86
PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAH WANITA KHULUK SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) Oleh: ECEP TURMUJI NIM: 1110043100017 PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1438H/2017M

PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

  • Upload
    dinhbao

  • View
    220

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAH

WANITA KHULUK

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

ECEP TURMUJI

NIM: 1110043100017

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

1438H/2017M

Page 2: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk
Page 3: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

I' F. :'\GES.-\.H.-\.'\ 1'.-\. i\ ITI.-\ U.II rvx

Skripsi yang bcrjudul ·· PA i'\I) ,\ .' C A \" IB.'I; T A I:'- I I1"1".-\. ( ( IL\ TEi'\T ..vr« :

' W D.-\ H \\ ·.-\.1'\IT .\ h:II UI. Uh:", telah di uj ikan da larn < dang m unaqasya h Fakul tas

Syariuh dan Hukurn Universitas Islam Negeri Sy arif Hidavatullah Jakart a pada tungga l

7 JUl1i 20 17. Skripsi ini telah diterima scbagai salah satu sya r.u untuk mem pcro leh gclar

Sarjana Hukum (S.H) pad a Program Studi Perbandingan Madzhab (PM).

=------~)

(

: Nur Rahi m_ LL.M.1\11' . 19790418201 101 1 004

: Dewi Sukan i. )vIANI P. 19720S17 2001 12 I 00 1

Ketua

Sekrctaris

p.-\" ITlA UJ IA:\ i\IU:\.-\.QA~SYMI~ I 9{. ': ['alun i Muhammad Ahmadi, ,vI. Si _

NIP . 197 4 12 13 2003 12 I 002 ~

: Il j. Siti Hanna. S. Ag. I.e.. ;'vi A ( JJ-J )1\'IP. 19740216 200801 2 013

C·/~\...----''''>-'

Pcmbimhing I : H. A. Bisvri Abd Sam ael. 1\'1 '\ ~1\' 11' . 19liS03 20 200003 I nOI .! /'7 . '

./ • - i - / i

r r;- v\~..-}

~~ 1---=.1-db' '1' J _' I

L>Sb~ )

Pcmbimbing 11 : Yl u' min Rouf. ?vIA)111' . 197004 16 199703 I 004

Penguj i I

Penguj i II

II i

Page 4: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk
Page 5: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

i

ABSTRAK

Ecep Turmuji. 1110043100017. Prgram Studi Perbandingan Mazhab

Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta, Pandangan Ibnu Taimiyyah R.A tentang ‘Iddah Wanita Khuluk.

Pernikahan merupakan bagian hidup yang sakral, karena harus

memperhatikan norma dan kaidah hidup dalam masyarakat. Bagi orang-orang

yang telah menikah, dalam menjalani bahtera rumah tangga tentu ada saat-saat

merasakan kebahagiaan, namun demikian adakalanya terdapat permasalahan yang

kompleks yang dapat memicu terjadinya pertengkaran, bahkan tak jarang

berujung kepada perceraian. Konsekuensi yang pertama kali muncul akibat

perceraian adalah adanya masa ‘iddah. Jumhur ulama banyak yang berbeda

pendapat tentang masa ‘iddah seorang wanita, terutama Ibnu Taimiyyah R.A yang

berlain pandangan tentang ‘iddah wanita khuluk.

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah; Untuk mengetahui

ketentuan masa ‘iddah bagi wanita yang putus perkawinan karena khuluk dan

sebab dari pendapat Ibn Taimiyyah R.a tentang menentukan masa ‘iddah wanita

khuluk. Dalam penelitian skripsi ini penulis menggunakan metode penulisan

Deskriptif kualitatif yang dilakukan dengan cara meneliti berdasarkan sumber data

lapangan atau bahan pustaka sebagai bahan pelengkap. Spesifikasi penelitian ini

adalah penelitian deskriptif analitis yang berusaha menggambarkan masalah

hukum, sistem hukum dan mengkajinya secara sistematis.

Selain itu analisis juga dilakukan berdasarkan analisis deskriptif kualitatif

dengan menggunakan metode normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan

dengan cara meneliti bahan pustaka.

‘Iddah bermakna perhitungan atau sesuatu yang dihitung. Menurut bahasa

adalah hari-hari haid atau masa-masa suci bagi wanita. Sedangkan menurut istilah,

‘iddah merupakan masa menunggu bagi wanita untuk melakukan perkawinan

setelah terjadinya perceraian dengan suaminya, baik cerai hidup, maupun cerai

mati.

Dengan tujuan untuk mengetahui keadaan rahimnya atau sebagai waktu

berfikir bagi suaminya. Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah masa

‘iddah bagi seorang wanita, terutama masa ‘iddah bagi wanita khuluk. Ada yang

menyamakannya dengan ‘iddah talak namun ada juga yang mengatakan berbeda

salah satunya pandangan Ibnu Taimiyyah r.a. Perbedaan tersebut tentunya dapat

meresahkan seorang perempuan yang apabila diceraikan oleh suaminya, berapa

lama ia harus menunggu? Sedangkan pada dasarnya perempuan adalah manusia

yang butuh perlindungan dan tempat bergantung.

Kata kunci : Ibnu Taimiyyah r.a, ‘Iddah Wanita Khuluk.

Pembimbing I : H. A. Bisyri Abd Somad, M.A

Pembimbing II : Mukmin Rouf, M.A

Daftar Pustaka : Tahun 1974 s.d Tahun 2013

Page 6: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

vi

الرحیم الرحمن هللا بسم

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum.wr.wb

Alhamdulillah, segala puji dan rasa syukur penulis panjatkan kehadirat-

Nya. Tidak ada kekuatan apapun dalam diri ini selain dengan kekuasaan Allah

SWT. Dialah penguasa dari seluruh alam semesta ini, yang Maha Pengasih tanpa

pilih kasih, Maha Penyayang bagi semua makhluk-Nya. Karena anugerah dan

karunia yang diberikan-Nya kita memiliki kemampuan untuk berfikir dan

menikmati segala kenikmatan terutama nikmat Islam dan Iman serta nikmat

duniawi yang tak terhingga jumlahnya. Shalawat dan salam semoga tercurah

kehadirat Qudwah Hasanah Nabi Muhammad SAW, yang selalu kita nantikan

syafa'atnya di hari pembalasan nanti, Amin.

Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

menunjukan betapa Allah SWT Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Dengan

kasih sayang, rahmat, dan hidayah-Nya penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.

Dialah motivator sejati yang selalu mendorong penulis untuk selalu terus berusaha

menuntaskan kewajiban dan tanggung jawab mulia ini dan untuk selalu berbuat

yang terbaik di dunia ini semata-mata untuk mencapai ridha-Nya.

Walaupun usaha dalam penyelesaian skripsi ini, penulis sudah merasa

optimal namun sudah pasti banyak kekurangan dalam penulisan maupun dalam

pembahasannya. Untuk itu saran dan kritik yang konstruktif sangat kami

harapkan. Sebagai suatu karya ilmiah, semoga skipsi ini bisa bermanfaat bagi

Page 7: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

vii

penulis dan bagi semua pihak yang membacanya dan bagi pihak-pihak yang

terkait dengan masalah ini.

Penulis sangat menyadari, bahwa selesainya penulisan skripsi ini bukanlah

semata-mata dari buah tangan hasil penulis sendiri, akan tetapi dari hamba Allah

yang senantiasa mendermakan kemampuannya untuk kemaslahatan publik, baik

secara langsung maupun tidak. Mereka yang dengan tulus hati meluangkan waktu

mesti hanya sekedar menuangkan aspirasi bagi penulis, tentu tanggungjawab ini

akan terasa kian berat, tanpa kehadiran mereka.

Oleh karena itu tidak berlebihan kiranya jika pada kesempatan ini penulis

menyampaikan rasa terimakasih, khususnya kepada :

1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si, Ketua Program Studi

Perbandingan Madzhab Fakultas Syari’ah dan Hukum.

3. Ibu Siti Hanna, Lc, MA, Sekretaris Program Studi Perbandingan Madzhab

Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum.

4. Bapak H. A. Bisyri Abd. Somad, M.A dan Bapak Mukmin Rouf, M.A

selaku dosen pembimbing yang sangat bijaksana dan dengan besar hati,

sabar serta bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan

bimbingan bagi penulis dalam penulisan skripsi ini.

5. Pimpinan dan Staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syari’ah

dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

Page 8: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

viii

yang telah memberikan fasilitas bagi penulis untuk mengadakan studi

kepustakaan.

6. Para dosen Fakultas Syariah dan Hukum, para Guru, Ustadz yang telah

mendidik Penulis baik secara langsung atau tidak telah membantu

pemahaman Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Yang tercinta Ayahanda dan Ibunda, yang disetiap nafasnya mengalir doa

untuk kebahagiaan dan kesuksesan Ananda dalam meniti kehidupan dunia

dan di akhirat kelak, dan selalu memberikan motivasi baik secara moril dan

materil semata-mata untuk keberhasilan penulis.

8. Adikku Ulfah Latifatul Jannah, Imam Qusyaeri dan seluruh keluarga besar,

terima kasih atas do'a dan motivasinya baik moril dan materiil untuk

keberhasilan studi Penulis.

9. Gina Hoirunnisa yang menemani saya dalam suka maupun duka serta setia

memberikan semangat selama penulisan skripsi ini, dan semoga apa yang

kita cita-citakan tercapai.

10. Teman-teman seperjuangan, khususnya Haidir, Diki Riza, Dedat, Dimas,

Luthfi, Dobleh, Ipul, Anjo, dan teman-teman di Fakultas Syariah dan

Hukum angkatan 2010 teman seperjuanganku yang selalu ada baik dalam

suka maupun duka, teman-teman KKN Kreasi. Dimanapun Aku dan kalian

berada, Aku akan merindukan kalian selalu.

11. Semua makhluk Allah yang membuat Penulis terinspirasi dan semua pihak

yang telah memberikan bantuannya kepada Penulis, hingga penulisan

skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

Page 9: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

ix

Penulis hanya dapat memohon kepada Allah SWT. Semoga senantiasa

menerima kebaikan dan ketulusan mereka serta memberikan sebaik-baiknya

balasan atas amal baik mereka. Terakhir semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat

menambah khazanah keilmuan kita. Amin.

Jakarta, 26 Mei 2017

Penulis

Page 10: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i

LEMBAR PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ............................... ii

LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... iii

LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iv

ABSTRAK ...................................................................................................... v

KATA PENGANTAR .................................................................................... vi

DAFTAR ISI ................................................................................................... x

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1

B. Identifikasi Masalah .................................................................. 7

C. Pembatasan dan Rumusan Masalah ........................................... 7

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................. 8

E. Review Studi Terdahulu ............................................................ 8

F. Metode Penelitian ...................................................................... 9

G. Sistematika Penulisan ................................................................ 12

BAB II TINJAUAN TENTANG KHULUK DAN ‘IDDAH .................... 14

A. Iddah .......................................................................................... 14

1. Pengertian ‘Iddah ................................................................. 14

2. Dasar Hukum ‘Iddah ........................................................... 15

3. Syarat Wajib ‘Iddah ............................................................. 18

Page 11: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

xi

4. Macam-macam ‘Iddah ......................................................... 20

B. Khuluk ....................................................................................... 22

1. Pengertian Khuluk ............................................................... 22

2. Dasar Hukum Khuluk .......................................................... 24

3. Syarat dan Rukun Khuluk ................................................... 25

BAB III CORAK PEMIKIRAN DAN KARYA-KARYA IBNU

TAIMIYYAH R.A .................................................................... 32

A. Sejarah Kelahiran ................................................................. 32

B. Karya-Karya Ibnu Taimiyyah R.A ...................................... 42

1. Karya Ibnu Taimiyyah di Bidang Politik ........................ 43

2. Karya-Karya Ibnu Taimiyyah dibidang Hukum Islam ... 45

3. Karya-Karya Ibnu Taimiyyah dibidang Filsafat ............. 46

4. Karya-Karya Ibnu Taimiyyah dibidang Aqidah (Teologi) 47

C. Corak Pemikiran Ibnu Taimiyyah r.a .................................. 49

BAB IV KETENTUAN DAN FAKTOR-FAKTOR DALAM

PENENTUAN MASA ‘IDDAH WANITA KHULUK........... 57

A. Ketentuan tentang masa ‘iddah wanita khuluk menurut

Ibnu Taimiyya R.A .............................................................. 57

B. Faktor-faktor dalam menentukan masa ‘iddah wanita khulu’

menurut Ibnu Taimiyyah R.A .............................................. 63

BAB V PENUTUP .................................................................................. 70

A. Kesimpulan .......................................................................... 70

Page 12: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

xii

B. Saran-saran .......................................................................... 71

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 72

Page 13: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi ini tentu berbeda dengan

binatang dan makhluk yang lain. Dalam hal menjalin suatu hubungan Islam sudah

mengatur antara laki-laki dan perempuan untuk mengikuti hukum atau aturan

yang telah dianjurkan oleh Islam, yaitu dengan jalan pernikahan. Sehingga orang-

orang yang beragama Islam wajib mentaatinya.

Bagi orang-orang yang telah menikah, dalam menjalani bahtera rumah

tangga tentu ada saat-saat merasakan kebahagiaan, namun demikian adakalanya

terdapat permasalahan yang kompleks yang dapat memicu terjadinya

pertengkaran, bahkan tak jarang berujung kepada perceraian. Putusnya

perkawinan tidak hanya disebabkan oleh perceraian saja. Dalam Undang-Undang

Perkawinan ada tiga hal yang dapat menjadikan putusnya perkawinan, yaitu

kematian, perceraian dan atas keputusan pengadilan.1

Konsekuensi yang pertama kali muncul akibat perceraian adalah adanya

masa „iddah, „iddah bermakna perhitungan atau sesuatu yang dihitung. Menurut

bahasa adalah hari-hari haid atau masa-masa suci bagi wanita. Sedangkan menurut

istilah, „iddah merupakan masa menunggu bagi wanita untuk melakukan

perkawinan setelah terjadinya perceraian dengan suaminya, baik cerai hidup,

1 UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 38. “Penulisan kata khuluk sesuai

dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yang berarti perceraian atas permintaan pihak

perempuan dengan membayar sejumlah uang atau mengembalikan maskawin yang diterima atau

tebus talak.

Page 14: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

2

maupun cerai mati. Dengan tujuan untuk mengetahui keadaan rahimnya atau

sebagai waktu berfikir bagi suaminya.2

Masyarakat umum banyak mengalami kebimbangan tentang aturan „iddah

itu sendiri, baik antara laki-laki dan perempuan ataupun pandangan ahli fiqih

dalam memberikan hasil ijtihadnya. Terlebih lagi kurangnya pemahaman

masyarakat mengenai hal ini, baik dalam aturan KHI (Kompilasi Hukum

Indonesia) ataupun agama. Oleh karena itu, terkadang ditemukan pelanggaran

tehadap aturan „iddah yang sudah menjadi ketentuan formatif dalam hukum

Indonesia.

Meskipun dapat diketahui terdapat perbedaan dalam hasil ijtihad „Ulama

Fuqaha mengenai hal ini, penting adanya penelitian yang lebih mendalam bagi

para „Ulama Fuqaha atau Cendekiawan Muslim untuk mencari maslahat demi

kebaikan umat Islam pada khususnya.

Kasus-kasus pelanggaran terhadap masa „iddah banyak terjadi di

maasyarakat. Contohnya, seorang Ibu Rumah Tangga bernama Dina (45) yang

menikah dengan Susanto dikaruniai seorang anak dan tinggal di sebuah rumah

milik sendiri selama sembilan tahun. Namun, rumah tangganya tidak harmonis

lagi, banyak terjadi pertengkaran terus menerus yang membuat Dina memutuskan

untuk tidak mempertahankan keutuhan rumah tangganya dan mengajukan cerai

gugat di Pengadilan Agama. Keinginan Dina tidak didukung dengan keinginan

Susanto yang ingin mempertahankan rumah tangganya. Tetapi Dina tetap ingin

2 Dahlan Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,

1997), h. 637.

Page 15: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

3

bercerai dengan memberikan uang tebusan kepada Susanto sebesar Rp 400.000,-

sebagai kenang-kenangan.

Setelah bercerai, tak lama kemudian Dina menikah lagi dengan seorang

laki-laki bernama Rohmat dengan jarak perkawinan kedua hanya selapan (35 hari)

setelah perceraian. Jarak antara perceraian dengan perkawinan relatif singkat

dikarenakan Dina sudah terlanjur menerima lamaran dari Rohmat, faktor ekonomi

Dina yang harus menghidupkan dirinya beserta anaknya, dan Dina juga mengaku

tidak mengerti „iddah dan cara perhitungannya, begitu pula dengan Rohmat.

Perkawinan kedua pun dilakukan secara sirri oleh kiyai setempat.

Dalam ilmu fikih terdapat perbedaan mengenai aturan „iddah. Kelompok

pertama mengatakan apabila seorang wanita ditalak oleh suaminya, baik talak

raj‟i maupun talak ba‟in sedangkan ia telah dewasa (haid aktif) maka „iddahnya

adalah tiga kali haid, sedangkan apabila ia belum haid atau tidak lagi mengalami

haid karena faktor usia maka masa „iddahnya adalah tiga bulan, pendapat ini

dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah R.a, Ats-Tsauri R.a, Al-Awza‟I R.a, Ibnu

Abi Laila R.a, Ali bin Abi Thalib R.a, Umar bin Khattab R.a, Ibnu Mas‟ud R.a,

dan Abu Musa Al Asy‟ari R.a.3 Sebagaima Allah SWT berfirman dalam Surat al-

Baqarah ayat 228.

Dalam ayat tersebut dengan tegas dinyatakan ثالثت قروء yang berarti tiga

quru‟ secara sempurna, jadi apabila quru‟ dalam ayat ini diartikan sebagai suci,

itu berarti penerapan masa „iddah bisa jadi hanya sampai dua Quru‟ dan sebagian

3 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Jilid II, Cetakan ke VI,

(Kairo: Daar al-Ma‟rifah, 1982), h. 8.

Page 16: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

4

saja, hal ini akan menyalahi ayat ini sendiri yang menyatakan bahwa masa „iddah

mereka adalah tiga quru‟.

