Upload
fania-rizkyani
View
223
Download
5
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Panek 16C.docx
Citation preview
HASIL BELAJAR MANDIRI
SKENARIO B BLOK 16
Nama : Fania Rizkyani Sariza
NIM : 04011181320098
Kelompok : 10
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2015
Analisis Masalah
1. Lana, anak perempuan , usia 2 tahun, dibawa ibunya ke dokter dengan keluhan batuk dan sukar bernapas
disertai demam sejak 2 hari yang lalu, dan hari ini keluhannya bertambah berat.
a. Mengapa keluhannya bertambah berat?
Pneumonia merupakan penyakit akut pada pernafasan yang sering terjadi pada anak-anak adalah
pneumonia. Pada kasus pneumonia, kemungkinan kondisi pada Lana telah memasuki tahapan
perkembangan pneumonia yang kedua, yaitu hepatisasi merah (48 jam berikutnya), dengan kondisi,
paru tampak merah dan bergranula, karena sel-sel darah merah, leukosit PMN dan fibrin yag mengisi
alveoli. Semakin hari semakin bertambah sesak, karena alveoli tidak dapat mengerjakan tugasnya secara
normal (tempat pertukaran gas).
b. Bagaimana mekanisme keluhan-keluhan diatas?
- Batuk
Batuk merupakan suatu rangkaian refleks yang terdiri dari reseptor batuk, saraf aferen, pusat
batuk, saraf eferen, dan efektor. Refleks batuk tidak akan sempurna apabila salah satu unsurnya
tidak terpenuhi. Adanya rangsangan pada reseptor batuk akan dibawa oleh saraf aferen ke pusat
batuk yaitu medula untuk diteruskan ke efektor melalui saraf eferen. Reseptor batuk terdapat pada
farings, larings, trakea, bronkus, hidung (sinus paranasal), telinga, lambung, dan perikardium
sedangkan efektor batuk dapat berupa otot farings, larings, diafragma, interkostal, dan lain-lain.
Proses batuk terjadi didahului inspirasi maksimal, penutupan glotis, peningkatan tekanan intra
toraks lalu glotis terbuka dan dibatukkan secara eksplosif untuk mengeluarkan benda asing yang ada
pada saluran respiratorik. Inspirasi diperlukan untuk mendapatkan volume udara sebanyak-
banyaknya sehingga terjadi peningkatan tekanan intratorakal. Selanjutnya terjadi penutupan glotis
yang bertujuan mempertahankan volume paru pada saat tekanan intratorakal besar. Pada fase ini
terjadi kontraksi otot ekspirasi karena pemendekan otot ekspirasi sehingga selain tekanan
intratorakal tinggi tekanan intraabdomen pun tinggi. Setelah tekanan intratorakal dan intraabdomen
meningkat maka glotis akan terbuka yang menyebabkan terjadinya ekspirasi yang cepat, singkat,
dan kuat sehingga terjadi pembersihan bahan-bahan yang tidak diperlukan seperti mukus dan lain-
lain. Setelah fase tersebut maka otot respiratorik akan relaksasi yang dapat berlangsung singkat atau
lama tergantung dari jenis batuknya. Apabila diperlukan batuk kembali maka fase relaksasi
berlangsung singkat untuk persiapan batuk.
- Sukar Bernafas
Sesak napas merupakan keluhan subjektif dari seorang yang menderita penyakit paru. Keluhan
ini mempunyai jangkauan yang luas, sesuai dengan interpretasi seseorang mengenai arti sesak napas
tadi. Pada dasarnya, sesak napas baru akan timbul bila kebutuhan ventilasi melebihi kemampuan
tubuh untuk memenuhinya. Sedangkan kebutuhan ventilasi dapat meningkat pada beberapa keadaan
seperti aktivitas jasmani yang bertambah atau panas badan yang meningkat.
- Demam
Mikroorganisme masuk kedalam tubuh mengeluarkan pirogen eksogen, tubuh juga memiliki
pirogen endogen yang dihasilkan dari makrofag seperti limfosit, basofil dan neutrofil. Tujuannya
adalah untuk memfagosit dan melisis mikroorganisme dan toksin yang masuk kedalam tubuh.
Saat fagositosis ada reaksi kimia yang terjadi, yang akan memicu messenger untuk mengaktifkan
sel-sel lain pada system imun kita. Messenger yang bereaksi adalah Interleukin (IL), dan interferon.
