Upload
vandj86
View
25
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Desentralisasi Fiskal
5/24/2018 Paper Desentralisasi Fiskal
1/27
0
Diploma IV Kurikulum Khusus BPKP
Kelas 8B
Aditya Wahyu Kusuma WardanaDaniel Wawone Yunior Basar
Ivan Dwi JatmikoRestu Kurnia Natalia
Yusniar Yuliana Wardani
DESENTRALISASI
FISKAL
5/24/2018 Paper Desentralisasi Fiskal
2/27
1
DESENTRALISASI FISKAL
A. PENGERTIAN DESENTRALISASI FISKAL
Desentralisasi merupakan sebuah instrumen untuk mencapai salah satu tujuan
bernegara, terutama memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan
proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Dengan desentralisasi
akan terwujud pelimpahan wewenangan kepada tingkat pemerintahan yang lebih
rendah untuk melakukan pembelanjaan, kewenangan untuk memungut pajak (taxing
power), terbentuknya Dewan yang dipilih oleh rakyat, Kepala Daerah yang dipilih oleh
DPRD, dan adanya bantuan dalam bentuk transfer dari Pemerintah Pusat. Dorongan
desentralisasi yang terjadi di berbagai negara di dunia terutama di negara-negara
berkembang, dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya, latar belakang atau
pengalaman suatu negara, peranannya dalam globalisasi dunia, kemunduran dalam
pembangunan ekonomi, tuntutan terhadap perubahan tingkat pelayanan masyarakat,
tanda-tanda adanya disintegrasi di beberapa negara, dan yang terakhir, respons
terhadap banyaknya kegagalan yang dialami oleh pemerintahan sentralistis dalam
memberikan pelayanan masyarakat yang efektif. Pada prinsipnya desentralisasi
bertujuan pada efisiensi sektor publik dalam produksi dan distribusi pelayanan,
meningkatkan kualitas pembuatan keputusan dengan menggunakan informasi lokal,
meningkatkan akuntabilitas dan meningkatkan kemampuan respon terhadap kebutuhan
dan kondisi lokal (Giannoni, 2002). Hal inilah yang mendorong desentralisasi
diserahkan dan dilaksanakan pemerintahan daerah yakni kabupaten/kota. Selain itu
menurut Silverman (1990) dalam laporan World Bank di Uganda (2005) menyatakan
bahwa pemerintah lokal lebih responsif terhadap warga negaranya dibanding
pemerintah pusat sehingga keputusan yang diambil lebih merefleksikan kebutuhan dan
keinginan rakyat. Desentralisasi akan membawa pemerintah lebih dekat dengan rakyat
dan mendorong mereka untuk lebih terlibat (Mills, 1994).
Desentralisasi fiskal, merupakan salah satu komponen utama dari desentralisasi.
Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya perubahan pola hubungan yang
terjadi antara pemerintah pusat dan daerah setelah diberlakukannya Undang-undang
(UU) Nomor 22 tahun 1999 dan UU Nomor 25 tahun 1999 yang kemudian UU tersebut
disempurnakan menjadi UU Nomor 32 tahun 2004 dan UU Nomor 33 tahun 2004.
5/24/2018 Paper Desentralisasi Fiskal
3/27
2
Kebijakan awal yang dirumuskan dalam UU Nomor 22 dan Nomor 25 tahun 1999
antara Alokasi Umum (DAU) sebagai sumber pembiayaan berbagai urusan
pemerintahan yang telah didaerahkan, Dana Bagi Hasil (DBH) dari ekstraksi sumber
daya alam yang berada di daerah yang bersangkutan, dan diberikannya otoritas pajak
yang terbatas kepada pemerintah daerah. Selanjutnya, amandemen undang-undangdesentralisasi yang dilakukan pada tahun 2004 menitikberatkan kepada mekanisme
pemantauan oleh pemerintah pusat, dan perbaikan kepada pertanggungjawaban
pengeluaran pemerintah daerah (Brodjonegoro 2004). Di sisi fiskal, UU Nomor 33
tahun 2004 memperbesar basis bagi hasil pajak dari sumber daya alam yang dimiliki
daerah, maupun dari pajak tingkat nasional lainnya, dan perluasan total dana yang
menjadi sumber DAU.
Desentralisasi fiskal merupakan komponen utama dari desentralisasi karenaberkaitan langsung dengan hubungan fungsi penerimaan dan pengeluaran dana publik
antara tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi dengan pemerintahan dibawahnya
(Muluk, 2006). Apabila pemerintah daerah melaksanakan fungsinya secara efektif dan
mendapat kebebasan dalam pengambilan keputusan pengeluaran di sektor publik,
maka mereka harus mendapat dukungan sumber-sumber keuangan yang memadai
(Siddik, 2002b). Kebijakan desentralisasi fiskal dapat meloloskan suatu negara dari
berbagai jebakan ketidak-efisienan, ketidak-efektifan pemerintahan, ketidak-stabilan
makro ekonomi, dan ketidak-cukupan pertumbuhan ekonomi.
Desentralisasi fiskal juga dimaksudkan untuk perbaikan efisiensi ekonomi, efisiensi
biaya, perbaikan akuntabilitas dan peningkatan mobilitas dana (Bird dan Vailancourt,
2000), serta berbagi beban keuangan dengan kawasan dan kota (Todaro dan Smith,
2004). Kebijakan desentralisasi fiskal juga dapat menjadi daya saing suatu daerah jika
dibandingkan dengan daerah lain, suatu daerah dapat menawarkan paket pajak dan
pelayanan publik yang terbaik dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui
pilihan publik (Stoker, 1991; Grofman, 2002; Feld e al. 2004).
Desentralisasi fiskal yang ada di Indonesia adalah desentralisasi fiskal di sisi
pengeluaran yang didanai terutama melalui transfer ke daerah maka esensi otonomi
pengelolaan fiskal daerah dititikberatkan pada diskresi (kebebasan) untuk
membelanjakan dana sesuai kebutuhan dan prioritas masingmasing daerah.
Pelaksanaan desentralisasi fiskal akan berjalan dengan baik dengan berpedoman
kepada :
5/24/2018 Paper Desentralisasi Fiskal
4/27
3
1. Adanya Pemerintah Pusat yang kapabel dalam melakukan pengawasan dan
enforcement;
2. Terdapat keseimbangan antara akuntabilitas dan kewenangan dalam
melakukan pungutan pajak dan retribusi Daerah.
Kebijakan desentralisasi sistem perpajakan yang termasuk dalam kebijakandesentralisasi fiskal diterapkan di Indonesia mulai tahun 2001. Sebelumnya selama 30
tahun lebih Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat sentralistik. Kebijakan
ini tertuang dalam bentuk perundang-undangan yang mengatur perimbangan keuangan
antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, dan perundangan tentang pajak
dan retribusi daerah. Perimbangan keuangan mengatur tentang bagi hasil pajak dan
sumber daya alam serta dana transfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah. Perundangan pajak dan retribusi daerah mengatur jenis pajak yang menjadikewenangan pemerintah daerah untuk memungutnya.
Pelaksanaan Undang-undang Nomor 22 dan 25 Tahun 1999 telah menyebabkan
perubahan yang sangat mendasar mengenai pengaturan hubungan Pusat dan Daerah,
khususnya dalam bidang administrasi pemerintahan maupun dalam hubungan
keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang dalam banyak literatur disebut
intergovernment fiscal relation yang dalam UU Nomor 25 tahun 1999 disebut
perimbangan keuangan. Sesuai Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, Daerah
diberikan kewenangan untuk menyelenggarakan seluruh fungsi pemerintahan, kecuali
kewenangan pemerintahan dalam bidang pertahanan keamanan, politik luar negeri,
fiskal dan moneter, peradilan, agama, dan adminsitrasi pemerintahan yang bersifat
strategis. Dengan pembagian kewenangan/fungsi tersebut pelaksanaan pemerintahan
di Daerah dilaksanakan berdasarkan asas desentralisasi, asas dekonsentrasi dan
tugas pembantuan.