Kelompok kedua berpendapat apabila seorang wanita di talak oleh

suaminya, baik talak raj‟i maupun talak ba‟in sedangkan ia telah dewasa (haid

aktif) maka „iddahnya adalah tiga kali suci, sedangkan apabila ia belum haid atau

tidak lagi mengalami haid karena faktor usia maka masa „iddahnya adalah tiga

bulan, pendapat ini dikemukakan oleh Imam Malik, Imam Syafi‟I R.a, jumhur

ahlil Madinah, Abdullah bin Umar R.a, Zaid bin Tsabit R.a dan Aisyah

R.a.4Sebagaimana Allah Swt berfirman juga dalam surat al-Baqarah ayat 228,

namun dalam ayat ini Allah menggunakan kata yang dalam kebiasaan قروء

bangsa arab kata ,digunakan sebagai bentuk jama‟ yang berarti suci قروء

sedangkan bentuk jama‟ yang biasa dipakai untuk haid adalah أقراء.5

„Iddah dalam ajaran agama Islam terbagi menjadi beberapa jenis: yang

pertama „iddah bagi perempuan yang belum digauli maksudnya adalah bahwa

wanita yang belum digauli, yakni tidak ada masa „iddah atas dirinya menurut

ijma‟ para ulama. Yang kedua „iddah karena cerai mati, „iddah perempuan yang

ditinggal mati oleh suaminya, yaitu ada dua keadaan, yaitu jika perempuan

tersebut hamil, dan dalam keadaan tidak hamil. Dan yang ketiga „iddah cerai

hidup, „iddah bagi wanita yang diceraikan oleh suaminya bukan karena kematian

dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok yakni dalam keadaan hamil, dalam

keadaan dewasa (tidak hamil), belum dewasa.6

4 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, h. 8.

5 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, h. 9.

6 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, h. 89-90.

Page 17: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

5

Sedangkan waktu „iddah yang diakibatkan khuluk dalam Kompilasi

Hukum Islam (KHI) dalam pasal 155 adalah sama dengan „iddah talak. Namun

ada juga pendapat lain, dimana berbeda dengan talak yang melarang

pelaksanaannya diwaktu istri dalam keadaan haid atau dalam keadaan suci yang

sudah dicampuri yang dinamai talak bid‟iy, khulu‟ dapat dilaksanakan kapan saja

tanpa terikat waktu tertentu. Alasannya ialah tidak boleh menjatuhkan talak pada

waktu haid atau suci yang sudah dicampuri adalah karena mendatangkan

kemudharatan bagi istri dengan memanjangnya masa „iddah yang harus

dilaluinya.7

Masalah „iddah tidak luput dari perhatian „ulama besar Islam yaitu Ibnu

Taimiyyah R.a terdapat perbedaan ketika proses perceraian diawali oleh pihak

istri yang disebut dengan khulu‟, menurutnya khulu‟ berkedudukan sebagai

fasakh. Dengan demikian khulu‟ menurut Ibnu Taimiyyah R.a tidak mempunyai

batasan seperti halnya talak, dengan kata lain khulu‟ dapat dijatuhkan lebih dari

tiga kali, dan pasangan suami isteri dapat rujuk kembali setelah selesai masa

„iddah tanpa memerlukan muhallil. Ibnu Taimiyyah R.a juga berpendapat bahwa

masa „iddah bagi wanita yang khulu‟ adalah dengan menunggu satu kali masa

haid dengan tujuan untuk mengetahui kosongnya rahim. Dasar hukumnya adalah

hadits riwayat al-Nasa‟i R.a dalam kasusnya Tsabit bin Qais yang isinya, Nabi

saw memerintahkan istri Tsabit bin Qais yang mengajukan khuluk untuk „iddah

satu kali haid. Pendapat satu kali haid tersebut merupakan pendapat yang

7 Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009), h.

238-241.

Page 18: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

6

dipegang oleh Utsman R.a, Ibnu Abbas R.a, dan pendapat lebih sahih dari Imam

Ahmad R.a dan pendapat Ishak bin Rahawaihi R.a.8

Berdasarkan pada hadits yang berbunyi:

اس ان اننبي ص و فقانج: يا رسىل .عن ابن عباس قال: جاءث ايرأة ثابج بن قيس بن ش

ل هللا هللا، ان يا اعخب عهيو ف خهق و ال دين، و نكن اكره انكفر ف االسالو. فقال رسى

يقت. و : احردين عهيو حذيقخو؟ قانج: نعى. فقال رسىل هللا ص: اقبم انحذيقت و طهقها حطه .ص

.انبخاري و اننسائ، ف نيم االوطار

Artinya: Dari Ibnu „Abbas R.a, ia berkata: Istri Tsabit bin Qais bin

Syammas dating kepada Nabi SAW, lalu ia berkata, “Ya Rasulullah,

sesungguhnya aku tidak mencela dia (suamiku) tentang akhlaq dan

agamanya, tetapi aku tidak menyukai kekufuran dalam Islam”.

Kemudian Rasulullah SAW bertanya, “Maukah kamu mengembalikan

kebunmu kepadanya?”. Ia menjawab, “Ya”. Lalu Rasulullah SAW

bersabda (kepada Tsabit), “Terimalah kebunmu itu dan thalaqlah dia

sekali”. (HR. Bukhari dan Nasai, dalam Nailul Authar juz 6, hal. 276).

Berdasarkan permasalahan diatas, penulis merasa perlu mengkaji lebih

lanjut tentang ketentuan „iddah bagi wanita yang putus perkawinan karena khulu‟.

Dikarenakan banyak terjadi perbedaan pendapat dikalangan para „Ulama Fuqaha

dan bagaimana praktek yang terjadi ditengah-tengah masyarakat, maka dari itu

penulis bermaksud untuk membahas perkara tersebut dengan membandingakan

pendapat para „Ulama dan bagaimana implementasinya di kalangan umat Islam,

khususnya di Indonesia dengan penelitian yang bejudul “PANDANGAN IBNU

TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAH WANITA KHULUK”.

8 Ibnu Taimiyyah, Majmu al-Fatawa, Jilid 18, (Lebanon: Daar al-kutub al-Ilmiyyah, tth), h.

147.

Page 19: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

7

B. IDENTIFIKASI MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas maka identifikasi

masalahnya sebagai berikut:

1. Bagaimana ketentuan masa „iddah bagi wanita yang ditinggal mati oleh

suaminya?

2. Berapa lama waktu menunggu bagi wanita yang dicerai sebelum dan

sesudah dukhul?

3. Bagaimana ketentuan masa „iddah bagi wanita yang meminta cerai

kepada suaminya?

4. Bagaimana pandangan Ibnu Taimiyyah tentang masa „iddah wanita

khulu‟?

5. Apa dasar argumentasi Ibnu Taimiyyah tentang masa „iddah wanita

khulu‟?

C. BATASAN DAN RUMUSAN MASALAH

1. Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah yang penulis kemukakan diatas, agar

permasalahan yang penulis bahas tidak meluas, maka penulis membatasinya

hanya sekitar mengenai pandangan Ibnu Taimiyyah tentang „iddah wanita khulu‟

saja.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada batasan masalah diatas dan dalam rangka mempermudah

penulis dalam menganalisa permasalahan, penulis menyusun suatu rumusan

masalah sebagai berikut:

Page 20: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

8

1. Bagaimana ketentuan masa „iddah bagi wanita yang putus perkawinan

karena khulu‟ menurut Ibnu Taimiyyah R.a?

2. Apa yang menjadi pertimbangan Ibnu Taimiyyah R.a dalam menentukan

masa „iddah wanita yang putus perkawinan karena khulu‟?

D. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui ketentuan masa „iddah bagi wanita yang putus

perkawinan karena khulu‟ menurut Ibnu Taimiyyah R.a.

b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan Ibnu Taimiyyah R.a dalam

menentukan masa „iddah wanita yang putus perkawinan karena khulu‟.

2. Manfaat Penelitian

a. Secara Akademis

Sebagai khazanah pengetahuan bagi mahasiswa/mahasiswi pada

umumnya, dan masyarakat pada khususnya tentang pendapat Ibnu

Taimiyyah R.a mengenai masa „iddahnya seorang wanita.

b. Secara Praktis

Memberikan pengetahuan serta penjelasan kepada masyarakat

terutama wanita mengenai masa „iddahnya seorang wanita apabila

mengalami perceraian/putus perkawinan karena khulu‟.

E. REVIEW STUDI TERDAHULU

Ada beberapa penelitian yang pembahasannya hampir setara dengan

penelitian ini, namun fokus penelitiannya belum menyentuh pada persoalan

tentang ketentuan jumlah „iddah wanita karena khulu‟. Penelitian tersebut

Page 21: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

9

diantaranya:

1. Skripsi yang disusun oleh Ahmad Mutohar, dengan judul: “Analisi

Pendapat Imam Abu Hanifah Tentang Kedudukan Khuluk Sebagai Talak

Dan Fasakh”. Pada intinya penyusun skripsi ini mengungkapkan bahwa

Imam Abu Hanifah R.a menyamakan khuluk dengan talak dan fasakh

secara bersamaan, sedangkan Imam Syafi`i R.a berpendapat bahwa khuluk

adalah fasakh. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Ahmad R.a dan Daud

R.a dan sahabat yang berpendapat demikian adalah Ibnu Abbas R.a.

2. Skripsi yang disusun oleh Rosika Wahyu Alamintaha, dengan judul:

“Analisis Terhadap Pasal 155 KHI Tentang Ketentuan „Iddah Bagi Janda

Yang Putus Perkawinan Karena Khuluk”. Dia mengemukakan bahwa

menurut pasal 155 Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah waktu „iddah

bagi janda yang putus perkawinan karena khuluk, fasakh, dan li‟an berlaku

„iddah talak. Dari bunyi pasal tersebut menunjukkan bahwa bagi janda

yang masih mengalami haid adalah selama tiga kali haid.

3. Skripsi yang disusun Muhammad Arifin Subki, dengan judul: “Studi

Analisis Pendapat Imam Syafi`I Tentang Khuluk Yang Dijatuhkan Dengan

Imbalan Barang Yang Haram”. Dalam kesimpulan skripsi ini dijelaskan

bahwa fuqaha berselisih pendapat tentang khuluk yang dijatuhkan dengan

imbalan barang yang haram, seperti khamar dan babi, apakah istri harus

mengganti atau tidak, setelah mereka sependapat bahwa talak dapat terjadi.

F. METODE PENELITIAN

1. Jenis Penelitian

Page 22: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

10

Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif,

sebagaimana yang dikutip oleh lexy J. Moleong dari Bogdan dan Taylor, yaitu

prosedur penelitian yang menghasilkan data perspektif berupa kata-kata terutulis

atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.9

2. Pendekatan Penelitian

Dalam penyusunan penelitian, penulis melakukan pendekatan terhadap

permasalahan dengan “metode normatif”, yaitu penelitian hukum yang dilakukan

dengan cara meneliti bahan pustaka. Tentu referensi yang digunakan memiliki

keterkaitan dengan topik pembahasan yang akan penulis teliti, dengan

menggunakan sumber-sumber yang bekaitan dengan hukum Islam.

3. Sumber Data

Data yang dihimpun dalam penelitian ini terdiri dari (3) tiga, yaitu sumber

data primer, sumber data sekunder dan sumber data tersier.

a. Sumber data primer, yaitu semua sumber yang berhubungan langsung

dengan objek penelitian dalam kerangka perspektif Ibnu Taimiyyah yang

telah menjelaskan tentang „iddah wanita khulu‟ yang kemudian dihimpun

dalam buku-buku seperti:

1) Majmu‟ Al-fatawa

2) Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyah

3) Al-Furqan Bainan Auliya Al-Rahman Wa Auliya Al-syaithan

4) Tafsir Al-Kabir

5) Al-Syiasah al-Syar‟iyah

9 Moleong Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,

2004), h. 3.

Page 23: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

11

b. Sumber data sekunder, yaitu sumber data yang dapat menjelaskan data-

data primer dalam hal ini adalah:

1) Al-Fiqh ala Madzahib al-Arba‟ah karya Abdurrahman Al-Jaziry

2) Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid karya Ibnu Rusd

3) Tafsir Ibnu Katsir karya Imam Ibnu Katsir

4) Fath al-Mu‟in Karya Syaikh Zainuddin al-Malibary

5) Fiqh al-Sunnah karya Sayyid Sabiq

6) Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu karya Wahbah Zuhaily

7) Al-Umm karya Imam Syafi‟i

8) Ushul al-Fiqh karya Muhammad Abu Zahrah

9) Ushul Fiqh Karya Amir Syarifuddin.

10) Hukum Perkawinan Islam di Indonesia karya Amir Syarifuddin

c. Sumber data tersier, yaitu meliputi kamus-kamus, koran dan

Ensiklopedia Islam.

4. Metode Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data yang lebih akurat dan faktual, teknik pengumpulan

data yang dilakukan dengan studi kepustakaan dengan data-data kualitatif. Yakni

dengan mencari bahan-bahan (referensi) yang terkait serta mempunyai relevansi

dengan penelitian. Adapun metode pengumpulan data yang peneliti gunakan

adalah studi pustaka, yaitu buku-buku karangan Ibnu Taimiyyah yang membahas

tentang masa „iddah wanita karena meminta cerai kepada suaminya (khulu‟).

Page 24: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

12

5. Teknik Analisa Data

Dalam menganalisa data, menggunakan analisis deskriptif yaitu suatu

metode analisis data dimana menjabarkan data-data yang diperoleh dari hasil

penelitian, sehingga didapatkan suatu kesimpulan yang objektif, logis,konsisten,

dan sistematis sesuai dengan tujuan yang dilakukan penulis dalam penelitian ini.10

6. Teknik Penulisan Skripsi

Penulisan skripsi ini berdasarkan pada “Buku Pedoman Penulisan Skripsi

Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

yang diterbitkan oleh FSH UIN Jakarta tahun 2012.”

G. SISTEMATIKA PENULISAN

Untuk mempermudah penulisan skripsi ini, penulis membagi pembahasan

menjadi beberapa Bab yang diuraikan dalam sistematika sebagai berikut:

BAB I Berisi tentang pendahuluan yang menjelaskan tentang latar belakang

masalah, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat

penulisan, kerangka teori, metode penelitian, review studi terdahulu,

dan sistematika penulisan.

BAB II Berisi tinjauan umum tentang khulu‟ dan „iddah, yang meliputi khulu‟

(pengertian khulu‟, dasar hukum khulu‟, syarat dan rukun khulu‟) yang

meliputi „iddah (pengertian „iddah, dasar hukum „iddah, syarat wajib

dan tujuan „iddah ).

10

Sugiyono, Metode Penelitian kuantitatif, kualitatif, dan R & D, (Bandung: Alfabeta,

2007), h. 244.

Page 25: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

13

BAB III Berisi Sejarah dan dasar pemikiran Ibnu Taimiyyah R.a, yang meliputi

biografi tentang Ibnu Taimiyyah R.a, karya-karya ilmiah Ibnu

Taimiyyah R.a, dasar pemikiran Ibnu Taimiyyah R.a.

BAB IV Berisi ketentuan dan faktor-faktor dalam penentuan masa „iddah

wanita khuluk (study pemikiran Ibnu Taimiyyah R.a), meliputi

ketentuan masa „iddah wanita khuluk menurut Ibnu Taimiyyah R.a,

faktor-faktor dalam menentukan masa „iddah wanita khuluk menurut

pendapat Ibnu Taimiyyah R.a.

BAB V Berisi tentang penutup serta saran mengenai masalah dan memuat

jawaban dari pokok masalah yang di angkat.

Page 26: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

14

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG KHULUK DAN ‘IDDAH

A. „Iddah

1. Pengertian „iddah

Dalam kamus al-Munawwir, „iddah berarti sejumlah1. Dalam kamus umum

bahasa indonesia „iddah berarti waktu menanti (lamanya 100 hari) bagi

perempuan yang ditalak atau kematian suaminya (selama waktu itu ia tidak boleh

kawin lagi) sampai iddahnya telah habis2. Dalam kamus besar bahasa indonesia,

„iddah adalah masa tunggu bagi wanita yang berpisah dengan suami, baik karena

ditalak maupun bercerai mati. Wanita yang ditalak oleh suaminya harus menjalani

selama tiga kali suci dari menstruasi.3

Sedangkan dalam kamus modern bahasa Indonesia, „iddah berarti waktu

yang lamanya 100 hari sesudah perempuan bercerai dengan suaminya atau

ditinggalkan suaminya sesudah meninggalnya. Dalam waktu itu perempuan tidak

boleh kawin, hal ini untuk mendapat kejelasan siapa bapak dari anak itu.4

Dalam kitab Fath al-Mu‟în dijelaskan bahwa „iddah menurut syara' ialah

masa menunggu buat wanita (tercerai), untuk bisa diketahui rahimnya bebas

kandungan atau untuk ta'abbud yaitu sesuatu yang tidak bisa diterima/dipikirkan

1 Al-Munawwir Warson Ahmad, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap,

(Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997), h. 903. 2 Poerwadarminta W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cet 5, (Jakarta: PN Balai

Pustaka, 1976), h. 368. 3 Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 416.

4 Zain Muhammad Sutan, Kamus Modern Bahasa Indonesia, (Jakarta: Grafika, Tth), h.

366.

Page 27: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

15

oleh akal mengenai maknanya baik berupa ibadah atau bukan ibadah, atau

belasungkawanya atas kematian suami.5

Sayyid Sabiq memberi rumusan „iddah menurut istilah, yaitu „iddah dalam

istilah agama menjadi nama bagi masa lamanya perempuan (istri) menunggu dan

tidak boleh nikah setelah wafat suaminya, atau setelah pisah dari suaminya.

Dari beberapa rumusan di atas, dapat disimpulkan bahwa „iddah adalah

masa tunggu yang ditetapkan oleh hukum syara‟ bagi wanita untuk tidak

melakukan akad nikah dengan laki-laki lain dalam masa tersebut sebagai akibat

ditinggal mati oleh suaminya atau perceraian dengan suaminya itu, dalam rangka

membersihkan diri dari pengaruh dan akibat hubungan dengan suaminya itu.

2. Dasar hukum „iddah

Konsekuensi yang pertama kali muncul akibat pernyataanperceraian adalah

adanya masa „iddah. Perempuan yang bercerai dari suaminya dalam bentuk

apapun, cerai hidup atau mati, sedang hamil atau tidak, masih berhaid atau tidak,

wajib menjalani masa „iddah itu. Kewajiban menjalani masa „iddah dapat dilihat

dari beberapa ayat al-Qur'an, di antaranya adalah firman Allah Swt dalam surat

Al-Baqarah ayat 228:

ف ب خك ٱلل أ ٠ىز ل ٠ذ ء ثخ لش ث ثأفغ ذ ٠زشثص طم ٱ إ أسدب

أدك ث ثعز ٱلخش ١ ٱ ثٱلل ٠ؤ ٱز و ث ذب

ا إص أساد ه إ ف ر شد

عض٠ض دى١ ٱلل دسجخ جبي ع١ ش عشف

ثٱ (.٢٢٢ . )عسح اجمشح:ع١

Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu)

tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang

5 Syeikh Zainuddin Al-Malîbary, Fath al -Mu‟în, (Kairo: Maktabah Dar al-Turas, 1980), h.

116.