Yang paling banyak adalah IL-1. IL-1 memicu hipotalamus untuk meningkatkan suhu dan memicu
keluarnya fosfolipase yang akan mengubah fosfolipid menjadi asam arakidonat yang akan memicu
keluarnya Prostaglandin (PG). Efek keluarnya prostaglandin akan mempengaruhi kerja thermostat di
hipotalamus. Hal ini akan menyebabkan kerja thermostat naik yang menyebabkan kenaikan suhu.
2. Pemeriksaan Lab:
Hb : 12,1 g/dl, Ht : 36 vol%, leukosit : 18.000/mm3, LED : 25 mm/jam, trombosit : 220.000/mm3. Hitung
jenis 0/2/1/74/20/3. CRP (-)
a. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan lab (nilai normal pada anak kecil)?
No. Hasil Pemeriksaan Normal Interpretasi Mekanisme Abnormal
1. Hb : 12,1 g/dl 11-16 gram/dL Normal -
2. Ht : 36 vol% 31-45% Normal -
3. leukosit : 18.000/mm3
5700-18000
sel/mm3
Ambang atas, terdapat
infeksi baik oleh virus
maupun bakteri.
Proses leukositosis dimulai
dari adanya infeksi yang
akan memicu respon imun.
Respon imun akan
menghasilkan sitokin-
sitokin dari makrofag.
Makrofag akan
mengaktifkan netrofil dan
leukosit leukosit yang lain
untuk ikut serta
memfagositosis dan
melisiskan bakteri.
4. LED : 25 mm/jam <10 mm/jam
pertama
Meningkat, menandakan
adanya infeksi atau
inflamasi.
Infeksi saluran nafas atas
→ mekanisme pertahanan
tubuh tidak mampu
mengatasi ke saluran nafas
bawah → eksudat → reaksi
inflamasi (PMN, fibrin) →
viskositas darah meningkat
→ darah mudah mengendap
→LED meningkat.
5. trombosit : 220.000/mm3
150.000-450.000
sel/mm3
Normal -
6. 0/2/1/74/20/3 Basofil 0-1%
Eosinofil 1-3%
Netrofil batang
3-5%
Netrofil segmen
50-70%
Limfosit 25-35%
Monosit 4-6%
Terjadi peningkatan
neutrofil segmen,
sedangkan neutrofil
batang, limfosit dan
monosit menurun.
Peningkatan jumlah netrofil
(baik batang maupun
segmen) relatif dibanding
limfosit dan monosit
dikenal juga dengan sebutan
shift to the left. Infeksi yang
disertai shift to the left
biasanya merupakan infeksi
bakteri.
7 CRP (-) - Normal Pemeriksaan kadar CRP
merupakan parameter
laboratorium yang dapat
membantu untuk
menentukan derajat
beratnya pneumonia.
C-reactive protein(CRP)
merupakan protein fase akut
yang diproduksi oleh sel
hepar sebagai respon
beberapa stimulus seperti
sejumlah sitokin yang
dilepaskan di daerah
inflamasi khususnya IL-6
yang dikeluarkan oleh
fibroblast, limfosit,
promielosit dan makrofag
yang aktif.
Kadar CRP kadang lebih
rendah pada infeksi virus.
Tetapi tidak terlalu spesifik.
Pada kasus ini, pneumonia
belum berada pada stadium
yang berat sehingga CRP
belum meningkat.
3. Template
a. Apa DD pada kasus ini?
Diagnosis
Banding
Dyspnea
berat
Demam
tinggi
Batuk
produktif
Rales Sianosis Nasal
flare
Retraksi Perkusi
Redup
WBC ↑
Bronkopne
umonia
++ + + +
(ronki
basah
halus
nyarin
g)
+ + + + +
Bronkitis
akut
+ Demam
ringan
+ -
(whee
zing)
- + jarang - +
Bronkiolilis
akut
++ Demam
ringan
+ -
(whee
zing)
+ + + -
(hipers
onor)
+
b. Apa diagnosis pada kasus, dan bagaimana cara penegakan diagnosis pada kasus ini? (anamnesis gejala,
riwayat, pemeriksaan fisik, penunjang)
- Gambaran Klinis
Gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia. Gejala-gejala meliputi:
1) Demam dan menggigil akibat proses peradangan
2) Batuk yang sering produktif dan purulen
3) Sputum berwarna merah karat atau kehijauan dengan bau khas
4) Rasa lelah akibat reaksi peradangan dan hipoksia apabila infeksinya serius.
Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama beberapa
hari, kemudian diikuti dengan demam, menggigil, suhu tubuh kadang-kadang melebihi 400C, sakit
tenggorokan, nyeri otot dan sendi. Juga disertai batuk, dengan sputum mukoid atau purulen, kadang-
kadang berdarah.
- Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagiam yang sakit tertinggal waktu bernafas dengan suara
napas bronchial kadang-kadang melemah. Didapatkan ronkhi halus, yang kemudian menjadi ronkhi
basah kasar pada stadium resolusi.
- Gambaran Radiologis
Gambaran Radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara lain:
1) Perselubungan homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau segment paru secara
anantomis.
2) Batasnya tegas, walaupun pada mulanya kurang jelas.
3) Volume paru tidak berubah, tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil. Tidak tampak
deviasi trachea/septum/fissure/ seperti pada atelektasis.
4) Silhouette sign (+) : bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru ; batas lesi dengan jantung
hilang, berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di lobus medius kanan.
5) Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura.
6) Bila terjadinya pada lobus inferior, maka sinus phrenicocostalis yang paling akhir terkena.
7) Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler.
8) Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign.
c. Bagaimana patogenesis pada kasus ini?
Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroornagisme di paru. Keadaan ini
disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi ketidakseimbangan antara daya tahan
tubuh, mikroorganisme dapat berkembang biak dan menimbulkan penyakit. Resiko infeksi di paru
sangat tergantung pada kemampuan mikroorganisme untuk sampai dan merusak permukaan epitel
saluran napas. Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan:
1) Inokulasi langsung
2) Penyebaran melalui pembuluh darah
3) Inhalasi bahan aerosol
4) Kolonisasi di permukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah secara Kolonisasi. Secara inhalasi
terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria atau jamur. Kebanyakan bakteri
dengan ukuran 0,5 -2,0 m melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveol dan selanjutnya
terjadi proses infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian
terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan
permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi
pada orang normal waktu tidur (50 %) juga pada keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol dan
pemakai obat (drug abuse).
Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang tinggi 10 8-10/ml, sehingga aspirasi dari
sebagian kecil sekret (0,001 - 1,1 ml) dapat memberikan titer inokulum bakteri yang tinggi dan terjadi
pneumonia.
Pada pneumonia mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi atau aspirasi. Umumnya
mikroorganisme yang terdapat disaluran napas bagian atas sama dengan di saluran napas bagian bawah,
akan tetapi pada beberapa penelitian tidak di temukan jenis mikroorganisme yang sama.
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang berupa
edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit sehingga terjadi
permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi. Sel-sel PMN mendesak bakteri ke permukaan
alveoli dan dengan bantuan leukosit yang lain melalui psedopodosis sitoplasmik mengelilingi bakteri
tersebut kemudian dimakan. Pada waktu terjadi peperangan antara host dan bakteri maka akan tampak 4
zona pada daerah parasitik terset yaitu:
1) Zona luar : alveoli yang tersisi dengan bakteri dan cairan edema.
2) Zona permulaan konsolidasi : terdiri dari PMN dan beberapa eksudasi sel darah merah.
3) Zona konsolidasi yang luas : daerah tempat terjadi fagositosis yang aktif dengan jumlah PMN yang
banyak.
4) Zona resolusiE : daerah tempat terjadi resolusi dengan banyak bakteri yang mati, leukosit dan
alveolar makrofag.
Red hepatization ialah daerah perifer yang terdapat edema dan perdarahan 'Gray hepatization' ialah
konsolodasi yang luas.
Learning Issue (Pneumoni: Patofisiologi dan Patogenesis)
Definisi
1. Bronkopneumonia adalah peradangan pada parenkim paru yang melibatkan bronkus / bronkiolus yang
berupa distribusi berbentuk bercak-bercak (patchy distribution).
2. Bronchopneumonia adalah radang paru-paru yang mengenai satu atau beberapa lobus paru-paru yang
ditandai dengan adanya bercak-bercak Infiltrat (Whalley and Wong, 1996).
