Upload
duongngoc
View
246
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
“PANDANGAN HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM
TENTANG CUCU SEBAGAI AHLI WARIS PENGGANTI
AKIBAT AHLI WARIS YANG MURTAD”
(Study Kasus Suatu Keluarga di Daerah Jati Mulya Bekasi Timur)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Guna
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)
Disusun Oleh:
M Suri Hafidz Alfajri
NIM. 1110043200026
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB HUKUM (PMH)
JURUSAN PERBANDINGAN HUKUM
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2017 M
ii
ABSTRAK
Muhammad Suri Hafidz Alfajri. NIM 110043200026. PANDANGAN
HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM TENTANG CUCU SEBAGAI AHLI
WARIS PENGGANTI AKIBAT AHLI WARIS YANG MURTAD. Program studi
Perbandingan Madzhab dan Hukum (PMH), Konsentrasi Perbandingan Hukum,
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2017. Ix 60 Halaman.
Skripsi ini merupakan upaya untuk menjelaskan mengenai pergantian ahli
waris murtad kepada cucu Muslim dengan cara wasiat wajibah agar tidak
menyebabkan kecemburuan sosial diantara ahli waris lainnya.
Dalam penulisan skripsi ini digunakan pendekatan Perbandingan
(Comparative Approach) yaitu pendekatan yang dilakukan dengan studi
perbandingan hukum. Perbandingan hukum merupakan suatu metode studi dan
penelitian hukum, studi perbandingan hukum merupakan kegiatan untuk
membandingkan hukum satu dengan hukum yang lain, penulis memilih pendekatan
ini karna penulis ingin membandingakan antara Hukum positif di Indonesia dengan
Hukum Islam. Dalam hal pembagian harta waris yang diberikan kepada anak ahli
waris akibat ahli waris murtad.
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui perbedaan pandangan tentang ahli
waris yang murtad antara Hukum Positif di Indonesia dan Hukum Islam serta untuk
mengetahui bagaimana pandangan Hukum Positif dan Hukum Islam mengenai bagian
waris yang diberikan kepada ahli waris pengganti (cucu) Muslim di saat ahli waris
masih ada tetapi murtad.
iii
KATA PENGANTAR
BISMILLAHIRRAHMAN NIRRAHIM
Alhamdulillahirabbil’alamin, puji dan syukur penyusun ucapkan kehadirat
Allah SWT yang telah memberikan taufik, hidayat dan rahmatnya sehingga penyusun
dapat menyelesaikan tugas akhir dalam menepuh studi di Jurusan Perbandingan
Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Shalawat serta salam semoga tercurah pada junjungan nabi besar kita nabi
muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya serta kaum muslimin yang
senantiasa mengikuti jejaknya hingga akhir zaman.
Selanjutnya penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat diselesaikan karena
mendapat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu sebagai ungkapan
rasa hormat yang dalam, penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, Selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Semoga menjadi
pemimpin yang memberikan teladan dan integritas yang lebih baik. Dengan
kewenangan yang dimiliki telah memberi kepercayaan kepada penulis untuk
menyusun skripsi ini.
2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M. Si selaku ketua Jurusan Prodi PMH
dan ibu Siti Hanna, S.Ag, Lc., MA. selaku sekertaris Jurusan PMH yang
sudah membantu dan memberikan motivasi serta dukungan kepada penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini.
3. Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahodi Yanggo, Selaku dosen pembimbing
Akademik yang selama ini selalu memberikan motivasi dan dukungannya
kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini.
iv
4. Bapak Drs. Sirril Wafa, M.Ag dan ibu Dewi Sukarti, M.A. yang telah
memberikan bimbingan dan sangat membantu dengan keikhlasannya, serta
selalu memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini.
5. Dosen penguji yang telah menguji skripsi ini, yang telah memberikan kritik
serta saran demi kesempurnaan skripsi ini.
6. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
yang telah mengajar dan memberikan serta mendidik penulis agar kelak
menjadi manusia yang berguna bagi keluarga, agama dan negara.
7. Tidak lupa pula kepada Staff Perpustakaan beserta Karyawan Universitas
Islam Negeri Jakarta Fakultas Syariah dan Hukum yang telah meyediakan
fasilitas dan referensi untuk penulisan skripsi ini.
8. Teristimewah kepada ayahanda MOH. Sobari dan Ibunda Niar Susanti, serta
Kakak-Kakak tercinta Sari Eka Lestari Putri, S.Hi dan Sarah Dwi Lestari
Putri, S.Sy dan adik tercinta Muhammad Salman Al Farisi yang telah
memberikan motivasi dan dukungan baik berupa Moril dan Materil sehingga
skripsi ini dapat di selesaikan. Terimakasih banyak atas bantuan kalian
terutama doa dan pengorbanan kalian yang senantiasa memberi semangat
tanpa bosan dan jemu. Semoga allah SWT senantiasa menempatkan kalian
ditempat orang-orang yang sholeh dan mulia kelak. Tidak ada yang dapat
dipersembahkan sebagai balasan melainkan sebuah kesuksesan.
9. Keluarga tercinta yang senantiasa memberi motivasi dan dukungan pada
penulis. Nenek tercinta serta om dan tante yang tulus telah mendukung
penulis dalam menyelesesaikan penulisan ini.
10. Kepada Sahabat PH, Rhamdani, Ridwan, Amel, Fathin, Rafika, Yusuf, Fathur,
Berli dan Aidz serta teman-teman PH lainnya yang sangat membantu dan
memberikan semangat serta berjuang bersama, semoga ilmu kita berguna.
11. Sahabat-sahabat Kartu 16, Arch, dan Himpel, Siska, Ihkwal, Urfa, Deny,
Ahmad, Eman, Puji, Putri, Zidan dan yang lain-lain yang telah membantu dan
memberikan semangat serta menghibur penulis agar terus menyelesaikan
v
penulisan skripsi ini, semoga apa yang mereka berikan diganti oleh Allah
SWT.
12. Serta kepada semua pihak yang terkait dengan skripsi ini yang tidak bisa
penulis sebutkan semua.
Akhir kata semoga penulisan skripsi ini dapat memberi masukan yang
positive kepada para pembaca. Semoga bantuan yang diberikan kepada
penulis akan mendapat imbalan dari Allah SWT.
Penulis amat menyadari bahwa skripsi ini banyak kekurangan,
kekhilafan dan kealfaan. Maka kritik dan saran yang bersifat kostruktif sangan
diharapkan dalam rangka perbaikan dan kesempurnaan tulisan ini.
Kepada Allah SWT penulis memohon dan mendoakan semoga jasa
baik yang kalian sumbangkan menjadi ladang amal sholeh dan mendapat
imbalan yang setimpal dari Allah SWT. Amin.
Jakarta, Mei 2017
M. Suri Hafidz Alfajri
vi
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN................................................................................. i
ABSTRAK............................................................................................................. ii
KATA PENGANTAR.......................................................................................... iii
DAFTAR ISI........................................................................................................ vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah............................................................. 1
B. Identifikasi Masalah................................................................... 6
C. Pembatasan Dan Perumusan Masalah........................................ 6
1. Pembatasan Masalah............................................................ 6
2. Perumusan Masalah............................................................. 7
D. Tujuan Dan Manfaat Penelitian................................................. 8
a. Tujuan Penelitian................................................................. 8
b. Manfaat Penelitian............................................................... 8
E. Review Study Terdahulu Yang Relevan.................................... 8
F. Definisi Operasional Hukum Positif dan Hukum Islam Di
Indonesia.................................................................................. 10
G. Metode Penelitian..................................................................... 12
1. Pendekatan Penelitian........................................................ 12
2. Jenis Penelitian................................................................... 13
3. Sumber Dan Jenis Data...................................................... 13
4. Metode Pengumpulan Data................................................ 13
5. Metode Pengolahan Dan Analisis Data.............................. 14
a. Metode Pengolahan Data............................................. 14
b. Metode Analisis Data................................................... 15
H. Sistematika Penulisan............................................................... 15
BAB II KEWARISAN MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA
DAN MENURUT HUKUM ISLAM
vii
A. Pengertian Waris Dan Harta Waris (Tirkah)..................... 17
1. Pengertian Waris................................................................ 17
2. Harta Waris (Tirkah).......................................................... 20
B. Pengertian Pewaris Dan Ahli Waris..................................... 21
1. Pengertian Pewaris (Al-Muwarris).................................... 21
2. Pengertian Ahli Waris (Al Waarits)................................... 23
C. Sumber Hukum Kewarisan................................................... 24
D. Penggolongan Ahli Waris...................................................... 29
E. Sebab-Sebab Waris................................................................ 32
F. Penghalang Kewarisan.......................................................... 34
a. Pengahalang Kewarisan Menurut KUHPer................. 34
b. Penghalang Kewarisan Dalam KHI Dan Mazhab
Fiqih............................................................................. 35
BAB III PANDANGAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA TENTANG
PEMBAGIAN HARTA WARIS, AHLI WARIS MURTAD DAN
CUCU SEBAGAI AHLI WARIS PENGGANTI
A. Pembagian Harta Waris Menurut Hukum Positif............. 42
1. Cara Pembagian Waris...................................................... 42
2. Hak Mewarisi Menurut KUHPer (BW)............................. 42
3. Hak Mewarisi Menurut KHI.............................................. 43
B. Ahli Waris Murtad Menurut KHI........................................ 44
C. Pandangan Hukum Positif Tentang Cucu Sebagai Ahli
Waris Pengganti..................................................................... 47
BAB IV PANDANGAN HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM
TENTANG CUCU SEBAGAI AHLI WARIS PENGGANTI
AKIBAT AHLI WARIS MURTAD
A. Pandangan Hukum Positif Tentang Cucu Sebagai
Ahli Waris Pengganti Akibat Ahli Waris Murtad............ 51
B. Pandangan Hukum Islam Tentang Cucu Sebagai
Ahli Waris Pengganti Akibat Ahli Waris Murtad.......... 53
viii
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................................. 57
B. Saran-Saran Penulis............................................................... 59
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Proses perjalanan kehidupan manusia adalah lahir, hidup dan
mati. Semua tahap itu membawa pengaruh dan akibat hukum kepada
lingkungan, terutama dengan orang yang dekat dengannya, baik dekat
dalam arti nasab maupun dalam arti lingkungan.
Kelahiran membawa akibat timbulnya hak dan kewajiban bagi
dirinya dan orang lain serta timbulnya hubungan hukum antara dia
dengan orang tua, kerabat, dan masyarakat lingkungannya.Selama
hidupnya, sejak proses bayi, anak-anak, tamyiz, usia baligh dan usia
selanjutnya, manusia bertindak sebagai penanggung hak dan
kewajiban, baik selaku pribadi, anggota keluarga, warga negara, dan
pemeluk agama yang harus tunduk, taat dan patuh kepada ketentuan
syariat dalam seluruh totalitas kehidupannya.
Demikian juga kematiaan seseorang membawa pengaruh dan
akibat hukum kepada diri, keluarga, masyarakat dan lingkungan
sekitarnya. Selain itu, kematian tersebut menimbulkan kewajiban
orang lain bagi dirinya (simayit) yang berhubungan dengan
pengurusan jenazahnya (fardhu kifayah). Dengan kematian itu timbul
pula akibat hukum lain secara otomatis, yaitu adanya hubungan ilmu
hukum yang menyangkut hak para keluarganya (ahli waris) terhadap
seluruh harta peninggalannya. Bahkan masyarakat dan Negara (baitul
mal) pun, dalam keadaan tertentu, mempunyai hak atas peninggalan
tersebut.
2
Adanya kematiaan seseorang mengakibatkan timbulnya cabang
ilmu hukum yang menyangkut bagaimana cara pengoperan atau
penyelesaian harta peninggalan kepada keluarga (ahli waris)-nya, yang
dikenal dengan nama Hukum waris. Dalam syari’at hukum Islam ilmu
tersebut dikenal dengan Nama ilmu mawaris, fiqh mawaris atau
faraidh.1
Hukum kewarisan adalah himpunan aturan-aturan hukum yang
mengatur tentang siapa ahli waris yang berhak mewarisi harta
peninggalan dari si meninggal dunia, bagaimana kedudukan ahli waris,
berapa perolehan masing-masing secara adil dan sempurna.2Kasus-
kasus masalah waris banyak kita jumpai di kalangan masyarakat, oleh
karna itu untuk menyelesaikan masalah waris tersebut rasulullah SAW
bersabda yang artinya:
“Belajarlah Al Qur’an dan ajarkanlah kepada manusia, dan
belajarlah faraidh dan ajarkanlah kepada manusia, karena
sesungguhnya aku seorang yang akan mati, dan ilmu akan terangkat,
dan bisa jadi akan ada dua orang berselisih, tetapi tak akan mereka
bertemu seorang yang akan mengabarkannya (HR. Ahmad Turmudzi
dan An Nasa’I”).
Menurut hukum perdata (BW) dalam hukum waris berlaku
suatu asas, bahwa hanyalah hak-hak dan kewajiban dalam lapangan
hukum kekayaan harta benda saja yang dapat diwariskan, dengan kata
lain hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dapat dinilai
dengan uang.3 Disamping itu berlaku juga suatu asas, bahwa apabila
1 Suparman Usman Dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam,
(Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), h. 1. 2 M. Idris Ramulyo, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta : Hilco, 1987), h. 49.
3 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT Intermasa, 1985), h. 95.
3
seseorang meninggal dunia, maka seketika itu juga segala hak dan
kewajibannya beraliah pada ahli warisnya.4
Masalah yang sering muncul dalam waris ialah masalah
tentang pembagian harta waris yang tidak benar atau tidak adil,
sebagaimana pada study terdahulu skripsi dari Arwani Muslimah A
mahasiswa fakultas hukum Universitas Hasanuddin Makasar tahun
2013, yang mana skripsi tersebut membahas tentang “ANALISIS
PUTUSAN HAKIM TENTANG HAK WARIS KARENA
BERBEDA AGAMA (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 16
K/AG/2010)” yang merumuskan masalah pada pertimbangan hakim
yang memberikan hak kepada seorang istri yang berbeda agama dalam
menerima harta warisan suaminya sudah sesuai dengan perundang-
undangan yang ada ?, serta bagaimana implikasi putusan Mahkamah
Agung Nomor 16k/AG/2010 terhadap pertimbangan hakim pengadilan
agama dalam menyelesaikan masalah tersebut?5
Kesimpulan skripsi dari Arwani Muslimah A mahasiswa
fakultas hukum universitas Hasanuddin Makasar, yakni; Dalam
memutuskan suatu perkara, majelis hakim memiliki banyak
pertimbangan. Jika dilihat dari aspek hukum islam maka pemberian
wasiat wajibah terhadap ahli waris non muslim oleh Mahkamah
Agung (MA) atas dasar pertimbangan demi keadilan sebenarnya tidak
dapat dibenarkan dalam hukum islam karena tidak sesuai dengan nash
dan ketentuan hukum kewarisan Islam.’Namun jika dilihat dari aspek
sosial-geografisnya, dimana Indonesia merupakkan negara kepulauan
dengan berbagai suku dan agama serta buka merupakkan negara
4 M. Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum kewarisan Islam dengan
Kewarisan Menurut Hukum Perdata (BW), (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), h. 120. 5 Arwani Muslimah A, “Analisis Putusan Hakim Tentang Hak Waris Karna Berbeda
Agama”, (Jakarta: skripsi Universitas Hasanuddin Makassar, 2000), h., 8, t.d
4
kepulauan dengan berbagai suku dan agama serta bukan merupakan
negara Islam, maka putusan Mahkamah Agung yang memberikan
wasiat wajibah kepada ahli waris non muslim atas dasar keadilan tidak
pula dapat dipersalahkan mengingat banyak aturan-aturan Indonesia
yang diadopsi dari hukum Adat yang berlandaskan kepada
keseimbangan dan kemaslahatan umat tanpa memandang agamanya.
