatu produk hukum atau kebijakan adalah menjamin kepastian, keadilan, ketertiban, dan kesejahteraan.

Undang-Undang Perkebunan dari aspek kepastian hukum diharapkan dapat memberikan dan mejamin kepastian hukum dengan adanya pengaturan yang jelas, tegas dan lugas sebagai dasar hukum bagi setiap kegiatan pembangunan perkebunan baik pada masa sekarang atau yang akan datang demi tercapainya tujuan dan sasaran pembangunan perkebunan sesuai amanat yang terkandung dalam UUD 1945.

Dari aspek keadilan, UU Perkebunan diharapkan dapat mewujudkan penataan dan pengelolaan perkebunan sebagai salah satu sumber kemakmuran rakyat dan komponen pendukung system

Page 2: Pandangan Hukum Atas Undang

penyanggah kehidupan  secara optimal berdasarkan akhlak mulia, adil, arif bijaksana, professional dan bertanggung gugat. Di samping itu, dengan adanya UU Perkebunan diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah dan distribusi pendapatan secara berkeadilan melalui pengintegrasian kegiatan budidaya dengan pengolahan dan pemasaran hasil serta kegiatan pendukung lainnya dalam suatu sistem perkebunan dengan pemberian kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat pekebun dan koperasi.

Dari aspek kesejahteraan, dengan adanya UU Perkebunan diharapkan dapat memberikan jaminan pada keberlanjutan usaha perkebunan sehingga dapat meningkatkan perekonomian masyarakat, bangsa dan Negara yang pada akhirnya dapat meningkatkan taraf hidup dan kemakmuran masyarakat secara merata sesuai dengan amanat UUD 1945.

Kedua, landasan yuridis.

Undang-Undang Perkebunan pada waktu itu disusun dengan mengingat pada Pasal 20, 21 dan Pasal 33 UUD 1945.

Apabila dikaitkan dengan UUD 1945, pengaturan usaha pada sektor perkebunan merupakan wujud pengejewantahan asas Ekonomi Kerakyatan dan asas Demokrasi Ekonomi yang diamanatkan oleh UUD 1945.

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 memberi amanat kepada Negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum. Amanat tersebut dilaksanakan oleh Negara dengan melaksanakan pembangunan di segala bidang, salah satunya pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi di Indonesia dilaksanakan dengan berdasarkan pada Pasal 33 UUD 1945. Pasal 33 UUD 1945 dikenal sebagai pasal ideologi dan politik ekonomi Indonesia, karena di dalamnya memuat ketentuan tentang hak penguasaan negara atas cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak; dan bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Dalam Pasal 33 UUD 1945 terkandung adanya asas Ekonomi Kerakyatan dan Demokrasi Ekonomi yang harus dijalankan dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi di Indonesia. Kedua asas tersebut termuat dalam Penjelasan Pasal 33 UUD 1945 sebelum diamandemen, yang menyebutkan:

"dalam Pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat-lah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang".

Selanjutnya disebutkan bahwa "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat".

Dengan demikian, secara tegas Pasal 33 UUD 1945 beserta penjelasannya sebenarnya  melarang adanya penguasaan sumber daya alam di tangan orang-seorang. Dengan kata lain monopoli, oligopoli maupun praktek kartel dalam bidang pengelolaan sumber daya alam adalah bertentangan dengan prinsip Pasal 33 UUD 1945.

Pasal 33 UUD 1945 menyebutkan bahwa sumber daya alam dikuasai Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa monopoli

Page 3: Pandangan Hukum Atas Undang

pengaturan, penyelengaraan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan sumber daya alam serta pengaturan hubungan hukumnya ada pada Negara.