Page 28: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

16

diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah

dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam

masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan

para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya

menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi para suami, mempunyai satu

tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah maha perkasa lagi

maha bijaksana. (QS. Al-Baqarah: 228).6

Adapun di antara hadits Nabi Saw yang memerintahkan menjalani masa

„iddah tersebut adalah apa yang disampaikan oleh Aisyah R.a menurut riwayat

Ibnu Majah R.a dengan sanad yang kuat yang artinya, “Telah mengabarkan

kepada kami dari Ali bin Muhammad R.a dari Waki' R.a dari Sufyan R.a dari

Mansur R.adari Ibrahim R.a dari Aswad R.a dari A'isyah R.a berkata: Nabi Saw

menyuruh Barirah untuk ber‟iddah selama tiga kali haid.” (HR. Abu Daud).

Adapun tujuan dan hikmah diwajibkanya „iddah itu adalah sebagaimana

dijelaskan dalam salah satu definisi yang disebutkan sebelumnya, yaitu:

Pertama, untuk mengetahui bersihnya rahim perempuan tersebutdari bibit

yang ditinggalkan mantan suaminya. Hal ini disepakati oleh ulama. Pendapat

„ulama waktu itu didasarkan kepada dua alur pikir:

a. Bibit yang ditinggal oleh mantan suami dapat berbaur dengan bibit orang

yang akan mengawininya untuk menciptakan satu janin dalam perut

perempuan tersebut. Dengan pembauran itu diragukan anak siapa

sebenarnya yang dikandung oleh perempuan tersebut. Untuk

menghindarkan pembauran bibit itu, maka perlu diketahui atau diyakini

bahwa sebelum perempuan itu kawin lagi rahimnya bersih dari

peninggalan mantan suaminya.

6 Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Surabaya: Surya Cipta Aksara, 1993), h. 55.

Page 29: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

17

b. Tidak ada cara untuk mengetahui apakah perempuan yang baru berpisah

dengan suaminya mengandung bibit dari mantan suaminya atau tidak

kecuali dengan datangnya beberapa kali haid dalam masa itu, untuk itu

diperlukan masa tunggu.

Alur pikir pertama tersebut di atas, tampaknya waktu ini tidak relevan lagi

karena sudah diketahui bahwa bibit yang akan menjadi janin hanya dari satu bibit

dan berbaurnya beberapa bibit dalam rahim tidak akan mempengaruhi bibit yang

sudah memproses menjadi janin itu. Demikian pula alur pikir kedua tidak relevan

lagi karena waktu ini sudah ada alat yang canggih untuk mengetahui bersih atau

tidaknya rahim perempuan dari mantan suaminya. Meskipun demikian, „iddah

tetap diwajibkan dengan alasan dibawah ini.7

Kedua: untuk ta‟abbud, artinya semata untuk memenuhi kehendak dari

Allah meskipun secara rasio kita mengira tidak perlu lagi. Contoh dalam hal ini,

umpamanya perempuan yang cerai karena kematian suami dan belum digauli oleh

suaminya itu, masih tetap wajib menjalani masa „iddah, meskipun dapat

dipastikan bahwa mantan suaminya tidak meninggalkan bibit dalam rahim

isterinya itu.

Adapun hikmah yang dapat diambil dari ketentuan „iddah itu adalah agar

suami yang telah menceraikan isterinya itu berpikir kembali dan menyadari

tindakan itu tidak baik dan menyesal atas tindakannya itu kemudian bisa rujuk

kembali. Serta dengan adanya „iddah dia dapat menjalin kembali hidup

perkawinan tanpa harus mengadakan akad baru.

7 Hakim Rahmat, HukumPerkawinan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 201.

Page 30: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

18

3. Syarat wajib „iddah

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa „iddah adalah masa di

mana seorang wanita yang diceraikan suaminya menunggu. Yang dimaksud

dengan syarat wajib di sini adalah syarat-syarat yang menentukan adanya hukum

wajib, bentuk syaratnya adalah alternatif dalam arti apabila tidak terdapat salah

satu syarat-syarat yang ditentukan, maka tidak ada hukum wajib, sebaliknya

apabila salah satu di antara syarat yang ditentukan telah terpenuhi, maka

hukumnya adalah wajib. Syarat wajib „iddah ada dua, yaitu:

a. Matinya suami. Apabila isteri bercerai dengan suaminya karena

suaminya meninggal dunia, maka perempuan itu wajib menjalani masa

„iddah, baik dia telah bergaul dengan suaminya itu atau belum. Dalam

hal ini tidak ada beda pendapat di kalangan „ulama8. Yang menjadi dasar

hukumnya adalah firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 234 :

جب ٠ أص ٠زس ى ف ٠ز ٱز٠ أج عششا فئرا ثغ أسثعخ أشش ثأفغ زشثص

خج١ش ب رع ث ٱلل عشف ثٱ أفغ ف ب فع ف١ . )عسح اجمشح:فل جبح ع١ى

٢٣٤.)

Artinya: “Orang-orang yang meninggal di antaramu dan meninggalkan

isteri hendaknya dia menjalani masa iddah selama empat bulan

sepuluh hari. Apabila telah sampai waktu yang ditentukan boleh dia

berbuat terhadap dirinya dengan cara yang baik. Allah Maha Tahu

terhadap apa yang mereka lakukan.” (QS. al-Baqarah: 234).9

Ayat ini secara tegas dan umum mengatakan keharusan istri yang ditinggal

mati suami wajib menjalani masa „iddah selama empat bulan sepuluh hari.

8 Amir Syarifuddin, HukumPerkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009), h.

306. 9 Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, h. 17.

Page 31: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

19

Meskipun dia belum digauli, tidak berlaku baginya ketentuan tidak ber‟iddah

sebagaimana yang disebut dalam surat al-Ahzab ayat: 49, ketentuan ini

merupakan kesepakatan „ulama.

b. Istri sudah bergaul dengan suaminya, apabila suami belum bergaul

dengan istrinya, maka istri tersebut tidak memenuhi syarat untuk dikenai

kewajiban ber‟iddah. Ketentuan ini berdasarkan kepada surat al-Ahzab

ayat 49:

ب ف غ أ ر لج طمز ذ ث ؤ ٱ ا إرا ىذز ءا ب ٱز٠ أ٠ ٠ ع١ ى

ح ١ل عذ عشادب ج د عش زع ب ف (.٤٤ . )عسح الدضاة:رعزذ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman apabila kamu menikahi

perempuan-perempuan yang beriman kemudian kamu

menceraikannya sebelum kamu menggaulinya, maka tidak ada

kewajiban baginya untuk beriddah terhadapmu yang kamu minta

menyempurnakannya, maka berilah mereka mut‟ah dan lepaskanlah

mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.” (QS. al-Ahzab :49).

Dalam memahami kata “bergaul” atau al-Massu „ulama berbeda pendapat.

Jumhur „ulama mengatakan bahwa bergaul itu maksudnya adalah hubungan

kelamin. Apabila terjadi hubungan kelamin, maka wajib „iddah. Sedangkan

perbuatan lain di luar itu seperti khalwah tidak mewajibkan „iddah. Sebagian

„ulama di antaranya Imam Ahmad R.a dan al-Syafi'I R.a, ulama ahlu ra'yi

(Hanafiyah), berpendapat bahwa apabila telah terjadi khalwah meskipun tidak

sampai hubungan kelamin, telah wajib „iddah. Alasan yang dikemukakan

golongan ini adalah apa yang diriwayatkan dari Khalifah yang berempat bahwa

Page 32: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

20

bila sudah ditutup gorden atau telah ditutup pintu (maksudnya adalah khalwah)

telah wajib mahar dan telah wajib „iddah.10

4. Macam-macam „iddah

Bagan 2.1

Macam-macam ‘iddah

Macam-macam „iddah yang akan dijalankan oleh seorang wanita yang

tertalak atau ditinggal mati suaminya tergantung dari kondisi atau keadaan wanita

yang bersangkutan pada saat talak dijatuhkan. Ada beberapa kriteria „iddah yang

telah diatur oleh syara‟ yaitu:

a. Istri qabla dukhul

Ialah seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya atau diceraikannya,

sedangkan ia belum pernah sama sekali digauli oleh suaminya (qabla dukhul),

maka ia tidak wajib „iddah atau tidak ada „iddah baginya sebagaimana firman

Allah SWT dalam surat Al-Ahzab ayat 49:

ب ف غ أ ر لج طمز ذ ث ؤ ٱ ا إرا ىذز ءا ب ٱز٠ أ٠ ٠ ع١ ى

عشادب د عش زع ب ف ح رعزذ ١ل عذ (.٤٤ . )عسح الدضاة:ج

10

Amir Syarifuddin, HukumPerkawinan Islam di Indonesia, h. 307.

‘Iddah

Qabla Dukhul

„Iddah Wanita

Ditinggal Mati

Ba‟da Dukhul

„Iddah Wanita

Hamil

„Iddah Wanita

Yang Monopause „Iddah Quru‟

Page 33: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

21

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi

perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan

mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib

atas mereka ´iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya.

Maka berilah mereka mut´ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara

yang sebaik-baiknya. (Al-Ahzab ayat: 49).

b. Istri ba‟da dukhul

Seorang isteri yang dicerai atau ditinggal mati oleh suaminya, dan dia sudah

pernah digauli oleh suaminya, dalam hal ini ada beberapa criteria masa „iddah

yaitu:

1) „Iddah wanita hamil, yaitu sampai melahirkan anaknya sebagaimana

firman Allah SWT, dalam surat At-Thalak ayat 4:

ر فعذ ٱسرجز إ غبئى ذ١ض ٱ ـ ٠ئغ

ٱ ذ أ ٠ذض ـ ٱ ثخ أشش

ث

شۦ ٠غشا أ ۥ ٠جع ٠زك ٱلل د أ ٠ضع بي أج (.٤ عسح اطلق:. )ٱلد

Artinya: “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di

antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa

iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu

(pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-

perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka

melahirkan kandungannya. Dan barang siapa yang bertakwa kepada

Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam

urusannya. (QS. At-Thalaq ayat: 4).

2) „Iddah wanita yang telah menopause, yaitu wanita yang telah berhenti

menstruasi. Bagi wanita yang menopause „iddahnya adalah tiga bulan

sebagaimana firman Allah SWT dalam surat At-Thalaq ayat: 4 seperti

yang dijelaskan diatas.

3) „Iddah quru‟, yaitu „iddah seorang wanita yang masih aktif haid dan

masih sehat untuk melakukan hubungan seks dengan suaminya. Dan

Page 34: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

22

wanita ini masa „iddahnya apabila tertalak adalah tiga kali quru‟,

sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 228:

ف ب خك ٱلل أ ٠ىز ل ٠ذ ء ثخ لش ث ثأفغ ذ ٠زشثص طم ٱ إ أسدب

أسا ه إ ف ر أدك ثشد ثعز ٱلخش ١ ٱ ثٱلل ٠ؤ ٱز و ث ذب

ا إص د

عض٠ض دى١ ٱلل دسجخ جبي ع١ ش عشف

ثٱ ٢٢٢ع١

Artinya:Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu)

tiga kali quru´. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang

diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah

dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam

masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan

para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya

menurut cara yang ma´ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu

tingkatan kelebihan dari pada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa

lagi Maha Bijaksana. (Qs. Al-Baqarah ayat: 228).

B. Khuluk

1. Pengertian khulu‟

Khulu‟ berasal dari kata Khila‟ yang artinya naza‟ (mencabut), karena

masing-masing dari suami istri mencabut pakaian yang lainnya. Untuk maksud

yang sama dengan kata khulu‟ itu para „ulama menggunakan kata fidyah, shulh,

mubaraah. Walaupun dengan makna yang sama, namun dibedakan dari segi

jumlah ganti rugi atau iwadh yang digunakan. Dan bila ganti rugi untuk putusnya

hubungan perkawinan itu adalah seluruh mahar yang diberikan waktu nikah

disebut khulu‟. Bila ganti rugi adalah separuh mahar yang diterima disebut shulh,

bila ganti rugi itu lebih banyak dari mahar yang diterima disebut fidyah dan bila

istri bebas dari ganti rugi disebut mubara‟ah.11

11

Amir Syarifudin, HukumPerkawinan Islam di Indonesia, h. 231.

Page 35: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

23

Abdurrahman Al-Jaziri R.a memberikan definisi khuluk menurut masing-

masing madzhab:12

a. Golongan Hanafi mengatakan:

“Khulu‟ adalah menanggalkan ikatan pernikahan yang diterima oleh istri

dengan lafaz khuluk atau yang semakna dengan itu.”

b. Golongan Malikiyah mengatakan:

“Khulu‟ menurut syara adalah talak dan tebus”.

c. Golongan Asy-Syafi‟iyah mengatakan:

“Khulu‟ menurut syara adalah lafaz yang menunjukkan perceraian antara

suami istri dengan tebusan yang harus memenuhi persyaratan tertentu”.

d. Golongan Hanabilah mengatakan:

“Khulu‟ adalah suami menceraikan istrinya dengan tebusan yang diambil

oleh suami dan istrinya atau dari lainnya dengan lafaz tertentu”.

Khulu‟ dinamakan juga tebusan, karena istri menebus dirinya dari suaminya

dengan mengembalikan apa yang diterimanya. Dengan demikian, khulu‟ menurut

istilah syara' adalah perceraian yang diminta oleh istri dari suaminya dengan

memberikan ganti sebagai tebusannya. Artinya istri memisahkan dirinya dari

suaminya dengan memberikan ganti rugi kepadanya.

Menurut fuqaha, khulu‟ secara umum, yakni perceraian dengan disertai

sejumlah harta sebagai „iwadh yang diberikan oleh istri kepada suami untuk

menembus diri agar terlepas dari ikatan perkawinan, baik dengan

kata khulu‟, mubara‟ah maupun talak. Secara khusus, yaitu talak atas

12

Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh „ala al-Madzahib al-Arba‟ah, Juz 4, (Beirut: Dar al-

Fikr, 1972), h. 300.

Page 36: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

24

dasar „iwadh sebagai tebusan dari istri dengan kata-kata khulu‟ (pelepasan) atau

yang semakna seperti mubara‟ah (pembebasan).

2. Dasar hukum khulu‟

Seperti yang dijelaskan diatas khulu‟ ini adalah permintaan cerai yang

diajukan oleh isteri kepada suaminya, kemudian suaminya pun menyetujuinya.

Maka isteri wajib mengeluarkan tebusan untuk suaminya sebagai pengganti mas

kawin (mahar) yang dahulu diberikan oleh suaminya. Dalam hal ini, Khulu‟

disyariatkan dalam syari‟at Islam dalam QS. Al-Baqarah: 229, Allah Swt

berfirman:

ب ءا أ رأخزا ى ل ٠ذ ثئدغ رغش٠خ عشف أ ث

غبن فئ رب ش ك ش١ ٱط ب ر١ز

فل ب دذد ٱلل أل ٠م١ خفز فئ ب دذد ٱلل أ ٠خبفب أل ٠م١ ه إل ۦ ر ب ٱفزذد ث ب ف١ جبح ع١

ٱظ ئه

فأ ٠زعذ دذد ٱلل فل رعزذب دذد ٱلل

Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi

dengan cara yang ma‟ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.

Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah

kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak

akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir

bahwa keduanya (suami-isteri) tidak dapat menjalankan hukum-

hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran

yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-

hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa

yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang

yang zhalim”.(QS. Al-Baqarah: 229).13

Adapun yang menjadi dasar hukum khulu‟ selain firman Allah Swt di atas

adalah hadits yang menjadi dalil disyari‟atkannya khulu‟ dan sahnya khulu‟ dalam

Islam yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas R.a:

13

Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Surabaya:

DEPAG RI, 1978), h. 55.

Page 37: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

25

ص بط ا اج ش ل١ظ ث شأح ثبثذ ث عجبط لبي: جبءد ا اث ي .ع فمبذ: ٠ب سع

. فمبي ى اوش اىفش ف العل ، ل د٠ ف خك ب اعزت ع١ ي هللا هللا، ا سع

طمب رط .ص اذذ٠مخ ي هللا ص: الج . فمبي سع دذ٠مز؟ لبذ: ع ع١ ١مخ . : ارشد٠

.اجخبس اغبئ، ف ١ الطبس

Artinya: Dari Ibnu „Abbas R.a, ia berkata: Istri Tsabit bin Qais bin

Syammas dating kepada Nabi SAW, lalu ia berkata, “Ya Rasulullah,

sesungguhnya aku tidak mencela dia (suamiku) tentang akhlaq dan

agamanya, tetapi aku tidak menyukai kekufuran dalam Islam”.

Kemudian Rasulullah SAW bertanya, “Maukah kamu mengembalikan

kebunmu kepadanya?”. Ia menjawab, “Ya”. Lalu Rasulullah SAW

bersabda (kepada Tsabit), “Terimalah kebunmu itu dan thalaqlah dia

sekali”. (HR. Bukhari dan Nasai, dalam Nailul Authar juz 6, hal. 276).

3. Syarat dan Rukun Khulu‟

Menurut Fuad Said rukun khulu‟ itu ada empat yaitu: pertama, istri (yang

membayar iwad). Kedua, iwad. Ketiga, shighat. Keempat, suami.14

Pendapat lain

dikemukakan Amir Syarifuddin bahwa rukun khuluk ada empat pertama, suami

yang menceraikan istrinya dengan tebusan. Kedua, istri yang meminta cerai dari

suaminya dengan uang tebusan. Ketiga, uang tebusan atau iwad. Keempat, alasan

untuk terjadinya khulu‟.15

Adapun tentang syarat khulu‟, menurut Ibnu Rusyd R.a mengenai syarat-

syarat diperbolehkannya khulu‟, ada yang berkaitan dengan kadar harta yang

boleh dipakai khulu‟ dan ada juga yang berkaitan dengan sifat (keadaan) di mana

khulu‟ boleh dilakukan. Ada juga yang berkaitan dengan keadaan wanita yang

melakukan khuluk, atau wali-wali wanita yang tidak boleh bertindak sendiri.

a. Harta/barang yang dipakai untuk khulu‟.

14

Said Fuad, Perceraian Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1994), h. 102. 15

Syarifuddin Amir, HukumPerkawinan Islam di Indonesia, h. 234.