Implikasi atau akibat hukum dari putusan Mahkamah Agung
Nomor 16 K/AG/2010 adalah pemberian wasiat wajibah terhadap istri
pewaris (tergugat) disebabkan dalam hukum Islam ia tidak termasuk
dalam kategori ahli waris oleh karena ia beragama non muslim. Akibat
Hukum dari putusan Mahkamah Agung tersebut serta-merta dapat
dijadikan yurisprudensi meskipun putusan tersebut merupakkan
putusan Mahkamah Agung karena salah satu syarat suatu putusan
dapat dikatakan sebagai yurisprudensi adalah putusan tersebut telah
berulang kali dijadikan dasar untuk memutus perkara yang sama.6
Beda halnya dengan apa yang dialami oleh sebuah keluarga yang
berada di daerah Bekasi Timur Jatimulya, dalam hal ini yang
dipermasalahkan ialah seorang ahli waris yang tidak Mendapatkan
harta warisannya akan tetapi anaknya (cucu) yang mendapatkan harta
warisannya. Hal ini disebabkan akibat adanya keterlambatan waris
yang menyebabkan timbulnya masalah dalam keluarga tersebut,
masalah waris ini muncul disaat harta waris yang sudah sekian lama
tidak diberikan akan diberikan kepada ahli warisnya dan disaat itu pula
ada seseorang dari ahli waris tersebut yang sudah keluar dari akidah
islam (murtad) dan Ahli waris yang lain berasumsi bahwa orang yang
keluar dari agama islam tidak berhak mewarisi atau menerima harta
6 Arwani Muslimah A, “Analisis Putusan Hakim Tentang Hak Waris Karna Berbeda
Agama”, (Jakarta: skripsi Universitas Hasanuddin Makassar, 2000), h., 86-87, t.d
5
waris lalu bagian harta ahli waris murtad tersebut diberikan kepada
anaknya yang masih beragama islam.
Menurut Hukum Islam orang-orang yang tidak berhak menerima
harta waris yaitu, Pembunuh pewaris, orang murtad, orang yang
berbeda agama dengan pewaris, dan anak zina atau anak yang lahir
diluar nikah. Akan tetapi menurut hukum positif yang berlaku di
negara kita orang yang tidak patut menjadi ahli waris dan tidak berhak
menerima harta warisanya ialah: mereka yang telah dihukum karna
dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh pewaris,
mereka yang dengan putusan hakim pengadilan dipersalahkan karena
dengan fitnah telah mengajukan pengaduan terhadap pewaris
mengenai suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara 5
tahun atau lebih, mereka yang dengan kekerasan telah mencegah
pewaris membuat atau mencabut surat wasiatnya dan mereka yang
telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat pewaris.
Perbedaan ini antara hukum Islam dan hukum perdata inilah yang
menjadi masalah di atas, karna ahli waris yang murtad tersebut
beranggapan bahwa orang yang murtad menurut hukum perdata di
Indonesia tetap mendapat harta waris akan tetapi di sisi ahli waris
yang lain tetap berpegang teguh kepada hukum Islam bahwa, orang
yang murtad itu tidak berhak mendapatkan warisan dan harta
warisannya diberikan kepada anak dari ahli waris yang murtad
tersebut. Oleh karna itu penulis merasa tertarik untuk menulis
penelitian dalam masalah ini dengan judul “PANDANGAN HUKUM
POSITIF DAN HUKUM ISLAM TENTANG CUCU SEBAGAI
AHLI WARIS PENGGANTI AKIBAT AHLI WARIS
MURTAD”.
6
B. IDENTIFIKASI MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat
diidentifikasikan masalah sebagai berikut:
1. Perbedaan waktu pembagian waris menurut hukum positif di
Indonesia dan hukum Islam.
2. Terdapatnya perbedaan pembagian waris menurut hukum adat dan
hukum Islam.
3. Tidak segeranya dilakukan pembagian waris di masyarakat dapat
menimbulkan masalah hukum.
4. Perbedaan penggolongan penerima waris antara hukum positif,
hukum Islam dan hukum yang hidup di masyarakat.
5. Pandangan hukum Islam mengenai hak waris ahli waris yang
murtad.
6. Pandangan hukum positif dan hukum Islam tentang ahli waris
pengganti dalam hal si anak murtad digantikan oleh cucu Muslim.
C. PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH
1. Pembatasan Masalah
Jika kita lihat pada latar belakang masalah, ternyata masalah
yang ada begitu banyak dan luas, akan tetapi agar dalam penelitian ini
tidak terlalu melebar dan dapat terarah serta tersusun secara
sistematis, maka penulis membatasi permasalahan sebagai berikut:
a. Penggolongan penerima waris menurut ukum Islam, KUH Perdata
dan hukum yang hidup di dalam masyarakat.
7
b. Penggolongan penerima waris menurut hukum Islam, KUH Perdata
dan hukum yang hidup di dalam masyarakat.
c. Pandangan hukum Islam dan hukum positif tentang hak waris ahli
waris yang murtad.
d. Pandangan hukum positif dan Mazhab Fiqih tentang ahli waris
pengganti.
e. Pandangan hukum kewarisan di Indonesia dan pendapat para ulama
Mazhab Fiqih mengenai cucu sebagai ahli waris pengganti akibat
ahli waris murtad.
2. Perumusan Masalah
Dalam penelitian ini yang menjadi pokok masalah adalah
bagaimana hak waris ahli waris yang murtad yang kemurtadanya
terjadi jauh setelah pewaris meninggal dunia dan disaat harta waris
belum dibagikan kepada para ahli waris, keterlambatan waris
mewarisi ini menimbulkan permasalahan pembagian waris yang
dikarenakan salah satu dari ahli waris tersebut yang keluar dari akidah
Islam (murtad) menuntut akan bagian warisannya yang diberikan
kepada anaknya.
Berikut Rumusan Masalah yang penulis rincikan dalam beberapa
pertanyaan.
1. Bagaimana pandangan hukum positif dan Mazhab Fiqih tentang
ahli waris yang murtad?
2. Bagaimana pandangan hukum positif dan Mazhab Fiqih mengenai
bagian waris yang diberikan kepada ahli waris pengganti (cucu)
yang Muslim disaat ahli waris tersebut masih ada atau masih hidup
tetapi murtad?
8
D. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
a. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin penulis capai melalui penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1) Untuk mengetahui perbedaan pandangan tentang ahli waris
yang murtad antara hukum positif di Indonesia dan hukum
Islam.
2) Untuk mengetahui bagaimana pandangan hukum positif
dan hukum Islam mengenai bagian waris yang diberikan
kepada ahli waris pengganti (cucu) Muslim di saat ahli
waris masih ada tetapi Murtad.
b. Manfaat Penelitian
Dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sekurang-
kurangnya untuk:
1) Kegunaan teoritis, sebagai sumbangsih ilmu pengetahuan
tentang masalah pembagian harta ahli waris yang murtad,
yang diharapkan memberikan kontribusi pemikiran pada
dunia akademis dan penyandaran hukum pada masyarakat.
2) Kegunaan praktis, diharapkan dapat berguna untuk menjadi
acuan dan pertimbangan bagi penerapan suatu ilmu
dilapangan atau masyarakat.
E. REVIEW STUDY TERDAHULU YANG RELEVAN
9
Dalam review kajian tedahulu ini, penulis berusaha membaca
beberapa penelitian yang ada hubungannya atau hampir sama dengan
penelitian yang penulis lakukan yaitu:
1. Skripsi oleh Arwini Muslimah A dari Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin Makasar tahun 2013, yang berjudul “Analisis Putusan
Hakim Tentang Hak Waris Karna Berbeda Agama (Study kasus
putusan Mahkamah Agung No. 16 K/AG/2010).”
Skripsi ini membahas tentang seorang istri yang berbeda
agama dengan suaminya yang menggugat suaminya untuk
memberikan hak warisnya tersebut kepengadilan.
Persamaan skripsi ini dengan skripsi penulis adalah masih
sama persoalannya dalam ruang lingkup waris dan beda agama.
Dan perbedaanya adalah pada skripsi ini yang dibahas adalah
seorang istri yang menuntut hak warisnya untuk diberikan
meskipun suami berbeda agama dengannya. Sedangkan pada
skripsi penulis membahas tentang harta waris yang diberikan
kepada anak ahli waris meskipun ahli waris masih hidup akibat
ahli waris tesebut itu murtad.
2. Skripsi yang ditulis oleh Akmal Farihk dari konsentrasi Siyasah
syar’iah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2006 yang berjudul
“ Penundaan Waris Menurut Hukum Islam dan Hukum Perdata
Barat (Studi kasus dikelurahan kebun jeruk kec.Kebon jeruk
Jakarta Barat).” Skripsi ini membahas tentang bagaimana
penerapan hukum waris di daerah kebun jeruk yang mana didaerah
tersebut banyak terjadi harta warisan yang tidak dibagikan oleh
para ahli waris atau terjadinya penundaan pembagian harta
waris.Dengan melihat study review terdahulu diatas membedakan
antara skripsi diatas dengan skripsi penulis adalah skripsi penulis
membahas tentang bagian harta ahli waris yang diberikan kepada
10
anak ahli waris meskipun ahli waris tersebut masih hidup yang
dikarenakan sebelum harta warisan dibagikan salah satu ahli waris
tersebut keluar dari agama Islam.
3. Skripsi yang ditulis oleh Istiarini Cahyaningsih dari konsentrasi
Peradilan Agama Program Study Ahwal Al-Syahksiyah yang
berjudul “Analisa Putusuan Pengadilan Agama Depok Tentang
Ahli Waris Beda Agama dan Perkara Yang Diputus Secara Ultra
Petita.” Skripsi ini membahas tentang analisis putusan Pengadilan
Agama Depok Nomor: 318/Pdt.G/2006/PA.Depok yang
memberikan putusan melebihi apa yang diminta oleh penggugat
atau yang disebut juga dengan ultra petita. Dalam putusan tersebut
Majelis Hakim juga memutuskan salah satu keluarga yang berbeda
agama menjadi ahli waris si pewaris. Persamaan skripsi ini ialah
tentang ahli waris yang berbeda agama atau murtad.perbedaan
skripsi ini dengan skripsi yang saya tulis ialah, skripsi ini
membahas tentang putusanPengadilan Agama Depok sedangkan
skripsi penulis membahas tentang harta waris yang diberikan
kepada anak ahli waris disaat ahli waris masih hidup tetapi murtad.
F. DEFINISI OPERASIONAL HUKUM POSITIF DAN HUKUM
ISLAM DI INDONESIA.
Terminologi hukum umumnya dipahami mengacu pada
seperangkat Norma atau aturan tentang segala sesuatu. Di Indonesia,
konsepsi hukum mengacu kepada dua hal, yaitu hukum umum dan
hukum Islam. Hukum umum (selanjutnya disebut hukum positif)
yang berlaku di Indonesia berasal dari hukum Barat. Hukum dalam
konsepsi ini sengaja dibuat oleh manusia untuk mengatur kepentingan
manusia sendiri dalam masyarakat tertentu. Dalam konsepsi hukum
perundang-undangan (Barat) yang diatur oleh hukum hanyalah
11
hubungan manusia dengan manusia yang lainnya dan hubungan
manusia dengan benda yang ada di dalam masyarakat. Pengertian
hukum dalam konsepsi Barat berbeda dengan pengertian hukum
dalam konsepsi Islam. Dalam konsep Islam, tidak hanya diatur
tentang hubungan manusia dengan manusia lain dan hubungan
manusia dengan benda yang ada dalam masyarakat saja, tetapi juga
diatur hubungan-hubungan lainnya. Manusia yang hidup di dalam
masyarakat memiliki berbagai bentuk hubungan; mulai dari hubungan
dengan Tuhan, hubungan dengan dirinya sendiri, hubungan dengan
manusia lain dan hubungan benda dalam masyarakat serta hubungan
dengan alam sekitar.7
Pada hakekatnya yang dimaksudkan dengan sumber hukum
adalah tempat kita dapat menemukan atau menggali hukum. Kata
sumber hukum sering digunakan dalam beberapa arti yaitu, (a)
sebagai asas hukum, sebagai sesuatu yang merupakan permulaan
hukum, misalnya kehendak Tuhan, akal manusia, jiwa bangsa dan
sebagainya. (b) Menunjukkan hukum terdahulu yang memberi bahan-
bahan hukum yang sekarang berlaku. (c) Sebagai sumber berlakunya,
yang memberi kekuatan berlaku secara formal kepada peraturan
hukum (penguasa, masyarakat). (d) Sebagai sumber dari mana dapat
mengenal hukum misalnya dokumen, undang-undang dan sebagainya
dan (e) sebagai sumber terjadinya hukum atau sumber yang
menimbulkan hukum.8
Hukum positif adalah peraturan-peraturan yang bersifat
memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan
7 Nurhikmah Biga,” Perbandingan Hukum Positif Dengan Hukum Islam”, artikel
diakses pada 29 Mei 2017 dari https://www.academia.edu/6464985/Konsep-dan-Sumber-
Hukum Analisis-Perbandinganhukumislam- dan-Hukumpositif.com 8
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, (Yogyakarta:
Liberty, 2005), h.82.
12
masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib,
pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibatkan
diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman tertentu.
Hukum Islam adalah sekumpulan aturan baik yang berasal dari
Al-Quran dan Al-Hadist maupun adat yang diakui oleh masyarakat
dan bangsa tertentu sebagai pengikat bagi anggotanya.
Oleh karna itu di negara Indonesia kita ini masyarkatnya
mempunyai dua ideologi yaitu hukum positif dan hukum Islam,
hukum positif meliputi; KUHP, KUH Perdata, dan Komplikasi
Hukum Islam (KHI) sedangkan hukum Islam meliputi; Al-Quran, Al-
Hadist, dan Mazhab Fiqih. Dalam hal ini Kompliskasi Hukum Islam
(KHI) mencangkup hukum hukum positif, karna KHI dibuat sebagai
hukum positif di Indonesia walaupun KHI berpedoman pada hukum
Islam yaitu; Al-Quran, Al-Hadist dan Mazhab Fiqih.
G. METODE PENELITIAN
1. Pendekatan Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini digunakan pendekatan
Perbandingan (Comparative Approach) yaitu pendekatan yang
dilakukan dengan mengadakan studi perbandingan hukum.
Perbandingan hukum merupakan suatu metode studi dan penelitian
hukum, studi perbandingan hukum merupakan kegiatan untuk
membandingkan hukum satu dengan hukum yang lain, penulis
memilih pendekatan ini karna penulis ingin membandingakan
antara hukum positif di Indonesia dengan hukum Islam. Dalam hal
pembagian harta waris yang diberikan kepada anak ahli waris
akibat ahli waris Murtad.