Dikuasai oleh negara dalam Pasal 33 UUD 1945 tidak berarti Negara sendiri menjadi pengusaha, usahawan atau ondernemer. Lebih tepat dikatakan bahwa kekuasaan Negara terdapat pada membuat peraturan guna melancarkan jalan ekonomi, peraturan yang melarang pula “pengisapan” orang yang lemah oleh orang lain yang bermodal. Dengan demikian, penafsiran dari kalimat "dikuasai oleh negara" dalam ayat (2) dan (3) Pasal 33 UUD 1945 tidak selalu dalam bentuk kepemilikan, tetapi utamanya dalam bentuk kemampuan untuk melakukan kontrol dan pengaturan serta memberikan pengaruh agar perusahaan tetap berpegang pada azas kepentingan mayoritas masyarakat dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Pasal 33 mengamanatkan bahwa perekonomian Indonesia akan ditopang oleh 3 pemain utama yaitu koperasi, Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/D), dan swasta yang akan mewujudkan demokrasi ekonomi yang bercirikan mekanisme pasar, intervensi pemerintah, dan pengakuan terhadap hak milik perseorangan.

Amanat yang termuat dalam Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 33 UUD 1945 dilaksanakan oleh Pemerintah diantaranya melalui pembuatan beberapa peraturan perundang-undangan di bidang ekonomi. Peraturan perundang-undangan tersebut dituangkan dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah sampai dengan peraturan pelaksanaan di bawahnya. Sebagai contoh berupa undang-undang yang mengatur usaha perkebunan yaitu UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan.

Dengan demikian, Pemerintah melalui pengaturan usaha perkebunan dalam UU Perkebunan harus lebih mengoptimalkan peranan dan fungsi usaha perkebunan dalam kegiatan pembangunan ekonomi dalam rangka untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan rakyat Indonesia.

Undang-Undang Perkebunan juga disusun untuk menjawab atau memenuhi tantangan dan perubahan yang muncul. Di samping itu, untuk melengkapi/menyempurnakan beberapa ketentuan di bidang perkebunan yang masih secara parsial dalam beberapa undang-undang dan belum ada undang-undang yang mengatur secara komprehensif tentang perkebunan. Sebagai contoh: 1) UU Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, dipandang belum dapat mengakomodasikan kebutuhan pengintegrasian sektor hulu-hilir yang efisien dan efektif. 2) UU Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian, dipandang baru mengatur pengembangan kegiatan industri dan belum banyak memperhatikan keterkaitannya dengan sumber daya alam, juga belum berpihak kepada kepentingan masyarakat petani perkebunan. 3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, dipandang belum secara kongkrit mengatur rencana tata ruang terhadap kawasan budidaya yang dapat menjamin keberlanjutan usaha perkebunan. 4) UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, dirasakan perlu adanya penyempurnaan antara lain yang menyangkut dengan kedudukan hak ulayat/adat dengan sistem penguasaan dan kepemilikan lahan. Termasuk dalam hal ini adalah pengaturan tentang pembatasan penguasaan luas kepemilikan lahan untuk usaha perkebunan.

 

Ketiga, landasan sosiologis

Ditinjau dari landasan sosiologis, pemberlakukan UU Perkebunan tentu akan memberikan dampak sosial, ekonomi-politik, lingkungan dan budaya.

Page 4: Pandangan Hukum Atas Undang

Pemberlakuan UU Perkebunan diantaranya bisa menimbulkan dampak ekonomi, karena dengan pengaturan kegiatan perkebunan secara jelas, tegas dan lugas diharapkan dapat memperlancar tujuan dan sasaran pembangunan perkebunan, antara lain untuk peningkatan devisa, sumber pendapatan dan lapangan kerja, penanggulangan kemiskinan, pendapatan ekspor non migas, pengembangan wilayah-termasuk wilayah perbatasan, mendukung industri dalam negeri, dan sumber pangan serta energi.

Dari segi dampak ekonomi, data yang ada menunjukkan bahwa perkebunan merupakan sub sektor yang berperan penting dalam perekonomian nasional melalui kontribusi dalam Produk Domestik Bruto (PDB), pendapatan nasional, penyediaan lapangan kerja, penerimaan ekspor, dan penerimaan pajak. Perkebunan selama tahun 2005-2009 telah memberikan PDB yang terus mengalami pertumbuhan rata-rata 23,52% per tahun. Pada tahun 2009 telah menyumbangkan PDB sebesar Rp 130,30 triliun. Dari angka tersebut sub sektor perkebunan telah memberikan kontribusi sebesar 20% dari seluruh PDB sektor pertanian (di luar kehutanan dan perikanan) yang berada pada angka Rp 649,25 triliun. Perkembangan PDB sub sektor perkebunan tersebut dapat dilihat pada tabel sebagai berikut.