3. Bronchopneumina adalah frekwensi komplikasi pulmonary, batuk produktif yang lama, tanda dan gejalanya
biasanya suhu meningkat, nadi meningkat, pernapasan meningkat (Suzanne G. Bare, 1993).
4. Bronchopneumonia disebut juga pneumoni lobularis, yaitu radang paru-paru yang disebabkan oleh bakteri,
virus, jamur dan benda-benda asing (Sylvia Anderson, 1994).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa Bronkopneumonia adalah
radang paru-paru yang mengenai satu atau beberapa lobus paru-paru yang ditandai dengan adanya bercak-
bercak infiltrat yang disebabkan oleh bakteri,virus, jamur dan benda asing.
Epidemiologi
Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada anak-anak di bawah umur 5 tahun
dengan resiko kematian yang tinggi, sedangkan di Amerika pneumonia menunjukkan angka 13% dari seluruh
penyakit infeksi pada anak di bawah umur 2 tahun.
Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama dalam bidang kesehatan, baik di
negara yang sedang berkembang maupun yang sudah maju. Dari data SEAMIC Health Statistic 2001 influenza
dan pneumonia merupakan penyebab kematian nomor 6 di Indonesia, nomor 9 di Brunei, nomor 7 di Malaysia,
nomor 3 di Singapura, nomor 6 di Thailand dan nomor 3 di Vietnam. Laporan WHO 1999 menyebutkan bahwa
penyebab kematian tertinggi akibat penyakit infeksi di dunia adalah infeksi saluran napas akut termasuk
pneumonia dan influenza. Insidensi pneumonia komuniti di Amerika adalah 12 kasus per 1000 orang per tahun
dan merupakan penyebab kematian utama akibat infeksi pada orang dewasa di negara itu. Angka kematian
akibat pneumonia di Amerika adalah 10 %.Di Amerika dengan cara invasif pun penyebab pneumonia hanya
ditemukan 50%. Penyebab pneumonia sulit ditemukan dan memerlukan waktu beberapa hari untuk
mendapatkan hasilnya, sedangkan pneumonia dapat menyebabkan kematian bila tidak segera diobati, maka
pada pengobatan awal pneumonia diberikan antibiotika secara empiris.Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga
Depkes tahun 2001, penyakit infeksi saluran napas bawah menempati urutan ke-2 sebagai penyebab kematian
di Indonesia. Di SMF Paru RSUP Persahabatan tahun 2001 infeksi juga merupakan penyakit paru utama, 58 %
diantara penderita rawat jalan adalah kasus infeksi dan 11,6 % diantaranya kasus nontuberkulosis, pada
penderita rawat inap 58,8 % kasus infeksi dan 14,6 % diantaranya kasus nontuberkulosis. Di RSUP H. Adam
Malik Medan 53,8 % kasus infeksi dan 28,6 % diantaranya infeksi nontuberkulosis. Di RSUD Dr. Soetomo
Surabaya didapatkan data sekitar 180 pneumonia komuniti dengan angka kematian antara 20 - 35 %.
Pneumonia komuniti menduduki peringkat keempat dan sepuluh penyakit terbanyak yang dirawat per tahun.
Etiologi
Penyebab bronkopneumonia yang biasa dijumpai adalah :
1. Faktor Infeksi
a. Pada neonatus
Streptokokus grup B, Respiratory Sincytial Virus (RSV).
b. Pada bayi
- Virus: Virus parainfluensa, virus influenza, Adenovirus, RSV, Cytomegalovirus.
- Organisme atipikal: Chlamidia trachomatis, Pneumocytis.
- Bakteri: Streptokokus pneumoni, Haemofilus influenza, Mycobacterium tuberculosa, B. pertusis.
c. Pada anak-anak :
- Virus : Parainfluensa, Influensa Virus, Adenovirus, RSP
- Organisme atipikal : Mycoplasma pneumonia
- Bakteri : Pneumokokus, Mycobakterium tuberculosa.
d. Pada anak besar – dewasa muda :
- Organisme atipikal: Mycoplasma pneumonia, C. Trachomatis
- Bakteri: Pneumokokus, B. Pertusis, M. tuberculosis.
2. Faktor Non Infeksi.
Terjadi akibat disfungsi menelan atau refluks esophagus meliputi :
a. Bronkopneumonia hidrokarbon :
Terjadi oleh karena aspirasi selama penelanan muntah atau sonde lambung ( zat hidrokarbon seperti
pelitur, minyak tanah dan bensin).
b. Bronkopneumonia lipoid :
Terjadi akibat pemasukan obat yang mengandung minyak secara intranasal, termasuk jeli petroleum.