Page 38: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

26

Dalam hal ini, syarat khulu‟ bisa dilihat dari segi :

1) Kadar harta yang boleh dipakai untuk khulu‟.

Imam Malik R.a, dan Imam Syafi'I R.a serta segolongan fuqaha berpendapat

bahwa seorang istri boleh melakukan khulu‟ dengan memberikan harta yang lebih

banyak dari mahar yang pernah diterimanya dari suami jika kedurhakaan itu

datang dari pihaknya, atau bisa juga memberikan yang sebanding dengan mahar

atau lebih sedikit.

Segolongan fuqaha lain berpendapat bahwa suami tidak boleh mengambil

lebih banyak dari mahar yang diberikan kepada istrinya. Bagi fuqaha yang

mempersamakan kadar harta dalam khulu‟ dengan semua pertukaran dalam

mu'amalat, maka mereka berpendapat bahwa kadar harta itu didasarkan atas

kerelaan. Sedangkan fuqaha yang memegang hadits secara dzahir, maka mereka

tidak membolehkan pengambilan harta yang lebih banyak daripada mahar.

Mereka seolah-olah menganggap bahwa perbuatan tersebut termasuk pengambilan

harta tanpa hak.16

2) Sifat harta pengganti

Imam Syafi'i R.a dan Imam Abu Hanifah R.a mensyaratkan bahwa harta

tersebut harus dapat diketahui sifat dan wujudnya. Sedangkan Imam Malik R.a

membolehkan harta yang tidak diketahui kadar dan wujudnya, serta harta yang

belum ada. Perbedaan pendapat tersebut disebabkan oleh adanya kemiripan harta

pengganti khuluk denganharta pengganti dalam hal jual beli, barang-barang hibah,

atau wasiat.

16

Ibnu Rusyd, Bidâyah al Mujtahid Wa Nihâyah al Muqtasid, Juz II, (Beirut: Dâr al-Jiil,

1989), h. 51.

Page 39: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

27

Bagi fuqaha yang mempersamakan harta pengganti dalam khulu' dengan

jual beli, mereka mensyaratkan padanya syarat-syarat yang terdapat dalam jual

beli dan harta pengganti dalam jual beli. Sedang bagi fuqaha yang

mempersamakan harta pengganti dalam khulu‟ dengan hibah, mereka tidak

menetapkan syarat-syarat tersebut. Tentang khulu‟ yang dijatuhkan dengan

barang-barang seperti minuman keras, fuqaha berselisih pendapat apakah istri

harus mengganti atau tidak setelah mereka sepakat bahwa talak itu dapat terjadi.

Imam Malik R.a mengatakan bahwa istri tidak wajib menggantinya,

demikian juga pendapat Imam Abu Hanifah R.a. Sedang Imam Syafi'i

R.aberpendapat bahwa istri wajib mengeluarkan mahar misil.17

3) Keadaan yang dapat dan tidak dapat dipakai untuk menjatuhkan

khulu‟

Jumhur fuqaha berpendapat bahwa khuluk boleh diadakan berdasarkan

kerelaan suami istri, selama hal itu tidak mengakibatkan kerugian pada pihak istri.

Dasarnya adalah firman Allah SWT:

ززجا ث ل رعض ب أ رشثا ٱغبء وش ى ا ل ٠ذ ءا ب ٱز٠ أ٠ ب ٠ جعض

عبشش خ ج١ ذشخ ثف أ ٠أر١ إل أ ءار١ز فعغ ز عشف فئ وش

ثٱ

خ١شا وث١شا رىشا ش١ ف١ ٱلل ٠جع (.٩٤ . )عسح اغبء:ب

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu

mempusakai wanita dengan jalan paksa, dan janganlah kamu

menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian

dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka

melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka

secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka

bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal

17

Ibnu Rusyd, Bidâyah al Mujtahid Wa Nihâyah al Muqtasid, h. 51.

Page 40: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

28

Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”(Q.S. An-

Nisa:19).18

Abu Qilabah R.a dan Hasan Al-Basri R.a berpendapat bahwa suami tidak

boleh menjatuhkan khuluk atas istrinya kecuali jika ia melihat istrinya berbuat

zina, karena mereka mengartikan bahwa "keji" dalam ayat di atas dengan

perbuatan zina. Daud berpendapat bahwa suami tidak boleh menjatuhkan khulu‟

kecuali bila ada kekhawatiran bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat

menjalankan hukum-hukum Allah, berdasarkan ayat tersebut secara zahir.

Adapun An-Nu'man mengatakan bahwa khulu‟ dapat dijatuhkan meskipun

merugikan. Berdasarkan aturan fikih, khulu‟ diberikan kepada istri sebagai

imbangan talak yang dimiliki oleh suami. Oleh karena itu, talak diberikan kepada

suami jika ia membenci istri, maka khulu‟ diberikan kepada istri jika ia membenci

suami. Dengan demikian terdapat keseimbangan antara keduanya.19

b. Istri yang boleh mengadakan khuluk.

Di kalangan jumhur fuqaha telah disepakati bahwa istri yang mampu boleh

mengadakan khulu‟ untuk dirinya, sedangkan perempuan hamba tidak boleh

mengadakan khulu‟ untuk dirinya, kecuali dengan seizin tuannya. Demikian juga

istri yang bodoh (safihah) adalah bersama walinya, sebagaimana pendapat fuqaha

yang menetapkan adanya kemampuan atasnya.

Imam Malik R.a berpendapat bahwa seorang ayah boleh mengadakan khulu‟

untuk anaknya (perempuan) yang masih kecil sebagaimana ia boleh

menikahkannya. Demikian pula untuk anak lelakinya yang masih kecil, karena

18

Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, h. 55. 19

Abidin Slamet dan Aminuddin, Fiqih Munakahat, Jilid I, (Bandung: CV. Pustaka Setia,

1999), h. 91.

Page 41: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

29

menurut Imam Malik R.a seorang ayah dapat menceraikan atas namanya.

Kemudian timbul perbedaan pendapat berkenaan dengan anak lelaki yang masih

kecil (di bawah umur). Imam Syafi'i R.a dan Imam Abu Hanifah R.a berpendapat

bahwa ayah tidak boleh mengadakan khulu‟ atas namanya, karena itu seorang

ayah tidak boleh menjatuhkan talak atas namanya juga.

Selanjutnya, Imam MalikR.a berpendapat bahwa, istri yang sedang sakit

keras boleh mengadakan khulu‟. Jika harta tebusannya sebesar warisan dari

suaminya. Tetapi Ibnu Nafi' R.a mengatakan bahwa istri yang sakit tersebut dapat

mengadakan khulu‟ dengan sepertiga dari jumlah harta seluruhnya.

Imam Syafi'i R.a berpendapat bahwa apabila istri mengadakan khulu‟

sebesar mahar misilnya, maka hal itu diperbolehkan, dan harta tersebut diambil

dari sebagian dari harta pokok. Apabila lebih dari mahar misil, maka tambahan

tersebut harus dari sepertiga dari harta pokok. Adapun istri yang terlantar (Al-

Muhmalah), yakni yang tidak memiliki wasi dan ayah, maka Ibnu Qasim R.a

berpendapat bahwa ia boleh mengadakan khulu‟ atas dirinya sebesar mahar misil.

Jumhur „ulama mengatakan bahwa istri yang dapat menguasai dirinya boleh

mengadakan khulu‟. Sebaliknya Al-Hasan R.a dan Ibnu Sirin R.a berpendapat

bahwa ia tidak boleh mengadakan khulu' kecuali dengan ijin penguasa. Mengenai

rukun khulu‟, selain dua hal tersebut di atas (adanya harta yang digunakan. dan

istri yang mengadakan khulu‟) juga harus ada ucapan khulu‟.20

Fuqaha berpendapat bahwa dalam khulu‟ harus diucapkan kata “khulu‟”

atau lafal yang terambil dari khulu‟. Atau bisa juga katalain yang seperti

20

Abidin Slamet dan Aminuddin, Fiqih Munakahat, h. 91.

Page 42: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

30

dengannya. seperti: “mubara'ah” yaitu melepas diri dan fidyah yaitu

tebusan.21

Jika tidak menggunakan kata khulu‟ atau yang searti dengannya,

misalnya suami berkata, “engkau tertalak” sebagai imbalan dari barang-barang

seharga sekian, lalu istri mau menerimanya. Maka perbuatan ini termasuk talak

dengan imbalan harta bukan termasuk khulu‟.

Ibnu Qayim R.a menyangkal pendapat tersebut, “barang siapa yang hendak

memikirkan hakikat dan tujuan dari akad atau perjanjian bukan hanya melihat

kata-kata yang diucapkan saja tentu akan menganggap khuluk sebagai fasakh”.

Bila diucapkan dengan kata apapun sekalipun dengan kata talak.

Pendapat ini juga merupakan salah satu pendapat murid-murid Imam

Ahmad R.a. Juga pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah R.a dan

diriwayatkan oleh Ibnu Abbas R.a. Kemudian Ibnu Taimiyyah R.a berkata,

“Barang siapa hanya melihat dan berpegang kepada lafal-lafal itu, dan

memperhatikannya pula bagaimana adanya dalam hukum akad, tentu ia akan

menentukan lafal talak untuk talak saja”.

Selanjutnya Ibnu Qayim R.a melemahkan pendapat ini. Orang yang

membaca fiqh dan ushul fiqh akan dapat menyaksikan bahwa dalam akad yang

diperhatikan adalah hakikat dan maksud akadnya, bukan formalitas dan sekadar

kata-kata yang diucapkannya. Alasannya ialah bahwa Nabi Saw pernah menyuruh

Tsabit bin Qais agar menalak istrinya secara khulu‟ dengan sekali talak. Selain itu

Nabi Saw menyuruh istri Tsabit untuk ber‟iddah sekali haid. Hal ini jelas

menunjukkan fasakh, sekalipun terjadinya perceraian dengan ucapan talak.

21

Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz II, (Kairo: Maktabah Dâr al-Turas, 1970), h. 320.

Page 43: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

31

Di samping itu, Allah Swt juga menghubungkannya dengan hukum fidyah,

karena memang ada fidyahnya. Telah diketahui bahwa fidyah tidak mempunyai

pernyataan dengan kata-kala khusus, dan Allah Swt pun tidak menetapkan lafal

yang khusus untuk itu. Talak dengan tebusan sifatnya terbatas dan tidak tergolong

ke dalam hukum talak yang umum sebagaimana ia tidak tergolong kepada hukum

talak yang dibolehkan rujuk kembali, dan beriddah dengan tiga kali suci seperti

ketentuan sunnah yang sah.

Page 44: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

32

BAB III

CORAK PEMIKIRAN DAN KARYA-KARYA IBN TAIMIYYAH

A. Sejarah Kelahiran

Pada saat agama Islam menghadapi gejolak yang luar biasa, baik yang

disebabkan karena perpecahan intern umat Islam atau karena permusuhan dengan

Barat (Nasrani) lahirlah seorang bayi yang kelak ditakdirkan Allah SWT menjadi

seorang intelektual muslim terkemuka dan oleh banyak orang disebutkan sebagai

seorang mujaddid (pembaharu), beliau adalah Ibnu Taimiyyah R.a. Namannya

adalah Taqiyuddin Abu Abbas Ahmad bin Al-Khadiri bin Ali bin Abdullah yang

terkenal dengan sebutan Ibnu Taimiyyah R.a.1

Beliau lahir di Harran, sebuah kota kecil beberapa kilometer dari kota

Damaskus pada hari Senin, 10 Rabi‟ul Awwal, 661 Hijriah (12 Januri 1263

Miladiyah).2 Ibnu Taimiyyah R.a berasal dari keluarga besar Taimiyyah yang

amat terpelajar dan sangat dihormati dan disegani oleh masyarakat luas pada

zamannya. Ayahnya adalah Syihabuddin Abdul Halim bin Abdus Sala, (627-682

H) adalah seorang „ulama besar yang mempunyai kedudukan di Masjid Jami‟

Damaskus. Beliau bertindak sebagai khatib dan Imam.3

Para sejarahwan berbeda pendapat tentang ibunya. Sebagaian mengatakan

bahwa ibunnya adalah orang Arab, sedang pendapat lain mengatakan bahwa

1 Sebagaiman dinukil oleh Qamaruddin Khan “Pemikiran Politik Ibnu Taimiyyah“,

(Bandung: Pustaka Salman, ITB, 1983), h.5. 2 Ibnu Taimiyyah, “Al-Furqan Bainan Auliya Al-Rahman Wa Auliya Al-syaithan”,

Terjemah Pustaka Panjimas, “Al-Furqan antara Kekasih Allah Dan Kekasih Syaithan”, (Jakarta:

Pustaka Panjimas, 1989), h. 6. 3 Ali Hasan, “Perbandingan Mazhab”, Cet Ke-4, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

2002), h. 282.

Page 45: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

33

ibunnya adalah orang Kordi, beliau sangat berperan dalam mendidik dan

mengembangkan dirinya.4 Kakeknya yang bernama Mujaddin Abi Al-Barakat

Abdus Salam bin Abdullah (590-620 H), oleh Al-Syaukani (1172-1250 H)

dinyatakan sebagai seorang Mujtahid mutlak. Ia juga seorang „alim terkenal ahli

tafsir (mufassir), ahli al-hadis (muhaddis), ahli ushul al-fiqh (ushuli), ahli fiqh

(alfaqih), ahli Nahwu (an-nahwiyy), dan beliau juga seorang pengarang

(mushannif).5 Al-khatib Fakhruddin paman Ibnu Taimiyah R.a dari pihak bapak

adalah seorang cendekiawan muslim popular dan seorang pengarang yang

produktif pada masanya. Syarafuddin Abdullah bin Abdul Halim (692-727 H),

adik laki-laki Ibnu Taimiyah R.a yang juga ternyata dikenal sebagai ilmuan

muslim yang ahli dalam bidang ilmu kewarisan Islam (faraidh), ilmu-ilmu al-

hadis (ulum al-hadis), dan ilmu pasti (al-riyadiyah).6

Dari kutipan diatas dapatlah kita pastikan bahwa keturunan Ibnu Taimiyah

R.a adalah keturunan orang yang berpendidikan, dimulai dari. Kakeknya,

ayahnya, pamannya dan adiknya adalah „ulama yang cukup terkenal dan cukup

disegani pada masanya, sehingga lingkungan keluarganya mampu menjawab dan

menangkis pertanyaan-pertanyaan dari masyarakat yang sangat majemuk di

Damaskus.

Ibnu Taimiyah R.a mulai belajar dari ayahnya sendiri kemudian dilanjutkan

dengan berguru atau belajar pada ahli Zainal ibn al-Maqoddisi, Najam Al-Din ibn

4 Ibnu Taimiyah, “Tafsir Al-Kabir, Jilid I, (Beirut-Lebanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, t,t),

h. 37. 5 Muhammad Amin, “Ijtihad Ibnu Taimiyah Dalam Bidang Fiqh Islam”, (Jakarta: INIS,

1991), h. 8. 6 Muhammad Amin, “Ijtihad Ibnu Taimiyah Dalam Bidang Fiqh Islam”, h. 9.

Page 46: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

34

Asaki, Zainab binti Makki, dan „ulama-„ulama terkemuka pada saat itu.7

Semenjak kecil Ibnu Taimiyah R.a dikenal sebagai seorang anak yang

mempunyai kecerdasan yang luar biasa, tinggi kemauan dalam studi, tekun dan

cermat dalam memecahkann masalah, tegas dan teguh dalam menyatakan dan

mempertahankan pendapat (pendirian), ikhlas dan rajin dalam beramal shaleh, rela

berjuang dan berkorban untuk jalan kebenaran.8

Ketika berumur enam tahun, beliau dibawa ayahnya Syekh Syihabuddin

Abdul Halim bin Abdus Salam ke Damaskus bersama saudaranya. Disana beliau

berdomisili dan dari „ulama dikota itu beliau mempelajari dan mendalami

berbagai cabang ilmu keislaman. Dalam bidang hadits beliau belajar antara lain

kepada Ibnu Abdul Daim seorang ahli hadits kenamaan dinegeri itu, dari Syekh

Samsuddin Al-Hambali, Syekh Jalaluddin Al-Hanafi, dan lain-lain.

Kemudian beliau mendalami ilmu fiqh, bahasa arab, tafsir dan usul fiqh.9

Beliau terkenal sebagai seorang yang sangat kuat hafalannya. Diriwayatkan

bahwa tak satu huruf pun Al-Qur‟an dan hadits yang telah dihafalnya lupa. Sejak

kecil beliau terkenal rajin menghadiri diskusi-diskusi ilmiah. Berkat keuletan dan

ketekunannya, dalam usia tujuh tahun beliau sudah menghapal Al-Qur‟an dengan

amat baik dan lancar.

Selain itu, penguasaannya yang prima terhadap berbagai ilmu yang

diperlukan untuk memahami Al-Qur‟an menyebabkan beliau tampil sebagai ahli

tafsir, disamping juga ahli hadits. Keahlian dalam bidang hadits ini tampak

terlihat sejak masa kecil.

7 Munawir Sjadzali, “Islam and Govermental Sistem”, (Jakarta: INIS, 1991), h. 56.

8 Munawir Sjadzali, “Islam and Govermental Sistem”, h. 57.

9 Harun Nasution, “Ensiklopedi Islam Di Indonesia”, (Jakarta: Jambatan, 1992), h.384.

Page 47: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

35

Suatu ketika, salah seorang guru mendiktekan 11 matan hadits kepadanya,

ketika beliau disuruh mengulangi hadits tersebut, dan beliau telah menghapalnya.

Beliau juga telah mempelajari berbagai kitab Al-Jami Bain As-Shahihhain, karya

Imam Al-Hamidi, merupak kitap hadits yang pertama dihafalnya. Selanjutnya

beliau mempelajari berbagai kitab-kitab hadits termasyhur seperti sahih Bukhori,

sahih Muslim, jami al-Tarmizi, sunan Abi Daud, sunan Ibnu Majah, sunan An-

Nasa‟i, dan musnan al-imam Ahmad Ibn Hanbal.10

Sebagai ilmuan Ibnu Taimiyyah R.a mendapatkan reputasi sebagai

seseorang yang berwawasan luas, pendukung kebebasan berpikir, tajam perasan,

teguh pendirian dan pemberani serta menguasasai banyak cabang ilmu

pengetahuan agama. Beliau seorang ahli dalam bidang Tafsir, Al-Hadits, Teologi

dan Fiqh, khususnya Fiqh Hambali.