 

 

 

 

 

Tabel 

Perkembangan PDB Sub Sektor Perkebunan

Sektor/Sub Sektor

(Berdasarkan Harga Berlaku)

 

Nilai PDB (Rp Triliun) Rata-rata Pertumbuhan/

tahun (%)

2005 2006 2007* 2008** 2009***

a. Perkebunan 56,43 63,40 81,60 106,19 130,50 23,52

b. Pertanian**** 281,96 328,83 408,3 536,87 649,25 23,30

c. Nasional 2.774,28 3.339,22 3.949,32 4.954,03 5.334,49 17,94

d. Nasional non migas 2.458,23 2.967,04 3.532,81 4.426,39 3.665,28 19,18

Pangsa Perkebunan terhadap PDB Pertanian (%)

20,01 19,28 20,00 19,78 20,10  

Sumber: BPS, Mei 2009; Ditjenbun, 2009; Bappenas, 2009.

Page 5: Pandangan Hukum Atas Undang

Keterangan:*data sementara; **data sangat sementara; *** data proyeksi Bappenas; ****di luar kehutanan dan perikanan.

Sebagaimana dikutip dari Rancangan Awal Rencana Strategis Pembangunan Perkebunan 2010-2014, (Jakarta: Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, tidak diterbitkan, 2009), hal. 4.

Sub sektor perkebunan juga telah menyumbangkan penerimaan ekspor yang selalu meningkat setiap tahunnya, yaitu pada tahun 2005 sebesar 10.673.186 ribu US$, tahun 2006 sebesar 13.972.064 ribu US$, tahun 2007 sebesar 19.948.923 ribu US$, tahun 2008 sebesar 27.369.363 ribu US$ dan tahun 2009 (sampai dengan bulan September) sebesar 21.581.670 ribu US$. Dengan nilai ekspor yang cukup besar tersebut jelas menunjukkan perkebunan merupakan sub sektor yang cukup berpengaruh dalam perekonomian nasional Indonesia.

Tabel

Neraca Perdagangan Perkebunan 2005-2009Sub sektor Aspek (US$ 000)

2005 2006 2007 2008 2009

Perkebunan Ekspor 10.673.186 13.972.064 19.948.923 27.369.363 21.581.670

Impor   1.532.520   1.675.067   3.379.875   4.535.918   3.949.191

Neraca   9.140.666 12.296.997 16.569.048 22.833.445 17.632.479

Sebagaimana dikutip dari Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2010-2014, (Jakarta: Kementerian Pertanian, 2010), hal. 12.  

Selain dalam PDB dan penerimaan ekspor, sub sektor perkebunan juga memberikan lapangan pekerjaan yang cukup besar. Sejak tahun 2005-2009 tenaga kerja perkebunan telah mengalami laju pertumbuhan 0,98%. Pada tahun 2009 telah menyerap tenaga kerja sejumlah 19,70 juta orang. Angka tersebut merupakan 17,32 % dari total tenaga kerja nasional dan 45,78% dari tenaga kerja sektor pertanian.

Tabel

Perkembangan Keterlibatan Tenaga Kerja Perkebunan 

Tahun

Keterlibatan Tenaga Kerja (Juta orang) Pangsa Tenaga

 Kerja Perkebunan (%) terhadapNasional Pertanian Perkebunan Nasional Pertanian

2005 105,86 41,31 18,95 17,90 45,87

2006 106,39 40,14 19,03 17,89 47,41

2007 109,94 41,21 19,05 17,33 46,23

Page 6: Pandangan Hukum Atas Undang

2008 111,95 41,33 19,40 17,33 46,94

2009 113,74 43,03 19,70 17,32 45,78

Pertumb. (% per tahun) 1,82 1,06 0,98    

Sumber: BPS, 2009 dan Ditjen Perkebunan, 2009.