Implikasi langsung dari kewenangan/fungsi yang diserahkan kepada Daerah sesuai
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah kebutuhan dana yang cukup besar.
Untuk itu, telah diatur hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah yang
dimaksudkan untuk membiayai pelaksanaan fungsi yang menjadi
kewenangannya.Kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia diatur dengan UU Nomor
22 dan UU Nomor 25 Tahun 1999 serta UU-APBN. Menurut UU Nomor 22 dan 25
Tahun 1999 ini, perimbangan keuangan Pusat dan Daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi fiskal mengandung pengertian bahwa kepada Daerah diberikan
kewenangan untuk memanfaatkan sumber keuangan sendiri dan didukung dengan
5/24/2018 Paper Desentralisasi Fiskal
5/27
4
perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah. Sumber-sumber pembiayaan
Daerah yang utama dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal meliputi:
Pendapatan Asli Daerah
Salah satu wujud dari pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah pemberian sumber-
sumber penerimaan bagi daerah yang dapat digali dan digunakan sendiri sesuai
dengan potensinya masing-masing. Kewenangan Daerah untuk memungut pajak dan
retribusi diatur dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 yang merupakan
penyempurnaan dari Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 dan ditindaklanjuti
peraturan pelaksanaannya dengan PP Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah
dan PP Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah. Berdasarkan UU dan PP
tersebut, Daerah diberikan kewenangan untuk memungut 11 jenis pajak dan 28 jenis
retribusi. Penetapan jenis pajak dan retribusi tersebut didasarkan pertimbangan bahwa
jenis pajak dan retribusi tersebut secara umum dipungut di hampir semua Daerah dan
merupakan jenis pungutan yang secara teoritis dan praktek merupakan jenis pungutan
yang baik. Selain jenis pajak dan retribusi tersebut, Daerah juga diberikan kewenangan
untuk memungut jenis pajak (kecuali untuk Provinsi) dan retribusi lainnya sesuai
kriteria-kriteria tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang .
Dana Perimbangan
Bagian Daerah dalam bentuk bagi hasil penerimaan (Revenue Sharing)
Untuk menambah pendapatan Daerah dalam rangka pembiayaan pelaksanaan
fungsi yang menjadi kewenangannya dilakukan dengan pola bagi hasil penerimaan
pajak dan bukan pajak (SDA) antara Pusat dan Daerah. Selanjutnya berdasarkan
Undang-undang PPh Nomor 17 Tahun 2000, mulai TA 2001 Daerah memperoleh bagi
hasil dari Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi (personal income tax), yaitu PPh
Pasal 21 serta PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi. Ditetapkannya PPh Perorangan
sebagai objek bagi hasil dimaksudkan sebagai kompensasi dan penyelaras bagi
Daerah-daerah yang tidak memiliki SDA tetapi memberikan kontribusi yang besar bagi
penerimaan negara (APBN).
1. Dana Alokasi Umum
Untuk mengurangi ketimpangan dalam kebutuhan pembiayaan dan penguasaan
pajak antara Pusat dan Daerah telah diatasi dengan adanya perimbangan keuangan
antara Pusat dan Daerah (dengan kebijakan bagi hasil dan DAU minimal sebesar 25%
5/24/2018 Paper Desentralisasi Fiskal
6/27
5
dari Penerimaan Dalam Negeri). Dengan perimbangan tersebut, khususnya dari DAU
akan memberikan kepastian bagi Daerah dalam memperoleh sumber-sumber
pembiayaan untuk membiayai kebutuhan pengeluaran yang menjadi
tanggungjawabnya.
Sesuai dengan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan AntaraPemerintah Pusat dan Daerah bahwa kebutuhan DAU oleh suatu Daerah (Provinsi,
Kabupaten, dan Kota) ditentukan dengan menggunakan pendekatan konsep Fiscal
Gap, dimana kebutuhan DAU suatu Daerah ditentukan atas kebutuhan Daerah (fiscal
needs) dengan potensi Daerah (fiscal capacity). Dengan pengertian lain, DAU
digunakan untuk menutup celah yang terjadi karena kebutuhan Daerah melebihi dari
potensi penerimaan Daerah yang ada. Berdasarkan konsep fiscal gap tersebut,
distribusi DAU kepada daerah-daerah yang memiliki kemampuan relatif besar akanlebih kecil dan sebaliknya daerah-daerah yang mempunyai kemampuan keuangan
relatif kecil akan memperoleh DAU yang relatif besar. Dengan konsep ini sebenarnya
daerah yang fiscal capacitynya lebih besar dari fiscal needs hitungan DAUnya akan
negatif. Kebutuhan Daerah paling sedikit dicerminkan dari variabel jumlah penduduk,
luas wilayah, keadaan geografi, dan tingkat pendapatan masyarakat dengan
memperhatikan kelompok masyarakat miskin. Sementara potensi ekonomi Daerah
dicerminkan dengan potensi penerimaan Daerah seperti potensi industri, potensi SDA,
potensi SDM, dan PDRB. Untuk menghindari kemungkinan penurunan kemampuan
Daerah dalam membiayai beban pengeluaran yang sudah menjadi tanggung jawabnya,
maka perhitungan DAU disamping menggunakan formula Fiscal Gap juga
menggunakan Faktor Penyeimbang (sesuai PP Nomor 104 tentang Dana Perimbangan
sebagaimana telah direvisi dengan PP Nomor 84 Tahun 2001). Dengan adanya Faktor
Penyeimbang, alokasi DAU kepada Daerah ditentukan dengan perhitungan formula
Fiscal Gap dan Faktor Penyeimbang.
2. Dana Alokasi Khusus
Pada hakikatnya pengertian Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang berasal
dari APBN, yang dialokasikan kepada Daerah untuk membantu membiayai kebutuhan
khusus. Pengalokasian DAK ditentukan dengan memperhatikan tersedianya dana
dalam APBN. Sesuai dengan UU Nomor 25 Tahun 1999, yang dimaksud dengan
kebutuhan khusus adalah (i) kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan
menggunakan rumus alokasi umum, dalam pengertian kebutuhan yang tidak sama
dengan kebutuhan Daerah lain, misalnya: kebutuhan di kawasan transmigrasi,
5/24/2018 Paper Desentralisasi Fiskal
7/27
6
kebutuhan beberapa jenis investasi/prasarana baru, pembangunan jalan di kawasan
terpencil, saluran irigasi primer, dan saluran drainase primer; dan (ii) kebutuhan yang
merupakan komitmen atau prioritas nasional.
Pinjaman Daerah
Untuk membiayai kebutuhan Daerah berkaitan dengan penyediaan prasarana yang
dapat menghasilkan (pengeluaran modal), Daerah juga dapat melakukan pinjaman baik
dari dalam negeri (Pusat dan Lembaga Keuangan) maupun dari luar negeri dengan
persetujuan Pusat.
B. TUJUAN DESENTRALISASI FISKAL
Pada dasarnya desentralisasi fiskal menurut kedua UU ini bertujuan untuk :
1. Kesinambungan kebijaksanaan fiskal (Fiscal Sustainability) dalam konteks
kebijaksanaan ekonomi makro.
2. Mengoreksi vertical imbalance, yaitu untuk memperkecil ketimpangan yang
terjadi antara keuangan Pemerintah Pusat dan keuangan Daerah yang
dilakukan dengan memperbesar taxing power Daerah
Kebijaksanaan untuk mengatasi kesenjangan fiskal antar Daerah (horizontal
imbalance) dilakukan dengan transfer dana dari Pemerintah Pusat kepada Daerah
melalui konsep Fiscal Gap yaitu kebutuhan Daerah (kebutuhan fiskal) dibandingkan
dengan potensi Daerah (kapasitas fiskal), dimana kebutuhan Daerah yang melebihi
kapasitas fiskalnya akan ditutup dengan transfer dana dari Pemerintah Pusat. Dalam
konteks ini, tranfer dana melalui DAU akan dapat mengkoreksi kesenjangan horizontal
dengan meningkatkan kemampuan/kapasitas fiscal Daerah. Tanpa transfer DAU,
kapasitas fiskal Daerah tidak dapat memenuhi kebutuhannya. DAU yang disalurkan
kepada Provinsi dan Kabupaten/Kota telah dapat meningkatkan kemampuan kapasitas
fiskal Daerah meskipun peningkatan kapasitas fiskal tersebut adalah berasal dari
transfer Pemerintah Pusat melalui DAU.