Menurut Syaukani, pada waktu itu setelah Ibnu Hazm, tidak seseorang yang

tingkat keilmuannya setinggi Ibnu Taimiyyah R.a. Kalau saja belum terejadi salah

pengertian kata istilah “fundamentalisme”, dia dapat dimasukkan dalam kategori

golongan fundamentalis yang mendambakan kembali pada kemurniaan ajaran

Islam sesuai dengan kandungan Al-Qur‟an dan Al-Hadits. Dia penentang keras

terhadap setiap bentuk khurafat dan bid‟ah atau inovasi terhadap agama.

Dengan sikapnya yang demikian itu, beliau dimusuhi oleh banyak kelompok

Islam, dan kerap kali berlawanan pendapat dengan kebanyakkan „ulama ahli

hukum.11

10

Abdul Aziz Dahlan, “Ensiklopedia Hukum Islam”, Jilid VI, (Jakarta: PT. Intermasa,

1997, Cet. Pertama), h. 624. 11

Munawir Sjadzali, “Islam Dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan pemikiran “, (Jakarta:

UI Press, 1993), h. 80.

Page 48: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

36

Pada umur 19 tahun beliau telah mulai mengarang dan memberi fatwa.

Ketika Ibnu Taimiyyah R.a berusia 21 tahun, beliau telah menyelesaikan

pendidikannya dan menjadi ulama‟ yang diseganai, pada waktu itu ayahnya telah

meninggal dunia, namun demikian jabatan maha guru dibidang hadits, suatu gelar

yang dipegang oleh ayahnya diberbagai madrasah terkamuka di Damaskus.

Berangkat dari sinilah tampaknya karir Ibnu Taimiyyah R.a selalu dari

tahun ke tahun namanya menjadi terkenal dan dalam waktu yang singkat beliau

telah menjadi masyhur melebihi ulama‟-ulama‟ lainnya, yang terkemuka pada saat

itu seperti Ibnu Daqiq Al-Id Kamaluddin Al-Zimlikani Alzahabi.12

Ibnu Taimiyyah R.a berasal dari keluarga besar Taimiyyah yang terpelajar

dan terhormat. Ibnu Taimiyyah R.a memperolah pendidikannya ditengah

lingkungan keluarga sendiri yang secara turun-menurun, merupakan tokoh-tokoh

cerdik pandai. Selain belajar dari lingkungan keluarga sendiri, beliau pun pergi

belajar kepada sejumlah „ulama terkemuka dikota Damaskus pada masa itu.

Meskipun Ibnu Taimiyyah R.a besar dalam naungan keluarga bermazhab

Hambali, wawasan beliau sangat luas meliputi mazhab-mazhab hukum lainnya.

Bahkan bukan itu saja, pengetahuannya pun meliputi soal fasilitas, kalam, mantik,

sastra, sejarah dan berbagai disiplin ilmu lainnya.

Ibnu Taimiyyah R.a dikenal sebagai pemikiran yang tidak menentang

ijtihad empat mazhab, tetapi mengambil pendapat para imam itu dengan

menyebut perbedaan atau kesepakatan pendapat diantara keduanya, baru

kemudian dipilih yang paling kuat menurut pendapatnya.

12

Qamaruddin Khan, ”Pemikiran Politik Ibnu Taimiyyah“, (Bandung: PT. Pustaka

Salman, 1983), h. 15-16.

Page 49: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

37

Ibnu Taimiyyah R.a menulis masalah-masalah fiqhiyyah yang beliau

himpun dari berbagai pendapat dalam fiqh Islam tanpa terikat oleh mazhab

tertentu, dengan judul pilihan-pilihan masalah fiqh. Tulisannya mengerankan

sebagian orang karena didalamnya Ibnu Taimiyyah R.a memberikan kemudahan

bagi umat, padahal selama ini banyak orang mengenal tokoh ini sebagai orang

yang kaku dan keras (dalam masalah hukum), sehingga dengan buku-buku hasil

karyanya sirnalah citra tersebut.13

Tidak mengherankan apabila terdapat banyak pertentangan antara Ibnu

Taimiyyah R.a dengan „ulama-„ulama semasanya, karena kemunculannya telah

membawa pemikiran-pemikiran yang „ulama-„ulama waktu itu menggapnya tidak

sejalan dengan pemikiran yang telah mereka warisi dari pendahulu.

Beliau mengundang agar umat Islam kembali kepada al-Qur‟an dan hadits

serta mencontoh para sahabat dan para salaf, beliau menginginkan pemurnian

agama. Hal yang paling ditekankannya dalam usaha pemurnianya ialah agar umat

Islam membuang jauh sifat fanatisme dan kemujudan.

Sebagai „ulama Ibnu Taimiyyah R.a mempunyai pengetahuan yang luas

mengenai ilmu rijalul hadits (perawi hadits) mengenai hadits-hadits yang

didalaminya semuanya dikembalikan (dirujukan) kepada kitab hadits yang enam.

Sehingga dapatlah dikatakan bahwa setiap hadits yang tidak diketahui oleh Ibnu

Taimiyyah R.a bukanlah hadits, namun beliau mengatakan kekuasaan masih

ditangan Allah Swt.

Perpaduan antara kecerdasan otak dan ketekunan dalam belajar serta

13

Abdul Aziz Ghafar“ Islam Politik, Pro Dan Kontra “, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993),

h. 224.

Page 50: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

38

kepribadiannya yang dihiasi dengan akhlak yang mulia, ternyata mampu

mengantarkan dirinya menjadi „ulama besar yang sangat berprestasi. Pada masa

itu beliau dapat digolongkan sebagai salah seorang tokoh yang pemahaman

keagamaan boleh dikatakan mandiri dalam pengertian tidak mau terikat pada

pemahaman siapapun dan aliran Islam yang manapun. Namun bersamaan dengan

itu, dia tidak menolak untuk menerima dan membela pendapat siapa dan aliran

Islam manapun jika menurut penilaiannya sejalan dan sesuai dengan al-Qur‟an

dan sunnah.14

Ibnu Taimiyyah R.a menekuni setiap masalah dengan sepenuh hati dan

dengan sedalam-dalamnya. Kadang-kadang untuk mempelajari satu masalah

beliau menghabiskan waktu sampai beberapa malam, dan masalah tersebut tidak

akan ditinggalkannya sebelum dapat dipecahkan dengan memuaskan, beliau

merenunginya dengan perenungan yang sesuai dengan ayat-ayat al-Qur‟an, hadits-

hadits Nabi Saw dan kesimpulan-kesimpulannya selalu sesuai menurut akal

pikiran dengan pertimbangan-pertimbangan dan membanding-bandingkan secara

berulang-ulang sehingga kebenarannya tampak jelas depan matanya.

Itulah sebabnya Ibnu Taimiyyah R.a dipandang sebagai salah seorang

cendekiawan yang paling kritis dan paling kompeten yang dapat peraturan-

peraturan dan hukum dari hadis-hadis dan ayat-ayat al-Qur‟an. Karena

semangatnya dalam pemikiran dan penyelidikan yang bebas dan segar, tidak

terkait dengan pemikiran atau penyelidikan lain, maka dari itu beliau dapat

14

Rajak Abdul Jeje, “Politik Kenegaraan Pemikiran-Pemikiran al-Ghazali dan Ibnu

Taimiyyah “, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1999). h. 118.

Page 51: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

39

dikatakan sebagai bapak spiritual modernis Islam diseluruh dunia pada masanya.15

Berpikir bebas merupakan suatu kualitas yang penting dalam perkembangan

mental dan personalitas intelektualnya yang membuatnya lebih unggul dari tokoh-

tokoh yang semasa dengannya. Apabila dihadapkan kepadanya sebuah masalah

maka masalahnya itu akan dipelajarinya menurut al-Qur‟an, hadits dan tradisi-

tradisi (asar) dari orang-orang muslim yang saleh.

Jadi beliau tidak mengikuti pendapat-pendapat cerdik dan pandai pada masa

itu ataupun pendapat-pendapat yang diyakini oleh banyak orang. Beliau akan

berpegang teguh kepada kesimpulan-kesimpulan yang diperolehnya dalam

mempelajari ajaran islam yang murni, meskipun beliau akan mendapat hujatan-

hujatan yang sangat menyakitkan, namun beliau tidak mau menarik kata-katanya

kembali.

Kualitas kepribadian seperti inilah yang menolongnya dalam perjuangan

menghidupkan kembali ajaran Islam yang murni. Beliau meninjau berbagai

masalah dengan caranya sendiri tanpa dipengaruhi oleh apapun kecuali al-Qur‟an,

as-Sunnah dan praktek-praktek para sahabat Nabi Saw, secara beberapa tokoh

sesudah mereka. Demikianlah cara Ibnu Taimiyyah R.a memberi debu-debu

bid‟ah yang mengotori Islam selama beberapa abad.

Ibnu Taimiyyah R.a tidak hanya seorang intelektual yang tinggi tetapi beliau

juga seorang yang gagah berani, kegagahannya itu dipadukan dengan kesabaran

dan ketabahan. Beliau tidak puas dengan hanya duduk di dalam Masjid untuk

memberi ceramah-ceramah atau fatwa-fatwa pada para murid-muridnya, atau

15

Ahmad Ma‟arif Syafi‟i, ”Islam dan Masalah Kenegaraan”, (Jakarta: LP3ES, 1996), h.

40.

Page 52: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

40

menyibukkan diri di dalam diskusi-diskusi kesastraan.

Pada tahun 1313 M, Ibnu Taimiyyah R.a diperintah untuk memimpin

peperangan ke Syiria, dan beliau diangkat menjadi profesor pada sekolah tinggi,

tetapi pada bulan Agustus 1318 M beliau dilarang mengeluarkan fatwa. Meskipun

demikian murid-muridnya dapat mengumpulkan fatwa-fatwanya yang kemudian

dicetak di Mesir, yang merupakan peninggalan yang berharga. Diantara murid-

muridnya yang menjadi sesepuh „ulama ialah Imam Ibnu Qoyyim al Jauziyah.

Beliau banyak mengarang buku bersama gurunya Ibnu Taimiyyah R.a di penjara

Damaskus.16

Profesor yang berdarah pejuang dan berjiwa militer ini pernah ditugaskan

oleh pemerintah untuk turut melawan dan mengalahkan tentara Mongol yang telah

berada di dekat Damaskus dalam suatu perang suci (Holi War). Ibnu Taimiyyah

R.a yang menjadi panglima pasukan dan memperoleh kemenangan yang gemilang

disuatu tempat yang bernama Sahab, dekat ibukota Syiria sekitar tahun 1299 M.

Ibnu Taimiyyah R.a hidup pada masa dunia Islam mengalami puncak

disintegrasi politik, dilokasi sosial serta akhlak dan moral. Kekuasaan pemerintah

tidak lagi berada dibawah kekuasaan khalifah yang bertahta di Baghdad

melainkan pada penguasa-penguasa daerah atau wilayah yang bergelar sultan, raja

atau amir, dan wilayah kekuasaan mereka dipersempit bahkan ada yang direbut

oleh penguasa Tar-tar dari timur atau Krusades dari barat.

Jatuhnya Baghdad pada Hulagu dari Tar-tar mengakibatkan umat Islam

mengalami kemunduran, yang berarti berakhirnya dinasti Abbasyiyah, yang

16

Ishak Muslim, “ Sejarah dan Perkembangan Teologi Islam “,(Semarang: Duta Grafika,

1988), h. 156.

Page 53: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

41

merupakan puncak dari disintergrasi negara. Pada saat ini tarikat berkembang,

sebagai kompensasi dari pelipur lara umat Islam yang mengalami kehancuran.

Ibnu Taimiyyah R.A mulai melancarkan gerakan ferifikasi (pemurnian) yang

mengajak umat Islam kembali kepada al-Qur‟an dan as-Sunnah, filsafat dan

tasawuf ditentang, karena dirasakan telah menghantarkan umat Islam untuk

menjauhi ajaran islam yang benar. Gerakan inilah yang kemudian dilanjutkan oleh

Muhammad Ibnu Abdul Wahab.17

Ibnu Taimiyyah R.a hidup dibawah kekuasaan Mamluk, yang mana

masyarakatnya pada masa itu sangat beranekaragam baik dalam kebangsaan,

status sosial, agama, aliran budaya, maupun hukum. Hal ini menimbulkan

kerawanan perpecahan dalam berkehidupan bernegara, yang lebih parah lagi pada

waktu itu masalahnya bukan hanya banyak agama tapi juga banyaknya mazhab,

termasuk juga mazhab Hanafi, Maliki, Syafi‟i dan Hambali.

Sebab Ibnu Taimiyyah R.a sering masuk penjara pada saat itu tidak selalu

disebabkan karena memusuhi penguasa, tetapi juga karena pengaduan dan

tuntutan dari sekelompok „ulama dari golongan mazhab lain, terutama oleh

ketajaman kritikannya terhadap kebiasaan memuja para Nabi dan para wali.

Ibnu Taimiyyah R.a berkeyakinan bahwa kebanyakan aqidah kaum

muslimin dan perbuatan-perbuatan mereka bertentangan dengan tauhid ibadah,

seperti keyakinan terhadap syafa‟at atau tawasul terhadap para wali. Pada bulan

Agustus 1302 M atau bulan Rajab 720 H, Ibnu Taimiyyah R.a ditangkap dan

dimasukkan kembali kedalam pejara yang terletak dalam benteng Damaskus

17

Azwar Basyir Ahmad, ”Refleksi Atas Persoalan Keislaman “, (Bandung: PT. Mizan,

1996), h. 23.

Page 54: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

42

setelah 5 bulan 18 hari kemudian beliau dibebaskan kembali, dan beliau kembali

beraktifitas seperti biasanya menjalankan tugasnya sebagai „ulama.

Pada bulan sya‟ban 726 H atau Juli 1328 M, beliau ditangkap kembali serta

dimasukkan kedalam penjara, keadaan ini dipergunakannya dengan sebaik-

baiknya untuk menulis tafsir al-Qur‟an dan berbagai karya lainnya, walaupun

demikian jiwanya sangat tersiksa ketika tidak di izinkan lagi untuk menulis,

segala tinta yang tersedia, diatas meja kamar penjaranya kembali diambil semua

oleh pemerintah.

20 hari kemudian „ulama besar, pahlawan besar, yang berjuang dimedan

perang dan berjihad dengan lisan maupun dengan tulisan, melalui mata penanya

dan mata pedangnya itu berpulang kerahmatullah meninggalkan dunia di dalam

penjara yang sempit itu, tersungkur diatas tikar sembahyangnya setelah beliau

membaca ayat suci al-Qur‟an surat al-Qamar yang bertetapan pada tanggal 20 zul

qa‟edah 728 H atau 26 sepember 1328 M.18

B. Karya-karya Ibnu Taimiyyah R.a.

Ibnu Taimiyyah R.A adalah seorang pemikir Islam kenamaan, beliau tidak

hanya terkenal karena kharisma, sistem berfikir dan pengaruhnya, melainkan

beliau juga seorang penulis yang produktif, hampir tidak dapat dibayangkan

betapa tingginya disiplinnya pada waktu disela-sela kesibukannya dalam

menjalankan kegiatan-kegiatan yang ditelitinya sebagai dai, „ulama yang banyak

yang dikunjungi banyak orang.

18

Firdaus A.N. ”Pedoman Islam Dalam Bernegara”, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1989),

h. 246.

Page 55: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

43

Sebagai pejuang yang terjun kekancah politik, beliau pun masih dapat

menyisihkan waktunya yang ada untuk mengisi kegiatan mengarang dan menulis

buku. Dilihat dari hasil karya tulisnya, Ibnu Taimiyyah R.a tergolong sebagai

penulis yang berhasil dan produktif.

Karangan-karangannya tidak kurang dari 500 buah jilid buku besar, kecil,

sampai dengan yang berjilid-jilid dengan berbagai judul dan tema, baik masalah

aqidah (teologi), politik (kenegaraan), hukum maupun filsafat. Namun karena

keterbatasan cakupan kajian karya ilmiyah ini, maka penulis hanya dapat

memaparkan sebagian kecil dari karya Ibnu Taimiyyah R.a tersebut.

1. Karya-karya Ibnu Taimiyyah R.a dibidang politik.

a. As-Syiasah as-Syari‟ah fii Islahir Ra‟yi wa Ra‟iyah.

Dari karya Ibnu Taimiyyah R.a diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa

kandungannya tidak hanya menjelaskan tugas dan kewajiban pemerintahan, dan

bagi rakyat memenuhi amanah, realisasinya dalam pembagian zakat, tetapi juga

menegakkan keadilan dan melaksanakan hudud (hukum-hukum yang harus

ditegakkan terhadap kejahatan sesuai dengan al-Qur‟an). Karya ini terdiri dari satu

jilid yang berjumlah 190 halaman.

Dalam masalah pentingnya pemerintahan, Ibnu Taimiyyah R.a di dalam

buku ini, beliau mengatakan bahwa untuk melaksanakan amar ma‟aruf dan nahi

munkar dalam menegakkan keadilan dan keterjaminan dalam melaksanakan

ibadah (shalat, haji) dan menolong orang yang teraniaya, semuanya itu tidak dapat

terlaksana dengan baik kecuali dengan kekuasaan dan pemerintahan, karena itu

beliau mengatakan bahwa “sultan” adalah bayangan Tuhan di bumi. Dan

Page 56: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

44

menurutnya enam puluh tahun di bawah pemerintahan yang zalim lebih baik dari

pada semalam tanpa pemerintahan.19

b. Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyah.

Buku ini ditulis Ibnu Taimiyyah R.a sebagai jawaban sekaligus sebagai

bantahan terhadap karya Jamaluddin al-Muthahar al-Hilli yang berjudul Minhaj

al-Karomah Fi Ma‟rifah al-Imamah (jalan kemuliaan mengenai pengetahuan para

imam).

Karya ini ditulis Jamaludduin untuk mempengaruhi raja-raja Mongol agar

menganut paham Syi‟ah, Minhaj as-Sunnah ditulis oleh Ibnu Taimiyyah R.a untuk

membendung meluasnya paham syi‟ah di negara-negara Islam sebelah timur.

Buku ini terdiri dari empat jilid. Jilid satu berjumlah 276 halaman, jilid dua

berjumlah 262 halaman, jilid tiga berjumlah 278 halaman, jilid empat berjumlah

300 halaman. Yang diterbitkan oleh Darul al-Kitab al-Almiyah, Bairut Mesir.