Sebagaimana dikutip dari Rancangan Awal Rencana Strategis Pembangunan Perkebunan 2010-2014, (Jakarta: Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, tidak diterbitkan, 2009), hal. 5.

Dengan demikian, pengesahan dan pengundangan UU Nomor 18 Tahun 2004 memperhatikan landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis. Dari segi filosofis, UU Perkebunan diharapkan dapat mewujudkan adanya kepastian, keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Dari segi yuridis, UU Perkebunan diundangkan untuk melengkapi/menyempurnakan beberapa ketentuan di bidang perkebunan yang masih secara parsial dalam beberapa undang-undang dan belum ada undang-undang yang mengatur secara komprehensif tentang perkebunan. Dari segi sosiologis, melalui pengaturan kegiatan perkebunan secara jelas, tegas dan lugas dalam UU Perkebunan, usaha perkebunan terbukti telah memberikan sumbangsih yang besar terhadap perekonomian Indonesia, hal tersebut dapat ditunjukkan diantaranya dengan data perkembangan PDB sub sektor perkebunan, neraca perdagangan sub sektor perkebunan dan  perkembangan keterlibatan tenaga kerja pada sub sektor perkebunan. Sehingga pengundangan UU Perkebunan tersebut dapat dikatakan sebagai sarana untuk menciptakan kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan/kesejahteraan bagi semua pihak yang berkepentingan dalam pembangunan dan pengelolaan usaha perkebunan dan bangsa Indonesia secara luas.

Setelah 7 (tujuh) tahun berlaku, pada tanggal 19 September 2011 Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan para pemohon/penggugat yang sebagian besar adalah mereka yang pernah dipidana akibat perusakan tanah di wilayah perkebunannya dan menyatakan Pasal 21 beserta penjelasannya, Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Mahkamah Konstitusi dalam amar putusannya menyatakan unsur dilarang melakukan tindakan yang berakibat kerusakan kebun atau aset lainnya merupakan perumusan pasal yang terlalu luas, kata aset lainnya juga tidak ada batasan yang jelas.

Menurut pendapat Mahkamah Konstitusi, masalah pendudukan tanah tanpa izin pemilik sangat beragam, sehingga penyelesaiannya dilakukan menurut pertimbangan yang berbeda. Penyelesaian dengan melihat batas wilayah penguasaan secara hukum adat dengan wilayah yang dikuasai langsung oleh negara atau pendudukan tanah itu, merupakan cara memperoleh tanah menurut hukum adat.

Dengan demikian, menurut pendapat salah satu Hakim Mahkamah Konstitusi, Achmad Sodiki, penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud Pasal 47 ayat (2) UU itu tidak tepat jika hal itu dikenakan terhadap orang yang menduduki tanah berdasarkan hukum adat, karena timbulnya hak-hak adat adalah atas dasar ipso facto.

Selanjutnya, frasa dan atau tindakan lain yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan dalam Pasal 21 UU Perkebunan yang diikuti ancaman pidanan Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2)

Page 7: Pandangan Hukum Atas Undang

mengandung ketidakpastian hukum. Tindakan lainnya tentu sangat luas dan tidak terbatas, misalnya seorang pemilik kebun dapat dipidana karena menelantarkan kebunnya sendiri.

Hal itu dimungkinkan dapat dimaksudkan ke dalam unsur tindakan lain yang mengakibatkan terganggunya perkebunan, akan tetapi tidak dapat dikualifikasi sebagai perbuatan yang diancam pidana.

Ancaman pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda Rp 5 miliar karena kelalaian dalam Pasal 21 adalah berlebihan, karena konflik yang timbul merupakan sengketa keperdataan yang seharusnya diselesaikan secara perdata dengan mengutamakan musyawarah, sebagaimana dimaksud oleh Undang-Undang No. 51/Prp/1960.