Adapun tujuan desentralisasi fiskal menurut Grand Design Desentralisasi Fiskal
yang diteritkan oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan adalah sebagai
berikut:
1. Ketimpangan vertikal dan horizontal yang minimum
DAU harus mampu mengatasi ketimpangan horizontal yang sampai saat ini
masih cukup tinggi, sebagai akibat adanya kebijakan-kebijakan yang justru
5/24/2018 Paper Desentralisasi Fiskal
8/27
7
mendistorsi formulasi DAU untuk mencapai tujuan tersebut, seperti
holdharmless policy dan penggunaan belanja pegawai sebagai variabel.
Penilaian kebutuhan fiskal dalam formulasi DAU tidak lagi menggunakan
proxy, namun telah menggunakan alat ukur yang lebih mencerminkan
kebutuhan riil tiap-tiap daerah.
Penghitungan DAU dilakukan oleh lembaga yang independen yang terlepas
dari berbagai macam kepentingan politik. Pembagian DAU bukan dari
kepentingan politik tetapi kepentingan daerah dalam pengertian yang
sebenarnya yaitu kepentingan pemenuhan kebutuhan pelayanan minimum.
menjadi suatu urgensi bagi Indonesia untuk merumuskan kembali peran dari
dana alokasi khusus (DAK) dalam mekanisme dana perimbangan. Arah
yang benar adalah bahwa DAK menjadi instrumen utama dalam rangkamendorong pembangunan daerah untuk memenuhi berbagai prioritas
pembangunan nasional. Oleh karena itu, besarnya alokasi DAK seyogyanya
meningkat secara signifikan. Bila porsi DAK dalam dana perimbangan saat
ini hanya sekitar 8,05%, maka di masa mendatang, untuk dapat menjadi
alokasi DAK yang efektif bagi pemenuhan prioritas nasional, diharapkan
dapat meningkat porsinya menjadi setidak-tidaknya 30% terhadap total dana
perimbangan. Diharapkan di masa yang akan datang akan dapat didesain suatu sistem
bagi hasil yang lebih sederhana. Meskipun demikian, DBH harus tetap
mengemban fungsinya untuk mengurangi ketidakseimbangan vertikal
dengan tetap menjaga kesinambungan fiskal nasional.
2. Pendapatan dan pembiayaan yang efisien dan efektif
Jika Indonesia ingin menuju desentralisasi fiskal dengan penguatan
kapasitas daerah, maka penguatan pajak daerah adalah suatu syarat penting
yang harus dilaksanakan. Penguatan pajak daerah ini tidak berarti memberikan
sumber fiskal tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap daerah dan
nasional, melainkan melalui penelahaan beberapa faktor dengan mengacu
pada prinsip efisiensi dan efektivitas.
3. Siklus dan proses belanja daerah yang efisien dan efektif
Siklus dan proses belanja daerah dapat semakin ditingkatkan efisiensi dan
efektifitasnya, dalam hal teknis administrasi dan kualitas penganggaran. Terkait
5/24/2018 Paper Desentralisasi Fiskal
9/27
8
dengan teknis administrasi, proses belanja daerah diupayakan 1) tercapainya
siklus anggaran yang tepat waktu; 2) cakupan rencana kerja dari dokumen
pelaksanaan anggaran (DPA) tidak hanya menggambarkan kebijakan umum
pemerintah daerah tetapi juga sudah mencakup detail program yang
komprehensif termasuk dalam hal estimasi pembiayaannya; serta 3) penetapanmekanisme penyaluran dan administrasi dana tersisa (SILPA) yang juga
dikaitkan dengan perubahan rencana kerja agar penyesuaian antara APBD dan
realisasi budget dapat menghilangkan pemborosan pengeluaran dan juga
untuk menjaga keberlanjutan dari suatu program pembangunan (program
pemerintah).
4. Harmonisasi belanja pusat dan daerah
Satu hal yang pasti diharapkan akan terjadi dalam masa yang akan datangadalah agar sinkronisasi dan koordinasi antar unit dan antar tingkatan
pemerintahan tidak lagi menjadi barang mewah yang sulit untuk diperoleh.
Sinkronisasi dan koordinasi antar unit dan antar tingkatan, terutama dalam
program-program dan kegiatannya, haruslah diwujudkan melalui sistem
perencanaan nasional yang mendukungnya. Sistem tersebut harus mempunyai
alat atau regulasi untuk menjamin kepastian dan kejelasan pembagian urusan
di antara berbagai tingkatan, sehingga tidak lagi terjadi tumpang tindih belanja
antar unit dan antar tingkatan.
C. Desentralisasi Fiskal dan Perubahan Kebijakan (1974-2004)
1. Konsolidasi Orde Baru: Konteks Politik Kebijakan Fiskal
Peran militer menjadi sebuar ciri yang menonjol dari rezim Orde Baru. Dalam
beberapa hal, keterlibatan militer dalam urusan-urusan sosial dan ekonomi
memang menbuat proses pembuatan keputusan menjadi efektif dan efisien.
Keputusan-keputusan strategis dalam birokrasi publik tidak membutuhkanproses yang berbelit-belit melalui adu argumentasi. Namun demikian, terdapat
bukti bahwa keterlibatan militer dalam kegiatan nonmiliter juga menyebabkan
meluasnya penyalahgunaan. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)
juga melaporkan bahwa para investor mengeluhkan banyaknya meja yang
harus dilalui untuk memperoleh izin usaha, dan mengungkapkan bahwa meja-
meja tersebut kebanyakan dikendalikan oleh para perwira militer.
5/24/2018 Paper Desentralisasi Fiskal
10/27
9
Dari segi pendapatan, sebagian besar pendapatan nasional dari minyak dan
komoditas lain dikuasai oleh pemerintah pusat. Juga, banyak sumber
pendapatan yang dikumpulkan oleh berbagai departemen pusat, seperti Dana
Cess yang dikumpulkan oleh kantor Daerah Departemen Dalam Negeri,
pungutan izin kehutanan yang dikumpulkan Departemen Pertanian danKehutanan. Sejumlah kecil presentase mungkin diberikan kepada kantor-kantor
di provinsi dan kabupaten, tetapi tampaknya tidak tersedia statistik yang dapat
diandalkan mengenai besarnya.
2. Legislasi 1974 dan Menguatnya Kontrol Politik
Prinsip swatantra riil seluas-luasnya bisa mengungkap masalah karena
tidak mengakui adanya pembatasan kewenangan daerah. Selain itu struktur
yang hierarkis dalam UU No. 18/1965 tidak memberi peluang bagi pemerintahpusat untuk melakukan pembinaan kepada pemerintah daerah hingga ke
jenjang yang paling rendah. Pemerintah pusat harus menggenggam kontrol
terhadap daerah-daerah sehingga sentralisasi pemerintah harus dilakukan.
Kurangnya ketetapan tentang hal-hal keuangan memperlihatkan bahwa
pemerintah lebih memilih melanjutkan sistem sentralistis dan tidak berniat
menyelesaikan masalah-masalah dalam hubungan fiskal antarjenjang
pemerintahan. Dalam hal ini hanya ditetapkan bahwa sumber-sumber lainnya
penerimaan pemerintah daerah adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD), subsidi,
dan sumber-sumber lainnya yang sah, dan bahkan pelaksanaannya akan diatur
dalam peraturan pemerintah dan peraturan-peraturan lain yang lebih rendah.