Dengan disertai argumentasi yang logis, akurat dan mendalam, Ibnu

Taimiyyah R.a mematahkan dalil-dalil teori tersebut. Karena Ibnu Taimiyyah R.a

sangat menentang konsep imamah syi‟ah. Bahkan beliau menganggapnya sebagai

konsep irasional dan berlawanan dengan prinsip-prinsip Islam.20

Keyakinan syi‟ah bahwa imam adalah ma‟sum dari dosa besar dan kecil

serta imamah (kepemimpinan negara) merupakan masalah aqidah, hal inilah yang

tidak dapat diterima oleh Ibnu Taimiyyah R.a. Di dalam buku ini beliau

mengatakan “sekiranya masalah imamah merupakan bagian dari iman maka

19

Ibnu Taimiyyah, “al-Syiasah al-Syar‟iyah”, (Mesir: Darul al-Kitab Ala Arabi, tt), h.

162. 20

M. Arskal Salim, “Etika Intervensi Negara Persfektif Politik Ibnu Taimiyyah”,

(Jakarta: Logos, 1999), h. 42.

Page 57: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

45

sudah tentu Nabi Saw sudah menjelaskan pada generasi sesudahnya”,

sebagaimana beliau menjelaskan masalah shalat, zakat, puasa, dan haji. Juga

sudah barang tentu beliau jelaskan masalah iman kepada Allah Swt dan hari akhir,

tetapi sayangnya masalah iman tidak ada penjelasannya secara mendetail di dalam

al-Qur‟an maupun al-Sunnah sebagaimana menjelaskan prisip-prinsip lainnya.21

2. Karya-karya Ibnu Taimiyyah R.a dibidang hukum Islam.

a. Majmu‟ Fatawa

Karya Ibnu Taimiyyah R.a ini terdiri dari 30 jilid, karya ini sangat penting

karena berisikan beberapa ratus keputusan hukum hasil ijtihad Ibnu Taimiyyah

R.a. Salah satu keputusan hukum Ibnu Taimiyyah R.a tersebut adalah shalat nisfu

sya‟ban sendirian atau secarah berjamaah sebagaimana yang dikerjakan oleh

golongan salaf, maka hal itu merupakan yang baik.

Jika nisfu sya‟ban itu dikerjakan di Masjid dengan aturan-aturan tertentu,

misalnya melakukan shalat tersebut seratus raka‟at dengan membaca surat al-

Ikhlas seribu kali secara terus-menerus, maka hal ini hukumnya bid‟ah. Karena

tidak ada seorangpun dari pemimpin-pemimpin Islam mengenalkan amalan ini

karena tidak ada tuntutan dari Rasulullah Saw.22

Beliau juga menulis tentang masalah shalat sunnah lailatul qadar yang

dilaksanakan setelah shalat tarawih pada bulan Ramadhan. Menurutnya amalan ini

merupakan amalan yang bid‟ah. Karena tidak pernah dikerjakan oleh Nabi

21

Ibnu Taimiyyah, “Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyah”, jilid I, (Riyadh: Riyad al-Hadisati,

t.th), h. 21. 22

Ibnu Taimiyyah, “Majmu‟ Fatawa”, Jilid I, (Bairut: Darul Fikr, 1920), h. 146.

Page 58: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

46

Muhammad Saw, beliau juga para sahabat, tabi‟in dan pemerintahan-

pemerintahan Islam. Dalam hal tersebut hendaklah dicegah dan ditinggalkan.23

b. Al-Qiyas Fi Syarh al-Islam.

c. Risalah Khilaf al-Ummah Fi al-Ibadah.

d. A1-Sarim al-Maslul „al Syatim al-Rasul.

Di dalam kitab ini menerangkan bahwa masuknya seseorang ke dalam Islam

tidaklah menggugurkan hukuman atas tindakan yang telah diperbuatnya.

e. Al-Hisbah Fil-Islam

Buku ini membahas cara penggunaan prinsip menyerukan kebajikan dan

mencegah kejahatan, terutama sehubungan dengan administrasi negara. Dan juga

berisi pernyataan-pernyataan mengenai hakikat dan fungsi negara.

3. Karya-karya Ibnu Taimiyyah R.a dibidang filsafat.

a. Al-Rad „Ala al-Mantaqiyali.

Hal itu dapat dimengerti karena kitab-kitab tersebut adalah karya lain-

lainnya yang sejenis, beliau tulis sebagai koreksi dan kritiknya terhadap berbagai

teori keagamaan yang menurut penilaiannya tidak benar.

b. An-Naqdu al-Mantiq.

Bila diperhatikan karya-karya Ibnu Taimiyyah R.a yang ratusan jumlahnya,

dapat kita lihat bahwa sesungguhnya Ibnu Taimiyyah R.a memiliki berbagai

keahlian dalam berbagai disiplin dan berbagai cabang ilmu pengetahuan. Beliau

tidak hanya ahli dalam bidang aqidah (teologi), hukum, dan filsafat, tetapi juga

ahli di bidang politik (pemerintahan).

23

Ibnu Taimiyyah, “Majmu‟ Fatawa”, h. 247.

Page 59: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

47

4. Karya-karya Ibnu Taimiyah dibidang Aqidah (Teologi).

a. Tawasul wal-Wasilah.

Buku ini ditulis oleh Ibnu Taimiyah R.a dengan tujuan agar umat Islam

menjauhi perbuatan-perbuatan bid‟ah, seperti berziarah ke kuburan dengan tujuan

meminta pertolongan atau syafa‟at kepada roh yang sudah terkubur, sekalipun itu

kuburan Nabi dan itu termasuk tetap syirik.24

Karena pada watu itu kebanyakan

aqidah dan amalan umat islam bertentangan dengan tauhid dan mu‟amalah

(ibadah), seperti kayakinan terhadap syafa‟at atau tawasul terhadap Wali-wali

Allah SWT.

Adapun intisari dari isi buku ini, yakni tawassul dibagi kedalam tiga macam.

Pertama adalah taat dan patuh, hal ini diwajibkan guna kesempurnaan iman.

Kedua adalah doa dan syafa‟atnya yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw,

sewaktu diakhirat kelak. Ketiga berarti bersumpah pada Allah Swt, dan meminta

dengan zatnya.

Hal ini tidak pernah dilakukan baik pada waktu nabi masih hidup maupun

setelah beliau wafat karena itu yang terahir ini tidak diperbolehkan.

b. Al-Furqon Baina Auliyaial-Rahman Wa-Awliyahal-Syaitan

Didalam risalah ini, Ibnu Taimiyyah R.a selain menerangkan tentang

kekasih Allah Swt dan kekasih Syaitan, juga menerangkan tentang hakekat dan

syari‟at. Adapun hakekat yang dimaksud disini ialah hakekat agama Allah Swt.

Meskipun setiap mereka mempunyai peraturan masing-masing.

24

Ibnu Taimiyah, “Tawasul Wal-Wasilah”. Terj. Halimuddin. (Jakarta: Bumi Aksara,

1990), h. 33.

Page 60: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

48

Sedagkan syariat adalah cara yang ditempuh dalam melaksanakan ibadah

pada Allah Swt. Inti dari buku ini adalah membahas tentang sifat-sifat dari

kekasih Allah Swt, dan sifat-sifat dari kekasih syaitan dan menunjukan suatu

metode antara keduanya. Karya Ibnu Taimiyah R.a sudah diterjemahkan oleh

Abdul Rahman Masykur, terbitan Pustaka Panjimas, Jakarta, tahun 1989, 187

halaman.

c. Al-Aqidah al-Wasiyah.

Karya Ibnu Taimiyyah R.a ini merupakan pembahasan singkat mengenai

dasar iman. Ahli sunnah wal jama‟ah menurut Ibnu Taimiyah R.a, satu- satunya

golongan yang akan terbebas dari kutukan Allah Swt.

d. Iq-Tida‟al-Sirat al-Mustaqim.

Ibnu Taimiyyah R.a menulis karya ini, sehubungan dengan sikap seseorang

raja yang beragama Kristen yang berkuasa dipulau Ciprus, yang memperlakukan

kaum minoritas muslim dengan sewenang-wenangan dan sangat kejam. Ibnu

Taimiyyah R.a berpendapat bahwa minoritas Muslim tidak dapat menunjukan

bagaimana sifat idealnya mereka, karena umat minoritas Muslim harus berjuang

untuk menjadi pihak mayoritas.

Di dalam buku ini Ibnu Taimiyyah R.a menjelaskan, bahwa Islam harus

mempertahankan identitas mereka sebagai sebuah masyarakat agamis dan harus

berhati-hati agar tidak hanyut kedalam kelompok agama lain dengan cara meniru

tata cara kaum mayoritas, adat-adat kebiasaan, kepercayaan dan keyakinan

kelompok agama lain.

Page 61: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

49

Jelasnya, Ibnu Taimiyyah R.a menginginkan agar umat Islam berpegang

teguh pada ajaran agamanya kapan dan dimanapun berada, baik sebagai mayoritas

ataupun sebagai minoritas.

e. Kitab al-Nubuwah.

Karya Ibnu Taimiyyah R.a ini adalah sebuah karyanya yang sangat kritis

dalam ulasannya mengenai kenabian, mengenai sihir dan hal-hal yang gaib.

C. Corak Pemikiran Ibn Taimiyyah R.A

Ibnu Taimiyah adalah cermin pribadi yang mampu membangkitkan rasa

kagum yang dalam pada sebagian masyarakat yang sekaligus juga caci maki pada

bagian yang lain. Para penyanjungnya memuja dan menghormatinya sebagai

seorang wali, sedang orang-orang yang menentangnya melemparkan kutukan

dengan segala caci maki karena beliau dianggap melanggar batas dan melakukan

penyelewangan.

Anggapan negatif mereka biasanya terungkap dalam bentuk makian tajam

dan kadang juga deraan fisik yang memilukan. Perpaduan antara kecerdasan otak

dan ketekunan dalam belajar serta kepribadiannya yang dihiasi dengan akhlak

yang mulia, ternyata mampu mengantarkan dirinya menjadi „ulama besar yang

sangat berprestasi.

Beliau juga dapat digolongkan sebagai salah seorang tokoh yang

pemahaman keagamaannya boleh dikatakan mandiri, yaitu dalam pengertian tidak

mau terikat pada pemahaman siapapun dan aliran Islam yang manapun. Namun

bersamaan dengan itu dia tidak menolak untuk menerima dan membela pendapat

Page 62: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

50

siapa dan aliran Islam manapun jika menurut penilaian nya sejalan dan sesuai

dengan al-Qur‟an dan As-Sunnah.25

Ibnu Taimiyyah R.a menekuni setiap masalah dengan sepenuh hati dan

dengan sungguh-sungguh. Terkadang untuk mempelajari satu masalah beliau

menghabiskan waktu sampai beberapa malam dan masalah tersebut tidak akan

ditinggalkannnya sebelum dapat dipecahkan dengan memuaskan. Beliau

merenunginya sesuai dengan ayat-ayat al- Qur‟an, hadis-hadis Nabi Saw dan

kesimpulan-kesimpulanya selalu sesuai menurut akal pikiran dengan

pertimbangan-pertimbangan dan membanding- bandingkan secara berulang-ulang,

sehingga kebenarannya tampak jelas di depan matanya.

Itulah sebabnya Ibnu Taimiyyah R.a dipandang sebagai salah seorang

cendekiawan yang paling kritis dan paling kompeten yang dapat menyimpulkan

peraturan-peraturan dan hukum dari hadis-hadis dan ayat-ayat al-Qur‟an. Ikhtisar

pendekatan Ibnu Taimiyyah R.A dalam mengkaji Islam, dapat dilihat pada

pengantar bukunya yang berjudul “Ma‟arij Al-Wusul”, yang tujuannya adalah

untuk menegaskan kembali kedudukan mazhab Hambali yang menjadikan teks-

teks kitab suci sebagai satu-satunya sumber hukum dan teologi yang terpercaya.

Sehingga mazhab itu berusaha untuk mempersempit kemungkinan bagi

suatu perubahan atau inovasi yang mungkin muncul dari berbagai pendekatan

bukan salaf (ortodoks) terhadap pengetahuan agama pada masa-masa berikutnya.

Adapun metode istinbat hukum Ibnu Taimiyyah R.a dalam menggali hukum

adalah sebagai berikut:

25

Rajak Abdul Jeje. “Politik Kenegaraan Pemikiran-pemikiran al-Gazali dan Ibnu

Taimiyah “, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1999), h. 118.

Page 63: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

51

1. Al-Qur‟an

Al-Qur‟an adalah sumber hukum Islam yang pertama dan utama. Beliau

memuat kaidah-kaidah hukum fundamental (asasi) yang perlu dikaji dengan teliti

dan dikembangkan lebih lanjut. Dalam ajaran Islam demikian dikemukakan S.

Hossein Nasr, yaitu al-Qur‟an adalah intisari semua pengetahuan, dan yang

terkandung di dalamnya hanyalah benih-benih atau prinsip-prinsipnya saja.26

Kaum Muslimin telah sepakat menerima keotentikan al-Qur‟an, karena al-

Qur‟an diriwayatkan secara mutawatir. Oleh sebab itu, dari segi riwayat, al-

Qur‟an di pandang sebagai sebagai qath‟i tsubut (riwayatnya diterima secara

pasti/meyakinkan). Bertolak dari prinsip, segenap kaum Muslim bersepakat

bahwa al-Qur‟an sendiri memerintahkan agar menetapkan hukum atas dasar

perintah Allah Swt.27

Yang termaktub didalam Surat Al-Maidah ayat 48 yaitu:

ب ومهيمىب عييه فٱحن قب ىمب بيه يديه مه ٱىنت ب بٱىحق مصد م بيىه م بمب أوزه وأوزىىب إىيل ٱىنت

بءك مه ٱىحق ىنو جعيىب مىن م شرعت ومىهبجب وىى شبء ٱلل ٱلل ول تتبع أهىاءه م عمب ج

ث إىى ٱلل مر ن م فٱستبقىا ٱىخير نه ىيبيىم م في مب ءاتى حدة وى جعن م جميعب فيىبئن م ىجعين م أمت و

(.٨٤ . )سىرة اىمبئدة:ب مىت م فيه تختيفىن بم

Artinya:“Dan telah kami turunkan kepadamu al-Qur‟an dengan membawa

kebenaran dan membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab

yang diturunkan sebelumnya dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang

lain itu, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah

turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan

meninggalkan kebenaran yang telag datang kepadamu. Untuk tiap-

tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang.

Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikannya satu umat

26

Muhammad Ali Daud, “Hukum Islam, Pengantar 1lmu Hukum Dan Tala Hukum Islam

Di Indonesia”, Cet Ke- 11, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h.79. 27

Rusli Nasrun, “Konsep Ijtihad Saukani”, (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1999), h.

28.

Page 64: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

52

(saja). Tetapi allah hendak menguji kamu terhadap pemberiannya

terhadapmu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya

kepada Allahlah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukannya

kepadamu apa yang kamu perselisihkan itu.” (Q.S al-Maidah: 48).

Sama halnya dengan „ulama Islam yang lain, Ibnu Taimiyyah R.a

menempatkan al-Qur‟an sebagai sumber hukum Islam yang utama dan pertama.

Menurutnya, kebutuhan umat Islam sangat mendasar untuk memahami al-Qur‟an

karena dia merupakan tali (agama) Allah Swt yang sangat kuat, peringatannya

yang bijak (az-zikr al-hakim), dan jalan yang lurus (as-sirat al-Mustaqim).

Dengan al- Qur‟an hawa nafsu tidak akan menyimpang dan perkataan tidak

akan tertukar meskipun banyak penolakan. Perbedaan al-Qur‟an tidak akan pernah

habis, dan para ulama (ilmuwan) tidak akan pernah merasa kenyang

mempelajarinya.

Orang yang berkata dengan al-Qur‟an pasti benar, dan siapa yang beramal

dengannya pasti diberi pahala, siapa yang berhukum dengannya pasti adil, dan

orang yang menyeru kepadanya akan diberi petunjuk kejalan yang lurus. Allah

Swt akan membinasakan orang yang meninggalkan al-Qur‟an karena sombong,

dan yang menyesatkan siapa saja yang mencari hidayah selain al-Qur‟an.28

2. Al-Hadits

Umat Islam telah sepakat, bahwasanya apa yang keluar dari Rasulullah Saw,

baik ucapan maupun perbuatan dan juga taqrir, membentuk hukum syariat Islam.

Dan tuntunan yang disampaikan kepada kita dengan sanad yang shahih yang

28

Muhammad Amin, “Ijtihad 1bnu Taimiyyah Dalam Bidang Fiqh Islam“, (Jakarta:

INIS, 1991), h. 71.

Page 65: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

53

mendatangkan kepastian atau dugaan yang kuat, maka kebenarannya itu sekaligus

merupakan hujjah atas umat Islam.

Sumber daripada pembentukan hukum syariat Islam, yang oleh para

mujtahiddin diistimbathkan yang bersumber dari hadits, artinya bahwa hukum

yang datang dalam sunnah-sunnah ini adalan hukum-hukum yang datang di dalam

al-Qur‟an, sebagai undang-undang yang harus diikuti.29

Sebagai ulama‟ Ibnu Taimiyyah R.a mempunyai pengetahuan yang luas

mengenai ilmu rijalul hadits (perawi hadis) mengenai hadits-hadits yang

didalaminya semuanya dikembalikan (dirujukkan) kepada kitab hadist yang enam.

Sehingga dapatlah dikatakan bahwa setiap hadist yang tidak diketahui oleh lbnu

Taimiyyah R.a bukanlah hadits, namun beliau mengatakan kekuasaan masih di

tangan Allah Swt.

Selain kelompok Inkar al-Sunnah, setiap Muslim yakin bahwa al-Hadits

adalah sumber kedua bagi hukum Islam setelah al-Qur‟an. Bahkan, ada dari

sebagian Imam mazhab seperti Ahmad Ibnu Hanbal R.a, menempatkan al-Hadits

sebagai sumber hukum Islam pertama bersamaan dengan al-Qur‟an.

Berbeda dengan Ahmad ibnu Hanbal R.a, Ibnu Taimyyah R.a meletakkan

al-Hadits sebagai sumber hukum Islam kedua dan menempatkan al-Qur‟an

sebagai hukum Islam yang pertama. Penolakan tegas Ibnu Taimiyyah R.a

terhadap kebolehan menghapus (hukum) al- Qur‟an dengan al-Hadits (naskh al-

Qur‟an bi as-Sunnah) yang dianut oleh kebanyakan ulama, termasuk di dalamnya

adalah Ahmad Ibnu Hanbal R.a.

29

Abdul Wahhab Khalaf, “Kaidah-Kaidah Hukum Islam. Ilmu Ushul Fiqh”, Cet Ke-8,

(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h.48.

