Upload
yoan-arif
View
44
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
paper
Citation preview
Case Report
Blount’s Disease Correction
With Dome Osteotomy On 12 Years Old Boy
Da Costa A.D.H., Fathurachman., Ismiarto Y.D., Rasyid H.N
School of medicine – Universitas Padjajaran/ DR. Hasan Sadikin Central Hospital, Bandung
PENDAHULUAN
Tibia Vara atau yang sering dikenal sebagai Blount Disease, pertama kali dikemukakan
oleh Erlacher pada tahun (1922), dan baru diperkenalkan secara umum oleh Walter Putnam
Blount dalam sebuah artikelnya pada tahun 1937. Blount sendiri mengemukakan kasus Tibia
Vara ini sebagai suatu gambaran osteochondrosis yang sama dengan kasus coxa plana dan
Madelung’s deformity, tetapi pada kasus Tibia Vara ini kelainannya berada pada sisi medial
dari epiphyseal proximal tibia. Oleh sebab itu Tibia vara lebih diketahui sebagai gangguan
yang didapat pada metafisis pada proximal tibia dibandingkan sebagai suatu kelainan
epiphysis dysplasia.1
Etiologi dan penyebab utama pada kasus ini belum diketahui banyak. Tetapi banyak
faktor-faktor penyebab yang dapat dihubungkan sebagai pemicu berkembangnya kasus ini
selain teori yang erat hubungannya dengan osifikasi endokhondral. Kasus ini biasanya
diderita oleh anak-anak dalam proses pertumbuhan yang memiliki berat badan yang berlebih
pada masanya, serta kelompok anak-anak yang lebih dini memulai proses berjalan sebelum
waktunya. Pada sebagian besar kasus tercatat 60% memiliki insidensi bilateral deformitas.1,2
Pada gambaran klinis biasanya penderita datang dengan mengeluhkan bengkok pada
persendian lututnya, dapat disertai nyeri ataupun tidak nyeri. Secara spesifik dari klinis akan
ditemukan Varus deformitas dan internal torsion dari tibia, serta genu rekurvatum.
Pada gambaran radiologi ditemukan karakteristik dari medial epiphyseal plate yang
mengalami pemendekan, penipisan dan wedging. Derajat proximal tibia vara dapat diukur
dari meta-physeo-diaphyseal angle, dengan sudut yang dibentuk tidak boleh lebih dari 11
derajat.1,2
Gambar 1. AP Radiologi dari Blount Disease. Menghitung sudut metaphyseal-diaphyseal angle. Dimana
sudut ini terbentuk dari garis perpendikuler dari garis axis tibial dengan garis metaphyseal
Langenskiold dan Riska pertama kali membuat klasifikasi pada kasus ini menjadi 6 stage
yang bedasarkan progresifitas dari gambaran secara radiografik dengan petunjuk level
penanganan dan prognosis pada kasus ini. Klasifikasi ini menggarbarkan gangguan kasus
tibia vara ini mulai dari yang paling sederhana sampai yang paling kompleks. Dimana
semakin tinggi tipe gangguan yang terjadi maka semakin besar pula deformitas medial yang
terlihat pada gambaran radiografik.
Gambar 2. Gambaran perubahan radiografik sesuai stage dan perkembangan deformitas bila dikaitkan dengan penambahan usia dari penderita. (dikutip dari :Langenskiöld A, Riska EB: Tibia vara (osteochondrosis deformans tibiae): a survey of seventy-one cases, J Bone Joint Surg 46A:1405, 1964.)
Teknik dan prosedur terapi pada kasus ini adalah dengan menggunakan prosedur dari
Dome osteotomi. Teknik operasi ini sudah diperkenalkan sejak lama, osteotomi di lakukan
pada daerah metaphyseal pada tulang proximal tibia. Teknik ini secara luas diperkenalkan
oleh Rab. Selaijn itu tercatat ada beberapa teknik dan prosedur lainya sebagai terapi tindakan
dari Blount Disease ini. Seperti pada contohnya adalah : Metaphyseal osteotomi, Chevron
Osteotomi, leg lengthening dengan Ilizarov.1 Pada kasus ini teknik Dome dilakukan untuk
memperbaiki varus deformitas pada pasien ini.
Sebelum terapi ortopedi dilakukan, sangat penting untuk menangani aspek psikologis
pada pasien. Pendekatan psikologis yang benar dan pemberian motivasi sangat penting untuk
keberhasilan terapi. Harus dijelaskan kepada pasien dan keluarganya mengenai terapi yang
dilakukan dan hasil yang diharapkan. Kemudian pasien diminta datang atas kemauannya
sendiri.3
LAPORAN KASUS
Seorang anak laki-laki berusia 12 tahun datang ke poliklinik orthopaedic dengan keluhan
tungkai bengkok dan keluhan tersebut sering kali disertai dengan keluhan pincang. Orang tua
pasien juga mengeluhkan putranya tidak dapat beraktivitas seperti berlari jauh,jongkok,
berdiri lama dan aktivitas berat lainnya sehubungan dengan deformitas pada tungkai kiri yang
diderita oleh putranya.