Pasal 21 menyebutkan “Setiap orang dilarang melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan tanah perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan”. Sementara Pasal 47 memuat ketentuan ancaman hukuman pidana apabila ketentuan Pasal 21 itu dilanggar.

Penjelasan Pasal 21 UU Perkebunan menyebutkan, yang dimaksud dengan tindakan yang mengakibatkan kerusakan kebun adalah suatu perbuatan yang menimbulkan kerusakan pada tanaman antara lain penebangan pohon, panen paksa, atau pembakaran sehingga kebun tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Penggunaan tanah perkebunan tanpa ijin adalah tindakan okupasi tanah tanpa seijin pemilik hak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sementara yang dimaksud dengan tindakan lain yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan antara lain tindakan yang mengganggu pekerja sehingga tidak dapat melakukan panen atau pemeliharaan kebun sebagaimana mestinya.

Melihat ketentuan Pasal 21 dan Penjelasan Pasal 21 UU Perkebunan tersebut tentu mempunyai maksud untuk memberikan kepastian hukum terhadap jaminan kelangsungan dan keamanan usaha perkebunan melalui upaya pengamanan perkebunan yang dikoordinasikan oleh aparat keamanan dan dapat melibatkan bantuan masyarakat sekitar. Dan apa yang diatur dalam Pasal 47 UU Perkebunan diharapkan dapat menimbulkan efek jera bagi pelanggar hukum di bidang perkebunan.

Jaminan pengamanan perkebunan tersebut tentunya tidak hanya ditujukan untuk usaha perkebunan yang dikelola oleh perusahaan perkebunan baik swasta atau Negara, tetapi juga terhadap usaha perkebunan yang dikelola oleh perorangan yang biasa disebut dengan pekebun rakyat. Karena hal ini terkait dengan ketentuan dalam Pasal 1 angka 4 dan Pasal 13 UU Perkebunan, bahwa usaha perkebunan dilakukan baik oleh pekebun (perorangan) maupun perusahaan perkebunan dalam bentuk badan hukum baik milik Negara maupun swasta.

Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa ketentuan Pasal 21 dan Penjelasan Pasal 21 UU Perkebunan sebenarnya sudah mengatur dengan jelas dan tegas mengenai tindakan yang dilarang karena dapat mengganggu usaha perkebunan baik yang dikelola oleh pekebun (perorangan) maupun perusahaan perkebunan. Hanya mengenai ‘aset lainnya’ sebaiknya bisa diperjelas lagi. Namun demikian, pembatalan Pasal 21 dan 47 dalam UU Perkebunan oleh Mahkamah Konstitusi tersebut tetap harus disikapi secara arif dan bijaksana. Yang terpenting, dengan pembatalan tersebut jangan sampai mengganggu hakikat adanya pengaturan fungsi dan peranan pelaksanaan pembangunan perkebunan yang sebenarnya. Selanjutnya bagaimana UU Perkebunan tetap bisa memberikan jaminan kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan bagi para pemangku kepentingan usaha perkebunan. Sehingga fungsi dan peranan pembangunan

Page 8: Pandangan Hukum Atas Undang

perkebunan dalam  mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan sesuai amanat UUD 1945 dapat tercapai.

Masih terkait dengan UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, yang tidak kalah pentingnya sebenarnya adalah bagaimana kita perlu menyikapi dan mengkaji lebih lanjut pasal-pasal lain dalam UU Perkebunan yang dinilai tidak atau belum bisa memberikan jaminan kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan bagi para pemangku kepentingan usaha perkebunan dan bangsa Indonesia secara luas seiring dengan pesatnya perkembangan usaha perkebunan di Indonesia.  Pasal-pasal yang sekiranya perlu disikapi dan dikaji lebih lanjut serta mungkin perlu dilakukan perubahan antara lain sebagai berikut.