Page 66: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

54

Ibnu Taimiyyah R.a membagi al-Hadits (dari segi penyampaian) kepada tiga

bagian:

a. Al-Hadits mutawatir yaitu yang tidak menyalahi lahiriyyah al-Qur‟an,

bahkan berfungsi sebagai penafsir al-Qur‟an yang termasuk ke dalam

kelompok ini ialah hadits-hadits (mutawatir) yang berkenaan dengan

masalah zakat, pelaksanaan haji, umrah dan lain-lainnya yang berkaitan

dengan hukum-hukum Al-Qur‟an yang sukar diketahui tanpa melalui al-

Hadits. Tehadap kelompok hadits-hadits yang pertama ini, kata Ibnu

Taimiyyah R.a, telah ada kesepakatan „ulama hadits untuk menerimanya

sebagai hujjah dan menempatkan fungsinya sebagai pelengkap dan

penyempurna al-Qur‟an. Orang yang mengingkari kehujjahan al-Hadits

ini berarti mengingkari salah satu sumber agama yang sangat penting dan

menghancurkan sendi Islam yang amat kukuh.

b. Hadits-hadits mutawatirah yaitu yang tidak menafsirkan lahiriyyah nash

al-Qur‟an, atau malah menyalahi lahiriyyah al-Qur‟an karena

mendatangkan hukum baru yang tidak ada dalam al-Qur‟an, seperti

hadits tentang penentuan nishab pencurian, hadits tentang hukuman

rajam bagi penzina, dan hadits-hadits lain seperti itu. Selain kelompok

Khawarij, orang-orang yang sepaham dengan kaum radiakal ini, para

ulama salaf dan semua ahli fiqh, kata Ibnu Taimiyyah R.a, menerima

kehujjahan hadits-hadits kelompok.

c. Hadits-hadits Ahad yaitu yang penyampaiannya melalui riwayat yang

siqoh (terpercaya). Seluruh hadits ini, Ibnu Taimiyyah R.a

Page 67: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

55

menyampaikan kehujjahannya telah diakui oleh para ahli fiqh, ahli

hadits, ahli tasawuf. Dan umumnya para ulama yang lain meskipun

sebagian ahli kalam dan ra‟iy hanya menerima sebagian yang sesuai dan

sebagian menolak yang lain berdasarkan syarat-syarat tertentu yang

mereka buat sendiri.

3. Qiyas

Selain yang telah disebutkan diatas, Ibnu Taimiyyah R.a juga menerima

qiyas sebagai dasar hukum, dengan cara qiyas itu berarti para mujtahid telah

mengembalikan ketentuan hukum sesuatu kepada sumbernya al-Qur‟an dan al-

Hadis.

Sebab hukum Islam terkadang tersurat jelas dalam nash al-Qur‟an atau al-

Hadits, dan terkadang juga bersifat implisit serta analogi terkandung dalam nash

tersebut. Mengenai qiyas ini, Imam Syafi‟I R.a mengatakan setiap peristiwa pasti

ada kepastian hukum dan umat Islam wajib mematuhinya. Akan tetapi jika tidak

ada ketentuan hukumnya yang pasti, maka harus dicari pendekatan yang sah yaitu

dengan ijtihad, dan ijtihad itu adalah al-Qiyas.30

Ibnu Taimiyyah R.a kemudian membagi qiyas ke dalam dua macam yaitu

qiyas al-Shahih dan qiyas al-Fasid (ghair al-Shahih). Qiyas al-Shahih ialah qiyas

yang dengannya (hukum-hukum syariat) dapat tersampaikan yaitu dengan cara

menggabungkan dua masalah (kasus) yang serupa dan membedakan dua kasus

yang berbeda.

30

Muhammad Abu Zaahrah, “Ushul Al-Fiqh”, Terj. Pustaka Firdaus, “Ushul Fiqh“,Cet

Ke -8, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), h. 336.

Page 68: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

56

Sedangkan qiyas al-Fasid yaitu yang menyalahi dalalah nash atau

mengqiyaskan dua perkara yang masing-masing dihalalkan dan diharamkan oleh

nash semacam qiyasnya orang-orang yang menyamakan jual beli dengan riba

dengan dasar sama-sama mencari keuntungan.

Padahal, dengan tegas nash mengharamkan riba dan menghalalkan jual beli.

Sebagaiman para ahli usul al-fiqh yang lain, lbnu Taimiyyah R.a berkeyakinan

tidaklah mungkin ada nash yang tidak mengandung maslahat yang disyariatkan

(al-Maslahah al-Masyru‟ah), karena maslahah masyru‟ah itulah yang justru

menjadi tali pengikat dalam persamaan atau membanding-bandingkan antara

hukum masalah yang satu dengan masalah yang lain.31

31

Muhammad Amin, “Ijtihad 1bnu Taimiyyah Dalam Bidang Fiqh Islam“, (Jakarta:

INIS, 1991), h. 128.

Page 69: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

57

BAB IV

KETENTUAN DAN FAKTOR-FAKTOR DALAM PENENTUAN MASA

‘IDDAH WANITA KHULUK

A. Ketentuan Tentang Masa ‘Iddah Wanita Khuluk Menurut Ibnu

Taimiyyah R.a.

Islam adalah agama yang sempurna, mengatur segala aspek kehidupan

manusia, baik ibadah, muamalah (ekonomi, sosial, budaya, perdata), jinayat

(hukum pidana), siyasah (politik), kewarganegaraan dan seperti yang penulis

bahas yakni munakahat. Dan semua itu Islam memberikan legalitas, kritik dan

penyempurnaan hingga terbentuk suatu tatanan yang harmonis dan juga

menciptakan tatanan sosial yang baru lebih mencerminkan bahwa Islam adalah

Rahmatan lil alamin.

Terhadap berbagai problem yang terjadi ditengah-tengah masyarakat

kebanyakan al-Qur‟an tidak memberikan suatu solusi yang rinci. Aturan dan

hukum-hukum yang tercantum dalam al-Qur'an dirasa masih global. Sehingga

para „ulama masih merasa perlu untuk merinci hal yang global atau mujmal

tersebut dalam bentuk ra‟yi atau ijtihad mereka. Dengan demikian diharapkan

hukum-hukum tersebut lebih mudah dimengerti dan diterapkan dalam kehidupan

keseharian dalam masyarakat. Salah satu dari hasil ijtihad tersebut adalah

pendapat Ibnu Taimiyyah R.a tentang jumlah masa „iddah bagi wanita yang

khulu‟. Dimana pendapat Ibnu Taimiyyah R.a dalam kitabnya“Majmu' al-

Fatawa” mengenai jumlah masa „iddah bagi wanita yang khulu‟ adalah satu kali

haid.

Page 70: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

58

Islam adalah suatu agama universal dalam setiap hukum yang diterapkan

selalu adil, seperti dalam perceraian sesuai dengan firman Allah SWT surat al-

Baqarah ayat 229 dan hadits Tsabit bin Qais, Islam tidak hanya memberikan hak

kepada suami untuk menceraikan isterinya, namun dalam Islam seorang wanita

pun diberikan hak untuk meminta cerai dari suaminya.

Hak cerai dari pihak isteri disebut khulu‟, akibat dari perceraian tersebut

timbulah masa „iddah (masa menunggu). Mengenai „iddah bagi wanita yang

khulu‟ ini menjadikan perdebatan yang sangat kuat dari kalangan imam madzhab.

Hal ini disebabkan oleh pemikiran-pemikiran dan latar belakang dalam

mengambil istinbath hukum mengenai hal itu. Dari pemikiran Ibnu Taimiyyah R.a

dinyatakan bahwa „iddah bagi wanita yang khulu‟ adalah satu kali haid, seperti

kata beliau dalam kitabnya “Saya tidak mengetahui seseorang dari ahli ilmu

dengan menukil hadits yang telah dinukil oleh sahabat bahwasanya khulu‟ itu

adalah talak ba‟in dan dihitung tiga kali sucian. Tetapi karena sudah ada hadits

yang telah dinukil dari Utsman dan ahli ilmu menukil hadits dari Utsman dengan

sanad yang shahih”.

Ibnu Taimiyyah R.a berpendapat dalam kitabnya “Bahwasannya wanita

yang khuluk diperintahkan untuk „iddah satu kali haid dan ahli ilmu berkata tidak

ada „iddah bagi wanita yang khuluk”.1

Dengan berpijak pada informasi atau data-data yang telah penulis peroleh di

depan, penulis melakukan analisis terhadap permasalahan yang ada. Sebelum

1 Ibnu Taimiyyah, Majmu‟ Al Fatawa, Jilid 18, (Beirut-Lebanon: Dar Al-Kutub Al-

Ilmiah, t.th), h. 147.

Page 71: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

59

mengkritisi apa yang disampaikan oleh Ibnu Taimiyyah R.a, ada beberapa hal

yang ingin penulis jelaskan.

Pertama, perceraian adalah merusak hubungan perkawinan, dan oleh

karenanya selalu menyakitkan. Perceraian juga menentukan kesetaraan kekuasaan

antara dua jenis kelamin. Siapa yang mempunyai kekuasaan untuk mengambil

inisiatif cerai sangatlah fundamental terhadap masalah kesetaraan ini. Ada satu

pendapat yang dipertahankan, dan ini benar adanya bahwa al-Qur‟an berpihak

pada kelompok lemah di masyarakat, dan oleh karena itu membantu dalam

memberdayakan perempuan. Lalu, kepada siapa al-Qur‟an memberikan kekuasaan

untuk cerai? Laki-laki? Atau perempuan? Atau keduanya? Atau, apakah mereka

mempunyai sikap terfokus kepada laki-laki dan menjadikannya tolak ukurdalam

memahami dan menasirkan ayat-ayat al-Qur‟an tentang perceraian?

Kedua, benarkah khuluk adalah talak ba‟in? Atau, apakah fasakh? Karena

dari permasalahan tersebutlah terjadi perselisihan pendapat. Dari kalangan ulama

pada umumnya beranggapan bahwa khuluk adalah talak ba‟in sehingga munculah

pendapat bahwa wanita yang khuluk iddahnya adalah tiga kali suci. Jumhur

fuqaha berpendapat bahwa khuluk adalah talak.

Pendapat ini dikemukakan pula oleh Imam Malik R.a, Imam Abu Hanifah

R.a mempersamakan khuluk dengan talak dan fasakh bersama-sama. Sedang

Imam Syafi‟i R.a berpendapat bahwa khuluk adalah fasakh. Pendapat ini juga

dikemukakan oleh Imam Ahmad R.a dan Imam Abu Daud R.a, dan dikemukakan

pula oleh Ibnu Abbas R.a dari kalangan sahabat.2

2 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Jilid 3, (Jakarta: Pustaka Amani, 1995), h. 153.

Page 72: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

60

Diriwayatkan pula dari Imam Syafi'i R.a bahwa khulu‟ adalah kata-kata

sindiran (kinayah). Jadi, jika dengan kata-kata kinayah tersebut suami

menghendaki talak, maka talak pun terjadi, dan jika tidak, maka menjadi fasakh.

Tetapi dalam qaul jadidnya dikatakan bahwa khuluk adalah talak. Kegunaan

pemisahan tersebut adalah, apakah khuluk itu dihitung dalam bilangan talak atau

tidak.

Jumhur fuqaha yang berpendapat bahwa khulu‟ adalah talak menjadikanya

sebagai talak ba‟in. Demikian itu apabila suami dapat merujuk isterinya pada

masa „iddah, maka penebusannya itu tidak akan berarti lagi. Abu Tsaur R.a

berpendapat bahwa apabila khulu‟ tidak menggunakan kata-kata talak, maka

suami tidak akan bisa merujuk isterinya.

Fuqaha yang menganggap khulu‟ sebagai talak mengemukakan alasan

bahwa fasakh itu tidak lain merupakan perkara yang menjadikan suami sebagai

pihak yang kuat dalam pemutusan ikatan perkawinan dan yang bukan berasal dari

kehendaknya. Sedang khulu‟ ini berpangkal pada kehendak (ikhtiyar). Oleh

karenanya, khulu‟ itu bukan fasakh.

Dan fuqaha yang tidak menganggap khulu‟ sebagai talak mengemukakan

alasan bahwa dalam al-Qur'an menyebutkan tentang talak, maka uraian dalam

firman Allah Swt yaitu dalam al-Baqarah ayat 229 yaitu: Talak (yang dapat

dirujuki) itu dua kali. Kemudian disambung kembali dalam ayat 230 yaitu: Jika

suami mentalaknya (sesudah talakyang kedua), maka perempuan itu tidak halal

lagi baginya sehingga ia kawindengan suami yang lain (Q.S. al-Baqarah: 229-

Page 73: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

61

230)3. Jika tebusan itu adalah talak, berarti dimana isteri tidak halal lagi bagi

suami kecuali sesudah isterinya kawin lagi dengan lelaki yang lain, dan itu

menjadi talak yang keempat.

Tatanan struktur sosial dan budaya yang membawa perempuan

terdiskriminasi diperkuat oleh pendapat „ulama yang mengharuskan wanita khulu‟

ber‟iddah dengan tiga kali haid. Memang „ulama tidak murni harus dipersalahkan,

sebab „ulama mempunyai hak untuk berfatwa dan berpendapat berdasarkan

pemahaman yang dimilikinya. Perlu diingat bahwa dalam memberikan fatwa atau

pendapat mereka tidak lepas dari bingkai ruang dan waktu. Solusi bijak yang

mungkin bisa dilakukan yaitu dengan cara merubah pola pikir bahwa perempuan

juga berhak menerima hak yang sama dengan laki-laki. Salah satunya dengan

khulu‟ yang merupakan prioritas perempuan.

Dalam hal ini ada „ulama yang menganggap khulu‟ bagian dari talak adalah

mengenai pendapat Ibnu Taimiyyah R.a yang menyatakan barang siapa

memperhatikan pendapat bahwa „iddah hanya ditetapkan sebanyak tiga kali haid,

agar masa rujuk cukup lama dan suami bisa berpikir panjang serta mendapatkan

kesempatan untuk rujuk selama masa „iddah ini. Tetapi kalau kesempatan untuk

rujuk kepada istrinya (yang pisah) tidak ada, maka maksud (peraturan) tersebut

adalah untuk membersihkan rahim dari kehamilan. Dan untuk membuktikan

kebersihan ini cukup dengan satu kali masa haid saja, hal ini dapat dilihat dalam

karyanya Majmu‟ Fatawa. Yang demikian ini adalah pendapat Khalifah Utsman

R.a, Abdullah bin Umar R.a, Rubayyi‟ binti Muawwiz R.a dan pamannya.

3 Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Semarang: CV Al-Waah, 1994), h.55.

Page 74: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

62

Pendapat ini yang diikuti oleh Ibnu Abbas R.a dan riwayat yang kuat dari Ahmad

R.a, juga pendapat Ishaq bin Rahawaih R.a dan yang dipilih oleh Syaikhul Islam

Ibnu Taimiyyah R.a.

Dari pemikiran Ibnu Taimiyyah R.a dinyatakan bahwasanya khulu‟ itu

bukan talak. Seperti halnya pendapat Ibnu Abbas R.a bahwa sistem tebus bukan

suatu talak. Namun kebanyakan seseorang menyamakan dan mencampuradukkan

kedua istilah itu. Berkaitan dengan pendapatnya diatas, Ibnu Abbas R.a

menguatkan argumennya pada firman Allah Swt dalam surat al-Baqarah ayat 229-

230. Bahwa Allah SWT telah menjelaskan tentang tebusan setelah talak dua kali.

Dimana tebusan dalam ayat diatas termasuk sesuatu yang khusus, sedangkan yang

lainya adalah bersifat umum. Oleh karena itu meskipun tebusan itu dianggap

sebagai talak, maka tebusan termasuk bentuk talak yang keempat. Pendapat ini

dipegangi oleh Imam Ahmad R.a dan dikutip oleh Ibnu Abbas R.a.

Dari sini penulis menganalisa bahwasanya Ibnu Taimiyyah R.a dalam

mengemukakan pendapatnya didasarkan pada as-Sunnah dan ijma‟ sahabat yang

menyatakan perbedaan secara jelas bahwa khulu‟ berbeda dengan talak. Mengenai

„iddah khulu‟ ia bersandar pada hadits serta ijma‟ yang menegaskan bahwa tidak

ada rujuk dalam khuluk. Dan tersebut dalam sunnah dan pendapat para sahabat

bahwa „iddah khulu‟ adalah satu kali haid. Menurut nash juga khulu‟ boleh

dilakukan setelah talak kedua kali. Dan sesudahnya, masih bisa talak kedua

kalinya. Dengan ini jelas sekali bahwa khuluk bukan talak sehingga „iddahnya

juga berbeda4.

4 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz 8, (Beirut-Lebanon: Dar al-Fikr, t.th), h. 262.

Page 75: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

63

B. Faktor-faktor Dalam Menentukan Masa ‘Iddah Wanita Khuluk

Menurut Ibnu Taimiyyah R.a.

Ibnu Taimiyyah R.a sejak kecil dikenal sebagai seorang anak yang

mempunyai kecerdasan otak luar biasa, tinggi kemauan dan kemampuan dalam

studi, tekun dan cermat dalam memecahkan masalah, tegas dan teguh dalam

menyatakan dan mempertahankan pendapat (pendirian), ikhlas dan rajin dalam

beramal shaleh, rela berkorban dan siap berjuang untuk jalan yang benar.

Sumber-sumber hukum yang dipergunakan oleh Ibnu Taimiyyah R.a dalam

menetapkan suatu hukum telah jelas. Setiap mujtahid memiliki metode tersendiri

dalam memecahkan atau menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.

Penggunaan metode itu dipengaruhi oleh background (latar belakang) meliputi

latar belakang pendidikan, pola hidup, serta kondisi masyarakat sekitar.

Diawal telah penulis jelaskan mengenai Istinbath hukum Ibnu Taimiyyah

R.a yang berbeda dengan imam madzhab yang dianutnya, Imam Ahmad Ibnu

Hanbal R.a. Secara umum dalam pengambilan suatu hukum IbnuTaimiyyah R.a

selalu mengembalikannya kepada al-Qur‟an dan sunnah Nabi Saw. Beliau juga

menggalakkan ijtihad dan sangat menentang taqlid, sebab beliau hidup ketika

terjadi kemunduran dan masa ketika masyarakat mengalami kejumudan. Hal itu

merupakan langkah inovatif yang dilakukan oleh beliau untuk mendobrak tatanan

yang telah mapan, dimana kondisi umat terbelengguoleh kejumudan.