2. Jenis Penelitian
13
Berdasarkan permasalahan yang diteliti oleh penulis, maka
penulis memilih jenis penelitian hukum normatif. Metode
penelitian hukum normatif adalah metode atau cara yang
dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan
cara meneliti bahan hukum untuk mencari status hukum pada
penelitian ini. Tahapan pertama penelitian hukum normatif adalah
penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum obyektif
(Norma hukum), yaitu dengan mengadakan penelitian terhadap
masalah hukum. Tahapan kedua penelitian hukum normatif adalah
penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum subjektif
(hak dan kewajiban).
Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif yaitu
menggambarkan gejala-gejala yang terjadi disuatu keluarga yang
mengalami masalah kewarisan, pendekatan yang dilakukan yaitu
pendekatan kualitatif yang merupakan tata cara penelitian yang
menghasilkan data deskriptif. Digunakan pendekatan kualitatif
oleh penulis bertujuan untuk mengerti atau memahami gejala yang
diteliti. Penulis melakukan penelitian dengan tujuan untuk
mengetahui penyelesaian masalah waris yang dialami oleh suatu
keluarga yang berada di daerah Jatimulya Bekasi Timur yaitu
masalah tentang harta waris yang diberikan kepada anak ahli
waris (cucu) disaat ahli waris masih hidup akibat ahli waris
murtad.
3. Sumber Dan Jenis Data
Dalam pengambilan sumber data penulis menggunakan
dua jenis sumber data yaitu sumber data primer adalah suatu
keluarga didaerah Jatimulya Bekasi Timur yaitu dengan
wawancara lansung dengan keluarga yang mengalami masalah
14
waris tesebut, perundang-undangan dan putusan – putusan
pengadilan. Sumber data sekunder adalah dengan data-data
kepustakaan, yaitu dengan data yang didapat dari keluarga
tersebut, kitab-kitab fiqih, membaca buku-buku, artikel-artikel,
putusan-putusan pengadilan dan sumber bacaan yang terkait
dengan masalah waris yang dialami keluarga tersebut.
4. Teknis Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data penulis menggunakan tiga teknis,
yaitu:
a) Pustaka, yakni pengumpulan data melalui studi
kepustakaan atau penelitian kepustakaan yang berkaitan
dengan judul, dimana penelitian ini dilakukan dengan
mengkaji buku-buku, artikel- artikel, Undang-undang,
jurnal dan lain sebagainya yang berkaitan dengan
pembahasan.
b) Wawancara, yakni melakukan penelitian lapangan dengan
datang secara langsung ke keluarga yang menjadi objek
penelitian dan melakukan wawancara kepada orang-orang
yang terkait pada masalah ini.
c) Dokumentasi, yakni pengumpulan data dengan
melampirkan Surat-surat dan dokumen-dokumen mengenai
dengan masalah tersebut, seperti surat wasiat, surat
pernyataan, dan lain sebagainya.
d) Pengamatan langsung yakni; mengamati masalah yang
dialami suatu keluarga didaerah Jatimulya Bekasi Timur.
5. Metode Pengelolahan dan Analisis Data
A. Metode Pengelolahan data
15
1) Seleksi data: Setelah memperoleh data dan informasi
yang dibutuhkan dalam Penulisan ini baik melalui
wawancara maupun dokumentasi, kemudian data dan
informasi tersebut diperiksa agar tidak terjadi
kekeliruan dan kesalahan.
2) Klasifikasi data: Setalah data-data dan informasi
diperiksa, lalu diklasifikasikan dalam bentuk dan jenis
tertentu, kemudian diambil kesimpulannya.
3) Analisis data: analisis data dilakukan setelah data data
dan informasi informasi telah terkumpul dengan baik
melalui seleksi data dan klasifikasi data selanjutnya
dianalisa untuk membuat suatu konklusi
(kesimpulan).
B. Metode analisis data
Analisis yang dilakukan secara komperatif dan
deskriptif yaitu peneliti akan membandingkan antara
pandangan hukum islam dan hukum positif mengenai
masalah harta waris yang diberikan kepada anak ahli
waris (cucu) muslim disaat ahli waris masih hidup
akan tetapi ahli waris tersebut Murtad.
H. SISTEMATIKA PENULISAN
Bab Pertama berisi pendahuluan, meliputi; Latar Belakang
Masalah, Identifikasi Masalah, Pembatasan Dan Perumusan Masalah,
Tujuan dan Manfaat Penelitian, Review Study Tedahulu, Definisi
Operasional, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
Bab Kedua berisi Kewarisan Menurut Hukum Positif Di
Indonesia Dan Hukum Islam, meliputi; Pengertian Waris dan Harta
16
Waris, Pengertian Pewaris Dan Ahli Waris, Sumber Hukum
Kewarisan, Penggolongan Ahli Waris, Sebab-sebab Waris dan
Penghalang Kewarisan.
Bab Ketiga berisi Pandangan Hukum Positif di Indonesia
Mengenai Pembagian Harta Waris, Ahli waris Murtad dan Ahli Waris
Pengganti, meliputi; Pembagian Harta Waris Menurutt Hukum
Positif, Ahli Waris Murtad Menurut KHI, dan Pandangan Hukum
Positif Mengenai Cucu Sebagai Ahli Waris Pengganti.
Bab Keempat berisi Pandangan Hukum Islam Mengenai Cucu
Sebagai Ahli Waris Pengganti Akibat Ahli Waris Murtad yang
meliputi; Pandangan Hukum Positif Mengenai Cucu Sebagai Ahli
Waris Pengganti Akibat Ahli Waris Murtad, dan Pandangan Hukum
Islam Mengenai Cucu Sebagai Ahli Waris Pengganti Akibat Ahli
Waris Murtad.
Bab Kelima berisi Penutup, meliputi; Kesimpulan, Saran-
saran Penulis, dan Daftar Pustaka.
17
BAB II
KEWARISAN MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA DAN
MENURUT HUKUM ISLAM
A. PENGERTIAN WARIS DAN HARTA WARIS (TIRKAH)
1. Pengertian Waris
Dalam hukum Islam kewarisan dikenal dengan istilah ilmu faraid
atau mirats dalam bahasa Arab, kata faraidh menunjukan bentuk
jamak dari bentuk tunggal faradha.1
Yang berarti ketetapan yang
diwajibkan atau ketetapan yang pasti.2 Demikian juga kata mawaris,
yang berarti harta yang diwariskan. Kata al-mirats dalam bahasa Arab
merupakan bentuk masdar dari kata waratsa-yuritsu-irtsan-
wamiiraatsaan.
Pengertian mirats yang dimaknakan dengan mauruts ialah: harta
peninggalan orang yang telah meninggal yang diwarisi oleh para
warisnya.3 Secara etimologi (bahasa) kata “kewarisan” berasal dari
kata “waratsa” yang memiliki beberapa pengertian, antara lain:
a) Pertama “mengganti” seperti yang tertera dalam Q.S al-Naml
ayat 16 :
رث تيىىامه كال شيء, ا ا انىاسءنمىا مىطك انطيز لا ل يا اي د, سهيما ن دا
انفضم انمثيه ان ذا ن
1 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggaraan
Penerjemah/Penafsiran Al-Quran, 1973). 2 Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Quran Suatu Kajian Hukum Dengan Pendekatan
Tafsir Termatik, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1995), cet-1, h. 28. 3 Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqhul Mawaris Hukum Kewarisan Dalam Syariat Islam,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1973), cet-1, h. 17.
18
Artinya:
Dan Sulaiman telah mewarisi Dawud,dan dia (Sulaiman)
berkata”wahai manusia ! telah diajari bahasa burung dan kami
diberi segala sesuatu sungguh, lalu mereka berbaris dengan
tertib.
b) Kedua “memberi” seperti yang tercantum dalam Q.S al-zumar
ayat 74:
رحىا األرض ا عدي, ا انحمد لل انذ صدلىا لا ن أ مه وتث
انجىح حيج وشآء, فىعم أجز انعمهيه.
Artinya:
Dan mereka mengucapkan:”segala puji bagi Allah yang telah
memenuhi janji-Nya kepada kami yang telah (memberi) kepada
kami tempat ini sedang kami (diperkenankan) menempati
tempat dalam surga di mana saja yang kami kehendaki; maka
surga itulah sebaik-baik balasan bagi orang-orang yang
beramal”
c) Ketiga “mewarisi” seperti yang terdapat dalam Q.S Maryam
ayat 6:
ى يز ح أجعه رب رضيا.ب م عي ال ء ه م ث ز ي ئ ,
Artinya:
Yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga
Ya‟qub dan jadikanlah ia, ya Tuhanku, seorang yang di ridhai.
Dari ketiga pengertian waris secara bahasa di atas ada tiga
macam arti, yaitu: menggantikan, memberi, dan mewarisi. Antara satu
dengan yang lainnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan
19
melainkan memiliki kesamaan maksud, mengingatkan ketiga arti
tersebut selaras dengan pengertian waris atau kewarisan.4
Hukum waris atau kewarisan adalah hukum harta kekayaan
dalam lingkungan keluarga, karena wafatnya seseorang maka akan ada
pemindahan harta kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat
dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik
dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga.5
Wirjono
Prodjodikoro, mantan ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia,
mengatakan bahwa “hukum waris” adalah hukum-hukum atau
peraturan-peraturan yang mengatur, tentang apakah dan bagaimanakah
berbagai hak-hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada
waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang yang masih
hidup”.6
Pengertian waris timbul karena adanya kematian yang terjadi pada
anggota keluarga, misalnya ayah, ibu atau anak apabila orang yang
meninggal itu mempunyai harta kekayaan. Maka, yang menjadi
persoalan bukanlah peristiwa kematian itu, melainkan harta kekayaan
yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal.
Dengan demikian jelas, waris itu di satu sisi berakar pada keluarga
karena menyangkut siapa yang menjadi ahli waris dan berakar pada
harta kekayaan karena menyangkut waris atas harta yang ditinggalkan
oleh almarhum. Dalam pengertian waris, yaitu anggota keluarga yang
meninggal dan anggota yang ditinggalkannya atau yang di beri wasiat
4 Ahmad rafiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Persada, 2000), h. 356.
5 Surini Ahlan Sjarif, Intisari Hukum Waris menurut BW (Burgerlijk Wetboek) Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta Timur: Ghalia Indonesia, 1983), h. 9. 6 M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam di Pengadilan dan
Kewarisan Menurut Undang-Undang Hukum Perdata (BW) di Pengadilan Negeri (Suatu
Studi Kasus), (Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1992), h.108.
20
oleh almarhum. Peristiwa kematian yang menjadi penyebab timbulnya
muwarris kepada ahli waris. Obyek waris adalah harta yang
ditinggalkan oleh almarhum. Jika disimpulkan, maka hukum waris
adalah hukum yang mengatur tentang beralihnya warisan dari
peristiwa karena kematian kepada ahli waris atau orang yang di
tunjuk.7
Hukum kewarisan Islam berlaku untuk umat Islam dimana saja
didunia ini. Namun demikian corak suatu negara akan memberikan
pengaruh atas hukum kewarisannya. Pengaruh-pengaruh itu biasanya
terbatas dan tidak melampaui garis-garis pokok dari ketentuan
Kewarisan Islam tersebut. Pengaruh-pengaruh itu dapat terjadi pada
bagian-bagian yang berasal dari ijtihad atau pendapat ahli Hukum
Islam.
2. Harta Waris (Tirkah)
Al-mauruts atau al-mirats, yaitu harta peninggalan si mati
setelah dikurangi biaya perawatan jenazah, pelunasan hutang, dan
pelaksanaan wasiat. Harta peninggalan dalam kitab fiqh biasa disebut
tirkah, yaitu apa-apa yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal
dunia berupa harta yang mutlak. Jumhul Fuqaha berpendapat bahwa
tirkah ialah segala apa yang menjadi milik seseorang, baik harta benda
maupun hak-hak kebendaan yang diwarisi oleh ahli warisnya setelah ia
meninggal dunia.8
Dengan kata lain yang bisa dijadikan harta
peninggalan atau harta warisian adalah milik dari pewaris secara
mutlak tanpa ada kaitannya dengan orang lain.
7 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1993), h. 266-267. 8 Mohammad Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai
Pembaruan Hukum Positif Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 57.
21
Harta warisan adalah wujud harta kekayaan yang ditinggalkan
dan beralih kepada para ahli waris. Harta waris dapat berupa barang
tidak bergerak, barang bergerak, dan barang pusaka. Barang tidak
bergerak misalnya tanah, sawah, rumah, ladang kebun, dan
sebagainya. Barang bergerak berupa mobil, motor, sepeda, binatang
ternak, dan lain sebagainya. Barang pusaka adalah barang-barang yang
tidak bernilai ekonomis tinggi, namun sangat dihargai dan dirawat
dengan baik dan hati-hati, seperti kris, tombak, kitab kuno, dan lain-
lain.
Harta Warisan yang dalam istilah fara‟id dinamakan tirkah
(peninggalan) adalah sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang
meninggal, baik berupa uang atau materi lainnya yang dibenarkan oleh
syariat Islam untuk diwariskan kepada ahli warisnya. Tirkah yaitu
semua harta peninggalan si mayit sebelum diambil untuk kepentingan
pengurusan mayit, wasiat, atau pelunasan hutang. Sedangkan al-irst
adalah harta yang siap dibagikan kepada ahli waris setelah dikurangi
biaya pengurusan mayit, dan lain-lainnya.
Arti harta warisan/pusaka/peninggalan (tirkah) adalah: harta
yang ditinggalkan oleh si mati secara mutlak. Artinya harta yang
dimiliki oleh si mati saja, tidak dicampur-campur dengan harta lain
(sering disebut gono-gini) secara keseluruhan, apa-apa saja yang
menjadi milik si mati secara sah, itulah yang dibagikan sebagai harta
warisan atau pusaka, Misalnya seorang istri meninggal dunia, maka
yang dibagikan hanyalah milik si istri misalnya tabungannya,
motornya, atau apa saja yang menjadi milik dia, baik berasal dari
perolehan, pendapatan, ataupun pemberian.
B. PENGERTIAN PEWARIS DAN AHLI WARIS
22
1. Pengertian Pewaris (Al-Muwarris)
Pewaris adalah orang yang diwarisi harta peninggalannya atau
orang yang mewariskan hartanya. Syaratnya, al-muwaris benar-benar
telah meninggal dunia, apakah meninggal secara hakiki, secara yuridis
(hukmi) atau secara taqdiri berdasarkan perkiraan. Mati hakiki, yaitu
kematian seseorang yang dapat diketahui tanpa harus melalui
pembuktian, bahwa seseorang telah meninggal dunia. Mati hukmi
adalah kematian seseorang yang secara yuridis ditetapkan melalui
keputusan hakim dinyatakan telah meninggal dunia. Ini biasanya
terjadi pada kasus orang yang dinyatakan hilang (al-mafquq) tanpa
diketahui dimana dan bagaimana keadaannya.