Setiap keadaan yang mengganggu mekanisme menelan seperti latoskizis,pemberian makanan dengan
posisi horizontal, atau pemaksaan pemberian makanan seperti minyak ikan pada anak yang sedang
menangis. Keparahan penyakit tergantung pada jenis minyak yang terinhalasi. Jenis minyak binatang
yang mengandung asam lemak tinggi bersifat paling merusak contohnya seperti susu dan minyak ikan.
Selain faktor di atas, daya tahan tubuh sangat berpengaruh untuk terjadinya Bronkopneumonia. Menurut
sistem imun pada penderita-penderita penyakit yang berat seperti AIDS dan respon imunitas yang belum
berkembang pada bayi dan anak, malnutrisi energy protein (MEP), penyakit menahun, pengobatan antibiotik
yang tidak sempurna merupakan faktor predisposisi terjadinya penyakit ini.
Klasifikasi
Pembagian pneumonia sendiri pada dasarnya tidak ada yang memuaskan, dan pada umumnya pembagian
berdasarkan anatomi dan etiologi. Beberapa ahli telah membuktikan bahwa pembagian pneumonia berdasarkan
etiologi terbukti secara klinis dan memberikan terapi yang lebih relevan. Pembagian secara anatomis :
1. Pneumonia lobaris
2. Pneumonia lobularis (bronkopneumonia)
3. Pneumonia interstisialis (bronkiolitis)
4. Pembagian secara etiologi :
a. Bakteri : Pneumococcus pneumonia, Streptococcus pneumonia, Staphylococcus pneumonia, Haemofilus
influenzae.
b. Virus : Respiratory Synctitial virus, Parainfluenzae virus, Adenovirus
c. Jamur: Candida, Aspergillus, Mucor, Histoplasmosis, Coccidiomycosis, Blastomycosis, Cryptoccosis.
5. Corpus alienum
6. Aspirasi
7. Pneumonia hipostatik
Patogenesis
Dalam keadaan sehat pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan mikroorganisme, keadaan ini
disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru. Terdapatnya bakteri di dalam paru merupakan
ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak dan berakibat
timbulnya infeksi penyakit. Masuknya mikroorganisme ke dalam saluran nafas dan paru dapat melalui berbagai
cara, antara lain : Inhalasi langsung dari udara, Aspirasi dari bahan-bahan yang ada di nasofaring dan orofaring,
Perluasan langsung dari tempat-tempat lain, Penyebaran secara hematogen, Mekanisme daya tahan traktus
respiratorius bagian bawah sangat efisien untuk mencegah infeksi yang terdiri dari : Susunan anatomis rongga
hidung. Jaringan limfoid di nasofaring. Bulu getar yang meliputi sebagian besar epitel traktus respiratorius dan
sekret lain yang dikeluarkan oleh sel epitel tersebut. Refleks batuk. Refleks epiglotis yang mencegah terjadinya
aspirasi sekret yang terinfeksi. Drainase sistem limfatis dan fungsi menyaring kelenjar limfe regional.
Fagositosis aksi limfosit dan respon imunohumoral terutama dari Ig A. Sekresi enzim – enzim dari sel-sel yang
melapisi trakeo-bronkial yang bekerja sebagai antimikroba yang non spesifik. Bila pertahanan tubuh tidak kuat
maka mikroorganisme dapat melalui jalan nafas sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding
alveoli dan jaringan sekitarnya. Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu proses peradangan
yang meliputi empat stadium, yaitu :
1. Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah baru
yang terinfeksi.
Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia
ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun
dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel
mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin
untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini
mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan
dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak
yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling
berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
2. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang
dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat
oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada
perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan
bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
3. Stadium III (3 – 8 hari)
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang
terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis
sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi
fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
4. Stadium IV (7 – 11 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda, sisa-sisa sel
fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.