Menurut penulis, jika dalam sebagian masalah ada pendapat Ibnu

Taimiyyah R.a yang menyalahi pendapat Ahmad Ibnu Hambal R.a, itu hanya

menurut sebagian riwayat, karena bersamaan dengan itu, hampir selalu ada

Page 76: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

64

riwayat lain yang menyebutkan bahwa pendapat Ibnu Hambal R.a justru sama

dengan pendapat yang dikemukakan oleh Ibnu Taimiyyah R.a.

Salah satu corak pemikiran Ibnu Taimiyyah R.a adalah kedekatannya

dengan nash, terutama dalam masalah ibadah. Sesuatu yang tidak disebutkan

dalam nash dinilai bertentangan dan dikategorikan dalam amalan bid‟ah. Beliau

sangat membenci terhadap amalan yang disebut olehnya dengan bid‟ah ini.

Bila dalam al-Qur‟an tidak diketemukan dasar hukum terhadap suatu kasus,

maka Ibnu Taimiyyah R.a beralih pada penggunaan as-Sunnah. Tetapi sering kali

dalam beberapa kasus disamping diketemukan dasarnya dalam al-Qur‟an, juga

diketemukan dasar-dasarnya di dalam as-Sunnah. Maka kedua-duanya

dipergunakan dengan saling menguatkan. Ibnu Taimiyyah R.a dikenal sebagai

mufti yang dalam menyampaikan fatwa-fatwanya banyak berpegang pada as-

Sunnah. Oleh karena itu, tidaklah mengheranklan jika dalam menetapkan hukum

suatu masalah, beliau tidak akan pergi kepada dalil lain selama ada nash-nash al-

Qur‟an dan as-Sunnah.

Walaupun Ibnu Taimiyyah R.a dinilai oleh banyak „ulama sebagai pengikut

hadits yang tulen, namun dalam kesempatan yang sama beliau ketat dalam menilai

keabsahan hadits.

Langkah selanjutnya, bila tidak diketemukan dasar hukumnya baik dalam

al-Qur‟an maupun dalam as-Sunnah, maka Ibnu Taimiyyah R.a menggunakan

ijma‟. Sedangkan ijma‟ menurut versi Ibnu Taimiyyah R.a adalah kesepakatan

„ulama kaum muslimin mengenai suatu hukum dari beberapa hukum.

Page 77: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

65

Lebih lanjut Ibnu Taimiyyah R.a mengatakan orang yang keluar dari ijma‟

kaum muslimin dinilai sebagai orang yang menempuh jalan selain yang ditempuh

oleh orang-orang yang beriman, yang demikian ini dicela oleh al-Qur‟an.

Dari uraian di atas, penulis dapat memberikan indikasi betapa kuat

IbnuTaimiyyah R.a berpegang kepada ijma‟ kaum muslimin sebagai kebenaran

yang tidak bercampur dengan kebatilan. Beliau mensyaratkan penggunaan ijma‟

harus benar-benar merupakan seluruh „ulama dalam masa tertentu dan tidak

memandang cukup ijma‟ yang hanya didasarkan pada kesepakatan sebagian

„ulama tanpa disetujui oleh sebagian „ulama yang lain.

Berkaitan dengan ijma‟, Ibnu Taimiyyah R.a bukan orang yang

mengabaikan akal pikiran, namun ia meletakkan akal sesuai dengan proposisinya,

yaitu di belakang nash-nash agama, karena menurut kemampuan akal itu terbatas,

sehingga ketika seseorang mempergunakan akal pikirannya di dalam memahami

sesuatu khususnya al-Qur‟an dan as-Sunnah haruslah mengetahui batasan

kemampuan akalnya.

Selain menggunakan dasar ijma‟, beliau juga menggunakan qiyas, dan

menurut beliau qiyas adalah menghimpun dua masalah yang serupa dan

memisahkan (membedakan) dua masalah yang berbeda. Sama halnya dengan

ijma‟, batasan qiyas pun sederhana. Namun dalam prakteknya tidak banyak

berbeda dengan penggunaan qiyas Ibnu Taimiyyah R.a dengan para „ulama pada

umumnya. Hanya saja Ibnu Taimiyyah R.a termasuk „ulama yang membolehkan

penggunaan qiyas berdasarkan hikmah.

Page 78: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

66

Namun menurut sebagian „ulama qiyas itu didasari oleh „illat bukan dengan

hikmah, lebih dari itu hikmah hanya bisa diketahui oleh panca indra dan

tergantung pada aspek apa dan siapa yang memandangnya. Adakalanya sesuatu

yang bernilai positif dapat berdampak negatif, sebaliknya sesuatu yang bernilai

negatif dapat berdampak positif. Oleh karena itu, penggunaan qiyas berdasarkan

hikmah akan lebih banyak menghasilkan kesimpulan hukum yang rancu. Hal ini

sesuai dengan pendapat jumhur „ulama bahwa penentuan hukum terutama dalam

qiyas, harus didasarkan pada „illat bukan pada hikmah. Sehingga dengan

menggunakan „illat tersebut dapat menghasilkan kesimpulan yang tidak rancu.

Sebagaimana yang dijelaskan diawal bahwa menurut Ibnu Taimiyyah R.a

seluruh nash di‟illati dengan kemaslahatan, begitu juga mengenai „iddah bagi

wanita yang khulu‟. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Anbiya ayat

107:

لمين ك إلا رحمت للع (.٧٠١ . )سورة األنبياء:وما أرسلن

Artinya: “Dan tidaklah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi)

rahmat bagi semesta alam”. (Qs. Al-Anbiya‟: 107).5

Dalam masalah „iddah khulu‟ Ibnu Taimiyyah R.a beristinbath

menggunakan al-Hadits dikisahkan dari isteri Tsabit bin Qais yang datang kepada

khalifah Utsman, yang artinya: “bersabda Rasulullah SAW kepada tsabit:

Ambillah miliknya (isteri Tsabit) untukmu (Tsabit) dan mudahkanlah urusannya.

Lalu ia menjawab: baik. Lalu Rasulullah S.A.W. menyuruh isteri Tsabit ber‟iddah

5 Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, h. 508

Page 79: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

67

dengan satu kali haid dan dikembalikan kepada keluarganya. (H.R Nasa'I dengan

perawi-perawi yang kepercayaan)”6.

Demikianlah pendapat yang diikuti oleh Utsman R.a, Ibnu Abas R.a dan

riwayat yang paling kuat dari Ahmad R.a, juga pendapat Ishaq bin Rahawaih R.a

dan yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah R.a. Dari istinbath hukum

Ibnu Taimiyyah R.a yang dilandaskan pada hadits tersebut menurut penulis dapat

diakui validitasnya, karena sanadnya tidak terputus-putus, sehingga dapat diakui

kebenarannya dan juga rawinya dapat dipercaya dan diakui kredibilitasnya.

Berdasarkan hadits tersebut Ibnu Taimiyyah R.a menguatkan pendapatnya

bahwa „iddah khulu‟ dengan satu kali haid. Kalau ditelusuri lebih mendalam

dalam menggunakan suatu dasar dalam beristinbath hukum, Ibnu Taimiyyah R.a

tetap mengacu dan mendasarkan pada dasar yang lebih kuat. Dan sangatlah

bermanfaat dalam rangka menghindari penetapan hukum yang bertentangan

dengan syara‟ yang lain.

Selain hadits Ibnu Taimiyyah R.a juga menggunakan al-Ijma‟ sebagai dalil

Naqli, yang disandarkan pada kesepakatan sahabat bahwa „iddah wanita yang

khulu‟ cukup dengan satu kali haid. Pendapat ini yang dipegangi oleh Utsman R.a,

Ibnu Abbas R.a, dan Umar R.a. Pendapat ini bersumber dari salah seorang „ulama

salaf, madzhab Ishaq R.a, Ibn Mundzir R.a dan selain keduanya dan ini

diriwayatkan dari sabda Rasulullah SAW dalam beberapa sunnah Rasul.7

Seperti diketahui bahwa cerai khulu‟ adalah gugatan dari pihak isteri kepada

suami karena adanya ketidakcocokan antara keduanya, lalu dengan tebusan maka

6 Imam An-Nasa‟i, Sunan An-Nasa‟I, Juz 5, (Beirut: Dar Al-Fikr, t.th), h. 169.

7 Ibnu Taimiyyah, Majmu al-Fatawa, h. 147.

Page 80: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

68

isteri bisa melepaskan diri dari suami. Akan tetapi yang menjadi persoalan

gugatan cerai kebanyakan atas dasar kesalahan suami. Sehingga dengan putusnya

hubungan perkawinan akan berimbas pada keluarga terutama pihak isteri dan

anak-anaknya.

Dari pendapat Ibnu Taimiyyah R.a dinyatakan jika cerai khulu‟ cukup

ber‟iddah dengan satu kali haid. Karena dari sisi hukum jelas khulu‟ tidak boleh

dirujuk maka kalau masa „iddah dimaksudkan untuk membersihkan rahim dari

kehamilan maka cukup dengan satu kali haid.

Dari sisi kemaslahatan kaitannya dengan realita sekarang banyak dari

mereka kaum janda yang harus menanggung keluarganya sendiri karena tidak

adanya tanggungjawab dari suami. Sehingga jika harus ber‟iddah yang cukup

lama kemungkinan keluarga akan terlantar. Karena kebanyakan kasus setelah

adanya perceraian maka suami lari dari tanggungjawab dengan meninggalkan

kewajibannya.

Sebagaimana pendapat yang dikemukakan Ibnu Taimiyyah R.a dalam

fatwanya, penulis sepakat bahwa wanita yang khuluk „iddahnya adalah satu kali

haid. Dilihat dari syari‟at dan kemaslahatannya pada masa sekarang bahwa

seorang wanita yang khuluk kemudian menyandang predikat (janda) apalagi

kalau sudah ada anak tentu saja tidak mudah dalam menjalani hidup yang penuh

tantangan ini.

Dengan demikian, pemahaman bahwa khulu‟ adalah talak yang berimbas

pada masa „iddah yang lebih panjang tidak bisa memberikan solusi yang lebih

baik kedepan. Mengenai dasar hukum khuluk sudah jelas bahwa Rasulullah Saw

Page 81: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

69

sendiri bersabda bahwa wanita yang khuluk hendaknya ber‟iddah dengan satu kali

haid. Yang demikian adalah pendapat Ibnu Taimiyyah R.a.

Page 82: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

70

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari Skripsi yang berjudul analisis

pendapat Ibnu Taimiyyah tentang `Iddah Khuluk adalah sebagai berikut:

1. Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa „iddah khulu‟ adalah satu kali

suci, sebab terjadi perbedaan tentang masa „iddah bagi wanita khulu‟

disebabkan karena perbedaan para „ulama dalam menyamakan/

menetapkan kedudukan khulu‟. Menurut Jumhur khulu‟ adalah talak,

sedangkan Ibnu Ibnu Taimiyyah menyebutkan bahwa khulu‟ itu bukan

talak tetapi fasakh. Terhadap masalah „iddah khulu‟, demi untuk

kehati- hatian Penulis lebih cenderung kepada pendapat para fuqaha

yang mengatakan bahwa „iddah khulu‟ adalah tiga kali suci, pendapat

tiga kali suci ini juga sudah diadopsi dalam sistem perundangan/

paraturan hukum kita di Indonesia yaitu dalam Kompilasi Hukum

Islam pasal 155.

2. Dasar pertimbangan Ibnu Taimiyyah dalam menentukan bahwa khulu‟

sebagai fasakh adalah QS. Al-Baqarah ayat 229-230, dan hadits yang

diriwayatkan oleh Abdur Razzak dalam sunannya yang artinya “Dari

Ikrimah, Ibnu Abbas berkata: “Apa yang dibolehkan dengan

membayar harta (Khulu”), maka bukanlah termasuk talak”. Ibnu

Taimiyyah berpendapat Kalau seandainya Khulu‟ itu adalah talak,

tentu jumlah talak semuanya akan berjumlah empat bukan tiga

Page 83: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

71

lagi. Dan tentu hal ini tidak tepat, karena talak hanyalah tiga kali.

Dengan demikian, maka Khulu” bukanlah talak akan tetapi fasakh.

B. Saran-saran

Dalam pembahasan ini Allah banyak berfirman yang menjelaskan tentang

perceraian antara suami dan isteri, diantaranya dalam QS. Al-Baqaraah: 228, QS.

Al-Baqaraah: 229, QS. Al-Baqaraah: 230 menerangkan tentang masa „Iddah

seorang isteri yang ditalak suami, QS. An-Nisa:19 tentang khuluk,QS. al-Baqarah

: 234 tentang masa „Iddah bagi isteri yang ditinggal mati suaminya, QS. al-Ahzab

:49 tentang masa „Iddah bagi isteri yang diceraikan oleh suaminya namun belum

digauli,QS. At-Thalaqayat : 4 tentang masa „Iddah seorang isteri yang diceraikan

suaminya setelah digauli, dan masih banyak firman Allah dan hadist yang

menjelaskan tentang perceraian.

Ketika Al-Qur‟an membolehkan perceraian, bahwa jangan beranggapan Al-

Qur‟an menganjurkan perceraian. Jangan beranggapan ketika Allah menetapkan

adanya perceraian bahwa itu sesuatu yang dengan gampang boleh dilakukan.

Meskipun Allah sudah menerangkan dan menjelaskan tentang hal tersebut melalui

firman-firman-Nya bukan berarti Allah menganjurkan perceraian antara suami

dan isteri. Karena Rasullah saw pun bersabda dalam suatu hadist yang

diriwayatkan oleh Abu Daud dan Hakim yang berbunyi: “Perkara yang halal tapi

dibenci Allah adalah perceraian”.

Oleh sebab itu bagi yang sudah dan akan menjalankan bahterai rumah

tangga menjaga keutuhan rumah tangganya, jangan sampai terjadi perselisihan

yang mengakibatkan timbulnya perceraian.

Page 84: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

72

DAFTAR PUSTAKA

UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Al-Qur’an dan Terjemahannya.

A. N., Firdaus. Pedoman Islam Dalam Bernegara. Jakarta: PT. Bulan Bintang,

1989.

Al-Jaziri, Abdurrahman. Al-Fiqh „Ala Madzahib al-Arba‟ah, Juz 4. Beirut: Dar al-

Fikr, 1972.

Al-Malîbary, Syeikh Zainuddin. Fath al -Mu‟în. Kairo: Maktabah Dar al-Turas,

1980.

Al-Munawwir, Ahmad. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap.

Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997.

Al-Nasa’I, Imam. Sunan An-Nasa‟i, Juz 5. Beirut: Dar Al-Fikr, t.th.

Amin, Muhammad. Ijtihad Ibnu Taimiyah Dalam Bidang Fiqh Islam. Jakarta:

INIS, 1991.

Basyir, Azwar Ahmad, Refleksi Atas Persoalan Keislaman. Bandung: PT. Mizan,

1996.

Dahlan, Abdul Aziz. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van

Hoeve, 1997.

Daud, Ali Muhammad. Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum

Islam Di Indonesia, Cet. 11. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.

Depdiknas. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2002.

Fuad, Said. Perceraian Menurut Hukum Islam. Jakarta: Pustaka al-Husna, 1994.

Ghafar, Aziz Abdul. Islam Politik, Pro Dan Kontra. Jakarta: Pustaka Firdaus,

1993.

Hasan, Ali. “Perbandingan Mazhab”, Cet. IV. Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada, 2002.

Ibnu Rusyd, Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad. Bidayatul

Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Jilid II, Cet. Vii. Kairo: Daar al-

Ma’rifah, 1982.

Page 85: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

73

Ibnu, Taimiyyah. Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyah, Jilid I. Riyadh: Riyad al-

Hadisati, t.th.

_____________, Majmu‟ Fatawa, Jilid I. Bairut: Darul Fikr, 1920.

_____________, Majmu al-Fatawa, Jilid 18. Lebanon: Dar al-kutub al-Ilmiyyah,

t.th.

_____________, Al-Furqan Bainan Auliya Al-Rahman Wa Auliya Al-syaithan,

Terjemah Pustaka Panjimas, “Al-Furqan antara Kekasih Allah Dan Kekasih

Syaithan”. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1989.

_____________, Tafsir Al-Kabir, Jilid I. Beirut-Lebanon: Dar Al-Kutub Al-

Ilmiah, t,th.

_____________, Al-Syiasah al-Syar‟iyah. Mesir: Darul al-Kitab Ala Arabi, t.th.

J, Moleong Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya, 2004.

Jeje, Rajak Abdul. Politik Kenegaraan Pemikiran-Pemikiran al-Ghazali dan Ibnu

Taimiyyah. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1999.

Khan, Qamaruddin. “Pemikiran Politik Ibnu Taimiyyah“. Bandung: Pustaka

Salman, 1983.

Khalaf, Abdul Wahhab. Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Ilmu Ushul Fiqh, Cet. VII.

Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2002.

Ma’arif, Syafi’i Ahmad. Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta: LP3ES, 1996.

Muslim, Ishak. Sejarah dan Perkembangan Teologi Islam. Semarang: Duta

Grafika, 1988.

Nasrun, Rusli. Konsep Ijtihad Saukani. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu. 1999.

Nasution, Harun. Ensiklopedi Islam di Indonesia. Jakarta: Jambatan, 1992.

Nurul, Asna Ita. Pelanggaran Masa Iddah di Masyarakat: Studi Kasus di Dusun

Gilang, Desa Tegaron, Kec. Banyubiru, Skripsi Fakultas Syariah

Universitas Islam Negeri (UIN), Sunan Kali Jaga, 2015.

Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah, Juz II. Kairo: Maktabah Dâr al-Turas, 1970.

Salim, Arskal M. Etika Intervensi Negara Persfektif Politik Ibnu Taimiyyah.

Jakarta: Logos, 1999.

Sjadzali, Munawir. Islam and Govermental Sistem. Jakarta: INIS, 1991.

Page 86: PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42109/1/ECEP... · Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk

74

_____________, Islam Dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan pemikiran.

Jakarta: UI Press, 1993.

Slamet, Abidin dan Aminuddin. Fiqih Munakahat, Jilid I. Bandung: CV Pustaka

Setia, 1999.

Sugiyono, Metode Penelitian kuantitatif, kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta,

2007.

Syarifudin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana,

2009.

W.J.S, Poerwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cet. 5. Jakarta: PN

Balai Pustaka, 1976.

Zahrah, Muhammad Abu. Ushul Al-Fiqh, Terj. Pustaka Firdaus, Ushul Fiqh, Cet.

VII. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003.

Zain, Muhammad Sutan. Kamus Modern Bahasa Indonesia. Jakarta: Grafika, t.th.