Al-muwarris menurut hukum Islam adalah Orang yang pada
saat meninggalnya beragama Islam, meninggalkan harta warisan dan
ahli waris yang masih hidup. Istilah pewaris secara khusus dikaitkan
dengan suatu proses pengalihan hak atas harta dari seseorang yang
telah meninggal dunia kepada keluarganya yang masih hidup. Oleh
karena itu, seseorang yang masih hidup dan mengalihkan haknya
kepada keluarganya tidak dapat disebut pewaris, meskipun pengalihan
itu dilakukan pada saat menjelang kematiannya.
Menurut sistem hukum waris Islam, pewaris adalah orang yang
memiliki harta semasa hidupnya, telah meninggal dunia, dan beragama
Islam. Baik yang mewariskan maupun yang di warisi harta warisan
harus beragama Islam. Sedangkan pengertian pewaris menurut Pasal
171 KHI huruf b yaitu: “Pewaris adalah orang yang pada saat
meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan
Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta
peninggalan.”
23
2. Pengertian Ahli Waris (Al Waarits)
Kata “ahli waris” dalam bahasa arab disebut “انارث “ –yang
secara bahasa berarti keluarga tidak secara otomatis ia dapat mewarisi
harta peninggalan pewarisnya yang meninggal dunia.9
Karena
kedekatan hubungan keluarga juga dapat mempengaruhi kedudukan
dan hak-haknya untuk mendapatkan warisan. Terkadang yang dekat
menghalangi yang jauh, atau ada juga yang dekat tetapi tidak
dikategorikan sebagai ahli waris yang berhak menerima warisan,
karena jalur yang dilaluinya perempuan.10
Sedangkan pengertian ahli waris (انارث) secara istilah adalah
orang yang menerima atau memiliki hak warisan dari tirkah (harta
peninggalan) orang yang meninggal dunia (pewaris). Untuk berhaknya
dia menerima harta warisan itu di isyaratkan dia telah dan hidup saat
terjadinya kematian pewaris. Dalam hal ini termasuk pengertian ahli
waris janin yang telah hidup dalam kandungan, meskipun kepastian
haknya baru ada setelah ia lahir dalam keadaan hidup. Hal ini juga
berlaku terhadap seseorang yang belum pasti kematiannya.11
Tidak
semua ahli waris mempunyai kedudukan yang sama, melainkan
9 Ahmad Rafiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2002), h. 59.
10 Zaldaki Lutfi Zulfikar, “Hak Waris Istri Beda Agama (Analisis Perbabdingan
Putusan Perkara No: 1379/Pdt.G/2010/PA.JB dan No: 16K/AG/2010/MA)”, ( Jakarta: Skripsi
Universitas UIN Sayrif Hidayatullah Jakarta, 2012), h., 21, t.d 11
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2003), h.
154.
24
mempunyai tingkatan yang berbeda-beda secara tertib sesuai dengan
hubungnnya dengan si mayit.
Ahli waris itu ada yang ditetapkan secara khusus dalam Al-
Qur‟an dan langsung oleh Allah dalam Al-Qur‟an dan oleh Nabi
dalam hadisnya; ada juga yang ditentukan melalui Ijtihad dengan
meluaskan lafaz yang terdapat dalam nash hukum dan ada pula yang
dipahami dari petunjuk umum dari Al-Qur‟an dan atau hadis Nabi.
Artinya para ahli waris yang mempunyai hak waris dari seseorang
yang meninggal dunia baik yang ditimbulkan melalui hubungan
turunan (zunnasbi), hubungan periparan (asshar), maupun hubungan
perwalian (mawali) dapat dikelompokkan atas dua golongan, yakni;
(1) Ahli waris yang hak warisnya mengandung kepastian,
berdasarkan ittifaq oleh para ulama dan sarjana hukum Islam,
dan
(2) Golongan yang hak warisnya masih di perselisihkan (ikhtilaf)
oleh para ulama dan sarjana hukum Islam.12
C. SUMBER HUKUM KEWARISAN ISLAM
Dasar dan sumber utama dalam hukum islam sebagai hukum agama
(Islam) adalah Nash atau Teks yang terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah
nabi. Ayat ayat Al-Quran dan Sunnah Nabi yang secara langsung mengatur
kewarisan antara lain sebagai berikut:
a. Ayat-ayat Al-Quran
QS. An-Nisa ayat 7
ن ز ا ت م م ة ي ص و ال ج ز ه ن ن ز ا ت م م اء س ى ه ن ن ت ز ل ال ان د ان ان ن ت ز ل ال ان ند ا ان
ا ض ز ف م ة ي ص و ز خ ك ا ى م م ا ل م م
12 Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan
Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), h. 63 dan 65.
25
Artinya: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan
ibu, bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula)
dari harta peninggalan ibu bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak
menurut bagian yang telah ditetapkan”.
Ketentuan dalam ayat diatas merupakan landasan utama yang
menunjukan, bahwa dalam Islam baik laki-laki maupun perempuan sama-
sama mempunyai hak waris dan sekaligus merupakan pengakuan islam,
bahwa perempuan merupakan subjek hukum yang mempunyai hak dan
kewajiban. Tidak demikiannya pada masa Jahiliyah, dimana wanita
dipandang sebagai objek bagaikan benda biasa yang dapat diwariskan.13
Sebagai pertanda yang lebih nyata bahwa Islam mengakui wanita
sebagai subjek Hukum, dalam keadaan tertentu mempunyai hak waris,
sedikit ataupun banyak yang telah dijelaskan dalam beberapa ayat Al-
Quran diantaranya dalam surat An-Nisa ayat 11:
ا م م اخ ه ح ه ه ف ه ي ي خ و ا ق ف اء س و ه خك ن ا ف شىي ي خ و ا ظ ح م خ م ز ك هذ ن م ك د ن ي ا ف للا م ك ي ص ي
ان ك ن ا ن ز ا ت م م س د ا انس م ى م د ح م ك ن ي ت ل ف ص ا انى ه ف قجد ح ت او ك و ا ن ز ت
س د انس م ال ف ج خ ا ن ان ك ن ا ف ج ه انخ م ال ف ا ي ت ا ح ر د ن ن ه ك ي م ن ن ا ف د ن ن
ه م ح ض ي ز ا ف ع ف و م ك ن ب ز ل ا م ي ا ن ر د ت ل م ك اؤ ت اء ه ي د ا ا ت ص ي ح ي ص د ع ت ه م
ام ي ك ا ح م ي ه ع ا ن ك للا ن ا ا لل
Artinya:”Allah mensyari‟atkan bagi kalian tentang (pembagian
pusaka) untuk anak-anak kalian. Yaitu: bagian seorang anak laki-laki sama
dengan bagian dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya
perempuan lebih dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkannya; jika anak perempuan itu seorang saja. Maka ia
memperoleh separuh harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-
masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang mempunyai
anak dan ia mewarisi ibu bapanya (saja) maka ibunya mendapat sepertiga;
jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya
`
13 Mohammad Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam (sebagai
prmbaharuan Hukum Positif Indonesia), (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 12.
26
mendapat seperenam. (pembagian-pembagian tersebut diatas) sesudah
dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya.
(tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa
diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah
ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana”.14
Firman-Nya, “Bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua
orang anak perempuan”. Maksudnya ketika ada anak laki-laki dan anak
perempuan. Tapi jika ada anak laki-laki, maka dia mendapatkan semua
warisan, jika yang ada anak perempuan maka dia mendapatkan separuhnya.
Jika ada dua anak perempuan maka mereka mendapat dua pertiga bagian.15
b. Al-Hadist
Hadist nabi Muhammad secara langsung mengatur tentang kewarisan
adalah sebagai berikut:
1. Hadist nabi dari Abdullah Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh
Tirmidzi yang artinya:
”Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma‟il telah
menceritakan kepada kami Uwuhaib telah menceritakan dari Nabi
Saw bersabda:”Berikanlah bagian Faraidh (warisan yang telah
ditetapkan) kepada yang berhak, maka bagian yang tersisa bagi
pewaris laki-laki yang paling dekat (nasabnya)”.16
2. Hadist nabi dari Usamah bin Zait menurut riwayat Imam Muslim
yang artinya:
”Telah Menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya dan Abu Bakar
bin Abu Syaibah dan Ishaq bin Ibrahim, dan ini adalah Lafadz
Yahya, Yahya berkata; telah mengabarkan kepada kami, sedangkan
yang dua mengatakan; telah menceritakan kepada kami Ibnu
Uyainah dari Az Zuhri dari Ali bin Husain dari Amru bin Utsman
14
Departemen Agama RI, Al-Hikmah Al-Quran dan terjemahnya, (Bandung:
diponogoro, 2010), h. 116. 15
As-Sayyid Muhamaad Shiddiq Khan, Al-Quran dan As-Sunnah bicara wanita,
(Jakarta: Darul Fallah, 2001), h. 50. 16
Sunan Tirmidzi, Sunan Tirmidz Jilid 4i, (Beirut: Dar Al-Fiqri, 2005), h. 31.
27
dari Usamah bin Zait, bahwa Nabi Saw: “Seorang Muslim
tidak boleh mewarisi dari orang Kafir dan orang Kafir tidak dapat
mewarisi dari orang Muslim. (1614)”17
c. Ijtihad Para Ulama
Meskipun Al-Quran dan Al-Hadist sudah memberikan terperinci
pengertian pembagian harta warisan, dalam beberapa hal masih
diperlukan adanya Ijtihad, yaitu terhadap hal-hal yang tidak ditentukan
dalam Al-Quran maupun Al-Hadist misalnya, mengenai waris banci
atau waria, diberikan kepada siapa harta warisan yang tidak habis
terbagi, bagian ibu apabila hanya bersama-sama dengan ayah dan suami
atau istri dan sebagainya.18
Contoh lain adalah:
Status saudara yang mewarisi bersama-sama dengan kakek, di
dalam Al-Qur‟an hal ini tidak dijelaskan, yang dijelakan hanyalah status
saudara-saudara bersama dengan ayah atau bersama-sama dengan anak
laki-laki yang dalam kedua keadaan ini mereka tidak mendapatkan apa-
apa lantaran terhijab, kecuali dalam masalah kalalah maka mereka
mendapat bagian. Menurut pendapat kebanyakan sahabat Nabi dan
Imam-imam Mazhab yang mengutib pendapat Zaid bin Tsabit, Saudara-
saudara tersebut pendapatkan pusaka secara muqasamah dengan
kakek.19
Status cucu yang ayahnya lebih dahulu meninggal dari pada kakek
yang bakal diwarisi yang mewarisi bersama dengan saudara-saudara
ayahnya. Menurut ketentuan mereka tidak mendapatkan apa-apa
lantaran dihijab oleh saudara ayahnya, tetapi menurut Kitab Undang-
17
Muhammad Fuadi Abdul Baqi, Shoih Muslim Jilid 6, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-
Ilmiah, 1995), h. 44. 18
Ahmad Azar Basyir, Hukum Waris Islam, (Jogyakarta: UII Press, 2004), h. 9. 19
Mohammad Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam (sebagai
prmbaharuan Hukum Positif Indonesia), (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 22.
28
Undang Hukum Wasiat Mesir mereka diberikan bagian berdasarkan
wasiat wajibah.
Para Fuqaha Tabi‟in dan Imam-imam Fiqih, diantaranya Sait Ibnu
Musayyab, Ad-Dahak, Thaus, Al Husnul Bisri, Ahmad Ibnu Hambal,
Daud Ali, Ishak Ibnu Ruhawaih, Ibnu Jarir, dan Ibnu Hazm berpendapat
bahwa wasiat itu wajib untuk kerabat-kerabat terdekat yang tidak
mendapat harta pusaka. Hal ini ditetapkan berdasarkan firman Allah
SWT. Dalam surat Al-Baqarah ayat 180 yang artinya: ”Diwajibkan atas
kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut,
jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapa dan
karib kerabatnya secara Ma‟ruf (ini adalah) kewajiban atas orang-
orang yang bertaqwa”.20
Kata Kutiba dalam ayat tersebut artinya Furida, yaitu difardukan
sedangkan perkataan “Bilmarufi haqqon „alal muttaqin” artinya menurut
ma‟ruf sebagai suatu hak (kewajiban) atas setiap orang yang bertaqwa
merupakan suatu lafal yang sangat kuat menunjuk kepada kewajiban
wasiat.
Dalam hal tersebut, ulama berselisih pendapat tentang masih
berlakunya hukum yang telah dinashkan oleh ayat tersebut yaitu tentang
wajibnya wasiat untuk bapa dan kerabat-kerabat terdekat atau tidak berlaku
lagi. Kebanyakan ahli tafsir zumhur Fiqih berpendapat bahwa wajibnya
wasiat itu adalah mansukh, baik terhadap yang menerima wasiat maupun
tidak. Karena ayat wasiat itu telah di mansukh oleh ayat-ayat mawaris dan
oleh sabda Nabi Saw yang artinya, “tidak ada wasiat untuk para ahli
waris”.
20
Departeman Agama RI, Al-Hikmah Al-Quran dan terjemahnya, (Bandung:
Diponegoro, 2010), h. 44.
29
Abu Muslim Al-Ashbahani mengemukakan bahwa ayat wasiat itu
sama sekali tidak mansukh, karena tidak ada pertentangan antara ayat
wasiat dan ayat mawaris.21
Golongan yang diwajibkan wasiat untuk
kerabat-kerabat yang tidak mendapat waris berpendapat bahwa ayat wasiat
tidak mansukh dan tertetap berlaku sampai sekarang untuk kerabat-kerabat
yang tidak mendapat warisan, kerena ada penghalang atau ada orang yang
lebih utama dari pada mereka. Oleh karena itu, wajiblah dibuat wasiat
untuk mereka. Terhadap kerabat-kerabat yang mendapat warisan,
dipergunakan ayat-ayat mawaris.
Atas dasar inilah cucu yang ayahnya lebih dahulu meninggal dari
pada kakek yang bakal diwarisi dan mewarisi bersama dengan saudara-
saudara ayahnya, untuk diberikan wasiat wajibah karena cucu terhijab oleh
saudara-saudara ayahnya.
D. PENGGOLONGAN AHLI WARIS
Macam-macam ahli waris di tinjau dari sebab-sebabnya, dapat
dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu:
1) Ahli waris nasabiah.
2) Ahli waris sababiyah.
Apabila dilihat dari segi bagian-bagian yang diterima mereka, ahli
waris dapat dibedakan kepada:
a. Ahli waris yang hanya mewarisi secara fardh (yang
menerima bagian tetap) berjumlah 7 orang, yaitu: ibu,
saudara laki-laki seibu, saudara perempuan seibu, nenek dari
ibu, nenek dari ayah, suami, dan istri.
21
Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 243.
30
b. Ahli waris yang hanya mewarisi secara ta‟shib ( harta sisa
dari golongan fardh) atau ashbah berjumlah dua belas, yaitu:
anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki,22
saudara
laki-laki sekandung, saudara laki-laki seayah, anak laki-laki
dari saudara laki-laki sekandung, anak laki-laki dari saudara
seayah, paman sekandung, paman seayah, anak laki-laki dari
paman sekandung, anak laki-laki dari paman seayah, laki-
laki yang memerdekakan budak, dan perempuan yang
memerdekakan budak.
c. Ahli waris yang sewaktu-waktu dapat mewarisi dengan jalan
fardh, ta‟shib atau kedua-duanya. Ahli waris ini adalah ayah
dan kakek. Keduanya dapat mewarisi harta dengan jalan
fardh, yakni mendapatkan bagian 1/6, ketika bersama
dengan keturunan laki-laki simayit. Namun, keduanya juga
dapat mewarisi secara ta‟shib, yakni ketika mereka tidak
bersama-sama dengan keturunan sinayit secara mutlak.
d. Ahli waris zawi al-arhâm, yaitu ahli waris yang
sesungguhnya memiliki hubungan darah, akan tetapi
menurut ketentuan Al-Qur‟an tidak berhak menerima
warisan.