Gambaran Klinis
Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas selama beberapa hari. Suhu
dapat naik secara mendadak sampai 39-40˚C dan mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak
sangat gelisah, dispnea, pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis di sekitar
hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak dijumpai pada awal penyakit,anak akan mendapat batuk setelah
beberapa hari, di mana pada awalnya berupa batuk kering kemudian menjadi produktif.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan : Inspeksi : pernafasan cuping hidung (+), sianosis sekitar hidung
dan mulut, retraksi sela iga. Palpasi : Stem fremitus yang meningkat pada sisi yang sakit. Perkusi : Sonor
memendek sampai beda Auskultasi : Suara pernafasan mengeras (vesikuler mengeras) disertai ronki basah
gelembung halus sampai sedang.
Pada bronkopneumonia, hasil pemeriksaan fisik tergantung pada luasnya daerah yang terkena. Pada
perkusi toraks sering tidak dijumpai adanya kelainan. Pada auskultasi mungkin hanya terdengar ronki basah
gelembung halus sampai sedang. Bila sarang bronkopneumonia menjadi satu ( konfluens ) mungkin pada
perkusi terdengar suara yang meredup dan suara pernafasan pada auskultasi terdengar mengeras. Pada stadium
resolusi ronki dapat terdengar lagi.Tanpa pengobatan biasanya proses penyembuhan dapat terjadi antara 2-3
minggu.
Pemeriksaan Laboratorium
1. Gambaran darah menunjukkan leukositosis, biasanya 15.000 – 40.000/ mm3 dengan pergeseran ke kiri.
Jumlah leukosit yang tidak meningkat berhubungan dengan infeksi virus atau mycoplasma.
2. Nilai Hb biasanya tetap normal atau sedikit menurun
3. Sinar x : mengidentifikasi distribusi struktural; dapat juga menyatakan abses luas/infiltrat,
empiema(stapilococcus); infiltrasi menyebar atau terlokalisasi (bakterial); atau penyebaran /perluasan
infiltrat nodul (virus). Pneumonia mikoplasma sinar x dada mungkin bersih.
4. Analisa gas darah( AGDA ) menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia.Pada stadium lanjut dapat terjadi
asidosis metabolik.
5. Pemeriksaan gram/kultur sputum dan darah : diambil dengan biopsi jarum, aspirasi transtrakeal,
bronkoskopifiberotik atau biopsi pembukaan paru untuk mengatasi organisme penyebab. Kultur dahak
dapat positif pada 20 – 50% penderita yang tidak diobati.
6. JDL: leukositosis biasanya ada, meski sel darah putih rendah terjadi pada infeksi virus, kondisi tekanan
imun memungkinkan berkembangnya pneumonia bakterial.
7. Pemeriksaan serologi titer virus atu legionella, aglutinin dingin.
8. LED meningkat
9. Pemeriksaan fungsi paru: volume mungkin menurun (kongesti dan kolaps alveolar); tekanan jalan nafas
mungkin meningkat dan komplain menurun, hipoksemia.
10. Elektrolit : natrium dan klorida mungkin rendah
11. Bilirubin : mungkin meningkat
12. Aspirasi perkutan/biopsi jaringan paru terbuka :menyatakan intranuklear tipikal dan keterlibatan
sitoplasmik(CMV) (Doenges, 1999)
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik yang sesuai dengan gejala
dan tanda yang diuraikan sebelumnya disertai pemeriksaan penunjang. Pada bronkopneumonia, bercak-bercak
infiltrat didapati pada satu atau beberapa lobus. Foto rontgen dapat juga menunjukkan adanya komplikasi
seperti pleuritis, atelektasis, abses paru, pneumotoraks atau perikarditis. Gambaran ke arah sel polimorfonuklear
juga dapat dijumpai. Pada bayi-bayi kecil jumlah leukosit dapat berada dalam batas yang normal. Kadar
hemoglobin biasanya normal atau sedikit menurun.
Diagnosis etiologi dibuat berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi serologi, karena pemeriksaan
mikrobiologi tidak mudah dilakukan dan bila dapat dilakukan kuman penyebab tidak selalu dapat ditemukan.
Oleh karena itu WHO mengajukan pedoman diagnosa dan tata laksana yang lebih sederhana. Berdasarkan
pedoman tersebut bronkopneumonia dibedakan berdasarkan :
1. Bronkopneumonia sangat berat :
Bila terjadi sianosis sentral dan anak tidak sanggup minum,maka anak harus dirawat di rumah sakit dan
diberi antibiotika.
2. Bronkopneumonia berat :
Bila dijumpai adanya retraksi, tanpa sianosis dan masih sanggup minum,maka anak harus dirawat di rumah
sakit dan diberi antibiotika.