Pasal 19 ayat (2) memuat ketentuan mengenai dorongan dan fasilitasi dari Pemerintah untuk terbentuknya dewan komoditas yang berfungsi sebagai wadah untuk pengembangan komoditas strategis bagi seluruh pemangku kepentingan perkebunan.  Penjelasan Pasal 19 ayat (2) menyebutkan yang dimaksud dengan dewan komoditas adalah suatu wadah berhimpunnya semua pemanku kepentingan (stakeholders) yang mengusahakan komoditas strategis perkebunan yang sejenis untuk meningkatkan kerja sama, koordinasi, dan memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam rangka meningkatkan kerja sama, koordinasi dan memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam rangka meningkatkan daya saing komoditas perkebunan. Adapun yang dimaksud dengan komoditas strategis berkelanjutan  adalah komoditas perkebunan yang mempunyai peranan penting dalam pembangunan sosial, ekonomi, dan lingkungan, antara lain kelapa sawit, karet, kakao, kopi, tebu dan tembakau.

Melihat ketentuan Pasal 19 ayat (2) dan penjelasannya, menunjukkan bahwa dewan komoditas sangat diperlukan untuk meningkatkan daya saing komoditas perkebunan. Oleh karena itu harus segera ditindaklanjuti oleh Pemerintah dengan membentuk dewan komoditas yang dimaksud. Sampai dengan saat ini baru terbentuk dewan komoditas untuk kakao, kopi, karet. Untuk komoditas kelapa sawit harusnya juga segera dibentuk oleh Pemerintah. Sementara dewan komoditas yang sudah terbentuk seharusnya terus ditingkatkan peran fungsinya melalui dorongan dan fasilitasi dari Pemerintah sehingga benar-benar dapat berfungsi dan berperan dalam peningkatan daya saing komoditas perkebunan.

Pasal 43 menentukan bahwa Pemerintah, propinsi, kabupaten/kota, dan pelaku usaha perkebunan menghimpun dana untuk pengembangan sumber daya manusia, penelitian dan pengembangan serta promosi perkebunan. Penghimpunan dana tersebut ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Dalam penjelasan pasal 43 ayat (1) disebutkan bahwa ketentuan ini mengatur mengenai penghimpunan dana dari sumber Pemerintah, propinsi, kabupaten/kota, dan pelaku usaha perkebunan. Dana dari pelaku usaha perkebunan berupa iuran pelaku usaha perkebunan dihimpun dalam suatu badan yang dibentuk oleh pelaku usaha perkebunan itu sendiri dengan tujuan untuk membiayai pendidikan dan pelatihan, penyuluhan, penelitian dan pengembangan, serta promosi perkebunan.

Ketentuan mengenai penghimpunan dana untuk pengembangan sumber daya manusia, penelitian dan pengembangan serta promosi perkebunan seharusnya segera ditindaklunjuti  dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah. Sehingga sebagian dari keuntungan usaha perkebunan bisa lebih diberdayagunakan untuk meningkatkan sumber daya manusia di sektor perkebunan, mengembangkan kegiatan penelitian dan promosi perkebunan.

Dengan demikian, di samping mencermati Pasal 21 dan 47 UU Perkebunan yang telah di-Judicial Review oleh Mahkamah Konstitusi, apabila dipandang terdapat pasal-pasal lain dalam

Page 9: Pandangan Hukum Atas Undang

UU Perkebunan yang dinilai tidak atau belum bisa memberikan jaminan kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan bagi para pemangku kepentingan usaha perkebunan dan bangsa Indonesia secara luas seyogyanya perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam dan komprehensif dengan melibatkan berbagai pihak yang berkompeten diantaranya pihak pemerintah, legislatif, akademisi dan peneliti, pelaku usaha perkebunan dan semua pemangku kepentingan usaha perkebunan. Dengan demikian, hasil kajian nantinya akan lebih tepat dan berhasil guna bagi kepentingan bangsa dan Negara Indonesia.

*) Ketua Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan (FP2SB)

**) Sekretaris Jenderal Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan (FP2SB), Candidat Doktor Ilmu Hukum dari PPS Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dan Dosen Tetap di Fakultas Hukum Universitas Jember.