Apabila ahli waris dilihat dari jauh dekatnya hubungan
kekerabatan, sehingga yang dekat lebih berhak menerima warisan
daripada yang jauh, dapat dibedakan menjadi:
a) Ahli waris hajib, yaitu hali waris yang dekat yang dapat
menghalangi ahli waris yang jauh, atau karena garis
22
Mohammad Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam (sebagai
prmbaharuan Hukum Positif Indonesia), (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 12.
31
keturunannya yang menyebabkannya dapat menghalangi ahli
waris yang lain.
b) Ahli waris mahjub, yaitu ahli waris yang jauh yang terhalang
oleh ahli waris hubungan kekerabatannya. Ahli waris ini dapat
menerima warisan, jika yang menghalanginya tidak ada.
Hukum waris perdata diatur dalam buku kedua yaitu tentang
kebendaan dalam pasal 830, yakni “pewarisan hanya berlangsung
karena kematian” menurut pasal ini rumusan atau definisi hukum waris
mencangkup masalah yang begitu luas. Pengertian yang dapat
dipahami yaitu bahwa jika seseorang meninggal dunia, maka seleuruh
hak dan kewajibannya beralih atau berpindah kepada ahli warisnya.23
Menurut UU pembagian waris, menetapkan adanya keluarga
sedarah yang berhak mewaris dan keberadaan suami istri (yang hidup
paling lama) dengan pewaris ada empat golongan:
a. Golongan pertama
Terdiri dari anak atau keturunannya dan janda atau duda yang
jumlah bagiannya ditetapkan dalam pasal 852 (a,b) dan 515 KUH
Perdata.
b. Golongan kedua
Terdiri dari orang tua (bapak atau ibu), saudara-saudara atau
keturunannya. Sedang jumlah bagiannya ditetapkan dalam pasal
854,855,856 KUHPerdata.
c. Golongan ketiga
Terdiri dari kakek dan nenek atau leluhur dalam garis lurus ke atas
yang jumlah bagiannya ditetapkan dalam pasal 853,858(1)
KUHPerdata.
23
Sudarsono, Hukum Waris dan Sistem Bilateral, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), h.
12.
32
d. Golongan keempat
Ahli warisnya sanak keluarga didalam garis menyamping sampai
tingkat ke enam yang jumlah bagiannya di tetapkan dalam pasal
856(2),861,832(2),852-866 KUHPerdata.
Karena adanya sistem Plaatsvervulling, maka secara otomatis
apabila ahli waris golongan ke-1 sudah meninggal, maka hak warisan
jatuh pada golongan ke-2 dan seterusnya. Dan hal inilah yang
membedakan sistem pembagian waris Islam.
Sedangkan mengenai pembagian waris menurut hukum perdata,
karena disebabkan oleh penunjukkan dalam wasiat. Warisan berwasiat
yaitu pembagian warisan kepada orang-orang yang berhak menerima
warisan atas kehendak terakhir (wasiat) si pewaris.24
Wasiat ini harus
dinyatakan dalam bentuk tulisan misalnya dalam akte notaris (warisan
testamentair).
Jadi pewarisan perdata disini juga memberikan kebebasan kepada
pewaris untuk menunjuk seseorang (berwasiat) baik itu keluarga
sendiri atau bukan untuk dijadikkan pewaris, dan pembagian warisan
seperti ini pula tidak terdapat dalam pewarisan Islam, karena dalam
pewarisan Islam wasiat berdiri sendiri diluar ahli waris.
D. SEBAB-SEBAB WARIS
Lafazh asbab‟ sebab-sebab‟ adalah bentuk jamak dari lafazh sabab‟
sebab‟. Sabab menurut bahasa ialah sesuatu yang lain, baik sesuatu yang
menyampaikan kepada sesuatu yang lain. Sedangkan menurut istilah
adalah sesuatu yang mengharuskan keberadaan hal yang lain, sehinggal hal
yang lain itu menjadi ada dan ketiadaan suatu hal itu menjadi hal yang lain
tidak ada secara substansial.
24
C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1989), h. 255.
33
Definisi ulama yang mengatakan bahwa keberadaan sesuatu
mengharuskan adanya sesuatu yang lain, dengan sendirinya mengecualikan
makna syarat, karna syarat tidak mengharuskan adanya sesuatu.
Sedangkan ucapan mereka yang lain, bahwa tidak adanya sesuatu akan
mengakibatkan sesuatu yang lain juga menjadi tidak ada, dan
mengecualikan makna mani‟ „penghalang‟, karena mani‟ mengecualikan
adanya sesuatu yang tidak mengharuskan adanya sesuatu yang lain.
Dengan demikian, sebab- sebab adanya pewarisan adalah sesuatu
yang mewajibkan adanya hak mewarisi, jika sebab-sebabnya terpenuhi.
Dengan demikian juga hak mewarisi menjadi tidak ada jika sebab-
sebabnya tidak terpenuhi.25
Masalah kewarisan baru timbul apabila
dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
Harus ada pewaris (muwarits) seseorang yang telah meninggal dunia
dan meninggalkan harta peninggalan (tirkah) adalah merupakan “conditio
sine quo non” (syarat mutlak), karena sebelum ada seseorang yang
meninggal dunia, atau ada yang meninggal dunia teteapi tidak ada harta
benda merupakan kekayaan belumlah timbul masalah kewarisan.
Harus ada harta peninggalan (tirkah); ialah apa yang ditinggalkan oleh
pewaris baik hak-hak kebendaan berwujud, maupun tak berwujud, bernilai
atau tidak bernilai, atau kewajiban-kewajiban yang harus dibayar, misalnya
hutang sipewaris. Dengan catatan bahwa utang sipewaris dibayar sepanjang
harta bendanya cukup untuk membayar hutang tersebut.
Benda-benda berwujud dan bernilai seperti misalnya benda benda
bergerak, seperti mobil, termasuk didalamnya piutang-piutang, benda wajib
25
Komite Fakultas Syari‟ah Al-azhar Mesir, Hukum Waris, (Jakarta: Senayan Abadi
Publishing, 2004), h. 32-33.
34
(diyah wajibah) yang harus dibayar oleh si pembunuh. Benda-benda tetap
seperti rumah, tanah, kebun, sawah, dan sebagainya.
Hak-hak kebendaan lainnya hak monopoli untuk mendayagunakan,
seperti menarik hasil dari sumber irigasi, pertanian perkebunan dan
sebagainya.
Hak-hak lainnya seperti; Hak khiyar, yaitu hak untuk menentukan
pilihan antara dua alternatif, meneruskan akad jual beli atau diurungkan atau
ditarik kembali akad jual belinya. Hal ini untuk memikirkan kemaslahatan
masing-masing agar tidak terjadi penyesalan dikemudian hari lantaran ada
yang dirugikan atau ada yang tertipu disalah satu pihak. Hak syuf‟ah, ialah
suatu hak membeli kembali dengan paksa dengan harga pantas. Dalam hal
ada salah seseorang anggota persekutuan telah menjual haknya atas harta
persekutuan kepada orang lain tanpa izin para anggota lain, maka para
anggota lain itu berhak membeli dengan paksa hak anggota yang telah dijual
itu dengan harga pantas. Hak membeli dengan paksa itulah disebut hak
syuf‟ah.
Hak-hak yang bersangkutan (berhubungan) dengan orang lain diluar
kategori hak khiyar dan hak syuf‟ah, misalnya; hak gadai, hak hipotek, hak
credit verband dan mas kawin yang belum dibayar yang kesemuannya
disebut hak ainiyah (dain-ainy).
E. PENGHALANG KEWARISAN
Faktor penghalang mendapat warisan dalam istilah Ulama Faraid ialah
suatu kondisi yang menyebabkan seseorang tidak dapat menerima warisan,
walaupun memiliki cukup sebab dan cukup pula syarat-syaratnya. Atau yang
dalam KUH Perdata dikenal dengan kata Onwaardig yaitu orang yang tidak
patut atau pantas menerima warisan dari si pewaris.
35
1. Penghalang kewarisan menurut KUH Perdata
Dalam hukum perdata terdapat orang-orang yang tidak patut atau tidak
pantas menerima warisan (Onwaardig). Orang-orang ini adalah orang-orang
mempunyai pertalian darah dengan pewaris, tetapi karena perbuatannya tidak
patut menjadi waris. Adapun orang-orang yang terhalang untuk mewarisi
dimuat dalam pasal 838 dan pasal 912 KUH Perdata yaitu:
a. Ahli waris menurut wasiat yang dinyatakan tidak patut untuk
menerima warisan, dalam pasal 838 KUH Perdata, adalah:
1) Mereka yang telah dihukum (telah ada keputusan hakim)
karena mencoba membunuh pewaris.
2) Mereka yang dengan keputusan hakim dipersalahkan dengan
fitnah mengajukan pengaduan terhadap pewaris tentang
sesuatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun
lamanya.
3) Mereka yang dengan kekerasan telah mencegah pewaris
membuat atau mencabut testament.
4) Mereka yang telah menggelapkan merusak atau memalsu
testament pewaris.
b. Ahli waris menurut wasiat yang dinyatakan tidak patut untuk
menerima warisan dalam pasal 912 KUH Perdata yaitu:
1) Mereka yang telah dihukum membunuh si pewaris.
2) Mereka yang telah menggelapkan, membinasakan, atau
memalsukan surat wasiat si pewaris.
3) Mereka yang dengan paksaan atau kekerasan telah mencegah si
pewaris untuk mencabut atau mengubah surat wasiatnya.
36
Disamping itu Undang-Undang juga mengatur hal-hal yang berkaitan
dengan anak dan pergantian mawaris bagi seseorang yang tidak patut (tidak
pantas) menjadi ahli waris (pasal 840-848) KUHPerdata.
Misal: pasal 840, anak dari seseorang yang telah dinyatakan tak patut
menjadi waris atas diri sendiri mempunyai panggilan untuk menjadi waris,
maka tidaklah mereka karena kesalahan orang tuanyalah yang tidak boleh ikut
menikmati.
2. Penghalang Kewarisan Menurut KHI dan Mazhab Fiqih
Kata al-mawani‟ „beberapa penghalang‟ adalah bentuk jamak dari
Mani‟. Menurut bahasa, mani‟ berarti penghalang diantara dua hal.
Contohnya, ini merupakan Mani‟ antara ini dengan ini. Maksudnya,
merupakan penghalang diantara keduanya, sedangkan menurut istilah Mani‟
berarti sesuatu yang mengharuskan ketiadaan sesuatu yang lain. Tentu saja
ketiadaan sesuatu yang lain itu, tidak serta mereta bermakna secara subtansial
dengan demikian Mani‟ adalah keberadaannnya, syarat adalah ketiadaannya,
dan sebab adalah keberadaan dan ketiadaannya.
Jadi yang dimaksud dengan beberapa penghalang mewarisi ialah
keberadaan penghalang yang menggugurkan hak seseorang untuk mewarisi
harta peninggalan. Dengan kata lain, yang dimaksud dengan penghalang-
penghalang mewarisi ialah tindakan atau hal-hal yang dapat menggugurkan
hak seseorang untuk mewarisi harta peninggalan setelah adanya sebab-sebab
mewarisi.26
Orang yang terhalang mewarisi disebut dengan mamnu‟atau mahrum.
Istilah tersebut harus dibedakan dengan istilah mahjub yang juga mempunyai
arti sama dengan mamnu‟ atau mahrum. Perbedaan keduanya terletak kepada
26
Komite Fakultas Syari‟ah Al-azhar Mesir, Hukum Waris, (Jakarta: Senayan Abadi
Publishing, 2004), h. 45-47.
37
kemutlakan tidak memperoleh harta warisan. Mahjub adalah ahli waris yang
terhalang mendapat warisan karena adanya ahli waris lain yang lebih dekat
kekerabatannya dengan pewaris. Ahli waris mahjub sifatnya sementara karena
apabila ahli waris yang menghalanginya sudah tidak ada maka ia akan tampil
sebagai ahli waris. Adapun mamnu‟ atau mahrum adalah ahli waris yang
terhalang karena kedudukannya yang diharamkan oleh Islam dan ini berlaku
selamanya.
Penghalang warisan (mamnu‟/ mahrum) mengakibatkan gugurnya hak
ahli waris untuk menerima harta warisan dari harta peninggalan pewaris
walaupun jarak kekerabatannya dengan si pewaris sangat dekat seperti anak
yang membunuh orang tuanya atau anak yang berbeda agama dengan orang
tuanya yang meninggalkan harta warisan tersebut.
Para ulama mazhab sepakat bahwa ada tiga hal yang menghalangi
warisan yaitu perbudakkan, perbedaan agama, dan pembunuhan. Para
faradhiyun telah bulat pendapatnya untuk menetapkan perbudakkan itu adalah
suatu hal yang menjadi penghalang waris mewarisi berdasarkan adanya
petunjuk nash yang sharih yang menafikan kecakapan bertindak seorang
budak dalam segala bidang yang termaktub dalam firman Allah SWT (QS.An-
nahl :75)
كا ل ك ف ى ي ا ف ى س ا ح ل س ا ر ى م ا ي ى ل س ر ه م ئ ي ش ه ع ر يمد ضزب للا مخال عثدا ممه
ز س ى م ن م ه يع ل م ز خ ك ا م ت لل د م انح ن ت س ي م ا ز ج ا
Artinya:
Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki
yang tidak dapat bertindak tergadap suatu apapun dan seorang yang kami beri
rezeki yang baik dari kami, lalu dia menafkahkan sebagian dari rezeki itu
secara sembunyi dan secara terang-terangan, Adakah mereka itu sama? Segala
puji hanya bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.
38
Berkaitan dengan pembunuhan jumhur ulama juga telah berpendapat,
bahwa pembunuhan dapat menghalangi seseorang menjadi ahli waris. Begitu
juga dengan penganiyaan yang mengakibatkan terbunuhnya seseorang.
Sangat beralasan jika seseorang pembunuh tidak berhak atas harta
yang ditinggalkan oleh orang yang dibunuhnya apalagi ahli waris ingin
mempercepat memperoleh harta warisan dengan cara yang tidak dibenarkan
oleh hukum manapun baik hukum agama maupun hukum yang dibuat oleh
manusia, sebagaimana dengan hadist nabi yang berbunyi :
سهم نيس ال ل ي د ج ه ي ع ث ن ا ه ة ع ي ع ش ه ز ت م ع ه ع ل للا صهي للا عهي : لال رس
شيء ال مه انميزاث ت م نه
Artinya:
“Dari „Amr bin Syu‟aib dari ayahnya dari kakeknya berkata ia: Rasulullah
SAW: ”tidak ada hak bagi pembunuh sedikitpun untuk mewarisi”27
Hadist tersebut menjelaskan bahwa pembunuhan pewaris menghalangi
yang bersangkutan mewarisi harta warisan pewaris yang dibunuh. Kaitannya
dengan beberapa hadist diatas adalah kaidah fiqhiyah berikut:
لة تحزما و ع ا و مه استعجم انشيء لثم ا
Artinya:
“Barang siapa ingin mempercepat mendapatkan sesuatu sebelum waktunya
maka ia dikenakan sanksi tidak boleh mendapatkannya”28
27
Abi Bakar bin Husein bin Ali Al-Baihaki, Sunanul Qubra, juz 6 (Beirut: Dar al-
Fikr), h. 220. 28
H.A.Dzajuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam Dalam
Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis,(Jakarta: Kencana,2006), h. 106.