3. Bronkopneumonia :
Bila tidak ada retraksi tetapi dijumpai pernafasan yang cepat :
> 60 x/menit pada anak usia < 2 bulan
> 50 x/menit pada anak usia 2 bulan – 1 tahun
> 40 x/menit pada anak usia 1 - 5 tahun.
4. Bukan bronkopenumonia :
Hanya batuk tanpa adanya tanda dan gejala seperti diatas, tidak perlu dirawat dan tidak perlu diberi
antibiotika. Diagnosis pasti dilakukan dengan identifikasi kuman penyebab:
a. Kultur sputum atau bilasan cairan lambung
b. Kultur nasofaring atau kultur tenggorokan (throat swab), terutama virus
c. Deteksi antigen bakteri
Diagnosa Banding
Bronkiolitis akut
Bronkitis akut
Aspirasi pneumonia
Tb paru primer
Penatalaksanaan
Sebaiknya pengobatan diberikan berdasarkan etiologi dan uji resistensi tetapi hal ini tidak dapat selalu
dilakukan dan memakan waktu yang cukup lama, maka dalam praktek diberikan pengobatan polifarmasi maka
yang biasanya diberikan:
a. Penisilin 50.000 U/kgBB/hari,ditambah dengan kloramfenikol 50-70 mg/kgBB/hari atau diberikan
antibiotik yang mempunyai spektrum luas seperti ampisilin. Pengobatan ini diteruskan sampai bebas
demam 4-5 hari.
b. Pemberian oksigen dan cairan intravena, biasanya diperlukan campuran glukose 5% dan Nacl 0.9% dalam
perbandingan 3:1 ditambah larutan KCL 10 mEq/500 ml/botol infus.
c. Karena sebagian besar pasien jatuh kedalam asidosis metabolik akibat kurang makan dapat diberikan
koreksi sesuai denagn hasil analisa gas darah arteri.
d. Pasien bronkopnemonia ringan tidak usah dirawat dirumah sakit.
Komplikasi
Otitis media
Bronkiektase
Abses paru
Empiema
Prognosis
Sembuh total, mortalitas kurang dari 1 %, mortalitas bisa lebih tinggi didapatkan pada anak-anak
dengan keadaan malnutrisi energi-protein dan datang terlambat untuk pengobatan.
Interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi sudah lama diketahui. Infeksi berat dapat memperjelek
keadaan melalui asupan makanan dan peningkatan hilangnya zat-zat gizi esensial tubuh. Sebaliknya malnutrisi
ringan memberikan pengaruh negatif pada daya tahan tubuh terhadap infeksi. Kedua-duanya bekerja sinergis,
maka malnutrisi bersama-sama dengan infeksi memberi dampak negatif yang lebih besar dibandingkan dengan
dampak oleh faktor infeksi dan malnutrisi apabila berdiri sendiri.
Pencegahan
Penyakit bronkopneumonia dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan penderita atau
mengobati secara dini penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan terjadinya bronkopneumonia ini.
Selain itu hal-hal yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan daya tahan tubuh kaita terhadap
berbagai penyakit saluran nafas seperti : cara hidup sehat, makan makanan bergizi dan teratur ,menjaga
kebersihan ,beristirahat yang cukup, rajin berolahraga, dll.
Melakukan vaksinasi juga diharapkan dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi antara lain:
1. Vaksinasi Pneumokokus
2. Vaksinasi H. influenza
3. Vaksinasi Varisela yang dianjurkan pada anak dengan daya tahan tubuh rendah
Vaksin influenza yang diberikan pada anak sebelum anak sakit.
DAFTAR PUSTAKA
Chernecky CC & Berger BJ. (2008). Laboratory Tests and Diagnostic Procedures 5th edition. Saunders-
Elsevier.
Dewi, Ni Putu Sucita Wahyu. (2012). Perbedaan Kadar C-Reactive Protein pada Anak dengan Pneumonia
Berat dan Sangat Berat. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
Supriyanto, Bambang. (2010). Batuk Kronik pada Anak. Department of Child Health Faculty of Medicine
University of Indonesia/Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta.
Tadda, Asri. (2010). Referat Kedokteran: Diagnosis dan Penatalaksanaan Penyakit Pneumonia.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. (2003). Pneumonia Komuniti: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
di Indonesia dalam www.klikpdpi.com.