Dalam pasal 56 dinyatakan bahwa perimbangan keuangan antara pemerintah
pusat dengan pemenrintah daerah akan diatur dalam undang-undang yang
terpisah. Tidak ada rincian lebih lanjut tentang hubungan-hubungan fiskal
horizontal maupun vertical di antara jenjang pemerintahan yang berbeda. Satu-
satunya landasan legal bagi hubungan fiskal antarjenjang pemerintahan yang
diratifikasi pada masa Orde Lama di bawah Soekarno, maka dapat dipahami
bahwa kebijakan Orde Baru dalam persoalan ini didasarkan pada kekuasaan
diskresi pemerintah pusat.
Sebagai akibat dari kontrol dan sentralisasi yang sistematis melalui
pelaksana UU No. 5/1974 dan undang-undang lain yang mengikutinya,
pemerintah muncul sebagai satu-satunya aktor dalam semua urusan yang
bersifat ekomomi dan politik. Pada saat yang sama, lembaga legislatif sebagian
5/24/2018 Paper Desentralisasi Fiskal
11/27
10
besar menjadi tidak aktif. Para elit politik mulai kuatir bahwa DPRD menjadi
makin bebal dan tidak responsif terhadap kebutuhan lokal. Karena kecewa
dengan kinerja DPRD, banyak di antara unsur masyarakat lokal yang kemudian
menyampaikan keluhan-keluhan langsung ke parlemen pusat (DPR). Meskipun
unsur-unsur itu tidak menggelar demokrasi atau perlawanan massal, DPRmakin kewalahan dengan banyaknya keluhan tentag masalah-masalah
kedaerahan.
3. Sentralisasi Fiskal dalam Pelaksanaannya
Pemerintah Orde Baru bergerak cepat dengan proyek-proyek pembangunan
di seluruh tanah air. Proyek pembangunan masif itu hanya mungkin terwujud
apabila pemerintah memegang kontrol politik yang ketat serta sumber daya
yang cukup. Ada dua sumber daya kunci yang dimobilisasi pemerintah OrdeBaru dalam mendanai pembangunan di daerah, yaitu : penerimaan minyak dan
utang luar negeri. Ketika tiba-tiba pendapatan minyak melorot pada awal tahun
1980-an, pemerintah menambah lagi utang luar negeri dan menerapkan
beberapa kebijakan baru di bidang perpajakan.
Dalam susunan pemerintah pusat, sebenarnya tidak ada lembaga atau
instansi yang secara khusus ditugaskan untuk melaksanakan program-program
inpres. Namun dapat diketahui bahwa kebanyakan tanggung jawab di tingkat
nasional berada pada Departemen Dalam Negeri, Departemen Keuangan, dan
Bappenas. Praktek yang dilakukan dalam penyusunan program Inpres adalah
dengan menyusun tim antar-Departemen yang anggota-anggotanya diambil
dari Departemen Dalam Negeri, Departemen Keuangan, dan Bappenas,
Departemen Pekerjaan Umum, Bank rakyat Indonesia, serta instansi-instansi
dari Departemen lainnya, tergantung pada jenis proyek yang hendak
dilaksanakan.
Sangat disayangkan bahwa semakin banyak pemerintah pusat meluncurkan
program-program Inpres baru, semakin kecil bukti bahwa program-program itu
mampu menjawab kebutuhan daerah. Di sebuah kabupaten, bisa terjadi bahwa
terlalu banyak jalan yang dibangun, namun sesungguhnya rakyat lebih
membutuhkan sebuah jembatan sebagai sarana penghubung.
4. Mengakomodasi gagasan baru
Praktik pelaksanaan dari konsep subsidiaritas di Indonesia tidak sesuai
dengan makna sebenarnya. Sepanjang masa pemerintahan Orde Baru,
5/24/2018 Paper Desentralisasi Fiskal
12/27
11
desentralisasi dipahami sebagai pendelegasian tanggung jawab administratif
kepada para pejabat daerah (decentralised management) dan bukannya
penyerahan kekuasaan untuk membuat keputusan kepada para wakil rakyat
yang sudah dipilih rakyat. Dengan kata lain, sebagian besar pejabat daerah
dan juga rakyat biasa, melihat bahwa desentralisasi adalah soal pelaksanaankegiatan dan pemberian pelayanan publik di tingkat daerah, tetapi bukan soal
pengalihan kekuasaan politik kepada para pejabat daerah.
Namun dengan begitu banyaknya proyek pemerintah pusat yang
dilaksanakan di daerah, tidak banyak keluhan yang dungkapkan oleh para
pejabat daerah berkenaan dengan peran mereka yang terbatas dalam
pengganggran. Kasus-kasus perlawanan yang kuat hanya sebatas pada
pemilihan kepala daerah. Hingga awal tahun 1990-an, pemerintah provinsi danpemerintah lokal tidak banyak menyampaikan keluhan mengenai aspek-aspek
finansial seperti pajak daerah, perimbangan keuangan, atau sempitnya
kekuasaan diskresi bagi pembangunan yang partisipatif. Pemerintah Pusat
agaknya juga cukup percaya diri dalam mengatasi perlawanan di tingkat
provinsi.
Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1992 menetapkan agar pejabat
pemerintah pusat menyerahkan sejumlah tanggung jawab untuk melaksanakan
urusan pelayanan publik kepada daerah Tingkat II. Gagasan yang hendak
diwujudkan adalah asas desentralisasi di Tingkat II dan menerapkan asas
Dekonsentrasi di tingkat I. Namun demikian, peraturan pemerintah ini tidak
bisa mencapai tujuannya. Sebagian besar pemerintah provinsi tidak bersedia
menyerahkan kekuasaan finansial kepada pemerintah lokal sedangkan pjabat-
pejabat pemerintah pusat hanya mendorong desentralisasi dengan setengah
hati.
5. Legislasi 1999
Krisis moneter dan ambruknya ekonomi memicu perlawanan terhadap
pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto pada awa tahun 1998. Tidak
banyak terjadi pertentangan mengenai RUU pemerintah daerah karena
sebagian besar pendapat menerucut pada kebutuhan untuk melakukan
desentralisasi. Dalam tempo dua bulan, UU No. 22 Tahun 1999 disahkan
dengan perubahan yang sangat sedikit dibanding rancanga asli dari Depdagri.
5/24/2018 Paper Desentralisasi Fiskal
13/27
12
UU No. 25 Tahun 1999 mengenai hubungan fiskal antara pemerintah pusat
dengan pemerintah daerah di bahas tengah desakan bertubi-tubi dari daerah
yang kaya sumber daya alam. Mungkin karena itulah rumus-rumus yang
akhirnya dituangkan dalam undang-undang ini tidak menunjukkan keterkaitan
yang erat dengan kebutuhan fiskal yang sesungguhnya di banyak provinsi dankabupaten/kota. Ketentuan paling penting dalam UU No. 25 Tahun 1999 adalah
: (1) bahwa sekurang-kurangnya 25% dari pendapatan dalam negeri harus
dialokasikan ke daerah, di mana dari seluruh totalnya 10% harus dialokasikan
ke provinsi dan 90% ke kabupaten kota, (2) dihapusnya SDO dan bantuan
Inpres yang selanjutnya keduanya digabung menjadi Dana Alokasi Umum
(DAU) yang didasarkan pada rumus transfer tertentu, (3) Dana Alokasi Khusus
(DAK) diberikan kepada daerah berdasarkan kebutuhan pembangunanmereka, dan (4) peningkatan cukup besar dari bagian daerah atas pendapatan
dari minyak bumi (15%) dan gas alam (30%). Semua ketentuan dalam
perundangan tahun 1999 ini akan berlaku efektif dalam waktu dua tahun
setelah disahkan.
Undang-undang baru tahun 1999 itu menciptakan sosok baru mengenai
hubungan fiskal antarjenjang pemerintah. Di dalamnya terkandung banyak
terobosan, tetapi ternyata terdapat ketentuan-ketentuan yang tidak jelas dan
berbagai kelemahan. Tidak adanya ketentuan mengenai mekanisme
akuntabilitas dan pengembangan kapasitas administratif di tingkat daerah juga
merupakan kendala serius yang akhirnya tetap menghambat pelaksanaan
kebijakan desentralisasi fiskal di tanah air.