39
Fuqaha sepakat dalam menetapkan bahwa pembunuhan itu menurut
prinsipnya menjadi penghalang mewarisi, namun mereka memperselisihkan
macam-macam pembunuhan yang bisa dikategorikan sebagai peghalang
mewarisi. Ulama Hanafiyah menentukan bahwa pembunuhan yang dapat
mengugurkan hak waris adalah semua jenis pembunuhan yang wajib
membayar kaffarat. Ulama Hanabillah berpendapat bahwa pembunuhan yang
dinyatakan sebagai penggugur hak waris adalah setiap jenis pembunuhan yang
mengharuskan pelakunya di Qisash, membayar Diyat, atau membayar Kaffrat.
Sedangkan ulama Syafi‟iyah berkata bahwa setiap pembunuhan
menghalangi kewarisan, sekalipun pembunuhan itu dilakukan oleh orang gila
atau anak kecil, juga sekalipun dengan cara benar seperti had atau Qisash.
Kalangan pengikut Imam Maliki berkata bahwa sesungguhnya pembunuhan
yang disengaja dan dilakukkan dengan motif permusuhan yang baik langsung
maupun melalui perantara.29
Pendapat terkuat adalah dari ulama Hanabillah karna pendapat mereka
selaras dengan dalil-dalil yang menegaskan pembunuhan menjadi penghalang
mewarisi disamping pendapat tiga mazhab yang lain. Berbeda dengan
ketentuan diatas yang menjelaskan bahwa salah satu penghalang menerima
waris karna alasan pembunuhan, Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang
substansinya mengacu kepada berbagai literature fiqih, justru menyatakan
bahwa bukan saja pembunuhan yang dapat menjadi penghalang mewarisi,
namun juga kepada perbuatan percobaan pembunuhan.30
Perbuatan percobaan pembunuhan belum mengakibatkan kepada
hilangnya nyawa seseorang. Selain itu, penganiayaan berat dan memfitnah
pewaris pun juga termasuk dalam halangan mewarisi. Adapun dalam beberapa
literature fiqih hanya ada 3 tiga hal yang mengakibatkan seseorang terhalang
29
Al- Sayyid Sabiq, Fiqh as- Sunnah, (Semarang: Toha Putra, t.p), h. 486. 30
Lihat pasal 173 Kompilasi Hukum Islam.
40
mewarisi atau gugur haknya sebagai ahli waris yaitu perbudakkan,
pembunuhan, dan berbeda agama.
Halangan mewarisi yang ketiga adalah berbeda agama, dimaksud
dengan perbedaan agama adalah perbedaan agama yang menjadi kepercayaan
orang yang mewarisi dengan orang yang di warisi, misalnya, agama orang
yang mewarisi itu kafir, sedangkan yang diwarisi itu beragama Islam, maka
orang kafir tersebut tidak boleh mewarisi harta peninggalan orang Islam,
Sebagaimana dalam hadist Rasulullah yang artinya : “Abu Ashim dari Ibn
Juraij dari Ibn Syihab dari Ali bin Husain dari Amru bin Utsaman dari
Usamah bin Zaid ra memberitahu kami : sesungguhnya Nabi Muhammad
SAW bersabda ( tidak mewarisi antara muslim dengan kafir dan tidak pula
kafir dengan muslim)”(H.R.Bukhori Muslim)
Sebagian ulama mengemukakan bahwa Murtad (keluar dari Islam),
termasuk dalam kategori berbeda agama. Oleh karna itu murtad merupakan
penghalang untuk mewarisi, bahkan menurut Ijma‟ ulama, orang murtad tidak
boleh mewarisi orang Islam.31
Ada riwayat lain dari Mu‟adz, Mu‟awiyah Ibnu musayyab, Masruq
dan Nakha‟i bahwa sesungguhnya seorang muslim itu mewarisi dari seorang
kafir namun tidak sebaliknya. Sama seperti seorang muslim laki-laki boleh
menikah dengan kafir perempuan dan seorang muslim perempuan tidak boleh
menikah dengan kafir laki-laki. Orang non muslim boleh saling mewarisi satu
sama lain karena dianggap memeluk satu agama.32
Ulama Hanfiyah menyebutkan ada empat macam penghalang
kewarisan yang mahsyur yaitu perbudakkan, pembunuhan, perbedaan agama,
dan perbedaan negara. Al-Qudri menambahkan murtad kedalam penghalang
31
Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 34. 32
Al- Sayyid Sabiq, Fiqh as- Sunnah, (Semarang: Toha Putra, t.p), h. 486.
41
kewarisan.33
Sementara itu ada juga yang menambahkan ketidaktahuan waktu
kematian seperti peristiwa kebakaran atau tenggelam, dikarenakan salah satu
syarat kewarisan adalah hidupnya ahli waris ketika pewaris meninggal dunia
dan waris mewarisi tidak bisa dilaksanakan bila ada keraguan. Selain itu,
ketidak tahuan ahli waris juga dimasukkan dalam kategori penghalang
kewarisan yang terdapat dalam beberapa hal di antaranya sebagai berikut:
a) Seorang wanita yang mengasuh bayi orang lain dan juga bayinya
sendiri. Wanita tersebut meninggal dunia dan tidak diketahui yang
mana anaknya diatara dua bayi tersebut, maka tidak ada yang
mewarisi diatara keduanya.
b) Seorang yang muslim dan seorang yang kafir menyewa satu orang
pengasuh untuk anak mereka sampai mereka dewasa. Tidak
diketahui yang mana anak dari si muslim dan mana anak si kafir,
sedangkan kedua anak tersebut muslim. Maka, kedua anak
tersebut tidak bisa mewarisi dari orang tuanya masing-masing.
Sebagian ulama Hanafiyah menyebutkan ada 10 penghalang
kewarisan yaitu perbedaan agama, perbudakkan, pembunuhan
sengaja, li‟an, zina, keraguan dalam menentukan kematian
muwarrist, kehamilan, keraguan tentang hidupnya seorang anak,
keraguan dalam menentukan kematian yang lebih dulu antara
muwarris dan ahli waris, dan keraguan dalam menentukan jenis
kelamin laki-laki atau perempuan.34
33
Wahab Zuhaili, Al-fiqh Al Islami wa Adilatuhu, juz x, (Dmsyk: Dar Al-Fiqh,
1997), h. 770. 34
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT. AL-Ma‟arif, 1975), h. 84.
42
BAB III
PANDANGAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA TENTANG WARIS, AHLI
WARIS MURTAD DAN CUCU SEBAGAI AHLI WARIS PENGGANTI
A. Pembagian Harta Waris Menurut Hukum Positif
Mengenai aturan hukum pembagian harta warisan orang tua, di
Indonesia memiliki tiga aturan yang berbeda, yakni berdasarkan pertama,
Hukum Perdata Barat dimana pemberlakuannya adalah bagi golongan
Tionghoa dan Timur Asing; Kedua, Hukum Adat yang bersumber dari
masing-masing daerah Adat Indonesia; Ketiga, Hukum Islam yang tentunya
berlaku pada orang Indonesia beragama Islam.
1. Cara Pembagian Waris
Perihal cara pembagian warisan, hanya bisa dilaksanakan jika
memahami ketentuan dalam fiqih mawaris dan KUHPer, seperti siapa saja
yang menjadi ahli waris, disertai bagian masing-masing; terpenuhinya
syarat dan rukun waris, serta adanya kepastian tidak adanya halangan
(mawani') menerima waris.
Disamping itu, kita perlu mengetahui ilmu berhitung atau cara
menghitung harta warisan. Ada kaidah-kaidah perhitungan yang harus
diketahui, sehingga selain memudahkan cara pembagiannya, juga dapat
membagi harta warisan dengan benar.
2. Hak Mewarisi Menurut KUH Perdata (BW)
Di indonesia. Saat ini terdapat beraneka ragam sistem hukum
kewarisan yang berlaku bagi warga negara indonesia. Pertama, sistem
kewarisan perdata barat (Eropa) yang tertuang dalam BW atau KUH Perdata
BW berlaku bagi : a) orang-orang Eropa dan mereka yang dipersamakan
degan Eropa; b) Orang Timur Asing Tionghoa; c) orang timur asing lainnya
43
dan orang-orang Indonesia yang menundukkan diri kepada hukum Eropa.
Kedua, Sistem hukum adat yang beraneka ragam sistemnya, yang dipengaruhi
oleh bentuk etnis di berbagai daerah lingkungan hukum adat. Hukum adat,
pada beberapa daerah masih sangat kuat diterapkan oleh masyarakatnya.
Ketiga, sistem hukum kewarisan Islam yang juga terdiri atas berbagai macam
aliran pemahaman.1
Dalam KUH Perdata, prinsip dari pewarisan dapat dilihat pada Pasal
830 dan Pasal 832 KUH Perdata, yakni bahwa Harta Waris baru dapat
diwariskan kepada pihak lain apabila terjadinya suatu kematian. Selain itu,
Ahli Waris harus memiliki hubungan darah dengan pewaris.
Sehingga, yang memiliki hak waris terbatas pada orang-orang yang
mempunyai hubungan darah dengan pewaris, baik keturunan langsung
maupun orang tua, saudara, nenek/kakek atau keturunannya dari saudaranya.
Prinsip pembagiannya pun diutamakan golongan pertama, yakni
suami/istri yang hidup terlama dan anak/keturunannya, dapat dilihat pada
Pasal 852 KUHPerdata. Jika golongan pertama tidak ada, maka turun ke
golongan kedua, yakni orang tua dan saudara kandung pewaris. Jika golongan
kedua tidak ada, maka turun ke golongan ketiga, yakni Keluarga dalam garis
lurus ke atas sesudah bapak dan ibu pewaris. Terakhir, jika golongan ketiga
juga tidak ada, maka turun ke golongan keempat, yakni Paman dan bibi
pewaris baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu, keturunan paman dan
bibi sampai derajat keenam dihitung dari pewaris, saudara dari kakek dan
nenek beserta keturunannya, sampai derajat keenam dihitung dari pewaris.
3. Hak Mewarisi menurut KHI
Hukum Waris diatur dalam Kompilasi Hukum Islam, Bab II dengan
judul Hukum Kewarisan. Hukum waris Islam diatur di dalam Pasal 171-214
1 Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam di Pengadilan Agama dan
Kewarisan Menurut BW di Pengadilan Negeri, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992), h. 2.
44
Kompilasi Hukum Islam (KHI). Menurut KHI, Hukum kewarisan adalah
hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan
(tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan
berapa bagiannya masing-masing.
Penggolongan Kelompok-kelompok ahli waris di dalam hukum Islam
dibagi dalam:
a) Menurut hubungan darah:
1) Golongan laki-laki terdiri dari ayah, anak laki-laki, saudara
laki-laki, paman dan kakek;
2) Golongan perempuan terdiri dari ibu, anak perempuan, saudara
perempuan dan nenek.
b) Menurut hubungan perkawinan terdiri dari duda atau janda.
Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat
warisan hanya: anak, ayah, ibu, janda atau duda. Dalam hukum waris
Islam, laki-laki mendapat dua bagian dan perempuan mendapat satu
bagian dari harta warisan. Sedangkan besarnya bagian masing-
masing ahli waris dapat dilihat di dalam Pasal 176-185 Kompilasi
Hukum Islam.
B. Ahli Waris Murtad Menurut KHI
Pada zaman modern ini, kebebasan adalah termasuk dalam Hak
Asasi Manusia. Kebebasan dalam hal ini dapat diartikan lebih lanjut
dalam persoalan agama, sehingga menimbulkan arti bahwa agama adalah
hak azasi seseorang dalam menentukan dan memilihnya.
Islam sebagai agama juga telah menerangkan bahwa: “Tidak ada
paksaan dalam agama” Banyak kalangan yang menafsirkan bahwa ayat
ini menyatakan tidak ada paksaan dalam memilih agama sehingga
perbuatan murtad tidak dipersalahkan atau diperbolehkan. Penafsiran
45
seperti ini sangat tidak beralasan karena menurut penulis ayat ini
menerangkan bahwa benar tidak ada paksaan dalam beragama, namun jika
seseorang telah memilih Islam sebagai agamanya, maka ada ikatan dan
kewajiban yang harus ia lakukan dan taati dengan sepenuhnya, dan salah
satunya adalah persoalan pelarangan pindah kepada agama lain (murtad) dan
akibat hukumnya.
Persoalan seseorang yang berpindah dari ajaran Islam (murtad)
dianggap persoalan yang sangat penting, karna dengan berpindahnya agama
seseorang mempengaruhi hak-hak dan kewajibannya. Salah satu hak yang
dipengaruhi seseorang yang berpindah agama ialah hak warisnya.
Mengenai orang murtad, yang keluar dari agama Islam, para ulama
berpendapat bahwa orang-orang tersebut mempunyai kedudukan hukum
tersendiri. Hal ini karena orang murtad dipandang telah memutuskan tali
(shilah) syari‟ah dan melakukkan kejahatan agama.2
Dalam pembahasan hukum kewarisan sebelumnya telah disebutkan
bahwa salah satu penghalang dari hak-hak kewarisan ialah adanya perbedaan
agama antara muwarris dengan ahli warisnya, seperti agama muwaris
beragama non Islam sedangkan ahli waris beragama Islam, atau sebaliknya.
Ulama ahli tafsir, hadist, dan fiqh bersepakat bahwa perbedaan agama
pewaris dan ahli waris menjadi penghalang untuk mendapatkan harta
warisan3. Hal ini di dasarkan kepada Hadist Rasulullah SAW yang Artinya:
”Telah menceritakan kepada kami Abu „asim dari Ibnu Khuraij dari Ibnu
Sihab dari Ali dari Ibnu Husain dari „Amru bin Utsman dari Asomah bin
Zaid ra, berkata bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda:”orang
muslim tidak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi orang
muslim”
2 Muslich Maruzi, Pokok-pokok Ilmu waris, (Semarang: Mujahidin, 1981), h. 16.
3 Habiburrahman, Rekontruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia ,(Jakarta:
Kencana Prenada Group,2011), Cet.Ke-1, h. 77.