Pada awalnya keluhan bengkok mulai dirasakan pada usia 1 tahun. Orang tua sering kali
mengeluhkan anaknya berjalan tidak seimbang, dan ada kalanya sering terjatuh. Keluhan ini
terus berlangsung dalam pertumbuhannya. Semakin lama keluhan ini disertai dengan tungkai
kiri yang semakin membengkok. Keluhan membengkok pada tungkai anaknya ini disertai
pula dengan proses jalan yang pincang.
Dari pemeriksaan fisik dapat terlihat deformitas pada proximal tibia kearah lateral (tibial
vara), dari ROM ekstensi lutut 00 dan fleksi lutut 1350.
Gambar 3. Seorang anak usia 12 tahun dengan tibia vara pada tungkai kirinya
Dari gambaran radiologis terlihat adanya gambaran deformitas ke arah lateral dari tibial
sinistra dan pada pengukuran metaphiseal-diaphiseal angle didapatkan sudut sebesar 300.
Serta terlihat terjadi subluksasi minimal dari femur. Pada gambaran radiological ini dapat kita
klasifikasikan kasus ini menurut Langenskiold stage IV.
Gambar 4. Gambaran radiografik preoperatif
Koreksi terhadap variasi deformitas memerlukan teknik bedah yang disesuaikan dengan
prosedur dasar, yang dimulai dengan insisi Hokey’s Stick sejauh 4 cm sampai 5 cm. setelah
insisi diperdalam dan proximal tibia telah exposed maka dilakukan osteotomi tepat didistal
dari tuberkulum tibia,yang pada awalnya dilakukan drilling untuk membuat lubang yang
nantinya dijadikan sebagai bantuan dalam proses osteotomi. Setelah osteotomi dilakukan,
maka selanjutnya dilakukan koreksi deformitas dengan bertolak pada garis alignment yang
bertitik tumpu pada SIAS-Tip Patella-Second toe. Untuk lebih menstabilkan dan memfiksasi,
maka dibutuhkan fiksator berupa beberapa transfiksing wire dengan arah crossing dari
proximal kearah distal. Transfiksing wire ini tidak diperbolehkan menembus epihiseal plate,
karena akan merusak lempeng pertumbuhan nantinya. Setelah koreksi dinyatakan optimal,
maka dilakukan penutupan kulit lapis demi lapis. Serta pasca operasi dilakukan imobilisasi
dengan menggunakan back slab dan control penilaian pasca operasi. 1,2,3
Gambar 5. Intra operatif
Gambar 6. Radiografi pasca operatif dan imobilisasi back slab
KESIMPULAN
Kasus Blount Disease pada anak tidak mendapat terapi dari awal masih ditemukan.
Termasuk di Indonesia sebagai negara berkembang. Sangat penting untuk memahami kondisi
pasien, pendekatan psikologis dan memotivasi pasien sebelum operasi dilakukan. Pasien
sudah terbiasa hidup dengan deformitas yang dialaminya. Hal ini berpengaruh pada upaya
adaptasi terhadap kehidupannya setelah pembedahan.2,3
Bila kasus Blount Disease ini dirawat dengan baik dan mendapatkan penanganan
lebih awal maka koreksi bedah dapat diminimalisir. Penentuan derajat hasil terapi berubah-
ubah pada tiap kasus tetapi upaya membuat seobyektif mungkin dilakukan dan evaluasi
didasarkan pada penemuan selama follow-up, tanpa dihubungkan dengan keadaan pre
operatif, yang diklasifikasikan sebagai hasil yang jelek mungkin masih dapat terjadi
perbaikan berarti dan deformitas sedang yang menetap yang mungkin di evaluasi sebagai
tidak memuaskan mungkin dianggap baik oleh pasien dan keluarganya. Hasil kosmetis dinilai
dengan mempertimbangkan aspek umum dari kaki, ukuran relative (pada kasus unilateral),
dan ada atau tidaknya jaringan parut yang menyolok. Saat hasil kosmetis memberikan
harapan, hasil fungsional bisa saja berkurang, tetapi kapasitas berjalan pasien tidak
terganggu.1,2
DAFTAR PUSTAKA
1. Canale.S Terry, Beaty J H. Campbell’s Operative Orthopaedics. 11th Ed ; 2008
2. Solomon, Warwick, Nayagam. Apley’s System of Orthopaedics and Fractures. New
Delhi: Ajanta Press; 2001.
3. Mosca Vince, Stahely. Practice of Pediatric Orthopaedics 2nd Ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2006.