6. Pelaksanaan Desentralisasi di Tengah Kemelut Politik
Menyangkut hubungan antarjenjang pemerintah tampaknya banyak aspek
hubungan fiskal pada masa-masa awal pelaksanaan perundangan tahun 1999
yang terpengaruh oleh sistem lama. Jika DAU dapat diasosialisasikan dengan
alokasi SDO dalam sistem sebelumnya, DAK dapat dipandang sebagai
metamorfosis dari bantuan-bantuan Inpres masa Pemerintahan Orde Baru.
Karena pemerintah daerah tidak diberi kewenangan untuk merencanakan
sumber daya manusianya sendiri, termasuk kemungkinan merampingkan staf
agar lebih efisien, maka porsi yang sangat besar dari DAU terserap untuk
membayar gaji pegawai. Pada saat yang sama, karena pemerintah pusat
masih menghadapi kendala anggaran karena krisis ekonomi dan karena
5/24/2018 Paper Desentralisasi Fiskal
14/27
13
pendapatan minyak dan gas bumi yang telah didaerahkan, maka besarnya
DAK bagi kebanyakan kabupaten/kota di seluruh Indonesia juga terbatas.
Di tingkat daerah, terdapat kecenderungan bahwa kebijakan desentralisasi
fiskal disandera oleh para elit politik sehingga tujua utama dari kebijakan
tersebut tidak bisa dicapai. Politik uang, birokrasi yang membelanjakan danapublik untuk dirinya sendiri, serta penyalahgunaan kekuasaan politik dan
finansial justru semakin merebak karena kurangnya sistem akuntabilitas yang
terlembaga. Namun, desentralisasi fiskal dilaksanakan di tengah kemelut politik
dan ekonomi dan menghadap berbagai persoalan serius, tidak mungkin lagi
untuk berbalik arah.
7. Penyesuaian Kebijakan Desentralisasi : Legislasi 2004
Undang-undang tahun 2004 mengenai pemerintah daerah mengembalikanhubungan hierarkhi antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten kota
serta memuat ketentuan rinci mengenai pemilihan kepala daerah. Akan tetapi,
menyangkut hubungan fiskal antarjenjang pemerintahan, hanya terdapat
perubahan-perubahan kecil. UU No. 33/2004 sedikit menaikkan presentase
pendapatan negara yang akan dialokasikan kepada pemerintah daerah melalui
DAU serta presentase pembagian pendapatan dari minyak, serta menetapkan
pembagian pendapatan dari gas bumi yang lebih jelas. Sebuah sistem bantuan
kerja sama (matching grants) ditetapkan dengan ketentuan mengenai dana
penyertaan untuk alokasi DAK. Namun secara keseluruhan ketentuan
mengenai pembagian pajak antarjenjang pemerintahan masih tetap sama
dengan undang-undang sebelumnya. Kebijakan desentralisasi fiskal akan tetap
dipengaruhi oleh negoisasi-negoisasi politik di antara jenjang pemerintahan yan
berbada.
D. BELAJAR DARI PRAKTEK INTERNASIONAL
1. Jenis Transfer yang Harus Dihindari
Para pembuat kebijakan harus menghindari merancang Intergovernmental
Grants jenis berikut:
1) Hibah dengan tujuan ditentukan yang tersamar.
2) Program pembagian pendapatan umum dengan beberapa faktor yang
bekerja di lintas tujuan, melemahkan akuntabilitas, dan tidak memajukan
efisiensi fiskal atau tujuan ekuitas fiskal. Desentralisasi pajak atau tax-base
5/24/2018 Paper Desentralisasi Fiskal
15/27
14
sharing menawarkan alternatif yang lebih baik untuk program pembagian
pendapatan umum, karena mereka meningkatkan akuntabilitas sambil
menjaga otonomi daerah.
3) Hibah untuk membiayai defisit subnasional, yang menciptakan insentif
untuk menjalankan defisit yang lebih tinggi di masa depan.4) Hibah tanpa syarat yang mencakup insentif untuk upaya fiskal.
Meningkatkan pelayanan sekaligus menurunkan biaya pajak seharusnya
menjadi tujuan sektor publik.
5) Input- (or process-) based atau ad hoc conditional grant programs, yang
melemahkan otonomi daerah, fleksibilitas, efisiensi fiskal dan tujuan ekuitas
fiskal.
6) Hibah modal tanpa jaminan dana untuk pemeliharaan masa depan, yangmemiliki potensi untuk menciptakan white elephants.
7) Negosiasi hibah atau kebijaksanaan dalam sistem federal, yang dapat
menciptakan pertikaian dan perpecahan.
8) One size fits all grants kepada pemerintah daerah, yang menciptakan
ketidakadilan yang besar.
9) Hibah yang melibatkan perubahan mendadak di total pool dan alokasinya.
2. Prinsip yang dapat diadopsi
Para pembuat kebijakan harus berusaha untuk menghormati prinsip-prinsip
berikut dalam merancang dan melaksanakan transfer antar pemerintah:
1) Keep it simple. Dalam desain transfer fiskal, keadilan kasar mungkin lebih
baik daripada penuh keadilan, jika mencapai penerimaan yang lebih luas
dan keberlanjutan.
2) Fokus pada satu tujuan dalam program hibah dan membuat desain sesuai
dengan tujuan tersebut. Menetapkan beberapa tujuan dalam program hibah
tunggal menghadapi risiko gagal untuk mencapai salah satu dari tujuan
tersebut.
3) Perkenalkan ceiling (terkait dengan indikator makro) dan floor untuk
memastikan stabilitas dan prediktabilitas dalam dana hibah.
4) Memperkenalkan sunset clause. Sangat diharapkan program hibah ditinjau
secara berkala - katakan, setiap lima tahun dan diperpanjang (jika sesuai).
Dalam tahun-tahun, tidak ada perubahan pada program harus dilakukan,
5/24/2018 Paper Desentralisasi Fiskal
16/27
15
dalam rangka memberikan kepastian dalam pemrograman anggaran untuk
semua pemerintah.
5) Menyamakan kapasitas fiskal per kapita dengan standar yang ditetapkan
dalam rangka mencapai pemerataan fiskal. Standar tersebut akan
menentukan total pool dan alokasi antar unit penerima. Perhitungan yangdiperlukan untuk penyetaraan kapasitas fiskal menggunakan sistem pajak
representatif untuk dasar pengenaan pajak utama dapat dilakukan untuk
sebagian besar negara. Sebaliknya, pengeluaran perlu pemerataan
memerlukan analisis yang sulit dan kompleks, mengundang banyak
kontroversi dan perdebatan.
6) Dalam program hibah spesifik tujuan, memberlakukan persyaratan pada
output atau standar akses dan kualitas pelayanan bukan pada input danproses. Hal ini memungkinkan pemberi untuk mencapai tujuan mereka
tanpa merusak pilihan lokal tentang cara terbaik untuk memberikan layanan
tersebut. Sebagian besar negara harus menetapkan standar minimum
nasional pelayanan dasar di seluruh bangsa untuk memperkuat pasar
umum internal dan serikat ekonomi.
7) Kenali ukuran populasi, wilayah yang dilayani, dan sifat perkotaan /
pedesaan dalam pemberian jasa untuk pemberian hibah kepada
pemerintah daerah. Menetapkan alokasi rumus yang terpisah untuk setiap
jenis pemerintah kota atau daerah.
8) Menetapkan hal yang tidak berbahaya atau menyusun ketentuan yang
memastikan bahwa pemerintah menerima setidaknya transfer untuk tujuan
umum dalam periode sebelum reformasi. Seiring waktu, ketika ekonomi
tumbuh, ketentuan tersebut tidak akan menunda tahap dari reformasi
penuh.