46
Hukum waris di Indonesia secara umum masih menggunakan tiga
landasan hukum, pertama, hukum waris berdasarkan hukum Islam, kedua,
hukum waris berdasarkan hukum adat, dan ketiga menggunakan hukum waris
yang berdasarkan hukum barat (BW).4 Tidak adanya hukum nasional yang
mengikat secara nasional mengakibatkan pelaksanaan hukum waris sangat
tergantung pada pilihan warga negaranya. Meski bersifat fakultatif (tidak
imperatif), tetapi kenyataan di lapangan KHI-Inpres hampir 100% digunakan
para hakim Pengadilan Agama dalam memutuskan perkara, juga dijadikan
rujukan para pejabat Kantor Urusan Agama dan sebagian anggota
masyarakat.5
Terkait dengan hak waris non muslim, Kompilasi Hukum Islam lebih
merujuk pada pendapat para Ulama‟ klasik yang menegaskan bahwa
perbedaan agama antara muwarris dengan ahli waris menjadi penghalang
terjadinya proses kewarisan. Hal ini bisa dibaca dalam pasal 171 point b
menyatakan “Pewaris adalah orang yang yang pada saat meninggalnya atau
yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam,
meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan”.
Dalam pasal yang sama 171 point c menyatakan “Ahli waris adalah
orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau
hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang
karena hukum untuk menjadi ahli waris”. Ketentuan keberagamaan seseorang
dapat ditentukan lewat identitasnya, hal ini jelas dalam pasal 172 yang
berbunyi “Ahli waris yang dipandang beragama Islam apabila diketahui dari
Kartu Identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bayi
4 Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah (Kapita Selekta Hukum Islam), (Jakarta: PT.
Gunung Agung 1996), h. 195. 5 Marzuki Wahid, Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI) Dalam
Perspektif Politik Hukum Di Indonesia, makalah dalam The 4th Annual Islamic Studies
Postgraduate Conference, (The University of Melbourne, 17-18 November 2008), h. 51.
47
yang baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya
atau lingkungannya”.
Ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) sangat tegas bahwa
hak kewarisan otomatis terputus ketika berkaitan dengan perbedaan agama.
Aturan dalam KHI mendasarkan seutuhnya pada pendapat Ulama‟ klasik
khususnya Imam Syafi‟i. Bahkan dalam Surat Edaran Biro Peradilan Agama
Tanggal 18 Februari 1958 Nomor B/I/735 hukum materil yang dijadikan
pedoman dalam bidang-bidang hukum Kompilasi Hukum Islam adalah
bersumber pada 13 (tiga belas) buah kitab yang kesemuanya merupakan
madzhab Syafi‟i.6
C. Pandangan KUH Perdata Mengenai Cucu Sebagai Ahli Waris Pengganti
Ahli waris pengganti pada umumnya diberi makna, orang yang tampil
sebagai ahli waris karena menggantikan kedudukan orang tuanya yang
meninggal dunia lebih dahulu dari pewaris, tanpa membedakan apakah orang
yang meninggal itu laki-laki atau perempuan.
membedakan antara orang yang disebut “ahli waris pengganti” dan
“pengganti ahli waris”. Menurutnya, ahli waris pengganti adalah orang yang
sejak semula bukan ahli waris tetapi karena keadaan tertentu ia menjadi ahli
waris dan menerima warisan dalam status sebagai ahli waris. Misalnya,
pewaris tidak meninggalkan anak tetapi meninggalkan cucu laki-laki atau
perempuan dari anak laki-laki. Sedangkan pengganti ahli waris adalah orang
yang sejak semula bukan ahli waris tetapi karena keadaan tertentu dan
pertimbangan tertentu mungkin menerima warisan namun tetap dalam status
bukan sebagai ahli waris. Misalnya, pewaris meninggalkan anak bersama cucu
baik laki-laki maupun perempuan yang orang tuanya meninggal lebih dahulu
daripada pewaris. Keberadaan cucu disini sebagai pengganti ahli waris.
6
Soesilo dan Pramudji (Penerjemah), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(Burgelijk Wetboek), Rhedbook Publisher, Tanpa Tahun), h. 552.
48
Mewaris secara tidak langsung atau mewaris karena penggantian atau
(plaatsvervulling) pada dasarnya menggantikan kedudukan ahli waris yang
telah lebih dulu meninggal dari pewaris diatur dalam pasal 841 s/d 848
KUHperdata. Ahli waris pengganti dalam KUHPerdata menduduki
kedudukan orang tuanya secara mutlak, artinya, segala hal dan kewajiban
orang tuanya yang berkenaan dengan warisan beralih kepadanya.
Pasal 840 KUH Perdata mengatur, bahwa apabila anak-anak dari
seseorang yang telah dinyatakan tidak pantas mejadi ahli waris, atas diri
sendiri mempunyai panggilan untuk menjadi waris, maka tidaklah karena
kesalahan orang tua tadi dikecualikan dari pewaris.7
Dalam KUH Perdata pergantian ahli waris disebut dengan
plaatsvervulling, perkataan plaatsvervulling dalam bahasa Belanda berarti
penggantian tempat, yang dalam hukum waris berarti pergantian ahli waris.
Untuk terpenuhinya plaatsvervulling haruslah terpenuhi hal-hal sebagai
berikut:
1. Orang yang menggantikan harus memenuhi syarat sebagai ahli waris.
Ia harus ada pada saat pewaris meninggal dunia dan dia sendiri tidak
boleh onwaardig.
2. Orang yang digantikan tempatnya harus sudah meninggal, orang tidak
dapat menggantikan tempat orang yang masih hidup, sebagaimana
putusan H.R. tanggal 15 April 1932, N.J 1932, 1665 memutuskan
sebagai berikut:
“Apabila dalam deretan orang-orang yang dalam suatu peristiwa
tertentu berada antara pewaris dengan orang yang mungkin berhak
dengan penggantian ada seseorang yang masih hidup pada waktu
harta peninggalan terbuka, tetapi seorang yang bersangkutan telah
dikesampingkan dari harta peninggalan tersebut, karena ida di cabut
hak warisnya, atau tidak pantas untuk mewarisi atau ia menolak
warisan, maka dalam hal ini tidak ada penggantian, tanpa
7 Lihat KUH Perdata Pasal 840
49
memperdulikan tempat orang yang dikesampingkan itu berada dalam
deretan.”
Putusan ini membuktikan bahwa antara pewaris dengan orang
yang menggantikan tidak boleh ada penggantian selama orang yang
digantikan masih hidup.
3. Orang yang menggantikan tempat orang lain haruslah keturunan sah
dari orang yang tempatnya digantikan. Jadi anak luar kawin di akui
tidak dapat bertindak sebagai pengganti, dan hukum tidak mengenal
penggantian dalam garis ke atas.
Menurut KUH Perdata dikenal 3 (tiga) macam penggantian
tempat (plaatsvervulling), yaitu:
1. Penggantian dalam garis lenceng ke bawah, yaitu penggantian
seseorang oleh keturunannya, dengan tidak ada batasnya,
selama keturunannya tidak dinyatakan onwaardig atau
menolak menerima watisan (pasal 842). Dalam segala hal,
penggantian seperti diatas selamanya diperbolehkan, baik
dalam hal bilamana beberapa anak si yang meninggal mewaris
bersama-sama, satu sama lain dalam pertalian keluarga yang
berbeda-beda derajatnya.
2. Penggantian dalam garis kesamping (zijlinie), dimana tiap-tiap
saudara si meninggal dunia, baik sekandung maupun saudara
tiri, jika meninggal dunia lebih dahulu, digantikan oleh anak-
anaknya. Juga penggantian ini dilakukan dengan tiada
batasnya (pasal 853, jo. Pasal 856, jo. Pasal 857).
3. Penggantian dalam garis ke samping menyimpang dalam hal
kakek dan nenek baik berupa dari pihak ayah maupun dari
pihak ibu, maka harta peninggalan diwarisi oleh golongan
keempat, yaitu paman sebelah ayah dan sebelah ibu.
50
Pewarisan ini juga dapat digantikan sampai ahli waris
golongan yang lebih dekat menyampingkan ahli waris
golongan yang lebih jauh (ahli waris derajat keenam) (pasal
861).8
Dalam keterangan diatas dijelaskan bahwa cucu bisa
menjadi ahli waris pengganti jika ayah atau ibunya sudah lebih
dahulu meninggal, dan cucu bisa menjadi ahli waris pengganti
selama ia sebagai keturunan yang sah dari orang tuanya serta tidak
dikategorikan onwaardig.
8 Pasnelyza Karani, “Tinjauan Ahli Waris Pengganti Dalam Hukum Kewarisan Islam
dan Hukum Kewarisan KUH Perdata” (Semarang: tesis Univ Dipenogoro Semarang, 2010),
H., 113-114, t.d
51
BAB IV
PANDANGAN HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM MENGENAI CUCU
SEBAGAI AHLI WARIS PENGGANTI AKIBAT AHLI WARIS MURTAD
A. Pandangan Hukum Positif Mengenai Cucu Sebagai Ahli Waris Pengganti
Akibat Ahli Waris Murtad
Apa yang disebut dengan Plaatsvervulling dalam KUHPerdata, dan
apa yang disebut wasiat wajibah dalam undang-undang Mesir serta apa yang
diatur pasal 185 KHI oleh Raihan A.Rasyid dinamakan pengganti ahli waris,
bukan ahli waris pengganti. Terlepas dari sebutan mana yang tepat, yang pasti
dalam KHI digunakan sebutan ahli waris pengganti, Mengenai ahli waris
pengganti menurut pemahaman Prof Dr Hazairin Al qur’an mengaturnya
dalam Surat An Nisa’ ayat 33 yang berbunyi :
امىاليىاجعل ولكل ق ربىنال ىالدانتركمم وال وصيبهم فآتىهم أي ماوكم عقدت والذيه
إن ء كل على كانللا شهيداشي
Artinya,
“Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan
karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada) orang-orang
yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada
mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.”1
Komplikasi Hukum Islam (KHI) memperkenalkan sistem penggantian tempat
dalam pasal 185, yang berbunyi:
(1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada pewaris
maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya kecuali
mereka yang tersebut dalam pasal 173.
1 Muhammad Nasib Ar-rifai, Kemudahan dari Allah, Ringkasan Tafsir Ibnu Kastir
(terj.) Syihabuddin, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), H. 701.
52
(2) Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian
ahli waris yang sederajat dengan yang di ganti.
Karna penggantian tempat adalah:
1. Orang yang digantikan oleh anaknya tersebut harus meninggal
dunia lebih dahulu dari sipewaris.
2. Orang yang digantikan oleh anaknya tersebut harus merupakan
ahli waris andaikata ia masih hidup.
Syarat yang pertama sudah jelas sebagaimana bunyi pasal diatas, dan untuk
syarat yang kedua tertuang dalam pasal 173 yang berisikan ketentuan bahwa
soseorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim di
hukum karena:
1. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau
menganiaya berat pewaris.
2. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan
bahwa pewaris telah melakukan kejahatan yang diancam dengan
hukuman 5 (lima) tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
Syarat lain yang meskipun tidak tersurat secara tegas dalam KHI tetapi harus
dianggap ada adalah bahwa yang digantikan itu harus beragama Islam, sebab
seorang cucu yang bapaknya beragama selain Islam dan telah meninggal lebih
dulu daripada pewaris (kakek atau nenk si cucu) meskipun cucu tersebut
beraga Islam, ia tidak dapat mewarisi karena penggantian tempat. Sebab andai
kata orang tuanya cucu tersebut masih hidup tetap orang tua tersebut tidak
dapat mewarisi karena beraga selain Islam.2
2 Puji Wahyuni, “Kedudukan Cucu Sebagai Ahli Waris Pengganti Menurut Hukum
Islam”(Semarang: tesis Univ Diponerogo Semarang, 2005), h., 61, t.d
53
Jadi, dalam masalah cucu yang menggantikan ayahnya yang murtad
untuk menjadi ahli waris pengganti disini, tidak di perbolehkan menurut KHI
maupun menurut KUH Perdata, karena dalam sengketa waris ini posisi ahli
waris yang murtad masih ada dan belum meninggal dunia. Hal ini yang tidak
diperbolehkan menurut KUH Perdata karena tidak memenuhi syarat sebagai
ahli waris pengganti.
Sedangkan, menurut KHI orang yang murtad tidak berhak menerima hak
warisnya begitu pula dengan keturunannya meskipun masih beragama Islam,
karena ayahnya yang murtad itu hak warisnya telah gugur sebab saudara dari
ayahnya masih hidup dan masih beragama Islam.
B. Pandangan Hukum Islam Mengenai Cucu Sebagai Ahli Waris Pengganti
Akibat Ahli Waris Murtad
Umat Islam di Indonesia termasuk ke dalam kelompok ahlu sunnah
wal jama’ah atau Sunni, Kelompok Sunni ini merupakkan kelompok umat
Islam terbesar dibandingkan dengan kelompok-kelompok yang lain. Lebih
kurang 90% dari jumlah umat Islam di seluruh dunia dapat dimasukkan ke
dalam kelompok sunni, sedangkan sekitar 10% lainnya termasuk kelompok
Syi’ah.3
Cucu adalah keturunan garis lurus ke bawah yang berkedudukan sama
dengan anak. Ia berhak menjadi ahli waris dan bahkan dalam hal tertentu ia
menjadi ahli waris bersamaan dengan anak. Namun dengan demikian
kedudukan cucu sebagai ahli waris tidak diatur secara rinci dalam al-quran
sehingga para ahli berbeda pendapat tentang kedudukan cucu sebagai ahli
waris, apakah hanya cucu laki-laki dan cucu perempuan dari anak laki-laki,
atau termasuk cucu laki-laki atau perempuan dari anak perempuan.
3
Pasca Sarjana, Kedudukan Cucu sebagai ahli waris Pengganti Suatu Kajian
perbandingan UI, (Jakarta: Perpustakaan Pasca Sarjana UI 1995), h. 1.
54
Kata cucu perluasan dari kata walad, kata walad disebut juga ibnu.
Kata ibnu berasal dari kata banau jamaknya abnaun yang mengandung arti
membina atau memelihara. Dari kata ini cucu dapat diartikan sebagai generasi
kedua yang berkedudukan sebagai ahli waris apabila tidak ada generasi
pertama (anak).
Ulama ahlusunnah dalam memperluas walad atau anak kepada cucu
membatasinya kepada cucu melalui anak laki-laki dan tidak untuk cucu
melalui anak perempuan; sedangkan ulama Syi’ah memperluas pengertian
anak itu kepada cucu secara mutlak, baik melalui anak laki-laki maupun anak
perempuan. Memang tidak ada penjelasan dari Al-quran maupun Sunah yang
secara gamblang menjelaskan pengertian cucu itu. Ada memang sepotong
hadist nabi dari Ibnu Mas’ud tang menyatakan cucu perempuan mewarisi
bersama dengan anak perempuan, namun tidak pula dijelaskan dari jalur mana
cucu itu. Dengan demikian Hadist ini pun tidak dapat membatasi pengertian
cucu itu.4
Sistem Kewarisan Madzahab syafi’i bersifat patrilineal, karena hukum
kekeluargannya menarik garis keturunan dari garis laki-laki atau garis bapak
sehingga hanya anak laki-laki yang dapat menjadi penghubung. Ajaran
kewarisan Sunni tidak mengenal penggantian tempat untuk seorang cucu.