9) Memastikan bahwa semua pemangku kepentingan didengar dan bahwa
politik sesuai dengan prinsip dan standar pemerataan. Politik harus
diinternalisasidalam pengaturan kelembagaan. Arms-length institutions,
misal independent grant commissions tidak banyak membantu karena tidak
memungkinkan adanya pengaruh politik dan karena itu cenderung untuk
memilih solusi yang kompleks dan tidak transparan.
5/24/2018 Paper Desentralisasi Fiskal
17/27
16
3. Principles and Better Practices in Grant Design
Grant objective Grand DesignExamples of better
practices
Examples of practices to
avoid
Bridge fiscal gap Reassignment of
responsibilities,
tax abatement,
tax-base sharing
Pengurangan pajak dan
tax-base sharing(Kanada)
Deficit grants, wage grants
(China)
Tax by tax sharing (China,
India)
Reduce regional
fiscal disparities
General
nonmatching
fiscal capacity
equalization
transfers
Fiscal equalization with
explicit standard that
determines total pool as
well as allocation
(Canada, Denmark, and
Germany)
General revenue sharing
with multiple factors
(Brazil and India); fiscal
equalization with a fixed
pool (Australia, China)
Compensate for
benefit spillovers
Open-ended
matching
transfers Grant
with matching
rate consistent
with spill-out of
benefits
Grant for teaching
hospitals (South Africa)
Closed-ended matching
grants
Set national
minimum
standards
Conditional
nonmatching
output-based
block transfers
with conditions on
standards of
service and access
Road maintenance and
primary education grants
(Indonesia before 2000)
Conditional transfers with
conditions on spending
alone (most countries),
pork barrel transfers (e.g.,
United States federal
US$200 million transfer to
Alaska in 2006 for a
bridge to nowhere), ad
hoc grants
Education transfers
(Brazil, Chile, Colombia)
Health transfers (Brazil,
Canada)
Conditional capital
grants with
matching rate that
varies inversely
with local fiscal
capacity
Capital grant for school
construction (Indonesia
before 2000), highway
construction matching
grants to states (United
States)
Capital grants with no
matching and no future
upkeep requirements
5/24/2018 Paper Desentralisasi Fiskal
18/27
17
Influence local
priorities in areas
of high national
but low local
priority
Open-ended
matching
transfers
(preferably with
matching rate
varying inversely
with fiscal
capacity)
Matching transfers for
social assistance (Canada
before 2004)
Ad hoc grant
Provide
stabilization and
overcome
infrastructure
deficiencies
Capital grants,
provided
maintenance
possible
Capital grants with
matching rates that vary
inversely with local fiscal
capacity
Stabilization grants with
no future upkeep
requirements
E. KONDISI dan PERMASALAHAN DESENTRALISASI FISKAL DI NDONESIA
Dari pelaksanaan desentralisasi fiscal yang dimulai dari tahun 2001, kondisi yang
dihadapi oleh pemerintah Indonesia secara garis besar dapat dikategorikan menjadi 4
macam yaitu :
1. Ketimpangan Vertikal dan Horizontal secara minimum
1) DAU
Dalam UU No.33/2004 telah dinyatakan dengan tegas bahwa DAU
dibagikan dengan formula yang didasarkan atas alokasi dasar dan
kesenjangan fiskal (fiscal gap). Alokasi dasar ditetapkan terutama
berdasarkan besarnya belanja pegawai, sedangkan kesenjangan fiskal
dihitung dari selisih antara kebutuhan fiscal dan kapasitas fiskal. Dengan
masih adanya peran belanja pegawai, mendorong pemerintah daerah untukterus menambah jumlah pegawainya, terlepas dari pertimbangan efisiensi
pegawai. Selain itu, keberadaan variabel belanja pegawai dalam formula
DAU dianggap pula sebagai pencetus motivasi untuk melakukan pemekaran
daerah, karena bagi daerah otonom baru sebagai hasil pemekaran, mereka
akan otomatis membutuhkan pegawai yang pembiayaannya dijamin oleh
alokasi DAU.
5/24/2018 Paper Desentralisasi Fiskal
19/27
18
Sementara itu, perhitungan kebutuhan fiskal pada saat ini belum
dilakukan dengan menggunakan pendekatan kebutuhan belanja yang
sesungguhnya, melainkan masih menggunakan beberapa variabel
pendekatan (proxy variables), diantaranya adalah:
jumlah penduduk,
luas wilayah,
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).
2) DAK
Semenjak dilakukannya kebijakan desentralisasi fiskal pada tahun 2001,
sangat dirasakan tidak jelasnya peran dari Dana Alokasi Khusus (DAK)
dalam membiayai otonomi daerah. Euforia terhadap desentralisasi danotonomi daerah pada tahun 2000 tampaknya mengakibatkan pengambil
keputusan untuk lebih memberikan prioritas kepada alokasi dana transfer,
seperti DAU dan DBH, yang memberikan diskresi yang luas bagi pemda
untuk mengatur penggunaannya.
Sebagai akibatnya, peran DAK yang dapat dijadikan stimulus tercapainya
target pembangunan nasional dan mengedepankan eksternalitas dari
pelayanan public daerah menjadi terabaikan. Hal ini tampak dari alokasi DAKyang hanya sebesar 700,9 Milyar Rupiah pada tahun 2001. Alokasi DAK
inipun pada dasarnya adalah alokasi dana reboisasi, yang seperti
diamanatkan oleh Undang-undang pada saat itu (UU No.25/1999) sebagian
didaerahkan kembali dalam bentuk alokasi DAK.
Namun sejalan dengan waktu dan menguatnya kebutuhan untuk
pemenuhan berbagai program prioritas nasional, maka peran DAK menjadi
meningkat. Besarnya alokasi DAK pada tahun 2008 telah menjadi 21.202
Milyar Rupiah, suatu peningkatan sangat signifikan dibandingkan dengan
alokasi DAK tahun 2001. Namun demikian, alokasi DAK yang pada saat ini
hanya sebesar 8,05 % dari total dana perimbangan, relatif masih rendah
peranannya dalam mendukung kebijakan desentralisasi fiskal.
Selain itu, DAK masih dirasakan belum jelas arah dan kegunaannya.
Seperti diketahui, jenis-jenis DAK saat ini meliputi 12 (dua belas) bidang,
yaitu : Pendidikan, kesehatan, jalan,irigasi,air bersih, kelautan dan perikanan,
5/24/2018 Paper Desentralisasi Fiskal
20/27
19
pertanian, prasarana pemerintahan, lingkungan hidup,kependudukan dan
kehutanan. Dengan demikian, jumlah alokasi DAK yang meningkat pada
dasarnya terbagi atas alokasi untuk banyak bidang, sehingga efektivitas
alokasi DAK per bidang menjadi sangat minimal.
3) DBH
Untuk melihat kondisi saat ini dari kebijakan DBH dapat ditinjau dari
beberapa segi:
Formula alokasi DBH
Persentase yang dibagi-hasilkan dengan daerah relative tidak mengalami
perubahan semenjak ditetapkan kebijakan tersebut pada tahun 2001.
Pengecualian terjadi untuk besarnya persentase bagi-hasil minyak dan
gas bumi, yang mengalami kenaikan sebesar 0,5% pada tahun 2004.Rumusan bagi hasil untuk setiap jenis pajak dan juga penerimaan sumber
daya alam sangat bervariasi satu dengan yang lain, selain itu, semenjak
ditetapkan rumusan alokasi ini pada tahun 2001, tidak ada argumentasi
yang jelas tentang formula bagi hasil tersebut. Formula DBH menjadi
makin kompleks karena pemberlakuan formula yang berbeda untuk
daerah otonomi khusus, yaitu Nanggro Aceh Darussalam dan Papua.
Dasar nilai penetapan bagi hasilSelain dari beragamnya formula, yang juga menambah rumit alokasi DBH
adalah beragamnya dasar penetapan untuk bagi hasil.Saat ini, untuk
minyak dan gas bumi, yang dibagi-hasilkan kepada daerah adalah nilai
net-operating income setelah dikurangi berbagai jenis pajak (PPh, PPN,
dan PBB), dengan formula yang berbeda untuk minyak bumi dan gas
alam.Sedangkan untuk Pertambangan, Kehutanan dan Perikanan, nilai
yang dibagi-hasilkan pada dasarnya ada dua jenis, yaitu biaya sewa
perijinan usaha dan royalti untuk produksi yang dihasilkan.
Pemanfaatan DBH di daerah
Bagi pemerintah daerah yang memperoleh alokasi DBH yang cukup
signifikan, seyogyanya pemanfaatan dana tersebut dilakukan secara
optimal dalam rangka meningkatkan pelayanan publik dan
pengembangan infrastruktur dasar di daerah. Namun demikian, arah
penggunaan DBH tampaknya belum jelas di daerah, bahkan terkadang
terjadi tumpang tindih program kegiatan antara Provinsi dan
5/24/2018 Paper Desentralisasi Fiskal
21/27
20
Kabupaten/Kota, misalnya pembangunan lapangan udara pada lokasi
yang berdekatan dengan anggaran berbeda, yaitu dari provinsi dan yang
satunya dari kabupaten.
Mekanisme penyaluran DBH
Permasalahan klasik yang terus terjadi semenjak tahun 2001 sampaidengan sekarang adalah keterlambatan penyaluran DBH ke daerah,
khususnya untuk DBH yang berasal dari sumber daya alam. Seharusnya
penyaluran dilakukan pada setiap akhir kuartal, dimana nilai yang
disalurkan pada 3 kuartal pertama adalah nilai yang didasarkan kepada
angka yang disepakati di APBN, sedangkan nilai yang disalurkan pada
kuartal terakhir sudah memperhitungkan berbagai penyesuaian terhadap
realisasi yang terjadi.Jumlah yang bisa dibagi-hasilkan untuk realisasiminyak dan gas bumi adalah maksimum 130% dari harga asumsi awal di
APBN.Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi keterlambatan
penyaluran DBH ke daerah, sehingga alokasi DBH ini mulai lebih baik
pada tahun 2008.
2. Pendapatan dan Pembiayaan Daerah yang Efektif dan efisien
Dalam skema desentralisasi fiskal di Indonesia, pemerintah daerah diberikan
kewenangan untuk memungut dan menentukan tarif secara terbatas (tariff
maksimum telah ditentukan oleh UU) untuk beberapa jenis pajak daerah yang
ditentukan oleh UU. Hal ini menyebabkan daerah hanya memiliki instrumen yang
sangat terbatas untuk mengelola sisi fungsi pendapatan. Walaupun dalam
kenyataannya, banyak daerah mengeluarkan peraturan daerah untuk memungut
pajak atau retribusi yang berdampak pada ekonomi biaya tinggi. Rendahnya
penerimaan pajak dan retribusi daerah ini ditunjukkan oleh data bahwa
kontribusi PAD terhadap APBD hanya kurang dari 10%, seperti pada tabel
berikut ini.
5/24/2018 Paper Desentralisasi Fiskal
22/27
21
3. Siklus dan Proses Belanja Daerah yang Efektif dan efisien
Proses penganggaran yang berjenjang antar tiap tingkatan pemerintahan,
merupakan salah satu faktor yang menyebabkan panjangnya prosespenganggaran. Kondisi saat ini, dimana terdapat sekitar 3 bulan rentang waktu
antara penetapan APBN dan APBD berpengaruh pada lambatnya timing
eksekusi dari anggaran pemerintah daerah seperti tercantum dalam UU No. 17
Tahun 2003. Selain itu, penerimaan pemerintah daerah yang sebagian besar
disalurkan oleh pemerintah pusat melalui dana perimbangan, juga menunjukkan
bahwa smoothing out dari alokasi dana perimbangan oleh pemerintah pusat
akan sangat membantu efektifitas pengeluaran pemerintah daerah.Pada saat ini, anggaran belanja daerah disusun tidak berdasarkan suatu
analisis kebutuhan yang nyata yang harus dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah.
Anggaran belanja disusun secara ekletik, dengan anggaran tahun sebelumnya
sebagai acuan utama. Tidak jarang bahwa peningkatan anggaran pemerintah
hanya dirumuskan sebagai suatu peningkatan proporsional dari anggaran tahun
berjalan, tanpa mempertimbangkan kebutuhan yang nyata. Sulitnya menyusun
anggaran belanja sesuai dengan kebutuhan nyata Pemerintah Daerah juga
diakibatkan oleh tidak adanya Analisis Standar Belanja (ASB). Karena itu tidak
mengherankan bahwa banyak analisis terhadap anggaran pemerintah sampai
saat ini menunjukkan adanya biaya penyelenggaraan layanan publik yang
sangat fluktuatif dari tahun ke tahun. Hal ini mencerminkan jauhnya penetapan
anggaran dari analisis kebutuhan dan analisis standar belanja.
4. Harmonisasi Belanja Pusat dan Daerah
Sampai saat ini masih terjadi tumpang tindih belanja antar unit maupun antar
tingkatan. Masih sering terjadi belanja pemerintah pusat melalui anggaran
5/24/2018 Paper Desentralisasi Fiskal
23/27
22
kementerian, baik secara langsung ke daerah maupun melalui mekanisme
dekonsentrasi dan tugas pembantuan, digunakan untuk mendanai kegiatan-
kegiatan yang seharusnya menjadi urusan daerah yang telah
didesentralisasikan. Hal ini juga diperparah dengan rendahnya mekanisme
koordinasi antara pusat dan daerah dalam pengalokasian dana-dana tersebut,sehingga tidak hanya tidak tepat guna tapi juga tumpang tindih. Di samping itu,
sistem perencanaan nasional juga belum sepenuhnya dapat mengkoordinasikan
program-program di pusat maupun daerah. Hal ini didorong oleh adanya ego
sektoral dari masing-masing unit di semua tingkatan. Yang masih kadang terjadi
adalah ketidakjelasan siapa mengerjakan apa, sehingga berbagai program
saling berbenturan. Komitmen untuk menjaga kejelasan pembagian urusan dari
masing-masing pihak menjadi salah satu penyebab carut marut perencanaantersebut, di samping belum adanya SPM yang jelas untuk semua urusan.
Tumpang tindih antara belanja pusat dan daerah ditenggarai sebagai salah
satu faktor yang mendorong tingginya belanja pegawai baik di tingkat
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Tabel 5.1 menunjukkan bahwa
belanja pegawai selama tahun 2005-2008 merupakan komponen pengeluaran
yang dominan relative dibandingkan dengan belanja modal. Perbandingan
belanja personel (belanja modal) terhadap tahun-tahun sebelum desentralisasi
yaitu terhadap pengeluaran rutin (pengeluaran pembangunan) cenderung bias
karena dalam belanja pembangunan masih juga mencakup komponen personnel
selain belanja modal. Sistem anggaran seperti ini juga merupakan salah satu
penyebab kurang terkontrolnya komponen dari pengeluaran belanja pegawai.
Untuk tingkat pemerintah pusat, penerapan standar pelayanan minimal
(SPM) juga berarti orientasi pada cakupan outcome yang mungkin akan
bersinggungan atau sama untuk tiap unit karena melibatkan koordinasi beberapa
departemen teknis. Berdasarkan PP No. 65 Tahun 2005, penentuan SPM yang
harus berdasarkan koordinasi dari beberapa kementrian, merupakan salah satu
cara untuk pemetaan SPM untuk tiap sektor sementara pada saat yang sama
koordinasi dilakukan untuk menghindari ketidaksesuaian antara outcome dengan
sumber daya. Namun sampai saat ini, dari 12 sektor pelayanan dasar,
penetapan SPM baru ada untuk sector pendidikan, kesehatan dan lingkungan
hidup (Departemen Keuangan, 2009).