Dasar bagi seorang cucu untuk mewarisi yang dipergunakan oleh ajaran ini
adalah pendapat Zaid bin Tsabit:
“Anak laki-laki yang punya anak perempuan sepangkat dengan anak-
anak jika si mati tidak meninggalkan anak, yaitu: yang laki-laki sama dengan
laki-laki dan perempuan dan perempuan sama dengan perempuan. Mereka
jadi waris sebagaimana anak jadi waris, mereka jadi hajib sebagaimna anak-
anak jadi hajib dan anak laki-laki punya anak laki-laki tidak dapat warisan
selama ada anak laki-laki, dan jika si mati meninggalkan anak perempuan dan
4
Prof.DR Amir Syarifuddin,Hukum Kewarisan Islam.Cet Ke2, (Jakarta:
PrenadaMedia Group), h. 166.
55
seorang cucu laki-laki maka anak itu dapat separuh dan selebihnya untuk cucu
laki-laki”
Ijtihad Zaid bin Tsabit tersebut menunjukkan bahwa cucu yang berhak
mewaris hanya cucu laki-laki dan cucu perempuan dari anak laki-laki,
sedangkan cucu laki-laki dan cucu perempuan dari anak perempuan tidak
berhak mewaris. Ketentuan kewarisan cucu tersebut berlaku apabila anak laki-
laki sudah tidak ada. Apabila ijtihad Zaid bin Tsabit tersebut di ikuti maka
jelas tidak ada pergantian tempat karena seorang cucu tidak mungkin mewaris
bersama dengan anak laki-laki.5
Menurut hukum Islam, seperti yang tertuang dalam buku-buku
fiqih,cucu tidak berhak menerima bagian waris jika ia bertemu dengan anak
(laki-laki) atau kata lain ia terhalang oleh anak (laki-laki). Ketentuan ini
disyariatkan dari beberapa hadist yang salah satu artinya: “berikanlah bagian-
bagian warisan kepada yang berhak, dan harta yang tersisa adalah haknya para
pihak lai-laki yang terdekat”. Hadist ini menetapkan bahwa para ahli waris
yang berhak atas ashabah didahulukan yang terdekat setelah pembagian atas
hak warisan dilakukan pada pemilik hak yang utama. Anak (laki-laki)
tentunya lebih dekat dan dihalukan dari pada cucu. maka, anak dari anak tidak
memperoleh harta warisan selama ahli waris yang lebih dekat masih ada.
Para mujtahid terdahulu pada umumnya berpendat bahwa
kelompok yang disebut sebagai ahli waris pengganti itu, hak yang
mereka terima bukanlah hak yang seharusnya diterima oleh ahli waris
yang digantikannya hal ini terlihat dalam contoh:
a. Bagian yang diterima cucu laki-laki adalah sebagaimana yang
diterima oleh anak laki-laki. Cucu perempuan dari anak laki-laki
menerima warisan sebagaimana yang diterima oleh anak perempuan,
5 Puji Wahyuni, “Kedudukan Cucu Sebagai Ahli Waris Pengganti Menurut Hukum
Islam” (Semarang: Tesis Univ Diponerogo Semarang, 2005), h., 45, t.d
56
tidak sebagaimana hak yang diterima oleh anak laki-laki yang
digantikannya dan yang menghubungkan kepada pewaris.
b. Kakek menerima bagian sebagaimana yang didapat oleh ayah baik
kakek sebagai Dzawil furud maupun sebagai ashabah. Tetapi kakek
tidak berkedudukan sebagaimana terlihat dalam beberapa hal:
1) Ayah dapat menutup hal kewarisan saudara, tetapi kakek
dapat mewaris bersama saudara, kecuali menurut ulama
Hanafi, kakek juga menutup kewarisan saudara.
2) Ayah dapat menggeser hak kewarisan ibu dari sepertiga harta
menjadi sepertiga dari sisa harta dalam masalah garawayni.
Dalam hal ini kakek tidak dapat disamakan dengan ayah.
c. Hak kewarisan nenek tidak sama dengan hak kewarisan ibu, karena
nenek dalam keadaan bagaimanapun tetap menerima seperenam,
sedangkan ibu kadang-kadang menerima sepertiga yaitu bila pewaris
tidak meninggalkan anak.
d. Saudara seayah tidak sepenuhnya menempati kedudukan saudara
kandung, sebagaimana terlihat dalam keadaan dibawah ini:
1) Saudara laki-laki kandung dapat menarik saudara perempuan
kandung menjadi ashabah sedangkan saudara seayah tidak
dapat berbuat begitu.
2) Saudara kandung dapat berserikat dengan saudara seibu dalam
masalah musyarakah, sedangkan saudara seayah tidak dapat
diperlakukan demikian.
e. Anak saudara menerima warisan sebagai anak saudara, demikian
pula paman dan anak paman menerima hak dalam kedudukannya
sebagai ahli waris tersendiri.
Khusus menyangkut dengan masalah cucu, dalam keadaan
apapun Mujtahid terdahulu tetap menempatkannya bagai cucu, bukan
57
sebagai pengganti ayahnya. Cucu yang dimaksud disini khusus cucu
melalui anak laki-laki.
Berdasarkan pendapat diatas, maka cucu yang ayahnya sudah
terlebih dahulu meninggal dunia tidak berhak menerima warisan
kakeknya bila saudara laki-laki dari ayahnya itu ada yang masih hidup.
57
BAB V
PENUTUP
Bab V ini merupakan bab penutup dari rangkain bab-bab
sebelumnya. Penulis mencoba menyajikan kesimpulan dari apa yang
telah penulis kumpulkan baik dari data-data atau keterangan-keterangan
yang mencakup isi dalam penulisan skripsi ini. Selain itu penulis juga
ingin memberi saran sebagai himbauan, harapan dan pertimbangan
kepada ahli waris yang masih hidup mengenai cucu sebagai ahli waris
pengganti dari ahli waris yang sebenarnya akibat ahli waris murtad.
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah penulis lakukan yang
berhubungan dengan permasalahn skripsi ini, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
Kedudukan cucu sebagai ahli waris pengganti menurut hukum
kewarisan Islam dan hukum positif di Indonesia yaitu:
1. Terkait dengan ahli waris murtad Kompilasi Hukum Islam lebih
merujuk pada pendapat para Ulama’ klasik yang menegaskan bahwa
perbedaan agama antara muwarris dengan ahli waris menjadi
penghalang terjadinya proses kewarisan, sebagaimana diaatur dalam
pasal 171 point b menyatakan “Pewaris adalah orang yang yang pada
saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan
58
putusan pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan
harta peninggalan”.
Mengenai orang murtad, yang keluar dari agama Islam, para
ulama berpendapat bahwa orang-orang tersebut mempunyai
kedudukan hukum tersendiri. Hal ini karena orang murtad dipandang
telah memutuskan tali (shilah) syari’ah dan melakukkan kejahatan
agama, yang mengakibatkan gugurnya hak ahli waris mereka
terhadap harta waris yang di tinggalakan pewarisnya.
2. Hukum kewarisan menurut KHI di Indonesia. Dalam sistem ini, cucu
berhak menggantikan kedudukan orang tuanya untuk mendapatkan
warisan, apabila orang tuanya tersebut meninggal lebih dahulu dari
pewaris. Namun bagian cucu tersebut tidak selalu sebesar bagian
orang tuanya. Bagian cucu tersebut tidak boleh melebihi bagian ahli
waris lain yang sederajat dengan yang digantikannya. Hukum
kewarisan BW tentang ahli waris pengganti diatur dalam KUH
Perdata yang diatur dalam pasal 854 s/d 857 yang dihubungkan
dengan pasal 860 dan pasal 866. Dalam pasal-pasal ini menunjukan
kepada kita bahwa KUH Perdata mengenal dan mengakui adanya
plaatsvervulling atau penggantian ahli waris. Oleh karna itu
pemggantian ahli waris di Indonesia sudah dilaksanakan.
Cucu sebagai ahli waris pengganti menurut madzhab syafi’i
Tidak diperbolehkan, Ajaran kewarisan Sunni tidak mengenal
59
penggantian tempat untuk seorang cucu, dan cucu tidak bisa
mewarisi jika bersama-sama anak laki-laki, dalam masalah disini
cucu menggantikan ayahnya yang murtad jelas tidak bisa menurut
hukum Islam, dikarenakan orang yang berlainan agama tidak bisa
mewarisi karna telah putus tali persaudaraannya.
B. Saran-Saran
1. Bagi setiap ahli waris yang mengalami sengketa harta waris akibat
salah satu ahli waris yang sebenarnya murtad, lalu hak warisnya
diberikan kepada cucu (anak ahli waris yang murtad) yang masih
beragama Islam, seharusnya semua ahli waris memusyawarahkan
masalah tersebut kepada kaum agamawan atau oran yang faham
masalah agama terutama masalah waris yang ada disekitar
lingkungan tersebut, mengenai jalan keluar atau solusi dari masalah
ini, agar tidak ada kecemburuan sosial terhadap ahli waris lainnya.
2. Agar tidak ada pihak ahli waris yang merasa dirugikan, maka
sebaiknya solusi dari permasalahan hak ahli waris murtad yang
diberikan kepada cucu(anak ahli waris murtad) di berikkan dengan
cara wasiat wajibah, yaitu kesepakatan dari setiap ahli waris untuk
memberikan hak ahli waris yang murtad tersebut dengan ketentuan
menghibahkan haknya kepada anaknya yang sudah disepakati oleh
semua ahli waris.
60
3. Penelitian ini belum komprehensif karna pembahasan untuk ahli
waris pengganti akibat ahli waris murtad belum diatur secara jelas
dalam KHI , dan masih kekurangan sumber hukum mengenainya.
Untuk penelitian selanjutnya sebaiknya merujuk ke hukum waris
negara Islam lainnya agar penelitiann selanjutnya lebih
komprehensif.
61
DAFTAR PUSTAKA
A, Arwani Muslimah, “Analisis Putusan Hakim Tentang Hak Waris
Karna Berbeda Agama”, Skripsi S1 Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Makassar, 2000.
Abi Bakar bin Husein bin Ali Al-Baihaki, Sunanul Qubra, juz 6,
Beirut: Dar al-Fikr.
Ar-rifai, Muhammad Nasib, Kemudahan dari Allah, Ringkasan Tafsir
Ibnu Kastir (terj.) Syihabuddin, Jakarta: Gema Insani Press, 1999.
Ash-Shiddieqy, Hasbi, Fiqhul Mawaris Hukum Kewarisan Dalam
Syariat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Rafiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Persada,
2000.
Basyir, Ahmad Azar, Hukum Waris Islam, Jogyakarta: UII Press,
2004.
Biga, Nurhikmah ,” Perbandingan Hukum Positif Dengan Hukum
Islam”, artikel diakses pada 29 Mei 2017 dari
https://www.academia.edu/6464985/Konsep-dan-Sumber-Hukum Analisis-
Perbandinganhukumislam- dan-Hukumpositif.com.
Departemen Agama RI, Al-Hikmah Al-Quran dan terjemahnya,
Bandung: diponogoro, 2010.
Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Dzajuli, A, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam Dalam
Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, Jakarta: Kencana, 2006.
Habiburrahman, Rekontruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia,
Jakarta: Kencana Prenada Group, 2011.
Kansil, C.S.T, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, 1989.
Khan, As-Sayyid Muhamaad Shiddiq, Al-Quran dan As-Sunnah
bicara wanita, Jakarta: Darul Fallah, 2001.
62
Komite Fakultas Syari’ah Al-azhar Mesir, Hukum Waris, Jakarta:
Senayan Abadi Publishing, 2004.
Lihat pasal 173 Kompilasi Hukum Islam.
Maruzi, Muslich, Pokok-pokok Ilmu waris, Semarang: Mujahidin,
1981.
Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar,
Yogyakarta: Liberty, 2005.
Muhammad, Abdul Kadir, Hukum Perdata Indonesia, Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1993.
Muhammad Fuadi Abdul Baqi, Shoih Muslim Jilid 6, Beirut: Dar Al-
Kutub Al-Ilmiah, 1995.
Muhibbin, Mohammad dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam
(sebagai prmbaharuan Hukum Positif Indonesia), Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Parman, Ali, Kewarisan Dalam Al-Quran Suatu Kajian Hukum
Dengan Pendekatan Tafsir Termatik, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,
1995.
Pasca Sarjana, Kedudukan Cucu sebagai ahli waris Pengganti Suatu
Kajian perbandingan UI , Jakarta: Perpustakaan Pasca Sarjana UI, 1995.
Rafiq, Ahmad, Fiqh Mawaris, Jakarta: PT Raja Grafindo, 2002.
Rahman, Fatchur, Ilmu Waris, Bandung: PT. AL-Ma’arif, 1975.
Ramulyo, M. Idris, Perbandingan Pelaksanaan Hukum kewarisan
Islam dengan Kewarisan Menurut Hukum Perdata (BW), Jakarta: Sinar
Grafika, 2000.
Ramulyo, M. Idris, Hukum Kewarisan Islam (studi kasus
perbandingan ajaran Syafi’i (patrilineal) Hazairin (bilateral) KUH Perdata
(BW) praktek di Pengadilan Agama/Negeri, Jakarta: Hilco, 1987.
Ramulyo, M. Idris, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam di
Pengadilan dan Kewarisan Menurut Undang-Undang Hukum Perdata (BW) di
63
Pengadilan Negeri (Suatu Studi Kasus), Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya,
1992.
Al- Sayyid Sabiq, Fiqh as- Sunnah, Semarang: Toha Putra, t.p.
Sjarif, Surini Ahlan, Intisari Hukum Waris menurut BW (Burgerlijk
Wetboek) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta Timur: Ghalia
Indonesia, 1983.
Soesilo dan Pramudji (Penerjemah), Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (Burgelijk Wetboek), t.t, Rhedbook Publisher, t.p.
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT Intermasa, 1985.
Sudarsono, Hukum Waris dan Sistem Bilateral, Jakarta: Rineka Cipta,
1991.
Sunan Addarimi. Hadist No 380 Juz 2.
Sunan Tirmidzi, Sunan Tirmidz Jilid 4i, Beirut: Dar Al-Fiqri, 2005.
Syarifuddin, Amir, Garis-Garis Besar Fiqh, Jakarta: Prenada Media,
2003.
Syarifuddin, Amir, Hukum Kewarisan Islam.Cet Ke2, Jakarta:
Prenada Media Group, 2005.
Umam, Dian Khairul, Fiqih Mawaris, Bandung: Pustaka Setia, 2000
Usman, Suparman Dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum
Kewarisan Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997.
Wahab Zuhaili, Al-fiqh Al Islami wa Adilatuhu juz x, Dmsyk: Dar
Al-Fiqh, 1997.
Wahid, Marzuki, Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD-
KHI) Dalam Perspektif Politik Hukum Di Indonesia, makalah dalam The 4th
Annual Islamic Studies Postgraduate Conference, The University of
Melbourne, 2008.
Wahyuni, Puji, “Kedudukan Cucu Sebagai Ahli Waris Pengganti
Menurut Hukum Islam”, Tesis S2 Fakultas Hukum Universitas Diponerogo
Semarang, 2005.
64
Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Yayasan
Penyelenggaraan Penerjemah/Penafsiran Al-Quran, 1973.
Zuhdi, Masjfuk, Masail Fiqhiyah (Kapita Selekta Hukum Islam),
Jakarta: PT. Gunung Agung 1996.
Zulfikar, Zaldaki Lutfi, “Hak Waris Istri Beda Agama (Analisis
Perbabdingan Putusan Perkara No: 1379/Pdt.G/2010/PA.JB dan No:
16K/AG/2010/MA)”, Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta,
2012.