5/24/2018 Paper Desentralisasi Fiskal
24/27
23
Sedangkan permasalahan desentralisasi fiscal yang dihadapi pemerintah Indonesia
menurut Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru dari
World Bank adalah sebagai berikut :
a. Tantangan utama bagi pembangunan Indonesia bukan lagi untuk memberikan
dana kepada daerah-daerah yang lebih miskin tetapi bagaimana memastikan
agar daerah-daerah tersebut menggunakan dana yang disalurkan dengan
sebaik-baiknya. Sumber dana yang terpenting untuk daerahDana Alokasi
Umum (Dana DAU)mengalami peningkatan nominal hingga 64 persen pada2006. Sebagian besar daerah sudah memiliki sumber daya yang cukup untuk
melakukan berbagai perbaikan taraf hidup warganya. Bahkan daerah-daerah
yang dulunya dianggap miskin, kini memiliki DAU per kapita rata-rata sebesar
AS$425 setiap tahun, jumlah alokasi DAU ini telah mengalami peningkatan
sebesar 75 persen pada tahun 2006.
b. Lebih dari setengah kenaikan alokasi DAU yang seharusnya digunakan untuk
peningkatan penyediaan layanan kepada masyarakat digunakan untukmembiayai belanja pegawai pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Kebijakan
pembayaran gaji pegawai daerah secara penuh melalui DAU ini tidak
mendorong pemerintah daerah mengarahkan dana itu untuk peningkatan
pelayanan masyarakat.
c. Banyak pemerintah daerah mengalami kesulitan untuk membelanjakan
anggaran tambahan mereka. Mereka lalu menyimpan dana itu dalam rekening
5/24/2018 Paper Desentralisasi Fiskal
25/27
24
bank setempat, jumlah simpanan itu semakin banyak dan telah mencapai angka
3,1 persen dari PDB pada bulan November 2006.
d. Pos pengeluaran paling besar untuk pemerintah daerah adalah untuk
penyelenggaraan administrasi pemerintahan, yang menyerap sebanyak 32
persen dari seluruh pengeluaran pemerintah daerah. Pengeluaran administrasiyang sangat besar ini mengakibatkan berkurangnya pengeluaran untuk
sektorsektor penting lainnya, terutama sektor kesehatan, pertanian, dan
infrastruktur.
Adapun rekomendasi yang diberikan oleh World Bank sebagai berikut :
a. Mekanisme alokasi DAU seharusnya diubah dengan menghilangkan cakupan
pembayaran gaji pemerintah daerah secara penuh. Penyaluran dana yang
penggunaannya telah ditetapkan akan menurunkan insentif untuk mengurangikelebihan pegawai dan mencari kombinasi masukan secara optimal (tenaga
kerja, modal, bahan baku,dan outsourcing) untuk pemberian layanan
masyarakat yang bermutu. Menghilangkan cakupan pembayaran gaji secara
penuh ini akan berkontribusi terhadap peningkatan efisiensi pada pengeluaran
pemerintah daerah.
b. Untuk mendorong fungsi perimbangan dari perimbangan fiskal pusat-daerah,
sebagian besar dari dana DAU harus dialokasikan berdasarkan formula
kesenjangan fiskal. Penghapusan cakupan pembayaran gaji dari alokasi dana
DAU akan berkontribusi pada tujuan ini.
c. Pemerintah seharusnya mengurangi fluktuasi jumlah dana DAU untuk
menghindari dampak fluktuasi ini terhadap anggaran daerah. Fluktuasi besar
jangka pendek akan membutuhkan penyesuaian besar-besaran dalam
penentuan anggaran atau strategi pengeluaran jangka panjang yang lebih
lancar. Akan tetapi, hal-hal ini tidak mudah untuk dirumuskan dan dilaksanakan
di tingkat daerah mengingat keterbatasan kapasitas manajerial. Ada sejumlah
cara yang dapat digunakan untuk memperlancar alokasi dana DAU, di antaranya
pemanfaatan asumsi harga minyak jangka panjang, penciptaan stabilisasi dana
cadangan nasional atau di daerah, dan peningkatan secara riil alokasi DAU
setiap tahun.
d. Oleh karena tingkat pendapatan pemerintah daerah saat ini sudah relatif besar,
seharusnya berfokus pada pergeseran ke arah pemanfaatan sumber daya yang
efisien dan bukan pada mobilisasi sumber daya tambahan. Satu elemen kunci
5/24/2018 Paper Desentralisasi Fiskal
26/27
25
untuk menjamin efisiensi pengeluaran adalah alat ukur kinerja pemerintah
daerah untuk melakukan perbandingan di seluruh kabupaten/kota. Insentif yang
menarik harus disediakan untuk pemanfaatan anggaran yang cermat dan efektif.
Insentif ini dapat dimasukkan ke dalam sistem penyaluran anggaran antar-
pemerintahan.e. Pemerintah daerah perlu melakukan pergeseran dari alokasi anggaran
administrasi yang terlalu besar menuju penerapan kebijakan pemberian layanan
masyarakat dan berpihak pada masyarakat miskin. Jumlah pengeluaran saat ini
untuk kebutuhan administrasi pemerintahan terlalu tinggi dan ini menunjukkan
penggunaan sumber daya yang tidak efisien. Ada ruang yang begitu besar untuk
melakukan perbaikan dalam pemanfaatan sumber-sumber daya publik.
Penggunaan anggaran sebesar 5 sampai 10 persen untuk kepentinganadministrasi seharusnya merupakan target pemerintah daerah.
f. Kapasitas untuk membuat perencanaan dan menentukan anggaran di daerah
perlu ditingkatkan. Proses persetujuan anggaran perlu dirampingkan dan
pengeluaran di luar anggaran perlu direvisi. Hanya dengan demikian
perencanaan anggaran dapat mencerminkan rencana pengeluaran yang efisien
dan dapat mencegah terjadinya surplus anggaran yang terlalu besar.
g. Pemungutan dan pengumpulan pendapatan pajak di daerah perlu ditingkatkan.
Hal ini memerlukan desentralisasi PBB untuk wilayah perkotaan dan pedesaan
dan memberi ruang kepada daerah untuk bersaing dengan daerah lain (ini
merupakan kelaziman yang sudah berlaku secara internasional). Hal ini juga
termasuk peningkatan pengumpulan pajak itu sendiri, yang rata-rata
menghabiskan setengah dari pajak yang terkumpulangka yang terlalu tinggi
dilihat dari standar mana pun. Akhirnya, penggunaan retribusi dan pajak daerah
lainnya seharusnya diatur dengan jelas untuk mencegah timbulnya dampak
negatif terhadap iklim investasi.
h. Kerangka aturan bagi pengelolaan keuangan pemerintah daerah, terutama yang
berkaitan dengan kapasitas melakukan pinjaman dan pengelolaan terhadap
surplus anggaran yang jumlahnya semakin besar harus diperkuat. Kapasitas dan
daya tarik daerah untuk mendapatkan kredit akan dapat didorong dengan
menyelesaikan dan melaksanakan kerangka aturan agar PDAM dan Pemda
dapat mengatasi permasalahannya. Departemen Keuangan dapat
mengembangkan pedoman mengenai akumulasi dan pemanfaatan dana
5/24/2018 Paper Desentralisasi Fiskal
27/27
26
cadangan yang rasional. Jika jumlah dana cadangan yang semakin tinggi
sebagai ciri dari kinerja anggaran pemerintah daerah terus berlangsung, maka
setidaknya dana cadangan itu harus digunakan untuk meningkatkan investasi
dalam infrastruktur publik dan membayar hutang yang masih tertunggak.
Bibliography
[1] Ministry of Finance RI Fiscal Decentralization Assistance Team, Fiscal Decentralization Grand Design.
Jakarta: Ministry Of finance, 2010.
[2] Wahyudi Kumorotomo, Desentralisasi Fiskal: Politik dan Perubahan Kebijakan 1974-2004, 1st ed.,
Erwan Agus Purwanto, Ed. Jakarta, Indonesia: Prenada Media, 2008.
[3] World Bank, Kajian Pengeluaran Publik Indonesia:Memaksimalkan Peluang Baru. Jakarta, 2007.
[4] Robin Boadway and Anwar Shah, Intergovernmental Fiscal Transfer, Principles and Practice.
Washington, DC: World Bank, 2007.